Anda di halaman 1dari 20

Nama : Regina Oktavia Jaya

NIM : 22010117130185
Kelas : B

TUGAS PENELUSURAN PUSTAKA


A. ARTIKEL JURNAL
Judul :Body Composition During Outpatient Treatment of Severe Acute
Malnutrition : Results from a Randomised Trial Testing Different Doses
of Ready-to-use Therapeutic Foods
Sumber :Niki V, Ritz C, Friis H, Wells JC. Body composition during outpatient
treatment of severe acute malnutrition : Results from a randomised trial
testing different doses of ready-to-use therapeutic foods. Clin Nutr.
2020;1–8.

B. ANALISIS JURNAL
1. Tujuan
- Keperluan klinis : Menganalisis pengaruh pemberian makanan terapi
(RUTF) pada anak dengan malnutrisi berat/ Severe Acute Malnutrition
- Research question :
 Menganalisis pengaruh pemberian makanan terapi terhadap komposisi tubuh
anak dengan malnutrisi berat
 Menganalisis adanya perbedaan komposisi tubuh pada kelompok kontrol
(dengan makanan standar) dan kelompok perlakuan (dengan RUTF)
 Menganalisis dampak penurunan dosis RUTF pada masa pemulihan

2. Kriteria Pemilihan Artikel :


Population : anak dengan malnutrisi berat/ SAM (Severe Acute Malnutrition)
Intervention : pemberian makanan terapi (RUTF)
Comparison : tidak diberikan makanan terapi (hanya diberi makanan standar)
Outcome : perbedaan komposisi tubuh pada anak yang diberi RUTF
dibandingkan dengan hanya makanan standar
3. Critical Appraisal :
No Pertanyaan Jawaban
1. Validitas 1. Apakah fokus penelitian ini sesuai dengan tujuan
penelitian?
Fokus penelitian sudah sesuai dengan tujuan penelitian.
Tujuan penelitian yang dilakukan adalah untuk melihat
adanya perbedaan komposisi tubuh pada kelompok
kontrol dengan makanan standar dengan anak menderita
malnutrisi berat akut yang diberi terapi nutrisi berupa
ready-to-use therapeutic foods (RUTF) dan dampak
penurunan dosis RUTF pada masa pemulihan nutrisi
anak malnutrisi berat akut. Kesesuaian dapat dilihat dari
metode serta hasil penelitian yang didapat, dimana pada
anak yang dengan malnutrisi berat akut yang diberi
RUTF memiliki komposisi lemak lebih sedikit
dibandingkan kelompok kontrol, sedangkan untuk
dampak penurunan dosis RUTF tidak ditemukan bukti
yang bermakna.
2. Apakah subjek penelitian ini diambil dengan cara yang
tepat?
Subjek penelitian yang digunakan sesuai dengan tujuan
penelitian dimana menggunakan data pasien anak
dengan malnutrisi berat akut sebanyak 452 anak, dengan
rincian 259 anak dalam proses pemulihan dan 97 anak
sebagai kelompok kontrol. Subjek yang dipakai berasal
dari fasilitas kesehatan di Helsinki.
3. Apakah data yang dikumpulkan sesuai dengan tujuan
penelitian?
Data yang dikumpulkan sesuai dengan tujuan penelitian
yang dapat dilihat dari kesesuaian hasil penelitian dalam
menjawab permasalahan dan tujuan penelitian yang
dilakukan.
4. Apakah penelitian ini mempunyai jumlah subjek yang
cukup untuk meminimalisirkan kebetulan?
Jumlah subjek sudah cukup untuk meminimalisir adanya
bias. Untuk menyingkirkan bias, telah dibuat kriteria
inklusi, eksklusi, serta drop out dalam menentukan
subjek penelitian. Hal ini dapat terlihat dari adanya 802
anak pada data awal dengan pembagian 402 kelompok
perlakuan (anak dengan malnutrisi berat akut yang diberi
RUTF) dan 400 anak untuk kelompok kontrol yang akan
digunakan, tetapi pada data akhir yang digunakan hanya
data 452 anak.
5. Apakah analisis data dilakukan cukup baik?
Analisis data sudah dilakukan dengan cukup baik
dimana terdapat pembahasan hasil penelitian dengan
cukup rinci, serta mencantumkan kelebihan dan
keterbatasan yang dimiliki penelitian.
2. Important Jenis studi yang dilakukan adalah Eksperimental dengan
Randomized Controlled Trial. Penelitian dilakukan selama
18 bulan mulai dari bulan Oktober 2016 hingga Juli 2018.
Intervensi yang diberikan pada penelitian menunjukkan
hasil positif dimana didapatkan sekitar 200 pasien yang
sembuh selama penelitian serta didapatkan perbedaan yang
signifikan antara kelompok perlakuan (dengan makanan
RUTF) dan kelompok kontrol sehingga dapat dikatakan
penting.
3. Aplikabilitas Aplikasi penelitian serupa di Indonesia sendiri menurut
saya sangat mungkin untuk dilakukan mengingat cukup
banyaknya angka kejadian anak dengan malnutrisi berat di
Indonesia. Namun, tetap harus mempertimbangkan banyak
faktor seperti, jumlah subjek penelitian yang sesuai kriteria
untuk menghindari bias, ketersediaan makanan terapi
(RUTF) yang hampir sama untuk semua subjek penelitian,
ketersediaan sarana prasarana untuk melakukan penelitian,
serta kerjasama fasilitas kesehatan dan subjek penelitian
selama proses pengumpulan data.

4. Ranah Penelitian :
Etiologi dan Faktor Risiko
A. Etiologi
Kekurangan energi protein adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan
rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari sehingga tidak
memenuhi angka kecukupan gizi. Sedangkan menurut Depkes RI (1999). Penyebab
langsung dari KEP adalah definisi kalori maupun protein dengan berbagai gejala-
gejala. Sedangkan penyebab tidak langsung KEP sangat banyak, sehingga penyakit
ini sering disebut juga dengan kausa multifaktorial. Salah satu penyebabnya adalah
keterkaitan dengan waktu pemberian ASI dan makanan tambahan.
KEP pada dasarnya sangat ditentukan oleh 2 faktor. Faktor-faktor yang secara
langsung dapat mempengaruhi terjadinya KEP pada balita adalah makanan dan ada
atau tidaknya penyakit infeksi. Kedua faktor ini dipengaruhi oleh kualitas dan
kuantitas makanan yang dimakan oleh seorang anak, antara lain ditentukan oleh
beberapa faktor penyebab tidak langsung, yaitu :
a. Zat-zat gizi yang terkandung didalam makanan
b. Daya beli keluarga, meliputi penghasilan, harga bahan makanan dan pengeluaran
keluarga untuk kebutuhan lain selain makanan
c. Kepercayaan ibu tentang makanan serta kesehatan
d. Ada atau tidaknya pemeliharaan pemeliharaan kesehatan termasuk kebersihan
e. Fenomena social dan keadaan lingkungan
Penyebab menurut klasifikasinya :
Marasmus :
1. Kehamilan berturut-turut dengan jarak kehamilan yang masih terlalu dini.
2. Pemberian makananan tambahan yang tidak terpelihara kebersihannya
3. Susu formula buatan yang terlalu encer dan jumlahnya tidak mencukupi karena
keterbatasan biaya, sehingga kandungan protein dan kalori pada makanan anak
menjadi rendah.
4. Keadaan perumahan dan lingkungan yang kurang sehat juga dapat
menyebabkan penyajian yang kurang sehat dan kurang bersih
5. Penyakit infeksi terutama pada saluran pencernaan. Pada keadaan lingkungan
yang kurang sehat, dapat terjadi infeksi berulang sehingga menyebabkan anak
kehilangan cairan tubuh dan zat-zat gizi sehingga anak menjadi kurus serta
turun berat badannya.
Kwarsiorkhor :
1. Anak-anak yang mendapat ASI dalam jangka waktu lama, kemudian disapih
dan langsung diberikan makan seperti anggota keluarga yang lain.
2. Makanan yang diberikan pada umumnya rendah protein. Kebiasaan makan
yang kurang baik dan diperkuat dengan adanya hal tabu seperti anak dilarang
makan ikan dan memprioritaskan makanan sumber protein hewani bagi
anggota keluarga laki-laki yang lebih tua dapat menyebabkan terjadinya
kwarshiorkor.
3. Tingkat pendidikan orang tua yang rendah dapat juga mengakibatkan
terjadinya kwarshiorkor karena berhubungan dengan tingkat pengetahuan ibu
tentang gizi yang rendah.

B. Faktor Risiko
Penyebab langsung dari KEP adalah defisiensi kalori maupun protein, yang
berarti kurangnya konsumsi makanan yang mengandung kalori maupun protein,
hambatan utilisasi zat gizi. Adanya penyakit infeksi dan investasi cacing dapat
memberikan hambatan absorpsi dan hambatan utilisasi zat-zat gizi yang menjadi
dasar timbulnya KEP. Penyebab langsung KEP dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Penyakit infeksi
Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan KEP yaitu cacar air, batuk rejang,
TBC, malaria, diare, dan cacing, misalnya cacing Ascaris lumbricoides dapat
memberikan hambatan absorbsi dan hambatan utilisasi zat-zat gizi yang dapat
menurunkan daya tahan tubuh yang semakin lama dan tidak diperhatikan akan
merupakan dasar timbulnya KEP.
2. Konsumsi Makan
KEP sering dijumpai pada anak usia 6 bulan hingga 5 tahun dimana pada
usia tersebut tubuh memerlukan zat gizi yang sangat tinggi, sehingga apabila
kebutuhan zat gizi tidak terpenuhi maka tubuh akan menggunakan cadangan zat
gizi yang ada di dalam tubuh, yang berakibat semakin lama cadangan semakin
habis dan akan menyebabkan terjadinya kekurangan yang menimbulkan
perubahan pada gejala klinis.
3. Kebutuhan Energi
Kebutuhan energi tiap anak berbeda-beda. Hal ini ditentukan oleh
metabolisme basal tubuh, umur, aktivitas, fisik, suhu, lingkungan serta
kesehatannya. Energi yang dibutuhan seseorang tergantung pada beberapa faktor,
yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas fisik, dan kondisi psikologis.
4. Kebutuhan protein
Protein merupakan zat gizi penting karena erat hubungannya dengan
kehidupan.
5. Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan Ibu
Pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang penting dalam
tumbuh dan kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik maka orangtua
dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak
yang baik. Seorang ibu dengan pendidikan yang tinggi akan dapat merencanakan
menu makan yang sehat dan bergizi bagi dirinya dan keluarganya.
Pengetahuan ibu tentang cara memperlakukan bahan pangan dalam
pengolahan dengan tujuan membersihkan kotoran, tetapi sering kali dilakukan
berlebihan sehingga merusak dan mengurangi zat gizi yang dikandungnya.

6. Tingkat Pendapatan dan Pekerjaan Orang Tua


Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang
anak, karena orangtua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang
primer seperti makanan maupun yang sekunder. Tingkat pendapatan juga ikut
menentukan jenis pangan apa yang akan dibeli. Keluarga yang pendapatannya
rendah membelanjakan sebagian besar untuk serealia, sedangkan keluarga dengan
pendapatan yang tinggi cenderung membelanjakan sebagian besar untuk hasil
olah susu. Jadi, penghasilan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas
makanan. Antara penghasilan dan gizi jelas ada hubungan yang menguntungkan.
Pengaruh peningkatan penghasilan terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi
keluarga lain yang mengadakan interaksi dengan status gizi yang berlaku hampir
universal.
7. Besar Anggota Keluarga
Jumlah anak yang banyak pada keluarga yang keadaan sosial ekonominya
cukup akan mengakibatkan berkurangnya perhatian dan kasih sayang yang
diterima anak, lebih-lebih kalau jarak anak terlalu dekat. Adapun pada keluarga
dengan keadaan sosial ekonomi yang kurang, jumlah anak yang banyak akan
mengakibatkan kurangnya kasih saying dan perhatian pada anak, juga kebutuhan
primer seperti makanan, sandang, papan tidak terpenuhi.

Penyebab tidak langsung dari KEP ada beberapa hal yang dominan, antara lain
pendapatan yang rendah sehingga daya beli terhadap makanan terutama makanan
berprotein rendah. Penyebab tidak langsung yang lain adalah ekonomi negara, jika
ekonomi negara mengalami krisis moneter akan menyebabkan kenaikan harga
barang, termasuk bahan makanan sumber energy dan protein seperti beras, ayam,
daging, dan telur. Penyebab lain yang berpengaruh terhadap defisiensi konsumsi
makanan berenergi dan berprotein adalah rendahnya pendidikan umum dan
pendidikan gizi sehingga kurang adanya pemahaman peranan zat gizi bagi manusia.
Atau mungkin dengan adanya produksi pangan yang tidak mencukupi kebutuhan,
jumlah anak yang terlalu banyak, kondisi higiene yang kurang baik, sistem
perdagangan dan distribusi yang tidak lancar serta tidak merata

Diagnosis
a. Manifestasi Klinis
b. Anamnesis
Anamnesis awal :
 Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
 Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah dan
diare (encer/darah/lendir)
 Kapan terakhir berkemih
 Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin.
 Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami dehidrasi
dan/atau syok, serta harus diatasi segera.
Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya,
dilakukan setelah kedaruratan ditangani):
 Diet (pola makan)/kebiasaan makan sebelum sakit
 Riwayat pemberian ASI
 Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir
 Hilangnya nafsu makan
 Kontak dengan pasien campak atau tuberkulosis paru
 Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
 Batuk kronik
 Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung
 Berat badan lahir, apakah ditimbang setiap bulan
 Riwayat tumbuh kembang: duduk, berdiri, bicara dan lain-lain
 Riwayat imunisasi
 Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang sosial anak)
 Diketahui atau tersangka infeksi HIV

c. Pemeriksaan Fisik
 Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung kaki.
Tentukan status gizi dengan menggunakan BB/TB-PB.
 Tanda dehidrasi: tampak haus, mata cekung, turgor buruk (hati-hati menentukan
status dehidrasi pada gizi buruk).
 Adakah tanda syok (tangan dingin, capillary refill
time yang lambat, nadi lemah dan cepat),
kesadaran menurun.
 Demam (suhu aksilar ≥ 37.5° C) atau hipotermi
(suhu aksilar < 35.5° C).
 Frekuensi dan tipe pernapasan: pneumonia atau
gagal jantung
 Sangat pucat
 Pembesaran hati dan ikterus
 Adakah perut kembung, bising usus melemah/meninggi, tanda asites, atau adanya
suara seperti pukulan pada permukaan air (abdominal splash)
 Tanda defisiensi vitamin A pada mata:
o Konjungtiva atau kornea yang kering, bercak
Bitot
o Ulkus kornea
o Keratomalasia
 Ulkus pada mulut
 Fokus infeksi: telinga, tenggorokan, paru, kulit
 Lesi kulit pada kwashiorkor:
o hipo- atau hiper-pigmentasi
o deskuamasi
o ulserasi (kaki, paha, genital, lipatan paha, belakang telinga)
o lesi eksudatif (menyerupai luka bakar), seringkali dengan infeksi sekunder
(termasuk jamur).
 Tampilan tinja (konsistensi, darah, lendir).
 Tanda dan gejala infeksi HIV
Catatan:
 Anak dengan defisiensi vitamin A seringkali fotofobia. Penting untuk memeriksa
mata dengan hati-hati untuk menghindari robeknya kornea.
 Pemeriksaan laboratorium terhadap Hb dan atau Ht, jika didapatkan anak sangat
pucat.
 Pada buku Pedoman TAGB untuk memudahkan penanganan berdasarkan tanda
bahaya dan tanda penting (syok, letargis, dan muntah/diare/ dehidrasi), anak gizi
buruk dikelompokkan menjadi 5 kondisi klinis dan diberikan rencana terapi
cairan dan makanan yang sesuai.
d. Pemeriksaan Penunjang
1. Hemoglobin dan hematokrit
Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Memiliki afinitas (daya
gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk oxihemoglobin di
dalam sel darah merah. Dengan melalui fungsi ini maka oksigen dibawa dari paru-
paru ke jaringan-jaringan.
Pengukuran Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht) adalah pengukuran yang
mengindikasikan defisiensi berbagai bahan nutrisi. Pada malnutrisi berat, kadar
hemoglobin dapat mencerminkan status protein. Pengukuran hemoglobin
menggunakan satuan gram/desiliter dan hematokrit menggunakan satuan persen.
Adapun kadar normal hemoglobin berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin
menurut WHO terdapat pada tabel dibawah ini:
Kelompok Umur Kadar Normal (gr/dl)
Anak 6 bulan-6 tahun 11,0
Anak 6 tahun-14 tahun 12,0
Pria dewasa 13,0-17,0
Wanita dewasa 12,0-15,0
Ibu Hamil 11,0
Kadar Normal Hb

2. Transferrin
Nilai serum transferin adalah parameter lain yang digunakan dalam mengkaji
status protein viseral. Serum transferin dihitung menggunakan kapasitas total
ikatan zat besi atau total iron binding capacity (TIBC), dengan
menggunakanrumus dibawah ini. Satuan yang digunakan dalam rumus diatas
adalah miligram/desiliter. Nilai normal transferin serum adalah 170-250 mg/dl.

3. Serum Albumin
Nilai serum albumin adalah indikator penting status nutrisi dan sintesa
protein. Kadar albumin rendah sering terjadi pada keadaan infeksi, injuri, atau
penyakit yang mempengaruhi kerja hepar, ginjal, dan saluran pencernaan.
4. Keseimbangan nitrogen
Pemeriksaan keseimbangan nitrogen digunakan untuk menentukan kadar
pemecahan protein di dalam tubuh. Dalam keadaan normal tubuh memperoleh
nitrogen melalui makanan dan mengeluarkannya melalui urine dalam jumlah yang
relatif sama setiap hari.
Transferrin Serum = (8XTIBC) – 43
Ketika katabolisme protein melebihi pemasukan protein melalui makanan
yang dikonsumsi setiap hari maka keseimbangan nitrogen menjadi negatif. Bila
nilai keseimbangan nitrogen yang negatif berlangsung secara terus menerus maka
pasien beresiko mengalami malnutrisi protein
5. Pemeriksaan Tambahan
Dapat dilakukan pemeriksaan tes tinja (feses), untuk melihat keberadaan
parasit atau cacing yang bisa menyebabkan malnutrisi energi protein dan juga
rontgen dada, untuk melihat ada tidaknya peradangan dan infeksi pada paru.
6. Mini Nutritional Assesment
Mini Nutritional Assesment (MNA) merupakan bentuk screening gizi yang
dilakukan untuk mengetahui apakah seorang mempunyai resiko mengalami
malnutrisi akibat penyakit yang diderita dan atau perawatan di rumah sakit. MNA
ini merupakan metoda yang banyak dipakai karena sangat sederhana dan mudah
dalam pelaksanaannya. Penelitian yang dilakukan pada 200 pasien preoperasi
gastrointestinal menunjukkan bahwa MNA dapat dilakukan oleh para klinis
terlatih, mempunyai reprodusibilitas tinggi dapat menapis pasien yang mempunyai
resiko menderita malnutrisi.
Kesimpulan pemeriksaan MNA adalah menggolongkan pasien dalam
keadaan status gizi baik, beresiko malnutrisi atau malnutrisi berat. MNA
mempunyai 2 bagian besar yaitu screening dan assesment, dimana penjumlahan
semua skor akan menentukan seorang pada status gizi baik, beresiko malnutrisi
atau beresiko underweight

Tatalaksana
a. Tatalaksana Awal
Penanganan umum meliputi 10 langkah dan terbagi dalam 2 fase yaitu: fase
stabilisasi dan fase rehabilitasi.
1. Hipoglikemia
 Segera beri susu formula untuk penanganan pertama atau modifikasinya bila
penyediaannya memungkinkan.
 Bila tindakan pertama tidak dapat disediakan dengan cepat, berikan 50 ml
larutan glukosa atau gula 10% (1 sendok teh munjung gula dalam 50 ml air)
secara oral atau melalui NGT.
 Lanjutkan pemberian susu formula setiap 2–3 jam, siang dan malam selama
minimal dua hari.
 Bila masih mendapat ASI teruskan pemberian ASI di luar jadwal pemberian
larutan gula.
 Jika anak tidak sadar (letargis), berikan larutan glukosa 10% secara intravena
(bolus) sebanyak 5 ml/kg BB, atau larutan glukosa/larutan gula pasir 50 ml
dengan NGT.
 Beri antibiotik.
2. Hipotermia
 Segera beri makan susu formula (jika perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu).
 Pastikan bahwa anak berpakaian (termasuk kepalanya). Tutup dengan selimut
hangat dan letakkan pemanas (tidak mengarah langsung kepada anak) atau
lampu di dekatnya, atau letakkan anak langsung pada dada atau perut ibunya
(dari kulit ke kulit: metode kanguru). Bila menggunakan lampu listrik, letakkan
lampu pijar 40 W dengan jarak 50 cm dari tubuh anak.
 Beri antibiotik sesuai pedoman.
3. Dehidrasi
 Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dehidrasi berat
dengan syok.
 Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT, lakukan lebih lambat dibanding
jika melakukan rehidrasi pada anak dengan gizi baik.
 beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama
 setelah 2 jam, berikan ReSoMal 5–10 ml/kgBB/jam berselang-seling dengan
susu formula dengan jumlah yang sama, setiap jam selama 10 jam. Jumlah
yang pasti tergantung seberapa banyak anak mau, volume tinja yang keluar dan
apakah anak muntah.
Catatan: Larutan oralit WHO (WHO-ORS) yang biasa digunakan mempunyai
kadar natrium tinggi dan kadar kalium rendah; cairan yang lebih tepat adalah
ReSoMal. Selanjutnya berikan makan secara teratur setiap 2 jam. Jika masih
diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia < 1 th: 50-100 ml setiap buang
air besar, usia ≥ 1 th: 100-200 ml setiap buang air besar.
4. Gangguan Keseimbangan Elektrolit
 Untuk mengatasi gangguan elektrolit diberikan Kalium dan Magnesium, yang
sudah terkandung di dalam larutan Mineral-Mix yang ditambahkan ke dalam
susu formula atau ReSoMal
 Gunakan larutan ReSoMal untuk rehidrasi
 Siapkan makanan tanpa menambahkan garam (NaCl).
5. Infeksi
Berikan pada semua anak dengan gizi buruk:
 Antibiotik spektrum luas

 Vaksin campak jika anak berumur ≥ 6 bulan dan belum pernah


mendapatkannya, atau jika anak berumur > 9 bulan dan sudah pernah diberi
vaksin sebelum berumur 9 bulan. Tunda imunisasi jika anak syok.
Pilihan antibiotik spektrum luas
 Jika tidak ada komplikasi atau tidak ada infeksi nyata, beri Kotrimoksazol per
oral (25 mg SMZ + 5 mg TMP/kgBB setiap 12 jam (dosis: lihat lampiran 2)
selama 5 hari
 Jika ada komplikasi (hipoglikemia, hipotermia, atau anak terlihat letargis  atau
tampak sakit berat), atau jelas ada infeksi, beri:
o Ampisilin (50 mg/kgBB IM/IV setiap 6 jam selama 2 hari), dilanjutkan
dengan Amoksisilin oral (15 mg/kgBB setiap 8 jam selama 5 hari) ATAU,
jika tidak tersedia amoksisilin, beri Ampisilin per oral (50 mg/kgBB setiap
6 jam selama 5 hari) sehingga total selama 7 hari, DITAMBAH:
o Gentamisin (7.5 mg/kgBB/hari IM/IV) setiap hari selama 7 hari.
Catatan: Jika anak anuria/oliguria, tunda pemberian gentamisin dosis ke-2
sampai ada diuresis untuk mencegah efek samping/toksik gentamisin
 Jika anak tidak membaik dalam waktu 48 jam, tambahkan Kloramfenikol (25
mg/kgBB IM/IV setiap 8 jam) selama 5 hari. Jika diduga meningitis, lakukan
pungsi lumbal untuk memastikan dan obati dengan Kloramfenikol (25 mg/kg
setiap 6 jam) selama 10 hari. Jika ditemukan infeksi spesifik lainnya (seperti
pneumonia, tuberkulosis, malaria, disentri, infeksi kulit atau jaringan lunak),
beri antibiotik yang sesuai. Beri obat antimalaria bila pada apusan darah tepi
ditemukan parasit malaria. Walaupun tuberkulosis merupakan penyakit yang
umum terdapat, obat anti tuberkulosis hanya diberikan bila anak terbukti atau
sangat diduga menderita tuberkulosis.
6. Defisiensi Zat Gizi Mikro
Berikan setiap hari paling sedikit dalam 2 minggu:
 Multivitamin
 Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari)
 Seng (2 mg Zn elemental/kgBB/hari)
 Tembaga (0.3 mg Cu/kgBB/hari)
 Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase rehabilitasi)
 Vitamin A: diberikan secara oral pada hari ke 1 (kecuali bila telah diberikan
sebelum dirujuk), dengan dosis seperti di bawah ini :
Umur Dosis (IU)
< 6 bulan 50.000 (1/2 kapsul biru)
6-12 bulan 100.000 (1 kapsul biru)
1-5 tahun 200.000 (1 kapsul merah)
Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3 bulan
terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2, dan 15.
7. Pemberian Makan Awal (Refeeding)
o Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah osmolaritas maupun
rendah laktosa
o Berikan secara oral atau melalui NGT, hindari penggunaan parenteral
o Energi: 100 kkal/kgBB/hari
o Protein: 1-1.5 g/kgBB/hari
o Cairan: 130 ml/kgBB/hari (bila ada edema berat beri 100 ml/kgBB/hari)
o Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan bahwa jumlah susu
formula yang ditentukan harus dipenuhi.

Hari Frekuens Volume/ kgBB/ Volume/


ke i pemberian kgBB/ hari
1-2 Setiap 2 11 ml 130 ml
jam
3-5 Setiap 3 16 ml 130 ml
jam
6 Setiap 4 22 ml 130 ml
jam

Pada anak dengan nafsu makan baik dan tanpa edema, jadwal di atas dapat
dipercepat menjadi 2-3 hari.
8. Perhatikan Tumbuh Kejar
Lakukan transisi secara bertahap dari formula awal (F-75) ke formula tumbuh-
kejar (F-100) (fase transisi):
 Ganti F 75 dengan F 100. Beri F-100 sejumlah yang sama dengan F-75
selama 2 hari berturutan.
 Selanjutnya naikkan jumlah F-100 sebanyak 10 ml setiap kali pemberian
sampai anak tidak mampu menghabiskan atau tersisa sedikit. Biasanya hal ini
terjadi ketika pemberian formula mencapai 200 ml/kgBB/hari. Dapat pula
digunakan bubur atau makanan pendamping ASI yang dimodifikasi sehingga
kandungan energi dan proteinnya sebanding dengan F-100.
 Setelah transisi bertahap, beri anak:
o pemberian makan yang sering dengan jumlah tidak terbatas (sesuai
kemampuan anak)
o energi: 150-220 kkal/kgBB/hari
o protein: 4-6 g/kgBB/hari.
Bila anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI tetapi pastikan anak
sudah mendapat F-100 sesuai kebutuhan karena ASI tidak mengandung cukup
energi untuk menunjang tumbuh-kejar. Makanan-terapeutik-siap-saji (ready to
use therapeutic food = RUTF) yang mengandung energi sebanyak 500 kkal/sachet
92 g dapat digunakan pada fase rehabilitasi.

Hindari terjadinya gagal jantung. Amati gejala dini gagal jantung (nadi cepat
dan napas cepat). Jika nadi maupun frekuensi napas meningkat (pernapasan naik
5x/menit dan nadi naik 25x/menit), dan kenaikan ini menetap selama 2 kali
pemeriksaan dengan jarak 4 jam berturut-turut, maka hal ini merupakan tanda
bahaya (cari penyebabnya).
Lakukan segera:
 kurangi volume makanan menjadi 100 ml/kgBB/hari selama 24 jam
 kemudian, tingkatkan perlahan-lahan sebagai berikut:
o 115 ml/kgBB/hari selama 24 jam berikutnya
o 130 ml/kgBB/hari selama 48 jam berikutnya
o selanjutnya, tingkatkan setiap kali makan dengan 10 ml
sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
o atasi penyebab.
9. Stimulasi Sensorik dan Emosional
 ungkapan kasih sayang
 lingkungan yang ceria
 terapi bermain terstruktur selama 15–30 menit per hari
 aktivitas fisik segera setelah anak cukup sehat
 keterlibatan ibu sesering mungkin (misalnya menghibur, memberi makan,
memandikan, bermain)
10. Malnutrisi pada Bayi <6 bulan
Malnutrisi pada bayi < 6 bulan lebih jarang dibanding pada anak yang lebih tua.
Kemungkinan penyebab organik atau gagal tumbuh harus dipertimbangkan,
sehingga dapat diberikan penanganan yang sesuai. Jika ternyata termasuk gizi
buruk, prinsip dasar tatalaksana gizi buruk dapat diterapkan pada kelompok umur
ini. Walaupun demikian, bayi muda ini kurang mampu mengekskresikan garam
dan urea melalui urin, terutama pada cuaca panas. Oleh karena itu pada fase
stabilisasi, urutan pilihan diet adalah:
 ASI (jika tersedia dalam jumlah cukup)
 Susu formula bayi (starting formula)

b. Tatalaksana Kegawatdaruratan
Kata triase (triage) berarti memilih. Jadi triase adalah proses skrining secara cepat
terhadap semua anak sakit segera setelah tiba di rumah sakit untuk mengidentifikasi
ke dalam salah satu kategori berikut:
 Dengan tanda kegawatdaruratan (EMERGENCY SIGNS): memerlukan
penanganan kegawatdaruratan segera.
 Dengan tanda prioritas (PRIORITY SIGNS): harus diberikan prioritas dalam
antrean untuk segera mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan tanpa ada
keterlambatan.
 Tanpa tanda kegawatdaruratan maupun prioritas: merupakan kasus NON-
URGENT sehingga dapat menunggu sesuai gilirannya untuk mendapatkan
pemeriksaan dan pengobatan.
Tanda kegawatdaruratan, konsep ABCD:
 Airway. Apakah jalan napas bebas? Sumbatan jalan napas (stridor) Breathing.
Apakah ada kesulitan bernapas? Sesak napas berat (retraksi dinding dada,
merintih, sianosis)?
 Circulation. Tanda syok (akral dingin, capillary refill > 3 detik, nadi cepat
 dan lemah).
 Consciousness. Apakah anak dalam keadaan tidak sadar (Coma)? Apakah kejang
(Convulsion) atau gelisah (Confusion)?
 Dehydration. Tanda dehidrasi berat pada anak dengan diare (lemah, mata cekung,
turgor menurun).
Anak dengan tanda gawat-darurat memerlukan tindakan kegawatdaruratan segera
untuk menghindari terjadinya kematian. Tanda prioritas digunakan untuk
mengidentifikasi anak dengan risiko kematian tinggi. Anak ini harus dilakukan
penilaian segera. Jika ditemukan ulkus kornea, beri vitamin A dan obat tetes mata
kloramfenikol/ tetrasiklin dan atropin; tutup mata dengan kasa yang telah dibasahi
dengan larutan garam normal, dan balutlah. Jangan beri obat mata yang mengandung
steroid. Jika terdapat anemia berat, diperlukan penanganan segera.

c. Penanganan Lanjutan
Bila telah tercapai BB/TB > -2 SD (setara dengan >80%) dapat dianggap anak telah
sembuh. Anak mungkin masih mempunyai BB/U rendah karena anak berperawakan
pendek. Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan di
rumah.
Berikan contoh kepada orang tua:
 Menu dan cara membuat makanan kaya energi dan padat gizi serta frekuensi
pemberian makan yang sering.
 Terapi bermain yang terstruktur
 Sarankan untuk melengkapi imunisasi dasar dan/atau ulangan
 Mengikuti program pemberian vitamin A (Februari dan Agustus)
Anak yang belum sembuh total mempunyai risiko tinggi untuk kambuh. Waktu
untuk pemulangan harus mempertimbangkan manfaat dan faktor risiko. Faktor
sosial juga harus dipertimbangkan. Anak membutuhkan perawatan lanjutan melalui
rawat jalan untuk menyelesaikan fase rehabilitasi serta untuk mencegah
kekambuhan.

Prognosis
Prognosis pada penyakit ini dapat buruk apabila telah terjadi komplikasi infeksi
yang dapat menyebabkan kemarian. Prognosis gizi buruk juga dapat baik apabila
malnutrisi bisa diatasi secara cepat dan tepat. Kematian bisa dihindari jika dehidrasi berat
dan penyakit kronis seperti tuberculosis dan hepatitis yang bisa menyebabkan sirosis
hepatis bisa dihindari. Pada anak dengan gizi buruk di usia lebih muda, bisa terjadi
penurunan tingkat kecerdasan yang lebih besar dan irreversible dibandingkan dengan
anak yang mendapatkan keadaan malnutrisi pada usia lebih dewasa. Sedangkan untuk
keadaan psikomotor, anak yang mendapat pengobatan dan perbaikan keadaan gizi pada
usia lebih muda akan cenderung mendapat kesembuhan psikomotor lebih sempurna
dibandingkan dengan anak yang lebih tua. Akan tetapi, pertumbuhan dan perkembangan
anak yang pernah mengalami kondisi gizi buruk cenderung lebih lambat terutama terlihat
jelas dalam ukuran tinggi badan dan pertumbuhan berat badan anak walupun secara ratio
antara berat badan dan tinggi badan nantinya tetap dalam batas normal.

Anda mungkin juga menyukai