Anda di halaman 1dari 11

Cerita rakyat Roro Jonggrang

Mengutip buku 100 Cerita Rakyat Nusantara oleh Dian K, kisah Roro Jonggrang


bermula saat ayahnya, Raja Prambanan, gugur dari perang melawan Bandung Bondowoso
dari Kerajaan Pengging. Bandung Bondowoso secara otomatis langsung menguasai Kerajaan
Prambanan.

Di saat bersamaan, Bandung Bondowoso juga ingin menjadikan Roro Jonggrang


sebagai permaisurinya. Namun, Roro Jonggrang menolak mentah-mentah lamaran Bandung
Bondowoso.

Penolakan Roro Jonggrang tersebut membuat Bandung Bondowoso marah. Ia pun


mengurung perempuan cantik itu di dalam istana, bersama Bi Sumi dan dayang-dayang lain.

Setiap hari, Bandung Bondowoso terus mendesak Roro Jonggrang untuk menikah
dengannya. Hingga pada suatu hari, Roro Jonggrang pun lelah mendengar permintaan itu
dan dia memutuskan untuk melakukan sesuatu.

"Aku bersedia menjadi permaisurimu, tapi ada syaratnya. Jika kau berhasil
memenuhinya, maka aku akan menikah denganmu. Tapi jika kamu gagal, maka izinkanlah
aku pergi dari sini," kata Roro Jonggrang pada Bandung Bondowoso.

Mendengar permintaan Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso tampak senang.


Dengan angkuh dia menjawab yakin bisa memenuhi permintaan Roro Jonggrang.

"Apa pun yang kau minta, pasti akan kuberikan. Jika sampai aku gagal, maka kau tak
usah pergi dari sini. Aku yang akan mengembalikan kerajaan ini padamu," jawab Bandung
Bondowoso.

Roro Jonggrang tersenyum, "Kalau begitu, buatkan aku seribu candi dalam semalam.
Semuanya harus selesai sebelum matahari terbit," ujarnya.

Bandung Bondowoso sempat heran dengan permintaan Roro Jonggrang. Tak lama, dia
tertawa bahagia.

"Aku pasti berhasil memenuhi permintaanmu," kata Bandung Bondowoso.

Bandung Bondowoso pun langsung beranjak untuk memenuhi permintaan Roro


Jonggrang. Ia meminta bantuan pada pasukan jin karena membangun seribu candi dalam
waktu semalam adalah pekerjaan mudah bagi bangsa jin.
Benar saja, dalam waktu singkat, bangunan candi mulai tampak. Melihat itu
semua, Roro Jonggrang mulai gelisah dan panik.

"Bi Sumi, kita harus melakukan sesuatu! Lihatlah, candinya hampir siap," kata Roro
Jonggrang pada Bi Sumi di dalam istana.

Bi Sumi juga tampak panik. Namun, tiba-tiba saja, Bi Sumi memiliki ide untuk
membantu Roro Jonggrang.

"Hamba punya ide. Ayo, ikuti hamba," ujar Bi Sumi.

Roro Jonggrang dan Bi Sumi lalu menyelinap ke luar kamar dan menuju ke kamar
dayang-dayang yang letaknya tak jauh dari kamar mereka. Bi Sumi lalu memerintahkan para
dayang dan pengawal istana yang setia untuk mengumpulkan jerami.

"Untuk apa, Bi?" tanya Roro Jonggrang.

Bi Sumi lalu menempelkan telunjuknya di bibir dan berbisik pada Roro Jonggrang,
"Kita akan membakar jerami ini, sehingga langit terkesan menjadi merah, pertanda matahari
sudah terbit," katanya.

Setelah jeraminya terkumpul, Bi Sumi lalu membakarnya. Dia juga memerintahkan


para dayang untuk menumbuk lesung.

Suara lesung yang bertalu-talu, ditambah semburat api yang memecah langit,
membuat suasananya mirip pagi hari. Ayam jantan pun tertipu dan berkokok keras memecah
suasana hening.

"Kukuruyukk...kukuruyukkk..."

Mendengar suara ayam jantan, Bandung Bondowoso dan para jin terkejut. Mereka
melihat ke langit yang sudah cukup terang.

"Wah, ternyata haru sudah pagi. Kami harus pergi!" teriak para jin sambil bergegas pergi.

Bandung Bodowoso tak berkutik dan membiarkan para jin pergi. Ia lalu memandangi
candi buatan para jin dan yakin jumlahnya sudah seribu, sesuai permintaan Roro Jonggrang.

"Roro Jonggrang tak akan bisa mengelak," kata Bandung Bondowoso.

Ia lalu segera mencari Roro Jonggrang untuk melaporkan candi-candi yang sudah
dibangunnya. Roro Jonggrag lalu menghitung candi-candi yang sudah selesai.
"997, 998, 999, dan.... jumlahnya kurang satu!" kata Roro Jonggrang.

Bandung Bondowoso tak percaya apa yang didengarnya. Ia lalu menghitung sendiri
jumlah candi dan ternyata memang benar, candi yang dibangun pasukan jin hanya berjumlah
999.

Bandung Bondowoso sangat kecewa dan marah. Ia tak menyangka bisa gagal
memenuhi permintaan Roro Jonggrang.

"Aku tak pernah kalah. Apa pun yang aku inginkan, pasti akan kudapatkan. Jika aku
mau seribu candi, maka aku akan mendapatkannya," ujar Bandung Bondowoso.

"Tapi jumlahnya memang kurang satu. Kau harus menepati janjimu," kata Roro
Jonggrang yang mulai takut melihat amarah Bandung Bondowoso.

Tak terima disebut kalah, Bandung Bondowoso lalu meminta Roro Jonggrang menjadi
candi keseribu. Dengan kesaktiannya, ia mengubah Roro Jonggrang menjadi patung batu.

"Jika begitu, kau saja yang melengkapi jumlah candi ini. Jadilah kau candi keseribu!"
teriak Bandung Bondowoso.

Patung Roro Jonggrang lalu melengkapi jumlah candi menjadi seribu buah. Sampai
sekarang, candi-candi tersebut masih berdiri dengan megah di wilayah Prambanan dan
disebut dengan nama Candi Sewu. Kisah Roro Jonggrang pun menjadi cerita rakyat yang
terkenal di Indonesia.
LEGENDA DANAU TOBA

Sejarah Sumatera Utara tak bisa lepas juga dengan asal usul Danau Toba. Cerita
rakyat ini sudah terkenal dikalangan masyarakat Indonesia, karena cerita yang luar biasa dan
bisa menjadi sejarah dunia. Danau Toba Terletak di Parapat, Sumatera Utara. DAnau ini
menjadi terbesar di asia tenggara.

Kisah ini bermula dari seorang pemuda bernama Toba. Ia merupakan yatim piatu yang
hidup sebatang kara. Pekerjaan sehari-hari dari Toba adalah memancing atau bekerja di
ladang. Tiap hari , waktunya dihabiskan di lading/ sawah, sesekali dia juga senang untuk
pergi memancing ikan untuk dimakan ataupun dijual ke pasar terdekat.

Suatu hari, Toba memutuskan untuk memancing di sungai untuk dijadikan sebagai
lauk. Beruntungnya, mata kail yang dilemparkan berhasil menangkap seekor ikan besar.Ikan
tersebut menarik perhatian Toba karena ukuran serta bentuknya yang berbeda dari ikan-ikan
lainnya. Warna ikan itu adalah kekuningan dan sisik-sisiknya kuning keemasan. Tak Lama
kemudian dia memutuskan untuk pulang ke rumah. Setibanya di rumah , alangkah
terkejutnya toba melihat ikan mas yang sebelumnya ingin di potong dan di bersihkan , kini
berubah menjadi seorang perempuan yang cantik jelita. Kemudian, dia menjelaskan kepada
toba kalau dia putri yang dikutuk. Putri itupun berterima kasih kepada toba , karena telah
terbebas dari kutukan tersebut.

"Tuan, aku adalah kutukan Dewa karena telah melanggar larangan besarnya. Telah
ditakdirkan kepadaku, bahwa aku akan berubah bentuk menyerupai makhluk apa saja yang
memegang atau menyentuhku. Karena tuan telah memegangku, maka akupun berubah
menjadi manusia seperti Tuan ini," ungkap perempuan tersebut.

Toba meminta izin untuk menikahinya. Perempuan itu lantas menyetujui tetapi dengan
syarat. "Permintaanku hanya satu, hendaklah tuan menutup rapat-rapat rahasiaku. Jangan
sekali-kali tuan menyebutkan jika aku berasal dari ikan. Jika tuan menyatakan kesediaan
tuan untuk menjaga rahasia ini, aku bersedia menjadi istri Tuan," jelas perempuan tersebut.

Toba pun menyetujuinya dan mereka pun menikah. Pernikahan tersebut berjalan
sesuai dengan harapan. Keduanya hidup dalam kebahagiaan dan juga kesederhanaan hingga
akhirnya mereka memiliki seorang anak laki-laki bernama Samosir.
Samosir tumbuh menjadi anak yang memiliki kepribadian cukup nakal dan sulit untuk
dimintai tolong. Bahkan Samosir hanya ingin tidur-tiduran saja di rumah tanpa membantu
siapa pun. Dia tidak pernah mau embantu ayahnya yang sibuk bekerja di lading. Bahkan
untuk mengantarkan bekal kepada sang ayah, samosir pun seering menolak.

Tidak hanya itu, Samosir memiliki nafsu makan yang tinggi dan membuat Toba harus
mencari lauk pauk yang lebih dari biasanya. Sehingga Toba harus bekerja lebih keras lagi
untuk memenuhi nafsu makan anaknya tersebut. Bahkan sering kali jatah makanan
sekeluarga dihabiskan oleh samosir. Suatu hari, sang ibu meminta tolong kepada Samosir
untuk mengantarkan makanan kepada Toba yang sedang bekerja di ladang.

Meski awalnya menolak dengan malas, Samosir akhirnya mengiyakan permintaan


ibunya dan berjalan menuju lading dengan wajah yang bersungut- sungut. Sayangnya, baru
sampai setengah perjalanan, Samosir merasa lapar dan dia kemdian berhenti sejenak dan
berfikir untuk memakan sedikit bekal untuk sang ayah, tetapi niat awalnya hanya memakan
sedikit, akhirnya makanan itu yang jadi sisa sedikit. Lalu Samosir lanjut berjalan ke Ladang
dengan membawa bekal yang sudah hamper habis tadi.

Awalnya Toba senang setibanya Samosir di Ladang dengan membawa bekal, karena
dia sudah sangat lapar sebab bekerja sejak dipagi hari tadi. Kegembiraanya tidak
berlangsung lama, dia terkejut Mengetahui bahwa makanannya hanya tinggal sisa sedikit.
Toba lalu bertanya dengan raut wajah yang sangat kesal.

“ Kenapa Makananku tinggal sedikit?”Ujar Toba

“ Tadi Dijalan Aku sangat lapar ayah , jadi aku makan dan minum sedikit bekal ayah, tapi
tidak semua kuhabiskan kan yah! Masih kusisakan sedikit untuk ayah.” Ujar Samosir dengan
wajah polosnya

Toba marah dan membentak Samosir. Toba bahkan tidak sengaja mengatakan kepada
Samosir bahwa ia adalah anak dari seekor ikan.

“Anak tidak tahu diuntung” Kata toba ke samosir. Kemarahanya semakin menjadi jadi tak
terbendung hingga mengumpat kasar

“ Dasar kau Anak keturuna ikan!!”. Ujar Toba


Mendengar hal ini, Samosir pun tekejut, dia berlari dan menangis pergi ke ibunya dan
mengadukan apa yang telah dikatakan Toba. Apa yang diceritakan Samosir membuat sang
ibu sangat marah dan sangat kecewa kepada suaminya yang telah melanggar janji dengan
menangis tersedu-sedu. Dia tak percaya kalau sang suami telah melanggar sumpah untuk
tidak menyebutkan asal usulnya yang berasal dari ikan.

Tidak lama setelah itu, Samosir dan ibunya menghilang dan tanah yang sebelumnya
dipijak oleh mereka mengeluarkan air yang sangat deras dan tak terbendung. Air tersebut
dalam sekejap membuat seluruh daratan yang ada di sekitarnya dipenuhi dengan air dan
membentuk sebuah danau.

Kini, danau tersebut dikenal sebagai Danau Toba dan pulau yang ada di tengahnya
adalah Pulau Samosir.
LEGENDA TELAGA WARNA

Zaman dahulu, ada sebuah kerajaan di Jawa Barat bernama Kutatanggeuhan.


Kutatanggeuhan merupakan kerajaan yang makmur dan damai. Rakyatnya hidup tenang dan
sejahtera karena dipimpin oleh raja yang bijaksana. Raja Kutatanggeuhan bernama Prabu
Suwartalaya dan permaisurinya bernama Ratu Purbamanah. Raja dan ratu sangant bijaksana
sehingga kerjaan yang dipimpin makmur dan tenteram.

Semua sangat menyenangkan. Sayangnya, Prabu dan istrinya belum memiliki anak.
Itu membuat pasangan kerajaan itu sangat sedih. Penasehat Prabu menyarankan, agar mereka
mengangkat anak. Namun Prabu dan Ratu tidak setuju. “Buat kami, anak kandung adalah
lebih baik dari pada anak angkat,” sahut mereka.

Ratu sering murung dan menangis. Prabu pun ikut sedih melihat istrinya. Lalu Prabu
pergi ke hutan untuk bertapa. Di sana sang Prabu terus berdoa, agar dikaruniai anak.
Beberapa bulan kemudian, keinginan mereka terkabul. Ratu pun mulai hamil. Seluruh rakyat
di kerajaan itu senang sekali. Mereka membanjiri istana dengan hadiah.

Sembilan bulan kemudian, Ratu melahirkan seorang putri yang diberinama Gilang
Rukmini . Penduduk negeri pun kembali mengirimi putri kecil itu aneka hadiah. Bayi itu
tumbuh menjadi anak yang lucu. Belasan tahun kemudian, ia sudah menjadi remaja yang
cantik.

Prabu dan Ratu sangat menyayangi putrinya. Mereka memberi putrinya apa pun yang
dia inginkan. Namun itu membuatnya menjadi gadis yang manja. Kalau keinginannya tidak
terpenuhi, gadis itu akan marah. Ia bahkan sering berkata kasar. Walaupun begitu, orangtua
dan rakyat di kerajaan itu mencintainya.

Hari berlalu, Putri pun tumbuh menjadi gadis tercantik di seluruh negeri. Dalam
beberapa hari, Putri akan berusia 17 tahun. Maka para penduduk di negeri itu pergi ke istana.
Mereka membawa aneka hadiah yang sangat indah. Prabu mengumpulkan hadiah-hadiah
yang sangat banyak itu, lalu menyimpannya dalam ruangan istana. Sewaktu-waktu, ia bisa
menggunakannya untuk kepentingan rakyat.
Prabu hanya mengambil sedikit emas dan permata. Ia membawanya ke ahli perhiasan.
“Tolong, buatkan kalung yang sangat indah untuk putriku,” kata Prabu. “Dengan senang
hati, Yang Mulia,” sahut ahli perhiasan. Ia lalu bekerja d sebaik mungkin, dengan sepenuh
hati. Ia ingin menciptakan kalung yang paling indah di dunia, karena ia sangat menyayangi
Putri.

Hari ulang tahun pun tiba. Penduduk negeri berkumpul di alun-alun istana. Ketika
Prabu dan Ratu datang, orang menyambutnya dengan gembira. Sambutan hangat makin
terdengar, ketika Putri yang cantik jelita muncul di hadapan semua orang. Semua orang
mengagumi kecantikannya.

Prabu lalu bangkit dari kursinya. Kalung yang indah sudah dipegangnya. “Putriku
tercinta, hari ini aku berikan kalung ini untukmu. Kalung ini pemberian orang-orang dari
penjuru negeri. Mereka sangat mencintaimu. Mereka mempersembahkan hadiah ini, karena
mereka gembira melihatmu tumbuh jadi dewasa. Pakailah kalung ini, Nak,” kata Prabu.

Putri menerima kalung itu. Lalu ia melihat kalung itu sekilas. “Aku tak mau
memakainya. Kalung ini jelek!” seru Putri. Kemudian ia melempar kalung itu. Kalung yang
indah pun rusak. Emas dan permatanya tersebar di lantai.

Itu sungguh mengejutkan. Tak seorang pun menyangka, Putri akan berbuat seperti itu.
Tak seorang pun bicara. Suasana hening. Tiba-tiba meledaklah tangis Ratu Purbamanah. Dia
sangat sedih melihat kelakuan putrinya.Akhirnya semua pun meneteskan air mata, hingga
istana pun basah oleh air mata mereka. Mereka terus menangis hingga air mata mereka
membanjiri istana, dan tiba-tiba saja dari dalam tanah pun keluar air yang deras, makin lama
makin banyak. Hingga akhirnya kerajaan Kutatanggeuhan tenggelam dan terciptalah sebuah
danau yang sangat indah.

Di hari yang cerah, kita bisa melihat danau itu penuh warna yang indah dan
mengagumkan. Warna itu berasal dari bayangan hutan, tanaman, bunga-bunga, dan langit di
sekitar telaga. Namun orang mengatakan, warna-warna itu berasal dari kalung Putri yang
tersebar di dasar telaga.
LEGENDA MALIN KUNDANG

Cerita Maling Kundang telah menjadi cerita rakyat paling populer karena alur kisah yang
menarik dan mengandung pesan moral , menjadi pengingat anak ketika tidak menurut
kepada orang tuanya.

A. Hiduplah Mandeh Rubayah dan anak nya yang bernama Maling Kundang

Pada zaman dahulu di sebuah perkampungan nelayan Pantai Air Manis di daerah
Padang, Sumatera Barat hiduplah seorang janda bernama Mande Rubayah bersama seorang
anak laki-lakinya yang bernama Malin Kundang. Mande Rubayah amat menyayangi dan
memanjakan Malin Kundang. Malin adalah seorang anak yang rajin dan penurut.

Mande Rubayah sudah tua, ia hanya mampu bekerja sebagai penjual kue untuk
mencupi kebutuhan ia dan anak tunggalnya. Suatu hari, Malin jatuh-sakit. Sakit yang amat
keras, nyawanya hampir melayang namun akhirnya ia dapat diseiamatkan-berkat usaha keras
ibunya. Setelah sembuh dari sakitnya ia semakin disayang. Mereka adalah ibu dan anak yang
saling menyayangi. Kini, Malin sudah dewasa ia meminta izin kepada ibunya untuk pergi
merantau ke kota, karena saat itu sedang ada kapal besar merapat di Pantai Air Manis.

“Jangan Malin, ibu takut terjadi sesuatu denganmu di tanah rantau sana. Menetaplah
saja di sini, temani ibu,” ucap ibunya sedih setelah mendengar keinginan Malin yang ingin
merantau.

“Ibu tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa denganku,” kata Malin sambil
menggenggam tangan ibunya. “Ini kesempatan Bu, kerena belum tentu setahun sekali ada
kapal besar merapat di pantai ini. Aku ingin mengubah nasib kita Bu, izinkanlah” pinta
Malin memohon.

B. Malin Kundang Pergi Merantau

“Baiklah, ibu izinkan. Cepatlah kembali, ibu akan selalu menunggumu Nak,” kata
ibunya sambil menangis. Meski dengan berat hati akhirnya Mande Rubayah mengizinkan
anaknya pergi. Kemudian Malin dibekali dengan nasi berbungkus daun pisang sebanyak
tujuh bungkus, “Untuk bekalmu di perjalanan,” katanya sambil menyerahkannya pada Malin.
Setelah itu berangkatiah Malin Kundang ke tanah rantau meninggalkan ibunya sendirian.

Hari-hari terus berlalu, hari yang terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi dan
sore Mande Rubayah memandang ke laut, “Sudah sampai manakah kamu berlayar Nak?”
tanyanya dalam hati sambil terus memandang laut. la selalu mendo’akan anaknya agar selalu
selamat dan cepat kembali.

Beberapa waktu kemudian jika ada kapal yang datang merapat ia selalu menanyakan
kabar tentang anaknya. “Apakah kalian melihat anakku, Malin? Apakah dia baik-baik saja?
Kapan ia pulang?” tanyanya. Namun setiap ia bertanya pada awak kapal atau nahkoda tidak
pernah mendapatkan jawaban. Malin tidak pernah menitipkan barang atau pesan apapun
kepada ibunya.

Bertahun-tahun Mande Rubayah terus bertanya namun tak pernah ada jawaban hingga
tubuhnya semakin tua, kini ia jalannya mulai terbungkuk-bungkuk. Pada suatu hari Mande
Rubayah mendapat kabar dari nakhoda dulu membawa Malin, nahkoda itu memberi kabar
bahagia pada Mande Rubayah.

“Mande, tahukah kau, anakmu kini telah menikah dengan gadis cantik, putri seorang
bangsawan yang sangat kaya raya,” ucapnya saat itu.

“Malin cepatlah pulang kemari Nak, ibu sudah tua Malin, kapan kau pulang…,”
rintihnya pilu setiap malam. Ia yakin anaknya pasti datang. Benar saja tak berapa lama
kemudian di suatu hari yang cerah dari kejauhan tampak sebuah kapal yang megah nan indah
berlayar menuju pantai.

C. Maling Kundang telah menjadi saudagar sukses.

Orang kampung berkumpul, mereka mengira kapal itu milik seorang sultan atau
seorang pangeran. Mereka menyambutnya dengan gembira.Mande Rubayah amat gembira
mendengar hal itu, ia selalu berdoa agar anaknya selamat dan segera kembali menjenguknya,
sinar keceriaan mulai mengampirinya kembali. Namun hingga berbulan-bulan semenjak ia
menerima kabar Malin dari nahkoda itu, Malin tak kunjung kembali untuk menengoknya.

Ketika kapal itu mulai merapat, terlihat sepasang anak muda berdiri di anjungan.
Pakaian mereka berkiiauan terkena sinar matahari. Wajah mereka cerah dihiasi senyum
karena bahagia disambut dengan meriah.

Mande Rubayah juga ikut berdesakan mendekati kapal. Jantungnya berdebar keras
saat melihat lelaki muda yang berada di kapal itu, ia sangat yakin sekali bahwa lelaki muda
itu adalah anaknya, Malin Kundang. Belum sempat para sesepuh kampung menyambut, Ibu
Malin terlebih dahulu menghampiri Malin. la langsung memeluknya erat, ia takut kehilangan
anaknya lagi.

“Malin, anakku. Kau benar anakku kan?” katanya menahan isak tangis karena
gembira, “Mengapa begitu lamanya kau tidak memberi kabar?”

D. Malin Kundang durhaka pada ibunya.

Malin terkejut karena dipeluk wanita tua renta yang berpakaian compang—camping
itu. Ia tak percaya bahwa wanita itu adalah ibunya. Sebelum dia sempat berpikir berbicara,
istrinya yang cantik itu meludah sambil berkata, “Wanita jelek inikah ibumu? Mengapa
dahulu kau bohong padaku!” ucapnya sinis, “Bukankah dulu kau katakan bahwa ibumu
adalah seorang bangsawan yang sederajat denganku?!”
Mendengar kata-kata pedas istrinya, Malin Kundang langsung mendorong ibunya
hingga terguling ke pasir, “Wanita gila! Aku bukan anakmu!” ucapnya kasar.

Mande Rubayah tidak percaya akan perilaku anaknya, ia jatuh terduduk sambil
berkata, “Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, Nak! Mengapa kau jadi seperti ini Nak?!”
Malin Kundang tidak memperdulikan perkataan ibunya. Dia tidak akan mengakui ibunya. la
malu kepada istrinya. Melihat wanita itu beringsut hendak memeluk kakinya, Malin
menendangnya sambil berkata, “Hai, wanita gila! lbuku tidak seperti engkau! Melarat dan
kotor!” Wanita tua itu terkapar di pasir, menangis, dan sakit hati.

Orang-orang yang meilhatnya ikut terpana dan kemudian pulang ke rumah masing-
masing. Mande Rubayah pingsan dan terbaring sendiri. Ketika ia sadar, Pantai Air Manis
sudah sepi. Dilihatnya kapal Malin semakin menjauh. Ia tak menyangka Malin yang dulu
disayangi tega berbuat demikian.

E. Maling Kundang dikutuk menjadi batu.

Hatinya perih dan sakit, lalu tangannya ditengadahkannya ke langit. Ia kemudian


berdoa dengan hatinya yang pilu, “Ya, Tuhan, kalau memang dia bukan anakku, aku
maafhan perbuatannya tadi. Tapi kalau memang dia benar anakku yang bernama Malin
Kundang, aku mohon keadilanmu, Ya Tuhan!” ucapnya pilu sambil menangis. Tak lama
kemudian cuaca di tengah laut yang tadinya cerah, mendadak berubah menjadi gelap. Hujan
tiba-tiba turun dengan teramat lebatnya.

Tiba-tiba datanglah badai besar, menghantam kapal Malin Kundang. Laiu sambaran
petir yang menggelegar. Saat itu juga kapal hancur berkeping- keping. Kemudian terbawa
ombak hingga ke pantai.

Esoknya saat matahari pagi muncul di ufuk timur, badai telah reda. Di kaki bukit
terlihat kepingan kapal yang telah menjadi batu. Itulah kapal Malin Kundang! Tampak
sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia.

Itulah tubuh Malin Kundang anak durhaka yang kena kutuk ibunya menjadi batu
karena telah durhaka. Disela-sela batu itu berenang-renang ikan teri, ikan belanak, dan ikan
tengiri. Konon, ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus mencari Malin
Kundang.

Sampai sekarang jika ada ombak besar menghantam batu-batu yang mirip kapal dan
manusia itu, terdengar bunyi seperti lolongan jeritan manusia, terkadang bunyinya seperti
orang meratap menyesali diri, “Ampun, Bu…! Ampuun!” konon itulah suara si Malin
Kundang, anak yang durhaka pada ibunya.

Anda mungkin juga menyukai