Anda di halaman 1dari 6

Ketahanan Pangan dan Ironi Petani di Tengah

Pandemi COVID-19
Kategori: #MencatatCovid-19
 Dibuat: 09 Mei 2020
 Dilihat: 5667
 

 
Organisasi Pangan Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO)
menyampaikan akan adanya ancaman kelangkaan pangan di masa
pandemi COVID-19. Menanggapi peringatan dari FAO, Presiden Jokowi
telah memerintahkan jajarannya untuk terus mengontrol ketersediaan
bahan pokok hingga ke daerah-daerah pada 13 April 2020
(katadata.co.id., 20 April 2020), serta memerintahkan
jajarannya  melalui video conference di Jakarta pada Kamis 30 april
2020 dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional
(Musrenbangnas) agar meninjau kesiapan ketahanan pangan mulai dari
produksi hingga tahap distribusi (Tempo, 1 Mei 2020). Kementerian
Pertanian selaku lembaga yang memiliki tanggungjawab dalam bidang
pertanian dan pangan juga telah menyiapkan berbagai strategi untuk
menghadapi tantangan ketahanan pangan di tengah pandemi corona ini.
Masalah ketahanan pangan menjadi sangat penting sekaligus rentan
bermasalah pada situasi bencana, termasuk bencana wabah penyakit
seperti pandemi COVID-19. Ketahanan pangan mengindikasikan pada
ketersediaan akses terhadap sumber makanan sehingga dapat
memenuhi kebutuhan dasar (Rosales & Mercado, 2020). Kondisi
pandemi COVID-19 ini mengakibatkan ketersediaan akses terhadap
makanan akan diperparah dengan semakin memburuknya pandemi itu
sendiri serta larangan-larangan perpindahan penduduk yang
mengikutinya. Hal ini juga sesuai dengan dengan Burgui (2020), yang
menyatakan bahwa wabah suatu penyakit yang terjadi di dunia akan
meningkatkan jumlah penduduk yang mengalami kelaparan dan
malnutrisi.
Kekhawatiran pemerintah serta berbagai pihak mengenai kelangkaan
bahan pangan ternyata tidak memudahkan petani sebagai penyedia
pangan untuk masyarakat. Petani, sebagai produsen makanan justru
menjadi pihak paling terdampak dalam ancaman krisis ketahanan
pangan, padahal petani merupakan profesi tunggal penyedia pangan
yang seharusnya mampu tetap bertahan di tengah pandemi COVID-19.
Ironisnya yang terjadi setiap hari adalah penurunan harga komoditas
pangan hingga pada level yang sangat rendah di berbagai wilayah di
Indonesia terutama di Pulau Jawa. Anjloknya harga komoditas pertanian
sangat merugikan petani di tengah pandemi, petani yang menjadi
tumpuan harapan sebagai produsen penyedia pangan bagi
kelangsungan hidup penduduk di tengah pandemi justru terancam
mengalami kerugian yang berakibat pada ketidakmampuan membeli
bibit dan memperbaharui tanaman mereka. Padahal, masyarakat tetap
membeli dengan harga yang normal dan cenderung meningkat di
berbagai pasar swalayan. Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan
Aneka (IKMA) Kemenperi Wibawaningsih menyatakan beberapa bahan
baku melonjak diantaranya adalah kedelai, gula pasir, bawang putih,
dan cabe merah sikitar 30-50% (wartaekonomi, 12 April2020).
Petani di wilayah perdesaan di beberapa wilayah Jawa seperti
Yogyakarta dan Jawa Tengah mengalami penurunan harga berbagai
komoditas pertanian seperti cabe merah/hijau, terong, sawi, timun,
tomat, dan buah-buahan. Sebagai contoh, berdasarkan aplikasi cek
harga pasar milik Kementerian Pertanian, SIHARGA, harga cabe merah
keriting di berbagai pasar di Yogyakarta yang sebelumnya mencapai Rp.
70.000/ kg pada awal bulan Februari 2020 turun drastis menjadi Rp.
17.500/kg pada April 2020, sementara di tingkat petani harga cabe
merah keriting hanya Rp. 7.000,00 per kilogram per 30 April 2020. Tentu
saja hal ini berdampak pada petani di beberapa wilayah di Indonesia
terutama Jawa karena mengalami kerugian yang cukup besar dan
terancam tidak bisa menanam lagi.
Menurut Siche (2020), terdapat tiga kelompok yang paling rentan
terdampak dari wabah COVID-19 ini yaitu orang miskin, petani, dan
anak-anak. Keberadaan petani pada golongan rentan merupakan
fenomena yang unik karena mereka merupakan produsen bahan-bahan
pangan yang menjadi tumpuan semua orang. Pada masa pandemi ini,
petani kecil tidak memiliki akses terhadap pasar yang luas, sehingga
hasil produksi pertaniannya hanya dijual seadanya di pasar lokal dengan
harga yang murah. Selain itu, harga kebutuhan lain yang semakin
meningkat termasuk harga bahan pertanian juga menambah kerentanan
pada petani.
 
Faktor penyebab penurunan harga komoditas pertanian
Pertama, pembatasan transportasi dan ekonomi akan menggangu
sistem pangan yang berjalan di Indonesia. Diperkirakan 80 persen
konsumen di negara berkembang terutama perkotaan mengandalkan
pasar atau dari tempat lain untuk sumber pangan mereka, sehingga
dengan diterapkannya pembatasan sosial dan transportasi akan
mengganggu proses pendistribusian pangan tersebut (CSIS, 2020). Hal
ini tentu saja dapat semakin meningkat dengan dikeluarkannya
beberapa kebijakan untuk mengurangi penyebaran COVID-19, seperti
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai wilayah di
Indonesia. Penutupan perbatasan yang berimbas pada lambatnya
proses distribusi pangan juga mempengaruhi kualitas kesegaran produk
pertanian yang berakibat pada penurunan harga komoditas pertanian di
sejumlah wilayah di Indonesia.
Kedua, COVID-19 ini menyebakan terjadinya Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) massal atau kehilangan pekerjaan secara bersama-sama
banyak penduduk Indonesia. Menurut Suryani Motik, Wakil Ketua Umum
Kamar Dagang dan Industri Indonesia bidang UMKM, korban
pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pandemi COVID-19 bisa
mencapai 15 juta jiwa (CNN Indonesia, 1 Mei 2020). Fenomena
kehilangan pekerjaan secara masal mengakibatkan menurunnya daya
beli masyarakat serta permintaan pasar yang dapat berimbas pada
komoditas pertanian yang semakin tertekan.
Ketiga, berbagai aktifitas sosial masyarakat yang berdampak ekonomi
terhenti seperti hajatan, kumpul-kumpul, serta silaturahmi yang biasanya
hampir setiap akhir pekan dilakukan oleh masyarakat dan pada
umumnya membutuhkan logistik yang cukup besar dalam
penyelenggaraannya. Terlebih pada bulan Ramadan, hampir seluruh
masjid di Indonesia yang biasanya mengadakan buka puasa bersama
saat ini tidak dapat dilakukan, sehingga permintaan akan bahan
makanan semakin menurun.
 
Solusi yang perlu dilakukan
Penurunan harga yang signifikan terhadap hasil pertanian nampaknya
hanya terjadi di Pulau Jawa, sedangkan pada wilayah luar jawa yang
terjadi sebaliknya. Jika meninjau lebih dalam, didapati bahwa Pulau
Jawa merupakan sentra produksi pangan di Indonesia, hal ini
menunjukkan bahwa permasalahan yang terjadi berada pada rantai
distribusi. Permasalahan yang kemungkinan terjadi pada rantai distribusi
ini dapat diperparah dengan diperpanjangnya karantina wilayah atau
PSBB oleh pemerintah. Meskipun arus logistik merupakan salah satu
aspek yang masuk dalam pengecualian, namun hal ini tetap berpotensi
mengganggu kelancaran distribusi, terutama semakin meningkatnya
waktu tempuh yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Pemerintah,
dalam hal ini Kementrian Pertanian perlu melakukan pemetaan ulang
stok-stok komoditas pada masing-masing daerah guna memetakan arah
pendistribusian pangan secara nasional. Pendataan dapat dilakukan
mulai tingkat kabupaten/kota yang ada di Pulau Jawa dan apa saja
komoditas yang dihasilkan serta perhitungan kebutuhan pangan masing-
masing penduduk di daerah. Optimalisasi fungsi kelompok-kelompok
tani dan koperasi juga perlu dilakukan guna menyeimbangkan kebijakan
yang dari pemerintah. Pemerintah dapat sekaligus memanfaatkan
ketersediaan data dan melalukan uji validitas dari kebijakan satu peta
yang baru saja diluncurkan oleh pemerintah pada akhir 2019 sehingga
dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk melakukan pendistribusian
pangan diseluruh Indonesia.
Solusi lain yang penting untuk dilakukan adalah pengawasan harga-
harga pangan mulai dari level produsen (petani) sampai di tangan
konsumen sehingga produksi pangan tetap berjalan dengan optimal
meskipun dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini. Pemerintah dapat
kembali mengaktifkan sistem-sistem ketahanan petani dari mulai tingkat
desa dengan bantuan koperasi-koperasi desa. Beberapa wilayah di
Indonesia telah menerapkan sistem koperasi untuk mengkontrol harga di
tingkat petani sehingga harga yang diperoleh petani tidak jauh berbeda
dengan harga pasaran. Selain itu perlu menambah kerjasama
dengan flatform-flatform jual beli produk pertanian secara online.
Sebagai contoh, flatform Sayurbox, Kecipir maupun TaniHub yang
sudah beroperasi di Jabodetabek, dan penjualannya mengalami
peningkatan di dalam kondisi pandemi COVID-19 dan PSBB wilayah
Jabodetabek. Masyarakat kelas ekonomi menengah sangat
mengandalkan aplikasi tersebut untuk berbelanja bahkan sampai antri 2-
3 hari dari pesan hingga produk dikirim. Hal ini tentu saja dapat menjadi
jembatan atara petani ke konsumen dengan harga yang sesuai pasaran
dan perlu diperluas jangkauannya. Solusi lainnya sesuai dengan anjuran
dari FAO adalah, pemerintah dapat mendorong masyarakat untuk
membeli bahan makanan pada produsen-produsen kecil sehingga harga
cenderung stabil dan meminimlisir permainan harga di tingkat distributor.
 
Ditulis oleh Dian Wahyu Utami, Peneliti di Pusat Peneitian
Kependudukan LIPI
 
 
Referensi:
Alamsyah, Ichsan Emrald.  “Kementan Siapkan Strategi Ketahanan
Pangan di Tengah Pandemi.” 1 Mei
2020. https://republika.co.id/berita/q9nnon349/kementan-siapkan-
strategi-ketahanan-pangan-di-tengah-pandemi. Diakses 2 Mei 2020.
Aria, Pingit. “Menguatnya Peran Agritech untuk Ketahanan Pangan di
Masa Pandemi.” 30 April
2020. https://katadata.co.id/berita/2020/04/30/menguatnya-peran-
agritech-untuk-ketahanan-pangan-di-masa-pandemi. Diakses pada
2 Mei 2020.
Burgui, D. 2020. “Coronavirus: How action against hunger is responding
to the
pandemic.” https://www.actionagainsthunger.org/story/coronav irus-
how-action-against-hunger-respondingpandemic. Diakses pada 2
Mei 2020
Center for Strategic and International Studies (CSIS). “Covid-19
Threatens Global Food Security: What Should the United States
Do?.” 22 April 2020. https://www.csis.org/analysis/covid-19-
threatens-global-food-security-what-should-united-states-do.
Diakses pada 2 Mei 2020.
CNN Indonesia. “Bukan 2 Juta, Kadin Sebut Korban PHK Akibat Corona
15 Juta.” 1 Mei
2020. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200501181726-92-
499298/bukan-2-juta-kadin-sebut-korban-phk-akibat-corona-15-juta.
Diakses pada 2 Mei 2020.
FAO. “During the Pandemic, FAO asks people to buy food from small
businesses and appreciate farmers.” 30 April
2020. http://www.fao.org/indonesia/news/detail-events/en/c/1273448
/. Diakses pada 2 Mei 2020.
Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional,
2020. https://hargapangan.id/tabel-harga/pasar-tradisional/daerah.
Diakses pada 2 Mei 2020
Rosales, G., and Mercado, W. 2020. Effect of changes in food price on
the quinoa consumption and rural food security in Peru. Scientia
Agropecuaria 11(1): 83-93
Sibuea, Posman. “Darurat Pangan Saat Pandemi covid-19”. 21 April
2020. https://analisis.kontan.co.id/news/darurat-pangan-saat-
pandemi-covid-19. Diakses pada 2 Mei 2020.
Siche, Raul. 2020. What is the impact of COVID-19 disease on
agriculture?. Scientia Agropecuaria 11(1): 3 – 6 (2020). Ciudad
Universitaria: Trujillo, Peru.
Tempo.co, “Kementan Terus Pantau Keersediaan dan Distribusi Pangan
Daerah.” 1 Mei
2020. https://nasional.tempo.co/read/1337499/kementan-terus-
pantau-ketersediaan-dan-distribusi-pangan-di-daerah/full&view=ok.
Diakses pada 2 Mei 2020
Yunianto, Tri Kurnia. “Peternal Ayam Sebut Serapan Pemerintah Tak
Efektif Dongkrak Harga.” 30 April
2020. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200501181726-92-
499298/bukan-2-juta-kadin-sebut-korban-phk-akibat-corona-15-juta.
Diakses pada 2 Mei 2020.

Anda mungkin juga menyukai