A. TUJUAN BAHASAN :
B. POKOK BAHASAN:
1. Konsep dasar pendidikan segregasi, integrasi, dan inklusif
2. Penyelenggaraan sistem pendidikan segregasi, integrasi, dan inklusif bagi
ABK usia dini
C. INTISARI BAHASAN:
1. Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Segregasi
a. Pengertian
Sistem pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan yang terpisah
dari pendidikan anak pada umumya. Pendidikan anak berkebutuhan
khusus usia dini melalui sistem pendidikan segregasi maksudnya
adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan secara
khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak
pada umumnya. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus tersebut
diberikan layanan pendidikan pada lembaga pendidikan khusus.
Sistem pendidikan segregasi ini merupakan sistem pendidikan yang
paling tua. Pada awalnya sistem ini dilaksanakan karena adanya
kekhawatiran atau keraguan terhadap kemampuan anak berkebutuhan
khusus belajar bersama dengan anak pada umumnya. Selain itu,
dampak dari hambatan yang terjadi pada anak berkebutuhan khusus,
membuat anak berkebutuhan khusus membutuhkan layanan
pendidikan yang disesuaikan dengan hambatannya masing- masing.
a. Latar Belakang
Penyelenggaraan pendidikan integrasi bagi ABK khususnya usia dini
dilatarbelakangi oleh: landasan formal, keberadaan ABK, sarana dan
prasarana, peranan penyelenggaraan pendidikan segregasi,
pemahaman masyarakat terhahap ABK.
1) Landasan formal
a) Pengesahan hukum federal berkenaan dengan pendidikan
khusus yaitu Public Law (PL) 94-142 tentang pendidikan untuk
semua anak cacat (Educational for Handicapped Children) pada
tahun 1975 kemudian tahun 1986 muncul undang-undang
tentang pendidikan dini untuk semua anak usia 3-5 tahun (PL
99-457) menyediakan pendidikan untuk anak cacat dari lahir
smpai usia dua tahun.
b) SK Mendikbud No 002/U/1986 Bab 1 Pasal 1: Pendidikan
integrasi adalah model penyelenggaraan program pendidikan bagi
anak cacat yang diselenggarakan bersama dengan anak biasa di
lembaga pendidikan umum.
2) Keberadaan ABK
Keberadaan ABK tidak saja di masyarakat maju tetapi juga di
masyarakat berkembangan maupun tertinggal; ada di keluarga
kaya maupun miskin, dan ada di desa maupun di kota. Lebih-lebih
mengingat letak geografis RI yang terdiri beribu-ribu pulau tentu
saja keberadaan ABK tersebar di pulau-pulau itu yang
mengakibatkan timbulnya masalah dalam mewujudkan pemerataan
kesempatan belajar bagi semua warganya termasuk ABK.
Keadaan tersebut tidak dapat dibiarkan apalagi mengingat
penyelenggaraan pendidikan segregasi masih terbatas hanya berdiri
di kota-kota besar. Oleh karena itu kehadiran gagasan
penyelenggaraan pendidikan integrasi menjadi solusinya agar ABK
memperoleh pendidikan di sekolah umum bersama dengan anak
umumnya.
3) Sarana dan prasarana terbatas
Sarana dan prasarana pendidikan menentukan akan keberhasilan
pendidikan. Keadaan sarana dan prasarana pada sistim segregasi
belum memadai sehingga belum dapat member layanan optimal
bagi keberagaman kemampuan dan kebutuhan, latar belakang, dan
tempat tinggal ABK. Tidak mengherankan banyak ABK yang tidak
mendapat layanan pendidikan dan mereka hanya tinggal diam di
rumah dan akhirnya menjadi beban keluarga dan tidak dapat
mandiri.
Hal-hal tersebut dapat dioptimalkan penyelesaiannya melalui
penyelenggaraan pendidikan integrasi karena dapat menggunakan
fasilitas sekolah umum yang berarti biaya layanan pendidikan
relatif murah.
4) Peranan penyelenggaraan pendidikan segregasi
Pendidikan segregasi memfokuskan perhatiannya pada penempatan
ABK di sekolah khusus yang tentu saja dapat menimbulkan
keterbatasan kesempatan bagi ABK untuk belajar, bermain, dan
bekerja bersama-sama anak biasa. Jadi ABK tidak/kurang terbiasa
melihat kebiasaan anak biasa.
Hal tersebut harus diberikan kesempatan agar ABK dapat
mewujudkan keadaannya sebagai mahluk inidividu dan sebagai
mahluk sosial dengan mengikuti pendidikan integrasi. Selain itu
melalui pendidikan integrasi dapat menimbulkan harga diri ABK
dan anak biasa merasa peduli akan kehadiran ABK.
5) Pemahaman masyarakat terhadap keberadaan ABK
Pandangan masyarakat yang selama ini hanya melihat
ketidakmampuannya yang penuh dengan keterbatasan dan hanya
menjadi beban keluarga/masyarakat, harus diubah dengan
menunjukkan bahwa ABK memiliki kemampuan yang patut
dikembangkan dan mampu beradaptasi di masyarakat.
Melalui pendidikan integrasi dapat merubah pandangan
masyarakat bahwa ABK sebagai mahluk konsumtif berubah
menjadi mahluk produktif asalkan mendapatkan layanan yang
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan ABK.
6) Arah baru dalam pendidikan khusus
Akhir abad ke-19 bentuk layanan pendidikan ABK bergeser dari
pendidikan segregasi mulai muncul kelas-kelas khusus di sekolah
biasa. Seiring dengan hal itu muncullah pandangan masyarakat
yang merupakan kecenderungan baru dalam mengelola pendidikan
ABK, seperti: 1) Normalisasi: Penciptaan suatu lingkungan social
dan pendidikan yang senormal mungin bagi anak dan orang dewasa
luar biasa; 2) Deinstitusionalisasi: Proses pelepasan sebanyak
mungkin anak dan orang dewasa luar biasa dari penghunian
lembaga penampungan ke dalam masyarakat setempat; dan 3)
Mainstreaming: Proses pengintegrasian ABK dalam hubungan
sehari-hari dengan anak biasa dalam suatu setting pendidikan.
b. Pengertian
Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi adalah sistem
pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan
khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak biasa (normal) di
sekolah umum. Pendidikan integrasi berarti menyatupadukan,
menggabungkan, atau mempersatukan anak berkebutuhan khusus
dengan anak normal di sekolah umum.
Sehubungan dengan itu Bratanata (1974) mengemukakan bahwa:
“Pendidikan integrasi adalah pendidikan anak berkelainan yang
diterima bersama-sama anak normal, dan diselenggarakan di sekolah
biasa”. Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa: ABK belajar
bersama-sama dengan anak biasa dalam satu kelas, guru yang sama
dengan anak biasa, ABK menggunakan kurkulum yang sama dengan
anak pada umumnya, dan pengelolalan pendidikannya sama dengan
anak biasa.
Model lain misalnya dikemukakan oleh Hardin & Hardin bahwa model
pendidikan inklusif yang mereka sebut inklusif terbalik (reverse
inclusive). Dalam model ini, peserta didik normal dimasukkan ke dalam
kelas yang berisi peserta didik berkebutuhan khusus. Model ini
berkebalikan dengan model yang pada umumnya memasukkan peserta
didik berkebutuhan khusus ke dalam kelas yang berisi peserta didik
normal.
Model inklusif terbalik agaknya menjadi model yang kurang lazim
dilaksanakan. Model ini mengandaikan peserta didik berkebutuhan
khusus sebagai peserta didik dengan jumlah yang lebih banyak dari
peserta didik normal. Dengan pengandaian demikian seolah sekolah
untuk anak berkebutuhan khusus secara kuantitas lebih banyak dari
sekolah untuk peserta didik normal, atau bisa juga tidak. Model
pendidikan inklusif seperti apapun tampaknya tidak menjadi persoalan
berarti sepanjang mengacu kepada konsep dasar pendidikan inklusif.
Model pendidikan inklusif yang diselenggarakan pemerintah Indonesia
yaitu model pendidikan inklusif moderat. Pendidikan inklusif moderat
yang dimaksud yaitu:
1) Pendidikan inklusif yang memadukan antara terpadu dan inklusi
penuh
2) Model moderat ini dikenal dengan model mainstreaming
Model pendidikan mainstreaming merupakan model yang memadukan
antara pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (Sekolah Luar
Biasa) dengan pendidikan reguler. Peserta didik berkebutuhan khusus
digabungkan ke dalam kelas reguler hanya untuk beberapa waktu saja.
Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam praktiknya anak
berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai
dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus
dapat berpindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang
lain, seperti:
1) Bentuk kelas reguler penuh, anak berkebutuhan khusus belajar
bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan
menggunakan kurikulum yang sama.
2) Bentuk kelas reguler dengan cluster, anak berkebutuhan khusus
belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok
khusus.
3) Bentuk kelas reguler dengan pull out, anak berkebutuhan khusus
belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam
waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber
untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
4) Bentuk kelas reguler dengan cluster dan pull out, anak
berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas
reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu
ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar bersama
dengan guru pembimbing khusus.
5) Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian, anak
berkebutuhan khusus belajar di kelas khusus pada sekolah reguler,
namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak
lain (normal) di kelas reguler.
6) Bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler, Anak berkebutuhan
khusus belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.
Dengan demikian, pendidikan inklusif seperti pada model di atas tidak
mengharuskan semua anak berkebutuhan khusus berada di kelas
reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh).
Hal ini dikarenakan sebagian anak berkebutuhan khusus dapat berada
di kelas khusus atau ruang terapi dengan gradasi kelainannya yang
cukup berat. Bahkan bagi anak berkebutuhan khusus yang gradasi
kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di
kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi
yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di
sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus
(SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).
D. SUMBER BACAAN
F. KUNCI JAWABAN
1. a. Kelemahan bentuk segregasi:
Memandang ABK berbeda dengan anak biasa sehingga timbul
kekhawatiran jika ABK belajar bersama akan menimbulkan
permasalahan bagi semua pihak. Jika ABK belajar bersama anak biasa
akan menimbulkan bahan ejekkan memalukan, merendahkan
martabat bangsa dan mutu pendidikan. Oleh sebab itu ABK dididik
secara terpisah dari pendidikan anak biasa sehingga membutuhkan
biaya yang mahal.
b. Kelebihan bentuk segregasi
Pada bentuk segregasi, ABK belajar di tempat khusus dengan
kurikulum, media belajar secara khusus tentu guru dapat melayani
ABK sesuai dengan kemampuannya. Selain itu guru hanya menghadapi
ABK sesuai kelainannya dengan ratio guru dan murid (ABK ringan 1:5,
1:8 dan sedang 1:3, 1:5).
Dalam bekerja guru dibantu oleh tim ahli (bagi sekolah di kota)
sehingga layanan pendidikan ABK lebih terarah.
2. a. Kelebihan penyelenggaraan pendidikan integrasi adalah:
1) Keberadaan ABK tersebar di daerah pedesaaan sedangkan SLB
hanya berada di kota-kota tertentu (minimal di ibu kota/kabupaten)
dan hanya menampung sebagian kecil ABK.
2) Sarana dan prasarana belum memadai dan belum memungkinkan
SLB menerima seluruh ABK.
3) Melalui pendidikan integrasi akan mampu memberikan pelayanan
pendidikan bagi ABK dengan biaya yang relative murah.
4) Melalui pendidikan integrasi ABK berintegrasi dengan anak pada
umumnya dan dapat menghilangkan rasa rendah diri.
5) Biaya yang dibutuhkan murah
b. Kelemahannya
Kelemahan bentuk ini adalah
1) ABK tetap menggunakan kurikulum anak biasa yang
mengakibatkan ABK mengalami kesulitan dan dapat menimbulkan
kurang rasa percaya diri. Pandangan anak biasa bahwa ABK adalah
anak yang bodoh, dan akibatnya ABK dijauhi oleh teman-temannya.
2) Pengelolaan kelas sama dengan pengelolalan kelas anak biasa,
artinya tidak ditempatkan sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya
anak hiperaktif maka sebaiknya anak tersebut ditempatkan dekat
guru agar guru menahan anak itu bila akan pergi, sehingga anak
tersebut dapat memusatkan konsentrasinya.
3. Persamaan dan perbedaan bentuk penyelenggaraan integrasi dan inklusif
a. Persamaannya: ABK belajar bersama-sama dengan anak biasa
b. Perbedaannya:
1) Pada pendidikan inklusif ABK menggunakan kurikulum yang
beragam artinya ABK menggunakan kurikulum yang sesuai
dengan kemampuan dan kebutuhannya.
Pada pendidikan segregasi kurikulumnya hanya satu artinya ABK
tetap mengikuti kurikulum anak biasa.
2) Pada pendidikan inklusif tercipta pembelajaran yang ramah
maksudnya walaupun ABK berada/belajar bersama dengan anak
biasa tetapi ABK mendapatkan layanan seperti: penerimaan siswa
fleksibel, lingkungan aksesibel dan kondusif, program/materi,
metode, alat, evaluasi, kenaikkan kelas, dan pembelajaran
disesuaikan dengan keberadaan ABK.
Berhubung di pendidikan integrasi ABK diberikan perlakuan sama
dengan anak biasa maka yang dilihat adalah bukan kebutuhan
individualnya, tetapi kebutuhan semua siswa di kelas tersebut.
3) Melalui pendidikan inklusif anak biasa akan melihat dan bergaul
bersama ABK dan anak biasa akan timbul rasa saling
menghargai, dan menyangi dan rasa sosialisasi.
Dalam pendidikan integrasi tidak jarang tercipta tidak saling
menghargai dan perkembangan rasa kebersamaan terbatas.
G. UMPAN BALIK
Cocokkanlah jawaban Anda dengan kunci jawaban yang terdapat pada
bagian akhir intisari bacaan. Hitungah jawaban Anda yang benar,
kemudian rumuskan tingkat penguasaan. Caranya hitung jawaban yang
benar dibagi 10, kemudian kalikan dengan 100%. Dengan cara seperti ini
Anda akan memperoleh prosentase tingkat penguasaan materi kegiatan
belajar. Adapun arti tingkat penguasaan yang Anda capai adalah sebagai
berikut:
90% - 100% = baik sekali
80% - 89% = baik
70% - 79% = cukup
<70% = kurang
Bila Anda mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih maka ujian akhir
semester (UAS) dapat diikuti. Bila tingkat penguasaan Anda masih di
bawah 80%, maka kegiatan belajar ini harus diulang terutama pada bagian
yang belum Anda kuasai.