Anda di halaman 1dari 12

Gajah

 Halaman
 Pembicaraan
 Baca
 Lihat sumber
 Lihat riwayat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Gajah

Rentang fosil: Pliosen–Sekarang 

PreЄ

Pg

N
Seekor gajah afrika di Taman Nasional

Mikumi, Tanzania

Klasifikasi ilmiah

Kerajaan: Animalia

Filum: Chordata

Subfilum: Vertebrata

Kelas: Mammal

Superordo: Afrotheria

Ordo: Proboscidea

Famili: Elephantidae

Gray, 18211
Genera

Loxodonta
Elephas

Gajah adalah mamalia besar dari famili Elephantidae dan ordo Proboscidea. Secara


tradisional, terdapat dua spesies yang diakui, yaitu gajah afrika (Loxodonta africana)
dan gajah asia (Elephas maximus), walaupun beberapa bukti menunjukkan
bahwa gajah semak afrika dan gajah hutan afrika merupakan spesies yang berbeda
(L. africana dan L. cyclotis). Gajah tersebar di seluruh Afrika sub-Sahara, Asia Selatan,
dan Asia Tenggara. Elephantidae adalah satu-satunya famili dari ordo Proboscidea
yang masih ada; famili lain yang kini sudah punah termasuk mamut dan mastodon.
Gajah afrika jantan merupakan hewan darat terbesar dengan tinggi hingga 4 m dan
massa yang juga dapat mencapai 7.000 kg. Gajah memiliki ciri-ciri khusus, dan yang
paling mencolok adalah belalai atau proboscis yang digunakan untuk banyak hal,
terutama untuk bernapas, menghisap air, dan mengambil benda. Gigi serinya tumbuh
menjadi taring yang dapat digunakan sebagai senjata dan alat untuk memindahkan
benda atau menggali. Daun telinganya yang besar membantu mengatur suhu tubuh
mereka. Gajah afrika memiliki telinga yang lebih besar dan punggung yang cekung,
sementara telinga gajah asia lebih kecil dan punggungnya cembung.
Gajah merupakan hewan herbivora yang dapat ditemui di berbagai habitat,
seperti sabana, hutan, gurun, dan rawa-rawa. Mereka cenderung berada di dekat air.
Gajah dianggap sebagai spesies kunci karena dampaknya terhadap lingkungan.
Hewan-hewan lain cenderung menjaga jarak dari gajah, dan predator-predator
seperti singa, harimau. hyena, dan anjing liar biasanya hanya menyerang gajah muda.
Gajah betina cenderung hidup dalam kelompok keluarga, yang terdiri dari satu betina
dengan anak-anaknya atau beberapa betina yang berkerabat beserta anak-anak
mereka. Kelompok ini dipimpin oleh individu gajah yang disebut matriark, yang
biasanya merupakan betina tertua. Gajah memiliki struktur kelompok fisi-fusi, yaitu
ketika kelompok-kelompok keluarga bertemu untuk bersosialisasi. Gajah jantan
meninggalkan kelompok keluarganya ketika telah mencapai masa pubertas, dan akan
tinggal sendiri atau bersama jantan lainnya. Jantan dewasa biasanya berinteraksi
dengan kelompok keluarga ketika sedang mencari pasangan dan memasuki tahap
peningkatan testosteron dan agresi yang disebut musth, yang membantu mereka
mencapai dominasi dan keberhasilan reproduktif. Anak gajah merupakan pusat
perhatian kelompok keluarga dan bergantung pada induknya selama kurang lebih tiga
tahun. Gajah dapat hidup selama 70 tahun di alam bebas. Mereka berkomunikasi
melalui sentuhan, penglihatan, penciuman, dan suara; gajah juga
menggunakan infrasonik dan komunikasi seismik untuk jarak jauh. Kecerdasan gajah
telah dibandingkan dengan kecerdasan primata dan cetacea. Mereka tampaknya
memiliki kesadaran diri dan menunjukkan empati kepada gajah lain yang hampir atau
sudah mati.
Gajah afrika digolongkan sebagai spesies yang rentan oleh International Union for
Conservation of Nature (IUCN), sementara gajah asia diklasifikasikan sebagai spesies
terancam. Salah satu ancaman terbesar bagi gajah adalah perdagangan gading yang
memicu perburuan liar. Ancaman lain adalah kehancuran habitat dan konflik dengan
penduduk setempat. Di sisi lain, gajah digunakan sebagai hewan pekerja di Asia. Dulu
mereka pernah digunakan untuk perang; kini, gajah sering kali dipertontonkan di kebun
binatang dan sirkus. Gajah dapat dengan mudah dikenali dan telah digambarkan dalam
seni, cerita rakyat, agama, sastra, dan budaya populer.

Etimologi
Dalam bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, Minangkabau, dan Aceh, hewan ini disebut
"gajah". Kata ini sendiri berasal dari bahasa Sanskerta, "gaja", yang merupakan kata
dasar dari kata benda maskulin. Dalam kasus nominativus (sebagai subjek yang berdiri
sendiri), "gaja" yang berbentuk tunggal seharusnya mengalami deklinasi menjadi
"gajas", tetapi kata ini kemudian terkena hukum bunyi s di akhir kata dan berubah
menjadi h, sehingga menjadi "gajah".[1] Sementara itu, gajah dikenal dengan sebutan
"elephant" dalam bahasa Inggris. Kata "elephant" berasal dari
bahasa Latin elephas (bentuk genitivus elephantis), yang merupakan Latinisasi dari
kata ἐλέφας, elephas (bentuk genitivus ἐλέφαντος, elephantos) dalam bahasa Yunani;
[2]
 kata tersebut kemungkinan berasal dari bahasa non-Indo-Eropa, yaitu Fenisia.
[3]
 Kata e-re-pa dan e-re-pa-to digunakan di Yunani Mikenai dalam aksara silabis Linear
B.[4][5] Seperti di Yunani Mikenai, Homeros menggunakan kata tersebut untuk
menyebut gading, tetapi setelah masa Herodotos istilah tersebut juga merujuk pada
hewan gajah.[2] Pendahulu kata "elephant", yaitu olyfaunt, baru muncul dalam
bahasa Inggris Pertengahan sekitar tahun 1300, dan kata tersebut dipinjam dari kata
dalam bahasa Prancis Kuno, oliphant (abad ke-12).[3] Di sisi lain, Loxodonta, yang
merupakan nama genus gajah afrika, berasal dari bahasa Yunani yang berarti "gigi
bersisi miring".[6]

Taksonomi
Klasifikasi, spesies, dan subspesies
Lihat pula: Daftar spesies gajah

Gajah asia di Taman Nasional Bandipur, India.


Perbandingan morfologi kepala dan bagian depan tubuh gajah asia (1) dan gajah afrika (2).

Gajah tergolong dalam famili Elephantidae, satu-satunya famili dalam


ordo Proboscidea yang masih ada. Kerabat terdekat yang masih ada
meliputi sirenia (dugong dan lembu laut) dan hyrax; mereka berada dalam klad yang
sama, yaitu klad Paenungulata dalam superordo Afrotheria.[7] Gajah dan sirenia juga
dikelompokan dalam klad Tethytheria.[8] Secara tradisional, terdapat dua spesies gajah
yang diakui, yaitu gajah afrika (Loxodonta africana) dan gajah asia (Elephas maximus).
Gajah afrika memiliki telinga yang besar, punggung yang cekung, kulit yang lebih
berkerut, daerah perut yang miring, dan dua perpanjangan yang seperti jari di ujung
belalai. Telinga gajah asia lebih kecil, punggungnya cembung, kulitnya lebih halus,
daerah perutnya horizontal dan kadang-kadang melengkung di tengah, dan ujung
belalainya hanya memiliki satu perpanjangan. Tonjolan (ridge) di gigi geraham gajah
asia lebih sempit bila dibandingkan dengan geraham gajah afrika yang berbentuk
seperti berlian. Gajah asia juga memiliki benjolan di bagian dorsal (atas) kepalanya dan
tanda-tanda depigmentasi di kulitnya.[9]
Zoolog Swedia Carl Linnaeus pertama kali mendeskripsikan genus Elephas dan seekor
gajah dari Sri Lanka dengan nama binomial Elephas maximus pada tahun 1758.
Kemudian, pada tahun 1798, Georges Cuvier mengklasifikasikan gajah india dengan
nama binomial Elephas indicus. Zoolog Belanda Coenraad Jacob
Temminck mendeskripsikan gajah sumatra pada tahun 1847 dengan nama
binomial Elephas sumatranus, sementara zoolog Inggris Frederick Nutter
Chasen mengklasifikasikan ketiganya sebagai subspesies gajah asia pada tahun 1940.
[10]
 Subspesies gajah asia memiliki perbedaan warna dan kadar depigmentasi. Gajah sri
lanka (Elephas maximus maximus) menghuni Sri Lanka, gajah india (E. m. indicus)
berasal dari daratan asia (di anak benua India dan Indochina), dan gajah sumatra
(E. m. sumatranus) dapat ditemui di pulau Sumatra.[9] Salah satu subspesies yang
diperdebatkan, yaitu gajah borneo, tinggal di Borneo utara dan lebih kecil daripada
subspesies-subspesies yang lain. Gajah ini juga memiliki telinga yang lebih besar, ekor
yang lebih panjang, dan taring yang lebih lurus daripada gajah biasa. Zoolog Sri
Lanka Paules Edward Pieris Deraniyagala pada tahun 1950 mendeskripsikannya
dengan nama trinomial Elephas maximus borneensis, dengan menjadikan ilustrasi
di National Geographic sebagai spesimen tipenya.[11] Gajah ini kemudian digolongkan
sebagai E. m. indicus atau E. m. sumatranus. Analisis genetik pada tahun 2003
menunjukkan bahwa nenek moyang gajah borneo terpisah dari populasi di daratan Asia
sekitar 300.000 tahun yang lalu.[12] Namun, penelitian pada tahun 2008 mengindikasikan
bahwa gajah borneo tidak berasal dari pulau tersebut, tetapi dibawa oleh Sultan
Sulu dari Jawa sebelum tahun 1521.[11]

Gajah hutan afrika di Taman Nasional Ivindo, Gabon.

Gajah afrika pertama kali dinamai oleh naturalis Jerman Johann Friedrich


Blumenbach pada tahun 1797 dengan nama binomial Elephas africana.
[13]
 Genus Loxodonta dinamai oleh Georges Cuvier pada tahun 1825. Cuvier
mengejanya Loxodonte dan seorang penulis anonim meromanisasi ejaan tersebut
menjadi Loxodonta; Peraturan Internasional bagi Tata Nama Zoologi telah mengakui
perubahan ini.[14] Pada tahun 1942, 18 subspesies gajah afrika telah diakui oleh Henry
Fairfield Osborn, tetapi data morfologis telah mengurangi jumlah subspesies yang
terklasifikasi,[15] dan pada tahun 1990-an hanya terdapat dua subspesies yang diakui,
yaitu gajah semak afrika (L. a. africana) dan gajah hutan afrika (L. a. cyclotis);[16] gajah
hutan afrika memiliki telinga yang lebih kecil dan bundar, sementara taringnya lebih
lurus dan kurus, dan habitatnya terbatas pada wilayah berhutan di Afrika
Barat dan Tengah.[17] Jurnal yang diterbitkan pada tahun 2000 berpendapat agar kedua
subspesies tersebut diangkat menjadi spesies L. africana dan L. cyclotis berdasarkan
morfologi tengkorak.[18] Penelitian DNA yang diterbitkan pada tahun 2001 dan 2007 juga
menunjukkan bahwa mereka adalah spesies yang berbeda,[19][20] sementara penelitian
pada tahun 2002 dan 2005 menyimpulkan bahwa keduanya adalah spesies yang sama.
[21][22]
 Akan tetapi, hasil penelitian yang diterbitkan pada tahun 2010 mendukung
pengubahan status menjadi spesies.[23] Hingga tahun 2011, penamaan gajah afrika
dalam taksonomi masih diperdebatkan.[24] Edisi ketiga Mammal Species of the
World menggolongkan gajah semak afrika dan gajah hutan afrika sebagai spesies yang
terpisah,[14] dan tidak memasukkan subspesies manapun ke dalam spesies Loxodonta
africana.[14] Pendekatan ini tidak diikuti oleh World Conservation Monitoring Centre atau
IUCN, yang menganggap L. cyclotis sebagai sinonim dari L. africana.[25][26] Beberapa
bukti menunjukkan bahwa gajah di Afrika Barat adalah spesies yang terpisah,[27] tetapi
hal ini masih diperdebatkan.[22][24] Sementara itu, gajah kerdil di Cekungan Kongo yang
diduga merupakan spesies terpisah (Loxodonta pumilio) kemungkinan merupakan
gajah hutan yang memiliki ukuran kecil dan/atau kematangan awal akibat keadaan
lingkungan di sekitar.[28]
Evolusi dan kerabat yang sudah punah
Diperkirakan terdapat lebih dari 161 anggota ordo Proboscidea dan tiga
peristiwa radiasi evolusioner. Kemunculan hewan-hewan Proboscidea pertama,
yaitu Eritherium dan Phosphatherium dari Afrika pada kala Paleosen akhir, menjadi
tanda terjadinya peristiwa radiasi pertama.[29] Pada kala Eosen,
terdapat Anthracobunidae dari anak benua India dan Numidotherium, Moeritherium,
dan Barytherium dari Afrika. Hewan-hewan ini relatif kecil dan bersifat akuatik.
Nantinya, genera seperti Phiomia dan Palaeomastodon muncul;
habitat Palaeomastodon kemungkinan berada di hutan atau daerah berhutan terbuka.
Keanekaragaman Proboscidea mulai berkurang pada kala Oligosen.[30] Salah satu
spesies penting dari kala ini adalah Eritreum melakeghebrekristosi dari Tanduk Afrika,
yang mungkin merupakan nenek moyang gajah.[31] Pada awal periode Miosen terjadi
diversifikasi kedua dengan munculnya Deinotheriidae dan Mammutidae. Deinotheriidae
memiliki kekerabatan dengan Barytherium dan hidup di Afrika dan Eurasia,[32] sementara
Mammutidae mungkin merupakan keturunan Eritreum[31] dan menyebar ke Amerika
Utara.[32]

Kerangka Moeritherium di Jepang.

Peristiwa radiasi evolusioner kedua berlangsung dengan munculnya gomphothere pada


kala Miosen,[32] yang kemungkinan berevolusi dari Eritreum;[31] famili ini berasal
dari Afrika dan menyebar ke semua benua kecuali Australia dan Antartika. Anggota
kelompok ini meliputi Gomphotherium dan Platybelodon.[32] Radiasi evolusioner ketiga
terjadi pada akhir Miosen dan mengakibatkan munculnya famili Elephantidae, yang
berasal dari gomphothere dan secara perlahan menggantikan mereka.[33] Primelephas
gomphotheroides dari Afrika menghasilkan Loxodonta, Mammuthus,
dan Elephas. Loxodonta merupakan percabangan pertama, yang berlangsung antara
kala Miosen dan Pliosen, sementara Mammuthus dan Elephas berpisah pada awal kala
Pliosen. Loxodonta tetap menghuni Afrika,
sementara Mammuthus dan Elephas menyebar ke Eurasia, dan Mammuthus mencapai
Amerika Utara. Pada saat yang sama, Stegodontidae (famili Proboscidea lain yang
merupakan keturunan dari gomphothere) menyebar di Asia, termasuk di anak benua
India, Tiongkok, Asia Tenggara, dan Jepang. Mammutidae terus berevolusi menjadi
spesies baru, seperti mastodon amerika.[34]
Model Mammuthus primigenius di Royal BC Museum, Victoria, British Columbia.

Pada awal kala Pleistosen, tingkat spesiasi Elephantidae meninggi. Loxodonta


atlantica menjadi spesies yang paling umum di Afrika bagian utara dan selatan, tetapi
digantikan oleh Elephas iolensis pada akhir kala Pleistosen. Spesies Loxodonta modern
baru menjadi dominan setelah Elephas iolensis mengalami
kepunahan. Elephas berdiversifikasi menjadi spesies baru di Asia,
seperti E. hysudricus dan E. platycephus;[35] E. platycephus kemungkinan merupakan
nenek moyang gajah asia modern.[36] Mammuthus berevolusi menjadi beberapa spesies,
termasuk spesies Mammuthus primigenius yang terkenal.[35] Pada kala Pleistosen Akhir,
akibat terjadinya glasiasi kuarter, sebagian besar spesies Proboscidea
mengalami kepunahan, dan kurang lebih 50% genera dengan massa lebih dari 5 kg
musnah.[37]
Proboscidea mengalami beberapa tren evolusi, seperti pembesaran ukuran, yang
membuat banyak spesies memiliki tinggi hingga mencapai 4 m.
[38]
 Seperti megaherbivora lainnya, termasuk Sauropoda yang telah punah, ukuran gajah
mungkin berkembang untuk memungkinkan mereka bertahan dengan memakan
tumbuhan bernutrisi rendah.[39] Tungkai mereka tumbuh menjadi lebih panjang dan
kakinya menjadi lebih pendek dan luas. Proboscidea awal memiliki tulang rahang yang
lebih panjang dan kranium (batok kepala) yang lebih kecil, sementara Proboscidea
selanjutnya memiliki tulang rahang yang lebih pendek, yang menggeser pusat
gravitasi kepala. Tengkorak menjadi lebih besar, terutama kraniumnya, sementara leher
memendek agar lebih dapat menopang tengkorak. Pembesaran ukuran mengakibatkan
munculnya belalai yang membantu menjangkau sesuatu. Jumlah gigi geraham
kecil, gigi seri, dan gigi taring berkurang. Gigi geraham dan geraham kecil menjadi lebih
besar dan terspesialisasi. Gigi seri kedua atas berubah menjadi taring, yang mungkin
berbentuk lurus, melengkung (ke atas atau ke bawah), atau berputar (tergantung
spesies). Pada beberapa spesies Proboscidea, taringnya berasal dari gigi seri
bawahnya.[38] Gajah masih menunjukkan beberapa karakteristik yang merupakan
turunan dari nenek moyang mereka yang akuatik, seperti anatomi telinga
tengah dan testis internal pada jantan.[40]
Terdapat perdebatan mengenai hubungan kekerabatan
antara Mammuthus dengan Loxodonta atau Elephas. Beberapa
penelitian DNA menunjukkan bahwa Mammuthus lebih berhubungan erat
dengan Loxodonta,[41][42] sementara penelitian lainnya meyakini
kedekatan Mammuthus dengan Elephas.[8] Namun, analisis genom
mitokondrial Mammuthus primigenius (diurutkan tahun 2005) membuktikan
bahwa Mammuthus lebih dekat dengan Elephas.[19][23][43] Bukti morfologis menunjukkan
bahwa Mammuthus dan Elephas merupakan takson saudara, sementara hasil
perbandingan protein albumin dan kolagen mengindikasikan bahwa hubungan
kekerabatan di antara ketiganya kurang lebih sama.[44] Beberapa ilmuwan meyakini
bahwa embrio mamut hasil kloning suatu saat dapat dimasukkan ke rahim gajah asia[45]
Spesies kerdil
Artikel utama: Gajah kerdil

Kerangka gajah kerdil kreta.

Beberapa spesies Proboscidea hidup di pulau dan mengalami dwarfisme. Hal ini


berlangsung pada kala Pleistosen, ketika beberapa populasi gajah terisolasi akibat
meningkatnya permukaan laut, walaupun gajah kerdil sudah ada pada kala Pliosen
awal. Gajah-gajah tersebut kemungkinan menyusut karena ketiadaan populasi predator
yang besar dan sumber daya yang terbatas. Sebaliknya, mamalia seperti hewan
pengerat mengalami gigantisme dalam keadaan seperti ini. Proboscidea kerdil pernah
hidup di Indonesia, Kepulauan Channel California, dan beberapa pulau di Laut Tengah.
[46]

Elephas celebensis di Sulawesi diyakini merupakan hasil dwarfisme dari Elephas


planifrons. Elephas falconeri di Malta dan Sisilia (yang tingginya hanya mencapai 1 m)
kemungkinan berevolusi dari Palaeoloxodon antiquus. Keturunan Palaeoloxodon
antiquus lainnya pernah ada di Siprus. Gajah kerdil yang tidak diketahui nenek
moyangnya juga pernah hidup di Kreta, Kyklades, dan Dodecanese, sementara mamut
kerdil pernah ada di Sardinia.[46] Sementara itu, mamut kolumbia memasuki Kepulauan
Channel California dan berevolusi menjadi mamut pigmi (Mammuthus exilis). Tinggi
spesies ini mencapai 1,2 hingga 1,8 m dan massanya kurang lebih 200 hingga
2.000 kg. Populasi mamut berbulu kecil pernah bertahan hidup di Pulau Wrangel, kini
140 km di sebelah utara pesisir Siberia, hingga 4.000 tahun yang lalu.[46] Setelah
ditemukan pada tahun 1993, mereka dianggap sebagai mamut kerdil.[47] Klasifikasi ini
telah ditinjau ulang dan semenjak Konferensi Mammoth Internasional Kedua pada
tahun 1999, hewan-hewan tersebut tidak lagi dianggap sebagai "mamut kerdil" yang
sesungguhnya.[48]

Anatomi dan morfologi


Kerangka gajah afrika.

Gajah adalah hewan darat terbesar di dunia. Tinggi gajah afrika kurang lebih 3 hingga 4
m dan massanya bervariasi antara 4.000 hingga 7.000 kg, sementara tinggi gajah asia
adalah 2 hingga 3,5 m dan massanya 3.000 hingga 5.000 kg.[9] Gajah jantan lebih besar
dari gajah betina, baik itu pada gajah asia maupun afrika.[10][13] Di antara gajah-gajah
afrika, gajah di hutan lebih kecil daripada gajah di sabana.[17] Kerangka gajah terdiri dari
326–351 tulang.[49] Tulang punggungnya terhubung dengan persendian yang erat,
sehingga membatasi fleksibilitas tulang tersebut. Gajah afrika memiliki 21 pasang
rusuk, sementara gajah asia memiliki 19 atau 20 pasang.[50]
Tengkorak gajah dapat menahan gaya yang dihasilkan oleh pengungkitan taring dan
tubrukan kepala-ke-kepala. Bagian belakang tengkorak merata dan memiliki
lengkungan yang melindungi otak di segala arah.[51] Di tengkorak terdapat rongga-
rongga udara yang mengurangi beban tengkorak dan pada saat yang sama juga tetap
mempertahankan kekuatan tengkorak tersebut secara keseluruhan. Rongga-rongga ini
membuat bagian dalam tengkorak tampak seperti sarang madu. Kranium (batok kepala)
gajah sendiri besar dan memiliki ruang untuk otot yang menopang seluruh kepala.
Rahang bawahnya padat dan berat.[49] Akibat ukuran kepalanya yang besar, leher gajah
relatif pendek agar lebih dapat menopang kepala.[38] Mata gajah bergantung
pada kelenjar harderian untuk menjaga kelembabannya karena gajah tidak
memiliki aparatus lakrimal. Membran pengelip melindungi bola mata. Ruang
pandang gajah sendiri dipersempit oleh lokasi dan keterbatasan pergerakan mata.
[52]
 Gajah merupakan hewan dikromat [53] dan dapat melihat dengan baik dalam cahaya
redup, tetapi tidak dalam cahaya terang.[54] Rata-rata suhu tubuh gajah adalah 35,9 °C
(97 °F), yang serupa dengan manusia. Seperti unta, gajah dapat meningkatkan atau
mengurangi suhunya untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan.[55]
Telinga

Gajah afrika dengan telinga yang membentang saat sedang merasa terancam atau sedang memperhatikan;
amati pembuluh darah yang dapat terlihat di telinga gajah ini.
Telinga gajah memiliki landasan yang tebal dan ujung yang tipis. Daun telinga gajah,
atau pina, memiliki sejumlah pembuluh darah yang disebut pembuluh darah kapiler.
Darah yang hangat mengalir ke pembuluh darah kapiler, sehingga membantu
mengeluarkan panas tubuh yang berlebih. Hal ini berlangsung ketika pina berada pada
posisi diam, dan gajah dapat mengeluarkan lebih banyak panas dengan mengepakkan
daun telinganya. Semakin luas permukaan telinga, semakin banyak jumlah pembuluh
darah kapiler, sehingga lebih banyak panas yang dapat dikeluarkan. Di antara semua
gajah, gajah semak afrika hidup di iklim terpanas, sehingga memiliki daun telinga
terbesar.[56]
Telinga gajah juga mampu mendengarkan frekuensi yang rendah dan paling sensitif
pada frekuensi 1 kHz.[57]
Belalai
Belalai atau proboscis adalah penggabungan hidung dengan bibir atas, walaupun pada
tahap fetus bibir atas dan belalai masih terpisah.[38] Belalai gajah panjang dan
terspesialisasi agar dapat dengan mudah digerakkan. Belalai memiliki kurang lebih
150.000 fasikulus otot, tanpa tulang dan sedikit lemak. Terdapat dua jenis otot:
superfisial (di permukaan) dan internal. Otot superfisial terbagi menjadi otot dorsal,
ventral, dan lateral, sementara otot internal terbagi menjadi otot melintang dan
menyebar. Otot-otot belalai terhubung dengan bukaan bertulang di tengkorak. Septum
nasal terdiri dari satuan-satuan otot kecil yang membentang secara horizontal di antara
lubang hidung. Tulang rawan memisahkan lubang hidung di dasarnya.[58] Sebagai
bentuk hidrostat otot, belalai digerakkan dengan mengkoordinasi kontraksi otot secara
tepat. Otot-otot bekerja bersama dan berlawanan satu sama lain. Saraf proboscis yang
unik – yang terbentuk dari saraf maksilaris dan fasialis – menjalar di kedua sisi belalai.[59]

Gajah afrika sedang mengangkat belalainya; hal ini dilakukan ketika hendak menerompet.

Belalai gajah memiliki beberapa fungsi, seperti bernapas, mencium bau, menyentuh,


menggapai, dan menghasilkan suara.[38] Indra penciuman gajah mungkin empat kali
lebih sensitif daripada anjing bloodhound.[60] Kemampuan belalai untuk melintir dan
melingkar memungkinkan pengambilan makanan, bergelut dengan sesamanya,[61] dan
mengangkat beban dengan massa hingga 350 kg.[38] Belalai gajah dapat pula digunakan
untuk menyeka mata dan memeriksa lubang pada tubuh,[61] serta untuk membuka
kulit kacang tanpa memecahkan isinya.[38] Dengan belalainya, gajah dapat menjangkau
ketinggian hingga 7 m dan menggali untuk mencari air di bawah lumpur atau pasir.
[61]
 Individu gajah dapat memiliki kecenderungan tertentu dalam menggerakkan
belalainya saat sedang mencoba menggapai sesuatu dengan menggunakan belalai:
beberapa cenderung melintirkan belalainya ke arah kiri, sementara yang lain ke arah
kanan.[59] Gajah dapat menghisap air untuk diminum atau disiramkan ke tubuh mereka.
[38]
 Gajah asia dewasa dapat menampung 8,5 liter air di belalainya.[58] Mereka juga
menyemprotkan debu atau rumput pada diri mereka sendiri.[38] Selain itu, saat berada di
bawah air, gajah menggunakan belalainya sebagai snorkel untuk bernapas.[40]
Gajah afrika memiliki dua perpanjangan yang berbentuk seperti jari di ujung belalai,
yang memungkinkannya untuk menjangkau dan mengangkut makanan ke mulutnya.
Gajah asia hanya memiliki satu perpanjangan, dan biasanya membelit makanan
dengan belalainya dan kemudian memasukkannya ke mulutnya.[9] Gajah asia lebih
dapat melakukan koordinasi otot dan mampu melakukan tugas yang lebih rumit.
[58]
 Tanpa belalai, gajah sulit bertahan hidup,[38] walaupun terdapat beberapa contoh gajah
dengan belalai pendek yang berhasil bertahan. Seekor gajah pernah terlihat sedang
memakan rumput dengan berlutut di bagian tungkai depan, mengangkat tungkai
belakangnya, dan mengambil rumput dengan menggunakan bibir.[58]
Gajah semak afrika dapat mengalami "sindrom belalai terkulai" (floppy trunk syndrome),
yaitu kelumpuhan belalai yang disebabkan oleh degradasi sistem saraf tepi dan otot.[62]
Gigi
Gigi anak gajah semak afrika yang sudah mati.

Pada umumnya gajah memiliki 26 gigi: gigi seri, yang disebut taring, 12 gigi geraham
kecil susu, dan 12 gigi geraham. Tidak seperti kebanyakan mamalia yang pada awalnya
memiliki gigi susu yang kemudian digantikan oleh gigi dewasa permanen, gajah
merupakan hewan polifiodon, atau dalam kata lain memiliki siklus rotasi gigi sepanjang
hidupnya. Gigi untuk mengunyah diganti enam kali selama masa hidup gajah. Gigi lama
tidak digantikan oleh gigi baru yang tumbuh di rahang (seperti pada kebanyakan
mamalia), tetapi gigi baru tumbuh di bagian belakang mulut dan maju ke depan dan
mendorong keluar gigi lama. Gigi pengunyah pertama di kedua sisi rahang akan
tanggal setelah gajah berumur dua atau tiga tahun. Rangkaian kedua gigi pengunyah
tanggal saat gajah berusia enam tahun, dan lalu yang ketiga tanggal pada umur 9–15
tahun. Rangkaian keempat gigi pengunyah akan tetap bertahan hingga usia 18–28
tahun. Rangkaian kelima akan tanggal pada awal umur 40-an, dan yang keenam
(biasanya merupakan gigi terakhir) akan tetap ada hingga akhir hayat. Gigi gajah
memiliki tonjolan (ridge), dan tonjolan ini lebih tebal dan berbentuk seperti berlian pada
gajah afrika.[63]

Anda mungkin juga menyukai