0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
38 tayangan5 halaman
Konsep zakat, pajak, dan wakaf dibahas dalam dokumen ini. Zakat merupakan kewajiban agama sementara pajak ditetapkan pemerintah. Perbedaan lain antara zakat dan pajak adalah waktu pembayaran dan penentuan kadar. Wakaf berbeda karena pendayagunaan bergantung pada pemberi wakaf. Dokumen ini juga membahas hubungan antara zakat dan pajak serta kondisi di mana pajak dapat
Konsep zakat, pajak, dan wakaf dibahas dalam dokumen ini. Zakat merupakan kewajiban agama sementara pajak ditetapkan pemerintah. Perbedaan lain antara zakat dan pajak adalah waktu pembayaran dan penentuan kadar. Wakaf berbeda karena pendayagunaan bergantung pada pemberi wakaf. Dokumen ini juga membahas hubungan antara zakat dan pajak serta kondisi di mana pajak dapat
Konsep zakat, pajak, dan wakaf dibahas dalam dokumen ini. Zakat merupakan kewajiban agama sementara pajak ditetapkan pemerintah. Perbedaan lain antara zakat dan pajak adalah waktu pembayaran dan penentuan kadar. Wakaf berbeda karena pendayagunaan bergantung pada pemberi wakaf. Dokumen ini juga membahas hubungan antara zakat dan pajak serta kondisi di mana pajak dapat
1 Konsep (Beberapa istilah A. Persamaan dan Perbedaan Zakat, Pajak, dan Wakaf dan definisi) di KB Zakat adalah ajaran agama sekaligus kewajiban dari Tuhan. Ada aturan ketentuan tertentu dimana seseorang harus mengeluarkan zakat dari harta-harta tertentu. Namun, pajak juga merupakan keharusan seseorang untuk mengeluarkan sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada pemegang otoritas. Perbedaan penetapan aturan zakat dan pajak itu, al- Thayyar melihat bahwa zakat bernilai ibadah (taqarrub) kepada Allah dan pajak tidak bernilai ibadah. Sebab, pajak hanyalah kewajiban dari negara. Konsekuensi lebih lanjut tampak pada kadar seberapa besar harus dikeluarkan. Kadar zakat ditentukan oleh syari’at dan karenanya tak ada peluang bagi hawa nafsu untuk mengubahnya. Pajak yang ditetapkan oleh pemerintah sangat terbuka untuk berubah-ubah sesuai kepentingan negara dan maslahat pribadi dan masyarakat yang ingin dicapai. Perbedaan lain antara pajak dan zakat adalah waktu pembayarannya. Zakat fitrah dibayarkan hanya pada bulan Ramadhan dan zakat harta dibayarkan pada saat telah mencapai nisab dan dimiliki selama setahun. Artinya, waktu pembayaran zakat lebih fleksibel dan sepanjang tahun. Sedangkan waktu pembayaran pajak negara adalah satu tahun pembukuan. Hanya dilakukan pada bulan tertentu yang sudah terhitung satu tahun sejak pembayaran sebelumnya. Apabila pendayagunaan harta zakat tergantung pada mustahiq zakat, harta pajak sesuai kepentingan negara, maka pendayagunaan wakaf itu sesuai orang yang memberikan harta wakaf. Jadi, yang memberi harta wakaf punya hak penuh untuk menentukan tujuan dari hartanya yang sudah diwakaf, dan penerima harta wakaf tidak boleh menggunakannya untuk kepentingan yang berseberangan dengan pemberi wakaf (waqif). Dalam ajaran Islam, pajak sering diistilahkan dengan al- dharibah. Kata ini memiliki bentuk jamak berupa al-dharaib. Sebutan lain dari para ulama untuk pajak ini adalah al-muks. Namun begitu, jangan sampai dikacaukan dengan konteks lain, dimana Islam memperkenalkan istilah-istilah lain yang mirip dengan pajak. Istilah- istilah ini berbeda satu sama lain, sekalipun pada aspek lahiriah yang kasat mata hampir serupa. Tetapi, secara substansi berbeda mencolok. Pertama, al- jizyah, yaitu upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan Islam. Upeti ini sebagai bentuk ketundukan, jaminan tidak ada perlawanan dan pengkhianatan, komitmen untuk hidup akur, harmonis, dan bersama-sama. Kedua, al- kharaj yaitu pajak bumi yang dimiliki oleh negara. Suatu negara pasti memiliki batasan wilayah. Seluruh tanah yang ada di wilayah tersebut adalah milik negara, sehingga penduduk yang menempa- tinya wajib membayar kharraj. Dalam bahasa kita, kharraj adalah pajak bumi. Ketiga, al-usyr yaitu bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke negara Islam. Dalam sejarah Islam, ada praktek al-‘usyr yang berarti bea cukai yang diterapkan penguasa Islam kepada pedagang non- muslim.
B. Hubungan Zakat dan Pajak
Abdurrahman Navis mengatakan bahwa pajak menurut istilah kontemporer adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tidak mendapat balas jasa secara langsung. Negara dapat menam- pilkan dirinya sebagai penguasa yang bisa mengatur rakyat dan warga negaranya untuk mengeluarkan pajak. Di sini sudah mulai tegas bahwa pajak dibuat oleh negara, sedangkan zakat datang dari agama. Semua jenis pemungutan uang, baik berupa al-usyr, al- kharraj dan al-jizyah adalah perkara berbeda dibanding dengan zakat. Dalam Islam, zakat adalah pemungu- tan sebagian harta untuk diserahkan kepada golongan- golongan tertentu yang sudah ditetapkan. Zakat hanya diwajibkan kepada umat muslim, tetapi jizyah dan usyr diwajibkan kepada non muslim dengan catatan tertentu; jizyah bagi non-muslim seba- gai bentuk ketundukan, sedangkan usyr sebagai bayaran dalam konteks Daftar materi pada KB perdagangan. 2 yang sulit dipahami Perbuatan menarik pajak hampir serupa dengan perbuatan zina. Jika seorang perempuan berhenti berzina disebut bertaubat, maka seorang penarik pajak yang berhenti dari pekerjaannya juga disebut bertaubat. Dengan kata lain, pemungutan pajak dan zina hampir serupa. Dari sini ulama berpendapat, pajak tidak wajib bagi umat muslim karena sudah dibebani zakat. Ada juga hadis dari Uqbah bin ‘Amir yang berkata: saya mendengar Rasul saw. bersabda: Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak. (HR Abu Daud, No: 2548) Pandangan bahwa pajak tidak bisa disepadankan dengan zakat, pandangan bahwa pajak bukan zakat, dan bahwa pajak haram sedangkan zakat adalah wajib, didukung oleh Imam Dzahabi dalam Al-Kabair. Berikut ini beberapa syarat yang harus dipenuhi. Apabila syarat-syarat berikut dipenuhi maka pajak boleh diterapkan kepada umat muslim: 1. Harta Sangat Dibutuhkan dan Tak Ada Sumber Lain Syeikh Muhammad Yusuf Qardhawy mengatakan, pajak itu boleh dipungut apabila negara memang benar-benar membutuhkan dana, sedangkan sumber lain tidak diperoleh. 2. Baitul Mal Tidak Cukup Baitul Mal atau kas negara adalah syarat yang harus perhatikan. Apabila Baitul Mal benar-benar kosong dan tidak ada anggaran yang cukup maka memungut pajak dari umat muslim dapat dibenarkan. 3. Pemungutan Pajak Dilakukan dengan Adil Pajak yang dibebankan kepada umat muslim dalam keadaan negara sangat butuh dana tambahan untuk pengelolaannya tidak boleh berlebihan, dan tidak memberatkan rakyat. Pemungutan pajak yang dibolehkan oleh ulama harus didasarkan kepada pertimbangan ekonomi yang matang, mendesak, dan demi kebutuhan rakyat dan pembangunan yang lebih besar. 4. Pajak Demi Membiayai Kepentingan Umat Hasil pajak harus digunakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan kelompok (partai), bukan untuk pemuas nafsu para penguasa, kepentingan pribadi, kemewahan, keluarga, pejabat, dan orang-orang dekatnya. Sebaliknya, pajak yang digunakan untuk kepentingan kelompok/partai atau individu korup maka umat muslim wajib menolaknya. Diriwayatkan dari Sufyan bin Abu Aufa, Umar bin khattab berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu, “Hai Amirul Mukminin, sesungguhnya keduanya berbeda. Khalifah tidak akan memungut sesuatu kecuali dari yang layak dan tidak akan memu- ngut sesuatu kecuali kepada yang berhak. Alhamdulillah engkau termasuk kepada orang yang demikian, sedangkan raja (dhalim) akan berbuat sekehendaknya”. Maka Umar pun diam. 5. Persetujuan Para Ahli/Cendikiawan yang Berakhlak Kepala negara, wakilnya, gubernur atau pemerintah daerah tidak boleh bertindak sendiri untuk mewajibkan pajak, menentukan besarnya, kecuali setelah dimusyawa- rahkan dan mendapat persetujuan dari para ahli dan cendikiawan yang mewakili masyarakat. Semua pandangan di atas disampaikan oleh Yusuf al- Qardhawi, ulama yang konsen dalam membaca persoalan umat kontemporer, progresif dan visioner. Apapun perbedaan pendapat dari para ulama di atas, kita telah belajar hubungan zakat dan pajak, serta posisi pajak dalam pandangan ulama muslim. C. Hubungan Zakat dan Wakaf Pengertian wakaf adalah menahan harta yang bisa diambil manfaaatnya dengan tetap kekalnya zat harta itu sendiri dan Daftar materi yang sering memanfaatkan kegunaannya di jalan kebaikan dengan tujuan 3 mengalami miskonsepsi mendekatkan diri kepada Allah swt. Wakaf adalah amalan dalam pembelajaran sunah, berbeda dengan zakat yang wajib hukumnya. Harta wakaf dijalankan dengan suka rela tetapi zakat harus dipaksa bagi orang yang enggan dan malas-malasan. Berbeda dengan harta zakat yang benda fisiknya dapat digunakan sesuai keinginan mustahiq yang sudah mendapatkannya. Harta wakaf hanya bisa dimanfaat- kan sesuai arahan dan pengarahan dari waqif atau pemberi harta wakaf. Jelas beda sekali dengan zakat maupun pajak. Mewakafkan sesuatu yang benda fisiknya bisa rusak atau lenyap karena diguna- kan maka hukumnya tidak boleh. Ulama kelompok ini menganjurkan agar wakaf hanya dilakukan dengan memberikan benda yang fisiknya tidak berubah tetapi manfaatnya bisa diambil. Berbeda halnya dengan golongan ulama kedua, mereka ini menyatakan bahwa wakaf uang tetap diperbolehkan. Para ulama kontemporer pun mulai berpikir kreatif. Dengan berpijak pada pen- dapat Ibnu Syihab al-Zuhri, solusi untuk menerima wakaf uang adalah dengan menjadikannya sebagai modal usaha. Modal usaha dapat ditumbuh kembangkan, dimana modalnya tetap tidak berkurang, tetapi keuntungannya bisa bertambah. Keuntungan di sini dapat digunakan untuk tujuan bersama. D. Manajemen dan Tata Kelola Zakat Salah satu instrument yang tak bisa lepas dari zakat adalah seorang amil atau penyalur zakat. Secara harfiah, kata amil berarti pekerja. Tetapi, dalam pembahasan tentang zakat, amil lebih cenderung dipahami sebagai individu yang bekerja untuk memungut, mengumpulkan, mengelola, dan mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya. Dalam ajaran Islam, seorang amil zakat, baik individu maupun lembaga juga mempunyai hak bagian atas zakat. Hak mendapat zakat ini sudah tercantum dalam ayat suci al- Qur’an. Bagaimana tidak bisa dipungkiri bahwa amil zakat berjasa besar dalam pengumpulan maupun pendistribusian zakat pada para mustahiq. Pada masa Rasulullah, pengelolaan zakat diamanatkan pada Baitul Mal. Pada zaman itu, Baitul Mal tidak saja berfungsi sebagai pengelola keuangan Negara, tetapi juga tempat menampung dana zakat umat muslim. Pada perkembangan kontemporer, dalam rangka memenuhi kebutuhan pengelo- laan zakat yang optimal, maksimal, dan profesional, banyak instansi yang menamakan dirinya sebagai organisasi Pengelola Zakat (OPZ). Sejatinya, semua ini adalah penerjemahan dari diwan yang sudah ada pada jaman Khalifah Umar bin Khattab. Berikut ini beberapa lembaga organisasi yang berfokus pada pengelolaan zakat, di antaranya: 1. BAZ (Badan Amil Zakat) Badan Amil Zakat (BAZ) adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah. BAZ ini beranggotakan beberapa orang yang terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah. Tugas utama BAZ adalah mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. 2. LAZ (Lembaga Amil Zakat) Lembaga ini adalah institusi pengelolaan zakat yang sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan, sosial atau kemasyarakatan umat Islam, dikukuhkan, dibina dan dilindungi oleh pemerintah. Dasar hukum pembentukan LAZ adalah UU RI No. 23 Tahun 2011. Berdasarkan undang-undang ini, LAZ akan membantu BAZNAS dalam pelaksanaan mengelola zakat. Apabila BAZNAS dikelola oleh unsur masyarakat dan pemerintah maka LAZ dikelolah sepenuhnya oleh unsur masyarakat. 3. Unit Pengumpul Zakat (UPZ) Unit Pengumpul Zakat (UPZ) adalah satuan organisasi yang dibentuk oleh Badan Amil Zakat di semua tingkatan dengan tugas mengumpulkan zakat untuk melayani muzakki, yang berada pada desa/kelurahan, instansi-instansi pemerintah dan swasta, baik dalam negeri maupun luar negeri.