Anda di halaman 1dari 34

ANALISIS MODEL ASUHAN KEBIDANAN

Disusun sebagai
Salah Satu Tugas Mata Kuliah Profesionalisme Kebidanan
Dosen Pengampu Dr. Yanti, S.SiT., M.Keb
Nama Mahasiswa : Arista Apriani
NIM/ KELAS : 1810102048/ B

PROGRAM STUDI S2 KEBIDANAN


UNIVERSITAS ’AISYIYAH YOGYAKARTA
TAHUN 2018

1. Mengemukakan model asuhan kebidanan yang terlaksana di Indonesia


saat ini serta kajian/ analisisnya dari sisi filosofi asuhan yang telah
disepakati internasional (mana yang telah sesuai dan mana yang belum
sesuai).
Menurut IBI (2003) filosofi kebidanan merupakan pandangan hidup
atau penuntun bagi bidan sebagai kerangka berfikir dalam memberikan
asuhan kebidanan, yang meliputi unsur-unsur yang terdapat dalam paradigma
kesehatan (manusia-perilaku, lingkungan dan pelayanan kesehatan). model
asuhan kebidanan dibuat berdasarkan filosofi bahwa kehamilan dan
persalinan merupakan sebuah hal yang fisiologis. Model asuhan kebidanan
yang berfokus pada perempuan (women centered care) dapat mengurangi
kejadian trauma dan kesakitan pada bayi dan operasi sectio caesaria. Model
pelayanan kebidanan yang diterapkan di Indonesia yang saya ketahui, yaitu :
a. Midwifery-led Care (Asuhan yang di Fasilitasi / Di pimpin Bidan).
Contohnya Bidan delima, dimana bidan yang melakukan praktek
yang telah terkualifikasi.
Berdasarkan Cochrane review midwife-led models evidence based,
yaitu : Model Asuhan “Midwifery Led Care” mengartikan bahwa
kehamilan dan kelahiran adalah peristiwa kehidupan yang normal dan
berpusat wanita, mencakup asuhan berkesinambungan, pemantauan fisik,
psikologis, spiritual dan sosial kesejahteraan perempuan dan keluarga di
seluruh siklus kesehatan reproduksi perempuan; menyediakan pendidikan
kesehatan individual, konseling dan antenatal care; pendampingan terus
menerus selama persalinan, kelahiran dan masa postpartum, dukungan
terus-menerus selama periode postnatal; meminimalkan intervensi
teknologi; dan mengidentifikasi dan merujuk wanita yang memerlukan
perhatian khusus obstetri atau lainnya.
Definisi midwife-led care adalah bidan merupakan seorang
pemimpin profesional yang menyediakan asuhan berkelanjutan mulai
dari perencanaan, pengorganisasian dan pemberian asuhan yang
diberikan kepada perempuan mulai dari kunjungan awal hingga masa
nifas. Menyediakan konsultasi oleh staf medis lain (obsgyn atau nakes
lain) pada beberapa kasus asuhan antenatal, intranatal dan postnatal
kolaborasi atau rujukan. Bidan merupakan pemimpin profesional yang
bertanggung jawab untuk menilai kebutuhan perempuan, merencanakan
asuhan, merujuk kepada tenaga profesional lain yang tersedia. Model
Mifwife led care bertujuan untuk menyediakan pelayanan tidak hanya di
masyarakat atau rumah sakit, pada perempuan sehat tanpa komplikasi
atau kehamilan dengan risiko rendah.
Area yang dikembangkan untuk Pusat Asuhan yang dipimpiin oleh
bidan, yaitu :
1) Persalinan normal lebih banyak di promosikan pada area asuhan.
2) Tempat persalinan tanpa obat-obatan.
3) Ruang kebidanan di RS (kamar bersalin, poli kebidanan, ruang nifas)
di atur dan di kelola oleh bidan.
4) Pada beberapa waktu, dokter dan bidan bekerjasama dengan
tanggung jawab yang sama.
5) Persalinan normal adalah tugas utama bidan, sedangkan di Rumah
Sakit tugas utama bidan untuk persalinan normal.
Menjaga persalinan tetap normal dengan cara menciptakan
lingkungan seperti di rumah, peralatan rs tidak nampak, membuat kamar
bersalin seperti di rumah. Menciptakan sikap positif tanpa intervensi
medikal. Pilihan tempat persalinan dan penolong termasuk rumah, RB
atau RSB. Perempuan punya kesempatan untuk mengenal bidan yang
akan menolonnya dan membina hubungan saling percaya. Mendidik dan
melatih bidan dan dokter untuk memperbaiki pengetahuan dan
kepercayaan diri tentang persalinan normal. Memberikan akses
pendidikan keluarga dan persiapan persalinan
Tugas bidan di pusat unit kebidanan yang dipimpinnya, yaitu :
Mendukung bidan dan Obsgyn pada area intrapartum, merencanakan
lebih banyak kenormalan yang dilakukan untuk setiap proses persalinan.
Tidak memberikan informasi yang tidak penting, membuat rencana
persalinan perindividu. Memberikan prioritas untuk mobilisasi dan
prilaku persalinan normal. Mendidik bidan dan dokter, membawa
kenormalan pada semua aspek asuhan, mengajar di universitas. Bekerja
mendampingi dokter obsgyn senior (konsultan). Work along side senior
Consultant Obstetricians to memperbaiki jumlah persalinan normal
termasuk memperbaiki kebijakan. Mempertahankan persalinan normal
pada semua setting pelayanan. Melakukan audit dan penelitian secara
periodik dan menginformasikan hasil kepada semua tim
Manajemen kehamilan berisiko, yaitu : hal penting untuk asuhan
yang dipimpin oleh bidan adalah memisahkan antara kasus berisiko dan
tidak berisiko (NSF 2004 & Maternity Matters 2007. NICE 2008
Midwifery twenty twenty, 2010). Penanganan segera pada kasus berisiko
yang harus dipimpin oleh dokter dan mudah di akses oleh bidan. Risiko
rendah di pimpin oleh bidan dan memberikan pelayanan berkelanjutan di
komunitas dengan bekerjasama oleh bidan di komunitas dan petugas
sosial (kader kesehatan). Alur mudah untuk perpindahan proses dari satu
penanganan ke penanganan lain dan sistem rujukan mudah di akses.
Apa yang di ubah, yaitu kebijakan, biaya dan perubahan medical
model.
1) Kebidanan modern adalah perilaku dan reaksi atas rasa sakit atau
ketidaknyamanan, beberapa perempuan membutuhkan penguatan
untuk menerima rasa sakit dan memciptakan rasa nyaman disekitar
perempuan termasuk bidan.
2) Menghilangkan intervensi yang tidak perlu, seperti anastesi, pain
killer, SC.
3) Perempuan mampu mengatur kebutuhan diri dan reproduksi mereka
sendiri dengan penguatan oleh bidan. Membantu pencapaian peran
ibu menjadi lebih mudah
Hasil studi tempat persalinan, yaitu : Intervensi menurun di area
asuhan yang dipimpin bidan, tidak ada perbedaan hasil untuk primi atau
multi pada tempat persalinan yang berbeda, perempuan di Unit
Kebidanan lebih sering mengalami persalinan normal, primigravida di
rumah akan lebih ringan mengatasi nyeri, biaya lebih murah karena tidak
ada intervensi.
Standar pelayanan kebidanan untuk mempromosikan kelahiran
normal adalah dengan tersedia bidan yang akan di kontak, persalinan
adalah pilihan untuk semua perempuan, perempuan seharusnya di layani
oleh orang yang mereka kenal, disertai kebijakan untuk asuhan
persalinan, rencana persalinan yang rinci, asuhan berkelanjutan yang
dilakukan oleh bidan yang dikenal, kebijakan yang sama pada semua
tempat, sistem rujukan yang mudah di akses.
Desain tempat persalinan dan persalinan di rumah dengan
pendekatan sosial budaya, yaitu dengan membuat kelompok bidan/ tim,
kelompok bidan yang memiliki otonomi penuh dan bertanggung jawab
untuk kelompok ibu hamil, bekerja berkesinambungan di komunitas dan
membangun kerjasama dengan masyarakat, pelayanan yang dilakukan
oleh tim untuk seluruh asuhan dan asuhan berkelanjutan bagi perempuan
termasuk persalinan dilakukan oleh bidan yang dikenal, rencana
persalinan yang realistik, mengelola keinginan ibu dengna lebih jelas dan
rencana jika terjadi kegawatdaruratan.
Kajian/ analisisnya dari sisi filosofi asuhan yang telah disepakati
internasional ACNM (1996) yang telah sesuai, yaitu :
1) Setiap individu mempunyai hak untuk meyakini bahwa setiap
individu mempunyai hak untuk merasa aman, mendapatkan
pelayanan kesehatan yang memuaskan dengan memperhatikan
martabatnya,.
2) Bidan meyakini bahwa kehamilan kehamilan, persalinan merupakan
proses yang normal.
3) Asuhan kebidanan di fokuskan kepada kebutuhan individu, keluarga
untuk perawatan fisik, emosi dan hubungan sosial.
4) Klien ikut terlibat dalam menentukan pilihan.
Kajian/ analisisnya dari sisi filosofi asuhan yang telah disepakati
internasional ACNM (1996) yang belum sesuai, yaitu :
1) Asuhan kebidanan berkesinambungan menguatamakan keamanan,
kemampuan klinis dan tanpa intervensi pada proses yang normal.
Dimana masih terdapat persalinan normal tidak dapat dilakukan
dimana saja dan difasilitasi oleh bidan yang dikenal dengan setting
seperti rumah sendiri, masih jarangnya perempuan melaporkan
pengalaman asuhan kebidanan termasuk kepuasan ibu mengenai
informasi, saran, penjelasan, tempat persalinan dan persiapan untuk
persalinan dan kelahiran, serta persepsi pilihan untuk meredakan
nyeri dan evaluasi tingkah laku pemberi asuhan, kepuasan dalam
berbagai aspek asuhan kebidanan. Belum tersedianya asuhan
berkelanjutan yang dilakukan oleh kelompok bidan dengan berbagi
tugas, perempuan akan menerima asuhan dari beberapa bidan
sebagai tim kebidanan, jumlah bervariasi, menawarkan
kesinambungan hubungan yang yang lebih besar dari waktu ke
waktu, dengan memastikan bahwa seorang perempuan yang
melahirkan menerima asuhan antenatal, intra dan postnatal nya dari
satu bidan atau / pasangannya praktek nya (Obsgyn).
2) Meningkatkan pendidikan pada perempuan sepanjang siklus
kehidupan.
b. Community Midwifery/Home Birth
Pelayanan kebidanan komunitas dikembangkan di Indonesia
dimana bidan sebagai ujung tombak pemberi pelayanan
kebidanan komunitas. Bidan yang bekerja melayani keluarga dan
masyarakat di wilayah tertentu disebut bidan komunitas (community
midwife) (Syahlan, 1996 : 12). Di Indonesia istilah “bidan komunitas”
tidak lazim digunakan sebagai panggilan bagi bidan yang bekerja di luar
Rumah Sakit. Secara umum di Indonesia seorang bidan yang bekerja di
masyarakat termasuk bidan desa dikenal sebagai bidan komunitas.
Sampai saat ini belum ada pendidikan khusus untuk menghasilkan
tenaga bidan yang bekerja di komuniti. Pendidikan yang ada sekarang ini
diarahkan untuk menghasilkan bidan yang mampu bekerja di desa.
Pendidikan tersebut adalah program Diploma III Kebidanan : lama
pendidikan 3 tahun, berasal dari lulusan SMU. Kurikulum
pendidikan bidan tersebut diatas disiapkan sedemikian rupa
sehingga bidan yang dihasilkan mampu memberikan pelayanan kepada
ibu dan anak balita di masyarakat terutama di desa. Disamping itu
Kepartemen Kesehatan melatih para bidan yang telah dan akan bekerja
untuk memperkenalkan kondisi dan masalah kesehatan serta
penanggulangannya di desa terutama berkaitan dengan kesehatan ibu dan
anak balita. Mereka juga mendapat kesempatan dalam berbagai kegiatan
untuk mengembangkan kemampuan, seperti pertemuan ilmiah baik
dilakukan oleh pemerintah maupun oleh organisasi profesi seperti
IBI. Bidan yang bekerja di desa, puskesmas, puskesmas pembantu;
dilihat dari tugasnya berfungsi sebagai bidan komunitas (Syahlan, 1996 :
13).
Menurut (Syahlan, 1996 : 16) Komuniti adalah sasaran pelayanan
kebidanan komunitas. Di dalam komuniti terdapat kumpulan individu
yang membentuk keluarga atau kelompok masyarakat dan sasaran utama
pelayanan kebidanan komunitas adalah ibu dan anak. Menurut UU No.
23 tahun 1992 tentang kesehatan, yang dimaksud dengan keluarga adalah
suami, istri, anak dan anggota keluarga lainnya.
Ibu : pra kehamilan, kehamilan, persalinan, nifas dan masa
interval. Anak : meningkatkan kesehatan anak dalam kandungan, bayi,
balita, pra sekolah dan sekolah. Keluarga : pelayanan ibu dan anak
termasuk kontrasepsi, pemeliharaan anak, pemeliharaan ibu
sesudah persalinan, perbaikan gizi, imunisasi dan kelompok lansia
(gangrep). Masyarakat (community): remaja, calon ibu dan kelompok
ibu. Sasaran pelayanan kebidanan komunitas adalah individu, keluarga
dan masyarakat baik yang sehat, sakit maupun yang mempunyai masalah
kesehatan secara umum (Meilani, Niken dkk, 2009 : 9).
Tujuan Pelayanan Kebidanan Komunitas, yaitu : pelayanan
kebidanan komunitas adalah bagian dari upaya kesehatan keluarga.
Kesehatan keluarga merupakan salah satu kegiatan dari upaya kesehatan
di masyarakat yang ditujukan kepada keluarga. Penyelenggaraan
kesehatan keluarga bertujuan untuk mewujudkan keluarga kecil, sehat,
bahagia dan sejahtera. Kesehatan anak diselenggarakan untuk
mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan anak. Jadi tujuan dari
pelayanan kebidanan komunitas adalah meningkatkan kesehatan ibu dan
anak balita di dalam keluarga sehingga terwujud keluarga sehat sejahtera
dalam komunitas tertentu.
Pelayanan kebidanan komunitas dilakukan di luar rumah sakit dan
merupakan bagian atau kelanjutan dari pelayanan kebidanan yang di
berikan rumah sakit. Misalnya : ibu yang melahirkan di rumah sakit dan
setelah 3 hari kembali ke rumah. Pelayanan di rumah
oleh bidan merupakan kegiatan kebidanan komunitas. Pelayanan
kesehatan ibu dan anak di Puskesmas, kunjungan rumah dan melayani
kesehatan ibu dan anak di lingkungan keluarga merupakan kegiatan
kebidanan komunitas.
Sebagai bidan yang bekerja di komunitas maka bidan harus
memahami perannya di komunitas, yaitu :
1) Sebagai Pendidik
Dalam hal ini bidan berperan sebagai pendidik di masyarakat.
Sebagai pendidik, bidan berupaya merubah perilaku komunitas di
wilayah kerjanya sesuai dengan kaidah kesehatan. Tindakan yang
dapat dilakukan oleh bidan di komunitas dalam berperan sebagai
pendidik masyarakat antara lain dengan memberikan penyuluhan
di bidang kesehatan khususnya kesehatan ibu, anak dan keluarga.
Penyuluhan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti
ceramah, bimbingan, diskusi, demonstrasi dan sebagainya yang mana
cara tersebut merupakan penyuluhan secara langsung. Sedangkan
penyuluhan yang tidak langsung misalnya dengan poster, leaflet,
spanduk dan sebagainya.
2) Sebagai Pelaksana (Provider)
Sesuai dengan tugas pokok bidan adalah memberikan
pelayanan kebidanan kepada komunitas. Disini bidan bertindak
sebagai pelaksana pelayanan kebidanan. Sebagai
pelaksana, bidan harus menguasai pengetahuan dan teknologi
kebidanan serta melakukan kegiatan sebagai berikut : Bimbingan
terhadap kelompok remaja masa pra perkawinan. Pemeliharaan
kesehatan ibu hamil, bersalin, nifas, menyusui dan masa interval
dalam keluarga. Pertolongan persalinan di rumah. Tindakan
pertolongan pertama pada kasus kebidanan dengan resiko tinggi di
keluarga. Pengobatan keluarga sesuai kewenangan. Pemeliharaan
kesehatan kelompok wanita dengan gangguan reproduksi.
Pemeliharaan kesehatan anak balita.
3) Sebagai Pengelola
Sesuai dengan kewenangannya bidan dapat melaksanakan
kegiatan praktek mandiri. Bidan dapat mengelola sendiri pelayanan
yang dilakukannya. Peran bidan di sini adalah sebagai pengelola
kegiatan kebidanan di unit puskesmas, polindes, posyandu dan
praktek bidan. Sebagai pengelola bidan memimpin dan
mendayagunakan bidan lain atau tenaga kesehatan yang
pendidikannya lebih rendah. Contoh : praktek mandiri/ BPS
4) Sebagai Peneliti
Bidan perlu mengkaji perkembangan kesehatan pasien yang
dilayaninya, perkembangan keluarga dan masyarakat. Secara
sederhana bidan dapat memberikan kesimpulan atau hipotesis dan
hasil analisanya. Sehingga bila peran ini dilakukan oleh bidan, maka
ia dapat mengetahui secara cepat tentang permasalahan komuniti
yang dilayaninya dan dapat pula dengan segera melaksanakan
tindakan.
5) Sebagai Pemberdaya
Bidan perlu melibatkan individu, keluarga dan masyarakat
dalam memecahkan permasalahan yang terjadi. Bidan perlu
menggerakkan individu, keluarga dan masyarakat untuk ikut
berperan serta dalam upaya pemeliharaan kesehatan diri sendiri,
keluarga maupun masyarakat.
6) Sebagai Pembela klien (advokat)
Peran bidan sebagai penasehat didefinisikan sebagai kegiatan
memberi informasi dan sokongan kepada seseorang sehingga mampu
membuat keputusan yang terbaik dan memungkinkan bagi dirinya.
7) Sebagai Kolaborator
Kolaborasi dengan disiplin ilmu lain baik lintas program
maupun sektoral.
8) Sebagai Perencana
Melakukan bentuk perencanaan pelayanan kebidanan individu
dan keluarga serta berpartisipasi dalam perencanaan program di
masyarakat luas untuk suatu kebutuhan tertentu yang ada kaitannya
dengan kesehatan. (Syafrudin dan Hamidah, 2009 : 8). Dalam
memberikan pelayanan kesehatan masyarakat bidan sewaktu – waktu
bekerja dalam tim, misalnya kegiatan Puskesmas Keliling, dimana
salah satu anggotanya adalah bidan.
Beberapa jaringan kerja bidan di komunitas yaitu Puskesmas/
Puskesmas Pembantu, Polindes, Posyandu, BPS,  Rumah pasien, Dasa
Wisma, PKK. (Syahlan, 1996 : 235). Di puskesmas bidan sebagai
anggota tim bidan diharapkan dapat mengenali kegiatan yang akan
dilakukan, mengenali dan menguasai fungsi dan tugas masing –
masing,    selalu berkomunikasi dengan pimpinan dan anggota lainnya,
memberi dan menerima saran serta turut bertanggung jawab atas
keseluruhan kegiatan tim dan hasilnya. Di Polindes, Posyandu, BPS dan
rumah pasien, bidan merupakan pimpinan tim/ leader di
mana bidan diharapkan mampu berperan sebagai pengelola sekaligus
pelaksana kegiatan kebidanan di komunitas. Dalam jaringan
kerja bidan di komunitas diperlukan kerjasama lintas program dan lintas
sektor. Kerjasama lintas program merupakan bentuk kerjasama yang
dilaksanakan di dalam satu instansi terkait, misalnya : imunisasi,
pemberian tablet FE, Vitamin A, PMT dan sebagainya. Sedangkan
kerjasama lintas sektor merupakan kerjasama yang melibatkan institusi/
departemen lain, misalnya : Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS),
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dan sebagainya.
Kajian/ analisisnya dari sisi filosofi asuhan yang telah disepakati
internasional ACNM (1996) yang telah sesuai, yaitu :
1) Setiap individu mempunyai hak untuk meyakini bahwa setiap
individu mempunyai hak untuk merasa aman, mendapatkan
pelayanan kesehatan yang memuaskan dengan memperhatikan
martabatnya,.
2) Bidan meyakini bahwa kehamilan kehamilan, persalinan merupakan
proses yang normal.
3) Asuhan kebidanan di fokuskan kepada kebutuhan individu, keluarga
untuk perawatan fisik, emosi dan hubungan sosial.
4) Klien ikut terlibat dalam menentukan pilihan.
5) Meningkatkan pendidikan pada perempuan sepanjang siklus
kehidupan.
Kajian/ analisisnya dari sisi filosofi asuhan yang telah disepakati
internasional ACNM (1996) yang belum sesuai, yaitu :
1) Asuhan kebidanan berkesinambungan mengutamakan keamanan,
kemampuan klinis dan tanpa intervensi pada proses yang normal.
Sampai saat ini belum ada pendidikan khusus untuk
menghasilkan tenaga bidan yang bekerja di komuniti. Sasaran
pelayanan kebidanan komunitas adalah individu, keluarga dan
masyarakat baik yang sehat, sakit maupun yang mempunyai masalah
kesehatan secara umum.
c. Obstetric-led Care
Model Pelayanan kebidanan dimana bidan berkolaborasi dengan
dokter spesialis kebidanan untuk menjamin kliennya menerima
pelayanan yang baik bila terjadi sesuatu dalam asuhan. Sebagian besar
kehamilan dikelola oleh program yang dipimpin bidan, tetapi jika
memiliki risiko kehamilan yang lebih tinggi, misalnya klien memiliki
masalah kesehatan seperti diabetes, ada riwayat keluarga berisiko tinggi,
atau kehamilan kembar, maka klien dapat pindah atau dirujuk untuk
perawatan yang dipimpin ahli kandungan. Ini berarti klien akan selalu
menemui dokter kandungan di rumah sakit untuk setiap perjanjian. Dia
akan meninjau catatan medis klien, mengatur pemindaian tambahan dan
jika perlu membahas kebutuhan medis bayi sebelum dan sesudah
kelahiran.
Kajian/ analisisnya dari sisi filosofi asuhan yang telah disepakati
internasional ACNM (1996) yang telah sesuai, yaitu :
1) Setiap individu mempunyai hak untuk meyakini bahwa setiap
individu mempunyai hak untuk merasa aman, mendapatkan
pelayanan kesehatan yang memuaskan dengan memperhatikan
martabatnya.
2) Klien ikut terlibat dalam menentukan pilihan.
3) Asuhan kebidanan berkesinambungan mengutamakan keamanan,
kemampuan klinis dan tanpa intervensi pada proses yang normal.
Kajian/ analisisnya dari sisi filosofi asuhan yang telah disepakati
internasional ACNM (1996) yang belum sesuai, yaitu :
1) Bidan meyakini bahwa kehamilan kehamilan, persalinan merupakan
proses yang normal.
2) Asuhan kebidanan di fokuskan kepada kebutuhan individu, keluarga
untuk perawatan fisik, emosi dan hubungan sosial. Bila klien dirujuk
ke dokter kandungan swasta sangat populer dan perlu membuat
keputusan cepat. Pemeriksaan antenatal akan dilakukan di ruang
konsultasi pribadi mereka. Janji cenderung singkat (10 menit) dan
fokus pada aspek fisik dari kehamilanseperti mengambil tekanan
darah Anda, memeriksa urin untuk protein dan glukosa dan
memeriksa bahwa pertumbuhan bayi Anda berada di jalurnya.
3) Meningkatkan pendidikan pada perempuan sepanjang siklus
kehidupan.
d. Non-NHS Midwifery Care
Model pelayanan kebidanan yang dilakukan oleh bidan secara
independen sesuai dengan standard an memiliki izin/legalitas. Di
Indonesia telah diterapkan yaitu Praktik Mandiri Bidan (PMB). Menurut
PerMenKes RI No.28 Tahun 2017 tentang Izin dan Penyelenggaraan
Praktik Bidan, Praktik Mandiri Bidan adalah tempat pelaksanaan
rangkaian kegiatan pelayanan kebidanan yang dilakukan oleh Bidan
secara perorangan.
Praktik Bidan adalah serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan
yang diberikan oleh bidan kepada pasien (individu, keluarga dan
masyarakat) sesuai dengan kewenangan dan kemampuannya. PMB
merupakan bentuk pelayanan kesehatan dibidang kesehatan dasar. Dasar
hukum UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, KepMenKes
No.369/Menkes/SK/III/2007 tentang standar profesi bidan, PerMenKes
RI No.28 Tahun 2017 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan.
Kajian/ analisisnya dari sisi filosofi asuhan yang telah disepakati
internasional ACNM (1996) yang telah sesuai, yaitu :
1) Setiap individu mempunyai hak untuk meyakini bahwa setiap
individu mempunyai hak untuk merasa aman, mendapatkan
pelayanan kesehatan yang memuaskan dengan memperhatikan
martabatnya.
2) Bidan meyakini bahwa kehamilan kehamilan, persalinan merupakan
proses yang normal.
3) Klien ikut terlibat dalam menentukan pilihan.
4) Asuhan kebidanan berkesinambungan mengutamakan keamanan,
kemampuan klinis dan tanpa intervensi pada proses yang normal.
Kajian/ analisisnya dari sisi filosofi asuhan yang telah disepakati
internasional ACNM (1996) yang belum sesuai, yaitu :
1) Asuhan kebidanan di fokuskan kepada kebutuhan individu, keluarga
untuk perawatan fisik, emosi dan hubungan sosial.
2) Meningkatkan pendidikan pada perempuan sepanjang siklus
kehidupan.
e. Multidisciplinary Care
Sejumlah tim multi-profesional bekerjasama untuk
penatalaksanaan kehamilan kompleks sampai perawatan bersalin. Bidan
memainkan peran kunci dalam melakukan pelayanan di masa kehamilan
dan persiapan menjadi orang tua. Misalnya pelayanan bidan di RSIA
yang melibatkan profesi lain dalam memberikan asuhan yang
berkesinambungan. terjadi ketika para profesional dari berbagai disiplin
ilmu dengan keterampilan, pengetahuan, dan pengalaman yang berbeda
namun saling melengkapi bekerja sama untuk memberikan layanan
kesehatan komprehensif yang bertujuan memberikan hasil terbaik untuk
kebutuhan fisik dan psikososial pasien dan perawatan mereka. Karena
kebutuhan pasien dapat berubah seiring waktu, komposisi tim juga dapat
berubah untuk memenuhi kebutuhan ini.
Kajian/ analisisnya dari sisi filosofi asuhan yang telah disepakati
internasional ACNM (1996) yang telah sesuai, yaitu :
1) Setiap individu mempunyai hak untuk meyakini bahwa setiap
individu mempunyai hak untuk merasa aman, mendapatkan
pelayanan kesehatan yang memuaskan dengan memperhatikan
martabatnya.
2) Asuhan kebidanan berkesinambungan mengutamakan keamanan,
kemampuan klinis dan tanpa intervensi pada proses yang normal.
Kajian/ analisisnya dari sisi filosofi asuhan yang telah disepakati
internasional ACNM (1996) yang belum sesuai, yaitu :
1) Bidan meyakini bahwa kehamilan kehamilan, persalinan merupakan
proses yang normal.
2) Klien ikut terlibat dalam menentukan pilihan.
3) Asuhan kebidanan di fokuskan kepada kebutuhan individu, keluarga
untuk perawatan fisik, emosi dan hubungan sosial.
4) Meningkatkan pendidikan pada perempuan sepanjang siklus
kehidupan.
Filosopi asuhan kebidanan yang telah disepakati di Internasional yaitu
model asuhan kebidanan yang berfokus pada perempuan (women centered
care) dimana memberikan prioritas pada kebutuhan dan harapan perempuan,
yang menekankan pentingnya informed choice, continuity of care, user
involvement, clinical effectiveness, dan responsiveness accessibility.  Menurut
saya model asuhan ini sangat tepat yaitu asuhan yang berfokus pada
perempuan, sesuai dengan keinginan pasien tanpa meninggalkan aspek
kebutuhan perempuan tersebut, namun penerapannya di Indonesia penerapan
asuhan kebidanan ini masih belum maksimal dalam implementasinya.
Sepertinya terlalu banyaknya klien yang datang, membuat kita bertanya
apakah efektif pelayanan yang diberikan dengan waktu yang terbatas? dan
fenomen kasus kebidanan keterlambatan pengambilan keputusan mencuat
menjadi faktor penyebab kematian ibu. Menurut WHO (2009) sebagian
kematian ibu yang terjadi dapat dihindari apabila tersedia tenaga pertolongan
persalinan yang terampil. Kompetensi adalah prasyarat untuk praktek –
praktek terbaik dan memastikan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan
ibu (Canavan dalam Cham et al, 2008). Menurut Depkes (2008) bahwa
Tingginya kasus kematian ibu diidentifikasikan pula sebagai akibat tidak
langsungdari kondisi “tiga terlambat” yaitu; terlambat dalam mengenal tanda
bahaya dan mengambil keputusan di tingkat keluarga, terlambat mencapai
tempat pelayanan, dan terlambat mendapatkan pertolongan medis yang
memadai (Depkes, 2008). Menurut Sugiarto (2002) salah satu faktor yang
mempengaruhi kualitas pelayanan yaitu memberikan pelayanan yang
efisien  dimana pelayanan dilakukan dengan efektif dan efesien. Merujuk dari
hal tersebut menurut saya perlu adanya perbaikan system pelayanan
kebidanan dengan pengaturan standar pasien yang ditangani dalam kurun
waktu tertentu misalnya dalam 1 bulan atau per tahun, sehingga pelayanan
kebidanan yang berfokus pada perempuan (women centered care) yang
berkulias yang menekankan pentingnya informed choice, continuity of care,
user involvement, clinical effectiveness,  responsiveness dan accessibility.
2. Mengemukakan beberapa program pemerintah yang telah diupayakan
beserta analisis implementasinya saat ini (disertai hasil-hasil penelitian
yang telah ada), apakah sudah berjalan dengan optimal atau belum? Apa
yang menjadi kendala pelaksanaannya? Apa saja upaya untuk
optimalisasi pelaksanaan program ?
a. Program Bidan Desa.
Sebuah fitur penting dalam program Indonesia sejak akhir tahun
1980an adalah peningkatan besar-besaran jumlah bidan. Antara 1991 dan
2012 persalinan oleh bidan meningkat dari 29% menjadi 62% (BPS, 2012
dan Central Bureau of Statistics, 1992). Persalinan oleh bidan di tiga
tingkat terendah meningkat 31%, di tingkat ke 4, 10%. Di tingkat terkaya,
ada penurunan 12% karena banyak perempuan beralih ke dokter saat
melahirkan, di pertengahan tahun 2000an, 20% persalinan dibantu oleh
dokter ahli kebidanan. Program Bidan Desa adalah fokus dari upaya
peningkatan ini. Para bidan harus menyediakan sejumlah layanan
perawatan dasar, termasuk layanan antenatal, persalinan, kelahiran dan
pelayanan pascapersalinan, promosi dan layanan keluarga berencana, serta
layanan kesehatan dasar lainnya bagi bayi baru lahir dan anak-anak. Di
tahap awal pelaksanaan, program ini mensyaratkan bahwa seorang bidan
terlatih menjalani satu tahun pelatihan kebidanan setelah sembilan tahun
bersekolah dan tiga tahun pendidikan keperawatan. Di pertengahan 90an,
pelatihan kebidanan ditawarkan melalui politeknik kebidanan program D3
(yang merupakan perpanjangan program D1). Lulusan sekolah kebidanan
yang baru kemudian dikontrak tiga tahun oleh pemerintah; saat kontrak
mereka habis, mereka dapat mengajukan untuk ditempatkan di daerah yang
belum memiliki bidan PNS, atau melamar satu posisi pada pemerintah
daerah.
Program Bidan Desa menarik para perempuan yang melihat
pekerjaan sebagai bidan sebagai kesempatan untuk membuka 2 praktik
sekaligus. Potensi mendapatkan karir, penghasilan yang bagus, dan
pekerjaan yang memungkinkan mereka tetap memperhatikan keluarga,
adalah hal yang menarik bagi banyak perempuan (Ensor et al, 2008).
Program ini mendorong timbulnya peningkatan jumlah Akademi
Kebidanan dan sebelum 2008 ada hampir 600 sekolah kebidanan di seluruh
Indonesia. Cepatnya peningkatan jumlah sekolah kebidanan ini membuat
tempat-tempat pelatihan dan tenaga pengajar klinisnya kewalahan
menghadapi besarnya permintaan dan para bidan dilaporkan lulus dari
sekolah-sekolah ini tanpa secara aktif terlibat membantu proses persalinan
(Rokx et al, 2010). Lebih dari 54.000 bidan telah ditempatkan sebelum
1997 dan sekitar 20.000 klinik bersalin desa telah didirikan (12 per 1000
kelahiran yang diharapkan) di seluruh Indonesia. Sebelum tahun 2012,
jumlah bidan meningkat menjadi 135.000: 31 per 1000 kelahiran yang
diharapkan (IBI, 2012). Karena saat itu tidak ada proses registrasi yang
memadai, mungkin jumlah ini sebetulnya lebih tinggi, karena separuh
jumlah bidan bekerja sebagai bidan desa sementara yang lain bekerja di
puskesmas atau praktik swasta. Meningkatnya pasokan bidan menyebabkan
meningkatnya permintaan akan layanan kebidanan (BAPPENAS, 2010).
Namun program ini bukannya tanpa kekurangan. Dalam proses tanya
jawab yang kerahasiaannya dijamin, di Jawa Barat, ditemukan bahwa
keterampilan diagnostik para bidan desa cukup baik namun penatausahaan
klinis terhadap komplikasi masih belum memenuhi standar (BAPPENAS,
2010). Tidak banyak, atau bahkan tidak ada informasi yang tersedia
mengenai penyediaan perawatan yang penuh kasih dan hormat, walaupun
informasi mengenai perawatan yang dari sisi teknis kurang memadai cukup
terdokumentasi dengan baik (The Word Bank, 2010; IBI, 2012; Ensor et al,
2008; BPS, 2008; Lerberghe, 2014; Australia Indonesia Partnership for
Maternal and Neonatal Health, 2008; Hort et al, 2011). Lambatnya
peningkatan dan perluasan program bidan desa dan berbagai kekurangan
yang ada terkait dengan kurangnya pelatihan dasar dan penempatan bidan
yang tidak memadai berkontribusi pada buruknya kinerja para bidan.
Banyak bidan yang ditempatkan telah ditugaskan di klinik desa yang ada di
daerah terpencil, atau bertugas di praktik swasta (atau keduanya). Semua
ini menuntut bidan melakukan tugas-tugas yang seringkali berada di luar
cakupan pelatihan kebidanan dasar. Kurangnya pendidikan lanjutan dan
volume kerja yang rendah memperburuk kinerja banyak bidan (bidan desa
hanya membantu sekitar 30 persalinan per tahun) (Australia Indonesia
Partnership for Maternal and Neonatal Health, 2008). Hal ini kemudian
berkontribusi pada kurangnya pengalaman menangani kedaruratan
kebidanan. Komunikasi yang buruk antara bidan dan fasilitas rujukan
tempat mereka harus merujuk pasien juga telah berkontribusi dalam
buruknya sistem rujukan. Selain itu, status kepegawaian bervariari – dari
PNS sampai staf kontrak jangka pendek (lokal dan nasional) sampai bidan
praktik swasta- dan karena itu pengawasan sering kali tidak memadai
(Lerberghe, 2014). Masalah lain belum ditangani. Penempatan bidan
dikoordinasikan secara kurang baik dengan ekspansi paralel jaringan RS
(22% peningkatan jumlah RS terjadi antara 1998 dan 2008, dengan
peningkatan paling banyak terjadi di RS besar (Hort et al, 2011)) dan
diteruskannya perluasan puskesmas dimulai selama 1980an. Jaringan
faskes sendiri terus menghadapi masalah koordinasi besar yang diperburuk
dengan bagaimana desentralisasi telah digulirkan. Sistem peralatan dan
logistik untuk layanan kesehatan ibu juga mengalami ketertinggalan. Tahun
2011, sebuah survey fasilitas nasional menunjukkan bahwa dari hampir
9000 puskesmas, hanya 19 dapat memberikan layanan EmONC, 20% tidak
memiliki transportasi untuk melakukan rujukan, dan kurang dari 50% dapat
menyediakan layanan 24 jam. Sementara 83% RSU memiliki paling tidak
satu dokter ahli kebidanan, hanya 21% memenuhi 9 kriteria menyeluruh
EmONC, termasuk sebuah ruang operasi, darah, laboratorium, layanan
radiologi yang tersedia selama 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu. Lebih
dari separuh jumlah itu kekurangan SDM yang berkualitas, peralatan dan
darah. Umpan balik dari presiden POGI adalah bahwa walaupun di
beberapa tempat sudah ada sumber daya namun kapasitas menggunakan
peralatan kadang-kadang merupakan masalah. Hal ini dapat disebabkan
oleh kurangnya rasa percaya diri dan/atau praktik dalam penggunaan
peralatan atau logistik khusus.
Pemerintah baru-baru ini meluncurkan beberapa langkah untuk
meningkatkan layanan RS dan Pusat Kesehatan. Langkah-langkah ini
meliputi rasionalisasi rekrutmen dan distribusi staf, akreditasi RS dan
puskesmas, pengenalan siklus perbaikan kualitas dan audit kesehatan ibu
dan bayi baru lahir, dan dukungan keuangan yang meningkat dari
pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mengurangi kesenjangan di
bidang infrastruktur, peralatan dan logistik (UNFPA, 2014).
b. Millenium Development Goals (MDGs).
Pada dasarnya MDGs merupakan suatu komitmen bersama para
pemimpin dunia negara-negara berkembang untuk bersama-sama
meningkatkan pembangunan nasionalnya. Komitmen internasional ini
menjadi acuan bagi pemerintah Indonesia dalam menyusun Rencana
Pembangunan Jangka Menengah. Peningkatan akses masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan, yang ditandai oleh meningkatnya angka harapan
hidup, menurunnya tingkat kematian bayi dan  kematian ibu melahirkan,
dan perbaikan status gizi, menjadi salah satu sasaran yang hendak dicapai
pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
MDGs adalah delapan tujuan yang diupayakan untuk dicapai pada
tahun 2015, merupakan tantangan tantangan utama dalam pembangunan
diseluruh dunia. Pada September 2000, Pemerintah Indonesia, bersama-
sama dengan 189 negara lain, berkumpul untuk menghadiri Pertemuan
Puncak Milenium di New York dan menandatangani Deklarasi Milenium.
Deklarasi berisi sebagai komitmen negara masing-masing dan komunitas
internasional untuk mencapai 8 buah sasaran pembangunan dalam
Milenium ini (MDGs), sebagai satu paket tujuan terukur untuk
pembangunan dan pengentasan kemiskinan.
Berikut adalah 8  buah sasaran pembangunan dalam Milenium ini
(MDGs) :
1) Pengentasan kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim.
Target untuk 2015: Mengurangi setengah dari penduduk dunia
yang berpenghasilan kurang dari 1 dolar AS sehari dan mengalami
kelaparan.
2) Pemerataan pendidikan dasar
Target untuk 2015: Memastikan bahwa setiap anak , baik laki-
laki dan perempuan mendapatkan dan menyelesaikan tahap pendidikan
dasar.
3) Mendukung adanya persaman jender dan pemberdayaan perempuan
Target 2005 dan 2015: Mengurangi perbedaan dan diskriminasi
gender dalam pendidikan dasar dan menengah terutama untuk tahun
2005 dan untuk semua tingkatan pada tahun 2015.
4) Mengurangi tingkat kematian anak
Target untuk 2015: Mengurangi dua per tiga tingkat kematian
anak-anak usia di bawah 5 tahun
5) Meningkatkan kesehatan ibu.
Target untuk 2015: Mengurangi dua per tiga rasio kematian ibu
dalam proses melahirkan
6)  Perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya.
Target untuk 2015: Menghentikan dan memulai pencegahan
penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit berat lainnya.
7) Menjamin daya dukung lingkungan hidup.
a) Mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan
dalam kebijakan setiap negara dan program serta mengurangi
hilangnya sumber daya lingkungan
b) Pada tahun 2015 mendatang diharapkan mengurangi setengah dari
jumlah orang yang tidak memiliki akses air minum yang sehat.
c) Pada tahun 2020 mendatang diharapkan dapat mencapai
pengembangan yang signifikan dalam kehidupan untuk sedikitnya
100 juta orang yang tinggal di daerah kumuh
8)  Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
a) Mengembangkan lebih jauh lagi perdagangan terbuka dan sistem
keuangan yang berdasarkan aturan, dapat diterka dan tidak ada
diskriminasi. Termasuk komitmen terhadap pemerintahan yang
baik, pembangungan dan pengurangan tingkat kemiskinan secara
nasional dan internasional.
b) Membantu kebutuhan-kebutuhan khusus negara-negara kurang
berkembang, dan kebutuhan khusus dari negara-negara terpencil
dan kepulauan-kepulauan kecil. Ini termasuk pembebasan-tarif dan
-kuota untuk ekspor mereka; meningkatkan pembebasan hutang
untuk negara miskin yang berhutang besar; pembatalan.
c) Hutang bilateral resmi; dan menambah bantuan pembangunan resmi
untuk negara yang berkomitmen untuk mengurangi kemiskinan.
d) Secara komprehensif mengusahakan persetujuan mengenai
masalah utang negara-negara berkembang.
e) Menghadapi secara komprehensif dengan negara berkembang
dengan masalah hutang melalui pertimbangan nasional dan
internasional untuk membuat hutang lebih dapat ditanggung dalam
jangka panjang.
f) Mengembangkan usaha produktif yang layak dijalankan untuk
kaum muda.
g) Dalam kerja sama dengan pihak "pharmaceutical", menyediakan
akses obat penting yang terjangkau dalam negara berkembang.
h) Dalam kerjasama dengan pihak swasta, membangun adanya
penyerapan keuntungan dari teknologi-teknologi baru, terutama
teknologi informasi dan komunikasi.
Walaupun mengalamai kendala, namun pemerintah memiliki
komitmen untuk mencapai sasaran-sasaran ini dan dibutuhkan kerja keras
serta kerjasama dengan seluruh pihak, termasuk masyarakat madani, pihak
swasta, dan lembaga donor. Pencapaian MDGs di Indonesia akan dijadikan
dasar untuk perjanjian kerjasama dan implementasinya di masa depan.
Menurut hasil penelitian Lisbet (2013), tentang Pencapaian
Millenium Development Goals (MDGs) di Indonesia Melalui Kerjasama
Internasional dengan hasil banyak negara berkembang telah mendapatkan
perubahan-perubahan positif sejak Millenium Development Goals (MDG)
diberlakukan, sebagaimana yang terlihat dalam laporan MDG tahun 2012.
Di dalam laporan yang ditulis oleh Departemen Masalah-masalah Ekonomi
dan Sosial Sekretariat PBB (The Department of Economic and Sosial
Affairs of the United Nations Secretariat) ini disebutkan bahwa tujuan
pertama dari MDG telah berhasil dicapai, di mana jumlah penduduk miskin
di setiap negara berkembang serta negara miskin telah mengalami
penurunan. Adapun pencapaian lainnya berdasarkan Laporan MDG tahun
2012 terdapat pada tujuan ke-7, di mana peningkatan pada jumlah
penduduk yang mendapatkan air bersih dari 76 persen pada tahun 1990
menjadi 89 persen pada tahun 2010. Kendala Indonesia dalam Pencapaian
Millenium Development Goals, para kepala negara dan pemerintahan telah
sepakat bahwa tujuan-tujuan di dalam MDG telah berhasil membuat
banyak negara keluar dari kemiskinan. Meski demikian, tidak dapat
dipungkiri bahwa masih banyak pula negara-negara terutama negara
berkembang yang masih mengalami kesulitan dalam mencapai tujuan-
tujuan yang terdapat dalam MDG. Angka kematian balita pun telah
mencapai 26.000 anak setiap harinya, sedangkan kematian ibu melahirkan
telah mencapai 500.000 orang per tahun. Sementara 100 juta anak lainnya
tidak menikmati pendidikan dasar. Kondisi seperti inilah yang perlu diatasi
oleh semua negara. Sebab, meskipun MDG merupakan hasil kesepakatan
dari semua kepala negara maupun pemerintahan di seluruh dunia, namun
pada waktu pengimplementasiannya MDG lebih diarahkan kepada
pencapaian di masing-masing negara. Hal ini pada dasarnya sesuai dengan
Resolusi PBB nomor 55/2 yang mencantumkan bahwa MDG menempatkan
pembangunan manusia sebagai fokus, terutama pada masyarakat yang
rentan terhadap kemiskinan serta terhadap anak-anak, selaku generasi
mendatang. Sama halnya dengan negara berkembang lainnya, Indonesia
pun masih memiliki beberapa target lainnya yang masih memerlukan usaha
keras dalam pencapaiannya. Sekalipun belum mampu mencapai tujuan
MDG secara keseluruhan, ini tidak berarti Indonesia tidak sungguh-
sungguh dalam memenuhi komitmennya untuk mengentaskan kemiskinan
dan mencapai seluruh tujuantujuan yang terdapat di dalam MDG.
Ketidakmampuan ini lebih dilatarbelakangi oleh kendala-kendala yang
dihadapi Indonesia dalam memenuhi komitmennya sekalipun pemerintah
telah berupaya untuk mencapainya. Dalam implementasinya, Indonesia
menemukan kendala-kendala dalam mencapai tujuan tersebut. Kendala
Indonesia dalam mencapai tujuan-tujuan MDG lebih banyak dikarenakan
kurangnya kerjasama dengan pemerintah daerah serta kurangnya
keterlibatan pihak swasta maupun masyarakat di dalam negeri. Oleh karena
itu, Indonesia telah melakukan upaya untuk mencapai tujuan-tujuan yang
belum berhasil dalam MDG.
c. Expanding Maternal and Neonatal Survival (EMAS).
EMAS adalah sebuah program kerjasama Kementrian Kesehatan RI
dan USAID selama lima tahun (2012-2016), dalam rangka mengurangi
angka kematian ibu dan bayi baru lahir. Program EMAS mendukung
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten, dalam berjejaring dengan
Organisasi Masyarakat Sipil, fasilitas kesehatan publik dan swasta, asosiasi
rumah sakit, organisasi profesi, dan sektor swasta, dan lain-lain. Program
ini akan berkontribusi terhadap percepatan penurunan kematian ibu dan
bayi baru lahir sebesar 25% di Indonesia.
Expanding maternal and neonatal bertujuan untuk :
1) Meningkatkan kualitas pelayanan PONED & PONEK. Memastikan
intervensi medis prioritas yang mempunyai dampak besar pada
penurunan kematian diterapkan di RS dan Puskesmas. Pendekatan tata
kelola klinis (clinical governance) diterapkan di RS dan Puskesmas.
2) Meningkatkan efektifitas dan efisiensi sistem rujukan antar
Puskesmas/Balkesmas dan RS. Penguatan sistim rujukan.
Meningkatkan peran serta masyarakat dalam menjamin akuntabilitas
dan kualitas nakes, faskes dan Pemda. Meningkatkan akses masyarakat
dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan.
EMAS dilaksanakan dalam enam provinsi yang memiliki jumlah
kematian ibu dan neonatal besar. Enam Provinsi tersebut adalah :
1) Sumatera Utara daerah intervensi nya adalah Kabupaten  Deli
Serdang. Kabupaten  di sekitar daerah intervensi adalah  Kota Medan,
Kota Tebingtinggi, Kab Langkat, Kab Karo, Kota Pematangsiantar,
Kab Serdang Bedagai, Kab Simalungun, Kota Binjai.
2) Banten  daerah intervensinya adalah Kabupaten  Serang. Kabupaten di
sekitar daerah intervensi adalah Kab Tangerang, Kab Lebak, Kab
Pendeglang, dan Kota Cilegon.
3) Jawa Barat daerah intervensinya adalah Kabupaten Bandung.
Kabupaten  di sekitar daerah intervensi adalah Kab Garut, Kab
Sumedang, Kab Subang, Kab Purwakarta, Kab Cianjur, Kota Bandung,
Kota Cimahi, Kab Bandung Barat. Daerah intervensi lain di Jawa Barat
adalah Kabupaten  Cirebon. Kabupaten di sekitar daerah intervensi
adalah Kota Cirebon, Kab Indramayu, Kab Majalengka, Kab
Kuningan.
4) Jawa Tengah daerah intervensinya adalah Kabupaten Tegal.
Kabupaten  di sekitar daerah intervensi adalah  Kota Tegal, Kab
Brebes, Kab Pemalang, Kab Pekalongan, dan Kota Pekalongan. Daerah
intervensi lain di Jawa tengah adalah Kabupaten  Banyumas.
Kabupaten  di sekitar daerah intervensi adalah Kab Kebumen, Kab
Cilacap, Kab Purbalingga, Kab Banjarnegara.
5) Jawa Timur daerah intervensinya adalah Kabupaten Malang.
Kabupaten  di sekitar daerah intervensi adalah Kota Malang, Kab
Lumajang, Kab Probolinggo, Kab Pasuruan, Kota Batu, Kab Blitar.
6) Sulawesi Selatan. Daerah intervensinya adalah Kabupaten Pinrang.
Kabupaten  di sekitar daerah intervensi adalah Kab Tana Toraja, Kab
Enrekang, Kab Sidenreng Rappang, Kota Pare-Pare.
Menurut hasil penelitian Wildaturrahmah (2017), mengenai
Gambaran Implementasi Program EMAS di Puskesmas Kabupaten
Tangerang Tahun 2017 (Studi Kasus Puskesmas Bojong Nangka), yaitu
Program EMAS diimplementasikan di Kabupaten Tangerang sejak tahun
2014 yang bertujuan untuk menurunkan anka kematian ibu dan bayi.
Puskesmas Bojong Nangka merupakan salah satu puskesmas yang baru
menerapkan program EMAS. Namaun, masih terdapat permasalahan dalam
pelaksanaannya mengenai kinerja bidan, kinerja rujukan dan kurangnya
komunikasi pelaksana dengan dinas kesehatan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa standar dan tujuan kebijakan yang digunakan sudah
tepat dan sudah dipahami oleh tenaga kesehatan dan FOPKIA. Tenaga
kesehatan yang masih kurang, yaitu bidan dan dokter belum terlibat, masih
ada bidan yang belum sesuai kompetensi tetapi sudah mengikuti pelatihan,
sarana dan prasarana kurang mendukung. Karakteristik organisasi
pelaksanan menunjukkan prosedur kerja dan pencatatan pelaporan baik.
Disposisi pelaksana menunjukkan sikap positif dan mendukung.
Komunikasi antar pelaksana di Puskesmas melalui pertemuan rutin
bulanan, kegiatan monitoring oleh dinas kesehatan dan belum ada
komunikasi antara Puskesmas dan FOPKIA, sehingga belum terbentuk
MKIA di wilayah tersebut. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik
mendukung.
Studi Deskriptif tentang Implementasi Program Expanding Maternal
and Neonatal Survival (EMAS) di Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten
Sidoarjo oleh Laily (2016), menunjukkan hasil Program EMAS telah di
komunikasikan melalui pertemuan dengan pihak-pihak terkait dan
melakukan kunjungan ke fasilitas kesehatan yang memiliki pelayanan
kegawatdaruratan yang sangat baik. Penyampaian informasi yang telah
dilakukan secara jelas dan konsisten. Kemampuan sumber daya manusia
dalam instansi informan secara kuantitas belum mencukupi. Belum ada
bidan yang berjaga secara khusus di ruang gawat darurat maternal neonatal.
Para bidan di puskesmas vanguard selama ini memiliki tugas ganda yaitu
berjaga di Poli KIA dan Poli KB, serta menangani kasus kegawat daruratan
maternal dan neonatal. Dilihat dari segi kualitas, para pelaksana telah
diberikan pelatihan dan pengarahan yang cukup. Sumber daya finansial
dalam pelaksanaan Program EMAS di Kabupaten Sidoarjo berasal dari
bantuan USAID, APBD, dan CSR swasta. Jumlahnya telah mencukupi
untuk pelaksanaan kegiatan selama ini. Dana USAID digunakan untuk
pelaksanaan kegiatan tim EMAS Kabupaten Sidoarjo dan memberi bantuan
peralatan untuk menunjang pelaksanaan drill emergency para vanguard.
Sedangkan dana untuk kebutuhan vanguard sehari-hari berasal dari dana
APBD Kabupaten Sidoarjo yang disalurkan berdasarkan anggaran yang
diajukan Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo. Sumber daya kewenangan
telah mencukupi. Pelaksana di puskesmas telah diberikan kewenangan
untuk melakukan beberapa prosedur yang tadinya hanya boleh dilakukan
rumah sakit, sekarang boleh dilakukan oleh pihak puskesmas. Kewenangan
ini dilindungi dalam suatu regulasi.Fasilitas fisik yang dimiliki vanguard
telah cukup memadai untuk berjalannya kegiatan-kegiatan EMAS selama
ini. Penyempurnaan fasilitas fisik yang dimiliki vanguard terus diupayakan
oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo. Dilihat dari disposisi pelaksana,
tingkat pengetahuan dan pemahaman pelaksana terhadap maksud dan
tujuan kebijakan telah cukup baik. Pelaksana juga memberikan respon yang
positif terhadap pelaksanaan Program EMAS di Kabupaten Sidoarjo.
Pelaksana merasakan manfaat yang besar dengan adanya program ini.
Respon positif ini juga ditunjukkan dengan adanya rencana total coverage
Program EMAS yang saat ini telah dibicarakan dengan segenap fasilitas
kesehatan yang ada di Kabupaten Sidoarjo. Dilihat dari struktur birokrasi,
SOP yang ada tidak berbelit-belit, cukup efesien dan sesuai dengan
kebutuhan para pelaksana. Fragmentasi juga dapat ditekan, dibuktikan
dengan para pelaksana dapat bekerja sama dengan baik untuk mencapai
tujuan kebijakan.
d. Pengembangan Desa Siaga / POSKESDES.
Desa Siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan
sumber daya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan
mengatasi masalah-masalah kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan
kesehatan, secara mandiri. Pembangunan Kesehatan mempunyai Visi
mewujudkan masyarakat mandiri untuk hidup sehat. Visi ini dicapai
dengan dukungan masyarakat dan pemerintah, oleh karena itu perlu upaya
pemberdayaan masyarakat.
Pengembangan Desa Siaga dilaksanakan melalui pembentukan
Poskesdes, yaitu salah satu upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat
(UKBM) yang dibentuk di desa dalam rangka mendekatkan / menyediakan
pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa yang meliputi kegiatan
peningkatan hidup sehat (promotif), pencegahan penyakit (preventif),
pengobatan (kuratif) yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan (terutama
bidan) dengan melibatkan kader atau tenaga sukarela lainnya.
Desa Siaga dikembangkan melalui penyiapan masyarakat,
pengenalan masalah, perumusan tindak lanjut pencapaian khususnya
kesepakatan pembentukan Poskesdes dan dukungan sumberdaya.
Pengembangan Desa Siaga/ Poskesdes walaupun bersumberdaya
masyarakat, namun mengingat kemampuan masyarakat terbatas,
pemerintah membantu stimulan biaya Operasional Poskesdes melalui
anggaran Dana Bantuan Sosial Pembangunan Poskesdes.
Kegiatan pengembangan Oprasional Desa Siag/Poskesdes meliputi :
1) Pengembangan Poskesdes / Desa Siaga baru: Pertemuan Desa,
Pengumpulan Data, Pertemuan Musyawarah Masyarakat Desa, dll.
2) Peningkatan SDM, dengan Pelatihan Kader dan Stimulan Tenaga
Kesehatan di desa, kader.
3) Operasional Poskesdes dengan Penyelenggaraan pelayanan kesehatan
ibu, anak, gizi, penyakit menular lainnya, dan bencana, Bahan habis
pakai, Sarana Penunjang Poskesdes : ATK, Foto copy, Transport
petugas, kader untuk pelayanan dan konsultasi.
Hasil penelitian Kinerja Desa Siaga Aktif di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukodono Kabupaten Sidoarjo oleh Ayu dan Noviana dkk
(2014), menunjukkan dalam rangka mewujudkan Kecamatan Sehat maka
Puskesmas Sukodono ingin mengevaluasi kinerja seluruh desa siaga yang
ada di wilayah kerjanya serta berupaya meningkatkan desa siaga aktif yang
ada menjadi peringkat yang lebih baik atau bila memungkinkan sampai
pada tahap desa siaga peringkat mandiri. Hasil menunjukkan bahwa di
tahun 2013 sudah tidak ada lagi desa siaga peringkat pratama. 52,63% desa
telah meningkat dari pratama menjadi madya dan 10,53% desa peringkat
madya meningkat menjadi peringkat purnama sementara peningkatan
menjadi peringkat mandiri belum tercapai. Peningkatan menjadi mandiri
terkendala jumlah kader yang belum mencukupi sehingga perlu dilakukan
upaya pemberian reward dan pelatihan yang intensif supaya masyarakat
tertarik untuk menjadi kader.
Studi Pemanfaatan Pelayanan Poskesdes Di Desa Bube Kecamatan
Suwawa Kabupaten Bone Bolango Tahun 2011 oleh Tomayahu,
menunjukkan pemanfaatan Poskesdes di Poskesdes Bube Kecamatan
Suwawa Kabupaten Bone Bolango baik dari aspek pemanfaatan maupun
fasilitas pelayanan masih kurang, hal ini disebabkan oleh responden
menganggap poskesdes bukan tempat yang dapat memberikan pelayanan
kesehatan ataupun tempat berobat bagi pasien yang sakit serta mereka
menggangap bahwa poskesdes tidak memiliki petugas kesehatan yang ada
hanyalah para kader kesehatan. Oleh karena itu disarankan untuk lebih
meningkatkan partisipasi ,kemauan dan kemampuan masyarakat pada
pemanfaatan poskesdes serta pengelolaan sarana prasarana khususnya
fasilitas pelayanan serta mengaktifkan kembali kegiatan promosi kesehatan
ditingkat desa sebagai salah satu upaya mendekatkan pelayanan kepada
masyarakat demi tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
Evaluasi Program Desa Siaga Aktif Di Desa Kaliamok Kecamatan
Malinau Utara Kabupaten Malinau oleh Krisnovianti (2015), dengan fokus
penelitian meliputi : Evaluasi Pelayanan Kesehatan Dasar, Evaluasi
Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan UKBM, Evaluasi
Prilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), Faktor-faktor penghambat
evaluasi pelaksanaan Program Desa Siaga Aktif. Hasil penelitian
menunjukan bahwa Program Desa Siaga Aktif dinilai belum berjalan
sebagaimana mestinya. Karena diketahui bahwa masih banyak masyarakat
yang belum paham bahwa pentingnya lingkungan sehat dan keluarga sehat.
3. Mengemukakan suatu usulan perbaikan model asuhan kebidanan yang
bisa diterapkan di Indonesia beserta EBPnya (minimal mengambil 3
artikel jurnal internasional).
Model pelayanan kebidanan yang sesuai dengan filosofi asuhan
kebidanan yang dapat diterapkan di Indonesia menurut saya Case-load
Midwifery Model. Case-load Midwifery merupakan  model pelayanan
kebidanan dimana asuhan yang dilakukan bidan masuk ke dalam kemitraan
profesional dengan wanita hamil. Hal ini memungkinkan untuk kesetaraan,
tanggung jawab bersama, pilihan informasi, pemberdayaan, negosiasi
individu dan pemenuhan diri untuk wanita dan bidan. Perawatan tersebut
terpusat pada wanita, kehamilan dan kelahiran dipandang sebagai peristiwa
normal dan sehat, peristiwa kehidupan dan kelangsungan perawatan
dipastikan dengan memiliki satu bidan utama sebagai pengasuh utama (Floyd
et al, 2009). Case-load Midwifery model menawarkan kontinuitas hubungan
yang lebih besar, dengan memastikan bahwa perempuan menerima pelayanan
antenatal, perawatan intra dan postnatal mereka dari satu bidan atau dua /
pasangannya praktek . Berdasarkan Evaluasi One-to-One praktek kebidanan
di Inggris menunjukkan bahwa kontinuitas pemberi asuhan bisa
meningkatkan kepuasan perempuan dengan hati-hati mereka, memberikan
bidan kepuasan kerja yang lebih besar, meningkatkan otonomi mereka, dan
mengurangi tingkat intervensi. Perawatan dari bidan yang dikenal, atau
sekelompok kecil bidan, memungkinkan perempuan untuk mengembangkan
hubungan dengan penyedia layanan mereka. Wanita yang memiliki bidan
yang sama selama merawat mereka saat kehamilan, persalinan, kelahiran dan
pasca kelahiran memiliki kesempatan untuk membangun hubungan saling
percaya yang meningkatkan kepercayaan diri mereka baik pasien maupun
bidan. Perawatan dari bidan dikenal sering disebut sebagai perawatan
berkesinambungan  (Continuity Of Care).
Model pelayanan Case-load Midwifery ini dapat diterapkan dengan
terlebih dahulu menyamakan standar bidan-bidan di Indonesia, yang saat ini
sudah mulai di galakkan pemerintah dan organisasi profesi dengan adanya
Uji Kompetensi Bidan. Kemudian pembuatan standar jumlah pasien yang
ditangani dalam kurun waktu tertentu misalnya 1 bulan 1 kelompok bidan
melakukan pelayanan hanya 6 pasien seperti yang dilakukan di Australia.
Untuk pelaksaanan Pelayananan Case-load ini perlu adanya dukungan dari
Organisasi IBI. Dimana IBI sebagai fasilitator bidan dalam melakukan
pelayanan terhadap pasien. Sehingga jumlah pasien per kelompok bidan
sesuai dengan standar yang telah disepakati atau ditetapkan. Sekelompok
bidan melakukan pelayanan pada 6 pasien secara kompeherensif yang
meliputi seluruh standar pelayanan kebidanan.
Menurut Foster et al (2016), continuity of care oleh bidan selama
periode antenatal, intrapartum dan post partum telah direkomendasikan di
Australia dan banyak Rumah Sakit telah memperkenalkan caseload
midwifery model of care. Penelitian dengan menggunakan metode two-arms,
randomized controlled design, desain penelitian dengan RCT, responden
dikelompokkan berdasarkan paritas untuk membandingkan caseload
midwifery care dengan stadart maternity care. Dengan tujuan penelitian
mengevaluasi pengaruh dari caseload midwifery care dengan efektivitas
kepuasan wanita pada perawatan. Responden diambil dari Royal Women’s
Hospital in Melbourne Australia yang memiliki lebih dari 7.000 kelahiran per
tahun. Dari 2.314 perempuan yang dilibatkan dalam penelitian, 1.156
dialokasikan untuk caseload midwifery care dan 1.158 untuk standart
maternity care. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 88,3% (853/966) dari
responden kelompok caseload midwifery care dilaporkan setelah sebelumnya
bertemu, setidaknya salah satu bidan merawat dalam persalinan dan kelahiran
setidaknya sekali, dibandingkan dengan 9% (74/820) responden dalam
kelompok standart midwifery care. Kesimpulan caseload midwifery care
secara statistik signifikan dengan nilai p <0,001 meningkatkan kepuasan
wanita terhadap pelayanan antenatal, intrapartum dan postpartum.
Menurut Tracy et al (2013), tujuan menilai hasil klinis dan biaya
perawatan caseload midwifery care bagi perempuan terlepas dari faktor
risiko. desain penelitian dengan RCT, Dari 1748 wanita hamil di dua Rumah
Sakit Pendidikan Metropolitan di Australia secara acak dibagi menjadi 871
untuk kelompok caseload midwifery care dan 877 untuk kelompok standart
maternity care. Hasil menunjukkan secara statistik signifikan p < 0,05 bahwa
caseload midwifery care aman dan biaya efektif.
Menurut Beake et al (2013), dengan tujuan mengevaluasi caseload
midwifery care di daerah dalam kota yang relatif kurang dan beragam etnis.
Wawancara semi terstruktur yang dilakukan dengan 24 perempuan dari latar
belakang etnis yang beragam, 12 diantaranya telah menerima caseload
midwifery care dan 12 perempuan dari daerah yang berdekatan yang telah
menerima perawatan bersain konvensional di unit bersalin dalam kota besar.
Responden yang secara sosial dan etnis yang beragam memiliki pandangan
yang sama dan ingin mendapatkan caseload midwifery care. Banyak
responden yang menerima caseload midwifery care menyoroti hubungan
dekat mereka dengan bidan dan sebagai akibat merasa lebih mampu untuk
membahas keprihatinan mereka dengan bidan. Caseload midwifery care
memiliki potensi tidak hanya untuk meningkatkan kualitas pelayanan tetapi
juga meningkatkan keamanan.

DAFTAR PUSTAKA

Australia Indonesia Partnership for Maternal and Neonatal Health. Survey of


midwives in three districts in Nusa Tenggara Timur, 2007: number,
characteristics and work patterns. Australia Indonesia Partnership for
Maternal and Neonatal Health, 2008.
Ayu dan Noviana dkk 2014. Hasil penelitian Kinerja Desa Siaga Aktif di
Wilayah Kerja Puskesmas Sukodono Kabupaten Sidoarjo. E Journal
Pemerintahan Integratif, 2015 (3) 1.
Beake S, Acosta L, Cooke P, McCourt P, 2013. Caseload Midwifery in a Multi-
Ethnic Commnunity : The Women’s Experiences. Midwifery Journal 29
(2013) 996-1002. www.elsifier.com/midw.
Camelia HA, 2010. Hubungan Antara Kepuasan Konsumen dan Kualitas
Pelayanan dengan Loyalitas. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Central Bureau of Statistics Indonesia, National Family Planning Coordinating
Board, Ministry of Health Indonesia, Macro International. Indonesia
demographic and health survey 1991. Jakarta, Indonesia: Central Bureau of
Statistics, 1992.
Country experience with strengthening of health systems and deployment of
midwives in countries with high maternal mortality Wim Van Lerberghe,
Zoe Matthews, Endang Achadi, Chiara Ancona, James Campbell, Amos
Channon, Luc de Bernis, Vincent De Brouwere, Vincent Fauveau, Helga
Fogstad, Marge Koblinsky, Jerker Liljestrand, Abdelhay Mechbal, Susan F
Murray, Tung Rathavay, Helen Rehr, Fabienne Richard, Petra ten Hoope-
Bender, Sabera Turkmani The Lancet 23 June 2014(Artikel dalamPress
DOI: 10.1016/S0140-6736(14)60919-3).
Ensor T, Nadjib M, Quayyum Z, Megraini A. Public funding for community-
based skilled delivery care in Indonesia: to what extent are the poor
benefiting?. Eur J Heal Econ 2008; 9: 385-392. PubMed.
Ensor T, Nadjib M, Quayyum Z, Megraini A. Public funding for community-
based skilled delivery care in Indonesia: to what extent are the poor
benefiting?. Eur J Heal Econ 2008; 9: 385-392. PubMed.
Foster DA, McLachlan HL, Davey MA, Biro MA, Farrell T, Gold L, Flood M,
Shafiel T, Waldenstrom U, 2016. Continuity of care by a primary midwife
(caseload midwifery) increases women’s satisfaction with antenatal,
intrapartum and postpartun care : results from the COSMOS randomised
Controlled Trial. BMC Pregnancy and Childbirth (2016) 16-28.
Hort K, Akhtar A, Trisnantoro L, Dewi S, Meliala A. The growth of non-state
hospitals in Indonesia: implications for policy and regulatory options.
Health Policy and Health Finance Knowledge Hub 2011; 12: 1-17.
PubMed 67 Risfaskes. MOH, Health facility survey. Indonesia: Jakarta,
2011.
IBI Indonesian Midwives Association. Info Kegiantan IBI. Mon Arch Oct 2012.
Layli R, 2016. Studi Deskriptif tentang Implementasi Program Expanding
Maternal and Neonatal Survival (EMAS) di Lingkungan Dinas Kesehatan
Kabupaten Sidoarjo. Jurnal Kebijakan dan Manajemen Publik Vol. 4 No.1
Januari-April 2016.
Lisbet 2013, Pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) di Indonesia
Melalui Kerjasama Internasional. Peneliti Hubungan Internasional di
Pusat Pengkajian Penolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR
RI.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2017. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 28 Tahun 2017 tentang Izin Penyelenggaraan
Praktik Bidan. Kementerian Kesehatan RI.
Midwifery Led-Care : Asuhan yang difasilitasi/ dipimpi bidan. King’s College
London University of London
Ministry of National Development Planning/National Development Planning
Agency (BAPPENAS). The Roadmap to Accelerate Achievement of the
MDGs in Indonesia. Indonesia: Jakarta, 2010.
Ministry of National Development Planning/National Development Planning
Agency (BAPPENAS). The Roadmap to Accelerate Achievement of the
MDGs in Indonesia. Indonesia: Jakarta, 2010.
Queensland Perawat Industrial Award, 2006; Davis-Floyd, Barclay, Daviss &
Tritten, 2009.
Rokx C, Schieber G, Harimurti P, Tandon A, Somanathan A. financing in
Indonesia: a reform road map. Washington DC: The World Bank, 2010.
Sally K Tracy. 2014. Caseload midwifery compared to standard or private
obstetric care for first time mothers in a public teaching hospital in
Australia: a cross sectional study of cost and birth outcomes. BMC
Pregnancy&Childbirth.
Statistics Indonesia (Badan Pusat Statistik—BPS) and Macro International.
Indonesia demographic and health survey 2007. Indonesia: Jakarta, 2008.
Statistics Indonesia (Badan Pusat Statistik—BPS) National Population and
Family Planning Board (BKKBN), International Kementerian Kesehatan
(Kemenkes—MOH) ICF. Indonesia demographic and health survey. 2012.
Jakarta,
Indonesia.http://www.measuredhs.com/pubs/pdf/FR275/FR275.pdf.
(accessed Oct 20, 2013).
Tomayahu M, 2011. Studi Pemanfaatan Pelayanan Poskesdes Di Desa Bube
Kecamatan Suwawa Kabupaten Bone Bolango Tahun 2011. Politeknik
Kesehatan Kemenkes Gorontalo.
Tracy SK, Hartz DL, Tracy MB, Allen J, Fortu A, Hall B, White J, Lainchbury
A, Stapleton H, Beckmann M, Bisits A, Horner C, Fourer M, Weish A,
Kildea S, 2013. Caseload midwifery care versus standard maternity care
for women any risk : M@NGO, a randomised controlled trial. Lancet
(2013):382:1723-32.
UNFPA, 2014. Laporan Konsultasi Kebidanan. UNFPA Indonesia.
Wildaturrahmah, 2017. Gambaran Implementasi Program EMAS di Puskesmas
Kabupaten Tangerang Tahun 2017 (Studi Kasus Puskesmas Bojong
Nangka). Peminatan Manajemen Pelayanan Kesehatan, Program
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
World Bank. “…and then she died”: Indonesia maternal health assessment.
Washington, DC: The World Bank, 2010.

Anda mungkin juga menyukai