Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan pada dasarnya adalah diperuntukan untuk setiap warga Negara yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan tertentu. Seperti yang tertulis dalam UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 pasal 5, secara jelas mendeskripsikan hak dan kewajiban Warga Negara. Adapun isi dari
pasal tersebut adalah:
1. Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu.
2. Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual,
dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
3. Warga Negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang
terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
4. Warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh pendidikan khusus.
5. Setiap warga Negara behak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan
sepanjang hayat.
Dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa warga Negara tidak terkecuali warga
Negara yang memiliki kelainan fisik dan keterbelakangan mental memiliki hak yang sama
dengan warga Negara yang lain.
Sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan,
peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi
tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan local, nasional, global sehingga perlu
dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Pendidikan untuk warga Negara yang memiliki kekurangan secara fisik dan mental
membutuhkan penanganan yang lebih intensif oleh pemerintah dan pihak yang berkecimpung
dalam pendidikan. Dengan keterbatasannya, mereka yang mempunyai disabilitas kurang sering
dilihat berbeda dari manusia lainnya. Untuk itu dengan dasar kemanusiaan, sebagai pendidik
berkewajiban membantu mereka dalam hal memperoleh pendidikan yang sama. Dengan
demikian pendidik harus menentukan metode yang tepat bagi mereka sehingga mereka dapat
1

memperoleh pendidikan secara baik, agar supaya dapat hidup bermasyarakat dan
mengembangkan potensi dirinya.
Dalam kaitannya dengan metode pendidikan yang baik untuk mereka yang mempunyai
kekurangan, secara fisik ataupun mental maka pembahasan kelompok kami meliputi Pendidikan
Integratif, Inklusif, dan Segregatif. Dengan demikian diharapkan dengan mengetahui metodemetode pendidikan tersebut selaku pendidik kita mengetahui dan mampu untuk mengajarkan
anak didik yang mempunyai disabilitas kurang dan juga tidak terlepas dari anak didik lainnya.
B. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif Secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 agustus
2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan
pendidikan bagi semua anak termasuk penyandang cacat anak.
Pengelompokan anak berkebutuhan khusus dan jenis pelayanannya, sesuai dengan Program
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Tahun 2006 dan Pembinaan Direktorat Jenderal
Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Pendidikan
adalah sebagai berikut :
1. Tuna Netra
2. Tuna Rungu
3. Tuna Grahita
a. Tuna Grahita Ringan (IQ = 50-70)
b. Tuna Grahita Sedang (IQ = 25-50)
c. Tuna Grahita Berat (IQ 125 )
4. Anak Berbakat (anak dengan potensi bakat istimewa)
5. Kesulitan Belajar
6. Lambat Belajar ( IQ = 70 90 )
7. Autis
8. Korban Penyalahgunaan Narkoba
9. Indigo

C. Visi dan Misi Perkembangan Sekolah Luar Biasa


Visi

Terwujudnya pelayanan yang optimal bagi anak kebutuhan khusus sehingga dapat mandiri
dan berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

Misi

Memperluas kesempatan bagi semua anak berkebutuhan khusus melalui program

segregasi, terpadu dan inklusi.


Meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan luar biasa dalam hal pengetahuan,
pengalaman, atau keterampilan yang memadai.

BAB II
LANDASAN, TUJUAN DAN FUNGSI PENDIDIKAN BAGI SISWA DISABILITAS
A. Landasan Pendidikan
a. Landasan Filosofi dan Religi
Wujud kebhinekaan manusia secara horizontal ditandai dengan adanya kebhinekaan ras,
agama, budaya, bahasa dan sebagainya. Keberadaan individu disabilitas sebagai wujud
kebhinekaaan secara vertical dibidang intelektual. Individu disabilitas seperti halnya individuindividu yang lain juga untuk mengemban misi yang sama yaitu membangun kehidupan yang
lebih baik. Karenanya mereka memerlukan pendidikan khusus, yaitu pendidikan yang
disesuaikan dengan kebutuhan individualnya.
b. Landasan Pedagogis dan Psikologis
Individu yang mengalami kesulitan belajar, kesulitan berfikir, dan kesulitan dalam adaptasi
sosial. Hal tersebut disebabkan adanya gangguan pada fisik ataupun mental. Setiap disabilitas
memiliki perbedaan yang sangat beragam sehingga perlu diklasifikasi.

Landasan pedagogis
Intelektual masing individu disabilitas secara significant berada di bawah
rata-rata dengan kemampuan yang sangat beragam sehingga mereka memerlukan
pelayanan pendidikan secara khusus dengan program yang diindividualisasikan

sesuai kemampuan masing-masing individu/kelompok.


Landasan sosiologis
Melalui program pendidikan dan pelatihan yang diindividualisasikan
disabilitas ringan maupun sedang dapat mengembangkan diri dan dapat
melakukan fungsi sosialnya secara wajar di masyarakat. Sesuai dengan
kemampuannya. Mereka perlu mendapatkan pendampingan/advokasi dan

memerlukan bantuan sosial untuk meningkatkan taraf hidupnya.


c. Landasan Hukum dan Perundang-Undangan
Undang-undang RI Nomor 20/2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, pasal 32. Ayat 1,
berbunyi: Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat
kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial
dan/atau memiliki kecerdasan dan bakat istimewa. Dengan undang-undang tersebut maka anakanak pada umumnya memiliki kesamaan kesempatan untuk serendah-rendahnya dapat mengikuti
pendidikan dasar Sembilan tahun. Undang-undang RI Nomor 4/1997 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 43 tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat, berbunyi:

Upaya

peningkatan

Kesamaan

kesejahteraan

kesempatan

sosial

dalam

segala

penyandang

cacat,

dilaksanakan

aspek

kehidupan

dan

melalui:

penghidupan.

Rehabilitasi medis, sosial, edukasional dan vokasional; Bantuan sosial diarahkan untuk
membantu penyandang cacat agar dapat berusaha meningkatkan taraf kesejahteraan sosial;
Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial diarahkan pada pemberian perlindungan dan pelayanan
agar penyandang cacat dapat memperolh taraf hidup yang wajar.
B. Tujuan Pendidikan
Pendidikan luar biasa bertujuan membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik
dan/atau mental, dan/atau kelainan perilaku agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan
dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan
timbale balik dengan lingkungan sosial budaya dan alam sekitar, serta dapat mengembangkan
kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan.
Selain itu dalam undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
Nasional, pasal 32 ayat 1 berbunyi: pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik
memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fifik,
emotional, mental, sosial dan/atau memiliki kecerdasan dan bakat istimewa.
C. Fungsi Pendidikan
Melalui pendidikan, disabilitas memiliki kemampuan untuk merealisasikan potensinya
dengan memperoleh kesempatan untuk berkembang secara optimal sesuai kemampuannya.
Dapat mengembangkan kemampuannya untuk berkomunikasi, yaitu membina hubungan dengan
orang

lain

melalui

lisan,

tulisan

maupun

perbuatan,

sesuai

kemampuannya.

Dapat turut bertanggung jawab sebagai anggota masyarakat dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan sesuai kemampuanya secara wajar. Memperoleh pengakuan sebagai anggota
masyarakat dapat berkesempatan untuk berperan di masyarakat.

BAB III
LAYANAN PENDIDIKAN LUAR BIASA
Layanan pendidikan di sekolah luar biasa (SLB) lebih bersifat formal.
A. Kurikulum yang digunakan
Kurikulum yang digunakan cenderung bermuatan akademik yang bersifat formal.
Isi kurikulum belum banyak menyentuh kebutuhan dan hambatan belajar peserta didik
disabilitas, sehingga kurikulum seperti ini kecil kemungkinannya untuk mengembangkan
potensi mereka secara optimal. Selama ini guru cenderung menggunakan kurikulum
sebagai patokan utama dalam melakukan pembelajaran dan belum mempertimbangkan
hambatan belajar, hambatan perkembangan, dan kebutuhan disabilitas secara individual.
B. Pendekatan pembelajaran
Pendekatan pembelajaran dilakukan kebanyakan guru lebih bersifat formal,
berpusat pada kurikulum dan pada guru, belum memperhatikan perbedaan perkembangan
dan hambatan belajar peserta didik disabilitas secara individual.dalam proses
pembelajaran sebagian besar guru cenderung lebih banyak member perintah dan
larangan, sangat jarang member penghargaan ketika disabilitas dapat melakukan sesuatu
yang positif sekecil apapun.
C. Penilaian hasil belajar
Para guru cenderung mengatakan hasil pembelajaran adalah penguasaan bahan
pelajaran oleh disabilitas melalui ujian atau tes yang dinyatakan dalam bentuk angka.
Penilaian tersebut belum dapat mengungkapkan seluruh perkembangan yang terjadi pada
diri disabilitas sebagai hasil belajar.

BAB IV
PENDIDIKAN SEGREGATIF
A. Hakikat Pendidikan Segregatif
Sistem pendidikan dimana anak berkelainan terpisah dari sistem pendidikan anak normal.
Penyelengggaraan sistem pendidikan segregasi dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari
penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal.
Pendidikan segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari
sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan
khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A (untuk
anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk
anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB)
terdiri atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus,
maka sistem pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah
reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai pada
sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain aspek
perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas.

B. Fasilitas dan Sarana Pendidikan Segregatif


Tersedia alat-alat bantu belajar yang dirancang khusus untuk siswa. Sebagai contoh

tunanetra, seperti buku-buku Braille, alat bantu hitung taktual, peta timbul, dll.
Jumlah siswa dalam satu kelas tidak lebih dari delapan orang sehingga guru dapat

memberikan layanan individual kepada semua siswa.


Lingkungan sosial ramah karena sebagian besar memiliki pemahaman yang tepat mengenai

disabilitas anak.
Lingkungan fisik aksesibel karena pada umumnya dirancang dengan mempertimbangkan
masalah mobilitas disabilitas, dan kami mendapat latihan keterampilan orientasi dan

mobilitas, baik dari instruktur O&M maupun tutor sesama disabilitas.


Dapat menemukan orang disabilitas yang sudah berhasil yang dapat dijadikan sebagai model.

C. Kategori
Kategori kecacatan SLB itu di kelompokkan menjadi :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

SLB bagian A untuk anak tuna netra


SLB bagian B untuk anak tuna rungu
SLB bagian C untuk anak tuna grahita
SLB bagian D untuk anak tuna daksa
SLB bagian E untuk anak tuna laras
SLB bagian G untuk anak cacat ganda
D. Bentuk-Bentuk Sistem Pendidikan Segregasi
Ada empat bentuk penyelenggaraan pendidikan dengan sistem segregasi, yaitu:
1) Sekolah Luar Biasa (SLB)
Bentuk Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua. Bentuk SLB

merupakan bentuk unit pendidikan. Artinya, penyelenggaraan sekolah mulai dari tingkat
persiapan sampai dengan tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu unit sekolah dengan satu
kepala sekolah. Pada awalnya penyelenggaraan sekolah dalam bentuk unit ini berkembang sesuai
dengan kelainan yang ada (satu kelainan saja), sehingga ada SLB untuk tunanetra (SLB-A), SLB
untuk tunarungu (SLB-B), SLB untuk tunagrahita (SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), dan
SLB untuk tunalaras (SLB-E). Di setiap SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan
tingkat lanjut. Sistem pengajarannya lebih mengarah ke sistem individualisasi. Selain, ada SLB
yang hanya mendidik satu kelainan saja, ada pula SLB yang mendidik lebih dari satu kelainan,
sehingga muncul SLB-BC yaitu SLB untuk anak tunarungu dan tunagrahita; SLB-ABCD, yaitu
SLB untuk anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa. Hal ini terjadi karena jumlah
anak yang ada di unit tersebut sedikit dan fasilitas sekolah terbatas.
2) Sekolah Luar Biasa Berasrama
Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa yang dilengkapi dengan
fasilitas asrama. Peserta didik SLB berasrama tinggal diasrama. Pengelolaan asrama menjadi
satu kesatuan dengan pengelolaan sekolah, sehingga di SLB tersebut ada tingkat persiapan,
tingkat dasar, dan tingkat lanjut, serta unit asrama. Bentuk satuan pendidikannyapun juga sama
dengan bentuk SLB di atas, sehingga ada SLB-A untuk anak tunanetra, SLB- B untuk anak
tunarungu, SLB-C untuk anak tunagrahita, SLB-D untuk anak tunadaksa, dan SLB-E untuk anak
tunalaras, serta SLB-AB untuk anak tunanetra dan tunarungu. Pada SLB berasrama, terdapat
kesinambungan program pembelajaran antara yang ada di sekolah dengan di asrama, sehingga

asrama merupakan tempat pembinaan setelah anak di sekolah. Selain itu, SLB berasrama
merupakan pilihan sekolah yang sesuai bagi peserta didik yang berasal dari luar daerah, karena
mereka terbatas fasilitas antar jemput.
3) Kelas jauh/Kelas Kunjung
Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk memberi pelayanan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB.
Pengelenggaraan kelasjauh/kelas kunjung merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka
menuntaskan wajib belajar serta pemerataan kesempatan belajar. Anak berkebutuhan khusus
tersebar di seluruh pelosok tanah air, sedangkan sekolah-sekolah yang khusus mendidik mereka
masih sangat terbatas di kota/kabupaten. Oleh karena itu, dengan adanya kelas jauh/kelas
kunjung ini diharapkan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus semakin luas. Dalam
penyelenggaraan kelas jauh/kelas kunjung menjadi tanggung jawab SLB terdekatnya. Tenaga
guru yang bertugas di kelas tersebut berasal dari guru SLB-SLB di dekatnya. Mereka berfungsi
sebagai guru kunjung (itenerant teacher). Kegiatan administrasinya dilaksanakan di SLB
terdekat tersebut.
4) Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB)
Dalam rangka menuntaskan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus, pemerintah
mulai Pelita II menyelenggarakan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Di SDLB merupakan unit
sekolah yang terdiri dari berbagai kelainan yang dididik dalam satu atap. Dalam SDLB terdapat
anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa. Tenaga kependidikan di SDLB terdiri dari
kepala sekolah, guru untuk anak tunanetra, guru untuk anak tunarungu, guru untuk anak
tunagrahita, guru untuk anak tunadaksa, guru agama, dan guru olahraga. Selain tenaga
kependidikan, di SDLB dilengkapai dengan tenaga ahli yang berkaitan dengan kelainan mereka
antara lain dokter umum, dokter spesialis, fisiotherapis, psikolog, speech therapist, audiolog.
Selain itu ada tenaga administrasi dan penjaga sekolah. Kurikulum yang digunakan di SDLB
adalah kurikulum yang digunakan di SLB untuk tingkat dasar yang disesuikan dengan
kekhususannya. Kegiatan belajar dilakukan secara individual, kelompok, dan klasikal sesuai
dengan ketunaan masing-masing. Pendekatan yang dipakai juga lebih ke pendekatan
individualisasi. Selain kegiatan pembelajaran, dalam rangka rehabilitasi di SDLB juga
diselenggarakan pelayanan khusus sesuai dengan ketunaan anak. Anak tunanetra memperoleh
latihan menulis dan membaca braille dan orientasi mobilitas; anak tunarungu memperoleh

latihan membaca ujaran, komunikasi total, bina persepsi bunyi dan irama; anak tudagrahita
memperoleh layanan mengurus diri sendiri; dan anak tunadaksa memperoleh layanan fisioterapi
dan latihan koordinasi motorik. Lama pendidikan di SDLB sama dengan lama pendidikan di
SLB konvensional untuk tingka dasar, yaitu anak tunanetra, tunagrahita, dan tunadaksa selama 6
tahun, dan untuk anak tunarungu 8 tahun.

10

BAB V
PENDIDIKAN INTEGRATIF
A. Hakikat Pendidikan Integratif
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa banyak anak dengan disabilitas kurang,
belajar bersama anak normal, tetapi mereka tidak memperoleh pelayanan pendidikan secara
memadai atau mereka tidak mendapatkan sekolah dengan alasan yang tidak jelas. Hal ini
disebabkan salah satunya karena kurangnya sumber daya manusia dan banyak tenaga ahli yang
belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang anak dengan disabilitas kurang atau rasio
penyelenggaraan yang sangat mahal, sehingga masih sedikit sekolah yang mau menerima mereka
karena berbagai alasan diatas. Menyelenggarakan pendidikan integrasi disekolah merupakan
kemajuan yang baik, tetapi tidak semudah membalikkan tangan. Namun kita harus berani
memulai supaya anak dengan disabilitas kurang mendapat tempat dan penanganan yang terbaik.
Konsep pendidikan integratif memiliki penafsiran yang bermacam-macam antara lain:
a. Menempatkan anak dengan disabilitas dengan anak normal secara penuh.
b. Pendidikan yang berupaya mengoptimalkan perkembangan kognisi, emosi,
jasmani, intuisi.
c. Mengintegrasikan pendidikan anak autisme dengan pendidikan pada umumnya.
d. Mengintegrasikan apa yang dipelajari disekolah dengan tugas masa depan.
e. Mengintegrasikan manusia sebagai mahluk individual sekaligus mahluk sosial
B. Perkembangan Sistem Sekolah untuk Anak dengan Disabilitas
Menjelang pertengahan tahun 1970 an, kebanyakan sistem sekolah telah menciptakan
sekolah khusus yang terpisah untuk anak anak-anak yang mempunyai disabilitas. Masing-masing
sekolah melayani satu jenis disabilitas: biasanya intelektual, fisik, visual atau pendengaran. Dan
masih ada pembagian lebih lanjut berdasarkan atas tingkat disabilitas intelektual, atau untuk
anak-anak yang mempunyai kesulitan pendengaran, pendekatan pengajaran. Pengembangan
sistem sekolah khusus terpisah berdasarkan atas pemahaman bahwa setiap anak yang
mempunyai disabilitas akan memperoleh manfaat pada lingkungan terpisah dimana secara
teoritis paling tidak dapat menyediakan kelas kecil dan pengajaran dan peralatan khusus.
Lebih dari 20 tahun terakhir, terdapat gerakan yang kuat menuju pendidikan siswa dengan
kebutuhan khusus pada sekolah regular. Pendidikan ini tidak lepas kaitannya dengan proses
integrasi, inklusi mainstreaming dan normalisasi. Dalam hal ini siswa yang mempunyai

11

disabilitas akan menggunakan fasilitas pendidikan khusus yang sama dengan yang digunakan
oleh siswa yang tidak mempunyai disabilitas.
Pendidikan tersebut didasari oleh tiga alasan utama:
1.

Riset telah menunjukan dengan jelas bahwa sekolah khusus yang terpisah
menghasilkan hasil pembelajaran sosial atau akademis yang lebih baik dari pada

2.

lingkungan terintegrasi, terutama untuk siswa yang mempunyai disabilitas sedang.


Terdapat riset yang menunjukan bahwa anak-anak dapat memperoleh manfaat dari
model sekolah inklusif, meskiun mereka mempunyai disabilitas yang parah dan

3.

berganda.
Terdapat penerimaan yang luas mengenai hak semua orang untuk berpartisipasi
sepenuhnya di dalam masyarakat mainstream jika mereka mmemilih untuk
melakukannya.

Konsekuensi dari perubahan-perubahan tersebut adalah bahwa beberapa siswa yang mungkin
sebelumnya menghabiskan seluruh waktu sekolahnya dalam lingkungan yang terpisah, sekarang
akan mempunyai kelas regular. Oleh karena itu merupakan hal yang penting bahwa guru kelas
regular merasa berkopeten untuk mengajar semua siswa yang berada di bawah tanggung jawab
mereka. Mereka harus berbangga hati dalam melayani masyarakat mencakup orang-orang yang
mempunyai cacat dan yang tidak cacat.
C. Teknik Perencanaan Integratif
Mengintegrasikan anak disabilitas dengan anak normal secara penuh harus dengan suatu
konsep, perhitungan yang matang dan kerja keras.Kebanyakan sekolah juga belum memiliki
jawaban yang baik untuk saat ini. Yang ada orang tua dan guru-guru sekolah harus bekerja sama,
bersikap terbuka, selalu komunikasi untuk membuat perencanaan penanganan dengan tehnik
terbaik. Langkah-langkah penerimaan oleh sekolah:

Tentukan jumlah anak disabilitas yang akan diterima misal, dua anak dalam satu kelas

dan lain-lain.
Lakukan tes untuk melihat kemampuan serta menyaring anak.
Setelah tes, wawancara orang tua untuk melihat pola pikirnya, apa tujuan memasukkan

anak ke sekolah.
Buatlah kerangka kerja dan hasil observasi awal.

12

Susun

bagaimana

mengatur

evaluasi

anak

dalam

hal:

siapa

yang

bertanggung jawab mengawasi, menerima complain, periode laporan perkembangan dan

lain-lain.
Buatlah kesepakatan antara orang tua dan sekolah bahwa hasil yang dicapai adalah paling

optimal.
Parameter apakah yang dapat membantu

D. Pelaksanaan Pendidikan Terpadu di Indonesia


a)

Belajar di kelas biasa dengan guru kelas.


Sekarang ini banyak siswa disabilitas yang mendapatkan program pelayanan pendidikan

terpadu secara penuh, dimana siswa disabilitas belajar di kelas biasa dan ditangani sepenuhnya
oleh guru kelas serta masing-masing guru bidang studi. Sistem ini hanya dapat diikuti oleh siswa
disabilitas yang memiliki intelegensi di atas rata-rata.
b)

Belajar di kelas biasa dengan guru kelas dan seorang guru pembimbing khusus.
Siswa disabilitas belajar di kelas biasa dengan guru kelas yang didampingi oleh guru

pembimbing khusus. Guru pembimbing khusus dapat berasal dari kalangan guru PLB tetapi
dapat pula dari tenaga ahli di bidangnya.
c)

Belajar di kelas biasa dengan guru kunjung


Guru kunjung biasanya menangani siswa disabilitas yang belajar pada beberapa sekolah.

Fungsinya hanya memberikan saran-saran kepada guru kelas atau guru bidang studi.
d)

Belajar di sekolah umum dengan kelas khusus.


Siswa disabilitas belajar di sekolah umum tetapi belajar di kelas yang khusus (terpisah

dengan siswa normal lainnya).


e)

Belajar dalam satu lokasi sekolah dengan berbagai macam ketunaan.


Siswa disabilitas bersama dengan siswa yang memiliki kebutuhan khusus lainnya belajar

dalam satu gedung sekolah yang sama.

13

E. Hambatan Pelaksanaan Pendidikan Terpadu


Di beberapa daerah di Indonesia, banyak sekolah umum yang tidak mau menerima siswa
tuna netra untuk belajar di sekolah tersebut dengan alasan tidak adanya surat keputusan dari
pemerintah yang menyatakan bahwa sekolah tersebut harus menerima siswa yang memiliki
kebutuhan khusus.
Sesuai

surat

keputusan

Kepala

Kanwil

Depdiknas

Propinsi

DKI

Jakarta

No.31/101.B2/LL/1999 tanggal 23 April 1999 ditunjuklah beberapa sekolah umum di DKI


Jakarta menjadi sekolah terpadu. Pada kenyataannya, banyak Kepala Sekolah yang ditunjuk
sebagai sekolah terpadu merasa keberatan dengan penunjukan tersebut. Alasannya sekolah
mereka tidak akan mendapatkan nilai plus dengan kehadiran siswa yang berkebutuhan khusus di
sekolah mereka. Kepala sekolah juga merasa bahwa dengan penunjukan tersebut akan
menurunkan nilai kinerja sekolah, sementara nilai kinerja sekolah tersebut yang diperoleh
melalui nilai akademis siswa merupakan dasar bagi penilaian akreditasi sekolah yang akan
dilaksanakan mulai tahun ajaran 2002/2003 di seluruh sekolah negeri di Jakarta.
Penunjukan sekolah umum menjadi sekolah terpadu juga tidak disertai dengan sosialisasi
anak berkebutuhan khusus kepada kepala sekolah beserta staff dan gurunya. Selain itu prasarana
dan sarana penunjang pelayanan pendidikan terpadu juga tidak disediakan oleh pemerintah.
Penunjukan sekolah terpadu di Jakarta hanya ditujukan untuk SLTP dan SMU. Sedangkan untuk
jenjang sekolah dasar belum ada penunjukan untuk sekolah terpadu.
Masih banyak anggapan di benak guru-guru di sekolah umum yang menyatakan bahwa
mengajar anak yang memiliki kebutuhan khusus adalah sesuatu yang remeh. Sehingga mereka
akan merasa menjadi rendah apabila sekolah dimana tempat mereka mengajar dijadikan sekolah
terpadu.
Surat Direktur Pendidikan Dasar No.0267/C2/U/1994 tanggal 30 Maret 1994 tentang
penyelenggaraan pendidikan terpadu yang diberlakukan bagi beberapa jenis kecacatan akan
tetapi memiliki kemampuan inteligensi normal atau di atas rata-rata menjadi kendala pula bagi
pelaksanaan pendidikan terpadu di Indonesia. Sebab dengan surat keputusan tersebut pihak
sekolah umum dapat menolak siswa disabilitas yang memiliki intelegensi di bawah rata-rata,
dengan demikian pelaksanaan pendidikan terpadu menjadi sangat terbatas hanya bagi siswa yang
sangat pandai saja

14

BAB VI
PENDIDIKAN INKLUSIF
A. Hakikat Pendidikan Inklusif
Sekolah Inklusif adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa
reguler dan siswa penyandang cacat dalam program yang sama, dari satu jalan untuk menyiapkan
pendidikan bagi anak penyandang cacat adalah pentingnya pendidikan Inklusif, tidak hanya
memenuhi target pendidikan untuk semua dan pendidikan dasar 9 tahun, akan tetapi lebih banyak
keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak tetapi lebih
penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan Inklusif mulai dengan merealisasikan
perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung di mana akan menjadi bagian dari
keseluruhan, dengan demikian penyandang cacat anak akan merasa tenang, percaya diri, merasa
dihargai, dilindungi, disayangi, bahagia dan bertanggung jawab. Inklusif terjadi pada semua
lingkungan sosial anak, Pada keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, pada
institusi-institusi kemasyarakatan lainnya.
Pendidikan inklusif merupakan sebuah pendekatan yng berusaha mentransformasi sistem
pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk
berpartisipasi penuh daam pendidikan.
Inklusif merupakan perubahan praktis yang memberi peluang anak dengan latar belakang dan
kemampuan yang berbeda bias berhasil dalam beljar. Perubahan ini tidak hanya menguntungkan
anak yang sering tersisihkan, seperti anak berkebutuhan khusus, tetapi semua anak dan
orangtuanya, semua guru dan administrator sekolah, dan setiap anggota masyarakat. (LIRP buku
1).
Inklusif memang menikutsertakan anak berkelaian seperti anak yang memiliki kesulitan
melihat atau mendengar, yang tidak dapat berjalan atau lebih lamban dalam belajar. Namun,
secara luas inklusif juga berarti melibatkan seluruh peserta didik tanpa terkecuali, seperti:
1. Anak yang menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa pengantar yang digunakan
di dalam kelas.
2. Anak yang beresiko putus sekolah karena sakit, kelaparan atau tidak berprestasi dengan
baik.
3. Anak yang berasal dari golongan agama atau kasta yang berbeda.
4. Anak yang terinfeksi HIV atau AIDS, dan
5. Anak yang berusia sekolah tetapi tidak sekolah.

15

Prinsip-prinsip dasar pendidikan inklusif, yang membedakan dengan sistem integratif,


apalagi segregatif adalah:
1. Semua anak, siapapun dia, memiliki hak untuk menempuh pendidikan di sekolah mana
pun, dan sekolah wajib menerima murid, siapapun dia.
2. Setiap anak/murid adalah individu yang unik, olehkarenanya, sistem pendidikan harus
dibuat fleksibel, memberikan kemungkinan pada guru untuk melakukan penyesuaian,
guna mengakomodasikan kebutuhan khusus setiap siswa.
3. Sistem pendidikan dalam suatu negara harus dibuat satu sistem, dan sistem pendidikan
untuk anak-anak yang menyandang kecacatan merupakan bagian integral dari sistem
pendidikan umum tersebut; bukan terpisah atau khusus.
Guru-guru di sekolah umum harus memiliki wawasan dan ketrampilan untuk mengajar siswa,
siapa pun dia. Itu sebabnya, pendidikan/pelatihan untuk guru harus melakukan penyesuaian
dengan sistem ini.
Inklusif berarti bahwa sebagai guru bertanggung jawab untuk mengucapkan bantuan dalam
menjaring dan memberikan layanan pendidikan pada semua anak dari otoritas sekolah,
masyarakat, keluarga, lembaga pendidikan, layanan kesehatan, pemimpin masyarakat, dan lainlain.
B. Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum dilaksanakan dengan:
1. Modifikasi alokasi waktu
Modifikasi alokasi waktu disesuaikan dengan mengacu pada kecepatan belajar siswa.
Misalnya materi pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam kurikulum reguler (Kurikulum
Sekolah Dasar) diperkirakan alokasi waktunya selama 6 jam.

Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal (anak

berbakat) dapat dimodifikasi menjadi 4 jam.


Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal dapat

dimodifikasi menjadi sekitar 8 jam;


Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak
lamban belajar) dapat dimodifikasi menjadi 10 jam, atau lebih; dan untuk anak

tunagrahita menjadi 18 jam, atau lebih; dan seterusnya.


2. Modifikasi isi/materi
Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal, materi dalam
kurikulum sekolah reguler dapat digemukkan (diperluas dan diperdalam) dan/atau
16

ditambah materi baru yang tidak ada di dalam kurikulum sekolah reguler, tetapi materi

tersebut dianggap penting untuk anak berbakat.


Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal materi dalam
kurikulum sekolah reguler dapat tetap dipertahankan, atau tingkat kesulitannya

diturunkan sedikit.
Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak
lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat dikurangi atau

diturunkan tingkat kesulitannya seperlunya, atau bahkan dihilangkan bagian tertentu.


3. Modifikasi proses belajar-mengajar
Mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi, yang meliputi analisis, sintesis, evaluasi, dan
problem solving, untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal;

Menggunakan pendekatan student centered, yang menenkankan perbedaan individual

setiap anak;
Lebih terbuka (divergent)
Memberikan kesempatan mobilitas tinggi, karena kemampuan siswa di dalam kelas
heterogen, sehingga mungkin ada anak yang saling bergerak kesana-kemari, dari satu

kelompok ke kelompok lain.


Menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang dengan pendekatan
pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kompetitif anak dirangsang
untuk berprestasi setinggi mungkin dengan cara berkompetisi secara fair. Melalui
kompetisi, anak akan berusaha seoptimal mungkin untuk berprestasi yang terbaik, akulah sang juara! Namun, dengan pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada dampak
negatifnya, yakni mungkin ego-nya akan berkembang kurang baik. Anak dapat menjadi
egois. Untuk menghindari hal ini, maka pendekatan pembelajaran kompetitif ini perlu
diimbangi

dengan

pendekatan

pembelajaran

kooperatif.

Melalui

pendekatan

pembelajaran kooperatif, setiap anak dikembangkan jiwa kerjasama dan kebersamaannya.


Mereka diberi tugas dalam kelompok, secara bersama mengerjakan tugas dan
mendiskusikannya. Penekanannya adalah kerjasama dalam kelompok, dan kerjasama
dalam kelompok ini yang dinilai. Dengan cara ini sosialisasi anak dan jiwa kerjasama
serta saling tolong menolong akan berkembang dengan baik. Dengan demikian, jiwa

kompetisi dan jiwa kerjasama anak akan berkembang harmonis.


Disesuaikan dengan berbagai tipe belajar siswa (ada yang bertipe visual; ada yang bertipe
auditoris; ada pula yang bertipe kinestetis).

17

Tipe visual, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera penglihatan.Tipe
auditoris, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera pendengaran.Tipe
kinestetis, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera perabaan/gerakan.Guru
hendaknya tidak monoton dalam mengajar sehingga hanya akan menguntungkan anak
yang memiliki tipe belajar tertentu saja.

C. Mainstreaming
Seorang siswa mengalami mainstream ketika dia terdaftar pada atau bersekolah pada kelas
khusus.

Siswa

berada

pada

kelas

khusus

yang

berintegrasi

di

pagi

hari,

dan

bersekolahsebagaimana biasa(mainstream) di sore hari. Mainstreaming secara umum dianggap


sebagai penempatan yang paling normatife secara cultural.
a) Implementasi Mainstreaming
Kelas khusus dan kelas normal bergabung membentuk kelas yang sepenuhnya

berinteraksi.
Masing-masing siswa mempunyai status yang sama sebagai anggota kelas.
Lingkungan sesuai dengan usia.
Kurikulum dibuat untuk mengakomodasikan berbagai kecepatan belajar.
Rasio staff adalah tepat: staff yang bekerja akan bekerja pada kelas regular
dengan guru kelas untuk melayani kbutuhan semua anak-anak di kelas tersebut

termasuk yang mempunyai disabilitas intelektual.


b) Integrasi lain
Disamping kelas normal, terdapat program integrasi untuk semua siswa. Kelas yang akan
distreaming harus sesuai dengan usia agar supaya memberikan interaksi yang maksimum.
Bidang-bidang kurikulum ditentukan oleh staf yang berpartisipasi. Interaksi pada sosial,
insidental, dan direncanakan ditempat bermain , ditempat pertemuan, di ruang kelas, melalui
sistem pertemanan.
c) Evaluasi
a. Evaluasi terprogram.
Data dikumpulkan dari staff, orang tua, personil yang terlibat dan siswa.
Mencakup laporan anekdot, kwisioner dan wawancara.
b. Evaluasi Penempatan
Siswa yang terlibat pada program normal dan parsial yang kemajuannya
dimonitor melalui pelaporan anekdot, sampling kerja dan pengamatan oleh

18

professional yang terlibat dan orang tua. Penempatan flexible, dengan pendidikan
dan kesejahteraan siswa merupakan faktor penting.
D. Normalisasi
Normalisasi merupakan suatu konsep keadilan sosial yang telah membentuk dasar dari
kebijakan pendidikan khusus dari kebanyakan sistem sekolah. Konsep normalisasi mencakup
kepercayaan bahwa orang-orang berhak untuk menjalani gaya hidup senormal mungkin didalam
masyarakat mereka. Prinsip normalisasi menunjuka bahwa semua anak-anak harus mempunyai
peluang untuk bersekolah di dekat rumah, dengan cara yang sama dengan anak-anak yang tidak
mempunyai disabilitas.

E. Hal-Hal yang Harus Diperhatikan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif


Sekolah harus menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keaneka-ragaman

dan menghargai perbedaan.


Sekolah harus siap mengelola kelas yang heterogen dengan menerapkan kurikulum dan

pembelajaran yang bersifat individual.


Guru harus menerapkan pembelajaran yang interaktif.
Guru dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya lain dalam

perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.


Guru dituntut melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses pendidikan.

19

BAB VII
KESIMPULAN
Dengan adanya sistem pendidikan integratif, Inklusif dan Segregatif, para siswa yang
mempunyai disabilitas dapat menentukan alternative sistem yang tepat untuk mendapatkan
haknya dalam memperoleh pendidikan. Sebagai pendidik, seharusnya berusaha untuk dapat
mendidik para siswanya baik itu dengan disabilitas ataupun yang tidak. Karena pada dasarnya
tidak ada manusia yang sempurna.
Dikarenakan siswa tidak hanya membutuhkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan untuk dapat
bergabung dalam masyarakat maka diperlukan sistem yang mengajarkan berinteraksi dengan
teman-teman sebaya ataupun yang lain. Melalui sistem pendidikan Integrasi, para siswa
disabilitas dapat berinteraksi dengan teman sebaya dengan mengikuti kelas screaming setelah
kelas khusus dipagi harinya. Dapat pula dengan cara meberikan kelas regular dalam sekolah
umum, yang mana diharapkan setelah secara intensif diberikan pendidikan dengan sesama
disabilitas, mereka dapat berinteraksi dengan teman sebaya dalam lungkungan sekolah.
Sistem pendidikan Inklusif lebih membantu siswa disabilitas dalam proses pembelajarannya
karena dengan menggabungkan siswa disabilitas dengan siswa normal didalam suatu sistem
pengajaran maka mereka akan terpacu untuk dapat mengikuti kemampuan teman-teman
sekelasnya dan dapat dipastikan adanya interaksi sosial. Dalam sistem Inklusif peranan pihak
sekolah terutama pendidik dituntut melakukan berbagai perubahan, mulai cara pandang, sikap,
sampai pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan individual tanpa diskriminasi.
Pemerintah juga harus berperan aktif dalam menyediakan sarana dan prasarana guna
mengembangkan potensi para pendidik agar dapat membantu siswa disabilitas mengembangkan
potensi yang dimilikinya sehingga dapat berinteraksi secara sosial dan pada akhirnya bermanfaat
bagi umat manusia lainnya.
Sistem segregatif ini berlangsung sangat lama, bahkan telah ada sebelum Louis Braille lahir.
Kemudian, di pertengahan abad 20an, orang mulai melakukan evaluasi terhadap sistem ini.
Beberapa

kelemahan

yang

terdapat

pada

sistem

segregatif

ini

adalah:

Mendirikan sekolah luar biasa membutuhkan biaya yang sangat mahal, karena semuanya harus
serba khusus; sekolahnya khusus/tersendiri, dengan fasilitas tersendiri, berikut guru-guru khusus,
dan hanya menampung satu jenis kekhususan atau kecacatan. Misalnya, SLB-A, hanya
menerima siswa tunanetra; SLB-B, hanya menerima siswa tunarungu; SLB-C, hanya menerima

20

siswa dengan gangguan kecerdasan; SLB-D, hanya menerima siswa dengan kecacatan tangan
dan kaki. Jumlahnya terbatas, hanya ada di kota-kota besar.
Mengingat mahalnya SLB, pada umumnya Pemerintah hanya bisa mendirikan dalam jumlah
yang terbatas, biasanya hanya di kota-kota besar. Akibatnya, siswa tunanetra yang mulai
bersekolah dan tinggal di kota yang berbeda dengan lokasi SLB, harus meninggalkan atau
berjauhan dari keluarga, dan tinggal di asrama.
Kondisi terpisah dari keluarga ini tentu tidaklah ideal, baik bagi si anak tunanetra khususnya
yang masih usia sangat muda, maupun bagi keluarga tersebut; orang tua tidak bisa memantau
perkembangan anaknya secara intensif.
Siswa tunanetra hanya berteman dengan sesama tunanetra, ini berdampak pada:
1. Mereka tidak berada di dunia yang sebenarnya; pada kenyataannya, di masyarakat terdiri dari
kelompok yang berragam-ragam, tidak hanya satu golongan.
2. Sosialisasi menjadi kurang, dan ini berakibat siswa tidak atau kurang siap terjun ke
masyarakat nantinya; merasa rendah diri dan kurang percaya diri.
3. Situasi di sekolah kurang kompetitif; biasanya jumlah murid di SLB hanya sedikit, dan siswa
tidak terlalu bersemangat untuk bersaing secara sehat untuk meraih prestasi sebaik
mungkin.
Bagi masyarakat, termasuk anak-anak/siswa-siswa yang tidak menyandang kecacatan,
mereka tidak atau kurang terbiasa melihat, bertemu dan bergaul dengan siswa yang menyandang
kecacatan. Akibatnya, siswa dan masyarakat yang tidak menyandang kecacatan kurang bisa
memahami dan menghargai siswa dan orang-orang dengan kecacatan.
Mencermati banyaknya kelemahan yang ada pada sistem pendidikan segregatif, di paruh
kedua abad 20 orang mulai membuka kesempatan bagi siswa tunanetra untuk menempuh
pendidikan di sekolah umum. Sistem ini kemudian disebut sistem pendidikan integrasi, yaitu
sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada siswa tunanetra dan siswa dengan
kecacatan lain untuk menempuh pendidikan di sekolah umum, asal mereka bisa menyesuaikan
diri dengan sistem dan kurikulum yang ada.

21

DAFTAR PUSTAKA
Enslikopedi Indonesia, edisi khusus 4 KOM, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoave.
Yusron Razak, Afifi Fauzi Abbas, Nandi Rahman dan Zamah Sari, Pendidikan Agama, ( Jakarta,
UHAMKA PRESS, 2001).
Mustofa Kemal Pasha, Ahmad Abady Darban, Muhammadiyah sebagai Historis dan Idiologis
Internet, Rekontruksi Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan, PC IMM, Bandung : 2008
Ajib, R. (2013, April 09). Riyan Ajib. Retrieved November 10, 2013, from riyanajib:
http://riyanajib.blogspot.com/2013/04/bentuk-layanan-segregasi-untuk-anak.html
Coroners, L. (n.d.). Another Coroners. Retrieved November 10, 2013, from lukmancoroners:
http://lukmancoroners.blogspot.com/2010/04/disusun-oleh-nouval-nenikurnianingsih.html

22

Anda mungkin juga menyukai