Ketika seorang anak diidentifikasi mempunyai berkebutuhan khusus, pendidikan luar biasa
sewaktu-waktu diperlukan. Hal itu dikemukakan karena peserta didik berkebutuhan
pendidikann khusus tidak secara otomatis memerlukan pendidikan luar biasa. Pendidikan
luar biasa akan sesuai hanya apabila kebutuhan siswa tidak dapat diakomodasi dalam
program pendidikan umum. Singkat kata, pendidikan luar biasa adalah program
pembelajaran yang disiapkan untuk memenuhi kebutuhan unik dari
individu siswa.
Kunci Jawaban
1 B
2 C
3 A
A. Bentuk Layanan Segregasi
SLB merupakan bentuk unit pendidikan dengan penyelenggaraan sekolah mulai dari tingkat
persiapan sampai dengan tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu unit sekolah dengan
satu kepala sekolah. Ada beberapa sekolah atau layanan pendidikan yang dapat
dikatagorikan sistem segregasi ini, yaitu sebagai berikut:
Pada tahun 2014, terjadi banyak perubahan terkait penyelenggaraan SLB. SLB E
(hamabtan emosional dan prilaku) secara faktual masih ada, tetapi dalam sistem
Kurikulum 2013 sudah tidak menyinggung secara spesifik SLB E. Terdapat satu jenis
anak berkebutuhan khusus yakni Autis/Autism Spectrum Disorder (ASD) yang menjadi
perhatian dalam sistem pendidikan khusus sehingga sekarang ada SLB Autis.
Selain ada SLB yang hanya menerima satu hambatan saja, ada pula yang menerima
lebih dari satu hambatan, sehingga muncul SLB-BC yaitu SLB bagi peserta didik
tunarungu dan tunagrahita. SLB- ABCD, yaitu SLB bagi peserta didik tunanetra,
tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa. Hal ini sesuai dengan Pemendikbud No. 6
Tahun 2019 BAB I Ketentuan umum point 11 bahwa “ Sekolah Luar Biasa yang
selanjutnya disingkat SLB adalah bentuk Satuan Pendidikan khusus yang terintegrasi
pada jalur formal untuk jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan
menengah dalam satu manajemen pengelolaan”
Adapun regulasi yang memayungi sekolah khusus ini adalah UU RI Nomor 23 Tahun
2003 (1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki
tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena hambatan fisik,
emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
(2) Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah
terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami
bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi. (3) Ketentuan
mengenai pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah. dan Permendikbud No. 6 Tahun 2019 Tentang Pedoman
Organisasi dan Tata Kerja Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah BAB II mengenai
kedudukan, tugas, dan fungsi satuan pendidikan pada pada pendidikan khusus
meliputi:
● Pasal 4 (1) SDLB mempunyai tugas mengelola pendidikan khusus meliputi 6 (enam)
tingkatan kelas terdiri atas :
a. kelas 1 (satu);
b. kelas 2 (dua);
c. kelas 3 (tiga);
d. kelas 4 (empat);
e. kelas 5 (lima); dan
f. kelas 6 (enam).
● Pasal 6 (1) SMPLB mempunyai tugas mengelola pendidikan khusus meliputi 3 (tiga)
tingkatan kelas terdiri atas :
a. kelas 7 (tujuh);
b. kelas 8 (delapan); dan
c. kelas 9 (sembilan).
● Pasal 8 (1) SMALB mempunyai tugas mengelola pendidikan khusus meliputi 3 (tiga)
tingkatan kelas terdiri atas :
a. kelas 10 (sepuluh);
b. kelas 11 (sebelas); dan
c. kelas 12 (dua belas).
Di samping satuan pendidikan di atas, Pasal 1 no.84 tahun 2014 menyatakan bahwa
“Taman Kanak-kanak Luar Biasa yang selanjutnya disingkat TKLB adalah salah satu
bentuk satuan PAUD pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program
pendidikan khusus bagi anak berusia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun
dengan prioritas usia 5 (lima) dan 6 (enam)”
Anak berkebutuhan khusus tersebar di seluruh pelosok tanah air, sedangkan sekolah-
sekolah yang khusus mendidik mereka masih sangat terbatas di kota/kabupaten. Oleh
karena itu, dengan adanya kelas jauh/kelas kunjung menjadi tanggung jawab SLB
terdekatnya. Tenaga guru yang bertugas di kelas tersebut berasal dari guru SLB- SLB
di dekatnya. Dengan kata lain, kelas jauh tersebut sebagai afiliansi dari SLB terdekat
sebagai sekolah induk.
Kelebihan dari sistem layanan segregasi ini adalah (1) anak merasa senasib, sehingga
dapat menghilangkan rasa minder, rasa rendah diri, dan membangkitkan semangat
menyongsong kehidupan di hari-hari mendatang, (2) anak lebih mudah beradaptasi
dengan temannya yang sama-sama mengalami hambatan, (3) anak termotivasi dan
bersaing secara sehat dengan sesama temannya yang senasib di sekolahnya, dan anak
lebih mudah bersosialisasi tanpa dibayangi rasa takut bergaul, minder, dan rasa
kurang percaya diri.
Adapun kekurangannya adalah (1) anak terpisah dari lingkungan anak tipikal lainnya
sehingga anak sulit bergaul dan menjalin komunikasi dengan anak-anak tipikal, (2)
anak merasa terpasung dan dibatasi pergaulannya dengan anak-anak kebutuhan
khusus saja sehingga pada gilirannya dapat menghambat perkembangan
sosialisasinya di masyarakat, dan (3) anak merasakan ketidakadilan dalam kehidupan
di sekolah yang terbatas bagi mereka yang tergolong berkebutuhan khusus.
B. Bentuk Layanan Integrasi/Terpadu
Sistem pendidikan integrasi disebut juga sistem pendidikan terpadu yakni sistem
pendidikan yang membawa anak berkebutuhan khusus kepada suasana keterpaduan
dengan anak-anak tipikal. Keterpaduan tersebut menurut Suparno dan Purwanto (1991:
12-14) dapat bersifat menyeluruh, sebagian, keterpaduan dalam rangka sosialisasi.
Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagian, jumlah anak berkebutuhan khusus
dalam satu kelas dalam jumlah tertentu dari jumlah peserta didik keseluruhan. Hal ini untuk
menjaga beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru harus melayani berbagai
macam jenis anak berkebutuhan khusus.
Untuk membantu hambatan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus, di sekolah
terpadu disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungsi sebagai
konsultan bagi guru kelas, kepala sekolah atau anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain
itu GPK juga berfungsi sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus atau guru kelas
pada kelas khusus.
Ada 3 bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
menurut Depdiknas (1986), ketiga bentuk tersebut yaitu (a) Kelas Biasa, (b) Kelas Biasa
dengan Ruang Bimbingan Khusus, dan (c) Bentuk Kelas Khusus.
1. Kelas Biasa
Di kelas biasa ini, ABK bersama-sama dengan peserta didik tipikal terlibat dalam proses
belajar mengajar dan secara penuh menggunakan kurikulum dimana sekolah tersebut
berlaku. Dalam keterpaduan ini, guru pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai
konsultan bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orang tua anak
berkebutuhan khusus. Sebagai konsultan, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai
penasehat kurikulum, maupun permasalahan dalam mengajar anak berkebutuhan
khusus. Oleh karena itu perlu disediakan ruang konsultasi untuk guru pembimbing
khusus.
Pendekatan, metode, cara penilaian yang digunakan pada kelas biasa ini tidak berbeda
dengan yang digunakan dalam sekolah umum. Kalaupun terdapat penyesuaian untuk
beberapa kasus ringan saja atau sangat memungkinkan dilakukan oleh guru. Misalnya,
untuk anak tunanetra untuk pelajaran menggambar, matematika, menulis, membaca,
perlu disesuaikan dengan kondisi anak. Untuk anak tunarungu mata pelajaran kesenian,
bahasa asing/bahasa Indonesia (lisan) perlu disesuaikan dengan kemampuan wicara
anak. Bentuk keterpaduan ini sering juga disebut dengan keterpaduan penuh.
Pelayanan khusus tersebut diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing
khusus (GPK) dengan menggunakan pendekatan individual dan metode peragaan yang
sesuai. Untuk keperluan tersebut di ruang bimbingan khusus dilengkapi dengan
peralatan khusus untuk memberikan latihan dan bimbingan khusus. Misalnya untuk
anak tunanetra, di ruang bimbingan khusus disediakan alat tulis braille, peralatan
orientasi mobilitas. Keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga keterpaduan
sebagian.
3. Kelas Khusus
ABK mengikuti pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus
pada sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan terpadu. Keterpaduan ini
disebut juga dengan keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat
sosialisasi.
Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai pelaksana
program di kelas khusus. Pendekatan, metode, dan cara penilaian sama dengan yang
digunakan di SLB. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik dan sosial, yang
artinya anak berkebutuhan khusus yang dipadukan untuk kegiatan yang bersifat non
akademik, seperti olah raga, ketrampilan, juga sosialisasi pada waktu jam-jam istirahat
atau acara lain yang diadakan oleh sekolah.
Pada kelas khusus, biasanya terdapat beberapa peserta didik yang memiliki derajat
kekhususan yang relatif sama. Untuk menanganinya digunakan pembelajaran individual
(individualized instruction) karena masing-masing anak memiliki kekhususan. Tujuan
pembentukan kelas khusus adalah untuk membantu anak-anak agar tidak terjadi tinggal
kelas/drop out atau untuk menemukan gejala keluarbiasaan secara dini pada anak-anak
SD. Dalam praktiknya kelas khusus bersifat fleksibel.
● Peserta didik berkebutuhan khusus dapat membangun rasa percaya diri yang lebih
baik.
● Peserta didik berkebutuhan khusus dapat bersekolah di mana saja, bahkan
sekolah yang dekat dengan tempat tinggalnya; jadi tidak perlu terpisah dari
keluarga mereka.
● Dari sisi kurikulum, dengan menempuh pendidikan di sekolah umum, anak
berkebutuhan khusus akan mendapatkan materi pelajaran yang sama dengan
peserta didik tipikal.
● Potensi anak dapat lebih cepat berkembang karena pembelajarannya
menggunakan pendekatan individual atau kelompok kecil
Di samping kelebihan terdapat juga kekurangannya, antara lain adalah sebagai berikut.
● Anak berkebutuhan khusus kadang-kadang masih mendapatkan stigma negatif dari
sebagian temannya sehingga dapat mengganggu perkembangan psikologisnya yang
berdampak pada perkembangan belajarnya.
● Anak berkebutuhan khusus dalam bersosialisasi kadang-kadang masih enggan untuk
bergaul dengan mereka yang bukan kategori anak berkebutuhan khusus.
● Sebagian orangtua tidak menerima bila anaknya dicap sebagai anak berkebutuhan
khusus apalagi kalau dikelompokkan dengan sesama anak berkebutuhan khusus
dalam kelas khusus.
● Peserta didik anak berkebutuhan khusus harus menyesuaikan diri dengan metode
pengajaran dan kurikulum yang ada.
Bentuk layanan yang inklusif di sekolah umum menggunakan kurikulum yang ada di
sekolah tersebut, tetapi guru memungkinkan melakukan perubahan terkait dengan
kondisi kelas yang beragam. Guru sangat memungkinkan memodifikasi dan
mengadaptasi kurikulum ketika terdapat anak yang kesulitan berpartisipasi dalam
kegiatan belajar. Seringkali disebut dengan kurikulum akomodatif atau juga kurikulum
yang fleksibel. (akan dipelajari selanjutnya pada materi sistem layanan pembelajaran).
Silakan pelajari juga materi di link sebagai berikut:
https://civitas.uns.ac.id/jokoyuwono/2020/07/04/bentuk-layanan-pendidikan-
khusus-least- restrictive-environment-lre-hallahan-kauffman-1991/
Pada proses belajar dalam kelas dengan peserta didik yang beragam (inklusif) guru
kelas atau guru mata pelajaran bertanggungjawab penuh terhadap pelaksanaan
kegiatan belajar. Tidak menutup kemungkinan guru membutuhkan pertolongan GPK
untuk merancang kegiatan belajar sehingga semua anak bisa belajar di dalam kelas
yang sama.