Halaman
Kata Pengantar .…………………………………………………………………………………………………………….…………….. i
Daftar Isi .……………………………………………………………………………………….…………………………………………... iii
Glossary .……………………………………………………………………………………………………………………………………………. iv
Daftar Singkatan dan Istilah ………………………………………………………………………………………………………... v
BAB II. KEBIJAKAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN HEPATITIS DAN INFEKSI SALURAN
PENCERNAAN ......................................................................................................................................................... 6
BAB III. GAMBARAN KLINIS HEPATITIS DAN INFEKSI SALURAN PENCERNAAN .................................... 10
BAB VI. SISTEM KEWASPADAAN DINI KEJADIAN LUAR BIASA HEPATITIS DAN INFEKSI
SALURANA PENCERNAAN ………………………………………………………………………………………….…. 52
A. Sistem Kewaspadaan Dini-Kejadian Luar Biasa Diare …………………….……………………...…. 52
B. Sistem Kewaspadaan Dini-Kejadian Luar Biasa Tifoid …………………………….……………...… 53
C. Sistem Kewaspadaan Dini-Kejadian Luar Biasa Hepatitis A ………………….…………………... 53
D. Sistem Kewaspadaan Dini-Kejadian Luar Basa Hepatitis E …………………..………………….... 55
BAB VII. SURVEILANS EPIDEMOLOGI HEPATITIS DAN INFEKSI SALURAN PENCERNAAN ……………. 56
A. Pencatatan dan Pelaporan ………………………………………………………………………………………. 56
B. Surveilans Epidemiologi Hepatitis B dan C ………………………………………………………………. 57
C. Surveilan Epidemiologi Infeksi Saluran Pencernaan ………………………………………………… 57
0
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan diketahuinya besaran masalah hepatitis secara global dan dampaknya terhadap
kesehatan masyarakat, maka pada tanggal 20 Mei 2010, World Health Assembly (WHA)
dalam sidangnya yang ke-63 di Geneva telah menyetujui mengadopsi resolusi hepatitis,
yaitu semua negara di dunia sudah saatnya melakukan pengendalian hepatitis. Dalam
resolusi tersebut, WHO akan menyediakan bantuan bagi negara berkembang dalam
pengembangan strategi nasional, surveilans yang efektif, pengembangan vaksin, dan
pengobatan yang efektif. Kemudian WHO menetapkan tanggal 28 Juli sebagai Hari
Hepatitis Dunia atau World Hepatitis Day. Peringatan Hari Hepatitis Dunia bermaksud
untuk meningkatkan kepedulian pemerintah, masyarakat dan semua pihak terhadap
pengendalian hepatitis. Resolusi WHA tentang hepatitis diperkuat lagi dengan resolusi
WHA nomor 67.6 tanggal 20 Mei 2014 tentang perlunya ‘aksi konkrit’ dalam
pengendalian hepatitis.
1
Penyakit lain yang menimbulkan masalah kesehatan masyarakat khususnya pada bayi
dan balita adalah diare. Menurut WHO dan UNICEF, setiap tahunnya terjadi sekitar 2
milyar kasus diare di dunia, dan sekitar 1,9 juta anak balita diantaranya meninggal.
Sebagian besar kasus diare terjadi di negara berkembang. Dari semua kematian anak
balita karena diare, 78% terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Di Indonesia, diare
merupakan penyebab nomor satu kematian bayi (31,4%) dan kematian balita (25,2%)
serta penyebab kematian nomor 4 (13,2%) pada semua umur dalam kelompok penyakit
menular (Riskesdas 2007).
Pada tahun 2013, period prevalen dan insiden diare untuk seluruh kelompok umur di
Indonesia masing-masing sebesar 3.5%. Lima provinsi dengan period prevalen dan
insiden diare tertinggi, yaitu Papua (6,3% dan 14,7%), Sulawesi Selatan (5,2% dan
10,2%), Aceh (5,0% dan 9,3%), Sulawesi Barat (4,7% dan 10,1%), dan Sulawesi Tengah
(4,4% dan 8,8%). Semakin rendah kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi proporsi
diare pada penduduk. Petani/nelayan/buruh mempunyai proporsi tertinggi (7,1%),
jenis kelamin dan tempat tinggal menunjukkan proporsi yang tidak jauh berbeda. Isiden
diare balita di Indonesia sebesar 6,7%. Lima provinsi dengan insiden diare pada balita
tertinggi adalah Aceh (10,2%), Papua (9,6%), DKI Jakarta (8,9%), Sulawesi Selatan
(8,1%), dan Banten (8,0%). Anak balita merupakan kelompok umur paling tinggi
menderita diare, terutama 12-23 bulan (7,6%), laki-laki (5,5%), tinggal di daerah
pedesaan (5,3%), dan kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah (6,2%)
(Riskesdas, 2013).
Demam tifoid (selanjutnya disebut tifoid saja) merupakan salah satu dari penyakit
infeksi saluran pencernaan yang memiliki permasalahan tersendiri selain diare. Di
Indonesia, tifoid bersifat endemik dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dari
hasil telaahan kasus di rumah sakit besar di Indonesia, menunjukkan adanya
kecenderungan peningkatan kasus tersangka tifoid dari tahun ke tahun dengan rata-
rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0,6-5%. Dewasa ini
tifoid perlu mendapat perhatian serius, karena permasalahannya yang semakin
kompleks, sehingga menyulitkan upaya pengobatan dan pencegahannya (Kepmenkes
No. 365/2006).
Seperti halnya penyakit menular lainnya, prinsip utama dalam pencegahan dan
pengendalian Hepatitis dan Infeksi Saluran Pencernaan (HIsp) adalah: 1)
Peningkatan pengetahuan, kepedulian dan komitmen; 2) Upaya pencegahan secara
komprehensif; 3) Penguatan pemantauan penyakit; 4) Peningkatan akses pengobatan
dan perawatan; 5) Perencanaan kegiatan dan tatalaksana logistik; 6) Membangun
jejaring kemitraan, dan kerjasama dengan mitra terkait; 7) Peningkatan Sumber Daya
Manusia (SDM) dalam mendukung pelaksanaan kegiatan; dan 8) Monitoring dan
evaluasi kegiatan.
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Tujuan umum pedoman ini adalah untuk meningkatkan mutu kegiatan pencegahan
dan pengendalian HIsp di provinsi, kabupaten/kota, puskesmas termasuk fasyankes
lainnya dan desa.
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus pedoman ini di masing-masing tingkatan (provinsi, kabupaten/kota,
pusekesmas dan fasyankes lainnya, dan desa sebagaimana terlihat pada Tabel 1.
3
kabupaten/kota di puskesmas di kabupa- puskesmas tersebut.
provinsi tersebut. ten/kota tersebut.
C. Sasaran
Penanggung jawab/pengelola kegiatan pencegahan dan pengendalian HIsp di dinas
kesehatan provinsi, dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas termasuk fayankes
lainnya, dan desa.
D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pedoman ini meliputi gambaran klinis hepatitis, diare, dan infeksi
saluran pencernaan (tifoid), kegiatan pokok pengandalian hepatitis, diare, dan tifoid,
pengendalian hepatitis (A, B,C, D dan E), diare dan tifoid, dan manajemen pengendalian
hepatitis, diare,dan tifoid.
E. Dasar Hukum
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit
Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3273).
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteraan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431).
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063).
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah
Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3447).
7. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637).
8. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 8781).
9. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2010-2014.
10. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1438/MENKES/PER/IX/2010 tentang
Standar Pelayanan Kedokteran.
11. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1501/MENKES/ PER/X/2010 tentang Jenis
Penyakit Menular tertentu yang dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya
Penanggulangan.
4
12. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1457/MENKES/SK/X/2003 tentang
Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota.
13. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1116/MENKES/SK/VIII/2003 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan.
14. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1479/MENKES/SK/X/2003 tentang
Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak
Menular.
15. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 949/MENKES/SK/VIII/2004 tentang
Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa.
16. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 206/MENKES/SK/II/
2008 tentang Komite Ahli Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan.
17. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 64 tahun 2015 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Kesehatan RI.
18. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.02/Menkes/2015 tentang Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019.
19. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 365/Menkes/SK/V/2006 tentang
Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.
5
BAB II
7
2. Indikator Kegiatan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pencernaan
Indikator kegiatan pencegahan dan pengendalian Infeksi Saluran Pencernaan
sebagaimana terlihat pada Tabel 5 berikut ini:
Tabel 5. Indikator Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pencernaan Menurut Tahun di
Indonesia, 2015-2019
No. Indikator 2014 2015 2016 2017 2018 2019
(%) (%) (%) (%) (%) (%)
MENURUNNYA ANGKA KEMATIAN BALITA AKIBAT DIARE SEBESAR 50% DARI KONDISI
SAAT INI
MENURUNNYA ANGKA KESAKITAN TIFOID PADA ANAK SEKOLAH SEBESAR 30% DARI
KONDISI SAAT INI
1. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan NA* 10 20 40 80 90
advokasi dan/atau sosialisasi tentang diare,
tifoid, dan hepatitis A dan E
2. Persentase kabupaten/kota yang mempunyai NA* 10 20 40 80 90
Layanan Rehidrasi Oral Aktif
3. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan NA* 10 20 40 80 90
SKD KLB diare
4. Persentase kabupaten/kota yang melakukan NA* 2,5 5 10 20 30
kegiatan surveilasn karier tifoid pada kelompok
masyarakat paling berisiko
5. Persentase kelompok anak sekolah yang NA* 2,5 5 10 20 30
melakukan upaya pencegahan tifoid
*NA=Data not available; 2014: baseline data
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada pasal 319, Subdit Hepatitis
dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan menyelenggarakan fungsi:
a. Penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang pencegahan dan pengendalian
hepatitis dan penyakit infeksi saluran pencernaan
b. Penyiapan bahan pelaksanaan kebijakan di bidang pencegahan dan
pengendalian hepatitis dan penyakit infeksi saluran pencernaan
c. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang
pencegahan dan dan pengendalian hepatitis dan penyakit Infeksi saluran
pencernaan
8
d. Penyiapan bahan dan bimbingan teknis dan suvervisi di bidang pencegahan dan
pengendalian hepatitis dan penyakit Infeksi saluran pencernaan; dan
e. Pemantauan, evaluasi dan pencegahan dan pengendalian hepatitis dan penyakit
Infeksi saluran pencernaan;
Subdirektorat Hepatitis dan Infeksi Saluran Pencernaan, terdiri atas Seksi Hepatitis
dan Seksi Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan. Seksi Hepatitis mempunyai tugas
melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan
norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan
supervisi, serta pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang pencegahan dan
pengendalian hepatitis. Seksi Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan mempunyai tugas
melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan
norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan
supervisi, serta pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang pencegahan dan
pengendalian penyakit infeksi saluran pencernaan.
9
BAB III
A. Hepatitis
Hepatitis adalah suatu penyakit yang disebabkan adanya peradangan pada hati.
Penyakit ini ditandai dengan gejala utama ikterus atau gejala kuning pada bagian tubuh,
seperti pada mata dan kulit.
Hepatitis dapat disebabkan oleh virus (Hepatitis B, C, dan D), bakteri (Salmonella
typhosa), parasit (Plasmodium tropica, amoeba: Entamoeba histolytica, cacing: Fasciola
hepatica), proses autoimun, obat-obatan, perlemakan, alkohol dan zat berbahaya
lainnya. Virus, bakteri, dan parasit merupakan penyebab infeksi terbanyak. Infeksi
karena virus Hepatitis A,B,C,D,E merupakan penyebab tertinggi dibandingkan dengan
penyebab lainnya, seperti mononukleosis infeksiosa, demam kuning (yellow fever) dan
sitomegalovirus. Sedangkan penyebab utama hepatitis non-virus adalah alkohol dan
obat-obatan. Dalam pedoman ini pembahasan difokuskan pada hepatitis yang menjadi
prioritas kegiatan pencegahan dan pengendalian di Indonesia, yaitu hepatitis B dan
hepatitis C.
1. Hepatitis B
a. Etiologi
Penyebab Virus Hepatitis B (VHB) yang berukuran sangat kecil (42nm). Virus ini
merupakan virus DNA termasuk family Hepadnavirus. Virus dari family
Hepadnavirus bisa juga ditemukan pada bebek, marmut dan tupai tanah, namun
virus tersebut tidak bisa menginfeksi manusia. Virus Hepatitis B yang
menginfeksi manusia bisa juga menginfeksi simpanse. Sampai saat ini telah
teridentifikasi 8 genotype, yaitu genotype A-H (A, B, C, D, E, F, G, H). Virus
Hepatitis B memiliki 3 jenis morfologi dan 4 jenis antigen, yaitu HBsAg, HBcAg,
HbeAg, dan HBxAg.
b. Cara penularan
Virus Hepatitis B dapat ditemukan dalam cairan tubuh penderita, seperti darah
dan produk darah, air liur, cairan serebrospinal, peritoneal, pleural, cairan
amniotik, semen (air mani), cairan vagina dan cairan tubuh lainnya. Namun tidak
semuanya memiliki kadar virus yang infeksius. Secara umum, penularan bisa
terjadi secara vertikal dan horizontal.
Penularan secara vertikal adalah penularan yang terjadi pada masa perinatal,
yaitu penularan dari ibu kepada bayi. Jika seorang ibu hamil karier Hepatitis B
dan HBeAg positif, maka kemungkinan 90% bayi yang dilahirkan akan terinfeksi
dan menjadi karier juga. Kemungkinan 25% dari jumLah tersebut akan
meninggal karena hepatitis kronik atau kanker hati. Transmisi perinatal banyak
10
terjadi terutama di negara-negara berkembang. Infeksi mungkin terjadi selama
proses persalinan dan diduga tidak berhubungan dengan proses menyusui.
d. Masa inkubasi
Masa inkubasi VHB berkisar antara 30-180 hari dengan rata-rata 60-90 hari.
Lama masa inkubasi tergantung banyaknya virus dalam tubuh penderita, cara
penularan, dan faktor pejamu. JumLah virus dan usia merupakan faktor penting
yang berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit, baik akut maupun
kronik.
2. Hepatitis C
a. Etiologi
Penyebab hepatitis C adalah Virus Hepatitis C (VHC), termasuk family
Flaviviridea, genus Hepacivirus dan merupakan virus RNA. Setidaknya 6
genotype dan lebih dari 50 subtype HCV yang berbeda telah ditemukan.
b. Cara penularan
Cara penularan VHC yang paling umum adalah secara parenteral, yaitu berkaitan
dengan penggunaan bersama jarum suntik yang tidak steril, terutama pada
pengguna obat-obatan terlarang, tato, tindik, penggunaan alat pribadi seperti
pisau cukur, sikat gigi bersama penderita, transfusi darah, operasi, transplantasi
organ, dan melalui hubungan seksual. Virus Hepatitis C merupakan penyebab
11
utama hepatitis yang diderita setelah transfusi darah. Namun demikian,
peraturan yang memperketat pemeriksaan darah donor telah menurunkan
risiko infeksi secara drastis. Penularan dapat terjadi dalam waktu 1 minggu atau
lebih setelah timbulnya gejala klinis pertama pada penderita. Penularan vertikal
dari ibu ke bayi selama proses kelahiran sangat jarang (sekitar 5-6%) dan
menyusui tidak meningkatkan risiko penularan VHC dari ibu yang terinfeksi ke
bayinya. Hepatitis C tidak dapat menular melalui jabat tangan, ciuman, dan
pelukan.
d. Masa inkubasi
Masa inkubasi VHC berlangsung selama 15 hari sampai 2 bulan.
3. Hepatitis D
a. Etiologi
Penyebab hepatitis D adalah Virus Heptitis Delta (VHD) yang ditemukan pertama
kali pada tahun 1977. Virus ini berukuran 35-37nm dan mempunyai antigen
internal yang khas, yaitu antigen delta. Virus ini merupakan virus RNA dengan
defek, artinya virus ini tidak mampu bereplikasi secara sempurna tanpa batuan
virus lain, yaitu virus hepatitis B. Hal ini karena VHD tidak mampu mensintesis
protein selubungnya sendiri dan bergantung ada protein yang disintesis VHB,
termasuk HBsAg. Oleh karena itu, infeksi VHD hanya bisa terjadi pada penderita
yang juga terinfeksi VHB pada saat bersamaan atau pada penderita hepatitis B
kronik. Genom VHD terdiri dari 1.700 pasangan basa, yaitu suatu jumlah terkecil
untuk virus pada hewan.
b. Cara penularan
Virus Hepatitis D ditularkan dengan cara yang sama dengan VHB, yaitu melalui
cairan tubuh penderita. Cara penularan yang utama diduga melalui jalur
parenteral.
d. Masa Inkubasi
Rata-rata 2-8 minggu.
1. Diare
a. Definisi
Buang air besar yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (pada umumnya 3
kali atau lebih) per hari dengan konsistensi cair dan berlangsung kurang dari 7
hari. Khusus pada neonatus yang mendapat ASI, diare akut adalah buang air
besar dengan frekuensi lebih sering (biasanya 5-6 kali per hari) dengan
konsistensi cair. Diare merupakan suatu gejala dari berbagai penyakit yang
dapat disebabkan oleh berbagai penyebab. Diare perlu dibedakan dengan
gastroenteritis dimana gastroenteritis merupakan radang pada lambung dan
usus yang dapat menimbulkan gejala diare dengan atau tanpa disertai muntah.
b. Etiologi
Diare dapat disebabkan oleh berbagai penyebab non-infeksi, seperti makanan
(malabsorbsi, keracunan, alergi), malnutrisi, dan gangguan imunologi. Infeksi
yang dapat menimbulkan diare adalah infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme, seperti virus, bakteri, parasit, dan jamur. Berikut ini adalah
contoh mikroorganisme yang dapat menimbulkan diare:
Virus: Retrovirus, Enterovirus (Polio, Coksakie, Echo), Adenovirus, Arbovirus,
DNA virus, hepatitis A, dan hepatitis E
Bakteri: Salmonella, Shigella, Escherichia coli, Vibrio cholerae, Staphy-lococcus
albus, Streptococcus anhemolititicus, Klebsiella, Pseudomonas
Parasit cacing: Ascaris lubricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis.
Protozoa: Entamoeba histolytica, Giardia lamblia
Jamur: Candida, Monilia.
c. Jenis diare
Berdasarkan klasifikasi WHO (1996), diare dapat dibedakan menjadi 3 jenis,
yaitu:
1) Diare cair akut (watery)
Diare yang terjadi tiba-tiba, frekuensi sering, konsistensi cair yang bersifat
watery (cair dan banyak). Diare ini sering disebabkan oleh Retrovirus, E. coli,
Shigella, Campylobacter jejuni, Cryptosporidium.
2) Disentri
Buang air besar dengan konsitensi tinja cair, frekuensi sering, sedikit-sedikit,
kadang-kadang disertai darah dan/atau lendir. Diare ini dapat disebabkan
13
Shigella, Campylobacter jejuni, Enteroinvasive Escherichia coli (EIEC),
Salmonella, E. histolytica.
3) Diare persistens
Diare yang terjadi lebih dari 14 hari, dapat cair (watery) maupun disentri.
Diare ini dapat disebebkan oleh EIEC, Shigella, Cryptosporidium.
d. Cara penularan
Diare dapat ditularkan melalui beberapa cara, seperti makanan atau minuman
yang terkontaminasi oleh tinja yang mengadung mikroorganisme penyebab
diare (orofaecal) atau autoinfeksi.
2. Tifoid
a. Etiologi
Demam tifoid (selanjutnya ditulis tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella
enterica serovar Typhi (selanjutnya ditulis S. Typhi) dan Salmonella enterica
serovar Paratyphi A, B dan C (S. Paratyphi A, B, dan C), dengan masa inkubasi 7-
14 hari. Penularan terjadi melalui makanan atau minuman yang tercemar kuman
tersebut (fecal-oral). Penyakit ini dapat terjadi di seluruh dunia terutama di
wilayah dengan tingkat higiene dan sanitasi yang buruk.14
Kelainan patologis yang utama terdapat di usus halus, terutama di ileum bagian
distal. dimana terdapat kelenjar plak peyer. Pada minggu pertama, pada plak
peyer terjadi hyperplasia, selanjutnya menjadi nekrosis pada minggu ke 2 dan
ulserasi pada minggu ke-3, akhirnya terbentuk ulkus. Ulkus ini mudah
menimbulkan perdarahan dan perforasi yang merupakan komplikasi berbahaya.
Hati membesar karena infiltrasi sel-sel limfosit dan mononuklear lainnya serta
nekrosis fokal. Proses ini juga terjadi pada jaringan retikuloendotelial lain
14
seperti limpa dan kelenjar mesenterika. Kelainan-kelainan patologis yang sama
juga dapat ditemukan pada organ tubuh lain seperti tulang, usus, paru, ginjal,
jantung dan seraput otak. Pada pemeriksaan klinis sering ditemukan proses
radang pada banyak organ, sehingga dapat ditemukan bronkhitis, artritis septik,
pielonefritis, meningitis, dan lain-lain.15
c. Gambaran klinis
Gambaran klinis tifoid sangat bervariasi, dari gejala yang sangat ringan
(sehingga tidak terdiagnosis), dan dengan gejala yang khas (sindrom tifoid)
sampai dengan gejala klinis berat yang disertai komplikasi. Gambaran klinis juga
bervariasi berdasarkan daerah atau negara, serta menurut waktu. 15 Gambaran
klinis pada anak cenderung tidak khas, dan makin muda usia anak gambaran
klinis semakin tidak khas.
d) Gangguan kesadaraan
Tifoid umumnya fidak disertai gangguan kesadaran. Pada kondisi
penyakit yang berat dapat disertai gangguan kesadaran, yaitu apatis,
kesadaran berkabut. Bila klinis lebih berat, tak jarang penderita sampai
somnolen, delirium dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis (organic
brain syndrome). Kondisi penyakit yang berat ini disebut sebagai tifoid
toksik.
e) Hepatosplenomegali
Hati dan atau rimpa, sering ditemukan membesar. Hati teraba kenyal dan
nyeri tekan.
d. Gambaran Laboratorium
16
2) Widal
Pemeriksaan Widal adalah reaksi antara antigen (suspensi Salmonella yang
telah dimatikan) dengan aglutinin yang merupakan antibodi spesifik
terhadap komponen basil salmonella di dalam darah manusia (saat sakit,
karier atau pasca vaksinasi). Prinsip pemeriksaan adalah terjadinya reaksi
aglutinasi antara antigen dan aglutinin yang dideteksi, yaitu aglutinin O dan
H. Aglutinin O mulai dibentuk pada akhir minggu I demam, puncaknya pada
minggu ke III sampai ke V. Aglutinin ini dapat bertahan sampai lama, 6-12
bulan. Aglutinin H mencapai puncak lebih lambat (minggu ke IV-VI) dan
menetap dalam waktu lebih lama, sampai 2 tahun kemudian. 13,15
17
Enteridis, sedangkan hasil negatif palsu didapatkan bila pemeriksaan
dilakukan terlalu cepat.21
4) Biakan
Biakan S. Typhi (gold standard) memastikan tifoid, tetapi biakan S. Tiphy
negatif tidak menyingkirkan tifoid, karena hasil biakan sangat tergantung
pada beberapa hal, antara lain:
a) Teknik pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan yang lain, dan dari
waktu ke waktu, karena perbedaan teknik dan media yang digunakan.
Karena jumlah kuman yang ada dalam darah hanya sedikit (<10
kuman/ml), maka untuk keprluan pembiakan pada penderita dewasa
diambil 5-10 ml darah, pada anak-anak 2-5 ml. Bila darah yang dibiak
terlalu sedikit, hasil biakan bias negative, terutama pada orang yang
sudah mendapat pengobatan spesifik. Darah harus langsung di tanam
pada media biakan dan langsung dikirim ke laboratorium. Waktu
pengambilan darah yang baik adalah saat demam tinggi pada waktu
bakteriemia berlangsung.
b) Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Biakan S. tiphy terutama positif pada minggu pertama penyakit dan
berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh, biakan
darah bias positif lagi.
c) Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi tifoid di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah
penderita. Antibodi ini dapat menekan bakteriemia, sehingga baiakan
darah mungkin negatif.
d) Pengobatan dengan anti mikroba
Bila penderita sebelum pembiakan darah sudah mendapat obat
antimikroba, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan
hasil biakan mungkin negatif.
3. Hepatitis A
a. Etiologi
Penyebab penyakit adalah Virus Hepatitis A (VHA), berukuran 27 nanometer,
termasuk family Picornaviridae, genus Hepatovirus yang dikenal sebagai
Enterovirus 72, mempunyai 1 serotype dan 4 genotype, dan merupakan virus
RNA. Virus Hepatitis A bersifat termostabil, tahan asam, dan tahan terhadap
empedu. Virus ini diketahui dapat bertahan hidup dalam suhu ruangan selama
lebih dari 1 bulan. Hospes VHA hanya terbatas pada manusia dan beberapa
binatang primata. Virus dapat diperbanyak secara in vitro dalam kultur sel
primer monyet kecil atau secara in vivo pada simpanse.
b. Cara penularan
Virus Hepatitis A ditularkan secara fecal-oral. Virus ini masuk ke dalam saluran
pencernaan melalui makanan dan minuman yang tercemar tinja penderita VHA.
18
Virus kemudian masuk ke hati melalui peredaran darah, selanjutnya menginvasi
sel-sel hati (hepatosit) dan melakukan replikasi di hepatosit. JumLah virus yang
tinggi dapat ditemukan dalam tinja penderita sejak 3 hari sebelum muncul gejala
hingga 1-2 minggu setelah munculnya gejala kuning. Ekskresi virus melalui tinja
pernah dilaporkan mencapai 6 bulan pada bayi dan anak. Sebagian besar kasus
kemungkinan tidak menular lagi pada minggu pertama setelah ikterus. Ekskresi
kronik pada VHA belum pernah dilaporkan.
Hepatitis A sering muncul dalam bentuk Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan
pola common source epidemic, yaitu disebabkan oleh terpaparnya sejumLah
orang dalam suatu kelompok secara menyeluruh dan terjadi dalam waktu yang
relatif singkat. Adapun common source epidemic tersebut berupa keterpaparan
umum, menggambarkan satu puncak epidemi, jarak antara satu kasus dengan
kasus selanjutnya hanya dalam hitungan jam, dan tidak ditemukan serangan ke
dua. Umumnya sumber penularan berasal dari makanan atau minuman
tercemar, makanan mentah atau setengah matang, dan sanitasi yang buruk.
Walaupun bukan merupakan cara utama, penularan melalui transfusi atau
penggunaan jarum suntik bekas penderita hevatitis A dalam masa inkubasi
pernah dilaporkan.
d. Masa inkubasi
Masa inkubasi hepatitis A adalah 15-50 hari, rata-rata 28-30 hari.
4. Hepatitis E
1. Etiologi
Penyebab hepatitis E adalah Virus Hepatitis E (VHE) yang merupakan virus RNA
berbentuk sferis. Virus Hepatitis E termasuk family Hepeviridiae dan genus
Hepevirus. Awalnya VHE disebut sebagai penyebab Enterically transmitted non-A
non-B Hepatitis (ET-NANB). Baru pada tahun 1983 virus ini berhasil
diidentifikasi dan dinamai virus Hepatitis E.
2. Cara penularan
Virus Hepatitis E ditularkan melalui jalur fecal-oral. Air minum yang tercemar
tinja merupakan media penularan yang paling umum. Penularan secara perkutan
19
dan perinatal juga pernah dilaporkan. Berbagai penelitian terbaru juga
menunjukkan kemungkinan penularan secara zoonotic dari babi, rusa, dan
hewan pengerat.
4. Masa Inkubasi
Masa inkubasi hepatitis E berkisar antara 15-64 hari, dengan rata-rata 26-42
hari pada KLB yang berbeda.
20
BAB IV
A. Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan pengetahuan, perubahan
perilaku, keterampilan, dan komitmen dalam penyelenggaraan pencegahan dan
pengendalian HIsp, sehingga masyarakat memahami HIsp secara baik dan benar dan
mampu untuk mengakses terhadap upaya perlindungan khusus, pemberian imunisasi,
mengetahui dan memahami cara pencegahan untuk dirinya, orang lain, dan masyarakat
luas, serta mencegah terjadinya stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan
hepatitis. Selain itu, peningkatan komitmen bagi para pemimpin diperlukan dalam
mendukung upaya pencegahan dan pengendalian HIsp.
1. Hepatitis
Upaya promosi kesehatan yang dapat dilakukan antara lain:
a. Advokasi dan Sosialisasi
Advokasi dan sosialisasi tentang hepatitis B, hepatitis C (termasuk hepatitis D),
yaitu upaya untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan komitmen bagi
masyarakat, petugas kesehatan, pengambil keputusan dan tokoh masyarakat
tentang cara penularan, cara pencegahan termasuk perlindungan khusus dan
pengurangan dampak buruk, deteksi dini, akses layanan, dan dukungan terhadap
penanggulangannya, sehingga universal access bagi pelaksanaan penanggulangan
hepatitis dapat dipenuhi dan dirasakan oleh masyarakat.
21
c. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat bertujuan agar masyarakat atas kesadarannya dapat
berpartisipasi aktif dalam pencegahan dan pengendalian hepatitis sesuai dengan
kapasitas masyarakat tersebut.
Air Susu Ibu bersifat steril, berbeda dengan susu formula atau cairan lain
yang disiapkan dengan air atau bahan-bahan yang dapat terkontaminasi
dalam botol yang tidak bersih. Pemberian ASI saja, tanpa cairan atau
makanan lain dan tanpa menggunakan botol, menghindarkan anak dari
bahaya infeksi mikroorganisme penyebab diare.
22
Air Susu Ibu mempunyai khasiat dalam pencegahan secara imunologik
dengan adanya antibodi dan zat-zat lain yang dikandungnya. Dengan kata
lain ASI turut memberikan perlindungan terhadap terjadinya diare. Pada
bayi yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya
lindung terhadap diare 4 kali lebih besar dibandingkan pemberian ASI
yang disertai dengan susu botol. Flora normal usus bayi yang disusui
mencegah pertumbuhan mikroorganisme penyebab diare.
23
Yang perlu diperhatikan oleh keluarga:
Ambil air dari sumber air yang bersih.
Simpan air dalam tempat yang bersih dan tertutup serta gunakan
gayung khusus untuk mengambil air.
Jaga sumber air dari pencemaran oleh binatang dan untuk mandi anak-
anak.
Minum air yang sudah matang (dimasak sampai mendidih).
Cuci semua peralatan masak dan peralatan makan dengan air yang
bersih dan cukup.
2) Mencuci tangan
Kebiasaan penting yang berhubungan dengan kejadian diare adalah mencuci
tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah buang air kecil,
sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum
menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makanan anak, dan sebelum
makan dapat menurunkan kejadian diare.
3) Menggunakan jamban
Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan
jamban mempunyai pengaruh besar dalam menurunkan risiko diare.
Keluarga yang tidak mempunyai jamban diperlukan membuat jamban dan
buang air besar di jamban tersebut.
d. Pengelolaan sampah
Sampah merupakan sumber penyakit dan tempat berkembang biaknya vektor
seperti lalat, nyamuk, tikus, dan kecoa. Oleh karena itu pengelolaan sampah yang
baik sangat penting untuk mencegah penularan berbagai penyakit yang
ditularkan melalui vektor tersebut. Selain itu sampah dapat mencemari tanah
dan menimbulkan gangguan kenyamanan dan estetika seperti bau yang tidak
sedap dan pemandangan yang tidak enak dilihat. Perlu ada tempat pembuangan
sampah, sampah perlu dikumpulkan setiap hari dan di buang ke tempat
penampungan sementara sebelum dibawa ke tempat penampungan akhir.
24
e. Sarana Pembuangan Air Limbah
Air limbah, baik limbah pabrik maupun limbah rumah tangga perlu dikelola
sedemikian rupa agar tidak menjadi sumber penularan penyakit.
f. Penyehatan lingkungan
Hampir separuhnya (47%) masyarakat di Indonesia masih buang air besar di
sembarangan tempat, seperti sungai, sawah, kolam, kebun dan tempat terbuka
lainnya, 30,7% tidak memiliki sanitasi yang layak, 60% memiliki jamban tetapi
bauang air masih sembarangan. Menurut WHO, ada 3 kegiatan yang dapat
menurunkan angka kesakitan diare:
1) Peningkatan akses masyarakat terhadap sanitasi dasar, menurunkan angka
kesakitan diare sebesar 37%
2) Cuci tangan pakai sabun, menurunkan angka kesakitan diare sebesar 45%
3) Pengelolaan air minum yang aman di rumah tangga, menurunkan angka
kesakitan diare sebesar 39%
1. Hepatitis
Perlindungan khusus adalah upaya yang dilakukan agar masyarakat dapat
terlindungi dari penularan hepatitis. Perlindungan khusus dapat dilakukan melalui
kegiatan pengurangan dampak buruk, seperti:
a. Penggunaan kondom
Penggunaan kondom terutama ditujukan bagi kelompok masyarakat yang
memiliki hubungan seksual berisiko.
d. Pemberian imunisasi
Pemberian imunisasi adalah suatu upaya yang dilakukan untuk melakukan
pencegahan terjadinya penularan hepatitis. Pemberian imunisasi dilaksanakan
untuk hepatitis B. Sampai saat ini belum tersedia vaksin hepatitis C.
25
Imunisasi Hepatitis B untuk bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg negatif atau
status HBsAg ibu tidak diketahui diberikan vaksin hepatitis B sesegera mungkin
(sangat dianjurkan imunissai Hepatitis B pada bayi baru lahir diberikan pada
bayi usia <24 jam sesudah kelahiran (HB-0) bersamaan dengan pemberian
vitamin K1). Pemberian imunisasi ini kemudian dilanjutkan sesuai program
imunisasi nasional, yaitu usia bayi 2 bulan, 3 bulan, dan 4 bulan.
Apabila bayi lahir dari ibu dengan HBsAg positif maka imunisasi dengan
immunoglobulin harus diberikan <24 jam dari kelahirannya, bersamaan dengan
HB-0, dilanjutkan sesuai program imunisasi nasional, yaitu usia bayi 2 bulan, 3
bulan, dan 4 bulan. Selanjutnya pada saat bayi tersebut berusia 9-12 bulan
dilakukan pemeriksaan HBsAg dan titer anti-HBs.
Dikecualikan terhadap kelompok masyarakat yang belum dan atau yang tidak
lengkap mendapat imunisasi hepatitisB pada saat lahir, dilakukan pemeriksaan
HBsAg dan anti-HBs sebelum diberikan imunisasi. Apabila hasil pemeriksaan
keduanya negatif maka dianjurkan imunisasi hepatitis B sebanyak 3 dosis
dengan jadwal 0 bulan, 1 bulan, dan 6 bulan.
a. Tifoid
Salah satu cara untuk melakukan pencegahan tifoid adalah dengan melakukan
vaksinasi, namun vaksinasi tifoid belum merupakan program imunisasi nasional.
Hingga saat ini pemakaian vaksin tifoid terbatas pada sejumlah praktek dokter
pribadi dan rumah sakit swasta. Sejauh ini, vaksinasi pada anak sekolah dasar
masih dalam bentuk pilot proyek, yaitu pemberian vaksin pada 1500 anak SD di
Kota Bogor tahun 2014–2015.
Di Indonesia saat ini telah tersedia 2 jenis vaksin tifoid, yaitu: 1) Vaksin Vi
kapsuler polisakarida. Vaksin ini mengandung polisakarida Vi dari kapsul
bakteri Salmonella. Vaksin dapat mencapai level protektif setelah 2–3 minggu
pemberian, dan dapat diberikan pada usia ≥2 tahun. Vaksin tersedia dalam
syringe siap pakai (suntikan) 0,5ml yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam
buffer fenol isotonik.
27
Di Indonesia, agen perjalanan dapat berperan dalam menyediakan informasi
tentang tifoid dan memfasilitasi pemberian vaksinasi tifoid.
b. Hepatitis A
Imunisasi Hepatitis A dilakukan dengan cara pemberian vaksin Hepatitis A
sebanyak dua kali dengan jarak 6 sampai 12 bulan terhadap masyarakat di atas
usia 2 tahun. Imunisasi hepatitis A dilakukan secara sukarela.
Sanitasi lingkungan dan hiegene perorangan yang kurang baik, dan masih tingginya
angka kemiskinan di Indonesia sangat mempengaruhi penularan dan penyebaran tifoid.
Bila para penderita tidak berobat misalnya karena keterbatasan akses ke fasilitas
kesehatan sehingga menjadi karier (tidak memperlihatkan gejala penyakit, tetapi dapat
menularkan agen penyakit), maka bila mereka menjadi penjamah makanan, akan
menjadi sumber penularan penyakit bagi masyarakat. Tingginya risiko penularan pe-
nyakit melalui penjual makanan di jalanan dengan tingkat kebersihan yang buruk,
berkontribusi terhadap peningkatan jumlah kasus tifoid di Indonesia. Pada saat
bencana, kejadian tifoid perlu diwaspadai, karena kondisi sanitasi lingkungan dan
higiene perorangan yang buruk.
Penderita tifoid mempunyai potensi untuk menjadi karier (carrier) setelah penyakitnya
disembuhkan. Era sebelum antibiotika digunakan, diperkirakan sedikitnya 5%
penderita menjadi karier. Hasil studi yang dilakukan dewasa ini, angka tersebut hanya
sedikit mengalami penurunan. Di India pada tahun 2005 menurun menjadi sekitar 3%.
Dari hasil deteksi dini karier tifoid yang dilakukan di DKI Jakarta tahun 2013
didapatkan prevalensi sebesar 2,9%.
Bagi penderita yang tidak diobati dengan adekuat, insidensi karier dilaporkan 5-10%
dan kurang dari 3% menjadi karier kronik. Karier intestinal kronik biasanya
mempunyai faktor predisposisi penyakit kronik di hati seperti opisthorchiasis dan
kolelitiasis, dan untuk karier urinari kronik mempunyai penyakit kronik di ginjal
seperti urolitiasis.
Mengingat peran karier tifoid dalam penularan tifoid, maka perlu dilakukan
pengamatan dan penanganan sesegera mungkin, sehingga kejadian kasus baru tifoid
dapat dicegah dan angka kesakaitan dan kematian tifoid dapat diturunkan serendah
mungkin.
28
Tujuan jangka pendek pengamatan tifoid adalah: 1) Terdeteksinya karier tifoid pada
penjamah makaan; 2) Diketahuinya prevalensi karier tifoid pada penjamah makanan; 3)
Diketahuinya distribusi frekuensi karier tifoid menurut umur; 4) Diketahuinya
distribusi frekuensi karier tifoid menurut jenis kelamin; 5) Diketahuinya distribusi
frekuensi karier tifoid menurut domisili; 6) Diketahuinya distribusi frekuensi karier
tifoid menurut tingkat pendidikan; 7) Diketahuinya distribusi frekuensi karier tifoid
menurut pengetahuan tentang cara penularan tifoid; 8) Diketahuinya distribusi
frekuensi karier tifoid menurut sikap terhadap upaya pencegahan tifoid; 9)
Diketahuinya distribusi frekuensi karier tifoid menurut perilaku higiene perorangan;
10) Diketahuinya distribusi frekuensi karier tifoid menurut perilaku sanitasi
lingkungan; dan 11) Terlaksananya penanganan/pengobatan karier tifoid sesegera
mungkin.
29
BAB V
a. Pelaksana
Puskesmas
30
13) Pasien yang mendapatkan transfusi darah lebih dari 1 kali yang berdomisili
di wilayah kerja puskesmas.
14) Pasien yang menjalani tindakan bedah umum atau tindakan pada gigi yang
berdomisili di wilayah kerja puskesmas.
15) Bayi yang lahir dari ibu dengan hepatitis C.
c. Lokasi
Di wilayah kerja masing-masing puskesmas
d. Sasaran
1) Kelompok berisiko tinggi
2) Pernah diperiksa hepatitis B dan C dengan hasil non-reaktif ≥6 bulan
e. Prosedur
1) Melakukan penjangkauan pada kelompok berisiko tinggi (ibu hamil,
pasangan/keluarga yang serumah dengan penderita hepatitis B atau C,
pasien hemodialisis, pasien yang pernah mendapatkan transfusi >1 kali,
pasien yang pernah menjalani operasi umum dan tindakan pada gigi, bayi
yang lahir dari ibu dengan hepatitis C), fasyankes (petugas kesehatan),
perguruan tinggi (mahasiswa kesehatan), klinik IMS (pasien yang didiagnosis
IMS), dan kunjungan ke lokasi/komunitas prostitusi, Penasun, waria, LSL,
WBP, dan ODHA.
2) Sebelum pelaksanaan kegiatan, penanggungjawab kegiatan menghubungi
pimpinan/contact person dari kelompok tersebut.
3) Setelah ada kesepakatan, maka kegiatan dilaksanakan pada tempat dan
waktu yang telah ditentukan.
4) Pimpinan/contact person tersebut dapat dilibatkan dalam menggerakkan
masyarakat untuk ikut dalam kegiatan DDHBC.
5) Petugas pelaksana adalah dokter/perawat, bidan di poli KIA, konselor,
pengelola program/kegiatan hepatitis, pengelola program/kegiatan asuhan
keperawatan, analis dan petugas lainnya.
6) Alur deteksi dini aktif hepatistis B dan C, Lihat Petunjuk Teknis Deteksi Dini
Hepatitis B dan C pada Kelompok Masyarakat Berisiko Tinggi (Algoritma 1
dan 2).
f. Tahapan kegiatan
Tahapan kegiatan deteksi dini aktif hepatitis B dan C:
1) Persiapan, meliputi SOP, sosialisasi dan advokasi, logistik pendukung sesuai
kebutuhan, dan persiapan di lapangan
2) Pelaksanaan, meliputi pelatihan petugas, pelaksanaan di lapangan, serta
pengolahan dan analisis data
3) Pencatatan dan pelaporan
4) Monitoring dan evaluasi.
31
2. Deteksi Dini Pasif Heptitis B dan C
Deteksi dini pasif hepatitis B dan C adalah kegiatan Deteksi Dini Hepatitis B dan C
(DDHBC) di dalam gedung puskesmas (poliklinik/klinik IMS/klinik konseling dan
tes/klinik methadone, dan lain-lain) pada kelompok masyarakat berisiko tinggi yang
berkunjung atau dirujuk ke puskesmas/klinik.
a. Pelaksana
Puskesmas/klinik
b. Sasaran
Masyarakat yang berkunjung atau dirujuk ke puskesmas (Lihat sasaran pada
deteksi dini hepatitis B dan C aktif).
c. Lokasi
Di puskesmas/klinik
e. Prosedur
1) Deteksi dini pada ibu hamil
Alur pemeriksaan, Lihat Petunjuk Teknis Deteksi Dini Hepatitis B dan C pada
Kelompok Masyarakat Berisiko Tinggi (Algoritma 3).
a) Ibu hamil pada kunjungan ANC (Antenatal Care) pertama kali (K1)
ditawarkan pemeriksaan hepatitis B.
b) Bila Ibu hamil tersebut bersedia, maka diberikan konseling dan diminta
menandatangani informed consent sebagai bukti kesediaan.
c) Petugas melakukan wawancara untuk pengisian data yang diperlukan
menggunakan Form 9B.
d) Pengisian Form 9F oleh petugas dan pengambilan sampel darah di
laboratorium puskesmas.
e) Menggunakan Rapid Test
f) Bila hasil pemeriksaan reaktif, maka konfirmasi lebih lanjut, spesimen
dikirim ke laboratorium rujukan (B/BLK, Labkesda, laboratorium rumah
sakit, dan lain-lain) untuk pemeriksaan EIA (Enzyme Immunoassay)/CLIA
(Chemiluminescent Immunoassay). Pengiriman spesimen ke laboratorium
rujukan disertai dengan Form 9D.
g) Bila hasil pemeriksaan dengan EIA/CLIA dari laboratorium rujukan
reaktif, maka pasien dirujuk ke rumah sakit yang mampu melaksanakan
tatalaksana hepatitis B dan/atau C yang ditunjuk oleh dinas kesehatan
provinsi.
h) Selain pemeriksaan hepatitis B, ibu hamil juga ditawarkan pemeriksaan
HIV dan Syphilis (apabila di puskesmas/klinik telah tersedia layanan
untuk pemeriksaan HIV dan Syphilis).
32
i) Prosedur pemeriksan HIV dan Syphilis sesuai ketentuan Kemenkes RI
(Subdit HIV AIDS dan Penyakit Infeksi Menular Seksual, Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Ditjen P2P).
33
h) Petugas pelaksana adalah petugas kesehatan di puskesmas yang terlibat
dalam pelayanan di poli umum, seperti petugas pendaftaran,
dokter/perawat di poli umum, konselor, dan analis.
B. Pengamatan Hepatitis
Tujuan pengamatan (surveilans sentinel) hepatitis B dan C adalah: 1) Memperkirakan
laju epidemi dan kecenderungan infeksi hepatitis B dan C di suatu wilayah; 2)
Memantau seroprevalensi hepatitis B dan C pada sub-populasi tertentu; 3) Memantau
kecenderungan prevalensi infeksi hepatitis B dan C berdasarkan tempat dan waktu; dan
4) Menyediakan data untuk estimasi dan proyeksi kasus hepatitis B dan C di Indonesia.
Selain itu, tujuan pengamatan hepatitis B dan C adalah untuk menyediakan data dan
informasi bagi pengambil keputusan dalam pengendalian hepatitis B dan C sebagai
dasar untuk menentukan target dan prioritas program pencegahan dan pengobatan,
advokasi kepada pihak terkait, monitoring dan evaluasi program pencegahan dan
pengobatan, dan Menyelaraskan program pencegahan dengan perencanaan pelayanan
kesehatan dan menyediakan informasi untuk kegiatan pengendalian hepatitis B dan C.
Pengamatan juga dilakukan pada Balita, dengan tujuan untuk mengetahui prevalensi
pada Balita, dan efektfitas imunisasi hepatitis dan juga risiko penularan hepatitis dari
ibu ke bayi (penularan secara vertikal). Balita (Bawah Lima Tahun) adalah periode usia
setelah bayi dengan kisaran dua sampai dengan lima tahun (2-5 tahun) atau 24-60
bulan. Periode usia ini disebut juga sebagai usia prasekolah.
Sasaran kegiatan deteksi dini hepatitis B dan C adalah: 1) Seluruh (100%) provinsi
melaksanakan deteksi dini hepatitis B dan C pada tahun 2019; dan 2) Sebanyak 80%
kabupaten/kota melaksanakan deteksi dini hepatitis B dan C pada tahun 2019.
34
4) Hasil pemeriksaan, penanganan dan rekomendasi tim ahli di rumah sakit
rujukan dikirim ke puskesmas yang merujuk untuk umpan balik (feedback).
5) Bila hasil deteksi dini hepatitis B di puskesmas non-reaktif, maka ibu hamil
tersebut dianjurkan pemeriksaan anti-HBs untuk mengetahui ada tidaknya
antibodi.
6) Bila hasil pemeriksaan HBsAg dan anti-HBs non-reakif, maka dianjurkan
vaksinasi hepatitis B sebanyak 3 kali secara mandiri.
Pesan atau materi KIE yang disampaikan kepada masyarakat antara lain mencakup
penjelasan tentang penyebab, cara penularan, perjalanan penyakit, gejala umum,
pengobatan, dan komplikasi hepatitis B dan C.
Kegiatan KIE antara lain: 1) Menyediakan dan mendistribusikan media KIE tentang
hepatitis B dan C dan faktor risiko; dan 2) Melaksanakan KIE tentang hepatitis B dan
C dan faktor risiko dengan berbagai metode, baik perorangan, kelompok, maupun
melalui media massa (media cetak, media elektronik) dan interaktif secara verbal,
seperti konseling untuk meningkatkan pengetahuan dan diharapkan terjadinya
perubahan sikap dan perilaku.
Media massa yang umumnya digunakan adalah leaflet, lembar bailik, poster, banner,
buku saku, kipas, kaos, topi, payung, buku saku, radio spot, dan TV.
E. Pengobatan Hepatitis B
2) Status HBeAg
Status HBeAg pasien telah diketahui memiliki peranan penting dalam
prognosis pasien dengan hepatitis B kronik. Beberapa panduan yang ada
telah mencoba membedakan indikasi pengobatan hepatitis B berdasarkan
status HBeAg, dengan pasien HBeAg negatif diindikasikan memulai
pengobatan pada kadar DNA VHB yang lebih rendah.
Demikian pula pasien yang memiliki kadar DNA VHB ≥ 2 x 104 IU/mL harus
dipertimbangkan untuk mendapat pengobatan bila nilai ALT-nya lebih besar
dari 2 kali batas atas normal. Pasien dengan kadar DNA VHB tinggi dan ALT
di bawah 2 kali batas atas normal tidak memerlukan pengobatan dan cukup
menjalani pemantauan DNA VHB, HBeAg, dan ALT rutin setiap 3 bulan.
Pasien-pasien ini berada pada fase IT sehingga pengobatan tidak akan efektif.
Pada pasien-pasien ini, pemeriksaan biopsi hati atau pemeriksaan fibrosis
non invasif harus dipertimbangkan pada semua pasien yang berusia ≥ 30
tahun atau pasien yang berusia < 30 tahun namun memiliki riwayat KHS atau
sirosis dalam keluarga.Bila pada pemeriksaan ini ditemukan adanya
inflamasi derajat sedang atau lebih, maka pengobatan diindikasikan. Pasien
yang memiliki kadar DNA VHB tinggi dan kadar ALT 2-5 kali batas atas
normal yang menetap selama lebih dari 3 bulan atau memiliki risiko
38
dekompensasi hati harus mendapat pengobatan. Pemberian pengobatan juga
dianjurkan pada pasien dengan DNA VHB tinggi dan ALT di atas 5 kali batas
atas normal. Namun pada pasien di kelompok terakhir ini, bila DNA VHB
masih di bawah 2 x 105 IU/mL dan tidak ditemukan tanda dekompensasi
hati, maka pengobatan bisa ditunda 3-6 bulan untuk memantau munculnya
serokonversi HBeAg spontan. Semua pasien yang berada dalam kelompok
indikasi pengobatan ini diduga berada di fase IC sehingga pengobatan bisa
memberikan hasil optimal. Pada pasien yang memberikan respons baik
terhadap pengobatan, pemantauan lebih lanjut masih tetap perlu dilakukan,
sementara pada pasien yang tidak respons, penggantian ke strategi
pengobatan lain harus dipertimbangkan.
Pasien-pasien hepatitis B kronik yang memiliki risiko KHS yang tinggi juga
harus menjalani pemantauan (surveilans) KHS setiap 6 bulan sekali. Pasien
yang termasuk dalam kelompok risiko tinggi mencakup laki-laki ras Asia
dengan usia>40 tahun, perempuan ras Asia dengan usia >50 tahun, pasien
dengan sirosis hati, dan pasien dengan riwayat penyakit hati lanjut di
keluarga. Surveilans ini dilakukan dengan melakukan pemeriksaan AFP dan
USG hati secara berkala.
b. Pilihan pengobatan
Dengan pilihan yang dimiliki saat ini, eradikasi virus secara total dari tubuh
masih belum bisa dilakukan. Kalaupun virus berhasil ditekan jumlahnya dalam
darah, DNA virus masih dapat ditemukan di dalam sel hati dalam kondisi
dorman. DNA ini bisa mengalami reaktivasi di kemudian hari. Target
serokonversi HBsAg, walau memberikan nilai prognosis yang sangat baik, juga
sangat sulit dicapai. Oleh karena itu, pengobatan pada hepatitis B kronik
ditujukan untuk menekan progresivitas penyakit ke arah sirosis atau KHS.
Dengan pengobatan saat ini, walaupun eradikasi virus tidak bisa dilakukan,
pasien hepatitis B bisa bebas dari sirosis atau KHS seumur hidupnya. Inilah
mengapa pengobatan sebaiknya disarankan pada setiap pasien yang memiliki
indikasi.
Pemilihan pengobatan yang paling sesuai dengan pasien adalah hal yang perlu
diperhatikan sebelum memulai pengobatan. Sampai saat ini terdapat setidaknya
2 jenis obat hepatitis B yang diterima secara luas, dengan kekurangan dan
kelebihan masing-masing, yaitu :
1) Pengobatan Interferon
Pengobatan dengan interferonhanya diberikan dalam jangka maksimal 1
tahun. Pengobatan dengan interferon selama 1 tahun secara umum lebih baik
dalam hal serokonversi HBeAg dan HBsAg daripada pengobatan analog
nukleos(t)ida yang diberikan pada durasi yang sama.
2) Pengobatan Analog Nukleos(t)ida
Pengobatan dengan analog nukleos(t)ida secara umum memiliki efektivitas
yang cukup baik, walau pada pemakaian 1 tahun efektivitas beberapa jenis
analog nukleos(t)ida masih kurang baik daripada interferon. Namun
penggunaan analog nukleos(t)ida jangka panjang memiliki efektivitas yang
sebanding atau bahkan lebih baik daripada interferon. Bila dibandingkan
dengan interferon, pengobatan analog nukleos(t)ida memiliki kelebihan
berupa ringannya efek samping dan cara pemberian yang oral. Obat jenis ini
juga bisa digunakan pada pasien yang mengalami penyakit hati lanjut.
40
Pada prinsipnya, pengobatan analog nukleos(t)ida harus diteruskan sebelum
tercapai indikasi penghentian pengobatan atau timbul kemungkinan
resistensi dan gagal pengobatan (lihat bagian kegagalan pengobatan). Namun
khusus untuk pasien dengan fibrosis hati lanjut, pengobatan analog
nukleos(t)ida harus diberikan seumur hidup.
41
Tingkat Tersier (FKTT). Tidak ada obat antivirus yang disediakan untuk anak
pada FKTS ini.
F. Pengobatan Hepatitis C
Pengobatan hepatitis C lebih tertuju pada hepatitis C kronik karena seringkali pasien
hepatitis C datang ke pusat pelayanan kesehatan sudah dalam fase kronik. Tujuan
pemberian antivirus adalah mencegah munculnya komplikasi penyakit hati seperti
fibrosis, sirosis, karsinoma hepatoselular dan kematian.Target terapi antivirus adalah
pencapaian SVR. Untuk memantau kemungkinan mencapai suatu SVR perlu dilakukan
pemeriksaan HCV RNA secara berkala. Apabila kondisi RVR tercapai maka dapat
diperkirakan 72,5%-100% SVR akan tercapai tanpa memandang genotipe.
Penelitian yang dilakukan oleh Fried dkk dari 1.383 pasien hepatitis C dengan genotipe
1-4 yang diberikan terapi Peg-IFN/RBV, 16% pasien dengan genotipe 1 mencapai RVR,
71% pasien dengan genotipe 2 mencapai RVR dan 60% pasien dengan genotipe 3
mencapai RVR. Faktor prediksi RVR meliputi genotipe, usia, muatan virus, kadar ALT
dan derajat fibrosis.19 Sedangkan, penelitian oleh Sulkowski dkk., menunjukkan bahwa
perbedaan ras juga mempengaruhi pencapaian SVR. Dari hasil penelitian tersebut
didapatkan tingkat pencapaian SVR pada ras orang kulit putih mencapai 44%, ras
Afrika-Amerika mencapai 22%, ras orang Latin mencapai 38% dan ras Asia-Amerika
mencapai 59%.
Pasien hepatitis C genotipe 1, SVR dapat dicapai pada 46% pengguna Peg-IFNα2a dan
42% pada pengguna Peg-IFNα2b. SVR dapat dicapai pada 76% pasien genotipe 2 dan
sebesar 82% pada pasien genotipe 3 baik dengan menggunakan Peg-IFNα2a maupun
Peg-IFNα2b. Pencapaian SVR di Asia adalah sebesar 70% pada pasien dengan genotipe
1, 90% pada pasien dengan genotipe 2/3, 65% pada pasien dengan genotipe 4 dan 80%
pada pasien dengan genotipe 6.Pencapaian SVR di Indonesia adalah sebesar 81,5% pada
pasien genotipe 1, 90% pada pasien dengan genotipe 2/3, dan 85,7% pada pasien
dengan genotipe 4. Penelitian yang dilakukan oleh Lin dkk., pada 265 pasien hepatitis C
kronik genotipe 1 dan diterapi dengan Peg-IFN/RBV menunjukkan bahwa tingkat SVR
42
tertinggi ditemukan pada kelompok pasien dengan usia kurang dari 45 tahun dan
tingkat SVR terendah ditemukan pada kelompok pasien dengan usia lebih dari 65 tahun.
Demikian juga penelitian oleh Marco dkk., yang menganalisis perbedaan jenis kelamin
terhadap SVR menunjukkan pencapaian SVR pada pasien wanita hepatitis C genotipe 1
dengan usia lebih dari 50 tahun didapatkan lebih rendah dibandingkan usia kurang dari
50 tahun. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa menopause mempengaruhi
pencapaian SVR pada pasien wanita hepatitis C genotipe 1 sedangkan pada pasien pria
hepatitis C genotipe 1 tidak didapatkan hubungan antara usia dengan pencapaian SVR.
Pemberian terapi antivirus dapat dipertimbangkan bagi pasien hepatitis C kronik naïve
dengan sirosis kompensata tanpa memandang nilai ALT dan tidak memiliki
kontraindikasi terhadap interferon alfa maupun ribavirin.Pasien dengan fibrosis berat
(METAVIR score F3-F4) terapi antivirus sangat dianjurkan untuk segera
diberikan.Pasien dengan fibrosis sedang (METAVIR score F2) maupun fibrosis ringan
pemberian terapi antivirus dapat diberikan dengan mempertimbangkan manfaat dan
risiko pengobatan. Pemberian terapi antivirus pada pasien dengan sirosis hati
kompensata ditujukan untuk mengurangi risiko komplikasi terjadinya sirosis hati
dekompensata dan risiko terjadinya karsinoma hepatoselular.
43
a. Mekanisme Kerja Pegylated Interferon (Peg-IFN)
Interferon merupakan protein yang dihasilkan oleh tubuh dan bersifat sebagai
imunomodulator. Mekanisme kerja interferon adalah menghambat berbagai
tahap replikasi virus meliputi saat virus masuk dalam sel tubuh, uncoating,
sintesis mRNA dan sintesis protein. Pegylated ditambahkan dalam formula obat
untuk membuat interferon bertahan lebih lama di dalam tubuh. Manfaat lainnya
meliputi penurunan toksisitas, meningkatkan stabilitas obat, perlindungan
terhadap proteolisis dan memperbaiki daya larut. Pemberian Peg-IFN
1x/minggu juga membantu meningkatkan kepatuhan pasien dan memberikan
kenyaman bagi pasien. Terdapat beberapa tipe Peg-IFN, namun yang sering
digunakan dalam pengobatan hepatitis C adalah Peg-IFN α2a dan Peg-IFN α2b.
Perbedaan antara Peg-IFN α2a dan Peg-IFN α2b selain strukturnya adalah
waktu paruh absorpsi, waktu paruh eliminasi dan waktu konsentrasi maksimal
ditemukan lebih lama pada Peg-IFN α2b. Beberapa studi menunjukkan
keunggulan Peg-IFN α2a dibandingkan Peg-IFN α2b meskipun ada juga studi
yang menunjukkan tidak adanya perbedaan efektifitas keduanya dalam terapi
hepatitis C kronik.
44
Gane et al. melakukan sebuah studi pada 95 pasien hepatitis C genotipe 1, 2, 3
naïve dan genotipe 1 yang null responders. Kemudian pasien tersebut dibagi
menjadi 8 kelompok (monoterapi sofosbuvir, sofosbuvir + RBV dengan atau
tanpa Peg-IFN selama 8 atau 12 minggu). Hasil studi tersebut menunjukkan
100% pasien genotipe 2, 3 naïve yang diterapi dengan sofosbuvir + RBV
mencapai SVR, 84% pasien genotipe 1 naïve mencapai SVR. Akan tetapi pada
pasien genotipe 1 null responders pencapaian SVR hanya 10% sehingga dapat
disimpulkan bahwa pasien genotipe 2, 3 naïve dapat sembuh sempurna dengan
pemberian sofosbuvir + RBV selama 12 minggu.
1. Diare
a. Jenis diare
Berdasarkan klasifikasi WHO (1996), diare dapat dibedakan menjadi 3 jenis,
yaitu:
1) Diare cair akut (watery)
Diare yang terjadi tiba-tiba, frekuensi sering, konsistensi cair yang bersifat
watery (cair dan banyak). Diare ini sering disebabkan oleh Retrovirus, E. coli,
Shigella, Campylobacter jejuni, Cryptosporidium.
2) Disentri
Buang air besar dengan konsitensi tinja cair, frekuensi sering, sedikit-sedikit,
kadang-kadang disertai darah dan/atau lendir. Diare ini dapat disebabkan
45
Shigella, Campylobacter jejuni, Enteroinvasive Escherichia coli (EIEC),
Salmonella, E. histolytica.
3) Diare persistens
Diare yang terjadi lebih dari 14 hari, dapat cair (watery) maupun disentri.
Diare ini dapat disebebkan oleh EIEC, Shigella, Cryptosporidium.
b. Pengobatan
Pengobatan diare pada prinsipnya adalah melakukan rehidrasi oral terhadap
cairan yang keluar melalui diare atau muntah yang terjadi saat menderita diare.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengembangkan pola pengobatan diare
pada anak menggunakan pola Plan A, B, dan C. Pola Plan A merupakan rehidrasi
yang dilakukan pada saat diare dengan atau tanpa dehidrasi ringan (dapat
dilakukan dengan rehidrasi oral). Plan B adalah rehidrasi pada penderita
dengan rehidrasi ringan sampai sedang (dapat dilakukan dengan rehidrasi oral
dan/atau intravena bila diperlukan), dan Plan C merupakan rehidrasi pada
penderita diare dengan rehidrasi berat (dilakukan dengan rehidrasi intravena).
2. Tifoid
Diagnosis tifoid dapat dibuat pada semua tingkatan pelayanan, hal ini perlu untuk
mendapatkan pengobatan dini. Diagnosis dapat dibuat berdasarkan anamnesa
(riwayat penyakit), temuan klinis dan pemeriksaan laboratorium/tambahan lainnya
tergantung tingkatan pelayanan kesehatan
a. Diagnosis klinis
Diagnosis klinis adalah kegiatan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk
mendapatkan sindrom klinis tifoid. Berbagai gejala klinis yang sering ditemukan
pada demam tifoid, adalah :
46
case hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar (Puskesmas/dokter
keluarga)
2) Possible case
Telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap, serta didukung
oleh gambaran laboratorium dan serologi yang menyokong tifoid (titer widal
O>1/160 atau H>1/160 satu kali pemeriksaan atau Tubex atau IgM).
Diagnosis ini dibuat pada fasilitas kesehatan rujukan RS tingkat I dan II (RS
tipe C dan B)
3) Definite case
Diagnosis pasti, ditemukan S. typhi pada pemeriksaan biakan atau positif S.
typhi pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titer Widal 4 kali lipat
(pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer Widal O>1/320, H>1/640 (pada
pemeriksaan sekali). Diagnosis ini dibuat pada layanan RS tingkat III (RS tipe
A)
2) Rujukan
Penderita dirujukan apabila:
a) Telah mendapat pengobatan selama 5 hari namun belum ada perbaikan.
Apabila kondisi penderita memburuk yang ditandai dengan penurunan
tanda vital dan semakin tingginya demam, dan nyeri ulu hati makin hebat
b) Tifoid dengan tanda-tanda kedaruratan
c) Tifoid dengan tanda-tanda komplikasi dan fasilitas tidak memadai.
4) Pengobatan
a) Antibiotik
Pilihan antibiotik, antara lain:
Kloramfenikol
Dewasa: 4 x 500mg/hari, selama 14 hari
Anak: 50-100mg/kgBB, 4x/hari (dibagi 4 dosis), selama 10-14 hari.
Kotrimoksasol
Dewasa: 2 x (160-800mg)/hari, selama 14 hari
Anak: 6-10mg/kgBB, 2x/hari, selama 10-14 hari.
Amoksisilin
Dewasa: 3-4 x 1000mg/hari, selama 14 hari
Anak: 50-100 mg/kgBB, 4x/hari, selama 10-14 hari.
b) Obat-obat simptomatik dan roboransia
c) Istirahat dan pentahapan mobilitas
d) Diet (bubur/nasi biasa).
7) Pencegahan
Higiene perorangan dan lingkungan
Demam tifoid ditularkan melalui rute oro-fekal, maka pencegahan utama
memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan
lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum dan sesudah makan,
penyediaan air bersih, dan pengamanan pembuangan limbah feses.
Imunisasi aktif terutama diberikan bila terjadi kontak dengan pasien tifoid,
terjadi kejadian luar biasa, dan untuk turis yang bepergian ke daerah
endemik.
49
3. Hepatitis A
a. Diagnosis
Penegakkan diagnosis disamping berdasarkan gejala dan tanda klinis (kadang-
kadang tidak muncul), juga hasil pemeriksaan anti-HAV IgM serum penderita.
Pemeriksaan anti-HAV IgM merupakan deteksi adanya antibodi IgM terhadap
virus hepatitis A. Antibodi ini akan terdeteksi ketika timbul gejala, dan akan
menetap selama 3-6 bulan setelah infeksi terjadi.
4. Hepatitis E
a. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya antibodi terhadap VHE atau RNA
VHE dalam serum atau tinja penderita. Antibodi yang bisa dideteksi saat ini
adalah IgM, IgG, dan IgA.
Definisi operasional LROA adalah salah satu ruangan (tempat) di puskesmas yang
melakukan paling tidak salah satu dari beberapa kegiatan secara terus menerus 3 bulan
terakhir dalam periode pelaporan tahun berjalan, yang dibuktikan dengan adanya
data/laporan hasil pelaksanaan kegiatan.
50
1. Kebijakan Layanan Rehidrasi Oral Aktif
Kebijakan Layanan Rehidrasi Oral Aktif dalam tatalaksana Diare:
a. Layanan Rehidrasi Oral Aktif merupakan salah satu indikator kinerja
pengendalian diare di kabupaten/kota.
b. Layanan Rehidrasi Oral Aktif di laksanakan di puskesmas sebagai upaya untuk
meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat dalam pencegahan
dan penanggulangannya diare.
c. Layanan Rehidrasi Oral Aktif dilakukan dengan cara observasi penderita diare.
51
BAB VI
Sepanjang tahun masih terjadi beberapa kali KLB diare di beberapa daerah di Indonesia
sehingga kewaspadaan dini terhadap kemungkinan terjadinya KLB diare tetap harus
dilakukan.
Pemantauan Wilayah Setempat Kejadian Luar Biasa (PWS KLB) diare harus
dilaksanakan di setiap unit pelayanan, terutama di Puskesmas dan rumah sakit serta
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan pelaporan berjenjang sampai ke tingkat
Pusat. PWS KLB diare juga perlu dikembangkan di laboratorium, baik di Balai
Laboratorium Kesehatan Pusat dan Daerah maupun laboratorium rumah sakit dan
puskesmas.
52
Membuat laporan harian kepada puskesmas.
Tim penanggulangan KLB menyelenggarakan penyuluhan untuk melakukan
pertolongan dini dan mencermati tanda-tanda dehidrasi, penyuluhan segera berobat
bagi setiap penderita dan bahkan secara aktif mencari kasus sedini mungkin. Upaya ini
bekerjasama dengan para guru, petugas desa atau kelurahan, petugas puskesmas
lainnya.
Pada KLB kolera dapat dilakukan kaporisasi sumber air minum yang digunakan oleh
penduduk daerah terjangkit KLB diare. Penduduk juga mendapat penyuluhan memasak
air minum, pengamanan makanan dari pencemaran, lisolisasi bahan atau pakaian dan
lantai.
Berdasarkan data yang ada menunjukkan bahwa KLB hepatitis A sering terjadi pada
musim tertentu, oleh karena itu monitoring adanya KLB hepatitis A perlu dilakukan
dengan cermat. Apabila terdapat kecenderungan peningkatan serangan KLB hepatitis A
pada kawasan tertentu, maka dinas kesehatan provinsi atau Kemenkes RI perlu
menginformasikan peringatan kewaspadaan KLB hepatitis A pada semua unit
kesehatan di wilayah tersebut.
Kegiatan pengendalian KLB adalah kegiatan yang dilakukan secara terpadu oleh
pemerintah daerah dan masyarakat, meliputi: 1) Penyelidikan epidemiologi; 2)
Penanganan penderita, mencakup pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi
penderita, termasuk teindakan karantina, pencegahan dan pengebalan, pemusnahan
penyebab penyakit; 3) Penanganan jenazah akibat KLB/wabah; 4) Penyuluhan kepada
masyarakat; dan 5) Upaya penggulangan lainnya, mengacu pada Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes) Nomor 1501/Menteri/Per/X/2010.
53
1. Penyelidikan epidemiologi (invertigasi KLB)
Ditemukannya lebih dari satu penderita dalam satu klaster dengan gejala klinis
hepatitis A (dapat berupa demam, sakit kepala, lelah, nafsu makan menurun, perut
kembung, mual dan muntah yang diikuti jaundice/ikterus/kuning, air kencing
berwarna gelap, dan lain-lain) merupakan sinyal dugaan terjadi KLB hepatitis A.
Dugaan dapat diperkuat dengan ditemukannya IgM antibodi terhadap virus
hepatitis A pada beberapa kasus yang diperiksa.
Kejadian Luar Biasa hepatitis A ditetapkan apabila terdapat dua kasus klinis
hepatitis A atau lebih yang berhubungan secara epidemiologis.
Karena penyakit ini mempunyai gejala klinis dengan spektrum yang bervariasi
mulai dari tanpa gejala (asimptomatik), ringan yang sembuh dalam 1-2 minggu,
sampai dengan gejala yang berat yang berlangsung sampai beberapa bulan, maka
bukti-bukti epidemiologis sudah dapat mendukung diagnosis secara klinis. Bukti-
bukti epidemiologis antara lain ditemukannya klaster orang dengan gejala klinis
mengarah ke diagnosis hepatitis A (dua atau lebih gejala: demam, sakit kepala, lelah,
nafsu makan menurun, perut kembung, mual dan muntah, yang diikuti jaundice, air
kencing berwarna gelap).
54
1) Bila teridentifikasi sebagai penularan orang per orang, maka tindakan
selanjutnya adalah isolasi penderita selama masa inkubasi (sejak kasus
ditemukan sampai 2 minggu setelah timbul gejala).
2) Bila teridentifikasi sebagai common source, maka tindakan selanjutnya adalah
identifikasi sumber penularan.
c. Upaya memutus rantai penularan dilakukan melalui perbaikan sanitasi dan
pengamatan makanan.
d. Bila teridentifikasi sumber penularan, maka dilakukan semua upaya
berdasarkan sumber penularannya. Bila sumber penularan adalah sumber air
yang terkkontaminasi, maka dapat dilakukan desinfektan pada sumber air
tersebut. Bila sumber penularan adalah akibat pangan terkontaminasi, maka
dilakukan perbaikan hygiene sanitasi dan pengamanan pangan. Sumber
penularan dimaksud diisolasi sampai diyakini tidak mengandung virus.
Beberapa cara inaktivasi virus hepatitis A
Pemanasan pada suhu 85oC selama 1 menit
Sterilisasi dengan otoklaf pada suhu 121oC selama 20 menit
Radiasi ultraviolet pada 1,1W pada kedalaman 0,9 cm selama 1 menit
Sterilisasi dengan formalin 8% selama 1 menit pada suhu 25 oC
Desinfeksi dengan larutan potassium permangat 30mg/liter selama 15 menit
Desinfeksi dengan larutan iodine 3 mg/liter selama 5 menit
Desinfeksi dengan larutan klorin bebas residu 2-2,5 mg/liter larutan sodium
hipoklorit pada suhu 20oC selama 5-15 menit.
e. Apabila belum teridentifikasi sumber penularannya dengan jelas, maka
perbaikan sanitasi dan pengamanan pangan segera dilaksanakan dengan ketat
terhadap semua kantin dan jajanan yang berhubungan dengan populasi berisiko,
termasuk diantaranya membawa makanan dari rumah masing-masing.
f. Tidak ada pengobatan spesifik. Penderita membutuhkan istirahat yang cukup,
makanan rendah lemak. Pengobatan berupa terapi suportif untuk mengatasi
gejala dan menjamin asupan nutrisi seimbang, termasuk bila diperlukan cairan
pengganti akibat muntah atau diare. Isolasi air kencing dan tinja penderita
dilakukan untuk mencegah penularan dan penyebaran virus.
g. Pemberian imunisasi pada saat terjadinya KLB tidak dianjurkan.
55
BAB VII
56
B. Surveilans Epidemiologi Hepatitis B dan C
Surveilans hepatitis (B dan C) dilakukan secara aktif dan pasif dalam rangka
pemantauan wilayah setempat, kewaspadaan dini, dan surveilans sentinel.
2. Kewaspadaan dini
Kewaspadaan dini dilakukan apabila dalam pemantauan wilayah setempat diketahui
bahwa suatu wilayah berpotensi timbul KLB dengan memenuhi kriteria, antara lain:
a. kualitas kesehatan lingkungan yang buruk;
b. ditemukan virus Hepatitis A dan Hepatitis E; atau
c. ditemukan satu kasus positif Hepatitis A dan Hepatitis E.
3. Surveilans sentinel
Surveilans sentinel dilakukan pada kelompok populasi berisiko untuk memperoleh
gambaran tentang besaran masalah, kecenderungan, pola penyebaran, faktor risiko
potensial, dan infeksi silang antar jenis Hepatitis Virus, maupun infeksi lainnya
seperti HIV dan Infeksi Menular Seksual lainnya. Pelaksanaan Surveilans Sentinel
Hepatitis pada kelompok berisiko tinggi ini, diintegrasikan pada Surveilans Sentinel
HIV. Disamping itu Surveilans Sentinel Hepatitis B dilaksanakan pada Balita di
fasilitas layanan kesehatan. Pelaksanaan Surveilans Sentinel ini dilaksanakan
setahun sekali, untuk selanjutnya tatacara pelaksanaanya akan diatur lebih lanjuta
pada Petunjuk Teknis Pelaksanaan Surveilans/Pengamatan Hepatitis B dan C
a. Tujuan
Diketahuinya situasi masalah diare di masyarakat, sehingga dapat dibuat
perencanaan dalam pengendaliannya di semua jenjang admnistratif.
b. Pengertian
Surveilans epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus-
menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-
57
masalah kesehatan tersebut agar dapat melakukan tindakan pencegahan dan
pengendalian secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data,
pengolahan dan penyebaran informasi kepada penyelenggara program
kesehatan.
c. Prosedur
1) Sumber data
Ada tiga sumber data diare, yaitu laporan rutin, laporan KLB, dan studi kasus.
a) Laporan rutin
Dilakukan oleh puskesmas dan rumah sakit menggunakan SP2TP (LB),
SPRS (RL), STP, dan rekapitulasi diare. Oleh karena diare termasuk
penyakit yang dapat menimbulkan KLB, maka perlu dibuat laporan
mingguan (W2). Untuk dapat membuat laporan rutin, maka perlu
dilakukan pencatatan setiap hari (register) penderita diare yang datang
ke fasyankes, posyandu atau kader. Data register harian dapat
mendeteksi adanya peningkatan jumlah kasus dan tanda-tanda akan
terjadinya KLB, sehingga dapat dilakukan tindakan penanggulangan
sesegera mungkin.
b) Laporan KLB
Setiap terjadi KLB/wabah perlu dilaporkan dalam periode 24 jam dengan
format laporan W1 dan dilanjutkan dengan laporan khusus, meliputi:
Kronologi terjadinya KLB
Cara penyebaran serta faktor-faktor yang mempengaruhinya
Keadaan umum penderita
Hasil penyelidikan epidemiologi yang telah dilakukan
Hasil kegiatan penanggulangan KLB dan rencana tindak lanjut.
a. Tujuan
1) Memantau laju infeksi di masyarakat
2) Mendapatkan data dasar endemisitas
3) Mengindentifikasi KLB
4) Mengevaluasi ketajaman diagnostik secara klinis
5) Mengevaluasi kegiatan pencegahan dan pengendalian
b. Metode
Kasus Tifoid ditemukan secara pasif di sarana kesehatan dari tingkat puskesmas
sampai tingkat rumah sakit propinsi. Penderita yang ditemukan dicatat sesuai
dengan kriteria yang digunakan. Pada sarana pelayanan tingkat dasar, maka
sebagian besar kasus yang tercatat adalah kasus suspek, untuk sarana pelayanan
tingkat dua dimana pemeriksaan serologi dimungkinkan maka kemungkinan
dapat tercatat kasus probable, sedang di rumah sakit besar dengan sarana
laboratorium mikrobiologi dapat mengumpulkan data kasus dengan diagnosis
pasti atau konfirmasi.
c. Sasaran
Menurut sasarannya maka surveilans epidemiologi tifoid dapat dibedakan
menurut sarana pelayanan sebagai berikut:
1) Puskesmas
2) Rumah sakit kabupaten
3) Rumah sakit di propinsi yang memiliki sarana laboratorium mikrobiologi.
BAB VIII
59
PENGELOLAAN LOGISTIK PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN HEPATITIS DAN
INFEKSI SALURAN PENCERNAAN
Untuk kegiatan pengendalian hepatitis, diare dan infeksi saluran pencernaan, logistik
biasanya terdiri dari barang medis dan non-medis yang dikirim dari tingkat pusat atau
pengadaan oleh provinsi atau kabupaten/kota. Logistik yang dibutuhkan adalah untuk
kebutuhan rutin dan saat Kejadian Luar Biasa (KLB). Untuk itu perlu disusun kebutuhan
dan terlaksananya sistim pengadaan, penyimpanan, distribusi dan persediaan logistik
dalam pengendalian hepatistis dan Infeksi Saluran Pencernaan.
Sebagai contoh untuk kebutuhan rutin dalam pengendalian diare, perhitungan kebutuhan
oralit ditentukan berdasarkan perkiraan jumlah penderita diare yang datang ke fasilitas
pelayanan kesehatan dan kader, dan pengadaan oralit dan obat Zinc di Kementerian
Kesehatan dilaksanakan oleh Ditjen Binfar dan Alat Kesehatan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku dan dikirim ke Gudang Farmasi provinsi (GFK).
Oralit dan obat Zinc merupakan obat esensial, sehingga pengadaan dilaksanakan di tingkat
pusat sesuai usulan daerah. Dalam hal pengadaan bahan/alat/obat yang dibutuhkan dalam
pengendalian hepatitis dan Infeksi Saluran Pencernaan perlu diidentifikasi sumber
dananya, sehingga dapat dimasukkan dalam perencanaan yang dibutuhkan dalam kegiatan
pengendalian di masing-masing daerah (Tabel 7).
Tabel 7. Pengadaan bahan/alat/obat menurut sumber dana, juml ah pengadaan dan kebutuhan
Bahan/alat/obat Sumber dana Jumlah JumLah
pengadaan kebutuhan
Oralit Pusat, Propinsi dan Kab/Kota X1 Y1
Zinc Pusat, Propinsi dan Kab/Kota X2 Y2
Paket untuk layanan Rehidrasi oral Pusat, Propinsi dan Kab/Kota X3 Y3
Reagen untuk deteksi dini Pusat, Propinsi dan Kab/Kota X4 Y4
HBIg Pusat, Propinsi dan Kab/Kota X5 Y5
Reagen untuk kegiatan pemantauan Pusat X6 Y6
dan BHP
Bahan habis pakai (deteksi dini) Pusat, Propinsi dan Kab/Kota X7 Y7
Peralatan untuk mendukung deteksi Pusat, Propinsi dan Kab/Kota X8 Y8
dini, layanan Tatalaksana, dan
monitoring
Ringer laktat IUFD Provinsi, kabupaten/kota X9 Y9
Selang infus Provinsi, kabupaten/kota X10 Y10
Lainnya Provinsi, kabupaten/kota X11 Y11
Bila jumlah yang pengadaan masih belum memenuhi kebutuhan, maka provinsi,
kabupaten/kota dapat melakukan pendaaan sendiri dalam memenuhi kebutuhannya.
60
Penyimpanan di provinsi, kabupaten, puskesmas dan kader hendaknya dikelola secara baik
dan benar, yaitu disimpan pada tempat yang kering diberi alas, disusun sesuai dengan
waktu penerimaan dan kedaluwarsanya, sehingga pada saat dibutuhkan mudah
mencarinya. Dibuatkan pencatatan asal obat, jumlah dan waktu penerimaan serta
pengeluaran obat, yaitu jumlah, waktu dan tujuan obat dikirimkan. Perlu dibuatkan standar
pengelolaan dan penyimpanan bahan/alat/obat.
1. Kebutuhan reagen
a. Rapid Test
Perhitungan kebutuhan Rapid Test untuk DDHBC disesuaikan dengan jenis
kegiatan dan tempat pelaksanaannya. Sebagai contoh, perkiraan kebutuhan
Rapid Test hepatitis B di puskesmas adalah 80% x jumlah kelompok
masyarakat (populasi) berisiko tinggi yang akan diperiksa x 1 Tes. Stok
(cadangan) juga perlu diperhitungkan.
Cara perhitungan jumlah kebutuhan untuk Rapid Test hepatitis C sama dengan
cara perhitungan untuk kebutuhan Rapid Test hepatitis B.
b. Pemeriksaan konfirmasi
61
Perkiraan kebutuhan untuk konfirmasi hepatitis B dan C, yaitu sebesar
prevalensi hepatitis B dan/atau C atau perkiraan yang reaktif dari pelaksanaan
deteksi dini hepatitis dengan Rapid Test. Misalnya prevaensi Hepatitis B sebesar
5%, maka reagen untuk konfirmasi HBsAg yang dibutuhkan sebesar 5% x (80%
x jumlah sasaran dan atau kelompok masyarakat risiko tinggi yang akan
melaksanakan DDHB). Bila prevalensi Hepatitis C juga sebesar 10%, maka
kebutuhan reagen konfirmasi Hepatitis C yang dibutuhkan sebesar 10% x (80%
x sasaran dan atau kelompok masyarakat yang melaksanakan DDHC). Reagen
untuk konfirmasi disimpan pada suhu 2-8oC.
2. Bahan/alat
Sebagai gambaran kebutuhan bahan/alat untuk 100 sasaran di puskesmas adalah
sebagai berikut (Tabel 8):
Tabel 8. Kebutuhan Alat dan Bahan Habis Pakai DDHBC di Puskesmas U ntuk 100
Sasaran
62
4. Hepatitis B Imunoglobulin (HBIg)
Imunoglobulin hepatitis B diperlukan untuk bayi yang dilahirkan dari ibu dengan
HBsAg reaktif. Waktu pemberian HBIg<24 jam setelah kelahiran, bersamaan dengan
imunisasi hepatitis B 0 hari program nasional.
Perhitungan perkiraan kebutuhan HBIg bila prevalensi Hepatitis reaktif pada ibu
hamil sebesar 5% adalah: 5% (estimasi) x jumlah ibu hamil yang diperiksa
dikurangi stok yang masih ada. Penyimpanan HBIg pada suhu 2-8 oC.
5. Kualitas bahan/alat/obat
Kualitas bahan/alat/obat yang digunakan memerlukan perhatian tersendiri. Pada
tahun 2014, Direktorat P2ML, Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI bekerjasama dengan
Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan dan BBLK
Jakarta (Tim Teknis), telah melakukan evaluasi kualitas reagen hepatitis B dan C
yang beredar di Indonesia. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, maka ditetapkan
kriteria pemilihan reagen sebagai berikut (Tabel 9):
Pemilihan reagen (Rapid Test) untuk deteksi dini hepatitis B dan C adalah
berdasarkan sensitivitas dan spesifisitas yang paling tinggi.
1. Oralit
Perhitungan kebutuhan logistik diare ditentukan berdasarkan perkiraan jumlah
penderita diare yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dan kader.
Kebutuhan Oralit:
63
(Target Penemuan Penderita Diare Balita x 6 bungkus + Cadangan*) – Stok
*20% x (Target Penemuan Penderita Diare Balita x 6 Bungkus)
Kebutuhan Oralit:
= (5.004 x 6) + 10 % (6.420 x 6) - 10.000 bungkus
= 30.024 + 3.002 - 10.000 bungkus
= 23.026 bungkus
= 230,26 kotak atau 231 kotak (@100 bungkus)
Catatan:
Jumlah penduduk Balita diperkirakan 10% dari jumlah penduduk. Apabila provinsi
mempunyai data jumlah Balita, agar menggunakan data sendiri.
2. Obat Zinc
Kebutuhan Zinc:
Kebutuhan Zinc:
= 5.004 x 10 tablet + 10% (5.004 x 10) - 20.000 tablet
= 50.040 tab + 5004 tab - 20.000 tab = 35.044 tablet
= 350 kotak (@100 tablet)
64
Rumus perhitungan kebutuhan paket penyakit diare saat KLB:
a. Oralit
Perkiraan jumlah penderita diare saat KLB
Rata-rata pemberian oralit per penderita = 10 bungkus oralit (@200 ml).
b. Zinc
Tablet Zinc diberikan kepada penderita diare Balita
Jumlah penderita diare Balita pada saat KLB diperkirakan 50%.
Jumlah Penderita Diare yang Membutuhkan RL = 30% x Jumlah Penderita Saat KLB
d. Selang Infus
Jumlah penderita diare yang membutuhkan infus set adalah semua penderita
yang mendapat RL x 1 set.
e. IV Cateter Anak
Perkiraan jumlah penderita yang membutuhkan IV kateter anak adalah 30%
dari jumlah penderita diare yang diberi RL.
f. IV Cateter Dewasa
Perkiraan kebutuhan IV cateter dewasa adalah 80% dari jumlah penderita yang
diberi RL.
65
Obat tetrasiklin 500mg diberikan kepada penderita diare dewasa dengan suspek
kolera, dosis 4 kali perhari selama 3 hari.
1. Kebutuhan
Perhitungan kebutuhan bahan/alat/obat ditentukan berdaarkan perkiraan jumlah
penderita tifoid yang datang ke fasilitas kesehatan. Perkiraan jumlah penderita
tifoid dihitung berdasarkan perkiraan penemuan penderita, angka kesakitan, dan
jumlah penduduk di suatu wilayah.
Contoh:
Jumlah penduduk di suatu puskesmas = 30.000 penduduk
Angka kesakitan tifoid = 7,5 per 1000 penduduk
Penderita tifoid yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan = 10%
D. Pengadaan
Pengadaan oralit dan Zinc di Kementerian Kesehatan dilaksanakan oleh Ditjen Binfar
dan Alat Kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan dikirim ke Gudang
Farmasi Provinsi. Oralit dan Zinc merupakan obat esensial, pengadaannya oleh daerah
sesuai kebutuhan daerah, sedangkan pusat dapat mengalokasikan obat tersebut untuk
KLB.
D. Penyimpanan
Penyimpanan di tingkat provinsi, kabupaten, puskesmas dan kader hendaknya dikelola
secara baik dan benar, yaitu disimpan pada tempat yang kering diberi alas, disusun
sesuai dengan tanggal kadaluwarsanya, sehingga pada saat pengambilan mudah
mencarinya. Dibuatkan pencatatan asal obat, jumlah dan waktu penerimaan serta
pengeluaran obat (jumlah, waktu dan tujuan obat dikirimkan).
E. Distribusi
66
Distribusi obat dari provinsi ke kabupaten/kota dan puskesmas sesuai kebijakan
masing-masing daerah. Apabila terjadi KLB dan daerah memerlukan tambahan, dapat
mengajukannya ke Direktorat Obat Publik (Ditjen Binfar) dengan tembusan ke Subdit
Pengendalian Hepatitis dan Infeksi Saluran Pencernaan.
F. Persediaan (Stok)
Persediaan obat dihitung berdasarkan perkiraan kebutuhan minimal 1 (satu) bulan.
BAB IX
67
MONITORING DAN EVALUASI
Evaluasi dimaksudkan untuk memberikan bobot atau nilai terhadap hasil yang dicapai
dalam keseluruhan pentahapan kegiatan, untuk proses pengambilan keputusan apakah
suatu kegiatan diteruskan, dikurangi, dikembangkan atau diperkuat. Untuk itu penilaian
diarahkan guna mengkaji efektifiktas dan efisensi pengelolaan kegiatan pencegahan dan
pengendalian HIsp. Penilaian kinerja pencegahan dan pengendalian HIsp dilaksanakan
berdasarkan indikator yang telah ditetapkan dalam pencapaian sasaran.
Monitoring dan evaluasi dilakukan pada setiap tahap kegiatan pencegahan dan
penegandalian HIsp, yaitu:
68
Tabel 10. Perbedaan Monitoring dan Evaluasi Berkala
69
Meningkatnya ketersediaan logistik (bahan/alat/obat) dalam pencegahan
dan pengendalian tifoid.
Meningkatnya pembiayan yang diperlukan dalam pencegahan dan
pengendalian tifoid
Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang tifoid
Menurunkan kejadian penularan tifoid
Menurunkan angka kesakitan dan kematian tifoid.
Monitoring dilaksanakan oleh pengelola program, baik di pusat maupun daerah, pada
saat program/kegiatan pencegahan dan pengendalian sedang berlangsung guna
memberikan koreksi atau perbaikan segera terhadap rangkaian kegiatan yang
dilaksanakan. Sebagai contoh, dalam pemberian imunisasi hepatitis B yang sebaiknya
diberikan kepada bayi segera setelah kelahirannya, maka apabila pemberian imunisasi
pada bayi dilakukan di luar periode waktu segera setelah kelahiran bayi pada suatu
wilayah, disarankan agar selanjutnya pemberian imunisasi dapat dilakukan secepatnya
(segera setelah bayi lahir). Dalam konteks ini monitoring dilakukan dalam rangka
memperoleh gambaran tentang aksesibilitas, kualitas pengelolaan program, masalah,
dan dampaknya.
Gambaran selengkapnya data dan informasi yang diperoleh pada saat proses
monitoring dapat dilihat pada tabel sebagai berikut (Tabel 11):
Tabel 11. Gambaran Aksesibilitas, Kualitas Kegiatan, Masalah, dan Dampak Kegiatan
Pencegahan dan Pengendalian Hepatitis
Aksesibilitas Kualitas kegiatan Masalah Dampak
Jumlah bayi yang diimunisasi Proporsi bayi yang A-B Peningkatan
hepatitis B segera setelah memperoleh imunisasi insidensi dan
lahir dibagi jumlah bayi yang hepatitis B segera setelah prevalensi
lahir pada periode yang sama lahir dibagi jumlah bayi hepatitis B
(A) yang diimunisasi pada
saat usia 7 hari (B)
Evaluasi hepatitis dilaksanakan oleh pengelola program, baik di pusat maupun daerah,
setelah pelaksanaan kegiatan pencegahan dan pengendalian dilakukan pada satu tahun
anggaran selesai. Hasil evaluasi dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan apakah
kegiatan dilanjutkan, dikembangkan, atau dibatasi.
Sebagai contoh gambaran evaluasi pada kasus pemberian imunisasi hepatitis B
sebagaimana tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa:
70
a. Apabila masalah yang terjadi semakin besar, maka kegiatan dipertimbangkan untuk
dikaji kembali; dan
b. Apabila kualitas pengelolaan kegiatan mencapai lebih dari 95%, kegiatan
dipertimbangkan untuk ditingkatkan.
BAB X
PENUTUP
71
Buku ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman atau pegangan bagi penanggung
jawab/pengelola prgoram/kegiatan Hepatitis Infeksi Saluran Pencernaan (HIsp) di
puskesmas, kabupaten/kota, provinsi dan pusat dalam melaksakan manajemen kegiatan
pencegahan dan pengendalian disetiap tingkatannya.
Untuk penjelasan yang lebih rinci untuk program/kegiatan pencegahan dan pengendalian
hepatitis B dan C, serta Infeksi Saluran Pencenaan (diare, tifoid, hepatitis A dan E) dapat
dilihat buku petunjuk teknis masing-masing penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
PEDOMAN INTERNAL
73
HEPATITIS DAN INFEKSI SALURAN PENCERNAAN
74