Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua. Pada awalnya
penyelenggaraan sekolah dalam bentuk unit ini berkembang sesuai dengan kelainan yang
ada (satu kelainan saja), sehingga ada SLB untuk tunanetra (SLB-A), SLB untuk tunarungu
(SLB-B), SLB untuk tunagrahita (SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), dan SLB untuk
tunalaras (SLB-E). Di setiap SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat
lanjut. Terdapat juga SLB yang hanya mendidik satu kelainan saja, ada pula SLB yang
mendidik lebih dari satu kelainan, sehingga muncul SLB-BC yaitu SLB untuk anak
tunarungu dan tunagrahita, SLB-ABCD yaitu SLB untuk anak tunanetra, tunarungu,
tunagrahita, dan tunadaksa.
Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa yang dilengkapi
dengan fasilitas asrama untuk tinggal. Pengelolaan asrama menjadi satu kesatuan dengan
pengelolaan sekolah, sehingga di SLB terdapat tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat
lanjut, serta unit asrama. Bentuk satuan pendidikannya sesuai kelainan seperti SLB-A untuk
anak tunanetra, SLB- B untuk anak tunarungu, SLB-C untuk anak tunagrahita, SLB-D untuk
anak tunadaksa, dan SLB-E untuk anak tunalaras, serta SLB-AB untuk anak tunanetra dan
tunarungu.
3) Kelas jauh/Kelas Kunjung
Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk memberi pelayanan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB.
Penyelenggaraannya merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan
wajib belajar serta pemerataan kesempatan belajar.
Dengan adanya kelas ini diharapkan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
semakin luas ke seluruh pelosok tanah air.
SDLB adalah unit sekolah yang terdiri dari berbagai kelainan yang dididik dalam satu atap
dan didalamnya terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa. Dalam kelas
ini terdapat tenaga kerja, tenaga ahli yang berkaitan dengan kelainan mereka antara lain
dokter umum, dokter spesialis, fisiotherapis, psikolog, speech therapist, audiolog, dan
administrasi pendidikan. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum yang digunakan di
SLB untuk tingkat dasar yang disesuikan dengan kekhususannya. Kegiatan belajar
dilakukan secara individual, kelompok, dan klasikal sesuai dengan ketunaan masing-masing.
Pada sistem pendidikan ini jumlah anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas maksimal 10
% dari jumlah siswa keseluruhan dan dalam satu kelas hanya boleh satu jenis kelainan saja.
Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus, di sekolah terpadu
disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK) yang berfungi sebagai konsultan bagi guru
kelas, kepala sekolah, atau anak berkebutuhan khusus itu sendiri, serta menjadi pembimbing
di ruang bimbingan khusus.
Terdapat 3 bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus :
Dalam keterpaduan sebagian ini anak berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa dengan
menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran
tertentu yang tidak bisa diikuti oleh anak berkebutuhan khusus dengan anak normal.
Pelayanan khusus itu diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus
(GPK), dengan menggunakan pendekatan individu dan metode peragaan yang sesuai dengan
dilengkapi peralatan khusus untuk memberikan latihan dan bimbingan khusus. Misalnya
untuk anak tunanetra disediakan alat tulis braille dan peralatan orientasi mobilitas.
Pada keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi ini anak
berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di
kelas khusus pada sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan terpadu.
Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai pelaksana
program di kelas khusus. Pendekatan, metode, dan cara penilaian yang digunakan sama
dengan yang biasa digunakan pada SLB. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik
dan sosial, artinya anak berkebutuhan khusus dapat dipadukan untk kegiatan yang bersifat
non akademik, seperti olahraga, keterampilan, dsb.