Anda di halaman 1dari 3

Nama: Annisa Prameswari

NIM: 22/503260/KU/24161

Penyakit menular seksual (PMS), atau yang biasa disebut juga sebagai penyakit
kelamin, merupakan suatu penyakit yang infeksinya ditularkan melalui hubungan
seksual, baik secara anal, vaginal, maupun oral. Tidak hanya melalui hubungan seksual
saja, penyakit-penyakit tersebut juga ternyata dapat ditularkan melalui cara lain,
contohnya dari ibu hamil kepada janin yang di kandungnya, selain itu juga dapat
menular melalui penggunaan jarum suntik bekas yang tidak steril. Ada banyak jenis dari
penyakit seksual, baik yang disebabkan oleh bakteri, virus, maupun jamur, yaitu ada
HIV AIDS, sifilis, chlamydiasis, gonorrhoeae, HPV, dst. Tidak sedikit dari penyakit-
penyakit tersebut memiliki tingkat fatalitas tinggi terlebih lagi jika tidak diobati. Pada
penyakit tertentu seperti sifilis, jika terjadi pada ibu hamil dan tidak segera dilakukan
pengobatan, maka dapat menyebabkan sifilis kongenital terhadap janinnya, yang mana
dampak kerusakan pada janin tersebut bahkan jauh lebih parah dan fatal. Maka dari itu,
edukasi terhadap masyarakat mengenai penyakit menular seksual ini sangat penting
untuk dilakukan.

Terdapat upaya pemerintah dalam rangka pencegahan dan pengendalian penyakit


menular seksual tersebut, seperti yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit, dr. Anung Sugihantono, M.Kes, dalam rapat kerja
kesehatan nasional (rakerkesnas) tahun 2020 mengenai Arah dan Kebijakan Program
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Tahun 2020-2024, HIV AIDS menjadi
salah satu penyakit yang menjadi perhatian khusus. Tentu ada berbagai tantangan dalam
upaya ini, salah satunya adalah yang disebabkan oleh stigma kurang baik yang
berkembang di masyarakat terhadap mereka yang mengidap penyakit menular seksual
ini sehingga seringkali para penderita menganggap penyakit yang dideritanya sebagai
sebuah “aib” sehingga membuat di antaranya enggan untuk mengakses pelayanan
kesehatan terkait penyakit mereka. Sekalipun telah datang ke pelayanan kesehatan, pada
situasi tertentu, misalnya pada pasien yang akan menikah, dan ternyata mengidap
penyakit menular seksual, pasien tersebut cenderung lebih memilih untuk
merahasiakannya dari calon pasangannya, padahal hal tersebut tentu dapat
meningkatkan risiko penularan karena tidak dilakukannya upaya pencegahan khusus.
Hal ini menjadi dilemma bagi tenaga kesehatan, di satu sisi, tenaga kesehatan misalnya
dokter, wajib untuk memberikan edukasi dan nasihat bagi pasien dengan PMS untuk
memberi tahu pasangan mereka terkait penyakit yang diderita dengan telah
Nama: Annisa Prameswari
NIM: 22/503260/KU/24161

mempertimbangkan segala keuntungan serta kerugiannya, di sisi lain, keputusan untuk


memberi tahu keluarga/pasangannya atau tidak pun itu sepenuhnya berada di tangan
pasien, sesuai dengan salah satu kaidah dasar bioetik, yaitu respect for autonomy.

Dalam dunia medis, setiap harinya dihadapkan dengan pilihan yang berkaitan
dengan etika dalam penyediaan perawatan kesehatan bagi setiap orang, salah satu
contohnya seperti situasi yang telah disebutkan sebelumnya. Pilihan-pilihan tersebut
seringkali disebabkan oleh adanya perbedaan nilai-nilai serta latar belakang dalam
kehidupan masyarakat yang prulalistik dan multikultural. Ketika terjadi suatu konflik
yang menyebabkan kebingungan, perlu ada suatu pedoman yang diterima secara luas
oleh masyarakat dengan latar belakang yang berbeda-beda tersebut. Meskipun prinsip-
prinsip ini tidak selalu mutlak dan bersifat situasional kondisional, prinsip-prinsip ini
tetaplah sangat penting sebagai panduan tindakan yang kuat dalam dunia medis. Prinsip-
prinsip inilah yang disebut dengan empat kaidah dasar bioetik, yaitu respect for
autonomy (menghormati hak otonomi pasien), nonmaleficence (tidak menimbulkan
bahaya/mudharat terhadap pasien), beneficence (berusaha melakukan yang terbaik), dan
justice (keadilan). Yang akan dibahas lebih dalam menyangkut privasi pasien penyakit
menular seksual adalah kaidah respect for autonomy.

Berdasarkan kode etik kedokteran Indonesia, pasal 16, disebutkan bahwa setiap
dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. Dari pasal tersebut, sangat jelas bahwa
setiap dokter bertanggung jawab atas kerahasiaan informasi pasien yang diketahui baik
yang bersifat data administratif maupun rekam medis, menyalahgunakan informasi
pasien demi kepentingan pribadi tentunya tidak dibenarkan. Tidak terkecuali pada
pasien penyakit menular seksual yang ingin menjaga privasinya. Di sisi lain, dokter juga
mempunyai kewajiban untuk mempertimbangkan hal/tindakan yang terbaik bagi
pasiennya kemudian mengkomunikasikannya terhadap pasien dengan menyertakan
manfaat maupun risiko dari tindakan tersebut, hal ini bisa disebut juga sebagai informed
consent.

Dalam melakukan informed consent, dokter juga harus memperhatikan latar


belakang dari pasiennya, seperti pendidikan dan status sosial ekonominya. Pada pasien
dengan status sosial yang tinggi atau terpandang, dokter biasanya harus lebih berhati-
Nama: Annisa Prameswari
NIM: 22/503260/KU/24161

hati agar dalam melakukan informed consent pasien tidak merasa dijatuhkan. Apa yang
dokter komunikasikan terhadap pasien harus murni semata-mata demi kebaikan pasien.
Alangkah baiknya keluarga pasien penyakit menular seksual, terutama pasangan
pasien, mengetahui kondisi pasien sehingga dapat mendukung pasien dalam pengobatan
yang dijalani juga untuk mencegah penularan yang tidak diinginkan mengingat risiko
fatal yang seringkli terjadi apabila penyakit menular seksual ini tidak tertangani dengan
baik. Selain itu, pada kasus ibu hamil yang dicurigai mengidap penyakit menular
seksual, dokter juga perlu memberikan informed consent terkait pemeriksaan seperti tes
HPV, tes HIV, dan juga tes sifilis. Dengan dilakukannya pemeriksaan tersebut, jika
terindikasi positif, diharapkan ibu hamil dan juga janinnya bisa mendapatkan
penanganan yang sesuai. Akan tetapi, kembali lagi pada dasar bioetika, yaitu autonomy,
di mana semua keputusan untuk menjalani apa yang tercantum dalam informed consent
itu berada sepenuhnya di tangan pasien.

Anda mungkin juga menyukai