Anda di halaman 1dari 133

“Saya membuktikan dengan meminum air proses tailing. Alhamdulillah, masih sehat sampai detik ini.

(Ini bukan tulisan berbayar … hahaha)”


M. Zacky S.
(Peserta Batch III)
“Masih adanya ketakutan tersebut sebenarnya menjawab pertanyaan saya tentang kenapa program ini
tidak diadakan langsung di Minahasa (Buyat) tetapi di Batu Hijau, Newmont Nusa Tenggara?”
Eko Budi W.
(Peserta Batch III)
“Kapok lu! Nambang di negara gue, tegas nih pemerintah gue. Cabut lu sono!” ujar para aktivis itu.
Ilmi Mayuni Bumi
(Peserta Batch IV)
“Saya pikir perusahaan itupenuh dengan expat a.k.a buleleng. Ternyata, asumsisaya salah, Sodara-
Sodara!”
Titiw Akmar
(Peserta Batch III)
“Newmont kerap diduga dekatdengan kepentingan Yahudi.Namun, adagium itu hilangsetelah melihat
toleransi sesama Muslim dan antarumat beragama sangat kental.”
Dzulfikar Al-A’la
(Peserta Batch IV)
“Menurut Pak Kades, ada calo yang mengatur siapa yang bisa masuk Newmont. Katanya, orang
dalam. Calo ini biasanya minta fee 60 juta.”
Regy Kurniawan
(Peserta Batch III)
“Biarlah orang-orang berkata kami dicuci otaknya, tapi di sana memang kami mencuci otak kami
sendiri-sendiri dari bayang-bayang keburukan, dan akhirnya kami menemukan sisi baiknya.”
Dhanang Puspita
(Peserta Batch IV)
“Saya benar-benar bisamelihat apa yang ingin sayalihat dan saya bebas bertanyaapa pun yang bebas
sayatanyakan tanpa ada yangditutup-tutupi.”
Juwairiyah
(Peserta Batch II)
“Jika kita ingin Newmonthengkang dari Indonesia,mengapa masyarakatmalah bercita-cita
kerjadisana?”
Unggul Sagena
(Peserta Batch IV)
BUKA-BUKAAN DUNIA TAMBANG
Penulis: Peserta Sustainable Mining Bootcamp Newmont

Penyunting naskah: Diha dan Andika Budiman

Desain sampul: Kulniya Sally

Desain isi: Kulniya Sally

Digitalisasi: Nanash

Proofreader: Febti Sribagusdadi Rahayu

Layout sampul dan seting isi: Ahmad Syazidin dan Sherly

Hak cipta dilindungi undang-undang

All rights reserved

Rabi' Al-Tsani 1437 H/Februari 2016

Diterbitkan oleh

Penerbit Kaifa

Anggota Ikapi

Penerbit Mizan Pustaka

Jl Cinambo No 135 Cisaranten Wetan Bandung

www.mizanpublishing.com

ISBN 978-602-0851-31-0
E-book ini didistribusikan oleh
Mizan Digital Publishing
Jln. Jagakarsa Raya No. 40, Jakarta Selatan 12620
Telp. +6221-78864547 (Hunting); Faks. +62-21-788-64272
website: www.mizan.com
e-mail: mizandigitalpublishing@mizan.com
twitter: @mizandotcom
facebook: mizan digital publishing
idak sedikit masyarakat yang masih memiliki pandangan negatif
terhadap keberadaan industri pertambangan. Beberapa anggapan
mengenai konflik dengan masyarakat setempat dan kemiskinan yang
masih melanda masyarakat sekitar tambang, misalnya. Atau, kontribusinya
terhadap negara yang sering kali masih dipertanyakan, meski dalam
realitanya tidak dapat dimungkiri bahwa sumbangan sektor penambangan
untuk penerimaan negara terbilang cukup besar. Sektor ini juga kerap
dianggap tidak dapat berdampingan dengan perlindungan lingkungan hidup.
Di lain pihak, sadar ataupun tidak, berbagai sarana yang menopang aktivitas
manusia sehari-hari merupakan produk tambang. Berawal dari bebatuan tidak
bernilai, tembaga yang merupakan penghantar listrik terbaik misalnya,
mengalami proses penambangan, pengolahan, dan pemurnian terlebih dulu
sebelum kita gunakan. Begitu pun telepon genggam, alat transportasi, alat
masak, dan peralatan elektronik lainnya memiliki komponen yang bermula
dari batuan ataupun tanah tidak bernilai, kemudian diproses menjadi sesuatu
yang bernilai dan bermanfaat bagi manusia. Di saat bersamaan, beragam
tudingan miring pun tidak luput mengarah kepada PT NNT, seperti tuduhan
pencemaran akibat penempatan tailing di laut walaupun sampai saat ini tidak
pernah dapat dibuktikan, isu nasionalisasi karena dianggap perusahaan asing,
tidak taat pada peraturan pemerintah, kurang berkontribusi bagi masyarakat
setempat, dan sederet tuduhan miring lainnya. Berbagai upaya telah PT NNT
lakukan sebagai bentuk transparansi terhadap pengelolaan tambang dan
dampaknya terhadap lingkungan masyarakat, termasuk juga melalui
pengawasan dari pemerintah dan lembagalembaga independen. Salah
satunya, PT NNT mengundang masyarakat umum untuk mengunjungi lokasi
tambang Batu Hijau dan melihat secara langsung praktik-praktik
penambangan terbaik yang telah dilakukan. Dengan melihat secara langsung,
PT NNT ingin mengajak para peserta memberi penilaian objektif apakah
persepsi yang selama ini ada di benak publik sesuai dengan realita di
lapangan atau tidak.
Program tersebut adalah Sustainable Mining Bootcamp (SMB). Telah
dilakukan empat kali sejak 2012, para pesertanya berasal dari beragam latar
belakang profesi dan memiliki semangat tinggi untuk membagikan
pengalamannya di media sosial. Rangkaian kegiatan SMB ini dibuat apa
adanya. Peserta tidak dipungut biaya dan tidak juga menerima imbalan.
Seluruh peserta bisa melihat seluruh rangkaian proses tambang, baik kegiatan
penambangan, pengolahan batuan, pemeliharaan lingkungan, hingga interaksi
dengan masyarakat setempat secara leluasa. Para peserta bebas melihat dan
bertanya, hingga memberi masukan ataupun kritik terhadap perusahaan.
Selain melihat lengkap proses tambang, para peserta juga menginap di rumah
penduduk setempat selama beberapa hari. Di sana, mereka bebas berinteraksi
dan menanyakan secara langsung mengenai manfaat ataupun keluh kesah
masyarakat terhadap keberadaan tambang Batu Hijau. Dengan demikian,
diharapkan peserta bisa memahami kehidupan di dunia tambang dan dampak
operasi tambang secara komprehensif dan objektif.
Beberapa peserta dari keempat batch juga sempat melihat lokasi bekas
lahan tambang PT Newmont Minahasa Raya (PT NMR) di Kabupaten
Minahasa Tenggara, Provinsi Sulawesi Utara, yang telah ditetapkan sebagai
kebun raya nasional oleh pemerintah Indonesia dan merupakan eks tambang
emas pertama di Indonesia yang ditetapkan menjadi kebun raya. Di bekas
tambang ini, para peserta melihat program penutupan tambang yang telah
dilakukan oleh perusahaan sejak 2004, termasuk melihat lokasi tambangnya
yang kini hanya menyisakan danau dan hutan dengan tumbuh-tumbuhan
bernilai ekonomi tinggi, serta habitat yang sesuai dengan serangga dan hewan
asli setempat. Menurut penilaian pemerintah, nilai keberhasilan reklamasi PT
NMR ini mencapai 93, lebih tinggi dari standar yang ditetapkan pemerintah
(80). Melalui kunjungan ke bekas tambang PT NMR ini, peserta bisa melihat
dan membuktikan secara langsung komitmen kami untuk menjalankan
operasi tambang yang ramah lingkungan dan dilaksanakan dengan standar
terbaik. Selain itu, kunjungan mereka juga untuk dapat melihat sendiri bahwa
lokasi tambang yang ditinggalkan oleh PT NMR tidak menjadi kota mati –
seperti yang selalu menjadi dugaan banyak orang, namun kehidupan ekonomi
di sana tetap berlanjut dan mandiri.
Berdasarkan pengalaman tersebut, para peserta kemudian membagikan
pengalaman yang didapat melalui akun-akun media sosial yang mereka miliki
kepada khalayak yang lebih luas lagi. Tanpa ada campur tangan perusahaan
terhadap informasi yang mereka sampaikan, pengalaman yang mereka
dapatkan telah dipublikasikan di media sosial dan telah diulas beberapa kali
di media cetak, serta dapat dibaca dalam kumpulan tulisan Buka-Bukaan
Dunia Tambang ini. Tidak sedikit pujian maupun kritik membangun telah
kami dapatkan dari para peserta, untuk kemudian kami jadikan bahan
evaluasi di internal. Semoga, pengalaman yang telah didapatkan oleh peserta
SMB di tambang Batu Hijau maupun Minahasa Raya ini dapat menambah
wawasan kita mengenai proses penambangan serta berbagai hal yang terkait
di dalamnya.
Happy reading!
A re blogs and twitter hijacking Journalism? Sebuah pertanyaan Mary
Cross (2011) mungkin terdengar sederhana, tetapi jawaban dari
pertanyaan tersebut tidak sesederhana yang dibayangkan. Media
tradisional, kini tidak lagi menjadi satu-satunya saluran dalam menggali
informasi. Juga, praktik jurnalisme dengan dukungan institusi media
mainstream yang telah berusia berabad lamanya seperti mulai mendapat
persaingan dari blogger yang hanya seorang diri dalam hal publikasi
peristiwa. Perkembangan teknologi informasi dan perangkat pintar, seperti
smartphone, tab, atau portable camera seperti menjadi kebutuhan kekinian
bagi masyarakat di era informasi. Hanya saja, di tangan blogger, perangkat
pintar tersebut menjadi “senjata” untuk merekam pengalaman mereka, ketika
berinteraksi dan menyaksikan sebuah peristiwa. Rekaman itulah yang
nantinya akan diunggah di blog masing-masing dan dalam hitungan detik
akan tersebar (share) ke seluruh dunia tanpa mengenal batasan geografis.
Lalu, komentar yang datang dari pengunjung menjadikan konten blog
sebagai bahan perbincangan (trending topic) di dunia maya.
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa blogger sebagai pesaing menjadi
lebih menarik untuk diuraikan. Setidaknya, saya mencatat ada beberapa
alasan untuk ini. Pertama, peristiwa yang ditulis dan dipublikasikan di blog
cenderung lebih detail dan beragam jenis. Media tradisional memiliki banyak
batasan, jumlah kolom atau durasi tayang adalah dua di antaranya, belum lagi
struktur organisasi redaksi yang akan menyeleksi laporan mana yang layak
atau tidak untuk ditayangkan. Blog bisa dikatakan hampir tidak terbatas, baik
dalam hal kapasitas konten maupun masa tayang. Peristiwa yang diunggah
oleh blogger juga cenderung beragam mulai dari teks, audio, bahkan audio
visual.
Kedua, sudut pandang personal lebih mengandalkan pengalaman pribadi
blogger itu sendiri. Meski masuknya opini tidak bisa dihindari dalam tulisan
di blog, namun salah satu kekuatan dari “naik daun”-nya blogger adalah dia
membagi pengalaman mereka kepada pembaca lain yang sebagian besar bisa
jadi adalah blogger juga. Teknik bercerita dari sudut pandang orang pertama
ini yang merupakan kekuatan dari seorang blogger.
Ketiga, ada semacam pergeseran kepercayaan terhadap sumber informasi
dari media tradisional ke media alternatif digital, seperti blog atau media
sosial pada umumnya. Khalayak tidak lagi sekadar menjadi pembaca atau
penonton semata. Khalayak telah bertransformasi dari konsumen media
menjadi sekaligus produsen konten media. Kondisi ini membawa semacam
contact comfort di mana sumber informasi itu bukan lagi tergantung pada
nama besar institusi media melainkan siapa yang memberikan informasi
tersebut (Blossom, 2009; Tuten, 2008).
Sebagai seorang akademisi media siber (cybermedia) yang kebetulan juga
blogger, buku Buka-bukaan Dunia Tambang ini menjadi salah satu buku
langka yang merekam jejak pengalaman blogger-blogger dalam agenda
Sustainable Mining Bootcamp. Program ini diselenggarakan oleh PT
Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) di Batu Hijau, Kabupaten Sumbawa
Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang mengajak blogger melihat
langsung bagaimana perusahaan ini menambang, melakukan CSR dan
reklamasi lingkungan area pertambangan secara cumacuma. Kelangkaan itu
akan terlihat dari beragam cerita di seputar kegiatan tersebut yang pada
awalnya terpublikasi di blog masing-masing peserta.
Misalnya, bagaimana serunya menyantap hidangan di ruang makan,
pengalaman menaiki haul truck yang setinggi 7 meter, maupun foto narsis
bersama anak-anak SD Negeri Tongo.
Cerita dari 16 peserta bootcamp ini, seperti menyajikan 16 menu sajian
yang berbeda di buku ini. Sebuah model tulisan—yang rasa-rasanya—jarang
dijumpai di media mainstream. Sebab, ada kecenderungan blogger tidak
terikat dengan pakem-pakem tertentu selayaknya jurnalis di media
mainstream dalam laporan liputan mereka.
Tetapi, itulah sesungguhnya dari kekuatan blog. Tidak peduli kaidah tata
bahasa, jarang menggunakan kata baku, atau kalimat yang terkadang kurang
lengkap bukan lagi menjadi persoalan, ketika sebagai pembaca, kita bisa
menikmati dan seolah-olah menjadi bagian dari rangkaian kegiatan para
blogger itu.
Dan ... di buku Buka-bukaan Dunia Tambang ini, saya sangat menikmati
cerita demi cerita itu.

Dr. Rulli Nasrullah, M.Si


Blogger dan Digital Media Consultant
www.kangarul.com
Eko Budi W.
Sustainable Mining Bootcamp sebagai Media Coverage PT Newmont
M. Zacky S.
Wisata Tambang (Ndas’mu Mlocot)
Andhtya Firselly Utami
Indonesia’s Mining Industry Through Young Eyes
Raiyani Muharramah
Saya Tidak Lulus Saja
Ilmi Mayuni Bumi
Tambang Itu Seksi!
Titiw Akmar
Menilik Dalaman Newmont Nusa Tenggara
Dzulfikar Al-A’la
Para Pencari Tuhan di Area Tambang
Rahmasari Noor Hidayah
Perempuan-Perempuan Tangguh di Balik Dunia Tambang
Harris Maulana
Cita-Cita, Tabungan, dan Ombak Pantai Maluk
Daniel Mashudi
Menjalin Asa Serabut kelapa
Alfonsius Billy J.
Menengok Proses Produksi Pupuk Kompos di Desa Aik Kangkung,Sumbawa
Farchan Noor r.
Bootcamp Batu Hijau 3: Maluk, Dari 36 Menjadi Puluhan Ribu
Cumi lebay
Lingkar Tambang Newmont Nusa Tenggara
Regy Kurniawan
Cerita Pak Kades
Denny reza
Dutch Disease, Penyakit Tambang Yang Harus DilawanPemda Sumbawa Barat dan PT
Newmont Nusa Tenggara
Ibnu Budiman
Mengenal Maluk dan Sekongkang
Rijal Fahmi Mohamadi
Menembus Belantara Sumbawa, Demi Air Terjun Perpas!
Barry Kusuma
Suka Pantai? Datanglah ke Sumbawa Barat
Dhanang Puspita
Aku Pulang dari Tambang
Adella Adiningtyas
Apa Kata Mereka
Juwairiyah
Sustainable Mining Bootcamp: Kegiatan Efektif Mendapatkan Pemahaman Komprehensif
Unggul Sagena
Merenung Tambang, Memahami Harga Kehidupan dan Nilai Penghidupan
Diah Setiawaty
Mengintip Praktik CSR Newmont Nusa Tenggara
Muhammad roghib
Bersikap (Adil) pada Perusahaan Tambang
Murni Amalia
NNT Bootcamp, Sumbawa – Minding a Mine Site
Fajri Satria Hidayat
Konsistensi Deep Sea Tailings Placement PT NNT dalam Menjaga Lingkungan Laut yang
Menawan
Fafa Firdausi
Bicara Tambang, Bicara Lingkungan
Bootcamp Goes to Minahasa Tenggara
Subhan Azharullah
Menikmati Kekayaan Bahari Tiada Dua di Teluk Buyat
Unggul Sagena
Reklamasi Tambang Newmont di Buyat: Pandangan Mata diHutan “Mesel Pit”
Diah Setiawaty
Buyat: Riwayatmu Kini
Fafa Firdausi
Menengok Teluk Buyat
Eko Budi W.

M asih ingat kasus PT Newmont Minahasa Raya (NMR) yang dituduh


telah mencemari lingkungan dan menyebabkan terjadinya gangguan
terhadap penduduk di komunitas lokal? Juga berita memprihatinkan
tentang hilangnya penghasilan nelayan yang selama ini menangkap ikan di
Teluk Buyat, Minahasa, Sulawesi Utara.
Pada April 2007 Majelis Hakim Pengadilan Manado memvonis PT NMR
tidak terbukti secara sah melakukan pencemaran. Namun kasus tersebut telah
tercatat di berbagai media massa yang bisa kita akses hingga sekarang, yang
menampilkan sisi di mana telah terjadi pencemaran air, perusakan lingkungan
dan ekosistem, serta kemunculan dampak buruk terhadap kesehatan
penduduk lokal. PT NMR saat itu konsisten membantah tuduhan yang
ditujukan. PT NMR secara konsisten mengomunikasikan bantahan-bantahan
bahwa mereka tidak melanggar peraturan termasuk perncemaran terhadap
perairan di Teluk Buyat.
Jika menyimak pemberitaan beberapa media, bisa disimpulkan bahwa PT
NMR saat itu terlihat kurang peka terhadap isu-isu yang menyudutkan
dirinya. PT NMR sering membantah pemberitaan media secara negatif. Hal
ini memberi kesan tidak ada keterbukaan terhadap media massa dan
memancing kecurigaan aktivis lingkungan terhadap gerak-gerik Newmont.
Akibatnya, Newmont diserang dan terbentuklah citra negatif di media massa
yang tertanam sampai saat ini.
Dengan telah ternodanya reputasi dan terlukanya citra PT NMR, saat ini
pemulihan nama baik dan luka citra ini sedang dimulai oleh Newmont
dengan keterbukaan manajemen yang lebih transparan. Salah satu cara untuk
mengurangi terjadinya negative media coverage adalah dengan keterbukaan
dalam berkomunikasi dan menciptakan komunikasi dua arah.
Saya mengapresiasi Sustainable Mining Bootcamp (SMB) yang
diselenggarakan oleh PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) dalam hal ini
untuk menampilkan kembali citra perusahaan Newmont pada aspek
keterbukaan. SMB adalah kegiatan camp yang melibatkan berbagai elemen
masyarakat baik mahasiswa ataupun para profesional yang tertarik untuk
belajar mengenai bagaimana pengelolaan pertambangan yang dilakukan oleh
PT NNT. Di sini terlihat bagaimana kemudian keterbukaan Newmont itu
mulai nampak, nantinya peserta selama beberapa hari akan diajak ke tambang
PT NNT di Batu Hijau dan dalam kesempatan ini peserta akan mengalami:

Mining Experience Memperlihatkan operasional tambang, safety yang


diaplikasikan, dan bentuk tanggung jawab terhadap lingkungan yang hasil
buminya diambil.

Social Experience Memperlihatkan bahwa konsep Sustainable Mining itu


mencakup bantuan perekonomian untuk warga di sekitar tambang, sehingga
jika suatu saat perusahaan tambang sudah tidak beroperasi lagi di daerah
tersebut, penduduk sekitar bisa bertahan dengan usaha mereka sendiri.

Natural Experience
Memperlihatkan usaha dalam pelestarian lingkungan walaupun tidak
termasuk dalam wilayah pertambangan.

Masih adanya ketakutan yang datang dan dirasakan oleh Newmont sendiri
nampaknya di sini ketika proses pembuatan program SMB. Ketakutan yang
muncul ketika bagaimana orang luar bisa bebas mengekspresikan hal-hal
yang ditemuinya selama program tersebut. Saya jumpai pada pembukaan
Program SMB 3rd Batch di Oakroom Apartemen 3 Mei 2013 Rubi W.
Purnomo sebagai Head of Corporate Communication PT NNT mengatakan
bahwa program SMB ini butuh pendekatan yang cukup intens untuk
meyakinkan para founder di Denver, Colorado, Amerika Serikat yang
tergabung dalam Newmont Gold Company untuk melakukan keterbukaan
atas segala aktivitas yang mereka lakukan di lokasi tambang. Kekhawatiran
para founder dan pemegam saham bisa terlihat ketika Rubi W. Purnomo
menyampaikan pendapatnya secara langsung untuk mengadakan SMB ini:

“Nanti kalau mereka nulis yang jelekjelek tentang


Newmont bagaimana? Saya bilang kalau kita sudah
melakukan yang terbaik dan tidak ada kejelekan yang
kita tutup-tutupi kenapa kita harus takut?
Masih adanya ketakutan tersebut sebenarnya menjawab pertanyaan saya
tentang kenapa program ini tidak diadakan langsung di Minahasa (Buyat)
tetapi di Batu Hijau, Newmont Nusa Tenggara? Untuk program baru ini,
memang perlu adanya kehati-hatian, dikhawatirkan program tersebut bisa
menjadi bumerang untuk mereka sendiri. Mungkin keadaan di Batu Hijau
yang lebih baik dibanding Minahasa kemudian membuat program ini
awalnya dilakukan di Batu Hijau terlebih dahulu.
Tanpa mengurangi rasa apresiasi saya terhadap Newmont yang telah
membawa semangat keterbukaan itulah yang ingin saya gambarkan, karena
program ini merupakan program pertama yang ada di Indonesia di mana
peserta bisa melihat aktivitas kegiatan pertambangan dan mengomentarinya
di media sosial. Nantinya peserta bebas berekspresi menuliskan apa yang
mereka lihat selama program berlangsung. Kemudian para peserta secara
aktif menuliskan pengalaman daily activity selama di sana dan kemudian
menyebarkannya dan berbagi pada akun di media sosial yang mereka miliki.
Saya menyadari bahwa cara komunikasi seperti ini merupakan cara yang
efektif untuk menampilkan citra Newmont yang lebih bersahabat, walaupun
pada program ini baru mengunjungi lokasi tambang yang berada di Newmont
Nusa Tenggara, bukan di Minahasa (lokasi kasus Buyat terjadi) tetapi
langkah ini cukup penting untuk mengurangi negative media coverage
terhadap Newmont. Dengan program ini cukup dari orang luarlah kemudian
yang nantinya akan menjadi juru media mengabarkan kondisi Newmont yang
sebenarnya secara aktual.
M. Zacky S.

ertama kali mendengar kata “Tambang”, yang terlintas pertama kali


mungkin “perusak alam”, “perompak kesejahteraan warga sekitar”,
atau mungkin “pemerkosa kekayaan bangsa” …. Hmmm, awam sekali
pemikiran itu, Kawan. Mungkin karena pembentukan opini publik yang
sudah terlanjut negatif terhadap tambang. Go out and see the world my friend,
then you can judge that. Jangan lihat dan menilai dunia dari layar dan
informasi yang bersifat “katanya”.
PT Newmont Nusa Tenggara berlokasi di Batu Hijau, sebelah barat daya
Pulau Sumbawa, Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat,
Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. PT Newmont Nusa Tenggara
beroperasi berdasarkan Kontrak Karya yang ditandatangani pada 2 Desember
1986 dan memulai operasi penambangan pada Maret 2000. Setelah melalui
pengkajian panjang secara teknis dan lingkungan, serta disetujui pemerintah
Indonesia.
Batu Hijau merupakan sebuah tambang terbuka, artinya semua mineral
berharga mengandung unsur tembaga, emas, dan perak ditambang dari
permukaan tanah dengan menggunakan berbagai peralatan tambang, seperti
shovel dan truk pengangkut. Batu Hijau merupakan cebakan tembaga porfiri
dengan sedikit kandungan emas dan perak. Di sini, logam berharga tidak
dapat secara langsung diperoleh karena bercampur dengan mineral lainnya
yang tidak memiliki nilai ekonomis. Perbandingannya seperti ini, setiap ton
bijih yang diolah hanya menghasilkan 4,87 kilogram tembaga dan rata-rata
perolehan emas jauh lebih sedikit, hanya 0,37 gram dari setiap bijih yang
diolah (jadi ingat, ini bukan tambang emas).
Penambangan di Batu Hijau menggunakan metode pengeboran dan
peledakan untuk memudahkan batuan yang mengandung mineral terlepas
dari tanah (batunya keras, Coy. Lama kalau dicangkul). Batuan yang terlepas
diangkut ke crusher menggunakan haul truck (bukan gaul truck yang di bak
belakangnya banyak gambar dan tulisan-tulisan oke “Seberat-berat rindumu
masih berat muatanku”) berkapasitas 240 ton. Kemudian, di crusher, batuan
tersebut dihancurkan sampai lebih kurang berdiameter 15 cm untuk
memudahkan pengolahan.
Setelah dihancurkan oleh crusher, batuan (biji) diangkut dengan ban
berjalan sepanjang 6 km menuju konsentrator (pabrik pengolahan). Di
konsentrator, batuan dipisahkan dari mineral melalui dua proses, yaitu
penggerusan dan flotasi. Flotasi merupakan cara konsentrasi kimia fisika
untuk memisahkan mineral berharga dari yang tidak berharga berdasarkan
perbedaan daya pembasahan atau daya penyerapan air.
Partikel yang mendapat pembasahan lebih besar akan tenggelam atau
mengendap, sedangkan yang daya pembasahannya kecil akan mengapung
sebagai busa. Setelah proses penggerusan menggunakan air laut dengan
menggunakan SAG (Semi Autogenous) mill dan ball mill sampai halus
menjadi bubur, kemudian dialurkan menuju sebuah tangki siklon untuk
pemisahan akhir partikel biji, lalu dialirkan lagi ke tangki (sel flotasi) lainnya
untuk diambil kandungan mineral berharganya. Biasanya, kandungan mineral
(konsentrat) akan mengapung dan sisa kandungan yang tidak ekonomis akan
mengendap (tailing).
Dari proses flotasi menghasilkan konsetrat dan tailing. Konsentrat PT
NNT merupakan mineral berharga berupa bubuk atau pasir yang akan
dileburkan (smelter) di pabrik yang terdapat di Gresik dan di berbagai
penjuru dunia untuk menjalani pemisahan dan pengambilan logam berharga,
yaitu tembaga, emas, dan perak, sedangkan tailing merupakan batuan lumpur
yang tersisa dari pengolahan tembaga dan emas.
PT Newmont Nusa Tenggara menggunakan sistem Deep Sea Tailing
Placement (DSTP) atau Penempatan Tailing Laut Dalam. Penanganan tailing
dimulai setelah proses pemisahan mineral (flotasi), kemudian masuk ke
tangki De-Aerasi (tangki ini berfungsi untuk menghilangkan kandungan
udara dalam tailing agar ketika ditempatkan ke laut dalam, tailing tidak
bergerak ke atas akibat kandungan udara yang masih ada dalam tailing).
Setelah proses De-Aerasi, tailing dialirkan melalui pipa ke tepi palung laut
yang terdapat di Teluk Senunu sepanjang 3,4 km dengan kedalaman 125 m di
bawah permukaan laut. Karena kepadatannya dan berat jenisnya, tailing akan
mengalir secara alami menuruni palung yang dalam dan mengendap di
dasarnya.
Penempatan tailing ini sudah mendapat persetujuan Menteri Lingkungan
Hidup dan pemerintah Indonesia, serta melalui pertimbangan kenapa
ditempatkan di laut dalam, yang hanya dihuni macrobenthos (bentuk
organisme (binatang atau tanaman) dimensi yang terpendek lebih besar dari
atau sama dengan 0.5 mm). Walau hanya ada macrobenthos, keadaan palung
tetap dipantau. FYI, palung tersebut selain dalam, juga luas. Menurut salah
satu petugas DSTP mengatakan, palung tersebut lebih besar dari Pulau
Sumbawa.
Pemantauan sistem penempatan tailing bawah laut (DSTP) dilakukan
secara intensif untuk memastikan sistem berfungsi sesuai rancangan, yaitu
meminimalkan dampak potensial bagi lingkungan dengan cara pemantauan
terumbu karang, sedimen laut, ikan ekologi muara, dan mutu air yang
dilakukan tenaga ahli dan profesional.
Selain Pemantauan terhadap tailing, PT NNT juga melakukan program
reklamasi dengan penanaman kembali tanaman dan tumbuhan asli (endemik)
sesuai bukaan lahan yang dipakai. Reklamasi dilakukan seiring kegiatan
tambang dilakukan. Jadi, tidak harus menunggu selesai menambang. Tidak
hanya menanam kembali, tetapi juga memantau vegetasi secara berkala guna
memastikan metode erosi pencegahan dan pelestarian alam terlaksana secara
efektif.
Informasi yang saya paparkan ini, saya dapat karena mengikuti program
“Sustainable Mining Bootcamp Batch 3” di Tambang Batu Hijau milik PT
Newmont Nusa Tenggara pada 12-20 Mei 2013. Pertama kali mendapat
tawaran bootcamp, terlintas tambang bisa sustain? Wow, serius, lho! Selama
ini, berpikir skeptis tentang tambang tanpa tahu apa itu tambang secara detail.
Di balik rasa penasaran, akhirnya saya berangkat menuju Tambang Batu
Hijau dan ingin membuktikan kebenaran opini yang beredar di masyarakat
terutama tentang bahaya tailing.
Dan, saya membuktikan dengan meminum air proses tailing.
Alhamdulillah, masih sehat sampai detik ini. (Ini bukan
tulisan berbayar … hahaha).
Hari pertama di Tambang Batu Hijau, saya hanya mampu takjub—di
dalam hati— tentang disiplinnya PT NNT terhadap keselamatan kerja. Hari
kedua mulai “Oke” dan … hari ketiga “WOW”, kemudian hari-hari
selanjutnya ... “Oimaigot”.
Program bootcamp ini juga selain memaparkan detail proses
penambangan, juga memberikan kesempatan para peserta berinteraksi dengan
penduduk lingkar tambang agar mengetahui dampak-dampak sosial
pertambangan. Para peserta tinggal di rumah warga untuk mengorek
informasi sebanyak-banyak dan sebebas-bebasnya tentang keberadaan PT
NNT di tanah mereka.
Selama empat hari tiga malam, kami tinggal di rumah penduduk setempat
dengan berpindah-pindah dari Desa Aik Kangkung ke Desa Sekongkang
Bawah dan Maluk (Terima kasih, Bapak dan Ibu yang sudah berbaik hati
memberi asupan gizi dan tempat berteduh). Selama itu pula, saya berinteraksi
dengan warga sekitar untuk mengetahui dampak sosial yang disebabkan oleh
perusahaan tambang.
Saya tercengang dengan program-program pengembangan masyarakat
yang dibuat Newmont, ternyata berdampak baik bagi masyarakat sekitar
tambang. Walau begitu, ada juga dampak negatif, seperti kecemburuan sosial
karena belum meratanya infrastruktur yang diberikan Newmont kepada
masyarakat sekitar. Menurut saya, perlu waktu untuk mewujudkan semuanya.
Tujuan utama PT NNT membuat program pengembangan masyarakat
untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar melalui pembangunan
ekonomi berkelanjutan. Selain itu, pengembangan Sumber Daya Manusia dan
mereduksi dampak sosial yang bersifat negatif terhadap keberadaan tambang.
Oleh karena itu, PT NNT membuka lapangan kerja sebanyak mungkin, serta
berusaha membantu masyarakat untuk mengembangkan industri usaha kecil.
Maksudnya agar setelah penutupan tambang, masyarakat tetap memiliki
kehidupan yang sejahtera.
Program pengembangan masyarakat PT NNT didasarkan beberapa
prinsip.
1. Prinsip Berkelanjutan, yaitu mewujudkan masyarakat mandiri dan
manfaat berkelanjutan bagi masyarakat meskipun masa operasi tambang telah
berakhir.
2. Prinsip Kemitraan, yaitu mengutamakan konsultasi aktif, kerja sama
kemitraan dengan masyarakat, pemerintah, LSM, dan organisasi lokal
lainnya.
3. Prinsip Teknologi Tepat Guna, yaitu mengembangkan teknologi tepat
guna yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dapat dioperasikan, serta
dikelola oleh masyarakat sendiri.
4. Prinsip Penggalangan Dana, yaitu menciptakan sinergi antara sumber
daya PT NNT dengan bantuan dana yang berasal dari lembaga donor, LSM,
lembaga multilateral, dan investasi atau kontribusi sektor swasta.
5. Prinsip Praktik Terbaik, yaitu menerapkan praktik terbaik pada bantuan
usaha dan bantuan pengembangan untuk keperluan analisis, desain,
implementasi, dan evaluasi program.
6. Prinsip Kontribusi Masyarakat, yaitu membutuhkan kontribusi aktif
masyarakat dalam berbagai jenis kegiatan untuk memastikan kepemilikan dan
berkelanjutan.
Dari enam prinsip tersebut, program pengembangan masyarakat PT NNT
dipusatkan untuk mengembangkan Sumber Daya Manusia terpadu. Sehingga,
siap menghadapi hidup, serta pemanfaatan Sumber Daya Alam yang sejalan
dengan perencanaan pembangunan berkelanjutan.
Selain enam prinsip dasar, PT NNT menitikberatkan pada lima nilai
utama dalam mengembangkan masyarakat sekitar tambang, yaitu sebagai
berikut.
1. Kesehatan Masyarakat. Kegiatan kesehatan yang bersifat preventif,
seperti pengendalian malaria, kesehatan ibu dan anak, air dan sanitasi,
program pencegahan penyakit menular, serta program pelatihan kesehatan.
Dengan membangun Puskesmas yang salah satunya saya datangi di
Sekongkang.
2. Pengembangan Pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan melalui
pelatihan guru, pelatihan kejuruan (perbengkelan, otomotif, pengelasan, dan
kelistrikan untuk menyiapkan tenaga kerja siap pakai). Setiap tahun
memberikan beasiswa kepada masyarakat lokal, serta program perpustakaan
keliling.
3. Pengembangan Ekonomi, terdiri atas program pertanian dan usaha
lokal. Pada program pertanian, perhatian utama diberikan pada sistem
intensifikasi pertanian dan pertanian terpadu dengan memadukan teknik
pertanian yang sudah ditingkatkan, diversifikasi tanaman, pupuk organik,
pengendalian hama terpadu, dan jaringan pemasaran. Beras yang dihasilkan
diproduksi secara massal dan disalurkan ke supermarket. Sayangnya,
walaupun sudah terprogram menggunakan teknologi tepat guna, masih
banyak masyarakat yang belum percaya untuk mencoba program tersebut
dikarenakan masih percaya dengan sistem tanam tradisional.
4. Pengembangan Usaha Lokal menjadi motor pertumbuhan ekonomi
berkelanjutan. Bidang pengembangan meliputi: usaha menjahit, pembuatan
paving block, perbaikan kontainer, penggergajian kayu, pembuatan jaring
jute (goni), produk pertanian, budi daya ikan, dan jasa kontraktor. Termasuk,
keuangan mikro dan pelatihan keterampilan usaha. Gagasan “Pembelian
Lokal” yang diterapkan di seluruh departemen PT NNT bermaksud
meningkatkan pembelian produksi dan layanan jasa sosial dan agar usaha
lokal dapat memenuhi persyaratan standar PT NNT.
5. Pembangunan Infrastruktur. Peningkatan prasarana meliputi perbaikan
jalan dan saluran air, pembangunan dan rehabilitasi gedung sekolah,
pembangunan klinik, pengadaan air bersih dan irigasi, pembangunan tempat
penimbunan sampah, sarana pariwisata, dan pasar tradisional.

Dengan program-program pengembangan masyarakat yang dilakukan PT


NNT, aspek terpenting adalah kontribusi masyarakat. Masyarakat diberi
stimulus untuk mengembangkan Sumber Daya Alam sendiri. Ketika berada
di tengah-tengah masyarakat, saya menemukan beberapa yayasan yang
dibentuk PT NNT mempunyai manfaat bagi masyarakat, contohnya Yayasan
Olat Parigi (YOP) yang bertujuan mendukung aspirasi yang berkembang di
masyarakat dan membantu mengidentifikasi. Ada juga yayasan berbasis
masyarakat, Yayasan Pembangunan Ekonomi Sumbawa Barat (YPESB),
yang menjalankan program pemberdayaan dan penguatan kapasitas ekonomi
usaha mikro di Sumbawa Barat.
Contohnya, lumbung padi di Desa Aik Kangkung yang dikelola YPESB.
Lumbung padi tersebut memberikan pelatihan kepada masyarakat tentang
teknologi pertanian agar dapat panen setahun dua atau tiga kali yang biasanya
hanya panen satu kali dalam setahun. Serta, menyiapkan pupuk dengan harga
murah untuk petani yang bergabung di koperasi tersebut. Dan, memberikan
pelatihan strategi ekonomi pertanian agar petani dapat menikmati hasil secara
berkelanjutan.
Memang benar sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Ada gejala sosial
yang saya temukan di masyarakat sekitar tambang. Segelintir masyarakat
terlalu “demanding” kepada PT NNT, jadi melupakan potensi alam.
Contohnya, lebih memilih bekerja di PT NNT dengan alasan “prestige”
padahal jika dilihat sangat banyak potensi alam Sumbawa Barat jika
dikembangkan menjadi mata pencaharian yang dapat mensejahterakan,
misalnya pariwisata.
Selama berada di Sumbawa Barat, saya tidak pernah berhenti kagum
dengan keindahan alam. Mulai dari pantai pasir putih dengan ombak kelas
dunia, kerindangan hutan dengan air terjun yang sejuk, desa budaya di atas
bukit yang memiliki sejarah, dan pemandangan superindah.
Salut dengan keberanian PT NNT dengan program Sustainable Mining
Bootcamp yang membeberkan detail data kepada masyarakat tentang
tambang dan dampak sosialnya. Program-program yang dikembangkan di
masyarakat oleh PT NNT bukan program sepihak dari perusahaan, tetapi
program-program yang menjadi kebutuhan masyarakat, serta
mengembangkan ekonomi mandiri dengan menanamkan fondasi agar bisa
berdiri sendiri nantinya.
Satu hal yang pasti, Kawan, jangan anggap tambang tempat wisata. Lu
kira orang bisa masuk seenak jidat lu. Hal yang benar, tuh, Wisata Lingkar
Tambang (Ngerti yang ini maksudnya?).

In every walk with nature one receives more than he seeks.


—John Muir
Andhtya Firselly Utami

large part of the land in West Sumbawa has been significantly


affected by mining operations and it requires magic to completely
rehabilitate what used to be a green hill, but the engineers of PT NNT
ensure that at least they preserve what is possible.
A major challenge facing mining companies is to turn obstacles into
opportunities. One of Indonesia’s biggest miners PT Newmont Nusa
Tenggara knows it too well.
PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) is the Indonesian unit of Newmont
Mining. It operates the Batu Hijau gold and copper mine in Sumbawa Island,
West Nusa Tenggara.
Newmont Nusa Tenggara, through its corporate social responsibility
program, set up an annual Sustainable Mining Bootcamp to introduce
sustainable mining operations through a hands-on experience. Now in its
second year, the company invited seventeen participants from various
backgrounds (engineering, business, travel, journalism) to get involved in
various activities at the Batu Hijau mining site.
Within a week, participants were given the opportunity to observe how
the company run their mining, processing, environmental maintenance, as
well as corporate social responsibility projects.
The Jakarta Globe Blogs spoke to Andhyta Firselly Utami, a university
student majoring in international relations and participant of this year’s
program about how mining operations affect local people and their
environment, and why young Indonesians need to care about the issue.

Andhyta, why did you decide to join the bootcamp?


The debates surrounding the morality of mining—not to mention additional
sentiments sparked by nationalism— has always tickled me. I wanted to take
a closer look upon how everything was done.
How can these mining companies heartlessly disrupt the
balance of nature for the sake of mere profit? Do they really
calculate the harm that they’re creating in order to dig some
minerals from the ground?

These questions—including the problem of what benefits Indonesian


people can gain from their business— were what encouraged me to
participate in the event.

By the end of the camp, were your questions answered?


Yes. I learned that it is somehow ridiculous to completely oppose mining
because we cannot deny the benefits that come from it. What we should do,
then, is not as simple as campaigning against it, but instead ensuring that it is
done responsibly and sustainably i.e. taking the environment into
consideration while contributing in programs that will accelerate the society’s
progress.

In your own words, what impacts do mining operations


have on surrounding areas?
Environmentally, mining operations will leave tailing— the residue of ore—
in the form of mud with unworthy minerals in the end of their processing
scheme. There are several ways to dump this waste; among others, PT NNT
chose to channel it off to the sea through a pipe line streaming down 250
meters underneath the surface. This was proclaimed as the safest, possible
way to dump the waste, especially because it is far from the area of water
where oceanic creatures live.

Socially, I am quite concerned with how the society of West


Sumbawa are still very dependent on the business.

Receiving frequent benefits from various social projects by PT NNT, the


local people seem to be slow in developing their own ventures. This issue
becomes very important, especially because the possibility that mining
process will stop eventually—10, 20 years tops.
Additionally, there is also an apparent economic gap between people who
work in PT NNT and those who don’t. It is to nobody’s surprise that most of
the people in their productive age also seek to work in PT NNT—further
affirming their dependency.

But environmental activists argue that waste-dumping


activities in the sea are dangerous and concern about the damage to the
marine ecosystem.
Adding a significant amount of minerals to the sea water, however, the risks
are still there. In order to overcome this, PT NNT regularly check the quality
of the water as their control mechanism.

What were your analysis and recommendations for PT NNT to better


their mining operations in the country?
Most of the participants highly appreciated the quality of PT NNT’s
management in regards with its mining, processing as well as environmental
operations. Not only PT NNT has portrayed before us its long term plan to
achieve sustainability, they also took us around the mining area to witness
directly how things get done and risks are anticipated. In order to enhance the
effectiveness and efficiency of their projects, some of the participants
suggested a better enactment of periodical monitoring and evaluation system.
Additionally, we also suggested PT NNT to not stop at establishing strong
relationship with the government, but also partnership with nonprofit
organizations in carrying out their programs.
What lessons have you learned after participating in the camp?
First of all, “sustainability” is not something ascribed— human beings have
to put extra efforts and sacrifice some of their resources to achieve it.
Although, PT NNT has a lot of room for improvements in their CSR practice,
they have demonstrated one of the best practices in terms of maintaining the
quality of their mining operations. The principles of sustainability were not
only carried on through their comprehensive geological analysis before and
during the mining process, but also how they ambitiously plan to have a
holistic reclamation to restore back the nature in the long term.

Of course, a large part of the land has been significantly


affected and it requires magic to completely rehabilitate
what used to be a green hill, but the engineers of PT
NNT ensure that at least they preserve what is possible.
One of them opened my eyes when he said, “What can’t
be grown has to be mined, but all of us are obliged to be
responsible in doing so.”
Second, the blame for all mining-related problems should go equally to
both the company and government. Well-implemented regulations play a
pivotal role in establishing the foundation that can later control both social
and environmental impacts of mining operations. In the case where a
corporation has met all regulations set by the government but still create
issues and complaints from the people, the bureaucrats should also be
proactive in taking measures to manage particular crises.

Why do you feel young Indonesians need to care about this issue?
Indonesia is one of the few countries that is bestowed with so much natural
resources. It is such a big loss that at this point we have to let foreign hands
handle what actually belongs to our nation because we’re barely able to do it
on our own. The awareness about mining-related issues, therefore, is by all
means important for youth as our country’s future decision-makers,
entrepreneurs, as well as engineers.
For more information, check Newmont Nusa Tenggara Sustainable
Mining Bootcamp on Twitter @NewmontID with hastag
#NewmontBootcamp and Facebook.
Raiyani Muharramah

N gedumel, manusiawi sekali, namanya juga manusia, enggak pernah ada


kata puas, bersyukur? Ya kalau ingat. Kadang berdoa pun apabila
sedang susah, begitu senang jadi lupa. Namun, tidak pada kesempatan
kali ini, walaupun sempat kecewa berat saat ada penundaan keberangkatan
pada 20 April setahun lalu, namun anggap saja celengan traveling, satu titik
tujuan sudah tercover dengan baik. Saya yang terlahir, eh bukan, terbiasa
sehari-hari berkegiatan memotret, menulis bagi saya belum menjadi kegiatan
yang rutin, walau tiap bulan saya terus saja dikejar deadline untuk menulis
tentang alam budaya Indonesia yang kaya raya cantik aduhai ini. Menulis,
walau masih awam, terus saya pelajari dari siapa saja, anggap diary berjalan,
dengan jalan ini saya bisa cerita ke banyak orang tanpa lelah mulut berbusa.
Manfaatnya banyak dan jadi pahala juga, lho. Uhm, pembukaan yang terlalu
panjang.. Berbicara tentang motivasi ikut bootcamp? Apalagi kalau bukan
ingin jalan-jalan dan melihat tambang, sesuai dengan judul tulisan saya untuk
seleksi Sustainable Mining Bootcamp yang lalu yaitu: “Wisata Tambang?
Why Not”. Maka loloslah saya menjadi 1 dari 500-an calon peserta .
Alhamdulillah, traveling ke tambang kian dekat dengan mata. Karena rasanya
mustahil saya yang sebagai fotografer perjalanan ini bisa masuk daerah
dengan pengamanan super ketat di pertambangan Newmont. Tapi kali ini
saya bisa melenggang manis dilayani, diantar, dan diurus segala
keperluannya. Bak ratu sepenggal minggu di Sumbawa.
Bertemu dengan teman-teman baru, kali ini bawaan mereka tak seperti
teman-temanku yang biasa, tas panggul punggung biasanya tas kamera
segede karung. Mereka lebih santai, muda, ceria dan pintar-pintar, tampaknya
fresh graduate semua, dan saya yang paling tidak fresh graduate-nya. Tapi tak
apalah, kesempatan toh tidak memandang umur, tapi kasih sayang. Iya kasih
sayang Newmont bagi para penulis, pemerhati, dan orang-orang yang peduli
pada Indonesia. Para blogger hebat dan pemikir, semuanya berbaur dalam
satu kesempatan: Newmont Sustainable Mining Bootcamp.
Kamar berukuran 2×3 yang saya tempati ketika bootcamp mungkin terasa
sempit, saya jadi teringat kostkost-an zaman kuliah, tidak ada televisi hanya
ada lemari, tempat tidur single dua buah, meja kecil, dan AC model jadul
yang bunyinya bagai tawon semar. No problem, nyaman, yang penting bisa
tidur dan tak kepanasan, walaupun saya harus bolak-balik manjat kursi
menyetel suhu AC nya yang tidak stabil, kadang dingin sekali kadang gerah.
Di kasur ini saya biasanya menghela napas panjang, nyaman sekali setelah
beraktivitas luar biasa, melihat langsung kehidupan tambang, pabrik tambang
dengan mesin penggiling ukuran raksasa, pipa limbah yang panjang bak ular
tangga meliuk menuju laut. Semua itu saya resapi di kasur berseprei putih
bersih ini. Sambil membuat report setiap hari sebagai bentuk tanggung jawab
kami sebagai peserta. Ah, hari ke-5 dan ke-6 saya belum mengirimnya,
Mudah-mudahan saya tak kena Prit, dan harus mengulang bootcamp
berikutnya. #tersenyum harap.
“Sudah beluuumm!?” teriak saya ke arah kamar mandi, suara gemericik
air menandakan ada manusia melakukan kewajibannya. Unik dan meriah,
karena setiap mau ke kamar mandi kami bak Tarzan, eh, iya juga karena
Town Site memang di hutan. Sepasang kamar mandi digunakan untuk dua
kamar, saya dan Griska, dan ruang sebelah dihuni Dimas dan Fajri. Teriakan
teriakan syahdu selalu menggema di sana. Ah, mungkin kini sepi tanpa suara
kami lagi.
Saat yang paling dinanti adalah usai program kunjungan utama, sore hari
kerap dimanfaatkan ke pantai. Pantai yang masih alami karena tak banyak
yang berkunjung ke sini selain wisatawan lokal dan mungkin segelintir turis
asing yang sadar wisata itu enggak cuma ke Bali. Sumbawa dengan pantai
putihnya, sudah siapkah kau mempercantik diri, bersolek ala primadona,
bersaing dengan tetanggamu, jangan biarkan "rumput tetangga lebih hijau” ...
yuk hijaukan dan pamerkan keindahanmu. Berbenah diri dengan menjaga
kelestarian alamnya, membuat tong sampah massal di trotoar dan tempat
wisata, merapikan tempat berjualan, memperelok kantor Tourism Information
Center-nya, menanami lagi pohonpohon rindang, agar bukan tenda-tenda biru
itu lagi yang mendominasi tempat wisata. Sudah siapkah? Ah, matahari itu
terlalu cepat meluruhkan dirinya di garis cakrawala, kami selalu harus
bergegas kembali melewati batas pengamanan yang ketat.
Padat dan penuh jadwal, tak hanya melihat kegiatan di darat, pengalaman
seru mengikuti petualangan Tenggara Explore menjadi mimpi dalam
kenyataan, lulus sebagai Sarjana Biologi Lingkungan UGM, harusnya saya
bekerja di bidang ini, meneliti keseimbangan alam, secara biologis,
memantau pertumbuhan biotik, populasi dan dampak keseimbangan ekologi.
Namun semua itu tanpa praktek. Dan baru kali ini saya berkecimpung
langsung dengan kegiatan pengambilan sampel air untuk uji ambang batas
aman lingkungan. Bukan sekedar berpesiar, tetapi menjadi nostalgia dan
mengulang kembali mata kuliah dulu. Bisa melihat kolam besar di Mining
Site, indah air kebiruan, mengingatkan saya terhadap kawah Gunung
Kelimutu di Ende, Flores. Ini bukan Kelimutu, inilah teras-teras penuh batu
berharga, Haul truck berukuran lebar 8 meter bak mobil mobilan kecil yang
sliwar-sliwer membawa batuan. Deru debu ban sebesar batuan Belitung
menghamburkan lamunan saya ketika dentuman dinamit penghancur batu
lepas dengan lantang. Tetesan air meluncur di pelopak, bukan tangisan, hujan
seketika mengheningkan suasana mencekam di dekat tambang.
Tak lengkap tanpa menyaksikan program CSR PT NNT, hari kelima kami
di sini meninjau langsung lokasi Kebun Comdev, kebun yang memiliki luas
lebih dari 2 hektar ini menjadi bank bibit dan pendidikan gratis bagi
masyarakat lingkar tambang, ada bibit mahoni, buah naga, dan aneka
tanaman bibit berkayu tertata rapi. Pengalaman seru juga saya dapatkan
ketika berusaha memilin sabut kelapa menjadi tali, tali sabut ini akan
dirangkai sebagai coconet, penahan tanah untuk reklamasi lokasi pasca
tambang. Tidak hanya itu, bank sampah menjadi kunjungan yang menarik,
dari sampah untuk isi pulsa, dari sampah jadi punya tabungan. Hingga
masyarakat lebih bijak mengatasi sampah. Seru, kan, program Bootcamp ini?
Bersenang-senang? Tentu, tak ada hati muram durja di sini, semua
senang, hingga saya bak peneliti dan tim survey yang mengamati satu persatu
kegiatan tambang, hingga bisa memahami bagaimana batu keras
diobrakabrik, dimurnikan, dan kemudian dijual. Mungkin bahasa saya terlalu
awam. Namun memang itu yang terjadi, bukan? PT NNT mengeruk
kekayaan alam Indonesia, dan menjualnya ke negara pembeli dengan tujuan
mendapatkan hasil keuntungan untuk pembangunan Indonesia, membayar
utang-utang Indonesia, membiayai pendidikan, kesehatan Indonesia.
Pemikiran saya terlalu naif. Apapun yang dilakukan. ya memang kekayaan
alam harus dimanfaatkan daripada didiamkan begitu saja. Kalau bisa
bermanfaat mengapa tidak diambil?
Hanya saja prosesnya tidak bisa selesai dengan hanya mengambil.
Tanggung jawab pada lingkungan juga menjadi sebuah kepentingan.
Pengelolaan pasca kegiatan tambang dilakukan dengan saksama dan dalam
tempo yang tidak singkat. Pemantauan keseimbangan lingkungan dilakukan
dengan baik, sempurna? Tidak, karena tidak ada luka yang bisa kembali
seperti semula, semua tentu meninggalkan bekas. Namun bagaimana luka itu
bisa diperban dengan baik, hingga tak tampak dari permukaan. Saya hanya
berharap kekayaan yang berhasil di tambang ini, sebanyak-banyaknya untuk
kemakmuran Rakyat. Saya sebagai Rakyat sudah mencicipinya langsung
dalam waktu tujuh hari bersama program bootcamp. Terlalu sempit rasanya,
terlalu cepat. Pikirku, ingin lebih lama lagi berada di sana, tak sekedar
merasakan makanan tumpah ruah di Mess Hall, duduk santai di teras Town
Hill, menanti menu BBQ-an di Basai Ate, belum juga kurasakan kolam
renangnya. Ahhh memang manusia tak pernah puas.
Durasi bootcamp yang terlalu singkat membuat otak saya bekerja ekstra
seperti screening saja, lewat ... rekam ... narsis dan ngetwit dengan tagar
#NewmontBootcamp. Hingga bak jurnalis papan atas, hp, kamera, tangan,
otak dan segala raga, belum lagi sibuk dengan baju pengaman bak kawat
nyamuk, helm pengaman yang kerap melorot, dan sepatu keras ini membuat
gerakan saya tak selincah Teletubbies. Tapi saya ikhlas melakukan itu semua
dengan senang hati. Program bermalam di rumah penduduk menjadi seperti
transit belaka, tak sempat banyak berbincang apalagi menjadi tempat curhat
penduduk, karena malam hari segera tiba, dan esok pagi kami harus bergegas
dengan program terjadwal.
Mungkinkah saya lulus Bootcamp tahun ini? Rasanya tidak, saya pun
enggak cukup puas, hingga apakah saya akan berangkat ulang tahun depan?
Amin.
Ilmi Mayuni Bumi

ulisan tambang mending dibawa santai saja, ya, biar engga malesin,
hehe. So, dalam pattern pikiran, ada tiga bidang yang menurut gue
akan membuat Si Pelaku Bidang tersebut terlihat seksi. Which means,
bidangnya memang menggairahkan, ya, maksud gue (iya aja, deh). Kalau
diurut: Pertama, pertambangan. Kedua, otomotif atau manufaktur. Ketiga,
perkapalan atau penerbangan.
And lucky me! Keisengan ikut blog competition tentang UU Mineral dan
Batu Bara yang digelar PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) telah berhasil
mengantarkan gue untuk mengenal hal terseksi urutan pertama. Jadi, para
pemenang blog competition ini selanjutnya menjadi peserta Sustainable
Mining Bootcamp Batch IV. Bootcamp ini adalah kegiatan delapan hari untuk
mengenal pertambangan di PT NNT dan kesosial-masyarakatan di area
Sumbawa (Batu Hijau).
Jadi, 18-25 Januari ini, gue berada di tengah hutan, lho J. Kota di tengah
hutan lebih tepatnya, di Batu Hijau Sumbawa, Indonesia Tengah :-).
Sempat Tertunda
Kompetisi ini sudah dimenangkan sejak Februari 2014. Tapi, kok, baru
terlaksana bootcamp-nya pada Januari 2015?
Buat yang ngikutin perkembangan berita tentang nasionalisasi
pengelolaan Sumber Daya Alam, sih, pasti tahu. PT NNT ini sempat berhenti
beroperasi karena ketiadaan ruang lagi untuk menimbun ore (mineral
tambang). Kok, bisa? Ini adalah efek pemberlakuan UU Minerba. Hasil
tambang mineral dalam negeri harus diolah di dalam negeri juga, sedangkan
PT NNT biasanya selain mengolah pemurnian mineral di PT Smelting
Gresik, juga ekspor ke luar negeri untuk diolah karena limit jumlah
konsentrat yang bisa diolah di dalam negeri terbatas.
Parahnya, pemberlakuan UU ini berefek juga pada bea cukai ekspor
konsentrat ini. Kalau kemahalan dan enggak ekonomis, buat apa capek-capek
nambang? Lagian konsentrat enggak bisa ditimbun lama-lama, gudang sudah
full juga. Akhirnya, PT NNT sempat berhenti beroperasi dan gilanya ini
sampai melumpuhkan perekonomian penduduk di area sekitar Townsite.
Sebab itu, alokasi waktu bootcamp ini diposisikan pada masa operasi
sudah berjalan normal kembali. Kan, biar ada mining experience-nya.

Omong-Omong Soal Nasionalisasi


Sibuk koar-koar setuju dengan tindakan agresif pemerintah untuk menolak
keras ekspor konsentrat ke luar negeri dan mengolahnya di dalam negeri,
kira-kira bijak enggak, tuh? Logika anak TK, nih, ye, Kontrak Karya yang
sudah dibangun sejak 1986, apakah seringan itu diganggu oleh aturan
undang-undang yang tetiba nongol pada 2009?
Catatan penting, gue enggak dibayar Newmont, ya. Ini memang pure
pandangan objektif gue.

“Kapok lu! Nambang di negara gue, tegas, nih, pemerintah


gue. Cabut lu sono!” ujar para aktivis itu.
Tahukah lu, kalau saham Newmont sendiri di PT NNT ini hanya sekitar
+/-25%? Lalu +/-25% lagi perusahaan apaaa gitu dari Jepang (lupa, maaf,
enggak beretik jurnalistik banget). Nah, sisanya punya pihak-pihak Indonesia
semua, bahkan sampe Bakrie punya saham di sini.
Ketidaksiapan nasionalisasi tampak jelas. Perusahaan tambang cuma
diimbau mengolah mineral dalam negeri, bukan membangun smelter sendiri-
sendiri. Ya, dipikir saja, buat anak metalurgi, nih, ya, secara ekonomi teknik,
bukannya bakal rugi? Tergantung, sih, memang, tapi hasil hitung-hitungan
Newmont dengan present worth dan annual cost yang sudah di-range,
akumulasi usia eksistensi pertambangan mereka di Batu Hijau sampai
akhirnya proyek berakhir, tidak sebanding dengan waktu usia smelter yang
dibangun untuk akhirnya balik modal.
Sederhananya, kondisi di Sumbawa tidak memungkinkan membangun
smelter. Hal itu sudah dikoar-koarkan ke pemerintah, tapi pemerintah abai.
Lumayan noleh, cuma pas Newmont ngadu ke abitrase (huehehe, kena lu).
Barulah muncul kesepakatan untuk join jadi pemasok ke smelter yang
akan dibangun Freeport (ini karena kondisi Freeport memungkinkan) dan
diberi izin ekspor lagi, sementara smelter dibangun.
“Ada, kok, perundang-undangannya, kalau segala kekayaan alam ini
adalah untuk rakyat Indonesia. Lha, faktanya?” Nah, gue enggak tahu
kondisinya kalau di perusahaan-perusahaan yang mengeruk kekayaan alam
kita lainnya, tapi di Newmont gue tahu, nih. Sepersekian dari penghasilannya
gitu (lagi, enggak beretik jurnalistik, ampun), harus dialokasikan untuk
pengembangan masyarakat Indonesia. Kan, tiap perusahaan ada program
CSR-nya, tuh. Nah, lewat program CSR ini, perusahaan melaksanakan
kewajiban. Dulu, katanya, sebelum proyek tambang Batu Hijau dimulai,
warga di daerah Sumbawa Barat terbelakang banget dengan kondisi ekonomi
mati.
Setelah hadir, Newmont melakukan pembangunan mulai dari
infrastruktur, pendidikan, dan masih banyak lagi (bisa dibuka di halaman web
resmi PT NNT). Yang nasionalis, yuk, mikir solutif!
Titiw Akmar

eperti janji saya yang akan cerita-cerita tentang “dalaman” PT


Newmont Nusa Tenggara yang terletak di Sumbawa Barat itu, marilah
kita bersama-sama melantunkan Basmallah agar semuanya lebih lancar
dan barokah. Bismillahirrahmanirrahim. Perjalanan menuju NTB dibuka
dengan berkumpulnya semua peserta bootcamp di bandara pagi-pagi buta
pukul 3.30 pagi. Hamdallah, sampai Lombok Praya pagi-pagi dengan sehat
walafiat. Pas banget, tahun lalu, saya di situ juga sama teman-teman arisan
berlian untuk menggila di Gili Trawangan. *menerawang*
Bus berukuran sedang sudah parkir untuk membawa kami langsung ke
Pelabuhan Kayangan yang waktu tempuhnya sekitar 1,5 jam dari bandara.
Sebelumnya, kami sarapan hardcore dulu di warung lesehan Asri. Pagi-pagi
sudah makan ayam taliwang dan segala gorengan yang pedas-pedas? JOSSS!
Di Pelabuhan Kayangan, tas-tas akan diperiksa dengan alat seperti yang
ada di bandara. Ruang tunggunya outdoor —panas, namun kapal cepat
datang. Sehingga, kami tidak perlu menunggu lama di ruang tunggu. Berapa
harga tiket boat yang akan membawa kami ke Pelabuhan Benete? Rp150.000
untuk orang-orang yang tidak memiliki KTP Sumbawa Barat dan Rp75.000
untuk mereka yang memiliki KTP tersebut.
Kapal berkapasitas 200 penumpang yang kami naiki super-ciamik! AC,
bersih, safety first, ada pelampung di setiap bangku, dan pemandangan dari
atas sangat keren. Cuma agak-agak geli basah saja karena ombaknya
gelitikgelitik kapal. Perjalanan laut memakan waktu 1,5 jam untuk mencapai
Pelabuhan Benete. Ada beberapa turis asing yang saya lihat membawa papan
surf. Betul, surfing merupakan olahraga andalan jika kamu bertandang ke
pantai-pantai yang ada di Sumbawa karena ombaknya mumpuni.
Dan, akhirnyaaa .... Sampailah kami semua ke Pelabuhan Benete! Di
sinilah, saya akan mengupas beberapa “dalaman” Newmont.

Ruang Makan
Karena sesampainya di Newmont sudah sore dan belum makan siang, maka
setelah dijejali safety induction dan diberikan badge yang sudah kayak
nyawa sendiri, makan sianglah kami di ruang makan yang kayak restoran
hotel.
Tempat makan ini tidak bebas dimasuki, hanya mereka yang punya badge
yang boleh masuk dan harus pada jam-jam tertentu. Belum lagi, pada setiap
masakan, ada penjelasan bahwa makanan tersebut “Sehat”, “Cukup Sehat”,
ataupun “Kurang Sehat”. Sebagai proletar yang jarang makan enak, tentulah
kami, eh, maksudnya saya, menggila di sini. Kapan lagi makan kentang-
kentangan pakai gravy, salad dengan variasi saus, dan ditutup dengan
brownies es krim? *nangis terharu*

Pusat Kesehatan atau Klinik Internasional SOS


Lagi begok-begok-nya karena kenyang, kami berkunjung menuju klinik
tempat setiap pekerja diperiksa secara berkala setiap tahunnya. Di sini, Mas
Harris menjadi volunteer untuk diperiksa ini itu ala medical check up.
Karena, hari itu saya lagi sakit, pas banget sekalian diobatin. Dari situ, saya
melihat Newmont memang mengedepankan kesehatan untuk para
karyawannya dan masyarakat di sekitar lingkar tambang dengan fasilitas-
fasilitasnya yang lengkap.
Camp
Dari jauh, camp terlihat seperti kotak-kotak peti kemas. Ternyata, terbuat dari
seng yang dilapisi bahan tertentu sehingga tidak panas. Sekamar dengan
Mbak Mumut, kami disambut ruangan bersih dan adem, camilan dan
buahbuahan, serta kamar mandi yang dilengkapi air panas. Belum lagi, ada
fasilitas laundry, Kakak! Bisa enggak, sih, rumah saya punya fasilitas begini?
*nangis karena di rumah jadi pembantu* *tapi, boong* *tapi, jadi tukang
kasih makan kucing sama cuci piring aja* *ini apa, sih, kok, jadi melebar*

Green House
Bawaannya sudah mau bobok saja, namun kami harus makan malam di
Green House. Menu makanan yang disediakan di sini juga juara kelas. Udang
segede gaban yang gampang dikupas, buah-buah segar, dan tom yam soup.
Gyaaah ....
Sambil makan, kami juga mendengarkan speech dari Bapak Djarot
sebagai Senior Manager Social Responsibility Newmont Nusa Tenggara.
Dari obrolan Pak Djarot, saya baru tahu kalau Newmont sudah
mengalokasikan 60% tenaga kerjanya khusus untuk penduduk lokal.

Saya pikir perusahaan itu penuh dengan expat a.k.a


buleleng. Ternyata, asumsi saya salah, Sodara-
Sodara!
Akhirnya, karena semua orang terlihat ngantukngantuk kucing,
kembalilah kami ke camp dengan badan rontok. Bayangkan, saya tidur pukul
21.00 WITA yang berarti pukul 20.00 waktu Jakarta, dong. Tante Titiw Si
Anak Begadang sudah bobok jam 8.00 malam? Hanya terjadi ketika
traveling!
Dzulfikar Al-A’la

idak banyak yang mengetahui para pekerja tambang kerap dilanda


kebosanan yang luar biasa. Kejenuhan datang karena melakukan
pekerjaan yang sama sehari-hari, melanda tidak kenal usia, tidak kenal
cuaca. Belum lagi, ditambah dengan jauh dari keluarga. Tidak ada pelipur
duka tidak ada pelipur lara.
Saya saja yang hanya merasakan hidup di mes selama tiga hari dua
malam, rasanya tidak betah meskipun dengan segudang fasilitas yang
sepadan. Tempat olahraga, kolam renang, hingga lapangan golf yang
terhampar luas boleh jadi menjadi salah satu alasan tetap tinggal di Townsite
yang teratur dan nyaman. Tapi, itulah, serasa ada yang kurang, ketika
menikmati semua kemewahan dan fasilitas.
Saya tersenyum kecut, ketika beberapa orang menyebut para pekerja
tambang laksana zombie-zombie hidup. Hidup sepertinya lurus-lurus saja dan
tidak ada gairah sama sekali. Namun, kita tidak pernah tahu hati seseorang.
Kita tidak tahu kebahagiaan seseorang jika hanya dilihat dari tampilannya
saja.
Mereka inilah para pencari Tuhan yang selalu mengisi kekosongan jiwa
dan kehampaan dengan beribadah setiap waktu. Negeri Seribu Masjid bukan
hanya milik Lombok semata, melainkan juga bagi para pekerja tambang di
area PT NNT, Kabupaten Sumbawa Barat. Di setiap kantor, pabrik, dan pos
terdapat masjid atau musala yang mudah dijangkau.
Wajah-wajah teduh dengan jenggot memanjang dan celana cingkrang
bukan lagi hal yang aneh di area tambang. Dahi yang menghitam dan sudut
mata yang keriput terlihat dari wajah-wajah teduh para pekerja tambang.
Mereka bekerja tanpa membawa bendera ormas ataupun aliran mazhab.
Semua bekerja hanya untuk beribadah yang diganjar pahala jihad bagi setiap
kepala keluarga.
Mungkin saja, istri-istri mereka yang bercadar dengan sabar dan telaten
mendidik anak-anak di rumah sambil menanti suami kembali sejenak untuk
melepas rindu bersama keluarga. Ah, indahnya. Inilah yang mereka lakukan,
sanggup melawan kebosanan, sanggup melawan kejenuhan demi keluarga,
dan hidup lurus terus di jalan yang diridhai-Nya.
Musala yang awalnya terlihat besar ini, ternyata kecil karena penuh sesak.
Belum lagi, teras-teras yang juga penuh dipadati jamaah. Memang benar,
nuansa keislaman di area tambang begitu terasa.
Pengajian-pengajian rutin pun dilakukan. Bukan hanya mubalig lokal saja
yang diundang untuk menyampaikan ceramah, ulama seperti Abdullah
Gymnastiar atau Aa Gym pun kerap diundang untuk berceramah dan
beristigasah di Townsite Batu Hijau.
Newmont kerap diduga dekat dengan kepentingan Yahudi.
Namun, adagium itu hilang setelah melihat toleransi sesama
Muslim dan antar-umat beragama sangat kental.
Satu hal yang saya tanyakan kepada Pak Fahri, salah satu Public Relation
PT NNT.
“Pak, kenapa saya tidak pernah mendengar suara azan, ketika berada di
camp site? Padahal, masjidnya hanya beberapa ratus meter di bawah
penginapan.”
“Begini, Mas Dzul,” buka Pak Fahri dengan suara teduh. “Suara azan
sengaja tidak di-setting ke arah penginapan. Makanya, pengeras suara di
arahkan ke area kantor dan mess hall sehingga tidak mengganggu para
pekerja non-Muslim yang istirahat saat subuh atau malam hari.”
Inilah salah satu solusi yang kerap kali menjadi problem di kota-kota
besar. Suara azan yang sebetulnya syahdu bisa disalahartikan. Salah satu
toleransi antarumat beragama yang dicontohkan Newmont ini, demi menjaga
keharmonisan umat beragama dan bukan untuk membatasi.
Pekerja tambang dari masjid di Townsite menuju mess hall kerap
menggunakan “lorong waktu”. Karena, mess hall hanya buka hingga pukul
20.00 WITA, maka selepas shalat magrib, para jamaah dengan kopiah dan
baju koko yang masih menempel di badan, langsung mengisi energi selepas
bekerja seharian di tambang.
Tak ayal, kerap kali ada guyonan, sangat mudah mencari pekerja tambang
yang saleh. Mereka terlihat saat makan malam. Beberapa yang jarang ke
masjid, biasanya menyegerakan makan malam dan langsung tancap gas ke
penginapan. Sementara, para ahli masjid ini menunggu waktu isya sebelum
merebahkan badan di penginapan.
Lalu, nikmat mana lagi yang kamu dustakan? Ibadah bisa dilakukan kapan
saja dan di mana saja. Kondisi lapangan bukanlah menjadi alasan atau
tantangan untuk meninggalkan ibadah meskipun itu di area tambang yang
keras! Di sini, saya menemukan akhlak Islam yang sebenarnya.
Rahmasari Noor Hidayah

erempuan biasanya di-judge buruk, saat ditanya navigasi, saat


mengendarai mobil, dan hal-hal berbau otomotif. Hal itu tidak bisa
dimungkiri, saya sendiri, saat mengendarai mobil ataupun motor masih
sangat asal-asalan. Entah terlalu ke tengah, mau belok kanan malah kasih
sign ke kiri, dan hal-hal kecil lainnya. Dengan segala kelemahan perempuan
yang saya tahu dan alami sendiri, betapa terkejutnya saya, ketika mendengar
bahwa 11 dari 100-an mobil haul truck yang ada di Newmont dikendarai
perempuan. Haul truck sendiri bukan mobil biasa. Haul truck adalah mobil
pengangkut batuan, dari lubang tambang menuju ke tempat penampungan.
Tingginya sekitar 7 meter dan panjangnya 9 meter, jauh sekali dari kesan
feminin. Harganya pun ruar biasa! Satu ban saja berharga Rp300.000.000
dan satu haul truck memerlukan enam buah ban. Silakan dibayangkan,
berapa kira-kira harga keseluruhan satu haul truck.
Jarak pandang yang terbatas karena besarnya haul truck tidak menjadi
halangan karena berbagai pelatihan sudah didapatkan. Selain itu, setiap
mobil-mobil yang ada di area tambang dipasangi bendera untuk membantu
para pengemudi haul truck dapat melihat mereka. Rambu kecepatan banyak
terdapat di berbagai sudut ruas jalan area tambang agar tidak terjadi
kecelakaan yang tidak diinginkan. Newmont memang sangat memperhatikan
safety seluruh pegawainya.
Seperti mengendarai mobil, untuk bisa mengendarai haul truck juga harus
melalui serangkaian tes. Salah satunya, lulus mengendarai simulator haul
truck. Saat bootcamp kemarin, saya berkesempatan mencoba simulator
tersebut. Simulator haul truck ada di ruangan mine training. Simulator dibuat
dengan kondisi seperti di dunia nyata, jalannya licin saat hujan dan akan
berguling jika menabrak tanggul. Muncul tanda-tanda peringatan di layar jika
menjalankan simulator tidak sesuai prosedur, misalnya: tidak membunyikan
klakson dua kali sebelum menjalankan haul truck dan mengemudikan haul
truck melebihi batas kecepatan. Bagi saya, mencoba simulatornya saja sudah
susah, apalagi langsung mengendarai haul truck-nya.

Memang tangguh, perempuan-perempuan yang


bekerja di balik haul truck.
“Perempuan yang mengendarai haul truck malah lebih bagus. Mereka
sangat teliti dan berhati-hati, jadi kecelakaan pun tidak pernah terjadi,” kata
Pak Lalu Budi memberikan keterangan.
Sayangnya, saya tidak berkesempatan bertemu dengan perempuan
pengemudi tersebut. Hormat kami, dari sesama perempuan, untuk seorang
perempuan yang rela bekerja keras di balik haul truck dunia tambang.
Harris Maulana

egiatan hari ke-5 program Sustainable Mining Bootcamp Batch-3


yang diadakan hari ini cukup padat. Pagi-pagi, kami menjadi guru
tamu di SD 02 Maluk, Kabupaten Sumbawa Barat. Kami diberi
kesempatan untuk mengisi kelas 3 dan tema yang diusung adalah “Cita-
Citaku”.
Beragam jenis pekerjaan disebutkan para siswa, ketika mereka kami
tanya, “Apa cita-citamu?”

Mulai dari pemadam kebakaran, dokter, artis, pemain


sepak bola, dan yang paling anti-mainstream adalah
menjadi atlet parkour.

Bayangkan anak desa yang jauh dari kota sudah mengenal parkour. Tidak
lain dan tidak bukan, internet sudah memperkenalkan olahraga tersebut
kepada mereka. Teknologi internet sudah menyebar ke mana-mana
menembus batas.
Para siswa senang, ketika pada akhir acara, kami membuatkan video
tentang kegiatan yang berlangsung saat itu. Saat kelas akan berakhir, mereka
meminta beberapa alamat kontak kami, bahkan ada yang meminta PIN BB
dan akun jejaring sosial. Luar biasa, ya, perkembangan anak-anak zaman
sekarang, pun di sebuah desa.
Tepat pukul 12.00, dengan berat hati, kami harus meninggalkan sekolah.
Masih ada acara lain menanti. Untuk mengisi makan siang, kami menuju
Pantai Maluk yang beberapa hari lalu kami singgahi saat makan ma-lam.
Sungguh berbeda pemandangan siang hari. Pantai Maluk indah sekali.
Pasirnya cukup unik, tidak halus seperti biasanya. Butirannya agak besar
seperti merica. Airnya juga jernih dan hijau. Pantai Maluk berada di sebuah
teluk sehingga ombaknya tidak terlalu besar dan aman untuk kegiatan
berenang. Di bagian kiri dan kanan terdapat bukit. Bahkan, beberapa teman
kami tidak tahan melihat panorama dan langsung berenang.
Dua jam, kami habiskan di tempat ini. Kemudian, dilanjutkan
mengunjungi Bank Sampah Lakmus. Wah, apa lagi, nih, Bank Sampah.
Tempat ini menampung sampah yang sudah ditentukan jenis dan harganya.
Jika nasabah ingin mendapatkan uang tunai, hasil penjualan bisa langsung
dibawa pulang. Selain itu, dapat juga disimpan sebagai tabungan. Nasabah
akan diberi buku tabungan seperti menabung di bank umum.
Sampai saat ini, sudah ada sekitar 300 nasabah dan saldo terbesar senilai
Rp2.000.000,00. Ada nasabah se-orang pelajar yang rajin menabung dengan
mengumpulkan sampah di sekitar rumahnya. Uangnya ditabung dan ketika
akan ujian sekolah atau ketika memerlukan uang, dia cairkan sesuai
kebutuhan.

Adapun hasil sampah yang dibeli dari nasabah dijual kembali ke


pedagang di Lombok. Saat ini, Bank Sampah Lakmus sedang memesan alat
pencacah plastik agar memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Alat ini cukup
mahal, tetapi mendapat bantuan dari PT NNT untuk pengadaan barang
tersebut.
Setelah dari Bank Sampah, selanjutnya kami mengunjungi Comdev
Center yang dibangun pihak PT NNT sebagai pilot project pengembangan
budi daya pertanian dan peternakan masyarakat. Di sini, kami dapat melihat
peternakan sapi yang mampu menghasilkan kompos dan biogas. Selain itu,
ada beberapa tanaman yang bisa dibudidayakan di kawasan ini. Ada juga
tempat pembibitan yang nantinya dibagikan kepada masyarakat berminat.

Pihak PT NNT tidak hanya memberi penyuluhan kepada masyarakat,


tetapi langsung memberi contoh bahwa pengembangan budi daya pertanian
dan peternakan bisa dilakukan dengan baik. Walaupun, kawasan ini memiliki
jenis tanah yang kurang mendukung karena tanahnya keras dan jarang hujan.
Ada beberapa teknik yang perlu masyarakat lakukan. Kami juga sempat
mencicipi buah-buahan yang sedang berbuah, seperti jambu batu. Buah-
buahan lain yang tumbuh subur di antaranya: buah naga, sirsak, dan anggur.
Dari Comdev Center, kami kembali ke tempat tinggal penduduk untuk
packing. Siap-siap pindah ke rumah penduduk lainnya di Desa Sekongkang.
Sebelumnya, kami mengunjungi penangkaran penyu di Pantai Maluk.
Namun, sayang, tukik (anak penyu) yang ada baru berusia dua minggu
sehingga belum waktunya dilepas di laut. Jika dilepaskan secara paksa, tukik
belum bisa mempertahankan diri dan akan menjadi makanan empuk predator
lainnya. Usia tukik yang paling cocok adalah tiga bulan.
Ombak di Pantai Maluk seakan melambai-lambai mengajak berenang.
Tanpa komando, kami semua ramairamai menceburkan diri ke laut jernih.
Jujur saja, pantai ini sangat potensial menjadi kawasan wisata unggulan di
Kabupaten Sumbawa Barat. Pantai ini berada di teluk yang menjorok
sehingga ombaknya tidak terlalu besar, jadi aman untuk berenang. Diapit
oleh dua bukit yang hijau sehingga menyegarkan pemandangan. Dan,
keunikan lainnya adalah pasirnya yang tidak halus. Bentuknya bulatbulat
seperti merica. Namun, sayang, sunset-nya tidak langsung ke laut karena
terhalang bukit di sebelah kanan. Walau begitu, tidak mengurangi keindahan.
Tanpa terasa, hari mulai gelap dan kami harus meninggalkan tempat ini
menuju penginapan baru di Desa Sekongkang.
Daniel Mashudi

ndonesia memiliki ribuan pulau dan garis pantai yang begitu panjang.
Pantainya yang elok dengan jajaran pohon kelapa bak lukisan mahakarya
Sang Pencipta. Selalu menjadi sumber inspirasi bagi siapa saja yang
melihatnya.

Entah apa jadinya sehampar pantai tanpa lambaian


pohon kelapa. Bisa jadi, para pujangga akan
kehilangan kata karenanya.

Tumbuhan berbatang tunggal dengan nama ilmiah Cocos nucifera ini


memang serbaguna. Buah kelapa adalah bagian yang paling banyak
dimanfaatkan. Daging dan air kelapa muda menjadi pelengkap hidangan yang
harus ada saat berlibur ke pantai. Batok dan serabutnya bisa dimanfaatkan
untuk pembuatan alat-alat rumah tangga.
Seiring perkembangan zaman, serabut kelapa tidak lagi dimanfaatkan
secara optimal oleh masyarakat. Saat ini, serabut kelapa identik dengan
sampah dan dianggap tidak berguna. Namun, pandangan remeh mengenai
serabut kelapa ini sirna, ketika saya berkunjung ke Maluk, Kabupaten
Sumbawa Barat, saat mengikuti Sustainable Mining Bootcamp bersama PT
Newmont Nusa Tenggara (PT NNT).
Di salah satu tempat di Maluk, peserta bootcamp berkunjung ke tempat
pembuatan jaring dari serabut kelapa (atau disebut coconet) milik PT Ridho
Bersama. Coconet ini, nantinya akan dibeli oleh PT NNT dan dipakai untuk
kegiatan reklamasi lahan tambang. Coconet ini digunakan untuk mencegah
longsor dan tempat melekatnya bibit tanaman pada tahap hydroseeding.
Coconet akan selamanya terpasang di lahan reklamasi karena bersifat
menyerap air dan akan menyatu dengan tanah.
Alat Sederhana Pembuatan Coconet
Sebelumnya, kebutuhan coconet untuk reklamasi PT NNT didatangkan dari
daerah lain, seperti Bogor. Karena, potensi bahan baku yang cukup melimpah
di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), maka saat ini pembuatannya dilakukan
di KSB. Masyarakat setempat yang didominasi ibu rumah tangga terserap
dalam kegiatan pembuatan coconet ini sehingga mampu meningkatkan
pendapatan keluarga.
Peralatan yang dipakai dalam pembuatan coconet cukup sederhana, berupa
semacam meja atau tatakan yang di atasnya terdapat poros-poros besi. Pada
ujung poros besi ini terdapat semacam kait sebagai tempat mengaitkan
serabut kelapa untuk dipilin menjadi tali. Roda gigi dan rantai akan
menghubungkan poros-poros besi tersebut satu dengan lainnya. Salah satu
poros akan terhubung melalui sabuk menuju motor penggerak.
Untuk membuat coconet, pertama kali serabut kelapa dikaitkan pada kait
yang terletak pada ujung poros. Sementara poros berputar, perajin harus terus
menyambung serabut kelapa sambil bergerak mundur menjauhi poros.
Putaran poros ini akan memilin serabut kelapa sehingga menjadi seutas tali.
Di bagian lain, tali-tali tersebut akan dianyam menjadi jaring.
Kunjungan singkat ke PT Ridho Bersama ini cukup membuka pandangan
saya mengenai pentingnya memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitar
kita. Tidak lebih dari 30 menit, kami pun meninggalkan tempat pembuatan
coconet. Sebuah senyum manis seorang anak menjadi kenangan tidak
terlupakan siang hari itu.
Alfonsius Billy J.

idak banyak orang yang mengetahui desa ini. Berita tambang ilegal
pasir besi di sana pun kurang terdengar. Sungguh beruntung bagi saya
dan grup 1 dari kegiatan Sustainable Mining Bootcamp (SMB) batch 3
bisa mengunjungi desa tersebut.

Selain bisa pergi ke desa dan melepas ketegangan dari


hiruk pikuk Jakarta, melihat realita kehidupan desa
yang “kurang berkembang” dibandingkan desa lainnya
di sekitar Sumbawa ini sangatlah menarik.
Saya tidak akan membahas tambang ilegal karena sudah tidak ada dan
hanya menyisakan kerusakan. Pada hari Kamis (16/5), kami diajak ke sebuah
gudang kecil dengan lahan luas. Ada kegiatan pembuatan pupuk kompos
yang disponsori PT NNT. Sedikit pengetahuan untuk para pembaca, kompos
adalah hasil penguraian bahan organik melalui proses biologis dengan
bantuan organisme pengurai. Proses penguraian dapat berlangsung secara
aerob (dengan udara) maupun anaerob (tanpa bantuan udara).
D. Anand, dkk., pada 2012, dalam investigasinya menemukan
pengomposan aerob di bawah temperatur mesofilik menjadi paling efektif
dibandingkan yang lain . Dengan harga BBM yang sering bergejolak,
membuat harga pupuk anorganik cenderung meningkat. Sehingga, harus
dicari solusi alternatif untuk menyelesaikan masalah tersebut. Keunggulan
kompos adalah kandungan unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan S)
maupun mikronya (Fe, Mn, Zn, Cl, Cu, Mo, Na, dan B) yang lengkap. Dalam
proses pembuatan, beberapa parameter harus diperhatikan, seperti: pH, aerasi,
temperatur, dan mikroba.
Manfaat pemakaian pupuk kompos sangatlah banyak, yaitu melindungi
daerah aliran sungai, manajemen kotoran ternak, dan menurut M. Ros, dkk.
(2006) dalam jangka panjang mampu meningkatkan kualitas tanah, serta
mereduksi CO di atmosfer.
2

Ketika masuk ke gudang baru itu, saya melihat puluhan tumpukan karung
kompos hasil produksi usaha yang baru berjalan sekitar dua bulan. Saat
melihat keluar, selain ada lahan, terdapat pekerja yang sedang
mengoperasikan mesin. Mesin itu mencacah campuran dari sampah tanaman
dan kotoran hewan setelah ditimbun dengan penambahan bakteri untuk
prosesnya.
Para warga desa turut dilibatkan dalam pengangkutan bahan baku ke
gudang. Rencananya, unit usaha ini mampu memproduksi 250 juta ton pupuk
kompos per tahun yang akan dibeli oleh PT NNT, serta dapat dijual ke
berbagai sektor lainnya.
Menjadi sebuah inspirasi yang dapat diambil oleh warga sekitar untuk
meningkatkan taraf ekonomi, serta bagi perkembangan agraris Indonesia
dalam memperbesar jenis pupuk alternatif. Sungguh senang dapat melihat
usaha di tempat ini. Semoga, warga di sana dapat terus mengembangkan
potensi desa yang dimiliki.
Farchan Noor r.

N amanya Arifin, tinggi, besar, tegap, bicaranya lantang khas orang


Sumbawa Barat kebanyakan.
Raut mukanya kukuh, keras khas orang-orang tambang
kebanyakan. Sepulang dari tambang, Arifin menyambut kami peserta
bootcamp di lantai dua rumahnya. Di usianya yang setengah baya dan
setahun lagi pensiun dari Newmont, Arifin bercerita banyak hal tentang
hidupnya, tentang Newmont dan tentang apa yang terjadi di sekitarnya pada
kami dengan sesekali disisipi gelak tawa terbahak-bahak.
Arifin kecil lahir di Maluk, asli Maluk. Puluhan tahun yang lalu, Maluk
hanyalah kampung kecil yang dihuni 36 kepala keluarga. Suasananya tenang,
damai, pertanian adalah pekerjaan dan cara mereka menyambung hidup.
Sampai tahun 1970-an, Maluk masih daerah yang mungkin bisa dibilang
terisolasi atau susah dijangkau. Untuk sampai ke kota terdekat, Taliwang,
hanya bisa ditempuh dengan kuda atau kata Arifin jika tidak naik kuda,
penduduk Maluk akan berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer menuju
Taliwang.
Maluk sekarang beda dengan Maluk di era Arifin kecil, Maluk sekarang
berkembang menjadi sebuah kota kecil yang ramai dan hidup sampai malam
larut. Arifin menuturkan, pembukaan tambang Newmont-lah yang membuat
Maluk menjadi ramai. Berbondong-bondong arus manusia datang ke Maluk,
puluhan, ratusan, ribuan, puluhan ribu. Dari 36 kepala keluarga, sekarang
penduduk Maluk sudah mencapai angka lebih dari sepuluh ribu. Dari sebuah
kampung menjadi kota kecil.
Maluk memang area residen terdekat dengan tambang dan merupakan
area teramai di antara area sekitar tambang yang lain. Mulai berkembang
sejak era konstruksi, pada masa itu Newmont secara masif mempekerjakan
banyak orang, menembus angka 17.000 pekerja dan arus manusia yang
menyerbu Newmont pun kemudian merembes ke Maluk. Maka, jadilah
Maluk tiba-tiba ramai dan lambat laun seiring waktu bertransformasi menjadi
Maluk seperti sekarang.
Di mata Arifin, perubahan ini memberikan banyak dimensi yang berbeda.
Arifin bersyukur, Maluk tidak lagi tertinggal, bersyukur karena ekonomi
Maluk berkembang. Ada banyak usaha-usaha baru, banyak lapangan
pekerjaan. Di bidang kesehatan, dulu Arifin bercerita bahwa area Maluk
merupakan kawasan endemik malaria tertinggi. Sekarang, itu tinggal masa
lalu, masyarakat Maluk sudah tidak waswas lagi dengan malaria.
Infrastruktur dibangun, pendidikan diperhatikan dan Maluk berkembang
menjadi sebuah kawasan yang modern.
Saya sepakat dengan Arifin, Maluk menjadi berkembang karena
pembukaan tambang. Memang kemudian hal itu tidak bisa dimungkiri. Arus
manusia yang banyak otomatis menggerakkan perekonomian dan membuat
sebuah kawasan akan berkembang. Tapi, semua perkembangan itu pasti tidak
melulu soal kemajuan, pasti ada sisi kelam dari sebuah perkembangan daerah
yang cepat.

Arifin bercerita, dahulu masyarakat hidup tenteram dan


aman. Misalkan, ada hasil panenan yang ditinggal di sawah,
tidak perlu khawatir hilang, cukup digeletakkan begitu saja.
Jika ada yang mengambil, besok harinya pasti akan diganti dengan barang
yang sama. Namun, sekarang berubah, seiring dengan perkembangan Maluk,
maka kriminalitas pun ikut berkembang. Sekarang, tutur Arifin, jangan
pernah meletakkan sepatu sembarangan, dalam sekejap mata sepatu bisa
langsung raib.
Atau, kemudian yang merisaukan adalah banyaknya kafe dan bar di tepi
pantai. Tempat hiburan yang ingar– bingar sepanjang malam. Tempat itu
ditengarai menjadi area abu-abu untuk prostitusi. Memang itu semua adalah
konsekuensi dari berkembangnya sebuah kawasan. Ada sisi terang dan pasti
ada sudut gelap, dua sisi mata uang yang akan menyertai perkembangan kota.
Untungnya, kearifan lokal di Maluk masih kuat. Hukum adat masih
dikedepankan jika terjadi masalah, perangkat sosial adat juga masih
berfungsi. Arifin sendiri adalah salah seorang tokoh yang dituakan di Maluk.
Para pendatang yang tinggal di Maluk, mau tidak mau harus mengikuti aturan
adat di Maluk, ya, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Arifin adalah salah seorang yang mengalami sendiri perkembangan Maluk
dari sebuah daerah yang bukan apa-apa menjadi sebuah daerah yang semarak.
Arifin juga salah satu dari beberapa orang Maluk yang turut membangun
Newmont dari sejak Newmont ada dan beroperasi di Maluk. Saya kira, apa
yang Arifin rasakan dan tuturkan adalah hasil kisah hidupnya selama
bertahun-tahun, sebagai orang Maluk.
Hanya saja, ada sedikit ganjalan dari saya, Maluk adalah satu dari sekian
banyak contoh kawasan yang berkembang dari kawasan tambang. Sekarang
ini, Maluk sedang berbulan madu dengan kawasan tambang, menikmati
lesatan ekonomi dan modernisasi yang maju pesat, sedang dalam masa
keemasan.
Saya kira, saya tidak mampu membayangkan bagaimana Maluk setelah
tambang ditutup. Apabila, masyarakat hanya menikmati manis-manisnya
masa sekarang dan tidak bersiap untuk antisipasi saat tambang ditutup, apa
jadinya Maluk berpuluh tahun ke depan tanpa adanya tambang? Akankah
kembali menjadi sebuah kawasan yang sepi? Semoga tidak.
Cumi lebay

ingkar tambang merupakan kawasan atau daerah di sekitar eksplorasi


tambang. Daerah yang sangat merasakan adanya dampak dari
pertambangan baik secara ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, dan
sebagainya. Seperti, beberapa desa di sekitar Newmont Nusa Tenggara
(NNT), antara lain: Desa Maluk, Desa Tongo, Desa Aik Kangkung, dan Desa
Sekongkang. Pada 1996, Maluk merupakan desa yang sangat sepi. Hanya ada
sekitar 200 kepala keluarga, tetapi perubahan sangat drastis terjadi. NNT
mulai melakukan pembangunan infrastruktur sejak 2000. Sekarang, Maluk
menjelma menjadi kota dengan bermunculan supermarket, tempat hiburan,
rumah-rumah yang berdiri mewah, mobil berseliweran, jalanan beraspal, dan
lainnya. Bukan hanya perubahan yang terjadi di lingkar tambang, tetapi
berbagai isu dan polemik juga menyertainya.

Selama empat hari tinggal di lingkungan lingkar


tambang, kami mendengar bisikan-bisikan dari
masyarakat.
Saat kami berada di Desa Aik Kangkung, sempat terdengar dari warga
bahwa harusnya NNT memberi gaji kepada semua masyarakat lingkar
tambang. Mengapa? Karena, tambang ini merupakan tanah
warga.Waduh,kalau semacam ini bisa berabe, nih. Hahaha ....
PT NNT sangat membantu kehidupan lingkar tambang, baik dalam bidang
ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Ada program yang disebut
Community Development (Comdev). Tugas Comdev ini sebagai
penyambung tangan antara NNT dan masyarakat lingkar tambang.
Kegiatan Comdev di bidang pertanian, antara lain: memberi penyuluhan
tentang pertanian, membangun tujuh bendungan di tujuh desa lingkar
tambang sebagai wadah cadangan air. Apabila, musim kemarau tiba, mereka
tetap bisa bertani. Dulu, masyarakat sekitar hanya bisa satu kali panen dalam
satu tahun, sekarang bisa tiga kali panen.
Di bidang pendidikan: membantu membangun sekolahsekolah, memberi
pelatihan guru-guru, adanya perpustakaan keliling, dan lain-lain. Kami
sempat bertatap muka langsung dengan murid-murid SD Negeri Tongo di
dekat tambang Newmont.
Kami sempat bertanya apakah cita-cita mereka? Jawabannya hanya ingin
keliling dunia atau menjadi pemain sepak bola. Hehehe. Tapi, itulah anak-
anak yang masih polos. Padahal, di dekat desa ada tambang besar yang
menghasilkan jutaan dolar.
Di bidang kesehatan: dibangun tiga Puskesmas dan enam Puskesmas
pembantu, serta sepuluh Posyandu. Sayangnya, segala fasilitas yang ada tidak
dirawat dengan baik oleh warga. Akhirnya, rusak di sana sini.
Di bidang ekonomi: NNT mendukung industri rumahan untuk masyarakat
sekitar, antara lain ada usaha Aloe vera yang dikelola ibu-ibu setempat untuk
diolah menjadi minuman, dodol, dan lainnya. NNT juga membantu industri
batako dengan memberi bantuan mesin cetak.
Jika dipaparkan satu per satu, sangat banyak hal yang telah diberikan
NNT sebagai wujud kepedulian terhadap masyarakat lingkar tambang.
Tetapi, pertambangan ini ada masanya, kan? Saat cadangan batu sudah habis
dan NNT pindahlokasipenambangan,makaapakahmasyarakatsekitar siap?
Mengingat selama ini mereka dimanjakan NNT.
Bisa dibilang, seluruh masyarakat lingkar tambang memiliki keinginan
bekerja di NNT. Hal ini karena terlihat jelas perbedaan ekonomi antara
pekerja NNT dengan yang tidak bekerja di perusahaan tersebut. Bangunan
rumah sangat mentereng dengan motor atau mobil, sedangkan masyarakat
biasa rumahnya masih panggung dari kayu sederhana.
Hal inilah yang membawa kecemburuan dan menimbulkan konflik. Ada
warga yang demo, banyak tuntutan, atau hal lainnya. Semoga, NNT dapat
menyikapi hal ini dengan baik dan bijaksana. Sebenarnya, pembangunan di
lingkar tambang bukan hanya menjadi tanggung jawab NNT seutuhnya,
tetapi tugas pemerintah juga.
“Memupuk kesatuan demi kemajuan bersama. Walau, suku dan bahasa
berbeda, namun hati bersatu menuju masyarakat mandiri.” Semoga, syair
lagu ini bisa benarbenar diwujudkan di Sumbawa Barat.
Regy Kurniawan

S alah satu agenda bootcamp adalah bermalam di desa-desa lingkar


tambang. Tujuannya agar kami tahu cerita-cerita masyarakat tentang
positifnegatifnya tambang, sekaligus melihat ada apa saja di desa-desa
itu. Biar akrab juga sama masyarakat katanya. Hehehe.
Malam pertama grup saya menginap di Desa Aik Kangkung. Tidak ada
cerita seru. Malam kedua, kami menginap di Desa Sekongkang. Ini baru seru.
Malam itu, kami mengobrol dengan Pak Kades di teras rumahnya. Beliau
bercerita tentang betapa desanya belum merasakan keuntungan dari adanya
tambang Newmont. Padahal, Desa Sekongkang berbatasan langsung dengan
tambang. Istilahnya, berada pada wilayah Ring 1, lingkar terdalam.
Pak Kades, seorang Newmont. Sudah belasan tahun beliau bekerja di sana
sebagai operator di bagian mining. Ketika terpilih menjadi kepala desa, beliau
untuk sementara non-aktif sebagai karyawan. Setelah masa jabatannya
selesai, beliau akan kembali lagi ke tambang.
Menurut Pak Kades, jumlah penduduk Sekongkang yang terserap sebagai
karyawan Newmont sangat sedikit, hanya 20-an orang. Akibatnya,
kesejahteraan penduduknya timpang. Tidak semua rumah memiliki
“perwakilan” di Newmont. Ada juga, sih, yang kerja di dalam tambang sana,
tapi tercatat sebagai sub-kontraktornya Newmont. Mereka maunya kerja di
Newmont, bukan di sub-kontraktornya.
Menurut Pak Kades, Newmont belum membangun apa-apa di desanya.
Kecuali, gedung serbaguna. Itu, kan, pakainya jarang. Jadi, tidak perlu masuk
hitungan, lah. Oh, iya, ada gedung sekolah juga yang dibangun, tapi itu, kan,
dulu. Oh, ada lagi, penambahan bangunan Puskesmas. Ah, tapi, kan, cuma
penambahan satu bangunan rawat inap. Eh, ada lagi, deng, instalasi air
bersih. Tapi, itu, kan, bukan khusus Desa Sekongkang doang karena instalasi
air bersih yang dibangun di puncak bukit sana itu mengaliri tiga desa,
Sekongkang cuma salah satunya. Jadi, enggak spesial, dong.
Menurut Pak Kades, Newmont memang memberikan beasiswa untuk
siswa-siswa berprestasi. Ada juga yang diberi beasiswa untuk kuliah di luar.
Tapi, apa yang terjadi ketika mereka lulus? Tidak ada jaminan bahwa mereka
akan diterima Newmont sebagai karyawan. Mereka hanya dibiayai sekolah
atau kuliahnya plus biaya hidup hingga lulus, setelah itu disuruh nyari kerja
sendiri. Kan, kasihan.
Menurut Pak Kades, Newmont tidak pernah mengadakan pelatihan bagi
masyarakat Desa Sekongkang. Ada, sih, tapi pelatihan untuk menjadi
wiraswasta. Newmont pernah mengadakan training perbengkelan. Ada juga
yang pernah dikirim ikut pelatihan skill lainnya di luar daerah.
Tapi, kan, itu bukan pelatihan untuk memenuhi kualifikasi menjadi
karyawan Newmont. Warga selalu terhalang dengan kualifikasi agar bisa
diterima di Newmont karena mereka tidak memiliki skill yang sesuai.
Harusnya, Newmont melatih mereka agar memenuhi kualifikasi itu, bukan
melatih mereka untuk berwiraswasta secara mandiri.

Menurut Pak Kades, ada calo yang mengatur siapa


yang bisa masuk Newmont. Katanya, orang dalam.
Calo ini biasanya minta fee 60 juta.
Jadi, kalau ada orang luar yang ingin menjadi karyawan Newmont, bisa
menggunakan jasa Si Calo. Prosedurnya gampang, cukup setor fee sesuai
permintaan calo, urus KTP lokal, lalu tinggal di desa lingkar tambang selama
kira-kira enam bulan agar terlihat seperti warga lokal. Status warga lokal
dapat mempermudah akses masuk Newmont.
“Jadi kayak masuk PNS, dong, Pak?” tanya saya. “Iya, asal ada duit,
masuk,” jawab Pak Kades. “Calo-nya ini orang dalam?” “Iya, orang
dalam.” “Di bagian HRD Newmont?” “Bukan. Bukan karyawan
Newmont.” “Lho, katanya orang dalam, Pak?” “Iya, tapi bukan orang
Newmont.” “Jadi, calo-nya orang mana?” “Yaaa, pejabat-pejabat di desa
sekitar ini, lah.”
“Jadi, orang luar?”
“Iya, orang luar.”
“Katanya, tadi orang dalam?”
“Bukan, aparat desa.”
“Jadi, uang 60 juta itu disetor ke orang Newmont?”
“Ndak, itu diambil sendiri sama Si Calo.”
“Lho, bukan buat nyogok HRD-nya Newmont?”
“Bukan.”
“Terus, Si Calo ini ngapain, Pak?”
“Dia yang lobi ke Newmont untuk masukin orangnya.”
“Pasti lolos?”
“Ndak, kan, perusahaan punya kualifikasi calon karyawan. Kalau lagi
enggak ada penerimaan, ya, enggak diterima.”
“Berarti kalau bayar calo belum tentu diterima, dong, Pak?”
“Iya, belum tentu.”
“Jadi, biar bisa jadi karyawan Newmont harus sesuai kualifikasi
perusahaan?”
“Iya, tapi bisa juga pakai duit.”
AAARRRKKK!
Obrolan kami malam itu terhenti saat Pak Kades pamit untuk memimpin
demo bersama beberapa warganya. Mereka hendak menuntut pembagian
kayu hasil pembukaan lahan oleh Newmont untuk penambangan Fase 7.
Denny reza Kamarullah

ak, masjidnya di mana ya?”


“Hoo, ini bareng saya saja, saya juga mau ke masjid.”
Suatu subuh di Sumbawa Barat, hari itu hari ke-4 dalam
pelaksanaan program bootcamp Newmont, malam tadi kami tiba dan
menginap di rumah Kades Desa Sekongkang. Setelah sampai di masjid dan
selesai melaksanakan shalat subuh berjamaah di salah satu masjid di
Sekongkang, kami membuka forum diskusi bersama para jamaah lakilaki.
Ingin mengetahui lebih dalam bagaimana dampak keberadaan Newmont
terhadap desa-desa sekitarnya.
Namanya Pak Abidin, imam shalat subuh yang akhirnya memimpin forum
pagi itu. Beliau juga merupakan anggota DPRD Sumbawa Barat –kami baru
tahu kemudian- dan beliau juga yang tadi membonceng saya sampai ke
masjid, suatu kebetulan yang luar biasa!
Pagi itu forum begitu hangat, membincangkan banyak hal. Pada dasarnya
keberadaan Newmont memang sangat membantu terbangunnya daerah
sekitarnya, khususnya 3 desa yang berada dalam lingkar tambang:
Sekongkang, Jereweh dan Maluk. Pak Abidin bercerita bagaimana terpencil
dan sepinya Desa Sekongkang ini sebelum ada Newmont. “Dulu untuk
sampai ke Sekongkang harus pakai Kuda, coba kalian bayangkan,” beliau
menjelaskan dengan antusiasnya.
Infrastruktur jalan dibangun, Newmont turut andil dalam pembangunan
beragam fasilitas publik. Namun, ada sebuah permasalahan besar, keberadaan
sebuah ‘harta karun’ bernama Newmont berdampak dua hal: permasalahan
sosial dan ketergantungan. Tulisan ini akan lebih membahas poin
ketergantungan.
Dialah Roderick G Eggert, seorang praktisi ekonomi mineral dari
Colorado School of Mines, jauh-jauh hari dia sudah membahas hal tersebut
dalam paper-nya yang berjudul Mining and Economic Sustainability:
National Economies and Local Communities. Salah satu bagian dari paper
itu, Ia mempertanyakan “Is Mining A Curse?” Apakah industri tambang
adalah kutukan?
Secara logika sederhana, industri tambang seharusnya adalah sebuah
berkah bagi negara yang memilikinya, karena faktanya tidak semua negara
dikaruniai kekayaan sumber daya mineral yang melimpah, Indonesia
merupakan salah satu yang dikaruniai kekayaan itu. Namun, nyatanya kondisi
aktual hari ini justru berkata lain, banyak negara yang memiliki kekayaan
sumber daya mineral justru masuk dalam kategori negara miskin. Atau dapat
dikatakan, negara tersebut belum dapat mengkapitalisasikan kekayaan
sumber daya mineral untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya.
Ada tiga faktor yang menyebabkan hal itu, salah satunya menurut
Roderick G. Eggert adalah Dutch Disease.
Terminologi ini pertama kali diperkenalkan oleh The Economist pada tahun
1997 untuk menjelaskan penurunan di sektor industri manufaktur di Belanda
setelah penemuan sumber gas alam besar di tahun 1959. Dutch Disease
diartikan sebagai penyakit kebergantungan yang terlalu berlebihan terhadap
sumber daya alam dan mineral (dalam hal ini kita ambil kasus sumber daya
mineral). Seluruh kegiatan ekonomi negara berpusat pada industri mineral,
sehingga ekonomi negara atau daerah tersebut sangat bergantung pada
sumber daya alam dan mineral. Tentu ini sangat riskan, karena harga
komoditas tambang di pasaran global
sangat fluktuatif. Sekali harga komoditas tambang lesu,
maka bisa dipastikan hancurlah ekonomi negara tersebut. Belum lagi faktor
risiko teknologi, ekonomi, politik yang senantiasa dapat mengancam
keberlangsungan industri ini.

Fenomena Shutdown Newmont


Tahun 2009 Indonesia mengeluarkan UU Baru, UU No. 4 Tahun 2009 atau
akrab disebut UU Minerba. Konten UU ini salah satunya mewajibkan
perusahan tambang untuk melakukan pengolahan bahan tambang sampai
kadar tertentu di dalam negeri. Dalam Peraturan Menteri, batas maksimal
pengolahan bahan galian ini adalah tahun 2014. Namun tahun 2014
infrastruktur pengolahan nihil terbangun.
Tahun 2014 melalui Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri,
Pemerintah memberikan sedikit ‘obat penenang’ dengan melonggarkan batas
kadar dari pengolahanan bahan galian. Namun, ya begitulah sunnatullah dari
‘obat penenang’, hanya sementara, adanya pajak progresif di balik ‘obat
penenang’ itu tidak diterima industri, terlalu memberatkan, begitu
argumennya.
Newmont salah satu yang keberatan dengan adanya pajak progresif itu.
Mau tidak mau dampaknya Newmont berhenti operasi. Karena konsentrat
yang ada sudah menumpuk dan tidak bisa diekspor. Jadilah di pertengahan
2014, Newmont berhenti beroperasi. Di sinilah Dutch Disease menunjukkan
jati dirinya.
“Apa tidak ada langkah penyiapan agar masyarakat tidak terlalu
tergantung dengan Newmont Pak?”
“Ehm, Kita belajar, Mas. Waktu Newmont berhenti beroperasi kemarin,
tiga desa ini jadi desa mati.”

“Masyarakat jadi sadar, suatu saat Newmont akan


berhenti, tidak selamanya kita bisa bergantung dengan
Newmont."
“Bayangkan Mas, sebelum ada kejadian berhenti operasi kemarin,
masyarakat sangat tergantung kepada Newmont. Bahkan banyak sarjana yang
berasal daerah ini yang pulang-pulang minta kerja ke Newmont, putra daerah
katanya, punya hak.”
“Kita jadi desa mati kemarin, masyarakat mulai sadar dan akhirnya mulai
memikirkan persiapan ke depannya.”
Begitu Pak Abidin menjelaskan, ketika kami bertanya tentang berhentinya
operasi Newmont pada pertengahan 2014 lalu, salah satu fenomena yang
mengerikan, ada sebuah pekerjaan rumah yang sangat besar di daerah ini.
Dutch Disease menunjukkan jati dirinya ketika Newmont berhenti beroperasi,
daerah ini (Sekongkang, Maluk dan Jereweh) menjadi daerah mati.

Solusi Kedepannya
Kita sepakat, pembangunan adalah tugas pemerintah, bukan tugas
perusahaan. Maka pemerintah daerah memainkan fungsi utama, bukankah itu
inti dari otonomi daerah?
Tapi, kemudian kita juga mengenal konsep Triple Helix, konsep
kolaborasi antara industri, pemerintah dan kampus. Dalam hal Kabupaten
Sumbawa Barat, atau tiga desa lingkar tambang: Sekongkang, Maluk, dan
Jereweh, tentu Newmont memiliki kewajiban untuk memanfaatkan fungsi
Corporate Sosial Responsibility. Melakukan kegiatan sosial di daerah ini.

Konsep Triple Helix


Ini mungkin pekerjaan rumah bagi industri tambang: memastikan bahwa dana
CSR mereka benar-benar dimanfaatkan untuk kegiatan sosial yang
berkelanjutan.
Mengikuti kegiatan bootcamp Newmont, menurut saya, kegiatan CSR
bisa dimanfaatkan untuk fokus pada 2 hal: Ekonomi dan Pendidikan. Dalam
hal ekonomi, wadahwadah seperti Bank Sampah Lakmus dan pengolahan
coconet yang sudah dibangun Newmont bisa menjadi embrio atau prototype,
intinya bagaimana membangun ‘lampu-lampu kecil kegiatan ekonomi’ baru.
Tentu ini bukan tugas Newmont saja, berkolaborasi dengan kalangan
akademis untuk meracik pola-pola yang cocok seharusnya bisa dilakukan dan
tentu pemerintah daerah seharusnya yang berperan utama disini.
Konsep yang dijalankan Pemerintah Kota Bandung seharusnya bisa
menjadi contoh, bagaimana pemkot menjemput sumber-sumber dana untuk
membiayai pembangunan di Kota Bandung. Dalam hal Sumbawa Barat,
bukankah Newmont sangat terbuka untuk itu, ya kan?
Poin kedua, pendidikan, dalam hal ini saya rasa kita akan sama-sama
mengamini kata-kata bijak Nelson Mandela berikut:
Education is the most powerful weapon which you can use to change the
world.
Edukasi, bagaimana masyarakat dan utamanya generasi penerus Sumbawa
Barat bisa terus maju dalam hal pemikiran, karena dengan begitulah ke
depannya mereka dapat mengurus dirinya sendiri. Metodenya, bisa beasiswa,
pelatihan-pelatihan, banyak sekali.
Semoga ke depannya Dutch Disease ini bisa disadari lebih dini oleh
semua pihak, yaitu: pemerintah, industri, dan tentunya masyarakat itu sendiri,
sehingga rencana penanggulangannya bisa lebih dini dibuat.
Ibnu Budiman

ase kedua dari Program Batu Hijau BC adalah homestay di warga desa
lingkar tambang. Ini dilakukan sebagai pembuktian terbalik fase
pertama, untuk menemukan titik temu dari objektifitas informasi yang
diperoleh sebelumnya di dalam tambang. Ada beberapa desa yang berada di
area lingkar tambang, di antaranya Desa Maluk, Sekongkang, dan Tongo.
Maluk
Desa Maluk adalah salah satu desa lingkar tambang yang pertumbuhan
ekonominya relatif lebih tinggi daripada desa lainnya. Namun, dari sisi social
capital masih cukup rendah. Sejumlah budaya asli di sini mulai terkikis dan
bahkan hilang, salah satu penyebabnya karena keberadaan PT NNT yang
memicu intervensi “pendatang”.
Suasana pagi di desa ini akrab dengan tontonan gosip dan berita masalah-
masalah, mulai dari masalah artis, rakyat kecil, hingga penguasanya. Hal ini
semakin membuat pesimisme nyaman bersarang di desa ini. Maka, menurut
saya, sungguh sebaiknya hindarilah tontonan seperti itu. Para penontonnya
mayoritas ibu-ibu yang anak-anaknya tengah sekolah.
SDN 2 Maluk merupakan salah satu SD terbaik di Sumbawa yang bekerja
sama dengan PT NNT dan Lembaga Dompet Dhuafa. Ada beragam cita-cita
anak SD di sini, mulai dari versi klasik, seperti: polisi, guru, pemain bola,
hingga dokter, sampai dengan versi baru: koki, atlet parkour, dan artis.
Ragam cita ini tentu juga punya sebab akibat.
Konon, menurut warga Desa Maluk, jumlah penduduk asli Sumbawa
berkurang drastis setelah erupsi Gunung Tambora pada 1815, dan sekarang
sejumlah daerah di Sumbawa didominasi pendatang yang mayoritas berasal
dari Sulawesi. Desa Maluk sering mengalami pemadaman listrik bergilir
diakibatkan rendahnya daya PLN di sini. Bahkan, sebuah desa lingkar
tambang lainnya, yaitu Desa Tongo belum dimasuki PLN, listrik di sana
berasal dari PLTU yang diberdayakan oleh PT NNT.
Meskipun listrik sering mati, anak-anak SD di Desa Maluk
sudah punya surel, bahkan berbagai media sosial, seperti
Twitter dan Facebook.
Ini kemudian dianggap sebagai efek domino dari keberadaan tambang PT
NNT.
Pariri lema bariri (mengatur agar teratur), inilah semboyan yang tertulis
di depan SD Desa Maluk. Semboyan ini ternyata tertulis di hampir semua
lembaga atau instansi pemerintahan di Sumbawa sebagai sebuah slogan
bersama.
Selanjutnya, di Desa Maluk terdapat LSM Lakmus yang bekerja sama
dengan PT NNT dan Dinas Kesehatan setempat, mempunyai Bank Sampah
dengan nasabah mencapai 300-an orang sejak didirikan pada September
2012. Lakmus sendiri adalah LSM buatan PT NNT yang concern di bidang
kesehatan lingkungan sejak 2000, LSM ini bergerak tidak hanya di Maluk,
tetapi juga di hampir semua desa lingkar tambang. Selain Bank Sampah,
kemudian ada lagi budi daya aneka komoditas perkebunan, peternakan sapi
dan kuda, serta rumah kompos dan biogas yang berbahan baku kotoran
ternak.

Sekongkang
Kecamatan Sekongkang adalah desa lingkar tambang berikutnya, dengan
godaan pantainya yang memicu datangnya para surfer mancanegara.
Desa ini, sekarang tengah mengembangkan sistem irigasi gravitasi dari
bukit dan diolah jadi bendungan. Hal ini merupakan kerja sama warga
dengan pemerintah dan PT NNT. Hal ini bertujuan selain untuk memenuhi
kebutuhan sanitasi warga, juga untuk mereduksi penggunaan air payau oleh
mereka.
Konon, masyarakat asli Sumbawa (termasuk di Sekongkang) punya
keramahan khusus dalam menyambut tamu mereka. Ada filosofi yang berupa
anggapan diri mereka sendiri bahwa dirinya adalah sebagai manifestasi
Tuhan, maka dari itu mereka harus melayani diri mereka dan orang lain
dengan maksimal. Lalu, ada lagi kebiasaan para orang tua yang berburu madu
di hutan yang berada di sekitar kawasan tambang. Namun, kebiasaan ini
sepertinya tidak berlanjut ke generasi muda mereka yang larut oleh pesona
tambang sehingga para orang tua ini pun berlalu tanpa penerus kebiasaan
mereka.
Namun, bukan berarti warisan kebiasaan lain juga ikut punah. Sisi lain
dari kondisi sosial yang tidak punah, yaitu poligami. Konon, di lingkungan
tambang, hal ini lumrah terjadi, termasuk di PT NNT dikarenakan faktor
pekerja yang jauh dari pasangan. Namun, ternyata bukan hanya di tambang,
banyak ditemukan di Sumbawa Barat sejumlah pria yang beristri lebih dari
satu dan mereka tinggal serumah dengan relatif akur.
Lalu, tidak jauh dari Sekongkang, ada salah satu suku asli di Sumbawa
yang terdaftar di LSM AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), suku ini
belum akur dengan PT NNT dikarenakan persoalan sengketa tanah adat.
Tanah di sini adalah kawasan eksplorasi baru dari PT NNT yang dipersiapkan
untuk kawasan tambang baru pasca area Batu Hijau sekarang habis.
Di Sumbawa Barat, pemerintah bekerja sama dengan PT NNT sedang
mengupayakan keberadaan Puskesmas di tiap kecamatan. Hanya saja,
Puskesmas ini sekarang tidak terawat. Seperti kebanyakan kejadian di negara
berkembang, pembangunan awal beberapa Program CSR PT NNT kurang
disertai dengan kontrol perawatan dan pembinaan.
Rijal Fahmi Mohamadi

iapa sangka kalau di dekat area pertambangan aktif seperti Batu Hijau
ini ada sumber mata air yang bening dan begitu segar. Kabarnya, sih,
air di sekitar pertambangan itu lebih sering tercemar. Namun, mata air
ini malah mengalir sepanjang tahun dan ditampung untuk kebutuhan air
bersih warga sekitar Batu Hijau, terutama di Kecamatan Sekongkang.
Namun, saya tidak percaya begitu saja kalau cuma mendengar rumor atau
dari sekadar “cerita”. Sekalipun itu cerita dari peserta bootcamp sebelumnya.
Saya harus melihat langsung, baru percaya dengan keberadaan mata air ini.

Cerita bisa dibuat, tetapi fakta bisa dibuktikan dengan panca


indra.
Oya, menyenangkannya lagi, di mata air yang saya sebutkan ini juga
terdapat sebuah air terjun. Orang lokal banyak mengenalnya dengan nama
Air Terjun Perpas, dan beberapa orang juga mengenal dengan Air Terjun
Sekongkang karena lokasinya yang berada di Kecamatan Sekongkang.
Namun, apalah arti sebuah nama kalau mata air ini sudah begitu bermakna.
“Kira-kira, perlu jalan kaki sekitar 30 menit,” kata seorang teman
bootcamp yang sudah pergi ke Air Terjun Perpas lebih dulu. Memang setelah
kegiatan di area mining selesai, peserta Newmont Bootcamp dipisah menjadi
dua. Satu grup bercengkerama dengan warga Maluk terlebih dahulu,
sementara yang lainnya langsung menuju Sekongkang. Grup saya sendiri
mendapatkan area Maluk lebih dahulu, jadi grup yang lainnya bisa menikmati
segarnya Air Terjun Perpas terlebih dahulu.
Jalan kaki 30 menit tidak menjadi masalah buat saya, apalagi melewati
hutan yang masih hijau. Toh, saya sudah terbiasa jalan kaki dari kos di
Setiabudi sampai Semanggi, ketika masih di Jakarta. Ditambah lagi, saya
sudah biasa dengan udara Jakarta yang penuh polusi. Kalau di Sumbawa ini,
kan, udaranya segar sekali, jadi semangat terus membara, deh, meskipun
harus jalan kaki.
Dari rumah penduduk yang saya inapi, kami diantar oleh karyawan
Newmont dengan mobil hingga tempat awal trekking. Pintu masuk yang
berupa jalan setapak menuju Air Terjun Perpas adalah menyeberangi sungai
yang mengalir tenang. Agak kaget juga meskipun katanya di ujung ada air
terjun, eh, ini sungainya mengalir tenang sekali. Padahal, sedang musim
hujan, lho. Apa memang tipikal sungai di Sumbawa seperti ini, ya? Tetapi,
sepertinya tidak menjadi masalah karena di ujung terdapat dam untuk
menampung air. Saya pun lanjut menyeberang sungai.
“To The Waterfall” tertulis pada sebuah papan petunjuk. Berarti, saya
sudah menuju ke arah yang benar karena saya melihat petunjuk arah menuju
Air Terjun Perpas. Kalau traveling ramai-ramai seperti ini, saya memang
mempunyai kebiasaan buruk sering tertinggal di belakang karena keasyikan
mengambil foto dan video. Jadi, sekecil apa pun petunjuk menuju destinasi
akan sangat membantu.
Selain ada beberapa petunjuk, ternyata jalur menuju Air Terjun Perpas ini
sudah begitu jelas. Saya tinggal mengikuti petunjuk berupa cat berwarna pink
yang terdapat pada pohon atau batuan. Mungkin juga banyak bule yang
sedang nyasar di Sumbawa menyukai air terjun ini. Soalnya, hampir semua
petunjuk dan informasi menuju air terjun tertulis dalam bahasa Inggris.
Di luar prediksi, saya sampai di air terjun lebih dari 30 menit. Bukan
karena tersesat atau apa, tetapi karena saya terlalu bersemangat
mengabadikan pemandangan selama perjalanan menuju air terjun. Tidak
cuma mengabadikan flora yang begitu hijau dan alami, tetapi juga fauna yang
unik sempat saya temui selama perjalanan. Mulai dari kaki seribu loreng
bercorak kekuningan, hingga seekor cicada yang suaranya menambah merdu
suasana hutan tropis seperti ini. Andai saja saya seorang ahli biologi, saya
pasti lebih menikmati suasana hutan dari pada air terjunnya.
Di tengah perjalanan, saya juga menemui sebuah bangunan yang ternyata
adalah penampungan air. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, mata air
yang ada di sini digunakan sebagai sumber air penduduk sekitar. Jadi,
bangunan yang ada di tengah hutan inilah yang membantu
mendistribusikannya ke penduduk setempat. Dari informasi yang saya
dapatkan, bangunan ini juga salah satu CSR dari PT NNT.
Mendekati air terjun, gemericik mulai terdengar jelas, seakan ada yang
menaikkan volume suara air jatuh secara perlahan. Air Terjun Perpas ini,
tipenya adalah air terjun bertingkat, air tidak langsung jatuh dari ketinggian.
Secara bertahap, air terjun melewati beberapa tingkatan. Yang menarik
adalah pada bagian tengahnya, ada kolam alami yang lumayan besar untuk
menampung air terjun.
Tanpa ada yang memerintah, saya segera menyelesaikan tugas saya
sebagai travel blogger. Foto sana, foto sini, rekam video air terjun sebanyak
mungkin. Segera, setelah itu selesai, baju saya lepas, sekonyong-konyong
saya melompat ke kolam alami yang ada di Air Terjun Perpas. “Byurrr!”
Suara yang menyenangkan untuk didengar, sembari mulai meresapi segarnya
air yang perlahan menyelimuti seluruh kulit saya.
Lanskap air terjun ini cukup unik nan menantang. Selain kolam air alami
yang cukup dalam, di tepinya ada beberapa batu yang menjulang tinggi. Ada
yang cuma 2 meter, ada pula yang tingginya hampir 6 atau 7 meter. Siapapun
yang suka memacu adrenalin, pasti mencoba melompat dari atas batu tadi.
Saya pun begitu karena enggak tahu kapan saya bisa menyapa lagi Air Terjun
Perpas ini, dua-duanya saya coba.
Loncat dari 2 meter dan … loncat dari yang paling tinggi. Sesekali,
muncul keraguan, ketika akan meloncat dari batu paling tinggi. Tetapi … hati
sudah saya mantapkan, adrenalin akan saya pacu. Satu … dua … hap!
Berikutnya, hanya terdengar deburan air, dibarengi adrenalin tubuh yang
makin terpacu.
Barry Kusuma

rang banyak mengira kalau Sumba itu adalah Sumbawa padahal, kan,
beda daerah. Tulisannya saja sudah beda apalagi tempatnya.
Sumbawa berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Pulau ini
dibatasi oleh Selat Alas di sebelah barat (memisahkan dengan Pulau
Lombok). Umumnya, orang yang sudah bosan ke Bali biasanya mengunjungi
Pulau Lombok dan destinasi yang sangat terkenal setelah Lombok adalah
Sumbawa Barat.
Sumbawa mulai populer karena banyak wisatawan yang sudah mulai
bosan dengan Bali dan Lombok. Mereka mencari suasana lain yang dekat
dengan kedua Pulau Wisata ini.
Akses menuju Sumbawa Barat masih terbatas karena belum ada bandara
di Sumbawa Barat membuat akses untuk para wisatawan terbilang sulit.
Biasanya, wisatawan yang ingin mengunjungi Sumbawa Barat harus melalui
Lombok dan melanjutkan perjalanan darat dari Bandara Internasional
Lombok di Kabupaten Lombok Tengah menuju Pelabuhan Kayangan di
Kabupaten Lombok Timur. Dari pelabuhan Kayangan ini harus memakai
speedboat atau kapal feri menuju Pelabuhan Benete di Sumbawa Barat.
Memang yang mudah adalah akses dari Lombok menuju Sumbawa Barat
ini. Untuk menuju Pelabuhan Kayangan banyak transportasi bus atau angkot
yang tersedia, baik dari Kota Mataram atau Bandara Internasional Lombok.
Setelah tiba di Pelabuhan Kayangan, ada beberapa alternatif akomodasi
menuju Sumbawa Barat.

Transportasi Laut
Dari Pelabuhan Kayangan ke Pelabuhan Benete salah satu transportasinya
bisa menggunakan speedboat Tenggara Satu. Tiket dan jadwal kapal
Tenggara Satu ini Rp100.000 sekali jalan. Speedboat Tenggara Satu ini
diprioritaskan untuk karyawan perusahaan tambang PT Newmont Nusa
Tenggara (NNT) dan kontraktor.
Jadwal Tenggara Satu, yakni dua kali sehari. Bila ingin menggunakan
fasilitas Tenggara Satu, hindari jadwal sibuk kepulangan dan kedatangan
karyawan. Biasanya, pada saat weekend susah untuk memesan tiket kapal ini
karena umumnya karyawan yang bekerja di PT NNT pulang kampung ke
Pulau Lombok atau berlibur pada hari weekend.
Jadwal sibuk speedboat Tenggara Satu adalah setiap Minggu sore, pukul
17.00 dan Senin pukul 10.00 dari Pelabuhan Kayangan–Benete. Selanjutnya,
tiap Jumat pukul 14.30 dan Sabtu pukul 08.00 dari Pelabuhan Benete-
Kayangan. Usahakan hindari kedua hari dan jam ini.
Lantas, bagaimana kalau tidak mendapatkan speedboat Tenggara Satu
ini? Tenang, ada banyak alternatif lainnya, yaitu menggunakan transportasi
laut umum, yakni feri yang dikelola PT ASDP (Angkutan Sungai Danau dan
Penyeberangan) dari Pelabuhan Kayangan (Lombok Timur) – Pelabuhan
Poto Tano (Sumbawa Barat).
Penyeberangan Kayangan– Tano – Kayangan beroperasi selama 24 jam.
Penyeberangan dilakukan setiap jam dengan tiket Rp20.000 per orang. Tarif
menyeberangkan mobil sebesar Rp378.500 (sudah termasuk penumpang
mobil).

Transportasi Darat
Jika kita sedang berlibur di Pulau Lombok dan ingin melanjutkan liburan ke
Sumbawa Barat, banyak terdapat angkutan umum dari Mataram, Lombok.
Dari Mataram, banyak terdapat Travel Mataram ke Pelabuhan Benete.
Berikut detailnya. Tarif per orang Rp35.000 Pelabuhan Kayangan-Mataram.
Sewa mobil dari Pelabuhan Kayangan-Bandara Internasional Lombok
sebesar Rp300.000. Saat ini, belum ada transportasi umum dari Pelabuhan
Kayangan menuju Bandara Internasional Lombok.
Untuk berkeliling Sumbawa Barat harus menyewa mobil dan Travel
Sumbawa Barat. Harga sewa satu unit mobil dari Pelabuhan Poto Tano
menuju Maluk sebesar Rp300.000. Bus umum dari Pelabuhan Poto Tano-
Maluk Rp40.000 per orang.
Memang, akomodasi ke Sumbawa Barat termasuk agak susah bagi turis
biasa yang ingin liburan karena letak Sumbawa Barat di remote area dan
susah dijangkau.
Tetapi, ketika kita sampai di sana terbayar sudah lelah
perjalanan dengan dimanjakan pantai-pantai yang
sangat indah dan hampir sebagian besarnya adalah
pantai yang masih perawan.
Sumbawa Barat memang dikenal akan keindahan pantainya. Pantai-pantai
yang terdapat di Sumbawa Barat ini ternyata banyak yang lebih indah
daripada pantai-pantai di Bali maupun Lombok.
Inilah pantai yang wajib dikunjungi di Sumbawa Barat.

Pantai Maluk
Pantai Maluk ini berada di sebuah teluk, yang berada di Desa Maluk,
Jereweh, Sumbawa Barat. Yang membuat indah karena Pantai Maluk ini
diapit oleh dua bukit, yaitu Bukit Mantun di sebelah utara dan Bukit Balas di
sebelah selatan. Panorama pantai ini sangat indah, dengan pasir putih yang
berkilauan.
Pantai Maluk bisa dibilang cukup ramai dikunjungi turis karena letaknya
berdekatan dengan Kota Maluk. Selain penduduk setempat, banyak
peselancar yang ingin belajar surfing datang ke pantai ini.
Dendeng pedas banyak dijumpai di warung pinggir Pantai Maluk. Selain
berselancar, masih banyak aktivitas lain yang bisa Anda lakukan di Pantai
Maluk. Anda bisa berenang, berjemur, bermain kano, atau sekadar
bermalasmalasan sambil bermain pasir di pinggir pantai.
Pasir pantai yang putih bersih dan laut yang dangkal sangat cocok untuk
melakukan berbagai aktivitas tersebut. Di sekitar Pantai Maluk terdapat
beberapa restoran dan warung makan yang akan memuaskan kuliner Anda.

Pantai Rantung
Pantai Rantung salah satu tempat berselancar terbaik di Indonesia, bahkan di
dunia. Ombak di pantai ini termasuk dalam daftar ombak terbaik di dunia.
Tidak heran kalau Pantai Rantung terkenal ke berbagai penjuru dunia dan
banyak kejuaraan selancar tingkat internasional digelar di sana.
Pantai ini dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai Pantai Yoyo
dikarenakan pecahan ombak ini menggulung hingga ketinggian di atas 2
meter dan mirip seperti yoyo. Ombak tersebut terus bergulung-gulung hingga
seolaholah menyedot para peselancar yang mencoba menaklukkannya.
Di sini, terdapat penginapan dan banyak turis asing yang menempatinya.
Umumnya yang menginap di sini adalah para peselancar dunia. Mereka
khusus datang ke pantai ini hanya untuk menaklukkan ganasnya ombak di
Pantai Rantung.
Pantai Tropical
Keunggulan Pantai Tropical karena memiliki pasir pantai yang mempunyai
pasir berbentuk merica dan berwarna putih. Bentuk pantainya pun
melengkung seperti danau. Apalagi, warna biru pantainya benar-benar
eksotis. Pantai ini bisa dibilang pantai yang masih perawan. Hanya sayang, di
dekat resort Tropical banyak terdapat sampah. Sementara, sepanjang
kawasan Pantai Tropical lain tampak bersih, baik area pasir pantai ataupun
pada air pantai.
Pemandangan Pantai Tropical memang indah. Kita bisa menyaksikan
bukit batu. Ketika berjalan-jalan di pasir pantai, kita juga bisa menemukan
kerang-kerang yang berwarna-warni dengan variasi bentuk yang beraneka
ragam. Sesekali, kita juga bisa menjumpai hewan-hewan kecil di sekitar
pantai, seperti kepiting dan keong.

Pantai Lawar
Pantai Lawar merupakan pantai di pesisir barat Pulau Sumbawa. Jaraknya
sekitar 3-5 km dari Pantai Rantung. Pantai Lawar sangat eksotis, dengan
bukit-bukit yang menjulang tinggi di ujung kanan pantai. Seperti pantai-
pantai lainnya di pesisir barat Sumbawa, Pantai Lawar juga berpasir putih.
Uniknya, pasir di pantai ini benarbenar putih bersih dan lembut seperti susu
bubuk.
Di sebelah kiri pantai banyak terdapat batu-batu besar yang sangat indah
kalau Anda foto. Butiran pasirnya terasa sangat lembut di kaki. Untuk
merasakan kelembutan pasir pantai ini, sebaiknya Anda berjalan tanpa alas
kaki.
Teluk Benete
Teluk Benete ini dekat dengan pelabuhan PT NNT. Yang menarik dari teluk
ini adalah diapitnya pantai ini oleh dua bukit. Di sini merupakan salah satu
spot yang bagus untuk memotret karena banyaknya kegiatan di sini dan
adanya pelabuhan. Kita bisa memotret aktivitas dan kapal-kapal yang ada di
sini. Di saat sunset, kita bisa membuat siluetsiluet kapal.
Buat yang ingin mencari suasana selain Bali dan Lombok, silakan untuk
mengeksplor Sumbawa Barat. Buat pencinta pantai sangat direkomendasikan
untuk mengunjungi semua pantai-pantai indah di Kabupaten Sumbawa Barat
ini.
Dhanang Puspita

udah, biasa saja, kalian pasti jarang traveling, ya?” kata Mas Toro
yang biasa dipanggil Cumi. Kata-kata dia begitu menarik,
manakala saya melihat ekspresi teman-teman saat harus berpisah
setelah seminggu bersama. Ada yang merasa berat, ada juga yang biasa saja.
Bagi mereka yang sering bepergian, bertemu dan berpisah adalah hal yang
lumrah. Namun, bagi yang tidak terbiasa, berpisah adalah sesuatu yang berat.
Seminggu sudah kami di pertambangan Newmont Nusa Tenggara dan
area di luar tambang. Banyak yang bisa saya dapatkan, terutama khazanah
pengetahuan baru seputar pertambangan dari hulu hingga hilirnya. Dari
awalnya sebuah angan, mimpi, dan akhirnya menjadi sebuah kenyataan
setelah penantian panjang. Nadanada sumbang mengiringi perjalanan, bagi
mereka yang bersudut pandang negatif tentang tambang; kapitalis, perusakan
lingkungan, ketimpangan sosial, hingga unsur politis. Sebuah konsekuensi
yang harus diterima dengan orang-orang yang berseberangan pikiran.
Namun, mimpi harus jalan terus.
Sebelum pulang, ada sebuah pesan sederhana dari mereka yang ada di
tambang, “Yang baik-baik kalian bawa pulang, yang buruk berikan pada
kami untuk perbaikan. Lalu, informasikan di sini ada apa dan apa yang terjadi
tanpa harus ditutup-tutupi.”
Sebuah angin segar bagi kami untuk melihat, meraba, hingga berargumen
dengan para pakar, memunculkan sebuah diskusi yang hidup dan
mencerahkan. Saat kami diminta rekomendasi, saya hanya berpikir “Saya
masih terlalu bodoh untuk memberikan rekomendasi pada mereka yang jauh
lebih ahli, sebentar lagi akan dipulangkan setelah banyak mendapatkan
pengetahuan.”
Lantas, ada yang bertanya, dapat apa selama seminggu di sana? Terlalu
dini menyimpulkan mendapat apa, sebab belajar tambang tidak cukup
sesingkat itu. Mereka yang kuliah tentang tambang atau metalurgi butuh
waktu empat tahun. Itu pun belum sepenuhnya menguasai, terlebih kami
yang hanya lima hari efektif saja. Namun, saya pulang juga tidak ingin
dengan tangan hampa, tetapi dengan membawa beberapa buah pikiran yang
siapa tahu berguna buat saya atau mereka yang ingin tahu. Yang pasti, kami
mendapat sudut pandang tentang pertambangan yang menjadi visi dan misi
dari perusahaan. Ada tanggung jawab dari proses eksplorasi walau kadang
tidak semua terpenuhi.
Pelajaran terpenting bagi kami adalah sebuah kehidupan dan prosesnya
yang tertata rapi dengan beragam aturan, kaidah, dan norma yang harus
ditaati.
Sepertinya, belum mau pada pulang.
Di balik apa yang kami dapatkan, ternyata banyak sekali pelanggaran yang
kami lakukan. Masalah waktu, jangan tanya pasti kami orang yang sering
terlambat, terlebih bangun pagi-pagi. Urusan keamanan, kerap kami menjadi
orang yang mengabaikan peraturan. Dari lalai jalan kaki di jalur pedestrian,
hingga tidak mengenakan sabuk pengaman. Sepertinya, kebiasaan di luar
sana masih terlalu melekat kuat di dalam tindakan kami. Pelan-pelan,
kebiasaan buruk itu pun terkikis, entah jika kembali ke habitat asli nanti.
Akhirnya, waktu juga yang harus mengakhiri penantian dan perjalanan
panjang ini. Satu per satu ID Card kami ditarik dan tukar dengan tiket
pulang. Dalam perjalanan, kami masih bersama teman-teman dari darat, laut,
dan udara.

Biarlah orang-orang berkata kami dicuci otaknya, tapi di


sana memang kami mencuci otak kami sendiri-sendiri
dari bayang-bayang keburukan, dan akhirnya kami
menemukan sisi baiknya.
Sisi buruknya tetap kami tinggalkan agar menjadi perbaikan buat mereka.
“Aku ingin pulang, terima kasih #NewmontBootcamp!”
Adella Adiningtyas

The future depends on what you do today.


—Gandhi

ertambangan menjadi sesuatu yang sedang on dibicarakan oleh saya


dan beberapa teman lainnya saat ini. Apalagi, setelah kepulangan saya
dari KSB untuk mengikuti rangkaian acara #NewmontBootcamp
sebagai bentuk transparasi yang diselenggarakan oleh PT NNT untuk
masyarakat awam seperti saya. Saya yang sebelumnya punya pandangan
skeptis soal pertambangan mulai mencoba membenahi pikiran tanpa
mengubah pola pikir saya secara keseluruhan. Banyak yang bilang kalau
operasi tambang merupakan kegiatan eksploitasi Sumber Daya Alam.
Kerusakan yang diciptakan karena pengerukan lahan menjadi dasar
pemikiran tersebut. Namun, menurut definisi yang saya dapat, pertambangan
ialah kegiatan mengekstraksi mineral dan bahan tambang lainnya yang
dilakukan dengan penggalian endapan galian yang berharga dan bernilai
ekonomis.
Hasil yang didapatkan dari pertambangan pun beragam, bukan hanya
emas yang selalu kita ributkan sekarang ini, tapi ada juga minyak dan gas
bumi, bijih mangan, perak, batu bara, pasir besi, bijih timah, bijih nikel, bijih
bauksit, bijih tembaga, dan granit.
Kita yang terlena akan mahalnya emas, kemudian lupa dengan hasil
kegiatan tambang lainnya yang membawa manfaat bagi kehidupan. Beberapa
teman yang saya ajak diskusi soal pertambangan pun sibuk meributkan emas
sebagai hasil tambang tanpa mereka ingat akan hasil pertambangan lainnya.
Padahal, hasil pertambangan lain di luar emas atau perak membawa banyak
keuntungan bagi manusia modern saat ini, seperti laptop atau handphone
yang kita gunakan memiliki bahan dasar tembaga yang juga sebagai salah
satu hasil pertambangan. Ada juga minyak dan gas bumi yang berperan
penting sebagai bahan bakar PLTU atau bensin yang kita gunakan untuk
berkendara.

Kalau Menurut Gue, sih …


“Gue kurang setuju dengan adanya operasi tambang yang dilakukan secara
besar-besaran, Dell. Menurut gue, sih, itu eksploitasi Sumber Daya Alam
kita. Kenapa, sih, harus tambang? Karena, masih banyak sektor yang bisa kita
maksimalin selain tambang. Kita bisa, lho, maksimalin sektor pertanian kita
menggunakan IT sebelum jatuh ke tambang yang jadi aset besar yang
dikuasai asing.” – X, Mahasiswa Fakultas Matematika dan IPA IPB 48.
Kutipan di atas, saya dapatkan dari teman satu angkatan di IPB, ketika
kami sedang mendiskusikan keberlanjutan sektor pertanian berbanding
operasi tambang.
Oh, iya, di sini saya tidak akan mencuci otak kalian
dengan menyebutkan kalau operasi pertambangan itu
baik, tapi saya hanya ingin menggabungkan beberapa
sudut pandang mahasiswa Pertanian dari berbagai
bidang tentang arti pertambangan.
Nah, walaupun tidak sedikit mahasiswa yang membeberkan pandangan
negatif soal pertambangan kepada saya, baik secara langsung ataupun tidak,
ada juga teman lainnya yang melihat pertambangan dari manfaat yang dia
dapatkan ...
“Menurut gue, adanya operasi pertambangan di Indonesia ini wajar, sih.
Indonesia salah satu negara paling prospektif tambang. Jadi, yah, normal aja.
Banyak manfaat yang emang didapetin dari operasi tambang ini, kan?
Asalkan, perusahaan bisa bertanggung jawab sama alam dan masyarakat
sekitar, buat gue itu adalah hal yang normal.” – Y, Mahasiswa Fakultas
Ekologi Manusia IPB 48.
Atau, pendapat teman saya lainnya yang setuju akan operasi tambang di
Indonesia asalkan lingkungan dan kehidupan masyarakat bisa sejahtera
sebagaimana mestinya.
“Kalau gue, sih, sebenernya setuju ada operasi tambang (terlepas itu
mineral ataupun energi), tapi hasil dari operasi tambangnya harus kembali
pada kesejahteraan masyarakat Indonesia. Lingkungan pasca-tambang juga
perlu terus diperhatikan untuk meminimalkan kerusakan, jadi penduduk atau
masyarakat lokal yang tinggal di sekitar tambang tidak banyak dirugikan
dengan adanya kegiatan tersebut.” – Z, Mahasiswa Fakultas Perikanan dan
Kelautan IPB 48.
Ada juga pendapat lainnya dari salah seorang teman yang melihat
keberlanjutan sumber daya energi yang bisa kita tekan penggunaannya untuk
meminimalkan penggunaan di masa depan ...
“Di sini, gue mau berbagi pandangan soal pertambangan dari sudut
pandang gue, yah, Dell. Mengingat, gue gak mendalami tambang coal, hehe.
Buat gue, tambang energi bisa sedikit demi sedikit kita kurangi
penggunaannya karena era yang sekarang ini sudah ditemukan berbagai
alternatif dari bahan nabati. Seperti, biodiesel dari minyak jarak pagar atau
juga bioetanol dari limbah kelapa sawit. Itu semua kita gunain untuk
menekan penggunaan, lho. Mungkin, kita juga bisa melakukan hal yang sama
di pertambangan coal. Semua, kan, soal keberlanjutan lingkungan. Kalau
lingkungan kita sekarang rusak, terus gimana kehidupan kita kedepannya?” –
A, Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian IPB 48.
Atau, ada juga teman saya yang berbagi cerita soal keinginannya
menggeluti tambang, namun pada akhirnya terdampar pada soal
kemasyarakatan, hehe ...
“Perusahaan pertambangan dan perminyakan kurang lebih sama yang
dipenuhi oleh kompetensi yang sangat ketat untuk bisa bergelut di dalamnya.
Bukan sembarang orang yang bisa bekerja di bidang perminyakan dan
pertambangan itu sendiri, Dell. Perusahaan tambang dan perminyakan juga
pastinya punya perancangan dan perencanaan untuk ke depannya, lho,
apalagi mengingat sumber daya ini bisa habis di kemudian hari. Tapi,
bicara soal pertambangan secara spesifiknya alasan kita
punya pandangan kontra pada kegiatan pertambangan karena biasanya
pertambangan itu berurusan pada soal masyarakat yang tidak sejahtera atau
juga lingkungan hidup yang rusak. Sehingga, tidak jarang, kita melihat
aktivitas kampanye untuk menutup pertambangan, kan? Mesti ada bagian
yang dirugikan atau pihak yang tertekan dan tergilas dari aktivitas
pertambangan ini, Dell. Tapi gue bukan bagian dari pihak yang menyalahkan
adanya perusahaan tambang karena itu memang wajar dilakukan selama
berada di batas kewajaran. Untuk harapan dan masukan ke depannya dari
setiap operasi tambang yang dilakukan, perusahaan tambang perlu
mempertimbangkan untuk masalah lingkungan jangka panjang. Kan, mau
gak mau, kita harus kembali memikirkan lingkungan dan juga masyarakat
sekitar tentunya.” – B, Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia IPB 48.

Keberlanjutan – Lingkungan – Masyarakat (?)


Dari beberapa kutipan yang saya tuliskan di atas, semuanya mengarah pada
operasi tambang dan permasalahan lingkungan yang perlu benar-benar
dilestarikan. Saya juga tidak lupa membeberkan apa saja yang saya lihat di
area operasi tambang selama mengikuti trip #NewmontBootcamp. Bahwa,
upaya PT NNT dalam melakukan pelestarian lingkungan sudah baik dan
patut dicontoh oleh perusahaan tambang lainnya. Salah satu kegiatan yang
dilakukan PT NNT ialah reklamasi kawasan hutan terdampak operasional
tambang seluas 800-2000 hektare. Berdasar pada tulisan Kak Fahmi yang
juga salah seorang teman saya di tim #NewmontBootcamp, diceritakan
bahwa PT NNT sudah sangat serius melakukan upaya pelestarian lingkungan
melalui usaha reklamasi hutan. Buktinya saja, bisa dilihat dari area operasi
tambang yang sudah hijau kembali.
“Hijaunya area pertambangan bisa menjadi salah satu indikator
keberhasilan perusahaan dalam menjaga lingkungan, asalkan perusahaan
tidak lupa untuk tetap menjaga agar air yang digunakan masyarakat lokal atau
penduduk sekitar tidak tercemar dengan logam mineral hasil pertambangan.”
– C, Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia IPB 48.
Setelah saya melihat secara langsung kawasan hutan yang sudah
direklamasi PT NNT di area operasi tambang, saya akui bahwa upaya
penghijauan yang dilakukan perusahaan sudah berhasil. Kawasan operasi
tambang yang panas dan gersang bisa kembali hijau atas kesadaran
pelestarian lingkungan yang dilakukan perusahaan dengan dibantu alat
teknologi yang sudah semakin canggih.
Jadi, poin penting dari diskusi ini adalah bagaimana upaya kelanjutan
yang dilakukan perusahaan untuk kembali melestarikan lingkungan agar
masyarakat lokal atau penduduk yang tinggal di sekitar area tambang tetap
aman dari logam berat hasil pertambangan seperti sekarang.
Artinya, PT NNT diminta tidak melupakan setiap aktivitas reklamasi yang
sudah dilakukannya selama ini. Bahkan, harapan kami setelah berdiskusi
panjang ini ialah perusahaan bisa semakin baik melakukan upaya
penghijauan di area operasi tambang, hihi.
Maka dari itu, kita sebagai insan manusia harus bertanggung jawab pada
apa yang kita lakukan di dunia ini. Kita juga harus menjaga apa yang kita
miliki saat ini. Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk membuat Indonesia
menjadi semakin baik, asalkan bisa kita mulai dari diri sendiri. Jangan hanya
berteriak tanpa ada usaha yang dilakukan ke depannya.
We’re never got the positive things from the bad things we’re did.
Because, you are what you do NOT what you say you will do!
Juwairiyah

T hey will set the event so that You will see what they want you to see,”
begitulah komentar seorang teman, ketika tahu saya akan mengikuti
kegiatan Sustainable Mining Bootcamp (SMB) selama satu minggu
pada awal November 2012. Kegiatan ini diadakan oleh PT Newmont Nusa
Tenggara untuk memperlihatkan aktivitas pertambangan, perawatan alam,
serta program yang mereka jalankan di bidang pemberdayaan masyarakat.
Teman saya mengira bahwa rangkaian acara ini sengaja dibentuk sedemikian
rupa agar perusahaan Newmont terlihat bagus di mata kami. Saya hanya
menjawab, “I am going to see what I want to see.” Karena, sudah beberapa
kali mengunjungi perusahaan lain, saya berani mengatakan bahwa program
SMB ini berbeda.

Saya benar-benar bisa melihat apa yang ingin saya


lihat dan saya bebas bertanya apa pun yang bebas
saya tanyakan tanpa ada yang ditutup-tutupi.
Agar lebih akurat, kami juga ditunjukkan data terkait pengelolaan
lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Menariknya, peserta SMB yang
terdiri dari mahasiswa, pegawai, pebisnis, fotografer, dan penulis pun
dibebaskan berinteraksi dengan masyarakat sekitar wilayah tambang untuk
mengonfirmasi data yang telah diberikan oleh Newmont. Kami juga bisa
menyaksikan sendiri bagaimana alam dan lingkungan sekitar wilayah
tambang. Program ini adalah kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan
yang komprehensif tentang dunia pertambangan karena peserta bisa melihat
sisi positif tanpa kehilangan sisi negatif.
Dua hari pertama adalah kesempatan luar biasa bagi mahasiswa Fakultas
Teknik untuk menambah pengetahuan dari lapangan. Kami diajak
mengunjungi daerah penggalian tambang, juga mengamati proses penggalian
dan pengolahan hasil penggalian. Wilayah tambangnya 493 hektare dari total
wilayah 85.540 hektare yang disewa Newmont dari pemerintah. Bebatuan
hasil penggalian dibawa ke pabrik untuk dihancurkan dan disaring, lantas
diolah dengan metode floatation supaya konsentrat yang memiliki kandungan
logam terpisah dari pasir yang tidak mengandung logam. Sebesar 2-5% dari
100.000 ton bebatuan yang digali per hari bisa menjadi konsentrat yang dapat
dijual ke perusahaan pengolahan, baik di dalam maupun di luar negeri, untuk
dijadikan berbagai produk.
Dua hari berikutnya, kesempatan emas untuk menyaksikan sendiri
bagaimana pengaruh pertambangan terhadap lingkungan. Kami melihat
bagaimana Newmont mengolah air asam tambang agar tidak mencemari
sungai yang masih jernih di dekatnya. Kami melihat sendiri banyak elang-
elang yang terbang bebas di udara, serta masih banyak kupu-kupu putih
beterbangan di sekitar sungai.
Namun, kami tidak melihat rusa. Rusa adalah binatang yang diburu
penduduk. Menurut Muhammad Amrul Husni, Supervisor Inland and Air
Quality Monitoring, Newmont kesulitan melarang penduduk berburu
meskipun kawasan hutan yang dikelola Newmont adalah kawasan terbatas
yang tidak boleh dimasuki orang yang tidak berkepentingan. “Tapi, kami
tidak bisa melarang karena berburu sudah menjadi budaya di sini. Satu orang
bisa masuk ke hutan dengan belasan anjing yang akan memburu rusa,” begitu
tegasnya.
Mirisnya, setelah mendengar statement ini, seorang penduduk yang
rumahnya kami singgahi menyajikan dendeng daging rusa untuk sarapan.
Saya pun bingung. Saya tidak tega memakan sajian itu, tapi juga tidak enak
kalau tidak menyentuhnya. Saya pun mencicipi sedikit daging itu sebagai
bentuk terima kasih, kemudian mengomentari keberadaan rusa yang semakin
jarang, ketika mengobrol dengan keluarga pemilik rumah di dapur.
Kami juga mengunjungi sekolah untuk berbagi cerita inspirasi kepada
anak-anak yang belum pernah meninggalkan pulau. Kami melihat tatapan
antusias anakanak, ketika mereka menyimak cerita tentang gedunggedung di
Jakarta yang bisa lebih dari 30 tingkat. Sungguh menyenangkan, ketika
mereka tahu dalam gedung itu ada lift yang cara kerjanya mirip dengan timba
untuk mengambil air di sumur. Dengan begitu, orang lebih mudah naik dari
lantai 1 ke lantai 30. Yang juga unik, kami mendengar ada anak yang
menjawab Singapura, ketika kami bertanya, “Coba sebutkan nama-nama
provinsi yang ada di Indonesia!” Ternyata, mereka belum banyak mengenal
negaranya sendiri. Ah, keinginan saya untuk bergabung menjadi seorang
pengajar di desa seperti ini semakin menguat, semoga diberikan jalannya.
Kesehatan juga menjadi perhatian dari Newmont. Mereka membangun
berbagai fasilitas, seperti sumur air bersih dan Puskesmas, serta melakukan
berbagai upaya untuk meningkatkan gizi dan menurunkan angka malaria.
Puskesmas juga mengadakan program yang memberdayakan dukun beranak
dengan tenaga medis untuk menekan angka kematian ibu dan anak saat
melahirkan. Menurut pengakuan dokter di Puskesmas Aik Kangkung, Efradi,
Puskesmas ini butuh fasilitas untuk rawat inap, dari sisi tenaga medis sudah
lebih dari cukup.
Keberadaan Newmont erat kaitannya dengan peningkatan perekonomian
masyarakat sekitar wilayah tambang. Newmont membangun infrastruktur
daerah dan membantu biaya usaha kecil mikro. Ada bermacam potensi bisnis
di sini. Tanah yang kering sangat cocok untuk ditanami lidah buaya. Alova
adalah merek yang sedang dikembangkan pengusaha pengolah lidah buaya
yang dibantu oleh Newmont. Mereka biasa menjual produk olahan lidah
buaya, seperti manisan dan dodol hingga ke Mataram. Namun, saat ini,
mereka sudah tidak memproduksi dodol lagi karena kurang efisien. Newmont
perlu membantu manajemen pengusaha agar produk olahannya bisa
terdistribusi luas secara nasional mengingat produk ini memiliki keunikan
dan belum banyak beredar di Indonesia.
Diam-diam, aku pun menyimpan sebuah keinginan untuk berbisnis di
tanah seribu masjid ini. Menurut pengelola perkebunan lidah buaya tersebut,
demand lidah buaya masih tinggi. Mereka belum mampu memenuhi
permintaan dari Bali karena kapasitas panen mereka hanya 300-400 kg per
minggu, sedangkan permintaannya bisa sampai berton-ton per harinya.
Modal bisnis ini tidak besar, hanya seharga Rp2.500 per bibit yang ditanam
setiap jarak 50 cm dan modal lahan. Perawatannya tidak susah karena tidak
ada risiko hama. Harga jualnya bisa sampai Rp1.000 per kilogram. Semoga,
suatu saat bisa menjalani bisnis ini sambil mengajar anak-anak di desa itu.
Ah, perjalanan ini bisa mengubah cita-cita seseorang rupanya.
Ada juga komentar-komentar negatif dari penduduk desa, beberapa
mereka tidak puas dengan pengelolaan alam dari Newmont. Mereka
menantang Newmont untuk minum air sungai yang terletak di sebelah dam
air asam tambang. Aku hanya tersenyum saja karena satu hari sebelumnya,
Pak Rully menjelaskan bahwa mereka telah mengukur standar untuk kualitas
air sungai tersebut, ketika menyusun AMDAL sebelum Newmont beroperasi
dan setelah hampir 20 tahun Newmont berdiri, kualitas air sungai itu masih
sama karena mereka selalu mengontrol kualitas air, tanah, dan udara sekitar
wilayah tambang. Aku pun sempat ikut membuktikannya, ketika datang ke
sungai itu, kucicipi air segar yang melewati bebatuan besar tersebut.
Ada lagi yang berkomentar soal penempatan limbah tailing di dasar laut
Newmont. Memang, limbah adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan.
Newmont mendapatkan penghargaan PROPER Hijau berkali-kali dari
Kementerian Lingkungan Hidup atas usahanya menempatkan dan mengontrol
limbah. Tailing adalah pasir yang sudah tidak mengandung mineral logam
hasil dari pengolahan bebatuan. Mereka menempatkannya di koordinat
tertentu jauh di bawah palung laut, dikontrol posisinya agar tidak berpindah.
Selain itu, Newmont juga bekerja sama dengan beberapa universitas dan LIPI
untuk melakukan riset untuk mengetahui pengaruh tailing terhadap
kehidupan mikro di bawah laut. Malam terakhir kami di Sumbawa,
dihabiskan untuk memberikan presentasi hasil temuan kami, baik dari
aspirasi masyarakat atau alam yang kami lihat sendiri. Presentasi ini sengaja
diadakan Newmont supaya menjadi input untuk perbaikan sistem pengolahan
lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Mereka juga meluruskan persepsi
dan memberikan data yang masih ingin kami ketahui setelah perjalanan
tersebut.
Pelajaran yang saya dapatkan adalah sepositif apa pun usaha perusahaan
tambang untuk memperbaiki alam, kekayaan alam tidak bisa kembali seperti
semula. Senegatif apa pun perusahaan tambang, kita tetap membutuhkannya
dalam kehidupan. Orang di Aceh akan kesulitan menghubungi temannya di
Papua tanpa telepon. Listrik tidak mengalir tanpa kabel, tidak akan ada
catatan tanpa pulpen. Mahasiswa tidak bisa hidup tanpa komputer dan saya
tidak bisa berbagi pengalaman ini tanpa laptop.
Hal terpenting adalah memaksimalkan manfaat dari hadirnya perusahaan
tambang dan meminimalkan dampak negatifnya. Manusia diutus di Bumi
untuk menjadi pemimpin yang mengolah alam, bukan merusak. Oleh karena
itu, meskipun kita menggunakan alam untuk kepentingan kaum manusia, kita
tetap harus menjaga keseimbangan alam.
Tambang adalah kebutuhan; Menjaga keseimbangan alam adalah
kewajiban; Kesejahteraan masyarakat adalah tujuan.

Tambahan:
Program SMB juga merupakan alternatif liburan yang sangat menarik. Setiap
sore, kami menikmati keindahan matahari terbenam di pantai-pantai yang
masih perawan, seolah semua pemandangan itu sengaja disuguhkan untuk
kami. Bentang alam Sumbawa yang hijau dan sebagian mengering karena
musim kemarau pun bisa menyerap semua stres yang dibawa dari Jakarta.
Tidak ada gedung bertingkat dengan suara klakson, yang ada adalah bukit
yang mengepung lembah dengan suara berbagai macam hewan. Tidak ada
pengemis di pinggir jalan, yang ada adalah monyet-monyet dan sapi yang
berkeliaran.
Kalau mau mendapatkan keluarga baru yang seru, program ini cocok
untuk kalian. Satu minggu bersamasama menikmati perjalanan, menjadikan
kami sangat akrab. Ada yang suka bikin kehebohan dengan ceritacerita
uniknya, ada juga yang diam-diam menumbuhkan perasaan tertentu. Hahaha
... sudah tidak bisa diceritakan ini, memori ini terlalu banyak dan mungkin
akan aku tulis khusus di posting yang lain.
Unggul Sagena

TB adalah provinsi yang miskin di Indonesia. Bersandingan dengan


dua provinsi ekstrem lainnya. Bali yang maju dengan pariwisatanya
dan Nusa Tenggara Timur yang Nasibnya Tidak Tentu, Negara-pun
Tidak Tahu (NTT). Senasib dengan NTT, Provinsi NTB juga kategori
terbelakang. Keberadaan NNT di lokasi Batu Hijau sebenarnya diharapkan
menambah amunisi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dampak tambang
ini secara ekonomis harus dapat meningkatkan kesejahteraan lokal. Sepakat?
Eksplorasi di NTB sebenarnya sudah lama, sejak 1984, namun skala produksi
yang kemudian membesar mulai ditunjukkan pada medio 2000-an di mana
lokasi ini kemudian seperti sekarang ini.
Membaikkah perekonomian? Kita Lihat. Peran siapa memangnya itu?
Kita bahas, ya. Kontur wilayah geografis di NTB, khususnya Sumbawa yang
panas dan terik, dengan curah hujan yang rendah, serta jauh dari pusat
pemerintahan yang sentralistis membuat NTB memiliki keseksian tersendiri,
terutama bagi bule-bule yang merindukan kehangatan matahari. Juga,
ternyata menyimpan kekayaan alam yang luar biasa, baik yang terpendam di
dalam tanah maupun yang bisa langsung disaksikan dengan mata telanjang.
NNT membuat bebatuan terjal menjadi serbuk berharga. Tembaga.
Eksploitasi Sumber Daya Alam Indonesia ini membuat skeptis masyarakat
umum. Hal ini karena Newmont yang “Amerika”. Itu saja. Nasionalisme
sejumput ini kemudian berkembang menjadi sentimen yang menunjukkan
kemarahan terhadap kerusakan alam. Rusak. Seakan-akan tidak bisa dipakai
lagi. Jika produk elektronik rusak, ia akan terbuang kalau tidak dapat
diperbaiki. Padahal, konsep keberlanjutan (sustainability) ada. Dan, ternyata,
semua itu bisa berjalan paralel. Saya sudah pernah melihat reklamasi (usaha
memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi dalam kawasan
hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi
agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya) berjalan di
tambang emas kecil Cibaliung di Banten.
Namun, aktor daerah mempersempit sudut pandang menjadi pola scam
terhadap perusahaan tambang. By default, bukan berarti perusahaan tambang
“baik”. Tapi ada standar yang harus ditepati. Jika kesejahteraan masyarakat
Banten buruk, sebagaimana kita ketahui, masalahnya kompleks. Melibatkan
praktik KKN yang merajalela dan itu sangat erat dengan para aktor
pemerintah dan–mohon maaf—partai penguasa. Hal yang sama–mungkin–
terjadi di Batu Hijau. Di area tambang yang disebut Batu Hijau karena
banyaknya batuan hijau akibat pengendapan unsurunsur alam pada batu ini;
permasalahan begitu kompleks.
CSR (Corporate Social Responsibility alias tanggung jawab sosial
perusahaan) berjalan walau sempat terhenti, ketika aktivitas pertambangan
berhenti. Ada pengelolaan Bank Sampah, koperasi masyarakat, perkebunan
buah naga (dragon fruit), beasiswa pendidikan, dan banyak hal dilakukan.
Mungkin, belum maksimal, silakan kita berikan masukan. Reklamasi juga
berjalan.

Celakanya, ketika kita memotret pit tambang yang


bolong karena dikeruk, kita tidak sadar di sekitar itu
terjadi pula proses reklamasi.
Banyak pepohonan sudah tertanam kembali dan fungsi tanah sudah
kembali. Inilah media. Keterbatasan menyebabkan penilaian yang cenderung
menghakimi. Saya rasa, isunya adalah mengawal agar tetap berjalan dan itu
tak ditunjukkan dengan sikap cibiran, tapi seharusnya sikap yang benar itu
kita malah ingin terlibat langsung dalam prosesnya. Untuk tahu.
Sejauh yang saya ketahui, NNT terbuka untuk itu. Departemen
Environment juga menjalin hubungan intens dengan lab-lab dan pusat kajian
universitas di Mataram dan sekitar. Selain itu, pada satu kesempatan, saya
sempat bertemu dengan rombongan “See What You Pay” yang merupakan
masyarakat yang peduli “transparansi anggaran”, serta datang ke lokasi-
lokasi CSR NNT maupun ke kegiatan pemerintah daerah untuk melihat apa
sebenarnya yang dilakukan. dari pajak mereka.
Jangan NATO intinya (No Action Talk Only) apalagi di sosial media. Sejauh
mata memandang, unsur “barat” di NNT menurut saya hanya satu. Disiplin.
Mulai dari seat-belt di semua tempat duduk, berjalan di pedestrian, hingga
klakson kode untuk kendaraan jika bergerak dan berhenti. Bukan seliweran
bule di area tambang. Selama beberapa hari pun, saya melihat hanya satu bule
di mess hall, tempat makan. Itu pun berpakaian PBU. PBU adalah rekanan
Newmont yang mengurusi perihal logistik, utamanya makanan para staf
tambang.
Perekonomian pekerja tambang juga baik. Bahkan, sangat baik sehingga
menjadi masalah sosial baru. Tujuh ribu (7.000) karyawan yang mencari
nafkah di tambang, 99,8 persen lokal. Spesialis memang kadang
membutuhkan orang ekspat. Namun, itu karena memang tidak ada SDM
lokal yang mumpuni di area tertentu. Bahkan, untuk memenuhi tenaga lokal,
dilatih kemampuan masyarakat agar dapat bekerja di NNT. Secara bertahap,
peningkatan perekonomian terjadi. Problemnya, ada kesenjangan ekonomi
antara karyawan NNT dengan non-karyawan NNT. Ini berbuah
ketergantungan dan harapan yang tinggi untuk semua orang yang sukses di
Sumbawa itu adalah karyawan Newmont. Padahal, banyak kegiatan dan
pekerjaan termasuk wirausaha yang lebih baik. Sering kali, peluang itu malah
ditangkap para pendatang. Masyarakat lokal merasa sukses kalau sudah jadi
karyawan Newmont. Pola berpikir ini jelas salah.

Jika kita ingin Newmont hengkang dari Indonesia, mengapa


masyarakat malah bercita-cita kerja di sana?
Ada yang salah tentu. Bagi Newmont, ini serba salah bukan?
Jika batu bisa ngomong, menyalin istilah penyanyi Doel Sumbang --yang
“bulan bisa ngomong”, ia akan bicara, buat aku menjadi berharga. Menjadi
batuan berharga yang bisa diekspor, ditukar uang untuk kesejahteraan. Jika
memang lebih banyak untuk “Amerika”, maka pemerintah perlu dan
seharusnya sudah, membuat pola bagi hasil yang saling menguntungkan.
Perusahaan bisnis tetaplah bisnis. Dan, siapa sangka, saham Newmont juga
dimiliki oleh lokal, yaitu grup Bakrie. Wallahualam. Inilah bisnis-politik.
Suara-suara “sumbang” bukan milik Doel Sumbang, tapi milik orang-orang
yang tersisihkan.
Saya ingat bahwa menurut Manajer CSR, Pak Djarot yang asli Sumbawa,
sudah biasa terjadi demo dan penutupan jalan oleh beberapa pihak yang
ternyata “barisan sakit hati” yang menuntut atau berhasrat untuk bekerja di
NNT setelah lulus kuliah, sedangkan tetangga mereka bekerja di NNT hanya
berbekal ijazah SD, SMP, SMA, namun dibekali keterampilan karena SDM
lokal memang lack of skill pada saat itu. Saat ini, tidak mudah untuk bekerja
di NNT karena memang terkait dengan kebutuhan. Selain itu, kontrak NNT
juga masih belum jelas, jadi bukan kebijakan yang baik untuk menambah
karyawan. Yang ada saja dapat sewaktu-waktu dirumahkan. Hmm ... menarik
info ini. Dan, masyarakat yang memang sudah bisa ngomong, juga berulang
kali berbicara, buat aku menjadi berharga. Buat kami sejahtera. Sebuah
permintaan yang kadang terlihat absurd. Sebab, tidak pula tepat sasaran.
Kesejahteraan akan ada jika ada kerja sama yang baik dari setiap
pemangku kepentingan. Quadruple Helix kalau diistilahkan. Kerja sama
antara kalangan Akademik, Bisnis, Pemerintah, dan Masyarakat Sipil. NNT,
dengan segala kemampuannya, tetaplah perusahaan swasta. Kewajibannya,
sudah standar dunia, bahkan standarnya World Bank karena dana ada dari
sana. Bahkan, standar pengelolaan tambang NNT adalah yang terbaik di
antara tambang Newmont lain di dunia. Lalu, seperti apa. Kewajiban
pembangunan smelter untuk mengolah konsentrat sebelum diekspor menurut
saya hal yang baik. Saya tidak punya akses ke hitung-hitungan akuntansi
NNT tapi dengan membuat smelter (saya tidak peduli dari mana dan
bagaimana) berarti NNT sudah mengikuti aturan pemerintah Indonesia. Saya
rasa, aturan itu bukan hanya sekadarnya, tapi sudah melalui kajian yang
mendalam. Ikutin aja-lah flow-nya. Sementara itu, kegiatan harus tetap
berjalan karena ini terkait perekonomian. Tidak hanya bagi 7.000 karyawan,
tapi trickle-down effect dan spread effect-nya bagi perekonomian masyarakat
sekitar tambang maupun provinsi.
Dengan beberapa hari menginap di rumah masyarakat, saya juga
mendapat gambaran bagaimana Newmont berkontribusi untuk kesejahteraan.
Lho, ini perusahaan swasta, bukan Pemda yang seharusnya lebih punya
kewajiban. Saya mencoba membayangkan, bagi masyarakat Sumbawa Barat,
berhenti beroperasinya NNT pada waktu lalu, sama halnya dengan
berhentinya PLN menerangi listrik di rumah. Anda bisa bayangkan, bukan?
Dana pengembangan masyarakat (community development), seperti
pengelolaan Bank Sampah, coconet (Jaring untuk reklamasi yang dibuat dari
sabut kelapa sehingga ramah lingkungan), kebun buah naga (dragon fruit),
serta beasiswa merupakan hal yang patut diapresiasi. Saya juga sependapat,
Newmont ada karena ada yang tidak ada. Kita sendiri yang salah, tidak punya
roadmap BUMN yang bisa mengelola. Jika kita pernah melihat lingkar
tambang di Indonesia dikuasai perusahaan asing mulai dari AS hingga
Malaysia, harusnya kita berkaca, bisakah kita membuat perusahaan
multinasional seperti ini?
Diah Setiawaty

embahasan mengenai Corporate Social Responsibility (CSR) selalu


menjadi topik diskusi yang menarik, selain karena pembahasan intensif
mengenai isu CSR termasuk bahasan baru di Indonesia, terutama
setelah keluarnya UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang
mewajibkan setiap perseroan yang kegiatan utamanya bergerak di bidang
Sumber Daya Alam untuk melakukan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
(TJSP). Debat dan dialektika mengenai CSR terjadi di seputar pertanyaan
mengenai pro dan kontra apakah CSR seharusnya mandatory ataukah
voluntary? Hampir di setiap negara, kecuali di Indonesia, hal-hal yang
menjadi tanggung jawab perusahaan hanyalah tiga hal, yaitu hakhak pekerja,
keamanan produk, dan keamanan terhadap lingkungan. Pihak yang setuju
bahwa CSR adalah kewajiban yang harus diatur negara percaya bahwa UU
CSR akan membawa keadilan dan kesetaraan bagi masyarakat. Sementara
itu, mereka yang tidak setuju percaya bahwa dengan keluarnya regulasi yang
mewajibkan CSR, maka dana CSR akan rentan tersangkut praktik
manipulasi, begitu pula inisiatif dan hikmah intelektual tidak dapat
diwajibkan oleh negara. Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) sendiri
menurut definisi PA CSR yang diperkenalkan dan berkembang pada
International Conference on CSR and Improving The Natural Nutritional
Status: Obtaining Millenium Development Goals in Indonesia, yaitu sebagai
berikut.
“CSR bermula, ketika seluruh peraturan dan regulasi berakhir; CSR
merupakan hubungan organik antara kegiatan usaha, mencari keuntungan,
dan pembangunan sosial yang dilaksanakan sebagai suatu solusi yang saling
menguntungkan di area di mana sebuah perusahaan memerlukan sesuatu
yang tidak dapat dibeli, dan memerlukan investasi melalui perencanaan bisnis
untuk masyarakat.”
(“CSR starts where all existing laws and regulation end; it is an organic
link between enterprising, profit making, and social development, that is
conducted as a win-win solution in areas where a company requires
something that can not be bought and requires investment through a business
plan for the society.” )
Terkait dengan CSR di bidang tambang, Dirjen Mineral dan Batu Bara
Kementerian ESDM, Thamrin Sihite, pada Pembukaan Indonesia Mining
Association (IMA) CSR Expo 2012 Jakarta, CSR perusahaan tambang
berbeda dengan CSR di bidang lainnya, seperti di bidang perbankan,
telekomunikasi, dan bidang lainnya karena CSR di bidang tambang sangat
erat kaitannya dengan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) (Antara
News, 12/7/2012). Selain itu, CSR tambang juga diharapkan dapat
meningkatkan kualitas hidup dan perekonomian masyarakat di lingkar
industri ekstraktif tersebut sebagai “ganti rugi” atas eksternalisme atau
dampak negatif yang tidak dapat dihindari oleh industri tersebut pada
lingkungan, ekonomi, dan sosial di sekitarnya.
Banyak cara dilakukan perusahaan tambang untuk melakukan CSR
berkelanjutan (sustainable) salah satunya adalah CSR yang telah, sedang, dan
akan diusahakan oleh PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Perusahaan
Amerika yang masih dalam fase menyelesaikan proses divestasi tersebut
memiliki cara yang unik untuk menyosialisasikan CSR dan menggalang opini
publik untuk meningkatkan kualitas dan menyelesaikan permasalahan-
permasalahan CSR yang ditemui di lapangan. Perusahaan ini membuat
program Newmont Sustainable Mining Bootcamp yang berlokasi tepat, area
tambang Batu Hijau Nusa Tenggara Barat. Kegiatan bootcamp yang telah
berlangsung untuk kedua kalinya ini, diikuti oleh peserta dari latar belakang
yang beraneka ragam mulai dari travel blogger, freelance writer, konsultan,
hingga mahasiswa baik S1 dan S2 dari berbagai jurusan dan Perguruan
Tinggi. Walau demikian, ada satu kesamaan yang dapat ditarik dari para
peserta, yaitu aktivitas mereka untuk menulis atau berbagi di media sosial
baik blog, Facebook, Twitter, atau media sosial dan media lainnya yang
cukup intens dan berpengaruh, ini terlihat dari jumlah pengunjung atau
follower media sosial mereka.
Berdasarkan pengamatan pribadi saya sebagai salah
seorang peserta bootcamp angkatan kedua ini, saya
mengakui bahwa apresiasi selayaknya diberikan
kepada NNT atas inovasi dalam usahanya menegakkan
nilai-nilai transparansi dan akuntabilitas.

Para peserta bootcamp diberikan gambaran yang cukup lengkap dan


mendetail mulai dari proses tambang, penempatan limbah (tailing) ke dalam
palung laut di Teluk Senunu, proses pemantauan dan pengambilan sampel air
laut, hingga aktivitas dan inisiatif CSR yang sedang dilakukan. Peserta
bootcamp meskipun diharapkan dengan sangat untuk menyiarkan via media
sosial, tetapi juga diberikan kebebasan untuk menuliskan fakta apa pun yang
ditemui baik positif maupun negatif. Model sosialisasi seperti ini merupakan
yang pertama saya temui di Indonesia sehingga menggelitik saya untuk
mengulas CSR NNT dari sudut pandang peserta bootcamp yang memiliki
latar belakang di bidang CSR.
Secara keseluruhan, NNT memiliki beraneka ragam CSR dan aktivitas
pemberdayaan masyarakat sebagaimana yang tertuang di dalam Rencana
Strategis 2009-2013, terutama di Kecamatan Maluk, Jereweh, dan
Sekongkang, baik di bidang kesehatan, pendidikan, usaha ekonomi
masyarakat, pertanian di masyarakat, hingga sosial, agama, dan budaya.
Tulisan ini diberi judul “mengintip” karena alokasi waktu untuk melihat
aktivitas CSR sendiri sangat singkat begitu pula porsi waktu yang diberikan
untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Para peserta melakukan tur
singkat ke daerah-daerah yang menjadi sasaran CSR atau pengembangan
masyarakat NNT, antara lain ke daerah pariwisata Pantai Maluk yang spot-
spot wisata kulinernya di sepanjang pantai dikembangkan dengan bantuan PT
NNT, menengok area konservasi tukik atau penyu laut yang didirikan NNT
di Pantai Maluk untuk edukasi masyarakat dan daya tarik wisata,
mengunjungi sebuah Posyandu di Desa Mantun, melintas di Pasar Maluk
yang juga mendapat bantuan dari NNT, melakukan praktik mengajar di SDN
Benete Maluk yang mendapatkan bantuan unit komputer dari NNT,
mengunjungi Bank Sampah Lakmus masih di Desa Lakmus, kredit mikro
Yayasan Olat Parigi, tempat pertanian, usaha kompos, dan biogas di Desa
Benete, pertanian serta industri lidah buaya dan beras merah di Desa
Sekongkang Bawah, dan pabrik pembuatan batako binaan sebuah Koperasi
Kemuning di Desa Kemuning Kecamatan Sekongkang. Hebatnya, semua
situs CSR ini dikunjungi dalam waktu satu setengah hari dari efektif lima hari
penyelenggaraan bootcamp.
Dari kacamata orang awam, secara sekilas sudah banyak sekali CSR yang
dilakukan oleh Newmont, terlebih lagi peserta bootcamp bisa dibilang belum
mengunjungi seluruh aktivitas pengembangan masyarakat, tetapi jika diamati
lebih lanjut, masih banyak isu yang dihadapi, terutama terkait dengan
sustainability. Untuk kredit mikro Yayasan Olat Parigi misalnya, kredit
diberikan kepada masyarakat dengan bunga 0% dengan konsekuensi yang
tidak terlalu tegas membuat sering kali ada kredit macet, bermasalah, dan
meragukan. Di bidang pertanian, walaupun NNT sudah membuat bendungan
dan membina petani, serta meyakinkan bahwa kini dengan pola irigasi petani
binaan sudah dapat panen tiga kali dalam satu tahun, masih dijumpai
masyarakat yang mengaku tetap panen setahun sekali, transfer teknologi
tentang teknik biopori yang dilakukan NNT juga belum disosialisasikan
merata kepada masyarakat sehingga petani setempat tergantung untuk
meminta bibit dari tempat pertanian dan pembibitan NNT begitu pula dalam
menghasilkan kompos dan biogas, NNT belum dapat menampung biogas
tersebut dan menggalang peternakan masyarakat untuk menghasilkan lebih
banyak biogas meskipun tampaknya sudah ada rencana demikian.
Hal serupa juga ditemui di daerah pertanian dan industri lidah buaya,
pihak manajemen mengaku belum melakukan transfer teknologi ke
masyarakat setempat tentang pembuatan minuman olahan dari lidah buaya
walaupun sudah ada rencana untuk mengembalikan sepenuhnya manajemen
industri tersebut kepada masyarakat. Beberapa masyarakat juga mengeluhkan
bantuan Newmont yang tidak tepat sasaran, serta adanya kesenjangan sosial
antara pekerja tambang dengan masyarakat. Kendati begitu, ada pula inisiatif
NNT yang sudah mencerminkan konsep CSR yang berkelanjutan, seperti
pabrik batako yang dikembangkan oleh Koperasi Kemuning di mana NNT
membantu koperasi membuat pabrik batako, kemudian koperasi menjualnya
kepada masyarakat dan pemasok tetap NNT.
Alangkah baiknya jika ke depan, NNT terus melakukan inovasi dan
menggiatkan sosialisasi dan peran serta masyarakat dalam upayanya
menegakkan kerja sama publik dan swasta atau biasa disebut dengan PPP
(publicprivate partnership). Selain itu, penting untuk terus membuat CSR
organik dalam artian seluruh aktivitas pemangku kepentingan, instrumen dan
strategi tercipta secara organik bukan hasil rekayasa dan manipulasi atas
dasar kepentingan beberapa pihak.
Oleh karena itu, kredibilitas dan legitimasi harus dipegang teguh dalam
praktik CSR, terutama untuk memaksimalkan keuntungan, kesejahteraan
masyarakat, dan kelestarian lingkungan (profit, people, planet). Hal ini
selayaknya juga menjadi perhatian utama dari industri tambang secara
keseluruhan terlebih lagi karena setiap usaha tambang pasti memiliki jangka
waktu produksi yang terbatas. Oleh karena itu, wujud nyata CSR yang
berkelanjutan juga sangat terkait dengan pembentukan kemandirian
masyarakat di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan kelestarian lingkungan
setelah penutupan tambang. Semoga, ke depannya semakin banyak
perusahaan tambang baik asing maupun lokal yang betul- betul menerapkan
CSR yang berkelanjutan.
Muhammad roghib

etika kita bertanya dari bahan apakah mobil, motor, laptop, ponsel,
hingga ujung bolpoin yang kita miliki ini dibuat, maka satu jawaban
yang pasti adalah terbuat dari logam. Lalu, pertanyaan selanjutnya
adalah dari mana logam-logam itu didapat? Satu jawaban yang pastinya sama
adalah dari tambang. Logika tersebut menggambarkan bahwa meningkatnya
kebutuhan akan barang yang terbuat dari logam, maka sama artinya dengan
meningkatnya kebutuhan akan kapasitas produksi perusahaan tambang yang
lebih tinggi agar lebih efektif memproduksi logam supaya kebutuhan barang,
seperti mobil, motor, laptop, sampai bolpoin bisa terpenuhi.
Lantas, apa yang menjadi tantangan, ketika perusahaan tambang harus
meningkatkan produktivitas dari hasil tambangnya? Banyak hal yang menjadi
tantangan bagi perusahaan tambang salah satu di antaranya adalah isu
lingkungan. Lingkungan sepertinya menjadi sebuah hal yang bertentangan
dan menjadi lawan bagi sebuah aktivitas pertambangan. Hal ini dikarenakan
setiap tambang pasti akan mengubah bentang alam, mengganggu ekosistem,
dan menyebabkan kerusakan lingkungan. Misalnya, kehadiran tambang
menyebabkan penebangan hutan, pencemaran air sungai dan laut, hingga
pencemaran udara. Namun, ada hal yang perlu dipahami dan menjadi pola
pikir utama adalah kerusakan-kerusakan tersebut dapat diminimalkan dan
diubah menjadi bukan hal yang negatif, tetapi juga hal yang positif.
Studi lapangan yang pernah penulis laksanakan adalah ketika melihat
sebuah tambang di Sumbawa Barat, NTB, yakni PT Newmont Nusa
Tenggara (PT NNT). Perusahaan ini menambang tembaga di sebuah hutan di
pedalaman Sumbawa yang berakibat pada perambahan hutan untuk
mengambil mineral-mineral berharga yang terkandung di dalamnya.
Perambahan hutan harus juga diimbangi dengan proses reklamasi, atau
penanaman kembali, dengan target keberhasilan yang telah dibuat oleh
perusahaan tersebut, dan dimonitori pemerintah secara berkala. Hal lain yang
menarik adalah proses penghijauan yang dilakukan oleh PT NNT
menggunakan pula tanaman-tanaman produktif, seperti jati dan tanaman
buah-buahan, seperti mangga, sirsak, dan nangka. Hal ini menjadi tabungan
pada masa depan agar ketika kegiatan penambangan telah selesai, lahan dapat
tetap produktif.
Isu lingkungan juga sangat dekat dengan perusahaan ini, yakni dalam
proses penempatan sisa tambang atau yang biasa disebut dengan tailing. PT
NNT memilih untuk menempatkan tailing-nya di dasar laut alih-alih
menempatkannya di daratan. Awalnya, penulis menduga cara ini adalah cara
termudah bagi PT NNT untuk menghilangkan tailing-nya, tetapi ternyata
analisis yang terlihat di lapangan menunjukkan proses ini merupakan proses
teraman yang dapat dilakukan di wilayah tambang tersebut. Penempatan di
darat lebih banyak menghasilkan dampak negatif, seperti penambahan area
hutan yang harus ditebang dan kemungkinan meluapnya tailing seandainya
terjadi gempa di wilayah tersebut. Sementara itu, dengan penempatan di laut
yang dalam, tailing akan langsung menyentuh dasar laut dan tidak
mengganggu ekosistem di permukaan maupun di zona produktif laut. Inilah
sebuah pemikiran baru bagi kita bahwa tidak selamanya tambang adalah
perusak alam. Kalaupun tambang itu harus bersinggungan dengan ekosistem
dan terpaksa memindahkannya, maka itu adalah sebuah risiko yang dapat
diminimalkan.
Selain problematika lingkungan, satu hal lain yang sering menjadi
pertentangan dalam sebuah industri pertambangan, yakni kesejahteraan
masyarakat lingkar tambang. Masyarakat lingkar tambang adalah istilah yang
diberikan untuk orang-orang yang tinggal dan beraktivitas di dekat area
pertambangan dan biasanya merupakan bagian masyarakat yang paling
banyak mendapatkan dampak dari sebuah pertambangan, baik itu dampak
negatif maupun positif. Satu hal yang sering menjadi bayangan atau berita
yang kita dengar, sebagai orang yang jauh dari daerah lingkar tambang,
masyarakat wilayah tambang selalu mengalami banyak masalah mulai dari
kesejahteraan yang rendah, tingkat pendidikan yang kurang, hingga
kerusuhan yang acap kali terjadi di wilayah sekitar tambang. Itu adalah fakta
dan memang kerap terjadi. Namun, hal itu tidaklah bisa dipukul rata.

Dalam industri tambang, telah banyak pula kejadian yang


menghasilkan fakta berkebalikan dari apa yang biasa kita
dengar tentang hal negatif bagi masyarakat sekitarnya,
terutama soal kesejahteraan.

Sesungguhnya, adanya industri tambang akan sangat mudah dipahami


sebagai sebuah motor bagi peningkatan taraf ekonomi masyarakat di
sekitarnya. Karena, dalam aplikasinya, sebuah perusahaan tambang akan
mendatangkan banyak tenaga kerja sehingga di dalamnya banyak sekali
multiplying effect atau efek samping dari berdirinya perusahaan tambang ini,
seperti munculnya rumah makan, rumah penginapan, fasilitas kesehatan,
hingga fasilitas hiburan.
Kemunculan efek ini, maka akan menggerakkan roda ekonomi dari
masyarakat lingkar tambang, yang berujung pada peningkatan kesejahteraan
bagi banyak pihak, tidak hanya karyawan industri tambang tersebut, tetapi
juga bagi masyarakat sekitar tambang.
Inilah hal-hal yang bisa menjadi pertimbangan kita dalam melihat sebuah
industri tambang, yakni efek positif yang ditimbulkan bagi lingkungan
maupun dari segi perekonomian masyarakatnya. Mengutip istilah seorang
penambang bahwa prinsip pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) di Bumi
ini ada dua, yakni “If it can’t growth, it must be mined.” (“Jika SDA tidak
dapat ditumbuhkan, maka harus ditambang.”) Artinya, pertambangan adalah
sebuah kebutuhan yang senantiasa kita lakukan dalam memanfaatkan dan
melaksanakan peran kita di Bumi ini sebagai pengelola alam. Oleh karena itu,
marilah kita bersikap bijak dengan melihat berbagai aspek yang dihasilkan
dari segala aktivitas yang dilakukan dalam pengelolaan Bumi ini, termasuk di
antaranya dalam menilai industri tambang.
Murni Amalia

got really excited following the controversies of my trip with the


“Sustainable Mining Bootcamp” held by PT Newmont Nusa Tenggara
(NNT) in West Sumbawa. It was no surprise that there would be many
opposing to the idea of tainting Indohoy with such a so-called dirty
business. But is it really? Although, my motives were questioned, my
friendships were on the line, I still went. Vira didn’t mind that I went on
behalf of Indohoy anyway. And who knows what I’ll learn at the NNT
Bootcamp? Rawr!

The ultimate question: Why would I?


This is my justification. I really do want to see the inside of NNT. During my
early working days in mining, I met one of their top mining planners who
was involved in the environmental management plan. He was very proud of
his work and thus I had to see what he was talking about.
So it wasn’t about traveling to find new destinations.
Personally speaking, a working mine site is not a tourist’s destination, nor
it will ever be. Visitations are to learn about the mine and not to have a
picnic, because you seriously wouldn’t want a picnic in a pit.
In my opinion, NNT …
1. As a multimillion (or maybe billion) dollar business, I’m not surprised
with the orderly work culture that they have within the mine site. In fact, I
expected it. The safety, programs, heavy machinery and the high cholesterol
food platter, were as I figured it would be.
Exciting!
2. I was, however, pretty surprised by the size of the pit. Honestly, I
thought it would be at least double the size. Thank God, it isn’t.
3. Agreed, it’s a destructive business. Considering waste, most of the
management decisions seem to be the best alternative for the time being. As
best option as the tailing placement in the bottom of the sea is, I doubt that
there is no life below. But the science hasn’t caught up to prove it, so there’s
not much we can do now.
4. I expected that they have done a lot for the surrounding area, especially
if they didn’t want their business upside down. Also, knowing that today’s
investors are smarter and demand an environmental and social friendly
business, NNT would have to need no less than an excellent environmental
and social responsibility program to keep their investors. I’m not surprised.
5. NNT has done so much.
The function of the government seemed to be overtaken by
the company since the people can expect more result from
the NNT.

6. My favorite Social Responsibility programs has to be the “Trash


Bank”, where people cash in recyclables or save the money, visiting Mantar
village, the location of an NNT-sponsored movie, and reef balls, which
corridors two areas of coral separated by sand base. Awesome!
7. Admittedly, Ibnu and Mufti, my travel mates, were right. There
weren’t any programs that we saw which supported the local culture. We
didn’t see much cloth weaving, handicrafts, nor souvenir shops selling local
goods (thus, no shopping, thank God). We still had some local dishes, which
didn’t help my diet since they were so good, but we couldn’t find many
venues that provided it or any that was supported by the company. This
could be a big point considering there are a lot of acculturation from
migrants.

To be fair, we haven’t entirely had both sides of the story. We only


had so little information obtained about the other half in between our tight
schedule. We did get glimpses of hardship considering employment, parties
that want to take advantages, issues of transparency, and social matters which
were consequences of mass migration. There were more expectation of the
big bosses visiting the villages which I think is a small thing to do but is
quite significant. It tore me apart when I heard about the
many broken families due to the female “newcomers” that parade in hot
pants. We’ll have to travel independently for more info of this.
I’ve seen the consequences of my privileged and convenient way of life.
There is nothing in my life that can’t be connected to mining,
from every electronic part of my gadgets to every big
machine for mass scale production making things affordable.
Figuratively, I am a baby of mining considering my father used to work
for the mining department. I’ve learned that I have to suck up to the fact that
I, too, am responsible for mining activities, considering I am part of the
demanding market. I’ve realized that. If doing anything, I should start
from myself and reduce my consumption.
Then, we also had a few bonus destinations. Bonus! YAY!
I had no idea that the West Sumbawa regency had so much potential in
becoming a traveler’s destination. The west coast apparently has been very
famous amongst international surfers since God knows when (I can feel the
point of their daggers as I’m about to expose this surfers beach to a bigger
audience). I’ve heard that the waves are for intermediate surfers. The beaches
are also gorgeous; it’s hard to stay completely dry on any given day. The
inland destinations are as awesome with waterfalls, remote villages, and
delicious local food. Did I mention the people are very nice? Seriously
recommend it!
I would strongly suggest (I’m a nobody, I know :P) NNT to start their
Social Responsibility programs towards tourism and train the locals to
develop the potential. Tourism is a somewhat sustainable business, living on
maintaining the pristine quality of the environment. While many
destinations didn’t have the advantage of development of the local people
to accept visitors and causing more social problems than expected, West
Sumbawa can have a good start.
I do have to thank PT NNT for selecting Indohoy as one of their
participants. Without them, my discovery of Sumbawa’s beautiful nature
would have been postponed for a longer time. Stay tuned for the stories,
Guys! *running towards the beach and diving in*
Fajri Satria Hidayat

apal survey berukuran 150 GT mulai melaju meninggalkan dermaga


pelabuhan Benete Sumbawa Barat. Cuaca nampak cerah dengan
aktivitas pagi yang baru saja dimulai. Dilakukan pengarahan tentang
safety atau tata cara keselamatan terlebih dahulu. Kapal akan bergerak
menuju Teluk Senunu, Sumbawa Barat.
Dalam perjalanan ini diikuti oleh beberapa orang awak kapal dan tim dari
Departemen Lingkungan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Kemudian
perjalanan ini juga diikuti oleh enam orang yang merupakan perwakilan
peserta dari Sustainable Mining Bootcamp yang diadakan oleh PT Newmont
Nusa Tenggara. Kegiatan Sustainable Mining Bootcamp merupakan program
yang bertujuan untuk memberikan transparansi kepada masyarakat dan untuk
melihat langsung komitmen Newmont dalam menjaga lingkungan dan
kesejahteraan masyarakat di Sumbawa Barat khususnya di lingkar tambang.
Salah satunya dari kegiatan ini adalah melihat langsung pengelolaan kualitas
air laut pada sistem penempatan tailing bawah laut.
Sebelum kita bergerak meninggalkan dermaga, kita sebaiknya mengupas
sedikit terlebih dahulu apa itu Deep Sea Tailings Placement. Deep Sea
Tailings Placement atau penempatan tailing di laut dalam merupakan salah
satu metode penempatan sisa tambang atau tailing. Tailing merupakan suatu
komponen yang tidak bisa dipisahkan dari eksplorasi pertambangan. Tailing
berasal dari proses pemisahan mineral berharga dari batuan dan menyisakan
mineral yang tidak berharga berupa tailing.
Lalu, kenapa harus ditempatkan di laut?
Deep Sea Tailings Placement dinilai sebagai metode paling efisien yang
disesuaikan dengan keadaan morfologis alam Nusa Tenggara. Volume
tambang yang dihasilkan setidaknya 120.000 ton/hari. Dalam jumlah yang
sebesar itu tentunya memerlukan perhitungan yang matang dalam teknik
penempatan dan pengelolaan. Jika penempatan tailing dilakukan di darat
memerlukan dam atau penampungan yang sangat besar dan berisiko jika
terjadi gempa bumi dan akan menimbulkan kerusakan alam lainnya yang
lebih besar. Penempatan tailing di darat juga akan berbahaya jika terjadi
kebocoran, atau terjadinya rembesan yang akan menjadi dampak baru bagi
lingkungan.
Di dalam laut, tailing lebih aman dengan syarat diletakkan di lapisan yang
tidak teraduk dengan permukaan. Hal ini sesuai dengan oseanografi sifat air
laut di negara tropis yang memiliki lapisan termoklin air sepanjang tahun.
Lapisan termoklin akan menjadi batas antara lapisan dalam dan lapisan
teraduk. Kemudian ini juga didasarkan atas kondisi morfologi Nusa Tenggara
Barat yang memiliki kontur ngarai dan lembah di laut sehingga dipilihlah
Teluk Senunu sebagai tempat penempatan tailing di dalam lembah atau
palung laut yang memiliki kedalaman hingga 3000 meter dengan kemiringan
mencapai 2-4 derajat.
Newmont Nusa Tenggara menggunakan pipa sepanjang enam kilometer
dari bibir pantai ke bawah laut pada kedalaman tertentu. Pipa yang digunakan
berjenis polyetylene atau HDPE dengan ketebalan 110 milimeter dan
menggunakan dua pipa ketika menuju laut. Ujung pipa berada pada
kedalaman 118 meter dan 125 meter. Konstruksi pipa dirancang untuk tahan
terhadap gempa dan kemungkinan buruk yang terjadi di dalam laut. Tekanan
pipa secara konsisten dimonitor secara digital setiap waktu jika sewaktu-
waktu dapat dihentikan apabila terjadi perubahan tekanan dan apabila
terdapat kebocoran akan segera tedeteksi. Sebelum ditempatkan di laut,
tailing dimasukkan ke dalam kotak daerasi yaitu untuk diambil udaranya agar
tailing tidak terbawa ke permukaan ketika ditempatkan di dasar laut. Di
dalam tanki juga dilakukan penaikan salinitas dan PH agar tailing bersifat
lebih basa dan lebih aman untuk ditempatkan di laut.
Lalu bagaimanakah dengan pengelolaannya, apakah tailing dibuang
begitu saja?
Tentu saja tidak. Hal ini tentunya harus dilaksanakan dan dikelola dengan
penuh tanggung jawab dalam menjaga lingkungan di Batu Hijau. PT NNT
melakukan pengelolaan lingkungan dengan penuh tanggung jawab secara
konsisten sesuai dengan peraturan yang diterapkan. Survey lingkungan yang
dilakukan meliputi di laut dan di darat yang dilakukan hampir setiap Hari.
Dalam sebulan harus terpenuhi sekitar 47 stasiun kontrol untuk pengambilan
sampel air dan keakuratan data yang didapat.
Proses sampling dilakukan pada titik stasiun pemantauan. Dengan
menggunakan alat ROV, yaitu semacam alat yang diturunkan dengan
menggunakan kabel yang memiliki arus listrik hingga kedalaman
1000m.Pengukuran ini meliputi variabel-variabel suhu, konduktivitas,
kekeruhan, kerapatan massa air, salinitas, dan oksigen terlarut. Peralatan ini
tersambung ke monitor yang ada di kapal yang diprogram untuk mengambil
sampel perkedalaman yang disesuaikan dengan kebutuhan.
Pada hari hanya dilakukan pemantauan dalam dua stasiun saja.
Pemantauan dibagi atas tiga zona yaitu Zona A untuk kedalaman 150-1000m
dan Zona B untuk kedalaman 0-150m. Kemudian di luar dari itu Zona C.
Pada monitor akan terlihat kedalaman dan keadaaan lingkungan air laut.
Untuk mencapai dasar, alat kirakira membutuhkan 45 menit, dan untuk
kembali ke atas membutuhkan waktu sekitar satu jam.
Sampel dibawa ke lab di Departemen Environment dan disimpan di dalam
lemari pendingin. Kemudian sampel dikirim ke lab yang ada di Sentul,
Bogor, untuk menjamin independensi dan keterbukaan data. Isu tailing
memang isu yang kencang berhembus tak terelakkan dari zaman dahulu.
Berbagai protes masyarakat datang menghampiri. tapi tentu tidak bagi
Newmont Nusa Tenggara. PT NNT juga memberikan kebebasan kepada
LSM atau lembaga terkait untuk melakukan pengambilan sampling bersama
sebagai bentuk keterbukaan bahwasanya PT NNT sudah melakukan yang
terbaik dalam penjagaan lingkungan yang bertanggung jawab.
Suatu pengalaman yang berharga tentunya dapat mengikuti kegiatan ini.
Perjalanan yang menghabiskan waktu hampir lima jam ini tidak terasa karena
sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan laut yang indah. Laut
Teluk Senunu luar biasa, tidak ada pencemaran yang terlihat. Menawan.
Kemudian selama perjalanan pada kapal dipasang pancing ikan yang
tentunya dan di tengah perjalanan kami mendapat ikan tenggiri yang besar.
Ikan ini akan dibakar dan dimasak oleh awak kapal. Dari sini, diketahui
bahwasanya PT NNT begitu memiliki komitmen dalam penjagaan
lingkungan.

Jika seandainya PT NNT bukanlah pihak yang


bertanggung jawab, tentunya sudah jadi apa Teluk
Senunu yang menawan sekarang.
Fafa Firdausi

arahnya, ada orang yang berkampanye antitambang. Anehnya,


mereka pakai motor. Kalau memang anti-tambang mestinya pakai
kuda.”
Kalimat itu keluar dari mulut Pak Edi Priowasono di akhir sesi presentasi
pengenalan situs Batu Hijau. Sesi presentasi ini merupakan acara awal dari
serangkaian kegiatan Sustainable Mining Bootcamp (SMB) hari ini. SMB
merupakan program PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) yang bertujuan
mengenalkan dunia pertambangan dan pengelolaan lingkungan tambang
kepada publik. Selama seminggu lalu (4-11/11), saya berkesempatan
mengikuti kegiatan ini. Saya tidak sendirian, turut pula 16 peserta lain yang
berasal dari berbagai latar belakang. Di hari pertama ini, sedianya kami akan
menilik area pertambangan Batu Hijau yang telah beroperasi sejak 2000.
Secara cukup mendetail, Pak Edi menjelaskan situs Batu Hijau secara
geologi. Dengan runtut, beliau menjelaskan dari awal eksplorasi PT NNT
mencari cebakan mineral hingga proses penambangan kini. Lalu, dilanjutkan
dengan pengenalan teknik penambangan yang dilaksanakan PT NNT di Batu
Hijau. Termasuk pula dalam pengenalan ini adalah informasi tentang
pengelolaan tailing (limbah tambang) dan proyek reklamasi lingkungan yang
juga dilakukan PT NNT.
“Saat kita membuka area, selain menebang pohon, kita juga mengambil
top soil dan sub soil dari situ. Itu, kita tampung dan nantinya akan digunakan
untuk reklamasi.” ungkap Pak Alva, staf PT NNT, dalam presentasinya.
Pernyataan Pak Alva tersebut seperti menegaskan apa yang diungkapkan
oleh Pak Budi, staf Mining PT NNT, malam sebelumnya. Dalam acara
perkenalan malam itu, Pak Budi menegaskan, “PT NNT berusaha menjadi
perusahaan tambang yang besar dan disegani dari segi pengelolaan
lingkungannya.”

Stereotip Awam Soal Tambang


Memang jika mendengar kata tambang, secara spontan kita akan berpikir
juga tentang lingkungan. Selama ini, di media-media informasi telah terlalu
sering kita diperlihatkan panorama tambang yang khas. Gersang, berdebu,
panas, limbah, air asam, hutan gundul, dan pencemaran. Itulah yang
kemudian memunculkan pertanyaan-pertanyaan dalam kepala saya. Seburuk
itukah? Sementara jika saya melihat ke sekeliling, betapa saya telah
dikelilingi oleh berbagai benda yang dihasilkan dari pertambangan. Kita
begitu membutuhkan barang-barang ini, tapi di sisi yang lain lingkungan kita
terusik.
Membuka tambang bukanlah perkara mudah. Butuh perhitungan yang
cermat.Tidak hanya soal bisnis, tapi juga lingkungan dan pengembangan
masyarakat sekitarnya. Masalah yang sering muncul adalah “kenakalan”
pihak perusahaan tambang dengan pengabaian terhadap prosedur demi
kepentingan ekonomis. Sebagai orang yang berkecimpung di dunia
pertambangan, Pak Alva mengakui hal tersebut memang terjadi. Itulah yang
kemudian merusak citra dunia pertambangan di negeri ini.

Mengedukasi Masyarakat
Pada hari kedua kunjungan berlanjut melihat-lihat proses pengolahan ore
atau bijih hingga menjadi pasir tembaga. Peserta dipandu Pak Wira
Darmaputra dari Divisi Metalurgi Mill PT NNT. Saya mencatat pernyataan
penting yang disampaikan Pak Wira dalam presentasinya sebelum “jalan-
jalan” melihat pabrik pengolahan.

“Kalau ada orang yang bilang pembukaan tambang tidak


berdampak pada lingkungan, itu bohong. Dampak itu pasti
ada. Karena itulah, ada yang namanya Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan.”
“Nah, yang perlu dilakukan adalah meminimalkan dampak tersebut.”
Ketika ditanya soal penggunaan bahan-bahan kimia (terutama merkuri)
dalam proses pengolahan, memang tidak bisa dimungkiri adanya penggunaan
bahan itu. Namun, hal itu sudah jauh berkurang sekarang. Hampir semua
perusahaan tambang besar mulai beralih pada cara yang lebih aman.
Sekarang ini, kebanyakan perusahaan itu telah menerapkan sistem sianidasasi
yang menggunakan asam sianida dengan monitoring ketat.
Lebih jauh tentang hal ini, Pak Wira menjelaskan bahwa penggunaan
bahan kimia dalam proses pengolahan mineral sebenarnya tergantung pada
sistem yang dipakai dalam proses itu sendiri. Ada sistem pengolahan kimia
dan sistem pengolahan fisika. Jadi, tidak semua jenis mineral diolah dengan
sistem pengolahan kimia. Saat menentukan sistem mana yang akan
diterapkan dalam suatu proyek tambang ada pula poin-poin pertimbangannya.
Di antaranya adalah soal dampak lingkungan, perhitungan ekonomis, kajian
metalurgi, dan efek sosial bagi masyarakat sekitar.
Hal-hal seperti ini jarang diketahui oleh masyarakat luas. Bagaimanapun
juga, dalam keseharian kita sangat membutuhkan produk pertambangan
untuk membantu aktivitas kita. Hal itu adalah sebuah keniscayaan. Maka,
masyarakat perlu diedukasi tentang aspek-aspek pertambangan yang lebih
mendalam. Selain untuk mengubah preseden buruk dunia pertambangan, hal
ini juga penting agar masyarakat juga sadar akan fungsi kontrolnya. Dengan
mengetahui seluk-beluk pertambangan secara holistik, masyarakat bisa turut
serta mengawasi kerja pertambangan. Masyarakat dapat mempertanyakan
sudah sesuaikah kerja pertambangan sesuai prosedur yang berlaku? Atau,
apakah terjadi “kenakalan” di dalamnya.
Lingkungan Tambang Lestari, Why Not?
Selama ini, perusahaan tambang selalu mendapat tantangan dari LSM
lingkungan. Tidak dapat dimungkiri memang, tambang selalu erat dengan
limbah dan perubahan ekosistem. Tidak jarang karena suatu kelalaian, limbah
tambang mencemari lingkungan. Tidak ingin mendapat predikat negatif ini,
PT NNT tampak begitu matang dalam perencanaan pengelolaan limbahnya.
Selain itu, PT NNT juga fokus dalam program pengelolaan lingkungan di
Batu Hijau tempatnya beroperasi.
Di hari ketiga, para peserta SMB berkesempatan untuk meninjau secara
langsung sistem pengelolaan lingkungan yang dijalankan PT NNT. Di
antaranya adalah meninjau langsung proyek reklamasi lahan tambang,
pemantauan cuaca, pengelolaan air asam tambang dan limbah B3, juga
memantau langsung ke perairan Teluk Senunu di mana PT NNT
“menempatkan” tailing-nya.
Selain pemantauan rutin secara langsung, PT NNT juga menjalankan
program Environmental On Call. Melalui program ini, PT NNT menampung
laporan-laporan dari masyarakat terkait insiden lingkungan yang
sewaktuwaktu terjadi di wilayah Batu Hijau dan sekitarnya. Saya sendiri
cukup kagum dengan apa yang diusahakan PT NNT terkait pengelolaan
lingkungannya. Keasrian hutan di wilayah pertambangan Batu Hijau relatif
terjaga meski ada operasi tambang di situ.
Seperti telah diungkapkan di atas, salah satu visi PT NNT adalah menjadi
perusahaan tambang terkemuka dengan mengedepankan aspek lingkungan.
Di atas kertas, program-program yang dilakukan PT NNT tentu sangat
bermanfaat bagi lingkungan. Tidak tertutup kemungkinan jika program ini
tetap bisa dijaga kelanjutannya, citra pertambangan yang stereotip di mata
masyarakat akan terkikis. Karena itulah, PT NNT perlu berinisiatif
menggandeng masyarakat untuk turut serta dalam programnya. Selain
mengedukasi masyarakat, sinergi ini juga membangun citra positif tambang.
Tambang tidak melulu lekat dengan eksklusivitas dan kesenjangan. Sinergi
antara masyarakat sekitar tambang dan perusahaan tambang yang terbina
dengan harmonis dapat menjadi modal menciptakan lingkungan tambang
yang lestari.
Subhan Azharullah

ama Teluk Buyat bagi kita masyarakat Indonesia pasti sudah tidak
asing lagi. Di tahun 2004 lalu nama Teluk Buyat sempat menjadi
pembicaraan publik dunia ketika tuduhan pencemaran mencuat dan
menjadikan PT Newmont Minahasa Raya (NMR) dan Presiden Direktur saat
itu Richard Bruce Ness sebagai terdakwa. Namun, akhir tahun 2012 PT NMR
menerima surat pemberitahuan dari Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan
bahwa Mahkamah Agung (MA) lewat keputusannya No.2691 K/PDT/2010
menolak permohonan kasasi Wahana Lingkungan hidup (WALHI) atas
gugatan perdata tuduhan pencemaran Teluk Buyat. Keputusan MA ini
merupakan putusan atas kasus hukum terakhir dari beberapa gugatan yang
menuduh PT NMR menyebabkan terjadinya pencemaran dan penyakit pada
masyarakat Teluk Buyat. Keputusan ini membuktikan bahwa tidak terjadi
pencemaran dan penyakit yang diakibatkan oleh operasi PT NMR. Keputusan
MA ini menjadi penutup kasus buyat secara perdata, di mana pada tahun
2009, proses peradilan juga telah memenangkan PT NMR secara pidana.
Selanjutnya Kasus Buyat merupakan kemenangan bagi rasa keadilan, baik
bagi Newmont maupun masyarakat yang selama ini mengalami dampak
akibat tuduhan yang salah ini.
Melupakan kisruh yang pernah terjadi di Teluk Buyat, hal pertama yang
membuat orang terkesima ketika menginjakkan kaki di daerah Ratatotok dan
Buyat adalah pantainya. Bagaimana tidak, dari jauh saja sudah tampak laut
yang biru dengan berbagai gradasinya, dari biru muda, biru kehijauan, hingga
ke biru tua. Belum lagi pasirnya yang bersih dan menawan. Itulah
pemandangan yang tampak yang saya saksikan dari atas bukit harapan pagi
itu saat saya bersama rekan-rekan Newmont Bootcamp datang untuk melihat
bentuk tanggung jawab pascatambang yang dilakukan oleh PT Newmont
Minahasa Raya (NMR).
Seusai menikmati sang mentari terbit dari Bukit Harapan dan melihat
bentuk keharmonisan agama yang tersirat dari atas bukit harapan, kami turun
dan menyapa beberapa nelayan yang sedang mencari ikan pagi itu. Tak
tampak kekhawatiran dari raut mereka tentang kisruh dan kasus Teluk Buyat
yang pernah mencuat tahun 2004 lalu. Berdasarkan paparan dari Bapak
Caddy Maloda, karyawan PT NMR yang menemani kami pagi itu, bahwa di
hari-hari hari tertentu seperti akhir pekan atau harihari libur, Pantai Teluk
Buyat dan Pantai Lakban dipenuhi ribuan wisatawan yang datang dari
Manado, Kotamobagu, Tondano, Tomohon, Blitung, dan daerah lainnya di
Sulawesi Utara. Mereka menggunakan berbagai macam kendaraan dari
bentor (kendaraan khas yang merupakan gabungan becak dan motor), bus-
bus, hingga truk untuk bisa tiba di kawasan ini.
Di sepanjang pantai inilah pada hari Minggu dan hari libur para penjaja
makanan sudah siap menanti. Mereka menjajakan aneka jenis kue, dari yang
tradisional hingga yang modern. Tentu saja penganan ini bisa menambah
nikmat suasana ketika para pelancong berpiknik di Pantai Lakban dan
sekitarnya. Apalagi, kini meski masih sederhana, berbagai fasilitas telah ada
di kawasan pariwisata yang terkenal hingga ke propinsi tetangga ini. Sebut
saja bangku, toilet umum, jembatan penyambung hingga pondok untuk
berteduh. Dengan makin lengkapnya fasilitas, obyek wisata ini diharapkan
juga akan meninggalkan pendapatan asli pemerintah setempat dan memberi
nilai tambah bagi kehidupan masyarakat Buyat dan sekitarnya. Pada festival
Pantai Lakban yang dilaksanakan pada setiap tahun oleh Yayasan Ratatotok
Buyat (YRB) bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Minahasa
Tenggara dan PT NMR , misalnya ribuan orang memadati kawasan ini, baik
sebagai peserta, maupun penonton.
Tak hanya pantainya yang mempesona, untuk anda yang suka menyelam,
Teluk Buyat dan sekitarnya juga menjanjikan keindahan bawah laut yang
spektakuler. Dan kami peserta Newmont Bootcamp berkesempatan untuk
melihat secara langsung keindahan bawah laut. Berdasarkan penjelasan dari
Pak Jerry karyawan PT NMR yang memandu kegiatan snorkeling kami siang
itu, daerah ini tak kalah menarik jika dibandingkan dengan daerah
penyelaman lain di Sulawesi Utara. Ada 24 titik selam yang tersebar di
perairan Teluk Buyat dan sekitarnya, dengan kedalaman lima hingga lima
puluh meter. Keanekaragaman terumbu karangnya dan berbagai jenis ikan
serta biota lautnya yang memikat sungguh layak di eksplorasi para penyelam.
Potensi bawah laut ini telah banyak dipromosikan diberbagai media cetak,
tayangan televisi. hingga pameran-pameran nasional dan internasional.
Selain itu, melimpahnya ikan di Teluk Buyat dan sekitarnya tak lepas dari
adanya terumbu karang buatan (artificial reef) yang dibenamkan di perairan
Teluk Buyat sejak Agustus 1999 oleh PT NMR. Keberadaan ribuan terumbu
karang buatan yang tak kalah indah dari karang aslinya ini menjadikan Teluk
Buyat dan teluk di sekitarnya mampu menjadikan wisata bawah laut yang
menakjubkan
Nah, jika anda ingin menikmati wisata bahari yang tiada duanya ini, Teluk
Buyat bisa menjadi alternatif kunjungan wisata anda. Sekaligus bisa melihat
daerah bekas tambang PT NMR yang tetap dilakukan pemantauan dan tidak
ditinggalkan begitu saja pasca-tambang.
Unggul Sagena

Nelayan menjaring ikan dengan soma dampar di Teluk Buyat

D ulu, Buyat sempat heboh pada 2004 ketika gugatan mengenai


pencemaran lingkungan dialamatkan kepada PT Newmont
Minahasa Raya. Ternyata setelah sepuluh tahun berlalu, dan
proses berdarah-darah, tidak terbukti ada pencemaran yang secara
sistematis dilakukan PTNMR.
Alhamdulillah saya mendapatkan kesempatan berkunjung ke Buyat
atas undangan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT), yang saat ini
membuka tambang tembaga di kawasan Batu Hijau, Sumbawa Barat.
Tulisan ini merupakan laporan pandangan mata saya ketika mengunjungi
Mesel Pit, nama pit tambang yang dulu menjadi pusat pengerukan sumber
daya mineral Indonesia, yaitu emas. Berikut ini reportasenya.
Naik-naik ke Puncak Hutan Menaiki mobil “Rambo” (Jeep bak terbuka),
dan sebuah mobil 4×4 lainnya, saya dan lima orang undangan lain serta guide
dari PTNMR dan PTNNT menelusuri jalan menanjak, berliku dan offroad
menuju viewing point, titik paling aman untuk mengabadikan kondisi pit
tambang yang dulu menganga. Viewing point ini berada di ketinggian yang
cukup untuk melihat pit dengan menyeluruh. Dulu, tempat ini menjadi
viewing post ketika tambang masih beroperasi.
Berbekal pengalaman mengunjungi lokasi tambang PT NNT di Batu
Hijau yang lalu, saya mengira akan melewati gurun tandus dan berdebu
ketika menuju lokasi. Ternyata, perjalanan kami melalui hutan lebat yang
bahkan hampir tidak terjamah. Jalan tambang pun sudah berubah menjadi
jalan setapak dengan tanah berlumpur. Di tengah perjalanan, kami harus
turun dari kendaraan dan berjalan sekitar 500 meter ke tempat yang dituju.
Sedikit banyak, saya lega sebab artinya reklamasi berjalan.
Di perjalanan, saya mengorek informasi dari pengemudi mobil yang
membawa kami, Pak Jerry. Beliau mengatakan bahwa di daerah yang kami
lalui memang sudah direhabilitasi menjadi hutan, dan tidak hanya itu ada
kriteria hutan (buatan) yang wajib dipenuhi PTNMR sebagaimana diatur oleh
Kementerian Lingkungan Hidup. Kriteria ini meliputi jarak antar pohon,
kadar humus dalam tanah, bahkan tutupan atas, atau kerimbunan , pun harus
pas dan sesuai agar tidak banyak matahari masuk. Wuih, kriteria yang detil
itu semua dipenuhi PTNMR, khususnya Departemen Enviro yang berwenang
dalam hal ini. Saat ini, Departemen Enviro masih berada di Buyat-Ratatotok
untuk memonitor dan menjaga keadaan.
Tiba di lokasi, tanpa buang waktu mulailah kami beraksi mengabadikan
suasana. Sebab, semua undangan merupakan orang-orang yang harus
mengabarkan keadaan. Orang-orang yang dititipi oleh masyarakat untuk
memberitakan. Foto, tulisan, dan video menjadi instrumen kami.
Saat ini, semua sudah menghijau. Pit tambang sudah menjelma menjadi
danau, menjadi hutan yang benarbenar alami. Suara monyet saya dengar
bersahut-sahutan dari hutan. Beberapa burung, termasuk Elang, mengitari
danau hijau. Danau bentukan dari pit tambang pada masa lampau. Hutan
kelihatan lebat, nyaris tidak menyisakan jejak, kalau daerah ini pernah
menjadi sebuah area tandus dengan bolongan menganga yang seram.
Di horizon, terlihat Teluk Buyat, di sanalah ujung penempatan tailing
tambang ini dulu. Di Teluk Buyat pula dikabarkan pencemaran yang lebih
dari sepuluh tahun yang lalu menjadi berita heboh di Indonesia. Kini tampak
Desa Buyat yang kelihatan hidup. Garis panjang pantai di Teluk Buyat
menjadi saksi bagaimana aktivitas bekas tambang berpadu dengan gerak
natural dari alam menciptakan lingkungan ekosistem yang ada kini.
Kami lantas berjalan melewati pagar pembatas, menuju ujung. bahkan
naik ke pagar untuk mendapat view lebih lebar. Kami menghabiskan waktu
untuk memotret, merekam video, dan juga bertanya apabila ada hal yang tak
lazim. All is great. Penampakan dan suara burung, riuh-rendah suara monyet
serta hijaunya pepohonan dan birunya lautan yang dibatasi oleh pagar alami
perkampungan penduduk, kelihatan jelas.
Pada malam sebelum kami mengunjungi lokasi ini, kami mendapat
pemaparan beberapa riset yang menunjukkan bagaimana bekas area tambang
ini dikatakan memenuhi kriteria lestari. Bahkan burung-burung yang
memiliki pola migrasi utara-selatan mampir di hutan yang tumbuh di atas
bekas lokasi penambangan NMR. Hal tersebut diklaim sebagai bukti bahwa
hutan di sekitar Mesel pit ini sudah sedemikian lestari sehingga menarik
minat satwa liar untuk mampir dan berkembang biak. Sebelumnya saya
hanya mencatat, kini saya bisa membuktikannya.
Puas memandang dan mengambil gambar, kami kembali menelusuri jalan
setapak menuju mobil. Konon daerah yang kami telusuri akan dijadikan
Kebun Raya. Pemerintah daerah akan mengelolanya pasca kepergian NMR
tahun depan. Selesai sudah tanggung jawab mereka. Sudah waktunya
pemerintah dan masyarakat bahumembahu mengelola “eko-wisata” yang
indah di Buyat-Ratatotok sembari terus meningkatkan perekonomian yang
sebelumnya di-boost-up oleh keberadaan tambang.
Sekembalinya di bak mobil dalam perjalanan pulang, saya berpikir, kata
seorang teman, Newmont punya reputasi buruk di dunia. Saya koneksikan
lagi dengan pengalaman di NNT. Saya mendapat informasi bahwa Newmont
di Indonesia adalah Newmont yang memiliki mining best practices tertinggi
dibandingkan tambang Newmont yang lain. Nyatanya, saya mengalami hal
yang sama, mulai dari sisi safety hingga lingkungan. Dengan berbagai data
yang saya peroleh di dua lokasi ini, dari PTNNT dan PTNMR, serta
penjelasan lisan maupun tertulis, misalnya melalui fact sheet kontribusi
ekonomi dari PTNNT, fact sheet kontribusi PTNMR. juga fakta wisata di
Buyat, di mana tidak ada pencemaran. Saya justru menemukan keindahan
dan banyaknya ikan yang hidup dan terumbu karang yang indah. Inilah info
pasca-penutupan tambang yang perlu diketahui
Maka, wajar kalau Newmont di Indonesia diklaim melaksanakan
pertambangan dengan baik. Bukti-buktinya mendukung. Selain itu, peran
masyarakat yang partisipatif dan solutif ketika berhubungan dengan
Newmont, dan memberi masukan dan juga menjadi “pengawas” aktivitas
yang kritis, sangat mendukung lingkungan aktivitas Newmont untuk
memenuhi semua kewajibannya. Saya tidak tahu kalau di tambang Newmont
yang lain. Mungkin saya bisa berkunjung ke tambang Newmont di Afrika
atau ke perusahaan tambang perusahaan lain. ada yang mau menjadi sponsor?
Kata teman yang lain, saya bisa saja diajak berkunjung ke lokasi yang
“baik” dan “bagus”. Namun tidak ditunjukkan “kejelekannya”. Goyangan
Jeep ke kanan dan ke kiri serta atas-bawah membuat otak saya berpikir lebih
jernih. Apa ada pit lain di tambang PTNMR? Bagaimana mungkin PTNMR
menyulap pit, atau membutakan mata orang yang datang. Padahal, lokasi
viewing point di mana saya baru saja berdiri adalah lokasi yang sama, dengan
lokasi di mana selama sepuluh tahun tambang beroperasi. Saya rasa tidak
akan ada hidden view karena dari sudut mana pun, pit yang sudah menjadi
danau indah dengan hunian habitat hutan yang kembali datang dan berkoloni
di sini tetap sama.
Selain itu, memang di dekat danau Mesel itu beberapa spot masih terlihat
tandus. Namun hanya sekitar 15% dari keseluruhan area sekitar danau. Hal
itu mungkin dikarenakan potensi untuk tumbuh rimbun masih belum
sempurna, butuh beberapa tahun lagi.
Diah Setiawaty

T Newmont Nusa Tenggara bekerja sama dengan PT Newmont


Minahasa Raya kembali menyelenggarakan Sustainable Mining
Bootcamp yang kali ini sasarannya lebih berpusat kepada penjelasan
mengenai proses penutupan tambang. Sebanyak kurang lebih 12 orang
termasuk tiga wartawan media diterbangkan ke Minahasa, tepatnya ke Desa
Buyat, Kecamatan Ratatotok untuk melihat secara langsung tempat yang
sebelumnya menjadi site penutupan tambang yang pernah disinyalir
mencemari pantai, laut, dan wilayah sekitar pada 2004.
Tulisan ini memaparkan kegiatan yang dilakukan para peserta bootcamp
sejak sampai di Minahasa, khususnya yang berkaitan dengan program pasca-
penutupan tambang. Tujuannya untuk memberikan gambaran kegiatan boot-
camp dan kehidupan di teluk yang pada 2004 telah dilaporkan tercemar dan
mendapat perhatian besar dari media, baik media nasional maupun
internasional.
Agenda pertama yang dilakukan peserta adalah menyelam di Pantai
Buyat, tepatnya di wilayah Pulau Putus-Putus. Di sanalah, para peserta
bootcamp melihat gugusan karang-karang yang keindahannya sudah dapat
dilihat dari atas perahu. “Ini menandakan bahwa Teluk Buyat tidak tercemar
karena terumbu karang tidak dapat hidup di wilayah yang tercemar,” jelas
David Sompie, Presiden Direktur PT Newmont Minahasa Raya (NMR)
dalam presentasinya mengenai program berkelanjutan pasca-penutupan
tambang 2006-2011. Dia juga memaparkan bahwa Teluk Buyat adalah
wilayah penempatan terumbu buatan (reef ball) yang terbesar di dunia setelah
di Malaysia.
Sebanyak kurang lebih 3.000 reef ball dikonservasi oleh PT Newmont
Minahasa Raya di daerah ini sejak 19992000. Survei yang dilakukan oleh
Fakultas Perikanan Universitas Sam Ratulangi pada 2007, menunjukkan
bahwa terdapat kurang lebih 177 spesies ikan dan 50 genus karang batu hidup
di reef ball. Saat ini, wisata diving Buyat telah dipromosikan sampai ke
mancanegara dan sudah mulai diminati oleh para wisatawan, baik lokal
maupun internasional.
Setelah melakukan wisata diving di daerah Pulau Putus-Putus, para
peserta bootcamp melakukan kunjungan ke wilayah pit atau area penutupan
tambang di Minahasa Block, tepatnya di daerah Mesel. Sejak penutupan pada
2004-2007, wilayah ini telah dibongkar dan direhabilitasi. Mengunjungi
lokasi tersebut para peserta bootcamp harus menaiki mobil Jeep terbuka
karena tidak ada akses jalan beraspal karena PT NMR telah mengembalikan
keadaan seperti sediakala. Hanya ada beberapa jalan yang terbuka karena
pemerintah daerah meminta akses jalan tidak ditutup demi kepentingan
masyarakat. Jalan terbuka itu pun hanya berupa jalan setapak yang tidak
beraspal.
Wilayah seluas 443,40 hektare yang tadinya adalah lokasi pit atau lubang
besar juga sudah berubah menjadi hutan belantara. Hanya tersisa sebuah
danau buatan kecil yang menjadi penanda. PT NMR dalam Kontrak Karya
memang tidak memiliki kewajiban menutup lubang pit tersebut karena
mempertimbangkan tanah yang dibutuhkan untuk menutupi lubang tersebut
akan menjadi beban selanjutnya bagi perusahaan dan masyarakat setempat
yang harus segera direhabilitasi. PT NMR tidak mengalami kesulitan untuk
memproses air asam tambang karena bebatuan di wilayah ini adalah batuan
kapur yang sifatnya menetralisir asam. Saat ini, danau buatan ini sudah
memiliki ikan-ikan yang hidup di dalamnya. PT NMR menjelaskan kepada
para peserta bootcamp bahwa penutupan tambang di wilayah ini dilakukan
karena habisnya deposit emas di wilayah tambang. Bukan karena tuduhan
pencemaran yang mereka terima selama ini. Hasil Penilaian Tim Dinas
Kehutanan atas keseluruhan reklamasi PT NMR mendapat nilai 93 dari Total
Nilai 100 dan mendapat kriteria baik ( nilai>80). Hal ini karena PT NMR
menanam pohon melebihi kriteria yang diberikan pemerintah. PT NMR
bahkan menambahkan vegetasi baru, seperti pohon jati yang dipercaya
memiliki nilai ekonomis yang tinggi jika dapat dimanfaatkan oleh penduduk
di sekitarnya.
Setelah hampir seharian para peserta bootcamp dibawa berkeliling,
pemberhentian selanjutnya adalah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), di
Kabupaten Minahasa Tenggara. RSUD ini hanya terletak di Ibu Kota
Kabupaten, Manado dan di Kecamatan Ratatotok. Rumah sakit yang bernilai
puluhan miliar rupiah ini khusus didirikan PT NMR sebagai respons atas
permintaan pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan medis masyarakat
sekitar. Walaupun, banyak ruangan yang tidak termanfaatkan karena
minimnya jumlah pengunjung, tetapi bantuan yang terbaik tersedia di RS ini.
Terdapat pula dokter jaga yang selalu siap menangani pasien setiap hari.
Kunjungan dan pembelajaran terakhir dilakukan ke sebuah desa yang
terletak beberapa kilometer dari Desa Buyat Pante. Desa ini ternyata adalah
desa yang dihuni oleh para warga yang sebelumnya telah pindah ke Desa
Duminanga karena menganggap Desa Buyat telah tercemar. Ketika
ditanyakan kenapa mereka pindah dan akhirnya kembali lagi, Burhan (bukan
nama sebenarnya) menjawab “Kita cuma orang bodo’ orang bilang Buyat
tercemar, kita pindah.” Kakek dari enam cucu itu masih menebarkan jala
hingga senja untuk menafkahi keluarganya. Burhan menunjukkan kesedihan
dan kekecewaan, ketika menceritakan kisah itu.
Warga sudah menetap di daerah tersebut selama lebih dari enam tahun
sejak mereka pindah dari Pantai Buyat tanah lahir mereka. Bermula dari
gemparnya seorang bayi perempuan bernama Andini yang menderita sakit
dan dituduh menjadi korban pencemaran. Kasus meninggalnya bayi Andini
mendapat sorotan dari berbagai LSM yang berujung kepada exposure besar-
besaran media massa terhadap kasusnya. Buyat dituduh tercemar oleh limbah
merkuri dari PT NMR. Pada 2004, kasus Buyat menjadi salah satu kasus
besar yang mendapat sorotan dunia. PT NMR dituduh melakukan
pencemaran sebagaimana yang terjadi di Jepang akibat penyakit Minamata.
Kini, setelah hampir sembilan tahun pasca-tragedi tersebut. PT NMR
dinyatakan tidak bersalah setelah melalui berbagai proses panjang yang gelap
dan pilu, melibatkan masyarakat sekitar yang akhirnya menjadi korban.
Pembuktian di pengadilan yang melibatkan para pakar lingkungan,
kesehatan, dan hukum berbuah manis kepada PT NMR. Pada 12 Februari
2013, Mahkamah Agung lewat keputusan nomor 2691 K/PDT/2010 menolak
permohonan kasasi WALHI atas gugatan perdata dengan tuduhan
pencemaran Teluk Buyat (Media Indonesia, 26 Februari 2013).
Beberapa warga di dusun baru tersebut juga mengaku terpengaruh oleh
LSM yang mengatakan bahwa Buyat sudah tercemar. Lebih jauh, mereka
juga mengaku bahwa mereka termakan oleh janji LSM yang mengatakan
bahwa mereka akan diberikan rumah beserta segala isinya dan diberikan
sejumlah uang (kurang lebih sebesar tiga puluh juta rupiah). Pada
kenyataannya, setelah dua tahun mereka hanya hidup di barak-barak.
Kehidupan pun lebih susah, ketika mereka di Duminanga karena ikan yang
terdapat di daerah tersebut lebih sedikit akibat arus laut yang berbeda dari
Buyat. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk kembali ke desa asal
mereka. Namun, pilu belum juga beranjak. Warga setempat tidak mau
menerima mereka kembali karena warga eks-Duminanga ini dianggap telah
menimbulkan ketidaknyamanan karena sempat melakukan prosesi dan
pembakaran rumah mereka sebelum pindah. Terlebih lagi, mereka pernah
membuat ikan-ikan nelayan Buyat tidak laku karena anggapan telah tercemar.
Tidak jelas apakah pemerintah sudah meninjau daerah perkampungan
baru mereka, tetapi kondisi di lingkungan tersebut masih memprihatinkan,
dengan tingkat kelahiran yang tinggi. Sanitasi masih terbatas dan listrik
belum masuk ke dusun tersebut. Penghidupan yang mereka dapatkan saat ini
memang jauh api dari panggang, tetapi kehidupan ini lebih baik dari yang
mereka dapatkan di Duminanga tempat mereka bermigrasi sebelumnya.
PT NMR yang mendapatkan hantaman kasus Buyat dua bulan sebelum
penutupan tambang menginformasikan bahwa sebelumnya warga sekitar
mengajukan proposal pembangunan bernilai miliaran rupiah yang akhirnya
ditolak karena tidak sesuai dengan prosedur yang diterapkan PT NMR. Dana
pembangunan PT NMR saat itu diberikan secara sentralistis lewat pemerintah
desa yang dikelola secara otonomi kepada dusun-dusun di bawah desa
tersebut.
Saat ini, meskipun daerah yang awalnya situs pertambangan tersebut telah
berubah menjadi hutan rimbun dan terlihat peningkatan perekonomian
masyarakat, tetapi kesejahteraan warga eks-Duminanga masih
memprihatinkan. Para warga ini telah belajar untuk tidak mudah
dipermainkan wacana kekuasaan lewat berbagai kendaraan baik LSM, media
massa, maupun partai politik.
Mereka dengan semangat dan harapan untuk membangun kehidupan yang
lebih baik pada akhirnya kembali dan mendirikan dusun di tanah pemerintah.
Saat kembali, mereka benar-benar mendirikan kehidupan dari nol dengan
keringat mereka sendiri. Tragedi tersebut betul-betul menjadi sebuah
pelajaran berharga baik bagi mereka yang melakoni dan merasakan efeknya
maupun bagi para peserta bootcamp dan siapapun di luar sana yang
mengetahui kasus pencemaran Buyat.

Harapan dan ekspektasi tentu selalu ada, terutama agar


tindakan eksploitasi masyarakat kecil untuk kepentingan
pribadi atau kelompok tidak lagi terjadi di Bumi Pertiwi
yang begitu kaya ini.
Dibutuhkan kesadaran dan kerendahan hati dari semua pihak untuk
memperbaiki segala kerusakan yang telah terlanjur terjadi. Untuk
memperbaiki segala air mata yang telah tertumpah di pantai tersebut demi
mempertahankan bumi, air, dan segala isinya.
Fafa Firdausi

ada medio Juni 2004 publik dihebohkan dengan berita pencemaran di


Teluk Buyat. Banyak orang lalu menyamakannya dengan kasus tragedi
Minamata di Jepang. Dikabarkan beberapa warga Desa Buyat Pante
menderita gejala penyakit aneh yang disinyalir karena limbah tambang PT
Newmont Minahasa Raya. Penyelesaian kasus ini terbilang berlarut-larut dan
baru selesai pertengahan bulan Februari tahun ini.
Suatu kesempatan yang tidak bisa saya lewatkan begitu saja, ketika PT
Newmont mengikutsertakan saya dalam program lanjutan Sustainable
Mining Bootcamp ke Buyat, Sulawesi Utara. Sebelumnya, saya juga
berkesempatan menilik tambang dan kegiatan konservasi alam dan
pemberdayaan masyarakat PT Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa Barat.
Buat saya yang masih awam dengan dunia pertambangan, tentu ini
kesempatan bagus untuk menambah wawasan. Sekalian bertualang dan
ngangsu kaweruh soal pertambangan dan lingkungan. Penasaran juga, setelah
tujuh tahunan berlalu seperti apa, ya, Teluk Buyat?
Dari Kota Manado menuju Teluk Buyat di Kabupaten Minahasa Tenggara
adalah sebuah perjalanan panjang. Via Tomohon, total waktu tempuh sekitar
tiga jam. Perjalanan dengan mobil melintasi daerah-daerah dataran tinggi
dengan jalan berkelok-kelok. Awalnya, terasa menyenangkan sampai tiba-
tiba rasa mual menyerang. Saya mabuk. Waktu terasa melambat kalau sudah
begini. Sampai di penginapan, pilihan aktivitas saya adalah tidur.
Karena, perjalanan malam, saya tidak menyadari bahwa penginapan saya
dan kawan-kawan peserta berada persis di tepi laut. Jadilah, pagi itu, subuh-
subuh, saya ambil kamera dan buru-buru ke pantai, berburu sunrise. Secara
geografis, Teluk Buyat menghadap ke arah timur. Teluk ini sendiri
bersebelahan dengan Pantai Lakban yang juga berupa bentang teluk.
Keduanya dipisahkan oleh Tanjung Totok.
Di Bukit Tanjung Totok ada sesuatu yang seketika menarik perhatian
saya. Di puncak bukit terdapat dua tugu. Satu berbentuk salib dan sebuah lagi
bertengger bulan bintang-bintang. Sangat mudah mengasosiasikannya dengan
lambang keagamaan. Yang unik adalah keduanya berdampingan. Ketika saya
naik menyambanginya, di tubuh kedua tugu terpahat tulisan: “Torang Semua
Basudara“. Sebuah semangat persaudaraan yang berusaha dijaga oleh
masyarakat mengkristal dari monumen itu. Setelah saya tanya-tanya, bukit itu
dinamai Bukit Harapan.
Dari atas Bukit Harapan, pantai terlihat begitu sepi. Hanya terlihat
beberapa perahu nelayan di laut memulai aktivitas. Dipisahkan oleh jalanan
di sebelah barat pantai adalah hutan bakau berawa. Oh, jadi ini Teluk Buyat
yang heboh dulu itu. Impresi pertama saya adalah keasrian alam. Pantai
terbilang cukup bersih dan hutan bakau itu rimbun menjadi habitat beberapa
jenis burung.
Puas dari Pantai Buyat, saya jalan lagi ke sisi Pantai Lakban. Pantai
Lakban ini sekaligus adalah muara Sungai Ratatotok. Sama seperti sisi Buyat,
di muara sungai juga terhampar rerimbunan hutan bakau. Di Pantai Lakban
ini juga terdapat monumen yang ternyata adalah sisasisa crusher
pertambangan emas zaman Belanda. Dari monumen ini, dan keterangan Pak
Ari dari PT NNT, saya tahu bahwa sejak zaman Belanda, Teluk Buyat ini
terkenal dengan emasnya. Hingga sekarang, sebagian masyarakat Ratatotok
dan Buyat bermata pencaharian sebagai penambang emas.

3000-an reefball ditempatkan di dasar laut Teluk Buyat dan sekitarnya.


Pagi itu, acara pertama adalah snorkeling melihatlihat proyek reef ball
yang sudah berjalan sejak 1999. Dari keterangan Bu Pretty dari PT NMR,
nelayan sekitar sini sesekali masih menggunakan bom untuk menangkap
ikan. Agak miris juga mendengarnya. Sudah diisukan tercemar, ternyata
kelestarian laut juga terganggu karena bom ikan. Tapi, memang menarik
sekali menyaksikan reef ball di sini. Sejak awal proyek hingga saya
nyemplung, terumbu karang sudah dapat tumbuh dengan baik. Agak heran
juga sebenarnya. Terumbu karang sangat sensitif terhadap lingkungannya.

Bila laut tercemar, tentu terumbu karang di sini tidak


akan tumbuh dengan baik. Melihatnya tumbuh cantik
begitu, dapat dipastikan laut di sekitar sini bersih.
Terumbu karang yang mulai tumbuh cantik menjadi hiasan dasar laut
perairan Ratatotok.
Puas ber-snorkeling, saya dan kawan-kawan kembali ke penginapan untuk
bersih diri dan makan siang. Setelah ini, barulah kami akan diajak ke bekas
lokasi tambang PT NMR. Di luar pagar penginapan telah terparkir dua mobil
hardtop. Hmmm, sepertinya perjalanan akan menarik.
“Tuh, kan, kalau duduk nyamping, lu enggak mabok. Emang lu yang enggak
biasa naik mobil bagus. Hahaha ….”
Kata-kata Mas Chris itu membuat seisi kap belakang mobil hardtop ini
tergelak tertawa. Saya hanya bisa senyum-senyum saja. Tapi, memang benar,
meski terus berguncang hebat akibat jalanan berlubang, naik mobil hardtop
tidak membuat saya mabuk. Kelegaan menghirup udara segar tidak bisa
digantikan dengan embusan dingin dari air conditioner mobil.
Hujan baru saja mereda, saat hardtop yang saya tumpangi ini mulai
memasuki kawasan hutan. Jalan penuh lubang, berbatu-batu, dan licin.
Beberapa kali melambat karena berpapasan dengan hardtop pengangkut batu
dan pekerja tambang rakyat. Tidak jarang juga, sapisapi penarik pedati
melenggang santai. Penumpangnya tersenyum ramah kepada kami.
“Dulu, di sebelah kiri inilah Townsite. Di depan, sebelah kanan itu pabrik
kita,” kata Pak Ari.
Hah, iyakah? Sepanjang saya melebarkan pandangan hanya ada
pepohonan. Dan, rimbun. Tujuh tahun penutupan tambang dan proses
reklamasi hutan berjalan dengan baik di sini. Di ujung jalan terlihat pos
penjaga hutan, artinya kelestarian di sini cukup menjadi perhatian penting.
“Siap-siap, sehabis belokan ini, kita benar-benar offroad,” ujar Mas Kedy
dari PT NMR.
Hardtop berguncang hebat sepanjang jalan. Meski ini jalan, tapi kentara
sekali kalau sudah jarang dilewati. Tumbuhan perdu dan rerumputan
menutup sebagian jalan. Sesekali, kami harus merunduk menghindari sabetan
tajuk pohon yang rendah. Tangan saya sampai pegal berpegangan.
Tujuan kami adalah site yang dulunya adalah pos pemantauan area
tambang. Hardtop berhenti karena tutupan vegetasi yang rapat. Dari sini,
kami memulai trekking menuju bekas pos pemantauan. Ternyata, tutupan
hutan di sini juga lumayan rapat. Pos pemantauan yang kami tuju ternyata
adalah bibir jurang dengan gubuk kayu reot bertengger di ujungnya. Di
bawah sana, sebuah danau tidak seberapa lebar menganga.
“Itu Danau Mesel, dulunya itulah lubang tambang kita. Itu bukit di
sekelilingnya, dulunya area operasi tambang,” ujar Bu Pretty. Dari sini,
sejauh pandang hanyalah bukitbukit dengan puncak-puncaknya menyerupai
riak-riak gelombang laut. Hamparan hutan berkabut bak beludru hijau
raksasa. Imaji hijau yang menyegarkan mata. Lahan yang dulunya bukaan
tambang, kini telah tertutup hutan hijau. Sejuk. Segar.
Tambang dan lingkungan sering kali dipertentangkan. Cerita-cerita
tentang tambang yang saya dengar selama ini berkisar pada lubang
menganga, air asam tambang, tailing, pencemaran, dan kesenjangan sosial.
Mungkin benar, semua itu saya lihat di tambang Newmont di Sumbawa Barat
dan di Buyat ini.Tapi, di balik deru mesin pengolahan mineral itu, usaha
konservasi lingkungan juga berjalan beriringan. Inilah yang semestinya kita
ikut perhatikan. Pertambangan berjalan untuk kebutuhan manusia sudah
semestinya juga diiringi dengan konservasi lingkungan yang juga
berkelanjutan.
Perjalanan selalu memberi wawasan.
TELUK BUYAT HARI INI

A. Panorama Teluk Buyat.

B. Kawasan wisata pantai Lakban di Ratatotok, Minahasa Tenggara.

A
B
C. Hutan reklamasi lahan bekas tambang PTNMR di Ratatotok, Minahasa Tenggara, yang telah ditetapkan
pemerintah menjadi kebun raya.
Adella Adiningtyas. 31 Januari 2015. Apa Kata Mereka …. https:// delladaily.wordpress.com. Peserta
SMB Batch 4. Cumi Lebay. Mei 2012. Lingkar Tambang Newmont Nusa Tenggara.
http://www.cumilebay.com. Peserta SMB Batch 1.
Alfonsius Billy J. 25 Mei 2013. Menengok Proses Produksi Pupuk Kompos di Desa Aik Kangkung.
http://green.kompasiana.com. Peserta SMB Batch 3.
Andhtya. 4 Desember 2012. Indonesia’s Mining Industry Through Young Eyes. Artikel The Jakarta
Globe.
Barry Kusuma. 22 Februari 2015. Suka Pantai? Datanglah ke Sumbawa Barat.
http://female.kompas.com. Peserta SMB Batch 4. Daniel Mashudi. 29 Januari 2015. Menjalin Asa
Serabut Kelapa. http://ekonomi.kompasiana.com. Peserta SMB Batch 3.
Denny Reza Kamarullah. 28 Februari 2015. https:// dennyrezakamarullah.wordpress.com. Peserta SMB
Batch 4. Dhanang Puspita. 10 Februari 2015. Aku Pulang dari Tambang. http://
lifestyle.kompasiana.com. Peserta SMB Batch 4.
Diah Setiawaty. 8 Maret 2013. Buyat Riwayatmu Kini. http://sosbud. kompasiana.com. . 13 November
2012. Mengintip Praktik CSR Newmont Nusa Tenggara. http://m.kompasiana.com. Peserta SMB
Batch 2.
Dzulfikar AlA’la. 12 Februari 2015. Para Pencari Tuhan di Area Tambang.
http://sosbud.kompasiana.com. Peserta SMB Batch 4.
Eko Budi W. 5 April 2013. Sustainable Mining Bootcamp sebagai Media Coverage PT. Newmont.
http://media.kompasiana.com. Peserta SMB Batch 3.
Fafa Firdausi. 17 November 2012. Bicara Tambang Bicara Lingkungan.
http://www.kompasiana.com/fafa.ferdowsi. . 1 Maret 2013. Menengok Teluk Buyat.
https://redransel. wordpress.com.
Fajri Satria Hidayat. 4 Februari 2015. http://www.kompasiana. com/fajrisatriahidayat. Peserta SMB
Batch 4.
Farchan Noor R. 17 Mei 2013. Bootcamp Batu Hijau 3: Maluk, Dari Tiga Puluh Enam Menjadi
Puluhan Ribu. http://efenerr.wordpress.com. Peserta SMB Batch 3.
Harris Maulana. 17 Mei 2015. Cita-Cita, Tabungan, dan Ombak Pantai Maluk. http://harrismaul.com.
Peserta SMB Batch 4.
Ibnu Setiawan. 5 Juni 2013. Mengenal Maluk dan Sekongkang. http:// ekonomi.kompasiana.com.
Peserta SMB Batch 3.
Ilmi Mayuni Bumi. 19 Januari 2015. Tambang Itu Seksi.https:// ilmibumi.wordpress.com. Peserta SMB
Batch 4.
Juwairiyah. 14 November 2012. Sustainable Mining Bootcamp: Kegiatan efektif mendapatkan
pemahaman komprehensif. http:// forum.detik.com. Peserta SMB Batch 2.
M. Zacky S. 6 Juni 2013. Wisata Tambang (Ndas’mu Mlocot). http:// jalanalakere.wordpress.com.
Peserta SMB Batch 3.
Murni Amalia. 5 Juni 2013. NNT Boot Camp, Sumbawa – Minding a Mine Site. http://indohoy.com.
Peserta SMB Batch 3.
Rahmasari Noor Hidayah. 27 Januari 2015. Perempuan-Perempuan Tangguh di Balik Dunia
Tambang. http://rahmasword.blogspot. com. Peserta SMB Batch 4.
Raiyani Muharramah. 13 Februari 2015. http://www.kompasiana. com/rmuharramah. Peserta SMB
Batch 4. Regy Kurniawan. 23 Mei 2015. Cerita Pak Kades. http:// regykurniawan.com. Peserta
SMB Batch 4.
Rijal Fahmi Mohamadi. 5 Februari 2015. Menembus Belantara Sumbawa, Demi Air Terjun Perpas!.
http://catperku.info. Peserta SMB Batch 4.
Roghib. 12 Desember 2012. Bersikap (Adil) Pada Perusahaan Tambang. http://m.kompasiana.com.
Peserta SMB Batch 2. Subhan Azharullah. 18 April 2015. http://www.kompasiana.com/
subhanazharullah07. Peserta SMB Batch 4.
Titiw Akmar. 29 Mei 2013. Menilik Dalaman Newmont Nusa Tenggara. http://titiw.com. Peserta SMB
Batch 3.
Unggul Sagena. 11 Februari 2015. Merenung Tambang, Memahami Harga Kehidupan dan Nilai
Penghidupan. http://www. kompasiana.com/unggulcenter. Peserta SMB Batch 4. .19 Februari
2015. http://www.unggulcenter.org. Peserta SMB Batch 4.

Anda mungkin juga menyukai