Anda di halaman 1dari 24

KRITERIA WAJIB ZAKAT (MUZAKKI) DALAM FIQH,

PENERIMA ZAKAT, DAN GOLONGAN YANG TIDAK


BOLEH MENERIMA ZAKAT

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Zakat yang diampu oleh Dosen
Subairi, S.E.,Sy. M.E

Disusun Oleh :
Kelompok 5
- Anang Yuwono Sisworo (20383031055)
- Dian Hadi Kusuma (20383031061)
- Imdad Faiha Ila Sabila (20383032071)
- Indana Zulfa (20383032072)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta
hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Tak
lupa sholawat serta salam tetap tercurahkan atas junjungan sang revelosioner akbar
nabi besar Muhammad SAW yang telah menunjukkan pada kita semua jalan
kebenaran yaitu islam dan iman.
Adapun judul makalah yang akan dibahas dalam makalah berikut mengenai
“Kriteria wajib zakat (muzakki) dalam fiqh, penerima zakat, dan golongan yang
tidak boleh menerima zakat". Disini penulis berharap dengan ditulisnya makalah
ini penulis dapat memberikan sedikit gambaran dan memperluas wawasan ilmu
yang penulis peroleh.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikan makalah ini, baik secara
langsung maupun tidak langsung, terutama kepada yang terhormat :
1. Subairi, S.E.,Sy. M.E selaku dosen pengampu mata kuliah fiqh zakat
2. Orang tua dan keluarga yang tak henti-hentinya memberikan dorongan baik
material maupun spiritual.
3. Seluruh anggota kelompok yang telah bekerja sama dalam menyelesaikan
makalah ini.
Penulis berharap semoga tugas ini dapat memberikan manfaat, baik bagi
penulis sendiri selaku penyusun maupun bagi pihak yang membaca dan
memperlukan informasi tentang kriteria penerima dan tidak berhak menerima
zakat.

Sumenep, 19 April 2022


Penulis

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI
COVER................................................................................................................i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ............................................................................ 1
B. RUMUSAN MASALAH ........................................................................ 1
C. TUJUAN PENULISAN ......................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 3
A. PENGERTIAN MUZAKKI ................................................................. 3
B. KRITERIA WAJIB ZAKAT ................................................................ 3
C. GOLONGAN WAJIB PENERIMA ZAKAT……………...................6
D. GOLONGAN YANG TIDAK BOLEH MENERIMA ZAKAT……15
BAB III PENUTUP ........................................................................................... 18
A. KESIMPULAN...................................................................................... 18
B. SARAN ................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 21

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Zakat adalah satu rukun yang bercorak sosial ekonomi dari 5 rukun
islam. Dengan zakat, disamping ikrar tauhid (syahadat) dan shalat, sesorang
barulah sah masuk kedalam barisan umat Islam dan diakui keislamannya. 1Zakat
menurut Bahasa adalah Nama’(kesuburan), Thaharah(kesucian),
barakah(keberkatan), dan berarti juga Takziah Tathir(mensucikan). Dalam
ensiklopedia islam Indonesia zakat menurut Bahasa berarti tumbuh berkembang,
bersih atau baik dan terpuji.2
Menurut istilah Fiqih Zakat adalah kadar harta tertentu yang diberikan
kepada kelompok tertentu dengan berbagai syarat tertentu. Munawir Syadzali
mengutip pendapat Ahmad Tirtosudiro, bahwa Zakat adalah pengambilan
sebagian harta dari orang muslim untuk kesejahteraan orang muslim. 3Dalam UU
RI No.38 Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat, dijelaskan bahwa zakat adalah
harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh
seorang muslim sesuai dengan ketentuan agama yang diberikan kepada yang
berhak menerimanya.4
Zakat merupakan ibadah dan merupakan kewajiban bidang harta benda
dalam rangka mencapai kesejahteraan ekonomi dan mewujudkan keadilan
sosial. Zakat adalah sarana atau tali pengikat yang kuat dalam mengikat
hubungan vertical antara manusia dengan Tuhan dan hubungan Horizontal
antara sesama manusia, khususnya antara yang kaya dengan yang miskin, dan
saling memberi keuntungan moril maupun materil, baik dari pihak penerima
(mustahik) maupun dari pihak pemberi (muzakki) penamaan zakat bukanlah
karena menghasilkan kesuburan bagi harta, tetapi karena mensucikan

1 Yusuf Qardawi, Hukum zakat terjemah.(Jakarta:literah antar nusa, 2004), cet. Ke-7, hal. 3
2 Tengku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Pedoman zakat,(Semarang:PT Pustaka Rizki Putra
1999), cet. Ke-3, hal. 3
3
Munawir Sadzali, Zakat dan Pajak ,(Jakarta:Bina Rena Pariwara,1991),cet. Ke-II, hal. 160
4
Saifudin Zuhri, Zakat kontekstual, (Semarang:CV.Bima Sejati,2000), hal. 81

1
masyarakat dan menyuburkannya. Zakat merupakan manifestasi dari kegotong
royongan antara para hartawan dengan para fakir miskin. Pengeluaran zakat
merupakan perlindungan bagi masyarakat dari bencana kemasyarakatan yaitu
kemiskinan, kelemahan baik fisik maupun mental, masyarakat yang terpelihara
dari bencana-bencana tersebut menjadi masyarakat yang hidup, subur dan
berkembang keutamaan didalamnya. 5
B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud muzakki?
b. Apa saja kriteria wajib zakat?
c. Golongan apa saja yang wajib menerima zakat?
d. Golongan apa saja yang tidak boleh menerima zakat?
C. Tujuan Masalah
a. Menjelaskan pengertian dari Muzakki
b. Menjelaskan kriteria wajib zakat
c. Menjelaskan golongan yang wajib menerima zakat
d. Menjelaskan golongan yang tidak boleh menerima zakat

5 Tengku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, op. cit., hal. 8-9

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN MUZAKKI
Muzakki adalah orang yang dikenai kewajiban membayar zakat atas
kepemilikan harta yang telah mencapai nisab dan haul. Berzakat hanya
diwajibkan kepada orang muslim saja. Seseorang yang beragama Islam
yang telah memenuhi syarat wajib zakat maka harus menunaikan zakatnya.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Muzakki adalah
orang yang wajib membayar zakat. (Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa, 2017:331)
Menurut UU No 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat pasal 1,
muzakki adalah orang atau badan yang dimiliki oleh orang muslim yang
berkewajiban menunaian zakat. Berdasarkan penyataan tersebut jelas
bahwa zakat tidak hanya diwajibkan kepada perorangan saja. Para ahli fikih
sepakat bahwa setiap muslim, merdeka baligh dan berakal wajib
menunaikan zakat.orang yang wajib berzakat disebut dengan Muzakki.
Telah disepakati oleh umat Islam bahwa zakat hanya diwajibkan kepada
seorang muslim, merdeka, dewasa yang berakal, yang memiliki kekayaan
dalam jumlah tertentu dengan syarat tertentu. Selain dari ulama dan
pemerintah, muzakki menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
pelaksanaan perintah wajib zakat ini karena merekalah orang yang dibebani
kewajiban untuk mengeluarkan bagian tertentu dari harta kekayaannya
untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya. (Al-Iqtishad:
Vol. I, No. 1/2009)

B. KRITERIA WAJIB ZAKAT


Menurut Sayyid Sabiq, zakat, ialah nama dari suatu hak Allah Ta’ala yang
dikeluarkan seseorang kepada fakir miskin. Dinamakan zakat, karena di

3
dalamnya terkandung harapan untuk beroleh berkah, membersihkan jiwa
dan memupuknya dengan berbagai kebajikan. 6
Zakat yang merupakan salah satu rukun Islam, telah disebutkan beriringan
dengan salat pada banyak tempat di dalam al-Qur’an. Menurut Sayyid
Sabiq, jumlahnya ada 82 ayat 3. Sedangkan menurut Yusuf Qardhawi,
jumlah ini terlalu dibesar-besarkan, kecuali kalau yang dimaksud, termasuk
kata-kata lain yang sama maksudnya dengan zakat, seperti, infaq, al-ma’un,
tha’am al-miskin dan lain-lain, memang jumlahnya berkisar antara 32
sampai 82 tempat. 7 Telah menjadi kesepakatan (ijma’) kaum muslimin
berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasul bahwa hukum zakat adalah wajib.
Di antara dalil wajibnya itu adalah:
Pertama, ayat-ayat al-Qur’an, khususnya yang turun di Madinah dengan
secara tegas menetapkan hukum wajibnya zakat dan memberikan instruksi
pelaksanaannya secara jelas, misalnya dalam QS. 2: 43, 83 dan 110 yang
menyatakan: “Dirikanlah oleh kalian salat dan bayarkanlah zakat.
Kemudian beberapa ayat dalam surat at-Taubah telah memberikan beberapa
penjelasan penting tentang zakat, misalnya pada ayat ke sebelas dijelaskan
bahwa ada tiga hal yang dapat menghindarkan orang musyrik dari dibunuh,
yaitu taubat dari syirik, mendirikan salat dan membayarkan zakat; pada ayat
ke 34-35, Allah mengancam orang yang menimbun emas dan perak yang
tidak mengeluarkan zakatnya dengan siksaan yang berat; pada ayat ke 60
dijelaskan para mustahiq zakat; dan pada ayat ke 71 dijelaskan pula tentang
zakat merupakan salah satu jalan untuk mendapatkan rahmat Allah di
samping beberapa hal lainnya. Sedangkan di ayat ke 103, diperintahkan
kepada Rasulullah untuk memungut zakat dari kekayaan orang mukmin.
Kedua, di dalam hadis-hadis Rasulullah juga banyak dijelaskan tentang
kewajiban zakat dan aturan pelaksanaannya. Perintah itu antara lain
diberikan Rasulullah kepada Mu’az bin Jabal ketika ia ditugaskan untuk
menjadi qadhi di Yaman: “… Jika ini telah mereka ta’ati, sampaikanlah
bahwa Allah telah mewajibkan zakat pada harta benda mereka yang

6 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah,(Beirut: Daar al-Fikr, 1397/1977) Jld I, hal.276


7 Yusuf Qardhawi, Fiqhu al-zakah, (Beirut: Muassasah al-Risaalah, 1420H/1999) Jilid
I, hal.42

4
dipungut dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang miskin
di antara mereka… ” (HR. Jamaah).8
Dalam hadis yang diriwayat oleh Thabrani dari Ali r.a disebutkan tentang
wajibnya zakat pada harta orang-orang kaya, untuk melapangi orang-orang
miskin. Di akhirya diingatkan akan azab Allah bagi yang mengengkari.
Dalam beberapa hadis juga dijelaskan tentang nisab dan kadar yang harus
dikeluarkan. Selain itu, hadis “Buniyal Islaam ‘alaa khamsin….” yang salah
satunya adalah kewajiban membayar zakat juga menjadi dasar yang kuat
tentang kewajiban zakat ini.
Ketiga, kewajiban membayar zakat ini semakin jelas ketika Islam
memberikan peringatan dan ancaman yang keras kepada orang yang tidak
mau membayarnya, bahwa mereka akan diazab di akhirat dengan azab yang
pedih, seperti akan distrika dengan emas perak yang dipanaskan di neraka
pada kening, pinggang dan punggung (QS.9:34-35), harta itu akan
dikalungkan di leher (QS.3:180). Selain itu, dalam beberapa hadis juga
dijelaskan tentang hal ini, antara lain HR. Bukhari dari Abu Hurairah:
“Siapa yang dikaruniai oleh Allah kekayaan tetapi tidak mengeluarkan
zakatnya, maka di hari kiamat ia akan didatangi oleh seelor ular jantan
gundul, yang sangat berbisa dan sangat menakutkan dengan dua bintik di
atas kedua matanya, lalu melilit dan mematuk lehernya sambil berteriak:
“saya adalah kakayaanmu, saya adalah harta yang kamu timbun”. Nabi
kemudian membacakan ayat QS.3:180… ”. Di samping itu, di dunia mereka
juga akan mendapatkan hukuman. Rasulullah bersabda: “Orang-orang yang
tidak mau mengeluarkan zakat akan ditimpa kelaparan dan kemarau yang
panjang”. (HR. Tabrani dalam al-Awsath). Senada dengan ini: “Bila (orang-
orang) kampung tidak berzakat, Allah akan menahan hujan”. 9 Keempat,
selain memberi ancaman, Rasulullah saw juga menetapkan hukuman bagi
orang yang tidak membayar zakat. Hukuman itu antara lain ditetapkan
dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i dan lain-lain: “. . .
Orang yang membayar zakat untuk memperoleh pahala, maka ia akan

8
Asy-Syaukaaniy, Op. Cit., hal. 170.
9
Yusuf Qardhawi, Op. cit., hal. 76.

5
mendapatkan pahala itu, sedangkan orang yang tidak membayarnya maka
kita akan memungut zakatnya dengan paksa dan ditambah separuh hartanya.
Ini merupakan ketentuan tegas dari Tuhan kita (Allah),… ”. Selain
memungut dengan paksa dengan denda saparuh harta, orang-orang yang
tidak mau membayar zakat dalam keadaan tertentu, seperti jumlah mereka
banyak dan memiliki kekuatan untuk melawan, maka Rasul memerintahkan
untuk memerangi mereka. Lihat HR Bukhari Muslim dari Ibnu Umar ra:
Rasulullah bersabda: “Saya diperintahkan untuk memerangi mereka sampai
mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa
Muhammad Rasulullah, mendirikan salat dan membayar zakat. Apabila
mereka telah melaksanakan hal itu, mereka telah memelihara darah dan
harta mereka dari saya . . .”
Dalil-dalil yang kuat dari Al-Qur’an dan hadis inilah yang mendasari
kesepakatan umat Islam untuk wajibnya zakat, sehingga para sahabat
sepakat memerangi orang-orang yang tidak mau berzakat atau
pembangkang zakat. Disepakati pula bahwa siapa yang mengengkari
kewajiban zakat dihukum kafir, diberlakukan kepada mereka hukum
murtad, yang kalau tidak mau bertaubat maka dibunuh. Kecuali kalau
mereka betul-betul tidak tahu kewajiban itu. 10 Kemudian muzakki dapat
mengeluarkan zakatnya jika memenuhi syarat wajib muzakki, yakni Islam,
Berakal dan baligh, sempurna hak milik sendiri, masuk haul, dan hartanya
memenuhi nisab.

C. GOLONGAN WAJIB PENERIMA ZAKAT

َ َ‫صد َٰقت ِل ۡلفقَ َرآءِ َو ۡال َم ٰس ِك ۡي ِن َو ۡال ٰع ِم ِل ۡين‬


‫علَ ۡيهَا َو ۡالم َؤلَّـفَ ِة قل ۡوبهمۡ َوفِى‬ َّ ‫اِنَّ َما ال‬
‫ع ِل ۡيم‬
َ ‫ّللا‬ ِؕ ٰ َ‫سبِ ۡي ِلؕ فَ ِر ۡيضَة ِمن‬
ٰ ‫ّللا َو‬ َّ ‫ّللا َو ۡاب ِن ال‬ ِ ٰ ‫سبِ ۡي ِل‬ َ ‫ب َو ۡال ٰغ ِر ِم ۡينَ َوفِ ۡى‬ ِ ‫الرقَا‬
ِ
‫َح ِك ۡيم‬

10
Wahbah az-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islaamiyah wa adillatuh, (Damsyiq: Daar al-Fikr, 1989) Juz II,
hal. 734.

6
Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang
miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk
(memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam
perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui,
Mahabijaksana. (Q.S. At-Taubah : 60)

Dari ayat diatas, dapat diuraikan golongan yang berhak menerima zakat
antara lain sebagai berikut :

1. Fakir dan Miskin


Fakir dan miskin yang disebutkan pertama secara berturut-
turut dalam Alqur’an. Ini menunjukkan bahwa sasaran pertama
zakat ialah hendak menghapuskan kemiskinan dan kemelaratan
dalam masyarakat (Qardhawi, 1996: 510). Golongan fakir dan
miskin adalah golongan yang harus diutamakan dalam penyaluran
zakat, karena dalam Al-Qur’an kedua golongan ini didahulukan.
Dalam definisinya, ulama berbeda pendapat mengenai fakir dan
miskin. setengah ahli tahqiq mengatakan; bahwa fakir dan miskin
itu satu golongan yang berbeda sifatnya, bukan berlainan suku. Fakir
dan miskin itu satu, bukan dua golongan yang masing-masing
berdiri sendiri (Shiddieqy, 1997: 166). Sedangkan Jumhur ulama,
berpendapat bahwa keduanya adalah dua golongan tapi semacam.
Maksudnya adalah mereka yang dalam kekurangan dan
membutuhkan (Qardhawi, 1996: 510).
Fakir dalam hal zakat merupakan mereka yang tidak
memiliki barang berharga atau tidak memiliki kekayaan dan usaha
apapun sehingga memerlukan pertolongan untuk memenuhi
kebutuhannya. Sedangkan miskin, ialah mereka yang memiliki
barang berharga atau pekerjaan tertentu yang dapat mencukupi
sebagian dari kebutuhannya, misal seseorang memerlukan sepuluh
ribu rupiah namun hanya mempunyai tujuh ribu rupiah saja (Proyek
Pembinaan Zakat dan Wakaf, 1986: 121-122). Menurut ulama
Syafi‟iyah dan Hanabilah, fakir adalah orang yang tidak memiliki

7
harta dan pekerjaan yang dapat mencukupi kebutuhannya (Az-
Zuhaili, 2010: 282). Fakir tidak memiliki sanak keluarga (orang tua,
pasangan, keturunan) yang dapat membantunya dalam pemenuhan
kebutuhan dan menafkahinya. Dalam kitab Al-Fiqhul Muyassar (Al-
Hamida, 1994: 191) dijelaskan bahwa orang fakir adalah mereka
yang tidak memiliki harta dan tidak memiliki penghasilan, atau
memiliki harta dan penghasilan namun jauh dari kata cukup, jika ia
membutuhkan sepuluh ribu rupiah maka ia hanya memiliki tiga ribu
rupiah. Walapun ia dalam keadaan sehat, memiliki pakaian dan
rumah tempat tinggal. Wahbah Az-Zuhaili (2010: 282) mengatakan,
orang miskin adalah mereka yang dapat bekerja untuk mencukupi
kebutuhannya namun belum mencukupi. Misalnya seseorang yang
membutuhkan sepuluh ribu rupiah namun dia hanya mempunyai
delapan ribu rupiah, sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan
sandang, pangan dan papannya. Ulama syafi‟iyah dan Habillah
sepakat bahwa orang-orang fakir lebih buruk kondisinya
dibandingkan dengan orang miskin. Mereka yang fakir tidak
memiliki penghasilan yang dapat mencukupi kebutuhannya, bahkan
kurang dari setengah kebutuhannya.
Sedangkan orang-orang miskin adalah mereka yang
penghasilannya telah memenuhi lebih dari setengah kebutuhannya,
namun belum mencukupi secara keseluruhan. Kedua golongan ini
bukan mereka yang kekurangan dikarenakan sikap boros dan kikir.
Dengan demikian, kedua golongan ini diberikan zakat untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya (Az-Zuhaili, 2010:282). Dalam
penggambaran, siapa yang lebih kekurangan antara orang-orang
fakir dan miskin, dapat dilihat dari beberapa dalil di dalam Al-
Qur’an maupun hadits. Dilihat dari surat At-Taubah ayat 60, fakir
adalah lebih buruk kondisinya dibandingkan dengan miskin.
Biasanya sesuatu dimulai dengan sesuatu yang lebih penting dan
lebih penting (Az-Zuhaili, 2010: 282), artinya orang fakir lebih

8
buruk kondisinya dibandingkan dengan orang miskin. Hal ini juga
diperkuat dengan firman Allah dalam QS. Al-Kahfi [18]: 79
“adapun perahu itu adalah milik orang miskin yang bekerja
dilaut...”
Ayat ini menjelaskan bahwa orang miskin masih masih
memiliki bahtera untuk dapat bekerja memenuhi kebutuhan hidup
dan mencari nafkah. Selain itu, Rasulullah saw juga pernah berdoa
kepada Allah untuk meminta kemiskinan dan dihindarkan dari
kefakiran. Ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat, bahwa
orang miskin lebih buruk kondisinya dibanding orang fakir,
sebagaimana dinukil dari sebagian para imam bahasa (Az-Zuhaili,
2010: 283). Hal ini dikarenakan firman Allah: “atau orang miskin
yang sangat fakir” (QS. Al-Balad [90]: 16). Hal ini menunjukkan
betapa membutuhkannya kehidupan orang miskin. Ia bertempat
tinggal dimana ia berada atau tidak tetap.
Zakat diberikan kepada golongan fakir dan miskin untuk
alasan pemenuhan kebutuhannya. Ulama berpendapat bahwa
mereka diberikan zakat untuk memenuhi kebutuhannya dan
keluarganya untuk masa satu tahun. Pemberian zakat ini dalam
berbagai bentuk, baik berupa barang-barang seperti, bahan makanan
dan pakaian, atau memberinya uang tunai dan uang itu dapat
digunakan untuk memenuhi kehidupannya dan keluarganya. Atau
dapat juga diberikan alat- alat produksi untuk kemudian dikelolanya,
sehingga terpenuhi kebutuhannya selama satu tahun (Al-Utsaimin,
2008: 210).
2. Amil Zakat
Golongan ketiga setelah fakir dan miskin yang berhak
menerima zakat adalah amil zakat. Amil zakat adalah mereka yang
melaksanakan segala macam urusan zakat, mulai dari pengumpul
zakat sampai pada pembagian kepada mustahiq zakat. Amil zakat
juga merupakan mereka yang melakukan perhitungan,
pembendaharaan, pencatatan keluar masuknya zakat dan penjaga

9
harta zakat. Bagi orang-orang ini Allah menjanjikan upah dari harta
zakat yang diamanahi kepada mereka dan tidak diambil selain dari
harta zakat (Qardhawi, 1996: 545).
Amil menerima zakat sebagai ganti upah kerjanya (Az-
Zuhaili, 2010: 283). Dalam pemberian zakat kepada amil tidak
dipandang kekayaannya, karena pemberian kepada orang kaya
adalah haram. Pemberian ini semata karena upah atas kerja yang ia
lakukan. Pengurus zakat berhak mendapatkan zakat sesuai dengan
kategori kepengurusan (Al-Utsaimin, 2008: 211). Apabila dirasa
amil adalah masuk dalam kategori fakir maka ia berhak menerima
zakat sebagai amil dan fakir. Misalnya, diperkirakan untuk masa
satu tahun sepuluh ribu rupiah mencukupi kebutuhannya. Maka
seorang amil yang juga terhitung fakir akan menerima dua ribu
rupiah untuk kepengurusannya dan delapan ribu rupiah untuk
kefakirannya.
Amil zakat diangkat dan ditugaskan oleh pemerintah
(penguasa) atau suatu lembaga atau badan tertentu untuk mengurus
segala urusan zakat. imam atau khalifah adalah orang-orang yang
secara fikih berhak untuk bertindak sebagai amil zakat. namun
demikian, golongan wajib zakat (muzzaki) menganggap suatu
pemerintahan atau kekhalifahan kurang dapat memenuhi aspirasi
golongan muzzaki, sehingga ditunjuklah dua golongan yang
dianggap mampu melaksanakan segala urusan zakat, yang pertama
dilingkungan yang cenderung tradisional (pedesaan) ditunjuklah
tokoh-tokoh agama. Yang kedua, di daerah perkotaan dibuat panitia
atau kelompok khusus yang dibentuk oleh organisasi atau lembaga
keagamaan tertentu (Rahmad Hakim, 2018: 396).
3. Muallaf (Yang Dilunakan Hatinya)
Muallaf adalah golongan keempat yang berhak menerima
zakat. Ulama Fuqaha membagi muallaf dalam dua golongan, yakni
(a) yang masih kafir, kafir yang dimaksud adalah yang diharap akan
beriman dengan diberikan pertolongan, dan ada pula kafir yang

10
diberikan kepadanya hak muallaf untuk menolak kejahatannya; (b)
yang telah masuk Islam terbagi kedalam empat kelompok, yang
masih lemah imannya, pemuka-pemuka yang mempunyai kerabat,
orang Islam yang berkediaman diperbatasan dan orang yang
diperlukan untuk menarik zakat (Shiddieqy, 1997: 179-180).
Secara bahasa muallaf berasal dari kata allafa yang
bermakna saiyarahu Alifan yang berarti menjinakkan,
menjadikannya atau membuatnya jinak (Yunus, 1989: 49). Secara
istilah ulama berbeda pendapat dalam mengartikan muallaf (orang
yang dilunakan hatinya). Ibnu katsir dalam kitabnya mendefinisikan
bahwa yang dimaksud dengan muallaf merupakan kaum yang
dilunak hatinya terhadap Islam dari golongan orang yang tidak benar
menolongnya, demi memperbaiki diri dan keluarganya, seperti
Aqra’ Bin Habis, Unaiyah Bin Badr, Abu Sufyan Bin Harb serta
pemimpin kabilah seperti mereka (Al-Mubarak: 2010: 239).

Muallaf yang dimaksud adalah orang-orang yang diharapkan


hati dan keyakinannya dapat bertambah terhadap Islam, atau mereka
yang berniat jahat terhadap islam namun terhalangi atau mereka
yang memberi manfaat dengan menolong dan membela kaum
muslimin (Qardhawi, 1996: 563).
Ibnu Qadhamah dalam Az-Zuhaili (2010: 323), berbendapat
bahwa Muallaf terbagi dua bagian yakni muslimin dan kuffur.
Mereka adalah pemimpin yang ditaati dalam golongan mereka.
Kuffur dibagi lagi dalam dua kelompok, Yang pertama adalah
mereka diharapkan masuk agama Islam, mereka diberi zakat untuk
menambah kecenderungan dan hasratnya terhadap Islam sehingga
menjadi muslim yang seutuhnya. Kelompok kedua adalah mereka
yang dikhawatirkan akan Berbuat jahat, sehingga untuk
mencegahnya diberikan zakat kepadanya.
4. Riqab (Budak/Hamba Sahaya)

11
Mereka yang masih dalam perbudakan, dinamai riqab.
Maksud riqab dalam oleh qur‟an surat At-Taubah [9]: 60 adalah
“segala mereka yang hendak melepaskan dirinya dari ikatan riqab
atau perbudakan” (Shiddieqy, 1997: 183). Riqab adalah bentuk
jamak dari raqabah, istilah ini dalam al-Qur’an artinya budak belian
laki-laki (abid) dan bukan belian perempuan (amah). Istilah ini
diterangkan dalam kaitannya dengan pembebasan atau pelepasan,
maksudnya perbudakan bagi manusia tidak ada bedanya dengan
belenggu yang mengikat. Membebaskan budak belian artinya sama
dengan menghilangkan atau melepaskan belenggu yang
mengikatnya (Qardhawi, 1996: 587). Riqab muktab adalah budak
belian yang diberikan kebebasan untuk berusaha mengumpulkan
kekayaan guna memerdekakan dirinya sendiri (Proyek Pembinaan
Zakat Dan Wakaf, 1986). Budak muktab dijanjikan kebebasan dari
tuannya dengan permintaan atau penawaran dari tuannya dengan
imbalan uang yang diserahkan kepada tuannya dalam waktu yang
disepakati (Baharun, 2001: 56). Riqab juga ditafsirkan sebagai
tawanan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir, maka orang
kafir itu diberikan dari zakat agar mereka membebaskan tawanan
tersebut (Al-Utsaimin, 2008: 213).
Riqab dalam artian budak tidak relevan lagi di era sekarang,
mengingat adanya penghapusan perbudakan dalam hukum postif
nasional maupun internasional. Riqab di era sekarang lebih
cenderung kepada mereka yang mengalami eksploitasi dan tertindas
oleh golongan lainnya baik secara personal maupun kelompok.
Riqab yang dimaksud disini adalah mereka yang menderita secara
budaya maupun politik.
Oleh karenanya orang-orang yang kemudian dapat dikatakan
sebagai riqab di era sekarang dikelompokkan menjadi beberapa
golongan, seperti:
a) menyelamatkan buruh-buruh kasar dari belenggu
majikannya;

12
b) mengusakan pembebasan terhadap orang-orang yang
dipenjara atau dihukum hanya karena menyuarakan
aspirasi atau pun melakukan pencurian untuk memenuhi
kebutuhan hidup namun dihukum sama berat dengan
koruptor;
c) mengusahakan kemerdekaan untuk suatu negara yang
tengah dijajah, hal ini dilakukan untuk menghilangkan
perbudakan gaya baru yang biasa dikenal dengan
imperialis gaya baru atau new colonial yang masih ada
hingga saat ini;
d) pembebasan terhadap masyarakat muslim
yangnmengalami penindasan baik secara individu maupun
kelompok sosial;
e) menyelamatkan pekerja sex komersial (PSK) yang telilit
kepada mucikari sehingga tidak semakin terperosok dalam
kemaksiatan dan kembali kepada jalan yang benar
(Rahmad Hakim, 2018: 398).

5. Gharim (Orang Yang Berutang)


Golongan keenam yang berhak menerima zakat adalah
Gharimun (orang yang berutang). Gharimun adalah bentuk jamak
dari gharim (dengan ghin panjang), artinya orang yang mempunyai
utang. Sedangkan ghariim (dengan ra panjang) adalah yang
berutang, kadangkala pula dipergunakan untuk orang yang
mempunyai utang (Qardhawi, 1996: 594).
Gharimin ialah mereka yang mempunyai utang, tak dapat
lagi membayar utangnya, karena telah jatuh fakir (Shiddieqy, 1997:
185). Para ulama Rahimullah telah membagi utang menjadi dua
bagian yaitu utang untuk mendamaikan dua hubungan dan utang
untuk memenuhi kebutuhan (Al-Utsaimin, 2008: 213). Seorang
gharimin yang terbelit hutang secara pribadi haruslah memenuhi
syaratsyarat tertentu untuk dapat diberikan dana zakat.

13
Qardhawi mengemukakan syarat-syarat bagi seorang
gharimin pribadi, yang pertama dana zakat digunakan untuk
membayar sisa hutangnya karena gharimin memiliki harta yang
dapat digunakan untuk membayar hutangnya. Kedua, gharimin tidak
melakukan pinjaman untuk tujuan maksiat atau keburukan. Ketiga,
pembayaran utang dilakukan secara langsung dan yang keempat
hutang bukanlah akibat kifarat atau zakat melainkan kerena bisnis
(Qardhawi, 1996).
a. Pendistribusian zakat kepada golongan
gharim di era sekarang dibagi kepada
beberapa bagian, yaitu
b. membantu mereka yang mengalami pailit,
c. untuk meningkatkan kemampuan pelaku
usaha yang modal kerjanya dari pinjaman,
d. untuk membayar hutang seseorang yang telah
jatuh miskin, untuk melatih pelaku usaha
kecil dan menengah untuk dapat menjalankan
bisnisnya dan tidak mudah jatuh pailit,
e. untuk mengurangi beban suatu negara atau
suatu golongan masyarakat yang miskin
(Rahmad Hakim, 2018: 399).
6. Fisabillah (Di Jalan Allah)
Golongan penerima zakat yang ketujuh adalah “sabilillah”
(di jalan allah). Secara bahasa sudah jelas, sabil ialah jalan. Sabiullah
ialah jalan baik berupa kepercayaan, maupun berupa amal, yang
menyampaikan kita kepada keridhaan Allah (Shiddieqy, 1997).
Menurut Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya fatwa-fatwa Mutakhir,
makna secara bahasa dari sabilillah terarah pada mardhatillah
(keridhaan Allah). Dengan pengertian ini, maka segala bentuk
kebaikan yang mendekatkan manusia dengan Tuhannya termasuk
dalam makna sabilillah.

14
Makna sabilillah dalam Al-Qur‟an surat At-Taubah terlalu
umum, sehingga banyak menimbulkan perbedaan perspektif. Sebab
makna sabilillah di luar ayat ini sangat umum dan mencakup banyak
hal, tidak terbatas pada penerapan golongan-golongan yang berhak
menerima zakat saja. Sabilillah secara umum juga mencakup
pemberian bantuan atau pertolongan kepada tujuh golongan lain
dalam asnaf (golongan) penerima zakat (Al-Qardhawi, 2006: 372).
Menurut empat mazhab, sabilillah adalah orang-orang yang
dengan suka rela berperang untuk membela Islam. Sedangkan
menurut para imam seperti Imam An-Nawawi, Ibnu Atsir, Asy
Syanqitiy, dan Qadi, Iyad, orang-orang yang berada di jalan Allah
secara umum, baik yang berperang, yang bekerja disekolah-sekolah
ataupun rumah sakit atau pengurus-pengurus masjid dan semua
bentuk kemaslahatan umum ialah sabilillah (Mughniyah, 2006:
193).
Makna fisabilillah yang luas juga kemudian diartikan
sebagai segala bentuk “sabil al-khair” atau segala bentuk macam
jalan menuju kebaikan. Pengertian ini memaksudkan fisabilillah
sebagai suatu jalan untuk memenuhi kemaslahatan bersama seperti,
pembangunana sekolah-sekolah, pembagunan masjid, pembagunan
rumah sakit, pembangunan perpustakaan, pelatihan bagi para da’i,
penerbitan buku-buku dan majalah serta segala bentuk bagi
kemaslahatan bersama lainnya (Rahmad Hakim, 2018: 399-400).
7. Ibnu Sabil
Jumhur ulama mengkiaskan ibnu sabil dengan musafir, yaitu
orang yang berpergian dari satu daerah ke daerah lainnya. As-sabil
secara bahasa berarti at-thariq atau jalan (Al-Utsaimin, 2008).
Menurut imam syafi‟i ibnu sabil adalah orang yang dalam
perjalanannya kehabisan bekal ataupun orang yang bermaksud
melakukan perjalanan namun tidak mempunyai bekal, keduanya
berhak menerima zakat untuk memenuhi kebutuhannya, karena
melakukan perjalanan bukan untuk maksud maksiat. Sedangkan

15
menurut Yusuf Qardhawi, tidak setiap orang yang melakukan
perjalanan demi kemaslahatan diberi bagian zakat, walaupun
perjalanannya untuk suatu kemanfaatan tertentu (Qardhawi, 1996:
654-655).
Selain orang-orang yang melakukan perjalanan, anak-anak
yang terlantar dijalanan juga termasuk dalam ibnu sabil. Mereka
yang tidak memiliki rumah dan menjadi gelandangan dijalanan juga
termasuk dalam golongan ibnu sabil. Oleh karenanya, biaya untuk
menyekolahkan dan membiayai para gelandangan ini adalah dapat
diambil dari dana zakat untuk golongan ibnu sabil.

D. GOLONGAN YANG TIDAK BOLEH MENERIMA ZAKAT


Golongan yang tidak boleh menerima zakat, siapa sajakah golongan-
golongan tersebut:
1. Orang Kafir
Hal ini disepakati oleh ahli fiqih, sebagaimana disebutkan dalam
hadits, “(Zakat) dipungut dari orang-orang yang kaya di antara
mereka dan salurkan kepada orang-orang miskin di antara mereka”.
Maksudnya, di antar kaum muslimin. Dikecualikan dari orang-orang
kafir adalah para mualaf untuk melunakkan hatinya. Akan tetapi,
sedekah sunah boleh diberikan kepada orang-orang kafir,
sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’ala : “Dan mereka
memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak
yatim, dan orang yang ditawan,”
(QS. Al-Insan 76: Ayat 8).
2. Bani Hasyim
Mereka adalah keluarga Ali Rhadiyallahu’anhu, keluarga Ja’far
Rhadiyallahu’anhu, Keluarga Uqail, keluarga Al-Abbas
Rhadiyallahu’anhu, dan keluarga Al-Harits. Dalam hal ini
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sedekah (zakat)
tidak patut bagi keluarga Muhammad. Sebab zakat tidak lain adalah
kotoran masyarakat,” (HR. Muslim)

16
Para ulama berbeda pendapat ihwal Bani Muthallib. Namun,
pendapat yang lebih kuat menyatakan bani Muthallib tidak berhak
atas zakat, seperti bani Hasyim, berdasarkan Sabda Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam:
“Aku dan bani Muthallib tidak terpisahkan, baik pada zaman
jahiliyah maupun pada zaman Islam. Kami dan mereka tidak lain
adalah satu (keturunan),” beliau sambil menyilang-nyilangkan
jemarinya, (HR. Asy-Syafi’i).
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga mengharamkan zakat
kepada para mantan budak bani Hasyim dan bani Muthallib,
berdasarkan sabdanya, “Sedekah (zakat) tidak halal bagi kami. Dan,
para mantan budak suatu kaum adalah bagian dari diri mereka,”
(HR. Ahmad)
3. Orang tua dan Anak
Para ahli fiqih sepakat bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada
ayah-ibu, kakek-nenek, ataupun anak-cucu. Pasalnya muzakki harus
menafkahi orang tuanya dan kakek-neneknya terus ke atas, juga
anak-anak dan cucu-cucunya terus ke bawah. Jika miskin mereka
masih di bawah tanggungan muzaki. Apabila dia memberikan zakat
kepada mereka, artinya dia mengambil manfaat untuk dirinya
sendiri dengan menjadikan pemberian zakat sebagai alasan untuk
menghindar dari kewajiban menafkahi mereka. Namun Imam Malik
mengecualikan kakek-nenek dan cucu dengan memperbolehkan
pemberian zakat kepada mereka karena mereka tidak wajib
dinafkahi. (Fiqih As-sunnah, jilid I, hlm. 351-352; Al-Mughni wa
as-syarh al-kabir, jilid II, hlm. 519)
4. Istri
Ibnu al-Mundzir berkata, “Para ulama sepakat bahwa suami tidak
memberi sakat kepada istrinya. Sebab, menafkahi istri adalah
kewajibannya, sehingga dengan nafkah trersebut istri tidak perlu
menerima zakat, sama seperti kedua orang tua.”
5. Sarana Ibadah

17
Zakat tidak boleh disalurkan kepada sarana peribadatan selain yang
disebutkan Allah dalam ayat, “sesungguhnya zakat-zakat itu,
hanyalah untuk…” (QS. at-Taubah 9:60), sehingga zakat tidak
disalurkan untuk membangun masjid, membuat
jabatan,memperbaiki jalan, menjamu tamu, mengafani jenazah, dan
sejenisnya.
6. Para Hartawan
Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam :
“Sedekah (zakat) tidak halal bagi orang kaya,” (HR. Ahmad)
7. Orang-orang yang Mampu dan Memiliki Mata Pencaharian
Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam :
“Sedekah (zakat) tidak halal bagi orang kaya atau orang yang
memiliki kemampuan (untuk mencari harta),” (HR. Ahmad)

18
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Menurut istilah Fiqih Zakat adalah kadar harta tertentu yang diberikan
kepada kelompok tertentu dengan berbagai syarat tertentu. Munawir Syadzali
mengutip pendapat Ahmad Tirtosudiro, bahwa Zakat adalah pengambilan
sebagian harta dari orang muslim untuk kesejahteraan orang muslim .
Sedangkan Muzakki adalah orang yang dikenai kewajiban membayar zakat atas
kepemilikan harta yang telah mencapai nisab dan haul. Berzakat hanya
diwajibkan kepada orang muslim saja. Seseorang yang beragama Islam yang
telah memenuhi syarat wajib zakat maka harus menunaikan zakatnya.Hukum
zakat adalah wajib (fardu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-
syarat tertentu. Dasar hukumnya antara lain Surat Al-Baqarah ayat 110.
Artinya: “Dan laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat.
Harta yang wajib dizakati haruslah harta yang baik dan halal, Allah
SWT berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 267 : "Hai orang-orang yang
beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-
baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu.
Terdapat 8 asnaf penerima zakat fitrah. Delapan asnaf penerima zakat fitrah ini
diantaranya fakir, miskin, amil, mualaf, riqab, gharimin, fi sabilillah dan ibnu
sabil. Selain itu, simak juga penjelasan singkat mengenai apa itu fakir, miskin,
amil, mualaf, riqab, gharimin, fi sabilillah dan ibnu sabil. Kemudian orang yang
tidak berhak menerima zakat diantaranya, orang kafir, bani hasyim, orang tua
dan anak, istri, para hartawan, sarana ibadah, dan orang-orang yang mampu dan
memiliki mata pencaharian.

B. SARAN
Kami berharap semoga apa yang kami tulis dan yang telah kami
paparkan, bisa bermanfaat dan bisa menambah ilmu pengetahuan kita semua.
Dan juga dengan adanya makalah ini, kami berharap para pembaca sekalian
dapat memahaminya dan juga mampu untuk mengamalkannya.

19
Kami mohon maaf apabila dalam penulisan ataupun penjelasan dalama
makalah ini terdapat beberapa kesalahan. Oleh karena itu, sudikah kiranya para
pembaca sekalian khususnya pada dosen pengampu, untuk memberikan
kritikan atau masukan kepada kami, sehingga kami bisa lebih baik kedepannya
dalam menulis makalah kedepannya.

20
DAFTAR PUSTAKA

Qardawi, Yusuf. 2004. Hukum zakat terjemah, Jakarta:literah antar


nusa
Ash Shidieqy, Tengku Muhammad Hasbi. 1999. Pedoman zakat,
Semarang : PT Pustaka Rizki Putra
Sadzali, Munawir. 1991. Zakat dan Pajak, Jakarta : Bina Rena
Pariwara
Zuhri, Saifudin. 2000. Zakat kontekstual, Semarang: : CV.Bima
Sejati
Sabiq, Sayyid. 1977. Fiqh as-Sunnah, Beirut: Daar al-Fikr
Qardawi Yusur. 1999, Fiqhu al-zakah, Beirut: Muassasah al-
Risaalah
Az-Zuhaily, Wahbah. 1989. Al-Fiqh al-Islaamiyah wa adillatuh,
Damsyiq: Daar al-Fikr
Dhuafa, Griya Yatim, dipublikasikan 27 September 2021, Orang-
orang yang tidak berhak menerima zakat, https://griyayatim.com/orang-
orang-yang-tidak-boleh-menerima-zakat/ (diakses pada 21 April 2022)

21

Anda mungkin juga menyukai