Anda di halaman 1dari 177

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENGEMBALIAN


PENDAHULUAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

SKRIPSI

HENI PRATIWI
1506720980

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI


DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI FISKAL
DEPOK
DESEMBER 2018

i
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENGEMBALIAN


PENDAHULUAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Sarjana Ilmu Administrasi dalam bidang Ilmu Administrasi Fiskal

HENI PRATIWI
1506720980

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI


DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI FISKAL
PROGRAM SARJANA PARALEL
DEPOK
DESEMBER 2018

i
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber yang dikutip dan dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Heni Pratiwi

NPM : 1506720980

Tanda Tangan :

Tanggal : 10 Desember 2018

ii
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :


Nama : Heni Pratiwi
NPM : 1506720980
Program : Sarjana Paralel
Departemen : Ilmu Administrasi Fiskal
Judul Skripsi : Analisis Formulasi Kebijakan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai


bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu
Administrasi pada program Studi Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu
Administrasi, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Wisamodro Jati S.Sos., M.Int.Tax., M.H., (……….………….)

Penguji Ahli : Dr. Ning Rahayu M.Si (…………….…….)

Ketua Sidang : Dr. Milla S. Setyowati, M.Ak (…………….…….)

Sekretaris Sidang : Lucas Filberto S., SIA., MIP (…………….…….)

Ditetapkan di : Depok

Tanggal : 5 Januari 2018

iii
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat-Nya, penulis
dapat menyelesaikan rancangan skripsi ini dengan judul Analisis Formulasi Kebijakan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak. Skripsi ini merupakan salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Administrasi dalam bidang Ilmu
Administrasi Fiskal. Dalam penyusunan rancangan skripsi ini, penulis tidak terlepas dari
pihak – pihak yang telah membantu dan membimbing menyelesaikan rancangan skripsi
ini. Oleh karena itu, maka penulis bermaksud menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada :
1) Prof. Dr. Eko Prasojo Mag.rer.publ., selaku Dekan Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Indonesia (FIA UI);
2) Dr. Milla Sepliana Setyowati S.Sos., M.Ak., selaku Ketua Departemen Ilmu
Administrasi Fiskal FIA UI serta ketua sidang proposal skripsi yang telah memimpin
jalannya sidang proposal penulis;
3) Dr. Titi Muswati Putranti M.Si., selaku dosen pembimbing akademis penulis yang
telah memberikan arahan selama masa perkuliahan;
4) Dr. Ning Rahayu M.Si., selaku penguji ahli sidang proposal dan telah memberikan
masukan yang membangun untuk bisa menyelesaikan skripsi ini;
5) Wisamodro Jati S.Sos., M.Int.Tax., M.H., selaku dosen pembimbing skripsi penulis
yang telah menyediakan waktu dan tenaga untuk membimbing penulis dengan
memberikan arahan, dukungan, dan perbaikan hingga penulis bisa menyelesaikan
skripsi ini;
6) Seluruh tim pengajar program studi Ilmu Administrasi Fiskal yang telah membagi
ilmu dan pengetahuan selama masa perkuliahan;
7) Seluruh informan diantaranya Bapak Andik, Bapak Dony, Mas Novrijal, Mas
Gilang, Mas Adi selaku pihak Direktorat Jenderal Pajak, Prof. Gunadi, Bapak Eddy,
Mas Ican selaku pihak akademisi FIA UI, dan Mas Doli, Kak Imam selaku pihak
praktisi perpajakan yang telah bersedia untuk menyempatkan waktu untuk
diwawancarai demi membantu terselesaikannya skripsi ini;

iv
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
8) Bapak Herman Prawoko dan Ibu Sutini, kedua orang tua penulis yang senantiasa
memberikan semangat dan doa, serta dukungan baik moral maupun material untuk
dapat menyelesaikan skripsi ini;
9) Teman – teman satu bimbingan skripsi, Ka Fano dan Quin yang telah berjuang
bersama – sama melalui suka duka untuk menyelesaikan skripsi ini;
10) Teman – teman FIA UI, senior – senior Mahasiswa Administrasi, BEM FIA UI, BPM
FIA UI, DPM UI dan lain – lain yang telah mewarnai hari – hari penulis selama masa
perkuliahan;
11) Teman – teman Fiskal Paralel 2015, yang telah menemani penulis dalam menjalani
perkuliahan setiap harinya;
12) Teman – teman spesial penulis, Vhania, Gita, Arin, Lena, Dwita, Eka, Tiwi, Melin,
Venny, Rafa, Alfian, Rakha, Azis dan lain – lain yang telah memberikan dukungan
dan mendengarkan suka duka penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna karena
keterbatasan ilmu penulis. Oleh karena itu apabila ada kritik dan saran yang membangun,
dengan senang hati penulis terima untuk menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata, semoga
skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membaca.

Depok, 10 Desember 2018

Heni Pratiwi

v
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Heni Pratiwi


NPM : 1506720980
Program : Sarjana Paralel
Departemen : Ilmu Administrasi Fiskal
Fakultas : Ilmu Administrasi
Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusice Royalty Free
Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
“ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENGEMBALIAN
PENDAHULUAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK”
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola
dalam bentuk pangkalan media (database), merawat, dan mempublikasi tugas akhir saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak
Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 10 Desember 2018

Yang menyatakan,

(Heni Pratiwi)

vi
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
ABSTRAK

Nama : Heni Pratiwi


Program Studi : Ilmu Administrasi Fiskal
Judul : Analisis Formulasi Kebijakan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pembayaran Pajak
Pembimbing : Wisamodro Jati, S.Sos., M.Int.Tax., M.H

Proses restitusi pajak yang cukup lama dengan dilakukannya pemeriksaan menyebabkan
ketidakefisiensian administrasi perpajakan bagi para Wajib Pajak. Pemerintah
mengeluarkan kebijakan percepatan restitusi pajak dengan tujuan untuk
menyederhanakan proses restitusi perpajakan dengan diterbitkannya PMK
39/PMK.03/2018. PMK 39/PMK.03/2018 ini merupakan perbaikan dan penggabungan
dari ketiga Peraturan Menteri Keuangan terdahulu, yakni PMK 74/PMK.03/2012, PMK
198/PMK.03/2013, dan PMK 71/PMK.03/2010. Dalam konteks ini, penelitian atas
formulasi kebijakan ini diperlukan untuk mendapatkan pemahaman lebih rinci mengenai
permasalahan yang ingin diselesaikan dan pihak yang dilibatkan. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa perumusan
PMK 39/PMK.03/2018 telah melalui tahapan – tahapan formulasi kebijakan, yaitu
tahapan perumusan masalah, agenda kebijakan, pemilihan alternatif kebijakan, dan
penetapan kebijakan. Namun, masih terdapat kekurangan di dalam pelaksanaannya. Hal
ini dikarenakan di dalam tahapan agenda kebijakan, tidak semua pihak terlibat langsung
dalam perumusan kebijakan. Selain itu, dalam tahapan pemilihan alternatif kebijakan,
pemerintah tidak memiliki alternatif kebijakan di dalam formulasi ini, padahal pemilihan
alternatif kebijakan merupakan salah satu tahapan terpenting dalam perumusan
kebijakan. Untuk itu pemerintah juga harus memikirkan alternatif – alternatif lainnya
terkait dengan kebijakan restitusi pajak seperti menyediakan sarana dan fasilitas yang
mendukung proses percepatan restitusi pajak.

Kata kunci:
Formulasi Kebijakan, Lebih Bayar Pajak, Restitusi Pajak

vii Universitas Indonesia


Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
ABSTRACT

Name : Heni Pratiwi


Study Program : Fiscal Administrative Science
Title : Policy Formulation Analysis of Preliminary Overpaid Tax Refund
Counsellor : Wisamodro Jati, S.Sos., M.Int.Tax., M.H

The long process of tax restitution with the conduct of inspection causes inefficiencies in
tax administration for taxpayers. The government issued a policy of accelerating tax
refunds with the aim of simplifying the tax refund process with the issuance of PMK
39/PMK.03/2018. PMK 39/PMK.03/2018 is an improvement and merger of the previous
three Finance Minister Regulations, namely PMK 74/PMK.03/2012, PMK
198/PMK.03/2013, and PMK 71/PMK.03/2010. In this context, research on this policy
formulation is needed to get a more detailed understanding of the problems to be resolved
and the parties involved. This study uses a qualitative approach. The results show that
the formulation of PMK 39/PMK.03/2018 has gone through the stages of policy
formulation, namely the stages of problem formulation, policy agenda, selection of policy
alternatives, and policy setting. However, there are still shortcomings in the
implementation. This is because in the stages of the policy agenda, not all parties are
directly involved in policy formulation. In addition, at the stage of choosing alternative
policies, the government does not have alternative policies in this formulation, even
though the selection of policy alternatives is one of the most important stages in policy
formulation. For this reason the government must also think of other alternatives related
to tax restitution policies such as providing facilities that support the process of
accelerating tax refunds.

Keywords:
Policy Formulation, Tax Overpayment, Tax Restitution

viii Universitas Indonesia


Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS……………………………… ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………….. iii
KATA PENGANTAR………………………………………………………….. iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI………………. vi
ABSTRAK………………………………………………………………………. vii
ABSTRACT…………………………………………………………………….... viii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………. ix
DAFTAR TABEL………………………………………………………………. xi
DAFTAR GRAFIK…………………………………………………………….. xii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………… xiii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………. xiv
BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang………………………………………………………. 1
1.2 Perumusan Masalah…………………………………………………. 7
1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………………. 9
1.4 Manfaat Penelitian…………………………………………………... 9
1.4.1 Manfaat Akademis……………………………………………... 9
1.4.2 Manfaat Praktisi………………………………………………... 9
1.5 Sistematika Penulisan……………………………………………….. 10
BAB 2 KERANGKA PEMIKIRAN…………………………………………... 12
2.1 Tinjauan Pustaka…………………………………………………….. 12
2.2 Kajian Literatur……………………………………………………… 17
2.2.1 Konsep Kebijakan Publik………………………………………. 17
2.2.2 Konsep Formulasi Kebijakan ………………………………….. 20
2.2.3 Konsep Kebijakan Fiskal………………………………………. 23
2.2.4 Konsep Administrasi Pajak…………………………………….. 25
2.2.5 Konsep Kelebihan Pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) dan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) : Restitusi…………………….. 28
2.3 Alur Pemikiran………………………………………………………. 31
BAB 3 METODE PENELITIAN……………………………………………… 33
3.1 Pendekatan Penelitian……………………………………………….. 33
3.2 Jenis Penelitian………………………………………………………. 33
3.2.1 Berdasarkan Tujuan Penelitian…………………………………. 34
3.2.2 Berdasarkan Manfaat Penelitian………………………………... 34
3.2.3 Berdasarkan Dimensi Waktu Penelitian………………………... 34
3.3 Teknik Pengumpulan Data…………………………………………... 34
3.3.1 Studi Kepustakaan……………………………………………… 35
3.3.2 Studi Lapangan…………………………………………………. 35

ix Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
3.4 Teknik Analisis Data………………………………………………… 35
3.5 Informan………………………………………………………........... 36
3.6 Site Penelitian………………………………………………………... 37
3.7 Batasan Penelitian…………………………………………………… 37
BAB 4 GAMBARAN UMUM PERATURAN KEBIJAKAN
PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN
PEMBAYARAN PAJAK………………………………………………. 38
4.1 Ketentuan Restitusi Pajak Dalam Undang – Undang Perpajakan…... 38
4.2 Regulasi Perpajakan Terkait Pendahuluan Kelebihan Pembayaran
Pajak………………………………………………………................. 46
BAB 5 ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENDAHULUAN
RESTITUSI PERPAJAKAN BERDASARKAN PERATURAN
MENTERI KEUANGAN NOMOR 39/PMK.03/2018………………... 61
5.1 Tahapan – Tahapan Proses Formulasi Kebijakan Pendahuluan
Restitusi Pajak Berdasarkan PMK
39/PMK.03/2018……………………………………………………. 63
5.1.1 Perumusan Masalah…………………………………………….. 64
5.1.2 Agenda Kebijakan……………………………………………… 70
5.1.3 Pemilihan Alternatif Kebijakan Untuk Memecahkan Masalah…. 78
5.1.4 Penetapan Kebijakan…………………………………………… 86
BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN……………………………………………... 95
6.1 Simpulan……………………………………………………….......... 95
6.2 Saran………………………………………………………................. 96
DAFTAR REFERENSI………………………………………………………… 97

x Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Penerimaan Negara Sektor Pajak Tahun 2014-2017 (Rp Miliar)……… 1
Tabel 2.1 Matriks Tinjauan Pustaka......................................................................... 14
Tabel 4.1 Perbandingan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu.............................. 49
Tabel 4.2 Perbandingan Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu.......... 54
Tabel 4.3 Perbandingan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah........................... 58
Tabel 5.1 Posisi Indonesia Pada 10 Indikator EoDB............................................... 67
Tabel 5.2 Keterlibatan Dit. TIP, Dit. TTKI, Dit. TPB, dan Dit. P2 Humas………. 72
Tabel 5.3 Perbandingan Implementasi Sebelum dan Sesudah PMK
39/PMK.03/2018..................................................................................... 88
Tabel 5.4 Proses Formulasi Kebijakan Pendahuluan Restitusi Pajak…………….. 92

xi Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
DAFTAR GRAFIK

Grafik 1.1 Realisasi SPTLB Dalam 4 (Empat) Tahun Terakhir………………….. 3


Grafik 1.2 Peringkat EoDB Indonesia…….............................................................. 6
Grafik 5.1 Jumlah Penyampaian SKPPKP Dalam 4 (Empat) Tahun Terakhir........ 66

xii Universitas Indonesia


Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tahapan – Tahapan Formulasi Kebijakan……….…………………... 22


Gambar 2.2 Alur Pemikiran………………............................................................. 32

xiii Universitas Indonesia


Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Wawancara


- Direktorat Peraturan Perpajakan I
- Akademisi Perpajakan
- Akademisi Kebijakan Publik
- Praktisi Perpajakan
Lampiran 2 Transkrip Wawancara
- Andik Tri Sulistyono, Kepala Seksi Peraturan KUP dan PPSP
- Dony Olfa Wijaya, Kepala Seksi Peraturan PPN Industri
- Adi Saputra Marja, Pelaksana Seksi Peraturan KUP dan PPSP
- Novrijal, Pelaksana Seksi Peraturan KUP dan PPSP
- Nusa Gilang Harda Kusuma, Pelaksana Seksi Peraturan KUP
dan PPSP
- Prof. Dr. Gunadi M.Sc., Akt, Guru Besar Tetap Perpajakan
FISIP Universitas Indonesia
- Dr. Tb. Eddy Mangkuprawira S.H., M.Si, Dosen Ilmu
Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu Administrasi Universitas
Indonesia
- Zuliansyah P.Z., S.Sos, M.Si, Dosen Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia
- Doli Aritonang, Senior Tax Manager, EY
- Imam Adhisuryo, Senior Konsultan, PT Pratama Indomitra
Konsultan

xiv Universitas Indonesia


Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sumber dana di dalam negeri sebagai penerimaan negara yang memiliki
sumbangsih terbesar adalah pajak. Pemerintah terus berupaya mengoptimalkan
penerimaan negara dengan terus menggali potensi – potensi yang bisa dijadikan sebagai
sumber dana di dalam negeri terutama Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut PPh) dan
Pajak Pertambahan Nilai (selanjutnya disebut PPN). Hal ini dikarenakan PPh dan PPN
memberikan kontribusi terbesar di sektor perpajakan, serta mendapatkan tempat dan
peran terpenting dalam penerimaan negara seperti yang terlihat pada tabel 1.1.

Tabel 1.1 Penerimaan Negara Sektor Pajak Tahun 2014-2017 (Rp Miliar)

Sumber 2014 2015 2016* 2017**


Penerimaan
Penerimaan Negara 1.545.456,3 1.496.047,33 1.784.249,9 1.736.256,7
Penerimaan 1.146.865,8 1.240.418,86 1.539.166,2 1.495.893,8
Perpajakan
Pajak Dalam Negeri 1.103.217,6 1.205.478,89 1.503.294,7 1.461.818,7
PPh 546.180,9 602.308,13 855.842,7 784.726,9
PPN 409.181,6 423.710,82 474.235,3 493.888,7
PBB 23.476,2 29.250,05 17.710,6 17.295,6
BPHTB 0 0 0 0
Cukai 118.085,5 144.641,3 148.091,2 157.158,0
Pajak lainnya 6.293,4 5.568,3 7.414,9 8.749,6

Sumber : Departemen Keuangan, www.bps.go.id , 2018 (telah diolah kembali oleh Peneliti)
(LKPP, *APBN-P, **RAPBN)

Berdasarkan tabel 1.1, di tahun 2017 terlihat bahwa penerimaan PPh sebesar
Rp784.726,9 Miliar dan penerimaan PPN sebesar Rp493.888,7 Miliar merupakan sektor
penerimaan perpajakan yang terbesar dibandingkan dengan PBB, BPHTB, Cukai, dan
jenis pajak lainnya. Tercapai atau tidaknya penerimaan negara di sektor perpajakan,

1 Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
2

terutama dari kedua jenis pajak tersebut ditentukan oleh peran serta Wajib Pajak dalam
melaksanakan sistem pemungutan pajak. Indonesia menganut pemungutan pajak dengan
sistem self assessment. Berdasarkan International Bureau of Fiscal Documentation
dalam International Tax Glossary (Haula dan Edi, 2011, p.106), self assessment
didefinisikan sebagai berikut.

“Under self assessment is meant the system which the taxpayer is


required not only to declare his basis of assessment (e.g. taxable
income) but also to submit a calculation of the tax due from him and,
usually, to accompany his calculation woth payment of the amount he
regards as due.”

Definisi tersebut menjelaskan bahwa fiskus hanya berperan dalam mengawasi


kewajiban perpajakan Wajib Pajak, seperti untuk mengetahui kebenaran material yang
telah dilaporkan oleh Wajib Pajak di dalam Surat Pemberitahuan (selanjutnya disebut
SPT) baik tahunan maupun masa. Selain itu, Wajib Pajak baik Orang Pribadi, Badan,
maupun Pengusaha Kena Pajak (selanjutnya disebut PKP) juga diberikan kepercayaan
untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak terhutang, sehingga Wajib
Pajak dituntut untuk menjalankan kewajiban perpajakannya dengan benar dan sesuai
dengan ketentuan perpajakan yang berlaku, tetapi, dalam pelaksanaan sistem self
assessment, seringkali ditemukannya kejanggalan baik perhitungan Wajib Pajak hingga
pelaporan pajak yang terhutang. Terlebih lagi jika terdapat status lebih bayar yang
dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam pelaporan SPT yang menyebabkan harus adanya
pemeriksaan.
Pemeriksaan merupakan salah satu proses penyelesaian pengembalian kelebihan
pembayaran pajak atau tax refund (selanjutnya disebut restitusi). Pemeriksaan juga
berperan dalam menguji kepatuhan Wajib Pajak berdasarkan ketentuan perpajakan. Atas
kelebihan pembayaran pajak kepada negara, Wajib Pajak berhak untuk meminta kembali
kelebihan pembayaran pajak yang telah dibayarkan dan telah dilaporkan dalam SPT
dikarenakan Wajib Pajak memiliki hak – hak administratif, salah satunya adalah hak atas
restitusi pajak. Hak Wajib Pajak terkait restitusi pajak juga menjadi salah satu poin
Organisation for Economic Co-operation and Development (selanjutnya disebut OECD)
dalam Centre for Tax Policy and Administration, Tax guidance series, General
Administrative Principles - GAP002 Taxpayers’ Rights and Obligations (2003, p.3) yaitu:

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
3

“ The right to pay no more than the correct amount of tax.”

Wajib Pajak berkewajiban untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan


membayar pajak tidak lebih dari jumlah pajak yang seharusnya, sebagaimana yang
dimaksudkan dalam OECD. Wajib pajak juga diberikan kesempatan untuk mengajukan
restitusi apabila membayar pajak lebih dari jumlah pajak yang terutang dengan
menyampaikan SPT, sehingga otoritas pajak memiliki kewajiban untuk memproses SPT
lebih bayar (SPTLB) yang diajukan oleh Wajib Pajak baik pengajuan restitusi PPh
maupun PPN dan mengembalikan kelebihan pembayaran pajak yang telah dibayarkan
oleh Wajib Pajak kepada negara.
Selama empat tahun terakhir, yang dapat dilihat pada grafik 1.1, SPTLB yang
diajukan oleh Wajib Pajak dan diterima oleh otoritas pajak dalam restitusi pajak
berfluktuasi.

30.000

25.000 26.772

20.000 22.758
SPTLB

15.000 16.934
16.131
10.000

5.000

0
2014 2015 2016 2017

Realisasi SPTLB

Realisasi SPTLB Dalam 4 (Empat) Tahun Terakhir


Sumber : Dit TIP, Direktorat Jenderal Pajak, 2018 (telah diolah kembali oleh Peneliti)

Berdasarkan grafik 1.1, SPTLB yang diterima oleh otoritas pajak di tahun 2014 sebesar
26.772 SPTLB, sedangkan di tahun 2015 mengalami penurunan menjadi 16.131 SPTLB.
Di tahun 2016 dan 2017, SPTLB yang diterima oleh otoritas pajak mengalami
peningkatan yang di setiap tahunnya menjadi 16.934 dan 22.758 SPTLB. Dari tahun 2016
ke tahun 2017 memperlihatkan bahwa adanya peningkatan SPTLB yang diajukan oleh
Wajib Pajak, tetapi pertumbuhan restitusi tersebut dapat dikatakan terbilang melambat.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
4

Peningkatan tersebut menunjukan bahwa semakin membaiknya kondisi makro ekonomi


secara perlahan – lahan, namun, tidak kemungkinan juga perlambatan ini justru
menggambarkan bahwa Wajib Pajak tidak mau untuk mengajukan restitusi karena proses
restitusi pajak seperti yang telah diketahui oleh Wajib Pajak selama ini tidaklah mudah,
serta dapat menyita waktu, tenaga, dan finansial. Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga
memberikan kritikan terhadap restitusi pajak di Indonesia, bahwa proses restitusi pajak
sangat sulit karena prosesnya yang rumit hingga membuat frustasi para pengusaha di
Indonesia (Fiki, https://www.liputan6.com, 2018).
Kesulitan dalam proses restitusi pajak disebabkan karena lamanya proses
pemeriksaan yang dilakukan oleh otoritas perpajakan sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 17B Undang – Undang No. 6 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir kali dengan
Undang – Undang No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (selanjutnya disebut UU KUP), bahwa jangka waktu permohonan restitusi
paling lama 12 (dua belas) bulan dan identik dengan adanya pemeriksaan yang dilakukan
oleh Direktorat Jenderal Pajak (selanjutnya disebut DJP) atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak yang diajukan oleh Wajib Pajak. Meskipun di dalam
peraturan perpajakan restitusi pajak memiliki jangka waktu untuk mengembalikan
kelebihan pembayaran pajak kepada Wajib Pajak, tetapi dalam proses pelaksanaannya,
DJP harus melakukan pengecekan terlebih dahulu dan melakukan pemeriksaan untuk
mengeluarkan uang negara. Apalagi setelah dengan ditemukannya beberapa kasus
tentang manipulasi restitusi pajak di Indonesia, otoritas pajak semakin ketat untuk
mengeluarkan uang negara. Atas dasar itu, muncul anggapan publik seperti yang di tulis
oleh Institute for Tax Reform and Public Policy, bahwa otoritas pajak sengaja
mempersulit proses retitusi pajak karena berusaha untuk meminimalkan pengeluaran kas
negara yang di terima melalui sektor perpajakan (www.instep.id, 2018).
Jika dilihat dari proses restitusi pajak di negara lain, Australia memiliki proses
restitusi pajak yang cepat dibandingkan dengan Indonesia. Di Australia, khususnya bagi
orang pribadi, otoritas pajak dapat memproses dan memeriksa lebih bayar Wajib Pajak
hanya dalam jangka waktu 12 hari sampai 50 hari kerja, tergantung pada pelaporan
pajaknya yang diajukan oleh Wajib Pajak baik secara manual maupun online atau dengan
menggunakan e-tax. Di Indonesia sendiri, menurut Gunadi (2016), layanan pengembalian
lebih bayar pajak berdasarkan UU KUP selain dengan diterbitkannya Surat Ketetapan

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
5

Pajak Lebih Bayar (selanjutnya disebut SKPLB) hasil pemeriksaan Pasal 17 ayat (1) dan
17B ayat (1), proses restitusi pajak juga dapat di percepat dengan dilakukannya
pengembalian pendahuluan dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak (selanjutnya disebut SKPPKP), yakni proses restitusi pajak
dengan dilakukannya penelitian (p.137).
DJP menerbitkan SKPPKP berdasarkan hasil penelitian terhadap kebenaran
pembayaran pajak atas permohonan Wajib Pajak yang diatur dalam Pasal 17C ayat (1)
UU KUP, 17D ayat (1) UU KUP, dan Pasal 9 ayat (4C) Undang - Undang Nomor 8 Tahun
1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang – Undang Nomor 42 Tahun 2009
tentang Pajak Pertambahan Nilai (selanjutnya disebut UU PPN). Layanan pengembalian
lebih bayar tersebut merupakan bentuk pelayanan dan kebijakan yang diberikan
pemerintah dalam mempercepat proses restitusi pajak kepada Wajib Pajak untuk
mendorong kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Namun, tidak semua Wajib Pajak dapat menggunakan SKPPKP karena hanya tiga kriteria
saja yang bisa mendapatkan SKPPKP yaitu Wajib Pajak Kriteria Tertentu, Wajib Pajak
Persyaratan Tertentu, dan PKP Berisiko Rendah.
Ketiga kriteria khusus atas pengembalian pendahuluan berdasarkan SKPPKP di
dalam Undang – Undang Perpajakan yang dimaksud adalah Wajib Pajak yang berhak
didahulukan restitusi pajaknya dan sebelumnya diatur dalam aturan lanjutan yang
berbeda. Wajib Pajak yang dimaksud sebagai Wajib Pajak Kriteria Tertentu diatur dalam
Pasal 17C ayat (1) UU KUP dan diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 74/PMK.03/2012 (selanjutnya disebut PMK
74/PMK.03/2012), Pasal 17D ayat (1) UU KUP sebagaimana yang dimaksud sebagai
Wajib Pajak Persyaratan Tertentu diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 198/PMK.03/2013 (selanjutnya disebut PMK
198/PMK.03/2013), dan Pasal 9 ayat (4C) UU PPN sebagaimana yang dimaksud sebagai
PKP Berisiko Rendah diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 71/PMK.03/2010 (selanjutnya disebut PMK 71/PMK.03/2010).
Terkait dengan pelayanan Wajib Pajak untuk mendapatkan haknya, proses restitusi
yang lambat, sebenarnya dapat merugikan Wajib Pajak, terutama dalam kegiatan bisnis
bagi para pengusaha. Kerugian yang dimaksud dapat mengganggu arus kas (cash flow)
keuangan bisnis perusahaan. Selain itu, penyelesaian restitusi pajak dengan dilakukannya

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
6

pemeriksaan dalam waktu yang lama dapat menghambat kemudahan usaha dan
mempengaruhi peringkat Ease Of Doing Business (EoDB) Indonesia di dunia. EoDB
merupakan salah satu standard yang diakui dunia internasional sebagai acuan para
investor untuk melakukan usaha atau berinvestasi di suatu negara (Media Keuangan,
2018, p.3).
Berdasarkan laporan Bank Dunia yang berjudul “Doing Business 2018: Reforming
to Create Jobs”, seperti yang dikutip dalam website Sekretariat Kabinet Republik
Indonesia, Indonesia mengalami kenaikan EoDB di tahun 2017 dengan menduduki
peringkat ke-91, dan berhasil naik 19 peringkat dari tahun sebelumnya. Selain itu,
sebelumnya di tahun 2014, Indonesia berada di posisi ke 120 dan naik 8 tingkat dari tahun
2013. Di tahun 2015 dan 2016, Indonesia juga mengalami peningkatan sebesar 6 dan 5
peringkat dimana pada masing – masing tahun tersebut Indonesia berada di posisi ke 114
dan 109. Peningkatan peringkat tersebut dapat dilihat pada grafik 1.2 dari tahun 2014
sampai pada tahun 2017.

140
120
120 114
109

100 91
Peringkat

80

60

40

20

0
2014 2015 2016 2017
Tahun

Grafik 1.2 Peringkat EoDB Indonesia


Sumber : Katadata Indonesia, www.databoks.katadata.co.id, 2018 (telah diolah kembali oleh Peneliti)

Di tahun 2018, Indonesia kembali mengalami kenaikan peringkat yakni berada di


posisi ke-72 dari 190 negara dibandingkan tahun 2017. Atas peningkatan target di tahun
2018, Presiden Jokowi menargetkan EoDB Indonesia berada di posisi ke-40 untuk tahun
berikutnya (databoks.katadata.co.id, 2018). Menindaklanjuti target Jokowi, Kementerian

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
7

Keuangan, Sri Mulyani, membuat kebijakan baru untuk mempercepat proses restitusi
perpajakan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
39/PMK.03/2018 (selanjutnya disebut PMK 39/PMK.03/2018) Tentang Tata Cara
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak, yang merupakan gabungan
peraturan restitusi pajak bagi tiga kriteria khusus yang sebelumnya diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan yang berbeda.
Dengan diterbitkannya PMK 39/PMK.03/2018, adanya perubahan – perubahan yang
dapat meningkatkan kemudahan bagi Wajib Pajak untuk mendapatkan hak restitusi pajak,
kemudahan dalam berusaha, serta dapat meningkatkan EoDB Indonesia dengan
memperluas jumlah lebih bayar restitusi pajak, masa berlaku penetapan, pengajuan
permohonan pengembalian pendahuluan, hingga hasil penelitian restitusi perpajakan.
Selain itu, PMK 39/PMK.03/2018 beserta perubahannya, pada dasarnya pemerintah
berusaha untuk meningkatkan likuiditas Wajib Pajak untuk dapat meningkatkan daya
saing perusahaan dan munculnya beberapa startup sebagai salah satu faktor untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

1.2 Perumusan Masalah


Untuk mendapatkan kelebihan pembayaran pajak dalam proses restitusi, Wajib
Pajak harus melakukan serangkaian proses yang salah satunya adalah dengan
dilakukannya pemeriksaan. Pemeriksaan sebagai proses restitusi, dilakukan dengan
membutuhkan waktu yang cukup lama dan dapat menghambat kemudahan dalam
berusaha. Selain itu, lambatnya proses restitusi perpajakan akibat proses pemeriksaan
menyebabkan ketidakefisiensian administrasi perpajakan bagi para Wajib Pajak. Proses
retitusi dengan dilakukannya pemeriksaan diatur dalam Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 17B
ayat (1) UU KUP.
Disisi lain, menyimpang dari Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 17B ayat (1) UU KUP,
demi kemudahan administrasi, berdasarkan Pasal 17C UU KUP, Pasal 17D UU KUP,
dan Pasal 9 ayat (4C) UU PPN, proses restitusi pajak dapat dipercepat tanpa melalui
SKPLB atau tanpa adanya pemeriksaan terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan proses
restitusi pajak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17C UU KUP, Pasal 17D UU
KUP, dan Pasal 9 ayat (4C) UU PPN dapat melalui SKPPKP berdasarkan penelitian, yang
artinya Wajib Pajak dapat diberikan pendahuluan restitusi tanpa adanya pemeriksaan.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
8

Namun, yang berhak untuk mendapatkan restitusi pajak dengan diterbitkannya SKPPKP
yakni hanya tiga kriteria tertentu saja meliputi Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu,
Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu, dan Pengusaha Kena Pajak Berisiko
Rendah. Ketiga kriteria tertentu yang dimaksud, diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan yang berbeda dan masing – masing peraturan berisikan tentang tata cara
pengembalian pendahuluan restitusi pajak.
Dalam pelaksanaannya, ketiga Peraturan Menteri Keuangan tersebut masih
dianggap kurang sederhana oleh Wajib Pajak serta memiliki cakupan yang tidak luas.
Atas dasar itu, banyaknya Wajib Pajak yang dialihkan ke pemeriksaan karena tidak
memenuhinya syarat untuk mengajukan restitusi melalui SKPPKP dan harus mengikuti
proses pemeriksaan yang cukup lama. Dengan adanya hambatan dalam proses restitusi
melalui SKPPKP tersebut, pemerintah menerbitkan PMK 39/PMK.03/2018 Tentang Tata
Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak yang merupakan
gabungan dan pencabutan dari ketiga Peraturan Menteri Keuangan terdahulu yaitu PMK
74/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penetapan dan Pencabutan Penetapan Wajib Pajak
dengan Kriteria Tertentu Dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pembayaran Pajak, PMK 198/PMK.03/2013 tentang Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu,
dan PMK 71/PMK.03/2010 tentang Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah yang
Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Dalam PMK 39/PMK.03/2018
dan perubahannya, adanya perluasan persyaratan, perbedaan penetapan, dan perbedaan
lainnya untuk mengajukan restitusi pajak dengan menggunakan SKPPKP.
Oleh karena itu, dengan adanya peraturan yang diubah dalam rangka
penyederhanaan administrasi pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak,
pada dasarnya apa yang dituju dan diinginkan oleh pemerintah dengan menderegulasi
aturan – aturan tentang pendahuluan restitusi pajak dan menjadi satukan ketiga Peraturan
Menteri Keuangan terdahulu di dalam PMK 39/PMK.03/2018. Untuk itu, peneliti ingin
melihat bagaimana proses formulasi dengan munculnya kebijakan dan peraturan baru ini,
sehingga permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini mengenai kebijakan
perubahan tata cara pengembalian pendahuluan kelebihan pajak dapat dijabarkan sebagai
berikut: “Bagaimana formulasi kebijakan pengembalian pendahuluan kelebihan

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
9

pembayaran pajak dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor


39/PMK.03/2018?.”

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan yang hendak didapatkan dari penelitian ini yang didasarkan pada
latar belakang dan rumusan masalah yaitu, untuk menganalisis formulasi kebijakan
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dengan diterbitkannya
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018.

1.4 Manfaat Penelitian


Tercapainya tujuan penelitian seperti yang telah disebutkan diatas, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan baik dari sisi akademis maupun
praktisi yaitu, sebagai berikut :

1.4.1 Manfaat Akademis


Di sisi akademis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat yaitu :
a. Dapat menjadi masukan bagi peneliti selanjutnya dalam bidang perpajakan,
khususnya mengenai kebijakan pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.
b. Memberikan pemahaman dan wawasan bagi kalangan akademisi mengenai
formulasi restitusi pajak yang dipercepat terkait kebijakan pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dengan diterbitkannya Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018.

1.4.2 Manfaat Praktisi


Diharapkan penelitian ini dapat memberikan wawasan bagi praktisi dalam
mengkaji suatu kebijakan dan sebagai masukan kepada pemerintah terkait formulasi
kebijakan yang benar dengan lebih memperhatikan berbagai faktor dan tahapan – tahapan
dalam merumuskan kebijakan pajak, sehingga kebijakan pajak yang telah dirumuskan
agar dapat berjalan lebih baik kedepannya.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
10

1.5 Sistematika Penulisan


Sistematika dalam penulisan penelitian ini terbagi menjadi enam bab yang dimana
terbagi lagi menjadi beberapa sub-bab. Untuk mempermudah pembaca dalam memahami
pembahasan mengenai “Analisis Formulasi Kebijakan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pembayaran Pajak,” adapun sistematika penulisan pada penelitian ini yaitu
sebagai berikut:

BAB 1 PENDAHULUAN
Bab ini membahas tentang latar belakang permasalahan, rumusan pertanyaan
penelitian yang didasarkan pada pokok permasalahan, tujuan penelitian,
manfaat penelitian baik untuk pihak akademis maupun praktisi, dan
sistematika penulisan yang memberikan gambaran secara garis besar atas
materi yang dibahas dalam penelitian ini.

BAB 2 KERANGKA PEMIKIRAN


Bab ini berisikan tinjauan pustaka dari penelitian sebelumnya yang relevan
dengan penelitian ini. Kemudian peneliti juga menjabarkan kajian literatur
yang terdiri dari beberapa konsep dan teori, serta menyertakan alur pemikiran
sebagai alur pembahasan terkait kebijakan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak yang ditinjau dari PMK Nomor
39/PMK.03/2018.

BAB 3 METODE PENELITIAN


Bab ini menguraikan tentang pendekatan penelitian, jenis penelitian, teknik
pengumpulan data, teknik analisis data, informan, site, dan batasan penelitian.

BAB 4 GAMBARAN UMUM PERATURAN KEBIJAKAN PENGEMBALIAN


PENDAHULUAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
Bab ini memberikan gambaran umum mengenai kebijakan pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak yang diatur dalam Undang – Undang Perpajakan
maupun peraturan pelaksana, serta menjabarkan perubahan kebijakan atas

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
11

pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak yang diatur dalam


Peraturan Menteri Keuangan terdahulu dengan PMK 39/PMK.03/2018.

BAB 5 ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENDAHULUAN RESTITUSI


PERPAJAKAN BERDASARKAN PERATURAN MENTERI
KEUANGAN NOMOR 39/PMK.03/2018
Bab ini merupakan analisis penelitian dan pembahasan mengenai formulasi
kebijakan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak yang saat
ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018
mengenai restitusi pajak dipercepat.

BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN


Bab ini merupakan bab akhir yang berisikan simpulan dari seluruh
pembahasan berdasarkan analisis dan saran yang relevan dengan hasil
penelitian sebagai perbaikan atas formulasi suatu kebijakan di masa
mendatang.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
12

BAB 2
KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Pustaka


Dalam melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Kebijakan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak”, tinjauan pustaka perlu dilakukan dengan
tujuan untuk merumuskan suatu refrensi pembanding terhadap penelitian yang dilakukan
oleh peneliti sebelumnya dan sebagai dasar berpikir untuk membentuk analisis yang kuat
dalam penelitian ini. Terdapat tiga penelitian terdahulu yang dapat dijadikan sebagai
tinjauan pustaka yaitu berupa tiga skripsi. Pertama adalah skripsi dengan judul “Analisis
Perubahan Kebijakan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai” oleh Hagayna Novitri tahun
2010. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk menganalisis latar belakang dilakukannya
perubahan kebijakan tentang restitusi PPN, menjelaskan latar belakang penentuan
keenam Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan tertentu yang dapat mengajukan
restitusi per Masa Pajak, menganalisis kebijakan perubahan saat pengajuan restitusi PPN
ditinjau dari karakteristik PPN (legal character), dan memetakan dampak dari perubahan
perlakuan restitusi PPN terhadap Pengusaha Kena Pajak yang tidak dapat mengajukan
permohonan restitusi per Masa Pajak. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hagayna
Novitri adanya kesamaan dalam hal pendekatan penelitian yaitu kualitatif dan teknik
pengumpulan data yang menggunakan studi literatur dan studi lapangan (wawancara
mendalam). Adapun perbedaan pada penelitian ini yaitu penelitian tersebut membahas
mengenai latar belakang dilakukannya perubahan kebijakan tentang restitusi PPN dan
latar belakang penentuan keenam Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan kegiatan
tertentu yang dapat melakukan restitusi per Masa Pajak.
Penelitian kedua dengan judul “Analisis Kebijakan Pengajuan Restitusi Pajak
Pertambahan Nilai Ditinjau Dari Asas Cost Of Taxation” oleh Benajati Munggaran tahun
2013. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk menganalisis kebijakan pengajuan restitusi
PPN ditinjau dari asas administrative cost dan untuk menganalisis kebijakan pengajuan
restitusi PPN ditinjau dari asas compliance cost. Penelitian ini terdapat kesamaan yaitu
menggunakan teknik pengumpulan data dengan studi literatur dan studi lapangan
(wawancara mendalam). Selain kesamaan, dalam penelitian ini juga terdapat perbedaan
yaitu menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif. Selain itu, perbedaan lainnya

12 Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
13

adalah dalam penelitian yang dilakukan oleh Benajati Munggaran membahas mengenai
kebijakan mengenai peraturan pengajuan restitusi PPN sesuai dengan UU PPN No. 42
Tahun 2009 ditinjau dari asas cost of taxation dan kebijakan pengajuan restitusi PPN yang
ditinjau dari aspek compliance cost.
Tinjauan penelitian terakhir adalah skripsi dengan judul “Analisis Perubahan
Kebijakan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Kepada Wajib
Pajak Yang Memenuhi Persyaratan Tertentu” oleh Leonora Silvia Muara Toron tahun
2014. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk menjelaskan latar belakang dan hal-hal
yang mendasari perubahan kebijakan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
pajak kepada Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu dan menganalisis
perubahan- perubahan yang terjadi dalam kebijakan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak kepada Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu.
Persamaan pada penelitian adalah menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan
menggunakan teknik pengumpulan data dengan studi literatur dan studi lapangan
(wawancara mendalam). Disisi lain, perbedaan pada penelitian ini adalah membahas
mengenai latar belakang dilakukannya perubahan kebijakan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak yang merupakan usaha Direktorat Jenderal Pajak untuk
memberikan pelayanan yang terbaik bagi Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan
Tertentu dan adanya perubahan yang terjadi dalam kebijakan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak bagi Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu.
Ketiga penelitian tersebut dapat dilihat pada matriks perbandingan berikut ini.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
14

Tabel 2.1 Matriks Tinjauan Pustaka

No Nama Hagayna Novitri Benajati Munggaran Leonora Silvia Heni Pratiwi


(Skripsi, 2010) (Skripsi, 2013) Muara Toron (Skripsi, 2018)
(Skripsi, 2014)
1 Judul Analisis Perubahan Analisis Kebijakan Analisis Analisis Kebijakan
Kebijakan Restitusi Pengajuan Restitusi Perubahan Pengembalian
Pajak Pertambahan Pajak Pertambahan Kebijakan Pendahuluan
Nilai Nilai Ditinjau Dari Pengembalian Kelebihan
Asas Cost Of Pendahuluan Pembayaran Pajak
Taxation Kelebihan
Pembayaran Pajak
Kepada Wajib
Pajak Yang
Memenuhi
Persyaratan
Tertentu
2 Pendekatan Kualitatif Kuantitatif Kualitatif Kualitatif
Penelitian
3 Tujuan Untuk menganalisis Untuk menganalisis Untuk menjelaskan Untuk
Penelitian latar belakang kebijakan pengajuan latar belakang dan menganalisis
dilakukannya restitusi PPN ditinjau hal-hal yang formulasi
perubahan kebijakan dari asas mendasari perubahan kebijakan
tentang restitusi administrative cost kebijakan pengembalian
PPN, menjelaskan dan menganalisis pengembalian pendahuluan
latar belakang kebijakan pengajuan pendahuluan kelebihan
penentuan keenam restitusi PPN ditinjau kelebihan pembayaran pajak
Pengusaha Kena dari asas compliance pembayaran pajak dengan
Pajak yang cost. kepada Wajib Pajak diterbitkannya
melakukan kegiatan yang memenuhi Peraturan Menteri
tertentu yang dapat persyaratan tertentu Keuangan Nomor
mengajukan restitusi dan menganalisis 39/PMK.03/2018.
per Masa Pajak, perubahan-
menganalisis perubahan yang
kebijakan perubahan terjadi dalam
saat pengajuan kebijakan
restitusi PPN pengembalian
ditinjau dari pendahuluan
karakteristik PPN kelebihan
(legal character), pembayaran pajak
dan memetakan kepada Wajib Pajak
dampak dari yang memenuhi
perubahan perlakuan persyaratan tertentu.
restitusi PPN
terhadap Pengusaha
Kena Pajak yang
tidak dapat
mengajukan
permohonan restitusi
per Masa Pajak.
4 Hasil 1. Latar belakang 1. Kebijakan 1. Latar belakang Proses formulasi
Penelitian dilakukannya mengenai dilakukannya kebijakan
perubahan peraturan perubahan pendahuluan
kebijakan pengajuan kebijakan kelebihan
tentang restitusi restitusi PPN pengembalian pembayaran pajak
PPN adalah sesuai dengan pendahuluan dalam PMK
upaya DJP untuk UU PPN No. 42 kelebihan 39/PMK.03/2018,
melakukan Tahun 2009 pembayaran masih terdapat
penyederhanaan ditinjau dari asas pajak merupakan beberapa

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
15

sistem cost of taxation usaha Direktorat kekurangan dalam


administrasi secara umum Jenderal Pajak tahapan - tahapan
pajak dan telah mengalami untuk proses perumusan
mengurangi perubahan ke memberikan kebijakan karena
beban internal arah yang lebih pelayanan yang pada tahapan
tenaga efektif bila terbaik bagi kedua, yaitu
pemeriksa pajak ditinjau dari Wajib Pajak agenda setting,
2. Latar belakang aspek yang memenuhi perumusan PMK
penentuan ke administratif, persyaratan 39/PMK.03/2018
enam Pengusaha karena dengan tertentu dalam ini tidak
Kena Pajak adanya pemberian melibatkan BKF
(PKP) yang perubahan resitusi dan Wajib Pajak
melakukan kebijakan pendahuluan dan atau asosiasi
kegiatan tertentu pengajuan optimalkan sebagai pihak
yang dapat restitusi PPN kinerja para langsung dari pihak
melakukan setiap Masa pemeriksa agar pemerintah
restitusi per Pajak menjadi lebih fokus maupun non
Masa Pajak hanya dapat terhadap Wajib pemerintah.
karena menurut diajukan pada Pajak yang Kemudian, di tahap
DJP, keenam akhir tahun memiliki potensi ketiga yaitu
PKP yaitu: buku, pajak yang tinggi pemilihan alternatif
i. PKP yang memperlihatkan 2. Perubahan yang kebijakan, tidak
melakukan adanya proses terjadi dalam adanya alternatif
ekspor BKP administrasi kebijakan kebijakan yang
berwujud yang lebih pengembalian diajukan oleh
ii. PKP yang mudah dan pendahuluan perumus kebijakan
melakukan sederhana. kelebihan dalam proses
penyerahan Kemudahan dan pembayaran perumusan PMK
Barang Kena kesederhanaan pajak bagi Wajib 39/PMK.03/2018.
Pajak (BKP) administrasi ini Pajak yang
dan atau dirasakan oleh memenuhi
penyerahan fiskus maupun persyaratan
Jasa Kena PKP tertentu adalah:
Pajak (JKP) 2. Kebijakan i. Perubahan atas
kepada pengajuan ketentuan
pemungut restitusi PPN Wajib Pajak
PPN ditinjau dari mana saja yang
iii. PKP yang aspek dapat diberikan
melakukan compliance cost pengembalian
penyerahan masih terdapat pendahuluan
BKP dan beberapa kelebihan
atau masalah seperti: pembayaran
penyerahan waktu yang pajak
JKP yang harus dilalui oleh ii. Jangka waktu
PPN nya Wajib Pajak pemprosesan
tidak sampai dengan atas
dipungut uang atas permohonan
iv. PKP yang kelebihan pengembalian
melakukan pembayaran pendahuluan
ekspor BKP PPN tersebut kelebihan
tidak dikembalikan, pembayaran
berwujud ketidakselarasan pajak
v. PKP yang antara kewajiban iii. Dasar
melakukan Wajib Pajak pemprosesan
ekspor JKP yang harus atas
vi. PKP yang mengisi SPM permohonan
masih dalam setiap akhir pengembalian
tahap belum bulan tetapi hak pendahuluan
berproduksi untuk kelebihan
secara sistem mengajukan pembayaran
pasti lebih restitusi hanya pajak

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
16

bayar dapat dilakukan


sehingga setiap akhir
pihak tahun
otoritas pajak
memberikan
pengecualian
bagi keenam
PKP tersebut
untuk
melakukan
restistusi per
Masa Pajak
Sumber : telah diolah oleh peneliti, 2018

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
17

Dari ketiga penelitian yang dijadikan sebagai acuan tersebut, tidak terlepas dari tema
penelitian ini tentang formulasi kebijakan restitusi pajak yang dipercepat. Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah, penelitian ini lebih dikhususkan terkait
dengan formulasi kebijakan restitusi pajak berdasarkan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak yang di tinjau dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor
39/PMK.03/2018 sebagai salah satu ketentuan yang mengatur administrasi perpajakan
dan telah ditetapkan oleh pemerintah untuk mempercepat dan mempermudah proses
restitusi perpajakan dengan adanya penggabungan tiga kriteria khusus dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018. Penelitian ini berjudul “Analisis Formulasi
Kebijakan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak.” Tujuan penelitian
tersebut adalah untuk menganalisis formulasi kebijakan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor
39/PMK.03/2018.

2.2 Kajian Literatur


Dalam penelitian ini kajian literatur terdiri dari beberapa konsep yaitu konsep
kebijakan publik, formulasi kebijakan, kebijakan fiskal, administrasi pajak, dan kelebihan
pembayaran PPh dan PPN.

2.2.1 Konsep Kebijakan Publik


Kebijakan adalah sekumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau
sekelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu
(Miriam, 2008, p.20). Menurut Dye (2005) bagaimana sebuah kebijakan dibuat dapat
diketahui dengan mempertimbangkan sejumlah aktivitas atau proses yang terjadi didalam
sistem politik (p.31). Suatu kebijakan pasti memiliki peran dan fungsi, salah satunya
adalah kebijakan publik. Dalam arti luas, kebijakan publik memiliki dua aspek pokok
yaitu, pertama, kebijakan yang merupakan praktik sosial dimana sesuatu yang dihasilkan
pemerintah berasal dari kejadian – kejadian atau permasalahan yang ada dimasyarakat
dan dipergunakan untuk kepentingan umum, kedua, kebijakan merupakan suatu peristiwa
yang ditimbulkan baik untuk mendamaikan klaim dari pihak – pihak konflik, atau untuk
menciptakan insentif bagi tindakan bersama bagi berbagai pihak yang ikut dalam

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
18

menetapkan tujuan, namun mendapatkan perlakuan yang tidak rasional dalam usaha
bersama tersebut (Thoha, 2003, p.59-60).
Kebijakan publik menurut Dye (2005) (Miftah Thoha, 2008, p.111) juga
diartikan, yaitu:
Public policy is whatever governments choose to do or not to do).
Kebijakan publik tersebut dimaksudkan bahwa apapun pilihan pemerintah untuk
dilakukan atau tidak dilakukan, sehingga pusat perhatian kebijakan publik tidak hanya
pada apa saja yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga termasuk apa saja yang tidak
dilakukan oleh pemerintah itu mempunyai dampak yang cukup besar terhadap
masyarakat seperti halnya dengan berbagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah.
Selain itu, konsep mengenai kebijakan publikpun diartikan sebagai kebijakan – kebijakan
yang dikembangkan oleh pejabat maupun badan – badan pemerintahan, sehingga,
menurut Anderson seperti yang dikutip oleh Nurcholis (2007), terdapat lima hal yang
berhubungan dengan kebijakan publik, yaitu (p.264):
a. Tujuan atau kegiatan yang berorientasi tujuan, harus menjadi perhatian utama
perilaku acak atau peristiwa yang tiba – tiba terjadi.
b. Kebijakan merupakan pola model tindakan pejabat pemerintah mengenai keputusan
– keputusan diskresinya secara terpisah.
c. Kebijakan harus mencakup apa yang nyata sesuai dengan pemerintah perbuat,
bukan apa yang mereka maksud untuk berbuat atau apa yang mereka katakan akan
dikerjakan.
d. Bentuk kebijakannya yaitu negatif dan positif.
e. Kebijakan publik yang positif harus sesuai dengan wewenang dan ketentuan
hukum.
Dalam hal kebijakan publik, kerangka kerja suatu kebijakan publik, ditentukan
dari enam variabel (Subarsono, 2005, p.6), sebagai berikut :
a. Tujuan yang ingin dicapai. Mencakup kompleksitas tujuan yang ingin dicapai
karena jika tingkat kompleksitasnya tinggi maka tingkat kesulitan yang ingin
dicapai kinerja kebijakan semakin tinggi. Sebaliknya, jika tingkat kompleksitasnya
sederhana maka semakin mudah untuk mencapai tujuan tersebut.
b. Preferensi nilai. Nilai yang diperlukan dalam mempertimbangkan suatu kebijakan
karena kebijakan yang memiliki variasi nilai yang beragam maka akan jauh lebih

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
19

sulit untuk dicapai dibandingkan dengan kebijakan yang hanya memiliki satu nilai
saja.
c. Kinerja dalam sebuah kebijakan ditentukan dari adanya sumber daya yang
mendukung seperti sumber data financial, material dan infrastruktur lainnya.
d. Kualitas sebuah kebijakan ditentukan bedasarkan kemampuan orang yang terlibat
dalam pembuatan kebijakannya. Kemampuan orang ini ditentukan oleh tingkat
pendidikan, kompetensi yang dimilikinya dalam bidang yang mereka cenderungi,
pengalaman kerja, dan integritas moral.
e. Sebuah kebijakan akan dipengaruhi oleh lingkungan sosial, ekonomi, dan politik
dimana kebijakan tersebut diimplementasikan.
f. Strategi yang digunakan dalam implementasi dari suatu kebijakan yang akan
mempengaruhi kinerja dari suatu kebijakan tersebut.
Adapun tahapan – tahapan pembuatan suatu kebijakan. Menurut Dunn (2003),
terdapat lima tahapan dalam pembuatan kebijakan publik, yaitu (Winarno, 2007, p.120-
122) :
a. Penyusunan agenda (defining problem), dimana pada tahap awal ini, pemerintah
mengangkat isu – isu yang dapat menimbulkan masalah untuk dibahas dalam
agenda penyusunan kebijakan. Para pejabat menempatkan masalah pada agenda
publik yang sebelumnya masalah tersebut tidak ada dalam agenda kebijakan.
b. Formulasi kebijakan, yang merupakan tahapan selanjutnya setelah penyusunan
agenda dimana adanya berbagai alternatif kebijakan yang diberikan sebagai
masukan oleh pemerintah untuk memecahkan permasalahan atau isu yang terkait
di masyarakat, serta merupakan peramalan yang dapat menyediakan pengetahuan
yang relevan dengan kebijakan terkait masalah yang akan datang di masa
mendatang. Pada tahap ini, masing – masing aktor bermain untuk mengusulkan
pemecahan masalah terbaik
c. Adopsi kebijakan, merupakan pemilihin suara atas alternatif – alternatif kebijakan
sehingga terpilihnya satu kebijakan. Pada akhirnya, salah satu dari alternatif
kebijakan tersebut di adopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsesus
antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.
d. Implementasi kebijakan, merupakan suatu pelaksanaan dari kebijakan yang telah
dipilih oleh unit – unit administrasi atau pemantauan dan/atau monitoring

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
20

menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan mengenai akibat


kebijakan yang sebelumnya telah terpilih dan dilaksanakan. Pada tahap ini,
berbagai kepentingan bersaing.
e. Evaluasi kebijakan, merupakan tahapan akhir apakah pelaksanaan suatu kebijakan
tersebut memenuhi persyaratan undang – undang dalam pembuatan kebijakan dan
pencapaian tujuan dalam implementasinya, serta menyumbang klarifikasi dan kritik
terhadap nilai - nilai yang mendasari kebijakan tersebut, hingga menghasilkan
kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah yang telah terselesaikan. Oleh karena
itu ditentukannya ukuran – ukuran yang menjadi dasar untuk menilai apakah
kebijakan publik telah meraih dampak yang diinginkan.
Dari kelima tahapan pembuatan kebijakan publik, tahapan yang paling penting adalah
perumusan kebijakan publik, seperti pandangan Sidney (Fischer, 2007, P,79) tahapan
perumusan kebijakan merupakan tahapan kritis dari sebuah proses kebijakan terkait
dengan proses pemilihan alternatif kebijakan oleh pembuat kebijakan yang biasanya
mempertimbangkan besaran pengaruh yang dihasilkan dari pilihan yang diambil.

2.2.2 Konsep Formulasi Kebijakan


Menurut Anderson (Winarno, 2007, p.93), formulasi kebijakan menyangkut
upaya menjawab pertanyaan bagaimana berbagai alternatif disepakati untuk masalah-
masalah yang dikembangkan dan siapa yang berpartisipasi. Pada proses ini, akan
membantu para analis kebijakan dalam mencari asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis
penyebab dari masalah kebijakan, menggabungkan pendapat – pendapat yang
bertentangan satu sama lain, memetakan tujuan yang memungkinkan, dan merancang
kebijakan baru yang memungkinkan (Dunn, 2003, p, 26), sehingga formulasi kebijakan
publik harus dilakukan secara benar, karena akan berdampak pada implementasi
kebijakan tersebut.
Menurut Bauer (Endang, 2015, p.19), perumusan kebijakan publik merupakan
transformasi input menjadi output. Ada lima tipe dalam formulasi kebijakan, yaitu :
- Inducement adalah langkah kebijakan yang membujuk atau menekan isu tertentu.
- Rules adalah langkah kebijakan yang membentuk regulasi yang harus ditaati
masyarakat.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
21

- Facts adalah langkah kebijakan agar suatu kelompok target melakukan sesuatu
yang dianggap menyelesaikan masalah lewat penggunaan jalur informasi yang
persuasif.
- Rights adalah langkah kebijakan berbentuk pemberian hak atau tugas pada
masyarakat.
- Power adalah upaya kebijakan berupa penambahan kekuasaan akibat adanya
tuntutan tertentu.
Untuk merumuskan suatu kebijakan, terdapat empat tahapan yang harus dilalui
dalam formulasi kebijakan publik, yang terdiri dari (Winarno, 2012, p.122-126) :
a. Perumusan Masalah
Pada tahap ini, adanya upaya untuk menentukan identitas dari suatu masalah
kebijakan dengan memahami sifat suatu masalah yang akan memudahkan perumus
kebijakan dalam proses perumusan kebijakan masalah tersebut. Dalam hal ini,
perumus kebijakan harus mengidentifikasi masalah yang akan dihadapi dengan
mencari, mengenali, dan merumuskan suatu masalah terlebih dahulu dan kemudian
membuat perumusan masalah yang sejelas – jelasnya terhadap masalah yang ada
dalam masyarakat.
b. Agenda Kebijakan
Tidak semua suatu permasalahan yang masuk kedalam masalah publik dan masuk
kedalam agenda kebijakan. Masalah yang bersifat publik dan masuk pada tahapan
ini akan dibahas oleh perumus kebijakan dan telah memenuhi syarat – syarat yang
membutuhkan penanganan khusus yang harus diselesaikan, serta segera
dilaksanakan berdasarkan tingkat kepentingannya.
c. Pemilihan Alternatif Kebijakan
Pemilihan alternatif kebijakan ini merupakan tahapan setelah beberapa masalah
publik yang dirumuskan oleh para perumus kebijakan, setuju untuk mencantumkan
masalah tersebut ke dalam agenda kebijakan, sehingga menghasilkan beberapa
alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah tersebut. Dalam tahap ini, perumus
kebijakan memilih kebijakan yang terbaik untuk memecahkan masalah yang telah
masuk ke dalam agenda publik. Tahap ini juga melibatkan proses penyusunan draft
peraturan untuk setiap alternatif kebijakan yang berisi diantaranya sanksi, larangan,

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
22

hak dan kewajiban, dan kebijakan atau aturan lainnya, serta mengartikulasikan
kepada siapa ketentuan tersebut akan berlaku dan memiliki dampak.
d. Penetapan Kebijakan
Tahap ini merupakan tahapan akhir proses formulasi kebijakan dalam mengambil
keputusan yang bertujuan untuk memecahkan masalah. Penetapan kebijakan yang
dipilih dengan membuat suatu kebijakan yang memiliki kekuatan hukum yang
bersifat mengikat dan merupakan hasil kompromi dari berbagai kelompok
kepentingan yang terlibat.
Dari keempat tahapan formulasi kebijakan, dapat di rangkum pada gambar 2.1.

• Perumusan Masalah

• Agenda Kebijakan

• Pemilihan Alternatif Kebijakan

• Penetapan Kebijakan

Gambar 2.1 Tahapan - Tahapan Formulasi Kebijakan


Sumber : Winarno, Budi. 2012. (telah diolah kembali oleh peneliti)

Pada umumnya, suatu kebijakan ditujukan untuk membawa perubahan mendasar


terhadap kebijakan saat ini yang dalam perumusan kebijakan, menurut Anderson (2006),
perumusan kebijakan tidak selamanya berakhir dengan dikeluarkannya peraturan
perundang-undangan, namun, seringkali pembuat kebijakan memutuskan untuk tidak
mengambil tindakan terhadap sebuah permasalahan dan membiarkannya terselesaikan
sendiri. Perumusan kebijakan melibatkan proses pengembangan usulan akan tindakan
yang terkait dan dapat diterima (dapat disebut dengan alternatif, proposal, atau pilihan)
untuk menangani permasalahan publik (p.103-109).
Menurut Jann dan Wegrich (Fischer, 2007, p.48), terdapat dua faktor utama yang
menentukan sejauh mana alternatif kebijakan akan diadopsi menjadi kebijakan yaitu,
pertama, penghilangan alternatif kebijakan akan ditentukan oleh sejumlah parameter
substansial dasar seperti kelangkaan sumber daya (dapat berupa sumber daya ekonomi

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
23

atau dukungan politik dalam proses pembuatan kebijakan) untuk dapat melaksanakan
alternatif kebijakan. Apabila dalam prosesnya, banyak mendapat kritik secara politik,
maka alternatif kebijakan tersebut layak untuk dihilangkan karena kurangnya dukungan
politik. Kedua, alokasi kompetensi yang dimiliki oleh berbagai aktor juga memainkan
peran penting dalam penentuan kebijakan.
Aktor - aktor yang terlibat dan berpengaruh dalam pembuatan formulasi kebijakan
menurut Theodolou dan Kofinis (Rahmi, 2013, p.23-24) yaitu :
- Birokrasi (the bureaucracy) yang dijalankan oleh para birokrat yang memiliki
keahlian dan keterlibatan didalam area isu kebijakan karena memiliki informasi dan
sumber data yang relevan, serta memahami prosedur pelaksanaan apa yang dapat dan
tidak dapat dilakukan.
- Kelompok kepentingan (interest group) adalah aktor utama yang sering memberikan
solusi kebijakan. Kelompok ini juga menjadi fasilitator dalam negosiasi hingga
kompromi yang terjadi disekitar usulan berbagai alternatif kebijakan.
- Think tanks dan policy entrepreneurs, think tanks sering memberikan penelitian pada
kelayakan dan kemungkinan efek proposal kebijakan tertentu, sedangkan policy
entrepreneurs mengidentifaksi suatu masalah, membangun koalisi di belakang
rancangan tertentu yang akan menarik perhatian dari pembuat kebijakan untuk
merespon kebijakan yang sesuai.
Aktor – aktor lain dalam perumusan kebijakan, menurut Anderson (2006) adalah
sebagai pembuat kebijakan resmi (official policy-makers) dan peserta non pemerintah
(non-governmental participants) (p.46). Winarno (2007) juga menyebutkan bahwa aktor
– aktor resmi meliputi eksekutif (presiden), legislatif, yudikatif, dan agen – agen
pemerintah (birokrasi) (p.123). Selain kedua faktor utama, Jann dan Wegrich juga
mengemukakan mengenai peran penting dari akademisi yang berperan sebagai penasehat
kebijakan atau pemikir. Pengetahuan dari penasehat ini seringkali berpengaruh dalam
proses perumusan kebijakan (Fischer, 2007, p.50-51).

2.2.3 Konsep Kebijakan Fiskal


Kebijakan fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan
kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan
pengeluaran pemerintah (Rahayu, 2010, p.1). Kebijakan fiskal memiliki dua prioritas,

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
24

pertama adalah mengatasi defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan
masalah – masalah APBN lainnya, defisit APBN terjadi apabila adanya penerimaan
pemerintah yang lebih kecil dibandingkan dengan pengeluarannya, kedua, mengatasi
stabilitas ekonomi makro yang terkait dengan antara lain pertumbuhan ekonomi, tingkat
inflasi, kesempatan kerja, dan neraca pembayaran (Tambunan, 2009, p.8). Selain itu,
menurut John. F. Due, kebijakan fiskal mengacu pada tiga hal yaitu (Rahayu, 2010, p.3):
1) Menjamin pertumbuhan perekonomian yang sebenar-benarnya menyamai laju
pertumbuhan potensial, dengan mempertahankan kesempatan kerja yang penuh.
2) Mencapai suatu tingkat harga umum yang stabil dan wajar.
3) Sedapat mungkin meningkatkan laju pertumbuhan potensial tanpa mengganggu
pencapaian tujuan – tujuan lain dari masyarakat.
Untuk mewujudkan tujuan – tujuan kebijakan fiskal, ada empat aktivitas yang dijalankan
oleh otoritas pajak yang mencerminkan fungsi pokok kebijakan fiskal yaitu fungsi
alokasi, fungsi distribusi, fungsi stabilisasi, dan fungsi pertumbuhan. Dalam hal ini,
kebijakan fiskal adalah setiap tindakan perpajakan dan pengeluaran tertentu untuk
mempengaruhi perekonomian dengan tiga cara meliputi alokoasi, distribusi, dan stabilitas
perekonomian (Musgrave, 1993, p.5). Salah satu instrumen kebijakan fiskal yang
ditetapkan pemerintah dalam melakukan fungsi kebijakan adalah kebijakan pajak.
Dengan kata lain, kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah dengan
menggunakan belanja negara dan perpajakan dalam rangka memperbaiki dan
menstabilkan perekonomian negara, sehingga pendapatan nasional dapat meningkat
sesuai dengan penggunaan sumber daya dan efektivitas kegiatan masyarakat (Rahayu,
2010, p.1-2). Dalam arti sempit, kebijakan pajak merupakan kebijakan fiskal yaitu
kebijakan yang berhubungan dengan penentuan yang dapat dijadikan tax base
diantaranya adalah siapa saja yang dikenakan pajak dan dikecualikan pajak, apa saja yang
dijadikan objek dan non-objek pajak, bagaimana menentukan besarnya pajak yang
terutang dan prosedur pelaksanaan kewajiban pajak yang terutang. Dalam pengertian
luas, kebijakan pajak adalah kebijakan untuk memengaruhi produksi masyarakat,
kesempatan kerja dan inflasi, dengan menggunakan instrumen pemungutan pajak dan
pengeluaran belanja negara. Dalam menentukan kebijakan pajak, pemerintah haruslah
berpedoman pada prinsip-prinsip perpajakan yang ada. Kebijakan pajak yang dibuat oleh

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
25

pemerintah juga bertujuan untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak baik
pelayanan maupun sistem administrasi perpajakannya.
Dalam suatu sistem perpajakan, diharapkan adamya prinsip perpajakan menurut
Stiglitzt sebagaimana dikutip Rosdiana dan Irianto (2014) terdiri dari 5 prinsip, yaitu
(p.157):

i. Ecnomically efficient : it should not have an impact on allocation


of resources.
ii. Administratively simple : it should be easy and inexpensive to
administer.
iii. Flexible : it should be easy for the system to respond to changing
economic resources.
iv. Politically accountable : taxpayers should be able to determine
what they are actually paying so that the political system can more
accurately reflect the preferences of individuals.
v. Fair: its should be seen to be fair in its impact on all individuals.

Prinsip – prinsip yang dimaksud adalah secara efisiensi ekonomi, seharusnya tidak
berdampak pada alokasi sumber daya, kedua, secara administratif harus sederhana yaitu
dapat dilaksanakan secara mudah dan murah untuk dikelola. Ketiga, fleksibel, seharusnya
mudah bagi sistem untuk merespon perubahan sumber daya ekonomi, keempat,
bertanggung jawab secara politik yang dimana Wajib Pajak harus dapat menentukan apa
yang sebenarnya mereka bayarkan sehingga sistem politik dapat lebih akurat
mencerminkan preferensi individu, dan adil.

2.2.4 Konsep Administrasi Pajak


Dalam pelaksanaan kebijakan pajak, dikenal adanya sistem perpajakan. Menurut
Nowak, sebagaimana yang dikutip Mansury, sistem perpajakan terdiri dari 3 unsur, yaitu
Tax Policy, Tax Law, dan Tax Administration (Rosdiana dan Irianto, 2014, p.84). Ketiga
unsur tersebut merupakan satu kesatuan dimana tax policy baru dapat diimplementasikan
setelah disahkan menjadi tax law, dan tax law tidak dapat dilaksanakan jika tidak ada tax
administration sebagai instrumen pelaksananya. Menurut Cnossen (1997), sebagaimana
dikutip Rosdiana dan Irianto (2014, p.103) yaitu :

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
26

“That tax administration is the key to effective tax policy is universally


acclaimed, but in practice virtually ignored in the literature on tax.
There is a widespread preoccupation with what should be done rather
with how to do it : with the more dramatic policy changes and
refinements rather than the duller but indispensable mechanics of tax
implementation.”

Hal tersebut dimaksudkan bahwa administrasi perpajakan merupakan kunci keberhasilan


pelaksanaan kebijakan pajak, namun pada kenyataannya kajian tentang administrasi
perpajakan cenderung diabaikan. Untuk itu, dibutuhkannya suatu reformasi administrasi
perpajakan untuk menciptakan pelayanan yang berkualitas.
Menurut Nowak (1970), administrasi pajak mengandung tiga pengertian yaitu
(Mansury, 2002, p.6):
1) Suatu instansi atau badan yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk
menyelenggarakan pemungutan pajak.
2) Orang – orang yang terdiri dari pejabat dan pegawai yang bekerja pada instansi
perpajakan yang secara nyata melaksanakan kegiatan pemungutan pajak.
3) Proses kegiatan penyelenggaraan pemungutan pajak yang ditatalaksanakan
sedemikian rupa, sehingga dapat mencapai sasaran yang telah digariskan dalam
kebijakan perpajakan berdasarkan sarana hukum yang ditentukan untuk Undang –
Undang perpajakan dengan efisien.
Disamping definisi atau pengertian dari administrasi pajak, adapun tujuan
administrasi pajak. Tujuan administrasi perpajakan adalah untuk mendorong terjadi suatu
kepatuhan pajak secara sukarela (voluntary tax compliance). Tujuan administrasi pajak
tersebut dapat dicapai apabila adanya administrasi perpajakan yang baik, sehingga
dibutuhkannya reformasi administrasi perpajakan sesuai dengan peraturan perpajakan.
Selain itu, terselenggaranya suatu administrasi perpajakan yang baik harus memenuhi
dasar - dasar (Mansury, 1996, p.24):
1) Kejelasan dan kesederhanaan dari ketentuan UU yang memudahkan bagi
administrasi dan memberi kejelasan bagi Wajib Pajak.
2) Kesederhanaan akan mengurangi penyeludupan pajak. Kesederhanaan dimaksud
dalam perumusan yuridis, yang memberikan kemudahan untuk dipahami, maupun
kederhanaan untuk dilaksanakan oleh aparat dan untuk dipatuhi pemenuhan hak
dan kewajiban pajaknya oleh Wajib Pajak.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
27

3) Reformasi dalam bidang perpajakan yang realitis harus mempertimbangkan


kemudahan tercapainya efisiensi dan efektivitas administrasi perpajakan.
4) Administrasi perpajakan yang efisien dan efektif perlu disusun dengan
memperhatikan penataan pengumpulan, pengolahan, dan pemanfaatan informasi
tentang subjek pajak dan objek pajak.
Dalam penetapan dan pelaksanaan reformasi administrasi perpajakan, harus
didasari dengan prinsip atau asas – asar perpajakan, menurut Mansury (1996), agar
tercapai sistem administrasi perpajakan yang baik, harus memegang teguh tiga asas yaitu
revenue productivity, equality, dan ease of administration (p.16). Menurut Rosdiana
(2013), revenue productivity adalah asas yang menyangkut kepentingan pemerintah
sehingga dianggap asas yang paling penting, sedangkan equality, adalah asas yang
menjelaskan bahwa pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata (p.161-162). Asas
ketiga yaitu ease of administration seperti yang dikemukakan oleh Fritz Neumark
(Chairil, 2014, p.47) adalah :
1) The requirement of clarity, ketentuan pajak harus dapat dipahami, tidak boleh
menimbulkan keraguan atau penafsiran yang berbeda, harus menimbulkan kejelasan
baik untuk Wajib Pajak maupun fiskus.
2) The requirement of continuity, Undang – Undang perpajakan tidak boleh sering
berubah dan apabila terjadi perubahan haruslah dalam konteks tax reform secara
umum dan sistematis.
3) The requirement of economy, biaya – biaya perhitungan, penagihan, dan pengawasan
pajak harus pada tingkat serendah – rendahnya dan konsisten dengan tujuan – tujuan
pajak yang lain. Biaya – biaya yang diminimalkan tidak hanya meliputi biaya yang
dikeluarkan oleh pemerintah (administrative cost), tetapi biaya biaya – biaya yang
dikeluarkan oleh Wajib Pajak (compliance cost).
4) The requirement of convenience, pembayaran pajak harus sedapat mungkin tidak
memberatkan Wajib Pajak. Pemerintah biasanya memperbolehkan pembayaran
hutang pajak dalam jumlah besar secara angsuran dan memberikan jangka waktu yang
panjang untuk penundaan penyampaian SPT.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
28

2.2.5 Konsep Kelebihan Pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak


Pertambahan Nilai (PPN) : Restitusi
PPh merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dalam tahun pajak. Dalam sistem pemungutan pajak, Wajib Pajak
dapat mengetahui akan adanya kelebihan atau kekurangan pembayaran pajak yang
terutang dengan adanya tiga teknik pemungutan pajak yang secara teoretis dapat
diterapkan yaitu sebagai berikut (Haula dan Edi, 2014, p.106) :
a. Self Assessment System
Dalam sistem self assessment, Wajib Pajak sendiri yang menghitung, menetapkan,
menyetorkan, dan melaporkan pajak yang terutang, sehingga Wajib Pajak dengan
sendirinya mengetahui adanya kelebihan atau kekurangan pembayaran pajak yang
terutang. Fiskus hanya berperan untuk mengawasi kelengkapan Surat Pemberitahuan
(SPT) dan semua lampiran yang sudah disertakan oleh Wajib Pajak. Di Indonesia, baik
PPN, PPh Orang Pribadi, maupun Badan menggunakan sistem ini.
b. Official Assessment System
Fiskus berperan aktif dalam menghitung dan menetapkan besarnya pajak yang
terutang. Di Indonesia, Pajak Bumi dan Bangunan menganut sistem official
assessment.
c. Withholding Tax System
Pada sistem ini, besarnya pajak dihitung oleh pihak ketiga yang bukan Wajib Pajak
dan bukan otoritas pajak. Jenis pajak yang menggunakan withholding tax system
adalah PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 4 ayat (2), dan PPN.
Dari ketiga teknik pemungutan pajak tersebut, Wajib Pajak dapat mengetahui adanya
kelebihan pembayaran yang telah dibayarkan oleh Wajib Pajak kepada negara. Dalam
Kelebihan tersebut dikarenakan jumlah kredit pajak atas PPh yang dipotong oleh pihak
lain (withholding tax) dan/atau yang dibayarkan sendiri (self assessment) lebih besar
dibandingkan dengan jumlah pajak yang terutang. Selain PPh, kelebihan pembayaran
pajak juga dirasakan oleh PKP ketika melaksanakan kewajiban PPN yaitu apabila Pajak
Masukan (PM) yang dapat dikreditkan lebih besar dibandingkan dengan Pajak Keluaran
(PK).
PPN pada dasarnya adalah pajak yang dipungut atas dasar nilai tambah yang
timbul atas semua mata rantai jalur produksi dan distribusi yang dipungut beberapa kali

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
29

atas dasar timbulnya nilai tambah. Menurut Alan Tait (1988, p.4), PPN adalah sebagai
berikut :

Value Added is the value that a producer (whether a manufacturer,


distributor, advertising agent, hairdresser, farmer, race horse trainer
or circus owner) adds to his raw material or purchases (other than
labor) before selling the new or improved poduct or service. That is,
the input (the raw materials, transport, rent advertising, and so on) are
bought, people are paid wages to work on these inputs and, when the
final good and sercive is sold, some profit is left. So value added can
be looked at from the additive side (wages plus profits) or from the
substactive side (output minus inputs).

Hal tersebut dijelaskan bahwa PPN adalah nilai yang ditambah atas barang mentah atau
barang yang dibeli oleh orang yang memproduksi sebelum barang atau jasa yang telah
dikembangkan dijual kepada pihak lain. Nilai tambah yang dimaksud dapat dilihat dari
sisi aditif yaitu upah ditambah laba atau dari sisi substaktif yaitu output dikurangi input.
Selain itu, PPN juga didefinisikan juga oleh Smith, Throop and Webber, and Cerf (1973,
p.3) yaitu:

The VAT is a tax on the value added by a firm to its products in the
course of its operation. Value added can be viewed either as the
difference between a firm’s sales and its purchase during an
accounting period or as the sum of its wages, profit, rent, interest and
other payments not subject to the tax during that period.

Penjelasan Smith, Throop and Webber, and Cerf tentang definisi PPN pada intinya,
bahwa nilai tambah dalam PPN juga dapat dilihat dengan adanya perbedaan yang
menimbulkan selisih antara penjualan dan pembelian perusahaan selama periode
akuntansi atau jumlah semua biaya untuk mendapatkan dan mempertahankan laba,
termasuk dari upah kerja, sewa, bunga, dan pembayaran lain yang tidak terkena pajak
selama periode tersebut. Untuk mengetahui berapa jumlah pajak yang dipungut dan telah
dibayar. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya faktur pajak. Definisi faktur pajak adalah
(Thuronyi, 1996, p, 60) :

A VAT invoice, chit till roll print, or other document that is issued by a
taxable person who makes a taxable supply and that records the supply
and the amount of VAT payable on it. An invoice is a VAT invoice if it
is complies with the requirement of the VAT law.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
30

Thuronyi menjelaskan bahwa faktur pajak adalah dokumen (invoice) yang


dikeluarkan oleh Pengusaha Kena Pajak dan tercantumnya penyerahan yang dilakukan
Pengusaha Kena Pajak, serta jumlah PPN-nya. Faktur pajak dapat dijadikan bukti
pungutan dalam pengkreditan Pajak Masukan dan Pajak Keluaran yang dilakukan oleh
Pengusaha Kena Pajak. Mekanisme pengkreditan tersebut dimungkinkan dapat terjadi
jumlah Pajak Masukan yang lebih besar dibandingkan dengan Pajak Keluaran, sehingga
Pengusaha Kena Pajak dapat melakukan pengembalian kelebihan pajak yang dilakukan
dengan dua cara, yaitu, pertama, dengan kompensasi ke masa pajak berikutnya yang
artinya kelebih tersebut dapat menjadi kredit pajak masa berikutnya.
Kedua, dengan meminta kelebihan pembayaran pajak atau yang dapat disebut
dengan restitusi pajak yang umumnya dilakukan perusahaan untuk menjaga cash flow
perusahaan perusahaan untuk tetap baik dan stabil. Menurut Thuronyi (1996, p.64) :

Repayment of excess VAT credit should be allowed, but with


safeguards. One possible safeguards is to require the excess VAT
credit to be carried forward for a specified period (e.g., six months)
before a repayment can be claimed. Another safeguards for the
revenue is phasing of VAT credit on large expenditures through capital
goods rules, and further safeguards should empower the tax authorities
to audit any claim for repayment before being required to make the
repayment if there is reason for suspicious.

Pendapat Thuronyi dimaksudkan bahwa, mengenai restitusi kredit PPN harus


diperbolehkan, tetapi harus tetap dilakukan tindakan pengamanan agar tidak menekan
penerimaan negara dengan dilakukannya pemeriksaan terhadap setiap permohonan
restitusi apabila terdapat hal – hal yang mencurigakan.
Di Indonesia, terdapat dua ketentuan terkait dengan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak (restitusi pajak). Restitusi pajak dapat diproses melalui ketentuan
umum dan ketentuan khusus. Ketentuan umum yang dimaksud adalah restitusi pajak yang
diajukan oleh Wajib Pajak harus melalui tahapan proses pemeriksaan terlebih dahulu
untuk mengembalikan lebih bayar pajak Wajib Pajak yang bersangkutan, sedangkan
ketentuan khusus yaitu, Wajib Pajak dapat diberikan pendahuluan lebih bayar pajak tanpa
melalui proses pemeriksaan terlebih dahulu. Ketentuan khusus hanya berlaku bagi Wajib
Pajak Kriteria Tertentu, Wajib Pajak Persyaratan Tertentu, dan PKP Berisiko Rendah.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
31

2.3 Alur Pemikiran


Berkaitan dengan penelitian ini, penulis membahas mengenai formulasi kebijakan
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak yang ditinjau atas PMK Nomor
39/PMK.03/2018. Penelitian ini diawali dengan melihat bahwa Indonesia menganut
pemungutan pajak dengan sistem self assessment, sehingga Wajib Pajak mengetahui
dengan sendirinya apabila adanya kelebihan membayar pajak. Dalam proses restitusi
pajak (PPh dan PPN sebagai kontribusi terbesar atas penerimaan negara), berdasarkan
permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak, dilakukannya pemeriksaan yang
membutuhkan waktu cukup lama. Hal ini tentunya akan merugikan Wajib Pajak. Selain
dengan pemeriksaan, proses restitusi pajak di Indonesia dapat dilakukannya
pengembalian pendahuluan berdasarkan SKPPKP. DJP menerbitkan SKPPKP
berdasarkan hasil penelitian terhadap kebenaran pembayaran pajak atas permohonan
Wajib Pajak. Wajib Pajak yang dapat menggunakan SKPPKP hanya tiga kriteria saja dan
diatur dalam perturan Menteri Keuangan yang berbeda.
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud sebagai Wajib Pajak Kriteria Tertentu
diatur dalam Pasal 17C ayat (1) UU KUP dan di atur lebih lanjut di dalam PMK
74/PMK.03/2012, Pasal 17D ayat (1) UU KUP sebagaimana yang dimaksud sebagai
Wajib Pajak Persyaratan Tertentu di atur lebih lanjut di dalam PMK 198/PMK.03/2013,
dan Pasal 9 ayat (4c) UU PPN sebagaimana yang dimaksud sebagai PKP Berisiko Rendah
di atur lebih lanjut di dalam PMK 71/PMK.03/2010. Perbedaan peraturan Menteri
Keuangan ini dianggap kurang sederhana oleh Wajib Pajak, serta memiliki cakupan yang
tidak luas. Oleh karena itu, Pemerintah mempebaiki beberapa regulasi di Indonesia salah
satunya mengenai regulasi perpajakan yang dipercepat dengan menderegulasi peraturan
Menteri Keuangan sebelumnya. Pemerintah pun membuat kebijakan baru untuk
mempercepat proses restitusi perpajakan dengan menerbitkan PMK 39/PMK.03/2018.
Alur masalah tersebut dapat diringkas sebagai berikut:

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
32

Self assessment
system
Withholding Tax
System

Lebih bayar

Restitusi Pajak
Penelitian; Pendahuluan Restitusi Pajak
(PPh dan PPN)

Pasal 17C Pasal 17D Pasal 9 ayat (4C)


Pemeriksaan UU KUP UU KUP UU PPN

Peraturan Pelaksana
Pasal 17B
UU KUP

PMK 74/PMK.03/2012 PMK 198/PMK.03/2013 PMK 71/PMK.03/2010


Wajib Pajak Dengan Wajib Pajak yang Pengusaha Kena Pajak
Kriteria Tertentu Memenuhi Persyaratan Berisiko Rendah
Tertentu

Perbedaan peraturan Menteri Keuangan mengenai proses pendahuluan restitusi


pajak dianggap kurang sederhana dan memiliki cakupan yang tidak luas oleh
Wajib Pajak

Pemerintah menerbitkan satu peraturan untuk


mempercepat proses restitusi pajak

PMK 39/PMK.03/2018

Gambar 2.2 Alur Pemikiran


Sumber : diolah penulis. 2018

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
33

BAB 3
METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan kumpulan teknik tertentu dalam sebuah penelitian


yang digunakan untuk memilih suatu fenomena, mengumpulkan dan memperbaiki data,
menganalisa data, dan juga melaporkan hasil penelitian. Dalam penelitian ini struktur
penelitian terdiri dari pendekatan penelitian, jenis penelitian, teknik pengumpulan data,
teknik analisis data, informan, site penelitian, dan batasan penelitian.

3.1 Pendekatan Penelitian


Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Menurut
Creswell pendekatan kualitatif yaitu (2003, p.1):

“Qualitaive research is an inquiry process of understanding based on


distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or
human problem. The researcher builds a complex, holistic picture,
analizes words, report detailed views of information, and conducts the
study in a natural setting,”

Hal ini dapat diartikan bahwa pendekatan kualitatif sebagai proses penyelidikan atas
pemahaman berdasarkan tradisi metodologi penyelidikan yang berbeda dan
mengeksplorasi masalah sosial atau manusia, dan memberikan gambaran yang komplek
hingga melakukan penelitian dalam lingkungan yang alami atau sebenarnya.
Alasan penggunaan pendekatan kualitatif ini yaitu peneliti ingin membahas lebih
lanjut mengenai formulasi kebijakan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
pajak dan mengetahui secara mendalam tahapan – tahapan proses perumusan PMK
39/PMK.03/2018. Selain itu, dengan diterbitkannya PMK 39/PMK.03/2018 peneliti juga
ingin mengetahui perubahan kebijakan terkait percepatan proses pendahuluan restitusi
pajak.

3.2 Jenis Penelitian


Jenis penelitian dibedakan menjadi 4 (empat) jenis yaitu berdasarkan tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dimensi waktu penelitian, dan teknik prngumpulan data,
sebagai berikut :

33 Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
34

3.2.1 Berdasarkan Tujuan Penelitian


Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif. Hasil dari penelitian
deskriptif adalah gambaran yang jelas mengenai subjek penelitian (Neuman, 2000, p.30).
Selain itu, menurut Nazir (2003, p.54), penelitian deskriptif merupakan suatu penelitian
yang ditujukan untuk membuat gambaran atau deskripsi hingga fakta – fakta dan
hubungan antar fenomena yang diteliti. Dengan menggunakan penelitian deskriptif, dapat
menyajikan gambaran yang lengkap terhadap situasi mengenai setting social dan
hubungan yang terdapat dalam penelitian. Dalam penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis formulasi kebijakan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
pajak yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 dengan
terlebih dahulu mendeskripsikan tahapan – tahapan proses formulasi kebijakan.

3.2.2 Berdasarkan Manfaat Penelitian


Penelitian ini bersifat murni karena berorientasi dalam rangka akademis. Pada
dasarnya hasil penelitian murni ini untuk menambah ilmu pengetahuan dengan
menyumbangkan teori dasar dalam mengembangkan pokok – pokok pengetahuan tentang
kondisi sosial dan adanya pembuktian dengan dukungan teori untuk menjelaskan
permasalahan tersebut yang diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada ilmu
pengetahuan. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti ini bersifat akademis yang
diharapkan dapat memberikan analisa mengenai proses formulasi kebijakan
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dengan diterbitkannya PMK
39/PMK.03/2018 untuk mempercepat proses restitusi perpajakan.

3.2.3 Berdasarkan Dimensi Waktu Penelitian


Dimensi waktu penelitian ini termasuk dalam penelitian yang dilakukan dalam
satu waktu mulai dari bulan Mei – November 2018 dan tidak dilakukan oleh peneliti lain
di waktu yang berbeda. Penelitian ini merupakan penelitian atas observasi sampel dengan
menggunakan fenomena yang muncul pada satu waktu tertentu. Selain itu, penelitian ini
juga tidak dilakukan perbandingan dengan penelitian lain.

3.3 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini terbagi menjadi 2 (dua) yaitu studi
kepustakaan dan studi lapangan sebagai berikut :

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
35

3.3.1 Studi Kepustakaan


Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan cara mengolah tulisan yang
ditulis oleh peneliti sebelumnya untuk menemukan konsep – konsep yang mampu
menjelaskan permasalahan penelitian ini meliputi Undang – Undang, Peraturan Menteri
Keuangan (PMK), jurnal, buku, artikel, dan sumber lainnya baik media cetak maupun
elektronik. Selain itu data yang dikumpulkan juga diperoleh dari berbagai literatur
maupun instansi yang berhubungan dengan topik penelitian yaitu mengenai kebijakan
pendahuluan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

3.3.2 Studi Lapangan


Studi lapangan dilakukan dengan cara wawancara mendalam yang bertujuan
untuk memperoleh informasi berupa data, persepsi dan lainnya terhadap berbagai
kebijakan yang ada serta telah dijalankan. Wawancara mendalam adalah proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap
muka antara pewawancara dengan informan dengan atau tanpa pedoman wawancara,
dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama
(Bungin, 2007, p.108), sehingga diharapkan informan dapat memberikan penjelasan yang
lebih rinci tentang pertanyaan yang diajukan. Wawancara bertujuan menjelaskan
permasalahan terkait dengan formulasi kebijakan pendahuluan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dengan diterbitkannya PMK 39/PMK.03/2018. Teknik yang
digunakan dalam wawancara ini adalah purposive sampling, yaitu informan dipilih
berdasarkan dengan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan informasi peneliti.

3.4 Teknik Analisis Data


Proses analisis data dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif yang
dilakukan dengan menganalisa hasil dari kepustakaan dan studi lapangan atas wawancara
mendalam kepada informan yang telah dilakukan. Selain itu, peneliti dalam proses
penyajian data dilakukan dengan mengaitkan kategori atau informasi yang didapatkan
dari sumber data, kemudian menghubungkannya dengan masalah penelitian yang hasil
analisis tersebut diinterpretasikan dengan kata – kata serta dapat ditarik suatu kesimpulan
dengan adanya bukti – bukti yang valid dan konsisten. Sebagaimana yang dikutip
Moleong (2004, p.248), Bogdan dan Bijklen menyatakan bahwa analisis data kualitatif

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
36

adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja denga data, mengorganisasikan data,
memilah – milahnya dalam satuan yang dapat dikelola, menyintesiskannya, mencari dan
menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan
memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Hasil analisis tersebut
diinterpretasikan dengan kata – kata, serta dapat ditarik suatu kesimpulan dengan adanya
bukti – bukti yang valid dan konsisten.

3.5 Informan
Pemilihan informan harus menguasai masalah dan dipilih dengan pertimbangan
aspek latar belakang, pelaku, kejadian, dan proses. Pada penelitian ini, peneliti memilih
beberapa informan, yaitu:
1) Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
DJP adalah direktorat yang berada dibawah Kementerian Keuangan dan
bertugas untuk melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang
perpajakan. Wawancara dilakukan untuk mengetahui proses perumusan
pembuatan kebijakan PMK 39/PMK.03/2018, latar belakang, dan faktor – faktor
lainnya dalam membuat kebijakan tersebut. Wawancara dilakukan dengan pihak
Direktorat Peraturan Perpajakan I, yaitu :
• Andik Tri Sulistyono, selaku Kepala Seksi Peraturan KUP dan PPSP ;
• Dony Olfa Wijaya, Kepala Seksi Peraturan PPN Industri;
• Adi Saputra Marja, Pelaksana Seksi Peraturan KUP dan PPSP;
• Novrijal, Pelaksana Seksi Peraturan KUP dan PPSP;
• Nusa Gilang Harda Kusuma, Pelaksana Seksi Peraturan KUP dan PPSP.
2) Akademisi
• Prof. Dr. Gunadi M.Sc., Akt, Guru Besar Tetap Perpajakan FISIP
Universitas Indonesia;
Akademisi perpajakan dibutuhkan sebagai pihak independen yang
menguasai konsep kebijakan terutama restitusi pajak.
• Dr. Tb. Eddy Mangkuprawira S.H., M.Si, Dosen Ilmu Administrasi Fiskal
Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia;
Akademisi perpajakan dibutuhkan sebagai pihak independen yang
menguasai konsep kebijakan terutama restitusi pajak.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
37

• Zuliansyah P.Z., S.Sos, M.Si, Dosen Ilmu Administrasi Negara Fakultas


Ilmu Administrasi Universitas Indonesia;
Wawancara dilakukan untuk mengetahui proses kebijakan dan faktor –
faktor lain yang mempengaruhi pembentukan suatu kebijakan.

3) Praktisi Perpajakan
• Doli Aritonang, Senior Tax Manager EY;
Wawancara dilakukan untuk mengetahui proses restitusi pajak selama ini
dan dampak diberlakukannya PMK 39/PMK.03/2018.
• Imam Adhisuryo, Senior Konsultan;
Wawancara dilakukan untuk mengetahui proses restitusi pajak selama ini
terutama terkait dengan implementasi kebijakan pendahuluan restitusi
pajak dengan peraturan terdahulu dan dampak diberlakukannya PMK
39/PMK.03/2018.

3.6 Site Penelitian


Lokasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Direktorat Jenderal
Pajak, kampus atau institusi tempat akademis mengajar, dan kantor praktisi.

3.7 Batasan Penelitian


Adanya batasan dalam penelitian adalah untuk mengarahkan penelitian ini sesuai
dengan pokok permasalahan dan menghindari penelitian yang cakupannya terlalu luas.
Batasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah formulasi kebijakan pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, yang ditinjau dari Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
38

BAB 4
GAMBARAN UMUM PERATURAN KEBIJAKAN PENGEMBALIAN
PENDAHULUAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

Pada bab 4 ini, peneliti akan membahas mengenai peraturan restitusi perpajakan
mulai dari Undang – Undang Perpajakan sampai dengan Peraturan Menteri Keuangan
terkait dengan kebijakan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak di
Indonesia.

4.1 Ketentuan Restitusi Pajak Dalam Undang – Undang Perpajakan


Di Indonesia, restitusi pajak diatur dalam Undang – Undang No. 6 Tahun 1983
sebagaimana yang telah diubah terakhir kali dengan Undang – Undang No. 16 Tahun
2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Wajib Pajak berhak
meminta kembali kelebihan pembayaran pajak jika setelah perhitungan jumlah pajak
yang terutang dengan jumlah Kredit Pajak terdapat selisih lebih bayar atau telah
dilakukan pembayaran pajak yang yang seharusnya tidak terutang yang diatur sesuai
dengan penjelasan dalam Pasal 11 UU KUP, dimana atas permohonan Wajib Pajak,
kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 17B, Pasal
17C, atau Pasal 17D dikembalikan dengan ketentuan Wajib Pajak tersebut tidak
mempunyai utang pajak. Ketentuan restitusi pajak yang diatur dalam Pasal 17 UU KUP
yaitu, sebagai berikut :
- Ayat (1), Direktur Jenderal Pajak (DJP) setelah melakukan pemeriksaan,
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) apabila jumlah Kredit
Pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang
terutang. Hal ini lebih lanjut dibahas dalam penjelasan Pasal 17, yaitu menurut
ketentuan ayat (1), SKPLB dalam restitusi perpajakan diterbitkan untuk :
a. Pajak Penghasilan (PPh) apabila jumlah Kredit Pajak lebih besar daripada
jumlah pajak yang terutang;
b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) apabila jumlah Kredit Pajak lebih besar daripada
jumlah pajak yang terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut
PPN, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran
dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut PPN tersebut; atau

38 Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
39

c. Pajak Penjualan atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar lebih
besar daripada jumlah pajak yang terutang.
SKPLB diterbitkan setelah melakukan pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan
yang disampaikan Wajib Pajak yang menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih
bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak. Apabila Wajib Pajak setelah menerima SKPLB dan menghendaki
pengembalian kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak wajib mengajukan
permohonan tertulis sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 11 ayat (2) yaitu untuk
menjamin kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan ketertiban administrasi perpajakan,
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan paling lama 1 bulan sejak
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diterima sehubungan
dengan diterbitkannya SKPLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), atau
sejak diterbitkannya SKPLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan
Pasal 17B, atau sejak diterbitkannya SKPPKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17C atau Pasal 17D, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat
Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan
Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan
Pemberian Imbalan Bunga, atau sejak diterimanya Putusan Banding atau Putusan
Peninjauan Kembali, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
- Ayat (2), berdasarkan permohonan Wajib Pajak, DJP setelah meneliti kebenaran
pembayaran pajak, menerbitkan SKPLB apabila terdapat pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
- Ayat (3) SKPLB masih dapat diterbitkan lagi apabila berdasarkan hasil pemeriksaan
dan/atau data baru ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada
kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan.
Restitusi perpajakan berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU KUP menjelaskan bahwa
restitusi pajak dilakukan dengan adanya pemeriksaan yang menyebabkan restitusi pajak
di Indonesia tidaklah mudah. Hal ini disebabkan karena lamanya proses pemeriksaan
yang dilakukan oleh otoritas perpajakan. Pemeriksaan merupakan salah satu cara untuk
menguji kepatuhan Wajib Pajak berdasarkan ketentuan perundang – undangan

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
40

perpajakan dan berperan dalam penyelesaian proses restitusi pajak. Restitusi pajak yang
dilakukan dengan proses pemeriksaan terlebih dahulu atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak yang diajukan oleh Wajib Pajak, juga diatur dalam Pasal
17B UU KUP dengan ayat – ayat sebagai berikut :
(1) DJP setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D, harus menerbitkan surat ketetapan pajak
paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.
Dalam ayat (1), surat permohonan yang telah diterima secara lengkap adalah Surat
Pemberitahuan yang telah diisi lengkap dan Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan
berdasarkan hasil pemeriksaan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak. Berdasarkan Pasal 1 ayat (25) UU KUP, pemeriksaan adalah serangkaian
kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang
dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar
pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau
untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Surat ketetapan pajak yang diterbitkan berupa Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dan harus diterbitkan paling lama
12 bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.
(1a) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Wajib Pajak
yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang
perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(2) Apabila setelah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) DJP
tidak memberi suatu keputusan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak dianggap dikabulkan atau SKPLB harus diterbitkan paling lama 1 (satu)
bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir. Batas waktu yang telah ditetapkan
bertujuan untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan dan memberikan
kepastian hukum terhadap permohonan yang telah diajukan oleh Wajib Pajak atau
Pengusaha Kena Pajak (PKP). Apabila batas waktu yang telah ditetapkan dilampaui

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
41

oleh DJP dengan tidak memberikan suatu keputusan, maka permohonan dianggap
dikabulkan atau dapat menerbitkan SKPLB dengan waktu paling lama 1 bulan
setelah jangka waktu yang telah ditetapkan berakhir.
(3) Apabila SKPLB terlambat diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada
Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan dihitung
sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai
dengan saat diterbitkan SKPLB.
Dalam hal ini, Wajib Pajak akan mendapatkan imbalan bunga sebesar 2%
per bulan untuk paling lama 24 bulan apabila DJP terlambat menerbitkan SKPLB
yang dihitung sejak berakhirnya jangka waktu pada ayat (2) sampai dengan saat
SKPLB diterbitkan, serta bagian dari bulan dihitung 1 bulan.
Restitusi perpajakan juga dapat dilakukan tanpa melalui pemeriksaan terlebih
dahulu, yaitu melalui penelitian seperti yang tercantum dalam Pasal 17 ayat (2) UU KUP.
Definisi mengenai penelitian diatur dalam Pasal 1 ayat (30) UU KUP yaitu, penelitian
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat
Pemberitahuan dan lampiran – lampirannya termasuk tentang kebenaran penulisan dan
perhitungannya. Berdasarkan hasil penelitian, DJP menerbitkan Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) terhadap kebenaran pembayaran
pajak atas permohonan Wajib Pajak yang memiliki kriteria tertentu sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 17C (Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu) dan 17D (Wajib
Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu) UU KUP, dan Pasal 9 (Pengusaha Kena
Pajak Berisiko Rendah) UU PPN, dengan rincian sebagai berikut :
1) Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu
Dasar hukum Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu diatur dalam UU KUP, Pasal 17C,
yaitu :
- Ayat (1), DJP setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu,
menerbitkan SKPPKP paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima
secara lengkap untuk PPh, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan
diterima secara lengkap untuk PPN.
- Ayat (2), Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
42

b. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali


tunggakan pajak yang telah memperoleh izin untuk mengangsur atau
menunda pembayaran pajak;
c. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan
keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa pengecualian selama
3 (tiga) tahun berturut – turut; dan
d. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
- Ayat (3), Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaiman dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
- Ayat (4), DJP dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana
yang dimaksud pada ayat (1), dan menerbitkan surat ketetapan pajak, setelah
melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
- Ayat (5), apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (4), DJP menerbitkan SKPKB, jumlah kekurangan pajak ditambah
dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari
jumlah keuangan pembayaran pajak.
- Ayat (6), Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak apabila:
a. terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan tindakan penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan;
b. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis
pajak tertentu 2 (dua) Masa Pajak berturut – turut;
c. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis
pajak tertentu 3 (tiga) Masa Pajak dalam 1 (satu) tahun kalender; atau
d. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
- Ayat (7), tata cara penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
43

2) Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu


Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu dalam hal pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak diatur dalam Pasal 17D UU KUP, sebagai
berikut:
- Ayat (1), DJP setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan
tertentu, menerbitkan SKPPKP paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan
diterima secara lengkap untuk PPh dan paling lama 1 (satu) bulan sejak
permohonan diterima secara lengkap untuk PPN.
- Ayat (2), Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak adalah:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan dengan
jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah
tertentu;
c. Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar
sampai dengan jumlah tertentu;
d. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menyampaikan Surat Pemberitahuan
Masa (SPT Masa) PPN dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar
sampai dengan jumlah tertentu.
- Ayat (3), batasan jumlah peredaran usaha, jumlah penyerahan, dan jumlah lebih
bayar sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
- Ayat (4), DJP dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah
melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
DJP melakukan pemeriksaan setelah memberikan pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak yang dimaksudkan untuk mengurangi
penyalahgunaan pemberian kemudahan percepatan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
44

- Ayat (5), jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) DJP menerbitkan SKPKB, jumlah pajak yang kurang bayar ditambah dengan
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%.
Apabila seperti yang dimaksudkan pada ayat (4) DJP menerbitkan
SKPKB, maka Wajib Pajak wajib membayar kekurangan pembayaran pajak
tersebut ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%
dari jumlah kekurangan pembayaran pajak. Hal ini bertujuan agar Wajib Pajak
melaporkan jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan perpajakan.
Apabila Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak
yang memenuhi persyaratan tertentu dan mengajukan permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak sesuai Pasal 17B UU KUP, maka
proses permohonan yang dimaksud diproses dengan mekanisme pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sesuai dengan Pasal 17D UU KUP.
Setelah itu, DJP akan meberitahukan kepada Wajib Pajak mengenai proses
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak Wajib Pajak yang
diproses sesuai dengan ketentuan Pasal 17D UU KUP sebagai penyelesaian
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Disisi lain, permohonan tertulis atau diajukannya surat tersendiri atas
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak yang diajukan oleh
Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (4c) UU PPN, diatur sebagai berikut :

3) Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah yang Diberikan Pengembalian Pendahuluan


Kelebihan Pajak
Dalam hal pengembalian pendahuluan kelebihan pajak bagi Pengusaha Kena Pajak
berisiko rendah, diatur dalam Pasal 9 UU PPN dengan ayat – ayat sebagai berikut :
- Ayat (4), apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan
kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
- Ayat (4a), atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
45

- Ayat (4b), dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan
ayat (4a), atas kelebihan pajak Pajak Masukan dapat diajukan permohonan
pengembalian pada setiap Masa Pajak oleh:
a. PKP yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud:
b. PKP yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak kepada Pemungut PPN:
c. PKP yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak yang PPN-nya tidak dipungut:
d. PKP yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud:
e. PKP yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak: dan/atau
f. PKP dalam tahap belum berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2a).
- Ayat (4c), pengembalian kelebihan Pajak Masukan kepada PKP sebagaimana
dimaksud pada ayat (4b) huruf a sampai dengan huruf e, yang mempunyai
kriteria sebagai PKP berisiko rendah, dilakukan dengan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17C ayat (1) UU KUP.
- Ayat (4d), ketentuan mengenai PKP berisiko rendah yang diberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(4c) diatur dengan PMK.
- Ayat (4e), DJP dapat melakukan pemeriksaan terhadap PKP sebagaimana
dimaksud pada ayat (4c) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah
melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
- Ayat (4f), apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4e), DJP menerbitkan SKPKB, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan
sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(2) UU KUP, yaitu jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKB
ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan. Dalam
ayat ini bertujuan untuk mengurangi penyalahgunaan pemberian kemudahan
percepatan pengembalian kelebihan pajak.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
46

4.2 Regulasi Perpajakan Terkait Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak


Dalam PMK 39/PMK.03/2018, pemerintah melakukan penyederhanaan
administrasi terkait proses restitusi pajak yang dipercepat dengan memangkas tiga
Peraturan Menteri Keuangan terdahulu. Pada PMK 39/PMK.03/2018 dalam rangka
proses percepatan restitusi pajak ini, adanya penggabungan kebijakan yang mengatur,
antara lain :
1) Restitusi pajak bagi Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu
Tata cara pengembalian pendahuluan restitusi pajak bagi Wajib Pajak Dengan
Kriteria Tertentu dalam PMK 39/PMK.03/2018 sebelumnya diatur dalam PMK
74/PMK.03/2012. Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu disebut juga dengan Wajib
Pajak patuh. Wajib Pajak yang berhak untuk mendapatkan label tersebut adalah Wajib
Pajak yang tepat waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT), tidak mempunyai
tunggakan pajak, laporan keuangannya telah diaudit dan mendapat opini Wajar Tanpa
Pengecualian selama tiga tahun berturut-turut, dan tidak pernah dipidana di bidang
perpajakan dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Dalam hal ini, pengertian tepat waktu
dalam penyampaian Surat Pemberitahuan yang dimaksud yaitu :
a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam 3 (tiga)
Tahun Pajak terakhir yang wajib disampaikan sampai dengan akhir tahun sebelum
tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu dilakukan tepat waktu;
b. penyampaian Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat dalam tahun terakhir
sebelum tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu untuk Masa Pajak
Januari sampai November tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis
pajak dan tidak berturut – turut;
c. seluruh Surat Pemberitahuan Masa dalam tahun terakhir sebelum tahun penetapan
Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu untuk Masa Pajak Januari sampai November
telah disampaikan; dan
d. Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud pada huruf b
telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Masa Pajak berikutnya.
Kedua, yang dimaksud dengan tidak mempunyai tunggakan pajak sebagaimana
adalah keadaan Wajib Pajak pada tanggal 31 Desember tahun sebelum penetapan sebagai
Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu. Ketiga, laporan keuangan yang diaudit oleh

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
47

akuntan publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah sebagaimana dimaksud


adalah laporan keuangan yang dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan PPh
yang wajib disampaikan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut sampai dengan akhir tahun
sebelum tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu. Dalam hal ini
Persyaratan sebagai Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu tersebut dalam PMK
74/PMK.03/2012 sama dengan yang diatur dalam PMK 39/PMK.03/2018.
Penetapan sebagai Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu, yaitu apabila telah
memenuhi persyaratan, dilakukan berdasarkan permohonan dari Wajib Pajak dengan
batas waktu Wajib Pajak mengajukan permohonan paling lambat tanggal 10 Januari pada
tahun Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu, atau berdasarkan kewenangan DJP secara
jabatan. Berdasarkan penelitian, DJP menerbitkan keputusan mengenai penetapan Wajib
Pajak Dengan Kriteria Tertentu dalam hal permohonan, dan memberitahukan secara
tertulis kepada Wajib Pajak mengenai penolakan permohonan bagi yang tidak memenuhi
persyaratan. Pada PMK 74/PMK.03/2012, penerbitan keputusan atas Wajib Pajak
Dengan Kriteria Tertentu dan pemberitahuan secara tertulis tentang penolakan dilakukan
paling lambat tanggal 20 Februari pada tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria
Tertentu, sedangkan menurut PMK 39/PMK.03/2018, penerbitan keputusan penetapan
Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu dilakukan paling lama satu bulan setelah
diterimanya permohonan penetapan.
Keputusan penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu yang diatur dalam PMK
39/PMK.03/2018 berlaku sejak tanggal ditetapkan sampai dengan dilakukan pencabutan
penetapan oleh DJP, sedangkan yang diatur dalam PMK 74/PMK.03/2012 terkait dengan
pengajuan permohonan pengembalian pendahuluan dapat diajukan untuk Masa
Pajak/Tahun Pajak yang tercakup dalam jangka waktu 2 tahun kalender (tahun penetapan)
terhitung sejak tanggal 1 Januari pada tahun penetapan Wajib Pajak Kriteria Tertentu
termasuk SPT Pembetulan yang disampaikan saat masih berstatus Wajib Pajak Kriteria
Tertentu. Selain itu, dalam PMK 74/PMK.03/2012 bahwa pengajuan permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan dengan menyampaikan
permohonan secara tertulis dan dilakukan dengan cara memberi tanda pada Surat
Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar restitusi atau dengan cara mengajukan surat
tersendiri. Hal ini berbeda dengan kebijakan yang diatur dalam PMK 39/PMK.03/2018
bahwa untuk memperoleh pengembalian pendahuluan Wajib Pajak Dengan Kriteria

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
48

Tertentu harus mengajukan permohonan dengan cara mengisi kolom pengembalian


pendahuluan dalam SPT. Disisi lain apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi
persyaratan sebagai Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu, dalam hal ini terlambat
menyampaikan SPT maka penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu akan dicabut.
Namun dalam PMK.39/PMK.03/2018 pencabutan dilakukan dalam hal Wajib Pajak
dilakukan pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka atau tindakan penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan, sedangkan PMK 74/PMK.03/2012 pencabutan dilakukan
dalam hal Wajib Pajak terlambat lapor SPT dan dilakukan pemeriksaan bukti permulaan
atau penyidikan.
Selain harus memenuhi persyaratan sebagai Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu,
kemudian DJP melakukan penelitian atas permohonan pengembalian pendahuluan untuk
dapat memberikan pendahuluan kelebihan pembayaran pajak kepada Wajib Pajak sesuai
dengan kebijakan. Pada PMK 74/PMK.03/2012 hanya dilakukan penelitian material,
penelitian tersebut dilakukan atas ;
a. kelengkapan Surat Pemberitahuan dan lampiran – lampirannya;
b. kebenaran penulisan dan penghitungan pajak;
c. kebenaran Kredit Pajak atau Pajak Masukan berdasarkan hasil konfirmasi dalam
sistem aplikasi DJP atau konfirmasi dengan menggunakan surat; dan
d. kebenaran pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak.
Hal ini berbeda dengan yang diatur dalam PMK 39/PMK.03/2018, bahwa terkait dengan
penelitian permohonan pengembalian pendahuluan dilakukannya penelitian material dan
formal. Dalam hal itu, dijelaskan lebih rinci mengenai tindak lanjut DJP dengan
melakukan penelitian yang memenuhi ketentuan formal dalam pengembalian
pendahuluan yang meliputi :
a. kebenaran penulisan dan penghitungan pajak;
b. bukti pemotongan atau bukti pemungutan PPh yang dikreditkan Wajib Pajak
pemohon;
c. Pajak Masukan yang dikreditkan dan/atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
pemohon. Penelitian tersebut dilakukan untuk memastikan kebenaran penjumlahan,
pengurangan, perkalian, dan/atau pembagian suatu bilangan dalam penghitungan
pajak.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
49

Dalam PMK 39/PMK.03/2018, berdasarkan hasil penelitian, DJP menerbitkan


SKPPKP dalam hal hasil penelitian formal dan material yang menunjukan bahwa Wajib
Pajak telah memenuhi ketentuan kewajiban formal yang dimaksud dan menunjukan
terdapat kelebihan pembayaran pajak. DJP tidak akan menerbitkan SKPPKP dan
memberitahukan kepada Wajib Pajak dalam hal hasil penelitian formal tidak menunjukan
bahwa Wajib Pajak dapat diberikan pengembalian pendahuluan dan hasil penelitian
material tidak menunjukan adanya kelebihan pembayaran pajak, sedangkan sebagaimana
yang diatur dalam PMK 74/PMK.03/2012, SKPPKP tidak akan diterbitkan apabila
berdasarkan hasil penelitian material atas permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dari Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu menunjukkan :
a. tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak;
b. Surat Pemberitahuan beserta lampirannya tidak lengkap;
c. penulisan dan penghitungan pajak tidak benar;
d. Kredit Pajak atau Pajak Masukan berdasarkan hasil konfirmasi dalam sistem
aplikasi DJP atau konfirmasi dengan menggunakan surat tidak benar; atau
e. pembayaran pajak tidak benar. Dalam hal ini, Wajib Pajak dianggap tidak
mengajukan permohonan.
Jangka waktu pengembalian pendahuluan yang diatur dalam PMK 39/PMK.03/2018
sama dengan yang diatur dalam PMK 74/PMK.03/2012 yaitu paling lama 3 bulan sejak
permohonan diterima secara lengkap untuk PPh dan paling lama 1 bulan sejak
permohonan diterima secara lengkap untuk PPN. Berdasarkan penjabaran tersebut,
perbandingan lain yang diatur dalam PMK 39/PMK.03/2018 dengan PMK
74/PMK.03/2012 dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Perbandingan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu

Pokok Existing (PMK-74/PMK.03/2012) Peraturan Baru


Pengaturan
Masa berlaku 2 tahun kalender, berlaku sejak 1 Berlaku sejak tanggal ditetapkan
penetapan Januari di tahun penetapan sampai dengan dicabut penetapannya.
Pengajuan Diajukan untuk Masa Pajak/Tahun Dapat diajukan sejak Wajib Pajak
permohonan Pajak yang tercakup dalam jangka ditetapkan sebagai Wajib Pajak
pengembalian waktu 2 tahun kalender (tahun Kriteria Tertentu.
pendahuluan penetapan), termasuk SPT

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
50

Pembetulan yang disampaikan saat


masih berstatus Wajib Pajak Kriteria
Tertentu
Penelitian Penelitian material: Penelitian Formal:
permohonan a. Terdapatnya kelebihan pajak; a. Penetapan masih berlaku;
pengembalian b. SPT lengkap; b. Wajib Pajak tidak sedang
pendahuluan c. Kebenaran penulisan dan diperiksa bukti permulaan atau
penghitungan pajak; disidik pajak;
d. Kredit Pajak dan Pajak Masukan c. Tidak terlambat SPT.
benar; Penelitian Material:
e. Pembayaran pajak benar. a. Kebenaran penulisan dan
penghitungan pajak;
b. Kredit Pajak benar, artinya bahwa
SPT Masa lawan transaksi telah
dilapor dan tanpa dicek detail
bukti potongnya;
c. Pajak Masukan (PM) yang
dikreditkan atau dibayar sendiri
benar, yaitu telah dilapor PKP
Penjual .
Hasil Penelitian • Kelebihan pajak hasil penelitian • Kelebihan pajak hasil penelitian
atas lebih bayar (LB) atas LB permohonan maka terbit
permohonan maka terbit SKPPKP;
SKPPKP ; • Kelebihan pajak hasil penelitian
• Kelebihan pajak hasil penelitian tidak ada LB permohonan maka
tidak ada LB permohonan maka SKPPKP terbit senilai hasil
SKPPKP tidak terbit, dialihkan penelitian;
ke pemeriksaan SPTLB (Pasal • SKPPKP tidak terbit, maka
17(1) KUP). ditindaklanjuti dengan
pemeriksaan (Pasal 17B UU KUP)

Penanganan Bila terdapat 1 saja kredit pajak yang • Kredit pajak yang tidak
kredit pajak tidak terkonfirmasi maka SKPPKP terkonfirmasi tidak
yang tidak tidak diterbitkan atas keseluruhan diperhitungkan dalam SKPPKP;
terkonfirmasi LB.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
51

• Hanya kredit pajak terkonfirmasi


yang diterbitkan SKPPKP.
Atas koreksi Tidak ada, SPTLB ditindaklanjuti • Kredit Pajak atau PM yang
Kredit dengan Pasal 17B KUP dikoreksi dapat diajukan kembali
Pajak/PM (Pemeriksaan) permohonan pengembalian
dengan surat tersendiri;
• Dapat dilakukan pembetulan SPT
Wajib Pajak • Dengan penetapan jabatan maka Penetapan jabatan atau dengan
Kriteria tertentu restitusi bisa memilih dengan permohonan maka restitusi bisa
memilih restitusi Pasal 17B atau 17C UU KUP; memilih dengan Pasal 17B atau 17C
biasa (bukan • Apabila dilakukan penetapan UU KUP
pengembalian dengan permohonan maka akan
pendahuluan) di proses dengan Pasal 17C UU
KUP
Sumber : Direktorat Peraturan Perpajakan I, Direktorat Jenderal Pajak, 2018

2) Restitusi pajak bagi Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu


Restitusi pajak bagi Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu sebelumnya
diatur dalam PMK 198/PMK.03/2013. Berdasarkan kriteria Wajib Pajak yang Memenuhi
Persyaratan Tertentu sesuai dengan PMK 39/PMK.03/2018 yakni :
a. Wajib Pajak orang pribadi tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang
menyampaikan SPT Tahunan PPh lebih bayar restitusi;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang
menyampaikan SPT Tahunan PPh lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar
paling banyak Rp100.000.000,00;
c. Wajib Pajak Badan yang menyampaikan SPT Tahunan PPh lebih bayar restitusi
dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp1.000.000.000,00; atau
d. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan SPT Masa Pajak PPN lebih bayar
restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp1.000.000.000,00.
Hal tersebut berbeda dengan sebagaimana yang diatur dalam PMK 198/PMK.03/2013.
Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu adalah :
a. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar
restitusi;

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
52

b. Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar
restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah);
c. Wajib Pajak Badan yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah); atau
d. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Selain memenuhi persyaratan tertentu, pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak tidak harus didasarkan pada analisis risiko seperti yang diatur dalam
PMK 198/PMK.03/2013 yang pedomannya ditetapkan oleh DJP. Analisis risiko yang
dimaksud yaitu pertimbangan perilaku dan kepatuhan Wajib Pajak, dapat berupa ;
a. kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan;
b. kepatuhan dalam melunasi utang pajak; dan
c. kebenaran Surat Pemberitahuan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, dan Tahun
Pajak sebelum-sebelumnya.
Tidak adanya analisis risiko dalam proses pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak diatur dalam PMK 39/PMK.03/2018. Disisi lain, dalam PMK
39/PMK.03/2018 untuk dapat memperoleh pengembalian pendahuluan, Wajib Pajak
Persyaratan Tertentu harus mengajukan permohonan dengan cara mengisi kolom
Pengembalian Pendahuluan dalam SPT, sedangkan cara pengajuan pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak yang diatur dalam PMK 198/PMK.03/2013
adalah permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak oleh Wajib
Pajak dilakukan dengan menyampaikan permohonan secara tertulis. Permohonan secara
tertulis dilakukan dengan cara memberi tanda pada Surat Pemberitahuan yang
menyatakan lebih bayar restitusi atau dengan cara mengajukan surat tersendiri. Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud menyampaikan:
a. Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar tanpa ada permohonan
kompensasi dan tanpa ada permohonan restitusi; atau

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
53

b. Surat Pemberitahuan pembetulan yang menyatakan lebih bayar dengan permohonan


pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Dianggap mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
pajak apabila :
1) Dalam hal Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu mengajukan
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sesuai ketentuan Pasal 17B
Undang-Undang KUP, permohonan dimaksud diproses dengan mekanisme
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak berdasarkan ketentuan
Pasal 17D Undang-Undang KUP.
2) Atas penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak memberitahukan
kepada Wajib Pajak
Untuk mendapatkan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, dalam PMK
39/PMK.03/2018 mengharuskan Wajib Pajak untuk mengisi kolom pengembalian
pendahuluan dalam SPTLB yang dilaporkan. Terdapat pilihan yang harus diisi oleh
Wajib Pajak dalam SPT Masa PPN maupun SPT Tahunan PPh Badan dan Orang Pribadi
ketika perhitungan pajaknya menyatakan lebih bayar. Jika Wajib Pajak tidak mengisi
tanda tersebut maka Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan permohonan pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. Dengan demikian, kelebihan pembayaran
tersebut akan diproses melalui pemeriksaan. Terkait dengan proses pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, dalam hal ini akan di proses oleh Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) dalam jangka waktu:
a. 15 (lima belas) hari kerja, untuk permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak penghasilan orang pribadi;
b. 1 (satu) bulan, untuk permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
pajak penghasilan badan; atau
c. 1 (satu) bulan, untuk permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
pajak pertambahan nilai.
Dalam PMK 39/PMK.03/2018, dijelaskan mengenai tata cara penelitian material
lebih lanjut dibandingkan dengan yang diatur dalam PMK 198/PMK.03/2013.
Perbandingan PMK 198/PMK.03/2013 dengan PMK 39/PMK.03/2018 lainnya dapat
dilihat pada tabel 4.2.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
54

Tabel 4.2 Perbandingan Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu

Pokok Existing (PMK-198/PMK.03/2013) Peraturan Baru


Pengaturan
Persyaratan a. Wajib Pajak Orang Pribadi tidak a. Wajib Pajak Orang Pribadi tidak
menjalankan pekerjaan bebas; menjalankan pekerjaan bebas;
b. Wajib Pajak Orang Pribadi b. Wajib Pajak Orang Pribadi
menjalankan usaha dengan LB menjalankan usaha dengan LB
Restitusi PPh ≤ Rp 10 jt; Restitusi PPh ≤ Rp 100 jt;
c. Wajib Pajak Badan dengan LB c. Wajib Pajak Badan dengan LB
Restitusi PPh ≤ Rp 100 jt; Restitusi PPh ≤ Rp 1 milliar;
d. PKP dengan LB Restitusi PPN ≤ d. PKP dengan LB Restitusi PPN ≤
Rp 100 jt. Rp 1 milliar.
Penelitian Penelitian Material: Penelitian Material:
permohonan a. SPT lengkap; a. Kebenaran penulisan dan
pengembalian b. Kebenaran penulisan dan penghitungan pajak;
pendahuluan penghitungan pajak; b. Kredit Pajak benar, berarti SPT
c. Kredit Pajak dan Pajak Masukan Masa lawan transaksi telah dilapor
benar; (tanpa cek detail bukti potong);
d. Pembayaran pajak benar. c. PM yang dikreditkan atau dibayar
sendiri benar berarti telah
dilaporkan oleh PKP Penjual.
Hasil Penelitian • Kelebihan pajak hasil penelitian • Kelebihan pajak hasil penelitian
atas lebih bayar (LB) atas LB permohonan maka terbit
permohonan maka terbit SKPPKP;
SKPPKP ; • Kelebihan pajak hasil penelitian
• Kelebihan pajak hasil penelitian tidak ada LB permohonan maka
tidak ada LB permohonan maka SKPPKP terbit senilai hasil
SKPPKP tidak terbit, dialihkan penelitian;
ke pemeriksaan SPTLB (Pasal • SKPPKP tidak terbit, maka
17(1) KUP). ditindaklanjuti dengan
pemeriksaan (Pasal 17B UU KUP).

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
55

Penanganan • Kredit Pajak yang tidak • Kredit pajak yang tidak


kredit pajak terkonfirmasi tetap terkonfirmasi tidak
yang tidak diperhitungkan dalam SKPPKP diperhitungkan dalam SKPPKP.
terkonfirmasi dan dilakukan pengawasan • Hanya kredit pajak terkonfirmasi
selama 3 bulan. yang diterbitkan SKPPKP.
• Bila setelah 3 bulan tidak
terkonfirmasi, diusulkan
pemeriksaan .
Atas koreksi Tidak ada, SPTLB ditindaklanjuti • Kredit Pajak atau PM yang
Kredit dengan Pasal 17B KUP dikoreksi dapat diajukan kembali
Pajak/PM (Pemeriksaan) permohonan pengembalian
dengan surat tersendiri;
• Dapat dilakukan pembetulan SPT
Analisis Risiko Memperhatikan Analisis Risiko
dalam pemberian pengembalian
pendahuluan:
a. SPT lapor tepat waktu Dihapus
b. Tidak ada utang pajak
c. Kebenaran formal dan lampiran
SPT
Sumber : Direktorat Peraturan Perpajakan I, Direktorat Jenderal Pajak, 2018

3) Restitusi pajak bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) Berisiko Rendah


Restitusi pajak bagi Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebelumnya diatur
dalam PMK 71/PMK.03/2010. Pada PMK 39/PMK.03/2018, pengusaha Pajak yang
melakukan kegiatan tertentu dan ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko
Rendah yang diberikan pengembalian pendahuluan yaitu, sebagai berikut:
a. perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
b. perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki secara langsung oleh pemerintah
pusat dan/atau pemerintah daerah;
c. Pengusaha Kena Pajak yang telah ditetapkan sebagai Mitra Utama Kepabeanan
sesuai dengan ketentuan dalam PMK yang mengatur mengenai Mitra Utama
Kepabeanan;

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
56

d. Pengusaha Kena Pajak yang telah ditetapkan sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat
(Authorized Economic Operator) sesuai dengan ketentuan dalam PMK yang
mengatur mengenai sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic
Operator);
e. pabrikan atau produsen selain Pengusaha Kena Pajak sebagaimana yang dimaksud
dalam huruf a sampai dengan d, yang memiliki tempat untuk melakukan kegiatan
produksi; atau
f. Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu, yang menyampaikan
SPT Masa PPN lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak
Rp1.000.000.000,00.
Kriteria tersebut berbeda dengan kebijakan yang sebelumnya diatur dalam PMK
71/PMK.03/2010, untuk ditetapkan sebagai PKP berisiko rendah harus memenuhi
kriteria, yakni:
a. Pengusaha Kena Pajak yang merupakan Perusahaan Terbuka (Tbk) yang paling
sedikit 40% dari keseluruhan saham disetornya diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia;
b. Pengusaha Kena Pajak merupakan perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki
secara langsung oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah; atau
c. produsen selain Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dan
huruf b, yang memenuhi persyaratan tertentu, yang tidak pernah dilakukan
pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan dalam jangka waktu 24 bulan
terakhir, dengan persyaratan tertentu yang meliputi tepat waktu dalam penyampaian
SPT Masa Pajak PPN selama 12 bulan terakhir, nilai Barang Kena Pajak yang dijual
pada tahun sebelumnya paling sedikit 75% adalah produksi sendiri, dan Laporan
Keuangan untuk 2 tahun pajak sebelumnya diaudit oleh Akuntan Publik dengan
pendapatan Wajar Tanpa Pengecualian atau Wajar Dengan Pengecualian.
Selain itu, dalam PMK 39/PMK.03/2018 untuk dapat ditetapkan sebagai PKP
Berisiko Rendah, Pengusaha Kena Pajak tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut :
a. Pengusaha Kena Pajak merupakan/meliputi Pengusaha Kena Pajak;
b. Pengusaha Kena Pajak pabrikan menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai
selama 12 (dua belas) bulan terakhir dengan tepat waktu;

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
57

c. Pengusaha Kena Pajak tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan


dan/atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; dan
d. Pengusaha Kena Pajak tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
Jangka waktu penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah dalam PMK
39/PMK.03/2018 adalah sekali dan berlaku terus, kecuali dicabutnya penetapan tersebut
karena tidak memenuhi ketentuan kriteria atau subjek, dalam hal dipidana pajak dan
diperiksa bukti permulaan atau disidik. Hal ini berbeda dengan kebijakan yang diatur
dalam PMK 71/PMK.03/2010. Jangka waktu penetapan adalah selama dua tahun, serta
dilakukannya pencabutan penetapan dalam hal tidak memenuhi kriteria berdasarkan hasil
pemeriksaan dan dilakukannya pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan.
Pengusaha Kena Pajak mengajukan permohonan ke KPP tempat Pengusaha Kena
Pajak dikukuhkan, untuk dapat ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko
Rendah dengan dilampiri kelengkapan dokumen sebagai berikut ;
a. untuk Pengusaha Kena Pajak Mitra Utama Kepabeanan, dilampiri surat penetapan
sebagai Mitra Utama Kepabeanan;
b. untuk Pengusaha Kena Pajak Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic
Operator), dilampiri surat penetapan sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat
(Authorized Economic Operator); atau
c. untuk pabrikan atau produsen, dilampiri surat pemyataan mengenai keberadaan
tempat untuk melakukan kegiatan produksi.
Setelah memenuhi persyaratan, SKPPKP diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan sejak
permohonan diterima, tetapi untuk dapat memperoleh pendahuluan tersebut, PKP
Berisiko Rendah harus mengajukan permohonan dengan cara mengisi kolom
pengembalian pendahuluan dalam SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai.
Perbandingan lain antara PMK 71/PMK.03/2010 dengan PMK 39/PMK.03/2018
secara rinci dapat dilihat pada tabel perbandingan berikut ini.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
58

Tabel 4.3 Perbandingan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah

Pokok Existing (PMK-71/PMK.03/2010) Peraturan Baru


Pengaturan
Subjek a. Perusahaan Terbuka dengan a. Perusahaan dengan saham di BEI ;
minimal saham 40% di BEI; b. BUMN/BUMD;
b. BUMN/BUMD; c. Produsen yang punya tempat
c. Produsen dengan syarat tertentu produksi dan tepat waktu lapor
(tepat waktu SPT PPN 12 bulan, SPT PPN 12 bulan;
Laporan Keuangan diaudit oleh d. Eksportir MITA/AEO;
Akuntan Publik dengan pendapat e. PKP Pasal 17D (Persyaratan
Wajar Tanpa Pengecualian atau Tertentu, yang memenuhi syarat ;
Wajar Dengan Pengecualian 1. tidak sedang dilakukan
(WTP/WDP), 75% BKP hasil pemeriksaan bukti permulaan
produksi sendiri, dan tidak atau penyidikan;
dilakukan pemeriksaan bukti 2. tidak pernah dipidana pajak
permulaan atau penyidikan dalam dalam 5 tahun.
24 bulan.
Penetapan Permohonan. Permohonan dan Jabatan .

Masa berlaku Berlaku 24 Masa Pajak, terhitung Berlaku sejak ditetapkan sampai
penetapan sejak Masa Pajak saat ditetapkan . dicabut penetapannya.
Pencabutan a. Dilakukan pemeriksaan bukti a. Dilakukan pemeriksaan bukti
penetapan permulaan atau penyidikan tindak permulaan atau penyidikan tindak
pidana pajak; pidana pajak;
b. Hasil pemeriksaan menunjukan b. Dipidana pajak;
bahwa Wajib Pajak tidak lagi c. Tidak memenuhi persyaratan
memenuhi kriteria. penetapan (subjek).
Pengajuan - Dapat diajukan sejak PKP ditetapkan
permohonan sebagai PKP Berisiko rendah
pengembalian
pendahuluan
Penelitian Penelitian material: Penelitian Formal:
permohonan a. Kebenaran pemenuhan Pasal 9 a. Penetapan masih berlaku;
pengembalian ayat (4b) UU PPN;
pendahuluan b. SPT lengkap;

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
59

c. Kebenaran penulisan dan b. PKP tidak sedang diperiksa bukti


penghitungan pajak; permulaan atau disidik
d. Pembayaran pajak benar. perpajakan;
c. PKP tidak pernah dipidana pajak
dalam 5 tahun.
Penelitian Material:
a. Pemenuhan kegiatan Pasal 9 ayat
(4b) UU PPN;
b. Kebenaran penulisan dan
penghitungan pajak;
c. PM yang dikreditkan telah dilapor
PKP Penjual;
d. PM yang dibayar sendiri
tervalidasi dengan NTPN.
Hasil Penelitian • Kelebihan pajak hasil penelitian • Kelebihan pajak hasil penelitian
atas lebih bayar (LB) atas LB permohonan maka terbit
permohonan maka terbit SKPPKP;
SKPPKP ; • Kelebihan pajak hasil penelitian
• Kelebihan pajak hasil penelitian tidak ada LB permohonan maka
tidak ada LB permohonan maka SKPPKP terbit senilai hasil
SKPPKP tidak terbit, dialihkan penelitian;
ke pemeriksaan SPT LB (Pasal • SKPPKP tidak terbit, maka
17(1) KUP). ditindaklanjuti dengan
pemeriksaan (Pasal 17B UU
KUP).
Penanganan Bila terdapat 1 saja kredit pajak yang • Kredit pajak yang tidak
kredit pajak tidak terkonfirmasi maka SKPPKP terkonfirmasi tidak
yang tidak tidak diterbitkan atas keseluruhan diperhitungkan dalam SKPPKP;
terkonfirmasi LB. • Hanya kredit pajak terkonfirmasi
yang diterbitkan SKPPKP .
Atas koreksi Tidak ada, SPTLB ditindaklanjuti • Kredit Pajak atau PM yang
Kredit dengan Pasal 17B KUP dikoreksi dapat diajukan kembali
Pajak/PM (Pemeriksaan) permohonan pengembalian
dengan surat tersendiri;

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
60

• Dapat dilakukan pembetulan


SPT.
Sumber : Direktorat Peraturan Perpajakan I, Direktorat Jenderal Pajak, 2018

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
61

BAB 5
ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENDAHULUAN RESTITUSI
PERPAJAKAN BERDASARKAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 39/PMK.03/2018

Dalam sistem pemungutan pajak, Wajib Pajak dapat mengetahui adanya kurang
atau lebih bayar PPh maupun PPN dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Kelebihan pembayaran PPh terjadi karena kredit pajak yang dipotong oleh pihak lain
(withholding tax) maupun yang dibayarkan sendiri (self assessment) lebih besar
dibandingkan dengan jumlah pajak yang terutang, sedangkan kelebihan bayar PPN terjadi
karena adanya transaksi yang menyebabkan Pajak Masukan (PM) lebih besar
dibandingkan dengan Pajak Keluaran (PK). Atas kelebihan pembayaran pajak tersebut,
Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak (PKP) dapat meminta kelebihan pembayaran
pajak sesuai dengan kebijakan – kebijakan yang telah diatur dalam Pasal 17, Pasal 17B,
Pasal 17C, dan Pasal 17D UU KUP, serta Pasal 9 ayat (4C) UU PPN.
Berdasarkan Pasal 17 dan Pasal 17B UU KUP, terdapat pemeriksaan atas
pengajuan restitusi pajak yang dinilai selama ini oleh Wajib Pajak dalam prosesnya cukup
lama. Namun, dalam proses restitusi pajak itu sendiri, sebenarnya pemerintah telah
memberikan layanan khusus kepada Wajib Pajak atau PKP tertentu dengan adanya
pemberian pendahuluan restitusi pajak yang diminta oleh Wajib Pajak tanpa melalui
pemeriksaan dan diatur berdasarkan Pasal 17C dan Pasal 17D UU KUP, serta Pasal 9 ayat
(4C) UU PPN. Ketentuan lebih lanjut terkait dengan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak (pendahuluan restitusi pajak) diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan. Dengan adanya Peraturan Menteri Keuangan, pemerintah dapat
mencegah pemungutan pajak yang tidak sesuai dengan Undang – Undang dan bukan
menjadi hak pemerintah atas kelebihan pembayaran pajak yang telah disetor oleh Wajib
Pajak kepada negara tersebut.
Kebijakan mengenai restitusi pajak ini adalah kebijakan pajak, yang merupakan
bagian dari kebijakan publik, yang dimana kebijakan tersebut bertujuan untuk
menciptakan insentif bagi Wajib Pajak dan mempunyai dampak besar terhadap
masyarakat. Menurut Anderson, sebagaimana yang dikutip oleh Nurcholis (2007, p.264),
kebijakan publik adalah kebijakan yang harus mencakup apa yang nyata sesuai dengan

61 Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
62

pemerintah perbuat, bukan apa yang mereka maksud untuk berbuat atau apa yang mereka
katakan akan dikerjakan. Begitu juga dengan kebijakan pajak, pemerintah harus
melakukan survey terlebih dahulu dalam membuat suatu perumusan atau formulasi
kebijakan dengan membaca, mendengar, dan melihat berbagai permasalahan yang benar
- benar ada di masyarakat terutama terkait dengan permasalahan pendahuluan restitusi
pajak, sehingga kebijakan yang dibuat oleh pemerintah telah mencakup seluruh
permasalahan restitusi yang ada di masyarakat. Hal ini dijelaskan oleh Eddy, selaku
akademisi perpajakan :

“Kebijakan itu harus melakukan survey terus ke masyarakat, dengan


mendengar, melihat, membaca, nah terus oleh dia diformulasikan ni, wah
perlu dipikirkan nih perubahan sistemnya.” (Wawancara Mendalam:
Eddy, selaku Akademisi Perpajakan, Gedung Senatama, 12 November
2018)

Disamping itu, kebijakan pajak adalah salah satu penopang dalam sistem
perpajakan. Menurut Nowak, sebagaimana yang dikutip Mansury, sistem perpajakan
terdiri dari 3 unsur, yaitu kebijakan pajak (tax policy), hukum pajak (tax law), dan
administrasi perpajakan (tax administration) (Rosdiana dan Irianto, 2014, p.84). Dari
ketiga unsur tersebut, kebijakan pajak baru dapat dilaksanakan dan digunakan oleh
kepentingan umum setelah disahkan dalam hukum perpajakan. Hukum perpajakan juga
tidak dapat berjalan apabila tidak adanya administrasi perpajakan sebagai instrumen
pelaksana. Begitu juga dalam pembuatan kebijakan pendahuluan restitusi perpajakan,
pemerintah harus memperhatikan ketiga unsur sistem perpajakan tersebut. Hal ini sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Andik, selaku Kepala Seksi Peraturan KUP dan PPSP,
yaitu :
“Dalam pembahasan regulasi, kita sebut ada namanya PLA, yaitu policy,
law, and administration. Jadi bagaimana tax policy itu bisa dikonkritkan
dalam bentuk law regulation, tetapi bisa diimplementasikan dalam
administrasi. Secara konkrit, itu 3 variabel menjadi penting ketika
seseorang masuk dalam lingkup legal drafter dalam suatu regulasi.”
(Wawancara Mendalam: Andik, selaku Kepala Seksi Peraturan KUP dan
PPSP, Kantor Pusat DJP, 9 November 2018)

Dalam kebijakan pendahuluan restitusi pajak, pemerintah meregulasi peraturan


pelaksana yang sebelumnya diatur dalam peraturan yang berbeda sesuai dengan ketiga
kriteria Wajib Pajak tertentu berdasarkan Pasal 17C dan Pasal 17D UU KUP, serta Pasal

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
63

9 ayat (4C) UU PPN yang masing – masing pasal diatur dalam PMK 74/PMK.03/2012,
PMK 198/PMK.03/2013, dan PMK 71/PMK.03/2010. Selain meregulasi ketiga Peraturan
Menteri Keuangan terdahulu, pemerintah juga menggabungkan ketiga Peraturan Menteri
Keuangan tersebut dengan diterbitkannya satu peraturan yaitu PMK 39/PMK.03/2018.
Dalam mendesain suatu kebijakan, formulasi kebijakan adalah suatu hal yang krusial dan
harus diperhatikan dalam pembentukan suatu kebijakan. Formulasi kebijakan
pendahuluan restitusi pajak ini, menurut Bauer, sebagaimana yang dikutip di dalam buku
Endang (2015, p.19), merupakan tipe formulasi kebijakan yang termasuk dalam tipe
rights, yaitu sebagai langkah kebijakan yang berbentuk pemberian hak atau tugas pada
masyarakat. Pemberian hak yang dimaksud adalah pemberian hak Wajib Pajak untuk
mendapatkan kelebihan pembayaran pajak yang telah dibayarkannya kepada negara.
Pada tahap formulasi ini, atas permasalahan perpajakan yang ada dimasyarakat, dapat
dicari solusi yang terbaik dengan adanya suatu kebijakan baru. Dalam membuat
kebijakan yang baru, sebelumnya juga telah ada perancangan kebijakan publik terlebih
dahulu dengan berorientasi pada tujuan yang ingin diciptakan dan dicapai oleh
pemerintah.

5.1 Tahapan – Tahapan Proses Formulasi Kebijakan Pendahuluan Restitusi


Pajak Berdasarkan PMK 39/PMK.03/2018
Formulasi kebijakan memiliki berbagai alternatif kebijakan yang diberikan sebagai
masukan oleh pemerintah untuk memecahkan permasalahan yang ada di masyarakat.
Proses perumusan kebijakan juga melibatkan seluruh pihak untuk mengusulkan
pemecahan masalah yang terbaik (Winarno, 2007, p.120). Menurut Zuliansyah, selaku
akademisi, mengatakan bahwa fomulasi kebijakan publik yang benar yaitu :
“Formulasi kebijakan publik yang benar itu tergantung dari perspektif
mana. Tapi memang dalam konteks ini proses kebijakan tidak lagi menjadi
hal yang dominan, namun pemangku kebijakan lain yang punya
kepentingan terhadap suatu agenda kebijakan itu harus terlibat langsung.
Tujuannya jelas agar satu, bahwa agenda kebijakan itu dipahami secara
utuh oleh semua pemangku kebijakan. Kedua, agenda kebijakan yang
dihasilkan bukan untuk pemerintah itu sendiri tapi untuk tokoh masyarakat
yang terikat dalam kebijakan karena itu proses interaksi yang aktif
diperlukan. Ketiga ditengah keterbatasan sumber daya ekonomi,
informasi, pengetahuan, baik yang di pemerintah maupun non
pemerintahan maka proses kebijakan administratif adalah keharusan
karena terjadi pertukaran sumber daya antara aktor pemerintah dan aktor

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
64

non pemerintah baik pertukaran sumber daya informasi, pengetahuan, atau


dukungan terhadap kebijakan itu sendiri.” (Wawancara Mendalam:
Zuliansyah, selaku Akademisi Kebijakan Publik, FISIP UI, 13 November
2018)

Tahapan formulasi kebijakan sendiri, memiliki empat tahapan yaitu perumusan


masalah, agenda kebijakan, pemilihan alternatif dalam memecahkan suatu masalah, dan
tahap terakhir dengan adanya penetapan kebijakan. Penelitian ini berfokus pada proses
perumusan kebijakan atas pendahuluan restitusi pajak yang diatur dalam PMK
39/PMK.03/2018.

5.1.1 Perumusan Masalah


Pemerintah dalam tahapan formulasi ini, harus mengetahui masalah apa yang
nantinya akan terselesaikan dan masalah apa yang akan dihadapi untuk memberlakukan
suatu kebijakan. Tahap perumusan masalah, menurut Winarno (2007, p.120-122) adalah
tahapan untuk menentukan suatu masalah dengan mengidentifikasi permasalahan yang
akan dihadapi dengan mencari, mengenali dan merumuskan suatu masalah terdahulu.
Demikian pula dengan penelitian ini, sebelum munculnya PMK 39/PMK.03/2018,
terdapat beberapa aturan pelaksana yaitu PMK 74/PMK.03/2012, PMK
198/PMK.03/2013, dan PMK 71/PMK.03/2010 yang dimana masing – masing peraturan
mengatur tentang restitusi pajak melalui pendahuluan dengan tiga kriteria tertentu. Ketiga
kriteria tertentu yang dimaksud adalah Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu, Wajib
Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu, dan PKP Berisiko Rendah.
Selama ini, ketiga Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang
pendahuluan restitusi pajak dianggap masih kurang memberikan kemudahan bagi para
pengusaha dalam membangun usahanya. Padahal dengan adanya peraturan mengenai
kebijakan pendahuluan restitusi pajak yang telah diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan terdahulu, pada dasarnya bertujuan untuk memberikan kemudahan
administrasi dan mempercepat proses restitusi pajak dengan dilakukannya penelitian.
Penelitian yang dimaksud adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh otoritas pajak
untuk menilai kelengkapan Surat Pemberitahuan (SPT), termasuk dalam hal penilaian
atas kebenaran penulisan dan perhitungannya dalam lampiran lain untuk dapat ditetapkan
sebagai Wajib Pajak atau PKP dengan kriteria tertentu yang dapat menggunakan

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
65

pendahuluan restitusi pajak berdasarkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan


Kelebihan Pajak (SKPPKP) hasil penelitian.
Sesuai dengan permasalahan tersebut, terdapat tiga alasan diterbitkannya PMK
39/PMK.03/2018 yang dapat dijabarkan satu persatu. Pertama, dimulai dengan masih
dilakukannya analisis risiko yang dinilai subjektif pada Wajib Pajak, khususnya untuk
Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu yang dimana harus diuji terlebih
dahulu kepatuhan Wajib Pajak-nya. Padahal dalam Pasal 17C dan 17D UU KUP, dan
Pasal 9 ayat (4C) UU PPN sebenarnya atas kelebihan bayar tersebut pemerintah hanya
cukup menkonfirmasi kebenaran kredit pajak yang dilaporkan oleh Wajib pajak. Jika
kredit pajak yang dilaporkan lebih besar dan sudah benar dan jelas secara
administratifnya, seharusnya dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak. Dengan adanya analisis risiko, proses pendahuluan restitusi
perpajakan menjadi tidak efektif dan efisien, hal ini setara dengan pernyataan Dony,
selaku Kepala Seksi Peraturan PPN Industri, yaitu :

“Dulukan di PMK yang lama diaturan pelaksananya ada analisis risiko, itu
biasanya hasilnya macem-macem karnakan kita banyak kantor ya,
mungkin banyak pegawai kita yang melihat bahwa yang tadinya Wajib
Pajak tidak berisiko jadi berisiko. Nah mangkanya syarat ini kita
hilangkan.” (Wawancara Mendalam: Dony, selaku Kepala Seksi Peraturan
PPN Industri, Kantor Pusat DJP, 14 November 2018)

Dengan dilakukannya analisis risiko dapat menyebabkan perubahan status Wajib Pajak
dari yang tadinya tidak berisiko, menjadi berisiko. Hal ini menyebabkan adanya
pengalihan proses restitusi pajak. Wajib Pajak yang sebelumnya dapat menggunakan
pendahuluan restitusi pajak dan dapat memperoleh hak-nya dalam waktu yang cepat, kini
dengan dilakukannya analisis risiko oleh otoritas pajak menyebabkan proses restitusi
Wajib Pajak dialihkan ke proses pemeriksaan sebagaimana yang dimaksudkan oleh Dony
dalam hasil wawancara :

“Selama ini KPP melakukan analisis risiko dan melihat bahwa mereka
masih ada risiko, nah karna itu, pendahuluan ini bergeser terus ke
pemeriksaan.” (Wawancara Mendalam: Dony, selaku Kepala Seksi
Peraturan PPN Industri, Kantor Pusat DJP, 14 November 2018)

Pengalihan proses restitusi pajak tersebut menyebabkan menurunnya jumlah


Wajib Pajak yang mengajukan restitusi dengan pendahuluan untuk diterbitkannya

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
66

SKPPKP oleh otoritas pajak. Hal ini menjadi alasan kedua diterbitkannya PMK
39/PMK.03/2018. Berdasarkan grafik 5.1, dari tahun 2014 sampai tahun 2015 jumlah
SKPPKP yang terbit menurun yaitu dari 4.771 SKPPKP menjadi 2.786 SKPPKP. Hal ini
diindikasikan bahwa proses restitusi yang paling banyak diberikan kepada Wajib Pajak
adalah dengan melalui pemeriksaan. Selain penurunan yang terjadi di tahun 2014 sampai
tahun 2015 tersebut, terjadi juga peningkatan jumlah SKPPKP ditahun 2016 dan 2017
dengan masing – masing tahun berjumlah 2.923 SKPPKP dan 5.898 SKPPKP. Namun
dengan peningkatan jumlah SKPPKP yang terjadi di tahun 2016 dan 2017, tidak
kemungkinan bahwa banyaknya Wajib Pajak yang dialihkan ke proses pemeriksaan
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17B UU KUP, bukan melalui penelitian
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17C dan 17 D UU KUP, dan Pasal 9 ayat (4C)
UU PPN. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Andik, selaku Kepala Seksi Peraturan
KUP dan PPSP yaitu :

“Tapi di PMK yang sebelumnya itu, seperti masih diterapkan di tahun


2016 dan 2017 masih masuk kelingkup materian yaitu ada analisis risiko,
harus diuji lagi kepatuhan Wajib Pajak dua tahun sebelumnya misalnya
ada tunggakan pajak atau tidak, kalau berdasarkan analisis risiko tidak ada
kelebihan, dialihin ke pemeriksaan.” (Wawancara Mendalam: Andik,
selaku Kepala Seksi Peraturan KUP dan PPSP, Kantor Pusat DJP, 9
November 2018)

Jumlah SKPPKP yang diterbitkan oleh Otoritas Pajak selama empat tahun terakhir dapat
di lihat pada grafik 5.1.

7.000
5.898
6.000
4.771
5.000
4.000 2.923
2.786
3.000
2.000
1.000
0
2014 2015 2016 2017
Tahun
Jumlah SKPPKP

Grafik 5.1 Jumlah Penyampaian SKPPKP dalam 4 (Empat) Tahun Terakhir


Sumber : Dit. TIP, Direktorat Jenderal Pajak, 2018

Kedua, alasan diterbitkannya PMK 39/PMK.03/2018 adalah sebagai upaya untuk


meningkatkan kemudahan berusaha, sekaligus meningkatkan peringkat Ease Of Doing

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
67

Business (EoDB) Indonesia. Peringkat EoDB ditentukan oleh kesepuluh indikator, yaitu
kemudahan dalam memulai usaha, perizinan mendirikan bangunan, penyambungan
listrik, pendaftaran properti, akses perkreditan, perlindungan pengusaha minoritas,
perdagangan lintas negara, penegakan kontrak, penyelesaian perkara kepailitan, dan
pembayaran pajak. Dari kesepuluh indikator EoDB, Indonesia berada diposisi ke 91
ditahun 2017 dan naik keposisi 72 di tahun 2018. Dari kenaikan peringkat tersebut, jika
dilihat pada tabel 5.1

Tabel 5.1 Posisi Indonesia pada 10 indikator EoDB


Indikator 2018 2017 Perubahan
1. Memulai Usaha 144 151 7
2. Perizinan Terkait Mendirikan Bangunan 108 116 8
3. Penyambungan Listrik 38 49 11
4. Pendaftaran Properti 106 118 12
5. Akses Perkreditan 55 62 7
6. Perlindungan Terhadap Investor Minoritas 43 70 27
7. Pembayaran Pajak 114 104 10
8. Perdagangan Lintas Negara 112 108 4
9. Penegakan Kontrak
10. Penyelesaian Perkara 145 166 21
Kepailitan 38 76 38
Sumber : Media Keuangan, 2018, p.10

Indonesia masih mengalami penurunan atas beberapa indikator EoDB. Salah satu
indikator yang mengalami penurunan yaitu terkait dengan pembayaran pajak (tax
payment).
Di tahun 2017, tax payment Indonesia berada diposisi ke 104 dan turun menjadi
posisi ke 114 di tahun 2018. Penurunan tax payment ini disebabkan karena pelayanan
administrasi perpajakan terkait dengan restitusi pajak masih terbilang tidak mudah. Tax
payment Indonesia dapat meningkat apabila pelayanan administrasi yang diberikan oleh
otoritas pajak mudah sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Gunadi selaku Guru
Besar Perpajakan FISIP UI, bahwa:

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
68

“Ya kalau ada pemeriksaan restitusi ini kan akan mengganggu kegiatan
usaha, mangkanya lebih banyak dimudahkan dalam memberikan
pelayanan administrasi.” (Wawancara Mendalam: Prof. Gunadi, selaku
Guru Besar Perpajakan FISIP UI, Jln.S. Parman Kav 37B, 5 November
2018)

Selain itu, meskipun peringkat EoDB Indonesia meningkat dari tahun


sebelumnya, tetapi diantara negara ASEAN, peringkat EoDB Indonesia masih dikatakan
rendah. Hal ini dikarenakan, berdasarkan laporan Bank Dunia, peringkat EoDB
Singapura berada diperingkat ke dua, sedangkan Malaysia berada di peringkat ke 24.
Peringkat tersebut masih jauh dari peringkat EoDB Indonesia saat ini di tahun 2018 yang
berada diposisi ke 72. Penyelesaian restitusi pajak yang cukup lama dibandingkan dengan
negara lain yang proses restitusi pajaknya lebih cepat, menjadi salah satu faktor penyebab
tax payment Indonesia menurun. Hal ini serupa dengan pernyataan Andik, selaku Kepala
Seksi Peraturan KUP dan PPSP, bahwa :

“Rata-rata waktu penyelesaian restitusi melalui pemeriksaan 10 bulan. Hal


ini menyebabkan indikator paying taxes masih di atas 100 berdasarkan
laporan EoDB World Bank, meskipun secara keseluruhan peringkat
Indonesia naik dari 91 menjadi 72.” (Wawancara Mendalam: Andik,
selaku Kepala Seksi Peraturan KUP dan PPSP, Kantor Pusat DJP, 9
November 2018)

Dengan penyelesaian restitusi pajak melalui pemeriksaan dalam jangka waktu 10 bulan,
akan mengganggu kemudahan Wajib Pajak dalam berusaha karena Wajib Pajak masih
harus menunggu 10 bulan pada periode – periode berikutnya untuk mendapatkan
pengembalian kelebihan pajak dalam 1 tahun. Hal ini salah satunya selalu terjadi pada
eksportir yang beberapa penjualannya dikenakan tarif 0%, yang sudah pasti akan
menyebabkan adanya lebih bayar pajak. Apabila tax refund di tahan oleh otoritas pajak
karena proses pemeriksaan yang cukup lama, maka banyaknya uang eksportir yang
tertahan yang dimana seharusnya uang tersebut dapat digunakan oleh para pengusaha
untuk melaksanakan kegiatan usahanya.
Selain karena pemeriksaan, faktor lain yang menyebabkan tax payment di
Indonesia rendah adalah nilai ekspor Indonesia mengalami penurunan. Menurut Badan
Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami penurunan nilai ekspor hingga Januari tahun
2018 mencapai US$14,46 miliar atau menurun 2,81% dibandingkan ekspor Desember

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
69

tahun 2017. Faktor ini sesuai dengan pendapat Dony, selaku Kepala Seksi Peraturan PPN
Industri bahwa :

“Belakangan ini kan ekspor kita agak sulit ya, apalagi adanya perang
dagang Amerika-Cina, ini imbasnya ke kita. Sebetulnya di PPN sendiri,
eksportir kita kalau tidak diberikan fasilitas, dia akan mendapatkan
pengembaliannya lebih lama. Oleh karena itu, dari kriteria sebelumnya,
kita melihat lagi sebelumnya yang bisa kita bantu untuk mendorong
pengembalian apasi.” (Wawancara Mendalam: Dony, selaku Kepala Seksi
Peraturan PPN Industri, Kantor Pusat DJP, 14 November 2018)

Kemudian, alasan ketiga adalah refund discrepancy Indonesia berdasarkan hasil


pemeriksaan kurang dari 5% per tahun. Hal ini sesuai dengan peryataan Andik, selaku
Kepala Seksi Peraturan KUP dan PPSP :

“Refund discrepancy berdasarkan hasil pemeriksaan kurang dari 5% per


tahun.” (Wawancara Mendalam: Andik, selaku Kepala Seksi Peraturan
KUP dan PPSP, Kantor Pusat DJP, 9 November 2018)

Refund discrepancy sendiri adalah nilai nominal restitusi yang tidak dikabulkan oleh DJP.
Terkait dengan refund discrepancy tersebut, Dony, selaku Kepala Seksi Peraturan PPN
industri, memberikan ilustrasi mengenai hal tersebut yakni, sebagai berikut :

“Mangkanya kalau kita liat refund discrepancy pemeriksaan, selisih antara


yang diminta dengan yang di berikan itu biasanya rendah. Wajib Pajak
yang rutin meminta pengembalian ketika diperiksa, itu selisihnya paling
3% dari yang diminta. Artinya kalau diminta 100, kan yang dibalikin bisa
97, 98, nah 2% itukan terkait administratif.” (Wawancara Mendalam:
Dony, selaku Kepala Seksi Peraturan PPN Industri, Kantor Pusat DJP, 14
November 2018)

Dilihat dari ilustrasi tersebut terlihat bahwa otoritas pajak tidak dapat merealisasikan
restitusi pajak sebesar 100% dari permintaan restitusi Wajib Pajak. Berdasarkan DDTC
Fiscal Research (2017, p.67) restitusi pajak terutama PPN di Indonesia tersebut sudah
menyalahi prinsip netralitas PPN, dimana dalam hal ini para pelaku bisnis juga turut
menanggung PPN karena permintaan restitusi tidak dapat direalisasikan sebesar 100%.
Jika dilihat dari refund discrepancy yang kurang dari 5% per tahun, restitusi pajak
baik PPh maupun PPN seharusnya dapat dialihkan ke proses penelitian dengan
memberikan terlebih dahulu pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dan tidak
dilakukannya pemeriksaan diawal seperti proses pada umumnya. Tetapi, pada

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
70

kenyataannya bahwa Wajib Pajak dapat dilakukan pemeriksaan post-audit sesuai dengan
kriteria yang ditetapkan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
15/PJ/2018 Tentang Kebijakan Pemeriksaan, sehingga pemeriksaan restitusi pajak juga
dapat dilakukan kepada Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak. Dengan dilakukannya pemeriksaan kepada Wajib Pajak
yang telah diberikannya pengembalian pendahuluan oleh otoritas pajak ini, menyebabkan
beberapa Wajib Pajak justru malah menghindari proses restitusi pajak dengan
diterbitkannya SKPPKP. Hal ini dikarenakan adanya risiko yang tinggi apabila
menggunakan fasilitas ini, yakni sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100%.
Sebagaimana dikutip dalam wawancara mendalam dengan Doli, selaku Senior Tax
Manager EY yaitu :

“Itu pendahuluan itu ada risikonya, malah Wajib Pajak kebanyakan


menghindar menggunakan fasilitas pendahuluan itu. Karna itu mereka
pikir buat apa sekarang menerima dari restitusi dipercepat, sementara
tahun depan kita diperiksa juga, kan sanksinya besar kan, jadi itu malah
orang lebih takut sama 100% nya daripada manfaat diterimanya restitusi
pajak yang dipercepat gitu.” (Wawancara Mendalam: Doli, selaku Senior
Tax Manager EY, Auditorium Vokasi UI, 6 November 2018)

Dilihat dari permasalahan – permasalahan tersebut, pemerintah memperbaiki


kebijakan lama dengan membuat suatu kebijakan baru terkait kebijakan pendahuluan
restitusi pajak dengan merumuskan PMK 39/PMK.03/2018. Setelah pemerintah
merumuskan masalah atas kebijakan pendahuluan restitusi pajak yang telah diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan terdahulu, pemerintah kemudian menentukan kebijakan –
kebijakan apa saja yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut dengan
dilakukannya tahap formulasi berikutnya, yaitu tahapan agenda kebijakan.

5.1.2 Agenda Kebijakan


Untuk memecahkan masalah terkait dengan proses restitusi perpajakan yang
cukup lama, diperlukannya penanganan dan campur tangan pemerintah terkait dengan isu
permasalahan restitusi pajak tersebut. Permasalahan yang ada dalam proses restitusi
perpajakan dapat mempengaruhi Wajib Pajak dalam menjalankan usahanya, serta dapat
mempengaruhi peringkat EoDB Indonesia. Dengan ditetapkannya kebijakan
pendahuluan restitusi pajak bagi Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu, Wajib Pajak yang
Memenuhi Persyaratan Tertentu, dan PKP Berisiko Rendah dalam Peraturan Menteri

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
71

Keuangan yang berbeda, akan menyebabkan ketidakefisiensian suatu peraturan. Disisi


lain, jika dilihat dari rendahnya tax payment Indonesia berdasarkan posisi parameter
EoDB, pemerintah mencoba agar parameter tax payment Indonesia terkait restitusi pajak
menjadi lebih mudah dan lebih baik dengan melihat kendala – kendala kebijakan restitusi
pajak yang sebelumnya telah dilaksanakan oleh Wajib Pajak dan otoritas pajak.
Kemudian, isu ini masuk kedalam tahapan agenda kebijakan dan dibahas lebih
lanjut oleh tim perumus kebijakan yang dimana melibatkan beberapa pihak yang turut
menyelesaikan permasalahan proses restitusi perpajakan di Indonesia. Pihak atau aktor
yang terlibat dalam perumusan suatu kebijakan akan menentukan kualitas dari kebijakan
tersebut, karena kualitas kebijakan ditentukan bedasarkan kemampuan orang yang
terlibat dalam pembuatan kebijakannya. Kemampuan orang ini ditentukan oleh tingkat
pendidikan, kompetensi yang dimilikinya dalam bidang yang mereka cenderungi,
pengalaman kerja, dan integritas moral (Subarsono. 2005. p.6). Pihak perumusan
kebijakan terdiri dari pembuat kebijakan resmi (official policy-makers) dan peserta non
pemerintah (non-governmental participants).
Dalam penyusunan PMK 39/PMK.03/2018, pembuat kebijakan resmi ikut terlibat
baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses perumusan kebijakan.
Pembuat kebijakan resmi yang secara langsung terlibat dalam formulasi kebijakan
pendahuluan restitusi perpajakan yaitu Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Biro Hukum
Kementerian Keuangan, Staff ahli Kementerian Keuangan dibidang kepatuhan
perpajakan, dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Di sisi lain, pihak
yang secara tidak langsung berpengaruh pada formulasi kebijakan ini adalah Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Dalam perumusan PMK 39/PMK.03/2018, beberapa pihak internal DJP ikut
terlibat langsung dalam formulasi percepatan pendahuluan restitusi pajak. Pihak internal
DJP yang memiliki peran terbesar dalam perumusan yaitu Direktorat Peraturan
Perpajakan I. Pihak Direktorat Peraturan Perpajakan I yang terlibat langsung dalam
proses perumusan kebijakan terdiri dari dua seksi yaitu, sebagai berikut :
a. Seksi Peraturan KUP dan PPSP;
Merumuskan, serta melaksanakan restitusi pajak sebagaimana yang diatur dalam Pasal
17C dan 17D UU KUP.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
72

b. Seksi Peraturan PPN Industri;


Merumuskan, serta melaksanakan restitusi pajak sebagaimana yang diatur dalam Pasal
9 ayat (4C) UU PPN.
Selain Direktorat Peraturan Perpajakan I yang terlibat dalam perumusan PMK
39/PMK.03/2018, ada juga pihak internal DJP lainnya yang ikut terlibat langsung dalam
perumusan kebijakan ini, meliputi Direktorat Transformasi Proses Bisnis (Dit. TPB),
Direktorat Teknologi dan Informasi Perpajakan (Dit. TIP), Direktorat Transformasi
Teknologi Komunikasi dan Informasi (Dit. TTKI), dan Direktorat Penyuluhan,
Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (Dit. P2 Humas). Keterlibatan keempat direktorat
tersebut dapat dilihat pada tabel 5.2.

Tabel 5.2 Keterlibatan Dit.TIP, Dit.TTKI, Dit. TPB, dan Dit. P2 Humas

Dit. TIP Dit. TTKI Dit. TPB Dit. P2 Humas

• Merumuskan • Merumuskan serta • Merumuskan • Merumuskan


serta melaksanakan serta serta
melaksanakan kebijakan, dan melaksanakan melaksanakan
kebijakan, serta standarisasi teknik kebijakan di kebijakan di
standarisasi di bidang bidang bidang
teknik dibidang transformasi transformasi penyuluhan,
teknologi teknologi proses bisnis. pelayanan, dan
informasi komunikasi dan • Penyiapan hubungan
perpajakan. informasi. penyusunan masyarakat.
• Penyiapan • Penyiapan norma, standar, • Penyiapan
penyusunan penyusunan norma, prosedur dan penyusunan
norma, standar, standar, prosedur kriteria di bidang norma, standar,
prosedur dan dan kriteria di transformasi prosedur dan
kriteria di bidang bidang proses bisnis. kriteria di
teknologi transformasi bidang
informasi teknologi penyuluhan,
perpajakan. komunikasi dan pelayanan, dan
informasi. hubungan
masyarakat.
Sumber : PMK 234/PMK.01/2015, 2018, (telah diolah kembali oleh Peneliti)

Keterlibatan Dit. TPB dalam meregulasi restitusi pajak diharapkan dapat


mempermudah proses bisnis kegiatan usaha Wajib Pajak, sedangkan Dit TIP dan
Dit.TTKI berperan dalam standarisasi teknik dibidang teknologi, informasi, dan
komunikasi. Hal ini dikarenakan proses restitusi pajak murni mengandalkan sistem
sehingga dengan adanya keterlibatan Dit. TIP dan Dit. TTKI, proses dan pelayanan

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
73

restitusi pajak dapat mempermudah otoritas pajak untuk melakukan penelitian, sehingga
restitusi pajak yang diajukan oleh Wajib Pajak kepada otoritas pajak dapat diproses
dengan cepat, tanpa adanya gangguan server dari internal DJP itu sendiri. Dit P2 Humas
berperan dalam sosialisasi PMK 39/PMK.03/2018 dengan tujuan agar Wajib Pajak dapat
mengetahui, memahami, dan melaksanakan aturan baru yang telah diterbitkan oleh
pemerintah.
Selain pihak internal DJP, Kementerian Keuangan dan Kementerian Hukum dan
HAM secara langsung juga terlibat dalam perumusan PMK 39/PMK.03/2018 sebagai
pihak diluar lingkungan DJP. Pihak Kementerian Keuangan yang terlibat dalam proses
formulasi adalah Biro Hukum dan Staff Ahli Kementerian Keuangan yang bertugas untuk
melihat aspek legal baik formal maupun material suatu peraturan dalam menyusun
perundang-undangan level Peraturan Menteri Keuangan keatas. Disamping adanya pihak
– pihak yang terlibat langsung dalam perumusan PMK 39/PMK.03/2018, adapun pihak
– pihak yang secara tidak langsung terlibat dalam proses perumusan kebijakan restitusi
pajak yaitu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dan Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian seperti yang dijelaskan oleh Andik, selaku Kepala Sesksi
Peraturan KUP dan PPSP :

“Karena konteks pengusaha berisiko rendah kan kita juga mengadopsi


PKP yang masuk dalam kategori Mitra Pabean Utama, dan AEO, yang dia
itu sebenarnya masuk dalam lingkup pengusaha-pengusaha yang
dinyatakan sebagai pengusaha kepabeanan berisiko rendah oleh temen-
temen Bea Cukai. Kemudian kita akomodir untuk mereka, kita masukan
sebagai kategori PKP berisiko rendah, sehingga nanti mereka ya, dapat
meminta pengembalian pendahuluan gitu. Kalau Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian itu kita tidak libatkan dalam PMK 39
secara langsung, karena memang ini sebetulnya si sudah
merepresentasikan tindak lanjut dari Bu Menteri sebagi pihak yang
mendapatkan mandat untuk mengejawantahkan EoDB untuk regulasi,
tetapi sebetulnya kalau Anda lihat dari arahan-arahan Pak Darmin
Nasution tentang arahan untuk meningkatkan EoDB apa yang dilakukan
oleh Kemenkeu itu sudah sejalan dengan yang diminta.” (Wawancara
Mendalam: Andik, selaku Kepala Seksi Peraturan KUP dan PPSP, Kantor
Pusat DJP, 9 November 2018)

Selama perumusan PMK39/PMK.03/2018, Badan Kebijakan Fiskal (BKF)


sebagai pihak perumusan resmi kebijakan dan Wajib Pajak sebagai kelompok
kepentingan dari peserta non pemerintah sama sekali tidak terlibat dalam perumusan

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
74

kebijakan pendahuluan restitusi pajak ini. Padahal, proses pembuatan kebijakan yang
ideal sebaiknya dilakukan oleh lebih dari satu pihak, baik pihak birokrasi yang memiliki
keahlian dan keterlibatan di dalam area isu kebijakan, maupun kelompok kepentingan
sebagai aktor utama yang sering memberikan solusi kebijakan. Tidak adanya keterlibatan
pihak BKF ini, sesuai dengan pernyataan Dony, selaku Kepala Seksi Peraturan PPN
Industri bahwa :
“Secara normalnya, kalau kita buat peraturan terkait subjek, objek tarif,
kita harus melibatkan BKF, tapi kalo lebih ke administrasi, itu kita lebih
ke DJP, dan PMK ini lebih ke tata cara, tidak ada perluasan subjek baru,
objek, tarif baru, jadi mangkanya bisa diserahkan ke DJP internal saja.”
(Wawancara Mendalam: Dony, selaku Kepala Seksi Peraturan PPN
Industri, Kantor Pusat DJP, 14 November 2018)

Dengan tidak terlibatnya BKF dalam proses perumusan pendahuluan restitusi


pajak akan mempengaruhi kualitas dari peraturan itu sendiri, sebagaimana yang dikatakan
oleh Zuliansyah, selaku pihak akademisi :

“Kalo memang dilakukan perumusan kebijakan oleh DJP itu sendiri maka
yang dipertanyakan apakah evidence base theory sudah dilaksanakan?
Bagaimana cara mereka meriset kebijakan itu ditengah sumber daya
mereka yang sibuk dengan pekerjaan rutin? Siapa yg ngelakuin riset?.
Misal "oh mereka pakai konsultan". Lalu pertanyaan lagi "kenapa ga pakai
BKF?" Berarti dari sisi secara kualitas kebijakan, salah satu indikator
penting adalah engagement organisasi terhadap suatu kebijakan itu tadi.
Nah kalo misal engagement harusnya dimotori BKF sebagai badan yang
melakukan riset, namun tidak terjadi karena DJP mengambil alih, tentu
dari sisi ini dilihat bahwa kualitas kebijakan dari sisi engagement
kelembagaan dipertanyakan. Bagaimana pelembagaan kebijakan didalam
lingkungan Kemenkeu itu, karena kualitas kebijakan itu dilahirkan dari
dua dimensi, dimensi pertama adalah dimensi proses dan dimensi kedua
adalah hasil. Produknya seperti apa. Ini gabisa dipisahkan. Gabisa
mengharapkan hasil yang baik kalau prosesnya buruk. Walau proses yang
baik belum tentu menghasilkan kebijakan yang baik.” (Wawancara
Mendalam: Zuliansyah, selaku Akademisi Kebijakan Publik, FISIP UI, 13
November 2018)

Meskipun PMK 39/PMK.03/2018 merupakan peraturan pelaksana dalam suatu


kebijakan, namun ada baiknya pihak BKF juga turut terlibat dalam proses formulasi
restitusi. Kebijakan yang diatur dalam PMK 39/PMK.03/2018 ini merupakan salah satu
fungsi dari tugas BKF sebagai penyusun kebijakan teknis, hal ini sesuai dengan
pernyataan Prof. Gunadi selaku Guru Besar Perpajakan FISIP UI bahwa :

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
75

“Jadi yang membuat aturan perpajakan sebenarnya dari BKF, pelaksana


DJP kalau aturannya kurang jelas atau kurang apa gitu.” (Wawancara
Mendalam: Prof. Gunadi, selaku Guru Besar Perpajakan FISIP UI, Jln.S.
Parman Kav 37B, 5 November 2018)

BKF berhak untuk mengetahui alasan munculnya PMK 39/PMK.03/2018 dan


diikutsertakan dalam rapat perumusan kebijakan terkait dengan fasilitas PPh maupun
PPN mengenai proses pendahuluan restitusi pajak yang dipercepat. Dalam melaksanakan
tugasnya melalui Bidang Kebijakan Pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak, BKF
menyelenggarakan fungsi yang diantaranya adalah penyiapan bahan perumusan
rekomendasi kebijakan dan penyusunan rancangan peraturan di bidang fasilitas PPN dan
PPh sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1712 dan Pasal 1716 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 234/PMK.01/2015 (selanjutnya disebut PMK 234/PMK.01/2015)
Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan. Fungsi BKF tersebut sama
halnya dengan fungsi yang dilaksanakan oleh pihak DJP dalam melaksanakan tugasnya
dalam hal perumusan kebijakan dibidang perpajakan sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 381 PMK 234/PMK.01/2015, sehingga tidak jarang suatu perumusan kebijakan
perpajakan yang idealnya menjadi tanggung jawab BKF, tetapi dialihkan keinstansi lain
dalam hal ini DJP. Hal ini dikarenakan tugas antara BKF dan DJP yang saling beririsan,
sehingga pemerintah harus lebih memperjelas apa saja produk dan tugas pokok antara
BKF dan DJP agar tidak adanya tumpang tindih kewenangan antara BKF dan DJP terkait
perumusan suatu kebijakan pajak.
Selain itu, Wajib Pajak maupun asosiasi perpajakan juga tidak terlibat dalam
perumusan kebijakan PMK 39/PMK.03/2018, seperti yang diutarakan oleh Adi, selaku
Pelaksana Peraturan KUP dan PPSP sebagai berikut :

“Oh Wajib Pajak tidak termasuk, karna kan kita ga membuat baru
kan aturannya, kita disini menambah fasilitas lebih saja, kecuali
kalau kita buat baru, baru dilibatkan.” (Wawancara Mendalam: Adi,
selaku Pelaksana Peraturan KUP dan PPSP, Kantor Pusat DJP, 14
November 2018)

Dalam hal ini, Wajib Pajak maupun asosiasi perpajakan sebaiknya diikutsertakan dalam
perumusan kebijakan karena pada nantinya, Wajib Pajak itu sendiri yang akan
menggunakan fasilitas pendahuluan restitusi pajak dan sebagai pelaksana kebijakan PMK
39/PMK.03/2018, sehingga Wajib Pajak berhak mengetahui alasan terbentuknya PMK

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
76

39/PMK.03/2018. Kemudian, dalam perumusan PMK 39/PMK.03/2018, tidak adanya


public hearing secara langsung dapat membuat ketidakefektifan suatu kebijakan,
seharusnya pemerintah mendengarkan pihak – pihak yang terlibat untuk mendapatkan
suatu kebijakan yang tepat.
Pembentukan PMK 39/PMK.03/2018 ini dimulai dari usulan Kementerian
Keuangan, Sri Mulyani, untuk meningkatkan EoDB Indonesia dengan membuat
kebijakan baru yaitu dengan mempercepat proses restitusi perpajakan. Kementerian
Keuangan, menugaskan DJP sebagai konseptor untuk membentuk dan menyusun
formulasi kebijakan tersebut. Dalam perumusannya, DJP telah melakukan persiapan
terlebih dahulu dengan melakukan beberapa kajian untuk mengevaluasi dan mencari
kelemahan kebijakan dari Peraturan Menteri Keuangan sebelumnya, yakni PMK
74/PMK.03/2012, PMK 198/PMK.03/2013, dan 71/PMK.03/2010. Kajian yang
dimaksud bahwa DJP telah mengumpulkan permasalahan-permasalahan apa saja yang
menjadi hambatan Wajib Pajak dan otoritas pajak selama ini dalam proses restitusi pajak.
Dalam merancang PMK 39/PMK.03/2018, DJP juga telah membandingkan
kebijakan restitusi perpajakan dengan negara lain, sehingga DJP mengetahui apakah
rancangan kebijakan restitusi perpajakan yang dibuat termasuk atau tidaknya dalam
proses restitusi pajak yang cepat dan memudahkan Wajib Pajak untuk mendapatkan hak-
nya. Kemudian setelah melakukan kajian, DJP juga melihat sistem administrasi internal
DJP dalam melaksanakan ketiga peraturan terdahulu tentang kebijakan pendahuluan
restitusi pajak, apakah sistem untuk mem-provide data sudah baik atau masih dalam
keadaan tidak baik dalam mempermudahkan pelayanan restitusi pajak.
Dengan adanya kajian – kajian terlebih dahulu sebagai bentuk persiapan yang
dilakukan oleh DJP dalam merumuskan PMK 39/PMK.03/2018, proses perumusan
kebijakan pendahuluan restitusi pajak oleh lembaga yang berwenang secara rinci
dijelaskan oleh Andik, selaku Kepala Sesksi Peraturan KUP dan PPSP :
“Jadi awalnya ada usulan dari pemerintah yaitu Kemenkeu untuk
meningkatkan EoDB, salah satunya tentang restitusi, selanjutnya kita
susun, kemudian setelah kita susun Pak Dirjen setuju, kemudian di
tandatangani oleh Bu Menteri, seperti itusi. Jadi, konseptornya DJP,
setelah itu persetujuan Kementerian Hukum dan HAM untuk
diundangkan.” (Wawancara Mendalam: Andik, selaku Kepala Sesksi
Peraturan KUP dan PPSP, Kantor Pusat DJP, 9 November 2018)

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
77

Proses kebijakan pendahuluan restitusi pajak dalam PMK 39/PMK.03/2018 ini


dirancang oleh DJP selama 2 bulan melalui agenda pembahasan dengan instansi-instansi
terkait dan proses drafting-nya pun memakan waktu 90% dari durasi 2 bulan tersebut.
Proses formulasi kebijakan PMK 39/PMK.03/2018 yang singkat, tidak menjadi
permasalahan dalam suatu kebijakan karena kualitas dari proses itu sendiri tidak dilihat
dari kuantitas waktu sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Zuliansyah, selaku
pihak akademisi :

“Jadi kualitas dari proses itu sendiri tidak dilihat dari kuantitas waktu tapi
apakah kualitas proses mencerminkan keterlibatan para aktor atau
pemangku kepentingan.” (Wawancara Mendalam: Zuliansyah, selaku
Akademisi Kebijakan Publik, FISIP UI, 13 November 2018)

Dalam perumusan PMK 39/PMK.03/2018, adapun didalamnya faktor pendukung


dan penghambat proses formulasi kebijakan. Faktor pendukung terbitnya PMK
39/PMK.03/2018 adalah otoritas pajak memiliki semangat yang tinggi dalam
menjalankan tugas demi tercapainya target peringkat EoDB Indonesia, sehingga otoritas
pajak berusaha untuk memepermudah para pengusaha dalam menjalankan kegiatan
usahanya dengan menyederhanakan administrasi pedahuluan restitusi pajak. Selain itu,
kondisi perekonomian yang mendukung saat ini juga menjadi faktor pendukung
diterbitkannya PMK 39/PMK.03/2018. Disisi lain, faktor penghambat perumusan
kebijakan ini adalah kesiapan internal DJP dalam memproses data rerstitusi pajak. Faktor
pendukung dan penghambat proses formulasi sesuai dengan pendapat Dony, selaku
Kepala Seksi Peraturan PPN Industri :

“Pendukung, sebenernya banyak, kondisi perekonomian yang sekarang


mengarahnya kesana, brenchmark kita dengan negara yang lain kita
termasuk cepat, sepanjang kita bisa mengidentifikasi mana PKP yang
berisiko rendah. Mereka bisa meyakini bahwa si Wajib Pajak ini berhak
mendapatkan hak-nya karna pelaksanaan kewajibannya sudah bagus.
Mereka sudah menggunakan cash receive system. Jadi semua transaksi itu
sudah ada data-data transaksi yang terakumulasi di kantor pajak.
Mangkanya mereka bisa menciptakan sistem yang demikian cepatnya,
nah, kita mencoba untuk melihat itu. Jangan sampai bisnis itu terhalang
oleh sistem perpajakan, karna kan pajak ini engga untuk mengatur proses
bisnis, bagaimana proses bisnisnya seperti apa silahkan. Tapi, jangan
sampai menghalangi Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajibannya dan
menghalangi hak-nya, nah itu faktor pendukungnya seperti itu, justru
kondisi sekarang mendukung. Nah kalau penghambat, kita mungkin agak

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
78

kesulitan di sistem kita, karna sistem kita sendiri belum sekuat di negara
lain, mangkanya kita mau mengandalkan aplikasi PK PM misalkan, semua
data faktur pajak, semua data pelaporan dan pembayaran, itu kan di buat
sistemnya di DJP.” (Wawancara Mendalam: Dony, selaku Kepala Seksi
Peraturan PPN Industri, Kantor Pusat DJP, 14 November 2018)

Setelah melalui tahapan agenda kebijakan, tahapan kebijakan selanjutnya untuk dapat
menyelesaikan permasalahan yang ada adalah memilih alternatif kebijakan yang terbaik.

5.1.3 Pemilihan Alternatif Kebijakan Untuk Memecahkan Masalah


Dalam proses perumusan kebijakan tentunya pemerintah memiliki beberapa
alternatif kebijakan dalam pemecahan suatu masalah, sehingga perumus kebijakan dapat
memilih satu kebijakan terbaik dari banyaknya alternatif kebijakan lainnya sebagai solusi
pemecahan masalah. Namun, proses perumusan PMK 39/PMK.03/2018 ini tidak terdapat
pilihan alternatif kebijakan lainnya, karena Peraturan Menteri Keuangan ini merupakan
perbaikan dan perubahan dari peraturan terdahulu yang diatur dalam PMK
74/PMK.03/2012, PMK 198/PMK.03/2013, dan 71/PMK.03/2010. Hal ini sesuai dengan
pendapat Andik, selaku Kepala Sesksi Peraturan KUP dan PPSP :

“Sebenernya untuk alternatif kebijakan restitusi gaada, ini udah terbaik si,
tapi untuk kebijakan lainnya yang sifatnya likuiditas sifatnya banyak.”
(Wawancara Mendalam: Andik, selaku Kepala Sesksi Peraturan KUP dan
PPSP, Kantor Pusat DJP, 9 November 2018)

Maka dari itu, terkait dengan kebijakan restitusi ini, alternatif kebijakan yang dipilih oleh
DJP yaitu :
1) Pengajuan permohonan pengembalian pendahuluan dapat dilakukan pada saat
Wajib Pajak ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu, Wajib Pajak
yang Memenuhi Persyaratan Tertentu, dan PKP Berisiko Rendah. Penetapan
sebagai ketiga kriteria tertentu tersebut sudah bisa dilakukan di Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) sesuai yang dikatakan oleh Dony, selaku Kepala Seksi Peraturan PPN
Industri :

“Penetapannya itu ada perbaikan sebenernya, dulu Wajib Pajak patuh itu
ditetapkan oleh Kanwil, dan PKP berisiko rendah ditetapkan oleh KPP,
nah di PMK 39 berubah, semuanya bisa ditetapkan di KPP. Karna ada
beberapa daerah yang KPP-nya beda lokasi dengan Kanwil. Jadikan
butuh koordinasi juga. Sementara yg mengetahui Wajib Pajak ini kan

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
79

KPP-nya, mangkanya kita arahkan semuanya di KPP.” (Wawancara


Mendalam: Dony, selaku Kepala Seksi Peraturan PPN Industri, Kantor
Pusat DJP, 14 November 2018)

2) Persyaratan sebagai Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu juga


diperluas dalam PMK 39/PMK.03/2018 dengan rincian berikut ini:
a. Wajib Pajak Orang Pribadi tidak menjalankan pekerjaan bebas;
b. Wajib Pajak Orang Pribadi menjalankan usaha dengan LB Restitusi PPh ≤ Rp
100 jt;
c. Wajib Pajak Badan dengan LB Restitusi PPh ≤ Rp 1 milliar;
d. PKP dengan LB Restitusi PPN ≤ Rp 1 milliar.
Tidak hanya subjek Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu saja yang
diperluas, subjek PKP Berisiko Rendah juga diperluas dalam Peraturan Menteri
Keuangan ini, sehingga Wajib Pajak/PKP yang dapat mengajukan pendahuluan
restitusi pajak sesuai dengan ketentuan PMK 39/PMK.03/2018 adalah :
a. Perusahaan dengan saham di BEI ;
b. BUMN/BUMD;
c. Produsen yang punya tempat produksi & tepat waktu lapor SPT PPN 12 bulan;
d. Eksportir MITA/AEO;
e. PKP Pasal 17D (Persyaratan Tertentu yang memenuhi syarat ;
- tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukper/ penyidikan;
- tidak pernah dipidana pajak dalam 5 tahun.
Dalam menentukan peningkatan threshold dan perluasan persyaratan Wajib
Pajak untuk dapat menggunakan Peraturan Menteri Keuangan ini, pemerintah
memiliki perhitungan sendiri dengan melihat besaran jumlah restitusi pajak dalam
SPTLB yang selama ini diajukan oleh Wajib Pajak, seperti yang diungkapkan oleh
Andik, selaku Kepala Seksi Peraturan KUP dan PPSP, yaitu :

“Nah bagaimana menambah Wajib Pajak kriteria itu supaya Masuk


kesini, kriteria-kriteria yang sifatnya membatasi itu kita hilangkan.
Kalau ada threshold, ya kita naikan dari 10 juta jadi 100 juta, dari 100
juta jadi 1M, gitu. Itu adalah mekanisme yang kita coba lakukan
dengan pertimbangan kalau itu threshold kita naikan, berarti Wajib
Pajak yang Masuk ke kriteria ini semakin banyak. Harapannya gitu,
dan kita punya data statistik sebelumm PMK ini terbit, berapa si Wajib
Pajak yang menyampaikan SPTLB misal antara 0-100 juta, 100-500

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
80

juta, 500 juta-1M,1M-2M, lebih dari 2M, itu kemudian kita lihat, oh
proporsinya hampir 70% itu Masukin SPT dgn nilai LB sampai
dengan 1M, mangkanya kemudian kita ambil parameternya, oh ok, ini
yang paling 70% merepresentasikan, oh ya udah, thresholdnya kita
ambil yang 1M untuk PPN dan PPh Badan, PPh OP 100
juta.”(Wawancara Mendalam: Andik, selaku Kepala Seksi Peraturan
KUP dan PPSP, Kantor Pusat DJP, 9 November 2018)

Pertimbangan perluasan threshold juga dipengaruhi oleh kesanggupan otoritas


pajak dalam melakukan pemeriksaan. Hal ini dijelaskan oleh Prof. Gunadi selaku
Guru Besar Perpajakan FISIP UI, bahwa peningkatan threshold itu :

“Sebenarnya tergantung pada kantor pajak, jumlahnya, misalnya


jumlah dikantor ini berapa orang, ini tuh biar kantor pajak bebas dari
pekerjaan pemeriksaan, misalnya restitusi SPT PPN itu kira-kira 600
ribu, nah sekarang yang minta restitusi itu berapa, misalnya yang
minta restitusi itu 300 ribu, ini kemampuan kantor pajak dalam
menyelesaikan itu kira-kira gimana gitu berapa, kalau pemeriksaan
cuma 100 ribu, ya yang bisa pake PMK ini sisanya 200 ribu, nah ini
sampe omzet berapa 200 orang ini. Jadi harus sesuai dengan
kemampuan fiskus perluasan ini. Tentuya yang diperiksa itukan
perusahaan yang gede-gede kan, jangan yang kecil-kecil, kalau
misalnya kantor fiskus cuma bisa restusi 50 ribu, yaa 250 ribu nya
masukin ke PMK itu, bisa lewat 17C, 17D UU KUP, atau PPN Pasal
9. Kalau gamampu di periksa, ya tugasnya dikurangin ke PMK ini.”
(Wawancara Mendalam: Prof. Gunadi, selaku Guru Besar Perpajakan
FISIP UI, Jln.S. Parman Kav 37B, 5 November 2018)

Jika dilihat dari penentuan threshold tersebut, perluasan persyaratan sebagai Wajib
Pajak dengan kriteria tertentu yang diatur dalam PMK 39/PMK.03/2018 tidak
ditentukan dengan keadilan, tetapi didasarkan pada kesanggupan otoritas pajak
dalam melakukan pemeriksaan dan jumlah restitusi pajak dalam SPTLB yang
diajukan oleh Wajib Pajak. Padahal seharusnya, sesuai dengan prinsip perpajakan
menurut Stiglitzt sebagaimana dikutip Rosdiana dan Irianto (2014, p.157) yaitu:
“Fair: its should be seen to be fair in its impact on all individuals.”

Kebijakan dalam suatu peraturan harus bersifat adil, karena kebijakan yang akan
diterapkan oleh pemerintah akan berdampak pada semua individu. Meskipun yang
hanya dapat mengajukan proses restitusi pajak adalah Wajib Pajak dengan tiga
kriteria tertentu yang telah diatur dalam Undang – Undang Perpajakan, namun
dalam menentukan suatu kebijakan yang diatur dalam peraturan pelaksana agar

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
81

semua Wajib Pajak dapat merasakan fasilitas dari kebijakan tersebut harus
berpedoman pada prinsip keadilan.
Selain perluasan threshold, persyaratan untuk menjadi PKP Berisiko
Rendah juga diperluas dengan dasar pertimbangan untuk mendorong kegiatan
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), sehingga perusahaan terbuka dengan
berapapun jumlah sahamnya dapat merestitusikan pajaknya sesuai dengan PMK
39/PMK.03/2018. Selain itu, eksportir MITA atau AEO juga telah dikategorikan
sebagai PKP Berisiko Rendah oleh otoritas perpajakan yang sebelumnya tidak
tertulis dalam PMK 71/PMK.03/2010, sebagaimana yang dijelaskan lebih lanjut
oleh Dony, selaku Kepala Seksi Peraturan PPN Industri:

“Nah itu sebenernya dari analisis risikonya, kita sebenernya bisa liat,
sebetulnya Wajib Pajak manasi yang sebetulnya risikonya tidak
terlalu tinggi, nah urusan restitusi ini kan sebetulnya udah cenderung
ketat ya, mangkanya kita berani dari 40% sekarang kita perluas, nah
biasanya Wajib Pajak ini yang settle Mba, yang jelas profilnya, jelas
transaksinya, berapa modal, berapa biaya udah jelas juga. Jadi kita
lihat risikonya, kalo kita liat Pasal 9 UU PPN, secara alamiah Wajib
Pajak pasti restitusi dan secara mitigasi risiko itu juga jelas untuk
eksportir misalnya. Ini kan sudah temen-teman DJBC yang
mengawasi. Untuk menjalankan pemungut ini juga sistemnya sudah
jelas, untuk PPN yg tidak dipungut juga udah jelas. Mangkanya kita
berani buka perluasan restitusi PPN itu. Jadi risiko kesana ketika dia
secara formal patuh. Dari mana asal restitusinya, ini kita bisa tracking.
Kejelasan restitusinya lebih terukur risikonya.“ (Wawancara
Mendalam: Dony, selaku Kepala Seksi Peraturan PPN Industri,
Kantor Pusat DJP, 14 November 2018)

3) Analisis risiko yang sebelumnya dilakukan oleh otoritas pajak sebagai proses
pendahuluan restitusi pajak, kini, dalam PMK 39/PMK.03/2018 proses analisis
risiko telah dihapus.
Analisis risiko yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
terdahulu menjelaskan bahwa otoritas pajak dalam memberikan pendahuluan harus
memperhatikan tiga hal. Pertama, ketepatan waktu SPT yang dilaporkan oleh Wajib
Pajak, kedua, Wajib Pajak tidak memiliki utang pajak, dan ketiga, dilakukannya
analisis atas kebenaran formal oleh otoritas pajak. Dalam PMK 39/PMK.03/2018,
analisis risiko tersebut dihapuskan dengan tujuan agar tidak ada lagi perbedaan
analisis antar otoritas pajak terkait dengan penetapan Wajib Pajak yang termasuk

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
82

dalam kriteria tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Dony, selaku Kepala Seksi
Peraturan PPN Industri :

“Dulukan di PMK yang lama diaturan pelaksananya ada analisis


resiko, itu biasanya hasilnya macem-macem karnakan kita banyak
kantor ya, mungkin banyak pegawai kita yang melihat bahwa yang
tadinya Wajib Pajak tidak berisiko jadi beresiko. Nah mangkanya
syarat ini kita hilangkan. Artinya, sepanjang lawan transaksinya sudah
melaporkan pajaknya, intinya kan dia udah bayar pajaknyakan,
mereka bisa memperoleh pengembalian. Mangkanya kalau Mba liat
skemanya, yang kita bisa liat ya itu. Kalau misalnya lawan
transaksinya belum bayar, mangkanya dia gabisa mendapat
pengembalian. Memang ini agak sedikit berbeda dengan
pemeriksaan.” (Wawancara Mendalam: Dony, selaku Kepala Seksi
Peraturan PPN Industri, Kantor Pusat DJP, 14 November 2018)

Dengan adanya perbaikan dan perubahan Peraturan Menteri Keuangan terdahulu,


kebijakan ini dapat dikatakan sudah tepat karena kebijakan ini tidak mempersulit Wajib
Pajak untuk mendapatkan haknya. Tidak hanya itu, jumlah Wajib Pajak yang mengajukan
restitusi pajak melalui kebijakan ini akan semakin meningkat karena adanya perluasan
persyaratan Wajib Pajak yang masuk kedalam kriteria tertentu. Namun, sangat
disayangkan bahwa dalam perumusan kebijakan ini tidak adanya alternatif kebijakan lain
baik yang bersumber dari pembuat kebijakan resmi (official policy-makers) maupun
peserta non pemerintah (non-governmental participants). Tidak adanya alternatif lain ini
menunjukan bahwa pemerintah tidak melaksanakan tahapan yang baik dalam pembuatan
formulasi PMK 39/PMK.03/2018. Penentuan alternatif kebijakan seharusnya dilakukan
oleh pemerintah pada saat melakukan riset kebijakan yang akan menghasilkan sebuah
rekomendasi. Pemerintah setidaknya memiliki beberapa alternatif kebijakan seperti yang
dikatakan oleh Zuliansyah, selaku pihak akademisi FIA UI, yaitu :

“Tapi setidaknya pemerintah punya beberapa alternatif yang nanti bisa


dikaitkan dengan temuan di lapangan ketika mengimplementasi kebijakan
itu.” (Wawancara Mendalam: Zuliansyah, selaku Akademisi Kebijakan
Publik, FISIP UI, 13 November 2018)

Selain itu, berpedoman pada Pasal 17C UU KUP, Pasal 17D UU KUP, dan Pasal
9 ayat (4C) UU PPN, serta ketiga Peraturan Menteri Keuangan sebelumnya, selain
perubahan regulasi kebijakan pendahuluan restitusi pajak, DJP juga membuat suatu

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
83

kebijakan dengan menggabungkan ketiga Peraturan Menteri Keuangan terdahulu untuk


menciptakan kesederhanaan (simplicity). Hal ini sesuai dengan paparan yang dikatakan
oleh Novrijal, selaku Pelaksana Seksi Peraturan KUP dan PPSP :

“Sebenarnya pembentukan PMK 39 ini adalah menyatukan yang tadinya


itu diatur melalui tiga PMK terpisah, sekarang menjadi satu PMK, dalam
PMK 39/2018. Alasan deregulasi dan penggabungan aturan itu salah
satunya kan simplifikasi juga, daripada orang nanti bingung kan terlalu
banyak produk hukum, lebih enak dijadisatukan juga karena kebetulan
memang bentuknya kan ini mirip ya 17C dan 17D UU KUP dan 9 ayat
(4C) UU PPN, daripada terpisah-pisah semuanya untuk lebih
memudahkan membacanya dijadikan satu.” (Wawancara Mendalam:
Novrijal, selaku Pelaksana Seksi Peraturan KUP dan PPSP, Kantor Pusat
DJP, 31 Oktober 2018)

Dalam hal regulasi kebijakan tersebut, beberapa pihak ada yang kurang setuju
dengan penggabungan kebijakan pendahuluan restitusi pajak yang diatur dalam ketiga
pasal yang berbeda dalam Undang – Undang Perpajakan dan ketiga Peraturan Menteri
Keuangan terdahulu. Salah satu pihak akademisi yang memberikan pendapat
ketidaksetujuan dengan kebijakan tersebut, dijelaskan oleh Prof. Gunadi selaku Guru
Besar Perpajakan FISIP UI :

“Karna beda, 17C itu kepatuhan, 17D itu persyaratan, gaada kepatuhan,
pokoknya patuh gapatuh kalau pasal 17D itu dikasih selama objeknya
masih sesuai gitu. Kalau itu kan patuh ga patuh selama omzetnya Wajib
Pajak persyaratan tertentu pasti dikasihkan, diambil Wajib Pajak yang
kecil aja pasal 17D, substansinya beda. Tapi kalau pasal 17C sama pasal 9
UU PPN itu baru boleh, karna masih diliat juga kepatuhannya. Itu harus
dipisah gaboleh, karena persyaratannya beda. (Wawancara Mendalam:
Prof. Gunadi, selaku Guru Besar Perpajakan FISIP UI, Jln.S. Parman Kav
37B, 5 November 2018)”

Dari sisi praktisi, ketidaksetujuan penggabungan peraturan pendahuluan restitusi pajak


juga dijelaskan oleh Doli, selaku Senior Tax Manager EY :

“Jadi sistematikal hukumnya dalam PMK ini harusnya diikuti juga, jadi
kalo diatur dalam pasal yang berbeda, harusnya turun dalam peraturan
pelaksana yang berbeda juga yakan gitu, supaya jelas panutan hukumnya,
karena dia kan sering kali PMK ini diubah, diganti dengan PMK lain kan,
nanti itukan bisa jadi rancu PMK ini apabila meng-cover 3 pasal, yang
dirubah, yang mana nih dapat mempengaruhi pasal lainnya, kan gitu. Dan
juga konsep dari masing2 pasal itu, siapa yg dapat kemudahan restitusi
pajak PMK 39 ini kan alasanya berbeda ada yg karna omzetnya hingga

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
84

segi kepatuhannya. Nah itu, menurut saya alasannya berbeda-beda harus


nya diatur dalam PMK yang berbeda. Karna mungkin saja kan sekarang
batasannya 100 juta ditahun depan bisa beda yakan. Itu jadi, harusnya
diatur sendiri-sendiri.” (Wawancara Mendalam: Doli, selaku Senior Tax
Manager EY, Auditorium Vokasi UI, 6 November 2018)

Menurut Zuliansyah, selaku akademisi FIA UI, bahwa untuk menentukan


diperbolehkan atau tidaknya penggabungan suatu peraturan, sebenarnya dapat dilihat
pada isu dan prioritas apa yang ingin disesuaikan dengan mencoba melihat perkembangan
saat ini yang perlu ditindaklanjuti oleh pemerintah melalui sebuah kebijakan, dengan
mengkaji kebijakan secara teoritik dan melakukan analisa. Setelah melakukan analisa,
para perumus kebijakan kemudian dapat melihat analisis yang telah dibuat melalui
evaluasi yang menunjukan bahwa kebijakan tersebut perlu untuk ditinjau ulang dan dapat
menghasilkan perubahan sebagai penyempurnaan kebijakan terdahulu. Dengan
demikian, apakah ketiga peraturan terdahulu dapat atau tidaknya digabungkan,
tergantung pada hasil analisis (Wawancara Mendalam, 13 November 2018). Jika dilihat
administrasi perpajakan (Mansury, 1996, p.24), terselenggaranya suatu administrasi
perpajakan yang baik adalah harus memenuhi kejelasan dan kesederhaan dalam suatu
peraturan yang memberikan kemudahan bagi administrasi dan memberikan kejelasan
bagi Wajib Pajak. Kemudahan yang dimaksud adalah kemudahan untuk dipahami untuk
dilaksanakan oleh aparat dan untuk dipatuhi pemenuhan hak dan kewajibannya oleh
Wajib Pajak. Selain itu, administrasi perpajakan yang efisien dan efektif, perlu disusun
dengan memperhatikan penataan pengumpulan, pengolahan, dan pemanfaatan informasi
tentang subjek pajak dan objek pajak.
Jika dilihat dari tujuan deregulasi dan penggabungan ketiga Peraturan Menteri
Keuangan terdahulu dalam pembentukan PMK 39/PMK.03/2018 seperti yang
diungkapkan oleh Andik, selaku Kepala Seksi Peraturan KUP dan PPSP:

“Alasan deregulasi PMK ini jadi dulu, orang kalau liat database gitu
terlalu banyak sebenernya regulasi yang sebenernya substansinya sama
tapi diatur oleh PMK atau Perdirjen yang berbeda-beda, kita gamau kaya
gitu, prinsipnya yang dikonfirmasi dalam tiga aturan itu adalah kebenaran
Wajib Pajak di Pasal 17 C,D UU KUP, Pasal 9 ayat (4C) UU PPN karna
itu kita bicara ke arah simplikasi, menurut kita itu prosesnya sama, tapi
hanya beda subjeknya aja, mangkanya itu kita combine dalam satu PMK
karna amanat UU KUP ini sebenernya bisa diatur dalam PMK, sehingga
nanti kalau ada Wajib Pajak nanya aturan pengembalian pendahuluan itu

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
85

dimana cukup baca PMK 39, dan mereka bisa lihat, oh saya masuk ke
syarat apa nih. Jadi substansinya output yang akan diberikan itu terkait
dengan pengembalian pendahuluan.” (Wawancara Mendalam: Andik,
selaku Kepala Seksi Peraturan KUP dan PPSP, Kantor Pusat DJP, 9
November 2018)

Penggabungan kebijakan tersebut dalam satu Peraturan Menteri Keuangan sudah sesuai
dengan isu dan prioritas percepatan proses restitusi pajak saat ini dalam rangka
meningkatkan peringkat EoDB Indonesia. Kebijakan restitusi pajak ini juga sudah dapat
dikatakan sebagai administrasi perpajakan yang efektif dan efisien karena kebijakan –
kebijakan yang diatur didalamnya sudah disusun dengan memperhatikan substansi –
substansi yang ada.
Meskipun jika dilihat dari pasal - pasal yang mengatur tentang pendahuluan
restitusi pajak dalam Undang – Undang Perpajakan adanya perbedaan substansi yang ada
di dalam Pasal 17C UU KUP dan Pasal 9 ayat (4C) UU PPN dengan Pasal 17D UU KUP
yang dimana Pasal 17C UU KUP dan Pasal 9 ayat (4C) UU PPN mengatur tentang
kepatuhan sebagai syarat untuk mengajukan restitusi pajak melalui pendahuluan,
sedangkan Pasal 17D UU KUP tidak mensyaratkan kepatuhan, tetapi Wajib Pajak yang
dapat mengajukan pendahuluan restitusi perpajakan adalah Wajib Pajak yang memiliki
batas jumlah peredaran usaha, jumlah penyerahan, dan jumlah lebih bayar yang diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan. Atas perbedaan susbtansi tersebut, dalam
aturan pelaksananya tidak menjadikan suatu permasalahan dalam
pengimplementasiannya, karena sifatnya sama yaitu memberikan pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak atas pengajuan restitusi pajak oleh Wajib Pajak, meskipun dengan
syarat yang berbeda. Hal ini didukung oleh Eddy, selaku akademisi :

“Dipisah pisah kalau aturan mainnya berbeda. Kalau dirasakan aturan


mainnya cukup satu, gapapa, tapi syaratnya dibedakan, kalau gitu
aturannya satu aja. Jadi, suatu aturan yang diterbitkan khususnya aturan
pelaksanaan kan agar memudahkan Wajib Pajak dalam menjalankan hak
dan kewajibannya, jadi kita harus pake asas apa untuk pemahaman ini atau
peninjauan ini yaitu asas ease of administration. Nah itu harus mudah
dipahami, dan mudah dilaksanakan, yang penting itu, makin mudah ya
dipahami, makin mudah dilaksanakan ya, tidak rumit tidak complicated.
Tapi simple, simplicity ya, masyarakat akan lebih patuh, yakan.”
(Wawancara Mendalam: Eddy, selaku Akademisi Perpajakan, Gedung
Senatama, 12 November 2018)

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
86

5.1.4 Penetapan Kebijakan


Setelah melalui tahapan – tahapan perumusan kebijakan pendahuluan restitusi
pajak dan menghasilkan keputusan yang telah disepakati oleh para perumus kebijakan,
formulasi kebijakan ini harus disahkan agar kebijakan tersebut dapat segera diberlakukan
dan berjalan efektif karena telah memiliki payung hukum yang jelas. Penetapan kebijakan
atas formulasi pendahuluan restitusi pajak dalam PMK 39/PMK.03/2018 dilakukan
setelah adanya persetujuan terlebih dahulu oleh Menteri Keuangan, kemudian
diberikannya kepada Kementerian Hukum dan HAM untuk masuk ke berita negara dan
dapat diundangkan. PMK 39/PMK.03/2018 mulai diundangkan dan diberlakukan pada
tanggal 12 April 2018.
Ditetapkan dan diberlakukannya PMK 39/PMK.03/2018 bertujuan untuk
memudahkan Wajib Pajak untuk mendapatkan hak restitusi perpajakannya dengan
mempermudah prosedur dan memberikan kepastian waktu, berapa lama proses restitusi
pajak tersebut diproses oleh otoritas pajak. Kemudian, dari sisi otoritas pajak, tujuan
diterbitkannya PMK 39/PMK.03/2018 adalah untuk mengurangi tugas pemeriksaan
pajak yang dinilai rutin seperti dilakukannya pemeriksaan pada restitusi pajak atas Wajib
Pajak yang dinilai patuh, sehingga dengan adanya PMK 39/PMK.03/2018 otoritas pajak
tidak merasa terbebani dengan pemeriksaan lebih bayar yang bersifat rutin tersebut dan
dapat melakukan pemeriksaan yang bersifat khusus lainnya. Selain itu, kebijakan ini juga
bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan penerimaan
negara, karena dengan memberikan kemudahan restitusi pajak, akan mendorong
likuiditas Wajib Pajak guna meningkatkan kemudahan dalam usahanya sehingga dapat
mendorong pengusaha lainnya untuk berinvestasi di Indonesia.
Dalam proses penetapan PMK 39/PMK.03/2018 itu sendiri, menurut Adi, selaku
Pelaksana Seksi Peraturan KUP dan PPSP mengatakan bahwa adanya perubahan proses
penetapan Peraturan Menteri Keuangan yaitu, sebagai berikut :

“Tapi sekarang agak beda nih, kalau dulu itu udah setuju semua kalau
sebelum ke Menteri ada yang namanya proses pengharmonisasian, dulu
tuh proses pengharmonisasian itu hanya level PP keatas di Undang -
Undang, nah sekarang sampe PMK pun ada pengharmonisasian dengan
Kementerian Hukum dan HAM. Nah setelah ada PMK 39 ini kita ada
proses tambahan pengharmonisasian dengan Hukum dan HAM.”
(Wawancara Mendalam: Adi, selaku Pelaksana Seksi Peraturan KUP dan
PPSP, Kantor Pusat DJP, 14 November 2018)

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
87

Terkait dengan penyusunan suatu aturan, pada dasarnya yang harus dilihat dan
diperhatikan oleh perumus kebijakan adalah efektivitas dan sinkronisasi hukum.
Pelaksanaan hukum dapat dikatakan efektif atau berhasil dalam pelaksanaannya apabila
aturan tersebut ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakat maupun penegak hukum.
Ketidakefektifan peraturan dapat disebabkan karena adanya peraturan yang tidak jelas,
aparatnya yang tidak konsisten, dan atau masyarakat yang tidak mendukung pelaksanaan
dari aturan tersebut (Salim dan Nurbani, 2013, p.3), sedangkan sinkronisasi yang
dimaksud adalah suatu kebijakan harus memiliki keserasian hukum yang positif agar
tidak bertentangan dengan hierarki peraturan perundang – undangan (Salim dan Nurbani,
2013, p.14-15).
Sesuai dengan pernyataan Adi, selaku Pelaksana Seksi Peraturan KUP dan PPSP,
bahwa baru adanya proses pengharmonisasian setelah diterbitkannya PMK
39/PMK.03/2018 dengan Kementerian Hukum dan HAM yang menunjukan bahwa
dalam membuat ketiga aturan terdahulu pemerintah tidak memperhatikan sebelumnya
apakah aturan yang dibuat akan bertentangan atau tidaknya dengan peraturan lain.
Padahal efektivitas dan sinkronisasi hukum merupakan satu kesatuan yang harus
diperhatikan oleh pemerintah untuk membentuk suatu peraturan. Hal ini didukung dengan
pernyataan Eddy, selaku akademisi, yaitu :

“Nah jadi menyangkut penyusunan suatu aturan kebijakan yang harus


diliat adalah, ada yang namanya efektivikasi, dan kedua adalah
sinkronisasi. Efektif itu maksud pembentukan aturan-aturannya dapat
tercapai. Pemenuhan haknya juga dilakukan dengan benar, itu Wajib Pajak
namanya sudah patuh, dan kebijakannya sudah efektif, peraturannya itu
udah efektif. Disamping efektif juga harus sinkron atau bahasa lainnya
harmonisasi. Gitu ya, inti-intinya. Jadi aturan itu harus memenuhi dua itu.”
(Wawancara Mendalam: Eddy, selaku Akademisi Perpajakan, Gedung
Senatama, 12 November 2018)

Meskipun pemerintah tidak memperhatikan sinkronisasi hukum dalam penetapan


tiga Peraturan Menteri Keuangan terdahulu mengenai pendahuluan restitusi pajak, dalam
PMK 39/PMK.03/2018 ini, proses sinkronisasi hukum sudah dilakukan sehingga
penetapan PMK 39/PMK.03/2018 sudah sesuai dengan proses yang seharusnya.
Penetapan kebijakan restitusi pajak yang diatur dalam PMK 39/PMK.03/2018 juga sudah
memenuhi prinsip kepastian hukum (certainty). PMK 39/PMK.03/2018 ini secara garis

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
88

besar memberikan legitimasi dari pelaksanaan Pasal 17C dan Pasal 17D UU KUP, dan
Pasal 9 ayat (4C) UU PPN yang mengatur tentang pendahuluan restitusi pajak dan
memberikan kejelasan mengenai subjek dan persyaratan lainnya yang dapat mengajukan
restitusi pajak melalui pendahuluan berdasarkan dengan PMK 39/PMK.03/2018.
Dengan adanya kepastian ini, jumlah Wajib Pajak yang mengajukan restitusi pajak
dengan proses pendahuluan tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Andik, selaku Kepala Seksi Peraturan KUP dan PPSP :

“Realisasi PMK39/PMK.03/2018 dilihat dari sisi perbandingan


penyampaian SPTLB yang diajukan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak sebelum adanya ini dengan sesudahnya, telah mengalami
peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini menggambarkan sebagian dari
tujuan disusunnya Peraturan Menteri ini telah tercapai, yakni banyak
Wajib Pajak yang memanfaatkannya.” (Wawancara Mendalam: Andik,
selaku Kepala Seksi Peraturan KUP dan PPSP, Kantor Pusat DJP, 9
November 2018)

Perbandingan jumlah Wajib Pajak yang mengajukan pendahuluan restitusi pajak sebelum
dan sesudah diterbitkannya PMK 39/PMK.03/2018 dapat dilihat pada tabel 5.3.

Tabel 5.3 Perbandingan Implementasi Sebelum dan Sesudah PMK 39/PMK.03/2018

Sumber : Dit. TIP, Direktorat Jenderal Pajak,2018

Seperti yang dapat terlihat pada tabel 5.2, jumlah SPT yang masuk ditahun 2018 adalah
4.769 SPTLB, sedangkan ditahun 2017 adalah 2.966 SPTLB. Dari jumlah SPTLB

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
89

tersebut, setelah adanya PMK 39/PMK.03/2018, banyaknya Wajib Pajak yang


mengajukan restitusi sesuai dengan ketentuan ini. Hal ini dapat dilihat bahwa otoritas
pajak yang menerbitkan SKPPKP di tahun 2018 sebanyak 708 SKPPKP, lebih banyak
dibandingkan dengan tahun 2017 yakni sebesar 181 SKPPKP.
Namun, meskipun terjadinya peningkatan jumlah SKPPKP setelah diterbitkannya
PMK 39/PMK.03/2018, dalam dalam penerapan kebijakan ini nantinya masih terdapat
beberapa kelemahan yang dapat menghambat pelaksanaan kebijakan pendahuluan
restitusi pajak. Kelemahan pertama yaitu masih kurangnya kepercayaan Wajib Pajak
dengan adanya pemberian fasilitas percepatan restitusi pajak. Jika ingin meningkatkan
peringkat EoDB Indonesia maka para pengusaha memerlukan keyakinan apakah restitusi
pajak yang diajukan oleh Wajib Pajak yang mengajukan permohonan untuk
diterbitkannya SKPPKP akan dilakukannya pemeriksaan kembali atau tidak, sehingga
tidak lagi akan menimbulkan persepsi bahwa proses restitusi pajak melalui kebijakan
pendahuluan ini sama saja dengan proses pemeriksaan seperti biasa yang dimana
memerlukan waktu yang cukup lama. Terlebih lagi dengan adanya kemudahan restitusi
pajak dengan pendahuluan yang justru akan merugikan Wajib Pajak jika dilihat dari
sanksi administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 100% apabila ada
ketidaksesuaian data Wajib Pajak setelah dilakukannya koreksi. Tidak hanya itu,
pengembalian restitusi pajak yang diterima Wajib Pajak juga tidaklah utuh, padahal
jumlah uang yang direstitusi oleh Wajib Pajak tidaklah terlalu besar. Hal ini diakibatkan
adanya koreksi yang dilakukan oleh otoritas pajak pada saat pemeriksaan. Ketidakpastian
dipermudahnya restitusi pajak dengan alasan - alasan tersebut, seperti yang diungkapkan
oleh Doli, selaku Senior Tax Manager EY :

“Jadi itu memang kebijakan itu harus dirubah gitu. Jangan disatu sisi
seolah dimudahkan tapi seperti masih garela juga nih di ancem dengan
sanksi yang berat gitu. Jadi kan kita maunya kan mau maju nih, kasih
kemudahan dengan asas lebih percaya kepada Wajib Pajak jangan main di
dua ini, seolah “nih saya kasih kamu dipercepat”, tapi kalau saya temukan
sesuatu sanksinya besar, dan yang lebih bikin repotnya itu seringkali
koreksi itu bukan terjadi karena kesalahan Wajib Pajak itu, itu sering
sekali, bahkan rutin.” (Wawancara Mendalam: Doli, selaku Senior Tax
Manager EY, Auditorium Vokasi UI, 6 November 2018)

Disisi lain, menurut otoritas pajak, proses restitusi pajak di Indonesia dengan
pendahuluan ini sudah terbilang cukup mudah. Jika dibandingkan dengan negara lain,

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
90

restitusi pajak di Indonesia terkait dengan pemeriksaan ini lebih flexible dibandingkan
dengan negara lain. Pernyataan ini dikemukakan oleh Andik, selaku Kepala Seksi
Peraturan KUP dan PPSP dengan memberikan gambaran, sebagai berikut :

“Meskipun dalam beberapa hal sebetulnya beberapa negara memang


sangat luwes, tapi ada beberapa negara yang memang kaku. Misalnya,
kaya di Perancis, kalau diberikan pengembalian pendahuluan Wajib Pajak
itu pernah 1 kali harus diperiksa dulu oleh DJPnya gitukan, periksa dulu,
pernah ada penetapan, sehingga otoritas yakin dia historynya seperti apa
trackrecordnya seperti apa. Kalau kita malah open, kita malah gapernah
bilang kalau mereka minta pendahuluan itu, at lease diperiksa sekali oleh
DJP, kan tidak, even dia Wajib Pajak baru Masukin SPTLB dengan lebih
bayar katakanlah tidak lebih dari 1M kita proses di pengembalian
pendahuluan” (Wawancara Mendalam: Andik, selaku Kepala Seksi
Peraturan KUP dan PPSP, Kantor Pusat DJP, 14 November 2018)

Proses pendahuluan restitusi pajak menurut otoritas pajak tersebut yang sudah
dikatakan mudah, berbanding terbalik dengan beberapa pihak khususnya bagi praktisi.
Menurut Doli, selaku Senior Tax Manager EY, bahwa Wajib Pajak justru lebih banyak
menghindari kebijakan pendahuluan restitusi pajak dalam praktiknya dilapangan karena
adanya risiko yang tinggi dibalik pemberian fasilitas, sehingga banyaknya Wajib Pajak
yang merelakan lebih bayar tersebut meskipun jumlahnya masih dibawah threshold
sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Wawancara Mendalam, 6 November 2018).
Kelemahan lainnya dalam penerapan PMK 39/PMK.03/2018 adalah dari sisi
internal otoritas pajak yang agak sulit dalam mem-provide data atas pengajuan restitusi
yang diajukan oleh Wajib Pajak. Hal ini seharusnya juga diperhatikan oleh pemerintah
sebagai salah satu alternatif kebijakan yang dapat diterapkan dalam peraturan ini dalam
membenahi sistem teknologi internal DJP. Selain membenahi sistem teknologi internal,
pemerintah juga sebaiknya membenahi sistem teknologi eksternal, diluar lingkungan DJP
yang akan digunakan oleh Wajib Pajak untuk mendapatkan hak pemajakannya dengan
mudah, dan tidak memakan waktu, tenaga dan finansial dalam pengajuan restitusi
perpajakannya, sesuai dengan prinsip perpajakan menurut Stiglitzt sebagaimana dikutip
Rosdiana dan Irianto (2014, p.157) yaitu, administratively simple : it should be easy and
inexpensive to administer. Dengan adanya sistem teknologi tersebut, Wajib Pajak dapat
mengajukan restitusi pajak secara online, tidak lagi secara manual. Tidak hanya itu,
dengan didukungnya sistem teknologi, Wajib Pajak nantinya secara otomatis sudah
mengetahui apakah Wajib Pajak tersebut sudah termasuk dalam kriteria tertentu atau

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
91

belum, sehingga tidak adanya lagi proses pengajuan ke KPP setempat untuk
ditetapkannya sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu.
Jika dibandingkan dengan negara lain, seperti proses restitusi pajak di Australia,
dalam sistem pelaporan pajaknya Australia sudah menggunakan sistem pelaporan pajak
online atau yang dapat disebut dengan e-tax. Dari sistem pelaporan pajak online tersebut,
adanya perbedaan waktu dalam pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Bagi Wajib
Pajak yang menggunakan sistem e-tax, proses restitusi pajak dilakukan dalam jangka
waktu 12 hari kerja sejak SPT disampaikan, namun, jika Wajib Pajak melaporkan restitusi
pajaknya secara manual maka akan diproses dalam jangka waktu 50 hari kerja. Tidak
hanya itu, untuk mempercepat proses restitusi pajak, Australia menyediakan Electronic
Funds Transfer (EFT). EFT merupakan cara restitusi pajak yang aman dan cepat karena
Wajib Pajak dapat menerima restitusi pajak secara elektronik hanya dengan
mencantumkan rekening bank Australia. Hal ini harus diperhatikan oleh pemerintah,
karena saat ini sudah memasuki zaman digitalisasi yang seharusnya sistemnya pun juga
harus canggih, dan sudah tidak mengajukan restitusi pajak cara manual. Hal ini
sependapat dengan Prof. Gunadi selaku Guru Besar Perpajakan FISIP UI :

“Ya ini harus jalan terus, dengan persyaratan harus dilakukan restitusi
pajak dengan digitalisasi, jadi otomatis, contoh kaya PM PK, kalau udah
ada PM ya otomatis udah harus ada PKnya gitu. Itu harus ada intelocking
system maksudnya kalau setiap PM gaada PKnya itu tidak dapat
dikreditkan, otomatis bisa diketahui. Kalau yang memotong PPN disana
udah motong PM itu bakal ketauan karna interlocking. Nah kalau kita kan
engga, masih ada konfirmasi dulu ada pemotongan ga disana,itu masih
manual, itu bukan sistemik, bukan terintegrasi. Nah itu harus reformasi
mendasar sebenernya ya sistemnya, jadi yang harus diperbaiki itu
sistemnya.” (Wawancara Mendalam: Prof. Gunadi, selaku Guru Besar
Perpajakan FISIP UI, Jln.S. Parman Kav 37B, 5 November 2018)

Disamping kelemahan – kelemahan diterbitkannya PMK 39/PMK.03/2018,


adapun beberapa keunggulan yang dapat mendukung penerapan PMK 39/PMK.03/2018
yaitu, kebijakan ini sudah sesuai dari segi manfaat untuk menunjang penerimaan negara.
Selain itu, keunggulan PMK 39/PMK.03/2018 lainnya adalah dapat mendukung Wajib
Pajak untuk melaksanakan kegiatan usahanya dengan mendorong likuiditas Wajib Pajak
melalui pendahuluan restitusi pajak yang dipercepat. Setelah ditetapkannya PMK
39/PMK.03/2018, dalam hal ini, pemerintah sudah melakukan sosialisasi atas peraturan

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
92

kebijakan tersebut kepada masyarakat. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Dony,
selaku Kepala Seksi Peraturan PPN Industri :

“Sosialisasinya udah banyak Mba, ada via radio, televisi, di asosiasi-


asosiasi, eksportir, dan lainnya terkait usaha ini udah di sosialisasikan.
(Wawancara Mendalam: Dony, selaku Kepala Seksi Peraturan PPN
Industri, Kantor Pusat DJP, 14 November 2018)

Dari keempat tahapan formulasi kebijakan PMK 39/PMK.03/2018 tersebut,


secara singkat dapat dilihat pada tabel 5.4 berikut ini :

Tabel 5.4 Proses Formulasi Kebijakan Pendahuluan Restitusi Pajak

No Tahapan Formulasi Kebijakan


1 Perumusan Masalah • Penilaian analisis risiko yang bersifat subjektif
menyebabkan banyaknya proses restitusi pajak
yang bergeser melalui proses pemeriksaan,
dibandingkan dengan proses penelitian.
• Kebijakan restitusi pajak dengan proses yang
lama akan menghambat kemudahan dalam
berusaha. Sebagai contoh, bisnis yang
berorientasi ekspor sudah pasti akan terjadi
lebih bayar karena penjualannya dikenakan
tarif 0%. Apabila restitusi pajak ditahan, maka
eksportir akan rugi. Hal ini dapat menghambat
kenaikan peringkat indikator tax payment
dalam peringkat EoDB Indonesia.
• Refund discrepancy berdasarkan hasil
pemeriksaan kurang dari 5% per tahun,
sehingga proses restitusi pajak tidak harus
selalu melalui proses pemeriksaan.
2 Agenda Kebijakan • Perumusan masalah dirumuskan oleh seluruh
pemangku kebijakan yang memiliki
kepentingan langsung terhadap suatu
kebijakan. Dalam hal ini BKF sebagai pihak
perumusan resmi kebijakan dan Wajib Pajak
sebagai kelompok kepentingan dari peserta non
pemerintah sama sekali tidak terlibat langsung
dalam perumusan kebijakan pendahuluan
restitusi pajak ini.
• Faktor pendukung proses perumusan PMK
39/PMK.03/2018 adalah semangat otoritas
pajak yang tinggi untuk mempermudah
pelayanan proses restitusi pajak dan kondisi
perekonomian yang saat ini mendukung untuk
percepatan proses restitusi pajak.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
93

• Faktor penghambat proses perumusan PMK


39/PMK.03/2018 adalah kesiapan internal DJP
baik dari sisi pelayanan maupun sistem
teknologi dan informasi.

3 Pemilihan Alternatif • Tidak ada pilihan alternatif kebijakan dalam


Kebijakan proses perumusan PMK 39/PMK.03/2018,
namun alternatif kebijakan yang dipilih oleh
DJP yaitu ;
- penggabungan tiga Peraturan Menteri
Keuangan terdahulu dalam PMK
39/PMK.03/2018;
- perluasan kriteria atau subjek sebagai
syarat untuk dapat mengajukan
pendahuluan restitusi pajak sesuai dengan
yang diatur dalam PMK
39/PMK.03/2018;
- penghapusan analisis risiko;
- perubahan tempat penetapan sebagai
Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan
sesuai dengan PMK 39/PMK.03/2018;
- dan perubahan lainnya yang diatur dalam
PMK 39/PMK.03/2018.

4 Penetapan Kebijakan • PMK 39/PMK.03/2018 diundangkan dan


diberlakukan tanggal 12 April 2018.
• Tujuan terbitnya PMK 39/PMK.03/2018 bagi
Wajib Pajak adalah untuk memudahkan Wajib
Pajak untuk mendapatkan hak restitusi
perpajakannya, dan bagi otoritas pajak adalah
untuk mengurangi tugas pemeriksaan pajak
yang dinilai rutin.
• Dalam penetapan PMK 39/PMK.03/2018
sudah melalui proses pengharmonisasian
dengan Kementerian Hukum dan HAM.
• Jumlah Wajib Pajak yang mengajukan restitusi
melalui proses pendahuluan mengalami
peningkatan yang cukup signifikan setelah
diterbitkannya PMK 39/PMK.03/2018.
• Keunggulan ditetapkannya PMK
39/PMK.03/2018, yaitu ;
- kebijakan ini sudah sesuai dari segi
manfaat untuk menunjang penerimaan
negara;
- mendukung Wajib Pajak untuk
melaksanakan kegiatan usahanya.
• Kelemahan ditetapkannya PMK
39/PMK.03/2018, yaitu ;
- kurangngnya kepercayaan Wajib Pajak
dengan adanya pemberian fasilitas
percepatan restitusi pajak;

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
94

- kelemahan dari sisi internal otoritas pajak


yang agak sulit dalam mem-provide data
atas pengajuan restitusi yang diajukan oleh
Wajib Pajak.
• DJP sudah melakukan sosialisasi setelah
diterbitkannya PMK 39/PMK.03/2018.

Sumber : telah diolah kembali oleh peneliti, 2018

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
95

BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan
Berdasarkan uraian pada pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan
bahwa pemerintah dalam memformulasikan PMK 39/PMK.03/2018 belum sepenuhnya
memenuhi tahapan – tahapan formulasi kebijakan. Dalam masing – masing tahapan,
yaitu:
- Pada tahapan perumusan kebijakan, pemerintah belum sepenuhnya menganalisis
masalah – masalah restitusi pajak yang terjadi dilapangan, salah satunya terkait
dengan sanksi yang cukup berat bagi Wajib Pajak apabila menggunakan proses
pendahuluan restitusi pajak. Pemerintah dalam menerbitkan PMK
39/PMK.03/2018, hanya mengidentifikasi beberapa permasalahan saja yaitu,
satu, adanya subjektivitas Wajib Pajak dalam proses analisis risiko yang
sebelumnya telah di atur dalam Peraturan Menteri Keuangan terdahulu, kedua,
kebijakan restitusi pajak terdahulu menghambat kenaikan peringkat indikator tax
payment EoDB Indonesia, dan ketiga, refund discrepancy berdasarkan hasil
pemeriksaan kurang dari 5% per tahun.
- Dalam tahap agenda kebijakan, seharusnya perumusan kebijakan melibatkan
seluruh stakeholder yang ada, namun tidak melibatkan pihak BKF dan Wajib
Pajak maupun asosiasi sehingga tidak dapat menampung atau tidak dapat
menyatukan gagasan semua kepentingan lembaga dan pihak non pemerintah.
- Tahap ketiga, tidak adanya alternatif kebijakan dalam perumusan PMK
39/PMK.03.2018, hal ini dikarenakan pemerintah hanya membuat satu kebijakan
yang merupakan perbaikan dan melakukan perubahan – perubahan atas kebijakan
dari tiga Peraturan Menteri Keuangan terdahulu.
- Tahapan terakhir adalah tahap penetapan kebijakan. Penetapan kebijakan yang
dipilih berdasarkan dengan tujuan yang ingin dicapai pemerintah dan penetapan
PMK 39/PMK.03/2018 bersifat mengikat dan merupakan hasil kompromi dari
berbagai kelompok kepentingan yang terlibat. Dalam penetapan PMK
39/PMK.03/2018, terdapat keunggulan dan kelemahan ditetapkannya PMK
39/PMK.03/2018. Keunggulan ditetapkannya PMK 39/PMK.03/2018 yaitu

95 Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
96

kebijakan ini bermanfaat untuk menunjang penerimaan negara, karena dapat


mendorong likuiditas Wajib Pajak guna meningkatkan kemudahan dalam
usahanya sehingga dapat mendorong pengusaha lainnya untuk berinvestasi di
Indonesia. Kelemahan ditetapkannya PMK 39/PMK.03/2018 yaitu kurangngnya
kepercayaan Wajib Pajak dengan adanya pemberian fasilitas percepatan restitusi
pajak dan dari sisi internal otoritas pajak sendiri yang agak sulit dalam mem-
provide data atas pengajuan restitusi yang diajukan oleh Wajib Pajak.

6.2 Saran
Berdasarkan penelitian ini, dalam pembuatan kebijakan pajak sebaiknya
pemerintah mempertimbanhkan beberapa hal berikut ini :
1) Pemerintah sebaiknya mempunyai beberapa alternatif kebijakan untuk dapat
dibandingkan dan dipilih dengan alternatif lainnya sesuai dengan permasalahan yang
ada dilapangan.
2) Pemerintah dalam merumuskan kebijakan sebaiknya mengikutsertakan masukan dari
beberapa pihak secara langsung baik dari pihak pemerintah maupun non pemerintah,
agar kebijakan yang dihasilkan dapat dijalankan dengan maksimal.
3) Pemerintah sebaiknya tidak hanya membuat peraturan saja, tetapi dari sisi
administrasinya pun juga harus dibenahi, baik dari segi pelayanan maupun dari segi
informasi dan teknologi yang mengarahkan restitusi pajak dengan sistem digitalisasi.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
97

DAFTAR REFERENSI

Buku :
Anderson, J.E. (2006). Pubic Policy Making. Boston : Hpughton Mifflin Company. Asian
Development Bank TA 7010.2008. Strategy and Roadmap for Developing The
Property Tax in Indonesia.
Bambang, P dan Jannah, L.M. (2005). Metode Penelitian Kuantitatif : Teori dan Aplikasi.
Jakarta : PT Raja Grafindo.
Budiardjo, Miriam. (2008). Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Bungin, M. Burhan. (2007). Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Creswell. Jhon W. (1994). Research design : qualitative and quantitative approach.
California : SAGE Education.
Dunn. William N. (2003). Pengantar analisis Kebijakan Publik (Vol 2). Yogyakarta :
Gajah Mada University Press.
Dye, T.R. (2005). Understanding Public Policy, 11th edition. New Jersey : Prentice hall.
Fischer,F.G. (2007). Handbook of Public Policy Analisys : Theory, Politics, and Methods.
Oca Raton : CRC Press
Gunadi. (2016). Panduan Komprehensif Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Jakarta :
Bee Media Indonesia.
Gunadi. (2013). Panduan Komprehensif Pajak Penghasilan. Jakarta : Bee Media
Indonesia.
Kusumanegara, Solahuddin. (2010). Model dan Aktor dalam Proses Kebijakan Publik.
Yogyakarta : Gava Media.
Mansury, R. (1996). Pajak Penghasilan Lanjutan. Jakarta : IndHill Co.
Mansury, R. (1999). Kebijakan Fiskal. Tangerang : Yayasan Pengembangan dan
Penyebaran Pengetahuan Perpajakan.
Mansury, R. (2002). Pajakk Penghasilan Lanjutan Pasca Reformasi 2000. Jakarta :
Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan.
Moleong, Lexy J. (2004). Metode Penelitian Kualitatif edisi Revisi. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.

97 Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
98

Musgrave, Richard A dan Peggy B. Musgrave. (1993). Keuangan Negara dalam Teori
dan Praktek (Terjemahan oleh Alfonsus Sirait). Jakarta : Erlangga.
Nasucha, Chaizi. (2004). Reformasi Administrasi Publik Teori dan Praktik. Jakarta : PT
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Nazir, Mohamad. (2003). Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Neuman, William Lawrence. (2000). Social Research Methods, Qualitative and
Quantitative Methods. 4th ed. USA : Allyn & Bacon.
Neuman, William Lawrence. (2006). Social Research Methods, Qualitative and
Quantitative Methods. 6th ed. Boston : Pearson.
Nowak, Norman D. (1970). Tax Administration in Theory and Practice : With Special
Reference to Chile. New York : Praeger Publishers.
Nurcholis, Hanif. (2007). Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta
: PT Grasindo.
Nugroho, Riant. (2004). Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi.
Jakarta : Gramedia
Salim dan Erlies Septiana Nurbaini. (2013). Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Tesis dan Disertasi. Jakarta : PT Raja Grafindo.
Pohan, Chairil Anwar. (2014). Pembahasan Komprehensif Pengantar Perpajakan Teori
dan Konsep Hukum Pajak. Jakarta : Mitra Wacana Media.
Rahayu, A.S. (2010). Pengantar Kebijakan Fiskal. Jakarta : Bumi Aksara.
Rochmat, Soemitro. (1986). Asas – Asas Peprpajakan. Bandung : Eresco.
Rosdiana, Haula, dkk. (2011). Teori Pajak Pertambahan Nilai ; Kebijakan dan
Implementasinya di Indonesia. Bogor.
Rosdiana, Haula dan Irianto, Edi. (2011). Panduan Lengkap Tata Cara Perpajakan di
Indonesia. Jakarta : Visi Media.
Rosdiana, Haula dan Irianto, Edi. (2014). Pengantar Ilmu Perpajakan : Kebijakan dan
Implementasi di Indonesia. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.
Schenk, Alan dan Oliver Oldman. (2007). Value Added Tax A Comparative Approach.
Cambridge University Press : New York.
Sinaga, Endang. (2015). Analisis Formulasi Kebijakan Mekanisme Reimbursement Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) Pada Industri Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas).
Skripsi. Universitas Indonesia.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
99

Smith, D.T., Webber, J.B., dan Cerf, C.M. (1973). What You Should Know About The
VAT. Illnois : Down Jones-Irwin Inc.
Subarsono, AG. (2005). Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Tambunan, Tulus T.H. (2009). Perekonomian Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Tait, A.A. (1988). Value Added Tax, International Practice and Problems. Washington
D.C : International Monetary Fund.
Thoha, Miftah. (2003). Dimensi – Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada.
Thoha, Miftah. (2008). Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Jakarta : Prenada Media
Group.
Thuronyi, V. (1996). Tax Law Design & Drafting. Washington D.C : International
Monetary Fund.
Widodo, Djoko. (2007). Analisis Kebijakan Publik. Malang : Bayu Media.
Winarno, Budi. (2007). Teori dan Proses Kebijakan Publik. Jakarta : Medpres.

Jurnal Ilmiah dan Publikasi Lembaga :


Catherine C Johnson. (2014). Are Paying Taxes A Bad Things? A Note on Consumer
Perception of Tax Refunds. Texas Christian University.
https://repository.tcu.edu/bitstream/handle/116099117/7223/Johnson__Catherine_-
_Senior_Honors_Thesis.pdf?sequence=1
DDTC Fiscal Research. (2017). Karya Akademis : Sistem Pajak yang Mendukung
Program Jaminan Kesehatan Nasional, Tinjauan Atas Mekanisme Wajib Pungut
PPN dan PPh Pasal 22 Terhadap PBF dan PBAK. Jakarta : Danny Darussalam Tax
Center.
InsideTax Media Tren Perpajakan. (2014). Edisi 24 : Tarik Ulur Restitusi. Jakarta : Danny
Darussalam Tax Center
Joel Slemrod. (2016). Tax Compliance and Enforcement : New Research and Its Policy
Implications. University of Michigan.
https://deepblue.lib.umich.edu/bitstream/handle/2027.42/117359/1302_Slemrod.pdf
?sequence=1&isAllowed=y

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
100

Media Keuangan. (2018). Transparansi Informasi Kebijakan Fiskal Volume XIII.


Pangkas Regulasi, Permudah Investasi.
https://www.kemenkeu.go.id/media/9830/media-keuangan-mei-2018.pdf.
Meydawati. (2018). Menyoal Restitusi dan Hak Wajib Pajak. Institute for Tax Reform &
Public Policy. https://instep.id/menyoal-restitusi-dan-hak-wajib-pajak/
Tanpa Nama. (2014). When will you get your refund?. Australia : Australia Taxation
Office. https:// www.ato.gov.au/Individuals/Payments-and-refunds/When-will-you-
get-your-refund-/

Karya Akademis :
Rahmi, Elvi. (2013). Analisis Formulasi Kebijakan Pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 22 Oleh Industri Farmasi (Skripsi). Universitas Indonesia.

Peraturan Perundang-Undangan :
Republik Indonesia, Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Keempat Atas Undang – Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan.
Republik Indonesia, Undang – Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang – Undang Nomor 8 TAHUN 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
234/PMK.01/2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
74/PMK.03/2012 Tentang Tata Cara Penetapan dan Pencabutan Penetapan Wajib
Pajak dengan Kriteria Tertentu Dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pembayaran Pajak.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
198/PMK.03/2013 Tentang Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran
Pajak Bagi Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
71/PMK.03/2010 Tentang Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah yang Diberikan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
101

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 Tentang Tata


Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ/2018 Tentang Kebijakan
Pemeriksaan.

Ketentuan Lain :
Organisation for Economic Co-operation and Development (selanjutnya disebut OECD).
(2003). Centre for Tax Policy and Administration, Tax guidance series, General
Administrative Principles - GAP002 Taxpayers’ Rights and Obligations

Publikasi Elektronik :
Ani Sucianingsih, Arsy. (2018, 2 April). Restitusi Bisa Dipercepat dengan Tiga Langkah,
Ini Detailnya. 1 Agustus 2018.
https://nasional.kontan.co.id/news/restitusi-bisa-dipercepat-dengan-tiga-langkah-
ini-detilnya
Badan Pusat Statistik. (2016, 24 November). Realisasi Penerimaan Negara (Milyar
Rupiah), 2007-2017. Bps.go.id. 28 April 2018.
https://www.bps.go.id/statictable/2009/02/24/1286/realisasi-penerimaan-negara-
milyar-rupiah-2007-2017.html
Badan Pusat Statistik. (2018, 15 Februari). Januari 2018, nilai ekspor Indonesia
mencapai US$14,46 miliar dan Nilai impor Indonesia mencapai US$15,13 miliar.
20 Agustus 2018.
https://www.bps.go.id/pressrelease/2018/02/15/1497/januari-2018--nilai-ekspor-
indonesia-mencapai-us-14-46-miliar-dan-nilai-impor-indonesia-mencapai-us-15-
13-miliar-.html
Bank Indonesia. (2017, 28 April). Bab 6 Kebijakan Fiskal. Laporan Perekonomian
Indonesia. 2017. 20 Mei 2018.
https://www.bi.go.id/id/publikasi/laporan.../8_LPI2017_BAB6.pdf
Direktorat Jenderal Pajak. (2018, 30 April). Berbicara Mengenai Hal Yang Konkret,
PMK-39 Hadir Sebagai Solusi. Pajak.go.id. 20 Mei 2018.
http://www.pajak.go.id/article/berbicara-mengenai-hal-yang-konkret-pmk-39-hadir-
sebagai-solusi

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
102

Doly, Taripar. (2018, 23 April). Ketentuan tentang Restitusi Pajak Dipercepat.


Nusahati.com. 20 Mei 2018.
http://www.nusahati.com/2018/04/ketentuan-tentang-restitusi-pajak-dipercepat/
Humas Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. (2017, 1 November). Melompat 19
Tingkat, Peringkat Kemudahan Berusaha di Indonesia Kini Nomor 72. 1 Agustus
2018.
http://setkab.go.id/melompat-19-tingkat-peringkat-kemudahan-berusaha-di-
indonesia-kini-nomor-72/
Nordiansyah. Eko. (2017, 19 Januari). Menkeu :Sudah 10 Tahun Jumlah Pegawai Pajak
Tak Bertambah. Ekonomi.meterotvnews.com. 22 Mei 2018.
http://ekonomi.metrotvnews.com/makro/0KvmxMok-menkeu-sudah-10-tahun-
jumlah-pegawai-pajak-tak-bertambah
Qur’aini, Hamalatul. (2018, 19 Mei). Begini Aturan Menkeu Terbaru Soal Restitusi
Pajak. 1 Agustus 2018.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5affa6ddac295/begini-aturan-menkeu-
terbaru-soal-restitusi-pajak
Suwiknyo, Edi dan Richard. (2018, 18 Maret). Hore! Pembayaran Restitusi PPN Wajib
Pajak Berisiko Rendah Dipercepat. Finansial.bisnis.com. 22 Mei 2018.
http://finansial.bisnis.com/read/20180318/10/751302/hore-pembayaran-restitusi-
ppn-wajib-pajak-berisiko-rendah-dipercepat
Tanpa Nama. (2017, 1 November). Naik 19 Level, Kemudahan Berbisnis Indonesia ke
Peringkat 72. 31 Juli 2018.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/11/01/naik-19-level-kemudahan-
berbisnis-indonesia-ke-peringkat-72
Tanpa Nama. (2018, 23 April). Pengajuan Restitusi Kini Lebih Mudah. Taxvisory.co.id.
22 Mei 2018.
http://taxvisory.co.id/2018/04/23/pengajuan-restitusi-kini-lebih-mudah/

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
103

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Heni Pratiwi


Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 31 Juli 1997
Alamat : Jl. Kirai Indah No. 20, Kalisari, Pasar Rebo,
Jakarta Timur, 13790
Nomor Telepon : 081282417553
Surat Elektronik : henipratiwi123@gmail.com
Nama Orang Tua
Ayah : Herman Prawoko
Ibu : Sutini
Riwayat Pendidikan Formal
SD : SDN Kalisari 04 Pagi
SMP : SMPN 179 Jakarta
SMA : SMAN 39 Jakarta
S1 : Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
104

Lampiran 1 : Pedoman Wawancara

Universitas Indonesia
Fakultas Ilmu Administrasi
Departemen Ilmu Administrasi Fiskal
Program Sarjana Paralel
Analisis Formulasi Kebijakan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pembayaran Pajak

PEDOMAN WAWANCARA

• Direktorat Peraturan Perpajakan I, Direktorat Jenderal Pajak

1) Latar belakang dirumuskannya kebijakan pengembalian pendahuluan


kelebihan pembayaran pajak dalam PMK 39/PMK.03/2018.
2) Tujuan kebijakan PMK 39/PMK.03/2018.
3) Rangkaian proses formulasi kebijakan PMK 39/PMK.03/2018.
4) Pihak yang terlibat dalam formulasi kebijakan PMK 39/PMK.03/2018.
5) Posisi dan peran Direktorat Jenderal Pajak dalam membuat formulasi PMK
39/PMK.03/2018.
6) Mekanisme pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak
berdasarkan PMK 39/PMK.03/2018.
7) Perubahan dalam kebijakan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
pajak dalam ketentuan PMK 39/PMK.03/2018.
8) Faktor pendukung dan penghambat proses formulasi PMK 39/PMK.03/2018.
9) Kesesuaian PMK 39/PMK.03/2018 terhadap asas – asas perpajakan.
10) Kelemahan dan keunggulan PMK 39/PMK.03/2018.
11) Masukan terkait pelaksanaan PMK 39/PMK.03/2018.
12) Apa yang ingin dicapai dan dituju Direktorat Jenderal Pajak dalam
menderegulasi ketiga PMK terdahulu tentang restitusi pajak dengan
menerbitkan PMK 39/PMK.03/2018.
13) Implikasi PMK 39/PMK.03/2018 dengan peraturan Direktorat Jenderal Pajak.
14) Realisasi PMK 39/PMK.03/2018 dengan Wajib Pajak terkait restitusi pajak.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
105

• Akademisi Perpajakan
1) Proses tahapan formulasi kebijakan pajak dengan benar.
2) Pihak yang berperan dalam merumuskan formulasi kebijakan.
3) Tanggapan terhadap formulasi kebijakan restitusi dipercepat sesuai dengan
PMK 39/PMK.03/2018.
4) Pandangan terkait dengan formulasi kebijakan restitusi dipercepat sesuai
dengan PMK 39/PMK.03/2018 dari sisi akademisi.
5) Rekomendasi dalam formulasi kebijakan yang baik.

• Akademisi Kebijakan Publik


1) Proses tahapan formulasi kebijakan.
2) Pihak yang berperan dalam merumuskan formulasi kebijakan.
3) Rekomendasi dalam formulasi kebijakan yang baik.

• Praktisi Perpajakan
1) Tanggapan kebijakan restitusi dipercepat sesuai dengan PMK
39/PMK.03/2018.
2) Apakah dari Wajib Pajak ada yang dilibatkan dalam pembentukan PMK
39/PMK.03/2018.
3) Implementasi restitusi pajak sebelum dan sesudah PMK 39/PMK.03/2018.
4) Hambatan dan pendukung implementasi PMK 39/PMK.03/2018.
5) Masukan terkait dengan formulasi PMK 39/PMK.03/2018.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
106

Lampiran 2 : Transkrip Wawancara

Universitas Indonesia
Fakultas Ilmu Administrasi
Departemen Ilmu Administrasi Fiskal
Program Sarjana Paralel
Analisis Formulasi Kebijakan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pembayaran Pajak

TRANSKRIP WAWANCARA

Pewawancara : Heni Pratiwi


Informan : Andik Tri Sulistyono
Jabatan : Kepala Seksi Peraturan KUP dan PPSP
Tanggal : 9 November 2018
Pukul : 7.40 – 8.37 WIB
Tempat : Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak
Keterangan : H : Heni ; A : Andik

H: Saya Heni Pratiwi, mahasiswa Fiskal, Universitas Indonesia. Tema skripsi saya
tentang formulasi PMK 39/PMK.03/2018 tentang restitusi pajak yang di percepat
Pak, kalau untuk latar belakang PMK ini apa ya Pak?
A: Latar belakang PMK 39 ini dilihat dulu dengan besaran restitusi melalui penelitian
dari tahun 2014-2016 yang cenderung menurun dan diindikasikan restitusi
diberikan melalui pemeriksaan. Selain itu, rata-rata waktu penyelesaian restitusi
melalui pemeriksaan 10 bulan. Hal ini menyebabkan indikator paying tax masih di
atas 100 berdasarkan laporan EoDB World Bank, meskipun secara keseluruhan
peringkat Indonesia naik dari 91 menjadi 72, dan terakhir refund discrepancy
berdasarkan hasil pemeriksaan kurang dari 5% per tahun. Sebetulnya, untuk
konteks yang paling utama itu berhubungan dengan EoDB, ease of doing business,
nanti kalau kamu ada waktu untuk searching parameter penilaian EoDB oleh World
Bank, itu ada beberapa parameter. Pertama adalah kemudahan dia untuk melakukan
kegiatan usaha melalui starting business, memulai kegiatan usaha di suatu negara

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
107

itukan bisa dari memulai dari mengurus perizinan hingga bikin perusahaan. Jadi
setelah starting business kemudian yang kedua adalah tax registration. Masalah
pendaftaran NPWP, karnanya kalau kamu perhatikan sebelum PMK 39 itu ada
PMK 147, pendaftaran NPWP Wajib Pajak dan pengukuhan PKP. Itu salah satu
dari treaty-nya EoDB supaya parameter tax registration kita itu supaya lebih
mudah, sehingga nantinya rangking EoDB kita semakin bagus. Setelah tax
registration kita bicara mengenai tax reporting. Tax reporting itu kamu perhatikan
lagi ada PMK 9, sebelum PMK 39 tentang SPT. Itu adalah salah satunya untuk
mengarahkan Wajib Pajak untuk e-filling. EoDB itu menyaratkan kalau Wajib
Pajak itu masih melaporkan secara manual, itu masih belum EoDB. Ketiga adalah
berbicara tentang tax payment. Tax payment itu apa konteksnya, adalah kemudahan
dia melakukan pembayaran, yang sekarang sudah kita akomodir dalam mekanisme
billing elektronik, tapi tax payment disini dimaksudkan juga dapat mudah untuk
melakukan restitusi. Kalau dia ada kelebihan pembayaran pajak dalam lingkup
perpajakan kan sebetulnya jalurnya bisa dua, yaitu dia minta mekanisme restitusi,
dengan mekanisme dia harus melakukan pemeriksaan, lebih dulu Pasal 17B
Undang - Undang KUP, atau dia minta dikembalikan lebih dulu. Kalau mekanisme
kompensasi murni dalam SPT self assessment dia gaperlu diperiksa. Nanti dapat
diperhitungkan di SPT produk berikutnya, tapi kalau dia minta dikembalikan, yang
tadi itu, ada dua caranya minta restitusi atau dia minta pengembalian pendahuluan.
Nah, pengembalian pendahuluan itu di Undang - Undang KUP ada dua kan, 17C
dan 17D sebetulnya, dan ada di Pasal 9 Undang - Undang PPN juga. Pasal - Pasal
itu variasinya ada Wajib Pajak kriteria tertentu, persyaratan tertentu, dan berisiko
rendah. Hal itu yang kemudian kita coba supaya parameter tentang tax payment
khususnya restitusi dan pengembalian ini menjadi lebih mudah dan bagus, kita
ingin meyakinkan bahwa kendala yang dulu sebelum PMK 39 ini kita kan sudah
ada ketentuan sebelumnya yaitu PMK, berapa tu?
H: PMK 74, 198, 71 Pak?
A: Iya betul, ketiga PMK itu untuk Wajib Pajak kriteria tertentu, persyaratan tertentu,
dan resiko rendah yang itu tidak memberikan mekanisme yang clear terkait dengan
Wajib Pajak ini prosedur pengembaliannya seperti apa, karena disana, yang masih
dilihat ada sisi aspek materialnya. Jadi kalau kita menguji suatu pengembalian

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
108

pendahuluan itu menurut amanat Undang - Undang KUP, kalau kamu baca
dipenjelasan 17C Undang - Undang KUP, 17D Undang - Undang KUP, itu adalah
sebenarnya cukup menkonfirmasi kebenaran kredit pajak. Kredit pajak yang
dilaporin itu sebenernya udah dibayar atau belum atau sudah dilaporkan oleh si
pemotong atau pemungut. Kalau itu udah clear secara administratif, itu seharusnya
sudah diberikan. Tapi di PMK yang sebelumnya itu, seperti masih diterapkan di
tahun 2016 dan 2017 masih masuk kelingkup materian yaitu ada analisis resiko,
harus diuji lagi kepatuhan Wajib Pajak dua tahun sebelumnya misalnya ada
tunggakan pajak atau tidak, kalau berdasarkan analisis risiko tidak ada kelebihan,
dialihin ke pemeriksaan. Alasan deregulasi PMK ini jadi dulu, orang kalau liat
database gitu terlalu banyak sebenernya regulasi yang sebenernya substansinya
sama tapi diatur oleh PMK atau perdirjen beda-beda, kita gamau kaya gitu,
prinsipnya yang dikonfirmasi dalam tiga aturan itu adalah kebenaran Wajib Pajak
di Pasal 17 C,D Undang - Undang KUP, Pasal 9 Undang - Undang PPN karna itu
kita bicara ke arah simplikasi, menurut kita itu prosesnya sama, tapi hanya beda
subjeknya aja, mangkanya itu kita combine dalam 1 PMK karna amanat Undang -
Undang KUP ini sebenernya bisa diatur dalam PMK, sehingga nanti kalau ada
Wajib Pajak nanya aturan pengembalian pendahuluan itu dimana cukup baca PMK
39, dan mereka bisa lihat, oh saya masuk ke syarat apa nih, jadi substansinya output
yang akan diberikan itu terkait dengan pengembalian pendahuluan. Dalam hal ini,
itu kita bicara ke arah simplikasi dan kualifikasi regulasi supaya orang tidak
terpecah-pecah mulu baca PMK banyak banget si, itu udah gaefisien secara
regulasi.
H: Kalau untuk tujuan dari PMK 39 ini apa Pak?
A: Nah itu yang kemudian kita coba batasi di PMK 39 ini, agar pengembalian itu
menjadi cepat prosedurnya, sangat mudah, dan kemudian kita juga memberikan
suatu penegasan kalau kita dalam jangka waktu proses pengembalian ini tidak
ditetapkan maka dianggap disetujui. Intinya tujuannya adalah untuk meningkatkan
parameter EoDB kita salah stunya adalah paying tax kita dalam melakukan
pembayaran dan mendapatkan pengembalian, yang paling utama itu sebetulnya.
Selebihnya kalau internal adalah kita mencoba untuk melakukan alokasi tugas yang
lebih produktif supaya pemeriksa tidak terlalu terbebani dalam pemeriksaan lebih

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
109

bayar yang sifatnya restitusi. Kan Wajib Pajak minta pengembalian pendahuluan
sehingga jumlah SPTLB yang minta restitusi jalur 17B itu semakin berkurang.
Itulah. Sehingga, pemeriksa akan fokus ke pemeriksaan yang sifatnya bukan rutin,
tapi khusus. Tujuan lainnya itu dalam rangka untuk meningkatkan kepatuhan Wajib
Pajak disatu sisi dan juga untuk meningkatkan penerimaan. Selain itu, tujuannya
dalam hal komitmen untuk mendorong investasi dan membantu pembiayaan usaha
melalui percepatan pengembalian PPN termasuk bagi UKM, dan juga mendorong
pertumbuhan kegiatan usaha, keberlangsungan usaha serta kemudahan dalam
berusaha bagi Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak.
H: Kalau persiapan yang dilakukan sendiri untuk perumusan PMK 39 ini apa Pak?
A: Ya banyak hal, karena kita juga harus, yang pertama mengevaluasi regulasi yang
sebelumnya itu sebenarnya kelemahannya dimanasi, isunya, kemudian selanjutnya
respon Wajib Pajak terhadap ketentuan yang sebelumnya itu seperti apa. Kalau dari
research yang dilakukan oleh World Bank terkait dengan EoDB yang tahun 2008,
eh 2017, kan Wajib Pajak menunjukan cenderung masih perspektif. Bisa jadi dia
“ah paling kalau saya mengajukan pengembalian pendahuluan juga ditolak.” Masih
ada gitu, yang kedua proses pengembalian pendahuluan yang sudah diaturpun kalau
pun itu kemudian lewat tiga bulan gaada keputusan itukan juga hasilnya tidak
ditegaskan di PMK sebelumnya, terus yang lain adalah kita mengevaluasi proses
bisnis di DJP, kalau ini kita proses dengan pengembalian pendahuluan itu
sebetulnya dilapangan itu kendalanya apasih. Apa masih harus konfirmasi manual
gitu ke kantor pajak lainnya, karena kan kalau kita berbicara kredit pajak itukan kita
berbicara ada dua yaitu pajak yang dibayar sendiri yaitu self assessment system,
yaitu buktinya SSP, dan pajak yang dipotput oleh pihak lain dalam mekanisme bukti
potong kalau PPh, kalau PPN faktur pajak. Bagaimana kita bisa mengetahui kalau
bupot itu bisa dilapor oleh pemotong, bagaimana fakturnya udah dilapor oleh PKP
penerbit, kan harus ada mekanisme administrasi internal, itu yang kita yakinkan
bahwa proses bisnis kita bisa mengakomodir sehingga konfirmasi manual yang
dulu sebelum berlakunya PMK 39 ini dilakukan, ini kita hilangkan sekarang. Ya
yang ketiga yaitu kita tentu melakukan benchmark ya dgn kontek dari negara –
negara yang lain, ya memang dari sisi percepatan pengembalian pendahuluan itu
mereka mekanisme yang diadop itu seperti apa. Meskipun dalam beberapa hal

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
110

sebetulnya beberapa negara memang sangat luwes, tapi ada beberapa negara yang
memang kaku. Misalnya, kaya di Perancis, kalau diberikan pengembalian
pendahuluan Wajib Pajak itu pernah satu kali harus diperiksa dulu oleh DJPnya
gitukan, periksa dulu, pernah ada penetapan, sehingga otoritas yakin dia history-
nya seperti apa trackrecord-nya seperti apa. Kalau kita malah open, kita malah
gapernah bilang kalau mereka minta pendahuluan itu, at lease diperiksa sekali oleh
DJP, kan tidak, even dia Wajib Pajak baru masukin SPTLB dengan lebih bayar
katakanlah tidak lebih dari 1M kita proses di pengembalian pendahuluan. Itu, iya,
jadi, yaitu si yang kita lakukan untuk persiapan.
H: Untuk rangkaian proses formulasi di PMK 39, bagaimana Pak?
A: Kita si internally banyak melibatkan pihak dari lintas direktorat ada Dit PP I, TPB,
TTKI, karna kan kita berbicara pengembalian pendahuluan nantikan mempengaruhi
ke cara memproses mengembalikannya, sehingga proses bisnis dan IT kita harus
mengakomodir itu. Terus eksternal kita juga melibatkan Kemenkeu yang juga
secara policy tax fiskal inikan mereka juga jadi kewenangan mereka supaya PMK
ini nanti in line atau sejalan dengan apa yang diamandatkan oleh bu Menteri terkait
dengan EoDB, gitu itu si, ekternalnya yaitu Biro Hukum, dan secara tidak langsung
juga ada pihak DJBC, karena konteks pengusaha berisiko rendah kan kita juga
mengadopsi PKP yang masuk dalam kategori mitra pabean utama, dan AEO, yang
dia itu sebenarnya masuk dalam lingkup pengusaha-pengusaha yang dinyatakan
sebagai Pengusaha Kepabeanan Berisiko Rendah oleh temen-temen bea cukai.
Kemudian kita akomodir untuk mereka kita masukan sebagai kategori PKP berisiko
rendah. Sehingga nanti mereka ya, dapat meminta pengembalian pendahuluan gitu.
Jadi awalnya ada usulan dari pemerintah dari Kemenkeu untuk meningkatkan
EoDB, salah satunya tentang restitusi, selanjutnya kita susun, kemudian setelah kita
susun Pak Dirjen setuju, kemudian di tandatangani oleh Bu Menteri, seperti itusi.
Jadi, konseptornya DJP, setelah itu persetujuan Kementeria Hukum dan HAM
untuk diundangkan.
H: Kalau Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Hukum
dan HAM, itu perannya apa Pak?
A: Kalau Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian itu kita tidak libatkan dalam
PMK 39 secara langsung, karena memang ini sebeetulnya si sudah

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
111

merepresentasikan tindak lanjut dari bu Menteri sebagi pihak yang mendapatkan


mandat untuk mengejawantahkan EoDB untuk regulasi, tetapi sebetulnya kalau
Anda lihat dari arahan-arahan Pak Darmin Nasution tentang arahan untuk
meningkatkan EoDB apa yang dilakukan oleh Kemenkeu itu sudah sejalan dengan
yang diminta. Kementerian Hukum dan HAM, itu sebetulnya terkait, karena mereka
kan ada Dit.Harmonisasi peraturan Undang - Undang, sebelum PMK ini di
dimunculkan dalam lembar negara dan diundangkan, ini harus dimasukan dalam
mekanisme harmonisasi dulu.
H: Ada tim khusus lain tidak Pak selain itu?
A: Tidak ada si, kita cuma lebih banyak di pihak internal itu aja si. Pihak internal kalau
tim saya ada saya, Gilang, Adi, dari subdit PPN ada Dony, Mba Vero staffnya, TPB
ada Mas Leidra dan tim, dari TIP ada Jarot dan tim, dari TTKI ada timnya juga,
jadi ga saya sendiri.
H: Kalau Dit.PP II iya ga Pak?
A: Kalau itu, tidak, kita sebenarnya memang ada yang terkait dengan itu, tapi lebih ke
staff ahli Kemenkeu dibidang kepatuhan perpajakan. Kan mereka yang nanti
melakukan mekanisme review melakukan pedalaman, untuk kita coba finalisasi
nanti, yang akan dibahas dengan tim di staff ahli nanti.
H: Pihak yang terlibat jadinya siapa aja Pak?
A: Ya tadi itu, ada beberapa pihak, baik eksternal maupun internal.
H: Kalau drafting itu berapa lama Pak ?
A: Kalau drafting itu sebetulnya menyusun PMK itu, kita tidak bisa berhenti pada
suatu titik tertentu, karena pembahasan itu sifatnya dinamis, katakanlah satu bulan
pertama kita udah selesai drafting-nya, terus kita minta pendapat ke Dit. TPB,
TTKI, dan lainnya. Terus ada masukan, kita akomodir drafting-nya, kemudian kita
bahas di staff ahli dan ada pembahasan lagi, berubah lagi. Kemudian ada hasil
pertemuan pimpinan misal Pak Dirjen Pajak, dengan Pak DJBC itu berubah lagi,
jadi dinamis sekali. Intinya PMK itu sebelum di tanda tangan bu Menteri itu sangat
mungkin akan berubah. Jadi drafting itu kalau saya bilang hampir memakan waktu
90% dari durasi 2 bulan itu, ya hanya titik tertentu saja sudah tidak ada drafting,
ketika di meja Bu Mentri, tapi ketika belum sampe meja Bu Menteri itu
kemungkinan drafting-nya masih bisa berubah lagi, ketika ada perubahan di

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
112

pimpinan yang arah sifatnya sangat urgent dan dinamikanya tiba-tiba baru kita tau
setelah draft itu selesai. Gitu.
H: Posisi dan peran Direktorat Jenderal Pajak dalam membuat formulasi PMK
39/PMK.03/2018 itu apa Pak?
A: Karena Peraturan Menteri ini mengatur mengenai tata cara, sehingga posisi dan
peran DJP pada dalam membuat formulasi Peraturan Menteri ini adalah sebagai
konseptor, tepatnya pada Direktorat Peraturan Perpajakan 1, Subdirektorat
Peraturan KUP dan PPSP.
H: Mekanisme pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak berdasarkan
PMK 39/PMK.03/2018.
A: Bagi Wajib Pajak Kriteria Tertentu dan PKP Berisiko Rendah mengajukan
permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak (dengan
melakukan checklist pada SPT LB, DJP melakukan penelitian kewajiban formal
seperti:
- Penetapan Masih berlaku (Wajib Pajak Kriteria Tertentu ataupun PKP Berisiko
Rendah)
- Tidak sedang diperiksa bukti permulaan ataupun disidik.
- Tepat waktu dalam pelaporan SPT (bagi Wajib Pajak Kriteria Tertentu)
- Tidak dipidana 5 tahun (bagi PKP Berisiko Rendah)
Selain itu, DJP melakukan penelitian material terkait:
- Penulisan dan perhitungan pajak
- Bukti Potong PPh
- Pajak Masukan
- Pemenuhan kegiatan tertentu (khusus PKP Risiko Rendah)
Dalam hal penelitian tersebut terbukti lebih bayar, maka diterbitkan SKPPKP,
kemudian dicairkan dengan SPMKP. Berbeda dengan Wajib Pajak Kriteria
Tertentu dan PKP Berisiko Rendah, mekanisme pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak Persyaratan Tertentu tidak
diperlukan penelitian formal.
H: Perubahan dalam kebijakan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
pajak dalam ketentuan PMK 39/PMK.03/2018.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
113

A: Untuk Wajib Pajak ini ada perbedaan dalam masa berlaku penetapan, Pengajuan
permohonan pengembalian pendahuluan, Penelitian permohonan pengembalian
pendahuluan, dan lainnya.
H: Sesuai di data yang dikasih Mas Gilang ya Pak?
A: Iya itu perbedaannya lebih detail.
H: Kalau perubahan misal objek ini itu dasarnya apa Pak?
A: Karna kita ingin memperluas subjek dan objek, jadi gini motiv kita membuat PMK
ini salah satunya adalah kita ingin melihat supaya orang yang masuk dalam lingkup
pengembalian pendahuluan kan semakin banyak, Wajib Pajak yang mau masuk itu
caranya gimana, subjeknya harus ditambah dulu, siapa yang memenuhi kriteria
harus ditambah. Nah bagaimana menambah Wajib Pajak kriteria itu supaya masuk
kesini, kriteria-kriteria yang sifatnya membatasi itu kita hilangkan. Kalau ada
threshold, ya kita naikan dari 10 juta jadi 100 juta, dari 100 juta jadi 1M, gitu. Itu
adalah mekanisme yang kita coba lakukan dengan pertimbangan kalau itu threshold
kita naikan, berarti Wajib Pajak yang masuk ke kriteria ini semakin banyak.
Harapannya gitu, dan kita punya data statistik sebelumm PMK ini terbit, berapa si
Wajib Pajak yang menyampaikan SPTLB misal antara 0-100 juta, 100-500 juta,
500 juta-1M,1M-2M, lebih dari 2M, itu kemudian kita lihat, oh proporsinya hampir
70% itu masukin SPT dgn nilai LB sampai dengan 1M, mangkanya kemudian kita
ambil parameternya, oh ok, ini yang paling 70% merepresentasikan, oh ya udah,
thresholdnya kita ambil yang 1M untuk PPN dan PPh Badan, PPh OP 100 juta.
H: Faktor pendukung dan penghambat formulasi ini apa Pak?
A: Pendukungnya mengacu pada latar belakang disusunnya Peraturan Menteri ini,
semangatnya adalah meningkatkan peringkat Indonesia pada EoDB. Sebetulnya
faktor penghambat formulasi ini tidak ada, tapi dalam hambatan dalam proses
restitusi pajak mungkin lebih ke internal kita bagaimana memastikan proses bisnis
dan informasi teknologi kita setelah PMK kita terbit bisa langsung dijalankan, yang
menjadi faktor hambatan untuk PMK ini tidak segera cepat selesai dimungkinkan
karena PMK ini tidak bisa jalankan oleh DJP itu sendiri. Bagi Wajib Pajak mungkin
lebih simple, dia bilang SPT saya Masukin minta pengembalian pendahuluan tapi
proses internal kita kalau blm ready, internal kita blm ready kan susah. Dalam
pembahasan regulasi, kita sebut ada namanya PLA, yaitu policy, law, and

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
114

administration. Jadi bagaimana tax policy itu bisa dikongkritkan dalam bentuk law
regulation, tetapi bisa diimplementasikan dalam administrasi secara kongkrit, itu 3
variabel menjadi penting ketika seseorang masuk dalam lingkup legal drafter dalam
suatu regulasi. Dalam konteks perpajakan, tax policynya clear, EoDB, anda harus
coba memperbaiki regulasi supaya Wajib Pajak minta pengembalian pendahuluan
makin banyak dan makin mudah, ok itu tax policy-nya, sekarang tax lawnya
gimana, oh PMK yang sekarang gini, berarti harus kita perbaiki, tax law kita
memperbaiki, anda perhatikan, tax administration-nya gimana, gimana kita
memproses ini internalnya, dan dari pihak Wajib Pajak, supaya dia mudah.gitu,
PLE itu kamu harus ingat, catat itu.
H: Iya ya Pak, kalau PMK ini udah sesuai dengan asas perpajakan belum si Pak?
A: Ya kita sangat yakin akan hal itu, dari aspek prinsip perpajakan, certainty, kepastian
hukum karena kita ingin memastikan bahwa Wajib Pajak yang memenuhi kriteria
pengembalian pendahuluan ini akan diproses dan diberikan pengembalian
pendahuluan sepanjang dia termasuk dalam kriteria PMK itu clear, apakah dia
masuk 17 C,D Undang - Undang KUP, atau 9 Undang - Undang PPN sepanjang dia
memenuhi kriteria kita berikan. Terus convenience, kemudahan, dia bisa mendapat
pengembalian pendahuluan pertama kali harus lewat jalur SPT, tapi kalau
dikembalikan baru sebagian, sisanya dia bisa mekanisme surat tersendiri. Atau
kalau dia PPN, bisa diperhitungkan ke masa berikutnya, jadi kita tidak mengambil
hak Wajib Pajak juga, equality, semua Wajib Pajak yang masuk kriteria, kita akan
berikan secara horizontal equity, kita tidak memberikan suatu treatment yang
berbeda gitu, netral. Kemudian, dari sisi lain adalah ini akan memberikan suatu
bentuk insentif, yaitu membantu likuiditas dari Wajib Pajak sendiri, karena tax tidak
selalu berbicara tentang penerimaan, tetapi juga berbicara bagaimana bisa
memberikan insentif kepada usaha mereka kedepannya untuk lebih bagus, sehingga
ekspektasi kita operasional mereka kedepannya lebih bagus, profitnya lebih bagus,
dan bertahan kedepannya. Mungkin tidak harus sekarang, ada Wajib Pajak yang
PM nya lebih besar dibandingkan PK, ada lebih bayar PM nya, dia minta
pengembalian pendahuluan, kita berikan uangnya, uangnya bisa digunakan untuk
kegiatan operasionalnya dia, bisnis dia makin maju, profitnya makin maju, gitu, jadi
tax tidak selalu berbicara tentang penerimaan, tapi juga masalah bisnis.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
115

H: Kelemahan dan keunggulan PMK 39/PMK.03/2018 nya apa Pak?


A: Kelemahannya sanksi 100 %, jika diperiksa tapi gasesuai dengan pengajuan LBnya,
dan masih membuka pilihan mau nyontreng atau enggak untuk pendahuluan atas
Wajib Pajak, bagi Wajib Pajak yang ga nyontreng dihimbau untuk memanfaatkan.
Keunggulannya sesuai dengan tujuan, dan dari segi manfaat, dimaksudkan dapat
menunjang penerimaan, sehingga pemeriksa yang bisa lebih fokus pada analisis
risiko dengan harapan terdapat potensi penerimaan yang lebih besar, kemudian dari
pihak Wajib Pajak yang dapat mengajukan restitusi sesuai PMK 39 dapat lebih
cepat memperoleh restitusi sehingga perputaran uangnya bisa lebih bagus.
H: Kelemahan 39 ini sanksi 100% terus nyontreng atau engga, maksudnya?
A: Sebetulnya gini, ketika Wajib Pajak menyampaikan SPT, kemudian dia minta
pengembalian pendahuluan, kita menyarankan dia untuk diperiksa berdasarkan
Pasal 17(1) Undang - Undang KUP, dimana tidak ada jangka waktu pemeriksaan,
tapi prinsipnya dalam SPT itu, Wajib Pajak menunjukan bahwa adanya LB tapi dia
tidak minta dalam bentuk restitusi dan pengembalian pendahuluan nah kalau Wajib
Pajak sama sekali ga nyontreng keduanya itu, kita himbau Wajib Pajak untuk
melakukan pembetulan arahnya apa, supaya Wajib Pajak tau eh kamu LB-nya mau
diapain si, mau minta apa, minta 17B, atau pengembalian pendahuluan, sebenarnya
kita arahkan ke pengembalian pendahuluan saja supaya dia lebih cepat, dan dari sisi
kita juga tidak terbebani untuk melakukan pemeriksaan LB. Kalau dia minta 17C,
D, memang dia ada efek sanksi kenaikan 100% kalau suatu saat dia dilakukan post
audit yang kamu bisa baca di SE 15/2015 tentang kebijakan pemeriksaan, kapan si
sebenernya Wajib Pajak yang sudah diberikan pengembalian pendahuluan bisa
dilakukan post audit, kalau tingkat resiko ketidak patuhan tinggi,kemudian nilai LB
pengembalian pendahuluannya cukup besar, dan itu dilakukannya tidak setiap
tahun, paling 2 tahun sekali, jadi itu tidak semua Wajib Pajak, jadi ada space honest
juga. Itu saya pikir sudah in line. Supaya Wajib Pajak itu udah tau gitu, itu LB nya
mau diapain, ga gantung, memang kalau dia pilih 17 C,D ada isu kenaikan 100%,
tapi kalau emang gaada masalah harusnya gaperlu khawatir si.
H: Masukan terkait pelaksanaan PMK 39/PMK.03/2018 ini menurut BaPak gimana?
A: Tidak adasi, karna udah in-line seperti yang tadi saya bahas.
H: PMK ini udah ada hasilnya belum Pak?

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
116

A: Sudah, bagaimana Wajib Pajak yang mengajukan pendahuluan ini melonjak, jadi
semakin banyak, memang tidak semua Wajib Pajak, tapi ada Wajib Pajak tertentu
yang dia lebih nyaman Pake 17B, contohnya ambil Wajib Pajak yang di LTO,
Wajib Pajak besar itu mungkin likuiditasnya engga terlalu banyak yang pengaruh,
dan dia butuh aspek certainty sebenernya, nah mangkanya meskipun dia LB, dia
masuk Pasal 17B, kemudian nanti diperiksa, kalau dia KB, dia dapet sanksinya.
Kalau pengembalian pendahuluan, kalau dilakukan post audit 100% sanksinya. Ada
hal tertentu yang Wajib Pajak merasa, ah saya pilih 17B ajalah gitu.
H: Ada alternatif kebijakan untuk restitusi dipercepat ini ga Pak?
A: Sebenernya untuk alternatif kebijakan restitusi gaada, ini udah terbaik si, tapi untuk
kebijakan lainnya yang sifatnya likuiditas sifatnya banyak, misal ada SKB untuk
impor dibebaskan gitu, menurut saya. Selebihnya untuk restitusi si gaada.
H: Apa yang ingin dicapai dan dituju Direktorat Jenderal Pajak dalam menderegulasi
ketiga PMK terdahulu tentang restitusi pajak dengan menerbitkan PMK
39/PMK.03/2018?
A: Dengan menderegulasi ketiga PMK terdahulu tentang restitusi menjadi satu
Peraturan Menteri ini maka memperpraktis pembaca dalam memahami aturan
terkait restitusi. Dari segi percepatan terkait proses pengembalian kelebihan
pembayaran pajak, Wajib Pajak yang proses pengembalian kelebihan pajaknya
menggunakan PMK 39/PMK.03/2018 perputaran uangnya juga lebih cepat,
sehingga keberlangsungan usaha Wajib Pajak lebih berjalan lancar. Kemudian dari
sisi pelaksanaan Peraturan Menteri ini oleh DJP, SPT Lebih Bayar yang diajukan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak normalnya akan diproses melalui jalur
pemeriksaan oleh Fungsional Pemeriksa Pajak, tetapi dengan adanya Peraturan
Menteri ini maka diproses melalui penelitian oleh Account Representative,
sehingga memberi ruang yang lebih bagi Fungsional Pemeriksa Pajak dalam
melakukan kegiatan yang lain seperti analisis risiko dan lain-lain. Dimana harapan
akan hal itu dapat menemukan potensi pajak yang lebih tinggi dari kegiatan
pemeriksaan.
H: Implikasi PMK 39/PMK.03/2018 dengan peraturan Direktorat Jenderal Pajak?
A: Setelah diundangkannya PMK 39/2018 ini, penekanannya lebih pada kegiatan
Fungsional Pemeriksa Pajak agar lebih fokus pada kegiatan lain seperti contohnya

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
117

melakukan analisis risiko yang diharapkan mampu mendapatkan potensi pajak yang
lebih tinggi, dan PMK ini juga berhubungan dengan PMK lainnya seperti yang telah
saya sebutkan, mengenai PMK tentang SPT dan yang tadikan.
H: Realisasi PMK 39/PMK.03/2018 dengan Wajib Pajak terkait restitusi pajak?
A: Realisasi PMK39/PMK.03/2018 dilihat dari sisi perbandingan penyampaian
SPTLB yang diajukan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebelum adanya
ini dengan sesudahnya, telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal
ini menggambarkan sebagian dari tujuan disusunnya Peraturan Menteri ini telah
tercapai, yakni banyak Wajib Pajak yang memanfaatkannya.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
118

TRANSKRIP WAWANCARA

Pewawancara : Heni Pratiwi


Informan : Novrijal
: Nusa Gilang Harda Kusuma
Jabatan : Pelaksana Seksi Peraturan KUP dan PPSP
Tanggal : 31 Oktober 2018
Pukul : 13.00 – 13.20 WIB
Tempat : Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak
Keterangan : H : Heni ; N : Novrijal ; N2 : Gilang

H: Saya Heni Pratiwi, mahasiswa Fiskal, Universitas Indonesia. Tema skripsi saya
tentang formulasi PMK 39/PMK.03/2018 tentang restitusi pajak yang dipercepat
Pak, kalau untuk latar belakang PMK ini apa ya Pak?
N: Iyaa, kalau di Undang-Undang KUP itu sendiri kan memang ada 17C, 17D, dan
satu lagi itu yang harus apa, di Undang-Undang PPN ya yang PKP risiko rendah
Pasal 9 ayat (4C). Nah memang yang 9 ayat (4C) ini kan nanti pengembaliannya ini
ikut rumahnya yang di Undang-Undang KUP di Pasal 17C, dan di 17C itu memang
ada WP kriteria tertentu 17C dan WP dengan persyaratan tertentu yang ada di 17D
Undang-Undang KUP. Nah sebenernya pembentukan PMK 39 ini adalah
menyatukan yang tadinya itu ada melalui 3 PMK terpisah menjadi 1 dalam PMK
39 2018. Alasasan deregulasi aturan itu salah satunya kan simplifikasi juga,
daripada orang nanti bingung kan terlalu banyak produk hukum, lebih enak
dijadisatukan juga karena kebetulan memang bentuknya kan ini mirip ya 17C dan
17D Undang - Undang KUP dan 9 ayat (4C) Undang - Undang PPN, daripada
terpisah-pisah semuanya untuk lebih memudahkan membacanya dijadikan satu.
Sebenernya isunya di cash flow kalau kaya ginikan mereka kan cash flow nya
tertahan untuk satu tahun paling enggak ininya, sehingga yang harusnya bisa buat
modal kerja gitukan jadinya cuma-cuma gitu. Tapi kan disini diimbangi juga
apabila ada istilahnya itu yang memang seharusnya tidak dikembalikan Wajib Pajak
mungkin coba-coba gitu kan, ada sanksi disini, 100%.
H: Alasan untuk objek nya itu diperluas apa Pak?

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
119

N: Kalau objek nya itu sendiri kan sudah diatur dalam Undang-Undang ya di 17C,17D,
kalau secara prosedural di peraturan pun kan gaboleh ya namanya PMK itu
memperluas atau mempersempit makna yang ada di Undang-Undang. Jadi apa yang
ada di Undang-Undang itulah yang kita terjemahkan lagi di PMK 39, sehingga
memang intinya itu kan tadi menyatukan itu. Dan disini yah kalau alasannya itu kan
ini berarti kan masalah threshold ya, masalah threshold nah sesuai dengan Undang-
Undang KUP pasal 17 baik itu 17C maupun 17D itukan aturan pelaksanaannya
teknisnya itu diatur dengan PMK. Nah di dalam Undang-Undang KUP di pasal 17C
tidak mengatur masalah threshold nya, tapi yang masuk kriteria tertentu itu yang
gimanasih yang termasuk persyaratan tertentu yang mana. Nah kalau yang
threshold tadi itu kan masuk di 17D ya lebih ya, lebih ke 17D kan. Ya kan, yang
persyaratan tertentu kan. Nah kalau persyaratan tertentu kan disitu memang ada
peredaran tertentu, nah itu memang diatur lebih lanjut di dalam PMK. PMK yang
sebelumnya itu kan ngatur kalau yang PPh itu 10 juta ya kalau yang PPN itu kan
100 juta. Sekarang untuk thresholdnya itu memang di naikan menjadi 10x nya ya,
10 jadi 100 juta kemudian yang PPN itu jadi 1 Miliar. Jadi ya salah satunya itu ya
untuk mempermudah kesempatan bagi Wajib Pajak juga toh. Karena kan
sebenarnya mereka ini membayar nya sudah lebih, istilah nya gitulah. Kan tadi ada
perbandingannya kenapasih dulu waktu pake eeh kalau dia gapake 17C, 17D berarti
kan dia nanti akan ikut mekanisme normal, dimana harus dilakukan pemeriksaan
pajak terlebih dahulu disini kan, padahal mereka ini Wajib Pajak yang istilahnya
kalau sudut pandang kami tuh sebenarnya dia udah kalau ini asumsi kita Wajib
Pajak nya itu ini ya asumsi dengan keadaan ideal ya, dia tuh udah lebih bayar pajak
nya gitu kan, dia tuh udah baik sama negara karena udah udah sampai lebih bayar
pajak, masa kita harus memperlama proses pengembaliannya gitu kan. Berarti kalau
yang kurang bayar malah enak dong nantinya kan, malah bayarnya nanti
belakangan padahal mereka disini udah membayar lebih kenapa mereka gabisa
ngambil hak nya lebih dahulu, sehingga dari pemikirin disitu ya seharusnya
memang untuk yang pengembalian pendahuluan ini harusnya lebih dimudahkan
untuk prosesnya.
H: Setelah keluarnya PMK ini hasilnya gimana Mas dari Wajib Pajaknya, apa restitusi
nya semakin lebih banyak kemajuan nya atau gimana?

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
120

N: Kalau dari segi permohonan, ini jadi nya lebih diproses nya lebih kearah yang 17C,
17D, atau 9 (4C). Jadi kalau yang dulu misalnya ada syarat yang kurang itukan
langsung dialihkan ke dalam pemeriksaan normal, kalau yang sekarang lebih
banyak diarahkan di pengembalian pendahuluan ya. Memang kalau dari segi
permohonan mungkin jadi lebih meningkat disini.
H: Kalau dari sisi teknis atau administrasi ekonomi gitu PMK ini udah pas gitu belom
sih Mas sama Wajib Pajak ? atau Wajib Pajak Masih complain tentang ini kurang
atau gimana gitu.
N: Kalau sampai dengan saat ini aku belum sempet ini yah (tertawa kecil) kalau ranah
yang itu, tapi kalau dari sudut pandang kami melihat regulasi jadi sementara ini
memang masih cukup memadai untuk ini, tapi kalau kita harus ini dulu ya cek di
cek di lapangan dulu, kalau itu aku belum bisa ngomong kalu untuk itu.
H: Siapa ajasi yang langsung turun membuat formulasi PMK 39 ini Pak?
N: Iyah salah satunya karena kebetulan kan kalau untuk ini kan inisiatornya dari
Direktorat Jenderal Pajak yah, untuk kewenangan fiskal nya itu, nah penyusunnya
kebetulan kalau arahnya ini kan kebijakan administrasi ya, bukan ranahnya subjek,
objek, dan tarif. Kalau subjek, objek, dan tarif itu memang melalui BKF
penyusunan prosesnya, tapi karena ini dari segi administrasinya proses prosedurnya
melalui Direktorat Jenderal Pajak sebagai inisiatornya itu sendiri. Pak Andik salah
satu yang turun langsung dalam formulasi ini ada juga Mas Adi.
H: Tapi sebelum ada PMK 39 ini pengajuan restitusinya banyak atau gimana Pak?
N: Kalau secara permohonan gitu ada ya untuk pengembalian pendahuluan ini, tapi
mungkin proses yang sampai terbit SKPPKP ini kan SKPPKP ya. Nah SKPKPP ini
memang proses nya yang sampai SKPKPP mungkin jumlah nya itu memang agak
sangat minim. Karena dianggapnya disini ya tidak memenuhi syarat ini dia
langsung lari ke pemeriksaan untuk terbit SKPLB. Kan dasar pengembalian nya
beda nih yang satu pake SKPLB yang satu lagi Pake SKPPKP
N2 : Untuk data perubahan restitusi sebelum dan sesudah PMK saya email saja ya, dan
jawaban pedomannya juga saya emailkan nanti.
H: Oke Mas, bisa langsung email ke henipratiwi123@gmail.com. Terima kasih
banyak.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
121

TRANSKRIP WAWANCARA

Pewawancara : Heni Pratiwi


Informan : Adi Saputra Marja
Jabatan : Pelaksana Seksi Peraturan KUP dan PPSP
Tanggal : 31 Oktober 2018
Pukul : 13.00 – 13.20 WIB
Tempat : Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak
Keterangan : H : Heni ; A : Adi

H: Jadi Mas latar belakang PMK ini apa Mas?


A: Pertama itu EoDb, jadi pemerintah mencanangkan untuk meningkatkan kemudahan
berusaha, peringkat kita berapa gitu 90an, jadi untuk itu, salah satu regulasi yang
ditingkatkan itu perpajakan, nah itu pelayanan perpajakannya kita benahi, nah ada
PMK 147 tuh tentang pendaftaran NPWP Wajib Pajak sama PKP itu dari 5 hari jadi
sehari, ya dipermudahlah, terus ada PMK 9 setelah itu tentang SPT, jadi
meminimalisir pertemuan dengan Wajib Pajak, jadi lebih mudah kan gitu ya,
dikantor lebih mudah, terus muncul PMK 39 kan urutannya gitu tuh. Tujuannya
untuk meningkatkan likuiditas perusahaan, jadi perusahaan kan selama ini kalau
LB dia bayarnya PM nya lebih besar dari PK misal, atau kredit pajaknya lebih besar
di banding pajak terutang, kan ada LB itu, nah sebelumnya itu dilakukan
pemeriksaan, cuma dibawah 100 juta aja tuh aturan lama, ada Wajib Pajak patuhkan
yang di lakukan penelitian, dan dilakukan dengan restitusi dipercepat. Sekarang kita
naikan tresholdnya 1M, dan PKP berisiko rendah yang 9(4C), dan Wajib Pajak
patuh juga dipermudah. Apalagi pemberlakuan untuk penetapan Wajib Pajak untuk
berisiko rendah tuh lama juga begitu ditetapkan untuk selama-lamanya sepanjang
tidak melakukan perbuatan yang itu dicabutkan. Nah untuk penetapan yang
persyaratan tertentu treshholdnya dinaikan tuh, untuk yang PKP berisiko rendah
juga bisa masuk tuh LB yang 1M itu, jadi gaperlu diperiksa, diteliti, cuma 1 bulan,
itu untuk Badan, 15 hari untuk OP, langsung dibalikin tuh LBnya, kan kalau
pemeriksaan kan maksiman 12 bulan, yakan, jadi tinggal 15 hari atau 1 bulan itu
kan. Nah udah tuh cair ke rekeningnya dia, dan dana itu bisa dipakai dia buat

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
122

usahanya lagi. Itu sih tujuan PMK ini. Alasan deregulasi itu, jadi kalau KUP tuh,
kita lihat di beberapa PMK, sebenernya tuh aturan itu tuntas dibahas di PMK, dan
ada juga bagian tertentu yang dibahas di Perdirjen dan itu pun jarang, bisa mungkin
kita kodikasikan, kita aja pusing gitukan melihat itu banyak aturan, gimana Wajib
Pajak. Jadi kita berusaha 1 aturan atau masih 1 klasterkan, itu jadi 1 PMK saja, terus
mudah bacanya, tuntas dari awal sampe akhir, kalau perlu ada dijelaskan memang
ada Perdirjen, tapi jarang itu. Misalnya masalahnya SPT itukan PMKnya cuma 1
kan, padahal dulu ada 3 untuk UU 94 beda, 2000 beda gitu karna kasusnya misalnya
bisa jadi tahun 94 dulu tapi masih diproses hingga sekarang. Nah, tapi kita gabung,
dan hampir gaada Perdirjennya. Jadi itu si.
H: Dasar pertimbangan 100 juta-1M dan lain-lainnya itu apa?
A: Oh itu, yang dari 10 juta-100 juta-1M ya, jadi itu pertimbangannya ya untuk
UMKM LBnya ya segitulah, jadi tujuannya kan UMKM itu, gimana caranya
likuiditasnya tadi bisa terbantu usahanya dengan pemberian restitusi yang
dipercepat
H: Kalau rangkaian proses formulasinya PMK itu bagaimana Mas?
A: Formulasi atau penyusunan ya, kan kita ada 2 jenis tuh, yang pertama
penyusunannya tuh ada usulan dari atas, ada yang dari bawah, dari DJP itu sendiri.
Kan DJP kan unit vertikal dari Kemenkeu, nah kalau PMK 39 itu usulan dari
pemerintah karna EoDB tadi, lalu Menkeu bilang gimana ni caranya untuk kita bisa
meningkatkan kemudahan usaha, nanti ada di, kalau di PPh kan ada tuh tax holiday
apa lagi tuh. Nah kalau KUP kan dilihat dari administrasinya tuh perpajakannya, oh
itu tadi restitusinya dipercepat. Nah seksi KUP ditugaskan untuk nyusun aturan itu.
Kan kita Subdit KUP nih, bagian dari Dit.PP I. Itu menyusun atas permintaan dari
Kemenkeu, dan kita susun dan usulkan. Nah sudah jadi draft, kita usulkan ke
Kemenkeu. Nah dari Kemenkeu kita juga ada bagian tertentu misal, Dit. PP I
menyusun draftnya, lalu kita membahasnya dengan biro hukum Kemenkeu, nah
kemudian karna ini terkait dengan kemudahan dalam usaha, kita juga berkoordinasi
dengan Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian. Nah, biro hukum setuju,
Kemen.Koordinator Ekonomi setuju, lalu kita bahas juga dengan staff ahli Menteri.
Begitu ok semua, akhirnya diusulkan ke Kemenkeu, untuk ditandatangani ni, begitu
udah ditandatangani, baru pengundangan, pengundang itu kita kirim ke

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
123

Kementerian Hukum dan HAM untuk masuk ke berita negara untuk diundangkan.
Kalau Biro Hukum itu sebenernya kepanjang tanganan dari Kemenkeu, itu
kuncinya untuk melihat aspek legalnya baik formal maupun materialnya, disana ada
biro Hukum Pajak dan Kepabeanan. Biro hukum tuh ada banyak bagiannya kan.
Nah itu tuh partner kita untuk menyusun perundang-undangan level PMK keatas.
Jadi kita dibantu untuk menyusun formalnya, adagasi kewenangan dari atribusi dari
Undang – Undang nya gitu kan, konektivitas dari Undang – Undang ke PMK itu
seperti apa, soalnya kan ada amanahnya tuh, dilihat deh amanahnya udah pas atau
belum. Materi yang diatur udah pas belum, terus sampe bahasa yang digunakan,
legal draftingnya kan itu mereka review juga. Pak Dirjen setuju, sini, untuk
ditandatangani oleh Bu Menkeu, gitu, terus. Baru deh dikirim Kem.Hukum dan
HAM. Tapi sekarang agak beda nih, kalau dulu itu udah setuju semua kalau
sebelum ke Menteri ada yang namanya proses pengharmonisasian, dulu tuh proses
pengharmonisasian itu hanya level PP keatas di Undang – Undang, nah sekarang
sampe PMK pun ada pengharmonisasian dengan hukum dan ham. Nah setelah ada
PMK 39 ini kita ada proses tambahan pengharmonisasian dengan hukum dan ham
sebelum ditandatangani oleh bu Menteri.
H: Untuk pihak yang terlibat itu siapa aja?
A: Kalau aktor yang terlibat secara internal yaitu Dit.PP I sebagai pengampu peraturan
pelaksananya, nanti kita juga meminta pihak direktorat teknis dan pihak
pendukungnya seperti proses binis, jadikan setelah PMK dibuat, proses bisnisnya
udah ada kan, nah itu kita melibatkan dit.TPB, lalu karna ini dikaitkan dengan
penerimaan kita melibatkan Dit. Potensi Kepatuhan Perpajakan, kalau proses
bisnisnya jadi, berati aplikasinya harus ready dan data juga tersedia, nah itu kita
harus melibatkan Dit.TIP dan TTKI. Nanti mereka itu, setelah peraturan jadi,
mereka menyiapkan SOPnya untuk proses bisnis dllnya, TPB juga
mengkoordinasikan data dan sistemnya yaitu Dit.TIP dan TTKI, menyusun
programnya gimana, aplikasi itu meruPakan aplikasi internal. Jadi begitu
SPTLBnya masuk, bisa langsung diproses oleh KPP untuk diterbitkan SKPPKP.
H: Untuk posisi DJP dalam membuat formulasi apa Mas?

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
124

A: Ya semuanya, jadi dari 0, terus draft maupun kajiannya itu dari kita, dan ini tidak
melibatkan BKF. Kalau materialnnya kaya objek subjek dan lain itu, BKF yang
menangani itu. Kalau administrasinya, itu pure ditangani oleh DJP.
H: Adagasi pihak dari Wajib Pajak yang terlibat?
A: Oh Wajib Pajak tidak termasuk, karna kan kita ga membuat baru kan aturannya,
kita disini menambah fasilitas lebih saja, kecuali kalau kita buat baru, baru
dilibatkan. Misal SPT manual jadi e-filling kaya gitu kan engga melibatkan Wajib
Pajak, justru fasilitas itu membuat seneng Wajib Pajak kan, tidak membebani
kewajiban perpajakan, gitusi.
H: Timeline rapatnya kapan aja Mas?
A: Tergantung sih, sehari juga bisa, kalau ini sekitar 2 bulan lah.
H: Faktor pendukung PMK ini apa Mas?
A: Karna sebenernya kita cuma mau nambah fasilitas, mau memberi kemudahan, jadi
kita lebih cepet, karna ini fasilitas kan, mempermudah Wajib Pajak.
H: Kalau penghambatnya?
A: Gaada si
H: Sudah sesuai sama asas perpajakanya ga?
A: Karna ini amanah dari Undang – Undang Perpajakan, ini sesuai dengan asas
perpajakan. Kalau kita lihatnya diantaranya dari economic of policy, dan equity.
Kalau kita lihatnya kan kita lihat dari LB gitusi, kalau dari economic of policy kita
mau ningkatin penerimaan negara, karna kan selama ini kaya gini kan dipriksa, jadi
pemeriksa sibuk urusin LB gini kan, yang jelas Wajib Pajaknya udah patuh kan,
dan biasanya Wajib Pajak yang nyampein restitusi udah siap diperiksa, dan hampir
sama sekali gaada temuannya, nah makanya ini hanya dilakukan penelitian oleh
AR. Nah ini si fungsional pemeriksa, kita kan punya beban tugas kan, yang tadinya
ada pemeriksaan banyak, jadi kosongkan atau ideal capacity. Nah kita masukin
Wajib Pajak yang selama ini kita tidak pernah sentuh. Karna pajak itu saling
menyentuh kan. Kalau selama ini Wajib Pajak gapernah disentuh, gaada
pemeriksaan, dia akan terus kan ga patuh gitu. Tapi kalau udah disentuh, ada
pemeriksaan sanksi dan lainnya, dia kan akan patuh kan kedepannya. Mangkanya
disitu, kita mau cross tu, antar pemeriksaan yang LB dengan yang berisko rendah
dengan pemeriksaan untuk analisis resiko. Jadi Wajib Pajak yang ga LB dengan

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
125

penelitian itu lebih difokuskan. Jadi gapapa kita mau meneliti dan mengeluarkan
uang lebih dari sisi economic of collection, yang penting kita bisa mengumpulkan
Wajib Pajak yang sebenernya selama ini gapernah kita periksa dan selama ini
gapatuh, gitu. Jadi memenuhi tu. Dan ini juga memenuhi kemudahan. Selain itu, ini
juga berdasarkan kepastian hukum, karna ini meruPakan amanah dari Undang –
Undang Perpajakan.
H: Keunggulan PMK ini apa Mas ?
A: Bagi Wajib Pajak jadi lebih mudah, bagi kita, kita tidak terbebani dengan
pemeriksaan LB yang rendah, tapi kita bisa periksaan yang lain.
H: Kelemahannya?
A: Ini masih butuh pengawasan yang lebih, jangan sampai, kan selama ini Wajib Pajak
yang menyerahkan LB itu siap diperiksa, jangan sampe attitude-nya karna
gadiperiksa itu jadi ah biarin aja mencoba untuk tidak patuh, dan mendapat
pendahuluan yang tidak seharusnya. Itu si. Jadi yang perlu dikontrol itu
pengawasannya. Dan pemeriksaan itu sebenernya udah diatur di SE 15 si bahwa,
Wajib Pajak itu nantinya bisa diperiksa di post audit.
H: Implikasi PMK ini dengan aturan DJP lainnya apa mas?
A: Implikasinya itu, ini kan proses entry dan ending. Entrynya kan ini awalnya melalui
SPT kan, dan SPT itu kan diatur sendiri di PMK 9, kalau restitusi PMK ini kan
kalau OP 15 hari kan, diliat dari implikasinya itu, penanganan SPTnya kalau PPN
relatif udah baguslah, karna kan sistemnya kan udah ada e-filing, kalau PPh tuh
ada dua, ada yang langsung masih manual SPTnya kan, kalau manual ga Masalah,
nah kalau Masih ada post, bayangin kalau 15 hari, tanda terima post itu adalah
tanda terima SPT yang diterima dan kalau lengkap, itu tanda SPT lengkap itu
diketahui sejak tanda terima post itu, sedangkan kita harus memproses selama 15
hari sejak tanda terima post tadi bisa jadi diterimanya itu bisa jadi diterima kita udah
lewat atau hanya sisa beberapa hari dan kita gabisa melakukan penelitian itu, yang
jadi hambatan untuk entry point itu. LB Masih bisa Pake post. Selain itu, yang jadi
kelemahan di KPP itu. “Wah udah lewat nih, tapi Wajib Pajak SPTnya juga
lengkap,” lah gimana kita teliti. Nah kan berarti harus langsung terbitin SKPPKP
dong, nah itu. Tapi kan gaadil buat kita dan Wajib Pajak. Gaadil buat Wajib Pajak,
karna SPTnya ga dicek loh, yakan, barang kali Wajib Pajak salah, sanksinya kan

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
126

gede, 100% gitu. Wajib Pajak akan menerima sanksi setelah diperiksa kalau
memenuhi hal tertentu atau post audit, bisa dilihat di SE 15 tentang kebijakan
pemeriksaan, itu bisa menyebabkan Wajib Pajak udah mendapat pendahuluan
diperiksa. Itukan misalnya Wajib Pajak LB nya gede banget, tapi itu top down ya,
nanti Kanwil menugaskan itu bisa diperiksa, jadi bukan bottom up sistemnya. Atau
bottom up cuma usulan aja, bahwa ini ditemukan data kecurangan atau
ketidakbenaran dari Wajib Pajaknya, kaya kan PK PM kan, kita cuma cek aja kan,
PM nya sudah dikreditan belum, nah PM kan yang boleh dikreditin ketentuannya
bukan cuma setelah dilaporkan aja kan ketentuannya gitu, setelah itu juga harus
sesuai dengan kegiatan usahanya. Ending point, sebenernya gaada masalah si,
setelah SKPPKP terbit, berarti terkait dengan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak, PMK 242 kalau gasalah.
H: Hasil PMKnya ini udah ada belum Mas?
A: Kalau hasil nanti Januari baru dapat dilihat karna kan, ini kan menggantikan antara
LB rutin yang dilakukan pemeriksaan dengan pemeriksaan analisis resiko, untuk
yang KB dan nihil kan ya. Pemeriksaan kan rata-rata diselesaikan dalam jangka
waktu 6 bulan kan, nah ini efekttif kan berlaku Mei, ya Juni lah ya, berarti bisa
dilihat nanti hasil dari pemeriksaan analisis resiko itu sekitar Januari atau Februari
baru bisa kita lihat gitu loh. Kalau sekarang kan berarti masih ada pemeriksaan yang
berjalankan, yang digantikan oleh penelitian LB ini gitukan.
H: Formulasi ini sebelumnya ada kajian ga?
A: Kajian ya biasa aja si, yaitu sambil berjalan. Kan kita libatin TIP gitukan, jadi kita
bisa lihat datanya.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
127

TRANSKRIP WAWANCARA

Pewawancara : Heni Pratiwi


Informan : Dony Olfa Wijaya
Jabatan : Kepala Seksi Peraturan PPN Industri
Tanggal : 14 November 2018
Pukul : 08.00 – 09.00 WIB
Tempat : Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak
Keterangan : H : Heni ; D : Dony

H: Saya Heni Pak, jadi skripsi saya membahas tentang formulasi PMK
39/PMK.03/2018, jadi latar belakang PMK ini apa ya Pak ?
D: Sebenernya kita sedang memperbaiki layanan, kenapa ini digabung, sebenernya
untuk memudahkan Wajib Pajak untuk memahami, karna kan kelompoknya sama
kan, PMK 39 itu kan gabungan dari PMK 71, 74, sama 198 ya, itu kan
membicarakan tentang pendahuluan, tapi dasar pasalnya yang berbeda, nah supaya
untuk lebih memudahkan membaca, dan memahami, mangkanya dijadikan satu.
Kalau misalkan dipisah-pisah kan kemungkinankan miss nya ada. Kalau disatukan
kan jadi lebih mudah. Ini yang memahaminya Mba. Nah, layanan apa sebetulnya,
belakangan ini kan ekspor kita agak sulit ya, apalagi adanya perang dagang
Amerika-Cina, ini imbasnya ke kita. Sebetulnya di PPN sendiri, eksportir kita kalau
tidak diberikan fasilitas, dia akan mendapatkan pengembaliannya lebih lama. Oleh
karena itu, dari kriteria sebelumnya, kita melihat lagi sebelumnya yang bisa kita
bantu untuk mendorong pengembalian apasi. Itu lah dasar PMK 39 ini. PMK
sebelumnya kita ubah menjadi PMK 39 ini, itu si Mba. Selain itu untuk mendorong
UMKM juga, kan kalau untuk 17D kan sekarang threshold kita 100 juta kan untuk
itu, ternyata banyak UMKM ini yang peredaran usaha ya cuma itu, tapi marginnya
kecil sebetulnya, untuk itu kita bantu dengan tingkatkan threshold-nya jadi 1M tadi.
Tapi terutangnya udah ada berapa si kira-kira spending kita untuk mengeluarkan
restitusi dalam1 tahun dengan trend beberapa tahun terakhir sebenernya udah
keliatan, seperti itu.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
128

H: Kalau dasar pertimbangan-pertimbangan perluasan PPN itu apa Pak?


D: Nah itu sebenernya dari analisis resikonya, kita sebenernya bisa liat, sebetulnya
Wajib Pajak manasi yang sebetulnya resikonya tidak terlalu tinggi, nah urusan
restitusi ini kan sebetulnya udah cenderung ketat ya, mangkanya kita berani dari
40% sekarang kita perluas, nah biasanya Wajib Pajak ini yang settle Mba, yang
jelas profilnya, jelas transaksinya, berapa modal, berapa biaya udah jelas juga. Jadi
kita lihat resikonya, kalo kita liat Pasal 9 Undang – Undang PPN, secara alamiah
Wajib Pajak pasti restitusi dan secara mitigasi resiko itu juga jelas untuk eksportir
misalnya. Ini kan sudah temen-teman DJBC yang mengawasi. Untuk menjalankan
pemungut ini juga sistemnya sudah jelas, untuk PPN yang tidak dipungut juga udah
jelas. Mangkanya kita berani buka perluasan restitusi PPN itu. Jadi resiko kesana
ketika dia secara formal patuh. Dari mana asal restitusinya, ini kita bisa tracking.
Kejelasan restitusinya lebih terukur resikonya.
H: Untuk tujuan PMK 39 ini apa Pak?
D: Tujuannya untuk mempermudah dan membantu UMKM, mempercepat
pengembalian restitusi kepada eksportir, tujuan kita si sebenernya kalo eksportir
biar dapat cash lebih cepat, nantikan ekspor akan lebih banyak lagi, seperti itu. Kalo
kita liat skema PPN di pasal 9, sebenernya mereka ini secara alamiah pasti LB gitu.
Nah memang kita batasi hanya untuk produsen ya, apakah dia produsen BKP atau
JKP, ya karna hanya dua jenis usaha ini yang secara profiling itu kita bisa pastikan
resikonya rendah. Untuk trading kita masih agak ragu, tapi untuk dua itu yang
produsen, tempat usahanya pasti jelas, usahanya juga jelas, tracking ke person-nya
lebih mudah dibandingkan dengan trading.
H: Bagaiman proses formulasinya Pak ?
D: Sebetulnya formulasinya ya sama dengan proses PMK lain, biasanya kita ada
kajian, lalu kita mulai kumpulkan permasalahannya apasi, yang jadi hambatan dulu
program ini gajalan apasi, dulukan di PMK yang lama diaturan pelaksananya ada
analisis resiko, itu biasanya hasilnya macem-macem karnakan kita banyak kantor
ya, mungkin banyak pegawai kita yangg melihat bahwa yang tadinya Wajib Pajak
tidak berisiko jadi beresiko. Nah mangkanya syarat ini kita hilangkan. Artinya,
sepanjang lawan transaksinya sudah melaporkan pajaknya, intinya kan dia udah
bayar pajaknyakan, mereka bisa memperoleh pengembalian. Mangkanya kalau

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
129

Mba liat skemanya, yang kita bisa liat ya itu. Kalau misalnya lawan transaksinya
belum bayar, mangkanya dia gabisa mendapat pengembalian. Memang ini agak
sedikit berbeda dengan pemeriksaan. Kalau pemeriksaankan disana kita liat lagi di
Pasal 9 ayat 8 Undang – Undang PPN, mana PM yang bisa dikreditkan mana yang
tidak, seperti yang terkait kegiatan usaha, yang tidak terkait dengan kegiatan usaha,
yang PM yang ada sebelum dia dikukuhkan. Karna ini sifatnya pendahuluan, ini
kan belum kita lihat, kalau ada pemeriksaankan kita bisa liat itu, tapi sebetulnya
secara compliance, Wajib Pajak yang selama ini minta restitusi pun berdasarkan
data yang ada, mereka compliance. Ketika Wajib Pajak berani untuk minta restitusi,
artinya mereka siap untuk diperiksa, dan biasanya datanya lengkap. Semuanya
mereka sudah compliance, mangkanya kalau kita liat refund discrepancy
pemeriksaan, selisih antara yang diminta dengan yang di berikan itu biasanya
rendah. Wajib Pajak yang rutin meminta pengembalian ketika diperiksa, itu
selisihnya paling 3% dari yang diminta. Artinya kalau diminta 100, kan yang
dibalikin bisa 97, 98, nah 2% itukan terkait administratif. Mangkanya analisis
resiko ini kita geser ke pemeriksaan saja, sementara kita berikan dulu, nanti kalau
saat pemeriksaan baru kita liat sesuai tidak.
H: Siapa aja Pak kalau pihak-pihak yang bikin formulasi ini?
D: Ini kan lebih ke administrasinya kan, tata cara, jadi ada Subdit KUP, PPN, tapi
galepas dari sistem juga, jadi akan terkait dengan Staff ahli Menteri, Biro Hukum,
dan lainnya umum. Tapi kalau di DJP, Subdit KUP dan PPN yang menjadi
konseptornya. Secara normalnya, kalau kita buat peraturan terkait subjek, objek
tarif, kita harus melibatkan BKF, tapi kalo lebih ke administrasi, itu kita lebih ke
DJP, dan PMK ini lebih ke tata cara, tidak ada perluasan subjek baru, objek, tarif
baru, jadi mangkanya bisa diserahkan ke DJP internal saja. Kalau DJBC secara
tidak langsung, kita melihat juga ke DJBC bahwa, DJBC juga melakukan mitigasi
resiko terhadap Wajib Bea, mangkanya ada MITA sama AEO dan melihat bahwa
ini sudah baik, sebenernya kita cukup pahami saja aturan mereka, mangkanya kita
bisa address kesana, bahwa MITA sama AEO itu bisa dikategorikan sebagai PKP
resiko rendah. Mangkanya keterlibatan mereka nanti terkait dengan pelaksanaan,
kita minta bantuan mereka untuk mem-provide data, mana Wajib Bea mereka yang
masih mendapat status sebagai MITA atau AEO, kalau itu dicabut, ya kita akan

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
130

mencabut juga dari PKP berisiko rendah, cuman keterlibatan dalam penyusunan
PMK ini secara tidak langsung. Artinya jangan sampai mereka mengaddress
mereka itu sebagai resiko rendah, sementara kita menganggap mereka itu sebagai
resiko tinggi. Jadi supaya sejalan aja. Sebetulnya daftar yang mereka tetapkan kan
gaada, tapi dari mitigasi yang mereka lakukan kan kita juga bisa tau kan, gitusi mba.
Nah yang terkait di DJP internal itu ada TPB, karna proses bisnisnya secara internal
ketika ada perubahan regulasi, TPB harus memikirkannya. Bagaimana di KPP
melayani Wajib Pajak, ini kan ada prosedurnya, dengan adanya PMK baru mereka
harus liat apa aja yang harus diubah. Kedua, pasti, TTKI, karna ini murni
mengandalkan sistem disini, jadi gaada lagi konfirmasi online, server kita segala
macemkan agak lama untuk mem-provide data, nah ini harus diperbaiki, dan TIP,
terkait pemulihan sistemnya, jadi TTKI dan TIP pasti terkait ketika mempengaruhi
sistem dan prosedur, gitu si mba. Jangan sampe PMK terbit, tapi sistemnya belum
bisa mengakomodasi. Jadikan nanti bisa jadi pelayanan terganggu. Wajib Pajak
juga sulit mendapatkan haknya gitu. Oh ya, Humas juga terlibat juga, ini kan baik
kan untuk Wajib Pajak mengetahui PMK ini, nah ini baik gitu untuk di announce,
ini ada Humas disini. Ketika mereka sosialisasi dengan asosiasi dan Wajib Pajak
lain tentang PMK ini, ini tugas Humas gitu. Jangan sampe ada hal baru mereka
malah gatau gitukan.
H: Adagasi Pak keterlibatan dari Wajib Pajak sendiri saat formulasi PMK 39?
D: Sebetulnya keterlibatan Wajib Pajak secara tidak lansgung, artinya ketika ada
hearing dengan Wajib Pajak, kita udah nampung gitu, nah suara-suara itu yang kita
adop, dan kita juga menerima surat-surat tentang permasalahan mereka, ada yang
kesulitan restitusilah, ada apalah. Nah itu si.
H: Posisi dan peran DJP dala PMK 39 apa Pak?
D: Sebagai konseptor. Ini asalnya dari akhir tahun 2017, bu Menteri bertanya, apa yang
bisa kita bantu untuk memudahkan ekspor, salah satunya restitusi, nah sebenarnya,
kita melihat ada kemungkinan dan ruang untuk memperbaiki PMK kita tentang
restitusi ini.
H: Ada kajian dulu gasi Pak dalam formulasi ini?
D: Ada, jadi setiap peraturan itu kita eval, jangan sampai peraturan yang berlaku sudah
ditetapkan, tapi gabisa diiimplikasikan. PMK terdahulu kita bisa liat, kenapa si,

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
131

semuanya kebanyakan dialihkan kepemeriksaannya, sedikit sekali yang


menggunakan mekanisme pendahuluan. Padahal ini menarik sekali dibandingkan
harus nunggu 12 bulan kan, lebih menarik 1 bulan. Ada masalah apa ini. Gitusi.
Jadi setiap aturan kita eval terus, hambatannya dimana, masalahnya apa. Kalau
udah ada masalahnya baru kita formulasi. Nah ini juga akan kita eval ni, satu tahun
kedepan mungkin, dampaknya gimana baik internal atau eksternal. Kalau ada
masalah kita akan ubah mungkin, kalau udah sama kita gaakan ubah.
H: Perumusannya berapa lama?
D: 2 bulanan.
H: Apa aja Pak faktor pendukung dan penghambat PMK 39/2018 ?
D: Pendukung, sebenernya banyak, kondisi perekonomian yang sekarang
mengarahnya kesana, brenchmark kita dengan negara yang lain kita termasuk
cepat, sepanjang kita bisa mengidentifikasi mana PKP yang berisiko rendah. Kalau
di negara lain itu biasanya di Korsel, Vietnam, mereka bisa mendapat pengembalian
pendahuluan itu bisa dalam tempo hari, khususnya di Korsel, karnakan sistemnya
udah bagus. Mereka bisa meyakinin bahwa si Wajib Pajak ini berhak mendapatkan
haknya karna pelaksanaan kewajibannya sudah bagus. Mereka sudah menggunakan
cash receive system. Jadi semua transaksi itu sudah ada data-data transaksi yang
terakumulasi di kantor pajak. Mangkanya mereka bisa menciptakan sistem yang
demikian cepatnya, nah, kita mencoba untuk melihat itu. Jangan sampai bisnis itu
terhalang oleh sistem perpajakan, karna kan pajak ini engga untuk mengatur proses
bisnis, bagaimana proses bisnisnya seperti apa silahkan. Tapi, jangan sampai
menghalangi Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajibannya dan menghalangi
haknya, nah itu faktor pendukungnya seperti itu, justru kondisi sekarang
mendukung. Nah kalau penghambat, kita mungkin agak kesulitan untuk
mempropose datanya, karna sistem kita, belum sekuat di negara lain, mangkanya
kita mau mengandalkan aplikasi PK PM misalkan, semua data faktur pajak, semua
data pelaporan dan pembayaran, itu kan di buat sistemnya di DJP. Untuk
mendapatkan pengembalian pendahuluan, kitakan harus pastikan lawan
transaksinya sudah lapor. Kemungkinan karna dalam keterbatasan sistem kita
providing data kita agak lama. Nah ini bisa jadi penghambatnya. Tapi bukan berarti,
si Wajib Pajak tidak berhak mendapatkan pengembalian, karna di PMK 39, yang

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
132

mana yang ada di sistem, misalnya Wajib Pajak minta pengembalian 100, nah
sekarang itu mungkin tersedia yang ada disistem baru 70, berarti dia masih bisa
pengembalian pake surat sendiri atas sisanya. Kalau dulu kan engga, kalau minta
100 dan data yang tidak tersedia di sistem itu bisa langsung dialihkan
kepemeriksaan. Dia akan menghadapi pemeriksaan yang jangka waktunya lama,
kalau sekarang kan engga.
H: Mekanisme pengembalian pendahuluan di PMK 39 ini bagaimana si Pak?
D: Sederhana, pastikan lawan transaksi dari PKP sudah melaporkan SPT, sepanjang
sudah melaporkan, dia bisa mendapatkan pengembalian. Ada Wajib Pajak yang
butuh penetapan, ada juga yang tidak. PKP berisiko rendah dan Wajib Pajak patuh
butuh penetapan, tapi kalau Wajib Pajak persyaratan tertentu kan engga. Kalau yang
ditetapkan tadi kan bakal kita tetapkan sepanjang memenuhi persyaratan tadi, tapi
yang tidak butuh, langsung aja, misal nilai LBnya dibawah threshold dia langsung
bisa menyontreng, kalau ada SPTLB, dia dapat meminta pendahuluan atau restitusi
dengan pemeriksaan. Kalau restitusi pakai 17B dilakukan pemeriksaan, tapi kalo
pendahuluan langsung di proses. Permintaannya pun mudah, kita hanya
memastikan bahwa lawan transaksinya tuh udah lapor, kalau udah lapor, kita akan
mengembalikannya sesuai yang diminta. Sederhana sebetulnya, cukup 1 bulan.
H: Penetapannya itu sendiri gimanasi Pak ?
D: Penetapannya itu ada perbaikan sebenernya, dulu Wajib Pajak patuh itu ditetapkan
oleh Kanwil, dan PKP berisiko rendah ditetapkan oleh KPP, nah di PMK 39
berubah, semuanya bisa ditetapkan di KPP. Karna ada beberapa daerah yang KPP-
nya beda lokasi dengan Kanwil. Jadikan butuh koordinasi juga. Sementara yang
mengetahui Wajib Pajak ini kan KPP-nya, mangkanya kita arahkan semuanya di
KPP.
H: Perbedaannya apasi Pak dengan PMK dulu selain threshold?
D: Untuk Wajib Pajak patuh ini hanya bisa meminta permohonan diawal tahun, karna
ada syarat harus bebas utang sampe maksimal 1 tahun terakhir, sementara PKP
berisiko rendah bisa kapan aja, untuk berlakunya PMK 39, karna ini peralihankan,
mereka yang sudah ditetapkan sebagai PKP berisiko rendah, tidak ditetapkan
kembali, nanti sisanya ini akan dicabut kalo ternyata PKP-PKP ini sudah tidak
memenuhi syarat jadi PKP berisiko rendah. Ini berbeda kan sama yang lama. Kalau

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
133

yang lama kan 2 tahun, dia harus minta lagi, nah ini juga ternyata dalam praktiknya,
ini bermasalah, karna contoh saya kemungkinan dikukuhkan tahun ini, 2 tahun lagi
mungkin lupa, saya masih ini gaya, akhirnya kelewat, akhirnya ngajuin lagi dan
lagi. Apalagi Wajib Pajak patuh, saya harus nunggu awal tahun depan, gitukan, nah
ini yang diubah oleh kita, ini ga EoDB. Oleh karna itu di PMK 39 ini, masa
berlakunya sampe dengan dicabut. Kalau memang sudah tidak memenuhi syarat,
bisa dicabut. Sisanya ya masih sama, yang beda masalah pencabutan sama
disampainya kemana itusi berubah. Kalau secara formulasi, dulu ada analisis resiko.
KPP gaada lagi melakukan analisis itu, selama ini KPP melakukan analisis resiko
dan melihat bahwa mereka masih ada resiko, nah karna itu, pendahuluan ini
bergeser terus ke pemeriksaan. Dengan adanya ini, semakin banyak yang ngajuin
dan makin banyak juga yang dikabulkan.
H: Adagasi Pak kesesuaian PMK 39 dengan asas perpajakan?
D: Kalau ini lebih memberikan kepastian hukum si, tentang pelayanan dan pemberian
hak-hak ke Wajib Pajaknya, lebih ke asas ease of administration juga. kalau
kepastian hukum, pastinya iya, karna ini hanya melaksanakan Undang – Undang
Perpajakan kan, pelaksananya nanti di KPP, jadi kepastian hukum sudah ada disana,
jadi gaada masalah.
H: Apa aja si Pak keunggulan dan kelemahan PMK 39 ini?
D: Jadi gini, sebetulnya secara internal, tujuan PMK 39 ini mengurangi ruang
pemeriksaan, kalau sementara seluruh pengembalian lewat pemeriksaan sementara
kita tau itu Wajib Pajak yang compliance, patuh ya, dan refund dis itu rendah, kita
dibebani pemeriksaan rutin yang sebenernya hasilnya tidak berbeda yang diminta
oleh Wajib Pajak. Kelemahanya mungkin ada beberapa di pendahuluan, kita tidak
bisa melihat PM-PM mana yang bisa dikreditkan, nah ini yang nanti harusnya
diperiksa. Ini si menurut saya kelemahannya. Karna suatu saat pemeriksaan juga
akan diperiksa juga gitu, jadi hanya digeser aja waktunya, jadi kalau untuk
mengurangi waktu pemeriksaan ini masih belum bisa dipastikan. Karna kita juga
berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan, dan juga melakukan pemeriksaan
sama Wajib Pajak yang sudah mendapat pendahuluan. Bukan berati gadiperiksa
sama sekali pendahuluan, ini untuk menguji apakah sudah sesuai dengan 9 ayat 8
Undang – Undang PPN itu, tapi apakah nanti pemeriksaannya hanya menggunakan

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
134

metode sampling aja, saya nantinya gatau, karna itu PP II kan, bukan dikami, nah,
ini bisa kita atur lebih lanjut bagaimana cara meriksanya supaya tujuan internal itu
bisa kita capai. Keunggulannya berdasarkan data kita, yang manfaatin ini tuh
banyak sekali, yang minta dengan proses ini tajam sekali, artinya dengan
peningkatan threshold, Wajib Pajak yang dulunya diperiksa, sekarang udah bisa
manfaatin ini. Memang adanya kekhawatiran bagi kami bahwa akan mengurangi
penerimaan secara keseluruhan. Tapi ini kembali ke hak Wajib Pajak kan, apakah
mereka akan menerima pngmbalian sekarang atau tahun depan kan, mereka akan
terima. Apabila tahun ini mereka mendapat pendahuluan, kedepannya sudah akan
terjadi keseimbangan, tidak akan mengurangi penerimaan yang gimana-gimana
kok.
H: Implikasi aturan ini dengan peraturan DJP lainnya apa Pak?
D: Implikasinya bisa pada aturan SPT gitu-gitusi, tapi untuk implikasi aturan ini DJP
sendiri ada kekhawatiran dilevel bawah, penerimaan perpajakan ini kan kita selalu
hitung neto. Nah neto dengan pemeriksaan biasanya karna waktunya agak lama,
pengembalian itu yang tadinya diminta oleh Wajib Pajak tahun ini, mungkin bisa
diterimanya tahun depan. Nah, dengan PMK ini, Wajib Pajak bisa menerima
pengembalian dulu. Tapi ada kekhawatiran bahwa pengembalian ini menggerus
penerimaan, meskipun ga terlalu. Sebenernya udah dihitung si sebenernya berapa
spending kita untuk pengembalian ini. Kekhawatiran ini sebenernya gaperlu.
Implikasinya si normal.
H: Ada gasi Pak alternatif kebijakan lain untuk restitusi selain pendahuluan ini?
D: Sebenernya si belum ada, saya mandangnya ini kebijakan yang terbaik. Tapi kan
proses bisnis berkembang kan, jadi nantinya bisa terpengaruh juga kebijakan ini.
H: Oh iya Pak, ada gasi sosialisasi PMK 39 ini?
D: Sosialisasinya udah banyak Mba, ada via radio, televisi, di asosiasi-asosiasi,
eksportir, dan lainnya terkait usaha ini udah di sosialisasikan.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
135

TRANSKRIP WAWANCARA

Pewawancara : Heni Pratiwi


Informan : Prof. Dr. Gunadi ,M.Sc., Akt
Jabatan : Guru Besar Tetap Perpajakan FISIP Universitas Indonesia
Tanggal : 5 November 2018
Pukul : 13.10 – 14.00 WIB
Tempat : Jln.S. Parman Kav 37B
Keterangan : H : Heni ; PG : Prof. Gunadi

H: Saya Heni Pratiwi, mahasiswa fiskal 2015. Tema skripsi saya tentang formulasi
PMK 39/PMK.03/2018 tentang restitusi pajak yang dipercepat Pak. Sebenarnya
pihak yang harus terlibat siapa aja Pak?
PG : Ya sulit sebenarnya, DJP sebenarnya tidak berwenang karena DJP hanya berperan
dalam pelaksana eksekutor. Sebenarnya yang berwenang adalah pihak BKF. Masa
sebagai pelaksana membuat aturan sendiri, itu tidak boleh. Jadi harus terpisah
antara eksekutor, legislator, dan yudikasi. Sebenarnya DJP hanya sebagai pelaksana
aja yang bener, bukan membuat peraturan. Kalau pelaksana membuat aturan kan
bisa jadi nanti ada kecenderungan mereka melindungi apa aja kan yang ditulis
dalam peraturan yang mereka buat. BKF sebenarnya lebih berhak dibanding DJP.
H: Kalau tahap formulasi yang benar itu tahapnya bagaimana si Prof?
PG : Jadi yang membuat aturan perpajakan sebenarnya dari BKF, pelaksana DJP kalau
aturannya kurang jelas atau kurang apa gitu.
H: Apakah dari peraturan itu juga ada hubungannya dengan Biro Hukum Kementerian
Keuangan Prof ?
PG: Biro Hukum Kementerian keuangan sebenarnya bertujuan untuk
mengharmonisasikan peraturan lain. Sebenarnya dalam Undang – Undang KUP
untuk wajib pajak kriteria tertentu sebenarnya ini yang membuat aturan hanya pihak
DJP saja, tidak ada hubungannya dengan Kementerian Keuangan, karena dalam
pasal 17 C ayat 1 sendiri itu tentang menerbitkan SKPPKP dengan kriteria tertentu
itu DJP aja sebagai pihak operasionalnya yang terbitin, jadi udah di perintah dalam
Undang – Undang KUP itu sehingga Menteri keuangan tidak diperintahkan lagi,

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
136

sehingga ngapain Menteri Keuangan membuat PMK itu. Kalau ada campur tangan
Kementerian Keuangan seperti untuk menentukan DPP-nya apa aja itu sebenarnya
hanya untuk memperlama saja terkait birokrasi ini. Ini kan bener-bener operasional.
DJP dapat melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, yang dijelasin lagi di
Pasal 17C ayat 2 ini. Yu cek ga ada sesuatu yang berbeda dalam PMK ini sama
peraturan sebelumnya?
H: Kalau untuk Wajib Pajk kriteria tertentu sebenarnya objeknya masih sama Prof, tapi
bedanya salah satunya itu kalau dulu penetapan dengan restitusi dan permohonan
restistusi Wajib Pajak kriteria tertentu tidak bisa memilih pasal 17B atau pasal 17C
Undang – Undang KUP, kalau sekarang bisa Prof. Untuk persyaratan tertentu dan
PKP berisiko rendah salah satunya objek pengajuan restitusi diperluas.
PG : Sebenarnya dalam Undang – Undang KUP sendiri kan ga mengatur tentang hal itu.
HG : Menurut Prof Gun tanggapan formulasi PMK ini bagaimana?
PG : Ya sebenarnya ini hanya kemauan mereka aja untuk kepentingan operasional DJP,
dengan memperluas objek dan lainnya. salah satu contoh di pasal 17C ayat 2 ini
kan ada kata “meliputi” bukan termasuk, nah meliputi itu udah segala sesuatunya
ini gitu tentang kriteria tertentu, kalau “termasuk” beda lagi ceritanya. sebenarnya
jangan ditambah lagi syarat kriteria tertentu di peraturan pelaksana. Disini gaada
tambahan gitu kan di KUP. Sebenarnya mereka hanya malas saja untuk melakukan
pemeriksaan dengan memfasilitasi restitusi tersebut dengan adanya PMK itu.
HG : Kalau restitusi pajak sebelum dengan adanya pendahuluan ini dengan adanya PMK
ini gimanasi Prof?
PG : Restitusi itu kan dulu sama dikasih ketiga kriteria itu, jadi mereka ga kerja secara
all out, cuma kerjain yang kecil. Pasal 17C beda sama 17D. Kalau 17D Wajib Pajak
dengan persyaratan tertentu, nah disini batasan jumlah dan lainnya diatur dalam
Menteri Keuangan, nah itu kalau 17C patuh, ukuran patuhnya dalam
menyampaikan SPT nah ini otoritas perpajakan. Mangkanya dikasih contoh yang
dimaksud patuh itu apa di Undang – Undang kan.
H: Menurut pandangan Prof Gun dengan adanya PMK ini bagaimana?
PG : Sebenarnya ini untuk mempermudah pelayanan, karena pelayanan sebenernya kan
sas itu kita memberikan kepercayaan pada Wajib Pajak, timbulnya trust pada Wajib

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
137

Pajak, yang menimbulkan Wajib Pajak juga trust ke pemerintah, jadi kalau tidak
ada bukti yang ditemukan, jangan diterbitin SKPKB, karena SKPKB sekaligus
sebagai hukuman. Jadi SKPKB itu udah nunjukin adanya ketidak patuhan, bukan
kemauan dari sas. Sas itu untuk tujuan voluntary compliance, adanya kesadaran
sendiri dari Wajib Pajak.
H: Jadi pandangan menurut Prof Gun dengan adanya PMK ini itu akan menimbulkan
trust Wajib Pajak karena adanya kemudahan dalam pelayanan adm ya Prof?
PG : Iya. Harus diberikan kepastian hukum juga.
H: apakah PMK ini sudah sesuai dengan asas ease of administration ?
PG : Iya, iya itu lain cerita. Kalau PMK ini lebih ke pastian hukum. Jadi kalau restitusi
itu gadibalikin dan tidak ada kabar berati kan retitusi itu dianggap dikabulkan kalau
lebih dari waktu pengembalian restitusi dalam Undang – Undang, seperti dalam
Pasal 17B, kalau lebih dari 12 bulan berarti diterima atau dikabulkan restitusinya.
H: Kalau dulukan Prof, kalau ga sesuai dengan Wajib Pajak kriteria tertentu dan
kriteria lainnya kan bakal dialihin ke pemeriksaan ya Prof.
PG : Gini, sebenarnya yang kaco itu sekarang ini kan udah zaman digitalisasi, tapi ini
sistemnya masih personal atau manual belum digitalisasi. Sebenarnya program
aplikasi itu masih belum ada apa-apanya, gangaruh apa-apa. Yang diperoleh dari
aplikasi itu hanya informasi aja gitu. Di Indonesia ini gaada taxpayer account.
Kalau misalnya you pake e-banking itu kan kalau transaksi lewat hp bisa pengaruh
langsung sama rekening, bisa kurangin rekening. Nah ini kan belom, gaada apa-apa
aplikasi itu, karna belum adanya rekening yang dibangun di kantor pajak. Nah itu
tuh kelemahan DJP dalam restitusi pajak gaada taxpayer account, itu si kelemahan
kita, harusnya ada. Karena data kita juga masih payah, masih lama, kayak nunggu
kirim data dulu dari daerah nah itu kan yang menyulitkan. Untuk nentuin kriteria
tertentu gini kan dasarnya dari data, padahal kunci dari pajak itukan data.
H: Rekomendasi terkait dengan PMK ini apa Prof?
PG : Ya ini harus jalan terus, dengan persyaratan harus dilakukan restitusi pajak dengan
digitalisasi, jadi otomatis, contoh kaya PM PK, kalau udah ada PM ya otomatis
udah harus ada PKnya gitu. Itu harus ada intelocking system maksudnya kalau
setiap PM gaada PKnya itu tidak dapat dikreditkan, otomatis bisa diketahui. Kalau
yang memotong PPN disana udah motong PM itu bakal ketauan karna interlocking.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
138

Nah kalau kita kan engga, masih ada konfirmasi dulu ada pemotongan ga disana,
itu masih manual, itu bukan sistemik, bukan terintegrasi. Nah itu harus reformasi
mendasar sebenernya, ya sistemnya, jadi yang harus diperbaiki itu sistemnya.
Misalnya sekarang e-bupot gitu harusnya datanya harus terkoneksi satu sama lain
elektroniknya, misalnya Gunadi dipotong 21 oleh UI, UI lapor itu harus ada tax
payer accountnya di sana gitu jadi bisa dicek yang bersangkutan berapa nah datanya
itu harus bisa diketahui, nanti perusahaan yang memotong itu ada potongan
pajaknya, kalau gaada ya gaboleh dikurangkan sebagai biayanya itu.
H: Hambatan implikasi PMK ini apa Prof?
PG : Hambatannya biasanya fiskusnya kurang iklas, Wajib Pajak karna hal itu
mangkanya banyak ngibulnya gitu atau frustasi, karna udah merasa benar, udah
bayar tepat waktu, segala macam tapi minta konfirmasi disana ternyata gak ada, gak
sesuai, mangkanya langsung dikoreksi total, gabisa Pake PMK ini. Sebenarnya
PMK ini hanya untuk memudahkan administrasi saja, mangkanya kalau you omzet
itu ajuin yang pasal 17D Undang – Undang KUP.
H : Oh iya prof ini kan ketiga PMK dijadikan 1, itu boleh gasi Prof?
PG : Oh itu gaboleh. Karna beda, 17C itu kepatuhan, 17D itu persyaratan, gaada
kepatuhan, pokoknya patuh gapatuh kalau pasal 17 d itu dikasih selama objeknya
masih sesuai gitu. Kalau itu kan patuh ga patuh selama omzetnya Wajib Pajak
persyaratan tertentu pasti dikasihkan, diambil Wajib Pajak yang kecil aja pasal 17D,
substansinya beda. Tapi kalau pasal 17C sama pasal 9 Undang – Undang PPN itu
baru boleh, karna masih diliat juga kepatuhannya. Itu harus dipisah gaboleh, karena
persyaratannya beda, prinsipnya gadiaplikasikan.
H: Tapi PMK ini tujuannya salah satunya agar Wajib Pajak mudah dalam membaca
aturan pajak tentang kriteria tertentu karena sama.
PG : Ya, itu liat substansinya harusnya, jangan digabungin diliat karakteristiknya,
jangan dicampur aduk satu sama lain.
H: Saran PMK ini apa prof?
Pg: Sebaiknya ini PMK untuk ketiga kriteria tertentu dipisahkan karena substansinya
beda-beda.
H: PMK ini baru dibuat 2 bulan Prof, kalau buat peraturan perpajakan itu kira-kira
berapa lama si Prof sebaiknya?

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
139

PG : Peraturan itumah cepet, tapi yang lama perbaikan atau revisi aturan itu, karena ini
kan beberapa hari bisa jadi. Kejelekan dari kita itu sebenernya hanya membuat
aturan tapi tidak membenahi administrasinya. Tapi ga mudah membenahi
administrasinya, kalau buat aturan ya mudah. Sebenarnya kalau PPN itu ya otomatis
aja, asalkan yakin, ya pokonya interlockingnya aja. Jadi ada PM ya harus ada PK,
tapi kenapa harus dikonfirmasi itu, mangkanya kita butuh online sistem. Sistem itu
kan harus terintegrasi ke segala macam penjuru. Kalau restitusi pajak kan
mempengaruhi 2 rekening kan paling engga, nah invoice itu juga seharusnya bisa
mempengaruhi 2 rekening yaitu pihak pembeli maupun penjual barang atau jasa.
Nah sekarang ini kan susah ya, misalnya orang menjual barang ke Batam, nah
itukan daerah free trade zone, gadipungut PPN otomatisnya, nah itu kalau ada
kelebihan pembayaran pajak dan mau ajuin restitusi, misalnya terkait pasal 17B
Undang – Undang KUP, itu kan harus di konfirmasi dulu sama diperiksa dulu buat
restitusi, harusnya kan bisa dicek via rekening lawan transaksi biar mudah restitusi
pajaknya. Jadi restitusi pajak Indonesia ini masih ketinggalan jaman, kaya
ecommerce kan gabisa pemeriksaan fisik, nah itu kan susah. Jadi harus diubah
sistemnya. Kaya PPN itu bisa ga otomatif bisa direfund, sistemnya harus diperbaiki.
Administrasinya masih harus dibenahi. Kalau yu ke bank transfer kerekening orang
lain, nah rekening yu kan berkurang, sementara rekening temen yu bertambah. Nah
itu pajak di Indonesia belum bisa cek kaya gituan. Seharusnya kan pajak itu
semboyan itu, achieve more with less, menerima pembayaran dengan sedikit upaya
gitu, kalau kita kan sebaliknya achieve less with more. Terimanya sedikit, tapi
tenaganya sulit, itu harus diubah.
H: Kalau buat perluasan objek itu bagaimana Prof di PMK ini?
PG : Sebenarnya tergantung pada kantor pajak, jumlahnya, misalnya jumlah dikantor ini
berapa orang, ini tuh biar kantor pajak bebas dari pekerjaan pemeriksaan, misalnya
restitusi SPT PPN itu kira-kira 600 ribu, nah sekarang yang minta restitusi itu
berapa, misalnya yang minta restitusi itu 300 ribu, ini kemampuan kantor pajak
dalam menyelesaikan itu kira-kira gimana gitu berapa, kalau pemeriksaan cuma 100
ribu, ya yang bisa pake PMK ini sisanya 200 ribu, nah ini sampe omzet berapa 200
orang ini. Jadi harus sesuai dengan kemampuan fiskus perluasan ini. Tentuya yang
diperiksa itukan perusahaan yang gede-gede kan, jangan yang kecil-kecil, kalau

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
140

misalnya kantor fiskus cuma bisa restusi 50 ribu, yaa 250 ribu nya masukin ke PMK
itu, bisa lewat 17C, 17D Undang – Undang KUP, atau PPN pasal 9. Kalau gamampu
di periksa, ya tugasnya dikurangin ke PMK ini. Nah itu point pertimbangannya abis
dari pada gaditanganin, nanti kan balikin juga mau gamau.
H: Biasanya kalau peraturan ini berapa lama si batasnya?
PG : Ya sebenarnya ga ada batasanya, tapi ya tadi, tergantung kemampuan kantor pajak
dalam menangani restitusi, untuk mendorong Wajib Pajak dalam rangka patuh atau
mendorong EoDB itu, ya ditambah gitu, semakin diperpanjang gitu aturannya,
malah bisa di benahi lagi.
H: Hubungan restitusi PMK ini dengan EoDB itu sebenarnya apa Prof?
PG : Ya kalau ada pemeriksaan restitusi ini kan akan mengganggu kegiatan usaha,
mangkanya lebih banyak dimudahkan dalam memberikan pelayanan administrasi.
Pajak kita terkait EoDB masih rendah di Asean. Dengan adanya sas ini kan Wajib
Pajak jadi tau LBnya berapa, kalau ada KB itu, berarti bisa jadi kan ada unsur
penghindaran pajak.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
141

TRANSKRIP WAWANCARA

Pewawancara : Heni Pratiwi


Informan : Dr. Tb. Eddy Mangkuprawira S.H., M.Si
Jabatan : Dosen Ilmu Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu Administrasi Universitas
Indonesia
Tanggal : 12 November 2018
Pukul : 09.15 – 10.20 WIB
Tempat : Gedung Senatama
Keterangan : H : Heni ; E : Eddy

H: Tema skripsi saya tentang formulasi PMK 39 ini Pak dan gabungan dari 3 PMK
tentang restitusi PPh dan PPN
E: Oh jadi ini gabungan, berarti PMK yang terdahulu udah dicabut? Dan hanya berlaku
di periode tertentu saja?
H: iya betul Pak. Semuanya udah jadi 1 di PMK 39, ada PPh dan PPN Pak.
E: oh ok
H: Menurut BaPak tanggapan PMK 39 ini apa Pak?
E: Ya, kan begini kalau mau diatur dalam Undang – Undang nya juga bagus, terbentuk
suatu Undang – Undang berarti rakyat yang menentukan kan, seperti langsung
DPR, tapi dirasa perlu mau memilah dalam restitusi tanpa permohonan atau dengan
permohonan, itu pun berdasrkan SPT yang disampaikan berdasarkan pasal 17B, ada
juga restitusi yang bersifat pendahuluan untuk Wajib Pajak dengan kriteria tertentu.
Dipisah pisah kalau aturan mainnya berbeda. Kalau dirasakan aturan mainnya
cukup 1, gapapa, tapi syaratnya dibedakan, kalau gitu aturannya 1 aja. Jadi, suatu
aturan yang diterbitkan khususnya aturan pelaksanaan kan agar memudahkan Wajib
Pajak dalam menjalankan hak dan kewajibannya, jadi kita harus pake asas apa
untuk pemahaman ini atau peninjauan ini yaitu asas ease of administration. Jadi
peraturan yang dikeluarkan itu baik induk apalagi pelaksanaannya, sampai ke
pelaksanaannya yang bersifat teknis itu harus memudahkan. Ada kan tu ketentuan
yang harus dilaksanakan oleh Wajib Pajak itu sendiri, ada ketentuan yang harus
dilaksankan oleh pejabat pajak, terus ada aturan yang bersifat pengawasan. Kalau

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
142

engga dilaksanakan, kantor pajak boleh melakukan perbuatan apa ya, untuk
penegakan hukum ya misalnya. Nah itu harus mudah dipahami, dan mudah
dilaksanakan, yang penting itu, makin mudah ya dipahami, makin mudah
dilaksanakan ya, tidak rumit tidak complicated. Tapi simple, simplicity ya,
masyarakat akan lebih patuh, yakan, apalagi kalau misal nih tarif pajaknya itu tarif
pajak yang wajar, yang tidak nyekek leher ya.
H: Tapi kalau substansinya beda ni Pak tiap pasalnya di Undang – Undang kup, kan
kalau pasal 17C lebih ke Wajib Pajak patuh, 17D ke omzet, ada lagi PPN, itu
gimana Pak?
E: Tidak apa-apa, yang penting tujuan dari peraturan pengendalian pendahuluan tu
apa, tau heni apa?
H: Untuk memudah Wajib Pajak melakukan restitusi salah satunya Pak.
E: Iya itu salah satunya, tapi ada tujuan pokoknya yaitu untuk memperkuat likuiditas
usaha, itu yang penting supaya pengusaha yang membutuhkan dana untuk apa tu,
memperkuat struktur keuangannnya, melebarkan sayapnya, dapat dana cepat kan
ya, dana cepat, sehingga dapat digunakan, tapi dengan suatu resiko. Kalau dia
ngibulin, pemeriksaan jalan terus, dia akan kena sanksi 100%, kan gitu, yang
penting itu. Jadi tujuannya untuk memperkuat struktur keuangan perusahaan dan
likuiditas usaha, sehingga yang biasanya restitusi itu 12 bulan, jadi bisa 1 bulan
Undang – Undang PPN, dan 3 bulan untuk PPh.
H: Kalau tahapan formulasi kebijakan perpajakan yang benar itu bagaimana si Pak dari
sisi akademis, terutama di PMK 39 ini?
E: Oh, itu udah masuk hukum ya.
H: Iyasi Pak, kalau yang saya ketahui PMK ini gaada campur tangan BKF, tapi lebih
ke DJP Pak.
E: Jadi, BKF hanya untruk penyusun aja kan, nah yang diberi kewenangan untuk
menyusun aturan main itu Undang – Undang sendiri yang mengaturnya. Jadi
misalnya ketentuan lebih lanjut dalam pelaksanaan restitusi dengan kriteria tertentu
diatur dalam dengan PMK misalnya. Bisa juga itu cukup dengan peraturan Dirjen,
untuk itu heni harus baca Undang – Undang No 12 thn 2011 tentang pembentukan
peraturan perundangan. Bukan pajak aja, tetapi pembentukan peraturan Undang –
Undang, nah itu ada syaratnya tu, bikin Undang – Undang gimana, bikin perpu

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
143

gimana, bikin PMK gimana, ada aturan mainnya, untuk bikin formulasi ada disitu.
Setiap formulasi suatu peraturan ada itunya aturan mainnya, jadi syarat nya yang
bersifat material sama formil. Jadi kan BKF hanya untuk menentukan kebijakannya
aja, misalnya aturan perpajakan. Kita sekarang tahun 2016 misal, mau ada
perubahan sistem pajak ga, oh misalnya mau, apa tu pertimbangannya, harus ada
pertimbangannya kan, oke sekarang kita ga menerapkan ke sas deh gitu, justru ke
official assessment, atau memperkuat WHT itu untuk penerimaan negara, tapi buat
membatu Wajib Pajak untuk membangun usahanya, supaya kekuatan uangnya kuat,
likuiditasnya kuat, oh itu diperluas lagi pasal 17C, 17D Undang – Undang KUP,
pasal 9 Undang – Undang PPN diperluas, diberi kemudahan usaha, nah itu yang
menentukan orang kebijakan. Nah orang kebijakan itu harus melakukan survey
terus ke masyarakat, dengan mendengar, melihat, membaca, nah terus oleh dia di
formulasikan ni, wah perlu dipikirkan nih perubahan sistemnya. Intinya si untuk
menuju ease of administration.
H: Kalau pihak-pihak yang membuat kebijakan ini siapa Pak yang baik?
E: Nah kita lihat dulu kebijaknnya kan udah ditentukan. DJP hanya membikin aturan
mainnya itu hanya peraturan pelaksananya, bukan kebijakannya lagi, jadi cukup
orang DJP saja, orang kebijakan ga usah ikut lagi. Kemenkeu juga gabisa buat itu,
kecuali Undang – Undang sendiri yang bilang bahwa ketentuan itu diatur lebih
lanjut diatur oleh peraturan Menteri keuangan. Nah Kemenkeu juga terserah dia,
nah ada bau-bau kebijakan, BKF itu yang bikin, kaya oh itu murni teknis
pelaksanaan, ya DJP aja. Tapi misalnya dia mau denger nih dari dari dirjen dari
pelaksanaan selama ini, pengawasan pelaksanaan Undang – Undang perpajakan
kaya apa yang tau kan orang Dirjen, siapa lagi misal komite pengawas perpajakan,
boleh diminta. Mereka semua diundang, didengar usul dan sarannya. Bisa juga ada
public hearing, misalnya mengundang IAI, IKPI, KADIN, asosiasi lainnya gitu.
H: Jadi kan Pak ini yang mengajukan restitusi itu diperluas kan Pak, itu gimana?
E: Itu tergantung Undang – Undang KUP nya, memberikan kewenangannya ke siapa
dalam penetuan tadi. Kalau disebut itu menjadi kewenangan Menkeu ya ditentukan
oleh Menkeu gitu. Jadi kalau batasnya itu dalam hukum negara bisa diubah-ubah
sesuai dengan perkembangan perekonomia keuangan, wah sekarang nilai rupiah

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
144

anjlok nih, jadi pengusaha usahanya jadi seret atau gimana itu diubah batas-
batasnya itu boleh.
H: Dampak yang akan terjadi dengan implementasi ini menurut Bapak bagaimana?
E: Saya bisa menduga bahwa setiap ada PMK baru itu semangatnya memperbaiki
untuk mempermudah dalam rangka ease of administration dan harus dicegah
terjadinya perluasan kewenangan dari DJP atau dari administrasinya gitu kan,
boleh, jangan boleh diperluas atau dikurangi. Hak Wajib Pajak gaboleh dikurangi,
kalau ditambah boleh kalau dikasih kewenangan sama Undang – Undang, hak
Wajib Pajak ditambah, boleh. Tapi kalau kewenangan DJP ditambah padahal di
Undang – Undang perpajakan ga ditambah, itu gaboleh. Kalau itu harus oleh
Undang – Undang, ya. Pasal berapa tuh Undang – Undang 1945?
H: Undang – Undang Dasar 45 pasal 23A, kalau bikin formulai kebikan itu ada
alternatif kebijakan gasi Pak?
E: Kalau bikin peraturan itu selalu dikaji dari berbagai faktor, dari segi segala sudut.
Tentunya prinsipnya adalah menuju pada pertama asas ease of administration, yang
kedua, harus mengamankan penerimaan, dan ketiga, jangan mengganggu likuiditas
Wajib Pajak. Itu aja intinya. Tapi semuanya di Undang – Undang pembentukan
peraturan Undang – Undang yang bersifat material dan formil itu ada.
H: Saran kebijakan ini Pak?
E: Buat saya prinsip dulu, kebijakan retitusi itu adalah kaitannya dengan apa, apa tugas
inspektor pajak. Tugasnya itu yaitu menjaga agar negara menerima pajak dan Wajib
Pajak membayar pajak tidak lebih dan tidak kurang sebagaimana ditentukan oleh
Undang – Undang pajak yang bersangkutan. Jadi dengan PMK harus mencegah
pemungutan pajak yang tidak sesuai dengan Undang – Undang, yang bukan haknya
pemerintah, harus dibalikin ke Wajib Pajak, kan pasalnya udah ada tuh pasal 17,
pasal 17 KUP itu kan restitusi tanpa permohonan, 17B dengan permohonan, 17C,
D beda lagi, intinya restitusi itu penecegahan pemungutan pajak yang tidak sesuai
dengan Undang – Undang, dan jangan terjadi uang pajak masuk dari Wajib Pajak,
padahal itu bukan hak negara, misal pasal 17 ayat 2, pemerintah, Wajib Pajak wajib
menerbitkan SKPLB kalau terjadi pemungutan/pemotongan pajak yang seharusnya
tidak dilakukan. Jadi itu semangatnya dikaitkan lagi dengan ketentuan yang harus

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
145

dikaitkan juga dengan asas good government. Asas-asas umum pemerintah yang
baik, misal pasal 16, 11 (2), 25, 36, semuanya good government itu.
H: Restitusi itu dasarnya apa Pak sebenarnya?
E: Yang paling penting harus diketahui dulu si, telah terjadi adanya kelebihan
pembayaran pajak, jadi harus diitung dulu pajka yang terutangnya, kalau pajak
terutangnya 100, pajak yang ditetapkannya 100, ya pas. kalau pajak terutangnya
100, pajak yang ditetapkannya 175 terbit SKPKBT pasal 15 itu kalau kurang, dan
government memiliki kewenangan bisa menerbitkan SKPKBT beberpa kali, sampai
seluruh pajak terutang semuanya ditetapkan/dibayar. Sebaliknya, kalau pajak
terutangnya harusnya 100, pajak yang ditetapkannya 150, gaboleh, Wajib Pajak
punya hak mengajukan sesuai pasal 16, 25, 36 nah itu. Tapi DJP kalau tau ada
ketetapan pajak yang tidak benar, nah harus diperbaiki sesuai pasal 36. Nah itu pasal
good government.
H: Kalau Wajib Pajak yang mengajukan pendahuluan ini gimana si Pak sebelum ada
PMK 39?
E: Oh ya harus ada bukti-bukti yang kuat dulu bahwa pajak terutangnya seharusnya
lebih rendah dari ketetapan pajak, atau dia punya bukti, baik alat bukti atau
ketentuan peraturan Undang – Undang, bahwa dia seharusnya tidak terutang,
seharusnya tidak perlu di potong pungut pajak, ada. Nah aturanya ada, buktinya pun
ada, bahwa saya memang ada kelebihan membayar pajak, nanti DJP harus
meyakinkan betul ga ini, oh betul ini bahwa pasal 17B mengatakan harus diperiksa,
kalau 17C/D itu kriteria tertentu. Kalau udah sesuai semua, liat dia berapa yang
dipotong/pungut berapa lebihnya, kalau 17 B harus diperiksa. Tapi kalau pasal
17C/D harus dikembaliin dulu, sebelum diperiksa yang penting diliat betul ada
kelebihan pajak. penentuan pajak terutangnya diperiksa terus, kalau ternyata pajak
yang terutangnya adalah Wajib Pajak salah melaporkan, ditagih lagi dengan ada
sankis 100%, nah sanksi itu ajarin Wajib Pajak supaya jujur. Nah jadi menyangkut
penyusunan suatu aturan kebijakan yang harus diliat adalah, ada yang namanya
efektivikasi, dan kedua adalah sinkronisasi. Efektif itu maksud pembentukan
aturan-aturannya dapat tercapai, Undang – Undang yang baik itu, maksudnya itu
seperti Wajib Pajak patuh, Wajib Pajak mengisi SPT benar, lengkap jelas, nah
pokoknya seluruh kewajiban perpajakan dilakukan dengan benar. Pemenuhan

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
146

haknya juga dilakukan dengan benar, itu Wajib Pajak namanya sudah patuh, dan
kebijakannya sudah efektif, peraturannya itu udah efektif. Kalau udah efektif,
Undang – Undangnya pasti lengkap, gaada yang kurang, peraturannya lengkap.
Kalau kurang itu penafsirannya bisa macem-macem, akhirnya DJP menerbitkan
peraturan pelaksananya yang macem-macem gasesuai dengan yang ada di Undang
– Undang. Lengkap, dan pasti jelas, Heni dengan saya membaca peraturannya
sama. Kalau dikelas ada 40 mahasiswa, itu sama juga penafisrannya nah itu baru
Undang – Undang efektif. Nah jadi penafisran sama, jadi lengkap, jelas, terus tegas.
Nah, pasti dapat dilaksanakan aturan ini, mudah dibaca, dimenegrti, dipahami, ya.
Kalau udah demikian, pokonya yang baik deh, berarti aturan itu efektif. Disamping
efektif juga harus sinkron, sinkron itu selaras, serasi, seimbang. Sekarang
bahasanya itu jadi satu di indonesiakan dari bahasa asing dalam satu pengertian,
yaitu harmonisasi. Gitu ya, inti-intinya. Jadi aturan itu harus memenuhi 2 itu, jadi
aturan yang harmonis itu gaada pertentangan, anatara ketentuan administratif
dengan pidana sejalan, selaing mendukung.
H: Kalau proses formulasi itu berapa lama Pak ?
E : Yang paling bagus itu formulasinya Undang – Undang dan peraturan pelaksananya
harusnya sejalan pembentukannya, misal peraturannya dibentuk 3 tahun lalu, tapi
pelaksananya beberapa tahun kemudian, itu udah bisa lupa visi misinya apa,
harusnya barengan, dengan pihak pembuat yang sama juga.
H: Timnya harus sama ya?
E: Iya harusnya sama, itu yang bagus, dan harus melibatkan stakeholder, jangan jalan
sendiri, harus ada public hearing.
H: Seharusnya Wajib Pajak ikut bikin formulasi PMK 39 gasi Pak?
E: Harusnya ikut, bisa juga diwakilin oleh beberapa asosiasi, yang paling dikenal
seperti Kadin, tapi boleh aja para pengusaha diundang buat bikin formulasi ini. Nah
pajak waktu membuat formulasi aturannya diliat, wah ini penting buat
menghasilkan misal energi yang terbarukan, memberikan kemudahan para
pengusaha misalnya dibebaskan pajak, atau seperti ini adanya restitusi pajak
dipercepat PMK 39. Nah jadi gitu, kebijakan itu harus melihat kebutuhan negara,
melihat kebutuhan yang terbesar, misal oh bagaimana ini kebijakan ini bisa
ngurangin pajak, bisa hilang nih pajak kita berapa triliun nih dalam satu tahun, tapi

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
147

keuntuntungannya 20T, nah boleh itu, misalnya kebijakan ini memperkuat


perekonomian menengah kebawah, boleh itu, jadi makin luas tuh kekuatan
perekonomian rakyat kecil. Gapapa tu, jadi rakyat sejahtera. Kesejahteraan itu
nilainya misalnya 20T, nah ada tim yang membahas itu ya dengan surveynya.
H: Hambatan PMK 39 ini apa Pak?
E: Hambatan ini ya kalau tujuan pembentukannya untuk mempermudah sesuai asas
ease of administration, tapi dalam pelaksanaanya complicated , kedua para
pelaksananya belum siap bahkan kurang memahami, sehingga dalam waktu
sosialisasi perpajakannya kurang cukup. Jadi sosialisasi itu harus cukup. Dan
hambatan yang pokok itu adalah semangat mau melayanin dengan baik oleh pejabat
pajaknya, harusnya excellent services atau pelayanan prima. Itu harus betul-betul
dilaksanakan ya, kalau udah dilakukan sosialisasi yang hebat, bagus, terarah,
pelayanannya prima, tapi Wajib Pajak tetap juga tidak memahami dan tidak
melaksanakan, nah adanya pembinaan. Itu hambatan yang nyata, disamping ada
ketentuannya yang tidak sesuai dengan keadaan, nah itu harus disurvey. Selain itu,
kalau petugas pajak itu biasanya revenue oriented, jadi melupakan kadang-kadang
peradilan pajak. sehingga kalau Wajib Pajak ngajuin keberatan tolak aja, jadi nanti
pengadilan baru terbukti 80% dari keputusan keberatan dibatalkan. Kalau Wajib
Pajak belum tau, setelah dapet keadilan di pengadilan pajak, Wajib Pajak akan
patuh, di DJP sendiri aja dia udah diberikan keadilan, kalau dia tidak diberikan
keadilan di pengadilan pajak, bisa dipastikan, Wajib Pajak tidak akan patuh. Tapi,
kalau Wajib Pajak tadinya belm patuh, meskipun di kantor pajak belm diberikan
keadilan sepenuhnya dan dipengadilan pajak, apalagi dikeberatan diberikan
keadilan sepenuhnya, Wajib Pajak akan patuh, karna dia pikir, bahwa dia dilindungi
negara. Jadi salah satu faktor patuh itu adalah pemberian keadilan didalam
terjadinya sengketa pajak, selain itu faktor kedua adalah pelayanan pajak yang
sangat baik, ketiga, tarif pajaknya adil dan sanksinya wajar. Boleh Wajib Pajak
diberikan sanksi perpajakan tapi jangan berlebihan, Wajib Pajak sebel nanti.
H: Kalau sanksi 100 ini menurut Bapak gimana?
E: Kan pendahuluan ini ada fasilitasnya kan, Wajib Pajak dimnta dilaporin Undang –
Undang yang bener, tapi dia malah gabener, beratikan dia ada niat mengambil uang
negara karna ngibulin pemerintah. Karna restitusi dia harusnya 50M, tapi ditulis

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
148

100M, terus dikasih pendahuluan pembayaran restitusi 100M itu, rugi kan negara,
iyaa, duitnya dipake dulu oleh Wajib Pajak. Tapi bisa diliat juga dari sisi lain,
misalnya itu anggap Wajib Pajak minjem dulu nih duit dari pemerintah, bisa
dikenakan sanksi bunga, tapi jangan 2%, tapi misal dikenakan 5%. Tapi jangan
100% kemahalan, itu boleh ditinjau juga, kurang adil 100%, bank bunga aja berapa.
H: Kalau pendukungnya PMK 39 ini Pak?
E: Ya kesiapan mereka, administrasi pajaknya siap untuk membuat ketentuan yang
bersifat teknis, formulir siap, petunjuk teknis siap, baik untuk petugas dan Wajib
Pajak harus ada penyuluhan, kalau di DJP itu penyuluhan namanya pembekalan,
pembakalannya cukup, untuk Wajib Pajak adalah dikasih ketentuan pelaksananya
itu, dijabarkan, disampaikan oleh Wajib Pajak, dalam pelaksanaanya gini-gini dan
yang terpenting bagi Wajib Pajak, jangan coba main-main sama orang pajak.
H: Saran untuk PMK ini Pak?
E: Kan ini udah jadi hukum positif kan, jadi tinggal dilaksanakan tapi diperhatikan
lagi, dihubungkan dengan Undang – Undang No 12 thun 2011 tentang
pembentukan peraturan per Undang – Undang. Ini dalam pembentukannya ada
yang menyimpang ga, sepanjang dalam ketentuannya sudah diikuti, bagus, tapi
kalau tidak mengikuti ketentuan formulasinya ya harus diubah. Tapi kalau aturanya
engga sesuai, misalnya aturannya memperluas kewenangan DJP terus mngurangi
hak Wajib Pajak boleh diajukan yudisial review, jadi membahas ini dari banyak
aspek. Jadi boleh yudisial review ini kemana kalau menyangkut aturan pelakaan
bisa diajukan ke MA. Kalau yang bertentangan Undang – Undang terhadap
konstitusi, bisa diajukan ke MK. Jadi bisa dibaca Undang – Undang No 12 Tahun
2011.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
149

TRANSKRIP WAWANCARA

Pewawancara : Heni Pratiwi


Informan : Zuliansyah P.Z., S.Sos, M.Si
Jabatan : Dosen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Indonesia
Tanggal : 13 November 2018
Pukul : 16.00 – 16.45 WIB
Tempat : Gedung M lantai 2 FISIP UI
Keterangan : H : Heni ; I : Zuliansyah

H: Skripsi saya membahasa tentang formulasi PMK 39/2018 tentang restitusi dengan
pendahulua yang dipercepat. Menurut Bapak bagaimana formulasi kebijakan publik
yang benar itu gimana?
I: Formulasi kebijakan publik yang benar itu tergantung dari perspektif mana. Tapi
memang dalam konteks ini proses kebijakan tidak lagi menjadi hal yang dominan,
namun pemangku kebijakan lain yang punya kepentingan terhadap suatu agenda
kebijakan itu harus terlibat langsung. Tujuannya jelas agar satu, bahwa agen
kebijakan itu dipahami secara utuh oleh semua pemangku kebijakan. Kedua,
agenda kebijakan yang dihasilkan bukan untuk pemerintah itu sendiri tapi untuk
tokoh masyarakat yang terikat dalam kebijakan karena itu proses interaksi yang
aktif diperlukan. Ketiga ditengah keterbatasan sumber daya ekonomi, informasi,
pengetahuan, baik yang di pemerintah maupun non pemerintahan maka proses
kebijakan administratif adalah keharusan karena terjadi pertukaran sumber daya
antara aktor pemerintah dan aktor non pemerintah baik pertukaran sumber daya
informasi, pengetahuan, atau dukungan terhadap kebijakan itu sendiri.
H: Kalau formulasi itu sebaiknya berapa lama?
I: Gaada ukurannya karena tergantung dari agenda kebijakan itu sendiri karena cepat
atau lambat ga relevan kalau dilihat pada kompleksitas suatu permasalahan. Justru
proses kalau terbilang cepat maka dikhawatirkan bersifat eksklusif yang berarti
tidak banyak orang yang tahu dan malah berbahaya ketika kebijakan tersebut di
declare ke publik tapi gaada yang tahu buat apa sebenarnya kemudian pro kontra

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
150

muncul. Ketika pro kontra muncul maka menurunkan efektivitas dari kebijakan
maupun implementasinya. Dalam kebijakan ada instrumen diantaranya Undang –
Undang, PP, PMK, dan bentuk program pemerintah lain, alokasi anggaran,
termasuk pasal Mentri. Justru yang menjadi catatan adalah argumentasi atau dasar
kebijakan harus cepat. Apakah karena sudah dicanangkan sifatnya, orang sudah
banyak tahu jadi hanya revisi beberapa pasal saja. Sehingga pemerintah punya suatu
pemikiran bahwa bisa dipercepat atau pemerintah tidak terbiasa mempunyai
interaksi dengan aktor yang punya kepentingan disana. Soalnya yang pertama,
kebijakan udah ada jadi sifatnya perubahan yang implemental saja. Itu bukan
berarti, gini apakah cepatnya tertutup atau cepat tapi melibatkan banyak kebijakan,
jadi kualitas dari proses itu sendiri tidak dilihat dari kuantitas waktu tapi apakah
kualitas proses mencerminkan keterlibatan para aktor atau pemangku kepentingan.
H: Kalau setau Bapak, dalam perpajakan aktor yang berkepentingan siapa aja?
I: Banyak mba, selain pemerintah pasti ada dunia usaha. Dan dunia usaha itu dengan
segala macam diversifikasi produk mereka, usaha mereka, tentu menjadi objek
pajak. Sejauh mana kebijakan berkaitan dengan perpajakan itu di satu sisi bisa
menjadi sumber income bagi pemerintah tapi disisi lain juga tidak membatasi ruang
gerak pengusaha tadi. Tapi memang jika berbicara sesuatu yang lebih paragdimatik
misalnya pemerintahan yang menganut paham libertarian atau kapitalisme
cenderung mengurangi beban pajak kepada para pengusaha karena asumsi mereka
adalah pajak merupakan peluang untuk menciptakan intervensi pemerintah
terhadap ekonomi. Nah intervensi itu punya peluang untuk menciptakan
pertentangan kepentingan antar pelaku ekonomi. Bisa jadi pertentangan tersebut
menciptakan disinsentif bagi mereka. Misal pajak dikhawatirkan membebani
mereka sehingga kemampuan untuk memproduksi lebih tidak bisa optimal karena
beban pajak dan seterusnya. Karenanya di beberapa daerah/negara misal memberi
tax holiday untuk memudahkan investasi dulu karena investor belum2 udah kena
pajak ini pajak itu, wah costnya tinggi nih. Tapi juga negara yang menganut welfare
state justru sebaliknya. Pajak adalah sumber pemasukan negara karena orientasi
mereka adalah subsidi (sosial dan kesejahteraan masyarakat). Sehingga disinilah
pajak menjadi instrumen untuk menjalankan ideologi negara tadi. Nah, itu tinggal
dilihat aja negaranya mana yang dianut. Untuk negara misal, gitu ya, itu patai yang

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
151

liberal, atau konservatif dan juga yang Neo liberal yang rada-rada sosial Demokrat
itu juga punya pandangan yang berbeda. Walau mereka adalah negara kapitalisme
aliran ekonominya. Tadi liberal ekonomi klasik justru melahirkan kebijakan yang
tidak membebani sektor usaha karena kalo sektor usaha terbebani, produksi usaha
itu akan turun, kemudian output usaha akan rendah, tentunya juga kemauan mereka
untuk mengembangkan usaha dan khususnya terkait dengan lapangan pekerjaan
menajdi rendah pula. Tapi untuk partai Amerika yang berideologi sosial Demokrat
itu sebaliknya, mereka menjaga keseimbangan tadi. Mereka menekankan
bagaimana negara punya uang untuk memfasilitasi kelompok masyarakat yang
terkena dampak perekonomian atau juga pemerintah punya kepentingan untuk
membangun entitas sosial yang harus dibiayai negara.
Untuk aktornya sendiri, sekarang ini kan, perspektif kekinian untuk membuat
aturan adalah evidence based policy atau kebijakan berdasarkan empiris. Harus
melakukan bukti dan kajian. Nah, persoalan adalah DJP apakah sudah melakukan
policy reset yang dilakukan oleh sumber daya mereka. Kalau tidak akan menjadi
pertanyaan, "bagaimana kualitas kebijakannya?". "Bagaimana tingkat efektivitas
ketika diterapkan di masyarakat?" Memang peraturan yang berkaitan dengan pajak
bersifat memaksa. Jadi ketika ditetapkan mau ga mau orang bayar pajak, kalo ga
bayar kena hukuman. Tapi kan polanya tidak seperti itu hirarki pemerintah
membuat kebijakan. Karena pola seperti itu sudah tidak relevan lagi apalagi
ditengah kebutuhan. Masyarakat yang kompleks. Nah, untuk si kementerian
keuangan sendiri setau saya BKF itu sudah menjadi lembaga di lingkungan
kementerian keuangan yang di fokuskan untuk membuat kajian, termasuk kajian
berkaitan dengan kebijakan sehingga normatifnya lembaga itu yang bertugas
melakukan kajian, merekomendasikan kebijakan apa yang harus diterbitkan.
Misalnya oleh kementerian keuangan. Kalo memang yang dilakukan DJP seperti
ini maka yang dipertanyakan apakah evidence base theory sudah dilaksanakan?
Bagaimana cara mereka meriset kebijakan itu ditengah sumber daya mereka yang
sibuk dengan pekerjaan rutin? Siapa yang ngelakuin riset?. Misal "oh mereka pakai
konsultan". Lalu pertanyaan lagi "kenapa ga pakai bkf?" Berarti dari sisi secara
kualitas kebijakan, salah satu indikator penting adalah engagement organisasi
terhadap suatu kebijakan itu tadi. Nah kalo misal engagement harusnya dimotori

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
152

bkf sebagai badan yang melakukan riset. Namun tidak terjadi karena DJP
mengambil alih, tentu dari sisi ini dilihat bahwa kualitas kebijakan dari sisi
engagement kelembagaan dipertanyakan. Bagaimana pelembagaan kebijakan
didalam lingkungan Kemenkeu itu. Karena kualitas kebijakan itu dilahirkan dari 2
dimensi, dimensi pertama adalah dimensi proses dan dimensi kedua adalah hasil.
Produknya seperti apa. Ini gabisa dipisahkan. Gabisa mengharapkan hasil yang baik
kalau prosesnya buruk. Walau proses yang baik belum tentu menghasilkan
kebijakan yang baik.
H: Kalau sosialisasi yang baik Pak buat implementasi dari PMK ini apa Pak?
I: Sebenarnya kalau dilihat dari proses kebijakan itu, sosialisasi masuk didalam tahap
advokasi kebijakan. Nah advokasi kebijakan dalam framework nya itu dilakukan
sejak kebijakan itu akan dilahirkan. Bahkan dari saat pemerintah sedang
menfokuskan agenda terhadap isu kebijakan tertentu atau hasil yang dilakukan nah
didalam proses advokasi itu ada sosialisasi. Kalau misalnya sosialisasi dilakukan
sejak kebijakan terjadi, so what? Kan bukan masalah sosilasinya tapi kualitas
kebijakan itu sendiri. Ketika proses tidak dilakukan melalui evidence based policy,
maka itu tadi ada keraguan terhadap hasil kebijakan. Kalau misalnya "tidak baik"
sosialisasi pun gaada maknanya. Misal PMK belum mampu mengakomodasi
berbagai keragaman dari pemangku kebijakan yang ada atau kelompok-kelompok
masyarakat, kelompok sektor usaha yang terkena dampak dari kebijakan itu tadi.
Sosialisasi nanti sekedar sosialisasi. Padahal, tujuan sosialisasi dalam advokasi
kebijakan itu sendiri bagian dari pemerintah mengimplementasi kebijakan tersebut.
Tujuannya agar pemerintah mendapar dukungan dan sumberdaya yang cukup untuk
memformulasikan kebijakan tadi. Sekarang kalau sudah sosialisasi kemudian
kebijakannya ditentang, apakah optimal kebijakan tadi? Kan gitu
H: Kalo misalnya dalam formulasi, public hearing wajib ga sih Pak?
I: Sebenarnya kalo balik ke yang tadi saya sampaikan proses kebijakan interaktif
refleksi tadi maka publik bearing udah terjadi di dalamnya. Jadi public hearing
adalah bagian dari aktivitas proses kebijakan. Ada public hearing, ada public
communication, dan sebagainya. Tapi dengan gagasan tentang policy network
(jejaring kebijakan) maka pemangku kebijakan seharusnya sudah terlibat.
berdialog, berdiskusi, bertukar sumber daya, untuk menetapkan sebuah agenda

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
153

kebijakan, kemudian prioritas isu-isunya, lalu sampai melahirkan produk kebijakan


itu sendiri. Disitu udah terjadi public communication, public hearing, dst. Yang
namanya public communication, public hearing ini frame lama, sebenernya. Frame
lama yang belum menempatkan proses interaktivitas dan deliberarif bagi pemangku
kebijakan.
H: Kalau alternatif kebijakan ini apa pak?
I: Justru sebenarnya tadi, ketika pemerintah melakukan riset kebijakan maka
menghasilkan sebuah rekomendasi. Nah dalam memberi rekomendasi ada alternatif
yang dikaji oleh pihak yang melakukan riset tadi. Justru bukan sudah jadi
alternatifnya, pada saat merekomendasikan kebijakan disitulah ada alternatif
kebijakannya. Misal kebijakan a maka ini, yang harus dilakukan apa,
konsekuensinya apa, outputnya apa, dan outcomenya apa. Kalo b gimana kalo c
gimana. Barulah disitu para pengambil keputusan berunding "mana kebijakan yang
paling mungkin untuk bisa diterapkan dan diambil?".bukan sudah jadi, tapi sudah
ada. Maksudnya apa? Pemerintah punya alternatif a, b,c. Misal yang dipilih b, lalu
dilakukan, ternyata ga optimal, mereka mencoba alternatif lainnya. Nah memang
tidak menjamin bahwa ketika dipilih alternatif kebijakan b lalu dijalankan tidak
optimal, jawabannya otomatis ada di alternatif a atau c. Belum tentu, tapi setidaknya
pemerintah punya beberapa alternatif yang nanti bisa dikaitkan dengan temuan di
lapangan ketika mengimplementasi kebijakan itu.
H: Jadi kan PMK ini gabungan dari 3 PMK. Nah 3 PMK itu terdiri dari 3 pasal berbeda
di dalam Undang – Undang perpajakan sendiri. Pasal 17C, lebih ke Wajib Pajak
patuh, 17D lebih ke bruto, dan ada Undang – Undang PPN. Emang bisa
digabungkan pak? Kan substansinya beda?
I: Ngeliatnya ga teknis kaya gitu tapi isu dan prioritas apa yang ingin disesuaikan oleh
pemerintah. Itu dulu, gabungan atau tidak digabungkan itulah yang lahir dari proses
riset kebijakan tadi. Karena riset kebijakan itu, sebenernya dia 1. Mencoba melihat
perkembangan saat ini menciptakan suatu efek fenomena di masyarakat yang perlu
ditindak lanjuti pemerintah melalui sebuah kebijakan. Mereka melihat bahwa
kebijakannya belum ada sehingga mereka melakukan riset kebijakan, yang
tujuannya mengkaji kebijakan seperti apa, modelnya seperti apa, yang tepat, untuk
menjawab tuntutan perubahan. Disanalah mereka mengkaji kebijakan secara

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
154

teoritik yang kemudian mereka melakukan analisa dan menampilkan beberapa


alternatif kebijakan kemudian disimpulkan yang mana yang tepat. Yang kedua, bisa
juga untuk melihat bahwa hasil analisis mereka melalui evaluasi menunjukkan
kebijakan yang ada perlu ditinjau ulang. Bisa jadi ditinjau ulang karena udah ga
efektif lagi aturannya untuk mengatasi perubahan kondisi yang sekarang. Misal
PPh, gojek kena PPh ga? emg mereka punya NPWP? kan mereka online, dipotong
pajak ga mereka?. Misal gitu kan, ada aturan yang mengatur ga? Nah itu maksudnya
yang pertama. Tapi yang kedua seperti yang saya katakan, bisa kebijakan yang ada
saat ini perlu ditinjau ulang karena masyarakat yang kompleks. Asumsi dasar yang
dipakai dalam kebijakan itu sudah berbeda dengan yang sekarang sehingga perlu
evaluasi. Nah evaluasi ini akan menghasilkan perubahan penyempurnaan kebijakan
yang nantinya secara substantif secara filosofis masih oke sehingga kita melakukan
penyempurnaan untuk menjawab tantangan perubahan kekinian.itu yang sifatnya
change. Tapi ada yang sifatnya termination, ini kebijakan udah ga relevan sehingga
kebijakannya gabisa diandalkan untuk menjawab dinamika perubahan sosial politik
yang ada. Jadi itu yang harus dilakukan. Nah itu yang dilakukan oleh sebuah riset
kebijakan. Nanti akan melahirkan apakah harus digabung, dipisah, whatever. Tapi
agenda besarnya harus menunjukkan isu besarnya. Nanti apakah yang rekomendasi
apakah 3 jadi satu depends on analysis.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
155

TRANSKRIP WAWANCARA

Pewawancara : Heni Pratiwi


Informan : Doli Aritonang
Jabatan : Senior Tax Manager EY
Tanggal : 6 November 2018
Pukul : 12.00 – 12.20 WIB
Tempat : Auditorium Vokasi UI
Keterangan : H : Heni ; D : Doli

H: Tema skripsi saya tentang formulasi PMK 39/PMK.03/2018 tentang restitusi pajak
yang dipercepat Pak. PMK 39 itu merupakan PMK gabungan dari ketiga PMK
sebelumnya yang mengatur restitusi pajak melalui pendahuluan pak, yang masing
– masing ketiga PMK tersebut mengatur mengenai restitusi pajak terkait dengan
Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu, Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan
Tertentu, dan Pengusaha Pajak Berisiko Rendah. Menurut mas doli perbandingan
sebelum dan sesudah ada PMK ini dalam praktiknya itu gimana?
D: Saya terus terang, belum ada pengalaman restitusi yang dipercepat ini PMK 39,
selama ini yang lebih banyak saya tangani itu restitusi yang masih misalnya SPT
nya lebih bayar, PPNnya lebih bayar. Ini kasus yang lebih banyak saya tangani itu
bantu klien itu karena dia diperiksa karena SPT PPN lebih bayar, SPT PPh lebih
bayar dan semuanya dengan prosedur yang normal tidak ada pendahuluan apalagi
yang dipercepat ini. Dari beberapa diskusi dengan teman-teman saya dikantor juga
karna kemaren fasilitas itu pendahuluan itu ada resikonya, malah Wajib Pajak
kebanyakan menghindar menggunakan fasilitas pendahuluan itu. Karna itu mereka
pikir buat apa sekarang menerima dari restitusi dipercepat, sementara tahun depan
kita diperiksa juga, kan sanksinya besar kan, jadi itu malah orang lebih takut sama
100% nya daripada manfaat diterimanya restitusi pajak yang dipercepat gitu. Jadi
itu memang kebijakan itu harus dirubah gitu. Jangan disatu sisi seolah dimudahkan
tapi seperti masih garela juga nih di ancem dengan sanksi yang berat gitu. Jadi kan
kita maunya kan mau maju nih, kasih kemudahan dengan asas lebih percaya kepada
Wajib Pajak jangan main di dua ini, seolah “nih saya kasih kamu dipercepat”, tapi

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
156

kalau saya temukan sesuatu sanksinya besar, dan yang lebih bikin repotnya itu
seringkali koreksi itu bukan terjadi karena kesalahan Wajib Pajak itu, itu sering
sekali, bahkan rutin. Seringkali misalnya pemeriksaan PPN itu, koreksi nya
seringkali bukan karna kesalahan Wajib Pajak tapi kesalahannya ya disana si pihak
penerbit faktur. Misalnya tahun 2019, nomer seri faktur pajak itu mendahului, itu
banyak sekali yang di gagalkan, ditolak, pengkreditannya oleh kantor pajak.
padahal, itu secara aturannya di pasal 9 Undang – Undang PPN mana ada. Kalau
disana terjadi salah nomer seri, disana lapor nihil, disana konfirmasi tidak ada,
semua terjadi dipihak si penerbit, tapi yang dikoreksi disini. Padahal kan setau kita
mekanisme yang bener itu siapa penerbitnya dia dong yang harusnya tanggung
jawab. Kantor pajak harusnya ngejar kesana kan. Tapi kantor pajak seringnya
melihat hanya dari kacamata begini saja, udah kaya KPP saya disini, Wajib Pajak
saya disini, hanya dari 1 sisi. Kita kalau melihat selama ini yang namanya kasih
kemudahan dan apa modernisasi adm pajak itu dari segi restitusi pajak ini kok
belum ya. Gitu. Maunya aturan-aturan itu jangan lagi ada cantelan-cantelannya
yang pada akhirnya akan merugikan Wajib Pajak gitu. Ya diawal aja disaringnya
lebih ketat. Misalnya kriteria tertentu ini diperketat supaya gini, artinya, yang harus
diberikan kemudahan restitusi itu kan memang Wajib Pajak Wajib Pajak yang
patuh, resiko rendah, kalo dia udah memenuhi syarat itu ya harus dimudahkanlah
jangan ada lagi nanti dibelakang yang membuat orang malah gamau lagi
menggunakan fasilitas itu. Itu sih menurut saya.
H: Ada masukan Mas buat PMK ini?
D: Saya belum baca benar si PMK ini tapi nanti saya akan pelajari, tapi sejauh sampe
saat ini yang saya pernah bantu klien itu, belum ada yang menggunakan PMK ini,
karena itu terbit tahun berapa.
H: Tahun 2018.
D: Oh iya, jadi dalam artinya itu belum terjadi. Untuk yang kriteria itu, Wajib Pajak
kecil kan, ditempat saya itu kan banyak klien asing, dan kalo restitusinya puluhan
juta kadang-kadang mereka malah yaudahlah dihapus aja itu restitusinya, ngapain
kita klaim 50 juta, karnakan biayanya mahal untuk menggunakan konsultan, kalo
diam au coba restitusi sendiri belum berani, kalo mau make konsultan, mungkin

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
157

feenya bisa mahal ya. Kalo cuma dibawah 100 juta si kebanyakan tidak di klaim,
kalo mungkin klien mau ambil mungkin bisa jadi coba ke konsultan yang lain.
H: Kalo hambatan dan pendukung dengan ada PMK ini apa menurut Mas Doli?
D: Nah kalo saya sendiri itu memang belum pernah bantu klien dengan PMK ini kan,
tapi yaitu dari diskusi teman dikantor sekalipun dia memenuhi syarat dengan PMK
ini karna ada sanksinya malah bakalan pada gamau, itu si hambatannya. Cuma
memang ini sedikit berbeda, tapi masih dalam case yang sama saya melihat ada satu
masalah diperaturan kita ini bahwa restitusi PPN, kan ada 2 jenis nih, ada yang
boleh buat bulanan dan di akhir tahun. Saya melihat satu masalah gini, kalo orang
punya LB dari bulan ke bulan dan dibawa kebulan depan ya, hanya diakhir tahun
di claim, itu kan kalo dia di audit, kalo ditengah-tengah bulan tiba-tiba dikoreksi
kan dia kena sanksi 100% kan, nah perusahaan-perusahaan itu bisa dibilang
terjebak oleh peraturan. Kalo dia mau menghindari sanksi itu, dia harus claim
restitusi bulanan kan cuma aturannya kan membatasi, tidak semua perusahaan boleh
merestitusi bulanan kan, akhirnya perusahaan yang tidak memenuhi syarat untuk
restitusi bulanan ini, dia pasrah aja terima apa yang terjadi dengan dia gitu loh.
Karna dia yang mau coba rubah claim jadi PPN bulanan itu bisa ditolak sama kantor
pajak dengan alasan kamu bukan eksportir, bukan penyerahan ke wapu gitu kan.
Nah itu, saya melihat di peraturan itu terkait pendahuluan ini, Wajib Pajak secara
sadar dan tanpa sadar dia bisa di-expose sanksi 100% yang dia gabisa buat apa-apa.
Jadi aturannya itu menurut saya ya ada bahayanya gitu. Membatasi yang boleh
claim LB setiap bulan itu hanya ekspor dan penyerahan wapu. Bagi saya itu ada
masalah bagi Wajib Pajak tertentu gitu. Semoga ini bisa diperbaiki restitusi pajak
dimasa yang akan mendatang.
H: Kalo selama ini ada gasi Mas Wajib Pajak yang turun langsung dalam pembuatan
PMK perpajakan? Khususnya PMK ini ?
D: Setau saya tidak terlibat di PMK ini, yang pernah saya dengar si asosiasi
kemungkinan diundang kaya KADIN, jadi bukan Wajib Pajak langsung, kaya
KADIN atau asosiasi perkebunan sawit diundang kalo membahas suatu aturan
terkait dengan usaha mereka. Setau saya si itu dilakukan.
H: Kalo direstitusi sendiri itu mas ada pihak-pihak yang dilibatkan ?

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
158

D: Saya sendiri belum pernah tau dengan itu. Harusnya itu memang harus ada kaya
uji publik gitu kan. Masalahnya gini, sistem perundang-undangan kita kan rumit,
mulai dari perundangan Perpres, PMK, Perdirjen, kadang-kadang itu aturan yang
krusial terjadi di level bawah. Yang bisa menimbulkan kesulitan itu biasanya mulai
dari aturan dilevel bawah. Itu bisa mengimplikasi menyusahkan Wajib Pajak di
lapangan. Eval ini kan kaya gawajib di uji publik kan, seolah-olah diaturan DJP
bisa nerbitin sendiri aturan atau suatu kebijakan di DJP ke seluruh Wajib Pajak kan
di Indonesia. jadi menurut saya harus direformasi juga ni tatanan aturan kita, jangan
level DJP membuat aturan yang berdampak luas, ini berpengaruh loh pada iklim
investasi. Kalo DJP membuat aturan yang sulit contohnya dulu mengenai COD,
karna banyak keriwehan akhirnya di revisikan, nah kaya gitu tu. Kan DJP kan level
legislator kan, jangan terjadi dia yang laksanain dia juga yang bikin. Fungsi
pemeriksaan kan harus ada kan, misal BKF atau Kemenkeu kek, yang tidak
berkepentingan langsung sama DJP. Kalo diliat di lapangan, djp itu sangat fokus
pada tugasnya yaitu mengumpulkan pajak, akhirnya semua aturan itu
diinterpretasikan ujung-ujungnya menaruh pajak lebih banyak, baik benar maupun
engga benar, itu nomer 2. Namanya menjalankan tugas yakan, yaudahlah saya
sebagai fiskus begini, menurut saya begini, ya saya lakukan begini, saya dapat
SKPLB, nahh. Banyak kasus yang sampe ke banding, akhirnya Wajib Pajak banyak
menang, artinya kualitas SKP yang terbit itu gimana, itu si menurut saya. Itu tidak
terkait langsung ya dengan restitusi, tapi itu menurut saya masalah kecil, apalagi
masalah restitusi ini jangan dibuat bener-bener sulit, harus ditegasin asas
kepercayaan dan kemudahan Wajib Pajak buat restitusi.
H: Jadi menurut mas doly, ini belum sesuai dengan asas perpajakan mas terkait dengan
kemudahan administrasi dalam restitusi PMK ini?
D: Iya, ya misalnya juga soal kepastian tumpang tindih mengenai imbalan bunga. Kita
ada case setahun lebih diproses, kita menang di pengadilan, kita mohon imbalan
bunga, tapi gadirespon, oleh kantor pajak tidak dikasih, surat itu tidak dijawab,
tidak ditolak. Nah itu suatu kepastian yang sangat perlu kan. Karna terjadi
kekosongan aturan, jadi hal-hal itu restitusi, Wajib Pajak sangat butuh kepastian tu,
syaratnya harus dimudahkan, kalo ada imbalan bunga ya harus jelas. Jangan terjadi
tidak ada kejelasan. Itu penting sih.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
159

H: Kalau masukan untuk PMK 39 ini apa Mas?


D: Harus lebih fleksibel si aturannya, dan lebih menjamin kepastian hukum, yang tadi
saya bilang, sistemnya harus dipermudah. Jadi sistematikal hukumnya dalam PMK
ini harusnya diikuti juga, jadi kalo diatur dalam pasal yang berbeda, harusnya turun
dalam peraturan pelaksana yang berbeda juga yakan gitu, supaya jelas panutan
hukumnya, karena dia kan sering kali PMK ini diubah, diganti dengan PMK lain
kan, nanti itukan bisa jadi rancu PMK ini apabila meng-cover 3 pasal, yang dirubah,
yang mana nih dapat mempengaruhi pasal lainnya, kan gitu. Dan juga konsep dari
masing-masing pasal itu, siapa yang dapat kemudahan restitusi pajak PMK 39 ini
kan alasanya berbeda ada yang karna omzetnya hingga segi kepatuhannya. Nah itu,
menurut saya alasannya berbeda-beda harus nya diatur dalam PMK yang berbeda.
Karna mungkin saja kan sekarang batasannya 100 juta ditahun depan bisa beda
yakan. Itu jadi, harusnya diatur sendiri-sendiri.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
160

TRANSKRIP WAWANCARA

Pewawancara : Heni Pratiwi


Informan : Imam Adhisuryo
Jabatan : Senior Konsultan
Tanggal : 16 November 2018
Pukul : 13.00 – 13.25 WIB
Tempat : PT Pratama Indomitra Konsultan
Keterangan : H : Heni ; I : Imam

H: Tema skripsi saya tentang formulasi PMK 39/PMK.03/2018 tentang restitusi pajak
yang dipercepat Pak. PMK 39 itu merupakan PMK gabungan dari ketiga PMK
sebelumnya yang mengatur restitusi pajak melalui pendahuluan pak, yang masing
– masing ketiga PMK tersebut mengatur mengenai restitusi pajak terkait dengan
Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu, Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan
Tertentu, dan Pengusaha Pajak Berisiko Rendah. Menurut mas doli perbandingan
sebelum dan sesudah ada PMK ini dalam praktiknya itu gimana?
I: Kalau dulu pelaksanaannya pendahuluan itu, contoh kasus PT X mau restitusi PPN,
kan dia PKP yang dipungut oleh pemungut, nah terus dia tergolong ke Pasal 17D
kalau gasalah dulu. Tadinya dia mau restitusi kan, terus minta pendapat ke PT
Pratama, dan kita sarankan dia bisa melakukan restitusi perbulan. Tapi, dia
dipotong-potong gitu restitusinya, jadi kebetulan dia tuh tiap masa LB, jadi kita
potong-potong restitusinya, nah kebetulan ada masa PPN-nya itu dia dibawah 100
juta, nah itu ada implementasi PMK 198, dia itu yang dibawah 100 juta ada
perlakuan khusus gitu. Jadi kalau saya baca di PMK 198 itu, yang tiap restitusi di
bawah 100 juta, itu bisa dikeluarin SKPPKP kan, kita juga kaget si ada PMK itu.
Terus, jadi kita kan masukin tahun 2017 tuh Februari kalo gasalah. SPT restitusinya
itu kita laporin Februari, nah keluar SKPPKP itu kalau gasalah bulan Maret, jadi
kira-kira sebulanan lah ada SK tersebut, SK tersebut keluar, PT X langsung bilang
ke kita, nah kita buat surat permohonan SKPLB itulah kita sampein nomer rekening
dan lainnya untuk pencairan dananya, tapi saya lupa berapa lamanya itu cair. Jadi
kalau yang PMK ini, sebenernya saya belum alami PMK ini, tapi dari Wajib Pajak

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
161

cukup menguntungkanlah ya, jadi yang tadinya dia harus ada pemeriksaan dulu
kalo lebihnya 1M, sekarang udah gaada. Tapi kan itu ada syaratnya sendiri, dan itu
menurut saya si menguntungkan bagi Wajib Pajak. Kalau gasalah PMK yang lama
dicabut ya, mungkin ini lebih dikerucutkan lagi, jadi Wajib Pajak ga bingung gitu.
Jadi kembali lagi ke Wajib Pajak lagi si ini Wajib Pajak bisa dikategorikan kemana.
Dulu kita emang pilih si mau ke pasal 17D atau apa, jadi si Wajib Pajak bisa
melakukan pendahuluan atau restitusi doang, nah yang nentuin itu si kantor pajak.
jadi dulu kita engga melalui proses pendahuluan, gabikin surat permohonan dan
lainnya buat restitusi ini, hanya restitusi biasa. Mungkin kantor pajak punya
penilaian sendiri, mungkin dia ngirangnya PT X ini kategori rendah atau kriteria itu
gitu.
H: Kalau dulu yang PMK 198 itu sulit gasi?
I: Kalau SKPPKP itu dulu ga susah si kita, jadi kita belum diteliti dan segala macem,
udah ada SK itu, bisa jadi ini SKPPKP tergolong ke PKP berisiko rendah, jadi
kantor pajak berani keluarin itu SK. Dulu itu si PT X kalau gasalah jadi 6 bulannya
dibawah 100 juta, 6 bulan lagi diatas 100 juta, nah itu diperiksa diatas 100 juta.
Nah 6 bulan dibawah 100 juta itu gadiperiksa si, langsung keluar SKPPKP. Kalo
gasalahsi sebulan cair deh. Dan sampai sekarang itu yang udah dibalikin
kelebihannya belum diperiksa lagi si.
H: Hambatan sama pendukung PMK 39 ini apa aja ?
I: Ya kalo Wajib Pajaknya pede, Wajib Pajaknya udah siap diperiksa kan kalo restitusi
itu berarti harus siap diperiksa kan, kan ini PMK ini kan ga diperiksa ya, tapi
dilakukan penelitian ya, jadi kan diteliti dulu baru pemeriksaan kan ya, jadi ada
kemungkinan si bisa aja diperiksa gitu, ini si hambatannya kalo mau gunain PMK
ini. Kantor pajak menurut saya si kurang sosialisasi gitu, sampe sekarang kan Wajib
Pajak itu yang kita tangani belum ada yang pendahuluan itu kan, masih kita proses
ke pemeriksaan aja, karna masih dinilai cukup bahaya kalau menggunakan
pendahuluan ini, jadi kantor pajak harus lebih sosialisasi aja ini kemudahannya
gimana, dampaknya atau efeknya apa, untuk keuntungan Wajib Pajaknya juga, tapi
para wajib pajak juga harus care juga si setiap ada aturan baru, jadi PMK ini tuh
bisa berjalan dengan baik gitu. Kalau pendukung untuk bisa berjalannya PMK ini,

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018
162

kan Wajib Pajak harus nurut si kantor pajak gitu kan, harus sesuai dengan PMK itu
kalau mau ikutin PMK itu apa aja yang ditentuin si bisa berjalan PMK ini.
H: Ada gasi Wajib Pajak yang terlibat dalam perumusan PMK 39 ini?
I: Kurang tau si kalau buat PMK ini, biasanya si ada kalo bikin aturan itu, kan
biasanya ada pertemuan Ikatan Knsultan Pajak setahun sekali, mungkin ada
pembahasan juga nah biasanya ada DJP tuh juga ikut dan ada pembahasan-
pembahasan jadi mungkin dari situ si terlibatnya, ada saran-saran gitu.
H: Saran untuk PMK 39 ini apa Kak?
I: Wajib Pajak harus lebih care lagi sama liat aturan ini, meskipun dulu banyak ya
aturan PMKnya, sosialisasinya juga harus lebih si, biar Wajib Pajak jadi care dan
lebih paham juga si ya.

Universitas Indonesia
Analisis formulasi..., Heni Pratiwi, FIA UI, 2018

Anda mungkin juga menyukai