Anda di halaman 1dari 8

Kakawin Sutasoma

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa

Artikel ini membutuhkan lebih banyak catatan kaki untuk pemastian.


Silakan bantu memperbaiki artikel ini dengan menambahkan catatan kaki dari sumber yang terpercaya.

Gambar sampul buku keluaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia provinsi Bali.
Sampul ini menunjukkan gambar pangeran Sutasoma yang diterkam harimau betina.

Kakawin Sutasoma adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuna. Kakawin ini termasyhur,
sebab setengah bait dari kakawin ini menjadi motto nasional Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika
(Bab 139.5).

Motto atau semboyan Indonesia tidaklah tanpa sebab diambil dari kitab kakawin ini. Kakawin ini
mengenai sebuah cerita epis dengan pangeran Sutasoma sebagai protagonisnya. Amanat kitab ini
mengajarkan toleransi antar agama, terutama antar agama Hindu-Siwa dan Buddha. Kakawin ini
digubah oleh Empu Tantular pada abad ke-14.

Daftar isi
 1 Ikhtisar isi
 2 Petikan dari kakawin ini
o 2.1 Manggala
o 2.2 Penutup
o 2.3 Bhinneka Tunggal Ika
 3 Penggubah dan masa penggubahan
 4 Kakawin Sutasoma sebagai sebuah karya sastra Buddhis
 5 Penurunan kakawin Sutasoma
 6 Resepsi kakawin Sutasoma di Bali
 7 Penerbitan kakawin Sutasoma
 8 Daftar pustaka
 9 Lihat pula
 10 Pranala luar

Ikhtisar isi
Hiasan emas dari masa Majapahit yang menggambarkan Sutasoma digendong Kalmasapada

Calon Buddha (Bodhisattva) dilahirkan kembali sebagai Sutasoma, putra Raja Hastinapura,
prabu Mahaketu. Setelah dewasa Sutasoma sangat rajin beribadah, cinta akan agama Buddha. Ia
tidak senang akan dinikahkan dan dinobatkan menjadi raja. Maka pada suatu malam, sang
Sutasoma melarikan diri dari negara Hastina.

Maka setelah kepergian sang pangeran diketahui, timbullah huru-hara di istana, sang raja beserta
sang permaisuri sangat sedih, lalu dihibur oleh orang banyak.

Setibanya di hutan, sang pangeran bersembahyang dalam sebuah kuil. Maka datanglah dewi
Widyukarali yang bersabda bahwa sembahyang sang pangeran telah diterima dan dikabulkan.
Kemudian sang pangeran mendaki pegunungan Himalaya diantarkan oleh beberapa orang
pendeta. Sesampainya di sebuah pertapaan, maka sang pangeran mendengarkan riwayat cerita
seorang raja, reinkarnasi seorang raksasa yang senang makan manusia.

Alkisah adalah seorang raja bernama Purusada atau Kalmasapada. Syahdan pada suatu waktu
daging persediaan santapan sang prabu, hilang habis dimakan anjing dan babi. Lalu si juru masak
bingung dan tergesa-gesa mencari daging pengganti, tetapi tidak dapat. Lalu ia pergi ke sebuah
pekuburan dan memotong paha seorang mayat dan menyajikannya kepada sang raja. Sang raja
sungguh senang karena merasa sangat sedap masakannya, karena beliau memang reinkarnasi
raksasa. Kemudian beliau bertanya kepada sang juru masak, tadi daging apa. Karena si juru
masak diancam, maka iapun mengaku bahwa tadi itu adalah daging manusia. Semenjak saat itu
beliaupun gemar makan daging manusia. Rakyatnyapun sudah habis semua; baik dimakan
maupun melarikan diri. Lalu sang raja mendapat luka di kakinya yang tak bisa sembuh lagi dan
iapun menjadi raksasa dan tinggal di hutan.

Sang raja memiliki kaul akan mempersembahkan 100 raja kepada batara Kala jika beliau bisa
sembuh dari penyakitnya ini.

Sang Sutasoma diminta oleh para pendeta untuk membunuh raja ini tetapi ia tidak mau, sampai-
sampai dewi Pretiwi keluar dan memohonnya. Tetapi tetap saja ia tidak mau, ingin bertapa saja.

Maka berjalanlah ia lagi. Di tengah jalan syahdan ia berjumpa dengan seorang raksasa ganas
berkepala gajah yang memangsa manusia. Sang Sutasoma hendak dijadikan mangsanya. Tetapi
ia melawan dan si raksasa terjatuh di tanah, tertimpa Sutasoma. Terasa seakan-akan tertimpa
gunung. Si raksasa menyerah dan ia mendapat khotbah dari Sutasoma tentang agama Buddha
bahwa orang tidak boleh membunuh sesama makhluk hidup. Lalu si raksasa menjadi muridnya.

Lalu sang pangeran berjalan lagi dan bertemu dengan seekor naga. Naga ini lalu dikalahkannya
dan menjadi muridnya pula.

Maka akhirnya sang pangeran menjumpai seekor harimau betina yang lapar. Harimau ini
memangsa anaknya sendiri. Tetapi hal ini dicegah oleh sang Sutasoma dan diberinya alasan-
alasan. Tetapi sang harimau tetap saja bersikeras. Akhirnya Sutasoma menawarkan dirinya saja
untuk dimakan. Lalu iapun diterkamnya dan dihisap darahnya. Sungguh segar dan nikmat
rasanya. Tetapi setelah itu si harimau betina sadar akan perbuatan buruknya dan iapun menangis,
menyesal. Lalu datanglah batara Indra dan Sutasoma dihidupkan lagi. Lalu harimaupun menjadi
pengikutnya pula. Maka berjalanlah mereka lagi.

Hatta tatkala itu, sedang berperanglah sang Kalmasapada melawan raja Dasabahu, masih sepupu
Sutasoma. Secara tidak sengaja ia menjumpai Sutasoma dan diajaknya pulang, ia akan
dikawinkan dengan anaknya. Lalu iapun berkawinlah dan pulang ke Hastina. Ia mempunyai anak
dan dinobatkan menjadi prabu Sutasoma.

Maka diceritakanlah lagi sang Purusada. Ia sudah mengumpulkan 100 raja untuk
dipersembahkan kepada batara Kala, tetapi batara Kala tidak mau memakan mereka. Ia ingin
menyantap prabu Sutasoma. Lalu Purusada memeranginya dan karena Sutasoma tidak melawan,
maka beliau berhasil ditangkap.

Setelah itu beliau dipersembahkan kepada batara Kala. Sutasoma bersedia dimakan asal ke 100
raja itu semua dilepaskan. Purusada menjadi terharu mendengarkannya dan iapun bertobat.
Semua raja dilepaskan.

Petikan dari kakawin ini


Di bawah ini diberikan beberapa contoh petikan dari kakawin ini bersama dengan
terjemahannya. Yang diberikan contohnya adalah manggala, penutup dan sebuah petikan
penting.

Manggala

Pada Kakawin Sutasoma terdapat sebuah manggala. Manggala ini memuja Sri Bajrajñana yang
merupakan intisari kasunyatan.Jika beliau menampakkan dirinya, maka hal ini keluar dalam
samadi sang Boddhacitta dan bersemayam di dalam benak. Lalu beberapa yuga disebut di mana
Brahma, Wisnu dan Siwa melindungi. Maka sekarang datanglah Kaliyuga di mana sang Buddha
datang ke dunia untuk membinasakan kekuasaan jahat.

Manggala Terjemahan
1 a. Çrî Bajrajñâna çûnyâtmaka parama 1 a. Sri Bajrajñana, manifestasi sempurna Kasunyatan
sirânindya ring rat wiçes.a adalah yang utama di dunia.
1 b. lîlâ çuddha pratis.t.hêng hredaya 1 b. Nikmat dan murni teguh di hati, menguasai
jaya-jayângken mahâswargaloka semuanya bagai kahyangan agung.
1 c. Ia adalah titisan Pelindung tunggal yang
1 c. ekacchattrêng çarîrânghuripi
menganugrahi kehidupan kepada tri buwana – bumi,
sahananing bhur bhuwah swah prakîrn.a
langit dan sorga – seru sekalian alam.
1 d. sâks.ât candrârka pûrn.âdbhuta ri 1 d. Bagaikan terang bulan dan matahari sifat yang
wijilira n sangka ring Boddhacitta keluar dari batin orang yang telah sadar.
2 a. Ia yang diterangi, yang manunggal dengan
2 a. Singgih yan siddhayogîçwara
Tuhan, memang benar-benar Raja kaum Yogi yang
wekasira sang sâtmya lâwan bhat.âra
berhasil.
2 b. Perwujudan segala ilmu Kasunyatan baik kasar
2 b. Sarwajñâmûrti çûnyâganal alit inucap
ataupun halus, diajikan dalam sebuah doa dan puja
mus.t.ining dharmatattwa
yang khusyuk.
2 c. Sangsipta n pèt wulik ring hati sira 2 c. Singkatnya, mari mencari-Nya dengan betul
sekung ing yoga lâwan samâdhi dalam hati, didukung dengan yoga dan samadi penuh.
2 d. Persis bagaikan seseorang yang merana hatinya
2 d. Byakta lwir bhrântacittângrasa riwa-
merasakan rasa kemurnian Yang Tak Bisa
riwaning nirmalâcintyarûpa
Dibayangkan.
3 a. Ndah yêka n mangkana ng çânti 3 a. Maka itulah ketentraman hati yang dituju seorang
kineñep i tutur sang huwus siddhayogi yogi sempurna.
3 b. Biarkan aku memuja dengan kemurnian dan
3 b. Pûjan ring jñâna çuddhâprimita
kebaktian tak tertara sebagai sarana untuk menulis
çaran.âning miket langwa-langwan
syair indah.
3 c. Dûrâ ngwang siddhakawyângitung 3 c. Mustahil aku akan berhasil menulis kakawin
ahiwang apan tan wruh ing çâstra mâtra sebab tiada tahu akan tatacara bersastra.
3 d. Nghing kêwran déning ambek raga- 3 d. Namun, sungguh malu dan terganggu oleh
ragan i manah sang kawîrâja çobha pikiran akan sebuah penyair sempurna di ibukota.
4 a. Pûrwaprastâwaning parwaracana 4 a. Pertama dari semua cerita yang saya gubah
ginelar sangka ring Boddhakâwya diturunkan dari kisah-kisah sang Buddha.
4 b. Dahulukala ketika dwapara-, treta- dan
4 b. Ngûni dwâpâra ring treat kretayuga
kretayuga, beliau merupakan perwujudan segala
sirang sarwadharmânggaraks.a
bentuk dharma.
4 c. Tiada lain sang hyang Brahma, Wisnu dan Siwa.
4 c. Tan lèn hyang Brahma Wis.n.wîçwara
Semuanya menjadi raja-raja di Mercapada (dunia
sira matemah bhûpati martyaloka
fana).
4 d. Dan sekarang pada masa Kaliyuga, Sri Jinapati
4 d. Mangké n prâpta ng kali çrî Jinapati
turun di sini untuk menghancurkan kejahatan dan
manurun matyana ng kâla murkha
keburukan.

Penutup

Pupuh penutup adalah pupuh nomor 148.


Epilog Terjemahan
1 a. Nâhan tântyanikang kathâtiçaya 1 a. Maka inilah akhir dari sebuah cerita indah dan
Boddhacarita ng iniket digubah dari kisah sang Buddha.
1 b. Dé sang kawy aparab mpu 1 b. Oleh seorang penyair bernama mpu Tantular yang
Tantular amarn.a kakawin alangö menggubah kakawin indah.
1 c. Khyâtîng rat Purus.âdaçânta 1 c. Termasyhur di dunia dengan nama Purusadasanta
pangaranya katuturakena (pasifikasi raja Purusada).
1 d. Dîrghâyuh sira sang rumengwa 1 d. Semoga semua yang mendengarkan, membaca dan
tuwi sang mamaca manulisa menyalin akan panjang umurnya.
2 a. Bhras.t.a ng durjana çûnyakâya 2 a. Hancur lebur para durjana, tak berdaya, gemetar,
kumeter mawedi giri-girin takut karena ngeri.
2 b. Dé çrî râjasa raja bhûpati sang
2 b. Oleh Sri Rajasa yang bertakhta di Jawa.
angd.iri ratu ri Jawa
2 c. Çuddhâmbek sang aséwa tan 2 c. Para abdinya berhati murni dan melaksanakan segala
salah ulah sawarahira tinut perintahnya tanpa salah.
2 d. Sungguh banyak para pahlawan unggul, jumlahnya
2 d. Sök wîrâdhika mêwwu yêka
ada ribuan yang memberikan rasa takut kepada para
magawé resaning ari teka
musuh.
3 a. Ramya ng sâgara parwatêki
3 a. Indahlah laut dan gunung di bawah penguasaannya.
sakapunpunan i sira lengeng
3 b. Mwang tang râjya ri Wilwatikta 3 b. Dan ibukota Wilwatikta (= Majapahit) sungguh indah
pakarâjyanira n anupama di luar bayangan.
3 c. Banyaklah jumlah para penyair, tua dan muda yang
3 c. Kîrn.êkang kawi gîta lambing
menggubah nyanyian dan kakawin yang menghadap sang
atuhânwam umarek i haji
ratu.
3 d. Lwir sang hyang çaçi rakwa 3 d. Bagaikan Dewa Candra kekuasaannya menyinari
pûrn.a pangapusnira n anuluhi rat dunia.
4 a. Bhéda mwang damel I nghulun 4 a. Berbeda dengan karyaku bagaikan gajah yang terbang
kadi patangga n umiber i lemah di atas tanah.
4 b. Ndan dûra n mad.anêka pan 4 b. Mustahillah menyamai karena orang bodoh yang
wwang atimûd.ha kumawih alangö seolah-olah menulis kakawin indah.
4 c. Lwir bhrân.tâgati dharma ring 4 c. Seperti seseorang yang bingung mengenai kewajiban
kawi turung wruh ing aji sakathâ seorang penyair tidak mengenal peraturan bersyair.
4 d. Nghing sang çrî Ran.amanggalêki 4 d. Namun Sri Ranamanggala juga yang menjadi
sira sang titir anganumata. panutanku.

Bhinneka Tunggal Ika


Lambang Indonesia dengan motto Bhinneka Tunggal Ika

Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Lengkapnya ialah:

Jawa Kuna Alih bahasa


Rwāneka dhātu winuwus Buddha Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang
Wiswa, berbeda.
Bhinnêki rakwa ring apan kena Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa
parwanosen, dikenali?
Mangka ng Jinatwa kalawan
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma Berbeda-beda manunggal menjadi satu, tidak ada
mangrwa. kebenaran yang mendua.

Penggubah dan masa penggubahan


Kakawin Sutasoma digubah oleh mpu Tantular pada masa keemasan Majapahit di bawah
kekuasaan prabu Rajasanagara atau raja Hayam Wuruk. Tidak diketahui secara pasti kapan karya
sastra ini digubah. Oleh para pakar diperkirakan kakawin ini ditulis antara tahun 1365 dan 1389.
Tahun 1365 adalah tahun diselesaikannya kakawin Nagarakretagama sementara pada tahun
1389, raja Hayam Wuruk mangkat. Kakawin Sutasoma lebih muda daripada kakawin
Nagarakretagama.

Selain menulis kakawin Sutasoma, mpu Tantular juga jelas diketahui telah menulis kakawin
Arjunawijaya. Kedua kakawin ini gaya bahasanya memang sangat mirip satu sama lain.

Kakawin Sutasoma sebagai sebuah karya sastra Buddhis


Kakawin Sutasoma bisa dikatakan unik dalam sejarah sastra Jawa karena bisa dikatakan
merupakan satu-satunya kakawin bersifat epis yang bernafaskan agama Buddha.
Penurunan kakawin Sutasoma

Lontar Sutasoma dari Jawa Tengah dalam aksara Buda.

Kakawin Sutasoma diturunkan sampai saat ini dalam bentuk naskah tulisan tangan, baik dalam
bentuk lontar maupun kertas. Hampir semua naskah kakawin ini berasal dari pulau Bali. Namun
ternyata ada satu naskah yang berasal dari pulau Jawa dan memuat sebuah fragmen awal
kakawin ini dan berasal dari apa yang disebut "Koleksi Merapi-Merbabu". Koleksi Merapi-
Merbabu ini merupakan kumpulan naskah-naskah kuna yang berasal dari daerah sekitar
pegunungan Merapi dan Merbabu di Jawa Tengah. Dengan ini bisa dipastikan bahwa teks ini
memang benar-benar berasal dari pulau Jawa dan bukan pulau Bali.

Resepsi kakawin Sutasoma di Bali


Di pulau Bali kakawin ini merupakan salah satu kakawin yang cukup digemari. Hal ini berkat
kiprah I Gusti Sugriwa, salah seorang pakar susastra dari Bali yang memopulerkan kakawin ini.
Ia sebagai contoh banyak menggunakan petikan-petikan dari kakawin ini dalam bukunya
mengenai pelajaran kakawin.

Penerbitan kakawin Sutasoma


Kakawin Sutasoma telah diterbitkan dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Soewito
Santoso. Suntingan teksnya diterbitkan pada tahun 1975.

Selain itu di Bali banyak pula terbitan suntingan teks. Salah satu contohnya yang terbaru adalah
suntingan yang diterbitkan oleh "Dinas Pendidikan provinsi Bali" (1993). Namun suntingan teks
ini dalam aksara Bali dan terjemahan adalah dalam bahasa Bali.

Antara tahun 1959 - 1961 pernah diusahakan penerbitan teks sebuah naskah yang diiringi dengan
terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh I Gusti Bagus Sugriwa.

Pada tahun 2009 terbit terjemahan baru dalam bahasa Indonesia beserta teks aslinya dalam
bahasa Jawa Kuna. Suntingan teks dan terjemahan diusahakan oleh Dwi Woro R. Mastuti dan
Hastho Bramantyo.

Daftar pustaka
 (Bali) (Jawa) Dinas Pendidikan Bali, 1993, Kakawin Sutasoma. Denpasar: Dinas
Pendidikan Bali.
 (Indonesia) Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho Bramantyo, 2009, Kakawin Sutasoma.
Mpu Tantular. Jakarta: Komunitas Bambu. ISBN 979-3731-55-9
 (Indonesia) Poerbatjaraka dan Tardjan Hadiwidjaja, 1952, Kepustakaan Djawa'.
Djakarta/Amsterdam: Djambatan.
 (Inggris) Soewito Santoso, 1975, Sutasoma. New Delhi: Aditya Prakashan
 (Indonesia) I Gusti Bagus Sugriwa, 1959 - 1961 Sutasoma / ditulis dengan huruf Bali dan
Latin, diberi arti dengan bahasa Bali dan bahasa Indonesia. Denpasar: Pustakamas
 (Inggris) P.J. Zoetmulder, 1974, Kalangwan: a survey of old Javanese literature. The
Hague : Martinus Nijhoff ISBN 90-247-1674-8
 (Indonesia) P.J. Zoetmulder, 1983, Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang.
pp. 415-437. Jakarta: Djambatan

Anda mungkin juga menyukai