Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1. Sistem Pengendalian Internal

2.1.1. Pengertian Sistem Pengendalian Internal

Pengendalian Internal merupakan metode yang berguna bagi manajemen

untuk menjaga kekayaan organisasi, meningkatkan efektivitas dan efisiensi

kinerja. Di samping itu, sistem pengendalian internal, dapat mengendalikan

ketelitian dan keakuratan catatan data akuntansi.

Menurut Committee of Sponsoring Organizations (COSO):

“Internal Controls are the tools that management use (but are often not
taught) to help achieve their business objective in the following
categories:
- Effectiveness and efficiency of operation
- Reliability of financial reporting.
- Complience with external laws and regulations.”

Sebagaimana dijelaskan oleh Michell Suharli dalam Jurnal BEJ artikel

Audit Finansial, Audit Manajemen dan Sistem Pengendalian Interrnal definisi ini

dapat diartikan sebagai berikut :

“Pengendalian Internal adalah alat yang digunakan para manajer


(tetapi jarang diajarkan) untuk membantu dalam pencapaian tujuan
usaha mereka dalam kategori berikut ini:
- Efektivitas dan efisiensi operasi
- Keandalan laporan keuangan
- Ketaatan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku”

Pengendalian Internal harus memberi keyakinan bahwa seluruh transaksi

telah mendapat otorisasi dan dilaksanakan dengan benar sesuai kebijakan

11
12

perusahaan, serta pencatatan transaksi tersebut dengan benar. Di bawah ini

terdapat lima tujuan pengendalian internal atas transaksi, yaitu:

1. Otoritas (wewenang)

Setiap transaksi harus mendapat otoritasi semestinya berdasarkan struktur

dan kebijakan perusahaan. Dalam keadaan atau masalah-masalah tertentu sangat

mungkin diperlukan otorisasi khusus.

2. Pencatatan

Pencatatan atas transaksi harus dilaksanakan sebagaimana mestinya dan

pada waktu yang tepat dengan uraian yang wajar. Transaksi yang dicatat adalah

transaksi yang benar benar terjadi dan lengkap.

3. Perlindungan

Harta fisik berwujud tidak boleh berada di bawah pengawasan/penjagaan

dari mereka yang bertanggung-jawab. Dalam hal ini pengendalian internal

memperkecil resiko kecurangan oleh karyawan ataupun oleh perusahaan

sekalipun.

4. Rekonsiliasi

Rekonsiliasi secara kontinu dan periodic antar pencatatan dengan harta

fisik harus dilakukan misalnya mencocokkan jumlah persediaan barang antara

kartu persediaan dengan persediaan fisik di gudang.

5. Penilaian

Harus dibuat ketentuan agar memberikan kepastian bahwa seluruh harta

perusahaan dicatat berdasarkan nilai yang wajar. Tidak boleh terjadi overvalued

maupun undervalued atas harta tertentu.


13

2.1.2. Tingkat pengendalian internal

Menurut James A Hall (2007: 181) yang diterjemahkan oleh Desi

Fitriasari ada beberapa tingkat pengendalian internal yang dijelaskan sebagai

berikut:

“Pengendalian internal terdiri atas tiga tingkatan pengendalian :


a. Pengendalian Pencegahan. Pencegahan adalah pertahanan
pertama dalam struktur pengendalian. Pengendalian pencegahan
(preventive control) adalah teknik pasif yang didesain untuk
mengurangi frekuensi terjadinya persitiwa yang tidak diinginkan.
Pengendalian pencegahan menegakkan kesesuaian antara tindakan
yang seharusnya dengan yang diinginkan, hingga mencegah peristiwa
yang menyimpang. Ketika mendesain sistem pengendalian internal,
sedikit pencegahan jelas sangat bernilai lebih daripada pengobatan.
Mencegah kesalahan dan penipuan jauh lebih efektif dari segi biaya
daripada pengobatan. Mencegah kesalahan dan penipuan jauh lebih
efektif dari segi biaya daripada mendeteksi serta memperbaiki
masalah setelah terjadi. Kebanyakan peristiwa yang tidak diinginkan
dapat diblokir pada tahap ini.
b. Pengendalian pemeriksaaan (detective control) membentuk lini
pertahanan kedua. Ini adalah berbagai alat, teknik, dan prosedur
yang didesain untuk mengidentifikasi serta mengekspos berbagai
peristiwa yang tidak diinginkan dan yang lepas dari pengendalian
pencegahan. Pengendalian ini mengungkap berbagai jenis kesalahan
tertentu melalui perbandingan kejadian sesungguhnya dengan
standar yang ditetapkan. Ketika pengendalian pemeriksaan
mengidentifikasi penyimpangan dari standar, maka pengendalian
akan membuat peringatan untuk menarik perhatian pada masalah
tersebut.
c. Pengendalian Perbaikan (corrective control) adalah tindakan
yang diambil untuk membalik berbagai pengaruh kesalahan yang
terdeteksi dalam tahap sebelumnya. Terdapat perbedaan penting
antara pengendalian pemeriksaaan dengan pengendalian perbaikan.
Pengendalian pemeriksaan mengidentifikasi berbagai peristiwa yang
tidak diinginkan dan menarik perhatian atas masalah tersebut,
pengendalian pemeriksaan akan memperbaiki masalah tersebut.
Untuk tiap kesalahan yang terdeteksi, bisa jadi akan terdapat lebih
dari satu tindakan perbaikan yang mungkin dapat dilakukan, tetapi
tindakan yang terbaik tidak selalu jelas. “
14

2.1.3. Komponen Pengendalian Internal

Berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi No 78 (SAS 78) dijelaskan

hubungan yang rumit antara pengendalian internal perusahaan, penilaian resiko

auditor, dan perencanaan prosedur audit. Dijelaskan pula bahwa pengendalian

internal terdiri atas lima komponen: lingkungan pengendalian, penilaian resiko,

informasi dan komunikasi, pengawasan, dan aktivitas pengendalian.

1. Lingkungan pengendalian (control environment)


adalah dasar dari empat komponen pengendalian lainnya. Lingkungan
pengendalian menentukan arah perusahaan dan memengaruhi kesadaran
pengendalian pihak manajemendan karyawan. Berbagai elemen penting dari
lingkungan pengendalian adalah :
- Integritas dan nilai etika manajemen
- Struktur organisasi
- Keterlibatan dewan komisaris dan komite audit ,
jika ada
- Filosofi manajemen dan siklus operasionalnya
- Prosedur untuk mendelegasikan tanggung jawab
dan otoritas
- Metode manajemen untuk menilai kinerja
- Pengaruh eksternal, seperti pemeriksaan oleh badan
pemerintah
- Kebijakan dan praktik perusahaan dalam mengelola
sumber daya manusia.
2. Penilaian resiko. Perusahaan harus mlakukan
penilaian resiko (risk assessment) untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan
mengelola berbagai resiko yang berkaitan dengan laporan keuangan. Resiko
dapat muncul atau berubah berdasarkan berbagai kondisi, seperti:
- Perubahan dalam lingkungan operasional yang membebankan tekanan
baru atau perubahan tekanan atas perusahaan.
15

- Personel baru yang memiliki pemahaman yang berbedqa atau tidak


memadai atas pengendalian internal.
- Sistem informasi baru atau yang baru direkayasa ulang, yang
memengaruhi pemrosesan transaksi.
- Pertumbuhan signifikan dan cepat yang menghambat pengendalian
internal yang ada.
- Implementasi teknologi baru ke dalam proses produksi atau system
informasi yang berdampak pada pemrosesan transaksi.
- Pengenalan lini produk atau aktivitas baru hingga pihak manajemen hanya
memiliki sedikit pengalaman tentangnya.
- Restruksturisasi organisasional yang menghasilkan pengurangan dan/atau
realokasi personel sedemikian rupa hingga operasi bisnis dan pemrosesan
transaksi terpengaruh.
- Memasuki pasar asing yang berdampak pada operasional
- Adopsi suatu prinsip akuntansi baru yang berdampak pada pembuatan
laporan keuangan.
3. Informasi dan Komunikasi. Sistem Informasi
Akuntansi (SIA) terdiri atas berbagai record dan metode yang digunakan untuk
melakukan, mengidentifikasi, menganalisis, mengklasifikasi dan mencatat
berbagai transaksi perusahaan serta untuk menghitung berbagai aktiva dan
kewajiban yang terakit di dalamnya. Kualitas suatu informasi yang dihasilkan
oleh SIA berdampak pada kemampuan pihak manajemen untuk mengambil
tindakan serta membuat laporan keuangan yang andal. SIA yang efektif akan:
- Mengidentifikasi dan mencatat semua transaksi keuangan yang valid.
- Memberikan informasi secara tepat waktu mengenai berbagai transaksi
dalam perincian yang memadai untuk memungkinkan klasifikasi serta
laporan keuangan.
- Secara akurat mengukur nilai keuangan berbagai transaksi agar
pengaruhnya dapat dicatat dalam laporan keuangan
- Secara akurat mencatat berbagai transaksi dalam periode waktu terjadinya.
16

4. Pengawasan. Pihak manajemen harus memastikan


bahwa pengendalian internal berfungsi seperti yang dimaksudkan. Pengawasan
(monitoring) adalah proses yang memungkinkan kualitas desain pengendalian
internal serta operasinya berjalan.
Para auditor internal dapat mengawasi aktivitas entitas dalam bentuk
prosedur yang terpisah. Mereka mengumpulkan bukti kecukupan pengendalian
melalui pengujian pengendalian, kemudian memberitahukan kekuatan dan
kelemahan pengendalian pada pihak manajemen. Sebagai bagian dari proses ini,
para auditor internal dapat memberikan rekomendasi tertentu untuk perbaikan atas
pengendalian.
Pengawasan yang ada pada aktivitas yang berjalan dapat diwujudkan
melalui integrasi berbagai modul computer yang terpisah ke dalam system
informasi yang menangkap berbagai data penting dan atau memungkinkan
pengujian pengendalian dilakukan sebagai bagian dari operasional rutin. Jadi
modul melekat (embedded modules) memungkinkan pihak manajemen dan
auditor untuk mempertahankan inspeksi konstan atas fungsi pengendalian.
5. Aktivitas pengendalian (control activities) adalah
berbagai kebijakan dan prosedur yang digunakan untuk memastikan bahwa
tindakan yang tepat telah diambil untuk mengatasi resiko perusahaan yang telah
diidentifikasi. Aktivitas pengendalian dapat dikelompokkan menjadi dua kategori
yang berbeda: pengendalian computer dan pengendalian fisik.
- Pengendalian computer. Pengendalian computer adalah hal yang penting
dan secara khusus berhubungan dengan lingkungan TI dan audit TI.
- Pengendalian fisik. Jenis pengendalian ini terutama berhubungan dengan
aktivitas manusia yang digunakan dalam system akuntansi. Aktivitas ini
dapat benar-benar manual seperti penjagaan aktiva fisik, atau dapat
melibatkan penggunaan komputer untuk mencatat berbagai transaksi atau
pembaruan akun.

2.2. Pengertian Efektivitas


17

Menurut Anthony, Dearden dan Bedford yang diterjemahkan oleh Agus

Maulana (1993 : 14) mendefinisikan efektivitas sebagai berikut:

Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu unit untuk

mencapai tujuan yang diinginkan

Sedangkan menurut Supriyono (1992 : 27) menyatakan bahwa :

Efektivitas adalah hubungan antara keluaran pusat

pertanggungjawaban dengan tujuannya

Dari definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa pengertian efektivitas secara

umum adalah suatu pencapaian hasil atau tujuan yang dikehendaki untuk

menghasilkan output yang memadai sesuai dengan prosedur dan kebijakan yang

diciptakan agar memberikan jaminan yang memadai agar tujuan perusahaan

tercapai.

2.3. Pengertian Kredit


Menurut Teguh Pudjo Muljono (2007 : 10 ) menyatakan bahwa :
“Kredit adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu
pembelian atau mengadakan suatu pinjaman dengan suatu
janji pembayarannya akan dilakukan ditangguhkan pada
suatu jangka waktu yang disepakati.”
Sedangkan pengertian yang lebih mapan untuk kegiatan perbankan di
Indonesia, pengertian ini dirumuskan dalam Bab I, pasal 1 ayat 12 UU no
7 tahun 1992 tentang perbankan yang merumuskan sebagi berikut:
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain
18

yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya


setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan
atau pembagian hasil keuntungan”.

2.3.1. Prinsip-prinsip Perkreditan


Untuk dapat melaksanakan kegiatan perkreditan secara sehat telah dikenal
adanya prinsip 5C atau juga ada menyebutnya sebagai prinsip 6C.
Menurut Teguh Pudjo Muljono (2007: 11) menyatakan:
“Lima prinsip kredit adalah :
a. Character
b. Capacity
c. Capital
d. Collateral
e. Condition of economy “

Berikut penjabaran mengenai prinsip-prinsip perkreditan :


a. Character
Telah dijelaskan bahwa hal yang mendasari suatu pemberian kredit adalah
atas dasar kepercayaan adalanya keyakinan dari pihak bank bahwa si peminjam
mempunyai moral, watak ataupun sifat-sifat pribadi yang positif dan kooperatif
dan juga mempunyai rasa tanggung jawab baik dalam kehidupan pribadi sebagai
manusia, kehidupannya sebagai anggota masyarakat ataupun dalam menjalankan
kegiatan usahanya.
Manfaat dari penilaian soal karakter ini untuk mengetahui sampai sejauh
mana tingkat kejujuran dan integritas serta tekad baik yaitu kemauan untuk
memenuhi kewajiban-kewajibannya dari calon debitur.
b. Capacity
Kapasitas di sini yaitu suatu penilaian kepada calon debitur mengenai
kemampuan melunasi kewajiban-kewajibannya dari kegiatan usaha yang
dilakukannya yang akan dibiayai dengan kredit dari bank. Jadi jelaslah maksud
dari penilaian terhadap capacity ini untuk menilai sampai dimana hasil usaha yang
akan diperolehnya tersebut akan mampu untuk melunasinya tepat pada waktunya
sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya.
c. Capital
19

Yaitu jumlah modal/dana sendiri yang dimiliki oleh calon debitur . Dalam
praktik sehari-hari kemampuan capital ini anatara lain dapat dimanifestasikan
dalam bentuk kewajiban untuk menyediakan self financing sampai sejumlah
tertentu dan sebaiknya besarnya self financing ini lebih besar dari kredit yang
akan dimintakan dari perbankan. Dan bentuk self financing ini tidak selalu harus
berupa uang tunai dapat juga dalam bentuk barang-barang modal seperti tanah,
bangunan, mesin-mesin dan lain-lain.
d. Collateral
Yang dimaksud dengan collateral ini yaitu barang-barang jaminan yang
diserahkan oleh peminjam/debitur sebagai jaminan kredit yang diterimanya.
Manfaat collateral yaitu sebagai alat pengamanan apabila usaha yang dibiayai
dengan kredit tersebut gagal atau sebab-sebab lain dimana debitur tidak mampu
melunasi kreditnya dari hasil usahanya yang normal.
e. Condition of Economy
Yang dimaksud dengan condition of economy yaitu situasi dan kondisi
politik, social, ekonomi, budaya dan lain-lain yang memengaruhi keadaan
perekonomian pada suatu saat maupun untuk suatu kurun waktu tertentu yang
kemungkinannya akan dapat memengaruhi kelancaran usaha dari perusahaan yang
memperoleh kredit.

2.3.2. Kebijaksanaan Perkreditan


Dalam menetapkan kebijaksanaan perkreditan tersebut harus diperhatikan
tiga asas pokok yaitu :
1. Asas likuiditas, yaitu suatu asas yang
mengharuskan bank untuk tetap dapat menjaga tingkat likuiditasnya, karena suatu
bank yang tidak likuid akibatnya akan sangat parah yaitu hilangnya kepercayaan
dari para nasabahnya atau dari masyarakat luas.
2. Asas solvabilitas, usaha pokok perbankan yaitu
menerima simpanan dana dari masyarakat dan disalurkan dalam bentuk kredit.
Dalam kebijaksanaan perkreditan maka bank harus pandai-pandai mengatur
20

penanaman dana ini baik pada bidang perkreditan, surat-surat berharga pada suatu
tingkat risiko kegagalan yang sekecil mungkin.
3. Asas rentabilitas. Sebagaimana halnya pada setiap
kegiatan usaha akan selalu mengharapkan untuk memperoleh laba, baik untuk
mempertahankan eksistensinya maupun untuk keperluan mengembangkan
dirinya. Laba yang diperoleh dari perkreditan berupa selisih antara biaya dana
dengan pendapatan bunga yang diterima dari para debitur.
Sekarang yang menjadi masalah bagaimana agar kebijaksanaan kredit
tersebut betul betul dapat berfungsi sebagai suatu pedoman kerja yang baik?
Pertama-tama, pedoman kredit tersebut harus disebarluaskan dan dipahami
oleh setiap petugas secara memadai menurut/sesuai dengan jenjang jabatannya
dan jug asebaliknya kebijaksanaan – kebijaksanaan tersebut diformulasikan secara
tertulis dengan redaksi yang baik agar dapat mudah dipahami dan jangan sampai
terjadi salah tafsir dalam pelaksanaannya.
Kedua, kebijaksanaan kredit tersebut harus bersifat stimulatif dan
bukannya restriktif, maksudnya agar kebijaksanaan yang tertulis tersebut jangan
menimbulkan sentralisasi ke satu tangan yang terlalu banyak, di samping itu
kebijaksanaan tersebut harus benar-benar dapat bermanfaat untuk pedoman para
pelaksana, serta memperhatikan umpan balik yang terjadi di lapangan untuk
perbaikan dan jangan sampai menjadikan hambatan bagi para pelaksana dalam
tugasnya.
Ketiga suatu kebijaksanaan kredit yang sehat harus mampu meletakkkan
dasar-dasar pemberian wewenang kepada pejabat pemberi kredit /komite kredit
secara memadai sehingga yang bersangkutan dapat mengambil/memberikan
keputusan dengan cepat dan tepat.

2.3.3. Jenis dan bentuk perkreditan


Terdapat beberapa variasi bentuk perkreditan ini dapat ditinjau dari
beberapa segi menurut Teguh Pudjo Muljono (2007: 26-48):
1. Menurut Jenis Kredit yang Dibiayai
2. Jenis Kredit Menurut Wewenang Keputusan
3. Jenis Kredit Menurut Resiko Pembiayaan
21

4. Jenis Kredit Menurut Asal Sumber Dana


5. Jenis Kredit Menurut Sektor Ekonomi

♦ Menurut Jenis Kredit yang Dibiayai


Dalam klasifikasi ini bentuk perkreditan dapat dilihat dari obyek yang

dibiayai dengan kredit tersebut antara lain:

a. Kredit untuk modal kerja, yaitu kredit yang diberikan oleh bank kepada

debiturnya untuk memenuhi kebutuhan modal kerjanya. Kriteria dari

modal kerja yaitu kebutuhan modal yang habis dalam satu cycle usahanya,

hal ini kalau dilihat dalam neraca suatu perusahaan akan uang kas/bank

ditambah dengan piutang dagang ditambah dengan persediaan baik

persediaan barang jadi, persediaan bahan dalam proses, persediaan bahan

baku. Dan apabila yang dibicarakan modal kerja bersih maka perlu

dikurangi lagi dengan current liabilitiesnya.

b. Kredit Investasi, yaitu kredit-kredit yang dikeluarkan oleh perbankan

untuk pembelian barang-baramg modal yaitu tidak habis dalam satu cycle,

maksudnya proses dari pengeluaran uang kas dan kembali menjadi uang

kas tersebut akan memakan jangka waktu yang cukup panjang setelah

melalui beberapa kali perputaran.

c. Personal Loan, yaitu bentuk kredit yang diberikan kepada perorangan

bukan dalam rangka untuk mendapatkan laba tetapi untuk pemenuhan

kebutuhan konsumtif.
22

d. Non Cash Loan. Ada sejenis kredit yang belum efektif dapat ditarik

secara tunai ataupun secara pemindahbukuan, tetapi di dalamnya telah

terkandung adanya suatu kesanggupan untuk melakukan pembayaran di

kemudian hari. Pembayaran baru akan dilakukan oleh bank apabila

transaksi yang akan dilakukan direalisir atau apa yang diperjanjikan

menjadi efektif. Jenis-jenis non cash loan ini antara lain: Bank Garansi,

Fasilitas Pembukaan L/C Impor, Fasilitas Letter of Credit dalam Negeri.

e. Kredit kelolaan, biasanya kredit ini dalam bentuk kredit investasi baik

dalam rangka project aid maupun dalam rangka development loan through

the banking system, sector usaha yang dibiayai biasanya di bidang

industri , perkebunan dan prasarana.

f. Kredit Investasi Kecil dan Kredit Modal Kerja Permanen, Kredit Masal,

Kredit Usaha Kecil, Kredit Kelayakan Usaha dan Kredit Candak Kulak.

Merupakan kredit yang dibuka oleh pemerintah untuk memfasilitasi dan

mengembangkan sector-sektor usaha yang dikelola para pengusaha

golongan ekonomi lemah. Bantuan diberikan tidak hanya dari segi

permodalan namun juga memberikan pembinaan manajemen maupun

pemasaran, keahlian teknis dan lain-lain.

g. Kredit kelayakan. Sasaran utama dari kredit ini yaitu untuk pembiayaan

atau penyediaan modal bagi pemborong yang menangani proyek/usaha

dalam rangka Keputusan Presiden yaitu proyek-proyek yang sumber

pembiayaannya berasal dari APBN, APBD, dan Inpres.


23

h. Kredit untuk Pengembangan Sumber Daya Manusia. Kredit ini erat

hubungannya dengan penyediaan dana dalam rangka pengembangan

pengetahuan.

i. Kredit Ekspor. Kredit ini ditujukan untuk penyediaan dana dalam

pelaksanaan maupun dalam pengadaan/produksi barang-barang yang akan

diekspor. Dengan demikian kredit ini mempunyai dua sifat yaitu sebagai

prefinancing dan postfinancing darikegiatan ekspor itu sendiri.

j. Overdraft Facility. Jenis kredit ini terjadi sebagai akibat pemberian

fasilitas overdraft terhadap para pemegang rekening baik giro/debitur dari

suatu bank, karena suatu transaksi yang melebihi kelonggaran tariknya.

k. Syndication Loan. Untuk membiayai proyekproyek yang jumlahnya

sangat besar biasanya ditempuh dengan pembentukan sindikasi dari para

penyedia dana yang lebih luas dari Kredit Konsorsium. Dalam

syndication loan tersebut juga terkandung maksud pembagian resiko

pembiayaan serta untuk menggalang kerja sama dari berbagai

bank/lembaga keuangan.

♦ Jenis Kredit Menurut Wewenang Keputusan

Dalam rangka pelaksanaan pengawasan dalam pemberian kredit, maka

diciptakan beberapa batasan tentang wewenang dalam pemutusan kredit sesuai

kemampuan dari masing-masing jenjang jabatan yang ada dalam bank yang

bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut di atas maka urutan- urutan pembagian

kredit menurut wewenang tersebut dapat dibagi sebagai berikut:


24

a. Kredit atas dasar wewenang cabang pembantu yaitu suatu jenis kredit

dengan jumlah tertentu yang dapat diberikan oleh cabang Pembantu.

Apabila dalam cabang-cabang tersebut terdapat “loan officer “yang

berhak memutuskan kredit dapat juga disebut kredit a/d wewenang loan

officer dan seterusnya.

b. Kredit atas dasar wewenang keputusan cabang

c. Kredit atas dasar wewenang keputusan kepala kantor wilayah

d. Kredit atas dasar wewenang keputusan kantor pusat

e. Kredit atas dasar wewenang keputusan Bank Indonesia

f. Kredit atas dasar keputusan committee kredit dan lain-lain.

♦ Jenis Kredit Menurut Resiko Pembiayaan

Untuk menampung resiko yang mungkin terjadi/menimpa bank apabila

ditinjau dari sumber dana pembiayaan untuk pemberian kredit tersebut yaitu dapat

dibedakan antara lain:

a. Kredit dari Dana Bank yang bersangkutan

b. Kredit dengan Dana Likuiditas bank Indonesia

c. Kredit kelolaan, seperti telah diuraikan di depan.

d. Kredit konsorsium

e. Joint Financing

♦ Jenis Kredit Menurut Asal Sumber Dana


25

Dengan terbukanya sistem perekonomian suatu Negara memungkinkan

pula suatu bank beroperasi jauh ke kawasan Negara-negara lain. Oleh karena itu

sumber-sumber dana perkreditan juga dapat diberikan oleh bank-bank yang

berasal dari luar negeri yangmenanamkan dananya di Indonesia baiksecara

langsung maupun melalui cabangnya yang ada di Indonesia.

Atas dasar situasi ini maka jenis-jenis kredit inipun juga dapat dibedakan,

yaitu:

- Kredit yang sumber dananya berasal dari luar negeri, baik dlam valuta

asing maupun rupiah.

- Kredit yang sumber dananya berasal dari bank-bank di dalam negeri dalam

valuta rupiah.

♦ Jenis Kredit Menurut Sektor Ekonomi

Untuk kepentingan perencanaan pengembangan kegiatan perekonomian

maka pembagian sektor-sektor ekonomi mempunyai arti yang sangat penting.

Adapun secara garis besar pembagian kredit menurut sektor ekonomi

dapat digambarkan sebagai berikut :

a. Sektor pertanian, perkebunan, dan sarana pertanian

b. Pertambangan

c. Perindustrian

d. Listrik, gas dan air.

e. Konstruksi

f. Perdagangan, restoran dan hotel


26

g. Pengangkutan, pergudangan dan komunikasi

h. Jasa-jasa dunia usaha

i. Jasa-jasa sosial/masyarakat

j. Dll

2.3.4. Analisa Pemberian Kredit

Menurut Teguh Pudjo Muljono (2007: 133-150) dalam pelaksanaan

pemberian fasilitas kredit kepada nasabahnya, bank komersil dihadapkan pada

suatu masalah yang cukup kompleks. Untuk itu sebelum melaksanakan

kegiatan analisa kredit itu sendiri, yaitu membahas aspek yang akan

mempengaruhi kegiatan usaha secara detail dan secara kritis.

Berikut beberapa langkah dalam analisa pemberian kredit yaitu:


1. Pemilihan pendekatan yang akan dipakai dalam melaksanakan
analisa kredit itu sendiri.
2. Proses pengumpulan informasi yang lengkap yang akan
diperlukan dalam kegiatan suatu analisa kredit.
3. Penetapan titik kritis suatu proyek.”

Berikut hal-hal yang harus dianalisa dalam pemberian permohonan kredit :


1. Aspek Yuridis
2. Aspek Pemasaran
3. Aspek Teknis
4. Aspek Komersil
5. Aspek Keuangan
6. Aspek Jaminan
7. Aspek Sosial Ekonomis

2.3.5.Tahapan Pelaksanaan Administrasi Kredit


27

Proses dari pemberian kredit suatu bank terhadap para nasabahnya

dilaksanakan bertahap-tahap, oleh karena itu sebaiknya proses administrasi kredit

yang dilaksanakanpun juga bertahap sesuai dengan tahap-tahap dalam pemberian

kredit tersebut agar pihak manajemen bank tidak kehilangan jejak dalam proses

pemberian kredit-kreditnya. Adapun tahapan dalam proses administrasi kredit

tersebut meliputi:

a. Tahap sebelum Kredit diberikan, sebetulnya proses perkreditan

sudah terjadi jauh hari sebelum nasabah menikmati kredit yang diberikan

oleh suatu bank. Sasaran administrasi kredit pada tahap ini meliputi data-

data mikro yang menyangkut nasabah antara lain data umum, posisi

keuangan, informasi usaha dari Asosiasi usaha sejenis, karakter pengurus,

mutasi rekening giro, dll. Dan data-data Makro Ekonomis seperti: prospek

usaha dari nasabah yang bersangkutan untuk waktu-waktu yang akan

datang, market share, pola dan jaringan pemasaran, dan lain-lain.

b. Tahap Administrasi Kredit pada saat Proses Analisa. Dengan

menentukan keautentikan dari dokumen-dokumen nasabah yang

dikumpulkan dan kemudian diarsipkan. Yang diuji keautentikannya antara

lain: informasi yuridis mengenai legalitas usaha dari masing-masing calon

debitur, informasi pemasaran dari produk/jasa yang dihasilkan, informasi

manajemen perusahaan calon debitur, informasi tenaga kerja yang

diperlukan untuk pelaksanaan operasi perusahaan, informasi mengenai

peralatan kerja, informasi keuangan.


28

c. Tahap administrasi kredit pada saat ada keputusan kredit.

Pelaksanaan pembuatan ikatan-ikatan perjanjian ini diawali dengan

mempelajari isi dan persyaratan keputusan kredit di depan notaries, antara

lain berisi: tanggal keputusan kredit, pejabat yang memutuskan kredit,

plafond kredit, jenis kredit, struktur kredit dll

d. Tahap administrasi Kredit pada saat Pembukaan rekening

Debitur. Agar nasabah dapat melaksanakan pencairan rekeningnya maka

kepada nasabah yang bersangkutan perlu diberikan buku cek atau giro,

bilyet agar dapat secara langsung mengadakan penarikan-penarikan kredit

sesuai dengan rencana yang telah disetujui oleh bank dalam rangka

realisasi pemberian kredit. Kegiatan-kegiatannya adalah sebagai berikut:

pembukaan rekening debitur, penyediaan prime-note, penyediaan rekening

Koran/statement of account, pencocokan antara pencairan kredit dengan

skedul penarikannya.

e. Tahap administrasi kredit pada saat kredit berjalan. Ini

merupakan tahap maintenance agar kredit tersebut tetap berjalan lancar.

Beberapa kegiatan administrasi kredit pada tahap ini meliputi: pencatatan

setiap mutasi/rekening yang terjadi tanpa adanya kesalahan posting,

pengamatan terhadap maksimum kredit agar tidak overdraft, penyampaian

statement of account secara periodik, dan seterusnya.

f. Tahap Pelunasan kredit. Asumsi pada tahapan ini pihak nasabah

dapat menyelesaikan kewajibannya dengan baik tanpa melalui proses

rescue program, hal ini mencakup: penghitungan kembali sisa kewajiban


29

yang harus dibayar oleh debitur kepada bank setempat sampai saat-saat

terakhir sebelum bank menutup rekeningnya, setelah tidak ada lagi

kewajiban yang out standing nasabah dimintakan untuk menyerahkan

kembali buku cek/bilyet giro, dan seterusnya.

2.2.6. Definisi Kredit Modal Kerja

Menurut Teguh Pudjo Muljono (2007: 26-27) Kredit Modal Kerja

termasuk salah satu bentuk dalam klasifikasi perkreditan dimana kredit ini

diberikan oleh bank kepada debiturnya untuk memenuhi kebutuhan modal

kerjanya.

“Kredit untuk modal kerja, yaitu kredit yang diberikan oleh bank
kepada debiturnya untuk memenuhi kebutuhan modal kerjanya.
Kriteria dari modal kerja yaitu kebutuhan modal yang habis dalam
satu cycle usahanya, hal ini kalau dilihat dalam neraca suatu
perusahaan akan uang kas/bank ditambah dengan piutang dagang
ditambah dengan persediaan baik persediaan barang jadi, persediaan
bahan dalam proses, persediaan bahan baku. Dan apabila yang
dibicarakan modal kerja bersih maka perlu dikurangi lagi dengan
current liabilitiesnya. “

Dalam praktik sehari-hari sering terjadi kesalahan dalam klasifikasi modal


kerja ini antara lain: uang muka untuk pembelian mesin yang diimpor juga
dimasukkan dalam modal kerja, hal ini sebetulnya tidak benar karena uang muka
ini dalam perputarannya tidak akan kembali ke kas lagi tetapi akan menjadi aktiva
tetap yaitu, mesin yang dibelinya.
Arus modal kerja ini secara diagramatis dapat digambarkan sebagai
berikut:
30

Gambar 2.1

Arus Modal Kerja untuk Perdagangan

Barang-barang
Uang Kas bank yang
diperdagangkan

Dijual

Ditagih Piutang Dagang

Sumber Teguh Pudjo Muljono (2007: 27)

Perputaran dari uang kas kemudian dibelikan bahan dan barang


yang diperdagangkan kemudian menjadi piutang dagang dan akhirnya
menjadi uang kas lagi disebut satu cycle usaha.
31

Gambar.2.2
Arus Modal Kerja untuk Industri

Bahan-bahan
baku, bahan-bahan
pembantu, tenaga
Uang Kas bank Barang Jadi
kerja, biaya tidak
langsung, dll

Piutang Dagang
Ditagih Dijual

Sumber Teguh Pudjo Muljono (2007: 27)

Dalam proses untuk kegiatan industri tersebut jalurnya bertambah panjang

yaitu adanya proses fabrikasi dari bahan bakud an bahan pembantu menjadi

barang jadi.

Secara lebih spesifik bentuk kredit mdoal kerja ini antara lain :
- untuk perdagangan, antara lain:
kredit leveransir
kredit ekspor
kredit pertokoan
dan seterusnya
- untuk bidang industri
kredit modal kerja pabrik makanan
kredit modal kerja pabrik tekstil
dan seterusnya
32

- untuk bidang perkebunan:


kredit untuk membeli pupuk
kredit untuk membeli obat-obatan anti hama
dan seterusnya
- kredit untuk kontraktor bangunan

- kredit modal kerja untuk perbengkelan/service station

dan seterusnya.

2.3 Pengertian Angka Kredit Macet (Non Performing Loan)

Angka kredit macet ditunjukkan oleh besarnya nilai NPL, yaitu nilai yang

menunjukkan kredit yang tidak lancar. Besaran NPL ditunjukkan dengan

persentase perbandingan kredit bermasalah dengan seluruh kredit yang diberikan

bank (Munawir, 2002:198).

Kredit yang diberikan bank kepada nasabah dapat dibedakan menjadi lima

kelompok kolektibilitas, yakni lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar,

diragukan, dan macet. Empat kelompok kolektibilitas yang terakhir merupakan

kredit bermasalah atau NPL. Namun demikian, sebuah bank yang memiliki NPL

sangat kecil tidak serta-merta berarti hampir seluruh kredit bank tersebut adalah

kredit lancar, yang menunjukkan betapa sehatnya bank tersebut. NPL yang sangat

kecil dapat saja dicapai bank yang hanya sedikit menyalurkan kreditnya.

Rasio kredit bermasalah atau non performing loan atau yang biasa

disingkat NPL. Semakin kecil rasio NPL ini semakin aman bank tersebut. BI

sendiri mematok batasan NPL ini maksimal 5% (Munawir, 2002:198). Jika

sebuah bank menawarkan bunga yang amat tinggi atau memberikan iming-iming
33

hadiah mewah, sementara dilihat NPL-nya sudah melewati 5%, maka waspadalah,

sebab, bank itu memenuhi persyaratan utama untuk dilikuidasi.

2.4. Pengaruh Sistem Pengendalian Internal terhadap Angka Kredit

Macet.

Sebagaimana uraian di atas, dapat terlihat adanya pengaruh antara sistem

pengendalian internal perkreditan terhadap pemberian kredit modal kerja yang

keduanya dapat mendukung efektivitas pemberian kredit modal kerja dalam

bentuk rasio kecilnya tingkat kredit macet (NPL).

Jika suatu sistem pengendalian internal dilaksanakan dengan baik maka

tentunya akan berdampak pada penurunan angka kredit macet. Dengan demikian

pada akhirnya akan melancarkan dan menghindarkan terjadinya penyimpangan

dalam proses pemberian kredit modal kerja.

Anda mungkin juga menyukai