Anda di halaman 1dari 46

PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI SISWA ABK BERPRESTASI

DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU AL-WATHONIYAH


(SDITA)

Oleh :
RAIHANI FAUZIAH (716720036)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS WIRARAJA
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah satu investasi hidup yang sangat valuable. Dengan

adanya pendidikan anak bangsa (peserta didik) akan menjadi penerus dan

generasi yang tentunya dapat berpikir intelektual, kreatif dan inovatif.

Sehingga cita-cita yang mereka capai akan terwujud. Pengetahuan dan

keterampilan seseorang akan bertambah melalui pengajaran, pelatihan dan

bahkan penelitian yang disertai dengan semangat dan kemauan yang tinggi.

Berdasarkan UU No.20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional

mendefenisikan pendidikan adalah tindakan atau perbuatan dengan cara

yang dilakukan oleh individu atau sekelompok orang secara terstruktur agar

menciptkan kondisi belajar dalam proses pembelajaran secara aktif sehingga

siswa memiliki semangat dan keinginan untuk memperoleh pengajaran.

Siswa juga dapat menuangkan segala kemampuan atau potensi dirinya

sehingga akan memiliki kekutan relegius, berakhlak mulia, kepribadian

yang bersifat positif dan tidak merugikan orang lain serta mempunyai

keterampilan yang diperlukan dirinya sesuai dengan bakatnya masing-

masing dan tentunya juga dapat memberikan dampak yang baik untuk

bangsa dan negara.

Pendidikan mempunyai fungsi yang sangat besar untuk perkembangan

serta ekspansi suatu bangsa. Tujuan pendidikan yakni untuk menyiapkan

masyarakat yang demokratis, beriman, memiliki kemampuan memahami,

mengamalkan ilmu atau pengetahuan yang sudah diperoleh kepada orang


lain, meningkatkan secara terus menerus kultur budaya yang

memprioritaskan indenpedensi dan berkulitas di lingkungan masyarakat

demi mempertahankan keutuhan Negara. Setiap warga negara memiliki hak

untuk mendapatkan pendidikan yang berarti pendidikan direalisasikan tidak

melihat kelainan pada diri seseorang baik dari perspektif keyakinan (agama)

dan kelompok suku bangsa. Mengenai kelainan fisik tersebut, hal inilah

yang biasanya kerap terjadi dialami oleh anak berkebutuhan khusus (ABK).

Menurut Permendiknas No.70 tahun 2009 mengenai pendidikan

inklusif adalah siswa yang mempunyai kekurangan dari segi fisik atau

sebagainya serta mempunyai kemampuan kecerdikan diatas rata-rata dan

talenta yang spesial. Pasal 1 menjelaskan bahwa pendidikan inklusif

merupakan program pelaksanaan pendidikan yang memberikan peluang

untuk semua siswayangmempunyai kekurangan dan mempunyai

kemampuan kecerdikan diatas rata-rata dan talenta yang spesial baik bersifat

akademik maupun non akademik untuk ikut berperan aktif dalam

pembelajaran di lingkungan sekolah yang sama bersama dengan anak

normal lainnya. Pendidikan inklusif merupakan pendidikan yang dapat

memberikan peluanguntuk anak yang berkebutuhan khusus. ABK

merupakananak-anak istimewa yang seharusnya juga berhak memperoleh

perlakuan yang istimewa bukan justru dibiarkan begitu saja atau

memperoleh perlakuan diskriminatif sehingga tidak timbul istilah

perbedaan. ABK juga butuh berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman

sebayanya, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan tempat

tinggalnya (masyarakat).
Anak dapat dikatakan berkebutuhan khusus jika didalam dirinya

ditemukan kelebihan ataupun kekurangan yang menunjukkan adanya

keunikan khusus dibandingkan dengan anak-anak normal, sehingga ia

membutuhkan tindakan khusus dalam proses belajar mengajar di sekolah.

Oleh sebab itu, anak berkebutuhan khusus (ABK) ini dapat disebut juga

anak inklusif (khusus).

Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang mengalami

perbedaan dalam proses pertumbuhan atau perkembangan secara fisik,

psikologis dan emosional. ABK bila dibandigkan dengan anak normal

lainnya mereka membutuhkan tindakan pelayanan pendidikan yang khusus

pula dari pendidik atau guru pendamping yang sudah berprofesional dalam

menangani anak berkebutuhan khusus. Dengan demikian, guru pendamping

juga perlu memiliki pemahaman tentang pemberian layanan disesuaikan

dengan kebutuhan anak agar mendapatkan pendidikan secara maksimal dan

dapat berprestasi.

Sekolah Dasar Islam Terpadu Al-Wathoniyah (SDIITA) merupakan

salah satu sekolah umum yang menyelenggarakan pendidikan inklusif

walaupun sekolah tersebut bukan sekolah inklusif. Melalui pendidikan

inklusif tersebutanak berkebutuhan khususmempunyai peluang besar untuk

mengasah bakat dan kemampuan yang dimilikinya dan berkumpul serta

belajar dan bermain bersama dengan anak normal lainnya dalam satu

sekolah. Di Sekolah Dasar Islam Terpadu Al-Wathoniyah (SDIITA) siswa

ABK dengan anak normal tidak dipisah melainkan disatukan . Sebab setiap

anak mempunyai keunggulan dan kekurangan tersendiri. Pendidikan


inklusif tersebut sangat membantu bagi anak berkebutuhan khusus agar

mereka memiliki rasa percaya diri, dihargai dan disayangi. Anak

berkebutuhan khusus (ABK) sebenarnya bukanlah anak yang hanya

memiliki kekurangan, tetapi juga anak yang memiliki bakat istimewa di atas

rata-rata yang perlu penanganan khusus dari guru yang berprofesional dalam

menangani anak berkebutuhan khusus untuk tetap berprestasi baik secara

akademik maupun non akademik. Hal ini diperoleh dari hasil wawancara

dengan kepala sekolah SDITA yaitu Istiana Sandi, S.Pd. di SDITA terdapat

beberapa siswa berkebutuhan khusus (ABK) yang sebagian besar berprestasi

dibidangnya masing-masing. Contoh seorang siswa perempuan ABK yang

sudah bisa menjadi sutradara setelah sebelumnya berhasil meraih juara

ketiga lomba menyalin cerita.

Dari pemaparan penjelasan di atas, sehingga peneliti tertarik dan

penting untuk melakukan penelitian tentang ―Pendidikan Inklusif Bagi

Siswa ABK Berprestasi Di Sekolah Dasar Islam Terpadu Al-Wathoniyah

(SDITA)‖.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasanlatar belakang yang telah dipaparkan, maka

permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian iniialah:

1. Bagaimana pelaksanaan pendidikan inklusif di Sekolah Dasar Islam

Terpadu Al-Wathoniyah (SDITA)?

2. Bagaimana kegiatan belajar mengajar bagi siswa ABK berprestasi di

Sekolah Dasar Islam Terpadu Al-Wathoniyah (SDITA)


C. Tujuan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, sehingga tujuan dari peneitian

ini ialah :

1. Untuk mengetahui pelaksanaan pendidikan inklusif di Sekolah Dasar

Islam Terpadu Al-Wathoniyah (SDITA).

2. Untuk mengetahui kegiatan belajar mengajar bagi siswa ABK berprestasi

di Sekolah Dasar Islam Terpadu Al-Wathoniyah (SDITA).

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, manfaat dari penelitian ialah :

1. Bagi peneliti

Dengan adanya penelitian ini, mampu meningkatkan pemahaman serta

ilmu peneliti khususnya mengenai pelaksanaan pendidikan inklusif bagi

siswa ABK.

2. Bagi sekolah

Bagi sekolah penelitian ini sangat bermanfaat karena tentunya akan

mendapat respon positif dari masyarakat atau lembaga lain sehingga

dapat meningkatkan kualitas layanan pendidikan.

3. Bagi guru

Dapat memberikan pengetahuan tentang bagaimana cara menangani atau

memberikan layanan kepada siswa berkebutuhan khusus.


4. Bagi siswa

Siswa ABK dapat memperoleh kesempatan untuk mendapatkan

pendidikan selayaknya anak normal dan dapat meningkatkan kemampuan

bakatnya agar tetap berprestasi baik secara akademik maupun non

akademik.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori

1. Pendidikan Inklusif

a. Pengertian Pendidikan Inklusif

Pendidikan inklusif adalah pendidikan reguler yang

disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik yang memiliki kelainan

dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa pada sekolah

regular dalam satu kesatuan yang sistemik. Pendidikan inklusif adalah

pendidikan di sekolah biasa yang mengakomodasi semua anak

berkebutuhan khusus yang mempunyai IQ normal diperuntukan bagi

yang memiliki kelainan (intelectual challenge), bakat istimewa,

kecerdasan istimewa atau yang memerlukan pendidikan layanan

khusus.

Menurut Sunaryo (2010) ―Pendidikan inklusif merupakan

suatu pendidikan,dimana semua siswa dengan kebutuhan khusus

diterima di sekolah reguler yang berlokasi di daerahtempat tinggal

mereka dan mendapatkan berbagai pelayanan pendukung dan

pendidikan sesuaidengan kebutuhanya". Sebagaimana yang ditegaskan

melalui surat edaran DirjenDikdasmen No.380 tahun 2003 yang

menyatakan ―Pendidikan inklusif merupakan pendidikan yangmengikut

sertakan anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus untuk belajar

bersama-sama dengananak normal lainya. Sedangkan Menurut Prof.

Dr. Muyono Abdurrahman (UNJ) pendidikan inklusif adalah gabungan


penddikan regular dan pendidikan khusus kedalam satu sistem

persekolahan yang dipersatukan untuk mempertemukan perbedaan

kebutuhan semua siswa. Pendidikan Inklusif bukan sekedar metode atau

pendekatan pendidikan melainkan suatu bentuk implementasi filosofi

yang mengakui kebhinekaan antar manusia yang mengemban misi

tunggal untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik dalam

rangka meningkatkan kualitas pengabdian kepadaTuhan Yang Maha

Esa.

Melalui pendidikan inklusif, difersitas karakter dan kecakapan

peserta didik diakomodir dengan cara yang bijak, yaitu dengan memberi

ruang kepada semua untuk belajar. Bahkan, dalam pendidikan inklusi,

perbedaan dipandang sebagai sumber belajar, ketimbang sebagai

masalah (Sutrisno, 2012:32).

Pendidikan inklusif mengandung pengertian adanya seting

belajar yang sama antara anak dengan kebutuhan khusus dan anak-anak

lainnya (Gargiulo & Kilgo, 2013). Inklusivitas tidak hanya tentang

belajar di kelas yang sama, namun juga mempersyaratkan ‗kesempatan‘

yang sama dalam belajar. Pendidikan inklusif merupakan cara pandang

tentang pendidikan yang terbuka dan menghargai hak asasi manusia.

Hal ini menyebabkan meningkatnya pengharagaan dan pengakuan

terhadap keberagaman atau perbedaan. Pandangan tentang

penyeragaman dan penyamarataan menjadi tidak relevan lagi.

Perbedaan tidak lagi dipandang sebagai penyimpangan melainkan

dilihat sebagai sumber pengayaan (Sunanto, 2010).


Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-

Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab

IV pasal 5 ayat 1 dinyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai

hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Warga

negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual

dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Hal ini

menunjukkan bahwaa nak yang memiliki kelainan dan/atau memiliki

potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak pula memperoleh

kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam

pendidikan.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas dapat

disimpulkan bahwa pendidikan inklusif adalah pendidikan yang

memberikan kesempatan kepada semua anak untuk memperoleh

pembelajaran yang bermutu termasuk anak yang memiliki kebutuhan

khusus. ABK adalah anak-anak istimewa yang seharusnya juga

mendapatkan perlakuan yang istimewa, bukan justru disisihkan atau

mendapatkan perlakuan diskriminatif sehingga tidak timbul istilah

perbedaan. ABK juga butuh berinteraksi dan bersosialisasi dengan

teman sebayanya, baik dil lingkungan sekolah maupun di lingkungan

tempat tinngalnya (masyarakat).

b. Tujuan Pendidikan Inklusif

Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan

inklusif pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa tujuan pendidikan inklusif

adalah ―Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua


peserta didik di berbagai kondisi dan latar belakang untuk memperoleh

pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan

kemampuannya.‖; dan ayat (2) Menciptakan sistem pendidikan yang

menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua

peserta didik. Sementara itu, dipaparkan tujuan pendidikan inklusif

menurut Diknas Propinsi Jawa Tengah sebagai berikut.

1) Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua

peserta didikyang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan

sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa

untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan

kebutuhan dan kemampuannya;

2) Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai

keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik

berkbutuhan khusus;

3) Memperluas pemeataan dan akses pendidikan bagi semua anak

dalam rangka penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun di

Indonesia.

Lebih lanjut, Abdul salim Choeri dkk., (2010:96) merincikan

tujuan pendidikan inklusif sebagai berikut.

1) Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak

untuk mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan

kebutuhannya;
2) Membantu mempercepat program penuntasan wajib belajar

pendidikan dasar sembilan tahun;

3) Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah

dengan menekana angka tinggal kelas dan putus sekolah; dan

4) Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keberagaman,

tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran.

2. Pembelajaran Inklusif di Sekolah Dasar

a. Model Pembelajaran Inklusif

Pendidikan inklusif pada dasarnya memiliki dua model.

Pertama yaitu model inklusi penuh (full inclusion). Model ini

menyertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk menerima

pembelajaran individual dalam kelas regular. Keduayaitu model inklusif

parsial (partial inclusion). Model parsial ini mengikutsertakan peserta

didik berkebutuhan khusus dalam sebagian pembelajaran yang

berlangsung di kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull

out dengan bantuan guru pendamping khusus.

Brent dan Maria mengemukakan model pendidikan inklusif

yang mereka sebut inklusif terbalik (reverse inclusive). Dalam model

ini, peserta didik normal dimasukkan ke dalam kelas yang berisi peserta

didik berkebutuhan khusus. Model ini berkebalikan dengan model yang

pada umumnya memasukkan peserta didik berkebutuhan khusus ke

dalam kelas yang berisi peserta didik normal. Model ini mengandaikan

peserta didik berkebutuhan khusus sebagai peserta didik dengan jumlah

yang lebih banyak dari peserta didik normal. Dengan pengandaian


demikian seolah sekolah untuk anak berkebutuhan khusus secara

kuantitas lebih banyak dari sekolah untuk peserta didik normal, atau

bisa juga tidak. Model pendidikan inklusif seperti apapun tampaknya

tidak menjadi persoalan berarti sepanjang mengacu kepada konsep

dasar pendidikan inklusif. Sedangkan model pendidikan inklusif yang

diselenggarakan pemerintah Indonesia yaitu model pendidikan inklusif

moderat. Pendidikan inklusif moderat yang dimaksud yaitu pendidikan

inklusif yang memadukan antara terpadu dan inklusi penuh atau dikenal

dengan model mainstreaming.

Menurut Vaughn, Bos & Schumn (dalam Effendi, 2013:22).

Penempatan anak berkelainan di sekolah inklusi dapat dilakukan

dengan berbagai model sebagai berikut:

1) Kelas reguler (inklusi penuh) Anak berkebutuhan khusus belajar

bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan

menggunakan kurikulum yang sama.

2) Kelas reguler dengan cluster Anak berkebutuhan khusus belajar

bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok

khusus.

3) Kelas reguler dengan pull out Anak berkebutuhan khusus belajar

bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-

waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk

belajar dengan guru pembimbing khusus.

4) Kelas reguler dengan cluster dan pull out anak berkebutuhan khusus

belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok


khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke

ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.

5) Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian anak berkebutuhan

khusus belajar dalam kelas pada sekolah reguler, namun dalam

bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di

kelas regular

6) Kelas khusus penuhan anak berkebutuhan khusus belajar di dalam

kelas khusus pada sekolah regular.

Berdasarkan model pembelajaran inklusif di atas dapat

disimpulkan bahwa dalam praktiknya anak berkebutuhan khusus

disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan

kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus dapat berpindah dari satu

bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain.

3. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)

a. Pengertian Berkebutuhan Khusus (ABK)

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) pada awalnya dikenal

sebagai Anak Luar Biasa (ALB) sehingga pendidikannya yang

dilakukannya juga dikenal sebagai Pendidikan Luar Biasa (PLB).

Perkembangan selanjutnya dalam bidang pendidikan pasal 5 ayat 2 UU

No. 20 Tahun 2003 mengganti istilahPendidikan Luar Biasa menjadi

Pendidikan Khusus dengan menjamin bahwa ‖Warga negara yang

memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial

berhak memperoleh pendidikan khusus― Jadi terlihat jelas jikalau

kelainan ditinjau dari kekurangan dan kelebihannya.


Menurut Purwanti (2012) anak berkebutuhan khusus berbeda

dengan anak-anak pada umumnya. Mereka berproses dan tumbuh tidak

dengan modal fisik yang wajar. Sehingga mereka cenderung defensif

(menghindar), rendah diri, afresif serta mempunyai semangat belajar

yang rendah. Dalam buku Pembelajaran Anak Tunagrahita karangan

Prof. Dr. Bandi Delphie menyatakan bahwa Anak Berkebutuhan

Khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk menggantikan kata Anak

Luar Biasa (ALB) yang menandakan adanya kelainan khusus. ABK

mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu dan lainnya.

Menurut Mulyono menyatakan bahwa anak berkebutuhan khusus

(ABK) merupakan anak-anak yang tergolong cacat atau yang

menyandang ketunaan. Dalam perkembangannya, saat ini konsep

ketunaan berubah menjadi berkelainan atau luar biasa.

The National Information Center for Children and Youth with

Disabilities (NICHCY) mengemukakan bahwa ―children with special

needs or special needs children refer to children who have disabilities

or who are at risk of developing disabilities‖ yang artinya anak-anak

dengan berkebutuhan khusus merujuk kepada anak-anak cacat yang

berisiko memiliki kelainan.

Anak dengan kebutuhan khusus (special needs children) dapat

diartikan secara simpel sebagai anak yang lambat (slow) atau

mengalami gangguan (retarded) yang tidak akan pernah berhasil di

sekolah sebagaimana anak-anak pada umumnya. Banyak istilah yang

dipergunakan sebagai variasi dari kebutuhan khusus, seperti disability,


impairment, dan handicaped. Menurut World Health Organization

(WHO), definisi masing-masing istilah adalah sebagai berikut:

1) Impairment merupakan suatu keadaan atau kondisi di mana

individu mengalami kehilangan atau abnormalitas psikologis,

fisiologis atau fungsi struktur anatomis secara umum pada tingkat

organ tubuh. Contoh seseorang yang mengalami amputasi satu

kakinya, maka dia mengalami kecacatan kaki.

2) Disability merupakan suatu keadaan di mana individu mengalami

kekurangmampuan yang dimungkinkan karena adanya keadaan

impairment seperti kecacatan pada organ tubuh. Contoh pada orang

yang cacat kakinya, maka dia akan merasakan berkurangnya fungsi

kaki untuk melakukan mobilitas.

3) Handicaped merupakan ketidak beruntungan individu yang

dihasilkan dari impairment atau disability yang membatasi atau

menghambat pemenuhan peran yang normal pada individu.

Handicaped juga bisa diartikan suatu keadaan di mana individu

mengalami ketidakmampuan dalam bersosialisasi dan berinteraksi

dengan lingkungan. Hal ini dimungkinkan karena adanya kelainan

dan berkurangnya fungsi organ individu. Contoh orang yang

mengalami amputasi kaki sehingga untuk aktivitas mobilitas atau

berinteraksi dengan lingkungannya dia memerlukan kursi roda.

Anak berkebutuhan khusus (ABK) berbeda dengan anak-anak

pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus berproses dan tumbuh,

tidak dengan modal fisik yang wajar, karenanya sangat wajar jika
mereka terkadang cenderung memiliki sikap defensif (menghindar),

rendah diri, atau mungkin agresif, dan memiliki semangat belajar yang

lemah.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan

bahwa anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan anak yang

mengalami perbedaan dalam beberapa dimensi penting dari fungsi

kemanusiaannya. Mereka yang secara fisik, psikologis, kognitif atau

sosial terhambat dalam mencapai tujuan atau memenuhi kebutuhan dan

potensinya secara maksimal memerlukan penanganan yang khusus dari

tenaga pendidik yang profesional.

b. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang Dapat di

Inklusifkan Pada Sekolah Normal

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun

1991 tentang Pendidikan Luar Biasa mengemukakan klasifikasi anak

dengan kebutuhan khusus sebagai berikut:

1) Tunarungu

Secara umum anak tunarungu dapat diartikan anak yang

tidak dapat mendengar. Tidak dapat mendengar tersebut dapat

dimungkinkan kurang dengar atau tidak mendengar sama sekali.

Secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar

pada umumnya, sebab orang akan mengetahui bahwa anak

menyandang ketunarunguan pada saat berbicara, anak tersebut

berbicara tanpa suara atau dengan suara yang kurang atau tidak
jelas artikulasinya, atau bahkan tidak berbicara sama sekali, anak

tersebut hanya berisyarat dengan menggunakan gerakan tangan.

Setiap anak yang mengalami gangguan pendengaran sering

kali mengalami beberapa masalah lain, seperti gangguan bahasa.

Walaupun memiliki potensi yang sangat tinggi dan cara berpikir

kreatif visualnya juga tinggi, tetapu apabila kemampuan

berbahasanya kurang, maka akan berpengaruh pada kemampuan

kognitif, prestasi akademik, dan kemampuan sosialnya (Semiawan

dan Mangunsong, 2010).

Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam

pendengaran, baik permanen maupun tidak permanen. Klasifikasi

tunarungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran yaitu

gangguan pendengaran sangat ringan (27—40dB), gangguan

pendengaran ringan (41—55dB), gangguan pendengaran sedang

(56—70dB). gangguan pendengaran berat (71—90dB) dan

gangguan pendengaran ekstrem/tuli (di atas 91dB).

2) Tunadaksa

Secara umum, pengertian tunadaksa adalah kelainan pada

anggota tubuh yang berhubungan dengan fungsi otot, tulang dan

sendi sehingga menyebabkan terganggunya komunikasi,

koordinasi, antara anggota tubuh, pergerakan, adaptasi serta

perkembangan keutuhan pribadi.

Menurut Geniofam (2010) tunadaksa adalah penderita

kelainan fisik, khususnya anggota badan seperti kaki, tangan atau


bentuk tubuh lainnya. Adapun penyimpangan perkembangan

terjadi pada bentuk, ukuran, atau kondisi lainnya.

Menurut Piaget, makin besar hambatan yang dialami

mereka dalam berasimilasi dan berkomunikasi dengan

lingkungannya, makin besar pula hambatan yang dialami pada

perkembangan kognitifnya. Dengan demikian akan menghambat

mereka untuk melaksanakan proses asimilasi dengan sempurna.

Pengaruh usia ketika ketunadaksaan mulai terjadi, ternyata tidak

menunjukkan pengaruh yang berarti terhadap kemampuan individu

(Somantri, 2012:127).

Klasifikasi tunadaksa dilihat dari sistem kelainannya yaitu:

a) Kelainan pada sistem celebral adalah suatu kelainan gerak,

postur atau bentuk tubuh, gangguan koordinasi, dan kadang disertai

gangguan psikologis dan sensoris yang disebabkan oleh adanya

kerusakan pada masa perkembangan otak. b) Kelainan pada sistem

otot dan rangka ada beberapa macam yaitu Poliomyelitis, Muscle

Dystrophy, Spina Bifida. c) Kelainan ortopedi karena bawaan.

3) Tunalaras

Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan

dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Individu tunalaras

biasanya menunjukan perilaku menyimpang yang tidak sesuai

dengan norma dan aturan yang berlaku di sekitarnya. Tunalaras

dapat disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal yaitu

pengaruh dari lingkungan sekitar.


Secara garis besar anak tunalaras dapat diklasifikasikan

menjadi anak yang mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri

dengan lingkungan sosial dan anak yang mengalami gangguan

emosi. Sehubungan dengan itu, William M.C (2010)

mengemukakan kedua klasifikasi tersebut antara lain sebagai

berikut:

a) Anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri

dengan lingkungan sosial.

(1) The Semi-socialize child, anak yang termasuk dalam

kelompok ini dapat mengadakan hubungan sosial tetapi

terbatas pada lingkungan tertentu. Misalnya: keluarga dan

kelompoknya. Keadaan seperti ini datang dari lingkungan

yang menganut norma-norma tersendiri, yang mana norma

tersebut bertentangan dengan norma yang berlaku di

masyarakat. Anak menjadi selalu merasakan ada suatu

masalah dengan lingkungan di luar kelompoknya.

(2) Children arrested at a primitive level of socialization,

anak pada kelompok ini dalam perkembangan sosialnya,

berhenti pada level atau tingkatan yang rendah. Mereka

adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan ke

arah sikap sosial yang benar dan telantar dari pendidikan,

sehingga ia melakukan apa saja yang dikehendakinya. Hal

ini disebabkan karena tidak adanya perhatian dari orang

tua yang mengakibatkan perilaku anak di kelompok ini


cenderung dikuasai oleh dorongan nafsu saja. Meskipun

demikian mereka masih dapat memberikan respon pada

perlakuan yang ramah.

(3) Children with minimum socialization capacity, anak

kelompok ini tidak mempunyai kemampuan sama sekali

untuk belajar sikap-sikap sosial. Hal ini disebabkan oleh

pembawaan/kelainan atau anak tidak pernah mengenal

hubungan kasih sayang sehingga anak pada golongan ini

banyak bersikap apatis dan egois.

b) Anak yang mengalami gangguan emosi, terdiri dari:

1) Neurotic behavior, anak pada kelompok ini masih bisa

bergaul dengan orang lain akan tetapi mereka mempunyai

masalah pribadi yang tidak mampu diselesaikannya.

Mereka sering dan mudah dihinggapi perasaan sakit hati,

perasaan cemas, marah, agresif, dan perasaan bersalah. Di

samping itu, terkadang mereka melakukan tindakan lain

seperti mencuridan bermusuhan. Anak seperti ini biasanya

dapat dibantu dengan terapi seorang konselor. Keadaan

neurotik ini biasanya disebabkan oleh sikap keluarga yang

menolak atau sebaliknya, terlalu memanjakan anak serta

pengaruh pendidikan yaitu karena kesalahan pengajaran

atau juga adanya kesulitan belajar yang berat.

2) Children with psychotic processes, anak pada kelompok

ini mengalami gangguan yang paling berat sehingga


memerlukan penanganan yang lebih khusus. Mereka

sudah menyimpang dari kehidupan yang nyata, sudah

tidak memiliki kesadaran diri serta tidak memiliki

identitas diri. Adanya ketidak sadaran ini disebabkan oleh

gangguan pada sistem saraf sebagai akibat dari keracunan,

misalnya minuman keras dan obat-obatan.

4) Tunawicara

Tunawicara adalah hambatan didalam komunikasi verbal

berupa gangguan atau kerusakan suara, artikulasi bicara. Penyebab

tunawicara antara lain: faktor genetik, keracunan makanan, tekanan

darah tinggi, dan penyakit tetanus yang menyerang bayi saat lahir

(Fuziah:2012).

Masalah yang utama pada diri seorang tunawicara adalah

mengalami kehilangan/terganggunya fungsi pendengaran

(tunarungu) dan atau fungsi bicara (tunawicara), yang disebabkan

karena bawaan lahir, kecelakaan maupun penyakit. Umumnya anak

dengan gangguan dengar/wicara yang disebabkan karena faktor

bawaan (keturunan/genetik) akan berdampak pada kemampuan

bicara Walaupun tidak selalu. Sebaliknya anak yang tidak/kurang

dapat bicara umumnya masih dapat menggunakan fungsi

pendengarannya walaupun tidak selalu. Anak dengan gangguan

dengar/wicara dikelompokkan sebagai berikut :

a. Ringan (20 – 30 db)


Umumnya mereka masih dapat berkomunikasi dengan baik,

hanya kata-kata tertentu saja yang tidak dapat mereka dengar

langsung, sehingga pemahaman mereka menjadi sedikit

terhambat.

b. Sedang (40 – 60 db)

Mereka mulai mengalami kesulitan untuk dapat memahami

pembicaraan orang lain, suara yang mampu terdengar adalah

suara radio dengan volume maksimal.

c. Berat/parah (di atas 60 db)

Kelompok ini sudah mulai sulit untuk mengikuti

pembicaraan orang lain, suara yang mampu mereka dengar

adalah suara yang sama kerasnya dengan jalan pada jam-jam

sibuk. Biasanya kalau masuk dalam kategori ini sudah

menggunakan alat bantu dengar, mengandalkan pada

kemampuan membaca gerak bibir, atau bahasa isyarat untuk

berkomunikasi.

5) Tunanetra

Istilah tunanetra dalam KBBI edisi kelima (2016) memiliki

arti tidak dapat melihat atau buta. Istilah tunanetra dalam UU RI

Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas termasuk ke

dalam penyandang disabilitas sensorik. Penyandang disabilitas

sensorik adalah orang yang mengalami gangguan pada fungsi

panca indera. Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni)

mendefinisikan tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki


penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih

memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan

penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point

dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kacamata.

Klasifikasi tunanetra yang akan dijelaskan di bawah ini

cukup beragam. Klasifikasi ini bukan untuk menyekat-sekatkan

tunanetra, melainkan sebagai starting point (titik dimulainya)

asesmen agar mempermudah dalam menyediakan pelayanan

pendidikan khusus (pendidikan inklusi). Klasifikasi yang dialami

anak tunanetra antara lain:

a) Menurut Hartono, (2010:195), klasifikasi anak tunanetra yang

didasarkan pada waktu terjadinya ketunanetraan, yaitu :

(1) Tunanetra sebelum dan sejak lahir, yakni mereka yang sama

sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan.

(2) Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah

memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum

kuat dan mudah terlupakan.

(3) Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja, mereka

telah memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan

pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan

pribadi.

(4) Tunanetra pada usia dewasa, pada umumnya mereka yang

dengan segala kesadaran mampu melakukan latihan-latihan

penyesuaian diri.
(5) Tunanetra dalam usia lanjut, sebagian besar sudah sulit

mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri.

(6) Tunanetra akibat bawaan (partial sight bawaan).

b) Klasifikasi anak tunanetra berdasarkan kemampuan daya

penglihatan, yaitu :

(1) Tunanetra ringan (defective vision/low vision); yakni mereka

yang memiliki hambatan dalam penglihatan akan tetapi

mereka masih dapat mengikuti program-program

pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang

menggunakan fungsi penglihatan.

(2) Tunanetra setengah berat (partially sighted); yakni mereka

yang kehilangan sebagian daya penglihatan, hanya dengan

menggunakan kaca pembesar mampu mengikuti pendidikan

biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal.

(3) Tunanetra berat (totally blind); yakni mereka yang sama.

6) Kesulitan Belajar

Kesulitan belajar merupakan kondisi saat siswa mengalami

hambatan-hambatan tertentu untuk mengikuti proses pembelajaran

dan mencapai hasil belajar secara optimal (Irham dan Wiyani,

2013:254).

Mulyono Abdurrahman dalam Pendidikan Bagi Anak

Berkesulitan Belajar (2010) secara garis besar membagi kesulitan

belajar ke dalam dua kelompok; (1) kesulitan belajar yang

berhubungan dengan perkembangan (developmental learning


disabilities), (2) kelompok kesulitan belajar akademik (academic

learning disabilities).

Dua kelompok kesulitan belajar di atas dibagi lagi ke dalam

kelompok yang lebih spesifik. Kesulitan belajar yang berhubungan

dengan perkembangan meliputi; (1) kesulitan belajar bahasa, (2)

kesulitan belajar kognitif, dan (3) gangguan motorik dan persepsi.

Dan, kesulitan belajar akademik menunjuk kepada; (1) kesulitan

belajar menulis, (2) kesulitan belajar mambaca, dan (3) kesulitan

belajar aritmatika dan matematika.

(1) Kesulitan belajar membaca (Disleksia). Martini Jamaris,

(2014: 139) mendefinisikan dyslexia sebagai kondisi yang

berkaitan dengan kemampuan membaca yang sangat tidak

memuaskan Individu yang mengalami dyslexia memiliki IQ

normal, bahkan di atas normal, akan tetapi memiliki

kemampuan membaca satu atau satu setengah tingkat di bawah

IQ-nya. Mulyadi, (2010:154) memberikan cakupan yang lebih

luas mengenai dyslexia, yaitu merupakan kesulitan membaca,

mengeja, menulis, dan kesulitan dalam mengartikan atau

mengenali struktur kata-kata yang memberikan efek terhadap

proses belajar atau gangguan belajar.

(2) Kesulitan belajar menulis (Disgrafia). Santrock (2012:248)

mendefinisikan disgrafia sebagai kesulitan belajar yang

ditandai dengan adanya kesulitan dalam mengungkapkan

pemikiran dalam komposisi tulisan. Pada umumnya, istilah


disgrafia digunakan untuk mendiskripsikan tulisan tangan yang

sangat buruk. Anak-anak yang memiliki disgrafia mungkin

menulis dengan sangat pelan , hasil tulisan mereka bisa jadi

sangat tak teerbaca, dan mereka mungkin melakukan banyak

kesalahan ejaan karena ketidakmampuan mereka untuk

memadukan bunyi dan huruf.

(3) Kesulitan belajar aritmatika dan matematika

(Diskalkulia).Diskalkulia adalah ketidak mampuan dalam

melakukan keterampilan aritmatika yang diharapkan untuk

kapasitas intelektual dan tingkat pendidikan seseorang yang

diberikan melalui tes yang dibakukan secara individual

(Hidayati, n.d). kekurangan kemampuan matematika yang

diukur menggunakan tes terstandarisasi yang mempengaruhi

pencapaina akademik dan kehidupan sehari-hari serta tidak

bisa dijelaskan oleh kemampuan sensori ataupun pendidikan

(dalam Visscher & Noel:2013). Aritmatika lebih tepat

didefinisikan sebagai ilmu hitung dasar dari matematika yang

berupa penjumlahan, pengulangan, perkalian, pembagian, dan

aritmatika turunannya yang lebih kompleks.

7) Anak Berbakat

David Smith (2010:305) berpendapat bahwa anak berbakat

adalah siswa yang memiliki kemampuan prestasi tinggi dalam

berbagai bidang baik kreativitas, intelektual, artistik, kapasitas


kepemimpinan, atau bidang akademik tertentu, dan yang

memerlukan pelayanan khusus untuk mengembangkan potensinya.

Undang-undang No. 2 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional (UUSPN), pasal 8 ayat 2 menyatakan,

―Warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar

biasa berhak memperoleh perhatian khusus‖. Pasal ini mempunyai

arti sangat penting dan merupakan salah satu dari sekian banyak

hal yang inovatif dalam UUSPN, sebab melalui pasal ini

pendidikan bagi ―anak berbakat‖ mendapat dasar hukum. Bentuk

dan pengaturannya itulah yang masih menjadi persoalan.

Pengaturan soal ini menjadi makin dirasakan manakala beberapa

kali terjadi bahwa sistem pendidikan kita tidak cukup luwes untuk

mengakomodasi masalah-masalah yang muncul dalam dunia

pendidikan sehubungan dengan keragaman tingkat kemampuan

peserta didik.

Menurut Idrus (2013) karakteristik anak berbakat

diantaranya:

a) Kemampuan intelegensi umum yang sangat tinggi. Biasanya

ditunjukkan dengan perolehan tes intelegensi yang sangat

tinggi, misalnya IQ diatas 130.

b) Bakat istimewa dalam bidang tertentu. Anak berbakat memiliki

bakat dalam bidang tertentu misalnya dalam bidang bahasa,

matematika, seni dan lain-lain. Hal ini biasanya ditunjukkan

dengan prestasi istimewa dalam bidang-bidang tersebut.


c) Mempunyai kemampuan memimpin yang menonjol.

Kemampua untuk mengarahkan dan mempengaruhi orang lain

untuk bertindak sesuai dengan harapan kelompok.

d) Memiliki prestasi-prestasi istimewa dalam bidang seni atau

bidang lain, misalnya seni music, drama, tari, lukis dan lain-

lain.

4. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Berprestasi

Anak berbakat digolongkan ke dalam anak berkebutuhan

khusus karena memiliki kemampuan, talenta, dan pemikiran di atas

rata-rata anak seusia mereka. Dengan kemampuan yang tinggi tersebut,

mereka perlu mendapatkan bimbingan secara khusus pada pola asuh

yang bisa mengembangkan karakter atau kepribadian mereka.

a. Jenis-jenis anak berbakat

1) Genius (IQ lebih dari 180)

Anak dalam kelompok ini memiliki kecerdasan yang sangat

luar biasa. Bakat dan keistimewaannya telah tampak sejak kecil,

misalnya sejak umur 2 tahun sudah dapat membaca dan umur 4

tahun bisa berbahasa asing. Anak genius memiliki sifat-sifat positif

sebagai berikut: daya abstraksinya baik sekali, mempunyai banyak

ide, sangat kritis, sangat kreatif dan suka menganalisis. Anak

genius juga memiliki sifat-sifat negatif, diantaranya; cenderung

hanya mementingkan dirinya sendiri (egosentris),

temperamentalsehingga mudah menunjukkan emosi marah, tidak


mudah bergaul, senang menyendiri karenasibuk melakukan

penelitian, dan tidak mudah menerima pendapat orang lain.

2) Gifted (IQ 140 – 179)

Menurut definisi yang dikemukakan Renzuli, anak berbakat

(gifted) memiliki pengertian, "Anak berbakat merupakan satu

interaksi diantara tiga sifat dasar manusia yang menyatu ikatan

terdiri dari kemampuan umum dengan tingkatnya di atas

kemampuan rata- rata, komitmen yang tinggi terhadap tugas-tugas

dan kreativitas yang tinggi. Anak berbakat (gifted) ialah anak yang

memiliki kecakapan dalam mengembangkan gabungan ketiga sifat

ini dan mengaplikasikan dalam setiap tindakan yang bernilai.

Anak-anak yang mampu mewujudkan ketiga sifat tersebut di

masyarakat memperoleh kesempatan pendidikan yang luas dan

pelayanan yang berbeda dengan program-program pengajaran yang

reguler.

Anak dalam kelompok ini bakatnya juga sudah tampak

sejak kecil dan prestasi yang dimiliki biasanya melebihi teman

sebayanya. Jika dibandingkan dengan orang normal, kemampuan

adjustment terhadap berbagai problem hidup lebih baik yaitu suatu

proses psikososial yang berlangsung dengan cara mengelola

tuntutan dalam keseharian dengan memodifikasi diri dan terhadap

sains, serba ingin tahu, imajinasinya kuat, senang membaca, dan

senang akan koleksi.

3) Sangat Superior (IQ 130 – 139)


Anak sangat superior berada pada tingkat tertinggi dalam

kelompok superior. Umumnya tidak ada perbedaan mencolok

dengan kelompok superior.

4) Superior (IQ 120 – 129)

Anak dalam kelompok ini memiliki prestasi belajar yang

cukup tinggi. Secara umum anak dalam kelompok ini juga

memiliki kemampuan yang tinggi jika dibandingkan dengan anak-

anak pada umumnya. Ciri-cirinya antara lain cakap dalam

membaca dan berhitung, perbendaharaan bahasanya luas, cepat

memahami dibandingkan dengan anak-anak yang termasuk

kelompok pandai. Kesehatan dan ketahanan fisiknya pun lebih baik

daripada anak-anak normal.

b. Ragam Kisah Sukses Anak Inklusi

1) Thomas Alva Edison

Thomas Alva Edison merupakan seorang ahli fisika yang

berhasil mengubah dunia dari kegelapan menuju kecemerlangan

berkat penemuannya, bola lampu pijar pada tahun 1879.

Thomas Alva Edison lahir pada 11 Februari tahun 1847 di

Milan, Ohio, Amerika Serikat. Siapa yang menyangka jika Tommy

(panggilan kecil dari Thomas Alva Edison) yang hanya 3 bulan

mengenyam pendidikan formal dapat memberikan andil besar

dalam sejarah kehidupan.

Saat Tommy berusia 4 tahun, termasuk anak yang tuli dan

bodoh di sekolah. Di sekolah ia menjadi bahan ejekan teman-


temannya. Bahkan gurunya juga menyarankan pada ibu Tommy

agar Tommy keluar saja dari sekolahnya. Siang itu Tommy pulang

ke rumahnya dengan membawa secarik kertas dari gurunya. Ibunya

membaca kertas tersebut. ―Tommy, anak ibu, sangat bodoh. Kami

minta ibu untuk mengeluarkannya dari sekolah‖.

Sang ibu terhenyak membaca surat tersebut dan merasa

sakit hati . Namun, ia segera membuat tekad yang teguh, ―anak

saya Tommy, tidak bodoh, saya sendiri yang akan mendidik dan

mengajar dia‖. Ia ingin membuktikan pada dunia bahwa Tommy

yang tuli tidak sebodoh yang mereka sangkakan.

Tommy termasuk orang yang sangat gemar membaca.

Orangtuanya selalu membelikan buku-buku, terutama yang

berhubungan degan ilmu fisika dan kimia. Kebiasaan membaca

membuat dirinya melakukan banyak percobaan. Percobaan-

percobaan itu dilakukan di dalan kamarnya di bawah tanah.

Kegigihan, semangat serta ke uletan Thomas Alva Edison

itulah yang perlu dicontoh. Meskipun ia dianggap idiot dan tuli,

namun penemuannya mampu membuatnya terkenal diseluruh dunia.

Sungguh hal yang luar biasa. Berikut beberapa penemuan Thomas

Alva Edison:

a) Pertama kali menemukan telegraf yang dapat mencetak sinyal

yang dikirimkan.

b) Memiliki hak paten pertama kali untuk sebuah alat listrik yang

dapat mencatat getaran suara.


c) Dari tahun 1870-1875 banyak melakukan pembaharuan terhadap

telegraf dalam hal pemancar, penerima, mesin cetak, maupun

pada pita pengetuknya.

d) Pada tahun 1870 bekerja sama dengan bapak Mesin Ketik

Chiristoper Sholes untuk menyempurnakan mesin ketik.

e) Tahun 1789 membuat lampu pijar yang pertama, meskipun baru

mendapatkan hak paten pada 1880.

f) Tahun 1883 membuat penemuan yang cukup berarti yaitu aliran

elektron pada filamen.

2) Lumera Dhipta

Dhipta adalah seorang anak inklusi dengan kelainan pada

telinga (tunarungu). Ia mengalami ketunaan sejak dilahirkan.

Keluarganya menerimanya dengan baik. Sekilas mungkin tidak ada

yang menyangka bahwa Dhipta tidak bisa mendengar dan

berbicara. Hampir tidak ada kekurangan sedikitpun yang ada pada

dirinya.

Dhipta yang tunarungu memiliki kecerdasan luar biasa

dalam ilmu sains. Kemampuannya dalam mengerjakan soal-soal

fisika tidak kalah dengan yang normal. Hafalan rumusnya yang

kuat, cara menghitungnya yang cepat, dan kemampuan memahami

maksud soal juga hebat. Tidak banyak tanya, namun Dhipta tahu

apa yang harus dilakukan. Cara-cara menghitung, langkah apa yang

harus dilakukan setelah selesai bagian yang satu, dan demikian

seterusnya. Oleh karena itu, pantaslah Dhipta menjadi juara dalam


olimpiade fisika tingkat kota dan provinsi di kota pelajar

Yogyakarta. Sebuah prestasi yang membanggakan.

3) Ade Wonder Irawan

Ade Wonder Irawanadalah sang pianis tuna netra kelas

dunia yang lahir di Colchester Inggris 15 Januari 1994. Pemuda

berwajah tampan dan bertubuh atletis ini lahir dengan potensi yang

sangat besar, kepiawaiannya telah diakui oleh para master pianis di

dunia. Ade terlahir sebagai tunanetra dari keluarga Irwan Subajio

dan Endang Irawan. Meski tergolong pendiam namun hal ini

berbanding terbalik ketika ia berada di depan piano, ia berubah

menjadi pemuda yang expresif dan energik memainkan jari

jemarinya di atas deretan tuts piano. Selain bermain piano, Ade

juga biasa melakukan scatting yang banyak dipelajari dari penyanyi

jazz kelas dunia yaitu George Benson. Ade sudah mengenal piano

pada usia 3 tahun, ketika dia sudah mengenal musik dan sering

memainkan piano mainan miliknya dan sering menonton

pertunjukan jazz. Setelah ia mendengarkannya sekitar 30 menit

sanpai 1 hari, dia telah mampu memainkan musik tersebut dengan

sangat baik.

4) Stephanie Handoyo

Gadis yang lahir pada 5 November 1991 ini merupakan

anak penderita down syndrome yang berhasil memecahkan rekor

MURI sebagai pemain piano yang mampu membawakan 22 lagu


berturut-turut, serta pembawa obor Olimpiade London 2012. Selain

itu jejak prestasi Stephanie sudah tergores di sejumlah deretan piala

penghargaan mulai dari juara I di bidang renang gaya dada 50

meter Pekan Olahraga Nasional Special Olympic Indonesia 2010,

dan gaya dada 50 meter Specual Olympics World Summer Games

2011 Athena. Stephanie putri pasangan dari Maria Yustina dan

Santoso Handojo sejak kecil memang sudah mulai mengikuti

kegiatan positif khususnya di bidang olahraga seperti berenang dan

bulutangkis. Bahkan, saat menginjak usia 12 tahun, ia berhasil

meraih juara 1 pada kejuaraan Porcada.

5) Habibie Afsyah

Putra kelahiran Jakarta 6 Januari 1988 ini bukanlah

penyandang cacat fisik sejak lahir. Sebuah penyakit bernama

muscular dytrophy lah yang perlahan-lahan merenggut fungsi

motorik tubuh Habibie sehingga ia mulai tidak bisa menggerakkan

anggota tubuhnya. Habibie adalah sosok internet marketing yang

sukses menghasilkan duit di dunia maya. Awal dirinya mengenal

dunia internet ketika ibunya mengajak Habibie mengikuti kursus

internet di Singapura. Meski awalnya Habibie menolak, namun

akhirnya sang ibu berhasil meyakinkan putra bungsunya untuk

belajar marketing dan hidup secara mandiri. Dengan tekun, Habibie

terus berusaha hingga nilai komisinya meningkat menjadi US$ 124,

US$ 500, US$1.000 dan US$2.000. Penghasilan dari Amazon

tersebut kemudian digunakan Habibie untuk mengikuti berbagai


kursus lainnya seperti Dokterpim, dan Indonesia Bootcamp. Saat

ini Habibie sudah berhasil menerbitkan e-book panduan sukses dari

Amazon, membuat situs jual beli properti (rumah101.com) dan

menjadi trainer di acara seminar Eprofitmatrix bersama sang guru,

Suwandi Chow.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Dalam Penelitian ini, peneliti menemukan penelitian terdahulu antara

lain sebagai berikut:

a. Penelitian dilakukan oleh Winda Andriyani tahun 2017 dengan judul

―Implementasi Pendidikan Inklusif Di Sekolah Dasar Taman Muda Ibu

Pawiyatan Yogyakarta‖. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa bahwa guru

menyusun perencanaan berupa program kerja guru pendamping khusus

yang berisi agenda kegiatan-kegiatan siswa berkebutuhan khusus selama

satu tahun. Proses implementasi meliputi tenaga pendidik kependidikan,

kurikulum yang digunakan dan sarana prasarana untuk sekolah inklusi.

Evaluasi pendidikan inklusif di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan

dilaksanakan setiap enam bulan sekali sebelum penerimaan raport.

b. Penelitian dilakukan oleh Nafi‘a Wilda Zarkasi tahun 2018 dengan judul

―Efektivitas Program Pendidikan Inklusif Terhadap Prestasi Belajar

Pendidikan Agama Islam Dan Budi Pekerti Siswa Inklusi Di Smp Negeri 5

Surabaya‖. Hasil penelitian menunjukkan implementasi program

pendidikan inklusif di SMP Negeri 5 sudah cukup baik dan sesuai dengan
standar pendidikan inklusif, dan pencapaian siswa inklusi pada mata

pelajaran Agama Islam dan Budi Pekerti sudah sangat memuaskan.

c. Penelitian dilakukan oleh Latifa Garnisti Rifani tahun 2016 dengan judul

―Evaluasi Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan

Khusus di SDN Bangunrejo 2 Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan

implementasi program pendidikan inklusif di SD Negeri 2 Bangunrejo

Yogyakarta belum sesuai dengan delapan standar pendidikan inklusif,

yakni standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar

penilaian, standar kompetensi guru dan tenaga kependidikan, standar

sarana dan prasarana, standar pengelolaan, serta standar pembiayaan.

d. Penelitian dilakukan oleh Rusdiyanto pada tahun 2015 dengan judul

―Implementasi Pendidikan Inklusi pada Mata Pelajaran Agama Islam

(Studi Kasus di SMP Muhammadiyah 2 Malang). Hasil penelitian

menunjukkan pendidikan inklusi di SMP Muhammadiyah 2 Malang

menggunakan 2 kurikulum, yakni modifikasi kurikulum dan substitusi

kurikulum; pola pembelajaran anak berkebutuhan khusus pada mata

pelajaran PAI di SMP Muhammadiyah 2 Malang menggunakan 3 pola,

yakni pola pembelajaran bersama tanpa adanya pendampingan pada anak

berkebutuhan khusus pada kemampuan tinggi yang di ajar oleh guru

bidang studi, pola pembelajaran bersama dengan didampingi Guru

Pendamping Khusus (GPK) yang diajar oleh guru bidang studi, dan pola

pembelajaran individual yang diajar langsung oleh GPK di ruang inklusi;

dan yang terakhir adalah sistem evaluasi pada anakberkebutuhan khusus


pada mata pelajaran PAI di SMP Muhammadiyah 2 Malang menekankan

pada dua aspek, yakni aspek akademik dan non-akademik.

e. Penelitian dilakukan oleh Desi Kunia Sari pada tahun 2017 dengan judul

―Evaluasi Program Pembelajaran PAI pada Pendidikan Inklusif di Sekolah

Menengah Al-Firdaus Sukoharjo. Hasil Penelitian menunjukkan dengan

model evaluasi CIPP pada program pembelajaran PAI kelas VIII

pendidikan inklusif di Sekolah Menengah Al-Firdaus Sukoharjo adalah:

evaluasi konteks (context evaluation) meliputi identifikasi peserta didik

inklusi yang dilakukan ketika mengevaluasi anak ketika pembelajaran,

baik pada anak reguler maupun anak inklusif; evaluasi masukan (input

evaluation) meliputi penyusunan program pembelajaran yang disesuaikan

dengan kebutuhan peserta didik; evaluasi proses (process evaluation)

meliputi proses belajar mengajar sesuai dengan program pembelajaran;

dan evaluasi produk (product evaluation) meliputi diteruskan atau

tidaknya program pembelajaran.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan peneliti yaitu jenis penelitian

kualitatif sebab peneliti ingin mengetahui secara langsung tentang

pendidikan inklusif bagi siswa ABK berprestasi yang diselenggarakan di

Sekolah Dasar Islam Terpadu Al-Wathoniyah (SDITA). Penelitian kualitatif

menurut Nana (2013:94) merupakan penelitian yang difokuskan untuk

memaparkan serta menguraikan suatu aktivitas sosial, kejadian, fenomena,

dan pemahaman orang secara individu atau kelompok.

B. Waktu dan Tempat

Pada penelitian ini, peneliti melakukan penelitian di Sekolah Dasar

Islam Terpadu Al-Wathoniyah (SDITA) yang terletak di Jln.Melati No.516,

Pajagalan, Kecamatan Kota Sumenep. Waktu yang digunakan dalam

penelitian ini ialah pada semester genap tahun ajaran 2019/2020.

C. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini, menggunakan metode

deskriptif kualitatif.Alasan peneliti menggunakan metode deskriptif

kualitatif karena peneliti ingin mengetahuitentang pendidikan inklusif bagi

siswa ABK berprestasi di SDITA dengan menggambarkan dan menjelaskan

fakta yang telah diperoleh melalui survey sebagaimana adanya. Sehingga

akan menghasilkan data yang sesungguhnya.


D. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

Sumber data pada penelitian ini ialah data primer dan data sekunder.

Data primer ialah sumber data penelitian yang didapatkan secara refleks dari

sumber aslinya yang berupa argument atau pendapat dari sekelompok orang

atau individu melalui wawancara ataupun dengan hasil yang diperoleh

dengan observasi dari suatu obyek dan suatu peristiwa (Maulidi:2016)‖.

Data primer pada penelitian ini diperoleh dari kepala sekolah SDITA yang

menyelenggarakan pendidikan inklusif bagi siswa ABK berprestasi dan

guru pendamping selaku pendidik yang mengajar dan memberikan layanan

bagi siswa ABK berprestasi di SDITA. Sedangkandata sekunder ialah

sumber data penelitianyang mengacu pada informasi yang telah

ada(Uma:2011). Data sekunder dalampenelitian ini diperoleh dari siswa

ABK yang berprestasi di SDITA.

Teknik pengumpulan data berkaitan dengan instrumen yang akan

ditetapkan oleh peneliti yang berhubungan dengan problem dan tujuan dari

penelitian. Beragam teknik pengumpulan data yang digunakan untuk

mendapatkan data penelitian yang valid dan akurat (Sugiyono, 2017:137).

Sehingga peneliti menggunakan tigateknik pengumpulan datayaitu teknik

observasi, teknikwawancara (interview), dan teknikdokumentasi.

1. Observasi adalah teknik pengumpulan data yang mempunyai ciri

spesifik bila dibandingkan dengan teknik yang lain yaitu wawancara

dan kuesioner. Karena obervasi tidak selalu dengan objek manusia

tetapi juga objek-objek alam atau benda lain. Sutrisno Hadi, dalam

Sugiyono (2012:145) mengemukakan bahwa observasi merupakan


suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai

proses biologis dan psikologis. Dua diantara yang terpenting adalah

proses-proses pengamatan dan ingatan. Observasi yang digunakan

dalam penelitian ini adalah jenis observasi tak berstruktur. Teknik ini

digunakan untuk memperoleh gambaran tentang keadaan di lingkungan

sekolah, situasi dan kondisi sekolah dan letak geografis SDITA.

2. Wawancara (interview) merupakan teknik pengumpulan data yang

bersifat dialog atau percakapan yang dilakukan oleh dua orang atau

lebih dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada pihak

terwawancara dengan maksud memperoleh informasi yang jelas dan

valid (Moleong, 2012:186). Teknik wawancara dilakukan dalam

penelitian ini karena peneliti ingin mendapatkan data yang jelas dan

konkret tentang pendidikan inklusif yang diselenggarakan di SDITA

dan prestasi-prestasi yang diraih ABK di SDITA.

3. Dokumentasi yaitu merupakan teknik penelitian yang dilakukan dengan

mengumpulkan atau menggabungkan data-data dokumentasi dari

lapangan penelitian berupa data statistik sekolah, berupa foto saat

pelaksanaan penelitian berlangsung. Teknik dokumentasi adalah

mencari data mengenai hal-hal yang variabel (Ibid:2011). Teknik

dokumentasi dilakukan dalam penelitian ini untuk memperkuat data

sebagai bukti seperti foto, tulisan, data siswa dan karya-karya ABK

berprestasi di SDITA.
E. Instrumen Penelitian

Alat atau instrument penelitian merupakan alat bantu yang dipilih dan

digunakan oleh peneliti dalam kegiatan penelitian untuk mempermudah

mengumpulkan data agar kegiatan penelitian tersebut menjadi lebih logis

(Arikunto:2010). Pada penelitian ini, alat atau instrument pengumpulan data

yang digunakan adalah lembar obsevasi, lembar wawancara (interview) dan

lembar dokumentasi.

1. Lembar Obserasi.

Lembar Observasi digunakan agar peneliti dapat melakukan

pengamatan secara langsung terkait dengan lingkungan sekolah dan

aktivitas belajar siswa ABK berprestasi di SDITA.

No Aspek yang diobservasi Indikator


1. Keadaan lingkungan a. Lokasi sekolah
b. Sarana dan prasarana sekolah
c. Tata tertib sekolah
2. Kondisi siswa a. Keadaan fisik siswa
b. Komunikasi siswa ABK dengan
guru dan teman sebaya
Tabel 3.1 Kisi-kisi instrument lembar observasi

2. Lembar Wawancara (interview)

Lembar wawancara (interview)digunakan untuk mempermudah peneliti

dalam melakukanwawancara dengan pihak sekolah terkait dengan

penyelenggaraan pendidikan inklusifbagi siswa ABK beperstasi d

SDITA.
No Variabel Indikator
1. Penyelenggaraan a. Alasana diselenggarakannya
pendidikan inklusif pendidikan inklusif
b. Guru pendamping khusus
c. Kurikulum di kelas inklusif
d. Kesulitan mengajar di kelas
inklusif
e. Media pembelajaran dikelas
inklusif
2. Anak Berkebutuhan a. KategoriAnak Berkebutuhan
Khusus(ABK) Khusus(ABK)
b. Jumlah siswa ABK
c. Prestasi siswa ABK
Tabel 3.2 Kisi-kisi Intrument lembar wawancara (interview)

3. Lembar Dokumentasi

Lembar dokumentasidigunakan peneliti untuk melengkapi data hasil

penelitian yang berhubungan dengan program penyelenggaraan

pendidikan inklusif bagi siswa ABK berprestasi di SDITA seperti foto,

tilisan, data siswa dan karya-karya ABK di SDITA.

F. Teknik Anaisis Data

Teknik analisis data merupakan prosedur dalam mencari data, dan

data tersebut di susun secara terstruktur yang diperoleh dari hasil observasi

lapangan, wawancara serta dokumentasi dengan cara merangkum atau

mengambil data yang paling penting sehingga menghasilkan kesimpulan

yang benar. Pada penelitian ini menggunakan tiga prosedur perolehan data

terhadap pendidikan inklusif bagi siswa ABK berprestasi di SDITA.


1. Reduksi data, yaitu prosedur yang digunakan untuk mempermudah

penelitian dalam melakukan pengumpulan data dengan cara merangkum,

membuang yang tidak perlu, mengorganisasikan data sehingga akhirnya

menghasilkan kesimpulan yang lebih jelas.

2. Penyajian data, untuk menjelaskan fakta yang telah ditemukan dengan

cara menggunakan bahasa yang efektif maka peneliti menggunakan

teknik naratif.

3. Konklusi/kesimpulan, merupakan terakhir dari langkah analisis data.

Kesimpulan digunakan untuk menjawab dan memaparkan rumusan

masalah dalam penelitian untuk memperkuat data dengan ditemukannya

beberapa bukti yang valid.

G. Pengujian Kredibilitas Data

Uji kredibiltas data perlu dilakukan untuk membuktikan data

penelitian kualitatif benar adanya (tidak manipulasi) sehingga data

penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

Triangulasi dan bahan referensi merupakan teknik keabsahan data

yang dipilih oleh peneliti. Adapun alasan peneliti memilih teknik

triangulasi adalah untuk membuktikan kebenaran data yang didapat dari

sumber lain, dari berbagai tahap penelitian yang ada di lapangan. Sedangkan

memilih menggunakan bahan referensi karena bahan referensi berupa buku,

perekam suara dan kamera sangat mendukung untuk membuktikan data

yang ditemukan oleh peneliti.


Triangulasi adalah teknik pengumpulan data dari berbagai teknik yang

bersifat menghimpun data tersebut (Sugiyono, 2011:330). Dengan demikian

dalam penelitian pendidikan inklusif bagi siswa ABK berprestasi di SDITA

di menggunakan:

1. Triangulasi sumber, adalah triangulasi digunakan membuktikan

kredibilitas data dengan melihat dan memilih data yang diperoleh dari

berbagai sumber. Pengumpulan dan pengujian data dalam penelitian ini

diperoleh dari tiga sumber yaitu:

a. Kepala sekolah (stakeholder) di SDITA yang berperan menjadi

pemimpin sekolah dan penyelenggaraan pendidikan inklusif bagi siswa

ABK berprestasi di SDITA,

b. Guru pendamping yang berperan mendidik dan memberikan layanan

kepada siswa ABK di SDITA.

c. Siswa ABK yang berprestasi.

Kepala Sekolah Guru Pendamping

Siswa

Gambar: 3.3 Triangulasi sumber


2. Triangulasi teknik, adalah digunakan membuktikan kredibilitas data

dengan teknik yang berbeda yang berasal dari sumber yang sama

sehingga teknik yang digunakan peneliti yaitu observasi, wawancara

serta dokumentasi.

3. Triangulasi waktu, dilakukan secara berulang-ulang dengan waktu yang

berbeda, karena tidak mungkin melakukan penelitian hanya dengan satu

hari saja. Dengan demikian waktu sangat penting untuk digunakan untuk

membuktikan kredibilitas data.

Sedangkan bahan referensi dan literasi digunakan sebagai pendukung

data yang ditemukan peneliti sekaligus sebagai bukti bahwa data tesebut

benar sesuai dengan fakta di lapangan.

Anda mungkin juga menyukai