Anda di halaman 1dari 29

Gajah

 Halaman
 Pembicaraan

 Baca
 Lihat sumber
 Lihat riwayat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Gajah
Rentang fosil: Pliosen–Sekarang
PreЄ
Є
O
S
D
C
P
T
J
K
Pg
N

Seekor gajah afrika di Taman


Nasional Mikumi, Tanzania
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Animalia
Filum: Chordata
Subfilum: Vertebrata
Kelas: Mammal
Superordo: Afrotheria
Ordo: Proboscidea
Elephantidae
Famili:
Gray, 18211
Genera
 Loxodonta
 Elephas

Gajah adalah mamalia besar dari famili Elephantidae dan ordo Proboscidea. Secara tradisional,
terdapat dua spesies yang diakui, yaitu gajah afrika (Loxodonta africana) dan gajah asia
(Elephas maximus), walaupun beberapa bukti menunjukkan bahwa gajah semak afrika dan gajah
hutan afrika merupakan spesies yang berbeda (L. africana dan L.  cyclotis). Gajah tersebar di
seluruh Afrika sub-Sahara, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Elephantidae adalah satu-satunya
famili dari ordo Proboscidea yang masih ada; famili lain yang kini sudah punah termasuk mamut
dan mastodon. Gajah afrika jantan merupakan hewan darat terbesar dengan tinggi hingga 4 m
dan massa yang juga dapat mencapai 7.000 kg. Gajah memiliki ciri-ciri khusus, dan yang paling
mencolok adalah belalai atau proboscis yang digunakan untuk banyak hal, terutama untuk
bernapas, menghisap air, dan mengambil benda. Gigi serinya tumbuh menjadi taring yang dapat
digunakan sebagai senjata dan alat untuk memindahkan benda atau menggali. Daun telinganya
yang besar membantu mengatur suhu tubuh mereka. Gajah afrika memiliki telinga yang lebih
besar dan punggung yang cekung, sementara telinga gajah asia lebih kecil dan punggungnya
cembung.

Gajah merupakan hewan herbivora yang dapat ditemui di berbagai habitat, seperti sabana, hutan,
gurun, dan rawa-rawa. Mereka cenderung berada di dekat air. Gajah dianggap sebagai spesies
kunci karena dampaknya terhadap lingkungan. Hewan-hewan lain cenderung menjaga jarak dari
gajah, dan predator-predator seperti singa, harimau. hyena, dan anjing liar biasanya hanya
menyerang gajah muda. Gajah betina cenderung hidup dalam kelompok keluarga, yang terdiri
dari satu betina dengan anak-anaknya atau beberapa betina yang berkerabat beserta anak-anak
mereka. Kelompok ini dipimpin oleh individu gajah yang disebut matriark, yang biasanya
merupakan betina tertua. Gajah memiliki struktur kelompok fisi-fusi, yaitu ketika kelompok-
kelompok keluarga bertemu untuk bersosialisasi. Gajah jantan meninggalkan kelompok
keluarganya ketika telah mencapai masa pubertas, dan akan tinggal sendiri atau bersama jantan
lainnya. Jantan dewasa biasanya berinteraksi dengan kelompok keluarga ketika sedang mencari
pasangan dan memasuki tahap peningkatan testosteron dan agresi yang disebut musth, yang
membantu mereka mencapai dominasi dan keberhasilan reproduktif. Anak gajah merupakan
pusat perhatian kelompok keluarga dan bergantung pada induknya selama kurang lebih tiga
tahun. Gajah dapat hidup selama 70 tahun di alam bebas. Mereka berkomunikasi melalui
sentuhan, penglihatan, penciuman, dan suara; gajah juga menggunakan infrasonik dan
komunikasi seismik untuk jarak jauh. Kecerdasan gajah telah dibandingkan dengan kecerdasan
primata dan cetacea. Mereka tampaknya memiliki kesadaran diri dan menunjukkan empati
kepada gajah lain yang hampir atau sudah mati.

Gajah afrika digolongkan sebagai spesies yang rentan oleh International Union for Conservation
of Nature (IUCN), sementara gajah asia diklasifikasikan sebagai spesies terancam. Salah satu
ancaman terbesar bagi gajah adalah perdagangan gading yang memicu perburuan liar. Ancaman
lain adalah kehancuran habitat dan konflik dengan penduduk setempat. Di sisi lain, gajah
digunakan sebagai hewan pekerja di Asia. Dulu mereka pernah digunakan untuk perang; kini,
gajah sering kali dipertontonkan di kebun binatang dan sirkus. Gajah dapat dengan mudah
dikenali dan telah digambarkan dalam seni, cerita rakyat, agama, sastra, dan budaya populer.

Etimologi
Dalam bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, Minangkabau, dan Aceh, hewan ini disebut "gajah". Kata
ini sendiri berasal dari bahasa Sanskerta, "gaja", yang merupakan kata dasar dari kata benda
maskulin. Dalam kasus nominativus (sebagai subjek yang berdiri sendiri), "gaja" yang berbentuk
tunggal seharusnya mengalami deklinasi menjadi "gajas", tetapi kata ini kemudian terkena
hukum bunyi s di akhir kata dan berubah menjadi h, sehingga menjadi "gajah".[1] Sementara itu,
gajah dikenal dengan sebutan "elephant" dalam bahasa Inggris. Kata "elephant" berasal dari
bahasa Latin elephas (bentuk genitivus elephantis), yang merupakan Latinisasi dari kata ἐλέφας,
elephas (bentuk genitivus ἐλέφαντος, elephantos) dalam bahasa Yunani;[2] kata tersebut
kemungkinan berasal dari bahasa non-Indo-Eropa, yaitu Fenisia.[3] Kata e-re-pa dan e-re-pa-to
digunakan di Yunani Mikenai dalam aksara silabis Linear B.[4][5] Seperti di Yunani Mikenai,
Homeros menggunakan kata tersebut untuk menyebut gading, tetapi setelah masa Herodotos
istilah tersebut juga merujuk pada hewan gajah.[2] Pendahulu kata "elephant", yaitu olyfaunt, baru
muncul dalam bahasa Inggris Pertengahan sekitar tahun 1300, dan kata tersebut dipinjam dari
kata dalam bahasa Prancis Kuno, oliphant (abad ke-12).[3] Di sisi lain, Loxodonta, yang
merupakan nama genus gajah afrika, berasal dari bahasa Yunani yang berarti "gigi bersisi
miring".[6]

Taksonomi
Klasifikasi, spesies, dan subspesies

Lihat pula: Daftar spesies gajah

Gajah asia di Taman Nasional Bandipur, India.


Perbandingan morfologi kepala dan bagian depan tubuh gajah asia (1) dan gajah afrika (2).

Gajah tergolong dalam famili Elephantidae, satu-satunya famili dalam ordo Proboscidea yang
masih ada. Kerabat terdekat yang masih ada meliputi sirenia (dugong dan lembu laut) dan hyrax;
mereka berada dalam klad yang sama, yaitu klad Paenungulata dalam superordo Afrotheria.[7]
Gajah dan sirenia juga dikelompokan dalam klad Tethytheria.[8] Secara tradisional, terdapat dua
spesies gajah yang diakui, yaitu gajah afrika (Loxodonta africana) dan gajah asia (Elephas
maximus). Gajah afrika memiliki telinga yang besar, punggung yang cekung, kulit yang lebih
berkerut, daerah perut yang miring, dan dua perpanjangan yang seperti jari di ujung belalai.
Telinga gajah asia lebih kecil, punggungnya cembung, kulitnya lebih halus, daerah perutnya
horizontal dan kadang-kadang melengkung di tengah, dan ujung belalainya hanya memiliki satu
perpanjangan. Tonjolan (ridge) di gigi geraham gajah asia lebih sempit bila dibandingkan
dengan geraham gajah afrika yang berbentuk seperti berlian. Gajah asia juga memiliki benjolan
di bagian dorsal (atas) kepalanya dan tanda-tanda depigmentasi di kulitnya.[9]

Zoolog Swedia Carl Linnaeus pertama kali mendeskripsikan genus Elephas dan seekor gajah
dari Sri Lanka dengan nama binomial Elephas maximus pada tahun 1758. Kemudian, pada tahun
1798, Georges Cuvier mengklasifikasikan gajah india dengan nama binomial Elephas indicus.
Zoolog Belanda Coenraad Jacob Temminck mendeskripsikan gajah sumatra pada tahun 1847
dengan nama binomial Elephas sumatranus, sementara zoolog Inggris Frederick Nutter Chasen
mengklasifikasikan ketiganya sebagai subspesies gajah asia pada tahun 1940.[10] Subspesies gajah
asia memiliki perbedaan warna dan kadar depigmentasi. Gajah sri lanka (Elephas maximus
maximus) menghuni Sri Lanka, gajah india (E. m. indicus) berasal dari daratan asia (di anak
benua India dan Indochina), dan gajah sumatra (E.  m. sumatranus) dapat ditemui di pulau
Sumatra.[9] Salah satu subspesies yang diperdebatkan, yaitu gajah borneo, tinggal di Borneo utara
dan lebih kecil daripada subspesies-subspesies yang lain. Gajah ini juga memiliki telinga yang
lebih besar, ekor yang lebih panjang, dan taring yang lebih lurus daripada gajah biasa. Zoolog Sri
Lanka Paules Edward Pieris Deraniyagala pada tahun 1950 mendeskripsikannya dengan nama
trinomial Elephas maximus borneensis, dengan menjadikan ilustrasi di National Geographic
sebagai spesimen tipenya.[11] Gajah ini kemudian digolongkan sebagai E. m.  indicus atau
E. m. sumatranus. Analisis genetik pada tahun 2003 menunjukkan bahwa nenek moyang gajah
borneo terpisah dari populasi di daratan Asia sekitar 300.000 tahun yang lalu.[12] Namun,
penelitian pada tahun 2008 mengindikasikan bahwa gajah borneo tidak berasal dari pulau
tersebut, tetapi dibawa oleh Sultan Sulu dari Jawa sebelum tahun 1521.[11]
Gajah hutan afrika di Taman Nasional Ivindo, Gabon.

Gajah afrika pertama kali dinamai oleh naturalis Jerman Johann Friedrich Blumenbach pada
tahun 1797 dengan nama binomial Elephas africana.[13] Genus Loxodonta dinamai oleh Georges
Cuvier pada tahun 1825. Cuvier mengejanya Loxodonte dan seorang penulis anonim
meromanisasi ejaan tersebut menjadi Loxodonta; Peraturan Internasional bagi Tata Nama
Zoologi telah mengakui perubahan ini.[14] Pada tahun 1942, 18 subspesies gajah afrika telah
diakui oleh Henry Fairfield Osborn, tetapi data morfologis telah mengurangi jumlah subspesies
yang terklasifikasi,[15] dan pada tahun 1990-an hanya terdapat dua subspesies yang diakui, yaitu
gajah semak afrika (L. a. africana) dan gajah hutan afrika (L. a. cyclotis);[16] gajah hutan afrika
memiliki telinga yang lebih kecil dan bundar, sementara taringnya lebih lurus dan kurus, dan
habitatnya terbatas pada wilayah berhutan di Afrika Barat dan Tengah.[17] Jurnal yang diterbitkan
pada tahun 2000 berpendapat agar kedua subspesies tersebut diangkat menjadi spesies
L.  africana dan L. cyclotis berdasarkan morfologi tengkorak.[18] Penelitian DNA yang diterbitkan
pada tahun 2001 dan 2007 juga menunjukkan bahwa mereka adalah spesies yang berbeda,[19][20]
sementara penelitian pada tahun 2002 dan 2005 menyimpulkan bahwa keduanya adalah spesies
yang sama.[21][22] Akan tetapi, hasil penelitian yang diterbitkan pada tahun 2010 mendukung
pengubahan status menjadi spesies.[23] Hingga tahun 2011, penamaan gajah afrika dalam
taksonomi masih diperdebatkan.[24] Edisi ketiga Mammal Species of the World menggolongkan
gajah semak afrika dan gajah hutan afrika sebagai spesies yang terpisah,[14] dan tidak
memasukkan subspesies manapun ke dalam spesies Loxodonta africana.[14] Pendekatan ini tidak
diikuti oleh World Conservation Monitoring Centre atau IUCN, yang menganggap L. cyclotis
sebagai sinonim dari L.  africana.[25][26] Beberapa bukti menunjukkan bahwa gajah di Afrika Barat
adalah spesies yang terpisah,[27] tetapi hal ini masih diperdebatkan.[22][24] Sementara itu, gajah
kerdil di Cekungan Kongo yang diduga merupakan spesies terpisah (Loxodonta pumilio)
kemungkinan merupakan gajah hutan yang memiliki ukuran kecil dan/atau kematangan awal
akibat keadaan lingkungan di sekitar.[28]

Evolusi dan kerabat yang sudah punah

Diperkirakan terdapat lebih dari 161 anggota ordo Proboscidea dan tiga peristiwa radiasi
evolusioner. Kemunculan hewan-hewan Proboscidea pertama, yaitu Eritherium dan
Phosphatherium dari Afrika pada kala Paleosen akhir, menjadi tanda terjadinya peristiwa radiasi
pertama.[29] Pada kala Eosen, terdapat Anthracobunidae dari anak benua India dan
Numidotherium, Moeritherium, dan Barytherium dari Afrika. Hewan-hewan ini relatif kecil dan
bersifat akuatik. Nantinya, genera seperti Phiomia dan Palaeomastodon muncul; habitat
Palaeomastodon kemungkinan berada di hutan atau daerah berhutan terbuka. Keanekaragaman
Proboscidea mulai berkurang pada kala Oligosen.[30] Salah satu spesies penting dari kala ini
adalah Eritreum melakeghebrekristosi dari Tanduk Afrika, yang mungkin merupakan nenek
moyang gajah.[31] Pada awal periode Miosen terjadi diversifikasi kedua dengan munculnya
Deinotheriidae dan Mammutidae. Deinotheriidae memiliki kekerabatan dengan Barytherium dan
hidup di Afrika dan Eurasia,[32] sementara Mammutidae mungkin merupakan keturunan
Eritreum[31] dan menyebar ke Amerika Utara.[32]

Kerangka Moeritherium di Jepang.

Peristiwa radiasi evolusioner kedua berlangsung dengan munculnya gomphothere pada kala
Miosen,[32] yang kemungkinan berevolusi dari Eritreum;[31] famili ini berasal dari Afrika dan
menyebar ke semua benua kecuali Australia dan Antartika. Anggota kelompok ini meliputi
Gomphotherium dan Platybelodon.[32] Radiasi evolusioner ketiga terjadi pada akhir Miosen dan
mengakibatkan munculnya famili Elephantidae, yang berasal dari gomphothere dan secara
perlahan menggantikan mereka.[33] Primelephas gomphotheroides dari Afrika menghasilkan
Loxodonta, Mammuthus, dan Elephas. Loxodonta merupakan percabangan pertama, yang
berlangsung antara kala Miosen dan Pliosen, sementara Mammuthus dan Elephas berpisah pada
awal kala Pliosen. Loxodonta tetap menghuni Afrika, sementara Mammuthus dan Elephas
menyebar ke Eurasia, dan Mammuthus mencapai Amerika Utara. Pada saat yang sama,
Stegodontidae (famili Proboscidea lain yang merupakan keturunan dari gomphothere) menyebar
di Asia, termasuk di anak benua India, Tiongkok, Asia Tenggara, dan Jepang. Mammutidae terus
berevolusi menjadi spesies baru, seperti mastodon amerika.[34]

Model Mammuthus primigenius di Royal BC Museum, Victoria, British Columbia.

Pada awal kala Pleistosen, tingkat spesiasi Elephantidae meninggi. Loxodonta atlantica menjadi
spesies yang paling umum di Afrika bagian utara dan selatan, tetapi digantikan oleh Elephas
iolensis pada akhir kala Pleistosen. Spesies Loxodonta modern baru menjadi dominan setelah
Elephas iolensis mengalami kepunahan. Elephas berdiversifikasi menjadi spesies baru di Asia,
seperti E. hysudricus dan E. platycephus;[35] E. platycephus kemungkinan merupakan nenek
moyang gajah asia modern.[36] Mammuthus berevolusi menjadi beberapa spesies, termasuk
spesies Mammuthus primigenius yang terkenal.[35] Pada kala Pleistosen Akhir, akibat terjadinya
glasiasi kuarter, sebagian besar spesies Proboscidea mengalami kepunahan, dan kurang lebih
50% genera dengan massa lebih dari 5 kg musnah.[37]
Proboscidea mengalami beberapa tren evolusi, seperti pembesaran ukuran, yang membuat
banyak spesies memiliki tinggi hingga mencapai 4 m.[38] Seperti megaherbivora lainnya,
termasuk Sauropoda yang telah punah, ukuran gajah mungkin berkembang untuk memungkinkan
mereka bertahan dengan memakan tumbuhan bernutrisi rendah.[39] Tungkai mereka tumbuh
menjadi lebih panjang dan kakinya menjadi lebih pendek dan luas. Proboscidea awal memiliki
tulang rahang yang lebih panjang dan kranium (batok kepala) yang lebih kecil, sementara
Proboscidea selanjutnya memiliki tulang rahang yang lebih pendek, yang menggeser pusat
gravitasi kepala. Tengkorak menjadi lebih besar, terutama kraniumnya, sementara leher
memendek agar lebih dapat menopang tengkorak. Pembesaran ukuran mengakibatkan
munculnya belalai yang membantu menjangkau sesuatu. Jumlah gigi geraham kecil, gigi seri,
dan gigi taring berkurang. Gigi geraham dan geraham kecil menjadi lebih besar dan
terspesialisasi. Gigi seri kedua atas berubah menjadi taring, yang mungkin berbentuk lurus,
melengkung (ke atas atau ke bawah), atau berputar (tergantung spesies). Pada beberapa spesies
Proboscidea, taringnya berasal dari gigi seri bawahnya.[38] Gajah masih menunjukkan beberapa
karakteristik yang merupakan turunan dari nenek moyang mereka yang akuatik, seperti anatomi
telinga tengah dan testis internal pada jantan.[40]

Terdapat perdebatan mengenai hubungan kekerabatan antara Mammuthus dengan Loxodonta


atau Elephas. Beberapa penelitian DNA menunjukkan bahwa Mammuthus lebih berhubungan
erat dengan Loxodonta,[41][42] sementara penelitian lainnya meyakini kedekatan Mammuthus
dengan Elephas.[8] Namun, analisis genom mitokondrial Mammuthus primigenius (diurutkan
tahun 2005) membuktikan bahwa Mammuthus lebih dekat dengan Elephas.[19][23][43] Bukti
morfologis menunjukkan bahwa Mammuthus dan Elephas merupakan takson saudara, sementara
hasil perbandingan protein albumin dan kolagen mengindikasikan bahwa hubungan kekerabatan
di antara ketiganya kurang lebih sama.[44] Beberapa ilmuwan meyakini bahwa embrio mamut
hasil kloning suatu saat dapat dimasukkan ke rahim gajah asia[45]

Spesies kerdil

Artikel utama: Gajah kerdil

Kerangka gajah kerdil kreta.

Beberapa spesies Proboscidea hidup di pulau dan mengalami dwarfisme. Hal ini berlangsung
pada kala Pleistosen, ketika beberapa populasi gajah terisolasi akibat meningkatnya permukaan
laut, walaupun gajah kerdil sudah ada pada kala Pliosen awal. Gajah-gajah tersebut kemungkinan
menyusut karena ketiadaan populasi predator yang besar dan sumber daya yang terbatas.
Sebaliknya, mamalia seperti hewan pengerat mengalami gigantisme dalam keadaan seperti ini.
Proboscidea kerdil pernah hidup di Indonesia, Kepulauan Channel California, dan beberapa
pulau di Laut Tengah.[46]

Elephas celebensis di Sulawesi diyakini merupakan hasil dwarfisme dari Elephas planifrons.
Elephas falconeri di Malta dan Sisilia (yang tingginya hanya mencapai 1 m) kemungkinan
berevolusi dari Palaeoloxodon antiquus. Keturunan Palaeoloxodon antiquus lainnya pernah ada
di Siprus. Gajah kerdil yang tidak diketahui nenek moyangnya juga pernah hidup di Kreta,
Kyklades, dan Dodecanese, sementara mamut kerdil pernah ada di Sardinia.[46] Sementara itu,
mamut kolumbia memasuki Kepulauan Channel California dan berevolusi menjadi mamut pigmi
(Mammuthus exilis). Tinggi spesies ini mencapai 1,2 hingga 1,8 m dan massanya kurang lebih
200 hingga 2.000 kg. Populasi mamut berbulu kecil pernah bertahan hidup di Pulau Wrangel,
kini 140 km di sebelah utara pesisir Siberia, hingga 4.000 tahun yang lalu.[46] Setelah ditemukan
pada tahun 1993, mereka dianggap sebagai mamut kerdil.[47] Klasifikasi ini telah ditinjau ulang
dan semenjak Konferensi Mammoth Internasional Kedua pada tahun 1999, hewan-hewan
tersebut tidak lagi dianggap sebagai "mamut kerdil" yang sesungguhnya.[48]

Anatomi dan morfologi

Kerangka gajah afrika.

Gajah adalah hewan darat terbesar di dunia. Tinggi gajah afrika kurang lebih 3 hingga 4 m dan
massanya bervariasi antara 4.000 hingga 7.000 kg, sementara tinggi gajah asia adalah 2 hingga
3,5 m dan massanya 3.000 hingga 5.000 kg.[9] Gajah jantan lebih besar dari gajah betina, baik itu
pada gajah asia maupun afrika.[10][13] Di antara gajah-gajah afrika, gajah di hutan lebih kecil
daripada gajah di sabana.[17] Kerangka gajah terdiri dari 326–351 tulang.[49] Tulang punggungnya
terhubung dengan persendian yang erat, sehingga membatasi fleksibilitas tulang tersebut. Gajah
afrika memiliki 21 pasang rusuk, sementara gajah asia memiliki 19 atau 20 pasang.[50]

Tengkorak gajah dapat menahan gaya yang dihasilkan oleh pengungkitan taring dan tubrukan
kepala-ke-kepala. Bagian belakang tengkorak merata dan memiliki lengkungan yang melindungi
otak di segala arah.[51] Di tengkorak terdapat rongga-rongga udara yang mengurangi beban
tengkorak dan pada saat yang sama juga tetap mempertahankan kekuatan tengkorak tersebut
secara keseluruhan. Rongga-rongga ini membuat bagian dalam tengkorak tampak seperti sarang
madu. Kranium (batok kepala) gajah sendiri besar dan memiliki ruang untuk otot yang
menopang seluruh kepala. Rahang bawahnya padat dan berat.[49] Akibat ukuran kepalanya yang
besar, leher gajah relatif pendek agar lebih dapat menopang kepala.[38] Mata gajah bergantung
pada kelenjar harderian untuk menjaga kelembabannya karena gajah tidak memiliki aparatus
lakrimal. Membran pengelip melindungi bola mata. Ruang pandang gajah sendiri dipersempit
oleh lokasi dan keterbatasan pergerakan mata.[52] Gajah merupakan hewan dikromat [53] dan dapat
melihat dengan baik dalam cahaya redup, tetapi tidak dalam cahaya terang.[54] Rata-rata suhu
tubuh gajah adalah 35,9 °C (97 °F), yang serupa dengan manusia. Seperti unta, gajah dapat
meningkatkan atau mengurangi suhunya untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan.[55]

Telinga

Gajah afrika dengan telinga yang membentang saat sedang merasa terancam atau sedang
memperhatikan; amati pembuluh darah yang dapat terlihat di telinga gajah ini.

Telinga gajah memiliki landasan yang tebal dan ujung yang tipis. Daun telinga gajah, atau pina,
memiliki sejumlah pembuluh darah yang disebut pembuluh darah kapiler. Darah yang hangat
mengalir ke pembuluh darah kapiler, sehingga membantu mengeluarkan panas tubuh yang
berlebih. Hal ini berlangsung ketika pina berada pada posisi diam, dan gajah dapat mengeluarkan
lebih banyak panas dengan mengepakkan daun telinganya. Semakin luas permukaan telinga,
semakin banyak jumlah pembuluh darah kapiler, sehingga lebih banyak panas yang dapat
dikeluarkan. Di antara semua gajah, gajah semak afrika hidup di iklim terpanas, sehingga
memiliki daun telinga terbesar.[56]

Telinga gajah juga mampu mendengarkan frekuensi yang rendah dan paling sensitif pada
frekuensi 1 kHz.[57]

Belalai

Belalai atau proboscis adalah penggabungan hidung dengan bibir atas, walaupun pada tahap
fetus bibir atas dan belalai masih terpisah.[38] Belalai gajah panjang dan terspesialisasi agar dapat
dengan mudah digerakkan. Belalai memiliki kurang lebih 150.000 fasikulus otot, tanpa tulang
dan sedikit lemak. Terdapat dua jenis otot: superfisial (di permukaan) dan internal. Otot
superfisial terbagi menjadi otot dorsal, ventral, dan lateral, sementara otot internal terbagi
menjadi otot melintang dan menyebar. Otot-otot belalai terhubung dengan bukaan bertulang di
tengkorak. Septum nasal terdiri dari satuan-satuan otot kecil yang membentang secara horizontal
di antara lubang hidung. Tulang rawan memisahkan lubang hidung di dasarnya.[58] Sebagai
bentuk hidrostat otot, belalai digerakkan dengan mengkoordinasi kontraksi otot secara tepat.
Otot-otot bekerja bersama dan berlawanan satu sama lain. Saraf proboscis yang unik – yang
terbentuk dari saraf maksilaris dan fasialis – menjalar di kedua sisi belalai.[59]
Gajah afrika sedang mengangkat belalainya; hal ini dilakukan ketika hendak menerompet.

Belalai gajah memiliki beberapa fungsi, seperti bernapas, mencium bau, menyentuh, menggapai,
dan menghasilkan suara.[38] Indra penciuman gajah mungkin empat kali lebih sensitif daripada
anjing bloodhound.[60] Kemampuan belalai untuk melintir dan melingkar memungkinkan
pengambilan makanan, bergelut dengan sesamanya,[61] dan mengangkat beban dengan massa
hingga 350 kg.[38] Belalai gajah dapat pula digunakan untuk menyeka mata dan memeriksa
lubang pada tubuh,[61] serta untuk membuka kulit kacang tanpa memecahkan isinya.[38] Dengan
belalainya, gajah dapat menjangkau ketinggian hingga 7 m dan menggali untuk mencari air di
bawah lumpur atau pasir.[61] Individu gajah dapat memiliki kecenderungan tertentu dalam
menggerakkan belalainya saat sedang mencoba menggapai sesuatu dengan menggunakan belalai:
beberapa cenderung melintirkan belalainya ke arah kiri, sementara yang lain ke arah kanan.[59]
Gajah dapat menghisap air untuk diminum atau disiramkan ke tubuh mereka.[38] Gajah asia
dewasa dapat menampung 8,5 liter air di belalainya.[58] Mereka juga menyemprotkan debu atau
rumput pada diri mereka sendiri.[38] Selain itu, saat berada di bawah air, gajah menggunakan
belalainya sebagai snorkel untuk bernapas.[40]

Gajah afrika memiliki dua perpanjangan yang berbentuk seperti jari di ujung belalai, yang
memungkinkannya untuk menjangkau dan mengangkut makanan ke mulutnya. Gajah asia hanya
memiliki satu perpanjangan, dan biasanya membelit makanan dengan belalainya dan kemudian
memasukkannya ke mulutnya.[9] Gajah asia lebih dapat melakukan koordinasi otot dan mampu
melakukan tugas yang lebih rumit.[58] Tanpa belalai, gajah sulit bertahan hidup,[38] walaupun
terdapat beberapa contoh gajah dengan belalai pendek yang berhasil bertahan. Seekor gajah
pernah terlihat sedang memakan rumput dengan berlutut di bagian tungkai depan, mengangkat
tungkai belakangnya, dan mengambil rumput dengan menggunakan bibir.[58]

Gajah semak afrika dapat mengalami "sindrom belalai terkulai" (floppy trunk syndrome), yaitu
kelumpuhan belalai yang disebabkan oleh degradasi sistem saraf tepi dan otot.[62]

Gigi
Gigi anak gajah semak afrika yang sudah mati.

Pada umumnya gajah memiliki 26 gigi: gigi seri, yang disebut taring, 12 gigi geraham kecil susu,
dan 12 gigi geraham. Tidak seperti kebanyakan mamalia yang pada awalnya memiliki gigi susu
yang kemudian digantikan oleh gigi dewasa permanen, gajah merupakan hewan polifiodon, atau
dalam kata lain memiliki siklus rotasi gigi sepanjang hidupnya. Gigi untuk mengunyah diganti
enam kali selama masa hidup gajah. Gigi lama tidak digantikan oleh gigi baru yang tumbuh di
rahang (seperti pada kebanyakan mamalia), tetapi gigi baru tumbuh di bagian belakang mulut
dan maju ke depan dan mendorong keluar gigi lama. Gigi pengunyah pertama di kedua sisi
rahang akan tanggal setelah gajah berumur dua atau tiga tahun. Rangkaian kedua gigi pengunyah
tanggal saat gajah berusia enam tahun, dan lalu yang ketiga tanggal pada umur 9–15 tahun.
Rangkaian keempat gigi pengunyah akan tetap bertahan hingga usia 18–28 tahun. Rangkaian
kelima akan tanggal pada awal umur 40-an, dan yang keenam (biasanya merupakan gigi terakhir)
akan tetap ada hingga akhir hayat. Gigi gajah memiliki tonjolan (ridge), dan tonjolan ini lebih
tebal dan berbentuk seperti berlian pada gajah afrika.[63]

Taring

Gajah asia memakan kulit pohon dengan menggunakan taring untuk mengupasnya.

Taring gajah merupakan modifikasi gigi seri kedua di rahang atas. Taring tersebut menggantikan
gigi susu ketika gajah berumur 6–12 bulan dan tumbuh sekitar 17 cm per tahun. Taring yang
baru tumbuh memiliki lapisan enamel yang nantinya akan luntur. Dentin pada taring disebut
gading dan di penampang melintang terdapat pola garis yang berselang-seling, yang
menghasilkan area berbentuk berlian. Sebagai jaringan yang hidup, taring sendiri relatif rembut;
taring gajah kurang lebih sekeras mineral kalsit. Sebagian besar taring dapat dilihat dari luar,
sementara sisanya melekat pada sendi di tengkorak. Paling tidak sepertiga taring merupakan
pulpa dan beberapa taring memiliki saraf yang membentang hingga ke ujung. Maka sulit untuk
mengambil taring gajah tanpa melukai hewannya. Jika diambil, gading mulai mengering dan
akan pecah bila tidak disimpan di tempat yang dingin dan lembap. Taring memiliki beberapa
fungsi. Taring dapat digunakan untuk menggali untuk menemukan air, garam, dan akar;
menguliti atau menandai pohon; dan menyingkirkan pohon dan cabang yang menghalangi jalan.
Saat sedang berkelahi, taring digunakan untuk menyerang dan bertahan, serta untuk melindungi
belalai.[64]

Seperti manusia yang memiliki preferensi menggunakan tangan kanan atau kiri, gajah juga
memiliki preferensi dalam menggunakan taring kiri atau kanannya. Taring yang dominan
biasanya tampak sudah sering digunakan karena biasanya lebih pendek dan memiliki ujung yang
lebih tumpul. Pada gajah afrika, baik jantan maupun betina sama-sama memiliki taring, dan
panjangnya kurang lebih sama (yaitu mencapai 3 m),[64] tetapi taring jantan cenderung lebih
tebal.[65] Sementara itu, pada gajah asia, hanya jantan yang memiliki taring besar. Gajah asia
betina memiliki taring yang sangat kecil, atau bahkan tidak ada sama sekali.[64] Terdapat pula
gajah jantan yang tak bertaring dan biasanya dapat ditemui di Sri Lanka.[66] Panjang taring gajah
asia jantan dapat menyamai taring gajah afrika, tetapi taring gajah asia biasanya lebih tipis dan
ringan; taring gajah asia terbesar yang pernah diketahui memiliki panjang 3,02 m dan massa
39 kg. Namun, akibat perburuan gading di Afrika,[67] and Asia[68] terjadi proses seleksi alam yang
menghasilkan taring yang lebih pendek.[69]

Kulit

Gajah afrika yang baru selesai berkubang; lumpur mungkin digunakan sebagai pelindung dari
matahari.

Kulit gajah pada umumnya sangat keras, dengan ketebalan 2,5 cm di punggung dan sebagian
kepalanya. Kulit di sekitar mulut, anus, dan di dalam telinga jauh lebih tipis. Warna kulit gajah
pada umumnya abu-abu, tetapi gajah afrika tampak berwarna kecoklatan atau kemerahan setelah
berkubang di lumpur yang berwarna. Gajah asia mungkin menunjukkan tanda-tanda
depigmentasi, terutama di dahi, telinga, dan kulit di sekitarnya. Anak gajah memiliki rambut
yang berwarna kecoklatan atau kemerahan, terutama di kepala dan punggungnya. Begitu gajah
menjadi dewasa, rambut mereka menjadi lebih gelap dan jarang, tetapi konsentrasi rambut dan
rambut kejur (bristle) yang padat masih dapat ditemui di ujung ekor, dagu, alat kelamin, dan di
sekitar mata dan bukaan mata. Gajah asia umumnya memiliki lebih banyak rambut daripada
gajah afrika.[70]

Gajah menggunakan lumpur untuk melindungi kulitnya dari sinar ultraviolet, walaupun kulit
gajah sebenarnya sangat sensitif. Bila gajah tidak secara rutin berkubang dalam lumpur, kulitnya
akan mengalami kerusakan akibat sinar matahari, gigitan serangga, dan hilangnya kelembaban.
Setelah berkubang, gajah biasanya menggunakan belalainya untuk menyemburkan debu ke
tubuhnya, dan debu ini akan mengering menjadi kerak pelindung. Gajah mengalami kesulitan
dalam mengeluarkan panas dari kulitnya karena rasio luas permukaan terhadap volumenya yang
jauh lebih rendah dari manusia. Beberapa gajah bahkan didapati sedang mengangkat tungkai
mereka, kemungkinan untuk memaparkan tapak kakinya ke udara.[70]

Tungkai, pergerakan, dan postur

Gajah asia sedang berjalan.

Posisi tungkai gajah lebih vertikal daripada mamalia lain untuk menopang beban gajah. Tulang-
tulang yang panjang di tungkai mereka memiliki tulang spongiosa sebagai pengganti rongga
meduler, sehingga memperkuat tulang dan pada saat yang sama masih memungkinkan
hemopoesis.[71] Baik tungkai depan maupun belakang dapat menopang beban gajah, walaupun
60% beban ditopang oleh tungkai depan.[72] Karena tulang-tulang tungkai berada di bagian bawah
tubuh, gajah dapat berdiam diri dalam waktu yang lama tanpa perlu menghabiskan banyak
energi. Gajah tidak dapat memutar tungkai depannya karena tulang hasta dan pengumpilnya
berada pada posisi pronasi (penelungkupan) yang tetap; "telapak" manusnya selalu menghadap
ke belakang.[71] Otot pronator kuadratus dan pronator teres biasanya mengalami reduksi atau
tidak ada sama sekali.[73] Kaki gajah yang bundar memiliki jaringan lunak di bawah manus atau
pes, yang mendistribusikan beban gajah.[72] Mereka tampaknya memiliki tulang sesamoid, yang
merupakan “jari kaki” tambahan yang serupa dengan “ibu jari” tambahan pada panda raksasa,
yang turut membantu mendistribusikan beban.[74] Paling tidak terdapat lima jari kaki di kaki
depan dan belakang.[9]

Gajah dapat bergerak ke depan atau belakang, tetapi tidak dapat berderap, melompat, atau
mencongklang. Mereka hanya memiliki dua gaya berjalan di darat, yaitu berjalan biasa dan
berjalan cepat.[71] Saat berjalan, tungkai bergerak seperti bandul, dengan pinggul dan bahu yang
naik dan turun sementara kaki berada di tanah. Tanpa adanya “fase udara”, gaya berjalan yang
cepat tidak memenuhi kriteria “berlari”, walaupun gajah menggunakan tungkainya seperti hewan
pelari lainnya.[75] Saat sedang bergerak cepat, tungkai depan gajah tampak “berlari”, sementara
tungkai belakangnya tampak “berjalan”; laju gajah yang bergerak cepat sendiri dapat mencapai
18 km/jam.[76] Untuk bergerak dengan kecepatan seperti ini, sebagian besar hewan berkaki empat
lainnya harus mencongklang. Kinetika yang seperti pegas merupakan perbedaan antara
pergerakan gajah dengan hewan lain.[77] Selama pergerakan, cushion pads (struktur khusus pada
kaki gajah yang membantu menopang beban) berkontraksi dan mengurangi rasa sakit dan bunyi
yang dihasilkan oleh pergerakan hewan yang sangat berat.[72]
Gajah juga merupakan perenang yang handal. Mereka dapat berenang selama enam jam tanpa
menyentuh dasarnya, dan dapat berenang sejauh 48 km dengan kecepatan 2,1 km/jam.[78]

Organ internal dan seksual

Jantung gajah afrika di dalam botol.

Massa otak gajah berkisar antara 4,5 hingga 5,5 kg, sementara massa otak manusia kurang lebih
hanya 1,6 kg. Walaupun begitu, berdasarkan rasio massa otak terhadap massa tubuh, otak gajah
sebenarnya lebih kecil. Saat lahir, massa otak gajah sudah mencapai 30–40% massa otak dewasa.
Cerebrum dan cerebellum terbentuk dengan baik, sementara lobus temporal gajah sangat besar
hingga tampak menyembul.[55]

Gajah memiliki kantong di tenggorokan yang dapat digunakan untuk menyimpan air.[38]
Sementara itu, massa jantung gajah kurang lebih 12 hingga 21 kg. Jantung gajah memiliki apeks
berujung ganda, yang merupakan karakteristik yang tidak biasa pada mamalia.[55] Saat berdiri,
jantung gajah berdetak 30 kali per menit. Tidak seperti hewan lain, kecepatan detak jantung
gajah bertambah 8 hingga 10 detak per menit ketika sedang berbaring.[79] Diafragma gajah
melekat pada paru-paru, dan pernapasan lebih bergantung pada diafragma daripada perluasan
tulang rusuk.[55] Gajah tidak memiliki rongga pleura, tetapi memiliki jaringan ikat yang
membantu gajah menghadapi perbedaan tekanan saat tubuhnya berada di bawah air dan ketika
belalainya keluar dari permukaan air untuk menghisap udara,[40] walaupun kebenaran penjelasan
ini telah dipertanyakan.[80] Menurut penjelasan lain, adaptasi ini ada karena membantu gajah
menghisap air melalui belalai.[40] Gajah menghisap udara dengan menggunakan belalainya,
walaupun sebagian udara juga masuk melalui mulut. Gajah juga memiliki sistem fermentasi usus
belakang, dan panjang ususnya dapat mencapai 35 m. Sebagian besar asupan makanan gajah
tidak dicerna meskipun prosesnya berlangsung hingga sehari.[55]

Testis gajah jantan terletak di dekat ginjal. Panjang penis gajah dapat mencapai 100 cm dan
diameternya kurang lebih 16 cm. Penis gajah berbentuk S saat sedang ereksi dan memiliki
lubang kemih yang berbentuk Y. Gajah betina memiliki klitoris yang panjangnya dapat mencapai
40 cm. Vulvanya terletak di antara tungkai belakang, sementara pada kebanyakan mamalia vulva
terletak di dekat ekor. Penentuan status kehamilan gajah sendiri cukup sulit karena rongga
abdominal gajah yang besar. Sementara itu, kelenjar susu gajah betina menempati ruang di
antara tungkai depan, sehingga bayi gajah yang sedang menyusui dapat dijangkau oleh belalai
sang induk.[55] Gajah juga memiliki organ yang unik, yaitu kelenjar temporal, yang terletak di
kedua sisi kepala. Organ ini terkait dengan perilaku seksual, dan gajah jantan mengeluarkan
cairan dari kelenjar tersebut dalam keadaan musth.[81] Gajah betina juga didapati mengeluarkan
cairan dari kelenjar temporal.[60]

Perilaku dan sejarah kehidupan


Ekologi dan aktivitas

Gajah sri lanka memakan rumput di Taman Nasional Yala.

Gajah afrika menggunakan taringnya untuk mencari makan.

Gajah semak afrika dapat ditemui di berbagai jenis habitat, seperti di sabana, gurun, rawa-rawa,
dan pesisir danau, di ketinggian yang bervariasi antara permukaan laut hingga wilayah
pegunungan di atas garis salju. Gajah hutan afrika hidup di hutan-hutan khatulistiwa, tetapi juga
akan memasuki hutan galeri dan ekoton di antara hutan dan sabana.[17] Gajah asia lebih menyukai
wilayah yang merupakan percampuran antara rerumputan, tumbuhan berkayu yang berketinggian
rendah, dan pepohonan, dengan habitat utama di hutan semak belukar berduri yang kering di
India selatan dan Sri Lanka dan hutan hijau abadi di Malaya.[10] Gajah merupakan hewan
herbivora dan akan memakan daun, ranting, buah, kulit pohon, dan akar.[17] Mereka terlahir
dengan usus yang steril, dan memerlukan bakteri yang dapat diperoleh dari feses ibunya untuk
mencerna tumbuh-tumbuhan.[82] Gajah afrika pada umumnya merupakan pemakan daun,
sementara gajah asia adalah hewan perumput. Mereka dapat mengonsumsi 150 kg makanan dan
40 liter air dalam satu hari. Gajah cenderung hidup di dekat sumber air.[17] Periode makan
biasanya berlangsung pada pagi, siang, dan malam hari. Pada pertengahan hari, gajah beristirahat
di bawah pohon dan mungkin tertidur saat berdiri. Gajah baru berbaring tidur pada malam hari.
[71][83]
Rata-rata waktu tidur gajah adalah 3–4 jam per hari.[84] Baik jantan maupun kelompok
keluarga umumnya berjalan sejauh 10 hingga 20 km dalam satu hari, tetapi beberapa gajah telah
menempuh jarak sejauh 90 hingga 180 km di Taman Nasional Etosha, Namibia.[85] Gajah
melakukan migrasi musiman untuk mencari makanan, air, dan pasangan. Di Taman Nasional
Chobe, Botswana, kawanan gajah berkelana sejauh 325 km untuk mengunjungi sungai setelah
sumber air lokal mengering.[86]

Karena memiliki ukuran tubuh yang besar, gajah berdampak besar terhadap lingkungan dan
dianggap sebagai spesies kunci. Perilaku gajah yang sering menumbangkan pohon dan semak
dapat mengubah sabana menjadi padang rumput; saat mereka menggali untuk mencari air selama
musim kemarau, mereka menemukan sumber air yang juga dapat digunakan oleh hewan lain.
Mereka dapat memperbesar sumber air ketika mereka sedang mandi. Di Gunung Elgon, gajah
menggali gua yang dapat digunakan oleh ungulata, hyrax, kelelawar, burung dan serangga.[87]
Gajah juga berperan penting dalam menyebarkan biji; gajah hutan afrika dapat menelan dan
mengeluarkan biji tanpa berdampak apa-apa (atau malah memberikan pengaruh positif) terhadap
proses perkecambahan. Biji biasanya disebarkan dalam jumlah besar di jarak yang jauh.[88] Di
hutan Asia, biji-biji yang besar perlu diangkut dan disebarkan oleh herbivora besar seperti gajah
dan badak. Relung ekologi ini tidak dapat diisi oleh herbivora terbesar berikutnya, yaitu tapir.[89]
Sebagian besar makanan yang diasup oleh gajah tidak dicerna, sehingga kotoran mereka dapat
menjadi makanan bagi hewan lain, seperti kumbang kotoran dan monyet.[87] Gajah juga
berdampak buruk terhadap ekosistem. Di Taman Nasional Murchison Falls di Uganda, jumlah
gajah yang terlalu besar mengancam beberapa spesies burung kecil yang bergantung pada daerah
berhutan. Berat mereka dapat mengakibatkan pemadatan tanah, sehingga air hujan akan
mengalami pelimpasan yang dapat menyebabkan erosi.[83]

Sebagian besar makanan gajah tidak dicerna. Hewan lain, seperti babun, akan mengambil
kotoran gajah untuk mencari biji yang belum dicerna.

Pada umumnya gajah hidup berdampingan dengan herbivora-herbivora lain, yang biasanya akan
menjauh. Kadang-kadang terjadi interaksi agresif antara gajah dengan badak. Di Taman Nasional
Aberdare, Kenya, seekor badak menyerang seekor anak gajah, dan akibatnya badak tersebut
dibunuh oleh gajah lain.[83] Di Cagar Buruan Hluhluwe–Umfolozi, Afrika Selatan, gajah yatim
muda yang baru diperkenalkan menjadi agresif dan membunuh sekitar 36 badak pada tahun
1990-an; keagresifan tersebut berakhir setelah gajah jantan yang lebih tua diperkenalkan.[90]
Ukuran tubuh gajah dewasa yang besar membuat mereka hampir tidak dapat diserang oleh
predator. Anak gajah mungkin diburu oleh singa, dubuk tutul, dan anjing liar di Afrika,[13] atau
harimau di Asia.[10] Singa-singa di Savuti, Botswana, telah beradaptasi untuk memburu gajah
pada musim kemarau, dan satu kawanan yang terdiri dari 30 singa diketahui pernah membunuh
gajah-gajah yang berusia antara empat hingga sebelas tahun.[91] Bila dibandingkan dengan
herbivora lain, gajah cenderung dijangkiti oleh banyak parasit, terutama nematoda. Hal ini
diakibatkan oleh kurangnya tekanan dari predator yang seharusnya dapat membunuh banyak
individu yang dijangkiti oleh banyak parasit.[92]

Organisasi sosial
Keluarga gajah afrika di Taman Nasional Amboseli. Perhatikan posisi anak gajah yang
dilindungi di tengah-tengah kelompok.

Keluarga gajah sedang mandi. Mandi merupakan perilaku yang memperkuat ikatan sosial.

Kehidupan sosial gajah jantan dan betina sangat berbeda. Gajah betina menghabiskan hidupnya
dalam kelompok keluarga yang matrilineal. Beberapa kelompok terdiri dari lebih dari sepuluh
anggota (termasuk tiga pasangan ibu dan anak) yang dipimpin oleh seekor matriark yang
biasanya merupakan betina tertua.[93] Sang matriark memimpin kelompok hingga ia meninggal[13]
atau jika ia tidak lagi mempunyai cukup energi untuk menjalankan tugasnya;[94] menurut
penelitian di kebun binatang, ketika matriark meninggal, kandungan kortikosteron (hormon stres)
feses meningkat tajam pada gajah yang masih hidup.[95] Saat tugasnya berakhir, anak perempuan
tertua sang matriark akan menggantikannya, bahkan bila saudara perempuan sang matriark masih
hidup.[13] Matriark yang lebih tua cenderung menjadi pembuat keputusan yang lebih efektif.[96]

Kehidupan sosial gajah betina tidak hanya terbatas pada satuan keluarga yang kecil. Di Taman
Nasional Amboseli, Kenya, gajah betina juga berinteraksi dengan keluarga, klan, dan
subpopulasi lain. Kelompok keluarga dapat bergaul dan membuat ikatan dengan kelompok lain,
sehingga membentuk kelompok ikatan. Kelompok ikatan biasanya terdiri dari dua kelompok
keluarga. Pada musim kemarau, keluarga-keluarga gajah mungkin berkumpul dan membentuk
klan. Kelompok-kelompok dalam klan ini tidak memiliki ikatan yang kuat, tetapi mereka
mempertahankan wilayah musim kemarau mereka dari klan lain. Biasanya terdapat sembilan
kelompok di dalam satu klan. Populasi gajah di Amboseli juga terbagi menjadi subpopulasi
“pusat” dan “tepian”.[93]

Beberapa populasi gajah di India dan Sri Lanka juga memiliki organisasi sosial yang serupa. Di
wilayah tersebut tampaknya terdapat satuan keluarga yang kohesif dan perkumpulan yang lebih
bersifat longgar. Mereka memiliki “satuan perawatan” dan “satuan pengurusan anak”. Di India
selatan, populasi gajah terdiri dari kelompok keluarga, kelompok ikatan, dan mungkin klan.
Kelompok keluarga cenderung kecil dan terdiri dari satu atau dua betina dewasa dan anaknya.
Kelompok yang memiliki lebih dari dua betina dewasa disebut “kelompok gabungan”. Populasi
gajah di Malaya bahkan memiliki satuan keluarga yang lebih kecil, dan biasanya tidak memiliki
organisasi sosial yang lebih tinggi tingkatannya dari keluarga atau kelompok ikatan. Sementara
itu, kelompok gajah hutan afrika umumnya terdiri dari satu betina dewasa dengan satu hingga
tiga anak. Kelompok ini tampak berinteraksi dengan kelompok lain, terutama di tanah terbuka.[93]

Gajah jantan dewasa menghabiskan waktu mereka sendiri atau dalam kelompok sesama jenis.

Kehidupan gajah jantan sendiri sangat berbeda. Menjelang dewasa, gajah jantan akan
menghabiskan lebih banyak waktu di luar kelompoknya dan bergaul dengan jantan dari luar atau
bahkan kelompok lain. Di Amboseli, gajah jantan yang berusia 14–15 tahun menghabiskan 80%
waktunya di luar kelompok keluarganya. Gajah betina dewasa di kelompok mulai menjadi
agresif terhadap sang jantan, yang akan mendorongnya untuk meninggalkan kelompok secara
permanen. Setelah sang jantan meninggalkan kelompok, mereka akan hidup sendiri atau bersama
jantan lain. Gajah jantan di hutan yang padat biasanya hidup sendiri. Gajah asia jantan pada
umumnya menyendiri, tetapi kadang-kadang membentuk kelompok yang terdiri dari dua
individu atau lebih, dengan yang terbesar dapat mencapai tujuh anggota. Sementara itu, gajah
semak afrika jantan membentuk kelompok yang jumlah anggotanya melebihi 10 individu, dan
yang terbesar dapat mencapai 144 anggota.[97] Terdapat hierarki di antara para jantan, baik pada
yang menyendiri maupun pada yang berkelompok. Dominasi bergantung pada usia, besar tubuh,
dan kondisi seksual.[97] Jantan yang lebih tua tampak mampu mengendalikan keagresifan jantan
yang lebih mudah dan mencegah mereka membentuk “geng”.[98] Gajah jantan dan betina
berkumpul untuk bereproduksi. Gajah jantan tampaknya berhubungan dengan kelompok
keluarga bila terdapat gajah betina yang sedang mengalami siklus estrus.[97]

Perilaku seksual

Musth

Artikel utama: Musth


Gajah jantan sedang mengalami musth.

Gajah jantan dewasa mengalami fase peningkatan testosteron yang disebut musth. Pada populasi
gajah di India selatan, gajah jantan pertama kali memasuki periode musth pada umur 15 tahun,
tetapi tidak terlalu intens hingga usia mereka melebihi 25. Di Amboseli, gajah jantan yang
berusia di bawah 24 tahun tidak mengalami musth, sementara setengah dari mereka yang
berumur 25–35 tahun dan semua gajah berusia di atas 35 mengalaminya. Gajah jantan muda
tampaknya memasuki periode musth pada musim kemarau (Januari–Mei), sementara gajah
jantan yang lebih tua mengalaminya pada musim hujan (Juni–Desember). Ciri-ciri utama gajah
yang sedang mengalami musth adalah keluarnya cairan dari kelenjar temporal di wajahnya. Saat
musth, sang jantan dapat membuang air kecil dengan penis yang masih berada di dalam
kulupnya, sehingga air seni akan menyemprot ke tungkai belakangnya. Beberapa perilaku yang
dikaitkan dengan musth adalah berjalan dengan kepala yang terangkat dan berayun, mengorek
tanah dengan taring, membuat suara gaduh, dan membentangkan satu telinga saja pada satu
waktu. Musth dapat berlangsung antara sehari hingga empat bulan.[99]

Gajah jantan akan menjadi sangat agresif selama musth. Di antara gajah jantan yang sedang dan
tidak sedang mengalami musth, besar tubuh merupakan faktor yang menentukan terjadinya
perjumpaan yang agonistik. Saat terjadi perkelahian antar individu dari dua kelompok, gajah
jantan yang sedang mengalami musth biasanya menang, bahkan bila gajah yang sedang tidak
mengalami musth lebih besar. Gajah jantan mungkin akan berhenti menunjukkan tanda-tanda
musth bila bertemu dengan gajah yang sedang mengalami musth dari peringkat yang lebih tinggi.
Gajah yang sedang mengalami musth dari peringkat yang sama cenderung menghindari satu
sama lain. Dalam perjumpaan agonistik, gajah yang mengalami musth biasanya mengancam,
mengejar, dan melakukan perkelahian ringan dengan menggunakan taring. Namun, perkelahian
yang serius jarang terjadi.[99]

Perkawinan
Gajah jantan sedang berkawin dengan gajah betina.

Gajah merupakan hewan poligini,[100] dan kopulasi paling sering terjadi pada puncak musim
hujan.[101] Gajah betina yang sedang mengalami siklus estrus mengeluarkan feromon di air seni
dan sekresi vaginal lainnya untuk menunjukkan kesiapannya dalam berkawin. Gajah jantanan
akan mengikuti pasangan potensial dan menilai keadaannya dengan melakukan respons flehmen,
yaitu ketika sang jantan mengumpulkan sampel kimiawi dengan menggunakan belalainya dan
membawanya ke organ vomeronasal.[102] Siklus oestrus gajah betina berlangsung selama 14–16
minggu dengan fase folikular selama 4–6 minggu dan fase luteal selama 8–10 minggu. Pada fase
folikular, gajah mengalami dua kali peningkatan kadar hormon pelutein, sementara sebagian
besar mamalia hanya mengalami satu kali saja. Peningkatan pertama (atau anovulatori) dapat
memberi sinyal kepada gajah jantan bahwa sang betina sedang mengalami siklus estrus dengan
mengubah baunya, tetapi ovulasi baru terjadi pada peningkatan kedua (atau ovulatori).[103]
Tingkat kesuburan pada gajah betina mulai berkurang pada usia 45–50.[94]

Gajah jantan memiliki perilaku yang disebut “menjaga pasangan”, yaitu ketika mereka mengikuti
betina yang sedang mengalami siklus estrus dan menjaganya dari jantan lain. Hal ini biasanya
dilakukan oleh jantan yang sedang mengalami musth, dan betina secara aktif berupaya agar
dijaga oleh mereka, terutama yang lebih tua.[104] Maka jantan yang lebih tua cenderung lebih
berhasil secara reproduktif.[97] Musth tampaknya digunakan oleh gajah betina untuk mengetahui
keadaan sang jantan, karena gajah jantan yang lemah atau terluka tidak memiliki musth yang
normal.[105] Bagi betina muda, mendekatnya jantan yang lebih tua tampak mengintimidasi,
sehingga kerabat-kerabatnya berada di dekatnya untuk memberi dukungan dan menentramkan.
[106]
Selama kopulasi, gajah jantan meletakkan belalainya di punggung betina.[107] Penis gajah
sangat gesit dan dapat bergerak bebas.[108] Sebelum bersanggama, penis gajah melengkung ke
depan dan ke atas. Kopulasi berlangsung selama sekitar 45 detik tanpa gerakan pinggul atau jeda
ejakulasi.[109]

Perilaku homoseksual banyak ditemui pada gajah jantan maupun betina; bahkan menurut
perkiraan, 45% perjumpaan seksual pada gajah asia di penangkaran merupakan perjumpaan
sesama jenis.[110] Perilaku homoseksual pada gajah meliputi persetubuhan seperti pada interaksi
heteroseksual.[110] Gajah jantan sering membentuk "kawanan" yang terdiri dari seekor individu
yang lebih tua dan satu atau kadang dua jantan yang lebih muda, dan perilaku seksual merupakan
unsur penting dalam dinamika sosial kawanan tersebut.[110] Tidak seperti hubungan heteroseksual
yang berlangsung cepat, hubungan antara jantan dapat berlangsung selama bertahun-tahun.[110]
Seperti pada perjumpaan heteroseksual, jantan menunjukkan keinginannya untuk bersanggama
dengan meletakkan belalainya di punggung jantan lain.[110] Sementara itu, perilaku sesama jenis
pada gajah betina telah didokumentasi di penangkaran ketika mereka memasturbasi satu sama
lain dengan menggunakan belalai mereka.[110]

Kelahiran dan anak gajah

Seekor induk gajah afrika sedang mandi dengan anaknya.

Gestasi pada gajah biasanya berlangsung selama dua tahun, dengan rentang waktu antar
kelahiran antara empat hingga lima tahun. Kelahiran biasanya berlangsung pada musim hujan.[111]
Tinggi anak gajah yang baru lahir adalah 85 cm, sementara massanya kurang lebih 120 kg.[106]
Umumnya, dalam satu kehamilan hanya satu anak gajah yang lahir, tetapi kadang-kadang lahir
anak kembar.[112] Kehamilan gajah yang relatif panjang disokong oleh lima korpus luteum
(sementara pada kebanyakan mamalia hanya ada satu) dan memberi lebih banyak waktu bagi
fetus untuk tumbuh, terutama otak dan belalainya.[112] Maka dari itu, gajah yang baru lahir
bersifat precocial dan dapat berdiri, berjalan, dan mengikuti ibu dan keluarganya.[113] Anak gajah
yang baru lahir biasanya menjadi pusat perhatian anggota kelompok. Gajah dewasa dan sebagian
besar gajah muda lainnya akan berkumpul di dekat gajah yang baru lahir, kemudian menyentuh
dan membelainya dengan menggunakan belalai. Pada hari-hari pertama, sang induk tidak
memperbolehkan anggota kelompok lain mendekati anaknya. Alloparenting – yaitu ketika anak
gajah diurus oleh gajah lain – terjadi pada beberapa kelompok. Allomother biasanya berusia dua
hingga dua belas tahun.[106] Ketika predator mendekat, seluruh kelompok keluarga berkumpul dan
menjaga anak gajah di tengah.[114]

Pada hari-hari pertama, kaki gajah yang baru lahir masih goyah dan perlu dibantu oleh induknya.
Gajah yang baru lahir bergantung pada sentuhan, penciuman, dan pendengaran, karena
penglihatannya masih buruk. Kendali atas belalai masih lemah, sehingga belalai bergerak maju
mundur dan anak gajah dapat tersandung olehnya. Pada minggu kedua, anak gajah dapat berjalan
lebih tegap dan kendali atas belalai lebih kuat. Setelah melewati bulan pertamanya, anak gajah
dapat mengambil, memegang, dan menempatkan benda di mulutnya, tetapi belum dapat
menghisap air melalui belalainya dan harus minum langsung dari mulutnya. Anak gajah juga
masih bergantung pada induknya dan tetap berada di dekatnya.[113]

Pada tiga bulan pertama, asupan nutrisi gajah hanya berasal dari air susu induk. Setelah itu, gajah
mulai mencari tumbuh-tumbuhan dan dapat menggunakan belalainya untuk mengumpulkan air.
Pada saat yang sama, koordinasi bibir dan tungkai membaik. Anak gajah masih menyusu hingga
berumur enam bulan, dan setelah itu mereka menjadi lebih independen. Pada umur sembilan
bulan, koordinasi mulut, belalai, dan kaki sudah sempurna. Setelah setahun, kemampuan anak
gajah untuk mengurus, minum dan makan sendiri sudah berkembang sepenuhnya. Sang anak
masih memerlukan nutrisi dan perlindungan dari ibunya selama paling tidak satu tahun
berikutnya. Menyusui biasanya berlangsung selama 2-4 menit per jam untuk anak gajah yang
berusia lebih muda dari setahun, dan gajah masih menyusui hingga mencapai usia tiga tahun atau
lebih tua. Menyusui setelah umur dua tahun berperan dalam mempertahankan tingkat
pertumbuhan, keadaan tubuh, dan kemampuan reproduksi.[113]

Terdapat perbedaan antara permainan anak gajah jantan dan betina; betina berlari atau mengejar
satu sama lain, sementara jantan bermain-main dengan berkelahi. Gajah betina mencapai
kematangan seksual pada umur sembilan tahun,[106] sementara gajah jantan pada usia 14–15
tahun.[97] Rentang hidup gajah kurang lebih 60–70 tahun.[63] Namun, Lin Wang, seekor gajah asia
di penangkaran, meninggal pada umur 86 tahun.[115]

Komunikasi

Gajah asia menyapa satu sama lain dengan saling melilit belalai.

Sentuhan merupakan alat komunikasi yang penting bagi gajah. Individu menyapai satu sama lain
dengan mengelus atau melilit belalai; belalai juga dililit saat kompetisi ringan. Gajah yang lebih
tua akan menampar dengan menggunakan belalai, menendang, dan mendorong untuk
mendisiplinkan yang lebih muda. Individu berusia atau berjenis kelamin apapun akan menyentuh
mulut, kelenjar temporal, dan alat kelamin satu sama lain saat sedang bertemu atau jika senang.
Dengan melakukan hal tersebut, individu dapat mengambil sinyal kimiawi. Sementara itu,
sentuhan merupakan cara berkomunikasi antara induk dan anak yang sangat penting. Saat
bergerak, induk gajah menyentuh anak mereka dengan menggunakan belalai atau kaki bila
sedang berdampingan, atau dengan ekor jika anak gajah berada di belakang. Apabila anak gajah
ingin beristirahat, ia akan menekan tungkai depan ibunya, sementara bila ingin menyusui, ia akan
menyentuh payudara atau tungkainya.[116]

Gajah menunjukkan ancaman dengan mengangkat kepalanya dan membentangkan telinganya.


Mereka juga dapat menambah efeknya dengan menggoncangkan kepala, menggertakkan telinga,
serta melempar debu dan tumbuhan. Saat melakukan hal-hal tersebut, gajah biasanya hanya
menggertak saja. Di sisi lain, gajah yang senang biasanya mengangkat belalainya. Gajah yang
tunduk akan menundukkan kepala dan belalainya, serta meratakan telinganya di lehernya,
sementara gajah yang menerima tantangan akan membuat telinganya berbentuk V.[117]

Gajah menghasilkan suara melalui laring, walaupun beberapa dimodifikasi oleh belalai. Salah
satu suara gajah yang paling dikenal adalah suara terompet yang biasanya dibunyikan saat
sedang senang, dalam keadaan sulit, atau agresif.[118] Gajah yang sedang bertengkar biasanya
meraung, dan yang terluka akan melenguh.[119] Bunyi berfrekuensi rendah dihasilkan saat sedang
sedikit bergairah,[120] dan beberapa di antaranya merupakan infrasonik.[121] Panggilan infrasonik
merupakan cara berkomunikasi yang penting, terutama untuk jarak jauh.[118] Frekuensi panggilan
infrasonik pada gajah asia berkisar antara 14–24 Hz dengan tekanan suara sebesar 85–90 dB
yang biasanya berlangsung selama 10–15 detik.[121] Sementara itu, frekuensi pada gajah afrika
kurang lebih from 15–35 Hz dengan tekanan suara yang mencapai 117 dB, sehingga mereka
dapat berkomunikasi dengan jarak maksimum 10 km.[122]

0:03
Bunyi berfrekuensi rendah yang divisualisasikan oleh kamera akustik.

Di Amboseli, beberapa panggilan infrasonik telah diidentifikasi. Bunyi berfrekuensi rendah


untuk menyapa dikeluarkan oleh anggota salah satu kelompok keluarga setelah terpisah selama
beberapa jam. Panggilan yang dibuat oleh individu yang telah terpisah biasanya lembut dan tidak
termodulasi. Panggilan tersebut dijawab oleh panggilan yang awalnya keras, tetapi kemudian
menjadi lebih lembut. Bunyi berfrekuensi rendah yang lembut dibunyikan oleh matriark untuk
memberitahukan kepada kawanannya untuk pindah ke tempat lain. Gajah jantan yang sedang
mengalami musth mengeluarkan bunyi berfrekuensi rendah yang bergetar, sehingga dijuluki
“sepeda motor”. Bunyi gajah yang sedang mengalami musth dijawab oleh "paduan suara betina",
yaitu suara-suara termodulasi dan berfrekuensi rendah yang dihasilkan oleh beberapa gajah
betina. Suara panggilan yang keras dapat dibunyikan oleh gajah betina setelah berkawin,
sementara anggota keluarganya mengeluarkan suara kegembiraan yang disebut "hiruk pikuk
perkawinan".[120]

Gajah juga dapat melakukan komunikasi seismik, yaitu getaran yang dihasilkan oleh tubrukan ke
permukaan tanah atau gelombang akustik yang melintasi tanah. Gajah tampaknya bergantung
pada tulang tungkai dan bahunya untuk mentransmisikan sinyal ke telinga tengah. Setelah
mendeteksi sinyal seismik, gajah bersandar ke depan dan memberatkan kaki depannya. Gajah
memiliki beberapa adaptasi yang cocok untuk melakukan komunikasi seismik. Struktur khusus
pada kaki gajah yang membantu menopang beban (cushion pads) memiliki nodus tulang rawan
dan serupa dengan lemak akustik pada mamalia laut seperti paus bergigi dan sirenia. Otot seperti
sfingter di sekitar saluran telinga menyempitkan jalur masuk, sehingga meredam sinyal akustik
dan membuat gajah dapat mendengar lebih banyak sinyal seismik.[123] Gajah tampaknya
menggunakan komunikasi seismik untuk beberapa hal. Individu yang sedang berlari dapat
menghasilkan sinyal seismik yang dapat didengar dari jarak yang jauh.[124] Saat mendeteksi
panggilan yang memberi tahu bahaya predator, gajah akan berpostur defensif dan kelompok
keluarga akan bergerombol. Gelombang seismik yang dihasilkan oleh pergerakan tampaknya
dapat merambat hingga jarak 32 km, sementara gelombang hasil vokalisasi hanya mencapai
jarak 16 km.[125]

Kecerdasan dan kognisi

Artikel utama: Kognisi gajah


0:26
Seekor gajah menggunakan sebuah balok agar dapat menjangkau makanan.
Gajah dapat mengenali dirinya di cermin, sehingga mengindikasikan kesadaran diri dan kognisi,
yang juga telah ditemukan pada kera dan lumba-lumba.[126] Penelitian terhadap gajah asia betina
di penangkaran menunjukkan bahwa gajah dapat mempelajari dan membedakan sesuatu secara
visual dan akustik. Individu pada penelitian tersebut bahkan dapat melakukannya dengan sangat
akurat pada percobaan visual yang sama setahun kemudian.[127] Gajah merupakan salah satu
spesies yang dapat menggunakan alat. Seekor gajah asia telah diamati memodifikasi cabang
pohon dan menggunakannya untuk memukul lalat.[128] Namun, modifikasi alat oleh gajah tidak
semaju simpanse. Sementara itu, kemungkinan gajah memiliki peta kognitif yang dapat membuat
mereka mengingat ruang spasial yang luas dalam waktu yang lama. Gajah-gajah individu juga
tampaknya dapat melacak lokasi kelompok keluarga mereka.[54]

Ilmuwan masih memperdebatkan sejauh mana gajah dapat merasakan emosi. Gajah tampaknya
menunjukkan ketertarikan pada tulang-tulang gajah lain, walaupun gajah tersebut bukan
kerabatnya.[129] Seperti pada simpanse dan lumba-lumba, gajah yang sekarat atau sudah mati akan
menarik perhatian dan mendapat bantuan dari gajah lain, termasuk gajah dari kelompok lain.
Perilaku seperti ini telah diinterpretasikan sebagai "perhatian";[130] tetapi, interpretasi tersebut
dikritik karena dianggap antropomorfik.[131][132] Oxford Companion to Animal Behaviour (1987)
menganjurkan agar ilmuwan mempelajari perilaku hewan daripada mencoba mengetahui emosi
yang mendasarinya.[133]

Konservasi
Status

Persebaran gajah

Gajah afrika
Gajah asia

Gajah afrika didaftarkan sebagai spesies yang rentan oleh International Union for Conservation
of Nature (IUCN) pada tahun 2008, sementara status dua subspesies gajah afrika tidak dinilai
secara independen.[25] Pada tahun 1979, terdapat kurang lebih 1,3 juta gajah di Afrika, dan batas
tertinggi sebesar 3,0 juta. Sementara itu, populasi pada tahun 1989 diperkirakan sebesar 609.000,
dengan 277.000 di Afrika Tengah, 110.000 di Afrika Timur, 204.000 di Afrika Selatan, dan
19.000 di Afrika Barat. Diperkirakan sekitar 214.000 gajah hidup di hutan hujan, yang lebih
rendah dari yang diduga sebelumnya. Dari tahun 1977 hingga 1989, populasi gajah berkurang
sebanyak 74% di Afrika Timur. Setelah tahun 1987, penurunan populasi gajah semakin cepat,
dan populasi gajah di sabana dari Kamerun hingga Somalia jatuh sebesar 80%. Gajah hutan
afrika mengalami penurunan sebesar 43%. Di sisi lain, tren populasi di Afrika Selatan
bermacam-macam: di beberapa tempat di Zambia, Mozambik, dan Angola, jumlah populasi
mengalami penurunan, sementara di Botswana dan Zimbabwe, populasi gajah bertambah, dan di
Afrika Selatan populasinya stabil.[134] Namun, penelitian pada tahun 2005 dan 2007 menunjukkan
bahwa populasi di Afrika Timur dan Selatan mengalami peningkatan sebesar 4,0% setiap
tahunnya.[25] Akibat luasnya persebaran gajah, populasi gajah afrika masih sulit diperkirakan dan
terdapat unsur tebakan. IUCN memperkirakan terdapat sekitar 440.000 individu pada tahun
2012.[135]

Gajah afrika memperoleh perlindungan secara hukum di negara habitat mereka, tetapi 70%
persebarannya berada di luar wilayah yang dilindungi. Upaya konservasi yang berhasil di
beberapa wilayah menghasilkan kepadatan populasi yang tinggi. Pada tahun 2008, jumlah gajah
di tingkatan lokal dikendalikan melalui kontrasepsi atau translokasi. Pembantaian berdasarkan
kriteria tertentu (culling) berakhir pada tahun 1988 setelah Zimbabwe menghapuskan praktik
tersebut. Pada tahun 1989, gajah afrika dimasukkan dalam Lampiran I oleh Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), sehingga
perdagangan gajah afrika menjadi ilegal. Status Lampiran II (yang memperbolehkan
perdagangan terbatas) diberikan kepada gajah di Botswana, Namibia, dan Zimbabwe pada tahun
1997, dan Afrika Selatan pada tahun 2000. Di beberapa negara, perburuan gajah untuk
memperoleh trofi diperbolehkan; Afrika Selatan, Botswana, Gabon, Kamerun, Mozambik,
Namibia, Tanzania, Zambia, dan Zimbabwe menetapkan kuota ekspor CITES untuk trofi gajah.
[25]

Pada tahun 2008, IUCN mendaftarkan gajah asia sebagai spesies terancam akibat penurunan
populasi sebesar 50% dalam 60–75 tahun terakhir,[136] sementara CITES memasukannya ke
dalam Lampiran I.[136] Gajah asia pernah tersebar dari Suriah dan Irak (subspesies Elephas
maximus asurus) hingga Tiongkok (hingga Sungai Kuning)[137] dan Jawa. Gajah asia kini telah
punah di wilayah-wilayah tersebut,[136] dan persebarannya saat ini sangat terpecah-pecah menjadi
bagian-bagian yang kecil.[137] Jumlah populasi gajah asia diperkirakan sebesar 40.000–50.000,
walaupun perkiraan ini merupakan perkiraan kasar. Meskipun jumlah gajah asia secara
keseluruhan mengalami penurunan (terutama di Asia Tenggara), populasi di Ghat Barat
tampaknya mengalami peningkatan.[136]

Ancaman

Lihat pula: Perdagangan gading

Beberapa orang membawa gading gajah di Dar es Salaam, Tanzania, sekitar tahun 1900.

Perburuan untuk mengambil gading, daging, dan kulit merupakan salah satu ancaman terbesar
bagi keberlangsungan gajah.[136] Dalam sejarah, beberapa peradaban membuat ornamen dan
karya seni lain dari gading gajah, dan penggunaannya menyaingi emas.[138] Perdagangan gading
menjadi salah satu penyebab penurunan populasi gajah afrika pada abad ke-20.[25] Hal ini
memicu larangan impor gading yang dimulai oleh Amerika Serikat pada Juni 1989, yang
kemudian diikuti oleh negara-negara Amerika Utara, Eropa Barat, dan Jepang.[138] Sementara itu,
Kenya menghancurkan semua persediaan gadingnya.[139] CITES memberlakukan larangan
perdagangan gading pada Januari 1990.[138] Setelah larangan tersebut ditetapkan, jumlah
pengangguran meningkat di India dan Tiongkok, karena secara ekonomi industri gading
merupakan industri yang penting. Di sisi lain, Jepang dan Hong Kong, yang juga merupakan
bagian dari industri, mampu beradaptasi dan tidak terkena dampak buruk.[138] Zimbabwe,
Botswana, Namibia, Zambia, dan Malawi ingin melanjutkan perdagangan gading dan hal
tersebut diperbolehkan, tetapi hanya jika gajah tersebut mati secara alami atau merupakan hasil
culling.[139]

Berkat larangan ini, populasi gajah di Afrika mulai pulih.[138] Pada Januari 2012, ratusan gajah di
Taman Nasional Bouba Njida, Kamerun, dibunuh oleh penyerang dari Chad. Peristiwa ini
disebut-sebut sebagai "salah satu pembunuhan terkonsentrasi terburuk" semenjak
diberlakukannya larangan perdagangan gading.[139] Sementara itu, gajah asia tidak terlalu rentan
terhadap perdagangan gading karena gajah betina umumnya tidak memiliki taring. Namun,
sejumlah gajah telah dibunuh untuk diambil gadingnya di beberapa wilayah, seperti di Taman
Nasional Periyar di India.[136]

Ancaman lain terhadap gajah adalah kehancuran dan fragmentasi habitat.[25] Gajah asia hidup di
wilayah yang sangat padat. Karena mereka membutuhkan lebih banyak wilayah dibanding
hewan darat simpatrik lainnya, merekalah yang pertama kali merasakan dampak keberadaan
manusia. Bahkan dalam beberapa kasus yang ekstrem, habitat gajah terbatas pada hutan kecil
yang dikelilingi oleh wilayah yang didominasi oleh manusia. Gajah tidak dapat hidup
berdampingan dengan manusia di wilayah pertanian karena besar tubuh dan kebutuhan makanan
mereka. Pada umumnya gajah merusak dan memakan tanaman petani, sehingga memicu konflik
dengan manusia, dan akibatnya ratusan gajah dan manusia telah mati. Mitigasi konflik
merupakan salah satu unsur penting dalam konservasi.[136] Salah satu usulan yang diajukan adalah
penyediaan ‘koridor urban’ yang memungkinkan gajah mengakses wilayah penting.[140]

Gajah dan manusia


Hewan pekerja

Seekor gajah pengangkut.

Gajah telah dijadikan hewan pekerja paling tidak semenjak masa Peradaban Lembah Indus[141]
dan masih digunakan hingga masa modern. Pada tahun 2000, terdapat 13.000–16.500 gajah
pekerja di Asia. Gajah-gajah tersebut biasanya ditangkap di alam bebas saat berumur 10–20
tahun, dan pada usia tersebut mereka dapat dilatih dengan cepat dan mudah, serta mampu bekerja
untuk waktu yang lebih lama.[142] Mereka biasanya ditangkap secara tradisional dengan
menggunakan perangkap dan laso, tetapi semenjak tahun 1950 obat penenang telah digunakan.
[143]
Gajah asia lebih umum dijadikan hewan pekerja, tetapi di Afrika praktik tersebut juga
dilakukan. Penjinakan gajah afrika di Kongo Belgia dimulai berdasarkan dekret Leopold II dari
Belgia pada abad ke-19, dan masih berlanjut hingga kini di Pusat Domestikasi Gajah Api.[144]

Wisatawan menaiki gajah di Jaipur.

Gajah asia melakukan tugas seperti mengangkut beban ke wilayah terpencil, memindahkan kayu
ke truk, membawa wisatawan di taman nasional, menarik gerobak, dan menjadi bagian dari
proses religius.[142] Di Thailand utara, gajah digunakan untuk menelan biji kopi agar dapat
menghasilkan kopi Black Ivory.[145] Gajah lebih dihargai dari mesin karena dapat bekerja di
perairan yang relatif dalam, memerlukan biaya perawatan yang relatif sedikit, hanya
membutuhkan tumbuhan dan air, dan dapat dilatih untuk mengingat beberapa tugas. Gajah dapat
dilatih untuk menanggapi lebih dari 30 perintah.[142] Namun, gajah yang sedang mengalami
musth berbahaya dan dirantai hingga musth selesai.[146] Di India, banyak gajah yang mengalami
penyiksaan. Maka dari itu, gajah dilindungi oleh "Undang-Undang Pencegahan Kekejaman
terhadap Binatang 1960".[147]

Peperangan

Artikel utama: Gajah perang


Lihat pula: Penghukuman mati oleh gajah

Lukisan Pertempuran Zama oleh Henri-Paul Motte, 1890.

Dalam sejarah, gajah digunakan sebagai alat perang. Gajah dilengkapi dengan baju baja untuk
melindunginya, dan di ujung taringnya dipasang besi atau kuningan tajam bila taring tersebut
cukup besar. Gajah perang dilatih untuk mengambil tentara musuh dan melemparnya ke orang
yang mengendarai gajah tersebut atau meletakkannya di tanah dan kemudian menusuknya.[148]

Salah satu sumber pertama yang menyebut penggunaan gajah dalam perang adalah epos
Mahabharata (ditulis pada abad ke-4 SM, tetapi diduga mendeskripsikan peristiwa antara abad
ke-11 hingga abad ke-8 SM). Namun, Pandawa dan Kurawa lebih banyak menggunakan kereta
kuda. Sementara itu, pada masa Kerajaan Magadha (yang dimulai pada abad ke-6 SM), secara
budaya gajah mulai menjadi lebih penting dari kuda, dan nantinya kerajaan-kerajaan di India
banyak menggunakan gajah; 3.000 gajah digunakan oleh tentara Nanda pada abad ke-5 dan abad
ke-4 SM, sementara 9.000 gajah dipakai oleh tentara Maurya antara abad ke-4 hingga abad ke-2
SM. Arthashastra (ditulis sekitar tahun 300 SM) menyarankan kepada pemerintah Maurya agar
mencagarkan beberapa hutan untuk gajah liar yang kemudian akan digunakan dalam angkatan
bersenjata; buku tersebut juga mengusulkan agar hukuman mati diberlakukan bagi siapapun yang
membunuh gajah di cagar tersebut.[149] Penggunaan gajah dalam perang menyebar dari Asia
Selatan ke Persia[148] dan Asia Tenggara.[150] Bangsa Persia mulai menggunakannya pada masa
Kekaisaran Akhemeniyah (antara abad ke-6 hingga abad ke-4 SM),[148] sementara negara-negara
di Asia Tenggara kemungkinan menggunakan gajah perang untuk pertama kalinya pada abad ke-
5 SM dan berlanjut hingga abad ke-20.[150]

Aleksander Agung melatih tentaranya untuk melukai gajah dan membuat mereka panik selama
peperangan melawan Persia dan India. Ptolemaios, yang merupak
an salah satu jenderal Aleksander, menggunakan gajah perang asia selama masa kekuasannya di
Mesir (yang dimulai pada tahun 323 SM). Penerusnya, Ptolemaios II (yang mulai berkuasa pada
tahun 285 SM), memperoleh persediaan gajah perang dari Nubia. Semenjak itu, gajah perang
digunakan di wilayah Laut Tengah dan Afrika Utara pada periode klasik. Raja Yunani Pyrrhos
menggunakan gajah saat menyerang Romawi pada tahun 280 SM. Meskipun mampu membuat
takut kuda-kuda Romawi, gajah tidak berperan penting dan Pyrrhos pada akhirnya mengalami
kekalahan. Jenderal Qart Hadast Hannibal menyeberangi Pegunungan Alpen dengan gajah-
gajahnya selama perang melawan Romawi dan berhasil mencapai lembah Po pada tahun 217
SM, tetapi kemudian banyak gajah yang mati akibat penyakit.[148]

Kebun binatang dan sirkus

Anda mungkin juga menyukai