Anda di halaman 1dari 8

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penelitian ini membahas persoalan hukum terkait proses pelimpahan wewenang
dokter kepada perawat dalam pelayanan kesehatan.1 Kajian hukum bidang kesehatan
berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan2 yang merupakan tanggung jawab dan
menuntut kehadiran negara dengan melibatkan dua aspek yaitu aspek hak asasi manusia
dan aspek kesejahteraan sosial.3 Dalam artian ini, konsepsi tentang kesehatan tidak
hanya mencakup keadaan sehat secara fisik dan mental tetapi juga melibatkan
pertimbangan bidang kesejahteraan (produktif secara ekonomi). Novianto menulis
bahwa tujuan pelayanan kesehatan dan pelayanan medis adalah untuk memenuhi
kebutuhan individu atau masyarakat guna mengatasi, menetralisir, atau menormalisir
semua masalah atau penyimpangan terhadap keadaan kesehatan.4
Pelayanan kesehatan secara historis berpusat kepada dokter.5 Dokter merupakan
garda terdepan dan satu-satunya profesi di dunia kesehatan yang diakui oleh
masyarakat. Saat ini, ada diversifikasi penting dalam pelayanan perawatan klinis dengan
otonomi tindakan yang lebih besar diberikan kepada kelompok profesional lainnya.6
Fenomena ini memberi peluang bagi tenaga kesehatan lain untuk mengambil peran yang
sesuai dengan otonomi dan standar keilmuan yang dimilikinya sebagai suatu profesi
dalam bidang kesehatan. Seiring dengan itu, pekerjaan keperawatan dan kebidanan
mulai dikembangkan secara sungguh-sungguh sebagai profesi sendiri dengan body of
knowledge dan bentuk pelayanan tersendiri pula.7 Di sini, bukan saja relasi dengan
pengguna jasa layanan kesehatan yang bergeser dari pola paternalis menuju pola

1
Fokus penelitian ini adalah bidang hukum. Di luar bidang ini, cukup banyak perspektif untuk
meninjau relasi dokter dan perawat. Sebagai contoh Hojat, Mohammadreza dkk., Perceptions That Affect
Physician-Nurse Collaboration in the Perioperative Setting, Nursing Research 50, no. 2 (2001): 123-128;
Sue Pullon, “Competence, Respect and Trust: Key Features of Successful Interprofessional Nurse-Doctor
Relationships,” Journal of Interproffesional Care 22, no. 2 (2008): 133-147; Stein-Parbury, Jane dan Joan
Liaschenko, “Understanding Collaboration Between Nurses and Physicians as Knowledge at Work,”
American Journal of Critical Care 16, no. 5 (2007): 470-477.
2
Isharyanto, Hukum Kesehatan Suatu Pengantar (Tangerang: Pustakapedia, 2016), hlm. 13.
3
Ibid.
4
Widodo Tresno Novianto, Hukum dalam Pelayanan Kesehatan (Surakarta, UNS Press, 2017), hlm.
17.
5
Tamara K Hervey & Jean V McHale, Health Law and the European Union (New York, Cambridge
University Press, 2004), hlm. 13.
6
Ibid.
7
Sofyawan Dahlan, Hukum Kesehatan Rambu-Rambu Profesi Dokter (Semarang, Universitas
Diponegoro, 1999), hlm. 21.

1
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

reciprocal-collegial,8 akan tetapi memungkinkan antarprofesi kesehatan berbagi peran


dalam menjalankan fungsi pelayanan kesehatan. Dalam konteks ini, muncul desakan
kerja kolaboratif antara dokter dengan tenaga kesehatan lainnya sedemikian rupa,
sehingga saling melengkapi secara signifikan.9
Salah satu tenaga paramedis yang seringkali terlibat dalam kerja kolaboratif
bersama dokter adalah perawat dimana perawat diperkenankan untuk melakukan
tindakan medis berdasarkan pelimpahan wewenang dari dokter. Tugas utama perawat
adalah memberikan pelayanan kesehatan atau memberikan asuhan keperawatan sesuai
dengan keterampilan dan keahlian yang dimilikinya.10 Perawat memiliki kewenangan
untuk melakukan praktik asuhan keperawatan sesuai dengan standar etik dan standar
profesi yang berlaku. Secara etikolegal, tugas utama dokter adalah untuk
menyembuhkan (to cure), yang meliputi anamnesis hingga diagnosa penyakit dan
penentuan dan pemberian rangkaian tindakan medis kepada pasien, sedangkan perawat
melengkapi kegiatan dokter dengan merawat (to care) pasien. Telaah historis juga
menempatkan perawat sebagai panjang tangan dari dokter dalam praktik medis dimana
perawat melakukan tindakan berdasarkan instruksi dokter.11 Oleh karena itu, tidak ada
keraguan bahwa dua profesi ini saling melengkapi secara signifikan.12
Pada praktiknya, kerja kolaboratif melalui pelimpahan wewenang antara perawat
dengan dokter tidak hanya menghasilkan kualitas pelayanan yang bermutu, namun
potensi untuk munculnya konflik di antara kedua profesi ini juga sangat terbuka.13
Ketergantungan kepada dokter menimbulkan adanya dominasi dokter dalam tindakan
keperawatan yang mungkin menghambat otonomi perawat.14 Selain itu dalam kasus

8
Widodo Tresno Novianto, Op.Cit., hlm. 41.
9
J. Liaschenko & E. Peter, “Nursing Ethics and Conceptualizations of Nursing: Profession, Practice
and Work,” Journal of Advanced Nursing 46, no. 5 (2004): 488-495.
10
Arrie Budhiartie, “Pertanggungjawaban Hukum Perawat Dalam Penyelenggaraan Pelayanan
Kesehatan Di Rumah Sakit,” Jurnal Hukum 11, no. 2 (2009): 45.
11
Merav Ben Natan, “Medical Staff Attitudes towards Expansion of Nurse Authority to Perform
Peripheral Intra Venous Cannulation,” International Journal of Carring Sciences 8, no. 1 (2015): 70.
12
Jiri Simek, “Specifics of Nursing Ethics,” Kontakt 18, no. 6 (2016): e64–68.
13
Yessie Christianto, “Pelimpahan Wewenang Dokter Kepada Perawat Dalam Pelayanan Kesehatan
Di Rumah Sakit (Menurut Perspektif Hukum Administrasi Negara dan Hukum Perdata)” (Tesis Program
Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Soegijapranoto, 2009).
14
L. J. Labrague, D. M. McEnroe-Petitte, & K. Tsarakas, “Predictors and Outcomes of Nurse
Professional Autonomy: a Cross-Sectional Study,” International Journal of Nursing Practice (2018):
e12711.

2
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Indonesia, perawat bukanlah profesi yang paling dominan meskipun secara kuantitatif ia
merupakan tenaga kesehatan dengan ketersediaan paling tinggi.15
Ketentuan pelimpahan wewenang medis telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan (selanjutnya, UU Keperawatan).16
Berdasarkan ketentuan UU Keperawatan, perawat memiliki tugas dan wewenang
sebagai pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang medis (Pasal 29 ayat (1)
huruf e UU Keperawatan). Selain menekankan otonomi profesi, undang-undang ini juga
dijiwai oleh nilai kesebandingan dan asas kesetaraan yang menghendaki kemandirian
perawat dalam menjalankan profesi keperawatan.17 UU Keperawatan menguraikan
bahwa perawat dapat melakukan tindakan medis berdasarkan pada pelimpahan
wewenang dokter baik secara mandat maupun delegasi yang dilakukan secara tertulis
[Pasal 32 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6)]. Pada sisi berikutnya, UU
Keperawatan juga telah menetapkan jenis tindakan medis yang dapat dilimpahkan
secara delegatif antara lain wewenang menyuntik, memasang infus, dan memberikan
imunisasi dasar sesuai dengan program pemerintah [penjelasan Pasal 32 ayat (4)].
Pelimpahan wewenang secara delegatif disertai pemberian tanggung jawab hukum
kepada perawat sendiri selaku penerima pelimpahan, sehingga perawat bertanggung
jawab secara hukum apabila terjadi persangkaan malpraktik sebagai akibat dari
kelalaian atau kesalahan perawat.
Pada bagian lain, UU Keperawatan menjelaskan pelimpahan secara mandat
sebagai pelimpahan wewenang tenaga medis kepada perawat untuk melakukan sesuatu

15
Laporan infodatim perawat tahun 2017 menunjukkan bahwa tenaga perawat menduduki jumlah
tertinggi dari semua tenaga kesehatan yakni mencapai 49% (296.876 orang), disusul bidan 27% (163.451
orang), dan dokter spesialis 8% (48.367 orang).
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin%20perawat%202017.pdf
diakses tanggal 10 Agustus 2018. Jumlah perawat di Indonesia per 22 Oktober 2017 adalah sebanyak
384.946 orang (perawat yang telah terregistrasi di PPNI secara online/memiliki NIRA). Perlu ditekankan
lagi data ini tidak termasuk perawat yang belum memiliki NIRA. Jawa Timur merupakan provinsi paling
banyak perawat yang sudah memiliki NIRA PPNI yakni sebanyak 56.906 orang. Perbandingan data dari
BPPSDMK Depkes (2015) jumlah perawat di Indonesia sebesar 223.910 orang sedangkan untuk tenaga
medis 101.615. Jawa Tengah adalah provinsi dengan jumlah perawat terbanyak sebesar 29.154,
sedangkan jumlah perawat paling sedikit adalah provinsi Gorontalo sebesar 1.086 orang. Lihat: “Inilah
Jumlah Perawat Indonesia Saat Ini,” https://gustinerz.com/inilah-jumlah-perawat-indonesia-saat-ini/,
Gustinerz.com (blog), 2017.
16
Ketentuan yuridis tentang pelimpahan wewenang dokter terdapat juga dalam Pasal 73 ayat (3) UU
No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 65 UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan dan Pasal 23 Permenkes Nomor 2052/MENKES/PER/X/2011 Tentang Izin Praktik dan
Pelaksanaan Praktik Kedokteran.
17
Arie Budhiartie & Muh Nasser, “Fungsi Asas Kesetaraan Profesi terhadap Perkembangan Figur
Hukum Keperawatan dalam Sistem Hukum Kesehatan,” Jurnal Hukum Kesehatan 3 (2017): 246-263.

3
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tindakan medis di bawah pengawasan [Pasal 32 ayat (5) dan ayat (6)]. Tanggung jawab
dalam pelimpahan wewenang secara mandat berada di tangan dokter selaku pemberi
wewenang. Dengan kata lain, tenaga medis tetap menjadi pengambil keputusan dan
penanggung jawab terhadap tindakan yang akan dilakukan oleh perawat terhadap
pasien. Pada bagian penjelasan Pasal 32 ayat (5) disebutkan beberapa jenis tindakan
yang dapat dilimpahkan secara mandat antara lain pemberian terapi parenteral dan
penjahitan luka.
Undang-undang dapat saja sudah mengatur tentang pelimpahan wewenang medis
ini, namun batasan kewenangan yang dapat dilimpahkan masih tumpang tindih dan
belum diatur secara lebih rinci. Hal ini mengakibatkan tidak jelasnya batasan wewenang
perawat dalam menjalankan asuhan keperawatan dengan tugas yang diberikan melalui
pelimpahan wewenang dari dokter. Maraknya pelimpahan wewenang medis secara
lisan, kaburnya batasan tindakan yang dilimpahkan dan ketidaktentuan kapan suatu
pelimpahan dilakukan merupakan beberapa persoalan umum yang marak terjadi di
Indonesia, termasuk di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai, Provinsi
Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sebagai salah satu provinsi dengan status daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan
Terluar),18 NTT sendiri mengalami surplus tenaga perawat dimana keberadaan perawat
telah melampaui ratio yang ditetapkan pada skala nasional.19 Hal ini berbanding terbalik
dengan ketersediaan tenaga medis di Provinsi NTT, termasuk di Kabupaten
Manggarai.20 Data Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai menunjukkan bahwa jumlah
dokter umum hanya mencapai total 10 orang orang yang tersebar pada 23 Unit

18
Clara Y.I. Ola, K. Huda & Andika P. Putera, “Tanggung Jawab Pidana, Perdata dan Administrasi
Asisten Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Desa Swadaya,” Legality 25, no. 2 (2018): hlm. 135.
19
Berdasarkan target Indikator Indonesia Sehat, rasio 117,5 perawat per 100.000 penduduk, provinsi
NTT telah memenuhi target nasional (Badan PPSDM Kesehatan, 2013 dalam Depkes, 2013). Data ini
diperkuat dengan laporan Dinkes N TT (2015) dimana Rasio Perawat per 100.000 penduduk adalah
215,00. Petrus Kanisius Siga Tage, “Proletarisasi Tersembunyi Tenaga Keperawatan di Nusa Tenggara
Timur” Harian IndoProgress, 13 December 2017 diakses dari
https://indoprogress.com/2017/12/proletarisasi-tersembunyi-tenaga-keperawatan-di-nusa-tenggara-
timur/ pada tanggal 16/7/2019.
20
Hingga akhir tahun 2018 total kebutuhan dokter di Provinsi NTT adalah sekitar 1.671 dokter umum
dan 479 dokter gigi. https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4319100/ntt-masih-kekurangan-16-
ribu-lebih-tenaga-kesehatan diakses tanggal 21/04/2019.

4
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai dengan jumlah


penduduk 359.071 jiwa per tanggal 31 Desember 2018.21
Keterbatasan tenaga dokter menyebabkan perawat terpaksa harus mengambil
peran pekerjaan yang bukan tugasnya yang seharusnya dijalankan oleh dokter.22
Ironisnya lagi, meskipun terdapat dokter dan didukung oleh adanya peraturan tentang
pelimpahan wewenang medis, perawat umumnya melakukan tindakan medis seperti
menyuntik pasien, memasang infus, melakukan diagnosa medis, menentukan terapi dan
meresep obat kepada pasien tanpa adanya pelimpahan wewenang tertulis dan bahkan
tanpa pelimpahan wewenang dari dokter.
Secara yuridis, terdapat tindakan yang boleh dan tidak boleh dilimpahkan kepada
perawat baik melalui mandat maupun delegasi dan setiap pelimpahan wewenang harus
dilakukan secara tertulis. Pelimpahan wewenang secara tertulis memiliki kekuatan
hukum, sehingga apabila nantinya menimbulkan kerugian atau masalah hukum dalam
pelayanan tersebut, maka dokter selaku pemberi wewenang dan perawat selaku
penerima wewenang dapat dimintai pertanggungjawaban baik pidana maupun perdata.23
Persoalan ini potensial terhadap munculnya dilema pertanggungjawaban hukum
manakala terjadi persangkaan malpraktik24 di satu sisi dan kebutuhan untuk
memperhatikan hak-hak pasien25 guna mendapatkan pelayanan berkualitas dapat saja
tergerus di sisi lain. Pelimpahan wewenang medis merupakan ranah hukum administrasi
namun pelanggaran administrasi apabila melahirkan kerugian baik kecacatan maupun
kematian bagi pasien melahirkan akibat hukum berupa sanksi pidana dan perdata.
Dilema pertanggungjawaban hukum dapat diatasi apabila pelimpahan wewenang
dilakukan secara tepat sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di sini, keadaan hukum

21
Laporan Akhir tahun 2018 Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai. Diakses dari
https://www.manggaraikab.go.id/upload/file/Laporan-Kinerja-Instansi-Pemerintah-Dinas-Kesehatan-
Kabupaten-Manggarai-Tahunn-2018-.pdf pada tanggal 21/04/2019.
22
https://kupang.tribunnews.com/2014/03/23/perawat-sering-ambilalih-tugas-dokter diakses pada
tanggal 16/7/2019.
23
Aning Pattypeilohy, Sutarno, & Adriano, "Kekuatan Hukum Pelimpahan Wewenang dari Dokter
kepada Ners Ditinjau dari Aspek Pidana dan Perdata", Legallity 25, no. 2 (2017): 182.
24
Data dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia mengenai malpraktik keperawatan di Indonesia
pada tahun 2010-2015 ada sekitar 485 kasus. Dari 485 kasus malpraktik tersebut, 357 kasus malpraktik
administratif, 82 kasus perawat yang tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang disepakati dan
termasuk dalam malpraktik sispil, dan 46 kasus terjadi akibat tindakan medik tanpa persetujuan dari
dokter yang dilakukan dengan tidak hati-hati dan menyebabkan luka serta kecacatan kepada pasien atau
tergolong dalam malpraktik kriminal dengan unsur kelalaian.
25
C Maddox dkk., “Factors Influencing Nurse and Pharmacist Willingness to Take or Not Take
Responsibility for Non-Medical Prescribing,” Research in Social and Administrative Pharmacy 12, no. 1
(2016): 41-55.

5
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

perawat dapat berubah dari ketidakwewenangan melakukan tindakan medis menjadi


berwewenang untuk itu melalui suatu pelimpahan wewenang dokter. Oleh karena itu,
sejauh perawat melaksanakan perintah dokter secara tepat, apabila terjadi persangkaan
malpraktik maka dokter bertanggung jawab secara hukum terhadap kesalahan atau
kelalain perawat.
Pada kenyataannya beberapa kasus kerja kolaboratif dokter-perawat dalam
melakukan tindakan medis menjerumuskan dokter-perawat dalam persoalan hukum.
Salah satu contoh kasus menarik dimana perawat terseret dalam kasus malpraktik
bersama dokter dan rumah sakit adalah kasus dugaan malpraktik di Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Ibnu Sina tahun 2015. Tiga perawat yang terlibat dalam tindakan medis
pembedahan yakni Putra Bayu Herlangga, Masrikan dan Fitos Widyanti, dijerat
pelanggaran Pasal 365, 361 KUHP dan Pasal 76 Undang-undang RI Nomor 29 Tahun
2009 tentang Praktik Kedokteran juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dengan ancaman
hukumannya 5 tahun dan denda Rp 100 juta.26 Pada tahun 2011, seorang perawat
berinisial MN yang berkerja di RSUD dr. Ben Mboi Kabupaten Manggarai 27 diduga
lalai dalam memperbaiki posisi jarum infus dan salah menggunting plester yang
mengakibatkan jari kelingking seorang bayi terpotong. MN tanpa adanya pelimpahan
wewenang dokter langsung melakukan tindakan tersebut, akibatnya perawat
bersangkutan dijatuhi sanksi yakni ditarik dari tugas profesional di bagian pelayanan
kesehatan dan dimutasikan ke pekerjaan administrasi, penundaan kenaikan pangkat satu
periode dan gaji berkala. Selain itu, MN terpaksa harus menanggung beban biaya
pengobatan pasien selama melakukan perawatan di RSUD dr. Ben Mboi Ruteng.
Tingginya angka malpraktik perawat yang terlibat dalam tindakan medis pada
skala nasional menempatkan isu ini kian strategis dalam pembangunan hukum
kesehatan. Menurut peneliti, pelimpahan wewenang medis apabila tidak dikritisi hanya
menimbulkan persoalan hukum bagi tenaga kesehatan dan pada akhirnya berdampak
pada tingkat kepuasaan pasien dalam memenuhi hak asasi kesehatan yang konstitusional
dan fundamental. Lebih jauh, fakta ketidaksebandingan jumlah dokter dengan jumlah
penduduk di suatu wilayah dan ketidakmerataan persebaran tenaga medis serta

26
https://sp.beritasatu.com/home/dua-dokter-direktur-rsia-dan-tiga-perawat-jadi-tersangka-
malapraktik/83543, diakses tanggal 8 Oktober 2018
27
https://regional.kompas.com/read/2011/12/20/kelingking.bayi.terpotong.suster.dihukum diakses
tanggal 16/7/2019.

6
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

seringnya perawat mengambil alih tindakan kedokteran maka desakan untuk berpikir
ulang tentang pengaturan pelimpahan wewenang medis yang adil, bermanfaat dan
memberikan kepastian hukum guna menjamin kualitas pelayanan kesehatan di berbagai
pelosok Indonesia kian dibutuhkan.
Berdasarkan hal-hal di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji mengapa pelimpahan
wewenang medis belum diterapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Peneliti mengambil locus penelitian ini pada Puskesmas Rawat Inap di lingkungan
Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai, Provinsi NTT. Sebagai penelitian yuridis
empiris, maka riset ini memiliki dua fokus. Pertama, penerapan pelimpahan wewenang
dokter kepada perawat28 dalam melakukan tindakan medis. Kedua, identifikasi faktor
pendukung dan penghambat pelaksanaan pelimpahan wewenang dokter kepada perawat
di Kabupaten Manggarai.29 Penelitian ini dirumuskan dalam judul “Pelimpahan
Wewenang Dokter kepada Perawat dalam Melakukan Tindakan Medis.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan beberapa persoalan yang diangkat dalam latar belakang tulisan ini,
maka rumusan masalah yang menjadi fokus kajian dalam tulisan ini, sebagai berikut:
1. Mengapa pelimpahan wewenang medis kepada perawat pada Puskesmas Rawat
Inap di Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai belum dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan?
2. Bagaimana seharusnya pengaturan pelimpahan wewenang medis kepada
perawat?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini berorientasi pada dua
tujuan berikut:
1. Identifikasi penyebab belum terlaksanannya pelimpahan wewenang dokter
kepada perawat dalam melakukan tindakan medis di lingkungan Dinas
Kesehatan Kabupaten Manggarai;

28
Relasi dokter dan perawat lihat Sarah J. Sweet & Ian J. Norman, “The Nurse-Doctor Relationship: a
Selective Literature Review,” Journal of advanced nursing 22 (1995): 165-170.
29
Identifikasi ini penting untuk memeriksa penerapan hukum kesehatan, khususnya menyangkut relasi
dokter dan perawat dalam elemen-elemen tujuan, kualitas, dan perilaku. Lihat soal ini dalam David
Thomas Stern (ed). Measuring Medical Professionalism (New York, Oxford University Press, 2006),
hlm. 117.

7
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2. Mengkaji bentuk ideal peraturan tentang pelimpahan wewenang dokter kepada


perawat dalam melakukan tindakan medis.
D. Manfaat Penelitian
Temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun secara praksis terkait pengaturan pelimpahan wewenang medis kepada perawat
sedemikian rupa, sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Secara rinci, manfaat penelitian ini
diuraikan sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat memberikan sumbangan ide atau referensi kepustakaan bagi peneliti
lain yang akan melakukan penelitian untuk mengkaji persoalan tentang
pelimpahan wewenang dokter kepada perawat.
b. Dapat memperluas dan memperkaya kasanah pengetahuan dalam bidang
hukum kesehatan terutama berkaitan dengan pelimpahan wewenang medis.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan gambaran pelaksanaan pelimpahan wewenang dokter kepada
perawat dalam melakukan tindakan medis secara khusus di kabupaten
Manggarai.
b. Bagi stakeholders, penelitian ini dapat menjadi salah satu titik acuan dalam
menyusun kebijakan terkait pelimpahan wewenang dokter kepada perawat
dalam melakukan tindakan medis.

Anda mungkin juga menyukai