Anda di halaman 1dari 6

Sindrom Nefrotik (SN) merupakan penyakit ginjal kronik yang umum terjadi pada anak-anak

dan sulit disembuhkan. SN didefinisikan oleh trias, yaitu proteinuria berat (>3g/24 jam) atau

terkonfirmasi proteinuria dengan urin dipstrik 2/3/4+, hipolbuminemia (<25g/L) dan

hiperkolesterolemia (>299 mg/dL) (Albar H & Bilondatu F, 2019; Mahalingasivam V., dkk,

2018; Hull R.P., & Goldsmith D.J.A., 2008). Pada temuan klinis, pasien akan tampak

oedema, terutama bagian periorbital atau manifestasi lain dari hipervolemi seperti asites.

Dapat ditemukan pitting oedema pada tungkai. Selain itu, pasien dapat datang dengan

komplikasi SN seperi tromboemboli vena (Mahalingasivam V., dkk, 2018).

Pasien An. M.B, jenis kelamin laki-laki usia 9 tahun 7 bulan datang dengan keluhan bengkak

pada kedua mata dan kaki sejak 1 minggu yang lalu dan memberat 3 hari terakhir. Bengkak

mula bagian mata lalu ke bagian tubuh yang lainnya. Selain kaki, pasien juga mengeluhkan

bengkak pada bagian kelamin. Selain itu, pasien juga mengeluhkan BAK berbusa. Pada thun

2020, pasien sudah pernah menjalani pengobatan SN full-dose, namun kemudian berhenti

kontrol akhir 2020 karena akses ke RS sulit akibat banjir. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan

edema periorbital +/+, bentuk abdomen distended, shifting dullness +, undulasi +, pitting

oedema pada ekstremitas bawah dan oedema genitalia eksterna. Pada pemeriksaan

penunjang, didapatkan hasil UL proteinuria positif +, darah +, bakteri + [sedikit/HPF],

Albumin 1.8g/L, koleterol 795mg/dL. Berdasarkan temuan klinis dan laboratorium pasien

An. M.B, dapat didiagnosis dengan Sindrom Nefrotik. Trias SN pada pasien ini mungkin

tidak terpenuhi, karena hasil pemeriksan UL protein hanya positif 1+. Hal ini dapat

disebabkan oleh karena urine yang bersifat encer, asam, dan mikroalbuminuria.

Ada beberapa klasifikasi Sindrom Nefrotik saat ini. Berdasarkan etiologinya, SN

dibagi tiga yaitu kongenital, idiopatik/primer, dan sekunder. Hampir 90% kasus SN pada

anak adalah idiopatik. Berdasarkan gambaran histopatologi, ada beberapa bentuk Sindrom

Nefrotik. Bentuk tersering adalah lesi minimal (85%), glomerulosklerosis fokal segmental
(10%), mesangial proliferatif difus (3%), dan glomerulonefritis membranoproliferatif (2%).

Keempat bentuk ini merupakan bagian dari SN idiopatik. Klasifikasi SN berdasarkan respon

terhadap terapi kortikosteroid yang sering ditemukan di klinik saat ini. Berdasarkan respon

terhadap terapi kortikosteroid dibagi menjadi Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid (SNSS) dan

Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS). Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) adalah

apabila penderita memberikan respons terhadap steroid dalam 4 bulan sejak dimulainya

steroid atau bila memberikan respon dan terjadi remisi dalam empat minggu pengobatan

kortikosteroid, sedangkan sindrom nefrotik resisten steroid adalah penderita yang tidak

mengalami remisi setelah diberikan terapi steroid (prednison/prednisolon) dalam waktu

empat minggu, 4-6 minggu, dan pemberian delapan minggu. Remisi dinyatakan sebagai tidak

adanya atau trace (±) proteinuria (atau proteinuria 40mg/m2 /jam) selama tiga hari berturut-

turut dalam seminggu pada pasien yang sebelumnya telah mengalami remisi. Selain itu, juga

ada dikenal istilah frequently relapsing nephrotic syndrome dan steroid dependent nephrotic

syndrome. Frequently relapsing nephrotic syndrome adalah jika terdapat dua atau lebih relaps

dalam 6 bulan pertama, atau jika terdapat lebih dari empat relaps selama periode 12 bulan;

sedangkan steroid dependent nephrotic syndrome adalah jika relaps terjadi bila pengobatan

steroid dihentikan atau dalam 2 minggu setelah menghentikan pengobatan. (Akbar, 2020).

Pada SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengn tujun untuk

mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai

pengobatan steroid dan edukasi orang tua. Perawatan pada SN relaps hanya dilakukan bila

disertai edema anasarca yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal

ginjal atau syok. Penatalaksanaan SN meliputi pengaturan diit dan medikamentosa.

Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan karena dianggap sebagai kontraindiksi karena

akn menambah beban glomerulus untuk mengelurkan sisa metbolisme protein dan menyebab

sclerosis glomerulus. Menurut Recommended daily allowances diit protein normal


2g/kgBB/hari saja, cukup untuk pasien dengan SN. Diit rendah protein akn menyebabkn

mlnutrisi energi protein (MEP dan hambatan pertumbuhan anak. Diit rendah garam (1-2

g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema (Konsensus IDAI, 2012)..

Sesuai dengan anjuran International Study on Kidney Disease (ISKD), kortikosteroid

merupakan pilihan pertama untuk terapi sindrom nefrotik. Jenis steroid yang diberikan adalah

prednison atau prednisolone. Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik

tanpa kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison dosis

penuh yaitu 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/ hari) dibagi 3 dosis, untuk menginduksi

remisi. Dosis tersebut dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi

badan), selama 4 minggu pertama. Setelah mengalami remisi dilanjutkan dengan 4 minggu

kedua dengan dosis 40mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) secara alternating. International Study of

Kidney Disease in Children (ISKDC) melaporkan bahwa 78,1% anak yang didiagnosis

sindrom nefrotik berespon terhadap terapi inisial prednison selama 8 minggu. Pada SN relaps

yang mengalami proteinuria >2+ kembali tanpa edema, sebelum mulai pemberian

prednisone, terlebih dahulu dicari pemicunya, bisanya infeksi saluran nafas atas. Bila sejak

awal ditemukan proteinuria >2+ disertai edema, mka didiagnosis sebagai relaps dan diberikan

pengobatan relaps yaitu prednison dosis penuh sampai remisi (maksiml 4 minggu)

dilanjutkan dengan prednisone dosis alternating selama 4 minggu . (Konsensus IDAI, 2012).

Selain itu restriksi cairan juga dianjurkan selama ada edema berat. Bisanya

menggunakan loop diuretic seperti furosemide 1-3mg/kgBB/hri dan jika perlu dikombinsikan

dengan spironolakton (antagonis aldosterone, diuretic hemat kalium) 2-4mg/kgBB/hari. Jika

pemberian diuretic tidak berhasil karena hypovolemia atau hipoalbuminemia berat (<1g/dL),

dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgBB selama 2-4 jam untuk menarik

cairan dari jaringan intersisial dan diakhiri dengan pemberian furosemide intravena 1-2

mg/kgBB. Pada kasus, pasien mendapatkan terapi berupa Furosemid 2x15 mg intravena,
Spironolakton 2x25mg, Prednison 3x20 mg, diit Nasi Cukup Kalori Tinggi Protein Rendah

Garam (CKTPRG) dan minum 3x200 cc. Pada hari perawatan ke-5 pasien mendapatkan

Albumin 20% 1 g/kgBBI/hari (100cc).

SN merupakan penyakit ginjal kronik yang membutuhkan pengobatn jangka panjang. Selain

itu, dosis yang digunakan juga cukup besar. Hal ini tentu akan memberikan efek samping

terhadap individu tersebut. Pada penelitin Kartawijaya, dkk (2021), setidaknya ada 22% anak

dengan SN mengalami penurunan kualitas hidup berdsarkan dari laporan orang tua, dan pada

anak dengan SN memiliki risiko 4.70x lebih tinggi untuk mengalami penurunan kualitas

hidup pada domain psikososialnya dibandingkan domain fisik. Pada penelitian ini, penilain

kualitas hidup anak menggunakan PedsQL kuesioner sesuai dengan usia pasien. Ada 4

doimain dalam kuesioner ini, yaitu fisik, emosi dan perasaan, sosial dan pendidikan. Setiap

domain terdiri dari 5 skala respon (0= tidak pernah, 1= jarang, 2= kadang-kadang, 3= sering,

4= selalu). Skor dari setiap domain akan dikonversi menjadi 0-100, dengan tingkat konversi

(0= 100, 1= 75, 2=50, 3= 25, 4= 0).. Anak yang memiliki skor total di atas 70 berarti kualitas

hidupnya baik. Sedangkan merek yng memiliki skor total di bawah 70 berarti kualits

hidupnya buruk (Kartawijaya, A.A.P., Nugroho, H.W., & Nur, F.T., 2021).

Pada kasus, berdasarkan laporan anak (menggunakan PedsQL 4.0 generic module usia 8-12

tahun), anak sering marah dan tidur larut malam. Anak mengaku marah pada semua hal yang

menurutnya menganggu dan mudah terpancing dengan keadaan sekitarnya, misalnya ada

temannya yang diganggu dan pihak lain memberikan pancingan untuk berkelahi maka anak

akan berkelahi. Selain itu, marah ketika di rumah sering merasa diganggu oleh adik

kandungnya. Pasien juga mengakui bahwa setiap hrinya sering kesulitan tidur, pasien

biasanya tidur jam 2.00 WIB dini hari. Selain itu pasien juga merasa kesulitan berkonsentrasi

di kelas, pelupa dan kesulitan mengerjakan tugas sekolah. Hingga saat ini pasien belum bisa
baca tulis. Beberapa hal yang menjadi masalah pada pasien juga terlihat dari laporan orang

tua.

Berdasarkan penilaian menggunakan PedsQL 4.0 general module, pada laporan anak skor

domain kesehatan psikososial pasien 30 dan skor domain fisik 56.25, total skor keseluruhan

domain 36.56. Sementara pada laporan orang tua, domain kesehatan psikososial psien 40 dan

skor domain fisik 71.87, total skor keseluruhan domain 47.96. Sehingga pasien ini memiliki

skor total kurng dari 70 berarti kuaitas hidupnya buruk.

Adanya penurunan kualitas hidup pasien dengan SN, terutama pada domain psikososial

disebabkan oleh efek samping dari penggunan steroid jangka panjang. Efek samping steroid

dapat mengubah penmpilan fisik anak sehingga anak mungkin sering diejek dan dikucilkan di

sekolah dan lingkungannya. Semua ini dapat mempengaruhi harga diri anak sehingga dapat

menjadi depresi, stress dan tidak percaya diri. Mekanisme steroid mempengaruhi perubahan

perilaku anak sampai saat ini belum diketahui. Hal ini masih menjdi subjek pada banyak

penelitian. Diduga reseptor kortikosteroid banyak di seluruh hippocampur dan amigdala,

dimana itu menjadi area penting yang melibatkan proses berpikir, perilaku, suasana hati dan

memory. Hal ini mungkin terjadi pada anak dengan SN karena peningkatn kadar

prednisone/prednisolone serum bebas yang diukur selama periode hypoalbuminemia (Halls,

dkk 2013).

Kasus Tumbang

PedsQL

Sumber :

V Mhalingasivam, J Booth, M Sheaff & M Yaqoob. (2018). Review Article : Nephrotic

syndrome, Acute medicine volume 17 Number 1, p36-43.

Richard P Hull & David J A Goldsmith. (2008). Clinical Review : Nephrotic Syndrome,

Volume 336, p1185-89.


Akbar, Muhammad, 2020, Perbedaan Tekanan Darah pada Pasien Sindroma Nefrotik

Sensitif Steroid dengan Pasien Sindroma Nefrotik Resisten Steroid, Medan: Program

Studi Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

IDAI. (2012). Konsensus Tata Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak, Edisi 2.

Jakarta : UKK Nefrologi Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia

Hall, A. S., Thorley, G., & Houtman, P. N. (2013). The effects of corticosteroids on behavior

in children with nephrotic syndrome. Pediatric Nephrology, 18(12), 1220–1223.

doi:10.1007/s00467-003-1295-x (https://doi.org/10.1007/s00467-003-1295-x)

Anda mungkin juga menyukai