Tugas ini diselesaikan untuk memenuhi tugas kelompok dan disampaikan dalam presentasi
kelas secara online pada mata kuliah “Perkembangan Peserta Didik
Disusun Oleh:
KELOMPOK I
T.A 2021-2022
PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN DAN PENYESUAIAN DIRI PESERTA DIDIK
(Kemandirian)
A. Pengertian kemandirian
Istilah “kemandirian” berasal dari kata dasar “diri” yang mendapat awalan “ke” dan akhiran
“an”, kemudian membentuk satu kata keadaan atau kata benda. Karena kemandirian berasal dari
kata “diri”, maka pembahasan mengenai kemandirian tidak bisa lepas dari pembahasan tentang
perkembangan diri itu sendiri, yang dalam konsep Carl Rogers disebut dengan istilah self, karena
diri itu merupakan inti dari kemandirian Dengan demikian dapat dipahami bahwa kemandirian atau
otonomi adalah kemampuan untuk mengendalikan dan mengatur pikiran, perasaan dan tindakan
sendiri secara bebas serta berusaha sendiri untuk mengatasi perasaan-perasaan malu dan ragu-ragu.
B. Bentuk-bentuk Kemandirian
Berdasarkan pendapat Robert Havighurst dalam Desmita (2009: 186) membedakan kemandirian
atas lima bentuk kemandirian, yaitu sebagai berikut:
Kemandirian emosi, yaitu kemampuan mengontrol emosi sendiri dan tidak tergantungnya
kebutuhan emosi pada orang lain.
Kemandirian ekonomi, yaitu kemampuan mengatur ekonomi sendiri dan tidak tergantungnya
kebutuhan ekonomi pada orang lain.
Kemandirian intelektual, yaitu kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.
Kemandirian sosial, yaitu kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak
tergantung pada aksi orang lain.
Bentuk kemandirian diatas merupakan faktor yang sangat mempengaruhi suatu kemandirian peserta
didik, dimana yang dimulai dari kemandirian emosi, ekonomi, intelektual, dan sosial.
Steinberg dalam Desmita (2009: 186), karateristik kemandirian ada tiga bentuk, antara lain sebagai
berikut :
3.Kemandirian nilai (value autonomy), yakni kemampuan memaknai seperangkat prinsip tentang
benar dan salah, tentang apa yang pennting dan apa yang tidak penting.
a. Tingkat pertama, adalah tingkat impulsif dan melindungi diri. Ciri-cirinya yaitu peduli terhadap
kontrol dan keuntungan yang dapat diperoleh dari interaksinya dengan orang lain, cenderung
menyalahkan dan mencela orang lain serta lingkungannya.
b. Tingkat kedua, adalah tingkat konformistik. Ciri-cirinya yaitu peduli terhadap penampilan diri
dan penerimaan sosial, dan merasa berdosa jika melanggar aturan.
c. Tingkat ketiga, adalah tingkat sadar diri. Dimana mampu berpikir alternatif dan menekankan
pada pentingnya memecahkan masalah.
d. Tingkat keempat, adalah tingkat saksama (conscientious). Cirri-cirinya yaitu mampu melihat
diri sebagai pembuat pilihan dan pelaku tindakan, kemudian sadar akan tanggung jawab.
e. Tingkat kelima, adalah tingkat individualitas. Ciri-cirinya yaitu kesadaran akan konflik
emosional antara kemandirian dan ketergantungan, peduli akan perkembangan dan masalah sosial-
sosial.
f. Tingkat keenam, adalah tingkat mandiri. Ciri-cirinya yaitu cenderung bersikap realistik dan
objektif terhadap diri sendiri dan orang lain.
Pentingnya kemandirian bagi peserta didik, dapat dilihat dari situasi kompleksitas kehidupan
dewasa ini, yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kehidupan peserta didik.
Banyak pengaruh-pengaruh terhadap peserta didik seperti perkelahian, mengarah pada tindakan
criminal, penyalah gunaan obat dan alcohol. Dalam konteks proses belajar, terlihat adanya
fenomena peserta didik yang kurang mandiri dalam belajar sehingga menimbulkan gangguan
menatal setelah memasuki pendidikan lanjutan, kebiasaan belajar yang kurang baik ( seperti
menyontek, membolos, belajar hanya pada saat akan menjelang ujian, dan mencari bocoran-
bocoran).
Kemandirian adalah kecakapan yang berkembangan sepanjang rentang kehidupan individu yang
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman dan pedidikan. Oleh sebab itu, pendidikan
disekolah perlu melakukan upaya-upaya pengembangan kemandirian peserta didik (Desmita, 2009:
190), diantaranya:
Penyesuaian diri
Menurut Voleman (1971), berfungsinya self system pada seseorang melibatkan beberapa asumsi-
asumsi yang dibuat sendiri oleh individu yang bersangkutan. Asumsi-asumsi tersebut meliputi:
Reality assumption, yaitu pandangan individu mengenai dirinya sendiri, apa yang
dipikirkanya, siapa dirinya dan apa sebenarnya sifat-sifat dari lingkungannya.
Possibility assumption, yaitu pandangan individu mengenai hal-hal yang mungkin tentan
perubahan-perubahan, tentang kesempatan pengembangan diri dan hubungannya degan
lingkungan sosialnya.
Value assumption, yaitu pandangan individu tentang baik dan buruk, salah dan benar,
tentang yang diakui dan yang tidak diakui.
Asumsi-asumsi inilah yang akhirnya membentuk; frame of reference yang merupakan suatu
pandangan yang menetap pada diri individu dalam hubunganya dengan lingkungan, serta
merupakan hal penting untuk mengarahkan tingkah laku individu tersebut. Dalam beberapa hal
frame of reference yang dimiliki individu merupakan dasar untuk mengevaluasi pengalaman-
pengalaman baru, untuk Coping dengan dunianya.
Perbedaan individu ini menyebabkan konsep penyesuaian diri menjadi relative sifatnya, sehingga
tidak dapat dibuat suatu pilihan cara-cara dalam menghadapi stress tertentu secara pasti. Menurut
Schneider (1964), cara dalam menghadapi diri itu dikatakan relative karena:
Penyesuaian diri dirumuskan dan dievaluasi dalam pengertian kemauan seseorang untuk
mengubah atau untuk mengatasi tuntutan yang mengganggunya. Kemampuan ini berubah-
ubah sesuai dengan nilai-nilai kepribadian dan tahap perkembangannya.
Kualitas dari penyesuaian diri berubah-ubah terhadap beberapa hal yang berhubungan
dengan masyarakat dan kebudayaan.
Adanya variasi tertentu pada individu.
Penyesuaian diri yang sehat lebih merujuk pada konsep “sehat”nya kehidupan pribadi
seseorang, baik dalam hubungannya dengan diri sendiri, dengan orang lain, maupun dengan
lingkungannya. System penyesuaian diri ini merupakan kondisi untuk mengembangkan diri secara
optimal.
Mengacu pada beberapa konsep tentang sehatnya kepribadian individu yang diajukan oleh
beberapa ahli, seperti kepribadian normal (Chole, 1953), kepribadian produktif (Fromm dan
Gilmore, 1974), maka secara garis besar penyesuaian diri yang sehat dapat dilihat dari empat aspek
kepribadian, yaitu:
Merujuk pada iklim hubungan sosial dalam keluarga, apakah hubungan tersebut bersifat demokratis
atau otoriter.
Merujuk pada sejauhmana iklim keluarga memberikan kemudahan bagi perkemmabangn intelektual
ank, pekembangan berfikir logi atau irasional.
Merujuk pada sejauh mana stabilitas hubungan dan komunikasi di dalam keluarga terjadi.
Sementara itu dilihat dari konsep sosiopsikogenik, penyesuaian diri dipengaruhi oleh faktor iklim
lembaga sosial dimana individu terlibat didalamnya, (Desmita, 2009: 197), antara lain sebagai
berikut:
Merujuk pada sejauh mana perlakuan guru terhadap siswa dalam memberikan kemudahan bagi
perkembangan intelektual siswa sehingga tumbuh perasaan kompeten.