2014
MATERI TEKNIS
REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG
BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
PENANGGUNG JAWAB :
R. Aryawan Soetiarso Poetro, Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal,
selaku Project Board SCDRR Phase II.
TIM PENGARAH :
Oswar Muadzin Mungkasa, Direktur Tata Ruang dan Pertanahan
TIM PENULIS :
Gita Chandrika
TIM SUPERVISI :
Mia Amalia Indra Ade Saputra Agung Dorodjatun
Rinella Tambunan Nana Apriyana Gina Puspitasari
Santi Yulianti Togu Pardede
Aswicaksana Astri Yulianti
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — iii
Kata Pengantar
Penyelenggaraan penataan ruang seperti yang tercantum Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007, bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman,
produktif, dan berkeianjutan. Aman dapat diartikan sebagai aman dari bencana alam,
bencana sosial, dan bencana kegagalan teknologi. Saat ini, baik Pemerintah maupun
pemerintah daerah provinsi, masing-masing telah dan tengah menyusun rencana tata
ruang Kawasan Strategis Nasional [KSN) dan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Provinsi.
Sebagai bentuk perwujudan ruang yang aman dan berkeianjutan, proses perencanaan
tata ruang ini periu memperhatikan aspek mitigasi bencana.
Materi buku ini merupakan kelanjutan dari hasil kajian Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional [Bappenas) tentang
Tinjauan Kebencanaan KSN Jabodetabekpunjur, dengan memasukkan lebih luas aspek
mitigasi bencana dan merumuskan penerapannya secara teknis agar terintegrasi ke dalam
rencana tata ruang. Kajian ini diharapkan dapat menyempurnakan pedoman penyusunan
rencana tata ruang yang ada dan dapat berkontribusi dalam penyempurnaan proses
perencanaan tata ruang sebagai instrumen mitigasi bencana maupun proses penyusunan
kajian pengurangan risiko bencana.
Tentunya hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi berbagai pihak, baik
pemerintah pusat, maupun provinsi, yang sedang dalam proses menyusun atau meninjau
kembali rencana tata ruang wilayahnya. Saran dan masukan yang konstruktif akan kami
terima dengan senang hati untuk peningkatan kualitas penataan ruang nasional dan daerah.
Daftar Isi
Bab 2 Mitigasi Bencana Dalam Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau
Kecil (RPWP3K) Dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) ........................... 13
2.1 Mitigasi Bencana dalam Rencana Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ...................................................................................................... 13
2.1.1 Dasar Hukum .................................................................................................................... 13
2.1.2 Jenis, Tingkat Risiko, dan Wilayah Bencana di Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil............................................................................................................. 14
2.1.3 Mitigasi Bencana dalam Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil .................................................................................................... 15
2.1.4 Mitigasi Bencana dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) ........................................................................................ 23
2.1.5 Contoh Aplikasi Mitigasi Bencana dalam Perencanaan PWP3K..................... 26
2.1.6 Keterkaitan RZWP3K dengan RTRW Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS) dalam Rencana Tata Ruang dan Keterkaitannya dengan
Mitigasi Bencana ............................................................................................................. 29
2.2 Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam Rencana Tata Ruang
dan Keterkaitannya dengan Mitigasi Bencana ................................................................... 32
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — v
5.2 Pemetaan Pemangku Kepentingan dalam Penyusunan RTRW Provinsi ................... 145
5.3 Pemetaan Pemangku Kepentingan dalam Penyusunan RTR Kawasan
Strategis Nasional .......................................................................................................................... 149
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Daftar Singkatan
A
Amdal : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
B
BAKORSURTANAL: Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
BAPPEDA: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
BAPPENAS: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Base map: Peta dasar
BATAN: Badan Tenaga Nuklir Nasional
BG: Badan Geologi
BGN: Badan Geologi Nasional
BIG: Badan Informasi Geospasial, sebelumnya bernama Badan Koordinasi Survei dan
Pemetaan Nasional (BAKORSURTANAL).
BKPRN: Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional
BMKG: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofi sika
BNPB: Badan Nasional Penanggulangan Bencana
BPPT: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
BPS: Badan Pusat Statistik
D
DAMKAR: Pemadam Kebakaran
DAS: Daerah Aliran Sungai
DISHIDROS: Dinas Hidro Oseanografi TNI AL (TNI Angkatan Laut), merupakan lembaga
survei pemetaan hidro-oseanografi dibawah TNI AL.
Dit. KKDT: Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
Dit.TRP: Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
DKI Jakarta: Daerah Khusus Ibukota Jakarta
E
EWS: Early Warning System/Sistem Peringatan Dini
G
GIS: Geographis Infrmation System atau Sistem Informasi Geografi s/SIG
H
HFA: Hyogo Framework for Action
I
IAB: Indeks Ancaman Bencana
IG: Informasi Geospasial
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xi
J
JABODETABEKPUNJUR: Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur
JORR 2: Jakarta Outer Ring Road 2
K
KAPET: Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu
KDB: Koefi sien Dasar Bangunan
KEK: Kawasan Ekonomi Khusus
Kemendagri: Kementerian Dalam Negeri
Kemenhub: Kementerian Perhubungan
Kemenhut: Kementerian Kehutanan
Kemenkes: Kementerian Kesehatan
Kemenperind: Kementerian Perindustrian
Kemen-PU: Kementerian Pekerjaan Umum
Kemensos: Kementerian Sosial
Kementan: Kementerian Pertanian
K/L: Kementerian/Lembaga
KKP: Kementerian Keluatan dan Perikanan
KLB: Koefi sien Lantai Bangunan
KLH: Kementerian Lingkungan Hidup
KLHS: Kajian Lingkungan Hidup Strategis
KPBPB: Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
KRB: Kajian Risiko
KSN: Kawasan Strategis Nasional
KTC: Kepadatan timbulnya campak
KTDB: Kepadatan timbulnya demam berdarah
KTHIV/AIDS: Kepadatan timbulnya HIV/AIDS
KTM: Kepadatan timbulnya malaria
KZB: Koefisien Zona Bangunan
L
LAPAN: Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
M
MATEK: Materi Teknis
MP3EI: Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
P
PB: Penanggulangan Bencana
PDF (Portable Document Format): adalah sebuah format berkas yang dibuat oleh Adobe,
meliputi: teks, huruf, citra dan grafik vektor dua dimensi
PDRB: Produk Domestik Regional Bruto
PEMKAB: Pemerintah Kabupaten
xii — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
R
RTH : Ruang Terbuka Hijau
RPB: Rencana Penanggulangan Bencana
RPWP3K: Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
RTH Publik: merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah
daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum.
RTR KSN: Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional
RTRWN: Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
RTRWP: Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
RZPW3K: Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
S
SCDRR: Safer Communities through Disaster Risk Reduction
SDA: Sumber Daya Alam
SNI : Standar Nasional Indonesia
U
UNDP: United Nations of Development Programme
UTM: Universal Transverse Mercator/sistem koordinat yang terproyeksi
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xiii
Ringkasan Eksekutif
I. Latar Belakang
Sebagai negara rawan bencana, sangat penting bagi Indonesia memiliki kesiapsiagaan
dalam mengantisipasi bencana untuk dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan
oleh bencana tersebut. Upaya pencegahan dan mitigasi bencana menjadi sangat
penting untuk mengurangi risiko bencana yang mungkin timbul. Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2007 tentang PenanggulanganBencana telah mengamanatkan pada
pasal 35 dan 36 agar setiap daerah mempunyai perencanaan penanggulangan bencana
yang menjadi acuan dalam upaya penanggulangan bencana. Sehubungan dengan hal
tersebut, sangatlah penting bagi setiap daerah untuk mengintegrasikan pengurangan
risiko bencana ke dalam dokumen-dokumen perencanaan daerah, seperti Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM), dan Rencana Tata Ruang (RTR) untuk menjamin pelaksanaannya dapat efektif
dan terintegrasi.
Rencana tata ruang, dengan fungsinya untuk mengarahkan pemanfaatan ruang jangka
panjang, sangat berguna dalam mereduksi keterpaparan jumlah penduduk, kegiatan
sosial ekonomi, dan sarana prasarana dari ancaman bencana. Saat ini, pedoman
penyusunan rencana tata ruang yang ada yang relevan dengan kebencanaan adalah
untuk letusan gunung api, gempa bumi, dan reklamasi pantai. Salah satu output proyek
ini adalah terselenggaranya dukungan bagi pengarusutamaan kebijakan pengurangan
risiko bencana dalam pembangunan di daerah, termasuk dalam perencanaan,
pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
II. Tujuan
Maksud dari kegiatan ini adalah untuk menyusun Materi Teknis Revisi Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana.
Sementara tujuan dari kegiatan ini adalah memberikan masukan perbaikan terhadap
pedoman-pedoman penyusunan rencana tata ruang (RTR) yang telah ada saat ini untuk
mengintegrasikan pendekatan pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang.
Materi teknis yang dihasilkan akan diusulkan kepada Badan Koordinasi Penataan Ruang
Nasional (BKRN) sebagai masukan dalam merumuskan pedoman yang dapat menjadi
acuan bagi Pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, khususnya Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi (RTRW Provinsi) dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis
Nasional (RTR KSN). Pedoman ini nantinya dapat melengkapi pedoman yang telah ada
saat ini, khususnya (a) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 15 Tahun 2009 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi, dan (b) Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum No. 15 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Nasional (KSN). Perumusan pedoman tersebut harus
dilakukan sesuai dengan arahan dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
dan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sebagai landasan untuk
mengintegrasikan pendekatan pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang.
III. Metodologi
Dalam mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, terdapat
3 hal yang harus dilakukan, yaitu:
a. Integrasi dokumen/proses. Mengatur bagaimana mengintegrasikan kajian risiko
bencana (KRB) dalam dokumen Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) ke dalam
dokumen rencana tata ruang (RTR) dalam proses penyusunan rencana tata ruang.
Dalam hal ini, terdapat masalah perbedaan jangka waktu antara penyusunan atau
peninjauan kembali rencana tata ruang dengan periode Rencana Penanggulangan
Bencana (RPB).
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xv
Gambar 1
Keterkaitan Materi Teknis dengan Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN,
serta Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana
Melengkapi Melengkapi
V. Kesimpulan
Pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam RTR dimulai sejak tahap
persiapan penyusunan RTR, yaitu dengan mengkaji muatan kebencanaan yang ada di
RTR. Tahap paling penting adalah tahap pengolahan dan analisis data, pada tahap ini
dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana yang ada dalam dokumen Rencana
Penanggulangan Bencana (RPB) ke dalam analisis penyusunan RTR. Pengintegrasiannya
adalah: (i) Peta Kerawanan yang sifatnya jangka panjang, dijadikan dasar perumusan
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xvii
tujuan, kebijakan, strategi, serta perumusan rencana struktur ruang dan rencana pola
ruang; dan (ii) Peta Kerentanan, Peta Kapasitas, dan Peta Risiko yang bersifat jangka
menengah (5 tahun) dijadikan masukan bagi perumusan arahan pemanfaatan ruang
(indikasi program utama). Seperti dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2
Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan RTR
Salah satu isu yang muncul dalam upaya pengintegrasian adalah adanya perbedaan
jangka waktu antara periode Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dengan waktu
penyusunan atau peninjauan kembali RTR. Idealnya, pada saat peninjauan kembali/
penyusunan RTR, RPB sudah tersedia.
xviii — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Gambar 3
Waktu Pengintegrasian PRB ke dalam RTR
Tabel 1
Indeks Risiko Bencana 8 Provinsi yang Belum Memiliki Perda RTRW Provinsi
Untuk saat ini mungkin dapat dilakukan kombinasi dari (i) dan (iii), dengan
pertimbangan berikut ini: (a) Peta Kerawanan dan peta ancaman bersifat jangka
panjang, sehingga peta kerawanan dan peta ancaman yang ada dapat digunakan
untuk acuan perumusan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang, serta
indikasi arahan peraturan zonasi; (b) Sedangkan peta kerentanan, peta kapasitas,
dan peta risiko bersifat jangka menengah, sehingga perlu diperbaharui oleh SKPD
sesuai waktu berkoordinasi dengan BPBD. Peta kerentanan, peta kapasitas, dan
peta risiko yang telah diperbaharui digunakan untuk acuan perumusan indikasi
program utama sebagai arahan pemanfaatan ruang untuk 5 tahun berikutnya;
(c) Sebelum waktu peninjauan kembali, sebaiknya RPB yang baru sudah disusun
dengan memperhatikan waktu peninjauan kembali RTRW Provinsi tersebut.
Sehubungan dengan upaya pengurangan risiko bencana ini, maka BKPRN perlu
mempertimbangkan untuk memasukkan kajian risiko bencana menjadi salah
satu muatan yang harus ada dalam rencana tata ruang, dan dikaji kualitasnya
pada saat proses persetujuan substansi. Seperti Kajian Lingkungan Hidup
Strategis (KLHS).
rencana tata ruang dilakukan 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. Namun, PP
No. 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang pasal 82 (2)
menetapkan bahwa peninjauan kembali rencana tata ruang dapat segera
dilakukan tanpa menunggu 5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan lingkungan
strategis berupa (a) bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan; (b) perubahan batas territorial negara yang ditetapkan
dengan undang-undang; atau (c) perubahan batas wilayah daerah yang
ditetapkan dengan undang-undang. BKPRN perlu membahas hal tersebut dan
mempertimbangkan apakah peninjauan kembali dapat dilakukan segera untuk
mengantisipasi kejadian bencana alam dan sebagai upaya pengurangan risiko
bencana, terutama di daerah-daerah dengan kelas risiko tinggi.Hal ini sangat
signifikan mengingat bahwa hasil kajian BNPB menunjukkan 204 juta (80%)
rakyat Indonesia tinggal di kawasan rawan bencana.
melakukan kajian risiko bencana, tetapi hasil analisis tersebut harus diterjemahkan
ke dalam kebijakan, strategi, rencana struktur ruang dan rencana pola ruang, serta
rencana pemanfaatan ruang secara sinkron dengan alur yang jelas.
Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan oleh BKPRN bila hendak menetapkan
perlunya Daerah segera mengintegrasikan kajian risiko bencana ke dalam RTRW
adalah ketersediaan konsultan yang paham dan siap untuk melakukan hal tersebut.
Seperti diketahui, penyusunan RTRW di Daerah umumnya dilakukan oleh pihak
ketiga (konsultan). Dengan demikian, apabila pengarusutamaan pengurangan
risiko bencana (PRB) ke dalam rencana tata ruang (RTR) akan dilaksanakan, harus
dipastikan terlebih dulu bahwa sudah ada konsultan-konsultan yang siap dan
dapat melakukannya. Jangan sampai Daerah sudah menganggarkan kegiatan
tersebut, tetapi ternyata konsultannya belum ada yang siap untuk melakukan
pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam RTR.
Untuk RTR KSN yang sudah dalam proses penyusunan: (a) Bila RPB Provinsi/
Kabupaten/Kota sudah ada dan jangka waktunya sesuai, maka kajian risiko
bencana dapat segera diintegrasikan ke dalam penyusunan RTR KSN;dan (b) Bila
RPB Provinsi/Kabupaten/Kota belum ada atau jangka waktunya tidak sesuai, maka
K/L dapat melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi
dengan BPBD untuk: (i) Segera diintegrasikan ke dalam proses penyusunan RTR
KSN; atau (ii) Diintegrasikan pada saat peninjauan kembali RTR KSN tersebut,
tergantung sudah seberapa jauh tahap penyusunan RTR KSN tersebut, misal
Raperpes.Pengkajian dilakukan oleh K/L dengan mengacu pada Perka BNPB No.
02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.
xxii — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Untuk RTR KSN yang belum disusun, maka dalam penyusunannya nanti langsung
dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana sesuai dengan kebutuhan
masing-masing tipologi.
b. Integrasi pada saat peninjauan kembali RTR Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN)
Untuk RTR KSN yang telah menjadi Perpres, maka pengintegrasian kajian risiko
bencana dilakukan pada saat peninjauan kembali. Langkah-langkah sebagai
berikut: (i) Periksa apakah RPB Provinsi/Kabupaten/Kota sudah ada dan apakah
jangka waktunya sesuai. Bila sesuai, maka dapat langsung diintegrasikan; (ii) Bila
RPB Provinsi/Kabupaten/Kota belum ada, maka K/L melakukan pengkajian risiko
bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BPBD, dan dengan mengacu
pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian
Risiko Bencana; (iii) Bila jangka waktunya tidak sesuai, maka K/L melakukan
pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BPBD, dengan
memperhatikan RPB Provinsi/Kabupaten/Kota yang sudah ada.
Sementara saat ini, status per 30 Mei 2014,sudah 25 provinsi yang mempunyai perda
RTRW Provinsi (75%), 290 kabupaten memiliki perda RTRW Kabupaten (72,9%),
dan 75 kota memiliki perda RTRW Kota (80,6%)2. Saat peninjauan kembali tentunya
diharapkan dapat dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan
RTRW tersebut. Namun hal ini akan menjadi masalah bila pada saat peninjauan
kembali tersebut ternyata RPB Kabupaten/Kota tersebut belum tersedia.
Hal yang masih menjadi tantangan utama yang dihadapi yaitu bagaimana
mempercepat penyusunan RPB Kabupaten/Kota yang berkualitas sehingga dapat
digunakan sebagai dasar pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan
RTRW Kabupaten/Kota.Semua hal tersebut di atas menjadi signifikan dalam
penyusunan RTR KSN, karena pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke
dalam RTR KSN dilakukan berdasarkan RPB Provinsi/Kabupaten/Kota yang ada,
1
BNPB, Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2015-2019, draft 3, halaman 78.
2
Rekapitulasi Progress Penyelesaian RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia, Ditjen Penataan Ruang,
Kementerian Pekerjaan Umum, Status 30 Mei 2014.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xxiii
kecuali untuk tipologi tertentu yang membutuhkan kajian risiko bencana secara
khusus (seperti KSN rawan bencana).
Hal ini menjadi tantangan utama BNPB dalam: (i) Memperkuat BPBD Provinsi sehingga
dapat menyusun RPB sendiri yang berkualitas dan memfasilitasi BPBD Kabupaten/
Kota; dan (ii) Memperkuat BPBD Kabupaten/Kota sehingga dapat menyusun RPB
sendiri yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan rencana tata ruang.
Apabila pada saat hendak menyusun atau melakukan peninjauan kembali RTRW/
RTR KSN, RPB belum ada, memang dimungkinkan bagi K/L atau SKPD untuk
melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BNPB/
BPBD dan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum
Pengkajian Risiko Bencana. Namun bila hal ini dilakukan, maka ada dua hal yang
perlu dipertimbangkan, yaitu:
i. Tugas BPBD akan berkurang. Dalam Permendagri No. 46 tahun 2008 tentang
Pedoman Organisasi dan Tata Kerja BPBD pasal 4 disebutkan bahwa BPBD Provinsi
dan BPBD Kabupaten/Kota mempunyai tugas, antara lain, menetapkan pedoman
dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana; serta menyusun,
menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana. Sementara dalam
Perka BNPB No. 3 tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan BPBD (Bab 4)
disebutkan bahwa koordinasi BPBD dengan instansi atau lembaga dinas/badan
secara horizontal pada tahap prabencana antara lain dilakukan dalam bentuk
penyusunan kebijakan dan strategi penanggulangan bencana, penyusunan
perencanaan penanggulangan bencana, penentuan standar kebutuhan
minimum, pengurangan risiko bencana, dan pembuatan peta rawan bencana.
Bila hal ini berlanjut terus, dikhawatirkan tugas BPBD menyempit hanya fokus
pada hal-hal operasional saat tanggap darurat dan pascabencana. Padahal secara
struktur organisasi, BPBD memiliki bidang pencegahan dan kesiapsiagaan.
ii. Kualitas RPB yang dihasilkan. Bila K/L atau SKPD melakukan sendiri pengkajian
risiko bencana, BNPB harus sudah mempunyai mekanisme yang baku untuk
menjamin kualitas setiap RPB (dan KRB) yang disusun oleh setiap BPBD maupun
SKPD dan K/L agar memiliki kualitas sesuai standar yang ditetapkan dapat dijamin
bahwa kualitas yang dihasilkan dapat memenuhi standar yang ditetapkan BNPB.
harus segera ditangani, terutama untuk peta-peta skala besar. Saat ini peta-peta yang
sudah ada, sebagai berikut3: (i) Skala 1:250.000 sudah ada untuk semua provinsi; (ii)
Skala 1:50.000 sudah ada untuk semua kabupaten; (iii) Skala 1:25.000 sudah ada untuk
Jawa-Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi4; (iv) Skala 1:10.000 sedang dibuat untuk
kota-kota di P. Jawa; (v) Sedangkan peta rupabumi untuk skala yang lebih besar, yaitu
1:5.000, 1:2.000, dan 1:1.000 belum tersedia. Peta-peta skala besar ini digunakan
untuk penyusunan rencana rinci (RTR KSN/P/K dan RDTR).Tantangannya adalah
bagaimana agar Badan Informasi Geospasial (BIG) dapat memenuhi kebutuhan
tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama. Anggaran adalah salah satu kendala
utama, di samping ketersediaan SDM dengan kapabilitas yang dibutuhkan.
Tantangan ketersediaan peta, tidak hanya pada ketersediaan peta dasar tetapi juga
peta tematik.Peta kerawanan dan peta ancaman dibuat oleh K/L atau SKPD terkait.
BNPB tidak menyusun sendiri peta bahaya/ancaman, tetapi menggunakan peta yang
disusun oleh K/L atau SKPD terkait.Berdasarkan peta kerawanan tersebut disusun
peta ancaman/bahaya (hazard).Peta ancaman baru dapat dibuat bila ada peta dasar.
Berdasarkan peta ancaman/bahaya, disusun peta risiko. Jadi langkah-langkahnya
adalah: (1) tersedianya peta dasar; yang digunakan sebagai dasar penyusunan (2)
peta bahaya; yang kemudian menjadi dasar bagi perumusan (3) peta risiko. Hal
tersebut juga menjadi tantangan tersendiri karena peta bahaya baru dapat dibuat
bila ada peta dasar. Sedangkan peta dasar yang lengkap baru ada untuk peta skala
1:250.000 dan 1:50.000, sementara peta skala 1:25.000 baru ada untuk Jawa-Bali,
Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Sedangkan peta tematik (peta kerawanan) yang siap
dan dapat digunakan untuk menyusun peta bahaya, misalnya dari Badan Geologi,
baru ada peta skala 1:250.0005. Permasalahannya adalah bagaimana menyusun peta
bahaya skala 1:50.000 bila yang tersedia baru peta tematik skala 1:250.000.
3
BIG dalam Diskusi Terarah Materi Teknis – SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014.
4
BIG dalam Lokakarya Materi Teknis SCDRR II – Bappenas, 30 Juni 2014.
5
BNPB, Ibid.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xxv
b. Perlu adanya koordinasi antara BKPRN dan BNPB dalam menetapkan kawasan-
kawasan yang perlu diprioritaskan pembuatan peta dasar skala 1:5.000, 1:2.000,
1:1.000 untuk penyusunan rencana tata ruang kawasan rawan bencana.
c. BKPRN perlu membahas tantangan penyediaan peta kerawanan dan peta bahaya
yang harus disiapkan oleh K/L dan Daerah. Karena tanpa peta-peta tersebut, peta
risiko tidak dapat dibuat. Dan sementara ini peta yang ada, misalnya dari Badan
Geologi, baru ada peta skala 1:250.000.
Untuk daerah yang belum memiliki peta dasar, maka dapat menggunakan Citra Tegak
Resolusi Tinggi6. Citra Tegak Resolusi Tinggi ini memiliki kedetilan skala submeter.
Peta Citra Tegak Resolusi Tinggi tersebut masih memiliki banyak kesalahan, sehingga
perlu dikoreksi dulu, yaitu dengan koreksi: (i) Radiometrik, koreksi dilakukan oleh
LAPAN; dan (ii) Geometrik, koreksi dilakukan oleh BIG.Peta yang telah dikoreksi dapat
digunakan oleh daerah sebagai peta dasar.Pemerintah Daerah dapat mengirim surat
ke BIG untuk meminta agar penyusunan peta untuk daerahnya diprioritaskan.
6
BIG, dalam Diskusi Terarah Materi Teknis - SCDRR II, Bappenas, 10 Juni 2014.
xxvi — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
dikemukakan pula bahwa saat ini Ditjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan
Umum sedang menyusun Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana
(sudah pada tahap legal drafting).
3. Agar dapat menjadi acuan bagi pemerintah daerah maupun K/L dalam
melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana
tata ruang, maka pedoman tersebut harus memiliki kerangka regulasi yang
cukup kuat. Alternatif yang dapat dilakukan:
a. Membuat Surat Edaran Bersama 3 Menteri (Kemen PU, Kemendagri,
dan BNPB) tentang Pedoman Pengarusutamaan Pengurangan Risiko
Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang. SEB ini dibuat agar pedoman
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam RTR dapat
segera disusun dan menjadi acuan bagi pemerintah daerah maupun K/L.
Dengan demikian pengarusutamaan PRB dapat segera dilakukan. SEB ini
bersifat sementara.
4. Materi Teknis yang disusun ini dapat digunakan sebagai masukan dalam
penyusunan Pedoman Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke
dalam Rencana Tata Ruang tersebut di atas.
Muatan Materi Teknis ini telah melalui pembahasan dalam (a) diskusi
bilateral dengan Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, dan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana; (b) diskusi terarah untuk mendapatkan masukan
dari pemangku kepentingan terkait; dan (b) lokakarya untuk diseminasi dan
mendapatkan masukan dari pemangku kepentingan yang lebih luas. Dengan
demikian diharapkan muatannya sudah sesuai dengan kebutuhan dan dapat
dipertanggungjawabkan untuk memberikan masukan bagi penyusunan
Pedoman Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana
Tata Ruang.Selain itu dalam penyusunan Materi Teknis ini juga sudah dengan
memperhatikan Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana
(draft) yang sedang disusun oleh Kementerian Pekerjaan Umum, sehingga
muatannya dapat saling melengkapi.
xxviii — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
7
Bapak Lilik Kurniawan, Direktur Pengurangan Risiko Bencana, “Isu-isu Strategis Pengarusutamaan Pengurangan Risiko
Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang”, Kedeputian Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, BNPB, Keynote Speech
dalam Diskusi Terarah Materi Teknis-SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014.
8
Diskusi Terarah Materi Teknis-SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xxix
Dalam pembentukan dan penguatan BPBD ini, sebaiknya pemerintah daerah juga
mempertimbangkan karakteristik fisik daerahnya, misalnya provinsi kepulauan
seperti NTT atau kota kepulauan seperti Ternate. Sebagai wilayah kepulauan, maka
sarana dan prasarana evakuasi menjadi isu yang sangat penting untuk diperhatikan.
Dari hasil lokakarya, khusus untuk isu kelembagaan, dihasilkan beberapa butir
penting berikut ini:
1. Terkait dengan pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam
perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang,
diperlukan pelibatan BPBD dan BKPRD. Dalam konteks tersebut maka
penting agar BPBD menjadi anggota BKPRD. Penguatan BKPRD dan BPBD
dalam penanganan aspek kebencanaan menjadi hal yang penting pula.
2. Penguatan BKPRD dalam aspek kebencanaan, antara lain dengan cara (dapat
dilakukan ketiganya): (i) eselon 2 masuk sebagai anggota BKPRD; eselon 3
masuk dalam pokja BKPRD; dan masuk dalam tim teknis BKPRD.
3. Bila BPBD direkomendasikan untuk masuk sebagai anggota BKPRD, dan
BNPB direkomendasikan untuk masuk sebagai anggota BKPRN, maka perlu
dipikirkan bagaimana mekanismenya karena ada peraturan yang perlu diubah.
Misalnya, Keppres tentang BKPRN perlu direvisi. Sebelumnya tentu harus ada
kesepakatan terlebih dahulu mengenai keanggotaan tersebut. Hal ini penting
karena salah satu tujuanpenyelenggaraan penataan ruang adalah mewujudkan
ruang wilayah nasional yang aman (UU No. 26 tahun 2007 pasal 3), di mana
kebencanaan adalah salah satu isu strategis.
xxx — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
VI. Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil kajian ini adalah sebagai berikut:
1. Perlunya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata
ruang. Jika hal ini disepakati seluruh stakeholders terkait, maka implikasinya adalah:
(i) Rencana tata ruang yang belum disusun, dalam penyusunannya nanti langsung
mengintegrasikan perspektif pengurangan risiko bencana; (ii) Rencana tata
ruang yang masih dalam proses penyusunan (s/d persetujuan substansi), segera
mengintegrasikan perspektif pengurangan risiko bencana ini; (iii) Rencana tata ruang
yang sudah dalam proses Raperda dan sudah Perda atau sudah Raperpres dan sudah
Perpres, segera mengintegrasikan perspektif pengurangan risiko bencana pada saat
dilakukan peninjauan kembali yang pertama; (iv) Daerah-daerah yang memiliki
kelas risiko sangat tinggi (perlu dirumuskan kriterianya), segera mengintegrasikan
perspektif pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruangnya.
Perda 2012
5 Tasikmalaya Jawa Barat 225 Tinggi
PK RT/RW 2017
Perda 2012
6 Halmahera Selatan Maluku Utara 224 Tinggi
PK RT/RW 2017
Perda 2013
7 Maluku Barat Daya Maluku 223 Tinggi
PK RT/RW 2018
Perda 2012
8 Majene Sulawesi Barat 221 Tinggi
PK RT/RW 2017
PK RT/RW 2015
9 Malang Jawa Timur 219 Tinggi
3. Pengurangan risiko bencana menjadi salah satu muatan yang dikaji pada saat
proses persetujuan substansi di BKPRN. Pengurangan risiko bencana ini mencakup:
(a) kajian risiko bencana pada tahap analisis, dan (b) muatan pengurangan risiko
bencana dalam kebijakan, rencana, dan indikasi program utama.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xxxi
4. K/L atau SKPD dapat melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri
berkoordinasi dengan BNPB/BPBD dan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun
2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, apabila Rencana
Penanggulangan Bencana (RPB) belum ada pada saat penyusunan atau peninjauan
kembali rencana tata ruang.
5. BNPB dilibatkan dalam proses persetujuan substansi untuk menjamin kualitas
kajian risiko bencana yang dilakukan telah memenuhi standar.
6. Perlu membuat pemrioritasan dalam pembuatan peta dasar berdasarkan kelas risiko
suatu daerah/kawasan. Kabupaten/kota/kawasan yang memiliki kelas risiko tinggi
diprioritaskan pembuatannya. Semakin tinggi risikonya semakin diprioritaskan
pembuatan peta dasarnya.
7. Pentahapan pembuatan peta dasar sebagai berikut:
i. Tahap pertama adalah menyelesaikan pembuatan peta skala 1:25.000 untuk
seluruh Indonesia, dan peta skala 1:10.000 untuk kawasan-kawasan dalam
kabupaten/kota yang memiliki kelas risiko tinggi;
ii. Tahap kedua adalah membuat peta skala 1:5.000, 1:2.000, 1:1.000 untuk
kawasan-kawasan dengan kelas risiko tinggi.
8. BKPRN perlu membahas tantangan penyediaan peta kerawanan dan peta bahaya
yang harus disiapkan oleh K/L dan Daerah. Karena tanpa peta-peta tersebut, peta
risiko tidak dapat dibuat.
9. Dibuat satu pedoman untuk memudahkan implementasi oleh pemerintah daerah.
Pedoman tersebut disusun dengan mengintegrasikan berbagai upaya yang telah
dilakukan saat ini terkait dengan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana
ke dalam rencana tata ruang. Pedoman tersebut menjadi acuan dalam penyusunan
RTRW Provinsi, RTRW Kabupaten, RTRW Kota dan RTR Kawasan Strategis Nasional.
10. Dasar hukum pedoman tersebut adalah (i) Surat Edaran Bersama 3 Menteri (Kemen
PU, Kemendagri, dan BNPB); yang kemudian ditingkatkan menjadi (ii) Peraturan
Menteri PU.
11. Alternatif penguatan BKPRD terhadap kebencanaan dilakukan dengan cara: (i)
Memasukkan BPBD sebagai salah satu anggota BKPRD; (ii) Memasukkan BPBD ke
dalam Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang pada saat penyusunan rencana tata
ruang, dan ke dalam Kelompok Kerja Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan
Ruang pada saat rencana tata ruang sudah selesai disusun dan masuk pada tahap
implementasi; (iii) Memasukkan BPBD dalam Tim Teknis tentang penanggulangan
bencana.
12. Perlu dilakukan penguatan BKPRN dengan melibatkan BNPB.
xxxii — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
VII. REKOMENDASI
Dalam upaya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana
tata ruang, khususnya RTRW Provinsi dan RTR KSN, maka usulan rekomendasi
disampaikan pada BKPRN dan BNPB, adalah sebagai berikut:
A. BKPRN
BKPRN melaksanakan rapat eselon II BKPRN untuk menyepakati pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, yang meliputi:
1. Dibutuhkan pedoman pengarusutamaan PRB ke dalam RTR, baik untuk RTRW
Provinsi, RTRW Kabupaten, RTRW Kota, dan RTR KSN. Perlu pula disepakati: (i)
Kerangka regulasi pedoman; dan (ii) Muatan pedoman.
2. Pengurangan risiko bencana (PRB) menjadi salah satu muatan yang dikaji
pada saat proses persetujuan substansi di BKPRN. BNPB dilibatkan dalam
proses persetujuan substansi untuk menjamin kualitas kajian risiko bencana
yang dilakukan telah memenuhi standar;
3. Membuat prioritas pembuatan peta dasar berdasarkan kelas risiko suatu daerah;
4. Penguatan BKPRD untuk materi kebencanaan. BPBD diusulkan menjadi
anggota BKPRD;
5. Dibuat satu pedoman untuk memudahkan implementasi oleh pemerintah
daerah. Pedoman tersebut disusun dengan mengintegrasikan berbagai
upaya yang telah dilakukan saat ini terkait dengan pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang. Pedoman tersebut
menjadi acuan dalam penyusunan RTRW Provinsi, RTRW Kabupaten, RTRW
Kota dan RTR Kawasan Strategis Nasional.
B. BNPB
1. Berkoordinasi dengan BKPRN dalam menetapkan daerah-daerah yang perlu
diprioritaskan pembuatan peta dasar dan peta tematiknya berdasarkan kelas
risiko suatu daerah;
2. Mendorong agar Pemerintah Daerah memrioritaskan pembentukan dan
penguatan BPBD (sumber daya manusia maupun anggaran);
3. Mendorong percepatan penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana di
kabupaten/kota; dan
4. Merumuskan kelas risiko yang lebih rinci (tidak hanya tinggi, sedang, rendah).
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — xxxiii
BAB 1
Pendahuluan
xxxiv — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 1
BAB 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Indonesia yang terdiri dari gugusan kepulauan mempunyai potensi bencana
yang sangat tinggi dan juga sangat bervariasi dari aspek jenis bencana. Kondisi
alam tersebut serta adanya keanekaragaman penduduk dan budaya di Indonesia
menyebabkan timbulnya risiko terjadinya bencana alam, bencana ulah manusia dan
kedaruratan kompleks, meskipun disisi lain juga kaya akan sumberdaya alam.
Dengan kondisi sebagai negara rawan bencana, dan mengingat bahwa negara
bertanggung jawab melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan
dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana, maka dikeluarkanlah UU
No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. UU ini menjadi acuan bagi
upaya penanggulangan bencana di Indonesia. Penyelenggaraan penanggulangan
bencana terdiri atas 3(tiga) tahap, yang meliputi tahap prabencana, tanggap darurat,
dan pasca bencana. Penyelenggaraan untuk ketiga tahap tersebut harus dilakukan
secara terintegrasi.
Sebagai negara rawan bencana, sangat penting bagi Indonesia untuk memiliki
kesiapsiagaan dalam mengantisipasi bencana untuk dapat mengurangi dampak
yang ditimbulkan oleh bencana tersebut. Dalam hal ini upaya pencegahan dan
2 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
mitigasi bencana menjadi sangat penting untuk mengurangi risiko bencana yang
mungkin timbul. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana telah mengamanatkan pada pasal 35 dan 36 agar setiap daerah mempunyai
perencanaan penanggulangan bencana yang menjadi acuan dalam upaya
penanggulangan bencana. Sehubungan dengan hal tersebut, sangatlah penting
bagi setiap daerah untuk mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam
dokumen-dokumen perencanaan daerah, seperti Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Tata
Ruang (RTR) untuk menjamin pelaksanaannya yang efektif dan terintegrasi.
Sehubungan dengan itu, proyek ini memberikan dukungan kepada Pemerintah Pusat
untuk memasukkan perspektif pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction/
DRR) ke dalam sektor-sektor pembangunan terpilih melalui perumusan materi
teknis bagi pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam sektor-sektor
pembangunan, khususnya penataan ruang. Rencana tata ruang, dengan fungsinya
untuk mengarahkan pemanfaatan ruang jangka panjang, sangat berguna dalam
mereduksi keterpaparan jumlah penduduk, kegiatan sosial ekonomi, dan sarana
prasarana dari ancaman bencana. Saat ini, pedoman penyusunan rencana tata ruang
yang ada yang relevan dengan kebencanaan adalah untuk letusan gunung api,
gempa bumi, dan reklamasi pantai.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Materi Teknis ini lebih difokuskan pada
pembahasan mengenai integrasi proses/dokumen dan koordinasi kelembagaan,
dengan tambahan pembahasan mengenai integrasi spasial/muatan yang menjadi
irisan dengan Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (SPR KRB).
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 7
Integrasi spasial/muatan telah dibahas secara detil dalam Standar Penataan Ruang di
Kawasan Rawan Bencana. Lihat Gambar 1.2.
Gambar 1.1
Kedudukan Materi Teknis terhadap
Peraturan Perundang-undangan Bidang Penataan Ruang
Dan Bidang Penanggulangan Bencana
Pedoman Umum
8 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Gambar 1.2
Keterkaitan Materi Teknis dengan Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN,
serta Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana
Melengkapi Melengkapi
Bab 1 PENDAHULUAN
Bab 1 yang merupakan pendahuluan membahas mengenai latar belakang
penyusunan materi teknis, maksud dan tujuan penyusunan, ruang lingkup
pembahasan, metodologi penyusunan, dan kedudukan materi teknis ini
terhadap pedoman penyusunan rencana tata ruang yang ada.
Bab 2 MITIGASI BENCANA DALAM RENCANA PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
DAN PULAU-PULAU KECIL (RPWP3K) DAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP
STRATEGIS (KLHS)
Bab 2 ini terdiri atas dua subbab, yaitu subbab pertama membahas mitigasi
bencana dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sedangkan
subbab kedua membahas kajian lingkungan hidup strategis dalam penataan
ruang. Subbab pertama membahas dasar hukum mitigasi bencana dan jenis,
tingkat risiko, dan wilayah bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Selain itu juga dibahas mitigasi bencana dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 9
dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) serta contoh aplikasi mitigasi bencana dalam
perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Subbab ini juga
membahas keterkaitan antara perencanaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil dengan perencanaan tata ruang.
Bab 6 IMPLEMENTASI
Bab 6 merupakan bab terakhir dari Materi Teknis ini. Bab ini membahas langkah-
langkah yang harus dilakukan untuk mengimplementasikan pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN
dengan mempertimbangkan berbagai tantangan yang dihadapi.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 11
BAB 2
Mitigasi Bencana dalam Rencana
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (RPWP3K) dan
Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS)
12 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 13
BAB 2
Mitigasi Bencana dalam Rencana
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil (RPWP3K) dan Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
Pada bab ini dibahas mitigasi bencana dalam rencana pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil dan bagaimana keterkaitannya dengan penataan ruang. Selain itu bab
ini juga membahas kajian lingkungan hidup strategis dalam perencanaan tata ruang dan
kaitannya dengan mitigasi bencana.
2.1 Mitigasi Bencana dalam Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil
2.1.1 Dasar Hukum
Mitigasi Bencana dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil (PWP3K) mengacu pada UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K)Pasal 56 yang mengamanatkan
bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah dalam menyusun perencanaan
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil wajib memuat mitigasi
bencana sesuai dengan jenis, tingkat risiko, dan wilayah bencananya.
Atas dasar itu maka diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai kegiatan
pengurangan risiko bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai
dengan jenis, tingkat risiko, dan wilayah bencana. Mitigasi bencana ini diatur
lebih lanjut dalam PP No. 64 tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
2.1.2 Jenis, Tingkat Risiko, dan Wilayah Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau -
pulau Kecil
Bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat diakibatkan karena
peristiwa alam dan/atau perbuatan orang.Perbandingan jenis-jenis bencana
yang ditetapkan oleh BNPB dan PP No. 64 tahun 2010 dapat dilihat pada
Tabel 2.1.
Tabel 2.1
Perbandingan Jenis-jenis Bencana
Sumber: PP No. 64 tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan Perka BNPB No. 02
tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 15
Gambar 2.1
Mitigasi Bencana dalam Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil
Sumber: Disarikan dari PP No. 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan PP No. 21
tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
Tabel 2.2
Mitigasi Bencana secara Fisik dan Nonisik
Sumber: DiposaptonoS. & Budiman (2008). Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami. Bogor: Sarana
Komunikasi Utama
Tabel 2.3
18
Kegiatan Struktur/Fisik untuk Mitigasi terhadap Setiap Jenis Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
No Jenis Bencana Kegiatan Struktur/Fisik Keterangan
1 Gempa Bumi Penggunaan konstruksi bangunan
tahan gempa;
Penyediaan prasarana dan sarana Prasarana dan sarana kesehatan antara lain rumah sakit, mobil ambulans, obat-obatan, peralatan
kesehatan; dan medis, dan paramedis.
Penyediaan prasarana dan sarana Prasarana dan sarana evakuasi antara lain berpa papan informasi evakuasi, jalur evakuasi, tangga
evakuasi. evakuasi, dan tempat penampungan
2 Tsunami Penyediaan sistem peringatan dini; Sistem peringatan dini antara lain alat pengirim dan penerima informasi yang disediakan oleh
instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberian peringatan dini tsunami sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penggunaan bangunan peredam Bangunan peredam tsunami antara lain tembok laut, break water, tanggul laut.
tsunami;
Penyediaan fasilitas penyelamatan diri; Fasilitas penyelamatan diri antara lainshelter, bukit buatan, jalur dan tempat evakuasi, serta papan
informasi.
Penggunaan konstruksi bangunan Konstruksi bangunan ramah bencana tsunami adalah bangunan dengan bentuk panggung
ramah bencana tsunami;
Vegetasi pantai; dan Vegetasi pantai adalah tanaman yang hidup di wilayah pesisir, seperti mangrove, cemara laut,
ketapang, waru laut, dan butun.
Pengelolaan ekosistem pesisir. Ekosistem pesisir adalah kesatuan komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, organisme, dan
non organism lain di wilayah pesisir serta proses yang menghubungkannya yang membentuk
keseimbangan, stabilitas dan produktivitas suatu sistem saling ketergantungan (fungsi dan interaksi)
antara hewan, tumbuhan dan organisme serta lingkungan di wilayah pesisir.
3 Gelombang Ekstrim Penyediaan sistem peringatan dini; Sistem peringatan dini antara lain alat pengirim dan penerima informasi
Penggunaan bangunan peredam Bangunan peredam gelombang ekstrim antara lain tembok laut, break water, tanggul laut.
gelombang ekstrim;
4 Gelombang Laut Berbahaya Penyediaan sistem peringatan dini Sistem peringatan dini antara lain alat pengirim dan penerima informasi.
5 Letusan Gunung Api Penyediaan sistem peringatan dini; Sistem peringatan dini antara lain alat pengirim dan penerima informasi
Penyediaan bunker;
6 Banjir Penyediaan sistem peringatan dini; Sistem peringatan dini antara lain alat pengirim dan penerima informasi
Pembangunan bangunan Bangunan pengendalian banjir antara lain tanggul, sumur resapan, bendungan, waduk, poldier,
pengendalian banjir; dan sudetan, kanal, kolam penampungan, dan pintu air.
7 Kenaikan Paras Muka Air Pembangunan bangunan pelindung Bangunan pelindung pantai antara lain tanggul, tembok laut, dan hasil reklamasi.
Laut pantai;
Penggunaan konstruksi bangunan Bangunan yang beradaptasi pada kenaikan paras muka air laut antara lain berupa rumah panggung
yang beradaptasi pada kenaikan paras
muka air laut;
8 Tanah Longsor Perkuatan lereng Perkuatan lereng antara lain pemasangan angkur penguat batuan pada bidang-bidang batuan,
pemasangan tembok penahan tanah.
19
20
Lanjutan Tabel 2.3
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
No Jenis Bencana Kegiatan Struktur/Fisik Keterangan
Pengaturan geometri lereng dengan
pelandaian lereng atau pembuatan
terasering
Peremajaan pantai;
10 Angin Puting Beliung Penyediaan sistem peringatan dini Sistem peringatan dini antara lain alat pengirim dan penerima informasi
Sumber: PP No. 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 21
Tabel 2.4
Mitigasi Bencana berdasarkan Tingkat Risiko
Selanjutnya, bentuk spasial dari data risiko bencana alam ini digunakan
sebagai input data tematik dalam penyusunan Rencana Zonasi Pesisir dan
Pulau-pulau kecil.
2.1.4 Mitigasi Bencana dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil (RZWP3K)
(sumber: Modul 3 – RZWP3K Berbasis Mitigasi Bencana, Direktorat Tata
Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Ditjen Kelautan, Pesisir, dan PPK,
Kementerian Kelautan dan Perikanan)
Sumber: Modul 3 – RZWP3K Berbasis Mitigasi Bencana, Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,
Ditjen Kelautan, Pesisir, dan PPK, Kementerian Kelautan dan Perikanan
Gambar 2.3
Ilustrasi Pembagian Zona yang Mempertimbangkan Aspek Kebencanaan
Sumber : Diposaptono S., Budiman, dan F. Agung (2009). Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil. Bogor: Sarana Komunikasi Utama.
1
Diskusi denganBapak Aris Kabul, Kasubdit Informasi dan Evaluasi Spasial, Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil, Ditjen Kelautan, Pesisir, dan PPK, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
26 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Wilayah pesisir tersebut memiliki pantai yang didominasi oleh pasir dengan
energi gelombang laut yang cukup tinggi.Kondisi ini kurang cocok ditanami
mangrove (Diposaptono S.,2008). Padahal hutan mangrove merupakan
greenbelt (sabuk pantai) yang menjadi benteng pertahanan wilayah pesisir
dari gelombang pasang, tsunami, atau ancaman lain dari arah laut.
Peran atau fungsi sabuk pantai dalam mereduksi tsunami adalah sebagai
berikut:
1. Sebagai perangkap, yaitu untuk menghentikan kayu yang hanyut (pohon
tumbang, dll.), reruntuhan (rumah yang hancur, dll.) dan puing lainnya
(perahu, dll);
2. Sebagai peredam energi tsunami, yaitu efek untuk mengurangi kecepatan
aliran air, tekanan aliran, dan kedalaman genangan air;
3. Sebagai pegangan, yaitu untuk menjadi sarana penyelamatan diri bagi
orang-orang yang tersapu oleh tsunami dengan cara berpengangan
pada cabang-cabang pohon;
4. Sebagai sarana melarikan diri, dengan cara memanjat pohon dari tanah
atau dari suatu bangunan;
5. Sebagai pembentuk gumuk pasir, yaitu untuk mengumpulkan pasir yang
tertiup angin dan membentuk gumuk/bukit, yang bertindak sebagai
penghalang alami terhadap tsunami.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 27
Contoh sabuk hijau pantai untuk meredam tsunami dapat dilihat pada
Gambar 2.5.
Gambar 2.5
Contoh Sabuk Hijau di Lahan Reklamasi untuk Meredam Tsunami
Saat ini kajian aspek teknis terhadap fungsi dan peran vegetasi pantai
sebagai pelindung daerah pantai masih tergolong sangat kurang dilakukan
di Indonesia yang diketahui sebagai salah satu negara yang pernah memiliki
hutan pantai terbesar kedua di dunia (Diposaptono S., 2008).Wilayah pesisir
yang kurang cocok ditanami mangrove tetap dapat memiliki sabuk pantai.
Pada wilayah pesisir tersebut lebih cocok untuk vegetasi non mangrove,
seperti cemara, kelapa, ketapang, waru laut, dan lain sebagainya. Dengan
konfigurasi vegetasi dan ketebalan serta kerapatan tertentu, sabuk pantai
yang terbentuk akan bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat.
Aspek yang juga penting dalam hal konservasi sabuk pantai ini adalah
peran masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam menjaga
lingkungan, memelihara keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan
kelestarian fungsi lingkungan hidup dan memberikan informasi jika terjadi
bahaya dan/atau perusakan lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 29
Salah satu contoh kegiatan mitigasi bencana tsunami yang telah dilakukan
adalah di Pacitan2. Kawasan pesisir Pacitan memiliki potensi tsunami 6-10
meter. Kawasan pesisir yang memiliki tingkat kerawanan tsunami yang tinggi
sebaiknya tidak dijadikan kawasan budidaya (zona pemanfaatan umum),
tetapi menjadi zona konservasi. Kegiatan mitigasi yang dilakukan antara
lain adalah membuat vegetasi pantai dengan penanaman cemara udang.
Kawasan tersebut masih diperbolehkan sebagai kawasan pariwisata, tetapi
yang berbasis konservasi. Saat ini kawasan tersebut berkembang menjadi
kawasan ekowisata.
2
Diskusi dengan Bapak Andi Rusandi, Kasubdit Pengelolaan Ekosistem Pulau-Pulau Kecil (PEP2K), Direktorat Pendayagu-
naan Pulau-Pulau Kecil, Ditjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan, 7 April 2014.
3
Diskusi dengan Bapak Aris Kabul, Kasubdit Informasi dan Evaluasi Spasial, Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil, Ditjen Kelautan, Pesisir, dan PPK, Kementerian Kelautan dan Perikanan, 7 April 2014.
4
Dr. Ir. Subandono Diposaptiono, M.Eng, Direktur Tata Ruang Pesisir dan Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan
Perikanan.“Penyelarasan RZWP3K dan RTRW”.dalam Buletin Tata Ruang dan Pertanahan, edisi I tahun 2013.
30 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Gambar 2.6
Keterkaitan Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Penataan Ruang
5
Ir. Iman Soedradjat, MPM, Direktur Penataan Ruang Wilayah Nasional, Kementerian Pekerjaan Umum. “Penyelarasan
RZWP3K dan RTRW”.dalam Buletin Tata Ruang dan Pertanahan, edisi I tahun 2013.
6
Dr. Ir. Subandono Diposaptiono, M.Eng. Ibid.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 31
perbatasan alokasi ruang daratan – perairan dan alokasi ruang daratan pesisir
(kecamatan pesisir) dengan pengaturan sebagai berikut7:
7
Diskusi dengan Bapak Aris Kabul, Kasubdit Informasi dan Evaluasi Spasial, Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil, Ditjen Kelautan, Pesisir, dan PPK, Kementerian Kelautan dan Perikanan, 7 April 2014
8
Ir. Iman Soedradjat, MPM. Ibid.
9
Diskusi Bapak Aris Kabul, 7 April 2014.
32 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
2.2 Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam Rencana Tata Ruang dan
Keterkaitannya dengan Mitigasi Bencana
2.2.1 Dasar Hukum
Kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) menurut UU No 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) adalah
rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk
memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar
dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan,
rencana, dan/atau program.
Dalam UU No. 32 tahun 2009 disebutkan bahwa KLHS merupakan salah satu
instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
(pasal 14).Oleh karenanya, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat
KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah
menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau
kebijakan, rencana, dan/atau program (pasal 15 ayat 1).
10
Diskusi Bapak Aris Kabul, 7 April 2014.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 33
A. Tahap Penapisan
Tahapan Penapisan KLHS diawali dengan mengidentifikasi apakah perlu
dilakukan KLHS terhadap suatu kebijakan, rencana, dan/atau program.
Kebijakan, rencana, dan/atau program yang wajib KLHS tanpa proses
penapisan adalah RTRW dan rencana rincinya, serta RPJP dan RPJM nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota. Secara teknis, proses penapisan dilakukan
dengan mempertimbangkan isu-isu pokok sebagai berikut:
1. perubahan iklim
2. kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati
3. peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor,
kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan;
4. penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam
5. peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan
6. peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan
penghidupan sekelompok masyarakat; dan/atau
7. peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia.
11
Diskusi denganIbu Rima Yulianti, Kasubdit KLHS, Kementerian Lingkungan Hidup, 23 April 2014
36 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
12
Rapermen PU tentang Pedoman Pelaksanaan KLHS dalam Penyusunan atau Peninjauan Kembali RTR
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 37
Gambar 2.7
Kedudukan KLHS dalam Penyusunan RTR
a. Tahap Persiapan
Tahap persiapan ini meliputi antara lain penyiapan dokumen
rancangan rencana yang akan dikaji; penyusunan format data dan
informasi yang akan dikumpulkan; penyiapan peta dasar guna lahan
yang sesuai dengan skala RTR; dan penyusunan jadwal kegiatan
pengumpulan data serta penyiapan tim survey ke lapangan.
b. Tahap Pra-pelingkupan
Tahap pra-pelingkungan bertujuan untuk menyusun informasi
dasar, melakukan kajian terhadap RTR, dan perumusan isu strategis
lingkungan hidup awal.
Kegiatan yang dilakukan pada tahap pra-pelingkupan ini meliputi:
1. Kegiatan penyusunan dan penyajian informasi dasar;
2. Kajian konsep pengembangan;
3. Perumusan isu lingkungan hidup awal.
38 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
c. Tahap Pelingkupan
Tahap pelingkupan bertujuan untuk memantapkan isu-isu strategis
lingkungan hidup dengan melakukan penilaian terhadap isu-isu
lingkungan hidup awal dan menetapkan isu strategis yang disepakati
oleh semua pemangku kepentingan.
Kegiatan yang dilakukan pada tahap pelingkupan adalah:
1. Penilaian dan penetapan isu strategis; dan
2. Konsultasi publik (pelibatan pemangku kepentingan).
Gambar 2.8
Penjabaran Proses dan Integrasi KLHS dalam Penyusunan RTR
Sumber: Rapermen PU tentang Pedoman Pelaksanaan KLHS dalam Penyusunan atau Peninjauan Kembali RTR
Gambar 2.9
Kedudukan KLHS dalam Tata Cara Proses Peyusunan RTR KSN
Untuk RTRW, tidak perlu melalui tahap penapisan, tetapi langsung ke tahap
pelaksanaan KLHS.Tahap pelaksanaan KLHS terdiri atas (a) tahap persiapan;
(b) tahap pra-pelingkupan; (c) tahap pelingkupan; (d) tahap kajian pengaruh;
dan (e) tahap perumusan alternatif dan rekomendasi. Keterkaitan KLHS
dengan upaya pengurangan risiko bencana melalui kajian risiko bencana
terutama terjadi pada tahap pra-pelingkupan, khususnya pada kegiatan
penyusunan dan penyajian informasi dasar yang meliputi aspek fisik
lingkungan dan lingkungan hidup, ekologis, serta sosial ekonomi. Pada tahap
pra-pelingkupan ini KLHS menjadi masukan pertimbangan lingkungan hidup
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 41
Tabel 2.5
Keterkaitan Penapisan KLHS dengan Perencanaan Penanggulangan Bencana
Penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah
alam
Peningkatan alih fungsikawasan hutandan/atau Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah terhadap ancaman
lahan bencana banjir, tanah longsor, dan kekeringan
Peningkatan jumlah penduduk miskin atau Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah. Hal ini juga
terancamnya keberlanjutan penghidupan mengindikasikan peningkatan indeks jiwa terpapar dan kerugian
sekelompok masyarakat harta benda dari bencana.
Sumber: disadur dari “Kaji Ulang Pedoman Perencanaan Tata Ruang dalam rangka Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di
Indonesia” dengan perubahan.
42 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Gambar 2.10
Keterkaitan KLHS dan Kajian Risiko Bencana dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang
13
Diskusi dengan Ibu Rima Yulianti, Kasubdit KLHS, Kementerian Lingkungan Hidup, 23 April 2014
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 43
2.2.4 Contoh Kajian Kebencanaan dalam KLHS untuk Rencana Tata Ruang
Sebagai contoh berikut ini disarikan penyelenggaraan KLHS dalam
penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN)
KAPET Bima (2003). Mekanisme yang digunakan sesuai dengan UU No. 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 9 tahun 2011 tentang
Pedoman Umum Pelaksanaan KLHS yang meliputi:
Kerangka pikir penyusunan KLHS RTR KSN KAPET Bima dapat dilihat pada
Gambar 2.11. Dari kerangka pikir tersebut terlihat pembahasan kebencanaan
dalam KLHS dilakukan pada (i) pengkajian pengaruh kebijakan, rencana,
dan/atau program terhadap kondisi lingkungan hidup, khususnya pada
pengkajian kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
untuk pembangunan, serta (ii) tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi
terhadap perubahan iklim. Kebencanaan yang ada di KAPET Bima adalah
Gempa Bumi, Tsunami, Letusan Gunung Berapi, Longsor, Banjir, dan Erosi.
44 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Sumber: KLHS RTR KSN KAPET Bima, Kementerian Pekerjaan Umum, DJ. Penataan Ruang, 2013
45
46
Gambar 2.12
Peta Overlay Rawan Bencana dan Komoditas
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Sumber: KLHS RTR KSN KAPET Bima, Kementerian Pekerjaan Umum, DJ. Penataan Ruang, 2013
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 47
BAB 3
Pengarusutamaan Pengurangan
Risiko Bencana ke dalam Penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
48 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 49
BAB 3
Pengarusutamaan Pengurangan
Risiko Bencana ke dalam Penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
3.1 Dasar Hukum Pengintegrasian
Perlunya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan
Rencana Tata Ruang Provinsi dilandaskan pada peraturan perundang-undangan,
sebagai berikut:
1. Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
a. Pasal 3 beserta penjelasannya. Pasal 3 menyebutkan “Penyelenggaraan
penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara
dan Ketahanan Nasional …..”
Dalam penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “aman” adalah
situasi masyarakat dapat menjalankan aktivitas kehidupannya dengan
terlindungi dari berbagai ancaman.
b. Penjelasan umum butir 2 dari Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang yang berbunyi: “……, Indonesia berada pula pada kawasan
rawan bencana, yang secara alamiah dapat mengancam keselamatan bangsa.
Dengan keberadaan tersebut, penyelenggaraan penataan ruang wilayah
nasional harus dilakukan secara komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu,
efektif, dan eisien dengan memperhatikan faktor politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan, keamanan, dan kelestarian lingkungan hidup.”
3. Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional;
a. Pasal 2 beserta penjelasannya: “Penataan ruang wilayah nasional bertujuan
untuk mewujudkan (a) ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif,
dan berkelanjutan;” dan yang dimaksud dengan “aman” adalah situasi
masyarakat dapat menjalankan aktivitas kehidupannya dengan terlindungi
dari berbagai ancaman.
b. Pasal 7 ayat (3) “Strategi untuk pencegahan dampak negatif kegiatan manusia
yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup meliputi: butir (g)
mengembangkan kegiatan budidaya yang mempunyai daya adaptasi bencana
di kawasan rawan bencana.”
c. Pasal 8 ayat (3) “Strategi untuk pengendalian perkembangan kegiatan budi daya
agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan meliputi: (a)
membatasi perkembangan kegiatan budi daya terbangun di kawasan rawan
bencana untuk meminimalkan potensi kejadian bencana dan potensi kerugian
akibat bencana;”
d. Pasal 51: “Kawasan lindung nasional terdiri atas: (d) kawasan rawan bencana
alam;”
e. Pasal 52 ayat (4) “Kawasan rawan bencana alam terdiri atas kawasan rawan
tanah longsor; kawasan rawan gelombang pasang; dan kawasan rawan banjir”
dan ayat (5) Kawasan lindung geologi terdiri atas kawasan cagar alam geologi;
kawasan rawan bencana alam geologi; dan kawasan yang memberikan
perlindungan terhadap air tanah.” Hal ini kemudian dijelaskan lebih lanjut
pada pasal 58. Kawasan rawan bencana alam geologi dijelaskan pada pasal
53 ayat (2), meliputi “kawasan rawan letusan gunung berapi; kawasan rawan
gempa bumi; kawasan rawan gerakan tanah; kawasan yang terletak di zona
patahan aktif; kawasan rawan tsunami; kawasan rawan abrasi; dan kawasan
rawan bahaya gas beracun” yang dijelaskan lebih lanjut pada pasal 61.
f Pasal 80 yang menetapkan kawasan rawan bencana alam nasional sebagai
salah satu kriteria penetapan kawasan strategis nasional dari sudut
kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.
Gambar 3.1
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dalam
Pelaksanaan Penataan Ruang
Gambar 3.2
Pendekatan Kajian Risiko Bencana
Sumber: Perka BNPB No. 02 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana
Aspek kebencanaan dalam PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional dituangkan dalam rencana pola ruang wilayah nasional sebagai
bagian dari jenis dan sebaran kawasan lindung nasional (Pasal 51-52), yaitu sebagai:
a. Kawasan rawan bencana alam, yang terdiri atas (i) kawasan rawan tanah longsor;
(ii) kawasan rawan gelombang pasang; dan (iii) kawasan rawan banjir.
b. Kawasan rawan bencana alam geologi, yang terdiri atas (i) kawasan rawan letusan
gunung berapi; (ii) kawasan rawan gempa bumi; (iii) kawasan rawan gerakan
tanah; (iv) kawasan yang terletak di zona patahan aktif; (v) kawasan rawan
tsunami; (vi) kawasan rawan abrasi; (vii) kawasan rawan bahaya gas beracun.
Kajian kebencanaan juga sudah menjadi salah satu aspek yang dipertimbangkan
dalam penyusunan RTRW Provinsi (Permen PU No. 15/PRT/M/2009 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi), khususnya pada
tahap pengumpulan data (peta-peta masukan untuk analisis kebencanaan) serta
pengolahan dan analisis data (karakteristik fisik wilayah: potensi rawan bencana
alam).
Kajian kebencanaan ini juga sudah dimuat dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
No. 20/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik & Lingkungan,
Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang khususnya
dalam analisis aspek fisik dan lingkungan. Pembahasan terkait bencana alam ini
dilakukan pada tahap:
54 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Tabel 3.1
Perbandingan Jenis Bencana
Kawasan Rawan Bencana dalam RTRWN Jenis Bencana menurut BNPB
A Kawasan rawan bencana alam
1. Kawasan rawan tanah longsor 1. Tanah Longsor
2. Kawasan rawan gelombang pasang 2. Gelombang Ekstrim
3. Kawasan rawan banjir 3. Banjir
B Kawasan rawan bencana alam geologi
4. kawasan rawan letusan gunung berapi 4. Letusan Gunung Api
5. kawasan rawan gempa bumi 5. Gempa Bumi
6. kawasan rawan gerakan tanah -
7. kawasan yang terletak di zona patahan aktif -
8. kawasan rawan tsunami 6. Tsunami
9. kawasan rawan abrasi 7. Cuaca Ekstrim & Abrasi
10. kawasan rawan bahaya gas beracun -
- 8. Kekeringan
- 9. Kebakaran Hutan dan Lahan
- 10. Kebakaran Gedung dan Permukiman
- 11. Epidemi & Wabah Penyakit
- 12. Gagal Teknologi
13. Konflik Sosial *
Sumber: PP No. 26 tahun 2008 tentang RTRWN dan Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman
Umum Pengkajian Risiko Bencana.
Keterangan:
* Dengan keluarnya UU No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konlik Sosial, maka konlik sosial tidak lagi
dimasukkan sebagai bencana.
1. Pengumpulan data
Berbagai jenis bencana alam dan daerah pengaruhnya adalah data bencana alam
yang dibutuhkan.Bila perlu, masing-masing jenis bencana disajikan dalam peta
terpisah sesuai dengan ketersediaan datanya.
Selain itu, Kementerian Pekerjaan Umum juga sudah mengeluarkan dua pedoman
penataan ruang yang terkait dengan kebencanaan, yaitu:
1. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 21/PRT/M/2007 tentang Pedoman
Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Kawasan Rawan
Gempa Bumi.
2. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 22/PRT/M/2007 tentang Pedoman
Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor.
Terkait dengan hal ini, perlu dilakukan kajian untuk melihat kesesuaian arahan yang
diatur dalam kedua pedoman tersebut dengan arahan kajian risiko bencana yang
dikeluarkan oleh BNPB.
Atas dasar hal-hal tersebut di atas, maka bila penyusunan RTRW Provinsi dilakukan
dengan mengacu pada Permen PU No. 15/PRT/M/2009 (Pedoman Penyusunan RTRW
Provinsi) dan Permen PU No. 20/PRT/M/2007 (Pedoman Teknik Analisis), seharusnya
RTRW Provinsi yang disusun tersebut telah mencakup kajian tentang kebencanaan
di wilayah provinsi tersebut. Bila dibandingkan dengan arahan BNPB, maka terlihat
muatan kebencanaan yang ada dalam pedoman penyusunan RTRW provinsi saat
ini baru meliputi komponen kerawanan dan ancaman, tetapi belum sampai pada
kajian risiko bencana yang juga mencakup kerentanan dan kapasitas kawasan yang
terancam. Oleh karena itu perlu dilakukan pengarusutamaan pengurangan risiko
bencana ke dalam proses penyusunan RTRW Provinsi sesuai dengan arahan dalam
UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Pada tahun 2011, BNPB telah memfasilitasi penyusunan Kajian Risiko Bencana (KRB)
dan Peta Risiko Bencana di 33 provinsi yang menggambarkan banyaknya bencana
yang mengancam Indonesia. Peta Risiko Bencana yang telah dihasilkan mengikuti
ketelitian skala peta RTRW Provinsi, yaitu 1: 250.000. Kajian Risiko Bencana ini menjadi
dasar penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) di tingkat Provinsi.
Masa berlaku Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) adalah 5 tahun, yang akan
ditinjau kembali setiap 2 tahun, atau jika terjadi bencana. Pada tahun 2012 BNPB
telah memfasilitasi penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) untuk
kabupaten/kota di 33 provinsi, dan pada tahun 2013 BNPB memfasilitasi penyusunan
RPB di 30 kabupaten/kota rawan tsunami.
Pada dasarnya Kajian Risiko Bencana (KRB) dapat dibuat berdasarkan ketelitian skala
tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Skala Komunitas, dengan skala ketelitian peta
1:10.000 untuk meningkatkan kapasitas di tingkat rumah tangga (lihat Gambar 3.3).
Namun sampai saat ini BNPB baru menyelesaikan seluruh KRB di tingkat Provinsi,
kecuali Provinsi Kalimantan Utara dengan peta skala 1:250.000 (tahun 2011) dan
satu kabupaten/kota di 33 provinsi dengan peta skala 1:50.000 (tahun 2012), serta
56 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
30 kabupaten/kota rawan tsunami (tahun 2013). Dengan demikian, saat ini Kajian
Risiko Bencana belum dapat dijadikan sebagai instrumen baku untuk mendukung
penyusunan RTRW Kabupaten dan RTRW Kota yang berbasis mitigasi bencana di
Indonesia, namun sudah dapat mendukung penyusunan RTRW Provinsi berbasis
mitigasi bencana di 33 provinsi (kecuali Provinsi Kalimantan Utara). Namun, apabila
pada saat penyusunan atau peninjauan kembali RTRW Kabupaten/Kota ternyata
Rencana Penanggulangan Bencana Kabupaten/Kota tersebut belum disusun, maka
SKPD yang bersangkutan dapat melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri
berkoordinasi dengan BPBD dan mengacu pada Perka No. 02 tahun 2012 tentang
Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana14.
Sebagai contoh, untuk melihat seberapa jauh kajian kebencanaan dalam RTRW
Provinsi telah sesuai dengan kajian risiko bencana yang dilakukan oleh BNPB dalam
Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), berikut ini diberikan perbandingan cakupan
pembahasan jenis-jenis bencana yang terdapat dalam Rencana Penanggulangan
Bencana (RPB) dan RTRW dari tiga provinsi di Jabodetabekpunjur, yaitu DKI Jakarta,
Jawa Barat, dan Banten. Lihat Tabel 3.2.
Gambar 3.3
Keterkaitan Peta Rencana Tata Ruang dengan Peta Risiko Bencana
Sumber: Kaji Ulang Pedoman Perencanaan Tata Ruang dalam rangka Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Indonesia,
2013.
14
Lilik Kurniawan, Direktur Pengurangan Risiko Bencana, BNPB dalam Diskusi Terarah Materi Teknis- SCDRR II, Bappenas,
10 Juni 2014.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 57
Tabel 3.2
Perbandingan Cakupan Jenis-jenis Bencana yang Dibahas
Dalam RPB dan RTRW Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten
No Jenis Bencana Prov DKI Jakarta Prov Jawa Barat Prov Banten
RPB RTRW RPB RTRW RPB RTRW
1 Gempa Bumi √ √ √ √ √ -
2 Tsunami √ √ √ √ √ √
3 Banjir √ √ √ √ √ √
4 Tanah Longsor √ √ √ √ √ √
5 Letusan Gunung Api - - √ √ √ √
6 Gelombang Ekstrim & Abrasi √ √ √ √ √ -
7 Cuaca Ekstrim √ - √ - √ -
8 Kekeringan - - √ - √ -
9 Kebakaran Hutan & Lahan - - √ - √ -
10 Kebakaran Gedung & - √ - - - -
Permukiman
11 Epidemi & Wabah Penyakit √ - √ - √ -
12 Gagal Teknologi √ - √ - √ -
Sumber: Diringkas dari Tabel 34 – 36 dalam “Perencanaan Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional: Tinjauan Kebencanaan,
Studi Kasus Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur”, 2013.
Dari perbandingan tersebut terlihat bahwa masih terdapat perbedaan yang cukup
besar antara jenis-jenis bencana yang dibahas dalam RTRW dan RPB:
- Dari 12 jenis bencana yang ada, di DKI Jakarta hanya 8 bencana yang sinkron
antara RTRW dan RPB, sedang 4 jenis bencana yang lain tidak sinkron (ada di
RTRW tetapi tidak ada di RPB, dan sebaliknya).
- Di Provinsi Jawa Barat hanya 7 bencana yang sinkron antara RTRW dan RPB,
sedang 5 jenis bencana yang lain tidak sinkron (ada di RPB tetapi tidak ada di
RTRW).
- Di Provinsi Banten hanya 5 bencana yang sinkron antara RTRW dan RPB, sedang
7 jenis bencana yang lain tidak sinkron (ada di RPB tetapi tidak ada di RTRW).
15
Dalam Permen PU 15/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi, tahap kelima dari proses penyusunan
RTRW Provinsi adalah penyusunan Raperda RTRW Provinsi (halaman 47). Namun di sini hal tersebut diubah disesuaikan
seperti arahan dalam Permen PU 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan RTR KSN, yaitu penyusunan naskah rap-
erpres. Sedangkan penyusunan Raperda RTRW menjadi bagian dari prosedur penetapan RTRW Provinsi yang merupakan
tindak lanjut dari prosedur penyusunan RTRW Provinsi sebagai satu kesatuan proses.
16
Sesuai dengan catatan no.1 di atas, maka pembahasan raperda RTRW Provinsi menjadi bagian dari prosedur penetapan
RTRW Provinsi.Sedangkan dalam prosedur penyusunan RTRW Provinsi, prosedur terakhir adalah pembahasan-pemba-
hasan yang meliputi pembahasan di tahap persiapan, pengumpulan data dan informasi, pengolahan dan analisis data,
perumusan konsepsi RTRW, dan penyusunan naskah raperda.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 59
Hasil:
a. Gambaran awal aspek kebencanaan di wilayah provinsi yang bersangkutan;
dan
b. Hasil kajian awal berupa isu-isu strategis terkait kebencanaan.
Informasi tersebut menjadi masukan dalam penyiapan metodologi serta
perangkat survei yang akan digunakan (checklist data yang dibutuhkan,
panduan wawancara dan observasi, dan lain-lain) yang telah mencakup
aspek kebencanaan di wilayah provinsi tersebut.
17
Diskusi dengan Bpk. Lilik Kurniawan, Direktur Pengurangan Risiko Bencana, Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsia-
gaan, BNPB, 14 April 2014.
18
Ibid.
60 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
BPBD sudah terbentuk di 33 provinsi, hanya Provinsi Kalimantan Utara yang belum
memiliki BPBD. Untuk provinsi yang belum memiliki BPBD, maka penyusunan
Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dapat difasilitasi oleh BNPB dan disusun
oleh Tim Penyusun sebagai berikut19:
- Tim Substansi yang terdiri atas SKPD terkait penanggulangan bencana. Tim
ini terdiri dari wakil-wakil SKPD yang ditetapkan melalui Surat Keputusan
Kepala Daerah (SK KDH), antara lain Bappeda, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas
Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas ESDM, BLH, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan,
dan lain-lain yang dirasa perlu (BMKG, Polda, Danrem, PMI, dst). Tim ini yang
memutuskan muatan substansi RPB.
- Tim Penulis yang menuliskan hasil diskusi Tim Substansi. Tim ini terdiri dari
perwakilan dari Perguruan Tinggi, LSM, juga Pemda.
- Tim Asistensi yang menyiapkan bahan-bahan pendukung/yang terkait.
Untuk tingkat provinsi, Tim Asistensi ini berasal dari Tim Asistensi Nasional
(BNPB).
Perlu digarisbawahi di sini bahwa RPB memiliki jangka waktu 5 (lima) tahun.
Dengan demikian, pada saat dilakukan proses peninjauan kembali (PK) RTRW
Provinsi, juga dilakukan pemutakhiran berdasarkan RPB yang terbaru.Lebih
jelasnya lihat Gambar 3.4.
Gambar 3.4
RPB sebagai Masukan dalam Peninjauan Kembali RTRW
19
Ibid.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 61
Kajian risiko bencana untuk setiap jenis bencana di wilayah provinsi menjadi
bagian dari analisis karakteristik fisik wilayah, kecuali untuk jenis bencana
epidemi dan wabah penyakit menjadi bagian dari analisis karakteristik sosial-
kependudukan. Dalam Permen PU No. 15/PRT/M/2009 digunakan istilah ‘potensi
rawan bencana alam’. Sementara, kajian yang dilakukan BNPB adalah kajian
risiko bencana. Sesuai dengan terminologi yang digunakan BNPB, potensi rawan
bencana alam menggunakan historical data berdasarkan kejadian bencana yang
lalu (existing), sedangkan kajian risiko bencana bersifat prediksi ke depan, dan
sudah mempertimbangkan ancaman, kerentanan, dan kapasitas di wilayah
provinsi yang bersangkutan.Dengan demikian sebaiknya analisis potensi rawan
bencana alam dalam penyusunan RTRW ditambah dengan kajian risiko bencana.
Untuk lebih jelasnya lihat tabel 3.3.
Hasil kajian karakteristik wilayah provinsi ini akan menjadi dasar bagi perumusan
tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsi, serta menjadi
masukan bagi seluruh penyusunan rencana tata ruang selanjutnya.
62 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Tabel 3.3
Kajian Risiko Bencana untuk Setiap Jenis Bencana
dalam Analisis Karakteristik Tata Ruang
Penyusunan rencana struktur ruang, rencana pola ruang, dan penetapan kawasan
strategis provinsi juga didasarkan pada karakteristik tata ruang wilayah provinsi
tersebut dengan penajaman analisis, di mana salah satunya adalah analisis daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup wilayah serta optimasi pemanfaatan
ruang.Kajian risiko bencana juga menjadi masukan dalam melakukan analisis
daya dukung dan daya tampung lingkungan.Pada tahap ini terjadi integrasi
antara kajian risiko bencana dan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dalam
rencana tata ruang.
Muatan kebencanaan yang merupakan hasil dari kajian risiko bencana pada
tahap analisis tersebut harus tercakup dalam RTRW provinsi, terdiri atas:
a. Tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsi;
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 63
20 Ibid.
64 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Pada tahap ini sudah tidak ada masukan dari kajian kebencanaan.
Gambar 3.5
Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam
Proses Penyusunan RTRW Provinsi
Secara garis besar terdapat dua rangkaian analisis utama yang harus dilakukan dalam
penyusunan RTRW Provinsi, yaitu:
a. Analisis untuk menggambarkan karakteristik tata ruang wilayah provinsi; dan
b. Analisis untuk menyusun rencana struktur ruang dan rencana pola ruang wilayah
provinsi.
Pengenalan karakteristik wilayah provinsi ini akan menjadi dasar bagi perumusan
tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsi, serta menjadi
masukan bagi seluruh penyusunan rencana tata ruang selanjutnya. Oleh karena itu,
sangat penting untuk melakukan pengintegrasian kajian risiko bencana pada tahap
analisis ini.
Analisis Fisik dan Lingkungan dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
Salah satu analisis fisik dan lingkungan yang dilakukan dan penyusunan rencana
tata ruang wilayah adalah satuan kemampuan lahan (SKL) terhadap bencana alam.
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan lahan dalam menerima
bencana alam, untuk menghindari/mengurangi kerugian dan korban akibat bencana
tersebut.Keluaran dari analisis ini meliputi (1) Peta Satuan Kemampuan Lahan (SKL)
terhadap bencana alam; (2) deskripsi masing-masing tingkatan kemampuan lahan
terhadap bencana alam tersebut; dan (3) batasan pengembangan pada masing-
masing tingkat kemampuan terhadap bencana alam tersebut. Dalam melakukan
analisis juga dilakukan analisis penggunaan lahan yang ada saat ini yang memperbesar
kemungkinan terkena bencana alam, seperti penggalian sumber mineral atau bahan
galian golongan C, peningkatan aktivitas perkotaan pada daerah-daerah rawan
66 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
bencana, pengupasan hutan/bukit, gangguan pada keseimbangan tata air baik air
permukaan maupun tanah.
Gambar 3.6
Bagan Alir Tata Cara Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan dalam
Penyusunan Rencana Tata Ruang
Sumber: Permen PU No. 20/PRT/M/2007 tentng Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik & Lingkungan, Ekonomi serta Sosial
Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 67
Gambar 3.7
Metode Pengkajian Risiko Bencana
Sumber: Perka BNPB No.02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana
68 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Gambar 3.8
Metode Umum Pengkajian Risiko Bencana
Sumber: Perka BNPB No.02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 69
Pada saat yang sama juga dilakukan pengkajian risiko bencana yang menghasilkan
kajian risiko bencana dan peta risiko bencana yang menjadi dasar perumusan
kebijakan pengurangan risiko bencana yang terdiri atas kebijakan administratif dan
kebijakan teknis per bencana.Kebijakan pengurangan risiko bencana membutuhkan
alokasi ruang pada wilayah yang dikaji untuk tindakan-tindakan yang dipilih, yaitu
tindakan relokasi, adaptasi, dan proteksi.Kajian risiko bencana ini dilakukan sesuai
dengan arahan dalam Perka BNPBNo.02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum
Pengkajian Risiko Bencana. Untuk lebih jelasnya, pengintegrasian kajian risiko
bencana ke dalam muatan RTRW Provinsi ini dapat dilihat pada Gambar 3.9.
70 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Gambar 3.9
Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Muatan RTRW Provinsi
Dengan pendekatan seperti yang digambarkan pada Gambar 3.9 di atas, dilakukan
perumusan RTRW Provinsi yang meliputi tujuan, kebijakan, dan strategi penataan
ruang wilayah provinsi; rencana struktur ruang dan rencana pola ruang wilayah
provinsi; penetapan kawasan strategis wilayah provinsi; arahan pemanfaatan ruang
wilayah provinsi; dan arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi.
Kebijakan penataan ruang wilayah provinsi merupakan arah tindakan yang harus
ditetapkan untuk mencapai tujuan penataan ruang wilayah provinsi. Kebijakan
penataan ruang wilayah provinsi dirumuskan antara lain berdasarkan tujuan
penataan ruang wilayah provinsi yang telah bermuatan mitigasi bencana dan
karakteristik tata ruang wilayah provinsi yang telah memuat kajian risiko bencana.
Kebijakan penataan ruang wilayah provinsi dirumuskan dengan kriteria, salah
satunya, mampu menjawab isu-isu strategis tata ruang baik yang ada sekarang
maupun yang diperkirakan akan timbul di masa yang akan datang. Seperti dalam
perumusan tujuan, isu-isu strategis tersebut juga memuat isu kebencanaan.
Tindakan Relokasi
Upaya penanganan kawasan dengan risiko bencana melalui upaya pemindahan
aktivitas berikut sarana prasarana penunjang aktivitas ke zona aman dari bencana;
(a) Tindakan Adaptasi
Upaya penanganan kawasan dengan risiko bencana melalui rekayasa teknis,
ketentuan khusus untuk konstruksi bangunan, serta sistem peringatan dini.
(b) Tindakan Proteksi
Upaya penanganan kawasan dengan risiko bencana melalui upaya preservasi
dapat berupa proteksi terhadap kawasan dengan risiko bencana guna
meningkatkan kualitas lingkungan alami. Misalnya dengan pembangunan
waduk, tanggul, sea wall, atau tembok pemecah gelombang.
21
Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (draft), Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum,
2014.
72 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Rencana struktur ruang wilayah provinsi dan rencana pola ruang wilayah
provinsi dirumuskan dengan mempertimbangkan rekomendasi kesesuaian
lahan (lihat kembali Gambar 3.9). Rekomendasi kesesuaian lahan menghasilkan
satu rekomendasi untuk pengembangan wilayah yang menjadi masukan bagi
penyusunan rencana struktur ruang dan pola ruang wilayah. Rencana struktur
ruang dan rencana pola ruang ini juga dirumuskan berdasarkan daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup wilayah provinsi. Kajian daya dukung
dan daya tampung lingkungan ini telah mencakup kemungkinan dampak yang
ditimbulkan oleh bencana serta kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).
Untuk wilayah yang memiliki risiko bencana, arahan pemanfaatan ruang wilayah
provinsi dilakukan berdasarkan:
(a) Rencana struktur ruang dan rencana pola ruang yang telah memuat kebijakan
mitigasi bencana;
(b) Ketersediaan sumber daya dan sumber dana pembangunan, termasuk untuk
upaya mitigasi bencana;
(c) Kesepakatan para pemangku kepentingan dan kebijakan yang ditetapkan,
termasuk kebijakan mitigasi bencana;
(d) Prioritas pengembangan wilayah provinsi dan pentahapan rencana
pelaksanaan program sesuai dengan RPJPD; dan
(e) Sinkronisasi program dengan kebijakan nasional dan daerah yang berbatasan
dalam satu kerangka program terpadu pengembangan wilayah provinsi.
74 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Indikasi arahan peraturan zonasi dalam RTRW Provinsi antara lain mencakup:
1. Indikasi arahan peraturan zonasi sistem provinsi sebagai ketentuan
pemanfaatan ruang sistem provinsi yang berbasis mitigasi bencana;
2. Ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan yang berisikan kegiatan yang
diperbolehkan, diperbolehkan dengan syarat, dan tidak diperbolehkan
pada setiap kawasan dengan telah mempertimbangkan kawasan-kawasan
dengan risiko bencana dan upaya mitigasi bencana;
3. Ketentuan intensitas pemanfaatan ruang yang akan menjadi arahan minimal
dalam menetapkan besaran kawasan lindung, intensitas pemanfaatan
ruang di kawasan budi daya, dan besaran ruang terbuka hijau dengan
mempertimbangkan kawasan-kawasan dengan risiko bencana dan upaya
mitigasi bencana; dan
4. Ketentuan prasarana dan sarana minimum sebagai dasar fisik lingkungan
guna mendukung pengembangan kawasan agar dapat berfungsi secara
optimal dengan mempertimbangkan kawasan-kawasan dengan risiko
bencana dan upaya mitigasi bencana.
Dalam upaya pengurangan risiko bencana ke depan terdapat beberapa isu strategis
yang perlu dipertimbangkan, yaitu: (a) bencana akibat faktor geologi; (b) perubahan
iklim yang mengglobal; (c) bertambahnya degradasi lingkungan; dan (d) laju
demografi. Berikut ini contoh internalisasi isu-isu tersebut dalam pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang23:
22
Lilik Kurniawan, Direktur Pengurangan Risiko Bencana, BNPB, “Isu-isu Strategis Pengarusutamaan Pengurangan Risiko
Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang, Keynote Speech dalam Diskusi Terarah Materi Teknis – SCDRR II, Bappenas, 10 Juni
2014.
23
Ibid.
76 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
4. Laju demograi
Laju demografi mempengaruhi faktor kerentanan dan kapasitas.Pengurangan
risiko bencana dilakukan dengan mengurangi kerentanan dan meningkatkan
kapasitas.
Mengingat RPB untuk provinsi baru ada pada tahun 2012, maka kemungkinan
besar kajian risiko bencana belum diintegrasikan ke dalam muatan RTRW yang
telah menjadi Perda tersebut. Proses pengintegrasian baru dapat dilakukan
pada saat dilakukan peninjauan kembali pada tahun kelima. Hal ini menjadi
tantangan karena RPB provinsi yang ada untuk periode 2012-2016.Misalnya
untuk RTRW Provinsi Bali dan Sulawesi Selatan yang telah menjadi Perda pada
tahun 2009, seharusnya peninjauan kembali dilakukan pada tahun kelima, yaitu
tahun 2013. Sementara jangka waktu RPB yang ada hanya sampai tahun 2016.
Berarti ada dua tahun (2017-2018) yang tidak tercakup dalam RPB sampai waktu
peninjauan kembali berikutnya pada tahun 2018. Apabila pada saat penyusunan
atau peninjauan kembali rencana tata ruang, RPB belum tersedia, maka SKPD
penyusun rencana tata ruang dapat melakukan kajian risko bencana secara
mandiri berkoordinasi dengan BPBD dan mengacu pada Perka BNPB No. 02
tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.
24
Rekapitulasi Progress Penyelesaian RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia, Ditjen Penataan Ruang, Kemen-
terian Pekerjaan Umum, Status 30 Mei 2014
78 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
5. RTRW Provinsi saat ini ada yang sudah menjadi Perda, sedang proses Raperda,
dan sudah mendapatkan persetujuan substansi. Bagaimana dan kapan
pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam RTRW Provinsi tersebut harus
dilakukan?
6. Di tingkat provinsi, ketersediaan peta rupa bumi tidak menjadi masalah karena
RPB sudah tersedia untuk semua provinsi, kecuali Provinsi Kalimantan Utara.
Namun hal ini merupakan tantangan dalam penyusunan RTRW kabupaten/kota.
BAB 4
Pengarusutamaan Pengurangan
Risiko Bencana ke dalam
Penyusunan Rencana Tata Ruang
Kawasan Strategis Nasional
80 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 81
BAB 4
Pengarusutamaan Pengurangan
Risiko Bencana ke dalam Penyusunan
Rencana Tata Ruang Kawasan
Strategis Nasional
Teknologi Tinggi). Selain itu, mengingat KSN tersebut ada yang termasuk dalam
wilayah administrasi tertentu, yaitu provinsi/kabupaten/kota, maka pertanyaannya
adalah apakah dibutuhkan kajian risiko bencana khusus untuk KSN tersebut, atau
sudah tercakup dalam kajian risiko bencana di RTRW provinsi/kabupaten/kota yang
bersangkutan?
Beberapa kriteria yang dapat digunakan sebagai dasar penentuan pengkajian risiko
bencana pada suatu tipologi KSN diantaranya adalah:
- Bila pada saat penyusunan atau peninjauan kembali RTR KSN, RPB yang
dibutuhkan belum ada, maka K/L terkait dapat melakukan pengkajian
risiko bencana sendiri berkoordinasi dengan BNPB dan mengacu pada
Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian
Risiko Bencana.
b. Bila wilayah KSN tersebut dalam wilayah satu provinsi tetapi terdiri atas lebih
dari satu kabupaten dan/atau kota (lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi):
- Dapat menggunakan kajian risiko bencana dalam RTRW Provinsi yang
bersangkutan dengan asumsi RTRW tersebut telah memuat kajian risiko
bencana. Bila belum, maka dapat digunakan kajian risiko bencana dalam
Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Provinsi yang bersangkutan,
karena kedalaman analisis di tingkat provinsi minimal sampai kecamatan,
sehingga cukup memadai.
- Namun bila Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) di tingkat
kabupaten/kota sudah tersedia, maka sebaiknya digunakan kajian risiko
bencana dalam RPB Kabupaten/Kota, sehingga dapat diperoleh kajian
yang lebih rinci untuk KSN tersebut. Hal ini penting terutama untuk
wilayah-wilayah dengan kelas risiko bencana tinggi.
- Apabila wilayah KSN tersebut tidak mencakup seluruh wilayah administrasi,
maka dilakukan delineasi sampai unit administrasi terkecil yang
memungkinkan. Bila unit administrasi terkecil adalah kecamatan, maka
dapat menggunakan RPB Provinsi, sementara bila unit administrasi terkecil
adalah kelurahan, maka harus menggunakan RPB Kabupaten/Kota.
- Fokus kajian terutama pada keterpaduan penyelenggaraan
penanggulangan bencana di kawasan tersebut, terutama untuk
melindungi kawasan-kawasan yang strategis.
Sebagai contoh, Kawasan Perkotaan Sarbagita yang terdiri atas Kota/
Kabupaten Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan.
c. Bila wilayah KSN tersebut lintas provinsi, pada dasarnya sama dengan butir
(b) di atas, yaitu:
- Bila delineasi menggunakan unit adminisrasi kecamatan, maka dapat
menggunakan kajian risiko bencana dalam RPB Provinsi;
- Sedangkan bila delineasi menggunakan unit administrasi kelurahan/
desa, maka sebaiknya menggunakan kajian risiko bencana dalam RPB
Kabupaten/Kota, bila sudah tersedia.
- Kajian risiko bencana dalam RPB Kabupaten/Kota juga dapat digunakan
untuk mempertajam analisis pada kawasan-kawasan dengan kelas risiko
tinggi.
84 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Kawasan Strategis Nasional
Sudut Kepentingan dan KSN dalam RTRWN (PP 26/2008) Bentuk Isu StrategisNasional Fokus Penanganan
Tipologi
Pertahanan & Keamanan
Tipologi Kawasan Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 2 pulau KSN berbasis pembangunan kawasan perbatasan kawasan perbatasan negara:
Pertahanan dan Keamanan kecil terluar (P. Rondo dan Berhala) dengan India/ kawasan masih terbatas pada security approach pengaturan pada aspek pertahanan
(Kawasan Perbatasan Thailand/Malaysia (Provinsi NAD dan Sumatera belum tuntas garis batas negara untuk kepentingan pemeliharaan
Negara dan Wilayah Utara) dibeberapa kawasan perbatasan laut keamanan dan pertahanan
Pertahanan) Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 20 pulau kecil kerusakan atau pergeseran pilar batas negara berdasarkan geostrategi
terluar dengan negara Malaysia/Vietnam/Singapura perlunya pengamanan 92 pulau terluar nasional dengan memperhatikan
(Provinsi Riau & Kepulauan Riau) konflik pemanfaatan ruang pada bagian kawasan perbatasan yang
Kawasan Perbatasan Darat RI dengan negara Timor kawasan yang diperuntukkan bagi diperuntukkan untuk fungsi militer,
Leste (Provinsi NTT) wilayah pertahanan meliputi basis militer, daerah latihan
Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 5 pulau ancaman kedaulatan negara yang dapat militer, gudang amunisi, daerah
kecil terluar dengan negara Timor Leste/Australia mengakibatkan gangguan diplomatik pembuangan amunisi, dan instalasi
(Provinsi NTT) terjadi pelanggaran hukum di peralatan pertahanan.
Kawasan Perbatasan Darat RI dengan Jantung kawasanperbatasan negara pengaturan pada aspek kesejahteraan
Kalimantan (Provinsi Kalbar, Kaltim, dan Kalteng) minimnya prasarana dan sarana (dalam rangka ketahanan nasional)
Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 18 pulau pengamanan dan pengawasan dari sisi sosial, ekonomi, dan budaya:
kecil terluar dengan negara Malaysia dan Philipina perbatasan negara a) pengaturan sistem pelayanan
(Provinsi Kaltim, Sulteng, dan Sulut) keterisolasian masyarakat dan b)pengaturan kependudukan
Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 20 pulau kesenjangan tingkat kesejahteraan (populasi, sebaran, dan
kecil terluar dengan negara Timor Leste/Australia kawasan perbatasan dengan negara ketenagakerjaan)
(Provinsi Maluku dan Papua) tetangga c) pengaturan kegiatan ekonomi
Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 8 pulau kecil minimnya pelayanan prasarana dan utama dan penunjang
terluar dengan negara Palau (Provinsi Maluku Utara , sarana, serta dukungan kependudukan di d) pengaturan penyediaan sistem
Papua Barat, dan Papua) kawasan perbatasan negara prasarana dan sarana yang setara baik
Kawasan Perbatasan Darat RI dengan negara Papua dengan wilayah RI di luar kawasan
Nugini (Provinsi Papua) perbatasan maupun dengan negara
Kawasan Perbatasan Negara termasuk 19 pulau kecil yang berbatasan
terluar yang berhadapan dengan laut lepas (Prov pengaturan pada aspek pelestarian
NAD, Sumut, Sumbar, Bengkulu, Lampung, Banten, lingkungan termasuk pengamanan
Jabar, Jateng, Jatim, NTB) SDA
b. wilayah pertahanan: berdasarkan
ketentuan peraturanperundang-
undangan
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
Lanjutan Tabel 4.1
Sudut Kepentingan dan KSN dalam RTRWN (PP 26/2008) Bentuk Isu StrategisNasional Fokus Penanganan
Tipologi
Pertumbuhan Ekonomi
Tipologi Kawasan Perkotaan Kawasan Perkotaan Mebidangro (Provinsi Sumatera KSN berbasis lemahnya interaksi ekonomi antarwilayah pengaturan sistem perkotaan yang
yang Merupakan Kawasan Utara), kawasan serta lemahnya keterkaitan aktivitas mencakup penetapan fungsi dan peran
Metropolitan Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur termasuk ekonomi hulu-hilir kawasan perkotaan inti dan kawasan
Kepulauan Seribu (Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan lemahnya nilai tambah produk unggulan perkotaan di sekitarnya
Jawa Barat), wilayah strategis, rendahnya standardisasi pengaturan kegiatan ekonomi utama
Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung (Provinsi kualitas produk nasional, dan belum perkotaan yang mendukung sistem
Jawa Barat), terintegrasi dengan teknologi, kualitas perkotaan yang direncanakan dan
Kawasan Perkotaan Kedung Sepur (Provinsi Jawa SDM, dan industri unggulan mendukung pertumbuhan ekonomi
Tengah), masih rendahnya ketersediaan prasarana regional, nasional, serta berorientasi
Kawasan Perkotaan Gerbangkertosusila (Provinsi dan sarana nasional pada perdagangan internasional
Jawa Timur), masih tingginya tingkat kemiskinan pengaturan sistem jaringan prasarana
Kawasan Perkotaan Sarbagita (Provinsi Bali), belum optimalnya kawasan perkotaan dan sarana yang mendukung
Kawasan Perkotaan Mamminasata (Provinsi Sulawesi terutama kawasan metropolitan sebagai berfungsinya sistem perkotaan
Selatan) mesin penggerak ekonomi nasional pengaturan pola ruang yang serasi
antara peruntukan kegiatan budi
daya dan kegiatan lindung untuk
pemenuhan kebutuhan sosial ekonomi
masyarakat
pengaturan pengendalian
pemanfaatan ruang kawasan perkotaan
pengaturan kelembagaan pengelolaan
kawasan perkotaan
87
88
Lanjutan Tabel 4.1
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Sudut Kepentingan dan KSN dalam RTRWN (PP 26/2008) Bentuk Isu StrategisNasional Fokus Penanganan
Tipologi
Tipologi KAPET Keppres No. 10 Tahun 1996 jo Keppres 90 Tahun KSN berbasis kesenjangan ekonomi KBI, KTI, dan pengaturan faktor-faktor pendukung
1996 tentang Pembentukan KAPET Biak. kawasan kawasan perbatasan negara, serta pengembangan ekonomi unggulan
Keppres 11/1998 tentang Pembentukan KAPET rendahnya interkonektivitas domestik yang terdiri atas industri/usaha inti,
Batulicin. intrawilayah di KBI, KTI, dan kawasan industry pendukung, jasa penunjang,
Keppres 12/1998 tentang Pembentukan KAPET perbatasan negara penelitian, pelatihan,pendidikan,
Sasamba. lemahnya interaksi ekonomi antarwilayah informasi, teknologi, sumber daya
Keppres 14/1998 tentang Pembentukan KAPET serta lemahnya keterkaitan aktivitas alam, serta lembaga-lembaga terkait
Manado Bitung. ekonomi hulu-hilir pengaturan pengembangan usaha
Keppres 15/1998 tentang Pembentukan KAPET lemahnya nilai tambah produk (bussiness development)yang berisi
Mbay. unggulan wilayah strategis, rendahnya antara lain bussiness plan dan
Keppres 164/1998 tentang Pembentukan KAPET standardisasi kualitas produk nasional, pengembangan khusus pada minimal
Parepare. dan belum terintegrasi dengan teknologi, 1 (satu) komoditas unggulan
Keppres 165/1998 tentang Pembentukan KAPET kualitas SDM, dan industri unggulan pengaturan sistem pusat pelayanan
Seram. lemahnya dukungan insentif fiskal dan kegiatan ekonomi kawasan yang
Keppres 166/1998 tentang Pembentukan KAPET nonfiskal kawasan ekonomi terintegrasi dengan kebijakan sistem
Bima. masih rendahnya ketersediaan prasarana perkotaan pada RTRW
Keppres 167/1998 tentang Pembentukan KAPET dan sarana nasional pengaturan ketenagakerjaan
Batui. kurangnya daya dukung pengembangan pengaturan sistem jaringan prasarana
Keppres 168/1998 tentang Pembentukan KAPET aktivitas ekonomi dalam penyerapan utama dan jaringan prasarana
Bukari. tenaga kerja pendukung yang terintegrasi dengan
Keppres 170/1998 tentang Pembentukan KAPET sistem jaringan prasarana dalam RTRW
DAS Kakab. pengaturan arahan peraturan
Keppres 171/1998 tentang Pembentukan KAPET zonasi, arahan perizinan, dan arahan
Sabang pemberian insentif pada kawasan
Kapet Khatulistiwa ekonomi unggulan wilayah
pengaturan kelembagaan pengelolaan
kawasan
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
Lanjutan Tabel 4.1
Sudut Kepentingan dan KSN dalam RTRWN (PP 26/2008) Bentuk Isu StrategisNasional Fokus Penanganan
Tipologi
Tipologi Kawasan Ekonomi Kawasan Industri Lhokseumawe, KSN berbasis lemahnya nilai tambah produk pengaturan kegiatan ekonomi yang
dengan Perlakuan Khusus Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas kawasan/ unggulan wilayah strategis, rendahnya berdaya saing internasional
(Non KAPET) (KPBPB) Sabang objek strategis standardisasi kualitas produk pengaturan penyediaan lapangan
Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun (Provinsi Kep nasional,dan belum terintegrasi dengan pekerjaan
Riau) teknologi,kualitas SDM, dan industri pengaturan sistem pusat pelayanan
Kawasan Selat Sunda unggulan dengan memperhatikan sistem
lemahnya dukungan insentif fiskal dan perkotaan yang telah ditetapkan
nonfiskal kawasan ekonomi dalam RTRW;
masih rendahnya ketersediaan prasarana pengaturan kawasan inti:
dan sarana nasional pengaturan zonasi dan kegiatan
kurangnya daya dukung pengembangan pengaturan standardisasi pelayanan
aktivitas ekonomi dalam penyerapan minimal sistem
tenaga kerja jaringan prasarana
pengaturan kawasan penyangga
yang meliputi pengaturan zonasi dan
kegiatan
pengaturan pengendalian
pemanfaatan ruang pada kawasan
penyangga
pengaturan kelembagaan pengelolaan
kawasan
Sosial Budaya
Tipologi Kawasan Warisan Kawasan Warisan Budaya: KSN berbasis pelindungan dan pengamanan warisan pengaturan kawasan inti:
Budaya/Adat Tertentu Kawasan Borobudur dan sekitarnya (Provinsi Jawa kawasan/ budaya dunia pengaturan zonasi dan kegiatan
Tengah), dan objek strategis pelindungan objek budaya sebagai objek yang difokuskan pada pelindungan/
Kawasan Candi Prambanan (Provinsi Jawa Tengah) vital nasional pelestarian warisan budaya/adat
pelindungan nilai adat istiadat, dan tertentu
Kawasan Adat Tertentu tradisi budaya bangsa pengaturan jenis dan kualitas
Kawasan Toraja dan sekitarnya (Provinsi Sulawesi pelayanan prasarana
Selatan) pendukung berbasis nilai-nilai warisan
budaya dan adat tertentu
pengaturan kawasan penyangga:
pengaturan batas/radius kawasan
penyangga untuk pelindungan
kawasan inti
pengaturan zonasi dan kegiatan di
kawasan penyangga
pengaturan prasarana pendukung
89
pengembangan kawasan penyangga,
termasuk antisipasi bencana banjir dan
kebakaran
90
Lanjutan Tabel 4.1
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Sudut Kepentingan dan KSN dalam RTRWN (PP 26/2008) Bentuk Isu StrategisNasional Fokus Penanganan
Tipologi
Pendayagunaan SDA dan/atau Teknologi Tinggi
Tipologi Kawasan Teknologi Kawasan Stasiun Pengamat Dirgantara Kototabang KSN berbasis belum tersedianya alokasi ruang dan pengaturan kawasan inti:
Tinggi (Provinsi Sumatera Barat) objek strategis pengamanan ruang untuk kegiatan pengaturan zonasi dan kegiatan
Kawasan Instalasi Lingkungan dan Cuaca (Provinsi pengembangan IPTEK sesuai dengan ketentuan peraturan
DKI Jakarta) belum dimilikinya penguasaan teknologi perundang-undangan
Kawasan Fasilitas Pengolahan Data dan Satelit ramah lingkungan dan kebijakan alokasi pengaturan pembangunan prasarana
(Provinsi DKI Jakarta) ruang pendukung pemanfaatan potensi pendukung sesuai dengan peraturan
Kawasan Fasilitas Uji Terbang Roket Pamengpeuk SDA yang ada perundang-undangan
(Provinsi Jawa Barat) pengaturan kawasan penyangga:
Kawasan Stasiun Pengamat Dirgantara Pamengpeuk pengaturan batas/radius kawasan
(Provinsi Jawa Barat) penyangga untuk pelindungan
Kawasan Stasiun Pengamat Dirgantara Tanjung Sari kawasan inti dan pelindungan
(Provinsi Jawa Barat) keselamatan penduduk di sekitar
Kawasan Stasiun Telecomand (Provinsi Jawa Barat) kawasan inti
Kawasan Stasiun Bumi Penerima Satelit Mikro pengaturan zonasi dan kegiatan di
(Provinsi Jawa Barat) kawasan penyangga
Kawasan Stasiun Pengamat Dirgantara Watukosek pengaturan prasarana pendukung
(Provinsi Jawa Timur) pengembangan kawasan penyangga
Kawasan Stasiun Pengamat Dirgantara Pontianak pengaturan pelindungan kawasan inti
(Provinsi Kalimantan Barat) dari ancaman bencana, yang antara
Kawasan Stasiun Bumi Sumber Alam Parepare lain dapat berupa pelindungan dari
(Provinsi Sulawesi Selatan) potensi gangguan sosial, cahaya,
Kawasan Stasiun Bumi Satelit Cuaca dan Lingkungan suara, getaran, kebakaran, banjir, dan
(Provinsi Papua) bencana akibat posisi geografis.
Kawasan Stasiun Telemetry Tracking and Command
Wahana Peluncur Satelit (Provinsi Papua)
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
Lanjutan Tabel 4.1
Sudut Kepentingan dan KSN dalam RTRWN (PP 26/2008) Bentuk Isu StrategisNasional Fokus Penanganan
Tipologi
Tipologi Kawasan SDA di Kawasan Timika (Provinsi Papua) KSN berbasis belum dimilikinya penguasaan teknologi pengaturan keseimbangan ekosistem
Darat Kawasan Soroako dan sekitarnya (Provinsi Sulawesi kawasan ramah lingkungan dan kebijakan alokasi kawasan dalam
Selatan) ruang pendukung pemanfaatan potensi rangka pengamanan WPN untuk
SDA yang ada kepentingan strategis
belum ditetapkannya WPN dengan nasional
memperhatikan keseimbangan pelindungan LP2B dari alih fungsi
ekosistem lahan
tidak terkendalinya alih fungsi lahan pengaturan pengelolaan lingkungan
pertanian yang berkelanjutan
belum dipertimbangkannya aspek terkait dengan dampak pemanfaatan
penataan ruang terkait dengan SDA
penanggulangan dampak kegiatan saat pengaturan zonasi dan kegiatan terkait
dan pasca pemanfaatan SDA dengan kawasan-kawasan pasca
pemanfaatan SDA
pengaturan kawasan inti:
pengaturan zonasi dan kegiatan
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
pengaturan sistem prasarana utama
dan sistem prasarana lainnya yang
terintegrasi denganpengembangan
wilayah
pengaturan kawasan penyangga:
pengaturan batas/radius kawasan
penyangga untuk pelindungan
kawasan inti
pengaturan zonasi dan kegiatan
pengaturan prasarana pendukung
pengembangan kawasan penyangga
untuk mengantisipasi kemungkinan
kesenjangan dengan kawasan inti
pengaturan keberlanjutan fungsi pusat
pelayanan pasca pemanfaatan SDA
91
92
Lanjutan Tabel 4.1
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Sudut Kepentingan dan KSN dalam RTRWN (PP 26/2008) Bentuk Isu StrategisNasional Fokus Penanganan
Tipologi
Fungsi dan Daya Dukung Lingkungan Hidup
Tipologi Hutan Lindung- Kawasan Hutan Lindung KSN berbasis pemanfaatan SDA yang memberikan pengaturan kawasan inti:
Taman Nasional Kawasan Hutan Lindung Mahato (Provinsi Riau) kawasan tekanan terhadap keanekaragaman pengaturan zona dan kegiatan
Kawasan Hutan Lindung Bukit Batabuh (Provinsi hayati sesuai dengan ketentuan peraturan
Riau dan Sumatera Barat) kebutuhan akan penelitian terhadap perundang-undangan
Kawasan Konservasi Keanekaragaman Hayati Teluk hutan hujan tropis pengaturan pembangunan prasarana
Bintuni (Provinsi Papua) dampak lingkungan akibat perubahan pendukung sesuai dengan ketentuan
Kawasan Konservasi Keanekaragaman Hayati Raja iklim global peraturan perundang-undangan
Ampat (Provinsi Papua Barat) menurunnya daya dukung lingkungan pengaturan kawasan penyangga:
Kawasan Konservasi dan Wisata Daerah Aliran tingginya laju konversi lahan hutan pengaturan batas/radius kawasan
Sungai Tondano (Provinsi Sulawesi Utara) penyangga untuk pelindungan
Kawasan Gunung Rinjani (Provinsi Nusa Tenggara kawasan inti
Barat) pengaturan zona dan kegiatan
Kawasan Taman Nasional pengendalian pusat kegiatan, sistem
Kawasan Taman Nasional Lorentz (Provinsi Papua) prasarana utama dan sistem prasarana
Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa - Watumohai lainnya yang berpotensi mengganggu
dan Rawa Tinondo (Provinsi Sulawesi Tenggara) kawasan inti
Kawasan Taman Nasional Tanjung Puting (Provinsi
Kalimantan Tengah)
Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun (Provinsi
Kalimantan Barat)
Kawasan Taman Nasional Komodo (Provinsi Nusa
Tenggara Barat)
Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (Provinsi
Banten)
Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (Provinsi
Jambi)
Kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (Provinsi
Jambi dan Riau)
Kawasan Taman Nasional Berbak (Provinsi Jambi)
Kawasan Pangandaran – Kalipuncang – Segara
Anakan – Nusakambangan (Pacangsanak) (Provinsi
Jawa Barat dan Jawa Tengah)
Kawasan Lingkungan Hidup Taman Nasional Kerinci
Seblat (Provinsi Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu,
dan Sumatera Selatan)
Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya (Provinsi
Sumatera Utara)
Kawasan Ekosistem Leuser (Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam)
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
Lanjutan Tabel 4.1
Sudut Kepentingan dan KSN dalam RTRWN (PP 26/2008) Bentuk Isu StrategisNasional Fokus Penanganan
Tipologi
Tipologi Kawasan Rawan Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (Provinsi KSN berbasis tingginya laju konversi lahan hutan pengaturan sistem evakuasi
Bencana Jawa Tengah & DI Yogyakarta) kawasan tingginya potensi bencana pengaturan fungsi lindung dan fungsi
kurangnya pengendalian permukiman di budi daya sesuai dengan karakteristik
kawasan rawan bencana daya dukung pada kawasan rawan
bencana
pengaturan kegiatan pada
kawasan rawan bencana (termasuk
hunian sementara) terkait dengan
pengelolaan kegiatan pada kawasan
rawan bencana
pengaturan sistem prasarana
pendukung di lokasi evakuasi sesuai
dengan standar pelayanan minimal
yang ditentukan
Tipologi Kawasan Kawasan Kritis Lingkungan Buol-Lambunu (Provinsi KSN berbasis pemanfaatan SDA yang memberikan penetapan kriteria keberlanjutan
Ekosistem termasuk Sulawesi Tengah) kawasan tekanan terhadap keanekaragaman kawasan ekosistem
Kawasan Kritis Kawasan Kritis Lingkungan Balingara (Provinsi hayati pengaturan komposisi kawasan
Sulawesi Tengah) kebutuhan akan penelitian terhadap lindung dan kawasan budidaya yang
hutan hujan tropis menjamin keserasian kemampuan dan
menurunnya daya dukung lingkungan pemanfaatan unsur dalam alam secara
tingginya laju konversi lahan hutan timbal balik
tingginya potensi bencana pengaturan fungsi budi daya terkait
dengan daya rusak air khususnya
sistem pusat pelayanan, fasilitas
ekonomi penting, sistem transportasi,
serta sistem jaringan sumberdaya air
Sumber: (1) PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Lampiran X Penetapan Kawasan Strategis Nasional; dan
(2) Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional
93
94 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
3. Tipologi KAPET
Berdasarkan Lampiran X tentang Penetapan Kawasan Strategis Nasional dalam
PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tipologi ini
terdiri atas:
a. KAPET Biak (Keppres No. 10 Tahun 1996 jo Keppres 90 Tahun 1996) – Provinsi
Papua
b. KAPET Batulicin (Keppres 11/1998) – Provinsi Kalimantan Selatan
c. KAPET Samarinda, Sanga-Sanga, Muara Jawa, dan Balikpapan/Sasamba
(Keppres 12/1998) – Provinsi Kalimantan Timur
d. KAPET Manado Bitung (Keppres 14/1998) – Provinsi Sulawesi Utara
e. KAPET Mbay (Keppres 15/1998)- Provinsi Nusa Tenggara Timur
f. KAPET Parepare (Keppres 164/1998) – Provinsi Sulawesi Selatan
g. KAPET Seram (Keppres 165/1998) – Provinsi Maluku
h. KAPET Bima (Keppres 166/1998) – Provinsi Nusa Tenggara Barat
i. KAPET Batui (Keppres 167/1998) – Provinsi Sulawesi Tengah)
j. KAPET Buton, Kolaka, dan Kendari/Bukari (Keppres 168/1998) – Provinsi
Sulawesi Tenggara
k. KAPET Daerah Aliran Sungai Kahayan Kapuas dan Barito/DAS Kakab (Keppres
170/1998) – Provinsi Kalimantan Tengah
l. KAPET Banda Aceh Darussalam (Keppres 171/1998)- Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam
m. KAPET Khatulistiwa - Provinsi Kalimantan Barat
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 97
Tipologi ini merupakan KSN berbasis objek strategis dan umumnya terletak
dalam satu wilayah administrasi (kabupaten/kota). Penanggulangan bencana
untuk tipologi kawasan teknologi tinggi dilakukan dengan menggunakan
kriteria 2, yaitu tidak memerlukan kajian risiko bencana secara khusus dan
dapat menggunakan kajian risiko bencana yang ada dalam RTRW kabupaten/
kota yang bersangkutan. Namun demikian, mengingat dibutuhkan pengaturan
khusus untuk kawasan penyangganya, maka bila dirasa penyelenggaraan
penanggulangan bencana dalam RTRW Kabupaten/Kota yang bersangkutan
masih kurang spesifik sesuai kebutuhan, dapat dilakukan kajian risiko bencana
khusus yang mempertimbangkan pengaturan-pengaturan yang dibutuhkan
untuk kawasan inti dan kawasan penyangganya. Pengaturan kawasan penyangga
untuk kawasan teknologi tinggi ini meliputi:
a. pengaturan batas/radius kawasan penyangga untuk pelindungan kawasan
inti dan pelindungan keselamatan penduduk di sekitar kawasan inti
b. pengaturan zonasi dan kegiatan di kawasan penyangga
c. pengaturan prasarana pendukung pengembangan kawasan penyangga
d. pengaturanpelindungan kawasan inti dari ancaman bencana, yang antara
lain dapat berupa pelindungan dari potensi gangguan sosial, cahaya, suara,
getaran, kebakaran, banjir, dan bencana akibat posisi geografis.
100 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Tabel 4.2
Kajian Risiko Bencana untuk Setiap Tipologi KSN
Kriteria
No Tipologi
1 (a) 1 (b) 1 (c) 2 3 4
1 Kawasan pertahanan dan keamanan (kawasan
X X X
perbatasan negara dan wilayah pertahanan)
2 Kawasan perkotaan yang merupakan kawasan
X X
metropolitan
3 KAPET X
4 Kawasan ekonomi dengan perlakuan khusus
X X X
(nonKAPET)
5 Kawasan warisan budaya/adat tertentu X
6 Kawasan teknologi tinggi X
7 Kawasan SDA di darat X
8 Kawasan hutan lindung-taman nasional X
9 Kawasan rawan bencana X
10 Kawasan ekosistem termasuk kawasan kritis lingkungan X
Keterangan:
- Kriteria 1 Berdasarkan Lingkup Wilayah KSN: (a) satu wilayah kabupaten/kota; (b) lintaskabupaten/kota dalam 1 provinsi;
(c) lintasprovinsi
- Kriteria 2 KSN berbasis Kawasan/Objek Strategis
- Kriteria 3 KSN yang merupakan Kawasan Lindung
- Kriteria 4 KSN yang Rawan terhadap Bencana
Sumber: Hasil Analisis
Proses penyusunan RTR KSN yang masuk dalam kriteria 1 (a) ini dilakukan melalui
langkah-langkah sebagai berikut (lihat Gambar 4.1):
i. Kaji RTRW Kabupaten/Kota yang berlaku (existing), apakah sudah memuat
kajian risiko bencana sesuai dengan yang diamanatkan dalam Perka BNPB
No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Bila
sudah, maka kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten/Kota tersebut
dapat diadopsi dalam penyusunan RTR KSN dalam kriteria ini.
ii. Bila RTRW Kabupaten/Kota yang ada belum memuat kajian risiko bencana
seperti yang diamanatkan dalam Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang
Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, maka dilakukan pengkajian
terhadap Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Kabupaten/Kota yang
bersangkutan. Bila sudah tersedia, maka kajian risiko bencana dalam RPB
Kabupaten/Kota tersebut dapat diintegrasikan ke dalam penyusunan RTR
KSN.
iii. Bila RPB Kabupaten/Kota belum ada, maka K/L dapat melakukan pengkajian
risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BNPB dan mengacu
pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012. Mengingat sampai dengan tahun 2014
baru disusun 63 Rencana Penanggulangan Bencana untuk kabupaten/kota,
maka untuk kabupaten/kota lainnya harus dilakukan kajian risiko bencana
sendiri.
iv. Sebagai gambaran awal, tingkat risiko kabupaten/kota yang bersangkutan
dapat dilihat dari Rencana Penanggulangan Bencana Provinsi yang
bersangkutan serta Indeks Risiko Bencana Indonesia yang memuat
kedalaman analisis sampai dengan tingkat kabupaten/kota (saat ini yang
terbaru adalah untuk tahun 2013). Sebagai contoh, kawasan industri
Lhokseumawe di Kota Lhokseumawe, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
(KSN tipologi kawasan ekonomi dengan perlakuan khusus (nonKAPET)). Bila
dilihat dari hasil Indeks Risiko Bencana kabupaten/kota tahun 2013, Kota
Lhokseumawe mendapatkan skor 175 yang berarti masuk kelas risiko tinggi.
Dengan demikian kajian risiko bencana sangat signifikan untuk dilakukan
pada KSN ini.
104 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Gambar 4.1
Proses Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam
Proses Penyusunan RTR KSN untuk Kriteria 1 (a)
KSN dalam Satu Wilayah Kabupaten/Kota
b. Kriteria 1 (b): wilayah KSN masuk dalam 1 (satu) wilayah administrasi provinsi
dan lebih dari satu kabupaten/kota (lintaskabupaten/kota dalam satu
provinsi).
Proses penyusunan RTR KSN yang masuk dalam kriteria 1 (b) ini dilakukan melalui
langkah-langkah sebagai berikut (lihat Gambar 4.2):
i. Kaji RTRW Provinsi yang berlaku (existing), apakah sudah memuat kajian risiko
bencana sesuai dengan yang diamanatkan dalam Perka BNPB No. 02 tahun
2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Bila sudah, maka
kajian risiko bencana dalam RTRW Provinsi tersebut dapat diadopsi dalam
penyusunan RTR KSN dalam kriteria ini.
ii. Bila RTRW Provinsi yang ada belum memuat kajian risiko bencana seperti yang
diamanatkan dalam Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum
Pengkajian Risiko Bencana, maka dilakukan pengkajian terhadap Rencana
Penanggulangan Bencana (RPB) Provinsi yang bersangkutan. Hampir semua
provinsi (33) sudah mempunyai Rencana Penanggulangan Bencana (RPB)
2012-2016, kecuali Provinsi Kalimantan Utara. Dengan demikian kajian risiko
bencana dalam RPB tersebut dapat langsung diadopsi dalam penyusunan
RTR KSN kriteria 1 (b).
iii. Untuk Provinsi Kalimantan Utara yang belum memiliki RPB, maka BPBD
provinsi segera mengkoordinasikan penyusunan RPB tersebut dengan
difasilitasi oleh BNPB. Bila pada saat penyusunan atau peninjauan kembali
RTR KSN, RPB Provinsi yang ada sudah habis masa berlakunya, maka K/L
dapat membuat sendiri KRB berkoordinasi dengan BNPB dan mengacu pada
Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tenang Pedoman Umum Pengkajian Risiko
Bencana.
iv. Cek tingkat risiko bencana di level kabupaten/kota yang termasuk dalam
wilayah KSN untuk mengetahui apakah kajian risiko bencana perlu dipertajam
dengan KRB di tingkat kabupaten/kota. Hal ini dapat dilihat dari Rencana
Penanggulangan Bencana Provinsi yang bersangkutan serta Indeks Risiko
Bencana Indonesia (2013). Sebagai contoh, kawasan perkotaan metropolitan
SARBAGITA (lihat Tabel 4.3).
106 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Tabel 4.3
IRBI Provinsi Bali
NO. KABUPATEN/KOTA SKOR KELAS RISIKO
1 KARANG ASEM 184 TINGGI
2 KLUNGKUNG 182 TINGGI
3 JEMBRANA 179 TINGGI
4 BADUNG 179 TINGGI
5 TABANAN 174 TINGGI
6 BULELENG 167 TINGGI
7 KOTA DENPASAR 167 TINGGI
8 BANGLI 153 TINGGI
9 GIANYAR 141 SEDANG
Dari tabel 4.3 terlihat bahwa Kota Denpasar, Kabupaten Badung, dan
Kabupaten Tabanan memiliki kelas risiko tinggi, sementara Kabupaten
Gianyar memiliki kelas risiko sedang. Mengingat SARBAGITA adalah kawasan
perkotaan metropolitan, maka signifikan untuk mempertajam kajian pada
kawasan-kawasan dengan kelas risiko tinggi dengan kajian risiko bencana
pada level kabupaten/kota.Terlepas dari itu, mengingat nilai strategisnya
maka sebaiknya penyusunan RTR KSN menggunakan kajian risiko bencana
yang rinci, semakin rinci semakin baik.Dengan demikian sebaiknya
menggunakan kajian risiko bencana untuk kabupaten/kota.
Gambar 4.2
Proses Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan RTR KSN
untuk Kriteria 1 (b) KSN Lintas Kabupaten/Kota dalam Satu Provinsi
Proses penyusunan RTR KSN yang masuk dalam kriteria 1 (c) ini dilakukan
melalui langkah-langkah sebagai berikut:
i Kaji RTRW Provinsi yang berlaku (existing), apakah sudah memuat kajian
risiko bencana sesuai dengan yang diamanatkan dalam Perka BNPB No.
02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Bila
sudah, maka kajian risiko bencana dalam RTRW Provinsi tersebut dapat
diadopsi dalam penyusunan RTR KSN dalam kriteria ini.
ii. Bila RTRW Provinsi yang ada belum memuat kajian risiko bencana seperti
yang diamanatkan dalam Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman
Umum Pengkajian Risiko Bencana, maka dilakukan pengkajian terhadap
Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Provinsi yang bersangkutan.
Hampir semua provinsi (33) sudah mempunyai Rencana Penanggulangan
Bencana (RPB) 2012-2016, kecuali Provinsi Kalimantan Utara. Dengan
demikian kajian risiko bencana dalam RPB tersebut dapat langsung
diadopsi dalam penyusunan RTR KSN kriteria 1 (c).
iii. Untuk Provinsi Kalimantan Utara yang belum memiliki RPB, maka BPBD
provinsi segera mengkoordinasikan penyusunan RPB tersebut dengan
difasilitasi oleh BNPB.
iv. Cek tingkat risiko bencana di level kabupaten/kota yang termasuk dalam
wilayah KSN untuk mengetahui apakah kajian risiko bencana perlu
dipertajam dengan KRB di tingkat kabupaten/kota. Hal ini dapat dilihat
dari Rencana Penanggulangan Bencana Provinsi yang bersangkutan serta
Indeks Risiko Bencana Indonesia (2013). Sebagai contoh, kabupaten/
kota di Provinsi DKI Jakarta sebagai salah satu wilayah dalam kawasan
perkotaan metropolitan Jabodetabekpunjur (lihat Tabel 4.4).
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 109
Tabel 4.4
IRBI Provinsi DKI Jakarta
NO. KABUPATEN/KOTA SKOR KELAS RISIKO
1 KOTA JAKARTA TIMUR 127 SEDANG
2 KOTA JAKARTA UTARA 122 SEDANG
3 KOTA JAKARTA BARAT 120 SEDANG
4 KOTA JAKARTA PUSAT 96 SEDANG
5 KOTA JAKARTA SELATAN 88 SEDANG
6 KEPULAUAN SERIBU 65 SEDANG
Dari tabel 4.4 terlihat bahwa kota/kabupaten di Provinsi DKI Jakarta semuanya
memiliki kelas risiko sedang.Mengingat Jabodetabekpunjur adalah kawasan
perkotaan metropolitan yang perlu dikendalikan perkembangannya, maka
signifikan untuk mempertajam kajian pada kawasan-kawasan dengan kelas
risiko sedang-tinggi dengan kajian risiko bencana pada level kabupaten/
kota.
iv. Proses pengintegrasian kajian risiko bencana untuk kriteria 1 (c) ini
kurang lebih sama dengan Gambar 4.2, dengan ditambahkan langkah
viii di atas.Setelah melalui proses tersebut, maka proses pengintegrasian
kajian risiko bencana ke dalam RTR KSN kriteria 1 (c) ini mengikuti proses
penyusunan RTRW Provinsi pada Gambar 3.5.
110 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Proses penyusunan RTR KSN yang masuk dalam kriteria 2 ini dilakukan melalui
langkah-langkah seperti pada kriteria 1 (a) sebagai berikut (lihat Gambar 4.3):
i. Kaji RTRW Kabupaten/Kota yang berlaku (existing), apakah sudah memuat
kajian risiko bencana sesuai dengan yang diamanatkan dalam Perka BNPB
No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Bila
sudah, maka kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten/Kota tersebut
dapat diadopsi dalam penyusunan RTR KSN dalam kriteria ini.
ii. Bila RTRW Kabupaten/Kota yang ada belum memuat kajian risiko bencana
seperti yang diamanatkan dalam Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang
Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, maka dilakukan pengkajian
terhadap Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Kabupaten/Kota yang
bersangkutan. Bila sudah tersedia, maka kajian risiko bencana dalam RPB
Kabupaten/Kota tersebut dapat diintegrasikan ke dalam penyusunan RTR
KSN.
iii. Bila RPB Kabupaten/Kota belum ada, maka K/L dapat melakukan pengkajian
risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BNPB mengacu pada
Perka BNPB No. 02 tahun 2012. Mengingat sampai dengan tahun 2014 baru
disusun 63 Rencana Penanggulangan Bencana untuk kabupaten/kota, maka
untuk kabupaten/kota lainnya harus dilakukan kajian risiko bencana sendiri.
iv. Sebagai gambaran awal, tingkat risiko kabupaten/kota yang bersangkutan
dapat dilihat dari Rencana Penanggulangan Bencana Provinsi yang
bersangkutan serta Indeks Risiko Bencana Indonesia (2013) Sebagai contoh,
Kawasan Candi Prambanan yang merupakan KSN tipologi kawasan warisan
budaya/adat tertentu yang terletak di Kabupaten Sleman dan Kabupaten
Klaten. Bila dilihat dari hasil Indeks Risiko Bencana kabupaten/kota tahun
2013, Kabupaten Klaten (Provinsi Jawa Tengah) mendapatkan skor 123 yang
berarti masuk kelas risiko sedang. Demikian juga Kabupaten Sleman (Provinsi
DI Yogyakarta) mendapatkan skor 154 yang berarti masuk kelas risiko tinggi.
v. Bila dirasakan kajian risiko bencana dalam RTRW kabupaten tersebut masih
kurang memperhatikan muatan pelindungan dan pelestarian bagi kawasan
warisan budaya/adat tertentu dan kawasan teknologi tinggi tersebut dari
ancaman bencana, maka dapat dilakukan kajian risiko bencana tambahan
secara khusus yang dapat mengakomodasi kebutuhan kawasan warisan
budaya/adat tertentudan kawasan teknologi tinggi tersebut.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 111
Gambar 4.3
Proses Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam
Proses Penyusunan RTR KSN untuk Kriteria 2
KSN Berbasis Kawasan/Objek Strategis
Sebagai contoh adalah Raperpres Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional
Gunung Merapi dan sekitarnya yang disusun oleh Ditjen Penataan Ruang,
Kementerian Pekerjaan Umum pada tahun 2011.Penyusunan rencana tata
ruang kawasan Taman Nasional Gunung Merapi dan sekitarnya tersebut telah
mengintegrasikan pendekatan pengurangan risiko bencana. Hal ini antara lain
dapat dilihat dari tujuan penataan ruang kawasan Taman Nasional Gunung
Merapi tersebut, yaitu untuk mewujudkan Tata Ruang Kawasan Taman Nasional
Gunung Merapi yang berkualitas dalam rangka menjamin kelestarian lingkungan
dan kesejahteraan MasyarakatKawasan Taman Nasional Gunung Merapi yang
berbasis Mitigasi Bencana.25Tujuan tersebut kemudian dirumuskan dalam ke
dalam 2 (dua) kebijakan penataan ruang Kawasan Taman Nasional Gunung
Merapi yang meliputi:
a. Pelestarian lingkungan Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi; dan
b. Pengembangan Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi berbasis Mitigasi
Bencana
Kebijakan kedua tersebut kemudian diturunkan dalam strategi pengembangan
Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi berbasis Mitigasi Bencana yang antara
25
Draft Raperpres Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi dan Sekitarnya, Ditjen Penataan Ruang,
Kementerian Pekerjaan Umum, 2011.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 113
4.3 Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Muatan Rencana Tata Ruang
Kawasan Strategis Nasional
Pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan Rencana Tata Ruang Kawasan
Strategis Nasional (RTR KSN) pada dasarnya dilakukan dengan metode pendekatan yang
sama dengan proses pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan RTRW
Provinsi seperti yang dijelaskan pada Bab 3, yaitu dengan memadukan pendekatan
analisis aspek fisik dan lingkungan yang mengacu pada Permen PU No. 20/PRT/M/2007
dengan kajian risiko bencana yang mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 (Lihat
kembali Gambar 3.9).Perbedaan yang mendasar adalah dalam hal kedalaman analisis
sesuai dengan kebutuhan dan besaran lingkup wilayah setiap Kawasan Strategis
Nasional (KSN).Hal ini dapat dilihat dari skala peta RTR KSN untuk setiap tipologi yang
ditetapkan dalam Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (lihat Tabel 4.5).
114 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Tabel 4.5
Skala Peta RTR KSN berdasarkan Tipologi KSN
Tipologi Bentuk Skala Peta Kriteria Pengintegrasian KRB
Tipologi Kawasan KSN a. kawasan perbatasan negara: Kriteria 1 (a) berdasarkan RTRW
Pertahanan berbasis 1) kawasan perbatasan darat: Kabupaten/Kota (1:50.000 – 1:25.000)
dan Keamanan kawasan a) yang didominasi kawasan terbangun: Kriteria 1 (b) berdasarkan RTRW
(kawasan 1:25.000–1:10.000 Provinsi (1:250.000) dengan dipertajam
perbatasan b) yang didominasi kawasan nonterbangun: RTRW Kabupaten/Kota (1:50.000 –
negara dan 1:250.000–1:50.000 1:25.000)
wilayah 2) kawasan perbatasan laut: Kriteria 1 (c) berdasarkan RTRW
pertahanan) a) yang keseluruhan merupakan laut, Provinsi(1:250.000) dengan dipertajam
1:500.000–1:250.000 RTRW Kabupaten/Kota (1:50.000 –
b) yang mencakup pula pulau-pulau 1:25.000)
kecil,1:25.000–1:10.000
b. wilayah pertahanan:
skala peta ditentukan berdasarkan
ketentuanperaturan perundang-undangan
Tipologi Kawasan KSN minimal 1:50.000 Kriteria 1 (b) berdasarkan RTRW
Perkotaan yang berbasis Provinsi (1:250.000) dengan dipertajam
merupakan kawasan RTRW Kabupaten/Kota (1:50.000 –
Kawasan 1:25.000)
Metropolitan Kriteria 1 (c) berdasarkan RTRW
Provinsi(1:250.000) dengan dipertajam
RTRW Kabupaten/Kota (1:50.000 –
1:25.000)
Tipologi KAPET KSN minimal 1:100.000 Kriteria 1 (b) berdasarkan RTRW
berbasis Provinsi (1:250.000) dengan dipertajam
kawasan RTRW Kabupaten/Kota (1:50.000 –
1:25.000)
Tipologi Kawasan KSN kawasan inti dan kawasan penyangga: Kriteria 1 (a) berdasarkan RTRW
Ekonomi dengan berbasis 1:25.000–1:10.000 Kabupaten/Kota (1:50.000 – 1:25.000)
Perlakuan Khusus kawasan/ Kriteria 1 (b) berdasarkan RTRW
(non KAPET) objek Provinsi (1:250.000) dengan dipertajam
strategis RTRW Kabupaten/Kota (1:50.000 –
1:25.000)
1 (c) berdasarkan RTRW
Provinsi(1:250.000) dengan dipertajam
RTRW Kabupaten/Kota (1:50.000 –
1:25.000)
Tipologi Kawasan KSN a. kawasan inti: minimal 1:5.000 Kriteria (2) berdasarkan RTRW
Warisan Budaya/ berbasis b. kawasan penyangga: 1:25.000–1:10.000 Kabupaten/Kota (1:50.000 – 1:25.000)
Adat Tertentu kawasan/ Bila melakukan KRB tambahan,
objek digunakan skala peta 1: 5.000 untuk
strategis kawasan inti dan 1:25.000 – 1:10.000
untuk kawasan penyangga
Tipologi Kawasan KSN a. kawasan inti: minimal 1:5.000 Kriteria (2) berdasarkan RTRW
Teknologi Tinggi berbasis b. kawasan penyangga: 1:25.000–1:10.000 Kabupaten/Kota (1:50.000 – 1:25.000)
objek Bila melakukan KRB tambahan,
strategis digunakan skala peta 1: 5.000 untuk
kawasan inti dan 1:25.000 – 1:10.000
untuk kawasan penyangga
Tipologi Kawasan KSN minimal 1:50.000 Kriteria 1 (a) berdasarkan RTRW
SDA di Darat berbasis Kabupaten/Kota (1:50.000 – 1:25.000)
kawasan
Tipologi Hutan KSN 1:250.000 –1:50.000 Kriteria 3 berdasarkan RTRW
Lindung-Taman berbasis Provinsi (1:250.000) atau RTRW
Nasional kawasan Kabupaten(1:50.000)
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 115
Dari tabel 4.5 di atas terlihat bahwa terdapat perbedaan untuk skala peta yang
diarahkan dalam Permen PU No. 15/PRT/M/2012 dengan arahan berdasarkan kriteria.
Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Tipologi 1 Kawasan Pertahanan dan Keamanan (kawasan perbatasan negara dan
wilayah pertahanan)
Untuk kawasan perbatasan darat yang didominasi kawasan terbangun, Permen
PU No 15/PRT/M/2012 mengarahkan untuk menggunakan peta skala 1:25.000-
1:10.000. Sementara tipologi 1 ini menggunakan kriteria 1 (a)/1 (b)/ 1 (c) dengan
peta skala 1:250.000 – 1:25.000.Untuk kawasan terbangun di kawasan perbatasan
darat yang memiliki kelas risiko bencana tinggi, ada baiknya menggunakan peta
skala 1:25.000 – 1:10.000, bila memungkinkan. Namun, peta skala 1:25.000 baru
tersedia untuk Jawa-Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi26 dan peta skala 1:10.000
sedang dibuat untuk kota-kota di P. Jawa27. Dengan demikian perlu diprioritaskan
pembuatannya oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), dengan prioritas utama
adalah untuk kawasan-kawasan dengan kelas risiko bencana tinggi.
3. Tipologi 3 KAPET
Untuk KAPET, Permen PU No. 15/PRT/M/2012 mengarahkan untuk menggunakan
peta minimal skala 1:100.000. Sedangkan Tipologi 3 ini menggunakan kriteria 1
26
BIG dalam Lokakarya Materi Teknis – SCDRR II, Bappenas, 30 Juni 2014.
27
BIG dalam Diskusi Terarah Materi Teknis – SCRR II, Bappenas, 10 Juni 2014.
116 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
RTRWN RTRWP RTRW Kab RTRW Kota RDTR RTRWN RTRWP RTRW Kab RTRW Kota RDTR
1 GEMPA BUMI 1 : 2.500.000 1 : 1.000.000 1 : 100.000 1 : 50.000 1 : 5.000 - 1 : 250.000 1 : 100.000 1 : 50.000 1 : 5.000
1 : 500.000 1 : 50.000 1 : 25.000 1 : 25.000
1 : 250.000
2 TSUNAMI 1 : 2.500.000 1 : 500.000 1 : 25.000 1 : 5.000 1 : 2.000 - 1 : 250.000 1 : 25.000 1 : 5.000 1 : 2.000
1 : 250.000 1 : 5.000 1 : 2.000 1 : 1.000 1 : 100.000 1 : 5.000 1 : 2.000 1 : 1.000
3 LONGSOR 1 :2.500.000 1 :800.000 1 : 25.000 1 : 5.000 1 : 2.000 - 1 : 250.000 1 : 25.000 1 : 5.000 1 : 2.000
1 : 500.000 1 : 5.000 1 : 1.000 1 : 100.000 1 : 5.000 1 : 1.000
1 : 250.000
4 BANJIR 1 : 2.500.000 1 : 500.000 1 : 25.000 1 : 5.000 1 : 2.000 - 1 : 250.000 1 : 25.000 1 : 5.000 1 : 2.000
1 : 250.000 1 : 5.000 1 : 2.000 1 : 1.000 1 : 100.000 1 : 5.000 1 : 2.000 1 : 1.000
5 LETUSAN GUNUNG API 1 : 2.500.000 1 : 250.000 1 : 100.000 1 : 50.000 1 : 5.000 - 1 : 250.000 1 : 200.000 1 : 50.000 1 : 5.000
1 : 50.000 1 : 25.000 1 : 100.000 1 : 50.000 1 :25.000
6 KEKERINGAN 1 : 2.500.000 1 : 1.000.000 1 : 100.000 1 : 50.000 1 : 5.000 - 1 : 250.000 1 : 100.000 1 : 50.000 1 : 5.000
1 : 500.000 1 : 50.000 1 : 25.0000 1 : 50.000 1 : 25.000
1 : 250.000
117
Sumber: Standar Penataan Ruang untuk Kawasan Rawan Bencana (draft), Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum, 2013
118 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (draft, 2013) yang disusun oleh
Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum mengatur standar minimal
peta dasar untuk peta bahaya dan peta risiko bencana berdasarkan jenis bencananya
(gempa bumi, tsunami, longsor, banjir, letusan gunung api, kekeringan). Lihat Tabel
4.6.
Terlihat dari tabel 4.6 tersebut bahwa untuk jenis bencana tsunami, longsor, dan
banjir dibutuhkan skala peta yang lebih besar untuk Peta Risiko Bencana, yaitu
1:25.000 – 1:5.000 untuk RTRW Kabupaten dan 1:5.000 – 1.2.000 untuk RTRW Kota,
serta 1:2.000 – 1:1.000 untuk RDTR.Sekali lagi, ketersediaan peta-peta skala besar
tersebut (1:5.000-1:1.000) menjadi isu penting yang perlu segera ditangani.
Dengan pendekatan seperti yang digambarkan pada Gambar 3.9 dalam Bab 3 serta
proses pengintegrasian pada subbab 4.2 di atas, dilakukan perumusan RTR KSN yang
meliputi tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah; rencana struktur
ruang dan rencana pola ruang wilayah; arahan pemanfaatan ruang wilayah; dan
arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 119
Perumusan tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang yang berbasis mitigasi
bencana untuk setiap tipologi kawasan strategis nasional dilakukan dengan
mengikuti arahan untuk tipologi kawasan rawan bencana seperti yang diatur
dalam Permen PU No. 15/PRT/M/2012, sebagai berikut:
Draft Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (draft), Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan
28
Umum, 2014
120 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Salah satu strategi yang dapat dirumuskan adalah strategi terkait dengan
sistem evakuasi (khususnya pada RTR KSN dengan peta skala besar). Strategi
terkait sistem evakuasi ini antara lain meliputi29:
(a) Strategi penetapan lokasi kawasan aman bencana terkait dengan sistem
evakuasi bencana;
(b) Strategi penetapan sistem prasarana utama (jaringan transportasi),
sekaligus berfungsi sebagai jalur evakuasi dalam sistem evakuasi bencana;
(c) Strategi penetapan dukungan sarana dan sistem jaringan prasarana
lainnya untuk mendukung ruang evakuasi sesuai standar pelayanan
minimal yang ditentukan.
29
Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 121
Kawasan dengan kelas risiko bencana rendah, misalnya, dapat menjadi kawasan
budidaya dengan persyaratan-persyaratan khusus yang harus dipenuhi dalam
pengembangannya. Sementara kawasan dengan kelas risiko bencana tinggi
sebaiknya ditetapkan sebagai kawasan lindung.Rencana pola ruang (terutama
untuk rencana tata ruang dengan peta skala besar) juga memuat ruang evakuasi
bencana dan kawasan permukiman yang dapat dialokasikan sebagai lokasi
hunian sementara atau lokasi permukiman kembali (resettlement). Arahan lebih
rinci tentang peruntukan ruang yang tidak layak untuk dibudidayakan di kawasan
dengan risiko bencana untuk setiap jenis bencana dapat dilihat pada Standar
Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (draft).
122 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Indikasi program utama untuk setiap tipologi KSN mengacu pada Permen PU No.
15/PRT/M/2012 dengan tambahan fokus pada perwujudan pemanfaatan ruang
yang mendukung upaya mitigasi bencana pada kawasan-kawasan dengan risiko
bencana, antara lain meliputi:
(1) Indikasi program utama perwujudan struktur ruang, meliputi:
a) Indikasi program utama perwujudan sistem jaringan prasarana utama
berbasis mitigasi bencana;
b) Indikasi program utama perwujudan sistem jaringan prasarana lainnya
berbasis mitigasi bencana; dan
c) Indikasi program utama perwujudan sistem sarana pada ruang evakuasi;
(2) Indikasi program utama perwujudan pola ruang meliputi indikasi program
utama perwujudan kawasan lindung dan kawasan budi daya yang telah
memuat kebijakan mitigasi bencana.
Arahan peraturan zonasi dalam RTR KSN merupakan ketentuan zonasi sektoral
pada sistem nasional yang meliputi arahan peraturan zonasi untuk struktur
ruang nasional dan pola ruang nasional. Arahan peraturan zonasi ini antara lain
memuat:
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 123
4.4 Contoh Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam RTR KSN Tipologi
Kawasan Perkotaan Metropolitan Jabodetabekpunjur30
1. Proil Risiko Bencana di Kawasan Jabodetabekpunjur
Hasil pengkajian risiko bencana merupakan dasar perumusan kebijakan
penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah.Mengingat adanya
keterbatasan sumber daya, maka perlu dilakukan pemrioritasan dalam
penanggulangan bencana.Prioritas ini disusun dengan memperhatikan tingkat
risiko bencana dan hasil analisis kecenderungan kejadian bencana di daerah.
Dari pemrioritasan tersebut diperoleh daftar bencana yang perlu ditanggulangi
secara cepat di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten (lihat Tabel 4.7). Di
Provinsi DKI Jakarta, bencana yang potensi terjadinya meningkat dan memiliki
risiko tinggi adalah banjir. Sedangkan di Provinsi Jawa Barat, terdapat 7 (tujuh)
bencana dengan risiko tinggi tetapi potensi terjadinya cenderung tetap, yaitu
cuaca ekstrim, tanah longsor, kekeringan, banjir, letusan gunung api, gempabumi,
dan tsunami. Sementara di Provinsi Banten terdapat 4 (empat) bencana dengan
tingkat risiko tinggi dan potensi terjadinya meningkat, yaitu tanah longsor, banjir,
kekeringan, dan gagal teknologi.
30
Bagian ini diambil dari hasil studi Pendekatan Kajian Risiko Bencana Untuk Perencanaan Kawasan Strategis Nasional,
Studi Kasus: Perpres 54/2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, Project Safer Communities Through
Disaster Risk Reduction in Development (SCDRR-D) Phase II, November2013
124 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Tabel 4.7
Bencana Prioritas di Jabodetabekpunjur
Provinsi Bencana Prioritas Keterangan
DKI Jakarta 1. Banjir 1 : Potensi terjadinya MENINGKAT dan
2. Gempabumi risiko TINGGI
3. Gelombang Ekstrim & Abrasi 2 – 6: kecenderungan TETAP dan risiko
4. Cuaca Ekstrim TINGGI
5. Epidemi & Wabah Penyakit
6. Tsunami
Jawa Barat 1. Cuaca Ekstrim 1 – 7: potensi terjadinya cenderung
2. Tanah Longsor TETAP dan risiko TINGGI
3. Kekeringan
4. Banjir
5. Letusan Gn. Api
6. Gempabumi
7. Tsunami
Banten 1. Tanah Longsor 1 – 5:Potensi terjadinya MENINGKAT dan
3. Banjir risiko TINGGI
4. Kekeringan 6 – 8:Potensi terjadinya MENINGKAT dan
5. Gagal Teknologi risiko SEDANG
6. Cuaca Ekstrim
7. Gempabumi
8. Tsunami
Sumber: Pendekatan Kajian Risiko Bencana Untuk Perencanaan Kawasan Strategis Nasional, Studi Kasus: Perpres 54/2008
Tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, November 2013.
Tabel 4.8
Aspek-aspek Kebencanaan yang Perlu Diperhatikan pada
Rencana Struktur Ruang dan Rencana Pola Ruang
1 Peta Ancaman Bencana Pusat kegiatan yang Jaringan prasarana Zona Lindung Kawasan
mana yang berada yang mana yang yang mana yang Budidaya yang
Menunjukkan lokasi yang di lokasi yang rawan berada di lokasi rawan berada pada lokasi mana yang berada
memiliki potensi untuk terjadi bencana? bencana? rawan bencana? pada lokasi rawan
bencana berdasarkan sejarah bencana?
kejadian bencana,dan analisis
secara geografis, geologi,
geomorfologi, hidrologi, dan
kondisi klimatologi (frekuensi
dan intensitas)
2 Peta Kerentanan Bencana Sampai batas apa Sampai batas apa Kerusakan apa Kerusakan apa
orang-orang di pusat jaringan prasarana yang bisa terjadi yang bisa terjadi
Menunjukkan eksposure kegiatan sensitif dan bangunan sensitif di zona lindung? di zona budidaya?
dan sensitivitas dari populasi dengan bencana ? terhadap kerusakan ?
(korban), ekonomi (mata
pencaharian), infrastruktur
(kerusakan) dan lingkungan
(degradasi)
3 Peta Risiko Bencana Bagian mana dari Bagian mana dari Bagian mana dari Bagian mana dari
sistem perkotaan jaringan prasarana zona proteksi yang zona budidaya
Menggabungkan antara yang memiliki risiko yang memiliki risiko memiliki risiko yang memiliki
ancaman bencana dan tinggi ? tinggi? tinggi? risiko tinggi?
kerentanan dan kapasitas
dengan formula risiko =
(ancaman x kerentanan) /
kapasitas . Ancaman yang
kecil, kerentanan yang
dikurangi dan peningkatan
kapasitas menghasilkan risiko
yang kecil.
Sumber: Pendekatan Kajian Risiko Bencana Untuk Perencanaan Kawasan Strategis Nasional, Studi Kasus: Perpres 54/2008
Tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, November 2013.
126 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Gambar 4.4 adalah peta ancaman bencana banjir berdasarkan overlay dari
peta ancaman bencana banjir BNPB terhadap peta struktur dan pola ruang
Jabodetabekpunjur.
Ancaman bahaya banjir signifikan dibagian utara baik di Provinsi DKI Jakarta,
Jawa Barat maupun Banten, meliputi zona Budidaya (B), dan Non budidaya
(N). Ancaman juga signifikan untuk 3 titik Pusat Perkotaan (Jakarta Pusat, Kota
Tangerang, dan Kota Bekasi).
Gambar 4.5 adalah peta kerentanan bencana banjir berdasarkan overlay dari
peta kerentanan bencana banjir BNPB terhadap peta struktur dan pola ruang
Jabodetabekpunjur.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 127
Sumber: Pendekatan Kajian Risiko Bencana Untuk Perencanaan Kawasan Strategis Nasional, Studi Kasus: Perpres
54/2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, November 2013.
Sumber: Pendekatan Kajian Risiko Bencana Untuk Perencanaan Kawasan Strategis Nasional, Studi Kasus: Perpres
54/2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, November 2013.
128 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Terlihat kerentanan banjir signifikan untuk bagian utara Provinsi DKI Jakarta,
sebagian Kota Tangerang dan sebagian Bekasi sebelah timur sebagaimana
terlihat pada peta ancaman.
Gambar berikutnya, gambar 4.6, adalah peta risiko bencana banjir berdasarkan
overlay dari peta risiko bencana banjir BNPB terhadap peta struktur dan pola
ruang Jabodetabekpunjur.
Gambar 4.6
Peta Risiko Bencana Banjir
1 2
3
• Wilayah
risiko • Wilayah
banjir risiko banjir
rendah- tinggi.
sedang. • Rencana • Wilayah risiko banjir
• Rencana ruang untuk sedang-tinggi.
ruang permukiman • Rencana ruang di domisasi
padat. lindung, lahan basah dan
• Isu reviu: permukiman padat-sedang.
manajemen • Isu reviu: Optimalkah
risiko rencana alokasi ruang ini?
bencana Perlu dipertimbangkan
(kesiapsiaga alternatif peruntukan ruang
an, yang lebih optimal dengan
risiko yang ada?
Risiko bencana banjir signifikan dibagian utara baik di Provinsi DKIJakarta, Jawa
Barat maupun Banten. Meliputi zonaBudidaya (B1, B6, B7) dan Non budidaya
(N1). Juga signifikan untuk 3 titik Pusat Perkotaan (Jakarta Pusat, Kota Tangerang,
Kota Bekasi).
Upaya mitigasi bencana banjir dengan risiko bencana yang tinggi pada zona B1
a.l:
sangat diperlukan untuk membangun infrastruktur kesiapsiagaan agar
masyarakat dapat lebih tangguh menghadapi bahaya a.l. penyusunan
rencana kontijensi dimana diperlukan koordinasi antar K/L, dan pelatihan
untuk meningkatkan kesiagaan masyarakat maupun Pemerintah Kecamatan/
Kelurahan dalam menghadapi bencana banjir;
perlu dipertimbangkan pula pergeseran paradigma menuju penggunaan
lahan intensif (diperlukan arahan tentang intensitas ruang, pengaturan
kawasan budidaya dengan instrumen KZB, KDB, KLB), misal pembangunan
hunian vertikal (KDB ditekan sedang, KLB besar atau sangat besar, KZB ditekan
sekecil mungkin), pelarangan/pengurangan hunian satu tingkat, transportasi
masal, penataan bantaran sungai Ciliwung melalui penertiban bangunan
illegal, penerapan sistem polder, normalisasi kali Ciliwung dan seterusnya;
selain itu perlu juga memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi
terkena bencana.
Sehubungan dengan risiko bencana banjir yang tinggi akan mengenai
struktur pusat perkotaan di Jakarta Pusat pada kawasan Medan Merdeka
yang merupakan pusat kegiatan primer; perlu dipertimbangkan bagi
pembangunan & pemulihan kapasitas polder dan pemompaan di polder
(misal di wilayah Istana Merdeka);
Kesemuanya harus didukung oleh Pemprov DKI Jakarta untuk segera
menyusun RDTR berbasis mitigasi bencana banjir di Kota Jakarta Utara dan
Kota Jakarta Pusat.
Namun demikian penyusunan RPB di daerah saat ini juga sudah banyak
mendapat dukungan dari donor, misalnya seluruh kabupaten/kota di Provinsi
Sulawesi Utara mendapat dukungan dari JICA.Demikian juga NTB.NTT mendapat
dukungan dari OXFAM, dan IOM turut mendukung 5 kabupaten di Provinsi NAD
serta 7 kabupaten di Provinsi Jawa Barat33.Sehingga bila diakumulasi penyusunan
RPB telah dilakukan pada lebih dari 80 kabupaten/kota sampai saat ini.Perkiraan
penyelesaian penyusunan RPB Kabupaten/Kota selama 9 tahun tersebut di atas
adalah bila BNPB melakukan dukungan langsung ke seluruh daerah. Namun
saat ini, BNPB sudah tidak lagi melakukan dukungan langsung ke daerah, tetapi
melakukan bimbingan teknis ke daerah di seluruh wilayah kabupaten/kota agar
daerah dapat melakukan kajian risiko bencana sendiri. Saat ini baru ada 2 (dua)
daerah yang telah menyelesaikan bimbingan teknis, yakni Jawa Barat (dilakukan
di Bandung) dan Sumatera Utara (dilakukan di Medan)34.Harapannya semua
kabupaten/kota dapat tercakup dalam bimbingan teknis tersebut.
3. Penyelesaian Perpres RTR KSN berbasis mitigasi bencana sesuai amanat UU No.
26 tahun 2007.
Mengingat RPB untuk provinsi baru ada pada tahun 2012 dan untuk kabupaten/
kota baru ada pada tahun 2013/2014, maka kemungkinan besar kajian risiko
bencana belum diintegrasikan ke dalam muatan RTR KSN yang sudah ada. Proses
pengintegrasian baru dapat dilakukan pada saat dilakukan peninjauan kembali
pada tahun kelima. Hal ini menjadi tantangan karena RPB memiliki jangka waktu
31
BNPB, Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2015-2019, draft 3, halaman 78
32
Rekapitulasi Progress Penyelesaian RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia, Ditjen Penataan Ruang, Kemen-
terian Pekerjaan Umum, Status 30 Mei 2014.
33
BNPB dalam Lokakarya Materi Teknis – SCDRR-II - Bappenas, 30 Juni 2014
34
Ibid.
132 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
5 tahun.Apakah pada saat dilakukan peninjauan kembali terhadap RTR KSN, RPB
masih berlaku?Sebagai contoh, Perpres No. 54 tahun 2008 tentang Penataan
Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur yang memiliki jangka waktu 2008-2028.
Peninjauan kembali pertama dilakukan pada tahun 2013.RPB untuk Provinsi
DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat memiliki jangka waktu 2012-2016.Dengan
demikian, masih sesuai digunakan sebagai dasar pengintegrasian kajian risiko
bencana pada saat peninjauan kembali.
Namun untuk RTR KSN yang memiliki jangka waktu 2010-2030, pada saat
peninjauan kembali di tahun 2015, jangka waktu RPB provinsi sudah hampir habis
(2012-2016), sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar pengintegrasian kajian
risiko bencana ke dalam proses peninjauan kembali RTR KSN tersebut. Apabila pada
saat penyusunan atau peninjauan kembali rencana tata ruang, RPB belum tersedia,
maka K/L penyusun rencana tata ruang dapat melakukan kajian risiko bencana
secara mandiri berkoordinasi dengan BNPB dan mengacu pada Perka BNPB No. 02
tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.
5. RTR KSN saat ini ada yang sudah menjadi Perpres, sedang proses Raperpres, atau
sudah mendapatkan persetujuan substansi. Bagaimana dan kapan pengintegrasian
kajian risiko bencana ke dalam RTR KSN tersebut harus dilakukan?
6. Ketersediaan peta rupa bumi dengan skala 1:250.000 sudah ada untuk semua
provinsi, skala 1:50.000 sudah ada untuk semua kabupaten, skala 1:25.000 baru
ada untuk Jawa-Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi35, skala 1:10.000 sedang dibuat
untuk kota-kota di Pulau Jawa36, dan skala 1:5.000 belum ada. Demikian juga peta-
peta skala 1:2.000 dan 1:1.000 belum ada. Hal ini merupakan tantangan yang
harus segera ditangani. Peta-peta dengan skala tersebut sangat dibutuhkan dalam
penyusunan RTR KSN berbasis pengurangan risiko bencana. Oleh karenanya Badan
35
BIG dalam Lokakarya Materi Teknis – SCDRR-II - Bappenas, 30 Juni 2014
36
BIG dalam Diskusi Terarah Materi Teknis – SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 133
Tantangan ketersediaan peta, tidak hanya pada ketersediaan peta dasar tetapi juga
peta tematik. Peta kerawanan dan peta ancaman dibuat oleh K/L atau SKPD terkait.
BNPB tidak menyusun sendiri peta bahaya/ancaman, tetapi menggunakan peta
yang disusun oleh K/L atau SKPD terkait. Berdasarkan peta kerawanan tersebut
disusun peta ancaman/bahaya (hazard). Peta ancaman baru dapat dibuat bila ada
peta dasar.Berdasarkan peta ancaman/bahaya, disusun peta risiko. Jadi langkah-
langkahnya adalah: (1) tersedianya peta dasar; yang digunakan sebagai dasar
penyusunan (2) peta bahaya; yang kemudian menjadi dasar bagi perumusan (3)
peta risiko.Hal tersebut juga menjadi tantangan tersendiri karena peta bahaya
baru dapat dibuat bila ada peta dasar. Sedangkan peta dasar yang lengkap baru
ada untuk peta skala 1:250.000 dan 1:50.000, sementara peta skala 1:25.000 baru
ada untuk Jawa-Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Sedangkan peta tematik
(peta kerawanan) yang siap dan dapat digunakan untuk menyusun peta bahaya,
misalnya dari Badan Geologi, baru ada peta skala 1:250.00037. Permasalahannya
adalah bagaimana menyusun peta bahaya skala 1:50.000 bila yang tersedia baru
peta tematik skala 1:250.000?
BAB 5
Pemetaan Pemangku Kepentingan
136 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 137
BAB 5
Pemetaan Pemangku Kepentingan
Tabel 5.1
Kementerian/Lembaga yang terkait dalam Pelaksanaan Penanggulangan Bencana
No Kementerian/Lembaga Tugas dan Fungsi
A TAHAP PRA BENCANA
1. Koordinasi
Kementerian Kordinator Bidang Mengkordinasikanprogram-program penanggulangan bencana lintas
Kesejahteraan Rakyat Kementerian dan Lembaga
Kementerian Dalam Negeri Mengendalikan program-program dan kegiatan
pembangunan daerah yang berkaitan dengan penanggulangan
bencana
Kementerian Luar Negeri Mendukung program-program dan kegiatan
penanggulangan bencana yang berkaitan dengan kemitraan
Internasional
Kementerian Perencanaan Mendukung perencanaanprogram-program pembangunan yang peka
Pembangunan Nasional terhadap risiko bencana
Kementerian Hukum dan HAM Mendorong peningkatan dan penyelarasan
perangkat-perangkat hukum terkait kebencanaan
Kementerian Pendidikan dan Mengkordinasikan tentang pendidikan sadar bencana pada semua
Kebudayaan jenjangpendidikan formal dan informal
2. Perencanaan & Pengendalian
Kementerian Keuangan Penyiapan anggaran biaya kegiatan penyelenggaraanpenanggulangan
bencana pada masa pra-bencana
Kementerian Energi dan Sumberdaya Merencanakan dan mengendalikanupaya mitigasi bencana dibidang
Mineral geologi dan bencana akibat ulah manusia yangterkait dengan bencana
geologi
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 139
bersifat tematik, seperti Forum Merapi, Forum Slamet, Forum Bengawan Solo,
dan lain-lain. Sedangkan di tingkat masyarakat ada Paguyuban Siaga Merapi,
Jangkar Kelud, dan lain-lain. Kendala utama yang dihadapi oleh Forum PRB
baik yang berbasis kawasan maupun ancaman adalah keberlanjutannya.
1. Tim Substansi
Tim Substansi bertugas untuk membahas dan memutuskan substansi
dalam Renas PB 2015-2019. Tim ini merupakan perwakilan 37
kementerian/lembaga (K/L) terkait penanggulangan bencana di mana
masing-masing K/L diwakili oleh Unit Teknis dan Perencananaan.Sebagai
Ketua Tim Substansi adalah pejabat BNPB sebagai pemegang mandat UU
No. 24/2007 danWakil Ketua dari Bappenas sebagai pemegang mandat
perencanaan pembangunan nasional.
2. Tim Asistensi
Tim Asistensi bertugas untuk mendukung penyusunan Renas PB 2015-
2019. Tim inimenyiapkan bahan yang digunakan oleh Tim Substansi. Tim
ini dibentuk oleh BNPB. Anggota-anggota Tim Asistensi merupakan para
para pelaku dan praktisi penanggulangan bencana yang berasal dari
K/L, pemerintah daerah, ornop nasional, perguruan tinggi dan lembaga
internasional.
4. Tim Penulis
Tim Penulis bertugas untuk menuliskan dokumen Renas PB 2015-2019.
Tim initerdiri dari para praktisi penanggulangan bencana yang ditunjuk
oleh BNPB.
38
BPBD Bengkulu dalam Diskusi Terarah Materi Teknis – SCDRR II, Bappenas, 10 Juni 2014.
144 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Susunan organisasi BPBD Provinsi dan Kabupaten/Kota terdiri atas (1) Kepala;
(2) Unsur Pengarah; dan (3) Unsur Pelaksana.Kepala BPBD dijabat secara
rangkap (ex-oicio) oleh Sekretaris Daerah.
Unsur Pengarah terdiri dari Ketua dan Anggota, di mana ketua Unsur
Pengarah dijabat oleh Kepala BPBD. Sedangkan anggota unsur pengarah
berasal dari (a) lembaga/instansi pemerintah daerah, yakni dari badan/dinas
terkait dengan penanggulangan bencana; (b) masyarakat professional, yakni
pakar, professional, dan tokoh masyarakat di daerah.
39
BNPB dalam Diskusi Terarah Materi Teknis – SCDRR II, Bappenas, 10 Juni 2014.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 145
Struktur BPBD yang ada saat ini dirasakan sudah cukup untuk penyelenggaraan
penanggulangan bencana di daerah, hanya perlu dioptimalkan lagi dalam
hal sumber daya manusia dan anggarannya.Dirasakan sumber daya
manusia yang ada saat ini masih sangat kurang kapabilitasnya dalam
penanggulangan bencana, khususnya untuk aspek pencegahan dan mitigasi
bencana (perencanaan), karena saat ini fokusnya masih lebih pada hal-hal
yang operasional (kesiapsiagaan dan tanggap darurat)40.Hal ini merupakan
tantangan yang harus dihadapi, yaitu bagaimana agar Pemerinah Daerah
mau memprioritaskan pembentukan BPBD, dan bila sudah terbentuk, mau
memprioritaskan penguatan BPBD, baik dari segi penguatan sumber daya
manusia maupun anggaran. Dalam pembentukan dan penguatan BPBD ini,
sebaiknya pemerintah daerah juga mempertimbangkan karakteristik fisik
daerahnya, misalnya provinsi kepulauan seperti NTT atau kota kepulauan
seperti Ternate. Sebagai wilayah kepulauan, maka sarana dan prasarana
evakuasi menjadi isu yang sangat penting untuk diperhatikan.
40
Diskusi Terarah Materi Teknis – SCDRR II, Bappenas, 10 Juni 2014.
146 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
layanan satu provinsi atau lebih dari satu provinsi yang sedang melakukan
penyusunan RTRW Provinsi;
c. Perwakilan organisasi masyarakat tingkat provinsi dan provinsi yang berdekatan
secara sistemik (memiliki hubungan interaksi langsung) yang dapat terkena
dampak dari penataan ruang di daerah yang sedang disusun RTRW Provinsinya;
dan
d. Perwakilan organisasi masyarakat tingkat provinsi dan provinsi dari daerah yang
dapat memberikan dampak bagi penataan ruang di daerah yang sedang disusun
RTRW Provinsi-nya.
Salah satu tugas BKPRD dalam melaksanakan koordinasi penataan ruang di daerah
adalah memaduserasikan rencana pembangunan jangka panjang dan menengah
dengan rencana tata ruang provinsi serta mempertimbangkan pengarusutamaan
pembangunan berkelanjutan melalui instrumen KajianLingkungan Hidup Strategis
(KLHS) (pasal 4 ayat 1). Bila ditelaah tugas-tugas yang diamanatkan kepada
BKPRD, terlihat sudah memasukkan instrumen KLHS dalam pengarusutamaan
pembangunan berkelanjutan ke dalam penataan ruang, namun belum memuat
tentang pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang.
Padahal KLHS baru diamanatkan penyusunannya pada tahun 2009 dalam UU No. 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH),
sementara penyelenggaraan penanggulangan bencana diatur melalui UU No. 24
tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Apakah ini terkait dengan tidak
masuknya BNPB/BPBD dalam keanggotaan BKPRN/BKPRD, sementara Menteri
Negara Lingkungan Hidup merupakan anggota BKPRN dan Deputi Menteri Negara
Lingkungan Hidup Bidang Tata Lingkungan, Kementerian Negara Lingkungan
Hidup menjadi anggota Tim Pelaksana BKPRN sehingga koordinasi dapat berjalan
lebih baik?
Namun demikian, bila dilihat pada pasal 5 Permendagri No. 50 tahun 2009,
disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya BKPRD Provinsi dapat (a)
menggunakan tenaga ahli yang diperlukan; (b) membentuk Tim Teknis untuk
menangani penyelesaian masalah-masalah yang bersifat khusus; dan (c) meminta
bahan yang diperlukan dari SKPD Provinsi. Dengan demikian sebenarnya BPBD
Provinsi dapat dimasukkan dalam Tim Teknis untuk penyelesaian masalah
kebencanaan, bila kebencanaan merupakan salah satu isu strategis di provinsi
yang bersangkutan.
Selain itu, pada pasal 7 Permendagri No. 50 tahun 2009 disebutkan bahwa BKPRD
Provinsi dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh (a) Sekretariat BKPRD
148 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Provinsi; dan (b) Kelompok kerja. Kelompok kerja ini terdiri atas (Pasal 9) (a)
Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang; dan (b) Kelompok Kerja Pemanfaatan
dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang.Pembentukan BKPRD Provinsi, Sekretariat
BKPRD, dan Kelompok Kerja ditetapkan dengan Keputusan Gubernur (Pasal 12).
Selain Sekretaris Daerah berperan sebagai ketua BKPRD dan ketua BPBD, Bappeda
juga terlibat dalam kedua badan tersebut, yaitu di BKPRD sebagai sekretaris
BKPRD dan ketua Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang; sedang di BPBD,
Bappeda terlibat sebagai wakil ketua dalam Tim Substansi penyusunan Rencana
Penanggulangan Bencana.Dengan demikian, seharusnya pengintegrasian kajian
risiko bencana ke dalam penyusunan rencana tata ruang dapat dikoordinasikan
dengan baik.Dalam hal ini perlu koordinasi antara Bappeda sebagai Sekretaris
BKPRD dengan BPBD.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 149
Dengan demikian untuk penyusunan RTR KSN yang berbasis mitigasi bencana maka
BNPB dan/atau BPBD (provinsi/kabupaten/kota) perlu dilibatkan sesuai dengan
jenis tipologi KSN.Pemangku kepentingan yang terlibat dalam penyusunan RTR KSN
yang berbasis mitigasi bencana dapat dilihat pada Tabel 5.2.Sedangkan keterlibatan
sektor berdasarkan tipologi KSN dapat dilihat pada Tabel 5.3, dengan memasukkan
sektor terkait kebencanaan sebagai salah satu pemangku kepentingan di tingkat
kementerian/lembaga dan lembaga terkait dengan kebencanaan di daerah sebagai
pemangku kepentingan di tingkat lembaga daerah.
150 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Tabel 5.2
Pemangku Kepentingan dalam Prosedur Penyusunan RTR KSN
Keterangan:
151
5. Kawasan warisan budaya/adat tertentu
152 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 153
BAB 6
Arahan Untuk Implementasi
154 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 155
BAB 6
Arahan Untuk Implementasi
Bab 6 merupakan bab terakhir dari Materi Teknis ini. Bab ini membahas hal-hal yang harus
dilakukan untuk mengimplementasikan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana
ke dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN) dengan
mempertimbangkan berbagai tantangan yang dihadapi.
Dari pembahasan pada Bab 3, Bab 4, dan Bab 5 telah diidentifikasi beberapa tantangan
yang harus dihadapi dalam pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam
penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN. Pada dasarnya terdapat 7 (tujuh) tantangan
utama yang dihadapi, yaitu:
1. Kelengkapan peraturan perundang-undangan, standar, pedoman, dan manual di
bidang penataan ruang yang dapat dijadikan acuan dalam penyusunan RTRW Provinsi
dan RTR KSNdengan perspektif pengurangan risiko bencana.
2. Ketersediaan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Provinsi/Kabupaten/Kota yang
dapat digunakan sebagai dasar pengintegrasian kajian risiko bencana (KRB) ke dalam
penyusunanRTRW Provinsi dan RTR KSN. Saat ini RPB yang telah ada adalah untuk 33
provinsi (kecuali Kalimantan Utara), serta 63 kabupaten/kota. Sementara dari status per
30 Mei 201441, sudah 25 RTRW Provinsi, 291 RTRW Kabupaten (73.12%), dan 75 RTRW
Kota (80.65%) yang menjadi Perda.Tantangannya adalah bagaimana mempercepat
penyusunan RPB Kabupaten/Kota yang berkualitas sehingga dapat digunakan sebagai
dasar pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan RTRW Kabupaten/Kota
dan RTR KSN?
3. Kualitas RPB Provinsi/Kabupaten/Kota, apakah sudah memenuhi standar kualitas yang
dibutuhkan dan muatannya lengkap dan sesuai sehingga dapat langsung digunakan
sebagai dasar pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan RTRW Provinsi
dan RTR KSN?
4. Kesesuaian jangka waktu RPB yang ada dengan proses penyusunan atau peninjauan
kembali RTRW Provinsi dan RTR KSN. Apabila pada saat penyusunan atau peninjauan
kembali rencana tata ruang, RPB belum tersedia, maka K/L atau SKPD penyusun rencana
tata ruang dapat melakukan kajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan
41
Rekapitulasi Progress Penyelesaian RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia, Ditjen Penataan Ruang, Kemen-
terian Pekerjaan Umum, Status 30 Mei 2014.
156 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
BNPB/BPBD dan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman
Umum Pengkajian Risiko Bencana. Bila K/L atau SKPD melakukan sendiri pengkajian
risiko bencana, bagaimana agar kualitas yang dihasilkan dapat memenuhi standar
yang ditetapkan BNPB? Apakah BNPB sudah mempunyai mekanisme yang baku untuk
menjamin kualitas setiap RPB (dan KRB) yang disusun oleh setiap BPBD maupun SKPD
dan K/L agar memiliki kualitas sesuai standar yang ditetapkan?
5. RTRW Provinsi saat ini ada yang sudah menjadi Perda dan ada yang sudah mendapatkan
persetujuan substansi. Demikian juga RTR KSN saat ini ada yang sudah menjadi Perpres
dan ada yang masih dalam proses penyusunan. Bagaimana dan kapan pengintegrasian
kajian risiko bencana ke dalam RTRW Provinsi dan RTR KSN tersebut harus dilakukan?
6. Ketersediaan peta dasar dan peta tematik, terutama peta dengan skala besar, sebagai
dasar pelaksanaan Kajian Risiko Bencana yang akan diintegrasikan ke dalam muatan
RTRW Provinsi dan RTR KSN.
7. Keberadaan dan kapasitas kelembagaan dalam bidang penataan ruang dan
penanggulangan bencana di daerah, BKPRD dan BPBD, dalam mendukung
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan RTRW Provinsi
yang meliputi:
a. Keberadaan lembaga BKPRD dan BPBD di daerah;
b. Kapasitas BKPRD dan BPBD yang ada; dan
c. Penguatan BKPRD terkait kebencanaan.
Tabel 6.1
Tantangan dalam Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana
Ke dalam Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN
RTRW
No Tantangan RTR KSN Penanggungjawab Utama
Provinsi
1 Kelengkapan peraturan perUUan dan √ √ BKPRN, BNPB
NSPK
2 Ketersediaan RPB - √ BPBD Kabupaten/Kota, BNPB
3 Kualitas RPB √ √ BNPB/BPBD
4 Kesesuaian jangka waktu RPB √ √ BKPRN/BKPRD, BNPB/BPBD
5 Langkah-langkah pengintegrasian √ √ BKPRN/BKPRD
6 Ketersediaan peta dasar dan peta - √ BKPRN
tematik
7 Kelembagaan:
Keberadaan lembaga BKPRD dan BPBD; - √ BKPRN, BNPB
Kapasitas BKPRD dan BPBD yang ada;
Penguatan BKPRD terkait kebencanaan. √ √
√ √
Tabel 6.2
Kesesuaian antara Jangka Waktu RPB Provinsi dengan
Waktu Peninjauan Kembali Perda RTRW Provinsi
Peninjauan
No Perda RTRW Provinsi Periode Acuan RPB
Kembali 1
1 Bali, Sulawesi Selatan 2009-2029 2014 2012-2016
2 Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah,
2010-2030 2015 x
DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat
3 Banten, Nusa Tenggara Timur,
2011-2031 2016 x
Gorontalo
4 Sumatera Barat, Bengkulu, DKI
2012-2032 2017 2017-2022
Jakarta, Jawa Timur
5 Nanggroe Aceh Darussalam, Jambi,
Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku 2013-2033 2018 2017-2022
Utara, Papua, Papua Barat
6 Kepulauan Bangka Belitung,
Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, 2014-2034 2019 2017-2022
Sulawesi Tenggara
Sumber: Hasil Analisis
Keterangan: x RPB yang ada tidak dapat menjadi acuan karena jangka waktunya sudah hampir habis
42
Rekapitulasi Progress Penyelesaian RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia, Ditjen Penataan Ruang, Kemen-
terian Pekerjaan Umum, Status 30 Mei 2014.
158 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
a. Untuk Provinsi Bali dan Sulawesi Selatan, pada saat peninjauan kembali
tahun 2014 dapat dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana dari
RPB periode 2012-2016 yang sudah ada saat ini. Namun, pengintegrasian
hanya dapat dilakukan untuk periode 2014-2016 saja. Sementara periode
2017-2019 tidak dapat dilakukan pengintegrasian karena belum ada RPB
periode berikutnya (2017-2022) pada saat peninjauan kembali.
c. Untuk Provinsi Banten, Nusa Tenggara Timur, dan Gorontalo, pada saat
peninjauan kembali tahun 2016 tidak dapat dilakukan pengintegrasian
kajian risiko bencana karena periode RPB yang ada sudah selesai
sementara RPB yang baru belum ada.
d. Untuk Provinsi Sumatera Barat, Bengkulu, DKI Jakarta, dan Jawa Timur, pada
saat peninjauan kembali tahun 2017 dapat dilakukan pengintegrasian
kajian risiko bencana dari RPB periode 2017-2022 yang baru disusun.
Tabel 6.3
Indeks Risiko Bencana 8 Provinsi yang Belum Memiliki Perda RTRW Provinsi
Untuk saat ini mungkin dapat dilakukan kombinasi dari (a) dan (c), dengan
pertimbangan berikut ini:
a. Peta Kerawanan dan peta ancaman bersifat jangka panjang, sehingga
peta kerawanan dan peta ancaman yang ada dapat digunakan untuk
acuan perumusan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang,
serta indikasi arahan peraturan zonasi;
b. Sedangkan peta kerentanan, peta kapasitas, dan peta risiko bersifat
jangka menengah, sehingga perlu diperbaharui oleh SKPD sesuai
waktu berkoordinasi dengan BPBD. Peta kerentanan, peta kapasitas,
dan peta risiko yang telah diperbaharui digunakan untuk acuan
perumusan indikasi program utama sebagai arahan pemanfaatan
ruang untuk 5 tahun berikutnya.
c. Sebelum waktu peninjauan kembali, sebaiknya RPB yang baru sudah
disusun dengan memperhatikan waktu peninjauan kembali RTRW
Provinsi tersebut.
Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan oleh BKPRN bila hendak
menetapkan perlunya Daerah segera mengintegrasikan kajian risiko
bencana ke dalam RTRW adalah ketersediaan konsultan yang paham dan
siap untuk melakukan hal tersebut. Seperti diketahui, penyusunan RTRW
di Daerah umumnya dilakukan oleh pihak ketiga (konsultan). Dengan
demikian, apabila pengarusutamaan pengurangan risiko bencana (PRB)
ke dalam rencana tata ruang (RTR) akan dilaksanakan, harus dipastikan
terlebih dulu bahwa sudah ada konsultan-konsultan yang siap dan dapat
melakukannya. Jangan sampai Daerah sudah menganggarkan kegiatan
tersebut, tetapi ternyata konsultannya belum ada yang siap untuk
melakukan pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam RTR.
iii. Bila jangka waktunya tidak sesuai, maka K/L melakukan pengkajian
risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BPBD, dengan
memperhatikan RPB Provinsi/Kabupaten/Kota yang sudah ada.
Selain itu, penyusunan RPB di daerah saat ini juga sudah banyak mendapat
dukungan dari donor, misalnya seluruh kabupaten/kota di Provinsi
Sulawesi Utara mendapat dukungan dari JICA, demikian juga NTB.NTT
mendapat dukungan dari OXFAM, dan IOM turut mendukung 5 kabupaten
di Provinsi NAD serta 7 kabupaten di Provinsi Jawa Barat.Sehingga bila
diakumulasi, sampai saat ini penyusunan RPB telah dilakukan pada lebih
dari 80 kabupaten/kota.
pada Perka BNPB No. 2 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian
Risiko Bencana. Pertanyaannya adalah dengan acuan yang sama dan
disusun oleh masing-masing BPBD dengan fasilitasi dari BNPB, apakah
RPB yang dihasilkan memiliki kualitas yang standar atau berbeda-beda
untuk setiap provinsi? Apabila kualitas RPB yang dihasilkan dapat berbeda
antara satu provinsi dengan yang lain, maka salah satu tahap yang harus
dilakukan sebelum melakukan pengintegrasian kajian risiko bencana ke
dalam muatan RTRW Provinsi adalah pengkajian terhadap kualitas RPB
itu sendiri. Dalam pengkajian kualitas RPB ini juga dilihat apakah muatan
kajian risiko bencana dalam RPB ini sesuai dengan kebutuhan RTRW
Provinsi?
Sedangkan peta rupabumi untuk skala yang lebih besar, yaitu 1:5.000,
1:2.000, dan 1:1.000 belum tersedia. Peta-peta skala besar ini digunakan
untuk penyusunan rencana rinci (RTR KSN/P/K dan RDTR).
45 BIG dalam Diskusi Terarah Materi Teknis – SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014.
46 BIG dalam Lokakarya Materi Teknis SCDRR II – Bappenas, 30 Juni 2014.
168 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
47
BNPB, Ibid.
48
Ibid.
49
Badan Geologi, Ibid.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 169
ESDM.Tetapi sejak ada BPBD, Dinas ESDM tidak lagi melakukan perencanaan
terkait kebencanaan; ternyata BPBD juga tidak melakukan perencanaan atau
membuat peta, tetapi lebih fokus pada tanggap darurat50. BPBD diharapkan
tidak hanya responsif terhadap bencana yang terjadi, tetapi juga aktif
dalam melakukan upaya pengurangan risiko bencana. Untuk itu BPBD perlu
diperkuat.
Tantangan yang juga harus dihadapi adalah belum tersedianya peta skala
1:5.000 untuk penyusunan RDTR.Tidak mungkin melakukan rencana yang
detil tetapi petanya tidak sesuai (bukan peta skala 1:5.000). Sementara peta
yang tersedia saat ini baru peta dasar skala 1:50.000 dan 1:25.000 serta
peta tematik (kerawanan) geologi skala 1:250.000, sehingga tidak dapat
digunakan untuk menyusun RDTR.Padahal selain menyusun RTRW, Daerah
juga harus menyusun RDTR dengan peta skala 1:5.000. Informasi di peta skala
kecil (1:50.000 atau 1:25.000) tidak dapat digunakan untuk peta skala besar
(1:5.000) karena informasinya dapat menjadi tidak tepat (presisi).Peta yang
ada harus disesuaikan dengan rencana yang ada, disesuaikan dengan kondisi
di daerah.Melalui Rakornas BKPRD, Daerah dihimbau untuk mengalokasikan
anggaran untuk penyusunan peta skala rinci (1:5.000) dengan fasilitasi
BIG, untuk penyusunan RDTR52. Namun terkait dengan hal tersebut, ada
pertanyaan dari Daerah, yaitu apabila Daerah harus membuat peta-peta
tersebut sendiri, bagaimana dengan kualitasnya, khususnya terkait SDM dan
anggarannya?
50
Bappeda Kabupaten Bogor, Ibid.
51
Ibid.
52
Kementerian Dalam Negeri, Ibid.
170 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Untuk daerah yang belum memiliki peta dasar, maka dapat menggunakan
Citra Tegak Resolusi Tinggi53. Citra Tegak Resolusi Tinggi ini memiliki kedetilan
skala submeter. Peta Citra Tegak Resolusi Tinggi tersebut masih memiliki
banyak kesalahan, sehingga perlu dikoreksi dulu, yaitu dengan koreksi:
i. Radiometrik, koreksi dilakukan oleh LAPAN; dan
ii. Geometrik, koreksi dilakukan oleh BIG.
Peta yang telah dikoreksi dapat digunakan oleh daerah sebagai peta dasar.
Pemerintah Daerah dapat mengirim surat ke BIG untuk meminta agar
penyusunan peta untuk daerahnya diprioritaskan.
53 BIG, dalam Diskusi Terarah Materi Teknis - SCDRR II, Bappenas, 10 Juni 2014.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 171
turunannya. Saat ini belum ada peraturan yang dapat digunakan sebagai
acuan dalam melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke
dalam penyusunan rencana tata ruang.Peraturan yang menjadi acuan dalam
penyusunan rencana tata ruang, dalam hal ini RTRW Provinsi dan RTR KSN,
adalah Permen PU No. 15/PRT/M/2009 dan Permen PU No. 15/PRT/M/2012.
Namun peraturan tersebut belum secara jelas memberikan arahan bagi
penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN yang berbasis pengurangan risiko
bencana (mitigasi bencana).Namun demikian, perlu dikemukakan pula
bahwa saat ini Ditjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum sedang
menyusun Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (sudah pada
tahap legal drafting).
acuan dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN, tetapi juga rencana
tata ruang lainnya (RTRW Kabupaten dan RTRW Kota, serta rencana rinci
lainnya).
3. Agar dapat menjadi acuan bagi pemerintah daerah maupun K/L dalam
melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam
rencana tata ruang, maka pedoman tersebut harus memiliki kerangka
regulasi yang cukup kuat. Alternatif yang dapat dilakukan:
a. Membuat Surat Edaran Bersama 3 Menteri (Kemen PU, Kemendagri,
dan BNPB) tentang Pedoman Pengarusutamaan Pengurangan Risiko
Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang. SEB ini dibuat agar pedoman
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam RTR dapat
segera disusun dan menjadi acuan bagi pemerintah daerah maupun
K/L. Dengan demikian pengarusutamaan PRB dapat segera dilakukan.
SEB ini bersifat sementara.
b. Pada saat yang sama dimulai proses penyusunan Peraturan Menteri
PU tentang Pedoman Pengurangan Risiko Bencana dalam Rencana
Tata Ruang. Dengan demikian pedoman tersebut nantinya memiliki
dasar hukum yang lebih kuat.
4. Materi Teknis yang disusun ini dapat digunakan sebagai masukan dalam
penyusunan Pedoman Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana
ke dalam Rencana Tata Ruang tersebut di atas.
Muatan Materi Teknis ini telah melalui pembahasan dalam (a) diskusi
bilateral dengan Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kelautan
dan Perikanan, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, dan Badan
Nasional Penanggulangan Bencana; (b) diskusi terarah untuk mendapatkan
masukan dari pemangku kepentingan terkait; dan (b) lokakarya untuk
diseminasi dan mendapatkan masukan dari pemangku kepentingan
yang lebih luas. Dengan demikian diharapkan muatannya sudah
sesuai dengan kebutuhan dan dapat dipertanggungjawabkan untuk
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 173
54
Bapak Lilik Kurniawan, Direktur Pengurangan Risiko Bencana,“Isu-isu Strategis Pengarusutamaan Pengurangan Risiko
Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang”, Kedeputian Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, BNPB, Keynote Speech dalam
Diskusi Terarah Materi Teknis-SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014.
174 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
55
Diskusi Terarah Materi Teknis-SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA — 175
A. BKPRN
BKPRN melaksanakan rapat eselon II BKPRN untuk menyepakati pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, yang meliputi:
1. Menyepakati dan membangun komitmen akan perlunya pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang segera dilakukan.
Bila hal ini disepakati, maka implikasinya adalah:
a. Rencana tata ruang yang belum disusun, dalam penyusunannya nanti
langsung mengintegrasikan perspektif pengurangan risiko bencana;
b. Rencana tata ruang yang masih dalam proses penyusunan (s/d persetujuan
substansi), segera mengintegrasikan perspektif pengurangan risiko
bencana ini;
176 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
c. Rencana tata ruang yang sudah dalam proses Raperda dan sudah Perda
atau sudah Raperpres dan sudah Perpres, segera mengintegrasikan
perspektif pengurangan risiko bencana pada saat dilakukan peninjauan
kembali yang pertama.
d. Daerah-daerah yang memiliki kelas risiko sangat tinggi (perlu dirumuskan
kriterianya), segera mengintegrasikan perspektif pengurangan risiko
bencana ke dalam rencana tata ruangnya. Dalam IRBI 2013, sepuluh
kabupaten/kota yang memiliki kelas risiko bencana multi ancaman
tertinggi dapat dilihat pada Tabel 6.4.
Tabel 6.4
Indeks Risiko Bencana Multi Ancaman 10 Kabupaten/Kota Tertinggi Tahun 2013
No Kabupaten/Kota Provinsi Skor Kelas Risiko Status RTRW
1 Cianjur Jawa Barat 250 Tinggi Perda 2012,
PK RTRW 2017
2 Garut Jawa Barat 238 Tinggi Perda 2011
PK RTRW 2016
3 Sukabumi Jawa Barat 231 Tinggi Perda 2012
PK RTRW 2017
4 Lumajang Jawa Timur 231 Tinggi PK RTRW 2014
5 Tasikmalaya Jawa Barat 225 Tinggi Perda 2012
PK RTRW 2017
6 Halmahera Selatan Maluku Utara 224 Tinggi Perda 2012
PK RTRW 2017
7 Maluku Barat Daya Maluku 223 Tinggi Perda 2013
PK RTRW 2018
8 Majene Sulawesi Barat 221 Tinggi Perda 2012
PK RTRW 2017
9 Malang Jawa Timur 219 Tinggi PK RTRW 2015
10 Jember Jawa Timur 219 Tinggi Belum Perda
Sumber: IRBI 2013 dan Roadmap (draft), Bappenas
3. Menyepakati bahwa
a. K/L atau SKPD dapat melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri
berkoordinasi dengan BNPB/BPBD dan mengacu pada Perka BNPB No.
02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana,
apabila Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) belum ada pada saat
penyusunan atau peninjauan kembali rencana tata ruang.
b. BNPB dilibatkan dalam proses persetujuan substansi untuk menjamin
kualitas kajian risiko bencana yang dilakukan telah memenuhi standar.
4. Menyepakati bahwa:
a. Perlu membuat pemrioritasan dalam pembuatan peta dasar berdasarkan
kelas risiko suatu daerah/kawasan. Kabupaten/kota/kawasan yang
memiliki kelas risiko tinggi diprioritaskan pembuatannya. Semakin tinggi
risikonya semakin diprioritaskan pembuatan peta dasarnya.
b. Pentahapan pembuatan peta dasar sebagai berikut:
i. Tahap pertama adalah menyelesaikan pembuatan peta skala 1:25.000
untuk seluruh Indonesia, dan peta skala 1:10.000 untuk kawasan-
kawasan dalam kabupaten/kota yang memiliki kelas risiko tinggi;
ii. Tahap kedua adalah membuat peta skala 1:5.000, 1:2.000, 1:1.000
untuk kawasan-kawasan dengan kelas risiko tinggi.
iii. BKPRN perlu membahas tantangan penyediaan peta kerawanan dan
peta bahaya yang harus disiapkan oleh K/L dan Daerah. Karena tanpa
peta-peta tersebut, peta risiko tidak dapat dibuat.
5. Menyepakati bahwa:
a. Dibutuhkan satu pedoman yang dapat menjadi acuan bagi
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata
ruang.
b. Dasar hukum pedoman tersebut adalah (i) Surat Edaran Bersama 3
Menteri (Kemen PU, Kemendagri, dan BNPB); yang kemudian ditingkatkan
menjadi (ii) Peraturan Menteri PU.
c. Pedoman tersebut disusun dengan mengintegrasikan berbagai
upaya yang telah dilakukan saat ini terkait dengan pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang.
d. Pedoman tersebut menjadi acuan dalam penyusunan RTRW Provinsi,
RTRW Kabupaten, RTRW Kota dan RTR Kawasan Strategis Nasional.