Anda di halaman 1dari 64

HUBUNGAN KETEPATAN PENGGUNAAN INHALER DENGAN

HASIL ASTHMA CONTROL TEST (ACT) PADA PASIEN ASMA


DI KLINIK HARUM MELATI KABUPATEN PRINGSEWU
PROVINSI LAMPUNG
TAHUN 2021

SKRIPSI

Oleh:
LUTFI INDAH RAHAYU
NPM 18310073

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN UMUM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asma merupakan penyakit heterogen yang biasanya ditandai dengan adanya

peradangan kronis pada saluran pernapasan. Adapun gejala yang sering muncul terjadi pada

penyakit asma yaitu seperti mengi, sesak nafas, dada sesak, dan terdapat batuk yang

bervariasi dari intensitas waktu-kewaktu dengan keterbatasan aliran udara ekspirasi (GINA,

2020) .

Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) menyatakan bahwa kurang lebih 1-

18% dari populasi penyakit pernapasan diberbagai negara adalah penderita asma. Menurut

Word Health Organization (WHO), pada tahun 2016 terdapat sekitar 399 juta manusia di

dunia menderita asma. Di Indonesia sendiri prevalensi penderita asma yang dihitung dari

rata-rata nasional yaitu sebesar (2,4%) dimana prevalensi tertinggi yaitu di Provinsi DI

Yogyakarta sebesar(4,5%). Provinsi Lampung merupakan provinsi yang terlihat cukup

rendah untuk prevalensi asma yaitu menduduki peringkat ke-31. Pada tahun 2018 prevalensi

Provinsi Lampung yaitu sebesar (1,60%). Prevalensi tertinggi pada Provinsi Lampung yaitu

Kabupaten Pringsewu dengan prevalensi sebesar (2,15%) (Rikesdas, 2018). Terapi

farmakologi asma yang sering digunakan sebagai obat pengontrol salah satunya adalah obat

inhalasi, pemberian obat secara inhalasi dapat memberikan onset yng cepat dan lebih sedikit

efek samping sistemiknya. Namun saat menggunakan obat inhalasi harus memiliki

keterampilan agar obat dapat diberikan secara efekif (GINA, 2020). Adapun cara pemberian

obat inhalasi bisa menggunakan Dry Powder Inhaler (DPI) atau bisa juga menggunakan

1
2

Metered-Dose Inhaler (MDI) (PDPI, 2004). Penentuan jenis alat penghirup juga merupakan

penentu yang paling penting dalam hal menentukan ketepatan penggunaan inhaler (Pothirat

et al., 2021). Penelitian sebelumnya menunjukan dari 30 orang yang di teliti terdapat (56,7%)

dari 17 orang menggunakan inhaler dengan tepat (Wahyudi Fadzila, 2018)

Asma tidak terkontrol jarang terjadi pada mereka yang memiliki kepuasan tinggi

terhadap inhaler, gejala asma lebih jarang dan kontrol asma lebih baik dibandingkan dengan

pasien dengan kepuasan yang rendah terhadap inhaler yang mereka miliki.(Plaza et al.,

2018). Pada penelitian (Dian Anggraini et al., 2018) didapatkan bahwa terdapat hubungan

antara ketepatan penggunaan inhaler terhadap terkontrolnya asma.

Terkontrolnya gejala asma dapat di ukur menggunakan kuesioner Asthma Control

Test (ACT), ACT dapat dengan mudah dan cepat untuk menyaring pasien dengan kontrol

asma yang buruk. Menurut (GINA, 2020) ACT sangat berguna dan sangat bermanfaat untuk

pengaturan dan pengendalian asma. Kuesioner ACT tersebut menggambarkan gangguan

aktivitas setiap hari akibat dari asma, seberapa sering pasien mengeluhkan sesak nafas,

apakah ada gejala pada malam hari, seberapa sering menggunakan obat semprot/obat oral

dan bagaimana tingkat kontrol asma (Zhang et al., 2020). Dari penelitian sebelumnya

didapatkan bahwa terdapat hubungan antara ketepatan penggunaan inhaler dengan terkontrol

atau tidaknya asma berdasarkan asthma control test (ACT). Terdapat sebesar (28,1%) dari 9

orang pasien asma tidak terkontrol dan Terdapat sekitar (71,9%) dari 32 orang pasien asma

terkontrol pada saat menggunakan inhaler dengan tepat dengan pengontrol (ACT) (Prisilla et

al., 2016)

Klinik Harum melati dan Rumah Sakit wisma Rini merupakan satu-satunya Klinik

Respirasi dan salah satu Rumah sakit yang terdapt di Kabupaten Pringsewu, Provinsi
3

Lampung yang sudah menyediakan pengobatan asma berdasarkan rekomendasi internasional

GINA yang di maksud dapat mewakili Kabupaten Pringsewu sebagai wadah dilakukannya

penelitian.

Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul hubungan

ketepatan penggunaan inhaler dengan hasil asma kontrol tes (ACT) pada pasien asma di

Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana Hubungan Tingkat Penggunaan Inhaler dengan Hasil Asthma control

Test (ACT) pada Pasien Asma di Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui Hubungan Ketepatan Penggunaan Inhaler

dengan Hasil Asthma Control Test (ACT) pada Pasien Asma di Kabupaten Pringsewu

Provinsi Lampung.

1.3.2 Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui prevalensi penyakit asma di Klinik Harum Melati Kabupaten

Pringsewu Provinsi Lampung.

2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi ketepatan penggunaan inhaler pada pasien

asma di Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung.

3. Untuk mengetahui distribusi frekuensi jenis inhaler yang digunakan pasien asma di

Klinik Harum Melati Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung.


4

4. Untuk Mengetahui distribusi frekuensi asthama control test (ACT) pada pasien

asma di Klinik Harum Melati Kabupaten pringsewu Provinsi Lampung.

5. Untuk mengetahui hubungan ketepatan penggunaan inhaler dengan asthma control

test (ACT) pada pasien asma di Klinik Harum Melati Kabupaten Pringsewu

Provinsi Lampung.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Peneliti

Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran serta menambah

wawasan dan pengetahuan mengenai pengobatan asma dan ilmu statistik.

1.4.2 Bagi Penderita

Memberikan informasi pentingnya ketepatan penggunaan inhaler degan

menggunakan asthma control test (ACT) untuk keberhasilan pengobatan asma.

1.4.3 Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini dapat sebagai sumber referensi dan kepustakaan sebagai informasi

ilmiah bagi bidang farmakologi dan kedokteran untuk mempertimbangkan penggunaan

inhaler dan hasil Asthma control test (ACT) yang efektif pada pasien asma.

1.5 Ruang Lingkup

1.5.1 Judul

“Hubungan Ketepatan Penggunaan Inhaler dengan Hasil Asthma control Test (ACT)

pada pasien Asma di Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung Tahun 2021”


5

1.5.2 Sampel Penelitian

Pada penelitian ini menggunakan kuesioner yang diperoleh dari pasien asma di Klinik

Harum melati dan Rumah Sakit Umum Wisma Rini Kabupaten Pringsewu Provinsi

Lampung.

1.5.3 Metode Penelitian

Jenis Penelitian ini adalah penelitian Observasional dengan menggunakan rancangan

penelitian studi cross-sectional.

1.5.4 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Klinik Harum Melati dan Rumah Sakit Umum Wisma

Rini Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung untuk pengambilan sempel kuesioner pasien

asma

1.5.5 Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksan pada bilan Oktober sampai Desember 2021
6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asma

2.1.1 Definisi

Asma adalah gangguan inflamasi kronik pada saluran napas dimana pada individu

yang rentan inflamasi akan mengalami gejala seperti mengi yang berulang, sesak napas, dada

terasa sesak atau berat, dan batuk yang intens bervariasi dari waktu kewaktu. Gejala tersebut

berhubungan dengan obstruksi saluran napas yang luas dan bervarias secara sepontan

maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini berhubungan dengan beberapa sel yang berperan

khususnya sel mast, eosinifil dan limfosit T yang mengakibatkan hipersensitivitas jalan

pernapasan (GINA, 2020).

2.1.2 Epidemiologi

Menurut Global Initive for Asma (GINA) menyatakan bahawa kurang lebih 1-18%

dari populasi penyakit pernapasan diberbagai Negara adalah penderita asma. Menurut the

Global Asma Report, pada tahun 2018 terdapat sekitar 339 juta manusia menderita penyakit

asma pada seluruh dunia. Asma secara global menduduki pringkat ke-16 diantara penyebab

utama hidup dengan disabilitas dan asma juga menduduku peringkat ke-28 diantara penyebab

utama beban penyakit yang di alami pasien asma, yang di ukur dengan Disability Adjusted

Life Years (DALY). Di Indonesia rata-rata nasional prevalensi asma terdapat sekitar (2,4%).

Diamana prevalensi tertinggi terdapat di provinsi DI Yogyakarta sebesar (4,5%) dan terendah

yaitu terjadi pada Provinsi Sumatra Utara sebesar (1%) (Rikesdas 2018). Hal ini dinyatakan

sebagai masalah kesehatan masyarakat dan jika tidak terdiagnosis dengan tepat bahkan tidak
7

diobati dapat menggangu kualitas penderita, dapat menciptakan beban bagi keluarga,

masyarakat dan Negara (A, Rehman et al., 2018).

2.1.3 Patofisiologi

Asma ditandai dengan kontraksi otot polos bronkiolus yang menyebabkan bronkiolus

secara parsial dengan menyebabkan kesukaran pernapasan yang hebat. Penyebab terjadinya

asma yang umum terjadi ialah terjadinya hipersensitivitas kontraktil bronkiolus sebagai

respon terhadab benda-benda asing yang ada diudara. Pasien yang berusia dibawah 30 tahun,

sekitar 70% penyakit asma disebabkan karena hipersensitivitas alergik, terutama

hipersensitivitas terhap serbuk tanaman. Pasien yang usianya lebih tua, penyebab terjadinya

asma hampir selalu karena hipersensitivitas terhadap bahan iritan nonalergik di udara, seperti

iritan pada kabut asap. Reaksi alergi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan

cara seperti seseorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk antibodi Ig

E abnormal dalam jumlah besar, dan antibody ini menyebabkan reaksi alergi bila orang

tersebut bereaksi dengan antigen spesifik yang memicu terbentuknya antibodi tersebut pada

pertama kali. Pada asma, antibod ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat dalam

interstitial paru yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang

yang menderita asma menghirup serbuk sari yang sensitive baginya (telah terbentuk antibody

Ig E terhadap serbuk sari pada orang tersebut), serbuk sari bereaksi dengan antrtibodi yang

terletak sel mast dan menyebabkan sel mast mengeluarkan barbagau macam zat. Diantaranya

adalah histamine, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan campuran

leukotrien), faktor kemotaktrik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor ini, terutama

zat anafilaksis yang bereaksi lambat, akan menghasilkan edema lokal pada dinding
8

bronkiolus kecil maupun sekresi mucus yang kental ke dalam lumen bronkiolus, dan spasme

otot polos bronkiolus. Oleh karena itu, tahanan seluran napas menjadi sangat meningkat.

Pada asma, diameter bronkiolus lebih banyak berkurang selama ekspirasi daripada

selama inspirasi, karena bronkiolus pada paru asmatik sudah tersumbat sebagian, maka

sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi

berat terutama selama ekspirasi. Pasien asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan

baik dan adekuat tetapi sukar sekali melakukan ekspirasi. Pengukuran klinis memperlihatkan

penurunan sangat besar laju ekspirasi maksimum dan berkurangnya volume ekspirasi terukur

(timed expiratory volume). Semua keadaan ini menyebabkan disapnu, atau “lapar udara”.

Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi meningkat terutama selama

serangan asma akut akibat kesukaran pengeluaran udara dari paru. Juga, setelah bertahun-

tahun, rongga dada menjadi besar secara permanen, mengakibatkan “dada tong” (barrel

chest). Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi meningkat secara

permanen (Guyton and hall,2014).

2.1.4 Faktor Resiko

Menurut (Bai et al., 2019) faktor resiko asma yang telah ditinjau dibeberapa

penelitian seperti jenis kelamin, usia, obesitas, merokok, populasi udara, paparan pekerjaan,

faktor ibu dan infeksi saluran pernapasan. Faktor-faktor tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Jenis Kelamin

survei penyakit asma berdasarkan jenis kelamin, dalam kehidupan dewasa distribusi

asma berubah dalam dua hal penting. Anak laki-laki lebih sering menderita asma daripada

perempuan. Namun selama remaja dan dewasa, asma tampaknya menjadi masalah yang lebih
9

serius di antara wanita, sementara asam ‘non-atopik’ yang mulanya terlambat disekitar atau

setelah menopause

2. Usia

Pada usia dewasa atau usia lanjut, tingkat kecemasan semakin meningkat, hal ini

berkaitan dengan faktor stres yang dapat menimbulkan serangan asma (Fitriani et al., 2018)

3. Obesitas

Prevalensi obesitas dibagian Negara dimana pola makan kebarat-baratan sangat

mendominasi. Pola diet ini dengan asupan tinggi kalori, tinggi lemak jenuh dan terkait

dengan indeks glikemik tinggi, serta nilai rendah gizi dalam hal serat makanan dan vitamin.

Sementara “diet organic” ini mungkin kekurangan antioksidan dan anti-inflamasi. Sebuah

penelitian meta-analisis menemukan bahwa kelebihan berat badan dan obesitas dikaitkan

dengan peningkatan insiden asma pada oaring dewasa (Dharmage et al., 2019)

4. Merokok

Merokok merupakan faktor resiko yang sangat erat kaitannya dengan asma. Saat

seseorang menghirup asap rokok, zat-zat iritan menetap dilapisan terluar dalam saluran

pernapasan. Zat-zat iritan menetap dilapisan terluar dalam saluran pernapasan. Zat-zat ini

dapat memicu serangan pada penderita asma. Selain itu, asap bakaran dari tembakau bisa

merusak struktur terkecil yaitu silia (rambut halus pada sakuran pernapasan) yang berfungsi

untuk menyaring debu dan lender di saluran udara. Asap rokok juga menyebabkan paru-paru

memproduksi lebih banyak lendir dari biasanya dan dapat memicu serangan asma (Maulana

et al., 2020).
10

5. Polusi Udara

Polusi udara sangat erat kaitannya dengan kejadian eksaserbasi asma dengan melalui

stress oksidatif, perubahan struktur saluran pernapasan dan peradangan dan sensitisasi

terhadap aeroallergen. Dalam peradangan paru dengan secara cepat tidak langsung

mempengaruhi memburuknya gejala asma dengan mempengaruhi pertahanan tubuh yang

termasuk dalam aeroallergen terpenting yang particulate matter (PM) yang di dapat dari

polusi transportasi, pembangkit listrik dan prose pembakaran, belerang (SO2) yang

merupakan emisi utama selama produksi energy atau proses industri, Nitrogen dioksida

(NO2) dan Karbon Monoksida (CO) berasal dari pembakaran bahan bakar fosil dilingkungan

perkotaan, azon (O3) dibentuk oleh reaksi fotokimia antara sinar matahari dengan precursor

polutan, seperti nitrogen oksida dan senyawa organik yang mudah menguap, dan yang terahir

yaitu timal (Orellano et al., 2017).

6. Paparan Pekerjaan

Pajanan asma akibat kerja mencakup dua sutipe yang berbeda, asma yang diperburuk

dengan riwayat asma sebelumnya dan asma akibat kerja yang terjadi tanpa asma sebelumnya.

Penyebab asma pekerjaan biasanya disubklasifikasikan menjadi pelepasan Ig E atau yang

diindikasikan sensitizer (90%) dan asma yang diindikasikan oleh iritan (10%). Lebih dari

250 qgen berpotensi menyebabkan sensititasi asma akibat kerja. Asma yang diindikasikan

oleh sensitizer biasanya terjadi setelah periode laten dan sangat berbeda dengan paparan

iritan yang membutuhkan waktu yang cepat memicu seranggan asma (Dharmage et al.,

2019).
11

7. Faktor Ibu

Asma merupakan penyakit yang dapat disebabkan oleh faktor genetic dan

lingkungan. Seorang anak yang menderita asma mewarisi gen asma dari salah satu orang

tuanya. Jika salah satu orang tuanya (terutama ibunya) memiliki riwayat asma, resiko anak

mewarisi asma akan meningkat 40%. Namun jika kedua orang tuanya menderita asma

resikonya akan meningkat 60% (Mulyati, 2018).

8. Infeksi saluran pernapas

Inveksi sering dikaitkan dengan eksaserbasi asma akut, yberkontribusi hingga 90%

dan berfungsi sebagai pemicu utama asma pada anak usia sekolah dengan orang dewasa.

Banyak virus telah dikaitkan dengan eksaserbasi asma, termasuk respiratory virus (RSV),

rhinovirus (RV), dan influenza dimana kasus yang jarang terjadi disebabkan oleh virus

corona, parainfluenza, adenovirus, dan metapneumoni virus (Mikhail & Grayson, 2019)

2.1.5 Klasifikasi

Klasifikasi menurur derajat asma atau asma tidak terkontrol. Asma dapat ditentukan

dengan banyak factor, seperti gambaran sebelum pengobatan yaitu gejala, eksaserbasi, gejala

malam hari, pemberian obat inhalasi 𝛽-2 agonis dan uji faal paru serta obat dan uji faal paru

serta obat yang diberi sebagai mengontrol asma seperti jenis obat, kombinasi obat dan

frekuensi pemakaian obat.pemeriksaan klinis yang berupa uji faal paru bias menentukan

adanya klasifikasi berat- ringannya asma dan merupakan hal terpenting dalam

penatalaksanaan asma.
12

Table 2.1 Klasifikasi Derajat Asma (GINA, 2020)

Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru


I. Intermiten Bulanan APE ≥ 80%
Gejala <1x/ minggu ≤ 2 kali sebulan VEP₁ ≥ 80% nilai
prediksi
Terdapat gejala di luar APE ≥ 80% nilai
serangan terbaik
Serangan singkat Variability APE
<20%
II. Presisten Ringan Minggu APE > 80%
Gejala > 1x/minggu, >2 kali sebulan VEP₁ ≥ 80% nilai
tetapi < 1x/hari prediksi
APE ≥ 80% nilai
terbaik
Serangan dapat Variability APE 20-
mengganggu aktivitas 30%
dan tidur
III. Presisten Sedang Harian APE 60-80%
Gejala setiap hari >1x/ minggu VEP₁ 60-80% nilai
prediksi
Serangan dapat APE 60-80% nilai
menggangu aktivitas terbaik
dan tidur
Membutuhkan Variability APE >
bronkodilator setiap 30%
hari
IV. Presisten Berat Kontinyu
Gejala terus menerus Sering VEP₁ ≤ 60% nilai
prediksi
Sering kambuh APE ≤ 60% nilai
terbaik
Aktifitas fisik terbatas Variability APE >
30%
Klasifikasi asma yang berdasarkan pedoman Global Initiative for Asthma (GINA)

yang membagi klasifikasi menjadi dua. Pertama berdasarkan tingkat keparahan (intermitten,

persisten ringan, persisten sedang, dan persisten berat) dan yang kedua, klasifikasi terbaru

berdasarkan kontrol asma ( terkontrol, terkontrol sebagian, dan tidak terkontrol.


13

Tabel 2.2 Derajat Kontrol Asma (GINA, 2020)

Karakteristik Terkontrol Terkontrol Tidak Terkontrol


Sebagian
Gejala harian Tidak Ada
(≤ 2x/mgg) >2x/mgg
Keterbatasan Tidak ada Ada (tidak sering)
aktivitas
Gejala nocturnal/ Tidak ada Ada (tidak sering) ≥3/mgg Gambaran
terbangun karena asma terkontrol
asma sebagian sebagian
ada dalam setiap
minggu
Kebutuhan pelega Tidak Ada
(≤ 2x/mgg > 2x/mgg
Fungsi paru Normal < 80% prediksi/ nilai
(APE/VEP) terbaik
Eksaserbasi Tidak ada ≥ 1/ tahun 1x/mgg

Beberapa gejala siang, aktivitas, gejala malam, pemakaian obat pelega dan

eksaserbasi, gina membagi asma menjadi asma tekontrol, terkontrol sebagian, tidak

terkontrol. Klasifikasi tersebut dikenal dengan istilah control asma, yang berarti

pengendalian terhadap perkembangan penyakit asma (GINA, 2020).

2.1.6 Gejala Klinis

Asma dapat memberikan gambaran klinis yang sedikit berbeda, dan dokter harus

dapat mengidentifikasinya. Pasien asma biasanya mengalami mengi, sesak napas, dan batuk

yang seringkali memburuk pada malam hari. Ada beberbagai pemicu yang memperparah

asma. Pemicu terjadinya keparahan asma adalah ketika udara dingin, olahraga, polutan dan

lain-lain. Gejala non-spesifik lain yang dapat menunjukan obstruksi parah dapat berupa

takipnea. Asma bisa menjadi penyakit yang parah jika tidak ditangani dengan benar. Asma

didefinisikan dalam berbagai tahapan pada spirometri dan indikasi klinis. Ada empat tahapan
14

mengenai tingkat keparahan asma intermiten, ringan, sedang, dan berat. Asma intermiten

terjadi ketika seseorang memiliki gejala kurang dari dua hari seminggu, dan terbangun di

malam hari kurang dari dua kali sebulan. Asma ringan terdiri dari episode lebih dari dua hari

seminggu (tetapi tidak setiap hari), sementara ada banggun malam hari 3 sampai 4kali dalam

sebulan. Asma sedang terjadi dimana pasien menunjukkan gejala setiap hari dan terbangun

dimalam hari lebih dari sekali dalam seminggu tetapi tidak setiap malam. Asma parah terjadi

ketika pasien menunjukkan gejala sepanjang hari dan sering terbangun dimalam hari lebih

dari tujuh kali dalam seminggu (sinyor dan Conception, 2020).

2.1.7 Diagnosis

1. Anamnesa

Kriteria pembuatan diagnostik asma dapat bervariasi menurut ras dan usia misalnya

anak-anak dapat digambarkan dengan pernapasan berat. Namun umumnya gejala asma yaitu

mengi, sesak napas dada terasa sesak atau berat, dan batuk. Tanyakan riwayat gejala

pernapasan dahulu pada amsa kanak-kanak seperti riwayat rhinitis alergi atau eksim, dan

tanyakan riwayat asma atau alergi dalam keluarga, biasanya saat anamnesa ditemukan lebih

dari satu gejala pernapasan. Gejala muncul bervariasi dari waktu kewaktu dengan intensitas

yang bervariasi pula, gejala kerap lebih buruk pada malam hari atau saat bangun tidur, gejala

sering dicetus oleh allergen, olahraga, udara dingin, dan lebih buruk bial di picu oleh infeksi

virus.
15

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik seseorang denga asma seringkali normal. Namun saat

auskultasi kelainan yang ditemukan biasanya mengi saat ekspirasi (rhonchi), mengi saat

inspirasi bukanlah ciri asma. Pada beberapa kasus mungkin tidak ada atau hanya terdengar

pada ekspirasi paksa. Mengi juga kadang tidak terdapat pada eksaserbasi asma yang parah,

karena aliran udara yang sangat berkurang di sebut silent chest, tetapi keadaan tersebut

memunculkan gejala lain seperti gagal napas. Pemeriksaan hidung dapat membantu

mendiagnosis tanda-tanda rhinitis alergi atau poloposis hidung.

3. Pemeriksaan lain

a. Pemeriksaan Fungsi Paru

Variabilitas yang digambarkan pada fungsi paru dapat diartikan bahw asemakin besar

variasi terlihat semakin yakin diagnosis asma.

Tes reversibilitas bronkodilator positif (BD) bila pada saat FEV1 berkurang, konfirmasikan

bahwa FEV1/FVC berkurang (normal > 0,75-0,80 pada orang dewasa, >0,90 pada anak-

anak) untuk menilai variabilitas pada orang dewasa peningkatan FEV1 > 12% dan > 200 mL

dari baseline, 10-15 menit setelah 200-400 mcg salbutamol sedangkan anak-anak meningkat

FEV1 Prediksi dari >12%.

b. Tes Provokasi Bronkial

Pilihan untuk mengetahui keterbatasan aliran udara adlaag uji provilaksis bronkial

dengan menilai hiperresposif jalan napas. Agen provilaksis yang dapat digunakan atau

hiperventilasi sukarela eucapnic. Tes ini cukup sensitive untuk diagnosis asma namun

memiliki spesifikasi yang terbats misalnya, hiperresponsif jalan napas terhadap metakolin
16

inhaler khas pada pasien dengan rhinitis alergi. Fibrosis kistik, dysplasia bronkopulmonalis

dan PPOK. Hal ini menandakan bahwa tes hasil negative pada pasien yang tidak memakai

ICS dapat menyingkirkan asma, tetapi tes positif tidak selalu berarti pasien menderita asma

harus diperhatiakan juga pola gejalanya dan gambaran klinis lainnya.

c. Tes Alergi

Dengan adanya atopi dan gejala pernapasan meningkatkan kemungkinan pasien

menderita asma alergi, namun test ini tidak spesifik untuk asma maupun pada semua fenotip

asma status atopic dapat diidentifikasikan dengan uji tusuk kulit atau dengan mengukur kadar

Ig E spesifik dalam serum. Pengujian tusuk kulit mudah dan cepat mengidentifikasi allergen

yang terdapat di lingkungan, jika dilakukan oleh pemeriksa berpengalaman dengan ekstrak

sederhanapun bisa, tidak mahal dan memiliki sensitivitas yang tinggi. Pengukuran sIgE tidak

disarankan dengan tes tusuk kulit karena lebih mahal, namun lebih disukai oleh pasien yang

kooperatif, pasien dengan penyakit kulit yang meluas, atau memiliki riwayat anafilaksis.

Adanya tes kulit positif atau sIgE positif bagaimanapun tidak berarti bahwa allergen

menyebabkan gejala harus dikonfirmasi antara riwayar pasien dan relevansi pajanan allergen

juga berhubungan dengan gejala.

d. Uji Kadar Oksida Nitrat

Konsentrasi fraksional oksida nitrat yang dikeluarkan atau FeNO dikaitkan dengan

tingkat sputum dan eosinophil darah. FeNO belum terbukti bermanfaat menyingkirkan

diagnosis asma, FeNO lebih tinggi pada asma dengan peradangan saluran napas tipe 2 tetapu

juga meningkat pada kondisi non-asma (misalnya bronchitis eosinofilik, atopi, rhinitis alergi,

eksim) dan tidak meningkat pada beberapa fenotipe asma (misalnya asma neutrofilik). Nilai
17

FeNO rendag pada perokok saat bronkokonstriksi dan fase awal respons alergi (GINA,

2020).

2.1.8 Penatalaksana

Tujuan dari penatalaksanaan asma adalah untuk mencapai control gejala yang baik,

dan untuk meminimalkan resiko kematian terkait asma di masa depan, eksaserbasi,

keterbatasan aliran udara persiten dan efek samping dari pengobatan (GINA, 2020).

Table 2.3 Obat Asma (NACA, 2008).

Golongan Obat Jenis obat Produk obat


Short-acting β₂ - Agonis Inhalasi Salbutamol (MDI, DPI &
(SABA Nebulizer
Terbutaline (DPI &
Nebulizer)
Fenoterol (MDI & DPI)
Oral Orciprenalin
Long- Acting β₂- Agonists Inhalasi Salbutamol (MDI & DPI)
(LABA) Foemeterol (MDI & DPI)
Short- acting anti colinergics Inhalasi Ipratropium (MDI, DPI &
Nebulizer)
I Long- Acting anti Inhalasi Triotropiumbromide (DPI)
colinergics
Cromone Inhalasi Cromoglicate (MDI, DPI, &
Nebulizer)
Nedocromil (MDI)
5- lipoxygenase Inhinitor Oral Zileuton (tablet)
Kortikosteroid Inhalasi Becalomethasone (MDI,
DPI, Nebulizer)
Budesonide (MDI, DPI &
Nebulizer)
Fluticasone (MDI, DPI &
Nebulizer)
Xanthines Oral Theophylline
Choline theophyllinate
Leukotriene receptor Oral Montelukast
antagonist Zafirlukast
18

2.1.9 Prognosis

Asma merupakan penyakit jinak dan menyebabkan 1 kematian per 100.000 untuk di

beberapa Negara. Kematian terkait dengan fungsi paru dan diperburuk karena merokok.

Faktor-faktor yang mempengaruhi mortalitas antara lain usia lebih dari 40 tahun, merokok

lebih dari 20 bungkus, eosinophil darah, perkiraan FEV1 40-70%dan reversibilitas yang lebih

besar. Asma menyebabkan hilangnya waktu kerja dan sekolah, itu juga menyebabkan banyak

rawat inap di rumah sakit yang meningkatkan biaya perawatan kesehatan. Asma yang tidak

terkontrol dapat melumpuhkan dan menyebabkan kualitas hidup yang buruk (MF, Hashum

et al., 2021).

2.2 Fungsi Paru

2.2.1 Fungsi Paru

Paru-paru merupakan organ dasar dari system pernapasan, yang fungsi utamanya

adalah memfasilitasi pertukaran gas dari lingkungan ke aliran darah. Oksigen diangkut

melalui alveoli ke jaringan kapiler, dimana dapat memasuki system arteri, akhirnya ke

jaringan perfusi. System pernapasan terutama terdiri dari hidung, orofaring, laring, trakea,

bronkus, bronkiolus dan paru-paru. Paru-paru selanjutnya membelah menjadi lobus individu,

yang ahirnya terbagi menjadi lebih dari 300 juta alveoli. Alveoli adalah lokasi utama

pertukaran gas. Diafragma merupakan otot pernapasan primer dan menerima persarafan oleh

akar saraf C3, C4, dan C5 melalui saraf frenikus. Interkostalis eksternal adalah otot inspirasi

yang digunakan terutama selama latihan dan gangguan pernapasan (Guyton and Hall, 2014).
19

2.2.2 Volume dan Kapasitas Paru

A. Volume paru

Empat volume paru berikut bila semuanya di jumlahkan, semua dengan volume

maksimal paru yang mengembang. Arti dari masing-masing volume paru adalah sebagai

berikut:

1. Volume tidal adalah merupakan volume yang diinspirasi atau diekspirasi setiap kali

bernapas normal, besarnya kira-kira 500mL pada laki-laki dewasa.

2. Volume cadang inspirasi adalah volume udara ekstra yang dapat diinspirasi setelah dan

diatas volume tidal normal bila dilakukan inspirasi kuat, biasanya mencapai 3.000ml.

3. Volume cadang ekspirasi adalah volume udara ekstra maksimal yang dapat diekspirasi

melalui ekspirasi kuat pada ahir ekspirasi tidal normal, jumlah normalnya adalah

sekitar 1.100mL.

4. Volume residu yaitu volume udara yang masih tetap berada dalam paru setelah

ekspirasi paling kuat volume ini besarnya kira-kira 1.200mL.

B. Kapasitas Paru

Untuk mengurangi peristiwa-peristiwa dalam siklus paru, kadang-kadang perlu

menyatukan dua atau lebih volume di atas. Kombinasi seperti ini disebut kapasitas paru.

Dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kapasitas inspirasi semua dengan volume tidal ditambah volume cadang inspirasi. Ini

adalah jumlah udara kira-kira 3.500mL yang dapat dihirup oleh seseorang, dimulai dari

tingkat ekspirasi normal dan perkembangan paru sampai jumlah maksimum.


20

2. Kapasitas residu fungsional sama dengan volume cadang ekspirasi ditambah volume

residu. Ini adalah jumlah udara yang tersisa dalam paru pada ahir ekspirasi normal kira-

kira 2.300ml.

3. Kapasitas vatal sama dengan volume cadang inspirasi ditambah volume cadang

ekspirasi. Ini adalah jumlah udara maksimum yang dapat dikeluarkan seseorang dari

paru, setelah terlebih dahulu mengisi paru secara maksimum dan kemudian

mengeluarkan sebanyak-banyaknya 4.600ml.

4. Kapasitas paru total adalah volume maksimum yang dapat mengembangkan paru

sebesar mungkin dengan inspirasi sekuat mungkin kira-kira 5.800ml jumlah ini sama

dengan kapasitas vtal ditambah volume residu. Volume dan kapasitas saluran paru pada

wanita kira-kira 20 sampai 25 persen lebih kecil dari pada pria, dan lebih besar lagi

pada orang yang atletis dan bertubuh besar daripada orang yang bertubuh kecil dan

astenis. (guyton and Hall,2014)

2.3 Terapi Inhalasi

Terapi inhalasi merupakan pemberian obat secara langsung kedalam saluran napas

melalui penghisapan. Terapi pemberian ini, saat ini makin berkembang luas dan banyak di

pakai pada pengobatan penyakit-penyakit saluran napas. Berbagai macam obat seperti

antibiotic, mukolitik, anti inflamasi, dan bronkodilator sering digunakan pada terapi inhalasi.

Terapi inhalasi dibandingkan dengan terapi oral mempunyai dua kelemahan yaitu

jumlah obat yang mencapai paru-paru sulit dipastikan, dan inhalasi obat ke dalam saluran

napas dapat merupakan masalah kordinasi. Efektifitas terapi inhalasi tergantung pada jumlah

obat yang mencapai paru-paru. untuk mencapai hasil optimal pasien harus dilatih untuk
21

menghembuskan napas sampai maksimal, meletakkan mouthpiece diantara gigi sampai

tertutup rapat hingga tidak ada lubang udara, menyemprot aerosol pada pertengahan inspirasi

(menghirup napas), meneruskan inspirasi (menghirup napas) sedalam mungkin, menahan

napas dalam inspirasi penuh selama beberapa detik.

2.4 Perangkat inhaler

Inhaler adalah alat yang paling disukai untuk pengobatan asma dan penyakit paru

obstruksi kronik (PPOK). Penggunaan inhaler yang tidak tepat dapat mempengaruhi

efektifitas klinis dari obat yang digunakan. Dari penelitian yang dilakukan zazuli pada tahun

2018 total 92 subjek terdapat 155 inhaler yang digunakan. Hanya 4 dari 92 subek (4,3%)

yang menggunakan inhaler dengan benar. Rata-rata seseorang pasien membuat >4 keslahan

saat menggunakan pMDI dan >2 kesalahan saat menggunakan DPI. Kesalahan yang paling

umum di antara penggunaan pMDI, turbuhaler, dan Accuhaler dengan tidak mampu menahan

napas selama kurang lebih 5 detik yang mencakup ≥80% pasien. Mayoritas pasien asma dan

PPOK tidak menggunakan inhaler dengan benar (Zazuli et al., 2018a).

Masalah yang sering ditemukan pada penggunaan perangkat inhalasi seperti inhaler

adalah deposisi partikel aerosol pada daerah orofaringeal dan saluran napas atas, dan

kurangnya koordinasi antara aktivitas perangkat dan inhalasi karena kurangnya pemahaman

dari pasien. Seperti halnya, inspirasi yang cepat tidak disarankan ketika mengiunakan

pressurerized mutered dose inhaler (pMDI) dan nebulizer karena dapat membuat turbulensi

aliran udara dan kecepatan yang tinggi akan meningkatkan desposisi obat pada saluran napas

atas, sementara inspirasu yang cepat dibutuhkan pada pemakaina dry powder inhaler (DPI).

Hal yang paling penting adalah menjelaskan kepada pasien tentang penggunaan alat inhalasi

yang benar, dan memastikan pasiean mengerti alat inhalasi yang benar, dan memastikan
22

pasien mengerti agar obat dapat bekerja sesuai dengan target dan pasien oatuh terhadap

pengobatan.

Adapun perangkat pemberian terapi inhalasi secara umum diklasifukasikan menjadin

tiga kategori yaitu

2.4.1 pressurized metered dose inhaler (pMDI)

Pressurized metered dose inhaler (pMDI) atau inhaler dosis terukur merupakan cara

inhalasi yang memerlukan teknik inhalasi tertentu agar sejumlah dosis obat mencapai saluran

respiratori. Kesalahan yang umum terjadi pada penggunaan MDI adalah kurang koordinasi,

terlalu cepat inspirasi, tidak menahan napas selama 10 detik. Tidak mengocok canister

sebelum digunakan, tidak berkumur-kumur setelah penggunaan dan posisi MDI yang terbalik

(NACA, 2008).

Table 2.4 Pressurised Metered-Dose Inhalers (Brocklebank et al., 2001).

Golongan Obat Nama Obat Merek dagang


Anti-kolinergik Ipratropium Attrovent
Atrovent forte®

Oxitropium Oxivent
Beta- agonist Orciprenalin Alupent®
Reproterol Bronchodil®
Salbutamol Asmasul
spacehaler®
Terbutaline Bricanyl®
Bricanly spacer
(mini spacer)
Fenoterol Berotec 100™
Berotec 200™
Combinasi Salbutamol/Ipratropium Combivent®
bronkodilator
Fenoterol/Ipratropium Duovent®
Long-acting beta- Salmoterol Serevent®
agonist
23

2.4.2 Dry powder inhaler (DPI)

Dry Powder Inhaler (DPI) inhaler tipe ini berisikan serbuk kering. Pasien cukup

melakukan hirupan yang cepat dan dalam untuk menarik obat dari dalam alat. Zat aktifnya

dalam bentuk serbuk kering yang akan tertarik masuk ke dalam paru-paru pada saat menarik

napas.

Kesalahan yang umum terjadi pada gangguan DPI adalah tidak membuka tutup, tidak

memutar searah jarum jam atau berlawanan arah jarum jam, cara menghirup pelan dan lemah,

tidak menahan napas dan pasien meniup turbuhaler hingga pasha (NACA 2008).

Table 2.5 Dry powder inhaler (Brocklebank et al., 2001).

Golongan obat Nama obat Merek dagang


Anti-agonist Ipratropium Atrovent aerocaps®
Beta-agonist Salbutamol Asmasal clickhaler®
Ventodisks®
Vntolin accuhaler
Ventolin ratocaps®

Terbutaline Bricanyl® turbohaler


Long-acting beta- Eformoterol Foradil®
agonist Oxis® Turbohaler
Salmoterol Serevent Diskhaler
Serevent accuhaler
Cromones Cromoglycate Intal® syncroner® (mini spacer)
intal spincap®
Corticosteroid Beclometason Asmabec® Clickhaler
Asmabec Spacehaler™ 250
(built-in mini-spacer)
Becodisks®
Becloforte Diskhaler
Becotide rotacaps
BudesonideAA Pulmicort® Turbohaler

Fluticasone Flixotide® Diskhaler


Flixotide Accuhaler
Steroid/ Long-acting Fluticasone + Seretide® 100 (Accuhaler)
beta-agonist Salmeterol Seretide 250 (Accuhaler)
Seretide 500 (Accuhaler)
Budesonide/ Symbicort
Efotmoterol
24

Steroid/ bronchodilator Salbutamol + Ventide® Ratocaps


beclometason
Ventide Paediatric
Rotacaps

2.5 ACT

Menurut (GINA, 2020) mengeluarkan instrument berupa kuesioneruntuk menilai

derajatkontrol asma yang dapat dipakai secara mandirioleh pasien sendiri maupun dokter

salah satunya adalah Asthma control test (ACT). Parameter yang dinilai yaitu gangguan

aktivitas harian akibat asma, frekuensi gejala asma. Gejala malam hari, penggunaan inhaler

dan presepsinilai skor 1-5. Nilai maksimal adalah 25 dengan penilaian sebagai berikut:

a. Asma tidak terkontrol: ≤ 19

b. Asma terkontrol sebagian: 20-24

c. Asma terkontrol: 25

ACT adalah kuesioner yang sudah tervalidasi dan dapat mencerminkan perubahan

tingkat control atau belum terkontrol. Kuesioner ini mudah digunakan dan dapat memantau

tingkat control asma. Pengenalan secara awal terhadap perubahan tingkat control asma dan

dapat dideteksi sendiri oleh pasien merupakan hal yang paling penting. Karena dapat

mencegah terjadinya serangan eksaserbasi asma akut yang beat. Penggunaan dini terhadap

asma dapat menurunkan angkamordibilitas dan mortalitas penyakit.

Menurut (GINA, 2020) menilai asma terkontrolterdapat 2 bagian yang harus diteliti yaitu

terkontrol gejaladan fakto resiko untuk terjadinya kekambuhan rendah di masa depan.

Alasan atau kemungkinan asma tidak terkontrol:

a. Teknik inhalasi: evaluasi teknik penggunaan inhalasi penderita asma


25

b. Kepatuhan: tanyakan kapan dan berapa banyak penderita menggunakan obat-obatan

asma.

c. Lingkungan: tanyakan, apakah ada perubahan di sekitar lingkingan penderita yang

menjadi factor pencetus.

d. Penyakit saluran napas yang memberat: missal bronchitis, dll

Control asma teratur

Pada penatalaksanaan jangka panjang terdapat dua hal yang penting di pehatikan oleh

dokter yaitu:

1. Tindak lanjut (follow up) teratur

2. Rujukan keahli pau untuk konsultasi atau penanganan lanjut bila diperlukan

Dokter sebaiknya menganjurkan penderita untuk control tidak hanya bila diperlukan

terjadi serangan akut, tetapi control teratur terjadwal, interval berkisar 1-6 bulan tergantung

pada keadaan asma. Hal tersebut untuk meyakinkan bahwa asma tetap terkontrol dengan

mengupayakan penurunan terapi seminimal mungkin.

2.6 Hubungan faktor penggunaan Inhaler dengan Asma

Inhaler adalah alat yang paling disukai untuk pengobatan asma dan penyakit paru

obstruksi kronik (PPOK). Inhaler adalah obat yang dipemebrian secara inhalasi dapat

memberikan onset yng cepat dan lebih sedikit efek samping sistemiknya. Namun saat

menggunakan obat inhalasi harus memiliki keterampilan agar obat dapat diberikan secara

efekif (GINA, 2020). Penggunaan inhaler yang tidak tepat dapat mempengaruhi efektifitas

klinis dari obat yang digunakan, Mayoritas pasien asma dan PPOK tidak menggunakan

inhaler dengan benar (Zazuli et al., 2018a).


26

Jika pasien memiliki gejala atau eksaserbasi yang tidak terkontrol terus-menerus

meskipun telah menjalani pengobatan pengontrol selama 2-3 bulan, maka pertimbangkan

untuk menikai dan memperbaiki masalah umum berikut yaitu, (a) teknik inhaler yang salah,

(b) kepatuhan yang buruk, (c) paparan agen-agen seperti allergen, asap tembakau, polusi

udara dalam atau luar ruangan di rumah/kerja, atau untuk obat-obatan seperti beta-bloker

atau (pada bebeapa pasien) obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID). (d)komorbilitas yang

dapat menyebabkan gejala pernapasan dan kualitas hidup yang buruk, (e) diagnosis (GINA,

2020).

Menurut (Plaza et al., 2018) menyebutkan jika terdapat kepuasan pasien terhadap

penggunaan inhaler. Kepuasan spesifik terhadap inhaler lebih signifikan untuk kepatuhan

dan ketepatan yang lebih baik dan untuk pengendalian asma menjadi lebih terkontrol.

Penelitian sebelumnya didapatkan bahwa terdapat hubungan antara ketepatan penggunaan

inhaler terhadap terkontrolnya asma (Dian Anggraini et al., 2018). Maka dari itu penting

bagi dokter atau tenaga kesehatan untuk untuk memberi edukasi sebelum memberikan alat

inhalasi kepada pasien agar penyakit asma dapat lebih terkontrol (NACA, 2008).

2.7 Hubungan faktor penggunaan Inhaler dengam Hasil Ashtma Control Test (ACT)

Pengobatan asam dinilai setidaknya minimal 3 bulan pengobatan setelah terdiagnosa

penyakit asma, hal tersebut penting untuk membedakan antara asma terkontrol, terrkontrol

sebagian dan tidak terkontrl. Terapi farmakologi yang sering digunakan sebagai obat

pengontrol adalah obat inhalasi, pemebrian obat secara inhalasi dapat memberikan onset yng

cepat dan lebih sedikit efek samping sistemiknya. Namun saat menggunakan obat inhalasi

harus memiliki keterampilan agar obat dapat diberikan secara efekif (GINA 2020).
27

Penelitian yang dilakukan oleh (Plaza et al., 2018). pada penelitian tersebut terdapat

kepuasan pasien terhadap penggunaan inhaler. Kepuasan spesifik terhadap inhaler lebih

signifikan untuk kepatuhan dan ketepatan yang lebih baik dan untuk pengendalian asma

menjadi lebih terkontrol. Pasien asma dan PPOK dengan aplikasi perangkat yang salah lebih

cenderung menderita batuk dan lebih sesak saat berjalan menanjak atau menaiki

tangga(Gregoriano et al., 2018).

Kuesioner ACT dapat digunakan untuk melengkapi pemeriksaan dan penilaian klinis

pasien asma dalam menentukan tingkat kontrol asma(Anita Ramlie , Retno Ariza

Soeprihatini Soemarwoto, 2014). Kuesioner ACT tersebut menggambarkan gangguan

aktivitas setiap hari akibat dari asma, seberapa sering pasien mengeluhkan sesak nafas,

apakah ada gejala pada malam hari, seberapa sering menggunakan obat semprot/obat oral

dan bagaimana tingkat kontrol asma (Zhang et al., 2020). Penderita asma yang teratur dalam

penggunaan inhaler memiliki hasil asthma Control Test (ACT) yang lebih terkontrol

dibandingkan dengan penderita asma yang tidak teratur dalam penggunaan inhaler(Wahyudi

Fadzila, 2018). Dari penelitian sebelumnya didapatkan bahwa terdapat hubungan antara

ketepatan penggunaan inhaler dengan terkontrol atau tidaknya asma berdasarkan asthma

control test (ACT). Terdapat sebesar (28,1%) dari 9 orang pasien asma tidak terkontrol dan

Terdapat sekitar (71,9%) dari 32 orang pasien asma terkontrol pada saat menggunakan

inhaler dengan tepat dengan pengontrol (ACT) (Prisilla et al., 2016)

2.8 Kerangka Teori

Allergen merupakan salah satu pemicu faktor penyebab terjadinya asma, dikarenakan

allergen dapat mengakibatkan kejadian bronkodilatasi pada saluran pernapasan yang

mengakibatkan vasodilatasi (edema) yang bias menyebabkan hipersekresi mukus dan terjadi
28

inflamasi pada saluran pernapasan. Jika terjadi inflamasi pada saluran pernapasan maka

lumen bronkus akan mengalami penympitan dan obstruksi pada saluran pernapasan bias

menyebabkan kejadian asma. Pengobatan asma dapat menggunakan obat oral dan obat

inhalasi. Salah satu factor keberhasilan inhalasi adalah ketepatan penggunaan inhaler yang

benar, jenis alat inhaler yang akan digunakan adala inhaler MDI dan DPI. Jika penggunaan

inhaler tepat maka maka akan menjadikan asma tersebut menjadi lebih terkontrol.

Terkontrolnya asma dapat dievaluasi dengan menggunakan kuesioner asthma control test

(ACT) untuk melihat derajat control asma apakah asma tersebut terkontrol penuh, terkontrol

sebagian atau tidak terkontrol.


29

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Keterangan:

= Variable yang tidak diteliti

= Variabel yang diteliti


30

2.9 kerangka Konsep

Inhaler adalah obat yang dipemebrian secara inhalasi yang dapat memberikan onset

secara cepat dan lebih sedikit efek samping sistemiknya. Ketepatan penggunaan inhaler dapat

dievaluasi menggunakan kuesioner Asthma Control Test (ACT). ACT adalah kuesioner yang

sudah tervalidasi dan mudah untuk digunakan secara mandiri untuk memantau tingkat derajat

kontrol asma, yang dilihat dalam derajat control asma adalah asma terkontrol penuh,

terkontrol sevagian dan tidak terkontrol.

Gambar 2.2 Kerangka konsep

Keterangan:

= Variabel Independen

= Variabel Dipenden
31

2.10 Hipotesis

Berdasarkan penelitian ini, mendapatkan hipotesis penelitian sebagai berikut:

H0: Tidak Tedapat Hubungan Faktor Penggunaan Inhaler dengan Hasil Asthma

Control Test (ACT) pada Pasien Asma di Klinik Harum Melati Kabupaten Pringsewu

Provinsi Lampung periode 2021.

H1: Terdapat Hubungan Faktor Penggunaan Inhaler dengan Hasil Asthma Control

Test (ACT) pada Pasien Asma di klinik Harum Melati Kabupaten Pringsewu Provinsi

Lampung.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian observasional. Jenis penelitian yang dilakukan adalah

survey analitik dengan pendekatan cross-sectional. Pendekatan dilakukan secara propektif

untuk mengaudit kasus asma di Klinik Harum Melati dan Rumah Sakit Umum Wisma Rini

Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan di Klinik Harum Melati dan Rumah Sakit Umum Wisma

Rini Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini akan di laksanakan pada bulan Oktober sampai Desembar 2021

3.3 Rencana Penelitian

Penelitian ini menggunakan survey cross-sectional, dimana penelitian ini melihat

tingkat hubungan antara factor resiko dan efek dengan cara mematuhi seluruh data yang ada

pada satu waktu. Dimaksudkan, pada setiap subjek penelitan hanya diamati satu kali saja dan

dilakukan pengukuran terhadap subjek penelitian pada saat pemeriksaan. Pada penelitian ini

juga menggunakan pendekatan secara prospektif , yaitu penelitian melihat kejadian kedepan,

dimana pengumpulan data dimulai dari variable penyebab atau factor resiko yang akan

32
terjadi, kemudian di ikuti akibat pada waktu yang akan datang. Penelitian ini berangkat dari

variable independen dan kemudian di ikuti akibat dari variable independen tersebut terhadap

variable dipenden (Notoatmodjo,2018).

3.4 Subjek Penelitian

3.4.1 Populasi Penelitian

Populasi yaitu keseluruhan total dari objek yang akan diteliti (Notoatmodjo,2018).

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien penderita penyakit asma yang berobat di

Klinik Harum Melati Pringsewu Provinsi Lampung. Populasi dalam penelitian ini sebanyak

minimal 100 penderita asma.

3.4.2 Sampel penelitian

Sampel yaitu target yang diteliti yang dianggap bias mewakili dari seluruh populasi

yang memenuhi kriteria (Notoatmodjo,2018). Sampel pada penelitian ini adalah pasien asma

yang sedang menjalani terapi menggunakan inhaler degan pengontrol asthma control test

(ACT). Sampel pasien asma tersebut di ambil dengan cara suvey langsung di Klinik Harum

Melati dan Rumah Sakit Umum Wisma Rini Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung

3.5 kriteria Sampel

3.5.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah subjek penelitian yang memenuhi syarat sebagai sempel

penelitian pada penelitian ini dapat diketahui kriteria inklusi sebagai berikut

1. Pasien yang di diagnosis asma yang berobat di Klinik Harum Melati dan Rumah

Sakit Umum Wisma Rini Kabupaten Pringsewu


2. Pasien asma yang penjalani terapi inhaler di Klinik Harum Melati dan Rumah Sakit

Umum Wisma Rini Kabupaten Pringsewu

3. Pasien asma anak yang dipakaikan inhaler oleh orang tuanya

4. Paasien asma yang menjalani minimal 3 bulan pengobatan

3.5.2 Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah jumlah penelitian yang tidak memenuhi syarat sebagai

sampel penelitian. Pada penelitian ini dapat diketahui kriteria eksklusi sebagai berikut:

1. Pasien asma yang mengidap penyakit komorbid paru seperti TB paru, bronchitis, dan

penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) menahun.

2. Pasien Asma dengan post covid19

3.6 Variabel Penelitian

3.6.1 Variabel Terikat (Dependen Variable)

Variable terikat pada penelitian ini adalah Asthma control asma test (ACT).

3.6.2 Variable Bebas (Independen Variable)

Variable bebas pada penelitian ini adalah ketepatan penggunaan inhaler

3.7 Definisi Operasional

Definisi Operasional yaitu batasan agar variable dapat diukur dengan alat ukur

dimaksudkan supaya pengukuran variable atau pengumpulan data ini konsisten antar sumber

(Notoatmodjo, 2018).
Table 3.1. Definisi Oprasional

Variable Definisi Oprasional Alat Uur Hasil Skala


1. ACT ACT adalah alat bantu berupa Kuesioner 0= tidak Ordinal
kuesioner yang bayak dipakai untuk ACT terkontrol
menilai keadaan asma terkontrol. 1= terkontrol
Terdapat 5 pertanyaan dan masing- sebagian
masing mempunyai sekor 1-5. 2= terkontrol
Parameter yang dinilai yaitu
gangguan aktifitas harian akibat
asma, frekuensi gejala asma, gejala
pada malam hari, penggunaan
inhalasi dan presepsi terhadap
control asma.
2.Inhaler Inhaler adalah obat yang Cheklist 0= Tidak Ordinal
dipemebrian secara inhalasi. Alat Tepat
inhaler yang sering digunakan 1= Tepat
pasien asma seperti pMDI, Soft Mist
Inhaler, DPI (Accuhaler Turbuhaler
Breezhaler)

3.8 Alat Ukur

Alat ukur pengumpulan data yang dilakukan untuk menunjang penelitian ini adalah

checklist untuk ketepatan penggunaan inhaler dan kuesioner untuk Asthma Control Test yang

dilakukan survey secara langsung kepada pasien yang terdiaknosis asma di Klinik Harum

Melati Pringsewu Provinsi Lampung.


A. Check List Inhaler
Petunjuk pengisian : berikan tanda check list (√) apabila dilakukan di setiap kolom jawaban yang
tersedia (jawablah dengan jujur):

Ceklist Penggunaan pMDI

□ Lepaskan tutup
□ Periksa penghitung dosis (jika ada)
□ Pegang inhaler tegak dan kocok dengan baik
□ Buang napas dengan lembut, jauh dari inhaler
□ Letakkan corong di antara gigi tanpa menggigit dan tutup bibir untuk membentuk
segel yang baik

□ Tarik napas perlahan melalui mulut dan, pada saat yang sama, tekan tabung
dengan kuat

□ Tetap bernapas perlahan dan dalam


□ Tahan napas selama sekitar 5 detik atau selama nyaman
□ Sambil menahan nafas, keluarkan inhaler dari mulut
□ Buang napas dengan lembut, jauh dari inhaler
□ Jika dosis tambahan diperlukan, ulangi langkah 2 hingga 10
□ Ganti tutup
Ceklist Penggunaan Soft Mist Inhaler

□ Pegang inhaler tegak lurus dengan tutupnya tertutup


□ Putar dasar ke arah panah sampai berbunyi klik
□ Buka tutupnya sampai terkunci sepenuhnya
□ Hembuskan napas dengan lembut, jauh dari inhaler
□ Tempatkan corong di mulut dan tutup bibir untuk membentuk segel yang
baik. Jangan tutupi ventilasi udara

□ Bernapaslah secara perlahan dan dalam melalui mulut dan, pada saat waktu
yang sama, tekan tombol dosis

□ Tetap bernapas perlahan dan dalam


□ Tahan napas selama 5 detik atau selama nyaman
□ Sambil menahan nafas, keluarkan inhaler dari mulut
□ Buang napas dengan lembut, jauh dari inhaler
□ Klik tutup tutup
□ Dua kali inhalasi adalah dosis biasa untuk obat-obatan yang digunakan
bersama Respimat.
Ulangi dari langkah 1 untuk mendapatkan dosis penuh

Ceklist Penggunaan Turbuhaler (DPI)

□ Buka dan lepaskan penutup


□ Periksa penghitung dosis
□ Jaga inhaler tetap tegak saat memutar pegangan
□ Putar dan putar kembali hingga terdengar bunyi klik
□ Buang napas dengan lembut, jauh dari inhaler
□ Tempatkan corong di antara gigi tanpa menggigit dan menutup bibir untuk
membentuk segel yang baik. Jangan tutupi ventilasi udara

□ Tarik napas dengan kuat dan dalam


□ Tahan napas selama sekitar 5 detik atau selama nyaman
□ Lepaskan inhaler dari mulut
□ Buang napas dengan lembut dari inhaler
□ Jika dosis tambahan diperlukan, ulangi langkah 2 hingga 10
□ Ganti penutup
Ceklist Penggunaan Accuhaler (DPI)

□ Periksa penghitung dosis


□ Buka penutup menggunakan pegangan ibu jari
□ Tahan secara horizontal, muat dosis dengan menggeser tuas hingga berbunyi
klik

□ Buang napas dengan lembut, jauh dari inhaler

□ Tempatkan corong di mulut dan tutup bibir untuk membentuk segel yang
baik, jaga agar inhaler tetap horizontal

□ Tarik napas dengan mantap dan dalam

□ Tahan napas selama sekitar 5 detik atau selama nyaman

□ Sambil menahan nafas, keluarkan inhaler dari mulut

□ Buang napas dengan lembut, jauh dari inhaler

□ Jika dosis tambahan ditentukan, ulangi langkah 3 hingga 9

□ Klik tutup untuk menutup


Ceklist Penggunaan Breezhaler (DPI)

□ Lepaskan tutup.
□ Putar untuk membuka corong.
□ Keluarkan kapsul dari blister dan masukkan ke dalam chamber.
□ Tutup corong sampai berbunyi klik.
□ Tekan tombol tindik samping sekali dan lepaskan. (Jangan goyang.)
□ Buang napas dengan lembut (jauh dari corong).
□ Letakkan corong di antara gigi (tanpa menggigit) dan tutup bibir untuk
membentuk segel yang baik.

□ Tarik napas dengan cepat dan mantap, sehingga kapsul bergetar.


□ Lanjutkan bernapas selama nyaman.
□ Tahan napas selama sekitar 5 detik, atau selama nyaman. Sambil menahan
napas, lepaskan inhaler dari mulut.

□ Buang napas dengan lembut (jauh dari corong).


□ Buka corong dan lepaskan kapsul bekas.
□ Jika diperlukan lebih dari satu dosis, ulangi semua langkah mulai dari langkah
3.

□ Tutup corong dan tutup.


Hasil : apabila langkah langkah yang dilakukan bernilai ≥80% di setiap perangkat maka
dinyatakan TEPAT
B. Kuesioner ACT

Dalam 4 minggu terakhir, seberapa sering penyakit asma menggangu anda dalam melakukan
pekerjaan sehari-hari di kantor, disekolah atau di rumah?
NILAI
Selalu Sering Kadang- Jarang Tidak pernah
kadang
1 2 3 4 5

Dalam 4 minggu terakhir seberapa sering anda mengalami sesak napas?


NILAI
>1 kali sehari 1 kali sehari 3-6 kali 1-2 kali Tidak pernah
seminggu seminggu
1 2 3 4 5

Dalam 4minggu terakhir, seberapa sering gejala asma (bengek, atu-batuk, sesak napas, nyeri dada,
atau rasa tertekan di dada) menyebabkan anda terbangun dimalam hari atau lebih awal dari biasanya
NILAI
4 kali atau 1-2 kali 1 kali 1-2 kali Tidak pernah
lebih seminggu seminggu seminggu
seminggu
1 2 3 4 5

Dalam 4 minggu terakhir, seberapa sering nda menggunakan obat semprot darurat atau obat oral
untuk melegakan pernapasan?
NILAI
>3 kali sehari 1-2 kali 2-3 kali <1 kali Tidak pernah
sehari seminggu seminggu 5
1 3 4
2

Bagaimana penilaian anda terhadap tingkat control asma anda dalam 4 minggu terakhir?
NILAI
Tidak Kurang Cukup Terkontrol Terkontrol
terkontrol terkontrol terkontrol dengan baik penuh
sama sekali
1 2 3 4 5

Jumlah

Hasil:
< 19 : Tidak terkontrol
20-24 : Terkontrol sebagian
25 : Terkontrol Penuh
3.9 Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner

dengan melihat teknik ketepatan penggunaan inhaler dengan uji asthma control test (ACT)

di Klinik Harum Melati Pringsewu Provinsi Lampung. Penelitian ini menggunakan

dataprimer dengan cara mengobservasi dari data kuesionerpada pasien asma yang di

kumpulkan langsung saat itu juga kemudian di dokumentasikan ke lembar observasi secara

langsung oleh peneliti kemudian data langsung di kumpulkan hari itu.

3.10 Teknik Pengolahan Data

Terdapat empat tahapan penggolongan data agar menghasilkan informasi yang benar

yaitu:

3.10.1 Editing

Langkah ini dilakukan penelitian untuk untuk memeriksa kembali kelengkapan dan

perbaikan data yang diperlakukan untuk mencapai tujuan pnelitian maka dilakukan

pengelompokan dan penyusunandata yang diperoleh dari pengamatan lapang.

3.10.2 Proses Pengkodean (Coding)

Coding adalah mengganti data yang beruoa kalimat kedalam bentuk yang lebih

sederhana denganmenggunakan kode-kode.

3.10.3 Memasukan Data (Processin)

Data yang telah melewati proses pekodean selanjutnya akan diproses sehingga data

dapat menganalisis computer. Cara untuk memproses data yaitu dengan memasukan data

kuesioner ke program computer.


3.10.4 Pembersihan Data (Cleaning)

Semua data yang sudah dimasukan akan dilakukan pengecekan kembali untuk

menghimdari terjadinya kesalahan kode dan ketidak lengkapan data yang kemudian akan

dilakukan pembetulan.

3.11 Analisis Data

Data diperoleh dari proses pengumpulan data yang diubah dalam bentuk tabel,

kemudian diolah menggunakan program software statistik pada komputer diamna akan

dilakukan 2 macam analisa data, yaitu analisa univariat dan bivariat.

3.11.1 Analisis Univariat

Analisis Univariat tergantung pada jenis datanya. Prinsip dalam analisis ini hanya

menghasilkan persentase dan distribusi frekuensi dari tiap variable. Analisis univariate

bertujuan untuk menggambarkan karakteristik setiap variable penelitian.

3.11.2 Analisis Bivariat

Analisiss Bivariat merupakan bentuk studi yang dilakukan untuk mencari

kolerasi untuk 2 variabel dependen dan independent, dimana pada penelitian ini akan

mencari kolerasi antara dua variabel yaitu ketepatan penggunaan inhaler dan hasil

asthma control test (ACT), Maka pada penelitian ini analisis bivariat yang digunakan

yaitu uji kolerasi pearson. uji pearson merupakan studi yang membahas keeratan

hubungan antar variabel yang dinyatakan dengan nilai koefisien koleratif (Thirumalai

et al., 2017).
3.12 Alur Penelitian

Penyusunan Proposal

Proses perizinan penelitian ke Klinik Harum


Melati Pringsewu

melakukan penelitian

Kriteria Inklusi

Kriteria Eksklusi

Sampel

Melakukan penataan data dari hasil survey

Editing Dan Processing

Analisis Data
Gambar 3.2 Alur Penelitian
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran analisis penelitian

Penelitian ini dilakukan di klinik Harum Melati dan RSU Wisma Rini di Kabupaten

Pringsewu Provinsi Lampung pada bulan Oktober 2021-Januari 2022 dengan melibatkan 173

responden didapatkan 126 orang sebagai sampel. Penelitian ini menggunakan pengambilan

data survey sebagai alat ukur yang kemudian dianalisis menggunakan uji korelasi Spearman.

4.2 Hasil Penelitian

4.2.1 Karakteristik Responden

1. Frekuensi Asma

Data distribusi frekuensi asma berdasarkan usia dan jenis kelaminnya disajikan dalam

tabel sebagai berikut.

Tabel 4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Prevalensi Penderita Asma

Jenis Kelamin
TOTAL
Usia Perempuan Laki-laki
N % N % N %
Bayi (0-1 tahun) 0 0 0 0 0 0
Anak (2-12 tahun) 2 1,6 3 2,4 5 100
Remaja (13-19 tahun) 5 4,0 5 4,0 10 100
Dewasa (20-65 tahun) 74 58,7 22 17,5 96 100
Lanjut usia (>65 tahun) 10 7,9 5 4,02 15 100
TOTAL 91 72,2 35 27,92 126 100

Berdasarkan Tabel 4.1 didapatkan bahwa anak laki-laki memiliki prevalensi lebih

tinggi dari pada anak perempuan. Sedangkan pada usia setelah remaja, rata-rata didapatkan

bahwa perempuan memiliki prevalensi yang lebih tinggi.


2. Usia

Data karakteristik responden berdasarkan usia disajikan dalam tabel sebagai berikut.

Tabel 4.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia Penderita Asma

Usia N %
Bayi (0-1 tahun) 0 0
Anak (2-12 tahun) 5 4.0 %
Remaja (13-19 tahun) 10 7,9 %
Dewasa (20-65 tahun) 96 76,2 %
Lanjut usia (>65 tahun) 15 11,9 %
TOTAL 126 100,0 %

Berdasarkan tabel 4.2 didapatkan karakteristik usia tertinggi penderita asma terjadi

pada usia dewasa (20-65 tahun) sebanyak 96 orang (76,2%), dan pada usia anak-anak

memiliki nilai terendah yaitu sebnayak 5 orang (4,0%) pada pasien asma.

3. Jenis Kelamin

Data karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin disajikan dalam tabel sebagai

berikut.

Tabel 4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Penderita Asma

Jenis Kelamin N %
Laki-laki 35 27,8
Perempuan 91 72,2
TOTAL 126 100

Berdasarkan tabel 4.3 didapatkan karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin

penderita asma semua umur, didapatkan perempuan lebih banyak, yaitu sebanyak 91 orang

(72,2%) dan laki-laki sebanyak 35 orang (27,8%).


4. Jenis Obat Inhaler

Data karakteristik responden berdasarkan jenis obat inhaler disajikan dalam tabel

sebagai berikut.

Tabel 4.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Obat Inhaler Penderita Asma

Jenis Obat Inhaler N %


Salmoterol/ Fluticason 43 34,1
Beclometason/ Formoterol 73 57,9
Fluticason 2 1,6
Budesonide/ Formoterol 8 6,3
TOTAL 126 100%

Berdasarkan tabel 4.4 didapatkan karakteristik responden berdasarkan obat inhaler

pada penderita asma yang paling sering digunakan pada pasien asma di Klinik Harum Melati

dan RSU Wisma Rini yaitu, sebanyak 73 orang (57,9%) menggunakan jenis obat

beclometason/formoterol lebih banyak digunakan dari pada jenis obat inhaler yang lain,

seperti penggunaan jenis obat salbutamol/fluticasone sebanyak 43 orang (34,1%).

Penggunaan jenis obat inhaler yag paling sedikit yaitu jenis obat budesonide/formoterol

sebanyak 8 orang (6,3%), dan diikuti oleh penggunaan jenis obat flutikason yaitu sebanyak

2 orang (1,6%) yang paling sedikit atau jarang digunakan.


4.2.2 Analisis Univariat

1. Distribusi Frekuensi Jenis Inhaler

Data distribusi frekuensi penggunaan jenis inhaler pada pasien asma disajikan dalam

tabel sebagai berikut.

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Jenis Inhaler Penderita Asma

Perangkat Inhaler Jenis Inhaler N %


DPI Accuhaler 43 34,1
Nexthaler 9 7,1
Turbuhaler 8 6,3
MDI pMDI 66 52,4
TOTAL 126 100

Berdasarkan tabel 4.5 didapatkan distribusi frekuensi jenis inhaler yang sering

digunakan pada pasien di Klinik Harum Melati dan RSU Wisma Rini yaitu, perangkat inhaler

MDI jenis pMDI yaitu sebanyak 66 orang (52,4%) di ikuti dengan perangkat inhlaler DPI

yaitu, jenis accuhaler yaitu sebanyak 43 orang (34,1%), penggunaan jenis nexthaler sebanyak

9 orang ( 7,1%) dan sebanyak 8 orang (6,3%) memakai jenis turbuhaler.


2. Distribusi Frekuensi Ketepatan Penggunaan Inhaler

Data distribusi ketepatan penggunaan inhaler pada pasien asma disajikan dalam

grafik sebagai berikut

68 67 (53,2%)
66
64
62
60 59 (46,8%)
58
56
54
Ketepatan Penggunaan Inhaler

Tepat Tidak Tepat

Grafik 4.1 Distribusi Frekuensi Ketepatan Penggunaan Inhaler

Berdasarkan grafik 4.1 didapatkan frekuensi ketepatan penggunaan inhaler

didapatkan paling tinggi pasien asma menggunakan inhalernya dengan tidak tepat yaitu

sebayak 67 atau (53,2%) orang menggunakan inhalernya dengan tidak tepat sedangkan

pasien yang menggunakan inhalernya dengan tepat hanya sebnayak 59 orang (46,8%).
5. Distribusi Frekuensi Asthma Control Test (ACT) Penderita Asma

Data distribusi hasil Asthma Control Test (ACT) pada pasien asma disajikan dalam

tabel sebagai berikut.

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Asthma Control Test (ACT) Penderita Asma

ACT N %
Terkontrol Penuh 44 34,9
Terkontrol sebagian 52 41,3
Tidak Terkontrol 30 23,8
TOTAL 126 100

Berdasarkan tabel 4.6 distribusi frekuensi hasil Asthma control Test (ACT)

didapatkan distribusi terkontrol sebagian lebih tinggi yaitu sebanyak 52 orang (41,3%).

Sedangkan untuk pasien asma yang terkontrol penuh sebanyak 44 orang (34,9%) dan pasien

yang tidak terkontrol untuk asmanya yaitu sebanyak 30 orang (23,8%).


4.2.3 Uji Bivariat

1. Hubungan Ketepatan Penggunaan Inhaler Dengan Hasil Asthma Control Test (ACT)

Pada Pasien Asma

Uji Bivariat untuk mengetahui hubungan ketepatan inhaler dengan hasil Astma

Control Test (ACT) pada pasien asma disajikan dalam Tabel 4.7

Tabel 4.7 Hubungan Ketepatan Penggunaan Inhaler Dengan Hasil Asthma Control Test

(ACT) Pada Pasien Asma di Klinik Harum Melati dan RSU Wisma Rini Kabupaten

Pringsewu Provinsi Lampung Pada Bulan Oktober 2021-Januari 2022

ACT
Terkontrol Terkontrol Tidak
inhaler Sig. R
penuh sebagian terkontrol
N % N % N %
Tepat 40 31,7 18 14,3 2 1,6
P=0.000 r=0.667
Tidak Tepat 4 3,2 34 27,0 28 22,2
TOTAL 44 34,9 52 41,3 30 23,8

Berdasarkan tabel 4.7 didapatkan hubungan yang signifikan antara ketepatan

penggunaan inhaler dangan hasil ACT pada pasien asma di Klinik Harum Melati Pringsewu

dan RSU Wisma Rini Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung dengan p = 0.000 dan

koefisien korelasi positif sebesar r = 0.667. Pada penelitian ini terdapat 40 responden

menggunakan inhaler dengan tepat memiliki kontrol asma sebagian yaitu (31,7%).

Dari hasil penelitian diatas maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh veiabel

ketepatan penggunaan inhaler dengan hasil Asthma Control Test (ACT) pada pasien asma di
klinik Harum Melati dan RSU Wisma Rini Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung, Yaitu

sebesar 43,5% dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteli oleh peneliti.

4.3 PEMBAHASAN

4.3.1. Distribusi Frekuensi Pasien Asma di Klinik Harum Melati dan RSU Wisma Rini

Dalam penelitian ini didapatkan perbedaan prevalensi antara penderita asma laki-laki

dan perempuan disetiap tingkatan tahunnya. Pada usia anak (0-12 tahun) didapatkan bahwa

prevalensi asma lebih tinggi pada laki-laki, akan tetapi setelah memasuki usia remaja, pada

usia (20-65 tahun) prevalensi asma pada perempuan lebih tinggi jumlahnya.

Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Chabra & Gupta, 2020)

Dijelaskan bahwa perubahan hormone sebelum dan sesudah pubertas memiliki pengaruh

terhadap perubahan pola ini, khususnya hormone esterogen. Sebagian besar asma dipicu oleh

respon hipersensitivitas walaupun gen dan riwayat atopic memiliki peran penting, akan tetapi

ekspresi asma sendiri dipicu oleh respon tersebut. Dimana makrofag alveolar merupakan

mediator utama dalam peradangan paru yang disebabkan oleh alergi. Didalam penelitianya,

Kaselman menyebutkan bahwa makrofag alveolar tikus betina menunjukkan ekspresi

terhadap reseptor esterogen alfa (ER-α) yang lebih besar dari pada pada tikus jantan. Hal

tersebut menyebabkan peningkatan ekspresi gen M2 yang mengakibatkan peningkatan

eosinofil yang sejalan dengan gangguan fungsi paru. Hal tersebut menjadikan peningkatan

yang cukup signifikan pada jumlah penderita Asma perempuan setelah masa pubertas

(Keselman et al., 2019).


4.3.2 Distribusi Frekuensi Jenis Inhaler pada pasien asma di Klinik Harum Melati dan

RSU Wisma Rini

Pada penelitian ini menunjukan bahwa frekuensi perangkat inhaler MDI jenis pMDI

yaitu sebanyak 66 orang (52,4%) di ikuti dengan perangkat inhlaler DPI yaitu, jenis accuhaler

yaitu sebanyak 43 orang (34,1%), penggunaan jenis nexthaler sebanyak 9 orang ( 7,1%) dan

sebanyak 8 orang (6,3%) memakai jenis turbuhaler.

Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakunan oleh inhalernya (Zazuli et al.,

2018) yang menyebutka bahwa penggunaan pMDI lebih banyak digunakan sekitar (44,5%)

sedangkan penggunann inhaler DPI sebesar (9,7%). Penelitian tersebut berbeda dengan

penelitian yang dilakukan oleh (Plaza et al., 2018) menjelaskan bahwa persentase pasien

dengan kepuasan tinggi dengan inhaler lebih banyak menggunakan inhaler DPI yaitu, sebesar

(51,6%) dibandingkan dengan kepuasan menggunakan inhaler pMDI yaitu sekitar (27,9%).

Pasien dengan kepuasan yang lebih spesifik dalam penggunaan inhalernya memiliki

ketepatan yang tinggi dalam penggunaan Inhaler merupakan alat yang paling disukai untuk

pengobatan asma atau penyakit paru obstruksi kronik (PPOK). Inhaler adalah obat yang

diberikan secara inhalasi dan dapat memberikan onset yang cepat dan lebih sedikit efek

sistemiknya. Namun saat menggunakan obat inhalasi harus memiliki keterampilan agar obat

dapat diberikan secara efektif (GINA, 2020).

Pemberian obat melalui rute inhalasi merupakan bagian penting dalam pengobatan

asma. Efektifitas obat inhalasi bukan hanya tergantung pada formulasi terapi tetapi lebih ke

desain dan kemampuan pasien dalam penggunaan perangkat dengan benar (Lorensia, 2018).
Padarute inhalasi obat tidak mengalami metabolism lintas pertama sehingga memiliki onset

bronkodilator yang cepat (Lorensia & Nathania, 2017).

4.3.3 Distribusi Frekuensi Ketepatan Penggunaan Inhaler Pada pasien Asma di Klini

Karum Melati dan RSU Wisma Rini

Dalam penelitian ini didapatkan frekuensi ketepatan penggunaan inhaler pada pasien

asma menunjukkan presentasi pasien menggunakan inhaler tidak tepat tepat lebih tinggi yaitu

sebanyak 67 orang (53,2%) dari pada prevalensi pada pasien asma yang menggunakan

inhaler dengan tepat sebanyak 59 orang (46.8%).

Hal tersebut sesuai dengan analisis penelitian yang dilakukan oleh (Wahyudi Fadzila,

2018) pada 30 responden bahwa sebagian respondennya tepat dalam menggunaka inhaler

yaitu sebanyak 17 orang (56,7%). Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan

oleh (Prisilla et al., 2016) yaitu pasien asma yang tidak teratur menggunakan kortikosteroid

inhalasi yaitu sebanyak 61 orang (63,55%) dan pasien yang teratur menggunakan inhalasi

sebanyak 35 orang (36,5%).

Sebagian besar ketidak tepatan penggunaan inhaler terjadi pada teknik

pernapasannya, baik pada tahap persiapa maupun tahap menggunakan inhaler. Pada tahap

persiapan (86,7%) pasien tidak melakukan pernapasan yang benar (tidak menghembuskan

napas sebelum menggunakan inhaler). Pada tahap penggunaan perangkat (66,7%) pasien

tidak bernapas dengan benar saan menekan MDI (Widyastiwi et al., 2021). Penelitian yang

dilakukan (Zazuli et al., 2018) memaparkan bahwa sebagian pasien asma yang menggunakan

inhaler tidak tepat terdapat 80% yaitu pasien tidak dapat menahan napas selama kurang lebih

5 detik. Ini adalah kesalahan yang sering ditemukan pada penggunaan inhaler pMDI,

turbuhaler dan accuhaler.


Inhalasi merupakam metode pemberian obat secara topikal pada paru yang meng

hasilkan konsentrasi lokal yang tinggi di dalam paru dengan penghantaran sistemik yang

rendah. Metode inhalasi dapat menimbukan efek samping sistemik (Gilman,2008).

Ketepatan penggunaan inhaler menupakan hal yang paling penting dan perlu diperhatikan

pada pasien asma dalam menjalani terapi inhalasi, karena hal tersebut berhubungan erat

dengan kualitas hidup pasien dalam mengontrol penyakit asma dan mengurani gejala yang

dialami (Bakhtiar & Tantri, 2019).

4.3.4 Distribusi Frekuensi Penggunaan Asthma Control Test (ACT) di Klinik Harum

Melati dan RSU Wisma Rini

Dalam penelitian ini didapatkan frekuensi hasil ACT bahwa pasien asma yang

terkontrol penuh tidak ada. Frekuensi tertinggi untuk penilaian ACT terkontrol sebagian lebih

tinggi yaitu sebanyak 52 orang (41,3%) dan pasien yang terkontrol penuh sebanyak 44 orang

(34,9%) dan frekuensi pada pasien yang tidak terkontrol yaitu sebanyak 30 orang (23,8%).

Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Anita Ramlie , Retno

Ariza Soeprihatini Soemarwoto, 2014) kuesioner ACT dapat di gunakan untuk melengkapi

pemeriksaan dan penilaian klinis pasien asma dalam menentukan tingkat kontrol asmanya,

pada penelitian tersebut menunjukan bahwa didapatkan hasil 66 orang (32,5%) terkontrol

penuh, 87 orang (42, 9) terkontrol sebagian, dan 50 orang (24,6% ) tidak terkontrol).

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh (Widyastiwi et al., 2021) menunjukan bahwa dari

jumlah subjek sebesar 30 orang terdapat 90% pasien asma meiliki asma tidak terkontrol, dan

menurut (Prisilla et al., 2016) pasien tidak terkontrol asmanya sebnayak 57 orang (59,4%).
Asthma control test (ACT) adalah kuesioner yang sudah tervalidasi dan dapat

mencerminkan perubahan tingkat kontrol atau belum terkontrol. Kuesioner ini mudah

digunakan dan dapat memantau tingkat kontrol asma. Pengenalan secara awal terhadap

perubahan tingkat kontrol asma dan dapat dideteksi sendiri oleh pasien merupakan hal yang

paling penting, karena dapat mencegah terjadinya serangan eksaserbasi asma akut yang berat.

Penggunaan dini terhadap asma dapat menurunkan angka mordibilitas dan mortalitas

penyakit. Menurut (Haryanti et al., 2016) terdapat sebanyak 46 orang (81%) berada pada

tingkat tidak terkontrol, 11 orang (19%) terkontrol sebagian dan tidak ada pasien dengan

terkontrol penuh. Pedoman internasional, manajemen asma untuk mencapai dan

mempertahankan kontrol, ditandai dengan tidak adanya tanda gejala pada malam dan siang

hari, tidak ada kunjungan ke rumah sakit/dokter, kebutuhan obat pereda minim, tidak ada

batasan kegiatan fisik dan olahraga, fungsi paru-paru mendekati normal, dan tidak ada efek

samping obat.

4.3.5 Hubungan Ketepatan Penggunaan Inhaler dengan Hasil Asthma Control Test

(ACT) pada pasien asma di Klinik Harum Melati dan RSU Wisma Rini Kabupaten

Pringsewu Provinsi Lampung

Pada hasil penelitian ini menggunakan uji korelasi dimana di dapatkan bahwa

terdapat hubungan antara ketepatan penggunaan Inhaler dengan hasil Asthma Control Test

(ACT) dengan p = 0.000 dengan koefisien korelasi positif sebesar r = 0.667. Pada penelitian

ini terdapat 120 responden yang dimana ada 40 orang menggunakan inhaler dengan tepat

memiliki kontrol asma sebagian yaitu (31,7%).


Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Wahyudi Fadzila, 2018) menunjukan

bahwah terdapat hubungan antara ketepatan penggunaan inhaler dengan hasil asthma control

test yaitu dari 30 orang responden tepat dalam penggunaan inhaler terdapat 17 orang teratur

menggunakan inhaler dengan tepat dan ACT terkontrol penuh yaitu sebesar (26,7%). Selain

itu penelitian yang dilakukan oleh (Prisilla et al., 2016) menyatakan bahwa terdapat

hubungan antara ketepata penggunaan inhaler dengan Asthma Contro Test (ACT) yaitu

sebesar (71,9%) dari 23 orang memiliki asma terkontrol dan (28,1%) dari 9 orang memiliki

asma yang tidak terkontrol. Penelitian yang dilakukan (Widyastiwi et al., 2021)

menyimpulkan bahwa pasien dengan skor akurasi penggunaan MDI yang lebih tinggi

berkolerasi positif dengan tingkat kontrol asmanya. Pada penelitian tersebut menunjukan

bahwa kelompok pasien yang menggunakan MDI dengan benar maka rentan skor ACT

adalah 18,22 %. Sementara yang menggunakan MDI secara tidak benar memiliki skor ACT

yang lebih rendah yaitu 14,81%.

Penggunaan inhaler yang tidak tepat dapat dikaitkan dengan pengontrol kontrol asma

yang buruk dan peningkatan frekuensi kunjungan ke UGD. Penggunaan perangkat inhaler

yang tidak tepat mengurangi distribusi obat dan hilangnya efektivitas obat dan itu akan

menyebabkan tingkat kontrol asma yang buruk sebagai hasil terapi. Selain penggunaan

inhaler yang tidak tepat, beberapa fektor lain yang dapat mempengaruhi hasil terapi adalah

eksaserbasi asma dan da kepatuhan pasien dalam menggunakan obat asma (Widyastiwi et

al., 2021).
4.4 Keterbatasan Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti memiliki banyak kekurangan dan

keterbatasan di karenakan populasi pasien asma tidak semua menggunakan inhaler dan tidak

dapet dipredikisi kedatangannya. terdapat pasien yang saat diminta untuk memperagakan

penggunaan inhalernya dengan terburu-buru sehingga banyak pasien yang di golongkan tidak

tepat pada pengunaan inhalernya, dan beberapa pasien ada yang kurang memahami

pertanyaan pada kuesioner sehingga memungkinkan mendapatkan jawaban yang kurang

relevan.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Prevalensi pasien asma di Klinik Harum Melati dan RSU Wisma Rini Kabupaten

Pringsewu Provinsi Lampung pada usia anak laki-laki sebanyak 3 orang dan anak

perempuan sebanyak 2 orang, remaja laki-laki sebanyak 5 orang dan remaja

perempuan sebanyak 5 orang, laki-laki dewasa sebanyak 22 orang sedangkam

perempuan dewasa sebanyak 74 orang, laki-laki lanjut usia sebanyak 5 orang dan

wanita lanjut usia sebanyak 10 orang.

2. Distribusi frekuensi ketepatan penggunaan inhaler pada pasien asma di Klinik Harum

Melati dan RSU Wisma Rini Kabupaten Pringsewu dan RSU Wisma Rini Kabupaten

Pringsewu Provinsi Lampung pada pasien asma yang tepat penggunaan inhalernya

yaitu 59 orang dan pasien yang tidak tepat menggunakan inhalernya sebesar 67 orang.

3. Distribusi frekuensi penggunaan jenis inhaler pada pasien asma di Klinik Harum

Melati dan RSU Wisma Rini Kabupaten pringsewu Provinsi Lampung menunjukan

bahwa pasien yang menggunakan pMDI lebih besar dari pada yang lainnya yaitu,

pada perangkat inhaler MDI jenis pMDI yaitu sebanyak 66 orang (52,4%) di ikuti

dengan perangkat inhlaler DPI yaitu, jenis accuhaler yaitu sebanyak 43 orang

(34,1%), penggunaan jenis nexthaler sebanyak 9 orang ( 7,1%) dan sebanyak 8 orang

(6,3%) memakai jenis turbuhaler.

4. Distribusi frekuensi Asthma Control test (ACT) pada pasien asma di Klinik Harum

Melati Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung. Sebanyak 44 (34,9%) orang

32
terkontrol penuh, 52 orang (41,3%) terkontrol sebagian dan pasien yang tidak

terkontrol sebanyak 30 orang (23,8%).

5. Terdapat hubungan ketepatan penggunaan inhaler dengan hasil Asthma Control Test

pada pasien asma di Klinik Harum Melati Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung

didapatkan p = 0.000 dengan koefisien korelasi positif sebesar r = 0.667. Pada

penelitian ini terdapat 120 responden yang dimana ada 40 orang menggunakan

inhaler dengan tepat memiliki kontrol asma penuh yaitu (31,7%).

5.2 Saran

5.2.1 Bagi Peneliti

Diharapkan dapat menambah keingin tahuan terhadap penelitian ini dan

mengembangkan serta menerapkan kemampuan dan pengetahuan peneliti terhadap

motodologi penelitian, statistic, dan kesehatan masyarakat.

5.2.2 Bagi Penderita

Diharapkan bagi penderita agar dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya

kontrol berkala sesuai jadwal yang telah ditentukan oleh dokter dan menggunakan inhaler

dengan rutin sesuai dosis yang telah diresepkan dokter secara rutin.

5.2.3 Bagi penelitian Selanjutnya

Diharapkan dapat menjadi frekuensi awal untuk penelitan yang sama dan diharapkan

juga untuk penelitian selanjutnya dapat mengelompokan data berdasarkan lama pengobatan

supaya data lebih homogen.


5.2.4 Bagi Tempat Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan referensi dalam pengobatan asma

di Klinik Harum Melati dan RSU Wisma Rini.


DAFTAR PUSTAKA

Anita Ramlie , Retno Ariza Soeprihatini Soemarwoto, W. H. W. (2014). Korelasi antara Asthma
Control Testdengan VEP1% dalam Menentukan Tingkat Kontrol Asma. Jurnal Respirologi
Indonesia, 34(2), 95–100.
Bai, C., Jiang, D., Wang, L., Xue, F., & Chen, O. (2019). A high blood eosinophil count may be
a risk factor for incident asthma in population at risk. Respiratory Medicine, 151(November
2018), 59–65. https://doi.org/10.1016/j.rmed.2019.03.016
Bakhtiar, A., & Tantri, R. I. E. (2019). Faal Paru Dinamis. Jurnal Respirasi, 3(3), 89.
https://doi.org/10.20473/jr.v3-i.3.2017.89-96
Brocklebank, D., Ram, F., Wright, J., Barry, P., Cates, C., Davies, L., Douglas, G., Muers, M.,
Smith, D., & White, J. (2001). Comparison of the effectiveness of inhaler devices in asthma
and chronic obstructive airways disease: a systematic review of the literature. Health
Technology Assessment, 5(26). https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK68519/
Chabra, R., & Gupta, M. (2020). Allergic And Environmental Induced Asthma. StatPearls
[Internet].
Dharmage, S. C., Perret, J. L., & Custovic, A. (2019). Epidemiology of asthma in children and
adults. Frontiers in Pediatrics, 7(JUN), 1–15. https://doi.org/10.3389/fped.2019.00246
Dian Anggraini, T., Aditya Pamungkas, Aminudin Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal, S., & Tinggi
Ilmu Kesehatan Nasional, S. (2018). Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kontrol
Asma Pada Pasien Asma Rawat Jalan. Jurnal Ilmiah STIKES Kendal, 8(2), 123–130.
Fitriani, N., Permana, A., & Diningrum, A. (2018). Rasionalitas Penggunaan Kortikosteroid pada
Terapi Asma Bronkial di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang. Syifa’MEDIKA:Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan, 9(1), 16.
https://doi.org/10.32502/sm.v9i1.122
GINA. (2020). Global Strategy for Asthma Management and Prevention.
https://doi.org/10.1016/s0335-7457(96)80056-6
Gregoriano, C., Dieterle, T., Breitenstein, A. L., Dürr, S., Baum, A., Maier, S., Arnet, I.,
Hersberger, K. E., & Leuppi, J. D. (2018). Use and inhalation technique of inhaled
medication in patients with asthma and COPD: Data from a randomized controlled trial.
Respiratory Research, 19(1), 1–15. https://doi.org/10.1186/s12931-018-0936-3
Haryanti, S., Ikawati, Z., Andayani, T. M., & Mustofa. (2016). Relationship Between
Compliance of Using β2-Agonist Inhaler Drug and Asthma Control on Asthma Patient.
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy, 5(4), 238–248.
https://doi.org/10.15416/ijcp.2016.5.4.238
Keselman, A., Fang, X., White, P. B., & Heller, N. M. (2019). Estrogen signaling contributes to
sex differences in macrophage polarization during asthma Aleksander. HHS Public Access,
176(3), 139–148. https://doi.org/10.4049/jimmunol.1601975.Estrogen
Lorensia. (2018). INHALER_BUKU_Amelia&Rivan_2018 .pdf (pp. 1–56).
Lorensia, A., & Nathania, J. (2017). Studi Kelengkapan Penjelasan Informasi Cara Penggunaan
Controllermetered-Dose Inhaler (Mdi) Yang Mengandung Kortikosteroid Sebagai Terapi
Asma Di Apotek Kabupaten Tuban. Jurnal Ilmiah Manuntung, 3(1), 14.
https://doi.org/10.51352/jim.v3i1.86
Maulana, A., Prihartono, N. A., & Yovsyah, Y. (2020). Hubungan Obesitas dengan Risiko
Kejadian Penyakit Asma pada Perempuan Usia Produktif di Indonesia. Jurnal Epidemiologi
Kesehatan Indonesia, 4(1), 1–6. https://doi.org/10.7454/epidkes.v4i1.3693
MF, H., M, T., ME, C., & EL, H. (2021). Asthma (Nursing). StatPearls.
http://europepmc.org/books/NBK568760
Mikhail, I., & Grayson, M. H. (2019). Asthma and viral infections: An intricate relationship.
Annals of Allergy, Asthma and Immunology, 123(4), 352–358.
https://doi.org/10.1016/j.anai.2019.06.020
Mulyati, S. (2018). Faktor Risiko Kejadian Asma Pada Anak Usia 5-13 Tahun Di Wilayah Kerja
Puskesmas Muara Tebo Kabupaten Tebo Tahun 2018. Ejournal Universitas Adiwangsa
Jambi, 214–221.
National Asthma Council Australia. (2008). Inhaler technique in adults with asthma or COPD.
National Asthma Council Australia, 1–9.
Orellano, P., Quaranta, N., Reynoso, J., Balbi, B., & Vasquez, J. (2017). Effect of outdoor air
pollution on asthma exacerbations in children and adults: Systematic review and multilevel
meta-analysis. PLoS ONE, 12(3), 1–15. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0174050
PDPI. (2004). Fp.Amegroups.Cn, 2–3. www.amepc.org
Plaza, V., Giner, J., Calle, M., Rytilä, P., Campo, C., Ribó, P., & Valero, A. (2018). Impact of
patient satisfaction with his or her inhaler on adherence and asthma control. Allergy and
Asthma Proceedings, 39(6), 437–444. https://doi.org/10.2500/aap.2018.39.4183
Pothirat, C., Chaiwong, W., Limsukon, A., Phetsuk, N., Chetsadaphan, N., Choomuang, W., &
Liwsrisakun, C. (2021). Real-world observational study of the evaluation of inhaler
techniques in asthma patients. Asian Pacific Journal of Allergy and Immunology, 39(2), 96–
102. https://doi.org/10.12932/AP-210618-0348
Prisilla, W., Medison, I., & Rusjdi, S. R. (2016). Hubungan Keteraturan Penggunaan
Kortikosteroid Inhalasi dengan Tingkat Kontrol Asma Pasien Berdasarkan ACT di. Jurnal
Kesehatan Andalas, 5(1), 72–77.
Rehman, A., Amin, F., & Sadeeqa, S. (2018). Prevalence of asthma and its management: A
review. JPMA. The Journal of the Pakistan Medical Association, 68(12), 1823–1827.
https://europepmc.org/article/med/30504949
Thirumalai, C., Chandhini, S. A., & Vaishnavi, M. (2017). Analysing the concrete compressive
strength using Pearson and Spearman. Proceedings of the International Conference on
Electronics, Communication and Aerospace Technology, ICECA 2017, 2017-January, 215–
218. https://doi.org/10.1109/ICECA.2017.8212799
WAHYUDI FADZILA. (2018). Hubungan Keteraturan Penggunaan Inhaler Terhadap Hasil
Asthma Control Test (Act) Pada Penderita Asma.
//digilib.unri.ac.id/index.php/index.php?p=show_detail&id=78583
Widyastiwi, W., Nurilsyam, T., Roseno, M., & Farida Lhaksmiwati, I. (2021). Correlation of
Metered Dose Inhaler Use Technique and Asthma Control Level in Asthma Patients at a
Hospital in Bandung, West Java, Indonesia. Jurnal Farmasi Galenika (Galenika Journal of
Pharmacy) (e-Journal), 7(3), 221–230.
https://doi.org/10.22487/j24428744.2021.v7.i3.15643
Zazuli, Z., Ramasamy, K., & Adnyana, I. K. (2018a). Evaluasi Teknik Penggunaan Inhaler pada
Pasien Asma dan PPOK di Suatu Sarana Pelayanan Kesehatan Primer : Suatu Studi
Pendahuluan di Selangor Malaysia. Journal JMPF, 8(2), 80–89.
Zazuli, Z., Ramasamy, K., & Adnyana, I. K. (2018b). Evaluating Inhaler Use Technique among
Asthma and COPD Patients at a Primary Health Care Unit: A Pilot Study in Selangor
Malaysia. JURNAL MANAJEMEN DAN PELAYANAN FARMASI (Journal of Management
and Pharmacy Practice), 8(2), 80. https://doi.org/10.22146/jmpf.33829
Zhang, J., Yin, C., Li, H., Wei, W., Gong, Y., & Tang, F. (2020). Application of once-monthly
self-reported act questionnaire in management of adherence to inhalers in outpatients with
asthma. Patient Preference and Adherence, 14, 1027–1036.
https://doi.org/10.2147/PPA.S176683

Anda mungkin juga menyukai