Anda di halaman 1dari 78

Lampiran 1.

KODE ETIK RUMAH SAKIT INDONESIA


(KODERSI)

MUKADIMAH

Bahwa lembaga perumahsakitan telah tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari
sejarah peradaban manusia, yang bersumber pada kemurnian rasa kasih sayang,
kesadaran sosial dan naluri untuk saling tolong menolong diantara sesama, sera
semangat keagamaan yang tinggi dalam kehidupan umat manusia.

Bahwa sejalan dengan perkembangan peradaban umat manusia,perkembangan tatanan


sosio-budaya masyarakat, dan sejalanpula dengan kemajuan ilmu dan teknologi
khususnya dala bidangkedokteran dan kesehatan, rumah sakit telah berkembang
menjadi suatu lembaga berupa suatu "unit sosio-ekonomi" yang majemuk.

Bahwa perumahsakitan di Indonesia, sesuai dengan perjalanan sejarahnyatelah


memilikijati diri yang khas, ialah dengan mengakarnya azas perumahsakitan
Indonesia kepada azas Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sebagai falsafah
bangsa dan Negara RepublikIndonesia.

Bahwa dalam menghadapi masa depan yang penuh tantangan diperlukan upaya
mempertahankan kemurnian nilai-nilai dasar perumahsakitan Indonesia.
Dengan rahmat Tuan Yang Maha Esa, serta didorong oleh niat
suci dan keinginan luhur, demi tercapainya:
1. Masyarakat Indonesia yang sehat, adil dan makmur, merata material spiritual
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Pembangunan manusia dan masyarakat Indonesia seutunnya,khususnya dalam
bidang kesehatan.

Rumah sakit di Indonesia yang tergabung dalam Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia (KERSI), mempersembahkan Kode Etik Rumah Sakit Indonesia
(KODERSI), yang memuat rangkuman nilai-nilai dan norma-norma perumahsakitan
di Indonesia.
BABI
Kewajiban Umum Rumah Sakit

Pasal 1
Rumah Sakit harus mentaati Kode Etik Rumah Sakit Indonesia
(KODERSI)

Pasal 2
Rumah sakit harus dapat mengawasi serta bertanggung jawab terhadap semua
kejadian di rumah sakit.

Pasal 3
Rumah sakit harus mengutamakan pelayanan yang baik dan bermutu secara
berkesinambungan sera tidak mendahulukan urusan biaya.

Pasal 4
Rumah sakit harus memelihara semua catatan/ arsip baik medik maupun non medik
secara baik.

Pasal 5
Rumah sakit harus mengikuti perkembangan dunia perumahsakitan.

BAB II
Kewajiban Rumah Sakit Terhadap Masyarakat dan
Lingkungan

Pasal 6
Rumah sakit harus jujur dan terbuka, peka terhadap saran dan kritik masyarakat dan
berusaha agar pelayanannya menjangkau diluar rumah sakit.

Pasal 7
Rumah sakitharus senantiasa menyesuakan kebiakan pelayanannya pada harapan dan
kebutuhan masyarakat setempat.
Pasal 8
Rumah skit dalam menjalankan operasionalnya bertanggung jawab terhadap
lingkungan agar tdak terjadi pencemaran yang merugikan masyarakat.
BAB III
Kewajiban Rumah Sakit Terhadap Pasien

Pasal 9
Rumah sakit harus mengindahkan hak-hak pasien.

Pasal 10
Rumah sakit harus memberikan penjelasan apa yang diderita pasien dan tindakan apa
yang hendak dilakukan.

Pasal 11
Rumah sakit harus meminta persetujuan pasien (informedconsent) sebelum
melakukan tindakan medik.

Pasal 12
Rumah sakit berkewajiban melindungi pasien dari penyalahgunaan
teknologi kedokteran.

BAB IV
Kewajiban Rumah Sakit Terhadap Pimpinan, Staf dan Karyawan.

Pasal 13
Rumah sakit harus menjamin agar pimpnan, staf dan karyawannya senantiasa
mematuhi etika profesi masing-masing.

Pasal 14
Rumah sakit harus mengadakan seleksi tenaga staf dokter, perawat dan tenaga lainnya
berdasarkan nilai, norma dan standar ketenagaan.

Pasal 15
Rumah sakit harus menjamin agar koordinasi serta hubungan yang baik antara seluruh
tenaga di rumah sakit dapat terpelihara.

Pasal 16
Rumah sakit harus member kesempatankepada seluruh tenaga rumah sakit untuk
meningkatkan dan menambah ilmu pengetahuan setiap keterampilannya.

Pasal 17
Rumah sakit harus mengawasi agar penyelenggaraan pelayanan dilakukan
berdasarkan standar profesi yang berlaku.

Pasal 18
Rumah sakit berkewajiban member kesejahteraan kepada karyawan dan menjaga
keselamatan kerja sesuai dengan peraturan yang berlaku.
BAB V
Hubungan Rumah Sakit Dengan Lembaga Terkait

Pasal 19
Rumah sakit harus memeihara hubundan yang baik dengan pemilk berdasarkan nilai-
nila dan etika yang berlaku di masyarakat Indonesia

Pasal 20
Rumah sakit harus memelihara hubungan yang baik antar rumah
sakit dan menghindari persaingan yang tidak sehat.

Pasal 21
Rumah sakit harus berusaha membantu kegiatan pendidikan tenaga kesehatan dan
penelitian dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran dan kesehatan.

Pasal 22
Rumah sakit harus berusaha membantu kegiatan pendidikan tenaga kesehatan dan
penelitian dalam bidang ilmu pengetahua dan teknologi kedokteran dan kesehatan.

BAB VI
Lain-lain

Pasal 23
Rumah sakit dalam melakukan promosi pemasaran harus besifat informatif, tidak
komparatif, berpijak pada dasar yang nyata, tidak berlebihan dan berdasarkan Kode
Etik Rumah Sakit Indonesia.

Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI) ini telah direvisi dan
disahkan pada kongres KERSI ke VIll tahun 2000 di Jakarta.

MAERSI PUSAT
(Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit Indonesia)
Ketua,
Dr. H. Imam Hilman, MPH, SpR
Lampiran 2
KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
Tahun 2001
MUKADIMAH
Sejak permulaan sejarah yang tersurat mengenai umat manusia, sudah dikenal
hubungan kepercayaan antara dua insan yaitu antara sang pengobat dan pasien. Dalam
zaman modern, hubungan ini disebut hubungan kesepakatan terapeutik antara dokter
dan pasien (pasien) yang dilakukan dalam suasana saling percaya mepercayai
(konfidensial) serta senatiasa diliputi ole segala emosi, harapan dan kekhawatiran
makhluk insani.
Sejak terwujudnya sejarah kedokteran, seluruh umat manusia mengakui
serta mngetahui adanya beberapa sifat mendasar (fundamental) yang meleka secara
mutlak pada diri seorang dokter yang baik dan bijaksana, yaitu sifat ketuhanan,
kemurnian niat, keluhuran budi, kerendahan hati, kesungguhan kerja, integritas
ilmiah dan social sera kesejawatan yang tidak diragkan.
Inhotep dari Mesir, Hippocrates dari Yunani, Galenus dari Roma,merupakan
beberapa ahli kedokteran kuno yang telah meletakan sendi-sendi permulaan untuk
terbinanya suatu tradisi kedokteran yang mulia. Beserta semua tokoh dan organisasi
kedokteran yang tamil ke forum internasional, kemudian mereka bermaksud
mendasarkan tradisi dan disiplin kedokteran tersebut atas suatuetik professional. Etik
tersebut, sepanjang masa mengutamakan pasien yang berobat serta demi keselamatan
dan kepentingan pasien. Etik ini sendiri memuat prinsip-prinsip, yaitu: beneficence,
nonmaleficence, autonomi dan justice.
Etik kedokteran sudah sewajarnya dilandaskan atas norma-norma etik yang
mengatur hubungan manusia umumnya, dan dimiliki asas-asasnya dalam falsafah
masyarakat yang diterimada dikembangkan terus. Khususnya di Indonesia, asas itu
adalahPancasila yang sama-sama kita akui sebagai landasan idiil dan Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai landasan structural.
Dengan maksud untuk lebih nyata mewujudkan kesungguhan dan eluhuran ilmu
kedokteran, kami para, dokter Indonesia baik yang tergabung secara profesional"
dalam ikatan Dokter Indonesia,maupun secara fungsional terkait dalam organisasi
dalam bidang pelayanan, pendidikan serla penelitian kesehatan dan
kedokteran,dengan rahmat Tuan Yang Maha, Esa, telah merumuskan Kode Etik
kedokteran Indonesia (KODEKI), yang diuraikan dalam pasal-pasal berikut:

KEWAJIBAN UMUM

Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.

Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesnya sesuai dengan
standar profesi yang tertinggi.
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokteran, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
sesuatu yang mengakbatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.

Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.

Pasal 5
Tap perbuatan atau nasihat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun
fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh
persetujuan pasien.

Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan
setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan
hl-hal yang dapat menimbulkan kersahan masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa
sendiri kebenarannya.
Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis
yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih
sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki
kekurangan dalam karakter atu kompetensi, atau yang melakukan penpuan atau
penggelapan, dalam menangani pasien.
Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya dan hak
tenaga kesehatan lainnya dan harus menjaga kepercayaan pasien.
Pasal 7
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup mhluk
insansi.
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaan seorang dokter harus memperhatikan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
(promotif, preventif, kuratif dan reha bilitatif) baik fisik maupun psiko-sosial, serta
berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat dibidang kese hatan dan bidang
lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN


Pasal 10
Setiap dokter wajib nersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ia tidak mamp melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk
pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dan beribadat dan atau dalam
masalah lainnya.
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
pasien, bahkan setlah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT

Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.
Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRI


Pasal 16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran/ kesehatan.

PENJELASAN
KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Sumpah doketr di Indonesia telah diakui dalam PP No. 26 Tahun 1960. Lafal ini terus
disempurnakan sesuai dengan dinamikan perkembangan internal dan eksternal profesi
kedokteran baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Penyempurnaan
dilakukan pada Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran II, tahun 1981, pada
Rapat Kerja Nasional Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) dan Majelis
Pembina dan Pembelaan Anggota.(MP2A), tahun 1993, dan pada Musyawarah Kerja
Nasional Etika Kedokteran III, tahun 2001.
Pasal 2
Yang dimaksud dengan ukuran tertinggi dalam melakukan profesi kedokteran
mutakhir, yaitu sesuai dengan perkembangan IPTEK kedokteran, etika umum, etika
kedokteran, hokum dan agama, sesuai tingkat/jenjang pelayanan kesehatan, serta
kondisi dan situasi setempat.

Pasal 3
Perbuatan berikut dipandang bertentangan dengan etik:
1. Secara sendiri atau bersama-sama menerapkan pengetahuan dan keterampilan
kedokteran dalam segala bentuk, tanpa kebebasan dan kemandirian profesi.
2. Menerima imbalan selain dari pada yang layak, sesuai dengan jasanya, kecuali
dengan keikhlasan dan pengetahuan dan atau kehendak pasien.
3. Membuat ikatan atau menerima imbalan dari perusahaan alat kesehatan/ kedokteran
atau badan lain yang dapat mempengaruhi pekerjaan dokter.
4. Melibatkan diri secara langsung atau tidak langsung untuk mempromosikan obat,
alat atau bahan lain guna kepentingan dan keuntungan pribadi dokter.

Pasal 4
Seorang dokter harus sadar bahwa pengetahuan dan keterampilan profesi yang
dimilikinya adalah karena karunia dan kemurahan Tuhan Yang Maha Esa semata.
Dengan demikian imbalan jasa yang diminta didalam batas-batas yang wajar.
Hal-hal berikut merupakan contoh yang dipandang bertentangan dengan etik:
a. Menggunakan gelar yang tidak menjadi haknya.
b. Mengiklankan kemampuan atau kelebihan-kelebihan yang dimiliki baik lisan
maupun dalam tulisan.

Pasal 5
Sebagai contoh, tindakan pembedahan pada waktu operasi adalah tindakan demi
kepentingan pasien.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan mengumumkan ialah menyebarluaskan baik secara lisan,
tulisan maupun melalui cara lainnya kepada orang lain atau masyarakat.
Pasal 7
Cukup Jelas

Pasal 7a
Cukup Jelas

Pasal 7b
Cukup Jelas

Pasal 7c
Cukup Jelas

Pasal 7d
Cukup Jelas

Pasal 8
Cukup Jelas

Pasal 9
Cukup Jelas

Pasal 10
Dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut adalah dokter yang
mempunyai kompetensi keahlian dibidang tertentu menurut dokter yang waktu itu
sedang menangani pasien.
Pasal 11
Cukup Jelas

Pasal 12
Kewajiban ini sering disebut sebagai kewajiban memegang teguh rahasia jabatan yang
mempunyai aspek hokum dan tidak bersifat mutlak.

Pasal 13
Kewajiban ini dapat tidak dilaksanakan apabila dokter tersebut terancam jiwanya.

Pasal 14
Cukup Jelas

Pasal 15
Setik seharusnya bila seorang dokter didatangi oleh seorang pasien yang diketahui
telah ditangani oleh dokter lain, maka ia segera memberitahu dokter yang telah
terlebih dahulu melayani pasien tersebut. Hubungan dokter-pasien terputus bila pasien
memutuskan hubungan tersebut. Dalam hal ini dokter yang bersangkutan seyogyanya
tetap memperhatikan kesehatan pasien yang bersangkutan sampai dengan saat pasien
telah ditangani oleh dokter lain.

Pasal 16
Cukup Jelas

Pasal 17
Cukup Jelas
Lampiran 3
KODE ETIK
KEDOKTERAN GIGI INDONESIA MUKADIMAH
Bahwa profesi dokter gigi mempunyai tugas mulia yang tidak terlepas dari fungsi
kemanusiaan dalam bidang kesehatan, maka perlu memiliki kode etik yang dijiwai
oleh nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, didasarkan pada asas etika
yang meliputi: penghargaan atas hak otonomi pasien, baik hati, tidak merugikan, adil,
setia dan jujur.
Seorang Dokter Gigi dalam menjalankan profesinya perlu mem bawa diri
dalam sikap dan tindakan yang terpuji. Ia harus bertindak dengan penuh kejujuran dan
bertanggung jawab, baik dalam berinte raksi dengan Pasien, masyarakat, teman
sejawat, maupun profesinya.
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa serta didorong keinginan luhur untuk
mewujudkan martabat, wibawa dan kehormatan Profesi Kedokteran Gigi, maka
Dokter Gigi yang tergabung dalam wadah Persatuan Dokter Gigi Indonesia dengan
penuh kesadaran dan tanggung jawab menetapkan Kode Etik Kedokteran Dokter Gigi
Indonesia (KODEKGI) yang wajib dihayati, ditaati dan diamalkan oleh setiap dokter
gigi yang menjalankan profesinya di wilayah hukum Indonesia.

BAB I
KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1
Setiap Dokter Gigi di Indonesia wajib menghayati, mentaati dan mengamalkan Kode
Etik Kedokteran Gigi Indonesia.
Pasal 2
Setiap Dokter Gigi di Indonesia wajib menjunjung tinggi norma norma kehidupan
yang luhur dan senantiasa menjalankan profesinya secara optimal.
Pasal 3
Dalam menjalankan profesinya setiap Dokter Gigi di Indonesia tidak boleh
dipengaruhi oleh pertimbangan untuk mencari keuntungan pribadi.
Pasal 4
Setiap Dokter Gigi di Indonesia harus memberi kesan dan keterangan atau pendapat
yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 5
Setiap Dokter Gigi di Indonesia agar menjalin kerjasama yang baik dengan tenaga
kesehatan lainnya.
Pasal 6
Setiap Dokter Gigi di Indonesia dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat, wajib bertindak sebagai motivator, pendidik dan pemberi pelayanan
kesehatan (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative).

BAB II
KEWAJIBAN DOKTER GIGI TERHADAP PASIEN
Pasal 7
Dalam menjalankan profesinya, setiap Dokter Gigi di Indonesia wajib memberikan
informasi yang cukup kepada pasiennya.
Pasal 8
Dokter Gigi dalam menyelenggarakan prakteknya, harus mampu mengendalikan mutu
pelayanan dan jangan meminta imbalan jasa yang tidak wajar.

Pasal 9
Dalam hal ketidakmampuan melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan; Dokter
Gigi wajib mengkonsultasikan atau merujuk pasien ke Dokter atau Dokter Gigi lain
yang memiliki keahlian atau kemampuan yang lebih baik.
Pasal 10
Dokter Gigi tidak boeh menolak atau mengarahkan pasien yang datang ketempat
prakteknya berdasarkan pertimbangan ras, agama, warna kulit, jender, kebangsaan
atau penyakit tertentu.
Pasal 11
Setiap Dokter Gigi di Indonesia wajib merahasiakan segala sesuatu yang ia ketahui
tentang pasien, bahkan setelah pasien meninggal dunia.
Pasal 12
Dokter Gigi wajib menyimpan, menjaga dan merahasiakan Catatan Medik Pasien.
Pasal 13
Setiap Dokter Gigi di Indonesia wajib memberikan pertolongan darurat dalam
batas-batas kemampuannya, sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali pada waktu
itu ada orang lain yang lebih mampu memberi pertolongan.

BAB III
KEWAJIBAN DOKTER GIGI TERHADAP TEMAN
SEJAWAT
Pasal 14
Setiap Dokter Gigi di Indonesia harus memperlakukan teman sejawatnya
sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan
Pasal 15
Setiap Dokter Gigi di Indonesia tidak dibenarkan mengambil alih Pasien dari teman
sejawatnya tanpa persetujuannya.
Pasal 16
Apabila berhalangan menyelenggarakan praktik, harus membuat pemberitahuan atau
merujuk pengganti.
BAB IV
KEWAJIBAN DOKTER GIGI TERHADAP DIRI SENDIRI
Pasal 17
Setiap Dokter Gigi di Indonesia wajib mempertahankan dan mening katkan martabat
dirinya.
Pasal 18
Setiap Dokter Gigi di Indonesia wajib mengikuti secara aktif perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta etika.
Pasal 19
Setiap Dokter Gigi di Indonesia harus memelihara kesehatannya supaya dapat bekerja
dengan baik.
BAB V
PENUTUP
Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia wajib dihayati dan diamalkan oleh setiap
Dokter Gigi di Indonesia.

PENJELASAN
KODE ETIK KEDOKTERAN GIGI INDONESIA
BAB I
KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1
Setiap Dokter Gigi di Indonesia wajib menghayati, mentaati dan mengamalkan Lafal
Sumpah/ Janji Dokter Gigi Indonesia dan ber perilaku sesuai dengan Kode Etik
Kedokteran Gigi Indonesia.
Penjelasan:
Pengucapan sumpah/ janji Dokter Gigi dilakukan dihadapan Ketua Persatuan Dokter
Gigi Indonesia atau yang ditunjuk. Bagi yang tidak mengucapkan sumpah, kata
sumpah diganti dengan janji.
Pasal 2
Setiap Dokter Gigi di Indonesia wajib menjujung tinggi norma-norma kehidupan yang
luhur dan senantiasa menjalankan profesinya secara optimal.
Penjelasan:
Dokter Gigi di Indonesia adalah Dokter Gigi yang bekerja di Indonesia sesuai dengan
Peraturan dan Undang-Undang yang berlaku.
Profesi Kedokteran Gigi adalah pekerjaan kedokteran gigi yang dilaksanakan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, mem punyai kompetensi yang diperoleh
melalui pendidikan berjenjang dan mempunyai Kode Etik. Pelaksanaan profesinya
meliputi pengabdian dalam bidang Pelayanan, Pendidikan dan Penelitian.
Memberikan pelayanan yang optimal hendaknya memenuhi ketentuan Standar Profesi
dan Standar Prosedur Operasional, sesuai dengan ukuran Ilmu Kedokteran Gigi
mutakhir, Etika Profesi, Etika Umum,

Hukum dan Agama. Tetapi tidak diartikan sebagai keharusan bagi seorang dokter gigi
untuk mempunyai peralatan, bahan dan obat obatan yang mahal juga diidentikan
dengan biaya pengobatan yang nggi. Dengan peralatan yang serba sederhana dan
bahan yang idak terlampau mahal pun seorang dokter gigi dapat memberikan
pelayanan yang baik sesuai dengan standar profesi.
Pasal 3
Dalam menjalankan profesinya Dokter Gigi di Indonesia tidak boleh dipengaruhi oleh
pertimbangan untuk mencari keuntungan pribadi.
Penjelasan:
Perbuatan yang tidak sesuai dengan Kode Etik antara lain:
1. Perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri, baik menyangkut kepandaian,
peralatan maupun cara pengobatan.
2. Melakukan pelayanan Kedokteran Gigi yang tidak sesuai dengan indikasinya.
3. Melakukan pelayanan Kedokteran Gigi yang tidak sesuai dengan kemampuan dan
kewenangannya.
4. Menggunakan gelar dan sebutan yang tidak sah.
5. Mengadakan wawancara dengan maksud publikasidirinya, kehebatan peralatannya
atau metode pengobatannya dan atau membuat selebaran untuk maksud yang
sama.
6. Mempromosikan prakteknya, baik melalui media cetak, elek tronik dan media
lainnya.
Pemberitahuan (pemasangan iklan) yang dianggap tidak ber tentangan dengan etik
adalah:
• Pada pembukaan praktik baru, atau pada waktu cuti/ buka kembali setelah cuti
paling banyak sampai 2 (dua) kali pemasangan. Besarnya iklan tidak melebihi
2 (dua) kolom kesamping dan 5 (lima) cm kebawah. Teks iklan harus dan
hanya mengandung tulisan nama, gelar dokter gigi, spesialis (kalau ada) hari
dan jam praktik, alamat dan nomor telepon. Pemasngan iklan diluar surat
kabar/ Koran tidak dibenarkan.
• Informasi profil dokter gigi yang dikeluarkan oleh Instansi dan atau Organisasi
profesi yang berwenang baik melalui media cetak maupun elektronik.

7. Memasang papan nama yang tidak wajar di tempat praktik. Papan nama termasuk
neon box yang dianggap tidak bertentangan dengan etik adalah:
• Ukuran: 40 X 60 cm, tidak melebihi 60 X 90 cm, dasar putih tulisan hitam.
• Papan nama tidak boleh dimainkan warna lain dan apabila diperlukan, papan
nama tersebut bias diberikan penerangan yang tidak bersifat iklan.
• Tulisan hanya nama, gelar dan sebutan yang sah yang sesuai dengan SIP, hari
dan jam praktik, Nomor Surat Ijin Praktik, alamat dan nomor telepon.
• Bagi Dokter Gigi Spesialis Non Klinis apabila melakukan praktik sebagai
Dokter Gigi Praktek Umum baik dalam SIP maupun papan nama tidak boleh
mencantumkan sebutan spesialisnya.
• Bila dianggap perlu Papan Nama, Tulisan: <<Dokter Gigi>> boleh
ditambahkan garis miring Dentist (Dokter Gigi/ Dentist). Demikian juga
halnya untuk sebutan spesialisnya boleh memakai terjemahannya dalam
Bahasa Inggris.

DOKTER GIGI
SONNY BUNGSU
SPESIALIS ORTHODONTI/
ORTHODONTIST
PRAKTEK SETIAP HARI KERJA
JAM 17.00-19.00
JL. MERDEKA 45
TELEPON 170845
NO.SIP.DG.00757/S-4-04/12.92

• Papan nama untuk praktek bersama ukurannya maksimal papan nama


perorangan dikalilan jumlah dokter gigi yang praktek.
• Selain tulisan tersebut diatas tidak dibenarkan menambahkan tulisan lain atau
gambar apapun kecuali dalam hal tertentu dapat dipasang tanda panah untuk
menunjukan arah tempat praktek, sebanyak-banyaknya dua papan nama.
8. Menggunakan kertas resep, kwitansi, amplop, surat keterangan dokter, cap dan
amplop yang tidak wajar.
• Dalam kertas resep yang wajar harus tercantum: Tulisan nama, gelar dokter
gigi, dokter gigi spesialis, nomor ijin praktek, alamat dan nomor telepon.
Seandainya tempt praktek berlainan dengan tempat tinggal, dapat ditambahkan

alamat rumah dan nomor telepon.

Pasal 4

Setiap Dokter Gigi di Indonesia harus memberikan kesan dan keterangan tau pendapat yang dapat

dipertanggungjawabkan.

Penielasan:

Dalam menjalankan profesinya Dokter Gigi sering harus menulis keterangan misalnya,keterangan

tertulis tersebut haruslah cocok dengan keadaan sebenarnya dan harus dapat

dipertanggungjawabkan.

Dokter gigi tidak dibenarkan memberikan kesan yang menyesatkan dan menimbulkan penafsiran

yang keliru. Contoh: Dokter Gigi mengesan kan kepada pasien atau orang lain bahwa dirinya

seolah-olah telah menjadi dokter spesialis, padahal dia hanya memperolen sertifikat setelah

mengikuti kursus saja.

Pasal 5

Setiap Dokter Gigi di Indonesia agar menjalin kerjasama yang baik dengan tenaga kesehatan

lainnya.

Penjelasan:

Dalam rangka pelaksanaan pelayanan kesehatan yang menyeluruh, setiap doketr gigi harus dapat

bekerjasama yang baik, harmonis dan saling menghagai dengan tenaga kesehatan lainnya. Tip

tenaga kesehatan harus diperlakukan dan dihargai sesuai peran dan fungsinya. Koeksi dan teguran

bilamana perlu, agar diberikan dengan cara bijaksana.

Pasal 6

Setiap Dokter Gigi di Indonesia dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, wajib

bertindak sebagai motivator, pendidik dan pemberi pelayanan kesehatan (promotif, preventif,

kuratif dan rehabilitatif)

Penielasan;

Dokter gigi harus memberikan pendidikan dan menjadi panutan masyarakat mengenai pentingnya

memelihara kesehatan gigi dan mulut, dalam kaitannya dengan kesehatan umum yang dapat
dilakukan dimana saja.

BAB Il

KEWAJIBAN DOKTER GIG TERHADAP PASIEN

Pasal 7

Dalam menjalankan profesinya, setiap Dokter Gigi di Indonesia wajib meberikan informasi yang

cukup untuk pasiennya.

Penielasan:

Dokter gigi wajib memberikan informasi, pemahaman dan mendapat persetujuan tentang prosedur

tindakan apa yang akan dilakukan terhadap pasien atau keluarga atau walinya, baik tertulis, lisan

maupun tersirat termasuk besarnta biaya untuk tindakan tersebut.

Selain itu Dokter Gigi juga harus memperhatikan hak pasien antara lain hak untuk bertanya

tentang tidakan yang akan dilakukan, memilih perawatan yang dikehendaki, memilih jenis bahan

yang dikehendaki ataupun menolak perawatan yang dijelaskan oleh dokter gigi.

Sebagai contoh, dalam kasus operasi/ perawatan, informasi sebaiknya diberikan dalam bahasa

yang bisa dipahami ole pasien yang mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Prosedur dan hasil diagnosis.

b. Nama operasi/ perawatan tersebut

c. Maksud dan tujuan operasi/ perawatan

d. Sift dan luasnya tindakan operasi/ perawatan

e. Adakah alternative lain selain operasi/ perawatan tersebut

f. Hal-hal atau tindakan apa saja yang terlibat dalam operasi/perawatan tersebut.

g. Prosedur operasi/ perawatan tersebut mialnya pembiusannya bagaimana

h. Resiko operasi/ perawatan tersebut, seperti hilangnya fungsi organ tubuh dan lain-lain.

i. Kemungkinan komplikasi dan efek samping dari operasi/perawatan

j. Resiko jika tidak dilakukan operasi/ perawatan

k. Keterbatasan pengobatan dengan operas/ perawatan

l. Keadaan setelah operasi/ perawatan, misalnya ada sakit atau tidak


m. Tingkat (rate) kesuksesan/ kegagalan operasi/ perawatan

n. Seluruh biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien

Dokter gigi dengan penh pengertian dapat mempersilahkan apabila pasien bermaksud meminta

pendapat dokter atau dokter gigi lain. Keramahtamahan dan sopan santun serta perilaku yang tidak

tercela sangat diharapkan dari seorang dokter gigi terhadap pasien yang telah member

kepercayaan kepadanya.

Pasal 8

Dokter gigi dalam menyelenggarakan praktiknya, harus mampu mengendalikan mutu pelayanan

dan jangan meminta imbalan jasa yang tidak wajar dari pasien.

Penjelasan:

Dalam memberi pelayanan, Dokter Gigi harus bertindak efisien, efektif dan berkualitas sesuai

dengan kebutuhan dan persetujuan pasien. Dengan dalih profesionalisme seorang Dokter Gigi

sering kali meminta imbalan jasa yang tinggi bahkan kadang-kadang dengan cara membujuk atau

memaksa tapa memperhatikan kondisi pasien. Dalam hal ini sebaiknya prinsip yang haus

dikedepankan adalah amanah kemanusiaan, ingin menolong orang lain yang sedang mengalami

kesulitan. Dalam keadaan tertentu, tidak menjadi kesalahan Dokter Gigi apabila pasien dengan

ikhlas memberi imbalan melebihi semestinya.

Pasal 9

Dalam hal ketidakmampuan melakukan suatu pemeriksan atau pengobatan, Dokter Gigi wajib

merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang memiliki keahlian atau kemampuan yang

lebih baik.

Penielasan:

Seorang dokter gigi harus sadar bahwa pengetahuan dan kemampuan dalam menangani suatu

kasus terbatas. Pada kasus yang diluar kemampuannya pasien harus dirujuk ke teman sejawat yang

lebih mampu atau spesialis. Meskipun pada umumnya pasien tidak akan menolak, namun adalah

hak pasien untuk memilih sendiri dokter gigi yang lebih mampu atau spesialis yang dinginkannya.

Untuk hal tersebut sebaiknya diinformasikan/dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan pasien.

Dokter gigi yang menerima pasien rujukan untuk pengobatan/perawatan selanjutnya harus

membalikan kepada pengirim disertai pendapat/ saran secara tertulis dan tertutup.
Pasal 10

Dokter gigi tidak boleh menolak pasien yang dating ke tempat prakteknya berdasarkan

pertimbangan ras, agama, warna kulit, jender,kebangsaan atau penyakit tertentu.

Penjelasan:

Pertimbangan ras, agama, warna kulit, jender, dan kebangsaan cukup jelas. Tidak menolak

melayani pasien dengan penyakit tertentu seperti terinveksi HIV, hepatitis atau penyakit menular

lainnya. Untuk penanganan selanjutnya harus dirujuk kepada yang kompeten.

Pasal 11

Setiap Dokter Gigi di Indonesia wajib merahasiahkan segala sesuatu yang ia ketahui tentang

pasien, bahkan setelah pasien meninggalkan dunia. (Hal.162)

Penielasan:

Menjaga rahasia pasien oleh dokter gigi berarti:

a. Dokter Gigi tidak bole membuka rahasia pasien kecuali untuk kepentingan tertentu.

b. Dokter Gigi tidak boleh menggunakan rahasia pasiennya untukmerugikan kepetingan

tersebut.

c. Dokter Gigi tidak boleh menggunakan rahasia pasiennya untuk kepentingan pribadi

dokter gigi atau untuk kepentingan pihak ketiga.

Asumsi dasar kenapa dokter gigi harus melindungi rahasia pasien adalah kepercayaan.

Untuk mendapatkan informasi dan fakta yang lengkap dari pasien serta mengetahui penyakit dan

pengonatan yang sesungguhnya, kepada pasien harus dijamin bahwa fakta dan informasi tersebut

oleh dokter gigi tidak dibuka kepada siapa saja.

Rahasia pasien ini hanya dapat dibuka dalam hal-hal sebagai berikut:

a. Untuk kepentingan kesehatan pasien.

b. Memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum.

c. Permintaan pasien sendiri.

d. Berdasarkan ketentuan perundang -undangan.


Pasal 12

Dokter Gigi wajib menyimpan, menjaga dan merahasiahkan catatan medik pasien.

Penielasan:

Menyediakan salinan catatan medik atas permintaan pasien atau

dokter/dokter gigi lain (yang merawat pasien tersebut) adalah kewajiban etis, asal tidak menyalahi

ketentwan yang berlaku. Pemberian salinan Catatan Medik atau rangkumannya termasuk Dental

X-ray atau salinannya dapat diberikan secara gratis atau biaya minimal.

Pasal 13

Setiap dokter gigi wajib memberikan pertolongan darurat dalam batas-batas kemampuannya,

sebagai suatu tugas perkemanusiaan.

Penielasan:

Cukup Jelas

BAB IlI

KEWAJIBAN DOKTER

Pasal 14

Setiap Dokter Gigi di Indonesia wajib merahasiahkan segala sesuatu yang a ketahui tentang pasien,

bahkan setelah pasien meninggalkan dunia.

Penielasan:

Menjaga rahasia pasien oleh dokter gig berarti:

a. Dokter gigi tidak boleh membuka rahasia pasien kecuali untuk kepentingan tertentu.

b. Dokter gigi tidak boleh menggunakan rahasia pasiennya untuk merugikan kepentingan

pasien tersebut.

c. Dokter gigi tidak boleh menggunakan rahasia pasiennya untuk kepentingan pribadi dokter

gigi atau untuk kepentingan pihak ketiga.

Asumsi dasar kenapa dokter gigi harus melindungi rahasia pasien adalah kepercayaan.

Untuk mendapatkan informasi dan fakta yang lengkap dari pasien serta mengetahui penyakit dan

pengobatan yang sesungguhnya kenapa pasien harus dijamin bahwa fakta dan informasi tersebut

oleh dokter gigi tidak dibuka kepada siapa saja.


Rahasia pasien ini hanya hanya dibuka dalam hal-hal sebagai berikut:

1. Untuk kepentingan kesehatan pasien.

2. Memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum.

3. Permintaan pasien sendiri.

4. Berdasarkan ketentuan perundang -undangan

Pasal 15

Dokter gigi wajib menyimpan, menjaga danmerahasiakan Catatan Medik Pasien.

Penielasan:

Menyediakan salinan Catatan Medik atas permintaan pasien atau dokter/ dokter gigi lain (yang

merawat pasien tersebut) adalah kewajiban etis, asal tidak menyalahi ketentuan yang berlaku.

Pemberian salinan Catatan Medik atau rangkumannya, termasuk Dental X-ray atau salinannya

dapat diberikan secara gratis atau biaya minimal.

Pasal 16

Setiap Dokter Gigi wajib memberikan pertolongan darurat dalam batas-batas kemampuannya,

suatu tugas perikemanusiaan.

Penielasan:

Cukup jelas

BAB Ill

KEWAJIBAN DOKTER GIGI TERHADAP TEMAN

SEJAWAT

Pasal 14

Setiap Dokter Gigi Indonesia harus memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri

ingin diperlakukan.

Penielasan:

Etik menghendaki agar setiap dokter gigi memelihara hubungan baik dengan teman sejawat.

Kerjasama yang baik hendaknya dipelihara baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam

menjalankan profesi. Pengalaman atau pengetahuan yang diperoleh hendaknya diinformasika

untuk dijadikan milik bersama.

Perselisihan mengenai cara perawatan, pembagian honorarium pada waktu menggantikan praktek
dan lain-lain, hendaknya tidak perlu terjadi dan apabila terjadi, hendaknya dapat diselesaikan

secara musyawarah. Apabila musyawarah tidak tercapai, maka dapat meminta pertolongan kepada

PDGI atau MKEKG tanpa campur tangan pihak lain.

Apabila merujuk atau menerima rujukan pasien, tidak dibenarkan para pihak meminta atau

memberi imbalan (komisi).

Sopan santun dan saling menghargai sesame rekan sejawat harus selalu diutamakan.

Komentar harus diberikan secara benar, informative dan dapat dipertanggungjawabkan tanpa

menyalahkan pihak lain, karena komentar yang tidak didukung kebenarannya dapat menjadi dasar

pihak yang berwajib untuk bertindak.

Tatakrama dalam menulis surat rujukan harus selalu diperhatikan

Apabila mau membuka praktek disuatu tempat sebaiknya memberitahu terlebih dahulu kepada

rekan sejawat disekitarnya, khusus yang praktek dijalan yang sama.

Dalam menghormati azas hidup berdampingan dan kerjasama antar sejawat, jasa perawatan tidak

selayaknya dibebankan kepada teman sejawat maupun keluarga. Perawatan yang membutuhkan

biaya dan pekerjaan tekhnik hendaknya dipungut tidak lebih dari biaya bahan dan pekerjaan

tekhnik yang dikeluarkan. Hal ini bergantung pada kebijaksanaan untuk memungut atau tidak.

Untuk menjaalin dan mempererat hubungan baik antar teman sejawat, maka sebaiknya menjadi

angota PDGI, sehingga dengan demikian tidak menutup dir dari komunikasi korps dan aktif

mengikuti pertemaun atau kegiatan yangdiselenggarakan ole PDGI.

Adakalanya pasien berpindah-pindah dokter gigi sampai mene mukan dokter gigi yang cocok.

Tidak jarang pasien membawa bermacam-macam certia mengenai keluarga, sikap, taif dan

sebagainya. Menghadapi hal demikian sebaikanya dokter gigi tidak memperburuk keadaan.

Kalaupun terjadi, hendaknya antar teman sejawat ada saling keterbukaan, sehingga tidak terjadi

salah pengertian dan sebaiknya organisasi profesi perlu diberdayakan.

Pasal 15

Setiap dokter gigi di Indonesia tidak dibenarkan mengambil alih pasien dari teman sejawatnya

tanpa persetujuan.

Penjelasan: Pasien memilih dokter gigi tertentu dan setia mengunjunginya, tetapi ada juga yang
berpindah-pindah dokter gigi. Dokter gigi yang menerima mereka seperti ini tidak dapat dikatakan

merebut pasien dari teman sejawatnya. Lain halnya bila diketahui pada perawatan sebelumya telah

mendapat pertolongan dari dokter gigi lain. Kepada pasien seperti itu, hendaknya dianjurkan agar

kembali ke dokter gigi semula. Dalam keadaan darurat dokter gigi dapat menolong melakukan

pera watan pasien dokter gigi lain. Selanjutnya harus dikembalikan kepada dokter gigi semula,

kecuali kalau pasien menyatakan pilihan lain.

Pasal 16

Apabila berhalangan menyelenggarakan praktek, harus membuat pemberitahuan atau merujuk

pengganti.

Penjelasan: Pemberitahuan dapat dilakukan melalui media cetak atau pengumuman tertulis

ditempat praktek. Dokter gigi pengganti selain harus mempunyai Surat Ijin Praktek, juga harus

mempunyai kemampuan yang sama. Apabila kemampuan tidak sama harus diinformasikan kepada

pasien.

BAB IV
KEWAJIBAN DOKTER GIGI TERHADAP DIRI SENDIRI

Pasal 17

Setiap dokter gigi di Indonesia wajib mempertahankan dan meningkatkan martabat dirinya.

Penjelasan: Meningkatkan martabat dirinya berarti bahwa dokter gigi wajib bekerja secara teliti

dan hendaknya selalu berusaha mawas diri, termasuk untuk tidak melakukan atau mencoba

melakukan tindakan yang tercela sewaktu menjalankan profesinya.

Pasal 18

Setiap dokter gigi di Indonesia wajib mengikuti secara aktif perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi, serta etika.

Penjelasan: Setiap dokter gigi di Indonesia wajib mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi, serta etika terutama dibidang kedokteran gigi dengan jalan membaca, diskusi ilmiah
antar teman sejawat, mengikuti pertemuan ilmiah dan sebagainya. Untuk kegiatan itu setiap dokter

gigi di Indonesia wajib mengiuti pembinaan yang dilaksanakan oleh Konsil bersama-sama dengan

Organisasi Profesi.

Pasal 19

Setiap dokter gigi di Indonesia harus memelihara kesehatan supaya dapat bekerja dengan baik.

Penjelasan: Mengingat bahwa sebagai dokter gigi melakukan praktek swasta pada sore hari,

setelah bekerja pada pagi hari, maka mereka memerlukan istirahat. Sudah sewajarnya seorang

dokter gigi memberi teladan untuk hidup sehat, karena diantara teman sejawat banyak yang

kurang memperhatikan kesehatannya sendiri. Sebaiknya dokter gigi memeriksakan kesehatannya

secara berkala sekali setahun, terutama yang telah berusia 40 tahun atau lebih.

Dalam menjalankan profesinya haruslah berhati-hati dan sebaiknya memperhatikan syarat-syarat

perlindungan dan pencegahan antara lain dengan imunisasi, memakai masker, kaca mata, sarung

tangan dan lain-lain.

Apabila dokter gigi mengidap penyakit menular yang dapat mem bahayakan pasien dan stafnya,

harus membatasi/ menghentikan kegiatan atau prakteknya.

Dokter gigi di Indonsia dilarang mengkonsumsi atau menyalahgunakan obat-obatan yang dapat

mengurangi kemampuan prakteknya.

BAB V

PENUTUP

Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia wajib dihayati dan diamalkan oleh setiap dokter gigi di

Indonesia.

Penjelasan: Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia menjadi landasan dan pedoman dalam

melaksanakan pekerjaan profesi, bukanlah kata demi kata yang tersusun rapi dalam Kode Etik,

melainkan jiwa dan perbuatan untuk segala jaman, serta untuk semua insane yang selalu

mengumandangkan:
APA YANG TIDAK KAU INGINKAN ORANG LAIN PERBUAT TERHADAPMU JANGAN

PERBUAT ITU TERHADAP ORANG LAIN.

Oleh karena itu setiap dokter gigi Indonesia harus menjaga nama baik profesi dengan

menjauhkan diri dari perbuatan yang bertentangan atau tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan,

teknologi dan Etika. Seseorang atau beberapa orang berbuat salah, seluruh dokter gigi terbawa

dalam kesalahan itu ataupun mendapat nama tidak baik, seperti peribahasa KARENIA NILA

SETITIK, RUSAK SUSU SEBELANGA.

Keberhasilan penghayatan dan pengamalan Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia bergantung dari

itikad baik, serta partisipasi seluruh dokter gigi Indonesia.

Sesuai keputusan Kongres PDGI 2005 di Makasar No. 03C/KPDGI XXII/III/05, dibentuk Pokja

Penyempurnaan Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia (KODEKGI), sebagai berikut:

POKJA PENYEMPURNAAN KODE ETIK KEDOKTERAN GIGI INDONESIA

Ketua : H. Adang Sudjana Utja, drg., MS (merangkap anggota)

Sekretaris : Sri Susilawati, drg., Mkes (merangkap anggota) : H. Eddy Prijono, drg., MS

Anggota Hj. Ellen Latjeno Saboe, drg.,Mkes H. Nandang Sudarsana, drg., MS Prof. Dr. H.R.M.

Richata Fadil, drg Prof. Hj. Tet. Soeparwdi, drg.,SpBM H. Muslich Mahmud, drg., SpPros.

H.Moch. Endang Daud, drg., SpBM.,DSS H. Dede Sutardjo, drg., SKM Prof. Dr. H. Soehardjo,

dgr.,MS., SPRKG Prof. Dr. Setiawan Natasanmita, drg

Jakarta, 7 Juli 2005

Pengurus Besar Persatuan

Dokter Gigi Indonesia

H. Emmyr F. Moies, drg., MARS

Ketua
Lampiran 4
KODE ETIK AHLI GIZI

Mukadimah

Ahli Gizi yang melaksanakan profesi gizi mengabdikan diri dalam upaya memelihara dan

memperbaiki keadaan gizi, kesehatan, kecer dasan dan kesejahteraan rakyat melalui upaya

perbaikan gizi, pen didikan gizi, pengembangan ilmu dan tekhnologi gizi, serta ilmu-ilmu terkait.

Ahli Gizi dalam menjalankan profesinya harus senantiasa ber taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

menunjukkan sikap dan per buatan terpuji yang dilandasi oleh falsafah dan nilai-nilai Pancasila,

Undang-undang Dasar 1945 serta Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Persatuan Ahli

Gizi Indonesia serta etik profesinya.

A. PENGERTIAN

1. Profesi Gizi adalah suatu pekerjaan di bidang gizi yang dilak sanakan berdasarkan suatu

keilmuan (body of knowledge), memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang

berjenjang, memiliki kode etik dan bersifat melayani masyarakat.

2. Ahli Gizi dan Ahli Madya Gizi adalah seseorang yang telah mengikuti dan menyelesaikan

pendidikan akademik dalam bi dang gizi sesuai aturan yang berlaku, mempunyai tugas, tang gung

jawab dan wewenang secara penuh untuk melakukan kegiatan fungsional dalam bidang pelayanan

gizi, makanan dan dietetic baik di masyarakat, individu atau rumah sakit.

3. Sarjana Gizi adalah seorang yang telah mengikuti dan me nyelealKn minimal pendidikan

formal sarjana gizi (S1) yang diakui pemerintah Republik Indonesia

4. Ahli Gizi-Ahli Diet Teregistrasi atau disebut Registered Di etisien yang disingkat RD adalah

sarjana gizi yang telah mengikuti pendidikan profesi (internship) dan ujian profesi ser ta

dinyatakan lulus kemudian diberi hak untuk mengurus ijin memberikan pelayanan dan

menyelenggarakan praktek gizi

5. Ahli Madya Gizi Teregistrasi atau disebut Teknikal Regis tered Dietisien adalah seorang yang

telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Diploma III Gizi sesuai aturan yang berlaku,

memiliki tugas, tanggung jawab dan kami wenang secara penuh untuk melakukan kegiatan

fungsional dalam bidang pelayanan gizi, makanan dan dietetic baik di masyarakat, individu atau

rumah sakit.
B. KEWAJIBAN UMUM

1. Ahli Gizi berperan meningkatkan keadaan gizi dan kesehat an serta berperan dalam

meningkatkan kecerdasan dan ke sejahteraan rakyat

2. Ahli Gizi berkewajiban menjunjung tinggi nama baik profesi gizi dengan menunjukkan sikap,

perilaku dan budi luhur ser ta tidak mementingkan diri sendiri Ahli Gizi berkewajiban senantiasa

menjalankan profesinya

3. menurut standar profesi yang telah ditetapkan

4. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa menjalankan profesinya bersikap jujur, tulus dan adil

5. Ahli Gizi berkewajiban menjalankan profesinya berdasarkan prinsip keilmuan, informasi terkini,

dan dalam menginterpreta sikan informasi hendakmya objektif tanpa membedakan indi vidu dan

dapat menunjukkan sumber rujukan yang benar.

6. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa mengenal dan memaha mi keterbatasannya sehingga dapat

bekerjasama dengan pihak lain atau membuat rujukan bila diperlukan.

7. Ahli Gizi dalam melakukan profesinya mengutamakan kepent ingan masyarakat dan

berkewajiban senantiasa berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenarnya.

8. Ahli Gizi dalam bekerjasama dengan para professional lain di bidang kesehatan maupun lainnya

berkewajiban senan tiasa memelihara pengertian yang sebaik-baiknya.

C. KEWAJIBAN TERHADAP KLIEN

1. Ahli Gizi berkewajiban sepanjang waktu senantiasa berusa ha memelihara dan meningkatkan

status gizi klien baik dalam lingkungan institusi pelayanan gizi atau di masyarakat umum

2. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa menjaga kerahasiaan klien atau masyarakat yang dilayaninya

baik pada saat klien masih atau sudah tidak dalam pelayanannya, bahkan juga setelah klien

meninggal dunia kecuali bila diperlukan untuk keperluan kesaksian hukum

3. Ahli Gizi dalam menjalankan profesinya senantiasa meng hormati dan menghargai kebutuhan

unik setiap klien yang dilayani dan peka terhadap perbedaan budaya, dan tidak. melakukan

diskriminasi dalam hal suku, agama, ras, status social, jenis kelamin, usia dan tidak menunjukkan

pelece han seksual. Ahli Gizi Gizi berkewajiban senantiasa memberikan pelayanan.

4. gizi prima, cepat, dan akurat.

5. Ahli Gizi berkewajiban memberikan informasi kepada klien dengan tepat dan jelas, sehingga
memungkinkan klien mengerti dan mau memutuskan sendiri berdasarkan infor masi tersebut.

6. Ahli gizi dalam melakukan percobaan, apabila mengalami keraguan dalam memberikan

pelayanan berkewajiban senantiasa berkonsultasi dan merujuk kepada ahli gizi lain yang memiliki

keahlian.

D. KEWAJIBAN TERHADAP MASYARAKAT

1. Ahli Gizi berkewajiban melindungi masyarakat umum khu susnya tentang penyalahgunaan

pelayanan, informasi. yang salah dan praktek yang tidak etis berkaitan dengan gizi, pangan

termasuk makanan dan terapi gizi/ diet. Ahli gizi hendaknya senantiasa memberikan pelayanan

sesuai dengan informasi factual, akurat dan dapat dipertanggung jawahkan kebenarannya.

2. Ahli Gizi senantiasa melakukan kegiatan pengawasan pangan dan gizi sehingga dapat

mencegah masalah gizi di masyarakat.

3. Ahli Gizi berkewajiban senntiasa peka terhadap status gizi masyarakat untuk mencegah

terjadinya masalah gizi dan meningkatkan status gizi masyarakat.

4. Ahli Gizi berkewajiban member contoh hidup sehat dengan pola makan dan aktifitas fisik yang

seimbang sesuai dengan nilai praktek gizi individu yang baik.

5. Dalam bekerja sama dengan professional lain di masyara kat, Ahli Gizi berkewajiban

hendaknya senantiasa berusaha memberikan dorongan, dukungan, inisiatif, dan bantuan lain

dengan sungguh-sungguh demi tercapinya status gizi dan kesehatan optimal di masyarakat

6. Ahli Gizi dalam mempromosikan atau mengesahkan produk makanan tertentu berkewajiban

senantiasa tidak dengan cara yang salah atau, menyebabkan salah interpretasi atau menyesatkan

masyarakat.

E. KEWAJIBAN TERHADAP TEMAN SEPROFESI DAN MITRA KERJA

1. Ahli Gizi dalam bekerja melakukan promosi gizi, memeliha ra dan meningkatkan status gizi

masyarakat status gizi ma syarakat secara optimal, berkewajiban senantiasa beker jasama dan

menghargai berbagai disiplin ilmu sebagai mitra kerja di masyarakat.

2. Ahli Gizi berkwajiban senantiasa memelihara hubungan persa habatan yang harmonis dengan

semua organisasi atau disiplin ilmu/professional yang terkait dalam upaya menigkatkan sta tus gizi,

kesehatan, kecerdasan dan kesejahterahan rakyat.


3. Ahli Gizi berkewajiban selalu menyebarluaskan ilmu pengeta huan dan ketrampilan terbaru

kepada sesame profesi dan mitra kerja.

F. KEWAJIBAN TERHADAP PROFESI DAN DIRI SENDIRI

1. Ahli Gizi berkewajiban menaati, melindungi dan menjunjung tinggi ketentuan yang

dicanangkan oleh profesi.

2. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa memajukan dan mem sesuai dengan pengetahuan dan

keahlian yang diperlukan dalam menjalankan profesinya sesuai perkembangan ilmu dan teknologi

terkini serta peka terhadap perubahan lingkungan.

3. Ahli Gizi harus menunjukkan sikap percaya diri, berpenge tahuan luas, dan berani

mengemukankan pendapat serta senantiasa menunjukan kerendahan hati dan mau meneri ma

pendapat orang lain yang benar.

4. Ahli Gizi dalam menjalankan profesinya berkewajiban untuk tidak boleh dipengaruhi oleh

kepentingan pribadi termasuk menerima uang selain imbalan yang layak sesuai dengan jasanya,

meskipun pengetahuan klien/ masyarakat (tempat dimana ahhli gizi diperkerjakan).

5. Ahli Gizi berkewajiban tidak melakukan perbuatan yang mela wan hukum, dan memaksa orang

lain untuk melawan hukum.

6. Ahli Gizi berkewajiban memelihara kesehatan dan keadaan gizinya agar dapat bekerja dengan

baik.

7. Ahli Gizi berkewajiban melayani masyarakat umum tanpa me mandang keuntungan

perseorangan atau kebesaran seseorang.

8. Ahli Gizi berkewajiban selalu menjaga nama baik profesi dan mengharumkan organisasi

profesi.

G. PENETAPAN PELANGGARAN

Pelanggaran terhadap ketentuan kode etik ini diatur tersendiri dalam Majelis Kode Etik

Persatuan Ahli Gizi Indonesia.

H. KEKUATAN KODE ETIK

Kode etik Ahli Gizi ini dibuat atas prinsip bahwa organisasi profesi bertanggung jawab
terhadap kiprah anggotanya dalam menjalankan praktek profesinya.

Kode etik ini berlaku setelah hari dari disahkannya kode etik ini oleh siding tertinggi sesuai

dengan ketentuan yang tertuang dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga profesi gizi

PENUTUP

Demikian Standar Profesi ini disusun, standar ini diharapkan men jadi acuan dalam melaksanakan

dan mengembangkan praktek gizi di Indonesia.

Lampiran 5

KODE ETIK KEPERAWATAN INDONESIA

MUKADIMAH

Sebagai profesi turut serta mengusahakan tercapainya kesejah teraan fisik, material dan

mental spiritual untuk mahluk insani dalam wilayah RI, maka kehidupan profesi keperawatan di

Indonesia selalu berpedoman kepada sumber asalnya yaitu kebutuhan masyarakat Indonesia akan

pelayanan keperawatan.

Warga keperawatan di Indonesia menyadari bahwa kebutuhan akan keperawatan bersifat

universal bagi individu, keluarga, masyarakat, oleh karenanya pelayanan yang dipersembahkan

oleh para perawat adalah selalu berdasarkan kepada cita-cita yang kuhur, niat yang murni untuk

keselamatan dan kesejahteraan umat tanpa membedakan kebangsaan, kesukaan, warna kulit, umur,

jenis kelamin, aliran politik dan agama yang dianut serta kedudukan social.

Dalam melaksanakan tugas pelayanan keperawatan kepada individu, keluarga dan

masyarakat, cakupan tanggung jawab perawat Indonesia adalah meningkatkan derajat kesehatan,

mencegah terjadinya penyakit, mengurangi dan menghilangkan pasienan serta memulihkan

kesehatan yang kesemuanya ini dilaksanakan atas. dasar pelayanan yang paripurna.

Dalam melaksanakan tugas professional yang berdayaguna dan berhasilguna, para perawat

mampu dan ikhlas mempersembahkan pelayanan yang bermutu dengan memelihara dan

meningkatkan. integritas sifat-sifat pribadi yang luhur dengan ilmu dan keterampilan yang

memadai serta dengan kesadaran bahwa pelayanan yang dipersembahkan adalah merupakan

bagian dari upaya kesehatan secara menyeluruh.


Dengan bimbingan Tuhan Yang Maha Esa dalam melaksanakan tugas pengabdian untuk

kepentingan kemanusiaan, bangsa dan tanah air. Persatuan Perawat Nasional Indonesia menyadari

bahwa Perawat Indonesia yang berjiwa Pancasila dan UUD 1945 merasa terpanggil untuk

menunakan karyanya dalam bidang keperawatan.

dengan penuh tanggung jawab, berpedoman kepada dasar-dasar seperti tertera dibawah ini:

BAB I

TANGGUNG JAWAB PERAWAT TERHADAP INDIVIDU, KELUARGA DAN

MASYARAKAT

dengan penuh tanggung jawab, berpedoman kepada dasar-dasar seperti tertera dibawah ini:

Pasal 1

Perawat dalam melaksanakan pengabdiannya senantiasa berpedoman kepada tanggung jawab

yang bersumber dari adanya kebutuhan akan keperawatan individu, keluarga dan masyarakat.

Pasal 2

Perawat dalam melaksanakan pengabdiannya dibidang keperawatan senantiasa memelihara

suasana lingkungan yang mengormati nilai nilai budaya, adapt istiadat dan kelangsungan hidup

beragama dari individu, keluarga dan masyarakat.

Pasal 3

Perawat dalam melaksanakan kewajibannya bagi individu keluarga dan masyarakat senantiasa

dilandasi dengan rasa tulus ikhlas sesuai dengan martabat dan tradisi luhur keperawatan.

Pasal 4

Perawat senantiasa menjalin hubungan kerjasama individu, keluarga dan masyarakat dalam

mengambil prakarsa dan mengadakan. upaya kesehatan khususnya serta upaya kesejahteraan

umum sebagai bagian dari tugas kewajiban bagi kepentingan masyarakat.


BAB II

TANGGUNG JAWAB PERAWAT TERHADAP TUGAS

Pasal 5

Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran

professional dalam menerapkan pengtahuan serta keterampilan keperawatan sesuai dengan

kebutuhan individu, keluarga dan masyarakat.

Pasal 6

Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui sehu bungan dengan tugas yang

dipercyakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh yang berwenang sesuai dengan ketentuan

hokum yang berlaku.

Pasal 7

Perawat tidak akan menggunakan pengetahuan dan keterampilan keperawatan untuk tujuan yang

bertentangan dengan nirma-norma kemanusiaan.

Pasal 8

Perawat dalam menunaikan tugas dan kewajiban senantiasa berusaha dengan penuh kesadaran

agar tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukaan, warna kulit, umur jenis kelamin,

aliran polotik dan agama yang dianut serta kedudukan sosial.

Pasal 9

Perawat senantiasa mengutamakan perlindungan dan keselamatan pasien/ klien dalam

melaksanakan tugas keperawatan serta matang dalam mempertimbangkan kemampuan jika

menerima atau mengalih tugaskan tanggung jawab yang ada hubungannya keperawatan.

Pasal 10

Perawat senantiasa memelihara hubungan baik antar sesama perawat dan dengan tenaga kesehatan

lainnya, baik dalam memelihara keserasian suasana lingkungan kerja maupun dalam mencapai

tujuan pelayanan kesehatan secara menyeluruh.

Pasal 11

Perawat senantiasa menyebarluaskan pengetahuan, keterampilan dan pengalamannya kepada

sesama perawat serta menerima penge tahuan dan pengalaman dari profesi lain dalam rangka

meningkatkan kemampuan bidang keperawatan.


BAB IV

TANGGUNG JAWAB PERAWAT

TERHADAP PROFESI KEPERAWATAN

Pasal 12

Perawat senantiasa berupaya meningkatkan kemampuan professio nal secara sendiri-sendiri dan

atau bersama-sama dengan jalan menambah ilmu pengetahuan, keterampilan dan pengalaman

yang bermanfaat bagi perkembangan keperawatan.

Pasal 13

Perawat senantisa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan menunjuk prilaku

dan sifat-sifat yang luhur.

Pasal 14

Perawat senantiasa berperan dalam menentukan pembakuan pen didikan dan pelayanan

keperawatan serta menerapkan dalam kegiatan pelayanan dan pendidikan keperawatan.

Panduan Pelaksanaan Etika Rumah Sakit Edisi III Hal. 179

Pasal 15

Perawat secara bersama-sama membina dan memelihara mutu organisasi profesi keperawatan

sebagai sarana pengabdian.

BAB 1V

TANGGUNG JAWAB PERAWAT

TERHADAP PEMERINTAH, BANGSA DAN TANAH AIR

Pasal 16

Perawat senantiasa melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai kebujaksanaan yang digariskan

oleh pemerinatah dalam bidang kesehatan dan keperawatan.

Pasal 17

Perawat senantiasa berperan secara aktif dalam menyumbangkan pikiran kepada pemerintah

dalam meningkatkan pelayanan kesehatan dan keperawatan kepada masyarakat.

Semarang, 29 November 1989


STANDAR PRAKTIK KEPERAWATAN DARI

SEGI PROSES ASUHAN KEPERAWATAN

Uraian dibawah ini adalah mengenai standar proses pemberian asuhan keperawatan oleh

perawat kesehatan yang diterapkan pada semua tempat pelayanan kesehatan, unit pelayanan

keperawatan dan program pelayanan kesehatan ditempat kerjanya.

Standar proses ini menggambarkan bagaimana perawat kesehatan harus bekerja dalam

proses pemberian asuhan keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat

secara keseluruhan.

a. Mengemban pesan dan fungsinya dengan penuh tanggung jawab.

a. Datang dan pulang bekerja teapat pada waktunya.

b. Manfaatkan jam kerjanya secara efektif dan efisien.

c. Bersedia melaksanakan tugasnya setiap saat, terutama dalam keadaan darurat.

b. Memahami lingkup tanggung jawab kewenangan dan keterbatasan kemampuannya.

a.Melaksanakan asuhan keperawatan sesuai dengan tugas a dan wewenang yang

diberikan kepadanya ditempat kerjanya.

b. Meminta bantuan kepada perawat yang lebih mampu atau tenaga kesehatan lainnya, atau

institusi pelayanan kesehatan lain secara lintas program dan sektoral dalam memberikan

asuhan keperawatan diluar kemampuannya.

c. Mengakui kesalahan dalam melaksanakan tugas kepada. atasan langsung dan berusaha

untuk memperbaiki.

d. Tidak melaksanakan tugas diluar kewenangan yang diminta oleh pasien/ klien dan atau

teman kerjanya.

c. Memperlakukan pasien/ klien secara manusiawi sebagai individu yang unik dan mitra aktif

dalam proses pemberian asuhan kepe rawatan dan pelayanan kesehatan. Misalnya.

a.Memperlakukan pasien/ klien sebagai:

i. Individu unik yang memiliki kebutuhan bio psikososial-spiritual.

ii.Mitra yang aktif dalam proses pemberian asuhan keperawatan dan pelayanan kesehatan.

iii.Angota keluarga dan anggota masyarakat.


iv. Individu yang menghadapi masalah bukan sebagai sumber masalah.

b.Berlaku sopan terhadap pasien/ klien dalam proses pemberian asuhan keperawatan.

c. Tidak membedakan pasien/ klien berdasarkan agama, suku/ bangsa, jenis kelamin, status social

ekonomi atau kedudukannya dalam proses pemberia asuhan keperawatan.

d.Melibatkan pasien/ klien secara aktif dalam proses d. pemberian asuhan keperawatan.

e. Mengupayakan pemenuhan kebutuhan perawatan dasar e. pasien/klien yang meliputi kebutuhan

bio-psiko-sosial-spiritual.

f.Memperhatikan factor keluarga dan masyarakat, misalnya cirri keluarga, status social ekonomi,

kedudukan pasien dalam keluarga, gaya hidup, masyarakat pedesaan atau perkotaan dan

sumber atau upaya pelayanan kesehatan yang terkait dengan proses pemberian asuha

perawatan.

g.Memberikan pelayanan kesehatan/keperawatan secara efisien.

h.Tanggap dan cepat bertindak terhadap keluhan, permintaan bantuan dan hasil pengamatan

mengenai keadaan pasien/ klien.

i. Sabar dan menghindari sikap yang tidak terpuji terhadap pasien/ klien.

d. Melaksanakan komunikasi terapeutik dengan pasien/ klien.

a. Memanggil pasien dengan benar sesuai dengan identitasnya (nama, umur dan status

perkawinan), bukan dengan nonor kartu/ nomor kamar atau kasus.

b. Menggunakan kata-kata, istilah dan bahasa yang mudah dimengerti pasien/ klien.

c. Berbicara dengan pasien/ klien secara tepat dan benar (memperhatikan intnasi, keras lebutnya

suara, ekspresi muka dan isyarat yang disertai grakan anggota tubuh).

d. Mendengarkan, menampung dan menanggapi dengan seksama pertanyaan dan

keluahan pasien/ klien (sabar, penuh perhatian, menghargai pendapat, percaya, sikap

dan nilai yang diyakini pasien).

e. Mendorong pasien/ klien untuk mengungkapkan perasaan dan pandangannya secara

bebas.
f. Berkomunikasi dengan pasien/ klien secara tepat, sesuai dengan waktu, situasi dan

kondisinya.

g. Meluangkan waku untuk berbicara denganpasien/ klien setiap ada kesempatan.

e. Mengembangkan dan mempertahankan hubungan terapeutik dengan pasien/ klien.

a. Menciptakan hubungan timbal balk yang harmonis diantara sesama pasien dan

keluarganya di unit pelayanan keperawatan.

b. Menciptakan dan memelihara hubungan yang harmonis dengan pasien/ klien.

c. Mencegah konflik dengan pasien/ klien dan bila terjadi berusaha untuk segera

menyelesaikannya.

d. Mencegah sikap pilihkasih atau perhatian yang berlebihan terhadap pasien/ klien.

e. Menilai dampak dari tindakan dan perilakunya untuk mencegh tindakan yang tidak

dinginkan oleh pasien atau keluarga.

f. Dalam memberika asuhan keperawatan kepada pasien/klien, harus berpenampilan tenang

dan meyakinkan.

g. Memperhatikan dan tanggap terhadap permintaan bantuan, keluhan dan kritik dari pasien/

klien.

h. Mengupayakan untk menepati janji dengan pasien/ klien.

i. Harus jujur dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien/klien.

j. Menyediakan dan meluangkan waktu untk berbicara dengan pasien/ klien setiap ada

kesempatan.

k. Tetap menjaga kesopanan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien/

keluarga (memperhatikan privacy).

l. Memberi kesempatan pada pasien untuk memelihara dan mempertahankan penampilan

diri, misalnya besolek.

m. Menghargai kebiasaan, kepercayaan dan nilai yang diyakini pasien/ klien sepanjang

pelaksanaanya tidak bertentangan dengan kesehatan.

n. Menjaga rahasia pasien/ klien.

o. Menjamin kepercayaan pasien/ klien terhadap unit pelayanan kesehatan setempat beserta

stafnya.
f. Membina hubungan antar manusia dan bekerjasama dengan sesama kawan dalam semangat kerja

tim.

1.1. Menyadari dirinya sebagai anggota tim yang harus bekerjasama dan yang saling tergantung

satu sama lain.

1.2. Saling menghargai sesame anggota.

1.3. Berperan serta dalam membina hubungan antar manusia dan suasana kerja yang harmonis

dalam tim

1.4. Berperan sera dalam menciptakan rasa kebersamaan dalam tim kerja melalui:

(1). Komunikasi timba balik;

(2). Tukar menukar pendapat/ informasi;

(3). Mencegah persaingan yang tidak sehat;

(4). Menghargai pendapat, sumbangan pikiran, dan keikutsertaan setiap anggota tim dalam

mencapai tujuan pelayanan kesehatan;

(5). Mengkoordinasikan kegiatannya dengan kegiatan anggota tim lainnya dalam

memberikan pelayanan kesehatan atau keperawatan yang berkesinambungan.

Lampiran 6

KODE ETIK

BIDAN INDONESIA

MUKADIMAH

Dengan rahmat Tuan Yang Maha Esa dan didorong oleh keinginan yang luhur demi tercapainya:

1. Masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945

2. Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya

3. Tingkat kesehatan yang optimal bagi setiap warga Negara Indonesia

Maka Ikatan Bidan Indonesia sebagai organisasi profesi Kesehatan yang menjadi wadah persatuan

dan kesatuan para Bidan di Indonesia menciptakan Kode Etik Bidan Indonesia yang disusun atas

dasar penekanan keselamatan klien diatas kepentingan lainnya. Terwujudnya kode etik ini
merupakan bentuk kesadaran dan kesungguhan hati dari setiap Bidan untuk memberikan pelayanan

kesehatan secara profesional dan sebagai anggota tim Kesehatan pada umumnya, KIA/ KB dan

kesehatan keluarga pada khususnya. Mengupayakan segala sesuatu agar kaumnya pada detik-detik

yang sangat menentukan pada sat menyambut kelahiran insan generasi secara selamat, aman dan

nyaman merupakan tugas sentran dan para Bidan. Menelusuri tuntutan masyarakat terhadap

pelayanaan Kesehatan yang terus meningkat sesuai dengan perkembangan zaman dan nilai-nilai

sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat sudah sewajarnya Kode Etik Bidan ini berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan dan ideal dan Garis-Garis Besar

Haluan Negara sebagai landasan operasional. Sesuai dengan wewenang dan peraturan

kebijaksanaan yang berlaku bagi Bidan, kode etik ini merupakan pedoman dalam tata cara dan

keselarasan dalam pelaksanaan pelayanan profesional.

Bidan senantiasa berupaya memberikan pemeliharaan Kesehatan yang komprehensif terhadap ibu

hamil, ibu menyusui, bayi dan balita pada khususnya, sehingga mereka tumbuh berkembang

menjadi insan Indonesia yang shat pada jasmani dan rohani dengan tetap mempertahankan

kebutuhan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat dan keluarga pada khususnya, serta berpegang

teguh pada prinsip-prinsip kode etik seperti di bawah ini:

BAB I

KEWAJIBAN BIDAN

TERHADAP KLIEN DAN MASYARAKAT

Pasal 1

Setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah jabatannya

dalam melaksanakan tugas pengabdiannya.

Pasal 2

Setiap bidan dalam menialankan tugas profesinya menjunjung tinggi harkat dan martabat

kemanusiaan yang utuh dan memelihara citra bidan.

Pasal 3

Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa berpedoman pada peran, tugas dan tanggung

jawab sesuai dengan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.


Pasal 4

Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya mendahulukan kepentingan klien, menghormati hak

klien dan nilai-nilai yang dianut oleh klien.

Pasal 5

Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa mendahulukan kepentingan klien, keluaraga

dan masyarakat dengan identitas yang sama sesuai dengan kebutuhan berdasarkan kemampuan

yang dimilikinya.

Pasal 6

Setiap bidan senantiasa menciptakan suasana yang serasi dalam hubungan pelaksanaan tugasnya

dengan mendorong partisipasi masyarakat untuk meningkatkan derajart kesehatannya secara

optimal.

BAB II

KEWAJIBAN BIDAN TERHADAP TUGASNYA

Pasal 1

Setiap bidan senantiasa memberikan pelayanan paripurna kepada klien, keluarga dan masyarakat

sesuai dengan kemampuan profesi yang dimilikinya berdasarkan kebutuhan klien, keluarga dan

masyarakat.

Pasal 2

Setiap bidan berkewajiaban memberikan pertolongan sesuai dengan kewenangan dalam

mengambil keputusan termasuk mengadakan konsultasi dan/atau rujukan.

Pasal 3

Setiap bidan harus menjamin kerahasiaan keterangan yang didapat dan/atau dipercayakan

kepadanya, kecuali bila diminta oleh pengadilan atau diperlukan sehubungan dengan kepentingan

klien
BAB Ill

KEWAJIBAN BIDAN TERHADAP

SEJAWAT DAN TENAGA KESEHATAN LAINNYA

Pasal 1

Setiap bidan harus menjalin hubungan dengan teman sejawatnya untuk menciptakan suasana kerja

yang serasi.

Pasal 2

Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya harus saling menghormati

baik terhadap sejawatnya maupun tenaga kesehatan lainnya.

BAB IV

KEWAJIBAN BIDAN TERHADAP PROFESINYA

Pasal 1

Setiap bidan wajib menjaga nama baik dan menjunjung tinggi citra profesi dengan menampilkan

kepribadian yang bermartabat dan memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat.

Pasal 2

Setiap bidan wajib senantiasa mengembangkan dir dan meningkatkan kemampuan profesinya

sesual dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 3

Setiap bidan senantiasa berperan sera dalam kegiatan penelitian dan kegiatan sejenisnya yang

dapat meningkatkan mutu dan citra profesinya

BAB V

KEWAJIBAN BIDAN TERHADAP DIRI SENDIRI

Pasal 1

Setiap bidan wajib memelihara kesehatannya agar dapat melaksanakan tugas profesinya dengan
baik.

Pasal 2

Setiap bidan wajb meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan dengan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 3

Setiap bidan wajib memelihara kepribadian dan penampilan diri

BAB VI

KEWAJIBAN BIDAN TERHADAP

PEMERINTAH, NUSA, BANGSA DAN TANAH AIR

Pasal 1

Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa melaksanakan ketentuan-ketentuan

pemerintah dalam bidang kesehatan, khususnya dalam pelayananan Kesehatan Reproduksi,

Keluarga Berencana dan Kesehatan Keluarga.

Pasal 2

Setiap bidan melalui profesinya berpartisipasi dan menyumbangkan pemikiran kepada pemerintah

untuk meningkatkan mutu dan jangkauan pelayanan kesehatan terutama pelayanan KIA/KB dan

kesehatan keluarga.

BAB VIl

STANDAR PELAYANAN KEBIDANAN

PELAYANAN KEBIDANAN

Pelavanan kebidanan adalah bagian integral dari system pelayanan kesehatan yang

diberikan oleh bidan, dilakukan secara mandiri, kolaborasi dan rujukan dalam pelayanan kesehatan

ibu, kesehatan aak dan kesehatan reproduksi perempuan termasuk keluarga berencana sesuai

dengan rang lingkupnya. Pelayanan kebidanan diselenggarakan mulai dari fasilitas pelayanan

Kesehatan tingkat pertama, tingkat kedua, dan tingkat ketiga yang tersusun dalam suatu

mekanisme rujukan timbal-balik.


Upaya pelayanan kesehatan tingkat pertama adalah upaya pelayanan kesehatan dasar yang

langsung kontak pertama dengan perorangan atau masyarakat, terdiri dari upaya Kesehatan

langsung berupa pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan. kesehatan masvarakat sera upaya

kesehatan tidak langsung. Upaya kesehatan tingkat kedua dan tingkat ketiga adalah upaya

kesehatan tingkat rujukan dan tingkat rujukan lanjut. (kutipan UU No 36 tahun 2009 tentang

Kesehatan). Pelayanan kebidanan yang bermutu adalah pelayanan yang dilakukan sesuai standar,

didukung ole ketersediaan bidan dalam jumlah dan kualitas yang memadai, terdistribusi secara

merata, serta dimanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya-guna. Bidan sebagai tenaga kesehatan

memiliki posisi penting dan strategis dalam mempersiapkan generasi yang berkualitas dan

berperan dalam akselerasi penurunan morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi, sehingga dibutuhkan

bidan yang berkualitas diperoleh melalui jenjang pendidikan tinggi yang terstandar dengan jumlah

yang mencukupi dan memiliki kompetensi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan di seluruh

fasilitas pelayanan kesehatan, terutama dalam hal in adalah Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan

dan Pendidikan.

KUALIFIKASI TENAGA BIDAN DI RUMAH SAKIT

Pelayanan Kebidanan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat ketiga meliputi : Rumah Sakit yang

setara dengan Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus Kelas A, kelas B pendidikan, milik

Pemerintah maupun swasta.

a. Pelayanan yang diberikan

1) Pelayanan kebidanan secara mandiri di Fasilitas

Pelayanan Kesehatan tingkat ketiga meliputi :

a) Pelayanan kebidanan sesuai dengan rang lingkup dan kewenangan: Asuhan

kebidanan pada masa pra hamil, hamil, bersalin, nifas, menyusui, bayi baru lahir,

bayi, balita dan anak pra sekolah serta pelayanan kesehatan reproduksi perempuan

dan keluarga berencana.

b) Melakukan promotif dan preventif.

c) Melakukan deteksi dini

2) Pelayanan kebidanan secara kolaborasi dengan tim kesehatan lain di Fasilitas Pelayanan

Kesehatan tingkat ketiga meliputi:


a) Melakukan penapisan (skrining) awal kasus komplikasil rujukan yang kompleks

untuk mencegah terjadinya keterlambatan penanganan.

b) Asuhan kebidanan pada Pelayanan Obstetri Neonatal

Emergensi Komprehensif (PONEK) pada kasus- kasus rujukan.

Asuhankebidanan/penatalaksaaankegawat-daruratan pada kasus-kasus kompleks

sebelum mendapat penanganan lanjut.

b. Kualifikasi bidan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat ketiga adalah:

1). Bidan Ahli dengan sertifikat lanjut, atau

2). Bidan Ahli dengan sertifikat PONEK, atau

3). Bidan Ahli, atau

4). Bidan Terampil dengan sertifikat, PONEK, atau

5). Bidan Terampil

C. LINGKUP PELAYANAN KEBIDANAN

Mengacu Permenkes 1464/2010, maka rang linkup pelayanan kebidanan, meliputi:

1. Pelayanan kesehatan ibu;

a. Masa pra hamil,

b. Kehamilan,

c. masa persalinan
d. masa nifas,
e. Masa menyusui
f. Masa antara dua kehamilan.
2. Pelayanan kesehatan anak pada :
a. sebuah. bayi baru lahir,
b. Bayi, anak balita, dan
c. Anak pra sekolah.
3. Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana.
D.KOMPETENSI BIDAN
Kompetensi inti yang harus dimiliki oleh bidan untuk dapat melaksanakan
peran dalam memberikan pelayanan kebidanan meliputi area kompetensi :

1. Memiliki pengetahuan dan keterampilan dari ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu dasar dan
ilmu kesehatan masyarakat yang membentuk dasar dari asuhan yang bermutu tinggi
sesuai dengan budaya serta menerapkan etika profesi (General Kompetensi)
2. Mampu memberikan asuhan kebidanan pada wanita pra konsepsi, Keluarga
Berencana (KB).
3. Mampu memberikan asuhan dan konseling selama kehamilan
4. Mampu memberikan asuhan persalinan dan kelahiran
5. Mampu memberikan asuhan pada ibu nifas dan menyusui
6. Mampu memberikan asuhan pada bayi baru lahir
7. Mampu memberikan asuhan pada bayi, balita dan anak prasekolah
8. Mampu memberikan asuhan pada keluarga, kelompok dan masyarakat dengan
memperhatikan budaya setempat
9. Mampu memberikan asuhan pada wanita dengan gangguan sistem reproduksi.

E. STANDAR ASUHAN KEBIDANAN


Standar asuhan kebidanan adalah dalam proses pengam bilan keputusan dan
tindakan yang dilakukan oleh bidan sesuai dengan otoritas dan ruang lingkupnya
berdasarkan ilmu dan kiat kebidanan, mulai dari pengkajian, perumusan diagnose dan
atau masalah kebidanan, perencanaan, implementasi, evaluasi dan pencatatan
kebidanan.

STANDAR I : Pengkajian
1. Pernyataan Standar
Bidan mengumpulkan semua informasi yang akurat, relevan dan lengkap dari
semua sumber yang berkaitan dengan kondisi klien.
2. Kriteria Pengkajian :
a. Mengumpulkan data secaratepat, akurat dan lengkap.
b. mengumpulkan data Subjektif yang terdiri dari hasil Anamnesa; biodata,
keluhan utama, riwayat obstetri, riwayat kesehatan dan latar belakang sosial
budaya.
c. menjadwalkan data Objektif yang terdiri dari hasil Pemeriksaan fisik, observasi
dan pemeriksaan penunjang.

STANDAR II: Perumusan Diagnosa dan atau Masalah Kebidanan


1. Pernyataan standar
Bidan menganalisis data yang diperoleh pada pengkajian,
menginterpretasikannya secara akurat dan logistik untuk diagnosis masalah dan
kebidanan yang tepat
2. Kriteria Perumusan diagnosa dan atau Masalah
a. Merumuskan diagnosa sesuai dengan nomenklatur Kebidanan
b. Merumuskan masalah dan kebutuhan sesuai dengan kondisi klien yang
dapat diselesaikan dengan Asuhan Kebidanan secara mandiri, kolaborasi,
dan rujukan.

STANDAR III: Perencanaan


1. Pernyataan Standar
Bidan perencanaan asuhan kebidanan berdasarkan diagnosa dan masalah yang
ditegakkan.
2. Kriteria Perencanaan
a. Membuat rencana tindakan yang disusun berdasarkan prioritas kebutuhan,
masalah dan kondisi klien; tindakan segera, tindakan antisipasi, dan asuhan
secara komprehensif
b. Membuat rencana asuhan dengan melibatkan klien/pasien dan atau keluarga.
c. Membuat rencana asuhan dengan mempertimbangkan kondisi psikologi dan
sosial budaya klien/keluarga
d. Memilih tindakan yang aman sesuai kondisi dan kebutuhan klien berdasarkan
bukti ilmiah (evidence based).
e. Membuat rencana asuhan dengan mempertimbangkan kebijakan dan peraturan
yang berlaku, sumberdaya serta fasilitas yang ada.

STANDAR IV: Implementasi


1. Pernyataan standar
Bidan melaksanakan rencana asuhan kebidanan secara komprehensif, efektif,
efisien dan aman sesuai standar berdasarkan bukti kepada klien/pasien dalam bentuk
upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara mandiri,
kolaborasi, konsultasi dan rujukan.

2. Kriteria Implementasi :
a. Memperhatikan keunikan klien sebagai makhluk
biopsiko-sosial-spiritual-kultural.
b. meminta persetujuan dari klien dan atau keluarga padasetiap asuhan yang
diberikan (informed consent).
c. Melaksanakan tindakan asuhan sesuai standar.
d. Melibatkan klien/pasien dalam setiap tindakan.
e. Menjaga dan menghargai privasi klien/pasien.
f. Melaksanakan prinsip pencegahan infeksi dan keselamatan pasien (patient
safety).
g. mengikuti perkembangan kondisi klien secara ber kesinambungan.
h. Menggunakan sumber daya, sarana dan fasilitas yang ada dan sesuai kebutuhan.
i. Mencatat semua tindakan yang telah dilakukan.
j. kolaborasi, konsultasi dan rujukan.
STANDAR V : Evaluasi
1. Pernyataan standar
Bidan melakukan evaluasi secara sistematis dan berke sinambungan untuk melihat
efektifitas dari asuhan yang sudah diberikan, sesuai dengan perubahan perkembangan
kondisi klien.
2. Kriteria Evaluasi:
a. Melakukan penilaian segera setelah melaksanakan asuhan sesuai kondisi
klien.
b. Mencatat hasil penilaian dan komunikasi pada klien dan atau keluarga
c. melakukan penilaian sesuai standar
d. Menindak lanjuti hasil penilaian sesuai kondisi klien/ pasien

STANDAR VI : Pencatatan Asuhan Kebidanan


Pernyataan standar
Bidan melakukan pencatatan secara lengkap, akurat, singkat dan jelas mengenai data
subjektif, data objektif, keadaan/kejadian yang ditemukan dan tindakan yang
dilakukan dalam memberikan asuhan kebidanan. 2. Kriteria Pencatatan Asuhan
Kebidanan :
a. Mencatat segera, asuhan yang akan dan telah dilaksanakan pada format baku
yang digunakan di setiap fasilitas pelayanan kesehatan.
b. Menuliskan perkembangan klien dalam bentuk catatan SOAP:
c. Mencatat data subyektif (S)
d. Mencatat data secara objektif (0)
e. Mencatat hasil Analisa (A)
f. Mencatat seluruh penatalaksanaan (P) meliputi : perencanaan, tindakan
antisipatif, tindakan segera, tindakan secara komprehensif; penyuluhan,
dukungan, kolaborasi, evaluasi/ tindak lanjut dan rujukan.
F. STANDAR KINERJA BIDAN

Standar kinerja bidan merupakan suatu standar dengan batas tertentu untuk mengukur
kinerja bidan yang berkaitan dengan asuhan kebidanan kepada klien dan atau
pasien. Standar ini menguraikan tingkat kemampuan dan sikap yang mencakup
aktivitas yang berhubungan dengan asuhan, pendidikan, etik, kolaborasi, penggunaan
sumber daya, dan membasahi menggeser kepemimpinan. Sesuai dengan ruang
lingkupnya, maka standar kinerja bidan meliputi:

Standar I: Mutu Pelayanan Kebidanan


Pernyataan Standar :
Bidan melakukan asuhan kebidanan sesuai standar melalui upaya penerapan standar,
Pemantauan, pengendalian dan meningkat secara teratur, berkala dan
berkesinambungan dengan kriteria :
a. Melaksanakan asuhan kebidanan sesuai standar
b. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan sesuai ketentuan yang berlaku

Standar II: Pendidikan dan Pelatihan


Pernyataan standar:
Bidan yang berkualitas diperoleh melalui jenjang Pendidikan tinggi yang terstandar
dan memiliki kompetensi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kebidanan dengan
kriteria:
a. Lulus dari jenjang pendidikan tinggi kebidanan.

b. Memiliki kompetensi profesi Bidan mempertahankan kompetensi yang dimiliki


untuk mening katkan kualitas pelayanan kebidanan
c. peningkatan kompetensinya melalui pendidikan berkelanjutannya baik secara
formal maupun informal (pendidikandan pelatihan).
Standar III : Penerapan etik dalam pelayanan kebidanan.
Pernyataan standar:
Bidan dalam memberikan kebidanan selalu berpegang teguh pada prinsip etik yang
pelayanan, yaitu menghargai otonomi klien, tindakan yang benar, mencegah tindakan
yang dapat merugikan, menerapkan manusia secara adil, menjelaskan dengan benar,
menepati janji yang telah disepakati, dan menjaga kerahasiaan yang diterapkan dalam
pelayanan kebidanan dengan kriteria:
a. Berpegang teguh pada filosofi, kode etik dan etika profesi serta aspek hukum.
b. jawaban jawab dan mempertanggung jawabkan keputusan klinis yang dibuatnya.
c. mengikuti perkembangan pengetahuan dan keterampilan.
d. Menghargai budaya setempat yang berhubungan dengan praktik kebidanan

Standar IV: Kolaborasi


Pernyataan standar:
Bidan menggunakan model kemitraan dengan profesi lain dalam memberikan
pelayanan kebidanan melalui kolaborasi dengan kriteria:
a. Memberikan pelayanan mandiri, termasuk kolaborasi dan rujukan.
b. pelayanan kolaborasi dan rujukan dalam bentuk konsultasi dan rujukan yang
tepat. Membina kerjasama yang baik dengan tenaga kesehatan membina
Kerjasama yang baik dengan tenaga Kesehatan lain.

Standar V: Pengelolaan sumber daya


Pernyataan standar:
Bidan dapat menetapkan kebutuhan sumber daya dalam pelayanan kebidanan, baik dari
segi jumlah dan jenis untuk menjamin terselenggaranya pelayanan kebidanan yang
efektif dan efisien dengan kriteria:
a. Merencanakan dan mengusulkan kebutuhan sumber daya
b. sumber daya secara efektif dan efisien.
c. melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam penggunaan sumber daya
Standar VI: Kesejawatan sebuah.
Pernyataan standar :
Bidan membangun suasana kerja yang kondusif dalam pelayanan kebidanan di setiap
fasilitas pelayanan kese hatan dengan kriteria:
a. Menjalin hubungan yang harmonis dengan teman sejawatnya.
b. Melaksanakan, peran dan fungsi dengan saling menghormati baik terhadap
sejawat maupun tenaga kesehatan lainnya.
c . Mewujudkan lingkungan kerja yang kondusif .

d . Bersedia menerima kritik dan saran

7. Standar VII : Kepemimpinan dalam pelayanan kebidanan Pernyataan standar : Bidan sebagai

pelaksana dan pengelola pelayanan memiliki kemampuan manajerial dan kepemimpinan

(leadership ) agar dapat memberikan pengarahan dalam meningkatkan kualitas pelayanan

kebidanan dengan kriteria

a. Merencakan program pelayanan kebidanan

b. Melaksanakan program pelayanan kebidanan

c. Mengelola sumber daya

d. Memotivasi dan membimbing staf untuk meningkatkan kinerja .

e. Melakukan advokasi untuk mewujudkan pelayanan kebidanan yang berkualitas

f. Melakukan koordinasi dengan lintas program dan lintas sektor

g. Melakukan penilaian / evaluasi terhadap kinerja pelayanan kebidanan .

h. Melakukan pengambilan keputusan yang tepat pada situasi kritis .

8. Standar VIII : Penelitian Pernyataan standar : Bidan melakukan penelitian secara mandiri dan

atau berkelompok , serta memanfaatkan hasil - hasil penelitian secara tepat , dengan kriteria:

a. Melakukan dan atau berpartisipasi dalam penelitian terapan di bidang kesehatan baik

secara mandiri maupun secara kelompok .

b. Memanfaatkan hasil penelitian ( evidence based ) secara tepat untuk meningkatkan

kualitas pelayanan kebidanan Melakukan observasi empirik pada kasus - kasus spesifik.

c. Panduan Pelaksanaan Etika Rumah Sakit


Lampiran 7

KODE ETIK

ADMINISTRATOR INFORMASI KESEHATAN

( PEREKAM MEDIS )

MUKADIMAH

Bahwa memajukan kesejahteraan umum adalah salah satu tujuan nasional yang ingin diwujudkan

oleh bangsa Indonesia . Kesehatan merupakan salah satu wujud dari kesejahteraan nasional dan

mempunyai andil yang besar dalam pembangunan sumber daya manusia berkualitas yang dapat

mendukung kelangsungan kehidupan bangsa dan terwujudnya cita - cita nasional yaitu masyarakat

adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 .

Rekam Medis dan Informasi Kesehatan merupakan aspek penting untuk mendukung keberhasilan

pembangunan kesehatan . Oleh karena itu pengembangan system dan penerapannya didukung oleh

tenaga professional yang berkualitas . Karena Rekam Medis dan Informasi Kesehatan menyangkut

kerahasiaan pasien dan rahasia jabatan , maka Administrator Informasi Kesehatan merasa perlu

untuk merumuskan pedoman sikap dan perilaku profesi , baik anggota Perhimpunan Profesional

Administrator Informasi Kesehatan Indonesia ( PORMIKI) maupun Administrator Informasi

Kesehatan lainnya dalam mempertanggungjawabkan segala tindakan profesinya , baik kepada

profesi , pasien maupun masyarakat luas .

Pedoman sikap dan perilaku Administrator Informasi Kesehatan ini dirumuskan dala rangka

meningkatkan daya guna dan hasil guna partisipasi kelompok Administrator Informasi Kesehatan

dalam pembangunan nasional khususnya pembangunan kesehatan . Maka berdasarka pemikiran

diatas , kongres I PORMIKI menyepakati Kode Etik Administrator Informasi Kesehatan sebagai

berikut :
BAB I

PENGERTIAN

Pasal 1

1.4.0.1 . DEFINISI PEREKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN .

Seorang yang telah menyelesaikan pendidikan formal Rekam Medis dan Informasi

Kesehatan sehungga memiliki kompetensi yang diakui oleh pemerintah dan profesi serta

mempunyai tugas , tanggung jawab , wewenang dan hak secara penuh untuk melakukan

kegiatan pelayanan Rekam Medis dan Informasi Kesehatan pada unit pelayanan

kesehatan .

1.4.0.2 . DEFINISI KODE ETIK .

Kode Etik merupakan ciri profesi yang bersumber dari nilai - nilai internal dan eksternal

suatu disiplin ilmu dan merupakan pernyataan komprehensif suatu profesi yang

memberikan tuntutan bagi anggota dalam melaksanakan pengabdian profesi .

1.4.0.3. DEFINISI KODE ETIK ADMINISTRATOR INFORMASI KESEHATAN . Pedoman

sikap dan perilaku Administrator Informasi Kesehatan dalam menjalankan serta

mempertanggung jawabkan segala tindakan profesinya baik kepada profesi , pasien ,

maupun masyarakat luas .

BAB II

KEWAJIBAN UMUM

Pasal 2

1. Didalam melaksanakan tugas profesi, tiap Administrator Informasi Kesehatan selalu

bertindak demi kehormatan diri , profesi dan organisasi PORKIKI .

2. Administrator Informasi Kesehatan selalu menjalankan tugas berdasarkan standar profesi

tertinggi .
3. Administrator Informasi Kesehatan lebih mengutamkan pela yanan daripada kepentingan

pribadi dan selalu berusaha memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan pela yanan

kesehatan yang bermutu .

4. Administrator Informasi Kesehatan wajib menyimpan dan menjaga data rekam medis serta

informasi yang terkandung didalamnya sesuai dengan ketentuan prosedur manajemen ,

ketetapan pimpinan institusi dan peraturan perundangan yang berlaku .

5. Administrator Informasi Kesehatan selalu menjunjung tinggi doktrin kerahasiaan dan hak

atas informasi pasien yang terkait dengan identitas individu atau social .

6. Administrator Informasi Kesehatan wajib melaksanakan tugas yang dipercaya pimpinan

kepadanya dengan penuh tanggung jawab , teliti dan akurat .

Pasal 3

Perbuatan / tindakan yang bertentangan dengan kode etik :

1. Menerima ajakan kerjasama seseorang / orang untuk melakukan pekerjaan yang menyimpang

dari standar profesi yang berlaku .

2. Menyebarluaskan informasi yang terkandung dalam rekam medis yang dapat merusak citra

Administrator Informasi Kesehatan .

3. Menerima imbalan jasa dalam bentuk apapun atas tindakan No. 1 dan 2 .

Pasal 4

Peningkatan pengetahuan dan kemampuan professional , baik anggota maupun organisasi dituntut

untuk meningkatkan pengetahuan , kemam puan profesi melalui penerapan ilmu dan teknologi

yang berkaitan dengan perkembangan dibidang Rekam Medis dan Informasi Kesehatan .

BAB III

KEWAJIBAN TERHADAP PROFESI

Pasal 5

1. Administrator Informasi Kesehatan wajib mencegah terjadinya tindakan yang menyimpang

dari Kode Etik Profesi .


2. Administrator Informasi Kesehatan wajib meningkatkan mutu rekam medis dan informasi

kesehatan

3. Administrator Informasi Kesehatan wajib berpartisipasi aktif dan berupaya mengembangkan

serta meningkatkan citra profesi .

4. Administrator Informasi Kesehatan wajib menghormati dan mentaati peraturan dan kebijakan

organisasi profesi .

BAB IV

KEWAJIBAN DALAM BERHUBUNGAN DENGAN ORGANISASI

PROFESI DAN INSTANSI LAIN

Pasal 6

1. Perekam Medis memberikan informasi dengan identitas diri , kre densial profesi , pendidikan

dan pengalaman serta rangkapan minat dalam setiap pengadaan perjanjian kerja atau

pemberitahuan yang berkaitan .

2. Wajib menjalin kerjasama yang baik dengan organisasi pemerintan dan organisasi profesi

lainnya dalam rangka penigkatan mutu Administrator Informasi Kesehatan dan mutu

pelayanan kesehatan .

BAB V

KEWAJIBAN TERHADAP DIRI SENDIRI

Pasal 7

1. Administrator Informasi Kesehatan wajib menjaga kesehatan dirinya agar dapat bekerja

dengan baik .

2. Administrator Informasi Kesehatan wajib menigkatkan pengetahuan dan keterampilan sesuai

dengan perkembangan IPTEK yang ada .

BAB VI

PENUTUP

Pasal 8

Administrator Informasi Kesehatan wajib menghayati dan mengamalkan Kodde Etik profesinya .
Demikianlah Standar Profesi Administrator Informasi Kesehatan ( Perekam Medis ) Indonesia

uang disusun oleh Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Profesional Perekam Medis dan Informasi

Kesehatan Indonesia DPP PORMIKI . Semoga buku ini bermanfaat bagi seluruh Profesi

Administrator Informasi Kesehatan ( Perekam Medis ) di Indonesia dalam rangka meningkatkan

kualitas Sumber Daya Manusia dibidang Manajemen Informasi Kesehatan .

Lampiran 8

KOMITE ETIK DAN HUKUM RUMAH SAKIT

Pendahuluan Merujuk kepada tulisan Prof. Dr Ratna Suprapti Samil SpOG tentang Etika Rumah

Sakit , maka diperlukan adanya Komite Etik Rumah Sakit di tiap Rumah Sakit . Namun dengan

semakin berkembangnya ilmu kedokteran , kemajuan treknologi kedokteran dan meningkatnya

kesadaran hukum di masyarakat maka tidak hanya hal etik saja yang perlu perhatian tetapi juga

hal hukum sehingga dibentuklah Komite Etik dan Hukum Rumah Sakit .

Pembentukan panitia etika rumah sakit memberi kemungkinan kepada karyawan kesehatan

sebagai suatu kelompok berhadapan dengan masalah - masalah besar dan selanjutnya mampu /

tanggap terhadap hal - ihwal pasien dan masyarakat .

Membicarakan masalah - masalah etika secara terbuka dan secara berkala dapat membawa kita

pada keputusan - keputusan yang lebih baik , di samping meningkatkan hubungan antar karyawan

( professional ) dalam bidang kesehatan .

Dengan membicarakan hal - hal etik lainnya , kita dapat belajar dari sesama anggota dan akhirnya

juga dapat menghormati pendapat sesama anggota panitia etika . Pada awalnya panitia etika

dibentuk untuk melayani dan melindungi kepentingan pasien . Dalam banyak hal , kepentingan

karyawan rumah sakit , karyawan kesehatan , dan kepentingan pasien disatukan .

Pada situasi lain kepentingan pasien tidak jelas atau tidak pasti , dan dalam situasi demikian ,

tampaklah kesan bahwa kepentingan rumah sakit dan karyawan medis lebih didahulukan .

Etika kedokteran sekarang telah menjadi suatu keharusan dalam ilmu kedokteran yang

mempunyai cita - cita ( implan ) agar dunia ini bebas dari penyakit dan bebas dari penderitaan

berkat ilmu dan teknologi kedokteran yang semakin berkembang .

Sebuah tindakan medis makin lama semakin teliti dianalisis tidak hanya oleh profesi kedokteran
sendiri , tetapi juga diluar profesi karena ilmu kedokteran dan kehidupan masa kini telah menjadi

ilmu yang juga dimiliki oleh masyarakat .

Masyarakat terus menuntut atau meminta agar profesi kedokteran mempertanggung jawabkan

segala tindakannya . Masyarakat masa kini menuntut agar diikutsertakan dalam pemanfaatan

ilmu dan teknologi kedokteran yang berkembang dengan pesat .

Tindakan kedokteran berhubungan dengan penilaian secara moral . Kebutuhan akan hal tersebut

timbul tidak hanya karena masyarakat yang mula - mula terdiri dari suatu masyarakat yang

berfikir secara seragam , tetapi juga karena perubahan yang mendasar dari ilmu kedokteran dan

pelayanan kesehatan di bawah pengaruh ilmu dan teknologi kedokteran dengan segala

kemungkinannya . Umpamanya : beberapa dasawarsa yang lalu masalah mati sebenarnya

merupakan masalah mutlak manakala faal organ - organ esensial berhenti . Akan tetapi , dengan

perkembangan teknik - teknik resusitasi di ruang perawatan intensif , kematian menjadi masalah

yang dapat dimanipulasi . Sehingga masalah hidup atau yang sudah menjadi realitas sehari-hari -

hari yang jawabannya tergantung pada kriteria yang dianut. Kriteria ini juga merupakan jawaban

untuk mereka yang menunggu organ pendonor yang akan ditransplantasikan .

Kebiasaan para dokter untuk membuat keputusan akan hidup dan mati terhadap nasib para pasien

semakin langka. Dewasa ini , keputusan dokter tentang kematian pasien masih dilakukan jika

dokter tersebut berada di rumah pasien atau di rumah sakit dimana ia bertindak sendiri. Akan

tetapi di dalam sebuah rumah sakit rujukan dengan pengobatan dan perawatan pasien yang

mengikutsertakan banyak konsulen peserta pendidikan dokter spesialis, perawat dan berbagai

karyawan lainnya , maka keputusan mengenai tidak mungkin menjadi keputusan yang dapat

dianggap berdiri sendiri. Keikutsertaan pihak luar, malahan dari pihak awam sering terasa

diperlukan .

Tidak hanya akhir kehidupan , tetapi awal kehidupan pun saat ini juga telah masuk dalam batas -

batas kemungkinan dari ilmu kedokteran , seperti kemampuan untuk memperoleh embrio secara

Fertilisasi In Vitrio ( FIV ) .

Kemajuan luar biasa yang saat ini telah dicapai, antara lain : transplantasi organ , eksperimen pada

manusia , diagnosis kelainan genetik prenatal , dan pengendalian perilaku manusia . Perlu kita

sadari bahwa setiap kemajuan akan menimbulkan masalah yang pelik, yang tidak hanya
membutuhkan pengetahuan secara ilmiah , tetapi juga diperlukan wawasan dan tanggung jawab

secara etis.

Ilmu kedokteran dan pelayanan kesehatan pada umumnya telah menjadi masalah besar justru

karena bertambahnya ilmu dan kemampuannya tersebut . Sampai dimana batas - intervensi medis

dan siapa yang harus menetapkan batas tersebut , adalah suatu pertanyaan yang belum dapat

dijawab .

Permulaan kesadaran akan kebutuhan suatu konsensus yang dirumuskan dalam usaha mencari

kebenaran dan keadilan tidak terjadi secara tiba - tiba Hal ini terjadi sebagai akibat dari kemajuan

ilmu dan teknologi perawatan dan alat - alat resusitasi ) dan alasan atau indikasi apa yang

membawa kita kepada keputusan tersebut ; sebaiknya keputusan itu diambil oleh sebuah panitia

yang membicarakan kasus tersebut secara interdispliner .

Di Amerika Serikat pada akhir tahun 70 - an dan awal tahun 80 - an telah dibentuk / didirikan

banyak panitia - panitia etika rumah sakit karena masalah - masalah tersebut diatas . Juga pada

tahun 70 - an dan 80 - an banyak fakultas kedokteran di Amerika Serikat menekankan pada

pendidikan etik di perguruan tinggi kedokteran . Evaluasi pendidikan ini menyatakan bahwa

mahasiswa dapat dididik untuk menilai dimensi moral dari sebuah kasus , yang diutamakan adalah

pembicaraan kasus dengan guru / pembimbing di dalam klinik . Panitia etik rumah sakit ini

ternyata semakin tumbuh dan berkembang . Salah satu harapan dibentuknya panitia atau komite

etik rumah sakit ( KERS ) adalah bahwa KERS dapat menyelesaikan masalah - masalah yang

sukar . Anggota panitia KERS berasal dari beberapa disiplin ilmu dan di dalam panitia KERS

tersebut terjadi tukar pikiran untuk memperoleh penyelesaian terhadap suatu masalah yang sedang

dihadapi.

Pengalaman KERS terbatas , tetapi baik di Amerika Serikat maupun di Eropa makin lama makin

terasa kebutuhan KERS tersebut karena meningkatnya masalah - masalah dalam pelayanan

kesehatan . Meskipun secara hukum kedudukan Komite Etika Rumah Sakit ( KERS ) pada

awalnya dinyatakan tidak sah , tetapi ternyata makin lama makin bertambah jumlahnya. Di

Netherland pada awal tahun 1976 , mulai terbentuknya KERS pertama di Leiden , dan pada tahun

1990 sudah terbentuk lebih dari 200 KERS yang tersebar di seluruh negeri Belanda .
Kecenderungan Penyimpangan Etik

Hukum kedokteran dan etika kedokteran dalam masyarakat ber kembang dengan latar belakang

yang sama , yaitu latar belakang sosial , budaya dan falsafah . Akan tetapi kedua hal tersebut

berbeda di dalam beberapa masalah yang penting . Davis dan Smith mengatakan bahwa kita dapat

melihat hubungan antara etika kedokteran dan hukum kedokteran dalam masalah - masalahnya

sebagai berikut .

1. Sesuai etika dan sesuai hukum

2. Bertentangan dengan etika dan bertentangan dengan hukum ,

3. Sesuai dengan etika , tetapi bertentangan dengan hukum , dan

4. Bertentangan dengan etika , tetapi sesuai dengan hukum.

Para karyawan kesehatan sering berhadapan dengan kemungkinan ketiga dan keempat karena kita

harus menetapkan apa yang benar di dalam pandangan yang luas dan kita tidak berpihak . Sering

hukum dapat menolong memecahkan suatu masalah didasarkan pada hukum , sedangkan

kebenaran dalam hal etika didasarkan pada prinsip - prinsip dan nilai - nilai etika . Umpamanya ,

berbicara secara bebas adalah suatu hak yang negatif . Banyak hal yang bisa membawa seorang

dokter berhadapan dengan hal - hal etika . Misalnya , kita berhadapan dengan masalah yang sukar

yang agaknya tidak mungkin dipecahkan secara memuaskan atau kita harus memilih antara dua

pilihan yang kedua - duanya tidak memuaskan. Kita sebagai seorang dokter harus memperpanjang

hidup dan meringankan penderitaan. Dokter sering dihadapkan pada keadaan sehingga ia sendiri

bertanya , apa yang seharusnya dilakukan . Hal ini berhubungan dengan antara lain euthanasia .

Contoh lain yang sering terjadi adalah pertentangan antara pasien untuk dapat menetapkan segala

hal bagi dirinya dan intervensi seorang karyawan kesehatan dalam hal pembatasan hak pasien

tersebut demi kesehatannya . Umpamanya , mengenai transfusi darah . Hukum mengatakan bahwa

pasien dewasa memiliki hak untuk menolak transfusi darah berdasarkan agamanya , meskipun

menurut indikasi medis pasien itu harus menerimanya . Dengan demikian , pasien memutuskan

lebih baik mati daripada menerima transfusi darah. Pengadilan kemudian menyatakan bahwa

pasien tersebut secara mental kompeten untuk membuat keputusan sehingga keputusan itu

dianggap sah. Akhirnya pengadilan menyatakan bahwa pasien yang telah menyatakan

keputusannya dinyatakan kompeten secara mental dan dinyatakan benar .

Kecenderungan penyimpangan etika kedokteran terjadi karena sering indikasi medis tidak
dibuktikan . Dalam hal ini tiap - tiap rumah sakit sebaiknya mempunyai laporan tahunan mengenai

hal ihwal yang terjadi di rumah sakit . Demikian pula sebaiknya tiap - tiap rumah sakit

mempunyai sebuah panitia etik rumah sakit yang di dalamnya juga terdapat panitia jaringan

sehingga preparat / jaringan hasil pembedahan dapat berupa bukti mengenai kebenaran yang

dilaksanakan pada tiap - tiap pembedahan . Untuk itu juga diperlukan standar profesi bagi tiap -

tiap disiplin ilmu .

Permulaan Pembentukan Komite Etik dan Hukum Rumah Sakit ( KEHRS )

KEHRS pada awalnya dibentuk sebagai akibat seorang dokter spesialis atau lebih yang merasa

ragu - ragu dan tertekan menghadapi kesukaran mengambil keputusan dalam hal : menghentikan

pemberian dialisis kepada seorang pasien penyakit ginjal , menghentikan respirator , dan hal - hal

seperti itu . Timbul pertanyaan bahwa kita membutuhkan sebuah kebijakan untuk menghentikan

respirator .

Dalam hal lain ada pertanyaan bahwa menghadapi ketidak sepakatan mengenai kasus tertentu ,

dan karyawan kesehatan tidak mengetahui bagaimana mengambil keputusan maka timbul

kebutuhan akan KEHRS yang kemudian ditunjang oleh pihak - pihak resmi .

Kalau KEHRS akhirnya diangkat dengan surat keputusan , pada awalnya bentuk strukturnya

tidak jelas . Sering anggota - anggotanya adalah anggota sukarela , masa jabatannya tidak jelas ,

dan dukungan resmi juga sering tidak jelas . Akan tetapi dalam perkembangannya makin lama

makin teratur bentuknya .

Tujuan dan Kedudukan KEHRS

Tugas KEHRS disesuaikan dengan luasnya masalah etika yang menyangkut :

1. Hal ihwal klinik

2. Hal ihwal para pasien keluhannya, kepribadiannya, (pembelaannya termasuk perawatannya)

3. Setiap dokter dan perawat, serta

4. Konflik antara beberapa disiplin ilmu.

Semua hal diatas dapat diusahakan tanpa mandat yang berarti bahwa pembentukan sebuah

KEHRS itu akhirnya harus resmi dan didukung oleh sebuah surat keputusan yang resmi oleh pihak
yang berwenang . Sebaiknya sebuah KEHRS sejak awal menetapkan tugas dan batasan tugas

tersebut , antara lain tugas dan tanggung jawab sekretariat dan pendanaannya . Demikian pula

kedudukan strukturalnya meskipun pada awal semua belum jelas , dengan keinginan para anggota

yang selalu ingin belajar dan menambah pengalaman dan selalu terbuka untuk usaha memperbaiki

diri , maka akhirnya dapat dibentuk sebuah rumusan kedudukan KEHRS .

Tugas utama lain adalah meningkatkan pendidikan anggota KEHRS sendiri , untuk para dokter

dan perawat di rumah sakit , untuk para pasien dan keluarganya , serta untuk masyarakat sekeliling

rumah sakit yang bersangkutan .

Mengenai kebijakan sebaiknya sebuah KEHRS harus secara tertulis menguraikan mengapa

KEHRS terbentuk , telah ditetapkan kedudukannya , dan bagaimana cara melaksanakan tugas -

tugas tersebut .

Jika tugas etika dirasakan amat luas , sebaiknya diadakan panitia ad hoc untuk masalah - masalah

yang tidak tercakup oleh KEHRS , atau mengadakan subpanitia yang tetap , atau panitia yang

terpisah , seperti :

a) Panitia bayi - bayi baru lahir dengan keadaan yang gawat , atau kelainan yang multipel

( panitia neonatal )

b) Panitia usulan penelitian yang mengkaji uji klinik

c) Panitia : transplantasi ginjal , transplantasi sumsum tulang , trans plantasi jantung , hepar

dan lain - lain yang dianggap eksperimentasi pada manusia

Seringkali terutama pada awal pembentukan sebuah KEHRS memikul tugas yang terlampau luas ,

dan mengambil keputusan terlampau cepat . Sampai tiba saatnya , dimana dukungan rumah sakit

amat kuat dan pengalaman para anggota KEHRS sungguh sungguh mendalam dan latar belakang

pribadi mengenai masalah masalah bioetika sangat luas .

Posisi KEHRS dalam Struktur Organisasi Rumah Sakit

Posisi KEHRS dalam struktur organisasi rumah sakit tergantung pada bagaimana KEHRS

pada awalnya dibentuk.

Hal-hal penting yang harus ditetapkan KEHRS:

1. Imunitas catatan (records) KEHRS,


2. Keanggotaan yang spesifik KEHRS

3. Cara pengangkatan anggota

4. Pemilihan ketua KEHRS, dan

5. Sifat KEHRS tersebut.

Imunitas KEHRS

Meskipun ada hukum kedokteran yang berbeda di tiap negara, umumnya imunitas catatan KEHRS

dihormati karena tugas KEHRS adalah mengambil langkah dan meningkatkan mutu pelayanan

terhadap si pasien secara keseluruhannya.

Mengenai pernyataan tersebut dalam hukum kedokteran baik di negara-negara bagian Amerika

Serikat maupun Eropa, terdapat banyak kontroversi. Ini disebabkan karena adanya KEHRS

merupakan masalah baru, sehingga para ahli hukum kesehatan kedokteran belum dapat

menetapkan mengenai imunitas KEHRS dalam hukum, tetapi

sampai sekarang, belum ada masalah, baik di Eropa maupun di Amerika Serikat, yang

mengharuskan para ahli hukum mengambil inisiatif untuk membicarakan dan mengatur imunitas

tersebut.

Apakah seorang anggota KEHRS boleh dipanggil sebagai saksi ahli, atau didengar oleh

pengadilan? Hubungan antara imunitas, kerahasiaan dan akuntabilitas (privacy, confidentiality,

dan privilege), harus merupakan perhatian khusus para KEHRS.

Peranan KEHRS

Peranan yang diambil oleh sebuah KEHRS tidak boleh hanya berupa masalah-masalah medis,

yang merupakan masalah utama para dokter; ahli administrasi dan ahli keperawatan, harus juga

mengemukakan masalah-masalah dalam tugasnya, sehingga terjalin kerjasama yang baik antar

instalasi di sebuah rumah sakit

Keanggotaan KEHRS yang spesifik

Banyak pihak beranggapan bahwa dalam sebuah KEHRS separuh jumlah anggota harus dokter,

dan untuk kredibilitasnva ketua harus seorang dokter. Para anggota KEHRS harus berlatar

belakang pendidikan dan profesionalisme, yang kuat. Dianjurkan mengangkat anggota dari luar
profesi medis., misalnya ahli hukum. jumlah Anggota KEHRS

Jumlah anggota KEHRS bervariasi antara 8 sampai 25 orang.

Awam Sebagai Anggota KEHRS

KEHRS sering diminta mengangkat seorang awam dalam masyarakat sebagai anggota. Anggota

tersebut sebaiknya sama sekali tidak ada hubungan dengan masalah kesehatan atau rumah sakit,

tetapi anggota tersebut harus mempunyai integritas tinggi

sehingga didengar dan dihormati pendapatnya.

Cara Pengangkatan Anggota KEHRS

Seperti telah diuraikan di atas, yang menjadi anggota KEHRS selain para dokter dalam beberapa

disiplin ilmu kedokteran (of known advanced science), adalah para perawat, ahli administrasi,

alim ulama (rohaniawan), dan pekerja sosial.

Menurut pendapat mum anggota KEHRS adalah orang-orang yang mempunyai perhatian terhadap

masalah etika. Temperamen dan kemampuan untuk berpikir secara kritis lebih penting daripada

kemampuan profesional atau gelar-gelar kesarjanaan. Para anggota hendaknya pribadi-pribadi

yang dapat berpikir secara kritis dan reflektif, ingin dan mampu maju secara lamban, untuk

mengizinkan pemikiran yang berlainan, menerima dan menghormati pendapat sesama anggota

KEHRS, semuanya ingin memperjuangkan keadilan dan kebenaran (fairness and truth).

Kredibilitas, Lambang dan Tanggung Jawab

Kalau sebuah KEHRS hanya terdiri atas para dokter/dokter spesialis, betapapun ulung dan

diakuinya mereka sebagai pakar, KEHRS tidak akan memperoleh kredibilitas, slain anggota tetap,

sewaktu-waktu bila diperlukan harus diangkat pula para dokter dan perawat NICU dan /CU tempt

yang sering timbul masalah etik karena kemampuan/pengalaman mereka sering dibutuhkan.

Sebaiknya juga ada seorang ahli hukum sebagai anggota, yang mengerti batasan-batasan hukum

dalam kedokteran.

Dewasa in ada keahlian yang menyebut dirinya ahli bioethic. Kalau ada ahli seperti itu, barangkali

baik mengangkatnya sebagai anggota.


Cara Kerja KEHRS

Mengenai imunitas catatan-catatan sebuah KEHRS telah diurai- kan sebelum ini. Kalau ada

masalah yang baru, sebaiknya KEHRS membentuk sebuah subpanitia yang menangani masala

tersebut. Dengan mengangkat anggota-anggota subpanitia tersebut sesuai dengan yang

dibutuhkan.

Mengambil Keputusan

Meskipun pemungutan suara adalah cara demokrasi, tetapi di dalam KEHRS keputusan sebaiknya

diambil secara bulat setelah bermusyawarah dan bermufakat.

Kepemimpinan

Setelah para anggota melampaui masa pendidikan pribadi, maka rapat-rapat harus dipimpin secara

profesional. Sebuah KEHRS harus bekerja sebagai kelompok dan dinamis.

Terbentuknya KEHRS

KEHRS adalah:

1. Suatu kesatuan yang dipercaya oleh banyak orang untuk memecahkan sejumlah masala

medikolegal dan etikolegal dalam pelayanan kesehatan modern (masa kini), di rumah sakit

termasuk rumah sakit khusus kebidanan yang menangani bayi yang baru lahir dengan

bermacam masalah, dan yang diharapkan dapat merumuskan kebijakan rumah sakit dan

menyusun pedoman bagi pengelolaan (manajemen) berbagai kasus dengan diagnosis yang

khusus (spesifik)

2. Suatu kesatuan yang dipercaya dapat memonitor hal-hal/efek pada kasus-kasus tersebut

dengan mengadakan tinjauan setelah dipelajari rekam meds secara' retrospektif.

3. Suatu kesatuan yang dipercaya dapat meninjau kembali kasus gawat darurat yang bila

diberikan resusitasi diragukan manfaatnya.

Manfaat KEHRS

Sejumlah manfaat dinyatakan oleh para pendukung KEHRS karena KEHRS akan memenuhi

kebutuhan pendekatan yang lebih sistematik dan lebih mendasar terhadap dilema masa kini dalam

mengambil keputusan etikolegal dalam rumah sakit dan pada sarana perawatan secara lama dan
menahun (long term care-institutions).

Jika masalah medis dibicarakan secara terbuka oleh para pakar yang menaruh perhatian dan

menguasai masalah, keputusan yang diambil akan lebih mendasar dan dengan lebih banyak

pertimbangan

Pentingnya sebuah forum yang multidisipliner terbukti lebih berhasil daripada

pandangan-pandangan sepihak oleh para dokter dan perawat mengenai beberapa masalah.

Barangkali hal in karena pada waktu menghadapi masalah, mereka tidak mengetahui kemana

mereka harus meminta pertimbangan, dan nasihat jika menghadapi suatu dilema etik dan adanya

peraturan-peraturan yang mengatur langkah-langkah apa yang dapat ditempuh dalam menghadapi

masalah-masalah tersebut.

Manfaat lain yang sangat erat hubungannya dengan yang pertama adalah bahwa KEHRS bertindak

sebagai sebuah penghubung antara nilai-nilai di dalam masyarakat dan

perkembangan-perkembangan Ilmiah yang benar-benar terjadi di institusi-institusi yang merawat

dan mengobati pasien-pasien khusus yang secara jelas merupakan kasus-kasus bermasalah

medikolegal, dan etikolegal.

Tugas KEHRS

Tiga tugas umum sudah dibebankan pada KEHRS, yaitu:

1. Pendidikan,

2. Penyusunan dan pengembangan kebijakan-kebijakan, panduan dan pedoman kerja di rumah

sakit, serta

3. Pemberian konsultasi dan membicarakan kasus-kasus yang sulit, dan memberi keputusan

terhadap hal tersebut dengan berbagai alternatif.

Jika kita meninjau tugas-tugas yang dibebankan kepada KEHRS yang telah bekerja, kita terkesan

oleh banyaknya konteks dalam bidang mana KEHRS tersebut bekerja dan tugas-tugas apa yang

telah mereka laksanakan.

1. Pendidikan

Pendidikan KEHRS berarti bahwa para anggotanya ikut serta dalam diskusi semua

bidang yang ada hubungannya dalam pendidikan maupun diskusi-diskusi kasus mengenai

masalah (isu) medikolegal dan etikolegal. Pendidikan para anggota KEHRS sendiri, untuk
memperluas pengetahuan mereka masing-masing dan memperluas pengamlamannya dengan

masala yang sedang dipersoalkan sudah jelas telah dilaksanakan.

Sebagai contoh masalah instruksi untuk DNR. Pendidikanyang berkesinambungan

(continuing education) melalui satu atau dua konferensi setahun, mengenai pedoman/panduan

terhadap DR dan pelaksanaannya terhadap meningkatnya pengalaman para anggota KEHRS.

Hasilnya ialah lebih banyak informasi dan pelaksanaan yang lebih seragam dalam kebijakan

yang telah disepakati mengenai aplikasi DNR.

2. Menyusun Kebijakan dan Panduan

KEHRS harus dengan tegas menyusun kebijakan yang jelas, dan masyarakat mum

mengetahui bagaimana dan oleh siapa keputusan- tersebut diambil, terutama bagi pasien yang

jelas kurang mampu mengambil keputusan secara mandiri.

Untuk peran ini KEHRS ternyata sangat cocok. KEHRS juga mengusulkan, meninjau,

dan member rekomendasi secara administratif mengenai kebijakan dan pedoman panduan

seperti penentuan keadaan MAT!, instruksi untuk tidak mengadakan resusitasi (DNR),

instruksi-instruksi untuk pemberian perawatan penunjang, dan perawatan bayi baru lahir

dengan kelainan bawaan. KEHRS juga secara terus menerus meninjau berbagai kebijakan

dan panduan tersebut sesuai dengan perkembangan ilmu yang mutakhir.

3. Konsultasi dan Pembicaraan Kasus

Pembicaraan kasus dapat bertujuan menghasilkan keputusan yang lebih mendasar

dengan mengikut sertakan lebih banyak pihak, sehingga menjamin kepentingan semua pihak,

terutama bagi orang yang bermasalah dan keputusan yang telah diambil berada dalam

jangkauan alternatif lain yang dimungkinkan.

Barangkali cara in kontroversial dan ada pihak yang menentang-nya karena KEHRS

tidak memutuskan cara pengobatan dan tidak ikut serta dalam kasus yang wali pasiennya

tidak mampu mengambil keputusan, menolak pengobatan medis.

Masalah-masalah

(KEHRS) juga mempunyai beberapa masalah yang diketahui oleh KEHRS sendiri. Banyak

komentar bahwa sering KEHRS bergerak tidak terbatas pada bidangnya, KEHRS tidak hanya

menyelesaikan masalah etik dan moral, tetapi sering juga masalah penilaian terhadap staf medis
dan masalah pasien yang ditangani

oleh staf medis tersebut.

Banyak rumah sakit kurang atau tidak memiliki tenaga yang memenuhi persyaratan yang

telah diuraikan diatas untuk membentuk KEHRS karena kesibukan-kesibukannya. Akan tetapi,

jangan kita lupakan manfaat dan kekuatan/potensial yang telah terbukti dengan adanya KEHRS.

Masa Depan

Adanya KEHRS pada masa depan sangat penting terutama dalam:

1. Meningkatkan dan menjadi fasilitator pemikiran dan informasi, termasuk publikasi buku atau

majalah KEHRS;

2. Menciptakan dan memelihara perpustakaan untuk pendidikan dan pembahasan kasus-kasus bagi

anggota KEHRS;

3. Mendirikan dan menyelenggarakan kantor bagi para konsultan dan para pembicara untuk

member bantuan kepada KEHRS dalam mendidik para anggotanya atau staf rumah sakit dan

member konsultasi etika menghadapi kasus; dan

4.Melaksanakan penelitian dan pengamatan KEHRS yang telah melaksanakan tugasnya.

KEHRS ditantang dan diberi kesempatan bagi para karyawan kesehatan; para dokter, tenaga

perawat, tenaga-tenaga administrasi, para ahli hukum kesehatan, dan keluarga pasien untuk

mengambil inisiatif dan mengembangkan cara-cara sehingga keputusan yang

diambil adil bagi mereka (pasien, para dokter dan keluarga masing-masing).

Penilaian KEHRS

Paling sedikit tiap tahun secara formal dan secara pribadi pekerjaan KEHRS harus dinilai. Ketua

menulai setiap anggotanya, antara lain mengenai kehadirannya. Para anggota masing-masing

menilai pekerjaan KEHRS secara keseluruhan, yaitu mengenai pendidikan, konsultasi, serta

hasil-hasil yang telah dibentuk, dan sebagainya


Rujukan

1. Wilson Ross, J. dan kawan-kawan: Handbook for Hospital

Committees, 1986

2. "Hospital Ethics Committees". Lokakarya Bio-Etika, Atmajaya,Perdhaki. 27 Oktober 1990,

Jakarta

3. Ronald E, Cranford MD, A. Edward Doudera JD. Institutional Ethics Committees and Health

Care Decision Making. ASLM, Health Administration Press, Ann arbor, Michigan, 1984

Lampiran 9

PEMBUATAN KEPUTUSAN ETIK DI RUMAH SAKIT

Salah satu tugas utama etika kedokteran adalah memberikan pedoman dalam menentukan

baik-buruknya atau benar-salahnya perbuatan (kedokteran) dilihat dari sudut moral. Memang pada

umumnya mudah menentukan suatu perbuatan itu baik atau benar, atau selaiknya buruk atau salah,

namun pada keadaan tertentu pembuatan keputusan yang etis sering kali menjadi sulit.

Guna membantu mencapai keputusan etik, para ahli mengemukakan beberapa tori etik

sebagai landasan menalarnya. Teori etik dikenal sebagai "cara" yang memiliki hirarki tertinggi

dalam membuat keputusan yang etis. Dua teori etik yang sangat menonjol adalah teleology dan

deontologi.

Teleologi atau paham-paham yang sealiran, pada mulanya diajukan oleh David Hume,

Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Kedalamnya dapat dimasukan teori utilitarian. Teori ini

menyatakan bahwa sesuatu perbuatan itu benar secara moral lebih didasarkan kepada hasil atau

konsekuensinya daripada mempertimbangkan nilai moral intrisik yang terkandung didalam

perbuatan tersebut. Penilaian in khususnya ditujukan kepada nilai-nilai non moral yang diproduksi

oleh perbuatan tersebut, seperti kenikmatan, kebahagiaan, persahabatan, pengetahuan, kesehatan,

dil. Utilitarian dalam prakteknya banyak membantu pengembangan prinsip moral dalam dunia

kesehatan (azas manfaat).

Deontologi pada awalnya diajukan oleh Immanuel Kant. Teori ini lebih mendasarkan kepada

niat baik dan kewajiban, lebih menggunakan norma agama dan tradisi/ budaya. Deontologi

menyatakan bahwa konsep kewajiban dan hak harus dibedakan dengan konsep baik-buruk, dan
kebenaran moral suatu perbuatan ditentukan terpisah dari baik-buruknya hasil. Benar atau

tidaknya suatu perbuatan secara moral ditentukan berdasarkan nilai moral yang terkandung

didalam perbuatan itu sendiri. Hasil baik memang kadang-kadang merupakan hasil dari suatu

perbuatan yang benar, tetapi tidak selalu demikian. Suatu perbuatan dianggap benar apabila

mengandung categorical imperative yang universal, misalnya bicara

benar (truth telling). Sementara itu euthanasia terhadap pasien yang sakit pada stadium terminal

dianggap memiliki logika yang inkonsisten, bagaimana mungkin meningkatkan (mutu) kehidupan

dilakukan dengan car menghentikan kehidupan itu sendiri.

Selain kedua teori diatas, masih dikenal juga teori-teori etika yang lain, seperti teori natural

law (Aristoteles, St. Thomas Aquinas). Rawls's theory (John Rawls), Casuistry (Jonsen and

Toulmin), Virtue Ethics (Pellegrino and Thomasma), dan Ethics of Care (Carol

Gillian). Perbedaan teori-teori etik diatas dapat saja menghasilkan kesimpulan yang sama, dengan

menggunakan penalaran yang berbeda melalui konstruksi dan criteria yang berbeda pula.

O' Rourke (2000) menyebutkan pula teori-teori etik yang seringkali digunakan orang dalam

membuat keputusan etik, walaupun penggunaan tori etik itu secara esensial sangat diragukan

kebenarannya. Teori-teori etik tersebut antara lain adalah Emotivism, yaitu pembuatan keputusan

etik dengan pembuatan respons emosi, subyektivitas, dengan mengacu kepada "saya rasa itu

benar........ atau salah"; Legalism, yaitu pembuatan keputusan etik dengan mengacu kepada kaidah

turunan hokum, misalnya dokter berani melakukan withdrawing dan withholding life support

kalau sudah ada kaidah hokum tentang itu; Culture relativism, yaitu perbedaan keputusan etik

berdasarkan budaya atau kebiasaan yang dianut

masyarakat atau bagian tertentu. Dalam kedokteran hal ini biasa disebut sebagai "common

practice" atau "semua orang juga melakukan hal itu".

Pendekatan Kaidah Dasar Moral

Para ahli teori etik mengajukan beberapa kaidah (Obligation) yang harus dikuti oleh manusia

dalam berinteraksi dengan manusia lainnya, yang kemudian telah menjadi prima face dalam

menilai benar atau salahnya sesuatu perbuatan manusia. Kaidah-kaidah tersebut disebut sebagai

kaidah dasar (principles), yang memiliki beberapa kaidah turnan (rules). Disebut kaidah dasar

apanila kaidah tersebut dianggap primer atau fundamental, sedangkan lainnya disebut kaidah

turunan apabila dianggap sekunder atau derivative. Namun sayangnya tidak semua ahli sependapat
tentang penempatan kaidah mana yang kaidah dasar dan mana yang kaidah turuman. Belmont

report (1979) mengajukan 3 kaidah dasar, yaitu respect for person, beneficence and justice. Veatch

(1981) menyebut kaidan dasar terdiri dari beneficence, contract keeping, autonomy, honesty,

avoiding killing dan justice: dan yang termasuk kaidah

turunannya adalah informed consent. Sedangkan Beauchamp and Chiidress (1994) mengajukan 4

kaidah dasar, yaitu autonomy, beneficence, non-maleficence dan justice, dengan kaidah

turunannya terdiri dari veracity, fidelity, privacy dan confidentiality.

Darr (1997) menyebut kaidah-kaidah respect for persons, beneficence, non-maleficence dan

justice, sebagai kaidah dasar. la menyatakan bahwa respect for persons terdiri dari 4 elemen, yaitu

autonomy, truth telling, confidentiality dan fidelity. Dalam

praktek sehari-hari prinsip penghormatan manusia itu biasa disebut

langsung sebagai prinsip autonomy.

Dalam rangka membuat keputusan etik para penganut principlism

(kaidah dasar) akan menggunakan kaidah dasar diatas sebagai prime facie dalam menilai moralitas

perbuatan yang akan dinilai. Hasil penalaran moralitas dengan mengguakan kaidah-kaidah dasar

diatas pada umumnya akan saling menunjang antara satu kaidah

dasar dengan kaidah dasar lainnya. Namun dalam keadaan tertentu mereka dapat saling

bertentangan (ethical dilemma), sehungga mengakibatkan kesulitan dalam membuat keputusan

etik.

Beauchamp and Childress mengatakan bahwa semua kaidah dasar dan kaidah turunan

tersebut hanya mengikat sebagai prime facie, sehungga dapat "dikalahkan" ole kaidah dasar dan

kaidah turunan lain. Posisi kaidah dasar sebagai prime facie tersebut disatu sisi menguntungkan

karena dengan mudah dapat digantikan oleh kaidah dasar lain, namun disisi lain dapat

menyulitkan dalam menentukan kaidah dasar mana yang lebih domonan dalam membuat

keputusan akhir.

Henry Richardson (1990) menguraikan 3 model dalam meng- hubungkan antara kaidah dasar

dan kaidah turunan diatas dengan keputusan pada kasus tertentu, yaitu melalui "aplikasi" deduktif

kaidah dasar dan kaidah turunan melalui "balancing" dengan membandingkan bo bot secara

intuitif dari kaidah-kaidah yang bertentangan, dan melalui

"'spesifikasi" dengan menspesifikan arti dan lingkup masing-masing kaidah dasar dan kaidah
turunan kedalam kasus.

Autonomy

Kaidah dasar autonomy memberikan hak kepada seseorang untuk menentukan apa yang

boleh dilakukan pada diri orang tersebut (the right of self determination). Setiap tindakan medis

kepada seseorang pasien hanya bisa dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari pasien

tersebut. Orang lain dapat bertindak mewakili pasien apabila pasien memang tidak dapat membuat

keputusan dan orang lain tersebut memang dapat merepresentasikan kepentingan pasien, yaitu

biasanya keluarga terdekatnya. Meskipun de mikian, pada umumnya dalam keadaan tertentu

(darurat medik), tindakan medis dapat dilakukan tapa persetujuan pasien untuk

menyelamatkanjiwa atau mencegah kecacatan pasien.

Kaidah dasar ini mendasari doktrin informed consent, yang mengatakan bahwa pasien hanya

dianggap telah membuat keputusan yang layak apabila sebelumnya telah diberi informasidan

memahami tentang hal-hal yang diperlukan untuk membuat keputusan tersebut. A patient with

substantial understanding and in substantial absence of control by others, intentionally authorizes

a professional to do something.

Beneficence

Kaidah dasar beneficence memberikan kewajiban kepada para dokter atau tenaga kesehatan

pada umumnya untuk selalu memperhatikan atau mengutamakan kebaikan bagi pasien.

Kepentingan pasien adalah yang utama dalam mempertimbangkan suatu keputusan atau tindakan

medis. Dalam hal ini tidak berarti bahwa hanya tindakan yang scara absolute memberikan dampak

positif bagi pasien saja yang diperbolehkan dilakukan (positive

beneficence). Melainkan juga tindakan yang memiliki dampak positif relative lebih bear daripada

dampak negatifnya (balancing of utility atau proportionality, balancing of benefit and harm).

Untuk mempertimbangkannya dapat dilakukan cost benefit analysis, cost effectivenenn alaysis,

dan risk assessment.

Kaidah dasar autonomy dapat bertentangan dengan prinsip kedokteran pada umumnya yang

bertujuan untuk kebaikan pasien. Dokter harus berhati-hati dalam membuat keputusan dengan

mempertimbangkan konsep patient safety.


Non-maleficence

Kaidah dasar non-maleficence memberikan kewajiban memberikan kewajiban kepada dokter

dan tenaga kesehatan lainnya untuk tidak mencelakakan atau memperburuk keadaan pasien

primum non nocere dan first do no harm adalah slogan yang biasa merepresentasikan kaidah dasar

non-maleficence, bila beneficence merupakan kewajiban positif maka non-maleficence adalah

kewajiban mencegah negative. Suatu tindakan yang merugikan tidak selalu dianggap tindakan

yang birik (princip double effect), yaitu apabila tindakan tersebut secara intristik tidak salah

(setidaknya netral), niatnya adalah untuk

memperoleh akibat baik. Akibat buruknya bukanlah cara untuk mencapai akibat baiknya, dan

terdapat pertimbangan yang layak antara akibat baiknya dengan akibat buruknya.

Justice

Kaidah dasar justice mewajibkan kepada para tenaga kesehatan untuk bersikap fair (jujur,

terbuka) dan adil dalam mendistribusikan sesuatu sumber daya (distributive justice). Seseorang

harus menerima yang selayaknya ia terima. Rawls mengatakan bahwa ketidak-

saman dapat saja dilakukan apabila ketidaksamaan tersebut justru menguntungkan semua pihak,

terutama bagi yang paling tidak diuntungkan.

Pada dasarnya setiap orang harus memperoleh akses yang sama untuk memperoleh layanan

kesehatan, dengan memperhatikan availability, accessabilitydan quality.Apabila

dilakukanketidaksamaan, misalnya adanya kelas-kelas dalam perawatan di rumah sakit, justru

ditujukan untuk memberikan peluang bagi yang tidak mampu untuk tetap dapat memperoleh

layanan medis.

Privasi dan Kerahasiaan

Privasi dan kerahasiaan informasi dalam pelayanan kedokteran memiliki 2 peran, yaitu

pertama sebagai penghormatan atas individualitas pasien dan kedua sebagai dasar terjadinya rasa

percaya pasien yang diperiukan dalam arangka pelayanan kedokteran. Kerahasiaan informasi

dianggap sebagai sebagai salah satu hak pasien yang azasi, dikrarkan dalam sumpah dan kode etik

kedokteran sera diteguhkan dalam Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Praktek


Kedokteran dan Peraturan Pemerintah tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran.

Pasien adalah pemilik informasi tentang dirinya (tidak terbatas hanya informasi kesehatan,

melainkan juga informasi tentang pribadinya), diserahkan kepada para petugas kesehatan untuk

dipergunakan dalam upaya kesehatan terhadap dirinya, tetapi dirahasiakan dari pihak lain yang

tidak berkepentingan dengan kesehatannya. Beberapa pihak memang berkepentingan juga,

misalnya pihak asuransi kesehatan, tetapi mereka hanya dapat informasi atas persetujuan pasien.

Truth-telling atau Veracity

Immanuel Kant percaya bahwa berkata benar sangat penting dibidang kedokteran. Dokter

dengan pasien harus bisa berbicara terbuka secara bebas dalam kesetaraan, jujur satusama lain,

membuka informasi secara akurat dan menghindari kebohongan sehingga tidak terjadi

kesalahpahaman. Meyer (1969) disisi lain mengatakan bahwa berkata benar memang penting,

tetapi tidak bila pengungkapan informasi itu membahayakan kesehatan pasien. Dalam hal ini

tenaga kesehatan diharapkan mampu mempertimbangkan bai-buruknya pengungkapan informasi

kesehatan tertentu bag pasien-pasien dengan keadaan kesehatan (terutama mental) tertentu.

Fidelity

Kaidah turunan in mewajibkan kepada para tenaga Kesehatan untuk tetap memberikan layanan

kedokteran demi kepentingan pasien, sepajnjang tidak ada alas an untuk menghentikan hubungan

dokter-paisien antara keduanya.

Kata Akhir

Pembuatan keputusan etik dibidang kedokteran pada umumnya dapat dibuat dengan menggunakan

pendekatan dan kaidah dasar moral mum yang berlaku dikalangan kedokteran serta melalui tata

cara penalaran dan justifikasi yang baku. Meskipun demikian, putusan yang diambil sangat

ditentukan oleh situasi-kondisi kasus per-kasus dengan mempertimbangkan juga factor-faktor lain

yang dapat mempengaruhi.

Keputusan etik yang telah pernah dibuat dan diketahui dapat diterima (acceptable) dapat

diulang pada situasi dan kondisi yang serupa. Setiap staf medis didalam rumah sakit dapat
membuat keputusan etik yang bersifat umum dan sehari-hari. Namun perlu diingatkan bahwa

setiap staf medis diharapkan untuk berupaya berkonsultasi dengan sejawatnya atau seniornya atau

bahkan dengan Ketua Departemennya dalam hal akan membuat keputusan etik yang baru baginya.

Komite Etika Rumah Sakit merupakan suatu badan yang tepat untuk berkonsultasi bagi para

staf medis, baik secara pribadi ataupun secara institusional, dalam rangka membuat keputusan etik

dari suatu tundakan medis yang akan dilakukannya.

(Prof. Dr. dr. Budi Sampurna, Sp.F(K), SH)

Kepustakaan

1. Beauchamp TL and Childress JF. Principles of Biomedical Ethics. Third edition. New York:

Oxford University Press, 1997.

2. Darr K. Ethics in Health Services Management. Third Edition. Baltimore: Health Proffesion

Press, 1997.

3. P"Raurke K. A Primer for Health Care Ethics, Essaya for a pluralistic society. Second Edition.

Washington DS: Georgetown University Press, 2000.

4. Monagle JF and Thomasma DS. Health Care Ethics, Critical Issues for the 21st century.

Maryland: Aspen Publisher, 1998.

5. Vetch RM. Medical Ethics. Second Edition. Boston: Jones and Bartlett Publishers, 1997.

6. Phaosavasdi S. Truth telling in Medical Ethics. Medical Association of Thailand, 2003.

7. Meyer BC. Thruth and the physician. Bull of the New York Academy of Medicine 45 (1969):

59-71.

Lampiran 10

HAK-HAK PASIEN'

1. Pasien berhak menerima perawatan yang diberikan kepadanya dengan sopan dan penh

perhatian.

2. Pasien berhak menerima keterangan lengkap dan jelas dari dokternya mengenai diagnosis,

perawatan dan prognosisnya melalui istilah yang mudah ditangkap dan dimengerti oleh

pasien. Bila kesehatan pasien tidak memungkinkan dia memperoleh keterangan itu secara
langsung, keterangan itu harus disampaikan kepada orang yang mewakili pasien. Pasien

berhak mengetahui nama dokter yang memimpin perawatannya.

3. Pasien berhak mendapat keterangan yang jelas sebelum ia diminta menyetujui suatu prosedur

atau perawatan lain. Kecuali dalam keadaan gawat, pasien harus menerima keterangan yang

terinci mengenai risiko yang dihadapi dan berapa lama a harus dirawat sebelum pulih

kembali. Pasien juga berhak mendapat keterangan mengenai perawatan alternatif. Pasien juga

berhak mengetahui nama orang yang akan melaksanakan perawatan atau tindakan tersebut.

4. Pasien berhak menolak perawatan atau tindakan sesuai dengan hukum yang berlaku dan

harus diberi athu mengenai akibat medis dari penolakan itu.

5. Keterangan medis mengenai pasien bersifat sangat pribadi. Diskusi, konsultasi pemeriksaan

dan perawatan harus dilaksanakan dengan merahasiakan keterangan mengenai pasien ini

sehingga orang lain yang tidak berkepentingan tidak akan mengetahuinya. Pasien harus

member ijin sebelum orang yang tak berhubungan langsung dengan perawatannya boleh

memperoleh keterangan mengenai perawatan dan keadaan dirinya.

6. Pasien berhak menerima jaminan bahwa semua dokumen yang berhubungan dengan

perawatannya akan dianggap sangat pribadi dan tidak dapat diberikan kepada orang yang tak

7. berkempentingan.

8. Pasien berhak atas pelayanan yang sebaik-baiknya dan permintaannya yang dapat dipenuhi

harus dipenuhi. Bila diperlukan, pasien dapat dipindahkan ke lembaga medis atau rumah

sakit yang lain, tetapi sebelum in dilaksanakan pasien harus memahami alas an dan

pertimbangan atas keputusan ini. Pasien juga harus dijinkan masuk rumah sakit atau lembaga

meds lain.

9. Pasien berhak menerima keterangan mengenal hubungan rumah sakit tempat ia berada

dengan lembaga meds lain yang terlibat dalam perawatannya. Pasien juaga berhak

mengetahui

10. hubungan profesional diantara dokter dan orang lain yang memberikan perawatan.

11. Pasien berhak diberitahu bila rumah sakit tempat a berada mengadakan penelitian-penelitian

yang mellbatkan pasien. Pasien berhak menolak ikut dalam program penelitian.

12. Pasien berhak memperoleh jaminan bahwa perawatan yang ia terima tak akan terputus, tetapi

akan berlangsung dengan lancer. Pasien berhak mendapat keterangan mengenal tindak
13. lanjut perawatan setelah a pulang dari rumah sakit.

14. Pasien berhak melihat perincian biaya perawatan rumah sakit, meskipun bukan a sendiri yang

akan mengatur pembayarannya.

15. Pasien berhak mendapat keterangan mengenal segala peraturan rumah sakit yang berlaku dan

berhubungan dengan pasien.

Anda mungkin juga menyukai