Bab 9
KONSEP DASAR PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK
Guru efektif merupakan istilah lain dari guru profesional mempunyai seperangkat
karaktersitik atau ciri-ciri tertentu. Untuk menggambarkan sosok guru profesional, Dedi
Supardi mengutip laporan dari satu jurnal bertajuk Educational Leadership edisi Maret 1993.
Karakteristik guru adalah segala tindak tanduk atau sikap dan perbuatan guru baik di sekolah
maupun di lingkungan masyarakat. Misalnya, sikap guru dalam meningkatkan pelayanan,
meningkatkan pengetahuan, memberi arahan, bimbingan dan motivasi kepada peserta didik,
cara berpakaian, berbicara, dan berhubungan baik dengan peserta didik, teman sejawat, serta
anggota masyarakat lainnya.
beberapa karakteristik guru efektif , antara lain:
a. Mempunyai cita-cita menjadi guru yang hebat atau professional,
b. Dalam kesehariannya tidak lepas dari yang namanya perencanaan yang matang,
c. Mampu menguasai teknologi, informasi dan komunikasi (tik),
d. Mampu membangun tim kerja yang kuat,
e. Mampu membangun networking yang kuat,
f. Menguasai metode pembelajaran dengan baik,
g. Mampu mengelola pembelajaran dengan baik,
h. Mempunyai semangat belajar yang kuat.
a. Berpandangan luas tentang dunia pengajaran yang bermuara pada proses pemanusiaan
manusia. Memiliki rasa humor, empatik pada siswa, jujur, fleksibel, demokratik,
berinteraksi secara ilmiah, mudah bergaul dengan siswa. Memiliki kelas yang senantiasa
terbuka dan dapat menumbuhkan kepercayaan siswa.
b. Memiliki rasa percaya diri dan mempercayai orang lain.
c. Memiliki pengetahuan dan informasi yang luas dalam bidangnya. Respek pada
pengetahuan, selalu mendorong siswa agar selalu belajar agar mereka memiliki kekuatan,
semangat, kebahagiaan, dan produktif
d. Mampu berkomunikasi secara efektif, mampu mengembangkan interaksi untuk
memaknai pendapat.
e. Memahami kapasitas peserta didik dalam menerima informasi dengan memberikan
informasi sesuai dengan kapasitas peserta didik Menjelaskan dan memberi ilustrasi
sebuah konsep secara abstrak maupun dengan contoh nyata.
f. Mengajar secara urut dan runtut yang meliputi semua aspek yang harus diajarkan.
g. Mengudang pendapat peserta didik dengan pertanyaan yang kritis, tetapi bertanya dengan
suasana rileks.
h. Menggunakan berbagai metode pembelajaran.
i. Mengantisipasi apa yang akan terjadi di kelas.
j. Mengenal perilaku peserta didik yang tidak sesuai dengan aktivitas yang sedang
berlangsung di kelas.
Menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBIonline) konsep adalah ide atau pengertian yang
diabstrakkan dari peristiwa konkret. Dasar Menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBIonline)
dasar adalah bagian yang terbawah. Jadi, dapat di simpulkan bahwa konsep dasar adalah ide atau
pengertian yang bersifat konkret dan menjadi landasan yang mendasar.
1. Dinamika Pandangan Tentang Peserta Didik
2. Peserta didik sebagai subjek pendidikan
3. Perkembangan peserta didik
Bab 10
PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN & PENYESUAN DIRI PESERTA DIDIK
A. Perkembangan Kemandirian
a. Pengertian Kemandirian
kemandirian atau otonomi adalah kemampuan untuk mengendalikan dan mengatur
pikiran, perasaan dan tindakan sendiri secara bebas serta berusaha sendiri untuk
mengatasi perasaan-perasaan malu dan keragu-raguan Kemandirian biasanya ditandai
dengan kemampuan menentukan nasib sendiri, kreatif dan inisiatif, mengatur tingkah
laku, bertanggung jawab, mampu menahan diri, membuat keputusan- keputusan sendiri,
serta mampu mengatasi masalah tanpa ada pengaruh dari orang lain. Kemandirian
merupakan suatu sikap otonomi di mana peserta didik secara relatif bebas dari pengaruh
penilaian, pendapat dan keyakinan orang lain.
b. Bentuk-bentuk Kemandirian
Robert Havighurst (1972) membedakan kemandirian atas tiga bentuk kemandirian,
yaitu:
• Kemandirian emosi, yaitu kemampuan mengontrol emosi sendiri dan tidak tergantungnya
kebutuhan emosi pada orang lain.
• Kemandirian ekonomi, yaitu kemampuan mengatur ekonomi sendiri dan tidak
tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang lain.
• Kemandirian intelektual, yaitu kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang
dihadapi.
• Kemandirian sosial, yaitu kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain
dan tidak tergantung pada aksi orang lain
Steiberg (1993) membedakan karakteristik kemandirian atas tiga bentuk, yaitu:
• Kemandirian emosional, yakni aspek kemandirian yang menyatakan perubahan
kedekatan hubungan emosional antar iindividu, seperti hubungan emosional peserta didik
dengan guru atau dengan orangtuanya.
• Kemandirian tingkah laku, yakni suatu kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan
tanpa tergantung pada orang lain dan melakukannya secara bertanggung jawab.
• Kemandirian nilai, yakni kemampuan memaknai seperangkat prinsip tentang benar dan
salah, tentang apa yang penting dan apa yang tidak penting.
c. Tingkatan dan Karakteristik Kemandirian
Tingkat pertama, adalah tingkat impulsif dan melindungi diri.
Tingkat kedua, adalah tingkat konformistik.
Tingkat ketiga, adalah tingkat sadar diri?
Tingkat keempat, adalah tingkat saksama(conscientious).
Tingkat kelima, adalah tingkat individualitas.
Tingkat keenam, adalah tingkat mandiri
d. Perkembangan Kemandirian Peserta Didik dan Implikasinya Bagi Pendidikan
pendidikan di sekolah perlu melakukan upaya-upaya pengembangan
kemandirian peserta didik, di antaranya:
1. Mengembangkan proses belajar mengajar yang demokratis, yang memungkinkan
anak merasa dihargai.
2. Mendorong anak untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dan
dalam berbagai kegiatan sekolah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri dari dilihat dari konsep psikogenik dan
sosiopsikogenik. Psikogenik memandang bahwa penyesuaian diri dipengaruhi oleh riwayat
kehidupan sosial individu, terutama pengalaman khusus yang membentuk perkembangan
psikologis. Pengalaman khusus ini lebih banyak berkaitan dengan latar belakang kehidupan
keluarga, terutama menyangkut aspek-aspek:
• 1. Hubungan orangtua-anak, yang merujuk pada iklim hubungan sosial dalam keluarga,
apakah hubungan tersebut bersifat demokratis atau otoriter yang mencakup:
• a. Penerimaan-penolakan orangtua terhadap anak.
• b. Perlindungan dan kebebasan yang diberikan kepada anak.
• c. Sikap dominatif-integratif (permisif atau sharing).
• d. Pengembangan sikap mandiri-ketergantungan.
2. Iklim intelektual keluarga, yang merujuk pada sejauhmana iklim keluarga memberikan
kemudahan bagi perkembangan intelektual anak, pengembangan berpikir logis atau
irrasional, yang mencakup!
• a. Kesempatan untuk berdialog logis, tukar pendapat dan gagasan.
• b. Kegemaran membaca dan minat kultural.
• c. Pengembangan kemampuan memecahkan masalah.
• d. Pengembangan hobi.
• e. Perhatian orangtua terhadap kegiatan belajar anak.
3. Iklim emosional keluarga, yang merujuk pada sejauhmana stabilitas hubungan dan
komunikasi di dalam keluarga terjadi,
• a. Intensitas kehadiran orangtua dalam keluarga.
• b. Hubungan persaudaraan dalam keluarga.
• c. Kehangatan hubungan ayah-ibu.
Sementara itu dilihat dari konsep sosiopsikogenik, penyesuaian
diri dipengaruhi oleh faktor iklim lembaga sosial di mana individu terlibat di dalamnya.
Bagi peserta didik, faktor sosiopsikogenik yang dominan memengaruhi penyesuaian
dirinya adalah sekolah, yang mencakup:
1. Hubungan guru-siswa, yang merujuk pada iklim hubungan sosial dalam sekolah,
apakah hubungan tersebut bersifat demokratis atau otoriter, yang mencakup:
a. Penerimaan-penolakan guru terhadap siswa.
b. Sikap dominatif (otoriter, kaku, banyak tuntutan) atau integratif (permisif, sharing,
menghargai dan mengenal perbedaan individu).
c. Hubungan yang bebas ketegangan atau penuh ketegangan.
2. Iklim intelektual sekolah, yang merujuk pada sejauh mana perlakuan guru terhadap
siswa dalam memberikan kemudahan bagi perkembangan intelektual siswa sehingga
tumbuh perasaan kompeten, yang mencakup:
a. Perhatian terhadap perbedaan individual siswa.
b. Intensitas tugas-tugas belajar.
c. Kecenderungan untuk mandiri atau berkonformitas pada siswa.
d. Sistem penilaian.
e. Kegiatan ekstrakurikuler.
f. Pengembangan inisiatif siswa.
Bab 11
Perkembangan Resiliensi Peserta Didik
A. Asal usul konsep resiliensi
Resiliensi pada prinsipnya adalah sebuah konsep yang relatif baru dalam khasanah
psikologi. Paradigma resiliensi didasari oleh pandangan kontemporer yang muncul
darilapangan psikiatri, psikologi, dan sosiologi tentang bagaimana anak, remaja dan
orangdewasa dapat bangkit kembali dan bertahan dari kondisi stres, trauma dan resiko
dalamkehidupan mereka.
B. Pengertian resiliensi
Istilah resiliensi diintrodusir oleh Redl pada tahun 1969 yang digunakan untuk menggambarkan
bagian positif dari perbedaan individual dalam respon seseorang terhadap stress dan keadaan
yang merugikan (adversity) lainnya (Smaet, 1994). Istilah resiliensi diadopsi sebagai ganti dari
istilah-istilah yang sebelumnya telah digunakan oleh para peneliti untuk menggambarkan
fenomena, seperti : “invulnerable” (kekebalan), “invincible” (ketangguhan), dan “hardy”
(kekuatan), karena dalam proses menjadi resilien tercakup pengenalan perasaan sakit, perjuangan
dan penderitaan (Handerson & Milstein, 2003).[1]
Menurut Bernard (1991), seorang yang resilien biasanya memiliki empat sifat-sifat umum, yaitu :
1. Social competence (kompetensi sosial): kemampuan untuk memunculkan respons yang
positif dari orang lain, dalam artian mengadakan hubungan-hubungan yang positif dengan orang
dewasa dan teman sebaya.
2. Problem-solving skills/metacognition (keterampilan pemecahan masalah/metakognitif):
perencanaan yang memudahkan untuk mengendalikan diri sendiri dan memanfaatkan akal
sehatnya untuk mencari bantuan dari orang lain.
3. Autonomy (otonomi): suatu kesadaran tentang identitas diri sendiri dan kemampuan untuk
bertindak secara independen serta melakukan pengontrolan terhadap lingkungan.
4. A sense of purpose and future (kesadaran akan tujuan dan masa depan): kesadaran akan
tujuan-tujuan, aspirasi pendidikan, ketekunan (persistence), penghargaan dan kesadaran akan
suatu masa depan yang cemerlang (bright).
Berdasarkan consensus dari sejumlah peneliti dan praktisi yang terlibat aktif dalam
pengembangan resiliensi, The International Resilience Project merumuskan ciri-ciri atau sifat-
sifat seorang yang resilien dalam tiga kategori, yaitu : (1) External supports and resources, (2)
internal, personal strengths dan (3) social, interpersonal skills.
D. Upaya Pengembangan Resiliensi Peserta Didik
Dalam upaya sekolah membantu perkembangan resiliensi siswa, Henderson dan Milstein
(2003) mengintrodusir enam tahap strategi (six-steps strategy), yang disebutkan dengan istilah
“The Resiliensi Wheel” (Roda Resiliensi). Tahap pengembangan reseliensi siswa di sekolah
tersebut adalah sebagai berikut :
Tahap 1 Increase Bonding
Tahap dalam membangun resiliensi siswa disekolah adalah dengan memperkuat
hubungan-hubungan (relationships). Tahap ini meliputi peningkatan hubungan di antara individu
dan pribadi prososial. Hal ini penting, karena fakta menunjukkan bahwa siswa yang memiliki
relasi atau keterikatan yang positif jauh lebih mampu menghindari perilaku berisiko
dibandingkan dengan siswa yang tidak mimiliki keterikatan. Bila siswa dapat bergaul dengan
baik, biasanya mereka juga menunjukkan perilaku dan sikap yang positif dan saling membantu.
Mereka juga saling memberikan dorongan untuk belajar, aling memberikan saran dan saling
tolong menolong.