Anda di halaman 1dari 30

Citizenship dalam Pendidikan di Sekolah Alam Bengawan Solo (SABS)

Dusun Panjangan, Desa Gondangsari, Juwiring, Klaten, Jawa Tengah

Wiwin Hesty Ramandhani


Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada

ABSTRAK
Pendidikan merupakan usaha untuk mempersiapkan manusia mempunyai kemampuan
berperan aktif dalam membentuk masa depan. Pendidikan melalui jalur formal dan non-formal
dirancang untuk mempersiapkan generasi penerus bangsa dalam menghadapi perubahan dan
tantangan masa depan. Akan tetapi, saat ini masih terdapat berbagai permasalahan terkait sistem
pendidikan nasional. Pendidikan cenderung membelenggu murid, sehingga diperlukan skema
pendidikan yang berbeda yang mampu menyediakan hak-hak dan kewajiban semua orang
(citizenship) untuk dapat memperoleh pendidikan yang menjadikan murid sebagai warga Negara
yang utuh. Untuk menjawab tantangan pendidikan tersebut, Sekolah Alam Bengawan Solo
(SABS) hadir sebagai sekolah yang berbeda dengan menerapkan pembelajaran karakter yang
kuat serta terintegrasi dengan alam dan lingkungan, menemukan masalah, bereksplorasi dan
bereksperimen untuk memecahkan permasalahan yang ada di lingkungan sekolah. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana citizenship dalam pendidikan di Sekolah Alam
Bengawan Solo (SABS). Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan studi kasus. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi dan
studi literatur.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa nilai-nilai citizenship dapat terlihat dalam
berbagai kegiatan pembelajaran murid SABS yaitu kegiatan OTFA, makan siang dan sarapan
bersama, melindungi anak berkebutuhan khusus, tidak membeda-bedakan murid, kegiatan
Market Day, saling membantu teman yang kesulitan dan anak diberikan kebebasan dalam
berseragam serta nilai toleransi antar murid. Faktor pendukung lain dalam kegiatan yang
mencerminkan citizenship juga terlihat pada interaksi aktor dan budaya organisasi di SABS.
Interaksi aktor yang terjalin antara fasilitator dengan murid sangat akrab dan tidak dibatasi oleh
strata sehingga murid dan fasilitator seperti teman akrab. Fasilitator bukanlah sebagai guru
melainkan sebagai pendamping murid dalam tumbuh dan berkeksplorasi di sekolah. Budaya
organisasi yang terbentuk sejak awal di SABS yaitu tidak terpaku pada aturan yang kaku, semua
kegiatan pembelajaran berjalan secara fleksibel sesuai dengan kondisi di lapangan dan murid
diberikan kebebasan dalam belajar sehingga meningkatkan kreatifitas serta kemampuan murid
dalam bereksplorasi dan memecahkan masalah. Berdasarkan berbagai kegiatan pembelajaran,
interaksi, dan budaya organisasi di SABS sangat mengakomodasi tercapainnya nilai citizenship,
sehingga membentuk murid menjadi mandiri, kreatif,bertanggung jawab, berani mengemukakan
pendapat, toleransi serta paham atas hak dan kewajiban bagi diri sendiri dan juga untuk
lingkungan.
Kata Kunci: Budaya Organisasi, Citizenship, Interaksi Aktor, Sekolah Alam Bengawan Solo.
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan usaha untuk mempersiapkan manusia mempunyai kemampuan
berperan aktif dalam membentuk masa depan. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.
20 Tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat dan bangsa negara. Pendidikan
merupakan hak asasi manusia yang telah diakui dalam hukum internasional dan hukum nasional.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 5 ayat
(1) menjelaskan, setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu, sehingga setiap warga negara berhak untuk mendapatkan kesempatan dalam
meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Pendidikan yang dilaksanakan baik melalui jalur formal dan non-formal dirancang untuk
dapat mempersiapkan generasi penerus bangsa untuk menghadapi perubahan dan tantangan masa
depan. Akan tetapi masih terdapat berbagai permasalahan terkait dengan sistem pendidikan
nasional yang terjadi saat ini. Menurut Paulo Freire (dalam Martono, 2010:46) banyak kritik
terhadap model pendidikan. Freire berpandangan bahwa pendidikan tradisonal tidak mampu
menghasilkan atau mencetak individu dan masyarakat yang memiliki sikap kritis terhadap
realitas dunia dan alam. Menurut Freire proses pendidikan saat ini dapat disebut sebagai
pendidikan gaya “bank”. Hal ini dikarenakan siswa diposisikan sebagai obyek dan diibaratkan
sebagai “bejana kosong” yang harus diisi terus dengan ilmu pengetahuan. Anak menjadi “bank”
yang menjadi sumber investasi masa depan dengan ilmu pengetahuan yang ditanamkan. Guru
selalu diidentikan dengan subyek yang aktif, yang selalu memberikan ilmu pengetahuan kepada
siswa yang harus diingat dan dihafal selamanya. Permasalahan pendidikan juga terkait dengan
praksis penyeragaman peserta didik di sekolah. Semua siswa yang ada diseragamkan, padahal
hal tersebut bertentangan dengan esensi keberagaman manusia khususnya masyarakat Indonesia
yang memiliki keberagaman yang luar biasa.
Adanya berbagai permasalahan sistem pendidikan, menyebabkan pendidikan saat ini
belum mampu menumbuhkan karakter warga Negara yang ideal bagi anak. Pendidikan dirasa
telah kehilangan obyektivitasnya dan cenderung membelenggu peserta didik. Pendidikan masih
sebatas diartikan sebagai transfer pengetahuan saja dan belum diarahkan pada pemberian
pengetahuan untuk dapat digunakan dalam dunia nyata. Dalam hal ini, pemerintah dirasa gagal
dalam memberikan pendidikan yang memerdekakan dan memberikan hak dan kesempatan siswa
untuk bereksplorasi serta berekspresi dan juga gagal dalam membentuk siswa menjadi warga
negara yang utuh yang dapat berekspresi dan bereksplorasi penuh dalam proses pembelajaran.
Pendidikan oleh pemerintah masih di identikan dengan proses belajar mengajar yang kaku,
didalam kelas dan relasi antar guru dengan murid tidak berlangsung akrab.
Berdasarkan uraian permasalahan diatas tentu saat ini diperlukan skema pendidikan dan
pembelajaran yang berbeda dari sistem pendidikan tradisional yang saat ini diterapkan dalam
sistem pendidikan nasional. Pendidikan yang mampu menyediakan hak semua orang untuk dapat
memperoleh akses pendidikan, menjadikan peserta didik menjadi warga negara yang utuh,
bereksplorasi dan diberikan kebebasan dalam mengembangkan diri perlu untuk diwujudkan,
dalam upaya membentuk sistem pendidikan yang dapat menjamin hak dasar dalam memperoleh
pendidikan yang bermutu. Munculah solusi pendidikan yang berbeda dengan pendidikan pada
umumnya yaitu di Sekolah Alam Bengawan Solo (SABS).
Sekolah Alam Bengawan Solo (SABS) terletak di Dusun Panjangan RT 1 RW 1, Desa
Gondangsari, Juwiring, Klaten, Jawa Tengah. SABS berdiri tepat di kawasan sungai terpanjang
di Pulau Jawa yaitu tepi sungai Bengawan Solo dan diinisiasi oleh Bapak Suyudi Sastro Muljono
dengan menawarkan konsep pendidikan yang membebaskan anak untuk menemukan masalah,
bereksplorasi dan bereksperimen untuk memecahkan masalah yang ada di lingkungan sekolah
sebagai proses pembelajaran murid. Kurikulum yang diterapkan di SABS yaitu mengacu pada
kurikulum KTSP dan tematik yaitu akhlaq, kepemimpinan, ilmu pengetahuan dan
kewirausahaan. Selain kurikulum dan proses pembelajaran yang berbeda, juga ditemukan
interaksi dan relasi yang terbangun antara guru di SABS. Guru disini bukanlah disebut sebagai
Guru, akan tetapi sebagai “fasilitator”. Konsep sekolah yang selama ini kita kenal adalah konsep
sekolah dimana guru merupakan seseorang yang menerangkan dan siswa adalah orang yang
diterangkan. Hubungan guru dan siswa pada umumnya adalah hubungan strata, dimana seorang
guru merasa harus selalu dihormati dipatuhi dan siswa adalah orang yang harus selalu menurut
terhadap guru. Pembelajaran seperti itulah yang menyebabkan murid menjadi pasif dan
terkungkung karena mereka hanya mendengarkan apa yang mereka peroleh dari gurunya dan
dari buku saja.
Profil dan latar belakang murid di SABS sangat beragam. Ada yang berasal dari keluarga
yang tidak mampu, menengah ke atas serta anak yang mengalami kesulitan dalam proses belajar
seperti disleksia atau IQ dibawah rata-rata, pindahan dari sekolah tertentu, anak penyandang
difabel juga dapat bergabung di SABS, bahkan juga terdapat siswa yang berasal dari Australia
(Rosmaya, 2015: 11). SABS sangat menjamin semua kalangan dan semua pihak dalam berbagai
kondisi yaitu keterbatasan fisik maupun finansial untuk tetap dapat mengenyam pendidikan
karena hal tersebut sesuai dengan cita-cita yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pada pasal 9 ayat 1 menjelaskan setiap anak berhak
memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat
kecerdasan sesuai dengan minat dan bakatnya. Kemudian pada ayat 2 juga menjelaskan bahwa
selain hak anak yang diatur dalam ayat (1) khusus anak yang menyandang cacat juga berhak
memperoleh pendidikan yang sesuai. Dari Undang-undang tersebut jelas diketahui setiap anak
Indonesia memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan kebutuhan serta minat dan
bakatnya.
Berdasarkan hak setiap anak untuk dapat memperoleh pendidikan yang layak, SABS
dapat mewujudkan nilai citizenship dalam pendidikan. Dimana citizenship mengacu pada ruang
eksplorasi warga negara untuk ikut ambil bagian dalam urusan publik dan juga diartikan sebagai
kewarganegaraan yang mengacu pada hubungan antara individu dan Negara dengan concern
terhadap identitas, kebebasan politik, kesetaraan, keadilan partisipasi dan kekuatan yang penting
serta penjaminan atas hak dan kewajiban. Sesuai dengan pengertian tersebut SABS berusaha
untuk dapat menyediakan hak-hak pendidikan bagi anak dengan memberikan kesempatan secara
penuh bagi siapapun yang ingin menuntut ilmu yang berasal dari semua kalangan, SABS juga
mengupayakan daya eksplorasi dan berekspresi tinggi bagi siswa serta tidak memandang antara
siswa yang memiliki kekurangan fisik maupun finansial sehingga keadilan dan kesetaraan dalam
dunia pendidikan dapat terwujud.
Siswa SABS juga diberikan kebebasan untuk dapat meningkatkan tumbuh kembang
pemikiran siswa sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki, oleh karena itu peneliti berusaha
untuk mencari tahu terkait dengan “bagaimana proses citizenship dalam pendidikan di SABS
Dusun Panjangan, Desa Gondangsari, Juwiring, Klaten Jawa Tengah”. Dengan adanya
penelitian ini diharapkan SABS dapat hadir untuk memberikan pelayanan pendidikan yang
berbeda dengan berupaya untuk memenuhi hak dan kewajiban peserta didik menjadi pribadi
yang utuh untuk bebas bereksplorasi tanpa batas untuk dapat memperoleh ilmu.

KAJIAN TEORI
Citizenship

Citizenship atau kewarganegaraan mulai berkembang sejak zaman Yunani Kuno dan saat ini

terus mengalami perluasan makna. Dalam perkembangannya Citizen dan citizenship merupakan

dua hal yang berkaitan. John J.Cogan dan Ray Derricot dalam (Winarno, 2009:33)

mendefinisikan kedua hal tersebut secara berkesinambungan yaitu “A citizen as a constituent

member of society” dan “Citizenship as a set of characteristics of being a citizen”. Citizenship

education was defined as the contribution of education to the development of those

characteristics of being a citizen. Dari definisi tersebut dapat diartikan citizen atau warganegara

merupakan anggota yang sah dari suatu masyarakat, sedangkan citizenship atau

kewarganegaraan merupakan seperangkat karakteristik dari seorang warganegaranya. Pada awal

kemunculannya citizenship masih dipahami sebagai hak atas legalitas dan hak milik sebagai

warga Negara.

Terdapat empat makna citizenship menurut Roger M Smith dalam (Winarno, 2009:34): (1)
sebagai hak, yaitu hak politik untuk berpartisipasi dalam proses pemerintahan. (2) sebagai status
hukum yang secara sah diakui sebagai anggota dari komunitas politik yang berdaulat (3)
keanggotaan dari suatu komunitas, kewarganegaraan/ citizenship menunjuk pada keterikatan
orang tidak hanya pada Negara tetapi juga komunitas lain seperti keluarga, klub, universitas dan
komunitas politik (4) seperangkat tindakan artinya citizenship tidak hanya mengimplikasikan
adanya keanggotaan tetapi juga ketentuan perilaku warganegara.
Gambar Dimensi dan Stratifikasi Citizenship
Sumber: Stokke (2017)
Stokke (2017:24) berpendapat bahwa terdapat empat dimensi utama dalam memahami
konsep tentang citizenship atau kewarganegaraan, yaitu keanggotaan, status legal, hak dan
partisipasi yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Keanggotaan atau rekognisi
dimaksudkan sebagai pembeda antara orang yang berada di dalam dengan diluar sebuah Negara,
yang secara umum dapat dipahami sebagai warga Negara dan penduduk. Status legal adalah
hubungan kontrak antara seorang individu dengan Negara yang didalamnya terdapat hak dan
kewajiban. Hak sipil adalah hak yang menjamin keamanan dan kebebasan individu yang
didalamnya juga termasuk hak untuk mendapatkan keadilan dan perwakilan umum, hak untuk
memiliki aset pribadi dan hak untuk menentukan pilihan. Hak politik adalah hak yang berkaitan
dengan proses politik di ranah publik, seperti hak untuk memilih dan dipilih serta membentuk
organisasi publik. Hak sosial adalah hak untuk memperoleh kesejahteraan seperti kesehatan dan
pendidikan, sedangkan kewarganegaraan sebagai partisipasi atau representasi dapat dipahami
sebagai keterlibatan seseorang dalam kegiatan bernegara.
Cogan dan Derricot (1998: 46) mengidentifikasikan adanya lima atribut dalam konsep
citizenship yaitu: Pertama, Identitas bersama: banyak Negara menyatakan keberadaan identitas
yang beragam dan tumpang tindih baik identitas lokal, etnik, kultur agama. Konsep ini secara
nyata tampak dalam kasus masyarakat multikultural dimana warga biasanya ingin menunjukan
identitasnya. Perasaan akan identitas nasional dan patriotism biasanya dipandang sebagai unsur
esensial dari kewarganegaraan. Dengan atribut ini menunjukan citizenship sama halnya dengan
nasionalitas. Adapun pandangan ini seringkali ditentang karena national citizenship dianggap
sebagai hal yang absolut dan membahayakan karena adanya kenyataan bahwa tidak ada sebuah
negara yang mampu bertindak dalam satu isolasi di dunia saat ini, dengan demikian
kewarganegaraan harus berisi identitas nasional maupun multinasional. Atribut kedua,
citizenship merupakan pemikiran hak-hak tertentu maksudnya menjadi warganegara/ citizen
berarti memiliki hak untuk mendapat perlindungan dari pemerintahnya mereka mendapatkan
berbagai perlindungan hukum dan hak konstitusional. Atribut Ketiga, rasa tanggung jawab,
kewajiban dan tugas (responsibilities, obligations and duties). Hak-hak individu yang
berkembang saat ini telah mengalahkan tugas kewarganegaraan bahkan demokrasi liberal di
Eropa dan Amerika Utara cenderung memaksimalkan hak-hak individual dan meminimalkan
kepentingan publik, padahal semestinya kepentingan publik berada diatas hak-hak yang bersifat
individualis. Atribut Keempat, tanggung jawab untuk ikut andil dalam masalah publik. Seorang
yang memiliki good person adalah mereka yang hidup dengan kebijakan dan rasa hormat dalam
kehidupanya. Sedangkan good citizen tidah hanya hidup dengan hal tersebut tetapi termasuk
dengan kehidupan privat akan tetapi juga berkomitmen untuk berpartisipasi dalam masalah
publik. Atribut kelima dari kewarganegaraan adalah penerimaan terhadap nilai-nilai sosial dasar.
Elemen ini akan bervariasi di tiap-tiap Negara seperti nilai kepercayaan, kerjasama, respect
terhadap hak asasi manusia anti kekerasan dan sebagainya. Nilai-nilai sosial tersebut dipandang
dapat membantu membentuk identitas yang berbeda antar Negara dan dapat memungkinkan
untuk hidup bersama.
Sekolah Alam Bengawan Solo (SABS) merupakan sekolah alternatif yang dapat
dijadikan percontohan sekolah lain, karena memberikan hak dan kebebasan anak untuk dapat
memperoleh pendidikan dan bereksplorasi penuh dalam proses pembelajaran. Dari berbagai
uraian teori mengenai konsep citizenship dan citizenship education diatas SABS dapat menjadi
salah satu bentuk citizenship dalam bidang pendidikan yang ada di Indonesia. Melalui sistem
pendidikan yang diterapkan oleh SABS yang memberikan pembelajaran dan bekal yang utuh
bagi siswa sebagai warga Negara dan memiliki kesadaran kritis. Di SABS peneliti mengkaji
nilai-nilai citizenship yang berusaha dibangun oleh SABS yaitu dengan mengkaji proses
citizenship melalui lima konsep dalam konsep citizenship yaitu 1) Identitas bersama, 2)
Pemikiran hak-hak tertentu, 3) Rasa tanggung jawab akan kewajiban dan tugas, 4) Tanggung
jawab untuk ikut andil dalam masalah publik, dan 5) Penerimaan terhadap nilai-nilai dasar.
Berdasarkan kelima konsep tersebut peneliti akan mengkaji sesuai dengan berbagai kegiatan
yang dilakukan di SABS.
Interaksi Aktor
Interaksi diartikan sebagai hubungan antara orang dengan orang atau kelompok dengan
orang, atau kelompok dengan kelompok (Widada, 2007:94). Menurut Homans dalam (Ali,
2004:87) mendefinisikan interaksi sebagai suatu kejadian ketika aktifitas yang dilakukan oleh
seseorang terhadap individu lain di beri ganjaran atau respon dengan menggunakan suatu
tindakan oleh individu lain yang menjadi pasanganya. Sedangkan menurut Martin H Manser
(1995:219) “interaction means have an effect on each other (of people) communicate and work
together” jadi yang dimaksud interaksi merupakan hubungan antara satu orang dengan orang
yang lain sebagai akibat dari proses berkomunikasi dan saling mempengaruhi.
Aktor merupakan individu atau kelompok yang berperan sebagai pembuat, pelaksana dan
penerus nilai dan norma budaya politik yang ada di sekitar masyarakat. Perilaku aktor dapat
mempengaruhi nilai dan budaya yang berkembang di masyarakat itu sendiri. Dalam kebanyakan
interaksi, aktor harus memperhatikan orang lain dan menentukan kapan dan bagaimana cara
menyesuaikan aktifitas terhadap orang lain (Arum, 2018:21). Didalam interaksi juga lebih dari
sekedar terjadi hubungan antara pihak-pihak yang terlibat melainkan juga terjadi saling
mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
Interaksi antar aktor dalam implementasi kebijakan menurut Subekti (2007:22)
menunjukkan hubungan antar aktor dalam suatu pelaksanaan kebijakan publik yang terbentuk
oleh hubungan antar aktor yang dibedakan menjadi dua yaitu interaksi yang bersifat kooperasi
dan interaksi yang bersifat konflik. Kooperasi menunjukan sikap dan tindakan antar aktor dalam
implementasi kebijakan yang terjalin sinergis, saling dukung antar aktor dalam pencapaian
tujuan. Sedangkan interaksi yang menimbulkan konflik menunjukan sikap dan tindakan aktor
dalam implementasi yang saling bertentangan satu dengan yang lainya.

Interaksi antar aktor dalam implementasi kebijakan ditujukan agar masing-masing aktor
dapat saling bekerjasama untuk dapat mencapai tujuan yang ingin dicapai bersama. Dalam hal
ini, interaksi yang dominan di SABS yang merupakan lembaga pendidikan sehingga interaksi
aktor yang terlihat di SABS adalah interaksi antara guru dengan guru, murid dengan murid dan
guru dengan murid. Interaksi yang terjalin antara guru dan murid di SABS berbeda dengan
interaksi yang biasanya dijalin antara guru dengan murid, karena kebanyakan hubungan antara
guru dengan murid masih dianggap seperti hubungan strata dimana murid harus selalu patuh dan
mengikuti segala yang diperintah oleh guru dan pola hubungannya sangatlah kaku.
Interaksi di sekolah formal pada umumnya sangat berbeda dengan hubungan interaksi
guru dan murid di SABS, karena di SABS tidak mengenal adanya julukan “guru”, yang ada yaitu
“fasilitator”, hubungan dengan murid terjalin fleksibel seperti teman, murid dapat belajar dengan
fasilitator, dan fasilitator juga dapat belajar dari muridnya. Dalam hal interaksi aktor di SABS
peneliti akan difokuskan pada interaksi yang terjadi pada semua aktor yang terlibat didalam
SABS yaitu hubungan fasiitator dengan fasilitator, fasilitator dengan murid, serta murid dengan
murid.

Budaya Organisasi
Budaya organisasi secara harfiah terdiri dari dua kata, yaitu kata budaya dan
organisasi/kerja. Kata budaya berasal dari bahasa sansekerta budhayah, bentuk jamak dari budhi
yang artinya “akal atau segala sesuatu yang berkaitan dengan akal pikiran, nilai-nilai dan sikap
mental”. Budhi daya berarti memberdayakan budi sebagaimana dalam bahasa Inggris dikenal
sebagai culture yang artinya mengolah atau mengerjakan sesuatu yang kemudian berkembang
sebagai cara manusia mengaktualisasikan rasa (value), karsa (creativity) dan karya-karyanya
(performance) (Indrawijaya, 2010:195). Sedangkan menurut Koenjaraningrat (2000) (dalam
Indrawijaya, 2010:195), budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
cara belajar.
Adapun konsep organisasi menurut Kast dan James (dalam Nawawi, 2015:2) organisasi
didefinisikan sebagai sekelompok orang yang terikat secara formal dalam hubungan atasan dan
bawahan yang bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama pula. Definisi sederhana tersebut
memberi dua petunjuk bahwa organisasi dapat disoroti dari dua sudut pandang, yaitu sebagai
wadah berbagai kegiatan dan sebagai proses interaksi antara orang-orang yang ada di dalamnya.
Schawartz dan Davis (dalam Wirawan : 2007) menjelaskan budaya organisasi sebagai pola
kepercayaan dan harapan yang dianut oleh anggota organisasi. Kepercayaan dan harapan tersebut
menghasilkan nilai-nilai yang dengan kuat membentuk perilaku individu dalam organisasi. Nilai-
nilai tersebutlah yang akan memberi jawaban apakah suatu tindakan benar atau salah, dan apakah
suatu perilaku dianjurkan atau tidak, sehingga berfungsi sebagai landasan untuk berperilaku
(Susanto, 1997:3) (dalam Nawawi, 2015:5).
Budaya organisasi tidak muncul begitu saja, melainkan melalui berbagai tahapan
pembentukan budaya organisasi. Menurut Robbins (2003) (dalam Putri, 2015:42) budaya
organisasi dibentuk dengan beberapa cara, yaitu:
1) Seorang pendiri mempunyai sejumlah ide atau gagasan tentang suatu pembentukan
organisasi baru
2) Pendiri membawa satu atau lebih orang-orang yang merupakan pemikir dan membentuk
sebuah kelompok inti yang memiliki visi sama dengan pendiri
3) Kelompok tersebut memulai serangkaian tindakan untuk menciptakan sebuah organisasi
4) Langkah terakhir, orang lain dibawa untuk masuk dalam organisasi untuk berkarya
bersama-sama dengan pendiri dan kelompok inti.

Fred Luthan (1995) (dalam Putri, 2015:40) menjelaskan enam karakteristik penting dari
budaya organisasi, yaitu:
1) Observed behavioral regularities: budaya organisasi di sekolah ditandai dengan
adanya keteraturan cara bertindak dari seluruh anggota sekolah yang dapat diamati.
Keberaturan berperilaku dapat berbentuk acara ritual tertentu, bahasa umum yang
digunakan atau simbol-simbol tertentu yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut
oleh anggota organisasi sekolah.
2) Norms: budaya organisasi di sekolah ditandai pula oleh adanya norma-norma yang
berisi standar perilaku dari angota sekolah, baik bagi siswa maupun guru.
3) Dominant values: pada poin ini budaya organisasi di sekolah dapat diletakkan dalam
kerangka pencapaian mutu pendidikan di sekolah. Nilai dan keyakinan akan
pencapaian mutu pendidikan di sekolah hendaknya menjadi hal yang utama bagi
seluruh warga sekolah.
4) Philosophy: budaya organisasi ditandai dengan adanya keyakinan dari seluruh
anggota organisasi dalam memandang sesuatu secara hakiki, misalkan waktu,
manusia yang dijadikan sebagai kebijakan organisasi sekolah.
5) Rules: budaya organisasi ditandai dengan adanya ketentuan dan aturan main yang
mengikat seluruh anggota organisasi. Dalam konteks budaya organisasi di sekolah,
sekolah memiliki ketentuan dan aturan main tertentu yang mengikat warga sekolah
dalam berperilaku dan bertindak.
6) Organizational climate: budaya organisasi ditandai dengan adanya iklim organisasi,
dalam konteks ini adalah iklim dan suasana organisasi di sekolah.
Sebagai sekolah yang menerapkan pendidikan karakter yang kuat dengan meningkatkan
daya eksploarsi siswanya, tentunya SABS memiliki budaya organisasi yang diterapkan dan
menjadi nilai-nilai yang dipegang untuk dapat mencapai tujuan serta visi misi bersama yaitu
mencetak generasi penerus masa depan dan menjadikan murid menjadi murid seutuhnya yang
bebas untuk belajar dari lingkungan dan alam sekitar. Dengan demikian, peneliti mengkaji
penerapan budaya organisasi yang ada di SABS dengan melihat visi dan misi sekolah, berbagai
symbol, karakteristik budaya organisasi yang diterapkan dan aktor dalam budaya organisasi
tersebut dalam mencapai tujuan menjadikan murid yang tidak hanya cerdas akan tetapi juga
memiliki karakter yang kuat serta menerapkan nilai citizenship.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini berusaha mengetahui bagaimana citizenship dalam pendidikan di Sekolah
Alam Bengawan Solo (SABS) Dusun Panjangan, Desa Gondangsari, Juwiring, Klaten Jawa
Tengah. Untuk dapat menjawab rumusan masalah yang diajukan, peneliti menggunakan
penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Creswell menjelaskan penelitian kualitatif
merupakan metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang individu atau sekelompok
orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Proses penelitian kualitatif yaitu
dengan melibatkan upaya penting seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur,
mengumpulkan data yang spesifik dari partisipam, menganalisis data, menafsirkan makna data
(Creswell, 2016:4-5). Pendekatan studi kasus dipilih karena untuk dapat menguraikan kekhasan
SABS. Hal ini sesuai dengan pendapat Creswell dalam (Herdiansyah, 2010:76) yang
menjelaskan studi kasus (case study) adalah suatu model yang menekankan pada eksplorasi dari
suatu sistem yang terbatas pada suatu kasus atau beberapa kasus secara mendetail, disertai
dengan pengambilan data secara mendalam yang melibatkan beragam sumber informasi yang
kaya akan konteks.
Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2018 sampai dengan Januari 2019 dengan
lokasi penelitian yaitu di Sekolah Alam Bengawan Solo (SABS) yang beralamat di Dusun
Panjangan RT 1 RW 1, Desa Gondangsari, Juwiring, Klaten, Jawa Tengah. Teknik pengumpulan
data yang digunakan adalah melalui observasi, wawancara dan studi literature. Observasi
dilakukan dengan mengamati kegiatan pembelajaran di SABS selama dua minggu dengan
mengamati proses murid dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran, mengamati interaksi dan
budaya organisasi yang dibangun di SABS. Wawancara dilakukan dengan 14 narasumber yaitu
Pendiri SABS, Kepala Sekolah SABS, Kepala Sekolah SL Bengawan Solo, Bagian Administrasi
SABS, Fasilitator SABS, Murid SABS dan Orangtua/ Wali Murid SABS. Studi literature/
dokumen yang dikaji dalam penelitian ini berupa arsip-arsip resmi yang dimiliki oleh SABS.
Jurnal terkait dengan teori citizenship yaitu Cogan, John J and Derricott, Ray. 1998.
Sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder.
Data primer dalam penelitian ini didapatkan dari hasil wawancara dan observasi di Sekolah
Alam Bengawan Solo. Wawancara dilakukan untuk memperoleh data secara akurat langsung
dari narasumber sedangkan observasi digunakan untuk mengetahui secara pasti kondisi SABS di
lapangan. data sekunder digunakan untuk mencari data mengenai SABS. Data sekunder berupa
dokumen arsip resmi yang dimiliki SABS, dokumen visi, misi dan struktur organisasi. Selain itu,
literatur yang digunakan sebagai konsep dalam penelitian ini adalah teori citizenship Chogan dan
Dericot, teori budaya organisasi dan teori interaksi aktor, artikel dan surat kabar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
I. Proses Pembelajaran Sekolah Alam Bengawan Solo (SABS)

Proses pembelajaran yang dijalankan di SABS yaitu mengutamakan pembelajaran


dengan memanfaatkan alam sebagai tempat untuk belajar. Pembelajaran di SABS lebih
mengutamakan pembelajaran dengan melakukan aktivitas di luar kelas dengan konsep “learning
by doing” yaitu belajar dengan mengerjakan atau mempraktekkan dibandingkan dengan hanya
belajar teori di dalam kelas saja. Murid diajarkan mengeksplorasi dan menggunakan media alam
sebagai ruang belajar, melakukan research atau observasi kemudian menyimpulkan dan mencari
sebuah solusi dari permasalahan yang dialami berkaitan dengan tema pembelajaran yang sudah
ditentukan berdasarkan kesepakatan fasilitator dengan murid. Jadi murid tidak hanya sekedar
menghafal tetapi mereka menemukan permasalahan dan mengaitkan dengan teori, setelah itu
murid menarik kesimpulan dan membuat solusi. Pembahasan mengenai proses pembelajaran di
SABS dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
A. Kurikulum SABS
Kurikulum merupakan bagian vital dari sebuah sekolah. Bisa dikatakan kurikulum
merupakan nyawa dari sekolah karena kurikulum merupakan implementasi visi dan misi
sekolah. Tanpa adanya kurikulum, sekolah tidak bisa menargetkan seperti apa siswa yang
akan dibentuk oleh sekolah tersebut. Kurikulum yang digunakan oleh SABS sendiri berbeda
dengan kurikulum pada sekolah formal lainnya. Kurikulum awal yang digunakan SABS
adalah kurikulum tematik yaitu kurikulum yang dibuat oleh pihak SABS sendiri, khususnya
dibentuk oleh pendiri dan kepala sekolah SABS. Berjalannya waktu setelah pada tahun 2017
SABS sudah menjadi sekolah formal berdasarkan ketetapan Depdiknas Kabupaten Klaten
maka kurikulum yang digunakan adalah kurikulum campuran dari kurikulum tematik SABS
dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Akan tetapi dalam pembelajaran sehari-
hari tetap menggunakan kurikulum tematik, sedangkan KTSP hanya digunakan sebagai
panduan dan penunjang dalam proses pembelajaran.
SABS memiliki empat acuan kurikulum yang dibentuk sendiri yang sesuai dengan
tujuan dari SABS. Acuan kurikulum SABS yang Pertama, adalah akhlak. Akhlak dibentuk
melalui pengembangan karakter Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ).
Akhlak juga berkaitan dengan filsafat hidup yang terdiri tiga nilai. Pertama yaitu tata nilai,
merupakan suatu hal yang disebut baik atau buruk. Kedua, yaitu etika, yang mengarah pada
nilai moralitas. Ketiga, estetika yang memiliki makna luas yaitu suatu keindahan yang sesuai
dengan norma.
Kurikulum kedua adalah ilmu pengetahuan, yaitu berkaitan dengan pelajaran di SABS
yang disusun secara holistik atau satu kesatuan sesuai dengan kurikulum tematik
menggunakan pedoman spider web. Spider Web merupakan gambaran pembelajaran untuk
murid SABS berdasarkan tema pembelajaran yang diambil kemudian dibagi kedalam jenis
mata pelajaran, seperti matematika, IPA, agama dll. Ilmu pengetahuan juga berkaitan dengan
kegiatan eksperimen, dan eksplorasi mengamati alam. Kurikulum ilmu pengetahuan juga
tidak terlepas dari pemikiran Pendiri SABS mengenai fase pertumbuhan karakter anak seperti
tabel berikut:
Kurikulum ketiga yaitu Kepemimpinan atau leadership yaitu berkaitan dengan
pembentukan karakter kepemimpinan bagi murid SABS untuk dapat mengembangkan nilai-
nilai yang bersifat meneladani adil, amanah, kerjasama, melindungi, membela kaum yang
lemah dan menjaga keseimbangan alam. Keempat yaitu kewirausahaan (entrepreneurship)
yaitu kurikulum yang menjadikan anak untuk memiliki kemampuan hidup mandiri dan
terbiasa untuk mendapatkan sesuatu dengan kerja keras dan usaha sendiri dengan hallal.
Contoh pelaksanaan kurikulum kewirausahaan ini adalah adanya Market Day yang diadakan
setiap hari rabu, anak dibebaskan untuk bertugas berjualan setiap minggu secara bergilir di
sekolah. Dengan adannya kegiatan Market Day anak sudah diajarkan untuk mencari uang
dengan hasil sendiri sejak dini. Kemudian hasil berjualan tersebut akan disimpan dan
dipergunakan untuk tabungan kelas.
Berdasarkan empat acuan kurikulum yaitu Akhlak, ilmu pengetahuan, kepemimpinan
dan kewirausahaan yang dijalankan di SABS tersebut barulah dikembangkan dan dibagi
kembali kedalam tema pembelajaran yang berganti setiap tiga bulan sekali. Perencanaan
pembelajaran di SABS tidak berpatokan pada mata pelajaran, namun pada tema pokok yang
sudah ditentukan bersama. Dalam satu tahun terdapat empat tema pokok yang dijalankan
dalam pembelajaran. Setiap tiga bulan ditentukan tema besarnya secara bersama dari kelas
satu hingga kelas enam kemudian dibagi kembali untuk sub tema masing-masing kelas, saat
ini tema besar SABS adalah lingkungan kemudian sub tema anak kelas 1 adalah masjid,
kelas 2 rumah, kelas 3 jembatan, kelas 4 sungai, kelas 5 kali dan kelas 6 pabrik atau home
industry. Setelah ditentukan tema tersebut nanti anak dalam kegiatan pembelajaran mengacu
seputar sub tema yang telah ditentukan bersama.
B. Metode Pembelajaran Spider Web sebagai Pedoman Pembelajaran
Kurikulum di SABS diintegrasikan melalui berbagai pengalaman yang distrukturkan
untuk pembelajaran siswa di alam melalui metode pembelajaran Spider Web. Spider Web
(Model Jaring Laba-laba) merupakan pembelajaran terpadu yang menggunakan pendekatan
tematik dan setiap mata pelajaran yang ada dijalankan secara terintegrasi sesuai dengan tema
yang disepakati. Pengembangan dalam metode Spider Web ini dimulai dengan penentuan
tema, dari tema tersebut lalu dikembangkan menjadi sub-sub tema dengan memperhatikan
keterkaitan antara sub tema tersebut dengan mata pelajaran yang ada. Kemudian setelah
disusun sub tema dikembangkan aktivitas belajar yang dilakukan oleh siswa. Jadi siswa dapat
belajar secara terintegrasi dan tidak terkotak-kotak dalam suatu mata pelajaran saja dan
Spider Web dijadikan sebagai panduan bahan serta kegiatan pembelajaran.
Spider Web merupakan bagian pengembangan kurikulum ilmu pengetahuan SABS.
Pembuatan jaring laba-laba disusun oleh Fasilitator sebagai acuan dari realisasi tema dan sub
tema yang telah disepakati bersama antara murid, fasil dan wali murid. Fasilitator membuat
Spider Web dengan mengaitkan antara sub tema dengan berbagai mata pelajaran seperti IPA,
Bahasa Indonesia, Matematika, dan lain-lain. Berikut contoh spider web yang diterapkan di
SABS:

Sumber: Dokumentasi SABS

C. Menumbuhkan Murid SABS untuk Berpikir Kritis


Menurut teori yang dikemukakan oleh Freire (1999) pendidikan yang paling baik adalah
pendidikan dengan metode hadap masalah. Hadap masalah akan membuat anak memiliki
banyak pengalaman dari yang dikerjakan, hal tersebutlah yang akan berdampak pada
perkembangan berpikir kritis anak dengan nyata dalam menghadapi berbagai permasalahan
yang harus diselesaikan. Berdasarkan teori Freire tersebut SABS sudah menjalankan
pembelajaran hadap masalah anak dibiasakan untuk berpikir kritis terhadap hal-hal yang
ditemukan dalam proses pembelajaran di sekolah.
Fasilitator juga memaparkan bahwa SABS ingin membentuk anak menjadi kritis melalui
pembelajaran bertahap di SABS. Hal ini dikarenakan level setiap anak dalam menerima suatu
mata pelajaran tidak sama maka proses pembelajaran berdasarkan learning by doing
dijalankan dengan memberikan kebebasan anak untuk mencari berbagai sumber belajar dari
mana saja, baik dari buku, internet, dari ahli.
SABS telah menerapkan proses belajar dengan cara hadap masalah sehingga anak
memiliki pola berpikir kritis dalam mengikuti pembelajaran yang diberikan oleh Fasilitator
setiap harinya. Melalui kurikulum tematik, pembelajaran di SABS mengedepankan
pemecahan berbagai macam kasus daripada mengerjakan lembaran soal atau belajar secara
text book. Dalam kegiatan yang bersifat hadap masalah dilihat dari pembelajaran anak sehari-
hari, fasilitator memberikan suatu pembelajaran yang mengasah cara berpikir anak untuk
mengambil solusi dan jalan keluar dalam mengerjakan suatu hal, selain itu juga terdapat
berbagai kegiatan seperti outing class, outtracking, ekspedisi, serta kegiatan sehari-hari yang
menekankan pada penyelesaian suatu kasus.
Fasilitator tidak pernah memaksakan pendapat dan senantiasa memberikan peluang dan
kebebasan bagi murid untuk berpendapat dan bertukar pikiran, selain itu anak juga diberikan
kebebasan untuk memutuskan ingin melakukan pembelajaran apa saja. Fasilitator
mendampingi murid kemudian apabila ada yang terlewat batas dan melakukan kesalahan
anak akan diingatkan. Pada intinya pembelajaran yang ada si SABS tidak menilai suatu hal
berdasarkan hasilnya saja akan tetapi lebih menilai proses anak-anak dalam pembelajaran.

D. Keterlibatan Orangtua/ Wali Murid SABS

Pembelajaran dan kurikulum di SABS berupaya untuk menjadikan orangtua/ wali murid
sebagai partner dari sekolah, karena pada dasarnya anak tidak akan berkembang apabila tidak
ada dukungan dari orangtua/ wali murid. Dukungan Orangtua/ wali murid di SABS dapat
terlihat dari awal proses anak akan disekolahkan di SABS, orangtua/ wali murid dipastikan
harus memiliki komitmen yang tinggi dan sejalan dengan kebijakan di SABS. Kebijakan
tersebut yaitu jika anaknya ingin bersekolah di SABS maka syaratnya orangtua harus mau
direpotkan dan senantiasa mendampingi dan memberikan pembelajaran bagi anak di rumah.
Pada dasarnya anak lebih lama bersama orangtua dirumah. Komitmen Orangtua murid adalah
kunci untuk perkembangan anak dalam belajar.
Orangtua/ wali murid juga diberikan tugas untuk senantiasa mem-follow up kegiatan
yang akan dilakukan oleh murid besok disekolah dan pembelajaran apa saja yang diperoleh
murid hari ini. Selain itu orangtua/ wali murid juga terdapat grup antara Fasilitator dengan
wali murid yang berfungsi untuk mendiskusikan semua kegiatan pembelajaran dengan
orangtua/ wali murid. Di SABS juga terdapat project bersama antara murid dengan orangtua
yaitu kegiatan Work With Parent yang diadakan setiap hari sabtu dan minggu dalam bulan
tertentu. Dalam kegiatan Work With Parent, murid dan orangtua diberikan project bersama
seperti pembuatan karya bersama orangtua dan kegiatan berkunjung ke kandang sapi. Selain
itu kegiatan Work With Parent juga sering diisi dengan berbagai macam permainan antara
murid dengan orangtua/ wali murid. Keterlibatan orangtua/ wali murid di SABS juga dapat
dilihat dari adanya kegiatan Jagongan Orangtua dalam kegiatan tersebut mengumpulkan
orangtua/ wali murid untuk hadir di SABS untuk dapat membahas mengenai materi
parenting bagi anak. Kegiatan Night Camp juga merupakan bentuk kegiatan yang melibatkan
peran orangtua/ wali murid, Night Camp merupakan kegiatan apresiasi pembagian raport
pada akhir tema yang dilaksanakan setiap tiga bulan sekali. Dalam kegiatan Night Camp ini
anak melakukan gelar karya yang dibuat selama tema pembelajaran tersebut berlangsung,
setelah itu anak melaksanakan pembagian raport dan dilanjutkan dengan bincang-bincang
antara Fasilitator dengan orangtua/ wali murid. Pada kegiatan Night Camp ini orangtua/ wali
murid diwajibkan untuk menghadiri kegiatan ini karena bertujuan agar fasilitator dan
orangtua dapat berdiskusi dan melakukan evaluasi mengenai perkembangan anaknya dalam
proses belajar di SABS.

II. Analisis Citizenship dalam Pendidikan di Sekolah Alam Bengawan Solo (SABS)

Analisis nilai-nilai citizenship dalam pendidikan di SABS melalui berbagai kegiatan


pembelajaran yang ada di SABS dengan menggunakan teori citizenship yang dikemukakan
oleh Cogan dan Derricott (dalam Winarno, 2009:37) yang diklasifikasikan kedalam lima
elemen yaitu: (1) Identitas bersama, (2) Pemilikan hak-hak tertentu, (3) Tanggung jawab atas
kewajiban dan tugas, (4) Tingkat ketertarikan dan keterlibatan dalam masalah publik, (5)
Penerimaan terhadap nilai sosial dasar. Yang dijelaskan sebagai berikut:
A. Identitas Bersama (Sense Of Identify)
Elemen pertama dalam citizenship adalah identitas bersama (sense of identify).
SABS menjalankan nilai identitas bersama melalui berbagai macam kegiatan yang
mendidik murid SABS agar memiliki karakter dan pribadi yang baik dan senantiasai
mengamalkan nilai-nilai kebersamaan didalam setiap pembelajaran yang dilakukan di
SABS. Pelaksanaan kegiatan yang mencerminkan identitas kebersamaan antar murid di
lingkungan sekolah sangat terlihat dalam kegiatan rutin yang dilakukan setiap hari oleh
murid SABS yaitu makan siang bersama dan sarapan bersama. Berbeda dari sekolah
lainnya, di SABS murid tidak boleh jajan sembarangan diluar sekolah melainkan
diberikan snack dari sekolah dan juga disediakan makan siang.
Pelaksanaan kegiatan sarapan pagi yang dilakukan setiap satu minggu sekali dan
makan siang bersama setiap hari tentu anak dilibatkan penuh dalam proses penyiapan
makanan untuk dapat dihidangkan di saung untuk dinikmati bersama-sama. Keterlibatan
penuh tersebut terlihat dari dibentuknya tim setiap harinya, pembentukan tim dilakukan
secara acak yang terdiri dari empat anak dari kelas 1 sampai kelas 6. Kemudian murid
bertugas untuk membawa makanan yang sudah dipersiapkan oleh pihak sekolah ke
saung, dalam penyiapan makanan tersebut sangat terlihat nilai-nilai identitas
kebersamaan karena jika terdapat murid yang masih kecil membawa panci berisikan
sayur ataupun bakul nasi yang berat, maka murid yang sudah besar akan berinisiatif
untuk membantu, meskipun murid tersebut tidak ada jadwal menyiapkan makanan.
Kebersamaan juga terlihat pada saat anak selesai makan siang, anak saling membantu
mencuci piring dan tempat makan masing-masing dan mengembalikannya ke tempat.
Jadi anak sudah dibiasakan untuk saling bekerjasama satu dengan yang lain.
Identitas bersama juga terlihat dalam kegiatan tahunan yang dilaksanakan di
SABS yaitu Out Tracking Fun Adventure (OTFA). OTFA merupakan kegiatan tahunan
yang melibatkan seluruh murid di SABS yaitu murid kelas 1 sampai dengan kelas 6,
dalam kegiatan OTFA ini, murid akan di uji disuatu tempat yang sudah ditentukan oleh
pihak Fasilitator. Murid akan dilatih untuk survive dalam berbagai keterbatasan kondisi
yang ada di lapangan dengan tujuan agar anak dapat belajar mandiri, belajar bekerjasama
dengan tim yang sudah ditentukan. Pembagian tim dalam kegiatan OTFA ini dipilih
secara random yaitu satu tim terdiri dari murid kelas 1 sampai dengan kelas 6. Mereka di
drop disuatu tempat selanjutnya anak harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki
berpetualang dan bekerjasama antar tim untuk survive dengan berbagai kondisi yang
mereka hadapi. Pelaksanaan kegiatan OTFA sudah dilaksanakan diberbagai wilayah
seperti kegiatan yang dilaksanakan pada tahun 2017 yaitu susur pantai di Gunungkidul,
kemudian tahun 2018 kegiatan OTFA di Kebun The Kemuning Ngargoyoso dan OTFA
tahun ini direncanakan dilaksanakan di Rawa Pening Semarang. Murid ditugaskan untuk
membawa tenda, kebutuhan dan peralatan masak sendiri, akan tetapi dalam pelaksanaan
OTFA tetap didampingi oleh Fasilitator SABS. Kegiatan OTFA ditujukan agar anak
terbiasa bekerjasama dengan tim dan murid yang lebih besar bertugas menjaga adik kelas
mereka dan bertujuan untuk membentuk karakter anak agar memiliki kepribadian dan
sifat yang tangguh dan mandiri.
B. Pemilikan Hak-Hak Tertentu (The Enjoyment of Certain Right
Atribut kedua, citizenship merupakan pemikiran hak-hak tertentu maksudnya
menjadi warganegara/ citizen berarti memiliki hak untuk mendapat perlindungan dan dari
pihak pemerintahnya murid mendapatkan berbagai perlindungan hukum dan hak
konstitusional. Pelaksanaan dalam hal perlindungan terhadap warga negara yang
dijalankan di SABS yaitu sesuai dengan komitmen awal pendiri SABS yaitu SABS ingin
menjadi sekolah yang dapat menampung semua anak dari berbagai jenis latar belakang
murid baik dari segi finansial maupun kondisi fisik anak.
Semua anak di SABS dianggap sama meskipun di SABS pada tahun ajaran 2018
terdapat dua anak yang berkebutuhan khusus yaitu AF kelas 3 dan dan AAS kelas 3. AF
mengalami disleksia dan sudah enam kali ditolak oleh sekolah formal dikarenakan AF
sering bersikap hiperaktif dan kasar terhadap temannya. AAS merupakan murid yang
memiliki keterbatasan, AAS mengidap virus langka yang menyerang motoric, akan tetapi
kekurangannya tersebut justru menjadikan AAS memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan
sangat fasih dalam berbahasa Inggris. Berbeda dengan sekolah lain yang menolak AF dan
AAS, SABS justru tetap menerima AF dan AAS untuk dapat belajar di SABS, hal ini
dikarenakan sesuai dengan komitmen awal SABS agar semua anak dari berbagai latar
belakang ekonomi, sosial dan bahkan fisik tetap diberikan perlindungan agar hak-hak
semua anak untuk memperoleh pendidikan.
C. Rasa Tanggung Jawab akan Kewajiban dan Tugas (Responsibilities, Obligations and
Duties).
Atribut ketiga pada citizenship adalah rasa tanggung jawab, kewajiban dan tugas
(responsibilities, obligations and duties). Berdasarkan pelaksanaan nilai-nilai tangung
jawab akan tugas dan kewajiban, di SABS sudah menanamkan nilai tanggung jawab akan
tugas dan kewajiban murid sejak dini. Dimulai dengan berbagai kegiatan yang bersifat
sederhana di lingkungan sekolah seperti kegiatan Market Day, kegiatan ini merupakan
kegiatan yang bertujuan untuk mengasah kemampuan anak untuk berwirausaha di
lingkungan sekolah.
Market Day merupakan kegiatan rutin murid SABS setiap minggu, yaitu diadakan
setiap hari rabu, kegiatan ini melibatkan seluruh kelas untuk berjualan makanan di
sekolah, dan dijadwalkan secara bergilir mulai kelas 1 sampai dengan 6 berdasarkan
weton pasaran Jawa yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon, khusus untuk kelas 1 dan 2
digabung dalam satu waktu. Pelaksanaan Market Day yaitu dengan berjualan makanan
sehat di Caffe SABS. Kriteria makanan yang dijual harus sehat dan seragam, setiap
harinya murid di SABS tidak diperbolehkan Fasilitator untuk berjajan di luar sekolah,
sehingga anak dibiasakan untuk jajan makanan yang teman-teman mereka jual setiap
harinya. Penentuan setiap kelas dalam berdagang sangat beragam untuk kelas 1 dan 2
boleh membawa makanan jadi dari rumah akan tetapi tema makanannya sama, seperti
tema singkong berarti anak harus membawa dari rumah berbagai makanan yang dibuat
dari singkong. Kemudian untuk anak-anak kelas 3 sampai 6 karena sudah mulai
mengetahui maka anak-anak saling menyepakati akan berjualan apa kemudian anak-anak
akan menyiapkan sendiri bahan-bahan dengan berbelanja di pasar, setelah itu
membuatnya di sekolah dan kemudian menjual ke teman-teman mereka.
D. Tingkat Ketertarikan dan Keterlibatan dalam Masalah Publik (A Degre of Interest
and Involvement in Public Affair)
Atribut Keempat, tanggung jawab untuk ikut andil dalam masalah publik. Dalam
kontribusi keterlibatan dalam pemecahan masalah publik, contoh paling sederhana yang
senantiasa dilakukan oleh Fasilitator SABS adalah dengan membiasakan anak untuk
dapat menyelesaikan permasalahan di lingkungan sekolah, seperti pada saat anak-anak
berkelahi di sekolah, fasilitator tidak langsung memberikan teguran secara keras bagi
anak yang berkelahi. Akan tetapi Fasilitator menasehati dengan bahasa yang halus dan
mengajarkan anak untuk senantiasa mengetahui mana yang benar dan yang salah dan
nantinnya masing-masing dari mereka akan belajar mengakui kesalahan dan saling
memaafkan sesama.
Contoh kegiatan lain yang terkait dengan keterlibatan dalam masalah publik,
murid SABS bahu membahu membantu murid SABS yang bernama Niswatul Jannah
(Anis), yang merupakan anak buruh kayu lepas. Murid SABS berinisiatif membantu Anis
karena kondisi lantai rumah Anis yang masih sangat memprihatinkan, sehingga murid
SABS tergerak hatinya untuk membantu merenovasi rumah Anis.
Rasa empati murid menumbuhkan semangat untuk mencari cara bagaimana
memperbaiki rumah Anis menjadi bersih dan nyaman. Cara tersebut dilakukan murid
SABS dengan diawali dengan survei lokasi, dan dilanjutkan dengan persiapan strategi
seperti menggambar denah rumah Anis untuk mengetahui bagian yang harus diperbaiki
dan menghitung perkiraan jumlah biaya yang dibutuhkan. Untuk mewujudkan aksi sosial
ini murid SABS membuat proposal untuk dapat diajukan ke orangtua/ wali murid.
Kemudian anak-anak mempresentasikan proposal dihadapan orangtua/ wali murid. Selain
itu murid SABS juga menggalang dana secara online melalui “KitaBisa.com” Lantai
untuk Rumah Anis” untuk bisa mendapatkan dana sebanyak-banyaknya.
Melalui penggalangan dana yang dilakukan murid SABS terkumpul dana
sebanyak kurang lebih 6 juta, dari hasil tersebut dipergunakan murid SABS untuk
membeli bahan bangunan seperti pasir semen dan batu bata untuk memperbaiki lantai
rumah anis. Dalam proses perbaikan lantai rumah anis, anak-anak bersama Fasilitator,
Pak Suyudi dan dibantu dengan warga sekitar bahu-membahu untuk memperbaiki lantai
rumah Anis. Selain mengajarkan empati bagi teman sebaya, hal yang dilakukan murid
SABS sesuai dengan kurikulum yang ada di SABS yaitu usaha murid dapat menemukan
masalah, bereksplorasi hingga tindak lanjut permasalahan tersebut dapat diselesaikan.
Berkat dorongan murid SABS untuk memperbaiki lantai rumah Anis tersebut sekarang
lantai rumah Anis yang awalnya hanya beralaskan tanah sekarang sudah menjadi lebih
baik setelah dilakukan pengecoran. Dalam berbagai kegiatan sosial yang dilakukan
murid-murid SABS ini, secara langsung anak dapat ikut terlibat dalam pemecahan
masalah publik, yaitu pemecahan masalah dalam membangun lantai rumah Anis.

E. Penerimaan terhadap Nilai Sosial Dasar (An Acceptance of Basic Social)


Atribut kelima dari citizenship adalah penerimaan terhadap nilai-nilai sosial dasar.
Nilai sosial dasar yang dibangun SABS seperti nilai kepercayaan, kerjasama, respek
terhadap hak asasi manusia dan anti kekerasan. Salah satu nilai yang jelas terlihat di
SABS adalah sifat menghargai dan menghormati perbedaan atau toleran terhadap sesama.
Hal tersebut terlihat dari karakteristik dan latar belakang anak yang sangat beragam di
SABS. Keberagaman tersebut terlihat dari tidak adanya kebijakan penyeragaman dalam
hal penampilan. Fasilitator dan Murid-murid SABS dibebaskan dalam hal berpenampilan
dan tidak ada aturan baku yang mengatur mengenai hal tersebut.
Murid dan Fasilitator dibebaskan memakai pakaian bebas asalkan masih dalam
kategori yang sopan. Meskipun SABS merupakan sekolah formal, akan tetapi berbeda
dengan sekolah formal yang memiliki aturan baku terkait dengan seragam, bahkan hal
yang biasa kita temukan di sekolah formal apabila terdapat murid yang menyalahi aturan
seperti berseragam tidak rapi, tidak memakai sepatu hitam dan lainnya akan mendapatkan
hukuman. Kondisi di sekolah formal tersebut sangatlah berbeda dengan kebijakan di
SABS. Di SABS tidak ada aturan baku terkait seragam karena adanya anggapan bahwa
setiap individu adalah makhluk yang berbeda, memiliki keunikan masing-masing dan
sesama manusia harus saling menghargai. Hal tersebut sama halnya dengan kondisi
masyarakat Indonesia yang sangat beragam sehingga kita senantiasa harus selalu
menghargai perbedaan yang ada, khususnya di SABS adalah perbedaan dalam hal
penampilan.
Selain nilai saling menghargai atau toleransi dalam hal seragam, di SABS juga
selalu ditanamkan nilai-nilai saling menghargai antar sesama murid, hal ini ditunjukan
dari kondisi murid yang ada di SABS. Meskipun di SABS terdapat anak yang mengalami
disleksia ataupun anak yang spesial, akan tetapi murid di SABS diajarkan untuk tidak
saling mencela dan harus saling menghargai satu dengan yang lain. Karena sejak dini
Fasilitator menanamkan nilai bahwa semua manusia diciptakan sama dan dibalik
kekurangan seseorang pasti terdapat kelebihan lainnya.

III. Interaksi Antar Aktor di Sekolah Alam Bengawan Solo

Keberhasilan implementasi suatu kebijakan dipengaruhi oleh seberapa jauh


pelaksanaan peran masing-masing aktor kebijakan mampu memberikan dukungan dalam
pelaksanaan atau implementasi suatu kebijakan. Interaksi antar aktor ditujukan agar masing-
masing aktor dapat saling bekerjasama untuk dapat mencapai tujuan yang ingin dicapai
bersama. Dalam hal ini, interaksi yang dominan di SABS sebagai lembaga pendidikan
sehingga interaksi aktor yang terlihat di SABS adalah interaksi antara guru dengan murid
dan interaksi antar murid SABS:
Interaksi Fasilitator dengan Murid SABS

Pelaksanaan pembelajaran setiap hari di SABS tentunya tidak terlepas dari hubungan
antara Fasilitator dengan murid SABS. Hubungan yang terjalin antara Fasilitator dan Murid
di SABS lebih bersifat membebaskan murid untuk dapat melakukan berbagai kegiatan yang
ingin murid lakukan, seperti halnya di SABS adalah bereksplorasi dan belajar di alam. Di
SABS proses pembelajaran bersifat tidak menggurui, bahkan guru di SABS tidaklah
dipanggil Bapak atau Ibu Guru, melainkan Mas dan Mbak Fasilitator. Bahkan Fasilitator
memanggil murid SABS dengan sebutan Cahbocah. Jika di sekolah formal lain masih
terdapat strata pada interaksi guru dan murid, berbeda dengan di SABS, karena disini tidak
ada strata Fasilitator lebih tinggi dibandingkan murid SABS. Karena menurut mereka
Fasilitator dan murid sama-sama saling belajar. Fasilitator sendiri mengatakan bahwa di
SABS mereka tidak jarang belajar dari murid. Tidak selalu murid yang harus belajar kepada
guru dalam hal ini Fasilitator.
Konsep guru di SABS bukan lagi orang yang mengajar di kelas, namun apa dan siapa
saja yang dapat memberikan pelajaran hidup bagi adalah guru. Alam, orang disekitar
mereka, bahkan teman-teman juga merupakan guru. Konsep ini nantinya akan membentuk
anak bahwa belajar tidak hanya dapat dilakukan di sekolah saja, melainkan dimanapun
mereka berada. Fasilitator di SABS memiliki peran sebagai pendamping anak dalam belajar,
memantau kegiatan dan tumbuh kembang anak di sekolah. Berbeda dengan guru di sekolah
lain yang memiliki peran lebih pada pemberian pengajaran kepada murid, dan murid dalam
kedudukan sebagai objek pendidikan.
Interaksi Antar Murid SABS
Interaksi antara murid dengan murid di SABS berjalan seperti interaksi anak-anak
pada umumnya, anak satu dengan yang lain sangatlah akrab. Sejak dini anak diberi
pemahaman bahwa setiap manusia itu sama, sehingga hal tersebut tertanam kuat di murid
SABS dan murid terbiasa untuk berinteraksi dengan teman dari berbagai latar belakang
ekonomi, sosial dan fisik yang beragam serta berinteraksi dengan masyarakat sekitar dengan
baik. Rata-rata perbandingan murid SABS dari segi finansial cukuplah seimbang, yaitu
sekitar 50 dari ekonomi menengah keatas dan 50% dari kondisi ekonomi menengah
kebawah. Meskipun demikian, hal tersebut tidak menjadikan anak yang berasal dari keluarga
sederhana merasa minder akan hal tersebut, karena mereka memiliki pandangan bahwa kita
semua sama.
Latar belakang murid SABS sangat beragam, mereka tetapi senantiasa menghargai
satu dengan yang lainnya. Sifat murid di SABS yang sangat menonjol adalah sangat percaya
diri, tidak pemalu dan mudah akrab dengan pengunjung SABS, hal itu terjadi karena murid
sejak dini di didik karakternya untuk menjadi murid yang bebas berekspresi dan berani,
sehingga dalam berinteraksi dengan orang baru sangatlah mudah, selain itu murid SABS juga
diajarkan untuk dapat saling menerapkan rasa saling menghormati dan toleransi terhadap
sesama.

IV. Budaya Organisasi yang Tebentuk di Sekolah Alam Bengawan Solo


Budaya organisasi yang terbentuk sejak awal di SABS tidak terlepas dari pemikiran
Pak Suyudi selaku pendiri SABS, dimana nilai-nilai yang diterapkan di SABS sesuai dengan
visi dan misi yang dibentuk yaitu menyiapkan orang-orang khususnya anak-anak dan
komunitas agar bermanfaat untuk semua dan “Terus belajar, mengalir dan bersinergi dengan
alam untuk menebar benih taruna yang akan menjadi tauladan tahun depan” dan misi SABS
adalah “sebagai sekolah yang selalu kreatif, inovatif dalam mengembangkan ruang proses
pembelajaran bagi komunitas di dalam dan di luar agar terwujud kehidupan yang harmonis”.
Nilai yang ingin dibangun sejak awal oleh SABS adalah menumbuhkan anak agar berguna
bagi orang disekelilingnya dan menjadi generasi penerus bangsa yang memiliki karakter
yang kuat.
Karakteristik budaya organisasi yang dominan di SABS dapat terlihat dari lingkungan
sekolah yang sangat fleksibel dan tidak terpaku pada aturan-aturan kaku. Hal ini dibentuk
sejak awal karena di SABS anak diberi kebebasan untuk berekspresi, bereksplorasi tanpa
dikekang oleh banyak aturan yang harus dilakukan. Anggapan dan keyakinan yang
ditanamkan oleh SABS yang terpenting bukan pada aturan yang ada melainkan anak dapat
belajar sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki, serta tidak merasa terbebani dan
tertekan oleh aturan yang ada. Anak menjadi senang dalam proses pembelajaran, sehingga
rules yang dibentuk oleh SABS bersifat fleksibel, yang terpenting adalah anak dalam
berperilaku masih berdasarkan nilai-nilai norma dan kesopanan.
Nilai dominan (dominant values ) yang diterapkan di SABS adalah komitmen SABS
dalam membentuk karakter dan kepribadian anak menjadi pribadi yang mandiri,
bertanggung jawab dan memiliki akhlaq yang baik, sehingga fokus utama nilai-nilai yang
ingin dicapai oleh pihak SABS adalah perbaikan karakter dan kepribadian murid. Selain itu
filosofi yang sejak awal dibangun oleh SABS adalah keyakinan bahwa semua murid di
SABS memiliki kelebihan dan kecerdasan tertentu sehingga semua anak berhak untuk
mendapat pendidikan yang layak untuk mengembangkan dan mengasah kecerdasan anak
tersebut. Selain itu SABS juga menyakini proses pembelajaran dapat didapatkan dimana
saja sehingga penerapan konsep pembelajaran SABS dapat dilaksanakan di alam, tempat
murid berada.
Proses pembentukan SABS juga menjadi cerminan dari budaya organisasi yang
terbangun di SABS, seperti dalam pencarian Fasilitator. Fasilitator yang bertahan lama di
SABS adalah fasilitator yang memiliki pemikiran dan tujuan yang selaras dengan nilai yang
dibangun SABS, yaitu orang yang peduli terhadap pendidikan dan mau mendampingi anak
dengan sabar tanpa menilai semua hal dengan profit saja, dikarenakan di SABS gaji
fasilitator tidaklah besar sehingga apabila orientasi yang ada hanya pada profit maka
kebanyakan mereka tidak bertahan lama di SABS. Pihak SABS selalu mencari fasilitator
yang memiliki tujuan sama untuk dapat mendidik anak menjadi pribadi yang berkarakter
dan memiliki masa depan yang baik

V. Bentuk Citizenship di Sekolah Alam Bengawan Solo


Nilai-nilai citizenship yang dibangun oleh SABS terbentuk melalui proses
pembelajaran, interaksi antar aktor, serta budaya organisasi di SABS. Berbagai kegiatan
pembelajaran SABS mengajarkan anak untuk kreatif, dan mengeksplor bakat yang dimiliki
oleh murid. Interaksi aktor yang terjalin setiap hari antara fasilitator dengan murid
membentuk interaksi yang sangat cair dan akrab, serta budaya organisaai yang diciptakan
secara fleksibel tidak terpaku pada aturan yang bersifat kaku dapat membentuk murid
SABS memiliki sifat tanggung jawab terhadap diri sendiri serta lingkungan, tanggung
jawab ini dibentuk sejak dini di lingkungan SABS dengan membiasakan murid melakukan
hal-hal sederhana seperti tanggung jawab antar sesama yaitu anak kelas enam menjaga adik
kelas pada saat kegiatan diluar sekolah dan bertanggung jawab dalam pembagian tugas di
sekolah seperti pada saat menyiapkan makan bersama dan mencuci piring bersama serta
tanggung jawab dalam menyelesaikan permasalahan apabila anak saling berkelahi, murid
diajarkan untuk bertanggung jawab menyadari kesalahan dan saling memaafkan.
SABS membentuk citizenship dengan menghasilkan murid yang memiliki karakter
mandiri, karena anak diajarkan untuk tidak bergantung pada orang lain. Murid sejak awal
masuk di SABS sudah diajarkan kegiatan wirausaha sehingga anak sudah terbiasa untuk
hidup mandiri dengan diajarkan untuk memperoleh hasil dari kerja keras yang mereka
lakukan. Dengan kegiatan wirausaha Market Day anak sudah mengetahui bagaimana
hidup mandiri dan menghasilkan serta menggunakan uang dari hasil kerja keras sendiri
untuk berbagai kegiatan yang akan dilakukan di sekolah seperti Outbond, OTFA, Camping.
Bentuk citizenship yang terbangun di SABS yaitu murid saling menerima perbedaan
dan rasa toleransi. Sikap menerima perbedaan dan saling toleransi dibangun oleh SABS
melalui tidak adanya anggapan bahwa murid berbeda, semua murid adalah sama meskipun
terdapat beberapa anak yang spesial (disleksia). SABS menganggap semua anak pasti
memiliki kelebihan masing-masing, sehingga murid sudah terbiasa berbaur dengan
berbagai latar belakang kondisi fisik, sosial dan ekonomi. Latar belakang ekonomi murid
SABS sangat beragam, terdapat murid yang berasal dari ekonomi menengah keatas akan
tetapi juga banyak murid yang berasal dari keluarga yang sederhana, pada intinnya SABS
sangatlah menerima berbagai perbedaan.
Murid SABS juga memiliki sifat pemberani dan aktif dalam mengemukakan
pendapat. Hal ini dikarenakan murid dibiasakan untuk bercerita dan bertukar pikiran
sehingga terbiasa dalam menyampaikan berbagai pendapat dengan fasilitator. Hubungan
antara fasilitator dengan murid yang sangat akrab juga membentuk murid memiliki
kepercayaan diri dan terbiasa untuk berpendapat. Pada intinya berbagai kegiatan yang
diterapkan oleh SABS membentuk murid memiliki pemikiran yang kritis, kreatif,
bertanggung jawab, mandiri, mampu menyelesaikan permasalahan, murid dibiasakan untuk
mengemukakan pendapat dan memiliki rasa toleransi.
KESIMPULAN
Mengacu pada rumusan masalah dalam penelitian ini mengenai citizenship dalam
pendidikan di SABS, dapat disimpulkan pelaksanaan penerapan citizenship secara garis besar
sudah menerapkan nilai-nilai citizenship. Penerapan nilai-nilai citizenship yang dilakukan SABS
dapat dilihat melalui kurikulum, Interaksi Fasilitator dan berbagai kegiatan pembelajaran yang
unik serta penanaman karakter yang kuat bagi murid. Pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan
SABS yang mencerminkan nilai citizenship dapat terlihat dalam kegiatan sebagai berikut; (1)
identitas bersama: kegiatan makan siang dan sarapan bersama, Out Tracking Fun Adventure
(OTFA) (2) Pemilikan hak-hak tertentu: Melindungi anak berkebutuhan khusus dan
menganggap semua anak sama dan memiliki kelebihan masing-masing (3) Tanggung jawab,
kewajiban dan tugas: Kegiatan Market Day (4) Tanggung jawab ikut andil dalam masalah
publik: Kegiatan membantu merenovasi lantai rumah anis (5) Penerimaan terhadap nilai sosial
dasar: kebebasan untuk tidak berseragam, toleransi terhadap sesama. Berdasarkan nilai
citizenship yang sudah diterapkan di SABS, penelitian ini mengkonfirmasi teori yang
dikemukakan oleh Chogan dan Derricot (1998:46) mengenai atribut dalam citizenship, di SABS
dapat terlihat penerapan nilai citizenship sesuai dengan teori Chogan dan Derricot.
Citizenship di SABS terbentuk melalui kegiatan pembelajaran sehari-hari, interaksi aktor
dan budaya organisasi. Interaksi aktor yang terjalin di SABS terlihat pada hubungan murid
SABS dengan Fasilitator yang sangat akrab dan tidak ada strata yang membatasi murid dan
fasilitator sehingga tidak ada sebutan “Guru” melainkan “Fasilitator”. Tidak hanya murid yang
belajar dengan fasilitator, akan tetapi fasilitator juga belajar dari murid. Budaya organisasi yang
terbangun di SABS bersifat fleksibel, semua berlangsung secara natural sesuai dengan murid dan
fasilitator SABS temukan di lingkungan sekolah, selain itu dalam pelaksanaan pembelajaran juga
tidak terpaku pada aturan-aturan yang dibuat yang terpenting murid dan fasilitator dapat belajar
dengan senang dan bebas bereksplorasi dan bereksperimen. Dapat disimpulkan SABS
membentuk citizenship dengan menghasilkan murid yang memiliki karakter mandiri, kreatif,
percaya diri, bertanggung jawab, memiliki toleransi yang tinggi antar sesama serta berani
mengemukakan pendapat dan menjadikan murid SABS mengetahui hak-hak dan kewajiban
dalam berpartisipasi sebagai warga Negara yang utuh.
REKOMENDASI
Bagi Pemerintah:
a) Pemerintah hendaknya memiliki kebijakan yang jelas terkait dengan pendidikan formal yang
berbentuk sekolah alam. Hal ini agar sekolah alam dalam melaksanakan ujian tidak terjadi
kebingungan karena adanya persamaan ujian tertulis antara sekolah formal pada umumnya
dengan sekolah formal yang berbentuk sekolah alam.
b) Pemerintah hendaknya lebih peduli dan memberikan bantuan operasional kepada SABS,
untuk pengembangan infrastruktur dan fasilitas sekolah mengingat SABS merupakan sekolah
yang mengembangkan karakter murid secara kuat.
c) Adanya kejelasan dari pemerintah terkait dengan akses yang sama untuk melanjutkan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi, sehingga murid yang berasal dari sekolah alam tidak
merasa terdiskriminasi dan dianggap tidak memiliki kemampuan akademik yang baik.

Bagi SABS:
a) Senantiasa melakukan peningkatan dan perbaikan kualitas pembelajaran sebagai upaya
membentuk karakter murid yang kuat dan mandiri.
b) Merealisasikan terwujudnya Sekolah Lanjutan tingkat SMA agar keberlanjutan jenjang
pendidikan anak terakomodasi mulai dari PAUD, TK, SD (SABS), Sekolah Lanjutan tingkat
SMP dan dilanjutkan dengan Sekolah Lanjutan SMA sehingga anak yang ingin melanjutkan
kuliah tidak khawatir untuk dapat bersekolah di SABS.
c) Membentuk kebijakan pencantuman form penghasilan orangtua resmi wali murid pada saat
mendaftar di SABS, hal ini bertujuan agar keluarga dari kalangan mampu dapat membayar
SPP sesuai dengan penghasilan dan dapat meringankan beban keluarga yang berasal dari
kalangan ekonomi menengah kebawah.
Bagi Masyarakat:
Masyarakat sekitar SABS dapat lebih bersikap open minded dan menghargai adanya SABS
agar tidak hanya terpaku pada pemikiran bahwa sekolah harus dilakukan dikelas.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Cogan, John J and Derricott, Ray. 1998. Citizenship for the 21st Century : An International
Perspective and education. London: Cogan Page.
Creswell. John W. 2016. Research Design: Pendekatan Metode Kuantitatif, Kualitatif dan
Campuran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Danim, Sudarwan. 2006. Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka
Belajar.
Denhardt, J.V. & Denhardt, R.B. 2007. The New Public Service (Expand Edition): Serving Not
Steering. London: M.E.Sharphe.
Illich, Ivan. 2008. Bebaskan Masyarakat Dari Belenggu Sekolah; Penerjemah: A. Sonny Keraf.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Irianto, Agus. 2011. Pendidikan Sebagai Inventasi dalam Pembangunan Suatu Bangsa. Jakarta:
Kencana.
Kesuma, Dharma dkk. 2011. Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktek di Sekolah.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mangunwijaya,Y.B. 2004. Pendidikan Pemerdekaan Catatan Separuh Perjalanan SDKE
Mangunan. Yogyakarta:DED Misereor/KZE.
Miarso, Yusufhadi. 2005. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Mulyasa, E. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Sebuah Panduan Praktis. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Nasution, S. 1999. Asas-asas Kurikulum. Jakarta: PT Bumi Aksara
Nasution, S. 1999. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Nawawi, Hadari dan Martini, Mimi. 1994. Kebijakan Pendidikan di Indonesia ditinjau dari
Sudut Hukum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Osborn, D & Gaeblers, T. 1992. Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is
Transforming The Public Sector. MA: Adison-Wesley
Pattie, Charles et all. 2004. Citizenship In Britain: Values, Participation and Democracy. United
Kingdom: University Press Cambridge.
Soemantri, Nu’man. 1976. Metode Mengajar Civics. Jakarta: Erlangga.
Stokke, K. 2017. Politics of Citizenship in Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kualitatid R&D . Bandung: Alfabeta
Surakhmad dan Winarno. 2009. Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi. Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara.
Tam, Henry. 1998. Communitarianism: A New Agenda For Politics and Citizenship. Hongkong.
Turner, Bryan S. 1993. Citizenship and Social Theory. Sage Publications.
Winarno. 2009. Kewarganegaraan Indonesia: dari sosiologis menuju yurisdis. Bandung:
Alfabeta.
Sumber Skripsi dan Tesis:
Arum, Naridha Wandan. 2018. Citizenship Sanggar Anak Alam Nitiprayan, Kasihan, Bantul,
Yogyakarta. UGM: Fisipol.
Damanik, Friedrik Librata.2013. Interaksi Aktor Dalam Implementasi Program Penanganan
Anak Jalanan Berbasis Masyarakat di Kecamatan Umbulharjo. Fisipol UGM.
Fitriyanto, Herlan. 2017. Koordinasi Antar Aktor dalam Upaya Pengurangan Risiko Bencana di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Fisipol UGM.
Kamila, Wildania Hilmy. 2015. Perbedaan Kecerdasan Emosional Anak pada Sekolah Alam
Bengawan Solo dengan sekolah Reguler. UNS: Fakultas Kedokteran.
Putri, Agtiara Rooviuka. 2015. Budaya Organisasi dalam Organisasi Publik. Studi Kasus :
Budaya Religius Islam di SMA Negeri 1 Yogyakarta. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik: Manajemen dan Kebijakan Publik.
Raharjo, Amrih Setyo. 2018. Citizenship Pendidikan Di Sanggar Alam (SALAM) Nitiprayan
Bantul. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Pascasarjana Manajemen dan Kebijakan
Publik.
Rifa’I, Muhammad. 2016. Sosiologi Pendidikan: Struktur dan Interaksi Sosial di dalam Institusi
Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Rosmaya, Magenta Romadhoni. 2015. Peran Sekolah Alam Bengawan Solo (SABS) Dalam
Manumbuhkan Kterampilan Berfikir Kritis Pada Peserta Didik.
Subekti, Ratri Arina. Interaksi Antar Aktor Kebijakan Dalam Implementasi Program
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Rumah Pasca Gempa 27 Mei 2006 di Kabupaten Sleman.
Fisipol UGM
Ummah, Adik Nurul. 2017. Implementasi Budaya Sekolah Berbasis Karakter di Sekolah Dasar
Alam Bengawan Solo. Universitas Negeri Yogyakarta: Pendidikan Guru Sekolah Dasar.
Universitas Negeri Sebelas Maret: Jurusan Sosiologi, FISIP.
Yusrina, Irma. 2015. Sanggar Anak Alam Sebagai Pendidikan Alternatif (Studi tentang Peran
Sanggar Anak Alam dalam Bidang Pendidikan Berbasis Komunitas di Kampung
Nitiprayan, Dusun Jomegatan, Desa Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten
Bantul). Universitas Gadjah Mada: Departemen PSDK, Fisipol UGM.
Sumber Artikel Online:
Sekolah Alam Bengawan Solo. Sch. 2017. Sekolah Alam Bengawan Solo Dari Masa Ke Masa.
Diakses pada tanggal 27 Maret 2018 pukul 20.34. diakses melalui laman:
http://www.sabs.sch.id/sejarah
Sekolah Alam Bengawan Solo. Sch. 2017. Sekolah Alam Bengawan Solo Mendidik Siswa
Mandiri. Diakse pada tanggal 26 Maret 2018 pada pukul 14.15. diakses melalui laman:
http://www.sabs.sch.id/rilis-media/365/sekolah-alam-bengawan-solo-mendidik-
siswa-mandiri
Timlo.Net. 2012. Sekolah Alam Bengawan Solo Mendidik Siswa Belajar Mandiri. Diakses pada
tanggal 27 Maret 2018 pada pukul 21.12. diakses pada
laman:http://www.timlo.net/baca/29332/sekolah-alam-didik-siswa-mandiri/.
Sumber Dari Jurnal:
Borgoun, J. 2007. Responsive, Responsible and Respected Government: Towards a New Public
Administration Theory. International Review of Administrative Sciences, vol, 73, No, 1,
p, 7-26.
Haque, M.S. 2001. The Diminising Publicness of Public Service Under The Current Mode of
Governance. Public Administration review, vol.61. No.1.
Rahmasari dkk. 2016. Pengembangan Permakultur di Sekolah Alam Bengawan Solo di Desa
Gondangsari, Juwiring Klaten. FKIP UNS: PKLH.
Sumber Dari Undang-Undang:
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Anda mungkin juga menyukai