Anda di halaman 1dari 66

Modul 1 Perubahan dan Kesinambungan dalam Kehidupan Bangsa Indonesia Masa

Pra Aksara, Hindu-Budha, Islam, Kolonialisme Barat di Indonesia, dan Aplikasinya


dalam Pembelajaran IPS.

Penulis :
Dr. Arif Purnomo, S.Pd., S.S., M.Pd.

ISBN : ……..

Editor:
1. Dr. Rudy Gunawan, M.Pd.
2. Dr. Huriah Rachmah, M.Pd.

Desain Sampul dan Tata Letak


Jefri Aristiadi

Penerbit :
KemendikbudRistek

Redaksi :
Kompleks Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Gedung A Lt. 2,
Jl. Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta Pusat
Telepon: (021) 5733353

Distributor Tunggal:

Cetakan Pertama : 2019


Cetakan Kedua : 2022 (revisi)

Hak cipta © dilindungi Undang-undang

Dilarang memperbanyak modul ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa
ijin tertulis dari penerbit.

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan Modul 1 Profesional
PPG Dalam Jabatan bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dapat diselesaikan.
Modul ini disusun untuk menambah kompetensi mahasiswa PPG yang mengikuti
kegiatan pembelajaran daring, terutama pada materi perubahan dan kesinambungan
bangsa Indonesia masa Pra Aksara, Hindu-Budha, Islam, Kolonialisme Barat di
Indonesia dan aplikasinya dalam pembelajaran.

Penulis menyadari bahwa penulisan modul ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih pada
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memberikan kepercayaan
pada penulis mengambil bagian dalam penulisan modul IPS PPG Dalam Jabatan.
Ucapan terima kasih juga disampaikan pada Rektor Universitas Negeri Semarang
yang telah memberikan izin melakukan penulisan modul ini. Ucapan terima kasih
juga disampaikan pada Dekan Fakultas Ilmu Sosial, Koordinator Prodi Pendidikan
IPS FIS Universitas Negeri Semarang yang telah berkenan memberi kepercayaan
kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan modul ini. Terima kasih juga pada
teman-teman penulis atas kekompakan dan kontribusi bagi kelancaran penulisan
modul 1 ini.

Akhirnya penulis hanya dapat berharap semoga modul ini dapat memberikan
sumbangan terhadap kehidupan praktis dan perkembangan ilmu pengetahuan
sosial.

Selamat membaca dan sukses selalu....

Semarang, Juni 2022


Penulis,

Arif Purnomo

iii
DAFTAR ISI

Cover Dalam……………………………..……………………………….. ii
Kata Pengantar…………………………………………………………….. iii
Daftar Isi ………………………………………………………………….. iv
KB 1 Perubahan dan Kesinambungan dalam Kehidupan Bangsa
Indonesia Masa Pra Aksara dan Hindu-Budha
A Pendahuluan …………………………………………………….. 1
B Capaian Pembelajaran …………………………………………… 3
C Sub Capaian Pembelajaran ………………………………………. 3
D Uraian Materi ……………………………………………………. 4
E Rangkuman ……………………………………………………… 57
F Tes Formatif KB 1 ………………………………………………. 58
G Daftar Pustaka …………………………………………………… 61
H Kunci Jawaban Tes Formatif KB 1 ……………………………… 62

iv
A. PENDAHULUAN

Peserta PPG yang berbahagia, semoga Saudara selalu dalam keadaan sehat,
sehingga dapat mempelajari modul ini. Pada kesempatan ini, Saudara mempelajari
modul 1 IPS pada KB 1 dengan judul Perubahan dan Kesinambungan dalam
Kehidupan Bangsa Indonesia Masa Pra Aksara dan Hindu-Budha dan Aplikasinya
dalam Pembelajaran IPS. Kegiatan Belajar 1 terdiri atas Pendahuluan, Capaian
Pembelajaran (CP), Sub-Capaian Pembelajaran, Uraian Materi, Rangkuman, Tes
Formatif, Daftar Pustaka. Selamat mempelajari modul 1 KB 1, semoga Saudara sukses
selalu.
Masa pra aksara sering didefinisikan sebagai masa kehidupan manusia sebelum
mengenal tulisan. Masa pra aksara sering juga disebut dengan istilah nirlekha, pra
sejarah atau pre history. Mengacu pada definisi tentang masa pra aksara, objek kajian
masa pra aksara adalah sejak manusia ada sampai ditemukannya tulisan yang
dipahatkan pada tiang batu di Kerajaan Kutai, yang disebut Yupa.
Kehidupan manusia masa pra aksara diketahui dari fosil dan artefak atau benda-
benda yang ditinggalkan sebagai bentuk interaksi antara manusia purba dengan alam
sekitarnya. Fosil adalah sisa-sisa makhluk hidup yang telah membatu karena adanya
proses kimiawi. Fosil merupakan peninggalan masa lampau yang sudah tertimbun
ratusan, ribuan, bahkan jutaan tahun lalu. Contoh fosil antara lain: fosil manusia,
binatang, pepohonan (tumbuhan). Selain fosil, sumber untuk mengetahui kehidupan
masa pra aksara adalah artefak, yaitu peninggalan masa lampau berupa alat
kehidupan/hasil budaya yang terbuat dari batu, tulang, kayu, dan logam.
Untuk memahami kehidupan masa pra aksara di Indonesia, Saudara terlebih
dahulu harus mengetahui munculnya kehidupan manusia dan migrasi awal manusia
masa pra aksara di Indonesia. Oleh karena itu, pada bagian awal kegiatan belajar ini
Saudara diminta mempelajari pembagian zaman secara geologi, yang menjelaskan
awal kehidupan manusia di Indonesia. Penjelasan dilanjutkan dengan asal usul
manusia Indonesia dan kehidupan manusia masa pra aksara pada masa batu dan logam.
Pembahasan berikutnya adalah materi sejarah, yakni masa Hindu-Budha. Pada
masa Hindu Budha, bangsa Indonesia dinyatakan telah memasuki masa sejarah,

1
yakni dengan ditemukannya tulisan yang dipahatkan pada tugu batu yang disebut Yupa
pada Kerajaan Kutai abad ke-5 M, yang berasal dari peninggalan Raja Mulawarman.
Sebelum masa itu, ada juga sedikit keterangan tertulis dari bangsa asing, terutama
bangsa Tiongkok, Yunani dan India yang menyinggung bangsa Indonesia/nusantara.
Akan tetapi, karena sangat tidak jelasnya, maka sukarlah keterangan-keterangan itu
dijadikan bukti untuk memasukkan bangsa Indonesia pada masa sejarah.
Menurut Soekmono (2011:22) berita pertama dari dan tentang suatu negara itu
hanya sedikit sekali dan kurang lengkap. Tidak serta merta sesuatu bangsa itu
meninggalkan zaman pra sejarahnya. Hanya lambat laun pra sejarah itu berganti
menjadi sejarah. Oleh karena itu, ada zaman peralihan yang mungkin berabad-abad
lamanya. Zaman peralihan tersebut dinamakan zaman proto sejarah.
Untuk menilai dengan tepat pengaruh Hindu Budha di Indonesia, Van Leur
(dalam Poeponegoro,dkk, 1993:22) menyatakan perlunya perkiraan yang tepat tentang
arti peradaban kuno Indonesia dalam arti seluas-luasnya. Pendapatnya ini diajukan
karena ia melihat bahwa peneliti proses masuknya pengaruh budaya India kurang
memperhatikan hal tersebut.
Proses masuknya pengaruh budaya India pada umumnya disebut penghinduan
oleh para penelitinya. Istilah tersebut harus digunakan dengan hati-hati, karena bukan
hanya pengaruh Hindu yang terdapat, tetapi juga pengaruh agama Budha. Dalam
kenyataan di Indonesia, keduanya kemudian tumbuh dalam bentuk sinkretis, yaitu
Siwa-Budha.
Ketepatan penggunaan juga perlu diperhatikan manakala menyebut istilah
indianisasi. Dalam konteks keindonesiaan, budaya Indonesia masih berkembang dan
berakulturasi dengan budaya India, sehingga menimbulkan budaya baru. Istilah yang
cocok dikemukakan terhadap pengaruh Hindu-Budha di Indonesia, menurut FDK.
Bosch, adalah fecundation atau penyuburan (Poesponegoro, dkk, 1993:24). Proses ini
besar kemungkinan pertama kali terjadi pada golongan elite kuno lokal Indonesia.
Bertitik tolak dari pemahaman di atas, maka modul ini juga membahas tentang
akulturasi antara budaya Indonesia dan India. Pembahasan dilanjutkan dengan teori-
teori masuknya pengaruh Hindu Budha ke Indonesia, dan kehidupan sosial, ekonomi,
politik dan budaya masa kerajaan tradisional.

2
Agar dapat mencapai kompetensi yang diharapkan dalam mempelajari modul
ini, Saudara dapat melakukan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Baca dengan seksama dan pahami capaian pembelajarannya untuk mengetahui
arah dan tujuan penulisan modul ini.
2. Pahami uraian materi.
3. Setelah Saudara paham, kerjakan soal latihan atau tugas yang Saudara temui dan
cocokkan jawaban Saudara dengan kunci jawaban di akhir modul ini.
4. Hitung kemampuan daya serap Saudara dengan menghitung prosentase jawaban
yang benar. Bila mencapai > 80%, Saudara dinyatakan tuntas, tetapi bila Saudara
mencapai < 80%, pelajari kembali materinya mulai dari langkah awal sampai
selesai.
5. Jika jawaban Saudara masih banyak yang tidak sesuai dengan kunci jawabannya,
maka Saudara harus membaca lagi bagian yang kurang Saudara pahami. Usahakan
Saudara benar-benar jelas.

Selamat belajar, semoga Saudara sukses memahami pengetahuan yang diuraikan


dalam modul ini, untuk menjadi bekal Saudara untuk mengajar dengan baik.

B. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Menguasai konsep perubahan dan kesinambungan dalam kehidupan bangsa
Indonesia pada masa pra aksara dan masa Hindu-Budha dalam bidang sosial
kemasyarakatan, ekonomi, religi, dan teknologi yang dikembangkannya.
.
C. SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Menjelaskan awal munculnya kehidupan
2. Menjelaskan migrasi awal masa pra aksara
3. Mengidentifikasi sistem ekonomi yang berkembang pada masa pra aksara
4. Menjelaskan sistem sosial kemasyarakatan yang berkembang masa pra aksara
5. Mengidentifikasi teknologi yang berkembang pada masa pra aksara
6. Menjelaskan sistem religi yang dianut manusia pada masa pra aksara
7. Menjelaskan teori-teori masuknya Hindu-Budha ke Indonesia
8. Menjelaskan akulturasi budaya antara masa pra aksara dan Hindu Budha

3
9. Menjelaskan muncul dan berkembangnya kerajaaan-kerajaan tradisional masa
Hindu-Budha
10. Menjelaskan sistem sosial kemasyarakatan yang berkembang masa kerajaan
Hindu Budha
11. Menjelaskan kehidupan ekonomi yang berkembang pada masa kerajaan
Hindu Budha
12. Menjelaskan hasil budaya yang berkembang masa Hindu Budha

D. URAIAN MATERI
1. Awal Mula Kehidupan di Muka Bumi
Menurut geologi, ilmu yang mempelajari kulit bumi, terjadinya bumi sampai
sekarang dibagi atas zaman-zaman sebagai berikut.
a. Arkaekum
Zaman ini berlangsung kira-kira 2500 juta tahun, pada saat itu kulit bumi
masih panas, sehingga tidak ada kehidupan. Baru pada akhir zaman ini, mulailah
nampak ada kehidupan sedikit demi sedikit.
b. Paleozoikum
Zaman yang berlangsung 340 juta tahun ini memiliki ciri munculnya
kehidupan. Oleh karena sudah ada kehidupan, zaman ini disebut juga zaman primer.
Mahluk hidup yang muncul adalah mikro organisme, binatang-binatang kecil yang
tak bertulang belakang sampai pada permulaan amfibi dan reptil.

Gambar 1. Binatang yang hidup zaman Paleozoikum


Sumber: Dwi Hartini. Masyarakat Pra Sejarah Indonesia. hal. 11
c. Mesozoikum
Zaman ini berlangsung kira-kira 140 juta tahun. Pada zaman pertengahan
jenis reptil mencapai bentuk yang luar biasa besarnya, sehingga pada zaman ini
sering disebut dengan zaman reptil. Bekas-bekas dari kehidupan reptil raksasa ini

4
ditemukakan di berbagai tempat di seluruh dunia. Dinosaurus misalnya, sampai 12
meter panjangnya, sedangkan Atlantosaurus yang ditemukan di Amerika malah
lebih dari 30 meter.

Gambar 2. Jenis reptil masa Mesozoikum


Sumber: Dwi Hartini.Masyarakat Pra Sejarah Indonesia. hal. 12

Pada masa akhir zaman sekunder, muncul kehidupan yang lain yaitu jenis
burung dan binatang menyusui yang masih rendah sekali tingkatannya.
d. Neozoikum/Kainozoikum
Zaman ini dibedakan menjadi 2 zaman, yaitu:
1) Tersier/zaman ketiga
Zaman ini berlangsung sekitar 60 juta tahun. Yang terpenting dari zaman ini
ditandai dengan berkembangnya jenis binatang menyusui seperti jenis primata,
contohnya kera. Lambat laun jenis reptil mengalami kepunahan.
2) Kuartier/zaman keempat
Zaman ini ditandai dengan adanya kehidupan manusia, sehingga merupakan
zaman terpenting bagi perkembangan budaya manusia. Zaman kuartier dibagi
menjadi dua zaman, yakni zaman diluvium atau pleistosen dan alluvium atau
holosen.
Zaman pleistosen/dilluvium berlangsung kira-kira 600.000 tahun yang dit
ditandai dengan adanya manusia purba. Von Koenigswald membagi masa
pleistosen dalam tiga masa, yakni pleistosen bawah atau lapisan Jetis, pleistosen
tengah atau lapisan Trinil, dan pleistosen atas atau lapisan Ngandong. Pada
lapisan pleistosen bawah berkembang jenis manusia Megantrophus
Paleojavanicus, Homo Mojokertensis dan Homo Robustus. Pada lapisan
pleistosen tengah, berkembang jenis Homo Erectus yang sezaman dengan jenis

5
manusia Sinantrophus Pekinensis atau Homo Pekinensis yang diketemukan di
Goa Chou Ku’o Tien, Tiongkok. Pada lapisan pleistosen atas terdapat jenis
manusia Homo Wajakensis dan Homo Soloensis. Sementara itu, pada masa
holosen/alluvium berlangsung kira-kira 20.000 tahun yang lalu dan terus
berkembang sampai dewasa ini ditandai dengan munculnya manusia jenis Homo
Sapiens yang memiliki ciri-ciri seperti manusia sekarang. Untuk memperjelas
keterangan di atas, dapat dilihat pada tabel sebagai berikut.
Tabel 1. Pembagian zaman secara geologi dan Jenis Manusia Pra Aksaranya
HOLOSEN Homo Sapiens
PLEISTOSEN Homo Wajakensis
atas Homo Soloensis
(Lapisan dan Fauna Ngandong)
PLEISTOSEN Homo Erectus
tengah
(Lapisan dan Fauna Trinil)
PLEISTOSEN Homo Robustus
bawah Homo Mojokertensis
(Lapisan dan Fauna Jetis) Meganthropus Paleojavanicus
Sumber: Soekmono, R. Sejarah Kebudayaan Indonesia I, hal. 29

2. Asal usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia


Perdebatan tentang asal usul nenek moyang bangsa Indonesia masih belum
menemukan titik terang. Para ahli masih silang pendapat tentang asal nenek
moyang bangsa Indonesia. Dari yang berpendapat bahwa nenek moyang bangsa
Indonesia berasal dari Nusantara sampai yang mengaitkan dengan persatuan di
kawasan Asia dan Asia Tenggara. Beberapa pendapat tersebut terangkum dalam
beberapa teori sebagai berikut.

a. Teori Yunan
Teori Yunan menyatakan asal usul nenek moyang bangsa Indonesia berasal
dari Yunan, Tiongkok. Ada sejumlah ahli yang mendukung teori ini. Para ahli
tersebut adalah: R. Moh. Ali, Robert von Heine-Geldern, dan J.H.C. Kern.
Secara garis besar, teori ini memiliki beberapa dasar utama. Pertama, teori
tersebut didukung oleh penemuan kapak tua di wilayah Nusantara yang memiliki
kesamaan dengan kapak tua yang terdapat di wilayah Asia Tengah. Hal tersebut
menunjukkan ada proses migrasi manusia dari wilayah Asia Tengah menuju ke
Kepulauan Nusantara.
6
Selain itu, dasar kedua yang mendasari pendapat bahwa manusia Indonesia
berasal dari Yunan ialah ditemukan adanya kesamaan bahasa yang berkembang di
Kepulauan Nusantara dengan bahasa yang ada di Kamboja, yaitu bahasa Melayu
Polinesia. Hal tersebut menandakan bahwa penduduk yang berada di Kamboja
berasal dari Yunan dengan cara menyusuri Sungai Mekong. Arus perpindahan
tersebut selanjutnya diteruskan ketika sebagian dari mereka melanjutkan
perpindahan dan sampai ke wilayah Nusantara. Adanya kesamaan bahasa Melayu
dengan bahasa Cham di Kamboja menunjukan adanya hubungan dengan dataran
Yunan.
Beberapa pendapat dari pendukung teori Yunan disarikan sebaagai berikut.
1) R. Moh. Ali
R. Moh. Ali menyatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari daerah
Yunan. Nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari hulu-hulu sungai besar
diAsia yang datang ke Indonesia secara bergelombang. Gelombang pertama
dari tahun 3000-1500 SM dengan ciri-ciri kebudayaan Neolitikum dengan
perahu bercadik satu. Gelombang yang kedua terjadi dari tahun 1500-500
SM dengan ciri-ciri menggunakan perahu bercadik dua.

Gambar 3. Perahu Bercadik yang dipakai Nenek Moyang


Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Kapal_Borobudur

2) Robert von Heine-Geldern


Pendapat Von Heine Geldern dilatarbelakangi penemuan banyak
peralatan manusia purba yang berupa batu beliung berbentuk persegi di

7
seluruh wilayah Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan
Sulawesi. Peralatan ini sama persis dengan peralatan manusia purba di
wilayah Asia lainnya seperti Myanmar, Vietnam, Malaysia, dan Kamboja,
terutama di sekitar wilayah Yunan.
Pendapat Von Heine Geldern didukung oleh hasil penelitian H. Kern di
tahun 1899 yang membahas seputar 113 bahasa daerah di Indonesia. Dari
penelitian itu, H. Kern menyimpulkan bahwa semua bahasa daerah tersebut
awalnya bersumber pada satu rumpun bahasa, yang dinamainya sebagai
bahasa Austronesia.
Migrasi manusia purba dari daratan Yunan menurut Geldern bukan hanya
terjadi satu kali. Ia menyebut gelombang migrasi terjadi juga di tahun 400-
300 SM (zaman Perunggu). Manusia yang bermigrasi tersebut membawa
bentuk-bentuk kebudayaan perunggu seperti kapak sepatu dan nekara yang
berasal dari dataran Dongson.
Berdasarkan penelitiannya, Von Heine Geldern berargumen jika asal usul
nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Asia Tengah. Diterangkan
olehnya, bahwa semenjak tahun 2.000 SM sampai dengan tahun 500 SM
(dari zaman Neolithikum hingga zaman Perunggu) telah terjadi migrasi
penduduk dari wilayah Yunan (Tiongkok Selatan) ke daerah-daerah di Asia
bagian Selatan termasuk daerah-daerah di Kepulauan Indonesia.
Perpindahan ini terjadi secara besar-besaran, diperkirakan karena adanya
bencana alam hebat atau adanya perang antar suku bangsa.
Daerah kepulauan di Asia bagian selatan ini oleh Geldern dinamai dengan
sebutan Austronesia yang berarti “pulau selatan” (Austro = Selatan, Nesos =
Pulau). Austronesia mencakup wilayah yang amat luas, meliputi pulau-
pulau di Malagasi atau Madagaskar (sebelah Selatan) hingga Pulau Paskah
(sebelah Timur), dan dari Taiwan (sebelah Utara) hingga Selandia Baru
(sebelah Selatan).
3) H. Kern
Kern berpendapat bila nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari
daratan Asia. Ilmuwan asal Belanda ini menyebut jika hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa bahasa-bahasa yang dipakai oleh suku-suku di
Indonesia, Mikronesia, Polinesia, dan Melanesia, mempunyai akar yang
sama, yaitu bahasa Austronesia. Dengan fakta itu, ia menyimpulkan bahwa
8
bangsa Indonesia berasal dari satu daerah yang sama dengan bangsa-bangsa
lain di wilayah Austronesia. Menurutnya, nenek-moyang bangsa Indonesia
menggunakan perahu-perahu bercadik menuju ke kepulauan Indonesia.
Pendapat Kern ini didukung oleh adanya persamaan nama dan bahasa yang
dipergunakan di daerah Campa dengan Indonesia. Selain nama geografis,
istilah-istilah binatang dan alat perang pun banyak kesamaannya. Tetapi
pendapat ini disangkal oleh K. Himly dan P.W. Schmidt berdasarkan
perbendaharaan bahasa Campa.

b. Teori Out of Africa


Teori out of Africa diciptakan oleh James Watson dkk melalui sebuah
penelitian yang menggunakan ilmu genetika, yaitu melakukan penelitian DNA
(deoxyribonucleic acid) mitokondria. Dalam penelitian ini DNA yang digunakan
diambil dari perempuan atau laki-laki. Dengan kata lain, teori ini menggunakan
data genetika dan arkeologi. Teori out of Africa juga didukung oleh seorang ahli
genetika yang bernama Max Ingman. Teori ini menyatakan bahwa manusia Afrika
melakukan perpindahan dari Afrika menuju Asia Barat sekitar 50.000-70.000 tahun
yang lalu. Dalam teori ini, disebutkan bahwa sekitar 70.000 tahun yang lalu, bumi
memasuki akhir dari zaman glasial ketika permukaan air laut menjadi lebih dangkal
disebabkan oleh air yang masih berbentuk gletser. Pada masa itu, memungkinkan
manusia menyeberangi lautan hanya dengan menggunakan perahu yang masih
sederhana.
Manusia Afrika yang melakukan perpindahan menuju Asia terpecah menjadi
beberapa kelompok. Terdapat kelompok yang tinggal sementara di wilayah Timur
Tengah (Asia Barat Daya). Kelompok lainnya melakukan migrasi dengan
menyusuri Pantai Semenanjung Arab menuju India, Asia Timur, Indonesia sampai
ke Australia. Hal tersebut diperkuat dengan penemuan fosil laki-laki di wilayah
Lake Mungo. Ada dua jalur migrasi yang diperkirakan ditempuh manusia pada
masa itu, yakni jalur menuju Lembah Sungai Nil yang melintasi Semenanjung Sinai
kemudian ke Utara melewati Arab Levant, dan jalur yang melewati Laut Merah.

c. Teori Out of Formosa


Teori Out of Taiwan menyatakan bahwa asal-usul manusia Indonesia berasal
dari Kepulauan Famosa atau Taiwan. Teori yang didukung oleh Harry Truman
Simanjuntak didasari sejumlah argumentasi. Pertama, menurut teori ini, tidak
9
adanya pola genetika yang sama antara kromosom manusia Indonesia dengan
manusia yang berada di Tiongkok. Lalu, masih menurut teori ini, bahasa yang
digunakan dan berkembang di wilayah Nusantara adalah bahasa yang merupakan
rumpun Austronesia. Rumpun Austronesia ini digunakan oleh leluhur bangsa
Indonesia yang menetap di Pulau Formosa. Harry Truman Simandjuntak
mengemukakan juga bahwa bahasa yang banyak dipakai di Indonesia adalah
generasi kedua dari Bahasa Austronesia. Ini menunjukan bahwa nenek moyang
bangsa Indonesia berasal dari Pulau Formosa, Taiwan.

d. Teori Nusantara
Teori Nusantara menyatakan bahwa manusia Indonesia berasal dari bangsa
Indonesia sendiri, bukan melalui proses migrasi dari daerah lain. Teori Nusantara
didukung oleh Mr. Moh. Yamin, J. Crawford, Sutan Takdir Alisyahbana, dan Gorys
Keraf.
Dasar teori Nusantara ini mencakup beberapa hal. Pertama, teori Nusantara
berdasarkan pada bangsa Melayu merupakan bangsa yang telah memiliki peradaban
yang tinggi. Pandangan itu didasari oleh hipotesis bahwa bangsa Melayu sudah
melalui proses perkembangan budaya sebelumnya. Kesimpulannya bangsa Melayu
berasal dan berkembang di Nusantara, bukan dari luar yang berpindah ke wilayah
Nusantara.
Teori nusantara menyatakan bahwa adanya kesamaan antara bahasa Melayu
dengan bahasa Kamboja dinilai merupakan suatu kebetulan. Selain itu,
penemuan Homo Soloensis dan Homo Wajakensis di Pulau Jawa memberi tanda
bahwa ada peluang bangsa Melayu keturunan manusia kuno berasal dari Jawa.
Beberapa pendapat dari pendukung teori Yunan disarikan sebaagai berikut.
1) Mr. Moh. Yamin
Mr. Moh. Yamin menentang semua pendapat yang dikemukakan oleh para ahli.
Ia berpendapat bahwa asal bangsa Indonesia adalah dari Indonesia sendiri.
Bahkan bangsa-bangsa lain yang ada di wilayah Asia berasal dari Indonesia.
Pendapat Mr. Moh. Yamin didukung oleh suatu pernyataannya tentang Blood
Und Breden Unchiro yang berarti adalah daerah dan tanah bangsa Indonesia
adalah berasal dari Indonesia sendiri. Ia menyatakan bahwa fosil dan artefak
lebih banyak dan lengkap ditemukan di wilayah Indonesia dibandingkan dengan
daerah-daerah lainnya di Asia. Misalnya dengan penemuan manusia purba

10
sejenis Homo Soloensis dan Homo Wajakensis tidak diketemukan di daerah-
daerah lain di Asia, termasuk Asia Tenggara (Indochina).
2) Sultan Takdir Alisyahbana
Sultan Takdir Alisyahbana mengemukakan bahwa bangsa Indonesia adalah
bangsa yang bernenekmoyangkan bangsa melayu. Pendapatnya ini didasari oleh
rumpun bahasa keduanya yang memiliki kesamaan yang signifikan.
3) Gorys Keraf
Gorys Keraf berpendapat bahwa bangsa Indonesia memiliki kebudayaan
yang lebih maju dibandingkan kebudayaan bangsa-bangsa lain di sekitarnya.
Ini berarti bahwa Indonesia adalah induk dari bangsa-bangsa lain yang ada di
wilayah Austronesia seperti Malaysia, Thailand, Madagaskar, dan Selatan
Indochina.

Selain pendapat dari empat teori besar tentang asal usul manusia Indonesia,
terdapat beberapa lain tentang asal usul manusia Indonesia, yakni:
a. JL. Moens
Moens berpendapat bahwa bangsa Indonesia berasal dari daerah Mongol dan
terdesak oleh bangsa-bangsa yang lebih kuat. Akibatnya mereka menyebar ke arah
selatan hingga sampai ke wilayah Indonesia.

b. H. Kroom
H. Kroom menyatakan bahwa asal-usul bangsa Indonesia dari daerah Cina
Tengah, karena pada daerah Cina Tengah terdapat sumber-sumber sungai besar.
Mereka menyebar ke wilayah Indonesia sekitar tahun 2000 SM sampai tahun 1500
SM.
c. JLA. Brandes
Brandes berpendapat jika suku-suku yang mendiami kepulauan Indonesia
mempunyai kesamaan secara etnik, fisik, maupun bahasa dengan beberapabangsa
yang mendiami daerah-daerah yang melintang dari utara di Pulau Formosa
(Taiwan), barat di Pulau Malagasi (Madagaskar), selatan di Jawa dan Bali, serta
timur di tepi Pantai Barat Amerika.
d. Hogen
Hogen berpendapat bahwa bangsa yang mendiami pesisir Melayu di
Sumatera berasimilasi secara genetik dengan bangsa Mongol yang datang pada
gelombang pertama (Proto Melayu dan Deutro Melayu).

11
e. Max Muller
Max Muller berpendapat secara lebih spesifik. Ia menyebut jika asal-usul
nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari semenanjung Asia Tenggara. Kendati
begitu, alasan Muller ini tidak didukung alasan yang jelas dan terverifikasi.
f. Majumdar
Majumdar berasumsi bahwa bangsa-bangsa Austronesia yang menjadi nenek
moyang bangsa Indonesia adalah berasal dari India. Mereka menyebar ke beberapa
wilayah di Indocina, Indonesia, dan akhirnya ke Asia Pasifik. Asumsi Majumdar
ini didukung hasil penelitiannya yang menyebut jika bahasa Austria adalah bahasa
muda di kawasan India bagian timur.
g. Willem Smith
Untuk menentukan asal usul nenek moyang bangsa Indonesia, Willem Smith
melakukan identifikasi terhadap bahasa yang digunakan oleh bangsa-bangsa di
sekitar Asia. Berdasarkan penelitiannya, ia kemudian mengelompokan bahasa di
sekitar Asia menjadi 3 bagian yaitu, bahasa Togon, Bahasa Jerman, dan Bahasa
Austria. Bahasa yang berkembang di Indonesia bersama dengan Melanesia, dan
Polinesia digolongkan dalam bahasa Austria.
h. Sangkot Marzuki
Sangkot Marzuki menyebutkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia
memiliki asal-usul dan keterkaitan dengan Austronesia. Pendapat ini didasari oleh
penelusuran terkait DNA fosil-fosil manusia purba yang pernah ditemukan di
Indonesia. Atas dasar itu, ia kemudian menyanggah pendapat Von Heine Geldern
yang menyebut jika nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Yunan.
Menurutnya, Homo Erectus atau Phitecantropus Erectus yang ditemukan sebagai
manusia purba saat itu tidak memiliki signifikasi dengan DNA manusia Indonesia
zaman sekarang. Menurutnya, mereka punah dan diganti oleh manusia species baru,
yang berasal dari Afrika.

3. Gelombang Migrasi Masa Pra Aksara ke Nusantara


a. Gelombang Migrasi Vedda
Gelombang migrasi pertama ke Indonesia dilakukan oleh bangsa Melanesia
atau disebut juga dengan Papua Melanosoide yang merupakan rumpun bangsa
Melanosoide/Ras Negroid.
Paul dan Frizt Sarasin mengemukakan bahwa penduduk asli Indonesia adalah
12
suatu ras yang berkulit gelap dan bertubuh kecil. Ras ini pada awalnya mendiami
Asia Bagian Tenggara yang saat itu masih bersatu sebagai daratan pada zaman
es atau periode glasial. Namun, setelah periode es berakhir dan es mencair, maka
daratan tersebut kemudian terpisah oleh Laut Tiongkok Selatan dan Laut Jawa.
Akibatnya, daratan yang tadinya bersatu kemudian terpisah menjadi daratan
utama Asia dan Kepulauan Indonesia. Penduduk asli tinggal di daerah
pendalaman dan penduduk pendatang tinggal di daerah pesisir. Penduduk asli
itu disebut sebagai suku bangsa Vedda oleh Sarasin. Ras yang masuk dalam
kelompok ini adalah suku bangsa Hieng di Kamboja, Miaotse, Yao-Jen di Cina,
dan Senoi di Semenanjung Malaya.
Keturunan dari ras yang mendiami Asia bagian tenggara tadi dikenal sebagai
orang-orang Vedda yang dikelompokkan sebagai “negrito/negroid’. Ciri fisik
orang Vedda hampir sama dengan penduduk asli Australia (Aborigin), sehingga
Koentjaraningrat menyebut orang Vedda sebagai Austro-Melenosoid. Arti dari
“vedda” adalah “imigran” pertama yang masuk ke dunia pulau yang sudah
berpenghuni.
Orang Vedda kemudian menyebar ke Timur dan mendiami wilayah Papua,
Sulawesi Selatan, Kei, Seram, Timor Barat, Flores Barat, dan terus ke timur, tapi
sebagian ada yang menyebar ke arah barat dan menghuni Pulau Sumatera.

Orang Vedda di Sumatera mengembangkan budaya kapak gengam dan suka


mengkonsumsi kerang-kerangan. Buktinya adalah adanya fosil kulit kerang di
dekat Langsa (Aceh), Sumatera Utara, Pahang, Kedah dan Perak di Malaysia.
Bukti penggunaan kapak genggam sebenarnya tidak hanya ditemukan di
Sumatera tetapi juga pada gua-gua yang ada di Pulau Jawa. Beberapa gua di
Jawa yang menyimpan bukti penggunaan kapak genggam adalah Goa Petrutuh
(Tulunggung), Goa Sodong (Besuki), Goa Sampung (Ponorogo). Bahkan, kapak
genggam juga ditemukan hingga Vietnam Utara, sehingga Koentjraningrat
berpendapat bahwa telah terjadi perpindahan Austro Melanosoid dari wilayah
timur ke wilayah barat nusantara, dari Jawa ke Sumatera, Semenanjung
Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Dalam perkembangannya, ternyata ada hasil penelitian yang menunjukan
bahwa sebelum bangsa Vedda mendiami wilayah nusantara, terdapat orang-
orang asli yang lebih dulu tinggal, seperti orang Kubu di Sumatera dan orang

13
Toala di Sulawesi. Karena itu, orang Vedda dianggap pendatang atau imigran
pertama yang masuk ke pulau-pulau di Indonesia yang sudah berpenghuni.
b. Migrasi Bangsa Proto Melayu
Setelah kedatangan orang Vedda ke nusantara, kemudian disusul oleh
kedatangan dua gelombang besar manusia yang dikenal sebagai Proto Melayu
dan Deutro Malayu. Proto Melayu diyakini sebagai nenek moyang orang Melayu
Polinesia yang tersebar dari Madagaskar sampai pulau-pulau paling timur di
Pasifik. Mereka diperkirakan datang dari Cina bagian selatan. Ras Melayu ini
mempunyai ciri-ciri rambut lurus, kulit kuning kecoklatan-coklatan, dan bermata
sipit. Dari Cina bagian selatan (Yunan) mereka bermigrasi ke Indocina dan Siam,
kemudian ke Kepulauan Indonesia. Mereka itu mula-mula menempati pantai-
pantai Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Barat. Migrasi yang
dilakukan oleh suku bangsa Proto Melayu dilakukan dengan menggunakan
perahu bercadik satu. Peristiwa tersebut terjadi sekitar 3000 SM. Suku bangsa
Proto Melayu, antara lain: suku Nias, Gayo, dan Alas di Sumatera Utara, Batak
di Sumatera, Kubu di Sumatera, Dayak di Kalimantan, dan Toraja di Sulawesi.

Kedatangan bangsa Melayu Tua (Proto Melayu) membawa kebudayaan


neolitikum (batu baru). Mereka tersebar menjadi dua cabang. Cabang pertama
dari Proto Melayu adalah bangsa yang membawa peralatan kapak lonjong.
Mereka bermigrasi melalui jalur timur. Mereka disebut sebagai ras Papua-
Melanesoid. Arah persebarannya dari Yunan melewati Filipina, kemudian
tersebar ke Sulawesi Utara, Maluku, dan ada juga yang sampai ke Papua.
Cabang yang kedua dari nenek moyang dari golongan Proto Melayu disebut
Ras Austronesia yang datang melalui jalur barat. Kedatangan nenek moyang
bangsa Indonesia ini bermula dari Yunan melewati Semenanjung Malaya,
Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, dan pulau-pulau lainnya. Datangnya nenek
moyang tersebut sambil membawa kebudayaan kapak persegi. Setibanya di
kepulauan Indonesia, sebagian dari mereka berasimilasi dengan ras Austro-
Melanesoid. Sebagian lagi tetap mempertahankan ras aslinya. Peta persebaran
dapat dilihat pada gambar berikut.

14
Gambar 4. Peta persebaran Bangsa Proto Melayu
Sumber: http://www.nafiun.com/2013/02/proto-melayu-dan-deutro-melayu-
pengertian-persebaran-di-indonesia-suku-bangsa.html
c. Migrasi Bangsa Deutro Melayu
Nenek moyang bangsa Indonesia dari golongan Melayu Muda (Deutro
Melayu) tiba di kepulauan Indonesia sekitar tahun 500 SM. Migrasi yang
dilakukan oleh suku bangsa Deutro Melayu dilakukan dengan menggunakan
perahu bercadik dua. Nenek moyang tersebut datang sambil membawa
kebudayaan logam yang berasal dari Dongson, Vietnam Utara. Kebudayaan
logam tersebut antara lain; candrasa, nekara, manik-manik, arca, dan bejana
perunggu. Jalur penyebaran nenek moyang bangsa Indonesia dari golongan ini
dimulai dari daratan Asia ke Thailand, Malaysia Barat, dan berlanjut ke tempat-
tempat di Indonesia. Gelombang terakhir nenek moyang ini masih tergolong ras
Austronesia. Selanjutnya, semakin berkembang ras Papua-Melanesoid,
Austronesia, dan sisa ras Austro-Melanesoid melahirkan bermacam-macam
suku bangsa yang tersebut di seluruh pelosok Indonesia.
Bangsa Deutro Melayu mengembangkan peradaban dan kebudayaan yang
lebih maju. Dalam bidang pengolahan tanah mereka mempunyai kemampuan
untuk membuat irigasi pada tanah-tanah pertanian yang berhasil mereka
ciptakan, dengan membabat hutan terlebih dahulu. Ras Deutero Melayu juga
mempunyai peradaban pelayaran lebih maju dari pendahulunya karena
petualangan mereka sebagai pelaut dibantu dengan penguasaan mereka terhadap
ilmu perbintangan.

15
Bangsa Deutro Melayu berkembang menjadi suku-suku yang ada sampai saat
ini, seperti: Suku Melayu, Minang, Jawa, Sunda, dan lain-lain. Dalam
perkembangan selanjutnya, Proto Melayu dan Deutero Melayu berbaur,sehingga
sulit dibedakan. Walaupun demikian, nenek moyang bangsa Indonesia dapat
dikatakan serumpun yaitu keturunan penduduk asli dan dua gelombang migrasi
dari utara.
Serumpunnya kategori ras-ras yang mendiami wilayah nusantara juga dapat
dibuktikan melalui kajian linguistik. Hampir 170 bahasa yang dipakai di penjuru
kepulauan nusantara, termasuk kelompok Austonesia dengan sub linguistik
Melayu-Polinesia. Sub Melayu-Polinesia ini kemudian terpecah lagi menjadi
dua: kelompok pertama, terdiri atas bahasa yang berkembang di pedalaman
Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, dan; kelompok kedua terdiri atas bahasa
yang berkembang di Batak, Melayu, Jawa dan Bali. Bahasa kelompok ini datang
lama setelah yang pertama. Selain kedua kelompok tersebut, perlu dilakukan
kajian atas susunan bahasa lain yaitu Papua dan Halmahera Utara.

4. Kehidupan Sosial, Ekonomi, dan Budaya Manusia Masa Pra Aksara


Untuk mengetahui kehidupan manusia masa pra aksara, terlebih dahulu perlu
mengetahui pembagian zaman pra aksara berdasarkan hasil budayanya. Secara
arkeologis, ilmu yang mempelajari kehidupan masa lampau melalui benda-benda
artefak, maka tabir kehidupan masyarakat pra aksara Indonesia sedikit banyaknya
dapat diketahui. Berdasarkan penggalian arkeologi, kehidupan masa pra aksara
dibagi menjadi dua, yakni zaman yang ditandai penggunaan alat-alat terbuat dari
batu dan logam.
a. Zaman Batu
Zaman batu menunjuk pada suatu periode dimana alat-alat kehidupan
manusia terbuat dari batu, walaupun ada juga alat-alat tertentu yang terbuat dari
kayu dan tulang. Tetapi pada zaman itu secara dominan alat-alat yang
digunakan terbuat dari batu. Dari alat-alat peninggalan zaman batu tersebut,
melalui metode tipologi (cara menentukan umur berdasarkan bentuk atau tipe
benda peninggalan), maka zaman batu dibedakan lagi menjadi 3 periode, yaitu:
1) Zaman Batu Tua/Palaeolithikum
Zaman batu tua merupakan suatu masa dimana hasil buatan alat-alat dari

16
batunya masih kasar dan belum diasah/diupam, sehingga bentuknya masih
sederhana. Hasil budaya ini dikembangkan oleh gelombang migrasi ras Vedda.
Contoh kebudayaan batu tua adalah kapak perimbas, kapak genggam, kapak
penetak, alat serpih. Sebaran artefak dan peralatan paleolitik cukup luas
sejak dari daerah-daerah di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa
Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Halmahera.

Gambar 5. Kapak perimbas (chopper)


Sumber : Direktorat Geografi Sejarah. 2009. Atlas Prasejarah Indonesia.
Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Gambar 6. Pahat genggam (hand adze)


Sumber: Direktorat Geografi Sejarah. 2009. Atlas Prasejarah Indonesia.
Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Peninggalan kapak perimbas tersebar di wilayah Sumatera Selatan,


Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Flores, dan Timor. Daerah Punung
merupakan daerah yang terkaya akan kapak perimbas, dan hingga saat ini
merupakan tempat penemuan terpenting di Indonesia. Pendapat para ahli
condong kepada jenis manusia homo erectus atau keturunan-keturunannya
sebagai pencipta budaya Pacitan. Pendapat ini sesuai dengan pendapat tentang
umur budaya Pacitan yang diduga dari tingkat akhir Plestosin Tengah atau awal
permulaan plestosin akhir.
Pada masa paleolithikum, sistem ekonomi yang dikembangkan adalah
dengan cara berburu dan meramu secara sederhana. Pada umumnya mereka
17
hidup berkelompok dan masih tergantung pada alam. Untuk mempertahankan
hidupnya, mereka menerapkan pola hidup nomaden atau berpindah-pindah,
tergantung dari bahan makanan yang tersedia. Tempat-tempat yang dituju oleh
komunitas itu umumnya lingkungan dekat sungai, danau, atau sumber air
lainnya termasuk di daerah pantai. Mereka beristirahat, misalnya di bawah
pohon besar. Mereka juga membuat atap dan sekat tempat istirahat itu dari
daun-daunan.
Corak kehidupan ekonomi manusia pra aksara masa berburu dan meramu
itu sering disebut dengan food gathering. Mereka hanya mengumpulkan dan
menyeleksi makanan, karena belum dapat mengusahakan jenis tanaman untuk
dijadikan bahan makanan.
2) Zaman Batu Tengah/Mesolithikum
Zaman batu terus berkembang memasuki zaman batu madya atau batu
tengah yang dikenal zaman Mesolitikum. Hasil kebudayaan batu madya ini
sudah lebih maju apabila dibandingkan hasil kebudayaan zaman paleolitikum
(batu tua). Sekalipun demikian, bentuk dan hasil-hasil kebudayaan zaman
Paleolitikum tidak serta merta punah tetapi mengalami penyempurnaan.
Bentuk flake dan alat-alat dari tulang terus mengalami perkembangan.
Secara garis besar kebudayaan Mesolitikum ini terbagi menjadi dua
kelompok besar yang ditandai dengan lingkungan tempat tinggal, yakni di
pantai dan gua. Hasil budaya besar masa ini adalah kjokkenmoddinger dan
abris sous rouce.
Kjokkenmoddinger, istilah dari bahasa Denmark, kjokken berarti dapur
dan modding dapat diartikan sampah (kjokkenmoddinger berarti sampah
dapur). Dalam kaitannya dengan budaya manusia, kjokkenmoddinger
merupakan tumpukan timbunan kulit siput dan kerang yang menggunung di
sepanjang pantai Sumatera Timur antara Langsa di Aceh sampai Medan.
Dengan adanya kjokkenmoddinger ini dapat memberi informasi bahwa manusia
zaman mesolitikum umumnya bertempat tinggal di tepi pantai. Pada tahun
1925 Von Stein Callenfals melakukan penelitian di bukit kerang itu dan
menemukan jenis kapak genggam (chopper) yang berbeda dari chopper yang
ada di zaman Paleolitikum. Kapak genggam yang ditemukan di bukit kerang di
pantai Sumatera Timur ini diberi nama pebble atau lebih dikenal dengan Kapak
Sumatera. Kapak jenis pebble ini terbuat dari batu kali yang pecah, sisi luarnya
18
dibiarkan begitu saja dan sisi bagian dalam dikerjakan sesuai dengan
keperluannya. Di samping kapak jenis pebble juga ditemukan jenis kapak
pendek dan jenis batu pipisan (batu-batu alat penggiling).

Gambar 7. Kjokkenmoddinger yang terdapat di Pulau Bintan, Kep. Riau


Sumber: Direktorat Geografi Sejarah. 2009. Atlas Prasejarah Indonesia.
Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Kebudayaan abris sous roche merupakan hasil kebudayaan yang
ditemukan di gua-gua. Hal ini mengindikasikan bahwa manusia purba
pendukung kebudayaan ini tinggal di gua-gua. Kebudayaan ini pertama kali
diteliti oleh Von Stein Callenfels, Bapak pra aksara Indonesia, di Goa Lawa
dekat Sampung, Ponorogo. Penelitian dilakukan tahun 1928 sampai 1931.
Beberapa hasil teknologi bebatuan yang ditemukan misalnya ujung panah,
flakke, batu penggilingan. Juga ditemukan alat-alat dari tulang dan tanduk rusa.
Kebudayaan abris sous roche ini banyak ditemukan, misalnya di Besuki,
Bojonegoro, juga di daerah Sulawesi Selatan, seperti di Lamoncong.
Pada masa mesolithikum, sistem ekonomi yang dikembangkan adalah
dengan cara berburu dan meramu tingkat lanjut. Mereka sudah bertempat
tinggal sementara (semi sedentair), misalnya di gua-gua atau di tepi pantai.
3) Zaman Batu Muda/Neolithikum
Zaman batu muda merupakan suatu masa dimana alat-alat kehidupan
manusia dibuat dari batu yang sudah dihaluskan, serta bentuknya lebih
sempurna dari zaman sebelumnya. Hasil budaya ini dibawa oleh gelombang
migrasi masa Proto Melayu. Hasil budaya utama masa neolithikum adalah
kapak persegi dan kapak lonjong.
19
Nama kapak persegi berasal dari penyebutan oleh von Heine Geldern.
Penamaan ini dikaitkan dengan bentuk alat tersebut. Kapak persegi ini
berbentuk persegi panjang dan ada juga yang berbentuk trapesium. Ukuran alat
ini juga bermacam-macam. Kapak persegi yang besar sering disebut dengan
beliung atau pacul (cangkul), bahkan sudah ada yang diberi tangkai sehingga
persis seperti cangkul zaman sekarang. Sementara yang berukuran kecil
dinamakan tarah atau tatah. Penyebaran alat-alat ini, terutama di Kepulauan
Indonesia bagian barat, seperti Sumatera, Jawa dan Bali. Diperkirakan sentra-
sentra teknologi kapak persegi ini ada di Lahat (Palembang), Bogor, Sukabumi,
Tasikmalaya (Jawa Barat), Pacitan, Madiun, dan di Lereng Gunung Ijen (Jawa
Timur). Yang menarik, di Desa Pasirkuda dekat Bogor juga ditemukan batu
asahan. Kapak persegi ini cocok sebagai alat pertanian.

Gambar 7. Kapak persegi


Sumber: Direktorat Geografi Sejarah. 2009. Atlas Prasejarah Indonesia.
Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Sementara itu, nama kapak lonjong ini disesuaikan dengan bentuk
penampang alat ini yang berbentuk lonjong. Bentuk keseluruhan alat ini
lonjong seperti bulat telur. Pada ujung yang lancip ditempatkan tangkai dan
pada bagian ujung yang lain diasah sehingga tajam. Kapak yang ukuran besar
sering disebut walzenbeil, sementara yang kecil dinamakan kleinbeil.
Penyebaran jenis kapak lonjong ini terutama di Kepulauan Indonesia bagian
timur, misalnya di daerah Papua, Seram, dan Minahasa.
Peralihan zaman mesolitikum ke neolitikum menandakan adanya“revolusi
kebudayaan” dari food gathering menuju food producing dengan homo

20
sapien sebagai pendukungnya. Mereka tidak hanya mengumpulkan makanan
tetapi mencoba memproduksi makanan dengan menanam. Kegiatan bercocok
tanam dilakukan ketika mereka sudah mulai menetap (sedentair) dan
bertempat tinggal, walaupun masih bersifat sementara. Mereka melihat biji-
bijian sisa makanan yang tumbuh di tanah setelah tersiram air hujan. Pelajaran
inilah yang kemudian mendorong manusia pra aksara untuk melakukan cocok
tanam. Apa yang mereka lakukan di sekitar tempat tinggalnya, lama kelamaan
tanah di sekelilingnya habis, dan mengharuskan pindah mencari tempat yang
dapat ditanami. Mereka membuka hutan untuk lahan pertanian dengan
menebang pohon-pohon atau membakar lahan seiring dengan ditemukannya
api. Tanaman yang dibudidayakan berupa umbi-umbian, sukun, pisang, durian,
manggis, rambutan, duku, salak dan sebagainya. Hidup bermasyarakat dengan
bergotong royong mulai dikembangkan juga. Perahu bercadik dan rakit
banyak digunakan sebagai sarana lalu lintas air. Alat komunikasi berupa
bahasa dianggap sangat penting. Tumbuh kepercayaan animisme (pemujaan
terhadap roh nenek moyang) dan dinamisme (kepercayaan terhadap benda-
benda yang mempunyai kekuatan gaib), dan totemisme (kepercayaan terhadap
hewan) seiring dengan berkembangnya budaya megalithikum pada masa ini.
b. Zaman Logam
Perlu ditegaskan bahwa dengan dimulainya zaman logam bukan berarti
berakhirnya zaman batu, karena pada zaman logam pun alat-alat dari batu terus
berkembang bahkan sampai sekarang. Sesungguhnya nama zaman logam
hanyalah untuk menyatakan bahwa pada zaman tersebut alat-alat dari logam
telah dikenal dan dipergunakan secara dominan. Zaman logam disebut juga
dengan zaman perundagian.
Perkembangan zaman logam di Indonesia berbeda dengan yang ada di
Eropa, karena zaman logam di Eropa mengalami 3 fase/bagian, yaitu zaman
tembaga, zaman perunggu, dan zaman besi. Di Indonesia khususnya dan Asia
Tenggara umumnya tidak mengalami zaman tembaga tetapi langsung
memasuki zaman perunggu dan besi secara bersamaan. Hasil temuan yang

21
lebih dominan adalah alat-alat dari perunggu sehingga zaman logam disebut
juga dengan zaman perunggu.
Zaman logam dikembangkan oleh migrasi bangsa Deutro Melayu. Alat
yang dihasilkan pada masa logam atau perundagian, antara lain:
1) Nekara perunggu, yaitu semacam tambur besar dari perunggu yang
berpinggang di bagian tengahnya dan sisi atasnya tertutup; dipercayai
sebagai bagian bulan yang jatuh dari langit. Nekara berfungsi sebagai
pelengkap upacara untuk memohon turun hujan dan sebagai genderang
perang. Pola hias beragam, dari pola binatang, geometris, dan tumbuh-
tumbuhan, ada pula yang tak bermotif; banyak ditemukan di Bali, Nusa
Tenggara, Maluku, Selayar, Papua.
2) Moko, yaitu benda semacam nekara yang lebih ramping yang terdapat di
Pulau Alor yang digunakan sebagai benda pusaka atau sebagai mas kawin.
3) Kapak perunggu, disebut juga kapak sepatu atau kapak corong. Bentuk
kapak berupa pahat, jantung, atau tembilang. Kapak perunggu memiliki
motif berpola topang mata atau geometris.
4) Bejana perunggu, yaitu sebuah benda yang bentuknya mirip gitar Spanyol.
Alat ini ditemukan antara lain di Madura dan Sulawesi.
5) Arca-arca perunggu, dengan bentuk arca orang yang sedang menari, berdiri,
naik kuda, atau orang yang sedang memegang panah, ditemukan antara lain
di Bangkinang (Riau), Lumajang, Bogor, Palembang.
6) Berbagai macam perhiasan dan manik-manik, seperti gelang tangan, gelang
kaki, cincin, kalung, dan bandul/kalung. ada yang terbuat dari perunggu,
emas, dan besi; banyak ditemukan di Bogor, Bali, dan Malang; sedangkan
manik-manik banyak ditemukan di Sangiran, Pasemah, Gilimanuk, Bogor,
Besuki, Bone; berfungsi sebagai bekal kubur; bentuknya ada yang silinder,
bulat, segi enam, atau oval.
Pada zaman perundagian, dikenal teknik pembuatan alat-alat dari logam,
yaitu:
a) a cire perdue, caranya, mula-mula benda yang dimaksud dibuat dari lilin.
Setelah itu benda ditutup dengan tanah liat basah, lalu dibakar, lilin meleleh
ke luar dari lubang yang dibuat di bagian bawah. Cetakan selesai

22
dibuat, kemudian logam cair dituangkan ke dalam cetakan melalui lubang
tadi. Setelah dingin cetakan dipecah. Cara ini hanya dapat digunakan untuk
satu kali saja.
b) bivalve, menggunakan cetakan dua setangkap terbuat dari tanah liat basah.
Setelah kering logam cair dituangkan ke dalamnya dan didiamkan sampai
dingin lalu cetakan di buka. Cetakan ini dapat digunakan berulang kali.
Kehidupan pada masa logam juga ditandai dengan semakin
berkembangnya kegiatan bercocok tanam karena didukung oleh pola hidup
yang menetap. Pola pemukiman yang teratur dari masyarakat yang bertempat
tinggal juga berkembang.
Peralatan pokok untuk bertani pada masa logam ini adalah jenis kapak
persegi dan kapak lonjong. Kemudian berkembang ke alat lain yang lebih baik.
Dengan dibukanya lahan dan tersedianya air yang cukup maka terjadilah
persawahan untuk bertani. Masa ini juga mulai dibudidayakan tanaman padi.
Pada masa logam, masyarakat juga ditandai dengan jenis mata pencaharian
lain selain bertani, yakni mengolah logam atau undagi. Dengan adanya pola
mata pencaharian, mulai terjadi pembagian kerja dalamkelompok. Masyarakat
yang semakin kompleks memungkinkan berkembangnya kebutuhan akan
perlunya sosok seorang pemimpin. Pemilihan pemimpin dilakukan
berdasarkan primus inter pares.
Pada masa pra aksara juga berkembang kebudayaan batu besar atau
megalithikum. Megalithikum merupakan suatu istilah kebudayaan batu besar
(mega = besar; lithos = batu). Kebudayaan Megalithikum bukanlah suatu
zaman yang berkembang tersendiri, melainkan suatu hasil budaya yang timbul
pada zaman neolithikum dan berkembang pesat pada zaman logam.
Peninggalan-peninggalan masa pra aksara pasa masa megalithikum adalah:
a) Dolmen, yaitu bangunan seperti meja dari batu berkaki menhir yang
digunakan untuk pelinggih roh atau tempat sesajian.
b) Menhir, yaitu sebuah tugu batu yang diletakkan dengan sengaja di suatu
tempat untuk memperingati orang mati.
c) Sarkofagus, adalah bangunan peti mati yang bentuknya seperti lesung.

23
d) Peti kubur batu, yaitu peti mayat yang dibentuk dari enam papan batu, terdiri
dari dua sisi panjang, dua sisi lebar, sebuah lantai, dan sebuahpenutup besi.
e) Punden berundak, yaitu bangunan berupa batu yang berundak-undak, yang
biasanya terdiri dari tujuh dataran (undak), digunakan untuk kegiatan
pemujaan terhadap arwah nenek moyang.
f) Waruga, yaitu kubur batu yang berbentuk kubus atau bulat.
g) Arca-arca megalitik, berupa arca-arca yang menggambarkan manusia atau
binatang, seperti gajah, harimau, kerbau, harimau, monyet dalam ukuran
yang besar.

Gambar 8. Menhir yang ada di Limapuluh Koto


Sumber: Direktorat Geografi Sejarah. 2009. Atlas Prasejarah Indonesia.
Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Dengan budaya megalithikum, masyarakat sudah memahami adanya


kehidupan setelah mati. Mereka meyakini bahwa roh seseorang yang telah
meninggal akan ada kehidupan di alam lain. Oleh karena itu, roh orang yang
sudah meninggal akan senantiasa dihormati oleh sanak kerabatnya. Terkait
dengan itu, kegiatan ritual yang paling menonjol adalah upacara penguburan
orang meninggal. Dalam tradisi penguburan ini, terdapat tradisi bekal kubur.
Jenazah orang yang telah meninggal dibekali berbagai benda dan peralatan
kebutuhan sehari-hari, misalnya barang-barang perhiasan, periuk dan lain-lain
yang dikubur bersama mayatnya. Hal ini dimaksudkan agar perjalanan arwah
orang yang meninggal selamat dan terjamin dengan baik. Dalam upacara
penguburan ini semakin kaya orang yang meninggal maka upacaranya juga
semakin mewah. Barang-barang berharga yang ikut dikubur juga semakin
banyak. Selain upacara-upacara penguburan, juga ada upacara-upacara pesta

24
untuk mendirikan bangunan suci. Mereka percaya manusia yang meninggal
akan mendapatkan kebahagiaan jika mayatnya ditempatkan pada batu-batu
besar, misalnya pada peti batu atau sarkofagus.
Batu-batu besar menjadi lambang perlindungan bagi manusia yang berbudi
luhur juga memberi peringatan bahwa kebaikan kehidupan di akhirat hanya
akan dapat dicapai sesuai dengan perbuatan baik selama hidup di dunia. Hal
ini sangat tergantung pada kegiatan upacara kematian yang pernah dilakukan
untuk menghormati leluhurnya. Oleh karena itu, upacara kematian merupakan
manifestasi dari rasa bakti dan hormat seseorang terhadap leluhurnya yang
telah meninggal. Sistem kepercayaan masyarakat praaksara yang demikian itu
telah melahirkan tradisi megalitik. Mereka mendirikan bangunan batu-batu
besar seperti menhir, dolmen, punden berundak, dan sarkofagus. Pada zaman
praaksara, seorang dapat dilihat kedudukan sosialnya dari cara penguburannya.
Bentuk dan bahan wadah kubur dapat digunakan sebagai petunjuk status sosial
seseorang. Penguburan dengan sarkofagus misalnya, memerlukan jumlah
tenaga kerja yang lebih banyak dibandingkan dengan penguburan tanpa wadah.
Dengan kata lain, pengelolaan tenaga kerja juga sering digunakan sebagai
indikator stratifikasi sosial seseorang dalam masyarakat.
Seiring dengan perkembangan pelayaran, masyarakat zaman pra-aksara
akhir juga mulai mengenal sedekah laut. Sudah barang tentu kegiatan upacara
ini lebih banyak dikembangkan di kalangan para nelayan. Bentuknya mungkin
semacam selamatan apabila ingin berlayar jauh, atau mungkin saat memulai
pembuatan perahu. Sistem kepercayaan ini sampai sekarang masih dapat
ditemui di beberapa daerah.

5. Akulturasi Budaya Indonesia dan India


Hubungan dagang antara orang Indonesia dan India telah mengakibatkan
masuknya pengaruh budaya India dalam budaya Indonesia. Bagaimana
sesungguhnya proses yang terjadi belum dapat diungkapkan sepenuhnya oleh
penelitian-penelitian yang dilakukan sejak abad yang lalu. Pendapat pertama
menyebutkan bahwa dalam proses masuknya kedua agama ini, bangsa Indonesia

25
hanya berperan pasif. Bangsa Indonesia dianggap hanya sekedar menerima budaya
dan agama dari India. Pendapat kedua menyebutkan bahwa bangsa Indonesia juga
berperan aktif dalam proses penerimaan agama dan kebudayaan Hindu Budha.
Dalam konteks ini, terdapat sekelompok masyarakat di Indonesia yang mempelajari
dan memperdalam budaya India.
Sebelum masuknya kebudayaan Hindu-Budha, masyarakat telah memiliki
kebudayaan yang cukup maju. Unsur-unsur kebudayaan asli Indonesia telah
tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Bangsa Indonesia
yang sebelumnya memiliki kebudayaan asli tidak begitu saja menerima budaya-
budaya baru tersebut. Kebudayaan yang datang dari India mengalami proses
penyesuaian dengan kebudayaan asli Indonesia. Proses inilah yang disebut dengan
akulturasi.
Proses masuknya pengaruh budaya Indonesia terjadi karena adanya hubungan
dagang antara Indonesia dan India. Pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di
Indonesia ini dapat dilihat dalam berbagai bidang, antara lain:
a. Bidang Keagamaan
Sebelum budaya Hindu-Budha datang, di Indonesia telah berkembang
kepercayaan yang berupa pemujaan terhadap roh nenek moyang. Kepercayaan itu
bersifat animisme, dinamisme, dan totemisme. Animisme merupakan suatu
kepercayaan atau pemujaan terhadap roh nenek moyang. Dinamisme merupakan
suatu kepercayaan bahwa setiap benda memiliki kekuatan gaib. Sementara itu,
totemisme adalah kepercayaan terhadap hewan yang dianggap memiliki kekuatan,
seperti gajah, lembu/sapi, dan kerbau. Dengan masuknya kebudayaan Hindu-
Budha, masyarakat Indonesia secara berangsur-angsur memeluk agama Hindu dan
Budha, diawali oleh golongan elite di sekitar istana.
Dalam perkembangannya di masyarakat, kepercayaan animisme dan dinamisme
tetap berkembang di masyarakat. Sementara itu, kepercayaan totemisme mendapat
bentuk baru, terutama pada masa Majapahit, berupa penggunaan nama hewan
sebagai nama manusia, seperti Gajah Mada, Lembu Sora, Mahesa Wongateleng,
Kebo Ijo, Lebu Tal, dan sebagainya.

26
b. Bidang Politik
Sistem pemerintahan kerajaan dikenalkan oleh orang-orang India. Sebelumnya,
masyarakat masa pra aksara mengenal sistem kepemimpinan berdasarkan primus
inter pares. Dengan pengaruh Hindu-Budha, kelompok-kelompok kecil masyarakat
bersatu dengan kepemilikan wilayah yang luas. Kepala suku yang terbaik dan
terkuat berhak atas tampuk kekuasaan kerajaan. Kemudian, pemimpin ditentukan
secara turun-temurun berdasarkan hak waris sesuai dengan peraturan hukum kasta.
Oleh karena itu, lahir kerajaan-kerajaan, seperti Kutai, Tarumanegara, Sriwijaya,
dan kerajaan bercorak Hindu-Budha lainnya.
c. Bidang Sosial
Masuknya kebudayaan Hindu menjadikan masyarakat Indonesia mengenal
aturan kasta, yaitu: Kasta Brahmana (kaum pendeta dan para sarjana), Kasta Ksatria
(para prajurit, pejabat dan bangsawan), Kasta Waisya (pedagang petani, pemilik
tanah dan prajurit). Kasta Sudra (rakyat jelata dan pekerja kasar). Namun, unsur
budaya Indonesia lama masih tampak dominan dalam semua lapisan masyarakat.
Sistem kasta yang berlaku di Indonesia berbeda dengan kasta yang ada di India,
baik ciri-ciri maupun wujudnya. Hal ini tampak pada kehidupan masyarakat dan
agama di Kerajaan Kutai. Berdasarkan silsilahnya, Raja Kudungga adalah orang
Indonesia yang pertama tersentuh oleh pengaruh budaya India. Pada masa
pemerintahannya, Kudungga masih mempertahankan budaya Indonesia karena
pengaruh budaya India belum terlalu merasuk ke kerajaan. Penyerapan budaya baru
mulai tampak pada waktu Aswawarman, anak Kudungga, diangkat menjadi raja
menggantikan ayahnya.
d. Bidang Pendidikan
Dalam Prasasti Nalanda dinyatakan telah ada model pendidikan asrama. Asrama
didirikan bagi pemuda di Kerajaan Sriwijaya yang akan menuntut ilmu agama
Budha ke India. Lembaga-lembaga pendidikan semacam asrama merupakan salah
satu bukti pengaruh dari kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia. Lembaga
pendidikan tersebut berubah menjadi model pendidikan pesantren pada masa Islam,
dan berkembang menjadi model pendidikan berasrama pada masa modern.

27
e. Bidang Sastra dan Bahasa
Pengaruh Hindu-Budha pada bahasa adalah dikenal dan digunakannya bahasa
Sansekerta dan huruf Pallawa oleh masyarakat Indonesia. Pada masa kerajaan
Hindu- Budha di Indonesia, seni sastra sangat berkembang terutama pada zaman
Kerajaan Kediri.
f. Bidang Arsitektur
Punden berundak merupakan salah satu arsitektur masa Megalitikum. Arsitektur
tersebut berpadu dengan budaya India yang mengilhami pembuatan bangunan
candi. Jika diperhatikan, Stupa Borobudur sebenarnya mengambil bentuk bangunan
punden berundak agama Budha Mahayana. Pada Candi Sukuh dan candi-candi di
lereng Pegunungan Penanggungan, pengaruh unsur budaya India sudah tidak begitu
kuat. Candi-candi tersebut hanyalah punden berundak.
Begitu pula fungsi candi di Indonesia, candi bukan sekadar tempat untuk
memuja dewa-dewa seperti di India, tetapi lebih sebagai tempat pertemuan rakyat
dengan arwah nenek moyangnya. Candi dengan patung induknya yang berupa arca
merupakan perwujudan raja yang telah meninggal. Hal ini mengingatkan pada
bangunan punden berundak dengan menhirnya.

6. Proses Masuknya Agama Hindu-Budha ke Indonesia


Hubungan dagang antara Indonesia dan dunia luar merupakan sebab awaladanya
pengaruh budaya luar ke Indonesia. Dalam konteks ini, J.C. Van Leur dan O.W.
Wolters berpendapat bahwa hubungan dagang antara India dan Indonesia sudah
terjalin sebelum hubungan dagang antara Indonesia dan Cina. Oleh karena itu, tak
heran muncul pengaruh budaya India di Indonesia, walaupun proses muncul dan
berkembangnya budaya India adalah sesuatu yang terpisah dari proses perdagangan.
Terkait dengan masuk dan berkembangnya agama Hindu Budha ke Indonesia,
terdapat lima teori, yakni:
a. Teori Brahmana
Teori Brahmana adalah teori yang menyatakan bahwa masuknya Hindu Budha
ke Indonesia dibawa oleh para Brahmana atau golongan pemuka agama di India.
Teori ini didukung dengan adanya bukti bahwa terdapat perkampungan India di

28
Malaysia dan pantai Timur Sumatera (populer dengan nama Kampung Keling)
yang banyak ditempati oleh orang Keling dari India Selatan yang memerlukan
kaum Brahmana untuk upacara agama (perkawinan dan kematian). Van
Leur cenderung untuk memberikan peran penyebaran budaya India pada golongan
Brahmana. Mereka datang atas undangan para penguasa Indonesia.
F.D.K. Bosch menyetujui pendapat Van Leur. Dengan mengamati unsur-unsur
budaya India dalam budaya Indonesia, Bosch berpendapat bahwa hanya golongan
cendikiawanlah yang dapat menyampaikan budaya India pada bangsa Indonesia.
Golongan tersebut dinyatakan sebagai clerks. Pendeta-pendeta tersebut menyebar
ke seluruh penjuru dunia melalui jalur perdagangan. Kedatangan mereka biasanya
telah diberitakan lebih dahulu. Mereka kemudian bertemu dengan kalangan istana.
Teori Brahmana dilandaskan pada prasasti-prasasti peninggalan kerajaan
Hindu Budha di Indonesia yang hampir semuanya menggunakan huruf Pallawa
dan bahasa Sansekerta. Di India, aksara dan bahasa ini hanya dikuasai oleh
golongan Brahmana. Selain itu, karena peran serta golongan Brahmana juga
didukung oleh kebiasaan ajaran Hindu. Seperti diketahui bahwa ajaran Hindu yang
utuh dan benar hanya boleh dipahami oleh para Brahmana. Hanya golongan
Brahmana-lah yang dianggap berhak menyebarkan ajaran Hindu, karena merekalah
yang memahami bahasa Sansekerta. Para Brahmana diundang ke Nusantara oleh
para kepala suku untuk melakukan upacara vraytastoma, upacara khusus untuk
menghindukan seseorang. Para Brahmana sengaja didatangkan ke Indonesia karena
raja yang telah mengenal brahmana secara khusus sehingga meminta brahmana
untuk mengajar di lingkungannya, melaksanakan upacara penobatan raja (abhiseka)
dan menjadi penasehat raja, purohita. Tidak hanya dalam bidang keagamaan, tetapi
juga menjadi penasehat dalam bidang pemerintahan, peradilan, perundang-
undangan, dan sebagainya.
Hanya saja, teori brahmana memiliki kelemahan. Menurut ajaran Hindu kuno
seorang Brahmana dilarang untuk menyeberangi lautan apalagi meninggalkan
tanah airnya. Jika ia melakukan hal tersebut maka ia akan kehilangan hak akan
kastanya, sehingga mendatangkan para Brahmana ke Indonesia bukan merupakan
hal yang wajar.

29
b. Teori Waisya
Teori Waisya menyatakan bahwa terjadinya penyebaran agama Hindu Budha di
Indonesia adalah berkat peran serta golongan Waisya (pedagang) yang merupakan
golongan terbesar masyarakat India yang berinteraksi dengan masyarakat
nusantara. Dalam teori ini, para pedagang India dianggap telah memperkenalkan
kebudayaan Hindu dan Budha pada masyarakat lokal ketika mereka melakukan
aktivitas perdagangan
Kondisi ini terjadi karena pelayaran sangat bergantung pada musim angin, maka
dalam beberapa waktu mereka akan menetap di kepulauan Nusantara hingga angin
laut yang akan membawa mereka kembali ke India berhembus. Selama menetap,
para pedagang India ini juga melakukan dakwahnya pada masyarakat lokal
Indonesia.
Kelemahan teori waisya ini terletak pada kurangnya pemahaman akan agama
Hindu oleh para pedagang. Untuk melakukan proses memasukkan seseorang pada
agama Hindu, para pedagang tidak memiliki pengetahuan tentang keagamaan.
Mereka tidak menguasai tata cara pada agama Hindu, dimana kitab sucinya ditulis
dalam Bahasa Sansekerta yang hanya dipahami oleh para Brahmana.
c. Teori Ksatria
Dalam teori Ksatria, penyebaran agama dan kebudayaan Hindu-Budha di
Indonesia pada masa lalu dilakukan oleh golongan ksatria. Menurut teori ini,sejarah
penyebaran Hindu Budha di kepulauan nusantara tidak bisa dilepaskan dari sejarah
kebudayaan India pada periode yang sama. Seperti diketahui bahwa di awal abad
ke-2 M, kerajaan-kerajaan di India mengalami keruntuhan karena perebutan
kekuasaan. Penguasa-penguasa dari golongan ksatria di kerajaan-kerajaan yang
kalah perang pada masa itu dianggap melarikan diri ke Nusantara. Di Indonesia
mereka kemudian mendirikan koloni dan kerajaan-kerajaan barunya yang bercorak
Hindu dan Budha. Dalam perkembangannya, mereka pun kemudian menyebarkan
ajaran dan kebudayaan kedua agama tersebut pada masyarakat lokal di nusantara.
Keberatan teori ini dikemukakan oleh Van Leur. Keberatan pertama adalah
mengenai kolonisasi. Suatu kolonisasi yang melibatkan penaklukan oleh golongan
ksatria tentunya akan dicatat sebagai suatu kemenangan. Catatan demikian tidak

30
ditemukan dalam sumber tertulis di India. Di Indonesia pun tidak terdapat suatu
tanda peringatan apa pun, misalnya dalam bentuk prasasti. Keberatan kedua,
terletak pada pemahaman bahwa suatu kolonisasi selalu disertai oleh pemindahan
segala unsur masyarakat dari tanah asalnya. Misalnya, sistem kasta, kerajinan,
bentuk rumah, tata kota, bahasa, pergaulan, dan sebagainya. Dalam kenyataannya,
di Indonesia berbeda dengan yang ada di India.
Bukti tentang penyerangan dari kerajaan di India ke Indonesia hanya ada pada
berita tentang serangan Kerajaan Colamandala ke Sriwijaya. Kejadian itu pun tidak
menyebabkan runtuhnya Kerajaan Sriwijaya.
d. Teori Sudra
Teori Sudra dikemukakan oleh Van Faber. Teori ini menjelaskan bahwa
penyebaran agama dan kebudayaan Hindu Budha di Indonesia diawali oleh para
kaum sudra atau rakyat jelata yang bermigrasi ke wilayah Nusantara. Mereka
menetap dan menyebarkan ajaran agama mereka pada masyarakat pribumi hingga
terjadilah perkembangan yang signifikan terhadap arah kepercayaan mereka yang
awalnya animisme dan dinamisme menjadi percaya pada ajaran Hindu dan Budha.
Teori ini juga memiliki kelemahan, terkait dengan ketidakmampuan dalam
pemahaman agama Hindu oleh kasta sudra ini
e. Teori Arus Balik
Teori arus balik juga sering dinyatakan sebagai Teori Nasional oleh R.
Soekmono. Teori ini didasarkan pada Prasati Nalanda yang berisi tentang pendirian
asrama bagi para pelajar di Sriwijaya yang akan menuntut ilmu agama Budha di
India.
Teori arus balik menjelaskan bahwa penyebaran Hindu Budha di Indonesia
terjadi karena peran aktif masyarakat Indonesia di masa silam. Menurut FDK.
Bosch, pengenalan Hindu Budha pertama kali memang dibawa oleh orang-orang
India. Mereka menyebarkan ajaran ini pada segelintir orang, hingga pada akhirnya
orang-orang tersebut tertarik untuk mempelajari kedua agama ini secara langsung
dari negeri asalnya, India. Mereka berangkat dan menimba ilmu di sana, dan
sekembalinya ke Indonesia, mereka kemudian mengajarkan apa yang diperolehnya
pada masyarakat nusantara lainnya.

31
7. Kehidupan Masyarakat pada Masa Kerajaan-Kerajaan Tradisional
Hindu-Budha
Kerajaan-kerajaan awal di nusantara pada abad ke-5-8 M dapat dilihat pada
gambar berikut.

Gambar 1. Peta kerajaan-kerajaan bercorak Hindu atau Budha


Sumber : Atlas dan Lukisan Sejarah Nasional Indonesia

a. Kerajaan Kutai
Walaupun bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa kerajaan tertua di
Indonesia terletak di Kalimantan, tetapi sedikit sekali perhatian para penulis
tambo di daratan Cina. Hal ini cukup menarik, karena biasanya para penulis
tambo Cina rajin menuliskan hal-hal aneh yang mereka temui dari suatu daerah
asing. Berita tertua Cina yang bertalian dengan salah satu daerah di Kalimantan,
berasal dari zaman Dinati T’ang (618-906). Padahal berita-berita Cina yang
berhubungan dengan Jawa sudah ada sejak abad ke-5. M, dan Sumatera pada
awal abad ke-6 M, pada zaman pemerintahan Dinasti Liang.
Tidak adanya perhatian dari pihak Cina itu, kemungkinan sekali disebabkan,
Kalimantan tidak terletak pada jalan niaga Cina yang utama, walaupun di daerah
Serawak misalnya, ditemukan beberapa buah benda yang berasal dari Zaman
Dinasti Han yang mulai berkuasa pada tahun 220 SM. Ternyata kurangnya
perhatian terhadap sejarah daerah Kalimantan, terus berlanjut pada masa-masa
sesudahnya, sehingga di dalam keseluruhan sejarah kebudayaan Asia
Tenggara, daerah ini masih tetap merupakan suatu daerah yang terlupakan.

32
1) Kehidupan Politik
Kerajaan Kutai yang terletak di hulu Sungai Mahakam, Kalimantan Timur
merupakan kerajaan Hindu pertama di nusantara. Sumber utama Kerajaan Kutai
ialah 7 buah batu tulis yang disebut Yupa. Prasasti ditulis dengan huruf Pallawa,
bahasa Sanskerta, diperkirakan pada tahun 400 M (abad ke-5 M).Isi prasasti
dapat diketahui bahwa raja yang memerintah ialah Mulawarman, anak
Aswawarman dan cucu Kudungga. Disebutkan pula dalam prasasti bahwa raja
Mulawarman memberikan hadiah 1.000 ekor lembu kepada kaum brahmana.
Selain itu, juga disebutkan bahwa Aswawarman adalah wangsakarta (pendiri
dinasti). Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa kerajaan Kutai telah
mendapat pengaruh Hindu, tetapi Kudungga belum masuk Hindu karena nama
Kudungga adalah nama asli Indonesia, sehingga ia tidak disebut Wangsakarta.
Raja Mulawarman adalah raja terbesar dan telah memeluk agama Hindu.
2) Kehidupan Sosial-Ekonomi
Melihat bahwa letak Kerajaan Kutai pada jalur perdagangan dan pelayaran
antara Barat dan Timur, maka aktivitas perdagangan menjadi mata pencaharian
yang utama. Rakyat Kutai sudah aktif terlibat dalam perdagangan internasional
dan tentu saja mereka berdagang pula sampai ke perairan Laut Jawa dan
Indonesia Timur untuk mencari barang-barang dagangan yang laku di pasaran
Internasional. Dengan demikian Kutai telah termasuk daerah persinggahan
perdagangan Internasional Selat Malaka-Laut Jawa-Selat Makasar-Kutai-Cina
atau sebaliknya.
3) Kehidupan Kebudayaan
Kehidupan kebudayaan masyarakat Kutai erat kaitannya dengan
kepercayaan/agama yang dianut. Prasasti Yupa merupakan salah satu hasil budaya
masyarakat Kutai, yaitu tugu batu yang merupakan warisan nenek moyang bangsa
Indonesia dari zaman Megalitikum, yakni bentuk Menhir. Salah satu prasasti Yupa
menyebutkan suatu tempat suci dengan nama "Wapakeswara" (tempat pemujaan
Dewa Siwa). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat Kutai
memeluk Agama Siwa.

33
b. Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan Tarumanegara terletak di tepi Sungai Citarum, Bogor, Jawa Barat,
merupakan kerajaan tertua kedua di Indonesia.

Gambar 2. Peta Lokasi Prasasti Purnawarman


Sumber: Sejarah Nasional Indonesia V

Sumber-sumber sejarah Kerajaan Tarumanegara dapat dibagi menjadi


dua, yakni:
1) Berita Cina zaman Dinasti T’ang
Berita Cina menyebutkan adanya kerajaan To-lo-mo (Tarumanegara)
mengirimkan utusan ke Cina beberapa kali, antara lain tahun 528, 538, 665,
dan 666 M.
2) Prasasti-Prasasti yang ada di Jawa Barat yang berbahasa Sansekerta dan
berhuruf Pallawa, yakni:
a. Prasasti Ciaruteun (Bogor).
b. Prasasti Kebon Kopi (Bogor).
c. Prasasti Jambu atau Prasasti Pasir Koleangkak (Bogor).
d. Prasasti Pasir Awi atau Prasasti Cemperai (Bogor).

34
e. Prasasti Tugu (Cilincing, Tanjung Priok , Jakarta).
f. Prasasti Cidanghiang atau Lebak (Banten Selatan).
g. Prasasti Muara Cianten (Bogor)
1) Kehidupan Politik
Kerajaan Tarumanegara dipimpin oleh seorang raja yang masyhur yakni
Purnawarman. Berita tentang kemasyhuran raja tersebut misalnya tertuang
dalam Prasasti Ciareteun dan Kebon Kopi. Isi Prasasti Ciaruteun selain berisi
empat baris kalimat, pada prasasti ini juga dipahatkan lukisan seperti lukisan
lebah-lebah dan sepasang telapak kaki. Empat baris kalimat itu berbunyi :"ini
kedua telapak kaki, yang seperti kaki Dewa Wisnu, ialah kaki yang Mulia
Purnawarman, raja di negeri Taruma, raja yang sangat gagah berani".

Isi prasasti Kebon Kopi : yakni adanya dua


kaki gajah yang disamakan dengan tapak kaki
gajah Airawati (gajah kendaran Dewa Wisnu).
Sedangkan Prasasti Jambu berisi tentang
kegagahan raja Purnawarman. Bunyi prasasti
itu antara lain :"gagah, mengagumkan dan jujur
terhadap tugasnya adalah pemimpin manusia
yang tiada taranya, yang termasyhur Sri
Purnawarman, yang memerintah di taruma
dan yang baju zirahnya tak dapat ditembus oleh
musuh ..."
Prasasti yang diketemukan semuanya tidak berangka tahun, namun dari
huruf yang dipakai dapat diperkirakan bahwa Kerajaan Tarumanegara
berkuasa di Jawa Barat sekitar abad ke-5 M dengan rajanya Purnawarman.
2) Kehidupan Sosial-Ekonomi
Kehidupan perekonomian masyarakat Tarumanegara adalah pertanian dan
peternakan. Hal ini dapat diketahui dari isi Prasasti Tugu, yang berisi tentang
pembangunan atau penggalian saluran Gomati yang panjangnya 6112 tombak
(12 km) selesai dikerjakan dalam waktu 21 hari. Selesai penggalian Raja
Purnawarman mengadakan selamatan dengan memberikan hadiah 1.000 ekor
lembu kepada para brahmana. Pembangunan/penggalian itu mempunyai arti
ekonomis bagi rakyat, karena dapat digunakan sebagai sarana pengairan dan
pencegahan banjir. Selain penggalian saluran Gomati dalam Prasasti Tugu juga
disebutkan penggalian saluran Candrabhaga. Dengan demikian rakyat akan
hidup makmur, aman, dan sejahtera.
35
3) Kehidupan Kebudayaan
Ditinjau dari Prasasti Tugu dapat diketahui bahwa masyarakat pada saat itu
sudah mengenal sistem kalender. Secara umum, jika dilihat dari teknik dan cara
penulisan huruf-huruf pada prasasti yang ditemukan sebagai bukti keberadaan
Kerajaan Tarumanegara, dapat diketahui bahwa budaya masyarakat sudah maju.

c. Kerajaan Sriwijaya
1) Kehidupan Politik
Sumber sejarah untuk mengetahui kerajaan Sriwijaya sebagai berikut.
a) Berita-berita dari Cina, India, Malaka, Ceylon, Arab, dan Persi.
b) Prasasti Kota Kapur, yang ditemukan di Pulau Bangka sebelah Barat yang
berisi kutukan untuk orang yang berani melanggar perintah dari Raja
Sriwijaya.
c) Prasasti Telaga Batu, ditemukan di Kolam Telaga Biru, Kecamatan Ilir
Timur, Kota Palembang. Prasasti Telaga Batu berisi tentang kutukan untuk
orang-orang jahat yang berada di wilayah kerajaan Sriwijaya.
d) Prasasti Karang Berahi, ditemukan di Desa Karang Berahi, Merangin, Jambi.
Prasasti Karang Berahi berisi kutukan untuk orang-orang jahat yang tidak
setia terhadap Raja Sriwijaya.
e) Prasasti Palas Pasemah, ditemukan di pinggir rawa Desa Palas Pasemah,
Lampung Selatan. Di dalam prasasti yang berhuruf Pallawa dan berbahasa
Melayu Kuno, berisi kutukan untuk orang-orang jahat yang tidak setia
terhadap Raja Sriwijaya.
f) Prasasti Hujung Langit, ditemukan di Desa Haur Kuning, Lampung. Di
dalam prasasti Hujung Langit terdapat sebuah angka tahun yakni 997 M.
g) Prasasti Ligor, ditemukan di wilayah Thailand sebelah Selatan oleh seorang
bernama Nakhon Si Thammarat. Di dalam prasasti Ligor berisi mengenai
kisah seorang Raja Sriwijaya yang membangun Tisamaya Caitya untuk
Karaja.
h) Prasasti Leiden, merupakan manuskrip yang ditulis pada lempengan tembaga
berangka tahun 1005 yang terdiri dari bahasa Sanskerta dan bahasa Tamil.
Prasasti ini dinamakan sesuai dengan tempat berada sekarang yaitu
KITLV Leiden, Belanda. Prasasti ini mengisahkan hubungan dinasti Cola
dengan dinasti Syailendra dari Sriwijaya.
36
i) Prasasti Kedukan Bukit (605S/683M) di Palembang. Isinya: Dapunta Hyang
mengadakan ekspansi 8 hari dengan membawa 20.000 tentara, kemudian
berhasil menaklukkan dan menguasai beberapa daerah. Dengan
kemenangan itu Sriwijaya menjadi makmur.
j) Prasasti Talang Tuo (606 S/684M di sebelah barat Palembang. Isinya tentang
pembuatan sebuah Taman Sriksetra oleh Dapunta Hyang Sri Jayanaga untuk
kemakmuran semua makhluk.

Gambar 3. Daerah pengaruh Kerajaan Sriwijaya (Abad ke-8-11)


Sumber: Atlas dan Lukisan Sejarah Nasional Indonesia
Menurut sumber berita Cina yang ditulis oleh I-tsing dinyatakan bahwa
Kerajaan Sriwijaya berdiri pada abad ke-7 M. Berdasarkan prasasti Ligor, pusat
pemerintahan Sriwijaya di Muara Takus, yang kemudian dipindahkan ke
Palembang. Kerajaan Sriwijaya kemudian muncul sebagai kerajaan besar di Asia
Tenggara. Perluasan wilayah dilakukan dengan menguasai Tulang Bawang
(Lampung), Kedah, Pulau Bangka, Jambi, Tanah Genting Kra dan Jawa (Kaling
dan Mataram Kuno). Dengan demikian Kerajaan Sriwijaya bukan lagi
merupakan kerajaan senusa (negara yang berkuasa atas satu pulau saja)
melainkan merupakan negara antarnusa (negara yang berkuasa atas beberapa
pulau), sehingga Sriwijaya merupakan negara kesatuan pertama di Indonesia.
Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya pada masa Balaputra
Dewa. Raja ini mengadakan hubungan persahabatan dengan Raja Dewapala
Dewa dari India. Dalam Prasasti Nalanda disebutkan bahwa Raja Dewapala
Dewa menghadiahkan sebidang tanah untuk mendirikan sebuah biara untuk para

37
pendeta Sriwijaya yang belajar agama Budha di India. Selain itu, dalam Prasasti
Nalanda juga disebutkan adanya silsilah raja Balaputra Dewa dan dengan tegas
menunjukkan bahwa raja Syailendra (Darrarindra) merupakan nenek
moyangnya. Dalam perkembangannya, Kerajaan Sriwijaya mengalami
kehancuran karena adanya ekspedisi Pamalayu dari Kerajaan Singasari.
2) Kehidupan Sosial Ekonomi
Letak Sriwijaya sangat strategis di jalur perdagangan antara India-Cina. Di
samping itu juga berhasil menguasai Selat Malaka yang merupakan urat nadi
perdagangan di Asia Tenggara, menjadikan Sriwijaya menguasai perdagangan
nasional dan internasional. Secara ekonomis, Kerajaan Sriwijaya kemudian
mengalami kemunduran karena adanya pendangkalan pada Sungai Musi
sehingga kapal-kapal besar tidak lagi bisa merapat ke pelabuhan.
3) Kehidupan Keagamaan
Dalam bidang agama, Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat agama Budha yang
penting di Asia Tenggara dan Asia Timur. Agama Budha yang berkembang di
Sriwijaya ialah Agama Budha Mahayana, salah satu tokohnya ialah Dharmakirti.
Para peziarah agama Budha dalam pelayaran ke India ada yang singgah dan
tinggal di Sriwijaya. Di antaranya ialah I'tsing. Sebelum menuju ke India, I’tsing
mempersiapkan dirinya dengan mempelajari bahasa Sansekerta selama 6 bulan
(1671); setelah pulang dari India ia tinggal selama 4 tahun (681-685 M) untuk
menerjemahkan agama Budha dari bahasa Sanskerta ke bahasa Cina. Di samping
itu, juga ada pendeta dari Tibet, yang bernama Atica yang datang dan tinggal di
Sriwijaya selama 11 tahun (1011-1023 M) dalam rangka belajar agama Budha
dari seorang guru besar Dharmakirti.

d. Kerajaan Mataram Kuno


Kerajaan Mataram Kuno terletak di Jawa Tengah dengan intinya yang sering
disebut Bumi Mataram. Daerah ini dikelilingi oleh pegunungan dan gunung-
gunung, seperti Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Sindoro, GunungSumbing,
Gunung Merapi-Merbabu, Gunung Lawu, dan Pegunungan Sewu. Daerah ini
juga dialiri oleh banyak sungai, seperti Sungai Bogowonto, Sungai Progo,
Sungai Elo dan Sungai Bengawan Solo. Itulah sebabnya daerah ini sangat subur.
Bumi Mataram diperintah oleh dua wangsa atau dinasti, yaitu Dinasti Sanjaya
yang beragama Hindu (di bagian utara) dan Dinasti Syailendra yang beragama
38
Budha (di bagian selatan). Dalam hal pembuatan candi agaknya kedua dinasti
dapat bekerja sama, tetapi di bidang politik terjadi perebutan kekuasaan.
1) Kehidupan Politik
Pada mulanya yang berkuasa di Mataram adalah Dinasti Sanjaya. Bukti
adanya kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah dapat diketahui dari Prasasti
Canggal, di kaki Gunung Wukir, Magelang. Prasasti ini dikeluarkan oleh Raja
Sanjaya berangka tahun berbentuk candrasengkala berbunyi "srutiindriyarasa"
atau tahun 654 Saka=732 M (dengan huruf Pallawa bahasa Sanskerta). Isi pokok
Prasasti Canggal adalah pendirian sebuah lingga di bukit Stirangga.Sang
Raja Sanjaya mendirikan lingga yang ditandai dengan tanda-tanda di bukit yang
bernama Stirangga untuk keselamatan rakyatnya.
Petunjuk lain tentang Sanjaya di samping Prasasti Canggal juga Prasasti
Mantyasih atau Prasasti Kedu yang dibuat oleh raja Balitung yang menyebutkan
bahwa nama Sanjaya adalah raja pertama (wangsakarta) dengan ibukota di
Mdang ri Poh Pitu. Dalam prasasti itu disebutkan raja-raja yang pernah
memerintah.
Prasasti Dinoyo di Jawa Timur tahun 706 menyebutkan adanya Raja
Gajayana yang mendirikan tempat pemujaan Dewa Agastya (perwujudan Siwa
sebagai Mahaguru) diwujudkan pula dalam bentuk lingga. Di samping itu juga
mendirikan Candi Badut dengan berlanggam candi Jawa Tengah. Kemudian
Prasasti Kalasan tahun 778 M menyebutkan bahwa keluarga Syailendra berhasil
membujuk Panangkaran untuk mendirikan bangunan suci untuk Dewi Tara (istri
Budha) dan sebuah biara untuk para pendeta. Panangkaran juga menghadiahkan
desa Kalasan kepada Sanggha. Dalam Prasasti Balitung yang berangka tahun
907 M disebutkan nama keluarga raja-raja keturunan Sanjaya memuat nama
Panangkaran. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa pada waktu itu dinasti
Sanjaya dan Syailendra sama sama berperan di Jawa Tengah. Dinasti Sanjaya di
bagian utara dengan mendirikan candi Hindu, seperti Gedong Songo di Ungaran
dan Candi Dieng di dataran tinggi Dieng. Sedangkan Dinasti Syailendra di
bagian selatan dengan mendirikan candi Budha, seperti Borobudur, Mendut, dan
Kalasan.
Dalam Prasasti Kelurak (di daerah Prambanan) tahun 782 disebutkan tentang
pembuatan acara Manjusri sebagai perwujudan Budha, Dharma dan Sanggha
yang dapat disamakan dengan Brahma, Wisnu, dan Siwa. Mungkin sekali
39
bangunan sucinya ialah Candi Lumbung yang terletak di sebelah utara
Prambanan. Raja yang memerintah pada waktu itu ialah Indra. Pengganti Indra
yang terkenal ialah Smaratungga yang dalam pemerintahannya mendirikan
Candi Borobudur tahun 824, (yang merupakansalah satu bangunan keajaiban
dunia). Di bawah pemerintahan putri Smaratungga, yakni Pramodhawardani
dinasti Syailendra dan Sanjaya menjadi satu karena perkawinannya dengan
Rakai Pikatan, yang kemudian membangun candi-candi Budha dan Hindu.
Seperti Candi Plaosan yang merupakan Stupa Budha banyak disebut nama Sri
Kahulunan Sri Pikatan, dapat diartikan nama Sri Kahulunan adalah gelar
Pramodhawardani. Rakai Pikatan mendirikan candi Hindu yakni Candi
Prambanan (Roro Jonggrang) yang sangat megah. Dengan dibangunnya candi
Hindu dan Budha yang berdekatan, menggambarkan adanya kerukunan
beragama di Bumi Mataram. Pada tahun 856 terjadi perubahan besar di Jawa
Tengah Balaputra Dewa (adik Pramodhawardani) yang pusat pemerintahannya
di pegunungan selatan yang terkenal dengan Istana Ratu Boko, berusaha untuk
merebut kekuasaan. Namun ia malah tersingkir dari Jawa Tengah dan akhirnya
melarikan diri ke Sumatra (menjadi raja di Sriwijaya). Di Jawa Tengah
kemudian sepenuhnya diperintah oleh Dinasti Sanjaya. Raja terakhir adalah
Wawa dan digantikan Empu Sendok yang kemudian memindahkan pusat
pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
2) Kehidupan Sosial Ekonomi
Kehidupan ekonomi masyarakat bertumpu pada pertanian. Kondisi alam
bumi Mataram yang tertutup dari dunia luar sulit untuk mengembangkan
aktivitas perekonominan dengan pesat. Pada masa Balitung aktivitas
perhubungan dan perdagangan dikembangkan melalui Sungai Bengawan Solo.
Pada Prasasti Wonogiri (903) bahwa desa-desa yang terletak di kanan-kiri sungai
dibebaskan dari pajak dengan catatan harus menjamin kelancaran lalu- lintas
lewat sungai tersebut.
3) Kehidupan Agama dan Kebudayaan
Bumi Mataram diperintah oleh dua dinasti, yakni Dinasti Sanjaya dan Dinasti
Syailendra. Dinasti Sanjaya beragama Hindu dengan pusat kekuasaannya di
utara dengan hasil budayanya berupa candi-candi seperti Gedong Songo dan
Dieng. Dinasti Syailendra beragama Bundha dengan pusat kekuasaannya di
daerah selatan, dan hasil budayanya dengan mendirikan candi-candi seperti
40
candi Borobudur, Mendut, dan Pawon. Semula terjadi perebutan kekuasan
namun kemudian terjalin persatuan ketika terjadi perkawinan antara Rakai
Pikatan (Sanjaya) yang beragama Hindu dengan Pramodhawardhani
(Syailendra) yang beragama Budha. Sejak itu agama Hindu dan Budha hidup
berdampingn secara damai. Hal ini menunjukkan betapa besar jiwa toleransi
bangsa Indonesia. Toleransi ini merupakan salah sifat kepribadian bangsa
Indonesia yang wajib dilestarikan agar tercipta kedamaian, ketenteraman, dan
kesejahteraan.

e. Dinasti Isana di Jawa Timur


Pada abad ke-10 M, pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno di Jawa
Tengah dipindahkan ke Jawa Timur oleh Pu Sindok. Schrieke adalah orang
pertama yang menganggap bahwa perpindahan tersebut terjadi dalam jangka
waktu yang relatif pendek. Sebab utamanya adalah karena rakyat Jawa Tengah
merasa menanggung beban yang amat berat karena diharuskan membangun
monumen-monumen keagamaan yang besar dan dilaksanakan dalam periode
yang relatif singkat. Pekerjaan semacam itu, menurut Schrieke (dalam Rahardjo,
2011: 41), sangat membebani rakyat karena tenaga mereka yang seharusnya
dipusatkan pada kegiatan pertanian sebagai sandaran utama hidupnya, dialihkan
untuk membangun candi-candi. Ini dianggap Schrieke sebagai faktor pertama
yang mendorong perpindahan penduduk ke wilayah Jawa Timur., dengan
menyatakan” ... the final conclusion, then, is that central Javanese rural culture
was destroyes by its own temples”.
Pendapat Schrieke tentang perpindahan pusat pemerintahan Mataram Kuno
tidak dapat diterima oleh Boechari (dalam Rahardjo, 2011: 41). Ia menyatakan
bahwa bukti-bukti prasasti tidak ada yang memberikan indikasi adanya
pemaksaan oleh pemerintah pusat kepada rakyat. Candi-candi besar dibuat
dengan gotong royong sebagaimana tercermin di Candi Plaosan Lor, dan
kebiasaan serupa masih berlangsung di Bali hingga sekarang. Menurut Boechari,
kemungkinan yang lebih masuk akal adalah karena faktor bencana alam letusan
gunung Merapi yang sangat dahsyat dan merusak daerah-daerah persawahan
yang luas dan bahkan mungkin merusakkan juga ibukota kerajaan.
Faktor kedua adalah daya tarik delta Sungai Solo dan lembah Sungai Brantas.
Kedua tempat tersebut diduga memiliki daya tarik dari segi ekonomi, khususnya

41
sebagai pintu gerbang perdagangan internasional.
Pendapat lain diungkapkan oleh Casparis (dalam Rahardjo, 2011: 41). Ia
menyatakan bahwa perpindahan tersebut terjadi akibat serangan Kerajaan
Sriwijaya. Sebab setelah Dinasti Syailendra terdesak dari Jawa Tengah dan
menetap di Sumatera, merupakan ancaman yang serius.
1) Kehidupan Politik
Pemindahan kekuasaan ke Jawa Timur dilakukan oleh raja Empu Sendok, dan
membentuk dinasti baru yakni Isana. Nama Isana diambil dari gelar resmi Empu
Sendok yakni Sri Maharaja Rake Hino Sri Isanawikramatunggadewa. Wilayah
kekuasaan Empu Sendok meliputi Nganjuk di sebelah barat, Pasuruan di timur,
Surabaya di utara dan Malang di selatan. Empu Sendok memegang pemerintahan
dari tahun 929–947 dengan pusat pemerintahannya di Watugaluh. Ia
memerintah dengan adil dan bijaksana dengan melakukan berbagai usaha untuk
kemakmuran rakyat. Di antaranya ialah membuat bendungan-bendungan untuk
perairan, dan memberikan hadiah-hadiah tanah untuk pemeliharaan bangunan-
bangunan suci. Di samping itu juga memerintahkan untuk mengubah sebuah
kitab agama Budha aliran Tantrayana yang diberi judul Sang Hyang
Kamahayanikan. Setelah Empu Sendok meninggal kemudian digantikan oleh
putrinya yang bernama Sri Isanatunggawijaya. Putri ini kawin dengan Lokapala,
dari pernikahannya lahirlah seorang putra yang bernama Makutawangsawardana
yang meneruskan takhta ibunya. Setelah Makutawangsawardana meninggal
yang menggantikan ialah Dharmawangsa (990–1016). Dalam pemerintahannya
ia berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyatnya yang hidup dari pertanian
dan perdagangan.
Pada saat itu pusat perdagangan di Indonesia dikuasai oleh Sriwijaya, maka
Dharmawangsa berusaha untuk menyerang Sriwijaya dengan tujuan untuk
mengusai daerah Sriwijaya bagian selatan (Selat Sunda). Akan tetapi, selang
beberapa tahun kemudian Sriwijaya bangkit mengadakan serangan balasan.
Dalam hal ini Sriwijaya mengadakan kerja sama dengan kerajaan Worawari
(kerajaan asal di Jawa). Serangan Worawari sangat tepat, yakni ketika
Dharmawangsa melangsungkan upacara pernikahan putrinya dengan Airlangga
(1016). Dharmawangsa beserta seluruh pembesar istana mengalami pralaya,
tetapi Airlangga berhasil meloloskan diri beserta pengiringnya yang setia
Narotama, menuju hutan Wonogiri diringi juga oleh para pendeta. Selama tiga
42
tahun (1016-1019) Airlangga digembleng lahir dan batin oleh para pendeta. Atas
tuntutan rakyat dan pendeta, Airlangga bersedia menjadi raja menggantikan
Dharmawangsa.
Pada tahun 1019, Airlangga dinobatkan menjadi raja dengan gelar Sri
Maharaja Rake Halu Lokeswara Dharmawangsa Airlangga
Anantawikramatunggadewa. Tugas Airlangga ialah menyatukan kembalidaerah
kekuasaan semasa Dharmawangsa dan usaha ini dapat berhasil dengan baik.
Ibukota kerajaan pada tahun 1031 di Wutan Mas, kemudian dipindahkan ke
Kahuripan pada tahun 1037. Selanjutnya Airlangga melakukan pembangunan di
segala bidang demi kemakmuran rakyatnya. Pada tahun 1042 Airlangga
mengundurkan diri dari tahta dan menjadi seorang petapa dengan nama
Jatinindra atau Resi Jatayu. Sebelumnya Airlangga menobatkan putrinya, Sri
Sanggramawijaya namun menolak dan ia juga menjadi seorang petapa dengan
nama Dewi Kili Suci. Akhirnya kerajaan dibagi menjadi dua yakni Jenggala
dengan ibukota Kahuripan, dan Panjalu yang dikenal dengan nama Kediri.
Jenggala diperintah oleh Gorasakan, sedangkan Kediri oleh Samarawijaya
(keduanya terlahir dari selir).
2) Kehidupan Sosial-Ekonomi
Kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kerajaan di Jawa Timur ini cukup
baik, karena mendapat perhatian dari raja-raja yang memerintah. Di antaranya
Airlangga yang memerintahkan membuat tanggul di Waringit Pitu (Prasasti
Kalegen 1037) dan waduk-waduk di beberapa bagian Sungai Brantas untuk
pengairan sawah-sawah dan mengurangi bahaya banjir. Untuk memajukan
aktivitas perdagangan, Airlangga juga mengadakan perbaikan pelabuhan Ujung
Galuh yang letaknya di sungai Brantas; sedangkan pelabuhan Kembang Putih
di Tuban diberikan hak-hak istimewa.

f. Kerajaan Kediri
1) Kehidupan Politik
Dalam persaingan antara Panjalu dengan Kediri, ternyata Kediri yang unggul
dan menjadi negara yang besar kekuasaannya. Raja terbesar dari Kerajaan Kediri
adalah Jayabaya (1135-1157). Jayabaya ingin mengembalikan kejayaan seperti
masa Airlangga dan ternyata ini dapat berhasil, Panjalu dan Jenggala dapat
bersatu kembali. Lencana kerajaan memakai simbol Garuda Mukha, simbol
43
Airlangga. Pada masa pemerintahannya kesusastraan diperhatikan. Empu Sedah
dan Empu Panuluh menggubah karya sastra Kitab Bharatayudha, yang
menggambarkan peperangan antara Pandawa melawan Kurawa; tetapi
sebenarnya merupakan peperangan antara Jenggala melawan Kediri. Empu
Panuluh juga menggubah Kakawin Hariwangsa dan Gatotkacasraya. Jayabaya
juga terkenal sebagai pujangga yang ahli meramal kejadian masa depan,
terutama yang akan menimpa Tanah Jawa, ramalannya terkenal dengan "Jangka
Jayabaya". Raja Kediri yang juga memperhatikan kesusastraan ialah
Kameswara. Empu Tan Akung menulis Kitab Wartasancaya dan Lubdaka
sedangkan Empu Dharmaja menulis Kitab Kakawin Smaradahana. Di dalam
Kitab Smaradahana ini, Kameswara dipuji-puji sebagai titisan Kumajaya,
permaisurinya ialah Sri Kirana atau putri Candrakirana. Raja Kediri yang
terakhir ialah Kertajaya yang pada tahun 1222 kekuasaannya dihancurkan oleh
Ken Arok, berakhirlah kerajaan Kediri dan muncul kerajaan Singasari.
2) Kehidupan Sosial Ekonomi
Pada masa Kejayaan Kediri, perhatian raja terhadap kehidupan sosial
ekonomi rakyat juga besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan karya-karya sastra
saat itu yang mencerminkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat, diantaranya
Kitab Lubdaka yang berisi ajaran moral, bahwa tinggi rendahnya martabat
manusia tidak diukur berdasarkan asal dan kedudukan, melainkan berdasarkan
kelakuannya.
3) Kehidupan Kebudayaan
Di bidang kebudayaan khususnya sastra, di Kahuripan dan Kediri
berkembang pesat, di antaranya sebagai berikut.
a) Pada masa Dharmawangsa, berhasil disadur Kitab Mahabarata ke dalam
bahasa Jawa Kuno yang disebut Kitab Wirataparwa. Selain itu juga disusun
kitab hukum yang bernama Siwasasana.
b) Di zaman Airlangga, disusun Kitab Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa.
c) Masa Jayabaya, berhasil digubah Kitab Bharatayudha oleh Empu Sedah
dan Empu Panuluh. Di samping itu Empu Panuluh juga menulis Kitab
Hariwangsa dan Gatotkacasraya.
d) Masa Kameswara, berhasil ditulis Kitab Smaradhahana oleh Empu
Dharmaja. Kitab Lubdaka dan Wertasancaya oleh Tan Akung.
Berdasarkan kronik-kronik Cina, maka kehidupan perekonomian rakyat
44
Kediri dapat dikemukakan antara lain:
a) rakyat hidup dari pertanian, peternakan, dan perdagangan,
b) Kediri banyak menghasilkan beras,
c) barang-barang dagangan yang laku di pasaran saat itu, antara lain, emas,
perak, gading dan kayu cendana,
d) pajak rakyat berupa hasil bumi, seperti beras, dan palawija. Kehidupan
sosialnya terwujud dalam hal: (a) rakyat Kediri pada umumnya memiliki
tempat tinggal yang baik, bersih dan rapi, dan (b) hukuman yang dilaksanakan
ada dua macam, yakni hukuman denda (berupa emas) dan hukuman mati
(khususnya bagi pencuri dan perampok).

g. Kerajaan Singasari

Gambar 4. Peta Kerajaan Singasari semasa Kertanegara


Sumber: Atlas dan Lukisan Sejarah Nasional Indonesia

1) Kehidupan Politik
a) Ken Arok (1222-1227)
Pendiri Kerajaan Singasari ialah Ken Arok. Ken Arok kemudian mengangkat
dirinya menjadi raja Singasari dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Sang
Amurwabumi. Munculnya Ken Arok sebagai raja pertama Singasari menandai
munculnya suatu dinasti baru yakni dinasti Rajasa (Rajasawangsa) atau
Girindra (Girindra-wangsa ). Ken Arok hanya memerintah selama lima tahun
(1222-1227). Pada tahun 1227 ia dibunuh oleh seorang suruhan Anusapati
(anak tiri Ken Arok). Ken Arok dimakamkan di Kegenengan dalam bangunan
Siwa-Budha.

45
b) Anusapati (1227-1248).
Dengan meninggalnya Ken Arok maka takhta kerajaan Singasari jatuh ke
tangan Anusapati. Dalam jangka waktu pemerintahaannya yang lama,
Anusapati tidak melakukan pembaharuan, karena Anusapasti larut dengan
kesenangannya sendiri yakni menyabung ayam. Peristiwa kematian Ken Arok
akhirnya terbongkar dan sampai juga ke Tohjoyo (putra Ken Arok dengan Ken
Umang). Tohjoyo mengetahui bahwa Anusapati suka menyabung ayam, maka
diundangnya Anusapati ke Gedong Jiwa (tempat kediamanan Tohjoyo) untuk
mengadakan pesta menyabung ayam. Pada saat Anusapati sedang asyik
menyaksikan aduan ayamnya, secara tiba-tiba Tohjoyo menyabut keris Empu
Gandring yang dibawanya dan langsung menusuk Anusapati. Dengan
demikian meninggallah Anusapati dan didharmakan di Candi Kidal.
c) Tohjoyo (1248)
Dengan meninggalnya Anusapati, maka takhta Kerajaan Singasari dipegang
oleh Tohjoyo. Namun, Tohjoyo memerintah Kerajaan Singasari tidak lama,
sebab anak Anusapati yang bernama Ranggawuni berusaha membalas
kematian ayahnya. Dengan bantuan Mahesa Cempaka dan para pengikutnya,
Ranggawuni berhasil menggulingkan Tohjoyo dan kemudian menduduki
singgasana.
d) Ranggawuni (1248-1268)
Ranggawuni naik takhta kerajaan Singasari pada tahun 1248 dengan gelar Sri
Jaya Wisnuwardana oleh Mahesa Cempaka (anak dari Mahesa Wongateleng)
yang diberi kedudukan sebagai Ratu Angabhaya dengan gelar
Narasinghamurti. Di dalam pemerintahannya, pemerintahan mereka
membawa ketenteraman dan kesejahteran rakyat. Pada tahun 1254,
Wisnuwardhana mengangkat putranya yang bernama Kertanegara sebagai
yuwaraja (raja muda) dengan maksud mempersiapkannya menjadi raja besar di
Kerajaan Singasari. Pada tahun 1268 Wisnuwardha meninggal dunia dan
didharmakan di Jajaghu atau Candi Jago sebagai Budha Amogapasa dan di
Candi Waleri sebagai Siwa.

46
e) Kertanegara (1268-1292)
Kertanegara adalah raja Singasari terakhir dan terbesar, karena mempunyai
cita-cita untuk menyatukan seluruh Nusantara. Ia menyatukan nusantara
melalui ekspedisi Pamalayu.
Kertanegara naik takhta pada tahun 1268 dengan gelar Sri Maharajadiraja Sri
Kertanegara. Dalam pemerintahannya, ia dibantu oleh tiga orang mahamentri
yaitu Mahamentri i Hino, Mahamentri i Halu dan Mahamentri i Sirikan. Untuk
dapat mewujudkan gagasan penyatuan Nusantara, ia mengganti pejabat-
pejabat yang kolot dengan yang baru, seperti Patih Raganata digantikan oleh
Patih Aragani. Banyak Wide dijadikan Bupati di Sumenep (Madura) dengan
gelar Aria Wiraraja.
Setelah Jawa dapat diselesaikan, kemudian perhatian ditujukan ke daerah
lain. Kertanegara mengirimkan utusan ke Melayu yang dikenal dengan nama
Ekspedisi Pamalayu 1275 yang berhasil menguasai Kerajaan Melayu. Hal ini
ditandai dengan mengirimkan patung Amogapasa ke Dharmasraya atas
perintah raja Kertanegara. Tujuannya untuk menguasai Selat Malaka. Selain itu
juga menaklukkan Pahang, Sunda, Bali, Bakulapura (Kalimantan Barat) dan
Gurun (Maluku).
Kertanegara juga menjalin hubungan persahabatan dengan raja Champa,
dengan tujuan untuk menahan perluasan kekuasaan Kublai Khan dari Dinasti
Mongol. Kublai Khan menuntut raja-raja di daerah selatan termasuk Indonesia
mengakuinya sebagai ” Yang Dipertuan”. Kertanegara menolak dengan
melukai utusannya yang bernama Mengki. Tindakan Kertanegara ini membuat
Kublai Khan marah besar dan bermaksud menghukumnya dengan mengirikan
pasukannya ke Jawa. Di sisi lain, mengetahui sebagian besar pasukan Singasari
dikirim untuk menghadapi serangan Mongol, maka Jayakatwang (Kediri)
menggunakan kesempatan untuk menyerangnya. Serangan dilancarakan dari
dua arah, yakni dari arah utara merupakan pasukan pancingan dan dari arah
selatan merupakan pasukan inti. Pasukan Kediri dari arah selatan dipimpin
langsung oleh Jayakatwang dan berhasil masuk istana dan menemukan
Kertanagera berpesta pora dengan para pembesar istana. Kertanagera beserta
pembesar-pembesar istana tewas dalam serangan tersebut. Ardharaja akhirnya
berbalik memihak kepada ayahnya, Jayakatwang, sedangkan Raden Wijaya
47
berhasil menyelamatkan diri dan menuju Madura dengan maksud minta
perlindungan dan bantuan kepada Aria Wiraraja. Atas bantuan Aria Wiraraja,
Raden Wijaya mendapat pengampunan dan mengabdi kepada Jayakatwang
serta diberikan sebidang tanah yang bernama Tanah Terik. Dengan gugurnya
Kertanegara pada tahun 1292, Kerajaan Singasari dikuasai oleh Jayakatwang.
Ini berarti berakhirlah kekuasan Kerajaan Singasari. Sesuai dengan agama
yang dianutnya, Kertanegara kemudian didharmakan sebagai Siwa-Budha
(Bairawa) di Candi Singasari, sedangkan arca perwujudannya dikenal dengan
nama Joko Dolog, yang sekarang berada di Taman Simpang, Surabaya.
2) Kehidupan Sosial Ekonomi
Ketika Ken Arok menjadi Akuwu di Tumapel, ia berusaha meningkatkan
kehidupan sosial masyarakatnya. Terjaminnya kehidupan sosial masyarakat
Tumapel, mengakibatkan bergabungnya daerah-daerah di sekitarnya. Perhatian
Ken Arok bertambah besar, ketika ia menjadi raja di Singasari sehingga rakyat
hidup dengan aman dan damai untuk mencapai kesejahteraannya. Akan tetapi
ketika masa pemerintahan Anusapati, kehidupan sosial masyarakatnya kurang
mendapatkan perhatian. Baru pada masa pemerintahan Wisnuwardhana,
kehidupan sosial masyarakatnya teratur baik. Rakyat hidup dengan tenteram
dan damai. Begitu juga masa pemerintahan Kertanegara. Dalam kehidupan
ekonomi, rakyat Kerajaan Singasari hidup dari pertanian, pelayaran dan
perdagangan. Kehidupan Kebudayaan Kehidupan kebudayaan masyarakat
Singasari dapat diketahui dari peninggalan candi-candi dan patung-patung
yang berhasil dibangunnya. Candi, di antaranya Candi Kidal, Candi Jago dan
Candi Singasari. Patung, antara lain Patung Ken Dedes sebagai perwujudan
dari Prajnyaparamita lambang kesempurnaan ilmu, Patung Kertanegara dalam
wujud patung Joko Dolog.

h. Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit terletak di sekitar sungai Brantas, dengan pusatnya di
daerah Mojokerto. Majapahit merupakan puncak kejayaan kerajaan-kerajaan

48
di Jawa Timur dan merupakan kerajaan terbesar Indonesia. Majapahit disebut
juga sebagai Negara Kesatuan Kedua.
1) Kehidupan Politik
a) Raden Wijaya (1292-1309)
Kerajaan Majapahit lahir dalam suasana perubahan besar dalam waktu
yang singkat. Pada tahun 1292 Kertanegara gugur oleh pengkhianatan
Jayakatwang, Singasari hancur dan digantikan oleh Kediri. R. Wijaya
terdesak oleh serangan tentara Jayakatwang di medan utara dan berhasil
melarikan diri serta mendapat perlindungan dari Kepala Desa Kudadu.
Selanjutnya berhasil menyeberang ke Madura minta perlindungan dan
bantuan kepada Bupati Sumenep, Aria Wiraraja.
Atas saran dan jaminan Aria Wiraraja, R. Wijaya mengabdikan diri kepada
Jayakatwang dan memperoleh tanah di desa Terik yang kemudian menjadi
pusat Kerajaan Majapahit. Tentara Kublai Khan sebanyak 200.000 orang di
bawah pimpinan Shih Pie, Ike Mase, dan Kau Shing datang untuk
menghukum Kertanegara. R. Wijaya bergabung dengan tentara Cina dan
mengadakan serangan ke Kediri, karena Cina tidak mengetahui terjadinya
perubahan kekuasaan di Jawa Timur. Setelah R. Wijaya dengan bantuan
tentara Kublai Khan berhasil mengalahkan Jayakatwang, ia menghantam
tentara asing tersebut. Serangan mendadak yang tidak terkira sebelumnya,
memaksa tentara Kublai Khan meninggalkan Jawa Timur terburu-buru
dengan sejumlah besar korban.
R. Wijaya dinobatkan menjadi raja pertama Kerajaan Majapahit dengan
gelar Kertarajasa Jayawardhana (1292-1307). Untuk menjaga ketenteraman
kerajaan, maka R. Wijaya mengadakan konsolidasi dan mengatur
pemerintahan. Orang-orang yang pernah berjasa dalam perjuangan diberi
kedudukan dalam pemerintahan. Misalnya, Aria Wiraraja diberi tambahan
wilayah di Lumajang sampai Blambangan, Desa Kudadu dijadikan desa
perdikan (bebas pajak dan mengatur daerahnya sendiri). Demikian juga teman
seperjuangannya yang lain, diberi kedudukan, ada yang dijadikan menteri,
kepala wilayah, dan sebagainya. Untuk memperkuat kedudukannya,
keempat putri Kertanegara dijadikan istrinya, yakni Dewi Tribhuanaeswari,

49
Dewi Narendraduhita, Dewi Prajnaparamita dan Dewi Gayatri. Tidak lama
kemudian tentara Ekspedisi Pamalayu di bawah pimpinan Kebo Anabrang
kembali membawa dua putri yakni Dara Petak dan Dara Jingga. Dara Petak
diambil istri oleh R. Wijaya; sedangkan Dara Jingga kawin dengan keluarga
raja yang mempunyai anak bernama Adiytawarman. Dialah yang kelak
menjadi raja di Kerajaan Melayu. Demikianlah usaha-usaha yang dilakukan
oleh R. Wijaya dalam upaya mengatur dan memperkuat kekuasaan pada masa
awal Kerajaan Majapahit.
Pada tahun 1309 R. Wijaya meninggal dunia dan didharmakan di Candi
Simping (Sumberjati, Blitar) dalam perwujudan Hariwara (Siwa dan Wisnu
dalam satu arca).
b) Jayanegara (1309-1328)
R. Wijaya kemudian digantikan oleh putranya Kalagemet dengan gelar
Jayanegara (1309-1328), putra R. Wijaya dengan Dara Petak. Pada masa ini
timbul kekacauan di Majapahit, karena pemerintahan Jayanegara yang kurang
berbobot dan rasa tidak puas dari pejuang-pejuang Majapahit semasa
pemerintahan R. Wijaya.
Kekacauan berupa empat pemberontakan yang dapat membahayakan
negara, yakni sebagai berikut.
1) Pemberontakan Rangga Lawe (1309) yang berkedudukan di Tuban
tidak puas karena ia mengharapkan dapat menjadi patih di Majapahit,
sedangkan yang diangkat adalah Nambi.
2) Pemberontakan Lembu Sora (1311), karena hasutan Mahapati yang
merupakan musuh dalam selimut Jayanegara.
3) Pemberontakan Nambi (1316), karena ambisi ayahnya Aria Wiraraja
agar Nambi menjadi raja. Semua pemberontakan tersebut dapat
dipadamkan.
4) Pemberontakan Kuti (1319), merupakan pemberontakan yang paling
membahayakan, karena Kuti dapat menduduki istana kerajaan dan
Jayanegara terpaksa menyingkir ke Bedander. Namun pasukan
Bayangkari kerajaan di bawah pimpinan Gajah Mada berhasil merebut
kembali istana. Jayanegara dapat kembali ke istana lagi dan berkuasa

50
hingga tahun 1328. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Gajah Mada
kemudian diangkat menjadi patih di Kahuripan dan kemudian di Daha.
c) Tribhuanatunggadewi (1328-1350)
Pada tahun 1328 Jayanegara wafat, karena tidak meninggalkan putra,
maka tahta kerajaan diserahkan kepada Gayatri. Oleh karena Gayatri telah
menjadi Bhiksuni, maka yang tampil adalah putrinya Bhre Kahuripan yang
bertindak sebagai wali ibunya. Bhre Kahuripan bergelar
Tribhuanatunggadewi. Pemerintahannya masih dirongrong pemberontakan,
yakni pemberontakan Sadeng dan Keta. Namun pemberontakan tersebut
berhasil dihancurkan oleh Gajah Mada. Sebagai tanda penghargaan, pada
tahun 1333 Gajah Mada diangkat sebagai Mahapatih Majapahit,
menggantikan Arya Tadah yang sudah tua. Pada waktu penobatannya, Gajah
Mada mengucapkan "Sumpah Palapa" (Tan Amukti Palapa). Isinya, Gajah
Mada bersumpah tidak akan makan buah palapa, sebelum seluruh Nusantara
di bawah kekuasaan Majapahit. Maksudnya Gajah Mada tidak akan hidup
enak-enak sebelum seluruh Nusantara berhasil dipersatukan di bawah panji-
panji Majapahit. Dalam usaha menyatukan seluruh Nusantara, Gajah Mada
dibantu oleh Empu Nala dan Adiytawarman. Mula-mula menaklukkan Bali
(1334), selanjutnya satu per satu kerajaan-kerajaan di Nusantara berhasil
dipersatukan
d) Hayam Wuruk (1350 -1389)
Pada tahun 1350 Gayatri wafat, maka Tribhuanatunggadewi turun tahta
dan digantikan oleh putranya yakni Hayam Wuruk dengan gelar
Rajasanegara. Pada masa pemerintahannya bersama Patih Gajah Mada
kerajaan Majapahit mencapai masa kejayaannya. Pemerintahan terlaksana
secara teratur, baik di tingkat pusat (ibukota), tingkat menengah (vasal) dan
tingkat desa. Sistem pemerintahan daerah (tingkat menengah dan desa) tidak
berubah, sedangkan di tingkat pusat diatur sebagai berikut.

51
1) Dewan Sapta Prabu atau Pahom Narendra, merupakan penasihat raja
yang terdiri atas kerabat keraton, dengan jabatan Rakryan i Hino,
Rakryan i Halu dan Rakryan i Sirikan.
2) Dewan Panca Ring Wilwatikta, merupakan lembaga pelaksana
pemerintahan (lembaga eksekutif) semacam Dewan Menteri, terdiri atas
Rakryan Mahapatih, Rakryan Tumenggung, Rakryan Demang, Rakryan
Rangga, dan Rakryan Kanuruhan.
3) Dewan Nayapati (lembaga Yudikatif) yang mengurusi peradilan.
4) Dharmadyaksa, lembaga yang mengurusi keagamaan, terdiri atas
Dharmadyaksa ring Kasaiwan untuk agama Hindu dan Dharmadyaksa
ring Kasogatan untuk agama Budha.
Dengan demikian pada masa Majapahit penganut agama Hindu dan Budha
dapat hidup berdampingan, rukun dan damai. "Bhinneka Tunggal Ika, Tan
Hana Dharmamangrawa". Inilah semboyan rakyat Majapahit dalam
menciptakan persatuan dan kesatuan sehingga muncul sebagai kerajaan besar
Nusantara.
Di tingkat tengah terdapat pemerintah daerah yang dikepalai oleh seorang
raja kecil atau bupati. Mereka dapat mengatur daerahnya secara otonom,
tetapi setiap tahun berkewajiban datang ke ibukota sebagai tanda tetap setia
dan tunduk kepada pemerintah pusat Majapahit. Daerah-daerah demikian
disebut mancanegara, yang berarti negara (daerah) di luar daerah inti
kerajaan. Jadi untuk mengikat hubungan, setiap tahun daerah taklukan harus
mengirim upeti ke Majapahit, di samping juga ada petugas Majapahit yang
berkeliling ke daerah-daerah. Sedangkan untuk memantau ketertiban dan
keamanan dikirimlah Duta Nitiyasa (petugas sandi) ke seluruh Nusantara
Di tingkat bawah, terdapat pemerintahan desa yang dikepalai oleh seorang
kepala desa. Pemerintahan dilakukan menurut hukum adat desa itu sendiri.
Struktur pemerintahan desa masih asli dan kepala desa dipilih secara
demokratis.
Dengan kondisi pemerintahan yang stabil dan keamanan yang mantap,
Sumpah Palapa Gajah Mada dapat diwujudkan. Satu persatu wilayah
nusantara dapat menyatu dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Dalam Kitab
Negarakertagama secara jelas disebutkan daerah-daerah yang masuk wilayah
52
kekuasaan Majapahit ialah Jawa, Sumatra, Tanjungpura (Kalimantan), Nusa
Tenggara, Sulawesi, Maluku, Irian, dan Semenanjung Malaka dan daerah-
daerah pulau di sekitarnya. Dengan kondisi seperti ini, Majapahit sering
dinyatakan sebagai prototipe negara kesatuan yang kedua. Majapahit juga
menjalin hubungan baik dengan negara-negara yang jauh, seperi Siam,
Champa, dan Cina. Negara-negara tersebut dianggap sebagai "Mitreka
Satata" (negara sahabat yang berkedudukan sama).

Hayam Wuruk wafat pada tahun 1389, kemudian digantikan oleh putrinya
Dyah Kusumawardhani yang didampingi oleh suaminya Wikramawardhana
(1389-1429). Hayam Wuruk dengan isteri yang lain mempunyai anak Bhre
Wirabhumi yang telah diberi kekuasaan sebagai penguasa daerah (Bupati) di
Blambangan. Akan tetapi ternyata Bhre Wirabumi menuntut takhta
Majapahit, sehingga menimbulkan perang saudara (Peregreg) tahun1401-
1406. Pada akhirnya Bhre Wirabhumi kalah dan perang saudara tersebut
mengakibatkan lemahnya kekuasaan Majapahit.
Setelah Wikramawardhana meninggal (1429) kemudian digantikan oleh
Suhita yang memerintah hingga 1447, dan sampai akhir abad ke-15 masih ada
raja-raja yang memerintah namun telah suram, karena tidak ada persatuan dan
kesatuan. Sehingga daerah-daerah jajahan satu demi satu melepaskan diri.
Para bupati di pantai utara Jawa telah menganut agama Islam, seperi Demak,
Gresik, dan Tuban. Satu persatu memisahkan diri, demikian juga daerah di
luar Jawa tidak lagi mengirim upeti ke Majapahit.
Faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Majapahit sebagai berikut.
1) Tidak ada lagi tokoh-tokoh yang kuat di pusat pemerintahan yang dapat
mempertahankan kesatuan wilayah sepeninggal Gajah Mada dan Hayam
Wuruk.
2) Terjadinya perang saudara (Paregreg).
3) Banyak daerah-daerah jajahan yang melepaskan diri dari kekuasaan
Majapahit
4) Masuk dan berkembangnya agama Islam. Setelah mengalami
kemunduran, akhirnya Majapahit runtuh.
Terkait dengan keruntuhan Kerajaan Majapahit, pada umumnya
dinyatakan karena faktor politik, yaitu: (1) terjadi serangan dari kerajaan
53
Hindu lain dari Kediri, yakni Dinasti Girindrawarddhana, serangan Bhatara
ring Dahanapura yang dibantu penguasa daerah pesisir. Peristiwa tersebut
diberi candrasengkala "Hilang Sirna Kertaning Bhumi" yang berarti tahun
1400 Saka/1478 M, dan (2) adanya serangan tentara dari Demak di bawah
pimpinan Pati Unus. Serangan Demak ini menandai berakhirnya kekuasaan
Hindu di Jawa. Anggapan lainnya merujuk pada pendapat Sampurno dan
Bandono (dalam Rahardjo, 2011: 42) yang menyatakan sebab keruntuhan
karena bencana gunung berapi yang menghancurkan ibukota Majapahit.
Menurut Rahardjo (2011; 42) tentang batas akhir pemerintahan
Majapahit, sejumlah kemungkinan angka tahun yang dikemukakan adalah:
tahun 1478 (Raffles,1817, I: 372; Slamet Muljana, 1968) yang merujuk pada
candrasengkala Hilang Sirna Kertaning Bhumi, tahun 1488 (Veth, 1896, I:
243), antara tahun 1516-1521 (Rouffaer, 1899), sesudah tahun 1540 (Krom,
1931), antara tahun 1514-1528 (Stutterheim, 1931; Prijohutomo, 1953),
tahun 1468 (Schrieke, 1957), antara tahun 1522-1525 (Yamin, 1962), dan
antara tahun 1518-1521 (Djafar, 1978).
2) Kehidupan Sosial Ekonomi
Kehidupan sosial masa Majapahit aman, damai dan tenteram. Dalam
Negara Kertagama disebutkan bahwa Hayam Wuruk melakukan perjalanan
keliling ke daerah-daerah, untuk mengetahui sejauh mana kemajuan dan
kesejahteraan rakyatnya. Perlindungan terhadap rakyat sangat diperhatikan.
Demikian juga peradilan, dilaksanakan secara ketat; siapa yang bersalah
dihukum tanpa pandang bulu. Dalam kehidupan ekonomi, masyarakat
Majapahit hidup dari pertanian, dan perdagangan. Prasarana perekonomian
dibangun, seperti jalan, lalu lintas sungai dan pelabuhan. Pelabuhan yang
besar antara lain Surabaya, Gresik, Tuban, dan Sedayu. Barang dagangan
yang diperjualbelikan antara lain beras, rempah-rempah, dan kayu cendana.
3) Kehidupan Kebudayaan
Dalam kondisi kehidupan yang aman, dan teratur, mampu menghasilkan
karya-karya budaya yang bermutu tinggi. Hasil budaya Majapahit dapat
dibedakan sebagai berikut.
a) Candi
Banyak candi peninggalan Majapahit, seperti Candi Penataran (di Blitar),
Candi Brahu, Candi Bentar (Waringin Lawang), Candi Bajang Ratu, Candi
54
Tikus dan bangunan-bangunan kuno lainnya seperti Segaran, Patilasan Wali
Songo, dan Makam Troloyo (di Trowulan).
b) Kesusastraan
Zaman Majapahit bidang sastra sangat berkembang. Hasil sastranya dapat
dibagi menjadi zaman Majapahit awal dan Majapahit akhir.

(1) Sastra Zaman Majapahit Awal adalah:


(a) Kitab Negara Kertagama, karangan Empu Prapanca. Isinya tentang
keadaan kota Majapahit, daerah-daerah jajahan dan perjalanan
Hayam Wuruk keliling ke daerah-daerah
(b) Kitab Sotasoma, karangan Empu Tantular. Di dalam Kitab ini
terdapat ungkapan yang berbunyi;"Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana
Dharma Mangrawa", yang kemudian dipakai sebagai motto negara
kita.
(c) Kitab Arjunawijaya, karangan Empu Tantular. Isinya tentang
raksasa yang dikalahkan oleh Arjuna Sasrabahu.
(d) Kitab Kunjarakarna, tidak diketahui pengarangnya.
(2) Sastra Zaman Majapahit akhir
(a) Kitab Pararaton, isinya menceritakan riwayat raja-raja Singasari
dan Majapahit.
(b) Kitab Sudayana, isinya tentang Peristiwa Bubat.
(c) Kitab Sorandakan, isinya tentang pemberontakan Sora.
(d) Kitab Ranggalawe, isinya tentang pemberontakan Ranggalawe.
(e) Kitab Panjiwijayakrama, isinya riwayat R.Wijaya sampai menjadi
raja Majapahit.
(f) Kitab Usana Jawa, tentang penaklukan Bali oleh Gajah Mada dan
Aryadamar.
(g) Tantu Panggelaran, tentang pemindahan gunung Mahameru ke
Pulau Jawa oleh Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa

8. Pengaruh Agama Hindu-Budha di Indonesia


Pengaruh agama dan kebudayaan Hindu-Budha terjadi pada berbagai aspek
kehidupan masyarakat. Aspek-aspek tersebut meliputi bidang sosial, teknologi,
kesenian, dan pendidikan.

55
a. Sosial
Di bidang sosial, tradisi Hindu-Budha berpengaruh terhadap sistem
kemasyarakatan dan pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan asli Indonesia,
masyarakat Indonesia tersusun dalam kelompok-kelompok desa yang dipimpin
oleh kepala suku. Sistem itu kemudian terpengaruh oleh ajaran Hindu-Budha,
dengan timbulnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha.
b. Teknologi
Peninggalan Hindu-Budha dalam bidang seni bangunan (arsitektur) yang
berkembang di Indonesia adalah yang berupa candi, yupa, dan prasasti. Candi di
Indonesia berbentuk punden bertingkat yang digunakan sebagai makam raja dan
bagian atas punden bertingkat itu dibuatkan patung rajanya. Adapun candi di India
berbentuk stupa bulat yang digunakan sebagai tempat sembahyang atau memuja
dewa. Candi yang bercorak Hindu antara lain Candi Prambanan dan Candi Dieng.
Candi yang bercorak Budha antara lain Candi Borobudur dan Candi Kalasan.
c. Kesenian
Pengaruh tradisi Hindu-Budha di Indonesia tampak juga pada bidang kesenian,
khususnya seni rupa dan seni sastra. Dalam bidang seni rupa, banyak kita ditemui
hiasan-hiasan pada dinding candi (relief) yang sesuai dengan unsur India. Di bidang
seni sastra, pengaruh tradisi Hindu Budha terlihat pada penggunaan huruf Pallawa
dan bahasa Sanskerta pada prasasti-prasasti. Ada juga hasil kesusastraan Indonesia
yang sumbernya dari India, yaitu cerita Ramayana dan Mahabrata yang dijadikan
lakon wayang. Banyak kitab Hindu-Budha yang menjadi aset bangsa saat ini. Di
antaranya Negarakertagama dan Barathayudha.
d. Pendidikan
Di bidang pendidikan, pengaruh tradisi Hindu-Budha dapat kita lihat bahwa
sampai akhir abad ke-15, ilmu pengetahuan berkembang pesat, khususnya dibidang
sastra, bahasa, dan hukum. Kaum Brahmana adalah kelompok yang berwewenang
memberikan pendidikan dan pengajaran dalam masyarakat Hindu- Budha. Salah
satu hasil dari perkembangan pendidikan, dikemukakan oleh I- Tsing, bahwa di
Sriwijaya terdapat "universitas" yang dapat menampung ratusan mahasiswa
biarawan Budha untuk belajar agama.

56
E. RANGKUMAN

Dalam pembabakan secara geologis, manusia sudah ada di kepulauan Indonesia


pada zaman neozoikum masa kuarter kala pleistosen. Mereka mengembangkan
budaya paleolithikum. Sesudah itu, kebudayaan semakin berkembang seiring dengan
terjadinya gelombang migrasi Proto Melayu dan Deutro Melayu.
Pada masa pra aksara terjadi revolusi kebudayaan pertama dalam sejarah umat
manusia, yakni perubahan pola kehidupan dari berpindah-pindah menuju menetap.
Dengan kehidupan yang menetap, kebudayaan manusia dimungkinkan berkembang
dengan lebih cepat.
Pada masa pra aksara juga dikenal adanya budaya batu besar yang disebut
dengan megalithikum. Peninggalan masa megalithikum memberi suatu pemahaman
bahwa pada masa itu masyarakat sudah mengenal kepercayaan tentang kehidupan
setelah mati. Mereka percaya pada kekuatan lain yang maha kuat di luar dirinya.
Mereka selalu menjaga diri agar setelah mati tetap dihormati. Perwujudankepercayaan
masa megalithikum dituangkan dalam berbagai bentuk diantaranya karya seni. Satu di
antaranya berfungsi sebagai bekal untuk orang yang meninggal. Seiring dengan bekal
kubur ini, maka pada zaman purba manusia mengenal penguburan mayat. Sebelum
meninggal manusia menyiapkan dirinya dengan membuat berbagai bekal kubur, dan
juga tempat penguburan yang menghasilkan karya seni cukup bagus pada masa
sekarang. Untuk itulah dikenal dolmen, sarkofagus, menhir dan lain sebagainya.
Dalam menilai pengaruh India ke Indonesia, banyak ahli meyakini bahwa teori
yang paling kuat adalah teori arus balik. Dalam teori ini, peran bangsa Indonesia
terlihat aktif selektif terhadap pengaruh budaya luar.
Masuknya budaya India ke Indonesia tidak serta merta menyebabkan budaya
yang sudah ada menjadi hilang. Budaya lama bercampur dengan budaya baru sehingga
menghasilkan budaya baru. Akulturasi merupakan konsep yang selalu melekat apabila
bangsa Indonesia menerima pengaruh dari budaya luar. Pengaruh budaya India ke
Indonesia terdapat dalam berbagai bidang, seperti: sosial, politik, teknologi, kesenian,
dan pendidikan.
Dalam masa kerajaan-kerajaan tradisional di Indonesia, juga terdapat upaya
untuk menyatukan nusantara. Kerajaan Sriwijaya, Singasari, dan Majapahit berupaya
untuk menyatukan nusantara dalam panji-panji kebesaran negara tradisional tersebut.

57
TES FORMATIF
Pilihlah jawaban yang tepat!
1. Perhatikan data berikut!
1) budaya yang dikembangkan budaya pacitan
2) terjadi migrasi yang dilakukan suku bangsa Vedda
3) suku bangsa Mongoloid adalah pengembang budaya
4) rumpun bahasa yang digunakan adalah Austronesia
Yang menunjukkan ciri masa paleolithikum adalah....
A. 1 dan 2
B. 1 dan 3
C. 2 dan 3
D. 2 dan 4
E. 3 dan 4

2. Urutan peninggalan masa pra aksara yang benar adalah....


A. kapak genggam, kapak persegi, kapak corong, nekara
B. kapak persegi, kapak perunggu, mata panah
C. kapak penetak, kapak perunggu, kapak persegi
D. kapak lonjong, kapak persegi, kapak corong
E. kapak genggam, kapak penetak, kapak perimbas

3. Hubungan antara pola interaksi ekonomi dengan pola interaksi sosial masyarakat
pada zaman praaksara yang benar ditunjukkan dalam pernyataan ....
A. pada tahap berburu meramu, masyarakat praaksara hidup berpindah-pindah di
sekitar sungai dengan alat transportasi berupa perahu cadik
B. pada tahap bercocok tanam, masyarakat pra aksara lebih banyak tinggal
menetap dekat padang rumput di bawah seorang pemimpin yang dipilih secara
demokratis
C. pola perniagaan sudah dikenal oleh masyarakat praaksara zaman mesolitik
karena didukung oleh cara hidup yang nomaden menjelajah ke berbagai
wilayah
D. pola mata pencaharian masyarakat praaksara dengan karakter menghasilkan
gerabah dan nekara sudah dilakukan oleh kelompok ras mongoloid
E. pola kehidupan bercocok tanam dikembangkan pada masa megalithikum yang
dianggap berkembang bersamaan dengan masa mesolithikum

4. Pernyataan berikut ini yang menyatakan tentang hubungan pola migrasi dengan
peninggalannya yang benar adalah ....
A. tradisi menanarn padi menurut penelitian dibawa ke Indonesia oleh migrasi
Deutero Melayu
B. teknologi kapak genggam dibawa oleh migrasi Proto-Melayu bersamaan
dengan kapak lonjong
C. kebiasaan mengkonsumsi kerang-kerangan merupaken peninggalan dari
migrasi Proto Melayu

58
D. teknologi kapak persegi dibawa oleh migrasi Vedda yang dianggap lebih tua
dari Proto Melayu
E. kapak genggam dan kapak perimbas merupakan budaya yang dibawa oleh
migrasi Proto Melayu

5. Pernyataan berikut yang benar adalah …


A. Homo Erectus berusia lebih tua dibandingkan Austrolopeticus Africanus
B. Jenis manusia Pithecantropus Erectus ditemukan di Sangiran oleh Von
Konigswald
C. Megantropus Palaeojavanicus memiliki volume otak lebih kecil dibandingkan
Pithecantropus Erectus
D. Migrasi manusia purba pertama ke Indonesia dilakukan oleh jenis manusia
Homo Sapiens
E. Homo Erectus sezaman dengan Homo Soloensis

6. Toleransi terhadap pemeluk agama lain yang ditunjukkan pada masa kerajaan
Majapahit adalah….
A. adanya bukti kompleks makam muslim di Troloyo
B. salah seorang penasehat raja di Kerajaan Majapahit beragama Islam
C. adanya bangunan masjid di kompleks istana Majapahit di Trowulan
D. adanya jabatan pemuka agama Islam untuk mengatur pemeluk agama Islam
E. adanya undang-undang yang memperbolehkan perkawinan beda agama

7. Berdasarkan analisis terhadap isi prasasti Nalanda, pengaruh kebudayaan India di


Sriwijaya dinyatakan bahwa….
A. perdagangan merupakan saluran masuknya budaya Hindu Budha di Nusantara
B. kaum Brahmana menyebarkan agama Hindu pada golongan elit kerajaan
C. bangsa Indonesia juga ikut aktif dalam penyebaran agama Hindu-Budha
D. perkawinan antara pedagang India dan penduduk lokal menyebabkan
berkembangnya sistem kasta
E. sistem penanggalan sudah dikenal karena adanya informasi tentang waktu
pembangunan ashram

8. Pengaruh budaya India masuk ke Indonesia adalah ….


A. timbulnya daerah-daerah koloni orang India di Pulau Jawa
B. terbentuknya kerajaan-kerajaan yang bercorak Indonesia-Hindu
C. timbulnya kepandaian membatik dan bersawah
D. menguatnya peranan budaya tradisional di daerah
E. semakin berkembangnya kemampuan lokal (local genius)

9. Pernyataan yang benar menurut tabel di bawah adalah ....


A. Tarumanegara Prasasti Tugu Budha
B. Sriwijaya Candi Muara Takus Budha
C. Mataram Kuno Prasasti Tuk Mas Budha
D. Majapahit Candi Gedong Songo Hindu
E. Majapahit Candi Kalasan Hindu

59
10. Faktor geologis yang menyebabkan mundurnya Sriwijaya adalah ....
A. ombak yang besar akibatnya perahu tidak dapat merapat
B. terjadinya abrasi di sepanjang pantai Sumatera Selatan
C. pelumpuran Sungai Musi
D. adanya hambatan pada waktu perahu singgah akibat pantainya dalam
E. munculnya Malaka sebagai pusat kerajaan Islam

60
DAFTAR PUSTAKA

Berg, van den, HJ. 1952. Dari Panggung Peristiwa Sejarah Dunia 1. Jakarta-
Groningen: J.B. Wolters.
Bosch, F.D.K.. 1982. Masalah Penyebaran Kebudayaan Hindu di Kepulauan
Indonesia. Jakarta : Bhratara Karya Aksara.
Djoened P., Marwati, et al. 1984. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta : Depdikbud.

------------. 1984(b). Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta : Depdikbud.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014. Sejarah Indonesia Kelas X


Semester1. Edisi Revisi. Jakarta: Kementerian Pendidikan danKebudayaan.

Mulyana, Slamet. 1979, Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya, Jakarta : Bhratara


Karya Aksara.

Nugroho, Irawan Djoko. 2010. Meluruskan Sejarah Majapahit. Yogyakarta: Ragam


Media.
Rahardjo, Supratikno. 2011. Peradaban Jawa dari Mataram Kuno Sampai Majapahit
Akhir. Jakarta: Komunitas Bambu.
Ricklefs, M.C.,1988. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.

Saraswati, Ufi. 2012. Sejarah Indonesia Kuno. Semarang: LP3 UNNES

Soekmono, R. 2011. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I. Yogyakarta:


Kanisius.

Soekmono, R. 1984. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia II. Yogyakarta :


Kanisius.
Utomo, Bambang Budi. 2009. Atlas Sejarah Indonesia Masa Prasejarah (Hindu-
Budha). Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

--------. 2010. Atlas Sejarah Indonesia Masa Klasik (Hindu-Budha). Jakarta:


Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Widianto, Harry. 2011. Jejak Langkah Setelah Sangiran (Edisi Khusus). Jawa
Tengah: Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran.

Wolters, O.W. 2011. Kemaharajaan Maritim Sriwijaya dan Perniagaan Dunia Abad
III-VII. Jakarta: Komunitas Bambu.

61
KUNCI JAWABAN TES FORMATIF

1. A
2. B
3. D
4. A
5. C
6. A
7. C
8. B
9. B
10. C

62

Anda mungkin juga menyukai