Anda di halaman 1dari 75

DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar .…………………………………………………………………………………………………………….…………….. i
Daftar Isi .……………………………………………………………………………………….…………………………………………... iii
Glossary .……………………………………………………………………………………………………………………………………………. iv
Daftar Singkatan dan Istilah ………………………………………………………………………………………………………... v

BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………………………………….………………………………... 1


A. Latar Belakang ……………………………………………………………………………………………………….. 1
B. Tujuan ………………………………………………………………………………………………………………….… 3
C. Sasaran ………………………………………………………………………………….……………………………….. 4
D. Ruang Lingkup ……………………………………………………………………………………………………….. 4
E. Dasar Hukum ……………………………………………………………………………………………………….… 4

BAB II. KEBIJAKAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN HEPATITIS DAN INFEKSI SALURAN
PENCERNAAN ......................................................................................................................................................... 6

BAB III. GAMBARAN KLINIS HEPATITIS DAN INFEKSI SALURAN PENCERNAAN .................................... 10

BAB IV. PENCEGAHAN HEPATITIS DAN INFEKS SALURAN PENCERNAAN ………………………………….. 21


A. Promosi Kesehatan ………………………………………………………………………………………………… 21
B. Perlindungan Khusus (Specific Protection) ………………………………………………………………. 25
C. Pengamatan Karier Tifoid ………………………………………………………………………………………. 28

BAB V. PENGENDALIAN HEPATITIS DAN INFEKSI SALURAN PENCERNAAN ……………………………... 30


A. Deteksi Dini Hepatitis B dan C ………………………………………………………………………………… 30
B. Pengamatan Hepatitis …………………………………………………………………………………………….. 34
C. Penanganan Hasil Deteksi Dini Hepatitis B dan C …………………………………………………….. 34
D. Penanganan Kasus Terpajan Hepatitis B …………………………………………………………….……. 36
E. Pengobatan Hepatitis B ……………………………………………………………………………………….….. 37
F. Pengobatan Hepatitis C ……………………………………………………………………………………….….. 42
G. Pengobatan Infeksi Saluran Pencernaan ……………………………………………………………….…. 45
H. Layanan Rehidrasi Oral Aktif …………………………………………………………………………………... 50

BAB VI. SISTEM KEWASPADAAN DINI KEJADIAN LUAR BIASA HEPATITIS DAN INFEKSI
SALURANA PENCERNAAN ………………………………………………………………………………………….…. 52
A. Sistem Kewaspadaan Dini-Kejadian Luar Biasa Diare …………………….……………………...…. 52
B. Sistem Kewaspadaan Dini-Kejadian Luar Biasa Tifoid …………………………….……………...… 53
C. Sistem Kewaspadaan Dini-Kejadian Luar Biasa Hepatitis A ………………….…………………... 53
D. Sistem Kewaspadaan Dini-Kejadian Luar Basa Hepatitis E …………………..………………….... 55

BAB VII. SURVEILANS EPIDEMOLOGI HEPATITIS DAN INFEKSI SALURAN PENCERNAAN ……………. 56
A. Pencatatan dan Pelaporan ………………………………………………………………………………………. 56
B. Surveilans Epidemiologi Hepatitis B dan C ………………………………………………………………. 57
C. Surveilan Epidemiologi Infeksi Saluran Pencernaan ………………………………………………… 57

BAB VIII. PENGELOLAAN LOGISTIK PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN HEPATITIS DAN


INFEKSI SALURAN PENCERNAAN …………………………………………………………………………………. 60

BAB IX. MONITORING DAN EVALUASI ………………………………..……………………………………………………... 68

BAB X. PENUTUP …..……………………………………………………………….……………………………………………….... 72

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………………………………………………… 73

0
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hepatitis merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di negara-negara


berkembang di dunia termasuk Indonesia. Di dunia, virus Hepatitis B (HVB) telah
menginfeksi sebanyak 2 milyar orang, sekitar 360 juta diantaranya merupakan
pengidap VHB kronik dan 500.000 orang meninggal setiap tahunnya. Sedangkan jumlah
penderita hepatitis C diperkirakan sebanyak 170 juta orang.

Indonesia termasuk negara dengan endemisitas tinggi hepatitis B, terbesar kedua di


Asia Pasifik setelah Myanmar. Saat ini diperkirakan sebanyak 28 juta orang terinfeksi
hepatitis B, 14 juta diantaranya berpotensi untuk menjadi kronik, dan dari yang kronik
tersebut, 1,4 juta berpotensi menjadi sirosis dan kanker hati. Sementara itu, hepatitis A
dan E sering muncul dalam bentuk Kejadian Luar Biasa (KLB) seperti yang terjadi di
beberapa wilayah di Indonesia.

Berdasarkan Riset Kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi penduduk


Indonesia yang didiagnosis hepatitis oleh tenaga kesehatn adalah 1,2%, yaitu 2 kali
lebih tinggi dibandingkan tahun 2007 (Riskesdas 2007). Lima provinsi tertinggi
hepatitis di Indonesia adalah Nusa Tenggara Timur (4,3%), Papua (2,9%), Sulawesi
Selatan (2,5%), Sulawesi Tenggara (2,3%), dan Maluku (2,3%). Kuintil indeks
kepemilikan terbawah menempati prevalensi hepatitis tertinggi. Prevalensi semakin
meningkat pada penduduk berusia di atas 15 tahun. Jenis hepatitis yang banyak
menginfeksi penduduk Indonesia adalah hepatitis B (21,8%) dan hepatitis A (19,3 %).

Dengan diketahuinya besaran masalah hepatitis secara global dan dampaknya terhadap
kesehatan masyarakat, maka pada tanggal 20 Mei 2010, World Health Assembly (WHA)
dalam sidangnya yang ke-63 di Geneva telah menyetujui mengadopsi resolusi hepatitis,
yaitu semua negara di dunia sudah saatnya melakukan pengendalian hepatitis. Dalam
resolusi tersebut, WHO akan menyediakan bantuan bagi negara berkembang dalam
pengembangan strategi nasional, surveilans yang efektif, pengembangan vaksin, dan
pengobatan yang efektif. Kemudian WHO menetapkan tanggal 28 Juli sebagai Hari
Hepatitis Dunia atau World Hepatitis Day. Peringatan Hari Hepatitis Dunia bermaksud
untuk meningkatkan kepedulian pemerintah, masyarakat dan semua pihak terhadap
pengendalian hepatitis. Resolusi WHA tentang hepatitis diperkuat lagi dengan resolusi
WHA nomor 67.6 tanggal 20 Mei 2014 tentang perlunya ‘aksi konkrit’ dalam
pengendalian hepatitis.

1
Penyakit lain yang menimbulkan masalah kesehatan masyarakat khususnya pada bayi
dan balita adalah diare. Menurut WHO dan UNICEF, setiap tahunnya terjadi sekitar 2
milyar kasus diare di dunia, dan sekitar 1,9 juta anak balita diantaranya meninggal.
Sebagian besar kasus diare terjadi di negara berkembang. Dari semua kematian anak
balita karena diare, 78% terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Di Indonesia, diare
merupakan penyebab nomor satu kematian bayi (31,4%) dan kematian balita (25,2%)
serta penyebab kematian nomor 4 (13,2%) pada semua umur dalam kelompok penyakit
menular (Riskesdas 2007).

Pada tahun 2013, period prevalen dan insiden diare untuk seluruh kelompok umur di
Indonesia masing-masing sebesar 3.5%. Lima provinsi dengan period prevalen dan
insiden diare tertinggi, yaitu Papua (6,3% dan 14,7%), Sulawesi Selatan (5,2% dan
10,2%), Aceh (5,0% dan 9,3%), Sulawesi Barat (4,7% dan 10,1%), dan Sulawesi Tengah
(4,4% dan 8,8%). Semakin rendah kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi proporsi
diare pada penduduk. Petani/nelayan/buruh mempunyai proporsi tertinggi (7,1%),
jenis kelamin dan tempat tinggal menunjukkan proporsi yang tidak jauh berbeda. Isiden
diare balita di Indonesia sebesar 6,7%. Lima provinsi dengan insiden diare pada balita
tertinggi adalah Aceh (10,2%), Papua (9,6%), DKI Jakarta (8,9%), Sulawesi Selatan
(8,1%), dan Banten (8,0%). Anak balita merupakan kelompok umur paling tinggi
menderita diare, terutama 12-23 bulan (7,6%), laki-laki (5,5%), tinggal di daerah
pedesaan (5,3%), dan kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah (6,2%)
(Riskesdas, 2013).

Demam tifoid (selanjutnya disebut tifoid saja) merupakan salah satu dari penyakit
infeksi saluran pencernaan yang memiliki permasalahan tersendiri selain diare. Di
Indonesia, tifoid bersifat endemik dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dari
hasil telaahan kasus di rumah sakit besar di Indonesia, menunjukkan adanya
kecenderungan peningkatan kasus tersangka tifoid dari tahun ke tahun dengan rata-
rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0,6-5%. Dewasa ini
tifoid perlu mendapat perhatian serius, karena permasalahannya yang semakin
kompleks, sehingga menyulitkan upaya pengobatan dan pencegahannya (Kepmenkes
No. 365/2006).

Seperti halnya penyakit menular lainnya, prinsip utama dalam pencegahan dan
pengendalian Hepatitis dan Infeksi Saluran Pencernaan (HIsp) adalah: 1)
Peningkatan pengetahuan, kepedulian dan komitmen; 2) Upaya pencegahan secara
komprehensif; 3) Penguatan pemantauan penyakit; 4) Peningkatan akses pengobatan
dan perawatan; 5) Perencanaan kegiatan dan tatalaksana logistik; 6) Membangun
jejaring kemitraan, dan kerjasama dengan mitra terkait; 7) Peningkatan Sumber Daya
Manusia (SDM) dalam mendukung pelaksanaan kegiatan; dan 8) Monitoring dan
evaluasi kegiatan.

Berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka pedoman


ini perlu disusun sebagai acuan bagi penanggung jawab/pengelola program/kegiatan
pencegahan dan pengendalian HIsp di dinas kesehatan provinsi, dinas kesehatan
kabupaten/kota, puskesmas dan fasyankes lainnya, dan desa untuk meningkatkan mutu
2
kegiatan pencegahan dan pengendalian HIsp di setiap jenjang administratif (provinsi,
kabupaten/kota, wilayah kerja puskesamas, dan desa), sehingga diharapkan angka
kesakitan dan kematian HIsp dapat diturunkan serendah mungkin di Indonesia.

B. Tujuan

1. Tujuan umum
Tujuan umum pedoman ini adalah untuk meningkatkan mutu kegiatan pencegahan
dan pengendalian HIsp di provinsi, kabupaten/kota, puskesmas termasuk fasyankes
lainnya dan desa.

2. Tujuan khusus
Tujuan khusus pedoman ini di masing-masing tingkatan (provinsi, kabupaten/kota,
pusekesmas dan fasyankes lainnya, dan desa sebagaimana terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Tujuan Khusus Pedoman Manjemen Pencegahan dan Pengendalian HIsp


Menurut Provinsi, Kabupaten/Kota, Puskesmas dan Fasyankes Lainnya, dan Desa
Puskesmas dan
Provinsi Kabupaten/Kota Fasyankes lainnya Desa
 Mampu mengembangkan  Mampu mengembangkan  Mampu membuat  Mampu
kebijakan operasional kebijakan operasional rencana kerja dalam membuat
dalam mencapai target dalam mencapai target pencapaian kegiatan rencana kerja
kegiatan pencegahan dan kegiatan pencegahan pencegahan dan dalam
pengendalian HIsp yang pengendalian HIsp yang pengendalian HIsp yang pencapaian
telah ditetapkan di telah ditetapkan di tingkat telah ditetapkan di kegiatan
tingkat provinsi kabupaten/kota wilayah kerja pencegahan
puskesmas dan pengen-
 Mampu membuat rencana  Mampu membuat rencana dalian HIsp
kerja dalam pencapaian kerja dalam pencapaian  Mampu melakukan yang telah
kegiatan pencegahan dan kegiatan pencegahan dan koordinasi dengan ditetapkan
pengendalian HIsp pengendalian HIsp lintas program dan di tingkat desa
lintas sektor terkait
 Mampu melakukan  Mampu melakukan dalam kegiatan  Mampu
koordinasi dengan lintas koordinasi dengan lintas pencegahan dan membuat
program dan lintas sektor program dan lintas sektor pengendalian HIsp laporan
terkait dalam kegiatan terkait dalam kegiatan kegiatan
pencegahan dan pencegahan dan  Mampu melakukan pencegahan
pengedalian HIsp pengendalian HIsp supervisi dan dan pengen-
bimbingan teknis ke dalian HIsp
 Mampu melakukan  Mampu melakukan tingkat desa dalam dan meyam-
supervisi dan bimbingan supervisi dan melaksanakan kegiatan paikannya ke
teknis bimbingan teknis ke pencegahan dan puskesmas
 ke tingkat kabupaten/ puskesmas, sehingga pengendalian HIsp yang sebagai
kota, sehingga puskesmas dapat telah ditetapkan oleh penanggung-
kabupaten/kota dapat melaksanakan puskesmas jawab
melaksanakan kebijakan kebijakan yang telah kegiatan
yang telah ditetapkan ditetapkan secara  Puskesmas mampu pencegahan
secara optimal optimal melakukan monitoring dan pengen-
dan evaluasi kegiatan dalian HIsp
 Mampu melakukan  Mampu melakukan pencegahan dan di wilayah
monitoring dan evaluasi monitoring dan evaluasi pengendalian HIsp yang kerja
kegiatan pencegahan dan kegiatan pencegahan dan telah dilaksanakan oleh puskesmas
pengendalian HIsp yang pengendalian yang telah fasyankes lainnya dan tersebut.
telah dilaksanakan oleh dilaksanakan oleh desa di wilayah kerja

3
kabupaten/kota di puskesmas di kabupa- puskesmas tersebut.
provinsi tersebut. ten/kota tersebut.

C. Sasaran
Penanggung jawab/pengelola kegiatan pencegahan dan pengendalian HIsp di dinas
kesehatan provinsi, dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas termasuk fayankes
lainnya, dan desa.

D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pedoman ini meliputi gambaran klinis hepatitis, diare, dan infeksi
saluran pencernaan (tifoid), kegiatan pokok pengandalian hepatitis, diare, dan tifoid,
pengendalian hepatitis (A, B,C, D dan E), diare dan tifoid, dan manajemen pengendalian
hepatitis, diare,dan tifoid.

E. Dasar Hukum
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit
Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3273).
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteraan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431).
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063).
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah
Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3447).
7. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637).
8. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 8781).
9. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2010-2014.
10. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1438/MENKES/PER/IX/2010 tentang
Standar Pelayanan Kedokteran.
11. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1501/MENKES/ PER/X/2010 tentang Jenis
Penyakit Menular tertentu yang dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya
Penanggulangan.

4
12. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1457/MENKES/SK/X/2003 tentang
Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota.
13. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1116/MENKES/SK/VIII/2003 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan.
14. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1479/MENKES/SK/X/2003 tentang
Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak
Menular.
15. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 949/MENKES/SK/VIII/2004 tentang
Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa.
16. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 206/MENKES/SK/II/
2008 tentang Komite Ahli Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan.
17. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 64 tahun 2015 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Kesehatan RI.
18. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.02/Menkes/2015 tentang Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019.
19. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 365/Menkes/SK/V/2006 tentang
Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.

5
BAB II

KEBIJAKAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN HEPATITIS


DAN INFEKSI SALURAN PENCERNAAN

A. Ruang Lingkup dan Prioritas Kegiatan Pencegahan dan Pengendalian HIsp di


Indonesia

1. Ruang lingkup kegiatan pencegahan dan pengendalian HIsp


Berdasarkan Permenkes Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Kesehatan, ruang lingkup pencegahan dan pengendalian HIsp
mencakup: 1) Hepatitis; dan 2) Infeksi Saluran Pencernaan.

2. Prioritas kegiatan pencegahan dan pengendalian HIsp


Saat ini yang menjadi prioritas program pencegahan dan pengendalian HIsp di
Indonesia adalah:
a. Hepatitis
1) Hepatitis B
2) Hepatitis C
3) Hepatitis D
b. Infeksi Saluran Pencernaan
1) Diare
2) Tifoid
3) Hepatitis A
4) Hepatitis E

B. Kebijakan Pencegahan dan Pengendalian HIsp di Indonesia


Pencegahan dan pengendalian HIsp dilaksanakan secara terintegrasi dan sinergis
dengan kebijakan Kementerian Kesehatan, meliputi: 1) Upaya promotif dan preventif
tidak mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitative; 2) Partisipasi dan pemberdayaan
masyarakat; 3) Kemitraan dan jejaring kerja; 4) Penguatan peran pemerintah daerah; 5)
Pendekatan berjenjang; dan 6) Dukungan ketersediaan infrastruktur kesehatan yang
memadai dengan kendali mutu.

C. Rencana Aksi Pencegahan dan Pengendalian HIsp di Indonesia


Rencana aksi pencegahan dan pengendalian HIsp di Indonesia, meliputi: 1)
Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang HIsp; 2) Menurunkan
kejadian penularan HIsp; 3) Menurunkan angka kesakitan dan kematian HIsp; dan 4)
Meningkatkan kualitas hidup penderita hepatitis.

1. Kegiatan/aksi pencegahan dan pengendalian HISP tahun 2015-2019


a. Advokasi dan kemitraan
b. Promosi kesehatan dan reduksi risiko
c. Penguatan sistem pelayanan kesehatan
d. Surveilans, monitoring dan evaluasi, dan riset
6
2. Strategi aksi pencegahan dan pengendalian HISP 2015-2019
a. Advokasi dan kemitraan
1) Pencegahan dan pengedalian HIsp menjadi prioritas dalam pembangunan
2) Terbangunnya kemitraan antar lembaga terkait serta masyarakat
3) Dikembangkannya rencana kerja lintas sektor dalam pencegahan dan
pengendalian HIsp
b. Promosi kesehatan dan reduksi (pengurangan) faktor risiko
1) Promosi kesehatan dengan pelibatan masyarakat
2) Pengurangan faktor risiko
c. Penguatan sistem pelayanan kesehatan
1) Integrasi pencegahan dan pengendalian HIsp
2) Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)
3) Pemenuhan kebutuhan bahan/obat dan peralatan pencegahan dan
pengendalian HISP
4) Sinkronisasi kebijakan layanan HIsp dan Jaminan Kesehatan Nasional
d. Surveilans, monitoring dan evaluasi, dan riset.
1) Penguatan surveilans HIsp dan faktor risikonya, dan penguatan sistem
informasi kesehatan
2) Pengembangan riset kebijakan dalam pencegahan dan pengendalian HIsp.

D. Indikator Program Pencegahan dan Pengendalian HIsp di Indonesia

1. Indikator Kegiatan Pencegahan dan Pengendalian Hepatitis


Indikator kegiatan pencegahan dan pengendalian hepatitis sebagaimana terlihat
pada Tabel 4 berikut ini:

Tabel 4. Indikator Pencegahan dan Pengendalian Hepatitis Menurut T ahun di


Indonesia, 2015-2019
No. Indikator 2014 2015 2016 2017 2018 2019
(%) (%) (%) (%) (%) (%)
ELIMINASI PENULARAN HEPATITIS B DARI IBU KE ANAK TAHUN 2020 DAN ELIMINASI
HEPATITIS C TAHUN 2030
1. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan 3 10 20 40 80 90
advokasi dan/atau sosialisasi pencegahan dan
pengendalian hepatitis
2. Jumlah propinsi yang melakukan kegiatan 7 14 21 28 34 34
surveilans sentinel hepatitis pada populasi
berisiko
3. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan 3 10 20 40 80 90
deteksi dini hepatitis pada ibu hamil
4. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan NA* 10 20 40 80 90
deteksi dini hepatitis B dan C pada populasi
berisiko
5. Persentase orang yang terdeteksi dengan HBsAg NA* 2,5 5 10 20 30
positif yang mendapatkan akses perawatan/
upaya rujukan
6. Persentase orang dengan hepatitis C yang NA* 5 10 20 40 60
mendapatkan akses perawatan/layanan rujukan
*NA=Data not available; 2014: baseline data

7
2. Indikator Kegiatan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pencernaan
Indikator kegiatan pencegahan dan pengendalian Infeksi Saluran Pencernaan
sebagaimana terlihat pada Tabel 5 berikut ini:

Tabel 5. Indikator Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pencernaan Menurut Tahun di
Indonesia, 2015-2019
No. Indikator 2014 2015 2016 2017 2018 2019
(%) (%) (%) (%) (%) (%)
 MENURUNNYA ANGKA KEMATIAN BALITA AKIBAT DIARE SEBESAR 50% DARI KONDISI
SAAT INI
 MENURUNNYA ANGKA KESAKITAN TIFOID PADA ANAK SEKOLAH SEBESAR 30% DARI
KONDISI SAAT INI
1. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan NA* 10 20 40 80 90
advokasi dan/atau sosialisasi tentang diare,
tifoid, dan hepatitis A dan E
2. Persentase kabupaten/kota yang mempunyai NA* 10 20 40 80 90
Layanan Rehidrasi Oral Aktif
3. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan NA* 10 20 40 80 90
SKD KLB diare
4. Persentase kabupaten/kota yang melakukan NA* 2,5 5 10 20 30
kegiatan surveilasn karier tifoid pada kelompok
masyarakat paling berisiko
5. Persentase kelompok anak sekolah yang NA* 2,5 5 10 20 30
melakukan upaya pencegahan tifoid
*NA=Data not available; 2014: baseline data

E. Organisasi Pencegahan dan Pengendalian HISP

1. Organisasi pencegahan dan pengendalian HISP di Kementerian Kesehatan RI


Sesuai dengan Permenkes nomor 64 tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Kesehatan, Subdit Hepatitis dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan
mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan,
penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pemberian bimbingan
teknis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang
pencegahan hepatitis dan penyakit infeksi saluran pencernaan (pasal 319).

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada pasal 319, Subdit Hepatitis
dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan menyelenggarakan fungsi:
a. Penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang pencegahan dan pengendalian
hepatitis dan penyakit infeksi saluran pencernaan
b. Penyiapan bahan pelaksanaan kebijakan di bidang pencegahan dan
pengendalian hepatitis dan penyakit infeksi saluran pencernaan
c. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang
pencegahan dan dan pengendalian hepatitis dan penyakit Infeksi saluran
pencernaan

8
d. Penyiapan bahan dan bimbingan teknis dan suvervisi di bidang pencegahan dan
pengendalian hepatitis dan penyakit Infeksi saluran pencernaan; dan
e. Pemantauan, evaluasi dan pencegahan dan pengendalian hepatitis dan penyakit
Infeksi saluran pencernaan;

Subdirektorat Hepatitis dan Infeksi Saluran Pencernaan, terdiri atas Seksi Hepatitis
dan Seksi Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan. Seksi Hepatitis mempunyai tugas
melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan
norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan
supervisi, serta pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang pencegahan dan
pengendalian hepatitis. Seksi Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan mempunyai tugas
melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan
norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan
supervisi, serta pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang pencegahan dan
pengendalian penyakit infeksi saluran pencernaan.

2. Organisasi pencegahan dan pengendalian HIsp di daerah


Pelaksana program pencegahan dan pengendalian HIsp di daerah adalah secara
berjenjang mulai dari dinas kesehatan provinsi, dinas kesehatan kabupaten/kota,
puskesmas dan fasilitas kesehatan lainnya, dan desa.

Dalam pelaksanaannya, pencegahan dan pengendalian HIsp bekerjasama dengan


lintas program dan sektor terkait, perguruan tinggi, organisasi profesi, Yayasan dan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), swasta, dan organisasi/instansi terkait
lainnya serta melibatkan partisipasi masyarakat.

9
BAB III

GAMBARAN KLINIS HEPATITIS DAN INFEKSI SALURAN PENCERNAAN

A. Hepatitis
Hepatitis adalah suatu penyakit yang disebabkan adanya peradangan pada hati.
Penyakit ini ditandai dengan gejala utama ikterus atau gejala kuning pada bagian tubuh,
seperti pada mata dan kulit.

Hepatitis dapat disebabkan oleh virus (Hepatitis B, C, dan D), bakteri (Salmonella
typhosa), parasit (Plasmodium tropica, amoeba: Entamoeba histolytica, cacing: Fasciola
hepatica), proses autoimun, obat-obatan, perlemakan, alkohol dan zat berbahaya
lainnya. Virus, bakteri, dan parasit merupakan penyebab infeksi terbanyak. Infeksi
karena virus Hepatitis A,B,C,D,E merupakan penyebab tertinggi dibandingkan dengan
penyebab lainnya, seperti mononukleosis infeksiosa, demam kuning (yellow fever) dan
sitomegalovirus. Sedangkan penyebab utama hepatitis non-virus adalah alkohol dan
obat-obatan. Dalam pedoman ini pembahasan difokuskan pada hepatitis yang menjadi
prioritas kegiatan pencegahan dan pengendalian di Indonesia, yaitu hepatitis B dan
hepatitis C.

1. Hepatitis B

a. Etiologi
Penyebab Virus Hepatitis B (VHB) yang berukuran sangat kecil (42nm). Virus ini
merupakan virus DNA termasuk family Hepadnavirus. Virus dari family
Hepadnavirus bisa juga ditemukan pada bebek, marmut dan tupai tanah, namun
virus tersebut tidak bisa menginfeksi manusia. Virus Hepatitis B yang
menginfeksi manusia bisa juga menginfeksi simpanse. Sampai saat ini telah
teridentifikasi 8 genotype, yaitu genotype A-H (A, B, C, D, E, F, G, H). Virus
Hepatitis B memiliki 3 jenis morfologi dan 4 jenis antigen, yaitu HBsAg, HBcAg,
HbeAg, dan HBxAg.

b. Cara penularan
Virus Hepatitis B dapat ditemukan dalam cairan tubuh penderita, seperti darah
dan produk darah, air liur, cairan serebrospinal, peritoneal, pleural, cairan
amniotik, semen (air mani), cairan vagina dan cairan tubuh lainnya. Namun tidak
semuanya memiliki kadar virus yang infeksius. Secara umum, penularan bisa
terjadi secara vertikal dan horizontal.

Penularan secara vertikal adalah penularan yang terjadi pada masa perinatal,
yaitu penularan dari ibu kepada bayi. Jika seorang ibu hamil karier Hepatitis B
dan HBeAg positif, maka kemungkinan 90% bayi yang dilahirkan akan terinfeksi
dan menjadi karier juga. Kemungkinan 25% dari jumLah tersebut akan
meninggal karena hepatitis kronik atau kanker hati. Transmisi perinatal banyak

10
terjadi terutama di negara-negara berkembang. Infeksi mungkin terjadi selama
proses persalinan dan diduga tidak berhubungan dengan proses menyusui.

Penularan horizontal adalah penularan dari satu individu ke individu lainnya.


Selain melalui hubungan seksual tidak aman, penularan horizontal juga bisa
terjadi lewat penggunaan jarum suntik bekas penderita Hepatitis B, transfusi
darah yang terkontaminasi virus Hepatitis B, proses pembuatan tato,
penggunaan pisau cukur, sikat gigi, dan gunting kuku bekas penderita Hepatitis
B. Berpelukan, berjabatan tangan, atau berciuman dengan penderita Hepatitis B
belum terbukti dapat menularkan virus ini. Sampai saat ini, penularan HBV
terutama diduga berasal dari hubungan intim dan transmisi perinatal.

c. Gejala dan tanda


Seseorang yang terinfeksi VHB bisa mengalami hepatitis B akut, dengan gejala
awal (prodormal) seperti hepatitis akut pada umumnya, yaitu cepat lelah,
kurang nafsu makan, mual, muntah, dan nyeri sendi. Gejala prodormal akan
membaik ketika terjadi peradangan hati yang umumnya ditandai dengan gejala
kuning, namun 70% penderita hepatitis akut ternyata tidak menunjukkan gejala
kuning tersebut. Sebagian penderita hepatitis B akut dapat sembuh spontan,
sebagian lagi berkembang menjadi hepatitis B kronik. Kemungkinan menjadi
hepatitis B kronik menurun dengan bertambahnya usia saat terinfeksi, yaitu
mencapai 90% pada neonatus dan 5% pada usia dewasa. Hepatitis kronik
umumnya tidak menimbulkan gejala. Sekitar 0,1-0,5% penderita hepatitis akut
berkembang menjadi hepatitis fulminan. Sampai saat ini penyebab dan faktor
risiko hepatitis fulminan belum diketahui dengan pasti.

d. Masa inkubasi
Masa inkubasi VHB berkisar antara 30-180 hari dengan rata-rata 60-90 hari.
Lama masa inkubasi tergantung banyaknya virus dalam tubuh penderita, cara
penularan, dan faktor pejamu. JumLah virus dan usia merupakan faktor penting
yang berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit, baik akut maupun
kronik.

2. Hepatitis C

a. Etiologi
Penyebab hepatitis C adalah Virus Hepatitis C (VHC), termasuk family
Flaviviridea, genus Hepacivirus dan merupakan virus RNA. Setidaknya 6
genotype dan lebih dari 50 subtype HCV yang berbeda telah ditemukan.

b. Cara penularan
Cara penularan VHC yang paling umum adalah secara parenteral, yaitu berkaitan
dengan penggunaan bersama jarum suntik yang tidak steril, terutama pada
pengguna obat-obatan terlarang, tato, tindik, penggunaan alat pribadi seperti
pisau cukur, sikat gigi bersama penderita, transfusi darah, operasi, transplantasi
organ, dan melalui hubungan seksual. Virus Hepatitis C merupakan penyebab
11
utama hepatitis yang diderita setelah transfusi darah. Namun demikian,
peraturan yang memperketat pemeriksaan darah donor telah menurunkan
risiko infeksi secara drastis. Penularan dapat terjadi dalam waktu 1 minggu atau
lebih setelah timbulnya gejala klinis pertama pada penderita. Penularan vertikal
dari ibu ke bayi selama proses kelahiran sangat jarang (sekitar 5-6%) dan
menyusui tidak meningkatkan risiko penularan VHC dari ibu yang terinfeksi ke
bayinya. Hepatitis C tidak dapat menular melalui jabat tangan, ciuman, dan
pelukan.

c. Gejala dan tanda


Sebagian besar (>90%) kasus hepatitis C akut bersifat asimptomatik. Kejadian
hepatitis fulminan juga sangat kecil pada infeksi VHC. Walaupun begitu, sebagian
kecil penderita bisa mengalami gejala prodormal seperti pada infeksi virus pada
umunya. Sebagian besar (80%) penderita yang mengalami hepatitis C akut
berkembang menjadi hepatitis C kronik yang umumnya juga bersifat
asimptomatik. Sekitar 20-30% dari hepatistis kronik ini berkembang menjadi
sirosis hati dalam waktu 20-30 tahun. Kerusakan hati bersifat progresif lambat,
sehingga seringkali penderita yang terinfeksi VHC pada usia lanjut, sama sekali
tidak mengalami gangguan hati seumur hidupnya.

d. Masa inkubasi
Masa inkubasi VHC berlangsung selama 15 hari sampai 2 bulan.

3. Hepatitis D

a. Etiologi
Penyebab hepatitis D adalah Virus Heptitis Delta (VHD) yang ditemukan pertama
kali pada tahun 1977. Virus ini berukuran 35-37nm dan mempunyai antigen
internal yang khas, yaitu antigen delta. Virus ini merupakan virus RNA dengan
defek, artinya virus ini tidak mampu bereplikasi secara sempurna tanpa batuan
virus lain, yaitu virus hepatitis B. Hal ini karena VHD tidak mampu mensintesis
protein selubungnya sendiri dan bergantung ada protein yang disintesis VHB,
termasuk HBsAg. Oleh karena itu, infeksi VHD hanya bisa terjadi pada penderita
yang juga terinfeksi VHB pada saat bersamaan atau pada penderita hepatitis B
kronik. Genom VHD terdiri dari 1.700 pasangan basa, yaitu suatu jumlah terkecil
untuk virus pada hewan.

b. Cara penularan
Virus Hepatitis D ditularkan dengan cara yang sama dengan VHB, yaitu melalui
cairan tubuh penderita. Cara penularan yang utama diduga melalui jalur
parenteral.

c. Gejala dan tanda


Perjalanan hepatitis D mengikuti perjalanan hepatitis B. Bila hepatitis B yang
diderita bersifat akut dan kemudian sembuh, VHD juga akan hilang dengan
sendirinya. Namun bila VHD menginfeksi penderita menderita hepatitis B
12
kronik, maka penderita tersebut juga akan menderita hepatitis D kronik. Gejala
infeksi hepatitis D sama persis dengan hepatitis B, namun kehadiran virus ini
terbukti mempercepat proses fibrosis pada hati, meningkatkan risiko kanker
hati, dan mempercepat dekompensasi pada keadaan sirosis hati.

d. Masa Inkubasi
Rata-rata 2-8 minggu.

B. Infeksi Saluran Pencernaan

1. Diare

a. Definisi
Buang air besar yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (pada umumnya 3
kali atau lebih) per hari dengan konsistensi cair dan berlangsung kurang dari 7
hari. Khusus pada neonatus yang mendapat ASI, diare akut adalah buang air
besar dengan frekuensi lebih sering (biasanya 5-6 kali per hari) dengan
konsistensi cair. Diare merupakan suatu gejala dari berbagai penyakit yang
dapat disebabkan oleh berbagai penyebab. Diare perlu dibedakan dengan
gastroenteritis dimana gastroenteritis merupakan radang pada lambung dan
usus yang dapat menimbulkan gejala diare dengan atau tanpa disertai muntah.

b. Etiologi
Diare dapat disebabkan oleh berbagai penyebab non-infeksi, seperti makanan
(malabsorbsi, keracunan, alergi), malnutrisi, dan gangguan imunologi. Infeksi
yang dapat menimbulkan diare adalah infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme, seperti virus, bakteri, parasit, dan jamur. Berikut ini adalah
contoh mikroorganisme yang dapat menimbulkan diare:
 Virus: Retrovirus, Enterovirus (Polio, Coksakie, Echo), Adenovirus, Arbovirus,
DNA virus, hepatitis A, dan hepatitis E
 Bakteri: Salmonella, Shigella, Escherichia coli, Vibrio cholerae, Staphy-lococcus
albus, Streptococcus anhemolititicus, Klebsiella, Pseudomonas
 Parasit cacing: Ascaris lubricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis.
 Protozoa: Entamoeba histolytica, Giardia lamblia
 Jamur: Candida, Monilia.

c. Jenis diare
Berdasarkan klasifikasi WHO (1996), diare dapat dibedakan menjadi 3 jenis,
yaitu:
1) Diare cair akut (watery)
Diare yang terjadi tiba-tiba, frekuensi sering, konsistensi cair yang bersifat
watery (cair dan banyak). Diare ini sering disebabkan oleh Retrovirus, E. coli,
Shigella, Campylobacter jejuni, Cryptosporidium.
2) Disentri
Buang air besar dengan konsitensi tinja cair, frekuensi sering, sedikit-sedikit,
kadang-kadang disertai darah dan/atau lendir. Diare ini dapat disebabkan

13
Shigella, Campylobacter jejuni, Enteroinvasive Escherichia coli (EIEC),
Salmonella, E. histolytica.
3) Diare persistens
Diare yang terjadi lebih dari 14 hari, dapat cair (watery) maupun disentri.
Diare ini dapat disebebkan oleh EIEC, Shigella, Cryptosporidium.

d. Cara penularan
Diare dapat ditularkan melalui beberapa cara, seperti makanan atau minuman
yang terkontaminasi oleh tinja yang mengadung mikroorganisme penyebab
diare (orofaecal) atau autoinfeksi.

2. Tifoid

a. Etiologi
Demam tifoid (selanjutnya ditulis tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella
enterica serovar Typhi (selanjutnya ditulis S. Typhi) dan Salmonella enterica
serovar Paratyphi A, B dan C (S. Paratyphi A, B, dan C), dengan masa inkubasi 7-
14 hari. Penularan terjadi melalui makanan atau minuman yang tercemar kuman
tersebut (fecal-oral). Penyakit ini dapat terjadi di seluruh dunia terutama di
wilayah dengan tingkat higiene dan sanitasi yang buruk.14

b. Patogenesis dan patologi


Dimulai dengan adanya infeksi melalui makanan atau minuman, setelah
melewati lambung, kuman mencapai usus halus dan invasi ke jaringan limfoid
yang merupakan tempat predileksi untuk berkembang biak. Melalui saluran
limfe mesenterik kuman masuk aliran darah sistemik (bakteremia I) dan
mencapai sel-sel retikuloendotelial dari hati dan limpa. Fase ini dianggap masa
inkubasi. Kemudian dari jaringan ini, kuman dilepas ke sirkulasi sistemik
(bakteremia ll) melalui duktus torasikus dan mencapai organ tubuh terutama
limpa, usus halus dan kandung empedu.15

Kuman menghasilkan endotoksin dan dianggap berperan penting pada


patogenesis tifoid. Endotoksin bersifat pirogenik, memperbesar reaksi
peradangan, dan stimulator yang kuat untuk memproduksi sitokin oleh sel-sel
makrofag dan sel lekosit di jaringan yang meradang. Sitokin ini merupakan
mediator yang menimbulkan demam dan gejala toksemia. Karena kuman bersifat
intraseluler, maka hampir semua bagian tubuh dapat terserang dan kadang-
kadang pada jaringan yang terinvasi dapat timbul fokal-fokal infeksi. 15

Kelainan patologis yang utama terdapat di usus halus, terutama di ileum bagian
distal. dimana terdapat kelenjar plak peyer. Pada minggu pertama, pada plak
peyer terjadi hyperplasia, selanjutnya menjadi nekrosis pada minggu ke 2 dan
ulserasi pada minggu ke-3, akhirnya terbentuk ulkus. Ulkus ini mudah
menimbulkan perdarahan dan perforasi yang merupakan komplikasi berbahaya.
Hati membesar karena infiltrasi sel-sel limfosit dan mononuklear lainnya serta
nekrosis fokal. Proses ini juga terjadi pada jaringan retikuloendotelial lain
14
seperti limpa dan kelenjar mesenterika. Kelainan-kelainan patologis yang sama
juga dapat ditemukan pada organ tubuh lain seperti tulang, usus, paru, ginjal,
jantung dan seraput otak. Pada pemeriksaan klinis sering ditemukan proses
radang pada banyak organ, sehingga dapat ditemukan bronkhitis, artritis septik,
pielonefritis, meningitis, dan lain-lain.15

Kandung empedu merupakan tempat yang disenangi kuman. Bila penyembuhan


tidak sempurna, kuman tetap tahan di kandung empedu ini, mengalir ke dalam
usus, sehingga menjadi karier intestinal. Demikian juga ginjal dapat mengandung
kuman dalam waktu lama, sehingga juga menjadi karier (urinary carrier) yang
memungkinkan penderita mengalami kekambuhan (relaps).15

Strain dan virulensi kuman tifoid bereda-beda di negara-negara Asia Tenggara


(ASEAN), begitu juga antara satu daerah dengan daerah lain di Indonesia,
sehinga maniferstasi klinis berbeda dan hal ini perlu diwaspadai dalam
penatalaksana tifoid.

c. Gambaran klinis
Gambaran klinis tifoid sangat bervariasi, dari gejala yang sangat ringan
(sehingga tidak terdiagnosis), dan dengan gejala yang khas (sindrom tifoid)
sampai dengan gejala klinis berat yang disertai komplikasi. Gambaran klinis juga
bervariasi berdasarkan daerah atau negara, serta menurut waktu. 15 Gambaran
klinis pada anak cenderung tidak khas, dan makin muda usia anak gambaran
klinis semakin tidak khas.

1) Gejala klinis tiloid


Kumpulan gejala klinis tifoid disebut dengan sindrom tifoid. Beberapa gejala
klinis yang sering pada tifoid antara lain:
a) Demam
Demam adalah gejala utama pada awal sakit, biasanya sub-febris ,
kemudian secara perlahan demam meningkat dan pagi lebih rendah atau
normal dibandingkan sore dan malam hari (demam intermitten). Dari hari
ke hari intensitas demam makin tinggi yang disertai banyak gejala lain
seperti sakit kepala, pusing yang sering dirasakan diarea frontal, nyeri
otot, pegal-pegal, insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu ke-
2 intensitas demam makin tinggi, kadang-kadang terus menerus (demam
kontinyu). Bila pasien membaik, maka pada minggu ke-3 suhu badan
berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke-3. Perlu
diperhatikan bahwa demam yang khas tifoid tersebut tidak selalu
ada.Tipe demam menjadi tidak beraturan. Hal ini mungkin karena
intervensi pengobatan atau komplikasi yang dapat terjadi lebih awal.
Pada anak, khususnya balita, demam tinggi dapat menimbulkan kejang.

b) Gangguan saluran pencernaan


Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap, karena demam yang lama.
Bibir kering dan kadang-kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan
15
ditutupi selaput putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor
(coated tongue atau lidah kotor). Pada penderita anak jarang ditemukan.
Pada umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama region
epigastrik (nyeri ulu hati), disertai nausea, mual dan muntah. Pada awal
sakit sering meteorismus dan konstipasi (sembelit). Pada minggu
selanjutnya kadang-kadang timbul diare.

d) Gangguan kesadaraan
Tifoid umumnya fidak disertai gangguan kesadaran. Pada kondisi
penyakit yang berat dapat disertai gangguan kesadaran, yaitu apatis,
kesadaran berkabut. Bila klinis lebih berat, tak jarang penderita sampai
somnolen, delirium dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis (organic
brain syndrome). Kondisi penyakit yang berat ini disebut sebagai tifoid
toksik.

e) Hepatosplenomegali
Hati dan atau rimpa, sering ditemukan membesar. Hati teraba kenyal dan
nyeri tekan.

f) Bradikardia relatif dan gejala lain


Bradikardi relatif jarang ditemukan. Bradikardi relatif. adalah
peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oreh peningkatan frekuensi
nadi. patokan yang sering dipakai adalah setiap peningkatan suhu 1 oc
tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut daram 1 menit. Tanda
lain yang dapat ditemukan pada tifoid yaitu rose spot yang biasanya
ditemukan di regio abdomen atas, serta gejala-gejala klinis yang
berhubungan dengan komplikasinya.

d. Gambaran Laboratorium

1) Gambaran darah tepi


Pada pemeriksaan hitung klekosit total terdapat gambaran lekopeni
(<5000/mm3), limfositosis relatif, monositosis, aneosinofilia. Terjadinya
leukopenia akibat depresi sumsum tulang oleh endotoksin dan mediator
endogen yang ada. Diperkirakan kejadian leukopeni 25%. Namun banyak
laporan bahwa dewasa ini hitung lekosit kebanyakan dalam batas normal
atau leukositosis ringan. Kejadian trombositopenia sehubungan dengan
produksi yang menurun dan destruksi yang meningkat oleh sel-sel
Reticuloendothelial System (RES), sedangkan anemia juga disebabkan
produksi hemoglobin yang menurun serta kejadian perdarahan intestinal
yang tidak nyata (occult bleeding). Perlu diwaspadai bila terjadi penurunan
hemoglobin secara akut pada minggu ke 3-4, karena bisa disebabkan oleh
perdarahan hebat dalam abdomen.13,15

16
2) Widal
Pemeriksaan Widal adalah reaksi antara antigen (suspensi Salmonella yang
telah dimatikan) dengan aglutinin yang merupakan antibodi spesifik
terhadap komponen basil salmonella di dalam darah manusia (saat sakit,
karier atau pasca vaksinasi). Prinsip pemeriksaan adalah terjadinya reaksi
aglutinasi antara antigen dan aglutinin yang dideteksi, yaitu aglutinin O dan
H. Aglutinin O mulai dibentuk pada akhir minggu I demam, puncaknya pada
minggu ke III sampai ke V. Aglutinin ini dapat bertahan sampai lama, 6-12
bulan. Aglutinin H mencapai puncak lebih lambat (minggu ke IV-VI) dan
menetap dalam waktu lebih lama, sampai 2 tahun kemudian. 13,15

Interpretasi reaksi Widal



Belum ada kesepakatan tentang nilai titer patokan. Tidak sama pada
masing-masing daerah, tergantung endemisitas dan hasil penelitian. Batas
titer yang dijadikan diagnosis hanya berdasarkan kesepakatan atau
perjanjian satu daerah, dan berlaku untuk daerah tersebut. Kebanyakan
pendapat bahwa titer O 1/32O sudah menyokong kuat diagnosis tifoid.
Namun demikian perlu adanya penelitian di setiap daerah oleh
badan/lembaga penelitian/perguruan tinggi untuk penentuan cut off
termasuk strain kuman.13,15

Hasil pemeriksaan Widal negatif tidak menyingkirkan diagnosis tifoid. 13,15

Hasil pemeriksaan Widal dapat menunjang diagnosis tifoid, apabila
didapatkan kenaikan titer 4 kali lipat pada pemeriksan ulang dengan
interval 5-7 hari. Perlu diingat bahwa banyak faktor yang mempengaruhi
reaksi Widal, sehingga mendatangkan hasil yang keliru, baik negatif palsu
atau pasitif palsu. Hasil tes negatif palsu seperti pada pembentukan
antibodi yang rendah, dapat ditemukan pada keadaan gizi buruk, konsumsi
obat-obatan imunosupresif, penyakit agammaglobulinemia, leukemia,
karsinoma lanjut, teknik pemeriksaan tidak benar, penggunaan antibiotik
sebelumnya, atau produksi antibodi tidak adekuat. Hasil pemeriksaan
Widal positif palsu dapat terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-
typhoidal Salmonella, infeksi bakteri enterobacteriaceae lain, infeksi dengue
dan malaria, riwayat imunisasi tifoid atau standarisasi reagen yang kurang
baik. Untuk kasus anak 1-18 tahun, tidak direkomendasi pemeriksaan
Widal karena sensitivitas dan spesivisitas yang rendah. (UKK Infeksi dan
Pediatri Tropik PP IDAI, 2016)

3) Rapid Diagnostic Test (RDT)


Metode Immuno Chromatografi Test (ITC) untuk memeriksa anti Salmonella
IgM menunjukkan hasil positif16
Pemeriksaan serologi anti Salmonella IgM dengan nilai ≥ 6 dianggap sebagai
positif kuat. Namun, interpretasi hasil serologi yang positif harus berhati-hati
pada kasus tersangka demam tifoid yang tinggal di daerah endemis. IgM anti
Salmonella dapat bertahan sampai 3 bulan dalam darah 8,10 Positif palsu pada
pemeriksaan TUBEX bisa terjadi pada pasien dengan infeksi Salmonella

17
Enteridis, sedangkan hasil negatif palsu didapatkan bila pemeriksaan
dilakukan terlalu cepat.21

4) Biakan
Biakan S. Typhi (gold standard) memastikan tifoid, tetapi biakan S. Tiphy
negatif tidak menyingkirkan tifoid, karena hasil biakan sangat tergantung
pada beberapa hal, antara lain:
a) Teknik pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan yang lain, dan dari
waktu ke waktu, karena perbedaan teknik dan media yang digunakan.
Karena jumlah kuman yang ada dalam darah hanya sedikit (<10
kuman/ml), maka untuk keprluan pembiakan pada penderita dewasa
diambil 5-10 ml darah, pada anak-anak 2-5 ml. Bila darah yang dibiak
terlalu sedikit, hasil biakan bias negative, terutama pada orang yang
sudah mendapat pengobatan spesifik. Darah harus langsung di tanam
pada media biakan dan langsung dikirim ke laboratorium. Waktu
pengambilan darah yang baik adalah saat demam tinggi pada waktu
bakteriemia berlangsung.
b) Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Biakan S. tiphy terutama positif pada minggu pertama penyakit dan
berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh, biakan
darah bias positif lagi.
c) Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi tifoid di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah
penderita. Antibodi ini dapat menekan bakteriemia, sehingga baiakan
darah mungkin negatif.
d) Pengobatan dengan anti mikroba
Bila penderita sebelum pembiakan darah sudah mendapat obat
antimikroba, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan
hasil biakan mungkin negatif.

3. Hepatitis A

a. Etiologi
Penyebab penyakit adalah Virus Hepatitis A (VHA), berukuran 27 nanometer,
termasuk family Picornaviridae, genus Hepatovirus yang dikenal sebagai
Enterovirus 72, mempunyai 1 serotype dan 4 genotype, dan merupakan virus
RNA. Virus Hepatitis A bersifat termostabil, tahan asam, dan tahan terhadap
empedu. Virus ini diketahui dapat bertahan hidup dalam suhu ruangan selama
lebih dari 1 bulan. Hospes VHA hanya terbatas pada manusia dan beberapa
binatang primata. Virus dapat diperbanyak secara in vitro dalam kultur sel
primer monyet kecil atau secara in vivo pada simpanse.

b. Cara penularan
Virus Hepatitis A ditularkan secara fecal-oral. Virus ini masuk ke dalam saluran
pencernaan melalui makanan dan minuman yang tercemar tinja penderita VHA.
18
Virus kemudian masuk ke hati melalui peredaran darah, selanjutnya menginvasi
sel-sel hati (hepatosit) dan melakukan replikasi di hepatosit. JumLah virus yang
tinggi dapat ditemukan dalam tinja penderita sejak 3 hari sebelum muncul gejala
hingga 1-2 minggu setelah munculnya gejala kuning. Ekskresi virus melalui tinja
pernah dilaporkan mencapai 6 bulan pada bayi dan anak. Sebagian besar kasus
kemungkinan tidak menular lagi pada minggu pertama setelah ikterus. Ekskresi
kronik pada VHA belum pernah dilaporkan.

Hepatitis A sering muncul dalam bentuk Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan
pola common source epidemic, yaitu disebabkan oleh terpaparnya sejumLah
orang dalam suatu kelompok secara menyeluruh dan terjadi dalam waktu yang
relatif singkat. Adapun common source epidemic tersebut berupa keterpaparan
umum, menggambarkan satu puncak epidemi, jarak antara satu kasus dengan
kasus selanjutnya hanya dalam hitungan jam, dan tidak ditemukan serangan ke
dua. Umumnya sumber penularan berasal dari makanan atau minuman
tercemar, makanan mentah atau setengah matang, dan sanitasi yang buruk.
Walaupun bukan merupakan cara utama, penularan melalui transfusi atau
penggunaan jarum suntik bekas penderita hevatitis A dalam masa inkubasi
pernah dilaporkan.

c. Gejala dan tanda


Gejala dan tanda awal hepatitis A sangat bervariasi dan tidak spesifik. Demam,
kelelahan, anoreksia (tidak nafsu makan) dan gangguan pencernaan (mual,
muntah, kembung) dapat ditemukan. Dalam waktu 1 minggu, beberapa
penderita mengalami gejala kuning disertai gatal (ikterus), air kencing (urin)
berwarna seperti teh, dan tinja berwarna pucat. Infeksi pada anak berusia di
bawah 5 tahun umumnya tidak menunjukkan gejala yang khas dan hanya 10%
yang akan berkembang menjadi ikterus. Pada anak yang lebih tua dan dewasa
gejala yang muncul biasanya lebih berat, dan ikterus biasanya terjadi pada lebih
dari 70% penderita.

d. Masa inkubasi
Masa inkubasi hepatitis A adalah 15-50 hari, rata-rata 28-30 hari.

4. Hepatitis E

1. Etiologi
Penyebab hepatitis E adalah Virus Hepatitis E (VHE) yang merupakan virus RNA
berbentuk sferis. Virus Hepatitis E termasuk family Hepeviridiae dan genus
Hepevirus. Awalnya VHE disebut sebagai penyebab Enterically transmitted non-A
non-B Hepatitis (ET-NANB). Baru pada tahun 1983 virus ini berhasil
diidentifikasi dan dinamai virus Hepatitis E.

2. Cara penularan
Virus Hepatitis E ditularkan melalui jalur fecal-oral. Air minum yang tercemar
tinja merupakan media penularan yang paling umum. Penularan secara perkutan
19
dan perinatal juga pernah dilaporkan. Berbagai penelitian terbaru juga
menunjukkan kemungkinan penularan secara zoonotic dari babi, rusa, dan
hewan pengerat.

3. Gejala dan tanda


Infeksi hepatitis E selalu bersifat akut dan gejala bervariasi dari subklinis sampai
fulminan. Kemungkinan hepatitis fulminan cukup besar, karena saat ini infeksi
VHE tercatat 0,5-3%. Kemungkinan ini meningkat terutama pada ibu hamil
dimana angka kematian mencapai 20%. Gejala hepatitis E akut tidak berbeda
dengan hepatitis akut lainnya, yaitu demam, lemas, nafsu makan berkurang,
nyeri perut, mual, muntah, dan kuning. Bila dibandingkan dengan hepatitis A,
Hepatitis E akut cenderung lebih berat secara klinis, dengan risiko koagulopati
dan kolestasis pada sekitar 50% penderita. Masa penularan hepatitis E belum
diketahui dengan pasti, namun RNA HEV dapat ditemukan dalam tinja penderita
sejak awal penyakit dan bisa bertahan sampai 1-6 minggu setelah mucul gejala.

4. Masa Inkubasi
Masa inkubasi hepatitis E berkisar antara 15-64 hari, dengan rata-rata 26-42
hari pada KLB yang berbeda.

20
BAB IV

PENCEGAHAN HEPATITIS DAN INFEKSI SALURAN PENCERNAAN

A. Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan pengetahuan, perubahan
perilaku, keterampilan, dan komitmen dalam penyelenggaraan pencegahan dan
pengendalian HIsp, sehingga masyarakat memahami HIsp secara baik dan benar dan
mampu untuk mengakses terhadap upaya perlindungan khusus, pemberian imunisasi,
mengetahui dan memahami cara pencegahan untuk dirinya, orang lain, dan masyarakat
luas, serta mencegah terjadinya stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan
hepatitis. Selain itu, peningkatan komitmen bagi para pemimpin diperlukan dalam
mendukung upaya pencegahan dan pengendalian HIsp.

1. Hepatitis
Upaya promosi kesehatan yang dapat dilakukan antara lain:
a. Advokasi dan Sosialisasi
Advokasi dan sosialisasi tentang hepatitis B, hepatitis C (termasuk hepatitis D),
yaitu upaya untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan komitmen bagi
masyarakat, petugas kesehatan, pengambil keputusan dan tokoh masyarakat
tentang cara penularan, cara pencegahan termasuk perlindungan khusus dan
pengurangan dampak buruk, deteksi dini, akses layanan, dan dukungan terhadap
penanggulangannya, sehingga universal access bagi pelaksanaan penanggulangan
hepatitis dapat dipenuhi dan dirasakan oleh masyarakat.

Kepada para pengambil keputusan perlu dilakukan advokasi sehingga


didapatkan dukungan yang optimal untuk mendukung upaya pengendalian
hepatitis ini. Sedangkan sosialisasi dilakukan kepada masyarakat agar
masyarakat mengetahui dengan baik tentang hepatitis serta cara penularan dan
pencegahannya, melakukan perlindungan khusus, pengurangan dampak buruk,
dan imunisasi, menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat terutama pada
kelompok masyarakat berisiko, seperti menghindari penggunaan jarum suntik,
alat kesehatan, dan alat lain yang menimbulkan luka pada tubuh, yang tidak
steril, mencegah perilaku seksual berisiko, tidak bertukar sikat gigi, pisau cukur,
dan alat tattoo, serta menghindari perilaku berisiko lainnya yang berpotensi
menularkan hepatitis B dan C, melakukan deteksi dini, dan mengetahui apa yang
harus dilakukan apabila terinfeksi atau berisiko.

b. Intervensi Perubahan Perilaku


Intervensi perubahan perilaku dilakukan melalui penyuluhan, pendampingan,
pemberian konseling, dan penyediaan sarana dan prasarana yang diperlukan
untuk mendukung perubahan perilaku yang dilakukan. Intervensi perubahan
perilaku dilakukan pada kelompok populasi berisiko tinggi maupun kelompok
populasi rawan tertular dan menularkan penyakit ini.

21
c. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat bertujuan agar masyarakat atas kesadarannya dapat
berpartisipasi aktif dalam pencegahan dan pengendalian hepatitis sesuai dengan
kapasitas masyarakat tersebut.

Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan pada seluruh komponen masyarakat


dengan membentuk kelompok sebaya (peer group)atau supporting group sebagai
motivator dan sumber informasi untuk meningkatkan akses pelayanan serta
merubah perilaku, dan menjadi relawan pendamping orang dengan hepatitis.

Secara khusus, keberhasilan promosi kesehatan dalam penyelenggaraan


pencegahan dan pengendalian hepatitis diharapkan dapat menghasilkan
dukungan dari berbagai pihak, seperti:
1) Pemerintah Daerah mengalokasikan sumber daya kesehatan yang memadai
untuk penanggulangan hepatitis di wilayahnya
2) Program dan sektor terkait serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) secara
bersama-sama bermitra untuk membantu kegiatan pencegahan dan
pengendalian hepatitis
3) Setiap penduduk yang memiliki risiko bersedia diberikan imunisasi setelah
dilakukan pemeriksaan, sesuai pedoman yang berlaku
4) Setiap penduduk memiliki pengetahuan, sikap dan perilaku dan mendukung
penyelenggaraan penanggulangan hepatitis
5) Setiap penderita hepatitis mau memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan
kesehatan dan melaksanakan penanganan secara mandiri dan terus-
menerus.

2. Infeksi Saluran Pencernaan


Seluruh upaya berikut bersifat umum yang dapat mencegah diare, tifoid, hepatitis A,
dan hepatitis E.

a. Perilaku hidup bersih dan sehat


1) Pemberian Air Susu Ibu dan Pengganti Air Susu Ibu
a) Pemberian Air Susu Ibu
Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan terbaik untuk bayi. Komponen zat
makanan yang tersedia sangat ideal dan seimbang dan dapat dicerna dan
diserap secara optimal oleh bayi. Air Susu Ibu saja sudah cukup untuk
pertumbuhan bayi sampai umur 6 bulan (ASI Eksklusif). Tidak ada
makanan lain yang dibutuhkan selama masa ini. Setelah 6 bulan,
pemberian ASI perlu diteruskan sambil ditambahkan makanan lain.

Air Susu Ibu bersifat steril, berbeda dengan susu formula atau cairan lain
yang disiapkan dengan air atau bahan-bahan yang dapat terkontaminasi
dalam botol yang tidak bersih. Pemberian ASI saja, tanpa cairan atau
makanan lain dan tanpa menggunakan botol, menghindarkan anak dari
bahaya infeksi mikroorganisme penyebab diare.

22
Air Susu Ibu mempunyai khasiat dalam pencegahan secara imunologik
dengan adanya antibodi dan zat-zat lain yang dikandungnya. Dengan kata
lain ASI turut memberikan perlindungan terhadap terjadinya diare. Pada
bayi yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya
lindung terhadap diare 4 kali lebih besar dibandingkan pemberian ASI
yang disertai dengan susu botol. Flora normal usus bayi yang disusui
mencegah pertumbuhan mikroorganisme penyebab diare.

b) Makanan Pendamping ASI


Makanan pendamping ASI (PASI) diberikan saat bayi secara bertahap
mulai dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Pada masa ini
merupakan saat-saat yang berbahaya bagi bayi, karena perilaku
pemberian PASI yang tidak tepat meningkatkan risiko terjadinya diare
atau penyakit lain. Untuk itu, dalam pemberian PASI perlu
memperhatikan: 1) Kapan; 2) Apa; dan 3) Bagaimana PASI tersebut
diberikan.
Informasi yang perlu disampaikan kepada masyarakat dalam pemberian
PASI adalah sebagai berikut:
 Mulai memperkenalkan makanan lunak ketika anak sudah berumur 6
bulan, dan pemberian ASI tetap diteruskan. Tambahkan jenis makanan
lain setelah anak berumur 9 bulan atau lebih. Berikan makanan lebih
sering (4 kali sehari). Setelah anak berumur 1 tahun, berikan semua
makanan yang dimasak dengan baik, 4-6 kali sehari, dan teruskan
pemberian ASI bila memungkinkan.
 Tambahkan minyak, lemak dan gula ke dalam nasi/bubur dan biji-bijian
untuk energi. Tambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging, kacang-
kacangan, buah-buahan dan sayuran berwarna hijau ke dalam
makanannya.
 Cuci tangan sebelum meyiapkan makanan dan sebelum meyuapi anak,
dan suapi anak dengan sendok yang bersih.
 Masak makanan dengan benar, simpan sisanya pada tempat yang dingin
dan panaskan dengan benar sebelum diberikan kepada anak.
 Gunakan air bersih yang cukup
 Sebagian besar penyebab diare ditularkan secara fecal-oral, yaitu
melalui makanan, minuman atau benda yang tercemar tinja yang
mengandung bibit penyakit (mikroorganisme) penyebab diare,
misalnya jari-jari tangan, dan wadah tempat makanan atau minuman
yang dicuci dengan air yang sudah tercemar.

Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang benar-benar bersih


mempunyai risiko diare lebih kecil dibandingkan dengan masyarakat
yang tidak mendapatkan air bersih. Masyarakat dapat mengurangi risiko
diare dengan menggunakan air yang bersih dan menghindari air tersebut
dari pencemaran mulai dari sumber air tersebut sampai penyimpanan di
rumah.

23
Yang perlu diperhatikan oleh keluarga:
 Ambil air dari sumber air yang bersih.
 Simpan air dalam tempat yang bersih dan tertutup serta gunakan
gayung khusus untuk mengambil air.
 Jaga sumber air dari pencemaran oleh binatang dan untuk mandi anak-
anak.
 Minum air yang sudah matang (dimasak sampai mendidih).
 Cuci semua peralatan masak dan peralatan makan dengan air yang
bersih dan cukup.

2) Mencuci tangan
Kebiasaan penting yang berhubungan dengan kejadian diare adalah mencuci
tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah buang air kecil,
sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum
menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makanan anak, dan sebelum
makan dapat menurunkan kejadian diare.

3) Menggunakan jamban
Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan
jamban mempunyai pengaruh besar dalam menurunkan risiko diare.
Keluarga yang tidak mempunyai jamban diperlukan membuat jamban dan
buang air besar di jamban tersebut.

b. Membuang tinja bayi yang benar


Banyak orang beranggapan bahwa tinja bayi tidak berbahaya. Hal ini tidak dapat
dibenarkan, karena tinja bayi juga dapat menularkan penyakit pada anak-anak
dan orang tuanya. Oleh karena itu, tinja bayi perlu dibuang secara benar.

c. Penyediaan air bersih


Mengingat bahwa ada beberapa penyakit yang dapat ditularkan melalui air
seperti diare, hepatitis A dan hepatitis E, penyakit kulit, penyakit mata, maka
penyediaan air bersih, baik dari segi kuantitas maupun kualitas mutlak
diperlukan dalam memenuhi kebutuhan air sehari-hari termasuk untuk menjaga
kebersihan diri dan lingkungan. Untuk mencegah terjadinya penyakit tersebut di
atas, penyediaan air bersih yang cukup di setiap rumah tangga perlu tersedia.
Disamping itu perilaku hidup bersih perlu tetap dilaksanakan.

d. Pengelolaan sampah
Sampah merupakan sumber penyakit dan tempat berkembang biaknya vektor
seperti lalat, nyamuk, tikus, dan kecoa. Oleh karena itu pengelolaan sampah yang
baik sangat penting untuk mencegah penularan berbagai penyakit yang
ditularkan melalui vektor tersebut. Selain itu sampah dapat mencemari tanah
dan menimbulkan gangguan kenyamanan dan estetika seperti bau yang tidak
sedap dan pemandangan yang tidak enak dilihat. Perlu ada tempat pembuangan
sampah, sampah perlu dikumpulkan setiap hari dan di buang ke tempat
penampungan sementara sebelum dibawa ke tempat penampungan akhir.
24
e. Sarana Pembuangan Air Limbah
Air limbah, baik limbah pabrik maupun limbah rumah tangga perlu dikelola
sedemikian rupa agar tidak menjadi sumber penularan penyakit.

f. Penyehatan lingkungan
Hampir separuhnya (47%) masyarakat di Indonesia masih buang air besar di
sembarangan tempat, seperti sungai, sawah, kolam, kebun dan tempat terbuka
lainnya, 30,7% tidak memiliki sanitasi yang layak, 60% memiliki jamban tetapi
bauang air masih sembarangan. Menurut WHO, ada 3 kegiatan yang dapat
menurunkan angka kesakitan diare:
1) Peningkatan akses masyarakat terhadap sanitasi dasar, menurunkan angka
kesakitan diare sebesar 37%
2) Cuci tangan pakai sabun, menurunkan angka kesakitan diare sebesar 45%
3) Pengelolaan air minum yang aman di rumah tangga, menurunkan angka
kesakitan diare sebesar 39%

B. Perlindungan Khusus (Specific Protection)

1. Hepatitis
Perlindungan khusus adalah upaya yang dilakukan agar masyarakat dapat
terlindungi dari penularan hepatitis. Perlindungan khusus dapat dilakukan melalui
kegiatan pengurangan dampak buruk, seperti:

a. Penggunaan kondom
Penggunaan kondom terutama ditujukan bagi kelompok masyarakat yang
memiliki hubungan seksual berisiko.

b. Pengunaan alat pelindung diri (APD)


Penggunaan APD diwajibkan bagi petugas kesehatan atau masyarakat yang
melakukan aktivitas berisiko, seperti memakai masker dan sarung tangan, dan
baju dan kacamata pelindung.

c. Menghindari penggunaan jarum suntik dan alat kesehatan peralatan lainnya


yang tidak steril.
Masyarakat wajib menghindari penggunaan jarum suntik secara bergantian atau
tidak steril, terutama pada kelompok pengguna NAPZA suntik, pengguna tattoo,
tindik, dan akupunktur. Peralatan lainnya seperti misalnya untuk tindik,
peralatan pada kedokteran gigi, operasi, hemodialisis, dan lain-lain.

d. Pemberian imunisasi
Pemberian imunisasi adalah suatu upaya yang dilakukan untuk melakukan
pencegahan terjadinya penularan hepatitis. Pemberian imunisasi dilaksanakan
untuk hepatitis B. Sampai saat ini belum tersedia vaksin hepatitis C.

25
Imunisasi Hepatitis B untuk bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg negatif atau
status HBsAg ibu tidak diketahui diberikan vaksin hepatitis B sesegera mungkin
(sangat dianjurkan imunissai Hepatitis B pada bayi baru lahir diberikan pada
bayi usia <24 jam sesudah kelahiran (HB-0) bersamaan dengan pemberian
vitamin K1). Pemberian imunisasi ini kemudian dilanjutkan sesuai program
imunisasi nasional, yaitu usia bayi 2 bulan, 3 bulan, dan 4 bulan.

Imunisasi hepatitis B mampu memberikan perlindungan terhadap infeksi


hepatitis B selama lebih dari 20 tahun. Keberhasilan imunisasi dinilai dari
terdeteksinya anti-HBs di serum penderita setelah pemberian imunisasi
hepatitis B lengkap (3-4 kali).

Apabila bayi lahir dari ibu dengan HBsAg positif maka imunisasi dengan
immunoglobulin harus diberikan <24 jam dari kelahirannya, bersamaan dengan
HB-0, dilanjutkan sesuai program imunisasi nasional, yaitu usia bayi 2 bulan, 3
bulan, dan 4 bulan. Selanjutnya pada saat bayi tersebut berusia 9-12 bulan
dilakukan pemeriksaan HBsAg dan titer anti-HBs.

Pemberian imunisasi hepatitis B pada pada kelompok masyarakat berisiko


tinggi, seperti populasi yang melakukan praktik seksual berisiko; pengguna
NAPZA suntik; petugas kesehatan, mahasiswa kesehatan (kebidanan,
keperawatan, analis kesehatan, kedokteran); orang dekat/keluarga/tinggal
serumah; pasangan orang dengan hepatitis B; orang dengan riwayat keluarga
hepatitis B; dan orang dengan Infeksi Menular Seksual (IMS).

Dikecualikan terhadap kelompok masyarakat yang belum dan atau yang tidak
lengkap mendapat imunisasi hepatitisB pada saat lahir, dilakukan pemeriksaan
HBsAg dan anti-HBs sebelum diberikan imunisasi. Apabila hasil pemeriksaan
keduanya negatif maka dianjurkan imunisasi hepatitis B sebanyak 3 dosis
dengan jadwal 0 bulan, 1 bulan, dan 6 bulan.

2. Infeksi Saluran Pencernaan

a. Tifoid
Salah satu cara untuk melakukan pencegahan tifoid adalah dengan melakukan
vaksinasi, namun vaksinasi tifoid belum merupakan program imunisasi nasional.
Hingga saat ini pemakaian vaksin tifoid terbatas pada sejumlah praktek dokter
pribadi dan rumah sakit swasta. Sejauh ini, vaksinasi pada anak sekolah dasar
masih dalam bentuk pilot proyek, yaitu pemberian vaksin pada 1500 anak SD di
Kota Bogor tahun 2014–2015.

Mengingat endemisitas dan morbiditas tifoid yang cukup tinggi di Indonesia,


maka pada dasarnya pemberian vaksinasi tifoid sangat strategis untuk kelompok
masyarakat berisiko tinggi, seperti: 1) Anak sekolah; 2) Penjamah makanan di
hotel-hotel, restoran, kantin, katering, dan warung-warung yang tersebar luas di
Indonesia termasuk para petugas di bagian (instalasi) gizi rumah sakit); dan 3)
26
Pekerja atau petugas makan/minum yang yang berkaitan atau kontak dengan
makanan/minuman atau peralatan makan/minum yang disajikan kepada
sekelompok orang, misalnya di kantor-kantor pemerintah dan swasta.9

Di Indonesia saat ini telah tersedia 2 jenis vaksin tifoid, yaitu: 1) Vaksin Vi
kapsuler polisakarida. Vaksin ini mengandung polisakarida Vi dari kapsul
bakteri Salmonella. Vaksin dapat mencapai level protektif setelah 2–3 minggu
pemberian, dan dapat diberikan pada usia ≥2 tahun. Vaksin tersedia dalam
syringe siap pakai (suntikan) 0,5ml yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam
buffer fenol isotonik.

Vaksin diberikan secara intramuskular (IM) di deltoid. Vaksinasi ulangan


dilakukan setiap 3 tahun. Kontra indikasi vaksin, yaitu pada keadaan
hipersensitif terhadap vaksin, ibu hamil, dan anak <2 tahun. Bila keadaan sedang
demam, pemberian vaksin sebaiknya ditunda, dan untuk ibu menyusui perlu
dikonsultasikan lebih lanjut ke dokter; 2) Vaksin kombinasi Vi kapsuler
polisakarida dan hepatitis A inaktif, Vaksin kombinasi Vi kapsuler polisa-karida
dan hepatitis A inaktif (double). Kelebihan vaksin ini lebih praktis dalam
pemberian vaksin tifoid dan hepatitis A. Tidak ada perbedaan efektifitas
pemberian vaksin secara bersamaan dengan pemberian vaksin tifoid dan
hepatitis A secara terpisah. Vaksin dapat mencapai level protektif setelah 2–3
minggu pemberian. Vaksin ini dapat diberikan pada usia 16 tahun ke atas. Vaksin
tersedia dalam bentuk dual-chamber syringe (suntikan) siap pakai dengan
volume 1 ml, masing-masing 0,5 ml untuk setiap vaksin. Vaksin diberikan secara
intramuskular di deltoid dan vaksinasi ulangan diberikan setiap 3 tahun. Kontra
indikasi vaksin, yaitu pada keadaan hipersensitif terhadap komponen vaksin, ibu
hamil, dan ibu menyusui.

Pemberian vaksin untuk pencegahan tifoid dianjurkan untuk wisatawan,


terutama bila bepergian ke daerah/negara endemis tifoid.26 Center for Disease
Control, USA merekomendasikan vaksinasi tifoid untuk wistawan yang
melakukan perjalanan ke daerah endemis tifoid, khususnya ke daerah rural atau
dengan makanan atau suplai air yang tidak aman. Public Health Agency Kanada
merekomendasikan vaksinasi pada wisatawan yang melakukan perjalanan ke
daerah endemik: kota kecil, perkampungan atau rural lebih dari 4 minggu. Juga
merekomdasikan untuk individu dengan sekresi asam lambung yang berkurang
atau tidak ada.

Health Protection Agency, United Kingdom merekomendasikan vakisnasi tifoid


untuk wisatawan yang melakukan perjalanan ke daerah endemis, khususnya
dengan higiene makanan dan sanitasi yang buruk. Department of Health and
Ageing, Australia merekomendasikan untuk wisatawan mulai usia >2 tahun ke
daerah endemik, termasuk subkontinen India, negara-negara Asia Tenggara,
kebanyakan negara-negara di Pasifik Selatan dan Papua New Guinea.

27
Di Indonesia, agen perjalanan dapat berperan dalam menyediakan informasi
tentang tifoid dan memfasilitasi pemberian vaksinasi tifoid.

b. Hepatitis A
Imunisasi Hepatitis A dilakukan dengan cara pemberian vaksin Hepatitis A
sebanyak dua kali dengan jarak 6 sampai 12 bulan terhadap masyarakat di atas
usia 2 tahun. Imunisasi hepatitis A dilakukan secara sukarela.

C. Pengamatan (Surveilans) Karier Tifoid


Permasalahan penting terkait tifoid, antara lain: 1) Penyakit ini merupakan masalah
kesehatan masyarakat, tetapi masih terabaikan dalam penaganannya; 2) Penyakit ini
dapat menurunkan produktifitas kerja, me-ningkatkan angka ketidakhadiran anak
sekolah, karena masa penyembuhan dan pemulihannya yang cukup lama; 3) Penyakit
ini dapat sembuh sempurna, tetapi jika tidak ditangani dengan baik, maka dapat menye-
babkan seseorang menjadi karier (sebagai sumber penularan penyakit), menimbulkan
komplikasi dan kematian: 4) Penyakit ini sangat mudah dicegah dengan perubahan
perilaku masyarakat, namun merubah peri-laku masyarakat tersebut tidaklah mudah.

Sanitasi lingkungan dan hiegene perorangan yang kurang baik, dan masih tingginya
angka kemiskinan di Indonesia sangat mempengaruhi penularan dan penyebaran tifoid.
Bila para penderita tidak berobat misalnya karena keterbatasan akses ke fasilitas
kesehatan sehingga menjadi karier (tidak memperlihatkan gejala penyakit, tetapi dapat
menularkan agen penyakit), maka bila mereka menjadi penjamah makanan, akan
menjadi sumber penularan penyakit bagi masyarakat. Tingginya risiko penularan pe-
nyakit melalui penjual makanan di jalanan dengan tingkat kebersihan yang buruk,
berkontribusi terhadap peningkatan jumlah kasus tifoid di Indonesia. Pada saat
bencana, kejadian tifoid perlu diwaspadai, karena kondisi sanitasi lingkungan dan
higiene perorangan yang buruk.

Penderita tifoid mempunyai potensi untuk menjadi karier (carrier) setelah penyakitnya
disembuhkan. Era sebelum antibiotika digunakan, diperkirakan sedikitnya 5%
penderita menjadi karier. Hasil studi yang dilakukan dewasa ini, angka tersebut hanya
sedikit mengalami penurunan. Di India pada tahun 2005 menurun menjadi sekitar 3%.
Dari hasil deteksi dini karier tifoid yang dilakukan di DKI Jakarta tahun 2013
didapatkan prevalensi sebesar 2,9%.

Bagi penderita yang tidak diobati dengan adekuat, insidensi karier dilaporkan 5-10%
dan kurang dari 3% menjadi karier kronik. Karier intestinal kronik biasanya
mempunyai faktor predisposisi penyakit kronik di hati seperti opisthorchiasis dan
kolelitiasis, dan untuk karier urinari kronik mempunyai penyakit kronik di ginjal
seperti urolitiasis.

Mengingat peran karier tifoid dalam penularan tifoid, maka perlu dilakukan
pengamatan dan penanganan sesegera mungkin, sehingga kejadian kasus baru tifoid
dapat dicegah dan angka kesakaitan dan kematian tifoid dapat diturunkan serendah
mungkin.
28
Tujuan jangka pendek pengamatan tifoid adalah: 1) Terdeteksinya karier tifoid pada
penjamah makaan; 2) Diketahuinya prevalensi karier tifoid pada penjamah makanan; 3)
Diketahuinya distribusi frekuensi karier tifoid menurut umur; 4) Diketahuinya
distribusi frekuensi karier tifoid menurut jenis kelamin; 5) Diketahuinya distribusi
frekuensi karier tifoid menurut domisili; 6) Diketahuinya distribusi frekuensi karier
tifoid menurut tingkat pendidikan; 7) Diketahuinya distribusi frekuensi karier tifoid
menurut pengetahuan tentang cara penularan tifoid; 8) Diketahuinya distribusi
frekuensi karier tifoid menurut sikap terhadap upaya pencegahan tifoid; 9)
Diketahuinya distribusi frekuensi karier tifoid menurut perilaku higiene perorangan;
10) Diketahuinya distribusi frekuensi karier tifoid menurut perilaku sanitasi
lingkungan; dan 11) Terlaksananya penanganan/pengobatan karier tifoid sesegera
mungkin.

Dengan diketahuinya situasi masalah karier tifoid kemudian dengan melakukan


pengendalian seoptimal mungkin, maka diharapkan tujuan jangka panjang dapat
tercapai, yaitu: 1) Menurunnya jumlah kasus infeksi baru tifoid; 3) Menurunnya angka
kesakitan (prevalensi) tifoid; dan 4) Menurunnya angka kematian (CFR=Case Fatality
Rate) tifoid.

Sasaran pengamatan karier tifoid adalah: 1) Seluruh (100%) provinsi melaksanakan


pengamatan karier tifoid pada tahun 2019; dan 2) Sebanyak 30% kabupaten/kota
melaksanakan pengamatan karier tifoid pada tahun 2019.

29
BAB V

PENGENDALIAN HEPATITIS DAN INFEKSI SALURAN PENCERNAAN

A. Deteksi Dini Hepatitis B dan C


Kegiatan deteksi dini hepatitis B dan C meliputi deteksi dini aktif dan deteksi dini pasif.

1. Deteksi Dini Aktif Hepatitis B dan C


Deteksi dini aktif hepatitis B dan C adalah kegiatan Deteksi Dini Hepatitis B dan C
(DDHBC) pada kelompok masyarakat (populasi) berisiko tinggi (high risk) yang
dilaksanakan di luar gedung di wilayah kerja puskesmas.

a. Pelaksana
Puskesmas

b. Populasi deteksi dini aktif


Kriteria populasi deteksi dini aktif hepatitis B dan C adalah sebagai berikut:
1) Ibu hamil yang berdomisili di wilayah kerja puskesmas.
2) Petugas Kesehatan, yaitu dokter, perawat, bidan dan analis laboratorium
yang berada di wilayah kerja puskesmas dan telah bekerja di bidang
kesehatan yang berisiko tertular atau menularkan hepatitis B dan C, karena
dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari terdapat kemungkinan terjadinya
kontak darah/cairan tubuh penderita.
3) Mahasiswa kesehatan (kebidanan, keperawatan, analis, kedokteran) di
perguruan tinggi yang berlokasi di wilayah kerja puskesmas.
4) Wanita Penjaja Seks (WPS) berumur ≥15 tahun yang telah berhubungan
seks komersial dengan satu orang atau lebih pelanggan.
5) Pengguna Napza suntik (Penasun) pria atau wanita berumur ≥15 tahun yang
berdomisili di wilayah kerja puskesmas.
6) Waria berumur ≥15 tahun yang berdomisili di wilayah kerja puskesmas dan
telah diketahui statusnya sebagai waria melalui teman seprofesi, ‘mami’,
atau pekerja Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
7) Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL) berumur ≥15 tahun yang berdomisili di
wilayah kerja puskesmas dan telah berhubungan seks dengan seorang atau
lebih laki-laki dan/atau waria.
8) Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di LAPAS yang berlokasi di wilayah
kerja puskesmas.
9) Pasangan/keluarga yang tinggal serumah dengan penderita hepatitis B atau
C yang berdomisili di wilayah kerja puskesmas.
10) Pasien Infeksi Menular Seksual (IMS) yang berdomisili di wilayah kerja
puskesmas.
11) Orang dengan infeksi HIV/AIDS (ODHA) yang berdomisili di wilayah kerja
puskesmas.
12) Pasien hemodialisis yang berdomisili di wilayah kerja puskesmas.

30
13) Pasien yang mendapatkan transfusi darah lebih dari 1 kali yang berdomisili
di wilayah kerja puskesmas.
14) Pasien yang menjalani tindakan bedah umum atau tindakan pada gigi yang
berdomisili di wilayah kerja puskesmas.
15) Bayi yang lahir dari ibu dengan hepatitis C.

c. Lokasi
Di wilayah kerja masing-masing puskesmas

d. Sasaran
1) Kelompok berisiko tinggi
2) Pernah diperiksa hepatitis B dan C dengan hasil non-reaktif ≥6 bulan

e. Prosedur
1) Melakukan penjangkauan pada kelompok berisiko tinggi (ibu hamil,
pasangan/keluarga yang serumah dengan penderita hepatitis B atau C,
pasien hemodialisis, pasien yang pernah mendapatkan transfusi >1 kali,
pasien yang pernah menjalani operasi umum dan tindakan pada gigi, bayi
yang lahir dari ibu dengan hepatitis C), fasyankes (petugas kesehatan),
perguruan tinggi (mahasiswa kesehatan), klinik IMS (pasien yang didiagnosis
IMS), dan kunjungan ke lokasi/komunitas prostitusi, Penasun, waria, LSL,
WBP, dan ODHA.
2) Sebelum pelaksanaan kegiatan, penanggungjawab kegiatan menghubungi
pimpinan/contact person dari kelompok tersebut.
3) Setelah ada kesepakatan, maka kegiatan dilaksanakan pada tempat dan
waktu yang telah ditentukan.
4) Pimpinan/contact person tersebut dapat dilibatkan dalam menggerakkan
masyarakat untuk ikut dalam kegiatan DDHBC.
5) Petugas pelaksana adalah dokter/perawat, bidan di poli KIA, konselor,
pengelola program/kegiatan hepatitis, pengelola program/kegiatan asuhan
keperawatan, analis dan petugas lainnya.
6) Alur deteksi dini aktif hepatistis B dan C, Lihat Petunjuk Teknis Deteksi Dini
Hepatitis B dan C pada Kelompok Masyarakat Berisiko Tinggi (Algoritma 1
dan 2).

f. Tahapan kegiatan
Tahapan kegiatan deteksi dini aktif hepatitis B dan C:
1) Persiapan, meliputi SOP, sosialisasi dan advokasi, logistik pendukung sesuai
kebutuhan, dan persiapan di lapangan
2) Pelaksanaan, meliputi pelatihan petugas, pelaksanaan di lapangan, serta
pengolahan dan analisis data
3) Pencatatan dan pelaporan
4) Monitoring dan evaluasi.

31
2. Deteksi Dini Pasif Heptitis B dan C
Deteksi dini pasif hepatitis B dan C adalah kegiatan Deteksi Dini Hepatitis B dan C
(DDHBC) di dalam gedung puskesmas (poliklinik/klinik IMS/klinik konseling dan
tes/klinik methadone, dan lain-lain) pada kelompok masyarakat berisiko tinggi yang
berkunjung atau dirujuk ke puskesmas/klinik.

a. Pelaksana
Puskesmas/klinik

b. Sasaran
Masyarakat yang berkunjung atau dirujuk ke puskesmas (Lihat sasaran pada
deteksi dini hepatitis B dan C aktif).

c. Lokasi
Di puskesmas/klinik

d. Jumlah yang dilakukan deteksi dini


Seluruh masyarakat yang mempunyai faktor risiko tertular dan menularkan
yang berkunjung atau yang dirujuk ke puskesmas/klinik.

e. Prosedur
1) Deteksi dini pada ibu hamil
Alur pemeriksaan, Lihat Petunjuk Teknis Deteksi Dini Hepatitis B dan C pada
Kelompok Masyarakat Berisiko Tinggi (Algoritma 3).
a) Ibu hamil pada kunjungan ANC (Antenatal Care) pertama kali (K1)
ditawarkan pemeriksaan hepatitis B.
b) Bila Ibu hamil tersebut bersedia, maka diberikan konseling dan diminta
menandatangani informed consent sebagai bukti kesediaan.
c) Petugas melakukan wawancara untuk pengisian data yang diperlukan
menggunakan Form 9B.
d) Pengisian Form 9F oleh petugas dan pengambilan sampel darah di
laboratorium puskesmas.
e) Menggunakan Rapid Test
f) Bila hasil pemeriksaan reaktif, maka konfirmasi lebih lanjut, spesimen
dikirim ke laboratorium rujukan (B/BLK, Labkesda, laboratorium rumah
sakit, dan lain-lain) untuk pemeriksaan EIA (Enzyme Immunoassay)/CLIA
(Chemiluminescent Immunoassay). Pengiriman spesimen ke laboratorium
rujukan disertai dengan Form 9D.
g) Bila hasil pemeriksaan dengan EIA/CLIA dari laboratorium rujukan
reaktif, maka pasien dirujuk ke rumah sakit yang mampu melaksanakan
tatalaksana hepatitis B dan/atau C yang ditunjuk oleh dinas kesehatan
provinsi.
h) Selain pemeriksaan hepatitis B, ibu hamil juga ditawarkan pemeriksaan
HIV dan Syphilis (apabila di puskesmas/klinik telah tersedia layanan
untuk pemeriksaan HIV dan Syphilis).

32
i) Prosedur pemeriksan HIV dan Syphilis sesuai ketentuan Kemenkes RI
(Subdit HIV AIDS dan Penyakit Infeksi Menular Seksual, Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Ditjen P2P).

2) Deteksi dini pada petugas dan mahasiswa kesehatan (kebidanan,


keperawatan, analis, kedokteran)
Alur pemeriksaan, Lihat Petunjuk Teknis Deteksi Dini Hepatitis B dan C pada
Kelompok Masyarakat Berisiko Tinggi (Algoritma 4).
a) Pelaksanaan kegiatan dimulai di poli umum atau tempat lainnya yang
telah ditentukan oleh puskesmas.
b) Petugas melakukan wawancara untuk pengisian data yang diperlukan
dengan menggunakan form 10B dan penandatanganan informed consent.
c) Pengisian Form 10C oleh petugas dan pengambilan sampel darah.
d) Pemeriksaan laboratorium terdiri dari pemeriksaan hepatitis B dan
hepatitis C, mengunakan Rapid Test.
e) Bila hasil pemeriksaan hepatitis B dan/atau C reaktif, maka konfirmasi
lebih lanjut, spesimen dikirim ke laboratorium rujukan (B/BLK, Labkesda,
laboratorium rumah sakit, dan lain-lain) untuk pemeriksaan imunologi.
Pengiriman spesimen ke laboratorium rujukan disertai dengan Form 10D.
f) Petugas pelaksana adalah petugas kesehatan di puskesmas yang terlibat
dalam pelayanan di poli umum, seperti petugas pendaftaran,
dokter/perawat di poli umum, konselor, dan analis.

3) Deteksi dini pada kelompok masyarakat berisiko tinggi lainnya


Alur pemeriksaan, Lihat Petunjuk Teknis Deteksi Dini Hepatitis B dan C pada
Kelompok Masyarakat Berisiko Tinggi (Algoritma 4).
a) Kelompok masyarakat lainnya yang menjadi sasaran (selain ibu hamil,
petugas dan mahasiswa kesehatan) yang datang atau dirujuk ke
puskesmas, ditawarkan untuk pemeriksaan hepatitis B dan C.
b) Untuk pasien umum ditawarkan juga pemeriksaan hepatitis B dan C
apabila hasil anamnesis menunjukkan adanya faktor risiko tertular atau
menularkan hepatitis B dan C.
c) Pelaksanaan kegiatan dimulai di poli umum atau tempat lainnya yang
telah ditentukan oleh puskesmas/poliklinik/fasyankes.
d) Petugas melakukan wawancara untuk pengisian data yang diperlukan
dengan menggunakan Form 10B dan penandatanganan informed consent.
e) Pengisian Form 10C dan pengambilan sampel darah di laboratorium
puskesmas.
f) Pemeriksan laboratorium terdiri dari pemeriksaan hepatitis B dan
hepatitis C, menggunakan Rapid Test.
g) Bila hasil pemeriksaan hepatitis B dan/atau C reaktif, maka konfirmasi
lebih lanjut, spesimen dikirim ke laboratorium rujukan (B/BLK, Labkesda,
laboratorium rumah sakit, dan lain-lain) untuk pemeriksaan EIA/CLIA.
Pengiriman spesimen ke laboratorium rujukan disertai dengan Form 10D.

33
h) Petugas pelaksana adalah petugas kesehatan di puskesmas yang terlibat
dalam pelayanan di poli umum, seperti petugas pendaftaran,
dokter/perawat di poli umum, konselor, dan analis.

B. Pengamatan Hepatitis
Tujuan pengamatan (surveilans sentinel) hepatitis B dan C adalah: 1) Memperkirakan
laju epidemi dan kecenderungan infeksi hepatitis B dan C di suatu wilayah; 2)
Memantau seroprevalensi hepatitis B dan C pada sub-populasi tertentu; 3) Memantau
kecenderungan prevalensi infeksi hepatitis B dan C berdasarkan tempat dan waktu; dan
4) Menyediakan data untuk estimasi dan proyeksi kasus hepatitis B dan C di Indonesia.

Selain itu, tujuan pengamatan hepatitis B dan C adalah untuk menyediakan data dan
informasi bagi pengambil keputusan dalam pengendalian hepatitis B dan C sebagai
dasar untuk menentukan target dan prioritas program pencegahan dan pengobatan,
advokasi kepada pihak terkait, monitoring dan evaluasi program pencegahan dan
pengobatan, dan Menyelaraskan program pencegahan dengan perencanaan pelayanan
kesehatan dan menyediakan informasi untuk kegiatan pengendalian hepatitis B dan C.

Pengamatan juga dilakukan pada Balita, dengan tujuan untuk mengetahui prevalensi
pada Balita, dan efektfitas imunisasi hepatitis dan juga risiko penularan hepatitis dari
ibu ke bayi (penularan secara vertikal). Balita (Bawah Lima Tahun) adalah periode usia
setelah bayi dengan kisaran dua sampai dengan lima tahun (2-5 tahun) atau 24-60
bulan. Periode usia ini disebut juga sebagai usia prasekolah.

Dalam pelaksanaannya kegiatan pengamatan pada kelompok masyarakat berisiko


tinggi hepatitis B dan C dapat dilakukan secara terintegrasi dengan Subdit HIV AIDS dan
Penyakit Infeksi Menular Seksual, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Menular Langsung, Ditjen P2P, Kemenkes RI.

Sasaran kegiatan deteksi dini hepatitis B dan C adalah: 1) Seluruh (100%) provinsi
melaksanakan deteksi dini hepatitis B dan C pada tahun 2019; dan 2) Sebanyak 80%
kabupaten/kota melaksanakan deteksi dini hepatitis B dan C pada tahun 2019.

C. Penanganan Hasil Deteksi Dini Hepatitis B dan C

1. Penanganan hasil deteksi dini hepatitis B

a. Penanganan pada Ibu hamil


1) Bila hasil pemeriksaan konfirmasi dari laboratorium rujukan hepatitis B
reaktif, maka pasien dirujuk ke rumah sakit terdekat yang telah mampu
melakukan tatalaksana hepatitis B dan C atau rumah sakit rujukan yang
mampu melakukan tatalaksana hepatitis B dan C.
2) Penanganan selanjutnya sesuai SOP rumah sakit dalam melakukan
tatalaksana hepatitis B dan C.
3) Pembiayaan pengobatan menggunakan BPJS/asuransi lainnya atau mandiri

34
4) Hasil pemeriksaan, penanganan dan rekomendasi tim ahli di rumah sakit
rujukan dikirim ke puskesmas yang merujuk untuk umpan balik (feedback).
5) Bila hasil deteksi dini hepatitis B di puskesmas non-reaktif, maka ibu hamil
tersebut dianjurkan pemeriksaan anti-HBs untuk mengetahui ada tidaknya
antibodi.
6) Bila hasil pemeriksaan HBsAg dan anti-HBs non-reakif, maka dianjurkan
vaksinasi hepatitis B sebanyak 3 kali secara mandiri.

b. Penanganan bayi yang dilahirkan dari Ibu dengan hepatitis B reaktif


1) Bayi yang dilahirkan dari ibu yang hepatitis B (HBsAg) reaktif, maka
diberikan Hepatitis B Immunoglobulin (HBIg), vitamin K, vaksinasi hepatitis
B hari ke-0 (HB 0) kurang dari 24 jam setelah kelahiran, diikuti vaksinasi
hepatitis B berikutnya sesuai jadwal program imunisasi nasional.
2) Setelah bayi berusia di atas 9 bulan, maka dilakukan pemeriksaan HBsAg dan
anti-HBs.

c. Penanganan bayi yang dilahirkan dari Ibu dengan hepatitis B non-reaktif


Bayi yang dilahirkan dari ibu dengan hepatitis B non-reaktif, maka diberikan
vitamin K dan HB 0 kurang dari 24 jam setelah kelahiran, diikuti vaksinasi
hepatitis B berikutnya sesuai jadwal program imunisasi nasional.

d. Penanganan pada kelompok masyarakt (populasi) lainnya


1) Bila hasil konfirmasi menunjukkan hepatitis B reaktif, maka dirujuk ke
rumah sakit rujukan.
2) Penanganan selanjutnya sesuai SOP rumah sakit dalam melakukan
tatalaksana hepatitis B dan C.
3) Pembiayaan menggunakan BPJS/asuransi lainnya atau mandiri
4) Hasil pemeriksaan, penanganan dan rekomendasi tim ahli di rumah sakit
rujukan dikirim ke puskesmas yang merujuk untuk umpan balik.
5) Bila hasil deteksi dini hepatitis B di puskesmas non-reaktif, maka dilanjutkan
untuk melakukan pemeriksaan anti-HBs untuk mengetahui ada tidaknya
antibodi.
6) Bila hasil pemeriksaan HBsAg dan anti-HBs non-reakif, maka dianjurkan
vaksinasi hepatitis B sebanyak 3 kali.

2. Penanganan hasil deteksi dini hepatitis C


a. Bila hasil konfirmasi di laboratorium rujukan menunjukkan hepatitis C reaktif,
maka dirujuk ke rumah sakit yang mampu melakukan tatalaksana hepatitis B
dan C.
b. Penanganan selanjutnya sesuai SOP rumah sakit dalam melakukan tatalaksana
hepatitis B dan C.
c. Pembiayaan menggunakan BPJS/asuransi lainnya atau mandiri.
d. Hasil pemeriksaan, penanganan dan rekomendasi tim ahli di rumah sakit
rujukan dikirim ke puskesmas/poliklinik yang merujuk untuk umpan balik.
e. Bila hasil pemeriksaan hepatitis C non-reaktif, maka dilakukan penyuluhan
(KIE).
35
3. Penanganan Hasil Pemeriksaan HIV dan Syphilis
Penanganan sesuai ketentuan Kemenkes RI (Subdit HIV AIDS dan Penyakit Infeksi
Menular Seksual, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
Langsung, Ditjen P2P).

4. Penanganan Hasil Pemeriksaan Hepatitis B dan C Non-reaktif


a. Bila pemeriksaan hepatitis B (HBsAg) dan hepatitis C (anti-HCV) konfirmasi di
laboratorium rujukan dinyatakan non-reaktif, maka hasil pemeriksaan reaktif di
puskesmas dianggap sebagai non-reaktif.
b. Bila hasil pemeriksaan hepatitis B pada target sasaran non-reaktif, maka
pemeriksaan ulang dilakukan 6 bulan setelah pemeriksaan, dan bila masih non-
reaktif, pemeriksaan ulang dilakukan setiap 6-12 bulan berikutnya.
c. Bila hasil deteksi dini hepatitis C pada sasaran non-reaktif, maka pemeriksaan
ulang dilakukan 6 bulan setelah pemeriksaan, dan bila masih non-reaktif,
pemeriksaan ulang dilakukan setiap 6-12 bulan berikutnya.

5. Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE)


Informasi yang perlu disampaikan kepada sasaran sebelum pemeriksaan
laboratorium (tes):
 Risiko penularan hepatitis
 Tes bersifat konfidensial
 Masyarakat mempunyai hak untuk menolak menjalani tes
 Bila menolak, perlu membuat pernyataan tertulis
 Penolakan menjalani tes, tidak mempengaruhi layanan selanjutnya
 Beri kesempatan kepada masyarakat yang diberi KIE untuk mengajukan
pertanyaan kepada petugas.

Pesan atau materi KIE yang disampaikan kepada masyarakat antara lain mencakup
penjelasan tentang penyebab, cara penularan, perjalanan penyakit, gejala umum,
pengobatan, dan komplikasi hepatitis B dan C.

Kegiatan KIE antara lain: 1) Menyediakan dan mendistribusikan media KIE tentang
hepatitis B dan C dan faktor risiko; dan 2) Melaksanakan KIE tentang hepatitis B dan
C dan faktor risiko dengan berbagai metode, baik perorangan, kelompok, maupun
melalui media massa (media cetak, media elektronik) dan interaktif secara verbal,
seperti konseling untuk meningkatkan pengetahuan dan diharapkan terjadinya
perubahan sikap dan perilaku.

Media massa yang umumnya digunakan adalah leaflet, lembar bailik, poster, banner,
buku saku, kipas, kaos, topi, payung, buku saku, radio spot, dan TV.

D. Penanganan Kasus Terpajan Hepatitis B


Selain penanganan kasus yang ditemukan pada deteksi dini hepatitis B, maka
penanganan kasus yang ditemukan dapat juga dilakukan pada saat orang terpajan virus
hepatitis B, yaitu mereka yang mengalami inokulasi langsung atau kontak mukosa
36
langsung dengan cairan tubuh penderita hepatitis B, maka profilaksis yang digunakan
adalah HBIG single dose 0,06 mL/kg BB, yang diberikan sesegera mungkin. Penderita
harus menerima imunisasi hepatitis B, dimulai dari minggu pertama setelah pajanan.
Bila pajanan yang terjadi adalah kontak seksual, maka pemberian dosis HBIG 0,06
mL/kg BB harus diberikan sebelum 14 hari setelah pajanan, dan diikuti dengan
imunisasi. Pemberian vaksin hepatitis B dan HBIG bisa dilakukan pada waktu
bersamaan, namun di lokasi injeksi yang berbeda.

Semua penderita hepatitis B sebaiknya disarankan untuk menjalani pemeriksaan


Hepatitis D. Pemeriksaan awal dilakukan untuk mengetahui adanya anti-HDV dalam
serum. Apabila positif, lanjutkan dengan memeriksa RNA HDV. Hanya penderita yang
RNA HDV positif saja yang dianjurkan untuk menjalani terapi hepatitis D. Perlu diingat
bahwa karena infeksi VHD memiliki cara penularan yang sama dengan VHB, VHC, dan
HIV, maka pemeriksaan virus-virus tersebut juga perlu dilakukan. Mengingat infeksi
VHD hanya bisa terjadi pada orang dengan hepatitis B, maka pencegahan infeksi VHD
sama persis dengan pencegahan infeksi VHB. Imunisasi terhadap VHB telah terbukti
efektif menekan prevalensi hepatitis D di beberapa wilayah di Eropa. Penanganan
penderita, kontak dan lingkungan sekitar: 1) Pengobatan, sampai saat ini hanya terapi
berbasis Interferon yang terbukti cukup efektif untuk hepatitis D; 2) Disinfeksi bekas
cairan tubuh penderita; 3) Isolasi tidak diperlukan 4) Imunisasi pasif hepatitis B pada
orang yang terpajan cairan tubuh penderita; dan 5) Pencatatan dan pelaporan (STP dan
SIRS).

E. Pengobatan Hepatitis B

1. Pengobatan hepatitis B akut


Sebesar 95% pasien hepatitis akut dewasa akan mengalami resolusi dan
serokonversi spontan tanpa pengobatan antiviral. Untuk itu, pengobatan umumnya
bersifat tidak spesifik, terutama meningkatkan daya tahan tubuh (istirahat dan
makan makanan yang bergizi). Rawat inap hanya diperlukan bila pasien tidak dapat
makan dan minum serta terjadi dehidrasi berat. Pada pasien dengan hepatitis akut
fulminan, pemberian antiviral seperti lamivudin bisa memperpendek fase
simptomatik dan mempercepat perbaikan klinis dan biokimia, namun tidak
mencegah perkembangan hepatitis B akut menjadi hepatitis B kronik.

2. Pengobatan hepatitis B kronik


a. Indikasi Pengobatan
Pengobatan pada pasien hepatitis B kronik adalah sesuatu yang harus betul-
betul dipertimbangkan dengan matang. Beberapa faktor yang diketahui
mempengaruhi hasil akhir pengobatan dan dijadikan indikator memulai
pengobatan adalah:

1) Nilai DNA VHB serum


Nilai DNA VHB merupakan salah satu indikator mortalitas dan morbiditas
yang paling kuat untuk hepatitis B. Banyak studi telah membuktikan bahwa
nilai DNA VHB serum yang tinggi (>2.000 IU/mL) adalah prediktor sirosis
37
dan KHS yang kuat. Oleh karena itu, penggunaan kadar DNA VHB sebagai
indikasi memulai pengobatan dan sebagai tujuan akhir pengobatan
merupakan hal yang sangat penting.

2) Status HBeAg
Status HBeAg pasien telah diketahui memiliki peranan penting dalam
prognosis pasien dengan hepatitis B kronik. Beberapa panduan yang ada
telah mencoba membedakan indikasi pengobatan hepatitis B berdasarkan
status HBeAg, dengan pasien HBeAg negatif diindikasikan memulai
pengobatan pada kadar DNA VHB yang lebih rendah.

3) Nilai ALT serum


Kadar ALT serum telah lama dikenal sebagai penanda kerusakan hati, namun
kadar ALT yang rendah juga menunjukkan bahwa pasien berada pada fase IT
dan akan mengalami penurunan respons pengobatan. Telah banyak
penelitian yang menunjukkan bahwa respons obat yang lebih baik dapat
ditemukan pada pasien dengan ALT yang meningkat.

4) Derajat kerusakan hati pada pemeriksaan histopatologis (biopsi).


Adanya tingkat kerusakan histologis yang tinggi juga merupakan prediktor
respons yang baik pada pasien dengan hepatitis B. Namun, mengingat
tindakan ini bersifat invasif, penggunaannya sebaiknya hanya pada pasien
yang memiliki risiko tinggi KHS atau pada populasi tertentu.

Pemeriksaan awal pada semua pasien yang dicurigai menderita hepatitis B


adalah pemeriksaan HBsAg. Pasien dapat dikelompokkan berdasarkan status
HBeAg-nya menjadi pasien hepatitis B kronik HBeAg positif atau HBeAg
negatif. Pasien HBeAg positif dapat dikelompokkan lagi menjadi 2
berdasarkan status DNA VHB-nya. Pasien yang memiliki DNA VHB <2 x 104
IU/mL dan memiliki kadar ALT normal tidak memerlukan pengobatan
apapun. Pasien cukup menjalani pemantauan DNA VHB, HBeAg, dan ALT
rutin setiap 3 bulan.

Demikian pula pasien yang memiliki kadar DNA VHB ≥ 2 x 104 IU/mL harus
dipertimbangkan untuk mendapat pengobatan bila nilai ALT-nya lebih besar
dari 2 kali batas atas normal. Pasien dengan kadar DNA VHB tinggi dan ALT
di bawah 2 kali batas atas normal tidak memerlukan pengobatan dan cukup
menjalani pemantauan DNA VHB, HBeAg, dan ALT rutin setiap 3 bulan.
Pasien-pasien ini berada pada fase IT sehingga pengobatan tidak akan efektif.
Pada pasien-pasien ini, pemeriksaan biopsi hati atau pemeriksaan fibrosis
non invasif harus dipertimbangkan pada semua pasien yang berusia ≥ 30
tahun atau pasien yang berusia < 30 tahun namun memiliki riwayat KHS atau
sirosis dalam keluarga.Bila pada pemeriksaan ini ditemukan adanya
inflamasi derajat sedang atau lebih, maka pengobatan diindikasikan. Pasien
yang memiliki kadar DNA VHB tinggi dan kadar ALT 2-5 kali batas atas
normal yang menetap selama lebih dari 3 bulan atau memiliki risiko
38
dekompensasi hati harus mendapat pengobatan. Pemberian pengobatan juga
dianjurkan pada pasien dengan DNA VHB tinggi dan ALT di atas 5 kali batas
atas normal. Namun pada pasien di kelompok terakhir ini, bila DNA VHB
masih di bawah 2 x 105 IU/mL dan tidak ditemukan tanda dekompensasi
hati, maka pengobatan bisa ditunda 3-6 bulan untuk memantau munculnya
serokonversi HBeAg spontan. Semua pasien yang berada dalam kelompok
indikasi pengobatan ini diduga berada di fase IC sehingga pengobatan bisa
memberikan hasil optimal. Pada pasien yang memberikan respons baik
terhadap pengobatan, pemantauan lebih lanjut masih tetap perlu dilakukan,
sementara pada pasien yang tidak respons, penggantian ke strategi
pengobatan lain harus dipertimbangkan.

Prinsip tatalaksana pada kelompok pasien dengan HBeAg negatif hampir


sama dengan pada pasien dengan HBeAg positif, namun batasan DNA VHB
yang digunakan lebih rendah, yaitu 2 x 103 IU/mL. Pasien yang memiliki DNA
VHB <2 x 103 IU/mL dan memiliki kadar ALT normal tidak memerlukan
pengobatan apapun dan cukup menjalani pemantauan DNA VHB dan ALT
rutin setiap 6 bulan. Demikian pula pasien dengan kadar DNA VHB ≥2 x 103
IU/mL dan ALT di bawah 2 kali batas atas normal tidak memerlukan
pengobatan dan cukup menjalani pemantauan DNA VHB dan ALT rutin setiap
6 bulan. Pada pasien-pasien ini, berdasarkan konsensus Perhimpunan
Peneliti Hati Indonesia (PPHI) 2012, pemeriksaan biopsi hati atau
pemeriksaan fibrosis non-invasif harus dipertimbangkan pada semua pasien
yang berusia ≥ 30 tahun atau pasien yang berusia <30 tahun namun memiliki
riwayat KHS atau sirosis dalam keluarga. Bila pada pemeriksaan ini
ditemukan adanya inflamasi derajat sedang atau lebih, maka pengobatan
diindikasikan.Pasien yang memiliki kadar DNA VHB tinggi dan kadar ALT di
atas 2 kali batas atas normal yang menetap selama lebih dari 3 bulan atau
memiliki risiko dekompensasi harus mendapat pengobatan. Pada pasien yang
memberikan respons baik terhadap pengobatan, pemantauan lebih lanjut
masih tetap perlu dilakukan, sementara pada pasien yang tidak respons,
penggantian ke strategi pengobatan lain harus dipertimbangkan.

Pasien-pasien hepatitis B kronik yang memiliki risiko KHS yang tinggi juga
harus menjalani pemantauan (surveilans) KHS setiap 6 bulan sekali. Pasien
yang termasuk dalam kelompok risiko tinggi mencakup laki-laki ras Asia
dengan usia>40 tahun, perempuan ras Asia dengan usia >50 tahun, pasien
dengan sirosis hati, dan pasien dengan riwayat penyakit hati lanjut di
keluarga. Surveilans ini dilakukan dengan melakukan pemeriksaan AFP dan
USG hati secara berkala.

Pengobatan pada pasien hepatitis B kronik dengan sirosis sedikit berbeda


dari kelompok yang belum sirosis. Pada pasien dengan sirosis kompensata,
indikasi pengobatan masih ditentukan kadar DNA VHB. Pasien dengan kadar
DNA VHB <2 x 103 IU/mL tidak perlu dipengobatan dan cukup menjalani
pemantauan DNA VHB, HBeAg, dan ALT rutin setiap 3-6 bulan. Sebaliknya,
39
pasien yang memiliki kadar DNA VHB ≥2 x 103 IU/mL harus mendapat
pengobatan.

Pilihan jenis pengobatan pada pasien hepatitis B kronik dengan sirosis


kompensata ditentukan oleh kadar ALT pasien. Pada pasien yang memiliki
kadar ALT <5 kali batas atas normal, pemberian pengobatan interferon
maupun analog nukleos(t)ida sama-sama bisa dipertimbangkan. Namun pada
pasien dengan ALT ≥5 kali batas atas normal, pengobatan interferon tidak
bisa diberikan sehingga pilihan yang tersisa hanya analog nukleos(t)ida. Pada
pasien hepatitis B kronik yang mengalami sirosis dekompensata, pengobatan
antiviral harus segera diberikan tanpa memandang kadar DNA VHB ataupun
ALT. Interferon dikontraindikasikan pada kondisi ini, sehingga pilihan yang
tersedia tinggal analog nukleos(t)ida. Pengobatan suportif sirosis lain juga
harus diberikan dan transplantasi hati bisa dipertimbangkan.

b. Pilihan pengobatan
Dengan pilihan yang dimiliki saat ini, eradikasi virus secara total dari tubuh
masih belum bisa dilakukan. Kalaupun virus berhasil ditekan jumlahnya dalam
darah, DNA virus masih dapat ditemukan di dalam sel hati dalam kondisi
dorman. DNA ini bisa mengalami reaktivasi di kemudian hari. Target
serokonversi HBsAg, walau memberikan nilai prognosis yang sangat baik, juga
sangat sulit dicapai. Oleh karena itu, pengobatan pada hepatitis B kronik
ditujukan untuk menekan progresivitas penyakit ke arah sirosis atau KHS.
Dengan pengobatan saat ini, walaupun eradikasi virus tidak bisa dilakukan,
pasien hepatitis B bisa bebas dari sirosis atau KHS seumur hidupnya. Inilah
mengapa pengobatan sebaiknya disarankan pada setiap pasien yang memiliki
indikasi.

Pemilihan pengobatan yang paling sesuai dengan pasien adalah hal yang perlu
diperhatikan sebelum memulai pengobatan. Sampai saat ini terdapat setidaknya
2 jenis obat hepatitis B yang diterima secara luas, dengan kekurangan dan
kelebihan masing-masing, yaitu :
1) Pengobatan Interferon
Pengobatan dengan interferonhanya diberikan dalam jangka maksimal 1
tahun. Pengobatan dengan interferon selama 1 tahun secara umum lebih baik
dalam hal serokonversi HBeAg dan HBsAg daripada pengobatan analog
nukleos(t)ida yang diberikan pada durasi yang sama.
2) Pengobatan Analog Nukleos(t)ida
Pengobatan dengan analog nukleos(t)ida secara umum memiliki efektivitas
yang cukup baik, walau pada pemakaian 1 tahun efektivitas beberapa jenis
analog nukleos(t)ida masih kurang baik daripada interferon. Namun
penggunaan analog nukleos(t)ida jangka panjang memiliki efektivitas yang
sebanding atau bahkan lebih baik daripada interferon. Bila dibandingkan
dengan interferon, pengobatan analog nukleos(t)ida memiliki kelebihan
berupa ringannya efek samping dan cara pemberian yang oral. Obat jenis ini
juga bisa digunakan pada pasien yang mengalami penyakit hati lanjut.
40
Pada prinsipnya, pengobatan analog nukleos(t)ida harus diteruskan sebelum
tercapai indikasi penghentian pengobatan atau timbul kemungkinan
resistensi dan gagal pengobatan (lihat bagian kegagalan pengobatan). Namun
khusus untuk pasien dengan fibrosis hati lanjut, pengobatan analog
nukleos(t)ida harus diberikan seumur hidup.

c. Sistem rujukan nasional untuk pasien dengan hepatitis B didesain melibatkan


seluruh komponen kesehatan yang ada di masyarakat Indonesia, dimulai dari
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) sebagai garda terdepan hingga
Rumah Sakit Umum Daerah tipe A. Sistem rujukan nasional disusun untuk
mendeteksi dini masyarakat Indonesia dengan hepatitis B, memberikan
tatalaksana yang adekuat sesuai dengan indikasi, memantau pengobatan dan
progresivitas penyakit, mencegah terjadinya perburukan kondisi, dan mencegah
terjadinya resistensi. Setiap komponen memiliki tugas dan tanggung jawab yang
berbeda untuk menjamin terlaksananya tujuan dibentuknya sistem rujukan
nasional.

1) Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)


Sebagai lini terdepan, FKTP memiliki tugas untuk melakukan pemeriksaan
HBsAg pada kelompok dengan risiko tinggi maupun pasien dengan tanda dan
gejala klinis yang sesuai. Dokter umum bertugas pada sistem rujukan ini.
Apabila pasien memiliki hasil pemeriksaan HBsAg positif, pasien kemudian
segera dirujuk ke dokter spesialis penyakit dalam di Rumah Sakit Umum
Daerah tipe B/C. FKTP tidak menyediakan obat-obatan antivirus untuk
pengobatan hepatitis B. Pemeriksaan laboratorium yang lebih lengkap
dilakukan pada institusi kesehatan yang lebih tinggi (Fasilitas Kesehatan
Tingkat Sekunder/FKTS)

2) Fasilitas Kesehatan Tingkat Sekunder.


Fasilitas Kesehatan Tingkat Sekunder diperlengkapi dengan pemeriksaan
penunjang yang lebih lengkap dan beberapa jenis obat antivirus untuk
memberikan tatalaksana kepada pasien hepatitis B yang dirujuk oleh FKTP.
Pemeriksaan penunjang yang wajib disediakan oleh FKTS adalah: 1) USG; 2)
Biopsi hati; 3) AFP; dan 4) Pemeriksaan Laboratorium (ALT, HbeAg, Anti-
Hbe, HbsAg)

Pemeriksaan DNA VHB kuantitatif dilakukan dengan melibatkan


laboratoriumyang terdapat di tiap provinsi. Darah pasien diambil di FKTS ini,
kemudian dikirimkan sesuai dengan 28 protokol pengiriman sampel. Dokter
spesialis penyakit dalam diperbolehkan melakukan tatalaksana pada pasien
dengan syarat hasil pemeriksaan HBeAg positif dan nilai DNA VHB yang
rendah (2 x 104 IU/mL – <2 x 108 IU/mL) pada pemeriksaan prapengobatan.
Pemberian pegylated interferon hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis
penyakit dalam konsultan gastroenterohepatologi di Fasilitas Kesehatan

41
Tingkat Tersier (FKTT). Tidak ada obat antivirus yang disediakan untuk anak
pada FKTS ini.

3) Fasilitas Kesehatan Tingkat Tersier


Fasilitas Kesehatan Tingkat Tersier (FKTT) memiliki obat antivirus dan
pemeriksaan yang lebih lengkap dibandingkan dengan FKTS. Pasien dewasa
dirujuk dari FKTS apabila terdapat resistensi, memerlukan pengobatan
pegylated interferon, nilai HBeAg negatif, atau nilai DNA VHB yang tinggi (≥2
x 108 IU/mL) pada pemeriksaan prapengobatan. Pada anak, pasien dirujuk
ke FKTT dan untuk mendapatkan pemeriksaan biopsi dan tatalaksana sesuai
indikasi apabila terdapat peningkatan ALT lebih dari 2 kali lipat batas atas
normal pada pemeriksaan laboratorium di FKTS. Seluruh pemeriksaan pada
FKTS dan pemeriksaan DNA VHB kuantitatif tersedia pada FKTS ini. Pada
FKTS ini, dokter spesialis penyakit dalam konsultan gastroenterohepatologi
dan dokter spesialis anak konsultan gastroenterohepatologi bertanggung
jawab dalam melakukan pemeriksaan dan tatalaksana terhadap pasien
hepatitis B yang dirujuk dari FKTS.

F. Pengobatan Hepatitis C
Pengobatan hepatitis C lebih tertuju pada hepatitis C kronik karena seringkali pasien
hepatitis C datang ke pusat pelayanan kesehatan sudah dalam fase kronik. Tujuan
pemberian antivirus adalah mencegah munculnya komplikasi penyakit hati seperti
fibrosis, sirosis, karsinoma hepatoselular dan kematian.Target terapi antivirus adalah
pencapaian SVR. Untuk memantau kemungkinan mencapai suatu SVR perlu dilakukan
pemeriksaan HCV RNA secara berkala. Apabila kondisi RVR tercapai maka dapat
diperkirakan 72,5%-100% SVR akan tercapai tanpa memandang genotipe.

Penelitian yang dilakukan oleh Fried dkk dari 1.383 pasien hepatitis C dengan genotipe
1-4 yang diberikan terapi Peg-IFN/RBV, 16% pasien dengan genotipe 1 mencapai RVR,
71% pasien dengan genotipe 2 mencapai RVR dan 60% pasien dengan genotipe 3
mencapai RVR. Faktor prediksi RVR meliputi genotipe, usia, muatan virus, kadar ALT
dan derajat fibrosis.19 Sedangkan, penelitian oleh Sulkowski dkk., menunjukkan bahwa
perbedaan ras juga mempengaruhi pencapaian SVR. Dari hasil penelitian tersebut
didapatkan tingkat pencapaian SVR pada ras orang kulit putih mencapai 44%, ras
Afrika-Amerika mencapai 22%, ras orang Latin mencapai 38% dan ras Asia-Amerika
mencapai 59%.

Pasien hepatitis C genotipe 1, SVR dapat dicapai pada 46% pengguna Peg-IFNα2a dan
42% pada pengguna Peg-IFNα2b. SVR dapat dicapai pada 76% pasien genotipe 2 dan
sebesar 82% pada pasien genotipe 3 baik dengan menggunakan Peg-IFNα2a maupun
Peg-IFNα2b. Pencapaian SVR di Asia adalah sebesar 70% pada pasien dengan genotipe
1, 90% pada pasien dengan genotipe 2/3, 65% pada pasien dengan genotipe 4 dan 80%
pada pasien dengan genotipe 6.Pencapaian SVR di Indonesia adalah sebesar 81,5% pada
pasien genotipe 1, 90% pada pasien dengan genotipe 2/3, dan 85,7% pada pasien
dengan genotipe 4. Penelitian yang dilakukan oleh Lin dkk., pada 265 pasien hepatitis C
kronik genotipe 1 dan diterapi dengan Peg-IFN/RBV menunjukkan bahwa tingkat SVR
42
tertinggi ditemukan pada kelompok pasien dengan usia kurang dari 45 tahun dan
tingkat SVR terendah ditemukan pada kelompok pasien dengan usia lebih dari 65 tahun.
Demikian juga penelitian oleh Marco dkk., yang menganalisis perbedaan jenis kelamin
terhadap SVR menunjukkan pencapaian SVR pada pasien wanita hepatitis C genotipe 1
dengan usia lebih dari 50 tahun didapatkan lebih rendah dibandingkan usia kurang dari
50 tahun. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa menopause mempengaruhi
pencapaian SVR pada pasien wanita hepatitis C genotipe 1 sedangkan pada pasien pria
hepatitis C genotipe 1 tidak didapatkan hubungan antara usia dengan pencapaian SVR.

Pemberian terapi antivirus dapat dipertimbangkan bagi pasien hepatitis C kronik naïve
dengan sirosis kompensata tanpa memandang nilai ALT dan tidak memiliki
kontraindikasi terhadap interferon alfa maupun ribavirin.Pasien dengan fibrosis berat
(METAVIR score F3-F4) terapi antivirus sangat dianjurkan untuk segera
diberikan.Pasien dengan fibrosis sedang (METAVIR score F2) maupun fibrosis ringan
pemberian terapi antivirus dapat diberikan dengan mempertimbangkan manfaat dan
risiko pengobatan. Pemberian terapi antivirus pada pasien dengan sirosis hati
kompensata ditujukan untuk mengurangi risiko komplikasi terjadinya sirosis hati
dekompensata dan risiko terjadinya karsinoma hepatoselular.

1. Tatalaksana hepatitis C akut


Tatalaksana hepatitis C akut dapat ditunda sampai 8-16 minggu untuk menunggu
terjadinya resolusi spontan terutama pada pasien hepatitis C akut yang
simptomatik. Akan tetapi, pada pasien dengan genotipe IL28B non-CC pemberian
terapi antivirus dapat diberikan lebih awal yaitu 12 minggu karena kemungkinan
terjadinya resolusi spontan lebih rendah. Pemberian monoterapi dengan Peg-IFN
dapat diberikan dalam tatalaksana hepatitis akut. Durasi terapi hepatitis C akut
pada genotipe 1 dilanjutkan selama 24 minggu dan pada genotipe 2 atau 3
dilanjutkan selama 12 minggu. Penambahan ribavirin tidak meningkatkan
pencapaian SVR pada pasien hepatitis C akut yang sedang diterapi dengan Peg-IFN.

2. Terapi pada hepatitis C kronik


Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, terapi standar untuk hepatitis C kronik
adalah kombinasi antara Pegylated Interferon-α (Peg-IFNα) dan ribavirin (RBV).
Terapi ini memberikan hasil yang kurang memuaskan pada pasien dengan genotipe
1 karena hanya 40-50% pasien yang berhasil mencapai sustained virological
response (SVR), sedangkan pada genotipe 2 dan 3 sekitar 80% dapat mencapai SVR.
Kemajuan yang dicapai pada terapi hepatitis C kronik adalah penemuan agen direct
acting antivirus (DAA), yaitu boceprevir (BOC), telaprevir (TVR), simeprevir,
sofosbuvir, dan lain-lain. Akan tetapi sampai saat ini yang tersedia di Indonesia
adalah boceprevir.

3. Mekanisme kerja antivirus


Untuk lebih memahami cara kerja dari obat antivirus yang digunakan pada
pengobatan hepatitis C kronik akan dibahas secara singkat mekanisme kerja dari
masing-masing obat.

43
a. Mekanisme Kerja Pegylated Interferon (Peg-IFN)
Interferon merupakan protein yang dihasilkan oleh tubuh dan bersifat sebagai
imunomodulator. Mekanisme kerja interferon adalah menghambat berbagai
tahap replikasi virus meliputi saat virus masuk dalam sel tubuh, uncoating,
sintesis mRNA dan sintesis protein. Pegylated ditambahkan dalam formula obat
untuk membuat interferon bertahan lebih lama di dalam tubuh. Manfaat lainnya
meliputi penurunan toksisitas, meningkatkan stabilitas obat, perlindungan
terhadap proteolisis dan memperbaiki daya larut. Pemberian Peg-IFN
1x/minggu juga membantu meningkatkan kepatuhan pasien dan memberikan
kenyaman bagi pasien. Terdapat beberapa tipe Peg-IFN, namun yang sering
digunakan dalam pengobatan hepatitis C adalah Peg-IFN α2a dan Peg-IFN α2b.

Perbedaan antara Peg-IFN α2a dan Peg-IFN α2b selain strukturnya adalah
waktu paruh absorpsi, waktu paruh eliminasi dan waktu konsentrasi maksimal
ditemukan lebih lama pada Peg-IFN α2b. Beberapa studi menunjukkan
keunggulan Peg-IFN α2a dibandingkan Peg-IFN α2b meskipun ada juga studi
yang menunjukkan tidak adanya perbedaan efektifitas keduanya dalam terapi
hepatitis C kronik.

b. Mekanisme Kerja Ribavirin


Mekanisme kerja ribavirin masih belum sepenuhnya dimengerti. Saat ini
terdapat beberapa hipotesis mengenai mekanisme kerja ribavirin yaitu:
 Menghambat langsung replikasi VHC
 Menghambat enzim inosine monophosphate dehydrogenase pada tubuh pasien
 Menginduksi mutagenesis RNA virus
 Imunomodulasi melalui induksi sel respons imun T-helper-1 (Th1)
 Ribavirin cepat diabsoprsi (waktu paruh sekitar 2 jam) dan didistribusikan
secara luas ke seluruh tubuh setelah pemberian oral, metabolisme utama
terjadi di ginjal.

c. Mekanisme Kerja DAA1


Standar terapi dalam tatalaksana hepatitis C kronik adalah kombinasi Peg-IFN
dan Ribavirin. Seiring dengan berkembangnya penemuan direct acting antiviral
(DAA), untuk meningkatkan angka keberhasilan pencapaian SVR pada genotipe
1, pada tahun 2011 FDA merekomendasikan penggunaan triple therapy
menggunakan Peg-IFN+RBV dengan boceprevir/telaprevir. Sampai saat ini
terdapat lebih dari 30 DAA antara lain sofosbuvir, simeprevir, daclatasvir,
ledipasvir dll

Sofosbuvir (Sovaldi®) adalah suatu analog NS5B nucleotide polymerase


inhibitor.Sofosbuvir bekerja menghambat kerja enzim RNA polymerase yang
dibutuhkan virus hepatitis C untuk bereplikasi. Dibandingkan dengan DAA
pendahulunya, sofosbuvir memiliki efek samping yang lebih sedikit, durasi
terapi yang lebih pendek, dan efektifitas lebih baik.

44
Gane et al. melakukan sebuah studi pada 95 pasien hepatitis C genotipe 1, 2, 3
naïve dan genotipe 1 yang null responders. Kemudian pasien tersebut dibagi
menjadi 8 kelompok (monoterapi sofosbuvir, sofosbuvir + RBV dengan atau
tanpa Peg-IFN selama 8 atau 12 minggu). Hasil studi tersebut menunjukkan
100% pasien genotipe 2, 3 naïve yang diterapi dengan sofosbuvir + RBV
mencapai SVR, 84% pasien genotipe 1 naïve mencapai SVR. Akan tetapi pada
pasien genotipe 1 null responders pencapaian SVR hanya 10% sehingga dapat
disimpulkan bahwa pasien genotipe 2, 3 naïve dapat sembuh sempurna dengan
pemberian sofosbuvir + RBV selama 12 minggu.

d. Terapi Menggunakan Sofosbuvir dan kombinasinya


Pada bulan Desember 2013, FDA menyetujui penggunaan sofosbuvir sebagai
DAA pertama yang dapat digunakan sebagai terapi pada seluruh genotipe
hepatitis C kronik.Dosis sofosbuvir 1 x 400 mg/hari dalam kombinasinya dengan
ribavirin atau Peg-IFN. Pada gangguan ginjal ringan-sedang tidak diperlukan
penyesuaian dosis sofosbuvir akan tetapi tidak diperbolehkan pada pasien
dengan gangguan ginjal berat (eGFR <30 ml/menit/1.73m2).

Pengaturan penggunaan Sofosbuvir dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Pengaturan penggunaan Sofosbuvir


Genotipe Regimen terapi Durasi Terapi
 Genotipe 1 atau 4 Peg-IFN + RBV + SOF 12 minggu
 Genotipe 1 (kontraindikasi IFN) RBV + SOF 24 minggu
 Genotipe 2 RBV + SOF 12 minggu
 Genotipe 3 RBV + SOF 24 minggu
 Genotype 1 sd 4 SOF+Ledipasvir 12 minggu

E. Pengobatan Infeksi Saluran Pencernaan

1. Diare

a. Jenis diare
Berdasarkan klasifikasi WHO (1996), diare dapat dibedakan menjadi 3 jenis,
yaitu:
1) Diare cair akut (watery)
Diare yang terjadi tiba-tiba, frekuensi sering, konsistensi cair yang bersifat
watery (cair dan banyak). Diare ini sering disebabkan oleh Retrovirus, E. coli,
Shigella, Campylobacter jejuni, Cryptosporidium.

2) Disentri
Buang air besar dengan konsitensi tinja cair, frekuensi sering, sedikit-sedikit,
kadang-kadang disertai darah dan/atau lendir. Diare ini dapat disebabkan

45
Shigella, Campylobacter jejuni, Enteroinvasive Escherichia coli (EIEC),
Salmonella, E. histolytica.

3) Diare persistens
Diare yang terjadi lebih dari 14 hari, dapat cair (watery) maupun disentri.
Diare ini dapat disebebkan oleh EIEC, Shigella, Cryptosporidium.

b. Pengobatan
Pengobatan diare pada prinsipnya adalah melakukan rehidrasi oral terhadap
cairan yang keluar melalui diare atau muntah yang terjadi saat menderita diare.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengembangkan pola pengobatan diare
pada anak menggunakan pola Plan A, B, dan C. Pola Plan A merupakan rehidrasi
yang dilakukan pada saat diare dengan atau tanpa dehidrasi ringan (dapat
dilakukan dengan rehidrasi oral). Plan B adalah rehidrasi pada penderita
dengan rehidrasi ringan sampai sedang (dapat dilakukan dengan rehidrasi oral
dan/atau intravena bila diperlukan), dan Plan C merupakan rehidrasi pada
penderita diare dengan rehidrasi berat (dilakukan dengan rehidrasi intravena).

2. Tifoid
Diagnosis tifoid dapat dibuat pada semua tingkatan pelayanan, hal ini perlu untuk
mendapatkan pengobatan dini. Diagnosis dapat dibuat berdasarkan anamnesa
(riwayat penyakit), temuan klinis dan pemeriksaan laboratorium/tambahan lainnya
tergantung tingkatan pelayanan kesehatan

a. Diagnosis klinis
Diagnosis klinis adalah kegiatan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk
mendapatkan sindrom klinis tifoid. Berbagai gejala klinis yang sering ditemukan
pada demam tifoid, adalah :

Gejala klinis pada pasien dewasa


 Demam  Insomnia
 Sakit Kepala  Hepatomegali
 Kelemahan umum  Splenomegali
 Nausea  Penurunan Kesadaran
 Nyeri abdomen  Bradikardi relatif
 Anoreksia  Kesadaran menurun/ berubah
 Muntah  Diare/ obstipasi
 Gangguan gastro intestinal
Sesuai dengan kemampuan SDM dan tingkat perjalanan penyakit demam tifoid,
maka diagnosis demam tifoid diklasifikasikan:
1) Probable case ( Kasus mungkin Tifoid )
Dengan anamnesis pemeriksaan fisik di dapatkan gejala demam, gangguan
saluran cerna, gangguan pola buang air besar dan hepato/spenomegali.
Sindrom demam tifoid yang didapatkan belum lengkap. Diagnosis probable

46
case hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar (Puskesmas/dokter
keluarga)

2) Possible case
Telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap, serta didukung
oleh gambaran laboratorium dan serologi yang menyokong tifoid (titer widal
O>1/160 atau H>1/160 satu kali pemeriksaan atau Tubex atau IgM).
Diagnosis ini dibuat pada fasilitas kesehatan rujukan RS tingkat I dan II (RS
tipe C dan B)

3) Definite case
Diagnosis pasti, ditemukan S. typhi pada pemeriksaan biakan atau positif S.
typhi pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titer Widal 4 kali lipat
(pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer Widal O>1/320, H>1/640 (pada
pemeriksaan sekali). Diagnosis ini dibuat pada layanan RS tingkat III (RS tipe
A)

b. Tatalaksana di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


1) Kriteria rawat inap
Penderita dengan gejala klinis yang berat, penurunan kesadaran, tidak dapat
makan dan minum, terdapat tanda-tanda komplikasi, dan komorbid yang
membahayakan.

2) Rujukan
Penderita dirujukan apabila:
a) Telah mendapat pengobatan selama 5 hari namun belum ada perbaikan.
Apabila kondisi penderita memburuk yang ditandai dengan penurunan
tanda vital dan semakin tingginya demam, dan nyeri ulu hati makin hebat
b) Tifoid dengan tanda-tanda kedaruratan
c) Tifoid dengan tanda-tanda komplikasi dan fasilitas tidak memadai.

3) Perwatan Mandiri di Rumah


Tidak semua penderita tifoid yang mau dirawrat di rumah sakit. Dengan
pertimbangan yang matang dan mengikuti syarat-syarat yang ditetapkan,
maka pendedta tifoid dapat dirawat di rumah namun tetap tidak dianjurkan.
a) Syarat untuk penderita :
 Penderita dengan gejala klinis yang ringan, tidak ada tanda-tanda
komplikasi serta tak ada komorbid yang membahayakan.
 Penderita dengan kesadaran baik dan dapat makan dan minum
 Penderita dengan keluarga cukup mengerti tentang cara-cara merawat
serta cukup paham tentang petanda bahaya yang akan timbul dari
tifoid.
 Keluarga penderita memiliki atau dapad melaksanakan sistem
pembuangan ekskreta (feses, urin, muntahan) yang memenuhi syarat
kesehatan
47
 Penderita dengan keluarga dapat mengikuti program pengobatan yang
di berikan.

b) Syarat untuk tenaga kesehatan


 Petugas kesehatan yang merawat bertanggung jawab penuh terhadap
pengobatan dan perawatan penderita
 Diprediksi bahwa penderita tidak akan menghadapi bahaya yang serius
 Pada prinsipnya penatalaksanaan tifoid meliputi:
Istirahat dan pentahapan mobilitas
Diet yang sesuai untuk tifoid
Pemberian obat-obatan
 Petugas kesehatan melakukan kunjungan rumah bila diperlukan
 Petugas kesehatan mempunyai hubungan komunikasi yang lancar
dengan keluarga penderita.

4) Pengobatan
a) Antibiotik
Pilihan antibiotik, antara lain:
 Kloramfenikol
Dewasa: 4 x 500mg/hari, selama 14 hari
Anak: 50-100mg/kgBB, 4x/hari (dibagi 4 dosis), selama 10-14 hari.
 Kotrimoksasol
Dewasa: 2 x (160-800mg)/hari, selama 14 hari
Anak: 6-10mg/kgBB, 2x/hari, selama 10-14 hari.
 Amoksisilin
Dewasa: 3-4 x 1000mg/hari, selama 14 hari
Anak: 50-100 mg/kgBB, 4x/hari, selama 10-14 hari.
b) Obat-obat simptomatik dan roboransia
c) Istirahat dan pentahapan mobilitas
d) Diet (bubur/nasi biasa).

c. Tatalaksana di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut I ( RS Tipe C )


1) Melakukan penegakkan diagnosis pasti (confirmed case) dengan pemeriksaan
biakan.
2) Pengobatan/perawatan
a) Pengobatan/perwatan penderita tifoid di rumah sakit terdiri dari
pengobatan medikamentosa, pengobatan suportif meliputi istirahat dan
diet, dan pengobatan komplikasi. Istirahat bertujuan untuk mencegah
komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring
absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurag lebih selama 14
hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan
pasien.
b) Pilihan antibiotik selain kloramfenikol, kotrimoksasol, amoksisilin, antara
lain seftriakson.
Dewasa: 2-4 x 1000mg/hari, selama 14 hari
Anak: 80 mg/kgBB, dosis tunggal, selama 5 hari.
48
c) Diet dan terapi penunjuang dilakukan dengan: pertama, pasien diberikan
bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan
tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan
bahwa pemberian makanan tingkat dini yaitu nasi dengan lauk pauk
rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan
dengan aman. Juga perlu diberikan vitamin dan mineral untuk
mendukung keadaan umum pasien.

d. Tatalaksana Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut II (RS Tipe B/A)


1) Medikamentosa
a) Antipiretik bila suhu tubuh >38,5°C
b) Anti inflamasi kortikosteroid dianjurkan pada tifoid berat.
Dexametason, digunakan pada tifoid berat dengan perubahan status
mental atau syok. Dexametason 3mg/kg/kali (1x) IV, dilanjutkan
1mg/kg/kali, setiap 6 jam (penggunaan lebih dari 48 jam akan
meningkatkan angka relaps)
c) Antibiotik (berturut-turut sesuai lini pengobatan).
 Lini pertama
Kloramfenikol (drug of choice) 100 mg/kg/hari, oral atau IV, dibagi
dalam 4 dosis selama 10-14 hari, kontraindikasi pada leukosit
<2000/µl , dosis maksimal 2g/hari, atau
Amoksisilin 150-200 mg/kg/hari, oral atau IV selama 14 hari
Kotrimoksazol TMP 4 mg/kg/kali, selama 10 hari
 Multidrug Resistence S. Typhi
Seftriakson 80 mg/kg/hari IV selama 5 hari
Sefixime 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 2 kali sehari per oral
 Karier S. Typhi (S. Typhi tetap ada dalam urin atau feses selama lebih
dari 6-12 bulan):
Ampisillin 100 mg/kg/hari, 4 x/hari, atau
Trimetoprim-sulfametoksazol 4-20 mg/kg/hari, 2x/hari selama 6-12
minggu.
 Tindakan bedah
Tindakan bedah perlu dilakukan segera bila terdapat perforasi usus.
Konsultasi Bedah Anak bila dicurigai komplikasi perforasi usus.

7) Pencegahan
 Higiene perorangan dan lingkungan
 Demam tifoid ditularkan melalui rute oro-fekal, maka pencegahan utama
memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan
lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum dan sesudah makan,
penyediaan air bersih, dan pengamanan pembuangan limbah feses.
 Imunisasi aktif terutama diberikan bila terjadi kontak dengan pasien tifoid,
terjadi kejadian luar biasa, dan untuk turis yang bepergian ke daerah
endemik.

49
3. Hepatitis A

a. Diagnosis
Penegakkan diagnosis disamping berdasarkan gejala dan tanda klinis (kadang-
kadang tidak muncul), juga hasil pemeriksaan anti-HAV IgM serum penderita.
Pemeriksaan anti-HAV IgM merupakan deteksi adanya antibodi IgM terhadap
virus hepatitis A. Antibodi ini akan terdeteksi ketika timbul gejala, dan akan
menetap selama 3-6 bulan setelah infeksi terjadi.

b. Penanganan penderita, kontak dan lingkungan sekitar


1) Pengobatan: tidak spesifik, terutama meningkatkan daya tahan tubuh
(istirahat dan makan makanan yang bergizi), rawat inap hanya diperlukan
bila penderita tidak dapat makan dan minum serta terjadi dehidrasi berat
2) Disinfeksi serentak terhadap bekas cairan tubuh penderita
3) Tidak diperlukan isolasi
4) Imunisasi pasif pada orang yang terpajan cairan tubuh penderita
5) Pencatatan dan pelaporan (STP dan SIRS).

4. Hepatitis E

a. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya antibodi terhadap VHE atau RNA
VHE dalam serum atau tinja penderita. Antibodi yang bisa dideteksi saat ini
adalah IgM, IgG, dan IgA.

b. Penanganan penderita, kontak dan lingkungan sekitar


1) Pengobatan
Tidak spesifik, terutama meningkatkan daya tahan tubuh (istirahat dan
makan makanan yang bergizi). Rawat inap hanya diperlukan bila penderita
tidak dapat makan dan minum serta terjadi dehidrasi berat
2) Disinfeksi serentak bekas cairan tubuh penderita
3) Isolasi tidak diperlukan
4) Pencatatan dan pelaporan (STP dan SIRS).

F. Layanan Rehidrasi Oral Aktif


Layanan Rehidrasi Oral Aktif (LROA) merupakan salah satu bentuk layanan di
puskesmas yang didirikan sebagai upaya dalam meningkatkan pengetahuan, serta
membangun sikap dan perilaku positif masyarakat (orang tua, pengasuh anak, kader, anggota PKK,
karang taruna, dan lain-lain) tentang diare, pecegahan dan penaggulangannya. Sedangkan Aktif, yaitu
aktif memberikan layanan kepada orang tua/pengasuh Balita yang berkunjung ke puskesmas.

Definisi operasional LROA adalah salah satu ruangan (tempat) di puskesmas yang
melakukan paling tidak salah satu dari beberapa kegiatan secara terus menerus 3 bulan
terakhir dalam periode pelaporan tahun berjalan, yang dibuktikan dengan adanya
data/laporan hasil pelaksanaan kegiatan.

50
1. Kebijakan Layanan Rehidrasi Oral Aktif
Kebijakan Layanan Rehidrasi Oral Aktif dalam tatalaksana Diare:
a. Layanan Rehidrasi Oral Aktif merupakan salah satu indikator kinerja
pengendalian diare di kabupaten/kota.
b. Layanan Rehidrasi Oral Aktif di laksanakan di puskesmas sebagai upaya untuk
meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat dalam pencegahan
dan penanggulangannya diare.
c. Layanan Rehidrasi Oral Aktif dilakukan dengan cara observasi penderita diare.

2. Strategi Layanan Rehidrasi Oral Aktif


2. Meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat dalam pencegahan
dan penanggulangan diare.
3. Mendorong dan memfasilitasi pengembangan potensi dan peran serta
masyarakat dalam penyebarluasan informasi kepada masyarakat tentang
pencegahan dan penanggulangan diare..
4. Meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan dalam melaksanakan Layanan
Rehidrasi Oral Aktif.
5. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas
melalui peningkatan sumber daya manusia, penguatan institusi, dan standarisasi
pelayanan.

3. Fungsi Layanan Rehidrasi Oral Aktif


Layanan Rehidrasi Oral Aktif berfungsi:
a. Peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat tentang diare, dan
upaya pencegahan dan penanggulangannya.
b. Promosi upaya rehidrasi oral
c. Pemberian pelayanan bagi penderita diare (yang mengalami dehidrasi ringan-
sedang), diobservasi di Layanan Rehidrasi Oral Aktif paling sedikit selama 3 jam;
orang tua/pengasuh/keluarganya akan diajarkan bagaimana cara penyiapan
oralit dan berapa banyak oralit yang harus diminum oleh penderita.
d. Sosialisasi dan peningkatan kapasitas masyarakat tentang diare dan upaya
pencegahan dan penanggulangannya.

51
BAB VI

SISTEM KEWASPADAAN DINI KEJADIAN LUAR BIASA


INFEKSI SALURAN PENCERNAAN

A. Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa Diare

Sepanjang tahun masih terjadi beberapa kali KLB diare di beberapa daerah di Indonesia
sehingga kewaspadaan dini terhadap kemungkinan terjadinya KLB diare tetap harus
dilakukan.

Kegiatan SKD KLB Diare adalah pengamatan dan pencatatan untuk:


 Kasus diare mingguan untuk melihat pola maksimum-minimum tahunan (trend
dilihat minimal dalam 3 tahun).
 Faktor risiko (perubahan iklim, lingkungan, sanitasi, PHBS).

Pemantauan Wilayah Setempat Kejadian Luar Biasa (PWS KLB) diare harus
dilaksanakan di setiap unit pelayanan, terutama di Puskesmas dan rumah sakit serta
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan pelaporan berjenjang sampai ke tingkat
Pusat. PWS KLB diare juga perlu dikembangkan di laboratorium, baik di Balai
Laboratorium Kesehatan Pusat dan Daerah maupun laboratorium rumah sakit dan
puskesmas.

Upaya pengendalian KLB diare dilakukan untuk menyelamatkan penderita dengan


mendekatkan pelayanan ke masyarakat di daerah berjangkit KLB diare, yaitu dengan
membentuk pos kesehatan dan pusat rehidrasi yang diikuti dengan penyuluhan agar
masyarakat dapat melakukan pertolongan sementara di rumah tangga dan segera
membawa ke pos pelayanan kesehatan terdekat.

Upaya pencegahan dilakukan sesuai dengan hasil penyelidikan terhadap populasi


berisiko dan faktor risikonya. Secara umum, pada KLB kolera pemberian antibiotika
pada penderita dapat sekaligus memutus mata rantai penularan dan diikuti dengan
distribusi air bersih, memasak air sebelum diminum, pemberian kaporit dan
pengamanan makanan. Upaya penanggulangan didukung oleh sistem surveilans selama
periode KLB yang dapat menuntun arah dan evaluasi upaya penanggulangan.

Tugas utama Pos Kesehatan dan Pusat Rehidrasi (PR) adalah :


 Merawat dan memberikan pengobatan diare sesuai bagan tatalaksana diare sesuai
derajat dehidrasinya (sesuai standar)
 Melakukan registrasi pencatatan nama, umur, alamat lengkap, tanggal berobat dan
waktu mulai sakit, gejala, diagnosa (sebagaimana terlampir)
 Mengatur logistik dan obat-obatan
 Memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarga
 Memberikan pengobatan preventif terhadap kontak serumah pada kasus/KLB kolera.

52
 Membuat laporan harian kepada puskesmas.
Tim penanggulangan KLB menyelenggarakan penyuluhan untuk melakukan
pertolongan dini dan mencermati tanda-tanda dehidrasi, penyuluhan segera berobat
bagi setiap penderita dan bahkan secara aktif mencari kasus sedini mungkin. Upaya ini
bekerjasama dengan para guru, petugas desa atau kelurahan, petugas puskesmas
lainnya.

Pada KLB kolera dapat dilakukan kaporisasi sumber air minum yang digunakan oleh
penduduk daerah terjangkit KLB diare. Penduduk juga mendapat penyuluhan memasak
air minum, pengamanan makanan dari pencemaran, lisolisasi bahan atau pakaian dan
lantai.

B. Sistem Kewaspadaan Dini-Kejadian Luar Biasa Tifoid


Pada prinsipnya sama seperti SKD-KLB diare

C. Sistem Kewaspadaan Dini-Kejadian Luar Biasa Hepatitis A


Terjadinya KLB hepatitis A lebih sering disebabkan karena pangan (makanan dan
minuman) yang tercemar karena penjamah makananatau pangan yang tercemar, oleh
karena itu SKD-KLB terutama ditujukan pada upaya pegamanan pangan. Pada darah-
daerah endemis tinggi jarang terjadi KLB hepatitis A, kerena semua penduduk telah
menderita sakit dan/atau memiliki kekebalan alamiah. Pada daerah-daerah dengan
pengamanan pangan yang baik, bila berada pada wilayah rentan hepatis A, akan
menjadi sumber penularanuntuk terjadinya KLB hepatitis A.

Apabila muncul sekelompok orang (cluster) menderita hepatitis A, maka kewaspadaan


perlu ditingkatkan, karena akan bermunculan kasus-kasus lain sampai kurang lebih 2
bulan sejak kasus pertama, tetapi apabila serangan KLB berlangsung lebih dari 2 bulan
berarti telah terjadi beberapa sumber penularan atau serangan bersifat propogated
source.

Berdasarkan data yang ada menunjukkan bahwa KLB hepatitis A sering terjadi pada
musim tertentu, oleh karena itu monitoring adanya KLB hepatitis A perlu dilakukan
dengan cermat. Apabila terdapat kecenderungan peningkatan serangan KLB hepatitis A
pada kawasan tertentu, maka dinas kesehatan provinsi atau Kemenkes RI perlu
menginformasikan peringatan kewaspadaan KLB hepatitis A pada semua unit
kesehatan di wilayah tersebut.

Kegiatan pengendalian KLB adalah kegiatan yang dilakukan secara terpadu oleh
pemerintah daerah dan masyarakat, meliputi: 1) Penyelidikan epidemiologi; 2)
Penanganan penderita, mencakup pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi
penderita, termasuk teindakan karantina, pencegahan dan pengebalan, pemusnahan
penyebab penyakit; 3) Penanganan jenazah akibat KLB/wabah; 4) Penyuluhan kepada
masyarakat; dan 5) Upaya penggulangan lainnya, mengacu pada Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes) Nomor 1501/Menteri/Per/X/2010.

53
1. Penyelidikan epidemiologi (invertigasi KLB)
Ditemukannya lebih dari satu penderita dalam satu klaster dengan gejala klinis
hepatitis A (dapat berupa demam, sakit kepala, lelah, nafsu makan menurun, perut
kembung, mual dan muntah yang diikuti jaundice/ikterus/kuning, air kencing
berwarna gelap, dan lain-lain) merupakan sinyal dugaan terjadi KLB hepatitis A.
Dugaan dapat diperkuat dengan ditemukannya IgM antibodi terhadap virus
hepatitis A pada beberapa kasus yang diperiksa.

Kejadian Luar Biasa hepatitis A ditetapkan apabila terdapat dua kasus klinis
hepatitis A atau lebih yang berhubungan secara epidemiologis.

Karena penyakit ini mempunyai gejala klinis dengan spektrum yang bervariasi
mulai dari tanpa gejala (asimptomatik), ringan yang sembuh dalam 1-2 minggu,
sampai dengan gejala yang berat yang berlangsung sampai beberapa bulan, maka
bukti-bukti epidemiologis sudah dapat mendukung diagnosis secara klinis. Bukti-
bukti epidemiologis antara lain ditemukannya klaster orang dengan gejala klinis
mengarah ke diagnosis hepatitis A (dua atau lebih gejala: demam, sakit kepala, lelah,
nafsu makan menurun, perut kembung, mual dan muntah, yang diikuti jaundice, air
kencing berwarna gelap).

Kriteria kasus konfirmasi


 Ditemukannya antibody IgM terhadap hepatitis A (IgM anti-HAV) pada serum
sebagai pertanda yang bersangkutan menderita penyakit akut atau penderita baru
saja sembuh. IgM anti-HAV terdeteksi dalam waktu 5-10 hari setelah terpajan
dan/atau:
 Meningkatnya titer antibodi spesifik 4 kaliatau lebih dalam pasangan serum,
antibody dapat dideteksi dengan RIA atau ELISA.

Laporan penyelidikan epidemiologi sebaiknya dapat menjelaskan:


 Diagnosis KLB hepatitis A
 Penyebaran kasus menurut waktu (minggu), wilayah geografis (RT/RW, desa dan
kecamatan), umur, dan faktor lainnya yang diperlukan, misalnya sekolah, tempat
kerja, dan lain-lain.
 Sumber dan cara penularan
 Status KLB pada saat penyelidikan epidemiologi dilaksanakan serta perkiraan
peningkatan dan penyebaran KLB.
 Rencana upaya penanggulangannya.

2. Pengendalian KLB Hepatitis A


a. Upaya pengendalian KLB hepatitis A terutama diarahkan pada penanganan
kasus dan pemutusan rantai penularan.
b. Identifikasi cara penularan dengan teknik investigasi epidemiologis, apakah
penularan terjadi dari orang ke orang atau dengan cara common source dari cari
populasi yang terpajan.

54
1) Bila teridentifikasi sebagai penularan orang per orang, maka tindakan
selanjutnya adalah isolasi penderita selama masa inkubasi (sejak kasus
ditemukan sampai 2 minggu setelah timbul gejala).
2) Bila teridentifikasi sebagai common source, maka tindakan selanjutnya adalah
identifikasi sumber penularan.
c. Upaya memutus rantai penularan dilakukan melalui perbaikan sanitasi dan
pengamatan makanan.
d. Bila teridentifikasi sumber penularan, maka dilakukan semua upaya
berdasarkan sumber penularannya. Bila sumber penularan adalah sumber air
yang terkkontaminasi, maka dapat dilakukan desinfektan pada sumber air
tersebut. Bila sumber penularan adalah akibat pangan terkontaminasi, maka
dilakukan perbaikan hygiene sanitasi dan pengamanan pangan. Sumber
penularan dimaksud diisolasi sampai diyakini tidak mengandung virus.
Beberapa cara inaktivasi virus hepatitis A
 Pemanasan pada suhu 85oC selama 1 menit
 Sterilisasi dengan otoklaf pada suhu 121oC selama 20 menit
 Radiasi ultraviolet pada 1,1W pada kedalaman 0,9 cm selama 1 menit
 Sterilisasi dengan formalin 8% selama 1 menit pada suhu 25 oC
 Desinfeksi dengan larutan potassium permangat 30mg/liter selama 15 menit
 Desinfeksi dengan larutan iodine 3 mg/liter selama 5 menit
 Desinfeksi dengan larutan klorin bebas residu 2-2,5 mg/liter larutan sodium
hipoklorit pada suhu 20oC selama 5-15 menit.
e. Apabila belum teridentifikasi sumber penularannya dengan jelas, maka
perbaikan sanitasi dan pengamanan pangan segera dilaksanakan dengan ketat
terhadap semua kantin dan jajanan yang berhubungan dengan populasi berisiko,
termasuk diantaranya membawa makanan dari rumah masing-masing.
f. Tidak ada pengobatan spesifik. Penderita membutuhkan istirahat yang cukup,
makanan rendah lemak. Pengobatan berupa terapi suportif untuk mengatasi
gejala dan menjamin asupan nutrisi seimbang, termasuk bila diperlukan cairan
pengganti akibat muntah atau diare. Isolasi air kencing dan tinja penderita
dilakukan untuk mencegah penularan dan penyebaran virus.
g. Pemberian imunisasi pada saat terjadinya KLB tidak dianjurkan.

D. Sistem Kewaspadaan Dini-Kejadian Luar Basa Hepatitis E


Lihat Sistem Kewaspadaan Dini KLB hepatitis A
Secara klinis pada hepatitis E sering sulit dibedakan dengan hepatitis A, tetapi
seringkali pada KLB hepatitis E disertai kematian pada ibu hamil, sementara pada
hepatitis A tidak ada kematian.

55
BAB VII

SURVEILANS EPIDEMIOLOGI HEPATITIS DAN INFEKSI SALURAN PENCERNAAN

A. Pencatatan dan Pelaporan

Kegiatan pencatatan dan pelaporan dilaksanakan bertujuan untuk mendokumentasikan


semua tahap kegiatan pencegahan dan pengendalian HIsp yang sudah dilaksanakan
mulai dari input, proses, output, outcome dan impact. Pencatatan berisi hal-hal yang
lebih rinci dan lebih detail tentang semua kegiatan (proses) yang sudah dilakukan,
sedangkan pelaporan dapat dilakukan secara berjenjang sesuai dengan waktu dan
format yang telah ditentukan.

Secara rinci proses pencatatan dan pelaporan penyelenggaraan pencegahan dan


pengendalian HIsp berdasarkan hierarki administrasi pemerintahan adalah sebagai
berikut.
a. Puskesmas wajib mencatat setiap kejadian HIsp dan selanjutnya dilakukan
pelaporan kepada kabupaten/kota sesuai sistem pelaporan terpadu (SP2TP),
dengan menggunakan format terlampir (Form Form LB1 Data Kesakitan dan LB 4
Penyakit Menular). Dikecualikan untuk kejadian HIsp yang biasanya timbul sebagai
KLB, maka pelaporannya mengikuti prosedur pelaporan KLB/wabah. Dalam
pelaporan rutin HIsp selain mencantumkan data juga harus disertai analisis dan
rencana tindak lanjut penanggulangan.
b. Dinas kesehatan kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan kejadian HIsp dari
seluruh fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk rumah sakit dan klinik, secara
berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali. Setiap laporan disertai dengan analisis situasi
dan kecenderungan, pengendalian faktor risiko, dan kemajuan cakupan pemberian
imunisasi.
c. Dinas kesehatan provinsi wajib menyampaikan laporan kejadian HIsp secara
berkala setiap 6 (enam) bulan sekali, yang merupakan hasil kompilasi dari laporan
kabupaten/kota di wilayahnya disertai dengan analisis situasi dan kecenderungan,
pengendalian faktor risiko, dan kemajuan cakupan pemberian imunisasi, serta
potensi penyebaran antar wilayah.
d. Satuan kerja di pusat yang memiliki tugas dan fungsi di bidang pencagahan dan
pengendalian HIsp wajib menyampaikan laporan kejadian HIsp secara berkala
setiap 6 (enam) bulan sekali yang merupakan hasil kompilasi dari laporan provinsi
dan UPT, disertai dengan analisis situasi dan kecenderungan, pengendalian faktor
risiko, dan kemajuan cakupan pemberian imunisasi, serta potensi penyebaran antar
wilayah.

56
B. Surveilans Epidemiologi Hepatitis B dan C
Surveilans hepatitis (B dan C) dilakukan secara aktif dan pasif dalam rangka
pemantauan wilayah setempat, kewaspadaan dini, dan surveilans sentinel.

1. Pemantauan Wilayah Setempat


Pemantauan wilayah setempat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Pengamatan terhadap masyarakat dan lingkungan/wilayah yang berisiko
melalui pendekatan sentinel area
b. Pengamatan melalui pendekatan sentinel area difokuskan terhadap
lingkungan/wilayah yang memiliki risiko Hepatitis A dan Hepatitis E, seperti
akses terhadap air dan sanitasi yang rendah, kawasan/daerah aliran sungai,
tempat-tempat umum, serta lingkungan khusus antara lain pondok pesantren
dan lembaga permasyarakatan.
c. Pengamatan di fasilitas pelayanan kesehatan untuk Hepatitis B dan Hepatitis C
melalui pelaporan kasus.

2. Kewaspadaan dini
Kewaspadaan dini dilakukan apabila dalam pemantauan wilayah setempat diketahui
bahwa suatu wilayah berpotensi timbul KLB dengan memenuhi kriteria, antara lain:
a. kualitas kesehatan lingkungan yang buruk;
b. ditemukan virus Hepatitis A dan Hepatitis E; atau
c. ditemukan satu kasus positif Hepatitis A dan Hepatitis E.

3. Surveilans sentinel
Surveilans sentinel dilakukan pada kelompok populasi berisiko untuk memperoleh
gambaran tentang besaran masalah, kecenderungan, pola penyebaran, faktor risiko
potensial, dan infeksi silang antar jenis Hepatitis Virus, maupun infeksi lainnya
seperti HIV dan Infeksi Menular Seksual lainnya. Pelaksanaan Surveilans Sentinel
Hepatitis pada kelompok berisiko tinggi ini, diintegrasikan pada Surveilans Sentinel
HIV. Disamping itu Surveilans Sentinel Hepatitis B dilaksanakan pada Balita di
fasilitas layanan kesehatan. Pelaksanaan Surveilans Sentinel ini dilaksanakan
setahun sekali, untuk selanjutnya tatacara pelaksanaanya akan diatur lebih lanjuta
pada Petunjuk Teknis Pelaksanaan Surveilans/Pengamatan Hepatitis B dan C

B. Surveilan Epidemiologi Infeksi Saluran Pencernaan

1. Surveilan Epidemiologi Diare

a. Tujuan
Diketahuinya situasi masalah diare di masyarakat, sehingga dapat dibuat
perencanaan dalam pengendaliannya di semua jenjang admnistratif.

b. Pengertian
Surveilans epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus-
menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-
57
masalah kesehatan tersebut agar dapat melakukan tindakan pencegahan dan
pengendalian secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data,
pengolahan dan penyebaran informasi kepada penyelenggara program
kesehatan.
c. Prosedur

1) Sumber data
Ada tiga sumber data diare, yaitu laporan rutin, laporan KLB, dan studi kasus.

a) Laporan rutin
Dilakukan oleh puskesmas dan rumah sakit menggunakan SP2TP (LB),
SPRS (RL), STP, dan rekapitulasi diare. Oleh karena diare termasuk
penyakit yang dapat menimbulkan KLB, maka perlu dibuat laporan
mingguan (W2). Untuk dapat membuat laporan rutin, maka perlu
dilakukan pencatatan setiap hari (register) penderita diare yang datang
ke fasyankes, posyandu atau kader. Data register harian dapat
mendeteksi adanya peningkatan jumlah kasus dan tanda-tanda akan
terjadinya KLB, sehingga dapat dilakukan tindakan penanggulangan
sesegera mungkin.

Laporan rutin ini dikompilasi oleh petugas pencatatan dan pelaporan


diare di puskesmas, kemudian dilaporkan ke kabupaten/kota
menggunakan laporan bulanan (LB) dan STP setiap bulan.
Petugas/pengelola kegiatan pengendalian diare kabupaten/kota
membuat rekapitulasi dari masing-masing puskesmas dan secara rutin
(bulanan) dikirim ke provinsi dengan menggunakan formulir rekapitulasi
penyakit diare. Di provinsi, dilakukan rekapitulasi berdasarkan laporan
rutin (bulanan) kabupaten/kota dan dikirim ke pusat (Direktorat
Jenderal PP dan PL cq. Sub Direktorat Pengendalian Diare dan Infeksi
Saluran Pencernaan) dengan menggunakan Formulir 2.1.

b) Laporan KLB
Setiap terjadi KLB/wabah perlu dilaporkan dalam periode 24 jam dengan
format laporan W1 dan dilanjutkan dengan laporan khusus, meliputi:
 Kronologi terjadinya KLB
 Cara penyebaran serta faktor-faktor yang mempengaruhinya
 Keadaan umum penderita
 Hasil penyelidikan epidemiologi yang telah dilakukan
 Hasil kegiatan penanggulangan KLB dan rencana tindak lanjut.

c) Pengumpulan data melalui studi kasus


Pengumpulan data ini dapat dilakukan satu tahun sekali, misalnya pada
pertengahan atau akhir tahun.
Tujuannya untuk mengetahui data dasar (baseline data) sebelum atau
setelah kegiatan dilaksanakan dan hasil penilaian tersebut dapat
digunakan untuk perencanaan pada tahun yang akan datang.
58
2) Pengolahan, analisis, dan interpretasi
Data yang telah dikumpulkan diolah dan ditampilkan dalam bentuk tabel
atau grafik, kemudian dianalisis dan diinterpretasikan. Sebaiknya analisis
dilakukan secara berjenjang mulai dari puskesmas hingga pusat, sehingga
apabila terdapat permasalahan, maka segera dapat diketahui dan diatasi
permasalahannya.

3) Penyebarluasan hasil interpretasi


Hasil analisis dan interpretasi data, disebarluaskan ke pihak yang
berkepentingan, yaitu kepada pimpinan di daerah (mulai dari tingkat
kecamatan hingga provinsi) untuk mendapatkan tanggapan dan dukungan.

2. Surveilans Epidemiologi Tifoid

a. Tujuan
1) Memantau laju infeksi di masyarakat
2) Mendapatkan data dasar endemisitas
3) Mengindentifikasi KLB
4) Mengevaluasi ketajaman diagnostik secara klinis
5) Mengevaluasi kegiatan pencegahan dan pengendalian

b. Metode
Kasus Tifoid ditemukan secara pasif di sarana kesehatan dari tingkat puskesmas
sampai tingkat rumah sakit propinsi. Penderita yang ditemukan dicatat sesuai
dengan kriteria yang digunakan. Pada sarana pelayanan tingkat dasar, maka
sebagian besar kasus yang tercatat adalah kasus suspek, untuk sarana pelayanan
tingkat dua dimana pemeriksaan serologi dimungkinkan maka kemungkinan
dapat tercatat kasus probable, sedang di rumah sakit besar dengan sarana
laboratorium mikrobiologi dapat mengumpulkan data kasus dengan diagnosis
pasti atau konfirmasi.

c. Sasaran
Menurut sasarannya maka surveilans epidemiologi tifoid dapat dibedakan
menurut sarana pelayanan sebagai berikut:
1) Puskesmas
2) Rumah sakit kabupaten
3) Rumah sakit di propinsi yang memiliki sarana laboratorium mikrobiologi.

BAB VIII

59
PENGELOLAAN LOGISTIK PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN HEPATITIS DAN
INFEKSI SALURAN PENCERNAAN

Untuk kegiatan pengendalian hepatitis, diare dan infeksi saluran pencernaan, logistik
biasanya terdiri dari barang medis dan non-medis yang dikirim dari tingkat pusat atau
pengadaan oleh provinsi atau kabupaten/kota. Logistik yang dibutuhkan adalah untuk
kebutuhan rutin dan saat Kejadian Luar Biasa (KLB). Untuk itu perlu disusun kebutuhan
dan terlaksananya sistim pengadaan, penyimpanan, distribusi dan persediaan logistik
dalam pengendalian hepatistis dan Infeksi Saluran Pencernaan.

Sebagai contoh untuk kebutuhan rutin dalam pengendalian diare, perhitungan kebutuhan
oralit ditentukan berdasarkan perkiraan jumlah penderita diare yang datang ke fasilitas
pelayanan kesehatan dan kader, dan pengadaan oralit dan obat Zinc di Kementerian
Kesehatan dilaksanakan oleh Ditjen Binfar dan Alat Kesehatan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku dan dikirim ke Gudang Farmasi provinsi (GFK).

Oralit dan obat Zinc merupakan obat esensial, sehingga pengadaan dilaksanakan di tingkat
pusat sesuai usulan daerah. Dalam hal pengadaan bahan/alat/obat yang dibutuhkan dalam
pengendalian hepatitis dan Infeksi Saluran Pencernaan perlu diidentifikasi sumber
dananya, sehingga dapat dimasukkan dalam perencanaan yang dibutuhkan dalam kegiatan
pengendalian di masing-masing daerah (Tabel 7).

Tabel 7. Pengadaan bahan/alat/obat menurut sumber dana, juml ah pengadaan dan kebutuhan
Bahan/alat/obat Sumber dana Jumlah JumLah
pengadaan kebutuhan
 Oralit Pusat, Propinsi dan Kab/Kota X1 Y1
 Zinc Pusat, Propinsi dan Kab/Kota X2 Y2
 Paket untuk layanan Rehidrasi oral Pusat, Propinsi dan Kab/Kota X3 Y3
 Reagen untuk deteksi dini Pusat, Propinsi dan Kab/Kota X4 Y4
 HBIg Pusat, Propinsi dan Kab/Kota X5 Y5
 Reagen untuk kegiatan pemantauan Pusat X6 Y6
dan BHP
 Bahan habis pakai (deteksi dini) Pusat, Propinsi dan Kab/Kota X7 Y7
 Peralatan untuk mendukung deteksi Pusat, Propinsi dan Kab/Kota X8 Y8
dini, layanan Tatalaksana, dan
monitoring
 Ringer laktat IUFD Provinsi, kabupaten/kota X9 Y9
 Selang infus Provinsi, kabupaten/kota X10 Y10
 Lainnya Provinsi, kabupaten/kota X11 Y11

Bila jumlah yang pengadaan masih belum memenuhi kebutuhan, maka provinsi,
kabupaten/kota dapat melakukan pendaaan sendiri dalam memenuhi kebutuhannya.

60
Penyimpanan di provinsi, kabupaten, puskesmas dan kader hendaknya dikelola secara baik
dan benar, yaitu disimpan pada tempat yang kering diberi alas, disusun sesuai dengan
waktu penerimaan dan kedaluwarsanya, sehingga pada saat dibutuhkan mudah
mencarinya. Dibuatkan pencatatan asal obat, jumlah dan waktu penerimaan serta
pengeluaran obat, yaitu jumlah, waktu dan tujuan obat dikirimkan. Perlu dibuatkan standar
pengelolaan dan penyimpanan bahan/alat/obat.

Distribusi bahan/alat/obat, yaitu dari pusat sampai ke provinsi, dari provinsi ke


kabupaten/kota, dan dari kabupaten/kota ke puskesmas sesuai kebijakan masing masing
jenjang administratif. Distribusi sangat perlu diperhatikan, karena dapat mempengaruhi
keberadaan bahan/alat/obat tersebut dalam pengendalian hepatitis dan Infeksi Saluran
Pencernaan.

Persediaan obat dihitung berdasarkan perkiraan kebutuhan minimal satu bulan.


Pengelolaan stok (stock) perlu diatur mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota,
dan puskesmas. Ketersediaan stok minimal yang tersedia perlu diperhatikan dengan
mempertimbangkan kemudahan distribusinya.

A. Logistik Deteksi Dini Hepatiti B dan C


Keberhasilan kegiatan Deteksi Dini Hepatiti B dan C (DDHBC) sangat ditentukan oleh
ketersediaan bahan/alat/obat penunjang (logistik), sehingga perencanaan
bahan/alat/obat sesuai kebutuhan, pengadaan, distribusi, penyimpanan, dan
monitoring sangat diperlukan.

Untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan logistik, beberapa hal yang perlu


diperhatikan adalah: 1) Memastikan ketersediaan bahan/alat/obat; 2) Menjamin sistem
penyimpanan bahan/alat/obat yang efektif dan efisien; dan 3) Menjamin terlaksananya
sistem informasi dan manajemen pengelolaan bahan/alat/obat.

1. Kebutuhan reagen

a. Rapid Test
Perhitungan kebutuhan Rapid Test untuk DDHBC disesuaikan dengan jenis
kegiatan dan tempat pelaksanaannya. Sebagai contoh, perkiraan kebutuhan
Rapid Test hepatitis B di puskesmas adalah 80% x jumlah kelompok
masyarakat (populasi) berisiko tinggi yang akan diperiksa x 1 Tes. Stok
(cadangan) juga perlu diperhitungkan.

Cara perhitungan jumlah kebutuhan untuk Rapid Test hepatitis C sama dengan
cara perhitungan untuk kebutuhan Rapid Test hepatitis B.

b. Pemeriksaan konfirmasi

61
Perkiraan kebutuhan untuk konfirmasi hepatitis B dan C, yaitu sebesar
prevalensi hepatitis B dan/atau C atau perkiraan yang reaktif dari pelaksanaan
deteksi dini hepatitis dengan Rapid Test. Misalnya prevaensi Hepatitis B sebesar
5%, maka reagen untuk konfirmasi HBsAg yang dibutuhkan sebesar 5% x (80%
x jumlah sasaran dan atau kelompok masyarakat risiko tinggi yang akan
melaksanakan DDHB). Bila prevalensi Hepatitis C juga sebesar 10%, maka
kebutuhan reagen konfirmasi Hepatitis C yang dibutuhkan sebesar 10% x (80%
x sasaran dan atau kelompok masyarakat yang melaksanakan DDHC). Reagen
untuk konfirmasi disimpan pada suhu 2-8oC.

2. Bahan/alat
Sebagai gambaran kebutuhan bahan/alat untuk 100 sasaran di puskesmas adalah
sebagai berikut (Tabel 8):

Tabel 8. Kebutuhan Alat dan Bahan Habis Pakai DDHBC di Puskesmas U ntuk 100
Sasaran

No. Bahan Satuan Jumlah/paket

1. Alcohol swab buah 120


2. Kantung limbah infeksius, ukuran M buah 10
3. Cool box buah 1
4. Rak tabung (10 lubang) buah 1
5. Tabung serum tutup ulir luar, vol 5ml buah 10
6. Plester penutup luka (isi 50) box 2
7. Tourniquet buah 1
8. Vaccum blood collection needle buah 120
9. Needle Holder buah 4
10. Vacutainer plain (10ml) buah 120
11. Kertas label (100 lembar) pak 1
12. Pipet Pasteur buah 120
13. Sarung tangan nitrit non-powder (isi 50) box 3
14. Spidol permanen buah 2
15. Tissue box 3
16. Disposible safety box buah 5
17. Kasa steril (@10ktk@12lmb) pak 1
18. Parafilm “M” rool 1

3. Obat hepatitis B dan C


Pada saat ini terdapat 2 kelompok obat untuk hepatitis B yang digunakan secara
luas dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing obat. Kedua kelompok
terdiri dari 6 jenis obat, yaitu 1) Interveron; 2) Lamivudin; 3) Adefovir; 4)
Entecavir; 5) Telbivudin, dan 6) Tenofovir.

Untuk hepatitis C, pengobatan menggunakan Pegylated Interveron-α (Peg-INF-


α) + Ribavirin atau menggunakan obat baru yaitu Sofosbovir + Ribavirin,
Sofosbovir + Ledipasvir + 2D ABBVIE, dan kombinasi lainnya.

62
4. Hepatitis B Imunoglobulin (HBIg)
Imunoglobulin hepatitis B diperlukan untuk bayi yang dilahirkan dari ibu dengan
HBsAg reaktif. Waktu pemberian HBIg<24 jam setelah kelahiran, bersamaan dengan
imunisasi hepatitis B 0 hari program nasional.

Perhitungan perkiraan kebutuhan HBIg bila prevalensi Hepatitis reaktif pada ibu
hamil sebesar 5% adalah: 5% (estimasi) x jumlah ibu hamil yang diperiksa
dikurangi stok yang masih ada. Penyimpanan HBIg pada suhu 2-8 oC.

Untuk bahan/alat/obat di laboratorium dan rumah sakit rujukan, memerlukan


perhitungan tersendiri sesuai kebutuhan.

5. Kualitas bahan/alat/obat
Kualitas bahan/alat/obat yang digunakan memerlukan perhatian tersendiri. Pada
tahun 2014, Direktorat P2ML, Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI bekerjasama dengan
Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan dan BBLK
Jakarta (Tim Teknis), telah melakukan evaluasi kualitas reagen hepatitis B dan C
yang beredar di Indonesia. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, maka ditetapkan
kriteria pemilihan reagen sebagai berikut (Tabel 9):

Tabel 9. Kriteria Pemilihan Reagen Hepatitis B dan C


No. Kategori Sensitivitas (%) Spesifisitas (%)
1. Sangat tinggi ≥95 ≥95
2. Tinggi 80-94 80-94
3. Sedang 65-79 65-79
4. Rendah 50-64 50-64
5. Sangat rendah <50 <50

Pemilihan reagen (Rapid Test) untuk deteksi dini hepatitis B dan C adalah
berdasarkan sensitivitas dan spesifisitas yang paling tinggi.

B. Logistik Pengendalian Diare


Logistik pengedalian Infeksi Saluran Pencernaan adalah untuk kebutuhan rutin dan KLB

1. Oralit
Perhitungan kebutuhan logistik diare ditentukan berdasarkan perkiraan jumlah
penderita diare yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dan kader.

Angka Kesakitan Diare Balita (2012): 834/1.000 Balita

Target Penemuan Penderita Diare Balita:


20% x Angka Kesakitan Diare Balita x Jumlah Balita

Kebutuhan Oralit:

63
(Target Penemuan Penderita Diare Balita x 6 bungkus + Cadangan*) – Stok
*20% x (Target Penemuan Penderita Diare Balita x 6 Bungkus)

Contoh perhitungan kebutuhan oralit tahun 2014:


Jumlah penduduk Kabupaten A = 300.000 jiwa
Jumlah Balita Kabupaten A sebanyak 10% x jumlah penduduk = 30.000 Balita
Stok sisa oralit diakhir tahun = 10.000 bungkus
Target penemuan penderita diare Balita = 20 % x 834/1.000 x 30.000 = 5.004
penderita

Kebutuhan Oralit:
= (5.004 x 6) + 10 % (6.420 x 6) - 10.000 bungkus
= 30.024 + 3.002 - 10.000 bungkus
= 23.026 bungkus
= 230,26 kotak atau 231 kotak (@100 bungkus)

Catatan:
Jumlah penduduk Balita diperkirakan 10% dari jumlah penduduk. Apabila provinsi
mempunyai data jumlah Balita, agar menggunakan data sendiri.

2. Obat Zinc

Kebutuhan Zinc:

(Target Penemuan Penderita Diare Balita x 10 Tablet + Cadangan*) – Stok


*Cadangan = 10% x (Target Penemuan Diare Balita x 10 Tablet)

Contoh perhitungan kebutuhan Zinc:


Penduduk Kabupaten A = 300.000 jiwa
Jumlah penduduk Balita = 10% x 300.000 = 30.000 Balita
Target penemuan penderita diare Balita: 20% x 834/1000 x 30.000 = 5.004
penderita
Stok sisa Zinc diakhir tahun = 20.000 tablet.

Kebutuhan Zinc:
= 5.004 x 10 tablet + 10% (5.004 x 10) - 20.000 tablet
= 50.040 tab + 5004 tab - 20.000 tab = 35.044 tablet
= 350 kotak (@100 tablet)

3. Kebutuhan obat paket KLB

64
Rumus perhitungan kebutuhan paket penyakit diare saat KLB:

a. Oralit
Perkiraan jumlah penderita diare saat KLB
Rata-rata pemberian oralit per penderita = 10 bungkus oralit (@200 ml).

Kebutuhan Oralit = Jumlah Perkiraan Penderita Diare Saat KLB x 10 Bungkus

b. Zinc
Tablet Zinc diberikan kepada penderita diare Balita
Jumlah penderita diare Balita pada saat KLB diperkirakan 50%.

Kebutuhan Zinc = 50% x Penderita Diare Balita x 10 Tablet

c. Ringer Laktat (RL)


Penderita diare yang membutuhkan RL adalah dehidrasi berat
Diperkirakan 30% dari jumlah penderita saat KLB.

Jumlah Penderita Diare yang Membutuhkan RL = 30% x Jumlah Penderita Saat KLB

Bila rata-rata pemberian RL = 7 botol setiap penderita, maka:


Jumlah RL yang Dibutuhkan = 30% x Jumlah Penderita Diare Saat KLB x 7 botol

d. Selang Infus
Jumlah penderita diare yang membutuhkan infus set adalah semua penderita
yang mendapat RL x 1 set.

e. IV Cateter Anak
Perkiraan jumlah penderita yang membutuhkan IV kateter anak adalah 30%
dari jumlah penderita diare yang diberi RL.

Kebutuhan IV Kateter Anak = 30% x Jumlah Penderita Diare yang Diberi RL


Saat KLB x 1 Set

f. IV Cateter Dewasa
Perkiraan kebutuhan IV cateter dewasa adalah 80% dari jumlah penderita yang
diberi RL.

Kebutuhan IV kateter Dewasa = 80% x Jumlah Penderita Diare yang Diberi RL


Saat KLB x 1 Set

g. Obat Tetrasiklin 500mg

65
Obat tetrasiklin 500mg diberikan kepada penderita diare dewasa dengan suspek
kolera, dosis 4 kali perhari selama 3 hari.

C. Logistik Pengendalian Tifoid

1. Kebutuhan
Perhitungan kebutuhan bahan/alat/obat ditentukan berdaarkan perkiraan jumlah
penderita tifoid yang datang ke fasilitas kesehatan. Perkiraan jumlah penderita
tifoid dihitung berdasarkan perkiraan penemuan penderita, angka kesakitan, dan
jumlah penduduk di suatu wilayah.

Contoh:
Jumlah penduduk di suatu puskesmas = 30.000 penduduk
Angka kesakitan tifoid = 7,5 per 1000 penduduk
Penderita tifoid yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan = 10%

Maka perkiraan jumlah penderita tifoid yang datang ke fasilitas kesehatan


= 10% x angka kesakitan x jumlah penduduk
= 10% x 7,5/1000 penduduk x 30.000
= 22,5 = 23 penderita

b. Perhitungan kebutuhan Obat :


a. Obat lini pertama
Disesuaikan dengan dosis dan perkiraan jumlah penderita

b. Obat lini kedua


Disesuaikan dengan dosis dan perkiraan jumlah penderita

D. Pengadaan
Pengadaan oralit dan Zinc di Kementerian Kesehatan dilaksanakan oleh Ditjen Binfar
dan Alat Kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan dikirim ke Gudang
Farmasi Provinsi. Oralit dan Zinc merupakan obat esensial, pengadaannya oleh daerah
sesuai kebutuhan daerah, sedangkan pusat dapat mengalokasikan obat tersebut untuk
KLB.

D. Penyimpanan
Penyimpanan di tingkat provinsi, kabupaten, puskesmas dan kader hendaknya dikelola
secara baik dan benar, yaitu disimpan pada tempat yang kering diberi alas, disusun
sesuai dengan tanggal kadaluwarsanya, sehingga pada saat pengambilan mudah
mencarinya. Dibuatkan pencatatan asal obat, jumlah dan waktu penerimaan serta
pengeluaran obat (jumlah, waktu dan tujuan obat dikirimkan).

E. Distribusi
66
Distribusi obat dari provinsi ke kabupaten/kota dan puskesmas sesuai kebijakan
masing-masing daerah. Apabila terjadi KLB dan daerah memerlukan tambahan, dapat
mengajukannya ke Direktorat Obat Publik (Ditjen Binfar) dengan tembusan ke Subdit
Pengendalian Hepatitis dan Infeksi Saluran Pencernaan.

F. Persediaan (Stok)
Persediaan obat dihitung berdasarkan perkiraan kebutuhan minimal 1 (satu) bulan.

BAB IX

67
MONITORING DAN EVALUASI

1. Monitoring dan Evaluasi Kegiatan Pencegahan dan Pengendalian Hepatitis dan


Infeksi Saluran Pencernaan

Monitoring (pemantauan) dan evaluasi (penilaian) kegiatan pencegahan dan


pengendalian Hepatisis dan Infeksi Saluran Pencernaan (HIsp) adalah suatu proses
yang terus menerus untuk menilai pelaksanaan kegiatan pencegahan dan pengendalian
HIsp, mengidentifikasi, dan mengantisipasi permasalahan yang timbul dan/atau akan
timbul untuk dapat diambil tindakan sedini mungkin, menilai hasil perubahan tersebut,
baik yang direncanakan atau tidak yang dihasilkan dari keluaran (output) dan hasil
(outcome) dibandingkan dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya serta
efektifitas dan efisiensi kegiatan pencegahan dan pengendalian HIsp.

Monitoring dimaksudkan untuk mensinkronkan kembali keseluruhan proses kegiatan


agar sesuai dengan rencana yang ditetapkan dengan perbaikan segera agar dapat
dicegah kemungkinan adanya penyimpangan ataupun ketidaksesuaian yang berpotensi
mengurangi bahkan menimbulkan kegagalan pencapaian tujuan dan sasaran. Untuk itu,
monitoring diarahkan guna mengidentifikasi kualitas pengelolaan, permasalahan yang
terjadi serta dampak yang ditimbulkannya.

Evaluasi dimaksudkan untuk memberikan bobot atau nilai terhadap hasil yang dicapai
dalam keseluruhan pentahapan kegiatan, untuk proses pengambilan keputusan apakah
suatu kegiatan diteruskan, dikurangi, dikembangkan atau diperkuat. Untuk itu penilaian
diarahkan guna mengkaji efektifiktas dan efisensi pengelolaan kegiatan pencegahan dan
pengendalian HIsp. Penilaian kinerja pencegahan dan pengendalian HIsp dilaksanakan
berdasarkan indikator yang telah ditetapkan dalam pencapaian sasaran.

Monitoring dan evaluasi dilakukan pada setiap tahap kegiatan pencegahan dan
penegandalian HIsp, yaitu:

1. Tahap awal kegiatan pencegahan dan pengendalian HIsp


Penilaian dilakukan pada saat merencanakan kegiatan pencegahan dan
pengendalian HIsp di setiap jenjang administrasi, untuk mengetahui apakah rencana
yang disusun telah sesuai dengan standar yang ditetapkan.

2. Tahap pelaksanaan kegiatan pencegahan dan pencegahan dan pengendalian HIsp


Penilaian dilakukan pada saat kegiatan pencegahan dan pengendalian HIsp yang
sedang dilaksanakan, untuk mengukur apakah kegiatan yang sedang dilaksanakan
sudah sesuai dengan rencana, atau apakah terjadi penyimpangan yang dapat
mempengaruhi pencapaian tujuan. Ada dua bentuk penilaian, yaitu monitoring dan
penilaian secara berkala. Perbedaan antara monitoring dan evaluasi berkala adalah
sebagai berikut (Tabel 10).

68
Tabel 10. Perbedaan Monitoring dan Evaluasi Berkala

Perbedaan Monitoring Evaluasi Berkala


Frekuensi Biasanya setiap dua minggu atau Setiap enam bulan atau satu tahun
satu bulan sekali sekali
Pelaksana Oleh Internal secara berjenjang Oleh internal secara berjenjang,
tetapi dapat juga dilakukan oleh
pihak ketiga (eksternal)
Tujuan Biasanya bersifat terbatas, yaitu Biasanya bersifat lebih luas, bahkan
memperbaiki beberapa dapat merevisi kegiatan pencegahan
penyimpangan dan pengendalian secara
keseluruhan

3. Tahap akhir kegiatan pencegahan dan pengendalian HIsp


Penilaian dilakukan pada saat kegiatan pencegahan dan pengendalian telah selesai
dilaksanakan, yaitu untuk mengukur keluaran (output), outcome, dan dampak
(impact) yang dihasilkan. Biasanya penilaian dampak diperlukan waktu yang lebih
lama.

a. Output kegiatan pencegahan dan pengendalian HIsp


Penilaian berdasarkan indikator pencegahan dan pengendalian HIsp menurut
tahun di Indonesia, 2015-2019

b. Dampak kegiatan pencegahan dan pengendalian HIsp

1) Dampak kegiatan pencegahan dan pengendalian hepatitis


 Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang hepatitis
 Menurunkan kejadian penularan hepatitis
 Menurunkan angka kesakitan dan kematian hepatitis
 Meningkatkan kualitas hidup penderita hepatitis

2) Dampak kegiatan pencegahan dan pengendalian diare


 Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang diare
 Menurunkan kejadian penularan diare
 Menurunkan angka kesakitan dan kematian diare

3) Dampak kegiatan pencegahan dan pengendalian tifoid


 Meningkatnya upaya pencegahan tifoid terutama pada kelompok yang
paling berisiko (usia anak sekolah)
 Meningkatnya jangkauan pelayanan demam tifoid di fasilitas pelayanan
kesehatan
 Meningkatnya ketersediaan data kasus tifoid terutama pada kelompok
masyarakat paling berisiko
 Meningkatnya ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang terlatih
dalam melaksanakan kegiatan pencegahan dan pengendalian tifoid di
berbagai tingkat layanan, lintas program dan lintar sektor terkait.

69
 Meningkatnya ketersediaan logistik (bahan/alat/obat) dalam pencegahan
dan pengendalian tifoid.
 Meningkatnya pembiayan yang diperlukan dalam pencegahan dan
pengendalian tifoid
 Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang tifoid
 Menurunkan kejadian penularan tifoid
 Menurunkan angka kesakitan dan kematian tifoid.

2. Monitoring dan Evaluasi Hepatitis


Monitoring dan evaluasi hepatitis dilakukan terhadap aspek manajemen dan teknis.
Monitoring dan evaluasi terhadap aspek manajemen dilakukan untuk memberikan
gambaran aksesibilitas, kualitas pengelolaan program, permasalahan, dan dampak.
Monitoring dan evaluasi terhadap aspek teknis dilakukan untuk memberikan gambaran
tentang keberhasilan dan resistensi penanganan kasus.

Monitoring dilaksanakan oleh pengelola program, baik di pusat maupun daerah, pada
saat program/kegiatan pencegahan dan pengendalian sedang berlangsung guna
memberikan koreksi atau perbaikan segera terhadap rangkaian kegiatan yang
dilaksanakan. Sebagai contoh, dalam pemberian imunisasi hepatitis B yang sebaiknya
diberikan kepada bayi segera setelah kelahirannya, maka apabila pemberian imunisasi
pada bayi dilakukan di luar periode waktu segera setelah kelahiran bayi pada suatu
wilayah, disarankan agar selanjutnya pemberian imunisasi dapat dilakukan secepatnya
(segera setelah bayi lahir). Dalam konteks ini monitoring dilakukan dalam rangka
memperoleh gambaran tentang aksesibilitas, kualitas pengelolaan program, masalah,
dan dampaknya.

Gambaran selengkapnya data dan informasi yang diperoleh pada saat proses
monitoring dapat dilihat pada tabel sebagai berikut (Tabel 11):

Tabel 11. Gambaran Aksesibilitas, Kualitas Kegiatan, Masalah, dan Dampak Kegiatan
Pencegahan dan Pengendalian Hepatitis
Aksesibilitas Kualitas kegiatan Masalah Dampak
Jumlah bayi yang diimunisasi Proporsi bayi yang A-B Peningkatan
hepatitis B segera setelah memperoleh imunisasi insidensi dan
lahir dibagi jumlah bayi yang hepatitis B segera setelah prevalensi
lahir pada periode yang sama lahir dibagi jumlah bayi hepatitis B
(A) yang diimunisasi pada
saat usia 7 hari (B)

Evaluasi hepatitis dilaksanakan oleh pengelola program, baik di pusat maupun daerah,
setelah pelaksanaan kegiatan pencegahan dan pengendalian dilakukan pada satu tahun
anggaran selesai. Hasil evaluasi dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan apakah
kegiatan dilanjutkan, dikembangkan, atau dibatasi.
Sebagai contoh gambaran evaluasi pada kasus pemberian imunisasi hepatitis B
sebagaimana tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa:
70
a. Apabila masalah yang terjadi semakin besar, maka kegiatan dipertimbangkan untuk
dikaji kembali; dan
b. Apabila kualitas pengelolaan kegiatan mencapai lebih dari 95%, kegiatan
dipertimbangkan untuk ditingkatkan.

C. Pembinaan dan Pengawasan


Pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pencegahan dan pengendalian
HIsp dilakukan terhadap upaya untuk mencegah risiko, kemampuan deteksi dini, dan
penanggulangan KLB.

Pembinaan pencegahan dan pengendalian HIsp dilakukan melalui:


1. Pemberdayaan masyarakat, dengan cara sosialisasi, kemitraan, dan advokasi
2. Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan, dengan pelatihan teknis dan manajemen,
pendidikan serta penugasan khusus yang relevan dengan upaya pencegahan dan
pengendalian
3. pembiayaan, dengan penyediaan dana untuk keseluruhan kegiatan pencegahan dan
pengendalian pada seluruh jenjang administrasi pemerintahan termasuk unit
pelaksana teknis sesuai dengan skala prioritas

Pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan pencegahan dan pengendalian HIsp


dilaksanakan secara fungsional baik secara internal maupun eksternal sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB X

PENUTUP

71
Buku ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman atau pegangan bagi penanggung
jawab/pengelola prgoram/kegiatan Hepatitis Infeksi Saluran Pencernaan (HIsp) di
puskesmas, kabupaten/kota, provinsi dan pusat dalam melaksakan manajemen kegiatan
pencegahan dan pengendalian disetiap tingkatannya.

Dengan adanya buku ini diharapkan pula seluruh penanggung jawab/pengelola


prgoram/kegiatan HIsp termasuk pihak terkait lainnya memiliki kesamaan pandangan
terhadap tujuan dan pelaksanaan kegiatan pengendalian serta manajemennya.

Untuk penjelasan yang lebih rinci untuk program/kegiatan pencegahan dan pengendalian
hepatitis B dan C, serta Infeksi Saluran Pencenaan (diare, tifoid, hepatitis A dan E) dapat
dilihat buku petunjuk teknis masing-masing penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

Permenkes RI Nomor 53 Tahun 2015 tentang Penanggulangan Hepatitis Virus


72
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007,
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta 2007.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013,
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta 2014
Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Dasar. Pedoman Manajemen Puskesmas,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta 2012.
Direktorat Jenderal PP dan PL. Petunjuk Teknis Deteksi Dini Hepatitis B dan C pada
Kelompok Masyarakat Berisiko Tinggi, Jakarta 2015.
Direktorat Jenderal PP dan PL. Petunjuk Teknis Pengamatan Hepatitis B dan C, Jakarta
2015.
Direktorat Jenderal PP dan PL. Petunjuk Teknis Layanan Rehidrasi Oral Aktif, Jakarta 2015.
Direktorat Jenderal PP dan PL. Petunjuk Teknis Pengamatan Karier Tifoid, Jakarta 2015.
Direktorat Jenderal PP dan PL. Petunjuk Teknis Tatalaksana Tifoid, Jakarta 2016
Direktorat Jenderal PP dan PL. Petunjuk Teknis Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar
Biasa Hepatitis A dan E, Diare dan Tifoid, Jakarta 2015.
Direktorat Jenderal PP dan PL. Petunjuk Teknis Monitoring dan Evaluasi Kegiatan
Pengendalian Hepatitis, Diare dan Infeksi Saluran Pencernaan, Jakarta 2015.

PEDOMAN INTERNAL

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN

73
HEPATITIS DAN INFEKSI SALURAN PENCERNAAN

74

Anda mungkin juga menyukai