Anda di halaman 1dari 95

RAGAM LIKU TRANSFORMASI PERSONAL SAHABAT NABI

Oleh:
Mardiah Hapsah
Ade Hidayat

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
SELAYANG PANDANG...............................................................................................1
MENGAPA SIRAH SAHABAT?...................................................................................6
BAGAIMANA TRANSFORMASI PERSONAL?.......................................................10
FAKTOR PEMBENTUK TRANSFORMASI PERSONAL PARA SAHABAT NABI
.........................................................................................................................................13
1. Potensi Dasar Manusia sebagai Bagian dari Sunatullah...................................13
2. Islam Sebagai Penyempurna Karakter................................................................20
3. Rasulullah sebagai Role Model..............................................................................21
a. Teladan Terbaik.................................................................................................22
b. Pendidik Terbaik...............................................................................................24
c. Motivator Terbaik..............................................................................................25
d. Arsitektur SDM Terbaik...................................................................................25
4. Berproses: Internalisasi Al-Qur’an dalam Diri Para Sahabat...........................26
5. Tauhid, Jihad, dan Pengampunan Allah............................................................27
6. Khauf dan Roja’ Para Sahabat Nabi......................................................................32
RAGAM CARA SAHABAT NABI DALAM BERTRANSFORMASI DIRI............38
1. Abu Bakar, ra.........................................................................................................39
2. Mush’ab Bin Umair, ra..........................................................................................41
3. Bilal Bin Rabbah, ra...............................................................................................42
4. Umar Bin Khattab, ra............................................................................................44
5. Amr Bin Ash, ra.....................................................................................................47
6. Khalid Bin Walid, ra..............................................................................................49
7. Ikrimah Bin Abi Jahl, ra........................................................................................54
8. Suhail Bin Amr, ra.................................................................................................56
9. Wahsyi Bin Harb, ra..............................................................................................58
RAGAM HIKMAH POLA TRANSFORMASI DIRI SAHABAT NABI..................62
1. Ragam Pola Transformasi Sahabat Rasulullah..................................................62
a. Pola Totalitas Ketaatan.....................................................................................63
b. Pola Pergelutan Nalar.......................................................................................66
c. Pola Penaklukan Politik....................................................................................69

ii
2. Terdapat Tingkatan Kualitas dan Akselerasi Individual.................................70
3. Keteladanan Karakter Sahabat sebagai Mirror-Line dan Karakter Rasulullah
sebagai Goal-Line........................................................................................................74
4. Sosok-Sosok yang Bertransformasi dalam Islam di Zaman Ini.......................78
5. Transformasi Personal sebagai Pondasi Transformasi Sosial..........................79
6. Sejarah Nabi-Sahabat dan Psikologi Islam.........................................................82
PENUTUP......................................................................................................................86
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................87

iii
SELAYANG PANDANG

Pada tahun 1964 di kota Mekkah, seorang kulit hitam tertegun sejenak
setelah tersadar telah menemukan hakikat kesetaraan manusia yang nyata
merealisasi dalam lautan manusia berbalut kain putih dalam tawaf sucinya.
Sepanjang pencarian tentang keadilan dan kebenaran di hidupnya, di titik itu ia
benar-benar telah mendapat simpulan jawaban ringkas padat tentang
problematika besar yang telah lama menggelayuti beban moralitas Amerika,
rasisme anti-Afrika. El-Hajj Malik El-Shabazz alias Malcom Little atau Malcom X
atau mendapati keindahan nilai sebuah ajaran merasuki jiwanya tepat di kota
dimana empat belas abad yang lalu seorang yang berwarna kulit sama telah
dahulu hidup dan ia menyerupai taqdir dirinya. Sungguh menakjubkan
menyaksikan kesamaan konteks dua insan berbeda dengan setting yang tak
serupa, Bilal bin Rabbah dan Malcom X, lalu jawaban yang sama adalah sebuah
tanda cinta Sang Khaliq pada makhluq-Nya, Islam.
Peradaban manusia dalam panjangan sejarah hidupnya telah melewati
berjuta ragam fenomena kemanusiaan. Sejarah hari ini seolah mengulang
fenomena kejahiliyahan di masa lalu, dimana ia adalah sebuah bentuk
keniscayaan dari yatimnya nafsu angkara manusia karena telah kehilangan
bimbingan ilahiah. Ketidak-adilan, dehumanisasi, hedonisme, kapitalisme,
degradasi moralitas, hegemoni penguasa, keretakan dan perpecahan umat
merupakan turunan efek dari induk penyimpangan spiritual yang dilaku
manusia. Maka pada waktunya tiba, geliat-geliat manusia mulai mencari sebuah
konsep ajaran yang dapat melepaskan kerangkeng jahiliyah yang ia buat sendiri.
Maka muncul lah kesadaran diri mereka dalam membangun motivasi
perubahan. Kesadaran bahwa keberlangsungan hidup tak akan mampu berjalan
tegak di atas kekeliruan besar. Motivasi itu muncul mengatakan bahwa
keberlangsungan hidup yang benar adalah kehidupan yang ditopang kuat dan
dibangun di atas sebuah konsep yang benar pula. Maka berbagai konsep dicari
dan digali dan kemudian diterapkan dalam kehidupan mereka. Perubahan
kemudian dijalari dalam setiap fase dan lini dan akhirnya menemukan sintesa
tujuan globalnya.
Perubahan menjadi qodrat alamiah dalam setiap kehidupan. Perubahan
sebuah peradaban, bermula dari perubahan masyarakatnya. Perubahan sebuah
masyarakat mengecambah awalnya dari perubahan entitas-entitas
masyarakatnya yakni individu. Maka transformasi individu merupakan kunci

1
pertama dalam merubah sebuah peradaban. Tanpa melewati transformasi
individual, mustahil transformasi sosial dapat tercapai. Sebaliknya, upaya
transformasi sosial akan semudah membalikan telapak tangan ketika ia
terdorong kuat oleh desakan kolektif dari transformasi per individualnya.
Sunatullah menempatinya:
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka
dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah
tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap
sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada
pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Satu diantara langkah perubahan tadi adalah menemukan konsep yang
benar untuk dijadikan bentukan tujuan. Islam adalah konsep hidup penuh
dengan kebenaran yang Allah ciptakan untuk manusia, walaupun tidak banyak
manusia mengetahui. Di zaman ini menemukan Islam yang sesungguhnya
adalah seperti menemukan harta temuan yang hampir nyaris punah di palung
kesadaran dan pengetahuan. Tanpa tersadar kenestapaan kemanusiaan di zaman
ini dapat segera berakhir dengan hanya dapat menggali dan mengulang apa
yang masih tersimpan rapi dalam khazanah Islam yang tertimbun waktu dan
peradaban lian.
Sebuah model generasi faktual yang tepat untuk dijadikan contoh dalam
wacana transformasi adalah para sahabat Rasulullah. Bagaimana tidak, mereka
adalah satu generasi yang ditepatkan Allah dalam giliran sibghoh Islam dimana
mereka pun menepati diri mereka pada arahan tujuan Allah dalam sibghah
tersebut. Telah banyak generasi terlahir ke bumi tak terhitung jumlahnya. Ada
yang binasa ada pula yang penuh karya. Namun ketika generasi sahabat
Rasulullah terlahir mereka hidup dengan penuh kecemerlangan prestasi di
panggung bumi menampilkan perubahan sosial besar yang kegemilangannya
memancar dalam berbagai segi. Maka bagi muslim sejati seindah-indah zaman
yang diyakini adalah berturut pada versi Allah dan Rasul-Nya:
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,(karena
kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. sekiranya Ahlul Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi
mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah
orang-orang fasik.” (QS. Ali Imran: 110).
“Sebaik-baik generasi adalah generasi di zamanku, kemudian generasi setelahnya,
kemudian generasi setelahnya.” (HR. Bukhori Muslim).

2
Bukanlah dengan tolok ukur kemutakhiran teknologinya, pencakar langit
bangunannya dengan segala kemapanan infrastrukturnya, akan tetapi dengan
pencapaiannya dalam keseimbangan beberapa hubungan manusia; yakni
dengan Allah, sesama, lingkungan semesta dalam kesadaran paripurna akan
kesementaraan dunia, dan kesejatian akhirat tempat pulang manusia.
Saksi mata yang melihat kebenarannya pun bersaksi, Abdullah bin Mas’ud,
berikut kesaksian indah dirinya tentang para sahabatnya sekaligus pula sahabat
Rasulullahnya:
“Siapa yang ingin mengikuti sunnah, hendaklah ia mengikuti sunnah orang yang
sudah tiada. Sebab, orang yang masih hidup, dirinya tidak terbebas dari fitnah.
Mereka adalah para sahabat Muhammad. Demi Allah, merekalah yang paling utama
diantara umat ini, paling baik hatinya, paling luas ilmunya, dan paling minim
afektasi/takalluf-nya. Mereka adalah kaum yang dipilih oleh Allah untuk menyertai
Nabi-Nya dan untuk menegakkan agama-Nya. Karena itu, kenalilah keutamaan
mereka, ikutilah atsar mereka, dan berpegang teguhlah dengan akhlaq dan agama
mereka. Sebab, dulu mereka semua berada di atas petunjuk yang lurus.” (HR. Ibnu
Abdil Bar dalam Jami Bayanil Ilmi wa fadhilah No. II/97 dan al-Harawi
no.86).
Maka, kita yang jauh berjarak belasan abad di zaman modern ini telah
kehilangan bayang-bayang mereka. Padahal, hadits Rasulullah tersebut seolah
mewartakan kepada generasi saat ini bahwa generasi itulah yang harus menjadi
prototype generasi-generasi kini untuk dapat mengikuti pola kehidupan muslim
sejati demi keberhasilan bagi umat di penghujung zaman dengan cetakan
generasi terawal Islam.
Begitu jauhnya jarak abad kita dengan generasi terbaik Rasulullah tersebut,
acapkali memunculkan sebuah asumsi bahwa para sahabat adalah tipe manusia
dengan karakter mulia teramat tinggi untuk diikuti, sosok yang tidak pernah
sedikitpun melakukan kesalahan, yang dalam kehidupannya telah tercetak
secara instant label ‘terbaik’ tanpa rintang dan ralatan dari Allah dan Rasul-Nya.
Sehingga seringkali muncul paradigma di khalayak bahwa kaum salafussalih
terdahulu seolah malaikat dan manusia di hari ini seolah pendosa.
Padahal Allah dengan segala keadilan-Nya telah menakarkan sama pada
penciptaan manusia di bangsa manapun dan zaman manapun ia dilahirkan.
Maka pada hakikatnya, mengenali para sahabat berarti tengah mengenali siapa
diri kita, namun dalam settingan zaman yang berbeda dengan segala perangkat
budayanya. Allah menciptakan kodrat alami setiap manusia adalah sama, yakni
jasmani, qalbu, akal dan nafsu. Dalam keseragaman potensi ajali manusia

3
tersebut, Allah menghiasinya dengan keberagaman pola watak dan genetika di
setiap per individunya. Dalam sebuah kumpulan komunitas niscaya akan selalu
ditemukan keberagaman dalam kepribadian. Hal itu didorong oleh banyak
Faktor baik itu bawaan maupun asuhan. Namun dengan itu, apabila disana
terdapat sibghoh Allah, semua tercipta dalam harmoni yang indah menuju satu
konfigurasi besar ketertundukan pada Allah. Sifat asal jiwa (nature) manusia
tidak ada yang berbeda, namun kemudian pengaruh lingkungan, pola hidup,
dan kemana kehendak bebas mengarahkan dirinya, kepada ketaqwaan atau
kepada kefujuran.
“Demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Dia mengilhamkan padanya
(jalan) kejahatan dan ketaqwaan”. (QS. Asy-Syams: 7-8)
Sebagaimana manusia biasa seperti kita, para sahabat memiliki sisi
humanitas dengan aspek keunikannya dimana ia memiliki keterbatasan,
kecenderungan baik positif ataupun negatif, kesalahan di masa lalu, kelemahan
diri dengan segala sifat dasar melekat pada manusia. Yang menjadi poin utama
adalah faktor dan pola yang menjadi kunci kecemerlangan generasi tersebut
perlu kita gali untuk diadaptasi oleh kita dalam kebermusliman kita di zaman
ini. Kunci tersebut tepatnya ada dalam apa dan bagaimana proses perubahan
(transformasi) kehidupan mereka dari pola kehidupan jahiliyah menjadi muslim
penuh penjagaan kesucian jiwa dalam sepanjang hidupnya sehingga mereka
berhasil mencapai tingkat teroptimal dalam meningkatkan kecenderungan dan
sifat positif serta memperkecil seoptimal mungkin kecenderungan dan tabiat
negatif.
Galian khazanah ilmu ini dapat diintip dalam celah kecil ilmu pengetahuan
yang Allah jaga dalam konservasi ilmu sirah. Karena Sirah Nabawiyah dan Sirah
Shahabah merupakan satu kekayaan ilmu yang dimiliki Islam yang sarat
manfaat bagi kehidupan manusia yang menghendaki perbaikan sekaligus
memiliki sebuah fungsi tutorial yakni panduan bagi kita bagaimana menjalankan
Islam sebaik mungkin sebagaimana para model terbaik dari sejarah Islam telah
melakoninya, yakni Rasulullah beserta komunitas para sahabat beliau.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengikhtiari analisis kehidupan para
sahabat Rasulullah, sebagai alternatif bahan dampingan dari bahasan penggalian
utama hikmah Siroh Nabawiyah yang berfokus pada metode dan segala aspek
dari perspektif Rasulullah. Penulis mencoba mengambil langkah pengambilan
hikmah dengan sudut pandang lain dari sisi para sahabat Rasulullah, karena
adakalanya perlu penambahan wacana dan khazanah pemahaman bagi kita bila

4
kita meniliki sisi sempit yang jarang digali namun itu dapat menjadi bagian
kontribusi positif, demikian harapan besar penulis.
Maka dari latar belakang pemikiran akan pentingnya pembahasan sirah
sahabat dari aspek tersebut penulis berupaya menghantarkan penyusunan ini
sehingga diharapkan menjadi bagian dari khazanah ikhtiar ilmiah dalam
mengangkat lagi dan lagi permata-permata terpendam Sirah Nabawiyah yang
sangat sarat nutrisi bagi peradaban muslim dan manusia di zaman ini dan demi
menyambut kebangkitan Islam serta yang utama teruntuk menjemput limpahan
keridhaan Allah.

5
MENGAPA SIRAH SAHABAT?

Secara bahasa arti Sirah adalah jalan, keadaan atau tingkah laku yang
dinisbatkan kepada manusia atau selainnya. Adapun menurut istilah umum,
sirah adalah kisah hidup dan sejarahnya, atau perincian hidup seseorang atau
sejarah hidup seseorang. Pemakaian istilah sirah pertama kali digunakan oleh
Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Abdullah ibn Shihab Al-
Zuhri (51-124 H/671-742 M) yang banyak mengambil sanad dan periwayatannya
dari Urwah ibn Zubair. Istilah Sirah telah lebih dulu melekat pada hal yang
berkaitan dengan Nabi Muhammad Shallalahualahi wasallam yakni Sirah
Nabawiyah yang telah umum dikenal masyakat muslim. Sirah Nabawiyah adalah
kumpulan hal-hal yang sampai kepada kita berupa peristiwa-peristiwa atau
kejadian-kejadian dalam kehidupan Nabi Muhammad Shallalahualahiwasalam,
budi pekerti Nabi, sifat fisik Nabi serta hal-hal yang berkaitan dengan
peperangan dan ekspedisi Nabi.
Adapun istilah Sirah Sahabat terdiri dari Sirah dan Sahabat. secara bahasa
kata sahabat berasal dari akar kata yang terdiri dari tiga huruf Arab yakni Sha,
Ha, Ba yang menunjukkan arti penyertaan sesuatu dan kedekatannya dengan
seseorang yang bersamanya. Kata ini semakna dengan rakib yang artinya
menjadi tunduk. Dalam Mu’jamul Wasith (I/507) disebutkan, “Shahabahu, ialah
faraqahu (menemaninya), istashhaba syaian artinya menyertainya. As-Shahib
artinya teman, pemilik sesuatu, pelaksana suatu pekerjaan. Kata ini dipakai juga
untuk orang yang menganut madzhab atau suatu pendapat tertentu. Maka
secara istilah kata Sahabat Rasulullah berarti orang yang bertemu Rasulullah
SAW, beriman padanya, dan wafat dalam keadaan muslim.
Sirah Shahabah atau Sirah Shahabat berarti merujuk kepada orang-orang
yang bertemu, memeluk Islam dan menemani perjuangan Nabi Muhammad
sepanjang hidupnya. Kumpulan dari orang-orang tersebut kemudian dikenal
dengan sahabat Rasulullah. Menurut Ibnu Katsir yang dimaksud sahabat
Rasulullah adalah orang yang melihat Rasulullah Shallalahualaihi wasalam
dalam keadaan Islam, yang meriwayatkan sabda Nabi. Meskipun ia bertemu
tidak dalam tempo yang lama, atau Rasulullah belum pernah melihat ia sama
sekali.”
Berikut pendapat beberapa para ulama tentang definisi sahabat Rasulullah:
Al-Iraqi: sahabat adalah mereka yang bertemu dengan Nabi Shallalahualaihi
wasallam dalam keadaan muslim dan mati dalam keadaan Islam.

6
Ibnu Taimiyah: sahabat ialah istilah yang digunakan untuk orang-orang yang
menyertai Rasulullah Shallalahualahi wasallam dalam jangka waktu yang lama
maupun singkat. Akan tetapi kedudukan setiap sahabat ditentukan oleh jangka
waktu ia menyertai Rasulullah Shallalahualahi wasallam. Ada yang menyertai
beliau setahun, sebulan, sehari, sesaat atau melihat beliau sekilas lalu beriman.
Derajat masing-masing ditentukan sesuai jangka waktunya dalam menyertai
Rasulullah.
Imam Ahmad: Sahabat adalah siapa saja yang menyertai Rasulullah setahun,
sebulan, sehari, atau sesaat, atau melihat beliau, maka ia termasuk sahabat Nabi.
Derajat masing-masing ditentukan menurut jangka waktunya menyertai
Rasulullah.
Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya (II/5): siapa saja dari kalangan kaum
muslimin, yang pernah menyertai dan melihat Rasulullah maka ia terhitung
sahabat Nabi.
Sa’id bin Musayyab: Sahabat adalah mereka yang tinggal bersama dengan
Rasulullah Shallalahualahi wasallam selama satu tahun atau dua tahun dan
berperang bersamanya satu peperangan atau dua peperangan.
Sebagian ulama Ushul dan Fiqih berkata bahwa sahabat adalah mereka yang
bertemu dengan Nabi, tinggal bersamanya di satu daerah, banyak mengikuti
majelis-majelis Nabi serta meriwayatkannya darinya. Pendapat lain mengatakan
bahwa sahabat adalah mereka yang hidup semasa dengan Rasulullah SAW
dalam keadaan Islam, sekali pun ia tidak pernah melihat Nabi. Sejalan dengan
pendapat yang menyebut bahwa sahabat adalah mereka yang melihat Nabi
dalam keadaan Islam, baligh dan berakal.
Pendapat Al-Hakim An-Naisaburi dalam karyanya Al-Mustadrak, tingkatan
sahabat terbagi ke dalam 12 tingkatan, yaitu:
1) Para Khulafaur Rasyidin dan selebihnya dari sepuluh yang dijanjikan surga
ketika masih hidup
2) Para sahabat yang masuk Islam di Mekkah sebelum Umar dan mengikuti
majelis Darul Arqam
3) Para sahabat yang ikut serta berhijrah ke negeri Habasyah
4) Para sahabat kaum Anshar yang ikut serta dalam Baiat Aqobah pertama
5) Para sahabat kaum Anshar yang ikut serta dalam Baiat Aqobah kedua
6) Para sahabat kaum Muhajirin yang berhijrah sebelum sampainya nabi
Muhammad di Madinah dari Quba

7
7) Para sahabat yang ikut serta dalam perang Badar
8) Para sahabat yang berhijrah antara perang Badar dan perjanjian Hudaibiyah
9) Para sahabat yang ikut serta dalam Biaat Ridhwan pada saat ekspedisi
Hudaibiyah
10) Para sahabat yang masuk Islam dan berhijrah ke Madinah setelah perjanjian
Hudaibiyah
11) Para sahabat yang masuk Islam setelah Fathu Makkah
12) Para sahabat anak-anak yang melihat nabi Muhammad di waktu dan tempat
apapun setelah Fathu Makkah.
Berdasarkan ragam pendapat di atas, jika ditelisik tentang jumlah para
sahabat Rasulullah terdapat banyak perbedaan pendapat para ulama. Hanya saja
sebagiannya merujuk pada pendapat hadits riwayat Al-Bukhari (4418) dan Imam
Muslim (2768), dan Al-Hafidh Abu Zar’ah (guru Imam Muslim) menyatakan
bahwa jumlah sahabat Nabi adalah 114.000 orang, berdasarkan riwayat Al-
Kuthaib Al-Baghdadi dalam Kitabnya Al-Jami (2/293).
Di sisi Allah dan Rasul-Nya para sahabat ini memiliki keutamaan
sebagaimana termaktub dalam ayat dan hadits berikut:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan
bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-
lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar” (QS. At
Taubah: 100)
“Kebaikan akan tetap ada selama diantara kalian ada orang yang pernah melihatku
dan para sahabatku, dan orang yang pernah melihat para sahabatku (tabi’in) dan
orang yang pernah melihat orang yang melihat sahabatku (tabi’ut tabi’in)” (Hadits)
“Sebaik-baik manusia adalah yang ada pada zamanku, kemudian setelah mereka,
kemudian setelah mereka.” (HR. Bukhari no. 3651; Muslim no. 2533).
Jangan engkau cela sahabatku, andai ada diantara kalian yang berinfaq emas sebesar
gunung Uhud, tetap tidak akan bisa menyamai pahala infaq sahabatku yang hanya
satu mud (satu genggam), bahkan tidak menyamai setengahnya”. (HR. Bukhari no.
3673; Muslim no. 2540).
Urgensi memasukkan sirah sahabat Rasulullah ke dalam khazanah ilmu dan
pemahaman bagi setiap muslim sangatlah jelas karena para sahabat Rasulullah
merupakan orang-orang yang paling memahami Al-Qur’an setelah Nabi, dan
yang paling memahami sunnah Rasulullah diantara generasi setelahnya. Dengan

8
demikian dalam seluruh bagian ilmu tentang keislaman, akan selalu dibutuhkan
pemahaman yang paling mendekati kebenaran yang dimiliki Quran dan Sunnah.
Maka dari itu pengetahuan dan pola kehidupan yang diterapkan para sahabat
sangat tepat untuk dijadikan panduan setelah Sirah nabawiyah.
Keutamaan para sahabat diantara lainnya sebagai berikut:
1) Sosok-sosok yang mendapatkan kelimpahan berkah berdekatan hidup
dengan Rasulullah.
2) Sosok-sosok yang mencurahkan hidupnya untuk membantu perjuangan
Rasulullah menegakkan syiar Islam.
3) Sosok-sosok yang memiliki ahlaq mulia buah meneladani Rasulullah secara
langsung.
4) Sosok-sosok yang menyaksikan kebenaran dan keagungan wahyu Allah turun
kepada Nabi sekaligus memahami fenomena peristiwa di balik turunnya
tersebut.
5) Sosok-sosok yang pertama kali berinteraksi dengan hukum-hukum Islam dan
sekaligus saksi mata penetapan dan pernyataan Rasulullah tentangnya.
Sebuah kumpulan manusia terbaik sebagai contoh atau model rujukan
terbaik bagi setiap insan yang ingin melakukan perubahan hidup yang benar
dalam aturan Islam adalah para sahabat. Maka di dalam Sirah Sahabat
terangkum lengkap perihal panduan tentang bagaimana mengimplementasikan
sebuah umat terbaik Islam berdasarkan cetakan pertama generasi Islam didikan
Rasulullah di masa awal perjalanan umat Muslim.

9
BAGAIMANA TRANSFORMASI PERSONAL?

Transformasi secara etimologis berasal dari bahasa Inggris yakni kata


transform yang berarti mengubah, merubah, atau menjelmakan. Dalam ilmu
psikologi komunikasi, transformasi merupakan proses restrukturasi yang segala
identifikasi dan gambaran diri terdahulu yang diolah dalam perspektif masa
depan dan pandangan terhadap ruang sosialnya. Transformasi terjadi karena
perubahan kondisi psikologis dan lingkungan individu. Transformasi diri atau
personal dapat terjadi karena adanya kesadaran (consciousness) dalam diri
individu atas situasi dan kondisi psikologis dan lingkungannya. Menurut Dedy
Mulyana (2012) definisi Transformasi personal adalah kesadaran berubah
manakala antara diri dan pengalaman sosialnya ditafsir ulang dan dilihat dengan
pemahaman baru.
Motivasi internal terbesar dalam transformasi personal adalah dengan
adanya kesadaran. Kesadaran berarti hubungan diri yang mengamati,
mengetahui dan berefleksi tentang dunia di sekelilingnya, yang kemudian
ditelaahi bila terdapat kekeliruan atau kekurangan maka ia bergerak membuat
perubahan atau transformasi.
Apabila mencari padanan makna dalam Al-Qur’an, kata transformasi
personal sepadan dengan kata Taghyir (perubahan) yang mana konteks
pemahamannya terdapat dalam surat Ar-Ra’d ayat 11: “..Sesungguhnya Allah
tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri
mereka sendiri”
Dalam ayat tersebut sebuah perubahan suatu kaum (masyarakat) bermula
dari apa disebut dengan “nafs” yang mana disini bila dialih-bahaskaan ke dalam
bahasa Indonesia berarti jiwa, yang merujuk pada “pribadi, “keakuan”. Dalam
psikologi istilah tersebut mengacu pada keadaan-keadaan mental, aspek-aspek,
watak-watak, atau kecenderungan-kecenderungan pribadi manusia.
Adapun jika disinggung dengan Islam, apa yang menjadi gerak dan tujuan
dakwah Islam yang hakikatnya sebuah usaha untuk memotivasi manusia kepada
petunjuk Allah SWT dalam Islam, serta mengajak untuk melakukan kebajikan
dan mencegah pada hal yang buruk, adalah berfokus mengutamakan perubahan
pada aspek kognitif (kesadaran intelektual) dan afektif (kesadaran emosional).
Dakwah merupakan sebuah stimuli dalam memantik gerak dalam menciptakan
transformasi. Dakwah Islam merupakan sebuah panggilan seruan pada manusia
untuk bergerak dari titik-titik yang belum tuntas bahkan keliru menuju

10
kemapanan kebenaran Islam. Ia seolah memanggil kesadaran individu untuk
muncul keluar lalu mengidentifikasi dan mengobservasi atas nilai, pola diri dan
lingkungannya selama ini.
Para psikolog membagi kesadaran ke dalam tiga lapisan: lapisan kesadaran,
sub sadar, dan alam bawah sadar. Lapisan kesadaran adalah yang bisa terlihat,
terasa dan terdengar seketika. Lapisan sub-sadar adalah lapisan yang baru bisa
diketahui ketika kita berusaha keras untuk memfokuskan pikiran untuk
menggalinya. Karena jika tidak digali maka ia akan terpendam bahkan
tenggelam ke tingkat yang lebih dalam yaitu alam bawah sadar. Orang yang
lapisan alam bawah sadarnya tebal sering tidak tahu bahwa ia sedang
membohongi diri sendiri, tidak bisa melihat kesalahannya sendiri dan akibatnya
ia sulit berubah. Dalam filsafat India, hubungan antara kesadaran dan alam
bawah sadar sering diibaratkan dengan manusia yang menunggang gajah.
Manusia ibarat kesadaran, gajah ibarat alam bawah sadar. Besarnya alam bawah
sadar sangat sulit dikendalikan oleh manusia di atasnya yang ukurannya begitu
kecil.
Dari hasil berbagai penelitian psikologi, diketahui bahwa kemampuan
mengendalikan alam bawah sadar sehingga membuatnya menjadi tipis, dan
tentunya dapat menebalkan wilayah kesadaran, hanya bisa dilakukan bila
seseorang rajin melakukan observasi diri. Obsevasi diri dilakukan dengan
melakukan introspeksi yakni menelaah isi pikiran, menelaan keinginan, dan
menelaah segala perasaan dan situasi dirinya.

Dengan observasi dan penelaahan itu, seseorang akan mampu mengakrabi


dan mengendalikan “si gajah” sang alam bawah sadarnya yang kebanyakan
berisi hal-hal yang negatif. Latihan menelaah alam bawah sadar melalui
kesadarannya akan membuat seseorang terlatih untuk meningkatkan kontrol

11
dirinya. Bagi George Herbert Mead (1925), kesadaran merupakan esensi diri dan
sumber identitas. Menurutnya, kesadaran-diri berarti menjadi suatu diri dalam
pengalaman seseorang sejauh sikap yang dimilikinya sendiri membangkitkan
sikap serupa dalam upaya sosial. Kesadaran adalah pemahaman manusia atas
pengalamannya sendiri, yang memungkinkannya mendefinisikan dirinya sendiri
dan keadaannya. Dengan kata lain, kesadaran diri menurut Mead menyangkut
objektifikasi diri. Kesadaran adalah hubungan antara individu dengan
lingkungannya sejauh lingkungan itu eksis bagi individu. Kesadaran berarti
hubungan diri yang mengamati, mengetahui dan berefleksi dan dunia sosial di
sekelilingnya. Ia adalah pemahaman manusia atas pengalamnnya. Kesadaran
inilah yang menyebabkan manusia melakukan perubahan atau transformasi diri.

12
FAKTOR PEMBENTUK TRANSFORMASI PERSONAL PARA SAHABAT
NABI

1. Potensi Dasar Manusia sebagai Bagian dari Sunatullah


“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan hati nurani, agar
kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 78)
Manusia merupakan makhluk Allah yang paling mulia sekaligus paling
besar menerima beban tugas dari Allah Azza Wajalla. Kemuliaan dimana
diperkayanya manusia dengan perangkat keelokan jasmani, kekuatan akal,
ruhani, qalbu dan nafsu tersebut itulah ia kemudian dipercayai untuk menjadi
khalifah Allah di bumi. Allah telah menetapkan kesempurnaan dan keabadian
hanya pada diri-Nya, sehingga segala yang selain diri-Nya yakni ciptaan-Nya
bersifat nisbi dan tak sempurna. Namun diantara semua ciptaan-Nya, Allah
melebihkan beberapa keunggulan pada manusia sehingga para malaikat pun
baru mengetahui dan akhirnya diperintahkan Allah untuk sujud padanya.
“Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia
perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “sebutkan kepada-Ku, nama
semua benda ini jika kamu yang benar”. Mereka menjawab, “Maha suci Engkau,
tidak ada yang kami ketahui selain apa yang tekah Engkau ajarkan kepada kami.
Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui, MahaBijaksana.” (QS. Al-Baqoroh:
31-32)
Ketika proses penurunan Nabiyullah Adam Alaihissalam ke bumi setelah
dilengserkan dari syurga bersebab cenderung mengikuti hawa nafsunya
sehingga meninggalkan kepatuhannya pada perintah Allah dengan ujian buah
zaqum dengan sejurus rayuan iblis, maka seketika turun di bumi ia menyesali
kelalaiannya. Maka setelah ia terlepas dari jeratan nafsunya, ia kemudian
mengemuka dalam kesadaran diri dan memanjatkan taubat akan kesalahan. Ia
kemudian menerima sanksi dari Allah berupa penurunan dari syurga dan
berbeban tugas menanggung keluh dan letih tak seperti kalanya di surga, yakni
harus menjadi khalifah di bumi dengan seperangkat tugasnya. Maka dengan
penyerahan diri sepenuhnya nabi Adam menerima tugas tersebut sampai batas
tertentu Allah menggariskan ajalnya.
Al-Qur’an dalam banyak ayatnya telah memberikan pengajaran pada kita
sebagai cucu keturunannya tentang genetika segala sifat kelebihan dan
kekurangan manusia dalam kisah tertua peradaban manusia ini. Dipicu oleh
hasutan iblis akan pesona palsu khuldi akan keabadian, Nabi Adam memang

13
awalnya terjatuh dalam kesalahannya yang lebih mendekati kecenderungan
negatif yakni potensi nafsunya, dibanding kecenderungan positifnya pada fitrah
untuk taat dan patuh pada perintah Allah. Namun kegagalan tersebut menjadi
tolakan balik baginya untuk memperbaiki kesadarannya dengan taubat hingga
Allah menerimanya. Di sini—mengutip penilaian dari Salim A. Fillah—Nabi
Adam telah berhasil belajar menyikapi kegagalan sedangkan iblis telah gagal
menyikapi keberhasilan. Letak mekanisme inilah yang dimiliki semua manusia
di zaman manapun. Belajar, sekelumit hasil positif dari proses yang dilakukan
potensi dasar manusia yakni hati akal dan fitrah untuk mendaur satu objek atau
keadaan yang tidak bernilai menjadi satu hasil yang sangat bernutrisi bagi
perkembangan kehidupannya. Belajar merupakan serangkaian proses kognitif
dan afektif dan psikomotorik yang mampu mengangkat kesadaran diri pada
temuan hakikat dan merubah kondisinya menjadi lebih berkualitas dan bernilai.
Dan dengan mekanisme itulah Allah kemudian mempercayakan tampuk
khalifah di bumi padanya dan keturunannya. Pada dasarnya kemampuan belajar
dalam kehidupan manusia menjelaskan terdapat potensi potensi dasar manusia
yang dimaksud. Menurut al-Ghazali, potensi tersebut terdiri dari qalbu dan akal
yang mengatur dan memimpin dalam kolaborasinya, kemudian nafsu serta
indera yang menjadi alat dalam menjalankan kehidupannya. Dinamika
sepanjang hayat peradaban manusia terjadi tidak jauh perebutan dominasi jiwa
pada kecenderungan positif dan negatif dengan pelibatan ke empat potensi dasar
tersebut, dan yang bertikai adalah qalbu dengan syahwat. Sesungguhnya
komponen diri manusia dalam ke empat potensi dasar tadi berada dalam kondisi
fitrah dalam kesuciannya. Namun seiring manusia hidup di dunia, kemudi diri
itu berputar berpindah-pindah antara fitrah dan kecondongan syahwat
tergantung kehendak individu menggilirkannya. Secara eksternal, kondisi fitrah
jiwa diperkuat oleh berupa bimbingan agama adapun syahwat dan amarah
diperkuat dipengaruhi oleh bisikan dan ajakan setan.
Segala mekanisme yang yang terjadi pada manusia tidak lepas dari pelibatan
lima potensi dasar manusia, yakni:

1) Kalbu

“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras sehingga (hatimu seperti batu, bahkan
lebih keras. Padahal, dari batu-batu itu pasti ada sungai-sungai yang (airnya)
memancar daripadanya. Ada pula yang terbelah, lalu keluarlah mata air darinya.
Dan ada pula yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. dan Allah tidaklah
lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.“ (QS. Al-Baqoroh: 24)

14
Kalbu (qalb) berasal dari kata qalaba atau kalbu yang berarti berubah,
berpindah, atau berbalik (Cholik, 2015). Hati atau kalbu merupakan materi
organik yang memiliki sistem kognisi, yang berdaya emosi. Al-Ghazali membagi
kalbu menjadi dua aspek yaitu kalbu jasmani dan kalbu ruhani. Kalbu jasmani
adalah jantung dan kalbu ruhani adalah sesuatu yang bersifat halus, rabbani dan
ruhani yang berhubungan dengan kalbu jasmani. Bagian ini merupakan esensi
manusia. Al-Ghazali menyatakan bahwa kalbu memiliki insting yang disebut
dengan al-nur al-ilahy (cahaya ketuhanan) dan al-bashirah al-bathinah (mata
batin) yang memancarkan keimanan dan keyakinan. Al-Zamakhsyarity
menegaskan bahwa kalbu itu diciptakan oleh Allah SWT. Sesuai dengan fitrah
asalnya dan memiliki kecenderungan untuk menerima kebenaran dari-Nya. Dari
sisi ini, kalbu ruhani merupakan esensi dari jiwa manusia.
Kalbu berfungsi sebagai pemandu, pengontrol, dan pengendali struktur jiwa
yang lain. Apabila kalbu berfungsi secara normal maka kehidupan manusia akan
menjadi lebih baik dan sesuai dengan fitrah aslinya, sebab kalbu ini memiliki
natur ilahiyah dan rabbaniyah. Natur ilahiyah merupakan natur supra-sadar
yang dipancarkan langsung dari Allah Ta’ala. Dengan natur ini maka manusia
tidak sekedar mengenal lingkungan fisik dan sosialnya, melainkan juga mampu
mengenal lingkungan spiritual, ketuhanan dan keagamaan. Oleh karena inilah
maka kalbu disebut juga fitrah ilahiyah atau fitrah rabbaniyah nuraniyah. Dalam
realitasnya, potensi kalbu yang abstrak tidak selamanya menjadi tingkah laku
yang baik. Karena sifat dominan qalbu yang selalu bolak-balik antara iya dan
tidak, kuat dan lemah, yakin dan ragu, tenang dan gundah, atau sejenisnya. Dari
keterangan makna serta kaitannya dengan fisik dan psikis kalbu di atas,
menunjukkan bahwa kalbu memang mempunyai sifat dominan yang menjadi
karakteristiknya, yaitu selalu berubah-ubah yang selanjutnya memberi pengaruh
pada kejiwaan manusia yang juga berubah-ubah. Perubahan baik buruknya
sangat tergantung pada pilihan manusia itu sendiri, sebagaimana sabda Nabi
SAW:
“Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik maka
semua tubuh menjadi baik, tetapi apabila ia rusak maka semua tubuh menjadi rusak
pula. Ingatlah bahwa ia adalah kalbu” (HR. Bukhori).
Kalbu memiliki fungsi: 1) emosi yang menimbulkan daya rasa; 2) kognisi
yang menimbulkan daya cipta; dan 3) konasi yang menimbulkan daya karsa.
Kemudian dari sudut kondisinya, kalbu memiliki kondisi baik, yaitu kalbu yang
hidup (al-hayy), sehat (salim), dan mendapatkan kebahagiaan (al-sa’adah); 2)
buruk, yaitu kalbu yang mati (al-mayt) dan mendapatkan kesengsaraan (al-

15
saqawah); dan 3) antara baik dan buruk, yaitu kalbu yang hidup tetapi
berpenyakit (mardh).

2) Akal

“Katakanlah (Muhammad), “Tidaklah sama yang buruk dengan yang baik,


meskipun banyaknya keburukan menarik hatimu, maka bertawakal kepada Allah
wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat agar kamu beruntung.’ (QS. Ali
Imran: 190); “untuk menjadi petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang
berpikiran sehat” (QS. Ghafir: 54)
Secara epistimologi, akal berarti al-imsak (menahan), al-ribath (mengikat), al-
hajr (menahan), al-bahy (melarang), dan man’u (mencegah). Berdasarkan makna
bahasa ini maka yang disebut orang yang berakal adalah orang yang mampu
menahan dan mengikat hawa nafsunya. Mujid dan Mudzakir berpendapat
kedudukan akal terletak di otak yang memiliki cahaya nurani, dipersiapkan dan
dipersiapkan memperoleh pengetahuan (al-ma’rifat) dan kognisi (al-mudrikat).
Akal diartikan sebagai energi yang mampu memperoleh, menyimpan dan
mengeluarkan pengetahuan.
Menurut Abdul Mujid, akal adalah substansi nafsani tersendiri yang
berkedudukan di otak, yang berfungsi untuk berpikir. Akal mampu mencapai
pengetahuan tetapi tidak mampu mencapai pengetahuan supra-rasional. Akal
mampu menangkap hal-hal abstrak tetapi belum mampu merasakan hakikatnya.
Akal mampu mengantarkan manusia ke tingkat kesadaran namun belum
mampu menghantarkannya ke tingkat supra sadar. Al-Ghazali berpendapat
bahwa akal memiliki banyak aktifitas antara lain al-nazhar (melihat dan
memperhatikan), al-tadabbur (memperhatikan dengan seksama), at-ta’ammul
(merenungkan), al-istibshar (melihat dengan mata batin), al-i’tibar
(menginterpretasikan), al-tafkir (memikirkan) dan al-tadakkur (mengingat).

3) Nafsu

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah
telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas
penglihatannya? Maka siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah
(membiarkan sesat)? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-
Jatsiyah: 23)
Nafsu daya nafsani memiliki dua kekuatan, yaitu kekuatan al-ghadhabiyah
dan al-syahwaniyah. Al-ghadhab adalah suatu daya yang berpotensi untuk
menghindari diri dari segala yang membahayakan. Sedangkan syahwat adalah

16
suatu daya yang berpotensi untuk menginduksi diri dari segala yang
menyenangkan. Prinsip kerja nafsu mengikuti prinsip kenikmatan (pleasure
principle) dan berusaha mengumbar hasrat-hasratnya. Prinsip kerja nafsu
hampir sama dengan prinsip kerja jiwa binatang, baik binatang buas maupun
binatang jinak. Binatang buas memiliki dorongan agresi, sedangkan hewan jinak
memiliki dorongan seksual.

4) Indera

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka jahanam) kebanyakan dari jin
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang
yang lalai.“(QS. Al-A’raaf:179)
Indera tempatnya pada jasad yang menjadi media kendaraan jiwa.
Kemampuan kemampuan fisik yang terdiri lima panca indra manusia adalah
indra peraba, penglihatan, penciuman, pendengaran, serta perasa. Dengan
bantuan organ tubuhnya masing-masing, kelima panca indera dapat
mengerjakan fungsinya dengan baik, dan mengirimkan “pesan” khusus ke otak,
sehingga manusia bisa mengerti dan merasakan banyak hal. Indera merupakan
bagian substansi jasmaniah perangkat kasar manusia untuk mengamati realitas
kasat mata yang kemudian diabstraksi ke dalam substansi ruhianiah.
Dalam kitab Kimiya as-Sa’adah, al Ghazali menggambarkan jiwa (nafs)
manusia ibarat sebuah gambaran kota pemerintahan. Di mana kalbu sebagai raja,
badan laksana seluruh wilayah, akal sebagai perdana menteri, syahwat sebagai
gubernur wilayah, amarah sebagai musuh, sedangkan anggota badan baik
dzahir dan batin ibarat para tentara raja. Menjadi kewajiban raja untuk
berkolaborasi dan bermusyawarah dengan perdana menteri karena perdana
menteri inilah yang mempunyai daya nalar guna mewujudkan keadaaan negara
yang baik terutama dalam mengontrol gubernur dan mengawasi para musuh.
Jika demikian terjadi, maka jiwa seseorang akan baik, namun jika raja lengah,
perdana menteri tak kuasa mengendalikan para musuh sehingga seluruhnya di
bawah kendali musuh, maka kekacauan jiwa akan terjadi.

17
Disini bisa diambil pengertian bahwa jiwa manusia seakan-akan selalu
terjadi dorongan tarik menarik antar akal dan nafsu syahwat dimanaakal
mengarah kepada kebaikan, sedangkan nafsu dan amarah mengarah kepada
perilaku keburukan. Sejatinya, syahwat dan amarah kalau bisa dikendalikan
akan menjadi baik karena disitulah penyeimbang kehidupan.
Qalbu atau hati menerima kebenaran namun dalam urusan spiritual,
sedangkan akal terbatas dalam urusan inteligensia. Ketika akal hanya berurusan
dalam persoalan rasional empiris, hati lebih menekankan pada rasional-
emosional-spiritual untuk memahami fenomena dan ayat-ayat Allah.
Kemampuan hati dalam menjangkau alam metafisik selalu didukung oleh
pengetahuan akal, namun pengetahuan ini tidaklah cukup menghindarkan hati
dari kesalahan kecuali dengan menerima pengetahuan agama melalui ajaran
para nabi (wahyu). Adanya pengetahuan dari wahyu ini selanjutnya memberi
konsekwensi pada hati (sebagai substansi yang memutuskan tingkah laku) untuk
melaksanakan ajaran yang ada di dalam wahyu. Di sinilah peran hati, yaitu dia
juga berakal dan mampu berpikir untuk membenarkan adanya tanzil wahyu,
berarti hatinya tidak berakal (Qulubun la ya qilun) atau buta mata hatinya
terhadap realitas ayat-ayat Allah.
Kelebihan hati atas akal adalah bahwa hati mampu melihat segala hakikat
kebenaran. Akal hanya bisa menangkap pengetahuan secara terbatas, yaitu
pengetahuan yang hanya bersifat rasional dan empiris melalui indra dan daya
nalar (rasio), sedangkan hati mampu menangkap kebenaran pengetahuan secara
tidak terbatas. Kemampuan yang tidak terbatas itu diperoleh dengan dzauq atau
intuisi. Dengan dzauq ini hati dapat memperoleh ilmu mukasyafah yang tidak
bisa dilalui lewat akal. Namun kemampuan hati ini sering dihalangi oleh kotoran
yang mengendap di hati sehingga menghalanginya untuk menangkap realitas
kebenaran.
Ke empat potensi dasar manusia tersebut dimana akal dan qalbu menempati
substansi ruhaniah, sedangkan nafsu dan indera menempati substansi
jasmaniah. Yang selalu bertikai dalam wadah qalbu adalah fitrah dan nafsu,

18
sedangkan indera dan akal adalah prajurit yang sifatnya diperalat oleh
kecenderungan yang mana yang lebih kuat mendominasi. Pertikaian nafsu dan
fitrah dalam Quran diistilahkan fujur dan tawqa dalam surat As-Syams ayat 8:
“Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketaqwaannya.” (QS.
Asy-Syams: 8)
Penciptaan atau pengilhaman potensi buruk, fujur, kejahatan, atau nafsu,
menurut Muhammad Mansur dalam Al-Mukhtasharul Mufid fi Tarbiyatunafs, tidak
dituntut untuk dihilangkan karena hal itu mustahil dilakukan. Namun yang
terpenting bagi manusia adalah berusaha mencegah sifat buruk yang ada dalam
dirinya agar tidak mendominasi jiwa, misalnya sifat marah yang tidak mungkin
dihilangkan dari jiwa manusia. Meskipun demikian, dalam kondisi tertentu
marah diperlukan. Oleh karena itu, manusia diminta untk mengendalikan marah
agar hal-hal buruk akibat marah seperti berbuat dzalim dapat dicegah.”
Adapun menurut Zakiah Darajat (2002), bimbingan Allah dalam Al-Qur’an
merupakan peringatan dan bimbingan Allah pada manusia, agar dia dapat
mengendalikan jiwa yang menjadi motor penggerak dalam perbuatan dan
perilaku pada umumnya. Karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa manusia
membutuhkan Allah yang memberi petunjuk dan arahan dalam kehidupannya.
Agar manusia itu dapat menjadi baik dan tidak ditimpa oleh bahaya dan
kesengsaraan. Telah banyak kaum, generasi dan bangsa yang lahir, hidup dan
berlalu. Semua memberikan warna terlepas warna perbaikan atau justru
kemerosotan. Namun perubahan yang diturunkan Allah untuk mengangkat
kemerosotan kehidupan manusia di bumi dilakukan dalam bentuk pengutusan
para nabi dan rasul. Setiap diutus para rasul, menyeruak peradaban kembali
memutih bersih. Akan tetapi setelah jauh waktu berjalan pasca kewafatan para
rasul tersebut, kehidupan kembali berabu dan menghitam oleh kejahiliyahan
tiada aturan ilahiah yang membumi. Hingga tiba pada pengutusan rasul
terakhir, Muhammad Shallalahualaihi Wasallam, situs mula perubahan yang
dinoktahkan Allah ada pada jazirah Arab yang penuh dengan noda-noda
kemanusiaan, disamping beberapa titik putih norma dan budaya yang masih
melekat padanya. Adalah bangsa Arab yang kemudian menjadi cikal bakal
semua transformasi besar-besaran dimulai.
Para sahabat Rasulullah merupakan generasi yang terlahir dalam kondisi
sosial yang disebut zaman jahiliyah. Jahiliyah disini bukan berarti kebodohan
dalam membaca dan menulis. Al-Qur’an menerangkan dalam tempat yang
berbeda hakikat jahiliyah bangsa Arab saat itu menempati empat aspek;

19
penyimpangan ketuhanan, dalam ketuhanan dan peribadatan, kebodohan
tentang hukum yang benar, kebodohan yang bermakna kebodohan secara
kemanusiaan dan peribadatan dalam Al-Qur’an diwartakan secara terpisah
dalam beberapa ayat dimana bentuk kebodohan masyarakatnya ada dalam
aspek keyakinan terdapat Tuhan (dzan), aturan-aturan peradaban (hukm), pola
hidup (tabarruj), dan karakter arogansi/kesombongan.
Dengan kedatangan Islam, transformasi sosial Arab dan kemudian
merambat ke seluruh negeri sesungguhnya terbangun dari bata-bata
transformasi individual yang dipelopori oleh Rasulullah dengan sosok-sosok
personal yang terhimpun dalam komunitasnya yakni Muhajirin dan Anshar.
Ketika Islam belum sampai di bumi Arab, kejahiliyahan begitu adanya
berjalan. Disana hanya ada beberapa gelintir insan yang menyadari kekeliruan
pola hidup masyarakatnya, namun dalam kebingungan tanpa pegangan konsep
kebenaran.
Para sahabat merupakan sebuah sampel diantara semua kelompok manusia
yang telah berhasil melewati semua dinamika kehidupan dengan pengoptimalan
potensi dasarnya. Beragam kepribadian manusia, beragam dominasi
kecenderungannya dengan berbagai hal yang melatar belakanginya menciptakan
keberagaman cara mereka dalam menyambut hidayah Islam.

2. Islam Sebagai Penyempurna Karakter


Beragam tipe kepribadian, latar belakang keluarga, strata, profesi,
lingkungan sosial selalu didapati dalam berbagai bangsa, lingkungan dan jenis
komunitas manusia baik di zaman dahulu hingga sekarang. Kendatipun dalam
sebuah komunitas tersebut memiliki satu benang keseragaman, di bagian
mayoritasnya akan selalu beragam. Keberagaman tersebut pun tidak lepas dari
kekurangan dan kecenderungan tiap individu yang memberikan dampak
gesekan sosial yang tidak bisa dihindari, sehingga seringkali berpotensi menjadi
konflik baik besar maupun kecil, bahkan menjadi problematika desktruktif
ataupun mengalami perubahan secara gradual menuju kemunduran.
Para sahabat yang terkumpul dengan panggilan hidayah pada dasarnya
memiliki bahan mentah keberagaman dan keunikan masing-masing. Namun
berada dalam lingkaran besar komunitas Rasulullah dengan formula agung
Islam mereka mengalami perubahan dari dalam sehingga tercipta fenomena-
fenomena psiko-sosial yang sangat menakjubkan dari semenjak awal tahun

20
nubuwah hingga di penghujung wafat Rasulullah bahkan di sepanjang hidup
mereka.
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq” (HR. Muslim).
Pengutusan Rasulullah sebagai agen bumi pembawa risalah langit Islam,
fungsi utama dari segenap kemaslahatan dan sempurnanya sifat rahmat bagi
semesta ada pada pembenahan karakter manusia. karena karakter menjadi pusat
rambat perubahan perbaikan ke dalam berbagai segmen kehidupan manusia,
maka itu yang kemudian menjadi denyut nadi ajaran Islam berfusi dalam
perubahan sosial Arab kala itu kendatipun begitu banyak mengalami goncangan
penolakan hebat dari kaumnya sendiri.
Beberapa sendi budaya dan norma yang baik tetap dipertahankan,
sedangkan pembusukan nilai yang terbentuk menjadi budaya desktruktif
dilakukan pembersihan oleh ajaran agama mulia ini yang akhirnya dengan
proses yang cukup lama, pengerahan tenaga yang dicurahkan dalam semangat
jihad fi sabilillah, membuahkan hasil berupa penyempurnaan akhlaq muslim
baik dalam beradab kepada Allah, sesama manusia, dan alam.

Adapun sunnah dalam tarbiyah Islam memperbaiki manusia berkonsep


berikut:
1) At-Tadaruj (bertahap)
2) At-Tadafu’ (saling mendorong/menolak)
3) Al-Ibtila (ujian/cobaan)
4) Al-Akhdzu bil asbab (mengambil sebab-sebab)
5) Tagyir an-nufus (perubahan hati)
Karakter dalam Islam yakni Akhlaq, menurut pendapat Abdul Mujib (2012),
yang diambil dari pendapat Manshur Ali Rajab, mencakup pengertian pada dua
hal, Thab’u dan sajiyah. Thab’u adalah citra batin manusia yang menetap (al-
sukun) yang terdapat pada al-jibilah (konstitusi)-nya yang diciptakan oleh Allah
sejak lahir. Sedangkan Sajiyah adalah kebiasaan (‘adah) manusia yang berasal dari

21
hasil integrasi antara karakter manusiawi dengan aktifitas-aktifitas yang
diusahakan (al-muktasab). Kebiasaan ini ada yang teraktualisasi menjadi suatu
tingkah laku lahiriah dan ada juga yang masih terpendam.

3. Rasulullah sebagai Role Model


Kepribadian Rasulullah adalah penggerak pertama dalam Islam.
Kepribadian beliau memiliki kekuatan daya tarik dan pengaruh atas orang lain.
Allah Ta’ala telah menciptakannya sendiri dan menjadikan bentuk yang paling
sempurna bagi ukuran manusia dalam sejarah bumi, keagungan selalu
mencintai, dan orang-orang di sekelilingnya merasa kagum. Mereka selalu
melekat begitu dekat dengan rasa kagum dan sayang yang mereka berikan.
Allah dengan segala kehendak-Nya telah menuangkan kesempurnaan
karakter dan kepribadian yang begitu mulia dan agung pada diri Rasulullah
Shallalahualaihi Wasallam sehingga setiap manusia yang bertemu, mengenal
dan berbincang dengannya merasakan keistimewaan menyeruak dari dalam
dirinya baik secara batiniah maupun lahiriah. Maka lahirlah kecintaan,
kekaguman keinginan untuk selalu membersamai serta kesediaan untuk
berjuang bersama. Hanya jiwa yang terselip kedengkian yang terhalang untuk
menyatakan pengakuan dan kemudian memilih menjauh.

Kemuliaan karakter Rasulullah pun ditopang karena dalam diri Rasulullah


terpancar motivasi internal untuk terjaga dalam kepatuhan pada Allah,
kemurnian hidup dalam rangka beribadah pada Allah, tekad dalam
mengimplementasi Al-Qur’an di setiap jengkal langkahnya serta ketulusan
hatinya dalam menyayangi sesama dan menginginkan setiap jiwa terselamatkan
dalam naungan Islam. Para sahabat nyatanya menjadi saksi mata yang paling
merasakan wujud lahiriah sublimasi kualitas-kualitas tersebut dalam diri
Rasulullah. Maka, Rasulullah bagi para sahabat memiliki multi-peran yang

22
kemudian mencetaknya sedemikian rupa menjadi sebuah pencapaian
monumental. Adapun peran tersebut sebagai berikut:
a. Teladan Terbaik
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu
(yaitu) dan (kedatangan) hari kiamat dan ia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-
Ahzab: 21)
Secara spesifik ayat diatas turun ketika terjadi peristiwa perang Ahzab yang
cukup memeras kesabaran baik bagi Rasulullah maupun para sahabat. Kondisi
kritis muslimin terjepit dalam pengepungan dengan pertahanan terbatas dengan
strategi paritnya, dipersulit lagi dengan akomodasi pangan yang sangat minim
dengan rentang waktu yang cukup alot, semua itu menyudutkan kaum
muslimin dalam kegamangan di ambang harapan. Disini, Nabi dari kesekian
kalinya menampilkan karakter mulia dengan kesabaran tanpa batas untuk
menjalani sunatulloh perjuangan. Di setiap situasi, di setiap realitas dalam
kenyataan situasi riil yang secara fisik mendera kekuatan jiwa, Rasulullah
senantiasa menepati kualitas-kualitas terbaik diantara pilihan yang tersedia
dalam memutuskan dari sekian perilaku yang bisa diambil. Sehingga bagi para
sahabat, mereka senantiasa memiliki referensi hidup dalam memilih dan
memutuskan perilaku terbaik apa yang akan diambil, dan itu begitu dekatnya
dengan mengadopsi hal-hal terbaik dari kualitas karakter yang terjadi dalam diri
Rasulullah sendiri. Beberapa karakter mulia yang utama dari Rasulullah
diantaranya adalah:
1) Kejujuran beliau yang erat melekat disandang bahkan musyrik Quraisy
sekalipun mengakuinya.
2) Kredibel (amanah) dalam menjalankan tanggung jawab baik secara personal
maupun mengenai keumatan.
3) Multi-intelegensinya yang mencakup berbagai segi, yang terbukti dalam
kecerdasan interpersonal dalam berdakwah, bersosialisasi dengan segala
kalangan, kecerdasan strategis berperang, kecerdasan spiritual, kecerdasan
memenej masalah ataupun konflik, serta kecerdasan lainnya.
4) Kebesaran tekad untuk menyampaikan kebenaran Islam sampai pada setiap
jiwa walaupun sepelik apapun kondisi dan objek dakwah yang dihadapi
beliau.
5) Keluasan rahmah, welas asih, cinta damai yang sering muncul dalam kondisi-
kondisi kritis dimana banyak memberikan peluang positif bagi orang lain baik
untuk merengkuh Islam maupun dalam mempererat ukhuwah.

23
6) Memiliki plafon jiwa yang luas dalam menampung segala hal yang tidak
sesuai dengan qodrat manusiawi diri beliau yang berfondasi dari kemampuan
tinggi beliau dalam berhusnudzon kepada Allah Ta’ala dengan segala taqdir
dari-Nya.
Ada banyak karakter agung Rasulullah yang mungkin hanya para sahabat
saja yang begitu dapat memahaminya secara total bagaimana kemuliaan tersebut
dirasakan dan disaksikan dalam keseharian dan di sepanjang kehidupan mereka
menyertai beliau, sehingga tidak luput satu pun dari sosok sahabat yang tidak
mencintai, tidak setia dan tidak sedia menjadi sahabat beliau. Kemuliaan
karakter, hal-hal positif yang tumbuh dan terealisasi dalam diri seseorang
sesungguhnya akan selalu dicenderungi/didekati oleh khalayak manusia serta
dicintai dan dikerumuni oleh jiwa yang memiliki sifat yang sama. Sebagaimana
logika umum yang terjadi pada teman yang arogan dijauhi dan teman yang
menyenangkan digemari sesama temannya. Hal yang jauh lebih besar serupa
itulah yang terjadi pada diri Rasulullah bersama para sahabatnya. Ketika
kecintaan telah melekat pada diri sahabat kepada Rasulullah secara spontan apa
yang dilaku Rasulullah akan ditiru, apa yang dikatakan akan digugu.
b. Pendidik Terbaik
Nabi membimbing para sahabat untuk bersama mengejewantahkan makna-
makna persaudaraan yang tinggi berdasarkan cinta kasih-sayang dan itsar
(mengutamakan orang lain), seiring itu pula beliau membawa prinsip kesetaraan
dan kebebasan berpendapat dalam mengungkapkan dan memberi saran,
pemberian hak dan kewajiban. Nabi tidak membedakan perbedaan karena sebab
kelahiran, asal-usul, keturunan, kaya-miskin, warisan, atau warna kulit.
Sejak di universitas pertama, yakni rumah Arqam bin Abi Arqam, kemudian
berlanjut di Madinah majelis Suffah, keduanya adalah saksi bagaimana
Rasulullah mendidik para sahabatnya dalam berbagai mata pelajaran kehidupan
serta dengan tahapan-tahapan kurikulumnya.
Tak hanya dalam pengajaran berupa transformasi ilmu di dalam kedua
majelis, namun pada hakikatnya Rasulullah mendidik para sahabat tanpa
terbatas waktu dan tempat, tanpa tertinggal satu domain ajaran pun. Ada
beberapa hal penting tentang kecemerlangan Nabi dalam mendidik para sahabat,
diantaranya:
1) Rasulullah sangat mengetahui sisi kekhasan setiap para sahabat, baik itu sisi
positif maupun negatif.

24
2) Kecerdasan Rasulullah muncul dalam bagaimana mendidik para sahabat
secara pedagogis yakni kepada para sahabat cilik, dan bagaimana cara
mendidik secara andragogis dengan tepat kepada para sahabat dewasa.
3) Rasulullah memiliki teknik tertentu yang berbeda-beda dalam mendidik
para sahabat sesuai kapasitas para sahabatnya yang tentu berbeda-beda.
4) Kecerdasan bahasa dalam penyampaian sangat diperhatikan Nabi dalam
menjawab persoalan dan kondisi yang beragam dalam menghadapi para
sahabat.
5) Bersifat demokratis dalam hal yang yang berkaitan dengan selain wahyu,
serta bersifat tegas apabila pengajaran tersebut bersumber dari wahyu Allah.
Perlu pembahasan terpisah apabila kita hendak menggali secara mendalam
bagaimana paripurnanya Rasulullah dalam hal mendidik dengan sekian para
sahabat dengan sekian keragaman kepribadian mereka dan dalam kondisi
beragam yang mereka hadapi. Namun yang menjadi fakta, Rasulullah telah
berhasil mengemban amanah kepemimpinan tarbiyah di bawah naungan wahyu
sekuat yang beliau curahkan dalam segala aspek hidupnya untuk dapat
mencetak generasi terbaik yang di kemudian hari Allah tampakkan pada
semesta sebagai cermin terbaik dalam merefleksi kehidupan setiap generasi
setelahnya.
c. Motivator Terbaik
Kehidupan hati dan jiwa manusia tidak dapat ditetapkan dalam satu
kondisi. Hati bersifat labil sesuai kemudi yang menguasainya. Begitu pula yang
terjadi pada para sahabat. Hal yang dipilih oleh Rasulullah dalam mendidik jiwa
para sahabatnya adalah dengan selalu memotivasi yang secara general sifatnya
motivasi positif. Atas bimibingan wahyu Rasulullah Shallalahualaihi wasallam
senantiasa memberi julukan, laqob, panggilan kesayangan, nama panggilan
berkarakter positif kepada setiap para sahabatnya. Ketika satu kali sifat atau
kecenderungan positif sahabat tertentu muncul ke permukaan dan nyata dalam
realitas asli, lalu Rasul menangkapnya dan serta merta memujinya berupaya
melekatkan sebuah julukan dari karakter tersebut seolah Nabi memilihkannya
untuk sahabatnya sebagai karakter yang harus menjadi dominan kepribadian
sepanjang hidupnya sehingga memiliki daya psikologis yang kuat untuk
memperbesar kekuatan dan mengikis kelemahan jiwa. Abu Bakar dengan Ash-
Shiddiq, Umar bin Khattab dengan Al-Faruq, Utsman bin Affan dengan Dzun-
Nurain, Ali dengan Harun Musa bagi diri beliau, Sa’ad bin Abi Waqash dengan
singa yang menyembunyikan kukunya, Thalhah dengan syahid yang masih

25
berjalan, Khalid bin Walid dengan pedang Allah, Zubair bin Awwam dengan
hawari Rasulullah, Abdurrahman bin Auf dengan Tajirurahman, Abu Ubaidah
bin Jarrah dengan kepercayaan umat ini, dan sederet sahabat lainnya.
Dalam cara lain Nabi senantiasa memotivasi para sahabat dengan tidak
dalam bentuk julukan, namun bentuk testimoni. Misal kepada Bilal bin Rabbah
yang Nabi dengar sandalnya di surga, Ja’far bin Abu Thalib yang syahid dengan
memiliki kedua sayap, Amr bin Jamuh yang tidak pincang lagi di surga.
d. Arsitektur SDM Terbaik
Dalam serangkaian peran multi-nya Rasulullah bagi para sahabat, pada
tahap selanjutnya Nabi merupakan sang arsitektur SDM yang terbukti mahir
menempatkan posisi setiap kepribadian unik, kapabilitas kapasitas para sahabat
sesuai dengan peran kiprah dalam perjuangan Islam. Setiap sahabat memiliki
keunggulan, kelebihan, skill tertentu yang mencolok di banding beberapa skill
lain yang dimilikinya, dan Rasulullah memilihnya sesuai skill dominan tersebut.

4. Berproses: Internalisasi Al-Qur’an dalam Diri Para Sahabat


Ada dua hal yang penting dalam proses internalisasi ini. Yang pertama
sistematika penurunan secara periodic yang terbagi pada dua yakni Makiyyah
dan Madaniah, dan yang kedua penurunan secara berangsur. Ketika para
ilmuwan kini meneliti dominasi konsep Tauhid di awal masa yakni masa
Makkah ternyata merupakan kurikulum Allah yang tepat dalam mentarbiyah
generasi pertama Islam ini dengan pengokohan segi Tauhid (Aqidah) sebagai
pondasi utama bangunan pengetahuan dan kesadaran seorang muslim. Dalam
transformasi para sahabat, konsep tauhid sudah sangat jelas kita lihat dalam
analisis sirahnya bagaimana tarbiyah Tauhid memberi penguatan yang
signifikan baik dalam pembangunan kepribadian maupun dalam sistem
pertahanan diri menghadapi cobaan.
Yang kedua penurunan Al-Qur’an ke bumi secara berangsur merupakan
metode Allah yang memiliki efektifitas yang kuat dalam tarbiyah Islam bagi
Nabi dan para sahabat. Poin-poin efektifitas tersebut adalah sebagai berikut:
1) Peneguh hati Rasulullah dan para sahabat dalam menjalani ujian
menghadapi masyarakat Quraisy saat itu yang tidak henti memberikan
tekanan, cemoohan, siksaan, pengusiran bahkan ancaman nyawa dan
pembunuhan. Pengkisahan tentang ujian para nabi dan kaum pengikutnya
terdahulu, kepastian alam akhirat, balasan pahala, dan janji surga bagi orang

26
beriman yang termaktub dalam wahyu menguatkan jiwa mereka untuk
bersabar menjalani tahap awal perjuangan Islam.
2) Kemudahan dalam proses tahap demi tahap perubahan pada diri sahabat.
Setelah terlepas dari kungkungan budaya Jahiliyah dalam internal
psikologisnya, maka kemudian para sahabat mengisinya dengan nilai
wahyu per wahyu yang turun. Mereka mendengarkan tilawahnya,
memahami makna dan maksudnya, mengamalkan dan menghafalnya serta
menerapkan dalam kehidupan mereka. Setiap wahyu turun kesigapan para
sahabat bak para prajurit yang dengan segera melaksanakan segala
intruksinya, hingga Sayyid Qutb dalam bukunya yang berjudul Ma’alim fi
Thariq begitu memuji para sahabat dengan istilah Jailul Qur’ani Farid
(generasi Qurani yang unik) sebagai satu generasi yang mengambil air
pengetahuannya langsung dari sumbernya yakni Al-Qur’an.
3) Adanya korelasi setiap ayat wahyu yang turun dengan kejadian factual yang
dialami Nabi dan para sahabat menjadikan Al-Qur’an selain sangat
membekas dalam jiwa juga menjadi lentera petunjuk dalam setiap persoalan
kehidupan. Al-Qur’an meresap dalam kehidupan mereka dan segala
persoalan hidup terjawab oleh Al-Qur’an dan serta merta
mengimplementasikannya dalam kehidupan.
Adapun metode Al-Qur’an dalam mendesain transformasi kehidupan para
sahabat tercanang dalam beberapa ayat agung yang tersebar di beberapa tempat:
“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah
mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami
kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-
Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al-
baqoroh:151)
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika
Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang
membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan
mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum
(kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
(QS. Ali Imron: 164)
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara
mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan
mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka
sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Al-Jumuah: 2)

27
ta'lim al-
Hikmah
Ta'lim Kitab (implementasi
( pemahaman praktis )
tazkiyah Nafs konsep/frame
(Psikologis) work berfikir)
tilawah (fisik)

5. Tauhid, Jihad, dan Pengampunan Allah


Gerbang utama dan pertama keridhaan Allah pada seorang insan
dicurahkan ketika adanya usaha dalam diri individu dalam pemurnian jiwa
dengan pengikraran Tauhid. Selain sebagai inti ajaran, Tauhid juga berfungsi
sebagai detoksifikasi jiwa manusia dari noda-noda kejahiliyahan masa lalunya.
Ketika Khalid bin Walid tiba di hadapan Rasulullah dengan penuh kesadaran
jiwanya menyatakan kesaksian akan kebenaran Islam, Maha Esa-nya Allah dan
benarnya Muhammad sebagai utusan-Nya, maka ia begitu ingin Rasulullah
memintakan ampunan kepada Allah atas dosa-dosa merintangi Islam di masa
lalunya, maka Nabi berucap meyakinkannya bahwa kalimat syahadat telah
cukup menjadi pelebur dosa-dosanya yang telah lampau.
Tauhid menjadi pilar terbesar yang pertama dibangun Rasulullah dalam
kokohan komunitas pertama musliminnya. Tauhid menjadi sarana Allah
mengangkat Bilal dalam jerembab kehidupannya. Tauhid menjadi hembusan
nafas setiap gerak aktif dakwah sirriyah yang digemakan di rumah Arqam dan
darinya menelurkan nilai-nilai turunan perbaikan tata cara berkehidupan.
Selama hayat terus berdetak, sejak dua kalimat syahadat diikrarkan, setelah itu
nilai, verbalisasi, dan implementasi tauhidi senantiasa dikonservasi dalam ruang
jiwa para sahabat Rasulullah, tak pernah dibiarkan meredum apalagi padam,
senantiasa disinari dalam penjagaan bimbingan tarbiyah Rasulullah dengan
turun per wahyu serta peristiwa penempa iman datang menyipuhnya.
Maka, ketika universalitas sibgoh Allah mencelup jiwa-jiwa dengan berbagai
tipe kepribadian para sahabat, pada dampaknya menghasilkan fenomena
spiritual yang suci dan menakjubkan. Ragam cara dan kapasitas para sahabat
dalam menyelami makna tauhid menyinarkan keindahan yang sama namun
dengan pantulan sikap yang terkadang unik. Salah satunya adalah apa yang
dilakukan Abdullah bin Mas’ud. Ketika perlu digencarkan gebrakan awal

28
eksistensi Islam di tanah Arab, perlu dikumandang ayat Quran ke seantero
Mekkah untuk menstimulus nurani-nurani manusia, adakalanya menghajatkan
sebuah nyali besar dari muslimin untuk siap menanggung resiko di luar
perhitungan. Maka Abdullah bin Mas’ud secara unik sedang mencoba dirinya
melakukan assesmen seberapa kuat tanaman tauhid tertancap di hatinya dengan
memberanikan diri menjadi peluru dakwah perdana. Rasulullah dan beberapa
sahabat awalnya khawatir dan menolak usulan disebabkan posisi lemah tak
bersuakanya. “Biarkanlah saya, Allah pasti membela” sebuah kalimat tauhidi
Abdullah bin Mas’ud lantas membuat Rasulullah dan para sahabat
mengizinkannya hingga esok hari di waktu dhuha ia menerobos ke tengah
khalayak dan mengusik kejumudan paganism dengan lantangan surat Ar-
Rahman sebuah yang terdengar syair namun lian dirasa oleh telinga dan hati
mereka. Tentu saja tak lama setelah itu tubuh kecil Abdullah bin Mas’ud dihujani
pukulan dan murkaan gerombolan manusia, sedang ia bertahan dalam lantunan
ayat per ayat sampai pada bacaan yang Allah kehendaki. Sepulangnya Abdullah
bin Mas’ud para sahabat menemukan apa yang sebelumnya dikhawatirkan,
badan Abdullah bin Mas’ud penuh babak belur. Namun ia kini telah puas
tentang makna tauhid dan efek agungnya pada kulit jiwa dalam merespon
realitas. Ia “ketagihan” meminta esok berulang lagi.
Pilar kedua keridhaan Allah pada hambanya setelah ikrar tauhid yaitu jihad.
Nilai keimanan dalam tauhid menghajatkan bukti dengan implementasi dalam
bentuk amalan jihad dengan kemurnian ikhlas. Secara bahasa jihad bermakna
kelelahan dan kesusahan. Sehingga orang yang berjihad di jalan Allah adalah
orang yang mencapai kelelahan karena Allah dan meninggikan kalimat-Nya
yang menjadikannya sebagai cara dan jalan menuju surga. Menurut Ibnu
Taimiyah, jihad artinya mengerahkan seluruh kemampuan yaitu kemampuan
mendapatkan yang dicintai Allah dan menolak yang dibenci Allah.
Pada fase Mekkah, ajaran jihad Rasulullah kepada para sahabat merujuk
pada makna jihad melawan hawa nafsu dan memerangi syetan. Fase awal
nubuwah tidak jauh berkisar dari pembangunan fondasi aqidah serta
tazkiyatunafs (pensucian jiwa). Kekuatan spiritual individual menjadi titik fokus
tarbiyah Nabi untuk mengajak para sahabat mengenali dan memahami diri
sebagai satuan kompleks yang terdiri dari jiwa yang fitrah dan hawa nafsu serta
kemudian mampu mengidentifikasi perbedaan keduanya, memilahnya dan
memiliki daya control dalam pengambilan sikap. Rasulullah pun tidak jarang
memberikan petuah kewaspadaan akan peran bisikan syetan dalam
mempengaruhi perilaku setiap manusia. Sehingga dalam diri para sahabat

29
tertanam kewaspadaan pada diri sendiri bahwa musuh terbesar manusia yang
utama adalah sebagian yang ada dalam dirinya yakni hawa nafsu dan yang
kedua adalah ajakan syetan dalam segala bentuk baik kasat dan tak kasat. Di
awal pendidikan Nabi mereka telah dikuatkan peringatan tentang bahaya akan
penguasaan hawa nafsu pada jiwanya serta hembusan-hembusan syetan pada
hatinya.
Konteks jihad yang bermakna pencurahan kesungguhan mengorbankan
segala apa yang dimiliki untuk ditumpahkan dalam perjuangan menegakkan
agama Allah di muka bumi sehingga nilainya terpancang dan kemaslahatannya
dirasakan setiap makhluk di bumi. Periode pengukuhan awal Islam yang saat itu
begitu banyak membutuhkan sumberdaya manusia dengan segala karsa dan
karya nya untuk menegakkan agama Allah di mekah dan jazirah Arab termula.
Denyut kehidupan agama ini Allah titipkan pada denyut perjuangan Rasulullah
dan para sahabatnya dalam setiap bentuk aktifitas baik dengan dakwah dan
penguatan ukhuwah. Di momen kali ini Abu Bakar menjadi tokohnya. Dalam
sunatullah kehidupan tertuntut adanya peran sumber daya materil untuk
menjadi kontibusi kemuliaan nilai Islam. ketika Bilal dengan kokoh “Ahad”nya
bertahan di atas terikan dan pecutan biadab Umayyah bin Khalaf, kini jihad Abu
Bakar terpanggil dengan kapasitas yang ia miliki, yakni harta. Selain
memerdekakan beberapa hamba sahaya lain, ia kini melunasi sebuah
kehormatan ukhuwah Imaniah berapapun tinggi harganya. Abu Bakar
kemudian membebaskan Bilal dengan harga 9 uqiyah emas tanpa sedikitpun
menawarnya. Jihad fisik Bilal dan jihad harta Abu Bakar bersinergi
memancarkan keindahan pertama yang disorotkan Islam pada nurani-nurani
manusia yang mulai menggerayangi arti kemanusiaan yang sesungguhnya.
Lain kesempatan jihad-jihad itu terus bertebaran berpindah-pindah bentuk
sesuai dengan kebutuhan dan konteks yang melatarinya. Di fase Madinah, jihad
terspektrum luas dalam sketsa kenegaraan. Setelah pondasi jihad melawan hawa
nafsu dan syetan telah kuat terpancang di setiap entitas muslim, maka seiring itu
pula terbangun kekuatan dalam kolektifitasnya. Kekuatan itu menjelma menjadi
sebuah bangunan masyarakat dalam sebuah wilayah baku. Ancaman pun seolah
menyeiring, turut membesar bercabang dari berbagai arah. Musuh perintang
Islam yang tadinya hanya muncul dari Quraisy Mekkah, kini Allah ujikan
dengan bertambah dari Yahudi Madinah dan munafik penikam dari dalam.
Maka jihad menapaki bentukan tambahan. Bahwa musuh lain yang kasat mata
ada di hadapan terus melancarkan ancaman yang tidak pernah surut, maka itu
artinya daulat Islam perlu dipancangkan untuk menolak kemadharatan mereka.

30
Jihad mengangkat senjata setelah sekian lama ditahan izin Allah belasan tahun,
kini diturunkan mandat perintah-Nya dengan melihat konteks dan tuntutan
kondisi tertentu sebagai prasyaratnya.
Dalam fase Madinah jihad memasuki ranah lebih luas yakni memerangi
musuh yang merintangi eksistensi dan gerak Islam dalam meluaskan syiarnya
dengan senjata memerangi kaum kafir harbi (ofensif). Hal ini menghajatkan ilmu
serta penggalangan materil dana serta peperangan. Militer, politik, pendidikan
dan ekonomi menjadi domain-domain jihad para sahabat. Dengan kapabilitas
dan kapasitas masing-masing, para sahabat mengambil peran pada domain-
domain tersebut.
Di sepanjang dua tiga tahun perkembangan ranah jihad mengalami fase
berikut:

jihad melawan
hawa nafsu

jihad melawan
bisikan syetan

jihad melawan
munafik

jihad melawan
kufar harbi

Hijau= fase Makkah


Kuning= fase Madinah

Eksistensi kesungguhan para sahabat dalam jihad menjadi bagian vital


pergerakan muslimin dan nafas kehidupan mereka. Tauhid dan jihad dengan
segala kemampuan mereka senantiasa terjaga dalam konsistensi sepanjang hayat
mereka.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad
dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS.
Al-Hujurat: 15)

31
“ Mereka itulah orang-orang yang Kami terima amal baiknya yang telah mereka
kerjakan, dan (orang-orang) yang Kami maafkan kesalahan-kesalahannya, (mereka akan
menjadi) penghuni-penghuni syurga. Itu janji yang benar yang telah dijanjikan kepada
mereka.” (QS. Al-Ahqaf: 16)
Namun segala amal baik apa yang telah dibangun dalam keimanan dan
ketetapan hati serta amalan fisik yang terangkum dalam jihadnya yang
menempati beragam bentuk, semua itu tidaklah berarti bila tanpa diliputi oleh
kasih saying dan ampunan Allah atasnya. Karena manusia senantiasa disifati
dengan segala kelemahan, kekhilafan dan keterbatasannya maka sesungguhnya
apa yang dilakukan manusia termasuk di dalamnya transformasi kehidupan
yang berkualitas pada hakikatnya tidak akan terwujud sempurna tanpa adanya
kasih saying berupa ampunan Allah di sepanjang hidup seorang muslim.

6. Khauf dan Roja’ Para Sahabat Nabi


"Katakanlah: 'Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang
paling merugi perbuatannya?' Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya
dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya." (QS. al-Kahfi: 103-104).
Segunung amalan dan sebesar pengakuan keimanan terkadang menjadikan
jiwa manusia meninggi dengan keakuan dan kesombongan. Tapi apa yang
dilakukan para sahabat mencerminkan kebermusliman orisinil yang patut ditiru
dikarenakan jauh dari apa yang dikatakan tersentuh oleh goresan kesombongan.
Para sahabat diantara semua generasi salafussalih adalah yang paling banyak
dan mulia amalan shalihnya, yang paling kuat keimananannya, yang paling luas
ilmunya, serta yang paling dalam tawadhunya. Keluasan ilmu dan dalamnya
keimanan telah dipraktekan secara tepat oleh para sahabat Rasulullah dengan

32
menetapnya akhlaq-akhlaq hati, dua dari sekian akhlaq tersebut adalah Khauf
dan Roja. Khauf dan Roja dengan mekanisme tertentu menciptakan
keseimbangan kehidupan jiwa dan karakter para sahabat yang menjadikan
mereka terhindari dari sikap putus asa dan sikap optimisme berlebihan. Rasa
takut (khauf) itulah yang mengantarkan para sahabat untuk dapat mengetahui,
menolak, dan menyadarkannya dari dosa-dosa dan maksiat. Dengan rasa penuh
harap (raja’) ia dapat langgeng dalam ketaatan dan mendekatkan diri sedekat-
dekatnya kepada Allah. Berbagai pengalaman, berbagai ilmu dan pelajaran dan
tentunya senantiasa terbimbing tarbiyah Rasulullah dan bimbingan Al-Qur’an
membuat mereka matang dalam memilah dan memilih sikap dalam berpikir,
merasa dan bertindak.
Secara istilah Khauf adalah pengetahuan yang dimiliki seorang hamba di
dalam hatinya tentang kebesaran dan keagungan Allah serta kepedihan siksa-
Nya. Dalam pandangan al-Ghazali, al-Khauf (takut) adalah ungkapan derita hati
dan kegelisahan yang disebabkan terjadinya sesuatu yang dibenci Allah yang
mungkin terjadi pada seseorang di masa yang akan datang. Khauf muncul karena
adanya pemahaman dan pengetahuan seseorang tentang sesuatu yang dibenci
tersebut. Seperti rasa takut pada Allah akan muncul jika ma’rifat (pengetahuan)
tentang Allah dan sifat-sifat-Nya. Semakin sempurna kemakrifatan seseorang,
maka ia akan semakin takut kepada Allah. oleh karena itu, Rasulullah dalam
suatu hadis (HR. Bukhori) mengatakan dirinyalah yang paling takut kepada
Allah.
Nabi pernah bersabda: “Sesungguhnya aku melihat apa yang tidak kalian lihat.
Aku mendengar apa yang tidak kalian dengar. Langit meratap dan ia memang layak
meratap. Di dalamnya tidak ada satu tempat pun seluas empat jari, selain di situ ada
malaikat yang meletakkan dahinya bersujud kepada Allah. Demi Allah kalau saja kalian
mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan kalian pasti
akan banyak menangis; kalian tidak akan dapat berenak-enak dengan istri di atas kasur,
dan kalian pasti akan keluar menuju bukit-bukit untuk memohon kepada Allah”. (HR.
Al-Tirmidzi; HR. Ibnu Majah)
Semua pengajaran ma’rifat Rasulullah menjadi dasar pengetahuan para
sahabat yang membentuk kondisi hati senantiasa terjaga dalam khauf. Abu
Bakar adalah sosok yang paling dikenal mudah menangis bila dihadapkan
dengan ayat Al-Qur’an. bahkan pernah suatu saat Abu Bakar pergi ke sebuah
taman, dan melihat seekor burung sedang berkicau, ia berkata, ”Wahai burung,
sungguh beruntung kamu, kamu makan, minum dan terbang di antara pepohonan tanpa
perasaan takut tentang hari kiamat. Andaikan Abu Bakar menjadi sepertimu, wahai

33
burung” (Al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, II/345; as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, I/41;
Kanz al-‘Umal, XII/528).
Umar bin Khattab pun sering diluluhkan hatinya oleh ayat Quran. Abdullah
sang putra sering menjadi saksi ketika menjadi makmum dalam shalatnya
dimana Umar bin Khattab menangis melewati bacaan ayat tertentu. Atau saat
lain diriwayatkan dari Hafsh Bin Humaid meriwatkan bahwa Syamar bin
Athiyyah berkata: apabila Umar bin Khattab membaca ayat QS Maryam: 71 “Dan
tidak seorangpun dari kalian yang tidak melewatinya (neraka).” Maka Umar menangis
dan berkata, “Wahai Rabbku, aku termasuk yang engkau selamatkan atau yang engkau
biarkan di dalamnya dalam keadaan berlutut?”.
Adapun Roja` secara bahasa artinya harapan atau cita-cita. Menurut istilah,
Roja’ adalah bergantungnya hati dalam meraih sesuatu di kemudian hari. Roja’
merupakan ibadah yang mencakup kerendahan dan ketundukan, tidak boleh
ada kecuali kepada Allah SWT. Roja’ juga bisa dimaknai sebagai berprasangka
baik kepada Allah karena mengetahui luasnya rahmat dan kasih sayang-Nya.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah membagi raja` dalam 3 bagian. Dua bagian
termasuk termasuk raja` yang terpuji pelakunya sedangkan satu lainnya adalah
raja` yang tercela. Yaitu:
1) Seseorang mengharap disertai dengan amalan taat kepada Allah di atas
cahaya Allah, ia senantiasa mengharap pahala-Nya.
2) Seseorang yang berbuat dosa lalu bertaubat darinya, dan ia senantiasa
mengharap ampunan Allah, kebaikan-Nya dan kemurahan-Nya.
3) Adapun yang menjadikan pelakunya tercela ialah seseorang yang terus-
menerus dalam kesalahan-kesalahannya lalu mengharap rahmat Allah tanpa
dibarengi amalan. Roja’ yang seperti ini hanyalah angan-angan belaka,
sebuah harapan yang dusta.
Maka Khauf dan Roja’ menjadi senjata bagi setiap orang mukmin dalam
menghadapi kejahatan dan kelemahan dirinya. Menurut Al-Ghazali, “Orang
yang takut bukanlah orang yang menangis dan menghapus air matanya, tetapi orang
yang takut adalah orang yang meninggalkan apa yang ia takutkan yang kemungkinan
kelak akan menimpa dirinya. Dan siapa yang takut terhadap sesuatu, ia lari darinya.
Orang yang takut kepada Allah, justru akan mendekat kepada-Nya”.
Disebutkan dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW mendatangi seorang
pemuda yang sedang menghadapi kematian (sakaratul maut). Rasul bertanya
kepada pemuda ini, “Bagaimana kamu mendapati dirimu?” Pemuda ini menjawab,
“Aku mendapati diriku dalam keadaan takut atas dosa-dosa yang aku kerjakan sekaligus

34
mengharapkan rahmat Tuhanku.” Lantas nabi menjawab, “Tidaklah berkumpul dua
perasaan di dalam hati seorang hamba, melainkan Allah berikan apa yang ia harapkan
dan memberikan ketentraman dari hal yang khawatirkan.”
Akhlak panca indera dalam berupa amalan fisik yang bekerja terus dalam
amal kesalihan merupakan detak kehidupan para sahabat. Namun selain itu hati
mereka pun turut bekerja menciptakan keseimbangan. Satu kisah yang patut
dijadikan model akhlaq hati adalah kisah di saat seorang sahabat Rasulullah
sekaligus penulis wahyu bernama Handzalah yang bertemu cakap dengan Abu
Bakar dalam perbincangan yang penuh hikmah. Bermula dari sapaan hangat
Abu Bakar saat bertemu Handzalah, namun Handzalah dalam kegamangan yang
sangat hingga ia menjawab, “Handzalah kini telah jadi orang munafik”. Alangkah
dikejutkan raut muka Abu Bakar dengan pernyataan aneh yang mengundang
kekhawatiran. Konon bagi para sahabat Nifak merupakan terror yang senantiasa
menghantui ketenangan mereka dalam beriman dan beramal. maka Abu Bakar
penasaran dan bertanya lagi lebih dalam ada apa gerangan. Maka Handzalah
menjawab “Aku jika berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku teringat
neraka dan surga sampai-sampai aku seperti melihatnya di hadapanku. Namun ketika
aku keluar dari majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku bergaul dengan
istri dan anak-anak aku, sibuk dengan berbagai urusan, aku pun jadi banyak lupa.” Abu
Bakar pun menjawab, “Aku pun juga begitu.” Kemudian Handzalah dan Abu
Bakar pergi menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku berkata
“Wahai Rasulullah, jika kami berada di sisimu, kami akan selalu teringat pada neraka
dan surga sampai-sampai seolah-olah surga dan neraka itu benar-benar nyata ada di
depan kami. Namun jika kami meninggalkan majelismu, maka kami tersibukkan dengan
istri, anak dan pekerjaan kami, sehingga kami pun banyak lupa.” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda:
“Demi Rabb yang jiwaku (Muhammad) berada di tangan-Nya, seandainya kalian
kontinyu dalam beramal sebagaimana keadaan kalian ketika berada di sisiku dan
kalian terus mengingat-ingatnya, maka niscaya para malaikat akan menjabat
tangan kalian di tempat tidurmu dan di jalan. Namun Hanzhalah, lakukanlah sesaat
demi sesaat.” Beliau mengulanginya sampai tiga kali.
Penilaian baik Allah dalam beberapa tempat dalam Al-Qur’an termasuk
beberapa diantaranya surat Al-Lail, Az-Zumar ayat 33, serta penilaian Rasulullah
dalam banyak riwayat telah menggambarkan akan pionir keislamannya,
kebenaran imannya dan begitu besarnya amalan terbaik yang telah Abu Bakar
curahkan. Namun sejatinya seorang mukmin dalam mengukur diri adalah
semisal Abu Bakar Radhiallahuanhu. Kemawasan diri untuk selalu terjaga

35
menghindari penyakit-penyakit hati, noda-noda keimanan dan perusak amal
senantiasa menghiasi akhlaq para jiwa-jiwa teduh serupa Abu Bakar. Maka
Khauf menjadi perhiasan jiwa setiap mukmin sejati dalam panjangan hidupnya.
Dalam kisah lain pun terjadi pada sahabat Rasulullah Umar bin Khattab.
Setelah peristiwa ketidakpatuhan para sahabat di Hudaibiyah, dan Allah satu
per satu menyingkap tabir hikmah kebaikan atas peristiwa Hudaibiyah tersebut,
maka peristiwa ini menjadi pelajaran di kemudian hari dan menjadi peringatan
untuk tidak terjerumus dari bersandar kepada hal yang bersifat akal. Ketika akal
bertentangan dengan nash wahyu dan perintah Rasul, maka saat itu akal harus
diabaikan. Hudaibiyah, Umar adalah satu diantar sahabat yang begitu
memprotes kebijakan Rasulullah karena secara logika muslimin tidak
sepantasnya berdiam ketika mendapatkan perlakuan buruk dari musuh. Namun
adalah tidak sepantasnya akal berdalih ketika di hadapannya terpampang
wahyu Allah dan perintah Rasul-Nya. Hingga di kemudian hari, Umar pernah
berkata: “Wahai manusia, berhati-hatilah kalian dengan pendapat kalian. Demi Allah
aku telah melihat diriku sendiri pernah menolak perintah (keputusan) Rasulullah dengan
logika yang kuanggap sebagai suatu ijtihad, sehingga hampir saja aku berbalik dari
kebenaran. Dan itu terjadi pada peristiwa Abu Jandal.”
Akal bagi Umar adalah sesuatu yang selama ini dijadikan motor
pertimbangan dan analisisnya. Namun di satu saat ia ditegur oleh kesalahannya
hingga mewaspadai dirinya sendiri dan menjadikannya alarm waspada yang
akan selalu dideringkan sebagai sebuah penjagaan jiwa dari buruknya
kelemahan diri.
Khauf menempati kisah lain di para sahabat tertentu. Khalid bin Walid
mengucurkan air mata saat kematiannya akan tiba, ia begitu penuh sesal karena
sekalipun telah menaklukkan berbagai wilayah dalam peperangan, ia merasa
kehilangan kesempatan syahid karena kini ia menemukan kematiannya di atas
ranjang. Atau bentukan Khauf lain terjadi dalam perubahan drastis Abu Darda
dimana sebelum mengenal Islam ia adalah saudagar kaya. Namun setelah
mengetahui kebenaran fana dunia dan kesejatian akhirat ia seketika melepaskan
segala perkara keduniaannya hingga sahabatnya Salman Al-farisi menegurnya
dan Rasulullah menasehatinya untuk berupaya dalam keseimbangan ibadah.
Rasa Khauf akan segala yang dibenci dan diancamkan Allah telah merubah
kepribadian para sahabat menjadi sosok yang mana kesedihan dan air mata
mereka tak akan lepas dari alasan begitu besar Khauf mereka, namun di saat itu
pula mereka senantiasa bersemangat penuh harap beramal seoptimal mungkin

36
dengan kemampuan masing-masing. Di saat malam hari tiba, mereka dipenuhi
isak tangis dalam tenggelam tahajud mereka, sedangkan di siang hari mereka
begitu penuh harap menyambut segala amal shalih dalam rutinitas dan kinerja.
Di saat gelap gulita mereka merintih di hadapan Allah, namun di bawah
matahari mereka perkasa di hadapan musuh Islam.
Contoh kisah lain sahabat lain, misalnya Suhail bin Amr yang dikenal keras.
Dari riwayat Zubair bin Bakkar dimana ia berkata: “Suhail adalah orang yang
banyak melakukan shalat, puasa, dan sedekah. Ia keluar bersama pasukannya
menuju Syam untuk berjihad. Ada yang mengatakan bahwa dia juga tekun
melaksanakan ibadah puasa dan shalat malam hingga terlihat pucat. Dia juga
seorang yang banyak menangis apabila mendengar lantunan ayat-ayat Al-
Qur’an. Dan dia juga pernah menjadi pemimpin pasukan Islam pada perang
Yarmuk”.
Adapun kisah khauf-nya Ikrimah bin Abu Jahl tak kalah mengagumkannya.
Betapa beratnya memiliki beban masa lalu penuh dosa seperti apa yang dialami
Ikrimah bin Abu Jahl, sehingga ia berubah menjadi sosok yang berbeda di
banding zaman jahiliyah. Kini hatinya mudah tersentuh, bahkan ia menangis
dikala memegangi mushaf Al-Qur’an sembari menciumnya dan mengatakan
‘kitab Rabbku. kitab Rabbku.”
Islam menyulap para sosok sahabat yang begitu bengal tak kenal air mata
menjadi sosok-sosok yang hatinya lunak dalam rengkuhan tangisan taubat.
Terdapat sebuah kalimat yang sering kali diulang-ulang dalam panjangan usia
muslim Amr bin Ash hingga ia wafat. “Ya Allah, Engkau telah memerintahkan
kami, namun kami mengabaikannya. Engkau telah melarang kami, namun kami
langgarnya. Tidak ada seorang pun luput dari dosa, maka aku memohon ampun.
Dan tidak ada yang kuat, maha aku memohon pertolongan. Sungguh tidak ada
ilah yang layak disembah selain Engkau”
Dalam sepanjang kehidupan masing-masing sahabat senantiasa ditemukan
banyak kisah betapa setiap hari dan setiap amalan mereka adalah buah hasil
penjagaan Khauf dan roja mereka. Khauf dan Raja menjadi amalan hati yang
senantiasa menjaga proses transformasi hidup para sahabat untuk terhindar dari
noda-noda akhlaq buruk, godaan hawa nafsu dan syetan dan gelinciran dosa
masa lalunya.

37
RAGAM CARA SAHABAT NABI DALAM BERTRANSFORMASI DIRI

Allah telah menghadiahi manusia dengan Islam, Quran, Sunnah, ruhani dan
akal. Maka manusia generasi pertama yang mencicip nikmatnya kolaborasi rasa
darinya adalah manusia-manusia terdekat nabi terakhir Muhammad
Shallalahualaihi wasalam. Mereka adalah, generasi pertama yang menyaksikan
dan menyelami indahnya kehidupan paripurna di bawah naungan Islam.
Mereka adalah sosok-sosok yang telah merasakan manisnya kebenaran Islam
setelah terlepas dari pahitnya kejahiliyahan. Mereka adalah ‘hawari’ Nabiyullah
terakhir yang paling setia berkomitmen memperjuangkan agama ini untuk
kemaslahatan umat, serta ‘siswa’ yang memiliki prestasi terunggul dalam
menerapkan titah Allah dan teladan Rasul-nya. Hingga capaian semua kaum-
kaum terdahulu seolah dievaluasi oleh generasi tersebut dengan keberhasilannya
dalam memahami adab-adab agama dan bimbingan wahyu.
Layaknya kumpulan manusia pada umumnya, para sahabat memiliki tipe
kepribadian yang sangatlah beragam. Dalam kekhasan pribadi masing-masing,
mereka memiliki corak karakter tertentu, kelebihan berupa bakat dan tabiat baik,
juga kekurangan berupa kecenderungan atau potensi pada keburukan. Sebelum
Islam mencelupnya menjadi berlian hidup, kepribadian mereka tumbuh ala
kadarnya tanpa ayoman sedemikian rupa dengan gejala perilaku yang beragam.
Akan tetapi setelah Islam hadir di hadapan mereka, kesediaan mereka untuk
menyambutnya, maka perlahan tapi pasti semua secara bertahap dan sistematis
mengalami perubahan menakjubkan, hingga kokoh menjadi gunung komunitas
muslim generasi pertama yang menyilaukan tak hanya di mata Arab namun di
mata dunia.
Setelah dikaruniai Islam dengan tempaan didikan Nabi, secara general
tertanam beberapa indikator utama karakter Islami (akhlak) dalam diri para
sahabat antara lain:
1) Salimul Aqidah (akidah yang benar)
2) Shahihul Ibadah (ibadah yang benar)
3) Matinul Khuluq (akhlak yang kokoh)
4) Mutsaqaful Fikr (berwawasan luas)
5) Qowimul Jism (berbadan kuat)
6) Qodirun alakisbi (mandiri)
7) Harisun ala waktih (bijaksana mengatur waktu)
8) Munadomu fii syu’nih (terorganisir dalam rencana)

38
9) Mujahidu linafsih (determinasi tinggi)
10) Nafi’ul lighoirih (bermanfaat untuk sesama)
Ketika nilai-nilai karakter vital muslim sejati di atas telah tertata dan
tertanam begitu kuat, hal itu telah menyublimkan nyawa keluhuran konsep
agung Islam dalam objek hidup jiwa manusia. Namun terdapat sudut analisis
yang cukup penting diseksamai ketika menyorot pada sublimannya menempati
tataran psikologis humanitas manusia dengan kekhasan diri, pengalaman
original, pewatakan asli serta pola perilaku individual. Ia menghasilkan sebuah
fenomena psikologis yang penuh nilai spiritual dengan sisi humanitas yang
kental.
Berikut beberapa individu dari deretan nama-nama sahabat Rasulullah
dalam berproses transformasi personal.

1. Abu Bakar, ra
“Setiap yang berjasa kepada kami akan dibalas, kecuali Abu Bakar, jasanya hanya
bisa dibalas oleh Allah kelak, pada hari kiamat. Tidak ada harta lain yang lebih
bermanfaat bagiku daripada pemberian Abu Bakar. Seandainya aku diizinkan-Nya
mengangkat seorang kekasih, niscaya kujadikan Abu Bakar kekasihku” (HR. At-
Tirmidzi no. 3662).
Sahabat dan murid Rasulullah pertama ini dikenal memiliki kelembutan
hati, murah dalam memberi pertolongan, ramah bergaul, berwawasan luas dan
lentur dalam hubungan komunikasi sosial serta kemahiran dalam
enterpreunership. Radhiallahuanhu Abu Bakar adalah sosok terdekat, yang
paling dicintai Rasulullah dari kalangan ikhwah, yang memiliki kemiripan sifat,
yang paling awal dan setia menemani perjalanan beliau. Kecocokan perkawanan
serta telah begitu lamanya jalinan persahabatan mereka sejak pra Islam, secara
alamiah menghasilkan keserupaan atau kedekatan dalam pola-pola afeksi,
berpikir, bertindak hingga kepada kebiasaan. Pada sepasang sahabat mulia
tersebut sepanjang riwayat hidup mereka, sekalipun di periode sosial jahiliah
Arab kala itu, keduanya tidak pernah melakukan peribadatan syirik dan
meminum khamr. Atas izin Allah hal ini disinyalir yang menjadi cara Allah
dengan mudah melapangkan hati Abu Bakar untuk merengkuh hidayah Islam
tanpa aral sedikitpun, dimana pada saat itu menjadi kondisi kritis awal meraih
jiwa-jiwa untuk mendekatkan dalam lajur-lajur hidayah karena wahyu baru
sesaat terbuka dan pekat kejahiliyahan sosial dan moral bangsa Arab masih
menutup gelap nurani-nurani manusia untuk menerima ajaran yang
bertentangan dari yang telah ada.

39
Sosok Abu Bakar merupakan sampel dari sebagian manusia di zaman
manapun yang memiliki jejak rekam yang selalu terjaga kehanifan jiwa sekelam
apapun kontur sosial yang meliputinya. Intuisi, karena belum adanya bimbingan
wahyu, ia menjadi peran sebagai radar untuk menjaga kesucian dirinya dari
polutan-polutan moralitas. Kebersihan dari noda paganisme disinyalir menjadi
kunci keterjagaan jiwanya dari efek pendorong gharizah manusia dalam
kefajiran/kemaksiatan. Bila diperkuat dengan analisis kontradiksinya, umat-
umat zaman terdahulu pun yang menjadi sebab pertama yang menjadi
pendorong penyimpangan moralitas dan cara hidup mereka sebagai sinyal yang
menjadi pemicu adzab Allah adalah bermula dari penyimpangan dalam
ubudiyah (tauhid). Pangkal kejahiliyahan adalah syirik, maka pangkal kehanifan
jiwa adalah tauhid. Sosok sahabat pertama ini sangat bisa dijadikan patokan bagi
manusia zaman ini untuk bagaimana memulai reformasi jalan hidup dengan
mengambil pangkal jalan yakni, pembenahan tauhid, yang menjadi pembuka
pembangunan dasar perbaikan hidup secara keseluruhan, walaupun tidak
cukup mendapat dukungan kondisi sosial yang baik.
Abu Bakar Radiallahuanhu kemudian menarik banyak sosok-sosok lain
sederet sahabat yang juga dengan mudah menerima ajaran-ajaran hanif Islam.
Lima sahabat Rasulullah yang mendapatkan jamin syurga dari Allah ada dari
deretan hasil motivasi Abu Bakar, yakni Utsman bin Affan (34 tahun),
Abdurrahman bin Auf (30 tahun), Sa’ad bin Abi Waqqash (17 tahun), Zubair bin
Awwam (12 tahun) dan Thalhah bin Ubaidillah (13 tahun). Berlatar profesi
sebagai pedagang senior, terjaga dalam keturunan baik, berwawasan luas
tentang nasab Quraisy dengan segala integritas lengkap dimiliki, sedemikian
setting yang kemudian turut membentuk pribadinya. Dan ini menjadi lahan
baginya untuk mempelajari kehidupan sosial dan pola berinteraksi yang baik
dengan beragam karakter manusia.
Sahabat mulia Abu Bakar menjadi penghuni tarbiyah Rasulullah pertama,
sumber daya manusia dakwah terawal, serta tingkat kualitas pribadi yang paling
mendekati sosok Rasulullah. Maka tak dapat dipungkiri jika kemudian Abu
Bakar menjadi bagian ring satu dalam setiap penggodokan solusi dalam proses
musyawarah di lingkar Rasulullah. Begitu pula di fase berikutnya Rasulullah
mempercayakan estafet kepemimpinan kepadanya dengan masa bakti setia dan
totalitas jiwa dalam memperjuangkan Islam.
Adapun kunci keberhasilan Abu Bakar dalam bertransformasi adalah
sebagai berikut:

40
- Menjaga kesucian jiwa dan pikiran dari pengaruh buruk lingkungan
- Berafiliasi pada bangunan kokoh Islam dan komunitas muslim
- Mengambil peran dengan kapabilitas yang dimiliki dengan penuh keikhlasan
- Tidak tinggi hati dengan prestasi, tetap terjaga Khauf dan roja
- Memiliki mekanisme Up-grading diri

2. Mush’ab Bin Umair, ra.


Transformasi kehidupan sahabat satu ini merupakan sebuah model yang
membuktikan bahwa pengalaman ruhaniah itu jauh lebih menentukan kelezatan
hidup dibanding pengalaman lahiriah dunia. Manisnya rasa iman mampu
mengalahkan sintetiknya manis kenikmatan dunia. Namun memang tidak
semua manusia mampu mendapatkan pengalaman serupa sepertinya. Tanpa
terlepas dari iradah Allah, semua mekanisme psikologis yang terjadi dalam hidup
Mush’ab bin Umair adalah bermula akan kebersihan nalar/akal serta kehausan
jiwanya untuk menangkap sinyal kebenaran.
Pada usia remaja, dengan proporsionalitas peluangnya, di usia menuju
kematangan berpikir, daya nalar telah tumbuh menguat namun polutan
moralitas belum mengkontaminasi jiwa menjadi pendorong kuat Mush’ab Bin
Umair untuk memperbesar kecenderungan positifnya hingga keislamannya
menjadi gerbang fitrah jiwa seorang hamba bertemu dengan pertanda-pertanda
qauliyah Tuhannya. Padahal di saat itu Mushab berada dalam zona nyaman
kemapanan materi hidup, tak berkekurangan sesuatu hal pun. Berada dalam
kondisi keluarga yang hangat penuh cinta sang ibu. bahkan justru
ketertarikannya pada Islam tentu telah terduga olehnya sendiri itu akan
berpotensi mengundang bencana besar yang menggoyahkan stabilitas
kehidupannya.
Sang ibu memang menjadi batu ujian iman Mush’ab Bin Umair, namun
setelah segenap keyakinan, ia menghampiri Rasulullah, bersyahadat dan tekun
menuntut ilmu islam di rumah Arqam. Keretakan hubungan dengan ibunya
tidak dapat terhindarkan, tetapi kekokohan keimanan telah terlanjur menguat
dalam diri Mush’ab. Dirinya telah mengenali Rabb dan kokoh dalam cinta dan
taatnya, sekuat itu pula cinta dan taat pada Rasulullah, sehingga akhlak mulia
yang menjadi pilihan Mush’ab ketika dihadapkan pada penentangan sang ibu:
“Wahai Bunda! Saya ingin menyampaikan nasihat kepada bunda, dan ananda merasa

41
kasihan kepadamu. Saksikanlah bahwa tiada ilah (yang berhak disembah) selain Allah,
dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”
Tentu saja setelah itu ujian seolah berjatuhan menimpa Mushab. Seorang
yang dikenal para perempuan muda Mekkah dengan bau harum parfumnya,
pakaian mewah dan seperangkat gaya berbusana yang fashionable di saat itu,
kini ia berubah secara lahiriah.
“Aku telah mengetahui Mush’ab ini sebelumnya. Tidak ada pemuda Mekkah yang
lebih dimanja oleh orangtuanya seperti dirinya. Kemudian ia meninggalkan itu
semua karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Sebuah testimoni Rasulullah seolah mewartakan apa yang terjadi dalam diri
dan jiwa Mushab hakikatnya. Dan tentu saja Nabi mampu mengetahui
kedalaman iman Mushab yang telah uji tempa selama masa tarbiyah periode
Mekkah dengan sekelumit dinamika sosialnya. Sebagaimana para sahabat
lainnya, jiwa Mushab tumbuh kembang mematang di atas giliran-giliran ujian
selama di Mekkah. Jiwa Mushab makin menguat seiring wahyu per wahyu turun
menyiram-suburkan kesalihannya. Hingga apabila akar tauhid dalam diri telah
kuat, Rasulullah memberinya tugas besar sebagai duta penyebaran dakwah
Islam ke Madinah. Kecerdasan interpersonal serta kedalaman pemahaman
agama Mushab dipercayai Rasulullah untuk mengetuk rumah-rumah nurani
Yatsrib hingga alhasil tidak ada rumah yang tidak diidengungkan ayat Allah
didalamnya kecuali sedikit.
Adapun kunci keberhasilan Mush’ab bin Umair adalah sebagai berikut:
- Memiliki satu bentuk kontemplasi diri untuk membuat suatu pilihan hidup
besar dalam meraih kebenaran
- Bila diseterukan pada titik konfrontrasi, senantiasa memprioritaskan
kemapanan batiniah berupa ketenangan jiwa dan penemuan makna hidup
dibanding kemapanan lahiriah berupa harta dan lainnya.
- Tetap melahirkan akhlaq yang terpuji dalam menghadapi sosok-sosok
perintang yang membenci perbaikan hidup disertai ajakan dengan penuh
mauidhah hasanah.
- Memiliki komunitas yang dapat mempertahankan dan meningkatkan kualitas
perbaikan diri.
- Berkiprah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

42
3. Bilal Bin Rabbah, ra.
Kemapanan masyarakat paganisme tiba-tiba diguncang oleh seorang hina
dan kerdil di mata sosial. Namun dengan aksi besarnya ia malah dapat
mengerdilkan berhala di hadapan para pemujanya. Itulah awal hidup baru Bilal
bin Rabbah, jiwanya terlahir merdeka ke bumi sesaat ia menggenapkan
keyakinan dalam Islam, sebuah ajaran yang baginya pembebas segala kesesatan
dan ketimpangan. Walau jasad masih terpenjara dalam status budak, ia menjadi
diplomat Islam pertama yang berani mewartakan sebuah agama baru yang jauh
lebih waras sekalipun disertai segala perih pengorbanan.
Tujuan utama Bilal adalah kebenaran dalam tauhid dan kebenaran dalam
kemanusiaan, hingga kemerdekaan jiwa dan kemudian jasadnya hanya sebuah
efek bawaan dari kebenaran tersebut. Perbudakan sebagai perspektif awal
tempat ia mulai mengaca menganalisis letak kesemrawutan konsep hidup
masyarakatnya, dengan status budaknya itu ia memiliki cara kerja nalar yang
jauh lebih baik dibanding majikannya yang merdeka namun dengan cara kerja
nalar yang rusak oleh ekses paganisme. Penalaran yang jitu, keyakinan yang
hanif, kebersediaan dalam tumpah pengorbanan dengan sedemikian rupa
bersinergi menjadi sebuah kekuatan baru di tataran komunitas muslimin
pertama sebagai corak pembongkaran hegemoni lama. Bila ditinjau lebih
mendalam, Bilal merupakan sebuah bukti bahwa bila Islam menjadi celupan dan
iman dijewantahkan keduanya dapat menyulap seorang budak menjadi seorang
pemimpin. “Abu Bakar adalah pemimpin kita yang telah memerdekakan
pemimpin kita” testimoni Umar bin khattab bukanlah sembarangan. Arti
pemimpin yang disematkan Umar pada Bilal bermakna bahwa keberanian
mendobrak status quo perbudakan di tengah inti masyarakat penindasnya, ia
sendiri terlahir terdidik sebagai objek tindas perbudakan, kemudian ia sendiri
berdiri dengan keberanian di tengah potensi kepengecutan yang ia abaikan.
Semua itu terjadi seketika Bilal telah tersengat kemuliaan nilai-nilai Islam serta
kemuliaan diri Rasulullah di matanya.
Maka setelah itu mulai berjalanlah Bilal sebagai yang merdeka buah cinta
ranum dari ukhuwah imaniah Abu Bakar. Metamorfosa Bilal telah menginjak
pada kematangannya kemudian ia teruskan dalam bakti diri, menjadi budak
Allah semata, menemani sang tercinta Rasulullah, dan menjadi bagian
komunitas mulia melewati sunatullah perjuangan Islam menyebarkan panji dan
nilainya ke seantero bumi.
Bilal adalah salah satu yang telah menguak hikmah dari firman Allah (QS.
Ar-Ra’d: 11) bahwa dimana seorang individu telah mampu merubah kondisi

43
internal dirinya maka Allah serta merta menyusulkan pertolongan dan
perbaikan hidup dirinya secara keseluruhan.
“Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari
depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri
mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum,
maka tidak ada yang menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
(QS. Ar-Ra’d: 11).
Bilal memiliki beberapa kunci sukses transformasi, yakni:
- Jiwa berpikir merdeka dan positif sekalipun jasad terkungkung masalah.
- Berafiliasi pada Allah semata dalam keyakinan, pada Al-Qur’an dan Sunnah
secara nilai, dan pada komunitas imani dalam ikhtiar.
- Berani dalam mewujudkan solusi yang dirancang.
- Konsisten dalam tekad dengan segala pengorbanan menjalani proses.

4. Umar Bin Khattab, ra.


Umar Bin Khattab, sahabat mulia ini menghabiskan separuh dari perjalanan
hidupnya pada masa jahiliyah. Pengasuhan masa kecilnya oleh watak sang ayah
yang kasar menempanya menjadi pribadi yang keras. Namun Allah
membimbingnya hingga tabiat kerasnya bermetamorfosa menjadi warna
ketegasan dalam memilah dan memisahkan antara kekufuran dan keimanan (Al-
faruq).
Selain berprofesi sebagai penggembala, Umar bin Khattab mahir sebagai
pegulat dan penunggang kuda yang tangguh. Fisiknya terlatih dalam beberapa
rutinitas tersebut. Ia terampil baca tulis, mencipta dan mendendang syair,
menaruh perhatian pada sejarah dan persoalan besar kaum Quraisy. Ia sering
mengunjungi pasar-pasar Arab seperti Ukazh, Majannah, Dzul-Majaz, selain
untuk berdagang juga untuk mempelajari sejarah bangsa Arab dan berbagai
peristiwa penting. Pun kunjungan-kunjungan bisnis ke Yaman dan Syam yang
turut memperluas wawasan pengetahuan tentang daerah tersebut. Di Mekkah
sendiri ia dipercayai sebagai hakim, berturut pada jejak sang kakek. Orang-orang
Quraisy mempercayai Umar untuk menyelesaikan berbagai sengketa yang
terjadi diantara mereka.
Umar dikenal sebagai sosok yang bijaksana, bicaranya fasih, pendapatnya
baik, kuat, penyantun, argumentasinya kokoh, dan bicaranya jelas. Selengkap

44
sifat tersebut mengantarkannya menjadi duta suku Quraisy, yang apabila terjadi
konflik ia diutus dalam penyelesaiannya.
Tradisi adalah sesuatu yang berharga bagi Umar, sehingga ia rela untuk
mengorbankan dirinya dalam mempertahankan sesuatu yang telah menopang
tradisi masyarakatnya berupa ritual peribadatan dan sistem sosial. Dari inilah ia
begitu menentang Islam di awal masanya. Maka Umar adalah yang benar-benar
menyelami betul hakikat jahiliyah dan telah merasakan rasa kejahiliyahaannya
dalam praktik kebiasaan dan tradisinya. Hingga kemudian ketika Islam
membenahinya dalam rupa yang jauh berbeda, ia pernah mengatakan: “Ikatan
Islam akan terurai ikatan demi ikataan bila tumbuh dalam Islam orang yang
tidak mengenal jahiliyah.”
Awal keberuntungan bagi Umar bin Khattab adalah doa Rasulullah yakni
“Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah seorang diantara dua Amr yang Engkau
cintai: Amr bin Hakam (Abu Jahl bin Hisyam) atau Umar bin Khattab”. Perawi hadits
ini menyatakan: “Ternyata orang dicintai diantara keduanya adalah Umar”
Apa latar belakang pemilihan Rasulullah terhadap dua tokoh besar Quraisy
tersebut dalam doanya sesungguhnya tidak ditemukan referensinya. Namun bila
kita analisis, masa awal Islam di tahun-tahun pertama Nubuwah adalah masa-
masa kritis dimana kaum muslimin belum kuat baik secara politis maupun
secara kuantitas sehingga dibutuhkan satu pilar sosok yang dapat menjadi
pertahanan dalam melawan penolakan besar-besaran kaum Quraisy hingga
Rasulullah memanjatkan doa, menghajatkan sebuah bentuk ikhtiar seorang Nabi
pada Sang Pengutusnya dalam menjalani sunatullah. Secara kekuatan politis,
Abu Jahl bin Hisyam atau Amr bin Hisyam dan Umar bin Khattab memiliki
kekuatan yang sama dalam memberi pengaruh kepada masyarakat. Adapun
secara karakter keduanya sungguh beda. Abu Jahl bin Hisyam terlahir dari bani
Makhzum yang telah lama menyimpan rasa persaingan dengan bani Hasyim
dalam beberapa pelayanan haji. Maka ketika kabar nubuwah berhembus, seolah
mengunggulkan bani Hasyim diatas bani Makhzum. Spirit kompetisi panas telah
lama menyala dalam dada Abu Jahl dan makin berkobar ketika kenabian
menampuk di diri Muhammad. Serta merta Abu Jahl melakukan berbagai
penolakan, pengingkaran akan kebenaran nubuwah Muhammad. Adapun Umar
bin Khattab adalah seorang pemuda yang memiliki wawasan pengetahuan, daya
belajar yang tinggi dengan pengalaman hidup yang dijadikan bahan
mempelajari sejarah budaya Arab. Fokus perhatiannya lebih pada nilai-nilai
sosial, terkesan tidak memiliki kecenderungan individualisme. Motivasi Umar
dalam permusuhan pada Islam pun bersumber dari kepentingan nilai sosial

45
budaya Arab, adapun Abu Jahl dipandang memiliki kepentingan pribadi. Lalu,
apakah alasan Allah lebih mencintai Umar dibanding Abu Jahl adalah dari segi
itu adalah hanya Allah yang Maha Mengetahui atas segala Iradah-Nya. Hanya
saja Allah jelas mencintai orang yang bertindak adil (QS. Al-Hujurat: 9) dan tidak
menyukai orang yang membanggakan diri (QS. Luqman: 18).
Selain itu secara fakta realitas, keluasan berpikir Umar yang tidak diiming-
imingi kepentingan pribadi serta senantiasa memiliki integritas berpihak pada
kebenaran menjadi jejak-jejak sebab lahiriah terbukanya ia pada ajaran Islam.
Beberapa peristiwa dicatat sebagai seri-seri bagaimana hidayah Islam
mengintip jiwa Umar sebelum akhirnya ia bersyahadat dengan mantap:
a. Pemandangan yang menyulut perenungan mendalam ketika melihat Ummu
Abdullah binti Hantamah bersama wanita-wanita Quraisy lainnya yang rela
bersusah payah pergi ke negeri Habasyah meninggalkan kampung. Hatinya
luluh melihat kesungguhan mereka menerjang cobaan hingga tanpa sadar
terucap kata halus dan doa keselamatan kepada Ummu Abdullah. Umar
berpikir ada kekuatan besar yang masih misterius baginya, yang menjadi
motivasi mereka sehingga rela melakukan sesuatu yang begitu menyulitkan
tersebut.
b. Benturan keras dalam jiwa Umar bin Khattab ketika dalam luapan emosi
amarahnya yang tak terbendung setelah mendengar adik kandung sendiri
telah masuk agama Islam memicu perilaku hilang control diri dan akhirnya
tangannya yang menyebabkan adik tersayangnya terpelanting dan terluka.
Pengalaman tragis sesungguhnya dapat memecahkan kekerasan jiwa
seseorang hingga ia menemukan jalan untuk membuat perenungan dan titik
balik perubahan.
Kunci keberhasilan Umar dalam bertransformasi:
- Mendapatkan limpahan keberkahan melalui doa Rasulullah.
- Senantiasa memiliki kinerja nalar yang adil dalam menimang sesuatu tanpa
dicemari oleh sisipan nafsu egoism.
- Bersifat inklusif/terbuka dalam menerima sesuatu yang mengandung nilai
kebenaran dan memberikan ruang dalam diri untuk mengadakan perenungan
untuk menganalisisnya kemudian menjadikannya sebagai pendorong titik
balik perubahan dan perbaikan.
- Berafiliasi pada nilai, tidak pada hal duniawi.
- Siap berkorban demi nilai yang diperjuangkan.

46
- Penuh optimisme dalam mengejewantahkan nilai dalam tataran realitas
semusykil apapun jalan ujiannya.

5. Amr Bin Ash, ra.


Seseorang yang nalarnya diakui oleh rasionalitasnya tiba-tiba mengetuk
nuraninya: “Bagaimana bisa engkau menjauh dari urusan Muhammad, ya Amr padahal
aku tahu bahwa engkau adalah orang yang berpikiran cerdas dan berwawasan luas?!
Demi Allah dia adalah seorang utusan Allah kepada kalian khususnya dan kepada man
usia secara umum. Demi Allah taatilah titahku, ya Amr dan berimanlah kepada
Muhammad dan kepada kebenaran yang ia bawa untuk kalian”
Gugusan kalimat bernas tersebut keluar dari mulut seorang raja Najasyi
dimana bagi Amr bin Ash ia adalah teman yang telah saling mengenal satu sama
lain. Raja Najasyi menyenangi Amr sebagai kawan sebrang negri yang memiliki
kapabilitas yang jarang dimiliki kebanyakan orang yakni kecerdasan multi-
aspeknya. Keterampilan fisik berkuda, kefasihan bahasa dalam bersyair,
kecerdasan interpersonal dalam berkomunikasi dan mempengaruhi orang lain,
serta ketajaman analisis berpikirnya. Sehingga dengan itulah jalan cerita awal
persahabatan Amr dengan Najasyi, Amr sering diutus dalam penyelesaian
masalah bilateral dari Mekah ke Habasyah.
Maka sepulang perjalanan dari Habasyah itu, ia dicindera-matai oleh
Najasyi sebuah bahan renungan yang teramat berat. Ucapan Najasyi begitu
dalam meninggalkan bekas menggelayuti pikirannya sepanjang jalan pulang.
Mungkin dalam momen inilah Amr bin Ash dengan raja Najasyi memiliki cara
pandang yang berbeda setelah selama mereka saling mengenal dan memiliki
keseiringan dalam berperspektif. Tentu hal ini mengguncang jiwa Amr bin Ash,
diperberat lagi oleh serangkaian peristiwa hebat yang terjadi dengan para
pemuka Quraisy yang selalu mengkonfrontasi Nabi Muhammad dan para
sahabatnya.
Pasca Hijrah ke Habasyah, penganiayaan Quraisy yang dibalas dengan
kesabaran kaum muslimin selama di Mekah, hijrahnya Nabi bersama para
sahabat ke Madinah yang begitu membuahkan kekuatan baru yang mengancam
dan menciutkan kekuatan musyrik Quraisy, peperangan demi peperangan,
hingga satu demi satu orang-orang mengumandangkan keislamanannya dengan
penuh keagungan mengundang kekaguman. Bagi seorang Amr bin Ash
serangkaian pemikiran panjang ini sungguh mendesak ia untuk mengambil
keputusan terbesar dalam hidupnya dengan proses pergelutan batin yang

47
masygul. Setelah begitu banyak perlakuan buruk dihantamkan pada Rasulullah
oleh sikapnya, kini kebenaran membelalakkan pandangan nalarnya yang salah
selama ini. Namun hal yang positif dari diri Amr adalah pengakuan nurani akan
kebenaran yang jauh mengungguli beban dosa masa lalunya bahkan sama sekali
ia tak terbetik dalam kesombongan buta. Sehingga di kesempatan yang tepat ia
menuju Madinah bermaksud merubah semuanya, bertekad mentransformasi
dirinya dalam bimbingan Rasulullah. Seperti halnya apa yang Khalid utarakan,
sebelum bersyahadat Amr begitu terbebani oleh dosa di masa lalunya. Maka ia
terlebih dahulu meminta Rasulullah ampunan untuknya pada Allah atas
setumpuk dosanya merintangi Islam dahulu. Namun Rasulullah
menenangkannya bahwa syahadat adalah kalimat yang juga berfungsi sebagai
amnesti dari Allah atas jahiliyah masa lampaunya.
Waktu berjalan mengiringi perjuangan Rasulullah dan para sahabat
menapaki tapal demi tapal negeri menyebarkan dakwah Islam. Rasul pun telah
mengetahui kapasitas khas Amr yang dengan itu beliau mengutusnya dalam
beberapa tugas. Amr bin Ash pun senantiasa bersiap siaga berakselerasi dalam
jihadnya. Di dalamnya berpadu indah antara ghirah mengejar ampunan dan
keridaan Allah, ketaatan di bawah kharisma teduh Rasulullah dan soft skill
terpendamnya. Dengan itu ia menjadi amunisi Islam dalam penyebaran dakwah
Islam ke pelosok negeri sehingga dunia mengenal dirinya sebagai Pembebas
Mesir dan Palestina.
Hingga jalan hidupnya terus berlanjut pasca wafat Rasulullah, kemudian
memperkuat pemerintahan Abu Bakar serta Umar bin Khattab dengan tugas-
tugas besarnya, lika-liku kisahnya beragam sehingga sebagian ilmuwan sempat
meragukan keadilan dirinya dalam beberapa episode sejarahnya. Namun secara
general, juga berdasarkan pernyataan Rasul dengan keistimewaan pengetahuan
beliau yang dituruti kemudian oleh para penggantinya, maka Amr bin Ash
adalah seorang sahabat Rasulullah yang benar keimanannya. Adapun bila
terdapat kesalahan, maka itu adalah urusan ia dengan Allah lah semata. Karena
atas izin Allah, lewat tangan bakti Amr bin Ash penyebaran nilai Islam
dibumikan ke pelosok-pelosok negeri luas. Sebuah kalimat pengakuan murni
terucap ketika ajal mendekatinya:
“Pada mulanya aku ini seorang kafir, dan orang yang amat keras sekali terhadap
Rasulullah SAW hingga seandainya aku meninggal pada saat itu, pastilah masuk
neraka. Kemudian aku membaiat kepada Rasulullah, maka tak seorang pun diantara
manusia yang lebih kucintai, dan lebih mulia dalam pandangan mataku, daripada
beliau. Dan seandainya aku diminta untuk melukiskannya, maka aku tidak sanggup

48
karena disebabkan hormatku kepadanya, aku tak kuasa menatapnya sepenuh
mataku. Maka seandainya aku meninggal pada saat itu, besar harapan akan menjadi
penduduk surga. Kemudian setelah itu, aku diberi ujian dengan beroleh kekuasaan
begitu pun dengan hal-hal lain. Aku tidak tahu, apakah ujian itu akan membawa
keuntungan bagi diriku ataukah kerugian.”
Adapun kunci keberhasilan transformasi Amr bin Ash diantaranya:
- Pada saat Allah menganugerahkan kesempatan dan peluang bagi akalnya
untuk berpikir sehat dan mendekati celah kebenaran ia mencenderunginya
sebagai bahan pertimbangan pemikirannya.
- Memberi ruang waktu untuk berkontemplasi sehingga dapat memperbesar
kecenderungan nalar untuk memihaki kutub yang dirasa mengandung lebih
banyak kebenaran dan meninggalkan kutub yang lebih bermuatan kebathilan.
- Terbuka pada beberapa pihak yang dekat yang menyuarakan kebenaran dan
menerima masukannya.
- Berusaha mengikis fanatisme.
- Tidak setengah hati menapaki jalan hidayah sekalipun berkesempatan di
detik terakhir.
- Mengerahkan segala talenta dan kapabilitasnya dalam rangka beribadah
kepada Allah.
- Memiliki sosok berpengaruh yang membantunya menemukan jalan hidayah.

6. Khalid Bin Walid, ra.


Kepemimpinan militer secara umum merupakan talenta dan kecakapan
yang diperoleh melalui belajar serta kecerdasan akal, yang tercermin dalam
kemampuannnya melakukan inovasi dan kesiapannya mengemban tugas-tugas
kepemimpinan. Kecakapan kepemimpinan militer terbagi dalam dua macam;
Pertama, kecakapan melakukan inovasi. Kedua, kecakapan pelaksanaan
program-program yang telah dicanangkan (Hakim, 2001). Kedua hal itu
terhimpun dalam diri Khalid bin Walid sejak beliau belia.
Ayah Khalid adalah Walid bin Mughirah, seorang tokoh besar di
masyarakat Quraisy Mekkah dan sosok utama di kalangan bani Makhzum.
Seorang hartawan dan mendapat julukan Raihanah Quraisy
(penghidupan/rezeki kaum Quraisy) karena selalu membiayai seluruh jamah haji
dalam jumlah besar. Namun sayangnya hingga akhir hayatnya ia tak kunjung
mendekati cahaya Islam karena terhasut siasat Abu Jahl yang mengetahui

49
kelemahan dirinya dalam perkara kebesarannya dan kebangsawanannya di
kalangan Quraisy dan di hadapan bani Hasyim beserta Rasulullah. Peristiwa ini
Allah abadikan dalam surat Al-Mudatstsir.
Khalid sedari kecil telah dipersiapkan dengan totalitas oleh asuhan sang
ayah dalam lingkar bani Makhzum untuk menjadi ahli perang. Sedikitpun ia
tidak disibukkan dengan mencari penghasilan atau kesibukan lainnya kecuali
mempelajari dan berlatih segala bidang yang berkaitan dengan keterampilan
berperang. Hingga Khalid muda dengan talenta dan kecerdasannya telah
mencapai kematangan dalam segala kelengkapan kemampuan yang harus
dimiliki oleh seorang panglima perang melebihi kemampuan orang lain. Secara
skill dan kompetensi militer Khalid bisa dikatakan telah tuntas dan siap menjadi
orang besar di dalamnya.
Namun sayangnya secara pemikiran, konsep hidup dan paradigma berpikir
Khalid sangat dipengaruhi oleh didikan sang ayah dan bani Makhzumnya yang
notabene tidak jauh dari tradisi, nilai sosial dan aturan yang dianut oleh kaum
Quraisy, yaitu politheisme turun-temurunnya. Sehingga ketika Islam muncul
dari bilik bani Hasyim diperkeruh lagi oleh dampak angin perubahan barunya
yang secara kausalitas tentunya selalu mengobrak-abrik tatanan sosial yang
sudah ada, tuntaslah dalam pemikiran Khalid Islam adalah ancaman bangsanya
yang harus diperangi. Pengaruh lingkungan sekitar yang begitu mendominasi,
ketiadaan informasi berimbang tentang Islam menjadi awal mindset Khalid bin
Walid dalam memusuhi segala dakwah Rasulullah dan para sahabatnya. Akan
tetapi seiring waktu berjalan, satu per satu peristiwa terjadi di Mekkah dalam
fenomena kedatangan agama ‘baru’ tersebut menggulirkan banyak hal-hal yang
mengusik tatanan berpikir segelintir orang. Bagi orang berkepentingan, Islam
adalah pengusik. Bagi pencari kebenaran, Islam adalah oase yang ditunggu-
tunggu. Bagi pendominasi nalar, Islam adalah gelombang badai yang memuat
hal-hal misterius yang perlu diselidiki. Sebagian dari pendominasi nalar, mereka
mulanya menjauhi karena secara fisik ia berupa badai yang menghancurkan
tatanan sosial Mekkah, namun daya akalnya mampu mengendus hal-hal tak
kasat dalam apa yang dibawa Islam yang menyimpan sebuah kekuatan besar
yang jauh lebih agung daripada hal yang dimiliki dalam anutan thagut Arab.
Hal-hal tak kasat mata tersebut itu terpancar dalam akhlaq dan keyakinan
Rasulullah dan para Assabiqunal Awwalun yang ditangkap para pendominasi
nalar semisal Khalid bin Walid. Para pendominasi nalar berpikir dimana
kebenaran berada disitu kekuatan dan kemenangan akhir berpihak di akhir
perseteruannya.

50
Seperti dalam pengakuan Khalid berikut: “Tatkala Allah menginginkan
kebaikan padaku, maka Allah menumbuhkan benih kecintaan pada Islam dalam hatiku
dan membangun kesadaranku. Sungguh saya telah menyaksikan seluruh peristiwa yang
berkaitan dengan Muhammad. Tidak ada satupun peristiwa yang saya saksikan kecuali
saat berpaling, saya selalu bergumam dalam hati bahwa saya berpijak tidak pada tempat
yang semestinya dan bahwa Muhammad akan meraih kemenangan” (Ash-Shallabi,
2008).
Hingga satu saat tiba ketika ia telah lelah melihat kondisi sosial Mekkah
dalam kabut permusuhan mengkonfrontir segala eksistensi dan gerakan
muslimin sampai pada fase Rasulullah telah berhijrah ke Madinah, serta seiring
itu pula dalam diri akhlaq Rasulullah dan kaum muslimin konsisten
memancarkan kebenaran, kelurusan sikap dan sifat rahmah, seiring itu pula
kaum muslimin kian hari kian menguat baik secara kualitas maupun
kuantitasnya, maka Khalid mulai terbetik membuka diri untuk menyibakkan hal
apa yang sebenarnya ada dalam Islam. Ali Shalabi mencatat detik peristiwa besar
dalam hidup Khalid bin Walid ada di saat peristiwa berikut dalam pengkisahan
Khalid sendiri:
“Tatkala Rasulullah keluar keluar menuju Hudaibiyah, saya pun keluar
bersama pasukan Quraisy. Saya mendapati Rasulullah beserta para sahabat
sedang berada di Usafan. Kemudian saya mengambil posisi di hadapan beliau
dan mulai mengintai beliau. Kemudian beliau pun menunaikan shalat Zhuhur
beserta para sahabat dengan aman dari serangan kami. Saat itu terdetik bagi
kami untuk menyerangnya, namun tekad kami bulat lantaran ada kesempatan
yang lebih baik. Sejurus kemudian muncullah keinginan dalam diri kami (untuk
menyerang), namun justru beliau shalat Ashar beserta para sahabat dengan cara
shalat Khauf. Saat itu terdetiklah sesuatu dalam diriku. Saya bergumam dalam
hati, ‘lelaki itu bukanlah orang sembarangan!’. Lalu kami pun berpisah karena
beliau bergeser dari rute perjalanan kuda kami dan mengambil arah kanan.
Ketika beliau mengadakan perjanjian dengan bangsa Quraisy justru memberikan
kebebasan bagi beliau, maka saya pun bergumam dalam hati ’apalagi yang
tersisa?’ Apakah harus menemui Najasyi? Padahal dia telah mengikuti
Muhammad, bahkan para sahabatnya aman hidup di sisinya. Atau saya harus
menemui Heraklius? Konsekwensinya saya harus keluar dari agamaku lalu
memeluk agama Nasrani atau Yahudi dan saya akan tinggal bersama non-Arab
sebagai pengikut mereka. atau saya harus tinggal di negeri ini bersama mereka
yang tersisa? Jika pilihan saya demikian, saat Rasulullah memasuki (Mekkah)
untuk Umrah Qadha maka saya akan menyingkir dan tidak akan melihatnya

51
masuk. Adapun saudara saya, Walid bin Walid, dia telah memasuki (Mekkah)
bersama Rasulullah pada Umrah Qadha. Dia berusaha mencariku namun tidak
berhasil menemuanku. Lantas dia menulis sepucuk surat kepadaku, yang berisi,
‘Bismillahirrahmannirrahim, Amma ba’du: sebenarnya saya tidak melihat sesuatu yang
lebih mengherankan dari jauhnya pikiranmu dari Islam. Dimana engkau
(mempergunakan) akalmu? Apakah seorang masih tidak mengetahui (sesuatu yang jelas)
dalam Islam ini? Sungguh, Rasulullah telah menanyaiku seraya berkata: ‘di mana
Khalid?’lalu saya menjawab: “apakah Allah akan memberinya (hidayah)’Lantas beliau
bersabda:’Tidak sepantasnya sekaliber dia tidak mengetahui Islam! sekiranya dia mau
menggunakan kecerdikan dan kemampuannya bersama kaum muslimin untuk
menghadapi orang-orang musyrik, itu lebih baik baginya. Sungguh kami akan lebih
mengedepankannya atas orang lain.’ Untuk itu wahai saudaraku, segeralah menyusul
karena engkau belum terlambat beberapa peluang kebaikan saja” (Ash-Shallabi, 2008). 
Setelah membaca surat itu, kecintaan Khalid pada Islam bertambah dan
Allah menurunkan mimpi yang beberapa waktu berikutnya mimpi itu
diceritakan pada Abu Bakar dan ditakwilkan tentang kesyirikan yang akan
berganti dengan hidayah Islam.
Khalid sempat mengutarakan pemikirannya serta mengajak Safwan dan
Ikrimah menyambut hidayah Islam, namun mereka menolak mentah-mentah
hingga akhirnya Khalid menemukan Utsman bin Thalhah dan Amr bin Ash
dalam kesamaan paham dan menjadikan mereka teman hijrahnya. Di Ya’juj
mereka bertiga bertemu Rasulullah dimana wahyu telah mendahului kabar
kedatangan mereka. Dengan memakai pakaian terbaik, Khalid menghadap
beliau dan menyatakan syahadat, beliau bersabda “Segala puji hanyalah milik
Allah yang telah memberimu hidayah. Sungguh saya melihat pada dirimu kecerdikan
yang saya harap tidak akan menundukanmu kecuali kepada kebaikan” Lalu Khalid
meminta beliau memohonkan ampunan pada Allah untuknya, beliau
menjelaskan bahwa Islam menghapus dosa-dosa yang telah lalu. Namun Khalid
kembali memintanya hingga beliau berdoa ‘Ya Allah, ampunilah setiap dosa Khalid
(dahulu) dalam rangka menghalangi manusia dari jalan-Mu’
Sejak saat itu, tepatnya pada tahun kedelapan Hijriyah Khalid merubah
kemudi jalan hidupnya, berusaha mengejar ketertinggalan dan bersungguh
dalam keislamannya. Tugas perdananya dari Rasulullah adalah turut terjun
sebagai prajurit dalam perang Mu’tah dimana perang ini menyimpan banyak
kisah heroic tiga panglima syuhada dan dalam kondisi kritis itu mendesak
Khalid untuk tampil ke depan mengerahkan kapabilitas emasnya untuk
mengangkat posisi pasukan muslimin yang terjepit dan merubah arah

52
kemenangan. Atas izin Allah kuantitas dua kubu Muslimin-Romawi yang tidak
berimbang 3.000-20.000 tersebut dapat Allah menangkan bagi kaum muslimin
dalam serangkaian proses sunatulloh kemenangan dimana tangan Khalid turut
mengukir baktinya pada Allah dengan segala kapabilitas yang dimilikinya.
Dalam perjuangannya bersama Rasulullah, Khalid menjadi orang
kepercayaan Rasulullah, dengan bakat uniknya di dalam hal komando militer
yang secara khusus yang jarang dimiliki orang sepanjang masa. Bahkan menurut
seorang penulis sejarah bernama Mansur Hakim, kemampuan dan kecerdasan
terlengkap dalam militer di dunia sepanjang masa hanya ditempati oleh empat
orang yakni Khalid bin Walid, Alexander Macedonia, Napoleon Bonaparte, dan
Romael. Maka tidak heran jika Rasulullah bersabda “Sebaik-baik hamba Allah dan
saudara untuk bergaul adalah Khalid bin Walid, dan dia salah satu dari pedang pedang
Allah, yang Allah hunuskan kepada orang orang kafir dan munafik.” (Al-Misri, 2016).
Khalid bin Walid lebih banyak menghabiskan masa keislamannya dengan
berpartisipasi dalam berbagai peperangan bersama Rasulullah, dan dilanjutkan
dalam peperangan melawan orang-orang murtad setelah beliau wafat.
Kemudian dilanjutkan dengan berbagai ekspansi dan penaklukan Islam pada
masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar serta pada permulaan pemerintah
Khalifah Umar bin Khattab. Khalid bin Walid berpartisispasi dalam penaklukan-
penakluan wilayah Persia, berbagai ekspansi di Syam, memimpin pertempuran
di Yarmuk yang populer hingga menyebabkan kekalahan besar kekaisaran
Romawi di Syam. Ia senantiasa diperankan sebagai panglima besar yang
meleluasakannya untuk membuat strategi cemerlang dalam mengikhtiari
kemenangan.
Adapun kunci keberhasilan transformasi Khalid bin Walid diantaranya:
- Pada saat Allah menganugerahkan kesempatan dan peluang bagi akalnya
untuk berpikir sehat dan mendekati celah kebenaran ia mengoptimalkannya
sebagai bahan pertimbangan pemikirannya.
- Senantiasa memperbesar kecenderungan nalar untuk memihaki kutub yang
dirasa mengandung lebih banyak kebenaran dan meninggalkan kutub yang
lebih bermuatan kebathilan.
- Terbuka pada beberapa pihak yang dekat yang menyuarakan kebenaran dan
menerima masukannya.
- Berusaha mengikis fanatisme.
- Tidak mudah berputus asa sekalipun berkesempatan di detik terakhir.

53
- Mengerahkan segala talenta dan kapabilitasnya dalam rangka beribadah
kepada Allah.
- Memiliki sosok terdekat yang membantunya menemukan jalan hidayah.

7. Ikrimah Bin Abi Jahl, ra.


Pewarisan misi permusuhan dan dendam turunan dari sang ayah yang
notabene merupakan musuh Islam nomor satu, mewataki seorang Ikrimah bin
Abu Jahl dalam rupa kejahiliyahan. Di saat teman sebaya-nya semisal Sa’d bin
Abi Waqash dan Mush’ab bin Umair telah mematang dalam usia dan
perjuangannya dalam Islam, Ikrimah mematang dalam kebencian dan kegigihan
memusuhi Islam, Rasulullah dan segenap muslimin. Semua itu ia buktikan juga
sebagai baktinya kepada sang ayah dengan penuh kesetiaan menemani setiap
perjuangan harbi-nya. Ia senantiasa ada di samping perjuangan sang ayah di
perang Badar. Menyaksikan kematian sang ayah, kemudian lagi mayatnya sang
ayah tak mampu dibawa pulang, semakin memupuk semangat balas dendam
Ikrimah di perang selanjutnya yakni perang Uhud. Di Khandaq pun ia tidak
ketinggalan hingga nyaris terbunuh melihat Amr bin Abdil Wudin tertombak
dalam duel melawan Ali bin Abi Thalib.
Kian hari, kian peperangan bergilir, kian besar dan keras permusuhan dan
kebencian Ikrimah kepada panji agama yang dibawa Muhammad. Sampai tiba di
gerbang fathul Mekah, ketika sebagian besar menyerahkan diri dalam pangkuan
kasih sayang Islam tanpa kekerasan, Ikrimah malah menyulut perlawanan,
hingga sekalipun dalam kondisi terpojok ia bersikukuh dengan penolakannya
dan melarikan diri ke Yaman. Beruntungnya sang istri telah terbuka menerima
kebenaran Islam, yang kemudian ia meminta jaminan keselamatan pada
Rasulullah untuk suaminya bila nanti ia dapat membawanya pulang. Atas
bujukan sang istri Ikrimah dengan penuh diyakinkan bahwa semua buruk
sangkanya tentang Rasulullah adalah tidak benar. Rasul adalah sosok yang
penuh maaf bagi siapa saja yang beri’tiqad membenahi diri dengan taubat dan
Islam. ketika dihadapkan di depan Rasulullah ia diguyuri doa dan motivasi
penuh keberkahan dari sang Nabi untuk melupakan semua masa lalu dan segera
menyambut lembaran hidup baru yang jauh lebih bermakna.
Berkali-kali kesempatan Allah telah meloloskan Ikrimah dari kubangan ajal
dalam kekafiran. Perang Badar, perang Uhud, perang Khandaq, pun di balik tirai
Ka’bah saat fathul Mekah. Diantara sosok yang Allah biarkan sesat hingga
matinya, Allah ternyata telah memberi banyak kenikmatan terbesar pada

54
Ikrimah, sehingga dalam keislamannya ia seringkali menyelipkan sumpah
penuh takzim, “Tidak, demi Allah yang telah menyelamatkanku pada perang
Badar”. Islam merupakan kenikmatan termulia dan terbesar karena
menyelamatkannya dari hal terburuk yakni adzab akhirat buah kafir di akhir
hayat.
Setelah mengenal Islam dari dekat dengan sebenar-benarnya, ia kini mampu
melihat begitu nistanya ia di masa lalu. Sekalipun itu semua sudah usai berganti
dengan kesungguhan dalam Islam, ia senantiasa terhantui oleh kebengisan
dirinya dalam berbagai peperangan memusuhi dan menyakiti Rasulullah dan
kaum muslimin. Maka mungkin dari sana ia selalu bersemangat menyambut
panggilan perang sebagai tekad menghapus dosa lampaunya yang mengintai
ketenangan jiwanya. Khalid menjadi saksi sebuah peristiwa besar dalam hidup
Ikrimah, dimana di perang Yarmuk muslimin dalam kondisi kritis melawan
raksasanya jumlah pasukan romawi, namun Ikrimah dengan berkuda tak gentar
maju ke hadapan musuh sembari berujar:”Dahulu aku memerangi Rasulullah di
segala medan. Sekarang, mungkinkah aku lari dari kalian? Siapakah yang ingin berbaiat
untuk mati syahid?” dengan itu 400 orang yang hampir putus asa dimana mereka
bersedia berbaiat dan tegar meneruskan perjuangan, sabar menghadapi
kegentingan, hingga akhirnya kemenangan berada di pihak musliminin, dan
Ikrimah syahid diantara para syuhada.
Sebuah model transformasi diri Ikrimah Bin Abu Jahl adalah bukti nyata
akan ayat Allah: “..dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup..” (QS. Ali
Imran: 27).
Perubahan manusia terkadang tidak dapat diprediksi oleh nalar manusia.
sosok yang tidak terbetik sedikitpun cercah hidayah di air mukanya, dalam
sekian waktu ia berbalik arah berubah seratus delapan puluh derajat menjelma
sosok yang sangat kontradiktif. Perubahan jiwa dan hati adalah hanya milik dan
atas otoritas Allah semata. Adapun manusia hanya berjalan di atas hukum
sunatullohnya menjalani sebab dan meniti usaha. Tidak banyak manusia yang
tahu apa maksud Allah atas peristiwa tak lumrah semisal Ikrimah. Gelombang
penolakan dan serangan hebat dari saudara sedarah daging Rasulullah, kaum
Quraisy, yang begitu gencar menjadi musuh utama perjuangan Islam di awal
masanya, bila diterawang ke masa depan ternyata, dari situlah benih-benih iman
muncul dan menjadi bahan bakar perjuangan berikutnya di fase penyebaran ke
luar jazirah Arab. Konstelasi pergumulan manusia dalam rentang waktu dengan
segala perubahannya meniscayakan diri bahwa ia bukanlah milik kuasa tangan
dan akal manusia.

55
Di suatu hari pada masa indahnya, suatu ketika Ikrimah meletakkan mushaf
di wajahnya dengan nanar pandangan basah oleh air mata teringat akan masa
kelamnya memusuhi Islam, ia sembari berkata: “Kitab Rabbku.. Kitab Rabbku..”.
Kejadian tersebut dapat menjadikan sebuah bukti bahwa Ikrimah adalah salah
satu sahabat yang tsiqah konsisten memegang Islam sebagai konsep hidup dan
benar-benar melepaskan budaya jahiliyahnya dahulu sehingga terhindar dari
percik-percik sifat kemunafikan.
Adapun kunci keberhasilan transformasi Ikrimah bin Abu Jahl yang perlu
diteladani diantaranya:
- Sekuat mungkin menggugurkan tembok kesombongan bila dihadapkan
dengan kebenaran sehingga kebenaran dapat masuk ke dalam hati dan jiwa.
- Senantiasa memperbesar optimisme dalam mencapai perubahan terbaik
ipastifnya sekalipun secara komparatif telah jauh tertinggal.
- Berhusnudzan pada Allah dan senantiasa berharap akan ampunan-Nya.
- Membersihkan nilai-nilai dan konsep ajaran tercela sekalipun itu adalah
wasiat atau buah warisan orang tua yang ia sayangi.
- Mempersembahkan hal terbaik yang mampu ia lakukan demi mencapai hal
yang paling diridhai Allah.

8. Suhail Bin Amr, ra.


Sahabat Rasulullah yang satu ini awalnya merupakan tokoh senior pemuka
besar Quraisy. Dengan usianya tak lagi muda, nilai-nilai Jahiliyah telah begitu
kuat melekat dalam diri, posisi mapannya dalam majelis Darun Nadwah genap
menetapkan ia dalam jajaran musuh yang begitu keras memerangi Islam.
Walaupun kedua putranya telah terengkuh menjadi muslim dan berpindah ke
haluan pengikut Rasulullah justru hal itu tak lantas membuatnya tergerak.
Suhail bin Amr terperangkap dalam jalinan interpersonal jahiliyah sesama
pemuka Quraisy yang penuh fanatisme. Kemampuan orasinya begitu
diandalkan Quraisy untuk menyuarakan propaganda buruk tentang Islam. Di
hari naasnya tertawan di perang Badar, sebelum ditebus, Umar sempat
mengeluarkan kejengkelannya dengan meminta izin Rasulullah menanggalkan
kedua gigi seri Suhail agar tidak lagi menghina Islam dengan pidatonya.
Keberuntungan sebenarnya telah tersirat dari momen ini, karena Rasulullah
menahan permintaan Umar dengan keberkahan doa beliau untuk Suhail “jangan

56
wahai Umar, boleh jadi suatu hari nanti gigi seri itu akan menyatakan sesuatu yang
menggembirakan engkau”.
Masih jauh menuju titik pangkal keberuntungan tersebut, Suhail bin Amr
masih berlanjut turut dalam semua usaha memusuhi Islam dalam berbagai
peperangan Uhud dan Khandaq, sampai pada puncak ulah perilaku buruknya
saat di peristiwa perjanjian Hudaibiyyah. Akan tetapi saat yang dipilih Quraisy
untuk tawar menawar perjanjian tersebut adalah Suhail bin Amr, sebagaimana
makna dari kata Suhail adalah mudah, Nabi ketika itu bersabda “Semoga Allah
memudahkan urusan kalian”, seolah Nabi memberikan pertanda positif yang akan
berkembang. Maka poin per poin perjanjian Hudaibiyah disepakati dengan
penuh ketidak adilan dan berkesan mempreteli kemuliaan Rasulullah oleh lidah
culas Suhail. Dengan penuh kharismatik Nabi sekalipun tidak pernah
menolaknya walaupun para sahabat begitu geram. Dan ternyata perjanjian
Hudaibiyah menjadi cikal bakal perkembangan kemenangan yang berujung
pada fathu Makkah. Di fathu Makkah ini pula Suhail ditundukkan hatinya oleh
kemuliaan metode dakwah Islam dan akhlaq Rasulullah. Sebuah kondisi terbalik
dibanding tiga belas tahun lalu, musyrik Quraisy kini takluk dalam kebesaran
Islam dan muslimin namun setempo itu pula Islam mengibarkan kemuliaannya
dengan penuh kasih sayang tanpa adanya invasi berdarah. Suhail bin Amr
penuh malu sekaligus kagum di hadapan Rasulullah saat menyatakan syahadat
karena teringat akan sederet panjang perlakuan buruknya terhadap beliau. Sejak
saat itu Suhail memperbaharui hidupnya dan mengejar ketertinggalan. Dalam
usianya yang cukup mengeras terhadap potensi menerima perubahan, Suhail bin
Amr terhitung mampu dinamis dalam transformasinya menjadi muslim. Ia
banyak belajar untuk melunakkan hatinya, mengikis kecenderungan buruknya
yang tertanam sejak masa Jahiliyah. Ibnu Qamadin menuturkan, “Tidak ada
seorang pun para pemuka Quraisy yang masuk Islam belakangan setelah hari
penaklukan Makkah yang lebih banyak shalat, puasa, sedekah dan lebih mementingkan
kehidupan akhirat daripada Suhail bin Amr. Sehingga kulitnya menjadi pucat pasi
karena giatnya beribadah. Suhail sering menangis dan luluh hatinya ketika membaca Al-
Qur’an. Ia terlihat pulang pergi menemui Mu’adz bin Jabal untuk menyimak bacaan Al-
Qur’an selama Mu’adz berada di Makkah hingga keluar dari kota tersebut”.
Dhirar bin Khattab pernah berkata padanya “Wahai Abu Yazid, apakah kau
rela pulang pergi menemui orang Khazraj ini (Muadz) untuk membacakan Al-Qur’an
kepadamu? Bukankah sebaiknya kamu melakukan itu dengan sesama kaummu dari
kalangan Quraisy?” Suhail menjawab “Wahai Dhirar, orang inilah yang berbuat apa
yang telah diperbuatnya terhadap kami hingga kami (kaum Quraisy) jauh tertinggal di

57
belakang. Sungguh, aku pulang pergi menemuinya pada saat Islam telah menghapus
kejahiliyahan, sedangkan Allah telah mengangkat derajat suatu kaum yang sebelumnya
tidak dikenal pada masa Jahiliyah dengan Islam. Maka, aku berangan-angan seandainya
aku termasuk ke dalam golongan mereka sehingga aku bisa mengejar ketertinggalanku.”
Terdapat pendapat yang menyebut Suhail bin Amr wafat menemui
syahidnya di perang Yarmuk. Namun pendapat terkuat mengataan ia meninggal
di Syam disebabkan wabah Thaun Amwas saat ia berada di perbatasan wilayah
musuh di Syam dimana keberangkatannya ke wilayah tersebut berbekal sabda
Rasulullah “Jihad seseorang diantara kalian selama satu jam di jalan Allah adalah lebih
baik daripada seluruh amal yang dilakukannya seumur hidup untuk menghidupi
keluarganya.”
Begitu indah rahmat Allah yang telah menganugerahi kekuatan, kemauan
dan kesempatan pada orang-orang beruntung semisal Suhail bin Amr dalam
melakukan perubahan diri yang dengan anugerah itu ia mengoptimalkannya
dan sekuat kegigihannya mencari apa yang membuat Allah ridha padanya.
Padahal perubahan yang dialaminya begitu musykil dalam pengamatan akal
manusia.
Qodrat potensi manusia yang sama bila dipertemukan realitas kehidupan
yang serupa dalam zaman yang berbeda, tidak menutupkan celah kemungkinan
terjadi keberulangan. Seorang tokoh dengan label musuh Islam nomer satu hari
ini dengan kehendak Allah sangat bisa menjadi amunisi dakwah Islam di
kemudian Allah. Hanya saja yang perlu dilakukan adalah bagaimana risalah
Islam yang diemban oleh muslim zaman ini mampu mengulang keberhasilan
yang telah dicapai di zaman Rasulullah. Adapun yang menjadi kunci
keberhasilan Suhail bin Amr dalam bertransformasi diri sebagai muslim sejati
diantaranya sebagai berikut:
- Ketika hidayah Allah datang ia tidak menunda usaha perbaikan diri dan
penggalian ilmu yang dapat menyokong perubahan terbaiknya.
- Senantiasa mengikis kesombongan, fanatisme dan watak buruk masa lalunya
dan luas hati dalam melihat kelebihan dan kebaikan orang lain.
- Mengerahkan segala usaha dan kemampuan terbaik yang dimiliki untuk
perjuangan Islam dan muslimin.
- Melakukan usaha pendekatan atau berafiliasi pada hal atau pihak yang dapat
membantu mendukung perubahan hidupnya.

58
9. Wahsyi Bin Harb, ra.
Wahsyi bin Harb seperti halnya Bilal bin Rabbah adalah manusia-manusia
yang hakikatnya merdeka namun terperangkap dan menjadi korban kejahiliyah
zaman. Namun ada yang berbeda sedikit diantara keduanya. Begitu
mencekiknya perbudakan mengekang kemanusiaan diri mereka, muncul dalam
diri mereka akan semangat untuk merubah kedzaliman tersebut. Jika Bilal
mencari terlebih dahulu jalan kemerdekaan jiwanya dalam Islam dan iman, lain
halnya Wahsyi. Ia cenderung mencari kemerdekaan kasat mata, mencari cara
supaya bagaimana sang majikan Jubair bin Muth’im dapat membebaskannya
sebagai manusia merdeka. Satu kesempatan emas baginya datang secara tiba-
tiba ketika sang majikan terlanjur sakit hati dan menggunungkan dendam atas
kematian pamannya di perang Badar yang jatuh oleh tangan Hamzah bin Abdul
Muthalib, sang paman Rasulullah. Pada dasarnya Wahsyi tidak ingin tahu
menahu konteks permasalahan seutuhnya seperti apa, karena yang ia tahu
bahwa ia ingin dan harus merdeka tanpa mengindahkan bagaimana dampak
perbuatannya. Hingga tiba waktu yang ditunggu Wahsyi, membunuh Hamzah
bin Abdul Muthalib di perang Uhud dengan tombakan dan lemparan jitunya,
melunasi kemerdekaannya, menerima bonus sebongkah perhiasan Hindun dan
setelah itu ia menikmati kemerdekaannya sebagai manusia bebas. Walaupun
pada akhirnya ia menemukan kekecewaan karena tak ada nilai keadilan yang
sebenarnya dalam jahiliyah Quraisy sekalipun bagi mantan budak sepertinya.
Hingga waktu berlalu dan tiba di saat peristiwa Fathu Makkah, gelintir-
gelintir orang yang tersisa dan bertahan menolak nyatanya perkembangan
kebesaran Islam yang makin berkibar akhirnya dirangkul secara politis dalam
jalan damai. Namun seperti beberapa lainnya, Wahsyi ketakutan akan balasan
kaum muslimin atas dosa Uhud silamnya hingga ia melarikan diri ke Thaif. Di
perjalanan ia menemukan seseorang yang berkata “Celaka kamu, ya Wahsy! Demi
Allah, Muhammad tidak akan membunuh siapapun dari manusia yang masuk ke dalam
agamanya, dan bersaksi dengan kesaksian yang sesungguhnya.” Akhirnya ia pergi ke
Yatsrib menyatakan syahadat. Nabi tentu saja menerima pengakuan
keislamannya namun dari sisi manusiawi, Nabi masih terpukul akan kejadian
mengenaskan pada pamannya Hamzah hingga sampai akhir hayat beliau,
Wahsyi tidak pernah memberanikan diri menampakan wajahnya di hadapan
wajah beliau.
Sepanjang itu ia bermuslim, sepanjang itu pula ia terus dihantui rasa
berdosa akan kejadian Uhud dalam lesatan tombaknya itu. Dalam ukhuwah
imaniah, ia tak tersingkir dalam jerembab dosa masa lalu, justru ia terus

59
bersemangat dalam menghapus dosa dengan keislaman dan amalan soleh. Saat
kepempinan bergulir dan Abu Bakar menjadi khalifah, pasukan muslimin
berperang melawan pasukan murtad bani Hanifah yang dipimpin nabi palsu
Musailamah Al-Kadzab. Maka Wahsyi bin Harb begitu memanfaatkan
kesempatan ini: “Demi Allah, inilah kesempatanmu wahai Wahsy. Manfaatkanlah
dengan baik, dan jangan biarkan ia terlepas dari genggamanmu.” Tekad Wahsyi bulat
menerobos pasukan dan mencari incarannya yakni Musailamah Al-Kadzab.
Dengan tombak yang sama saat menumbangkan Hamzah di Uhud kelam,
Wahsyi melesatkan tombak tersebut dan membunuh Musailamah, seolah ingin
menghapus ukiran dosa jahiliyah yang tergores dalam tombaknya, dengan
lumuran darah al-Kadzab. Wahsyi telah membuktikan kesungguhannya untuk
menghapus dosa dengan amal salih, dahulu ia telah membuhuh orang terbaik
setelah Muhammad, kini ia telah membunuh manusia terburuk, sang nabi palsu.
Fenomena sosok Wahsyi adalah sebuah karakter manusia yang sebetulnya
tidak benar-benar dalam hatinya tersimpan kebencian pada agama Allah dan
rasul-Nya. Ia hanya terjebak dalam kebodohan dan kekangan jahiliyah dan
terakomodir kebutuhannya dalam jaring musuh Islam yang akhirnya ia menjadi
anak panah musuh Islam dalam merintangi perjuangan Rasulullah. Sangat
berkemungkinan di zaman ini terdapat sosok serupa Wahsyi. Metode dakwah
yang tepat yang dilakukan para pelaku dakwah dan pemimpin Islam
seyogyanya dapat menyelamatkan aqidah sejenis jiwa Wahsyi hingga
memaksimalkan daya kemaslahatan Islam dalam menyelamatkan manusia dari
kekeliruannya.
Adapun kunci transformasi Wahsyi yang patut diteladani adalah:
- Setelah memiliki kesadaran diri bersegera mengambil langkah perubahan
secara bertahap.
- Memenuhi pengetahuan dengan ajaran Islam dalam rangka mengganti
kejahiliyahan.
- Bersabar dan berbaik sangka pada Allah dalam menjalani proses yang dituju
hingga Allah mempergilirkan masa dan tahapnya.
- Bersungguh-sungguh mengoptimalkan kesempatan dalam amal kesalihan
baik kecil maupun besar dan senantiasa memupuk harapan ampunan Allah
dan terjaga dalam ketakutan akan adzab-Nya.
Sekian banyak jumlah para sahabat Rasulullah, sekian ragam pula kisah
pengalaman khas mereka dalam bertansformasi dari kelamnya kehidupan
jahiliyah mereka beralih dan berubah menuju kehidupan terarah dan terbimbing

60
dalam Islam, terang-benderang dalam memisahkan pola hidup yang benar dari
praktek yang bathil dan kokoh dalam menjalaninya. Penulis mengangkat hanya
sembilan sosok dari mereka sebagai sampel yang patut untuk dijadikan
gambaran dan keteladanan. Adapun secara singkatnya penjelasan dari beberapa
para sahabat Rasulullah tersebut digambarkan dengan tabel berikut:

Nama Sahabat Pola Sebelum Sesudah


Transformasi
Diri
Abu Bakar Berlingkung jahiliyah namun Terdepan dalam segala capaian
memiliki kesadaran akan keimanan dan kiprah perjuangan
keanomalian sosialnya1 Islamnya
Mush’ab bin Menikmati sisi kegemerlapan Memahami hakikat kehidupan
Totalitas
Umair hidup dalam asuhan ibu dunia-ukhrowi dan menikmati
Ketaatan
berlingkung jahiliyah indahnya keimanan dan keislaman
Bilal bin Korban rasisme dan Menemukan kebenaran arti
Rabbah perbudakan jahiliyah kemanusiaan dan hakikat
kemerdekaan manusia dalam Islam
Umar bin Memiliki sisi integritas2, Integritas moralnya lengkap dengan
Khattab pemegang nilai namun konsep Islam (Faruq)
berlingkung jahiliyah
Pergelutan
Amr bin Ash Berlingkung jahiliyah, menjadi Menjadi bagian dari sistem dalam
Nalar
bagian dari sistem jahiliyah perjuangan Islam
Khalid bin Berlingkung jahiliyah, bagian Menjadi bagian dari perjuangan
Walid dari sistem jahiliyah Islam
Ikrimah bin Abi Penaklukan Bagian dari sistem Jahiliyah Melebur dosa masa lalu dalam
Jahl Politik dalam asuhan dan relasi kuat jihad peperangan
sang ayah
Suhail bin Amr Bagian dari sistem jahiliyah dan Melebur dosa masa lalu dalam
senior di dalamnya jihad peperangan
Wahsyi bin Korban rasisme dan Melebur dosa masa lalu dalam
Harb perbudakan jahiliyah,
1
Memiliki dasar pertimbangan yang kuat untuk senantiasa terhindar penyembahan berhala dan
meminum khamr sekalipun di zaman jahiliyah (Al-Misri, 2016). Hal ini menjadi sinyalemen telah
menetapnya kesadaran akan kekeliruan di masyarakatnya.
2
Integritas artinya konsep yang menunjuk konsistensi antara tindakan dengan nilai dan prinsip.
Dalam etika, integritas diartikan sebagai kejujuran dan kebenaran dari tindakan seseorang. Aspek
ini dalam diri Umar bin Khattab disinyalir yang menjadi fondasi karakter dalam tugasnya sebagai
hakim di zaman Jahiliyah untuk melerai berbagai permasalahan Quraisy (Ash-Shallabi, 2008). Di
kemudian hari saat menjadi amirul mukminin, kapabilitas berbekal pengalaman tersebut
mengantarkannya membuat Risalah Al-Qada sebagai sebuah kebijakan peradilan pertama dalam
Islam (Kasim, 2016).

61
terperangkap dalam jihad peperangan
kejahiliyahan dan dijebak sang
majikan jahili

62
RAGAM HIKMAH POLA TRANSFORMASI DIRI SAHABAT NABI

1. Ragam Pola Transformasi Sahabat Rasulullah


Ketika adanya keseragaman dalam Faktor-faktor yang mempengaruhi dan
mendesain perubahan atau transformasi para sahabat, dan umumnya setiap
manusia, tentunya menjadi bagian keniscayaan terdapat juga perbedaan dari
segi lain yang menciptakan keragaman bentuk, gejala kejiwaan dan sikap
manusia. hal ini lah yang kemudian menjadi titik mula pembeda dan akar
penyebab bagaimana perilaku manusia ditelusuri secara mendalam khususnya
dalam ilmu psikologi dan sosial.

Menurut Sunaryo (2004), perilaku manusia dipengaruhi oleh dua Faktor


utama; faktor endogen dan faktor eksogen. Penjelasannya sebagai berikut:
a. Faktor endogen atau genetik
Faktor keturunan diantaranya jenis ras, jenis kelamin, sifat fisik, sifat
kepribadian, bakat pembawaan dan intelegensi.
b. Faktor eksogen atau luar individu
Faktor eksogen berasal dari dua sumber yakni faktor lingkungan yakni
semua hal yang menyangkut segala sesuatu yang ada di sekitar individu
baik fisik, biologis maupun sosial. Adapun yang kedua adalah
pendidikan yang mencakup seluruh proses kehidupan individu berupa
interaksi individu dengan lingkungannya baik secara formal maupun
informal.

63
Faktor lingkungan yang terdiri dari lingkungan keluarga dengan
anggotanya, lingkungan sosial terdekat dan pergaulan merupakan Faktor yang
sangat mempengaruhi perilaku dan cara berpikir manusia. Dengan keragaman
faktor-Faktor tersebut kemudian meluaskan probabilitas perilaku, pola pikir dan
kebiasaan manusia dalam kehidupannya. Maka di zaman Rasulullah pun tidak
lepas tersentuh sunatullah tersebut. Dengan keberagaman Faktor yang
melatarinya, ada banyak ragam liku cerita dan jalan proses setiap sahabat
menemukan hidayahnya hingga menjadi muslim mulia.
Secara kategori usia, para sahabat Rasulullah dalam mendapatkan ajaran
Islam terbagi menjadi dua kelompok; pedagogik dan andragogik. Pedagogik
dialami oleh para sahabat Rasulullah yang terlahir sesaat pasca atau pra
nubuwah dan dibesarkan dalam kehidupan muslim dalam komunitas Muhajirin
dan Anshar serta di bawah bimbingan Rasulullah sehingga sepanjang hidup
mereka terjaga dalam tarbiyah Islam tanpa mengalami masa kejahiliyahan dan
tanpa tercampur nilai pewarisan jahiliyah. Yang termasuk ke dalam kategori ini
diantaranya adalah Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Usamah bin Zaid,
Abdullah bin Umar dan lainnya. Bagi para sahabat mulia ini penyebutan lainnya
sering kita temui sebagai sahabat cilik Rasulullah. Sedangkan kategori
andragogik dialami oleh para sahabat Rasulullah yang telah menginjak usia
dewasa ketika merengkuh dan komitmen dalam agama Islam. Di separuh masa
hidupnya mereka sempat merasakan zaman jahiliyah yang kemudian bertemu
dengan dakwah Islam hingga akhirnya terengkuh dalam nilai dan ajarannya.
Gerbang awal kelompok sahabat kedua inilah diawali oleh sebuah mekanisme
transformasi dari lingkungan awal jahiliyah menuju lingkungan rabbani Islam.
Atas izin Allah, hidayah Islam direspon setiap sosok dari kelompok sahabat
tersebut dengan ragam jalan, yakni sebagai berikut:

a. Pola Totalitas Ketaatan

Merespon sebuah panggilan yang terbilang baru, yang dapat mengancam


stabilitas sosial yang telah ada sekaligus mengancam keselamatan diri sendiri
baik secara sosial maupun fisik, sesungguhnya merupakan sebuah keputusan
penuh resiko. Ketika baru saja Islam dirambatkan dari telinga ke telinga sesaat di

64
awal-awal wahyu turun, mereka mencium kemungkinan bahwa mayoritas akan
menyuarakan penolakan dan tergaung sebuah suara jamak yang seringkali
dijadikan tolok ukur kebenaran. Akan tetapi mereka malah mengambil tindakan
yang berpotensi kontroversial, mengambil jalan rawan. Maka berarti ada sebuah
hal yang lebih mahal dan berharga dalam pertimbangan alam pikir mereka
sehingga mereka menganggap kecil resiko dan apa yang disangkakan mayoritas.
Ada satu fase bagian alam bawah sadar dalam jiwa mereka yang menyatakan
bahwa apa yang tengah terjadi dalam masyarakatnya adalah salah, namun
belum menemukan konsep kebenaran yang dimaksud seperti apa, hingga pada
waktunya ketika pertama kali mereka mengenal ajaran haq Islam, jiwa mereka
langsung menyambutnya. Penuhnya nilai kebenaran yang dibawa Islam
diterima dengan objektif oleh akal sehat dan fitrah jiwa mereka. Hal ini
membuktikan telah terpampang sebuah kondisi kesadaran dengan siapnya
mental menyambut kebenaran di saat sebagian besar masih belum bisa
menerimanya.
Sosok-sosok yang bertransformasi dengan jalan ini sering kita sebut sebagai
Assabiqunal Awwaalun. As-Sabiq yang berarti yang mendahului, melampaui,
bergerak sebelumnya, melewati atau berpacu, sedangkan awwalun berarti awal,
pertama. Sosok-sosok sahabat yang menerima ajaran Islam dengan jalan ini,
mendominasi kelompok Muhajirin dan Anshar karena mereka bermuslim
sebelum perjanjian Hudaibiyah. Proses awal pertemuan mereka dengan
panggilan Islam begitu mulus, karena hati dan jiwa mereka begitu
menyambutnya tanpa adanya penentangan akal, tidak mengalami banyak
hambatan internal diri langsung mengakui akan kebenaran ajaran Islam dan
kemudian menyatakan dua kalimat syahadat. Faktor lain yang mendorong
tindakan mereka adalah karena kesucian hati mereka yang terbebas dari
kecondongan atau hawa nafsu kepada apa yang datang selain dari Al-Qur’an
dan Sunnah, dan mempersiapkannya secara matang untuk menerima apa yang
akan datang dari Allah dan Rasul-Nya, dan tunduk dan patuh secara mutlak,
tanpa terpaksa atau ragu atau keberatan.
Penghulu kelompok ini tentu saja adalah sahabat mulia Abu Bakar, Bilal,
Khadijah, Ali bin Abu Thalib yang kemudian menarik sahabat-sahabat lain
seperti Ustman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Abu Ubaidah bin jarrah,
Thalhah bin Ubaidillah, Saad bin Abi Waqqash, Zubair bin Awwam, Said bin
zaid dan sahabat lainnya. Adapun dari kalangan pendahulu dari kaum Anshar
adalah beberapa nama sahabat yang berbaiat di Aqobah yakni diantaranya Asad
bin Zurarah, Auf bin Harits, Rafi bin Malik, Qutbah bin Amir, Uqbah bin Amir,

65
Jabir bin Abdillah dan beberapa sahabat lainnya. Dengan keutamaan jiwa yang
mereka miliki, Allah dan Rasul-Nya memuji kedudukan mereka di banyak
tempat ayat dan hadits:
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara
orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah. Allah menyediakan
bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal
di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” (QS. At-Taubah:
100).
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka
berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada
dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan
kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). (QS. al-Fath: 18).
“Orang yang ikut baiat ridhwan – yang dilakukan di bawah pohon tidak ada
satupun yang masuk neraka.” (HR. Abu Daud no. 4655; HR. Turmudzi no.
4233; HR. Ahmad no. 14778).
“Janganlah kalian mencela para sahabatku. Sungguh. Seandainya salah seorang dari
kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, nilainya tidak akan mencapai
segenggam tangan mereka, bahkan setengahnya pun tidak.” (HR. Bukhari; HR.
Muslim).
Eksistensi keislaman mereka adalah tonggak eksistensi Islam pertama dalam
realitas masyarakat Arab. Keberadaan mereka menjadi bahan bakar utama
perjuangan Islam dalam masa perintisan yang sangat menentukan. Mereka
adalah jiwa-jiwa terpilih karena berhasil memahami maksud ilahiah dalam
bayangan wahyu dan kemudian mentaati segala titah-Nya, ketika di saat
sebagian besar meragukannya. Kecenderungan dan kebiasaan jiwa manusia
tertentu yang lebih menggunakan hati yang tentunya dengan syarat tidak
dikotori oleh noda mendorong mereka untuk memiliki kemampuan intuisi
(dzauq) dimana mereka dapat melihat segala hakikat kebenaran. Hati mampu
menangkap kebenaran pengetahuan secara tidak terbatas melewati batas
kemampuan akal. Kemampuan yang tidak terbatas itu diperoleh dengan dzauq
atau intuisi. Ada beberapa aspek yang patut dipelajari sebagai bagian hikmah
dari keutamaan yang dimiliki oleh kelompok mulia ini:
1) Kebersihan jiwa dari polutan jahiliyah sosial.
2) Keberanian mereka melawan arus besar yang mana keberanian tersebut
muncul dari kuatnya intuisi, bersihnya nurani yang dipadu dengan kokohnya
kesigapan menerima resiko/dampaknya.
3) Iman yang tumbuh dan bertambah.

66
“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin
supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).
Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Fath: 4)

b. Pola Pergelutan Nalar

Postur kejiwaan setiap manusia selalu berbeda. Ketika ada yang bergegas
langsung menyambut Islam, maka ada pula yang mengalami banyak tubian
rintangan, dan tentangan internal psikologis dalam diri mereka ketika
menanggapi gelombang awalnya. Segala apa yang melekat pada apa yang
dibawa Nabi Muhammad dalam ajarannya didudukkan sebagai sebuah anomali
atau kalau tidak ancaman bagi stabilitas sosial yang ada, karena nilai kebenaran
bagi mereka adalah apa yang menjadi ajaran turun-temurun dari nenek moyang
serta aturan pakem yang dibuat oleh kaum Quraisy. Terdapat beberapa Faktor
yang melatari perilaku dan tindakan sosok-sosok ini dalam penolakannya
terhadap Islam di awal dakwah, diantaranya; nilai dan pemikiran jahiliyah yang
telah mewarnai pola pikir, paradigma dalam mempertahankan status quo
budaya nenek moyang, kejumudan dalam menerima hal baru dari hal yang
sudah baku tanpa pengindahan sisi nilai kebenarannya, serta diperkeruh lagi
oleh kesalahan pemahaman tentang Islam.
Menurut analisis dalam penelitian penulis, Umar bin Khattab, Khalid bin
Walid, Amr bin Ash, Umair bin Wahab adalah beberapa diantara sahabat yang
mengalami pergelutan batin tersebut. Mereka umumnya didasari dari sebab-
sebab alamiah oleh latar belakang pengasuhan keluarga, pengalaman hidup dan
dominasi penalaran akal. Lingkungan dan orang terdekat yang sangat
mempengaruhi pola berpikir yang menjadi kanal masukknya nilai dan
pemikiran jahiliyah, sebagaimana kepercayaan yang diberikan para pemangku
Darun Nadwah kepada mereka dalam beberapa peran dan tugasnya kepada ke
lima sahabat tersebut berdasarkan kepiawaian masing-masing; Umar bin Khattab
sebagai duta perdamaian kasus persengketaan, Khalid bin Walid sebagai cikal
bakal panglima perang, Amr bin Ash sebagai negosiator ulung. Mereka sedikit
banyak telah sepakat firasat dalam anutan-anutan Darun Nadwah. Sehingga
ketika mendengar Islam dan ajarannya begitu lain dan berpotensi menggerus
kemapaman norma yang ada, diperkeruh lagi gelombang Islam ini dalam
dampaknya yang tak bisa dihindari telah memecah kerukunan dalam keluarga,
dari situlah mereka bersikukuh menentang Islam. Mereka baru mengenali
permukaan dan angin awal Islam, namun belum mengetahui dan memahami
hakikat Islam sebenarnya dan seutuhnya dengan jiwa yang terbebas dari nilai

67
jahiliyah. Akan tetapi satu hal yang menyelamatkannya adalah mereka memilki
keberpihakan pada kebenaran universal dan kecenderungan lemah mereka
terhadap kesombongan dan syahwat di saat waktu yang tepat.
Hal yang mendasar ada pada proses penalaran mereka yang cukup
dominan. memang kemampuan akal dalam menangkap kebenaran bukan berarti
tanpa kelemahan, justru di sinilah kebutuhan akal terhadap pengetahuan yang
lebih tinggi. Ini dikarenakan ia dipengaruhi oleh indra yang hanya mampu
menangkap objek material sedangkan akal hanya mampu menangkap konsep-
konsep dan sebatas relasi saja. Terutama dalam menangkap hakikat metafisika
dan eskatologi, akal akan mengalami kebuntuan sehingga harus membutuhkan
syarak. Dalam menyimpulkan nilai baik dan buruk, akal hanya mampu
mengetahui secara global, sedangkan syarak mengetahui secara global dan
terinci. Antara akal dan syarak saling mendukung, tidak ada pertentangan di
dalamnya. Oleh karena itu, menurut Al-Ghazali memfungsikan peran hati untuk
penerimaan diri terhadap syarak merupakan pintu hidayah. Dalam hal ini para
sahabat dalam kategori ini pada akhirnya telah menemui dan sampai dalam
batas proses akhir ini (Cholik, 2015).
Menilai ketiga tokoh diatas, hal yang berperan penting di balik transformasi
diri mereka adalah senantiasa terdapat sosok terdekat yang membantunya dalam
menjembatani dirinya dengan jalan kebenaran. Adanya Fatimah bin Khattab bagi
Umar bin Khattab, adanya Raja Najasyi bagi Amr bin Ash serta adanya Walid
bin Walid bagi Khalid bin Walid. Keberimbangan akal mereka diantara dua
kutub yang berlawanan tampaknya perlu dicondongkan pada haluan kebenaran
oleh seseorang yang begitu berpengaruh dan dekat dalam kehidupan mereka.
Dari antara para sahabat yang mengalami proses pergelutan akal ini, bila
kita analisis secara historis Umar bin Khattab memiliki beberapa sedikit
perbedaan pada Umar bin Khattab. Dalam segi waktu, Umar bin Khattab
tergerak dalam hidayah di tahun 6 Nubuwah sedangkan Khalid bin Walid dan
Amr bin Ash di tahun 7 Hijriah atau 14 tahun setelah keislaman Umar. Tentunya
proses pergelutan akal yang melatar-belakangi fase transformasi pada keduanya
terdapat perbedaan dari cara dan dasar-dasar pertimbangan, hanya saja memang
memiliki kesamaan dalam alur proses dalam pergelutan akal benturan
penalaran. Sebagaimana pemaparan Ali Shalabi tentang kepribadian dan latar
belakang pengalaman sejak di zaman pra Islam, Umar bin Khattab begitu kaya
dalam pengetahuan dan kualitas karakter. Adapun poin-poin yang melatar
belakanginya adalah:

68
1) Tempaan dan didikan jiwa dalam profesi penggembala yang memberikan
asupan soft-skill kepemimpinan. Masa remajanya berprofesi
menggembalakan unta milik ayah. Rutinitas profesi masa kecil sebagai
penggembala hewan secara umum sebagaimana juga pada Rasulullah
memberikan pengaruh kuat dalam pembentukan karakter dan
pembangunan soft-skill kepemimpinan.
Umar selain menggembala unta milik ayahnya, juga unta-unta milik bibi-
bibinya dari bani Makhzum. Hal ini dikisahkan sendiri oleh Umar ketika ia
menjadi khalifah tentang perjalanan hidupnya. Profesinya ini telah
mewariskan berbagai sifat positif pada diri Umar seperti sifat tegar
menanggung beban dan berani menghadapi sesuatu (Ash-Shallabi, 2008).
2) Wawasan tentang sejarah Arab yang memuat penggalian pengetahuan
beragam macam karakter manusia. dalam tahapan pemahaman yang
mendalam, wawasan sejarah dapat berfungsi sebagai suatu penalaran yang
kritis dan usaha yang cermat untuk mencari kebenaran dan hikmah.
3) kepiawaian dalam melerai konflik dan problematika bersuku-kabilah
sebagai negosiator dan mediator Quraisy.
Sederet komplit rekam jejak berkualitas tersebut sangat memantaskan Umar
bin Khattab untuk dipilih Allah menggapai hidayah di awal masa walaupun
dengan proses penalaran yang bertubi.
Dari perspektif pola transformasi kelompok ini, Islam sangat nampak sekali
sebagai agama damai dan memiliki pola tajarud dalam memproses perubahan.
Maka jenis kepribadian manusia dengan dominasi akal terangkul dalam hidayah
Islam walaupun dengan cara dan waktu yang berbeda dari kelompok pertama
(totalitas ketaatan). Ketidakseiringan dalam tempo berhidayah memang
membedakan mereka di awal, akan tetapi mereka terus mengejar ketertinggalan.
Rasulullah dengan perannya sebagai arsitek SDM pun melihat kapabilitas dan
talenta yang dimiliki mereka. Setelah telah nyata keimanan mereka beliau
kemudian menempatkan mereka pada pos-pos kiprah perjuangan Islam sesuai
dengan kapabilitasnya yang telah terpancar sejak di zaman jahiliyah. Inilah
kemudian dibenarkan dalam sabda beliau:
“Orang yang terpilih di antara kalian pada masa jahiliyah adalah orang yang
terpilih pula setelah dia masuk Islam jika mereka paham agama” (HR. Bukhari
Muslim no. 3267).
Keberperanan akal dalam perkara-perkara strategi yang berhukum
sunatullah sesungguhnya menuntut pengisian posisi peran strategis oleh sosok-

69
sosok semisal mereka. Dalam istilah pMajid Irsan Kilani (2019), komponen
Nusuk (keikhlasan) perlu dilengkapi dengan Aql (ketepatan akal), dimana ini
menyiratkan akan pentingnya peran akal dalam strategi kemenangan,
pentingnya pengokohan perjuangan Islam dengan bertambahnya Umar bin
Khattab, Khalid bin Walid dan Amr bin Ash dalam kiprah-kiprah mereka.

c. Pola Penaklukan Politik

Batas pagar politik merupakan garda perlindungan terbesar dalam


mengayomi sekian banyak manusia sehingga terselamatkan dalam jalan hidayah
dan dalam naungan Islam, anugerah iman serta keselamatan di akhirat. Allah
telah menyusunkan serangkaian tatanan dengan sedemikian rupa sehingga
keselamatan manusia terakomodir dengan apa yang ada dalam aturan Islam.
Dalam fathul Mekah, Allah mentitahkan Rasulullah Shallalahua alaihi wassalam
untuk membuka dan membebaskan Mekah dengan penuh misi damai dan kasih
sayang, kecuali pada beberapa yang memang membuat kekacauan.
Setelah dengan alternatif pertama dan utama yakni dakwah, sebagian besar
manusia dapat tunduk merengkuh dan menemukan kebenaran Islam, namun di
sisi lain terdapat beberapa tipe karakter manusia yang begitu bebal untuk
diketuk kedalaman nuraninya, yang begitu tebal alam bawah sadar hingga
menutupi lapis kesadarannya untuk kemudian dipecahkan kekerasan jiwanya
hingga dilunakkan hatinya oleh Islam. Sistem seleksi manusia dalam payung
hidayah Islam seolah dibagi menjadi tiga seleksi penyaringan yang mana Allah
bermaksud mencurahkan limpahan rahmat kasih sayang Islam-Nya pada
manusia walaupun sebagian besar manusia ada dalam ketidaktahuan dan
kekeliruan terbesarnya. Seleksi dengan dakwah telah meloloskan para pemilik
jiwa yang bersih sekaliber Abu Bakar, Bilal, Mush’ab dan para assabiqunnal
awwalun. Seleksi kedua dihuni oleh para jiwa pendominasi akal semisal para
sahabat mulia Umar bin Khattab, Amr bin Ash, Khalid bin Wali, Umair bin
Wahhab dan beberapa sahabat lain yang mana Allah pergilirkan berbagai
fenomena psikologis dalam hati mereka akan kebenaran hidayah Allah dalam
relung setiap sintesa pemikiran mereka. Seleksi ketiga dilakoni oleh para sosok
serupa sahabat mulia Ikrimah bin Abi Jahl, Suhail bin Amr, Wahsyi bin Harb dan
sederet sahabat lain yang digolongkan pada kaum thulaqo (kaum yang
dibebaskan kesalahannya oleh Rasulullah di peristiwa Fathu Makkah), dimana
mereka begitu bengal hati namun Allah masih menyimpankan kasih sayang
padanya dengan nikmat kesempatan menikmati anugerah Islam dan iman.
Dalam sejarah Islam di awal masanya, itu semua telah nyata terjadi. Namun

70
pada waktunya tiba mereka memancarkan banyak kebaikan dari dalam dirinya
untuk Islam yang didasari terlebih dahulu dengan kesadaran akan kebenaran
Islam, kesadaran akan kekeliruan pola pikir dan pola perilakunya, kemudian
menata kehidupan baru secara menyeluruh. Mereka mengejar para pendahulu
dalam mempelajari aqidah, akhlaq dan syariat dalam kehangatan ukhuwah dari
Rasulullah dan sesama para sahabat lainnya. Yang unik dari kelompok ini,
mereka senantiasa ‘dihantui’ atau lebih tepatnya dijaga dalam mawas diri dari
noda-noda dan kesalahan masa lalunya.
Apa yang dilakukan Wahsyi bin Harb di masa kepemimpinan Abu Bakar
ketika dengan penuh semangat tinggi ia menerjang medan tempur, menerobos
pasukan murtad pengikut nabi palsu dan mencari incarannya yakni Musailamah
Al-Kadzab. Dengan tombak yang sama saat menumbangkan Hamzah di Uhud
kelam, Wahsyi melesatkan tombak tersebut dan membunuh Musailamah, seolah
ingin menghapus ukiran dosa jahiliyah yang tergores dalam tombaknya, dengan
lumuran darah al-Kadzab. Suhail bin Amr pun memiliki kisah yang serupa.
Kebengalannya dalam memusuhi perjuangan Rasulullah dimana puncaknya
ketika perjanjian Hudaibiyah, perilakunya telah membuat gemas para sahabat
tentang ketidakadilan dalam poin-poin perjanjian itu. Dalam tawar menawar
perjanjian tersebut begitu nampak kemampuan ‘lidah’ Suhail bin Amr sangat
menjengkelkan karena mengakomodir kesewenangan dan ketimpangan diantara
dua pihak, namun senantiasa dibalas kesabaran penuh oleh Rasulullah. Akan
tetapi ketika waktunya tiba, Islam merubahnya dengan mekanisme tertentu, dan
di titik peristiwa ia muncul di waktu yang tepat. Ketika di masa kepemimpinan
yang sama yakni Abu Bakar, gelombang murtad berhembus, berduyun orang
ingin murtad selepas Rasulullah wafat. Di kondisi kritis itulah Suhail bin Amr
dengan lidahnya itu ia menjadi pagar dakwah dalam menahan sekuat mungkin
gelombang murtad tak terus berhembus.
Begitulah seharusnya yang dilakukan seorang muslim, berusaha mengejar
ketertinggalan dan mengiringi perbuatan buruk di masa lalunya dengan
kebaikan-kebaikan di saat yang tersisa.
“Dan laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan malam) dan pada
bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-
kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang sellau mengingat (Allah).” (QS.
Hud: 114).

71
2. Terdapat Tingkatan Kualitas dan Akselerasi Individual

Sebagaimana kebenaran adanya tingkatan surga dan neraka dalam hati


setiap mukmin, maka kita dapat meyakini bahwa tingkatan penilaian yang
diberikan Allah pada tiap manusia tentunya berbeda-beda dimana yang
menciptakan perbedaan tersebut adalah kualitas amalan dan iman manusia. Di
banyak tempat Allah begitu mencurahkan keridhaan pada insan-insan yang di
dalam hatinya senantiasa mengutamakan ketaatan kepada Allah sebagai sebuah
pemuliaan, yang mana mereka senantiasa ada di barisan terdepan ketika yang
diseru adalah segala hal yang berkaitan dengan perintah Allah. Allah begitu jelas
mewartakan penilaian yang lebih terhadap kelompok sahabat yang telah dahulu
memeluk Islam sebelum Fathu Makkah.
“Dan mengapa kamu tidak menginfakkan hartamu di jalan Allah, padahal milik
Allah semua pusaka langit dan bumi? Tidak sama orang yang menginfakkan
(hartanya di jalan Allah) di antara kamu dan berperang sebelum penaklukan
(Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menginfakkan
(hartanya) dan berperang setelah itu. Dan Allah menjanjikan kepada masing-
masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah Maha Teliti apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Al-Hadid: 10)
Dalam analisis kronologis sejarah bisa dilihat titik kentara dimana Islam di
saat tahun-tahun awal nubuwah tak lebih sebagai sebuah isme baru yang banyak
diragukan kebenarannya oleh awam jiwa manusia dan hanya yang benar-benar
memiliki kesucian jiwa, kecondongan pada fitrah serta kesungguhan untuk
menemukan kebenaran dalam peribadatan dan pola hidup hakiki lah yang diberi
kekuatan oleh Allah untuk tergerak hatinya dengan mudah memeluk Islam dan
menyatakan dengan penuh keyakinannya sekalipun mereka dihadapkan oleh
segunung ujian dan cobaan berat. Kita bisa membandingkannya dengan melihat
Islam di fase pertengahan perjuangan Rasulullah dimana telah mengokohkan
pancangnya Di Madinah memampangkan diri penuh kekuatan baik secara
politis maupun secara kuantitas sosial. Sosok-sosok yang tergerak untuk masuk
Islam di fase tersebut memiliki referensi dan motivasi yang dimungkinkan pada
mulanya telah dicampuri oleh aroma kemenangan dan kekuasaan dan
keterdesakan. Hingga kemudian segala ajaran Islam khususnya dalam
gemblengan tauhid semua itu dibersihkan secara gradual.
Dalam fase awal nubuwah yang berkisar dari tahun pertama nubuwah
hingga tahun sebelum Fathu Mekkah, Kondisi realitas sosial yang dapat
memberikan respon ancaman dari keputusan yang diambil individu
sesungguhnya mengerucutkan motivasi para sahabat hingga terfokus pada

72
kesungguhan mereka (keihlasan) mencari ridha Allah dengan keimanan mereka
yang telah teruji. Dengan kondisi kritis tersebut seolah terseleksi dengan alami
siapa saja yang diantara kaum Quraisy, Yatsrib dan sekitar yang benar-benar
memiliki benih keimanan dan ketangguhan dan integritas. Dengan berbagai
peperangan awal yang menentukan, ditampakkan kualitas para sahabat yang
benar-benar teruji dalam totalitas perjuangannya, kesungguhan iman dan
kesetiaannya.
Adapun bagi para pendominasi akal, dimana di dalamnya terdapat Umar
bin Khattab, Amr bin Ash dan Khalid bin Walid sebagai sampel tokoh, memang
tersempat mengalami masa penundaan dalam menyambut seruan Islam. Namun
dalam hal ini ada sedikit perbedaan pada Umar bin Khattab dari dua sahabat
lainnya, dimana Umar bin Khattab tergerak dalam hidayah di tahun 6 Nubuwah
sedangkan Khalid bin Walid di tahun 7 Hijriah atau 14 tahun setelah keislaman
Umar. Tentunya proses pergelutan akal dalam memutuskan bermuslim pada
keduanya terdapat perbedaan dari cara dan dasar-dasar pertimbangan, hanya
saja memang memiliki kesamaan dalam alur proses yang didominasi oleh
benturan penalaran. Sebagaimana pemaparan Ali Shalabi tentang kepribadian
dan latar belakang pengalaman sejak di zaman pra Islam, Umar bin Khattab
begitu kaya dalam pengetahuan dan kualitas karakter. Tempaan dan didikan
jiwa dalam profesi penggembala yang memberikan asupan soft-skill
kepemimpinan, wawasan tentang sejarah Arab yang memuat penggalian
pengetahuan beragam macam karakter manusia, kepiawaian dalam melerai
konflik dan problematika bersuku-kabilah sebagai negosiator dan mediator
Quraisy, sederet komplit rekam jejak berkualitas tersebut sangat memantaskan
Umar bin Khattab untuk dipilih Allah menggapai hidayah di awal masa
walaupun dengan proses penalaran yang bertubi. Adapun Khalid konsentrasi
dan proyeksi sang ayah padanya sejak masa muda di bidang militer
memungkinkannya tidak sempat mengenyam wawasan lain yang sebenarnya
sangat penting dalam pematangan karakter.
Sedikitpun memang tidak ada celaan bagi kedua sahabat mulia tersebut
karena dakwah Islam selalu bersifat persuasif dan begitu luas memahami betapa
kompleksnya anatomi kejiwaan manusia yang tidak bisa dinilai sebagai hitam
putih. Hingga pada waktunya tiba, mereka pun akhirnya terangkul dalam
hidayah Islam dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing dimana
ketertinggalan mereka diimbangi dengan optimalisasi jihad mereka khususnya
dalam medan perang memerangi musyrik kafir serta daya ekspansi dakwah
hingga melewati jazirah Arab. Justru di kemudian hari mereka bertiga

73
merupakan sosok sosok penting dan dimuliakan karena kiprah besarnya serta
atas izin Allah kebesaran Islam diikhtiari dalam usaha-usaha mereka.
Begitupun bagi para sosok sahabat yang menempati gelombang ketiga
kebermusliman, yang ditaklukan secara politis saat di Fathu Makkah. Allah dan
Rasul-Nya memberikan sebuah persuasi kuat bagi siapa saja yang mau untuk
membuka diri dalam jalan-jalan hidayah Islam dan di situ pula Allah
memberikan luasan rahmat dan kesempatan untuk membenahi hidup mereka
dalam Islam. Di fathu Makkah ini seolah batas akhir tempo Allah memberikan
penguluran waktu bagi sosok yang begitu masih saja keras menerima Islam
semisal Suhail bin Amr dan sahabat lainnya, karena Allah selain Maha
Pengampun juga Allah Maha Keras siksaan-Nya bagi siapa saja yang
membangkang-Nya. Adapun dalam usaha individual mereka telah berusaha
meningkatan kepribadian yang lebih baik dalam masa transformasi dirinya
dalam Islam, memupus watak buruk jahiliyah, menggembleng diri dalam
tarbiyah Islam itu kemudian memang memakan proses yang bersifat individual
dan ipsatif. Semua para sahabat dalam tarbiyah Rasulullah dan dalam
rengkuhan ukhuwah imaniah disatukan dalam target pencapaian yang searah
walaupun tempo kecepatannya cukup relatif. Para sahabat di gelombang ketiga
ini dalam gerak amalnya seolah menyorotkan fokus pada usaha amalan salihnya
bagaimana mereka dapat mengejar ketertinggalannya dan dapat menghapus
dosa masa lalunya.
“Dan laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan malam) dan pada
bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-
kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah).” (QS.
Hud: 114)
Maka apabila disintesiskan, semua penilaian di sisi Allah akhirnya bermuara
pada ketaqwaan dan keimanan yang mana semua itu merupakan hasil
akumulatif keseluruhan proses yang sesungguhnya tidak berkesudahan kecuali
hingga ajal yang memutuskannya.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat:
13)
Satu hal lagi dalam sub bab ini yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa
perbedaan dalam tingkatan penilaian para sahabat dalam proses transformasi

74
pada praktisnya dalam Islam tidak memunculkan aspek senioritas di kalangan
para sahabat di hadapan Nabi. Akan tetapi Rasulullah justru mempetak-petak
mereka berdasarkan kapabilitasnya sesuai dengan domain kiprah seorang
muslim di hadapan medan perjuangan Islam. Rasulullah menerapkan konsep
right-man in the right place sekalipun dari kebermusliman mereka terbilang junior
akan tetapi bila kapabilitasnya telah mumpuni dalam satu bidang tertentu
Rasulullah menunjuknya sebagai pemimpin di atas yang lain. Seperti dalam
peristiwa perang Dzatus salasil dimana Amr bin Ash dipilih menjadi komandan
dimana terdapat di dalam pasukan tersebut Abu Bakar Ash Siddiq, Umar bin
Khattab dan Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai prajuritnya. Atau Khalid bin Walid
yang telah mengikuti sekian ekspedisi militer, tiga di antaranya di bawah
komando Rasulullah, tiga ekspedisi ia sebagai panglima pasukan. Domain
kiprah jihad para sahabat bila dikategorisasikan terbagi ke dalam;
politik/leadership, militer, ekonomi, dan keilmuan dimana setiap sahabat di
bawah kecerdasan managerial dan interpersonal Rasulullah dipetakan ke dalam
empat domain tersebut sesuai talenta dan skill-nya. Beragam kepribadian para
sahabat, beragam kapabilitasnya beragam pula fokus kiprahnya.

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada
sebagian atas sebagian yang lain. (karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka
usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan.
Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh Allah mengetahui segala
sesuatu.” (QS. An-Nisa: 32).
“Dan manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39).

75
3. Keteladanan Karakter Sahabat sebagai Mirror-Line dan Karakter Rasulullah
sebagai Goal-Line
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Sirah Nabawiyah dan Sirah sahabah menyimpan segudang faidah dan
tsaqafah Islamiyah yang penting bagi setiap muslim. Dalam peneladanan kita
kepada Rasulullah sebagai sebuah tugas kita selaku umatnya sesungguhnya
terdapat peran penting kedudukan sahabat di dalamnya. Para sahabat adalah
kacamata, mediasi, perspektif, saksi mata langsung dalam memahami Quran
diturunkan dan sunnah Rasulullah dijalankan dan bagaimana itu semua
diterapkan dalam kehidupan masing-masing sahabat dimana di dalamnya
terjadi dinamika konsep dan nilai dari keduanya merealitas dalam kejiwaan
mereka. Tipe-tipe kepribadian yang telah ada dalam setiap satu per satu sahabat
Rasulullah dari mulai Abu Bakar hingga Julaibib sesungguhnya sangat mungkin
terdapat dalam sosok manusia yang hidup di zaman ini, walaupun memang
qodrat keunikan pribadi manusia tidak ada yang sama seratus persen terjadi
sekalipun pada saudara kembar identik pun. Setiap kepribadian yang mirip
memiliki kesamaan tipe dalam gradasi dan aksentuasi tertentu yang berbeda dan
unik. Setiap individu memiliki kecenderungan tertentu dan kelemahan tertentu.
Tipe-tipe kepribadian beberapa para sahabat:
1) Abu Bakar, sahabat mulia ini karakter yang paling dikenal dan mencolok
darinya adalah dengan kelembutan hatinya, kemudahannya untuk
menyayangi sesama tanpa perlu alasan tertentu dimana terkategorikan
sebagai sosok lover dan giver. Sensifitasnya pada kandungan ayat Al-Qur’an
seringkali mudah baginya meneteskan airmata di saat shalat. Pengorbanan
hartanya dimana ia telah memerdekakan lebih dari lima hamba sahaya saat
penyiksaan mendera kaum muslimin dan yang menjadi objek sasarannya
adalah kaum hamba sahaya. Kelembutan hati pun ditemukan pada karakter
Utsman bin Affan dan, Salman Al-Farisi beberapa sahabat lainnya.
2) Umar bin Khattab dikenal melalui serangkaian kronologis fase
kehidupannya dengan khas kepribadiannya yang tegas. Ketegasannya
dalam menegakkan syariat Islam dan ketegasannya dalam menggaris-
bedakan kebenaran dan kebathilan (Faruq) sehingga seluruh muslimin
bertekuk lutut dalam ketaatan di bawah kepemimpinannya, dan para amirul
mukminin sesudahnya tampak ‘kewalahan’ mengikuti jejak langkahnya.
Abu Dzar Al-Ghifari, Khalid bin Walid dan banyak sahabat Rasulullah

76
lainnya yang mungkin perlu pembahasan dan penelitian yang mendalam
lagi untuk membahasnya.
3) Ali bin Abi Thalib adalah sahabat sekaligus sepupu Rasulullah yang dikenal
cerdas. Sebagaimana hadits Nabi: “ana madinah al-ilmi wa Ali babuha, Aku
adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya.” Ali adalah sahabat yang telah
menemukan rumus kelipatan Persekutuan Terkecil dan seringkali
menundukkan para pembantah non-muslim yang beradu argumen tentang
kebenaran agama hingga mereka masuk Islam dengan perantara kecerdasan
akalnya (Aji, 2014). Khalid bin Walid, Amr bin Ash pun dikenal sahabat
yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata namun dengan kompleksitas segi
kepribadian lainnya yang memunculkan keunikan lain dari Ali bin Abi
Thalib. Ada juga Zaid bin Tsabit yang mampu menghafal Bahasa Ibrani
dalam tempo kurang dari dua minggu, Abdullah bin Abbas yang dikenal
dengan kefaqihannya dan kecerdasan mentafsir Al-Qur’an (Al-Misri, 2016).
4) Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan adalah dua sosok sahabat
Rasulullah yang dikenal dengan kepiawaiannya dalam berbisnis. Hal ini
ditopang oleh kecerdasan manajerial yang dimiliki mereka berdua.
Kecerdasan managerial merupakan kecerdasan dalam mengelola, mengatur,
mengintegrasikan, mengkoordinasikn seperangkat objek yang berkaitan
dengan SDM dan SDA. Abu Bakar dengan pengalaman berdagangnya yang
mahir, level kekayaan dari berbisnisnya yang menjadikannya bangsawan
dan hartawan. Hal ini menunjukkan adanya kecerdasan manajerial.
Kepribadian manusia sangat beragam, begitu pula kecenderungan satu
individu terletak pada satu atau dua kepribadian yang menonjol akan tetapi
cenderung lemah di tipe kepribadian lainnya. Bila diambil dari empat tipe
kepribadian di atas, Rasulullah menempati keseimbangan dari ke empatnya
tersebut. Rasulullah dengan segala paripurna karakter manusianya menempati
puncak kualitas karakter terbaik manusia.

77
Dengan mempelajari sepanjang perjalanan kisah hidup dan perjuangan
Rasulullah baik di Mekkah dan di Madinah ada banyak bukti sejarah tentang
terpenuhinya kepribadian unggul minimal pada ke empat tipe tersebut.
Kesempurnaan dan keseimbangan karakter Rasulullah di sinilah yang
menempati kelayakan nya menjadi uswah hasanah bagi umat manusia. Hal yang
paling menonjol dari diri beliau yang pertama adalah aspek welas asih
(lover/giver) nya yang menjadi latar utama kepribadiannya dalam menghadapi
manusia. Semirip dengan sahabat terdekat beliau yakni Abu Bakar, Rasulullah
dalam kesehariannya dan dalam menghadapi peristiwa penting tertentu
terpancar kepribadian welas asihnya yang begitu terpuji.
Keluasan jiwa Nabi SAW. di saat penolakan kaum Thaif, sifat penyayang
beliau ke semua para sahabat, kelembutan hatinya saat melembutkan makanan
bagi seorang faqir Yahudi yang setiap harinya mencaci beliau, perkara tawanan
perang Badar, kebersamaan penuh kasih sayang dengan para Ahlu Suffah,
pembebasan di Fathu Makkah tanpa sedikitpun pembalasan dendam dan
banyak di momen lain hingga membuat setiap manusia condong dan
mencurahkan kesetiaan pada beliau. Walaupun terkadang keluasan welas
asihnya terkadang melebar dan terbentur mengikis halus garis tegasnya, seperti
dalam kejadian penanganan tawanan perang Badar serta peristiwa kematian
Abdullah bin Ubay yang kemudian diseimbangkan dengan partnership Umar
bin Khattab di samping beliau. Namun sisi ketegasannya kemudian muncul
ketika di waktu tepat saat penanganan kaum Yahudi dalam deretan
pengkhianatan mereka hingga berujung pada perang Khaibar. Ketegasan beliau

78
khususnya muncul dalam peran komandan perangnya mengenai perkara yang
berkaitan dengan peperangan dan dalam pendisiplinan prajurit. Dalam
peperangan pun sisi kepribadian lain dalam segi manajerial terlihat jelas
bagaimana keberhasilannya dalam mengelola SDM yang tidak sedikit dengan
kontur sosial Arab yang cukup menantang. Ini membuktikan bahwa kecerdasan
Nabi paripurna dalam berbagai aspek dan kondisi.
Maka dalam konteks besar bentuk peneladanan kita dalam wawasan Sirah
ini, Rasulullah tetap menempati posisi pertama dalam upaya pencapaian kualitas
kepribadian kita dimana konteks Sirah sahabah menjadi fungsi cermin dan
jembatan menuju peneladanan pada Rasulullah. Bagi kita muslim dan umat di
zaman ini, karakter Rasulullah adalah pusat utama peneladanan dalam
pembentukan kepribadian kita dimana karakter para sahabat merupakan
jembatan yang menuju pada titik pusat tersebut, khususnya dalam konteks
keberagaman pribadi manusia serta dalam konteks humanitas dalam ukuran
naturnya sebagai manusia.
Fenomena-fenomena, kondisi situasi, kasuistik permasalahan yang terjadi
pada zaman Rasulullah pun sangat mungkin berulang terjadi di zaman ini dalam
konteks yang berbeda. Keberhasilan Rasulullah dan para sahabat dalam
menyikapi dan mengambil pilihan keputusan terbaik yang diambil perlu diulang
kembali oleh kita dengan dasar pengetahuan yang memadai tentang hal yang
berkaitan dengannya. Tersedianya beragam karakter sahabat mencukupkan bagi
kita dalam mengambil bahan wacana pengambilan pola khusus tertentu untuk
kondisi yang sesuai.

4. Sosok-Sosok yang Bertransformasi dalam Islam di Zaman Ini


Zaman bergulir dan peradaban telah berganti. Allah dengan segala rencana-
Nya telah mengguratkan taqdir kehidupan menyapa manusia di zaman
manapun dengan kasih sayang Islam-Nya. Dahulu, para insan di zaman
Rasulullah berduyun menjadi muslim berangkat dari kotornya kubangan
jahiliyah Arab menuju lurusnya konsep Tauhid dan indahnya nilai-nilai
kemanusiaan dalam Islam. Kini, kejahiliyah zaman seolah berganti rupa dalam
paras modern, dan Islam tetap dengan keajegan konsep dan nilainya dalam
kuburan kealfaan manusia. Namun yang menjadi hal unik dalam pemandangan
hari ini adalah ketika keotentikan Al-Qur’an memancarkan keselarasannya
dengan sains. Bila dahulu gandrungan syair jazirah Arab menjadi latar bagi
Allah untuk memunculkan kebesaran-Nya dalam keajaiban sastrawi Al-Qur’an.

79
Adapun kini di zaman modern, gandrungan manusia pada sains seolah dijawab
oleh kebenaran-kebenaran sains yang terpatri belasan abad dalam kitab suci
tertua nan mulia tersebut. Maka satu persatu insan manusia terpanggil dalam
Islam ada dari pintu kebenaran nilai dan konsep ajarannya, pun ada yang
terpanggil dari pintu sains dalam rutinitas penelitiannya.
Ada banyak para ilmuwan di tengah perjalanan penelitiannya yang
kemudian menemukan kebenaran Islam, atau para pejuang kemanusiaan yang
dalam pergulatan juangnya mendapatkan Islam bagai oase, hingga tanpa
keraguan mereka merengkuh Islam dan konsisten dalam keimanannya berlandas
kebenaran di hadapan matanya. Maurice Bucaille, Fidelma O’Leary, Maurice
Bucaille, Malcom X adalah segelintir dari banyak tokoh yang menjadi sampel
dari kelompok ini. Maka ada pula yang menemukan Islam dalam misinya
memerangi Islam dengan serangkaian rencana Allah yang di luar perhitungan
manusia, ia kemudian berbalik dari pembenci Islam berubah menjadi penyeru
bagi lainnya seperti politikus Arnould Van Dorn, Arthur Wagner, Joaram Van
Klaveren dan tokoh lainnya.
Sosok-sosok pelaku hijrah di Indonesia yang dimeriahkan oleh kaum
selebritis tanah air juga mancanegara pun menjadi bagian dari gelombang
generasi Islam masa kini. Secara seksama mereka pada dasarnya melewati fase
transformasi serupa hanya saja konteks dan perspektif Islam dalam dua
peradaban yang terpaut jauh memang memiliki perbedaan kentara pun memiliki
sisi kesamaan dalam beberapa hal.
Yang kemudian menarik diseksamai sebagai sebuah misteri masa depan
yang hanya dalam genggaman Allah Yang Maha Mengetahui hal ghaib yakni
bagaimana dan siapakah kelompok manusia yang dapat bertransformasi dalam
Islam melalui penaklukan politik di zaman ini. Karena secara politik, Islam
memang belum hadir memimpin dunia. Namun bila pada waktunya
kebangkitan Islam terwujud, Islam memimpin peradaban dunia kemudian
sangat dimungkinkan merangkul dengat erat sosok-sosok sekeras Suhail bin
Amr atau Ikrimah bin Abi Jahl dalam konteks modern yang akhirnya secara
terdesak mengakui keberadaan dan kebenaran Islam pada awalnya dan berlanjut
tersingkap kesadaran dalam dirinya, ditemukan kembali fitrah jiwanya dalam
detoksifikasi tarbiyah Islam dan mereka akhirnya menjadi bagian dari sistem
perjuangan Islam di akhir zaman. Tak mustahil bisa jadi sosok nomer satu
pembenci Islam dan musuh yang paling giat merintangi geliat Islam di zaman ini
suatu saat mereka tergiring dalam keselamatan hidayah Islam jika dipergilirkan
Islam menjadi pemimpin bangsa-bangsa, wallohua’lam.

80
5. Transformasi Personal sebagai Pondasi Transformasi Sosial
Perubahan sosial merupakan tema utama dalam ilmu sosiologi dan yang
paling sering dibahas oleh para pakar di dalamnya termasuk pakar sosiologi
Islam yakni Ibnu Khaldun. Penggunaan istilah teknis yang sering digunakan
dalam kebutuhan tertentu jika membahas tentang perubahan sosial, terdapat tiga
istilah, transformasi, reformasi dan revolusi. Transformasi adalah sebuah usaha
untuk mengubah suatu hal, objek, individu maupun masyarakat dalam bentuk
kondisi karakter atau sifat melalui proses metamorfosa secara bertahap, dari hal
tidak baik menjadi lebih baik. Sementara reformasi adalah berubah dari yang
belum baik menjadi baik. Dan yang sudah baik menjadi lebih baik lagi. Adapun
revolusi adalah perubahan yang dilakukan dengan kekerasan dan perubahan
yang cukup mendasar dalam suatu bidang.
Adapun menurut Majid Irsan Kilani (2019), perubahan sosial terbagi pada
dua jenis. Yang pertama perubahan sosial yang negatif yang dapat dipahami dari
firman Allah:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah (keadaan) yang ada pad suatu kaum
sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Sedangkan perubahan sosial yang negatif dapat dipahami dari firman Allah:
“Yang demikian itu karena Allah sekali-kali tidak akan mengubah nikmat yang telah
dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga mereka mengubah apa yang ada
pada diri mereka.” (QS. Al-Anfal: 53)
Di kedua ayat tersebut terdapat kesamaan fase sebab dari perubahan
tersebut yakni kata anfusahum, yang berasal dari kata nafs Kata “nafs” disini bila
dialih-bahaskaan ke dalam bahasa Indonesia berarti jiwa, yang merujuk pada
“pribadi, “keakuan”. Dalam psikologi istilah tersebut mengacu pada keadaan-
keadaan mental, aspek-aspek, watak-watak, atau kecenderungan-kecenderungan
pribadi manusia. Maka perubahan awal perubahan sosial bermula dari
individual manusia. ia meliputi pemikiran, nilai, budaya, kecenderungan,
kebiasaan, dan tradisi (Kilani, 2019).
Adapun penjelasan menurut Quraish Shihab (2002) tentang makna
anfusahum ini terdapat dua macam perubahan dengan dua pelaku. Perubahan
pertama adalah perubahan masyarakat yang pelakunya adalah Allah. Sedangkan
perubahan kedua adalah perubahan keadaan diri manusia (sikap mental) yang
pelakunya adalah manusia. Perubahan kedua yang merupakan perubahan
keadaan diri manusia ini dapat dipahami dari kata mā bi anfusihim yang terdapat

81
pada ayat tersebut. Kata mā bi anfusihim ini dapat diterjemahkan dengan "apa
yang terdapat dalam diri mereka". Mā bi anfusihim atau "apa yang terdapat dalam
diri manusia ini, terdiri dari dua unsur pokok. Dua unsur pokok itu adalah nilai-
nilai yang dihayati dan iradah (kehendak) manusia. Perpaduan antara nilai yang
dihayati dan kehendak ini dapat menciptakan kekuatan pendorong dalam diri
manusia untuk melakukan sesuatu, seperti perubahan sosial (Amin, 2013).
Pemahaman serupa itu juga dipaparkan oleh Hamka dimana ia
mengumpamakan sunnatullāh perubahan sosial sebagai air hilir. Air hilir itu,
sebagaimana dinyatakan olehnya, pasti menurun ke tempat yang lebih rendah.
Air secara alami tidak mungkin mengalir ke tempat yang lebih tinggi. Air itu
mengikuti aturan yang ditetapkan Tuhan, yaitu tempat kosong yang lebih
rendah yang didapatinya dalam pengaliran itu. Setelah tempat yang kosong itu
dipenuhi, aliran selanjutnya menuju tempat yang rendah hingga menuju lautan.
Demikian juga hukum kemasyarakatan atau sunnatullāh itu tidak dapat diganti
atau dirubah, sebagaimana ketentuan yang berlaku pada air, yang secara alami
mengalir ke tempat yang lebih rendah, tidak akan mengalami perubahan dan
tidak akan berganti. Pemahaman yang tepat tentang sunnatullah, menurut
Hamka, sangat penting, karena seluruh alam diatur dengan Sunnatullāh. Tidak
ada di alam semesta ini yang diciptakan Allah secara kacau atau sia-sia. Maka
hukum alam dalam perubahan sosial akan selalu bermula dari titik awal berupa
entitas masyarakat yang bernama individu.
Hal ini sering kita sebut sebagai hukum alam. Sunnatullah ini berlaku untuk
semua masyarakat, baik masyarakat pada masa Nabi, maupun masyarakat kita
sekarang dan masyarakat yang akan datang. Kemajuan dan keruntuhan suatu
masyarakat tentunya termasuk dalam sunnatullāh yang tidak mengalami
perubahan ini. Maka perubahan individual manusia merupakan bagian
sunatullah dalam perubahan sosial. Menganalisis perubahan kondisi sosial di
Arab zaman nubuwah dari jahiliyah menuju jalan terang Islam ditemukan
keniscayaan peran penting dilakukannya perubahan individual manusia yang
dimulai dari agen perubahan Islam yakni Rasulullah terlebih dahulu, kemudian
diikuti para sahabat beliau dalam mekanisme komunitas yang terjadi secara
sistematis dan terprosedur oleh tarbiyah Rasulullah dengan serangkaian
kurikulum Al-Qur’an dan Sunnah.
Menurut Hamka, fenomena perubahan sosial yang diukir dalam surat Ar-
Ra’d ayat 11 tersebut menegaskan tentang karunia Allah berupa akal budi yang
dianugerahkan Allah kepada umat manusia. Dengan akal budi inilah, menurut
Hamka, manusia dapat melakukan tindakan sendiri dan mampu mengendalikan

82
dirinya. Namun kekuatan yang diberikan Allah kepada manusia bukan berarti
kekuasaan yang tanpa batas. Menurut Hamka, kekuasaan manusia itu tetap
berada dalam batas ketentuan-ketentauan yang ditetapkan oleh Allah. Dua hal
lain yang mendukung perubahan sosial yang ditopang dari transformasi
personal adalah motivasi dan ideologi. Dengan akal budi itu tercipta motivasi
bahwa manusia harus selalu berusaha untuk memperbaiki kehidupannya.
Adanya orientasi masa depan dan nilai bahwa manusia harus selalu berusaha
untuk memperbaiki kehidupannya termasuk dalam kata mā bi anfusihim yang
terdapat pada ayat 11 surah al-Ra’d tersebut. Adapun Ideologi juga dapat
mempercepat perubahan sosial.
Ideologi merupakan sistem ide atau gagasan yang dimiliki sekelompok
orang yang dijadikan landasan bagi tindakannya. Ideologi dapat menyebabkan
kemajuan, di samping dapat menimbulkan kemunduran dan melahirkan
berbagai konflik sosial. Jika dihubungkan dengan makna yang tercantum dalam
kata mā bi anfusihim ideologi termasuk dalam kata mā bi anfusihim yang terdapat
pada ayat tersebut. Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa, menurut Al-
Qur’an, pada hakikatnya perubahan sosial adalah perubahan atau transformasi
kesadaran. Kesadaran ini termasuk dalam kata mā bi anfusihim yang terdapat
pada QS. al-Ra’d (13). Transformasi kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran
untuk mencerahkan, membebaskan diri atau jiwa dari kebodohan, penindasan
dan dari segala bentuk simbol-simbol zhulumāt (kegelapan dan kezaliman),
menuju nūr (sinar yang terang, cerah) (Amin, 2013).
“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya
ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang
itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan
menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (QS. Al-Ma’idah Ayat 16)
Maka bagi kita di zaman ini telah begitu terang celah jalan penyelesaian
bagaimana memunculkan kebangkitan Islam yang tidak dapat disangkal hanya
bisa diperoleh dengan melalui perubahan sosial dimana pangkal perubahan
tersebut berpondasi mula dari perubahan atau transformasi personal atau
individual dalam setiap perwakilan lapisan masyarakat.
Para pelopor perubahan adalah mereka yang merasakan berbagai bentuk
penderitaan, mereguk pahitnya perjalanan, kesalahan dan penyimpangan, baik
dalam pemikiran maupun praktik nyata dalam kehidupan. Mereka pula yang
kemudian merasakan manisnya kebenaran dengan cara melakukan perubahan
terhadap apa yang ada pada diri sendiri terlebih dahulu, lalu berusaha

83
mengkristalisasi perspesi-persepsi tertentu dan startegi khusus yang membawa
kepada sebuah kesimpulan, yang harus mewujudkan integritas dan perpaduan
seluruh bidang dan potensi dan mengkoordinasikan semua institusi dan
kelompok dalam sebuah jaringan kerja sama.

6. Sejarah Nabi-Sahabat dan Psikologi Islam


Sejarah sangat berjasa memberikan fondasi pengetahuan dan pemahaman
manusia baik secara individual maupun dalam peradaban secara luas. Ketika
kita sebagai seorang muslim memperdalam khazanah pengetahuan Islam dalam
berbagai lini termasuk di dalamnya sejarah Islam, Sirah Nabawiyah dan Sirah
Sahabat, maka dengan perlahan tapi pasti kita menemukan jati diri kita
sesungguhnya baik dalam pemahaman transenden maupun horizontal.
Pemahaman transenden artinya pemahaman sebagai seorang hamba Allah dan
khalifah-Nya di bumi. Pemahaman horizontal artinya pemahaman kita sebagai
entitas peradaban panjang manusia di bumi dimana pada hakikatnya kita adalah
bagian kecil dalam roda perjalanan sejarah peradaban manusia di zaman ini,
juga sekaligus sebagai pemegang estapet peradaban Islam dan risalah-Nya yang
digilir dari tangan generasi ke tangan generasi berikut dan seterusnya. Begitu
berharganya kisah keberhasilan mereka dengan segala hikmah yang bermanfaat
dalam memandu kita menghadapi setiap liku pengalaman hidup karena mereka
adalah sosok yang nyata, serta nyata pula kesungguhannya dan
keberhasilannya. Maka mengenali, memahami sosok-sosok muslim di masa awal
Islam dan kemudian memasukkannya sebagai kontributor wawasan kita dalam
bermuslim pada hakikatnya adalah penting dilakukan. Allah menyiratkan
perintah tersebut dalam ayat berikut:
“..dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku
tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yan telah kamu
kerjakan.” (QS. Luqman: 15)
Bila diluaskan cara pandang, diantara jutaan milyaran manusia yang pernah
hidup di muka bumi, ribuan generasi dipergilirkan, sementara sebagian besar
mereka tersesat di tengah jalan spiritualitasnya oleh beragam godaan dan
hasutan dunia, oleh beragam ideologi buatan yang sesat, oleh beragam
kebodohan manusia yang terjauh dari pemaknaan pengetahuan dan ilmu bernas,
maka bukankah Rasulullah beserta para sahabatnya adalah mereka yang telah
berhasil melewati dengan selamat dan menemukan jalan pulang kembali kepada
Allah?!. Atau dalam amsalnya, zona kehidupan manusia sesungguhnya ibarat
sebuah sayembara dalam memasuki sebuah labirin luas dimana semua orang

84
dalam setiap lekuk tikung bercabang lorong labirin tersebut berusaha
menemukan ujung jalan lokus akhir teka teki labirin usai dan final. Sebagian
besarnya terus berputar di dalamnya tanpa akhir, namun sebagian kecilnya
berjaya karena telah dengan sepenuh kesungguhannya berusaha mencari dan
akhirnya berhasil keluar. Rasulullah, dan para sahabat adalah mereka golongan
kecil pemenang tersebut, sedangkan kita adalah kelompok ekor yang harus
membuntuti mereka hingga sampai serupa mereka.
Maka disiplin ilmu Psikologi adalah khazanah ilmu pengetahuan dunia
sebagai alat bantu manusia dalam mencapai tujuan-tujuannya dalam perkara
kejiwaan dan perilaku manusia. Di dalamnya begitu banyak dibahas tentang
beragam fenomena dan tipe kepribadian manusia baik itu secara idealitas
maupun realitas. Maka bagi muslimin dan dunia sains Islam, kiranya Sirah
Nabawiyah dan Sirah Sahabah ditempatkan sebagai laboratorium psikologi
Islam yang mencapai tingkat kelayakan yang tepat dalam menimbang hakikat
manusia yang sesungguhnya dimana nilai spiritualitas ilahiah yang diperkuat
dengan autentisitas wahyu yang berhasil merealitas dalam humanitas kejiwaan
manusia dalam kodrat alamiahnya. Dimana Sirah Nabawiyah sebagai wawasan
sosok personal paripurnanya, sedangkan Sirah Sahabah merupakan wawasan
dinamika kehidupan manusia dalam kolektifitas sosialnya. Sungguh disiplin
keilmuwan menghajatkan sebuah landasan modeling yang nyata, bukan konsep
yang tak berakar wahyu, bukan teori dari karangan ilusi. Namun berdasarkan
penelitian terhadap sebuah sampel segolongan manusia yang keberhasilannya
telah mendapatkan legalitas dari Allah dan Rasul-Nya. Disipilin keilmuwan
manusia zaman ini membutuhkan Sirah Nabawiyah dan Sirah Sahabah sebagai
sebuah konsep bersifat tutorial panduan yang sangat membantu bagaimana
menyelesaikan tugas kekhalifahan manusia di bumi dengan segala fenomena
praktisnya.
Telah jamak kita ketahui hal-ihwal tentang keberperanan ilmu psikologi
dalam disiplin keilmuwan secara global serta kegunaannya dalam kehidupan
manusia modern saat ini. Walaupun terhitung sebagai cabang ilmu yang paling
muda, ilmu psikologi sangat memainkan peran yang sangat penting
membangun penelitian interdisiplin dan mutidisiplin dengan ilmu-ilmu lain
dimana sumbangsih penelitian berbasis ilmu psikologi sangat amat banyak
dijadikan rujukan dalam proyek-proyek atau pencanangan suatu kebijakan di
berbagai negara dan masyarakat. Tren ilmu psikologi di awal kemunculannya
dikenal dengan psikologi klinis yang terlahir dari Rahim budaya dunia Barat
dimana ia menitik beratkan pada penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi

85
oleh individu. Psikologi saat itu banyak disorot dalam upaya menangani
individu dengan gangguan psikologis ringan dan berat sehingga menimbulkan
kesan negatif dengan citra pesimistif gangguan kejiwaannya. Memasuki abad ke
21 tepatnya di tahun 1998 tren tersebut berubah haluan. Masyarakat kemudian
mengenal sebuah tren baru yang bernama Psikologi Positif dimana berfokus
dalam upaya mengoptimalkan potensi manusia yang merupakan fitrahnya dan
berarah pada pembangunan kualitas kejiwaan dan kualitas hidup terbaik.
Baik psikologi klinis maupun positif, keduanya merupakan hasil buatan
dunia Barat yang sarat nilai subjektifitas budaya. Tentunya kemudian tidak akan
sesuai bila diaplikasikan oleh negara wilayah timur dan negara-negara
bermayoritaskan muslim. Selain itu psikologi modern dibangun diatas asumsi-
asumsi yang keliru tentang manusia. Ketika psikologi modern dengan berbagai
tokoh yang menopangnya meluncurkan berbagai teori dan konsep bagaimana
dan seperti apa gejala-gejala kejiwaan, perilaku, tipe kepribadian manusia
berdasarkan basis penelitian yang mengambil sampel objek yang ditelitinya dari
populasi sebuah masyarakat yang jauh dari kualitas karakter manusia yang
normatif. Seperti Sigmud Freud yang terlalu berfokus pada dorongan seksual, J.
B. Watson yang menyamakan penelitian manusia dengan hewan, serta beberapa
tokoh lainnya yang bersumber dari budaya barat yang minim nilai spiritualnya
dan landasan historisitasnya.
Kontribusi relevansi Sirah Nabawiyah dan Sirah Sahabat ditunggu dalam
rangka memperkokoh disiplin keilmuan, salah satunya dalam dispilin ilmu
psikologi dengan kekuatan validitas wahyu dan dari hasil pencapaian generasi
Rasulullah tersebut. Diharapan dengan pondasi Sirah Nabawiyah dan Sirah
Sahabah, ilmu psikologi Islam akan dapat merubah dan memperbaiki sifat
penelitiannya yang semula dalam psikologi Barat yang condong untuk menilai
kepribadian manusia dalam cara pandang yang salah tak berakar wahyu serta
bias kultur, maka bergeser menjadi sebuah panduan modelling berfondasi
wahyu, bernilai universal yang kemudian mampu membimbing bagaimana
karakter manusia terbaik didesain dalam alur logis dan kemudian ditiru
polanya. Maka sepatutnya kini psikologi Islam menggeser psikologi Barat yang
kian hari peradabannya kian meredum. Dalam menjemput kebangkitan Islam,
telah menjadi niscaya pentingnya topangan dan pondasi ilmu dalam kekayaan
khazanah Islam yang perlu penggalian lagi dan lagi.

86
87
PENUTUP

Melalui kesamaan dalam beberapa Faktor yakni; potensi dasar manusia,


metode tarbiyah Islam dengan Al-Qur’an dan figur Rasulullah dengan multi
perannya, para sahabat menjalani proses transformasi kehidupan dari sistem
jahiliyah menuju sistem Islami dengan terdapat keragaman pola
transformasinya. Secara garis besar tergolongkan kepada tiga kategori, yakni:
dengan totalitas ketaatan, melalui pegelutan akal dan yang ketiga melalui
penaklukan politik.
Totalitas ketaatan dilalui oleh para sahabat yang secara mayoritas
tergolongkan pada kelompok Assabiqunal Awwalun dari Makkah serta para
pembaiat Aqobah dari Madinah. Adapun para sahabat yang mengalami pola
transformasi melalui terlebih dahulu pergelutan akal adalah diantaranya Umar
bin Khattab, Khalid bin Walid dan Amr bin Ash dimana mereka cenderung
dalam penggunaan nalar dalam pengambilan keputusan. Sedangkan para
sahabat yang mengalami transformasi melalui jalan dengan penaklukan politik
dilakoni oleh beberapa sahabat khususnya yang tergolong kaum Thulaqo, tiga
diantaranya Suhail bin Amr, Ikrimah bin Abi Jahl serta Wahsyi bin Harb yang
dalam kurun waktu lama menjadi musuh terbesar Islam di Mekkah namun
dapat diselamatkan dalam naungan hidayah Islam dengan proses terakhir dan
bersifat keterdesakan di awal masanya, namun pada akhirnya dapat terjalin
secara harmoni dalam ukhuwah dan berkomitmen tak kalah kuatnya dalam
keimanan dan perjuangan Islam.
Kesamaan potensi dasar manusia secara universal bagi setiap insan tanpa
sekat zaman dan bangsa pada hakikatnya menyiratkan akan optimisme bagi
setiap insan di zaman ini untuk mengadaptasi kunci keberhasilan generasi para
sahabat dalam meraih kenikmatan terbesar iman dan Islam dengan syarat
penggalian pengetahuan dan usaha peneladanan kepada pola yang dilaku oleh
mereka.
Transformasi personal yang dilakukan para sahabat sebagai salah satu kunci
dalam membangun transformasi sosial di zaman Rasulullah. Keberhasilan dalam
meneladani kecemerlangan generasi Rasulullah seyogyanya perlu ditinjau lebih
dahulu dari perspektif individual dari entitas-entitas jama’ah yakni per individu
sahabat yang perubahan tersebut dilakukan oleh individual secara kolektif. Pun
di zaman ini, keberhasilan dalam mendesain kebangkitan umat tentunya

88
dilakukan secara bertahap per individual dalam kinerja massif dalam
kolektifitas.

89
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Kariim
Al-Khauf dan Ar-Roja menurut Al-Ghazali, M. Ihsan Dacholfany, dalam:
https://repository.ummetro.ac.id/files/dosen/12aa864515214e792f86f9ffa061b4
da.pdf
Ash-Shallabi, A. M. (2008). Biografi Umar bin Al-Khathab. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar.
Biografi 60 Sahabat Nabi, Khalid Muhammad Khalid, Ummul Qura, Jakarta, cet ke-
9, 2019
Biografi Utsman Bin Affan, Ali Muhammad Ash-Shallabi, Pustaka Al-Kautsar,
Jakarta, cet ke-6, 2020
Cara Menulis Proposal Penelitian, Wahyudin Darmalaksana, Fakultas UIN Sunan
Gunung Djati, Bandung, 2020
Dalam Dekapan Ukhuwah, Salim A. Fillah, Pro-U Media, Yogyakarta, 2010
Mulyana, D. (2012). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mead, G. H. (1925). The genesis of the self and social control. The International
Journal of Ethics, 35(3), 251-277.
Dinamika Jiwa dalam Perspektif Psikologi Islam, Ema Yudiani, diambil dari:
https://media.neliti.com/media/publications/99803-ID-dinamika-jiwa-dalam-
perspektif-psikologi.pdf
Ensiklopedi Sahabat Biografi dan Profil Teladan 104 Sahabat Nabi SAW Generasi
Terbaik Umat Islam Sepanjang Masa, Mahmud Al-Misri, Pustaka Imam Asy-
Syafi’I, Jakarta, cet ke-2, 2016
Historiografi Sirah Nabawiyah Masa Klasik (1-4 H/ 7-10 M), Taufiq, Jurusan Sejarah
dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Yogyakarta, 2018
Hukum Islam dan Transformasi Sosial Masyarakat Jahiliyyah (Studi Historis tentang
Karakter Egaliter Hukum Islam), Abd. Rahim Amin, Jurnal Hukum Diktum
Volume 10 nomor 1, Makassar, 2012
Uswatusolihah, U. (2015). Kesadaran Dan Transformasi Diri Dalam Kajian
Dakwah Islam Dan Komunikasi. KOMUNIKA: Jurnal Dakwah Dan
Komunikasi, 9(2), 257-275.

90
Khalid bin Walid Panglima yang Tak Terkalahkan, Mansur Abdul Hakim,
penerjemah Masturi irham dan Abidun Zuhri, Pustaka Kautsar, Jakarta
Timur, cet 1 september 2001
Aji, R. H. S. (2014). Khazanah sains dan matematika dalam Islam. SALAM: Jurnal
Sosial dan Budaya Syar-i, 1(1), 155-168.
Kepribadian Manusia Dalam Perspektif Psikologi Islam (Telaah Kritis atas Psikologi
Kepribadian Modern), Septi Gumiandari, Jurnal Holistik vol.12 no.01, 2011
Kisah Heroik 65 Sahabat Rasulullah SAW, Abdurrahman Ra’fat Al-Basya, Darul
Adab Al-Islami, Jakarta, 2008
Konsep Perilaku, Suparyanto diambil dari:
http://dr-suparyanto.blogspot.com/2010/07/konsep-perilaku.html
Konsep Pendidikan Karakter Berbasis Psikologi Islam, Abdul Mujib, Jurnal Fakultas
Psikologi YUniversitas Islam negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2012
Lapis-Lapis Keberkahan, Salim A. Fillah, Pro-U Media, Yogyakarta, 2014
Model Kebangkitan Umat Islam Upaya 50 Tahun Gerakan Pendidikan Melahirkan
Generasi Shalahudin dan Merebut Palestina, Majid Irsan Kilani, Mahdara
Publishing, Depok, cet ke-1, 2019
Para Sahabat Nabi SAW Kisah Perjuangan, Pengorbanan, dan Keteladanan, Abdul
hamid As-Suhaibani, Darul Haq, Jakarta, cet ke-5, 2018
Pembelajaran Sejarah dan Kesadaran Sejarah, Herry Purda Nugroho Putro,
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 2016. Yang diambil dari
http://digilib.upi.edu/administrator/fulltext/d_ips_019816_herry_porda_nugr
oho_putro_chapter2a.pdf
Pemikiran Politik dalam Al-Qur’an, At-Tijani Abdul Qodir Hamid, Gema Insani,
Jakarta, 2001
Perjalanan Empat Khalifah Rasul Yang Agung, Al-Hafizh Ibnu Katsir, Darul Haq,
Jakarta, Cet ke-12, 2014
Perubahan Sosial dalam Perspektif Al-Qur’an: Studi Komparatif Tafsir Ath-Thabari dan
Tafsir Al-Azhar, Muhammad Amin, Kementrian Agama Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013. Diambil dari: http://digilib.uin-
suka.ac.id/11561/1/PENELITIAN%20M_AMIN_PDF.pdf
Psikoterapi Islami, Zakiah Darajat, Bulan Bintang, Jakarta, 2002
Relasi Akal dan Hati Menurut al-Ghazali, Ahmad Arisatul Cholik, UNIDA Gontor,
Ponorogo, 2015. Diambil dari
https://www.researchgate.net/publication/304465668_Relasi_Akal_dan_Hati
_menurut_al-Ghazali

91
Relevansi Risalatu Al-Qada Umar terhadap Etika profesi Hakim di Indonesia, Dulsukmi
Kasim, Fakultas Syariah IAIN Sultan Amai Gorontalo, Gorontalo, 2016
Sahabat, Siapa dia? (1) dalam laman situs Hidayatulloh dengan alamat:
https://www.hidayatullah.com/spesial/hidcompedia/read/2015/09/19/78659/
sahabat-siapa-dia-1.html
Sirah Nabawiyah Ulasan Kejadian dan Analisis Peristiwa dalam Perjalanan Hidup Nabi
Muhammad, Ali Muhammad shallabi, Insan Kamil, Solo, 2019
Sirah Nabawiyah Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad SAW dari
Kelahiran Hingga Detik-Detik Terakhir, Darul Haq, Jakarta, Cet ke- 23, 2018
Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim, Salim A. Fillah, Pro-U Media, Yogyakarta,
2013
Telaah Kepribadian Manusia dan Korelasinya dengan Pendidikan Islam, Mukholiq,
Kementrian Agama kab. Tulungagung, Jurnal Episteme vol. 8 no. 2,
Tulungagung, 2013
Urgensi Mempelajari Sirah Nabawiyah dan Buku Rujukan Terbaik, Muchlisin BK,
Dalam situs Bersamadakwah.net
Tarbiyatun Nafs Mendidik Jiwa Ala Rasulullah, Muhammad Mansur, Senayan
Publishing
Laman Dosenpsikologi.com
Sunaryo. (2004). Psikologi untuk Perawatan. Jakarta: EGC
Shihab, M. Q. (2002). Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.

92

Anda mungkin juga menyukai