Anda di halaman 1dari 28

SENSIBILITAS

Sensibilitas merupakan sistem saraf sensorik yang disebut juga perasaan.


Saraf sensorik tepi akan menghantarkan beberapa impuls “aferen” untuk
ditafsirkan oleh daerah sensorik dalam kortek serebris ebagai sentuhan , rasa
sakit, gatal, suhu, rasa panas dan dingin, yang berasal dari struktur tepi.
Sementara impuls “Aferen” lain timbul dari struktur yang lebih dalam sebagai
rasa sakit, tekanan , serta rasa gerakan dan kedudukan sendi dan otot dengan
demikian penapsiran perasaan ini ergantung pada rangsangan dari periferi yang
dialirkan oleh berbagai neuron, dan akhrnya mencapai stasiun penapsiran pusat
dalam otak.

Sensibilitas dibagi menjadi 4, yaitu:

a. Superfisial (Exteroseptif)

Reseptornya berespons terhadap stimulus dari lingkungan eksternal,


termasuk visual, auditoar, dan taktil. Sensibilitas ini terdiri dari rasa nyeri
(Nosiseptor), raba (tangoseptor) dan suhu (thermoreseptor).

b.Dalam (Proprioseptif)

Reseptornya akan menerima informasi mengenai posisi bagian tubuh


atau tubuh di ruangan. Sensibilitas ini terdiri dari rasa gerak (kinetik),
rasa sikap (statognesia) dari otot persendian, rasa getar, rasa tekan dalam,
rasa nyeri dalam (otot). Reseptornya berupa mucle spindle, alat golgi
pada tendon, dan alat paccini,

c. Visceral (Interoseptif)

Reseptornya akan mendeteksi kejadian internal seperti perubahan


tekanan darah. Reseptornya berupa ujung-ujung saraf bebas dari susunan
saraf simpatis.
Sedangkan sistem sensibilitas khusus meliputi visual, auditif, penghidu dan
pengecap.
Sistem sensorik somatik akan menerima informasi primer dari reseptor
eksteroseptif dan proprioseptif.
Terdapat 4 subkelas mayor dari sensasi somatik, yaitu:

a. Sensasi Nyeri
b. Sensasi Suhu

c. Sensasi (rasa) sikap

d. Sensasi (rasa) tekan

Terjadinya gangguan sensibilitas dapat dilihat pada diagram berikut :

Area 4 akan
menerima impuls yang
datang dari susunan
sensibilitas. Impuls pada
susunan sensibilitas tersebut
akan tercetus akibat
terangsangnya reseptor.
Pada otot akan
menyebabkan depolarisasi yang memicu terjadinya kontraksi otot sehingga
muncul gerakan.sehingga susunan sensibilitas, UMN dan LMN dapat dinilai
sebagai lengkung reflex.
Peta Dermatom merupakan suatu daerah di kulit yang dipersarafi oleh suatu
radiks posterior pada suatu segmen susunan saraf. Peta ini dapat digunakan untuk
menetapkan tingginya lesi pada medulla spinalis.
Gangguan perasaan (sensibilitas) dapat disebabkan oleh adanya gangguan
pada reseptor, konduksi saraf, serabut saraf, traktus atau daya persepsi. Gangguan
ini merupakan kasus paling banyak dijumpai. Gangguan ini sifatnya beragam,
mulai dari gangguan ringan sampai gangguan berat yang dapat mengganggu
aktivitas.
Tanda- tanda gangguan sensibilitas:

1. Perasa Raba

Menurun : hipestesia
Lenyap : anesthesia
Meningkat : hiperestesia

2. Perasa Nyeri

Menurun : hipalgesia
Lenyap : analgesia

3. Perasa Suhu

Menurun : termhipestesia
Lenyap : termanestesia

4. Perasa Vibrasi

Menurun : palhipestesia
Lenyap : palanestesia

5. Perasaan prorioseptif terganggu : ataksia sensoris


6. Stereognosis tidak mampu : astereognosis

7. Grafastesia tidak mampu : grafanastesia

8. Topognosis tidak mampu : atopognosis

9. Barognosis tidak mampu : abarognosis


Pemeriksaan sensibilitas merupakan pemeriksaan yang tidak mudah dan
bersifat subjektif. Sebelum melakukan pemeriksaan dapat ditanyakan apakah ada
keluhan mengenai sensibilitas, bila ada suruh ia menunjukkan lokasinya. Dari
bentuk daerah yang terganggu dapat diduga apakah gangguan bersifat sentral,
perifer, atau berbentuk dermatom.

a. Pemeriksaan Rasa Raba

Menggunakan kapas, kertas atau kain dengan ujung dibuat sekecil mungkin.
Periksa seluruh tubuh dan bandingkan bagian yang simetris. Thigmestesia
berarti rasa raba halus, jika hilang disebut thigmanestesia.

b. Pemeriksaan Rasa Nyeri (tusuk-tumpul, cepat-lambat)

Bila kulit ditusuk, dengan jarum kita rasakan nyeri yang bersifat tajam, cepat
timbul dan cepat hilang. Ini disebut nyeri tusuk. Rasa nyeri timbul bila testis
dipijit, ini disebut nyeri lambat. Biasanya mempergunakan jarum atau peniti.

c. Pemeriksaan Rasa Suhu (panas-dingin)

Rangsangan suhu yang berlebihan akan menyebabkan nyeri. Dengan


menggunakan tabung reaksi yang berisi air es (10-20oC) dan air panas (40-
50oC). penderita diminta mengatakan dingin atau panas. Bagian dari badan
dan proksimal ekstermitas biasanya kurang peka terhadap rasa dingin, bila
dibandingkan dengan bagian distal ekstremitas.

d. Rasa gerak dan rasa sikap

Rasa gerak dirasakan saat tubuh atau bagian tubuh digerakkan secara aktif
atau pasif, misalnya dengan menggerakkan jari-jari pasien, apakah ia dapat
merasakan gerakan tersebut, sedangkan rasa sikap adalah seseorang tahu
bagaimana sikap tubuhnya atau bagian tubuh misalnya dengan menanyakan
apakah dia tahu posisi dari jarinya.

e. Rasa Getar

Akibat adanya suatu impuls tekan pada reseptor mekanis yang terletak agak
dalam dan dangkal, yang terjadi secara bergantian. Pemeriksaan dilakukan
dengan menempatkan garputala yang bergetar di ibujari kaki, maleolus
lateralis dan medialis, tibia, SIAS, sacrum, proc. Spinosus vertebrae, sternum,
klavikula, proc.stiloideus radius dan ulna. Pasien ditanyakan apakah merasa
ada getaran, dan diminta memberi tahu jika tidak merasakan getaran lagi.

f. Rasa raba kasar – rasa tekan

Pemeriksaan dilakukan dengan menekan dengan jari atau benda tumpul pada
kulit, atau memencet tendon dan serabut saraf. Kemudian pasien diminta
memberi tahu apa ia merasakan tekanan tersebut.

g. Rasa nyeri dalam

Akibat adanya tekanan yang keras, sulit dilokalisasi dengan tepat, rinci dan
tidak mempunyai batas yang tegas. Diperiksa dengan memencet otot atau
tendon, menekan serabut saraf yang terletak dekat permukaan dan dengan
memencet testis atau bola mata.

Beberapa gangguan sensibilitas adalah:

1. Lesi pada Girus Sentralis Posterior


a. Sindrom kortikal sensorik dejerine : astereognosis,grafanestesia.

b. Sensible Jackson : bangkitan parestesia


c. Gangguan sensibilitas terbatas : sarung tangan, kaos kaki. Bibir
dan tangan

2. Lesi pada Kapsula Interna

a. Hemianesthesia

b. Hemiplegi

c. Hemianopsia

i. Bila akut : stroke, kontusio serebri

ii. Sub-akut : ensefalitis, meningitis

iii. Kronik progresif : hematom subdural

3. Lesi pada Thalamus

Gejala:

a. Nyeri sisi tubuh kontralateral


b. Hemihipestesia

c. Hemiataksia

d. Hemiparesis sejenak

e. Hemiatetosis

4. Lesi pada Batang Otak

Timbul hemihipestesia alternant. Misalnya: thrombosis arteri serebellaris


posterior. Akan memberikan gejala : hemihipalgesia alternans, paralisis n.
IX, horner tidak lengkap, vertigo.
5. Lesi pada Medulla Spinalis
a. Lesi Lintang MS

i. Di servikal : tetraplegi

ii. Di Trokolumbal : paraplegi

iii. Di conus : saddle anesthesia ( hipestesi selangkang)

b. Lesi parsial MS

i. Syndrome Brown Sequard (hemiseksi MS) memberikan


gejala: lumpuh UMN,LMN,hiperestesi ipsilateral.

ii. Siringomieli sering di servikal, memberikan gejala


hipalgesi dan termhipestesi dada dan ekstrimitas atas, dapat
meluas ke punggung.

iii. Posterolateral sklerosis akibat deficit vitamin B-12,


memberikan gejala gangguan vibrasi dan gangguan “two
point discrimination” pada ekstrimitas distal.

iv. Tabes dorsalis disebabkan oleh treponema palidum yang


merusak tabes dorsalis dan kolumna dorsalis. Akan
memberikan gejala ataksia, hiperestesia, dan gangguan
kandung kemih.

6. Lesi pada Saraf Tepi

a. Neuropati

b. Neuralgia
Degenerasi dan Regenerasi Sistem Saraf.

Sel-sel saraf baik pada sistem saraf pusat ataupun sistem saraf perifer sejak sudah
dahulu dianggap tidak dapat membelah diri pada individu yang telah selesai
perkembangan sistem sarafnya. Hasil-hasil penelitian pada akhir-akhir ini
menunjukan bahwa kemungkinan besar sel-sel saraf tersebut masih dapat
membelah diri walaupun sangat lamban. Sedangkan tonjolan-tonjolan sel saraf
pada sistem saraf pusat apabila mengalami kerusakan sangat sulit dapat tumbuh
kembali. Sebaliknya pada sistem saraf perifer penggantian tonjolan saraf
berlangsung mudah selama bagian perikarion tidak mengalami kerusakan.

Apabila sebuah saraf mati bersama tonjolan-tonjolannya, maka sel-sel saraf yang
berhubungan dengan sel saraf tersebut tidak ikut mati, kecuali untuk sel neuron
yang hanya berhubungan dengan sel saraf mati tadi. Peristiwa semacam ini
dinamakan Degenerasi transneral.
Keadaan untuk sel-sel glia pada sistem saraf pusat dan sel schwann serta sel satelit
ganglion pada sistem saraf perifer berlawanan dengan sel-sel saraf, oleh karena
mereka sangat mudah melangsungkan pembelahan sel. Akibatnya kematian sel-sel
saraf akan cepat diganti oleh sel-sel glia atau sel schwann atau sel satelit.

Sangatlah perlu untuk membedakan perubahan-perubahan yang berlangsung pada


bagian proksimal dan distal dari kerusakan sebuah serabut saraf, sebab bagian
proksimal dari kerusakan yang dekat dengan badan sel lebih mudah mengalami
degenerasi total.

Kerusakan pada axon akan mengakibatkan perubahan-perubahan dalam perikarion


sebagai berikut :
– Hilangnya badan Nissl sehingga neroplasma berkurang basofil (khromatolisis)
– Membesarnya volume perikarion
– Perpindahan inti kedaerah tepi

Bagian sebelah distal dari kerusakan, degenerasi total dialami oleh seluruh axon
bersama selubung mielin yang di ikuti oleh pembersihan sisa-sisa degenerasi oleh
sel makrofag. Sementara proses ini berlangsung, sel-sel schwann akan membelah
diri secara aktif sehingga membentuk batang solid yang mengisi bekas yang
dilalui oleh axon. Rangkain sel-sel ini akan bertindak segai pengarah untuk
pertumbuhan axon yang bertunas dalam fase perbaikan. Serabut otot yang di
persarafi axon yang rusak tampak mengecil.

Sekitar 3 minggu setelah kerusakan serabut saraf, ujung serabut saraf sebelah
proksimal dari kerusakan akan tumbuh dan bercabang-cabang sebagai serabut-
serabut halus ke arah pertumbuhan sel-sel schwann. Diantara sekian banyak
percangan axon beberapa akan terus tumbuh, khususnya yang dapat menerobos
rangkain sel-sel schwann untuk mencapai sel efektor, misalnya otot. Apabila celah
yang memisahkan bagian proksimal dan bagian distal dari axon cukup lebar atau
pada keadaan hilangnya sama sekali bagian distal, misalnya amputasi, maka saraf-
saraf sebagian hasil pertumbuhan baru tersebut membentuk gulungan yang
menyebabkan rasa sakit. Pembentukan gulungan tersebut diberi nama yang
sebenarnya kurang benar sebagai neroma amputasi.

Proses perubahan degeneratif pada bagian distal dari kerusakan dinamakan


degenerasi sekunder dari Waller.

KLASIFIKASI, GAMBARAN KLINIS, DIAGNOSIS, PEMERIKSAAN


PENUNJANG DAN TERAPI HEADACHE

Sakit kepala bisa merupakan keluhan primer atau sekunder.

Primer = sakit kepala merupakan diagnosis utama, bukan disebabkan karena


adanya penyakit lain.

Sekunder = sakit kepala merupakan gejala ikutan karena adanya penyakit


lain -> hipertensi, radang sinus, premenstrual disorder, dll.

Klasifikasi sakit kepala menurut International Headache Society

A. Sakit kepala primer


a. Migrain

b. Tension-type headache
c. Cluster headache

d. Miscellaneous headache not associated with structural


lession

B. Sakit kepala sekunder

a. Headache associated with (HAW) head trauma

b. HAW vascular disorder

c. HAW nonvascular intracranial disorder

d. HAW substances or their withdrawal

e. HAW nonchepalic infection

f. HAW metabolic disorder

g. HAW disorder of the cranium, neck, eyes, ears, nose,


sinuses, teeth, mouth, or other facial or cranial structure

h. cranial neuralgia, nerve trunk pain, and deafferentation


pain

i. headache not classifiable

Sakit kepala Primer

 Sakit kepala tegang otot (tension-type headache)


 Sakit kepala migrain

 Sakit kepala kelompok (cluster headache)


Epidemiologi

Di US, terjadi pada 18% wanita, 6% pria, 4 % anak-anak. Puncak


prevalensi baik pada pria dan wanita : antara umur 25 – 55 tahun.
Hormonal factorsmungkin berperan menjelaskan mengapa wanita lebih
banyak menderita migrain. Anak laki-laki menderita migrain pada onset
yang lebih awal dibandingkan anak perempuan. Penderita migrain
sebagian besar memiliki riwayat keluarga migrain, dan sebagian besar juga
sering mengalami sakit kepala tegang otot.

Sakit kepala tegang otot

Merupakan sakit kepala paling umum terjadi, dengan prevalensi


69% pada pria dan 88% wanita. Dapat dimulai pada segala usia, onset
terutama pada usia remaja dan dewasa muda 40% memiliki riwayat
keluarga sakit kepala tegang otot. Umumnya sakit kepala berkurang
dengan meningkatnya usia, 25% pasien juga mengidap migrain.

Sakit kepala cluster

Kurang sering terjadi dibandingkan migrain dan sakit kepala


tegang otot. Prevalensi lebih tinggi pada pria dan padaras kulit hitam.
Tidak ada riwayat keluarga. Dapat terjadi pd segala usia, paling sering
terjadi pada usia akhir 20an. Pengobatan mungkin akan mengubah dari
sakit kepala kronis ke episodik, tetapi tidak bisa menyembuhkan.

PATOFISIOLOGI MIGRAIN

Migrain= suatu kondisi kronis yang dikarakterisir oleh sakit kepala episodik
dengan intensitas sedang – berat yang berakhir dalam waktu4 – 72jam
(International Headache Society).

Migrain diklasifikasikan menjadi :

 ‰Migrain dengan aura(disebut "classic" migraine) -> 20%


 ‰Migraine tanpa aura(disebut "common" migraine) -> 80%

 ‰Status migraneousÆyang tidak sembuh sendiri.

Gejala

Bervariasi antar individual maupun antara kejadian migrain pada individual

Ada lima gejala yang dapat diidentifikasi :

 Prodrome:suatu rangkaian “peringatan” sebelum terjadi serangan ->


meliputi perubahan mood, perubahan perasaan /sensasi (bau atau
rasa), atau lelah dan ketegangan otot
 ‰ Aura:gangguan visual yang mendahului serangan sakit kepala

 ‰ Sakit kepala: umumnya satu sisi, berdenyut-denyut, disertai mual


dan muntah, sensitif terhadap cahaya dan suara. Terjadi antara 4 – 72
jam.

 Berhentinya sakit kepala: meskipun tidak diobati, nyeri biasanya


akan menghilang dengan tidur.
 Postdrome: tanda-tanda lain migrain seperti tidak bisa makan, tidak
konsentrasi, kelelahan.

Menurut teori/hipotesis vaskuler : aura disebabkan oleh vasokonstriksi


intraserebral diikuti dengan vasodilatasi ekstrakranial. Aura mungkin merupakan
manifestasi penyebaran depresi, suatu peristiwa neuronal yang dikarakterisir oleh
gelombang penghambatan yang menyebabkan turunnya aliran darah otak sampai
25-35 %. Nyeri disebabkan karena aktivitas sistem trigeminal yang menyebabkan
pelepasan neuropetida vasoakti -> vasodilatasi, plasma protein extravasation, dan
nyeri. Aktivitas di dalam sistem trigeminal diregulasi oleh saraf noradrenergik dan
serotonergik. Reseptor 5-HT, terutama 5-HT1 dan 5-HT2 -> terlibat dalam
patofisiologi migrain. Peningkatan kadar 5-HT menyebabkan vasokonstriksi ->
menurunkan aliran darah kranial -> terjadi iskemia -> aura. Iskemi selanjutnya
akan berkurang dan diikuti oleh periode vasodilatasi serebral, neurogenic
inflammation, dan nyeri.

Faktor pemicu migrain

 Faktor psikologis
o Stress, depresi

 Faktor lingkungan

o Rokok

o Bau menyengat

o Perubahan cuaca

o Cahaya atau suara

 Faktor makanan

o Yang mengandung tiramin


o Food additive (MSG, aspartam)

o Coklat,kopi

o Jeruk

 Obat-obatan

o Simetidin

o Kokain

o Fluoksetin

o Indometasin

o Nikotin

o Nifedipin, dll.

 Faktor hormonal

o Mens

o Hamil, menopause

 Gaya hidup

o Kurang atau kebanyakan tidur

o Terlambat makan, dll.

Diagnosis
Ditegakkan berdasar gejala klinis dan riwayat pasien -> pasien diharapkan
punya“migrain diary”(mencatat waktu, intensitas, pemicu dan durasi sakit kepala)

Untuk migrain tanpa aura:

 Sedikitnya 5 serangan dengan karakteristik tertentu


 Terjadi antara 4 – 72 jam

 Karakteristik : unilateral, berdenyut-denyut, intensitas sedang sampai


berat, bisa bertambah dengan aktivitas fisik

 Pasien mengalami mual dan/atau muntah, atau photophobia atau


phonophobia

Migrain dengan aura:

 Pasien mengalami migrain dengan sedikitnya 3 dari 4 karakteristik :


o Pertama, pasien mengalami gajala aura yang reversibel (meliputi:
gangguan visual, sensasi abnormal pada kulit, sulit bicara, dan
kelemahan otot)

o Kedua, pasien mengalami aura yangberkembang secara bertahap


lebih dari 4 menit atau 2 gejala aura berturut-turut

o Ketiga, gejala aura berakhir tidak lebih dari 60 menit

o Keempat, aura terjadi tidak lebih dari 60 menit sebelum tejadinya


sakit kepala

 Selain itu, perlu ada pemeriksaan terhadap riwayat pengobatan, kondisi


fisik, dan uji neurologis (CT Scan).

Tujuan terapi
„ Terapi bertujuan menghilangkan gejala/nyeri pada saat serangan (terapi
abortif)atau mencegah serangan(terapi profilaksis).

Tujuan terapi jangka panjang

 „ Menggurangi frekuensi dan keparahan serangan


 „ Mengurangi patient disability selama serangan,

 „ Memperbaiki kualitas hidup pasien

 „ Mencegah serangan berikutnya

 „ Menghindarkan penggunaan obat yang makin bertambah

 „ Dan mengedukasi pasien utk dapat menatalaksana penyakitnya.

Strategi terapi

 „Menghindari atau menghilangkan pemicu


 „Terapi abortifÆdimulai pada saat terjadinya serangan

 „Terapi profilaksisÆdiperlukan jika serangan terjadi lebih dari 2-3 kali


sebulan, serangan berat dan menyebabkan gangguan fungsi, terapi
simptomatik gagal atau menyebabkan efek samping yang serius

Tatalaksana

Terapi Profilaksis

 Menghindari pemicu
 Menggunakan obat profilaksis secara teratur

 Profilaksis:bukan analgesik, memperbaiki pengaturan proses fisiologis


yang mengontrol aliran darah dan aktivitas sistem saraf
Terapi abortif

Menggunakan obat-obat penghilang nyeri dan/atau vasokonstriktor.

Obat-obat untuk terapi abortif

 Analgesik ringan: aspirin (drug of choice), parasetamol

 NSAIDs:

o Menghambat sintesis prostaglandin, agragasi platelet, dan


pelepasan 5-HT

o Naproksen terbukti lebih baik dari ergotamin

o Pilihan lain : ibuprofen, ketorolak

 Golongan triptan

o Agonis reseptor 5-HT10 -> menyebabkan vasokonstriksi

o Menghambat pelepasan takikinin, memblok inflamasi


neurogenik

o Efikasinya setara dengan dihidroergotamin, tetapi onsetnya


lebih cepat

o Sumatriptan oral lebih efektif dibandingkan ergotamin per oral

 Ergotamin

o Memblokade inflamasi neurogenik dengan menstimulasi


reseptor 5-HT1 presinaptik

o Pemberian IV dpt dilakukan untuk serangan yang berat


 „ Metoklopramid

o Digunakan untuk mencegah mual muntah

o Diberikan 15-30 min sebelum terapi antimigrain, dapat diulang


setelah 4-6 jam

 „ Kortikosteroid

o Dapat mengurangi inflamasi

 „ Analgesik opiat

o Contoh : butorphanol

Obat-obat untuk terapi profilaksis

 Beta bloker
o Merupakan drug of choice untuk prevensi migrain

o Contoh: atenolol, metoprolol, propanolol, nadolol

 Antidepresan trisiklik

o Pilihan: amitriptilin, bisa juga: imipramin, doksepin, nortriptilin

o Punya efek antikolinergik, tidak boleh digunakan untuk pasien


glaukoma atau hiperplasia prostat

 Metisergid

o Merupakan senyawa ergot semisintetik, antagonis 5-HT2

 Asam/Na Valproat
o Dapat menurunkan keparahan, frekuensi dan durasi pada 80%
penderita migrain

 NSAIDs

o Aspirin dan naproksen terbukti cukup efektif

o Tidak disarankan penggunaan jangka panjang karena dapat


menyebabkan gangguan GI

 Verapamil

o ‰ Merupakan terapi lini kedua atau ketiga

 „ Topiramat

o ‰ Sudah diuji klinis, terbukti mengurangi kejadian migrain

GANGGUAN SARAF TEPI

SINDROM GUILLAIN BARRE

DEFINISI

Guillain-Barre syndrome (GBS) adalah gangguan berupa peradangan


pada saraf perifer. Saraf perifer bertugas menyampaikan informasi sensorik
(misalnya : nyeri, temperatur) dari tubuh ke otak dan diaplikasikan dalam
bentuk motorik (yaitu : gerakan). Guillain-Barre syndrome ditandai dengan
kelemahan dan mati rasa atau kesemutan di kaki dan tangan, juga kesulitan
bergerak dan kehilangan rasa di kaki, lengan, tubuh bagian atas, dan wajah.

INSIDEN

Insidensi lebih tinggi pada perempuan daripada pria dengan


perbandingan 2 : 1, dan lebih banyak terjadi pada usia muda. Sindrom ini
dicirikan oleh kelumpuhan otot ekstremitas yang akut dan progresif, biasanya
muncul sesudah infeksi.

Guillain-Barre Syndrome termasuk langka, frekuensi adalah sekitar 1


hingga 2 kasus per 100.000 orang per tahun di Amerika Serikat. Pria dan
wanita, tua dan muda, bisa saja terkena GBS.

PATOLOGI

Terjadi reaksi inflamasi ( infiltrat ) dan edema pada saraf yang


terganggu. Infiltrat terdiri atas sel mononuclear. Sel-sel infiltrat terutama terdiri
dari sel limfosit berukuran kecil, sedang, dan tampak pula makrofag serta sel
polimorfonuklear pada permulaan penyakit. Setelah itu muncul sel plasma dan
sel mast. Serabut saraf mengalami degenerasi segmental dan aksonal.

PATOFISIOLOGI

Limfosit bermigrasi ke endoneural dank e sekitar serat saraf, tetapi pada


tahap ini selubung myelin dan akson belum mengalami kerusakan

Pada tahap selanjutnya, limfosit mulai lebih banyak bermigrasi, dan sel
makrofag sudah mulai muncul, begitu juga dengan fenomena demilelinasi, dan
pada tahap ini selubung myelin sudah mengalami kerusakan sedangkan akson
belun juga mengalami kerusakan.

Selanjutnya, pada fase ke 3, sudah terjadi kerusakan selubung myelin begitu


juga dengan akson. Kromatolisis sudah terjadi dan badan sel saraf terlibat
begitu juga dengan otot yang mengalami atrofi

Dan terakhir, kerusakan aksonal mulai meluas, beberapa daraf telah rusak
permanen, tetapi ada beberapa fungsi yang masih bisa dipertahankan. Pada
tahap ini respon tubuh kita terhadap suatu impuls mulai berkurang, karena
penghantaran impuls sudah terjadi gangguan.

ETIOLOGI

Guillain-Barre syndrome tidak diturunkan ataupun menular. Apa yang


menyebabkan GBS tidak diketahui, namun pada sekitar separuh dari semua
kasus awalnya dikarenakan infeksi virus atau bakteri, seperti :

 Campylobacteriosis (biasanya dari mengkonsumsi unggas dimasak)


 Flu (influenza), common cold Flu (influenza)

 Gastrointestinal virus infeksi

 HIV

 Infeksi mononukleosis

 Porfiria (penyakit langka dari sel-sel darah merah)

 Viral Hepatitis

Sejumlah kecil kasus, terjadi setelah prosedur medis, seperti operasi kecil.

Dahulu, sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus. Tetapi akhir-
akhir ini terungkap bahwa ternyata virus bukan sebagai penyebab. Teori yang
dianut sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary
immune response maupun immune mediated process.

Guillain-Barre syndrome mungkin merupakan gangguan autoimun


dimana tubuh menghasilkan antibodi yang merusak selubung myelin yang
mengelilingi saraf perifer. Selubung mielin adalah zat lemak yang
mengelilingi akson. Ini meningkatkan kecepatan sinyal di sepanjang perjalanan
saraf.
Dua pertiga penderita berhubungan dengan penyakit infeksi atau
kejadian akut. Interval antara penyakit yang mendahului dengan awitan
biasanya antara 1-3 minggu ; pada beberapa kasus dapat lebih lama. Pada
umumnya sindrom ini sering didahului oleh influenza atau infeksi saluran nafas
bagian atas atau saluran pencernaan. Penyebab infeksi pada umumnya virus
dari kelompok herpes. Sindrom ini dapat pula didahului oleh vaksinasi, infeksi
bakteri, gangguan endokrin, tindakan operasi, anastesi, dan sebagainya.

GAMBARAN KLINIK

Tanda dan gejala kelemahan motorik terjadi dengan cepat, tetapi


progresifitasnya akan berhenti setelah berjalan 4 minggu. Lebih kurang 50%
akan terjadi kelemahan menjelang 2 minggu, 80% menjelang 3 minggu, dan
lebih dari 90% selama 4 minggu.

Gejala pertama GBS biasanya mati rasa atau kesemutan (paresthesia) di


jari-jari kaki dengan kelemahan progresif di lengan dan kaki selama beberapa
hari berikutnya. Beberapa pasien mengalami paresthesia hanya di kaki dan
tungkai, yang lainnya hanya mengalami gejala pada satu sisi tubuh.

Gejala-gejala dapat menyebabkan kesulitan berjalan, sehingga


membutuhkan tongkat. Namun, terkadang penyakit bersifat progressif,
sehingga untuk menyebabkan kelumpuhan pada lengan dan kaki. Kelumpuhan
dapat ringan dan terbatas pada kedua tungkai saja, dan dapat pula terjadi
paralisis total keempat anggota gerak yang terjadi secara cepat, dalam waktu
kurang dari 72 jam. Keadaan ini disebut sebagai ascending paralysis atau
ascending Landry’s paralysis. Kelumpuhan lalu berlanjut hingga dada dan
membuat kaku otot-otot pernapasan, dan membuat pasien bergantung pada
ventilator. Jika otot menelan juga terkena, perlu dipasang NGT

Dalam polyradicalneuropathy demielinasi kronis inflamasi (CIDP),


perjalanan penyakit tidak selama GBS dan tidak sampai terjadi gagal nafas.
Kelumpuhan terjadi secara simetris, lebih dari satu anggota gerak,
jarang yang asimetris. Gangguan sensorik pada umumnya ringan. Sensibilitas
dalam biasanya lebih terpengaruh. Hipotoni dan hiporefleksi selalu ditemukan.

Nervi kraniales dapat terkena. Kelemahan otot wajah terjadi pada 50%
kasus dan sering bilateral. Saraf kraniales lainnya dapat pula terkena,
khususnya yang mengurus lidah, otot-otot menelan, dan otot-otot motorik
ekstra-okular. Terlibatnya nervi kraniales dapat merupakan awal sindrom
Guillain-Barre.

Fungsi saraf autonom dapat pula terganggu. Takikardia, aritmia


jantung, hipotensi postural, hipertensi, atau gejala-gejala gangguan vasomotor
dapat melengkapi gejala dan tanda klinik sindrom Guillain-Barre.

Proses penyembuhan biasanya mulai setelah 2-4 minggu terhentinya


progresivitas klinik. Namun demikian proses penyembuhn bisa tertunda selama
4 bulan. Secara klinis banyak penderita yang sembuh secara fungsional. Pada
umumnya pemeriksaan ENMG masih menunjukkan kelainan.

DIAGNOSIS

Karena gejala yang bervariasi dan penyebabnya tidak diketahui, GBS


bisa sulit untuk didiagnosa, tetapi ada 3 kriteria diagnosis untuk GBS ini, yaitu:

Lumbar puncture (spinal tap). Pasien diberi obat bius lokal. Setelah
itu tusukan jarum diantara dua tulang belakang bagian bawah (lumbal) dan
sampel cairan serebrospinal diambil. Tingkat protein yang tinggi tanpa
peningkatan jumlah sel darah putih (leukosit) dalam cairan adalah karakteristik
GBS.
Pada cairan serebrospinal (CSS) didapatkan kadar protein yang tinggi,
kadang-kadang dapat sampai 1000 mg%; hal demikian ini tidak sesuai dengan
jumlah sel dalam CSS yang dapat dikatakan tidak mengalami perubahan.
Keadaan demikian ini disebut disosiasi sel-albumin ( albumino-cytologic
dissociation ), dan mencapai puncak-nya pada minggu ke 4-6. Peningkatan
protein ini diduga sebagai akibat inflamasi yang luas.

Electromyogram (EMG). Adalah alat diagnostik efektif karena dapat


merekam aktivitas otot dan dapat menunjukkan hilangnya impuls pada saraf
yang dikarenakan proses respon saraf yang lambat.

LABORATORIUM

Pada pemeriksaan darah tepi bisa diperoleh hasil normal ataupun


mungkin memperlihatkan tanda-tanda radang akut berupa leukositosis.

TERAPI

GBS dianggap sebagai darurat medis dan kebanyakan pasien dirawat di


rumah sakit segera setelah diagnosis. Jika napas pasien tampaknya berisiko, ia
biasanya dikelola dalam unit perawatan intensif (ICU).

Untuk yang sindrom Guillain-Barre dapat dikatakan tidak ada drug of


choice. Yang diperlukan adalah kewaspadaan terhadapan kemungkinan
memburuknya situasi sebagai akibat perjalanan klinik yang memberat sehingga
mengancam otot-otot pernafasan. Apabila terjadi keadaan demikian ini, maka
penderita harus segera dirawat di ruang perawatan intensif.

Kebanyakan pasien dengan GBS dan CIDP diberi plasmapheresis atau


imunoglobulin. Manfaat kortikosteroin untuk sindrom Guillain-Barre masi
controversial. Namun demikian, apabila keadaan menjadi gawat akibat
terjadinya paralisis otot-otot pernafasan maka kortikosteroid dosis tinggi dapat
diberikan. Pemberian kortikosteroid ini harus diiringi dengan kewaspadaan
terhadap efek samping yang mungkin terjadi.

Roboransia saraf dapat diberikan, terutama secara parenteral. Apabila


terjadi kesulitan mengunyah dan/atau menelan, sebagai akibat kelumpuhan
otot-otot wajah dan menelan, maka perlu dipasang NGT untuk dapat
memenuhi kebutuhan makanan dan cairan.

Plasmaferesis untuk beberapa penderita dapat memberi manfaat yang


besar, terutama untuk kasus yang akut. Di Negara-negara barat, plasmaferesis
mulai sering dilakukan; namun demikian belum diperoleh kesimpulan yang
pasti. Pasien yang cepat didiagnosis GBS, responnya sangat baik terhadap
plasmapheresis. Dalam prosedur ini, darah ditarik dan melewati serangkaian
filter yang memisahkan berbagai jenis sel darah. Sel-sel ini kemudian
disuspensikan atau disintesis dan kembali ke tubuh pasien. Plasma pasien
dibuang.

Plasmapheresis digunakan untuk menghilangkan zat yang dapat


merusak mielin. Sehingga ini dapat mempersingkat jalannya GBS,
meringankan gejala, dan dapat mencegah kelumpuhan.

Pengobatan dengan cara lain, misalnya dengan immunoglobulin dan


immunomodulating pernah dicoba,tetapi hasilnya masih diragukan. Terlepas
dari obat apa yang diberikan, maka perawatan terhadap penderita sindrom
Guillain-Barre harus tetap prima.

Immunoglobin dosis besar yang diberikan secara intravena dapat


membantu mempersingkat durasi gejala. Pengobatan ini sama efektifnya
dengan plasmapheresis. Immunoglobulin lebih disukai dibandingkan dengan
plasmapheresis karena tidak memerlukan pemasangan kateter vena besar.

Secara keseluruhan, sekitar 70% dari pasien memberikan respon


terhadap plasmapheresis atau immunoglobin.
Otot dan nyeri sendi dapat diobati dengan analgesik seperti aspirin. Jika perlu,
obat nyerilebih kuat (misalnya, acetaminophen dengan xanax) dapat diberikan.
Kejang otot dapat dikontrol dengan relaksan seperti diazepam (Valium ®).

Masalah sensorik yang tidak menyenangkan, seperti kesemutan yang


menyakitkan, dapat diobati dengan antidepresan trisiklik atau antikonvulsan
seperti gabapentin (Neurontin ®).

Kortikosteroid, efektif mengobati gejala gangguan autoimun, tetapi


sebaiknya tidak digunakan pada GBS karena sebenarnya memperburuk. Tetapi
apabila plasmaparesis maupun immunoglobulin tidak dapat memberikan hasil,
kortikosteroin bisa dicoba.

Hidroterapi
Terapi Whirlpool (hidroterapi) dapat membantu meringankan rasa sakit dan
berguna dalam pelatihan kembali gerakan anggota badan yang terkena.

PROGNOSIS

Pasien yang memiliki sindrom Guillain-Barre dapat tetap berada di


rumah sakit selama beberapa bulan dan pemulihan dapat memakan waktu
selama satu tahun atau lebih, dengan kecepatan bervariasi. Kebanyakan pasien
kira-kira 90& dengan GBS sembuh sepenuhnya, namun beberapa memiliki
kelemahan sisa, mati rasa, dan nyeri sesekali. Sejumlah kecil pasien tidak
mampu untuk melanjutkan kegiatan normal mereka sehari-hari atau pekerjaan.

Apabila terjadi paralisis otot-otot pernafasan maka prognosis akan lebih


buruk. Hal demikian ini akan lebih diperburuk lagi apabila rumah sakit tidak
mempunyai fasilitas perawatan yang memadai.

Kurang dari 5% pasien GBS mati. Kematian biasanya akibat dari


komplikasi kardiovaskular atau pernafasan. Kematian akibat
polyradicalneuropathy demielinasi kronis inflamasi (CIDP) jarang terjadi.
Prognosis akan lebih baik apabila usia penderita lebih muda, selama
sakit tidak memerlukan pernafasan bantuan, perjalanan penyakit yang lebih
lambat, dan tidak terjadi kelumpuhan total.

Anda mungkin juga menyukai