BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Sifat baja tidak berubah banyak terhadap waktu, tidak seperti halnya pada
struktur beton bertulang.
3. Elastisitas
Baja berperilaku mendekati asumsi perancang teknik dibandingkan dengan
material lain karena baja mengikuti hukum Hooke hingga mencapai tegangan
yang cukup tinggi. Momen inersia untuk penampang baja dapat ditentukan
dengan pasti dibandingkan dengan penampang beton bertulang.
4. Permanen
Portal baja yang mendapat perawatan baik akan berumur sangat panjang,
bahkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kondisi tertentu baja tidak
memerlukan perawatan pengecatan sama sekali.
5. Liat
Baja strukur merupakan material yang liat artinya memiliki kekuatan dan
daktilitas. Suatu elemen baja masih dapat terus memikul beban dengan deformasi
yang cukup besar. Ini merupakan sifat material yang penting karena dengan sifat
ini elemen baja bisa menerima deformasi yang besar selama pabrikasi,
pengangkutan, dan pelaksanaan tanpa menimbulkan kehancuran. Dengan
demikian pada baja struktur dapat diberikan lenturan, diberikan beban kejut,
geser, dan dilubangi tanpa memperlihatkan kerusakan. Kemampuan material
untuk menyerap energi dalam jumlah yang cukup besar disebut .
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
10
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.3.2. Beban Mati
Beban mati adalah beban dengan besar yang konstan dan berada pada posisi
yang sama setiap saat. Beban ini terdiri dari berat sendiri struktur dan beban lain
yang melekat pada struktur secara permanen. Termasuk dalam beban mati adalah
berat rangka, dinding, lantai, atap, plambing, dll. Dalam perancangan suatu
konstruksi tentunya beban mati ini harus diperhitungkan untuk digunakan dalam
analisa. Dimensi dan berat elemen struktur tidak diketahui sebelum analisa struktur
selesai dilakukan. Berat yang ditentukan dari analisa struktur harus dibandingkan
dengan berat perkiraan semula. Jika perbedaannya besar, perlu dilakukan analisa
ulang dengan menggunakan perkiraan berat yang lebih baik. Untuk nilai besar
besaran beban mati dapat dilihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2. 5 Berat Beban mati
11
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
12
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
13
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
7 = (0,9 + 0,2 ) + + (± ± 0,3 )
7 = (0,9 + 0,2 ) + + (± 0,3 ± )
Keterangan
:
Sds : parameter percepatan respon spectral pada periode pendek
Qey : pengaruh gaya gempa vertical
Qex : pengaruh gaya gempa horizontal
14
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Keterangan:
N : tahanan penetrasi standar rata-rata dalam lapisan 30 m paling atas.
su : kuat geser niralir rata-rata di dalam lapisan 30 m paling atas
vs : kecepatan rambat gelombang geser rata-rata pada regangan geser yang
kecil, di dalam lapisan 30 m teratas
Nch : tahanan penetrasi standar rata-rata tanah non kohesif dalam lapisan 30 m
paling atas
(di adalah tebal lapisan tanah ke i; Ni adalah nilai SPT lapisan tanah ke i)
2.5.2. Kategori Resiko dan Faktor Keutamaan
Berdasarkan SNI 1726 – 2012 kategpri resiko untuk bangunan gedung dan
non gedung terdapat pada Tabel 2.7 dan Tabel 2.8.
Tabel 2. 7 Kategori Resiko
Kategori
Jenis Pemanfaatan Resiko Catatan
Fasilitas pertanian, perkebunan,
I
perternakan, dan perikanan
15
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fasilitas sementara
Gedung yang
Gudang penyimpanan memiliki
Rumah jaga dan struktur kecil resiko rendah
lainnya
Perumahan
Rumah toko dan Rumah kantor
Pasar
Gedung perkantoran
Gedung apartemen/ Rumah
II
susun
Pusat perbelanjaan/ Mall
Bangunan industri
Fasilitas manufaktur
Pabrik
Bioskop
Gedung pertemuan
Stadion
Fasilitas kesehatan
Fasilitas penitipan anak Gedung
dengan
Penjara III
tingkat resiko
Bangunan untuk orang jompo tinggi
Pusat pembangkit listrik biasa
Fasilitas penanganan air
Fasilitas penanganan limbah
Pusat telekomunikasi
Bangunan-bangunan
monumental
Gedung sekolah dan Fasilitas
pendidikan Fasilitas
Rumah sakit IV bangunan
Fasilitas pemadam kebakaran, yang peting
ambulans,
dan kantor polisi, serta garasi
dan kendaraan darurat
16
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Nilai SDS ditentukan berdasarkan persamaan berikut :
SDS = 2
, dimana SMS ditentukan menggunakan persamaan :
3
= (2-03)
Untuk nilai Fa dapat dilihat pada tabel 2.9. dan nilai Ss didapat dari hasil input
koordinat dari lokasi proyek ke dalam situs puskim.pu.go.id
Tabel 2. 9 Koefisien Fa
(2-05)
Untuk nilai Fv dapat dilihat pada Tabel 2.10
Tabel 2. 10 koefisien Fv
17
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
= (2-06)
Keterangan :
V : Gaya geser Seismik
18
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
19
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
= (2-07)
Keterangan :
Cs : koefisien respon seismic
W : berat seismic efektif
Menentukan koefisien respon seismik
(2-08)
1
=
( )
Keterangan :
SD1 : parameter percepatan respon spectrum pada perioda sebesar 1,0 detik
T : perioda fundamental struktur (detik)
20
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Keterangan :
hn : ketinggian struktur dalam (m)
Ct : ditentukan pada Tabel 2.19
x : ditentukan pada Tabel 2.19
Tabel 2. 13 Nilai Parameter Periode Penekanan
Keterangan :
F1 : bagian dari geser dasar seismil yang timbul pada tingkat i
21
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
22
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
(2-12)
Tegangan kritis, Fcr , ditentukan sebagai berikut :
= [0,658 ]
(2-13)
= 0,877
(2-14)
Fe : tegangan tekuk kritis elastis ditentukan sebagai berikut.
2
= 2
( )
Keterangan :
(2-15)
E : Modulus elastisitas baja = 29.000 ksi (200.000 MPa)
: Luas bruto penampang dari komponen struktur
23
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
8
+ ( + ) ≤ 1,0
(2-16)
9
+ ( + ) ≤ 1,0
(2-17)
2
Keterangan :
Pc : kekuatan aksial tersedia, (N)
Pr : kekuatan tekan aksial yang diperlukan dengan menggunakan
kombinasi beban DFBK atau DKI, (N)
Mrx : kekuatan lentur perlu, (N)
Mry : kekuatan lentur perlu, (N)
Mcx : kekuatan lentur tersedia, (N)
Mcy : kekuatan lentur tersedia, (N)
24
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2. 2 Panduan Memprediksi Nilai K
Sumber : Standar Nasional Indonesia
perpindahan.
Pada umumnya panjang efektif kolom adalah cara interprestasi perilaku
elemen dari suatu struktur kompleks jadi perilaku kolom tunggal sederhana
untuk dikaitkan dengan persamaan Euler.
Mencari panjang efektif dengan metode ELM (Efective Length Method)
1. Rangka tidak bergoyang, dengan persamaan
2 2 tan( )
( ) +( ) (1 − )+ −1=0 (2-18)
4 4
tan( ) ()
25
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
( ) −36
− (1 − )=0 (2-19)
6( + ) tan( )
Keterangan :
K : faktor panjang efektif
Untuk
mencari nilai dari Ga dan Gb dapat ditentukan dari alignment chart
yang dapat dilihat pada Gambar 2.3
26
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
27
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Rusuk adalah balok horisontal pada dinding yang terutama dipakai menahan
momen lentur akibat angin pada sisi bangunan industri, umumnya
menyanggah dinding seng atau baja gelombang.
Balok ambang adalah batang yang menyangga dinding di atas lubang jendela
atau pintu.
Ada beberapa bentuk dari batang lentur atau biasa disebut balok, bentuk
yang umum dipakai pada konstruksi baja dapat dilihat pada Gambar 2.5.
28
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
(2-20)
ΔL : pertambahan panjang
L: panjang mula-mula
Elastis Linier
Secara umum kondisi elastis adalah kondisi ketika baja kembali dari bentuk
deformasinya ketika suatu beban atau gaya dihilangkan. Dalam kondisi elastis
besarnya gaya berbanding lurus dengan besarnya deformasi. Jadi semakin kuat
gaya yang dialami oleh baja, semakin besar juga deformasinya atau biasa kita
kenal sebagai hukum Hooke. Dikatakan linier karena bila regangan bertambah
maka gaya akan bertambah pula, karena regangan dan gaya berbanding lurus.
Jadi perhitungan elastis linier dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
= (2-21)
Dengan ketentuan sebagai berikut:
29
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
F : Gaya
E : Modulus Elastis
ε : Regangan
Plastis
Secara umum kondisi plastis adalah kondisi ketika baja tidak kembali ke
bentuk semula ketika diberikan beban atau gaya dan gaya atau beban tersebut
dihilangkan. Kondisi plastis pada baja adalah ketika semua serat leleh jadi
kondisi
=
plastis dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
Nilai F akan selalu konstan, meskipun regangan bertambah karena regangan
tidak mempengaruhi nila F.
Untuk penampang empat persegi panjang diagram tegangan-regangan sebagai
berikut.
g.n
Penjelasan gambar :
Kondisi plastis ditentukan dengan persamaan sebagai berikut
= = .
1
=(
1
. . 2) = Modulus elastis Sx (2-22)
6
30
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
ɳ= = (2-23)
= = (2-25)
( ⁄)
=( )
= (2-26)
=( ) (2-27)
S : Modulus penampang elastis dapat dicari pada tabel baja (Sx terhadap
sumbu X dan Sy terhadap sumbu Y)
Garis netral (gn) dapat dicari dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
(1 1)+( 2 2)+⋯
= (2-28)
( 1+ 2+ … )
b : lebar profil
t : tebal sayap profil
Dalam kondisi tekan, jika < , maka penampang tersebut non langsing. Jika > , maka penampang tersebut langsing. Dalam kondisi lentur, jika
< , maka penampang tersebut adalah kompak dan dalam kondisi plastis.
31
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Jika < < maka penampang tersebut adalah non kompak. Dapat dilihat pada Gambar 2.8.
Rasio tebal terhadap lebar dapat dipakai dan ditentukan di dalam tabel B4.1b
SNI 1729 - 2015.
B. Kekuatan geser
Menurut SNI 1729 – 2015 pasal G2 disebutkan bahwa kekuatan geser
nominal, Vn, dari badan tidak diperkaku atau diperkaku menurut keadaan
batas dari pelelehan geser dan tekuk geser ditentukan sebagai berikut.
= 0,6 (2-30)
≤∅ (2-31)
32
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
33
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
dilihat pada Gambar 2.9 dengan asumsi nilai c < to
= 0,85 ′ =
Keterangan :
2
As : luas penampang profil baja, (mm )
fy : tegangan leleh profil baja, (MPa)
f’c : kuat tekan karakteristik beton (Mpa)
Keterangan :
Mn : kekuatan lentur nominal (Nmm)
Cc : gaya tekan beton (N)
2. Sumbu netral plastis terletak pada sayap baja dapat dilihat pada
Gambar 2.10 dengan asumsi nilai Co > To
34
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
= ( − )
Keterangan :
d 2' d y y' / 2
d 2" d y tc a / 2
As d / 2 b f y' (d y' / 2)
y (2-35)
As b f y'
Kuat lentur (positif) rencana : Øb Mn (2-36)
3. Sumbu netral plastis terletak pada badan baja dapat dilihat pada
Gambar 2.11.
35
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2. 11 Sumbu Netral Plastis Balok Berada di Badan Profil
Sumber : Moeljono, 2015
Cc = 0,85 f’c beff a
Cs = Asc fy = ( As – Ast ) fy
Keterangan :
Asc : luas profil baja yang tertekan
Ast : luas profil baja yang tertarik.
Dengan prinsip keseimbangan, diperoleh persamaan:
T’ = T – Cs = As fy – Asc fy (2-37)
atau
T’ = Cc + Cs (2-38)
Maka gaya tekan pada baja Cs dirumuskan sebagai berikut:
Cs = As fy – T’ = As fy – Cc – Cs (2-39)
36
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gaya geser horizontal yang terjadi diantara pelat beton dan balok baja selama
pembebanan harus ditahan sedemikian rupa sehingga gelincir dapat dikekang.
Penampang yang sepenuhnya komposit tidak akan mengalami gelincir pada
permukaan antara beton dan bajanya. Meskipun lekatan dapat terjadi antara baja
dan betonnya, namun tidak dapat diperkirakan dengan pasti kekuatan geser
37
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
pada bidang pertemuan tersebut. Demikian pula gesekan diantara pelat beton
dan balok baja juga tidak menghasilkan kekuatan yang sedemikian. (Salmon,
Charles G.,1996).
Seluruh gaya geser horizontal pada bidang kontak antara balok baja dan
pelat
beton harus disalurkan oleh penghubung-penghubung geser. Untuk aksi
komposit dimana beton mengalami gaya tekan akibat lentur, gaya geser
horisontal total yang bekerja pada daerah yang dibatasi oleh titik-titik momen
positif maksimum dan momen nol yang berdekatan harus diambil sebagai nilai
terkecil dari: (SNI 03-1729-2002)
0.85 f’c Ac
AsFy
ΣQn
Kekuatan nominal sambungan geser dengan stud (Gambar 2.12.c) yang
ditanam di dalam pelat beton masif adalah :
berada diatas dek baja bergelombang, nilai Qn = 0.5 Asc f 'c Ec harus dikalikan
dengan faktor reduksi Rs sebesar (SNI 03-1729-2002:92)
Gelombang dek yang arahnya tegak lurus terhadap balok baja penumpu
H
0.85 w
Rs =
r
h 1.0 1.0 (2-49)
h s
N r r r
Gelombang dek yang arahnya sejajar terhadap balok baja penumpu
w r H s
Rs = 0.6 1.0 1.0 (2-50)
h
r hr
Keterangan :
Rs: Faktor reduksi
38
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Untuk menentukan desain awal (preliminary design) pada pelat dua arah
dapat ditentukan dengan cara berikut:
39
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Untuk αm lebih kecil dan samadengan 0,2, maka tebal minimum pelat
dapat digunakan nilai seperti yang tertera pada Tabel 2.12 berdasarkan
SNI-2847-2013.
Tabel 2. 14 Tabel Tebal Minimum Pelat
Namun apabila nilai αm lebih besar dari 0,2 tetapi tidak lebih besar
dari 2,0 maka tebal pelat tidak boleh lebih kecil dari persamaan
dibawah dan tidak kurang dari 125 mm.
l (0,8 f y )
n
1500
h 36 5 (m 0,2) (2-54)
Apabila αm lebih besar dari 2,0 maka tebal pelat harus lebih kecild ari
90 mm.
l (0,8 fy )
h n
1500
min
36 9 (2-55)
Keterangan:
hmin : tebal minimum pelat lantai
ln : bentang bersih pada sisi terpanjang
fy : mutu baja tulangan
αm : nilai rata rata pada semua balok tepi panel
a : perbandingan kekakuan balok
terhadap kekakuan pelat.
40
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Menghitung nilai f’s dengan persamaan 72.
Menghitung kesetimbangan gaya horizontal
dengan persamaan 73
Cek daktilitas sama dengan nol
≤≤
1,4
=
′ = ′
(2-56)
−′
×0,003
′ = 0,75 +(′ ( × )) ,
600+
(2-58)
41
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.11.1. Material Penyambung Elemen Baja
Menurut SNI 1729 – 2015 pasal J3 poin 1 disebutkan bahwa penggunaan
baut
kekuatan tinggi harus menurut ketentuan spesifikasi untuk Joint Structure
yang menggunakan baut kekuatan tinggi.
A. Baut kekuatan tinggi
Ukuran dan Penggunaan Lubang
Ukuran lubang maksimum untuk baut diberikan dalam Tabel 2.15 dan
diameter baut dapat dilihat pada Tabel 2.16 , kecuali lubang-lubang lebih
besar, disyaratkan toleransi pada lokasi batang angkur pada fondasi beton,
diperkenankan dalam detail dasar kolom.
Tabel 2. 15 Dimensi Lubang Nominal, in
42
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Jika diperlukan, jarak tepi terkecil diizinkan asalkan ketentuan yang sesuai
Pasal J3.10 dan J4 dipenuhi, tetapi jarak tepi yang kurang dari satu
diameter baut tidak diizinkan tanpa persetujuan dari Insinyur yang
memiliki izin bekerja sebagai perencana.
Jarak dari pusat suatu ukuran berlebih atau lubang slot ke suatu tepi dari
suatu bagian yang disambung harus tidak kurang dari yang diperlukan
untuk lubang standar ke suatu tepi dari bagian yang disambung ditambah
penambahan C2, yang berlaku dari tabel 2.18 sebagai berikut
Tabel 2. 18 Tabel Nilai Penambahan Jarak Tepi C2
43
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Tabel 2. 19 Kekuatan Geser dan Tarik Nominal Baut
Kekuatan Tarik Kekuatan Geser
Deskripsi Pengencang
Nominal, Fnt (MPa) Nominal, Fnt (MPa)
Baut A307 310 188
Kekuatan geser atau Tarik desain, , dan kekuatan tarik atau geser yang diizinkan
⁄ , dari suatu baut snug-tihned atau baut kekuatan tinggi pra tarik atau bagian
berulir harus ditentukan sesuai dengan keadaan batas dari keruntuhan tarik dan
keruntuhan geser sebagai berikut :
= (2-59)
Keterangan :
Ab : luas tubuh baut tidak berulir nominal atau bagian berulir, in2 (mm2)
Fn : tegangan tarik nominal atau tegangan geser nominal Fnv (MPa)
Sambungan baut dengan beban eksentris
Menurut buku dengan judul “Perancangan Struktur Baja …” yang ditulis
oleh Ir. Sumargo (2014) baut yang dibebani eksentris akan menerima geser
dan momen. Ada pendekatan untuk menganalisa sambungan dengan beban
eksentris, yaitu analisa elastis, metoda reduksi eksentrisitas dam metoda
kekuatan batas.
Pendekatan analisa elastis bisa dilihat pada Gambar 2.15, gaya total yang
terjadi pada baut tidak berubah, hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.16 gaya
yang bekerja pada satu baut, yaitu P dibagi dengan jumlah baut yang bisa
44
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
dilihat pada gambar 2.17 , dan gaya dalam untuk satu baut dapat dilihat
pada Gambar 2.18
45
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2. 16 Komponen Vertikal dan Horizontal
Sumber : dokumen pribadi
= Σ2
= 2
=√2+ 2
(2-59)
Keterangan :
R : resultan gaya yang bekerja pada baut
H : gaya horizontal
V : gaya vertical,
Mv : momen sejarak v, (mm)
Mh : momen sejarak h, (mm)
d : jarak antara baut dari pusat gravitasi, (mm)
Bila,
≥ 6,4 ,= − 2
Bila,
45 < < 60 , = −3
46
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Bila,
≥ 60 ,=
Keterangan :
t : tebal bagian yang menumpu, (mm)
te : tebal pengelasan, (mm)
D : kedalaman pengelasan, (mm)
Tahanan nominal las :
Tarik atau tekan,
= ′ (2-60)
Geser,
= (0,6 ) ′ (2-61)
Perencanaan las :
≥ (2-62)
Dengan ketentuan,
= 0,9 untuk leleh (didapat dari SNI 1729 – 2015)
= 0,75 untuk fraktur (didapat dari SNI 1729 – 2015)
= 0,5√ ′≤ (2-63)
47
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
(2-64)
ℎ
=
Keterangan :
N : jumlah stud
Vh : momen vertical
Qn : kekuatan geser nominal
Persyaratan jarak antar penghubung geser
Menurut SNI 1729 – 2015 jarak minimum stud disyaratkan 6 x diameter
stud
Sedangkan untuk jarak antar stud dihitung dengan persamaan
=
Keterangan :
s : jarak antar stud
L : panjang bentang dari balok ke balok
B. Sambungan Kolom – Padestal
Menghitung gaya tarik pada angkur T
Gaya tarik pada angkur dihitung sebagai berikut :
48
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
x d
T d Pey (2-65)
2 2
Menentukan dimensi pelat
Dimensi pelat (panjang dan lebar) ditentukan dengan persamaan
sebagai berikut :
Ru
(2-67)
(2-68)
(2-69)
(2-70)
n 0,95 d n
fmin
N-x
fmax
Gambar 2. 17 Potongan dan Tegangan pada Base Plate
Sumber : Moeljono, 2015
49
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
4
Menentukan panjang angkur, l
T
(2-74)
Dengan tegangan lekat beton fcl 6xdxl ,
maka panjang angkur, l dapat dihitung.
Cek gaya geser terhadap kekuatan angkur
Cek gaya geser yang bekerja pada angkur, dihitung sebagai berikut
Dx
61/ 4d 2 0,6Fy (2-75)
Menentukan dimensi las pada pertemuan kolom dengan base plate
Penentuan dimensi las yaitu dengnan menetukan tebal efektif las pada arah
x dan y dapat dilihat pada Gambar 2.20 dihitung dengan persamaan
sebagai berikut :
Menentukan tebal efektif las
50
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
M ,
x y
T = C = panjanglas
T
Tebal efektif las (te) = kekuatan las per 1in x panjanglas
51