SKRIPSI
Oleh:
LUTFI INDAH RAHAYU
NPM 18310073
PENDAHULUAN
peradangan kronis pada saluran pernapasan. Adapun gejala yang sering muncul terjadi pada
penyakit asma yaitu seperti mengi, sesak nafas, dada sesak, dan terdapat batuk yang
bervariasi dari intensitas waktu-kewaktu dengan keterbatasan aliran udara ekspirasi (GINA,
2020) .
Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) menyatakan bahwa kurang lebih 1-
18% dari populasi penyakit pernapasan diberbagai negara adalah penderita asma. Menurut
Word Health Organization (WHO), pada tahun 2016 terdapat sekitar 399 juta manusia di
dunia menderita asma. Di Indonesia sendiri prevalensi penderita asma yang dihitung dari
rata-rata nasional yaitu sebesar (2,4%) dimana prevalensi tertinggi yaitu di Provinsi DI
rendah untuk prevalensi asma yaitu menduduki peringkat ke-31. Pada tahun 2018 prevalensi
Provinsi Lampung yaitu sebesar (1,60%). Prevalensi tertinggi pada Provinsi Lampung yaitu
farmakologi asma yang sering digunakan sebagai obat pengontrol salah satunya adalah obat
inhalasi, pemberian obat secara inhalasi dapat memberikan onset yng cepat dan lebih sedikit
efek samping sistemiknya. Namun saat menggunakan obat inhalasi harus memiliki
keterampilan agar obat dapat diberikan secara efekif (GINA, 2020). Adapun cara pemberian
obat inhalasi bisa menggunakan Dry Powder Inhaler (DPI) atau bisa juga menggunakan
1
2
Metered-Dose Inhaler (MDI) (PDPI, 2004). Penentuan jenis alat penghirup juga merupakan
penentu yang paling penting dalam hal menentukan ketepatan penggunaan inhaler (Pothirat
et al., 2021). Penelitian sebelumnya menunjukan dari 30 orang yang di teliti terdapat (56,7%)
Asma tidak terkontrol jarang terjadi pada mereka yang memiliki kepuasan tinggi
terhadap inhaler, gejala asma lebih jarang dan kontrol asma lebih baik dibandingkan dengan
pasien dengan kepuasan yang rendah terhadap inhaler yang mereka miliki.(Plaza et al.,
2018). Pada penelitian (Dian Anggraini et al., 2018) didapatkan bahwa terdapat hubungan
Test (ACT), ACT dapat dengan mudah dan cepat untuk menyaring pasien dengan kontrol
asma yang buruk. Menurut (GINA, 2020) ACT sangat berguna dan sangat bermanfaat untuk
aktivitas setiap hari akibat dari asma, seberapa sering pasien mengeluhkan sesak nafas,
apakah ada gejala pada malam hari, seberapa sering menggunakan obat semprot/obat oral
dan bagaimana tingkat kontrol asma (Zhang et al., 2020). Dari penelitian sebelumnya
didapatkan bahwa terdapat hubungan antara ketepatan penggunaan inhaler dengan terkontrol
atau tidaknya asma berdasarkan asthma control test (ACT). Terdapat sebesar (28,1%) dari 9
orang pasien asma tidak terkontrol dan Terdapat sekitar (71,9%) dari 32 orang pasien asma
terkontrol pada saat menggunakan inhaler dengan tepat dengan pengontrol (ACT) (Prisilla et
al., 2016)
Klinik Harum melati dan Rumah Sakit wisma Rini merupakan satu-satunya Klinik
Respirasi dan salah satu Rumah sakit yang terdapt di Kabupaten Pringsewu, Provinsi
3
GINA yang di maksud dapat mewakili Kabupaten Pringsewu sebagai wadah dilakukannya
penelitian.
Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul hubungan
ketepatan penggunaan inhaler dengan hasil asma kontrol tes (ACT) pada pasien asma di
dengan Hasil Asthma Control Test (ACT) pada Pasien Asma di Kabupaten Pringsewu
Provinsi Lampung.
3. Untuk mengetahui distribusi frekuensi jenis inhaler yang digunakan pasien asma di
4. Untuk Mengetahui distribusi frekuensi asthama control test (ACT) pada pasien
test (ACT) pada pasien asma di Klinik Harum Melati Kabupaten Pringsewu
Provinsi Lampung.
Penelitian ini dapat sebagai sumber referensi dan kepustakaan sebagai informasi
inhaler dan hasil Asthma control test (ACT) yang efektif pada pasien asma.
1.5.1 Judul
“Hubungan Ketepatan Penggunaan Inhaler dengan Hasil Asthma control Test (ACT)
Pada penelitian ini menggunakan kuesioner yang diperoleh dari pasien asma di Klinik
Harum melati dan Rumah Sakit Umum Wisma Rini Kabupaten Pringsewu Provinsi
Lampung.
Penelitian ini dilaksanakan di Klinik Harum Melati dan Rumah Sakit Umum Wisma
Rini Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung untuk pengambilan sempel kuesioner pasien
asma
Penelitian ini akan dilaksan pada bilan Oktober sampai Desember 2021
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asma
2.1.1 Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik pada saluran napas dimana pada individu
yang rentan inflamasi akan mengalami gejala seperti mengi yang berulang, sesak napas, dada
terasa sesak atau berat, dan batuk yang intens bervariasi dari waktu kewaktu. Gejala tersebut
berhubungan dengan obstruksi saluran napas yang luas dan bervarias secara sepontan
maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini berhubungan dengan beberapa sel yang berperan
khususnya sel mast, eosinifil dan limfosit T yang mengakibatkan hipersensitivitas jalan
2.1.2 Epidemiologi
Menurut Global Initive for Asma (GINA) menyatakan bahawa kurang lebih 1-18%
dari populasi penyakit pernapasan diberbagai Negara adalah penderita asma. Menurut the
Global Asma Report, pada tahun 2018 terdapat sekitar 339 juta manusia menderita penyakit
asma pada seluruh dunia. Asma secara global menduduki pringkat ke-16 diantara penyebab
utama hidup dengan disabilitas dan asma juga menduduku peringkat ke-28 diantara penyebab
utama beban penyakit yang di alami pasien asma, yang di ukur dengan Disability Adjusted
Life Years (DALY). Di Indonesia rata-rata nasional prevalensi asma terdapat sekitar (2,4%).
Diamana prevalensi tertinggi terdapat di provinsi DI Yogyakarta sebesar (4,5%) dan terendah
yaitu terjadi pada Provinsi Sumatra Utara sebesar (1%) (Rikesdas 2018). Hal ini dinyatakan
sebagai masalah kesehatan masyarakat dan jika tidak terdiagnosis dengan tepat bahkan tidak
7
diobati dapat menggangu kualitas penderita, dapat menciptakan beban bagi keluarga,
2.1.3 Patofisiologi
Asma ditandai dengan kontraksi otot polos bronkiolus yang menyebabkan bronkiolus
secara parsial dengan menyebabkan kesukaran pernapasan yang hebat. Penyebab terjadinya
asma yang umum terjadi ialah terjadinya hipersensitivitas kontraktil bronkiolus sebagai
respon terhadab benda-benda asing yang ada diudara. Pasien yang berusia dibawah 30 tahun,
hipersensitivitas terhap serbuk tanaman. Pasien yang usianya lebih tua, penyebab terjadinya
asma hampir selalu karena hipersensitivitas terhadap bahan iritan nonalergik di udara, seperti
iritan pada kabut asap. Reaksi alergi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan
cara seperti seseorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk antibodi Ig
E abnormal dalam jumlah besar, dan antibody ini menyebabkan reaksi alergi bila orang
tersebut bereaksi dengan antigen spesifik yang memicu terbentuknya antibodi tersebut pada
pertama kali. Pada asma, antibod ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat dalam
interstitial paru yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang
yang menderita asma menghirup serbuk sari yang sensitive baginya (telah terbentuk antibody
Ig E terhadap serbuk sari pada orang tersebut), serbuk sari bereaksi dengan antrtibodi yang
terletak sel mast dan menyebabkan sel mast mengeluarkan barbagau macam zat. Diantaranya
adalah histamine, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan campuran
leukotrien), faktor kemotaktrik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor ini, terutama
zat anafilaksis yang bereaksi lambat, akan menghasilkan edema lokal pada dinding
8
bronkiolus kecil maupun sekresi mucus yang kental ke dalam lumen bronkiolus, dan spasme
otot polos bronkiolus. Oleh karena itu, tahanan seluran napas menjadi sangat meningkat.
Pada asma, diameter bronkiolus lebih banyak berkurang selama ekspirasi daripada
selama inspirasi, karena bronkiolus pada paru asmatik sudah tersumbat sebagian, maka
sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi
berat terutama selama ekspirasi. Pasien asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan
baik dan adekuat tetapi sukar sekali melakukan ekspirasi. Pengukuran klinis memperlihatkan
penurunan sangat besar laju ekspirasi maksimum dan berkurangnya volume ekspirasi terukur
(timed expiratory volume). Semua keadaan ini menyebabkan disapnu, atau “lapar udara”.
Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi meningkat terutama selama
serangan asma akut akibat kesukaran pengeluaran udara dari paru. Juga, setelah bertahun-
tahun, rongga dada menjadi besar secara permanen, mengakibatkan “dada tong” (barrel
chest). Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi meningkat secara
Menurut (Bai et al., 2019) faktor resiko asma yang telah ditinjau dibeberapa
penelitian seperti jenis kelamin, usia, obesitas, merokok, populasi udara, paparan pekerjaan,
faktor ibu dan infeksi saluran pernapasan. Faktor-faktor tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Jenis Kelamin
survei penyakit asma berdasarkan jenis kelamin, dalam kehidupan dewasa distribusi
asma berubah dalam dua hal penting. Anak laki-laki lebih sering menderita asma daripada
perempuan. Namun selama remaja dan dewasa, asma tampaknya menjadi masalah yang lebih
9
serius di antara wanita, sementara asam ‘non-atopik’ yang mulanya terlambat disekitar atau
setelah menopause
2. Usia
Pada usia dewasa atau usia lanjut, tingkat kecemasan semakin meningkat, hal ini
berkaitan dengan faktor stres yang dapat menimbulkan serangan asma (Fitriani et al., 2018)
3. Obesitas
mendominasi. Pola diet ini dengan asupan tinggi kalori, tinggi lemak jenuh dan terkait
dengan indeks glikemik tinggi, serta nilai rendah gizi dalam hal serat makanan dan vitamin.
Sementara “diet organic” ini mungkin kekurangan antioksidan dan anti-inflamasi. Sebuah
penelitian meta-analisis menemukan bahwa kelebihan berat badan dan obesitas dikaitkan
dengan peningkatan insiden asma pada oaring dewasa (Dharmage et al., 2019)
4. Merokok
Merokok merupakan faktor resiko yang sangat erat kaitannya dengan asma. Saat
seseorang menghirup asap rokok, zat-zat iritan menetap dilapisan terluar dalam saluran
pernapasan. Zat-zat iritan menetap dilapisan terluar dalam saluran pernapasan. Zat-zat ini
dapat memicu serangan pada penderita asma. Selain itu, asap bakaran dari tembakau bisa
merusak struktur terkecil yaitu silia (rambut halus pada sakuran pernapasan) yang berfungsi
untuk menyaring debu dan lender di saluran udara. Asap rokok juga menyebabkan paru-paru
memproduksi lebih banyak lendir dari biasanya dan dapat memicu serangan asma (Maulana
et al., 2020).
10
5. Polusi Udara
Polusi udara sangat erat kaitannya dengan kejadian eksaserbasi asma dengan melalui
stress oksidatif, perubahan struktur saluran pernapasan dan peradangan dan sensitisasi
terhadap aeroallergen. Dalam peradangan paru dengan secara cepat tidak langsung
termasuk dalam aeroallergen terpenting yang particulate matter (PM) yang di dapat dari
polusi transportasi, pembangkit listrik dan prose pembakaran, belerang (SO2) yang
merupakan emisi utama selama produksi energy atau proses industri, Nitrogen dioksida
(NO2) dan Karbon Monoksida (CO) berasal dari pembakaran bahan bakar fosil dilingkungan
perkotaan, azon (O3) dibentuk oleh reaksi fotokimia antara sinar matahari dengan precursor
polutan, seperti nitrogen oksida dan senyawa organik yang mudah menguap, dan yang terahir
6. Paparan Pekerjaan
Pajanan asma akibat kerja mencakup dua sutipe yang berbeda, asma yang diperburuk
dengan riwayat asma sebelumnya dan asma akibat kerja yang terjadi tanpa asma sebelumnya.
diindikasikan sensitizer (90%) dan asma yang diindikasikan oleh iritan (10%). Lebih dari
250 qgen berpotensi menyebabkan sensititasi asma akibat kerja. Asma yang diindikasikan
oleh sensitizer biasanya terjadi setelah periode laten dan sangat berbeda dengan paparan
iritan yang membutuhkan waktu yang cepat memicu seranggan asma (Dharmage et al.,
2019).
11
7. Faktor Ibu
Asma merupakan penyakit yang dapat disebabkan oleh faktor genetic dan
lingkungan. Seorang anak yang menderita asma mewarisi gen asma dari salah satu orang
tuanya. Jika salah satu orang tuanya (terutama ibunya) memiliki riwayat asma, resiko anak
mewarisi asma akan meningkat 40%. Namun jika kedua orang tuanya menderita asma
Inveksi sering dikaitkan dengan eksaserbasi asma akut, yberkontribusi hingga 90%
dan berfungsi sebagai pemicu utama asma pada anak usia sekolah dengan orang dewasa.
Banyak virus telah dikaitkan dengan eksaserbasi asma, termasuk respiratory virus (RSV),
rhinovirus (RV), dan influenza dimana kasus yang jarang terjadi disebabkan oleh virus
corona, parainfluenza, adenovirus, dan metapneumoni virus (Mikhail & Grayson, 2019)
2.1.5 Klasifikasi
Klasifikasi menurur derajat asma atau asma tidak terkontrol. Asma dapat ditentukan
dengan banyak factor, seperti gambaran sebelum pengobatan yaitu gejala, eksaserbasi, gejala
malam hari, pemberian obat inhalasi 𝛽-2 agonis dan uji faal paru serta obat dan uji faal paru
serta obat yang diberi sebagai mengontrol asma seperti jenis obat, kombinasi obat dan
frekuensi pemakaian obat.pemeriksaan klinis yang berupa uji faal paru bias menentukan
adanya klasifikasi berat- ringannya asma dan merupakan hal terpenting dalam
penatalaksanaan asma.
12
yang membagi klasifikasi menjadi dua. Pertama berdasarkan tingkat keparahan (intermitten,
persisten ringan, persisten sedang, dan persisten berat) dan yang kedua, klasifikasi terbaru
Beberapa gejala siang, aktivitas, gejala malam, pemakaian obat pelega dan
eksaserbasi, gina membagi asma menjadi asma tekontrol, terkontrol sebagian, tidak
terkontrol. Klasifikasi tersebut dikenal dengan istilah control asma, yang berarti
Asma dapat memberikan gambaran klinis yang sedikit berbeda, dan dokter harus
dapat mengidentifikasinya. Pasien asma biasanya mengalami mengi, sesak napas, dan batuk
yang seringkali memburuk pada malam hari. Ada beberbagai pemicu yang memperparah
asma. Pemicu terjadinya keparahan asma adalah ketika udara dingin, olahraga, polutan dan
lain-lain. Gejala non-spesifik lain yang dapat menunjukan obstruksi parah dapat berupa
takipnea. Asma bisa menjadi penyakit yang parah jika tidak ditangani dengan benar. Asma
didefinisikan dalam berbagai tahapan pada spirometri dan indikasi klinis. Ada empat tahapan
14
mengenai tingkat keparahan asma intermiten, ringan, sedang, dan berat. Asma intermiten
terjadi ketika seseorang memiliki gejala kurang dari dua hari seminggu, dan terbangun di
malam hari kurang dari dua kali sebulan. Asma ringan terdiri dari episode lebih dari dua hari
seminggu (tetapi tidak setiap hari), sementara ada banggun malam hari 3 sampai 4kali dalam
sebulan. Asma sedang terjadi dimana pasien menunjukkan gejala setiap hari dan terbangun
dimalam hari lebih dari sekali dalam seminggu tetapi tidak setiap malam. Asma parah terjadi
ketika pasien menunjukkan gejala sepanjang hari dan sering terbangun dimalam hari lebih
2.1.7 Diagnosis
1. Anamnesa
Kriteria pembuatan diagnostik asma dapat bervariasi menurut ras dan usia misalnya
anak-anak dapat digambarkan dengan pernapasan berat. Namun umumnya gejala asma yaitu
mengi, sesak napas dada terasa sesak atau berat, dan batuk. Tanyakan riwayat gejala
pernapasan dahulu pada amsa kanak-kanak seperti riwayat rhinitis alergi atau eksim, dan
tanyakan riwayat asma atau alergi dalam keluarga, biasanya saat anamnesa ditemukan lebih
dari satu gejala pernapasan. Gejala muncul bervariasi dari waktu kewaktu dengan intensitas
yang bervariasi pula, gejala kerap lebih buruk pada malam hari atau saat bangun tidur, gejala
sering dicetus oleh allergen, olahraga, udara dingin, dan lebih buruk bial di picu oleh infeksi
virus.
15
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik seseorang denga asma seringkali normal. Namun saat
auskultasi kelainan yang ditemukan biasanya mengi saat ekspirasi (rhonchi), mengi saat
inspirasi bukanlah ciri asma. Pada beberapa kasus mungkin tidak ada atau hanya terdengar
pada ekspirasi paksa. Mengi juga kadang tidak terdapat pada eksaserbasi asma yang parah,
karena aliran udara yang sangat berkurang di sebut silent chest, tetapi keadaan tersebut
memunculkan gejala lain seperti gagal napas. Pemeriksaan hidung dapat membantu
3. Pemeriksaan lain
Variabilitas yang digambarkan pada fungsi paru dapat diartikan bahw asemakin besar
Tes reversibilitas bronkodilator positif (BD) bila pada saat FEV1 berkurang, konfirmasikan
bahwa FEV1/FVC berkurang (normal > 0,75-0,80 pada orang dewasa, >0,90 pada anak-
anak) untuk menilai variabilitas pada orang dewasa peningkatan FEV1 > 12% dan > 200 mL
dari baseline, 10-15 menit setelah 200-400 mcg salbutamol sedangkan anak-anak meningkat
Pilihan untuk mengetahui keterbatasan aliran udara adlaag uji provilaksis bronkial
dengan menilai hiperresposif jalan napas. Agen provilaksis yang dapat digunakan atau
hiperventilasi sukarela eucapnic. Tes ini cukup sensitive untuk diagnosis asma namun
memiliki spesifikasi yang terbats misalnya, hiperresponsif jalan napas terhadap metakolin
16
inhaler khas pada pasien dengan rhinitis alergi. Fibrosis kistik, dysplasia bronkopulmonalis
dan PPOK. Hal ini menandakan bahwa tes hasil negative pada pasien yang tidak memakai
ICS dapat menyingkirkan asma, tetapi tes positif tidak selalu berarti pasien menderita asma
c. Tes Alergi
menderita asma alergi, namun test ini tidak spesifik untuk asma maupun pada semua fenotip
asma status atopic dapat diidentifikasikan dengan uji tusuk kulit atau dengan mengukur kadar
Ig E spesifik dalam serum. Pengujian tusuk kulit mudah dan cepat mengidentifikasi allergen
yang terdapat di lingkungan, jika dilakukan oleh pemeriksa berpengalaman dengan ekstrak
sederhanapun bisa, tidak mahal dan memiliki sensitivitas yang tinggi. Pengukuran sIgE tidak
disarankan dengan tes tusuk kulit karena lebih mahal, namun lebih disukai oleh pasien yang
kooperatif, pasien dengan penyakit kulit yang meluas, atau memiliki riwayat anafilaksis.
Adanya tes kulit positif atau sIgE positif bagaimanapun tidak berarti bahwa allergen
menyebabkan gejala harus dikonfirmasi antara riwayar pasien dan relevansi pajanan allergen
Konsentrasi fraksional oksida nitrat yang dikeluarkan atau FeNO dikaitkan dengan
tingkat sputum dan eosinophil darah. FeNO belum terbukti bermanfaat menyingkirkan
diagnosis asma, FeNO lebih tinggi pada asma dengan peradangan saluran napas tipe 2 tetapu
juga meningkat pada kondisi non-asma (misalnya bronchitis eosinofilik, atopi, rhinitis alergi,
eksim) dan tidak meningkat pada beberapa fenotipe asma (misalnya asma neutrofilik). Nilai
17
FeNO rendag pada perokok saat bronkokonstriksi dan fase awal respons alergi (GINA,
2020).
2.1.8 Penatalaksana
Tujuan dari penatalaksanaan asma adalah untuk mencapai control gejala yang baik,
dan untuk meminimalkan resiko kematian terkait asma di masa depan, eksaserbasi,
keterbatasan aliran udara persiten dan efek samping dari pengobatan (GINA, 2020).
2.1.9 Prognosis
Asma merupakan penyakit jinak dan menyebabkan 1 kematian per 100.000 untuk di
beberapa Negara. Kematian terkait dengan fungsi paru dan diperburuk karena merokok.
Faktor-faktor yang mempengaruhi mortalitas antara lain usia lebih dari 40 tahun, merokok
lebih dari 20 bungkus, eosinophil darah, perkiraan FEV1 40-70%dan reversibilitas yang lebih
besar. Asma menyebabkan hilangnya waktu kerja dan sekolah, itu juga menyebabkan banyak
rawat inap di rumah sakit yang meningkatkan biaya perawatan kesehatan. Asma yang tidak
terkontrol dapat melumpuhkan dan menyebabkan kualitas hidup yang buruk (MF, Hashum
et al., 2021).
Paru-paru merupakan organ dasar dari system pernapasan, yang fungsi utamanya
adalah memfasilitasi pertukaran gas dari lingkungan ke aliran darah. Oksigen diangkut
melalui alveoli ke jaringan kapiler, dimana dapat memasuki system arteri, akhirnya ke
jaringan perfusi. System pernapasan terutama terdiri dari hidung, orofaring, laring, trakea,
bronkus, bronkiolus dan paru-paru. Paru-paru selanjutnya membelah menjadi lobus individu,
yang ahirnya terbagi menjadi lebih dari 300 juta alveoli. Alveoli adalah lokasi utama
pertukaran gas. Diafragma merupakan otot pernapasan primer dan menerima persarafan oleh
akar saraf C3, C4, dan C5 melalui saraf frenikus. Interkostalis eksternal adalah otot inspirasi
yang digunakan terutama selama latihan dan gangguan pernapasan (Guyton and Hall, 2014).
19
A. Volume paru
Empat volume paru berikut bila semuanya di jumlahkan, semua dengan volume
maksimal paru yang mengembang. Arti dari masing-masing volume paru adalah sebagai
berikut:
1. Volume tidal adalah merupakan volume yang diinspirasi atau diekspirasi setiap kali
2. Volume cadang inspirasi adalah volume udara ekstra yang dapat diinspirasi setelah dan
diatas volume tidal normal bila dilakukan inspirasi kuat, biasanya mencapai 3.000ml.
3. Volume cadang ekspirasi adalah volume udara ekstra maksimal yang dapat diekspirasi
melalui ekspirasi kuat pada ahir ekspirasi tidal normal, jumlah normalnya adalah
sekitar 1.100mL.
4. Volume residu yaitu volume udara yang masih tetap berada dalam paru setelah
B. Kapasitas Paru
menyatukan dua atau lebih volume di atas. Kombinasi seperti ini disebut kapasitas paru.
1. Kapasitas inspirasi semua dengan volume tidal ditambah volume cadang inspirasi. Ini
adalah jumlah udara kira-kira 3.500mL yang dapat dihirup oleh seseorang, dimulai dari
2. Kapasitas residu fungsional sama dengan volume cadang ekspirasi ditambah volume
residu. Ini adalah jumlah udara yang tersisa dalam paru pada ahir ekspirasi normal kira-
kira 2.300ml.
3. Kapasitas vatal sama dengan volume cadang inspirasi ditambah volume cadang
ekspirasi. Ini adalah jumlah udara maksimum yang dapat dikeluarkan seseorang dari
paru, setelah terlebih dahulu mengisi paru secara maksimum dan kemudian
4. Kapasitas paru total adalah volume maksimum yang dapat mengembangkan paru
sebesar mungkin dengan inspirasi sekuat mungkin kira-kira 5.800ml jumlah ini sama
dengan kapasitas vtal ditambah volume residu. Volume dan kapasitas saluran paru pada
wanita kira-kira 20 sampai 25 persen lebih kecil dari pada pria, dan lebih besar lagi
pada orang yang atletis dan bertubuh besar daripada orang yang bertubuh kecil dan
Terapi inhalasi merupakan pemberian obat secara langsung kedalam saluran napas
melalui penghisapan. Terapi pemberian ini, saat ini makin berkembang luas dan banyak di
pakai pada pengobatan penyakit-penyakit saluran napas. Berbagai macam obat seperti
antibiotic, mukolitik, anti inflamasi, dan bronkodilator sering digunakan pada terapi inhalasi.
Terapi inhalasi dibandingkan dengan terapi oral mempunyai dua kelemahan yaitu
jumlah obat yang mencapai paru-paru sulit dipastikan, dan inhalasi obat ke dalam saluran
napas dapat merupakan masalah kordinasi. Efektifitas terapi inhalasi tergantung pada jumlah
obat yang mencapai paru-paru. untuk mencapai hasil optimal pasien harus dilatih untuk
21
tertutup rapat hingga tidak ada lubang udara, menyemprot aerosol pada pertengahan inspirasi
Inhaler adalah alat yang paling disukai untuk pengobatan asma dan penyakit paru
obstruksi kronik (PPOK). Penggunaan inhaler yang tidak tepat dapat mempengaruhi
efektifitas klinis dari obat yang digunakan. Dari penelitian yang dilakukan zazuli pada tahun
2018 total 92 subjek terdapat 155 inhaler yang digunakan. Hanya 4 dari 92 subek (4,3%)
yang menggunakan inhaler dengan benar. Rata-rata seseorang pasien membuat >4 keslahan
saat menggunakan pMDI dan >2 kesalahan saat menggunakan DPI. Kesalahan yang paling
umum di antara penggunaan pMDI, turbuhaler, dan Accuhaler dengan tidak mampu menahan
napas selama kurang lebih 5 detik yang mencakup ≥80% pasien. Mayoritas pasien asma dan
Masalah yang sering ditemukan pada penggunaan perangkat inhalasi seperti inhaler
adalah deposisi partikel aerosol pada daerah orofaringeal dan saluran napas atas, dan
kurangnya koordinasi antara aktivitas perangkat dan inhalasi karena kurangnya pemahaman
dari pasien. Seperti halnya, inspirasi yang cepat tidak disarankan ketika mengiunakan
pressurerized mutered dose inhaler (pMDI) dan nebulizer karena dapat membuat turbulensi
aliran udara dan kecepatan yang tinggi akan meningkatkan desposisi obat pada saluran napas
atas, sementara inspirasu yang cepat dibutuhkan pada pemakaina dry powder inhaler (DPI).
Hal yang paling penting adalah menjelaskan kepada pasien tentang penggunaan alat inhalasi
yang benar, dan memastikan pasiean mengerti alat inhalasi yang benar, dan memastikan
22
pasien mengerti agar obat dapat bekerja sesuai dengan target dan pasien oatuh terhadap
pengobatan.
Pressurized metered dose inhaler (pMDI) atau inhaler dosis terukur merupakan cara
inhalasi yang memerlukan teknik inhalasi tertentu agar sejumlah dosis obat mencapai saluran
respiratori. Kesalahan yang umum terjadi pada penggunaan MDI adalah kurang koordinasi,
terlalu cepat inspirasi, tidak menahan napas selama 10 detik. Tidak mengocok canister
sebelum digunakan, tidak berkumur-kumur setelah penggunaan dan posisi MDI yang terbalik
(NACA, 2008).
Oxitropium Oxivent
Beta- agonist Orciprenalin Alupent®
Reproterol Bronchodil®
Salbutamol Asmasul
spacehaler®
Terbutaline Bricanyl®
Bricanly spacer
(mini spacer)
Fenoterol Berotec 100™
Berotec 200™
Combinasi Salbutamol/Ipratropium Combivent®
bronkodilator
Fenoterol/Ipratropium Duovent®
Long-acting beta- Salmoterol Serevent®
agonist
23
Dry Powder Inhaler (DPI) inhaler tipe ini berisikan serbuk kering. Pasien cukup
melakukan hirupan yang cepat dan dalam untuk menarik obat dari dalam alat. Zat aktifnya
dalam bentuk serbuk kering yang akan tertarik masuk ke dalam paru-paru pada saat menarik
napas.
Kesalahan yang umum terjadi pada gangguan DPI adalah tidak membuka tutup, tidak
memutar searah jarum jam atau berlawanan arah jarum jam, cara menghirup pelan dan lemah,
tidak menahan napas dan pasien meniup turbuhaler hingga pasha (NACA 2008).
2.5 ACT
derajatkontrol asma yang dapat dipakai secara mandirioleh pasien sendiri maupun dokter
salah satunya adalah Asthma control test (ACT). Parameter yang dinilai yaitu gangguan
aktivitas harian akibat asma, frekuensi gejala asma. Gejala malam hari, penggunaan inhaler
dan presepsinilai skor 1-5. Nilai maksimal adalah 25 dengan penilaian sebagai berikut:
c. Asma terkontrol: 25
ACT adalah kuesioner yang sudah tervalidasi dan dapat mencerminkan perubahan
tingkat control atau belum terkontrol. Kuesioner ini mudah digunakan dan dapat memantau
tingkat control asma. Pengenalan secara awal terhadap perubahan tingkat control asma dan
dapat dideteksi sendiri oleh pasien merupakan hal yang paling penting. Karena dapat
mencegah terjadinya serangan eksaserbasi asma akut yang beat. Penggunaan dini terhadap
Menurut (GINA, 2020) menilai asma terkontrolterdapat 2 bagian yang harus diteliti yaitu
terkontrol gejaladan fakto resiko untuk terjadinya kekambuhan rendah di masa depan.
asma.
Pada penatalaksanaan jangka panjang terdapat dua hal yang penting di pehatikan oleh
dokter yaitu:
2. Rujukan keahli pau untuk konsultasi atau penanganan lanjut bila diperlukan
Dokter sebaiknya menganjurkan penderita untuk control tidak hanya bila diperlukan
terjadi serangan akut, tetapi control teratur terjadwal, interval berkisar 1-6 bulan tergantung
pada keadaan asma. Hal tersebut untuk meyakinkan bahwa asma tetap terkontrol dengan
Inhaler adalah alat yang paling disukai untuk pengobatan asma dan penyakit paru
obstruksi kronik (PPOK). Inhaler adalah obat yang dipemebrian secara inhalasi dapat
memberikan onset yng cepat dan lebih sedikit efek samping sistemiknya. Namun saat
menggunakan obat inhalasi harus memiliki keterampilan agar obat dapat diberikan secara
efekif (GINA, 2020). Penggunaan inhaler yang tidak tepat dapat mempengaruhi efektifitas
klinis dari obat yang digunakan, Mayoritas pasien asma dan PPOK tidak menggunakan
Jika pasien memiliki gejala atau eksaserbasi yang tidak terkontrol terus-menerus
meskipun telah menjalani pengobatan pengontrol selama 2-3 bulan, maka pertimbangkan
untuk menikai dan memperbaiki masalah umum berikut yaitu, (a) teknik inhaler yang salah,
(b) kepatuhan yang buruk, (c) paparan agen-agen seperti allergen, asap tembakau, polusi
udara dalam atau luar ruangan di rumah/kerja, atau untuk obat-obatan seperti beta-bloker
atau (pada bebeapa pasien) obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID). (d)komorbilitas yang
dapat menyebabkan gejala pernapasan dan kualitas hidup yang buruk, (e) diagnosis (GINA,
2020).
Menurut (Plaza et al., 2018) menyebutkan jika terdapat kepuasan pasien terhadap
penggunaan inhaler. Kepuasan spesifik terhadap inhaler lebih signifikan untuk kepatuhan
dan ketepatan yang lebih baik dan untuk pengendalian asma menjadi lebih terkontrol.
inhaler terhadap terkontrolnya asma (Dian Anggraini et al., 2018). Maka dari itu penting
bagi dokter atau tenaga kesehatan untuk untuk memberi edukasi sebelum memberikan alat
inhalasi kepada pasien agar penyakit asma dapat lebih terkontrol (NACA, 2008).
2.7 Hubungan faktor penggunaan Inhaler dengam Hasil Ashtma Control Test (ACT)
penyakit asma, hal tersebut penting untuk membedakan antara asma terkontrol, terrkontrol
sebagian dan tidak terkontrl. Terapi farmakologi yang sering digunakan sebagai obat
pengontrol adalah obat inhalasi, pemebrian obat secara inhalasi dapat memberikan onset yng
cepat dan lebih sedikit efek samping sistemiknya. Namun saat menggunakan obat inhalasi
harus memiliki keterampilan agar obat dapat diberikan secara efekif (GINA 2020).
27
Penelitian yang dilakukan oleh (Plaza et al., 2018). pada penelitian tersebut terdapat
kepuasan pasien terhadap penggunaan inhaler. Kepuasan spesifik terhadap inhaler lebih
signifikan untuk kepatuhan dan ketepatan yang lebih baik dan untuk pengendalian asma
menjadi lebih terkontrol. Pasien asma dan PPOK dengan aplikasi perangkat yang salah lebih
cenderung menderita batuk dan lebih sesak saat berjalan menanjak atau menaiki
Kuesioner ACT dapat digunakan untuk melengkapi pemeriksaan dan penilaian klinis
pasien asma dalam menentukan tingkat kontrol asma(Anita Ramlie , Retno Ariza
aktivitas setiap hari akibat dari asma, seberapa sering pasien mengeluhkan sesak nafas,
apakah ada gejala pada malam hari, seberapa sering menggunakan obat semprot/obat oral
dan bagaimana tingkat kontrol asma (Zhang et al., 2020). Penderita asma yang teratur dalam
penggunaan inhaler memiliki hasil asthma Control Test (ACT) yang lebih terkontrol
dibandingkan dengan penderita asma yang tidak teratur dalam penggunaan inhaler(Wahyudi
Fadzila, 2018). Dari penelitian sebelumnya didapatkan bahwa terdapat hubungan antara
ketepatan penggunaan inhaler dengan terkontrol atau tidaknya asma berdasarkan asthma
control test (ACT). Terdapat sebesar (28,1%) dari 9 orang pasien asma tidak terkontrol dan
Terdapat sekitar (71,9%) dari 32 orang pasien asma terkontrol pada saat menggunakan
Allergen merupakan salah satu pemicu faktor penyebab terjadinya asma, dikarenakan
mengakibatkan vasodilatasi (edema) yang bias menyebabkan hipersekresi mukus dan terjadi
28
inflamasi pada saluran pernapasan. Jika terjadi inflamasi pada saluran pernapasan maka
lumen bronkus akan mengalami penympitan dan obstruksi pada saluran pernapasan bias
menyebabkan kejadian asma. Pengobatan asma dapat menggunakan obat oral dan obat
inhalasi. Salah satu factor keberhasilan inhalasi adalah ketepatan penggunaan inhaler yang
benar, jenis alat inhaler yang akan digunakan adala inhaler MDI dan DPI. Jika penggunaan
inhaler tepat maka maka akan menjadikan asma tersebut menjadi lebih terkontrol.
Terkontrolnya asma dapat dievaluasi dengan menggunakan kuesioner asthma control test
(ACT) untuk melihat derajat control asma apakah asma tersebut terkontrol penuh, terkontrol
Keterangan:
Inhaler adalah obat yang dipemebrian secara inhalasi yang dapat memberikan onset
secara cepat dan lebih sedikit efek samping sistemiknya. Ketepatan penggunaan inhaler dapat
dievaluasi menggunakan kuesioner Asthma Control Test (ACT). ACT adalah kuesioner yang
sudah tervalidasi dan mudah untuk digunakan secara mandiri untuk memantau tingkat derajat
kontrol asma, yang dilihat dalam derajat control asma adalah asma terkontrol penuh,
Keterangan:
= Variabel Independen
= Variabel Dipenden
31
2.10 Hipotesis
H0: Tidak Tedapat Hubungan Faktor Penggunaan Inhaler dengan Hasil Asthma
Control Test (ACT) pada Pasien Asma di Klinik Harum Melati Kabupaten Pringsewu
H1: Terdapat Hubungan Faktor Penggunaan Inhaler dengan Hasil Asthma Control
Test (ACT) pada Pasien Asma di klinik Harum Melati Kabupaten Pringsewu Provinsi
Lampung.
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian observasional. Jenis penelitian yang dilakukan adalah
untuk mengaudit kasus asma di Klinik Harum Melati dan Rumah Sakit Umum Wisma Rini
3.2.1 Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan di Klinik Harum Melati dan Rumah Sakit Umum Wisma
Penelitian ini akan di laksanakan pada bulan Oktober sampai Desembar 2021
tingkat hubungan antara factor resiko dan efek dengan cara mematuhi seluruh data yang ada
pada satu waktu. Dimaksudkan, pada setiap subjek penelitan hanya diamati satu kali saja dan
dilakukan pengukuran terhadap subjek penelitian pada saat pemeriksaan. Pada penelitian ini
juga menggunakan pendekatan secara prospektif , yaitu penelitian melihat kejadian kedepan,
dimana pengumpulan data dimulai dari variable penyebab atau factor resiko yang akan
32
terjadi, kemudian di ikuti akibat pada waktu yang akan datang. Penelitian ini berangkat dari
variable independen dan kemudian di ikuti akibat dari variable independen tersebut terhadap
Populasi yaitu keseluruhan total dari objek yang akan diteliti (Notoatmodjo,2018).
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien penderita penyakit asma yang berobat di
Klinik Harum Melati Pringsewu Provinsi Lampung. Populasi dalam penelitian ini sebanyak
Sampel yaitu target yang diteliti yang dianggap bias mewakili dari seluruh populasi
yang memenuhi kriteria (Notoatmodjo,2018). Sampel pada penelitian ini adalah pasien asma
yang sedang menjalani terapi menggunakan inhaler degan pengontrol asthma control test
(ACT). Sampel pasien asma tersebut di ambil dengan cara suvey langsung di Klinik Harum
Melati dan Rumah Sakit Umum Wisma Rini Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung
Kriteria inklusi adalah subjek penelitian yang memenuhi syarat sebagai sempel
penelitian pada penelitian ini dapat diketahui kriteria inklusi sebagai berikut
1. Pasien yang di diagnosis asma yang berobat di Klinik Harum Melati dan Rumah
Kriteria eksklusi adalah jumlah penelitian yang tidak memenuhi syarat sebagai
sampel penelitian. Pada penelitian ini dapat diketahui kriteria eksklusi sebagai berikut:
1. Pasien asma yang mengidap penyakit komorbid paru seperti TB paru, bronchitis, dan
Variable terikat pada penelitian ini adalah Asthma control asma test (ACT).
Definisi Operasional yaitu batasan agar variable dapat diukur dengan alat ukur
dimaksudkan supaya pengukuran variable atau pengumpulan data ini konsisten antar sumber
(Notoatmodjo, 2018).
Table 3.1. Definisi Oprasional
Alat ukur pengumpulan data yang dilakukan untuk menunjang penelitian ini adalah
checklist untuk ketepatan penggunaan inhaler dan kuesioner untuk Asthma Control Test yang
dilakukan survey secara langsung kepada pasien yang terdiaknosis asma di Klinik Harum
□ Lepaskan tutup
□ Periksa penghitung dosis (jika ada)
□ Pegang inhaler tegak dan kocok dengan baik
□ Buang napas dengan lembut, jauh dari inhaler
□ Letakkan corong di antara gigi tanpa menggigit dan tutup bibir untuk membentuk
segel yang baik
□ Tarik napas perlahan melalui mulut dan, pada saat yang sama, tekan tabung
dengan kuat
□ Bernapaslah secara perlahan dan dalam melalui mulut dan, pada saat waktu
yang sama, tekan tombol dosis
□ Tempatkan corong di mulut dan tutup bibir untuk membentuk segel yang
baik, jaga agar inhaler tetap horizontal
□ Lepaskan tutup.
□ Putar untuk membuka corong.
□ Keluarkan kapsul dari blister dan masukkan ke dalam chamber.
□ Tutup corong sampai berbunyi klik.
□ Tekan tombol tindik samping sekali dan lepaskan. (Jangan goyang.)
□ Buang napas dengan lembut (jauh dari corong).
□ Letakkan corong di antara gigi (tanpa menggigit) dan tutup bibir untuk
membentuk segel yang baik.
Dalam 4 minggu terakhir, seberapa sering penyakit asma menggangu anda dalam melakukan
pekerjaan sehari-hari di kantor, disekolah atau di rumah?
NILAI
Selalu Sering Kadang- Jarang Tidak pernah
kadang
1 2 3 4 5
Dalam 4minggu terakhir, seberapa sering gejala asma (bengek, atu-batuk, sesak napas, nyeri dada,
atau rasa tertekan di dada) menyebabkan anda terbangun dimalam hari atau lebih awal dari biasanya
NILAI
4 kali atau 1-2 kali 1 kali 1-2 kali Tidak pernah
lebih seminggu seminggu seminggu
seminggu
1 2 3 4 5
Dalam 4 minggu terakhir, seberapa sering nda menggunakan obat semprot darurat atau obat oral
untuk melegakan pernapasan?
NILAI
>3 kali sehari 1-2 kali 2-3 kali <1 kali Tidak pernah
sehari seminggu seminggu 5
1 3 4
2
Bagaimana penilaian anda terhadap tingkat control asma anda dalam 4 minggu terakhir?
NILAI
Tidak Kurang Cukup Terkontrol Terkontrol
terkontrol terkontrol terkontrol dengan baik penuh
sama sekali
1 2 3 4 5
Jumlah
Hasil:
< 19 : Tidak terkontrol
20-24 : Terkontrol sebagian
25 : Terkontrol Penuh
3.9 Pengumpulan Data
dengan melihat teknik ketepatan penggunaan inhaler dengan uji asthma control test (ACT)
dataprimer dengan cara mengobservasi dari data kuesionerpada pasien asma yang di
kumpulkan langsung saat itu juga kemudian di dokumentasikan ke lembar observasi secara
Terdapat empat tahapan penggolongan data agar menghasilkan informasi yang benar
yaitu:
3.10.1 Editing
Langkah ini dilakukan penelitian untuk untuk memeriksa kembali kelengkapan dan
perbaikan data yang diperlakukan untuk mencapai tujuan pnelitian maka dilakukan
Coding adalah mengganti data yang beruoa kalimat kedalam bentuk yang lebih
Data yang telah melewati proses pekodean selanjutnya akan diproses sehingga data
dapat menganalisis computer. Cara untuk memproses data yaitu dengan memasukan data
Semua data yang sudah dimasukan akan dilakukan pengecekan kembali untuk
menghimdari terjadinya kesalahan kode dan ketidak lengkapan data yang kemudian akan
dilakukan pembetulan.
Data diperoleh dari proses pengumpulan data yang diubah dalam bentuk tabel,
kemudian diolah menggunakan program software statistik pada komputer diamna akan
Analisis Univariat tergantung pada jenis datanya. Prinsip dalam analisis ini hanya
menghasilkan persentase dan distribusi frekuensi dari tiap variable. Analisis univariate
kolerasi untuk 2 variabel dependen dan independent, dimana pada penelitian ini akan
mencari kolerasi antara dua variabel yaitu ketepatan penggunaan inhaler dan hasil
asthma control test (ACT), Maka pada penelitian ini analisis bivariat yang digunakan
yaitu uji kolerasi pearson. uji pearson merupakan studi yang membahas keeratan
hubungan antar variabel yang dinyatakan dengan nilai koefisien koleratif (Thirumalai
et al., 2017).
3.12 Alur Penelitian
Penyusunan Proposal
melakukan penelitian
Kriteria Inklusi
Kriteria Eksklusi
Sampel
Analisis Data
Gambar 3.2 Alur Penelitian
BAB IV
Penelitian ini dilakukan di klinik Harum Melati dan RSU Wisma Rini di Kabupaten
Pringsewu Provinsi Lampung pada bulan Oktober 2021-Januari 2022 dengan melibatkan 173
responden didapatkan 126 orang sebagai sampel. Penelitian ini menggunakan pengambilan
data survey sebagai alat ukur yang kemudian dianalisis menggunakan uji korelasi Spearman.
1. Frekuensi Asma
Data distribusi frekuensi asma berdasarkan usia dan jenis kelaminnya disajikan dalam
Jenis Kelamin
TOTAL
Usia Perempuan Laki-laki
N % N % N %
Bayi (0-1 tahun) 0 0 0 0 0 0
Anak (2-12 tahun) 2 1,6 3 2,4 5 100
Remaja (13-19 tahun) 5 4,0 5 4,0 10 100
Dewasa (20-65 tahun) 74 58,7 22 17,5 96 100
Lanjut usia (>65 tahun) 10 7,9 5 4,02 15 100
TOTAL 91 72,2 35 27,92 126 100
Berdasarkan Tabel 4.1 didapatkan bahwa anak laki-laki memiliki prevalensi lebih
tinggi dari pada anak perempuan. Sedangkan pada usia setelah remaja, rata-rata didapatkan
Data karakteristik responden berdasarkan usia disajikan dalam tabel sebagai berikut.
Usia N %
Bayi (0-1 tahun) 0 0
Anak (2-12 tahun) 5 4.0 %
Remaja (13-19 tahun) 10 7,9 %
Dewasa (20-65 tahun) 96 76,2 %
Lanjut usia (>65 tahun) 15 11,9 %
TOTAL 126 100,0 %
Berdasarkan tabel 4.2 didapatkan karakteristik usia tertinggi penderita asma terjadi
pada usia dewasa (20-65 tahun) sebanyak 96 orang (76,2%), dan pada usia anak-anak
memiliki nilai terendah yaitu sebnayak 5 orang (4,0%) pada pasien asma.
3. Jenis Kelamin
Data karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin disajikan dalam tabel sebagai
berikut.
Jenis Kelamin N %
Laki-laki 35 27,8
Perempuan 91 72,2
TOTAL 126 100
penderita asma semua umur, didapatkan perempuan lebih banyak, yaitu sebanyak 91 orang
Data karakteristik responden berdasarkan jenis obat inhaler disajikan dalam tabel
sebagai berikut.
Tabel 4.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Obat Inhaler Penderita Asma
pada penderita asma yang paling sering digunakan pada pasien asma di Klinik Harum Melati
dan RSU Wisma Rini yaitu, sebanyak 73 orang (57,9%) menggunakan jenis obat
beclometason/formoterol lebih banyak digunakan dari pada jenis obat inhaler yang lain,
Penggunaan jenis obat inhaler yag paling sedikit yaitu jenis obat budesonide/formoterol
sebanyak 8 orang (6,3%), dan diikuti oleh penggunaan jenis obat flutikason yaitu sebanyak
Data distribusi frekuensi penggunaan jenis inhaler pada pasien asma disajikan dalam
Berdasarkan tabel 4.5 didapatkan distribusi frekuensi jenis inhaler yang sering
digunakan pada pasien di Klinik Harum Melati dan RSU Wisma Rini yaitu, perangkat inhaler
MDI jenis pMDI yaitu sebanyak 66 orang (52,4%) di ikuti dengan perangkat inhlaler DPI
yaitu, jenis accuhaler yaitu sebanyak 43 orang (34,1%), penggunaan jenis nexthaler sebanyak
Data distribusi ketepatan penggunaan inhaler pada pasien asma disajikan dalam
68 67 (53,2%)
66
64
62
60 59 (46,8%)
58
56
54
Ketepatan Penggunaan Inhaler
didapatkan paling tinggi pasien asma menggunakan inhalernya dengan tidak tepat yaitu
sebayak 67 atau (53,2%) orang menggunakan inhalernya dengan tidak tepat sedangkan
pasien yang menggunakan inhalernya dengan tepat hanya sebnayak 59 orang (46,8%).
5. Distribusi Frekuensi Asthma Control Test (ACT) Penderita Asma
Data distribusi hasil Asthma Control Test (ACT) pada pasien asma disajikan dalam
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Asthma Control Test (ACT) Penderita Asma
ACT N %
Terkontrol Penuh 44 34,9
Terkontrol sebagian 52 41,3
Tidak Terkontrol 30 23,8
TOTAL 126 100
Berdasarkan tabel 4.6 distribusi frekuensi hasil Asthma control Test (ACT)
didapatkan distribusi terkontrol sebagian lebih tinggi yaitu sebanyak 52 orang (41,3%).
Sedangkan untuk pasien asma yang terkontrol penuh sebanyak 44 orang (34,9%) dan pasien
1. Hubungan Ketepatan Penggunaan Inhaler Dengan Hasil Asthma Control Test (ACT)
Uji Bivariat untuk mengetahui hubungan ketepatan inhaler dengan hasil Astma
Control Test (ACT) pada pasien asma disajikan dalam Tabel 4.7
Tabel 4.7 Hubungan Ketepatan Penggunaan Inhaler Dengan Hasil Asthma Control Test
(ACT) Pada Pasien Asma di Klinik Harum Melati dan RSU Wisma Rini Kabupaten
ACT
Terkontrol Terkontrol Tidak
inhaler Sig. R
penuh sebagian terkontrol
N % N % N %
Tepat 40 31,7 18 14,3 2 1,6
P=0.000 r=0.667
Tidak Tepat 4 3,2 34 27,0 28 22,2
TOTAL 44 34,9 52 41,3 30 23,8
penggunaan inhaler dangan hasil ACT pada pasien asma di Klinik Harum Melati Pringsewu
dan RSU Wisma Rini Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung dengan p = 0.000 dan
koefisien korelasi positif sebesar r = 0.667. Pada penelitian ini terdapat 40 responden
menggunakan inhaler dengan tepat memiliki kontrol asma sebagian yaitu (31,7%).
Dari hasil penelitian diatas maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh veiabel
ketepatan penggunaan inhaler dengan hasil Asthma Control Test (ACT) pada pasien asma di
klinik Harum Melati dan RSU Wisma Rini Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung, Yaitu
sebesar 43,5% dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteli oleh peneliti.
4.3 PEMBAHASAN
4.3.1. Distribusi Frekuensi Pasien Asma di Klinik Harum Melati dan RSU Wisma Rini
Dalam penelitian ini didapatkan perbedaan prevalensi antara penderita asma laki-laki
dan perempuan disetiap tingkatan tahunnya. Pada usia anak (0-12 tahun) didapatkan bahwa
prevalensi asma lebih tinggi pada laki-laki, akan tetapi setelah memasuki usia remaja, pada
usia (20-65 tahun) prevalensi asma pada perempuan lebih tinggi jumlahnya.
Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Chabra & Gupta, 2020)
Dijelaskan bahwa perubahan hormone sebelum dan sesudah pubertas memiliki pengaruh
terhadap perubahan pola ini, khususnya hormone esterogen. Sebagian besar asma dipicu oleh
respon hipersensitivitas walaupun gen dan riwayat atopic memiliki peran penting, akan tetapi
ekspresi asma sendiri dipicu oleh respon tersebut. Dimana makrofag alveolar merupakan
mediator utama dalam peradangan paru yang disebabkan oleh alergi. Didalam penelitianya,
terhadap reseptor esterogen alfa (ER-α) yang lebih besar dari pada pada tikus jantan. Hal
eosinofil yang sejalan dengan gangguan fungsi paru. Hal tersebut menjadikan peningkatan
yang cukup signifikan pada jumlah penderita Asma perempuan setelah masa pubertas
Pada penelitian ini menunjukan bahwa frekuensi perangkat inhaler MDI jenis pMDI
yaitu sebanyak 66 orang (52,4%) di ikuti dengan perangkat inhlaler DPI yaitu, jenis accuhaler
yaitu sebanyak 43 orang (34,1%), penggunaan jenis nexthaler sebanyak 9 orang ( 7,1%) dan
Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakunan oleh inhalernya (Zazuli et al.,
2018) yang menyebutka bahwa penggunaan pMDI lebih banyak digunakan sekitar (44,5%)
sedangkan penggunann inhaler DPI sebesar (9,7%). Penelitian tersebut berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh (Plaza et al., 2018) menjelaskan bahwa persentase pasien
dengan kepuasan tinggi dengan inhaler lebih banyak menggunakan inhaler DPI yaitu, sebesar
(51,6%) dibandingkan dengan kepuasan menggunakan inhaler pMDI yaitu sekitar (27,9%).
Pasien dengan kepuasan yang lebih spesifik dalam penggunaan inhalernya memiliki
ketepatan yang tinggi dalam penggunaan Inhaler merupakan alat yang paling disukai untuk
pengobatan asma atau penyakit paru obstruksi kronik (PPOK). Inhaler adalah obat yang
diberikan secara inhalasi dan dapat memberikan onset yang cepat dan lebih sedikit efek
sistemiknya. Namun saat menggunakan obat inhalasi harus memiliki keterampilan agar obat
Pemberian obat melalui rute inhalasi merupakan bagian penting dalam pengobatan
asma. Efektifitas obat inhalasi bukan hanya tergantung pada formulasi terapi tetapi lebih ke
desain dan kemampuan pasien dalam penggunaan perangkat dengan benar (Lorensia, 2018).
Padarute inhalasi obat tidak mengalami metabolism lintas pertama sehingga memiliki onset
4.3.3 Distribusi Frekuensi Ketepatan Penggunaan Inhaler Pada pasien Asma di Klini
Dalam penelitian ini didapatkan frekuensi ketepatan penggunaan inhaler pada pasien
asma menunjukkan presentasi pasien menggunakan inhaler tidak tepat tepat lebih tinggi yaitu
sebanyak 67 orang (53,2%) dari pada prevalensi pada pasien asma yang menggunakan
Hal tersebut sesuai dengan analisis penelitian yang dilakukan oleh (Wahyudi Fadzila,
2018) pada 30 responden bahwa sebagian respondennya tepat dalam menggunaka inhaler
yaitu sebanyak 17 orang (56,7%). Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan
oleh (Prisilla et al., 2016) yaitu pasien asma yang tidak teratur menggunakan kortikosteroid
inhalasi yaitu sebanyak 61 orang (63,55%) dan pasien yang teratur menggunakan inhalasi
pernapasannya, baik pada tahap persiapa maupun tahap menggunakan inhaler. Pada tahap
persiapan (86,7%) pasien tidak melakukan pernapasan yang benar (tidak menghembuskan
napas sebelum menggunakan inhaler). Pada tahap penggunaan perangkat (66,7%) pasien
tidak bernapas dengan benar saan menekan MDI (Widyastiwi et al., 2021). Penelitian yang
dilakukan (Zazuli et al., 2018) memaparkan bahwa sebagian pasien asma yang menggunakan
inhaler tidak tepat terdapat 80% yaitu pasien tidak dapat menahan napas selama kurang lebih
5 detik. Ini adalah kesalahan yang sering ditemukan pada penggunaan inhaler pMDI,
hasilkan konsentrasi lokal yang tinggi di dalam paru dengan penghantaran sistemik yang
Ketepatan penggunaan inhaler menupakan hal yang paling penting dan perlu diperhatikan
pada pasien asma dalam menjalani terapi inhalasi, karena hal tersebut berhubungan erat
dengan kualitas hidup pasien dalam mengontrol penyakit asma dan mengurani gejala yang
4.3.4 Distribusi Frekuensi Penggunaan Asthma Control Test (ACT) di Klinik Harum
Dalam penelitian ini didapatkan frekuensi hasil ACT bahwa pasien asma yang
terkontrol penuh tidak ada. Frekuensi tertinggi untuk penilaian ACT terkontrol sebagian lebih
tinggi yaitu sebanyak 52 orang (41,3%) dan pasien yang terkontrol penuh sebanyak 44 orang
(34,9%) dan frekuensi pada pasien yang tidak terkontrol yaitu sebanyak 30 orang (23,8%).
Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Anita Ramlie , Retno
Ariza Soeprihatini Soemarwoto, 2014) kuesioner ACT dapat di gunakan untuk melengkapi
pemeriksaan dan penilaian klinis pasien asma dalam menentukan tingkat kontrol asmanya,
pada penelitian tersebut menunjukan bahwa didapatkan hasil 66 orang (32,5%) terkontrol
penuh, 87 orang (42, 9) terkontrol sebagian, dan 50 orang (24,6% ) tidak terkontrol).
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh (Widyastiwi et al., 2021) menunjukan bahwa dari
jumlah subjek sebesar 30 orang terdapat 90% pasien asma meiliki asma tidak terkontrol, dan
menurut (Prisilla et al., 2016) pasien tidak terkontrol asmanya sebnayak 57 orang (59,4%).
Asthma control test (ACT) adalah kuesioner yang sudah tervalidasi dan dapat
mencerminkan perubahan tingkat kontrol atau belum terkontrol. Kuesioner ini mudah
digunakan dan dapat memantau tingkat kontrol asma. Pengenalan secara awal terhadap
perubahan tingkat kontrol asma dan dapat dideteksi sendiri oleh pasien merupakan hal yang
paling penting, karena dapat mencegah terjadinya serangan eksaserbasi asma akut yang berat.
Penggunaan dini terhadap asma dapat menurunkan angka mordibilitas dan mortalitas
penyakit. Menurut (Haryanti et al., 2016) terdapat sebanyak 46 orang (81%) berada pada
tingkat tidak terkontrol, 11 orang (19%) terkontrol sebagian dan tidak ada pasien dengan
mempertahankan kontrol, ditandai dengan tidak adanya tanda gejala pada malam dan siang
hari, tidak ada kunjungan ke rumah sakit/dokter, kebutuhan obat pereda minim, tidak ada
batasan kegiatan fisik dan olahraga, fungsi paru-paru mendekati normal, dan tidak ada efek
samping obat.
4.3.5 Hubungan Ketepatan Penggunaan Inhaler dengan Hasil Asthma Control Test
(ACT) pada pasien asma di Klinik Harum Melati dan RSU Wisma Rini Kabupaten
Pada hasil penelitian ini menggunakan uji korelasi dimana di dapatkan bahwa
terdapat hubungan antara ketepatan penggunaan Inhaler dengan hasil Asthma Control Test
(ACT) dengan p = 0.000 dengan koefisien korelasi positif sebesar r = 0.667. Pada penelitian
ini terdapat 120 responden yang dimana ada 40 orang menggunakan inhaler dengan tepat
bahwah terdapat hubungan antara ketepatan penggunaan inhaler dengan hasil asthma control
test yaitu dari 30 orang responden tepat dalam penggunaan inhaler terdapat 17 orang teratur
menggunakan inhaler dengan tepat dan ACT terkontrol penuh yaitu sebesar (26,7%). Selain
itu penelitian yang dilakukan oleh (Prisilla et al., 2016) menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara ketepata penggunaan inhaler dengan Asthma Contro Test (ACT) yaitu
sebesar (71,9%) dari 23 orang memiliki asma terkontrol dan (28,1%) dari 9 orang memiliki
asma yang tidak terkontrol. Penelitian yang dilakukan (Widyastiwi et al., 2021)
menyimpulkan bahwa pasien dengan skor akurasi penggunaan MDI yang lebih tinggi
berkolerasi positif dengan tingkat kontrol asmanya. Pada penelitian tersebut menunjukan
bahwa kelompok pasien yang menggunakan MDI dengan benar maka rentan skor ACT
adalah 18,22 %. Sementara yang menggunakan MDI secara tidak benar memiliki skor ACT
Penggunaan inhaler yang tidak tepat dapat dikaitkan dengan pengontrol kontrol asma
yang buruk dan peningkatan frekuensi kunjungan ke UGD. Penggunaan perangkat inhaler
yang tidak tepat mengurangi distribusi obat dan hilangnya efektivitas obat dan itu akan
menyebabkan tingkat kontrol asma yang buruk sebagai hasil terapi. Selain penggunaan
inhaler yang tidak tepat, beberapa fektor lain yang dapat mempengaruhi hasil terapi adalah
eksaserbasi asma dan da kepatuhan pasien dalam menggunakan obat asma (Widyastiwi et
al., 2021).
4.4 Keterbatasan Penelitian
keterbatasan di karenakan populasi pasien asma tidak semua menggunakan inhaler dan tidak
dapet dipredikisi kedatangannya. terdapat pasien yang saat diminta untuk memperagakan
penggunaan inhalernya dengan terburu-buru sehingga banyak pasien yang di golongkan tidak
tepat pada pengunaan inhalernya, dan beberapa pasien ada yang kurang memahami
relevan.
BAB V
5.1 Kesimpulan
1. Prevalensi pasien asma di Klinik Harum Melati dan RSU Wisma Rini Kabupaten
Pringsewu Provinsi Lampung pada usia anak laki-laki sebanyak 3 orang dan anak
perempuan dewasa sebanyak 74 orang, laki-laki lanjut usia sebanyak 5 orang dan
2. Distribusi frekuensi ketepatan penggunaan inhaler pada pasien asma di Klinik Harum
Melati dan RSU Wisma Rini Kabupaten Pringsewu dan RSU Wisma Rini Kabupaten
Pringsewu Provinsi Lampung pada pasien asma yang tepat penggunaan inhalernya
yaitu 59 orang dan pasien yang tidak tepat menggunakan inhalernya sebesar 67 orang.
3. Distribusi frekuensi penggunaan jenis inhaler pada pasien asma di Klinik Harum
Melati dan RSU Wisma Rini Kabupaten pringsewu Provinsi Lampung menunjukan
bahwa pasien yang menggunakan pMDI lebih besar dari pada yang lainnya yaitu,
pada perangkat inhaler MDI jenis pMDI yaitu sebanyak 66 orang (52,4%) di ikuti
dengan perangkat inhlaler DPI yaitu, jenis accuhaler yaitu sebanyak 43 orang
(34,1%), penggunaan jenis nexthaler sebanyak 9 orang ( 7,1%) dan sebanyak 8 orang
4. Distribusi frekuensi Asthma Control test (ACT) pada pasien asma di Klinik Harum
32
terkontrol penuh, 52 orang (41,3%) terkontrol sebagian dan pasien yang tidak
5. Terdapat hubungan ketepatan penggunaan inhaler dengan hasil Asthma Control Test
pada pasien asma di Klinik Harum Melati Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung
penelitian ini terdapat 120 responden yang dimana ada 40 orang menggunakan
5.2 Saran
kontrol berkala sesuai jadwal yang telah ditentukan oleh dokter dan menggunakan inhaler
dengan rutin sesuai dosis yang telah diresepkan dokter secara rutin.
Diharapkan dapat menjadi frekuensi awal untuk penelitan yang sama dan diharapkan
juga untuk penelitian selanjutnya dapat mengelompokan data berdasarkan lama pengobatan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan referensi dalam pengobatan asma
Anita Ramlie , Retno Ariza Soeprihatini Soemarwoto, W. H. W. (2014). Korelasi antara Asthma
Control Testdengan VEP1% dalam Menentukan Tingkat Kontrol Asma. Jurnal Respirologi
Indonesia, 34(2), 95–100.
Bai, C., Jiang, D., Wang, L., Xue, F., & Chen, O. (2019). A high blood eosinophil count may be
a risk factor for incident asthma in population at risk. Respiratory Medicine, 151(November
2018), 59–65. https://doi.org/10.1016/j.rmed.2019.03.016
Bakhtiar, A., & Tantri, R. I. E. (2019). Faal Paru Dinamis. Jurnal Respirasi, 3(3), 89.
https://doi.org/10.20473/jr.v3-i.3.2017.89-96
Brocklebank, D., Ram, F., Wright, J., Barry, P., Cates, C., Davies, L., Douglas, G., Muers, M.,
Smith, D., & White, J. (2001). Comparison of the effectiveness of inhaler devices in asthma
and chronic obstructive airways disease: a systematic review of the literature. Health
Technology Assessment, 5(26). https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK68519/
Chabra, R., & Gupta, M. (2020). Allergic And Environmental Induced Asthma. StatPearls
[Internet].
Dharmage, S. C., Perret, J. L., & Custovic, A. (2019). Epidemiology of asthma in children and
adults. Frontiers in Pediatrics, 7(JUN), 1–15. https://doi.org/10.3389/fped.2019.00246
Dian Anggraini, T., Aditya Pamungkas, Aminudin Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal, S., & Tinggi
Ilmu Kesehatan Nasional, S. (2018). Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kontrol
Asma Pada Pasien Asma Rawat Jalan. Jurnal Ilmiah STIKES Kendal, 8(2), 123–130.
Fitriani, N., Permana, A., & Diningrum, A. (2018). Rasionalitas Penggunaan Kortikosteroid pada
Terapi Asma Bronkial di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang. Syifa’MEDIKA:Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan, 9(1), 16.
https://doi.org/10.32502/sm.v9i1.122
GINA. (2020). Global Strategy for Asthma Management and Prevention.
https://doi.org/10.1016/s0335-7457(96)80056-6
Gregoriano, C., Dieterle, T., Breitenstein, A. L., Dürr, S., Baum, A., Maier, S., Arnet, I.,
Hersberger, K. E., & Leuppi, J. D. (2018). Use and inhalation technique of inhaled
medication in patients with asthma and COPD: Data from a randomized controlled trial.
Respiratory Research, 19(1), 1–15. https://doi.org/10.1186/s12931-018-0936-3
Haryanti, S., Ikawati, Z., Andayani, T. M., & Mustofa. (2016). Relationship Between
Compliance of Using β2-Agonist Inhaler Drug and Asthma Control on Asthma Patient.
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy, 5(4), 238–248.
https://doi.org/10.15416/ijcp.2016.5.4.238
Keselman, A., Fang, X., White, P. B., & Heller, N. M. (2019). Estrogen signaling contributes to
sex differences in macrophage polarization during asthma Aleksander. HHS Public Access,
176(3), 139–148. https://doi.org/10.4049/jimmunol.1601975.Estrogen
Lorensia. (2018). INHALER_BUKU_Amelia&Rivan_2018 .pdf (pp. 1–56).
Lorensia, A., & Nathania, J. (2017). Studi Kelengkapan Penjelasan Informasi Cara Penggunaan
Controllermetered-Dose Inhaler (Mdi) Yang Mengandung Kortikosteroid Sebagai Terapi
Asma Di Apotek Kabupaten Tuban. Jurnal Ilmiah Manuntung, 3(1), 14.
https://doi.org/10.51352/jim.v3i1.86
Maulana, A., Prihartono, N. A., & Yovsyah, Y. (2020). Hubungan Obesitas dengan Risiko
Kejadian Penyakit Asma pada Perempuan Usia Produktif di Indonesia. Jurnal Epidemiologi
Kesehatan Indonesia, 4(1), 1–6. https://doi.org/10.7454/epidkes.v4i1.3693
MF, H., M, T., ME, C., & EL, H. (2021). Asthma (Nursing). StatPearls.
http://europepmc.org/books/NBK568760
Mikhail, I., & Grayson, M. H. (2019). Asthma and viral infections: An intricate relationship.
Annals of Allergy, Asthma and Immunology, 123(4), 352–358.
https://doi.org/10.1016/j.anai.2019.06.020
Mulyati, S. (2018). Faktor Risiko Kejadian Asma Pada Anak Usia 5-13 Tahun Di Wilayah Kerja
Puskesmas Muara Tebo Kabupaten Tebo Tahun 2018. Ejournal Universitas Adiwangsa
Jambi, 214–221.
National Asthma Council Australia. (2008). Inhaler technique in adults with asthma or COPD.
National Asthma Council Australia, 1–9.
Orellano, P., Quaranta, N., Reynoso, J., Balbi, B., & Vasquez, J. (2017). Effect of outdoor air
pollution on asthma exacerbations in children and adults: Systematic review and multilevel
meta-analysis. PLoS ONE, 12(3), 1–15. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0174050
PDPI. (2004). Fp.Amegroups.Cn, 2–3. www.amepc.org
Plaza, V., Giner, J., Calle, M., Rytilä, P., Campo, C., Ribó, P., & Valero, A. (2018). Impact of
patient satisfaction with his or her inhaler on adherence and asthma control. Allergy and
Asthma Proceedings, 39(6), 437–444. https://doi.org/10.2500/aap.2018.39.4183
Pothirat, C., Chaiwong, W., Limsukon, A., Phetsuk, N., Chetsadaphan, N., Choomuang, W., &
Liwsrisakun, C. (2021). Real-world observational study of the evaluation of inhaler
techniques in asthma patients. Asian Pacific Journal of Allergy and Immunology, 39(2), 96–
102. https://doi.org/10.12932/AP-210618-0348
Prisilla, W., Medison, I., & Rusjdi, S. R. (2016). Hubungan Keteraturan Penggunaan
Kortikosteroid Inhalasi dengan Tingkat Kontrol Asma Pasien Berdasarkan ACT di. Jurnal
Kesehatan Andalas, 5(1), 72–77.
Rehman, A., Amin, F., & Sadeeqa, S. (2018). Prevalence of asthma and its management: A
review. JPMA. The Journal of the Pakistan Medical Association, 68(12), 1823–1827.
https://europepmc.org/article/med/30504949
Thirumalai, C., Chandhini, S. A., & Vaishnavi, M. (2017). Analysing the concrete compressive
strength using Pearson and Spearman. Proceedings of the International Conference on
Electronics, Communication and Aerospace Technology, ICECA 2017, 2017-January, 215–
218. https://doi.org/10.1109/ICECA.2017.8212799
WAHYUDI FADZILA. (2018). Hubungan Keteraturan Penggunaan Inhaler Terhadap Hasil
Asthma Control Test (Act) Pada Penderita Asma.
//digilib.unri.ac.id/index.php/index.php?p=show_detail&id=78583
Widyastiwi, W., Nurilsyam, T., Roseno, M., & Farida Lhaksmiwati, I. (2021). Correlation of
Metered Dose Inhaler Use Technique and Asthma Control Level in Asthma Patients at a
Hospital in Bandung, West Java, Indonesia. Jurnal Farmasi Galenika (Galenika Journal of
Pharmacy) (e-Journal), 7(3), 221–230.
https://doi.org/10.22487/j24428744.2021.v7.i3.15643
Zazuli, Z., Ramasamy, K., & Adnyana, I. K. (2018a). Evaluasi Teknik Penggunaan Inhaler pada
Pasien Asma dan PPOK di Suatu Sarana Pelayanan Kesehatan Primer : Suatu Studi
Pendahuluan di Selangor Malaysia. Journal JMPF, 8(2), 80–89.
Zazuli, Z., Ramasamy, K., & Adnyana, I. K. (2018b). Evaluating Inhaler Use Technique among
Asthma and COPD Patients at a Primary Health Care Unit: A Pilot Study in Selangor
Malaysia. JURNAL MANAJEMEN DAN PELAYANAN FARMASI (Journal of Management
and Pharmacy Practice), 8(2), 80. https://doi.org/10.22146/jmpf.33829
Zhang, J., Yin, C., Li, H., Wei, W., Gong, Y., & Tang, F. (2020). Application of once-monthly
self-reported act questionnaire in management of adherence to inhalers in outpatients with
asthma. Patient Preference and Adherence, 14, 1027–1036.
https://doi.org/10.2147/PPA.S176683