Anda di halaman 1dari 5

PENDALAMAN MATERI

(Lembar Kerja Resume Modul)


UCU TAPTAJANI

A. Judul Modul : HUBUNGAN ZAKAT, PAJAK, DAN WAKAF


B. Kegiatan Belajar : KB 3

C. Refleksi

NO BUTIR REFLEKSI RESPON/JAWABAN


1 Konsep (Beberapa istilah A. Persamaan dan Perbedaan Zakat, Pajak, dan Wakaf
dan definisi) di KB Zakat adalah ajaran agama sekaligus kewajiban dari Tuhan.
Ada aturan ketentuan tertentu dimana seseorang harus
mengeluarkan zakat dari harta-harta tertentu. Namun, pajak
juga merupakan keharusan seseorang untuk mengeluarkan
sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada pemegang
otoritas. Perbedaan penetapan aturan zakat dan pajak itu, al-
Thayyar melihat bahwa zakat bernilai ibadah (taqarrub)
kepada Allah dan pajak tidak bernilai ibadah. Sebab, pajak
hanyalah kewajiban dari negara. Konsekuensi lebih lanjut
tampak pada kadar seberapa besar harus dikeluarkan. Kadar
zakat ditentukan oleh syari’at dan karenanya tak ada peluang
bagi hawa nafsu untuk mengubahnya. Pajak yang ditetapkan
oleh pemerintah sangat terbuka untuk berubah-ubah sesuai
kepentingan negara dan maslahat pribadi dan masyarakat
yang ingin dicapai.
Perbedaan lain antara pajak dan zakat adalah waktu
pembayarannya. Zakat fitrah dibayarkan hanya pada bulan
Ramadhan dan zakat harta dibayarkan pada saat telah
mencapai nisab dan dimiliki selama setahun. Artinya, waktu
pembayaran zakat lebih fleksibel dan sepanjang tahun.
Sedangkan waktu pembayaran pajak negara adalah satu tahun
pembukuan. Hanya dilakukan pada bulan tertentu yang sudah
terhitung satu tahun sejak pembayaran sebelumnya.
Apabila pendayagunaan harta zakat tergantung pada mustahiq
zakat, harta pajak sesuai kepentingan negara, maka
pendayagunaan wakaf itu sesuai orang yang memberikan
harta wakaf. Jadi, yang memberi harta wakaf punya hak penuh
untuk menentukan tujuan dari hartanya yang sudah diwakaf,
dan penerima harta wakaf tidak boleh menggunakannya untuk
kepentingan yang berseberangan dengan pemberi wakaf
(waqif).
Dalam ajaran Islam, pajak sering diistilahkan dengan al-
dharibah. Kata ini memiliki bentuk jamak berupa al-dharaib.
Sebutan lain dari para ulama untuk pajak ini adalah al-muks.
Namun begitu, jangan sampai dikacaukan dengan konteks lain,
dimana Islam memperkenalkan istilah-istilah lain yang mirip
dengan pajak. Istilah- istilah ini berbeda satu sama lain,
sekalipun pada aspek lahiriah yang kasat mata hampir serupa.
Tetapi, secara substansi berbeda mencolok. Pertama, al-
jizyah, yaitu upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada
pemerintahan Islam. Upeti ini sebagai bentuk ketundukan,
jaminan tidak ada perlawanan dan pengkhianatan, komitmen
untuk hidup akur, harmonis, dan bersama-sama. Kedua, al-
kharaj yaitu pajak bumi yang dimiliki oleh negara. Suatu negara
pasti memiliki batasan wilayah. Seluruh tanah yang ada di
wilayah tersebut adalah milik negara, sehingga penduduk yang
menempa- tinya wajib membayar kharraj. Dalam bahasa kita,
kharraj adalah pajak bumi. Ketiga, al-usyr yaitu bea cukai bagi
para pedagang non muslim yang masuk ke negara Islam.
Dalam sejarah Islam, ada praktek al-‘usyr yang berarti bea
cukai yang diterapkan penguasa Islam kepada pedagang non-
muslim.

B. Hubungan Zakat dan Pajak


Abdurrahman Navis mengatakan bahwa pajak menurut
istilah kontemporer adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan undang-undang sehingga dapat
dipaksakan dengan tidak mendapat balas jasa secara
langsung. Negara dapat menam- pilkan dirinya sebagai
penguasa yang bisa mengatur rakyat dan warga negaranya
untuk mengeluarkan pajak. Di sini sudah mulai tegas bahwa
pajak dibuat oleh negara, sedangkan zakat datang dari
agama.
Semua jenis pemungutan uang, baik berupa al-usyr, al-
kharraj dan al-jizyah adalah perkara berbeda dibanding
dengan zakat. Dalam Islam, zakat adalah pemungu- tan
sebagian harta untuk diserahkan kepada golongan-
golongan tertentu yang sudah ditetapkan. Zakat hanya
diwajibkan kepada umat muslim, tetapi jizyah dan usyr
diwajibkan kepada non muslim dengan catatan tertentu;
jizyah bagi non-muslim seba- gai bentuk ketundukan,
sedangkan usyr sebagai bayaran dalam konteks
Daftar materi pada KB perdagangan.
2
yang sulit dipahami Perbuatan menarik pajak hampir serupa dengan perbuatan
zina. Jika seorang perempuan berhenti berzina disebut
bertaubat, maka seorang penarik pajak yang berhenti dari
pekerjaannya juga disebut bertaubat. Dengan kata lain,
pemungutan pajak
dan zina hampir serupa. Dari sini ulama berpendapat, pajak
tidak wajib bagi umat muslim karena sudah dibebani zakat.
Ada juga hadis dari Uqbah bin ‘Amir yang berkata: saya
mendengar Rasul saw. bersabda: Tidak akan masuk surga
orang yang mengambil pajak. (HR Abu Daud, No: 2548)
Pandangan bahwa pajak tidak bisa disepadankan dengan
zakat, pandangan bahwa pajak bukan zakat, dan bahwa
pajak haram sedangkan zakat adalah wajib, didukung oleh
Imam Dzahabi dalam Al-Kabair.
Berikut ini beberapa syarat yang harus dipenuhi. Apabila
syarat-syarat berikut dipenuhi maka pajak boleh diterapkan
kepada umat muslim:
1. Harta Sangat Dibutuhkan dan Tak Ada Sumber
Lain
Syeikh Muhammad Yusuf Qardhawy mengatakan, pajak itu
boleh dipungut apabila negara memang benar-benar
membutuhkan dana, sedangkan sumber lain tidak diperoleh.
2. Baitul Mal Tidak Cukup
Baitul Mal atau kas negara adalah syarat yang harus
perhatikan. Apabila Baitul Mal benar-benar kosong dan tidak
ada anggaran yang cukup maka memungut pajak dari umat
muslim dapat dibenarkan.
3. Pemungutan Pajak Dilakukan dengan Adil
Pajak yang dibebankan kepada umat muslim dalam keadaan
negara sangat butuh dana tambahan untuk pengelolaannya
tidak boleh berlebihan, dan tidak memberatkan rakyat.
Pemungutan pajak yang dibolehkan oleh ulama harus
didasarkan kepada pertimbangan ekonomi yang matang,
mendesak, dan demi kebutuhan rakyat dan pembangunan
yang lebih besar.
4. Pajak Demi Membiayai Kepentingan Umat
Hasil pajak harus digunakan untuk kepentingan umum,
bukan untuk kepentingan kelompok (partai), bukan untuk
pemuas nafsu para penguasa, kepentingan pribadi,
kemewahan, keluarga, pejabat, dan orang-orang dekatnya.
Sebaliknya, pajak yang digunakan untuk kepentingan
kelompok/partai atau individu korup maka umat muslim wajib
menolaknya.
Diriwayatkan dari Sufyan bin Abu Aufa, Umar bin khattab
berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu, “Hai Amirul Mukminin,
sesungguhnya keduanya berbeda. Khalifah tidak akan
memungut sesuatu kecuali dari yang layak dan tidak akan
memu- ngut sesuatu kecuali kepada yang berhak.
Alhamdulillah engkau termasuk kepada orang yang
demikian, sedangkan raja (dhalim) akan berbuat
sekehendaknya”. Maka Umar pun diam.
5. Persetujuan Para Ahli/Cendikiawan yang
Berakhlak
Kepala negara, wakilnya, gubernur atau pemerintah daerah
tidak boleh bertindak sendiri untuk mewajibkan pajak,
menentukan besarnya, kecuali setelah dimusyawa- rahkan
dan mendapat persetujuan dari para ahli dan cendikiawan
yang mewakili masyarakat.
Semua pandangan di atas disampaikan oleh Yusuf al-
Qardhawi, ulama yang konsen dalam membaca persoalan
umat kontemporer, progresif dan visioner. Apapun
perbedaan pendapat dari para ulama di atas, kita telah
belajar hubungan zakat dan pajak, serta posisi pajak dalam
pandangan ulama muslim.
C. Hubungan Zakat dan Wakaf
Pengertian wakaf adalah menahan harta yang bisa diambil
manfaaatnya dengan tetap kekalnya zat harta itu sendiri dan
Daftar materi yang sering
memanfaatkan kegunaannya di jalan kebaikan dengan tujuan
3 mengalami miskonsepsi
mendekatkan diri kepada Allah swt. Wakaf adalah amalan
dalam pembelajaran
sunah, berbeda dengan zakat yang wajib hukumnya. Harta
wakaf dijalankan dengan suka rela tetapi zakat harus dipaksa
bagi orang yang enggan dan malas-malasan.
Berbeda dengan harta zakat yang benda fisiknya dapat
digunakan sesuai keinginan mustahiq yang sudah
mendapatkannya. Harta wakaf hanya bisa dimanfaat- kan
sesuai arahan dan pengarahan dari waqif atau pemberi harta
wakaf. Jelas beda sekali dengan zakat maupun pajak.
Mewakafkan sesuatu yang benda fisiknya bisa rusak atau
lenyap karena diguna-
kan maka hukumnya tidak boleh. Ulama kelompok ini
menganjurkan agar wakaf hanya dilakukan dengan
memberikan benda yang fisiknya tidak berubah tetapi
manfaatnya bisa diambil. Berbeda halnya dengan golongan
ulama kedua, mereka ini menyatakan bahwa wakaf uang tetap
diperbolehkan.
Para ulama kontemporer pun mulai berpikir kreatif. Dengan
berpijak pada pen- dapat Ibnu Syihab al-Zuhri, solusi untuk
menerima wakaf uang adalah dengan menjadikannya
sebagai modal usaha. Modal usaha dapat ditumbuh
kembangkan, dimana modalnya tetap tidak berkurang, tetapi
keuntungannya bisa bertambah. Keuntungan di sini dapat
digunakan untuk tujuan bersama.
D. Manajemen dan Tata Kelola Zakat
Salah satu instrument yang tak bisa lepas dari zakat adalah
seorang amil atau penyalur zakat. Secara harfiah, kata amil
berarti pekerja. Tetapi, dalam pembahasan tentang zakat,
amil lebih cenderung dipahami sebagai individu yang bekerja
untuk memungut, mengumpulkan, mengelola, dan
mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak
mendapatkannya.
Dalam ajaran Islam, seorang amil zakat, baik individu
maupun lembaga juga mempunyai hak bagian atas zakat.
Hak mendapat zakat ini sudah tercantum dalam ayat suci al-
Qur’an. Bagaimana tidak bisa dipungkiri bahwa amil zakat
berjasa besar dalam pengumpulan maupun pendistribusian
zakat pada para mustahiq.
Pada masa Rasulullah, pengelolaan zakat diamanatkan pada
Baitul Mal. Pada zaman itu, Baitul Mal tidak saja berfungsi
sebagai pengelola keuangan Negara, tetapi juga tempat
menampung dana zakat umat muslim.
Pada perkembangan kontemporer, dalam rangka memenuhi
kebutuhan pengelo- laan zakat yang optimal, maksimal, dan
profesional, banyak instansi yang menamakan dirinya
sebagai organisasi Pengelola Zakat (OPZ). Sejatinya, semua
ini adalah penerjemahan dari diwan yang sudah ada pada
jaman Khalifah Umar bin Khattab. Berikut ini beberapa
lembaga organisasi yang berfokus pada pengelolaan zakat,
di antaranya:
1. BAZ (Badan Amil Zakat)
Badan Amil Zakat (BAZ) adalah organisasi pengelola zakat
yang dibentuk oleh pemerintah. BAZ ini beranggotakan
beberapa orang yang terdiri dari unsur masyarakat dan
pemerintah. Tugas utama BAZ adalah mengumpulkan,
mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan
ketentuan agama.
2. LAZ (Lembaga Amil Zakat)
Lembaga ini adalah institusi pengelolaan zakat yang
sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat yang bergerak di
bidang dakwah, pendidikan, sosial atau kemasyarakatan
umat Islam, dikukuhkan, dibina dan dilindungi oleh
pemerintah. Dasar hukum pembentukan LAZ adalah UU RI
No. 23 Tahun 2011. Berdasarkan undang-undang ini, LAZ
akan membantu BAZNAS dalam pelaksanaan mengelola
zakat. Apabila BAZNAS dikelola oleh unsur masyarakat dan
pemerintah maka LAZ dikelolah sepenuhnya oleh unsur
masyarakat.
3. Unit Pengumpul Zakat (UPZ)
Unit Pengumpul Zakat (UPZ) adalah satuan organisasi yang
dibentuk oleh Badan Amil Zakat di semua tingkatan dengan
tugas mengumpulkan zakat untuk melayani muzakki, yang
berada pada desa/kelurahan, instansi-instansi pemerintah
dan swasta, baik dalam negeri maupun luar negeri.

Anda mungkin juga menyukai