Anda di halaman 1dari 214

MATERI TEKNIS

REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN


RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN
PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan


Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

2014
MATERI TEKNIS
REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG
BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

PENANGGUNG JAWAB :
R. Aryawan Soetiarso Poetro, Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal,
selaku Project Board SCDRR Phase II.

TIM PENGARAH :
Oswar Muadzin Mungkasa, Direktur Tata Ruang dan Pertanahan

TIM PENULIS :
Gita Chandrika

TIM SUPERVISI :
Mia Amalia Indra Ade Saputra Agung Dorodjatun
Rinella Tambunan Nana Apriyana Gina Puspitasari
Santi Yulianti Togu Pardede
Aswicaksana Astri Yulianti
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — iii

Kata Pengantar
Penyelenggaraan penataan ruang seperti yang tercantum Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007, bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman,
produktif, dan berkeianjutan. Aman dapat diartikan sebagai aman dari bencana alam,
bencana sosial, dan bencana kegagalan teknologi. Saat ini, baik Pemerintah maupun
pemerintah daerah provinsi, masing-masing telah dan tengah menyusun rencana tata
ruang Kawasan Strategis Nasional [KSN) dan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Provinsi.
Sebagai bentuk perwujudan ruang yang aman dan berkeianjutan, proses perencanaan
tata ruang ini periu memperhatikan aspek mitigasi bencana.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana


mengamanatkan pengajian risiko bencana yang meliputi tingkat ancaman, kerentanan,
kapasitas, risiko serta kebijakan penanggulangan bencana. Namun demikian, hingga saat
ini, perencanaan tata ruang belum banyak memanfaatkan hasil kajian dan peta risiko
bencana dalam penyusunan materi teknisnya. Dalam pedoman penyusunan rencana tata
ruang, baik untuk RTRW Provinsi maupun RTR KSN, belum sepenuhnya mengintegrasikan
seluruh aspek mitigasi bencana, baik secara proses, muatan. dan kelembagaan.

Materi buku ini merupakan kelanjutan dari hasil kajian Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional [Bappenas) tentang
Tinjauan Kebencanaan KSN Jabodetabekpunjur, dengan memasukkan lebih luas aspek
mitigasi bencana dan merumuskan penerapannya secara teknis agar terintegrasi ke dalam
rencana tata ruang. Kajian ini diharapkan dapat menyempurnakan pedoman penyusunan
rencana tata ruang yang ada dan dapat berkontribusi dalam penyempurnaan proses
perencanaan tata ruang sebagai instrumen mitigasi bencana maupun proses penyusunan
kajian pengurangan risiko bencana.

Tentunya hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi berbagai pihak, baik
pemerintah pusat, maupun provinsi, yang sedang dalam proses menyusun atau meninjau
kembali rencana tata ruang wilayahnya. Saran dan masukan yang konstruktif akan kami
terima dengan senang hati untuk peningkatan kualitas penataan ruang nasional dan daerah.

Jakarta, Desember 2014

Direktur Tata Ruang dan Pertanahan


Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
iv — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Daftar Isi

KATA PENGANTAR ................................................................................................................... iii


DAFTAR ISI ............................................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ......................................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................................... ix
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................................................ xi
RINGKASAN EKSEKUTIF .......................................................................................................... xxiii

Bab 1 Pendahuluan ............................................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ................................................................................................................................... 1
1.2 Maksud dan Tujuan .......................................................................................................................... 3
1.3 Ruang Lingkup Materi Teknis ....................................................................................................... 3
1.4 Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan ........................................................................................... 4
1.5 Kedudukan Materi Teknis .............................................................................................................. 6
1.6 Sistematika Materi Teknis .............................................................................................................. 8

Bab 2 Mitigasi Bencana Dalam Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau
Kecil (RPWP3K) Dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) ........................... 13
2.1 Mitigasi Bencana dalam Rencana Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ...................................................................................................... 13
2.1.1 Dasar Hukum .................................................................................................................... 13
2.1.2 Jenis, Tingkat Risiko, dan Wilayah Bencana di Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil............................................................................................................. 14
2.1.3 Mitigasi Bencana dalam Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil .................................................................................................... 15
2.1.4 Mitigasi Bencana dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) ........................................................................................ 23
2.1.5 Contoh Aplikasi Mitigasi Bencana dalam Perencanaan PWP3K..................... 26
2.1.6 Keterkaitan RZWP3K dengan RTRW Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS) dalam Rencana Tata Ruang dan Keterkaitannya dengan
Mitigasi Bencana ............................................................................................................. 29
2.2 Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam Rencana Tata Ruang
dan Keterkaitannya dengan Mitigasi Bencana ................................................................... 32
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — v

2.2.1 Dasar Hukum .................................................................................................................... 32


2.2.2 Penyelenggaraan KLHS dalam Rencana Tata Ruang .......................................... 33
2.2.3 KLHS dan Mitigasi Bencana dalam Rencana Tata Ruang .................................. 39
2.2.4 Contoh Kajian Kebencanaan dalam KLHS untuk Rencana Tata Ruang ....... 42

Bab 3 Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana Ke Dalam


Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi ................................................ 49
3.1 Dasar Hukum Pengintegrasian ................................................................................................. 49
3.2 Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dalam Pelaksanaan
Penataan Ruang ............................................................................................................................. 51
3.3 Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Proses
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi........................................................... 57
3.4 Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Ketentuan
Teknis Muatan RTRW Provinsi ................................................................................................... 64
3.5 Contoh Peran Penataan Ruang dalam Pengurangan Risiko Bencana ........................ 74
3.6 Tantangan dalam Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam
Penyusunan RTRW Provinsi ........................................................................................................ 75

Bab 4 Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana Ke Dalam Penyusunan


Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional ................................................... 81
4.1 Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dalam Penyusunan Rencana
Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN) ........................................................... 81
4.2 Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan
Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional .............................................................. 102
4.3 Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Muatan Rencana Tata Ruang
Kawasan Strategis Nasional ....................................................................................................... 113
4.4 Contoh Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam RTR KSN Tipologi
Kawasan Perkotaan Metropolitan Jabodetabekpunjur ................................................... 123
4.5 Tantangan dalam Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam
RTR Kawasan Strategis Nasional ............................................................................................... 130

Bab 5 Pemetaan Pemangku Kepentingan .......................................................................... 137


5.1 Pemetaan Pemangku Kepentingan dalam Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana ............................................................................................................................................. 137
5.1.1 Kelembagaan Penanggulangan Bencana di Tingkat Nasional ....................... 137
5.1.2 Kelembagaan dalam Penyusunan Rencana Nasional Penanggulangan
Bencana (Renas PB) ........................................................................................................ 141
5.1.3 Kelembagaan Penanggulangan Bencana di Daerah.......................................... 143
vi — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

5.2 Pemetaan Pemangku Kepentingan dalam Penyusunan RTRW Provinsi ................... 145
5.3 Pemetaan Pemangku Kepentingan dalam Penyusunan RTR Kawasan
Strategis Nasional .......................................................................................................................... 149

Bab 6 Arahan Untuk Implementasi...................................................................................... 155


6.1 Arahan Implementasi Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam
Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN melalui Integrasi Dokumen/Proses ....... 157
6.1.1 Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW Provinsi) ..................................... 157
6.1.2 Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN) ........................... 162
6.2 Arahan Penguatan Muatan ........................................................................................................164
6.2.1 Percepatan Ketersediaan dan Peningkatan Kualitas Rencana
Penanggulangan Bencana (RPB) ............................................................................... 164
6.2.2 Percepatan Penyusunan Peta Dasar dan Peta Tematik...................................... 167
6.3 Arahan Penguatan Kelembagaan ............................................................................................170
6.3.1 Kerangka Regulasi........................................................................................................... 170
6.3.2 Keberadaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)...................... 172
6.3.3 Kapasitas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)........................... 174
6.3.4 Penguatan BKPRD terkait Kebencanaan................................................................. 174
6.4 Rencana Tindak Lanjut .................................................................................................................175
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — vii

Daftar Tabel

2.1 Perbandingan Jenis-jenis Bencana ........................................................................................................ 14


2.2 Mitigasi Bencana secara Fisik dan Nonfisik ......................................................................................... 17
2.3 Kegiatan Struktur/Fisik untuk Mitigasi terhadap Setiap Jenis Bencana di Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil .................................................................................................................... 18
2.4 Mitigasi Bencana berdasarkan Tingkat Risiko .................................................................................... 21
2.5 Keterkaitan Penapisan KLHS dengan Perencanaan Penanggulangan Bencana ................... 40
2.6 Keterkaitan Komoditas Unggulan dengan Rawan Bencana di KAPET Bima........................... 43
3.1 Perbandingan Jenis Bencana ................................................................................................................... 54
3.2 Perbandingan Cakupan Jenis-jenis Bencana yang Dibahas Dalam RPB dan
RTRW Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten ........................................................................ 57
3.3 Kajian Risiko Bencana untuk Setiap Jenis Bencana dalam Analisis Karakteristik
Tata Ruang....................................................................................................................................................... 61
4.1 Isu Strategis Nasional dan Fokus Penanganan Setiap Tipologi Kawasan
Strategis Nasional ......................................................................................................................................... 86
4.2 Kajian Risiko Bencana untuk Setiap Tipologi KSN ............................................................................ 102
4.3 IRBI Provinsi Bali ............................................................................................................................................ 106
4.4 IRBI Provinsi DKI Jakarta ............................................................................................................................. 109
4.5 Skala Peta RTR KSN berdasarkan Tipologi KSN .................................................................................. 114
4.6 Standar Minimal Peta Dasar untuk Peta Bahaya dan Peta Risiko Bencana
Berdasarkan Jenis Bencana ....................................................................................................................... 117
4.7 Bencana Prioritas di Jabodetabekpunjur............................................................................................. 124
4.8 Aspek-aspek Kebencanaan yang Perlu Diperhatikan pada Rencana Struktur
Ruang dan Rencana Pola Ruang ............................................................................................................. 125
5.1 Kementerian/Lembaga yang terkait dalam Pelaksanaan Penanggulangan
Bencana............................................................................................................................................................ 138
5.2 Pemangku Kepentingan dalam Prosedur Penyusunan RTR KSN ................................................ 150
5.3 Keterlibatan Sektor berdasarkan Tipologi KSN .................................................................................. 151
6.1 Tantangan dalam Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana Ke dalam
Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN ............................................................................................ 156
6.2 Kesesuaian antara Jangka Waktu RPB Provinsi dengan Waktu Peninjauan Kembali
Perda RTRW Provinsi .................................................................................................................................... 157
6.3 Indeks Risiko Bencana 8 Provinsi yang Belum Memiliki Perda RTRW Provinsi ....................... 159
6.4 Indeks Risiko Bencana Multi Ancaman 10 Kabupaten/Kota Tertinggi
Tahun 2013 ..................................................................................................................................................... 176
viii — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Daftar Gambar

1.1 Kedudukan Materi Teknis terhadapPeraturan Perundang-undangan Bidang


Penataan Ruang dan Bidang Penanggulangan Bencana ......................................................... 7
1.2 Keterkaitan Materi Teknis dengan Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi
dan RTR KSN, serta Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana ....................... 8
2.1 Mitigasi Bencana dalam Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil ..................................................................................................................................... 17
2.2 Diagram Alir Penentuan Alokasi Ruang WP3K .............................................................................. 24
2.3 Ilustrasi Pembagian Zona yang Mempertimbangkan Aspek Kebencanaan ...................... 25
2.4 Peta Indeks Risiko Bencana Tsunami ................................................................................................ 27
2.5 Contoh Sabuk Hijau di Lahan Reklamasi untuk Meredam Tsunami ..................................... 28
2.6 Keterkaitan Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecildengan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Penataan Ruang.......... 30
2.7 Kedudukan KLHS dalam Penyusunan RTR ..................................................................................... 37
2.8 Penjabaran Proses dan Integrasi KLHS dalam Penyusunan RTR ............................................ 39
2.9 Kedudukan KLHS dalam Tata Cara Proses Peyusunan RTR KSN ............................................. 40
2.10 Keterkaitan KLHS dan Kajian Risiko Bencana dalam Penyusunan
Rencana Tata Ruang ............................................................................................................................... 42
2.11 Kerangka Pikir Penyusunan KLHS RTR KSN KAPET Bima ........................................................... 45
2.12 Peta Overlay Rawan Bencana dan Komoditas .............................................................................. 46
3.1 Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dalam Pelaksanaan
Penataan Ruang ....................................................................................................................................... 52
3.2 Pendekatan Kajian Risiko Bencana ................................................................................................... 53
3.3 Keterkaitan Peta Rencana Tata Ruang dengan Peta Risiko Bencana .................................... 66
3.4 RPB sebagai Masukan dalam Peninjauan Kembali RTRW ......................................................... 60
3.5 Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Proses
Penyusunan RTRW Provinsi ................................................................................................................. 64
3.6 Bagan Alir Tata Cara Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan dalam
Penyusunan Rencana Tata Ruang ...................................................................................................... 66
3.7 Metode Pengkajian Risiko Bencana .................................................................................................. 67
3.8 Metode Umum Pengkajian Risiko Bencana ................................................................................... 68
3.9 Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Muatan RTRW Provinsi ......................... 70
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — ix

4.1 Proses Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan


RTR KSN untuk Kriteria 1 (a) KSN dalam Satu Wilayah Kabupaten/Kota............................. 104
4.2 Proses Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan
RTR KSN untuk Kriteria 1 (b) KSN Lintas Kabupaten/Kota dalam Satu Provinsi ................ 107
4.3 Proses Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan
RTR KSN untuk Kriteria 2 KSN Berbasis Kawasan/Objek Strategis ......................................... 111
4.4 Peta Ancaman Bencana Banjir ............................................................................................................ 127
4.5 Peta Kerentanan Bencana Banjir ........................................................................................................ 127
4.6 Peta Risiko Bencana Banjir ................................................................................................................... 128
x — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Daftar Singkatan
A
Amdal : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

B
BAKORSURTANAL: Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
BAPPEDA: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
BAPPENAS: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Base map: Peta dasar
BATAN: Badan Tenaga Nuklir Nasional
BG: Badan Geologi
BGN: Badan Geologi Nasional
BIG: Badan Informasi Geospasial, sebelumnya bernama Badan Koordinasi Survei dan
Pemetaan Nasional (BAKORSURTANAL).
BKPRN: Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional
BMKG: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofi sika
BNPB: Badan Nasional Penanggulangan Bencana
BPPT: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
BPS: Badan Pusat Statistik

D
DAMKAR: Pemadam Kebakaran
DAS: Daerah Aliran Sungai
DISHIDROS: Dinas Hidro Oseanografi TNI AL (TNI Angkatan Laut), merupakan lembaga
survei pemetaan hidro-oseanografi dibawah TNI AL.
Dit. KKDT: Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
Dit.TRP: Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
DKI Jakarta: Daerah Khusus Ibukota Jakarta

E
EWS: Early Warning System/Sistem Peringatan Dini

G
GIS: Geographis Infrmation System atau Sistem Informasi Geografi s/SIG

H
HFA: Hyogo Framework for Action

I
IAB: Indeks Ancaman Bencana
IG: Informasi Geospasial
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xi

IGD: Informasi Geospasial Dasar


IGT: Informasi Geospasial Tematik
IRBI: Indeks Rawan Bencana Indonesia

J
JABODETABEKPUNJUR: Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur
JORR 2: Jakarta Outer Ring Road 2

K
KAPET: Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu
KDB: Koefi sien Dasar Bangunan
KEK: Kawasan Ekonomi Khusus
Kemendagri: Kementerian Dalam Negeri
Kemenhub: Kementerian Perhubungan
Kemenhut: Kementerian Kehutanan
Kemenkes: Kementerian Kesehatan
Kemenperind: Kementerian Perindustrian
Kemen-PU: Kementerian Pekerjaan Umum
Kemensos: Kementerian Sosial
Kementan: Kementerian Pertanian
K/L: Kementerian/Lembaga
KKP: Kementerian Keluatan dan Perikanan
KLB: Koefi sien Lantai Bangunan
KLH: Kementerian Lingkungan Hidup
KLHS: Kajian Lingkungan Hidup Strategis
KPBPB: Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
KRB: Kajian Risiko
KSN: Kawasan Strategis Nasional
KTC: Kepadatan timbulnya campak
KTDB: Kepadatan timbulnya demam berdarah
KTHIV/AIDS: Kepadatan timbulnya HIV/AIDS
KTM: Kepadatan timbulnya malaria
KZB: Koefisien Zona Bangunan

L
LAPAN: Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

M
MATEK: Materi Teknis
MP3EI: Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

P
PB: Penanggulangan Bencana
PDF (Portable Document Format): adalah sebuah format berkas yang dibuat oleh Adobe,
meliputi: teks, huruf, citra dan grafik vektor dua dimensi
PDRB: Produk Domestik Regional Bruto
PEMKAB: Pemerintah Kabupaten
xii — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

PEMKOT: Pemerintah Kotamadya


PEMPROV: Pemerintah Provinsi
Perka BNPB: Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Perpres: Peraturan Presiden
Peta KRB: Peta Kerentanan Bencana
PRB: Pengurangan Risiko Bencana
PKN: Pusat Kegiatan Nasional
PP: Peraturan Pemerintah

R
RTH : Ruang Terbuka Hijau
RPB: Rencana Penanggulangan Bencana
RPWP3K: Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
RTH Publik: merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah
daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum.
RTR KSN: Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional
RTRWN: Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
RTRWP: Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
RZPW3K: Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

S
SCDRR: Safer Communities through Disaster Risk Reduction
SDA: Sumber Daya Alam
SNI : Standar Nasional Indonesia

U
UNDP: United Nations of Development Programme
UTM: Universal Transverse Mercator/sistem koordinat yang terproyeksi
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xiii

Ringkasan Eksekutif

I. Latar Belakang
Sebagai negara rawan bencana, sangat penting bagi Indonesia memiliki kesiapsiagaan
dalam mengantisipasi bencana untuk dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan
oleh bencana tersebut. Upaya pencegahan dan mitigasi bencana menjadi sangat
penting untuk mengurangi risiko bencana yang mungkin timbul. Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2007 tentang PenanggulanganBencana telah mengamanatkan pada
pasal 35 dan 36 agar setiap daerah mempunyai perencanaan penanggulangan bencana
yang menjadi acuan dalam upaya penanggulangan bencana. Sehubungan dengan hal
tersebut, sangatlah penting bagi setiap daerah untuk mengintegrasikan pengurangan
risiko bencana ke dalam dokumen-dokumen perencanaan daerah, seperti Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM), dan Rencana Tata Ruang (RTR) untuk menjamin pelaksanaannya dapat efektif
dan terintegrasi.

Berdasarkan amanat Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,


semua pemerintah daerah (provinsi, kabupaten dan kota) wajib menyusun Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang selanjutnya dilegalisasikan menjadi Peraturan Daerah
(Perda), dengan masa berlaku selama 20 tahun dan ditinjau kembali setiap 5 tahun.
Sehubungan dengan upaya pengurangan risiko bencana, rencana tataruang saat ini
juga perlu memasukkan kajian risiko bencana untuk mengidentifikasikan kerawanan,
tingkat ancaman, tingkat kerentanan, dan tingkat kapasitas di suatu wilayah.
Memasukkan upaya pengurangan risiko bencana kedalam penataan ruang, yang
meliputi perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang, harus menjadi prioritas Pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan
terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan
rentan, serta berpihak pada upaya pelestarian lingkungan hidup.

Mengingat pentingnya upaya mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam


dokumen perencanaan daerah, maka kerjasama UNDP dengan BNPB, Bappenas, dan
Kementerian Dalam Negeri melalui Proyek Safer Communities through Disaster Risk
Reduction (SCDRR) Fase II berupaya untuk mengintegrasikan pengurangan risiko bencana
ke dalam rencana tata ruang. Sejalan dengan Prioritas Aksi 4 dari Hyogo Framework for
Action (HFA) 2005-2015 yakni “Reduce the underlying risk factors”, proyek ini memberikan
dukungan kepada Pemerintah Pusat untuk memasukkan pengurangan risiko bencana ke
dalam sektor-sektor pembangunan terpilih, salah satunya penataan ruang.
xiv — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Rencana tata ruang, dengan fungsinya untuk mengarahkan pemanfaatan ruang jangka
panjang, sangat berguna dalam mereduksi keterpaparan jumlah penduduk, kegiatan
sosial ekonomi, dan sarana prasarana dari ancaman bencana. Saat ini, pedoman
penyusunan rencana tata ruang yang ada yang relevan dengan kebencanaan adalah
untuk letusan gunung api, gempa bumi, dan reklamasi pantai. Salah satu output proyek
ini adalah terselenggaranya dukungan bagi pengarusutamaan kebijakan pengurangan
risiko bencana dalam pembangunan di daerah, termasuk dalam perencanaan,
pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

II. Tujuan
Maksud dari kegiatan ini adalah untuk menyusun Materi Teknis Revisi Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana.
Sementara tujuan dari kegiatan ini adalah memberikan masukan perbaikan terhadap
pedoman-pedoman penyusunan rencana tata ruang (RTR) yang telah ada saat ini untuk
mengintegrasikan pendekatan pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang.

Materi teknis yang dihasilkan akan diusulkan kepada Badan Koordinasi Penataan Ruang
Nasional (BKRN) sebagai masukan dalam merumuskan pedoman yang dapat menjadi
acuan bagi Pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, khususnya Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi (RTRW Provinsi) dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis
Nasional (RTR KSN). Pedoman ini nantinya dapat melengkapi pedoman yang telah ada
saat ini, khususnya (a) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 15 Tahun 2009 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi, dan (b) Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum No. 15 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Nasional (KSN). Perumusan pedoman tersebut harus
dilakukan sesuai dengan arahan dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
dan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sebagai landasan untuk
mengintegrasikan pendekatan pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang.

III. Metodologi
Dalam mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, terdapat
3 hal yang harus dilakukan, yaitu:
a. Integrasi dokumen/proses. Mengatur bagaimana mengintegrasikan kajian risiko
bencana (KRB) dalam dokumen Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) ke dalam
dokumen rencana tata ruang (RTR) dalam proses penyusunan rencana tata ruang.
Dalam hal ini, terdapat masalah perbedaan jangka waktu antara penyusunan atau
peninjauan kembali rencana tata ruang dengan periode Rencana Penanggulangan
Bencana (RPB).
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xv

b. Integrasi spasial. Mengatur bagaimana mengintegrasikan kajian risiko bencana


(KRB) ke dalam muatan rencana tata ruang. Hal ini sudah diatur dalam Standar
Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana.
c. Koordinasi Kelembagaan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Materi Teknis ini lebih difokuskan
pada pembahasan mengenai integrasi proses/dokumen dan koordinasi
kelembagaan, dengan tambahan pembahasan mengenai integrasi spasial/muatan
yang menjadi irisan dengan Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana
(SPR KRB). Integrasi spasial/muatan telah dibahas secara detil dalam Standar
Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana. Lihat Gambar 1.

Gambar 1
Keterkaitan Materi Teknis dengan Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN,
serta Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana

Standar Penataan Ruang


di Kawasan Rawan
Bencana
Integrasi
Integrasi Integrasi Spasial/Muatan
Dokumen/ Spasial/
Proses Muatan
Materi
Teknis
Koordinasi
Kelembagaan

Melengkapi Melengkapi

Pedoman Penyusunan Pedoman Penyusunan


RTRW Provinsi RTR KSN

Sumber: Hasil Analisis

IV. Hasil Kajian dan Analisis


Kegiatan ini dilakukan melalui perumusan serangkaian output, sebagai berikut:
1. Output 1: Keterkaitan Kajian Risiko Bencana dengan KLHS dalam RTRW Provinsi
dan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN).Output ini dicapai dengan melakukan
kajian terhadap peraturan perundang-undangan tentang Kajian Lingkungan
Hidup Strategis (KLHS), pengurangan risiko bencana, Pedoman Penyusunan RTRW
Provinsi, dan Pedoman Penyusunan RTR KSN dan dokumen-dokumen penunjang
xvi — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

lainnya.Selain itu juga dilakukan diskusi dengan Kementerian Negara Lingkungan


Hidup.Dari diskusi dan kajian ini dapat diperoleh gambaran mengenai keterkaitan
Kajian Risiko Bencana (KRB) dengan KLHS dalam rencana tata ruang, khususnya
dalam RTRW Provinsi dan RTR KSN.Hasil kajian ini juga menjadi masukan dalam
mengintegrasikan KRB ke dalam rencana tata ruang wilayah provinsi dan kawasan
strategis nasional.
2. Output 2: Mitigasi Bencana dalam Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil (RPWP3K). Output ini dicapai dengan melakukan kajian terhadap
peraturan perundang-undangan tentang rencana pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil (RPWP3K), pengurangan risiko bencana, dan dokumen-dokumen
penunjang lainnya, serta diskusi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan.Dari
diskusi dan kajian ini dapat diperoleh gambaran mengenai posisi mitigasi bencana
dalam rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
3. Output 3: Integrasi Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Penyusunan RTRW
Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN). Output ini dicapai dengan
melakukan desk study. Berdasarkan hasil kajian tersebut, dan diskusi dengan
Kementerian Pekerjaan Umum dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana,
dilakukan pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan
RTRW Provinsi dan RTR KSN.
4. Output 4: Pemetaan KelembagaanPengintegrasian Pengurangan Risiko Bencana ke
dalam Rencana Tata Ruang. Output ini dicapai melalui: (i) Hasil dari Output 3; dan
(ii) Pengumpulan data dan informasi dalam bentuk diskusi dan wawancara dengan
stakeholder yang relevan.Hasil diskusi dengan berbagai stakeholder yang relevan,
dikombinasikan dengan hasil dari output 3, dilakukan pemetaan kelembagaan.
5. Output 5: Penyusunan Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata
Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana. Output ini dilakukan
melalui: Diskusi Terarah (Focus Group Discussion/FGD) dan lokakarya. Hasil
dari FGD ini menjadi masukan dalam perumusan draft materi teknis.Lokakarya
diselenggarakan untuk mendiseminasikandraft materi teknis revisi pedoman
penyusunan RTR yang telah disusun dan membangun kesepakatan rencana
tindak lanjut dengan mengundang berbagai stakeholder yang lebih luas. Hasil dari
lokakarya ini juga menjadi masukan dalam menyempurnakan draft materi teknis
yang akan diberikan kepada Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN).

V. Kesimpulan
Pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam RTR dimulai sejak tahap
persiapan penyusunan RTR, yaitu dengan mengkaji muatan kebencanaan yang ada di
RTR. Tahap paling penting adalah tahap pengolahan dan analisis data, pada tahap ini
dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana yang ada dalam dokumen Rencana
Penanggulangan Bencana (RPB) ke dalam analisis penyusunan RTR. Pengintegrasiannya
adalah: (i) Peta Kerawanan yang sifatnya jangka panjang, dijadikan dasar perumusan
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xvii

tujuan, kebijakan, strategi, serta perumusan rencana struktur ruang dan rencana pola
ruang; dan (ii) Peta Kerentanan, Peta Kapasitas, dan Peta Risiko yang bersifat jangka
menengah (5 tahun) dijadikan masukan bagi perumusan arahan pemanfaatan ruang
(indikasi program utama). Seperti dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2
Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan RTR

Sumber: Hasil Analisis

Salah satu isu yang muncul dalam upaya pengintegrasian adalah adanya perbedaan
jangka waktu antara periode Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dengan waktu
penyusunan atau peninjauan kembali RTR. Idealnya, pada saat peninjauan kembali/
penyusunan RTR, RPB sudah tersedia.
xviii — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Gambar 3
Waktu Pengintegrasian PRB ke dalam RTR

Sumber: Hasil Analisis

1. Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana Ke Dalam Penyusunan Rencana


Tata Ruang Wilayah Provinsi
a. Integrasi pada saat proses penyusunan RTRW Provinsi
Untuk 8 (delapan) provinsi yang penyusunan RTRWnya sudah mendapatkan
persetujuan substansi dari Menteri PU, maka sebaiknya segera dilakukan
pengintegrasian kajian risiko bencana dengan mengacu pada RPB Provinsi 2012-
2016 sebelum RTRW menjadi Perda. Hal ini signifikan karena 6 (enam) dari 8 provinsi
tersebut memiliki kelas risiko tinggi, dan hanya Provinsi Sumatera Selatan dan
Kepulauan Riau yang memiliki kelas risiko sedang. Lihat Tabel 1.Bila dilihat dari IRBI
2013, maka dari 33 provinsi yang ada, sebanyak 26 provinsi memiliki kelas risiko
tinggi, dan hanya 7 provinsi yang memiliki kelas risiko sedang, yaitu Jambi, Sumatera
Selatan, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Kalimantan Tengah, Gorontalo, dan Papua.

Tabel 1
Indeks Risiko Bencana 8 Provinsi yang Belum Memiliki Perda RTRW Provinsi

No Provinsi Skor Kelas Risiko


1 Sumatera Utara 150 Tinggi
2 Riau 147 Tinggi
3 Kepulauan Riau 116 Sedang
4 Sumatera Selatan 142 Sedang
5 Kalimantan Barat 157 Tinggi
6 Kalimantan Selatan 152 Tinggi
7 Kalimantan Timur 165 Tinggi
8 Sulawesi Tenggara 169 Tinggi

Sumber: Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) 2013

Apabila pengintegrasian dilakukan menunggu sampai dilakukan peninjauan


kembali akan terlalu lama.Mengingat hampir semua provinsi tersebut masuk
dalam kelas risiko tinggi, maka sebaiknya pengintegrasian dilakukan segera.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xix

Mengingat RPB Provinsi yang ada mempunyai jangka waktu 2012-2016,


sementara sekarang sudah tahun 2014, maka hal ini akan menjadi masalah.
Alternatifnya adalah:(i)Pengintegrasian segera dilakukan walau hanya untuk 2
tahun terakhir (2014-2016);(ii)Pengintegrasian dilakukan setelah RPB yang baru
disusun (jangka waktu 2017-2022); atau(iii) SKPD segera menyusun pengkajian
risiko bencana yang baru berkoordinasi dengan BPBD dengan jangka waktu yang
disesuaikan dengan penyusunan atau peninjauan kembali RTRW.

Untuk saat ini mungkin dapat dilakukan kombinasi dari (i) dan (iii), dengan
pertimbangan berikut ini: (a) Peta Kerawanan dan peta ancaman bersifat jangka
panjang, sehingga peta kerawanan dan peta ancaman yang ada dapat digunakan
untuk acuan perumusan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang, serta
indikasi arahan peraturan zonasi; (b) Sedangkan peta kerentanan, peta kapasitas,
dan peta risiko bersifat jangka menengah, sehingga perlu diperbaharui oleh SKPD
sesuai waktu berkoordinasi dengan BPBD. Peta kerentanan, peta kapasitas, dan
peta risiko yang telah diperbaharui digunakan untuk acuan perumusan indikasi
program utama sebagai arahan pemanfaatan ruang untuk 5 tahun berikutnya;
(c) Sebelum waktu peninjauan kembali, sebaiknya RPB yang baru sudah disusun
dengan memperhatikan waktu peninjauan kembali RTRW Provinsi tersebut.
Sehubungan dengan upaya pengurangan risiko bencana ini, maka BKPRN perlu
mempertimbangkan untuk memasukkan kajian risiko bencana menjadi salah
satu muatan yang harus ada dalam rencana tata ruang, dan dikaji kualitasnya
pada saat proses persetujuan substansi. Seperti Kajian Lingkungan Hidup
Strategis (KLHS).

b. Integrasi pada saat peninjauan kembali RTRW Provinsi


Untuk 25 RTRW Provinsi yang sudah menjadi Perda, pengintegrasian kajian risiko
bencana dilakukan pada saat peninjauan kembali RTRW tersebut. Untuk itu,
diperlukan penyesuaian periode antara RPB dengan waktu peninjauan kembali
RTRW Provinsi.Mengingat adanya keterbatasan kapasitas BNPB/BPBD, maka
penyesuaian penyusunan RPB ini dilakukan dengan pemrioritasan berdasarkan
kelas risikonya, semakin tinggi kelas risiko provinsi yang bersangkutan, semakin
diprioritaskan penyusunannya. Apabila hal tersebut tidak dimungkinkan, maka
SKPD, berkoordinasi dengan BPBD, menyiapkan pengkajian risiko bencana
secara mandiri yang jangka waktunya disesuaikan dengan waktu peninjauan
kembali RTRW Provinsi. Pengkajian risiko bencana secara mandiri ini dilakukan
dengan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum
Pengkajian Risiko Bencana.

Pengintegrasian pengurangan risiko bencana memiliki fungsi strategis dan


berkaitan dengan peninjauan kembali rencana tata ruang. Peninjauan kembali
xx — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

rencana tata ruang dilakukan 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. Namun, PP
No. 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang pasal 82 (2)
menetapkan bahwa peninjauan kembali rencana tata ruang dapat segera
dilakukan tanpa menunggu 5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan lingkungan
strategis berupa (a) bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan; (b) perubahan batas territorial negara yang ditetapkan
dengan undang-undang; atau (c) perubahan batas wilayah daerah yang
ditetapkan dengan undang-undang. BKPRN perlu membahas hal tersebut dan
mempertimbangkan apakah peninjauan kembali dapat dilakukan segera untuk
mengantisipasi kejadian bencana alam dan sebagai upaya pengurangan risiko
bencana, terutama di daerah-daerah dengan kelas risiko tinggi.Hal ini sangat
signifikan mengingat bahwa hasil kajian BNPB menunjukkan 204 juta (80%)
rakyat Indonesia tinggal di kawasan rawan bencana.

Sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan pemrioritasan berdasarkan


kelas risiko suatu daerah.Semakin tinggi kelas risikonya semakin diprioritaskan
pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam rencana tata ruangnya untuk
dapat segera dilakukan. Saat ini, dalam Indeks Risiko Bencana Indonesia 2013,
kabupaten/kota dibedakan menjadi kelas risiko tinggi, sedang, danrendah,
dimana 322 kabupaten/kota (65%) memiliki kelas risiko tinggi, dan 174 kabupaten/
kota (35%) memiliki kelas risiko sedang, dan tidak ada yang memiliki kelas
risiko rendah. Dengan demikian perlu dilakukan perumusan ulang kelas risiko
bencana yang lebih rinci untuk kebutuhan perumusan prioritas tersebut di atas.
Penyusunan kajian risiko bencana (KRB) didasarkan pada tiga hal utama, yakni:
a) jumlah jiwa terpapar; b) kerugian (rupiah); dan c) kerusakan lingkungan (ha).
Ketiganya merupakan komponen penyusun KRB yang kemudian diterjemahkan
ke dalam kelas risiko tinggi, risiko sedang, dan risiko rendah sesuai dengan
dampak yang terjadi.Berdasarkan ketiga komponen tersebut dapat dirumuskan
ulang kelas risikonya yang lebih rinci, untuk kebutuhan perumusan prioritas.

Apabila RTRW sedang dalam proses penyusunan, maka pengarusutamaan


pengurangan risiko bencana dapat segera diintegrasikan. Namun, bila RTRW
sudah menjadi Perda, maka hal ini tidak mudah bagi Pemerintah Daerah.Karena
tidak mudah membuat Perda, terutama terkait dengan hal-hal yang bersifat non-
teknis. Dalam Lokakarya Materi Teknis – Bappenas-SCDRR II yang diselenggarakan
pada tanggal 30 Juni 2014, ada usulan dari Daerah, bahwa untuk RTRW yang sudah
Perda, sebaiknya kajian risiko bencana dilakukan dengan memasukkannya sebagai
addendum. Apabila perubahan dibuat dalam bentuk addendum, maka tidak
perlu melibatkan DPRD lagi. Namun demikian perlu digarisbawahi bahwa upaya
pengurangan risiko bencana tidak hanya terbatas pada tahap analisis, yaitu dengan
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xxi

melakukan kajian risiko bencana, tetapi hasil analisis tersebut harus diterjemahkan
ke dalam kebijakan, strategi, rencana struktur ruang dan rencana pola ruang, serta
rencana pemanfaatan ruang secara sinkron dengan alur yang jelas.

Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan oleh BKPRN bila hendak menetapkan
perlunya Daerah segera mengintegrasikan kajian risiko bencana ke dalam RTRW
adalah ketersediaan konsultan yang paham dan siap untuk melakukan hal tersebut.
Seperti diketahui, penyusunan RTRW di Daerah umumnya dilakukan oleh pihak
ketiga (konsultan). Dengan demikian, apabila pengarusutamaan pengurangan
risiko bencana (PRB) ke dalam rencana tata ruang (RTR) akan dilaksanakan, harus
dipastikan terlebih dulu bahwa sudah ada konsultan-konsultan yang siap dan
dapat melakukannya. Jangan sampai Daerah sudah menganggarkan kegiatan
tersebut, tetapi ternyata konsultannya belum ada yang siap untuk melakukan
pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam RTR.

2. Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana Ke Dalam Penyusunan Rencana


Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional
Sama seperti pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam RTRW Provinsi,
tantangan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam RTR KSN adalah
kesesuaian jangka waktu antara Rencana Penanggulangan Bencana yang ada
dengan waktu penyusunan atau peninjauan kembali RTR KSN.
a. Integrasi pada saat proses penyusunan RTR Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN)
Untuk RTR KSN yang belum menjadi Perpres atau masih dalam proses
penyusunan, perlu segera dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana.
Sehubungan dengan itu perlu ada koordinasi antara BKPRN dengan BNPB/BPBD
dalam mengintegrasikan kajian risiko bencana ke dalam penyusunan RTR KSN,
dengan memperhatikan jangka waktunya.

Untuk RTR KSN yang sudah dalam proses penyusunan: (a) Bila RPB Provinsi/
Kabupaten/Kota sudah ada dan jangka waktunya sesuai, maka kajian risiko
bencana dapat segera diintegrasikan ke dalam penyusunan RTR KSN;dan (b) Bila
RPB Provinsi/Kabupaten/Kota belum ada atau jangka waktunya tidak sesuai, maka
K/L dapat melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi
dengan BPBD untuk: (i) Segera diintegrasikan ke dalam proses penyusunan RTR
KSN; atau (ii) Diintegrasikan pada saat peninjauan kembali RTR KSN tersebut,
tergantung sudah seberapa jauh tahap penyusunan RTR KSN tersebut, misal
Raperpes.Pengkajian dilakukan oleh K/L dengan mengacu pada Perka BNPB No.
02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.
xxii — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Untuk RTR KSN yang belum disusun, maka dalam penyusunannya nanti langsung
dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana sesuai dengan kebutuhan
masing-masing tipologi.

b. Integrasi pada saat peninjauan kembali RTR Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN)
Untuk RTR KSN yang telah menjadi Perpres, maka pengintegrasian kajian risiko
bencana dilakukan pada saat peninjauan kembali. Langkah-langkah sebagai
berikut: (i) Periksa apakah RPB Provinsi/Kabupaten/Kota sudah ada dan apakah
jangka waktunya sesuai. Bila sesuai, maka dapat langsung diintegrasikan; (ii) Bila
RPB Provinsi/Kabupaten/Kota belum ada, maka K/L melakukan pengkajian risiko
bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BPBD, dan dengan mengacu
pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian
Risiko Bencana; (iii) Bila jangka waktunya tidak sesuai, maka K/L melakukan
pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BPBD, dengan
memperhatikan RPB Provinsi/Kabupaten/Kota yang sudah ada.

3. Percepatan Ketersediaan dan Peningkatan Kualitas Rencana Penanggulangan


Bencana (RPB)
Saat ini RPB yang telah ada adalah untuk 33 provinsi (kecuali Kalimantan Utara)
serta 63 kabupaten/kota.Apabila kegiatan upayapenyusunan RPB pada tingkat
kabupaten/kota dilanjutkan serta diagendakan secarateratur dan konsisten setiap
tahun, maka sekitar 275 kabupaten/kota lagi akanselesai kurang lebih dalam 9 tahun
lagi (33 kabupaten/kota per tahun)1.

Sementara saat ini, status per 30 Mei 2014,sudah 25 provinsi yang mempunyai perda
RTRW Provinsi (75%), 290 kabupaten memiliki perda RTRW Kabupaten (72,9%),
dan 75 kota memiliki perda RTRW Kota (80,6%)2. Saat peninjauan kembali tentunya
diharapkan dapat dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan
RTRW tersebut. Namun hal ini akan menjadi masalah bila pada saat peninjauan
kembali tersebut ternyata RPB Kabupaten/Kota tersebut belum tersedia.

Hal yang masih menjadi tantangan utama yang dihadapi yaitu bagaimana
mempercepat penyusunan RPB Kabupaten/Kota yang berkualitas sehingga dapat
digunakan sebagai dasar pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan
RTRW Kabupaten/Kota.Semua hal tersebut di atas menjadi signifikan dalam
penyusunan RTR KSN, karena pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke
dalam RTR KSN dilakukan berdasarkan RPB Provinsi/Kabupaten/Kota yang ada,

1
BNPB, Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2015-2019, draft 3, halaman 78.
2
Rekapitulasi Progress Penyelesaian RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia, Ditjen Penataan Ruang,
Kementerian Pekerjaan Umum, Status 30 Mei 2014.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xxiii

kecuali untuk tipologi tertentu yang membutuhkan kajian risiko bencana secara
khusus (seperti KSN rawan bencana).

Hal ini menjadi tantangan utama BNPB dalam: (i) Memperkuat BPBD Provinsi sehingga
dapat menyusun RPB sendiri yang berkualitas dan memfasilitasi BPBD Kabupaten/
Kota; dan (ii) Memperkuat BPBD Kabupaten/Kota sehingga dapat menyusun RPB
sendiri yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan rencana tata ruang.

Apabila pada saat hendak menyusun atau melakukan peninjauan kembali RTRW/
RTR KSN, RPB belum ada, memang dimungkinkan bagi K/L atau SKPD untuk
melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BNPB/
BPBD dan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum
Pengkajian Risiko Bencana. Namun bila hal ini dilakukan, maka ada dua hal yang
perlu dipertimbangkan, yaitu:

i. Tugas BPBD akan berkurang. Dalam Permendagri No. 46 tahun 2008 tentang
Pedoman Organisasi dan Tata Kerja BPBD pasal 4 disebutkan bahwa BPBD Provinsi
dan BPBD Kabupaten/Kota mempunyai tugas, antara lain, menetapkan pedoman
dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana; serta menyusun,
menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana. Sementara dalam
Perka BNPB No. 3 tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan BPBD (Bab 4)
disebutkan bahwa koordinasi BPBD dengan instansi atau lembaga dinas/badan
secara horizontal pada tahap prabencana antara lain dilakukan dalam bentuk
penyusunan kebijakan dan strategi penanggulangan bencana, penyusunan
perencanaan penanggulangan bencana, penentuan standar kebutuhan
minimum, pengurangan risiko bencana, dan pembuatan peta rawan bencana.
Bila hal ini berlanjut terus, dikhawatirkan tugas BPBD menyempit hanya fokus
pada hal-hal operasional saat tanggap darurat dan pascabencana. Padahal secara
struktur organisasi, BPBD memiliki bidang pencegahan dan kesiapsiagaan.
ii. Kualitas RPB yang dihasilkan. Bila K/L atau SKPD melakukan sendiri pengkajian
risiko bencana, BNPB harus sudah mempunyai mekanisme yang baku untuk
menjamin kualitas setiap RPB (dan KRB) yang disusun oleh setiap BPBD maupun
SKPD dan K/L agar memiliki kualitas sesuai standar yang ditetapkan dapat dijamin
bahwa kualitas yang dihasilkan dapat memenuhi standar yang ditetapkan BNPB.

4. Percepatan Penyusunan Peta Dasar dan Peta Tematik


Ketersediaan peta dasar untuk pelaksanaan pengkajian risiko bencana yang akan
diintegrasikan ke dalam muatan rencana tata ruang merupakan tantangan yang
xxiv — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

harus segera ditangani, terutama untuk peta-peta skala besar. Saat ini peta-peta yang
sudah ada, sebagai berikut3: (i) Skala 1:250.000 sudah ada untuk semua provinsi; (ii)
Skala 1:50.000 sudah ada untuk semua kabupaten; (iii) Skala 1:25.000 sudah ada untuk
Jawa-Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi4; (iv) Skala 1:10.000 sedang dibuat untuk
kota-kota di P. Jawa; (v) Sedangkan peta rupabumi untuk skala yang lebih besar, yaitu
1:5.000, 1:2.000, dan 1:1.000 belum tersedia. Peta-peta skala besar ini digunakan
untuk penyusunan rencana rinci (RTR KSN/P/K dan RDTR).Tantangannya adalah
bagaimana agar Badan Informasi Geospasial (BIG) dapat memenuhi kebutuhan
tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama. Anggaran adalah salah satu kendala
utama, di samping ketersediaan SDM dengan kapabilitas yang dibutuhkan.

Tantangan ketersediaan peta, tidak hanya pada ketersediaan peta dasar tetapi juga
peta tematik.Peta kerawanan dan peta ancaman dibuat oleh K/L atau SKPD terkait.
BNPB tidak menyusun sendiri peta bahaya/ancaman, tetapi menggunakan peta yang
disusun oleh K/L atau SKPD terkait.Berdasarkan peta kerawanan tersebut disusun
peta ancaman/bahaya (hazard).Peta ancaman baru dapat dibuat bila ada peta dasar.
Berdasarkan peta ancaman/bahaya, disusun peta risiko. Jadi langkah-langkahnya
adalah: (1) tersedianya peta dasar; yang digunakan sebagai dasar penyusunan (2)
peta bahaya; yang kemudian menjadi dasar bagi perumusan (3) peta risiko. Hal
tersebut juga menjadi tantangan tersendiri karena peta bahaya baru dapat dibuat
bila ada peta dasar. Sedangkan peta dasar yang lengkap baru ada untuk peta skala
1:250.000 dan 1:50.000, sementara peta skala 1:25.000 baru ada untuk Jawa-Bali,
Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Sedangkan peta tematik (peta kerawanan) yang siap
dan dapat digunakan untuk menyusun peta bahaya, misalnya dari Badan Geologi,
baru ada peta skala 1:250.0005. Permasalahannya adalah bagaimana menyusun peta
bahaya skala 1:50.000 bila yang tersedia baru peta tematik skala 1:250.000.

Dalam konteks pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana


tata ruang, dapat dilakukan langkah-langkah berikut ini:

a. Membuat pemrioritasan. Kabupaten/kota/kawasan yang memiliki kelas


risiko tinggi diprioritaskan pembuatannya. Semakin tinggi risikonya semakin
diprioritaskan pembuatannya. Prioritas utama adalah untuk membuat peta skala
1:25.000 untuk kota-kota dengan kelas risiko tinggi, dan peta skala 1:10.000
untuk kawasan-kawasan dalam kabupaten/kota yang memiliki kelas risiko
tinggi. Hal ini juga bukan merupakan hal yang mudah karena berdasarkan IRBI
2013 terdapat 322 kabupaten/kota (65%) dengan kelas risiko tinggi, sementara
sisanya 174 kabupaten/kota (35%) memiliki kelas risiko sedang. Kabupaten/kota

3
BIG dalam Diskusi Terarah Materi Teknis – SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014.
4
BIG dalam Lokakarya Materi Teknis SCDRR II – Bappenas, 30 Juni 2014.
5
BNPB, Ibid.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xxv

dengan kelas risiko semakin tinggi, perlu semakin diprioritaskan pembuatan


peta dasarnya. Contohnya, Kabupaten Cianjur yang memiliki kelas risiko tertinggi
di Indonesia dengan skor 250. Perlu ada kesepakatan antara BNPB dan BKPRN
mengenai kabupaten/kota dan kawasan-kawasan yang perlu diprioritaskan
pembuatan petanya.

b. Perlu adanya koordinasi antara BKPRN dan BNPB dalam menetapkan kawasan-
kawasan yang perlu diprioritaskan pembuatan peta dasar skala 1:5.000, 1:2.000,
1:1.000 untuk penyusunan rencana tata ruang kawasan rawan bencana.

c. BKPRN perlu membahas tantangan penyediaan peta kerawanan dan peta bahaya
yang harus disiapkan oleh K/L dan Daerah. Karena tanpa peta-peta tersebut, peta
risiko tidak dapat dibuat. Dan sementara ini peta yang ada, misalnya dari Badan
Geologi, baru ada peta skala 1:250.000.

Untuk daerah yang belum memiliki peta dasar, maka dapat menggunakan Citra Tegak
Resolusi Tinggi6. Citra Tegak Resolusi Tinggi ini memiliki kedetilan skala submeter.
Peta Citra Tegak Resolusi Tinggi tersebut masih memiliki banyak kesalahan, sehingga
perlu dikoreksi dulu, yaitu dengan koreksi: (i) Radiometrik, koreksi dilakukan oleh
LAPAN; dan (ii) Geometrik, koreksi dilakukan oleh BIG.Peta yang telah dikoreksi dapat
digunakan oleh daerah sebagai peta dasar.Pemerintah Daerah dapat mengirim surat
ke BIG untuk meminta agar penyusunan peta untuk daerahnya diprioritaskan.

5. Pemetaan Pemangku Kepentingan


a. Kerangka Regulasi
Saat ini peraturan perundang-undangan yang ada sudah banyak, namun masih
berjalan sendiri-sendiri. Untuk penyusunan rencana tata ruang mengacu pada
UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan peraturan turunannya,
sedangkan untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana, termasuk
penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), mengacu pada UU No. 24
tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan peraturan turunannya. Saat
ini belum ada peraturan yang dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan rencana
tata ruang.Peraturan yang menjadi acuan dalam penyusunan rencana tata ruang,
dalam hal ini RTRW Provinsi dan RTR KSN, adalah Permen PU No. 15/PRT/M/2009
dan Permen PU No. 15/PRT/M/2012.Namun peraturan tersebut belum secara
jelas memberikan arahan bagi penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN yang
berbasis pengurangan risiko bencana (mitigasi bencana). Namun demikian, perlu

6
BIG, dalam Diskusi Terarah Materi Teknis - SCDRR II, Bappenas, 10 Juni 2014.
xxvi — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

dikemukakan pula bahwa saat ini Ditjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan
Umum sedang menyusun Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana
(sudah pada tahap legal drafting).

Sehubungan dengan hal tersebut, maka langkah-langkah berikut ini dapat


dijadikan alternatif solusi:
1. Diperlukan satu pedoman yang dapat menjadi acuan bagi pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang. Saat ini sudah
terdapat upaya-upaya untuk merumuskan pedoman tersebut, antara lain:
a. Upaya yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri bekerja sama
dengan Georisk Jerman dan Badan Geologi yang sedang menyusun
pedoman penerapan informasi kebencanaan geologi untuk penyusunan
rencana tata ruang;
b. Upaya yang dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum, berkoordinasi
dengan BNPB, yang telah menyusun Standar Penataan Ruang di Kawasan
Rawan Bencana (SPR-KRB) dan saat ini telah mencapai proses legal
drafting; dan
c. Upaya yang dilakukan oleh Bappenas dengan dukungan SCDRR II yang
tengah menyusun Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana
Tata Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana,
khususnya untuk RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional.

2. Apabila daerah akan melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko


bencana ke dalam rencana tata ruang, maka sebaiknya pada saat melakukan
penyusunan atau peninjauan kembali RTRW sudah tersedia pedoman yang
dapat digunakan sebagai acuan. Pedoman tersebut harus jelas dan dapat
diimplementasikan. Oleh karenanya, sebaiknya dibuat satu pedoman saja
mengenai upaya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam
rencana tata ruang yang mengkombinasikan antara pedoman yang telah
dibuat oleh Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian PPN/Bappenas, dan
Kementerian Dalam Negeri.Selain itu perlu dipertimbangkan bahwa pedoman
tersebut tidak hanya menjadi acuan dalam penyusunan RTRW Provinsi dan
RTR KSN, tetapi juga rencana tata ruang lainnya (RTRW Kabupaten dan RTRW
Kota, serta rencana rinci lainnya).

Sehubungan dengan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke


dalam rencana tata ruang ini, ada kekhawatiran dari Daerah. Pada dasarnya
Daerah hanya melaksanakan arahan dari Pemerintah Pusat.Namun sebaiknya
harus ada integrasi antara arahan-arahan yang dibuat oleh Pemerintah
Pusat sehingga tidak membingungkan buat Daerah.Salah satunya adalah
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xxvii

antara Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Dalam Negeri.


Sudah saatnya norma-norma yang ada di Kementerian Pekerjaan Umum dan
Kementerian Dalam Negeri diintegrasikan dan disinkronkan, sehingga tidak
membingungkan buat daerah.

3. Agar dapat menjadi acuan bagi pemerintah daerah maupun K/L dalam
melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana
tata ruang, maka pedoman tersebut harus memiliki kerangka regulasi yang
cukup kuat. Alternatif yang dapat dilakukan:
a. Membuat Surat Edaran Bersama 3 Menteri (Kemen PU, Kemendagri,
dan BNPB) tentang Pedoman Pengarusutamaan Pengurangan Risiko
Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang. SEB ini dibuat agar pedoman
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam RTR dapat
segera disusun dan menjadi acuan bagi pemerintah daerah maupun K/L.
Dengan demikian pengarusutamaan PRB dapat segera dilakukan. SEB ini
bersifat sementara.

b. Pada saat yang sama dimulai proses penyusunan Peraturan Menteri PU


tentang Pedoman Pengurangan Risiko Bencana dalam Rencana Tata
Ruang. Dengan demikian pedoman tersebut nantinya memiliki dasar
hukum yang lebih kuat.

4. Materi Teknis yang disusun ini dapat digunakan sebagai masukan dalam
penyusunan Pedoman Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke
dalam Rencana Tata Ruang tersebut di atas.

Muatan Materi Teknis ini telah melalui pembahasan dalam (a) diskusi
bilateral dengan Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, dan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana; (b) diskusi terarah untuk mendapatkan masukan
dari pemangku kepentingan terkait; dan (b) lokakarya untuk diseminasi dan
mendapatkan masukan dari pemangku kepentingan yang lebih luas. Dengan
demikian diharapkan muatannya sudah sesuai dengan kebutuhan dan dapat
dipertanggungjawabkan untuk memberikan masukan bagi penyusunan
Pedoman Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana
Tata Ruang.Selain itu dalam penyusunan Materi Teknis ini juga sudah dengan
memperhatikan Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana
(draft) yang sedang disusun oleh Kementerian Pekerjaan Umum, sehingga
muatannya dapat saling melengkapi.
xxviii — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

b. Keberadaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Hingga bulan Februari 2014 telah terbentuk 436 BPBD yang terdiri dari 33 BPBD
Provinsi dan 403 BPBD Kabupaten/Kota (81% dari 497 kabupaten/kota).Berarti
masih ada 94 kabupaten/kota yang belum memiliki BPBD.Untuk kabupaten/
kota yang belum memiliki BPBD,tugas dan fungsi penanggulangan bencana
dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai fungsi yang bersesuaian dengan
fungsi penanggulangan bencana.

Di kabupaten/kota yang belum memiliki BPBD, bentuk kelembagaan kebencanaan


dapat berbeda-beda, baik dari segi SKPD penanggungjawab maupun eselonnya.
Di suatu kabupaten/kota kelembagaan kebencanaan ini dapat berada di bawah
eselon 2, 3, atau 4. Misalnya, sebagai contoh, di Kabupaten Grobogan (Jawa Tengah)
kebencanaan menjadi bagian dari Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan
Masyarakat(Kesbanglinmas), di mana kebencanaan berada di bawah Bidang
Pengamanan dan Penanggulangan Bencana. Mengingat bahwa hasil kajian BNPB
menunjukkan bahwa 204 juta (sekitar 80%) rakyat Indonesia tinggal di kawasan
rawan bencana7, maka sebaiknya semua kabupaten/kota memiliki BPBD.

Sehubungan dengan hal tersebut, prioritas utama adalah menyegerakan


pembentukan BPBD di 94 kabupaten/kota yang belum memiliki BPBD saat ini.
Setelah BPBD terbentuk, tantangan berikutnya adalah masalah kapasitas BPBD.Bila
dibandingkan dengan BKPRD yang sudah terbentuk cukup lama, maka kapasitas
BPBD merupakan salah satu isu yang penting diperhatikan. Isu kapasitas ini antara
lain terkait dengan sumber daya manusia, sarana dan prasarana, serta anggaran
yang dimiliki oleh BPBD. Kapasitas BPBD perlu diperkuat antara lain agar mampu
menyusun Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) sendiri yang berkualitas dan
sesuai dengan kebutuhan rencana tata ruang sehingga dapat diintegrasikan.

c. Kapasitas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Struktur BPBD yang ada saat ini dirasakan sudah cukup untuk penyelenggaraan
penanggulangan bencana di daerah, hanya perlu dioptimalkan lagi dalam hal
sumber daya manusia dan anggarannya.Dirasakan sumber daya manusia yang
ada saat ini masih sangat kurang kapabilitasnya dalam penanggulangan bencana,
khususnya untuk aspek pencegahan dan mitigasi bencana (perencanaan), karena
saat ini fokusnya masih lebih pada hal-hal yang operasional (kesiapsiagaan dan
tanggap darurat)8.
Hal tersebut merupakan tantangan yang harus dihadapi, yaitu bagaimana agar

7
Bapak Lilik Kurniawan, Direktur Pengurangan Risiko Bencana, “Isu-isu Strategis Pengarusutamaan Pengurangan Risiko
Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang”, Kedeputian Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, BNPB, Keynote Speech
dalam Diskusi Terarah Materi Teknis-SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014.
8
Diskusi Terarah Materi Teknis-SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xxix

Pemerinah Daerah mau memprioritaskan pembentukan BPBD, dan bila sudah


terbentuk, mau memprioritaskan penguatan BPBD, baik dari segi penguatan
sumber daya manusia maupun anggaran.

Dalam pembentukan dan penguatan BPBD ini, sebaiknya pemerintah daerah juga
mempertimbangkan karakteristik fisik daerahnya, misalnya provinsi kepulauan
seperti NTT atau kota kepulauan seperti Ternate. Sebagai wilayah kepulauan, maka
sarana dan prasarana evakuasi menjadi isu yang sangat penting untuk diperhatikan.

d. Penguatan BKPRD terkait Kebencanaan


Sehubungan dengan belum masuknya pengarusutamaan pengurangan risiko
bencana ke dalam salah satu tugas BKPRD dan tidak masuknya kelembagaan
bencana, BPBD, sebagai anggota BKPRD, maka tantangannya adalah bagaimana
meningkatkan kapasitas BKPRD terhadap kebencanaan, terutama dalam upaya
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang. Ada
beberapa alternatif yang dapat diambil: (i) Memasukkan kelembagaan bencana,
dalam hal ini BPBD, sebagai salah satu anggota BKPRD; atau (ii) Memasukkan
BPBD ke dalam Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang pada saat penyusunan
rencana tata ruang, dan ke dalam Kelompok Kerja Pemanfaatan dan Pengendalian
Pemanfaatan Ruang pada saat rencana tata ruang sudah selesai disusun dan
masuk pada tahap implementasi; atau (iii) Memasukkan BPBD dalam Tim Teknis
tentang penanggulangan bencana.

Dari hasil lokakarya, khusus untuk isu kelembagaan, dihasilkan beberapa butir
penting berikut ini:
1. Terkait dengan pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam
perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang,
diperlukan pelibatan BPBD dan BKPRD. Dalam konteks tersebut maka
penting agar BPBD menjadi anggota BKPRD. Penguatan BKPRD dan BPBD
dalam penanganan aspek kebencanaan menjadi hal yang penting pula.
2. Penguatan BKPRD dalam aspek kebencanaan, antara lain dengan cara (dapat
dilakukan ketiganya): (i) eselon 2 masuk sebagai anggota BKPRD; eselon 3
masuk dalam pokja BKPRD; dan masuk dalam tim teknis BKPRD.
3. Bila BPBD direkomendasikan untuk masuk sebagai anggota BKPRD, dan
BNPB direkomendasikan untuk masuk sebagai anggota BKPRN, maka perlu
dipikirkan bagaimana mekanismenya karena ada peraturan yang perlu diubah.
Misalnya, Keppres tentang BKPRN perlu direvisi. Sebelumnya tentu harus ada
kesepakatan terlebih dahulu mengenai keanggotaan tersebut. Hal ini penting
karena salah satu tujuanpenyelenggaraan penataan ruang adalah mewujudkan
ruang wilayah nasional yang aman (UU No. 26 tahun 2007 pasal 3), di mana
kebencanaan adalah salah satu isu strategis.
xxx — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

4. Mendagri bersama para Menteri anggota BKPRN berkewajiban untuk


melakukan fungsi dan pembinaan BKPRD dalam penyelenggaran penataan
ruang terkait upaya pengurangan risiko

VI. Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil kajian ini adalah sebagai berikut:
1. Perlunya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata
ruang. Jika hal ini disepakati seluruh stakeholders terkait, maka implikasinya adalah:
(i) Rencana tata ruang yang belum disusun, dalam penyusunannya nanti langsung
mengintegrasikan perspektif pengurangan risiko bencana; (ii) Rencana tata
ruang yang masih dalam proses penyusunan (s/d persetujuan substansi), segera
mengintegrasikan perspektif pengurangan risiko bencana ini; (iii) Rencana tata ruang
yang sudah dalam proses Raperda dan sudah Perda atau sudah Raperpres dan sudah
Perpres, segera mengintegrasikan perspektif pengurangan risiko bencana pada saat
dilakukan peninjauan kembali yang pertama; (iv) Daerah-daerah yang memiliki
kelas risiko sangat tinggi (perlu dirumuskan kriterianya), segera mengintegrasikan
perspektif pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruangnya.

2. Indeks Risiko Bencana Multi Ancaman 10 Kabupaten/Kota Tertinggi Tahun 2013.


No Kabupaten/Kota Provinsi Skor Kelas Risiko Status RT/RW
Perda 2012,
1 Cianjur Jawa Barat 250 Tinggi
PK RT/RW 2017
Perda 2011
2 Garut Jawa Barat 238 Tinggi
PK RT/RW 2016
Perda 2012
3 Sukabumi Jawa Barat 231 Tinggi
PK RT/RW 2017
PK RT/RW 2014
4 Lumajang Jawa Timur 231 Tinggi

Perda 2012
5 Tasikmalaya Jawa Barat 225 Tinggi
PK RT/RW 2017
Perda 2012
6 Halmahera Selatan Maluku Utara 224 Tinggi
PK RT/RW 2017
Perda 2013
7 Maluku Barat Daya Maluku 223 Tinggi
PK RT/RW 2018
Perda 2012
8 Majene Sulawesi Barat 221 Tinggi
PK RT/RW 2017
PK RT/RW 2015
9 Malang Jawa Timur 219 Tinggi

10 Jember Jawa Timur 219 Tinggi Belum Perda

Sumber: IRBI 2013 dan Roadmap (draft), Bappenas

3. Pengurangan risiko bencana menjadi salah satu muatan yang dikaji pada saat
proses persetujuan substansi di BKPRN. Pengurangan risiko bencana ini mencakup:
(a) kajian risiko bencana pada tahap analisis, dan (b) muatan pengurangan risiko
bencana dalam kebijakan, rencana, dan indikasi program utama.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xxxi

4. K/L atau SKPD dapat melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri
berkoordinasi dengan BNPB/BPBD dan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun
2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, apabila Rencana
Penanggulangan Bencana (RPB) belum ada pada saat penyusunan atau peninjauan
kembali rencana tata ruang.
5. BNPB dilibatkan dalam proses persetujuan substansi untuk menjamin kualitas
kajian risiko bencana yang dilakukan telah memenuhi standar.
6. Perlu membuat pemrioritasan dalam pembuatan peta dasar berdasarkan kelas risiko
suatu daerah/kawasan. Kabupaten/kota/kawasan yang memiliki kelas risiko tinggi
diprioritaskan pembuatannya. Semakin tinggi risikonya semakin diprioritaskan
pembuatan peta dasarnya.
7. Pentahapan pembuatan peta dasar sebagai berikut:
i. Tahap pertama adalah menyelesaikan pembuatan peta skala 1:25.000 untuk
seluruh Indonesia, dan peta skala 1:10.000 untuk kawasan-kawasan dalam
kabupaten/kota yang memiliki kelas risiko tinggi;
ii. Tahap kedua adalah membuat peta skala 1:5.000, 1:2.000, 1:1.000 untuk
kawasan-kawasan dengan kelas risiko tinggi.
8. BKPRN perlu membahas tantangan penyediaan peta kerawanan dan peta bahaya
yang harus disiapkan oleh K/L dan Daerah. Karena tanpa peta-peta tersebut, peta
risiko tidak dapat dibuat.
9. Dibuat satu pedoman untuk memudahkan implementasi oleh pemerintah daerah.
Pedoman tersebut disusun dengan mengintegrasikan berbagai upaya yang telah
dilakukan saat ini terkait dengan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana
ke dalam rencana tata ruang. Pedoman tersebut menjadi acuan dalam penyusunan
RTRW Provinsi, RTRW Kabupaten, RTRW Kota dan RTR Kawasan Strategis Nasional.
10. Dasar hukum pedoman tersebut adalah (i) Surat Edaran Bersama 3 Menteri (Kemen
PU, Kemendagri, dan BNPB); yang kemudian ditingkatkan menjadi (ii) Peraturan
Menteri PU.
11. Alternatif penguatan BKPRD terhadap kebencanaan dilakukan dengan cara: (i)
Memasukkan BPBD sebagai salah satu anggota BKPRD; (ii) Memasukkan BPBD ke
dalam Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang pada saat penyusunan rencana tata
ruang, dan ke dalam Kelompok Kerja Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan
Ruang pada saat rencana tata ruang sudah selesai disusun dan masuk pada tahap
implementasi; (iii) Memasukkan BPBD dalam Tim Teknis tentang penanggulangan
bencana.
12. Perlu dilakukan penguatan BKPRN dengan melibatkan BNPB.
xxxii — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

VII. REKOMENDASI
Dalam upaya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana
tata ruang, khususnya RTRW Provinsi dan RTR KSN, maka usulan rekomendasi
disampaikan pada BKPRN dan BNPB, adalah sebagai berikut:

A. BKPRN
BKPRN melaksanakan rapat eselon II BKPRN untuk menyepakati pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, yang meliputi:
1. Dibutuhkan pedoman pengarusutamaan PRB ke dalam RTR, baik untuk RTRW
Provinsi, RTRW Kabupaten, RTRW Kota, dan RTR KSN. Perlu pula disepakati: (i)
Kerangka regulasi pedoman; dan (ii) Muatan pedoman.
2. Pengurangan risiko bencana (PRB) menjadi salah satu muatan yang dikaji
pada saat proses persetujuan substansi di BKPRN. BNPB dilibatkan dalam
proses persetujuan substansi untuk menjamin kualitas kajian risiko bencana
yang dilakukan telah memenuhi standar;
3. Membuat prioritas pembuatan peta dasar berdasarkan kelas risiko suatu daerah;
4. Penguatan BKPRD untuk materi kebencanaan. BPBD diusulkan menjadi
anggota BKPRD;
5. Dibuat satu pedoman untuk memudahkan implementasi oleh pemerintah
daerah. Pedoman tersebut disusun dengan mengintegrasikan berbagai
upaya yang telah dilakukan saat ini terkait dengan pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang. Pedoman tersebut
menjadi acuan dalam penyusunan RTRW Provinsi, RTRW Kabupaten, RTRW
Kota dan RTR Kawasan Strategis Nasional.

B. BNPB
1. Berkoordinasi dengan BKPRN dalam menetapkan daerah-daerah yang perlu
diprioritaskan pembuatan peta dasar dan peta tematiknya berdasarkan kelas
risiko suatu daerah;
2. Mendorong agar Pemerintah Daerah memrioritaskan pembentukan dan
penguatan BPBD (sumber daya manusia maupun anggaran);
3. Mendorong percepatan penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana di
kabupaten/kota; dan
4. Merumuskan kelas risiko yang lebih rinci (tidak hanya tinggi, sedang, rendah).
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xxxiii

BAB 1
Pendahuluan
xxxiv — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 1

BAB 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Indonesia yang terdiri dari gugusan kepulauan mempunyai potensi bencana
yang sangat tinggi dan juga sangat bervariasi dari aspek jenis bencana. Kondisi
alam tersebut serta adanya keanekaragaman penduduk dan budaya di Indonesia
menyebabkan timbulnya risiko terjadinya bencana alam, bencana ulah manusia dan
kedaruratan kompleks, meskipun disisi lain juga kaya akan sumberdaya alam.

Dengan kondisi sebagai negara rawan bencana, dan mengingat bahwa negara
bertanggung jawab melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan
dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana, maka dikeluarkanlah UU
No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. UU ini menjadi acuan bagi
upaya penanggulangan bencana di Indonesia. Penyelenggaraan penanggulangan
bencana terdiri atas 3(tiga) tahap, yang meliputi tahap prabencana, tanggap darurat,
dan pasca bencana. Penyelenggaraan untuk ketiga tahap tersebut harus dilakukan
secara terintegrasi.

Kompleksitas penyelenggaran penanggulangan bencana memerlukan suatu


penataan dan perencanaan yang matang, terarah dan terpadu. Penanggulangan
yang dilakukan selama ini belum didasarkan pada langkah-langkah yang sistematis
dan terencana, sehingga seringkali terjadi tumpang tindih dan bahkan terdapat
langkah upaya penting yang tidak tertangani. Pemaduan dan penyelarasan arah
penyelenggaraan penanggulangan bencanapada suatu kawasan membutuhkan
dasar yang kuat dalam pelaksanaannya. Hal ini dapat dilakukan melalui kajian risiko
bencana. Kajian risiko bencana merupakan perangkat untuk menilai kemungkinan
dan besaran kerugian akibat ancaman yang ada. Dengan mengetahui kemungkinan
dan besaran kerugian, fokus perencanaan dan keterpaduan penyelenggaraan
penanggulangan bencana menjadi lebih efektif. Dapat dikatakan kajian risiko bencana
merupakan dasar untuk menjamin keselarasan arah dan efektivitas penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada suatu daerah.

Sebagai negara rawan bencana, sangat penting bagi Indonesia untuk memiliki
kesiapsiagaan dalam mengantisipasi bencana untuk dapat mengurangi dampak
yang ditimbulkan oleh bencana tersebut. Dalam hal ini upaya pencegahan dan
2 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

mitigasi bencana menjadi sangat penting untuk mengurangi risiko bencana yang
mungkin timbul. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana telah mengamanatkan pada pasal 35 dan 36 agar setiap daerah mempunyai
perencanaan penanggulangan bencana yang menjadi acuan dalam upaya
penanggulangan bencana. Sehubungan dengan hal tersebut, sangatlah penting
bagi setiap daerah untuk mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam
dokumen-dokumen perencanaan daerah, seperti Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Tata
Ruang (RTR) untuk menjamin pelaksanaannya yang efektif dan terintegrasi.

Mengingat pentingnya upaya mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke


dalam dokumen perencanaan daerah, maka kerjasama UNDP dengan BNPB, Bappenas,
dan Kementerian Dalam Negeri melalui Proyek Safer Communities through Disaster
Risk Reduction (SCDRR) Fase II berupaya untuk mengintegrasikan pengurangan risiko
bencana ke dalam rencana tata ruang. Sejalan dengan Prioritas Aksi 4 dari Hyogo
Framework for Action (HFA) 2005-2015 yakni “Reduce the underlying risk factors”,
proyek ini memberikan dukungan kepada Pemerintah Pusat untuk memasukkan
pengurangan risiko bencana ke dalam sektor-sektor pembangunan terpilih. Salah
satu output proyek ini adalah terselenggaranya dukungan bagi pengarusutamaan
kebijakan pengurangan risiko bencana dalam pembangunan di daerah, termasuk
dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Sehubungan dengan itu, proyek ini memberikan dukungan kepada Pemerintah Pusat
untuk memasukkan perspektif pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction/
DRR) ke dalam sektor-sektor pembangunan terpilih melalui perumusan materi
teknis bagi pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam sektor-sektor
pembangunan, khususnya penataan ruang. Rencana tata ruang, dengan fungsinya
untuk mengarahkan pemanfaatan ruang jangka panjang, sangat berguna dalam
mereduksi keterpaparan jumlah penduduk, kegiatan sosial ekonomi, dan sarana
prasarana dari ancaman bencana. Saat ini, pedoman penyusunan rencana tata ruang
yang ada yang relevan dengan kebencanaan adalah untuk letusan gunung api,
gempa bumi, dan reklamasi pantai.

Berdasarkan amanat Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,


semua pemerintah daerah (provinsi, kabupaten dan kota) wajib menyusun Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang selanjutnya dilegalisasikan menjadi Peraturan Daerah
(Perda), dengan masa berlaku selama 20 tahun dan ditinjau kembali setiap 5 tahun.
Sehubungan dengan upaya pengurangan risiko bencana, rencana tataruang saat ini
juga perlu memasukkan kajian risiko bencana untuk mengidentifikasikan kerawanan,
tingkat ancaman, tingkat kerentanan, dan tingkat kapasitas di suatu wilayah.
Memasukkan upaya pengurangan risiko bencana kedalam penataan ruang, yang
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 3

meliputi perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan


ruang, harus menjadi prioritas Pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan
terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan
rentan, serta berpihak pada upaya pelestarian lingkungan hidup.

1.2 Maksud dan Tujuan


Maksud dari kegiatan ini adalah untuk menyusun Materi Teknis Revisi Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko
Bencana. Sementara tujuan dari kegiatan ini adalah memberikan masukan perbaikan
terhadap pedoman-pedoman penyusunan rencana tata ruang (RTR) yang telah ada
saat ini untuk mengintegrasikan pendekatan pengurangan risiko bencana ke dalam
penataan ruang.
Materi teknis yang dihasilkan akan diusulkan kepada Badan Koordinasi Penataan
Ruang Nasional (BKRN) sebagai masukan dalam merumuskan pedoman yang
dapat menjadi acuan bagi Pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang,
khususnya Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW Provinsi) dan Rencana Tata
Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN). Pedoman ini nantinya dapat melengkapi
pedoman yang telah ada saat ini, khususnya (a) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
No. 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Provinsi, dan (b) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 15 Tahun 2012
tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Nasional
(KSN). Perumusan pedoman tersebut harus dilakukan sesuai dengan arahan dalam
UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No. 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana sebagai landasan untuk mengintegrasikan pendekatan
pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang.

1.3 Ruang Lingkup Materi Teknis


Adapun ruang lingkup kegiatan penyusunan Materi Teknis Revisi Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko
Bencana meliputi:
l Mengkaji peraturan perundang-undangan yang terkait, khususnya Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (Permen PU No 15 Tahun 2009)
dan Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional
(Permen PU No 15 Tahun 2012);
l Mengkaji dan mengintegrasikan hasil dua studi yang telah dilakukan, yaitu
“Perencanaan Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional: Tinjauan Kebencanaan,
Studi Kasus Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur” dan “Kaji Ulang
Pedoman Perencanaan Tata Ruang dalam rangka Pengurangan Risiko Bencana
(PRB) di Indonesia”;
4 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

l Melakukan pengumpulan data dan informasi dari stakeholder yang relevan,


khususnya Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, dan Badan Nasional Penanggulangan
Bencana melalui diskusi bilateral;
l Mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan rencana
tata ruang wilayah provinsi dan kawasan strategis nasional;
l Mengkaji mitigasi bencana dalam Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil (RPWP3K) dan keterkaitan kajian risiko bencana dengan Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam penataan ruang;
l Melakukan pemetaan stakeholder;
l Menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terfokus untuk mendapatkan masukan
terhadap materi teknis yang disusun dari stakeholder yang relevan;
l Menyelenggarakan lokakarya untuk mendiseminasikan materi teknis yang telah
disempurnakan dan menyepakati rencana tindak lanjut; dan
l Menyusun Materi Teknis bagi Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang
berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana

1.4 Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan


Kegiatan ini dilakukan melalui perumusan serangkaian output, sebagai berikut:
1. Output 1: Keterkaitan Kajian Risiko Bencana dengan KLHS dalam RTRW Provinsi
dan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN)
Output ini dicapai dengan melakukan kajian terhadap peraturan perundang-
undangan tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), pengurangan
risiko bencana, Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi, dan Pedoman Penyusunan
RTR KSN dan dokumen-dokumen penunjang lainnya.Selain itu juga dilakukan
diskusi dengan Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Dari diskusi dan kajian ini dapat diperoleh gambaran mengenai keterkaitan Kajian
Risiko Bencana (KRB) dengan KLHS dalam rencana tata ruang, khususnya dalam RTRW
Provinsi dan RTR KSN.Hasil kajian ini juga menjadi masukan dalam mengintegrasikan
KRB ke dalam rencana tata ruang wilayah provinsi dan kawasan strategis nasional.
2. Output 2: Mitigasi Bencana dalam Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil (RPWP3K)
Output ini dicapai dengan melakukan kajian terhadap peraturan perundang-
undangan tentang rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
(RPWP3K), pengurangan risiko bencana, dan dokumen-dokumen penunjang
lainnya, serta diskusi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Dari diskusi dan kajian ini dapat diperoleh gambaran mengenai posisi mitigasi
bencana dalam rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
3. Output 3: Integrasi Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Penyusunan RTRW
Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN)
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 5

Output ini dicapai dengan melakukan desk study, yang mencakup:


a. Mengkaji pedoman-pedoman yang ada tentang penyusunan RTRW Provinsi
dan RTR KSN serta pedoman terkait lainnya;
b. Mengkaji peraturan perundang-undangan serta dokumen tentang
penanggulangan bencana.
c. Mengkaji dokumen-dokumen penunjang lainnya, termasuk dua studi yang
telah dihasilkan oleh SCDRR II, yaitu “Perencanaan Tata Ruang Kawasan
Strategis Nasional: Tinjauan Kebencanaan, Studi Kasus Penataan Ruang
Kawasan Jabodetabekpunjur” dan “Kaji Ulang Pedoman Perencanaan Tata
Ruang dalam rangka Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Indonesia”.
Berdasarkan hasil kajian tersebut, dan diskusi dengan Kementerian Pekerjaan
Umum dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dilakukan pengintegrasian
pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN.
4. Output 4: Pemetaan KelembagaanPengintegrasian Pengurangan Risiko Bencana
ke dalam Rencana Tata Ruang
Output ini dicapai melalui:
a. Hasil dari Output 3; dan
b. Pengumpulan data dan informasi dalam bentuk diskusi dan wawancara
dengan stakeholder yang relevan.
Stakeholder yang relevan meliputi: Bappenas, Kementerian Pekerjaan Umum,
Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
dan Kementerian Lingkungan Hidup.
Hasil diskusi dengan berbagai stakeholder yang relevan, dikombinasikan dengan
hasil dari output 3, dilakukan pemetaan kelembagaan.
5. Output 5: Penyusunan Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata
Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana
Penyusunan materi teknis terdiri atas dua tahap, yaitu:
a. Penyusunan draft materi teknis revisi pedoman penyusunan RTR
Draft materi teknis disusun berdasarkan output 1 sampai dengan output 4.
Untuk mempertajam pengintegrasian kajian risko bencana (KRB) ke dalam
pedoman penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi dan
Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Nasional (KSN), serta pemetaan
kelembagaan, dilakukan Diskusi Terarah (Focus Group Discussion/FGD). Hasil
dari FGD ini menjadi masukan dalam perumusan draft materi teknis.
b Penyusunan materi teknis revisi pedoman penyusunan RTR (final)
Lokakarya diselenggarakan untuk mendiseminasikan draft materi teknis
revisi pedoman penyusunan RTR yang telah disusun dan membangun
kesepakatan rencana tindak lanjut dengan mengundang berbagai
stakeholder yang lebih luas. Hasil dari lokakarya ini juga menjadi masukan
dalam menyempurnakan draft materi teknis yang akan diberikan kepada
6 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN). Peserta lokakarya


meliputi anggota BKPRN, pemerintah provinsi DKI Jakarta, dan pemerintah
daerah dalam Bodetabekpunjur.

1.5 Kedudukan Materi Teknis


Materi Teknis ini ditujukan untuk memberikan masukan bagaimana mengintegrasikan
perspektif pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan rencana tata ruang,
khususnya penyusunan RTRW Provinsi dan penyusunan RTR KSN. Diharapkan hal
ini dapat memperbaharui paradigma perencanaan tata ruang berbasis mitigasi
bencana, sehingga rencana tata ruang yang disusun nantinya telah memuat upaya-
upaya pengurangan risiko bencana.

Materi Teknis ini bersifat komplementer terhadap Pedoman Penyusunan RTRW


Provinsi dan Pedoman Penyusunan RTR KSN yang ada. Selain itu Materi Teknis ini
juga akan melengkapi aturan yang lebih rinci yang saat ini sedang disusun oleh
Kementerian Pekerjaan Umum, yaitu Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan
Bencana (SPR KRB).Kedudukan Materi Teknis terhadap pedoman-pedoman yang
telah ada dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Dalam mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang,


terdapat 3 hal yang harus dilakukan, yaitu:
a. Integrasi dokumen/proses. Mengatur bagaimana mengintegrasikan kajian risiko
bencana (KRB) dalam dokumen Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) ke
dalam dokumen rencana tata ruang (RTR) dalam proses penyusunan rencana
tata ruang. Dalam hal ini, terdapat masalah perbedaan jangka waktu antara
penyusunan atau peninjauan kembali rencana tata ruang dengan periode
Rencana Penanggulangan Bencana (RPB).
b. Integrasi spasial. Mengatur bagaimana mengintegrasikan kajian risiko bencana
(KRB) ke dalam muatan rencana tata ruang. Hal ini sudah diatur dalam Standar
Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana.
c. Koordinasi Kelembagaan.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Materi Teknis ini lebih difokuskan pada
pembahasan mengenai integrasi proses/dokumen dan koordinasi kelembagaan,
dengan tambahan pembahasan mengenai integrasi spasial/muatan yang menjadi
irisan dengan Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (SPR KRB).
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 7

Integrasi spasial/muatan telah dibahas secara detil dalam Standar Penataan Ruang di
Kawasan Rawan Bencana. Lihat Gambar 1.2.

Gambar 1.1
Kedudukan Materi Teknis terhadap
Peraturan Perundang-undangan Bidang Penataan Ruang
Dan Bidang Penanggulangan Bencana

Perka BNPB No. 2/2012

Pedoman Umum
8 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Gambar 1.2
Keterkaitan Materi Teknis dengan Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN,
serta Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana

Standar Penataan Ruang


di Kawasan Rawan
Bencana
Integrasi
Integrasi Integrasi Spasial/Muatan
Dokumen/ Spasial/
Proses Muatan
Materi
Teknis
Koordinasi
Kelembagaan

Melengkapi Melengkapi

Pedoman Penyusunan Pedoman Penyusunan


RTRW Provinsi RTR KSN

Sumber: Hasil Analisis

1.6 Sistematika Materi Teknis


Materi teknis ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:

Bab 1 PENDAHULUAN
Bab 1 yang merupakan pendahuluan membahas mengenai latar belakang
penyusunan materi teknis, maksud dan tujuan penyusunan, ruang lingkup
pembahasan, metodologi penyusunan, dan kedudukan materi teknis ini
terhadap pedoman penyusunan rencana tata ruang yang ada.
Bab 2 MITIGASI BENCANA DALAM RENCANA PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
DAN PULAU-PULAU KECIL (RPWP3K) DAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP
STRATEGIS (KLHS)
Bab 2 ini terdiri atas dua subbab, yaitu subbab pertama membahas mitigasi
bencana dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sedangkan
subbab kedua membahas kajian lingkungan hidup strategis dalam penataan
ruang. Subbab pertama membahas dasar hukum mitigasi bencana dan jenis,
tingkat risiko, dan wilayah bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Selain itu juga dibahas mitigasi bencana dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 9

dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) serta contoh aplikasi mitigasi bencana dalam
perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Subbab ini juga
membahas keterkaitan antara perencanaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil dengan perencanaan tata ruang.

Subbab kedua membahas tentang penyelenggaraan kajian lingkungan hidup


strategis (KLHS) dalam rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata
ruang kawasan strategis nasional, serta keterkaitannya dengan pengurangan
risiko bencana dalam perencanaan tata ruang.
Bab 3 PENGARUSUTAMAAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA KE DALAM
PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI
Sesuai dengan tujuan materi teknis ini, maka Bab 3 membahas langkah-langkah
yang harus dilakukan dalam mengintegrasikan perspektif pengurangan risiko
bencana ke dalam penyusunan rencana tata ruang provinsi. Hal-hal yang
dibahas meliputi dasar hukum, penyelenggaraan penanggulangan bencana
dalam penataan ruang, pengintegrasian perspektifpengurangan risiko bencana
ke dalam proses penyusunan RTRW Provinsi, serta pengintegrasian kajian risiko
bencana (KRB) ke dalam ketentuan teknis muatan RTRW Provinsi. Pembahasan
dalam bab ini ditutup dengan pembahasan mengenai tantangan yang dihadapi
dalam pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan
RTRW Provinsi.
Bab 4 PENGARUSUTAMAAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA KE DALAM
PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KAWASAN STRATEGIS NASIONAL
Pembahasan dalam Bab 4 diawali dengan perumusan kriteria bagi penentuan
perlu/tidaknya melakukan kajian risiko bencana khusus bagi setiap tipologi KSN
yang ada. Kriteria ini dirumuskan dengan memperhatikan bentuk KSN serta
isu strategis nasional dan fokus penangangan setiap tipologi KSN. Setelah itu
dilakukan pembahasan terhadap pengarusutamaan pengurangan risiko bencana
ke dalam proses penyusunan rencana tata ruang kawasan strategis nasional
(RTR KSN). Dilanjutkan dengan pembahasan mengenai pengintegrasian kajian
risiko bencana (KRB) ke dalam muatan RTR KSN. Kemudian diberikan contoh
pengintegrasian KRB tersebut ke dalam RTR KSN dengan Tipologi Kawasan
Perkotaan Metropolitan Jabodetabekpunjur. Terakhir dibahas tantangan yang
dihadapi dalam pengarusutamaan pengurangan risiko bencana tersebut ke
dalam penyusunan RTR KSN.
Bab 5 PEMETAAN PEMANGKU KEPENTINGAN
Bab 5 membahas tentang pemangku kepentingan dalam pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana ke dalam perencanaan tata ruang. Sebagai
pendahuluan dibahas mengenai pemetaan pemangku kepentingan dalam
penyelenggaran penanggulangan bencana, yaitu kelembagaan penanggulangan
bencana di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Setelah itu dilakukan
pemetaan pemangku kepentingan dalam pengarusutamaan pengurangan
risiko bencana ke dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Stategis
Nasional (KSN).
10 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Bab 6 IMPLEMENTASI
Bab 6 merupakan bab terakhir dari Materi Teknis ini. Bab ini membahas langkah-
langkah yang harus dilakukan untuk mengimplementasikan pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN
dengan mempertimbangkan berbagai tantangan yang dihadapi.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 11

BAB 2
Mitigasi Bencana dalam Rencana
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (RPWP3K) dan
Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS)
12 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 13

BAB 2
Mitigasi Bencana dalam Rencana
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil (RPWP3K) dan Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)

Pada bab ini dibahas mitigasi bencana dalam rencana pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil dan bagaimana keterkaitannya dengan penataan ruang. Selain itu bab
ini juga membahas kajian lingkungan hidup strategis dalam perencanaan tata ruang dan
kaitannya dengan mitigasi bencana.

2.1 Mitigasi Bencana dalam Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil
2.1.1 Dasar Hukum
Mitigasi Bencana dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil (PWP3K) mengacu pada UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K)Pasal 56 yang mengamanatkan
bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah dalam menyusun perencanaan
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil wajib memuat mitigasi
bencana sesuai dengan jenis, tingkat risiko, dan wilayah bencananya.

Upaya mitigasi bencana harus dilaksanakan sejak tahap perencanaan.


UU No. 27 tahun 2007 menitikberatkan pada upaya preventif pada tahap
prabencana.Amanat ini mengandung makna bahwa paradigma penanganan
bencana yang selama ini dilakukan perlu direformasi dari pendekatan
fatalistik-reaktif melalui manajemen krisis menjadi pendekatan terencana
pro-aktif melalui pengurangan risiko. Pengurangan risiko dilakukan melalui
tiga upaya: pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan. Ketiga upaya tersebut
dalam UU No. 27 Tahun 2007 disebut mitigasi. Mitigasi bencana adalah
upaya untuk mengurangi risiko bencana baik secara struktur atau fisik
14 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun nonstruktur atau


nonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi bencana di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil.

Atas dasar itu maka diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai kegiatan
pengurangan risiko bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai
dengan jenis, tingkat risiko, dan wilayah bencana. Mitigasi bencana ini diatur
lebih lanjut dalam PP No. 64 tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

2.1.2 Jenis, Tingkat Risiko, dan Wilayah Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau -
pulau Kecil
Bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat diakibatkan karena
peristiwa alam dan/atau perbuatan orang.Perbandingan jenis-jenis bencana
yang ditetapkan oleh BNPB dan PP No. 64 tahun 2010 dapat dilihat pada
Tabel 2.1.
Tabel 2.1
Perbandingan Jenis-jenis Bencana

Jenis-jenis Bencana dalam Jenis-jenis Bencana dalam


PP No. 64 tahun 2010 Perka BNPB No. 02 tahun 2012

No Jenis Bencana Penyebab No Jenis Bencana

1. Gempa Bumi Peristiwa Alam 1. Gempa Bumi


2. Tsunami Peristiwa Alam 2. Tsunami
3. Gelombang Ekstrim Peristiwa Alam 3. Gelombang Ekstrim dan Abrasi
4. Gelombang Laut Berbahaya Peristiwa Alam 4. Letusan Gunung Api
5. Letusan Gunung Api Peristiwa Alam 5. Banjir
6. Banjir Peristiwa Alam Perbuatan Orang 6. Tanah Longsor
7. Kenaikan Paras Muka Air Laut Peristiwa Alam Perbuatan Orang
8. Tanah Longsor Peristiwa Alam Perbuatan Orang
9. Erosi Pantai Peristiwa Alam Perbuatan Orang
10. Angin Puting Beliung Peristiwa Alam
Jenis bencana lainnya 7. Kekeringan
8. Cuaca Ekstrim
9. Kebakaran Hutan dan Lahan
Kebakaran Gedung dan
10.
Permukiman
11. Epidemi dan Wabah Penyakit
12. Gagal Teknologi

Sumber: PP No. 64 tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan Perka BNPB No. 02
tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 15

Tingkat risiko bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dikelompokkan


menjadi:
a. risiko tinggi;
b. risiko sedang; dan
c. risiko rendah.

Tingkat risiko bencana ditentukan berdasarkan analisis bahaya dan


kerentanan dan ditetapkanoleh BNPB sesuai dengan ketentuan dalam Perka
BNPB no 02/2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.

Wilayah bencana merupakan luasan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil


yang diprediksi terkena dampak bencana dalam rentang waktu tertentu dan
ditentukan berdasarkan:
a. identifikasi jenis bencana;
b. pengkajian ancaman bencana; dan
c. analisis mengenai daerah yang diprediksi terkena dampak bencana.
Wilayah bencana dikelompokkan dalam skala nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota.

2.1.3 Mitigasi Bencana dalam Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan


Pulau - pulau Kecil
Dalam menyusun perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memuat mitigasi
bencana yang merupakan bagian dari Rencana Penanggulangan Bencana
(RPB). Muatan aspek kebencanaan dalam setiap dokumen perencanaan
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sebagai berikut:
1. Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RSWP3K) wajib
memuat isu, visi, misi, strategi, kebijakan, dan program yang memasukkan
mitigasi bencana. Jangka waktu RSWP3K Pemerintah Daerah selama 20
(dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5
(lima) tahun sekali. RSWP3K ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah
(Gubernur/Bupati/Walikota).
2. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) wajib
mempertimbangkan peta rawan bencana dan peta risiko bencana yang
disusun dan ditetapkan oleh instansi yang berwenang (BNPB atau BPBD).
RZWP3K provinsi dibuat dalam peta dengan skala 1:250.000 atau lebih
besar. Jangka waktu berlakunya RZWP3K selama 20 (dua puluh) tahun
dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. RZWP3K ditetapkan
dengan Peraturan Daerah.
16 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

3. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP3K)


wajib memasukkan rencana mitigasi bencana. Rencana mitigasi bencana
tersebut menjadi bagian dari Rencana Penanggulangan Bencana Daerah
(RPB Daerah). Bila RPB Daerah belum ditetapkan, satuan kerja perangkat
daerah (SKPD) yang membidangi kelautan dan perikanan menyusun
rencana mitigasi bencana untuk dimasukkan ke dalam RPWP3K. RPWP3K
berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-
kurangnya sebanyak 1 (satu) kali. RPWP3K ditetapkan dengan Peraturan
Kepala Daerah.
4. Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAPWP3K)
wajib memasukkan kegiatan mitigasi bencana yang ada dalam Rencana
Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RAD PRB). Bila RAD PRB belum
ditetapkan, SKPD yang membidangi kelautan dan perikanan menyusun
kegiatan mitigasi bencana untuk dimasukkan ke dalam RAPWP3K. Kegiatan
mitigasi bencana meliputi kegiatan struktur/fisik dan/atau non struktur/
non fisik mitigasi bencana yang berdampak langsung dalam pengurangan
risiko. RAPWP3K provinsi atau kabupaten/kota berlaku selama 1 (satu)
sampai dengan 3 (tiga) tahun dan ditetapkan dengan Peraturan Kepala
Daerah.

Secara umum mitigasi bencana dalam perencanaan pengelolaan wilayah


pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan melalui


kegiatan (i) struktur/fisik, dan/atau (ii) nonstruktur/nonfisik. Pendekatan
secara struktur/fisik dapat dilakukan melalui manipulasi atau teknis, baik
secara alami maupun buatan. Mitigasi secara nonstuktur/nonfisik dapat
dilakukan melalui upaya nonteknis yang berkaitan dengan penyesuaian
dan pengaturan kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya
mitigasi struktural maupun upaya lainnya. Mitigasi bencana secara fisik
dan nonfisik dapat dilihat pada Tabel 2.2. Kegiatan struktur/fisik dilakukan
sesuai dengan jenis bencana yang dihadapi (Untuk lengkapnya lihat Tabel
2.3).
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 17

Gambar 2.1
Mitigasi Bencana dalam Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil

Sumber: Disarikan dari PP No. 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan PP No. 21
tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

Tabel 2.2
Mitigasi Bencana secara Fisik dan Nonisik

No Fisik Non Fisik

1. ALAMI a. Pembuatan Peta Rawan Bencana


Terumbu karang, sand dunes, b. Penyusunan Peta Kerentanan
vegetasi (hutan) c. Analisis dan Penyusunan Peta Risiko Bencana
d. Peraturan Perundangan
2. BUATAN e. Rencana Aksi Penanggulangan Bencana
Pemecah gelombang f. Pengarusutamaan penanggulangan bencana
(breakwater), tembok laut dalam perencanaan pembangunan
(seawall), krib (groin), jetty, g. Sistim Peringatan Dini
tanggul, sudetan, kolam, h. Relokasi, Tata Ruang, Zonasi, Tata Guna Lahan
resapan air, konstruksi i. Penyadaran Masyarakat
pelindung bencana, shelter, j. Pelatihan/Penyuluhan
Instalasi Pengolah Limbah k. AMDAL
l. Pengentasan Kemiskinan
m.ICZM
n. Kelembagaan mitigasi bencana

Sumber: DiposaptonoS. & Budiman (2008). Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami. Bogor: Sarana
Komunikasi Utama
Tabel 2.3

18
Kegiatan Struktur/Fisik untuk Mitigasi terhadap Setiap Jenis Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
No Jenis Bencana Kegiatan Struktur/Fisik Keterangan
1 Gempa Bumi Penggunaan konstruksi bangunan
tahan gempa;

Penyediaan tempat logistik;

Penyediaan prasarana dan sarana Prasarana dan sarana kesehatan antara lain rumah sakit, mobil ambulans, obat-obatan, peralatan
kesehatan; dan medis, dan paramedis.

Penyediaan prasarana dan sarana Prasarana dan sarana evakuasi antara lain berpa papan informasi evakuasi, jalur evakuasi, tangga
evakuasi. evakuasi, dan tempat penampungan

2 Tsunami Penyediaan sistem peringatan dini; Sistem peringatan dini antara lain alat pengirim dan penerima informasi yang disediakan oleh
instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberian peringatan dini tsunami sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penggunaan bangunan peredam Bangunan peredam tsunami antara lain tembok laut, break water, tanggul laut.
tsunami;

Penyediaan fasilitas penyelamatan diri; Fasilitas penyelamatan diri antara lainshelter, bukit buatan, jalur dan tempat evakuasi, serta papan
informasi.

Penggunaan konstruksi bangunan Konstruksi bangunan ramah bencana tsunami adalah bangunan dengan bentuk panggung
ramah bencana tsunami;

Penyediaan prasarana dan sarana


kesehatan;

Vegetasi pantai; dan Vegetasi pantai adalah tanaman yang hidup di wilayah pesisir, seperti mangrove, cemara laut,
ketapang, waru laut, dan butun.

Pengelolaan ekosistem pesisir. Ekosistem pesisir adalah kesatuan komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, organisme, dan
non organism lain di wilayah pesisir serta proses yang menghubungkannya yang membentuk
keseimbangan, stabilitas dan produktivitas suatu sistem saling ketergantungan (fungsi dan interaksi)
antara hewan, tumbuhan dan organisme serta lingkungan di wilayah pesisir.

3 Gelombang Ekstrim Penyediaan sistem peringatan dini; Sistem peringatan dini antara lain alat pengirim dan penerima informasi

Penggunaan bangunan peredam Bangunan peredam gelombang ekstrim antara lain tembok laut, break water, tanggul laut.
gelombang ekstrim;

Vegetasi pantai; dan


MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
Lanjutan Tabel 2.3
No Jenis Bencana Kegiatan Struktur/Fisik Keterangan
Pengelolaan ekosistem pesisir

4 Gelombang Laut Berbahaya Penyediaan sistem peringatan dini Sistem peringatan dini antara lain alat pengirim dan penerima informasi.

5 Letusan Gunung Api Penyediaan sistem peringatan dini; Sistem peringatan dini antara lain alat pengirim dan penerima informasi

Penyediaan bunker;

Pembangunan jalur lahar; dan

Penyediaan prasarana dan sarana


evakuasi

6 Banjir Penyediaan sistem peringatan dini; Sistem peringatan dini antara lain alat pengirim dan penerima informasi

Pembangunan bangunan Bangunan pengendalian banjir antara lain tanggul, sumur resapan, bendungan, waduk, poldier,
pengendalian banjir; dan sudetan, kanal, kolam penampungan, dan pintu air.

Penyediaan prasarana dan sarana


evakuasi.

7 Kenaikan Paras Muka Air Pembangunan bangunan pelindung Bangunan pelindung pantai antara lain tanggul, tembok laut, dan hasil reklamasi.
Laut pantai;

Penyediaan pompa air;

Penggunaan konstruksi bangunan Bangunan yang beradaptasi pada kenaikan paras muka air laut antara lain berupa rumah panggung
yang beradaptasi pada kenaikan paras
muka air laut;

Vegetasi pantai; dan

Pengelolaan ekosistem pesisir.

8 Tanah Longsor Perkuatan lereng Perkuatan lereng antara lain pemasangan angkur penguat batuan pada bidang-bidang batuan,
pemasangan tembok penahan tanah.

Pembangunan jaringan drainase


lereng; dan

19
20
Lanjutan Tabel 2.3

— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
No Jenis Bencana Kegiatan Struktur/Fisik Keterangan
Pengaturan geometri lereng dengan
pelandaian lereng atau pembuatan
terasering

9 Erosi Pantai Pembangunan bangunan pelindung


pantai;

Peremajaan pantai;

Vegetasi pantai; dan

Pengelolaan ekosistem pesisir.

10 Angin Puting Beliung Penyediaan sistem peringatan dini Sistem peringatan dini antara lain alat pengirim dan penerima informasi

Penggunaan konstruksi tahan angin;


dan

Penanaman vegetasi pantai

Sumber: PP No. 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 21

Sedangkan kegiatan nonstruktur/nonfisik untuk mitigasi bencana meliputi:


a. penyusunan peraturan perundang-undangan yang meliputi kegiatan
penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) mitigasi
bencana;
b. penyusunan peta rawan bencana yang dilakukan berdasarkan potensi
bencana atau ancaman bahaya;
c. penyusunan peta risiko bencana yang dilakukan berdasarkan aspek
kerentanan, potensi bencana atau ancaman bahaya dan tingkat
kemampuan serta kapasitas pemangku kepentingan dan kelembagaan;
d. penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang meliputi
kegiatan kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan
yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan.atau
kegiatan;
e. penyusunan tata ruang yang meliputi kegiatan penyusunan rencana tata
ruang yang terdiri atas pola ruang dan struktur ruang daratan berbasis
mitigasi bencana;
f. penyusunan zonasi yang meliputi kegiatan penyusunan rencana zonasi
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di perairan berbasis mitigasi
bencana; dan
g. pendidikan, penyuluhan, dan penyadaran masyarakat yang dilakukan
melalui latihan, gladi, simulasi, lokakarya serta peningkatan kesiapsiagaan
masyarakat mengenai upaya mengurangi risiko bencana.

Mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan


tingkat risikonya dapat dilihat pada Tabel 2.4

Tabel 2.4
Mitigasi Bencana berdasarkan Tingkat Risiko

No Tingkat Risiko Fokus Kegiatan Mitigasi Bencana

1. Tinggi Kegiatan nonstruktur/nonfisik

Kombinasi kegiatan nonstruktur/nonfisik dengan fisik/


2. Sedang
struktur sesuai dengan kondisi dan karakter wilayah

3. Rendah Kegiatan struktur/fisik


Sumber: PP No. 64 tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Penanggulangan bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada


dasarnya mengadopsi salah satu atau kombinasi strategi-strategi berikut :
1) Pola protektif, yaitu dengan membuat bangunan pantai secara langsung
“menahan proses alam yang terjadi”.
22 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

2) Pola adaptif, yakni berusaha menyesuaikan pengelolaan pesisir dengan


perubahan alam yang terjadi.
3) Pola mundur (retreat) atau do-nothing, dengan tidak melawan proses
dinamika alami yang terjadi, tetapi “mengalah” pada proses alam dan
menyesuaikan peruntukan sesuai dengan kondisi perubahan alam yang
terjadi.

Berdasarkan PP Nomor 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di


Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil dan Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (2012) tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko
Bencana, analisis yang dibutuhkan dalam penentuan risiko bencana adalah
sebagai berikut:
1) Analisis bahaya untuk mengidentifikasi luasan lokasi yang akan terkena
dampak bencana. Keluaran dari analisis ini adalah Indeks Ancaman
Bencana dan Indeks Penduduk Terpapar.
2) Analisis kerentanan untuk mengidentifikasi dampak terjadinya bencana
baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Analisis ini dibagi-
bagi menjadi kerentanan sosial, ekonomi, fisik dan ekologi/lingkungan.
Kerentanan sendiri dapat didefinisikan sebagai exposure dikalikan
dengan sensitivity. Aset-aset yang terekspos termasuk kehidupan
manusia (kerentanan sosial), wilayah ekonomi, struktur fisik dan wilayah
ekologi/lingkungan. Setiap aset memiliki sensitivitas sendiri, yang
bervariasi berdasarkan masing-masing bencana.
3) Analisis tingkat ketahanan untuk mengidentifikasi kemampuan Pemerintah
serta masyarakat pada umumnya untuk merespon terjadinya bencana
sehingga mampu mengurangi dampaknya. Analisis ini menghasilkan
Indeks Kapasitas. Indeks ini diperoleh berdasarkan tingkat ketahanan
daerah pada suatu waktu. Tingkat Ketahanan Daerah bernilai sama untuk
seluruh kawasan pada suatu kabupaten/kota yang merupakan lingkup
kawasan terendah kajian kapasitas ini.

Ketiga analisis diatas selanjutnya diformulasikan sehingga menghasilkan

risiko bencana. Secara matematis, hubungan ketiga analisis tersebut untuk


menghasilkan risiko bencana dapat dilihat dalam persamaan berikut:
Dimana:
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 23

R : risiko bencana (risk)


H : ancaman bahaya (hazard)
V : kerentanan (vulnerability)
C : kemampuan merespon(capacity)

Selanjutnya, bentuk spasial dari data risiko bencana alam ini digunakan
sebagai input data tematik dalam penyusunan Rencana Zonasi Pesisir dan
Pulau-pulau kecil.

2.1.4 Mitigasi Bencana dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil (RZWP3K)
(sumber: Modul 3 – RZWP3K Berbasis Mitigasi Bencana, Direktorat Tata
Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Ditjen Kelautan, Pesisir, dan PPK,
Kementerian Kelautan dan Perikanan)

UU No. 27 Tahun 2007 mengamanatkan bahwa pemerintah daerah wajib


menyusun perencanaan pengelolaan WP3K dengan memasukkan dan
melaksanakan mitigasi bencana. Dari empat dokumen perencanaan
(RSWP3K, RZWP3K, RPWP3K dan RAWP3K), dokumen RZWP3K perlu
mendapatkan perhatian khusus, karena dalam penentuan alokasi ruang
digunakan data spasial (peta) risiko bencana sebagai salah satu masukannya.
Dengan menggunakan peta risiko bencana sebagai salah satu masukan,
dapat dikatakan bahwa alokasi ruang dalam RZWP3K telah memasukkan
aspek mitigasi bencana.Mitigasi bencana harus menjadi pertimbangan
dalam penyusunan RZWP3K, karena merupakan salah satu upaya dari fungsi
perlindungan yang menjadi dasar pertimbangan penyusunan rencana ini.

RZWP3K merupakan salah satu perangkat nonfisik (nonstruktur) dari mitigasi


bencana. Penerapan konsep mitigasi bencana dapat dilihat pada saat proses
penentuan alokasi ruang yang optimal dimana peta risiko bencana menjadi data
tematik utama sebagai input dalam proses ini. Penggunaan peta risiko bencana
dalam penyusunan alokasi ruang RZWPK dapat dilihat pada Gambar 2.2.
24 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Gambar 2.2. Diagram Alir Penentuan Alokasi Ruang WP3K

Sumber: Modul 3 – RZWP3K Berbasis Mitigasi Bencana, Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,
Ditjen Kelautan, Pesisir, dan PPK, Kementerian Kelautan dan Perikanan

Zona-zona yang dihasilkan dalam proses penyusunan RZWP3K (lihat kembali


Gambar 2.2) wajib telah mempertimbangkan aspek kebencanaan, sehingga
terwujud rencana alokasi ruang WP3K yang tahan terhadap bencana seperti
diilustrasikan dalam Gambar 2.3. Dengan penerapan konsep mitigasi
bencana, RZWP3K tidak hanya mampu memberikan arahan pemanfaatan
sumberdaya secara spasial akan tetapi juga mampu memberikan perspektif
yang unggul dalam menanggulangi dampak dari bencana dan melestarikan
lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 25

Gambar 2.3
Ilustrasi Pembagian Zona yang Mempertimbangkan Aspek Kebencanaan

Sumber : Diposaptono S., Budiman, dan F. Agung (2009). Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil. Bogor: Sarana Komunikasi Utama.

Salah satu aplikasi penerapan mitigasi bencana dalam pengalokasian


ruang WP3K adalah sempadan pantai. Sempadan pantai berfungsi sebagai
perlindungan terhadap gempa dan/atau tsunami; perlindungan pantai dari
erosi atau abrasi; perlindungan sumber daya buatan di pesisir dari badai,
banjir, dan bencana alam lainnya; perlindungan terhadap ekosistem pesisir,
seperti lahan basah, mangrove, terumbu karang, padang lamun, gumuk pasir,
estuaria, dan delta.Batas sempadan pantai ditetapkan berdasarkan karakteristik
topografi, biofisik, hidro-oseanografi pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya,
serta ketentuan lain yang mempertimbangkan aspek-aspek mitigasi bencana,
diantaranya adalah tingkat risiko bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil.
Contoh RZWP3K yang telah memasukkan mitigasi bencana adalah RZWP3K
Kota Pekalongan yang sudah memasukkan mitigasi bencana rob dan
RZWP3K Provinsi Sumatera Barat yang sudah memasukkan mitigasi bencana
tsunami1. Selain itu, dalam rencana tata ruang Kota Padang sudah ditetapkan
jalur-jalur evakuasi.

1
Diskusi denganBapak Aris Kabul, Kasubdit Informasi dan Evaluasi Spasial, Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil, Ditjen Kelautan, Pesisir, dan PPK, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
26 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

2.1.5 Contoh Aplikasi Mitigasi Bencana dalam Perencanaan PWP3K


Greenbelt, Salah Satu Upaya Mitigasi Bencana Tsunami
(sumber: Mitigasi Bencana Tsunami, Dr. Ir. Subandono Diposantono, Direktur
Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil)

Sebagian wilayah pesisir Indonesia merupakan wilayah yang rawan tsunami.


Gambar 2.4 menunjukan wilayah pesisir dengan indeks risiko bencana
tsunami yang tinggi, mulai dari pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa,
pantai selatan Nusa Tenggara dan sebagian pantai utara Nusa Tenggara,
kepulauan Maluku, sebagian Kalimantan, Sulawesi, dan sebagian Papua.

Wilayah pesisir tersebut memiliki pantai yang didominasi oleh pasir dengan
energi gelombang laut yang cukup tinggi.Kondisi ini kurang cocok ditanami
mangrove (Diposaptono S.,2008). Padahal hutan mangrove merupakan
greenbelt (sabuk pantai) yang menjadi benteng pertahanan wilayah pesisir
dari gelombang pasang, tsunami, atau ancaman lain dari arah laut.

Peran atau fungsi sabuk pantai dalam mereduksi tsunami adalah sebagai
berikut:
1. Sebagai perangkap, yaitu untuk menghentikan kayu yang hanyut (pohon
tumbang, dll.), reruntuhan (rumah yang hancur, dll.) dan puing lainnya
(perahu, dll);
2. Sebagai peredam energi tsunami, yaitu efek untuk mengurangi kecepatan
aliran air, tekanan aliran, dan kedalaman genangan air;
3. Sebagai pegangan, yaitu untuk menjadi sarana penyelamatan diri bagi
orang-orang yang tersapu oleh tsunami dengan cara berpengangan
pada cabang-cabang pohon;
4. Sebagai sarana melarikan diri, dengan cara memanjat pohon dari tanah
atau dari suatu bangunan;
5. Sebagai pembentuk gumuk pasir, yaitu untuk mengumpulkan pasir yang
tertiup angin dan membentuk gumuk/bukit, yang bertindak sebagai
penghalang alami terhadap tsunami.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 27

Peta Indeks Risiko Bencana Tsunami


Gambar 2.4

Sumber: IRBI (draft), 2013.


28 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Contoh sabuk hijau pantai untuk meredam tsunami dapat dilihat pada
Gambar 2.5.

Gambar 2.5
Contoh Sabuk Hijau di Lahan Reklamasi untuk Meredam Tsunami

Sumber: Dr. Ir. Subandono Diposantono, Mitigasi Bencana Tsunami.

Saat ini kajian aspek teknis terhadap fungsi dan peran vegetasi pantai
sebagai pelindung daerah pantai masih tergolong sangat kurang dilakukan
di Indonesia yang diketahui sebagai salah satu negara yang pernah memiliki
hutan pantai terbesar kedua di dunia (Diposaptono S., 2008).Wilayah pesisir
yang kurang cocok ditanami mangrove tetap dapat memiliki sabuk pantai.
Pada wilayah pesisir tersebut lebih cocok untuk vegetasi non mangrove,
seperti cemara, kelapa, ketapang, waru laut, dan lain sebagainya. Dengan
konfigurasi vegetasi dan ketebalan serta kerapatan tertentu, sabuk pantai
yang terbentuk akan bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat.

Aspek yang juga penting dalam hal konservasi sabuk pantai ini adalah
peran masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam menjaga
lingkungan, memelihara keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan
kelestarian fungsi lingkungan hidup dan memberikan informasi jika terjadi
bahaya dan/atau perusakan lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 29

Salah satu contoh kegiatan mitigasi bencana tsunami yang telah dilakukan
adalah di Pacitan2. Kawasan pesisir Pacitan memiliki potensi tsunami 6-10
meter. Kawasan pesisir yang memiliki tingkat kerawanan tsunami yang tinggi
sebaiknya tidak dijadikan kawasan budidaya (zona pemanfaatan umum),
tetapi menjadi zona konservasi. Kegiatan mitigasi yang dilakukan antara
lain adalah membuat vegetasi pantai dengan penanaman cemara udang.
Kawasan tersebut masih diperbolehkan sebagai kawasan pariwisata, tetapi
yang berbasis konservasi. Saat ini kawasan tersebut berkembang menjadi
kawasan ekowisata.

2.1.6 Keterkaitan RZWP3K dengan RTRW


UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 6 ayat (5) menyatakan
ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang-undang
tersendiri. Berdasarkan ayat ini maka keluarlah UU No. 27 tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil3.

Sesuai dengan UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir


dan Pulau-pulau Kecil terdapat tiga struktur yang menyusun pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yakni perencanaan; pemanfaatan;
serta pengawasan dan pengendalian. Khusus struktur perencanaan memuat
perencanaan yang bersifat spasial (keruangan), yaitu rencana zonasi
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K)4. Lebih lanjut sebagaimana
diatur dalam Pasal 9 Ayat (2) UU No. 27 tahun 2007, RZWP3K diserasikan,
diselaraskan, dan diseimbangkan dengan RTRW provinsi atau kabupaten/
kota (lihat Gambar 2.6).

2
Diskusi dengan Bapak Andi Rusandi, Kasubdit Pengelolaan Ekosistem Pulau-Pulau Kecil (PEP2K), Direktorat Pendayagu-
naan Pulau-Pulau Kecil, Ditjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan, 7 April 2014.
3
Diskusi dengan Bapak Aris Kabul, Kasubdit Informasi dan Evaluasi Spasial, Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil, Ditjen Kelautan, Pesisir, dan PPK, Kementerian Kelautan dan Perikanan, 7 April 2014.
4
Dr. Ir. Subandono Diposaptiono, M.Eng, Direktur Tata Ruang Pesisir dan Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan
Perikanan.“Penyelarasan RZWP3K dan RTRW”.dalam Buletin Tata Ruang dan Pertanahan, edisi I tahun 2013.
30 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Gambar 2.6
Keterkaitan Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Penataan Ruang

Sumber: Hasil Analisis

Sesuai dengan arahan dalam UU tersebut di atas, maka pengaturan ruang


darat di wilayah pesisir mengikuti muatan penataan ruang dalam RTRW
Kabupaten/Kota yang sesuai secara administratif.Sementara untuk wilayah
perairan, RZWP3K berposisi sebagai dokumen pengelolaan tersendiri yang
memuat alokasi detail dari kawasan laut sesuai kebutuhan pengelolaan
WP3K5.Hal ini sesuai dengan pertimbangan karakteristik dan cakupan
kepentingan pengelolaan sumberdaya laut yang dinamis dan saling terkait,
sehingga untuk perairan laut di wilayah pesisir menggunakan acuan UU
No. 27 tahun 2007. Dengan demikian sesuai UU tersebut, dalam RZWP3K di
perairan laut wilayah pesisir menggunakan istilah pola ruang yang ada dalm
UU No. 27 tahun 2007; sedangkan dalam RZWP3K di daratan wilayah pesisir
digunakan istilah pola ruang yang ada dalam RTRW sesuai UU No. 26 tahun
20076.

Penyerasian, penyelarasan, dan penyeimbangan antara RZWP3K dengan


RTRW dilakukan pada saat proses penyusunan RZWP3K khusus untuk

5
Ir. Iman Soedradjat, MPM, Direktur Penataan Ruang Wilayah Nasional, Kementerian Pekerjaan Umum. “Penyelarasan
RZWP3K dan RTRW”.dalam Buletin Tata Ruang dan Pertanahan, edisi I tahun 2013.
6
Dr. Ir. Subandono Diposaptiono, M.Eng. Ibid.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 31

perbatasan alokasi ruang daratan – perairan dan alokasi ruang daratan pesisir
(kecamatan pesisir) dengan pengaturan sebagai berikut7:

n Guna menghindari tumpang tindih pengaturan ruang maka alokasi ruang


daratan pesisir dalam RZWP3K mengacu pada Perda RTRW. Dalam diskusi
di BKPRN, diarahkan agar RZWP3K mengadopsi semua arahan yang telah
ada dalam RTRW untuk kecamatan pesisir.
n Apabila terdapat perbedaan hasil rencana dari hasil kajian RZWP3K pada
alokasi ruang daratan pesisir RTRW, diperlukan proses integrasi pada saat
peninjauan kembali Perda RTRW.
n Dalam hal perda RTRW sedang disusun, maka hasil kajian RZWP3K dapat
memberi masukan/rekomendasi dalam menentukan alokasi ruang
daratan pesisir RTRW.

Sedangkan untuk ruang laut (ruang daratan-perairan), RZWP3K dapat


menjadi rencana zonasi untuk kawasan laut, yang kemudian dapat menjadi
masukan bagi proses penyusunan atau peninjauan kembali RTRW provinsi,
kabupaten/kota, khususnya untuk ruang laut8.

Salah satu contoh adanya konflik/perbedaan antara arahan RTRW dengan


RZWP3K adalah kasus Kabupaten Batang. Pemerintah dan swasta berniat
membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Sementara Pemerintah
Daerah Kabupaten Batang sudah menyusun rencana kawasan konservasi
perairan daerah. Kasus ini sampai dibawa ke PTUN. Dokumen final dari
rencana kawasan konservasi tersebut harus dikirim ke Menteri KKP. Akhirnya
diarahkan untuk direvisi dengan memberikan ruang bagi pembangunan
PLTU dan alur laut pelayarannya.
Isu yang juga muncul terkait dengan RTRW dan RZWP3K adalah mengenai
penetapannya. Apakah ditetapkan terpisah dalam Peraturan Daerah (Perda)
RTRW dan Perda RZWP3K, atau dapat ditetapkan dalam satu Perda RTRW
mengingat pada saat pembahasan di Badan Koordinasi Penataan Ruang
Nasional (BKPRN), Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan salah
satu anggotanya? Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat 2 (dua) opsi
untuk penetapan RTRW dan RZWP3K dengan Perda9:

7
Diskusi dengan Bapak Aris Kabul, Kasubdit Informasi dan Evaluasi Spasial, Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil, Ditjen Kelautan, Pesisir, dan PPK, Kementerian Kelautan dan Perikanan, 7 April 2014
8
Ir. Iman Soedradjat, MPM. Ibid.
9
Diskusi Bapak Aris Kabul, 7 April 2014.
32 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

n Saat keduanya belum disusun, maka penetapan RTRW maupun RZWP3K


dapat diintegrasikan dalam satu (1) Perda. Contoh: RTRW dan RZWP3K
Sumatera Barat yang diintegrasikan dalam satu Perda.
n Apabila salah satu sudah disusun, sementara satunya lagi belum, maka
masing-masing ditetapkan dalam Perda tersendiri.

Dalam upaya meningkatkan harmonisasi, sinergitas, dan integrasi antara


RZWP3K dengan RTRW, maka akan dilakukan perubahan ke depan dalam
proses penyusunan RZWP3K. Dalam Rakornas BKPRN dibahas bahwa untuk
ke depannya sebaiknya RZWP3K juga dibahas di dalam BKPRN10. Hal ini
memang tidak diatur dalam UU No. 27 tahun 2007. UU No. 27 tahun 2007
pasal 14 mengatur bahwa dokumen final perencanaan Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil harus diberikan kepada Menteri Kelautan
dan Perikanan untuk mendapatkan tanggapan dan/atau saran (bukan
persetujuan substansi seperti dalam proses penyusunan RTRW). Namun
rencananya ke depan hal tersebut akan diubah, yaitu dokumen final dibahas
dalam forum BKPRN dulu, baru kemudian setelah itu Menteri Kelautan dan
Perikanan mengeluarkan tanggapan berdasarkan hasil pembahasan di
BKPRN tersebut. Rencananya tahun 2014 akan dikeluarkan SOP baru terkait
hal tersebut.

2.2 Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam Rencana Tata Ruang dan
Keterkaitannya dengan Mitigasi Bencana
2.2.1 Dasar Hukum
Kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) menurut UU No 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) adalah
rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk
memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar
dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan,
rencana, dan/atau program.

Dalam UU No. 32 tahun 2009 disebutkan bahwa KLHS merupakan salah satu
instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
(pasal 14).Oleh karenanya, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat
KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah
menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau
kebijakan, rencana, dan/atau program (pasal 15 ayat 1).

10
Diskusi Bapak Aris Kabul, 7 April 2014.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 33

Sebagai acuan untuk pelaksanaan KLHS, Kementerian Lingkungan Hidup


(KLH) mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 9
tahun 2011 tentang Pedoman Umum Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS). Peraturan ini mengatur mekanisme umum penyusunan KLHS.
Berdasarkan pedoman umum tersebut, Kementerian/Lembaga terkait
menyusun pedoman pelaksanaan KLHS yang spesifik untuk masing-
masing Kementerian/Lembaga. Kementerian Dalam Negeri telah menyusun
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 67 tahun 2012 tentang Pedoman
Pelaksanaan KLHS dalam Penyusunan atau Evaluasi Rencana Pembangunan
Daerah. Saat ini Kementerian Pekerjaan Umum juga sedang dalam proses
penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang
Pedoman Pelaksanaan KLHS dalam Penyusunan atau Peninjauan Kembali
Rencana Tata Ruang.

2.2.2 Penyelenggaraan KLHS dalam Rencana Tata Ruang


I. Umum
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS ke dalam
penyusunan atau evaluasi:
a. rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya pada tingkat
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota;
b. rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), dan rencana pembangunan
jangka menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan
c. kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi menimbulkan
dampak dan/atau risiko lingkungan hidup.

Untuk penyusunan dan evaluasi kebijakan, rencana, dan/atau program yang


terkait penataan ruang, kewajiban penyelenggaraan KLHS melekat pada
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang. Dalam PP ini telah diatur bahwa penyusunan rencana tata
ruang harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis. Dalam PP tersebut
disebutkan bahwa rumusan konsepsi rencana tata ruang wilayah harus
memperhatikan salah satunya faktor daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup (pasal 27 untuk RTRW Provinsi, pasal 32 untuk RTRW
kabupaten, dan pasal 35 untuk RTRW Kota). Selanjutnya KLHS menjadi alat
dalam penentuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup (pasal
27, 32, 35, 61 dan 67). Hal tersebut sesuai dengan UU PPLH yang mewajibkan
penyelenggaraan KLHS dalam penyusunan dan evaluasi atau peninjauan
kembali rencana tata ruang dengan memperhatikan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup.
34 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Sedangkan pengintegrasian KLHS secara teknis untuk RPJP/RPJM pada


tingkat nasional akan ditentukan lebih lanjut oleh Bappenas, dan pada tingkat
provinsi dan kabupaten/kota oleh Kementerian Dalam Negeri (Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 67 tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan
KLHS dalam Penyusunan atau Evaluasi Rencana Pembangunan Daerah).

Penyelenggraan KLHS mengacu pada pedoman yang diatur dalam Peraturan


Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 09 Tahun 2011 tentang Pedoman
Umum Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Berdasarkan Permeneg LH
No. 09 tahun 2011, tahapan pelaksanaan KLHS terdiri atas dua tahap, yaitu
tahap penapisan dan tahap pelaksanaan KLHS.

A. Tahap Penapisan
Tahapan Penapisan KLHS diawali dengan mengidentifikasi apakah perlu
dilakukan KLHS terhadap suatu kebijakan, rencana, dan/atau program.
Kebijakan, rencana, dan/atau program yang wajib KLHS tanpa proses
penapisan adalah RTRW dan rencana rincinya, serta RPJP dan RPJM nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota. Secara teknis, proses penapisan dilakukan
dengan mempertimbangkan isu-isu pokok sebagai berikut:
1. perubahan iklim
2. kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati
3. peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor,
kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan;
4. penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam
5. peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan
6. peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan
penghidupan sekelompok masyarakat; dan/atau
7. peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia.

B. Tahap Pelaksanaan KLHS


KLHS dilaksanakan dengan mekanisme sebagai berikut:
1. Pengkajian Pengaruh Kebijakan, Rencana, dan/atau Program terhadap
Kondisi Lingkungan Hidup di Wilayah Perencanaan, dilaksanakan melalui
4 (empat) tahapan sebagai berikut:
a. Identifikasi masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya;
b. Identifikasi isu pembangunan berkelanjutan;
c. Identifikasi kebijakan, rencana, dan/atau program; dan
d. Telaahan pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program
terhadap kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 35

Isu-isu strategis pembangunan berkelanjutan dan kebijakan/rencana/


program ditelaah berdasarkan 6 (enam) kajian yang dimuat dalam pasal 16
UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UU PPLH), yaitu:
a) Kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk
pembangunan;
b) Perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;
c) Kinerja layanan/jasa ekosistem;
d) Efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
e) Tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan
iklim; dan
f ) Tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.

2. Perumusan Alternatif Penyempurnaan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program


Tujuan perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau
program untuk mengembangkan berbagai alternatif perbaikan muatan
kebijakan, rencana, dan/atau program dan menjamin pembangunan
berkelanjutan. Setelah dilakukan kajian, dan disepakati bahwa kebijakan,
rencana dan/atau program yang dikaji potensial memberikan dampak
negatif pada pembangunan berkelanjutan, maka dilakukan pengembangan
beberapa alternatif untuk menyempurnakan rancangan atau mengubah
kebijakan, rencana dan/atau program yang ada.

3. Rekomendasi Perbaikan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program dan


Pengintegrasian Hasil KLHS.
Tujuan rekomendasi adalah mengusulkan perbaikan muatan kebijakan,
rencana dan/atau program berdasarkan hasil perumusan alternatif
penyempurnaan kebijakan, rencana dan/atau program. Rekomendasi
perbaikan rancangan kebijakan, rencana, dan/atau program ini dapat
berupa:
a. perbaikan rumusan kebijakan;
b. perbaikan muatan rencana; dan
c. perbaikan materi program.
Selain berdasarkan pengaturan di atas, ada juga pengecualian Kebijakan/
Rencana/Program (K/R/P) yang boleh ditetapkan tanpa melakukan KLHS,
yaitu K/R/P untuk (a) tanggap darurat bencana, dan (b) tanggap darurat
pertahanan negara. Hal ini diatur dalam RPP tentang Penyelenggaraan
KLHS yang saat ini masih dalam proses penyusunan11.

11
Diskusi denganIbu Rima Yulianti, Kasubdit KLHS, Kementerian Lingkungan Hidup, 23 April 2014
36 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

II. KLHS dalam RTRW Provinsi


Bila ditelaah lebih lanjut, muatan KLHS berbeda dengan muatan analisis
aspek fisik dan lingkungan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang (RTR).
Permen PU No. 20/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknik Analisis Fisik dan
Lingkungan, Ekonomi, serta Sosial Budaya dalam PenyusunanRencana
Tata Ruang menyebutkan bahwa analisis aspek fisik dan lingkungan
adalah analisis untuk mengenali karakteristik sumber daya alam dengan
menelaah kemampuan dan kesesuaian lahan agar pemanfaatan
lahan dapat dilakukan secara optimal dengan tetap memperhatikan
keseimbangan ekosistem. Sementara KLHS dalam penyusunan RTR
lebih memfokuskan pada kajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau
program terhadap keberlangsungan lingkungan hidup yang tidak hanya
menyangkut ketersediaan sumber daya lahan. KLHS juga meliputi kajian
pengaruh terhadap kinerja ekosistem dan keanekaragaman hayati12.

Dalam Rapermen PU tentang Pedoman Pelaksanaan KLHS dalam


Penyusunan atau Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang (RTR),
disebutkan kedudukan pelaksanaan KLHS dalam penyusunan rencana
tata ruang adalah sebagai berikut (lihat Gambar 2.7):
1. Masukan pertimbangan lingkungan hidup pada tahap analisis
penyusunan RTR;
2. Masukan untuk perumusan kebijakan dan strategi RTR; dan
3. Pemberi rekomendasi alternatif rencana dan indikasi program, dan/
atau upaya pencegahan atau mitigasi dari rencana dan indikasi
program setelah kebijakandan strategi penataan ruang, rencana
jaringan infrastruktur dan arahan polaruang dirumuskan.

12
Rapermen PU tentang Pedoman Pelaksanaan KLHS dalam Penyusunan atau Peninjauan Kembali RTR
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 37

Gambar 2.7
Kedudukan KLHS dalam Penyusunan RTR

Sumber: Rapermen PU tentang Pedoman Pelaksanaan KLHS dalam Penyusunan


atau Peninjauan Kembali RTR

Dalam Rapermen PU tentang Pedoman Pelaksanaan KLHS dalam


Penyusunan atau Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang (RTR),
pelaksanaan KLHS dalam perencanaan tata ruang dibagi menjadi
beberapa tahap yang meliputi:

a. Tahap Persiapan
Tahap persiapan ini meliputi antara lain penyiapan dokumen
rancangan rencana yang akan dikaji; penyusunan format data dan
informasi yang akan dikumpulkan; penyiapan peta dasar guna lahan
yang sesuai dengan skala RTR; dan penyusunan jadwal kegiatan
pengumpulan data serta penyiapan tim survey ke lapangan.

b. Tahap Pra-pelingkupan
Tahap pra-pelingkungan bertujuan untuk menyusun informasi
dasar, melakukan kajian terhadap RTR, dan perumusan isu strategis
lingkungan hidup awal.
Kegiatan yang dilakukan pada tahap pra-pelingkupan ini meliputi:
1. Kegiatan penyusunan dan penyajian informasi dasar;
2. Kajian konsep pengembangan;
3. Perumusan isu lingkungan hidup awal.
38 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

c. Tahap Pelingkupan
Tahap pelingkupan bertujuan untuk memantapkan isu-isu strategis
lingkungan hidup dengan melakukan penilaian terhadap isu-isu
lingkungan hidup awal dan menetapkan isu strategis yang disepakati
oleh semua pemangku kepentingan.
Kegiatan yang dilakukan pada tahap pelingkupan adalah:
1. Penilaian dan penetapan isu strategis; dan
2. Konsultasi publik (pelibatan pemangku kepentingan).

d. Tahap Kajian Pengaruh


Tahap kajian pengaruh merupakan tahap analisis lanjutan setelah
isu-isu strategis disepakati dan betujuan untuk memperkirakan dan
menghitung besaran dampak dari isu strategis tersebut. Tahap ini
akan menghasilkan masukan alternative perbaikan muatan rencana
tata ruang, termasuk mencegah atau mengurangi dampak negatif
terhadap lingkungan hidup.

e. Tahap Perumusan Alternatif dan Rekomendasi


Tahap perumusan alternatif dan rekomendasi dilakukan terhadap
rencana yang disusun dengan pertimbangan hasil analisis dampak
lingkungan setelah tahap kajian pengaruh dilakukan. Rekomendasi
KLHS dapat bersifat spasial dan non-spasial. Rekomendasi tersebut
dapat berupa:
1. Alternative scenario perencanaan guna lahan dan infrastruktur, atau
2. Mitigasi terhadap dampak lingkungan yang potensial ditimbulkan
dari suatu rencana yang ditetapkan.

Proses pelaksanaan KLHS dapat dilakukan dengan 3 (tiga) pendekatan


yang terintegrasi, yakni satu kesatuan (embedded), parallel, dan setelah
(post).Dalam pelaksanaannya dapat dilakukan variasi dari ketiga
pendekatan tersebut yang disesuaikan dengan jadwal, anggaran, dan
karakter dari RTR (lihat Gambar 2.8).
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 39

Gambar 2.8
Penjabaran Proses dan Integrasi KLHS dalam Penyusunan RTR

Sumber: Rapermen PU tentang Pedoman Pelaksanaan KLHS dalam Penyusunan atau Peninjauan Kembali RTR

III. KLHS dalam RTR Kawasan Strategis Nasional


Khusus untuk Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN),
integrasi KLHS diatur dalam Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tentang
Pedoman Penyusunan RTR KSN. KLHS dilakukan dalam tahap kegiatan
pengolahan dan analisis data yang meliputi, antara lain:
a. Analisis daya dukung kawasan dan optimasi pemanfaatan ruang; dan
b. Analisis daya tampung kawasan.
Penyusunan KLHS ini dilakukan sesuai dengan tipologi KSN. Kedudukan
KLHS dalam tata cara proses penyusunan RTR KSN dapat dilihat pada
Gambar 2.9.

Secara umum tahap-tahap pelaksanaan KLHS pada penyusunan RTR


KSN ini sama dengan tahap-tahap pelaksanaan KLHS pada penyusunan
RTRW Provinsi di atas. Namun kedetilan informasi dasarnya dan muatan
KLHS berbeda tergantung jenis rencana dan skala rencana yang akan
disusun. Untuk RTR KSN berbasis objek, kedalaman informasinya lebih
detil sehingga dalam konsultasi publik sebaiknya melibatkan lapisan
masyarakat yang merasakan dampak pembangunan secara langsung.
40 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Gambar 2.9
Kedudukan KLHS dalam Tata Cara Proses Peyusunan RTR KSN

Sumber: Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan RTR KSN

2.2.3 KLHS dan Mitigasi Bencana dalam Rencana Tata Ruang


Terkait dengan kebencanaan, Permen LH No 09 Tahun 2011 tentang
Pedoman Umum KLHS tidak secara eksplisit menunjukkan keterkaitannya
dengan penyelenggaraan penanggulangan bencana. Namun, secara
substansial 7 (tujuh) isu-isu pokok yang dipertimbangkan dalam penapisan
KLHS sangat relevan dengan komponen-komponen kebencanaan. Hal ini
mengindikasikan bahwa KLHS sejalan dengan perencanaan penanggulangan
bencana. Keterkaitan penapisan KLHS (7 isu pokok) dengan perencanaan
penanggulangan bencana tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.5.

Untuk RTRW, tidak perlu melalui tahap penapisan, tetapi langsung ke tahap
pelaksanaan KLHS.Tahap pelaksanaan KLHS terdiri atas (a) tahap persiapan;
(b) tahap pra-pelingkupan; (c) tahap pelingkupan; (d) tahap kajian pengaruh;
dan (e) tahap perumusan alternatif dan rekomendasi. Keterkaitan KLHS
dengan upaya pengurangan risiko bencana melalui kajian risiko bencana
terutama terjadi pada tahap pra-pelingkupan, khususnya pada kegiatan
penyusunan dan penyajian informasi dasar yang meliputi aspek fisik
lingkungan dan lingkungan hidup, ekologis, serta sosial ekonomi. Pada tahap
pra-pelingkupan ini KLHS menjadi masukan pertimbangan lingkungan hidup
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 41

pada tahap analisis penyusunan RTR (lihat kembali Gambar 2.7).Dengan


demikian keterkaitan KLHS dengan rencana penanggulangan bencana
dalam penyusunan rencana tata ruang terjadi pada tahap pengumpulan,
pengolahan dan analisis data. Pada tahap ini pelaksanaan KLHS adalah
baselinedata dan pra-pelingkupan, sedangkan rencana penanggulangan
bencana dilakukan melalui kajian risiko bencana (Lihat Gambar 2.10).

Tabel 2.5
Keterkaitan Penapisan KLHS dengan Perencanaan Penanggulangan Bencana

Isu-isu Pokok Penapisan KLHS Perencanaan Penanggulangan Bencana


(Permen LH 09/2011) (PP 21/2008)

Perubahan iklim Perubahan Iklim berpotensi untuk menimbulkan bencana


“Hydrometrology” yang meliputi: banjir, kekeringan, kebakaran
hutan dan lahan, tanah longsor, abrasi dan cuaca ekstrim.

Kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah.


keanekaragaman hayati Hal tersebut juga dapat merupakan salah satu dampak negatif
kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh bencana

Peningkatan intensitas dan cakupan wilayah Merupakan peningkatan ancaman bencana


bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau banjir,longsor,kekeringan,dan/atau kebakaran hutan dan lahan
kebakaran hutan dan lahan yang merupakan komponen ancaman dalam kajian risiko
bencana.

Penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah
alam

Peningkatan alih fungsikawasan hutandan/atau Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah terhadap ancaman
lahan bencana banjir, tanah longsor, dan kekeringan

Peningkatan jumlah penduduk miskin atau Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah. Hal ini juga
terancamnya keberlanjutan penghidupan mengindikasikan peningkatan indeks jiwa terpapar dan kerugian
sekelompok masyarakat harta benda dari bencana.

Peningkatan risikoterhadap kesehatan Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah.


dankeselamatan manusia

Sumber: disadur dari “Kaji Ulang Pedoman Perencanaan Tata Ruang dalam rangka Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di
Indonesia” dengan perubahan.
42 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Gambar 2.10
Keterkaitan KLHS dan Kajian Risiko Bencana dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang

Pada tahap pra-pelingkupan ini juga dirumuskan isu-isu awal lingkungan


hidup yang kemudian akan dinilai dan dimantapkan menjadi isu-isu strategis
lingkungan hidup melalui pelibatan pemangku kepentingan pada tahap
pelingkupan. Aspek kebencanaan adalah salah satu isu strategis dalam
pembangunan berkelanjutan. Isu stategis terkait kebencanaan tersebut
antara lain dapat dilihat dari historical data, misalnya di suatu kawasan terjadi
banjir terus menerus setiap tahun dan memiliki kecenderungan semakin
parah dampaknya dan semakin luas lingkupnya13. Maka banjir di daerah
tersebut dapat dikategorikan sebagai isu strategis, dan karenanya menjadi
salah satu hal yang dikaji dalam pelaksanaan KLHS.

Penyelenggaraan KLHS bertujuan memastikan bahwa prinsip pembangunan


berkelanjutan menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu
wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Melalui KLHS,
potensi dampak dan/atau risiko lingkungan yang mungkin ditimbulkan
oleh suatu kebijakan, rencana, dan/atau program, sebelum pengambilan
keputusan dilakukan, dapat diantisipasi. Dengan demikian, melalui KLHS
dapat diminimalkan timbulnya dampak negatif suatu kebijakan, rencana,
dan/atau program. Hal ini tentunya sejalan dengan atau bahkan menguatkan
upaya pengurangan risiko bencana (mitigasi bencana). Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa aspek kebencanaan sangat relevan dengan KLHS
dalam penataan ruang.

13
Diskusi dengan Ibu Rima Yulianti, Kasubdit KLHS, Kementerian Lingkungan Hidup, 23 April 2014
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 43

2.2.4 Contoh Kajian Kebencanaan dalam KLHS untuk Rencana Tata Ruang
Sebagai contoh berikut ini disarikan penyelenggaraan KLHS dalam
penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN)
KAPET Bima (2003). Mekanisme yang digunakan sesuai dengan UU No. 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 9 tahun 2011 tentang
Pedoman Umum Pelaksanaan KLHS yang meliputi:

i. Pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap


kondisi lingkungan hidup di wilayah perencanaan, dilaksanakan melalui
4 (empat) tahapan sebagai berikut:
1. Identifikasi masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya;
2. Identifikasi isu pembangunan berkelanjutan;
3. Identifikasi kebijakan, rencana, dan/atau program;
4. Telaah pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap
kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah.

ii. Perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau


program, dengan tujuan untuk mengembangkan berbagai alternatif
perbaikan muatan kebijakan, rencana, dan/atau program dan menjamin
pembangunan berkelanjutan. Bentuk alternatif penyempurnaan tersebut
antara lain sebagai berikut:
1. Kebutuhan pembangunan;
2. Lokasi;
3. Proses, metode dan teknologi; dan
4. Jangka waktu dan tahapan pembangunan.

iii. Rekomendasi perbaikan kebijakan, rencana, dan/atau program dan


pengintegrasian hasil KLHS, yang dapat berupa:
1. Perbaikan rumusan kebijakan;
2. Perbaikan muatan rencana; dan
3. Perbaikan materi program.

Kerangka pikir penyusunan KLHS RTR KSN KAPET Bima dapat dilihat pada
Gambar 2.11. Dari kerangka pikir tersebut terlihat pembahasan kebencanaan
dalam KLHS dilakukan pada (i) pengkajian pengaruh kebijakan, rencana,
dan/atau program terhadap kondisi lingkungan hidup, khususnya pada
pengkajian kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
untuk pembangunan, serta (ii) tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi
terhadap perubahan iklim. Kebencanaan yang ada di KAPET Bima adalah
Gempa Bumi, Tsunami, Letusan Gunung Berapi, Longsor, Banjir, dan Erosi.
44 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Ancaman bencana ini perlu diperhatikan dalam pengembangan komoditas


unggulan, yaitu dengan memperhatikan perilaku dan pengaruh bencana
tersebut sehingga dapat dirumuskan mitigasi bencananya. Lihat Tabel 2.6
dan Gambar 2.12.
Tabel 2.6
Keterkaitan Komoditas Unggulan dengan Rawan Bencana di KAPET Bima
Komoditas Jenis Bencana Lokasi Program
Sapi Gempa Bumi - Kota Bima - Tambora Diberikan informasi, peramalan dan peringatan
- Dompu - Pulau Sangeang dini
Letusan Gunung - Kota Bima - Tambora Diberikan informasi, peramalan dan peringatan
berapi - Dompu - Pulau Sangeang dini
Longsor - Tambora - Paradowane Pemilihan lokasi peternakan/kandang pada areal
- Ranggo - Kota Bima datar
Banjir - Raba - Karumbu - sistem pembuatan kandang bertingkat
- Sori Wawo - Lambu didaerah rawan banjir
- Maria - Wera - pembuatan saluran drainase/sodetan
- Sape
Jagung Tsunami - Dompu - Kilo - Diberikan informasi, peramalan dan peringatan
- Maria - Hu'u dini
- Raba - Sape - Pembuatan tanggul pemecah ombak untuk
mencegah abrasi air laut
Letusan Gunung - Kota Bima - Tambora Diberikan informasi, peramalan dan peringatan
berapi - Dompu - Pulau Sangeang dini
Longsor - Tambora - Paradowane - Agroforestri dengan penanaman tanaman
- Ranggo - Kota Bima pohon penahan erosi/longsor penahan erosi/
longsor
- Sistem terasiring pada areal yang kemiringanya
> 15%
- Penanaman vetiver disekitar tebing
Banjir - Raba - Karumbu Pembuatan saluran drainase/sodetan daerah
- Sori Wawo - Lambu rawan banjir
- Maria - Wera
- Sape
Kekeringan - Pupu - Paradowane - Diberikan informasi, peramalan dan peringatan
- Hu'u - Sape dini
- Pembuatan embung/waduk
Tsunami - Hu'u - Lambu - Diberikan informasi, peramalan dan peringatan
- Sape dini
- Pembuatan tanggul pemecah ombak untuk
mencegah abrasi air laut
Sumber: KLHS RTR KSN KAPET Bima, Kementerian Pekerjaan Umum, DJ. Penataan Ruang, 2013

Kajian kebencanaan ini merupakan salah satu masukan dalam perumusan


alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau program dalam RTR
KSN KAPET Bima.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
Gambar 2.11
Kerangka Pikir Penyusunan KLHS RTR KSN KAPET Bima

Sumber: KLHS RTR KSN KAPET Bima, Kementerian Pekerjaan Umum, DJ. Penataan Ruang, 2013

45
46
Gambar 2.12
Peta Overlay Rawan Bencana dan Komoditas

— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Sumber: KLHS RTR KSN KAPET Bima, Kementerian Pekerjaan Umum, DJ. Penataan Ruang, 2013
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 47

BAB 3
Pengarusutamaan Pengurangan
Risiko Bencana ke dalam Penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
48 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 49

BAB 3
Pengarusutamaan Pengurangan
Risiko Bencana ke dalam Penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
3.1 Dasar Hukum Pengintegrasian
Perlunya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan
Rencana Tata Ruang Provinsi dilandaskan pada peraturan perundang-undangan,
sebagai berikut:
1. Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
a. Pasal 3 beserta penjelasannya. Pasal 3 menyebutkan “Penyelenggaraan
penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara
dan Ketahanan Nasional …..”
Dalam penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “aman” adalah
situasi masyarakat dapat menjalankan aktivitas kehidupannya dengan
terlindungi dari berbagai ancaman.
b. Penjelasan umum butir 2 dari Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang yang berbunyi: “……, Indonesia berada pula pada kawasan
rawan bencana, yang secara alamiah dapat mengancam keselamatan bangsa.
Dengan keberadaan tersebut, penyelenggaraan penataan ruang wilayah
nasional harus dilakukan secara komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu,
efektif, dan eisien dengan memperhatikan faktor politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan, keamanan, dan kelestarian lingkungan hidup.”

2. Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;


a. Pasal 35 (f) menyebutkan “Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam
situasi tidak terjadi bencana meliputi (salah satunya) pelaksanaan dan penegakan
rencana tata ruang.” Hal ini kemudian dijelaskan lebih lanjut pada pasal 42 ayat
(1): “Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang dilakukan untuk mengurangi
risiko bencana yang mencakup pemberlakuan peraturan tentang penataan ruang,
standar, keselamatan, dan penerapan sanksi terhadap pelanggar.”
50 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

b. Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pasal


47 ayat (2) juga mengatur “Kegiatan mitigasi bencana dilakukan melalui (a)
pelaksanaan penataan ruang.”

3. Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional;
a. Pasal 2 beserta penjelasannya: “Penataan ruang wilayah nasional bertujuan
untuk mewujudkan (a) ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif,
dan berkelanjutan;” dan yang dimaksud dengan “aman” adalah situasi
masyarakat dapat menjalankan aktivitas kehidupannya dengan terlindungi
dari berbagai ancaman.
b. Pasal 7 ayat (3) “Strategi untuk pencegahan dampak negatif kegiatan manusia
yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup meliputi: butir (g)
mengembangkan kegiatan budidaya yang mempunyai daya adaptasi bencana
di kawasan rawan bencana.”
c. Pasal 8 ayat (3) “Strategi untuk pengendalian perkembangan kegiatan budi daya
agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan meliputi: (a)
membatasi perkembangan kegiatan budi daya terbangun di kawasan rawan
bencana untuk meminimalkan potensi kejadian bencana dan potensi kerugian
akibat bencana;”
d. Pasal 51: “Kawasan lindung nasional terdiri atas: (d) kawasan rawan bencana
alam;”
e. Pasal 52 ayat (4) “Kawasan rawan bencana alam terdiri atas kawasan rawan
tanah longsor; kawasan rawan gelombang pasang; dan kawasan rawan banjir”
dan ayat (5) Kawasan lindung geologi terdiri atas kawasan cagar alam geologi;
kawasan rawan bencana alam geologi; dan kawasan yang memberikan
perlindungan terhadap air tanah.” Hal ini kemudian dijelaskan lebih lanjut
pada pasal 58. Kawasan rawan bencana alam geologi dijelaskan pada pasal
53 ayat (2), meliputi “kawasan rawan letusan gunung berapi; kawasan rawan
gempa bumi; kawasan rawan gerakan tanah; kawasan yang terletak di zona
patahan aktif; kawasan rawan tsunami; kawasan rawan abrasi; dan kawasan
rawan bahaya gas beracun” yang dijelaskan lebih lanjut pada pasal 61.
f Pasal 80 yang menetapkan kawasan rawan bencana alam nasional sebagai
salah satu kriteria penetapan kawasan strategis nasional dari sudut
kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.

4. Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung


dalam kaitannya dengan jenis/klasifikasi kawasan lindung serta bentuk
penggunaan ruang di kawasan lindung. Khusus tentang Kawasan Rawan Bencana
Alam ditetapkan pada pasal 32 dan 33.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 51

3.2 Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dalam Pelaksanaan Penataan


Ruang

Mengacu pada Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan


Bencana, peran pelaksanaan penataan ruang dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana terutama pada tahap prabencana, baik dalam situasi tidak
terjadi bencana maupunterdapat potensi terjadinya bencana. Dalam situasi tidak
terjadi bencana, penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan salah satunya
melalui pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang (pasal 35). Pelaksanaan dan
penegakan rencana tata ruang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana yang
mencakup pemberlakuan peraturan tentang penataan ruang, standar keselamatan,
dan penerapan sanksi terhadap pelanggar (pasal 42). Dalam pelaksanaan penataan
ruang, hal tersebut meliputi pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang. Sementara dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana, penyelenggaraan
penanggulangan bencana dilakukan antara lain melalui mitigasi bencana (pasal
44). Mitigasi bencana dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat
yang berada pada kawasan rawan bencana. Kegiatan mitigasi bencana ini dilakukan
salah satunya melalui pelaksanaan penataan ruang (pasal 47). Dalam hal ini, upaya
pengurangan risiko bencana dilakukan melalui perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Lihat Gambar 3.1.

Dengan demikian terlihat bahwa peran pelaksanaan penataan ruang dalam


penyelenggaraan penanggulangan bencana terutama adalah untuk mengurangi
risiko bencana, khususnya bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan
bencana. Upaya mengurangi risiko bencana ini dapat dilakukan dengan cara
mempengaruhi besaran komponen-komponen yang mempengaruhi tingkat risiko
bencana suatu kawasan. Dalam Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman
Umum Pengkajian Risiko Bencana, disebutkan bahwa tingkat risiko bencana amat
bergantung pada: (a) tingkat ancaman kawasan; (2) tingkat kerentanan kawasan
yang terancam; dan (3) tingkat kapasitas kawasan yang terancam (lihat Gambar 3.2).
Atas dasar itu, maka upaya pengurangan risiko bencana berupa:
a. Memperkecil ancaman kawasan;
b. Mengurangi kerentanan kawasan yang terancam; dan
c. Meningkatkan kapasitas kawasan yang terancam.
52 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Gambar 3.1
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dalam
Pelaksanaan Penataan Ruang

Sumber: Hasil Analisis

Tingkat risiko bencana suatu kawasan diperoleh berdasarkan pengkajian risiko


bencana di kawasan tersebut.Upaya pengkajian risiko bencana pada dasarnya adalah
menentukan besaran 3 (tiga) komponen risiko tersebut (ancaman, kerentanan,
kapasitas) dan menyajikannya dalam bentuk spasial maupun nonspasial agar mudah
dimengerti. Pengkajian risiko bencana digunakan sebagai landasan penyelenggaraan
penanggulangan bencana di suatu kawasan. Oleh karenanya pengintegrasian
pengkajian risiko bencana ini ke dalam perencanaan tata ruang menjadi sangat
penting.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 53

Gambar 3.2
Pendekatan Kajian Risiko Bencana

Sumber: Perka BNPB No. 02 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana

Aspek kebencanaan dalam PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional dituangkan dalam rencana pola ruang wilayah nasional sebagai
bagian dari jenis dan sebaran kawasan lindung nasional (Pasal 51-52), yaitu sebagai:
a. Kawasan rawan bencana alam, yang terdiri atas (i) kawasan rawan tanah longsor;
(ii) kawasan rawan gelombang pasang; dan (iii) kawasan rawan banjir.
b. Kawasan rawan bencana alam geologi, yang terdiri atas (i) kawasan rawan letusan
gunung berapi; (ii) kawasan rawan gempa bumi; (iii) kawasan rawan gerakan
tanah; (iv) kawasan yang terletak di zona patahan aktif; (v) kawasan rawan
tsunami; (vi) kawasan rawan abrasi; (vii) kawasan rawan bahaya gas beracun.

Bila dibandingkan dengan jenis bencana di Indonesia yang ditetapkan dalam


Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No. 02 tahun
2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, terlihat ada perbedaan
jenis-jenis bencana yang diidentifikasi (lihat Tabel 3.1).

Kajian kebencanaan juga sudah menjadi salah satu aspek yang dipertimbangkan
dalam penyusunan RTRW Provinsi (Permen PU No. 15/PRT/M/2009 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi), khususnya pada
tahap pengumpulan data (peta-peta masukan untuk analisis kebencanaan) serta
pengolahan dan analisis data (karakteristik fisik wilayah: potensi rawan bencana
alam).

Kajian kebencanaan ini juga sudah dimuat dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
No. 20/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik & Lingkungan,
Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang khususnya
dalam analisis aspek fisik dan lingkungan. Pembahasan terkait bencana alam ini
dilakukan pada tahap:
54 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Tabel 3.1
Perbandingan Jenis Bencana
Kawasan Rawan Bencana dalam RTRWN Jenis Bencana menurut BNPB
A Kawasan rawan bencana alam
1. Kawasan rawan tanah longsor 1. Tanah Longsor
2. Kawasan rawan gelombang pasang 2. Gelombang Ekstrim
3. Kawasan rawan banjir 3. Banjir
B Kawasan rawan bencana alam geologi
4. kawasan rawan letusan gunung berapi 4. Letusan Gunung Api
5. kawasan rawan gempa bumi 5. Gempa Bumi
6. kawasan rawan gerakan tanah -
7. kawasan yang terletak di zona patahan aktif -
8. kawasan rawan tsunami 6. Tsunami
9. kawasan rawan abrasi 7. Cuaca Ekstrim & Abrasi
10. kawasan rawan bahaya gas beracun -
- 8. Kekeringan
- 9. Kebakaran Hutan dan Lahan
- 10. Kebakaran Gedung dan Permukiman
- 11. Epidemi & Wabah Penyakit
- 12. Gagal Teknologi
13. Konflik Sosial *
Sumber: PP No. 26 tahun 2008 tentang RTRWN dan Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman
Umum Pengkajian Risiko Bencana.

Keterangan:
* Dengan keluarnya UU No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konlik Sosial, maka konlik sosial tidak lagi
dimasukkan sebagai bencana.

1. Pengumpulan data
Berbagai jenis bencana alam dan daerah pengaruhnya adalah data bencana alam
yang dibutuhkan.Bila perlu, masing-masing jenis bencana disajikan dalam peta
terpisah sesuai dengan ketersediaan datanya.

2. Analisis kemampuan lahan


Satuan Kemampuan Lahan (SKL) terhadap bencana alam dilakukan untuk
mengetahui tingkat kemampuan lahan dalam menerima bencana alam khususnya
dari sisi geologi, untuk menghindari/mengurangi kerugian dan korban akibat
dari bencana tersebut. Sasaran kegiatan analisis kemampuan lahan ini adalah
(i) mengetahui tingkat kemampuan wilayah perencanaan terhadap berbagai
jenis bencana alam beraspekkan geologi; (ii) mengetahui daerah-daerah yang
rawan bencana alam dan mempunyai kecenderungan untuk terkena bencana
alam, termasuk bahaya ikutan dari bencana tersebut; dan (iii) mengetahui pola
pengembangan dan pengamanan masing-masing tingkat kemampuan lahan
terhadap bencana alam.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 55

Selain itu, Kementerian Pekerjaan Umum juga sudah mengeluarkan dua pedoman
penataan ruang yang terkait dengan kebencanaan, yaitu:
1. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 21/PRT/M/2007 tentang Pedoman
Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Kawasan Rawan
Gempa Bumi.
2. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 22/PRT/M/2007 tentang Pedoman
Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor.

Terkait dengan hal ini, perlu dilakukan kajian untuk melihat kesesuaian arahan yang
diatur dalam kedua pedoman tersebut dengan arahan kajian risiko bencana yang
dikeluarkan oleh BNPB.

Atas dasar hal-hal tersebut di atas, maka bila penyusunan RTRW Provinsi dilakukan
dengan mengacu pada Permen PU No. 15/PRT/M/2009 (Pedoman Penyusunan RTRW
Provinsi) dan Permen PU No. 20/PRT/M/2007 (Pedoman Teknik Analisis), seharusnya
RTRW Provinsi yang disusun tersebut telah mencakup kajian tentang kebencanaan
di wilayah provinsi tersebut. Bila dibandingkan dengan arahan BNPB, maka terlihat
muatan kebencanaan yang ada dalam pedoman penyusunan RTRW provinsi saat
ini baru meliputi komponen kerawanan dan ancaman, tetapi belum sampai pada
kajian risiko bencana yang juga mencakup kerentanan dan kapasitas kawasan yang
terancam. Oleh karena itu perlu dilakukan pengarusutamaan pengurangan risiko
bencana ke dalam proses penyusunan RTRW Provinsi sesuai dengan arahan dalam
UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Pada tahun 2011, BNPB telah memfasilitasi penyusunan Kajian Risiko Bencana (KRB)
dan Peta Risiko Bencana di 33 provinsi yang menggambarkan banyaknya bencana
yang mengancam Indonesia. Peta Risiko Bencana yang telah dihasilkan mengikuti
ketelitian skala peta RTRW Provinsi, yaitu 1: 250.000. Kajian Risiko Bencana ini menjadi
dasar penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) di tingkat Provinsi.
Masa berlaku Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) adalah 5 tahun, yang akan
ditinjau kembali setiap 2 tahun, atau jika terjadi bencana. Pada tahun 2012 BNPB
telah memfasilitasi penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) untuk
kabupaten/kota di 33 provinsi, dan pada tahun 2013 BNPB memfasilitasi penyusunan
RPB di 30 kabupaten/kota rawan tsunami.

Pada dasarnya Kajian Risiko Bencana (KRB) dapat dibuat berdasarkan ketelitian skala
tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Skala Komunitas, dengan skala ketelitian peta
1:10.000 untuk meningkatkan kapasitas di tingkat rumah tangga (lihat Gambar 3.3).
Namun sampai saat ini BNPB baru menyelesaikan seluruh KRB di tingkat Provinsi,
kecuali Provinsi Kalimantan Utara dengan peta skala 1:250.000 (tahun 2011) dan
satu kabupaten/kota di 33 provinsi dengan peta skala 1:50.000 (tahun 2012), serta
56 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

30 kabupaten/kota rawan tsunami (tahun 2013). Dengan demikian, saat ini Kajian
Risiko Bencana belum dapat dijadikan sebagai instrumen baku untuk mendukung
penyusunan RTRW Kabupaten dan RTRW Kota yang berbasis mitigasi bencana di
Indonesia, namun sudah dapat mendukung penyusunan RTRW Provinsi berbasis
mitigasi bencana di 33 provinsi (kecuali Provinsi Kalimantan Utara). Namun, apabila
pada saat penyusunan atau peninjauan kembali RTRW Kabupaten/Kota ternyata
Rencana Penanggulangan Bencana Kabupaten/Kota tersebut belum disusun, maka
SKPD yang bersangkutan dapat melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri
berkoordinasi dengan BPBD dan mengacu pada Perka No. 02 tahun 2012 tentang
Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana14.

Sebagai contoh, untuk melihat seberapa jauh kajian kebencanaan dalam RTRW
Provinsi telah sesuai dengan kajian risiko bencana yang dilakukan oleh BNPB dalam
Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), berikut ini diberikan perbandingan cakupan
pembahasan jenis-jenis bencana yang terdapat dalam Rencana Penanggulangan
Bencana (RPB) dan RTRW dari tiga provinsi di Jabodetabekpunjur, yaitu DKI Jakarta,
Jawa Barat, dan Banten. Lihat Tabel 3.2.

Gambar 3.3
Keterkaitan Peta Rencana Tata Ruang dengan Peta Risiko Bencana

Sumber: Kaji Ulang Pedoman Perencanaan Tata Ruang dalam rangka Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Indonesia,
2013.

14
Lilik Kurniawan, Direktur Pengurangan Risiko Bencana, BNPB dalam Diskusi Terarah Materi Teknis- SCDRR II, Bappenas,
10 Juni 2014.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 57

Tabel 3.2
Perbandingan Cakupan Jenis-jenis Bencana yang Dibahas
Dalam RPB dan RTRW Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten
No Jenis Bencana Prov DKI Jakarta Prov Jawa Barat Prov Banten
RPB RTRW RPB RTRW RPB RTRW
1 Gempa Bumi √ √ √ √ √ -
2 Tsunami √ √ √ √ √ √
3 Banjir √ √ √ √ √ √
4 Tanah Longsor √ √ √ √ √ √
5 Letusan Gunung Api - - √ √ √ √
6 Gelombang Ekstrim & Abrasi √ √ √ √ √ -
7 Cuaca Ekstrim √ - √ - √ -
8 Kekeringan - - √ - √ -
9 Kebakaran Hutan & Lahan - - √ - √ -
10 Kebakaran Gedung & - √ - - - -
Permukiman
11 Epidemi & Wabah Penyakit √ - √ - √ -
12 Gagal Teknologi √ - √ - √ -

Sumber: Diringkas dari Tabel 34 – 36 dalam “Perencanaan Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional: Tinjauan Kebencanaan,
Studi Kasus Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur”, 2013.

Dari perbandingan tersebut terlihat bahwa masih terdapat perbedaan yang cukup
besar antara jenis-jenis bencana yang dibahas dalam RTRW dan RPB:
- Dari 12 jenis bencana yang ada, di DKI Jakarta hanya 8 bencana yang sinkron
antara RTRW dan RPB, sedang 4 jenis bencana yang lain tidak sinkron (ada di
RTRW tetapi tidak ada di RPB, dan sebaliknya).
- Di Provinsi Jawa Barat hanya 7 bencana yang sinkron antara RTRW dan RPB,
sedang 5 jenis bencana yang lain tidak sinkron (ada di RPB tetapi tidak ada di
RTRW).
- Di Provinsi Banten hanya 5 bencana yang sinkron antara RTRW dan RPB, sedang
7 jenis bencana yang lain tidak sinkron (ada di RPB tetapi tidak ada di RTRW).

Padahal perbandingan tersebut hanya melihat kesamaan dalam jenis-jenis bencana


yang dibahas, belum melihat lebih dalam sampai muatan kajiannya. Oleh karenanya,
sangat penting untuk melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana
ke dalam penyusunan RTRW ke depan. Hal ini dilakukan dengan berkoordinasi
dengan BNPB/BPBD dalam mengintegrasikan kajian risiko bencana dalam Rencana
Penanggulangan Bencana (RPB) ke dalam RTRW.
58 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

3.3 Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan


Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
Pelaksanaan penyusunan rencana tata ruang dilakukan melalui serangkaian proses
dan prosedur penyusunan, dan kemudian dilanjutkan dengan proses dan prosedur
penetapan (legalisasi) rencana tata ruang. Namun, pembahasan dalam bagian ini hanya
difokuskan pada proses penyusunan rencana tata ruang saja, karena pengintegrasian
aspek kebencanaan dalam rencana tata ruang paling relevan di bagian ini.
Proses penyusunan RTRW provinsi meliputi:
a. Persiapan penyusunan RTRW provinsi;
b. Pengumpulan data yang dibutuhkan;
c. Pengolahan dan analisis data;
d. Perumusan konsepsi RTRW Provinsi; dan
e. Penyusunan naskah raperda.15
Sedangkan prosedur penyusunan RTRW Provinsi meliputi (a) pembentukan tim
penyusunan RTRW Provinsi, (b) pelaksanaan penyusunan RTRW Provinsi, (c) pelibatan
peran masyarakat di tingkat provinsi dalam penyusunan RTRW Provinsi, serta (d)
pembahasan (raperda RTRW Provinsi).16

Pengintegrasian Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan


RTRW Provinsi
Dalam perencanaan tata ruang, kajian kebencanaan menjadi salah satu aspek yang
harus dilakukan dalam penyusunan RTRW Provinsi. Kajian kebencanaan ini dilakukan
pada seluruh tahapan dalam proses penyusunan RTRW provinsi, dimulai dari tahap
persiapan penyusunan RTRW Provinsi sampai dengan tahap penyusunan konsepsi
RTRW Provinsi. Integrasi kajian kebencanaan pada setiap tahapan tersebut adalah
sebagai berikut:

1. Persiapan Penyusunan RTRW Provinsi


Pada tahap persiapan ini, kajian kebencanaan dilakukan pada saat Tim
Penyusunan melakukan kajian awal data sekunder yang mencakup review RTRW
provinsi sebelumnya dan kajian kebijakan terkait lainnya.

15
Dalam Permen PU 15/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi, tahap kelima dari proses penyusunan
RTRW Provinsi adalah penyusunan Raperda RTRW Provinsi (halaman 47). Namun di sini hal tersebut diubah disesuaikan
seperti arahan dalam Permen PU 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan RTR KSN, yaitu penyusunan naskah rap-
erpres. Sedangkan penyusunan Raperda RTRW menjadi bagian dari prosedur penetapan RTRW Provinsi yang merupakan
tindak lanjut dari prosedur penyusunan RTRW Provinsi sebagai satu kesatuan proses.
16
Sesuai dengan catatan no.1 di atas, maka pembahasan raperda RTRW Provinsi menjadi bagian dari prosedur penetapan
RTRW Provinsi.Sedangkan dalam prosedur penyusunan RTRW Provinsi, prosedur terakhir adalah pembahasan-pemba-
hasan yang meliputi pembahasan di tahap persiapan, pengumpulan data dan informasi, pengolahan dan analisis data,
perumusan konsepsi RTRW, dan penyusunan naskah raperda.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 59

Kajian yang dilakukan meliputi antara lain:


a. Kondisi umum kebencanaan di wilayah provinsi tersebut secara historis;
b. Ada atau tidaknya kawasan rawan bencana yang ditetapkan sebagai kawasan
strategis provinsi; dan
c. Konsep pengembangan dan rencana yang telah disusun untuk mengantisipasi
dan mengatasi isu kebencanaan tersebut;

Hasil:
a. Gambaran awal aspek kebencanaan di wilayah provinsi yang bersangkutan;
dan
b. Hasil kajian awal berupa isu-isu strategis terkait kebencanaan.
Informasi tersebut menjadi masukan dalam penyiapan metodologi serta
perangkat survei yang akan digunakan (checklist data yang dibutuhkan,
panduan wawancara dan observasi, dan lain-lain) yang telah mencakup
aspek kebencanaan di wilayah provinsi tersebut.

2. Pengumpulan Data yang Dibutuhkan


Mengingat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi menyusun
Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan
ditinjau secara berkala setiap 2 (dua) tahun, maka RPB tersebut harus menjadi
salah satu dokumen yang dikumpulkan pada tahap pengumpulan data ini. Pada
saat pengumpulan data ini juga dilakukan diskusi dengan BPBD agar diperoleh
gambaran yang lebih jelas dan komprehensif mengenai aspek kebencanaan di
wilayah provinsi yang bersangkutan. Dalam Rencana Penanggulangan Bencana
(RPB) tersebut sudah terdapat:
- Kajian Risiko Bencana untuk setiap jenis bencana di wilayah provinsi yang
bersangkutan, beserta peta-petanya (peta ancaman, peta kerentanan, peta
kapasitas, dan peta risiko);
- Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RAD PRB). Ke depannya,
RAD PRB akan diintegrasikan ke dalam RPB17.
- Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI). Saat ini IRBI baru ada di tingkat
nasional saja. Namun ke depannya, semua RPB juga harus memuat Indeks
Risiko Bencana di daerah tersebut. Di tingkat provinsi, lingkup analisis IRBI
sampai tingkat kecamatan18.
Saat ini sudah terdapat RPB untuk 33 provinsi yang disusun pada tahun 2011
dengan difasilitasi oleh BNPB. RPB merupakan kesepakatan dari pihak-pihak
untuk penanggulangan bencana di provinsi yang bersangkutan.

17
Diskusi dengan Bpk. Lilik Kurniawan, Direktur Pengurangan Risiko Bencana, Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsia-
gaan, BNPB, 14 April 2014.
18
Ibid.
60 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

BPBD sudah terbentuk di 33 provinsi, hanya Provinsi Kalimantan Utara yang belum
memiliki BPBD. Untuk provinsi yang belum memiliki BPBD, maka penyusunan
Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dapat difasilitasi oleh BNPB dan disusun
oleh Tim Penyusun sebagai berikut19:
- Tim Substansi yang terdiri atas SKPD terkait penanggulangan bencana. Tim
ini terdiri dari wakil-wakil SKPD yang ditetapkan melalui Surat Keputusan
Kepala Daerah (SK KDH), antara lain Bappeda, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas
Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas ESDM, BLH, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan,
dan lain-lain yang dirasa perlu (BMKG, Polda, Danrem, PMI, dst). Tim ini yang
memutuskan muatan substansi RPB.
- Tim Penulis yang menuliskan hasil diskusi Tim Substansi. Tim ini terdiri dari
perwakilan dari Perguruan Tinggi, LSM, juga Pemda.
- Tim Asistensi yang menyiapkan bahan-bahan pendukung/yang terkait.
Untuk tingkat provinsi, Tim Asistensi ini berasal dari Tim Asistensi Nasional
(BNPB).

Perlu digarisbawahi di sini bahwa RPB memiliki jangka waktu 5 (lima) tahun.
Dengan demikian, pada saat dilakukan proses peninjauan kembali (PK) RTRW
Provinsi, juga dilakukan pemutakhiran berdasarkan RPB yang terbaru.Lebih
jelasnya lihat Gambar 3.4.

Gambar 3.4
RPB sebagai Masukan dalam Peninjauan Kembali RTRW

Sumber: Hasil Analisis

19
Ibid.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 61

3. Pengolahan dan Analisis Data


Secara garis besar terdapat 2 (dua) rangkaian analisis utama yang harus dilakukan
dalam penyusunan RTRW provinsi, yaitu:
a. Analisis untuk menggambarkan karakteristik tata ruang wilayah provinsi; dan
b. Analisis untuk menyusun rencana struktur ruang dan rencana pola ruang
wilayah provinsi.
Dalam Permen PU No. 15/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi, disebutkan bahwa analisis karakteristik tata ruang
wilayah provinsi digambarkan melalui 4 (empat) analisis, yaitu (1) karakteristik
fisik wilayah, (2) karakteristik sosial-kependudukan, (3) kemampuan keuangan
pembangunan daerah; dan (4) kedudukan provinsi di dalam wilayah lebih luas.

Kajian risiko bencana untuk setiap jenis bencana di wilayah provinsi menjadi
bagian dari analisis karakteristik fisik wilayah, kecuali untuk jenis bencana
epidemi dan wabah penyakit menjadi bagian dari analisis karakteristik sosial-
kependudukan. Dalam Permen PU No. 15/PRT/M/2009 digunakan istilah ‘potensi
rawan bencana alam’. Sementara, kajian yang dilakukan BNPB adalah kajian
risiko bencana. Sesuai dengan terminologi yang digunakan BNPB, potensi rawan
bencana alam menggunakan historical data berdasarkan kejadian bencana yang
lalu (existing), sedangkan kajian risiko bencana bersifat prediksi ke depan, dan
sudah mempertimbangkan ancaman, kerentanan, dan kapasitas di wilayah
provinsi yang bersangkutan.Dengan demikian sebaiknya analisis potensi rawan
bencana alam dalam penyusunan RTRW ditambah dengan kajian risiko bencana.
Untuk lebih jelasnya lihat tabel 3.3.

Hasil kajian karakteristik wilayah provinsi ini akan menjadi dasar bagi perumusan
tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsi, serta menjadi
masukan bagi seluruh penyusunan rencana tata ruang selanjutnya.
62 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Tabel 3.3
Kajian Risiko Bencana untuk Setiap Jenis Bencana
dalam Analisis Karakteristik Tata Ruang

No Jenis Bencana Analisis Karakteristik Tata Ruang


1. Tanah longsor
2. Gelombang ekstrim
3. Banjir
4. Letusan gunung api
5. Gempa bumi Karakteristik fisik wilayah: analisis potensi rawan bencana alam +
kajian risiko bencana
6. Tsunami
7. Cuaca ekstrim dan abrasi
8. Kekeringan
9. Kebakaran hutan dan lahan
10. Kebakaran gedung dan permukiman
11. Epidemi dan wabah penyakit Karakteristik sosial-kependudukan: analisis kualitas SDM (kesehatan)
+ kajian risiko bencana
12. Gagal teknologi Karakteristik fisik wilayah: analisis potensi rawan bencana alam +
kajian risiko bencana
Sumber: Hasil analisis

Penyusunan rencana struktur ruang, rencana pola ruang, dan penetapan kawasan
strategis provinsi juga didasarkan pada karakteristik tata ruang wilayah provinsi
tersebut dengan penajaman analisis, di mana salah satunya adalah analisis daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup wilayah serta optimasi pemanfaatan
ruang.Kajian risiko bencana juga menjadi masukan dalam melakukan analisis
daya dukung dan daya tampung lingkungan.Pada tahap ini terjadi integrasi
antara kajian risiko bencana dan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dalam
rencana tata ruang.

4. Penyusunan Konsepsi RTRW Provinsi


Kegiatan perumusan konsepsi RTRW provinsi terdiri atas perumusan konsep
pengembangan wilayah dan perumusan rencana tata ruang wilayah provinsi itu
sendiri.

Konsep pengembangan wilayah dilakukan berdasarkan hasil analisis yang


telah dilakukan sebelumnya dengan menghasilkan beberapa alternatif konsep
pengembangan wilayah.Dengan demikian, apabila aspek kebencanaan telah
menjadi muatan dalam analisis yang dilakukan, maka perumusan konsep
pengembangan wilayah dilakukan dengan telah mempertimbangkan kajian
risiko bencana.

Muatan kebencanaan yang merupakan hasil dari kajian risiko bencana pada
tahap analisis tersebut harus tercakup dalam RTRW provinsi, terdiri atas:
a. Tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsi;
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 63

b. Rencana struktur ruang wilayah provinsi;


c. Rencana pola ruang wilayah provinsi;
d. Penetapan kawasan-kawasan strategis provinsi;
e. Arahan pemanfaatan ruang; dan
f. Arahan pengendalian pemanfaatan ruang.

Dalam mengintegrasikan kajian risiko bencana (KRB) dalam Rencana


Penanggulangan Bencana (RPB) ke dalam Rencana Tata Ruang perlu
memperhatikan jangka waktunya. RPB memiliki jangka waktu 5 tahun dan
merupakan rencana jangka menengah, mengikuti RPJMD.Sedangkan RTR
memiliki jangka waktu 20 tahun. Dengan demikian integrasi dilakukan dengan
memperhatikan hal-hal berikut ini:

a. Peta kerawanan pembuatannya diserahkan ke K/L yang terkait sesuai dengan


tupoksinya. Jenis peta kerawanan yang telah memiliki SNI adalah gempa
bumi (tim 9 revisi gempa), tanah longsor (ESDM), letusan gunung api (Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi/ PVMBG), banjir (Kemen PU dan
BIG), dan kekeringan (BMKG). Peta kerawanan ini kemudian menjadi dasar
pembuatan peta ancaman;
b. Peta kerawanan dan peta ancaman bersifat jangka panjang (20 tahun)
sehingga digunakan untuk acuan perumusan rencana struktur ruang dan
rencana pola ruang, serta peraturan zonasi;
c. Sedangkan peta risiko bersifat jangka menengah dan dapat berubah dengan
waktu, karena ada faktor kerentanan dan kapasitas yang dapat berubah
seiring dengan pembangunan ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Oleh
karenanya peta kerentanan, peta kapasitas, dan peta risiko digunakan untuk
acuan perumusan indikasi program 5 tahun dalam arahan pemanfaatan ruang.
Dalam merumuskan arahan pemanfaatan ruang juga harus mengintegrasikan
Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RAD PRB) yang ada.Dalam
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana, maka penyusunan RAD PRB
harus dilakukan dengan mempertimbangkan konsep pengembangan wilayah
dalam RTRW. Saat ini RAD PRB disusun oleh BPBD setiap 3 tahun. Namun, adanya
dua dokumen yaitu RPB dan RAD PRB ternyata membingungkan bagi Pemerintah
Daerah. Oleh karena itu, untuk periode berikutnya RAD PRB akan diintegrasikan
ke dalam RPB dalam 1 (satu) dokumen saja.20

20 Ibid.
64 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

5. Penyusunan naskah Raperda


Penyusunan naskah raperda RTRW Provinsi merupakan proses penuangan
naskah teknis RTRW provinsi ke dalam pasal-pasal raperda yang mengikuti
tatacara penulisan sesuai ketentuan UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.

Pada tahap ini sudah tidak ada masukan dari kajian kebencanaan.

Untuk lebih jelasnya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam


proses penyusunan RTRW Provinsi dapat dilihat pada Gambar 3.5.

Gambar 3.5
Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam
Proses Penyusunan RTRW Provinsi

Sumber: Hasil Analisis


MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 65

3.4 Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana (KRB) ke dalam Ketentuan Teknis


Muatan RTRW Provinsi
RTRW Provinsi memuat tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah
provinsi, rencana struktur ruang wilayah provinsi, rencana pola ruang wilayah
provinsi, penetapan kawasan strategis provinsi, arahan pemanfaatan ruang wilayah
provinsi, dan arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi.

Secara garis besar terdapat dua rangkaian analisis utama yang harus dilakukan dalam
penyusunan RTRW Provinsi, yaitu:
a. Analisis untuk menggambarkan karakteristik tata ruang wilayah provinsi; dan
b. Analisis untuk menyusun rencana struktur ruang dan rencana pola ruang wilayah
provinsi.
Pengenalan karakteristik wilayah provinsi ini akan menjadi dasar bagi perumusan
tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsi, serta menjadi
masukan bagi seluruh penyusunan rencana tata ruang selanjutnya. Oleh karena itu,
sangat penting untuk melakukan pengintegrasian kajian risiko bencana pada tahap
analisis ini.

Analisis karakteristik fisik wilayah/kawasan dilakukan dengan mengacu pada


Peraturan Menteri PU No. 20/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknik Analisis Aspek
Fisik & Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata
Ruang. Sementara kajian risiko bencana dilakukan dengan mengacu pada Peraturan
Kepala BNPB No. 02 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.
Pada saat BPBD menyusun Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), di dalamnya
sudah dilakukan kajian risiko bencana terhadap wilayah provinsi yang bersangkutan.
Salah satu outputnya adalah Indeks Risiko Bencana setiap kecamatan di wilayah
provinsi tersebut.

Analisis Fisik dan Lingkungan dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
Salah satu analisis fisik dan lingkungan yang dilakukan dan penyusunan rencana
tata ruang wilayah adalah satuan kemampuan lahan (SKL) terhadap bencana alam.
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan lahan dalam menerima
bencana alam, untuk menghindari/mengurangi kerugian dan korban akibat bencana
tersebut.Keluaran dari analisis ini meliputi (1) Peta Satuan Kemampuan Lahan (SKL)
terhadap bencana alam; (2) deskripsi masing-masing tingkatan kemampuan lahan
terhadap bencana alam tersebut; dan (3) batasan pengembangan pada masing-
masing tingkat kemampuan terhadap bencana alam tersebut. Dalam melakukan
analisis juga dilakukan analisis penggunaan lahan yang ada saat ini yang memperbesar
kemungkinan terkena bencana alam, seperti penggalian sumber mineral atau bahan
galian golongan C, peningkatan aktivitas perkotaan pada daerah-daerah rawan
66 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

bencana, pengupasan hutan/bukit, gangguan pada keseimbangan tata air baik air
permukaan maupun tanah.

Tahap selanjutnya adalah analisis kemampuan lahan untuk memperoleh gambaran


tingkat kemampuan lahan untuk dikembangkan sebagai perkotaan. Dari sini
kemudian dilakukan analisis kesesuaian lahan untuk mengetahui arahan-arahan
kesesuaian lahan, sehingga diperoleh arahan kesesuaian peruntukan lahan untuk
pengembangan kawasan berdasarkan karakteristik fisiknya. Baru setelah itu dilakukan
rekomendasi kesesuaian lahan.Dari uraian tersebut terlihat bahwa pengintegrasian
dengan kajian risiko bencana dapat dilakukan pada tahap analisis kemampuan
lahan. Dengan demikian risiko bencana dan dampaknya sudah menjadi bagian yang
dipertimbangkan dalam melakukan analisis kesesuaian lahan dan rekomendasi
kesesuaian lahan. Bagan alir tata cara analisis aspek fisik dan lingkungan dapat dilihat
pada Gambar 3.6.

Gambar 3.6
Bagan Alir Tata Cara Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan dalam
Penyusunan Rencana Tata Ruang

Sumber: Permen PU No. 20/PRT/M/2007 tentng Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik & Lingkungan, Ekonomi serta Sosial
Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 67

Metode Pengkajian Risiko Bencana


Pengkajian risiko bencana dilakukan dengan persyaratan sebagai berikut:
1. Memenuhi aturan tingkat kedetailan analisis (kedalaman analisis di tingkat
nasional minimal hingga kabupaten/kota, kedalaman analisis di tingkat provinsi
minimal hingga kecamatan, kedalaman analisis di tingkat kabupaten/kota
minimal hingga tingkat kelurahan/desa/kam-pung/nagari).
2. Skala peta minimal adalah 1:250.000 untuk provinsi; peta dengan skala 1:50.000
untuk kabupaten/kota di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi; peta dengan
skala 1:25.000 untuk kabupaten/kota di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
3. Dapat digunakan untuk menghitung jumlah jiwa terpapar bencana (dalam jiwa).
4. Dapat digunakan untuk menghitung kerugian harta benda, (dalam rupiah) dan
kerusakan lingkungan.
5. Menggunakan 3 kelas interval tingkat risiko, yaitu tingkat risiko tinggi, sedang
dan rendah.
6. Menggunakan GIS dalam pemetaan risiko bencana.

Pengkajian risiko bencana disusunberdasarkan komponen ancaman, kerentanan


dan kapasitas, sebagai berikut (lihat Gambar 3.7):
a. Komponen Ancaman disusun berdasarkan parameter intensitas dan probabilitas
kejadian;
b. Komponen Kerentanan disusun berdasarkan parameter sosial budaya, ekonomi,
fisik dan lingkungan; dan
c. Komponen Kapasitas disusun berdasarkan parameter kapasitas regulasi,
kelembagaan, sistem peringatan dini, pendidikan pelatihan keterampilan,
mitigasi dan sistem kesiapsiagaan.

Gambar 3.7
Metode Pengkajian Risiko Bencana

Sumber: Perka BNPB No.02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana
68 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Hasil pengkajian risiko bencana terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu:


1. Peta Risiko Bencana, yang menghasilkan landasan penentuan tingkat risiko
bencana dan digunakan sebagai landasan perumusan kebijakan teknis, meliputi
a. Pencegahan dan mitigasi bencana;
b. Kesiapsiagaan;
c. Tanggap darurat; dan
d. Pemulihan pasca bencana.
2. Dokumen Kajian Risiko Bencana, yang menghasilkan kebijakan administratif
yang menyajikan kebijakan minimum penanggulangan bencana daerah yang
ditujukan untuk mengurangi jumlah jiwa terpapar, kerugian harta benda dan
kerusakan lingkungan akibat kejadian bencana pada suatu kawasan.

Mekanisme penyusunan Peta Risiko Bencana saling terkait dengan mekanisme


penyusunan Dokumen Kajian Risiko Bencana (lihat Gambar 3.8).

Gambar 3.8
Metode Umum Pengkajian Risiko Bencana

Sumber: Perka BNPB No.02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 69

Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana (KRB) ke dalam Muatan RTRW Provinsi


Pengintegrasian kajian risiko bencana dalam muatan RTRW Provinsi dilakukan
dengan memadukan kedua pendekatan tersebut di atas (analisis fisik dan lingkungan
dengan kajian risiko bencana) yang dapat dilihat pada Gambar 3.9.

Peta ancaman menjadi masukan dalam melakukan satuan kemampuan lahan


terhadap bencana alam, yang kemudian dilanjutkan dengan analisis kesesuaian
lahan dan rekomendasi kesesuaian lahan sesuai dengan tata cara analisis aspek fisik
dan lingkungan yang diatur dalam Permen PU No. 20/PRT/M/2007. Dari rekomendasi
kesesuaian lahan ini dilakukan perumusan konsep RTRW Provinsi, yang meliputi
perumusan konsep pengembangan wilayah dan perumusan RTRW Provinsi itu
sendiri.Perumusan berdasarkan kajian tersebut menghasilkan rumusan tujuan,
kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsi, serta rencana struktur ruang
dan rencana pola ruang wilayah provinsi.

Pada saat yang sama juga dilakukan pengkajian risiko bencana yang menghasilkan
kajian risiko bencana dan peta risiko bencana yang menjadi dasar perumusan
kebijakan pengurangan risiko bencana yang terdiri atas kebijakan administratif dan
kebijakan teknis per bencana.Kebijakan pengurangan risiko bencana membutuhkan
alokasi ruang pada wilayah yang dikaji untuk tindakan-tindakan yang dipilih, yaitu
tindakan relokasi, adaptasi, dan proteksi.Kajian risiko bencana ini dilakukan sesuai
dengan arahan dalam Perka BNPBNo.02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum
Pengkajian Risiko Bencana. Untuk lebih jelasnya, pengintegrasian kajian risiko
bencana ke dalam muatan RTRW Provinsi ini dapat dilihat pada Gambar 3.9.
70 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Gambar 3.9
Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Muatan RTRW Provinsi

Sumber : Hasil Analisis

Dengan pendekatan seperti yang digambarkan pada Gambar 3.9 di atas, dilakukan
perumusan RTRW Provinsi yang meliputi tujuan, kebijakan, dan strategi penataan
ruang wilayah provinsi; rencana struktur ruang dan rencana pola ruang wilayah
provinsi; penetapan kawasan strategis wilayah provinsi; arahan pemanfaatan ruang
wilayah provinsi; dan arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi.

a. Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Provinsi


Tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsi merupakan
terjemahan dari visi dan misi pengembangan wilayah provinsi dalam pelaksanaan
pembangunan untuk mencapai kondisi ideal tata ruang wilayah provinsi yang
diharapkan.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 71

Tujuan penataan ruang wilayah provinsi merupakan arahan perwujudan ruang


wilayah provinsi yang diinginkan pada masa yang akan datang. Tujuan penataan
ruang wilayah provinsi dirumuskan berdasarkan 4 (empat) hal, di mana salah
satunya adalah isu strategis tata ruang wilayah provinsi.Perlu ditekankan
di sini bahwa pada wilayah yang memiliki risiko bencana, penanggulangan
bencana merupakan salah satu isu strategis yang perlu dipertimbangkan dalam
perumusan tujuan.

Kebijakan penataan ruang wilayah provinsi merupakan arah tindakan yang harus
ditetapkan untuk mencapai tujuan penataan ruang wilayah provinsi. Kebijakan
penataan ruang wilayah provinsi dirumuskan antara lain berdasarkan tujuan
penataan ruang wilayah provinsi yang telah bermuatan mitigasi bencana dan
karakteristik tata ruang wilayah provinsi yang telah memuat kajian risiko bencana.
Kebijakan penataan ruang wilayah provinsi dirumuskan dengan kriteria, salah
satunya, mampu menjawab isu-isu strategis tata ruang baik yang ada sekarang
maupun yang diperkirakan akan timbul di masa yang akan datang. Seperti dalam
perumusan tujuan, isu-isu strategis tersebut juga memuat isu kebencanaan.

Berdasarkan hasil pengkajian risiko bencana dapat dirumuskan kebijakan


pengurangan risiko bencana yang terdiri atas kebijakan administratif yang
berfokus pada pengurangan faktor risiko dasar dan kebijakan teknis yang
berfokus pada pencegahan dan mitigasi bencana (lihat kembali Gambar 3.9).
Kebijakan pengurangan risiko bencana ini antara lain dapat berupa kebijakan
yang terkait dengan penetapan kegiatan pada kawasan-kawasan yang memiliki
risiko bencana dengan alternatif tindakan yang meliputi21:

Tindakan Relokasi
Upaya penanganan kawasan dengan risiko bencana melalui upaya pemindahan
aktivitas berikut sarana prasarana penunjang aktivitas ke zona aman dari bencana;
(a) Tindakan Adaptasi
Upaya penanganan kawasan dengan risiko bencana melalui rekayasa teknis,
ketentuan khusus untuk konstruksi bangunan, serta sistem peringatan dini.
(b) Tindakan Proteksi
Upaya penanganan kawasan dengan risiko bencana melalui upaya preservasi
dapat berupa proteksi terhadap kawasan dengan risiko bencana guna
meningkatkan kualitas lingkungan alami. Misalnya dengan pembangunan
waduk, tanggul, sea wall, atau tembok pemecah gelombang.

21
Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (draft), Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum,
2014.
72 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Strategi penataan ruang wilayah provinsi merupakan penjabaran masing-


masing kebijakan penataan ruang wilayah provinsi ke dalam langkah-langkah
operasional untuk mencapai tujuan penataan ruang yang telah ditetapkan.
Strategi penataan ruang wilayah provinsi ini dirumuskan salah satunya
berdasarkan kebijakan penataan ruang wilayah provinsi. Bila kebijakan
penataan ruang yang dirumuskan telah memuat upaya pengurangan risiko
bencana, maka strategi yang dirumuskan juga akan mencakup strategi
pengurangan risiko bencana.

b. Rencana Struktur Ruang dan Rencana Pola Ruang Wilayah Provinsi


Rencana struktur ruang wilayah provinsi merupakan rencana kerangka tata
ruang wilayah provinsi yang dibangun oleh konstelasi pusat-pusat kegiatan
(sistem perkotaan) yang berhirarki satu sama lain dan dihubungkan oleh sistem
jaringan prasarana wilayah provinsi terutama jaringan transportasi. Rencana pola
ruang wilayah provinsi merupakan rencana distribusi peruntukan ruang dalam
wilayah provinsi yang meliputi rencana peruntukan ruang untuk fungsi lindung
dan rencana peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.

Rencana struktur ruang wilayah provinsi dan rencana pola ruang wilayah
provinsi dirumuskan dengan mempertimbangkan rekomendasi kesesuaian
lahan (lihat kembali Gambar 3.9). Rekomendasi kesesuaian lahan menghasilkan
satu rekomendasi untuk pengembangan wilayah yang menjadi masukan bagi
penyusunan rencana struktur ruang dan pola ruang wilayah. Rencana struktur
ruang dan rencana pola ruang ini juga dirumuskan berdasarkan daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup wilayah provinsi. Kajian daya dukung
dan daya tampung lingkungan ini telah mencakup kemungkinan dampak yang
ditimbulkan oleh bencana serta kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).

Dalam rencana pola ruang wilayah provinsi dilakukan penetapan kawasan


dengan risiko bencana sebagai kawasan lindung. Kajian risiko bencana
menghasilkan penentuan kelas risiko bencana untuk setiap jenis bencana yang
dibedakan menjadi kelas risiko bencana tinggi, kelas risiko bencana sedang,
dan kelas risiko bencana rendah.Berdasarkan penentuan kelas risiko bencana
tersebut, dapat dirumuskan kawasan-kawasan dengan risiko bencana yang harus
ditetapkan menjadi kawasan lindung dan/atau yang dapat ditetapkan menjadi
kawasan budidaya dengan persyaratan-persyaratan khusus.Kawasan dengan
kelas risiko bencana rendah, misalnya, dapat menjadi kawasan budidaya dengan
persyaratan-persyaratan khusus yang harus dipenuhi dalam pengembangannya.
Sementara kawasan dengan kelas risiko bencana tinggi sebaiknya ditetapkan
sebagai kawasan lindung.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 73

c. Penetapan Kawasan Strategis Wilayah Provinsi


Kawasan strategis provinsi merupakan bagian wilayah provinsi yang penataan
ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam
lingkup provinsi, baik di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.
Penentuan kawasan strategis provinsi ini lebih bersifat indikatif.

Kawasan dengan risiko bencana dapat ditetapkan sebagai kawasan strategis


provinsi. Bila IRBI (Indeks Risiko Bencana Indonesia) sudah menjadi bagian
dari semua RPB Provinsi, maka IRBI ini dapat digunakan sebagai salah satu
acuan untuk mendelineasi kawasan dengan risiko bencana di provinsi yang
bersangkutan. Di tingkat provinsi, unit analisis IRBI sampai tingkat kecamatan.
Kecamatan-kecamatan dengan kelas risiko bencana yang tinggi dan/atau
mempunyai kecenderungan terus meningkat dapat dipertimbangkan untuk
ditetapkan sebagai kawasan strategis provinsi rawan bencana. Untuk tingkat
provinsi, maka penetapan kawasan rawan bencana sebagai kawasan strategis
provinsi bila bencana tersebut bersifat lintaskota/kabupaten. Sebagai contoh
kawasan strategis rawan bencana banjir di daerah aliran sungai yang lintas kota/
kabupaten.

c. Arahan Pemanfaatan Ruang Wilayah Provinsi


Arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi merupakan upaya perwujudan
rencana tata ruang yang dijabarkan ke dalam indikasi program utama penataan/
pengembangan provinsi dalam jangka waktu perencanaan 5 (lima) tahunan
sampai akhir tahun perencanaan (20 tahun).

Untuk wilayah yang memiliki risiko bencana, arahan pemanfaatan ruang wilayah
provinsi dilakukan berdasarkan:
(a) Rencana struktur ruang dan rencana pola ruang yang telah memuat kebijakan
mitigasi bencana;
(b) Ketersediaan sumber daya dan sumber dana pembangunan, termasuk untuk
upaya mitigasi bencana;
(c) Kesepakatan para pemangku kepentingan dan kebijakan yang ditetapkan,
termasuk kebijakan mitigasi bencana;
(d) Prioritas pengembangan wilayah provinsi dan pentahapan rencana
pelaksanaan program sesuai dengan RPJPD; dan
(e) Sinkronisasi program dengan kebijakan nasional dan daerah yang berbatasan
dalam satu kerangka program terpadu pengembangan wilayah provinsi.
74 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

d. Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Provinsi


Arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi adalah arahan yang
diperuntukkan sebagai alat penertiban penataan ruang, meliputi indikasi arahan
peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan
sanksi dalam rangka perwujudan rencana tata ruang wilayah provinsi.

Untuk wilayah yang memiliki risiko bencana, arahan pengendalian pemanfaatan


ruang wilayah provinsi dilakukan untuk mewujudkan tertib tata ruang melalui
penyusunan indikasi arahan peraturan zonasi berbasis mitigasi bencana, arahan
perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi berdasarkan rencana
tata ruang yang berbasis mitigasi bencana.

Indikasi arahan peraturan zonasi dalam RTRW Provinsi antara lain mencakup:
1. Indikasi arahan peraturan zonasi sistem provinsi sebagai ketentuan
pemanfaatan ruang sistem provinsi yang berbasis mitigasi bencana;
2. Ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan yang berisikan kegiatan yang
diperbolehkan, diperbolehkan dengan syarat, dan tidak diperbolehkan
pada setiap kawasan dengan telah mempertimbangkan kawasan-kawasan
dengan risiko bencana dan upaya mitigasi bencana;
3. Ketentuan intensitas pemanfaatan ruang yang akan menjadi arahan minimal
dalam menetapkan besaran kawasan lindung, intensitas pemanfaatan
ruang di kawasan budi daya, dan besaran ruang terbuka hijau dengan
mempertimbangkan kawasan-kawasan dengan risiko bencana dan upaya
mitigasi bencana; dan
4. Ketentuan prasarana dan sarana minimum sebagai dasar fisik lingkungan
guna mendukung pengembangan kawasan agar dapat berfungsi secara
optimal dengan mempertimbangkan kawasan-kawasan dengan risiko
bencana dan upaya mitigasi bencana.

Pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan rencana tata ruang


wilayah provinsi (Integrasi spasial) secara lebih rinci dapat dilihat pada Standar
Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana yang sedang disusun oleh
Kementerian Pekerjaan Umum.

3.5 Contoh Peran Penataan Ruang dalam Pengurangan Risiko Bencana


Berikut ini diberikan contoh peran penataan ruang dalam pengurangan risiko
bencana, khususnya bencana tsunami. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
pengurangan risiko bencana dilakukan dengan cara memperkecil ancaman (hazard)
kawasan, mengurangi kerentanan (vulnerability) kawasan yang terancam, dan
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 75

meningkatkan kapasitas (capacity) kawasan yang terancam. Dengan memperhatikan


ketiga komponen tersebut, maka upaya pengurangan risiko bencana tsunami di
suatu kawasan yang terancam dapat dilakukan antara lain dengan cara-cara berikut
ini22:
1. Untuk memperkecil ancaman (hazard) kawasan dilakukan upaya pencegahan
melalui Penyusunan Panduan Penataan Ruang Kawasan Pantai Rawan Tsunami;
2. Untuk mengurangi kerentanan (vulnerability) kawasan dilakukan upaya mitigasi
bencana tsunami antara lain melalui:
a. Pemutakhiran peta risiko tsunami secara berkala dan berkelanjutan;
b. Pembangunan infrastruktur mitigasi bencana tsunami;
c. Sinkronisasi kebijakan RTR (RTRW dan RDTR), IMB, dan perencanaan
pembangunan daerah lainnya berbasismitigasi bencana tsunami; dan
d. Pembangunan dan pemeliharaan gedung penyelamatan/pengungsian
(escape building) untuk masyarakat di daerah rawan bencana tsunami.
3. Untuk meningkatkan kapasitas (capacity) kawasan dilakukan upaya kesiapsiagaan
bencana tsunami yang meliputi antara lain:
a. Peningkatan kapasitas prasarana dan sarana evakuasi masyarakat pada
kawasan rawanbencana tsunami;
b. Pembangunan sistem peringatan dini bencana tsunami;
c. Penyusunan dan penetapan rencana evakuasi tingkat kabupaten hingga
ketingkat desa; dan
d. Pengembangan budaya siaga bencana dan kemandirian masyarakat dalam
memobilisasi sumber daya dalam menghadapi risiko bencana tsunami.

Dalam upaya pengurangan risiko bencana ke depan terdapat beberapa isu strategis
yang perlu dipertimbangkan, yaitu: (a) bencana akibat faktor geologi; (b) perubahan
iklim yang mengglobal; (c) bertambahnya degradasi lingkungan; dan (d) laju
demografi. Berikut ini contoh internalisasi isu-isu tersebut dalam pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang23:

1. Bencana akibat faktor geologi


Pengurangan risiko bencana dalam penataan ruang dilakukan dengan prinsip:
ancaman (hazard) yang tidak dapat dicegah, harus dihindari mengembangkan
kawasan terancam tersebut sebagai permukiman atau kawasan pertumbuhan
ekonomi. Namun bagaimana bila hal tersebut tidak dapat dihindari?Misalnya
kawasan terancam tersebut sudah merupakan kawasan permukiman padat.Apa
yang harus dilakukan untuk mengurangi risiko bencana? Pengurangan risiko

22
Lilik Kurniawan, Direktur Pengurangan Risiko Bencana, BNPB, “Isu-isu Strategis Pengarusutamaan Pengurangan Risiko
Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang, Keynote Speech dalam Diskusi Terarah Materi Teknis – SCDRR II, Bappenas, 10 Juni
2014.
23
Ibid.
76 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

bencana dapat dilakukan antara lain melalui penerapan kebijakan tindakan


relokasi, adaptasi, atau proteksi.

2. Perubahan iklim yang mengglobal


Pengurangan risiko bencana dalam penataan ruang dilakukan dengan
memperhatikan bahwa: ancaman (hazard) merupakan kombinasi dari faktor
alam yang tidak dapat dicegah dan faktor manusia yang dapat dikendalikan.
Dengan demikian perlu dilakukan upaya-upaya yang tidak akan memperparah
perubahan iklim, yaitu dengan mengendalikan kegiatan manusianya. Bagaimana
caranya dan dapatkah ini dilakukan?

3. Bertambahnya degradasi lingkungan


Pengurangan risiko bencana dalam penataan ruang dilakukan dengan
memperhatikan bahwa: ancaman (hazard) merupakan pengaruh manusia,
yaitu kebutuhan akan permukiman serta pemanfaatan sumber daya alam yang
tidak terkendali, termasuk pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan.
Kebijakan seperti apa yang dibutuhkan dan bagaimana pengendaliannya?

4. Laju demograi
Laju demografi mempengaruhi faktor kerentanan dan kapasitas.Pengurangan
risiko bencana dilakukan dengan mengurangi kerentanan dan meningkatkan
kapasitas.

3.6 Tantangan dalam Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam


Penyusunan RTRW Provinsi
Beberapa tantangan yang dihadapi oleh pemerintah provinsi dalam menyusun
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dengan perspektif Pengurangan Risiko Bencana
diantaranya adalah:

1. Kelengkapan peraturan perundang-undangan, standar, pedoman, dan manual


di bidang penataan ruang yang dapat dijadikan acuan dalam penyusunan RTRW
Provinsi dengan perspektif pengurangan risiko bencana.

2. Ketersediaan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dan Rencana Aksi Daerah


Pengurangan Risiko Bencana (RAD PRB) Provinsi yang dapat digunakan sebagai
dasar pengintegrasian kajian risiko bencana (KRB) ke dalam penyusunan RTRW
Provinsi. Saat ini telah ada Rencana Penanggulangan Bencana untuk 33 Provinsi
(kecuali Kalimantan Utara) untuk periode 2012-2016.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 77

3. Penyelesaian Perda RTRW Provinsi berbasis mitigasi bencana sesuai amanat UU


No. 26 tahun 2007. Dari status Perda RTRW Provinsi per 30 Mei 201424, sudah 25
provinsi yang telah mempunyai perda RTRW Provinsi, yaitu Provinsi Bali, Sulawesi
Selatan (2009), Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara
Barat (2010), Banten, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo (2011), Sumatera Barat,
Bengkulu, DKI Jakarta, Jawa Timur (2012), Nanggroe Aceh Darussalam, Jambi,
Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat (2013), Kepulauan
Bangka Belitung, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara (2014).
Sementara 8 (delapan) provinsi sisanya sudah mendapatkan persetujuan
substansi dari Menteri PU.

Mengingat RPB untuk provinsi baru ada pada tahun 2012, maka kemungkinan
besar kajian risiko bencana belum diintegrasikan ke dalam muatan RTRW yang
telah menjadi Perda tersebut. Proses pengintegrasian baru dapat dilakukan
pada saat dilakukan peninjauan kembali pada tahun kelima. Hal ini menjadi
tantangan karena RPB provinsi yang ada untuk periode 2012-2016.Misalnya
untuk RTRW Provinsi Bali dan Sulawesi Selatan yang telah menjadi Perda pada
tahun 2009, seharusnya peninjauan kembali dilakukan pada tahun kelima, yaitu
tahun 2013. Sementara jangka waktu RPB yang ada hanya sampai tahun 2016.
Berarti ada dua tahun (2017-2018) yang tidak tercakup dalam RPB sampai waktu
peninjauan kembali berikutnya pada tahun 2018. Apabila pada saat penyusunan
atau peninjauan kembali rencana tata ruang, RPB belum tersedia, maka SKPD
penyusun rencana tata ruang dapat melakukan kajian risko bencana secara
mandiri berkoordinasi dengan BPBD dan mengacu pada Perka BNPB No. 02
tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.

4. Kualitas RPB yang ada. Apakah Rencana Penanggulangan Bencana (RPB)


Provinsi yang ada (1) sudah memenuhi standar kualitas yang dibutuhkan, dan
(2) muatannya lengkap dan sesuai sehingga dapat digunakan sebagai acuan
pengintegrasian kajian risiko bencana (KRB) ke dalam muatan RTRW Provinsi?
Selain itu bila SKPD melakukan sendiri pengkajian risiko bencana, bagaimana
agar kualitas yang dihasilkan dapat memenuhi standar yang ditetapkan BNPB?
Apakah BNPB sudah mempunyai mekanisme yang baku untuk menjamin kualitas
setiap RPB (dan KRB) yang disusun oleh setiap BPBD maupun SKPD agar memiliki
kualitas sesuai standar yang ditetapkan?

24
Rekapitulasi Progress Penyelesaian RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia, Ditjen Penataan Ruang, Kemen-
terian Pekerjaan Umum, Status 30 Mei 2014
78 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

5. RTRW Provinsi saat ini ada yang sudah menjadi Perda, sedang proses Raperda,
dan sudah mendapatkan persetujuan substansi. Bagaimana dan kapan
pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam RTRW Provinsi tersebut harus
dilakukan?

6. Di tingkat provinsi, ketersediaan peta rupa bumi tidak menjadi masalah karena
RPB sudah tersedia untuk semua provinsi, kecuali Provinsi Kalimantan Utara.
Namun hal ini merupakan tantangan dalam penyusunan RTRW kabupaten/kota.

7. Kapasitas dan peran kelembagaan dalam bidang penataan ruang dan


penanggulangan bencana di daerah, BKPRD dan BPBD, dalam mendukung
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan RTRW
Provinsi.

8. Kemampuan pemerintah daerah dalam menjamin pemanfaatan ruang yang


berbasis mitigasi bencana dan mengoptimalkan pengendalian pemanfaatan
ruang terutama di kawasan-kawasan dengan risiko bencana.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 79

BAB 4
Pengarusutamaan Pengurangan
Risiko Bencana ke dalam
Penyusunan Rencana Tata Ruang
Kawasan Strategis Nasional
80 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 81

BAB 4
Pengarusutamaan Pengurangan
Risiko Bencana ke dalam Penyusunan
Rencana Tata Ruang Kawasan
Strategis Nasional

4.1 Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dalam Penyusunan Rencana Tata


Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN)
Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang
Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN) menetapkan 10 tipologi KSN, yaitu
1. Tipologi kawasan pertahanan dan keamanan (kawasan perbatasan negara dan
wilayah pertahanan);
2. Tipologi kawasan perkotaan yang merupakan kawasan metropolitan;
3. Tipologi KAPET;
4. Tipologi kawasan ekonomi dengan perlakuan khusus (nonKAPET);
5. Tipologi kawasan warisan budaya/adat tertentu;
6. Tipologi kawasan teknologi tinggi;
7. Tipologi kawasan SDA di darat;
8. Tipologi kawasan hutan lindung-taman nasional;
9. Tipologi kawasan rawan bencana; dan
10. Tipologi kawasan ekosistem termasuk kawasan kritis lingkungan.

Setiap tipologi memiliki kekhususan dalam karakteristik maupun fokus


penanganannya. Saat ingin mengarusutamakan pengurangan risiko bencana ke
dalam penyusunan RTR KSN, perlu ditelaah terlebih dulu seberapa relevannya
melakukan kajian risiko bencana (KRB) untuk setiap tipologi KSN. Hal ini karena ada
tipologi yang berbasis kawasan dan ada yang berbasis objek strategis. Ada yang
meliputi kawasan yang luas, lebih dari satu provinsi (misalnya Kawasan Perkotaan
Jabodetabekpunjur) dan ada yang merupakan kawasan yang kecil (misalnya Kawasan
82 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Teknologi Tinggi). Selain itu, mengingat KSN tersebut ada yang termasuk dalam
wilayah administrasi tertentu, yaitu provinsi/kabupaten/kota, maka pertanyaannya
adalah apakah dibutuhkan kajian risiko bencana khusus untuk KSN tersebut, atau
sudah tercakup dalam kajian risiko bencana di RTRW provinsi/kabupaten/kota yang
bersangkutan?

Penentuan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa apabila tersedia


informasi yang lebih detil, maka sebaiknya digunakan informasi yang lebih detil
tersebut dalam penyusunan RTR KSN. Artinya, apabila RPB kabupaten/kota telah
tersedia, maka sebaiknya RPB kabupaten/kota tersebut yang digunakan sebagai
dasar dalam mengintegrasikan kajian risiko bencana ke dalam RTR KSN. Seperti
telah disebutkan sebelumnya, kedalaman analisis di tingkat nasional adalah minimal
hingga kabupaten/kota, kedalaman analisis di tingkat provinsi minimal hingga
tingkat kecamatan, dan kedalaman analisis di tingkat kabupaten/kota minimal
hingga kelurahan/desa/kampong/nagari. Semakin detil informasi dan kedalaman
analisis, maka semakin baik bagi penyusunan RTR KSN.

Beberapa kriteria yang dapat digunakan sebagai dasar penentuan pengkajian risiko
bencana pada suatu tipologi KSN diantaranya adalah:

1. Cakupan wilayah KSN, apakah masuk dalam suatu wilayah administrasi


tertentu (provinsi/kabupaten/kota) atau lintasadministrasi (lintas provinsi/lintas
kabupaten-kota)

a. Bila masuk dalam satu wilayah administrasi kabupaten/kota:


- Tidak diperlukan kajian risiko bencana khusus, tetapi dapat menggunakan
kajian risiko bencana yang ada di dalam RTRW Kabupaten/Kota yang
bersangkutan, dengan asumsi RTRW tersebut telah memuat kajian risiko
bencana. Bila belum, maka dapat digunakan kajian risiko bencana dalam
Rencana Penanggulangan Bencana kabupaten/kota yang bersangkutan.
- Mengingat kedalaman analisis di tingkat kabupaten/kota minimal
sampai kelurahan/desa/kampung/negeri, maka untuk kajian risiko
bencana di RTR KSN ini dapat dilakukan dengan mengambil hasil kajian
risiko bencana untuk kelurahan-kelurahan/desa-desa yang terkait saja.
Misalnya, untuk Kawasan Industri Lhokseumawe, maka cukup diambil
kelurahan-kelurahan yang terkait dengan kawasan industri tersebut
dengan memperhatikan keterkaitannya dengan kawasan yang lebih luas
(keterkaitan antara kawasan inti dan kawasan penyangga).
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 83

- Bila pada saat penyusunan atau peninjauan kembali RTR KSN, RPB yang
dibutuhkan belum ada, maka K/L terkait dapat melakukan pengkajian
risiko bencana sendiri berkoordinasi dengan BNPB dan mengacu pada
Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian
Risiko Bencana.

b. Bila wilayah KSN tersebut dalam wilayah satu provinsi tetapi terdiri atas lebih
dari satu kabupaten dan/atau kota (lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi):
- Dapat menggunakan kajian risiko bencana dalam RTRW Provinsi yang
bersangkutan dengan asumsi RTRW tersebut telah memuat kajian risiko
bencana. Bila belum, maka dapat digunakan kajian risiko bencana dalam
Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Provinsi yang bersangkutan,
karena kedalaman analisis di tingkat provinsi minimal sampai kecamatan,
sehingga cukup memadai.
- Namun bila Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) di tingkat
kabupaten/kota sudah tersedia, maka sebaiknya digunakan kajian risiko
bencana dalam RPB Kabupaten/Kota, sehingga dapat diperoleh kajian
yang lebih rinci untuk KSN tersebut. Hal ini penting terutama untuk
wilayah-wilayah dengan kelas risiko bencana tinggi.
- Apabila wilayah KSN tersebut tidak mencakup seluruh wilayah administrasi,
maka dilakukan delineasi sampai unit administrasi terkecil yang
memungkinkan. Bila unit administrasi terkecil adalah kecamatan, maka
dapat menggunakan RPB Provinsi, sementara bila unit administrasi terkecil
adalah kelurahan, maka harus menggunakan RPB Kabupaten/Kota.
- Fokus kajian terutama pada keterpaduan penyelenggaraan
penanggulangan bencana di kawasan tersebut, terutama untuk
melindungi kawasan-kawasan yang strategis.
Sebagai contoh, Kawasan Perkotaan Sarbagita yang terdiri atas Kota/
Kabupaten Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan.

c. Bila wilayah KSN tersebut lintas provinsi, pada dasarnya sama dengan butir
(b) di atas, yaitu:
- Bila delineasi menggunakan unit adminisrasi kecamatan, maka dapat
menggunakan kajian risiko bencana dalam RPB Provinsi;
- Sedangkan bila delineasi menggunakan unit administrasi kelurahan/
desa, maka sebaiknya menggunakan kajian risiko bencana dalam RPB
Kabupaten/Kota, bila sudah tersedia.
- Kajian risiko bencana dalam RPB Kabupaten/Kota juga dapat digunakan
untuk mempertajam analisis pada kawasan-kawasan dengan kelas risiko
tinggi.
84 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

- Bila RPB-RPB Provinsi/Kabupaten/Kota tidak memiliki jangka waktu


(periode) yang sama atau belum ada, sehingga sulit untuk diintegrasikan,
maka K/L terkait melakukan pengkajian risiko bencana secara khusus
berkoordinasi dengan BNPB dan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun
2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.
- Fokus kajian terutama pada penyelenggaraan penanggulangan bencana
lintasprovinsi yang dilakukan secara terpadu serta upaya perlindungan
bagi kawasan-kawasan yang strategis. Hal ini dikarenakan masing-masing
wilayah provinsi telah melakukan kajian risiko bencana di dalam RPBnya
masing-masing, sehingga kajian risiko bencana di RTR KSN difokuskan
terutama pada keterpaduan penyelenggaraan penanggulangan
bencana lintas administrasi (provinsi) dengan tujuan melindungi
kawasan-kawasan yang strategis. Sebagai contoh, bencana banjir di
Kawasan Perkotaan Jabodetabekpunjur. Mengingat kawasan perkotaan
Jabodetabekpunjur mencakup 3 (tiga) wilayah provinsi, yaitu DKI Jakarta,
Jawa Barat, dan Banten, maka rencana penanggulangan bencana di
kawasan tersebut sebaiknya difokuskan pada penanggulangan bencana
banjir lintas administrasi yang terpadu dan tidak tumpang tindih dengan
penanggulangan bencana di masing-masing provinsi, dengan fokus pada
pengamanan dan perlindungan kawasan-kawasan yang strategis.

2. KSN berbasis kawasan/objek strategis:


a. Mengingat cakupan wilayahnya yang tidak terlalu luas dan umumnya
terdapat dalam satu wilayah administrasi, maka tidak memerlukan kajian
risiko bencana khusus, dan dapat menggunakan kajian risiko bencana
yang ada di dalam RPB kabupaten/kota yang bersangkutan.
b. Namun demikian, bila KSN tersebut dirasakan membutuhkan
perlindungan khusus dari ancaman bencana (karena fungsi atau nilainya),
dan muatan kajian risiko bencana dalam RPB kabupaten/kota yang
bersangkutan dirasakan kurang spesifik mengakomodasi kebutuhan
KSN tersebut, maka dapat dilakukan pengkajian risiko bencana secara
khusus yang spesifik sesuai dengan karakteristik KSN tersebut dengan
memperhatikan keterkaitan antara kawasan inti dan kawasan penyangga.
c. Bila RPB kabupaten/kota yang bersangkutan belum ada, maka K/L terkait
dapat melakukan pengkajian risiko bencana secara khusus berkoordinasi
dengan BNPB dan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang
Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.
Sebagai contoh adalah KSN Tipologi Kawasan Teknologi Tinggi dan Kawasan
Warisan Budaya/Adat Tertentu.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 85

3. KSN yang merupakan kawasan lindung tidak membutuhkan kajian risiko


bencana secara khusus, dan dapat menggunakan kajian risiko bencana yang
ada di dalam RPB provinsi/kabupaten yang bersangkutan, terutama bagi
kawasan-kawasan permukiman/terbangun yang ada di kawasan lindung
tersebut. Pengendalian pemanfaatan ruang sangat penting untuk dilakukan
secara tegas di kawasan-kawasan ini untuk mengendalikan laju konversi
lahan hutan dan menurunnya daya dukung lingkungan.

4. KSN yang rawan terhadap bencana membutuhkan pengkajian risiko bencana


secara khusus yang lebih rinci sesuai kebutuhan. KSN yang termasuk dalam
kategori ini adalah KSN dengan tipologi Kawasan Rawan Bencana dan Kawasan
Ekosistem termasuk Kawasan Kritis yang memiliki tingkat potensi bencana
yang tinggi dikarenakan telah menurunnya daya dukung lingkungan.

Penentuan kriteria tersebut di atas dilakukan dengan mempertimbangkan


isu strategis nasional dan fokus penanganan setiap tipologi KSN seperti yang
dimuat dalam Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional. Untuk lebih jelasnya lihat
Tabel 4.1
86
Tabel 4.1
Isu Strategis Nasional dan Fokus Penanganan Setiap Tipologi

— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Kawasan Strategis Nasional

Sudut Kepentingan dan KSN dalam RTRWN (PP 26/2008) Bentuk Isu StrategisNasional Fokus Penanganan
Tipologi
Pertahanan & Keamanan
Tipologi Kawasan Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 2 pulau KSN berbasis pembangunan kawasan perbatasan kawasan perbatasan negara:
Pertahanan dan Keamanan kecil terluar (P. Rondo dan Berhala) dengan India/ kawasan masih terbatas pada security approach pengaturan pada aspek pertahanan
(Kawasan Perbatasan Thailand/Malaysia (Provinsi NAD dan Sumatera belum tuntas garis batas negara untuk kepentingan pemeliharaan
Negara dan Wilayah Utara) dibeberapa kawasan perbatasan laut keamanan dan pertahanan
Pertahanan) Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 20 pulau kecil kerusakan atau pergeseran pilar batas negara berdasarkan geostrategi
terluar dengan negara Malaysia/Vietnam/Singapura perlunya pengamanan 92 pulau terluar nasional dengan memperhatikan
(Provinsi Riau & Kepulauan Riau) konflik pemanfaatan ruang pada bagian kawasan perbatasan yang
Kawasan Perbatasan Darat RI dengan negara Timor kawasan yang diperuntukkan bagi diperuntukkan untuk fungsi militer,
Leste (Provinsi NTT) wilayah pertahanan meliputi basis militer, daerah latihan
Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 5 pulau ancaman kedaulatan negara yang dapat militer, gudang amunisi, daerah
kecil terluar dengan negara Timor Leste/Australia mengakibatkan gangguan diplomatik pembuangan amunisi, dan instalasi
(Provinsi NTT) terjadi pelanggaran hukum di peralatan pertahanan.
Kawasan Perbatasan Darat RI dengan Jantung kawasanperbatasan negara pengaturan pada aspek kesejahteraan
Kalimantan (Provinsi Kalbar, Kaltim, dan Kalteng) minimnya prasarana dan sarana (dalam rangka ketahanan nasional)
Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 18 pulau pengamanan dan pengawasan dari sisi sosial, ekonomi, dan budaya:
kecil terluar dengan negara Malaysia dan Philipina perbatasan negara a) pengaturan sistem pelayanan
(Provinsi Kaltim, Sulteng, dan Sulut) keterisolasian masyarakat dan b)pengaturan kependudukan
Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 20 pulau kesenjangan tingkat kesejahteraan (populasi, sebaran, dan
kecil terluar dengan negara Timor Leste/Australia kawasan perbatasan dengan negara ketenagakerjaan)
(Provinsi Maluku dan Papua) tetangga c) pengaturan kegiatan ekonomi
Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 8 pulau kecil minimnya pelayanan prasarana dan utama dan penunjang
terluar dengan negara Palau (Provinsi Maluku Utara , sarana, serta dukungan kependudukan di d) pengaturan penyediaan sistem
Papua Barat, dan Papua) kawasan perbatasan negara prasarana dan sarana yang setara baik
Kawasan Perbatasan Darat RI dengan negara Papua dengan wilayah RI di luar kawasan
Nugini (Provinsi Papua) perbatasan maupun dengan negara
Kawasan Perbatasan Negara termasuk 19 pulau kecil yang berbatasan
terluar yang berhadapan dengan laut lepas (Prov pengaturan pada aspek pelestarian
NAD, Sumut, Sumbar, Bengkulu, Lampung, Banten, lingkungan termasuk pengamanan
Jabar, Jateng, Jatim, NTB) SDA
b. wilayah pertahanan: berdasarkan
ketentuan peraturanperundang-
undangan
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
Lanjutan Tabel 4.1
Sudut Kepentingan dan KSN dalam RTRWN (PP 26/2008) Bentuk Isu StrategisNasional Fokus Penanganan
Tipologi
Pertumbuhan Ekonomi
Tipologi Kawasan Perkotaan Kawasan Perkotaan Mebidangro (Provinsi Sumatera KSN berbasis lemahnya interaksi ekonomi antarwilayah pengaturan sistem perkotaan yang
yang Merupakan Kawasan Utara), kawasan serta lemahnya keterkaitan aktivitas mencakup penetapan fungsi dan peran
Metropolitan Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur termasuk ekonomi hulu-hilir kawasan perkotaan inti dan kawasan
Kepulauan Seribu (Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan lemahnya nilai tambah produk unggulan perkotaan di sekitarnya
Jawa Barat), wilayah strategis, rendahnya standardisasi pengaturan kegiatan ekonomi utama
Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung (Provinsi kualitas produk nasional, dan belum perkotaan yang mendukung sistem
Jawa Barat), terintegrasi dengan teknologi, kualitas perkotaan yang direncanakan dan
Kawasan Perkotaan Kedung Sepur (Provinsi Jawa SDM, dan industri unggulan mendukung pertumbuhan ekonomi
Tengah), masih rendahnya ketersediaan prasarana regional, nasional, serta berorientasi
Kawasan Perkotaan Gerbangkertosusila (Provinsi dan sarana nasional pada perdagangan internasional
Jawa Timur), masih tingginya tingkat kemiskinan pengaturan sistem jaringan prasarana
Kawasan Perkotaan Sarbagita (Provinsi Bali), belum optimalnya kawasan perkotaan dan sarana yang mendukung
Kawasan Perkotaan Mamminasata (Provinsi Sulawesi terutama kawasan metropolitan sebagai berfungsinya sistem perkotaan
Selatan) mesin penggerak ekonomi nasional pengaturan pola ruang yang serasi
antara peruntukan kegiatan budi
daya dan kegiatan lindung untuk
pemenuhan kebutuhan sosial ekonomi
masyarakat
pengaturan pengendalian
pemanfaatan ruang kawasan perkotaan
pengaturan kelembagaan pengelolaan
kawasan perkotaan

87
88
Lanjutan Tabel 4.1

— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Sudut Kepentingan dan KSN dalam RTRWN (PP 26/2008) Bentuk Isu StrategisNasional Fokus Penanganan
Tipologi
Tipologi KAPET Keppres No. 10 Tahun 1996 jo Keppres 90 Tahun KSN berbasis kesenjangan ekonomi KBI, KTI, dan pengaturan faktor-faktor pendukung
1996 tentang Pembentukan KAPET Biak. kawasan kawasan perbatasan negara, serta pengembangan ekonomi unggulan
Keppres 11/1998 tentang Pembentukan KAPET rendahnya interkonektivitas domestik yang terdiri atas industri/usaha inti,
Batulicin. intrawilayah di KBI, KTI, dan kawasan industry pendukung, jasa penunjang,
Keppres 12/1998 tentang Pembentukan KAPET perbatasan negara penelitian, pelatihan,pendidikan,
Sasamba. lemahnya interaksi ekonomi antarwilayah informasi, teknologi, sumber daya
Keppres 14/1998 tentang Pembentukan KAPET serta lemahnya keterkaitan aktivitas alam, serta lembaga-lembaga terkait
Manado Bitung. ekonomi hulu-hilir pengaturan pengembangan usaha
Keppres 15/1998 tentang Pembentukan KAPET lemahnya nilai tambah produk (bussiness development)yang berisi
Mbay. unggulan wilayah strategis, rendahnya antara lain bussiness plan dan
Keppres 164/1998 tentang Pembentukan KAPET standardisasi kualitas produk nasional, pengembangan khusus pada minimal
Parepare. dan belum terintegrasi dengan teknologi, 1 (satu) komoditas unggulan
Keppres 165/1998 tentang Pembentukan KAPET kualitas SDM, dan industri unggulan pengaturan sistem pusat pelayanan
Seram. lemahnya dukungan insentif fiskal dan kegiatan ekonomi kawasan yang
Keppres 166/1998 tentang Pembentukan KAPET nonfiskal kawasan ekonomi terintegrasi dengan kebijakan sistem
Bima. masih rendahnya ketersediaan prasarana perkotaan pada RTRW
Keppres 167/1998 tentang Pembentukan KAPET dan sarana nasional pengaturan ketenagakerjaan
Batui. kurangnya daya dukung pengembangan pengaturan sistem jaringan prasarana
Keppres 168/1998 tentang Pembentukan KAPET aktivitas ekonomi dalam penyerapan utama dan jaringan prasarana
Bukari. tenaga kerja pendukung yang terintegrasi dengan
Keppres 170/1998 tentang Pembentukan KAPET sistem jaringan prasarana dalam RTRW
DAS Kakab. pengaturan arahan peraturan
Keppres 171/1998 tentang Pembentukan KAPET zonasi, arahan perizinan, dan arahan
Sabang pemberian insentif pada kawasan
Kapet Khatulistiwa ekonomi unggulan wilayah
pengaturan kelembagaan pengelolaan
kawasan
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
Lanjutan Tabel 4.1
Sudut Kepentingan dan KSN dalam RTRWN (PP 26/2008) Bentuk Isu StrategisNasional Fokus Penanganan
Tipologi
Tipologi Kawasan Ekonomi Kawasan Industri Lhokseumawe, KSN berbasis lemahnya nilai tambah produk pengaturan kegiatan ekonomi yang
dengan Perlakuan Khusus Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas kawasan/ unggulan wilayah strategis, rendahnya berdaya saing internasional
(Non KAPET) (KPBPB) Sabang objek strategis standardisasi kualitas produk pengaturan penyediaan lapangan
Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun (Provinsi Kep nasional,dan belum terintegrasi dengan pekerjaan
Riau) teknologi,kualitas SDM, dan industri pengaturan sistem pusat pelayanan
Kawasan Selat Sunda unggulan dengan memperhatikan sistem
lemahnya dukungan insentif fiskal dan perkotaan yang telah ditetapkan
nonfiskal kawasan ekonomi dalam RTRW;
masih rendahnya ketersediaan prasarana pengaturan kawasan inti:
dan sarana nasional pengaturan zonasi dan kegiatan
kurangnya daya dukung pengembangan pengaturan standardisasi pelayanan
aktivitas ekonomi dalam penyerapan minimal sistem
tenaga kerja jaringan prasarana
pengaturan kawasan penyangga
yang meliputi pengaturan zonasi dan
kegiatan
pengaturan pengendalian
pemanfaatan ruang pada kawasan
penyangga
pengaturan kelembagaan pengelolaan
kawasan
Sosial Budaya
Tipologi Kawasan Warisan Kawasan Warisan Budaya: KSN berbasis pelindungan dan pengamanan warisan pengaturan kawasan inti:
Budaya/Adat Tertentu Kawasan Borobudur dan sekitarnya (Provinsi Jawa kawasan/ budaya dunia pengaturan zonasi dan kegiatan
Tengah), dan objek strategis pelindungan objek budaya sebagai objek yang difokuskan pada pelindungan/
Kawasan Candi Prambanan (Provinsi Jawa Tengah) vital nasional pelestarian warisan budaya/adat
pelindungan nilai adat istiadat, dan tertentu
Kawasan Adat Tertentu tradisi budaya bangsa pengaturan jenis dan kualitas
Kawasan Toraja dan sekitarnya (Provinsi Sulawesi pelayanan prasarana
Selatan) pendukung berbasis nilai-nilai warisan
budaya dan adat tertentu
pengaturan kawasan penyangga:
pengaturan batas/radius kawasan
penyangga untuk pelindungan
kawasan inti
pengaturan zonasi dan kegiatan di
kawasan penyangga
pengaturan prasarana pendukung

89
pengembangan kawasan penyangga,
termasuk antisipasi bencana banjir dan
kebakaran
90
Lanjutan Tabel 4.1

— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Sudut Kepentingan dan KSN dalam RTRWN (PP 26/2008) Bentuk Isu StrategisNasional Fokus Penanganan
Tipologi
Pendayagunaan SDA dan/atau Teknologi Tinggi
Tipologi Kawasan Teknologi Kawasan Stasiun Pengamat Dirgantara Kototabang KSN berbasis belum tersedianya alokasi ruang dan pengaturan kawasan inti:
Tinggi (Provinsi Sumatera Barat) objek strategis pengamanan ruang untuk kegiatan pengaturan zonasi dan kegiatan
Kawasan Instalasi Lingkungan dan Cuaca (Provinsi pengembangan IPTEK sesuai dengan ketentuan peraturan
DKI Jakarta) belum dimilikinya penguasaan teknologi perundang-undangan
Kawasan Fasilitas Pengolahan Data dan Satelit ramah lingkungan dan kebijakan alokasi pengaturan pembangunan prasarana
(Provinsi DKI Jakarta) ruang pendukung pemanfaatan potensi pendukung sesuai dengan peraturan
Kawasan Fasilitas Uji Terbang Roket Pamengpeuk SDA yang ada perundang-undangan
(Provinsi Jawa Barat) pengaturan kawasan penyangga:
Kawasan Stasiun Pengamat Dirgantara Pamengpeuk pengaturan batas/radius kawasan
(Provinsi Jawa Barat) penyangga untuk pelindungan
Kawasan Stasiun Pengamat Dirgantara Tanjung Sari kawasan inti dan pelindungan
(Provinsi Jawa Barat) keselamatan penduduk di sekitar
Kawasan Stasiun Telecomand (Provinsi Jawa Barat) kawasan inti
Kawasan Stasiun Bumi Penerima Satelit Mikro pengaturan zonasi dan kegiatan di
(Provinsi Jawa Barat) kawasan penyangga
Kawasan Stasiun Pengamat Dirgantara Watukosek pengaturan prasarana pendukung
(Provinsi Jawa Timur) pengembangan kawasan penyangga
Kawasan Stasiun Pengamat Dirgantara Pontianak pengaturan pelindungan kawasan inti
(Provinsi Kalimantan Barat) dari ancaman bencana, yang antara
Kawasan Stasiun Bumi Sumber Alam Parepare lain dapat berupa pelindungan dari
(Provinsi Sulawesi Selatan) potensi gangguan sosial, cahaya,
Kawasan Stasiun Bumi Satelit Cuaca dan Lingkungan suara, getaran, kebakaran, banjir, dan
(Provinsi Papua) bencana akibat posisi geografis.
Kawasan Stasiun Telemetry Tracking and Command
Wahana Peluncur Satelit (Provinsi Papua)
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
Lanjutan Tabel 4.1

Sudut Kepentingan dan KSN dalam RTRWN (PP 26/2008) Bentuk Isu StrategisNasional Fokus Penanganan
Tipologi
Tipologi Kawasan SDA di Kawasan Timika (Provinsi Papua) KSN berbasis belum dimilikinya penguasaan teknologi pengaturan keseimbangan ekosistem
Darat Kawasan Soroako dan sekitarnya (Provinsi Sulawesi kawasan ramah lingkungan dan kebijakan alokasi kawasan dalam
Selatan) ruang pendukung pemanfaatan potensi rangka pengamanan WPN untuk
SDA yang ada kepentingan strategis
belum ditetapkannya WPN dengan nasional
memperhatikan keseimbangan pelindungan LP2B dari alih fungsi
ekosistem lahan
tidak terkendalinya alih fungsi lahan pengaturan pengelolaan lingkungan
pertanian yang berkelanjutan
belum dipertimbangkannya aspek terkait dengan dampak pemanfaatan
penataan ruang terkait dengan SDA
penanggulangan dampak kegiatan saat pengaturan zonasi dan kegiatan terkait
dan pasca pemanfaatan SDA dengan kawasan-kawasan pasca
pemanfaatan SDA
pengaturan kawasan inti:
pengaturan zonasi dan kegiatan
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
pengaturan sistem prasarana utama
dan sistem prasarana lainnya yang
terintegrasi denganpengembangan
wilayah
pengaturan kawasan penyangga:
pengaturan batas/radius kawasan
penyangga untuk pelindungan
kawasan inti
pengaturan zonasi dan kegiatan
pengaturan prasarana pendukung
pengembangan kawasan penyangga
untuk mengantisipasi kemungkinan
kesenjangan dengan kawasan inti
pengaturan keberlanjutan fungsi pusat
pelayanan pasca pemanfaatan SDA

91
92
Lanjutan Tabel 4.1

— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Sudut Kepentingan dan KSN dalam RTRWN (PP 26/2008) Bentuk Isu StrategisNasional Fokus Penanganan
Tipologi
Fungsi dan Daya Dukung Lingkungan Hidup
Tipologi Hutan Lindung- Kawasan Hutan Lindung KSN berbasis pemanfaatan SDA yang memberikan pengaturan kawasan inti:
Taman Nasional Kawasan Hutan Lindung Mahato (Provinsi Riau) kawasan tekanan terhadap keanekaragaman pengaturan zona dan kegiatan
Kawasan Hutan Lindung Bukit Batabuh (Provinsi hayati sesuai dengan ketentuan peraturan
Riau dan Sumatera Barat) kebutuhan akan penelitian terhadap perundang-undangan
Kawasan Konservasi Keanekaragaman Hayati Teluk hutan hujan tropis pengaturan pembangunan prasarana
Bintuni (Provinsi Papua) dampak lingkungan akibat perubahan pendukung sesuai dengan ketentuan
Kawasan Konservasi Keanekaragaman Hayati Raja iklim global peraturan perundang-undangan
Ampat (Provinsi Papua Barat) menurunnya daya dukung lingkungan pengaturan kawasan penyangga:
Kawasan Konservasi dan Wisata Daerah Aliran tingginya laju konversi lahan hutan pengaturan batas/radius kawasan
Sungai Tondano (Provinsi Sulawesi Utara) penyangga untuk pelindungan
Kawasan Gunung Rinjani (Provinsi Nusa Tenggara kawasan inti
Barat) pengaturan zona dan kegiatan
Kawasan Taman Nasional pengendalian pusat kegiatan, sistem
Kawasan Taman Nasional Lorentz (Provinsi Papua) prasarana utama dan sistem prasarana
Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa - Watumohai lainnya yang berpotensi mengganggu
dan Rawa Tinondo (Provinsi Sulawesi Tenggara) kawasan inti
Kawasan Taman Nasional Tanjung Puting (Provinsi
Kalimantan Tengah)
Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun (Provinsi
Kalimantan Barat)
Kawasan Taman Nasional Komodo (Provinsi Nusa
Tenggara Barat)
Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (Provinsi
Banten)
Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (Provinsi
Jambi)
Kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (Provinsi
Jambi dan Riau)
Kawasan Taman Nasional Berbak (Provinsi Jambi)
Kawasan Pangandaran – Kalipuncang – Segara
Anakan – Nusakambangan (Pacangsanak) (Provinsi
Jawa Barat dan Jawa Tengah)
Kawasan Lingkungan Hidup Taman Nasional Kerinci
Seblat (Provinsi Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu,
dan Sumatera Selatan)
Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya (Provinsi
Sumatera Utara)
Kawasan Ekosistem Leuser (Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam)
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
Lanjutan Tabel 4.1

Sudut Kepentingan dan KSN dalam RTRWN (PP 26/2008) Bentuk Isu StrategisNasional Fokus Penanganan
Tipologi
Tipologi Kawasan Rawan Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (Provinsi KSN berbasis tingginya laju konversi lahan hutan pengaturan sistem evakuasi
Bencana Jawa Tengah & DI Yogyakarta) kawasan tingginya potensi bencana pengaturan fungsi lindung dan fungsi
kurangnya pengendalian permukiman di budi daya sesuai dengan karakteristik
kawasan rawan bencana daya dukung pada kawasan rawan
bencana
pengaturan kegiatan pada
kawasan rawan bencana (termasuk
hunian sementara) terkait dengan
pengelolaan kegiatan pada kawasan
rawan bencana
pengaturan sistem prasarana
pendukung di lokasi evakuasi sesuai
dengan standar pelayanan minimal
yang ditentukan
Tipologi Kawasan Kawasan Kritis Lingkungan Buol-Lambunu (Provinsi KSN berbasis pemanfaatan SDA yang memberikan penetapan kriteria keberlanjutan
Ekosistem termasuk Sulawesi Tengah) kawasan tekanan terhadap keanekaragaman kawasan ekosistem
Kawasan Kritis Kawasan Kritis Lingkungan Balingara (Provinsi hayati pengaturan komposisi kawasan
Sulawesi Tengah) kebutuhan akan penelitian terhadap lindung dan kawasan budidaya yang
hutan hujan tropis menjamin keserasian kemampuan dan
menurunnya daya dukung lingkungan pemanfaatan unsur dalam alam secara
tingginya laju konversi lahan hutan timbal balik
tingginya potensi bencana pengaturan fungsi budi daya terkait
dengan daya rusak air khususnya
sistem pusat pelayanan, fasilitas
ekonomi penting, sistem transportasi,
serta sistem jaringan sumberdaya air
Sumber: (1) PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Lampiran X Penetapan Kawasan Strategis Nasional; dan
(2) Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional

93
94 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Berdasarkan kriteria tersebut di atas dan dengan memperhatikan isu strategis


nasional dan fokus pengembangan setiap tipologi, maka kebutuhan kajian risiko
bencana untuk setiap tipologi dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Tipologi kawasan pertahanan dan keamanan (kawasan perbatasan negara


dan wilayah pertahanan)
Berdasarkan Lampiran X tentang Penetapan Kawasan Strategis Nasional dalam
PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tipologi ini
terdiri atas kawasan perbatasan laut dan darat sebagai berikut:

A. Kawasan Perbatasan Laut RI


a. Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 2 pulau kecil terluar (P. Rondo
dan Berhala) dengan India/Thailand/Malaysia (Provinsi Nnggroe Aceh
Darussalam dan Sumatera Utara)
b. Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 20 pulau kecil terluar dengan
negara Malaysia/Vietnam/Singapura (Provinsi Riau & Kepulauan Riau)
c. Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 5 pulau kecil terluar dengan negara
Timor Leste/Australia (Provinsi Nusa Tenggara Timur)
d. Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 18 pulau kecil terluar dengan negara
Malaysia dan Philipina (Provinsi Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, dan
Sulawesi Utara)
e. Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 20 pulau kecil terluar dengan
negara Timor Leste/Australia (Provinsi Maluku dan Papua)
f. Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 8 pulau kecil terluar dengan negara
Palau (Provinsi Maluku Utara , Papua Barat, dan Papua); dan
g. Kawasan Perbatasan Negara termasuk 19 pulau kecil terluar yang
berhadapan dengan laut lepas (Prov NAD, Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Nusa Tenggara Barat).

B. Kawasan Perbatasan Darat RI


a. Kawasan Perbatasan Darat RI dengan negara Timor Leste (Provinsi Nusa
Tenggara Timur)
b. Kawasan Perbatasan Darat RI dengan Jantung Kalimantan (Provinsi
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah)
c. Kawasan Perbatasan Darat RI dengan negara Papua Nugini (Provinsi
Papua)
Penanggulangan bencana untuk tipologi kawasan pertahanan dan keamanan
dilakukan sebagai berikut:
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 95

a. Untuk kawasan perbatasan laut dilakukan melalui Rencana Zonasi Wilayah


Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K);
b. Untuk kawasan perbatasan darat RI dengan (a) negara Timor Leste
(Provinsi NTT) dan (c) negara Papua Nugini (Provinsi Papua) digunakan
kriteria 1 (a) atau 1 (b).
- Bila wilayah kawasan perbatasan darat masuk dalam satu wilayah
kabupaten, maka tidak dilakukan kajian risiko bencana secara
khusus, tetapi dapat mengadopsi kajian risiko bencana dalam RTRW
Kabupaten yang bersangkutan bila telah memuat kajian risiko
bencana; atau bila belum, maka dapat mengintegrasikan kajian risiko
bencana dalam RPB Kabupaten yang bersangkutan;
- Bila wilayah kawasan perbatasan darat terdiri atas lebih dari satu
kabupaten, maka tidak dilakukan kajian risiko bencana secara khusus,
tetapi dapat mengadopsi kajian risiko bencana dalam RTRW Provinsi
yang bersangkutan (NTT dan Papua), dan bila dirasa perlu dapat
dipertajam dengan kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten
yang bersangkutan, terutama untuk wilayah dengan kelas risiko
bencana tinggi.
c. Untuk kawasan perbatasan darat dengan Jantung Kalimantan digunakan
kriteria 1 (c), yaitu mengadopsi kajian risiko bencana dalam RTRW Provinsi
yang bersangkutan (Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan
Kalimantan Timur) dengan penajaman dari RTRW Kabupaten/Kota
terkait, terutama untuk kawasan dengan kelas risiko bencana tinggi. Bila
periodenya tidak sesuai/belum ada, maka perlu dilakukan kajian risiko
bencana khusus.

2. Tipologi kawasan perkotaan yang merupakan kawasan metropolitan


Berdasarkan Lampiran X tentang Penetapan Kawasan Strategis Nasional dalam
PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tipologi ini
terdiri atas:
a. Kawasan Perkotaan Mebidangro (Provinsi Sumatera Utara),
b. Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur termasuk Kepulauan Seribu (Provinsi
DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat),
c. Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung (Provinsi Jawa Barat),
d. Kawasan Perkotaan Kedung Sepur (Provinsi Jawa Tengah),
e. Kawasan Perkotaan Gerbangkertosusila (Provinsi Jawa Timur),
f. Kawasan Perkotaan Sarbagita (Provinsi Bali), dan
g. Kawasan Perkotaan Mamminasata (Provinsi Sulawesi Selatan).
96 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Penanggulangan bencana untuk tipologi kawasan perkotaan metropolitan


dilakukan sebagai berikut:
a. Untuk kawasan perkotaan (a) Mebidangro, (c) Cekungan Bandung, (d)
Kedung Sepur, (e) Gerbangkertosusila, (f ) Sarbagita, dan (g) Mamminasata
digunakan kriteria 1 (b), yaitu tidak dilakukan kajian risiko bencana secara
khusus, tetapi dapat mengadopsi kajian risiko bencana dalam RTRW Provinsi
yang bersangkutan (Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Bali, Sulawesi Selatan), dan dapat dipertajam dengan kajian risiko bencana
dalam RTRW Kabupaten/Kota yang bersangkutan, terutama untuk wilayah
dengan kelas risiko bencana tinggi.
b. Untuk kawasan perkotaan (b) Jabodetabek-Punjur digunakan kriteria 1
(c), yaitu mengadopsi kajian risiko bencana dalam RTRW Provinsi yang
bersangkutan (Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat), dan dapat dipertajam dengan
kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten/Kota yang bersangkutan,
terutama untuk wilayah dengan kelas risiko bencana tinggi. Bila periodenya
tidak sesuai sehingga sulit untuk diintegrasikan, maka dilakukan pengkajian
risiko bencana secara khusus.

3. Tipologi KAPET
Berdasarkan Lampiran X tentang Penetapan Kawasan Strategis Nasional dalam
PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tipologi ini
terdiri atas:
a. KAPET Biak (Keppres No. 10 Tahun 1996 jo Keppres 90 Tahun 1996) – Provinsi
Papua
b. KAPET Batulicin (Keppres 11/1998) – Provinsi Kalimantan Selatan
c. KAPET Samarinda, Sanga-Sanga, Muara Jawa, dan Balikpapan/Sasamba
(Keppres 12/1998) – Provinsi Kalimantan Timur
d. KAPET Manado Bitung (Keppres 14/1998) – Provinsi Sulawesi Utara
e. KAPET Mbay (Keppres 15/1998)- Provinsi Nusa Tenggara Timur
f. KAPET Parepare (Keppres 164/1998) – Provinsi Sulawesi Selatan
g. KAPET Seram (Keppres 165/1998) – Provinsi Maluku
h. KAPET Bima (Keppres 166/1998) – Provinsi Nusa Tenggara Barat
i. KAPET Batui (Keppres 167/1998) – Provinsi Sulawesi Tengah)
j. KAPET Buton, Kolaka, dan Kendari/Bukari (Keppres 168/1998) – Provinsi
Sulawesi Tenggara
k. KAPET Daerah Aliran Sungai Kahayan Kapuas dan Barito/DAS Kakab (Keppres
170/1998) – Provinsi Kalimantan Tengah
l. KAPET Banda Aceh Darussalam (Keppres 171/1998)- Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam
m. KAPET Khatulistiwa - Provinsi Kalimantan Barat
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 97

Penanggulangan bencana untuk tipologi kawasan pengembangan ekonomi


terpadu (KAPET) dilakukan sebagai berikut:
1. Untuk KAPET yang wilayahnya mencakup lebih dari satu kawasan administratif
(kabupaten/kota), digunakan digunakan kriteria 1 (b), yaitu tidak dilakukan
kajian risiko bencana secara khusus, tetapi dapat mengadopsi kajian risiko
bencana dalam RTRW Provinsi yang bersangkutan (Papua, Maluku, Sulawesi
Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Kalimantan
Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Nusa
Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Naggore Aceh Darussalam), dan bila
dirasa perlu dapat dipertajam dengan kajian risiko bencana dalam RTRW
Kabupaten/Kota yang bersangkutan, terutama untuk wilayah-wilayah
dengan kelas risiko bencana tinggi.

4. Tipologi kawasan ekonomi dengan perlakuan khusus (nonKAPET)


Berdasarkan Lampiran X tentang Penetapan Kawasan Strategis Nasional dalam
PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tipologi ini
terdiri atas:
a. Kawasan Industri Lhokseumawe (Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam)
b. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Sabang (Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam)
c. Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun (Provinsi Kepulauan Riau)
d. Kawasan Selat Sunda (Provinsi Lampung dan Banten)

Penanggulangan bencana untuk tipologi kawasan ekonomi dengan perlakuan


khusus (nonKAPET) dilakukan sebagai berikut:
a. Untuk (a) Kawasan Industri Lhokseumawe dan (b) KPBPB Sabang digunakan
kriteria 1 (a), yaitu tidak dilakukan kajian risiko bencana secara khusus, tetapi
dapat mengadopsi kajian risiko bencana yang ada dalam RTRW Kabupaten/
Kota yang bersangkutan.
b. Untuk (c) Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun digunakan kriteria 1 (b), yaitu tidak
dilakukan kajian risiko bencana secara khusus tetapi mengadopsi kajian risiko
bencana yang ada dalam RTRW Provinsi Kepulauan Riau, dengan penajaman
dari kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten/Kota yang bersangkutan,
terutama untuk wilayah-wilayah dengan kelas risiko bencana tinggi.
c. Untuk (d) Kawasan Selat Sunda digunakan kriteria 1 (c), yaitu tidak dilakukan
kajian risiko bencana secara khusus tetapi mengadopsi kajian risiko bencana
yang ada dalam RTRW Provinsi Banten dan Lampung, dengan penajaman
dari kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten/Kota yang bersangkutan,
terutama untuk wilayah-wilayah dengan kelas risiko bencana tinggi. Bila
periodenya tidak sesuai sehingga sulit diintegrasikan, maka dilakukan
98 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

pengkajian risiko bencana khusus yang difokuskan pada penyelenggaraan


penanggulangan bencana lintasprovinsi yang dilakukan secara terpadu
sesuai dengan karakteristik, isu strategis dan fokus penanganan di kawasan
Selat Sunda.

5. Tipologi kawasan warisan budaya/adat tertentu


Berdasarkan Lampiran X tentang Penetapan Kawasan Strategis Nasional dalam
PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tipologi ini
terdiri atas:

Kawasan Warisan Budaya:


a. Kawasan Borobudur dan sekitarnya (Provinsi Jawa Tengah), dan
b. Kawasan Candi Prambanan (Provinsi Jawa Tengah)

Kawasan Adat Tertentu


a. Kawasan Toraja dan sekitarnya (Provinsi Sulawesi Selatan)
Penanggulangan bencana untuk tipologi kawasan warisan budaya/adat
tertentu dilakukan sebagai berikut:
a) Untuk (a) Kawasan Borobudur dan sekitarnya dan (c) Kawasan Toraja dan
sekitarnya digunakan kriteria 2, yaitu tidak dilakukan kajian risiko bencana
khusus, tetapi mengadopsi kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten
yang bersangkutan (Kabupaten Magelang dan Kabupaten Tana Toraja).
Namun, bila kawasan tersebut dirasakan membutuhkan perlindungan
khusus dari ancaman bencana (karena fungsi atau nilainya), dan muatan
kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten yang bersangkutan masih
dirasa kurang spesifik mengakomodasi kebutuhan kawasan tersebut,
maka dapat dilakukan kajian risiko bencana secara khusus yang sesuai
dengan karakteristik KSN tersebut dengan mempertimbangkan
keterkaitan antara kawasan inti dan kawasan penyangga.
b) Untuk (b) Kawasan Candi Prambanan yang merupakan KSN berbasis objek
strategis juga digunakan kriteria 2, yaitu tidak dilakukan kajian risiko bencana
khusus, tetapi mengadopsi kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten
yang bersangkutan (Kabupaten Sleman dan Kabupaten Klaten). Namun
bila dirasakan kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten tersebut
masih kurang memperhatikan muatan pelindungan dan pelestarian bagi
kawasan tersebut dari ancaman bencana, maka dapat dilakukan kajian risiko
bencana secara khusus yang dapat mengakomodasi kebutuhan Kawasan
Candi Prambanan tersebut dengan mempertimbangkan keterkaitan antara
kawasan inti dan kawasan penyangga.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 99

6. Tipologi kawasan teknologi tinggi


Berdasarkan Lampiran X tentang Penetapan Kawasan Strategis Nasional dalam
PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tipologi ini
terdiri atas:
a. Kawasan Stasiun Pengamat Dirgantara Kototabang (Provinsi Sumatera Barat)
b. Kawasan Instalasi Lingkungan dan Cuaca (Provinsi DKI Jakarta)
c. Kawasan Fasilitas Pengolahan Data dan Satelit (Provinsi DKI Jakarta)
d. Kawasan Fasilitas Uji Terbang Roket Pamengpeuk (Provinsi Jawa Barat)
e. Kawasan Stasiun Pengamat Dirgantara Pamengpeuk (Provinsi Jawa Barat)
f. Kawasan Stasiun Pengamat Dirgantara Tanjung Sari (Provinsi Jawa Barat)
g. Kawasan Stasiun Telecomand (Provinsi Jawa Barat)
h. Kawasan Stasiun Bumi Penerima Satelit Mikro (Provinsi Jawa Barat)
i. Kawasan Stasiun Pengamat Dirgantara Watukosek (Provinsi Jawa Timur)
j. Kawasan Stasiun Pengamat Dirgantara Pontianak (Provinsi Kalimantan Barat)
k. Kawasan Stasiun Bumi Sumber Alam Parepare (Provinsi Sulawesi Selatan)
l. Kawasan Stasiun Bumi Satelit Cuaca dan Lingkungan (Provinsi Papua)
m. Kawasan Stasiun Telemetry Tracking and Command Wahana Peluncur Satelit
(Provinsi Papua)

Tipologi ini merupakan KSN berbasis objek strategis dan umumnya terletak
dalam satu wilayah administrasi (kabupaten/kota). Penanggulangan bencana
untuk tipologi kawasan teknologi tinggi dilakukan dengan menggunakan
kriteria 2, yaitu tidak memerlukan kajian risiko bencana secara khusus dan
dapat menggunakan kajian risiko bencana yang ada dalam RTRW kabupaten/
kota yang bersangkutan. Namun demikian, mengingat dibutuhkan pengaturan
khusus untuk kawasan penyangganya, maka bila dirasa penyelenggaraan
penanggulangan bencana dalam RTRW Kabupaten/Kota yang bersangkutan
masih kurang spesifik sesuai kebutuhan, dapat dilakukan kajian risiko bencana
khusus yang mempertimbangkan pengaturan-pengaturan yang dibutuhkan
untuk kawasan inti dan kawasan penyangganya. Pengaturan kawasan penyangga
untuk kawasan teknologi tinggi ini meliputi:
a. pengaturan batas/radius kawasan penyangga untuk pelindungan kawasan
inti dan pelindungan keselamatan penduduk di sekitar kawasan inti
b. pengaturan zonasi dan kegiatan di kawasan penyangga
c. pengaturan prasarana pendukung pengembangan kawasan penyangga
d. pengaturanpelindungan kawasan inti dari ancaman bencana, yang antara
lain dapat berupa pelindungan dari potensi gangguan sosial, cahaya, suara,
getaran, kebakaran, banjir, dan bencana akibat posisi geografis.
100 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

7. Tipologi kawasan SDA di darat


Berdasarkan Lampiran X tentang Penetapan Kawasan Strategis Nasional dalam
PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tipologi ini
terdiri atas:
a. Kawasan Timika (Provinsi Papua)
b. Kawasan Soroako dan sekitarnya (Provinsi Sulawesi Selatan)

Penanggulangan bencana untuk tipologi kawasan SDA di darat dilakukan


dengan menggunakan kriteria 1 (a), yaitu tidak dibutuhkan kajian risiko bencana
secara khusus, tetapi dapat menggunakan kajian risiko bencana dalam RTRW
Kabupaten yang bersangkutan (Kabupaten Timika dan Kabupaten Luwu
Timur).Fokus penanganan untuk kawasan ini antara lain mencakup pengaturan
keseimbangan ekosistem kawasan, pengaturan pengelolaan lingkungan yang
berkelanjutanterkait dengan dampak pemanfaatan SDA, dan pengaturan
keberlanjutan fungsi pusat pelayanan pasca pemanfaatan SDA. Kajian Lingkungan
Hidup Strategis (KLHS) menjadi sangat signifikan untuk kawasan ini.

8. Tipologi kawasan hutan lindung-taman nasional


Berdasarkan Lampiran X tentang Penetapan Kawasan Strategis Nasional dalam
PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tipologi ini
terdiri atas:
Kawasan Hutan Lindung
a. Kawasan Hutan Lindung Mahato (Provinsi Riau)
b. Kawasan Hutan Lindung Bukit Batabuh (Provinsi Riau dan Sumatera Barat)
c. Kawasan Konservasi Keanekaragaman Hayati Teluk Bintuni (Provinsi Papua)
d. Kawasan Konservasi Keanekaragaman Hayati Raja Ampat (Provinsi Papua Barat)
e. Kawasan Konservasi dan Wisata Daerah Aliran Sungai Tondano (Provinsi
Sulawesi Utara)
f. Kawasan Gunung Rinjani (Provinsi Nusa Tenggara Barat)

Kawasan Taman Nasional


a. Kawasan Taman Nasional Lorentz (Provinsi Papua)
b. Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa - Watumohai dan Rawa Tinondo
(Provinsi Sulawesi Tenggara)
c. Kawasan Taman Nasional Tanjung Puting (Provinsi Kalimantan Tengah)
d. Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun (Provinsi Kalimantan Barat)
e. Kawasan Taman Nasional Komodo (Provinsi Nusa Tenggara Barat)
f. Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (Provinsi Banten)
g. Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (Provinsi Jambi)
h. Kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (Provinsi Jambi dan Riau)
i. Kawasan Taman Nasional Berbak (Provinsi Jambi)
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 101

j. Kawasan Pangandaran – Kalipuncang – Segara Anakan – Nusakambangan


(Pacangsanak) (Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah)
k. Kawasan Lingkungan Hidup Taman Nasional Kerinci Seblat (Provinsi Jambi,
Sumatera Barat, Bengkulu, dan Sumatera Selatan)
l. Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya (Provinsi Sumatera Utara)
m. Kawasan Ekosistem Leuser (Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam)

Penanggulangan bencana untuk tipologi kawasan hutan lindung-taman nasional


dilakukan dengan kriteria 3, yaitu KSN yang merupakan kawasan lindung tidak
membutuhkan kajian risiko bencana secara khusus, dan dapat menggunakan
kajian risiko bencana dalam RTRW (masing-masing) Provinsi yang bersangkutan,
terutama bagi kawasan-kawasan permukiman/terbangun yang ada di kawasan
lindung-taman nasional tersebut. Bila dirasa perlu, untuk kawasan permukiman/
terbangun yang memiliki kelas risiko bencana tinggi, dapat dipertajam dengan
kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Pengendalian pemanfaatan ruang sangat penting untuk dilakukan secara tegas
di kawasan-kawasan ini untuk mengendalikan laju konversi lahan hutan dan
menurunnya daya dukung lingkungan

9. Tipologi kawasan rawan bencana


Berdasarkan Lampiran X tentang Penetapan Kawasan Strategis Nasional dalam
PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tipologi ini
terdiri atas:
a. Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (Provinsi Jawa Tengah & DI
Yogyakarta)

Penanggulangan bencana untuk tipologi kawasan rawan bencana dilakukan


dengan menggunakan kriteria 4, yaitu KSN yang rawan terhadap bencana
sehingga membutuhkan kajian risiko bencana secara khusus.Isu-isu strategis
di kawasan rawan bencana ini meliputi (a) tingginya laju konversi lahan hutan;
(b) tingginya potensi bencana; dan (c) kurangnya pengendalian permukiman di
kawasan rawan bencana.

10. Tipologi kawasan ekosistem termasuk kawasan kritis lingkungan


Berdasarkan Lampiran X tentang Penetapan Kawasan Strategis Nasional dalam
PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tipologi ini
terdiri atas:
a. Kawasan Kritis Lingkungan Buol-Lambunu (Provinsi Sulawesi Tengah)
b. Kawasan Kritis Lingkungan Balingara (Provinsi Sulawesi Tengah)
102 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Penanggulangan bencana untuk tipologi kawasan ekosistem termasuk kawasan


kritis lingkungan dilakukan dengan menggunakan kriteria 4, yaitu KSN yang rawan
terhadap bencana membutuhkan kajian risiko bencana secara khusus.Kawasan
Ekosistem termasuk Kawasan Kritis memiliki tingkat potensi bencana yang tinggi
dikarenakan telah menurunnya daya dukung lingkungan. Isu-isu strategis di
kawasan ekosistem (termasuk kawasan kritis lingkungan) diantaranya adalah (a)
pemanfaatan SDA yang memberikan tekanan terhadap keanekaragaman hayati;
(b) menurunnya daya dukung lingkungan; (c) tingginya laju konversi lahan
hutan; dan (d) tingginya potensi bencana. Fokus penanganan untuk kawasan ini
meliputi antara lain (a) penetapan kriteria keberlanjutan kawasan ekosistem; (b)
pengaturan komposisi kawasan lindung dan kawasan budi daya yang menjamin
keserasian kemampuan dan pemanfaatan unsur dalam alam secara timbal balik.

Tabel 4.2
Kajian Risiko Bencana untuk Setiap Tipologi KSN
Kriteria
No Tipologi
1 (a) 1 (b) 1 (c) 2 3 4
1 Kawasan pertahanan dan keamanan (kawasan
X X X
perbatasan negara dan wilayah pertahanan)
2 Kawasan perkotaan yang merupakan kawasan
X X
metropolitan
3 KAPET X
4 Kawasan ekonomi dengan perlakuan khusus
X X X
(nonKAPET)
5 Kawasan warisan budaya/adat tertentu X
6 Kawasan teknologi tinggi X
7 Kawasan SDA di darat X
8 Kawasan hutan lindung-taman nasional X
9 Kawasan rawan bencana X
10 Kawasan ekosistem termasuk kawasan kritis lingkungan X

Keterangan:
- Kriteria 1 Berdasarkan Lingkup Wilayah KSN: (a) satu wilayah kabupaten/kota; (b) lintaskabupaten/kota dalam 1 provinsi;
(c) lintasprovinsi
- Kriteria 2 KSN berbasis Kawasan/Objek Strategis
- Kriteria 3 KSN yang merupakan Kawasan Lindung
- Kriteria 4 KSN yang Rawan terhadap Bencana
Sumber: Hasil Analisis

4.2 PengarusutamaanPengurangan Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan


Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional
Pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam proses penyusunan rencana tata
ruang kawasan strategis nasional dilakukan dengan memperhatikan kriteria yang
telah ditetapkan sebelumnya di atas. Berikut ini dijelaskan proses pengintegrasian
kajian risiko bencana ke dalam proses penyusunan RTR KSN untuk setiap kriteria.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 103

1. Kriteria 1: Berdasarkan Lingkup Wilayah KSN.


a. Kriteria 1 (a): wilayah KSN masuk dalam 1 (satu) wilayah administrasi
kabupaten/kota.
KSN yang menggunakan kriteria 1 (a) adalah:
(i) sebagian kawasan pertahanan dan keamanan (kawasan perbatasan negara
dan wilayah pertahanan),
(ii) sebagian kawasan ekonomi dengan perlakuan khusus (nonKAPET), dan
(iii) kawasan SDA di darat.

Proses penyusunan RTR KSN yang masuk dalam kriteria 1 (a) ini dilakukan melalui
langkah-langkah sebagai berikut (lihat Gambar 4.1):
i. Kaji RTRW Kabupaten/Kota yang berlaku (existing), apakah sudah memuat
kajian risiko bencana sesuai dengan yang diamanatkan dalam Perka BNPB
No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Bila
sudah, maka kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten/Kota tersebut
dapat diadopsi dalam penyusunan RTR KSN dalam kriteria ini.
ii. Bila RTRW Kabupaten/Kota yang ada belum memuat kajian risiko bencana
seperti yang diamanatkan dalam Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang
Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, maka dilakukan pengkajian
terhadap Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Kabupaten/Kota yang
bersangkutan. Bila sudah tersedia, maka kajian risiko bencana dalam RPB
Kabupaten/Kota tersebut dapat diintegrasikan ke dalam penyusunan RTR
KSN.
iii. Bila RPB Kabupaten/Kota belum ada, maka K/L dapat melakukan pengkajian
risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BNPB dan mengacu
pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012. Mengingat sampai dengan tahun 2014
baru disusun 63 Rencana Penanggulangan Bencana untuk kabupaten/kota,
maka untuk kabupaten/kota lainnya harus dilakukan kajian risiko bencana
sendiri.
iv. Sebagai gambaran awal, tingkat risiko kabupaten/kota yang bersangkutan
dapat dilihat dari Rencana Penanggulangan Bencana Provinsi yang
bersangkutan serta Indeks Risiko Bencana Indonesia yang memuat
kedalaman analisis sampai dengan tingkat kabupaten/kota (saat ini yang
terbaru adalah untuk tahun 2013). Sebagai contoh, kawasan industri
Lhokseumawe di Kota Lhokseumawe, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
(KSN tipologi kawasan ekonomi dengan perlakuan khusus (nonKAPET)). Bila
dilihat dari hasil Indeks Risiko Bencana kabupaten/kota tahun 2013, Kota
Lhokseumawe mendapatkan skor 175 yang berarti masuk kelas risiko tinggi.
Dengan demikian kajian risiko bencana sangat signifikan untuk dilakukan
pada KSN ini.
104 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Setelah melalui proses tersebut, maka proses pengintegrasian kajian risiko


bencana ke dalam RTR KSN kriteria 1 (a) ini mengikuti proses penyusunan RTRW
Provinsi pada Gambar 3.5.

Gambar 4.1
Proses Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam
Proses Penyusunan RTR KSN untuk Kriteria 1 (a)
KSN dalam Satu Wilayah Kabupaten/Kota

Sumber: Hasil Analisis

b. Kriteria 1 (b): wilayah KSN masuk dalam 1 (satu) wilayah administrasi provinsi
dan lebih dari satu kabupaten/kota (lintaskabupaten/kota dalam satu
provinsi).

KSN yang menggunakan kriteria 1 (b) adalah:


(i) sebagian kawasan pertahanan dan keamanan (kawasan perbatasan negara
dan wilayah pertahanan),
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 105

(ii) sebagian kawasan perkotaan yang merupakan kawasan metropolitan,


KAPET, dan
(iii) sebagian kawasan ekonomi dengan perlakuan khusus (nonKAPET).

Proses penyusunan RTR KSN yang masuk dalam kriteria 1 (b) ini dilakukan melalui
langkah-langkah sebagai berikut (lihat Gambar 4.2):

i. Kaji RTRW Provinsi yang berlaku (existing), apakah sudah memuat kajian risiko
bencana sesuai dengan yang diamanatkan dalam Perka BNPB No. 02 tahun
2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Bila sudah, maka
kajian risiko bencana dalam RTRW Provinsi tersebut dapat diadopsi dalam
penyusunan RTR KSN dalam kriteria ini.

ii. Bila RTRW Provinsi yang ada belum memuat kajian risiko bencana seperti yang
diamanatkan dalam Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum
Pengkajian Risiko Bencana, maka dilakukan pengkajian terhadap Rencana
Penanggulangan Bencana (RPB) Provinsi yang bersangkutan. Hampir semua
provinsi (33) sudah mempunyai Rencana Penanggulangan Bencana (RPB)
2012-2016, kecuali Provinsi Kalimantan Utara. Dengan demikian kajian risiko
bencana dalam RPB tersebut dapat langsung diadopsi dalam penyusunan
RTR KSN kriteria 1 (b).

iii. Untuk Provinsi Kalimantan Utara yang belum memiliki RPB, maka BPBD
provinsi segera mengkoordinasikan penyusunan RPB tersebut dengan
difasilitasi oleh BNPB. Bila pada saat penyusunan atau peninjauan kembali
RTR KSN, RPB Provinsi yang ada sudah habis masa berlakunya, maka K/L
dapat membuat sendiri KRB berkoordinasi dengan BNPB dan mengacu pada
Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tenang Pedoman Umum Pengkajian Risiko
Bencana.

iv. Cek tingkat risiko bencana di level kabupaten/kota yang termasuk dalam
wilayah KSN untuk mengetahui apakah kajian risiko bencana perlu dipertajam
dengan KRB di tingkat kabupaten/kota. Hal ini dapat dilihat dari Rencana
Penanggulangan Bencana Provinsi yang bersangkutan serta Indeks Risiko
Bencana Indonesia (2013). Sebagai contoh, kawasan perkotaan metropolitan
SARBAGITA (lihat Tabel 4.3).
106 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Tabel 4.3
IRBI Provinsi Bali
NO. KABUPATEN/KOTA SKOR KELAS RISIKO
1 KARANG ASEM 184 TINGGI
2 KLUNGKUNG 182 TINGGI
3 JEMBRANA 179 TINGGI
4 BADUNG 179 TINGGI
5 TABANAN 174 TINGGI
6 BULELENG 167 TINGGI
7 KOTA DENPASAR 167 TINGGI
8 BANGLI 153 TINGGI
9 GIANYAR 141 SEDANG

Sumber: Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) 2013, BNPB

Dari tabel 4.3 terlihat bahwa Kota Denpasar, Kabupaten Badung, dan
Kabupaten Tabanan memiliki kelas risiko tinggi, sementara Kabupaten
Gianyar memiliki kelas risiko sedang. Mengingat SARBAGITA adalah kawasan
perkotaan metropolitan, maka signifikan untuk mempertajam kajian pada
kawasan-kawasan dengan kelas risiko tinggi dengan kajian risiko bencana
pada level kabupaten/kota.Terlepas dari itu, mengingat nilai strategisnya
maka sebaiknya penyusunan RTR KSN menggunakan kajian risiko bencana
yang rinci, semakin rinci semakin baik.Dengan demikian sebaiknya
menggunakan kajian risiko bencana untuk kabupaten/kota.

v. Bila RTRW Kabupaten/Kota yang bersangkutan belum memuat kajian risiko


bencana, maka dilakukan pengkajian terhadap Rencana Penanggulangan
Bencana Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Mengingat sampai dengan
tahun 2014 baru disusun 63 Rencana Penanggulangan Bencana untuk
kabupaten/kota, maka penting untuk mendorong pemerintah kabupaten/
kota lainnya untuk segera melakukan kajian risiko bencana, terutama bagi
kabupaten/kota yang memiliki kelas risiko bencana tinggi.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 107

Gambar 4.2
Proses Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan RTR KSN
untuk Kriteria 1 (b) KSN Lintas Kabupaten/Kota dalam Satu Provinsi

Sumber: Hasil Analisis

Setelah melalui proses tersebut, maka proses pengintegrasian kajian risiko


bencana ke dalam RTR KSN kriteria 1 (b) ini mengikuti proses penyusunan
RTRW Provinsi pada Gambar 3.5.
c. Kriteria 1 (c) wilayah KSN mencakup lebih dari satu wilayah provinsi
(lintasprovinsi).
KSN yang menggunakan kriteria 1 (c) adalah:
(i) sebagian kawasan pertahanan dan keamanan (kawasan perbatasan
negara dan wilayah pertahanan),
(ii) sebagian kawasan perkotaan yang merupakan kawasan metropolitan,
dan
(iii) sebagian kawasan ekonomi dengan perlakuan khusus (nonKAPET).
108 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Proses penyusunan RTR KSN yang masuk dalam kriteria 1 (c) ini dilakukan
melalui langkah-langkah sebagai berikut:

i Kaji RTRW Provinsi yang berlaku (existing), apakah sudah memuat kajian
risiko bencana sesuai dengan yang diamanatkan dalam Perka BNPB No.
02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Bila
sudah, maka kajian risiko bencana dalam RTRW Provinsi tersebut dapat
diadopsi dalam penyusunan RTR KSN dalam kriteria ini.

ii. Bila RTRW Provinsi yang ada belum memuat kajian risiko bencana seperti
yang diamanatkan dalam Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman
Umum Pengkajian Risiko Bencana, maka dilakukan pengkajian terhadap
Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Provinsi yang bersangkutan.
Hampir semua provinsi (33) sudah mempunyai Rencana Penanggulangan
Bencana (RPB) 2012-2016, kecuali Provinsi Kalimantan Utara. Dengan
demikian kajian risiko bencana dalam RPB tersebut dapat langsung
diadopsi dalam penyusunan RTR KSN kriteria 1 (c).

iii. Untuk Provinsi Kalimantan Utara yang belum memiliki RPB, maka BPBD
provinsi segera mengkoordinasikan penyusunan RPB tersebut dengan
difasilitasi oleh BNPB.

iv. Cek tingkat risiko bencana di level kabupaten/kota yang termasuk dalam
wilayah KSN untuk mengetahui apakah kajian risiko bencana perlu
dipertajam dengan KRB di tingkat kabupaten/kota. Hal ini dapat dilihat
dari Rencana Penanggulangan Bencana Provinsi yang bersangkutan serta
Indeks Risiko Bencana Indonesia (2013). Sebagai contoh, kabupaten/
kota di Provinsi DKI Jakarta sebagai salah satu wilayah dalam kawasan
perkotaan metropolitan Jabodetabekpunjur (lihat Tabel 4.4).
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 109

Tabel 4.4
IRBI Provinsi DKI Jakarta
NO. KABUPATEN/KOTA SKOR KELAS RISIKO
1 KOTA JAKARTA TIMUR 127 SEDANG
2 KOTA JAKARTA UTARA 122 SEDANG
3 KOTA JAKARTA BARAT 120 SEDANG
4 KOTA JAKARTA PUSAT 96 SEDANG
5 KOTA JAKARTA SELATAN 88 SEDANG
6 KEPULAUAN SERIBU 65 SEDANG

Sumber: Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) 2013, BNPB

Dari tabel 4.4 terlihat bahwa kota/kabupaten di Provinsi DKI Jakarta semuanya
memiliki kelas risiko sedang.Mengingat Jabodetabekpunjur adalah kawasan
perkotaan metropolitan yang perlu dikendalikan perkembangannya, maka
signifikan untuk mempertajam kajian pada kawasan-kawasan dengan kelas
risiko sedang-tinggi dengan kajian risiko bencana pada level kabupaten/
kota.

i. Bila RTRW Kabupaten/Kota yang bersangkutan belum memuat


kajian risiko bencana, maka dilakukan pengkajian terhadap Rencana
Penanggulangan Bencana Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

ii. Bila Rencana Penanggulangan Bencana Kabupaten/Kota belum ada, maka


K/L dapat menyusun kajian risiko bencana berkoordinasi dengan BNPB
dan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman
Umum Pengkajian Risiko Bencana.

iii. Rumuskan isu-isu strategis terkait penanggulangan bencana yang


bersifat lintasprovinsi dan upaya pengamanan dan perlindungan
kawasan-kawasan strategis dalam KSN. Hal ini menjadi fokus penanganan
dalam penanggulangan bencana di KSN lintasprovinsi ini. Hal tersebut
dirumuskan secara terpadu dengan memperhatikan penyelenggaraan
penanggulangan bencana di masing-masing provinsi, maupun
kabupaten/kota yang tercakup dalam KSN lintasprovinsi ini.

iv. Proses pengintegrasian kajian risiko bencana untuk kriteria 1 (c) ini
kurang lebih sama dengan Gambar 4.2, dengan ditambahkan langkah
viii di atas.Setelah melalui proses tersebut, maka proses pengintegrasian
kajian risiko bencana ke dalam RTR KSN kriteria 1 (c) ini mengikuti proses
penyusunan RTRW Provinsi pada Gambar 3.5.
110 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

2. Kriteria 2: KSN berbasis Kawasan/Objek Strategis


KSN yang menggunakan kriteria 2 adalah:
(i) Kawasan warisan budaya/adat tertentu, dan
(ii) Kawasan teknologi tinggi

Proses penyusunan RTR KSN yang masuk dalam kriteria 2 ini dilakukan melalui
langkah-langkah seperti pada kriteria 1 (a) sebagai berikut (lihat Gambar 4.3):
i. Kaji RTRW Kabupaten/Kota yang berlaku (existing), apakah sudah memuat
kajian risiko bencana sesuai dengan yang diamanatkan dalam Perka BNPB
No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Bila
sudah, maka kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten/Kota tersebut
dapat diadopsi dalam penyusunan RTR KSN dalam kriteria ini.
ii. Bila RTRW Kabupaten/Kota yang ada belum memuat kajian risiko bencana
seperti yang diamanatkan dalam Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang
Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, maka dilakukan pengkajian
terhadap Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Kabupaten/Kota yang
bersangkutan. Bila sudah tersedia, maka kajian risiko bencana dalam RPB
Kabupaten/Kota tersebut dapat diintegrasikan ke dalam penyusunan RTR
KSN.
iii. Bila RPB Kabupaten/Kota belum ada, maka K/L dapat melakukan pengkajian
risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BNPB mengacu pada
Perka BNPB No. 02 tahun 2012. Mengingat sampai dengan tahun 2014 baru
disusun 63 Rencana Penanggulangan Bencana untuk kabupaten/kota, maka
untuk kabupaten/kota lainnya harus dilakukan kajian risiko bencana sendiri.
iv. Sebagai gambaran awal, tingkat risiko kabupaten/kota yang bersangkutan
dapat dilihat dari Rencana Penanggulangan Bencana Provinsi yang
bersangkutan serta Indeks Risiko Bencana Indonesia (2013) Sebagai contoh,
Kawasan Candi Prambanan yang merupakan KSN tipologi kawasan warisan
budaya/adat tertentu yang terletak di Kabupaten Sleman dan Kabupaten
Klaten. Bila dilihat dari hasil Indeks Risiko Bencana kabupaten/kota tahun
2013, Kabupaten Klaten (Provinsi Jawa Tengah) mendapatkan skor 123 yang
berarti masuk kelas risiko sedang. Demikian juga Kabupaten Sleman (Provinsi
DI Yogyakarta) mendapatkan skor 154 yang berarti masuk kelas risiko tinggi.
v. Bila dirasakan kajian risiko bencana dalam RTRW kabupaten tersebut masih
kurang memperhatikan muatan pelindungan dan pelestarian bagi kawasan
warisan budaya/adat tertentu dan kawasan teknologi tinggi tersebut dari
ancaman bencana, maka dapat dilakukan kajian risiko bencana tambahan
secara khusus yang dapat mengakomodasi kebutuhan kawasan warisan
budaya/adat tertentudan kawasan teknologi tinggi tersebut.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 111

Gambar 4.3
Proses Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam
Proses Penyusunan RTR KSN untuk Kriteria 2
KSN Berbasis Kawasan/Objek Strategis

Sumber: Hasil Analisis

Setelah melalui proses tersebut, maka proses pengintegrasian kajian risiko


bencana ke dalam RTR KSN kriteria 2 ini mengikuti proses penyusunan RTRW
Provinsi pada Gambar 3.5.

3. Kritera 3: KSN yang merupakan Kawasan Lindung


KSN yang menggunakan kriteria 3 adalah:
(i) Kawasan hutan lindung-taman nasional
KSN yang merupakan kawasan lindung tidak membutuhkan kajian risiko
bencana secara khusus dan dapat menggunakan kajian risiko bencana yang
ada di dalam RTRW Provinsi/Kabupaten yang bersangkutan, terutama bagi
112 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

kawasan-kawasan permukiman/terbangun yang ada di kawasan lindung


tersebut. Dengan demikian langkah-langkah pengintegrasian kajian risiko
bencana untuk KSN dalam kriteria 3 ini sama dengan langkah-langkah pada
kriteria 1 (a). Bila RTRW Kabupaten belum memuat kajian risiko bencana, atau
kabupaten yang bersangkutan belum memiliki RPB, maka dapat digunakan
kajian risiko bencana dalam RPB Provinsi yang bersangkutan.Setelah melalui
proses tersebut, maka proses pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam
RTR KSN kriteria 3 ini mengikuti proses penyusunan RTRW Provinsi pada
Gambar 3.5.

4. Kriteria 4: KSN yang Rawan terhadap Bencana


KSN yang menggunakan kriteria 4 adalah:
(1) Kawasan rawan bencana, dan
(2) Kawasan ekosistem termasuk kawasan kritis lingkungan
Mengingat KSN dalam kriteria 4 ini memiliki kelas risiko bencana tinggi (baik dari
karakteristik fisik lingkungan maupun karena telah menurunnya daya dukung
lingkungan), maka sebaiknya dilakukan kajian risiko bencana secara khusus dan
rinci untuk kawasan ini.Bila kajian risiko bencana telah dilakukan, maka proses
pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam RTR KSN kriteria 4 ini mengikuti
proses penyusunan RTRW Provinsi pada Gambar 3.5.

Sebagai contoh adalah Raperpres Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional
Gunung Merapi dan sekitarnya yang disusun oleh Ditjen Penataan Ruang,
Kementerian Pekerjaan Umum pada tahun 2011.Penyusunan rencana tata
ruang kawasan Taman Nasional Gunung Merapi dan sekitarnya tersebut telah
mengintegrasikan pendekatan pengurangan risiko bencana. Hal ini antara lain
dapat dilihat dari tujuan penataan ruang kawasan Taman Nasional Gunung
Merapi tersebut, yaitu untuk mewujudkan Tata Ruang Kawasan Taman Nasional
Gunung Merapi yang berkualitas dalam rangka menjamin kelestarian lingkungan
dan kesejahteraan MasyarakatKawasan Taman Nasional Gunung Merapi yang
berbasis Mitigasi Bencana.25Tujuan tersebut kemudian dirumuskan dalam ke
dalam 2 (dua) kebijakan penataan ruang Kawasan Taman Nasional Gunung
Merapi yang meliputi:
a. Pelestarian lingkungan Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi; dan
b. Pengembangan Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi berbasis Mitigasi
Bencana
Kebijakan kedua tersebut kemudian diturunkan dalam strategi pengembangan
Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi berbasis Mitigasi Bencana yang antara

25
Draft Raperpres Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi dan Sekitarnya, Ditjen Penataan Ruang,
Kementerian Pekerjaan Umum, 2011.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 113

lain terdiri atas:


a. Meningkatkan fungsi Taman Nasional Gunung Merapi yang berbasis Mitigasi
Bencana;
b. Meningkatkan fungsi Kawasan Lindung dan mengembangkan Kawasan Budi
Daya di Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi berbasis Mitigasi Bencana;
c. Mengembangkan sistem evakuasi bencana yang terintegrasi dengan sistem
pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana di Kawasan Taman Nasional
Gunung Merapi;
d. Menyesuaikan pemanfaatan ruang pada Kawasan Rawan Bencana Alam
Geologi yang terdampak langsung di Kawasan Taman Nasional Gunung
Merapi;
e. Melakukan pengendalian yang tinggi pada Kawasan Rawan Bencana Alam
Geologi yang terdapat kantung (enclave) permukiman di Kawasan Taman
Nasional Gunung Merapi;
f. Meningkatkan peran dan kesadaran masyarakat dalam pelaksanaan dan
pengembangan sistem evakuasi bencana di Kawasan Taman Nasional
Gunung Merapi; dan
h. Mengembangkan kelembagaan.

4.3 Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Muatan Rencana Tata Ruang
Kawasan Strategis Nasional
Pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan Rencana Tata Ruang Kawasan
Strategis Nasional (RTR KSN) pada dasarnya dilakukan dengan metode pendekatan yang
sama dengan proses pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan RTRW
Provinsi seperti yang dijelaskan pada Bab 3, yaitu dengan memadukan pendekatan
analisis aspek fisik dan lingkungan yang mengacu pada Permen PU No. 20/PRT/M/2007
dengan kajian risiko bencana yang mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 (Lihat
kembali Gambar 3.9).Perbedaan yang mendasar adalah dalam hal kedalaman analisis
sesuai dengan kebutuhan dan besaran lingkup wilayah setiap Kawasan Strategis
Nasional (KSN).Hal ini dapat dilihat dari skala peta RTR KSN untuk setiap tipologi yang
ditetapkan dalam Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (lihat Tabel 4.5).
114 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Tabel 4.5
Skala Peta RTR KSN berdasarkan Tipologi KSN
Tipologi Bentuk Skala Peta Kriteria Pengintegrasian KRB
Tipologi Kawasan KSN a. kawasan perbatasan negara: Kriteria 1 (a) berdasarkan RTRW
Pertahanan berbasis 1) kawasan perbatasan darat: Kabupaten/Kota (1:50.000 – 1:25.000)
dan Keamanan kawasan a) yang didominasi kawasan terbangun: Kriteria 1 (b) berdasarkan RTRW
(kawasan 1:25.000–1:10.000 Provinsi (1:250.000) dengan dipertajam
perbatasan b) yang didominasi kawasan nonterbangun: RTRW Kabupaten/Kota (1:50.000 –
negara dan 1:250.000–1:50.000 1:25.000)
wilayah 2) kawasan perbatasan laut: Kriteria 1 (c) berdasarkan RTRW
pertahanan) a) yang keseluruhan merupakan laut, Provinsi(1:250.000) dengan dipertajam
1:500.000–1:250.000 RTRW Kabupaten/Kota (1:50.000 –
b) yang mencakup pula pulau-pulau 1:25.000)
kecil,1:25.000–1:10.000
b. wilayah pertahanan:
skala peta ditentukan berdasarkan
ketentuanperaturan perundang-undangan
Tipologi Kawasan KSN minimal 1:50.000 Kriteria 1 (b) berdasarkan RTRW
Perkotaan yang berbasis Provinsi (1:250.000) dengan dipertajam
merupakan kawasan RTRW Kabupaten/Kota (1:50.000 –
Kawasan 1:25.000)
Metropolitan Kriteria 1 (c) berdasarkan RTRW
Provinsi(1:250.000) dengan dipertajam
RTRW Kabupaten/Kota (1:50.000 –
1:25.000)
Tipologi KAPET KSN minimal 1:100.000 Kriteria 1 (b) berdasarkan RTRW
berbasis Provinsi (1:250.000) dengan dipertajam
kawasan RTRW Kabupaten/Kota (1:50.000 –
1:25.000)
Tipologi Kawasan KSN kawasan inti dan kawasan penyangga: Kriteria 1 (a) berdasarkan RTRW
Ekonomi dengan berbasis 1:25.000–1:10.000 Kabupaten/Kota (1:50.000 – 1:25.000)
Perlakuan Khusus kawasan/ Kriteria 1 (b) berdasarkan RTRW
(non KAPET) objek Provinsi (1:250.000) dengan dipertajam
strategis RTRW Kabupaten/Kota (1:50.000 –
1:25.000)
1 (c) berdasarkan RTRW
Provinsi(1:250.000) dengan dipertajam
RTRW Kabupaten/Kota (1:50.000 –
1:25.000)
Tipologi Kawasan KSN a. kawasan inti: minimal 1:5.000 Kriteria (2) berdasarkan RTRW
Warisan Budaya/ berbasis b. kawasan penyangga: 1:25.000–1:10.000 Kabupaten/Kota (1:50.000 – 1:25.000)
Adat Tertentu kawasan/ Bila melakukan KRB tambahan,
objek digunakan skala peta 1: 5.000 untuk
strategis kawasan inti dan 1:25.000 – 1:10.000
untuk kawasan penyangga
Tipologi Kawasan KSN a. kawasan inti: minimal 1:5.000 Kriteria (2) berdasarkan RTRW
Teknologi Tinggi berbasis b. kawasan penyangga: 1:25.000–1:10.000 Kabupaten/Kota (1:50.000 – 1:25.000)
objek Bila melakukan KRB tambahan,
strategis digunakan skala peta 1: 5.000 untuk
kawasan inti dan 1:25.000 – 1:10.000
untuk kawasan penyangga
Tipologi Kawasan KSN minimal 1:50.000 Kriteria 1 (a) berdasarkan RTRW
SDA di Darat berbasis Kabupaten/Kota (1:50.000 – 1:25.000)
kawasan
Tipologi Hutan KSN 1:250.000 –1:50.000 Kriteria 3 berdasarkan RTRW
Lindung-Taman berbasis Provinsi (1:250.000) atau RTRW
Nasional kawasan Kabupaten(1:50.000)
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 115

Lanjutan Tabel 4.5

Tipologi Bentuk Skala Peta Kriteria Pengintegrasian KRB


Tipologi Kawasan KSN 1:50.000–1:25.000 Kriteria 4, kajian risiko bencana
Rawan Bencana berbasis dilakukan dengan skala peta sesuai
kawasan yang ditetapkan dalam Permen PU
No 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman
Penyusunan RTR KSN (1:50.000 –
1:25.000)
Tipologi Kawasan KSN a. kawasan kritis lingkungan: 1:50.000– Kriteria 4, kajian risiko bencana
Ekosistem berbasis 1:25.000 dilakukan dengan skala peta sesuai
termasuk kawasan b. kawasan ekosistem: 1:250.000 –1:50.000 yang ditetapkan dalam Permen PU
Kawasan Kritis No 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman
Penyusunan RTR KSN (1:50.000 –
1:25.000)
Sumber: Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional,
dan Hasil Analisis

Dari tabel 4.5 di atas terlihat bahwa terdapat perbedaan untuk skala peta yang
diarahkan dalam Permen PU No. 15/PRT/M/2012 dengan arahan berdasarkan kriteria.
Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Tipologi 1 Kawasan Pertahanan dan Keamanan (kawasan perbatasan negara dan
wilayah pertahanan)
Untuk kawasan perbatasan darat yang didominasi kawasan terbangun, Permen
PU No 15/PRT/M/2012 mengarahkan untuk menggunakan peta skala 1:25.000-
1:10.000. Sementara tipologi 1 ini menggunakan kriteria 1 (a)/1 (b)/ 1 (c) dengan
peta skala 1:250.000 – 1:25.000.Untuk kawasan terbangun di kawasan perbatasan
darat yang memiliki kelas risiko bencana tinggi, ada baiknya menggunakan peta
skala 1:25.000 – 1:10.000, bila memungkinkan. Namun, peta skala 1:25.000 baru
tersedia untuk Jawa-Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi26 dan peta skala 1:10.000
sedang dibuat untuk kota-kota di P. Jawa27. Dengan demikian perlu diprioritaskan
pembuatannya oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), dengan prioritas utama
adalah untuk kawasan-kawasan dengan kelas risiko bencana tinggi.

2. Tipologi 2 Kawasan Perkotaan yang merupakan Kawasan Metropolitan


Untuk kawasan perkotaan yang merupakan kawasan metropolitan, Permen PU No.
15/PRT/M/2012 mengarahkan untuk menggunakan peta minimal skala 1:50.000.
Tipologi 2 ini menggunakan kriteria 1 (b)/ 1 (c) dengan peta skala 1:250.000-
1:25.000. Dengan demikian arahan Permen PU tersebut dapat dipenuhi.

3. Tipologi 3 KAPET
Untuk KAPET, Permen PU No. 15/PRT/M/2012 mengarahkan untuk menggunakan
peta minimal skala 1:100.000. Sedangkan Tipologi 3 ini menggunakan kriteria 1

26
BIG dalam Lokakarya Materi Teknis – SCDRR II, Bappenas, 30 Juni 2014.
27
BIG dalam Diskusi Terarah Materi Teknis – SCRR II, Bappenas, 10 Juni 2014.
116 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

(b).dengan peta skala 1:250.000-1:25.000. Dengan demikian, arahan Permen PU


tersebut dapat dipenuhi.Untuk kawasan-kawasan dengan kelas risiko bencana
tinggi dapat dipertajam dengan peta skala yang lebih besar.

4. Tipologi 4 Kawasan Ekonomi dengan Perlakuan Khusus (non KAPET)


Untuk kawasan ekonomi dengan perlakuan khusus (nonKAPET), Permen PU No.
15/PRT/M/2012 mengarahkan untuk menggunakan peta minimal skala 1:25.000-
1:10.000 untuk kawasan inti dan kawasan penyangga. Sementara Tipologi 4 ini
menggunakan kriteria 1 (a)/1 (b)/1 (c) dengan peta skala 1:250.000-1:25.000.
Untuk kawasan ekonomi dengan perlakuan khusus yang memiliki kelas risiko
bencana tinggi, ada baiknya menggunakan peta skala 1:25.000 – 1:10.000.
Namun, ketersediaan peta-peta skala tersebut, apalagi skala 1:10.000 masih
sangat terbatas saat ini.Dengan demikian perlu diprioritaskan pembuatannya
oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), dengan prioritas utama adalah untuk
kawasan-kawasan dengan kelas risiko bencana tinggi.

5. Tipologi 5 Kawasan Warisan Budaya/Adat Tertentu


Untuk kawasan warisan budaya/adat tertentu, Permen PU No. 15/PRT/M/2012
mengarahkan untuk menggunakan peta minimal skala 1:5.000 untuk kawasan
inti dan peta skala 1:25.000-1:10.000 untuk kawasan penyangga. Sementara
Tipologi 5 ini menggunakan kriteria 2 dengan peta skala 1:50.000-1:25.000.
Bila kawasan warisan budaya/adat tertentu memiliki kelas risiko bencana tinggi,
sebaiknya dalam melakukan KRB tambahan digunakan skala peta 1:5.000 untuk
kawasan inti dan 1:25.000-1:10.000 untuk kawasan penyangga. Ketersediaan peta
skala besar tersebut (1:10.000-1:5.000) menjadi isu penting yang perlu segera
ditangani.

6. Tipologi 6 Kawasan Teknologi Tinggi


Untuk kawasan teknologi tinggi, Permen PU No 15/PRT/M/2012 mengarahkan
untuk menggunakan peta minimal skala 1:5.000 untuk kawasan inti dan peta
skala 1:25.000-1:10.000 untuk kawasan penyangga. Sementara Tipologi 6 ini
menggunakan kriteria 2 dengan peta skala 1:50.000-1:25.000.
Bila melakukan KRB tambahan untuk kawasan teknologi tinggi ini sebaiknya
digunakan skala peta 1:5.000 untuk kawasan inti dan skala peta 1:25.000-1:10.000
untuk kawasan penyangga, sesuai dengan arahan dalam Permen PU No. 15/
PRT/M/2012.

7. Tipologi 7 Kawasan SDA di Darat


Untuk kawasan SDA di darat, Permen PU No. 15/PRT/M/2012 mengarahkan
untuk menggunakan peta minimal skala 1:50.000. Sementara Tipologi 7 ini
menggunakan kriteria 1 (a) dengan peta skala 1:50.000-1:25.000.Dengan
demikian arahan Permen PU tersebut dapat dipenuhi.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
Tabel 4.6
Standar Minimal Peta Dasar untuk Peta Bahaya dan Peta Risiko Bencana
Berdasarkan Jenis Bencana

PETA BAHAYA PETA RISIKO

NO JENIS BENCANA SKALA SKALA

RTRWN RTRWP RTRW Kab RTRW Kota RDTR RTRWN RTRWP RTRW Kab RTRW Kota RDTR

1 GEMPA BUMI 1 : 2.500.000 1 : 1.000.000 1 : 100.000 1 : 50.000 1 : 5.000 - 1 : 250.000 1 : 100.000 1 : 50.000 1 : 5.000
1 : 500.000 1 : 50.000 1 : 25.000 1 : 25.000
1 : 250.000

2 TSUNAMI 1 : 2.500.000 1 : 500.000 1 : 25.000 1 : 5.000 1 : 2.000 - 1 : 250.000 1 : 25.000 1 : 5.000 1 : 2.000
1 : 250.000 1 : 5.000 1 : 2.000 1 : 1.000 1 : 100.000 1 : 5.000 1 : 2.000 1 : 1.000

3 LONGSOR 1 :2.500.000 1 :800.000 1 : 25.000 1 : 5.000 1 : 2.000 - 1 : 250.000 1 : 25.000 1 : 5.000 1 : 2.000
1 : 500.000 1 : 5.000 1 : 1.000 1 : 100.000 1 : 5.000 1 : 1.000
1 : 250.000

4 BANJIR 1 : 2.500.000 1 : 500.000 1 : 25.000 1 : 5.000 1 : 2.000 - 1 : 250.000 1 : 25.000 1 : 5.000 1 : 2.000
1 : 250.000 1 : 5.000 1 : 2.000 1 : 1.000 1 : 100.000 1 : 5.000 1 : 2.000 1 : 1.000

5 LETUSAN GUNUNG API 1 : 2.500.000 1 : 250.000 1 : 100.000 1 : 50.000 1 : 5.000 - 1 : 250.000 1 : 200.000 1 : 50.000 1 : 5.000
1 : 50.000 1 : 25.000 1 : 100.000 1 : 50.000 1 :25.000

6 KEKERINGAN 1 : 2.500.000 1 : 1.000.000 1 : 100.000 1 : 50.000 1 : 5.000 - 1 : 250.000 1 : 100.000 1 : 50.000 1 : 5.000
1 : 500.000 1 : 50.000 1 : 25.0000 1 : 50.000 1 : 25.000
1 : 250.000

117
Sumber: Standar Penataan Ruang untuk Kawasan Rawan Bencana (draft), Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum, 2013
118 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

8. Tipologi 8 Hutan Lindung-Taman Nasional


Untuk kawasan hutan lindung-taman nasional, Permen PU No. 15/PRT/M/2012
mengarahkan untuk menggunakan peta skala 1:250.000-1:50.000. Sementara
Tipologi 8 ini menggunakan kriteria 3 dengan peta skala 1:250.000-1:50.000.
Dengan demikian tidak dapat perbedaan dengan arahan Permen PU tersebut.

9. Tipologi 9 Kawasan Rawan Bencana


Untuk kawasan rawan bencana, Permen PU No. 15/PRT/M/2012 mengarahkan
untuk menggunakan peta skala 1:50.000-1:25.000. Sementara Tipologi 9 ini
menggunakan kriteria 4, yaitu membuat kajian risiko bencana khusus untuk
KSN rawan bencana. Kajian risiko bencana tesebut dilakukan dengan skala peta
yang sesuai dengan yang ditetapkan dalam Permen PU No. 15/PRT/M/2012,
yaituminimal peta skala 1:50.000-1:25.000 atau lebih rinci.

10. Tipologi 10 Kawasan Ekosistem termasuk Kawasan Kritis


Untuk kawasan ekosistem termasuk kawasan kritis, Permen PU No. 15/PRT/M/2012
mengarahkan untuk menggunakan peta skala 1:50.000-1:25.000 untuk kawasan
kritis lingkungan dan peta skala1:250.000-1:50.000 untuk kawasan ekosistem.
Sementara Tipologi 10 ini menggunakan kriteria 4, yaitu membuat kajian risiko
bencana khusus untuk KSN kawasan kritis. Kajian risiko bencana dilakukan
dengan skala peta yang sesuai dengan yang ditetapkan dalam Permen PU No. 15/
PRT/M/2012 tersebut, yaituminimal peta skala 1:50.000-1:25.000 untuk kawasan
kritis lingkungan atau lebih rinci.

Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (draft, 2013) yang disusun oleh
Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum mengatur standar minimal
peta dasar untuk peta bahaya dan peta risiko bencana berdasarkan jenis bencananya
(gempa bumi, tsunami, longsor, banjir, letusan gunung api, kekeringan). Lihat Tabel
4.6.

Terlihat dari tabel 4.6 tersebut bahwa untuk jenis bencana tsunami, longsor, dan
banjir dibutuhkan skala peta yang lebih besar untuk Peta Risiko Bencana, yaitu
1:25.000 – 1:5.000 untuk RTRW Kabupaten dan 1:5.000 – 1.2.000 untuk RTRW Kota,
serta 1:2.000 – 1:1.000 untuk RDTR.Sekali lagi, ketersediaan peta-peta skala besar
tersebut (1:5.000-1:1.000) menjadi isu penting yang perlu segera ditangani.

Dengan pendekatan seperti yang digambarkan pada Gambar 3.9 dalam Bab 3 serta
proses pengintegrasian pada subbab 4.2 di atas, dilakukan perumusan RTR KSN yang
meliputi tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah; rencana struktur
ruang dan rencana pola ruang wilayah; arahan pemanfaatan ruang wilayah; dan
arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 119

a. Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kawasan Strategis Nasional


Tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang kawasan strategis nasional
dirumuskan dengan mengacu pada arahan dalam Permen PU No. 15/PRT/M/2012
tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional.
Hal yang perlu digarisbawahi adalah perlunya perumusan tujuan, kebijakan,
dan strategi tersebut dilakukan dengan memasukkan upaya pengurangan
risiko bencana (mitigasi bencana) sesuai hasil dari kajian risiko bencana yang
telah dilakukan pada tahap pengumpulan data dan informasi, serta kegiatan
pengolahan dan analisis data.

Perumusan tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang yang berbasis mitigasi
bencana untuk setiap tipologi kawasan strategis nasional dilakukan dengan
mengikuti arahan untuk tipologi kawasan rawan bencana seperti yang diatur
dalam Permen PU No. 15/PRT/M/2012, sebagai berikut:

1. Tujuan Penataan Ruang Kawasan Strategis Nasional


Tujuan disusun sebagai arahan perwujudan KSN yang ingin dicapai pada
masa yang akan datang. Perumusan tujuan difokuskan pada mewujudkan
pemanfaatan ruang yang sesuai dengan isu-isu strategis nasional dan fokus
penanganan setiap tipologi KSN dengan berbasis pada upaya mitigasi
bencana.

2. Kebijakan Penataan Ruang Kawasan Strategis Nasional


Kebijakan disusun sebagai arah tindakan dalam rangka mencapai tujuan.
Perumusan kebijakan dilakukan dengan mengacu pada arahan perumusan
kebijakan untuk setiap tipologi KSN dalam Permen PU No. 15/PRT/M/2012
dengan ditambahkan upaya mitigasi bencana.Dari kajian risiko bencana
yang dilakukan pada tahap analisis telah diketahui kelas risiko bencana
untuk setiap kawasan.Berdasarkan hal tersebut dapat dirumuskan kebijakan
pengurangan risiko bencana yang terdiri atas kebijakan administratif yang
berfokus pada pengurangan faktor risiko dasar dan kebijakan teknis yang
berfokus pada pencegahan dan mitigasi bencana (lihat kembali Gambar
3.9). Kebijakan pengurangan risiko bencana ini antara lain dapat berupa
kebijakan yang terkait dengan penetapan kegiatan pada kawasan-kawasan
yang memiliki risiko bencana dengan alternatif tindakan yang meliputi28:

Draft Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (draft), Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan
28

Umum, 2014
120 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

(a) Tindakan Relokasi


Upaya penanganan kawasan dengan risiko bencana melalui upaya
pemindahan aktivitas berikut sarana prasarana penunjang aktivitas ke
zona aman dari bencana;
(b) Tindakan Adaptasi
Upaya penanganan kawasan dengan risiko bencana melalui rekayasa
teknis, ketentuan khusus untuk konstruksi bangunan, serta sistem
peringatan dini.
(c) Tindakan Proteksi
Upaya penanganan kawasan dengan risiko bencana melalui upaya
preservasi dapat berupa proteksi terhadap kawasan dengan risiko
bencana guna meningkatkan kualitas lingkungan alami.Misalnya
dengan pembangunan waduk, tanggul, sea wall, atau tembok pemecah
gelombang.

3. Strategi Penataan Ruang Kawasan Strategis Nasional


Strategi penataan ruang kawasan strategis nasional merupakan penjabaran
masing-masing kebijakan penataan ruang kawasan strategis nasional ke
dalam langkah-langkah operasional untuk mencapai tujuan penataan ruang
yang telah ditetapkan.Strategi penataan ruang kawasan strategis nasional ini
dirumuskan salah satunya berdasarkan kebijakan penataan ruang kawasan
stategis nasional. Bila kebijakan penataan ruang yang dirumuskan telah
memuat aspek penanggulangan bencana, maka strategi yang dirumuskan
juga akan mencakup strategi penanggulangan bencana.

Salah satu strategi yang dapat dirumuskan adalah strategi terkait dengan
sistem evakuasi (khususnya pada RTR KSN dengan peta skala besar). Strategi
terkait sistem evakuasi ini antara lain meliputi29:
(a) Strategi penetapan lokasi kawasan aman bencana terkait dengan sistem
evakuasi bencana;
(b) Strategi penetapan sistem prasarana utama (jaringan transportasi),
sekaligus berfungsi sebagai jalur evakuasi dalam sistem evakuasi bencana;
(c) Strategi penetapan dukungan sarana dan sistem jaringan prasarana
lainnya untuk mendukung ruang evakuasi sesuai standar pelayanan
minimal yang ditentukan.

29
Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 121

b. Rencana Struktur Ruang dan Rencana Pola Ruang


Rencana struktur ruang dalam rencana tata ruang kawasan strategis nasional
dirumuskan berdasarkan arahan yang terdapat pada Permen PU No. 15/
PRT/M/2012 untuk setiap jenis tipologi KSN dengan ditambahkan pendekatan
mitigasi bencana. Contoh arahan rencana struktur ruang yang berbasis mitigasi
bencana dapat dilihat pada arahan Rencana Struktur Ruang untuk Tipologi
Kawasan Rawan Bencana pada Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tersebut yang
meliputi:
(1) Sistem jaringan prasarana utama berbasis mitigasi bencana;
(2) Sistem jaringan prasarana lainnya berbasis mitigasi bencana yang terintegrasi
antara kawasan yang memiliki risiko bencana dan kawasan aman bencana,
termasuk kekhususan sistem jaringan pada ruang evakuasi di mana sistem
tetap operasional pada saat bencana;
(3) Sistem sarana pada ruang evakuasi meliputi sarana sosial dan budaya, sarana
ekonomi, dan sarana kesehatan.

Perlu digarisbawahi bahwa pengembangan struktur ruang di kawasan yang


memiliki risiko bencana harus memenuhi ketentuan mengenai struktur ruang
yang dilarang untuk dikembangkan pada kawasan yang memiliki risiko bencana
tersebut. Arahan lebih rinci tentang struktur ruang yang tidak layak dibangun di
kawasan dengan risiko bencana untuk setiap jenis bencana dapat dilihat pada
Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (draft) yang telah disusun
oleh Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum.

Rencana pola ruang disusun dengan mempertimbangkan hasil kajian risiko


bencana yang telah dilakukan.Kajian risiko bencana menghasilkan penentuan
kelas risiko bencana untuk setiap jenis bencana yang dibedakan menjadi kelas
risiko bencana tinggi, kelas risiko bencana sedang, dan kelas risiko bencana
rendah.Berdasarkan penentuan kelas risiko bencana tersebut, dapat dirumuskan
kawasan-kawasan dengan risiko bencana yang harus menjadi kawasan lindung
dan/atau menjadi kawasan budidaya.

Kawasan dengan kelas risiko bencana rendah, misalnya, dapat menjadi kawasan
budidaya dengan persyaratan-persyaratan khusus yang harus dipenuhi dalam
pengembangannya. Sementara kawasan dengan kelas risiko bencana tinggi
sebaiknya ditetapkan sebagai kawasan lindung.Rencana pola ruang (terutama
untuk rencana tata ruang dengan peta skala besar) juga memuat ruang evakuasi
bencana dan kawasan permukiman yang dapat dialokasikan sebagai lokasi
hunian sementara atau lokasi permukiman kembali (resettlement). Arahan lebih
rinci tentang peruntukan ruang yang tidak layak untuk dibudidayakan di kawasan
dengan risiko bencana untuk setiap jenis bencana dapat dilihat pada Standar
Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (draft).
122 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

c. Arahan Pemanfaatan Ruang


Arahan pemanfaatan ruang merupakan upaya perwujudan rencana tata
ruang KSN yang dijabarkan ke dalam indikasi program utama, indikasi sumber
pembiayaan, indikasi instansi pelaksana, dan indikasi waktu pelaksanaan. Indikasi
program utama merupakan acuan sektor dan daerah dalam menyusun program
dalam rangka mewujudkan RTR KSN dalam jangka waktu perencanaan 5 (lima)
tahunan sampai akhir tahun perencanaan (20 tahun).

Indikasi program utama untuk setiap tipologi KSN mengacu pada Permen PU No.
15/PRT/M/2012 dengan tambahan fokus pada perwujudan pemanfaatan ruang
yang mendukung upaya mitigasi bencana pada kawasan-kawasan dengan risiko
bencana, antara lain meliputi:
(1) Indikasi program utama perwujudan struktur ruang, meliputi:
a) Indikasi program utama perwujudan sistem jaringan prasarana utama
berbasis mitigasi bencana;
b) Indikasi program utama perwujudan sistem jaringan prasarana lainnya
berbasis mitigasi bencana; dan
c) Indikasi program utama perwujudan sistem sarana pada ruang evakuasi;
(2) Indikasi program utama perwujudan pola ruang meliputi indikasi program
utama perwujudan kawasan lindung dan kawasan budi daya yang telah
memuat kebijakan mitigasi bencana.

d. Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Arahan pengendalian pemanfaatan ruang adalah arahan yang diperuntukan
sebagai alat penertiban penataan ruang, meliputi indikasi arahan peraturan
zonasi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi
dalam rangka perwujudan rencana tata ruang kawasan strategis nasional.

Untuk wilayah yang memiliki risiko bencana, arahan pengendalian pemanfaatan


ruang kawasan strategis nasional dilakukan untuk mewujudkan tertib tata ruang
melalui penyusunan indikasi arahan peraturan zonasi berbasis mitigasi bencana,
arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi berdasarkan
rencana tata ruang yang berbasis mitigasi bencana.

Arahan peraturan zonasi dalam RTR KSN merupakan ketentuan zonasi sektoral
pada sistem nasional yang meliputi arahan peraturan zonasi untuk struktur
ruang nasional dan pola ruang nasional. Arahan peraturan zonasi ini antara lain
memuat:
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 123

(1) Indikasi arahan peraturan zonasi sistem nasional sebagai ketentuan


pemanfaatan ruang sistem nasional yang berbasis mitigasi bencana;
(2) Ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan yang berisikan kegiatan yang
diperbolehkan, diperbolehkan dengan syarat, dan tidak diperbolehkan
pada setiap kawasan dengan telah mempertimbangkan kawasan-kawasan
dengan risiko bencana dan upaya mitigasi bencana;
(3) Ketentuan intensitas pemanfaatan ruang yang akan menjadi arahan minimal
dalam menetapkan besaran kawasan lindung, intensitas pemanfaatan
ruang di kawasan budi daya, dan besaran ruang terbuka hijau dengan
mempertimbangkan kawasan-kawasan dengan risiko bencana dan upaya
mitigasi bencana; dan
(4) Ketentuan prasarana dan sarana minimum sebagai dasar fisik lingkungan
guna mendukung pengembangan kawasan agar dapat berfungsi secara
optimal dengan mempertimbangkan kawasan-kawasan dengan risiko
bencana dan upaya mitigasi bencana.

4.4 Contoh Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam RTR KSN Tipologi
Kawasan Perkotaan Metropolitan Jabodetabekpunjur30
1. Proil Risiko Bencana di Kawasan Jabodetabekpunjur
Hasil pengkajian risiko bencana merupakan dasar perumusan kebijakan
penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah.Mengingat adanya
keterbatasan sumber daya, maka perlu dilakukan pemrioritasan dalam
penanggulangan bencana.Prioritas ini disusun dengan memperhatikan tingkat
risiko bencana dan hasil analisis kecenderungan kejadian bencana di daerah.
Dari pemrioritasan tersebut diperoleh daftar bencana yang perlu ditanggulangi
secara cepat di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten (lihat Tabel 4.7). Di
Provinsi DKI Jakarta, bencana yang potensi terjadinya meningkat dan memiliki
risiko tinggi adalah banjir. Sedangkan di Provinsi Jawa Barat, terdapat 7 (tujuh)
bencana dengan risiko tinggi tetapi potensi terjadinya cenderung tetap, yaitu
cuaca ekstrim, tanah longsor, kekeringan, banjir, letusan gunung api, gempabumi,
dan tsunami. Sementara di Provinsi Banten terdapat 4 (empat) bencana dengan
tingkat risiko tinggi dan potensi terjadinya meningkat, yaitu tanah longsor, banjir,
kekeringan, dan gagal teknologi.

30
Bagian ini diambil dari hasil studi Pendekatan Kajian Risiko Bencana Untuk Perencanaan Kawasan Strategis Nasional,
Studi Kasus: Perpres 54/2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, Project Safer Communities Through
Disaster Risk Reduction in Development (SCDRR-D) Phase II, November2013
124 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Tabel 4.7
Bencana Prioritas di Jabodetabekpunjur
Provinsi Bencana Prioritas Keterangan
DKI Jakarta 1. Banjir 1 : Potensi terjadinya MENINGKAT dan
2. Gempabumi risiko TINGGI
3. Gelombang Ekstrim & Abrasi 2 – 6: kecenderungan TETAP dan risiko
4. Cuaca Ekstrim TINGGI
5. Epidemi & Wabah Penyakit
6. Tsunami
Jawa Barat 1. Cuaca Ekstrim 1 – 7: potensi terjadinya cenderung
2. Tanah Longsor TETAP dan risiko TINGGI
3. Kekeringan
4. Banjir
5. Letusan Gn. Api
6. Gempabumi
7. Tsunami
Banten 1. Tanah Longsor 1 – 5:Potensi terjadinya MENINGKAT dan
3. Banjir risiko TINGGI
4. Kekeringan 6 – 8:Potensi terjadinya MENINGKAT dan
5. Gagal Teknologi risiko SEDANG
6. Cuaca Ekstrim
7. Gempabumi
8. Tsunami
Sumber: Pendekatan Kajian Risiko Bencana Untuk Perencanaan Kawasan Strategis Nasional, Studi Kasus: Perpres 54/2008
Tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, November 2013.

2. Kajian Risiko Bencana pada RTR KSN Jabodetabekpunjur


Analisis ini dilakukan pada 13 jenis bencana berdasarkan overlay dari peta ancaman,
kerentanan dan risiko bencana dari BNPB terhadap peta struktur dan pola ruang
dari Perpres 54/2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur.
Semua peta ancaman, kerentanan dan risiko tersebut memiliki gradasi dari hijau
ke merah yang menunjukkan tingkat rendah ke tinggi.

Dari Peta Ancaman diperoleh gambaran wilayah-wilayah yang memiliki suatu


ancaman atau bahaya tertentu.Dari Peta Kerentanan diperoleh gambaran
wilayah-wilayah yang memiliki suatu kerentanan tertentu pada aset-aset
penghidupan dan kehidupan yang dimiliki yang dapat mengakibatkan risiko
bencana. Sedangkan dari Peta Risiko Bencana diperoleh gambaran wilayah-
wilayah yang memiliki tingkat risiko tertentu berdasarkan adanya parameter-
parameter ancaman, kerentanan dan kapasitas yang ada di suatu wilayah. Aspek-
aspek kebencanaan yang perlu diperhatikan pada rencana struktur ruang dan
rencana pola ruang dapat dilihat pada tabel 4.8.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 125

Tabel 4.8
Aspek-aspek Kebencanaan yang Perlu Diperhatikan pada
Rencana Struktur Ruang dan Rencana Pola Ruang

Jenis Bencana A. Rencana Struktur Ruang B. Rencana Pola Ruang


Jabodetabekpunjur RTR KSN JabodetabekPunjur RTR KSN JabodetabekPunjur
1. Gempabumi 1. Sistem Pusat 2. Sistem Jaringan 1. Kawasan 2. Kawasan
2. Tsunami Permukiman: Prasarana: Lindung atau Zona Budidaya:
3. Banjir PKN Kawasan Transportasi Darat, Non-Budidaya (N): Zona Budidaya:
4. Tanah Longsor Perkotaan Jakarta Laut, Udara N-1 B-1
5. Letusan Gunung Api kota inti: 1. Jakarta, Penyediaan Air Baku N-2 B-2
6. Gelombang Ekstrim & Abrasi kota satelit: Pengelolaan Air B-3
7. Angin Puting Beliung/ 2. Bogor, 3. Depok, Limbah B-4
Cuaca Ekstrim 4. Tangerang, Drainase & B-4/HP
8. Kekeringan 5. Bekasi Pengendalian Banjir B-5
9. Kebakaran Hutan Lahan Sub Pusat Perkotaan: Pengelolaan Sampah B-6
10 Kebakaran Pemukiman 6. Serpong, 7. Lainnya B-7
11. Epidemi & Wabah Penyakit Cinere, 8. Cimanggis, B-7/HP
12. Kegagalan Teknologi 9. Cileungsi, 10. Zona Penyangga:
13. Konflik Sosial Setu, 11. Tambun/ P-1
Cikarang P-2
JORR 2 P-3
P-4
P-5

1 Peta Ancaman Bencana Pusat kegiatan yang Jaringan prasarana Zona Lindung Kawasan
mana yang berada yang mana yang yang mana yang Budidaya yang
Menunjukkan lokasi yang di lokasi yang rawan berada di lokasi rawan berada pada lokasi mana yang berada
memiliki potensi untuk terjadi bencana? bencana? rawan bencana? pada lokasi rawan
bencana berdasarkan sejarah bencana?
kejadian bencana,dan analisis
secara geografis, geologi,
geomorfologi, hidrologi, dan
kondisi klimatologi (frekuensi
dan intensitas)

2 Peta Kerentanan Bencana Sampai batas apa Sampai batas apa Kerusakan apa Kerusakan apa
orang-orang di pusat jaringan prasarana yang bisa terjadi yang bisa terjadi
Menunjukkan eksposure kegiatan sensitif dan bangunan sensitif di zona lindung? di zona budidaya?
dan sensitivitas dari populasi dengan bencana ? terhadap kerusakan ?
(korban), ekonomi (mata
pencaharian), infrastruktur
(kerusakan) dan lingkungan
(degradasi)

3 Peta Risiko Bencana Bagian mana dari Bagian mana dari Bagian mana dari Bagian mana dari
sistem perkotaan jaringan prasarana zona proteksi yang zona budidaya
Menggabungkan antara yang memiliki risiko yang memiliki risiko memiliki risiko yang memiliki
ancaman bencana dan tinggi ? tinggi? tinggi? risiko tinggi?
kerentanan dan kapasitas
dengan formula risiko =
(ancaman x kerentanan) /
kapasitas . Ancaman yang
kecil, kerentanan yang
dikurangi dan peningkatan
kapasitas menghasilkan risiko
yang kecil.

Sumber: Pendekatan Kajian Risiko Bencana Untuk Perencanaan Kawasan Strategis Nasional, Studi Kasus: Perpres 54/2008
Tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, November 2013.
126 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Langkah kegiatan analisis adalah sebagai berikut:


(a) Tampilkan hasil tumpangsusun peta ancaman, kerentanan, dan risiko bencana
terhadap peta struktur dan pola ruang Jabodetabekpunjur;
(b) Amati lokasi yang memiliki tingkat acaman, kerentanan, dan risiko yang tinggi
(warna merah), sedang maupun rendah (warna hijau);
(c) Perhatian lebih difokuskan pada lokasi dengan tingkat risiko bencana yang tinggi,
yang diartikan bahwa lokasi tersebut memiliki potensi tinggi terkena dampak
bencana apabila bencana tersebut terjadi dalam kurun waktu 5 tahun;
(d) Kemudian dilihat zona dan pusat-pusat kegiatan menurut Perpres 54/2008 yang
ada di lokasi tersebut dan dilihat pula penggunaan lahan saat ini pada zona
tersebut untuk melihat kesesuaiannya dengan arahan dari Perpres;
(e) Susun upaya mitigasi bencana pada lokasi tersebut sebagai upaya pengurangan
risiko bencana yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah yang terkait.

3. Contoh Penerapan untuk Bencana Banjir dan Mitigasi Bencana


Agar lebih jelas, berikut ini contoh penerapannya untuk bencana banjir dan
upaya mitigasi bencana banjir di Kawasan Jabodetabekpunjur.

Gambar 4.4 adalah peta ancaman bencana banjir berdasarkan overlay dari
peta ancaman bencana banjir BNPB terhadap peta struktur dan pola ruang
Jabodetabekpunjur.

Ancaman bahaya banjir signifikan dibagian utara baik di Provinsi DKI Jakarta,
Jawa Barat maupun Banten, meliputi zona Budidaya (B), dan Non budidaya
(N). Ancaman juga signifikan untuk 3 titik Pusat Perkotaan (Jakarta Pusat, Kota
Tangerang, dan Kota Bekasi).

1. Kawasan Barat, termasuk wilayah Kota Tangerang, tingkat ancaman bencana


banjir tinggi pada kawasan pertanian dan sawah (zona B5), kawasan bandara
(pada zona B2). Sebagian merupakan kawasan industri di sepanjang jalan Daan
Mogot dan Kapuk, kawasan pergudangan di daerah Dadap dan Kapuk/Kamal.
2. Kawasan Timur, tingkat ancaman bencana banjir tinggi pada kawasan yang
direncanakan pada Perpres 54/2008 sebagai zona B5 (pertanian lahan basah
beririgasi teknis). Ada kecenderungan konversi dari B5 ke B1 juga. Ancaman
banjir cukup luas akibat topografi.

Gambar 4.5 adalah peta kerentanan bencana banjir berdasarkan overlay dari
peta kerentanan bencana banjir BNPB terhadap peta struktur dan pola ruang
Jabodetabekpunjur.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 127

Gambar 4.4 Peta Ancaman Bencana Banjir

Sumber: Pendekatan Kajian Risiko Bencana Untuk Perencanaan Kawasan Strategis Nasional, Studi Kasus: Perpres
54/2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, November 2013.

Gambar 4.5 Peta Kerentanan Bencana Banjir

Sumber: Pendekatan Kajian Risiko Bencana Untuk Perencanaan Kawasan Strategis Nasional, Studi Kasus: Perpres
54/2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, November 2013.
128 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Terlihat kerentanan banjir signifikan untuk bagian utara Provinsi DKI Jakarta,
sebagian Kota Tangerang dan sebagian Bekasi sebelah timur sebagaimana
terlihat pada peta ancaman.

Gambar berikutnya, gambar 4.6, adalah peta risiko bencana banjir berdasarkan
overlay dari peta risiko bencana banjir BNPB terhadap peta struktur dan pola
ruang Jabodetabekpunjur.

Gambar 4.6
Peta Risiko Bencana Banjir

1 2
3

• Wilayah
risiko • Wilayah
banjir risiko banjir
rendah- tinggi.
sedang. • Rencana • Wilayah risiko banjir
• Rencana ruang untuk sedang-tinggi.
ruang permukiman • Rencana ruang di domisasi
padat. lindung, lahan basah dan
• Isu reviu: permukiman padat-sedang.
manajemen • Isu reviu: Optimalkah
risiko rencana alokasi ruang ini?
bencana Perlu dipertimbangkan
(kesiapsiaga alternatif peruntukan ruang
an, yang lebih optimal dengan
risiko yang ada?

Risiko bencana banjir


Sumber: signifikan
Pendekatan dibagian
Kajian Risiko utara
Bencana Untukbaik di Prov
Perencanaan DKI Jakarta,
Kawasan Jawa Barat
Strategis Nasional, maupun
Studi Kasus: Banten.
Perpres 54/2008
Tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, November 2013.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 129

Risiko bencana banjir signifikan dibagian utara baik di Provinsi DKIJakarta, Jawa
Barat maupun Banten. Meliputi zonaBudidaya (B1, B6, B7) dan Non budidaya
(N1). Juga signifikan untuk 3 titik Pusat Perkotaan (Jakarta Pusat, Kota Tangerang,
Kota Bekasi).

1. Kawasan Barat; tingkat risiko sedang cenderung rendah akibat kepadatan


infrastruktur yang masih rendah terkait juga dengan support area
sekitar bandara (zona B2 & B5). Risiko cenderung meningkat apabila ada
pembangunan infrastruktur strategis (misalnya pembangunan jalan tol dan
rel kereta api ke arah Serpong atau Kalideres)atau konversi dari B2 (perumahan
hunian sedang, perdagangan dan jasa, industri padat tenaga kerja), maupun
B5 (pertanian lahan basah beririgasi teknis) ke B1 (perumahan hunian padat,
perdagangan & jasa, industri ringan non-polutan dan berorientasi pasar). Hal
tersebut juga berpotensi meningkatkan risiko dan frekuensi bencana banjir
yang merugikan serta mengancam kehidupan manusia. Perlu dikembangkan
pengelolaan lingkungan yang tepat untuk melindungi kawasan bandara dari
bencana banjir, dan perlu studi lebih lanjut untuk melakukan realokasi arahan
penggunaan lahan menjadi kawasan lindung berupa situ, hutan bakau atau
hutan kota.

2. Kawasan Timur; tingkat risiko sedang cenderung tinggi akibat perkembangan


kawasan industri, pergudangan dan pusat transportasi di Pulo Gadung dan
pertumbuhan permukiman. Banjir juga sampai menyebabkan kerugian di
kawasan industri Pulo Gadung tahun 2012 yang lalu. Sebagian kawasan pada
tingkat risiko sedang menurut rencana dalam Perpres 54/2008 adalah zona
B5 (pertanian lahan basah beririgasi teknis). Perlu dipertimbangkan untuk
dicarikan alternatif lain selain untuk pertanian mengingat kurang optimal
penggunaannya apalagi bila banjir datang. Perlu dipertimbangkan alternatif
peruntukan ruang yang lebih optimal di kawasan. Alternatifnya a.l: konversi
dari sawah ke biofarming (tambak), atau menjadi situ dan hutan kota untuk
meningkatkan daya dukung dan kualitas lingkungan sekaligus tempat wisata.
Perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk melakukan realokasi penggunaan
lahan tersebut.

3. Kawasan Tengah; merupakan wilayah DKI Jakarta, tingkat risiko cenderung


tinggi, sudah terlampau padat, menurut Perpres direncanakan sebagai
zona B1 (perumahan hunian padat, perdagangan & jasa, industri ringan
non-polutan dan berorientasi pasar), juga di kawasan pantai utara Jakarta
padazona B6 (perumahan hunian rendah dengan KZB maksimal 50%), B7
(perumahan hunian rendah dengan KZB maksimal 40%) dan N1 (kawasan
hutan lindung, resapan air, kawasan pantai berhutan bakau).
130 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Upaya mitigasi bencana banjir dengan risiko bencana yang tinggi pada zona B1
a.l:
 sangat diperlukan untuk membangun infrastruktur kesiapsiagaan agar
masyarakat dapat lebih tangguh menghadapi bahaya a.l. penyusunan
rencana kontijensi dimana diperlukan koordinasi antar K/L, dan pelatihan
untuk meningkatkan kesiagaan masyarakat maupun Pemerintah Kecamatan/
Kelurahan dalam menghadapi bencana banjir;
 perlu dipertimbangkan pula pergeseran paradigma menuju penggunaan
lahan intensif (diperlukan arahan tentang intensitas ruang, pengaturan
kawasan budidaya dengan instrumen KZB, KDB, KLB), misal pembangunan
hunian vertikal (KDB ditekan sedang, KLB besar atau sangat besar, KZB ditekan
sekecil mungkin), pelarangan/pengurangan hunian satu tingkat, transportasi
masal, penataan bantaran sungai Ciliwung melalui penertiban bangunan
illegal, penerapan sistem polder, normalisasi kali Ciliwung dan seterusnya;
 selain itu perlu juga memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi
terkena bencana.
 Sehubungan dengan risiko bencana banjir yang tinggi akan mengenai
struktur pusat perkotaan di Jakarta Pusat pada kawasan Medan Merdeka
yang merupakan pusat kegiatan primer; perlu dipertimbangkan bagi
pembangunan & pemulihan kapasitas polder dan pemompaan di polder
(misal di wilayah Istana Merdeka);
 Kesemuanya harus didukung oleh Pemprov DKI Jakarta untuk segera
menyusun RDTR berbasis mitigasi bencana banjir di Kota Jakarta Utara dan
Kota Jakarta Pusat.

4.5 Tantangan dalam Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam


RTR Kawasan Strategis Nasional
Beberapa tantangan yang dihadapi oleh Pemerintah Pusat dalam menyusun
Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional dengan perspektif pengurangan
risiko bencana diantaranya adalah:

1. Kelengkapan peraturan perundang-undangan, standar, pedoman, dan manual


di bidang penataan ruang yang dapat dijadikan acuan dalam penyusunan RTR
KSNdengan perspektif pengurangan risiko bencana.

2. Ketersediaan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dan Rencana Aksi


Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RAD PRB) Provinsi/Kabupaten/Kota yang
dapat digunakan sebagai dasar pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam
penyusunan RTR KSN. BNPB telah menyusun Rencana Penanggulangan Bencana
(RPB)untuk 33 Provinsi (kecuali Kalimantan Utara) denganunit analisis sampai
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 131

kecamatan dengan skala 1:250.000. Sedangkan untuk tingkat kabupaten/kota, baru


sekitar 63 kabupaten/kota yang difasilitasilangsung oleh BNPB untuk skala 1: 50.000.
Apabila kegiatan upayapenyusunan RPB pada tingkat kabupaten/kota dilanjutkan
serta diagendakan secarateratur dan konsisten setiap tahun, maka sekitar 275
kabupaten/kota lagi akanselesai kurang lebih dalam 9 tahun lagi (33 kabupaten/kota
per tahun)31. Sementara saat ini sudah 291 RTRW Kabupaten yang memiliki Perda
(73.12%) dan 75 RTRW Kota memiliki Perda (80.65%)32. Saat peninjauan kembali
tentunya diharapkan dapat dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana ke
dalam muatan RTRW tersebut. Namun hal ini akan menjadi masalah bila pada saat
peninjauan kembali tersebut ternyata RPB Kabupaten/Kota tersebut belum tersedia.
Tantangannya adalah bagaimana mempercepat penyusunan RPB Kabupaten/Kota
yang berkualitas sehingga dapat digunakan sebagai dasar pengintegrasian kajian
risiko bencana ke dalam muatan RTRW Kabupaten/Kota?

Namun demikian penyusunan RPB di daerah saat ini juga sudah banyak
mendapat dukungan dari donor, misalnya seluruh kabupaten/kota di Provinsi
Sulawesi Utara mendapat dukungan dari JICA.Demikian juga NTB.NTT mendapat
dukungan dari OXFAM, dan IOM turut mendukung 5 kabupaten di Provinsi NAD
serta 7 kabupaten di Provinsi Jawa Barat33.Sehingga bila diakumulasi penyusunan
RPB telah dilakukan pada lebih dari 80 kabupaten/kota sampai saat ini.Perkiraan
penyelesaian penyusunan RPB Kabupaten/Kota selama 9 tahun tersebut di atas
adalah bila BNPB melakukan dukungan langsung ke seluruh daerah. Namun
saat ini, BNPB sudah tidak lagi melakukan dukungan langsung ke daerah, tetapi
melakukan bimbingan teknis ke daerah di seluruh wilayah kabupaten/kota agar
daerah dapat melakukan kajian risiko bencana sendiri. Saat ini baru ada 2 (dua)
daerah yang telah menyelesaikan bimbingan teknis, yakni Jawa Barat (dilakukan
di Bandung) dan Sumatera Utara (dilakukan di Medan)34.Harapannya semua
kabupaten/kota dapat tercakup dalam bimbingan teknis tersebut.

3. Penyelesaian Perpres RTR KSN berbasis mitigasi bencana sesuai amanat UU No.
26 tahun 2007.
Mengingat RPB untuk provinsi baru ada pada tahun 2012 dan untuk kabupaten/
kota baru ada pada tahun 2013/2014, maka kemungkinan besar kajian risiko
bencana belum diintegrasikan ke dalam muatan RTR KSN yang sudah ada. Proses
pengintegrasian baru dapat dilakukan pada saat dilakukan peninjauan kembali
pada tahun kelima. Hal ini menjadi tantangan karena RPB memiliki jangka waktu

31
BNPB, Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2015-2019, draft 3, halaman 78
32
Rekapitulasi Progress Penyelesaian RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia, Ditjen Penataan Ruang, Kemen-
terian Pekerjaan Umum, Status 30 Mei 2014.
33
BNPB dalam Lokakarya Materi Teknis – SCDRR-II - Bappenas, 30 Juni 2014
34
Ibid.
132 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

5 tahun.Apakah pada saat dilakukan peninjauan kembali terhadap RTR KSN, RPB
masih berlaku?Sebagai contoh, Perpres No. 54 tahun 2008 tentang Penataan
Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur yang memiliki jangka waktu 2008-2028.
Peninjauan kembali pertama dilakukan pada tahun 2013.RPB untuk Provinsi
DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat memiliki jangka waktu 2012-2016.Dengan
demikian, masih sesuai digunakan sebagai dasar pengintegrasian kajian risiko
bencana pada saat peninjauan kembali.

Namun untuk RTR KSN yang memiliki jangka waktu 2010-2030, pada saat
peninjauan kembali di tahun 2015, jangka waktu RPB provinsi sudah hampir habis
(2012-2016), sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar pengintegrasian kajian
risiko bencana ke dalam proses peninjauan kembali RTR KSN tersebut. Apabila pada
saat penyusunan atau peninjauan kembali rencana tata ruang, RPB belum tersedia,
maka K/L penyusun rencana tata ruang dapat melakukan kajian risiko bencana
secara mandiri berkoordinasi dengan BNPB dan mengacu pada Perka BNPB No. 02
tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.

4. Kualitas RPB yang ada. Apakah Rencana Penanggulangan Bencana (RPB)


Provinsi, Kabupaten, Kota yang ada (1) sudah memenuhi standar kualitas yang
dibutuhkan, dan (2) muatannya lengkap dan sesuai sehingga dapat digunakan
sebagai acuan pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan RTR KSN?
Bila K/L melakukan sendiri pengkajian risiko bencana, bagaimana agar kualitas
yang dihasilkan dapat memenuhi standar yang ditetapkan BNPB? Apakah BNPB
sudah mempunyai mekanisme yang baku untuk menjamin kualitas setiap RPB
(dan KRB) yang disusun oleh setiap BPBD maupun SKPD dan K/L agar memiliki
kualitas sesuai standar yang ditetapkan?

5. RTR KSN saat ini ada yang sudah menjadi Perpres, sedang proses Raperpres, atau
sudah mendapatkan persetujuan substansi. Bagaimana dan kapan pengintegrasian
kajian risiko bencana ke dalam RTR KSN tersebut harus dilakukan?

6. Ketersediaan peta rupa bumi dengan skala 1:250.000 sudah ada untuk semua
provinsi, skala 1:50.000 sudah ada untuk semua kabupaten, skala 1:25.000 baru
ada untuk Jawa-Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi35, skala 1:10.000 sedang dibuat
untuk kota-kota di Pulau Jawa36, dan skala 1:5.000 belum ada. Demikian juga peta-
peta skala 1:2.000 dan 1:1.000 belum ada. Hal ini merupakan tantangan yang
harus segera ditangani. Peta-peta dengan skala tersebut sangat dibutuhkan dalam
penyusunan RTR KSN berbasis pengurangan risiko bencana. Oleh karenanya Badan

35
BIG dalam Lokakarya Materi Teknis – SCDRR-II - Bappenas, 30 Juni 2014
36
BIG dalam Diskusi Terarah Materi Teknis – SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 133

Informasi Geospasial (BIG) perlu mengusahakan dan mempersiapkan dukungan


bagi penyusunan RTR KSN melalui penyiapan peta-peta pada skala tersebut di atas.

Tantangan ketersediaan peta, tidak hanya pada ketersediaan peta dasar tetapi juga
peta tematik. Peta kerawanan dan peta ancaman dibuat oleh K/L atau SKPD terkait.
BNPB tidak menyusun sendiri peta bahaya/ancaman, tetapi menggunakan peta
yang disusun oleh K/L atau SKPD terkait. Berdasarkan peta kerawanan tersebut
disusun peta ancaman/bahaya (hazard). Peta ancaman baru dapat dibuat bila ada
peta dasar.Berdasarkan peta ancaman/bahaya, disusun peta risiko. Jadi langkah-
langkahnya adalah: (1) tersedianya peta dasar; yang digunakan sebagai dasar
penyusunan (2) peta bahaya; yang kemudian menjadi dasar bagi perumusan (3)
peta risiko.Hal tersebut juga menjadi tantangan tersendiri karena peta bahaya
baru dapat dibuat bila ada peta dasar. Sedangkan peta dasar yang lengkap baru
ada untuk peta skala 1:250.000 dan 1:50.000, sementara peta skala 1:25.000 baru
ada untuk Jawa-Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Sedangkan peta tematik
(peta kerawanan) yang siap dan dapat digunakan untuk menyusun peta bahaya,
misalnya dari Badan Geologi, baru ada peta skala 1:250.00037. Permasalahannya
adalah bagaimana menyusun peta bahaya skala 1:50.000 bila yang tersedia baru
peta tematik skala 1:250.000?

Pembuatan peta bahaya harus diprioritaskan pembuatannya baik oleh K/L


maupun Daerah.Karena peta risiko baru dapat dibuat bila peta bahaya sudah
ada. Permasalahan pembuatan peta bahaya ini belum terselesaikan karena peta
bahaya baru dapat dibuat kalau peta dasarnya sudah ada.

7. Keberadaan dan kapasitas kelembagaan dalam bidang penataan ruang dan


penanggulangan bencana di daerah, BKPRD dan BPBD, dalam mendukung
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan RTR KSN.

8. Kemampuan pemerintah daerah dalam menjamin pemanfaatan ruang yang


berbasis mitigasi bencana dan mengoptimalkan pengendalian pemanfaatan
ruang terutama di kawasan dengan risiko bencana.

37 BNPB dalam Lokakarya Materi Teknis – SCDRR-II - Bappenas, 30 Juni 2014.


134 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 135

BAB 5
Pemetaan Pemangku Kepentingan
136 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 137

BAB 5
Pemetaan Pemangku Kepentingan

Pemetaan pemangku kepentingan dalam pengarusutamaan pengurangan risiko bencana


ke dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional dilakukan
dengan mengkaji keterlibatan pemangku kepentingan dan kelembagaan dalam:
a. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dengan mengacu pada Rencana Nasional
Penanggulangan Bencana 2010-2014 dan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana
2015-2019 (draft);
b. Proses penyusunan RTRW Provinsi dengan mengacu pada Permen PU No. 15/
PRT/M/2009;
c. Proses penyusunan RTR Kawasan Strategis Nasional dengan mengacu pada Permen
PU No. 15/PRT/M/2012;
d. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 46 tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan
Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah;
e. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 3 tahun 2008 tentang
Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah; dan
f. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 50 tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi
Penataan Ruang Daerah.

5.1 Pemetaan Pemangku Kepentingan dalam Penyelenggaraan Penanggulangan


Bencana
5.1.1 Kelembagaan Penanggulangan Bencana di Tingkat Nasional
Dalam rangka pelaksanaaan tanggung-jawab penyelenggaraan
penanggulangan bencana, Pemerintah membentuk Badan Nasional
Penanggulangan Bencana/BNPB (UU No. 24/2007 Pasal 10, ayat 1)yang
kedudukannya merupakan lembaga pemerintah non departemen setingkat
menteri (UU No. 24/2007 Pasal 10, ayat 2). BNPB terdiri atas unsur pengarah
penanggulangan bencana; dan pelaksana penanggulangan bencana.
Fungsi BNPB adalah melakukan (1) perumusan dan penetapan kebijakan
penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi; serta melakukan (2)
pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara
terencana, terpadu dan menyeluruh (pasal 13).
138 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Selain BNPB, kelembagaan penyelenggaraan penanggulangan bencana lain


yang telah dibentuk adalah Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana
(SRC PB) di tingkat nasional. SRC PB ini terdiri dari SRC Wilayah Barat yang
berkedudukan di Jakarta dan SRC Wilayah Timur yang berkedudukan di
Malang, Jawa Timur.

Dalam melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana, BNPB


melaksanakan fungsi koordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait
sesuai dengan tugas, pokok dan fungsinya.Dalam melaksanakan fungsinya,
BNPB didukung oleh unsur pengarah yang beranggotakan 19 (sembilan
belas) orang yang terdiri dari 10 (sepuluh) orang pejabat pemerintah dan
sembilan orang unsur profesional. Anggota unsur pengarah dari pejabat
pemerintah terdiri dari : (1) Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat, (2) Kementerian Dalam Negeri, (3) Kementerian Sosial, (4) Kementerian
Pekerjaan Umum,(5) Kementerian Kesehatan, (6) Kementerian Keuangan, (7)
Kementerian Perhubungan,(8) Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral,
(9) Kepolisian Republik Indonesia dan (10) Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana dilakukan oleh BNPB


dengan berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait pada setiap
tahapan. Lihat Tabel 5.1

Tabel 5.1
Kementerian/Lembaga yang terkait dalam Pelaksanaan Penanggulangan Bencana
No Kementerian/Lembaga Tugas dan Fungsi
A TAHAP PRA BENCANA
1. Koordinasi
Kementerian Kordinator Bidang Mengkordinasikanprogram-program penanggulangan bencana lintas
Kesejahteraan Rakyat Kementerian dan Lembaga
Kementerian Dalam Negeri Mengendalikan program-program dan kegiatan
pembangunan daerah yang berkaitan dengan penanggulangan
bencana
Kementerian Luar Negeri Mendukung program-program dan kegiatan
penanggulangan bencana yang berkaitan dengan kemitraan
Internasional
Kementerian Perencanaan Mendukung perencanaanprogram-program pembangunan yang peka
Pembangunan Nasional terhadap risiko bencana
Kementerian Hukum dan HAM Mendorong peningkatan dan penyelarasan
perangkat-perangkat hukum terkait kebencanaan
Kementerian Pendidikan dan Mengkordinasikan tentang pendidikan sadar bencana pada semua
Kebudayaan jenjangpendidikan formal dan informal
2. Perencanaan & Pengendalian
Kementerian Keuangan Penyiapan anggaran biaya kegiatan penyelenggaraanpenanggulangan
bencana pada masa pra-bencana
Kementerian Energi dan Sumberdaya Merencanakan dan mengendalikanupaya mitigasi bencana dibidang
Mineral geologi dan bencana akibat ulah manusia yangterkait dengan bencana
geologi
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 139

Lanjutan Tabel 5.1

No Kementerian/Lembaga Tugas dan Fungsi


Kementerian Pertanian Merencanakan dan mengendalikan upaya mitigasidibidang bencana
kekeringan dan bencana lain terkait dengan bidang pertaniandan
ketahanan pangan
Kementerian Kehutanan Merencanakan dan mengendalikan upaya mitigasibencana khususnya
kebakaran hutan/lahan dan konservasi hutan
Kementerian Kelautan dan Perikanan Merencanakan dan mengendalikan upayamitigasi dibidang bencana
tsunami dan abrasi pantai
Kementerian Pekerjaan Umum Merencanakan tata-ruang daerah yang rawanterhadap risiko bencana
serta penyiapan lokasi dan jalur evakuasi
Kementerian Lingkungan Hidup Merencanakan dan mengendalikan upaya yangbersifat
preventif,advokasi dan deteksi dini dalam pencegahan bencana
terkaitlingkungan hidup.
Kementerian Pembangunan Daerah Merencanakan dan mengendalikan program-program pembangunan di
Tertinggal daerah tertinggal yangberdasarkan kajian risiko bencana.
Badan Informasi Geospasial (BIG) Merencanakan dan mengendalikan pemetaan risiko
bencana bekerjasama dengan kementerian/lembaga teknis.
3. Dukungan pemantauan
BMKG Membantu dalam bidang pemantauan potensi bencana yang terkait
dengan metereologi, klimatologi dan geofisika.
Badan Pengawas Tenaga Nuklir Membantu dalam bidang pemantauan, pemanfaatan dan
(BAPETEN) pengendalianbahaya nuklir.
Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Membantu dalam bidang pemantauan, pemanfataan dan
pengendalianbahaya akibat tenaga atom
4. Dukungan penelitian, data dan
informasi
Kementerian Riset dan Teknologi Melakukan kajian dan penelitian sebagai bahanuntuk merencanakan
penyelenggaraan penanggulangan bencana pada situasitidak terjadi
bencana,tanggap darurat,dan tahap rehabilitasi dan rekonstruksi
Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Membantu dalam bidang pengkajian dan penerapan tehnologi
(BPPT) khususnyateknologi yang berkaitan dengan penanggulangan bencana
BadanPusat Statitstik (BPS) Membantu dalam bidang penyiapan data-data statistik terkait
kebencanaan
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Membantu dalam bidang penyediaan dataterkait dengan pertanahan
Lembaga Ilmu PengetahuanIndonesia Membantu dalam bidang pengkajian ilmu pengetahuan yang
(LIPI) berkaitandengan upaya penanggulangan bencana
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Membantu dalam bidang penyediaan informasi dan data
Nasional (LAPAN) spasialkhususnya dari satelit
BadanStandardisasi Nasional (BSN) Membantu dalam bidang standarisasi pedoman-pedoman teknis
maupunpanduan teknis penanggulangan bencana
B TANGGAP DARURAT
Tentara Nasional Indonesia Membantu dalam kegiatan pencarian danpenyelamatan (Search And
Rescue/SAR) dan mendukung pengkordinasian upayatanggap darurat
Kepolisian Republik Indonesia Membantu dalam kegiatan SAR dan pengamanansaat tanggap
darurat termasuk mengamankan lokasi yang ditinggalkan karena
para penghuninya mengungsi, menjamin ketertiban masyarakat di
daerahbencana
Badan SAR Nasional (BASARNAS) Mendukung BNPB dalam mengkordinasikan dan
menyelenggarakankegiatan pencarian dan penyelamatan (SAR)
Kementerian Keuangan Penyiapan anggaran biaya kegiatan penyelenggaraanpenanggulangan
bencana pada masa tanggap darurat
Kementerian Pertahanan Mendukung pengamanan daerah-daerah yang terkenabencana pada
masa tanggap darurat
Kementerian Perhubungan Merencanakan dan melaksanakan kebutuhantransportasi, khususnya
pada masa tanggap darurat
140 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Lanjutan Tabel 5.1


No Kementerian/Lembaga Tugas dan Fungsi
Kementerian Kesehatan Merencanakan pelayanan kesehatan dan medik
termasuk obat-obatan, tenaga medis/paramedis, dan relawan pada
masatanggap darurat
Kementerian Pendidikan dan Merencanakan dan mengendalikan penyelenggaraan pendidikan pada
Kebudayaan masa darurat untuk daerah-daerah yangterkena bencana
Kementerian Sosial Merencanakan kebutuhan bagi para pengungsi dan relawan
Kementerian Komunikasi dan Merencanakan dan mengendalikanpengadaan fasilitas dan sarana
Informatika komunikasi darurat untuk mendukung tanggapdarurat bencana
C PASCA BENCANA
Kementerian Pertahanan Mendukung pengamanan daerah-daerah yang terkenabencana masa
pasca bencana
Kementerian Keuangan Penyiapan anggaran biaya kegiatan penyelenggaraanpenanggulangan
bencana pada masa pasca bencana
Kementerian Perhubungan Merencanakan dan melaksanakan kebutuhantransportasi, khususnya
pada dampak bencanakegagalan teknologi transportasi
Kementerian Pekerjaan Umum Merencanakan dan melaksanakan pemulihan prasarana publik yang
terkena dampak bencana
Kementerian Kesehatan Merencanakan pelayanan kesehatan dan medik
termasuk obat-obatan, tenaga medis/paramedis, dan relawan pada
masa pemulihan pasca bencana.
Kementerian Pendidikan dan Merencanakan dan mengendalikan pemulihan sarana dan prasarana
Kebudayaan pendidikan untuk daerah-daerah yangterkena bencana
Kementerian Komunikasi dan Merencanakan dan mengendalikanpengadaan fasilitas dan sarana
Informatika komunikasi darurat untuk mendukung pemulihan pasca bencana.
Kementerian Koperasi dan UKM Menyelenggarakan program-program koperasidan usaha-usaha kecil
dan kegiatan ekonomi produktif bagi warga masyarakatmiskin pada
daerah-daerah pasca bencana untuk mempercepat pemulihankehidupan
ekonomi.
Kementerian Perumahan Rakyat Mengkordinasikan pengadaan perumahan dan
permukiman untuk warga yang menjadi korban bencana.
Kementerian Tenaga Kerja dan Merencanakan penyerahan danpemindahan korban bencana ke daerah
Transmigrasi yang aman bencana.
Sumber: diolah dari Renas PB 2015-2019 (draft), BNPB, 2014

Selain pemangku kepentingan dari kementerian/lembaga seperti tersebut


di atas, di dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana juga dikenal
adanya jejaring dari para pemangkukepentingan untuk mengurangi risiko
bencana. Walaupun tidak secara khusus diaturdalam UU No. 24/2007 tapi
dalam praktiknya jejaring tersebut diakomodasi dandilaksanakan dengan
membentuk forum (platform) baik di tingkat nasional, provinsi,kabupaten/
kota, berbasis masyarakat, dan tematik. Di tingkat nasional ada Platform
Nasional PRB (Planas PRB), Forum Masyarakat Sipil, Forum Lembaga Usaha,
Forum Perguruan Tinggi untuk PRB (FPT PRB), Forum Media, dan Forum
Lembaga Internasional.

Sementara di tingkat provinsi sampai saat ini sudah terbentuk sebanyak 10


Forum PRB, antara lain ada Forum PRB Nusa Tenggara Timur (NTT), Forum
PRB Yogyakarta, dan Forum PRB Sumatera Barat. Selain itu ada forum yang
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 141

bersifat tematik, seperti Forum Merapi, Forum Slamet, Forum Bengawan Solo,
dan lain-lain. Sedangkan di tingkat masyarakat ada Paguyuban Siaga Merapi,
Jangkar Kelud, dan lain-lain. Kendala utama yang dihadapi oleh Forum PRB
baik yang berbasis kawasan maupun ancaman adalah keberlanjutannya.

5.1.2 Kelembagaan dalam Penyusunan Rencana Nasional Penanggulangan


Bencana (Renas PB)
Penyusunan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (Renas PB) 2015-
2009 dilakukan melalui pembentukan 4 (empat) tim, yaitu Tim Substansi, Tim
Asistensi, Tim RAN PRB dan Tim Penulis.

1. Tim Substansi
Tim Substansi bertugas untuk membahas dan memutuskan substansi
dalam Renas PB 2015-2019. Tim ini merupakan perwakilan 37
kementerian/lembaga (K/L) terkait penanggulangan bencana di mana
masing-masing K/L diwakili oleh Unit Teknis dan Perencananaan.Sebagai
Ketua Tim Substansi adalah pejabat BNPB sebagai pemegang mandat UU
No. 24/2007 danWakil Ketua dari Bappenas sebagai pemegang mandat
perencanaan pembangunan nasional.

Anggota Tim Substansi merupakan perwakilan dari kementerian/


lembaga (K/L) terkait, antara lain Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat (KemenkoKesra), Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri), Kementerian Luar Negeri(Kemenlu), Kementerian
Pertahanan (Kemenhan), Kementerian Hukum dan HakAsasi Manusia
(Kemenkumham), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM), Kementerian Pertanian
(Kementan), Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Kementerian
Perhubungan (Kemenhub), Kementerian Kelautan dan Perikanan (Kemen
KP), Kementerian Pekerjaan Umum (Kemen PU), Kementerian Kesehatan
(Kemenkes), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud),
Kementerian Sosial (Kemensos), Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kemenkominfo), Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Kemenakertrans), Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek),
Kementerian Lingkungan Hidup (Kemen LH), Kementerian Negera Urusan
Koperasi dan UKM (Kemen KUKM), Kementerian Pembangunan Daerah
Tertinggal (Kemen PDT), Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kemen PPN /
BAPPENAS), Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera), Tentara
Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), BNPB,
BMKG, Badan SAR Nasional (BASARNAS), Badan Informasi Geospasial
142 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

(BIG), Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT), Badan Pusat Statitstik


(BPS), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN),
Badan Standardisasi Nasional (BSN), Badan Pengawas Tenaga Nuklir
(BAPETEN), dan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN).

2. Tim Asistensi
Tim Asistensi bertugas untuk mendukung penyusunan Renas PB 2015-
2019. Tim inimenyiapkan bahan yang digunakan oleh Tim Substansi. Tim
ini dibentuk oleh BNPB. Anggota-anggota Tim Asistensi merupakan para
para pelaku dan praktisi penanggulangan bencana yang berasal dari
K/L, pemerintah daerah, ornop nasional, perguruan tinggi dan lembaga
internasional.

3. Tim RAN PRB


Tim RAN PRB bertugas untuk menyusun kegiatan-kegiatan spesifik
(rencana aksi) yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Renas PB. Tim
RAN PRB terdiri dari para praktisi penanggulangan bencana.

4. Tim Penulis
Tim Penulis bertugas untuk menuliskan dokumen Renas PB 2015-2019.
Tim initerdiri dari para praktisi penanggulangan bencana yang ditunjuk
oleh BNPB.

Dalam proses penyusunan Renas PB 2015-2019 ini, para pakar dari


perguruan tinggi dilibatkan dalam pengkajian ancaman dankerentanan
serta penilaian risiko bencana dengan hasil rencana induk (masterplan)12
bencana. Ada 12 perguruan tinggi yang dilibatkan dalam penyusunan
rencana induk12 bencana, yaitu
(1) Universitas Syiahkuala (tsunami),
(2) Univesitas Andalas(gelombang ekstrim),
(3) Institut Pertanian Bogor (kebakaran hutan danlahan),
(4) Institut Teknologi Surabaya (kecelakaan industri),
(5) Universitas Diponegoro (banjir),
(6) Universitas Gadjah Mada (gerakan tanah atau tanah longsor),
(7) UPN Veteran Yogyakarta (gunungapi),
(8) Institut Teknologi Bandung(gempabumi),
(9) Universitas Udayana (kekeringan),
(10) Universitas Airlangga(epidemi),
(11) Universitas Hasanuddin (banjir bandang), dan
(12) Universitas Indonesia (cuaca ekstrim).
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 143

Selain itu, para pemangku kepentingan yang meliputi asosiasi-asosiasi


pemerintah daerah,lembaga-lembaga swadaya masyarakat, organisasi-
organisasi profesi dan pihakswasta, media serta publik yang lebih luas
juga telah dilibatkan dalam memberikanmasukan dalam penyusunan
Renas PB.

Proses penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) di daerah,


khususnya provinsi, dapat mengikuti proses yang sama, yaitu melalui
pembentukan 4 (empat) tim yang terdiri dari Tim Substansi, Tim Asistensi,
Tim RAD PRB, dan Tim Penulis serta melibatkan pemangku kepentingan
yang terkait di daerah. Penyusunan RPB dikoordinasikan oleh BPBD.BPBD
menjadi ketua Tim Substansi dibantu oleh Bappeda sebagai wakil ketua
Tim Substansi.Anggota Tim Substansi merupakan perwakilan dari SKPD
yang terkait dengan penyelenggaraan penanggulangan bencana.BPBD
membentuk dan menunjuk Tim Asistensi, Tim RAD PRB, dan Tim Penulis
yang terdiri dari para praktisi penanggulangan bencana di daerah.

5.1.3 Kelembagaan Penanggulangan Bencana di Daerah


Di tingkat daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, dibentuk
BPBD.Pembentukan ini sesuai dengan UU No. 24 tahun 2007 pasal 18 ayat 1.
Pembentukan BPBD merujuk pada Perka BNPB No. 3/2008 tentang Pedoman
Pembentukan BPBD dan Permendagri No. 46/2008 tentang Pedoman
Organisasi dan Tata Kerja BPBD.Sesuai dengan Permendagri No. 46/2008
Pasal 2, BPBD dibentuk di setiap provinsi dan dapat dibentuk di tingkat
kabupaten/kota. Pembentukan BPBD di tingkat provinsi dan kabupaten/
kota ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda). Bagi daerah-daerah
yang belum membentuk atau tidak membentuk BPBD, maka tugas dan
fungsi penanggulangan bencana dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai
fungsi yang bersesuaian dengan fungsi penanggulangan bencana. Hingga
bulan Februari 2014 telah terbentuk 436 BPBD yang terdiri dari 33 BPBD
Provinsi dan 403 BPBD Kabupaten/Kota (81% dari 497 kabupaten/kota).
Dengan demikian, BPBD saat ini sudah ada di semua provinsi (kecuali
Provinsi Kalimantan Utara yang baru), tetapi masih ada 94 kabupaten/kota
yang belum memiliki BPBD. Hal ini dapat karena berbagai hal, salah satunya
mungkin karena pembentukannya belum diprioritaskan oleh Daerah,
khususnya Daerah yang merasamemiliki kerawanan bencana yang rendah38.
Sebagai contoh, Kabupaten Karo yang tadinya merasa bahwa pembentukan

38
BPBD Bengkulu dalam Diskusi Terarah Materi Teknis – SCDRR II, Bappenas, 10 Juni 2014.
144 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

BPBD tidak menjadi prioritas, namun begitu terjadi bencana meletusnya


Gunung Sinabung, maka mereka segera membentuk BPBD.

Seperti disebutkan di atas, bagi kabupaten/kota yang belum/tidak


membentuk BPBD, maka tugas dan fungsi penanggulangan bencana
dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai fungsi yang bersesuaian dengan
fungsi penanggulangan bencana. Pada kenyataannya antara kabupaten/kota
yang satu dengan yang lain, kelembagaan kebencanaan ini dapat berbeda-
beda, baik dari segi SKPD penanggungjawab maupun eselonnya. Di suatu
kabupaten/kota kelembagaan kebencanaan ini dapat berada di bawah eselon
2, 3, atau 4. Misalnya, sebagai contoh, di Kabupaten Grobogan (Jawa Tengah)
kebencanaan menjadi bagian dari Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan
Masyarakat (Kesbanglinmas), di mana kebencanaan berada di bawah Bidang
Pengamanan dan Penanggulangan Bencana. Mengingat bahwa hasil kajian
BNPB menunjukkan bahwa 204 juta (sekitar 80%) rakyat Indonesia tinggal di
kawasan rawan bencana39, maka sebaiknya semua kabupaten/kota memiliki
BPBD.

Susunan organisasi BPBD Provinsi dan Kabupaten/Kota terdiri atas (1) Kepala;
(2) Unsur Pengarah; dan (3) Unsur Pelaksana.Kepala BPBD dijabat secara
rangkap (ex-oicio) oleh Sekretaris Daerah.

Unsur Pengarah Penanggulangan Bencana berada di bawah dan


bertanggungjawab kepada Kepala BPBD dengan tugas memberikan
masukan dan saran kepada Kepala BPBD dalam penanggulangan bencana.
Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, Unsur Pengarah menyelenggarakan
fungsi:
a) Perumusan kebijakan penanggulangan bencana daerah;
b) Pemantauan; dan
c) Evaluasi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Unsur Pengarah terdiri dari Ketua dan Anggota, di mana ketua Unsur
Pengarah dijabat oleh Kepala BPBD. Sedangkan anggota unsur pengarah
berasal dari (a) lembaga/instansi pemerintah daerah, yakni dari badan/dinas
terkait dengan penanggulangan bencana; (b) masyarakat professional, yakni
pakar, professional, dan tokoh masyarakat di daerah.

Unsur pelaksana penanggulangan bencana berada di bawah dan


bertanggungjawab kepada Kepala BPBD.Unsur pelaksana dipimpin

39
BNPB dalam Diskusi Terarah Materi Teknis – SCDRR II, Bappenas, 10 Juni 2014.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 145

oleh seorang Kepala Pelaksana yang membantu Kepala BPBD dalam


penyelenggaraan tugas dan fungsi unsur pelaksana BPBD sehari-hari.Unsur
pelaksana mempunyai tugas melaksanakan penanggulangan bencana
secara terintegrasi yang meliputi prabencana, saat tanggap darurat, dan
pascabencana. Unsur pelaksana BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota
menyelenggarakan fungsi (a) pengoordinasian; (b) pengkomandoan, dan (c)
pelaksana. Susunan organisasi Unsur Pelaksana BPBD terdiri atas:
1) Kepala Pelaksana;
2) Sekretariat Unsur Pelaksana;
3) Bidang/Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan;
4) Bidang/Seksi Kedaruratan dan Logistik; dan
5) Bidang/Seksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi.

Struktur BPBD yang ada saat ini dirasakan sudah cukup untuk penyelenggaraan
penanggulangan bencana di daerah, hanya perlu dioptimalkan lagi dalam
hal sumber daya manusia dan anggarannya.Dirasakan sumber daya
manusia yang ada saat ini masih sangat kurang kapabilitasnya dalam
penanggulangan bencana, khususnya untuk aspek pencegahan dan mitigasi
bencana (perencanaan), karena saat ini fokusnya masih lebih pada hal-hal
yang operasional (kesiapsiagaan dan tanggap darurat)40.Hal ini merupakan
tantangan yang harus dihadapi, yaitu bagaimana agar Pemerinah Daerah
mau memprioritaskan pembentukan BPBD, dan bila sudah terbentuk, mau
memprioritaskan penguatan BPBD, baik dari segi penguatan sumber daya
manusia maupun anggaran. Dalam pembentukan dan penguatan BPBD ini,
sebaiknya pemerintah daerah juga mempertimbangkan karakteristik fisik
daerahnya, misalnya provinsi kepulauan seperti NTT atau kota kepulauan
seperti Ternate. Sebagai wilayah kepulauan, maka sarana dan prasarana
evakuasi menjadi isu yang sangat penting untuk diperhatikan.

5.2 Pemetaan Pemangku Kepentingan dalam Penyusunan RTRW Provinsi


Dalam Permen PU No. 15/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi
disebutkan bahwa prosedur penyusunan RTRW provinsi merupakan pentahapan yang
harus dilalui dalam penyusunan RTRW provinsi sampai dengan pembahasan raperda
RTRWProvinsi yang melibatkan pemangku kepentingan di tingkat kabupaten/kota
termasuk masyarakat. Masyarakat yang menjadi pemangku kepentingan dalam
penyusunan RTRW Provinsi terdiri atas:
a. Orang perseorangan atau kelompok orang;
b. Organisasi masyarakat tingkat provinsi atau yang memiliki cakupan wilayah

40
Diskusi Terarah Materi Teknis – SCDRR II, Bappenas, 10 Juni 2014.
146 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

layanan satu provinsi atau lebih dari satu provinsi yang sedang melakukan
penyusunan RTRW Provinsi;
c. Perwakilan organisasi masyarakat tingkat provinsi dan provinsi yang berdekatan
secara sistemik (memiliki hubungan interaksi langsung) yang dapat terkena
dampak dari penataan ruang di daerah yang sedang disusun RTRW Provinsinya;
dan
d. Perwakilan organisasi masyarakat tingkat provinsi dan provinsi dari daerah yang
dapat memberikan dampak bagi penataan ruang di daerah yang sedang disusun
RTRW Provinsi-nya.

Prosedur penyusunan RTRW Provinsi meliputi:


a. Pembentukan tim penyusun RTRW Provinsi yang beranggotakan unsur-unsur
dari pemerintah daerah provinsi, khususnya dalam lingkup Badan Koordinasi
Penataan Ruang Daerah (BKPRD) provinsi yang bersangkutan;
b. Pelaksanaan penyusunan RTRW Provinsi;
c. Pelibatan peran masyarakat di tingkat provinsi dalam penyusunan RTRW Provinsi
melalui:
1) Pada tahap persiapan pemerintah telah melibatkan masyarakat secarapasif
dengan pemberitaan mengenai informasi penataan ruang antara lain melalui
media massa (televisi, radio, surat kabar, majalah); brosur, lealet, lyers,
surat edaran, buletin, jurnal, buku;kegiatan pameran;kegiatan kebudayaan;
multimedia (video, VCD, DVD); website; dan sebagainya.
2) Pada tahap pengumpulan data peran masyarakat/organisasi masyarakat
dapat lebih aktif dalam bentuk:
(a) pemberian data & informasi kewilayahan yang diketahui/dimiliki datanya;
(b) pendataan untuk kepentingan penatan ruang yang diperlukan;
(c) pemberian masukan, aspirasi, dan opini awal usulan rencana penataan
ruang; dan
(d) identifikasi potensi dan masalah penataan ruang.
3) Pada tahap perumusan konsepsi RTRW provinsi, masyarakat terlibat secara
aktif dan bersifat dialogis/komunikasi dua arah. Dialog dilakukanantara lain
melalui konsultasi publik, workshop, FGD, seminar, dan bentuk komunikasi
dua arah lainnya.
d. Pembahasan raperda tentang RTRW provinsi oleh pemangku kepentingan di
tingkat provinsi. Pada tahap pembahasan ini, masyarakat dapat berperan dalam
bentuk pengajuan usulan, keberatan, dan sanggahan terhadap rancangan RTRW
provinsi dan naskah raperda RTRW provinsi.

Seperti disebutkan di atas, penyusunan RTRW provinsi dilakukan oleh tim


penyusun RTRW provinsi yang beranggotakan unsur-unsur dari pemerintah
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 147

daerah provinsi, khususnya dalam lingkup Badan Koordinasi Penataan Ruang


Daerah (BKPRD) provinsi yang bersangkutan. Dalam Permendagri No. 50 tahun
2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah disebutkan bahwa
Gubernur dalam melaksanakan koordinasi penataan ruang membentuk BKPRD
Provinsi, dengan susunan keanggotaan sebagai berikut (pasal 3):
a. Penanggung jawab: Gubernur dan Wakil Gubernur;
b. Ketua: Sekretaris Daerah Provinsi;
c. Sekretaris: Kepala Bappeda Provinsi;
d. Anggota: SKPD terkait penataan ruang yang disesuaikan dengan kebutuhan
dan kemampuan daerah.

Salah satu tugas BKPRD dalam melaksanakan koordinasi penataan ruang di daerah
adalah memaduserasikan rencana pembangunan jangka panjang dan menengah
dengan rencana tata ruang provinsi serta mempertimbangkan pengarusutamaan
pembangunan berkelanjutan melalui instrumen KajianLingkungan Hidup Strategis
(KLHS) (pasal 4 ayat 1). Bila ditelaah tugas-tugas yang diamanatkan kepada
BKPRD, terlihat sudah memasukkan instrumen KLHS dalam pengarusutamaan
pembangunan berkelanjutan ke dalam penataan ruang, namun belum memuat
tentang pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang.
Padahal KLHS baru diamanatkan penyusunannya pada tahun 2009 dalam UU No. 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH),
sementara penyelenggaraan penanggulangan bencana diatur melalui UU No. 24
tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Apakah ini terkait dengan tidak
masuknya BNPB/BPBD dalam keanggotaan BKPRN/BKPRD, sementara Menteri
Negara Lingkungan Hidup merupakan anggota BKPRN dan Deputi Menteri Negara
Lingkungan Hidup Bidang Tata Lingkungan, Kementerian Negara Lingkungan
Hidup menjadi anggota Tim Pelaksana BKPRN sehingga koordinasi dapat berjalan
lebih baik?

Namun demikian, bila dilihat pada pasal 5 Permendagri No. 50 tahun 2009,
disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya BKPRD Provinsi dapat (a)
menggunakan tenaga ahli yang diperlukan; (b) membentuk Tim Teknis untuk
menangani penyelesaian masalah-masalah yang bersifat khusus; dan (c) meminta
bahan yang diperlukan dari SKPD Provinsi. Dengan demikian sebenarnya BPBD
Provinsi dapat dimasukkan dalam Tim Teknis untuk penyelesaian masalah
kebencanaan, bila kebencanaan merupakan salah satu isu strategis di provinsi
yang bersangkutan.

Selain itu, pada pasal 7 Permendagri No. 50 tahun 2009 disebutkan bahwa BKPRD
Provinsi dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh (a) Sekretariat BKPRD
148 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Provinsi; dan (b) Kelompok kerja. Kelompok kerja ini terdiri atas (Pasal 9) (a)
Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang; dan (b) Kelompok Kerja Pemanfaatan
dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang.Pembentukan BKPRD Provinsi, Sekretariat
BKPRD, dan Kelompok Kerja ditetapkan dengan Keputusan Gubernur (Pasal 12).

Sehubungan dengan belum masuknya pengarusutamaan pengurangan risiko


bencana ke dalam salah satu tugas BKPRD dan tidak masuknya kelembagaan
bencana, BPBD, sebagai anggota BKPRD, maka pertanyaan yang muncul adalah
bagaimana meningkatkan kapasitas BKPRD terhadap kebencanaan, terutama
dalam upaya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penataan
ruang? Ada beberapa alternatif yang dapat diambil:
(1) Memasukkan kelembagaan bencana, dalam hal ini BPBD, sebagai salah satu
anggota BKPRD; atau
(2) Memasukkan BPBD ke dalam Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang
pada saat penyusunan rencana tata ruang, dan ke dalam Kelompok Kerja
Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang pada saat rencana tata
ruang sudah selesai disusun dan masuk pada tahap implementasi; atau
(3) Memasukkan BPBD dalam Tim Teknis tentang penanggulangan bencana.

Terkait dengan upaya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam


penataan ruang, BKPRD perlu berkoordinasi dengan BPBD.Kedua badan ini
dipimpin oleh Sekretaris Daerah Provinsi sebagai ketua, sehingga seharusnya
koordinasi diantara keduanya dapat dilakukan dengan baik.Selain itu, sebagai
bagian dari pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penataan
ruang, perlu dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan
RTRW Provinsi.Berarti dalam penyusunan RTRW Provinsi perlu pula melibatkan
Tim Substansi penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) di provinsi
yang bersangkutan dengan BPBD sebagai ketua dan Bappeda sebagai wakil
ketua.

Selain Sekretaris Daerah berperan sebagai ketua BKPRD dan ketua BPBD, Bappeda
juga terlibat dalam kedua badan tersebut, yaitu di BKPRD sebagai sekretaris
BKPRD dan ketua Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang; sedang di BPBD,
Bappeda terlibat sebagai wakil ketua dalam Tim Substansi penyusunan Rencana
Penanggulangan Bencana.Dengan demikian, seharusnya pengintegrasian kajian
risiko bencana ke dalam penyusunan rencana tata ruang dapat dikoordinasikan
dengan baik.Dalam hal ini perlu koordinasi antara Bappeda sebagai Sekretaris
BKPRD dengan BPBD.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 149

5.3 Pemetaan Pemangku Kepentingan dalam Penyusunan RTR Kawasan Strategis


Nasional
Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang
Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN) menetapkan bahwa penyusunan RTR KSN
dilaksanakan dengan memperhatikan keterlibatan pemangku kepentingan sesuai
dengan jenis tipologi KSN. Pemangku kepentingan yang harus dilibatkan yaitu:
1. Kementerian/lembaga terkait (sektor);
2. Pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota;
3. Lembaga di daerah;
4. Lembaga/organisasi internasional (apabila relevan); dan
5. Pelibatan peran masyarakat, meliputi:
a. Pada tahap persiapan, pemerintah telah melibatkan masyarakat secara
pasif dengan pemberitaan mengenai informasi penataan ruang melalui
mediapublikasi sesuai kebutuhan;
b. Pada tahap pengumpulan data, peran masyarakat dapat dilakukan lebih aktif
dalam berbagai bentuk media komunikasi/interaksi sesuai dengan situasi
dan kondisi tiap KSN;
c. Pada tahap pengolahan dan analisis data, masyarakat dapat berperan dalam
proses analisis sepanjang dibutuhkan sesuai dengan situasi dan kondisi tiap
KSN;
d. Pada tahap perumusan konsepsi rencana, masyarakat dapat terlibat secara
aktif dan bersifat dialogis/komunikasi dua arah melalui berbagai bentuk
media komunikasi/interaksi; dan
e. Pada tahap penyusunan raperpres, masyarakat dilibatkan secara pasif dengan
pemberitaan/informasi tentang penataan ruang melalui media publikasi
sesuai dengan kebutuhan.

Dengan demikian untuk penyusunan RTR KSN yang berbasis mitigasi bencana maka
BNPB dan/atau BPBD (provinsi/kabupaten/kota) perlu dilibatkan sesuai dengan
jenis tipologi KSN.Pemangku kepentingan yang terlibat dalam penyusunan RTR KSN
yang berbasis mitigasi bencana dapat dilihat pada Tabel 5.2.Sedangkan keterlibatan
sektor berdasarkan tipologi KSN dapat dilihat pada Tabel 5.3, dengan memasukkan
sektor terkait kebencanaan sebagai salah satu pemangku kepentingan di tingkat
kementerian/lembaga dan lembaga terkait dengan kebencanaan di daerah sebagai
pemangku kepentingan di tingkat lembaga daerah.
150 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Tabel 5.2
Pemangku Kepentingan dalam Prosedur Penyusunan RTR KSN

Prosedur Penyusunan RTR Pemangku Kepentingan yang Dilibatkan


KSN
1. Persiapan Penyusunan a. kementerian/ lembaga terkait (sektor), termasuk BNPB;
RTR KSN b. pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/ kota, termasuk
BPBD;
c. lembaga di daerah;
d. lembaga/ organisasi internasional (apabila relevan); dan
e. masyarakat yang dilibatkan secara pasif dengan pemberitaan mengenai informasi
penataan ruang melalui media publikasi sesuai kebutuhan
2. Pengumpulan Data dan a. kementerian/ lembaga terkait (sektor), termasuk BNPB;
Informasi b. pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/ kota, termasuk
BPBD;
c. lembaga di daerah;
d. lembaga/ organisasi internasional (apabila relevan); dan
e. masyarakat yang dilibatkan lebih aktif dalam berbagai bentuk media komunikasi/
interaksi dalam memberikan data dan informasi sesuai situasi dan kondisi tiap KSN
3. Pengolahan dan Analisis a. Tidak ada pelibatan peran kementerian/ lembaga terkait dalam proses ini;
Data b. Masyarakat/organisasi masyarakat dapat berperan dalam proses analisis sepanjang
dibutuhkan sesuai situasi dan kondisi tiap KSN
4. Perumusan Konsep RTR a. kementerian/ lembaga terkait (sektor), termasuk BNPB;
KSN b. pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/ kota, termasuk
BPBD;
c. lembaga di daerah;
d. lembaga/ organisasi internasional (apabila relevan); dan
e. masyarakat yang dilibatkan secara aktif dan bersifat dialogis melalui berbagai
bentuk media komunikasi/ interaksi
1. Penyusunan Naskah a. kementerian/ lembaga terkait (sektor), termasuk BNPB;
Raperpres b. pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/ kota, termasuk
BPBD;
c. lembaga di daerah;
d. lembaga/ organisasi internasional (apabila relevan); dan
e. masyarakat terlibat secara pasif.
Sumber: diolah dari Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan RTR KSN
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
Tabel 5.3
Keterlibatan Sektor berdasarkan Tipologi KSN*)

Tipe Pemangku Tipologi KSN


No
Kepentingan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Kemente-rian/ sektor terkait: sektor terkait: sektor terkait: sektor terkait: sektor terkait: sektor terkait: sektor terkait: sektor terkait: sektor terkait: kebencanaan sektor terkait:
lembaga pertahanan, pertahanan, pertahanan, pertahanan, kebudayaan, teknologi pertahanan, pertahanan, pertahanan, keamanan, kebencanaan
keamanan, keamanan, keamanan, keamanan, pendidikan, tinggi, keamanan, keamanan, ekonomi, prasarana dan pertahanan,
perbatasan, ekonomi, ekonomi, ekonomi, prasarana keamanan, pendidikan, ekonomi, ekonomi, sarana,permukiman,pertanian, keamanan,
ekonomi, prasarana prasarana dan sarana, ekonomi, keamanan, prasarana prasarana kehutanan industri, transportasi, ekonomi,
prasarana dan sarana, dan sarana, permukiman, prasarana ekonomi, dan sarana, dan sarana, pertambangan, lingkungan, prasarana
dan sarana, permukiman, permukiman, pertanian, industri, dan sarana, prasarana permukiman, permukiman, geologi, vulkanologi, sumber dan sarana,
pertanian, pertanian, pertanian, transportasi, permukiman, dan sarana, pertanian, pertanian, daya alam permukiman,
kehutanan, industri, kehutanan, pertambangan, pertanian, permukiman, kehutanan kehutanan pertanian,
industri, transportasi, industri, lingkungan, industri, pertanian, industri, industri, kehutanan
pertambangan, lingkungan, transportasi, kebencanaan transportasi, industri, transportasi, transportasi, industri,
lingkungan, kebenca-naan lingkungan, lingkungan, transportasi, ertambangan, pertambangan, transportasi,
kebencanaan kebenca-naan kebenca-naan lingkungan, lingkungan, lingkungan, pertambangan,
kebenca-naan kebencanaan kebencanaan lingkungan,
geologi,
vulkanologi,
sumber daya air
2 Lembaga daerah lembaga lembaga lembaga lembaga terkait lembaga lembaga lembaga lembaga terkait lembaga terkait dengan KSN dan lembaga terkait
terkait dengan terkait dengan terkait dengan dengan KSN dan terkait dengan terkait dengan terkait dengan dengan KSN dan kebenca-naan di daerah dengan KSN dan
perbatasan dan metropolitan KAPET dan kebencanaan di KSN dan KSN dan KSN dan kebenca-naan di kebenca-naan di
kebencanaan di dan kebenca- kebenca-naan daerah kebenca-naan kebenca-naan kebenca-naan daerah daerah
daerah naan di daerah di daerah di daerah di daerah di daerah
3 Lembaga adat lembaga adat lembaga adat lembaga adat lembaga adat lembaga adat lembaga adat terkait lembaga adat
- - -
daerah terkait terkait terkait terkait terkait
4 Organisasi organisasi organisasi organisasi organisasi organisasi internsional terkait organisasi
internasio-nal - - - - internsional internsional internsional internsional internsional terkait
terkait terkait terkait terkait
Sumber: diolah dari Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusuna RTR KSN

Keterangan:

1. Kawasan pertahanan dan keamanan (kawasan 6. Kawasan SDA di darat


perbatasan negara dan wilayah pertahanan)
7. Kawasan hutan lindung-taman nasional
2. Kawasan perkotaan yang merupakan kawasan
metropolitan 8. Kawasan rawan bencana

3. KAPET 9. Kawasan ekosistem termasuk kawasan kritis lingkungan

4. Kawasan ekonomi dengan perlakuan khusus


(nonKAPET)

151
5. Kawasan warisan budaya/adat tertentu
152 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 153

BAB 6
Arahan Untuk Implementasi
154 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 155

BAB 6
Arahan Untuk Implementasi

Bab 6 merupakan bab terakhir dari Materi Teknis ini. Bab ini membahas hal-hal yang harus
dilakukan untuk mengimplementasikan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana
ke dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN) dengan
mempertimbangkan berbagai tantangan yang dihadapi.

Dari pembahasan pada Bab 3, Bab 4, dan Bab 5 telah diidentifikasi beberapa tantangan
yang harus dihadapi dalam pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam
penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN. Pada dasarnya terdapat 7 (tujuh) tantangan
utama yang dihadapi, yaitu:
1. Kelengkapan peraturan perundang-undangan, standar, pedoman, dan manual di
bidang penataan ruang yang dapat dijadikan acuan dalam penyusunan RTRW Provinsi
dan RTR KSNdengan perspektif pengurangan risiko bencana.
2. Ketersediaan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Provinsi/Kabupaten/Kota yang
dapat digunakan sebagai dasar pengintegrasian kajian risiko bencana (KRB) ke dalam
penyusunanRTRW Provinsi dan RTR KSN. Saat ini RPB yang telah ada adalah untuk 33
provinsi (kecuali Kalimantan Utara), serta 63 kabupaten/kota. Sementara dari status per
30 Mei 201441, sudah 25 RTRW Provinsi, 291 RTRW Kabupaten (73.12%), dan 75 RTRW
Kota (80.65%) yang menjadi Perda.Tantangannya adalah bagaimana mempercepat
penyusunan RPB Kabupaten/Kota yang berkualitas sehingga dapat digunakan sebagai
dasar pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan RTRW Kabupaten/Kota
dan RTR KSN?
3. Kualitas RPB Provinsi/Kabupaten/Kota, apakah sudah memenuhi standar kualitas yang
dibutuhkan dan muatannya lengkap dan sesuai sehingga dapat langsung digunakan
sebagai dasar pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan RTRW Provinsi
dan RTR KSN?
4. Kesesuaian jangka waktu RPB yang ada dengan proses penyusunan atau peninjauan
kembali RTRW Provinsi dan RTR KSN. Apabila pada saat penyusunan atau peninjauan
kembali rencana tata ruang, RPB belum tersedia, maka K/L atau SKPD penyusun rencana
tata ruang dapat melakukan kajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan

41
Rekapitulasi Progress Penyelesaian RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia, Ditjen Penataan Ruang, Kemen-
terian Pekerjaan Umum, Status 30 Mei 2014.
156 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

BNPB/BPBD dan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman
Umum Pengkajian Risiko Bencana. Bila K/L atau SKPD melakukan sendiri pengkajian
risiko bencana, bagaimana agar kualitas yang dihasilkan dapat memenuhi standar
yang ditetapkan BNPB? Apakah BNPB sudah mempunyai mekanisme yang baku untuk
menjamin kualitas setiap RPB (dan KRB) yang disusun oleh setiap BPBD maupun SKPD
dan K/L agar memiliki kualitas sesuai standar yang ditetapkan?
5. RTRW Provinsi saat ini ada yang sudah menjadi Perda dan ada yang sudah mendapatkan
persetujuan substansi. Demikian juga RTR KSN saat ini ada yang sudah menjadi Perpres
dan ada yang masih dalam proses penyusunan. Bagaimana dan kapan pengintegrasian
kajian risiko bencana ke dalam RTRW Provinsi dan RTR KSN tersebut harus dilakukan?
6. Ketersediaan peta dasar dan peta tematik, terutama peta dengan skala besar, sebagai
dasar pelaksanaan Kajian Risiko Bencana yang akan diintegrasikan ke dalam muatan
RTRW Provinsi dan RTR KSN.
7. Keberadaan dan kapasitas kelembagaan dalam bidang penataan ruang dan
penanggulangan bencana di daerah, BKPRD dan BPBD, dalam mendukung
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan RTRW Provinsi
yang meliputi:
a. Keberadaan lembaga BKPRD dan BPBD di daerah;
b. Kapasitas BKPRD dan BPBD yang ada; dan
c. Penguatan BKPRD terkait kebencanaan.

Relevansi kelima tantangan tersebut dalam implementasi pengarusutamaan pengurangan


risiko bencana ke dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN dapat dilihat pada Tabel
6.1.

Tabel 6.1
Tantangan dalam Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana
Ke dalam Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN
RTRW
No Tantangan RTR KSN Penanggungjawab Utama
Provinsi
1 Kelengkapan peraturan perUUan dan √ √ BKPRN, BNPB
NSPK
2 Ketersediaan RPB - √ BPBD Kabupaten/Kota, BNPB
3 Kualitas RPB √ √ BNPB/BPBD
4 Kesesuaian jangka waktu RPB √ √ BKPRN/BKPRD, BNPB/BPBD
5 Langkah-langkah pengintegrasian √ √ BKPRN/BKPRD
6 Ketersediaan peta dasar dan peta - √ BKPRN
tematik
7 Kelembagaan:
Keberadaan lembaga BKPRD dan BPBD; - √ BKPRN, BNPB
Kapasitas BKPRD dan BPBD yang ada;
Penguatan BKPRD terkait kebencanaan. √ √

√ √

Sumber: Hasil Analisis


MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 157

6.1 Arahan Implementasi Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam


Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN melalui Integrasi Dokumen/Proses
6.1.1 Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW Provinsi)
Salah satu tantangan yang dihadapi pada saat akan mengimplementasikan
pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam rencana tata ruang adalah
kesesuaian jangka waktu antara Rencana Penanggulangan Bencana yang
ada dengan waktu penyusunan atau peninjauan kembali RTRW Provinsi.

Saat ini telah ada Rencana Penanggulangan Bencana untuk 33 Provinsi


(kecuali Kalimantan Utara) untuk periode 2012-2016.Sedangkan dari
status Perda RTRW Provinsi per 30 Mei 201442, sudah 25 provinsi yang telah
mempunyai perda RTRW Provinsi dengan periode yang berbeda-beda
sesuai waktu penyusunannya. Sementara 8 (delapan) provinsi sisanya sudah
mendapatkan persetujuan substansi dari Menteri PU.

Untuk melihat kesesuaian jangka waktu maka dilakukan perbandingan


antara jangka waktu RPB dengan waktu peninjauan kembali ke-25 RTRW
yang sudah Perda tersebut. Lihat Tabel 6.2.

Tabel 6.2
Kesesuaian antara Jangka Waktu RPB Provinsi dengan
Waktu Peninjauan Kembali Perda RTRW Provinsi
Peninjauan
No Perda RTRW Provinsi Periode Acuan RPB
Kembali 1
1 Bali, Sulawesi Selatan 2009-2029 2014 2012-2016
2 Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah,
2010-2030 2015 x
DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat
3 Banten, Nusa Tenggara Timur,
2011-2031 2016 x
Gorontalo
4 Sumatera Barat, Bengkulu, DKI
2012-2032 2017 2017-2022
Jakarta, Jawa Timur
5 Nanggroe Aceh Darussalam, Jambi,
Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku 2013-2033 2018 2017-2022
Utara, Papua, Papua Barat
6 Kepulauan Bangka Belitung,
Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, 2014-2034 2019 2017-2022
Sulawesi Tenggara
Sumber: Hasil Analisis
Keterangan: x RPB yang ada tidak dapat menjadi acuan karena jangka waktunya sudah hampir habis

42
Rekapitulasi Progress Penyelesaian RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia, Ditjen Penataan Ruang, Kemen-
terian Pekerjaan Umum, Status 30 Mei 2014.
158 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Dengan melakukan perbandingan tersebut, dapat disimpulkan hal-hal


berikut ini:

a. Untuk Provinsi Bali dan Sulawesi Selatan, pada saat peninjauan kembali
tahun 2014 dapat dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana dari
RPB periode 2012-2016 yang sudah ada saat ini. Namun, pengintegrasian
hanya dapat dilakukan untuk periode 2014-2016 saja. Sementara periode
2017-2019 tidak dapat dilakukan pengintegrasian karena belum ada RPB
periode berikutnya (2017-2022) pada saat peninjauan kembali.

b. Untuk Provinsi Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan


Nusa Tenggara Barat, pada saat peninjauan kembali tahun 2015 tidak
dapat dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana karena periode
RPB yang ada sudah hampir selesai, tinggal 1 tahun terakhir, sementara
RPB yang baru belum disusun.

c. Untuk Provinsi Banten, Nusa Tenggara Timur, dan Gorontalo, pada saat
peninjauan kembali tahun 2016 tidak dapat dilakukan pengintegrasian
kajian risiko bencana karena periode RPB yang ada sudah selesai
sementara RPB yang baru belum ada.

d. Untuk Provinsi Sumatera Barat, Bengkulu, DKI Jakarta, dan Jawa Timur, pada
saat peninjauan kembali tahun 2017 dapat dilakukan pengintegrasian
kajian risiko bencana dari RPB periode 2017-2022 yang baru disusun.

e. Untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Jambi, Sulawesi Tengah,


Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat, pada saat peninjauan
kembali tahun 2018 dapat dilakukan pengintegrasian kajian risiko
bencana dari RPB periode 2017-2022 yang telah disusun.

f. Untuk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat,


dan Sulawesi Tenggara, pada saat peninjauan kembali tahun 2019 dapat
dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana dari RPB periode 2017-
2022 yang sudah ada. Namun, pengintegrasian hanya dapat dilakukan
untuk periode 2019-2022 saja. Sementara periode 2023-2024 tidak dapat
dilakukan pengintegrasian karena belum ada RPB periode berikutnya
(2023-2028) pada saat peninjauan kembali.

Sehubungan dengan isu kesesuaian jangka waktu RPB dengan waktu


penyusunan atau peninjauan kembali RTRW Provinsi, seperti tersebut di
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 159

atas, maka pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam RTRW


Provinsi dapat dilakukan antara lain melalui langkah-langkah berikut:

1. Integrasi pada saat proses penyusunan RTRW Provinsi


Untuk 8 (delapan) provinsi yang penyusunan RTRWnya sudah
mendapatkan persetujuan substansi dari Menteri PU, maka sebaiknya
segera dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana dengan mengacu
pada RPB Provinsi 2012-2016 sebelum RTRW menjadi Perda. Hal ini
signifikan karena 6 (enam) dari 8 provinsi tersebut memiliki kelas risiko
tinggi, dan hanya Provinsi Sumatera Selatan dan Kepulauan Riau yang
memiliki kelas risiko sedang. Lihat Tabel 6.3.Bila dilihat dari IRBI 2013,
maka dari 33 provinsi yang ada, sebanyak 26 provinsi memiliki kelas
risiko tinggi, dan hanya 7 provinsi yang memiliki kelas risiko sedang,
yaitu Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Kalimantan
Tengah, Gorontalo, dan Papua.

Tabel 6.3
Indeks Risiko Bencana 8 Provinsi yang Belum Memiliki Perda RTRW Provinsi

No Provinsi Skor Kelas Risiko


1 Sumatera Utara 150 Tinggi
2 Riau 147 Tinggi
3 Kepulauan Riau 116 Sedang
4 Sumatera Selatan 142 Sedang
5 Kalimantan Barat 157 Tinggi
6 Kalimantan Selatan 152 Tinggi
7 Kalimantan Timur 165 Tinggi
8 Sulawesi Tenggara 169 Tinggi
Sumber: Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) 2013

Apabila pengintegrasian dilakukan menunggu sampai dilakukan


peninjauan kembali akan terlalu lama.Mengingat hampir semua provinsi
tersebut masuk dalam kelas risiko tinggi, maka sebaiknya pengintegrasian
dilakukan segera.

Mengingat RPB Provinsi yang ada mempunyai jangka waktu 2012-


2016, sementara sekarang sudah tahun 2014, maka hal ini akan menjadi
masalah. Alternatifnya adalah:

a. Pengintegrasian segera dilakukan walau hanya untuk 2 tahun terakhir


(2014-2016);
160 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

b. Pengintegrasian dilakukan setelah RPB yang baru disusun (jangka


waktu 2017-2022); atau
c. SKPD segera menyusun pengkajian risiko bencana yang baru
berkoordinasi dengan BPBD dengan jangka waktu yang disesuaikan
dengan penyusunan atau peninjauan kembali RTRW.

Untuk saat ini mungkin dapat dilakukan kombinasi dari (a) dan (c), dengan
pertimbangan berikut ini:
a. Peta Kerawanan dan peta ancaman bersifat jangka panjang, sehingga
peta kerawanan dan peta ancaman yang ada dapat digunakan untuk
acuan perumusan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang,
serta indikasi arahan peraturan zonasi;
b. Sedangkan peta kerentanan, peta kapasitas, dan peta risiko bersifat
jangka menengah, sehingga perlu diperbaharui oleh SKPD sesuai
waktu berkoordinasi dengan BPBD. Peta kerentanan, peta kapasitas,
dan peta risiko yang telah diperbaharui digunakan untuk acuan
perumusan indikasi program utama sebagai arahan pemanfaatan
ruang untuk 5 tahun berikutnya.
c. Sebelum waktu peninjauan kembali, sebaiknya RPB yang baru sudah
disusun dengan memperhatikan waktu peninjauan kembali RTRW
Provinsi tersebut.

Sehubungan dengan upaya pengurangan risiko bencana ini, maka BKPRN


perlu mempertimbangkan untuk memasukkan kajian risiko bencana
menjadi salah satu muatan yang harus ada dalam rencana tata ruang, dan
dikaji kualitasnya pada saat proses persetujuan substansi. Seperti Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

2. Integrasi pada saat peninjauan kembali RTRW Provinsi


Untuk 25 RTRW Provinsi yang sudah menjadi Perda:
a. Pengintegrasian kajian risiko bencana dilakukan pada saat peninjauan
kembali RTRW tersebut.
b. Untuk itu, diperlukan penyesuaian periode antara RPB dengan waktu
peninjauan kembali RTRW Provinsi.Mengingat adanya keterbatasan
kapasitas BNPB/BPBD, maka penyesuaian penyusunan RPB ini
dilakukan dengan pemrioritasan berdasarkan kelas risikonya, semakin
tinggi kelas risiko provinsi yang bersangkutan, semakin diprioritaskan
penyusunannya.
c. Apabila hal tersebut tidak dimungkinkan, maka SKPD, berkoordinasi
dengan BPBD, menyiapkan pengkajian risiko bencana secara mandiri
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 161

yang jangka waktunya disesuaikan dengan waktu peninjauan


kembali RTRW Provinsi. Pengkajian risiko bencana secara mandiri
ini dilakukan dengan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012
tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.

Pengintegrasian pengurangan risiko bencana memiliki fungsi strategis


dan berkaitan dengan peninjauan kembali rencana tata ruang. Peninjauan
kembali rencana tata ruang dilakukan 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
Namun, PP No. 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
pasal 82 (2) menetapkan bahwa peninjauan kembali rencana tata ruang
dapat segera dilakukan tanpa menunggu 5 (lima) tahun apabila terjadi
perubahan lingkungan strategis berupa (a) bencana alam skala besar
yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan; (b) perubahan
batas territorial negara yang ditetapkan dengan undang-undang; atau
(c) perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan dengan undang-
undang. BKPRN perlu membahas hal tersebut dan mempertimbangkan
apakah peninjauan kembali dapat dilakukan segera untuk mengantisipasi
kejadian bencana alam dan sebagai upaya pengurangan risiko bencana,
terutama di daerah-daerah dengan kelas risiko tinggi.Hal ini sangat
signifikan mengingat bahwa hasil kajian BNPB menunjukkan 204 juta
(80%) rakyat Indonesia tinggal di kawasan rawan bencana.

Sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan pemrioritasan


berdasarkan kelas risiko suatu daerah.Semakin tinggi kelas risikonya
semakin diprioritaskan pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam
rencana tata ruangnya untuk dapat segera dilakukan. Saat ini, dalam
Indeks Risiko Bencana Indonesia 2013, kabupaten/kota dibedakan
menjadi kelas risiko tinggi, sedang, dan rendah, dimana 322 kabupaten/
kota (65%) memiliki kelas risiko tinggi, dan 174 kabupaten/kota (35%)
memiliki kelas risiko sedang, dan tidak ada yang memiliki kelas risiko
rendah. Dengan demikian perlu dilakukan perumusan ulang kelas risiko
bencana yang lebih rinci untuk kebutuhan perumusan prioritas tersebut
di atas.Penyusunan kajian risiko bencana (KRB) didasarkan pada tiga hal
utama, yakni: a) jumlah jiwa terpapar; b) kerugian (rupiah); dan c) kerusakan
lingkungan (ha). Ketiganya merupakan komponen penyusun KRB yang
kemudian diterjemahkan ke dalam kelas risiko tinggi, risiko sedang, dan
risiko rendah sesuai dengan dampak yang terjadi.Berdasarkan ketiga
komponen tersebut dapat dirumuskan ulang kelas risikonya yang lebih
rinci, untuk kebutuhan perumusan prioritas.
162 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Apabila RTRW sedang dalam proses penyusunan, maka pengarusutamaan


pengurangan risiko bencana dapat segera diintegrasikan. Namun,
bagaimana bila RTRW sudah menjadi Perda? Saat ini 25 RTRW Provinsi, 291
RTRW Kabupaten (73,12%), dan 75 RTRW Kota (80,65%) sudah menjadi
Perda. Apabila pengarusutamaan pengurangan risiko bencana harus
segera diintegrasikan ke dalam RTRW yang sudah menjadi Perda, maka hal
ini tidak mudah bagi Pemerintah Daerah.Karena tidak mudah membuat
Perda, terutama terkait dengan hal-hal yang bersifat non-teknis. Dalam
Lokakarya Materi Teknis – Bappenas-SCDRR II yang diselenggarakan
pada tanggal 30 Juni 2014, ada usulan dari Daerah, bahwa untuk RTRW
yang sudah Perda, sebaiknya kajian risiko bencana dilakukan dengan
memasukkannya sebagai addendum. Apabila perubahan dibuat dalam
bentuk addendum, maka tidak perlu melibatkan DPRD lagi. Namun
demikian perlu digarisbawahi bahwa upaya pengurangan risiko bencana
tidak hanya terbatas pada tahap analisis, yaitu dengan melakukan
kajian risiko bencana, tetapi hasil analisis tersebut harus diterjemahkan
ke dalam kebijakan, strategi, rencana struktur ruang dan rencana pola
ruang, serta rencana pemanfaatan ruang secara sinkron dengan alur
yang jelas. Dengan demikian perlu dipertimbangkan apakah perubahan
tersebut cukup dituangkan dalam addendum?Hal-hal ini perlu dibahas
dan ditetapkan oleh BKPRN agar pengarusutamaan pengurangan risiko
bencana ke dalam rencana tata ruang dapat dilaksanakan dengan
mempertimbangkan isu-isu yang harus dihadapi oleh Daerah.

Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan oleh BKPRN bila hendak
menetapkan perlunya Daerah segera mengintegrasikan kajian risiko
bencana ke dalam RTRW adalah ketersediaan konsultan yang paham dan
siap untuk melakukan hal tersebut. Seperti diketahui, penyusunan RTRW
di Daerah umumnya dilakukan oleh pihak ketiga (konsultan). Dengan
demikian, apabila pengarusutamaan pengurangan risiko bencana (PRB)
ke dalam rencana tata ruang (RTR) akan dilaksanakan, harus dipastikan
terlebih dulu bahwa sudah ada konsultan-konsultan yang siap dan dapat
melakukannya. Jangan sampai Daerah sudah menganggarkan kegiatan
tersebut, tetapi ternyata konsultannya belum ada yang siap untuk
melakukan pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam RTR.

6.1.2 Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN)


Sama seperti pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam RTRW Provinsi,
tantangan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam RTR KSN
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 163

adalah kesesuaian jangka waktu antara Rencana Penanggulangan Bencana


yang ada dengan waktu penyusunan atau peninjauan kembali RTR KSN.

1. Integrasi pada saat proses penyusunan RTR Kawasan Strategis


Nasional (RTR KSN)
Untuk RTR KSN yang belum menjadi Perpres atau masih dalam proses
penyusunan, perlu segera dilakukan pengintegrasian kajian risiko
bencana. Sehubungan dengan itu perlu ada koordinasi antara BKPRN
dengan BNPB/BPBD dalam mengintegrasikan kajian risiko bencana ke
dalam penyusunan RTR KSN, dengan memperhatikan jangka waktunya.

a. Untuk RTR KSN yang sudah dalam proses penyusunan:


1. Bila RPB Provinsi/Kabupaten/Kota sudah ada dan jangka waktunya
sesuai, maka kajian risiko bencana dapat segera diintegrasikan ke
dalam penyusunan RTR KSN;
2. Bila RPB Provinsi/Kabupaten/Kota belum ada atau jangka
waktunya tidak sesuai, maka K/L dapat melakukan pengkajian
risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BPBD untuk:
(a) Segera diintegrasikan ke dalam proses penyusunan RTR KSN;
atau
(b) Diintegrasikan pada saat peninjauan kembali RTR KSN tersebut,
tergantung sudah seberapa jauh tahap penyusunan RTR KSN
tersebut, misal Raperpes.
Pengkajian dilakukan oleh K/L dengan mengacu pada Perka
BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian
Risiko Bencana.

b. Untuk RTR KSN yang belum disusun, maka dalam penyusunannya


nanti langsung dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana
sesuai dengan kebutuhan masing-masing tipologi.

2. Integrasi pada saat peninjauan kembali RTR Kawasan Strategis


Nasional (RTR KSN)
Untuk RTR KSN yang telah menjadi Perpres, maka pengintegrasian kajian
risiko bencana dilakukan pada saat peninjauan kembali:

i. Cek apakah RPB Provinsi/Kabupaten/Kota sudah ada dan apakah


jangka waktunya sesuai? Bila sesuai, maka dapat langsung
diintegrasikan.
164 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

ii. Bila RPB Provinsi/Kabupaten/Kota belum ada, maka K/L melakukan


pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan
BPBD, dan dengan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012
tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.

iii. Bila jangka waktunya tidak sesuai, maka K/L melakukan pengkajian
risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BPBD, dengan
memperhatikan RPB Provinsi/Kabupaten/Kota yang sudah ada.

BKPRN perlu membahas dan menetapkan langkah-langkah yang perlu


dilakukan dalam pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke
dalam RTR KSN, baik yang dalam proses penyusunan maupun yang sudah
Raperpres, dan Perpres.

6.2 Arahan Penguatan Muatan


6.2.1 Percepatan Ketersediaan dan Peningkatan Kualitas Rencana
Penanggulangan Bencana (RPB)
1. Ketersediaan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Provinsi/
Kabupaten/Kota
Saat ini RPB yang telah ada adalah untuk 33 provinsi (kecuali Kalimantan
Utara) serta 63 kabupaten/kota.Apabila kegiatan upaya penyusunan
RPB pada tingkat kabupaten/kota dilanjutkan serta diagendakan secara
teratur dan konsisten setiap tahun, maka sekitar 275 kabupaten/kota
lagi akan selesai kurang lebih dalam 9 tahun lagi (33 kabupaten/kota per
tahun)43.

Sementara saat ini, status per 30 Mei 2014,sudah 25 provinsi yang


mempunyai perda RTRW Provinsi (75%), 290 kabupaten memiliki perda
RTRW Kabupaten (72.9%), dan 75 kota memiliki perda RTRW Kota
(80.6%)44. Saat peninjauan kembali tentunya diharapkan dapat dilakukan
pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan RTRW tersebut.
Namun hal ini akan menjadi masalah bila pada saat peninjauan kembali
tersebut ternyata RPB Kabupaten/Kota tersebut belum tersedia.

43 BNPB, Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2015-2019, draft 3, halaman 78.


44 Rekapitulasi Progress Penyelesaian RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia, Ditjen Penataan Ruang, Kemen-
terian Pekerjaan Umum, Status 30 Mei 2014.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 165

Di sini terlihat adanya perbedaan kecepatan penyusunan RTRW


Kabupaten/Kota dengan RPB Kabupaten/Kota.Mungkin 3-4 tahun
lagi semua Kabupaten/Kota sudah memiliki Perda RTRW, sementara
dibutuhkan 9 tahun lebih untuk menyelesaikan semua RPB Kabupaten/
Kota. Dengan demikian akan sulit untuk menyusun RTRW Kabupaten/Kota
dengan perspektif pengurangan risiko bencana, bila RPB belum tersedia.
Perkiraan penyelesaian penyusunan RPB Kabupaten/Kota selama 9 tahun
itu jika BNPB melakukan dukungan langsung ke daerah.Namun saat ini,
BNPB sudah tidak lagi melakukan dukungan langsung ke daerah, tetapi
melakukan bimbingan teknis ke daerah di seluruh wilayah kabupaten/
kota agar daerah dapat melakukan kajian risiko bencana sendiri. Saat
ini baru ada 2 (dua) daerah yang telah menyelesaikan bimbingan teknis,
yakni Jawa Barat (dilakukan di Bandung) dan Sumatera Utara (dilakukan
di Medan).Harapannya semua kabupaten/kota dapat tercakup semuanya
dalam bimbingan teknis tersebut, sehingga RPB dapat segera disusun.

Selain itu, penyusunan RPB di daerah saat ini juga sudah banyak mendapat
dukungan dari donor, misalnya seluruh kabupaten/kota di Provinsi
Sulawesi Utara mendapat dukungan dari JICA, demikian juga NTB.NTT
mendapat dukungan dari OXFAM, dan IOM turut mendukung 5 kabupaten
di Provinsi NAD serta 7 kabupaten di Provinsi Jawa Barat.Sehingga bila
diakumulasi, sampai saat ini penyusunan RPB telah dilakukan pada lebih
dari 80 kabupaten/kota.

Namun demikian, hal tersebut masih menjadi tantangan utama yang


dihadapi yaitu bagaimana mempercepat penyusunan RPB Kabupaten/
Kota yang berkualitas sehingga dapat digunakan sebagai dasar
pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan RTRW Kabupaten/
Kota.Semua hal tersebut di atas menjadi signifikan dalam penyusunan
RTR KSN, karena pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam
RTR KSN dilakukan berdasarkan RPB Provinsi/Kabupaten/Kota yang ada,
kecuali untuk tipologi tertentu yang membutuhkan kajian risiko bencana
secara khusus (seperti KSN rawan bencana).

Hal ini menjadi tantangan utama BNPB dalam:


a. Memperkuat BPBD Provinsi sehingga dapat menyusun RPB sendiri
yang berkualitas dan memfasilitasi BPBD Kabupaten/Kota; dan
b. Memperkuat BPBD Kabupaten/Kota sehingga dapat menyusun RPB
sendiri yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan rencana tata
ruang.
166 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Apabila pada saat hendak menyusun atau melakukan peninjauan kembali


RTRW/RTR KSN, RPB belum ada, memang dimungkinkan bagi K/L atau SKPD
untuk melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi
dengan BNPB/BPBD dan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012
tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Namun bila hal ini
dilakukan, maka ada dua hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu:

a. Tugas BPBD akan berkurang. Dalam Permendagri No. 46 tahun 2008


tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja BPBD pasal 4 disebutkan
bahwa BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota mempunyai tugas,
antara lain, menetapkan pedoman dan pengarahan terhadap usaha
penanggulangan bencana; serta menyusun, menetapkan, dan
menginformasikan peta rawan bencana. Sementara dalam Perka
BNPB No. 3 tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan BPBD
(Bab 4) disebutkan bahwa koordinasi BPBD dengan instansi atau
lembaga dinas/badan secara horizontal pada tahap prabencana
antara lain dilakukan dalam bentuk penyusunan kebijakan dan
strategi penanggulangan bencana, penyusunan perencanaan
penanggulangan bencana, penentuan standar kebutuhan minimum,
pengurangan risiko bencana, dan pembuatan peta rawan bencana.
Bila hal ini berlanjut terus, dikhawatirkan tugas BPBD menyempit
hanya fokus pada hal-hal operasional saat tanggap darurat dan
pascabencana. Padahal secara struktur organisasi, BPBD memiliki
bidang pencegahan dan kesiapsiagaan.
b. Kualitas RPB yang dihasilkan. Bila K/L atau SKPD melakukan sendiri
pengkajian risiko bencana, apakah dapat dijamin bahwa kualitas yang
dihasilkan dapat memenuhi standar yang ditetapkan BNPB? Apakah
BNPB sudah mempunyai mekanisme yang baku untuk menjamin
kualitas setiap RPB (dan KRB) yang disusun oleh setiap BPBD maupun
SKPD dan K/L agar memiliki kualitas sesuai standar yang ditetapkan?

2. Kualitas Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Provinsi/


Kabupaten/Kota
Sehubungan dengan masalah kualitas ini, perlu dilakukan pembahasan
terhadap RPB yang ada oleh BKPRN/BKPRD dengan BNPB/BPBD untuk
mengkaji kualitas RPB tersebut serta kesesuaian muatannya untuk dapat
diintegrasikan ke dalam RTRW Provinsi.

Penyusunan RPB dilakukan dengan mengacu pada Perka BNPB No. 4


tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan
Bencana, sementara kajian risiko bencana dilakukan dengan mengacu
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 167

pada Perka BNPB No. 2 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian
Risiko Bencana. Pertanyaannya adalah dengan acuan yang sama dan
disusun oleh masing-masing BPBD dengan fasilitasi dari BNPB, apakah
RPB yang dihasilkan memiliki kualitas yang standar atau berbeda-beda
untuk setiap provinsi? Apabila kualitas RPB yang dihasilkan dapat berbeda
antara satu provinsi dengan yang lain, maka salah satu tahap yang harus
dilakukan sebelum melakukan pengintegrasian kajian risiko bencana ke
dalam muatan RTRW Provinsi adalah pengkajian terhadap kualitas RPB
itu sendiri. Dalam pengkajian kualitas RPB ini juga dilihat apakah muatan
kajian risiko bencana dalam RPB ini sesuai dengan kebutuhan RTRW
Provinsi?

Sehubungan dengan itu, dibutuhkan mekanisme yang dapat menjamin


kualitas RPB yang disusun oleh setiap daerah (provinsi, kabupaten, kota),
baik oleh BPBD maupun SKPD terkait. Selain itu, ada/tidaknya dan kualitas
kajian risiko bencana ini sebaiknya juga menjadi muatan yang dikaji pada
saat proses persetujuan substansi dalam penyusunan rencana tata ruang.
Perspektif pengurangan risiko bencana tersebut harus terlihat jelas
alurnya mulai dari tahap analisis sampai dengan perumusan kebijakan,
rencana, dan program, sehingga pengurangan risiko bencana menjadi
muatan yang telah terintegrasi di dalam rencana tata ruang.

6.2.2 Percepatan Penyusunan Peta Dasar dan Peta Tematik


Ketersediaan peta dasar untuk pelaksanaan pengkajian risiko bencana
yang akan diintegrasikan ke dalam muatan rencana tata ruang merupakan
tantangan yang harus segera ditangani.

Ketersediaan peta-peta ini merupakan tantangan yang besar, terutama untuk


peta-peta skala besar. Saat ini peta-peta yang sudah ada, sebagai berikut45:
- Skala 1:250.000 sudah ada untuk semua provinsi;
- Skala 1:50.000 sudah ada untuk semua kabupaten;
- Skala 1:25.000 sudah ada untuk Jawa-Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi46;
- Skala 1:10.000 sedang dibuat untuk kota-kota di P. Jawa.

Sedangkan peta rupabumi untuk skala yang lebih besar, yaitu 1:5.000,
1:2.000, dan 1:1.000 belum tersedia. Peta-peta skala besar ini digunakan
untuk penyusunan rencana rinci (RTR KSN/P/K dan RDTR).

45 BIG dalam Diskusi Terarah Materi Teknis – SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014.
46 BIG dalam Lokakarya Materi Teknis SCDRR II – Bappenas, 30 Juni 2014.
168 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Tantangannya adalah bagaimana agar Badan Informasi Geospasial (BIG)


dapat memenuhi kebutuhan tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama?
Berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh BIG untuk menyelesaikan semua
peta tersebut? Bagaimana caranya untuk mempercepat penyelesaian semua
peta tersebut? Anggaran adalah salah satu kendala utama, di samping
ketersediaan SDM dengan kapabilitas yang dibutuhkan.

Tantangan ketersediaan peta, tidak hanya pada ketersediaan peta dasar


tetapi juga peta tematik.Peta kerawanan dan peta ancaman dibuat oleh K/L
atau SKPD terkait.BNPB tidak menyusun sendiri peta bahaya/ancaman, tetapi
menggunakan peta yang disusun oleh K/L atau SKPD terkait.Berdasarkan
peta kerawanan tersebut disusun peta ancaman/bahaya (hazard). Peta
ancaman baru dapat dibuat bila ada peta dasar. Berdasarkan peta ancaman/
bahaya, disusun peta risiko. Jadi langkah-langkahnya adalah: (1) tersedianya
peta dasar; yang digunakan sebagai dasar penyusunan (2) peta bahaya; yang
kemudian menjadi dasar bagi perumusan (3) peta risiko. Hal tersebut juga
menjadi tantangan tersendiri karena peta bahaya baru dapat dibuat bila ada
peta dasar. Sedangkan peta dasar yang lengkap baru ada untuk peta skala
1:250.000 dan 1:50.000, sementara peta skala 1:25.000 baru ada untuk Jawa-
Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Sedangkan peta tematik (peta kerawanan)
yang siap dan dapat digunakan untuk menyusun peta bahaya, misalnya dari
Badan Geologi, baru ada peta skala 1:250.00047. Permasalahannya adalah
bagaimana menyusun peta bahaya skala 1:50.000 bila yang tersedia baru
peta tematik skala 1:250.000?

Pembuatan peta bahaya harus diprioritaskan pembuatannya baik oleh K/L


maupun Daerah. Karena peta risiko baru dapat dibuat bila peta bahaya sudah
ada. Permasalahan pembuatan peta bahaya ini belum terselesaikan karena
peta bahaya baru dapat dibuat kalau peta dasarnya sudah ada.

Tantangan lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa kebencanaan di daerah


tidak termasuk urusan wajib, sehingga sering tidak dilakukan penganggaran
untuk aspek-aspek kebencanaan48. Selain itu, kewajiban Daerah untuk
membuat peta bahaya mengalami kesulitan karena adanya ketidaksesuaian
tupoksi SKPD. Di daerah ada Dinas ESDM. Tapi sekarang Dinas ESDM tidak
memiliki bidang geologi, sehingga kesulitan untuk membuat peta bahaya
karena tidak ada tupoksinya49. Dulu tupoksi terkait kebencanaan ada di Dinas

47
BNPB, Ibid.
48
Ibid.
49
Badan Geologi, Ibid.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 169

ESDM.Tetapi sejak ada BPBD, Dinas ESDM tidak lagi melakukan perencanaan
terkait kebencanaan; ternyata BPBD juga tidak melakukan perencanaan atau
membuat peta, tetapi lebih fokus pada tanggap darurat50. BPBD diharapkan
tidak hanya responsif terhadap bencana yang terjadi, tetapi juga aktif
dalam melakukan upaya pengurangan risiko bencana. Untuk itu BPBD perlu
diperkuat.

Sehubungan dengan pembuatan peta bahaya, diharapkan Daerah paling


tidak dapat membuat peta bahaya gerakan tanah, karena bencana ini paling
sering terjadi dibandingkan bencana lainnya51.

Tantangan yang juga harus dihadapi adalah belum tersedianya peta skala
1:5.000 untuk penyusunan RDTR.Tidak mungkin melakukan rencana yang
detil tetapi petanya tidak sesuai (bukan peta skala 1:5.000). Sementara peta
yang tersedia saat ini baru peta dasar skala 1:50.000 dan 1:25.000 serta
peta tematik (kerawanan) geologi skala 1:250.000, sehingga tidak dapat
digunakan untuk menyusun RDTR.Padahal selain menyusun RTRW, Daerah
juga harus menyusun RDTR dengan peta skala 1:5.000. Informasi di peta skala
kecil (1:50.000 atau 1:25.000) tidak dapat digunakan untuk peta skala besar
(1:5.000) karena informasinya dapat menjadi tidak tepat (presisi).Peta yang
ada harus disesuaikan dengan rencana yang ada, disesuaikan dengan kondisi
di daerah.Melalui Rakornas BKPRD, Daerah dihimbau untuk mengalokasikan
anggaran untuk penyusunan peta skala rinci (1:5.000) dengan fasilitasi
BIG, untuk penyusunan RDTR52. Namun terkait dengan hal tersebut, ada
pertanyaan dari Daerah, yaitu apabila Daerah harus membuat peta-peta
tersebut sendiri, bagaimana dengan kualitasnya, khususnya terkait SDM dan
anggarannya?

Dalam konteks pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam


rencana tata ruang, dapat dilakukan langkah-langkah berikut ini:
a. Membuat pemrioritasan. Kabupaten/kota/kawasan yang memiliki kelas
risiko tinggi diprioritaskan pembuatannya. Semakin tinggi risikonya
semakin diprioritaskan pembuatannya. Prioritas utama adalah untuk
membuat peta skala 1:25.000 untuk kota-kota dengan kelas risiko tinggi,
dan peta skala 1:10.000 untuk kawasan-kawasan dalam kabupaten/
kota yang memiliki kelas risiko tinggi. Hal ini juga bukan merupakan hal
yang mudah karena berdasarkan IRBI 2013 terdapat 322 kabupaten/kota
(65%) dengan kelas risiko tinggi, sementara sisanya 174 kabupaten/kota

50
Bappeda Kabupaten Bogor, Ibid.
51
Ibid.
52
Kementerian Dalam Negeri, Ibid.
170 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

(35%) memiliki kelas risiko sedang. Kabupaten/kota dengan kelas risiko


semakin tinggi, perlu semakin diprioritaskan pembuatan peta dasarnya.
Contohnya, Kabupaten Cianjur yang memiliki kelas risiko tertinggi di
Indonesia dengan skor 250. Perlu ada kesepakatan antara BNPB dan
BKPRN mengenai kabupaten/kota dan kawasan-kawasan yang perlu
diprioritaskan pembuatan petanya.
b. Perlu adanya koordinasi antara BKPRN dan BNPB dalam menetapkan
kawasan-kawasan yang perlu diprioritaskan pembuatan peta dasar skala
1:5.000, 1:2.000, 1:1.000 untuk penyusunan rencana tata ruang kawasan
rawan bencana.
c. BKPRN perlu membahas tantangan penyediaan peta kerawanan dan peta
bahaya yang harus disiapkan oleh K/L dan Daerah. Karena tanpa peta-
peta tersebut, peta risiko tidak dapat dibuat. Dan sementara ini peta yang
ada, misalnya dari Badan Geologi, baru ada peta skala 1:250.000.

Untuk daerah yang belum memiliki peta dasar, maka dapat menggunakan
Citra Tegak Resolusi Tinggi53. Citra Tegak Resolusi Tinggi ini memiliki kedetilan
skala submeter. Peta Citra Tegak Resolusi Tinggi tersebut masih memiliki
banyak kesalahan, sehingga perlu dikoreksi dulu, yaitu dengan koreksi:
i. Radiometrik, koreksi dilakukan oleh LAPAN; dan
ii. Geometrik, koreksi dilakukan oleh BIG.
Peta yang telah dikoreksi dapat digunakan oleh daerah sebagai peta dasar.
Pemerintah Daerah dapat mengirim surat ke BIG untuk meminta agar
penyusunan peta untuk daerahnya diprioritaskan.

6.3 Arahan Penguatan Kelembagaan


6.3.1 Kerangka Regulasi
Kelengkapan peraturan perundang-undangan, standar, pedoman, dan
manual di bidang penataan ruang yang dapat dijadikan acuan dalam
penyusunan RTRW Provinsi yang berbasis pengurangan risiko bencana
(mitigasi bencana) merupakan tantangan yang perlu segera ditangani.

Saat ini peraturan perundang-undangan yang ada sudah banyak, namun


masih berjalan sendiri-sendiri. Untuk penyusunan rencana tata ruang
mengacu pada UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan peraturan
turunannya, sedangkan untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana,
termasuk penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), mengacu
pada UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan peraturan

53 BIG, dalam Diskusi Terarah Materi Teknis - SCDRR II, Bappenas, 10 Juni 2014.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 171

turunannya. Saat ini belum ada peraturan yang dapat digunakan sebagai
acuan dalam melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke
dalam penyusunan rencana tata ruang.Peraturan yang menjadi acuan dalam
penyusunan rencana tata ruang, dalam hal ini RTRW Provinsi dan RTR KSN,
adalah Permen PU No. 15/PRT/M/2009 dan Permen PU No. 15/PRT/M/2012.
Namun peraturan tersebut belum secara jelas memberikan arahan bagi
penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN yang berbasis pengurangan risiko
bencana (mitigasi bencana).Namun demikian, perlu dikemukakan pula
bahwa saat ini Ditjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum sedang
menyusun Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (sudah pada
tahap legal drafting).

Sehubungan dengan hal tersebut, maka langkah-langkah berikut ini dapat


dijadikan alternatif solusi:
1. Diperlukan satu pedoman yang dapat menjadi acuan bagi
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata
ruang. Saat ini sudah terdapat upaya-upaya untuk merumuskan pedoman
tersebut, antara lain:
a. Upaya yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri bekerja sama
dengan Georisk Jerman dan Badan Geologi yang sedang menyusun
pedoman penyusunan rencana tata ruang berbasis mitigasi bencana,
khususnya bencana geologi;
b. Upaya yang dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum,
berkoordinasi dengan BNPB, yang telah menyusun Standar Penataan
Ruang di Kawasan Rawan Bencana (SPR-KRB) dan saat ini telah
mencapai proses legal drafting; dan
c. Upaya yang dilakukan oleh Bappenas dengan dukungan SCDRR II
yang tengah menyusun Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan
Rencana Tata Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko
Bencana, khususnya untuk RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Strategis
Nasional.
2. Apabila daerah akan melakukan pengarusutamaan pengurangan
risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, maka sebaiknya pada saat
melakukan penyusunan atau peninjauan kembali RTRW sudah tersedia
pedoman yang dapat digunakan sebagai acuan. Pedoman tersebut harus
jelas dan dapat diimplementasikan. Oleh karenanya, sebaiknya dibuat
satu pedoman saja mengenai upaya pengarusutamaan pengurangan
risiko bencana ke dalam rencana tata ruang yang mengkombinasikan
antara pedoman yang telah dibuat oleh Kementerian Pekerjaan Umum,
Kementerian PPN/Bappenas, dan Kementerian Dalam Negeri.Selain itu
perlu dipertimbangkan bahwa pedoman tersebut tidak hanya menjadi
172 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

acuan dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN, tetapi juga rencana
tata ruang lainnya (RTRW Kabupaten dan RTRW Kota, serta rencana rinci
lainnya).

Sehubungan dengan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke


dalam rencana tata ruang ini, ada kekhawatiran dari Daerah.Pada dasarnya
Daerah hanya melaksanakan arahan dari Pemerintah Pusat.Namun
sebaiknya harus ada integrasi antara arahan-arahan yang dibuat oleh
Pemerintah Pusat sehingga tidak membingungkan buat Daerah.Salah
satunya adalah antara Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian
Dalam Negeri.Sudah saatnya norma-norma yang ada di Kementerian
Pekerjaan Umum dan Kementerian Dalam Negeri diintegrasikan dan
disinkronkan, sehingga tidak membingungkan buat daerah.

3. Agar dapat menjadi acuan bagi pemerintah daerah maupun K/L dalam
melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam
rencana tata ruang, maka pedoman tersebut harus memiliki kerangka
regulasi yang cukup kuat. Alternatif yang dapat dilakukan:
a. Membuat Surat Edaran Bersama 3 Menteri (Kemen PU, Kemendagri,
dan BNPB) tentang Pedoman Pengarusutamaan Pengurangan Risiko
Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang. SEB ini dibuat agar pedoman
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam RTR dapat
segera disusun dan menjadi acuan bagi pemerintah daerah maupun
K/L. Dengan demikian pengarusutamaan PRB dapat segera dilakukan.
SEB ini bersifat sementara.
b. Pada saat yang sama dimulai proses penyusunan Peraturan Menteri
PU tentang Pedoman Pengurangan Risiko Bencana dalam Rencana
Tata Ruang. Dengan demikian pedoman tersebut nantinya memiliki
dasar hukum yang lebih kuat.

4. Materi Teknis yang disusun ini dapat digunakan sebagai masukan dalam
penyusunan Pedoman Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana
ke dalam Rencana Tata Ruang tersebut di atas.
Muatan Materi Teknis ini telah melalui pembahasan dalam (a) diskusi
bilateral dengan Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kelautan
dan Perikanan, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, dan Badan
Nasional Penanggulangan Bencana; (b) diskusi terarah untuk mendapatkan
masukan dari pemangku kepentingan terkait; dan (b) lokakarya untuk
diseminasi dan mendapatkan masukan dari pemangku kepentingan
yang lebih luas. Dengan demikian diharapkan muatannya sudah
sesuai dengan kebutuhan dan dapat dipertanggungjawabkan untuk
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 173

memberikan masukan bagi penyusunan Pedoman Pengarusutamaan


Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang.Selain itu
dalam penyusunan Materi Teknis ini juga sudah dengan memperhatikan
Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (draft) yang sedang
disusun oleh Kementerian Pekerjaan Umum, sehingga muatannya dapat
saling melengkapi.

6.3.2 Keberadaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Hingga bulan Februari 2014 telah terbentuk 436 BPBD yang terdiri dari 33
BPBD Provinsi dan 403 BPBD Kabupaten/Kota (81% dari 497 kabupaten/
kota).Berarti masih ada 94 kabupaten/kota yang belum memiliki BPBD.
Untuk kabupaten/kota yang belum memiliki BPBD,tugas dan fungsi
penanggulangan bencana dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai fungsi
yang bersesuaian dengan fungsi penanggulangan bencana.

Di kabupaten/kota yang belum memiliki BPBD, bentuk kelembagaan


kebencanaan dapat berbeda-beda, baik dari segi SKPD penanggungjawab
maupun eselonnya. Di suatu kabupaten/kota kelembagaan kebencanaan
ini dapat berada di bawah eselon 2, 3, atau 4. Misalnya, sebagai contoh, di
Kabupaten Grobogan (Jawa Tengah) kebencanaan menjadi bagian dari Badan
Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat(Kesbanglinmas), di mana
kebencanaan berada di bawah Bidang Pengamanan dan Penanggulangan
Bencana. Mengingat bahwa hasil kajian BNPB menunjukkan bahwa 204 juta
(sekitar 80%) rakyat Indonesia tinggal di kawasan rawan bencana54, maka
sebaiknya semua kabupaten/kota memiliki BPBD.

Sehubungan dengan hal tersebut, prioritas utama adalah menyegerakan


pembentukan BPBD di 94 kabupaten/kota yang belum memiliki BPBD saat ini.

Setelah BPBD terbentuk, tantangan berikutnya adalah masalah kapasitas


BPBD. Bila dibandingkan dengan BKPRD yang sudah terbentuk cukup lama,
maka kapasitas BPBD merupakan salah satu isu yang penting diperhatikan.
Isu kapasitas ini antara lain terkait dengan sumber daya manusia, sarana dan
prasarana, serta anggaran yang dimiliki oleh BPBD. Kapasitas BPBD perlu
diperkuat antara lain agar mampu menyusun Rencana Penanggulangan
Bencana (RPB) sendiri yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan
rencana tata ruang sehingga dapat diintegrasikan.

54
Bapak Lilik Kurniawan, Direktur Pengurangan Risiko Bencana,“Isu-isu Strategis Pengarusutamaan Pengurangan Risiko
Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang”, Kedeputian Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, BNPB, Keynote Speech dalam
Diskusi Terarah Materi Teknis-SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014.
174 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

6.3.3 Kapasitas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Struktur BPBD yang ada saat ini dirasakan sudah cukup untuk
penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah, hanya perlu
dioptimalkan lagi dalam hal sumber daya manusia dan anggarannya.
Dirasakan sumber daya manusia yang ada saat ini masih sangat kurang
kapabilitasnya dalam penanggulangan bencana, khususnya untuk aspek
pencegahan dan mitigasi bencana (perencanaan), karena saat ini fokusnya
masih lebih pada hal-hal yang operasional (kesiapsiagaan dan tanggap
darurat)55.

Hal tersebut merupakan tantangan yang harus dihadapi, yaitu bagaimana


agar Pemerinah Daerah mau memprioritaskan pembentukan BPBD, dan
bila sudah terbentuk, mau memprioritaskan penguatan BPBD, baik dari segi
penguatan sumber daya manusia maupun anggaran.

Dalam pembentukan dan penguatan BPBD ini, sebaiknya pemerintah daerah


juga mempertimbangkan karakteristik fisik daerahnya, misalnya provinsi
kepulauan seperti NTT atau kota kepulauan seperti Ternate. Sebagai wilayah
kepulauan, maka sarana dan prasarana evakuasi menjadi isu yang sangat
penting untuk diperhatikan.

6.3.4 Penguatan BKPRD terkait Kebencanaan


Sehubungan dengan belum masuknya pengarusutamaan pengurangan
risiko bencana ke dalam salah satu tugas BKPRD dan tidak masuknya
kelembagaan bencana, BPBD, sebagai anggota BKPRD, maka tantangannya
adalah bagaimana meningkatkan kapasitas BKPRD terhadap kebencanaan,
terutama dalam upaya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke
dalam penataan ruang? Ada beberapa alternatif yang dapat diambil:
(1) Memasukkan kelembagaan bencana, dalam hal ini BPBD, sebagai salah
satu anggota BKPRD; atau
(2) Memasukkan BPBD ke dalam Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang
pada saat penyusunan rencana tata ruang, dan ke dalam Kelompok Kerja
Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang pada saat rencana
tata ruang sudah selesai disusun dan masuk pada tahap implementasi;
atau
(3) Memasukkan BPBD dalam Tim Teknis tentang penanggulangan bencana.

55
Diskusi Terarah Materi Teknis-SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 175

Dalam Lokakarya Materi Teknis SCDRR II – Bappenas yang diselenggarakan


pada tanggal 30 Juni 2014 (lihat prosiding pada Lampiran C), isu kelembagaan
ini telah dibahas. Dari pembahasan tersebut, dihasilkan beberapa butir
penting berikut ini:
1. Terkait dengan pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam
perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang,
diperlukan pelibatan BPBD dan BKPRD. Dalam konteks tersebut maka
penting agar BPBD menjadi anggota BKPRD. Penguatan BKPRD dan BPBD
dalam penanganan aspek kebencanaan menjadi hal yang penting pula.
2. Penguatan BKPRD dalam aspek kebencanaan, antara lain dengan cara
(dapat dilakukan ketiganya): (i) eselon 2 masuk sebagai anggota BKPRD;
eselon 3 masuk dalam pokja BKPRD; dan masuk dalam tim teknis BKPRD.
3. Bila BPBD direkomendasikan untuk masuk sebagai anggota BKPRD, dan
BNPB direkomendasikan untuk masuk sebagai anggota BKPRN, maka
perlu dipikirkan bagaimana mekanismenya karena ada peraturan yang
perlu diubah. Misalnya, Keppres tentang BKPRN perlu direvisi. Sebelumnya
tentu harus ada kesepakatan terlebih dahulu mengenai keanggotaan
tersebut. Hal ini penting karena salah satu tujuanpenyelenggaraan
penataan ruang adalah mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman
(UU No. 26 tahun 2007 pasal 3), di mana kebencanaan adalah salah satu
isu strategis.
4. Mendagri bersama para Menteri anggota BKPRN berkewajiban untuk
melakukan fungsi dan pembinaan BKPRD dalam penyelenggaran
penataan ruang terkait upaya pengurangan risiko bencana.

6.4 Rencana Tindak Lanjut


Sesuai dengan pembahasan di atas, dalam upaya pengarusutamaan pengurangan
risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, khususnya RTRW Provinsi dan RTR KSN,
maka tindak lanjut yang perlu dilakukan adalah:

A. BKPRN
BKPRN melaksanakan rapat eselon II BKPRN untuk menyepakati pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, yang meliputi:
1. Menyepakati dan membangun komitmen akan perlunya pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang segera dilakukan.
Bila hal ini disepakati, maka implikasinya adalah:
a. Rencana tata ruang yang belum disusun, dalam penyusunannya nanti
langsung mengintegrasikan perspektif pengurangan risiko bencana;
b. Rencana tata ruang yang masih dalam proses penyusunan (s/d persetujuan
substansi), segera mengintegrasikan perspektif pengurangan risiko
bencana ini;
176 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

c. Rencana tata ruang yang sudah dalam proses Raperda dan sudah Perda
atau sudah Raperpres dan sudah Perpres, segera mengintegrasikan
perspektif pengurangan risiko bencana pada saat dilakukan peninjauan
kembali yang pertama.
d. Daerah-daerah yang memiliki kelas risiko sangat tinggi (perlu dirumuskan
kriterianya), segera mengintegrasikan perspektif pengurangan risiko
bencana ke dalam rencana tata ruangnya. Dalam IRBI 2013, sepuluh
kabupaten/kota yang memiliki kelas risiko bencana multi ancaman
tertinggi dapat dilihat pada Tabel 6.4.

Tabel 6.4
Indeks Risiko Bencana Multi Ancaman 10 Kabupaten/Kota Tertinggi Tahun 2013
No Kabupaten/Kota Provinsi Skor Kelas Risiko Status RTRW
1 Cianjur Jawa Barat 250 Tinggi Perda 2012,
PK RTRW 2017
2 Garut Jawa Barat 238 Tinggi Perda 2011
PK RTRW 2016
3 Sukabumi Jawa Barat 231 Tinggi Perda 2012
PK RTRW 2017
4 Lumajang Jawa Timur 231 Tinggi PK RTRW 2014
5 Tasikmalaya Jawa Barat 225 Tinggi Perda 2012
PK RTRW 2017
6 Halmahera Selatan Maluku Utara 224 Tinggi Perda 2012
PK RTRW 2017
7 Maluku Barat Daya Maluku 223 Tinggi Perda 2013
PK RTRW 2018
8 Majene Sulawesi Barat 221 Tinggi Perda 2012
PK RTRW 2017
9 Malang Jawa Timur 219 Tinggi PK RTRW 2015
10 Jember Jawa Timur 219 Tinggi Belum Perda
Sumber: IRBI 2013 dan Roadmap (draft), Bappenas

Sehubungan dengan langkah-langkah pengintegrasian tersebut di atas, hal-hal


berikut ini perlu dibahas dan diputuskan oleh BKPRN:
i. Apakah peninjauan kembali RTR dapat dilakukan segera tanpa menunggu 5
tahun agar pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana
tata ruang dapat segera dilakukan, khususnya untuk daerah-daerah dengan
kelas risiko tinggi?
ii. Untuk RTRW yang sudah Perda, apakah kajian risiko bencana dapat dimasukkan
ke dalam addendum sehingga tidak perlu melalui proses dengan DPRD?

2. Menyepakati bahwa pengurangan risiko bencana menjadi salah satu muatan


yang dikaji pada saat proses persetujuan substansi di BKPRN. Pengurangan
risiko bencana ini mencakup: (a) kajian risiko bencana pada tahap analisis,
dan (b) muatan pengurangan risiko bencana dalam kebijakan, rencana, dan
indikasi program utama.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 177

3. Menyepakati bahwa
a. K/L atau SKPD dapat melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri
berkoordinasi dengan BNPB/BPBD dan mengacu pada Perka BNPB No.
02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana,
apabila Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) belum ada pada saat
penyusunan atau peninjauan kembali rencana tata ruang.
b. BNPB dilibatkan dalam proses persetujuan substansi untuk menjamin
kualitas kajian risiko bencana yang dilakukan telah memenuhi standar.

4. Menyepakati bahwa:
a. Perlu membuat pemrioritasan dalam pembuatan peta dasar berdasarkan
kelas risiko suatu daerah/kawasan. Kabupaten/kota/kawasan yang
memiliki kelas risiko tinggi diprioritaskan pembuatannya. Semakin tinggi
risikonya semakin diprioritaskan pembuatan peta dasarnya.
b. Pentahapan pembuatan peta dasar sebagai berikut:
i. Tahap pertama adalah menyelesaikan pembuatan peta skala 1:25.000
untuk seluruh Indonesia, dan peta skala 1:10.000 untuk kawasan-
kawasan dalam kabupaten/kota yang memiliki kelas risiko tinggi;
ii. Tahap kedua adalah membuat peta skala 1:5.000, 1:2.000, 1:1.000
untuk kawasan-kawasan dengan kelas risiko tinggi.
iii. BKPRN perlu membahas tantangan penyediaan peta kerawanan dan
peta bahaya yang harus disiapkan oleh K/L dan Daerah. Karena tanpa
peta-peta tersebut, peta risiko tidak dapat dibuat.

5. Menyepakati bahwa:
a. Dibutuhkan satu pedoman yang dapat menjadi acuan bagi
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata
ruang.
b. Dasar hukum pedoman tersebut adalah (i) Surat Edaran Bersama 3
Menteri (Kemen PU, Kemendagri, dan BNPB); yang kemudian ditingkatkan
menjadi (ii) Peraturan Menteri PU.
c. Pedoman tersebut disusun dengan mengintegrasikan berbagai
upaya yang telah dilakukan saat ini terkait dengan pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang.
d. Pedoman tersebut menjadi acuan dalam penyusunan RTRW Provinsi,
RTRW Kabupaten, RTRW Kota dan RTR Kawasan Strategis Nasional.

6. Menyepakati bahwa penguatan BKPRD terhadap kebencanaan dilakukan


dengan cara:
a. Memasukkan BPBD sebagai salah satu anggota BKPRD;
178 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA

b. Memasukkan BPBD ke dalam Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang


pada saat penyusunan rencana tata ruang, dan ke dalam Kelompok Kerja
Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang pada saat rencana
tata ruang sudah selesai disusun dan masuk pada tahap implementasi;
c. Memasukkan BPBD dalam Tim Teknis tentang penanggulangan bencana.
Demikian juga di tingkat pusat, perlu dilakukan penguatan BKPRN dengan
melibatkan BNPB.

B. Rekomendasi untuk BNPB


1. Berkoordinasi dengan BKPRN dalam menetapkan daerah-daerah yang perlu
diprioritaskan pembuatan peta dasar dan peta tematiknya berdasarkan kelas
risiko suatu daerah;
2. Mendorong agar Pemerintah Daerah memrioritaskan pembentukan dan
penguatan BPBD (sumber daya manusia maupun anggaran);
3. Mendorong percepatan penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana di
kabupaten/kota; dan
4. Merumuskan kelas risiko yang lebih rinci (tidak hanya tinggi, sedang, rendah).

Anda mungkin juga menyukai