Anda di halaman 1dari 55

Jejak Ulama Uzbekistan di

Nusantara
Rijal Mumazziq Zionis20 Agustus 2021

ShareShare
Membincang Uzbekistan adalah membicarakan rahim yang melahirkan para raksasa di
dunia keilmuan Islam. Kota-kotanya, Bukhara, Samarkand, Tirmidz, Khiva, dan
Taskhent menjadi kota inkubator yang memfasilitasi pencapaian para jenius di
bidangnya.3 Imam Bukhari dan Imam Tirmidzi di bidang hadits, Imam Nasafi dan Imam
Zamakhsyari di bidang tafsir, Imam Maturidi dalam kajian teologi, Ibnu Sina dalam
bidang kedokteran dan filsafat, Imam Qaffal As-Syasyi al-Kabir dlam keilmuan fiqh
Madzhab Syafi’i, Muhammad bin Musa al-Khawarizmi di jalur matematika, hingga
Syekh Baha’uddin al-Bukhari an- Naqsyabandi 4 yang menjadi peletak dasar tarekat
Naqsyabandiyah. Komplit.

Hanya saja, menelusuri riwayat relasi antara ulama Uzbekistan dengan Nusantara
(Indonesia, kini), merupakan sebuah hal yang menarik. Di satu sisi, referensi dan data
yang sangat minim menjadi kendala. Di sisi lain, mengabaikan peranan ulama asal
Uzbekistan juga sebuah hal mustahil. Sebab, kontribusinya juga tak bisa dianggap
remeh karena telah ikut andil dalam memperkuat rancang bangun dakwah di
Nusantara, khususnya Jawa.

Ada keluarga dai yang memainkan peranan kuat dalam arus besar dakwah. Mereka
terdiri dari kakek, anak, dan cucu. Kakeknya, Syekh Jumadil Kubro alias Syekh
Najmuddin Kubro atau Syekh Jamaluddin Akbar al-Huseini datang berdakwah terlebih
dulu di Nusantara. Kemudian, putranya, Syekh Ibrahim Zainul Akbar alias Syekh
Ibrahim As- Samarqandi menyusul ke Jawa setelah mengislamkan Raja Champa dan
menikahi putrinya. Langkah ini diikuti oleh adiknya, Syekh Maulana Ishaq yang juga
berhasil melakukan Islamisasi terbatas di Blambangan (Banyuwangi).

Di kemudian hari, putra As-Samarqandi, Raden Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) dan Ali
Murtadlo (Raden Santri) juga mengikuti jejak ayah dan kakeknya berdakwah di
Nusantara, khususnya Jawa. Generasi inilah yang memainkan peranan penting dalam
Islamisasi di kawasan Nusantara. Sebab, mereka juga mendidik kader-kader dai
tangguh yang berperan penting dalam proses dakwah di kawasan Nusantara timur.

Sebelum masuk pada pembahasan kontribusi dan jejak ulama Uzbekistan di


Nusantara, terlebih dulu kita petakan beberapa unsur yang saling berkaitan, yaitu
Samarkand-Champa-Jawa, sebab penelusuran kita kali ini akan fokus pada nama
Syekh Ibrahim As-Samarqandi, yang dilihat dari namanya merupakan ulama asal
Samarkand.

Samarkand: Mutiara di Timur

“Imam dan ulama mengajar umat di masjid, yang bertambah bagaikan jamur di seluruh
kota, kubah biru yang mewah berkilauan di antara awan, bagian dalam cemerlang
dengan warna emas dan biru kehijauan. Taman bermunculan satu per satu, oasis
ketenangan tersebar di daerah perkotaan. Asia menyerahkan musisi, seniman dan
pengrajin terhebat demi keagungan Samarkand.

Dari Persia, ibukota budaya di benua itu, berdatangan penyair dan perupa, pelukis, ahli
kaligrafi, musisi dan arsitek. Suriah mengirim penenun sutra, pembuat kaca, dan
pakaian perang. Setelah kejatuhan Delhi, India menyediakan tukang batu, tukang
bangunan, dan pemotong batu mulia sementara Asia Kecil memasok pandai perak,
pandai besi, dan pembuat tali. Samarkand adalah salah satu kota paling kosmopolitan
di seluruh dunia. Di dalam warga muslim, terdapat orang Turki, Arab, dan Moor. Orang
Kristen diwakili oleh Yunani Ortodoks, Armenia, Katolik, Jacobite, dan Nestorian,
disertai penghambaan penganut Hindu dan Majusi. Samarkand menjadi wadah aneka
ragam, bahasa, agama, dan warna kulit, penerapan kemegahan kerajaan dan tindakan
pengabdian oleh seorang lelaki, dengan cinta yang abadi.” (Justin Marozzi). 5

Demikian Justin Marozzi, wartawan, sejarawan dan penulis perjalanan asal Inggris
melukiskan kondisi Samarkand, tujuh abad silam. Sebuah kota dengan kemajemukan
yang unik, menjelang kebangkitan Dinasti Timuriyah yang didirikan Timur Leng, ayah
Shah Rukh, kakek Ulugh Beg, si pecinta astronomi. Kondisi ini tentu saja mendorong
kemajuan di berbagai bidang: militer, kedokteran, arsitektur, astronomi, hingga kajian-
kajian keagamaan. Bahkan, empat ratus tahun setelah Bukhara melahirkan Muhammad
bin Ismail, Amirul Mukminin fil Hadits, Samarkand masih mempesona dan menarik hati
para pendatang.

Di kota ini pula, Syekh Ibrahim Zainul Akbar alias Ibrahim al-Ghazi 6 alias Syekh Ibrahim
As-Samarqandi berasal. Dalam pelafalan Jawa nama ini disebut dengan istilah Syekh
Brahim Asmorokondi, atau Makhdum Asmoro. Babad tanah Jawi menyebutnya
Makdum Brahim Asmoro. Beliaulah yang dipercayai sebagai ayah dari Sunan Ampel. 7

Karena bernama “Ibrahim” maka banyak yang salah paham dan menganggapnya sama
dengan Syekh Maulana Malik Ibrahim (Wali Gresik). Padahal keduanya berbeda. Syekh
Maulana Malik Ibrahim dipercaya berasal dari kawasan Maghribi (Maroko) dan wafat di
Gresik pada 1419 M, sedangkan Syekh Ibrahim As-Samarqandi datang ke Jawa pada
pertengahan 1440-an M. Makam Maulana Malik Ibrahim ada di Gresik, sedangkan
makam Syekh Ibrahim As-Samarqandi terdapat di Tuban.

Dalam sebuah riwayat, Syekh Ibrahim As-Samarqandi merupakan putra dari Syekh
Jamaluddin Akbar al-Husaini, yang dianggap sebagai peletak dasar dakwah Walisongo.
Dalam versi referensi lokal, Babad Cirebon, sebagaimana dikutip Agus Sunyoto, ayah
Syekh Ibrahim as-Samarkandi disebut bernama Syekh Karnen berasal dari negeri
Tulen atau Tyulen.8 Saat ini pulau ini termasuk bagian dari Republik Daghestan.

Hanya saja, dalam referensi lain, seperti Hikajat Hasanoeddin, yang disebut sebagai
Syekh Karnen atau Syekh Parmen merupakan ayah dari Sunan Ampel alias Raden
Rahmatullah.9 Selaras dengan sebutan ini, Hikajat Hasanoeddin menyebut apabila
Sunan Ampel alias Raden Rahmat berasal dari Champa, merupakan putra dari ulama
besar (pandita agung) dari Tulen yang bernama Syekh Parnen. 10 Dengan demikian,
secara garis besar, baik Syekh Jamaluddin Akbar al-Husaini alias Syekh Jumadil Kubro
yang silsilahnya menyambung pada Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib ini berasal
dari kawasan Asia Tengah, yang kemudian berdakwah ke kawasan Nusantara.
Syekh Jamaluddin Akbar al-Husaini ini juga disebut dengan nama Syekh Jumadil
Kubro. Masa hidupnya, menurut KH. Abdurrahman Wahid, sezaman dengan
Gajahmada.11 Banyak versi terkait tokoh satu ini, demikian pula asal usul dan jejak
dakwahnya. Sedangkan KH. Abu Fadhol, Senori, Tuban, dalam Ahlal Musamarah fi
Hikayat Auliya’ al-‘Asyrah, menjelaskan apabila Syekh Jumadil Kubro memiliki tiga
orang anak: Sayyid Maulana Ishaq (ayah Sunan Giri), Syekh Ibrahim As-Samarqandi,
dan Sayyidah Ashfa yang diperistri seorang pangeran kerajaan Rum. 12 Tak heran jika
Muhammad Dhiya Syahab dan Abdullah bin Nuh menilai apabila dari Syekh Ibrahim As-
Samarqandi inilah kelak sebagian besar Wali Songo dilahirkan. Mereka adalah Sunan
Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan
Muria, dan Sunan Gunung Jati. Penisbatan mereka merujuk kepada tempat tinggal di
mana mereka berada.13

Bahkan hingga saat ini, banyak versi yang menyebutkan lokasi makam Syekh Jumadil
Kubro. Di pekuburan kuno Troloyo, Mojokerto, ada komplek makam Islam yang di
dalamnya terdapat makam beliau.14 Demikian pula di Terboyo, Semarang. Bahkan, di
Tosora, Wajo, Sulawesi Selatan, juga ada versi makam Syekh Jumadil Kubro. Di lokasi
ini, beliau dikenal cerita tutur masyarakat sebagai Imam Towajo’ (pemimpin agama
masyarakat Wajo).15 Bahkan, KH. Abdurrahman Wahid juga pernah berziarah ke
makam di Mojokerto dan di Wajo ini. Di manakah makam sebenarnya? Wallahu
A’lam, yang pasti salah satu makam ini benar keberadaannya, yang lain merupakan
petilasan (atsar) sang tokoh. Hal ini juga menjadi bukti apabila tokoh bersangkutan
bukan seorang pendakwah yang pasif, berdiam diri di satu tempat; melainkan menjadi
dai nomaden yang berkeliling secara simultan dari satu tempat ke lokasi lainnya.

Champa: Titik Persinggahan Penting

Sebelum ke Nusantara, mula-mula Syekh Ibrahim As-Samarqandi berdakwah ke


Champa. Kerajaan yang terletak di pinggir sungai tersebut merupakan salah satu
kerajaan yang cukup maju di abad ke-XIV. Raja Champa menolak masuk Islam, bahkan
memerintahkan agar Syekh Ibrahim As-Samarqandi beserta beberapa orang yang
masuk Islam dibunuh. Usahanya gagal karena keburu meninggal. Raja baru kemudian
diperkenalkan dengan Islam, dan ternyata berkenan. Bahkan, Syekh Ibrahim As-
Samarqandi kemudian menikahi Dewi Chandrawulan, putri Raja Champa tersebut. Dari
pernikahan ini lahirlah Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) dan Ali Murtadla (Raden Santri).

Dalam catatan Agus Sunyoto, relasi Majapahit dan Champa sudah terjalin lebih dari
dua abad sebelum pendudukan ibukota Champa oleh Raja Vietnam bernama Le Nanh-
Ton pada 1446 dan kejatuhan Majapahit pada 1478 M. Relasi kedua kerajaan ini juga
diperkuat adanya ikatan pernikahan antara anak Raja Champa yang bernama Dewi
Darawati16 dengan Prabu Sri Kertawijaya alias Brawijaya V, Raja Majapahit.

Ketika Champa diserbu Vietnam pada 1446 dan 1471, sebagian penduduknya
mengungsi ke pesisir Jawa. Meskipun kondisi politik Majapahit saat itu tidak stabil,
namun menimbang relasi harmonis antara Champa dengan Majapahit, maka
keberadaan mereka bisa diterima dengan baik.

Baca Juga:  Mengenal Lebih Dekat Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili

Relasi Champa dan Majapahit ini termuat dalam pengamatan Marco Polo. Dalam
catatan perjalanannya dia menyebut Jawa secara khusus, Du Grant Îlle de Iava (Pulau
Besar Jawa) yang termuat dalam laman naskah-manuskrip Les Voyages de Marco
Polo karangan pelancong tersohor asal Venesia tersebut. Manuskrip ini terhitung
sebagai manuskrip Les Voyages tertua dan langka, ditulis sekitar tahun 1350 M atau
sekitar 26 tahunan setelah meninggalnya Marco Polo. Manuskrip ini sekarang
tersimpan di Perpustakaan Nasional Swedia.

“Pulau Besar Jawa. Tiba dari Champa, seribu lima ratus mil, anda akan mencapai
sebuah pulau dengan ukuran yang sangat besar bernama Jawa, yang menurut laporan
beberapa navigator merupakan pulau terbesar di dunia, berupa lingkaran seluas tiga
ribu mil. Pulau ini (Jawa) memiliki kekayaan yang sangat besar. Mereka memiliki
merica, pala, lengkuas, cubeb (cabai Jawa/ kemukus?), cengkih, dan semua jenis
rempah-rempah lainnya. Pulau ini dikunjungi oleh kapal-kapal dan saudagar
(pedagang), yang darinya para pemilik (kapal-kapal itu) menghasilkan keuntungan
tinggi.”17

Titik pijakan-pengamatan melalui Champa itu membuktikan apabila kerajaan ini


merupakan salah satu titik terpenting dalam relasi antara kerajaan di kawasan Asia
Tenggara pada kurun abad ke XIII hingga dua abad setelahnya. Maka tak heran jika
pada saat kejatuhan Champa pada 1471, para penduduknya mengungsi ke Jawa.

Di sini, mereka membawa adat kebiasaan dan berbagai kepercayaan. Misalnya, dalam
kehidupan sehari-hari, masyarakat Champa memanggil ibu dengan sebutan “Mak”.
Mereka memanggil kakak atau yang lebih tua dengan istilah “kakak”, dan memanggil
adiknya dengan sebutan “Adhy”. Termasuk pula kebiasaan memperingati hari
kematian, pada hari ke-3, 7, 40, 100 hingga 1000. 18 Tradisi pengajaran baca tulis al-
Qur’an juga menggunakan sistem Persia. 19

Meskipun pernah diserbu dan kerajaannya runtuh, namun hingga saat ini, komunitas
muslim Champa masih ada. Kawasan mereka bernama Kampong Champ. 20 Hanya saja
jumlah penganut Islamnya sedikit. Terkepung dominasi umat Budha. Di Siem Reap,
salah satu kawasan muslim yang juga menjadi tempat tinggal bangsa Champa, akar
kesejarahan muslim Champa masih tampak dari atribut pakaian yang digunakan,
keberadaan masjid, guesthouse khusus muslim, restoran halal, dan penggunaan
bahasa Melayu sebagai bahasa kedua setelah bahasa Khmer. 21
Tak hanya itu, jejak pernikahan antara orang Nusantara dengan bangsa Champa masih
ada. Anak cucu mereka disebut orang “Yuwi” maupun “Jawi”. Inilah di antara sekian
alasan mengapa dalam aspek ubudiyah, mereka memiliki kesamaan dengan tradisi
Ahlussunnah wal Jama’ah ala NU di tanah air. Misalnya dzikir dengan suara keras dan
berjabat tangan setelah shalat, membaca Yasin bersama-sama, dan qunut shubuh.
“Memang, muslim Champ dari sisi ubudiyahnya amat mirip dengan tradisi keagamaan
Nahdlatul Ulama,” kata Ustadz Haji Musa, imam Masjid An-Nikmah di Siem
Reap22 kepada Heru Susetyo.23

Di kawasan yang sekarang terletak di Kamboja ini, jejak Islam memang hanya tersisa
sedikit saja, tapi dalam pembahasan mengenai relasi Champa dan Jawa, tentu harus
diletakkan dalam konteks 7 abad silam, ketika Champa sudah terjamah Islamisasi,
sedangkan dakwah Jawa masih tersendat-sendat.

Karena itu, ketika Syekh Ibrahim As-Samarqandi datang ke Jawa, mula-mula harus
dipahami sebagai upaya berdakwah dan menyambung matarantai dakwah yang telah
dirintis oleh ayahnya, Syekh Jumadil Kubro. Kedatangan beliau ke Jawa bersama
dengan dua orang anak dan kemenakannya serta sejumlah kerabat, dengan tujuan
menghadap Raja Majapahit yang menikahi adik istrinya, yaitu Dewi Darawati, putri Raja
Champa. Sebelum ke Jawa, rombongan Syekh Ibrahim As-Samarqandi singgah dulu di
Palembang untuk memperkenalkan Islam kepada Adipati Palembang, Arya Damar.
Setelah Arya Damar menjadi muallaf dan mengganti namanya menjadi Ario Abdillah,
maka rombongan ini melanjurtkan perjalanan ke Jawa.

Menurut Agus Sunyoto, berdasarkan dari kronologi waktu, Syekh Ibrahim as-
Samarqandi diperkirakan datang ke Jawa pada sekitar tahun 1440 M. 24 Ini artinya waktu
kedatangan beliau terpaut dua dasawarsa dari waktu wafatnya Syekh Maulana Malik
Ibrahim pada tahun 1419 M. Berarti Syekh Ibrahim as-Samarkandi menghabiskan
waktu beberapa dasawarsa di pulau Sumatera, setelah itu baru datang ke pulau Jawa.
Mereka mendarat di sebelah timur Bandar Tuban, yang disebut Gisik (sekarang disebut
Gisikharjo, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban).

Pendaratan di Gisik dilakukan sebagai salah satu bentuk kehati-hatian, sebab, Tuban
saat itu menjadi pelabuhan internasional Majapahit. 25 Dengan cara mendarat di tempat
yang tidak terlalu ramai inilah, mula-mula Syekh Ibrahim As-Samarqandi berdakwah. Di
desa ini pula kemudian beliau wafat. Lantas perjalanan menuju Kutaraja Majapahit
dilanjutkan kemenakannya, Abu Hurairah (Raden Burereh) yang mendampingi kedua
putra Syekh Ibrahim As-Samarqandi, yaitu Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) dan Ali
Murtadlo (Raden Santri).

Adapun dalam Sejarah Banten disebutkan apabila Ali Rahmatullah ketika dewasa


mendengar peperangan di Jawa. Bersama ketika pandhita (ulama) muda lainnya, yaitu
Burereh, Seh Salim, dan satu lagi yang tidak disebutkan namanya, Ali Rahmatullah
atau juga disebut Raden Rahmat berangkat ke Jawa. Mereka diterima oleh Raja
Majapahit. Setelah keempat orang tadi berangkat ke Jawa, Champa diruntuhkan oleh
orang Kafir dari Sanggora.26

Kedatangan mereka di wilayah pesisir dan membentuk pemukiman di situ, merupakan


bagian dari teknik penyisiran dakwah melalui pinggiran. Islamisasi di pinggiran (pesisir)
yang meliputi Tuban, Lamongan, Gresik hingga Surabaya, yang dilakukan para
Walisongo merupaka strategi penting yang kemudian membentuk motif yang unik
karena mulai ajaran Islam mulai merembes ke pedalaman. Dampaknya, munculnya
“borjuasi Islam” di kawasan pedalaman sehingga kelak membentuk pola yang unik
dalam jejaring Islam di pedesaan melalui tarekat dan pesantren. 27

Relasi tarekat dan pesantren tidak bisa dipisahkan. Melalui tarekat, persaudaraan Islam
dan ritus ruhaniah diperkuat. Salah satu tarekat yang didirikan ulama Uzbekistan yang
memiliki akar kuat di Indonesia adalah tarekat Naqsyabandi. Para mursyid tarekat
tersebut kebanyakan juga merupakan ulama pengasuh pesantren. Sedangkan di
lembaga pendidikan tradisionalis ini pula kitab-kitab karya ulama Uzbekistan diajarkan.

Karya Ulama Uzbekistan yang Diajarkan di Nusantara

Suluk Ngasmara

Dalam catatan Agus Sunyoto, terdapat sebuah kitab berjudul Suluk


Ngasmara atau Suluk Asmara, yang diduga tulisan Syekh Ibrahim As-Samarqandi. PJ.
Zoetmulder menjadikan Suluk Ngasmara sebagai salah satu rujukan pembanding
dalam mengupas kitab karya Sunan Bonang. Meskipun PJ. Zoetmulder hanya
membandingkan dua kitab ini dalam konteks kesusastraan, namun dari aspek
genealogis, sesungguhnya membandingkan antara karya kakek dengan cucu, sebab,
Sunan Bonang adalah cucu Syekh Ibrahim As-Samarqandi. 28

Shahih Bukhari

Di antara karya ulama besar Uzbekistan yang diajarkan di tanah air tentu saja Shahih
Bukhari dan Sunan At-Tirmidzi. Ulama Indonesia yang memiliki sanad keilmuan di
bidang hadits dan mendapatpan ijazah mengajarkan kitab ini adalah KH. Muhammad
Hasyim Asy’ari.

Berikut ini sanad Kitab Shahih Bukhari dari KH. Muhammad Hasyim Asy’ari melalui jalur
Syekh Mahfud At-Tarmasi sampai kepada penulis kitab, yakni Imam Abi Abdillah
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari yang terdiri dari jalur pertama dan kedua:

Jalur pertama:
KH M. Hasyim Asy’ari
Dari Syekh Mahfud Termas.
Dari Syekh Muhammad Abu Bakar Syatha Al-Makki.
Dari Sayyid Ahmad Zaini Dahlan
Dari Syekh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi
Dari Syekh Muhammad bin Ali As-Syinwani
Dari Syekh Isa bin Ahmad Al-Barawi
Dari Syekh Muhammad Ad-Dafri
Dari Syekh Salim bin Abdillah Al-Bashri
Dari ayahnya: Abdillah bin Salim Al-Bashri
Dari Syekh Muhammad bin Alaudin Al-Babili
Dari Syekh Salim bin Muhammad As-Sanhuri
Dari Najm Muhammad bin Ahmad Al-Ghaytho
Dari Syekh Al-Islam Zakariya bin Muhammad Al-Anshari
Dari Al-Hafidh Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani
Dari Ibrahim bin Ahmad At-Tanukhi
Dari Abil Abbas Ahmad bin Thalib Al-Hajar
Dari Husain bin Mubarak Az-Zabidi Al-Hambali
Dari Abil Waqt Abdil Awwal bin Isa As-Sijzi
Dari Abil Hasan Abdul Rahman bin Mudzaffar bin Dawud Ad-Dawudi
Dari Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad As-Srakhsi
Dari Abi Abdillah Muhammad bin Yusuf bin Mathar Al-Firabri
Dari Penyusunnya (orang yang menghimpun hadits), yakni: Al-Imam Al- Hafid Al-Hujjah
Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim Al- Bukhari

Jalur kedua:

KH Hasyim Asy’ari
Dari Syekh Mahfudz Termas
Dari Sayyid Husain Al-Habsyi
Dari Ayahnya Muhammad Husain Al-Habsyi
Dari Umar bin Abdul Karim Al-Attar
Dari Sayyid Ali bin Abdil Bar Al-Wina’i
Dari Abdil Qadir bin Ahmad bin Muhammad Al-Andalusi
Dari Muhammad bin Abdillah Al-Idrisi
Dari Al-Quthb Muhammad bin Alauddin An-Nahruwali
Dari ayahnya
Dari Abil Futuh Ahmad bin Abdillah At-Thawusi
Dari Baba Yusuf Al-Hirawi
Dari Muhammad bin Syadzikhat Al-Farghani
Dai Abi Luqman Yahya bin Ammar Al-Khuttalani
Dari Muhammad bin Yusuf Al-Farbary
Dari Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari
Baca Juga:  Saatnya Tahun Regenerasi, GUS? (Generasi Unjuk Siap)

Demikianlah sanad Kitab Shahih Bukhari sampai Hadratussyekh KH. M. Hasyim


Asy’ari.29 Penguasan mendalam Hadratussyekh atas kajian hadits disaksikan oleh KH.
Saifuddin Zuhri ketika berkunjung ke kediaman beliau, di Ponpes Tebuireng Jombang:

“Orang yang pernah melihat sendiri, cara Hadratussyekh membaca Al- Bukhari
mengatakan bahwa beliau sebenarnya telah hafal seluruh isi kitab ini. Seolah-olah
sedang membaca kitab karangannya sendiri!” 30

Sedangkan Abubakar Atjeh dalam buku Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim (2015)


memaparkan sedikit gambaran suasana ngaji pasanan (tradisi mengaji kitab saat
Ramadan) di Tebuireng kala Hadratussyekh masih hidup. Menurut dia, pada zaman itu,
lumrahnya di Bulan Ramadhan pesantren menjadi sepi, sebab para santri diliburkan
untuk diberikan kesempatan pulang ke kampungnya masing-masing. Namun,
sebaliknya di Tebuireng, suasana justru bertambah ramai, karena kedatangan oleh
para santri yang ingin menghabiskan Ramadhan bersama sang guru tercinta.

“Ia (Hadratussyekh, red) selama bulan puasa memberi kuliah istimewa mengenai ilmu
hadits karangan Al-Bukhari dan Muslim. Kedua kitab hadits yang penting ini harus
khatam dalam sebulan puasa itu dan oleh karena itu, jadilah bulan ini suatu bulan yang
penting bagi kiai-kiai mantan muridnya di seluruh Jawa. Dalam bulan puasa, bekas
murid-muridnya yang sudah memimpin pesantren di mana-mana, biasanya
memerlukan datang tetirah ke Tebuireng, tidak saja untuk melanjutkan hubungan
silaturahmi dengan gurunya, tetapi juga untuk mengikuti seluruh kuliah istimewa
mengenai hadits Al- Bukhari dan Muslim guna mengambil berkah atau tabaruk,”31

Sampai sekarang, tradisi pengajian Kitab Shahih Al-Bukhari di Tebuireng pada bulan


Ramadhan masih berjalan. Setelah Hadratusyekh wafat, pengajian ini dilanjutkan oleh
menantunya, KH. Idris Kamali, dan santri kinasihnya, KH. Syamsuri Badawi, dan
kemudian dilanjutkan Gus Ishom Hadzik, cucu Hadratussyekh. Sempat vakum
beberapa tahun, akhirnya dari berbagai pertimbangan ditunjukklah Kiai Habib Ahmad,
seorang alumni pondok Tebuireng, yang pernah mendapatkan ijazah kitab ini dari Kiai
Syamsuri Badawi untuk melanjutkan tradisi ilmiah tersebut.

Meski saat ini sudah jarang pesantren yang mengajarkan kitab induk seperi Shahih
Bukhari, namun saya menemukan fenomena unik di Ponorogo. Di desa Karanggebang,
Kecamatan Jetis, ada Kiai Mujib Tarwihi yang mengasuh musala al- Hasan di samping
kediamannya. Beliau secara istiqamah mbalagh kitab Shahih Bukhari selama beberapa
tahun. Meskipun yang mengaji hanya puluhan orang, tapi tak mengurangi semangat
kiai sepuh tersebut mengajar kitab hadits ini.
Maimoen Zubair, pengasuh PP. al-Anwar, Sarang, Rembang, yang diundang dalam
rangka memberikan mauidzah hasanah pada khataman Shahih Bukhari pada 2005,
bahkan memuji, “Kalau ada pesantren ngaji Shahih Bukhari, itu sudah biasa. Tapi kalau
ada langgar yang masih istiqamah ngaji Shahih Bukhari sampai khatam, ini yang
sangat langka.”32

Setelah khatam kitab ini, Kiai Mujib melanjutkannya dengan mengajarkan Ithaf Sadat al-
Muttaqin sebuah syarah Ihya Ulumiddin karya Sayyid Murtadla Az- Zabidi, meskipun
tidak sampai rampung karena terlampau tebal. Di kemudian hari, pengajian hadits
dilanjutkan dengan mengaji al-Muwattha-nya Imam Malik dan selesai pada 2016. Ketika
saya sowan ke kediaman Kiai Mujib tahun 2018 silam, beliau bercerita jika sedang
mengkhatamkan Sunan At-Tirmidzi. Luar biasa! Dengan demikian, beliau bisa disebut
di antara sedikit kiai yang mengajarkan dua kitab hadits karya ulama Uzbekistan,
yaitu Shahih Bukhari dan Sunan At-Tirmidzi

Bahjatul Ulum Syarh Aqidat al-Ushul

Bahjatul Ulum Syarah Aqidat al-Ushul merupakan karya ulama besar Uzbekistan, Abu
Laits As-Samarqandi. Di rumah, saya memiliki manuskrip kitab ini yang merupakan
peninggalan kakek saya (Mbah Kung). Kitabnya agak kumal, bertuliskan tangan di atas
kertas kuno. Saya menduga kakek saya mengaji kitab ini saat belajar di Pondok
Pesantren Mojosari, Loceret, Nganjuk, dibawah asuhan KH. Zainuddin, awal tahun
1930-an.

Bahjatul Ulum dan Aqidatul Ushul sama-sama ditulis oleh Syekh Abu Laits As-


Samarqandi. Kitab Aqidatul Ushul ini masyhur dengan sebutan Kitab “Enem Bis”33 alias
kitab “Enam Basmalah”.34 Maksudnya, permulaan bab dalam kitab aqidah ini selalu
dimulai dengan kalimat Bismalahirrahmanirrahim.

Sebelum populer kitab Aqidatul Awam karya Syekh Ahmad al-Marzuqi, Tijan Ad-Darari-


nya Syekh Nawawi al-Bantani, maupun Ummul Barahin-nya Syekh Sanusi, Kitab “Enem
Bis” inilah yang dipakai dalam silabus pendidikan di bidang teologi di pesantren Jawa
maupun Madura pada abad XIX hingga awal abad XX. Aqidatul Ushul ini disebut
dalam Serat Centini dengan istilah Semorokondi, dinisbatkan pada nama penulisnya.

Masa-il

Ada sebuah risalah singkat karya Imam Abu Laits As-Samarqandi. Judulnya Masa-il Abi
Laits. Rupanya risalah ini dipandang perlu diberi uraian oleh Syekh Nawawi al-Bantani
(1813-1897 M). Akhirnya beliau menyusun sebuah kitab praktis yang merupakan
syarah atas Masa-il-nya Imam Abu Laits. Judulnya, Qathrul Ghaits fi Syarh Masa-il Abi
Laits. Format isi kitab ini dialogis. Ada 17 pertanyaan, sekaligus disiapkan jawabannya
oleh Imam Abu Laits. Setiap permasalahan yang ingin diterangkan senantiasa didahului
dengan kata Mas-alah: Idza qila laka (apabila kamu ditanya?), fal-jawab (maka
jawabannya adalah), disertai dengan jawabannya.

Karena itu, bagi saya relasi antara ulama kelahiran Banten dengan Samarkand ini
bersifat akademik. Imam Abu Laits As-Samarqandi seorang faqih bermadzhab Hanafi,
sedangkan Syekh Nawawi bermadzhab Syafi’i. Imam Abu Laits wafat pada 983 M,
sedangkan Syekh Nawawi wafat satu millennium setelahnya. Karya Imam Abu Laits
adalah kitab kesekian yang diberi syarah oleh Syekh Nawawi al-Bantani.

Beliau yang terkenal mutafannin (multitalenta) ini, juga masyhur sebagai ulama yang


mempermudah berbagai bahasan kitab. Sebab beliau banyak menuliskan syarah atas
sebuah kitab. Kitab karyanya meliputi berbagai jenis keilmuan: tasawuf, tafsir, fiqh,
aqidah, etika rumah tangga dan seterusnya. Jumlahnya lebuh dari 100 karya.

Jika Syekh Nawawi al-Bantani tidak secara langsung berguru kepada Syekh Abu Laits
As-Samarqandi, maka Syekh Yasin bin Isa al-Fadani (1916-1990), ulama Makkah
keturunan Minangkabau, memiliki sanad yang bersambung kepada ulama Uzbekistan.
Nama guru beliau Syekh Abdullah bin Muhammad Niyazi al-Bukhari, seorang ahli
hadits. Hanya saja penulis belum menelusuri profil dan kiprah guru Syekh Yasin al-
Fadani ini.

Tanbihul Ghafilin

Ini merupakan kitab karya Imam Abu Laits As-Samarqandi yang paling populer. Kitab
Tasawuf ini banyak digunakan dalam pengajian-pengajian resmi di beberapa
pesantren, maupun bahan baku ceramah para mubaligh. Tanbihul Ghafilin alias
“Peringatan bagi Orang-Orang yang Lalai” disusun dengan secara sistematik, penuh
hikmah, banyak ucapan (maqalat) para salafus saleh dan tentu saja disertai dengan
banyak hadits. Demikian pupulernya kitab ini, beberapa pondok pesantren bahkan
menggunakan nama ini sebagai identitas lembaga pendidikannya.

Imam Abu Laits, yang wafat pada 373 H/983 M memiliki nama lengkap Nashr bin
Muhammad bin Ibrahim as-Samarqandi al-Hanafi. Dikenal sebagai ulama produktif.
Selain Tanbihul Ghafilin beserta catatan pinggirnya yang berjudul Bustanul Arifin, Imam
Abu Laits memiliki karya lain, misalnya Tafsir Bahrul Ulum, Aqidatul Ushul, dan
sebagainya.

Bung Karno dan Makam Imam Bukhari

Sahabat saya, Mas Didik Isnanto, yang menjadi koki di KBRI di Tashkent, pernah
berziarah ke Makam Imam Bukhari. Saat berziarah ke Makam Amirul Mukminin fil
Hadits tersebut dia menggunakan kopiah hitam. Penduduk yang berada di sekitar
makam tersenyum sambil meneriakkan nama “Zu Karnu, Zu Karnu, Zu Karnu!”
Ingatan mereka melayang kepada seorang negarawan Indonesia, memakai songkok
hitam, berkawan akrab dengan Nikita Khruschev, dan berhasil melobi pemimpin Uni
Sovyet tersebut agar memugar kembali makam Imam Bukhari. Keberhasilan Bung
Karno melobi pemimpin Uni Sovyet adalah upaya yang terus diabadikan di dalam
ingatan kolektif penduduk kota Bukhara yang selama puluhan periode dicengkeram
rezim komunis. “Ahmed Zu Kar Nu” demikian lidah masyarakat Uzbekistan melafalkan
Sukarno dengan penuh hormat. Bahkan, secara spesial, ketika tahu Mas Didik berasal
dari Indonesia, penjaga makam secara istimewa membuka ruang bawah tanah,
langsung menuju pusara Imam Bukhari. Padahal, tidak semua peziarah diizinkan
masuk ke dalam ruang bawah tanah tersebut.35

Sigit Aris Prasetyo, dalam Dunia Dalam Genggaman Bung Karno, mengisahkan detail


kunjungan Bung Karno ke Uzbekistan yang berlangsung pada 4 September 1956. Di
negara tersebut, Bung Karno mengunjungi Tashkent dan Samarkand. Termasuk
berziarah ke Makam Imam Bukhari. Rakyat mengelu-elukannya dan menyambutnya
dengan meriah, bahkan menghadiahi kuda terbaik. Selama di Uzbekistan, Pemimpin
Besar Revolusi tersebut dipandu langsung oleh Shar Rasjidov, salah satu tokoh muslim
Uzbekistan yang ditunjuk langsung oleh Presiden Voroshilov. Di negara tersebut, Bung
Karno benar-benar dihormati. Tak heran pada saat meninggalkan Tashkent pada 6
September 1956, Bung Karno berpidato: “Kepada rakyat Uzbekistan, di Indonesia ada
peribahasa yang berbunyi, “Jauh di

Baca Juga:  Kenangan Mas Muhammad Abid Muaffan bersama KH. R. Muhammad


Najib Abdul Qadir Munawwir Krapyak

mata, dekat di hati”. Hari ini saya meninggalkan Taskhent, tetapi hati saya akan selalu
ingat kepada saudara-saudara dan kebaikan budi saudara-saudara. Juga segenap
usaha saudara di atas lapangan ketatanegaraan dan kemasyarakatan. Semua tidak
mudah saya lupakan. Karena itu saya meninggalkan Tashkent dengan berseru kepada
saudara-saudara selamat tinggal. Selamat bekerja. Hiduplah persahabatan kita. Jauh di
mata dekat di hati.”36

Wallahu A’lam Bisshawab. []

Catatan kaki:

 Sekarang, memasuki kota-kota di atas seolah memasuki menaiki mesin waktu dan
3

berkelana dalam dimensi ruang dan waktu di masa lampau. Bangunan yang megah,
arsitektur yang menarik, hingga jejak kesejarahannya menjadikan kota-kota ini
magnetik. Hal ini saya cermati dalam catatan perjalanan para sahabat saya, Mas Sunan
Ali (2014) dan Mas Arief Fathur Rizki (2019) saat berkunjung ke kota-kota kuno di
Uzbekistan. Dalam catatan yang lebih resmi disertai foto-foto menarik, bisa dilacak
melalui perjalanan keluarga Kesebelasan Gen Halilintar yang dituangkan dalam
buku Uzbekistan Negara Sahabat (Jakarta: GenH Media, 2016), yang ditulis
Lenggogeni Faruk, atau catatan perjalanan pengelana asal Lumajang, Agustinus
Wibowo, dalam “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” yang termuat dalam Garis Batas:
Perjalanan Ke Negeri- Negeri Asia Tengah (Jakarta: Gramedia, 2011).

 Kondisi dan tradisi perziarahan di makam Imam Baha’uddin An-Naqsyabandi di


4

Bukhara diulas dengan detail oleh Thierry Zarcone, “Makam Baha’ Al-Din Naqsyband di
Bukhara (Uzbekistan)”, dalam Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot (Ed.), Ziarah dan
Wali di Dunia Islam (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), 305-316.

 Justin Marozzi, Timur Leng: Panglima Islam Penakluk Dunia (Jakarta: Serambi, 2013),


5

hlm. 251-252.

 Nama Ibrahim al-Ghazi ini berdasarkan catatan dari KH. Bisri Musthofa dalam Tarikh
6

Al-Auliya, versi PDF.

7
 Lihat Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo (Depok: Pustaka Iman, 2012), hlm. 82.

 Kepulauan kecil yang terletak di tepi timur Laut Kaspia, tepatnya di arah Barat Laut
8

Samarkand. Saat ini termasuk bagian dari Republik Daghestan. Lihat Agus
Sunyoto, Atlas Walisongo (Jakarta: Pustaka Iiman, 2012), hlm. 73.

9
 Dalam Hikajat Hasanoeddin versi terjemahan Melayu, “Adapun kemudian daripada itu,
inilah cerita turun-turunan dari yang bernama Pangeran Ampel Denta, dan bernama
Pangeran Rahmat, yang beroleh rahmat daripada Allah ta’ala, dan ia asalnya orang
Cempa, dan ayahnya itu asal pandita besar dan negeri Tulen, bernama Syekh
Parnen.”, lihat Jan Edel, Hikajat Hasanoeddin (Disertasi: Uttrecht, B. Ten Brink, Meppel,
1938), hlm. 64.

 Dalam terjemah Melayu disebut Syekh Parnen, dalam teks asli berbahasa Jawa
10

disebut Syekh Karnen.

 Abdurrahman Wahid, Membaca Sejarah Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gus


11

Dur (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 22. Gus Dur bahkan menyebut Syekh Jamaluddin
Akbar ini membangun surau yang berdampingan dengan kelenteng di Gunung Kawi,
Malang. Jika Gus Dur menyebut beliau semasa dengan Gajahmada, berarti leluhur
Walisongo ini hidup pada pertengahan abad XIV, sebab Gajahmada diperkirakan
meninggal tahun 1363 M.
 KH. Abu Fadhol, Senori, Tuban, dalam Ahlal Musamarah fi Hikayat Auliya’
12

al-‘Asyrah (Tuban: Majelis Ta’lif Wal Khattath, tt.), hlm. 4-5.

 Lihat, Muhammad Dhiya Syahab dan Abdullah bin Nuh, “Al-Imam Al-Huhajir: Ahmad
13

bin ‘Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Ash-Shadiq”, dalam Peran Dakwah
Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara (Yogyakarta: Rausyan Fikr Institute, 2013), hlm.
68

 Martin van Bruinessen setelah melakukan telaah berdasarkan tradisi babad,


14

berpendapat apabila Syekh Jumadil Kubro merupakan sosok yang sama dengan Syekh
Najmuddin Kubro, maupun Syekh Jamaluddin Akbar al-Husaini. Nama Jumadil Kubro,
alias Jumadil Kabir, ataupun Jumadil Makbur tersebut dalam
beberapa babad. Sedangkan nama Jamaluddin Akbar al-Husaini baru muncul dalam
beberapa “revisi” nama dan rekonstruksi silsilah yang dilakukan oleh kaum Alawiyyin
dalam beberapa dasawarsa terakhir. Semuanya bersandar pada sosok yang sama,
seorang waliyullah, nenek moyang para wali dan ulama Jawa. Lihat selengkapnya,
Martin van Brunessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1993),
hlm. 241-244.

 Ahmad Baso, Islamisasi Nusantara (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2018), hlm.


15

135.

 Dewi Darawati yang muslimah ini dikenal dengan nama Putri Cempo. Keberadaan
16

makamnya ada beberapa versi. Satu makam terletak Dusun Unggahan,


Desa/Kecamatan Trowulan, Mojokerto. Versi lain, ada di Kebomas, Gresik.

 Ahmad Ginanjar Sya’ban, “Deskripsi tentang “Du Grant Îlle de Iava” (Pulau Besar
17

Jawa) dalam laman naskah-manuskrip “Les Voyages de Marco Polo” karangan


pelancong tersohor asal Venesia, Marco Polo”. Makalah belum dipublikasikan,
tertanggal 6 Januari 2016.

 Agus Sunyoto, Sunan Ampel Raja Surabaya: Membaca Kembali Dinamika


18

Perjuangan Dakwah Islam di Jawa XIV-XV M (Surabaya: Diantama, 2004), hlm. 49.

19
 Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, 126.

 Pada 2008, Muslim di Kamboja mencapai jumlah 321 ribu jiwa. Mayoritas Muslim di
20

Kamboja adalah Sunni bermazhab Syafi’i yang kebanyakan tinggal di Provinsi


Kampong Cham. Provinsi dengan luas wilayah 9.799 km2 itu ditinggali 1.680.694 jiwa
(2008). Muslim Cham yakin garis keturunan mereka terhubung hingga ayah mertua
Rasulullah SAW, Jahsy bin Ri’ab yang merupakan ayah dari Zainab, salah satu istri
Rasulullah. Hal itu dikaitkan dengan arus kedatangan para sahabat di Indo-Cina pada
617-618 dari Abyssinia melalui jalur laut. Selengkapnya,
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam- digest/17/05/18/oq52xh313-
kampong-cham-rumah-muslim-kamboja

 Heru Susetyo, The Journal of A Muslim Traveler: Sebuah Perjalanan Melintasi Asia,


21

Eropa, Amerika dan Australia (Jakarta: Lingkar Pena Kreativa, 2009), hlm. 111

 Jarak Siem Reap dengan Pnom Penh kurang lebih 230 KM. 23 Heru Susetyo, The
22

Journal of A Muslim Traveler, hlm. 113. 24 Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, hlm. 75.

25
 Dalam catatan Velentijn, sebagaimana dikutip Nor Huda, penduduk yang tinggal di
lingkungan tembok kotanya hanya 1000 orang pada tahun 1430 M. Lihat, Nor
Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Yogyakarta:
Arruz, 2013), hlm. 40. Dalam catatan Tome Pires, pengelana Portugis, Tuban semakin
pesat di pengujung abad ke 15 itu, “Kota Tuban itu tempat kedudukan raja,
perdagangan dan pelayaran tidak seperti Gresik. Keratonnya mewah, dan kotanya,
meskipun tidak besar sekali, mempunyai pertahanan yang tangguh. Keluarga rajanya
sekalipun agama Islam, sejak pertengahan abad 15 M tetap mengadakan hubungan
baik dengan Maharaja Majapahit.” Demikian tulis Pires sebagaimana dikutip HJ, De
Graaf dan TH. G. TH. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa (Jakarta:
Graffiti Press, 1989), hlm. 165.

 Husein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Terhadap Sejarah Banten (Jakarta: Djambatan


26

& KITLV, 1983), hlm. 24.

 Lihat Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-Batas Pembaratan, Kajian


27

Terpadu (bagian 1: Batas-Batas Pembaratan), terj. Winarsih Partaningratn Arifin


(Jakarta: Gramedia, 2005), hlm. xix.

 Agus Sunyoto, Sunan Ampel Raja Surabaya: Membaca kembali Dinamika Perjuangan


28

Dakwah Islam di Jawa XIV-XV M, hlm. 53.

 Selengkapnya baca Syekh Mahfudz At-Tarmasi, Kifayatul Mustafid li Ma Ala Minal


29

Asanid (Beirut: Darul Basya’irul Islamiyah, 1987). versi PDF.

 KH. Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang Dari Pesantren (Bandung: Al-Maarif, 1974),


30

hlm. 152.

 H. Abubakar Atjeh, Sejarah hidup KH. A. Wahid Hasyim dan Karangan


31

Tersiar (Jombang: Pustak Tebuireng, 2015), hlm. 105-106.

 Rijal Mumazziq Z, “Pakpuh Mujib dan Kitab Besar di Musala Kecil”, dalam Kiai
32

Kantong Bolong: Refleksi Kepemimpinan Bangsa (Jakarta: Quanta, 2017), 65-68.


 Kitab “Enem Bis” ini juga disebut dengan kitab Asmarakandi Jawa. Di dalamnya juga
33

memuat bagian fiqh Madzhab Syafi’i elementer yang ditambahkan penerjemah tak
dikenal (Abu Laits As-Samaqandi sendiri merupakan pengikut Madzhab Hanafi). Kitab
ini kemudian dikomentari secara lengkap oleh Syekh Nawawi al-Bantani melalui Qatr al-
Ghaits, dan terjemahan Jawa Ahmad Subki Pekalongan berjudul Fath al- Mughits.
Dalam beberapa periode belakangan kitab ini juga banyak digunakan di berbagai
pesantren. Lihat, Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan
Tarekat (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 28.

 Sarkawi B. Husein, Sejarah Masyarakat Islam di Indonesia (Surabaya: Airlangga


34

Pres, 2017), hlm. 16.

 Cerita Mas Didik Isnanto, pria asal Malang, yang sudah bertahun-tahun menjadi koki
35

di KBRI di Tashkent.

 Sigit Aris Prasetyo, Dunia Dalam Genggaman Bung Karno (Tangerang: Imania,


36

2017), hlm. 327-336.


Pesantren Jawa Abad XV-XVII dan
Dasar-Dasar Ilmu yang Dikembangkan

POSTED BYNUR KHOLIK RIDWAN 04/03/2020

SHARES

READ NEXT
Peran Ulama dan Sejarah Berdirinya Banyumas

Dengan memohon bantuan Allah yang Rahman dan Rahim.  Sholawat dan salam
untuk Kanjeng Nabi, para ashab, ahli bait, dan umatnya. Membahas pesantren, di
kalangan muslim Jawa abad XV-XVII adalah masa dimana Islam mulai masuk di
Jawa secara lebih massif, meskipun sebelumnya sudah ada kontak-kontak dan usaha
untuk menyebarkan Islam di pulau ini oleh para penyebar Islam yang lebih awal.
Orang-orang Islam yang dianggap berjasa dan keramat, berdasarkan cerita tutur yang
ada dalam naskah CB 145 (1) A di Perpustakaan Universitas Leiden, seperti disebut
H.J. de Graaf dan TH. Pigeaud (KIPDJ, 2003: 272), di antaranya: Jumadil Kubro di
Mantingan, Nyampo di Suku Domas, Dada Petak di Gunung Bromo, dan Maolana
Ishaq dari Blambangan.
Sebelum itu, tentu sudah ada usaha-usaha menyebarkan Islam di Jawa, melalui tokoh
yang sering disebut dalam Jangka Jaya Bhaya, yaitu Syaikh Samsu Jen, dengan kitab
ramalannya yang dikenal dengan Musarar. Agus Sunyoto (WRSD, 2011: 37-66)
menyebutkan beberapa tokoh penting sebelum Walisanga adalah: Fatiman binti
Maimun, Syaikh Samsudin Wasil (yang juga diduga sebagai Syaikh Samsu Jen),
Maulana Malik Ibrahim, Syaikh Jumadil Kubro, Ibrahim Asmaraqandi, Sultan
Malikus Shalih, Syaikh Hasanudin Qura Karawang, Syaikh Datuk Kahfi Cirebon, dan
Ario Abdullah Palembang.

Sayangnya, Agus Sunyoto tidak menyebut Syaikh Subakir yang dikenal dalam cerita
tutur Jawa, telah menumbali tanah Jawa agar bisa dimasuki agama Islam; juga tidak
menyebut tokoh yang bernama Abdul Kahfi Awwal yang berpusat di Kebumen
Alang-Alang Wangi; dan tidak menyebut Syaikh Abdurrahman Baghdadi di Mundu
Mesigi (Cirebon) yang diyakini murid Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, dan Syaikh
Qutbuddin Abdullah di Candirejo, yang disebut oleh Gus Dur sebagai penyebar awal
tarekat Qadiriyah pada zaman Kalingga.

Setelah itu, para penyebar Islam berhubungan dengan para Walisanga yang lebih
belakangan, yang berkiprah pada abad XV-XVII. Tulisan ini ingin melacak
kesarjanaan tasawuf pada abad XV-XVII di kalangan penyebar Islam awal di Jawa
itu, dengan fokus pada pelacakan: tempat-tempat yang menjadi pusat keramat
penyebaran Islam; kitab-kitab tertua yang dipelajari dan ditulis, afiliasi
tarekat/tasawuf dari para penyebar Islam Jawa; penyusunan konsep-konsep tasawuf
oleh tiga orang penting di Jawa, yaitu Sunan Bonang, Sunan Siti Jenara, dan Sunan
Kalijaga; dan berkembangnya Ilmu Syaikh Abdul Qodir al-Jilani di masa awal Islam
Jawa.

Dengan melihat beberapa hal di atas, dapat digunakan sebagai fondasi kultural
kemasyarakatan, yang diletakkan para wali di dalam masyarakat Jawa, meskipun
tentu, secara lebih berkesinambungan, kesarjanan tasawuf pada abad XV-XVII
tersebut harus tetap dihubungkan dengan kesarjanan pada periode berikutnya,
terutama abad XVII-XIX.
Pusat Pengajaran/Keramat di Masa Awal

Martin van Bruinessen menyebutkan bahwa “dugaan saya lembaga pesantren belum
ada  sebelum abad ke-18, tidak berarti bahwa kitab kuning tidak dipelajari. Kitab-
kitab klasik berbahasa Arab jelas sudah dikenal dan dipelajari pada abad ke-16”
(KKPT, 1994: 27). Ini dapat diartikan bahwa pesantren-pesantren yang ada di Jawa,
atau pusat-pusat pendidikan yang ada, tentu sudah mengenal kitab-kitab klasik itu,
melalui kesarjanaan para penyebar Islam awal.

Belum lagi, soal kitab-kitab yang menopang tradisi keilmuan Islam, menurut Martin
ditulis pada abad ke-10 sampai dengan ke-15, dan karenanya ketika para penyebar
Islam mengambilnya dari pusat-pusat dunia Islam, tentu telah mengenal kitab-kitab
itu.  Ini harus dipertimbangkan juga soal pencetakan, arus perdagangan, dan teknik
penulisan yang tidak semasif pada saat sekarang, sehingga tradisi hafalan, dan
menulis meskipun berjalan bersama-sama, penulisan juga tergantung sejauh media
teknik menulisnya ini dimiliki, yang saat itu belum masif.

Ada beberapa pusat pengajaran Islam di masa awal Islam Jawa yang sangat
berpengaruh bagi pembentukan kesarjanaan muslim Jawa dan tasawuf secara umum
dan berpengaruh dalam kultur pesantren hingga saat ini. Pusat-pusat ini di antaranya,
adalah di Mantingan (Syekh Jumadil Kubro), Gunung Sembung dan Giri Amparan
Jati (Datuk Kahfi dan Sunan Gungjati), Ampel Denta (Sunan Ampel), Kadilangu
(Sunan Kalijaga), dan Alang-Alang Wangi (Abdul Kahfi Awwal).  Tentu saja, pusat
kerajaan seperti Demak dengan masjid dan imam-imam agama yang memegangnya,
seperti dirinci oleh de Graaf dan TH Pigieaud di dalam karyanya, juga memainkan
peranan.

Selain kelima tempat itu tentu juga masih banyak, tetapi kelima tempat itu disebut,
karena jasanya dalam menyebarkan Islam di tempat masing-masing, sangat penting,
sehingga membentuk jaringan, murid-murid, dan dikenal hingga saat ini. Pusat-pusat
ini, perlu dipahami sebagai pusat mendidik, manusia-manusia Jawa menjadi manusia
yang merdeka, berspiritual, berkebudayaan, dan mengikuti Kanjeng Nabi Muhammad.
Pusat-pusat itu di antaranya:

Mantingan

Mantingan (Pamantingan), tempatnya sekarang ada di Jepara, adalah tempat keramat


di masa lalu, yang menurut cerita tutur, seperti disebut de Graaf dan Th Pigeaud
(2003: 276), digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk bertirakat. Karena bertirakat di
Mantingan, Sunan Kalijaga datang terlambat waktu pendirian masjid Demak, dan
kurang pagi untuk datang ke Demak, sehingga  tiang bagian Sunan Kalijaga harus
dikerjakan agak terlambat, dengan menggunakan balok-balok kayu. Sebelum zaman
Islam, Pemantingan juga diyakini menjadi salah satu tempat keramat, di antara
tempat-tempat keramat yang ada di Jawa, yang menjadi kediaman roh-roh penting di
Jawa.

Mantingan ini, di awal Islam Jawa, adalah tempat kediaman Syaikh Jumadil Kubro,
yang diyakini sebagai moyang para wali di Jawa, dan karenanya jika disebut menjadi
pusat penyebaran Islam, sangat masuk akal. Dalam tradisi babad di Jawa Barat,
seperti disebut Martin van Bruinessen (KKPT, 1999: 235), Syaikh Jumadil Kubro
disebut sebagai moyang dari Sunan Gunung Jati. Kronika Banten dan Cirebon
memberikan silsilah yang sedikit berbeda tentang Syaikh Jumadil Kubro, begini: Nabi
Muhammad, Ali dan Fathimah, Husain, Zainal Abidin, Ja’far Shodiq, Zainal Kubro 
(atau Zainal Kabir), Jumadil Kubro,  Jumadil Kabir, Sultan Bani Israil, Sultan Hut dan
Ratu Fathimah, dan Muhammad Nuruddin (Sunan Gunung Jati). Dalam silsilah ini
ada nama Syaikh Jumadil Kubro.

Dalam Kronika Gresik, yang diringkas oleh Wiselius, dan dikutip Martin, Jumadil
Kubro disebut sebagai kakek dari wali lain, Sunan Giri Pertama (Raden Paku);
dalam Babad Cirebon, Syaikh Jumadil Kubro disebut bukan hanya moyang dari
Sunan Gunung Jati, tetapi juga Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga;
dan sebuah silsilah tarekat Syathariyah abad ke-17, Syaikh Abdul Muhyi di Pamijahan
di Tasikmalaya Selatan, menyebut pula silsilah Maulana Malik Ibrahim dan Jumadil
Kubro (Kosasih, 1938: 137), yang tetap berhubungan dengan penyebar Islam awal ini.
Dalam legenda di Jawa, Syaikh Jumadil Kubro juga dikenal sebagai wali tertua di
Jawa pada zaman Majapahit, dan sering bertapa di banyak gunung. Di antara
petilasannya ada di Gunung Turgo Kawastu, Yogyakarta, dekat Merapi, sehingga
dibuat cungkup makam penghromatan di daerah itu; demikian juga di daerah Bergota,
selatan Semarang; juga di daerah antara tambak pesisir pantai yang disebut Terbaya,
juga terdapat cungkup makam Syaikh Jumadil Kubro; di daerah Semarang juga, yaitu
di Sampangan, juga terdapat puing-puing, petilasan Syaikh Jumadil Kubro; di makam
muslim Tralaya yang lebih baru ditemukan, dan dianggap penting, juga diakui sebagai
makam Syaikh Jumadil Kubro. Raffles, seperti dikutip Martin, menyebut, berdasarkan
legenda di Gresik, Raden Rahmat pertama-tama datang ke Palembang, lalu ke
Majapahit, dan mendarat di Gresik. Raden Rahmat kemudian mengunjungi Syaikh
Molana Jumadil Kubro, seorang `abid yang menetap di Gunung Jali (KKPT, 1999:
239-240).

Sekarang, Mantingan ada di kecamatan Tahunan, Jepara, menjadi tempat berdirinya


masjid kuno dan pemakaman Ratu Kalinyamat dan suaminya (Pangeran Hadirin). HJ
de Graaf dan Th Pigeaud menyebutkan: “Ia (Ratu Kalinyamat) dimakamkan di dekat
suami cinanya di pemakaman Mantingan dekat Jepara, yang mungkin dibangun atas
perintahnya sendiri sesudah ia menjadi janda pada 1549, mungkin hampir 30 tahun
sebelum ia meninggal” (KIPDJ, 2003: 120).

Di pemakaman Mantingan itu, terdapat masjid kuno yang didirikan tahun 1481 Saka
atau tahun 1559 M, berdasarkan petunjuk dari candra sengkala yang terukir pada
mihrab Masjid Mantingan berbunyi rupa brahmana wanasari. Menurut HJ Degraaf
dan TH Pigeaud  (KIPDJ, 203: 309) tahun 1559 adalah periode setelah meninggalnya
Pangeran Prawata dan Ki Kalinyamat (Sunan Mantingan/Pangeran Hadirin), dan
periode kekuasaan Ratu Kalinyamat di Jepara. Pangeran Hadirin atau Ki Kalinyamat
ini meninggal tahun 1549; dan Masjid Mantingan dikenal sebagai masjid besar tertua
setelah Demak. Di sisi masjid adalah pemakaman Mantingan, yang banyak diziarahi
orang, di antaranya yang dimakamkan adalah: Sunan Mantingan (Pangeran Hadirin),
Ratu Kalinyamat, Raden Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar), dan para orang terdekat Ratu
Kalinyamat. Tempat ini sekarang masih menjadi tempat tirakat para muslim Jawa.
Gunung Sembung/Giri Amparan Jati
Gunung Sembung dan Bukit Giri Amparan Jati, adalah tempat orang keramat
penyebar Islam awal bernama Datuk Kahfi, atau biasa dipanggil Syaikh Nurjati dan
Syarif Hidayatullah. Dari berbagai cerita di dalam naskah Jawa Barat, seperti Negara
Khretabumi, Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cerbon, dan Perjuangan
Walisongo Babad Cirebon (versi H. Mahmud Rais dan Sayidil Anam), Syaikh Datuk
Kahfi adalah guru utama dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, dan karenanya guru
penting dalam hal tasawuf di awal Islam Jawa, bagian barat.

Syaikh Datuk Kahfi, adalah anak dari Saikh Datuk Ahmad, anak dari Syaikh Datuk
Isa Tuwu Malaka, anak dari Syaikh Abdul Qodir, anak dari Amir Abdullah
Khannudin, dan ke atas sampai kepada Kanjeng Nabi Muhammad. Waktu muda,
Datuk Kahfi meninggalkan Malaka menuju Baghdad, dan menikah dengan Syarifah
Halimah, bibi Sultan Sulaiman (ada yang menyebut anaknya Sultan Sulaiman). Dari
Baghdad, Datuk Kahfi memilih pergi ke Jawa dan mukim di Gunung Amparan Jati,
tidak jauh dari pelabuhan Muara Jati, milik Kerajaan Pajajaran, sekitar tahun 1420.
Datuk Kahfi mendapat ijin pengusa pelabuhan yang bernama Ki Gedeng Tapa/Ki
Mangkubumi, untuk tinggal di daerah Pesambangan, tepatnya di Gunung Sembung.

Gunung Sembung kemudian menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam, dan
karena dalam silsilah tarekat Syathariyah awal, berasal dari Datuk Kahfi, posisi Datuk
Kahfi menjadi sangat penting dalam kesarjanaan tasawuf di masa awal. Pada masa
awal, di antara murid-muridnya, adalah keluarga bangsawan Pajajaran sendiri, yaitu
Walangsungsang (Ki Samadullah/Sri Mangana) yang membuka Cirebon/Caruban)
dan Rara Santang; dan murid-murid lain di antaranya Datuk Abdul Jalil (Syaikh Siti
Jenar), Syarif Hidayatullah (di Girim Amparan Jati), Sunan Kalijaga, dan para wali
lain. Dengan demikian, Gnung Sembung, menjadi pusat rohani yang dihormati, dan
menjadi pusat pengiriman santri-santri untuk berdakwah di daerah Jawa Barat.

Sekarang, pemakaman di Gunung Sembung yang tidak jauh dari Giri Amparan Jati,
terdapat makam Syaikh Datuk Kahfi (Syaikh Nur Jati), yang berdekatan dengan
makam Sunan Gunung Jati di Giri Amparan Jati. Lokasinya terpisah dengan jalan
raya (Jl. Raya Cirebon Indramayu). Sebelum masuk ke gerbang makam Syaikh Datuk
Kahfi, di sebelah kiri terdapat makam Syekh Ki Gede Jati, di bawah pohon besar,
yang diyakini sebagai salah satu murid Syaikh Datuk Kahfi. Tempat ini sekarang
masih sering digunakan untuk tempat tirakat para muslim Jawa.

Ampel Denta/Kembang Kuning

Ampel Denta adalah pusat penyebaran Islam di Surabaya, dimana Sunan Ampel
menjadi guru rohani yang sangat dihormati. Di kitab-kitab Babad Tanah Jawi, dan
buku sejarah Jawa, tempat ini menjadi pusat menuntut ilmu dari para wali di Jawa. Di
antara murid-muridnya adalah wali-wali keramat yang dikenal di Jawa, seperti Sunan
Giri, Sunan Bonang, Raden Fatah, Syarif Hidayatullah, dan banyak lagi yang lain.

Sunan Ampel berasal dari Champa, dan masih keponakan Dwarawati, salah satu istri
raja Majapahit. Kunjungannya ke Jawa, selain untuk menyebarkan Islam juga untuk
menengok putri Dwarawati, yang masih bibinya. Sebelum sampai di Majapahit,
mendarat di Tuban, dan berkunjung kepada tokoh penting, Syaikh Jumadil Kubro,
yang disebut di atas, di Gunung Jali. Kedatangannya disertai saudara tuanya bernama
Ali Murtadlo (Ali Musodo), dan kemenakannya bernama Abu Hurairah (Raden
Burereh). HJ De Graaf dan TH Pigeaud (2003: 179) menyebutkan, wali ini kemudian
diberi tanah oleh Majapahit dan tinggal di Surabaya, serta menjadi imam masjid di
Surabaya; dan wafat tak lama sebelum majapahit runtuh.

Dalam perjalanannya ke Surabaya, Sunan Ampel melewati daerah Kembang Kuning,


tempat tokoh lokal bernama Ki Wiryo Saroyo/Ki Wirojoyo, dan tokoh ini kemudian
mengikuti petunjuk Sunan Ampel, menjadi muslim. Anak Ki Wirojoyo, kemudian
dinikahkan dengan Sunan Ampel bernama Nyi Mas Karimah, yang kemudian
melahirkan: Murtosiyah (dinikahkan dengan Sunan Giri) dan Murtosimah (dinikahkan
dengan Raden Fatah, adipati Demak). Di Kembang Kuning, Sunan Ampel dan
mertuanya membangun Masjid Kembang Kuning, dan makamnya sekarang dikenal
dengan Makam Mbah Karimah, yang juga banyak diziarahi.

Setelah dari Kembang Kuning, Sunan Ampel pergi ke Ampel Denta dan membangun
pusat penyiaran Islam, menjadi Imam masjid dan bergelar Pangeran Katib, melalaui
restu dan dukungan penguasa Surabaya, Arya Lembu Sora. Arya Lembu Sora adalah
seorang penguasa lokal yang sudah muslim, dan anaknya menikah dengan Arya Teja,
penguasa Tuban. Sementara anak penguasa Tuban ini, bernama Nyi Ageng Manila
dinikahkan dengan Sunan Ampel, sehingga ketika di Surabaya, sejatinya Sunan
Ampel bertemu dengan Lembu Sora, yang merupakan mertua Arya Teja (penguasa
Tuban). Sunan Ampel dikenal memiliki anak yang banyak dengan beberapa istri,
sehingga jaringan anaknya berkawin-mawin dengan para bangsawan lokal. Murid-
murid yang menuntut ilmu di Ampel Denta juga semakin banyak.

Akan tetapi setelah berdirinya kemaharajaan kerajaan Islam yang berpusat di Demak,
di sekitar pesisir utara Jawa, pusat penyebaran Islam banyak beralih di Giri Kedaton
yang berpusat di Gresik, melalui tokoh rohani sekaligus raja lokal, Sunan Giri. Setelah
wafatnya Sunan Ampel, Surabaya semakmin memudar, terutama setelah Mataram
menggempur dan menghancurkan Surabaya. Akan tetapi sebagai tempat keramat,
makam Sunan Ampel masih sering dikunjungi oleh para peziarah muslim.

Sunan Ampel dimakamkan di dekat masjid Ampel, yang sekarang masuk wilayah
keluarahan Ampel, kecamatan Semampir, Surabaya. Makam Sunan Ampel ada di
belakang Masjid Sunan Ampel. Di sekitarnya ada makam-makam lain, di sebelahnya
ada Nyi Ageng Manila (Dewi Condrowati), dan juga ada makam Mbah Sonhaji.
Makam Sunan Ampel, sampai sekarang masih menjadi tempat keramat untuk tirakat
yang dilakukan para muslim Jawa.

Kadilangu

Kadilangu terletak di Demak, merupakan kediaman dan pemakaman Sunan Kalijaga;


yang sekarang adalah nama Kelurahan di kecamatan Demak, yang di dalamnya ada
Masjid Sunan Kalijaga, yang didirikan pada 1532, dan pemakaman keluarga Sunan
Kalijaga. Di masa lalu, kekeramatan tempat ini, selain menjadi pusat penyiaran Islam
melalaui ilmu-ilmu hikmah yang dimiliki Sunan Kalijaga dan tempat pemakamannya,
juga menjadi tempat pewarisan tinggalan Sunan Kalijaga, melalui keluarganya; dan
menjadi pusat jejak-jejak dakwah dengan murid-murid yang tersebar cukup banyak.
Di antara muridnya adalah Sunan Tembayat, yang kediamannya untuk penyebaran
Islam sekaligus makamnya ada di Jabal Kat, juga menjadi tempat keramat dan
dihormati oleh keluarga Pajang dan Mataram.

. Kekeramatan Sunan Kalijaga di antaranya dihubungkan dengan pembangunan


masjid Demak, melalaui tiang terakhir, yang dibangun dengan balok-balok, karena
ledatangannya agak terlambat setelah bertapa di Mantingan; juga berkaitan dengan
baju Antakusuma (Kiai Gundil) yang diperoleh melalui tirakat Sunan Kalijaga, yang
menurut HJ de Graaf dan TH Pigieaud diwariskan kepada Senapati melalaui ahli
warisnya, sehingg Senopati dapat mengalahkan Pangeran Madiun, pada tahun 1590.
Baju Antakusumo ini kemudian dianggap sebagai pusaka keraton Mataram, hingga
pada Mangkurat III di Karatasua, yang dibuang ke Srilanka oleh Kumpeni Belanda.
Ketika pusaka-pusaka Mataram dibawa Mangkurat III, termasuk Baju
Antakasumuma, menurut Pakubuwono 1, seperti disebut dalam Babad (Meinsma,
hlm. 566; dan de Graaf Th Pigeaud, KIPDJ, 2003: 35), maka oleh penguasa baru,
yang dianggap pusaka keramat secara mutlak ada dua, yaitu Masjid Demak dan
Pemakaman Kadilangu. Melalui Keramat Kadilangu pula, Mataram sampai  Kerajaan
di Kartasura, mengambil simbol-simbol spiritual, dengan merekrut para ahli waris
Sunan Kalijaga, sebagai guru rohani.
Riwayat Kadilangu, berdasarkan Serat Kanda, bermula ketika Pangeran Trenggana,
mengundang Sunan Kalijaga, dari Cirebon untuk menetap di Kadilangu, Demak
(KIPDJ, 2003: 46). Para ulama Kadilangu, dalam membangun hidup bersumber dari
tanah perladangan, yang dihadiahkan kepada mereka oleh Keraton Demak (KIPDJ,
2003: 111), dan karenanya bisa dianggap sebagai perdikan. Menurut cerita tutur
Mataram, tuah keramat Kadilangu, bukan hanya sampai di Demak saja, tetapi juga
sampai di Pajang dan Mataram. Di Pajang,  Jaka Tingkir adalah cucu Sunan Kalijaga
dari Kadilangu; dan Sunan Kalijaga juga menjadi penghulu masjid di Demak setelah
Sunan Kudus; dan anak peremepuan Sunan Kalijaga diambil permasuri muda oleh
Sultan Trenggana; dan anak mereka, perempuan, dinikahi Jaka Tingkir. Sementara
Senopati menjadi menantu Raja Pajang.

Masjid Kadilangu sendiri, dibangun, menurut informasi dari Serat Lokajaya (AIBJ,
149), dalam XII Kinanti (33): “setelah anaknya berangkat, pada waktu itu, Kanjeng
Sunan Kali bermaksud hendak berkelana. Berganti yang diceritakan, yaitu Pangeran
Wijil. Ia dalam membuat masjid telah jadi.” Pangeran Wijil oleh Serat Lokajaya
adalah Joko Sahida, anak Sunan Kalijaga yang pertama, dan dialah pengasuh
Pesantren Kadilangu yang menjadi tumpuan para murid, beristrikan cucunya Sunan
Giri.  Serat Lokajaya menceritakan begini: “Jumatan di masjid Kadilangu sangat
agung. Yang datang berbagai santri dari daerah pantai dan luar negeri banyak.
Pangeran Wijil sangat tekun mengajarkan agama” (XII Kinanti, No. 37).

Di antara keturunan keramat Kadilangu yang berperan penting secara rohani dan
dihormati, setelah masa Demak dan Pajang, di Mataram adalah Pangeran Adilangu
(II, Sunan Adilangu) yang menulis cikal bakal Babad Tanah Jawi, dengan naskah
tertua bertanggal 1772; dan di Kartasura adalah Pangeran Wijil Kadilangu, yang
menulis Susuluk Wangsit Gaib Sirrullah (21 pada), Susuluk Besi (32 pada), Susuluk
Saking Kitab Condra (76 pada), yang masuk dalam kumpulan Serat Suluk Jaman
Kraton Ndalem ing Surakarta, yang diedit oleh Nancy K Florida, dalam Suluk, The
Mistical Poetry of Javanese Muslims. Sekarang ini, pemakaman Sunan Kalijaga di
Kadilangu, dikelilingi tembok berukuran besar dengan ukiran kayu; dan di luarnya
ada makam jirat Mpu Supo (adik ipar sunan Kalijaga) dan putranya, Jaka Sura; dan
ada 9 blok dengan 175 makam yang merupakan keluarga Sunan Kalijaga. Tempat ini
juga masih sering digunakan tirakat oleh para muslim Jawa.
Alang-Alang Wangi/Pesantren Al-Kahfi
Letaknya di Kebumen dan menjadi pusat penyebaran Islam yang sangat penting di
wilayah selatan Jawa Tengah. Di wilayah ini, sekarang di Sumberadi Kebumen,
terdapat penyebar Islam yang bernama Abdul Kahfi Awwal (untuk membedakan
dengan Abdul Kahfi  ats-Tsani), yang dapat dikenali: pertama, adanya prasasti batu
berbobot 9 kg di dalam pondok Al-Kahfi itu, berasal dari batu zamrud Siberia
(emerald fuchsit), berhuruf Jawa dan Arab berdampingan, berangka tahun 25 Sya’ban
879 atau 4 Januari 1475 M; adanya makam Abdul Kahfi Awwal di Lemah Lanangan,
dan para keturunannya yang sekarang meneruskan menjadi Pesantren Al-Kahfi.
Abdul Kahfi Awwal sendiri dikenal sebagai laqobnya, sedangkan namanya  adalah
Syaikh Muhammad Ishom al-Hasani, yang lahir pada  15 Syaban 827 H/1424 di
Jamhar, Syihr, Hadhramaut. Beberapa tulisan yang membahas tokoh ini menyebutkan
bahwa dia diberi gelar Al-Kahfi oleh guru-gurunya, karena sering menyendiri di gua;
dan pergi ke Jawa untuk menyebarkan Islam. Salah satu versi dikemukakan Pengurus
Yayasan Pesantren Al-Kahfi, Hidayat Aji Pambudi (m.republika.co., 30 April 2007),
setelah datang ke Jawa, dia diperintah oleh Sultan Demak agar menyebarkan Islam di
selatan Jawa.

Desa tempat tinggal Syaikh Abdul Kahfi Awwal dulu dipimpin oleh Resi Dara
(beragama Hindu), bernama Alang-Alang Wangi. Pengaruh jaringan ini, meskipun
dihubungkan dengan Abdul Kahfi ats-Tsani, menyebar terutama di daerah seperti
Cilacap, Banyumas, dan bahkan Purworejo, dan lain-lain daerah di Jawa Tengah
bagian selatan, tentu saja harus dibaca dulu merupakan pusat penyebaran Islam yang
sangat penting. Syaikh Abdul Kahfi Awwal ini datang ke Jawa dan mendarat di pantai
Karang Bolong, Buayan, Kebumen pada tahun 1448 (dan wafat pada 15 Syaban
1018/12 November 1609). Di daerah ini, Syaikh Abdul Kahfi mampu mengislamkan
Resi Dara di Candi Karanganyar, Resi Condro Thirto dan Danu Thirto dari Candi
Wulan, dan Candi Mulyo, lalu membangun basis di daerah yang sekarang dikenal
Sumolangu.

Setelah itu, Syaikh Abdul Kahfi melakukan perjalanan ke Timur, sampai ke Surabaya,
dan disebut bertemu di Ampel dengan Sunan Ampel (sesuatu yang belum bisa
dipastikan). Setelah itu diminta untuk pergi ke Demak, di Sayung, untuk mendirikan
basis pengajaran; lalu mendirikan pesantren di Kudus. Konon, tempat yang menjadi
jejak Abdul Kahfi Awwal di sini dikenal orang dengan Masjid Bubrah (sesuatu yang
sekarang juga diperdebatkan). Setelah itu  baru membangun basis di Kebumen.

Dalam Buku Panduan Ziarah Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, disebutkan istri
Abdul Kahfi Awwal adalah Dewi Nur Thayyibah, anak Sultan Demak (Raden Fatah),
yang juga sering berdakwah dari satu tempat ke tempat lain, sehingga murid-muridnya
banyak tersebar di berbagai daerah. Wafat di tengah perjalanan dari Sumolangu-
Demak, sebelah timur kota Semarang Demak. Satu versi menyebutkan bahwa Dewi
Nur Thayyibah dimakamkam di Kadilangu, setelah para muridnya bermusyawarah;
dan versi kedua, menyebutkan ada di Surakarta, di Pemakaman yang sekarang dikenal
dengan Pemakaman Kraton Lama, Pracimaloyo, Makam Haji, Kecamatan Pajang,
Surakarta.Tahun wafatnya pada 9 Dzul Hijjah 1015, atau bertepatan dengan 1607 M.

Pesantren Al-Kahfi ini, menjadi terkenal pada masa Syaikh Abdul Kahfi ats-Tsani
(Ibrahim Mahmud bin Muhammad al-Marwah), yang lahir pada tahun 1239 H/1824,
dan wafat pada 1 Jumadil Akhir 1334 H/17 Maret 1915. Abdul Kahfi Awwal dengan
Abdul Kahfi ats-Tsani ada jarak yang cukup panjang melewati beberapa orang  Abdul
Kahfi Awwal (Muhammad Ishom al-Hasani), Muhtarom, Jawahir, Muhammad Yusuf,
Hasan, Abdul Hannan, Zainal Abidin, Muhammad Yusuf, Muhammad al-Marwah,
Abdul Kahfi ats-Tsani (Ibrahim Mahmud), dan kemudian, sampai kepada Kyai
Sumolangu.

Pesantren ini, sekarang dikenal sebagai pusat Tarekat Sadziliyah, yang mulai
berkembang sejak putra Abdul Kahfi ats-Tsani (Ibrahim Mahmud), yang bernama
Abdurrahman al-Hasani. Ketika belajar ke Mekkah, Syaikh Andurrahman belajar
tarekat Sadziliyah kepada Syaikh Nahrowi Muhtarom al-Makki, yang kemudian
banyak tinggal di Hijaz. Abdurrahman mengangkat anaknya yang masih muda
bernama Mahfduz al-Hasani, menjadi mursyid tarekat Syadziliyah, yang mengasuh
Pesantren Al-Kahfi sejak tahun 1925, sepulang Mahfudz nyatri di pesantren Watu
Congol. Syaikh Mahfudz Abdurrahman al-Hasani inilah yang dikenal sebagai Kyai
Sumolangu, yang mendirikan dan menjadi panglima tinggi AOI (Angkatan Oemat
Islam) di masa penjajahan Belanda, dengan anggota tidak kurang dari 10.000 orang,
mencakup wilayah Purbalingga, Kebumen Timur, Wonosobo dan Purworejo.

Liku-liku AOI, sampai wafatnya Syaikh Mahfdzu Abdurrahman yang ditembak pada
tahun 1950, dan secara sepihak dinyatakan pemberontak, menjadi jalan Pesantren Al-
Kahfi mengalami kevakuman. Meski begitu, Tarekat Sadziliyah dapat bertahan di
bawah pimpinan Syaikh Thoifur al-Hasani (adik kandung Syaikh Mahfudz), lalu
Khanif bin Mahfudz, sampai pada generasi berikutnya, ketika dipimpin oleh KH.
Afifuddin Khanif al-Hasani, sejak 1992, pesantren ini mengalami perkembangan yang
pesat.

Sekarang, makam Syaikh Abdul Kahfi Awwal ada di Lemah Lanangan dengan
dikelilingi tembok sederhana. Para peziarah muslim Jawa, sering bertirakat di tempat
ini. Ketika penulis berkunjung ke makam ini, malam hari, sebagian perziarah tampak
melakuklan tirakat di makam Lemah Lanangan ini dengan khusuk.
 

Kitab-Kitab Fiqh-Tauhid-Tasawuf yang Diajarkan

Pada abad XV-XVII, para penyebar Islam di kalangan para wali banyak menulis dan
berdakwah, melalui karya-karya yang dibaca/dijadikan rujukan dan ditulis, di samping
usaha-usaha melalui pintu kekuasaan. Mereka menanamkan aturan-aturan
dasar/elementer, etika publik yang perlu dimiliki, metode olah rohani yang perlu
dilakukan, memberi pemahaman iman dan tauhid; pengalaman spiritual diuraikan
melalaui konsep syariat, tarekat dan ma’rifat-hakikat; pengajaran tasawuf
disandingkan dengan mengajar syariat dan tauhid; dan dalam praksis gerak di
masyarakat, ikut terlibat membangun kebudayaan dan politik di tengah masyarakat.

Dalam soal tasawuf,  diajarkan melalaui hubungan yang kental antara tauhid, fiqh, dan
tasawuf, serta iman-tauhid sebagai satu kesatuan; yang hal ini dapat dirujuk melalaui
karya-karya dan penjelasan sebagian sarjana. Karel Steenbrink misalnya menyebutkan
bahwa  “di antara naskah-naskah Jawa yang sudah masuk ke negeri Belanda pada
akhir abad ke-16 dan permulaan abad ke-17, juga terdapat dua buah karya fiqh, dalam
bahasa Arab dan terjemahannya dalam bahasa Jawa, yaitu karangan Abu Syuja al-
Ishfahani, at-Taqrib fil Fiqh, serta sebuah karya lain yang tidak jelas
pengarangnya, al-Idah fil Fiqh” (MTDKB, 1988: 230). Jadi, jelas, fiqh sebagai acuan
dan model syariat telah dipelajari sejak awal.
Mengomentari Kropak Ferrara, Karel Steenbrink juga menyebutkan bahwa “ajaran
tasawuf yang moderat dalam versi al-Ghazali juga merupakan ajaran yang dominan di
dalam karangan ini. Kitab Bidayatul Hidayah dari al-Ghazali disebut sebagai sumber
utama karangan ini. Dengan begitu, karangan ini meperkuat hipotesa berpikir
mengenai Islam pesisir yang cukup sempurna sejak akhir abad ke-15 ini: sebuah corak
Islam yang jelas mengadakan perbedaan antara Hindu dan Islam, dan tidak hendak
mencampurkan keduanya” (MTDKB, 1988: 232).
Selain Karel Steentbrik, Marsono (AKDBJ, 2019: 8) juga menyebutkan kitab Usul 6
Bis, yang sejak awal dipakai di lingkungan pesantren pada masa Kerajaan Demak
(1500-1550 M). Kitab Usul 6 Bis, kemudian disalin menjadi Asmarakandi (ditulis
oleh Abu Laits as-Samarqandi, wafat 980 M), pada tahun 1900-an. Isi dari Kitab
Samarkandi terdiri dari 10 bagian, sebagai pengembangan dari teks Usul 6 Bis yang
terdiri hanya 6 bagian. Ajaran tasawuf dikemukakan di antaranya tentang Alloh (bag
II), Nabi Muhammad (bag II), sifat-sifat Alloh (bag II), manusia akan kembali
kepada-Nya (bag VII): tauhid dan tasawuf diajarkan secara bersama dengan fiqh.
Martin van Bruinessen, dengan mengutip Mahmud Yunus (1979, hlm. 223-6), juga
menyebutkan tiga kitab penting yang dipelajari di masa awal Islam di Jawa,
yaitu: Taqrib, Bidayatul Hidayah, dan Usul 6 Bis, yaitu kitab tentang akidah karya
Abu Laits Samarqandi, yang juga dikenal sebagai Asmarakandi.  Tentang
kitab Asmarakandi, Martin memberi catatan bahwa “pada abad ke-19 kitab ini
biasanya  merupakan kitab akidah pertama yang dipelajari (Van den Berg, 1886: 537);
yang kitab itu disalin dari kitab yang beredar sebelumnya, bernama Usul 6 Bis.
Terjemahan bahasa Jawanya masih terdapat dalam bentuk naskah, dan salah satunya
baru-baru ini diedit dalam transliterasi latin oleh Mifedwil jandra (Jandra, 1985/1986).
Terjemahan Asmarakandi berhasa Jawa ini juga berisi satu pembahasan tentang  Fiqh
Syafii elementer, yang ditambahkan penerjemah tidak dikenal (Abu Laits sendiri
menganut Fiqh Madzhab Hanafi). Kitab tersebut sekarang lebih terkenal melalaui 
Syarah Nawawi Banten, Qathrul Ghaits dan terjemahan Jawanya oleh Ahmad Subki
Pekalongan, Fathul Mughits, kedua karya ini banyak dipakai” (KKPT, 2009: 28).
Martin van Bruinessen (KKPT, 2009: 29) juga mengemukakan tentang naskah-naskah
Jawa yang dibawa ke Eropa pada tahun 1600-an, secara lebih luas menyebutkan
bahwa “sekitar tahun 1600-an, sejumlah naskah Indonesia berbahasa Melayu, Jawa
dan Arab di bawa ke Eropa. Mereka memberi gambaran berharga, meskipun belum
sempurna, tentang tradisi keilmuan Islam di Nusantara saat itu. Naskah-naskah
Melayu (van Ronkel 1896) terdiri dari dua bab penting dari Al-Quran, dua hikayat
bertema Islam, sebuah kitab hukum pernikahan Islam (dalam bahasa Arab dengan
terjemahan antarbaris) dan sebuah terjemahan syair puji-pujian terhadap nabi
(Qashidah Burdah-nya al-Bushiri, diedit Drewes, 1955).

Martin juga menambahkan bahwa ada “dua naskah Islam Jawa,  juga diedit ulang
Drewes (1954 dan 1959) sama sekali tidak menunjukkan ciri spekulasi metafisik dan
sikretisme yang sering dianggap ciri khas Islam Jawa. Mereka mecerminkan tradisi
ortodoks (Fiqh Syafii, doktrin Asy`ari, dan akhlak al-Ghazali) tanpa pengaruh lokal.
Mereka merujuk berbagai macam kitab berbahasa Arab yang memberikan gambaran
lebih jelas bagaimana pengarang-pengarang itu berhubungan dengan tradisi Timur
Tengah.”

Dua naskah Jawa tersebut, yang dimaksud Martin salah satunya adalah Wejangan
Syeh Bari atau Kitab Bonang, yang dalam isinya merujuk pada dua kitab
penting: Ihya karangan al-Ghazali dan Tamhid karangan Abu Syukur al-Kasyi as-
Salimi. Bahkan karangan Abu Syukur ini, menurut Martin van Bruinessen disebut
“pernah dikenal di Indoensia karena ada satu naskahnya dengan terjemahan Jawa
antarbaris (Kraemer, hlm. 6).”
Dua karya di atas, yaitu Ihya’ dan Tamhid, juga disebutkan bersama kitab-kitab lain,
di dalam kitab Islam Jawa yanga lain, dengan menyertakan tambahan kitab-kitab
rujukan: Talkhisu Minhaj, Syarah fid Daqoiq, Kanzul Khafi, dan Ma’rifatul Alam (dua
kitab yang terakhir sulit diidentifikasi). Dalam soal ini, Martin menambahkan kitab
lain, yang juga sudah disebut di atas: “Di antara beberapa naskah yang disebutkan,
yang dibawa ke Eropa sekitar tahun 1600-an, terdapat pula kitab berbahasa Arab
tentang fiqh, yaitu karya Abu Syuja al-Isfahani, at-Taqrib fil Fiqh yang masih
digunakan secara luas (dengan terjemahan Jawa antarbaris) dan sebuah kitab anonim
yang sekarang praktis tidak diketahui lagi, al-Idah fil Fiqh. Ini semua membuktikan
bahwa fiqh juga dipelajari di Jawa akhir abad ke-16 (dan mungkin jauh lebih awal
dari itu)” (KKPT, 2009: 28).
Ada juga rujukan kitab yang sulit dikenali, yaitu Kitab Sinorsilaripin, disebut dalam
Kitab Primbon yang dikerjakan Drewes, begini: “Nabi Muhamamd telah mengajarkan
kepada keturunannya, seperti disebutkan dalam buku Sinorsilaripin, bahwa pada hari
kiamat semua manusia akan dibagi tiga kalau mereka mendekati Tuhan: Kepada
kelompok pertama diajukan pertanyaan: Apa sebabnya engkau mengabdi kepada
Tuhan?…” Dalam kutipan Karel Steenbrink pada buku MKTB (hlm. 22-23)
disebutkan tentang kitab yang dirujuk itu, dalam catatan kaki No. 57, begini: “Tidak
jelas kitab apa yang dikutip di sini. Apakah yang dimaksud karangan Hamzah
Fansuri: Syarabul `Asyiqin, dengan mengganti Asyiqin dengan Arifin?” (MKTB,
1988: 226).
Sedangkan naskah rujukan yang dipakai dalam Wejangan  Syeh Ibrahim, berdasarkan
terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, berjudul Perdebatan Wali Songo Seputar
Makrifatullah (Surabaya: Alfikr, 2002) dari versi yang dikerjakan Drewes dalam An
Early Javanese Chode of Muslim Etics, bersumber dari Kropak Ferrara, beberapa
rujukan isi kitabnya ada yang belum dikenali di antaranya: Musadallah, Kitab
Selamat, Kitab Yamirsad Saking Riyakul Ulama. Drewes memberi catatan soal Kitab
Yamirsad begini: “Suatu judul buku tentang Islam yang lebih tua lagi, yang ditulis
dalam bahasa Jawa dan kurang terpelihara. Isinya berkaitan dengan berbagai uraian
masalah keagamaan” (PWSM, 2002: 13).
Sedangkan di bagian lain di buku itu, disebutkan rujukan dari Bidayatul
Hidayah (karangan Imam al-Ghazali), Raudhatul Ulama dan Mashabihul Mafatih.
Drewes menjelaskan bahwa Roaudatul Ulama, bisa jadi adalah karya Zandawasiti
(383 H./922 M.), yang merupakan kumpulan aturan-aturan yang dihimpun dari
sumber Al-Qur’an, hadits dan ajaran mistik; sedangkan Mashobihul
Mafatih adalah Mafatihur Raja’ fi Shiratil Mashobih ad-Dunya, merupakan komentar
oleh al-Aquli al-Wasiti atas kumpulan hadits berjudul Mashobihud
Dunya (atau Mashabihus Sunnah) susunan al-Baghawi (PWSM, 2002: 12).
Michel Laffan memberikan tambahan penjelasan soal kitab fiqh yang beredar di Jawa,
dan disalin  pada 1623, dalam Sejarah Islam Nusantara (2015) dengan menuyebut
bahwa “dalam sebuah contoh awal, yang disalin di Jawa pada 1623, kita menemukan
sebuah ringkasan teks fiqh karya Ba Fadhal al-Hadhrami (w. 1512), dengan
terjemahan antarbaris yang tidak lengkap” (SIN, 2015: 39). Ba Fadhal al-Hadhrami
ini namnya adalah Abdullah bin Abdurrahman ba Fadhal al-Hadhrami menulis
kitab al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah fi Fiqhis Sadah as-Syafi`iyah.
Micehel Laffan juga menambahkan ada “teks-teks yang popular di Nusantara dahulu
adalah Sittin Masail fil Fiqh (60 pertanyaan dalam masaah fiqh) karya Abul Abbas al-
Misri (w.1416); kitab Alfu Masail (Kitab Seribu Pertanyaan) yang jauh lebih tua; dan
sebuah kompilasi anonim yang disebut bab Marifat Islam (bab Mengenai Islam). Pada
abad ke-19, karya-karya tersebut digantikan oleh dua karya yang lain. Yang pertama
adalah kitab Tanya Jawab Abu Laits as-Samarqandi (w. 983/993). Di Jawa, kitab
yang kerab disebut Asmarakandi ini diringkas di bab Marifat al-Islam. Yang lain
adalah Ummul Barohin karya al-Sanusi, yang dikenal orang Melayu dengan Sifat Dua
Puluh, dan oleh orang Jawa dengan judul Durra (Permata) atau hanya sebagai Sanusi”
(SIN, 2015: 38).
Kitab lain yang disebut Michel Laffan sebagai Alfu Masail, adalah serangkain
pertanyaan yang diyakini diajukan kepada Nabi oleh seorang pemimpin Yahudi
(Abdullah bin Salam). Ronit Ricci menulis disertasi doctoral membahas Alfu Masail,
berjudul Translating Conversation in South and Southeast Asia: The Islamic Book of
One Thousand Question in Javanese, Tamil, and Malay, di Universitas of Michigan,
2006 (SNI, 2011: 285, pada catatan kaki No. 32).
Di antara kitab yang dijadikan rujukan para penyebar Islam awal di tanah Jawa, ada
juga yang disebut dengan Usul Kalam, sebagaimana disebutkan dalam Babad Tanah
Sunda (BTS) terbitan Sulaeman Sulendraningrat, yang merupakan terjemahan  tahun
1982 dari naskah beraksara pegon dan berbahasa Cirebon Madya. Pada BTS bagian
ke-10 diberi judul “Syarif Hidayatullah Kepanggih Jeng Nabi Muhammad”, hal ini
disebutkan.
BTS pada bagian ke-10  yang dimaksud itu menyebutkan “setelah membaca
kitab Usul Kalam, yang memaparkan kisah tentang Nabi Muhammad, timbul
keinginan Syarif Hidayatullah untuk bertemu Nabi Muhamamd. Atas idzin ibunya ia
melakukan perjalanan sejak bulan Jumadil Awal 1466 Masehi. Syarifah Mudaim
merasa berat hati melepas kepergian anaknya, namun merasa terhibur setelah
bermimpi bertemu dengan suaminya yang memberi nasihat agar mengikhlaskan
kepergian anaknya” (dalam SGJ, 2003: 45).
Kalau disimpulkan, berdasarkan data-data sementara di atas kitab-kitab lama yang
dipelajari di Jawa: pertama, kitab Alfu Masail, Kitab Sittin,  dan Usul 6 Bis, yang
dinamakan ulang menjadi Asmarakandi pada abad ke-19. Ketika saya cek dalam
syarah Qathrul Ghaits, Syaikh Nawawi Banten menamakannya menjadi Masail Abi
Laits, sehingga judul syarahnya menjadi Qathrul Ghaits fi Syarhi Masa’il Abi Laits.
Selain Asmarakandi atau Usul 6 Bis, kitab yang dikaji ada Usul Kalam. Sedangan
kitab tauhid sekaligus akhlak yang ditulis bernama Wejangan Syekh Bari/Kitab
Bonang dan Wejangan Syekh Ibrahim. Sedangkan kitab-kitab yang dirujuk dalam
karya dan tulisan, di antaranya Syarah fid Daqoiq (Daqoiqul Akhbar), Kanzul
Khafi, Marifatul Alam, Ihya, dan Tamhid.
Kedua, kitab fiqh, di antaranya karangan Abu Syuja Ahmad bin Husain al-Ashfihani,
yang berjudul At-Taqrib, atau dalam pengajaran sekarang dikenal dengan Matnul
Ghoyah wat Taqrib,yang berisi bab Kitabut Thaharah sampai Kitabul `Itqi. Selain itu
ada al-Idhah fil Fiqh, dan kitab-kitab yang dirujuk seperti Bidayatul Hidayah (fiqh
tasawuf) dan Talkhisu Minhaj. Sedangkan ketiga, kitab-kitab rujukan akhlak, di
antaranya adalah Ihya (yang juga rujukan tauhid) karangan Imam al-
Ghazali, Raudhatul Ulama, dan Mashabihul Mafatih.

Beberapa Kitab, Ringkasan Alfu Masail dan Usul 6 Bis


Dua kitab yang beredar cukup awal, di sini diringkas sedikit, yaitu: Alfu
Masail dan Usul 6 Bis. Kedua kitab ini mewakili  beberapa dasar dan konsep
pengetahuan dan ilmu yang ditanamkan di dalam masyarakat Jawa oleh para penyebar
Islam Jawa. Di bawah ini saya berikan poin-poin dari kitab itu; sementara kitab fiqh,
dimaklumi dan dimafhumi, mempelajari bab wudhu, sholat, puasa, haji, zakat dan
lain-lain. 
Alfu Masail
Tentang Kitab Alfu Masail, saya mendasarkan pada Serat Samud Ibnu Salam, yang
merupakan saduran dari Hikayat Seribu Masalah dari aksara Jawi (pegon), ke aksara
Jawa. G.F Pijper (1924) menggunakan Hikayat Seribu Masalah ini sebagai bahan
disertasinya. Hikayat Seribu Masalah sudah lama ada di Jawa, dan kemudian
diperkenalkan kembali melalaui bahasa dan aksara Jawa, dengan judul Serat Samud
Ibnu Salam. Rujukan yang dipakai di sini adalah hasil suntingan yang dilakukan Iik
Idayati, berjudul Serat Samud Suntingan Teks dan Terjemahan (FIPB UI, 2011); dan
referensi tambahan dari transliterasi dan terjemah Hikayat Seribu Masalah (versi
Depdikbud, 1994), sebagai bahan bacaan saya.
Naskah Serat Samud berjumlah banyak, dan versi yang disunting Iik Idayati (dalam
naskah ST. 80), ini cukup memberi gambaran isi dari pembicaraan dalam Hikayat
Seribu Masalah. Dalam Serat Samud diberi condrosengkolo: tritunggal estining
tenah (dikonversi menjadi 1884). Tahun ini perlu dibaca tahun penyaduran kembali,
atau mungkin juga penyalinan, sementara materi teks itu sudah lama berdar di Jawa,
seperti disebutkan di atas.
Isi dari teks Serat samud ini menggambarkan bagaimana di Jawa, telah ada orang atau
kelompok yang mencoba meyakinkan Islam melalui argumen-argumen logika dari
otoritas Kanjeng Nabi, dari sudut argumen-argumen filosofis, yang tidak sederhana.
Bahwa ada dimensi faham martabat tujuh did alam Serat Samud, perlu difahami dari
sudut penyalinan tahun-tahun itu, dimana martabat tujuh menjadi faham para pelaku
tasawuf di Jawa.

Isi dari teks itu, ringkasannya demikian:

Nabi Muhammad memerintahkan Imam Ali menulis surat kepada orang Yahudi.
Samud Ibnu Salam, membenarkan berita Taurat aka ada pemuda yang datang; lalu
mengajak saudara atau umat Yahudi untuk masuk islam. Samud dan murid-muridnya
mengumpulkan pertanyaan, berjumlah 1400 pertanyaan, dan jika pertanyaan-
pertanyaan itu terjawab, dia akan mengikuti Rosul; dan kalau tidak, Rosul disuruh ikut
agama Samud. Ternyata pertanyaan itu, meskipun dikaitkan dengan samud Ibnu
salam, tidak sampai 1400, tetapi hanya seratusan lebih sedikit.

Pertanyaan-pertanyaan dan jawabannya diraikan ada yang panjang dan pendek, di


antara masalah-masalahnya adalah: Berapa jumlah nabi dan rosul? Berapa nabi yang
menguasai syariat? Apa agama Musa dan Isa? Berapa banyaknya agama  dijawab,
hanyalah Islam; Apa makna Islam? Berapakah rukun Islam, dijawab ada lima;  Berapa
banyaknya rukun iman, dijawab ada 6; Berapa banyaknya kitab, dijawab kitab ada
104 banyaknya; Berilah makna iman? Iman itu hukumnya apa, khaliq apa makhluk?

Iman itu berkaki apa tidak, dijawab tidak bercabang karena bila bercabang pasti hanya
badan satu; Apakah tanda sempurnanya iman, dijawab harus ada ikrar, tashdiq, dan
arkan; bagaimana hukum orang yang iqrar saja, tidak ada tashdiq, dijawab sebagai
munafik sejati; bagaimana hukumnya orang yang hanya melafalkan syahadat, tidak
mengerti makna dan perbuatannya, dijawab dia Islam indan nas, dan kafir indalloh;
Apa hukumnya, mengerti makna syahadat, tidak mengerti lafalnya, dijawab dia Islam
indalloh, kafir indan nas.

Apa bedanya iman dan Islam, dijawab iman itu soal batin dan lahir, dan Islam bila
tidak didasari iman, sejati akan sia-sia, dan batin itu perilaku sejati; Apa makna
perilaku sejati, apa akarnya, mana pohon, mana kulit, mana hatinya, tempat tidurnya,
mana rumahnya dan cahayanya seperti apa? Salah satu jwabannya, hati iman ada di
nabi, waliyulloh dan orang beriman.

Kapan Islam itu? Dijelaskan banyak tentang Islam indannas dan kafir indalloh, dan
sebaliknya; Apa makna sifat 20 itu? Apa sifat Nabi? Dimana mustahilnya utusan? Apa
makna Quran? Dijawab makananya adalah Kun. Apa permulaan Al-Quran? dijawab
bismilahirrohmanirrohim. Apa yang ada dahulu? Dijawab nurulloh. Siapa yang
menulis di Lauh Mahfuz? Dijawab Alloh sendiri, penanya dapat menulis sendiri.

Kehendak Tuhan, berapa cabangnya? Dijawab, cabang satu sarengat, namanya lagi
hakekat, dan tarekat. Bagaimana bentuk Jibril, Mikail, Ijrail, dll. Apa makanan dari
malaikat dan jenisnya? Mana yang dulu, surga atau neraka? Mana dulu adam atau
dunia ?Apa firman Alloh kepada Adam dan dimana bentuknya? Berapa banyaknya
buah khuldi, cabang, daun dan buahnya? Kenapa Nabi Adam dilarang memakan buah
khuldi? Apa pakaian Adam?

Mana tanah di dunia yang lebih dulu dijadikan, di Baitul Mukades, Mekkah dan
Madinah? Apa Adam keluar dari Hawa atau Hawa dibuat dari Adam? Dahulu mana,
Adam, jin, malaikat? Dijawab Adam terakhir sendiri. Jarak jin dan malaikat berapa
(waktu penciptaan)? Ketika Adam berdosa dan manusia ini, berpaa tahun jaraknya?
Siapa yang menyembuhkan Adam dan yang mengkhitan Adam? Apa yang disebut
dunia ini?

Dunia akhirat, mana yang lebih dulu? Dijawab, dicipta bersamaaan. Bagaimana kubur
dan kiamat? Hari apa yang dibuat terdahulu, dan keistimewaan hari hari itu, dan apa
yang harus dilakukan? Dijawab, Jumat hari perintah sholat, dzikir ya Kafi ya
Mugni 600 x, Sabtu membaca ya Fattah ya Rozzaq, ahad ya Hayyu ya Qoyyumu 500
x, senin ya Rohman ya Rohim 400x, selasa ya Malik ya Quddus 300 x, rabo ya Kabiru
ya Muthohhiru 7 x, kamis ya Alimu ya Aliyyu 800 x.

Berapa malaikat yang menulis, apa yang ditulis, tinta untuk menulis, tempatnya di
mana? Apa pena untuk menulis sampai kiamat dan berapa besarnya?  Kenapa langit
terlihat hijau? Apakah langit ada yang mengunci, siapa yang membawa kunci? Berapa
panjang langit? Dari apa langit dibuat, dan yang paling tinggi dibuat dari apa? Apa
yang ada di atas air kehidupan? Apa sebab matahari sorotnya melebihi bulan? Ada
siang malam maknanya apa? Apa makna arsy, sifat jamal dan qohhar. Kenapa nafas
disebut sifat jamal, kenapa sifat qahhar disebut tanafas dan anfas? Apa makna iman
tokid, marifat?

Apa iman rahsya sejati itu? Siapa yang menyatukan tuan dan wali, apa maskawinnya,
dimana menikahnya? Seperti apa tingkah rijal (rijalullah), dan seperti apa rijalullah
itu? Apa yang disebut nafas? Apa yang disebut tanafas, nufus dan anfas. Bagaimana
sholat Anda dan apa maknanya? Apa maksudnya api angin dan bumi? Berapa bintang
di langit? Apakah sebutan burung kecil tidak bertengger di tanah dan tidak bertengger
di langit? Apakah ada satu tempat yang pintunya 12? Apakah yang dinamakan
semut?  Siapa laki-laki yang beribadah, makananya hanya kulit kayu, berikat kepala,
tidak berayah dan tidak beribu, dan menjadi alim?

Ketika manusia menaiki perahu (Nuh), darimana naiknya dan memakai apa? Ketika
kiamaat, apakah ada yang terlewat, bumi habis? Dijawab ada, yaitu Baitul muqaddas
dan Baitul makmur. Kenapa anak meniru rupanya bapak, ibu dan paman-bibi?
Apakah anak yang kufur masuk neraka atau surge? Kenapa bumi tak bergerak meski
kena angin besar? Berapa bumi yang masuk surge? Dijawab, ada 7. Berapa bumi yang
masuk neraka? Seperti apa gunung Jabal Kat itu? Yang dibuat dulu, surga atau
neraka? Berapa banyak pintu surge? Dijawab, ada 7, dan dijelaskan isi-isi surge.

Bagaimana tingkah orang di neraka? Siapa hamba Tuhan yang belum mati sampai
mengalami hancurnya dunia? Dijawab, malaikat maut namanya. Apakah orang
Yahudi disuruh ikut semua Kanjeng Nabi atau yang hanya di Mekkah? Apa 10
perkara yang diturunkan kepada Nabi Musa? Apa yang disebut Kakbah sebagai pusat
bumi, dan tarekat hakikat marifat? Apa makna Ahmad, Muhamamd, dan sirojan
muniran? Apa maknanya air hadast (wudhu)? Apa  diberi ganjaran ketika bersetubuh
(dalam nikah)? Apakah yang ditulis Taurat, Bani Israil dan Nabi Musa mengiyakan
Muhammad? Apakah keutamaan laki-laki dan perempuan? Apa balasan orang
berpuasa Ramadhan?

Apa pahalanya membaca Fatihah? Kenapa orang adzan dikumpuklkan di hadapan


Tuhan, dan tentang nafsu-nafsu yang tujuh? Apakah titipan ayah dan titipan tuhan did
alam diri? Berapa banyaknya roh? Dijawab, ada roh Nabi, roh ilafi, roh ilafati, roh
amar, roh amin, roh kudus, roh robbana, roh rohmani, dan roh ruhani. Apa yang
disebut ajalmungalak? Apa yang dimaksud jembatan dunia? Bagaimana tidurnya
nafas? Apa tingkah laku huruf, yang ada dalam hati? Apa makna dhengdeng
(dinding)? Dijawab dinding jalal, adalah hati yang dewasa. Apa yang namanya
wujud? Yang disebut hakikat Tuhan banyaknya berapa perkara? Jika baginda putra
Nabi apa nama asalnya? Bagaimanakah meluhurkan Tuhan, dan huruf-huruf kenapa
banyak kejadiannya?

Ada apa kalau manusia melihat ke kanan, ke kiri, ke atas, ke depan dan ke belakang?
Kenapa roh disebut dada dan kakbah? Apa makna mani, madzi-wadi? Apa makna
hilang dan ada Seperti apa waktu yang lima itu? Apa makna kun? Apa yang disebut
alam kudus, dan terangkan perbedaaanya? Apa sesungguhny sifat kamal dan jamal
itu? Apa yang disebut sifat Qohar? Dijawab, berkuasanya Alloh atas hatinya.
Bagaimana makna Alloh yang sejati?  Dimana sesungguhnya Alloh? Bagaimana
orang yangh disebut senang? Apa makna nafas, tak bernafas dan anfas? Dimana
tempatnya dzat itu? Bagaimanakan yang disebut perasaan serta fikiran? Bagaimana
hilangnya shalat, sempurnanya iman, tokid dan marifat? Apa makna ilmu? Apa yang
disebut pembicaraan?

Dahulu mana hamba dan tuhan, dunia dan akhirat, baik dan buruk, surge dan neraka,
atsy dan kursi, dekat dan jauh, tua dan muda, kaya dan miskin, sakit dan enak, yang
bukan dan iya? Apa maknanya mati dan hidup? Bagaimana seusungguh Loh Kalam?
Apa maknanya kursi?

Apakah yang disebut bangun dan tidur, lalu mati? Apa hukummnya menyembelih
hewan, padahal sama-sama makhluk Alloh? Apa nyawa hewan itu ikut disembelih?
Apa yang hilang dari mati? Dijawab, yang hilang badan nafas, yang kembali
nyawanya. Di mana asalnya roh itu? Dijawab, dari nur cahya dari nukat ghaib. Anda
(Nabi) dan Adam berapa jaraknya? Berapa banyaknya Nabi yang diberi anugerah?
Bagaimana alam yang ada di badan ini? Dimanakan bulan yang ada di badan?

Setelah pertanyaan bulan-bulan yang ada di badan, Samud Ibnu Salam kemudian
bersyahadat, lalu Jibril mendatangi Nabi, dan Samud diganti namanya menjadi
Abdullah bin Salam.
Usul 6 Bis
Kitab ini termasuk kitab akidah awal yang diajarkan di Jawa, seperti telah disebutkan
di atas. Kitab ini kemudian disalin kembali pada tahun 1900-an, menjadi
kitab Samarqandi. Kitab Asmarakandi, naskahnya di antaranya telah disunting dan
diterjemah oleh Mifedwil Jandra (1986) dalam Asmarakandi Sebuah Tinjauan dari
Aspek Tasawuf, yang dikerjakan sebagai Proyek Penelitian Pengkajian Kebudayaan
(Javanologi) (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986). Marsono (AKDBJ,
2019: 8) mempertegas bahwa “Teks Usul Enam Bis ini dipakai di lingkungan
pendidikan pesantren pada zaman kerajaan Demak (+1500-1550 M) (Jandra, 1986:
143).
Kitab Asmarakandi ini, di Pesantren diperkenalkan melalui Imam Nawawi al-Bantani
yang menulis Syarah Qatrul Ghaits fi Masail Abi Laits. Apa saja isi dari
kitab Asmarkandi ini, saya merujuk pada matan yang ada dalam Syarah Qatrul
Ghaits ini, dimulai dengan pertanyaan setiap masalah dengan “mas’alatun idza qila
laka”, demikian:
“Apa sajakah yang berhubungan dengan hakikat iman yang disebut
dengan tashdiq(membenarkan)?” Maka jawablah: “Aku percaya, aku membenarkan
dan aku mengakui Allah, para malaikat, kitab-kitab, para utusan, hari akhir dan qadar
baik dan buruknya dari Allah.”

“Bagaimana kamu beriman terhadap Allah ?” Maka jawablah: “Sesungguhnya Allah


Maha Esa, Maha hidup, Maha tahu, Maha kuasa Maha berkehendak, Maha
mendengar, Maha melihat, Maha berfirman, Maha kekal, Maha pencipta, Maha
memberi rizki, pengatur, Raja,  dengan tanpa sekutu, tanpa ada yang membalikkan,
dan tanpa penetang.”

“Bagaimana cara kamu beriman terhadap para malaikat?” Maka jawablah:


“Sesungguhnya para malaikat itu terdiri dari beberapa golongan (bermacam-macam
keadaan, pekerjaan, dan bentuknya). Di antara mereka adalah pemanggul Arsyi; di
antara mereka adalah Hafun; dan di antara mereka adalah Ruhaniyun; dan di antara
mereka adalah Karubiyun; da di antara mereka adalah safarah: Jibril Mikail Israfil dan
Izarail; dan di antara mereka adalah hafazhah; dan di antara mereka adalah Katabah,
yang semuanya diciptakan beribadah kepada Alloh, tidak disifati dengan laki-laki dan
tidak perempuan, juga tidak banci, cdan mereka tidak memeliki syahwat, tidak
memeliki nafs, tidak memeliki ayah, ibu, tidak minum, tidak makan, dan tidak
bermaksiat kepada Alloh terhadap apa-apa uyang diperintahkan kepada mereka, dan
mereka mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka. mencintai mereka
adalah syaratnbya iman dan nembenci mereka adalah kufrun.”
“Bagaimana cara kamu beriman terhadap kitab-kitab?” Maka jawablah:
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan beberapa kitab kepada para Nabi-Nya dan
kitab-kitab tersebut yang diturunkan pada para utusan di dalam beberapa papan atau
melalui perkataan malaikat, bukanlah berupa makhluk (kitab-kitab yang diturunkan
merupakan susunan dari Allah bukan susunan makhluk), bersifat qwadim (dahulu)
tanpa ada pertentangan. Barangsiapa yang yang ragu terhadap 1 ayat atau 1 kalaimat
saja dari kalimat-kalimat itu, faqod kafara.”

“Berapa kitab yang telah Allah turunkan kepada para nabi-Nya yang menjadi rasul?”
Maka jawablah: “Ada 104 kitab. Kitab-kitab yang diturunkan Nabi Adam  ada 10
kitab;  dan Alloh menurunkan kitab di antaranya 50 kitab kepada Syits; dan Alloh
menurunkan kitab di antaranya 30 kitab kepada Idris; dan Alloh menurunkan kitab di
antaranya 10 kitab kepada Ibrahim; dan Alloh menurunkan Injil kepada Isa; dan Alloh
menurunkan Taurat kepada Musa; dan Alloh menurunkan Zabur kepada Dawud; dan
Alloh menurunkan Al-Qur’an kepada nabi Muhammad al-musthafa.”

“Bagaimana cara kamu beriman terhadap para Nabi?” Maka jawablah:


“Sesungguhanya awal para Nabi adalah Adam, dan akhir mereka adalah Sayyiduna
Muhammad asholawatulloh alaihim ajmain. Semuanya diberitakan sebagai pemberi
nasihat, jujur, menyampaikan hal-hal yang diberitakan kepada mereka, memerintah
(yang diperintahkan), dan mencegah (yang dicegah), yang dipercaya Alloh, dijaga
dari berbuat dosa (mashumin) dari dosa kecil dan besar. Mencintai mereka adalah
syarat iman dan membenci mereka kufrun.”

“Berapa jumlah dari orang nabi yang memiliki syariat?” Maka jawablah:  “Ada 6
orang, yaitu nabi Adam AS, nabi Nuh AS, nabi Ibrahim AS, nabi Musa AS, nabi Isa
AS, dan nabi Muhammad SAW, sholawatullohi alaihim ajamin. Dan setiap syariat
dihapus dengan syariat Nabi Muhammad shollahu alaihi wasallam.”

“Berapa jumlah para nabi” Maka jawablah: “Ada 124.000 nabi.”

“Berapa banyaknya para nabi yang menjadi rasul?” Maka jawablah: “Ada 313 yang
diangkat sebagai rasul.”

“Menghafal nama-nama dan jumlah hitungan mereka (para rasul) apakah menjadi
syarat sahnya iman kita atau tidak?” Maka jawablah: “Bahwa menghafal nama-nama
dan jumlah hitungan tersebut tidaklah menjadi syarat sahnya iman bagi kita semua,
karena ada kalam Alloh: “…di antara mereka(para utusan) ada yang Kami ceritakan
kepadamu ( cerita mereka) dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan
kepadamu” (QS. Al-Ghafir ayat 74).

“Bagaimana cara beriman terhadap adanya hari akhir?” Maka jawablah:


“Sesungguhnya Allah SWT akan mematikan seluruh makhluk, kecuali makhluk yang
ada di surge dan neraka, sesudah itu mereka dihidupkan kembali oleh Alloh,
dikumpulkan di padang mahsyar untuk dihisab, lalau dihukum secara adil. Makhluk
yang ada (selain malaikat), akan mati semua; mereka yang fasiq akan masuk neraka
sampai habis kadar dosanya; adapun orang mukmmin masuk surga selama-lamanya.
Surga dan penghuninya itu tidaklah binasa. Siapa yang ragu terhadap perintiwa
tersebut , sekalipun hanya  sebgiannya, faqod kafara.”

“Bagaimana cara engkau beriman terhadap qadar (ketentuan) baik dan buruknya dari
Allah?” Maka jawablah: “Iman kepada takdir baik dan buruknya, caranya dengan
mempercayai bahwa Allohlah pencipta  semua makhluk, Dia memberi petunjuk dan
larangan, Dia menciptakan lauh dan Qalam, dan memerintah kepada keduanya untuk
mencatat amal-amal setiap hamba. Perbuatan taat itu sebab qadha dan qadar Alloh
pada zaman azali (dahulu) da sebab iradat-Nya, perintah dan ridha-Nya. Perbuatan itu
juga sebab qadha Alloh, takdir dan iradat-Nya di zaman azali, tetapi bukan sebab
perintah atau ridha-Nya. Semua makhluk itu akan diberi pahala dan akan disiksa
melalaui janji dan ancamannya.”

“Apakah iman terbagi-bagi atau tidak?” Maka jawablah: “Iman tidak terbagi-bagi,
karena sesungguhnya iman adalah cahaya di hati, akal, jiwa anak cucu Adam, dan
petunjuk Allah terhadap orang mukmin. Orang yang ingkar bahwa iman merupakan
hidayah (petunjuk Allah) faqod kafaro.”

“Apa yang dikehendaki dengan iman (yang merupakan cahaya dan hidayat (petunjuk)
Allah SWT?” Maka jawablah: “Iman adalah sebuah ibarat (istilah) dari tauhid.”

“Shalat, puasa, zakat, cinta terhadap para malaikat, kitab-kitab, terhadap para rasul,
kepastian baik dan buruk dari Allah, dan lain sebagainya  yang berupa perintah,
larangan dan mengikuti jejak Nabi SAW, apakah semua itu iman atau bukan?” Maka
jawablah: “Bukan termasuk iman, sebab iman itu sebuah ungkapan tauhid, dan
sesuatu selain  tauhid hanyalah syarat syahnya iman.”

“Iman bersifatkan suci apa tidak?” Maka jawablah: “Iman itu disifati suci, dan kufur
disifati hadats dan membuat rusak semua anggota badan.”

“Apakah iman merupakan makhluk atau bukan?” Maka jawablah: “Iman merupakan
hidayat (petunjuk) Allah, membenarkan dengan hati terhadap apa yang telah dibawa
olah Nabi SAW dari Allah SWT, berikrar dengan lisan. Dan hidayah adalah ciptaan
Allah, dan dia  ada sejak dahulu. Sedangkan tashdiq (membenarkan) dan iqrar
keduanya adalah perbuatan manusi dan termasuk baru. Dan setiap yang datang dari
yang qadim dia adalah qadim, sedang yang datang dari yang baru dia adalah hal
baru.” Oleh syarah Qathrul Ghaits dipungkasi dengan: “Wallohu a’lam wa
shollallohu `ala sayyidina Muhamamdin walhamdu lillahi Robbil `alamin.”

 
Afiliasi Tasawuf/Tarekat di Masa Awal Islam Jawa/Di Kalangan Para Wali

Kesarjanaan tasawuf di kalangan para Arif Billah di kalangan penyebar Islam di Jawa
dibentuk melalui afiliasi tarekat atau amalan yang biasa dimiliki para sufi. Beberapa
afiliasi tarekat para penyebar Islam awal, di antaranya di sini disebutkan afiliasi Sunan
Bonang dan Sunan Kalijaga; Syaikh Siti Jenar, dan Sunan Gunung Jati. Sementara
soal Ilmu Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, akan dijelaksan di bagian tersendiri, dalam
tulisan tersendiri. Beberapa penjelasan soal afiliasi tasawuf tarekat ini, saya merujuk
kepada beberapa tulisan, yang untuk pendalaman lebih lanjut, bisa dilakukan dalam
kajian tersendiri, di antaranya:

Sunan Bonang-Sunan Kalijaga: Akmaliyah dan Syathariyah

Agus Sunyoto menyebutkan: “Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai guru ruhani yang
mengajarkan tarekat Syathariyah dari Sunan Bonang, sekaligus Tarekat Akmaliyah
dari Syaikh Siti Jenar, yang sampai sekarang ini masih diamalkan oleh para
pengikutnya di berbagai tempat di nusantara” (WSRSD, 2011: 148).

Hanya saja, Agus Sunyoto tidak menyebutkan sumber yang digunakan untuk
menunjukkan garis silsilah mnereka ini. Akan tetapi, sebagai seorang yang dekat
dengan para penganut Tarekat Akmaliyah, Agus Sunyoto tentu memiliki dan
mendapatkan dari para penganut Akmaliyah. Apa yang diungkapkan Agus Sunyoto
soal Akmaliyah, juga diungkapkan oleh KH. Muhammad Sholihin, yang juga
penganut tarekat Akmaliyah, ketika menjelaskan Syaikh Siti Jenar. Kalau merujuk
pada silsilah Syathariyah-Akmaliyah di Jawa Barat bersumber dari Syaikh Datuk
Kahfi, sangat mungkin Sunan Kalijogo, yang memang tinggal di Cirebon dan
kemudian ke Jawa Tengah, adalah juga berguru kepada Datuk Kahfi atau dari orang
yang belajar kepadanya; atau Sunan Bonang yang mengambil dari Cirebon, kepada
Datuk Kahfi yang sat itu dikenal sebagai psuat Syathariyah awal, atau bahkan dari
Pasai, karena Sunan Bonang juga pernah berkunjung ke Pasai, menurut bebarapa buku
yang membahas biografinya.

Syaikh Siti Jenar: Akmaliyah dan Syathariyah        

Muhammad Sholihin menyebutkan silsilah keilmuan tarekat Syaikh Siti Jenar, dan
mengungkapkan bahwa beliau mengikuti Tarekat Syathariyah dan Akmaliyah.
Tarekat Syathariyah diperoleh dari Datuk Kahfi Cirebon, yang merupakan pamannya;
dan Akmaliyah diperoleh dari Ahmad al-Baghdadi. Dalam merujuk silsilah ini, KH.
Muhammad Sholihin memberikan penjelasan ini:
“Dalam menulis silsilah keilmuan dan silsilah ajaran tarekat Syekh Siti Jenar tersebut,
selain banyak buku-buku kuno yang menjadi acuan seperti Manuskrip Ajaran Tarekat
Syathariyah, manuskrip asli tulisan tangan, t.d.p (ditulis sekitar tahun 1820); dan
salinan kembali kitab Talamis (ditulis sekitar 1800); dan beberapa naskah yang
menjadi pegangan  bagi penganut tarekat Akmaliyah yang dinisbahkan kepada Syekh
Siti Jenar, juga penulis lakukan cek silang dengan sumber-sumber mutakhir….”
(MKG, 2014: 312).

Afiliasi tarekat Syathariyah Syaikh Siti Jenar, bersumber dari Syaikh Datuk Kahfi
Cirebon, dari Syaikh Datuk Ahmad, dari Syaikh Datuk Isa Tuwu Malaka, dari Syaikh
Jamaluddin al-Ghujarati, dari Amir Syah Jalaludin, dari Amir Abdullah Khannudin,
dari Syaikh Hajj al-Kushuri, dari Syaikh Hidayatullah Sarmat, dari Syaikh Abdullah
Syattar, dan terus ke atas sampai kepada Kanjeng Nabi Muhammad.

Afiliasi tarekat Akmaliyah Syaikh Siti Jenar, diperoleh dari Ahmad al-Baghdadi, dari
Darwisy Muhammad, dari Sayyid Muhammad Nurbakhsy, dari Khwaja Ishaq
Kuttalani, dari Alaud Daulah as-Simnani, dari Rdhiuddin Aliyi Lala, dari Najmuddin
Kubro al-Khawarizmi, dan sampi ke atas kepada Nabi Muhammad. Hanya saja,
silsilah Akmaliyah dari jalur ini, dari Nabi kepada sahabat Abu Bakar, lalu kepada
sahabat Salman Al-Farisi, kepada Husain bin Ali, lalu ke bawah sampai kepada
Syaikh Najmuddin Kubro, berbeda dengan silsilah Kubrowiyah yang dimiliki Alaud
Daulah As-Simnani, sebagaimana dikaji oleh Jamal J Elias dalam The Throne Carrier
of God: The Life and Thougth of `Ala ad-Dawlah as-Simnani; meskipun tidak
menutup kemungkinan, apa yang diungkapkan dalam silsilah versi Akmaliyah,
mengingat silsilah Simnani dan Najmuddin Kubro memang jauh lebih luas dari apa
yang dikemukakan Jamal J Elias. Kalau yang dikemukakan KH. Muhammad Sholihin
dianggap benar, maka jalur silsilah Akmalaiyah itu, sebuah jalur tersendiri dan
memang tidak banyak diungkapkan.

Untuk membandingkan ini, saya akn mengutip silsilah tarekat Alaud Daulah Simnani
yang diungkapkan oleh jamal J Elias; dan silsilah Akmaliyah yang sampai kepada
Syekh Siti Jenar dari jalur Alaud Daulah Simnani, demikian:

Pertama, menurut Jamal J Elias, tarekat Simnani berhubungan dengan silsilah dari
Imam Ali, bukan dengan Sayyiduna Abu Bakar, yaitu melalui jalur yang bertemu
dalam keguruan Imam Junaid al-Baghdadi, demikian: (1) Alaud Daulah as-Simnani,
dari Isfaraini, dari Najmudidn Kubro, dari Ammar Bidlisi, dari Abu Najib as-
Suhrawardi, dari Abdullah, dari Wajihuddin Umar, dari Muhamamd bin Amawiyah,
dari Siyah ad-Dinawari, dari Mimsyad ad-Dinawari, dari Junaid al-Baghdadi sampai
kepada Imam Ali; (2)  Alaud Daulah as-Simnani, dari Ahmadi Gurpani, Radhiyuddin
Aliyi Lala, dari Majduddin Syaikhan, dari Munawwar, dari Abu Thahir, dari Abu Said
Avbul Khair, dari Abul Fadhal Hasan as-Sarakhsyi, dari Sarraj, dari Muhamamd
Murtasiy dari Junaid al-baghdadi; (3) Alaud Daulah as-Simnani, dari Nuruddin
Isfaraini, dari Ahmad Gurpani, dari Radhiyuddin Aliyi Lala, dari Majduddin al-
Baghdadi, dari Najmuddin al-Khiwaqi al-Kubro, dari Ammar bin Yasir al-Bidlisi, dari
Abu Najib as-Suhrawardi, dari Ahmad al-Ghazali, dari Abu Bakar an-Nasaj, dari Abul
Qosim al-Jurjani, dari Abu Utsman al-Maghribi, Abu Ali al-Khatib, dari Abu Ali ar-
Rudbari, dari Junaid al-Baghdad, dari Sirri as-Saqati, dari Ma’ruf al-Karkhi, dari
Dawud ath-Tha’i, dari Habib al-Ajami, dari Hasan al-Bashri, dari Imam Ali, dari Nabi
Muhammad; (4) Alaud Daulah as-Simnani, dari Isfaraini dan Rasyiduddin Abdullah
bin Abul Qosim al-Muqri, dari Syihabuddin as-Suhrawardi dan seterusnya ke atas
(SST, 2007: 65-67).
Kedua, tarekat Sayyiduna Abu Bakar kepada Simnani menurut versi Akmaliyah, yang
menurun kepada Siti Jenar dengan sanad yang disebut KH. Muhamamd Sholihin
demikian: Siti Jenar dari Ahmad al-Baghdadi, dari Darwisy Muhammad, dari Sayyid
Muhammad Nurbakhsy, dari Khwaja Ishaq Kuttalani, dari Alaud Daulah as-Simnani,
dari Radhiuddin Aliyi Lala, dari Najmuddin Kubro al-Khawarizmi, dari Ali al-
Hamdani, dari Abu Yaqub Yusuf al-Hamdani, dari Abu Ali al-Farmadzi, dari Abu
Hasan al-Kharaqani, dari Abu Abdullah bin Muhamamd al-Khafif, dari Abu Ali ar-
Rudbari, dari Abu Husain an-Nuri, dari Abu Said al-Kharraz, dari Abu Yazid al-
Bushthami, dari Imam Jafar ash-Shodiq, dari Muhamamd al-Baqir, dari Ali Zainal
Abidin, dari Husian bin Ali, dari Salman al-Farisi, dari Abu Bakar ash-Shidiq, dari
Nabi Muhammad sholllohu alaihi wasallam (MKG, 2011: 317).

Dari silsilah Simnani sampai kepada Abu Yazid, yang disebutkan KH. Muhammad
Sholihin, dari sudut silsilah dengan jalur di atas, suatu yang jarang disebut. Akan
tetapi, Alaud Daulah as-Simnani meskipun masanya jauh dengan Abu Yazid, ternyata
memang pernah menjadi guru pertamanya dalam dunia sufi. Dan, justru ini didukung
oleh penjelasan Jamal J. Elias, yang tidak menyebut silsilah tarekat Simnani kepada
Sayyiduna Abu Bakar, dan menyebutkan begini: “Guru pertamanya di bidang sufi
adalah Abu Yazid al-Bisthami, yang menampakkan diri di alam spiritual selama kira-
kira dua tahun” (SPST, 2007: 70).

Dengan demikian, silsilah Simnani yang diterima para penganut Akmaliyah melalaui
Syekh Siti Jenar, merupakan jalur tersendiri di luar apa yang selama ini sudah dikenal,
dimana Kubrowiyah, sebagai afiliasi tarekat Siamnani, dihubungkan dengan tarekat
Imam Ali, dan bukan dengan Abu Yazid al-Busthami sampai Sayyiduna Abu Bakar.

Sunan Gunung Jati: Kubrowiyah dan Sadziliyah


Dalam Pustaka Negara Kretabhumi (PNK), yang merupakan kumpulan Pustaka
Wangsakerta, disebutkan soal bergurunya Syarif Hidayatullah kepada Tajuddin al-
Kubri selama 2 tahun dan Syaikh Ataullah Sajjili. Naskah PNK ini ditulis antara
1667-1698, dan menjadi sumber penulisan CPCN karangan Pangeran Arya Cirebon
yang ditulis pada tahun 1720. Naskah PNK ini telah dialihaksarakan dan diterjemah
ke dalam bahasa Indonesia oleh Tim Penggarapan naskah Pangeran Wangsakerta
melalaui yayasan Pembangunan Jawa Barat, dan penggarapan naskah PNK itu
dilakukan oleh Edi S Ekadjati dkk.

Dalam naskah PNK (hlm. 10, baris 10), disebutkan guru dari Syarif Hidcayatullah
begini: “Ri sampunnya Syarip Hidayat yuswa taruna, Akara rwang puluh warsa,
Rasika dharmesta mwang ahyun dumadhya carya gameslam, Matangyan lung taya
ring Mekkah, Ri kanang rasiko maguru ring Syekh Tajuddin al-Kubri lawasnya
rawang warsa, I rika taya ring syekh Ataullah Sajjili ngaran niranung pangatunya
iumam sapingi.” Terjemahnya: “Pada waktu Syarif Hidaytatullah menginjak dewasa,
Kira-kira 20 tahun, Beliau sangat takwa dan ingin menjadi guru agama Islam,
Sehingga pergilah ia ke Mekkah, Di sana ia berguru kepada Syekh Tajuddin al-Kubri
selama 2 tahun, Pada saat itulah ia di Syekh Ataullah Sajili, namanya yang menganut
Imam Syafii” (Dadan Wildan, SGJ, 2003: 15).

Guru Syarif Hidayatullah, yang disebut dengan Syaikh Tajuddin Kubri, dapat diduga
adalah salah satu guru Tarekat Kubrowiyah, meskipun tidak harus dihubungkan
dengan Syaikh Najmuddin Kubro secara langsung. Hal ini juga diungkapkan
dalam Sejarah Banten Rante-Rante (SBR) dan Babad Cirebon versi Brandes-Ringkes.
Dalam SBR, disebutkan bahwa Sunan Gunung Jati berguru kepada guru Kubrowiyah,
dari jalur Ismail al-Qashri (salah satu guru  Najmuddin al-Kubra), bukan melalaui
jalur Ammar al-Bidlisi.

Dalam SBR, silsilah Kubrowiyah Sunan Gunung Jati, sebagaimana juga disebutkan
dan dikutip Martin van Bruinessen (1999: 224-225) disebutkan begini: Ismail al-
Qashri, dari Muhamamd bin Malik al-Mankidi (harusnya al-Mankili), dari Dawud bin
Muhammad, dari Abul Abbas Idris, dari Abul Qosim bin Ramadhan, dari Abu Ya’qub
ath-Thabari, dari Abu Abdullah bin Utsman, dari Abu Yaqub Nahari Judi (harusnya
an-Nahrajuri), dari  Abu Yaqub as-Susi, dari Abdul Wahid bin Zaid, dari Kumail bin
Ziyad, dari Ali al-Murtadha, dari Nabi Muhammad.

Silsilah Kubrowiyah dari Najmuddin Kubro melalui  silsilah Ismail al-Qashri ini, juga
disebutkan oleh Jamal J Elias (SPST, 2007: 67-68), sebagai salah satu pohon silsilah
Kubrowiyah. Hanya saja, yang perlu difahmi  ketika disebut Syarif Hidayatullah
disebut berguru kepada Tajuddin al-Kubri, perlu dibaca sebagai salah satu guru
Kubrawiyah, bukan langsung kepada Syaikh Najmudidn Kubro, karena Syaikh
Kubrowiyah ini wafat pada tahun  1221 M dan dimakamkan di Khawarizmi.
Sementara Syarif Hidayatullah pergi ke Mekkah menurut BTS adalah tahun 1466
Masehi (dalam SGJ, 2007: 45).
Tentang tarekat Kubrowiyah dan silsilah Kubrowiyah Syarif Hidayatullah di atas,
Martin van Bruinessen, menyebutkan silsilah yang sama terdapat dalam karya yang
disusun oleh sufi Madinah abad ke-17 yang sangat terkenal, Ahmad al-Qusyasyi
berjudul Simtul Majid. Ahmad al-Qusyasyi, selain menjadi guru Naqsyabandiyah,
Syathariyah, dan tarekat lain, juga menjadi dan berafiliasi dengan Kubrowiyah.
Ahmad Al-Qusyasyi menerrima dari guru-gurunya, yang silsilah Kubrowiyahnya
berasal dari silsilah Ismail al-Qashri, bukan dari Ammar bin Yasir al-Bidlisi.

Dalam SBR, kemudian disebutkan nama orang-orang yang belajar bersama Syarif
Hidayatullah di Mekkah, dan di antaranya adalah para guru Kubrowiyah, yang juga
ada dalam silsilah Ahmad al-Qusyasyi. Di antara nama-nama yang disebutkan,
mereka pernah bersama belajar di Mekkah, kepada Najmuddin Kubro, berjumlah
sekitar 27 orang, dan di antaranya, dari kalangan Syaikh Kubrowiyah ada sejumlah 6
orang, yaitu: Majdudin al-Baghdadi, Ahmad al-Jasadafani ar-Rudbari (harusnya al-
Jurjani ar-Rudbari), Syihabuddin Dimasyqi, Alaud Daulah Astambi (harusnya as-
Simnani), Mahmud al-Mazdaqani, Zakariya al-Anshari, Ishaq Abul Hattan (Ishaq al-
Kuttalani), Abdul Wahab asy-Syaroni, Syah Ali al-Bidud (al-Bidawazi), Ahmad as-
Sinnawi, dan Abdul Lathif al-Jami (bukan Abdurrahman Jami).

Di antara tokoh Kubrowiyah yang disebut itu, Abdul Lathif al-Jami (wafat
1555/1556)-lah yang hidup sezaman dengan Syarif Hidayatullah, dan telah membaiat
Sultan Turki Utsmani ke dalam Kubrowiyah. Martin van Bruinessen menyebutkan
soal ini: “Kita tidak mempunyai catatan  tentang dampak kehadiran Syaikh Abdul
Lathif al-Jami di Mekkah ketika dia menunaikan haji, tetapi dapat dipastikan bahwa
kehadirannya tersebut memberikan dampak yang cukup kentara. Kedatangan
pembimbing ruhani Sultan, yang mengadakan perjalanan disertai sejumlah besar
pengikutnya, hampir tidak mungkin terlewatkan tanpa menarik perhatian  orang
banyak, dan mungkin menjadi salah satu peristiwa penting yang masih menjadi
pembicaraan umum pada tahun-tahun berikutnya” (KKPT, 2007: 229).

Karena berita bahwa Abdul Latif al-Jami dari Kubrowiyah telah mebaiat Sultan
Utsmaniyah menyebar di Mekkah, tentu hal itu juga sampai ke Banten, melalaui orang
yang belajar di kota suci itu pada tahun-tahuan hidupnya itu Abdul Latif al-Jami. Dan,
Syarif Hidayatullah seperti disebut SBR, menyebut Abdul Latif al-Jami sebagai salah
satu dari 27 orang yang belajar kepada Syaikh Najmuddin Kubro. Maksudnya tentu
adalah belajar dari tarekat yang diajarkan Syaikh Najmuddin Kubro melalaui guru
silsilah bersambung.  Dengan demikian, ketika berita ini sampai ke Banten atau tanah
Jawa, tentu meyakinkan bahwa tarekat sufi ini merupakan ngelmu hebat, yang
berguna untuk dimiliki (atau setidaknya diklaim untuk dimiliki), dan dengan demikian
khazanah Kubrawiyah juga dikenal di Jawa.
Sedangkan dalam tarekat Sadziliyah, sebagaimana disebutkan di atas, Syarif
Hidayatullah juga berguru kepada Syeh Ataullah Sajjili, atau tepatnya Ibnu Athaillah
as-Sakandari as-Sadzili (1250-1309 M). Kalau berpatokan dengan tahun Syarih
Hidayatullah ke Mekkah, yaitu yaitu 1446, maka sangat mungkin yang dimaksud
adalah guru yang bersambugn silsilahnya sampai kepada Ibnu Athaoillah as-
Sakandari, bukan langsung kepada Ibnu Athaillah; kecuali kalau pembaiatan secara
barzakhilah yang terjadi.

Tentang tarekat Sadziliyah ini, yang juga menyebar di kalangan masyarakat awal
Islam Jawa, juga disebutkan oleh poros spiritual Jawa di kemudian hari, yaitu
Hadhratusy Syaikh Hasyim Asyari, di dalam kitab Risalatu Ahlis Sunnah
Waljamaah begini: “Kaum Muslimin di kawasan Jawa sejak zaman dahulu menganut
satu pendapat dan satu madzhab, satu sumber. Dalam fiqh menganut madzhab yang
bagus, madzhab  Imam Syafi`i, dan dalam ushuluddin  (tauhid) menganut madzhab
Imam Abul Hasan al-Asy`ari, dan dalam tasawuf menganut madzhab Imam al-
Ghozali dan Imam Abul Hasan as-Sadzili” (RASW, 1999: 7).

Beberapa tarekat lain, akan dibicarakan di bagian tersendiri, terutama Ilmu Syaikh
Abdul Qadir al-Jilani, yang juga sudah dikenal di Jawa di masa awal Islam Jawa. Ilmu
Syaikh Abdul Qadir bertumpu pada wirid-wirid dan kesalehan yang dibangun
melalaui penempaan laku tarekat, seperti ikhlas, sabar, dan sejenisnya;
menggambarkan nafsu melalaui simbol-simbol warna; dan kesaktian-kesaktian, yang
dihubungkan dengan syaikh.

Tasawuf: Memperkenalkan Konsep-Konsep

Dengan melihat rujukan pada kitab tauhid, fiqh, dan tasawuf, yang diajarkan di zaman
awal Islam Jawa di atas, para penyebar Islam, berusaha menyatukan kesesuaian secara
seimbang antara tiga tradisi Islam: tauhid, fiqh, dan tasawuf; sekaligus menunjukkan
bahwa para penyebar Islam di Jawa telah berhubungan dengan pusat Islam di luar
Jawa. Penyatuan tiga tradisi ini adalah kreativitas yang menghasilkan gerakan dinamis
untuk menyusun konsep-konsep spiritual; meletakkan dasar-dasar kebudayaan, etika
publik, dan perjuangan politik, sekaligus penyebaran Islam di kalangan bangsawan
dan masyarakat.

Di antara para penyebar Islam Jawa awal, Sunan Bonang, Syekh Siti Jenar, dan Sunan
Kalijaga meletakkan dasar-dasar konsepsi olah spiritual dan kebudayaan; Sunan Giri
dan Sunan Gunung Jati banyak fokus di pemerintahan dan penyebaran Islam di
berbagai daerah dengan mengirim murid-murid Giri ke berbagai daerah, dan wali-wali
lain tidak dibahas di sini. Generasi berikutnya pada zaman Pajang, Mataram di Bumi
Mentaok dan Kartasura, juga masa seterusnya di kalangan Islam Jawa banyak
mengambil manfaat dari kerja-kerja keras mereka.

Penyusunan Konsep-Konsep Tasawuf, Sunan Bonang

Sunan Bonang atau Makhdum Ibrahim, adalah wali yang banyak diceritakan menjadi
guru Sunan Kalijaga dan menulis banyak karya, dan mempengaruhi banyak kultur
pengetahuan masyarakat Jawa. Waktu muda pernah belajar ke Pasai, dan beberapa
biografinya, menceritakan pernah diajak ayahnya ke Tartar, China, dan beberapa
tempat. Setelah itu, berdakwah di Tuban dan dikenal dengan Bonang, merujuk pada
alat musik untuk berdakwah dalam bentuk gong kecil. Nama Bonang juga ada yang
menghubungkan dengan singkatan dari nama-nama muridnya (SBWSGS, 2016: 59):
Bian Sonang, Omar Maliki, Nawu Maliki, Awanang Maliki, Nawas Maliki dan
Guntur Maliki.

Hidupnya tidaklah membujang, seperti dianggap sebagian penulis tentang wali ini,
karena ada kata-kata Ratu Wahdat dalam Suluk Wujil, dan diterjemahkan dengan
selibat, atau tidak beristri. Dalam buku Tarikhul Auliya (1952: 8), Sunan Bonang
disebut menikah dengan Dewi Hirah, putri Raden Jakandar Madura (Sunan Malaka),
dan memiliki seorang istri yang bernama Dewi Ruhil, dan diperistri oleh Sunan
Kudus. Sunan Bonang ini wafat pada pada tahun 1525 (awal abad ke-16) dan
dimakamkan di Tuban, yang kini terletak di pusat kota Tuban, sebelah barat Masjid
Agung Tuban; dan terletak di  di Dukuh Kauman, kelurahan Kutorejo, Kecamatan
Tuban.
GWJ Drewes dalam Javanese Poems Dealing With  or Attributed to The Saints of
Bonan, menyebutkan beberapa karya yang telah bisa diidentifikasi dan ditemukan,
dihubungkan dengan Sunan Bonang, yaitu: Suluk Wujil, Suluk Kalipah, Suluk
Kadresan (Suluk Nasmara), Suluk Regul (Suluk Wragul), Suluk Bentur, Suluk Kan
Pipirinan Susuhunan Bonan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linlung, Gita Suluk,
Wasiyat Susunan Bonang, Gita Suluk Sin Aewuh, dan Gita Suluk Jebeng. Karya-karya
ini belum termasuk yang disebut Primbon Sunan Bonang, atau Pitutur Syeh Bari.

Dari beberapa karyanya itu, mencerminkan apa yang diperjuangkan dan ditanamkan
di dalam masyarakat Jawa, berkaitan dengan konsep-konsep tasawuf, di antaranya:

Mengenal diri sendiri. Melalui Suluk Wujil (SW, versi yang saya gunakan adalah


transliterasi Sri Harti Widyastuti, Mekar, 2001), kepada muridnya (Wujil), Sunan
Bonang memperkenalkan konsep man `arofa nafsahu arofa robbahu. Dalam SW bait
22-23 disebutkan begini: “Sebaiknya kini engkau Wujil, kenalilah dirimu sendiri.
Benar-benar seperti terlentang badanmu itu. Wujil jika engkau matikan yang
mengenal diri, tindakannya tak bosan mengekang. Yang mengekang tubuhnya, yang
diperhatikan kekurangannya, yang diingat terus menerus; Wujil, yang mengenal diri
sendiri dia mengenal Tuhan. Tidak bicara jika tidak ada rahasia yang diajarkannya…”

Cara yang dianjurkan adalah mematikan hawa nafsu: “…orang-orang yang benar-
benar mengetahui, mampu mengekang hawa nafsu, siang malam memelihara
penglihatannya tidak pernah tidur” (SW, bait 25); “Hendaklah mengekang hawa
nafsumu hai Wujil, jika sudah engkau ikat jangan terlalu banyak bicara, jangan terlalu
memaksakan kehendak, menuruti kehendak pribadi. Itu jalan yang tersesat, yang
diandalkan pendapat sendiri” (SW, bait 43)

Pujian dan sembah yang tak terputus. Dalam SW Sunan Bonang memperkenalkan:


“Kebaktian yang unggul tak mengenal waktu. Semua tingkah lakunya itulah
sembahyangnya. Diam dan bicara segala gerak tubuhnya, tak urung jadi sembah,
sampai pada wujudnya pun kotoran dan air kencingnya menjadi sembah. Itulah yang
dikataka niat yang sejati, pujian yang tidak terputus-putusnya. Niat itu lebih penting
dari perbuatan yang banyak” (SW, bait 39-40).
Tinunggal Karsa. Sunan Bonang dalam SW memperkenalkan konsep “Manunggal
dengan kehendak Pangeran”, begini: “…Jika engkau ingin menemukannya, hilangkan
dulu nafsu-nafsumu (tahapan-tahapan harus dilalui). Jika engkau sudah
menemukannya, maka engkau akan menemukan kemauan manunggal dengan
kehendak”;  “Tunggal rupa berbeda nama, tunggal kehendak berlainan rupanya,
manunggal segalanya. Setelah manunggal serta setia dalam mati dan hidup, tiada
larangan perihal sandang dan pangan. Semua kehendaknya manunggal dengan
kehendak Tuhan. Orang yang dikasihi tidak boleh memilih atau membagi. Itulah
tanda manunggalnya kehendak (tinunggal karsa)”; “Orang yang membagi dan
memilih ialah orang yang berada di luar, tidak tahu akan keadaan di dalamnya…”
(SW, bait 72-73).
Engkau bukan al-Haqq dan al-Haqq bukan engkau. Sunan Bonang dalam SW
memperkenalkan  pembedaan antara makhluk dan al-Haqq: “Berhati-hatilah dalam
hidup di dunia, jangan lengah sembrono dalam tindakan. Ketahuilah sungguh-
sungguh bahwa engkau bukan al-Haqq, dan Al-Haqq bukanlah engkau. Barangsiapa
mengenal diri, semata-mata dia mengenal Yang Widhi. Itulah jalan yang sebaik-
baiknya.” (SW, bait 11).
Padudoning Kawulo Gusti. Dalam karya yang lain, Primbon Sunan Bonang
atau Wejangan Syeh Bari, Sunan Bonang memperkenalkkan konsep Padudoning
Kawula Gusti, ketika sudah mengalami fana’ dalam pengamalan tasawuf. Begini yang
ditulis: “Padudoning kawula gusti, sifating pangeran tan dadi sifating makhluk,
sifating makhluk tan dadi sifating pangeran” (Kebukanan hamba dan Tuhan; Sifat
Pangeran tetap bukan sifat makhluk dan sifat makhluk tetap bukan sifat Pangeran).”
Qalbul mu’min min Baitillah. Dalam Gita Suluk, seperti dikutip Drewes
dalam Javanese Poems mempoerkenalkan konsep begini: “The hearts of the belevier
is the abod of the a Lord (qalbul mu’min min baitillah). Dalam SW Sunan Bonang
memperkenalkan manusia adalah cermin Tuhan, dengan membuat contoh-contoh
muridnya, Wujil dan Satpada agara bercermin di sebuah cermin dari depan, lalu
pindah di belakang cermin, dan disuruh menyebut apa yang terlihat. Ketika Wujil dan
Satpada memperlihatkan kepada cermin maka  dia terlihat dalam cermin, tetapi ketika
dia tidak memperlihatkan, maka tidak terlihat.
Melihat dengan mata hati. Sedangkan dalam Wejangan Syeh Bari atau Primbon
Bonang, disebutkan “Ru’jatullahi iku aroes tan aroes. Mangka aketjap Shaich al-
Bari: e Rijal…! Tegesing ru’jat ikoe: aningali ing Pangeran ing aherat lan mata
kepala ing doenja lan mata ati.” Terjemahnya: “Melihat Alloh itu melihat, tetapi
tidak melihat. Sheikh al-Bari berkata: “Wahai manusia…! Arti ru’yat itu melihat
Allah dengan mata kepala di akhirat dan di dunia dengan mata hati.”
Melihat Tanpa Penyerupaan. Dalam Wejangan Syeh Bari, disebutkan “tegese ikoe ta
kabeh dening saja moendak martabate sinampoernaken tingale dening Pangeran dadi
tan sak tingale ing dat-sifat-af’al ira, mapan kang tiningalan bila tasybih, kang
aningali pon bila tasybih.” Terjemahnya: “Maksudnya itu adalah, semakin tinggi
martabat seseorang maka akan semakin sempurna penglihatannya terhadap Allah
hingga sampai pada dzat, sifat dan perbuatan mu. Allah dapat nampak tanpa
penyerupaan dan yang melihat juga melihatNya tanpa penyerupaan (kepada
makhluk)”
Sholat daim. Sunan Bonang, juga dalam Suluk Wujil, memperkenalkan konsep
laku sholat daim untuk menyempournakan laku seorang mukmin, selain tetap
menjalani sholat 5 waktu, disebutkan begini: “Utama sarira puniki, Angawruhana
jatining salat, Sembah lawan pamujine jatining salat iku, Dudu ngisa tuwin maghrib,
Sembahyang araneka, Wenange puniku, Lamun ora nana sholat, Pan minongko
kembange sholat daim, Ing aran tatakrama.” Terjemahnya: “Yang paling utama
untuk manusia, Adalah mengenal jatinya sholat (intisari), Sembah lan pujian, Sholat
yang sempurna itu, Bukan (semata menjalankan) isya dan maghrib (lima waktu),
Yang disebut sembah, Terhadap ketuhanan itu berlaku, Tidak ada solat (yang sejati),
(Sholat yang sejati) adalah berbunga sholat daim, Dinamakan tatakrama” (versi
terjemahan dalam MDTKB, 1988: 212).

Di luar konsep-konsep itu, penyusunan konsep-konsep lain yang ingin ditanamkan,


bisa ditelusuri lebih dalam sebagaimana dalam karya-karya Sunan Bonang di atas.
Perlulah difahami bahwa Sunan Bonang adalah mewakili kelanjutan dari ilmu
ayahandanya, Sunan Ampel, disamping kelanjutan ini diterusakan melalui Pesantren
Giri oleh Sunan Giri.

Penyusunan Konsep-Konsep  Tasawuf, Sunan Kalijaga


Penyusunan konsep-konsep marifat dan penglihatan dalam pengalaman spiritual, juga
dilakukan Sunan Kalijaga, seperti tampak dalam Kidung Kawedar atau Kidung
Rumekso Ing Wengi dan Serat Kaki Walaka.  Dalam Kidung Kawedar, Sunan
Kalijaga menyusun konsep marifat dalam kerangka manusia sebagai sedulur papat
lima pancer, digambarkan ada empat pancer yang harus dirawat manusia, yang itu
dari sudut unsur ada pada tubuh manusia sendiri: darah, air ketuban (kakak), ari-ari
(adik), dan pusar; sementara kekuasaan Gusti Alloh di dalam diri manusia
didistribusikan, di antaranya melalaui 4 malaikat di empat penjuru: malaikat Jibril
memanggil untuk meneguhkan iman di hati; Ijrail yang memelihara hidup dan mati;
Israfil menerangi suluh kalbunya; Mikail yang mendistribusikan pakain dan makanan.
Konsep 4 pancer juga diungkapkan dalam Kidung Bonang (Agus S, WSKSD, 2011:
137), diungkapkan sebagai 4 malaikat di empat penjuru. Sunan  Kalijaga juga
mengungkap konsep tuwajuh jroning ati, sabar tawakkal, manfaat ayat Kursi,
memperkenalkan istilah wali, Ilmu Qulhu Balik (yang sekarang banyak dikenal
drnegan istilah ilmu Qulhu Sungsang), konsep wali, dan lain-lain. Dalam Serat Kaki
Walaka (SKW), Sunan Kalijaga memperkenalkan perjalanan dan mengungkap
perdebatan-perdebatan dan diskusi dengan mengutip para wali lain di tanah Jawa.
Untuk kreativitas Sunan Kalijaga dalam mengkonstruk konsep-konsep rohani, secara
lebih laus, akan diuraikan dalam pembahasan di bab tersendiri.
Penyusunan Konsep-Konsep, Syekh Siti Jenar
Penyusun konsep-konsep tasawuf  berikutnya yang sangat berpengaruh adalah Syekh
Siti Jenar. Salah satu konsep yang ditanamkan di Jawa oleh Syaikh Siti Jenara adalah
sebagaimana dikatakannya kepada Syaikh Domba: “Di dalam dadamu ada Al-Qur’an.
Sesuai apa tidak yang saya aturkan, Kanda (Syaikh Domba) pasti tahu?” (Serat Syaikh
Siti Jenar, pupuh 6:18).

Syaikh Siti Jenar juga memperkenalkan konsep Ingsun Sejati, dan memberi nama
Alloh dengan berbaga nama yang sudah akrab di Jawa dengan makna tauhid Islam,
seperti Pangeran Kang Murba ing Dumadi, Gusti Alloh, Prabu Satmata, dan beberapa
yang lain. Nama-nama Alloh ini memberikan pengertian konsep tauhid, terkait dengan
asma Alloh, tidak terbatas hanya satu atau dalam bahasa Arab, tetapi juga dapat
diterjemahkan dengan bahasa-bahasa lokal. Karena Syaikh Siti Jenar
memperkenalkan istilah Ingsun Sejati, sehingga dalam permusyawarat para wali dia
yang menyebutkan begini:

“Iyo ingsun iki Alloh, endi si malih, mapan arane malih, samngking ingsun
iki.” Syaikh Lemah Abang meneruskan: “Tidaklah saya berbicara soal jasmani lagi.
Apakah yang menjadi pokok masalah, sebenarnya bukan masalah jasmani; pada
tempatnya kita mengemukakan pendapat masing-masing, karena itu jangan ada
perasaan yang bukan-bukan, hendaklah saling mencari pengertian” (PWSM, 2002:
28). Yang dimaksud, manusia yang terlihat secara jasmani adalah sarana Ingsun
Sejati, dari sudut hakikat, karena yang sedang dibicarakan bukan aspek jasmaninya.
Syaikh Siti Jenar juga membuat konsep syahadat dengan makna yang dapat mudah
difahami oleh orang Jawa dan sesuai dengan pengalaman spiritual yang ditangkap
sang wali, seperti dalam Wejangan Walisanga, memaknai syahadat dari sudut
hakikat: ashadu, jatuhnya rasa; ilaha bermakna kesejatian rasa; illalloh bermakna
bertemunya rasa; Muhamamd, bermakna karya yang maujud; dan Pangeran bermakna
kesejatian hidup” (Wejangan Walisanga, 26: 82).
Sebagaimana juga Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, Syaikh Siti Jenar juga
mengemukakan konsep sholat daim; kalau tinunggal karsa dalam konsepsi Sunan
Bonang, ada manunggaling kawulo lan gusti dalam konsep Syaikh Siti Jenar (yaitu
manunggaling karsa), dan banyak lagi yang lain, seperti yang ada dalam kitab-kitab
yang memuat ajaran-ajaran yang dinisbahkan kepada Syaikh Siti Jenar, seperti Serat
Syaikh Siti Jenar dan Wejangan Walisanga.

Nur Muhammad dan Ilmu Hikmah di Zaman Awal Islam Jawa


Ada dua hal yang ditambahkan di sini, yaitu soal Nur Muhamamd di Jawa dan ilmu
hikmah. Tentang nur Muhamamd berhubungan dengan dua kitab, Daqoqiul
Akhbar dan Kitab Maulid. Tentang Daqoiq, telah disebutkan di atas, termasuk kitab
yanga wal diajarkan di Jawa. Sedangkan ilmu hikmah berhubungan dengan marifat
atas khowas-kowash dari amal-amal para wali yang dianugerahkan oleh Alloh; dan
aspeknya cukup luas, misalnya tentang penumbalan, tentang penjagaan dari gangguan
setan dan jin, dan lain-lain.
Nur Muhammad
Sebagian sarjana yang konsen terhadap kajian-kajian Jawa, seperti Martin van
Bruinessen, menyebutkan di antara kitab yang dipelajari di pusat-pusat penyebaran
Islam sejak awal adalah Syarah fi Daqoiq. Kitab ini maksudnya adalah Daqoiqul
Akhbar, yang disusun oleh Imam Abdurrahman bin Ahmad al-Qadhi, adalah kitab
yang membicarakan banyak aspek: kejadian Ruhul A’zom (Nur Muhammad),
kejadian Adam, malaikat dan sifat-sifatnya, malaikat Izrail, malaikat maut dan
cahayanya, dialog malaikat maut dan nyawa yang dicabut, setan dan caranya merobek
iman, adanya pemanggil, keadaan bumi dan kubur, memaggilnya ruh setelah keluar
dari badan, musibah atas diri mayit.
Selain itu Daoqiq juga membahas:  sabar atas musibah, keluarnya ruh atas badan,
adanya malaikat yang masuk sebelum Munkar dan Nakir, tentang malaikat Kiraman
Katibin, ruh yang keluar mendatangi rumah dan kuburnya, sangkakala maut, hari
kebangkitan dan mahsyar, adanya tiupan yang mengejutkan, hancurnya sesuatu
karena perintah Alloh, Alloh mengumpulkan sesuatu dari para malaikat, sifat dan
kondisi Buraq, tiupan sangkakala untuk kebangkitan, makhluk di padang makhsyar,
panasnya hari kiamat, dekatnya surga, agungnya hari kiamat, melayanmgnya buku
catatan amalan di hari kiamat, soal timbangan, mizan, neraka dan isinya, pintu-pintu
neraka, tentang jahanam, manusia digirim ke neraka, malaikat zabaniyah, ahli neraka
dan minumannya, berbagai siksa, keadaan peminum arak, yang keluar dari neraka, soa
surge yang tujuh, pintu-pintu surga, para bidadari, dan keadaan ahli surga.

Tentang Nur Muhammad dalam kitab itu disebutkan di antaranya: “Telah datang
keterangan dalam suatu hadits, sesungguhnya Alloh Ta`ala menciptakan pohon yang
mempunyai 4 dahan, dan menamakan pohon itu dengan syajaratul yaqin. Kemudian
Alloh menciptakan Nur Muhammad di dalam hijab dari intan  yang putih, seperti
umpamanya burung merak, lalu Alloh meletakkan intan itu di atas pohon itu, maka
intan itu bertasbih di atas syajarah itu kira-kira 70.000 tahun.”

“Kemudian Alloh menciptakan cermin kehidupan, lalu meletakkannya di depan Nur


Muhammad yang indah seperti burung merak itu. Ketika Nur Muhamamd itu melihat
dirinya di dalam cermin, maka jadi tahulah intan ini akan keelokan rupanya dan
kebagusan akhlaknya. Akhirnya Nur Muhamamd malu kepada Alloh Taala, sehingga
berkeringat. Keringat itu menetes 6 tetesan. Alloh menciptakan tetesan pertama Abu
Bakar; dan dari tetesan kedua Alloh menciptakan Umar; dari tetesan ketiga
menciptakan Utsman; dari tetesan keempat Alloh menciptakan Ali; dari tetesan
kelima Alloh menciptakan bunga mawar; dan dari tetesan keenam Alloh menciptakan
tanaman padi.”

“Kemudian Nur Muhamamd itu sujud 5 kali, maka jadilah bagi kita wajib sujud lima
kali itu, kefardhuan yang diwaktukan. Alloh mewajibkan 5 sholat kepada Muhammad
dan umatnya (melalaui isra mi’roj). Kemudian Alloh melipat Nur Muhamamd itu
sekali lagi, maka berkeringatlah Nur Muhammad karena malu kepada Alloh. Dari
keringat hidungnya, Alloh menciptakan malaikat; dan dari keringat wajahnya Alloh
menciptakan Arsy, Kursy, Lauh, Qolam, Matahari, Bulan, hijab, beberapa bintang dan
sesuatu yang yang ada di langit…,” dan begitu seterusnya.

Kalau kitab ini dipandang sebagai kitab  yang cukup awal diajarkan di Jawa di
samping kitab-kitab  akidah lain, seperti Usul 6 Bis atau Samarqandi (akan
dibicarakan dalam tulisan tersendiri), maka sejak awal pula harus diterima pandangan-
pandangan yang ada di dalamnya, paling tidak telah dibaca oleh para penyebar Islam
awal, dan di antaranya adalah konsep tentang Nur Muhammad.
Pada masa selanjutnya, kitab yang membicarakan soal Nur Muhammad adalah Kitab
Maulid Syarful Anam, dalam himpunan Kitab Maulid, yang oleh Michel Laffan
disebut beredar di dunia Islam Asia Tenggara, dan pernah divcetak di Bombay (SIN,
2015: 174); dan tentu saja, para penganut tarekat yangs emakin lama berkembang
luas.
Di antara pembahasan soal Nur Muhammad dalam Maulid Syarful Anam begini:
“Diriwayatkan dari Nabi Muhamamd shollallohu alaihi wasalam beliau bersabda:
“Aku telah menjadi Cahaya di sisi Alloh yang Maha Luhur, sejak 2000 tahun sebelum
Adam diciptakan. Cahaya itu senantiasa bertasbih kepada Alloh yang Maha Luhur.
Dan malaikat-malaikat mengiringi tasbih-tasbihnya. Ketika Alloh yang Maha Luhur
menciptakan Adam, Alloh menyisipkan Cahaya itu ke tanahnya, maka Alloh pun
menurunkanku ke bumi melalui sulbi Adam, membawaku dalam bahtera di sulbi Nuh,
lalu menjadikanku berada di sulbi Ibrahim, Sang Kholilulloh, saat ia dihempaskan ke
dalam api. Aku terus dipindahkan-Nya, dari satu sulbi ke sulbi suci yang lainnya, lalu
ke rahim suci dan agung, dan akhirnya mengeluarkanku, dari kedua orang tua, yang
tidak pernah sedikit pun menyeleweng.”
Ilmu Hikmah
Salah satu buah dari marifat adalah Ilmu hikmah, yang bermakna ilmu yang digali
dari mengerti atas khowas-khowas atau asror amal-amal dan dzikir-dzikir, yang
dijalankan melalui riyadhah dan ketekunan, sampai memperoleh anugrah dari Alloh.
Dalam tradisi Islam Jawa, tokoh yang sering dihubungkan dengan ini, di antaranya
adalah Syaikh Subakir, yang dianggap ahli dalam menumbali tanah Jawa; dan Syaikh
Syamsu Jen yang ahli dalam ilmu ngerti sakdurunge winarah, dengan kitab yang
sering dikutip-kutip bernama Musarar; dan para wali lain yang memiliki anugerah-
anugerah keramat.
Dalam Suluk Lokajaya diceritakan ketika brandal Lokajaya hendak membegal Sunan
Bonang, dan Sunan Bonang menggunakan ilmu hikmah, dapat memecah dalam
beberapa bentuk, menjadikan Brandal Lokajaya tertunduk dan mengakui keunggulan
Sang Sunan, kemudian mau menjadi muridnya. Cerita yang disebutkan dalam Babad
Tembayat,  juga meceritakan keramat Tembayat di Jabal Kat, ketika berhubungan
dengan para penantangnya.
Cerita seperti ini dapat ditemukan juga dalam kasus cerita masuk Islamnya orang-
orang Keling melalui wasilah Syarif Hidayatullah. Dalam Perjuangan Wali Sanga
Babad Cirebon (PWSBC, hlm. 117-118), disebutkan ketika Syarif Hidayatullah
diserang beberapa kali oleh pukulan orang-orang Keling yang diajak masuk Islam, dia
terhindar dari pukulan mereka, dan kemudian membalas dengan berdeheman, yang
disebut begini:

“Pada saat itu beliau hanya berdehem satu kali, dan dengan deheman beliau itu,
mereka orang-orang Keling yang menyerang  semuanya roboh dan tidak berdaya,
akhirnya minta ampun kepada beliau. Beliaupun tidak keberatan mengampuni
mereka, tetapi dengan syarat, mereka harus mengikuti  beliau. Akhirnya mereka dapat
menerima syarat itu dan tunduk di bawah perintah beliau. Kemudian mereka
disuruhnya membaca dua kalimat syahadat. Setelah mereka semua membaca kalimat
syahadat dengan mengerti pula maksud artinya, maka mereka semua mengikuti
perjalanan beliau ke Cirebon.”

Tentu banyak juga cerita-cerita lain selain dari cerita Syarif Hidayatullah, yang
berhubungan dengan cerita-cerita adikodrati dalam masuk islamnya orang Jawa. Hal
ini memerlukan penjelasan soal konsep keramat dan karomah, yang dihubungkan
dengan amal-amal, dzikir-dzikir, dan khowas-khowas dari amal itu yang telah
dianugerahkan Alloh kepada para pengamalnya. Ilmu-ilmu oleh sebagian para wali,
kemudian dikembangkan melalui sarana-sarana wifiq, rajah-rajah, petungan-petungan,
mantra-mantra, dan sejenisnya. Di berbagai kitab Primbon atau Mujarrobat (sesuatu
yang telah diuji coba dan terbukti), banyak disebutkan soal ini.
Orang-orang pesantren yang lebih belakangan kemudian memperoleh rujukan-rujukan
dari kitab yang dibaca oleh orang-orang yang memang serius dan tekun
mempelajarinya, ketika mesin cetak telah meluas, melalaui karya-karya: al-Aufaq (Al-
Ghazali), Syamsul Maarif (al-Buni), Manba’ Ushulil Hikmah (Al-Buni), Mujarrobat
Dairabi, dan lain-lain; dan para ahli tarekat mengembangkan ini di dalam mantra-
mantra hizib, yang telah dibuktikan khowas-khowasnya, sekaligus bahaya-bahayanya
bagi pemula.

Para Wali Penyebar Islam, Berjejering, tetapi Independen-Dinamis

Menjadi jelas, upaya yang dilakukan para penyebar Islam awal dalam
mengembangkan Islam, dan khususnya tasawuf adalah dengan tetap berpijak pada
kerangka penyatuan fiqh, tauhid, dan tasawuf yang diajarkan secara bersamaan. Pada
saat yang sama, para wali melakukan kerja-kerja social: secara kultural dan struktural
secara bersama-sama, baik di level kekuasana politik atau di tengah amsyarakat.
Kerja-kerja kultural tidak dioposisikan dengan kerja-kerja structural kekuasaan. Sunan
Kalijaga, Sunan Bonang, dan Syekh Siti Jenar  banyak melakukan kerja kultural tetapi
sekaligus juga kerja struktural mempengaruhi birokrasi dan kelembangaan politik,
meskipun mereka tetap menjadi pemimpin-pemimpin rohani.

Jaringan yang dibangun, bukan hanya dilevel lokal, tetapi juga internasional, dengan
melihat rujukan kitab-kitab yang sejak awal dibangunm untuk menanamkan ajaran
Islam di tengah masyarakat Jawa. Mereka telah membaca secara baik khazanah yang
berkembang di dunia Islam; tetapi juga mereka sadar menanamkannya di tengah
masyarakat Jawa melalui proses yang panjang dan tidak kenal lelah, sehingga
SunanBonangd an Sunan kalijaga pun memilih bahasa Jawa daripada bahasa Arab.
Mendidik murid dan melebarkan sayap jaringan, dilakukan dengan kerja keras, dan
pada saat yang sama, sebagian mereka mengarang kitab-kitab pegangan di lingkup
ruang pengaruh masing-masing.

Tradisi literasi sejak lama telah dilakukan oleh para penyebar Islam awal, dengan
adanya karya-karya yang mulai diterbitkan dan bisa dibaca, meskipun naskah-naskah
kuno belum semua bisa diakses pada saat ini. Hal ini membawa pengertian bahwa,
para ahli tasawuf sekaligus pemimpin di tengah msyarakat, adalah para pemimpin
yang juga mengajarkan menulis dan membaca, pengetahuan etika publik, dan kalau
sekarang adalah mengajarkan pengetahuan. Pada saat yang sama, mereka
mengungkapkan pengalaman-pengalaman spiritual secara mandiri dan 
bertanggungjawab terhadap keilmuannya, meskipun mereka semua tidak harus sama
dengan apa yang di ada di pusat-pusat pengetahuan masa awal. Konsep-konsep yang
dibangun, dengan begitu mengalami dinamisasi, pengerangkaan, dan juga diskusi-
diskusi, seperti tampak dalam Musyawaratan Para Wali, yang tentu tidak boleh
dibaca hanya terjadi sekali.
Tradisi tasawuif di masa awal abad XV-XVII, tidak diungkapkan dengan konsep
martabat, tetapi dengan konsep marifat-iman-tauhid, tinunggal karsa kawula lan
Gusti, padudoning kawulo lan Gusti (Sunan Bonang), sedulur papat lima
pancer (Sunan Kalijaga) dan pengenalan terhadap Nabi Hidhir dan ilmu-ilmu hikmah,
dan konsep Insung Sejati (Syekh Siti Jenar) dan beberapa yang lain. Konsep-konsep
ini mendominasi wacana dan persebaran dalam ilmu-ilmu kasampurnan urip muslim
Jawa yang dibangun di tengah masyarakat. Konsep-konsep ini, kemudian diperkaya
melalaui perkembangan martabat tujuh pada abad berikutnya, yang berkembang di
kalangan muslim Jawa, seiring dengan menyebarkanya Tarekat Syathariyah melalaui
garis Syaikh Abdul Muhyi (yang akan dibahas tersendiri); tidak melalui Syaikh Datuk
Kahfi.
Tatanan lama yang dibangun para wali penyebar Islam awal, mengalami
perkembangan dan diteruskan, didinamiskan seiring dengan datangnya para Arif
billah Jawa yang menuntut ilmu di pusat belajar orang muslim (Mekkah) pada periode
berikutnya; dan seiring adanya disintegrasi kerajaan Islam di masa Mataram. Tiga
orang yang kemudian terkenal dan menjadi penting pada masa ini, di antaranya adalah
Mbah Nur Iman Mlangi yang menulis as-Suniyul (atau Asnal) Mathalib, Mbah
Mutammakin Kajen yang menulis Asyrul Muwahhidin, Abdul Muhyi di Pamijahan
yang menulis Martabat Kang Pitu, dan beberapa kyai lain setelah itu.
Konsep Nur Muhammad dan ilmu hikmah terus berkembang melalui para ahli tarekat
dan guru hikmah. Pada saat yang sama, penghormatan terhadap Sulthonul Auliya,
bernama Syaikh Abdul Qadir al-Jilani semakin kuat melalui naskah-naskah Hikayat
Syeh, Manaqib, dan Pengaosan atau Layang Syeh (yang akan dibahas dalam tulisan
tersendiri). Pesantren semakin berkembang. Di pusat kekuasaan Mataram, berganti-
ganti Raja, tidak mempengaruhi penyebaran tarekat-tarekat tasawuf ini, sampai
memperoleh pukulan keras dari kolonial Belanda dalam Perang Jawa.
Setealah perang Jawa, para kyai dan penyebar Islam harus membangun basis-basis
kembali di tanah Jawa di tempat-tempat terpencil, yang sampai sekarang, sebagian di
antara mereka kemudian menjadi pusat-pusat pesantren besar. Pesantren-pesantren
yang sebelumnya ada dan menjadi pusat pengkaderan generasi muslim Jawa, banyak
yang runtuh akibat perang Jawa. Walhamdu lillahirabbil `alamin. Wallohu a’lam.

 
*Esai di atas adalah materi acara Suluk Kebudayaan Indonesia #3 yang pertama,
yang diselenggarakan pada 7 Maret 2020, Pukul 19.00-Selesai, di Sarang Building 2,
Kalipakis, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul.

Anda mungkin juga menyukai