Anda di halaman 1dari 9

Summary Brief WALHI Jawa Timur: Konsultasi Publik KLHS Provinsi

Jawa Timur

*Wahyu Eka. S *Pradipta Indra


Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur Manajer Pembelaan Hukum & Kebijakan

1. Situasi Umum IKA, IKU, IKTL dan IKLH

Provinsi Jawa Timur memiliki wilayah yang terluas yaitu 47.799,75 km² atau 36,93% dari
seluruh luasan Pulau Jawa, secara general memiliki problem yang cukup kompleks.
Utamanya berkaitan dengan persoalan ruang dan lingkungan hidup. Penilaian secara cepat
ini adalah analisis secara deskriptif atas data yang diperoleh dalam penilaian IKA, IKU, IKLTL
dan IKLH yang didapatkan dari rangkuman serta analisis atas Status Lingkungan Hidup
Indonesia, sebagaimana yang dibuat oleh KLHK pada tahun 2019-2020.

Secara keseluruhan nilai IKA dari setiap provinsi memiliki tren yang berbeda. Tahun 2016
terdapat tiga provinsi yang mengalami penurunan, Jawa Barat merupakan provinsi yang
paling besar penurunannya, selanjutnya Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pada tahun 2017
seluruh provinsi mengalami penurunan, yang terbesar adalah Banten. Sedangkan tahun
2018 seluruh provinsi mengalami peningkatan yang signifikan. Meningkatnya nilai IKA pada
setiap provinsi memberi kontribusi pada laju peningkatan nilai IKA wilayah Jawa. Provinsi
yang paling besar peningkatannya adalah DI Yogyakarta (61,44), selanjutnya Jawa Timur
(37,35), Jawa Barat (36,77), Jawa Tengah (32,34), Banten (31,34) dan DKI Jakarta (30,6).
Indeks Kualitas Air
Provinsi
2015 2016 2017 2018
DKI Jakarta 22,35 24,62 21,33 51,93
Jawa Barat 75,30 32,86 29,00 65,77
Jawa Tengah 47,45 46,73 45,43 77,77
DI Yogyakarta 21,84 26,97 20,19 81,63
Jawa Timur 48,25 40,08 37,08 74,43
Banten 72,75 80,00 35,98 67,32
Diolah dari pusdatin KLHK

Persentase kontribusi nilai IKA provinsi terhadap nilai IKA wilayah Jawa tahun 2015 hingga
2018 secara berurutan dari yang terbesar adalah Banten (22,32%), Jawa Tengah (18,95%),
Jawa Barat (17,69%), Jawa Timur (17,42%), DI Yogyakarta (13,13%), dan DKI Jakarta
(10,48%). Hasil analisis nilai IKA wilayah Jawa tahun 2015 hingga 2018 menunjukkan
kecenderungan menurun dan berada pada status Sangat Kurang Baik. Meskipun tahun
2018 nilai IKA wilayah Jawa di atas 60, namun tahun 2015-2017 nilai IKA wilayah Jawa
berada di bawah 50 dan 40. Dalam meningkatkan nilai IKA wilayah Jawa maka perlu
diprioritaskan peningkatan kualitas air pada tiga provinsi, yaitu DKI Jakarta, DI Yogyakarta
dan Jawa Timur.
Indeks Kualitas Udara
Provinsi
2015 2016 2017 2018
DKI Jakarta 78,78 56,40 53,50 66,57
Jawa Barat 74,63 78,60 77,85 72,80
Jawa Tengah 81,32 77,30 83,91 82,97
DI Yogyakarta 90,58 87,60 88,08 84,25
Jawa Timur 89,21 83,20 85,49 81,80
Banten 50,65 58,80 75,36 71,63
Diolah dari pusdatin KLHK

Secara keseluruhan nilai IKU dari setiap provinsi memilik tren yang berbeda. Tahun 2016
terdapat empat provinsi yang mengalami penurunan, DKI Jakarta merupakan provinsi yang
penurunannya paling besar, selanjutnya Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta.
Sedangkan Banten dan Jawa Barat mengalami peningkatan. Pada tahun 2017, empat (4)
provinsi mengalami peningkatan, yang terbesar peningkatannya adalah Banten. Sedangkan
DKI Jakarta dan Jawa Barat mengalami penurunan. Tahun 2018 sebagian besar provinsi
mengalami penurunan, kecuali DKI Jakarta yang mengalami peningkatan.
Provinsi DI Yogyakarta memiliki rata-rata nilai IKU tertinggi dibandingkan dengan provinsi
lain yang ada di wilayah Jawa, disusul selanjutnya oleh Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat,
Banten dan DKI Jakarta. Persentase kontribusi nilai IKU provinsi terhadap nilai IKU wilayah
Jawa secara berurutan dari yang terbesar adalah DI Yogyakarta (19,14%), Jawa Timur
(18,55%), Jawa Tengah (17,77%), Jawa Barat (16,59%), Banten (14%) dan DKI Jakarta
(13,94%).
Indeks Kualitas Tutupan Lahan
Provinsi
2015 2016 2017 2018
DKI Jakarta 33,62 35,97 33,32 24,14
Jawa Barat 46,29 46,09 45,50 38,51
Jawa Tengah 55,38 53,86 48,38 50,12
DI Yogyakarta 43,16 42,49 43,30 33,03
Jawa Timur 53,59 54,99 51,71 50,52
Banten 45,85 45,91 45,44 38,28
Diolah dari pusdatin KLHK

Secara keseluruhan nilai IKTL dari setiap provinsi memiliki tren yang sama. Tahun 2015-
2018 nilai IKTL setiap provinsi rata-rata mengalami penurunan setiap tahunnya. Walaupun
ada beberapa nilai IKTL yang mengalami peningkatan, namun nilai tersebut relatif kecil dan
belum menunjukkan perubahan yang signifikan terhadap penurunan nilai IKTL pada tahun
sebelum atau sesudahnya. Jawa Barat merupakan provinsi yang nilai IKTL mengalami
penurunan setiap tahunnya, yaitu 0,2 (2016), 0,59 (2017) dan 6,99 (2018). Persentase
kontribusi nilai IKTL provinsi terhadap nilai IKTL wilayah Jawa secara berurutan dari yang
terbesar adalah Jawa Timur (19,90%), Jawa Tengah (19,61%), Jawa Barat (16,65%), Banten
(16,56%), DI Yogyakarta (15,29%) dan DKI Jakarta (11,99%). Hasil analisis nilai IKTL
wilayah Jawa tahun 2015 hingga 2018 berada pada rentang nilai 40-50. Hal ini menunjukkan
bahwa kualitas tutupan lahan pada wilayah Jawa berada pada status Sangat Kurang Sekali.
Indeks Kualitas Lingkungan Hidup
Provinsi
2015 2016 2017 2018
DKI Jakarta 43,79 38,69 35,78 45,21
Jawa Barat 63,49 51,87 50,26 56,98
Jawa Tengah 60,78 58,75 58,15 68,27
DI Yogyakarta 50,99 51,37 49,80 62,98
Jawa Timur 62,67 58,98 57,46 67,08
Banten 55,36 60,00 51,58 57,00
Diolah dari pusdatin KLHK

Secara keseluruhan nilai IKLH dari setiap provinsi memiliki tren yang berbeda. Tahun 2016
terdapat empat provinsi yang mengalami penurunan, Jawa Barat merupakan provinsi yang
paling besar penurunannya, selanjutnya DKI Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Sedangkan Provinsi Banten dan DI Yogyakarta mengalami peningkatan yang relatif kecil dan
belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Pada tahun 2017 seluruh provinsi
mengalami penurunan, yang terbesar adalah Banten. Sedangkan tahun 2018 seluruh
provinsi mengalami peningkatan yang signifikan. Meningkatnya nilai IKLH di setiap provinsi
memberi kontribusi pada laju peningkatan nilai IKLH wilayah Jawa. Provinsi yang paling
besar peningkatannya adalah DI Yogyakarta (13,18), selanjutnya Jawa Tengah (10,12), Jawa
Timur (9,62), DKI Jakarta (9,43), Jawa Barat (6,72) dan Banten (5,42).
Persentase kontribusi nilai IKLH provinsi terhadap nilai IKLH wilayah Jawa tahun 2015
hingga 2018 secara berurutan dari yang terbesar adalah Jawa Timur (18,69%), Jawa Tengah
(18,67%), Banten (17%), Jawa Barat (16,9%), DI Yogyakarta (16,33%) dan DKI Jakarta
(12,41%). Hasil analisis nilai IKLH wilayah Jawa tahun 2015 hingga 2018 menunjukkan
kecenderungan yang menurun dan berada pada status Kurang Baik atau berada pada
rentang nilai 50-60. Meskipun tahun 2018 nilai IKLH wilayah Jawa mengalami peningkatan,
namun nilainya relatif kecil dan belum menunjukkan perubahan yang signifikan.
2. Iklim dan Bencana

Gambar: Anomali suhu


bulanan Desember 2019
terhadap periode tahun
1981-2019 (sumber: BMKG
2019)

Di pulau Jawa, peningkatan suhu rata-rata bisa dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya
di luar Jawa. Seperti halnya di sebagian wilayah Jawa Timur, peningkatan suhu rata-rata
pada bulan November 2019 pada nilai 2,00 ke atas. Dibandingkan pada daerah di Sumatera
dan Kalimantan perubahan suhunya pada angka 0,1 C hingga 0,12 C. Hal ini terlihat dari
beberapa fenomena, salah satunya deforestasi dan hilangnya tutupan hutan. Berdasarkan
data dari Global Forest Watch, pada tahun 2001, Jawa Timur memiliki 232.000 hektar hutan
primer yangmembentang di lebih dari 4,8% luas daratannya. Pada tahun 2019, hutan primer
di Jawa Timur hilang sekitar 439 hektar setara dengan 255kt emisi CO₂. Dari 2001 hingga
2019, Jawa Timur juga telah kehilangan 84.500 hektar tutupan pohon, setara dengan
penurunan 4,4% tutupan pohon sejak 2000, dan 36,3 juta ton emisi CO₂.
Di Jawa Timur, melihat dalam peta yang disajikan oleh GFW dalam aplikasinya, terdapat
kurang lebih 5 wilayah teratas bertanggung jawab atas 54% dari seluruh kehilangan tutupan
pohon antara tahun 2001 dan 2019. Banyuwangi mengalami kehilangan tutupan pohon
terbesar yaitu 15.800 hektar dibandingkan dengan rata-rata 2.220 hektar total kehilangan.
Kehilangan tutupan hutan, penggunaan lahan yang tidak sesuai aturan dalam hal ini alih
fungsi, hingga dampak dari kebakaran hutan dan lahan telah mempercepat penurunan area
hutan dan tutupan hutan di Jawa Timur. Salah satu dampak dari hilangnya kawasan hutan
yang sering kali terjadi adalah banjir dan longsor, seperti terjadi di Bondowoso, Jember,
Pasuruan, Lumajang dan beberapa daerah lainnya.
Sementara jika dirinci secara seksama, lima wilayah yang kehilangan hutan paling besar di
Jawa Timur yakni Banyuwangi 15.800 hektar, Jember 12.200 hektar, Malang 8.780 hektar,
Bondowoso 4.740 hektar dan Tulungagung 3.860 hektar. Dari 2001 hingga 2012, Jawa Timur
sendiri memiliki sekitar 19.400 hektar tutupan pohon di seluruh wilayah yang setara dengan
0,28% dari seluruh penutupan pohon di Indonesia. Pada tahun 2000, 37% Jawa Timur
merupakan tutupan hutan alam. Kini Jawa Timur telah kehilangan area hutannya. Sehingga
emisi gas rumah kaca yang dihasilkan cukup tinggi dan resiko kerentanan bencana juga
memiliki nilai yang tinggi, jika melihat kondisi yang ada.
Di Jawa Timur secara kumulatif berdasarkan perhitungan dari catatan BNPB dari tahun 2013
sampai pada tahun 2019 telah terjadi 2676 bencana hidrometeorologi. Rinciannya adalah
banjir sebesar 743 kasus, longsor 514 kasus, kekeringan 66 kasus, kebakaran hutan 361
kasus, gelombang pasang 22 kasus dan angin kencang sebanyak 970 kasus. Jika dilihat dari
pendekatan pendekatan per kasus, setiap tahunnya ada peningkatan jumlah bencana, dari
tahun 2013 dan 2014 ada sekitar 233 kasus, lalu meningkat menjadi 297 kasus pada tahun
2015, semakin meningkat lagi pada tahun 2016 sebesar 404 kasus, 2017 sekitar 434 kasus,
2018 bertambah menjadi 455 kasus dan semakin pesat peningkatannya pada tahun 2019
dengan jumlah kasus sebesar 620 kasus. Bahwa tren peningkatan bencana hidrometeorologi
pada tiap jenis bencana mengalami perubahan yang signifikan, yakni ada peningkatan grafis
sistematis. Kondisi ini dapat di cek dengan melakukan studi media, mencari bencana yang
terjadi pada periode 2019 hingga tahun 2020, akan didapatkan sekitar 50 lebih warta lokal
menuliskan soal bencana hidrometeorologi, dari banjir, longsor, kebakaran hutan,
kekeringan, gelombang pasang dan kekeringan di Jawa Timur.
Secara umum saja pada tahun 2019 bencana hidrometeorologi melanda 21 wilayah di Jawa
Timur, laporan BPBD Jawa Timur sekitar 18 wilayah mengalami bencana angin kencang
yakni wilayah Jember, Trenggalek, Lumajang, Pamekasan, Magetan, Kabupaten Blitar,
Sidoarjo, Kabupaten Probolinggo, Nganjuk, Kota Kediri, Sumenep, Kota Batu, Ponorogo,
Kabupaten Kediri, Kabupaten Madiun, Kabupaten Mojokerto, Kota Pasuruan dan
Bojonegoro. Dua wilayah lain mengalami banjir cukup parah yakni Pasuruan dan Mojokerto,
sementara satu bencana yakni longsor terjadi di Bojonegoro.
BPBD Jawa Timur mengungkapkan pada tahun 2019 juga Jawa Timur dilanda banjir yang
cakupannya meliputi 15 kabupaten Kabupaten Madiun, Nganjuk, Ngawi, Magetan, Sidoarjo,
Kediri, Bojonegoro, Tuban, Probolinggo, Gresik, Pacitan, Tranggalek, Ponorogo, Lamongan
dan Blitar. Banjir paling parah terjadi di wilayah Madiun. Bencana tersebut berdampak pada
12.495 KK dari total populasi 15 kabupaten di Jawa Timur. Di tahun 2019 ini juga BPBD juga
mencatat wilayah terdampak kekeringan dan kekurangan air bersih yang meliputi 22
kabupaten, 128 kecamatan dan 450 desa di Jawa Timur. Sementara untuk kebakaran hutan
dan lahan diketahui jika 7 gunung di Jawa Timur pada tahun 2019 hutannya mengalami
kebakaran hutan saat memasuki puncak musim kemarau, gununf tersebut adalah Arjuna,
Welirang, Kawi, Wilis, Semeru, Bromo, dan Ijen. Menurut KLHK ada kurang lebih 23.655
hektar kawasan hutan serta lahan yang terbakar pada tahun 2019.
Pada tahun 2020 sendiri ada beberapa catatan terkait bencana seperti angin kencang yang
melanda Ponorogo, longsor yang terjadi di Lumajang dan banjir yang melanda Pasuruan,
Mojokerto, Jombang, Madiun dan Trenggalek. Tidak cukup di situ saja tercatat pada tahun
2020 menurut data dari KLHK ada sekitar 19.148 hektar lahan dan hutan yang terbakar di
Jawa Timur. Sepanjang 2020 ada sekitar 31 daerah di Jawa Timur yang mengalami
kekeringan dan kesulitan air bersih. Sementara di awal tahun 2021 ini kita dihadapkan pada
bencana banjir yang melanda beberapa wilayah, paling parah terjadi di Jember yang hampir
berdampak pada 7 kecamatan. Terakhir di Kota Batu diterjang banjir bandang akiba alih
fungsi kawasan hulu DAS Brantas, begitu pula di Kota Jember, rusaknya DAS Bedadung di
wilayah Argopuro menyebabkan banjir di wilayah Kota Jember, paling parah di Mangli
sampai Rambipuji.

3. Ketahanan Pangan

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

DKI Jakarta Jabar Jateng DIY Jatim Banten

Gambar Luas lahan pertanian sawah tiap provinsi (sumber: BPS 2016)

Tingginya alih fungsi juga mengancam keberadaan lahan pertanian pangan. Pada gambar
dapat diketahui bahwa Provinsi Jawa Timur merupakan daerah dengan lahan pertanian
paling luas, yaitu 1,09 juta hektar pada tahun 2015. Luasan ini berkurang cukup luas
dibandingkan tahun sebelumnya 2014. Luas lahan pertanian sawah pada tahun 2014
mencapai 1,10 juta hektar. Sejalan dengan itu menurut hasil riset Firmansyah dkk (2021),
melalui metode overlay data dari ATR/BPN, menunjukkan terjadi konversi lahan cukup
besar di Jawa Timur. Dari total lahan sawa faktual sebesar 1.277.855,42 hektar telah terjadi
konversi sebesar 9.817,69 hektar di tahun 2019. Selain itu, merujuk pada beberapa
statement pejabat terkait seperti Bappeda Jawa Timur, sejak 2013 sebesar 1000 hektar
lahan telah dialihfungsikan. Meski demikian Jawa Timur masih menjadi provinsi dengan
produksi pangan terbesar. Tetapi penyusutan lahan dalam beberapa tahun ke depan jika
dilanjutkan maka akan mendorong food insecurity.
Beberapa wilayah yang patut disorot terkait konversi lahan ini adalah kawasan pantura,
salah satunya Lamongan, Tuban dan Bojonegoro yang banyak alih fungsi lahan untuk
kawasan industri, selain itu banyak hutan produksi yang beralih menjadi lahan pertanian.
Sementara pola ini juga terjadi di wilayah Nganjuk, Jombang dan Magetan, berangsur-angsur
terjadi konversi besar-besaran lahan pertanian untuk kawasan industri. Sementara untuk
Surabaya Raya meliputi, Gresik, Sidoarjo, Surabaya dan Mojokerto juga terjadi alih fungsi
besar baik untuk industri maupun perumahan/permukiman. Kondisi ini juga terjadi di
wilayah Malang Raya seperti Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu yang lahan sawah
atau pangan banyak beralih fungsi menjadi kawasan perdagangan, wisata, permukiman,
hotel dan peruntukan lain.
4. Pesisir Selatan dan Pesisir/Pulau-Pulau Kecil
Pemberian konsesi tambang di kawasan pesisir selatan Jawa Timur meningkatkan
kerawanan bencana secara signifikan. Tanpa keberadaan konsesi tambang saja, kami
mencatat ada tujuh jenis ancaman bencana di pesisir selatan Jawa Timur seperti gempa,
tsunami, banjir dan tanah longsor. Keberadaan konsesi tambang yang membongkar kawasan
hutan, perbukitan dan pesisir menggandakan angka kerawanan bencana di wilayah ini.
Akibatnya, saat ini ada lebih dari 400.000 jiwa di setidaknya 80 desa di pesisir selatan Jawa
Timur yang secara langsung terdampak meningkatnya kerentanan bencana akibat perluasan
investasi pesisir selatan Jawa Timur yang mengabaikan keselamatan warga. Seperti pada
peta di bawah ini menujukkan adanya peringatan bencana.

Kemetrian ESDM, Peta Rawan Bencana

Kondisi ini pun berbanding terbalik dengan kebijakan, terutama penetapan kawasan pesisir
selatan sebagai kawasan pertambangan, terutama tambang mineral khususnya emas.
Seperti di Banyuwangi, Trenggalek dan Pacitan. Sebagai catatan saja, kawasan pesisir selatan
tidak cocok untuk ditambang melihat dari kerentanannya, tentu daya dukung dan
tampungnya tidak memadai, kami melihat secara prediktif sekarang. Valuasi kerugian akan
lebih besar daripada kerugian. Tentu yang paling dirugikan adalah masyarakat sekitar atau
mereka yang tinggal di sekitarnya.
Sebagai catatan tambahan, pesisir selatan Jawa selain tidak cocok, pertambangan juga akan
memicu konflik sosial yang lebih luas, masih ingat kasus Paseban, Silo Jember serta Selok
Awar-awar Lumajang, dan terkini hampir seluruh masyarakat Trengalek menolak
pertambangan. Tentu ini harus jadi perhatian, pertimbangan yang matang, bahwa suara
masyarakat harus didengarkan dan realitas ancaman nyata terkait kerentanan wilayah juga
harus dilihat. Jika dalihnya ekonomi, seharusnya dengan bijak pemerintah mengikuti suara
dari bawah ada alternatif lain yang lebih berkelanjutan dan mendukung upaya adaptasi
iklim. Ekonomi hijau berbasis kawasan, seperti ekowisata, agroforestri dan pilihan lain,
harusnya menjadi pertimbangan. Apalagi isunya adalah mendukung NDC dalam komitmen
mengurangi karbon. Bukannya tambang adalah penyumbang emisi yang besar karena
mengeruk tanah, sementara tanah adalah carbon storage besar. Pertimbangan ini
seharusnya dipikirkan untuk lebih objektif melihat kondisi lingkungan kita.
Selain itu di pesisir utara juga
perlu diperhatikan, wilayah
Pulau Bawean, Kepulauan
Masalembu dan pulau-pulau
kecil di Jawa Timur harus
ditetapkan sebagai kawasan
eksosistem esensial dan kawasan
tangkap nelayan tradisonal,
untuk menghindari kerusakan
ekosistem laut dan munculnya
konflik nelayan. Perindungan itu
akan menghindari kawasan
tersebut dari eksploitasi
berlebihan seperti adanya WIUP
tambang pasir di atas Bawean
dan sekitar Masalembu. Sampai
mau kapan wilayah kita ekstraksi berlebihan sehingga terjadi krisis di suatu saat nanti?
Selain itu ke depan ancaman tenggelamnya pesisir dan pulau-pulau kecil akan semakin
cepat, jika kerentanan ditambah, bukankah resiko dipertinggi?
5. Catatan Regulasi
Secara sikap, kami tetap menyoroti dasar konstitusional dari pembahasan KLHS dan
perencanaan RTRW ini. Apakah menggunakan PP No. 21 Tahun 2021 sebagai turunan dari
UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Merujuk pada keputusan Mahkamah Konstitusi
berdasarkan Putusan Nomor 91/PUUXVIII/2020 menegaskan bahwa Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) cacat secara formil dan
menegaskan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusionalitas bersyarat. Meski dalam hal ini tetap
berlaku selama perbaikan tapi MK memerintahkan Pemerintah untuk menangguhkan segala
tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan
pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Kami pun mempertanyakan berdasarkan putusan MK, RTRW Jawa Timur apakah patut
dilakukan, jika dasarnya adalah UU CIPTA KERJA? Maka ini menjadi pertanyaan mendasar,
sehingga tentu kita wajib mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi yang mengikat. Selain
itu, proses Revisi PERDA RTRW ini tidak bisa dilakukan terburu-buru, butuh cukup waktu
untuk membuatnya, terutama mengedepankan aspek partisipatif dan pertimbangan yang
matang.

Anda mungkin juga menyukai