1
Tahapan musyawarah kelurahan/kalurahan terdiri atas tahapan sosialisasi
pelaksanaan musyawarah kelurahan/kalurahan; pelaksanaan; penetapan
usulan data oleh lurah; dan penyampaian usulan data ke kabupaten/kota dan
Pemerintah Daerah DIY. Khusus mengenai penyampaian usulan data dari
lurah ke kabupaten/kota dan Pemerintah Daerah DIY tidak perlu diatur
secara rinci karena sudah tidak relevan dengan materi muatan Peraturan
Gubernur ini. Cukup ditegaskan sampai pengaturan penetapan hasil
musyawarah kelurahan/kalurahan.
Proses usulan data harus sesuai dengan kriteria integritas data, namun
pengaturan ini sudah ditegaskan di dalam Peraturan Menteri Sosial RI Nomor
3 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial,
sehingga tidak perlu diatur lagi dalam Peraturan Gubernur ini.
Kedua, Dari kurun waktu 2017-2019 belum ada pemutakhiran data
kemiskinan oleh Kemensos pada Provinsi DIY. Hal ini sesuai dengan temuan
lapangan bahwa “data lama selalu muncul kembali”. Ada dua dugaan yang menjadi
penyebab: DIY belum menjadi prioritas untuk dimutakhirkan DTKSnya atau
kesalahan administrasi di tingkat Provinsi.
Ketiga, praktik empiris musyawarah DTKS di empat kabupaten sudah
menjalankan musyawarah dusun (musdus) sebelum melaksanakan musyawarah
DTKS di tingkat Kalurahan, namun belum memiliki keseragaman tata cara
pelaksanaan musdus tersebut. Hanya Kota Yogyakarta yang tidak menjalankan
musdus, tetapi mengoptimalkan peran RT, Kader dan TKSK untuk verifikasi dan
validasi DTKS. Mayoritas tidak mengumumkan secara terbuka hasil muskal
verifikasi dan validasi DTKS namun di sebagian kalurahan di Kabupaten Bantul
mempublikasikan hasil muskal verifikasi dan validasi DTKS melalui media sosial.
Bersumber pada temuan terkait permasalahan kajian Kebijakan Kemiskinan,
kami memberikan rekomendasi sebagai berikut ;
1. Perlu disahkan instrumen hukum berupa Peraturan Gubernur yang mengatur
mengenai Pedoman Pelaksanaan Musyawarah Kelurahan/Kalurahan Dalam
Rangka Proses Usulan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial. Peraturan Gubernur
ini dirancang dengan tetap memperhatikan prinsip diskresi dan fleksibelitas bagi
pemangku kepentingan sesuai dengan konteks daerahnya masing-masing.
Pemerintah Daerah DIY harus melakukan upaya koordinasi terkait maksud
dan tujuan dari Peraturan Gubernur ini, dan melakukan upaya sosialisasi
2
kepada masyarakat agar implementasi dari Peraturan Gubernur ini dapat
terlaksana dengan baik dan optimal.
2. Biro Bina Pemberdayaan Masyarakat dan Dinas Sosial kedepanya perlu
mendetailkan tahapan, siapa saja aktor dan perannya terlibat dalam musdus,
alokasi anggaran. Berikut adalah usulan alur atau metode yang secara empiris
sudah berjalan efektif dalam kegiatan musyawarah usulan DTKS berdasarkan
masukan-masukan dari pengampu kebijakan.
3. Perlu koordinasi lebih lanjut antara Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dan
Dinas Sosial terkait dinamisnya data kependudukan yang menyebabkan
program bantuan sosial tidak tepat sasaran. Konsolidasi data kependudukan
harus dijalankan manual oleh Dinas Sosial dan Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil.
4. Bagi penabat kelurahan/kalurahan perlu adanyanya kebijakan: Penerima DTKS
saat ini diundang dan dipastikan berdomisili sesuai SK, apabila tidak sesuai
maka harus dialihkan atau dikembalikan.
5. Terkait dinamika kriteria kemiskinan di kabupaten/kota maka perlu disesuaikan
dengan Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pengelolaan
Data Terpadu Kesejahteraan Sosial. Harus ada kepastian berapa minimal
indikator yang sesuai untuk diusulkan pada DTKS. Indikator kemiskinan lokal
perlu dibahas dan ditetapkan di ranah tingkat dukuh yang kemudian disahkan
oleh SK Bupati/Dinas Sosial.
6. Dalam Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2019
3
di sektor sosial. Namun dilapangan, indikator kemiskinan sangat bersifat lokal
atau setiap kabupaten dan kota memilki konteks masing-masing. Oleh karena itu
untuk menjalankan amanat dari Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta
Nomor 11 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Kemiskinan tersebut,
Pemerintah Daerah perlu berkoordinasi dengan masing-masing pemerintah
kabupaten/kota untuk mengkontekskan dan menetapkan indikator kemiskinan
di masing-masing kabupaten/kota.