SKRIPSI
HENI PRATIWI
1506720980
i
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
UNIVERSITAS INDONESIA
SKRIPSI
HENI PRATIWI
1506720980
i
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
NPM : 1506720980
Tanda Tangan :
ii
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
HALAMAN PENGESAHAN
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Depok
iii
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat-Nya, penulis
dapat menyelesaikan rancangan skripsi ini dengan judul Analisis Formulasi Kebijakan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak. Skripsi ini merupakan salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Administrasi dalam bidang Ilmu
Administrasi Fiskal. Dalam penyusunan rancangan skripsi ini, penulis tidak terlepas dari
pihak – pihak yang telah membantu dan membimbing menyelesaikan rancangan skripsi
ini. Oleh karena itu, maka penulis bermaksud menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada :
1) Prof. Dr. Eko Prasojo Mag.rer.publ., selaku Dekan Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Indonesia (FIA UI);
2) Dr. Milla Sepliana Setyowati S.Sos., M.Ak., selaku Ketua Departemen Ilmu
Administrasi Fiskal FIA UI serta ketua sidang proposal skripsi yang telah memimpin
jalannya sidang proposal penulis;
3) Dr. Titi Muswati Putranti M.Si., selaku dosen pembimbing akademis penulis yang
telah memberikan arahan selama masa perkuliahan;
4) Dr. Ning Rahayu M.Si., selaku penguji ahli sidang proposal dan telah memberikan
masukan yang membangun untuk bisa menyelesaikan skripsi ini;
5) Wisamodro Jati S.Sos., M.Int.Tax., M.H., selaku dosen pembimbing skripsi penulis
yang telah menyediakan waktu dan tenaga untuk membimbing penulis dengan
memberikan arahan, dukungan, dan perbaikan hingga penulis bisa menyelesaikan
skripsi ini;
6) Seluruh tim pengajar program studi Ilmu Administrasi Fiskal yang telah membagi
ilmu dan pengetahuan selama masa perkuliahan;
7) Seluruh informan diantaranya Bapak Andik, Bapak Dony, Mas Novrijal, Mas
Gilang, Mas Adi selaku pihak Direktorat Jenderal Pajak, Prof. Gunadi, Bapak Eddy,
Mas Ican selaku pihak akademisi FIA UI, dan Mas Doli, Kak Imam selaku pihak
praktisi perpajakan yang telah bersedia untuk menyempatkan waktu untuk
diwawancarai demi membantu terselesaikannya skripsi ini;
iv
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
8) Bapak Herman Prawoko dan Ibu Sutini, kedua orang tua penulis yang senantiasa
memberikan semangat dan doa, serta dukungan baik moral maupun material untuk
dapat menyelesaikan skripsi ini;
9) Teman – teman satu bimbingan skripsi, Ka Fano dan Quin yang telah berjuang
bersama – sama melalui suka duka untuk menyelesaikan skripsi ini;
10) Teman – teman FIA UI, senior – senior Mahasiswa Administrasi, BEM FIA UI, BPM
FIA UI, DPM UI dan lain – lain yang telah mewarnai hari – hari penulis selama masa
perkuliahan;
11) Teman – teman Fiskal Paralel 2015, yang telah menemani penulis dalam menjalani
perkuliahan setiap harinya;
12) Teman – teman spesial penulis, Vhania, Gita, Arin, Lena, Dwita, Eka, Tiwi, Melin,
Venny, Rafa, Alfian, Rakha, Azis dan lain – lain yang telah memberikan dukungan
dan mendengarkan suka duka penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna karena
keterbatasan ilmu penulis. Oleh karena itu apabila ada kritik dan saran yang membangun,
dengan senang hati penulis terima untuk menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata, semoga
skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membaca.
Heni Pratiwi
v
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 10 Desember 2018
Yang menyatakan,
(Heni Pratiwi)
vi
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
ABSTRAK
Proses restitusi pajak yang cukup lama dengan dilakukannya pemeriksaan menyebabkan
ketidakefisiensian administrasi perpajakan bagi para Wajib Pajak. Pemerintah
mengeluarkan kebijakan percepatan restitusi pajak dengan tujuan untuk
menyederhanakan proses restitusi perpajakan dengan diterbitkannya PMK
39/PMK.03/2018. PMK 39/PMK.03/2018 ini merupakan perbaikan dan penggabungan
dari ketiga Peraturan Menteri Keuangan terdahulu, yakni PMK 74/PMK.03/2012, PMK
198/PMK.03/2013, dan PMK 71/PMK.03/2010. Dalam konteks ini, penelitian atas
formulasi kebijakan ini diperlukan untuk mendapatkan pemahaman lebih rinci mengenai
permasalahan yang ingin diselesaikan dan pihak yang dilibatkan. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa perumusan
PMK 39/PMK.03/2018 telah melalui tahapan – tahapan formulasi kebijakan, yaitu
tahapan perumusan masalah, agenda kebijakan, pemilihan alternatif kebijakan, dan
penetapan kebijakan. Namun, masih terdapat kekurangan di dalam pelaksanaannya. Hal
ini dikarenakan di dalam tahapan agenda kebijakan, tidak semua pihak terlibat langsung
dalam perumusan kebijakan. Selain itu, dalam tahapan pemilihan alternatif kebijakan,
pemerintah tidak memiliki alternatif kebijakan di dalam formulasi ini, padahal pemilihan
alternatif kebijakan merupakan salah satu tahapan terpenting dalam perumusan
kebijakan. Untuk itu pemerintah juga harus memikirkan alternatif – alternatif lainnya
terkait dengan kebijakan restitusi pajak seperti menyediakan sarana dan fasilitas yang
mendukung proses percepatan restitusi pajak.
Kata kunci:
Formulasi Kebijakan, Lebih Bayar Pajak, Restitusi Pajak
The long process of tax restitution with the conduct of inspection causes inefficiencies in
tax administration for taxpayers. The government issued a policy of accelerating tax
refunds with the aim of simplifying the tax refund process with the issuance of PMK
39/PMK.03/2018. PMK 39/PMK.03/2018 is an improvement and merger of the previous
three Finance Minister Regulations, namely PMK 74/PMK.03/2012, PMK
198/PMK.03/2013, and PMK 71/PMK.03/2010. In this context, research on this policy
formulation is needed to get a more detailed understanding of the problems to be resolved
and the parties involved. This study uses a qualitative approach. The results show that
the formulation of PMK 39/PMK.03/2018 has gone through the stages of policy
formulation, namely the stages of problem formulation, policy agenda, selection of policy
alternatives, and policy setting. However, there are still shortcomings in the
implementation. This is because in the stages of the policy agenda, not all parties are
directly involved in policy formulation. In addition, at the stage of choosing alternative
policies, the government does not have alternative policies in this formulation, even
though the selection of policy alternatives is one of the most important stages in policy
formulation. For this reason the government must also think of other alternatives related
to tax restitution policies such as providing facilities that support the process of
accelerating tax refunds.
Keywords:
Policy Formulation, Tax Overpayment, Tax Restitution
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS……………………………… ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………….. iii
KATA PENGANTAR………………………………………………………….. iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI………………. vi
ABSTRAK………………………………………………………………………. vii
ABSTRACT…………………………………………………………………….... viii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………. ix
DAFTAR TABEL………………………………………………………………. xi
DAFTAR GRAFIK…………………………………………………………….. xii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………… xiii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………. xiv
BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang………………………………………………………. 1
1.2 Perumusan Masalah…………………………………………………. 7
1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………………. 9
1.4 Manfaat Penelitian…………………………………………………... 9
1.4.1 Manfaat Akademis……………………………………………... 9
1.4.2 Manfaat Praktisi………………………………………………... 9
1.5 Sistematika Penulisan……………………………………………….. 10
BAB 2 KERANGKA PEMIKIRAN…………………………………………... 12
2.1 Tinjauan Pustaka…………………………………………………….. 12
2.2 Kajian Literatur……………………………………………………… 17
2.2.1 Konsep Kebijakan Publik………………………………………. 17
2.2.2 Konsep Formulasi Kebijakan ………………………………….. 20
2.2.3 Konsep Kebijakan Fiskal………………………………………. 23
2.2.4 Konsep Administrasi Pajak…………………………………….. 25
2.2.5 Konsep Kelebihan Pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) dan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) : Restitusi…………………….. 28
2.3 Alur Pemikiran………………………………………………………. 31
BAB 3 METODE PENELITIAN……………………………………………… 33
3.1 Pendekatan Penelitian……………………………………………….. 33
3.2 Jenis Penelitian………………………………………………………. 33
3.2.1 Berdasarkan Tujuan Penelitian…………………………………. 34
3.2.2 Berdasarkan Manfaat Penelitian………………………………... 34
3.2.3 Berdasarkan Dimensi Waktu Penelitian………………………... 34
3.3 Teknik Pengumpulan Data…………………………………………... 34
3.3.1 Studi Kepustakaan……………………………………………… 35
3.3.2 Studi Lapangan…………………………………………………. 35
ix Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
3.4 Teknik Analisis Data………………………………………………… 35
3.5 Informan………………………………………………………........... 36
3.6 Site Penelitian………………………………………………………... 37
3.7 Batasan Penelitian…………………………………………………… 37
BAB 4 GAMBARAN UMUM PERATURAN KEBIJAKAN
PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN
PEMBAYARAN PAJAK………………………………………………. 38
4.1 Ketentuan Restitusi Pajak Dalam Undang – Undang Perpajakan…... 38
4.2 Regulasi Perpajakan Terkait Pendahuluan Kelebihan Pembayaran
Pajak………………………………………………………................. 46
BAB 5 ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENDAHULUAN
RESTITUSI PERPAJAKAN BERDASARKAN PERATURAN
MENTERI KEUANGAN NOMOR 39/PMK.03/2018………………... 61
5.1 Tahapan – Tahapan Proses Formulasi Kebijakan Pendahuluan
Restitusi Pajak Berdasarkan PMK
39/PMK.03/2018……………………………………………………. 63
5.1.1 Perumusan Masalah…………………………………………….. 64
5.1.2 Agenda Kebijakan……………………………………………… 70
5.1.3 Pemilihan Alternatif Kebijakan Untuk Memecahkan Masalah…. 78
5.1.4 Penetapan Kebijakan…………………………………………… 86
BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN……………………………………………... 95
6.1 Simpulan……………………………………………………….......... 95
6.2 Saran………………………………………………………................. 96
DAFTAR REFERENSI………………………………………………………… 97
x Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Penerimaan Negara Sektor Pajak Tahun 2014-2017 (Rp Miliar)……… 1
Tabel 2.1 Matriks Tinjauan Pustaka......................................................................... 14
Tabel 4.1 Perbandingan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu.............................. 49
Tabel 4.2 Perbandingan Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu.......... 54
Tabel 4.3 Perbandingan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah........................... 58
Tabel 5.1 Posisi Indonesia Pada 10 Indikator EoDB............................................... 67
Tabel 5.2 Keterlibatan Dit. TIP, Dit. TTKI, Dit. TPB, dan Dit. P2 Humas………. 72
Tabel 5.3 Perbandingan Implementasi Sebelum dan Sesudah PMK
39/PMK.03/2018..................................................................................... 88
Tabel 5.4 Proses Formulasi Kebijakan Pendahuluan Restitusi Pajak…………….. 92
xi Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
DAFTAR GRAFIK
BAB 1
PENDAHULUAN
Tabel 1.1 Penerimaan Negara Sektor Pajak Tahun 2014-2017 (Rp Miliar)
Sumber : Departemen Keuangan, www.bps.go.id , 2018 (telah diolah kembali oleh Peneliti)
(LKPP, *APBN-P, **RAPBN)
Berdasarkan tabel 1.1, di tahun 2017 terlihat bahwa penerimaan PPh sebesar
Rp784.726,9 Miliar dan penerimaan PPN sebesar Rp493.888,7 Miliar merupakan sektor
penerimaan perpajakan yang terbesar dibandingkan dengan PBB, BPHTB, Cukai, dan
jenis pajak lainnya. Tercapai atau tidaknya penerimaan negara di sektor perpajakan,
1 Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
2
terutama dari kedua jenis pajak tersebut ditentukan oleh peran serta Wajib Pajak dalam
melaksanakan sistem pemungutan pajak. Indonesia menganut pemungutan pajak dengan
sistem self assessment. Berdasarkan International Bureau of Fiscal Documentation
dalam International Tax Glossary (Haula dan Edi, 2011, p.106), self assessment
didefinisikan sebagai berikut.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
3
30.000
25.000 26.772
20.000 22.758
SPTLB
15.000 16.934
16.131
10.000
5.000
0
2014 2015 2016 2017
Realisasi SPTLB
Berdasarkan grafik 1.1, SPTLB yang diterima oleh otoritas pajak di tahun 2014 sebesar
26.772 SPTLB, sedangkan di tahun 2015 mengalami penurunan menjadi 16.131 SPTLB.
Di tahun 2016 dan 2017, SPTLB yang diterima oleh otoritas pajak mengalami
peningkatan yang di setiap tahunnya menjadi 16.934 dan 22.758 SPTLB. Dari tahun 2016
ke tahun 2017 memperlihatkan bahwa adanya peningkatan SPTLB yang diajukan oleh
Wajib Pajak, tetapi pertumbuhan restitusi tersebut dapat dikatakan terbilang melambat.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
4
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
5
Pajak Lebih Bayar (selanjutnya disebut SKPLB) hasil pemeriksaan Pasal 17 ayat (1) dan
17B ayat (1), proses restitusi pajak juga dapat di percepat dengan dilakukannya
pengembalian pendahuluan dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak (selanjutnya disebut SKPPKP), yakni proses restitusi pajak
dengan dilakukannya penelitian (p.137).
DJP menerbitkan SKPPKP berdasarkan hasil penelitian terhadap kebenaran
pembayaran pajak atas permohonan Wajib Pajak yang diatur dalam Pasal 17C ayat (1)
UU KUP, 17D ayat (1) UU KUP, dan Pasal 9 ayat (4C) Undang - Undang Nomor 8 Tahun
1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang – Undang Nomor 42 Tahun 2009
tentang Pajak Pertambahan Nilai (selanjutnya disebut UU PPN). Layanan pengembalian
lebih bayar tersebut merupakan bentuk pelayanan dan kebijakan yang diberikan
pemerintah dalam mempercepat proses restitusi pajak kepada Wajib Pajak untuk
mendorong kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Namun, tidak semua Wajib Pajak dapat menggunakan SKPPKP karena hanya tiga kriteria
saja yang bisa mendapatkan SKPPKP yaitu Wajib Pajak Kriteria Tertentu, Wajib Pajak
Persyaratan Tertentu, dan PKP Berisiko Rendah.
Ketiga kriteria khusus atas pengembalian pendahuluan berdasarkan SKPPKP di
dalam Undang – Undang Perpajakan yang dimaksud adalah Wajib Pajak yang berhak
didahulukan restitusi pajaknya dan sebelumnya diatur dalam aturan lanjutan yang
berbeda. Wajib Pajak yang dimaksud sebagai Wajib Pajak Kriteria Tertentu diatur dalam
Pasal 17C ayat (1) UU KUP dan diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 74/PMK.03/2012 (selanjutnya disebut PMK
74/PMK.03/2012), Pasal 17D ayat (1) UU KUP sebagaimana yang dimaksud sebagai
Wajib Pajak Persyaratan Tertentu diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 198/PMK.03/2013 (selanjutnya disebut PMK
198/PMK.03/2013), dan Pasal 9 ayat (4C) UU PPN sebagaimana yang dimaksud sebagai
PKP Berisiko Rendah diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 71/PMK.03/2010 (selanjutnya disebut PMK 71/PMK.03/2010).
Terkait dengan pelayanan Wajib Pajak untuk mendapatkan haknya, proses restitusi
yang lambat, sebenarnya dapat merugikan Wajib Pajak, terutama dalam kegiatan bisnis
bagi para pengusaha. Kerugian yang dimaksud dapat mengganggu arus kas (cash flow)
keuangan bisnis perusahaan. Selain itu, penyelesaian restitusi pajak dengan dilakukannya
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
6
pemeriksaan dalam waktu yang lama dapat menghambat kemudahan usaha dan
mempengaruhi peringkat Ease Of Doing Business (EoDB) Indonesia di dunia. EoDB
merupakan salah satu standard yang diakui dunia internasional sebagai acuan para
investor untuk melakukan usaha atau berinvestasi di suatu negara (Media Keuangan,
2018, p.3).
Berdasarkan laporan Bank Dunia yang berjudul “Doing Business 2018: Reforming
to Create Jobs”, seperti yang dikutip dalam website Sekretariat Kabinet Republik
Indonesia, Indonesia mengalami kenaikan EoDB di tahun 2017 dengan menduduki
peringkat ke-91, dan berhasil naik 19 peringkat dari tahun sebelumnya. Selain itu,
sebelumnya di tahun 2014, Indonesia berada di posisi ke 120 dan naik 8 tingkat dari tahun
2013. Di tahun 2015 dan 2016, Indonesia juga mengalami peningkatan sebesar 6 dan 5
peringkat dimana pada masing – masing tahun tersebut Indonesia berada di posisi ke 114
dan 109. Peningkatan peringkat tersebut dapat dilihat pada grafik 1.2 dari tahun 2014
sampai pada tahun 2017.
140
120
120 114
109
100 91
Peringkat
80
60
40
20
0
2014 2015 2016 2017
Tahun
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
7
Keuangan, Sri Mulyani, membuat kebijakan baru untuk mempercepat proses restitusi
perpajakan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
39/PMK.03/2018 (selanjutnya disebut PMK 39/PMK.03/2018) Tentang Tata Cara
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak, yang merupakan gabungan
peraturan restitusi pajak bagi tiga kriteria khusus yang sebelumnya diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan yang berbeda.
Dengan diterbitkannya PMK 39/PMK.03/2018, adanya perubahan – perubahan yang
dapat meningkatkan kemudahan bagi Wajib Pajak untuk mendapatkan hak restitusi pajak,
kemudahan dalam berusaha, serta dapat meningkatkan EoDB Indonesia dengan
memperluas jumlah lebih bayar restitusi pajak, masa berlaku penetapan, pengajuan
permohonan pengembalian pendahuluan, hingga hasil penelitian restitusi perpajakan.
Selain itu, PMK 39/PMK.03/2018 beserta perubahannya, pada dasarnya pemerintah
berusaha untuk meningkatkan likuiditas Wajib Pajak untuk dapat meningkatkan daya
saing perusahaan dan munculnya beberapa startup sebagai salah satu faktor untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
8
Namun, yang berhak untuk mendapatkan restitusi pajak dengan diterbitkannya SKPPKP
yakni hanya tiga kriteria tertentu saja meliputi Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu,
Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu, dan Pengusaha Kena Pajak Berisiko
Rendah. Ketiga kriteria tertentu yang dimaksud, diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan yang berbeda dan masing – masing peraturan berisikan tentang tata cara
pengembalian pendahuluan restitusi pajak.
Dalam pelaksanaannya, ketiga Peraturan Menteri Keuangan tersebut masih
dianggap kurang sederhana oleh Wajib Pajak serta memiliki cakupan yang tidak luas.
Atas dasar itu, banyaknya Wajib Pajak yang dialihkan ke pemeriksaan karena tidak
memenuhinya syarat untuk mengajukan restitusi melalui SKPPKP dan harus mengikuti
proses pemeriksaan yang cukup lama. Dengan adanya hambatan dalam proses restitusi
melalui SKPPKP tersebut, pemerintah menerbitkan PMK 39/PMK.03/2018 Tentang Tata
Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak yang merupakan
gabungan dan pencabutan dari ketiga Peraturan Menteri Keuangan terdahulu yaitu PMK
74/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penetapan dan Pencabutan Penetapan Wajib Pajak
dengan Kriteria Tertentu Dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pembayaran Pajak, PMK 198/PMK.03/2013 tentang Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu,
dan PMK 71/PMK.03/2010 tentang Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah yang
Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Dalam PMK 39/PMK.03/2018
dan perubahannya, adanya perluasan persyaratan, perbedaan penetapan, dan perbedaan
lainnya untuk mengajukan restitusi pajak dengan menggunakan SKPPKP.
Oleh karena itu, dengan adanya peraturan yang diubah dalam rangka
penyederhanaan administrasi pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak,
pada dasarnya apa yang dituju dan diinginkan oleh pemerintah dengan menderegulasi
aturan – aturan tentang pendahuluan restitusi pajak dan menjadi satukan ketiga Peraturan
Menteri Keuangan terdahulu di dalam PMK 39/PMK.03/2018. Untuk itu, peneliti ingin
melihat bagaimana proses formulasi dengan munculnya kebijakan dan peraturan baru ini,
sehingga permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini mengenai kebijakan
perubahan tata cara pengembalian pendahuluan kelebihan pajak dapat dijabarkan sebagai
berikut: “Bagaimana formulasi kebijakan pengembalian pendahuluan kelebihan
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
9
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
10
BAB 1 PENDAHULUAN
Bab ini membahas tentang latar belakang permasalahan, rumusan pertanyaan
penelitian yang didasarkan pada pokok permasalahan, tujuan penelitian,
manfaat penelitian baik untuk pihak akademis maupun praktisi, dan
sistematika penulisan yang memberikan gambaran secara garis besar atas
materi yang dibahas dalam penelitian ini.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
11
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
12
BAB 2
KERANGKA PEMIKIRAN
12 Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
13
adalah dalam penelitian yang dilakukan oleh Benajati Munggaran membahas mengenai
kebijakan mengenai peraturan pengajuan restitusi PPN sesuai dengan UU PPN No. 42
Tahun 2009 ditinjau dari asas cost of taxation dan kebijakan pengajuan restitusi PPN yang
ditinjau dari aspek compliance cost.
Tinjauan penelitian terakhir adalah skripsi dengan judul “Analisis Perubahan
Kebijakan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Kepada Wajib
Pajak Yang Memenuhi Persyaratan Tertentu” oleh Leonora Silvia Muara Toron tahun
2014. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk menjelaskan latar belakang dan hal-hal
yang mendasari perubahan kebijakan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
pajak kepada Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu dan menganalisis
perubahan- perubahan yang terjadi dalam kebijakan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak kepada Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu.
Persamaan pada penelitian adalah menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan
menggunakan teknik pengumpulan data dengan studi literatur dan studi lapangan
(wawancara mendalam). Disisi lain, perbedaan pada penelitian ini adalah membahas
mengenai latar belakang dilakukannya perubahan kebijakan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak yang merupakan usaha Direktorat Jenderal Pajak untuk
memberikan pelayanan yang terbaik bagi Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan
Tertentu dan adanya perubahan yang terjadi dalam kebijakan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak bagi Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu.
Ketiga penelitian tersebut dapat dilihat pada matriks perbandingan berikut ini.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
14
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
15
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
16
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
17
Dari ketiga penelitian yang dijadikan sebagai acuan tersebut, tidak terlepas dari tema
penelitian ini tentang formulasi kebijakan restitusi pajak yang dipercepat. Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah, penelitian ini lebih dikhususkan terkait
dengan formulasi kebijakan restitusi pajak berdasarkan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak yang di tinjau dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor
39/PMK.03/2018 sebagai salah satu ketentuan yang mengatur administrasi perpajakan
dan telah ditetapkan oleh pemerintah untuk mempercepat dan mempermudah proses
restitusi perpajakan dengan adanya penggabungan tiga kriteria khusus dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018. Penelitian ini berjudul “Analisis Formulasi
Kebijakan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak.” Tujuan penelitian
tersebut adalah untuk menganalisis formulasi kebijakan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor
39/PMK.03/2018.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
18
menetapkan tujuan, namun mendapatkan perlakuan yang tidak rasional dalam usaha
bersama tersebut (Thoha, 2003, p.59-60).
Kebijakan publik menurut Dye (2005) (Miftah Thoha, 2008, p.111) juga
diartikan, yaitu:
Public policy is whatever governments choose to do or not to do).
Kebijakan publik tersebut dimaksudkan bahwa apapun pilihan pemerintah untuk
dilakukan atau tidak dilakukan, sehingga pusat perhatian kebijakan publik tidak hanya
pada apa saja yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga termasuk apa saja yang tidak
dilakukan oleh pemerintah itu mempunyai dampak yang cukup besar terhadap
masyarakat seperti halnya dengan berbagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah.
Selain itu, konsep mengenai kebijakan publikpun diartikan sebagai kebijakan – kebijakan
yang dikembangkan oleh pejabat maupun badan – badan pemerintahan, sehingga,
menurut Anderson seperti yang dikutip oleh Nurcholis (2007), terdapat lima hal yang
berhubungan dengan kebijakan publik, yaitu (p.264):
a. Tujuan atau kegiatan yang berorientasi tujuan, harus menjadi perhatian utama
perilaku acak atau peristiwa yang tiba – tiba terjadi.
b. Kebijakan merupakan pola model tindakan pejabat pemerintah mengenai keputusan
– keputusan diskresinya secara terpisah.
c. Kebijakan harus mencakup apa yang nyata sesuai dengan pemerintah perbuat,
bukan apa yang mereka maksud untuk berbuat atau apa yang mereka katakan akan
dikerjakan.
d. Bentuk kebijakannya yaitu negatif dan positif.
e. Kebijakan publik yang positif harus sesuai dengan wewenang dan ketentuan
hukum.
Dalam hal kebijakan publik, kerangka kerja suatu kebijakan publik, ditentukan
dari enam variabel (Subarsono, 2005, p.6), sebagai berikut :
a. Tujuan yang ingin dicapai. Mencakup kompleksitas tujuan yang ingin dicapai
karena jika tingkat kompleksitasnya tinggi maka tingkat kesulitan yang ingin
dicapai kinerja kebijakan semakin tinggi. Sebaliknya, jika tingkat kompleksitasnya
sederhana maka semakin mudah untuk mencapai tujuan tersebut.
b. Preferensi nilai. Nilai yang diperlukan dalam mempertimbangkan suatu kebijakan
karena kebijakan yang memiliki variasi nilai yang beragam maka akan jauh lebih
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
19
sulit untuk dicapai dibandingkan dengan kebijakan yang hanya memiliki satu nilai
saja.
c. Kinerja dalam sebuah kebijakan ditentukan dari adanya sumber daya yang
mendukung seperti sumber data financial, material dan infrastruktur lainnya.
d. Kualitas sebuah kebijakan ditentukan bedasarkan kemampuan orang yang terlibat
dalam pembuatan kebijakannya. Kemampuan orang ini ditentukan oleh tingkat
pendidikan, kompetensi yang dimilikinya dalam bidang yang mereka cenderungi,
pengalaman kerja, dan integritas moral.
e. Sebuah kebijakan akan dipengaruhi oleh lingkungan sosial, ekonomi, dan politik
dimana kebijakan tersebut diimplementasikan.
f. Strategi yang digunakan dalam implementasi dari suatu kebijakan yang akan
mempengaruhi kinerja dari suatu kebijakan tersebut.
Adapun tahapan – tahapan pembuatan suatu kebijakan. Menurut Dunn (2003),
terdapat lima tahapan dalam pembuatan kebijakan publik, yaitu (Winarno, 2007, p.120-
122) :
a. Penyusunan agenda (defining problem), dimana pada tahap awal ini, pemerintah
mengangkat isu – isu yang dapat menimbulkan masalah untuk dibahas dalam
agenda penyusunan kebijakan. Para pejabat menempatkan masalah pada agenda
publik yang sebelumnya masalah tersebut tidak ada dalam agenda kebijakan.
b. Formulasi kebijakan, yang merupakan tahapan selanjutnya setelah penyusunan
agenda dimana adanya berbagai alternatif kebijakan yang diberikan sebagai
masukan oleh pemerintah untuk memecahkan permasalahan atau isu yang terkait
di masyarakat, serta merupakan peramalan yang dapat menyediakan pengetahuan
yang relevan dengan kebijakan terkait masalah yang akan datang di masa
mendatang. Pada tahap ini, masing – masing aktor bermain untuk mengusulkan
pemecahan masalah terbaik
c. Adopsi kebijakan, merupakan pemilihin suara atas alternatif – alternatif kebijakan
sehingga terpilihnya satu kebijakan. Pada akhirnya, salah satu dari alternatif
kebijakan tersebut di adopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsesus
antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.
d. Implementasi kebijakan, merupakan suatu pelaksanaan dari kebijakan yang telah
dipilih oleh unit – unit administrasi atau pemantauan dan/atau monitoring
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
20
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
21
- Facts adalah langkah kebijakan agar suatu kelompok target melakukan sesuatu
yang dianggap menyelesaikan masalah lewat penggunaan jalur informasi yang
persuasif.
- Rights adalah langkah kebijakan berbentuk pemberian hak atau tugas pada
masyarakat.
- Power adalah upaya kebijakan berupa penambahan kekuasaan akibat adanya
tuntutan tertentu.
Untuk merumuskan suatu kebijakan, terdapat empat tahapan yang harus dilalui
dalam formulasi kebijakan publik, yang terdiri dari (Winarno, 2012, p.122-126) :
a. Perumusan Masalah
Pada tahap ini, adanya upaya untuk menentukan identitas dari suatu masalah
kebijakan dengan memahami sifat suatu masalah yang akan memudahkan perumus
kebijakan dalam proses perumusan kebijakan masalah tersebut. Dalam hal ini,
perumus kebijakan harus mengidentifikasi masalah yang akan dihadapi dengan
mencari, mengenali, dan merumuskan suatu masalah terlebih dahulu dan kemudian
membuat perumusan masalah yang sejelas – jelasnya terhadap masalah yang ada
dalam masyarakat.
b. Agenda Kebijakan
Tidak semua suatu permasalahan yang masuk kedalam masalah publik dan masuk
kedalam agenda kebijakan. Masalah yang bersifat publik dan masuk pada tahapan
ini akan dibahas oleh perumus kebijakan dan telah memenuhi syarat – syarat yang
membutuhkan penanganan khusus yang harus diselesaikan, serta segera
dilaksanakan berdasarkan tingkat kepentingannya.
c. Pemilihan Alternatif Kebijakan
Pemilihan alternatif kebijakan ini merupakan tahapan setelah beberapa masalah
publik yang dirumuskan oleh para perumus kebijakan, setuju untuk mencantumkan
masalah tersebut ke dalam agenda kebijakan, sehingga menghasilkan beberapa
alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah tersebut. Dalam tahap ini, perumus
kebijakan memilih kebijakan yang terbaik untuk memecahkan masalah yang telah
masuk ke dalam agenda publik. Tahap ini juga melibatkan proses penyusunan draft
peraturan untuk setiap alternatif kebijakan yang berisi diantaranya sanksi, larangan,
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
22
hak dan kewajiban, dan kebijakan atau aturan lainnya, serta mengartikulasikan
kepada siapa ketentuan tersebut akan berlaku dan memiliki dampak.
d. Penetapan Kebijakan
Tahap ini merupakan tahapan akhir proses formulasi kebijakan dalam mengambil
keputusan yang bertujuan untuk memecahkan masalah. Penetapan kebijakan yang
dipilih dengan membuat suatu kebijakan yang memiliki kekuatan hukum yang
bersifat mengikat dan merupakan hasil kompromi dari berbagai kelompok
kepentingan yang terlibat.
Dari keempat tahapan formulasi kebijakan, dapat di rangkum pada gambar 2.1.
• Perumusan Masalah
• Agenda Kebijakan
• Penetapan Kebijakan
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
23
atau dukungan politik dalam proses pembuatan kebijakan) untuk dapat melaksanakan
alternatif kebijakan. Apabila dalam prosesnya, banyak mendapat kritik secara politik,
maka alternatif kebijakan tersebut layak untuk dihilangkan karena kurangnya dukungan
politik. Kedua, alokasi kompetensi yang dimiliki oleh berbagai aktor juga memainkan
peran penting dalam penentuan kebijakan.
Aktor - aktor yang terlibat dan berpengaruh dalam pembuatan formulasi kebijakan
menurut Theodolou dan Kofinis (Rahmi, 2013, p.23-24) yaitu :
- Birokrasi (the bureaucracy) yang dijalankan oleh para birokrat yang memiliki
keahlian dan keterlibatan didalam area isu kebijakan karena memiliki informasi dan
sumber data yang relevan, serta memahami prosedur pelaksanaan apa yang dapat dan
tidak dapat dilakukan.
- Kelompok kepentingan (interest group) adalah aktor utama yang sering memberikan
solusi kebijakan. Kelompok ini juga menjadi fasilitator dalam negosiasi hingga
kompromi yang terjadi disekitar usulan berbagai alternatif kebijakan.
- Think tanks dan policy entrepreneurs, think tanks sering memberikan penelitian pada
kelayakan dan kemungkinan efek proposal kebijakan tertentu, sedangkan policy
entrepreneurs mengidentifaksi suatu masalah, membangun koalisi di belakang
rancangan tertentu yang akan menarik perhatian dari pembuat kebijakan untuk
merespon kebijakan yang sesuai.
Aktor – aktor lain dalam perumusan kebijakan, menurut Anderson (2006) adalah
sebagai pembuat kebijakan resmi (official policy-makers) dan peserta non pemerintah
(non-governmental participants) (p.46). Winarno (2007) juga menyebutkan bahwa aktor
– aktor resmi meliputi eksekutif (presiden), legislatif, yudikatif, dan agen – agen
pemerintah (birokrasi) (p.123). Selain kedua faktor utama, Jann dan Wegrich juga
mengemukakan mengenai peran penting dari akademisi yang berperan sebagai penasehat
kebijakan atau pemikir. Pengetahuan dari penasehat ini seringkali berpengaruh dalam
proses perumusan kebijakan (Fischer, 2007, p.50-51).
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
24
pertama adalah mengatasi defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan
masalah – masalah APBN lainnya, defisit APBN terjadi apabila adanya penerimaan
pemerintah yang lebih kecil dibandingkan dengan pengeluarannya, kedua, mengatasi
stabilitas ekonomi makro yang terkait dengan antara lain pertumbuhan ekonomi, tingkat
inflasi, kesempatan kerja, dan neraca pembayaran (Tambunan, 2009, p.8). Selain itu,
menurut John. F. Due, kebijakan fiskal mengacu pada tiga hal yaitu (Rahayu, 2010, p.3):
1) Menjamin pertumbuhan perekonomian yang sebenar-benarnya menyamai laju
pertumbuhan potensial, dengan mempertahankan kesempatan kerja yang penuh.
2) Mencapai suatu tingkat harga umum yang stabil dan wajar.
3) Sedapat mungkin meningkatkan laju pertumbuhan potensial tanpa mengganggu
pencapaian tujuan – tujuan lain dari masyarakat.
Untuk mewujudkan tujuan – tujuan kebijakan fiskal, ada empat aktivitas yang dijalankan
oleh otoritas pajak yang mencerminkan fungsi pokok kebijakan fiskal yaitu fungsi
alokasi, fungsi distribusi, fungsi stabilisasi, dan fungsi pertumbuhan. Dalam hal ini,
kebijakan fiskal adalah setiap tindakan perpajakan dan pengeluaran tertentu untuk
mempengaruhi perekonomian dengan tiga cara meliputi alokoasi, distribusi, dan stabilitas
perekonomian (Musgrave, 1993, p.5). Salah satu instrumen kebijakan fiskal yang
ditetapkan pemerintah dalam melakukan fungsi kebijakan adalah kebijakan pajak.
Dengan kata lain, kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah dengan
menggunakan belanja negara dan perpajakan dalam rangka memperbaiki dan
menstabilkan perekonomian negara, sehingga pendapatan nasional dapat meningkat
sesuai dengan penggunaan sumber daya dan efektivitas kegiatan masyarakat (Rahayu,
2010, p.1-2). Dalam arti sempit, kebijakan pajak merupakan kebijakan fiskal yaitu
kebijakan yang berhubungan dengan penentuan yang dapat dijadikan tax base
diantaranya adalah siapa saja yang dikenakan pajak dan dikecualikan pajak, apa saja yang
dijadikan objek dan non-objek pajak, bagaimana menentukan besarnya pajak yang
terutang dan prosedur pelaksanaan kewajiban pajak yang terutang. Dalam pengertian
luas, kebijakan pajak adalah kebijakan untuk memengaruhi produksi masyarakat,
kesempatan kerja dan inflasi, dengan menggunakan instrumen pemungutan pajak dan
pengeluaran belanja negara. Dalam menentukan kebijakan pajak, pemerintah haruslah
berpedoman pada prinsip-prinsip perpajakan yang ada. Kebijakan pajak yang dibuat oleh
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
25
pemerintah juga bertujuan untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak baik
pelayanan maupun sistem administrasi perpajakannya.
Dalam suatu sistem perpajakan, diharapkan adamya prinsip perpajakan menurut
Stiglitzt sebagaimana dikutip Rosdiana dan Irianto (2014) terdiri dari 5 prinsip, yaitu
(p.157):
Prinsip – prinsip yang dimaksud adalah secara efisiensi ekonomi, seharusnya tidak
berdampak pada alokasi sumber daya, kedua, secara administratif harus sederhana yaitu
dapat dilaksanakan secara mudah dan murah untuk dikelola. Ketiga, fleksibel, seharusnya
mudah bagi sistem untuk merespon perubahan sumber daya ekonomi, keempat,
bertanggung jawab secara politik yang dimana Wajib Pajak harus dapat menentukan apa
yang sebenarnya mereka bayarkan sehingga sistem politik dapat lebih akurat
mencerminkan preferensi individu, dan adil.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
26
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
27
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
28
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
29
atas dasar timbulnya nilai tambah. Menurut Alan Tait (1988, p.4), PPN adalah sebagai
berikut :
Hal tersebut dijelaskan bahwa PPN adalah nilai yang ditambah atas barang mentah atau
barang yang dibeli oleh orang yang memproduksi sebelum barang atau jasa yang telah
dikembangkan dijual kepada pihak lain. Nilai tambah yang dimaksud dapat dilihat dari
sisi aditif yaitu upah ditambah laba atau dari sisi substaktif yaitu output dikurangi input.
Selain itu, PPN juga didefinisikan juga oleh Smith, Throop and Webber, and Cerf (1973,
p.3) yaitu:
The VAT is a tax on the value added by a firm to its products in the
course of its operation. Value added can be viewed either as the
difference between a firm’s sales and its purchase during an
accounting period or as the sum of its wages, profit, rent, interest and
other payments not subject to the tax during that period.
Penjelasan Smith, Throop and Webber, and Cerf tentang definisi PPN pada intinya,
bahwa nilai tambah dalam PPN juga dapat dilihat dengan adanya perbedaan yang
menimbulkan selisih antara penjualan dan pembelian perusahaan selama periode
akuntansi atau jumlah semua biaya untuk mendapatkan dan mempertahankan laba,
termasuk dari upah kerja, sewa, bunga, dan pembayaran lain yang tidak terkena pajak
selama periode tersebut. Untuk mengetahui berapa jumlah pajak yang dipungut dan telah
dibayar. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya faktur pajak. Definisi faktur pajak adalah
(Thuronyi, 1996, p, 60) :
A VAT invoice, chit till roll print, or other document that is issued by a
taxable person who makes a taxable supply and that records the supply
and the amount of VAT payable on it. An invoice is a VAT invoice if it
is complies with the requirement of the VAT law.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
30
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
31
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
32
Self assessment
system
Withholding Tax
System
Lebih bayar
Restitusi Pajak
Penelitian; Pendahuluan Restitusi Pajak
(PPh dan PPN)
Peraturan Pelaksana
Pasal 17B
UU KUP
PMK 39/PMK.03/2018
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
33
BAB 3
METODE PENELITIAN
Hal ini dapat diartikan bahwa pendekatan kualitatif sebagai proses penyelidikan atas
pemahaman berdasarkan tradisi metodologi penyelidikan yang berbeda dan
mengeksplorasi masalah sosial atau manusia, dan memberikan gambaran yang komplek
hingga melakukan penelitian dalam lingkungan yang alami atau sebenarnya.
Alasan penggunaan pendekatan kualitatif ini yaitu peneliti ingin membahas lebih
lanjut mengenai formulasi kebijakan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
pajak dan mengetahui secara mendalam tahapan – tahapan proses perumusan PMK
39/PMK.03/2018. Selain itu, dengan diterbitkannya PMK 39/PMK.03/2018 peneliti juga
ingin mengetahui perubahan kebijakan terkait percepatan proses pendahuluan restitusi
pajak.
33 Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
34
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
35
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
36
adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja denga data, mengorganisasikan data,
memilah – milahnya dalam satuan yang dapat dikelola, menyintesiskannya, mencari dan
menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan
memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Hasil analisis tersebut
diinterpretasikan dengan kata – kata, serta dapat ditarik suatu kesimpulan dengan adanya
bukti – bukti yang valid dan konsisten.
3.5 Informan
Pemilihan informan harus menguasai masalah dan dipilih dengan pertimbangan
aspek latar belakang, pelaku, kejadian, dan proses. Pada penelitian ini, peneliti memilih
beberapa informan, yaitu:
1) Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
DJP adalah direktorat yang berada dibawah Kementerian Keuangan dan
bertugas untuk melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang
perpajakan. Wawancara dilakukan untuk mengetahui proses perumusan
pembuatan kebijakan PMK 39/PMK.03/2018, latar belakang, dan faktor – faktor
lainnya dalam membuat kebijakan tersebut. Wawancara dilakukan dengan pihak
Direktorat Peraturan Perpajakan I, yaitu :
• Andik Tri Sulistyono, selaku Kepala Seksi Peraturan KUP dan PPSP ;
• Dony Olfa Wijaya, Kepala Seksi Peraturan PPN Industri;
• Adi Saputra Marja, Pelaksana Seksi Peraturan KUP dan PPSP;
• Novrijal, Pelaksana Seksi Peraturan KUP dan PPSP;
• Nusa Gilang Harda Kusuma, Pelaksana Seksi Peraturan KUP dan PPSP.
2) Akademisi
• Prof. Dr. Gunadi M.Sc., Akt, Guru Besar Tetap Perpajakan FISIP
Universitas Indonesia;
Akademisi perpajakan dibutuhkan sebagai pihak independen yang
menguasai konsep kebijakan terutama restitusi pajak.
• Dr. Tb. Eddy Mangkuprawira S.H., M.Si, Dosen Ilmu Administrasi Fiskal
Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia;
Akademisi perpajakan dibutuhkan sebagai pihak independen yang
menguasai konsep kebijakan terutama restitusi pajak.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
37
3) Praktisi Perpajakan
• Doli Aritonang, Senior Tax Manager EY;
Wawancara dilakukan untuk mengetahui proses restitusi pajak selama ini
dan dampak diberlakukannya PMK 39/PMK.03/2018.
• Imam Adhisuryo, Senior Konsultan;
Wawancara dilakukan untuk mengetahui proses restitusi pajak selama ini
terutama terkait dengan implementasi kebijakan pendahuluan restitusi
pajak dengan peraturan terdahulu dan dampak diberlakukannya PMK
39/PMK.03/2018.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
38
BAB 4
GAMBARAN UMUM PERATURAN KEBIJAKAN PENGEMBALIAN
PENDAHULUAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
Pada bab 4 ini, peneliti akan membahas mengenai peraturan restitusi perpajakan
mulai dari Undang – Undang Perpajakan sampai dengan Peraturan Menteri Keuangan
terkait dengan kebijakan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak di
Indonesia.
38 Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
39
c. Pajak Penjualan atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar lebih
besar daripada jumlah pajak yang terutang.
SKPLB diterbitkan setelah melakukan pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan
yang disampaikan Wajib Pajak yang menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih
bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak. Apabila Wajib Pajak setelah menerima SKPLB dan menghendaki
pengembalian kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak wajib mengajukan
permohonan tertulis sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 11 ayat (2) yaitu untuk
menjamin kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan ketertiban administrasi perpajakan,
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan paling lama 1 bulan sejak
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diterima sehubungan
dengan diterbitkannya SKPLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), atau
sejak diterbitkannya SKPLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan
Pasal 17B, atau sejak diterbitkannya SKPPKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17C atau Pasal 17D, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat
Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan
Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan
Pemberian Imbalan Bunga, atau sejak diterimanya Putusan Banding atau Putusan
Peninjauan Kembali, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
- Ayat (2), berdasarkan permohonan Wajib Pajak, DJP setelah meneliti kebenaran
pembayaran pajak, menerbitkan SKPLB apabila terdapat pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
- Ayat (3) SKPLB masih dapat diterbitkan lagi apabila berdasarkan hasil pemeriksaan
dan/atau data baru ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada
kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan.
Restitusi perpajakan berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU KUP menjelaskan bahwa
restitusi pajak dilakukan dengan adanya pemeriksaan yang menyebabkan restitusi pajak
di Indonesia tidaklah mudah. Hal ini disebabkan karena lamanya proses pemeriksaan
yang dilakukan oleh otoritas perpajakan. Pemeriksaan merupakan salah satu cara untuk
menguji kepatuhan Wajib Pajak berdasarkan ketentuan perundang – undangan
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
40
perpajakan dan berperan dalam penyelesaian proses restitusi pajak. Restitusi pajak yang
dilakukan dengan proses pemeriksaan terlebih dahulu atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak yang diajukan oleh Wajib Pajak, juga diatur dalam Pasal
17B UU KUP dengan ayat – ayat sebagai berikut :
(1) DJP setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D, harus menerbitkan surat ketetapan pajak
paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.
Dalam ayat (1), surat permohonan yang telah diterima secara lengkap adalah Surat
Pemberitahuan yang telah diisi lengkap dan Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan
berdasarkan hasil pemeriksaan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak. Berdasarkan Pasal 1 ayat (25) UU KUP, pemeriksaan adalah serangkaian
kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang
dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar
pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau
untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Surat ketetapan pajak yang diterbitkan berupa Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dan harus diterbitkan paling lama
12 bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.
(1a) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Wajib Pajak
yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang
perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(2) Apabila setelah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) DJP
tidak memberi suatu keputusan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak dianggap dikabulkan atau SKPLB harus diterbitkan paling lama 1 (satu)
bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir. Batas waktu yang telah ditetapkan
bertujuan untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan dan memberikan
kepastian hukum terhadap permohonan yang telah diajukan oleh Wajib Pajak atau
Pengusaha Kena Pajak (PKP). Apabila batas waktu yang telah ditetapkan dilampaui
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
41
oleh DJP dengan tidak memberikan suatu keputusan, maka permohonan dianggap
dikabulkan atau dapat menerbitkan SKPLB dengan waktu paling lama 1 bulan
setelah jangka waktu yang telah ditetapkan berakhir.
(3) Apabila SKPLB terlambat diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada
Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan dihitung
sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai
dengan saat diterbitkan SKPLB.
Dalam hal ini, Wajib Pajak akan mendapatkan imbalan bunga sebesar 2%
per bulan untuk paling lama 24 bulan apabila DJP terlambat menerbitkan SKPLB
yang dihitung sejak berakhirnya jangka waktu pada ayat (2) sampai dengan saat
SKPLB diterbitkan, serta bagian dari bulan dihitung 1 bulan.
Restitusi perpajakan juga dapat dilakukan tanpa melalui pemeriksaan terlebih
dahulu, yaitu melalui penelitian seperti yang tercantum dalam Pasal 17 ayat (2) UU KUP.
Definisi mengenai penelitian diatur dalam Pasal 1 ayat (30) UU KUP yaitu, penelitian
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat
Pemberitahuan dan lampiran – lampirannya termasuk tentang kebenaran penulisan dan
perhitungannya. Berdasarkan hasil penelitian, DJP menerbitkan Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) terhadap kebenaran pembayaran
pajak atas permohonan Wajib Pajak yang memiliki kriteria tertentu sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 17C (Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu) dan 17D (Wajib
Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu) UU KUP, dan Pasal 9 (Pengusaha Kena
Pajak Berisiko Rendah) UU PPN, dengan rincian sebagai berikut :
1) Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu
Dasar hukum Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu diatur dalam UU KUP, Pasal 17C,
yaitu :
- Ayat (1), DJP setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu,
menerbitkan SKPPKP paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima
secara lengkap untuk PPh, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan
diterima secara lengkap untuk PPN.
- Ayat (2), Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
42
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
43
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
44
- Ayat (5), jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) DJP menerbitkan SKPKB, jumlah pajak yang kurang bayar ditambah dengan
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%.
Apabila seperti yang dimaksudkan pada ayat (4) DJP menerbitkan
SKPKB, maka Wajib Pajak wajib membayar kekurangan pembayaran pajak
tersebut ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%
dari jumlah kekurangan pembayaran pajak. Hal ini bertujuan agar Wajib Pajak
melaporkan jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan perpajakan.
Apabila Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak
yang memenuhi persyaratan tertentu dan mengajukan permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak sesuai Pasal 17B UU KUP, maka
proses permohonan yang dimaksud diproses dengan mekanisme pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sesuai dengan Pasal 17D UU KUP.
Setelah itu, DJP akan meberitahukan kepada Wajib Pajak mengenai proses
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak Wajib Pajak yang
diproses sesuai dengan ketentuan Pasal 17D UU KUP sebagai penyelesaian
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Disisi lain, permohonan tertulis atau diajukannya surat tersendiri atas
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak yang diajukan oleh
Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (4c) UU PPN, diatur sebagai berikut :
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
45
- Ayat (4b), dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan
ayat (4a), atas kelebihan pajak Pajak Masukan dapat diajukan permohonan
pengembalian pada setiap Masa Pajak oleh:
a. PKP yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud:
b. PKP yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak kepada Pemungut PPN:
c. PKP yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak yang PPN-nya tidak dipungut:
d. PKP yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud:
e. PKP yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak: dan/atau
f. PKP dalam tahap belum berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2a).
- Ayat (4c), pengembalian kelebihan Pajak Masukan kepada PKP sebagaimana
dimaksud pada ayat (4b) huruf a sampai dengan huruf e, yang mempunyai
kriteria sebagai PKP berisiko rendah, dilakukan dengan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17C ayat (1) UU KUP.
- Ayat (4d), ketentuan mengenai PKP berisiko rendah yang diberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(4c) diatur dengan PMK.
- Ayat (4e), DJP dapat melakukan pemeriksaan terhadap PKP sebagaimana
dimaksud pada ayat (4c) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah
melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
- Ayat (4f), apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4e), DJP menerbitkan SKPKB, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan
sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(2) UU KUP, yaitu jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKB
ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan. Dalam
ayat ini bertujuan untuk mengurangi penyalahgunaan pemberian kemudahan
percepatan pengembalian kelebihan pajak.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
46
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
47
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
48
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
49
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
50
Penanganan Bila terdapat 1 saja kredit pajak yang • Kredit pajak yang tidak
kredit pajak tidak terkonfirmasi maka SKPPKP terkonfirmasi tidak
yang tidak tidak diterbitkan atas keseluruhan diperhitungkan dalam SKPPKP;
terkonfirmasi LB.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
51
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
52
b. Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar
restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah);
c. Wajib Pajak Badan yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah); atau
d. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Selain memenuhi persyaratan tertentu, pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak tidak harus didasarkan pada analisis risiko seperti yang diatur dalam
PMK 198/PMK.03/2013 yang pedomannya ditetapkan oleh DJP. Analisis risiko yang
dimaksud yaitu pertimbangan perilaku dan kepatuhan Wajib Pajak, dapat berupa ;
a. kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan;
b. kepatuhan dalam melunasi utang pajak; dan
c. kebenaran Surat Pemberitahuan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, dan Tahun
Pajak sebelum-sebelumnya.
Tidak adanya analisis risiko dalam proses pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak diatur dalam PMK 39/PMK.03/2018. Disisi lain, dalam PMK
39/PMK.03/2018 untuk dapat memperoleh pengembalian pendahuluan, Wajib Pajak
Persyaratan Tertentu harus mengajukan permohonan dengan cara mengisi kolom
Pengembalian Pendahuluan dalam SPT, sedangkan cara pengajuan pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak yang diatur dalam PMK 198/PMK.03/2013
adalah permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak oleh Wajib
Pajak dilakukan dengan menyampaikan permohonan secara tertulis. Permohonan secara
tertulis dilakukan dengan cara memberi tanda pada Surat Pemberitahuan yang
menyatakan lebih bayar restitusi atau dengan cara mengajukan surat tersendiri. Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud menyampaikan:
a. Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar tanpa ada permohonan
kompensasi dan tanpa ada permohonan restitusi; atau
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
53
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
54
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
55
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
56
d. Pengusaha Kena Pajak yang telah ditetapkan sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat
(Authorized Economic Operator) sesuai dengan ketentuan dalam PMK yang
mengatur mengenai sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic
Operator);
e. pabrikan atau produsen selain Pengusaha Kena Pajak sebagaimana yang dimaksud
dalam huruf a sampai dengan d, yang memiliki tempat untuk melakukan kegiatan
produksi; atau
f. Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu, yang menyampaikan
SPT Masa PPN lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak
Rp1.000.000.000,00.
Kriteria tersebut berbeda dengan kebijakan yang sebelumnya diatur dalam PMK
71/PMK.03/2010, untuk ditetapkan sebagai PKP berisiko rendah harus memenuhi
kriteria, yakni:
a. Pengusaha Kena Pajak yang merupakan Perusahaan Terbuka (Tbk) yang paling
sedikit 40% dari keseluruhan saham disetornya diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia;
b. Pengusaha Kena Pajak merupakan perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki
secara langsung oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah; atau
c. produsen selain Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dan
huruf b, yang memenuhi persyaratan tertentu, yang tidak pernah dilakukan
pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan dalam jangka waktu 24 bulan
terakhir, dengan persyaratan tertentu yang meliputi tepat waktu dalam penyampaian
SPT Masa Pajak PPN selama 12 bulan terakhir, nilai Barang Kena Pajak yang dijual
pada tahun sebelumnya paling sedikit 75% adalah produksi sendiri, dan Laporan
Keuangan untuk 2 tahun pajak sebelumnya diaudit oleh Akuntan Publik dengan
pendapatan Wajar Tanpa Pengecualian atau Wajar Dengan Pengecualian.
Selain itu, dalam PMK 39/PMK.03/2018 untuk dapat ditetapkan sebagai PKP
Berisiko Rendah, Pengusaha Kena Pajak tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut :
a. Pengusaha Kena Pajak merupakan/meliputi Pengusaha Kena Pajak;
b. Pengusaha Kena Pajak pabrikan menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai
selama 12 (dua belas) bulan terakhir dengan tepat waktu;
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
57
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
58
Masa berlaku Berlaku 24 Masa Pajak, terhitung Berlaku sejak ditetapkan sampai
penetapan sejak Masa Pajak saat ditetapkan . dicabut penetapannya.
Pencabutan a. Dilakukan pemeriksaan bukti a. Dilakukan pemeriksaan bukti
penetapan permulaan atau penyidikan tindak permulaan atau penyidikan tindak
pidana pajak; pidana pajak;
b. Hasil pemeriksaan menunjukan b. Dipidana pajak;
bahwa Wajib Pajak tidak lagi c. Tidak memenuhi persyaratan
memenuhi kriteria. penetapan (subjek).
Pengajuan - Dapat diajukan sejak PKP ditetapkan
permohonan sebagai PKP Berisiko rendah
pengembalian
pendahuluan
Penelitian Penelitian material: Penelitian Formal:
permohonan a. Kebenaran pemenuhan Pasal 9 a. Penetapan masih berlaku;
pengembalian ayat (4b) UU PPN;
pendahuluan b. SPT lengkap;
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
59
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
60
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
61
BAB 5
ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENDAHULUAN RESTITUSI
PERPAJAKAN BERDASARKAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 39/PMK.03/2018
Dalam sistem pemungutan pajak, Wajib Pajak dapat mengetahui adanya kurang
atau lebih bayar PPh maupun PPN dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Kelebihan pembayaran PPh terjadi karena kredit pajak yang dipotong oleh pihak lain
(withholding tax) maupun yang dibayarkan sendiri (self assessment) lebih besar
dibandingkan dengan jumlah pajak yang terutang, sedangkan kelebihan bayar PPN terjadi
karena adanya transaksi yang menyebabkan Pajak Masukan (PM) lebih besar
dibandingkan dengan Pajak Keluaran (PK). Atas kelebihan pembayaran pajak tersebut,
Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak (PKP) dapat meminta kelebihan pembayaran
pajak sesuai dengan kebijakan – kebijakan yang telah diatur dalam Pasal 17, Pasal 17B,
Pasal 17C, dan Pasal 17D UU KUP, serta Pasal 9 ayat (4C) UU PPN.
Berdasarkan Pasal 17 dan Pasal 17B UU KUP, terdapat pemeriksaan atas
pengajuan restitusi pajak yang dinilai selama ini oleh Wajib Pajak dalam prosesnya cukup
lama. Namun, dalam proses restitusi pajak itu sendiri, sebenarnya pemerintah telah
memberikan layanan khusus kepada Wajib Pajak atau PKP tertentu dengan adanya
pemberian pendahuluan restitusi pajak yang diminta oleh Wajib Pajak tanpa melalui
pemeriksaan dan diatur berdasarkan Pasal 17C dan Pasal 17D UU KUP, serta Pasal 9 ayat
(4C) UU PPN. Ketentuan lebih lanjut terkait dengan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak (pendahuluan restitusi pajak) diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan. Dengan adanya Peraturan Menteri Keuangan, pemerintah dapat
mencegah pemungutan pajak yang tidak sesuai dengan Undang – Undang dan bukan
menjadi hak pemerintah atas kelebihan pembayaran pajak yang telah disetor oleh Wajib
Pajak kepada negara tersebut.
Kebijakan mengenai restitusi pajak ini adalah kebijakan pajak, yang merupakan
bagian dari kebijakan publik, yang dimana kebijakan tersebut bertujuan untuk
menciptakan insentif bagi Wajib Pajak dan mempunyai dampak besar terhadap
masyarakat. Menurut Anderson, sebagaimana yang dikutip oleh Nurcholis (2007, p.264),
kebijakan publik adalah kebijakan yang harus mencakup apa yang nyata sesuai dengan
61 Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
62
pemerintah perbuat, bukan apa yang mereka maksud untuk berbuat atau apa yang mereka
katakan akan dikerjakan. Begitu juga dengan kebijakan pajak, pemerintah harus
melakukan survey terlebih dahulu dalam membuat suatu perumusan atau formulasi
kebijakan dengan membaca, mendengar, dan melihat berbagai permasalahan yang benar
- benar ada di masyarakat terutama terkait dengan permasalahan pendahuluan restitusi
pajak, sehingga kebijakan yang dibuat oleh pemerintah telah mencakup seluruh
permasalahan restitusi yang ada di masyarakat. Hal ini dijelaskan oleh Eddy, selaku
akademisi perpajakan :
Disamping itu, kebijakan pajak adalah salah satu penopang dalam sistem
perpajakan. Menurut Nowak, sebagaimana yang dikutip Mansury, sistem perpajakan
terdiri dari 3 unsur, yaitu kebijakan pajak (tax policy), hukum pajak (tax law), dan
administrasi perpajakan (tax administration) (Rosdiana dan Irianto, 2014, p.84). Dari
ketiga unsur tersebut, kebijakan pajak baru dapat dilaksanakan dan digunakan oleh
kepentingan umum setelah disahkan dalam hukum perpajakan. Hukum perpajakan juga
tidak dapat berjalan apabila tidak adanya administrasi perpajakan sebagai instrumen
pelaksana. Begitu juga dalam pembuatan kebijakan pendahuluan restitusi perpajakan,
pemerintah harus memperhatikan ketiga unsur sistem perpajakan tersebut. Hal ini sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Andik, selaku Kepala Seksi Peraturan KUP dan PPSP,
yaitu :
“Dalam pembahasan regulasi, kita sebut ada namanya PLA, yaitu policy,
law, and administration. Jadi bagaimana tax policy itu bisa dikonkritkan
dalam bentuk law regulation, tetapi bisa diimplementasikan dalam
administrasi. Secara konkrit, itu 3 variabel menjadi penting ketika
seseorang masuk dalam lingkup legal drafter dalam suatu regulasi.”
(Wawancara Mendalam: Andik, selaku Kepala Seksi Peraturan KUP dan
PPSP, Kantor Pusat DJP, 9 November 2018)
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
63
9 ayat (4C) UU PPN yang masing – masing pasal diatur dalam PMK 74/PMK.03/2012,
PMK 198/PMK.03/2013, dan PMK 71/PMK.03/2010. Selain meregulasi ketiga Peraturan
Menteri Keuangan terdahulu, pemerintah juga menggabungkan ketiga Peraturan Menteri
Keuangan tersebut dengan diterbitkannya satu peraturan yaitu PMK 39/PMK.03/2018.
Dalam mendesain suatu kebijakan, formulasi kebijakan adalah suatu hal yang krusial dan
harus diperhatikan dalam pembentukan suatu kebijakan. Formulasi kebijakan
pendahuluan restitusi pajak ini, menurut Bauer, sebagaimana yang dikutip di dalam buku
Endang (2015, p.19), merupakan tipe formulasi kebijakan yang termasuk dalam tipe
rights, yaitu sebagai langkah kebijakan yang berbentuk pemberian hak atau tugas pada
masyarakat. Pemberian hak yang dimaksud adalah pemberian hak Wajib Pajak untuk
mendapatkan kelebihan pembayaran pajak yang telah dibayarkannya kepada negara.
Pada tahap formulasi ini, atas permasalahan perpajakan yang ada dimasyarakat, dapat
dicari solusi yang terbaik dengan adanya suatu kebijakan baru. Dalam membuat
kebijakan yang baru, sebelumnya juga telah ada perancangan kebijakan publik terlebih
dahulu dengan berorientasi pada tujuan yang ingin diciptakan dan dicapai oleh
pemerintah.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
64
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
65
“Dulukan di PMK yang lama diaturan pelaksananya ada analisis risiko, itu
biasanya hasilnya macem-macem karnakan kita banyak kantor ya,
mungkin banyak pegawai kita yang melihat bahwa yang tadinya Wajib
Pajak tidak berisiko jadi berisiko. Nah mangkanya syarat ini kita
hilangkan.” (Wawancara Mendalam: Dony, selaku Kepala Seksi Peraturan
PPN Industri, Kantor Pusat DJP, 14 November 2018)
Dengan dilakukannya analisis risiko dapat menyebabkan perubahan status Wajib Pajak
dari yang tadinya tidak berisiko, menjadi berisiko. Hal ini menyebabkan adanya
pengalihan proses restitusi pajak. Wajib Pajak yang sebelumnya dapat menggunakan
pendahuluan restitusi pajak dan dapat memperoleh hak-nya dalam waktu yang cepat, kini
dengan dilakukannya analisis risiko oleh otoritas pajak menyebabkan proses restitusi
Wajib Pajak dialihkan ke proses pemeriksaan sebagaimana yang dimaksudkan oleh Dony
dalam hasil wawancara :
“Selama ini KPP melakukan analisis risiko dan melihat bahwa mereka
masih ada risiko, nah karna itu, pendahuluan ini bergeser terus ke
pemeriksaan.” (Wawancara Mendalam: Dony, selaku Kepala Seksi
Peraturan PPN Industri, Kantor Pusat DJP, 14 November 2018)
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
66
SKPPKP oleh otoritas pajak. Hal ini menjadi alasan kedua diterbitkannya PMK
39/PMK.03/2018. Berdasarkan grafik 5.1, dari tahun 2014 sampai tahun 2015 jumlah
SKPPKP yang terbit menurun yaitu dari 4.771 SKPPKP menjadi 2.786 SKPPKP. Hal ini
diindikasikan bahwa proses restitusi yang paling banyak diberikan kepada Wajib Pajak
adalah dengan melalui pemeriksaan. Selain penurunan yang terjadi di tahun 2014 sampai
tahun 2015 tersebut, terjadi juga peningkatan jumlah SKPPKP ditahun 2016 dan 2017
dengan masing – masing tahun berjumlah 2.923 SKPPKP dan 5.898 SKPPKP. Namun
dengan peningkatan jumlah SKPPKP yang terjadi di tahun 2016 dan 2017, tidak
kemungkinan bahwa banyaknya Wajib Pajak yang dialihkan ke proses pemeriksaan
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17B UU KUP, bukan melalui penelitian
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17C dan 17 D UU KUP, dan Pasal 9 ayat (4C)
UU PPN. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Andik, selaku Kepala Seksi Peraturan
KUP dan PPSP yaitu :
Jumlah SKPPKP yang diterbitkan oleh Otoritas Pajak selama empat tahun terakhir dapat
di lihat pada grafik 5.1.
7.000
5.898
6.000
4.771
5.000
4.000 2.923
2.786
3.000
2.000
1.000
0
2014 2015 2016 2017
Tahun
Jumlah SKPPKP
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
67
Business (EoDB) Indonesia. Peringkat EoDB ditentukan oleh kesepuluh indikator, yaitu
kemudahan dalam memulai usaha, perizinan mendirikan bangunan, penyambungan
listrik, pendaftaran properti, akses perkreditan, perlindungan pengusaha minoritas,
perdagangan lintas negara, penegakan kontrak, penyelesaian perkara kepailitan, dan
pembayaran pajak. Dari kesepuluh indikator EoDB, Indonesia berada diposisi ke 91
ditahun 2017 dan naik keposisi 72 di tahun 2018. Dari kenaikan peringkat tersebut, jika
dilihat pada tabel 5.1
Indonesia masih mengalami penurunan atas beberapa indikator EoDB. Salah satu
indikator yang mengalami penurunan yaitu terkait dengan pembayaran pajak (tax
payment).
Di tahun 2017, tax payment Indonesia berada diposisi ke 104 dan turun menjadi
posisi ke 114 di tahun 2018. Penurunan tax payment ini disebabkan karena pelayanan
administrasi perpajakan terkait dengan restitusi pajak masih terbilang tidak mudah. Tax
payment Indonesia dapat meningkat apabila pelayanan administrasi yang diberikan oleh
otoritas pajak mudah sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Gunadi selaku Guru
Besar Perpajakan FISIP UI, bahwa:
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
68
“Ya kalau ada pemeriksaan restitusi ini kan akan mengganggu kegiatan
usaha, mangkanya lebih banyak dimudahkan dalam memberikan
pelayanan administrasi.” (Wawancara Mendalam: Prof. Gunadi, selaku
Guru Besar Perpajakan FISIP UI, Jln.S. Parman Kav 37B, 5 November
2018)
Dengan penyelesaian restitusi pajak melalui pemeriksaan dalam jangka waktu 10 bulan,
akan mengganggu kemudahan Wajib Pajak dalam berusaha karena Wajib Pajak masih
harus menunggu 10 bulan pada periode – periode berikutnya untuk mendapatkan
pengembalian kelebihan pajak dalam 1 tahun. Hal ini salah satunya selalu terjadi pada
eksportir yang beberapa penjualannya dikenakan tarif 0%, yang sudah pasti akan
menyebabkan adanya lebih bayar pajak. Apabila tax refund di tahan oleh otoritas pajak
karena proses pemeriksaan yang cukup lama, maka banyaknya uang eksportir yang
tertahan yang dimana seharusnya uang tersebut dapat digunakan oleh para pengusaha
untuk melaksanakan kegiatan usahanya.
Selain karena pemeriksaan, faktor lain yang menyebabkan tax payment di
Indonesia rendah adalah nilai ekspor Indonesia mengalami penurunan. Menurut Badan
Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami penurunan nilai ekspor hingga Januari tahun
2018 mencapai US$14,46 miliar atau menurun 2,81% dibandingkan ekspor Desember
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
69
tahun 2017. Faktor ini sesuai dengan pendapat Dony, selaku Kepala Seksi Peraturan PPN
Industri bahwa :
“Belakangan ini kan ekspor kita agak sulit ya, apalagi adanya perang
dagang Amerika-Cina, ini imbasnya ke kita. Sebetulnya di PPN sendiri,
eksportir kita kalau tidak diberikan fasilitas, dia akan mendapatkan
pengembaliannya lebih lama. Oleh karena itu, dari kriteria sebelumnya,
kita melihat lagi sebelumnya yang bisa kita bantu untuk mendorong
pengembalian apasi.” (Wawancara Mendalam: Dony, selaku Kepala Seksi
Peraturan PPN Industri, Kantor Pusat DJP, 14 November 2018)
Refund discrepancy sendiri adalah nilai nominal restitusi yang tidak dikabulkan oleh DJP.
Terkait dengan refund discrepancy tersebut, Dony, selaku Kepala Seksi Peraturan PPN
industri, memberikan ilustrasi mengenai hal tersebut yakni, sebagai berikut :
Dilihat dari ilustrasi tersebut terlihat bahwa otoritas pajak tidak dapat merealisasikan
restitusi pajak sebesar 100% dari permintaan restitusi Wajib Pajak. Berdasarkan DDTC
Fiscal Research (2017, p.67) restitusi pajak terutama PPN di Indonesia tersebut sudah
menyalahi prinsip netralitas PPN, dimana dalam hal ini para pelaku bisnis juga turut
menanggung PPN karena permintaan restitusi tidak dapat direalisasikan sebesar 100%.
Jika dilihat dari refund discrepancy yang kurang dari 5% per tahun, restitusi pajak
baik PPh maupun PPN seharusnya dapat dialihkan ke proses penelitian dengan
memberikan terlebih dahulu pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dan tidak
dilakukannya pemeriksaan diawal seperti proses pada umumnya. Tetapi, pada
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
70
kenyataannya bahwa Wajib Pajak dapat dilakukan pemeriksaan post-audit sesuai dengan
kriteria yang ditetapkan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
15/PJ/2018 Tentang Kebijakan Pemeriksaan, sehingga pemeriksaan restitusi pajak juga
dapat dilakukan kepada Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak. Dengan dilakukannya pemeriksaan kepada Wajib Pajak
yang telah diberikannya pengembalian pendahuluan oleh otoritas pajak ini, menyebabkan
beberapa Wajib Pajak justru malah menghindari proses restitusi pajak dengan
diterbitkannya SKPPKP. Hal ini dikarenakan adanya risiko yang tinggi apabila
menggunakan fasilitas ini, yakni sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100%.
Sebagaimana dikutip dalam wawancara mendalam dengan Doli, selaku Senior Tax
Manager EY yaitu :
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
71
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
72
Tabel 5.2 Keterlibatan Dit.TIP, Dit.TTKI, Dit. TPB, dan Dit. P2 Humas
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
73
restitusi pajak dapat mempermudah otoritas pajak untuk melakukan penelitian, sehingga
restitusi pajak yang diajukan oleh Wajib Pajak kepada otoritas pajak dapat diproses
dengan cepat, tanpa adanya gangguan server dari internal DJP itu sendiri. Dit P2 Humas
berperan dalam sosialisasi PMK 39/PMK.03/2018 dengan tujuan agar Wajib Pajak dapat
mengetahui, memahami, dan melaksanakan aturan baru yang telah diterbitkan oleh
pemerintah.
Selain pihak internal DJP, Kementerian Keuangan dan Kementerian Hukum dan
HAM secara langsung juga terlibat dalam perumusan PMK 39/PMK.03/2018 sebagai
pihak diluar lingkungan DJP. Pihak Kementerian Keuangan yang terlibat dalam proses
formulasi adalah Biro Hukum dan Staff Ahli Kementerian Keuangan yang bertugas untuk
melihat aspek legal baik formal maupun material suatu peraturan dalam menyusun
perundang-undangan level Peraturan Menteri Keuangan keatas. Disamping adanya pihak
– pihak yang terlibat langsung dalam perumusan PMK 39/PMK.03/2018, adapun pihak
– pihak yang secara tidak langsung terlibat dalam proses perumusan kebijakan restitusi
pajak yaitu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dan Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian seperti yang dijelaskan oleh Andik, selaku Kepala Sesksi
Peraturan KUP dan PPSP :
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
74
kebijakan pendahuluan restitusi pajak ini. Padahal, proses pembuatan kebijakan yang
ideal sebaiknya dilakukan oleh lebih dari satu pihak, baik pihak birokrasi yang memiliki
keahlian dan keterlibatan di dalam area isu kebijakan, maupun kelompok kepentingan
sebagai aktor utama yang sering memberikan solusi kebijakan. Tidak adanya keterlibatan
pihak BKF ini, sesuai dengan pernyataan Dony, selaku Kepala Seksi Peraturan PPN
Industri bahwa :
“Secara normalnya, kalau kita buat peraturan terkait subjek, objek tarif,
kita harus melibatkan BKF, tapi kalo lebih ke administrasi, itu kita lebih
ke DJP, dan PMK ini lebih ke tata cara, tidak ada perluasan subjek baru,
objek, tarif baru, jadi mangkanya bisa diserahkan ke DJP internal saja.”
(Wawancara Mendalam: Dony, selaku Kepala Seksi Peraturan PPN
Industri, Kantor Pusat DJP, 14 November 2018)
“Kalo memang dilakukan perumusan kebijakan oleh DJP itu sendiri maka
yang dipertanyakan apakah evidence base theory sudah dilaksanakan?
Bagaimana cara mereka meriset kebijakan itu ditengah sumber daya
mereka yang sibuk dengan pekerjaan rutin? Siapa yg ngelakuin riset?.
Misal "oh mereka pakai konsultan". Lalu pertanyaan lagi "kenapa ga pakai
BKF?" Berarti dari sisi secara kualitas kebijakan, salah satu indikator
penting adalah engagement organisasi terhadap suatu kebijakan itu tadi.
Nah kalo misal engagement harusnya dimotori BKF sebagai badan yang
melakukan riset, namun tidak terjadi karena DJP mengambil alih, tentu
dari sisi ini dilihat bahwa kualitas kebijakan dari sisi engagement
kelembagaan dipertanyakan. Bagaimana pelembagaan kebijakan didalam
lingkungan Kemenkeu itu, karena kualitas kebijakan itu dilahirkan dari
dua dimensi, dimensi pertama adalah dimensi proses dan dimensi kedua
adalah hasil. Produknya seperti apa. Ini gabisa dipisahkan. Gabisa
mengharapkan hasil yang baik kalau prosesnya buruk. Walau proses yang
baik belum tentu menghasilkan kebijakan yang baik.” (Wawancara
Mendalam: Zuliansyah, selaku Akademisi Kebijakan Publik, FISIP UI, 13
November 2018)
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
75
“Oh Wajib Pajak tidak termasuk, karna kan kita ga membuat baru
kan aturannya, kita disini menambah fasilitas lebih saja, kecuali
kalau kita buat baru, baru dilibatkan.” (Wawancara Mendalam: Adi,
selaku Pelaksana Peraturan KUP dan PPSP, Kantor Pusat DJP, 14
November 2018)
Dalam hal ini, Wajib Pajak maupun asosiasi perpajakan sebaiknya diikutsertakan dalam
perumusan kebijakan karena pada nantinya, Wajib Pajak itu sendiri yang akan
menggunakan fasilitas pendahuluan restitusi pajak dan sebagai pelaksana kebijakan PMK
39/PMK.03/2018, sehingga Wajib Pajak berhak mengetahui alasan terbentuknya PMK
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
76
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
77
“Jadi kualitas dari proses itu sendiri tidak dilihat dari kuantitas waktu tapi
apakah kualitas proses mencerminkan keterlibatan para aktor atau
pemangku kepentingan.” (Wawancara Mendalam: Zuliansyah, selaku
Akademisi Kebijakan Publik, FISIP UI, 13 November 2018)
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
78
kesulitan di sistem kita, karna sistem kita sendiri belum sekuat di negara
lain, mangkanya kita mau mengandalkan aplikasi PK PM misalkan, semua
data faktur pajak, semua data pelaporan dan pembayaran, itu kan di buat
sistemnya di DJP.” (Wawancara Mendalam: Dony, selaku Kepala Seksi
Peraturan PPN Industri, Kantor Pusat DJP, 14 November 2018)
Setelah melalui tahapan agenda kebijakan, tahapan kebijakan selanjutnya untuk dapat
menyelesaikan permasalahan yang ada adalah memilih alternatif kebijakan yang terbaik.
“Sebenernya untuk alternatif kebijakan restitusi gaada, ini udah terbaik si,
tapi untuk kebijakan lainnya yang sifatnya likuiditas sifatnya banyak.”
(Wawancara Mendalam: Andik, selaku Kepala Sesksi Peraturan KUP dan
PPSP, Kantor Pusat DJP, 9 November 2018)
Maka dari itu, terkait dengan kebijakan restitusi ini, alternatif kebijakan yang dipilih oleh
DJP yaitu :
1) Pengajuan permohonan pengembalian pendahuluan dapat dilakukan pada saat
Wajib Pajak ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu, Wajib Pajak
yang Memenuhi Persyaratan Tertentu, dan PKP Berisiko Rendah. Penetapan
sebagai ketiga kriteria tertentu tersebut sudah bisa dilakukan di Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) sesuai yang dikatakan oleh Dony, selaku Kepala Seksi Peraturan PPN
Industri :
“Penetapannya itu ada perbaikan sebenernya, dulu Wajib Pajak patuh itu
ditetapkan oleh Kanwil, dan PKP berisiko rendah ditetapkan oleh KPP,
nah di PMK 39 berubah, semuanya bisa ditetapkan di KPP. Karna ada
beberapa daerah yang KPP-nya beda lokasi dengan Kanwil. Jadikan
butuh koordinasi juga. Sementara yg mengetahui Wajib Pajak ini kan
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
79
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
80
juta, 500 juta-1M,1M-2M, lebih dari 2M, itu kemudian kita lihat, oh
proporsinya hampir 70% itu Masukin SPT dgn nilai LB sampai
dengan 1M, mangkanya kemudian kita ambil parameternya, oh ok, ini
yang paling 70% merepresentasikan, oh ya udah, thresholdnya kita
ambil yang 1M untuk PPN dan PPh Badan, PPh OP 100
juta.”(Wawancara Mendalam: Andik, selaku Kepala Seksi Peraturan
KUP dan PPSP, Kantor Pusat DJP, 9 November 2018)
Jika dilihat dari penentuan threshold tersebut, perluasan persyaratan sebagai Wajib
Pajak dengan kriteria tertentu yang diatur dalam PMK 39/PMK.03/2018 tidak
ditentukan dengan keadilan, tetapi didasarkan pada kesanggupan otoritas pajak
dalam melakukan pemeriksaan dan jumlah restitusi pajak dalam SPTLB yang
diajukan oleh Wajib Pajak. Padahal seharusnya, sesuai dengan prinsip perpajakan
menurut Stiglitzt sebagaimana dikutip Rosdiana dan Irianto (2014, p.157) yaitu:
“Fair: its should be seen to be fair in its impact on all individuals.”
Kebijakan dalam suatu peraturan harus bersifat adil, karena kebijakan yang akan
diterapkan oleh pemerintah akan berdampak pada semua individu. Meskipun yang
hanya dapat mengajukan proses restitusi pajak adalah Wajib Pajak dengan tiga
kriteria tertentu yang telah diatur dalam Undang – Undang Perpajakan, namun
dalam menentukan suatu kebijakan yang diatur dalam peraturan pelaksana agar
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
81
semua Wajib Pajak dapat merasakan fasilitas dari kebijakan tersebut harus
berpedoman pada prinsip keadilan.
Selain perluasan threshold, persyaratan untuk menjadi PKP Berisiko
Rendah juga diperluas dengan dasar pertimbangan untuk mendorong kegiatan
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), sehingga perusahaan terbuka dengan
berapapun jumlah sahamnya dapat merestitusikan pajaknya sesuai dengan PMK
39/PMK.03/2018. Selain itu, eksportir MITA atau AEO juga telah dikategorikan
sebagai PKP Berisiko Rendah oleh otoritas perpajakan yang sebelumnya tidak
tertulis dalam PMK 71/PMK.03/2010, sebagaimana yang dijelaskan lebih lanjut
oleh Dony, selaku Kepala Seksi Peraturan PPN Industri:
“Nah itu sebenernya dari analisis risikonya, kita sebenernya bisa liat,
sebetulnya Wajib Pajak manasi yang sebetulnya risikonya tidak
terlalu tinggi, nah urusan restitusi ini kan sebetulnya udah cenderung
ketat ya, mangkanya kita berani dari 40% sekarang kita perluas, nah
biasanya Wajib Pajak ini yang settle Mba, yang jelas profilnya, jelas
transaksinya, berapa modal, berapa biaya udah jelas juga. Jadi kita
lihat risikonya, kalo kita liat Pasal 9 UU PPN, secara alamiah Wajib
Pajak pasti restitusi dan secara mitigasi risiko itu juga jelas untuk
eksportir misalnya. Ini kan sudah temen-teman DJBC yang
mengawasi. Untuk menjalankan pemungut ini juga sistemnya sudah
jelas, untuk PPN yg tidak dipungut juga udah jelas. Mangkanya kita
berani buka perluasan restitusi PPN itu. Jadi risiko kesana ketika dia
secara formal patuh. Dari mana asal restitusinya, ini kita bisa tracking.
Kejelasan restitusinya lebih terukur risikonya.“ (Wawancara
Mendalam: Dony, selaku Kepala Seksi Peraturan PPN Industri,
Kantor Pusat DJP, 14 November 2018)
3) Analisis risiko yang sebelumnya dilakukan oleh otoritas pajak sebagai proses
pendahuluan restitusi pajak, kini, dalam PMK 39/PMK.03/2018 proses analisis
risiko telah dihapus.
Analisis risiko yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
terdahulu menjelaskan bahwa otoritas pajak dalam memberikan pendahuluan harus
memperhatikan tiga hal. Pertama, ketepatan waktu SPT yang dilaporkan oleh Wajib
Pajak, kedua, Wajib Pajak tidak memiliki utang pajak, dan ketiga, dilakukannya
analisis atas kebenaran formal oleh otoritas pajak. Dalam PMK 39/PMK.03/2018,
analisis risiko tersebut dihapuskan dengan tujuan agar tidak ada lagi perbedaan
analisis antar otoritas pajak terkait dengan penetapan Wajib Pajak yang termasuk
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
82
dalam kriteria tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Dony, selaku Kepala Seksi
Peraturan PPN Industri :
Selain itu, berpedoman pada Pasal 17C UU KUP, Pasal 17D UU KUP, dan Pasal
9 ayat (4C) UU PPN, serta ketiga Peraturan Menteri Keuangan sebelumnya, selain
perubahan regulasi kebijakan pendahuluan restitusi pajak, DJP juga membuat suatu
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
83
Dalam hal regulasi kebijakan tersebut, beberapa pihak ada yang kurang setuju
dengan penggabungan kebijakan pendahuluan restitusi pajak yang diatur dalam ketiga
pasal yang berbeda dalam Undang – Undang Perpajakan dan ketiga Peraturan Menteri
Keuangan terdahulu. Salah satu pihak akademisi yang memberikan pendapat
ketidaksetujuan dengan kebijakan tersebut, dijelaskan oleh Prof. Gunadi selaku Guru
Besar Perpajakan FISIP UI :
“Karna beda, 17C itu kepatuhan, 17D itu persyaratan, gaada kepatuhan,
pokoknya patuh gapatuh kalau pasal 17D itu dikasih selama objeknya
masih sesuai gitu. Kalau itu kan patuh ga patuh selama omzetnya Wajib
Pajak persyaratan tertentu pasti dikasihkan, diambil Wajib Pajak yang
kecil aja pasal 17D, substansinya beda. Tapi kalau pasal 17C sama pasal 9
UU PPN itu baru boleh, karna masih diliat juga kepatuhannya. Itu harus
dipisah gaboleh, karena persyaratannya beda. (Wawancara Mendalam:
Prof. Gunadi, selaku Guru Besar Perpajakan FISIP UI, Jln.S. Parman Kav
37B, 5 November 2018)”
“Jadi sistematikal hukumnya dalam PMK ini harusnya diikuti juga, jadi
kalo diatur dalam pasal yang berbeda, harusnya turun dalam peraturan
pelaksana yang berbeda juga yakan gitu, supaya jelas panutan hukumnya,
karena dia kan sering kali PMK ini diubah, diganti dengan PMK lain kan,
nanti itukan bisa jadi rancu PMK ini apabila meng-cover 3 pasal, yang
dirubah, yang mana nih dapat mempengaruhi pasal lainnya, kan gitu. Dan
juga konsep dari masing2 pasal itu, siapa yg dapat kemudahan restitusi
pajak PMK 39 ini kan alasanya berbeda ada yg karna omzetnya hingga
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
84
“Alasan deregulasi PMK ini jadi dulu, orang kalau liat database gitu
terlalu banyak sebenernya regulasi yang sebenernya substansinya sama
tapi diatur oleh PMK atau Perdirjen yang berbeda-beda, kita gamau kaya
gitu, prinsipnya yang dikonfirmasi dalam tiga aturan itu adalah kebenaran
Wajib Pajak di Pasal 17 C,D UU KUP, Pasal 9 ayat (4C) UU PPN karna
itu kita bicara ke arah simplikasi, menurut kita itu prosesnya sama, tapi
hanya beda subjeknya aja, mangkanya itu kita combine dalam satu PMK
karna amanat UU KUP ini sebenernya bisa diatur dalam PMK, sehingga
nanti kalau ada Wajib Pajak nanya aturan pengembalian pendahuluan itu
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
85
dimana cukup baca PMK 39, dan mereka bisa lihat, oh saya masuk ke
syarat apa nih. Jadi substansinya output yang akan diberikan itu terkait
dengan pengembalian pendahuluan.” (Wawancara Mendalam: Andik,
selaku Kepala Seksi Peraturan KUP dan PPSP, Kantor Pusat DJP, 9
November 2018)
Penggabungan kebijakan tersebut dalam satu Peraturan Menteri Keuangan sudah sesuai
dengan isu dan prioritas percepatan proses restitusi pajak saat ini dalam rangka
meningkatkan peringkat EoDB Indonesia. Kebijakan restitusi pajak ini juga sudah dapat
dikatakan sebagai administrasi perpajakan yang efektif dan efisien karena kebijakan –
kebijakan yang diatur didalamnya sudah disusun dengan memperhatikan substansi –
substansi yang ada.
Meskipun jika dilihat dari pasal - pasal yang mengatur tentang pendahuluan
restitusi pajak dalam Undang – Undang Perpajakan adanya perbedaan substansi yang ada
di dalam Pasal 17C UU KUP dan Pasal 9 ayat (4C) UU PPN dengan Pasal 17D UU KUP
yang dimana Pasal 17C UU KUP dan Pasal 9 ayat (4C) UU PPN mengatur tentang
kepatuhan sebagai syarat untuk mengajukan restitusi pajak melalui pendahuluan,
sedangkan Pasal 17D UU KUP tidak mensyaratkan kepatuhan, tetapi Wajib Pajak yang
dapat mengajukan pendahuluan restitusi perpajakan adalah Wajib Pajak yang memiliki
batas jumlah peredaran usaha, jumlah penyerahan, dan jumlah lebih bayar yang diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan. Atas perbedaan susbtansi tersebut, dalam
aturan pelaksananya tidak menjadikan suatu permasalahan dalam
pengimplementasiannya, karena sifatnya sama yaitu memberikan pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak atas pengajuan restitusi pajak oleh Wajib Pajak, meskipun dengan
syarat yang berbeda. Hal ini didukung oleh Eddy, selaku akademisi :
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
86
“Tapi sekarang agak beda nih, kalau dulu itu udah setuju semua kalau
sebelum ke Menteri ada yang namanya proses pengharmonisasian, dulu
tuh proses pengharmonisasian itu hanya level PP keatas di Undang -
Undang, nah sekarang sampe PMK pun ada pengharmonisasian dengan
Kementerian Hukum dan HAM. Nah setelah ada PMK 39 ini kita ada
proses tambahan pengharmonisasian dengan Hukum dan HAM.”
(Wawancara Mendalam: Adi, selaku Pelaksana Seksi Peraturan KUP dan
PPSP, Kantor Pusat DJP, 14 November 2018)
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
87
Terkait dengan penyusunan suatu aturan, pada dasarnya yang harus dilihat dan
diperhatikan oleh perumus kebijakan adalah efektivitas dan sinkronisasi hukum.
Pelaksanaan hukum dapat dikatakan efektif atau berhasil dalam pelaksanaannya apabila
aturan tersebut ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakat maupun penegak hukum.
Ketidakefektifan peraturan dapat disebabkan karena adanya peraturan yang tidak jelas,
aparatnya yang tidak konsisten, dan atau masyarakat yang tidak mendukung pelaksanaan
dari aturan tersebut (Salim dan Nurbani, 2013, p.3), sedangkan sinkronisasi yang
dimaksud adalah suatu kebijakan harus memiliki keserasian hukum yang positif agar
tidak bertentangan dengan hierarki peraturan perundang – undangan (Salim dan Nurbani,
2013, p.14-15).
Sesuai dengan pernyataan Adi, selaku Pelaksana Seksi Peraturan KUP dan PPSP,
bahwa baru adanya proses pengharmonisasian setelah diterbitkannya PMK
39/PMK.03/2018 dengan Kementerian Hukum dan HAM yang menunjukan bahwa
dalam membuat ketiga aturan terdahulu pemerintah tidak memperhatikan sebelumnya
apakah aturan yang dibuat akan bertentangan atau tidaknya dengan peraturan lain.
Padahal efektivitas dan sinkronisasi hukum merupakan satu kesatuan yang harus
diperhatikan oleh pemerintah untuk membentuk suatu peraturan. Hal ini didukung dengan
pernyataan Eddy, selaku akademisi, yaitu :
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
88
besar memberikan legitimasi dari pelaksanaan Pasal 17C dan Pasal 17D UU KUP, dan
Pasal 9 ayat (4C) UU PPN yang mengatur tentang pendahuluan restitusi pajak dan
memberikan kejelasan mengenai subjek dan persyaratan lainnya yang dapat mengajukan
restitusi pajak melalui pendahuluan berdasarkan dengan PMK 39/PMK.03/2018.
Dengan adanya kepastian ini, jumlah Wajib Pajak yang mengajukan restitusi pajak
dengan proses pendahuluan tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Andik, selaku Kepala Seksi Peraturan KUP dan PPSP :
Perbandingan jumlah Wajib Pajak yang mengajukan pendahuluan restitusi pajak sebelum
dan sesudah diterbitkannya PMK 39/PMK.03/2018 dapat dilihat pada tabel 5.3.
Seperti yang dapat terlihat pada tabel 5.2, jumlah SPT yang masuk ditahun 2018 adalah
4.769 SPTLB, sedangkan ditahun 2017 adalah 2.966 SPTLB. Dari jumlah SPTLB
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
89
“Jadi itu memang kebijakan itu harus dirubah gitu. Jangan disatu sisi
seolah dimudahkan tapi seperti masih garela juga nih di ancem dengan
sanksi yang berat gitu. Jadi kan kita maunya kan mau maju nih, kasih
kemudahan dengan asas lebih percaya kepada Wajib Pajak jangan main di
dua ini, seolah “nih saya kasih kamu dipercepat”, tapi kalau saya temukan
sesuatu sanksinya besar, dan yang lebih bikin repotnya itu seringkali
koreksi itu bukan terjadi karena kesalahan Wajib Pajak itu, itu sering
sekali, bahkan rutin.” (Wawancara Mendalam: Doli, selaku Senior Tax
Manager EY, Auditorium Vokasi UI, 6 November 2018)
Disisi lain, menurut otoritas pajak, proses restitusi pajak di Indonesia dengan
pendahuluan ini sudah terbilang cukup mudah. Jika dibandingkan dengan negara lain,
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
90
restitusi pajak di Indonesia terkait dengan pemeriksaan ini lebih flexible dibandingkan
dengan negara lain. Pernyataan ini dikemukakan oleh Andik, selaku Kepala Seksi
Peraturan KUP dan PPSP dengan memberikan gambaran, sebagai berikut :
Proses pendahuluan restitusi pajak menurut otoritas pajak tersebut yang sudah
dikatakan mudah, berbanding terbalik dengan beberapa pihak khususnya bagi praktisi.
Menurut Doli, selaku Senior Tax Manager EY, bahwa Wajib Pajak justru lebih banyak
menghindari kebijakan pendahuluan restitusi pajak dalam praktiknya dilapangan karena
adanya risiko yang tinggi dibalik pemberian fasilitas, sehingga banyaknya Wajib Pajak
yang merelakan lebih bayar tersebut meskipun jumlahnya masih dibawah threshold
sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Wawancara Mendalam, 6 November 2018).
Kelemahan lainnya dalam penerapan PMK 39/PMK.03/2018 adalah dari sisi
internal otoritas pajak yang agak sulit dalam mem-provide data atas pengajuan restitusi
yang diajukan oleh Wajib Pajak. Hal ini seharusnya juga diperhatikan oleh pemerintah
sebagai salah satu alternatif kebijakan yang dapat diterapkan dalam peraturan ini dalam
membenahi sistem teknologi internal DJP. Selain membenahi sistem teknologi internal,
pemerintah juga sebaiknya membenahi sistem teknologi eksternal, diluar lingkungan DJP
yang akan digunakan oleh Wajib Pajak untuk mendapatkan hak pemajakannya dengan
mudah, dan tidak memakan waktu, tenaga dan finansial dalam pengajuan restitusi
perpajakannya, sesuai dengan prinsip perpajakan menurut Stiglitzt sebagaimana dikutip
Rosdiana dan Irianto (2014, p.157) yaitu, administratively simple : it should be easy and
inexpensive to administer. Dengan adanya sistem teknologi tersebut, Wajib Pajak dapat
mengajukan restitusi pajak secara online, tidak lagi secara manual. Tidak hanya itu,
dengan didukungnya sistem teknologi, Wajib Pajak nantinya secara otomatis sudah
mengetahui apakah Wajib Pajak tersebut sudah termasuk dalam kriteria tertentu atau
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
91
belum, sehingga tidak adanya lagi proses pengajuan ke KPP setempat untuk
ditetapkannya sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu.
Jika dibandingkan dengan negara lain, seperti proses restitusi pajak di Australia,
dalam sistem pelaporan pajaknya Australia sudah menggunakan sistem pelaporan pajak
online atau yang dapat disebut dengan e-tax. Dari sistem pelaporan pajak online tersebut,
adanya perbedaan waktu dalam pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Bagi Wajib
Pajak yang menggunakan sistem e-tax, proses restitusi pajak dilakukan dalam jangka
waktu 12 hari kerja sejak SPT disampaikan, namun, jika Wajib Pajak melaporkan restitusi
pajaknya secara manual maka akan diproses dalam jangka waktu 50 hari kerja. Tidak
hanya itu, untuk mempercepat proses restitusi pajak, Australia menyediakan Electronic
Funds Transfer (EFT). EFT merupakan cara restitusi pajak yang aman dan cepat karena
Wajib Pajak dapat menerima restitusi pajak secara elektronik hanya dengan
mencantumkan rekening bank Australia. Hal ini harus diperhatikan oleh pemerintah,
karena saat ini sudah memasuki zaman digitalisasi yang seharusnya sistemnya pun juga
harus canggih, dan sudah tidak mengajukan restitusi pajak cara manual. Hal ini
sependapat dengan Prof. Gunadi selaku Guru Besar Perpajakan FISIP UI :
“Ya ini harus jalan terus, dengan persyaratan harus dilakukan restitusi
pajak dengan digitalisasi, jadi otomatis, contoh kaya PM PK, kalau udah
ada PM ya otomatis udah harus ada PKnya gitu. Itu harus ada intelocking
system maksudnya kalau setiap PM gaada PKnya itu tidak dapat
dikreditkan, otomatis bisa diketahui. Kalau yang memotong PPN disana
udah motong PM itu bakal ketauan karna interlocking. Nah kalau kita kan
engga, masih ada konfirmasi dulu ada pemotongan ga disana,itu masih
manual, itu bukan sistemik, bukan terintegrasi. Nah itu harus reformasi
mendasar sebenernya ya sistemnya, jadi yang harus diperbaiki itu
sistemnya.” (Wawancara Mendalam: Prof. Gunadi, selaku Guru Besar
Perpajakan FISIP UI, Jln.S. Parman Kav 37B, 5 November 2018)
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
92
kebijakan tersebut kepada masyarakat. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Dony,
selaku Kepala Seksi Peraturan PPN Industri :
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
93
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
94
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
95
BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Berdasarkan uraian pada pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan
bahwa pemerintah dalam memformulasikan PMK 39/PMK.03/2018 belum sepenuhnya
memenuhi tahapan – tahapan formulasi kebijakan. Dalam masing – masing tahapan,
yaitu:
- Pada tahapan perumusan kebijakan, pemerintah belum sepenuhnya menganalisis
masalah – masalah restitusi pajak yang terjadi dilapangan, salah satunya terkait
dengan sanksi yang cukup berat bagi Wajib Pajak apabila menggunakan proses
pendahuluan restitusi pajak. Pemerintah dalam menerbitkan PMK
39/PMK.03/2018, hanya mengidentifikasi beberapa permasalahan saja yaitu,
satu, adanya subjektivitas Wajib Pajak dalam proses analisis risiko yang
sebelumnya telah di atur dalam Peraturan Menteri Keuangan terdahulu, kedua,
kebijakan restitusi pajak terdahulu menghambat kenaikan peringkat indikator tax
payment EoDB Indonesia, dan ketiga, refund discrepancy berdasarkan hasil
pemeriksaan kurang dari 5% per tahun.
- Dalam tahap agenda kebijakan, seharusnya perumusan kebijakan melibatkan
seluruh stakeholder yang ada, namun tidak melibatkan pihak BKF dan Wajib
Pajak maupun asosiasi sehingga tidak dapat menampung atau tidak dapat
menyatukan gagasan semua kepentingan lembaga dan pihak non pemerintah.
- Tahap ketiga, tidak adanya alternatif kebijakan dalam perumusan PMK
39/PMK.03.2018, hal ini dikarenakan pemerintah hanya membuat satu kebijakan
yang merupakan perbaikan dan melakukan perubahan – perubahan atas kebijakan
dari tiga Peraturan Menteri Keuangan terdahulu.
- Tahapan terakhir adalah tahap penetapan kebijakan. Penetapan kebijakan yang
dipilih berdasarkan dengan tujuan yang ingin dicapai pemerintah dan penetapan
PMK 39/PMK.03/2018 bersifat mengikat dan merupakan hasil kompromi dari
berbagai kelompok kepentingan yang terlibat. Dalam penetapan PMK
39/PMK.03/2018, terdapat keunggulan dan kelemahan ditetapkannya PMK
39/PMK.03/2018. Keunggulan ditetapkannya PMK 39/PMK.03/2018 yaitu
95 Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
96
6.2 Saran
Berdasarkan penelitian ini, dalam pembuatan kebijakan pajak sebaiknya
pemerintah mempertimbanhkan beberapa hal berikut ini :
1) Pemerintah sebaiknya mempunyai beberapa alternatif kebijakan untuk dapat
dibandingkan dan dipilih dengan alternatif lainnya sesuai dengan permasalahan yang
ada dilapangan.
2) Pemerintah dalam merumuskan kebijakan sebaiknya mengikutsertakan masukan dari
beberapa pihak secara langsung baik dari pihak pemerintah maupun non pemerintah,
agar kebijakan yang dihasilkan dapat dijalankan dengan maksimal.
3) Pemerintah sebaiknya tidak hanya membuat peraturan saja, tetapi dari sisi
administrasinya pun juga harus dibenahi, baik dari segi pelayanan maupun dari segi
informasi dan teknologi yang mengarahkan restitusi pajak dengan sistem digitalisasi.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
97
DAFTAR REFERENSI
Buku :
Anderson, J.E. (2006). Pubic Policy Making. Boston : Hpughton Mifflin Company. Asian
Development Bank TA 7010.2008. Strategy and Roadmap for Developing The
Property Tax in Indonesia.
Bambang, P dan Jannah, L.M. (2005). Metode Penelitian Kuantitatif : Teori dan Aplikasi.
Jakarta : PT Raja Grafindo.
Budiardjo, Miriam. (2008). Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Bungin, M. Burhan. (2007). Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Creswell. Jhon W. (1994). Research design : qualitative and quantitative approach.
California : SAGE Education.
Dunn. William N. (2003). Pengantar analisis Kebijakan Publik (Vol 2). Yogyakarta :
Gajah Mada University Press.
Dye, T.R. (2005). Understanding Public Policy, 11th edition. New Jersey : Prentice hall.
Fischer,F.G. (2007). Handbook of Public Policy Analisys : Theory, Politics, and Methods.
Oca Raton : CRC Press
Gunadi. (2016). Panduan Komprehensif Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Jakarta :
Bee Media Indonesia.
Gunadi. (2013). Panduan Komprehensif Pajak Penghasilan. Jakarta : Bee Media
Indonesia.
Kusumanegara, Solahuddin. (2010). Model dan Aktor dalam Proses Kebijakan Publik.
Yogyakarta : Gava Media.
Mansury, R. (1996). Pajak Penghasilan Lanjutan. Jakarta : IndHill Co.
Mansury, R. (1999). Kebijakan Fiskal. Tangerang : Yayasan Pengembangan dan
Penyebaran Pengetahuan Perpajakan.
Mansury, R. (2002). Pajakk Penghasilan Lanjutan Pasca Reformasi 2000. Jakarta :
Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan.
Moleong, Lexy J. (2004). Metode Penelitian Kualitatif edisi Revisi. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
97 Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
98
Musgrave, Richard A dan Peggy B. Musgrave. (1993). Keuangan Negara dalam Teori
dan Praktek (Terjemahan oleh Alfonsus Sirait). Jakarta : Erlangga.
Nasucha, Chaizi. (2004). Reformasi Administrasi Publik Teori dan Praktik. Jakarta : PT
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Nazir, Mohamad. (2003). Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Neuman, William Lawrence. (2000). Social Research Methods, Qualitative and
Quantitative Methods. 4th ed. USA : Allyn & Bacon.
Neuman, William Lawrence. (2006). Social Research Methods, Qualitative and
Quantitative Methods. 6th ed. Boston : Pearson.
Nowak, Norman D. (1970). Tax Administration in Theory and Practice : With Special
Reference to Chile. New York : Praeger Publishers.
Nurcholis, Hanif. (2007). Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta
: PT Grasindo.
Nugroho, Riant. (2004). Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi.
Jakarta : Gramedia
Salim dan Erlies Septiana Nurbaini. (2013). Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Tesis dan Disertasi. Jakarta : PT Raja Grafindo.
Pohan, Chairil Anwar. (2014). Pembahasan Komprehensif Pengantar Perpajakan Teori
dan Konsep Hukum Pajak. Jakarta : Mitra Wacana Media.
Rahayu, A.S. (2010). Pengantar Kebijakan Fiskal. Jakarta : Bumi Aksara.
Rochmat, Soemitro. (1986). Asas – Asas Peprpajakan. Bandung : Eresco.
Rosdiana, Haula, dkk. (2011). Teori Pajak Pertambahan Nilai ; Kebijakan dan
Implementasinya di Indonesia. Bogor.
Rosdiana, Haula dan Irianto, Edi. (2011). Panduan Lengkap Tata Cara Perpajakan di
Indonesia. Jakarta : Visi Media.
Rosdiana, Haula dan Irianto, Edi. (2014). Pengantar Ilmu Perpajakan : Kebijakan dan
Implementasi di Indonesia. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.
Schenk, Alan dan Oliver Oldman. (2007). Value Added Tax A Comparative Approach.
Cambridge University Press : New York.
Sinaga, Endang. (2015). Analisis Formulasi Kebijakan Mekanisme Reimbursement Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) Pada Industri Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas).
Skripsi. Universitas Indonesia.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
99
Smith, D.T., Webber, J.B., dan Cerf, C.M. (1973). What You Should Know About The
VAT. Illnois : Down Jones-Irwin Inc.
Subarsono, AG. (2005). Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Tambunan, Tulus T.H. (2009). Perekonomian Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Tait, A.A. (1988). Value Added Tax, International Practice and Problems. Washington
D.C : International Monetary Fund.
Thoha, Miftah. (2003). Dimensi – Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada.
Thoha, Miftah. (2008). Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Jakarta : Prenada Media
Group.
Thuronyi, V. (1996). Tax Law Design & Drafting. Washington D.C : International
Monetary Fund.
Widodo, Djoko. (2007). Analisis Kebijakan Publik. Malang : Bayu Media.
Winarno, Budi. (2007). Teori dan Proses Kebijakan Publik. Jakarta : Medpres.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
100
Karya Akademis :
Rahmi, Elvi. (2013). Analisis Formulasi Kebijakan Pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 22 Oleh Industri Farmasi (Skripsi). Universitas Indonesia.
Peraturan Perundang-Undangan :
Republik Indonesia, Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Keempat Atas Undang – Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan.
Republik Indonesia, Undang – Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang – Undang Nomor 8 TAHUN 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
234/PMK.01/2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
74/PMK.03/2012 Tentang Tata Cara Penetapan dan Pencabutan Penetapan Wajib
Pajak dengan Kriteria Tertentu Dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pembayaran Pajak.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
198/PMK.03/2013 Tentang Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran
Pajak Bagi Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
71/PMK.03/2010 Tentang Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah yang Diberikan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
101
Ketentuan Lain :
Organisation for Economic Co-operation and Development (selanjutnya disebut OECD).
(2003). Centre for Tax Policy and Administration, Tax guidance series, General
Administrative Principles - GAP002 Taxpayers’ Rights and Obligations
Publikasi Elektronik :
Ani Sucianingsih, Arsy. (2018, 2 April). Restitusi Bisa Dipercepat dengan Tiga Langkah,
Ini Detailnya. 1 Agustus 2018.
https://nasional.kontan.co.id/news/restitusi-bisa-dipercepat-dengan-tiga-langkah-
ini-detilnya
Badan Pusat Statistik. (2016, 24 November). Realisasi Penerimaan Negara (Milyar
Rupiah), 2007-2017. Bps.go.id. 28 April 2018.
https://www.bps.go.id/statictable/2009/02/24/1286/realisasi-penerimaan-negara-
milyar-rupiah-2007-2017.html
Badan Pusat Statistik. (2018, 15 Februari). Januari 2018, nilai ekspor Indonesia
mencapai US$14,46 miliar dan Nilai impor Indonesia mencapai US$15,13 miliar.
20 Agustus 2018.
https://www.bps.go.id/pressrelease/2018/02/15/1497/januari-2018--nilai-ekspor-
indonesia-mencapai-us-14-46-miliar-dan-nilai-impor-indonesia-mencapai-us-15-
13-miliar-.html
Bank Indonesia. (2017, 28 April). Bab 6 Kebijakan Fiskal. Laporan Perekonomian
Indonesia. 2017. 20 Mei 2018.
https://www.bi.go.id/id/publikasi/laporan.../8_LPI2017_BAB6.pdf
Direktorat Jenderal Pajak. (2018, 30 April). Berbicara Mengenai Hal Yang Konkret,
PMK-39 Hadir Sebagai Solusi. Pajak.go.id. 20 Mei 2018.
http://www.pajak.go.id/article/berbicara-mengenai-hal-yang-konkret-pmk-39-hadir-
sebagai-solusi
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
102
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
103
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
104
Universitas Indonesia
Fakultas Ilmu Administrasi
Departemen Ilmu Administrasi Fiskal
Program Sarjana Paralel
Analisis Formulasi Kebijakan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pembayaran Pajak
PEDOMAN WAWANCARA
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
105
• Akademisi Perpajakan
1) Proses tahapan formulasi kebijakan pajak dengan benar.
2) Pihak yang berperan dalam merumuskan formulasi kebijakan.
3) Tanggapan terhadap formulasi kebijakan restitusi dipercepat sesuai dengan
PMK 39/PMK.03/2018.
4) Pandangan terkait dengan formulasi kebijakan restitusi dipercepat sesuai
dengan PMK 39/PMK.03/2018 dari sisi akademisi.
5) Rekomendasi dalam formulasi kebijakan yang baik.
• Praktisi Perpajakan
1) Tanggapan kebijakan restitusi dipercepat sesuai dengan PMK
39/PMK.03/2018.
2) Apakah dari Wajib Pajak ada yang dilibatkan dalam pembentukan PMK
39/PMK.03/2018.
3) Implementasi restitusi pajak sebelum dan sesudah PMK 39/PMK.03/2018.
4) Hambatan dan pendukung implementasi PMK 39/PMK.03/2018.
5) Masukan terkait dengan formulasi PMK 39/PMK.03/2018.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
106
Universitas Indonesia
Fakultas Ilmu Administrasi
Departemen Ilmu Administrasi Fiskal
Program Sarjana Paralel
Analisis Formulasi Kebijakan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pembayaran Pajak
TRANSKRIP WAWANCARA
H: Saya Heni Pratiwi, mahasiswa Fiskal, Universitas Indonesia. Tema skripsi saya
tentang formulasi PMK 39/PMK.03/2018 tentang restitusi pajak yang di percepat
Pak, kalau untuk latar belakang PMK ini apa ya Pak?
A: Latar belakang PMK 39 ini dilihat dulu dengan besaran restitusi melalui penelitian
dari tahun 2014-2016 yang cenderung menurun dan diindikasikan restitusi
diberikan melalui pemeriksaan. Selain itu, rata-rata waktu penyelesaian restitusi
melalui pemeriksaan 10 bulan. Hal ini menyebabkan indikator paying tax masih di
atas 100 berdasarkan laporan EoDB World Bank, meskipun secara keseluruhan
peringkat Indonesia naik dari 91 menjadi 72, dan terakhir refund discrepancy
berdasarkan hasil pemeriksaan kurang dari 5% per tahun. Sebetulnya, untuk
konteks yang paling utama itu berhubungan dengan EoDB, ease of doing business,
nanti kalau kamu ada waktu untuk searching parameter penilaian EoDB oleh World
Bank, itu ada beberapa parameter. Pertama adalah kemudahan dia untuk melakukan
kegiatan usaha melalui starting business, memulai kegiatan usaha di suatu negara
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
107
itukan bisa dari memulai dari mengurus perizinan hingga bikin perusahaan. Jadi
setelah starting business kemudian yang kedua adalah tax registration. Masalah
pendaftaran NPWP, karnanya kalau kamu perhatikan sebelum PMK 39 itu ada
PMK 147, pendaftaran NPWP Wajib Pajak dan pengukuhan PKP. Itu salah satu
dari treaty-nya EoDB supaya parameter tax registration kita itu supaya lebih
mudah, sehingga nantinya rangking EoDB kita semakin bagus. Setelah tax
registration kita bicara mengenai tax reporting. Tax reporting itu kamu perhatikan
lagi ada PMK 9, sebelum PMK 39 tentang SPT. Itu adalah salah satunya untuk
mengarahkan Wajib Pajak untuk e-filling. EoDB itu menyaratkan kalau Wajib
Pajak itu masih melaporkan secara manual, itu masih belum EoDB. Ketiga adalah
berbicara tentang tax payment. Tax payment itu apa konteksnya, adalah kemudahan
dia melakukan pembayaran, yang sekarang sudah kita akomodir dalam mekanisme
billing elektronik, tapi tax payment disini dimaksudkan juga dapat mudah untuk
melakukan restitusi. Kalau dia ada kelebihan pembayaran pajak dalam lingkup
perpajakan kan sebetulnya jalurnya bisa dua, yaitu dia minta mekanisme restitusi,
dengan mekanisme dia harus melakukan pemeriksaan, lebih dulu Pasal 17B
Undang - Undang KUP, atau dia minta dikembalikan lebih dulu. Kalau mekanisme
kompensasi murni dalam SPT self assessment dia gaperlu diperiksa. Nanti dapat
diperhitungkan di SPT produk berikutnya, tapi kalau dia minta dikembalikan, yang
tadi itu, ada dua caranya minta restitusi atau dia minta pengembalian pendahuluan.
Nah, pengembalian pendahuluan itu di Undang - Undang KUP ada dua kan, 17C
dan 17D sebetulnya, dan ada di Pasal 9 Undang - Undang PPN juga. Pasal - Pasal
itu variasinya ada Wajib Pajak kriteria tertentu, persyaratan tertentu, dan berisiko
rendah. Hal itu yang kemudian kita coba supaya parameter tentang tax payment
khususnya restitusi dan pengembalian ini menjadi lebih mudah dan bagus, kita
ingin meyakinkan bahwa kendala yang dulu sebelum PMK 39 ini kita kan sudah
ada ketentuan sebelumnya yaitu PMK, berapa tu?
H: PMK 74, 198, 71 Pak?
A: Iya betul, ketiga PMK itu untuk Wajib Pajak kriteria tertentu, persyaratan tertentu,
dan resiko rendah yang itu tidak memberikan mekanisme yang clear terkait dengan
Wajib Pajak ini prosedur pengembaliannya seperti apa, karena disana, yang masih
dilihat ada sisi aspek materialnya. Jadi kalau kita menguji suatu pengembalian
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
108
pendahuluan itu menurut amanat Undang - Undang KUP, kalau kamu baca
dipenjelasan 17C Undang - Undang KUP, 17D Undang - Undang KUP, itu adalah
sebenarnya cukup menkonfirmasi kebenaran kredit pajak. Kredit pajak yang
dilaporin itu sebenernya udah dibayar atau belum atau sudah dilaporkan oleh si
pemotong atau pemungut. Kalau itu udah clear secara administratif, itu seharusnya
sudah diberikan. Tapi di PMK yang sebelumnya itu, seperti masih diterapkan di
tahun 2016 dan 2017 masih masuk kelingkup materian yaitu ada analisis resiko,
harus diuji lagi kepatuhan Wajib Pajak dua tahun sebelumnya misalnya ada
tunggakan pajak atau tidak, kalau berdasarkan analisis risiko tidak ada kelebihan,
dialihin ke pemeriksaan. Alasan deregulasi PMK ini jadi dulu, orang kalau liat
database gitu terlalu banyak sebenernya regulasi yang sebenernya substansinya
sama tapi diatur oleh PMK atau perdirjen beda-beda, kita gamau kaya gitu,
prinsipnya yang dikonfirmasi dalam tiga aturan itu adalah kebenaran Wajib Pajak
di Pasal 17 C,D Undang - Undang KUP, Pasal 9 Undang - Undang PPN karna itu
kita bicara ke arah simplikasi, menurut kita itu prosesnya sama, tapi hanya beda
subjeknya aja, mangkanya itu kita combine dalam 1 PMK karna amanat Undang -
Undang KUP ini sebenernya bisa diatur dalam PMK, sehingga nanti kalau ada
Wajib Pajak nanya aturan pengembalian pendahuluan itu dimana cukup baca PMK
39, dan mereka bisa lihat, oh saya masuk ke syarat apa nih, jadi substansinya output
yang akan diberikan itu terkait dengan pengembalian pendahuluan. Dalam hal ini,
itu kita bicara ke arah simplikasi dan kualifikasi regulasi supaya orang tidak
terpecah-pecah mulu baca PMK banyak banget si, itu udah gaefisien secara
regulasi.
H: Kalau untuk tujuan dari PMK 39 ini apa Pak?
A: Nah itu yang kemudian kita coba batasi di PMK 39 ini, agar pengembalian itu
menjadi cepat prosedurnya, sangat mudah, dan kemudian kita juga memberikan
suatu penegasan kalau kita dalam jangka waktu proses pengembalian ini tidak
ditetapkan maka dianggap disetujui. Intinya tujuannya adalah untuk meningkatkan
parameter EoDB kita salah stunya adalah paying tax kita dalam melakukan
pembayaran dan mendapatkan pengembalian, yang paling utama itu sebetulnya.
Selebihnya kalau internal adalah kita mencoba untuk melakukan alokasi tugas yang
lebih produktif supaya pemeriksa tidak terlalu terbebani dalam pemeriksaan lebih
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
109
bayar yang sifatnya restitusi. Kan Wajib Pajak minta pengembalian pendahuluan
sehingga jumlah SPTLB yang minta restitusi jalur 17B itu semakin berkurang.
Itulah. Sehingga, pemeriksa akan fokus ke pemeriksaan yang sifatnya bukan rutin,
tapi khusus. Tujuan lainnya itu dalam rangka untuk meningkatkan kepatuhan Wajib
Pajak disatu sisi dan juga untuk meningkatkan penerimaan. Selain itu, tujuannya
dalam hal komitmen untuk mendorong investasi dan membantu pembiayaan usaha
melalui percepatan pengembalian PPN termasuk bagi UKM, dan juga mendorong
pertumbuhan kegiatan usaha, keberlangsungan usaha serta kemudahan dalam
berusaha bagi Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak.
H: Kalau persiapan yang dilakukan sendiri untuk perumusan PMK 39 ini apa Pak?
A: Ya banyak hal, karena kita juga harus, yang pertama mengevaluasi regulasi yang
sebelumnya itu sebenarnya kelemahannya dimanasi, isunya, kemudian selanjutnya
respon Wajib Pajak terhadap ketentuan yang sebelumnya itu seperti apa. Kalau dari
research yang dilakukan oleh World Bank terkait dengan EoDB yang tahun 2008,
eh 2017, kan Wajib Pajak menunjukan cenderung masih perspektif. Bisa jadi dia
“ah paling kalau saya mengajukan pengembalian pendahuluan juga ditolak.” Masih
ada gitu, yang kedua proses pengembalian pendahuluan yang sudah diaturpun kalau
pun itu kemudian lewat tiga bulan gaada keputusan itukan juga hasilnya tidak
ditegaskan di PMK sebelumnya, terus yang lain adalah kita mengevaluasi proses
bisnis di DJP, kalau ini kita proses dengan pengembalian pendahuluan itu
sebetulnya dilapangan itu kendalanya apasih. Apa masih harus konfirmasi manual
gitu ke kantor pajak lainnya, karena kan kalau kita berbicara kredit pajak itukan kita
berbicara ada dua yaitu pajak yang dibayar sendiri yaitu self assessment system,
yaitu buktinya SSP, dan pajak yang dipotput oleh pihak lain dalam mekanisme bukti
potong kalau PPh, kalau PPN faktur pajak. Bagaimana kita bisa mengetahui kalau
bupot itu bisa dilapor oleh pemotong, bagaimana fakturnya udah dilapor oleh PKP
penerbit, kan harus ada mekanisme administrasi internal, itu yang kita yakinkan
bahwa proses bisnis kita bisa mengakomodir sehingga konfirmasi manual yang
dulu sebelum berlakunya PMK 39 ini dilakukan, ini kita hilangkan sekarang. Ya
yang ketiga yaitu kita tentu melakukan benchmark ya dgn kontek dari negara –
negara yang lain, ya memang dari sisi percepatan pengembalian pendahuluan itu
mereka mekanisme yang diadop itu seperti apa. Meskipun dalam beberapa hal
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
110
sebetulnya beberapa negara memang sangat luwes, tapi ada beberapa negara yang
memang kaku. Misalnya, kaya di Perancis, kalau diberikan pengembalian
pendahuluan Wajib Pajak itu pernah satu kali harus diperiksa dulu oleh DJPnya
gitukan, periksa dulu, pernah ada penetapan, sehingga otoritas yakin dia history-
nya seperti apa trackrecord-nya seperti apa. Kalau kita malah open, kita malah
gapernah bilang kalau mereka minta pendahuluan itu, at lease diperiksa sekali oleh
DJP, kan tidak, even dia Wajib Pajak baru masukin SPTLB dengan lebih bayar
katakanlah tidak lebih dari 1M kita proses di pengembalian pendahuluan. Itu, iya,
jadi, yaitu si yang kita lakukan untuk persiapan.
H: Untuk rangkaian proses formulasi di PMK 39, bagaimana Pak?
A: Kita si internally banyak melibatkan pihak dari lintas direktorat ada Dit PP I, TPB,
TTKI, karna kan kita berbicara pengembalian pendahuluan nantikan mempengaruhi
ke cara memproses mengembalikannya, sehingga proses bisnis dan IT kita harus
mengakomodir itu. Terus eksternal kita juga melibatkan Kemenkeu yang juga
secara policy tax fiskal inikan mereka juga jadi kewenangan mereka supaya PMK
ini nanti in line atau sejalan dengan apa yang diamandatkan oleh bu Menteri terkait
dengan EoDB, gitu itu si, ekternalnya yaitu Biro Hukum, dan secara tidak langsung
juga ada pihak DJBC, karena konteks pengusaha berisiko rendah kan kita juga
mengadopsi PKP yang masuk dalam kategori mitra pabean utama, dan AEO, yang
dia itu sebenarnya masuk dalam lingkup pengusaha-pengusaha yang dinyatakan
sebagai Pengusaha Kepabeanan Berisiko Rendah oleh temen-temen bea cukai.
Kemudian kita akomodir untuk mereka kita masukan sebagai kategori PKP berisiko
rendah. Sehingga nanti mereka ya, dapat meminta pengembalian pendahuluan gitu.
Jadi awalnya ada usulan dari pemerintah dari Kemenkeu untuk meningkatkan
EoDB, salah satunya tentang restitusi, selanjutnya kita susun, kemudian setelah kita
susun Pak Dirjen setuju, kemudian di tandatangani oleh Bu Menteri, seperti itusi.
Jadi, konseptornya DJP, setelah itu persetujuan Kementeria Hukum dan HAM
untuk diundangkan.
H: Kalau Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Hukum
dan HAM, itu perannya apa Pak?
A: Kalau Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian itu kita tidak libatkan dalam
PMK 39 secara langsung, karena memang ini sebeetulnya si sudah
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
111
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
112
pimpinan yang arah sifatnya sangat urgent dan dinamikanya tiba-tiba baru kita tau
setelah draft itu selesai. Gitu.
H: Posisi dan peran Direktorat Jenderal Pajak dalam membuat formulasi PMK
39/PMK.03/2018 itu apa Pak?
A: Karena Peraturan Menteri ini mengatur mengenai tata cara, sehingga posisi dan
peran DJP pada dalam membuat formulasi Peraturan Menteri ini adalah sebagai
konseptor, tepatnya pada Direktorat Peraturan Perpajakan 1, Subdirektorat
Peraturan KUP dan PPSP.
H: Mekanisme pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak berdasarkan
PMK 39/PMK.03/2018.
A: Bagi Wajib Pajak Kriteria Tertentu dan PKP Berisiko Rendah mengajukan
permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak (dengan
melakukan checklist pada SPT LB, DJP melakukan penelitian kewajiban formal
seperti:
- Penetapan Masih berlaku (Wajib Pajak Kriteria Tertentu ataupun PKP Berisiko
Rendah)
- Tidak sedang diperiksa bukti permulaan ataupun disidik.
- Tepat waktu dalam pelaporan SPT (bagi Wajib Pajak Kriteria Tertentu)
- Tidak dipidana 5 tahun (bagi PKP Berisiko Rendah)
Selain itu, DJP melakukan penelitian material terkait:
- Penulisan dan perhitungan pajak
- Bukti Potong PPh
- Pajak Masukan
- Pemenuhan kegiatan tertentu (khusus PKP Risiko Rendah)
Dalam hal penelitian tersebut terbukti lebih bayar, maka diterbitkan SKPPKP,
kemudian dicairkan dengan SPMKP. Berbeda dengan Wajib Pajak Kriteria
Tertentu dan PKP Berisiko Rendah, mekanisme pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak Persyaratan Tertentu tidak
diperlukan penelitian formal.
H: Perubahan dalam kebijakan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
pajak dalam ketentuan PMK 39/PMK.03/2018.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
113
A: Untuk Wajib Pajak ini ada perbedaan dalam masa berlaku penetapan, Pengajuan
permohonan pengembalian pendahuluan, Penelitian permohonan pengembalian
pendahuluan, dan lainnya.
H: Sesuai di data yang dikasih Mas Gilang ya Pak?
A: Iya itu perbedaannya lebih detail.
H: Kalau perubahan misal objek ini itu dasarnya apa Pak?
A: Karna kita ingin memperluas subjek dan objek, jadi gini motiv kita membuat PMK
ini salah satunya adalah kita ingin melihat supaya orang yang masuk dalam lingkup
pengembalian pendahuluan kan semakin banyak, Wajib Pajak yang mau masuk itu
caranya gimana, subjeknya harus ditambah dulu, siapa yang memenuhi kriteria
harus ditambah. Nah bagaimana menambah Wajib Pajak kriteria itu supaya masuk
kesini, kriteria-kriteria yang sifatnya membatasi itu kita hilangkan. Kalau ada
threshold, ya kita naikan dari 10 juta jadi 100 juta, dari 100 juta jadi 1M, gitu. Itu
adalah mekanisme yang kita coba lakukan dengan pertimbangan kalau itu threshold
kita naikan, berarti Wajib Pajak yang masuk ke kriteria ini semakin banyak.
Harapannya gitu, dan kita punya data statistik sebelumm PMK ini terbit, berapa si
Wajib Pajak yang menyampaikan SPTLB misal antara 0-100 juta, 100-500 juta,
500 juta-1M,1M-2M, lebih dari 2M, itu kemudian kita lihat, oh proporsinya hampir
70% itu masukin SPT dgn nilai LB sampai dengan 1M, mangkanya kemudian kita
ambil parameternya, oh ok, ini yang paling 70% merepresentasikan, oh ya udah,
thresholdnya kita ambil yang 1M untuk PPN dan PPh Badan, PPh OP 100 juta.
H: Faktor pendukung dan penghambat formulasi ini apa Pak?
A: Pendukungnya mengacu pada latar belakang disusunnya Peraturan Menteri ini,
semangatnya adalah meningkatkan peringkat Indonesia pada EoDB. Sebetulnya
faktor penghambat formulasi ini tidak ada, tapi dalam hambatan dalam proses
restitusi pajak mungkin lebih ke internal kita bagaimana memastikan proses bisnis
dan informasi teknologi kita setelah PMK kita terbit bisa langsung dijalankan, yang
menjadi faktor hambatan untuk PMK ini tidak segera cepat selesai dimungkinkan
karena PMK ini tidak bisa jalankan oleh DJP itu sendiri. Bagi Wajib Pajak mungkin
lebih simple, dia bilang SPT saya Masukin minta pengembalian pendahuluan tapi
proses internal kita kalau blm ready, internal kita blm ready kan susah. Dalam
pembahasan regulasi, kita sebut ada namanya PLA, yaitu policy, law, and
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
114
administration. Jadi bagaimana tax policy itu bisa dikongkritkan dalam bentuk law
regulation, tetapi bisa diimplementasikan dalam administrasi secara kongkrit, itu 3
variabel menjadi penting ketika seseorang masuk dalam lingkup legal drafter dalam
suatu regulasi. Dalam konteks perpajakan, tax policynya clear, EoDB, anda harus
coba memperbaiki regulasi supaya Wajib Pajak minta pengembalian pendahuluan
makin banyak dan makin mudah, ok itu tax policy-nya, sekarang tax lawnya
gimana, oh PMK yang sekarang gini, berarti harus kita perbaiki, tax law kita
memperbaiki, anda perhatikan, tax administration-nya gimana, gimana kita
memproses ini internalnya, dan dari pihak Wajib Pajak, supaya dia mudah.gitu,
PLE itu kamu harus ingat, catat itu.
H: Iya ya Pak, kalau PMK ini udah sesuai dengan asas perpajakan belum si Pak?
A: Ya kita sangat yakin akan hal itu, dari aspek prinsip perpajakan, certainty, kepastian
hukum karena kita ingin memastikan bahwa Wajib Pajak yang memenuhi kriteria
pengembalian pendahuluan ini akan diproses dan diberikan pengembalian
pendahuluan sepanjang dia termasuk dalam kriteria PMK itu clear, apakah dia
masuk 17 C,D Undang - Undang KUP, atau 9 Undang - Undang PPN sepanjang dia
memenuhi kriteria kita berikan. Terus convenience, kemudahan, dia bisa mendapat
pengembalian pendahuluan pertama kali harus lewat jalur SPT, tapi kalau
dikembalikan baru sebagian, sisanya dia bisa mekanisme surat tersendiri. Atau
kalau dia PPN, bisa diperhitungkan ke masa berikutnya, jadi kita tidak mengambil
hak Wajib Pajak juga, equality, semua Wajib Pajak yang masuk kriteria, kita akan
berikan secara horizontal equity, kita tidak memberikan suatu treatment yang
berbeda gitu, netral. Kemudian, dari sisi lain adalah ini akan memberikan suatu
bentuk insentif, yaitu membantu likuiditas dari Wajib Pajak sendiri, karena tax tidak
selalu berbicara tentang penerimaan, tetapi juga berbicara bagaimana bisa
memberikan insentif kepada usaha mereka kedepannya untuk lebih bagus, sehingga
ekspektasi kita operasional mereka kedepannya lebih bagus, profitnya lebih bagus,
dan bertahan kedepannya. Mungkin tidak harus sekarang, ada Wajib Pajak yang
PM nya lebih besar dibandingkan PK, ada lebih bayar PM nya, dia minta
pengembalian pendahuluan, kita berikan uangnya, uangnya bisa digunakan untuk
kegiatan operasionalnya dia, bisnis dia makin maju, profitnya makin maju, gitu, jadi
tax tidak selalu berbicara tentang penerimaan, tapi juga masalah bisnis.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
115
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
116
A: Sudah, bagaimana Wajib Pajak yang mengajukan pendahuluan ini melonjak, jadi
semakin banyak, memang tidak semua Wajib Pajak, tapi ada Wajib Pajak tertentu
yang dia lebih nyaman Pake 17B, contohnya ambil Wajib Pajak yang di LTO,
Wajib Pajak besar itu mungkin likuiditasnya engga terlalu banyak yang pengaruh,
dan dia butuh aspek certainty sebenernya, nah mangkanya meskipun dia LB, dia
masuk Pasal 17B, kemudian nanti diperiksa, kalau dia KB, dia dapet sanksinya.
Kalau pengembalian pendahuluan, kalau dilakukan post audit 100% sanksinya. Ada
hal tertentu yang Wajib Pajak merasa, ah saya pilih 17B ajalah gitu.
H: Ada alternatif kebijakan untuk restitusi dipercepat ini ga Pak?
A: Sebenernya untuk alternatif kebijakan restitusi gaada, ini udah terbaik si, tapi untuk
kebijakan lainnya yang sifatnya likuiditas sifatnya banyak, misal ada SKB untuk
impor dibebaskan gitu, menurut saya. Selebihnya untuk restitusi si gaada.
H: Apa yang ingin dicapai dan dituju Direktorat Jenderal Pajak dalam menderegulasi
ketiga PMK terdahulu tentang restitusi pajak dengan menerbitkan PMK
39/PMK.03/2018?
A: Dengan menderegulasi ketiga PMK terdahulu tentang restitusi menjadi satu
Peraturan Menteri ini maka memperpraktis pembaca dalam memahami aturan
terkait restitusi. Dari segi percepatan terkait proses pengembalian kelebihan
pembayaran pajak, Wajib Pajak yang proses pengembalian kelebihan pajaknya
menggunakan PMK 39/PMK.03/2018 perputaran uangnya juga lebih cepat,
sehingga keberlangsungan usaha Wajib Pajak lebih berjalan lancar. Kemudian dari
sisi pelaksanaan Peraturan Menteri ini oleh DJP, SPT Lebih Bayar yang diajukan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak normalnya akan diproses melalui jalur
pemeriksaan oleh Fungsional Pemeriksa Pajak, tetapi dengan adanya Peraturan
Menteri ini maka diproses melalui penelitian oleh Account Representative,
sehingga memberi ruang yang lebih bagi Fungsional Pemeriksa Pajak dalam
melakukan kegiatan yang lain seperti analisis risiko dan lain-lain. Dimana harapan
akan hal itu dapat menemukan potensi pajak yang lebih tinggi dari kegiatan
pemeriksaan.
H: Implikasi PMK 39/PMK.03/2018 dengan peraturan Direktorat Jenderal Pajak?
A: Setelah diundangkannya PMK 39/2018 ini, penekanannya lebih pada kegiatan
Fungsional Pemeriksa Pajak agar lebih fokus pada kegiatan lain seperti contohnya
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
117
melakukan analisis risiko yang diharapkan mampu mendapatkan potensi pajak yang
lebih tinggi, dan PMK ini juga berhubungan dengan PMK lainnya seperti yang telah
saya sebutkan, mengenai PMK tentang SPT dan yang tadikan.
H: Realisasi PMK 39/PMK.03/2018 dengan Wajib Pajak terkait restitusi pajak?
A: Realisasi PMK39/PMK.03/2018 dilihat dari sisi perbandingan penyampaian
SPTLB yang diajukan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebelum adanya
ini dengan sesudahnya, telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal
ini menggambarkan sebagian dari tujuan disusunnya Peraturan Menteri ini telah
tercapai, yakni banyak Wajib Pajak yang memanfaatkannya.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
118
TRANSKRIP WAWANCARA
H: Saya Heni Pratiwi, mahasiswa Fiskal, Universitas Indonesia. Tema skripsi saya
tentang formulasi PMK 39/PMK.03/2018 tentang restitusi pajak yang dipercepat
Pak, kalau untuk latar belakang PMK ini apa ya Pak?
N: Iyaa, kalau di Undang-Undang KUP itu sendiri kan memang ada 17C, 17D, dan
satu lagi itu yang harus apa, di Undang-Undang PPN ya yang PKP risiko rendah
Pasal 9 ayat (4C). Nah memang yang 9 ayat (4C) ini kan nanti pengembaliannya ini
ikut rumahnya yang di Undang-Undang KUP di Pasal 17C, dan di 17C itu memang
ada WP kriteria tertentu 17C dan WP dengan persyaratan tertentu yang ada di 17D
Undang-Undang KUP. Nah sebenernya pembentukan PMK 39 ini adalah
menyatukan yang tadinya itu ada melalui 3 PMK terpisah menjadi 1 dalam PMK
39 2018. Alasasan deregulasi aturan itu salah satunya kan simplifikasi juga,
daripada orang nanti bingung kan terlalu banyak produk hukum, lebih enak
dijadisatukan juga karena kebetulan memang bentuknya kan ini mirip ya 17C dan
17D Undang - Undang KUP dan 9 ayat (4C) Undang - Undang PPN, daripada
terpisah-pisah semuanya untuk lebih memudahkan membacanya dijadikan satu.
Sebenernya isunya di cash flow kalau kaya ginikan mereka kan cash flow nya
tertahan untuk satu tahun paling enggak ininya, sehingga yang harusnya bisa buat
modal kerja gitukan jadinya cuma-cuma gitu. Tapi kan disini diimbangi juga
apabila ada istilahnya itu yang memang seharusnya tidak dikembalikan Wajib Pajak
mungkin coba-coba gitu kan, ada sanksi disini, 100%.
H: Alasan untuk objek nya itu diperluas apa Pak?
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
119
N: Kalau objek nya itu sendiri kan sudah diatur dalam Undang-Undang ya di 17C,17D,
kalau secara prosedural di peraturan pun kan gaboleh ya namanya PMK itu
memperluas atau mempersempit makna yang ada di Undang-Undang. Jadi apa yang
ada di Undang-Undang itulah yang kita terjemahkan lagi di PMK 39, sehingga
memang intinya itu kan tadi menyatukan itu. Dan disini yah kalau alasannya itu kan
ini berarti kan masalah threshold ya, masalah threshold nah sesuai dengan Undang-
Undang KUP pasal 17 baik itu 17C maupun 17D itukan aturan pelaksanaannya
teknisnya itu diatur dengan PMK. Nah di dalam Undang-Undang KUP di pasal 17C
tidak mengatur masalah threshold nya, tapi yang masuk kriteria tertentu itu yang
gimanasih yang termasuk persyaratan tertentu yang mana. Nah kalau yang
threshold tadi itu kan masuk di 17D ya lebih ya, lebih ke 17D kan. Ya kan, yang
persyaratan tertentu kan. Nah kalau persyaratan tertentu kan disitu memang ada
peredaran tertentu, nah itu memang diatur lebih lanjut di dalam PMK. PMK yang
sebelumnya itu kan ngatur kalau yang PPh itu 10 juta ya kalau yang PPN itu kan
100 juta. Sekarang untuk thresholdnya itu memang di naikan menjadi 10x nya ya,
10 jadi 100 juta kemudian yang PPN itu jadi 1 Miliar. Jadi ya salah satunya itu ya
untuk mempermudah kesempatan bagi Wajib Pajak juga toh. Karena kan
sebenarnya mereka ini membayar nya sudah lebih, istilah nya gitulah. Kan tadi ada
perbandingannya kenapasih dulu waktu pake eeh kalau dia gapake 17C, 17D berarti
kan dia nanti akan ikut mekanisme normal, dimana harus dilakukan pemeriksaan
pajak terlebih dahulu disini kan, padahal mereka ini Wajib Pajak yang istilahnya
kalau sudut pandang kami tuh sebenarnya dia udah kalau ini asumsi kita Wajib
Pajak nya itu ini ya asumsi dengan keadaan ideal ya, dia tuh udah lebih bayar pajak
nya gitu kan, dia tuh udah baik sama negara karena udah udah sampai lebih bayar
pajak, masa kita harus memperlama proses pengembaliannya gitu kan. Berarti kalau
yang kurang bayar malah enak dong nantinya kan, malah bayarnya nanti
belakangan padahal mereka disini udah membayar lebih kenapa mereka gabisa
ngambil hak nya lebih dahulu, sehingga dari pemikirin disitu ya seharusnya
memang untuk yang pengembalian pendahuluan ini harusnya lebih dimudahkan
untuk prosesnya.
H: Setelah keluarnya PMK ini hasilnya gimana Mas dari Wajib Pajaknya, apa restitusi
nya semakin lebih banyak kemajuan nya atau gimana?
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
120
N: Kalau dari segi permohonan, ini jadi nya lebih diproses nya lebih kearah yang 17C,
17D, atau 9 (4C). Jadi kalau yang dulu misalnya ada syarat yang kurang itukan
langsung dialihkan ke dalam pemeriksaan normal, kalau yang sekarang lebih
banyak diarahkan di pengembalian pendahuluan ya. Memang kalau dari segi
permohonan mungkin jadi lebih meningkat disini.
H: Kalau dari sisi teknis atau administrasi ekonomi gitu PMK ini udah pas gitu belom
sih Mas sama Wajib Pajak ? atau Wajib Pajak Masih complain tentang ini kurang
atau gimana gitu.
N: Kalau sampai dengan saat ini aku belum sempet ini yah (tertawa kecil) kalau ranah
yang itu, tapi kalau dari sudut pandang kami melihat regulasi jadi sementara ini
memang masih cukup memadai untuk ini, tapi kalau kita harus ini dulu ya cek di
cek di lapangan dulu, kalau itu aku belum bisa ngomong kalu untuk itu.
H: Siapa ajasi yang langsung turun membuat formulasi PMK 39 ini Pak?
N: Iyah salah satunya karena kebetulan kan kalau untuk ini kan inisiatornya dari
Direktorat Jenderal Pajak yah, untuk kewenangan fiskal nya itu, nah penyusunnya
kebetulan kalau arahnya ini kan kebijakan administrasi ya, bukan ranahnya subjek,
objek, dan tarif. Kalau subjek, objek, dan tarif itu memang melalui BKF
penyusunan prosesnya, tapi karena ini dari segi administrasinya proses prosedurnya
melalui Direktorat Jenderal Pajak sebagai inisiatornya itu sendiri. Pak Andik salah
satu yang turun langsung dalam formulasi ini ada juga Mas Adi.
H: Tapi sebelum ada PMK 39 ini pengajuan restitusinya banyak atau gimana Pak?
N: Kalau secara permohonan gitu ada ya untuk pengembalian pendahuluan ini, tapi
mungkin proses yang sampai terbit SKPPKP ini kan SKPPKP ya. Nah SKPKPP ini
memang proses nya yang sampai SKPKPP mungkin jumlah nya itu memang agak
sangat minim. Karena dianggapnya disini ya tidak memenuhi syarat ini dia
langsung lari ke pemeriksaan untuk terbit SKPLB. Kan dasar pengembalian nya
beda nih yang satu pake SKPLB yang satu lagi Pake SKPPKP
N2 : Untuk data perubahan restitusi sebelum dan sesudah PMK saya email saja ya, dan
jawaban pedomannya juga saya emailkan nanti.
H: Oke Mas, bisa langsung email ke henipratiwi123@gmail.com. Terima kasih
banyak.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
121
TRANSKRIP WAWANCARA
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
122
usahanya lagi. Itu sih tujuan PMK ini. Alasan deregulasi itu, jadi kalau KUP tuh,
kita lihat di beberapa PMK, sebenernya tuh aturan itu tuntas dibahas di PMK, dan
ada juga bagian tertentu yang dibahas di Perdirjen dan itu pun jarang, bisa mungkin
kita kodikasikan, kita aja pusing gitukan melihat itu banyak aturan, gimana Wajib
Pajak. Jadi kita berusaha 1 aturan atau masih 1 klasterkan, itu jadi 1 PMK saja, terus
mudah bacanya, tuntas dari awal sampe akhir, kalau perlu ada dijelaskan memang
ada Perdirjen, tapi jarang itu. Misalnya masalahnya SPT itukan PMKnya cuma 1
kan, padahal dulu ada 3 untuk UU 94 beda, 2000 beda gitu karna kasusnya misalnya
bisa jadi tahun 94 dulu tapi masih diproses hingga sekarang. Nah, tapi kita gabung,
dan hampir gaada Perdirjennya. Jadi itu si.
H: Dasar pertimbangan 100 juta-1M dan lain-lainnya itu apa?
A: Oh itu, yang dari 10 juta-100 juta-1M ya, jadi itu pertimbangannya ya untuk
UMKM LBnya ya segitulah, jadi tujuannya kan UMKM itu, gimana caranya
likuiditasnya tadi bisa terbantu usahanya dengan pemberian restitusi yang
dipercepat
H: Kalau rangkaian proses formulasinya PMK itu bagaimana Mas?
A: Formulasi atau penyusunan ya, kan kita ada 2 jenis tuh, yang pertama
penyusunannya tuh ada usulan dari atas, ada yang dari bawah, dari DJP itu sendiri.
Kan DJP kan unit vertikal dari Kemenkeu, nah kalau PMK 39 itu usulan dari
pemerintah karna EoDB tadi, lalu Menkeu bilang gimana ni caranya untuk kita bisa
meningkatkan kemudahan usaha, nanti ada di, kalau di PPh kan ada tuh tax holiday
apa lagi tuh. Nah kalau KUP kan dilihat dari administrasinya tuh perpajakannya, oh
itu tadi restitusinya dipercepat. Nah seksi KUP ditugaskan untuk nyusun aturan itu.
Kan kita Subdit KUP nih, bagian dari Dit.PP I. Itu menyusun atas permintaan dari
Kemenkeu, dan kita susun dan usulkan. Nah sudah jadi draft, kita usulkan ke
Kemenkeu. Nah dari Kemenkeu kita juga ada bagian tertentu misal, Dit. PP I
menyusun draftnya, lalu kita membahasnya dengan biro hukum Kemenkeu, nah
kemudian karna ini terkait dengan kemudahan dalam usaha, kita juga berkoordinasi
dengan Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian. Nah, biro hukum setuju,
Kemen.Koordinator Ekonomi setuju, lalu kita bahas juga dengan staff ahli Menteri.
Begitu ok semua, akhirnya diusulkan ke Kemenkeu, untuk ditandatangani ni, begitu
udah ditandatangani, baru pengundangan, pengundang itu kita kirim ke
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
123
Kementerian Hukum dan HAM untuk masuk ke berita negara untuk diundangkan.
Kalau Biro Hukum itu sebenernya kepanjang tanganan dari Kemenkeu, itu
kuncinya untuk melihat aspek legalnya baik formal maupun materialnya, disana ada
biro Hukum Pajak dan Kepabeanan. Biro hukum tuh ada banyak bagiannya kan.
Nah itu tuh partner kita untuk menyusun perundang-undangan level PMK keatas.
Jadi kita dibantu untuk menyusun formalnya, adagasi kewenangan dari atribusi dari
Undang – Undang nya gitu kan, konektivitas dari Undang – Undang ke PMK itu
seperti apa, soalnya kan ada amanahnya tuh, dilihat deh amanahnya udah pas atau
belum. Materi yang diatur udah pas belum, terus sampe bahasa yang digunakan,
legal draftingnya kan itu mereka review juga. Pak Dirjen setuju, sini, untuk
ditandatangani oleh Bu Menkeu, gitu, terus. Baru deh dikirim Kem.Hukum dan
HAM. Tapi sekarang agak beda nih, kalau dulu itu udah setuju semua kalau
sebelum ke Menteri ada yang namanya proses pengharmonisasian, dulu tuh proses
pengharmonisasian itu hanya level PP keatas di Undang – Undang, nah sekarang
sampe PMK pun ada pengharmonisasian dengan hukum dan ham. Nah setelah ada
PMK 39 ini kita ada proses tambahan pengharmonisasian dengan hukum dan ham
sebelum ditandatangani oleh bu Menteri.
H: Untuk pihak yang terlibat itu siapa aja?
A: Kalau aktor yang terlibat secara internal yaitu Dit.PP I sebagai pengampu peraturan
pelaksananya, nanti kita juga meminta pihak direktorat teknis dan pihak
pendukungnya seperti proses binis, jadikan setelah PMK dibuat, proses bisnisnya
udah ada kan, nah itu kita melibatkan dit.TPB, lalu karna ini dikaitkan dengan
penerimaan kita melibatkan Dit. Potensi Kepatuhan Perpajakan, kalau proses
bisnisnya jadi, berati aplikasinya harus ready dan data juga tersedia, nah itu kita
harus melibatkan Dit.TIP dan TTKI. Nanti mereka itu, setelah peraturan jadi,
mereka menyiapkan SOPnya untuk proses bisnis dllnya, TPB juga
mengkoordinasikan data dan sistemnya yaitu Dit.TIP dan TTKI, menyusun
programnya gimana, aplikasi itu meruPakan aplikasi internal. Jadi begitu
SPTLBnya masuk, bisa langsung diproses oleh KPP untuk diterbitkan SKPPKP.
H: Untuk posisi DJP dalam membuat formulasi apa Mas?
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
124
A: Ya semuanya, jadi dari 0, terus draft maupun kajiannya itu dari kita, dan ini tidak
melibatkan BKF. Kalau materialnnya kaya objek subjek dan lain itu, BKF yang
menangani itu. Kalau administrasinya, itu pure ditangani oleh DJP.
H: Adagasi pihak dari Wajib Pajak yang terlibat?
A: Oh Wajib Pajak tidak termasuk, karna kan kita ga membuat baru kan aturannya,
kita disini menambah fasilitas lebih saja, kecuali kalau kita buat baru, baru
dilibatkan. Misal SPT manual jadi e-filling kaya gitu kan engga melibatkan Wajib
Pajak, justru fasilitas itu membuat seneng Wajib Pajak kan, tidak membebani
kewajiban perpajakan, gitusi.
H: Timeline rapatnya kapan aja Mas?
A: Tergantung sih, sehari juga bisa, kalau ini sekitar 2 bulan lah.
H: Faktor pendukung PMK ini apa Mas?
A: Karna sebenernya kita cuma mau nambah fasilitas, mau memberi kemudahan, jadi
kita lebih cepet, karna ini fasilitas kan, mempermudah Wajib Pajak.
H: Kalau penghambatnya?
A: Gaada si
H: Sudah sesuai sama asas perpajakanya ga?
A: Karna ini amanah dari Undang – Undang Perpajakan, ini sesuai dengan asas
perpajakan. Kalau kita lihatnya diantaranya dari economic of policy, dan equity.
Kalau kita lihatnya kan kita lihat dari LB gitusi, kalau dari economic of policy kita
mau ningkatin penerimaan negara, karna kan selama ini kaya gini kan dipriksa, jadi
pemeriksa sibuk urusin LB gini kan, yang jelas Wajib Pajaknya udah patuh kan,
dan biasanya Wajib Pajak yang nyampein restitusi udah siap diperiksa, dan hampir
sama sekali gaada temuannya, nah makanya ini hanya dilakukan penelitian oleh
AR. Nah ini si fungsional pemeriksa, kita kan punya beban tugas kan, yang tadinya
ada pemeriksaan banyak, jadi kosongkan atau ideal capacity. Nah kita masukin
Wajib Pajak yang selama ini kita tidak pernah sentuh. Karna pajak itu saling
menyentuh kan. Kalau selama ini Wajib Pajak gapernah disentuh, gaada
pemeriksaan, dia akan terus kan ga patuh gitu. Tapi kalau udah disentuh, ada
pemeriksaan sanksi dan lainnya, dia kan akan patuh kan kedepannya. Mangkanya
disitu, kita mau cross tu, antar pemeriksaan yang LB dengan yang berisko rendah
dengan pemeriksaan untuk analisis resiko. Jadi Wajib Pajak yang ga LB dengan
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
125
penelitian itu lebih difokuskan. Jadi gapapa kita mau meneliti dan mengeluarkan
uang lebih dari sisi economic of collection, yang penting kita bisa mengumpulkan
Wajib Pajak yang sebenernya selama ini gapernah kita periksa dan selama ini
gapatuh, gitu. Jadi memenuhi tu. Dan ini juga memenuhi kemudahan. Selain itu, ini
juga berdasarkan kepastian hukum, karna ini meruPakan amanah dari Undang –
Undang Perpajakan.
H: Keunggulan PMK ini apa Mas ?
A: Bagi Wajib Pajak jadi lebih mudah, bagi kita, kita tidak terbebani dengan
pemeriksaan LB yang rendah, tapi kita bisa periksaan yang lain.
H: Kelemahannya?
A: Ini masih butuh pengawasan yang lebih, jangan sampai, kan selama ini Wajib Pajak
yang menyerahkan LB itu siap diperiksa, jangan sampe attitude-nya karna
gadiperiksa itu jadi ah biarin aja mencoba untuk tidak patuh, dan mendapat
pendahuluan yang tidak seharusnya. Itu si. Jadi yang perlu dikontrol itu
pengawasannya. Dan pemeriksaan itu sebenernya udah diatur di SE 15 si bahwa,
Wajib Pajak itu nantinya bisa diperiksa di post audit.
H: Implikasi PMK ini dengan aturan DJP lainnya apa mas?
A: Implikasinya itu, ini kan proses entry dan ending. Entrynya kan ini awalnya melalui
SPT kan, dan SPT itu kan diatur sendiri di PMK 9, kalau restitusi PMK ini kan
kalau OP 15 hari kan, diliat dari implikasinya itu, penanganan SPTnya kalau PPN
relatif udah baguslah, karna kan sistemnya kan udah ada e-filing, kalau PPh tuh
ada dua, ada yang langsung masih manual SPTnya kan, kalau manual ga Masalah,
nah kalau Masih ada post, bayangin kalau 15 hari, tanda terima post itu adalah
tanda terima SPT yang diterima dan kalau lengkap, itu tanda SPT lengkap itu
diketahui sejak tanda terima post itu, sedangkan kita harus memproses selama 15
hari sejak tanda terima post tadi bisa jadi diterimanya itu bisa jadi diterima kita udah
lewat atau hanya sisa beberapa hari dan kita gabisa melakukan penelitian itu, yang
jadi hambatan untuk entry point itu. LB Masih bisa Pake post. Selain itu, yang jadi
kelemahan di KPP itu. “Wah udah lewat nih, tapi Wajib Pajak SPTnya juga
lengkap,” lah gimana kita teliti. Nah kan berarti harus langsung terbitin SKPPKP
dong, nah itu. Tapi kan gaadil buat kita dan Wajib Pajak. Gaadil buat Wajib Pajak,
karna SPTnya ga dicek loh, yakan, barang kali Wajib Pajak salah, sanksinya kan
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
126
gede, 100% gitu. Wajib Pajak akan menerima sanksi setelah diperiksa kalau
memenuhi hal tertentu atau post audit, bisa dilihat di SE 15 tentang kebijakan
pemeriksaan, itu bisa menyebabkan Wajib Pajak udah mendapat pendahuluan
diperiksa. Itukan misalnya Wajib Pajak LB nya gede banget, tapi itu top down ya,
nanti Kanwil menugaskan itu bisa diperiksa, jadi bukan bottom up sistemnya. Atau
bottom up cuma usulan aja, bahwa ini ditemukan data kecurangan atau
ketidakbenaran dari Wajib Pajaknya, kaya kan PK PM kan, kita cuma cek aja kan,
PM nya sudah dikreditan belum, nah PM kan yang boleh dikreditin ketentuannya
bukan cuma setelah dilaporkan aja kan ketentuannya gitu, setelah itu juga harus
sesuai dengan kegiatan usahanya. Ending point, sebenernya gaada masalah si,
setelah SKPPKP terbit, berarti terkait dengan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak, PMK 242 kalau gasalah.
H: Hasil PMKnya ini udah ada belum Mas?
A: Kalau hasil nanti Januari baru dapat dilihat karna kan, ini kan menggantikan antara
LB rutin yang dilakukan pemeriksaan dengan pemeriksaan analisis resiko, untuk
yang KB dan nihil kan ya. Pemeriksaan kan rata-rata diselesaikan dalam jangka
waktu 6 bulan kan, nah ini efekttif kan berlaku Mei, ya Juni lah ya, berarti bisa
dilihat nanti hasil dari pemeriksaan analisis resiko itu sekitar Januari atau Februari
baru bisa kita lihat gitu loh. Kalau sekarang kan berarti masih ada pemeriksaan yang
berjalankan, yang digantikan oleh penelitian LB ini gitukan.
H: Formulasi ini sebelumnya ada kajian ga?
A: Kajian ya biasa aja si, yaitu sambil berjalan. Kan kita libatin TIP gitukan, jadi kita
bisa lihat datanya.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
127
TRANSKRIP WAWANCARA
H: Saya Heni Pak, jadi skripsi saya membahas tentang formulasi PMK
39/PMK.03/2018, jadi latar belakang PMK ini apa ya Pak ?
D: Sebenernya kita sedang memperbaiki layanan, kenapa ini digabung, sebenernya
untuk memudahkan Wajib Pajak untuk memahami, karna kan kelompoknya sama
kan, PMK 39 itu kan gabungan dari PMK 71, 74, sama 198 ya, itu kan
membicarakan tentang pendahuluan, tapi dasar pasalnya yang berbeda, nah supaya
untuk lebih memudahkan membaca, dan memahami, mangkanya dijadikan satu.
Kalau misalkan dipisah-pisah kan kemungkinankan miss nya ada. Kalau disatukan
kan jadi lebih mudah. Ini yang memahaminya Mba. Nah, layanan apa sebetulnya,
belakangan ini kan ekspor kita agak sulit ya, apalagi adanya perang dagang
Amerika-Cina, ini imbasnya ke kita. Sebetulnya di PPN sendiri, eksportir kita kalau
tidak diberikan fasilitas, dia akan mendapatkan pengembaliannya lebih lama. Oleh
karena itu, dari kriteria sebelumnya, kita melihat lagi sebelumnya yang bisa kita
bantu untuk mendorong pengembalian apasi. Itu lah dasar PMK 39 ini. PMK
sebelumnya kita ubah menjadi PMK 39 ini, itu si Mba. Selain itu untuk mendorong
UMKM juga, kan kalau untuk 17D kan sekarang threshold kita 100 juta kan untuk
itu, ternyata banyak UMKM ini yang peredaran usaha ya cuma itu, tapi marginnya
kecil sebetulnya, untuk itu kita bantu dengan tingkatkan threshold-nya jadi 1M tadi.
Tapi terutangnya udah ada berapa si kira-kira spending kita untuk mengeluarkan
restitusi dalam1 tahun dengan trend beberapa tahun terakhir sebenernya udah
keliatan, seperti itu.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
128
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
129
Mba liat skemanya, yang kita bisa liat ya itu. Kalau misalnya lawan transaksinya
belum bayar, mangkanya dia gabisa mendapat pengembalian. Memang ini agak
sedikit berbeda dengan pemeriksaan. Kalau pemeriksaankan disana kita liat lagi di
Pasal 9 ayat 8 Undang – Undang PPN, mana PM yang bisa dikreditkan mana yang
tidak, seperti yang terkait kegiatan usaha, yang tidak terkait dengan kegiatan usaha,
yang PM yang ada sebelum dia dikukuhkan. Karna ini sifatnya pendahuluan, ini
kan belum kita lihat, kalau ada pemeriksaankan kita bisa liat itu, tapi sebetulnya
secara compliance, Wajib Pajak yang selama ini minta restitusi pun berdasarkan
data yang ada, mereka compliance. Ketika Wajib Pajak berani untuk minta restitusi,
artinya mereka siap untuk diperiksa, dan biasanya datanya lengkap. Semuanya
mereka sudah compliance, mangkanya kalau kita liat refund discrepancy
pemeriksaan, selisih antara yang diminta dengan yang di berikan itu biasanya
rendah. Wajib Pajak yang rutin meminta pengembalian ketika diperiksa, itu
selisihnya paling 3% dari yang diminta. Artinya kalau diminta 100, kan yang
dibalikin bisa 97, 98, nah 2% itukan terkait administratif. Mangkanya analisis
resiko ini kita geser ke pemeriksaan saja, sementara kita berikan dulu, nanti kalau
saat pemeriksaan baru kita liat sesuai tidak.
H: Siapa aja Pak kalau pihak-pihak yang bikin formulasi ini?
D: Ini kan lebih ke administrasinya kan, tata cara, jadi ada Subdit KUP, PPN, tapi
galepas dari sistem juga, jadi akan terkait dengan Staff ahli Menteri, Biro Hukum,
dan lainnya umum. Tapi kalau di DJP, Subdit KUP dan PPN yang menjadi
konseptornya. Secara normalnya, kalau kita buat peraturan terkait subjek, objek
tarif, kita harus melibatkan BKF, tapi kalo lebih ke administrasi, itu kita lebih ke
DJP, dan PMK ini lebih ke tata cara, tidak ada perluasan subjek baru, objek, tarif
baru, jadi mangkanya bisa diserahkan ke DJP internal saja. Kalau DJBC secara
tidak langsung, kita melihat juga ke DJBC bahwa, DJBC juga melakukan mitigasi
resiko terhadap Wajib Bea, mangkanya ada MITA sama AEO dan melihat bahwa
ini sudah baik, sebenernya kita cukup pahami saja aturan mereka, mangkanya kita
bisa address kesana, bahwa MITA sama AEO itu bisa dikategorikan sebagai PKP
resiko rendah. Mangkanya keterlibatan mereka nanti terkait dengan pelaksanaan,
kita minta bantuan mereka untuk mem-provide data, mana Wajib Bea mereka yang
masih mendapat status sebagai MITA atau AEO, kalau itu dicabut, ya kita akan
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
130
mencabut juga dari PKP berisiko rendah, cuman keterlibatan dalam penyusunan
PMK ini secara tidak langsung. Artinya jangan sampai mereka mengaddress
mereka itu sebagai resiko rendah, sementara kita menganggap mereka itu sebagai
resiko tinggi. Jadi supaya sejalan aja. Sebetulnya daftar yang mereka tetapkan kan
gaada, tapi dari mitigasi yang mereka lakukan kan kita juga bisa tau kan, gitusi mba.
Nah yang terkait di DJP internal itu ada TPB, karna proses bisnisnya secara internal
ketika ada perubahan regulasi, TPB harus memikirkannya. Bagaimana di KPP
melayani Wajib Pajak, ini kan ada prosedurnya, dengan adanya PMK baru mereka
harus liat apa aja yang harus diubah. Kedua, pasti, TTKI, karna ini murni
mengandalkan sistem disini, jadi gaada lagi konfirmasi online, server kita segala
macemkan agak lama untuk mem-provide data, nah ini harus diperbaiki, dan TIP,
terkait pemulihan sistemnya, jadi TTKI dan TIP pasti terkait ketika mempengaruhi
sistem dan prosedur, gitu si mba. Jangan sampe PMK terbit, tapi sistemnya belum
bisa mengakomodasi. Jadikan nanti bisa jadi pelayanan terganggu. Wajib Pajak
juga sulit mendapatkan haknya gitu. Oh ya, Humas juga terlibat juga, ini kan baik
kan untuk Wajib Pajak mengetahui PMK ini, nah ini baik gitu untuk di announce,
ini ada Humas disini. Ketika mereka sosialisasi dengan asosiasi dan Wajib Pajak
lain tentang PMK ini, ini tugas Humas gitu. Jangan sampe ada hal baru mereka
malah gatau gitukan.
H: Adagasi Pak keterlibatan dari Wajib Pajak sendiri saat formulasi PMK 39?
D: Sebetulnya keterlibatan Wajib Pajak secara tidak lansgung, artinya ketika ada
hearing dengan Wajib Pajak, kita udah nampung gitu, nah suara-suara itu yang kita
adop, dan kita juga menerima surat-surat tentang permasalahan mereka, ada yang
kesulitan restitusilah, ada apalah. Nah itu si.
H: Posisi dan peran DJP dala PMK 39 apa Pak?
D: Sebagai konseptor. Ini asalnya dari akhir tahun 2017, bu Menteri bertanya, apa yang
bisa kita bantu untuk memudahkan ekspor, salah satunya restitusi, nah sebenarnya,
kita melihat ada kemungkinan dan ruang untuk memperbaiki PMK kita tentang
restitusi ini.
H: Ada kajian dulu gasi Pak dalam formulasi ini?
D: Ada, jadi setiap peraturan itu kita eval, jangan sampai peraturan yang berlaku sudah
ditetapkan, tapi gabisa diiimplikasikan. PMK terdahulu kita bisa liat, kenapa si,
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
131
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
132
mana yang ada di sistem, misalnya Wajib Pajak minta pengembalian 100, nah
sekarang itu mungkin tersedia yang ada disistem baru 70, berarti dia masih bisa
pengembalian pake surat sendiri atas sisanya. Kalau dulu kan engga, kalau minta
100 dan data yang tidak tersedia di sistem itu bisa langsung dialihkan
kepemeriksaan. Dia akan menghadapi pemeriksaan yang jangka waktunya lama,
kalau sekarang kan engga.
H: Mekanisme pengembalian pendahuluan di PMK 39 ini bagaimana si Pak?
D: Sederhana, pastikan lawan transaksi dari PKP sudah melaporkan SPT, sepanjang
sudah melaporkan, dia bisa mendapatkan pengembalian. Ada Wajib Pajak yang
butuh penetapan, ada juga yang tidak. PKP berisiko rendah dan Wajib Pajak patuh
butuh penetapan, tapi kalau Wajib Pajak persyaratan tertentu kan engga. Kalau yang
ditetapkan tadi kan bakal kita tetapkan sepanjang memenuhi persyaratan tadi, tapi
yang tidak butuh, langsung aja, misal nilai LBnya dibawah threshold dia langsung
bisa menyontreng, kalau ada SPTLB, dia dapat meminta pendahuluan atau restitusi
dengan pemeriksaan. Kalau restitusi pakai 17B dilakukan pemeriksaan, tapi kalo
pendahuluan langsung di proses. Permintaannya pun mudah, kita hanya
memastikan bahwa lawan transaksinya tuh udah lapor, kalau udah lapor, kita akan
mengembalikannya sesuai yang diminta. Sederhana sebetulnya, cukup 1 bulan.
H: Penetapannya itu sendiri gimanasi Pak ?
D: Penetapannya itu ada perbaikan sebenernya, dulu Wajib Pajak patuh itu ditetapkan
oleh Kanwil, dan PKP berisiko rendah ditetapkan oleh KPP, nah di PMK 39
berubah, semuanya bisa ditetapkan di KPP. Karna ada beberapa daerah yang KPP-
nya beda lokasi dengan Kanwil. Jadikan butuh koordinasi juga. Sementara yang
mengetahui Wajib Pajak ini kan KPP-nya, mangkanya kita arahkan semuanya di
KPP.
H: Perbedaannya apasi Pak dengan PMK dulu selain threshold?
D: Untuk Wajib Pajak patuh ini hanya bisa meminta permohonan diawal tahun, karna
ada syarat harus bebas utang sampe maksimal 1 tahun terakhir, sementara PKP
berisiko rendah bisa kapan aja, untuk berlakunya PMK 39, karna ini peralihankan,
mereka yang sudah ditetapkan sebagai PKP berisiko rendah, tidak ditetapkan
kembali, nanti sisanya ini akan dicabut kalo ternyata PKP-PKP ini sudah tidak
memenuhi syarat jadi PKP berisiko rendah. Ini berbeda kan sama yang lama. Kalau
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
133
yang lama kan 2 tahun, dia harus minta lagi, nah ini juga ternyata dalam praktiknya,
ini bermasalah, karna contoh saya kemungkinan dikukuhkan tahun ini, 2 tahun lagi
mungkin lupa, saya masih ini gaya, akhirnya kelewat, akhirnya ngajuin lagi dan
lagi. Apalagi Wajib Pajak patuh, saya harus nunggu awal tahun depan, gitukan, nah
ini yang diubah oleh kita, ini ga EoDB. Oleh karna itu di PMK 39 ini, masa
berlakunya sampe dengan dicabut. Kalau memang sudah tidak memenuhi syarat,
bisa dicabut. Sisanya ya masih sama, yang beda masalah pencabutan sama
disampainya kemana itusi berubah. Kalau secara formulasi, dulu ada analisis resiko.
KPP gaada lagi melakukan analisis itu, selama ini KPP melakukan analisis resiko
dan melihat bahwa mereka masih ada resiko, nah karna itu, pendahuluan ini
bergeser terus ke pemeriksaan. Dengan adanya ini, semakin banyak yang ngajuin
dan makin banyak juga yang dikabulkan.
H: Adagasi Pak kesesuaian PMK 39 dengan asas perpajakan?
D: Kalau ini lebih memberikan kepastian hukum si, tentang pelayanan dan pemberian
hak-hak ke Wajib Pajaknya, lebih ke asas ease of administration juga. kalau
kepastian hukum, pastinya iya, karna ini hanya melaksanakan Undang – Undang
Perpajakan kan, pelaksananya nanti di KPP, jadi kepastian hukum sudah ada disana,
jadi gaada masalah.
H: Apa aja si Pak keunggulan dan kelemahan PMK 39 ini?
D: Jadi gini, sebetulnya secara internal, tujuan PMK 39 ini mengurangi ruang
pemeriksaan, kalau sementara seluruh pengembalian lewat pemeriksaan sementara
kita tau itu Wajib Pajak yang compliance, patuh ya, dan refund dis itu rendah, kita
dibebani pemeriksaan rutin yang sebenernya hasilnya tidak berbeda yang diminta
oleh Wajib Pajak. Kelemahanya mungkin ada beberapa di pendahuluan, kita tidak
bisa melihat PM-PM mana yang bisa dikreditkan, nah ini yang nanti harusnya
diperiksa. Ini si menurut saya kelemahannya. Karna suatu saat pemeriksaan juga
akan diperiksa juga gitu, jadi hanya digeser aja waktunya, jadi kalau untuk
mengurangi waktu pemeriksaan ini masih belum bisa dipastikan. Karna kita juga
berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan, dan juga melakukan pemeriksaan
sama Wajib Pajak yang sudah mendapat pendahuluan. Bukan berati gadiperiksa
sama sekali pendahuluan, ini untuk menguji apakah sudah sesuai dengan 9 ayat 8
Undang – Undang PPN itu, tapi apakah nanti pemeriksaannya hanya menggunakan
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
134
metode sampling aja, saya nantinya gatau, karna itu PP II kan, bukan dikami, nah,
ini bisa kita atur lebih lanjut bagaimana cara meriksanya supaya tujuan internal itu
bisa kita capai. Keunggulannya berdasarkan data kita, yang manfaatin ini tuh
banyak sekali, yang minta dengan proses ini tajam sekali, artinya dengan
peningkatan threshold, Wajib Pajak yang dulunya diperiksa, sekarang udah bisa
manfaatin ini. Memang adanya kekhawatiran bagi kami bahwa akan mengurangi
penerimaan secara keseluruhan. Tapi ini kembali ke hak Wajib Pajak kan, apakah
mereka akan menerima pngmbalian sekarang atau tahun depan kan, mereka akan
terima. Apabila tahun ini mereka mendapat pendahuluan, kedepannya sudah akan
terjadi keseimbangan, tidak akan mengurangi penerimaan yang gimana-gimana
kok.
H: Implikasi aturan ini dengan peraturan DJP lainnya apa Pak?
D: Implikasinya bisa pada aturan SPT gitu-gitusi, tapi untuk implikasi aturan ini DJP
sendiri ada kekhawatiran dilevel bawah, penerimaan perpajakan ini kan kita selalu
hitung neto. Nah neto dengan pemeriksaan biasanya karna waktunya agak lama,
pengembalian itu yang tadinya diminta oleh Wajib Pajak tahun ini, mungkin bisa
diterimanya tahun depan. Nah, dengan PMK ini, Wajib Pajak bisa menerima
pengembalian dulu. Tapi ada kekhawatiran bahwa pengembalian ini menggerus
penerimaan, meskipun ga terlalu. Sebenernya udah dihitung si sebenernya berapa
spending kita untuk pengembalian ini. Kekhawatiran ini sebenernya gaperlu.
Implikasinya si normal.
H: Ada gasi Pak alternatif kebijakan lain untuk restitusi selain pendahuluan ini?
D: Sebenernya si belum ada, saya mandangnya ini kebijakan yang terbaik. Tapi kan
proses bisnis berkembang kan, jadi nantinya bisa terpengaruh juga kebijakan ini.
H: Oh iya Pak, ada gasi sosialisasi PMK 39 ini?
D: Sosialisasinya udah banyak Mba, ada via radio, televisi, di asosiasi-asosiasi,
eksportir, dan lainnya terkait usaha ini udah di sosialisasikan.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
135
TRANSKRIP WAWANCARA
H: Saya Heni Pratiwi, mahasiswa fiskal 2015. Tema skripsi saya tentang formulasi
PMK 39/PMK.03/2018 tentang restitusi pajak yang dipercepat Pak. Sebenarnya
pihak yang harus terlibat siapa aja Pak?
PG : Ya sulit sebenarnya, DJP sebenarnya tidak berwenang karena DJP hanya berperan
dalam pelaksana eksekutor. Sebenarnya yang berwenang adalah pihak BKF. Masa
sebagai pelaksana membuat aturan sendiri, itu tidak boleh. Jadi harus terpisah
antara eksekutor, legislator, dan yudikasi. Sebenarnya DJP hanya sebagai pelaksana
aja yang bener, bukan membuat peraturan. Kalau pelaksana membuat aturan kan
bisa jadi nanti ada kecenderungan mereka melindungi apa aja kan yang ditulis
dalam peraturan yang mereka buat. BKF sebenarnya lebih berhak dibanding DJP.
H: Kalau tahap formulasi yang benar itu tahapnya bagaimana si Prof?
PG : Jadi yang membuat aturan perpajakan sebenarnya dari BKF, pelaksana DJP kalau
aturannya kurang jelas atau kurang apa gitu.
H: Apakah dari peraturan itu juga ada hubungannya dengan Biro Hukum Kementerian
Keuangan Prof ?
PG: Biro Hukum Kementerian keuangan sebenarnya bertujuan untuk
mengharmonisasikan peraturan lain. Sebenarnya dalam Undang – Undang KUP
untuk wajib pajak kriteria tertentu sebenarnya ini yang membuat aturan hanya pihak
DJP saja, tidak ada hubungannya dengan Kementerian Keuangan, karena dalam
pasal 17 C ayat 1 sendiri itu tentang menerbitkan SKPPKP dengan kriteria tertentu
itu DJP aja sebagai pihak operasionalnya yang terbitin, jadi udah di perintah dalam
Undang – Undang KUP itu sehingga Menteri keuangan tidak diperintahkan lagi,
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
136
sehingga ngapain Menteri Keuangan membuat PMK itu. Kalau ada campur tangan
Kementerian Keuangan seperti untuk menentukan DPP-nya apa aja itu sebenarnya
hanya untuk memperlama saja terkait birokrasi ini. Ini kan bener-bener operasional.
DJP dapat melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, yang dijelasin lagi di
Pasal 17C ayat 2 ini. Yu cek ga ada sesuatu yang berbeda dalam PMK ini sama
peraturan sebelumnya?
H: Kalau untuk Wajib Pajk kriteria tertentu sebenarnya objeknya masih sama Prof, tapi
bedanya salah satunya itu kalau dulu penetapan dengan restitusi dan permohonan
restistusi Wajib Pajak kriteria tertentu tidak bisa memilih pasal 17B atau pasal 17C
Undang – Undang KUP, kalau sekarang bisa Prof. Untuk persyaratan tertentu dan
PKP berisiko rendah salah satunya objek pengajuan restitusi diperluas.
PG : Sebenarnya dalam Undang – Undang KUP sendiri kan ga mengatur tentang hal itu.
HG : Menurut Prof Gun tanggapan formulasi PMK ini bagaimana?
PG : Ya sebenarnya ini hanya kemauan mereka aja untuk kepentingan operasional DJP,
dengan memperluas objek dan lainnya. salah satu contoh di pasal 17C ayat 2 ini
kan ada kata “meliputi” bukan termasuk, nah meliputi itu udah segala sesuatunya
ini gitu tentang kriteria tertentu, kalau “termasuk” beda lagi ceritanya. sebenarnya
jangan ditambah lagi syarat kriteria tertentu di peraturan pelaksana. Disini gaada
tambahan gitu kan di KUP. Sebenarnya mereka hanya malas saja untuk melakukan
pemeriksaan dengan memfasilitasi restitusi tersebut dengan adanya PMK itu.
HG : Kalau restitusi pajak sebelum dengan adanya pendahuluan ini dengan adanya PMK
ini gimanasi Prof?
PG : Restitusi itu kan dulu sama dikasih ketiga kriteria itu, jadi mereka ga kerja secara
all out, cuma kerjain yang kecil. Pasal 17C beda sama 17D. Kalau 17D Wajib Pajak
dengan persyaratan tertentu, nah disini batasan jumlah dan lainnya diatur dalam
Menteri Keuangan, nah itu kalau 17C patuh, ukuran patuhnya dalam
menyampaikan SPT nah ini otoritas perpajakan. Mangkanya dikasih contoh yang
dimaksud patuh itu apa di Undang – Undang kan.
H: Menurut pandangan Prof Gun dengan adanya PMK ini bagaimana?
PG : Sebenarnya ini untuk mempermudah pelayanan, karena pelayanan sebenernya kan
sas itu kita memberikan kepercayaan pada Wajib Pajak, timbulnya trust pada Wajib
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
137
Pajak, yang menimbulkan Wajib Pajak juga trust ke pemerintah, jadi kalau tidak
ada bukti yang ditemukan, jangan diterbitin SKPKB, karena SKPKB sekaligus
sebagai hukuman. Jadi SKPKB itu udah nunjukin adanya ketidak patuhan, bukan
kemauan dari sas. Sas itu untuk tujuan voluntary compliance, adanya kesadaran
sendiri dari Wajib Pajak.
H: Jadi pandangan menurut Prof Gun dengan adanya PMK ini itu akan menimbulkan
trust Wajib Pajak karena adanya kemudahan dalam pelayanan adm ya Prof?
PG : Iya. Harus diberikan kepastian hukum juga.
H: apakah PMK ini sudah sesuai dengan asas ease of administration ?
PG : Iya, iya itu lain cerita. Kalau PMK ini lebih ke pastian hukum. Jadi kalau restitusi
itu gadibalikin dan tidak ada kabar berati kan retitusi itu dianggap dikabulkan kalau
lebih dari waktu pengembalian restitusi dalam Undang – Undang, seperti dalam
Pasal 17B, kalau lebih dari 12 bulan berarti diterima atau dikabulkan restitusinya.
H: Kalau dulukan Prof, kalau ga sesuai dengan Wajib Pajak kriteria tertentu dan
kriteria lainnya kan bakal dialihin ke pemeriksaan ya Prof.
PG : Gini, sebenarnya yang kaco itu sekarang ini kan udah zaman digitalisasi, tapi ini
sistemnya masih personal atau manual belum digitalisasi. Sebenarnya program
aplikasi itu masih belum ada apa-apanya, gangaruh apa-apa. Yang diperoleh dari
aplikasi itu hanya informasi aja gitu. Di Indonesia ini gaada taxpayer account.
Kalau misalnya you pake e-banking itu kan kalau transaksi lewat hp bisa pengaruh
langsung sama rekening, bisa kurangin rekening. Nah ini kan belom, gaada apa-apa
aplikasi itu, karna belum adanya rekening yang dibangun di kantor pajak. Nah itu
tuh kelemahan DJP dalam restitusi pajak gaada taxpayer account, itu si kelemahan
kita, harusnya ada. Karena data kita juga masih payah, masih lama, kayak nunggu
kirim data dulu dari daerah nah itu kan yang menyulitkan. Untuk nentuin kriteria
tertentu gini kan dasarnya dari data, padahal kunci dari pajak itukan data.
H: Rekomendasi terkait dengan PMK ini apa Prof?
PG : Ya ini harus jalan terus, dengan persyaratan harus dilakukan restitusi pajak dengan
digitalisasi, jadi otomatis, contoh kaya PM PK, kalau udah ada PM ya otomatis
udah harus ada PKnya gitu. Itu harus ada intelocking system maksudnya kalau
setiap PM gaada PKnya itu tidak dapat dikreditkan, otomatis bisa diketahui. Kalau
yang memotong PPN disana udah motong PM itu bakal ketauan karna interlocking.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
138
Nah kalau kita kan engga, masih ada konfirmasi dulu ada pemotongan ga disana,
itu masih manual, itu bukan sistemik, bukan terintegrasi. Nah itu harus reformasi
mendasar sebenernya, ya sistemnya, jadi yang harus diperbaiki itu sistemnya.
Misalnya sekarang e-bupot gitu harusnya datanya harus terkoneksi satu sama lain
elektroniknya, misalnya Gunadi dipotong 21 oleh UI, UI lapor itu harus ada tax
payer accountnya di sana gitu jadi bisa dicek yang bersangkutan berapa nah datanya
itu harus bisa diketahui, nanti perusahaan yang memotong itu ada potongan
pajaknya, kalau gaada ya gaboleh dikurangkan sebagai biayanya itu.
H: Hambatan implikasi PMK ini apa Prof?
PG : Hambatannya biasanya fiskusnya kurang iklas, Wajib Pajak karna hal itu
mangkanya banyak ngibulnya gitu atau frustasi, karna udah merasa benar, udah
bayar tepat waktu, segala macam tapi minta konfirmasi disana ternyata gak ada, gak
sesuai, mangkanya langsung dikoreksi total, gabisa Pake PMK ini. Sebenarnya
PMK ini hanya untuk memudahkan administrasi saja, mangkanya kalau you omzet
itu ajuin yang pasal 17D Undang – Undang KUP.
H : Oh iya prof ini kan ketiga PMK dijadikan 1, itu boleh gasi Prof?
PG : Oh itu gaboleh. Karna beda, 17C itu kepatuhan, 17D itu persyaratan, gaada
kepatuhan, pokoknya patuh gapatuh kalau pasal 17 d itu dikasih selama objeknya
masih sesuai gitu. Kalau itu kan patuh ga patuh selama omzetnya Wajib Pajak
persyaratan tertentu pasti dikasihkan, diambil Wajib Pajak yang kecil aja pasal 17D,
substansinya beda. Tapi kalau pasal 17C sama pasal 9 Undang – Undang PPN itu
baru boleh, karna masih diliat juga kepatuhannya. Itu harus dipisah gaboleh, karena
persyaratannya beda, prinsipnya gadiaplikasikan.
H: Tapi PMK ini tujuannya salah satunya agar Wajib Pajak mudah dalam membaca
aturan pajak tentang kriteria tertentu karena sama.
PG : Ya, itu liat substansinya harusnya, jangan digabungin diliat karakteristiknya,
jangan dicampur aduk satu sama lain.
H: Saran PMK ini apa prof?
Pg: Sebaiknya ini PMK untuk ketiga kriteria tertentu dipisahkan karena substansinya
beda-beda.
H: PMK ini baru dibuat 2 bulan Prof, kalau buat peraturan perpajakan itu kira-kira
berapa lama si Prof sebaiknya?
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
139
PG : Peraturan itumah cepet, tapi yang lama perbaikan atau revisi aturan itu, karena ini
kan beberapa hari bisa jadi. Kejelekan dari kita itu sebenernya hanya membuat
aturan tapi tidak membenahi administrasinya. Tapi ga mudah membenahi
administrasinya, kalau buat aturan ya mudah. Sebenarnya kalau PPN itu ya otomatis
aja, asalkan yakin, ya pokonya interlockingnya aja. Jadi ada PM ya harus ada PK,
tapi kenapa harus dikonfirmasi itu, mangkanya kita butuh online sistem. Sistem itu
kan harus terintegrasi ke segala macam penjuru. Kalau restitusi pajak kan
mempengaruhi 2 rekening kan paling engga, nah invoice itu juga seharusnya bisa
mempengaruhi 2 rekening yaitu pihak pembeli maupun penjual barang atau jasa.
Nah sekarang ini kan susah ya, misalnya orang menjual barang ke Batam, nah
itukan daerah free trade zone, gadipungut PPN otomatisnya, nah itu kalau ada
kelebihan pembayaran pajak dan mau ajuin restitusi, misalnya terkait pasal 17B
Undang – Undang KUP, itu kan harus di konfirmasi dulu sama diperiksa dulu buat
restitusi, harusnya kan bisa dicek via rekening lawan transaksi biar mudah restitusi
pajaknya. Jadi restitusi pajak Indonesia ini masih ketinggalan jaman, kaya
ecommerce kan gabisa pemeriksaan fisik, nah itu kan susah. Jadi harus diubah
sistemnya. Kaya PPN itu bisa ga otomatif bisa direfund, sistemnya harus diperbaiki.
Administrasinya masih harus dibenahi. Kalau yu ke bank transfer kerekening orang
lain, nah rekening yu kan berkurang, sementara rekening temen yu bertambah. Nah
itu pajak di Indonesia belum bisa cek kaya gituan. Seharusnya kan pajak itu
semboyan itu, achieve more with less, menerima pembayaran dengan sedikit upaya
gitu, kalau kita kan sebaliknya achieve less with more. Terimanya sedikit, tapi
tenaganya sulit, itu harus diubah.
H: Kalau buat perluasan objek itu bagaimana Prof di PMK ini?
PG : Sebenarnya tergantung pada kantor pajak, jumlahnya, misalnya jumlah dikantor ini
berapa orang, ini tuh biar kantor pajak bebas dari pekerjaan pemeriksaan, misalnya
restitusi SPT PPN itu kira-kira 600 ribu, nah sekarang yang minta restitusi itu
berapa, misalnya yang minta restitusi itu 300 ribu, ini kemampuan kantor pajak
dalam menyelesaikan itu kira-kira gimana gitu berapa, kalau pemeriksaan cuma 100
ribu, ya yang bisa pake PMK ini sisanya 200 ribu, nah ini sampe omzet berapa 200
orang ini. Jadi harus sesuai dengan kemampuan fiskus perluasan ini. Tentuya yang
diperiksa itukan perusahaan yang gede-gede kan, jangan yang kecil-kecil, kalau
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
140
misalnya kantor fiskus cuma bisa restusi 50 ribu, yaa 250 ribu nya masukin ke PMK
itu, bisa lewat 17C, 17D Undang – Undang KUP, atau PPN pasal 9. Kalau gamampu
di periksa, ya tugasnya dikurangin ke PMK ini. Nah itu point pertimbangannya abis
dari pada gaditanganin, nanti kan balikin juga mau gamau.
H: Biasanya kalau peraturan ini berapa lama si batasnya?
PG : Ya sebenarnya ga ada batasanya, tapi ya tadi, tergantung kemampuan kantor pajak
dalam menangani restitusi, untuk mendorong Wajib Pajak dalam rangka patuh atau
mendorong EoDB itu, ya ditambah gitu, semakin diperpanjang gitu aturannya,
malah bisa di benahi lagi.
H: Hubungan restitusi PMK ini dengan EoDB itu sebenarnya apa Prof?
PG : Ya kalau ada pemeriksaan restitusi ini kan akan mengganggu kegiatan usaha,
mangkanya lebih banyak dimudahkan dalam memberikan pelayanan administrasi.
Pajak kita terkait EoDB masih rendah di Asean. Dengan adanya sas ini kan Wajib
Pajak jadi tau LBnya berapa, kalau ada KB itu, berarti bisa jadi kan ada unsur
penghindaran pajak.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
141
TRANSKRIP WAWANCARA
H: Tema skripsi saya tentang formulasi PMK 39 ini Pak dan gabungan dari 3 PMK
tentang restitusi PPh dan PPN
E: Oh jadi ini gabungan, berarti PMK yang terdahulu udah dicabut? Dan hanya berlaku
di periode tertentu saja?
H: iya betul Pak. Semuanya udah jadi 1 di PMK 39, ada PPh dan PPN Pak.
E: oh ok
H: Menurut BaPak tanggapan PMK 39 ini apa Pak?
E: Ya, kan begini kalau mau diatur dalam Undang – Undang nya juga bagus, terbentuk
suatu Undang – Undang berarti rakyat yang menentukan kan, seperti langsung
DPR, tapi dirasa perlu mau memilah dalam restitusi tanpa permohonan atau dengan
permohonan, itu pun berdasrkan SPT yang disampaikan berdasarkan pasal 17B, ada
juga restitusi yang bersifat pendahuluan untuk Wajib Pajak dengan kriteria tertentu.
Dipisah pisah kalau aturan mainnya berbeda. Kalau dirasakan aturan mainnya
cukup 1, gapapa, tapi syaratnya dibedakan, kalau gitu aturannya 1 aja. Jadi, suatu
aturan yang diterbitkan khususnya aturan pelaksanaan kan agar memudahkan Wajib
Pajak dalam menjalankan hak dan kewajibannya, jadi kita harus pake asas apa
untuk pemahaman ini atau peninjauan ini yaitu asas ease of administration. Jadi
peraturan yang dikeluarkan itu baik induk apalagi pelaksanaannya, sampai ke
pelaksanaannya yang bersifat teknis itu harus memudahkan. Ada kan tu ketentuan
yang harus dilaksanakan oleh Wajib Pajak itu sendiri, ada ketentuan yang harus
dilaksankan oleh pejabat pajak, terus ada aturan yang bersifat pengawasan. Kalau
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
142
engga dilaksanakan, kantor pajak boleh melakukan perbuatan apa ya, untuk
penegakan hukum ya misalnya. Nah itu harus mudah dipahami, dan mudah
dilaksanakan, yang penting itu, makin mudah ya dipahami, makin mudah
dilaksanakan ya, tidak rumit tidak complicated. Tapi simple, simplicity ya,
masyarakat akan lebih patuh, yakan, apalagi kalau misal nih tarif pajaknya itu tarif
pajak yang wajar, yang tidak nyekek leher ya.
H: Tapi kalau substansinya beda ni Pak tiap pasalnya di Undang – Undang kup, kan
kalau pasal 17C lebih ke Wajib Pajak patuh, 17D ke omzet, ada lagi PPN, itu
gimana Pak?
E: Tidak apa-apa, yang penting tujuan dari peraturan pengendalian pendahuluan tu
apa, tau heni apa?
H: Untuk memudah Wajib Pajak melakukan restitusi salah satunya Pak.
E: Iya itu salah satunya, tapi ada tujuan pokoknya yaitu untuk memperkuat likuiditas
usaha, itu yang penting supaya pengusaha yang membutuhkan dana untuk apa tu,
memperkuat struktur keuangannnya, melebarkan sayapnya, dapat dana cepat kan
ya, dana cepat, sehingga dapat digunakan, tapi dengan suatu resiko. Kalau dia
ngibulin, pemeriksaan jalan terus, dia akan kena sanksi 100%, kan gitu, yang
penting itu. Jadi tujuannya untuk memperkuat struktur keuangan perusahaan dan
likuiditas usaha, sehingga yang biasanya restitusi itu 12 bulan, jadi bisa 1 bulan
Undang – Undang PPN, dan 3 bulan untuk PPh.
H: Kalau tahapan formulasi kebijakan perpajakan yang benar itu bagaimana si Pak dari
sisi akademis, terutama di PMK 39 ini?
E: Oh, itu udah masuk hukum ya.
H: Iyasi Pak, kalau yang saya ketahui PMK ini gaada campur tangan BKF, tapi lebih
ke DJP Pak.
E: Jadi, BKF hanya untruk penyusun aja kan, nah yang diberi kewenangan untuk
menyusun aturan main itu Undang – Undang sendiri yang mengaturnya. Jadi
misalnya ketentuan lebih lanjut dalam pelaksanaan restitusi dengan kriteria tertentu
diatur dalam dengan PMK misalnya. Bisa juga itu cukup dengan peraturan Dirjen,
untuk itu heni harus baca Undang – Undang No 12 thn 2011 tentang pembentukan
peraturan perundangan. Bukan pajak aja, tetapi pembentukan peraturan Undang –
Undang, nah itu ada syaratnya tu, bikin Undang – Undang gimana, bikin perpu
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
143
gimana, bikin PMK gimana, ada aturan mainnya, untuk bikin formulasi ada disitu.
Setiap formulasi suatu peraturan ada itunya aturan mainnya, jadi syarat nya yang
bersifat material sama formil. Jadi kan BKF hanya untuk menentukan kebijakannya
aja, misalnya aturan perpajakan. Kita sekarang tahun 2016 misal, mau ada
perubahan sistem pajak ga, oh misalnya mau, apa tu pertimbangannya, harus ada
pertimbangannya kan, oke sekarang kita ga menerapkan ke sas deh gitu, justru ke
official assessment, atau memperkuat WHT itu untuk penerimaan negara, tapi buat
membatu Wajib Pajak untuk membangun usahanya, supaya kekuatan uangnya kuat,
likuiditasnya kuat, oh itu diperluas lagi pasal 17C, 17D Undang – Undang KUP,
pasal 9 Undang – Undang PPN diperluas, diberi kemudahan usaha, nah itu yang
menentukan orang kebijakan. Nah orang kebijakan itu harus melakukan survey
terus ke masyarakat, dengan mendengar, melihat, membaca, nah terus oleh dia di
formulasikan ni, wah perlu dipikirkan nih perubahan sistemnya. Intinya si untuk
menuju ease of administration.
H: Kalau pihak-pihak yang membuat kebijakan ini siapa Pak yang baik?
E: Nah kita lihat dulu kebijaknnya kan udah ditentukan. DJP hanya membikin aturan
mainnya itu hanya peraturan pelaksananya, bukan kebijakannya lagi, jadi cukup
orang DJP saja, orang kebijakan ga usah ikut lagi. Kemenkeu juga gabisa buat itu,
kecuali Undang – Undang sendiri yang bilang bahwa ketentuan itu diatur lebih
lanjut diatur oleh peraturan Menteri keuangan. Nah Kemenkeu juga terserah dia,
nah ada bau-bau kebijakan, BKF itu yang bikin, kaya oh itu murni teknis
pelaksanaan, ya DJP aja. Tapi misalnya dia mau denger nih dari dari dirjen dari
pelaksanaan selama ini, pengawasan pelaksanaan Undang – Undang perpajakan
kaya apa yang tau kan orang Dirjen, siapa lagi misal komite pengawas perpajakan,
boleh diminta. Mereka semua diundang, didengar usul dan sarannya. Bisa juga ada
public hearing, misalnya mengundang IAI, IKPI, KADIN, asosiasi lainnya gitu.
H: Jadi kan Pak ini yang mengajukan restitusi itu diperluas kan Pak, itu gimana?
E: Itu tergantung Undang – Undang KUP nya, memberikan kewenangannya ke siapa
dalam penetuan tadi. Kalau disebut itu menjadi kewenangan Menkeu ya ditentukan
oleh Menkeu gitu. Jadi kalau batasnya itu dalam hukum negara bisa diubah-ubah
sesuai dengan perkembangan perekonomia keuangan, wah sekarang nilai rupiah
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
144
anjlok nih, jadi pengusaha usahanya jadi seret atau gimana itu diubah batas-
batasnya itu boleh.
H: Dampak yang akan terjadi dengan implementasi ini menurut Bapak bagaimana?
E: Saya bisa menduga bahwa setiap ada PMK baru itu semangatnya memperbaiki
untuk mempermudah dalam rangka ease of administration dan harus dicegah
terjadinya perluasan kewenangan dari DJP atau dari administrasinya gitu kan,
boleh, jangan boleh diperluas atau dikurangi. Hak Wajib Pajak gaboleh dikurangi,
kalau ditambah boleh kalau dikasih kewenangan sama Undang – Undang, hak
Wajib Pajak ditambah, boleh. Tapi kalau kewenangan DJP ditambah padahal di
Undang – Undang perpajakan ga ditambah, itu gaboleh. Kalau itu harus oleh
Undang – Undang, ya. Pasal berapa tuh Undang – Undang 1945?
H: Undang – Undang Dasar 45 pasal 23A, kalau bikin formulai kebikan itu ada
alternatif kebijakan gasi Pak?
E: Kalau bikin peraturan itu selalu dikaji dari berbagai faktor, dari segi segala sudut.
Tentunya prinsipnya adalah menuju pada pertama asas ease of administration, yang
kedua, harus mengamankan penerimaan, dan ketiga, jangan mengganggu likuiditas
Wajib Pajak. Itu aja intinya. Tapi semuanya di Undang – Undang pembentukan
peraturan Undang – Undang yang bersifat material dan formil itu ada.
H: Saran kebijakan ini Pak?
E: Buat saya prinsip dulu, kebijakan retitusi itu adalah kaitannya dengan apa, apa tugas
inspektor pajak. Tugasnya itu yaitu menjaga agar negara menerima pajak dan Wajib
Pajak membayar pajak tidak lebih dan tidak kurang sebagaimana ditentukan oleh
Undang – Undang pajak yang bersangkutan. Jadi dengan PMK harus mencegah
pemungutan pajak yang tidak sesuai dengan Undang – Undang, yang bukan haknya
pemerintah, harus dibalikin ke Wajib Pajak, kan pasalnya udah ada tuh pasal 17,
pasal 17 KUP itu kan restitusi tanpa permohonan, 17B dengan permohonan, 17C,
D beda lagi, intinya restitusi itu penecegahan pemungutan pajak yang tidak sesuai
dengan Undang – Undang, dan jangan terjadi uang pajak masuk dari Wajib Pajak,
padahal itu bukan hak negara, misal pasal 17 ayat 2, pemerintah, Wajib Pajak wajib
menerbitkan SKPLB kalau terjadi pemungutan/pemotongan pajak yang seharusnya
tidak dilakukan. Jadi itu semangatnya dikaitkan lagi dengan ketentuan yang harus
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
145
dikaitkan juga dengan asas good government. Asas-asas umum pemerintah yang
baik, misal pasal 16, 11 (2), 25, 36, semuanya good government itu.
H: Restitusi itu dasarnya apa Pak sebenarnya?
E: Yang paling penting harus diketahui dulu si, telah terjadi adanya kelebihan
pembayaran pajak, jadi harus diitung dulu pajka yang terutangnya, kalau pajak
terutangnya 100, pajak yang ditetapkannya 100, ya pas. kalau pajak terutangnya
100, pajak yang ditetapkannya 175 terbit SKPKBT pasal 15 itu kalau kurang, dan
government memiliki kewenangan bisa menerbitkan SKPKBT beberpa kali, sampai
seluruh pajak terutang semuanya ditetapkan/dibayar. Sebaliknya, kalau pajak
terutangnya harusnya 100, pajak yang ditetapkannya 150, gaboleh, Wajib Pajak
punya hak mengajukan sesuai pasal 16, 25, 36 nah itu. Tapi DJP kalau tau ada
ketetapan pajak yang tidak benar, nah harus diperbaiki sesuai pasal 36. Nah itu pasal
good government.
H: Kalau Wajib Pajak yang mengajukan pendahuluan ini gimana si Pak sebelum ada
PMK 39?
E: Oh ya harus ada bukti-bukti yang kuat dulu bahwa pajak terutangnya seharusnya
lebih rendah dari ketetapan pajak, atau dia punya bukti, baik alat bukti atau
ketentuan peraturan Undang – Undang, bahwa dia seharusnya tidak terutang,
seharusnya tidak perlu di potong pungut pajak, ada. Nah aturanya ada, buktinya pun
ada, bahwa saya memang ada kelebihan membayar pajak, nanti DJP harus
meyakinkan betul ga ini, oh betul ini bahwa pasal 17B mengatakan harus diperiksa,
kalau 17C/D itu kriteria tertentu. Kalau udah sesuai semua, liat dia berapa yang
dipotong/pungut berapa lebihnya, kalau 17 B harus diperiksa. Tapi kalau pasal
17C/D harus dikembaliin dulu, sebelum diperiksa yang penting diliat betul ada
kelebihan pajak. penentuan pajak terutangnya diperiksa terus, kalau ternyata pajak
yang terutangnya adalah Wajib Pajak salah melaporkan, ditagih lagi dengan ada
sankis 100%, nah sanksi itu ajarin Wajib Pajak supaya jujur. Nah jadi menyangkut
penyusunan suatu aturan kebijakan yang harus diliat adalah, ada yang namanya
efektivikasi, dan kedua adalah sinkronisasi. Efektif itu maksud pembentukan
aturan-aturannya dapat tercapai, Undang – Undang yang baik itu, maksudnya itu
seperti Wajib Pajak patuh, Wajib Pajak mengisi SPT benar, lengkap jelas, nah
pokoknya seluruh kewajiban perpajakan dilakukan dengan benar. Pemenuhan
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
146
haknya juga dilakukan dengan benar, itu Wajib Pajak namanya sudah patuh, dan
kebijakannya sudah efektif, peraturannya itu udah efektif. Kalau udah efektif,
Undang – Undangnya pasti lengkap, gaada yang kurang, peraturannya lengkap.
Kalau kurang itu penafsirannya bisa macem-macem, akhirnya DJP menerbitkan
peraturan pelaksananya yang macem-macem gasesuai dengan yang ada di Undang
– Undang. Lengkap, dan pasti jelas, Heni dengan saya membaca peraturannya
sama. Kalau dikelas ada 40 mahasiswa, itu sama juga penafisrannya nah itu baru
Undang – Undang efektif. Nah jadi penafisran sama, jadi lengkap, jelas, terus tegas.
Nah, pasti dapat dilaksanakan aturan ini, mudah dibaca, dimenegrti, dipahami, ya.
Kalau udah demikian, pokonya yang baik deh, berarti aturan itu efektif. Disamping
efektif juga harus sinkron, sinkron itu selaras, serasi, seimbang. Sekarang
bahasanya itu jadi satu di indonesiakan dari bahasa asing dalam satu pengertian,
yaitu harmonisasi. Gitu ya, inti-intinya. Jadi aturan itu harus memenuhi 2 itu, jadi
aturan yang harmonis itu gaada pertentangan, anatara ketentuan administratif
dengan pidana sejalan, selaing mendukung.
H: Kalau proses formulasi itu berapa lama Pak ?
E : Yang paling bagus itu formulasinya Undang – Undang dan peraturan pelaksananya
harusnya sejalan pembentukannya, misal peraturannya dibentuk 3 tahun lalu, tapi
pelaksananya beberapa tahun kemudian, itu udah bisa lupa visi misinya apa,
harusnya barengan, dengan pihak pembuat yang sama juga.
H: Timnya harus sama ya?
E: Iya harusnya sama, itu yang bagus, dan harus melibatkan stakeholder, jangan jalan
sendiri, harus ada public hearing.
H: Seharusnya Wajib Pajak ikut bikin formulasi PMK 39 gasi Pak?
E: Harusnya ikut, bisa juga diwakilin oleh beberapa asosiasi, yang paling dikenal
seperti Kadin, tapi boleh aja para pengusaha diundang buat bikin formulasi ini. Nah
pajak waktu membuat formulasi aturannya diliat, wah ini penting buat
menghasilkan misal energi yang terbarukan, memberikan kemudahan para
pengusaha misalnya dibebaskan pajak, atau seperti ini adanya restitusi pajak
dipercepat PMK 39. Nah jadi gitu, kebijakan itu harus melihat kebutuhan negara,
melihat kebutuhan yang terbesar, misal oh bagaimana ini kebijakan ini bisa
ngurangin pajak, bisa hilang nih pajak kita berapa triliun nih dalam satu tahun, tapi
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
147
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
148
100M, terus dikasih pendahuluan pembayaran restitusi 100M itu, rugi kan negara,
iyaa, duitnya dipake dulu oleh Wajib Pajak. Tapi bisa diliat juga dari sisi lain,
misalnya itu anggap Wajib Pajak minjem dulu nih duit dari pemerintah, bisa
dikenakan sanksi bunga, tapi jangan 2%, tapi misal dikenakan 5%. Tapi jangan
100% kemahalan, itu boleh ditinjau juga, kurang adil 100%, bank bunga aja berapa.
H: Kalau pendukungnya PMK 39 ini Pak?
E: Ya kesiapan mereka, administrasi pajaknya siap untuk membuat ketentuan yang
bersifat teknis, formulir siap, petunjuk teknis siap, baik untuk petugas dan Wajib
Pajak harus ada penyuluhan, kalau di DJP itu penyuluhan namanya pembekalan,
pembakalannya cukup, untuk Wajib Pajak adalah dikasih ketentuan pelaksananya
itu, dijabarkan, disampaikan oleh Wajib Pajak, dalam pelaksanaanya gini-gini dan
yang terpenting bagi Wajib Pajak, jangan coba main-main sama orang pajak.
H: Saran untuk PMK ini Pak?
E: Kan ini udah jadi hukum positif kan, jadi tinggal dilaksanakan tapi diperhatikan
lagi, dihubungkan dengan Undang – Undang No 12 thun 2011 tentang
pembentukan peraturan per Undang – Undang. Ini dalam pembentukannya ada
yang menyimpang ga, sepanjang dalam ketentuannya sudah diikuti, bagus, tapi
kalau tidak mengikuti ketentuan formulasinya ya harus diubah. Tapi kalau aturanya
engga sesuai, misalnya aturannya memperluas kewenangan DJP terus mngurangi
hak Wajib Pajak boleh diajukan yudisial review, jadi membahas ini dari banyak
aspek. Jadi boleh yudisial review ini kemana kalau menyangkut aturan pelakaan
bisa diajukan ke MA. Kalau yang bertentangan Undang – Undang terhadap
konstitusi, bisa diajukan ke MK. Jadi bisa dibaca Undang – Undang No 12 Tahun
2011.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
149
TRANSKRIP WAWANCARA
H: Skripsi saya membahasa tentang formulasi PMK 39/2018 tentang restitusi dengan
pendahulua yang dipercepat. Menurut Bapak bagaimana formulasi kebijakan publik
yang benar itu gimana?
I: Formulasi kebijakan publik yang benar itu tergantung dari perspektif mana. Tapi
memang dalam konteks ini proses kebijakan tidak lagi menjadi hal yang dominan,
namun pemangku kebijakan lain yang punya kepentingan terhadap suatu agenda
kebijakan itu harus terlibat langsung. Tujuannya jelas agar satu, bahwa agen
kebijakan itu dipahami secara utuh oleh semua pemangku kebijakan. Kedua,
agenda kebijakan yang dihasilkan bukan untuk pemerintah itu sendiri tapi untuk
tokoh masyarakat yang terikat dalam kebijakan karena itu proses interaksi yang
aktif diperlukan. Ketiga ditengah keterbatasan sumber daya ekonomi, informasi,
pengetahuan, baik yang di pemerintah maupun non pemerintahan maka proses
kebijakan administratif adalah keharusan karena terjadi pertukaran sumber daya
antara aktor pemerintah dan aktor non pemerintah baik pertukaran sumber daya
informasi, pengetahuan, atau dukungan terhadap kebijakan itu sendiri.
H: Kalau formulasi itu sebaiknya berapa lama?
I: Gaada ukurannya karena tergantung dari agenda kebijakan itu sendiri karena cepat
atau lambat ga relevan kalau dilihat pada kompleksitas suatu permasalahan. Justru
proses kalau terbilang cepat maka dikhawatirkan bersifat eksklusif yang berarti
tidak banyak orang yang tahu dan malah berbahaya ketika kebijakan tersebut di
declare ke publik tapi gaada yang tahu buat apa sebenarnya kemudian pro kontra
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
150
muncul. Ketika pro kontra muncul maka menurunkan efektivitas dari kebijakan
maupun implementasinya. Dalam kebijakan ada instrumen diantaranya Undang –
Undang, PP, PMK, dan bentuk program pemerintah lain, alokasi anggaran,
termasuk pasal Mentri. Justru yang menjadi catatan adalah argumentasi atau dasar
kebijakan harus cepat. Apakah karena sudah dicanangkan sifatnya, orang sudah
banyak tahu jadi hanya revisi beberapa pasal saja. Sehingga pemerintah punya suatu
pemikiran bahwa bisa dipercepat atau pemerintah tidak terbiasa mempunyai
interaksi dengan aktor yang punya kepentingan disana. Soalnya yang pertama,
kebijakan udah ada jadi sifatnya perubahan yang implemental saja. Itu bukan
berarti, gini apakah cepatnya tertutup atau cepat tapi melibatkan banyak kebijakan,
jadi kualitas dari proses itu sendiri tidak dilihat dari kuantitas waktu tapi apakah
kualitas proses mencerminkan keterlibatan para aktor atau pemangku kepentingan.
H: Kalau setau Bapak, dalam perpajakan aktor yang berkepentingan siapa aja?
I: Banyak mba, selain pemerintah pasti ada dunia usaha. Dan dunia usaha itu dengan
segala macam diversifikasi produk mereka, usaha mereka, tentu menjadi objek
pajak. Sejauh mana kebijakan berkaitan dengan perpajakan itu di satu sisi bisa
menjadi sumber income bagi pemerintah tapi disisi lain juga tidak membatasi ruang
gerak pengusaha tadi. Tapi memang jika berbicara sesuatu yang lebih paragdimatik
misalnya pemerintahan yang menganut paham libertarian atau kapitalisme
cenderung mengurangi beban pajak kepada para pengusaha karena asumsi mereka
adalah pajak merupakan peluang untuk menciptakan intervensi pemerintah
terhadap ekonomi. Nah intervensi itu punya peluang untuk menciptakan
pertentangan kepentingan antar pelaku ekonomi. Bisa jadi pertentangan tersebut
menciptakan disinsentif bagi mereka. Misal pajak dikhawatirkan membebani
mereka sehingga kemampuan untuk memproduksi lebih tidak bisa optimal karena
beban pajak dan seterusnya. Karenanya di beberapa daerah/negara misal memberi
tax holiday untuk memudahkan investasi dulu karena investor belum2 udah kena
pajak ini pajak itu, wah costnya tinggi nih. Tapi juga negara yang menganut welfare
state justru sebaliknya. Pajak adalah sumber pemasukan negara karena orientasi
mereka adalah subsidi (sosial dan kesejahteraan masyarakat). Sehingga disinilah
pajak menjadi instrumen untuk menjalankan ideologi negara tadi. Nah, itu tinggal
dilihat aja negaranya mana yang dianut. Untuk negara misal, gitu ya, itu patai yang
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
151
liberal, atau konservatif dan juga yang Neo liberal yang rada-rada sosial Demokrat
itu juga punya pandangan yang berbeda. Walau mereka adalah negara kapitalisme
aliran ekonominya. Tadi liberal ekonomi klasik justru melahirkan kebijakan yang
tidak membebani sektor usaha karena kalo sektor usaha terbebani, produksi usaha
itu akan turun, kemudian output usaha akan rendah, tentunya juga kemauan mereka
untuk mengembangkan usaha dan khususnya terkait dengan lapangan pekerjaan
menajdi rendah pula. Tapi untuk partai Amerika yang berideologi sosial Demokrat
itu sebaliknya, mereka menjaga keseimbangan tadi. Mereka menekankan
bagaimana negara punya uang untuk memfasilitasi kelompok masyarakat yang
terkena dampak perekonomian atau juga pemerintah punya kepentingan untuk
membangun entitas sosial yang harus dibiayai negara.
Untuk aktornya sendiri, sekarang ini kan, perspektif kekinian untuk membuat
aturan adalah evidence based policy atau kebijakan berdasarkan empiris. Harus
melakukan bukti dan kajian. Nah, persoalan adalah DJP apakah sudah melakukan
policy reset yang dilakukan oleh sumber daya mereka. Kalau tidak akan menjadi
pertanyaan, "bagaimana kualitas kebijakannya?". "Bagaimana tingkat efektivitas
ketika diterapkan di masyarakat?" Memang peraturan yang berkaitan dengan pajak
bersifat memaksa. Jadi ketika ditetapkan mau ga mau orang bayar pajak, kalo ga
bayar kena hukuman. Tapi kan polanya tidak seperti itu hirarki pemerintah
membuat kebijakan. Karena pola seperti itu sudah tidak relevan lagi apalagi
ditengah kebutuhan. Masyarakat yang kompleks. Nah, untuk si kementerian
keuangan sendiri setau saya BKF itu sudah menjadi lembaga di lingkungan
kementerian keuangan yang di fokuskan untuk membuat kajian, termasuk kajian
berkaitan dengan kebijakan sehingga normatifnya lembaga itu yang bertugas
melakukan kajian, merekomendasikan kebijakan apa yang harus diterbitkan.
Misalnya oleh kementerian keuangan. Kalo memang yang dilakukan DJP seperti
ini maka yang dipertanyakan apakah evidence base theory sudah dilaksanakan?
Bagaimana cara mereka meriset kebijakan itu ditengah sumber daya mereka yang
sibuk dengan pekerjaan rutin? Siapa yang ngelakuin riset?. Misal "oh mereka pakai
konsultan". Lalu pertanyaan lagi "kenapa ga pakai bkf?" Berarti dari sisi secara
kualitas kebijakan, salah satu indikator penting adalah engagement organisasi
terhadap suatu kebijakan itu tadi. Nah kalo misal engagement harusnya dimotori
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
152
bkf sebagai badan yang melakukan riset. Namun tidak terjadi karena DJP
mengambil alih, tentu dari sisi ini dilihat bahwa kualitas kebijakan dari sisi
engagement kelembagaan dipertanyakan. Bagaimana pelembagaan kebijakan
didalam lingkungan Kemenkeu itu. Karena kualitas kebijakan itu dilahirkan dari 2
dimensi, dimensi pertama adalah dimensi proses dan dimensi kedua adalah hasil.
Produknya seperti apa. Ini gabisa dipisahkan. Gabisa mengharapkan hasil yang baik
kalau prosesnya buruk. Walau proses yang baik belum tentu menghasilkan
kebijakan yang baik.
H: Kalau sosialisasi yang baik Pak buat implementasi dari PMK ini apa Pak?
I: Sebenarnya kalau dilihat dari proses kebijakan itu, sosialisasi masuk didalam tahap
advokasi kebijakan. Nah advokasi kebijakan dalam framework nya itu dilakukan
sejak kebijakan itu akan dilahirkan. Bahkan dari saat pemerintah sedang
menfokuskan agenda terhadap isu kebijakan tertentu atau hasil yang dilakukan nah
didalam proses advokasi itu ada sosialisasi. Kalau misalnya sosialisasi dilakukan
sejak kebijakan terjadi, so what? Kan bukan masalah sosilasinya tapi kualitas
kebijakan itu sendiri. Ketika proses tidak dilakukan melalui evidence based policy,
maka itu tadi ada keraguan terhadap hasil kebijakan. Kalau misalnya "tidak baik"
sosialisasi pun gaada maknanya. Misal PMK belum mampu mengakomodasi
berbagai keragaman dari pemangku kebijakan yang ada atau kelompok-kelompok
masyarakat, kelompok sektor usaha yang terkena dampak dari kebijakan itu tadi.
Sosialisasi nanti sekedar sosialisasi. Padahal, tujuan sosialisasi dalam advokasi
kebijakan itu sendiri bagian dari pemerintah mengimplementasi kebijakan tersebut.
Tujuannya agar pemerintah mendapar dukungan dan sumberdaya yang cukup untuk
memformulasikan kebijakan tadi. Sekarang kalau sudah sosialisasi kemudian
kebijakannya ditentang, apakah optimal kebijakan tadi? Kan gitu
H: Kalo misalnya dalam formulasi, public hearing wajib ga sih Pak?
I: Sebenarnya kalo balik ke yang tadi saya sampaikan proses kebijakan interaktif
refleksi tadi maka publik bearing udah terjadi di dalamnya. Jadi public hearing
adalah bagian dari aktivitas proses kebijakan. Ada public hearing, ada public
communication, dan sebagainya. Tapi dengan gagasan tentang policy network
(jejaring kebijakan) maka pemangku kebijakan seharusnya sudah terlibat.
berdialog, berdiskusi, bertukar sumber daya, untuk menetapkan sebuah agenda
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
153
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
154
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
155
TRANSKRIP WAWANCARA
H: Tema skripsi saya tentang formulasi PMK 39/PMK.03/2018 tentang restitusi pajak
yang dipercepat Pak. PMK 39 itu merupakan PMK gabungan dari ketiga PMK
sebelumnya yang mengatur restitusi pajak melalui pendahuluan pak, yang masing
– masing ketiga PMK tersebut mengatur mengenai restitusi pajak terkait dengan
Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu, Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan
Tertentu, dan Pengusaha Pajak Berisiko Rendah. Menurut mas doli perbandingan
sebelum dan sesudah ada PMK ini dalam praktiknya itu gimana?
D: Saya terus terang, belum ada pengalaman restitusi yang dipercepat ini PMK 39,
selama ini yang lebih banyak saya tangani itu restitusi yang masih misalnya SPT
nya lebih bayar, PPNnya lebih bayar. Ini kasus yang lebih banyak saya tangani itu
bantu klien itu karena dia diperiksa karena SPT PPN lebih bayar, SPT PPh lebih
bayar dan semuanya dengan prosedur yang normal tidak ada pendahuluan apalagi
yang dipercepat ini. Dari beberapa diskusi dengan teman-teman saya dikantor juga
karna kemaren fasilitas itu pendahuluan itu ada resikonya, malah Wajib Pajak
kebanyakan menghindar menggunakan fasilitas pendahuluan itu. Karna itu mereka
pikir buat apa sekarang menerima dari restitusi dipercepat, sementara tahun depan
kita diperiksa juga, kan sanksinya besar kan, jadi itu malah orang lebih takut sama
100% nya daripada manfaat diterimanya restitusi pajak yang dipercepat gitu. Jadi
itu memang kebijakan itu harus dirubah gitu. Jangan disatu sisi seolah dimudahkan
tapi seperti masih garela juga nih di ancem dengan sanksi yang berat gitu. Jadi kan
kita maunya kan mau maju nih, kasih kemudahan dengan asas lebih percaya kepada
Wajib Pajak jangan main di dua ini, seolah “nih saya kasih kamu dipercepat”, tapi
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
156
kalau saya temukan sesuatu sanksinya besar, dan yang lebih bikin repotnya itu
seringkali koreksi itu bukan terjadi karena kesalahan Wajib Pajak itu, itu sering
sekali, bahkan rutin. Seringkali misalnya pemeriksaan PPN itu, koreksi nya
seringkali bukan karna kesalahan Wajib Pajak tapi kesalahannya ya disana si pihak
penerbit faktur. Misalnya tahun 2019, nomer seri faktur pajak itu mendahului, itu
banyak sekali yang di gagalkan, ditolak, pengkreditannya oleh kantor pajak.
padahal, itu secara aturannya di pasal 9 Undang – Undang PPN mana ada. Kalau
disana terjadi salah nomer seri, disana lapor nihil, disana konfirmasi tidak ada,
semua terjadi dipihak si penerbit, tapi yang dikoreksi disini. Padahal kan setau kita
mekanisme yang bener itu siapa penerbitnya dia dong yang harusnya tanggung
jawab. Kantor pajak harusnya ngejar kesana kan. Tapi kantor pajak seringnya
melihat hanya dari kacamata begini saja, udah kaya KPP saya disini, Wajib Pajak
saya disini, hanya dari 1 sisi. Kita kalau melihat selama ini yang namanya kasih
kemudahan dan apa modernisasi adm pajak itu dari segi restitusi pajak ini kok
belum ya. Gitu. Maunya aturan-aturan itu jangan lagi ada cantelan-cantelannya
yang pada akhirnya akan merugikan Wajib Pajak gitu. Ya diawal aja disaringnya
lebih ketat. Misalnya kriteria tertentu ini diperketat supaya gini, artinya, yang harus
diberikan kemudahan restitusi itu kan memang Wajib Pajak Wajib Pajak yang
patuh, resiko rendah, kalo dia udah memenuhi syarat itu ya harus dimudahkanlah
jangan ada lagi nanti dibelakang yang membuat orang malah gamau lagi
menggunakan fasilitas itu. Itu sih menurut saya.
H: Ada masukan Mas buat PMK ini?
D: Saya belum baca benar si PMK ini tapi nanti saya akan pelajari, tapi sejauh sampe
saat ini yang saya pernah bantu klien itu, belum ada yang menggunakan PMK ini,
karena itu terbit tahun berapa.
H: Tahun 2018.
D: Oh iya, jadi dalam artinya itu belum terjadi. Untuk yang kriteria itu, Wajib Pajak
kecil kan, ditempat saya itu kan banyak klien asing, dan kalo restitusinya puluhan
juta kadang-kadang mereka malah yaudahlah dihapus aja itu restitusinya, ngapain
kita klaim 50 juta, karnakan biayanya mahal untuk menggunakan konsultan, kalo
diam au coba restitusi sendiri belum berani, kalo mau make konsultan, mungkin
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
157
feenya bisa mahal ya. Kalo cuma dibawah 100 juta si kebanyakan tidak di klaim,
kalo mungkin klien mau ambil mungkin bisa jadi coba ke konsultan yang lain.
H: Kalo hambatan dan pendukung dengan ada PMK ini apa menurut Mas Doli?
D: Nah kalo saya sendiri itu memang belum pernah bantu klien dengan PMK ini kan,
tapi yaitu dari diskusi teman dikantor sekalipun dia memenuhi syarat dengan PMK
ini karna ada sanksinya malah bakalan pada gamau, itu si hambatannya. Cuma
memang ini sedikit berbeda, tapi masih dalam case yang sama saya melihat ada satu
masalah diperaturan kita ini bahwa restitusi PPN, kan ada 2 jenis nih, ada yang
boleh buat bulanan dan di akhir tahun. Saya melihat satu masalah gini, kalo orang
punya LB dari bulan ke bulan dan dibawa kebulan depan ya, hanya diakhir tahun
di claim, itu kan kalo dia di audit, kalo ditengah-tengah bulan tiba-tiba dikoreksi
kan dia kena sanksi 100% kan, nah perusahaan-perusahaan itu bisa dibilang
terjebak oleh peraturan. Kalo dia mau menghindari sanksi itu, dia harus claim
restitusi bulanan kan cuma aturannya kan membatasi, tidak semua perusahaan boleh
merestitusi bulanan kan, akhirnya perusahaan yang tidak memenuhi syarat untuk
restitusi bulanan ini, dia pasrah aja terima apa yang terjadi dengan dia gitu loh.
Karna dia yang mau coba rubah claim jadi PPN bulanan itu bisa ditolak sama kantor
pajak dengan alasan kamu bukan eksportir, bukan penyerahan ke wapu gitu kan.
Nah itu, saya melihat di peraturan itu terkait pendahuluan ini, Wajib Pajak secara
sadar dan tanpa sadar dia bisa di-expose sanksi 100% yang dia gabisa buat apa-apa.
Jadi aturannya itu menurut saya ya ada bahayanya gitu. Membatasi yang boleh
claim LB setiap bulan itu hanya ekspor dan penyerahan wapu. Bagi saya itu ada
masalah bagi Wajib Pajak tertentu gitu. Semoga ini bisa diperbaiki restitusi pajak
dimasa yang akan mendatang.
H: Kalo selama ini ada gasi Mas Wajib Pajak yang turun langsung dalam pembuatan
PMK perpajakan? Khususnya PMK ini ?
D: Setau saya tidak terlibat di PMK ini, yang pernah saya dengar si asosiasi
kemungkinan diundang kaya KADIN, jadi bukan Wajib Pajak langsung, kaya
KADIN atau asosiasi perkebunan sawit diundang kalo membahas suatu aturan
terkait dengan usaha mereka. Setau saya si itu dilakukan.
H: Kalo direstitusi sendiri itu mas ada pihak-pihak yang dilibatkan ?
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
158
D: Saya sendiri belum pernah tau dengan itu. Harusnya itu memang harus ada kaya
uji publik gitu kan. Masalahnya gini, sistem perundang-undangan kita kan rumit,
mulai dari perundangan Perpres, PMK, Perdirjen, kadang-kadang itu aturan yang
krusial terjadi di level bawah. Yang bisa menimbulkan kesulitan itu biasanya mulai
dari aturan dilevel bawah. Itu bisa mengimplikasi menyusahkan Wajib Pajak di
lapangan. Eval ini kan kaya gawajib di uji publik kan, seolah-olah diaturan DJP
bisa nerbitin sendiri aturan atau suatu kebijakan di DJP ke seluruh Wajib Pajak kan
di Indonesia. jadi menurut saya harus direformasi juga ni tatanan aturan kita, jangan
level DJP membuat aturan yang berdampak luas, ini berpengaruh loh pada iklim
investasi. Kalo DJP membuat aturan yang sulit contohnya dulu mengenai COD,
karna banyak keriwehan akhirnya di revisikan, nah kaya gitu tu. Kan DJP kan level
legislator kan, jangan terjadi dia yang laksanain dia juga yang bikin. Fungsi
pemeriksaan kan harus ada kan, misal BKF atau Kemenkeu kek, yang tidak
berkepentingan langsung sama DJP. Kalo diliat di lapangan, djp itu sangat fokus
pada tugasnya yaitu mengumpulkan pajak, akhirnya semua aturan itu
diinterpretasikan ujung-ujungnya menaruh pajak lebih banyak, baik benar maupun
engga benar, itu nomer 2. Namanya menjalankan tugas yakan, yaudahlah saya
sebagai fiskus begini, menurut saya begini, ya saya lakukan begini, saya dapat
SKPLB, nahh. Banyak kasus yang sampe ke banding, akhirnya Wajib Pajak banyak
menang, artinya kualitas SKP yang terbit itu gimana, itu si menurut saya. Itu tidak
terkait langsung ya dengan restitusi, tapi itu menurut saya masalah kecil, apalagi
masalah restitusi ini jangan dibuat bener-bener sulit, harus ditegasin asas
kepercayaan dan kemudahan Wajib Pajak buat restitusi.
H: Jadi menurut mas doly, ini belum sesuai dengan asas perpajakan mas terkait dengan
kemudahan administrasi dalam restitusi PMK ini?
D: Iya, ya misalnya juga soal kepastian tumpang tindih mengenai imbalan bunga. Kita
ada case setahun lebih diproses, kita menang di pengadilan, kita mohon imbalan
bunga, tapi gadirespon, oleh kantor pajak tidak dikasih, surat itu tidak dijawab,
tidak ditolak. Nah itu suatu kepastian yang sangat perlu kan. Karna terjadi
kekosongan aturan, jadi hal-hal itu restitusi, Wajib Pajak sangat butuh kepastian tu,
syaratnya harus dimudahkan, kalo ada imbalan bunga ya harus jelas. Jangan terjadi
tidak ada kejelasan. Itu penting sih.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
159
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
160
TRANSKRIP WAWANCARA
H: Tema skripsi saya tentang formulasi PMK 39/PMK.03/2018 tentang restitusi pajak
yang dipercepat Pak. PMK 39 itu merupakan PMK gabungan dari ketiga PMK
sebelumnya yang mengatur restitusi pajak melalui pendahuluan pak, yang masing
– masing ketiga PMK tersebut mengatur mengenai restitusi pajak terkait dengan
Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu, Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan
Tertentu, dan Pengusaha Pajak Berisiko Rendah. Menurut mas doli perbandingan
sebelum dan sesudah ada PMK ini dalam praktiknya itu gimana?
I: Kalau dulu pelaksanaannya pendahuluan itu, contoh kasus PT X mau restitusi PPN,
kan dia PKP yang dipungut oleh pemungut, nah terus dia tergolong ke Pasal 17D
kalau gasalah dulu. Tadinya dia mau restitusi kan, terus minta pendapat ke PT
Pratama, dan kita sarankan dia bisa melakukan restitusi perbulan. Tapi, dia
dipotong-potong gitu restitusinya, jadi kebetulan dia tuh tiap masa LB, jadi kita
potong-potong restitusinya, nah kebetulan ada masa PPN-nya itu dia dibawah 100
juta, nah itu ada implementasi PMK 198, dia itu yang dibawah 100 juta ada
perlakuan khusus gitu. Jadi kalau saya baca di PMK 198 itu, yang tiap restitusi di
bawah 100 juta, itu bisa dikeluarin SKPPKP kan, kita juga kaget si ada PMK itu.
Terus, jadi kita kan masukin tahun 2017 tuh Februari kalo gasalah. SPT restitusinya
itu kita laporin Februari, nah keluar SKPPKP itu kalau gasalah bulan Maret, jadi
kira-kira sebulanan lah ada SK tersebut, SK tersebut keluar, PT X langsung bilang
ke kita, nah kita buat surat permohonan SKPLB itulah kita sampein nomer rekening
dan lainnya untuk pencairan dananya, tapi saya lupa berapa lamanya itu cair. Jadi
kalau yang PMK ini, sebenernya saya belum alami PMK ini, tapi dari Wajib Pajak
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
161
cukup menguntungkanlah ya, jadi yang tadinya dia harus ada pemeriksaan dulu
kalo lebihnya 1M, sekarang udah gaada. Tapi kan itu ada syaratnya sendiri, dan itu
menurut saya si menguntungkan bagi Wajib Pajak. Kalau gasalah PMK yang lama
dicabut ya, mungkin ini lebih dikerucutkan lagi, jadi Wajib Pajak ga bingung gitu.
Jadi kembali lagi ke Wajib Pajak lagi si ini Wajib Pajak bisa dikategorikan kemana.
Dulu kita emang pilih si mau ke pasal 17D atau apa, jadi si Wajib Pajak bisa
melakukan pendahuluan atau restitusi doang, nah yang nentuin itu si kantor pajak.
jadi dulu kita engga melalui proses pendahuluan, gabikin surat permohonan dan
lainnya buat restitusi ini, hanya restitusi biasa. Mungkin kantor pajak punya
penilaian sendiri, mungkin dia ngirangnya PT X ini kategori rendah atau kriteria itu
gitu.
H: Kalau dulu yang PMK 198 itu sulit gasi?
I: Kalau SKPPKP itu dulu ga susah si kita, jadi kita belum diteliti dan segala macem,
udah ada SK itu, bisa jadi ini SKPPKP tergolong ke PKP berisiko rendah, jadi
kantor pajak berani keluarin itu SK. Dulu itu si PT X kalau gasalah jadi 6 bulannya
dibawah 100 juta, 6 bulan lagi diatas 100 juta, nah itu diperiksa diatas 100 juta.
Nah 6 bulan dibawah 100 juta itu gadiperiksa si, langsung keluar SKPPKP. Kalo
gasalahsi sebulan cair deh. Dan sampai sekarang itu yang udah dibalikin
kelebihannya belum diperiksa lagi si.
H: Hambatan sama pendukung PMK 39 ini apa aja ?
I: Ya kalo Wajib Pajaknya pede, Wajib Pajaknya udah siap diperiksa kan kalo restitusi
itu berarti harus siap diperiksa kan, kan ini PMK ini kan ga diperiksa ya, tapi
dilakukan penelitian ya, jadi kan diteliti dulu baru pemeriksaan kan ya, jadi ada
kemungkinan si bisa aja diperiksa gitu, ini si hambatannya kalo mau gunain PMK
ini. Kantor pajak menurut saya si kurang sosialisasi gitu, sampe sekarang kan Wajib
Pajak itu yang kita tangani belum ada yang pendahuluan itu kan, masih kita proses
ke pemeriksaan aja, karna masih dinilai cukup bahaya kalau menggunakan
pendahuluan ini, jadi kantor pajak harus lebih sosialisasi aja ini kemudahannya
gimana, dampaknya atau efeknya apa, untuk keuntungan Wajib Pajaknya juga, tapi
para wajib pajak juga harus care juga si setiap ada aturan baru, jadi PMK ini tuh
bisa berjalan dengan baik gitu. Kalau pendukung untuk bisa berjalannya PMK ini,
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
162
kan Wajib Pajak harus nurut si kantor pajak gitu kan, harus sesuai dengan PMK itu
kalau mau ikutin PMK itu apa aja yang ditentuin si bisa berjalan PMK ini.
H: Ada gasi Wajib Pajak yang terlibat dalam perumusan PMK 39 ini?
I: Kurang tau si kalau buat PMK ini, biasanya si ada kalo bikin aturan itu, kan
biasanya ada pertemuan Ikatan Knsultan Pajak setahun sekali, mungkin ada
pembahasan juga nah biasanya ada DJP tuh juga ikut dan ada pembahasan-
pembahasan jadi mungkin dari situ si terlibatnya, ada saran-saran gitu.
H: Saran untuk PMK 39 ini apa Kak?
I: Wajib Pajak harus lebih care lagi sama liat aturan ini, meskipun dulu banyak ya
aturan PMKnya, sosialisasinya juga harus lebih si, biar Wajib Pajak jadi care dan
lebih paham juga si ya.
Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018