PENDAHULUAN
Bahwa lembaga perumahsakitan telah tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari
sejarah peradaban umat manusia, yang bersumber pada kemurnian rasa kasih sayang,
kesadaran sosial dan naluri untuk saling tolong menolong diantara sesama,serta semangat
keagamaan yang tinggi dalam kehidupan umat manusia. Bahwa sejalan dengan perkembangan
peradaban umat manusia, serta perkembangan tatanan sosio-budaya masyarakat, dan sejalan
pula dengan kemajuan ilmu dan teknologi khususnya dalam bidang kedokteran dan kesehatan,
rumah sakit telah berkembang menjadi suatu lembaga berupa suatu “unit sosio ekonomi”
yang majemuk. Bahwa perumahsakitan di Indonesia, sesuai dengan perjalanan sejarahnya
telah memiliki jati diri yang khas, ialah dengan mengakarnya azas perumahsakitan Indonesia
kepada azas Pancasila dan Undang-undang dasar 1945, sebagai falsafah bangsa dan negara
Republik Indonesia. Bahwa dalam menghadapi masa depan yang penuh tantangan diperlukan
upaya
mempertahankan kemurnian nilai-nilai dasar perumahsakitan Indonesia. Dengan Rahmat
Tuhan Yang Maha Esa serta didorong oleh keinginan luhur demi tercapainya :
1. Masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, merata material dan spiritual berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
2. Pembangunan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhnya
3. Tingkat kesehatan yang optimal bagi setiap insan Indonesia sebagai hamba Tuhan. Maka
Rumah Sakit di Indonesia yang tergabung dalam Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia (PERSI), bersama ini menyampaikan “KODE ETIK RUMAH SAKIT” yang
merupakan pedoman bagi setiap tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya di Rumah
Sakit.
Rumah Sakit sebagai suatu rangkuman nilai-nilai dan norma-norma yang dapat
dipakai sebagai pedoman operasional sangat dibutuhkan, mengingat rumah sakit dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sudah menjadi suatu unit
sosio-ekomoni yang majemuk. Hal tersebut lebih terasa lagi mengingat di dalam Rumah
Sakit terdapat tenaga kerja dari aneka disiplin keilmuan yang mempunyai etika profesi
masing-masing sehingga “Semangat Kebersaman” sangat dibutuhkan agar rumah sakit
dapat berfungsi dengan baik
BAB II
1
KODE ETIK RUMAH SAKIT
2
Rumah Sakit harus memelihara peralatan dengan baik dan agar selalu dalam keadaan siap
pakai.
Pasal 6
Rumah Sakit harus merujuk ke Rumah Sakit lain, jika tidak tersediannya peralatan atau
tenaga yang dibutuhkan pasien
3
Pasal 16
Menjunjung tinggi menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.
Pasal 17
Melakukan profesinya menurut ukuran yang tinggi.
Pasal 18
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
pertimbangan keuntungan pribadi.
Pasal 19
Tidaklah etik seorang dokter : Melakukan perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri.
Pasal 20
Melaksanakan secara sendiri atau bersama-sama penerapan pengetahuan dan
ketrampilan kedokteran dalam segala bentuk tanpa kebebasan profesi.
Pasal 21
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan mahluk insani baik
jasmani maupun rohani hanya dilakukan untuk kepentingan penderita.
Pasal 22
Berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik atau
pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya.
Pasal 23
Seorang dokter hendaknya memberi keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan
kebenarannya.
Pasal 24
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus mengutamakan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang paripurna, serta
berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenarnya.
Pasal 25
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup insani.
Pasal 26
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan penderita. Dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan maka ia wajib melakukan konsultasi kepada dokter yang
lebih senior atau kepada dokter lain yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal 27
4
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada penderita agar senatiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehat dalam beribadah dan atau dalam masalah
lainnya.
Pasal 28
Setiap dokter yang bertugas di rawat darurat wajib melakukan pertolongan darurat dengan
mendahulukan keselamatan penderita daripada pertimbangan-pertimbangan lain.
Pasal 29
Setiap dokter hendaklah senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tetap
setia kepada cita-citanya yang luhur.
Pasal 30
Setiap dokter wajib menyimpan semua rahasia kedokteran yang diketahuinya termasuk
data hasil pemeriksaan laboratorium data dalam rekam medik secara keseluruhan.
Pasal 31
Dalam memeriksa pasien seorang wanita, disamping menerapkan tata sopan santun secara
umum, pemeriksaan di dalam kamar periksa sebaiknya dokter di dampingi seorang
perawat wanita.
Pasal 32
Terhadap jenasah, baik untuk kepentingan pendidikan mahasiswa kedokteran maupun
untuk kepentingan visum et repertum setiap dokter, mahasiswa kedokteran dan semua
tenaga kesehatan lainnya haruslah bersikap hormat layaknya menghadapi orang yang
masih hidup.
5
PERS melakukuan penyelidikan terhadap masalah tersebut dengan mengumpulkan
informasi dengan penelitian rekam medis, menghubungi unit kerja ataupun merekamereka
yang berhubungan dengan masalah.
Pasal 37
Apabila pelenggaran ini merupakan pelanggaran murni etik profesi maka PERS dapat
mengkonsultasikan kepada Ikatan Profesi yang bersangkutan.
Pasal 38
Hasil penyelidikan ini sebagai bahan untuk dibahas dalam sidang PERS.
Pasal 39
Hasil sidang memberikan pertimbangan kepada direktur dalam memecahkan masalah.
BAB III
6
KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
A. KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunnjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.
Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran yang tinggi.
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
pertimbangan keuntungan pribadi.
Pasal 4
Perbuatan berikut dipandang bertentangan dengan etik :
a. Setiap perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri.
b. Secara sendiri atau bersama-sama menerapkan pengetahuan dan ketrampilan.
kedokteran dalam segala bentuk tanpa kebebasan profesi.
c. Menerima imbalan selain dari pada yang layak sesuai dengan asanya kecuali dengan
keiklasan, pengetahuan dan atau kehendak penderita.
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasihat yang mungkin melemahkan daya tahan makhluk insan baik
jasmani maupun rohani hanya diberikan untuk kepentingan penderita.
Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya.
Pasal 7
Setiap dokter hanya diberikan keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan
kebenarannya
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaanya seorang dokter harus mengutamakan, mendahulukan
kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang
menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan dehabilitatif), serta berusaha menjadi
pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenarnya.
Pasal 9
7
Setiap dokter dalam kerjasama dengan para pejabat dibidang kesehatan dan bidang lainnya
serta masyarakat harus memelihara saling pengertian sebaik-baiknya.
8
KODE ETIK KEPERAWATAN
9
C.TANGGUNGJAWAB TERHADAP SESAMA PERAWAT DAN TENAGA
KESEHATAN LAIN
1. Senantiasa memelihara hubungan baik antara dan dengan tenaga kesehatan lainya
dalam memelihara keserasian suasana lingkungan kerja maupun dalam mencapai
tujuan pelayanan kesehatan secara keseluruhan.
2. Senantiasa menyebarluaskan pengetahuan ketrampilan dan pengalamannya kepada
sesama perawat serta menerima pengetahuan dan pengalaman dari profesi lainnya
dalam meningkatkan kemampuan dalam bidang keperawatan.
BAB V
KODE ETIK APOTEKER INDONESIA
10
A. KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP MASYARAKAT
1. Harus berbudi luhur dan memberikan contoh yang baik di dalam lingkungan kerjanya.
2. Harus bersedia untuk mengembangkan keahlian dan pengetahuannya.
3. Harus selalu aktif mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan di bidang
kesehatan pada umumnya.
4. Hendaknya selalu melibatkan diri dari Pembangunan Nasional khususnya di bidang
kesehatan
5. Harus jadi sumber informasi bagi masyarakat dalam rangka pelayanan dan pendidikan
kesehatan.
6. Hendaknya menjauhkan diri dari usaha-usaha untuk mencari keuntungan dirinya
semata-mata.
BAB VI
KODE ETIK BIDAN INDONESIA
11
A. KEWAJIBAN TERHADAP KLIEN DAN MASYARAKAT
1. Setiap bidan senatiasa menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah
jabatan dalam melaksanakan tugas pengabdiannya.
2. Setiap bidan dalam menjalankan tugas profesinya menjunjung tinggi harkat dan
martabat kemanusiaan yang utuh dan memelihara citra bidan.
3. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa berpedoman pada peran tugas
dan tanggung jawab sesuai dengan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.
4. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasan mendahulukan kepentingan
klien, menghormati hak dan klien dan menghormati nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat.
5. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa mendahulukan kepentingan
klien, keluarga dan masyarakat dengan identitas yang sama sesuai dengan kebutuhan
berdasarkan kemampuan yang dimiliki.
6. Setiap bidan senatiasa menciptakan suasana yang serasi dalam hubungan pelaksanaan
tugasnya dengan mendorong partisipasi masyarakat untuk menungkatkan derajat
kesehatannya secara optimal.
12
2. Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya harus saling mengobati baik terhadap
sejawat maupun tenaga kesehatan lainnya.
BAB VII
POKOK-POKOK ETIKA PELAYANAN ANASTHESIA
PERAWATAN INTENSIF DAN EUTANASIA
13
A. PELAKSANAAN DAN EVALUASI PRA-ANESTHESIA
Evaluasi pra-anesthesia dilakukan oleh dokter spesialis anesthesi menilai
kondisi pasien sebelum pembedahan/ tindakan lain yang yang memerlukan anesthesia.
Tujuannya agar pasien dalam kondisi optimal untuk enestesia/ pembedahan.
Evaluasi pra-anesthesia hendaknya dilakukan oleh dokter spesialis anesthesi
yang akan melaksanakan dengan konsultasi pada dokter spesialis lainnya apabila
diperlukan. Evaluasi ini harus dilakukan untuk mempersiapkan pasien secara optimal,
meskipun pada keadaan darurat walaupun evaluasi dini seringkali tidak mungkin
dilaksanakan.
1. Evaluasi pra- anesthesia mencakup :
a. Identifikasi jenis prosedur yang akan dilaksanakan.
b. Konfirmasi jenis prosedur yang akan dilaksanakan.
c. Konfirmasi dan pemeriksaan medis umum / khusus yang menyangkup penyakit dan
pengobatan penderita.
d. Konsultasi dengan dokter spesialis lain.
e. Informed consent yang ditandatangani disertai penjelasan tentang prosedur
anesthesia dan pembedahan kepada pasien dan keluarga.
f. Instruksi premedikasi yang diperlukan.
2. Penatalaksanaan anesthesia
a. Pemberitahuan anesthesia menjadi tanggung jawab dokter spesialis anesthesia.
b. Pasien yang diberikan anesthesia (dokter peserta program studi anestesiologi)
menjadi tanggung jawab Spesialis Anestesi yang bertugas.
c. Spesialis Anestesi yang bertanggung jawab harus berada dalam satu atap di
lingkungan rumah sakit dapat segera hadir jika diperlukan.
d. Setiap spesialis Anestesi yang bertugas pada saat yang bersamaan, hanya
bertanggung jawab maksimum pada tiga pasien yang dianestesi.
e. Pematauan pasien dilakukan sesuai standar pemantauan intra operatif
E. STANDAR II
Selama pemberian anesthesia/ analgesia, oksigenasi, sirkulasi darah dan suhu tubuh
pasien dilakukan monitor secara terus menerus. Oksigenasi adalah memastikan
bahwa kadar oksigen di dalam gas inspirasi dan di dalam darah adekuat selama
pemberian anesthesia/ analgesia. Ventilasi di sini bahwa selama anesthesia/ analgesia,
ventilasi pasien adekuat. Sirkulasi (darah bertujuan untuk memastikan bahwa selama
pemberian anesthesia, sirkulasi darah cukup baik guna memberikan perfusi darah
ataupun jaringan- jaringan vital dan perifer. Suhu tubuh juga harus dipertahankan
seama anesthesia/ analgesia.
15
F. PERAWATAN DAN TERAPI INTENSIF (ICU)
Pelayanan ICU meliputi :
1. Diagnostik dan penatalaksanaan spesifik penyakit akut yang mengancam nyawa di
dalam waktu singkat.
2. Pemberian bantuan dan pengambilan fungsi vital tubuh sekaligus melakukan
penatalaksanaan spesifik masalah dasar yang ada.
3. Pemantauan fungsi vital tubuh terhadap komplikasi yang terjadi.
4. Penatalaksaan untuk mencegah komplikasi yang lebih jauh dari keadaan koma,
imobilisasi yang lama, stimulasi berlebihan dan hilangnya daya sensor.
5. Pemberian bantuan emosional dan psikologis terhadap penderita yang hidupnya
tergantung pada alat Bantu/ pada orang lain.
6. Ruang intensif berbeda dari ruang perawatan biasa oleh karena harus mempunyai
kemampuan pelayanan tertentu atau maksimal seperti :
1. Resusitasi jantung, paru
2. Penatalaksanaan jalan nafas, antara lain intubasi endoktrakea, trakheostosmi,
ventilasi.
3. Terapi Oksigen.
4. Pemantauan EKG.
5. Pelayanan laboratorium yang lengkap dan cepat.
6. Pelayanan bantuan nutrisi (parenteral/ enteral).
7. Terapi bantuan nutrisi (parenteral/ enteral).
8. Terapi titrasi intervensi dengan pompa infuse/ pompa injeksi.
9. Alat-alat Bantu hidup protabel untuk transport pasien.
Cara kerja dan hubungan dokter ahli anestesiologi dan dokter ahli lain di dalam
merawat pasien ICU diatur berdasarkan kesepakatan bersama
G. EUTANASIA
Kita kenal dua jenis Eutanasia, yaitu Eutanasia aktif dan pasif. Eutanasia aktif :
mempercepat kematian pasien melalui tindakan medis yang direncanakan, merupakan
tindakan yang melanggar hukum KUHP pasal 344, 345 dan 304. Eutanasia pasif :
penghentian segala pengobatan dan upaya yang tidak berguna lagi pada penderita
dalam keadaan saat berat (terminal) demi kepentingan pasien itu sendiri baik atas
permintaan pasien atau keluarga terdekat. Eutanasia pasif dapat dikerjakan dengan fatwa
IDI dengan memakai Triase Gawat Darurat yang dikeluarkan IDI. Seorang dinyatakan
16
mati, jika : Fungsi spontan pernafasan dan jantung berhenti secara pasti atau irreversible
sebagai bukti telah terjadi kematian batang otak. Upaya resusitasi darurat dapat diakhiri
jika diketahui kemudian bahwa pasien telah berada pada stadium tertentu dan penyakit
yang tidak yakin dapat disembuhkan lagi, atau hampir dapat dipastikan pasien tidak
memperoleh kembali fungsi serebralnya.
1. Terdapat tanda-tanda klinis mati otak :
a. Terdapat tanda-tanda mati jantung selama 30 menit (garis datar pada EKG).
b. Penolong terlalu lelah sehingga tidak dapat melanjutkan upaya resusitasi.
2. Diagnosis mati batang otak
Tes yang perlu menunjukkan bahwa batang otak tidak berfungsi lagi hanya
memerlukan waktu yang singkat. Tanda-tanda hilangnya fungsi batang otak adalah:
a. Koma.
b. Tidak ada sikap abnormal (dekortikasi, desebrasi)
c. Tidak ada serangan dari stimulasi korteks (kejang/ seizure)
d. Tidak ada refleks batang otak
e. Tidak ada pernafasan spontan
f. Tes fungsi batang otak dilakukan sesuai dengan rekomendasi dan dapat ulang jika
ada keragu-raguan.
3. Penghentian tindakan terapeutik/ intensif
a. Jika dapat membuktikan bahwa fungsi batang otak sudah mati, maka pasien
b. dinyatakan telah mati, meskipun jantung masih berdenyut (fungsi otonom).
c. Jika pasien dalam keadaan gawat dan tidak mungkin di tolong dengan
pengobatan yang ada, meskipun diagnosis mati batang otak belum di tegakkan,
maka penghentian pengobatan telah dapat dimulai.
d. Sesuai dengan kondisi pasien, penghentian terapi terapeutik/ paliatif dapat
dilakukan secara bertahap yaitu sebagai berikut :
1) Untuk pengakhiran resusitasi jangka panjang dipergunakan
2) criticak care triage.
3) Bantuan total fungsi hidup apabila kerusakan organ belum / tidak reversible.
4) Semua diusahakan kecuali resusitasi jantung paru pada pasien
dengan fungsi yang masih ada akan tetapi menderita suatu penyakit yang
tidak dapat disembuhkan lagi, misalnya penderita penyakit keganasan
tingkat akhir.
5) Tidak dilakukan tindakan-tindakan luar biasa bagi pasien yang
17
6) jika diberi tindakan tertentu, tampaknya hanya memperpanjang proses
kematian dan bukan kehidupan. Misalnya pasien dengan fungsi otak
minimal tanpa harapan sehingga tidak ada kemungkinan untuk human
mentation.
7) Pengakhiran semua bantuan hidup untuk pasien dengan penghentian fungsi
batang otak yang irreversible, kecuali ada perencanaan
8) donasi organ tertentu.
BAB VIII
POKOK – POKOK ETIKA YANG BERHUBUNGAN DENGAN
DATA PASIEN (REKAM MEDIK)
19
c) Khusus untuk penderita anak, rekam medis juga harus memuat riwayat perinatal,
tumbuh kembang dan imunisasi.
d) Pemeriksaan jasmani
e) Hasil Pemeriksaan penunjang
f) Rencana dan tindakan yang diberikan
g) Ringkasan
4. Data Masalah utama
Dalam data ini disebutkan diagnosis kerja, diagnosis banding dan catatan lain
yang berkaitan dengan masalah yag dihadapi.
5. Pengelolaan
Pengelolaan, pemeriksaan khusus dan konsultasi.
6. Bila perlu tindakan yang dapat menimbulkan resiko diperlukan persetujuan tertulis dari
penderita, orang tua atau keluarga.
7. Tindak lanjut :
Disusun dengan pendekatan sistem SOAP. Catatan mengenai perawatan selama dirawat
dirumah sakit, konsultasi, korespondensi dan kunjungangawat darurat. Data tersebut harus
merupakan kelengkapan dari rekam medis yang harus dicantumkan dalam arsip utama.
D. PENULUSURAN INFORMASI
1. Tulisan harus jelas dan mudah dibaca
2. Dihindarkan singkatan yang tidak lazim
E. INDEKS PENYAKIT
1. Penetapan diagnosis berdasarkan International Code of Disease/ WHO (ICD)
20
2. atau Depkes RI tahun terbaru. Untuk penyakit kronik yang memerlukan kontrol, perlu
dibuat cara pengenalan khusus agar rekam medis tersebut mudah dan cepat dapat ditelusuri
kembali.
BAB IX
ETIKA DAN PERILAKU PETUGAS RUMAH SAKIT
DALAM PENGISIAN REKAM MEDIS
21
B. ETIKA DAN PERILAKU PARAMEDIS PERAWATAN DAN NON PERAWATAN
Paramedis perawatan dan paramedic non perawatan merupakan petugas rumah sakit yang
bertugas dan bertanggungjawab dalam pengisian data keperawatan selama pasien dirawat
di rumah sakit. Oleh karena itu, sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepadanya,
pengisian data keperawatan yang diisi oleh dua petugas ini harus benar-benar sesuai
dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Apabila pelaku-pelaku ini adalah tenaga yang
masih dalam pendidikan, seluruh data yang mereka cantumkan dalam data pasien / rekam
medis harus disetujui dan harus dibubuhi paraf atasannya.
BAB X
PENUTUP
Etika merupakan hal yang bersifat dinamis dan tidak statis. Etika selalu dipengaruhi oleh
perkembangan nilai-nilai yang ada di masyarakat serta perkembangan ilmu dan teknologi.
Demikian pula yang terjadi pada etika rumah sakit, sehingga tidak tertutup kemungkinan
pedoman etika rumah sakit ini berubah sesuai dengan kebutuhan serta perkembangan
pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, evaluasi secara berkala terhadap pedoman etika rumah
sakit ini sangat diperlukan agar tetap sesuai dengan kebutuhan penyedia dan pengguna
pelayanan kesehatan.
22