Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara berkembang yang memiliki tingkat pendapatan


perkapita tergolong rendah dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya,
sehingga Indonesia dimasukkan dalam kategori kelompok negara dunia ketiga.
Hal ini dilihat dari tingkat kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan dengan
tingkat pendapatan perkapita warga negara suatu daerah atau negara, sedangkan
pendapatan perkapita diperoleh dari besarnya jumlah pendapatan yang diperoleh
dibagi dengan besarnya tanggungan yang ternyata sangat kecil. Dengan melihat
besarnya jumlah penduduk Indonesia sekarang ini yang hampir mencapai 200 juta
menunjukkan betapa besarnya jumlah beban yang harus ditanggung oleh
pemerintah.
Salah satu upaya pemerintah untuk menaikkan pendapatan perkapita
adalah dengan mengembangkan sektor-sektor industri dengan tujuan dapat
menyerap tenaga kerja sebanyak mungkin. Wolf (dalam Partini, 1992: 59)
menyatakan Indonesia seperti halnya negara-negara berkembang lainnya dalam
mengatasi kemiskinan maupun pengangguran cara yang terbaik adalah dengan
menjalankan pembangunan indutrialisasi yang bersifat padat karya, seperti
industri tekstile, industri makanan, industri minuman, dan industri rokok.
Industri tekstile dilihat dari proses produksinya termasuk industri hilir,
yaitu industri yang tahapan produksinya mengolah bahan setengah jadi menjadi
barang jadi. Dari definisi ini maka industri batik bisa dikategorikan dalam industri
hilir karena mengolah bahan setengah jadi berupa kain menjadi kain batik yang
siap pakai. Industri tekstile merupakan industri padat karya yang sebagian besar
tenaga kerjanya perempuan.
Sebenarnya sudah sejak jaman dulu hingga sekarang perempuan Indonesia
sudah ikut ambil bagian dalam pembangunan walaupun terbatas pada perannya
dalam mengurus kegiatan rumah tangga, akan tetapi adanya perubahan sosial

1
2

yang bergeser, sehingga peran perempuan tidak lagi sebagai ibu rumah tangga
saja, melainkan juga dituntut perannya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan
dan ikut bekerja disamping suami.
Peranan perempuan dalam bekerja didorong oleh faktor-faktor yang
cenderung memberi sumbangan pendapatan, hal inilah yang menyebabjan seorang
perempuan memutuskan untuk bekerja. Namun disisi lain perempuan juga
menghadapi tekanan dimana hal ini berhubungan erat dengan status sosial
ekonomi budaya, peranan dalam keluarga, dan perannya sebagai pencari nafkah.
Sayogyo (dalam Sudarsana dan Jefta Leibo, 1999 : 3 ) menggolongkan peranan
perempuan menjadi 2 tipe peranan yaitu :
a. Pola peranan dimana digambarkan perempuan berperan
dalam hal kebutuhan hidup semua anggota keluarga dalam rumah
tangganya secara keseluruhan.
b. Pola peranan dimana perempuan mempunyai 2 peranan
yaitu peranan dalam pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan mencari
nafkah.
Sedangkan menurut Anshori, dkk (dalam Purtojo, 1999: 14) peranan perempuan
dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu :
a. Peran sebagai istri
b. Peran sebagai ibu
c. Peran sebagai anggota masyarakat.
Peran sebagai istri dan ibu merupakan peran domestik sedangkan peran
sebagai anggota masyarakat dikategorikan sebagai peran publik. Adapun peran
domestik menuntut seorang perempuan untuk melaksanakan tugas kodratinya dan
mengelola rumah tangganya tanpa mendapatkan gaji, sedangkan peran publik
berkaitan dengan pekerjaan dan karier yang menghasilkan gaji. Bagi seorang
perempuan yang memilih kedua-duanya berarti memiliki peran ganda dimana
mereka bekerja didalam dan diluar rumah.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa peran perempuan dalam
menunjang kegiatan ekonomi rumah tangga yaitu perempuan yang mencukupi
3

kebutuhan semua anggota keluarga secara keseluruhan dan perempuan yang


memiliki dua peran yaitu pekerjaan rumah tangga dan membantu mencari nafkah.
Meningkatnya angkatan kerja perempuan disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu peningkatan pendidikan, adanya pandangan perempuan terhadap perempuan
sekarang ini, bahwa perempuan tidak hanya mengurus rumah tangga saja tetapi
juga ikut serta dalam membantu perekonomian keluarga, juga semakin
meningkatnya keinginan untuk memiliki kesamaan hak dengan laki-laki yang
selanjutnya akan mendorong para perempuan untuk lebih giat memasuki pasar
kerja. Dengan meningkatnya peran perempuan sebagai pencari nafkah maka
perempuan juga berperan dalam meningkatkan kedudukan keluarga (family status
production).
Berdasarkan kebijakan pemerintah dan dari segi perundang-undangan,
perempuan di Indonesia mendapatkan kesempatan yang sama seperti laki-laki
untuk mendapatkan pendidikan dan bekerja. Pembinaan perempuan sebagai mitra
sejajar laki-laki sebagai upaya untuk meningkatkan peran aktif dalam kegiatan
pembangunan dan usaha dalam mewujudkan warga sehat, sejahtera, dan bahagia.
Proses pembangunan yang membuka lapangan kerja baru dan kesempatan
yang sama dalam dunia kerja bagi laki-laki dan perempuan yaitu adanya
kesempatan untuk memperbaiki kualitas hidup yang layak menjadikan perempuan
memutuskan untuk bekerja. Selain itu adanya krisis ekonomi yang melanda di
Indonesia dan meningkatnya jumlah pengangguran, menjadikan perempuan
memutuskan untuk bekerja membantu bahkan menggantikan suami dalam
mencari nafkah, sehingga saat ini dinilai perempuan lebih tahan dalam menerima
badai krisis ekonomi daripada laki-laki, karena “perempuan bila mencari nafkah
sesuai dengan macam-macam pekerjaan yang tersedia pada masyarakat setempat
dan sesuai pula dengan ketersediaan perempuan untuk bekerja”(Sajogyo, 1985:
132 ).
Menurut Abdullah (1991 :2) peranan perempuan dalam ekonomi rumah
tangga semakin penting sejalan dengan menurunnya peranan sektor pertanian
dalam perekonomian desa dan semakin sulitnya lapangan pekerjaan. Terbatasnya
lahan yang dimiliki para suami sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan
4

ekonomi keluarga dan sempitnya kesempatan kerja khusunya disektor pertanian


menjadikan perempuan bekerja disektor non pertanian.
Pada industri batik Gunawan Setiawan jumlah tenaga kerjanya lebih
banyak perempuan daripada laki-laki dimana mereka memegang peranan penting
dalam proses produksinya daripada pekerja laki-laki hal ini sangat berbeda dengan
industri lain yang lebih didominasi tenaga kerja laki-laki. Hal ini disebabkan pada
pabrik batik Gunawan Setiawan ini memproduksi batik tulis dimana
pengerjaannya banyak menggunakan tangan daripada mesin sehingga lebih
banyak memakai pekerja perempuan daripada laki-laki.
Jumlah tenaga kerja pada pabrik batik ini ada 40 pekerja yang terdiri dari
35 pekerja perempuan dan 5 pekerja laki-laki. Para pekerja perempuan ini terbagi
menjadi dua yaitu menangani proses produksi seperti membatik, menggambar
pola hingga menjadi kain batik jadi, sedangkan bagian lain menangani batik
dalam bentuk pakain jadi seperti menggunting, merancang hingga menjadi batik
siap pakai. Selain menangani proses produksi ada sebagian pekerja yang juga
menangani bagian lain seperti pembukuan dan pemasaran. Sehingga tidak adanya
pembagian kerja yang tidak jelas menimbulkan masalah.
Para pekerja khususnya yang membatik ini umumnya sudah lama dan
berlangsung turun temurun dimana mereka bekerja menggantikan orang tua
mereka yang dulunya juga bekerja ditempat yang sama. Lamanya bekerja ini
menjadikan adanya pola yang terbentuk dimana ada hubungan antara majikan
dengan pekerja yang lebih bersifat kekeluargaan. Selain itu para pekerja batik ini
memiliki karakteristik khusus dibandingkan pekerja perempuan lainnya sehingga
menjadikan keunikan tersendiri
Namun demikian pekerja perempuan di industri batik yang memiliki
status sudah menikah tidak dapat melepaskan perannya sebagai ibu rumah tangga
dan memiliki waktu yang terbatas daripada pekerja yang belum menikah.
Lamanya waktu bekerja menjadi pilihan yang sulit yaitu antara mengurusi anak
atau tetap bekerja. Kenyataannya semakin banyaknya kebutuhan hidup yang harus
dipenuhi dan semakin luasnya hubungan sosial sosial masyarakat yang harus
dijalankan menjadikan pekerja perempuan memutuskan bekerja untuk
5

meningkatkan pendapatan keluarga. Selain itu adanya keinginan untuk mandiri


khususnya dalam bidang finansial dan dapat berperan banyak dalam berbagai
macam aspek kehidupan sehingga mereka tidak lagi dianggap masyarakat nomor
dua setelah laki-laki menjadi alasan bagi seorang perempuan memutuskan untuk
bekerja.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas inilah yang mendorong
penulis untuk meneliti tentang “Karakteristik Pekerja Perempuan Pada Pabrik
Batik Gunawan Setiawan di Kelurahan Kauman Surakarta Tahun 2002.

B. Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang masalah pada penelitian diatas, maka dapat
diidentifikasikan masalah sebagai berikut :
1. Pembagian kerja yang tidak jelas sehingga pekerja harus menangani lebih
dari satu pekerjaan
2. Peran perempuan bekerja terhadap sumbangan pendapatan dan
kesejahteraan keluarga.
3. Karakteristik pekerja perempuan pada industri batik.

C. Batasan Masalah
Berbagai masalah yang telah dapat diidentifikasi maka batasan-batasan
dalam penelitian ini adalah karakteristik pekerja perempuan pada sektor industri
batik di Pabrik Batik Gunawan Setiawan Surakarta tahun 2002.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik pekerja perempuan pada pabrik batik Gunawan
Setiawan ?
2. Faktor-faktor apa saja yang mendorong pekerja perempuan untuk bekerja di
pabrik batik ?
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui karakteristik pekerja perempuan pada pabrik batik
Gunawan Setiawan.
6

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong pekerja perempuan untuk


bekerja di sektor batik.
F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis :

Memberikan kontribusi bagi upaya pengembangan ilmu Goegrafi


terutama dalam hal ketenaga kerjaan. Selain itu juga sebagai bahan acuan dalam
melakukan penelitian yang relevan yang terkait dengan tenaga kerja perempuan
pada industri batik.
2. Manfaat Praktis :
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran dalam
menunjang kemajuan industri batik yang yang telah ada didaerah Kauman.
b. Sebagai sarana untuk menghargai peran perempuan didalam keluarga dan
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai