Oleh :
Pada aspek pendidikan, perbedaan anak dalam hal tampilan fisik, kom
unikasi, kemampuan, sikap, perilaku menjadikan mereka sangat rentan diskrimi
nasi. Mereka (anak berkebutuhan khusus) diperlakukan tidak adil oleh syst
em pendidikan. Misalnya pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus ha
rus bersekolah di sekolah khusus (Sekolah Luar Biasa). Pada umumnya, lokasi
SLB berada di Ibu Kota Provinsi ataupun di Ibu Kota Kabupaten. Padah
al anak-anak berkelainan tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa),
tidak hanya di Ibu Kota. Akibatnya, sebagian anak berkebutuhan khusus, teru
tama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekola
hkan karena lokasi Sekolah Luar Biasa jauh dari rumah; sementara kalau a
kan disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima kar
ena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama in
i dapat diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bag
i mereka, akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sek
olah (Jhonsen, B.H., & Skjorten M.D.,2003). Permasalahan di atas akan ber
akibat pada kegagalan program wajib belajar. Sementara mereka anak
berkebutuhan khusus sebagai anak bangsa juga mempunyai hak sama d
alam hal pendidikan sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Ayat satu menyebutkan bahwa, setiap warga negara mempunyai hak yang
sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Ayat dua menyebutkan 2
bahwa, warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Selama ini akses dan fasilitas pendidikan untuk penyandang disabilitas masih dian
ggap kurang memadai dan masih minim fasilitas pendidikan di sekolah dan pergur
uan tinggi kita belum memadai. Kaum difabel belum banyak mendapatkan tempat
dan fasilitas yang layak. Belum banyak perguruan tinggi 5 yang mau menerima ka
um difabel. Ketersediaan sarana dan prasarana untuk menunjang kegiatan belajar
dan mengajar difabel saat ini masih sangat terbatas di Indonesia pada umumnya d
an Yogyakarta khususnya. Ketersediaan fasilitas seperti lantai yang landai pada ge
dung – gedung dan fasilitas – fasilitas lain juga belum banyak ditemui di gedung s
ekolah ataun pun Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta.
Sampai saat ini juga belum banyak difabel yang mengakses sekolah model inklusi
f, padahal pemerintah sudah mensosialisasikan sekolah inklusi ini, namun belum
maksimal dan ketidak pahaman orang tua difabel mengenai sekolah model inklusi
f ini maka orang tua lebih memilih untuk tidak menyekolahkan anaknya. Orang tu
a yang memiliki anak difabel kurang menyadari pentingnya pendidikan untuk ana
k berkebutuhan khusus, selain itu mereka juga malu untuk memasukkan anaknya
ke SLB (sekolah luar biasa) atau sekolah inklusif. Padahal informasi dan kepaham
an orang tua difabel untuk program – program pemerintah yang terkait dengan pe
ndidikan difabel sangat penting guna untuk pemenuhan hak pendidikan difabel. P
ermasalahan pendidikan difabel diatas sangat menarik untuk diteliti peran pemerin
tah sangat dibutuhkan dalam menyeleaikan permasalahan terebut. Sehingga judul
yang diambil peneliti untuk meneliti permasalahan ini adalah “Peran Pemerintah
Kota Yogyakarta dalam Pemenuhan Hak Pendidikan bagi Kaum Difabel”.
bagi siswa
bagi guru
a. lebih tertantang untuk mengembangkan berbagai metode
pembelajaran
b. bertambahnya kemampuan dan pengetahuan guru tentang
keberagaman siswa termasuk keunikan, karakteristik, dan sekaligus
kebutuhannya
c. Terjalinnya komunikasi dan kerja sama dalam kemitraan antar guru
dan guru ahli bidang lain
d. menumbuhkembangkan sikap empati guru terhadao siswa termasuk
siswa penyandang cacat / siswa berkebutuhan khusus
bagi sekolah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah se
bagai berikut:
Pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (1) yang menegaskan “setiap
warga berhak mendapatkan pendidikan”; Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32
ayat (2) yang menegaskan “setiap warga ank a wajib mengikuti pendidikan dasar
dan pemerintah wajib membiayainya”. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5 ayat (1) yang menegaskan “setiap
warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu”. Undang-undang inilah yang menjadi bukti kuat hadirnya pendidikan
inklusi ditengah masyarah.
Dalam pendidikan inklusif terdapat peserta didik yang beraneka ragam latar
belakang keluarga, tingkat kemampuan, kehidupan sosial, dan jenis
kebutuhannya. Pelayanan pendidikan di sekolah inklusif memungkinkan semua
peserta didik bersama-sama membangun hubungan dan interaksi untuk saling
memahami, mengerti, serta menerima perbedaan sebagai satu bentuk kekayayaan
bersama. Anak berkebutuhan khusus tetap dapat belajar di kelas reluger dengan
dibantu oleh guru kelas dan guru pendamping khusus.
a. Semua anak, baik cacat maupun tidak mempunyai hak yang untuk belajar
bersama-sama dengan anak yang lain.
b. Seyogyanya anak tidak diberi label atau dibeda-bedakan secara rigid, tetapi
perlu dipandang bahwa mereka memiliki kesulitan dalam belajar.
e. Tidak ada layanan pendidikan di SLB yang mampu mengambil bagian dalam
menangani anak di sekolah pada umumnya.
g. Hanya pendidikan inklusi yang potensial untuk menekan rasa takut dalam
membangun kebertemanan, tanggung jawab, dan pemahaman diri (Purwanta,
2002).
Bersumber pada rumusan permasalahan yang disusun oleh penulis di atas, hingga
tujuan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
Pendidikan inklusif berarti semua peserta didik belajar di sekolah reguler bersama
anak-anak normal tanpa mempertimbangkan keterbatasan masing-masing.
Proposal ini bertujuan mendeskripsikan pentingnya pendidikan inklusif bagi anak
berkebutuhan khusus dan dampak Pendidikan Inklusif terhadap kualitas hidup
anak-anak difabel. Pernyataan ini didasarkan pada realitas berkaitan dengan anak
berkebutuhan khusus yang tidak mendapat perlakuan pendidikan yang layak
sebagaimana anak normal lainnya. Tulisan ini membuka pemahaman dan
wawasan orang tentang hak setiap warga negara, khususnya anak berkebutuhan
khusus untuk memperoleh pendidikan yang layak.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah mengenai peristiwa G 30 S/PKI adalah tema yang sudah banyak digarap d
an diangkat. Peristiwa ini mencoba merubah ideologi Pancasila dengan membant
ai 6 Jenderal TNI AD, dan 1 Perwira TNI AD dan juga PKI ingin merubah Indone
sia menjadi negara Komunis yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Pada hari Jum’at tanggal 1 Oktober 1965 secara berturut-turut RRI Jakarta
menyiarkan berita penting. Sekitar pukul 7 pagi memuat berita bahwa pada hari
kamis tanggal 30 September 1965 di Ibukota RI, Jakarta telah terjadi “gerakan
militer dalam AD” yang disebut dengan “Gerakan 30 September”, dikepalai oleh
Letnan Kolonel Utung, Komandan Batalion Cakrabirawa, pasukan pengawal
pribadi Presiden Soekarno.
Sekitar pukul 13.00 hari itu juga memberitakan Dekrit Nomor 1 tentang
pembentukan Dewan Revolusi Indonesia dan Keputusan Nomor 1 tentang
Susunan Dewan Revolusi Indonesia. Dalam siaran kedua ini diumumkan susuan
Komandan Bridjen Soepardjo, Letnan Kolonel Udara Heru, Kolonel Laut
Soenardi dan Ajun Komisaris Besar Polisi Anwas sebagai Wakil Komandan.
Pada pukul 19.00 hari itu juga RRI Jakarta menyiarkan pidato radio panglima
komandan Tjadangan strategis Angkatan darat, Mayor Jendral Soeharto yang
menyampaikan bahwa Gerakan 30 September tersebut adalah golongan kontra
revolusioner yang telah menculik beberapa perwira tinggi AD dan telah
mengambil alih kekuasaan negara dari presiden/panglima
tertinggi/ABRI/pemimpin besar revolusi dan melempar Kabinet DWIKORA ke
kedudukan demisioner.
2. Menuntut dibentuknya Angkatan ke-5 yang terdiri atas buruh dan tani yang
dipersenjatai
Setelah persiapan dianggap matang oleh para Pemimpin PKI, maka mereka
menentukan pelaksanaannya yaitu 30 September. Gerakan untuk merebut
kekuasaan dari pemerintah RI yang sah ini didahului dengan penculikan dan
pembunuhan terhadap jendral-jendral TNI-AD yang dianggap anti PKI. Gerakan
30 September 1965 dipimpin oleh Letnan Kolonen Untung, Komandan Batalyon I
Resimen Cakrabirawa, yaitu pasukan Pengawal Presiden. Gerakan ini dimulai
pada dini hari, tanggal 1 Oktober dengan menculik dan membunuh enam Perwira
Tinggi dan seorang Perwira Muda Angkatan Darat. Mereka yang diculik dibunuh
di desa Lubang Buaya sebelah Selatan Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma
oleh anggota-anggota Pemuda rakyat Gerwani dan ormas PKI yang lain. Keenam
jendral yang dibunuh itu adalah Letna Jendral Ahmad Yani, Mayor Jendral R.
Suprakto, Mayor Jendral M.T Haryono, Mayor Jendral S. Parman, Brigadir DI
Panjaitan, Brigadir Jendral Soetoyo Siswomiharjo. Sementara itu Gerakan 30
September telah berhasil menguasai 2 sarana telekomunikasi yakni Studio RRI
dan kantor PN telekomunikasi.
Beberapa data dan informasi yang diperoleh pada tahap pengumpulan data,
kemudian diolah dengan menggunakan suatu metode analisis deskriptif
berdasarkan data sekunder.
3.3 ANALISIS DAN SINTESIS
Aspek-aspek yang akan dianalisis yaitu perkebunan kelapa sawit sebagai komoditi
strategis nasional dengan permasalahan lingkungan akibat dari pengembangan
perkebunan kelapa sawit. Sintesis yang dijelaskan yaitu alternatif solusi untuk
mengatasi permasalah yang dianalisis
BAB 4
PEMBAHASAN
Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia adalah G 30 S/PKI. Gerakan
30 September oleh PKI yang disebut G 30 S/PKI adalah salah satu tragedi nasiona
l mengancam keutuhan NKRI. Seperti namanya tragedi tersebut terjadi pada tangg
al 30 September 1965. Peristiwa itu berlangsung selama dua hari yakni sampai tan
ggal 1 Oktober 1965.
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang menjadi tragedi nasional tersebut did
uga dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia dan menimbulkan korban di kalang
an petinggi militer. Latar belakang peristiwa G 30 S/PKI adalah sebab persaingan
politik, karena PKI sebagai kekuatan politik merasa khawatir dengan kondisi kese
hatan Presiden Soekarno yang memburuk.
Pada awal Agustus 1965, ketika Presiden Soekarno tiba-tiba pingsan setelah berpi
dato, banyak pihak yang beranggapan bahwa usia beliau tidak akan lama lagi. Seh
ingga muncul pertanyaan besar tentang siapa yang akan menjadi pengganti Presid
en Soekarno nantinya. Hal ini yang menyebabkan persaingan semakin tajam antar
a PKI dengan TNI.
Peristiwa G 30 S/PKI terjadi selama dua hari satu malam, yakni mulai 30 Septemb
er sampai 1 Oktober tahun 1965. Pada tanggal 30 September 1965, kegiatan koord
inasi dan persiapan, selanjutnya pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari kegiatan pel
aksanaan penculikan dan pembunuhan.
Gerakan 30 September 1965 berada di bawah kendali Letkol Untung dari Komand
o Batalion I resimen Cakrabirawa, Letkol Untung pemimpin Gerakan 30 Septemb
er 1965, Letkol Untung menunjuk Lettu Dul Arief menjadi ketua pelaksanaan pen
culikan, Pasukan bergerak mulai pukul 03.00, enam Jendral menjadi korban pencu
likan dan pembunuhan yakni Letjen. Ahmad Yani, Mayjen. R. Soeprapto, Mayjen
Harjono, Mayjen. S. Parman, Brigjen D.I. Panjaitan dan Brigjen Sutoyo dan satu
perwira yakni Lettu Pierre Tendean. Keseluruhannya dimasukkan ke dalam luban
g di kawasan Pondok Gede, Jakarta Satu Jendral selamat dalam penculikan ini yak
ni Jendral A.H. Nasution, namun putrinya menjadi korban yakni Ade Irma Suryan
i serta ajudannya Lettu Pierre Tendean Korban lain adalah, Brigadir Polisi K.S. T
ubun wafat ketika mengawal rumah Dr. J. Leimena.
Gerakan ini menyebar juga di Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta, Kolonel Katamso
dan Letkol. Sugiono menjadi korban karena tidak mendukung gerakan ini. Setelah
berhasil menculik dan membunuh petinggi AD, PKI menguasai gedung Radio Re
publik Indonesia. Dan mengumumkan sebuah Dekrit yang diberi nama Dekrit no.
1, yakni pernyataan bahwa G 30 S/PKI adalah upaya penyelamatan negara dari De
wan Jendral yang ingin mengambil alih negara.
Akibat peristiwa pada 30 September 1965 itu, banyak petinggi AD tidak diketahui
keberadaannya. Setelah menerima laporan serta membuat perkiraan, Soeharto me
ngambil kesimpulan bahwa para perwira tinggi itu telah diculik dan dibunuh, lalu
langsung mengambil alih pimpinan AD guna menindaklanjuti peristiwa tersebut.
Dengan dikuasainya RRI dan Telekomunikasi, pada jam 20.00 WIB Soeharto men
gumumkan bahwa telah terjadi perebutan kekuasaan oleh pasukan G 30 S/PKI. Di
umumkan pula bahwa Presiden Soekarno dan Menko Hankam/KASAB Jenderal
A.H. Nasution dalam keadaan selamat.
Pada 4 Oktober 1965, dilakukan pengangkatan jenazah tersebut dan keesokan hari
nya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Para perwira yang
gugur akibat pemberontakan ini diberi penghargaan sebagai Pahlawan Revolusi.
Selanjutnya, atas desakan rakyat yang menuntut PKI untuk dibubarkan, puncakny
a pada saat Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Super
semar), Soeharto langsung mengeluarkan larangan terhadap PKI dan ormas-ormas
di bawahnya.
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) atau
dikenal G 30 S/PKI adalah pengkhianatan terbesar terhadap bangsa Indonesia. Ko
munisme masih menjadi ancaman negara Pancasila. Karenanya, pada level simbol
is, seharusnya peringatan G 30 S/PKI atau Kesaktian Pancasila tetap penting untu
k membangkitkan kesadaran kolektif bangsa Indonesia terhadap ancaman atas ked
aulatan negara. G 30 S PKI merupakan upaya kudeta yang dilakukan PKI untuk m
engganti idiologi Pancasila dengan komunisme.
Jika komunisme adalah anti agama, maka mereka bukan hanya anti Islam, tetapi j
uga menolak semua agama. Karena menjadi ancaman, maka baik pemerintah dan
masyarakat seharusnya bersatu untuk terus secara istikamah melakukan revitalisas
i idiologi Pancasila. Perlu dirumuskan cara yang paling sesuai, cara dan pola baru
untuk memahamkan Pancasila, menghayatinya, mempraktikkan, dan meneladanka
nnya kepada bangsa Indonesia yang terus berganti generasi dari waktu ke waktu.
Bukan dengan indoktrinasi, pemaksaan dan ancaman, melainkan melalui proses il
miyah, kultural, dan penyadaran sistematis yang menancap dalam sanubari warga
negara Indonesia.
Hal lain yang juga penting untuk mendapatkan perhatian kolektif bangsa ini adala
h berikhtiar secara terus-menerus untuk meningkatkan kesadaran untuk terus men
gingat sejarah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sekalig
us menyadari betul tentang jatidiri bangsa Indonesia.
Kita sadar sesadar-sadarnya, bahwa bangsa ini adalah bangsa yang besar. Sudah b
anyak ulasan yang menggambarkan kebesaran Indonesia bahkan dibandingkan ne
gara-negara besar dunia dari segi luas wilayah, lautan, pulau, serta kebesaran pen
duduk, suku bangsa, agama serta budayanya. Sebagai bangsa yang besar, Indonesi
a dibangun di atas cita-cita dan konsepsi besar yang mampu menaungi kebesarann
ya. Bangsa ini dibangun oleh manusia-manusia besar Indonesia.
Dengan modalitas itu, setiap warga bangsa Indonesia sudah semestinya selalu ber
pikir dan berjiwa besar, menyadari realitas kebesarannya, sekaligus menjawab ber
bagai tantangannya ke depan. Sebagai bangsa besar, kita tidak boleh terombang-a
mbing, terseret, apalagi terbelah oleh cara-cara bangsa lain. Cukup kita kembali d
an menggali konsepsi bangsa ini yang termanifestasi dalam platform dan konsepsi
kebangsaan kita: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Bung Karno pernah menyatakan “Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sa
ma. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri-sendiri, mempunyai karakt
eristik sendiri. Oleh karena itu pada hakikatnya bangsa sebagai individu mempuny
ai kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam berbagai hal, dalam keb
udayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya, dan lain-lain sebagainya
(Soekarno, 1958).
Apa karakteristik dan kepribadian bangsa Indonesia yang dimaksud Bung Karno?
Ialah Pancasila. Pancasila memberikan warna (corak) identitas karakter sebagai se
buah bangsa. Maka, jika ada pentanyaan apa karakter khas bangsa Indonesia, jawa
bnya adalah Pancasila. Lima sila dalam Pancasila diambil dan disarikan dari nilai-
nilai luhur yang ada dan berkembang dalam diri bangsa Indonesia sendiri.
Tugas kita hari ini adalah dengan menanamkan nilai nilai Pancasila secara terus
menerus kepada masyarakat terutama di lembaga pendidikan dan kepada kaum
muda Indonesia. Pemerintah juga harus melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh
agama untuk membina dan memberi pendidikan akhlak yang baik bagi setiap
warga negara. Dengan penanaman nilai nilai ini, maka akan memberi pemahaman
yang baik akan pentingnya meningkatkan kewaspadaan nasional terhadap bahaya
komunisme, demi terwujudnya ketahanan nasional berdasarkan Pancasila sebagai
ideologi berbangsa dan bernegara.
Dengan sila ketuhanan ini, nampak kuat kehendak para pendiri bangsa
menjadikan Negara Pancasila sebagai negara yang religius (religious nation state).
Dengan paham tersebut, kita tidak menganut paham sekuler yang ekstrim yang
memisahkan “agama” dan “negara” dan berpretensi menyudutkan peran agama ke
ruang-ruang privat/komunitas. Meski kita juga bukan negara agama, dalam arti
hanya satu agama yang diakui menjadi dasar negara Indonesia. Menjadi religious
nation state maknanya adalah negara melindungi dan mengembangkan kehidupan
beragama. Lebih dari itu agama didorong untuk memainkan peran publik yang
berkaitan dengan penguatan norma dan etika sosial.
Oleh karena itu, di negara ini tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang anti-
Ketuhanan dan antikeagamaan. Tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang
menghinakan dan menistakan agama. Sama halnya tidak boleh ada sikap dan
perbuatan yang mengerdilkan peran agama. Aktualisasi keagamaan bukan saja
diberikan ruang, akan tetapi didorong secara terus menerus untuk menjadi basis
moralitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, segala upaya
sekularisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sungguh tidak memiliki
tempat di Indonesia dan bertentangan dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945.
BAB 5
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
1. Gerakan 30 September oleh PKI yang disebut G 30 S/PKI adalah salah satu
tragedi nasional mengancam keutuhan NKRI. Seperti namanya tragedi tersebut
terjadi pada tanggal 30 September 1965. Peristiwa Gerakan 30 September 1965
oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) atau dikenal G 30 S/PKI adalah
pengkhianatan terbesar terhadap bangsa Indonesia. Komunisme masih menjadi
ancaman negara Pancasila.
5.2 SARAN
Tentunya penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah di atas masih
banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna.
Adapun nantinya penulis akan segera melakukan perbaikan susunan makalah deng
an menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan kritik yang bisa membangun
dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Mafrudin, E., A., A. F. A., & Widjijanto. (2014). Peristiwa Gerakan 30 September
Partai Komunis Indonesia 1965-1998. Jurnal Genta, 2(2).