Anda di halaman 1dari 7

Problematika Akomodasi Yang Layak Bagi Siswa Berkebutuhan Khusus Di SLB

Sumber Dharma
Abdullah Muhibbin (220154611531)
Ambarwati Anisa Putri (220154602573)
Roshana Putri Hartami (220154605307)
S-1 Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Malang

Pendidikan merupakan hak setiap orang, setiap orang berhak mendapatkan layanan
pendidikan sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya. Telah tertuang di dalam salah satu
pertimbangan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan
Nasional yaitu: “Sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan, peningkatan mutu, relevansi dan efisiensi pengelolaan manajemen pendidikan untuk
menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global
sehingga diperlukan pembaharuan pendidikan secara berencana, terarah dan berkesinambungan.”
Begitu halnya dengan anak berkebutuhan khusus, anak tersebut juga berhak mendapatkan
layanan pendidikan sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus pada
awalnya dikenal sebagai Anak Luar Biasa (ALB) sehingga pendidikanya juga dikenal sebagai
Pendidikan Luar Biasa (PLB), dimana UU No.20 tahun 2003 pasal 5 ayat 2 menegaskan bahwa
“warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial
berhak memperoleh pendidikan khusus.” Selain itu ayat 4 juga menjamin bahwa “warga negara
yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.”
Jadi kelainan ditinjau dari kekurangan dan kelebihannya. Dari landasan tersebut tampak bahwa
anak luar biasa memiliki hak yang sama dengan anak normal untuk memperoleh pendidikan.
Sekolah Luar Biasa (SLB) merupakan salah satu bentuk layanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus di Indonesia. Sejak tahun 1901, Indonesia telah menyelenggarakan layanan
pendidikan anak berkebutuhan khusus secara terpisah (segregasi) yang menempatkan anak
berkebutuhan khusus terpisah dari teman sebayanya. Selama ini SLB dianggap sebagai solusi
terbaik bagi anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan. Siapakah yang dimaksud
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)? Satmoko (2010 : 127) menjelaskan ABK adalah anak yang
memiliki karakteristik khusus. Keadaan khusus membuat mereka berbeda dengan anak pada
umumnya. Pemberian predikat ”berkebutuhan khusus” tentu saja tanpa 2 selalu menunjukkan
pada pengertian lemah mental atau tidak identik juga dengan ketidakmampuan emosi atau
kelainan fisik. ABK ini terbagi atas dua kelompok, yaitu ABK temporer (sementara) dan
permanen (tetap). Adapun yang termasuk kategori ABK temporer meliputi anak-anak yang
berada di lapisan strata sosial ekonomi yang paling bawah, anak-anak jalanan (anjal), anak-anak
korban bencana alam, anak-anak di daerah perbatasan dan di pulau terpencil, serta anak-anak
yang menjadi korban HIV-AIDS. Sedangkan yang termasuk kategori ABK permanen adalah
anak-anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autis, ADHD (Attention
Deficit and Hiperactivity Disorders), anak berkesulitan belajar, anak berbakat dan sangat cerdas
dan lain-lain.
Pada Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 dijelaskan bahwa Akomodasi yang
Layak adalah modifikasi dan penyesuaian yang tepat dan diperlukan untuk menjamin
penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk
Penyandang Disabilitas berdasarkan kesetaraan. Penyediaan Akomodasi yang Layak di bidang
pendidikan bertujuan untuk menjamin terselenggaranya atau terfasilitasinya pendidikan untuk
Peserta Didik Penyandang Disabilitas oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Fasilitasi
penyediaan Akomodast yang Layak dilakukan paling sedikit melalui penyediaan dukungan
anggaran dan/atau bantuan pendanaan, penyediaan sarana dan prasarana, penyiapan dan
penyediaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan, dan penyediaan kurikulum.
Penyediaan dukungan anggaran dan/atau bantuan pendanaan dilakukan melalui
pengalokasian dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan
belanja daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan kemampuan
keuangan negara atau daerah. Penyediaan sarana dan prasarana dilakukan melalui pengadaan
dan/atau pemeliharaan sarana dan prasarana yang memenuhi aspek aksesibilitas bangunan dan
lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyiapan dan penyediaan
Pendidik dan Tenaga Kependidikan dilakukan dengan pemberian mata kuliah pendidikan
inklusif dalam program pendidikan calon guru, penyediaan guru pendidikan khusus pada
Lembaga Penyelenggara Pendidikan yang menerima Peserta Didik Penyandang Disabilitas, dan
penyelenggaraan pelatihan Pendidik dan Tenaga Kependidikan dilakukan untuk
mengembangkan dan meningkatkan kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Penyediaan
kurikulum dilakukan dengan pengembangan standar kompetensi lulusan standar isi, standar
proses, dan standar penilaian, yang sesuai dengan kebutuhan Peserta Didik Penyandang
Disabilitas.
Penulis melakukan observasi dan wawancara di SLB Sumber Dharma yang berlokasi di
Jalan Candi Jago 28, Blimbing, Kota Malang. SLB yang berbentuk yayasan ini menaungi 4
jenjang yakni TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB. SLB Sumber Dharma melayani kebutuhan
khusus C atau tunagrahita ringan, namun penulis juga menemukan siswa yang berkebutuhan
khusus selain tunagrahita di SLB Sumber Dharma seperti tunarungu, autisme, downsyndrome,
dan tunadaksa.
SLB Sumber Dharma adalah SLB swasta karena dinaungi oleh yayasan, hal ini membuat
sumber pendanaan bukan berasal dari pemerintah melainkan dari peserta didik sendiri. Dengan
dana yang hanya bersumber dari siswa saja, tentu akan berdampak pada fasilitas-fasilitasnya.
Sekolah tersebut tentunya dibutuhkan sarana dan prasarana yang memadai guna menunjang
proses belajar mengajar siswa sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya. Ibrahim Bafadal (2008:
2) menjelaskan bahwa sarana pendidikan adalah semua perangkat peralatan, bahan, dan perabot
yang secara langsung digunakan dalam proses pendidikan di sekolah, sedangkan prasarana
pendidikan adalah semua perangkat kelengkapan dasar yang secara tidak langsung menunjang
pelaksanaan proses pendidikan di sekolah Penyelenggaraan pembelajaran memerlukan dukungan
sarana dan prasarana pendidikan yang memadai dalam jenis maupun jumlahnya. Terlebih untuk
anak berkebutuhan khusus, sarana dan prasarana yang dibutuhkan harus memadai dan
disesuaikan dengan tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran. Sarana dan
prasarana yang memadai tersebut harus memenuhi ketentuan minimum yang ditetapkan dalam
standar sarana dan prasarana. Menurut penulis, sarana di SLB Sumber Dharma ini masih kurang.
Media pembelajaran di kelas yang penulis amati masih kurang memadai, misalnya kartu huruf
yang sebagian hurufnya hilang, kartu penunjuk ekspresi yang sebagian robek, dan alat mewarnai
yang tidak lengkap warnanya. Pada jenjang SD ada beberapa kelas yang tidak memiliki pintu
yang membuat anak-anak dapat kabur meninggalkan kelas dan membuat konsentrasi siswa
terganggu karena dapat melihat lalu-lalang orang lewat di depan kelas tersebut. Disemua kelas
yang penulis amati, tidak ada alat peredam suara, padahal siswa di SLB ini mayoritas adalah
siswa tunagrahita yang sebagaimana kita tahu mereka mudah sekali tantrum. Dengan
ketidakadaan alat peredam ini membuat suara anak yang sedang tantrum akan terdengar sampai
kelas-kelas lain. Di kelas yang penulis amati, masih banyak ditemukan sudut- sudut meja
maupun kursi yang memiliki sudut lancip, ini hal bisa berbahaya terhadap siswa terlebih pada
saat ada siswa yang tantrum. Seperti yang sudah penulis jelaskan di atas, bahwa di SLB Sumber
Dharma juga terdapat beberapa siswa tunarungu, namun di kelas-kelas yang penulis amati tidak
terdapat fasilitas khusus untuk siswa tunarungu, misalnya kaca untuk media bina wicara. Pada
PP No 13 tahun 2020, disebukan bahwa sekolah harus menyediakan ruang untuk melepas
ketegangan/ruang relaksasi, namun di SLB Sumber Dharma tidak ada ruang tersebut. Adapun
prasarana untuk siswa tunadaksa juga tidak memadai, tidak ada bidang miring bagi pengguna
kursi roda.
Di SLB Sumber Dharma, satu kelas terdiri atas 4-6 siswa dan 1 guru kelas. Namun
menurut penulis diperlukan seorang guru pembimbing khusus disetiap kelasnya, karena
mayoritas siswanya adalah tunagrahita yang sulit dikondisikan. Guru pembimbing khusus (GPK)
ini juga dapat membantu mengkondisikan siswa lainnya jikalau ada siswa yang tantrum. Dan
untuk siswa tunarungu di sana masih belum memiliki guru khusus untuk bina wicara, hal ini
sangat disayangkan karena seharusnya siswa tersebut masih biss mengembangkan potensinya.
Untuk kondisi pengajar masih belum bisa dikatakan sebagai pendidik yang baik, karena
ada beberapa kejadian yang penulis amati dikelas tersebut, yaitu guru terkadang masih memarahi
ABK dan juga memukul ABK, sedangkan hal tersebut merupakan hal yang dilarang dilakukan
oleh semua guru. Seharusnya guru kelas mengerti dan memahami ABK didalam kelas itu,
sikapnya, karakteristiknya dan bagaimana cara memperlakukan siswanya. Maka dari itu,
pemberian mata kuliah psikologi dan ortopedagogik juga berperan besar di sini, dengan belajar
ilmu tersebut calon pendidik akan dapat memperlakukan siswanya dengan baik dan memiliki
kompetensi pendidik yang baik.
Kompetensi inti guru pendidikan khusus tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan
menyesuaikan dengan kompetensi inti guru sekolah umum sebagaimana tertuang dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007, antara lain: kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribagian, kompetensi social, dan kompetensi professional. Rincian
kemampuan yang harus dikuasai guru pada ranah kompetensi pedagogik, meliputi: (1)
Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional dan
intelektual; (2) Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik; (3)
Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran/bidang pengembangan yang
diampu; (4) Menyelenggarakan pembelajaran/pengembangan yang mendidik; (5) Memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran/pengembangan yang mendidik; (6) Memfasilitasi pengembangan potensi peserta
didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimil Berkomunikasi secara efektif,
empatik, dan santun dengan peserta didik; (8) Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses
dan hasil belajar; (9) Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan
pembelajaran; (10) Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
Secara lebih terinci penjabaran kemampuan tersebut dapat disimak pada bagian berikut ini.
Rincian kemampuan yang harus dikuasai guru pada ranah kompetensi kepribadian,
meliputi: (1) Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional
Indonesia; (2) Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi
peserta didik dan masyarakat; (3) Menampilkan diri sebagai pribadi yang sabar, tekun, mantap,
stabil, dewasa, arif, dan berwibawa; (4) Menunjukkan etos kerja, tanggungjawab yang tinggi,
rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri; (5) Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.
Rincian kemampuan yang harus dikuasai guru pada ranah kompetensi sosial, meliputi:
(1) Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis
kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi, (2)
Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga
kependidikan, orang tua, dan masyarakat; (3) Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah
Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya; (4) Berkomunikasi dengan
komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain.
Rincian kemampuan yang harus dikuasai guru pada ranah kompetensi profesional,
meliputi: (1) Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata
pelajaran yang diampu; (2) Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata
pelajaran/bidang pengembangan yang diampu; (3) Mengembangkan materi pembelajaran yang
diampu secara kreatif, (4) Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan
melakukan tindakan reflektif; (5) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk
berkomunikasi dan mengembangkan diri
Yang terakhir yaitu problematka kurikulum. SLB Sumber Dharma menggunakan
kurikulum khusus 2013. Menurut penulis tidak ada masalah di kurikulum dan system
pengajarannya. Siswa diajari sesuai kurikulum yang sudah melalui tahap penyesuaian
berdasarkan kemampuan masing-masing siswa. Di kelas yang penulis amati pembelajarannya,
yakni kelas 1 dan 2, pembelajaran lebih kearah belajar sambil bermain.
Kesimpulannya, problematika akomodasi yang layak di SLB Sumber Dharma yang perlu
banyak perbaikan adalah sarana prasarana dan tenaga pendidiknya.

Dokumentasi Observasi :

Permainan untuk anak Tuna Grahita Media pembelajaran untuk anak Tuna Grahita

Foto Bersama anggota kelompok (1) Foto Bersama anggota kelompok (2)

Guru yang sedang mengajar anak Tuna Grahita Permainan untuk anak Tuna Grahita

Anda mungkin juga menyukai