Anda di halaman 1dari 10

Nama : Ulfa Nida Nur Sya’bana

NIM 1401418291

Rombel :F

LAYANAN PENDIDIKAN ABK DI SD

A. HAKIKAT LAYANAN PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS


Layanan pada hakikatnya merupakan bentuk jasa yang diberikan oleh seseorang,
institusi atau perusahaan kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan.
Dalam beberapa terminologi, Istilah layanan diartikan sebagai (1) cara melayani; (2) usaha
melayani kebutuhan orang lain dengan memperoleh imbalan (uang); (3) kemudahan yang
diberikan sehubungan dengan jual beli jasa atau barang.
Secara umum kondisi anak-anak berkebutuhan khusus memang berbeda dengan
anak- anak pada umumnya. Sehingga terkadang anak berkebutuhan khusus membutuhkan
suatu layanan khusus yang berbeda dengan anak normal. Berikut beberapa jenis layanan
secara umum yang bisa diberikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus, yaitu:
1) layanan medis dan fisiologis,
2) layanan sosial-psikologis,
3) layanan pedagogis/pendidikan.
Layanan pendidikan bagi ABK dikenal dengan Pendidikan Luar Biasa atau kini
disebut juga Pendidikan Khusus (special education) atau ortopedogik. Berasal dari Bahasa
Yunani, ortos yang berarti lurus, baik, normal, paedos yang berarti anak, dan agogos artinya
pendidikan atau bimbingan.
Pemerintah telah menjamin pendidikan bagi ABK dalam UndangUndang Dasar 1945
pasal 31 ayat 1 dan Undang-undang no 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional
yang menyatakan bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak
berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Berikut ada tiga
alasan mengapa ABK memerlukan layanan pendidikan khusus, yaitu
a. Individual differences, manusia diciptakan Tuhan berbeda-beda. Memiliki
kapasitas intelektual, sosial, fisik, suku, agama yang berbeda, sehingga
memerlukan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya.
b. Potensi siswa akan berkembang optimal dengan adanya layanan pendidikan khusus
c. Siswa ABK akan lebih terbantu dalam melakukan adaptasi sosial.
B. BENTUK LAYANAN PENDIDIKAN ANAK KEBUTUHAN KHUSUS
1. Bentuk Layanan Pendidikan Segregrasi adalah penyelenggaraan pendidikan yang
dilaksanakan secara khusus, dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak
normal.
a. Sekolah Luar Biasa (SLB)
penyelenggaraan sekolah mulai dari tingkat persiapan sampai dengan tingkat
lanjutan diselenggarakan dalam satu unit sekolah dengan satu kepala sekolah. Ada
SLB untuk tunanetra (SLB-A), SLB untuk tunarungu (SLB-B), SLB untuk
tunagrahita (SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), dan SLB untuk tunalaras
(SLB-E).
b. Sekolah Luar Biasa Berasrama
Asrama merupakan tempat pembinaan setelah anak di sekolah. Ada SLB-A untuk
anak tunanetra, SLB-B untuk anak tunarungu, SLB-C untuk anak tunagrahita, SLB-
D untuk anak tunadaksa, dan SLB-E untuk anak tunalaras, serta SLB-AB untuk anak
tunanetra dan tunarungu.
c. Kelas jauh/Kelas Kunjung
Lembaga ini disediakan untuk memberi pelayanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB dalam rangka
menuntaskan wajib belajar serta pemerataan kesempatan belajar.
d. Sekolah Dasar Luar Biasa
Lama pendidikan di SDLB sama dengan lama pendidikan di SLB konvensional
untuk tingka dasar, yaitu anak tunanetra, tunagrahita, dan tunadaksa selama 6 tahun,
dan untuk anak tunarungu 8 tahun.
2. Bentuk Layanan Pendidikan Terpadu/Integrasi adalah sistem pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama
dengan anak biasa (normal) di sekolah umum.
Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus, di sekolah
terpadu disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungi sebagai
konsultan bagi guru kelas, kepala sekolah, atau anak berkebutuhan khusus.
Tiga bentuk keterpaduan menurut Depdiknas, yaitu:
a. Bentuk Kelas Biasa, secara penuh menggunakan kurikulum biasa.
b. Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus, menggunakan kurikulum biasa serta
mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti
oleh anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak normal.
c. Bentuk Kelas Khusus, anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan
sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah
umum.
C. PENDIDIKAN INKLUSI
Inklusi berasal dari kata bahasa Inggris, yaitu inclusion, yang mendiskripsikan
sesuatu yang positif dalam usaha-usaha menyatukan anak-anak yang memiliki hambatan
dengan cara-cara yang realistis dan komprehensif dalam kehidupan pendidikan yang
menyeluruh.
(Moelyono, 2008) dalam (Haryono S., et. al, 2019) Pendidikan inklusi adalah
pendidikan yang mengikutsertakan anakanak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-
sama dengan anak-anak yang sebayanya di sekolah reguler dan pada akhirnya mereka
menjadi bagian dari masyarakat tersebut, sehingga tercipta suasana belajar yang kondusif
Menurut Sarah Emmanuel, dkk (2019) sekolah inklusif adalah lembaga pendidikan
formal yang menyediakan layanan belajar bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk
belajar bersama-sama dengan anak normal dalam komunitas sekolah reguler di mana setiap
anak diterima menjadi bagian dari kelas, diakomodir, dan direspon kebutuhannya sehingga
setiap anak mendapat peluang dan kesempatan yang sama untuk mengembangkan
potensinya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusif merupakan suatu sistem layanan
pendidikan khusus yang mensyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di
sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya.
Menyelenggarakan pendidian inklusif harus memenuhi beberapa syarat diantaranya
berkenaan dengan keberadaan siswa berkebutuhan khusus, komitmen, manajemen sekolah,
sarana prasarana, dan ketenagaan.
Lahirnya pendidikan inklusi didorong oleh adanya kesadaran bahwa semua anak
berhak atas pendidikan yang layak tanpa memandang sisi kelemahan seseorang, agar tidak
lagi terjadi diskriminatif pada anak-anak yang memiliki keterbatasan, serta mereka akan
mendapat layanan yang sesuai untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya
(Permendiknas No. 70 Tahun 2009).
Pengalaman pendidikan inklusif yang sukses menunjukkan ada tiga faktor penentu
utama yang perlu diperhatikan agar implementasi pendidikan inklusi bertahan lama.
a. Adanya kerangka yang kuat
Pendidikan inklusi perlu didukung oleh kerangka nilai-nilai, keyakinan, prinsip-
prinsip, dan indikator keberhasilan. Hal ini akan berkembang seiring dengan
implementasinya dan tidak harus “disempurnakan” sebelumnya. Namun, jika pihak
yang terlibat misalnya mempunyai konflik nilai-nilai dan jika konflik tersebut tidak
diselesaikan, pendidikan inklusif akan mudah hancur.
b. Implementasi berdasarkan budaya dan konteks lokal
Pendidikan inklusi bukan merupakan suatu cetak biru, satu kesalahan utama adalah
asumsi bahwa solusi yang diekspor dari suatu budaya/konteks dapat mengatasi
permasalahan dalam budaya/konteks lain yang sama sekali berbeda. Lagi-lagi, berbagai
pengalaman menunjukkan bahwa solusi harus dikembangkan secara lokal dengan
memanfaatkan sumber daya lokal; jika tidak, solusi tersebut tidak akan bertahan lama
c. Partisipasi yang berkesinambungan dan refleksi diri
Pendidikan inklusi tidak akan berhasil jika hanya sebagai struktur yang mati.
Pendidikan inklusi merupakan proses yang dinamis. Agar pendidikan inklusi terus
hidup, diperlukan adanya monitoring partisipatori yang berkesinambungan, yang
melibatkan semua stakeholder dalam refleksi diri yang kritis. Satu prinsip inti dari
pendidikan adalah
refleksi diri yang kritis. Satu prinsip inti dari pendidikan inklusif adalah harus tanggap
terhadap keberagaman secara fleksibel, yang senantiasa berubah dan tidak dapat
diprediksi. Jadi, pendidikan inklusif harus tetap hidup dan mengalir.
D. CIRI KHAS PELAYANAN
Anak tunagrahita walaupun mengalami hambatan intelektual, dapat
mengaktualisasikan potensinya asalkan mereka diberi kesempatan untuk mengikuti
pendidikan dengan pelayanan khusus. Melalui pelayanan ini mereka akan mampu
melaksanakan tugasnya sehingga dapat memiliki rasa percaya diri dan harga diri.
Hal yang paling penting dalam pendidikan anak tunagrahita adalah memunculkan
harga diri sehingga mereka tidak menarik diri dan masyarakat tidak mengisolasi anak
tunagrahita karena mereka terbukti mampu melakukan sesuatu. Pada akhirnya anak
tunagrahita mendapat tempat di hati masyarakat, seperti anggota masyarakat umumnya.
Untuk mencapai harapan tersebut diperlukan pelayanan yang memiliki ciri-ciri
khusus dan prinsip khusus, sebagai berikut.
a. Ciri-ciri khusus
1. Bahasa yang digunakan
Bahasa yang digunakan dalam berinteraksi dengan anak tunagrahita adalah
bahasa sederhana, tidak berbelit, jelas, dan gunakan kata-kata yang sering didengar
oleh anak.
2. Penempatan anak tunagrahita di kelas
Anak tunagrahita ditempatkan di bagian depan kelas dan berdekatan dengan
anak yang kira-kira hampir sama kemampuannya. Apabila ia di kelas anak normal
maka ia ditempatkan dekat anak yang dapat menimbulkan sikap keakraban.
3. Ketersediaan program khusus
Di samping ada program umum yang diperkirakan semua anak di kelas itu
dapat mempelajarinya perlu disediakan program khusus untuk anak tunagrahita
yang kemungkinan mengalami kesulitan.
b. Prinsip Khusus
1. Prinsip skala perkembangan mental
Prinsip ini menekankan pada pemahaman guru mengenai usia kecerdasan
anak tunagrahita. Dengan memahami usia ini guru dapat menentukan materi
pelajaran yang sesuai dengan usia mental anak tunagrahita tersebut. Dengan
demikian, anak tunagrahita dapat mempelajari materi yang diberikan guru. Melalui
prinsip ini dapat diketahui perbedaan antar dan intraindividu.
Sebagai contoh: A belajar berhitung tentang penjumlahan 1 sampai 5.
Sementara B telah mempelajari penjumlahan 6 sampai 10. Ini menandakan adanya
perbedaan antarindividu.
Contoh berikut adalah perbedaan intraindividu, yaitu C mengalami kemajuan
berhitung penjumlahan sampai dengan 20. Tetapi dalam pelajaran membaca
mengalami kesulitan dalam membedakan bentuk huruf.
2. Prinsip kecekatan motoric

Melalui prinsip ini anak tunagrahita dapat mempelajari sesuatu dengan


melakukannya. Di samping itu, dapat melatih motorik anak terutama untuk gerakan
yang kurang mereka kuasai.
3. Prinsip keperagaan
Prinsip ini digunakan dalam mengajar anak tunagrahita mengingat
keterbatasan anak tunagrahita dalam berpikir abstrak. Oleh karena sangat penting,
dalam mengajar anak tunagrahita dapat menggunakan alat peraga. Dengan alat
peraga anak tunagrahita tidak verbalisme atau memiliki tanggapan mengenai apa
yang dipelajarinya. Dalam menentukan alat peraga hendaknya tidak abstrak dan
menonjolkan pokok materi yang diajarkan. Contohnya, anak belajar membaca kata
“bebek”, alat peraganya adalah tulisan kata bebek harus tebal sementara gambar
bebek harus tipis. Maksudnya, gambar bebek hanyalah untuk membantu pengertian
anak.

4. Prinsip pengulangan

Berhubung anak tunagrahita cepat lupa mengenai apa yang dipelajarinya


maka dalam mengajar mereka membutuhkan pengulangan-pengulangan
disertaicontoh yang bervariasi. Oleh karena itu, dalam mengajar anak tunagrahita
janganlah cepat-cepat maju atau pindah ke bahan berikutnya sebelum guru yakin
betul bahwa anak telah memahami betul bahan yang dipelajarinya.
Contohnya, C belajar perkalian 2 (1x2, 2x2,). Guru harus mengulang pelajaran
itu sampai anak memahami betul arti perkalian. Barulah kemudian menambah
kesulitan materi pelajaran, yakni 3 2, 4 2, dan seterusnya.
Pengulangan-pengulangan seperti itu, sangat menguntungkan anak tunagrahita
karena informasi itu akan sampai pada pusat penyimpanan memori dan bertahan
dalam waktu yang lama.
5. Prinsip korelasi

Maksud prinsip ini adalah bahan pelajaran dalam bidang tertentu hendaknya
berhubungan dengan bidang lainnya atau berkaitan langsung dengan kegiatan
kehidupan sehari-hari anak tunagrahita.

6. Prinsip maju berkelanjutan

Walaupun anak tunagrahita menunjukkan keterlambatan dalam belajar dan


perlu pengulangan, tetapi harus diberi kesempatan untuk mempelajari bahan
berikutnya dengan melalui tahapan yang sederhana. Jadi, maksud prinsip ini adalah
pelajaran diulangi dahulu dan apabila anak menunjukkan kemajuan, segera diberi
bahan berikutnya. Contohnya, menyebut nama-nama hari mulai Senin, Selasa, dan
Rabu. Ulangi dahulu nama hari Senin, Selasa, Rabu, kemudian lanjutkan menyebut
Kamis, Jumat Sabtu, Minggu.

7. Prinsip individualisasi

Prinsip ini menekankan perhatian pada perbedaan individual anak tunagrahita.


Anak tunagrahita belajar sesuai dengan iramanya sendiri. Namun, ia harus
berinteraksi dengan teman atau dengan lingkungannya. Jadi, ia tetap belajar bersama
dalam satu ruangan dengan kedalaman dan keluasan materi yang berbeda.
Contohnya, pada jam 8.00 murid kelas 3 SDLB belajar berhitung. Materi pelajaran
anak-anak itu berbeda-beda sehingga terdiri dari 3 kelompok. Kelompok1 harus
ditunggui barulah ia akan belajar, sedangkan kelompok 2 cukup diberi penjelasan
dan langsung mengerjakan tugasnya.
E. IMPLEMENTASI LAYANAN PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Salah satu implementasi dari layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus
adalah dengan menyelenggarakan pendidikan inklusi untuk anak berkebutuhan khusus
yang masih dapat menerima pembelajaran seperti anak normal.
Contoh:
Pada proses belajar mengajar di kelas inklusi yang terdapat siswa tunalaras di
dalamnya, diperlukan pula strategi untuk keberhasilan proses belajar mengajar di sekolah
inklusi. Salah satu strategi adalah positive behavioral support (PBS) untuk anak dengan
gangguan emosi dan perilaku. Strategi tersebut diterapkan secara individual terhadap
anak dengan gangguan emosi dan perilaku di ruangan kelas. Keberhasilan strategi PBS
tersebut juga ditunjang oleh kerjasama antara guru inklusi dengan guru pendamping
khusus untuk memperingan beban kerja, berbagi perspektif mengenai perilaku yang
ditangani, dan improvisasi secara konsisten. Adapun tahap demi tahap PBS dapat
dilakukan secara co- teaching adalah sebagai berikut :
a) Menentukan dan mendeskripsikan tingkah laku siswa di ruangan kelas. Guru
inklusi dan guru pendamping khusus dapat berbagi perspektif mengenai tingkah
laku yang teramati.
b) Melakukan asesmen atas gangguan emosi dan perilaku siswa. Kegiatannya meliputi
observasi, analisa, dan membuat hipotesis atas perilaku siswa.
c) Mengembangkan hipotesis : kenapa siswa mempertahankan perilaku tersebut.
d) Menetapkan target berupa perilaku pengganti. Para guru yang mengenal siswa
dapat bekerja sama dalam mengidentifikasi perilaku pengganti, menganalisa, dan
menjabarkan tahap demi tahap keterampilan yang harus dikuasai ataupun yang
harus dihilangkan siswa dalam meraih perilaku pengganti.
e) Guru dengan bekerja sama mengajar siswa mengenai tingkah laku target, memberi
penguatan di kelas, dan memverifikasi pencapaian yang diraih siswa maupun guru.
f) Memodifikasi lingkungan yang mendukung pencapaian tingkah laku target, dan
memungkinkan perkembangan perilaku ke arah lebih baik. Upaya modifikasi
lingkungan ini merupakan kegiatan besar yang melibatkan warga kelas (guru kelas,
guru pendamping khusus dan siswa lainnya), tim guru lain, kepala sekolah, bagian
administrasi sekolah, dan juga orang tua siswa. Seluruh pihak yang terlibat
diharapkan menunjukkan dukungan dengan berbagai pola sikap maupun tindakan
yang mendukung anak tunalaras memperoleh perilaku positif.

Anda mungkin juga menyukai