Sejarah ekonomi Indonesia terbentuk atas lokasi geografisnya yang terletak diantara persilangan
samudera dan benua dunia. Sumber daya alam yang melimpah berupa hasil tani dan bumi serta
penduduk yang tinggal dipenjuru kepulauan yang membentuk dasar dari perkembangan Negara
Indonesia. Munculnya kontak dengan perdagangan internasional melalui mitra asing yang datang
untuk berdagang juga ikut berperan penting dalam perkembangan Indonesia berupa kedatangan
pedagang dari India, China, Arab dan Eropa yang ikut mengeksplorasi rempah-rempah.
Pada awal abad ke-17, Vereenigde Oostindische Compagnie, salah satu perusahaan
multinasional pertama dalam dunia, sejarah telah mendirikan basis operasional mereka di
kepulauan Indonesia untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah dunia. Pada tahun 1800,
Hindia belanda merupakan salah satu negara terbesar yang menerima manfaat finansial dari
monopoli perdagangan komoditas nusantara di pasar internasional melalui hasil tani seperti kopi,
teh, kina, karet dan minyak sawit, hasil bumi seperti minyak, batubara, timah dan tembaga.
Hindia Belanda berubah menjadi Republik
Indonesia setelah Perang Dunia II.
Kerajaan-kerajaan kuno
Awal mulanya, perekonomian pedesaan di nusantara sangat bergantung pada hasil pertanian
seperti padi, serta perdagangan produk hutan; seperti buah tropis, perburuan hewan, tanaman
resin, rotan dan kayu. Kerajaan-kerajaan kuno seperti Tarumanagara dan Mataram adalah salah
satu contoh dari kerajaan yang mengandalkan kegiatan perekonomiannya pada hasil panen padi
dan pajak.
Nusantara sejak lama dikenal akan melimpahnya sumber daya alam; seperti rempah-rempah
berupa pala dan cengkih dari Maluku, merica dan kemukus dari Sumatra Selatan dan Jawa Barat,
beras dari Jawa, emas, tembaga dan timah dari Sumatra, Kalimantan dan pulau-pulau di antara,
kamper resin dari pelabuhan Barus, sappan dan kayu cendana dari Kepulauan Nusa Tenggara,
kayu dari Kalimantan, gading dan badak tanduk dari Sumatra dan eksotis bulu burung dari
Indonesia timur adalah beberapa produk yang dicari oleh para pedagang di seluruh dunia. Secara
teknis, kontak asing dimulai ketika pada abad ke-4 dimana kerajaan kecil nusantara yang
menerima kedatangan pedagang dari India. Seiring dengan perkembangan, datanglah para
pedagang-pedagang lain dari daratan Benua Asia lainnya seperti dari Arab dan China. Lokasi
nusantara yang strategis diantara rute perdagangan India dan China serta rute perdagangan
maritim yang terus berkembang menjadikan nusantara tumbuh sebagai salah satu kekuatan
ekonomi dan politik yang berpengaruh dikawasan berupa lahirnya Kerajaan Sriwijaya yang
mulai berkembang pada abad ke-7 menjadi kerajaan kosmopolitan berbasis perdagangan.
Sriwijaya
Dalam dunia perdagangan, Kerajaan Sriwijaya berkembang dengan pesat menjadi Kerajaan
utama yang mengendalikan 2 jalur perdagangan utama antara India dan Cina, yaitu melalui Selat
Sunda dari Palembang dan selat Malaka dari Kedah. Dalam suatu catatan dari pedagang Arab,
catatan tersebut menyatakan bahwa luasnya wilayah kerajaan yang begitu besar bahkan membuat
kapal tercepatpun tidak mampu untuk bisa berpergian mengelilingi semua pulau-pulau yang
menghasilkan kamper, gaharu, cengkih, kayu cendana, pala, kapulaga dan cubebs, gading, emas,
dan timah, kekayaan masing-masing pulau menjadikan kerajaan ini bisa memiliki kekayaan
setara dengan raja yang ada di India.
Selain membina hubungan perdagangan dengan India dan Cina, Sriwijaya juga didirikan
hubungan dagang dengan Kerajaan di Jazirah Arab. Terdapat sebuah kemungkinan besar,
seorang utusan dikirim oleh Maharaja Sri Indrawarman untuk menyampaikan surat perkenalan
kepada Khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Kekhalifahan Umayyah pada tahun 718 Masehi.
Surat tersebut kembali bersama dengan Zanji (budak wanita dari Zanj), sebagai hadiah dari
Khalifah untuk maharaja yang menjadi pertanda baik dibukanya hubungan Kerajaan Sriwijaya
dengan Kekhalifahan Umayyah. Hal ini diperkuat dengan adanya berita dari China yang
menyebutkan tentang seorang yang bernama Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indravarman), Maharaja dari
Shih-li-fo-shih pada tahun 724 mengirimkan hadiah kepada kaisar berupa ts'engchi (Cina ejaan
bahasa arab Zanji). Sriwijaya mendominasi kekuatan ekonomi dan politik dikawasan tersebut
hingga berakhirnya pada abad ke-13.
Majapahit
Pada abad ke-14 di Pulau Jawa, tumbuh sebuah Kerajaan yang mewarisi peninggalan Kerajaan
Singhasari yang bernama Kerajaan Majapahit. Kerajaan yang lahir dari seorang mantan tahanan
yang diberikan lahan di sebuah daerah yang bernama desa maja (kini Mojokerto) ini berawal
hanya dari sebuah daerah pemukiman yang terletak dipinggir Sungai Brantas. Kerajaan yang
ekonominya dulu hanya digerakkan dari hasil panen pertanian bertanah basah dan kering secara
pesat berkembang menjadi kerajaan maritim sebagai pusat perdagangan dan ekonomi di
nusantara selama berabad-abad. Menurut sumber dari Dinasti Ming dengan judul Yingyai
Shenglan bernama Ma Huan melaporkan perkembangan perekonomian dan perdagangan di
Pulau Jawa.
Dalam industri pertanian, Padi di pulau Jawa dipanen
sebanyak dua kali dalam setahun. Mereka juga menanam dan
memanen wijen putih dan lentil, tetapi tidak ada menanam
gandum. Tanah di pulau ini menghasilkan Secang (berguna
untuk menghasilkan pewarna merah), berlian, cendana, dupa,
puyang merica, cantharides (kumbang hijau yang digunakan
untuk obat-obatan), biji besi, kura-kura, penyu serta hewan
aneh dan langka seperti burung besar seperti ayam, beo lima
warna yang bisa menirukan suara manusia, juga ayam mutiara,
merak, 'pohon sirih burung', mutiara burung, dan merpati hijau.
Terdapat pula Binatang-binatang yang belum pernah kami
temui seperti rusa putih, kera putih dan berbagai hewan
lainnya. Hewan disini juga sama, ada Babi, kambing, sapi,
kuda, dan bebek. Untuk buah-buahan, ada semua buah-buahan
pisang, kelapa, tebu, buah delima, lotus, mang-chi-shi (manggis), semangka dan lang Ch'
(langsat atau Duku). Selain itu, ada labu dan sayuran.
Kegiatan transaksi sehari-hari dalam perekonomian di Pulau Jawa seperti membeli atau menjual
barang, membayar pajak dan denda termonetisasi secara parsial menggunakan koin emas dan
perak pada abad ke-8 dan mulai digunakan secara penuh sebagai alat transaksi seabad kemudian
melalui eskavasi artefak berupa Temuan Wonoboyo yang ditemukan di Jawa Tengah
memperkuat bukti bahwa Kerajaan Majapahit secara finansial terpenuhi kebutuhan transaksinya
melalui kebijakan monetisasi. Hasil eskavasi penemuan artefak ini berupa koin emas yang
berbentuk benih, mirip dengan jagung, sedangkan koin perak yang mirip dengan tombol. Sekitar
tahun 1300an, pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk, terjadi perubahan secara drastis
dengan penggantian penggunaan uang koin emas dan perak menjadi koin impor tembaga China
tunai. Penemuan koin tembaga China Kuno sebanyak 10,388 keping oleh seorang warga di
Kabupaten Sidoarjo dengan berat mencapai 800kg pada bulan November 2008 yang diteliti oleh
Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala Indonesia (BP3I) Jawa Timur menyatkan bahwa koin-
koin tersebut merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit.[2] Meski perubahan alat transaksi ini
tidak pernah dijelaskan diberita manapun, terdapat anggapan bahwa seiring dengan makin
kompleksnya perkembangan ekonomi di Pulau Jawa dan keinginan untuk memiliki mata uang
dengan sistem yang jauh lebih kecil dan cocok untuk digunakan sehari-hari dalam transaksi
pasar, maka digantikanlah alat transaksi emas dan perak menjadi tembaga. [3](h107)
Terdapat beberapa catatan mengenai perekonomian yang diambil dari prasasti dan data. Prasasti
Canggu pada tahun 1358 menyebutkan terdapat sebanyak 78 lalu lintas penyeberangan laut antar
pulau di dalam negeri nusantara.(h107)
Keberhasilan Majapahit berkembang hingga menjadi salah satu kerajaan yang makmur dan
sejahtera karena dua faktor utama. Pertama, dataran rendah Pulau Jawa yang terletak di Timur
Laut cocok untuk dijadikan lahan pertanian konsumsi seperti padi dan budidaya berbagai
tanaman konsumsi dan komoditas yang mampu menjadi pendapatan utama kerajaan, dan
terdapat proyek-proyek irigasi yang secara signifikan berpengaruh pada pertumbuhan permintaan
tanaman komoditas tersebut. Kedua, pelabuhan-pelabuhan di pantai utara secara aktif
dimanfaatkan oleh kerajaan ini untuk memasarkan dan memperdagangkan komoditas hasil tani
dan bumi yang dipanen mungkin, serta jaringan transportasi laut yang frekuensinya banyak dan
terjangkau disemua daerah nusantara memungkinkan majapahit untuk memperluas wilayah
kekuasannya dengan mudah yang diikuti dengan kemudahan akses untuk mendapatkan rempah-
rempah dari Kepulauan Maluku yang melewati Jawa menjadi sumber pendapatan penting bagi
Majapahit.(h107)
Dalam Kakawin Nagarakretagama, Majapahit yang terkenal menarik para pedagang asing dari
jauh seperti dari India, Khmer, Siam, dan China untuk berdagang di Majapahit. Sementara di
periode selanjutnya, dalam berita China yang berjudul Yingyai Shenglan disebutkan bahwa
sebagian besar dari pedagang China dan pedagang-pedagang Muslim dari barat (tepatnya Arab
dan India, sebagian besar dari kerajaan Muslim di Sumatra dan Semenanjung malaya) menetap
di kota-kota pelabuhan Majapahit, seperti Tuban, Gresik dan Hujung Galuh (Surabaya). Pajak
dikenakan terhadap beberapa orang asing, seperti mereka yang membuka usaha dan melakukan
kegiatan perdagangan luar negeri. Kerajaan Majapahit memiliki hubungan diplomatik dan
perdagangan dengan China dinasti Ming, Annam dan Champa, Kamboja, Siam Ayutthayan,
Burma Martaban dan India selatan (Wijayanagara).
Pada abad ke-14, pemukiman Muslim mulai berkembang disekitar untuk menyambut kedatangan
para pedagang Muslim dari India dan Timur Tengah untuk berdagang. Salah satu kerajaan
Muslim yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik dikawasan nusantara saat itu adalah
Kesultanan Melaka yang mengontrol strategis selat Malaka, dan Kesultanan Demak yang
menggantikan Majapahit sebagai kekuatan regional di Jawa. Kesultanan juga aktif untuk
menyebarkan agama Islam di nusantara, dan pada akhir abad ke-15, Islam menjadi agama
mayoritas di kepulauan nusantara setelah Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya yang masing-masing
bernuansa Hindu dan Budha kehilangan kekuasannya atas kerajaannya, mayoritas agama Islam
di nusantara tersebar dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi hingga sebagian Maluku, Nusa
Tenggara dan Papua. Kerajaan Islam di nusantara juga terhubung dengan jaringan perdagangan
dan diplomatik yang membentang dari Muslim Spanyol di Barat untuk Muslim koloni
perdagangan di pelabuhan Cina Timur, hingga seperti rempah-rempah dari Indonesia seperti
cengkih, pala dan merica akhirnya bisa mencapai pasar rempah-rempah di Canton, Damaskus
dan Kairo.
Di awal abad ke-17, Netherland East India Company (VOC) didirikan oleh Pemerintah Belanda
sebagai BUMN yang mengelola usaha perdagangan komoditas rempah-rempah dan budidaya
tanaman komoditas berbasis ekspor. VOC dalam perkembangannya menjadi salah satu
perusahaan terkuat dan berpengaruh dikawasan nusantara, tidak hanya untuk kepentingan bisnis
dan menghasilkan keuntungan semata. Tetapi juga sebagai alat Pemerintah Belanda untuk
menguasai nusantara. Diversifikasi usaha yang luas dalam kegiatan bisnis VOC dari perusahaan
pelayaran yang menghubungkan Indonesia dengan Eropa membawa komoditas rempah-rempah
serta membuka kantor pemasaran dan penjualan dibeberapa kota utama di Asia dan Eropa.
Langkah demi langkah, Belanda bersaing secara terbuka dengan Portugis untuk memperebutkan
kekayaan nusantara, dimulai dengan penaklukan Belanda di Ambon, Maluku Utara dan Banda.
Secara statistik, perkembangan usaha VOC melampaui semua pesaingnya di kawasan Asia.
Antara tahun 1602-1796, VOC telah mengirim satu juta orang Eropa untuk bekerja di nusantara
berserta dengan kantor perwakilan dikota-kota lain di Asia, memiliki armada dagang dan perang
sebanyak 4,785 kapal, dan perusahaan mencetak target produksi lebih dari 2,5 juta ton produk
rempah-rempah. VOC menikmati keuntungan besar dari kebijakan monopoli perdagangan
rempah-rempah di Kepulauan Maluku pada abad ke-17.[6] Keuntungan ini juga menjadi modal
VOC pada tahun 1619 untuk mendirikan ibu kota Hindia Belanda dikota pelabuhan yang
bernama Jacatra dan mengubah nama kota tersebut menjadi Batavia (sekarang Jakarta). Selama
dua abad berikutnya, Perusahaan mengakuisisi tambahan terminal pelabuhan sebagai basis
perdagangan dan melindungi kepentingan mereka dengan mengambil alih wilayah sekitarnya.
VOC juga membagi dividen sebesar 18% pertahun selama 200 tahun hingga abad ke 19 akibat
perusahaan bergerak diluar kemampuannya untuk membiayai perang dan terjadi banyak korupsi
ditubuh VOC
Munculnya banyak pemberitaan tentang menderitanya petani Hindia Belanda di Pulau Jawa
terkait sistem tanam paksa atau budidaya yang diterapkan Belanda untuk mengisi kembali kas
negara yang kosong akibat mengalami pengeluaran luar biasa mulai menuai kecaman dan
penolakan dari masyarakat Belanda sendiri, karena kebijakan ini dinilai tidak manusiawi.
Kebijakan ini lantas digantikan dengan reformasi agraria pada masa Liberal yang mengatur
bahwa pengusaha non-Belanda ikut diperbolehkan untuk tidak hanya menyewa lahan, tetapi juga
diperbolehkan memliki lahan. Sejak itu investasi swasta mengalir masuk ke Hindia Belanda
seperti pertambangan dan perkebunan. Belitung yang menjadi rumah dari pertambangan timah
mendapatkan investasi dari sindikasi pembiayaan dari sekelompok pengusaha belanda, termasuk
adik dari Raja William III. Pertambangan dimulai pada tahun 1860. Pada tahun 1863 Jacob
Nienhuys memperoleh konsesi dari Kesultanan Deli (Sumatra Timur) untuk menggunakan lahan
yang ada untuk digunakan sebagai lahan perkebunan tembakau.[12] Hindia belanda secara resmi
membuka kesempatan bagi para perusahaan swasta dan Pengusaha Belanda menanamkan
investasi pada lahan perkebunan dan pabrik pengolahan hasil tani. Produksi gula meningkat dua
kali lipat antara tahun 1870 dan 1885; tanaman baru seperti teh dan kina berkembang, dan karet
diperkenalkan, yang mengarah ke peningkatan keuntungan secara dramatis bagi pra pengusaha
swasta. Portofolio investasi perusahaan swasta tidak hanya berhenti pada pertanian dan
perkebunan, tetapi merambah hingga eksplorasi dan produksi minyak di Sumatra dan
Kalimantan menjadi sumber daya berharga bagi Belanda yang menjadi negara salah satu negara
Eropa yang berpengaruh dalam hal industrialisasi. Komersialisasi kegaitan perdagangan
diperluas dari Jawa ke luar pulau dengan semakin banyak wilayah yang berada dibawah
kekuasaan Belanda hingga paruh kedua abad ke-19. Namun, akibat kelangkaan lahan untuk
produksi beras, bersamaan dengan terjadinya peningkatan populasi, terutama di Jawa,
mengakibatkan beras sulit untuk didapat.
Resesi yang terjadi di seluruh dunia pada akhir tahun 1880-an dan awal tahun 1890-an
mengakibatkan harga-harga komoditas jatuh dan Hindia Belanda yang ekonominya
mengandalkan perdaganagn komoditas ikut terseret kedalam resesi ini. Wartawan dan pegawai
negeri sipil mengaku bahwa sebagian besar populasi tidak lebih baik daripada masa peraturan
sistem ekonomi tanah paksa dan hal ini mengakibatkan terjaidnya gelombang kelaparan di
penjuru Hidia Belanda. Pulihnya kembali harga komoditas dari resesi, mengundnag peningkatan
nilai investasi di Hindia Belanda. Produksi dan investasi perusahaan swasta dibidang gula, timah,
kopra dan kopi perdagangan telah berkembang signfikan, dan karet, tembakau, teh dan minyak
juga menjadi komoditas ekspor utama. Reformasi politik yang diberlakukan pemerintah Hindia
Belanda mendorong daerah untuk memiliki otonomi daerah pemerintahan kolonial, bergerak dari
sistem sentralistik menjadi desentralistik.
Ekonomi dunia kembali sehat di akhir 1890-an dan semuanya kembali. Investasi asing, terutama
dari Inggris mengalami peningkatan yang didorong. Pada tahun 1900, jumlah aset asing yang ada
di Hindia Belanda mencapai nilai sebesar 750 juta guilders (US$300 juta) dengan dominan di
Pulau Jawa.
Republik Indonesia
Hindia belanda sendiri jatuh ke tangan pasukan Kekaisaran Jepang pada tahun 1942. Selama Perang
Dunia II, perekonomian Hindia belanda (Indonesia) bisa dibilang tidak ada pergerakan atau sama sekali
hancur, karena setiap sumber daya yang ada diarahkan terhadap upaya perang kekaisaran, pasukan
Jepang menerapkan kebijakan bela diri ketat. Banyak kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian dan
obat-obatan yang tidak terpenuhi yang mengakibatkan terjadinya bencana kelaparan dan mewabahnya
penyakit. Pada awal tahun 1945, pasukan Jepang mulai menunjukkan kekalahan dalam berbagai perang,
yang berpuncak pada pengeboman atom Hiroshima dan Nagasaki.
Peredaran mata uang yang berbeda-beda secara liar mengakibatkan munculnya ketidakstabilan
kegiatan ekonomi di indonesia, dimana pada saat itu terdapat 3 mata uang yang berbeda yaitu,
mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang
pendudukan Jepang. Pada saat itu diperkirakan mata uang Jepang yang beredar di masyarakat
sebesar 4 miliar. Dari jumlah tersebut, yang beredar di Jawa saja, diperkirakan mencapai 1,6
miliar. Hal ini mengakibatkan terjadinya inflasi yang tidak terkendali dan hal ini mengakibatkan
sebagian besar kalangan masyarakat kalangan bawah seperti masyarakat umum dan petani
kesulitan untuk memakai uangnya untuk ditukarkan menjadi bahan pangan dan kebutuhan
sehari-hari karena harganya yang tidak terjangkau. Oleh karena itu, untuk sementara waktu
Pemerintah RI menetapkan secara resmi tiga mata uang berlaku di wilayah RI. Meski kebijakan
tri-currency diberlakukan, hal tersebut tidak berdampak secara signifikan pada laju inflasi yang
terjadi di Indonesia, karena pada saat itu Indonesia masih berjuang lagi untuk mempertahankan
kemerdekaan Indonesia setelah diketahui bahwa sekutu kembali ke Indonesia dibawah pimpinan
Panglima AFNEI untuk mengembalikan Indonesia dari penjajahan Jepang kepada Belanda.
Kedatangan armada pasukan AFNEI diberbagai penjuru pulau Indonesia dimanfaatkan oleh
sekutu dengan menduduki beberapa kota besar di Indonesia dan menguasai instansi keuangan
seperti kantor kas perbankan. Penguasaan bank-bank oleh Sekutu bertujuan agar mampu
mengedarkan uang cadangan sebesar 2,3 miliar untuk keperluan operasi mereka. Panglima
AFNEI, Letnan Jenderal Sir Montagu Stopford pada tanggal 6 Maret 1946 mengumumkan
berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu yang bertujuan untuk mengganti
mata uang Jepang yang nilainya sudah sangat turun. Pemerintah melalui Perdana Menteri Syahrir
memprotes kebijakan tersebut. Karena hal itu berarti pihak Sekutu telah melanggar persetujuan
yang telah disepakati, yakni selama belum ada penyelesaian politik mengenai status Indonesia,
tidak akan ada mata uang baru. Pemerintah RI langsung merespon langkah sekutu dengan
mencetak dan mengedarkan mata uang baru yaitu Oeang Republik Indonesia (ORI) sebagai
pengganti uang Jepang untuk mempertahankan kedaulatan ekonomi Indonesia yang dilaksanakan
oleh Bank Negara Indonesia yang didirikan pada tanggal 1 November 1946 yang dipimpin oleh
Margono Djojohadikusumo.
Perebutan Belanda untuk mengambil kembali Indonesia dari kemerdekaan yang diraih pada
masa kekosongan kekuasaan dilancarkan tidka hanya dari sisi militer, tetapi juga sisi transportasi
barang dan ekonomi. Blokade laut yang dimulai sejak bulan November 1945 oleh Belanda
bertujuan untuk menekan gerak ekonomi Indonesia untuk membiayai peperangan melawan
sekutu dan Belanda. Blokade tersebut memberikan dampak yang cukup serius dalam beberapa
hal seperti:
Gunting Syafruddin
Gunting Syafruddin merupakan kebijakan yang
digagas oleh Menteri Keuangan Syafruddin
Prawiranegara untuk mengurangi defisit anggaran
yang mencapai Rp 5,1 Miliar. Kebijakan yang
disahkan pada tanggal 20 Maret 1950 SK Menteri
Keuangan Nomor 1 tanggal 19 Maret 1950 ini
bertujuan untuk memotong nilai uang yang Rp. 2,50
ke atas menjadi tinggal setengahnya. Hal ini
memberikan keuntungan pada Pemerintah Indonesia
dengan berkurangnya jumlah peredaran uang dan hal
ini menjadi alasan Pemerintah Belanda meminjamkan dana sebesar Rp 200 Juta, sekaligus meningkatkan
kredibilitas anggaran negara.
Sistem Ekonomi Gerakan Benteng merupakan program pemerintah Republik Indonesia untuk
mendorong transisi ekonomi Indonesia dari berbasis pertanian menjadi berbasis industri.
Program yang digagas oleh Sumitro Djojohadikusumo yang pada saat itu menjabat sebagai
Menteri Koordinator bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri serta Perdagangan Indonesia
bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi nasional dari berbasis kolonial menjadi ekonomi
pembangunan. Program ini mengakomodasi kegiatan seperti:
Wirausahawan yang menerima pembiayaan kegiatan usaha belum memiliki edukasi dan
wawasan yang layak dan memadai untuk menerapkan disiplin ilmu usaha.
Wirausahawan yang menerima pembiayaan kegiatan usaha belum memiliki mental
meningkatkan pendapatan, masih sebatas untuk mendapatkan pemasukan.
Wirausahawan yang menerima pembiayaan kegiatan usaha belum memiliki kreativitas
untuk menyiasati ketidakmampuannya dalam menunjang kegiatan usahnya.
Wirausahawan yang menerima pembiayaan kegiatan usaha belum memiliki kepercayaan
diri untuk mengembangkan usahanya dengan mudah.
Wirausahawan yang menerima pembiayaan kegiatan usaha belum memiliki kesabaran
dalam meniti perkembangan usahanya dengan baik.
Wirausahawan yang menerima pembiayaan kegiatan usaha belum memiliki integritas
terhadap apa yang diamanahkan kepadanya.
Program yang diharapkan mampu menjadi stimulus ekonomi Indonesia, malah menjadi
penyebab sumber defisit anggaran 1952 yang mencapai Rp 3 Miliar rupiah ditambah sisa defisit
anggaran tahun 1951 sebesar 1,7 miliar rupiah.
Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan sebagai pengusaha
non pribumi khususnya Tionghoa. Lewat program ini, Pemerintah menyediakan dan
menyalurkan kredit dan lisensi usaha bagi wirausahawan swasta nasional. Pemerintah
memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada.
Pelaksanaan kebijakan Ali-Baba ini mewajibkan pengusaha pribumi untuk memberikan
pendidikan dan pelatihan-latihan kepada tenaga kerja Indonesia sebagai bentuk
pertanggungjawaban pengusaha terhadap aliran kredit dan lisensi yang diberikan negara kepada
pengusaha. Lagi-lagi, program ini tidak berjalan dengan baik sebab:
Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap, Menteri Luar Negeri Indonesia Ida Anak Agung Gde
Agung menjadi ketua delegasi Indonesia yang dikirim oleh Pemerintah Indonesia menuju
Jenewa, Swiss untuk merundingkan masalah finansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan
pihak Belanda. Pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuan Finek, yang
berisi:
Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih berganti
menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan terjadinya kemerosotan
ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan.
Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa
kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka
panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun
Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun
1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas
RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT
diperkirakan 12,5 miliar rupiah.
Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan
awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-
perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan
kebijakan ekonominya masing-masing.
Masa kabinet Juanda terjadi ketegangan hubungan antara pusat dan daerah. Masalah tersebut
untuk sementara waktu dapat teratasi dengan Musayawaraah Nasional Pembangunan (Munap).
Tujuan diadakan Munap adalah untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan
rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Tetapi tetap saja rencana
pembangunan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena:
Hal ini membutuhkan biaya besar untuk menumpas pemberontakan PRRI/ Permesta sehingga
meningkatkan defisit Indonesia. Memuncaknya ketegangan politik Indonesia- Belanda
menyangkut masalah Irian Barat mencapai konfrontasi bersenjata.
Devaluasi Rupiah
Kebijakan devaluasi rupiah diambil pada tanggal 25 Agustus 1959 oleh Pemerintah Indonesia
setelah melewati berbagai kajian dan diskusi secara intensif dengan Bank Sentral dan
Kementerian terkait untuk menyelesaikan masalah inflasi yang perkembangannya tidak
terkendali. Kebijakan yang akan mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat ini
berdampak pada:
Namun, kebijakan ini sendiri malah tidak berdampak signfikan untuk menahan perkembangan
inflasi.
Deklarasi Ekonomi yang dipublikasikan pada tanggal 28 Maret 1963 oleh Pemerintah Indonesia
bertujuan untuk menciptakan ekonomi yang bersifat nasional, demokratis dan bebas dari
imperialisme untuk mencapai tahapan ekonomi sosialis dengan cara terpimpin dari negara.
Deklarasi ini juga menjadi langkah pemerintah untuk menghadapi ekonomi yang kian
memburuk. Dalam pelaksanaannya, dekon sendiri justru mengakibat terjadinya stagnansi
ekonomi bagi Indonesia, karena banyaknya ketidakmampuan yang Pemerintah selesaikan dalam
menangani masalah ekonomi, seperti:
Dekon sendiri menjadi salah satu kebijakan ekonomi yang paling muram dalam sejarah
kebijakan ekonomi di Indonesia.
Pada tahun 1960-an, perekonomian Indonesia memburuk secara drastis sebagai hasil dari
ketidakstabilan politik. Kebijakan negara yang masih berubah-ubah dan minimnya pengalaman
dalam mengelola negara mengakibatkan munculnya kemiskinan dan kelaparan. Pada saat
kejatuhan Soekarno pada tahun 1960-an, perekonomian Indonesia berada dalam kekacauan
berupa inflasi tahunan yang mencapai 1.000%, defisit neraca yang melebar secara ekstrim
ditambah dengan tidak layaknya infrastruktur untuk mengakomodasi kegiatan produksi dan
distribusi industri, pabrik-pabrik beroperasi pada kapasitas yang minimal, dan investasi tidak
bergerak.
PDB per kapita tumbuh 545% dari tahun 1970 sampai tahun 1980 sebagai hasil dari peningkatan
mendadak dalam pendapatan ekspor minyak dari tahun 1973 hingga 1979.
Tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi dari 1987-1997 menutupi jumlah kelemahan struktural
dalam ekonomi Indonesia. Pertumbuhan yang datang dengan biaya tinggi dalam hal yang lemah
dan korup, lembaga publik yang parah hutang melalui salah urus sektor keuangan, menipisnya
sumber daya alam Indonesia, dan budaya nikmat dan korupsi di elit bisnis. Korupsi terutama
mendapatkan momentum pada tahun 1990-an, mencapai tingkat tertinggi dari hierarki politik
seperti Soeharto menjadi yang paling korup pemimpin menurut Transparency International's
pemimpin yang korup daftar. Sebagai hasilnya, sistem hukum sangat lemah, dan tidak ada cara
yang efektif untuk menegakkan kontrak, menagih hutang, atau menuntut atas kebangkrutan.
Praktek perbankan yang sangat canggih, dengan agunan pinjaman berbasis norma dan meluasnya
pelanggaran peraturan kehati-hatian, termasuk batas terhubung pinjaman. Hambatan Non-tarif,
rent-seeking oleh perusahaan milik negara subsidi domestik hambatan ke perdagangan domestik
dan ekspor pembatasan semua menciptakan distorsi ekonomi.
Efek dari krisis keuangan dan ekonomi yang parah. Pada bulan November 1997, cepat depresiasi
mata uang telah melihat utang publik mencapai US$60 miliar, memaksakan parah strain pada
anggaran pemerintah. Pada tahun 1998, real PDB mengalami kontraksi sebesar 13.1%. Ekonomi
mencapai titik terendah pada pertengahan tahun 1999 dan pertumbuhan PDB riil untuk tahun ini
adalah 0.8%. Inflasi mencapai 72% pada tahun 1998 namun melambat menjadi 2% pada tahun
1999.
Nilai tukar rupiah yang telah di Rp 2.600/USD1 range pada awal agustus 1997 jatuh ke
11.000/US $ 1 pada bulan januari 1998, dengan kurs spot sekitar 15.000 untuk periode singkat
selama semester pertama tahun 1998. Ia kembali ke 8.000/USD1 range pada akhir tahun 1998
dan telah umumnya diperdagangkan di Rp 8,000–10,000/USD1 range sejak itu, dengan fluktuasi
yang relatif dapat diprediksi dan bertahap.
Pasca Suharto
Pada akhir tahun 2004 Indonesia menghadapi 'mini krisis' karena harga minyak internasional
naik dan impor. Mata uang mencapai Rp 12.000/USD1 sebelum stabilisasi. Pemerintah terpaksa
memangkas besar-besaran subsidi bahan bakar, yang direncanakan untuk biaya $14 miliar untuk
tahun 2005, pada bulan oktober. hal Ini menyebabkan lebih dari dua kali lipat dalam harga
konsumen bahan bakar, mengakibatkan inflasi dua digit. Situasi telah stabil, tapi ekonomi terus
berjuang dengan inflasi sebesar 17% pada tahun 2005.
Untuk tahun 2006, Indonesia economic outlook yang lebih positif. Pertumbuhan ekonomi
menjadi 5,1% pada tahun 2004 dan mencapai 5,6% pada tahun 2005. Pendapatan riil per kapita
telah mencapai tahun fiskal 1996/1997 tingkat. Pertumbuhan itu terutama didorong oleh
konsumsi domestik, yang menyumbang sekitar tiga perempat dari produk domestik bruto
Indonesia. The Jakarta Stock Exchange adalah yang terbaik di pasar Asia pada tahun 2004
sampai dengan 42%. Masalah yang terus menempatkan hambatan pada pertumbuhan termasuk
rendah asing tingkat investasi, birokrasi, dan korupsi yang meluas yang menyebabkan 51.43
triliun rupiah atau 5.6573 miliar dolar AS atau sekitar 1,4% dari PDB akan hilang secara
tahunan. Namun, ada yang sangat kuat optimisme dengan kesimpulan damai pemilu pada tahun
2004 dan pemilihan presiden reformis Susilo Bambang Yudhoyono.
Tingkat pengangguran (februari 2007) adalah 9.75%. Meskipun perlambatan ekonomi global,
pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat menjadi sepuluh tahun tinggi dari 6,3% pada tahun
2007. Tingkat pertumbuhan ini sudah cukup untuk mengurangi kemiskinan dari 17.8% menjadi
16,6% berdasarkan garis kemiskinan yang ditetapkan Pemerintah dan membalikkan tren baru-
baru ini terhadap pengangguran pertumbuhan, dan tingkat pengangguran turun 8,46% pada bulan
februari 2008. tidak Seperti banyak yang lebih tergantung pada ekspor tetangga, telah berhasil
rok resesi, dibantu oleh permintaan domestik yang kuat (yang membuat sampai sekitar dua-
pertiga dari ekonomi) dan paket stimulus fiskal pemerintah dari sekitar 1,4% dari PDB, yang
diumumkan awal tahun ini. Setelah India dan China, Indonesia saat ini ketiga pertumbuhan
ekonomi tercepat di Group of Twenty (G20) industri dan negara berkembang. $512 miliar
ekonomi tumbuh 4,4% pada kuartal
pertama dari tahun sebelumnya, bulan
lalu, IMF revisi 2009 pola bagi
negara untuk 3-4% dari 2,5%.
Indonesia menikmati fundamental
yang kuat dengan otoritas
dilaksanakan luas ekonomi dan
reformasi keuangan, termasuk
pengurangan cepat di publik dan uln,
penguatan korporasi dan perbankan
sektor neraca dan mengurangi bank
kerentanan melalui kapitalisasi yang
lebih tinggi dan lebih baik
pengawasan.