Anda di halaman 1dari 70

“ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR

18/PUU-XVII/2019 TERHADAP EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DI


INDONESIA”

PROPOSAL

Oleh :

IDA AYU WINDRIYA PRABANDARI


NIM : 10.17.3656

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 BANYUWANGI
2021
i

PERSETUJUAN

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU-


XVII/2019 TERHADAP EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DI INDONESIA

Diajukan Oleh :

IDA AYU WINDRIYA PRABANDARI


NIM: 10173656

Disetujui Untuk Diseminarkan

Menyetujui,

Dosen Pembimbing Utama Dosen Pembimbing Anggota

DARMADI, S.H,M.H. DEMAS BRIAN W, S.H,M.H.


NIDN.00300045601 NIDN. 0703128804

Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi

RUDI MULYANTO, S.H, M.Kn.


NIDN. 0716116801
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Proposal Skripsi ini dengan
judul: “ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
18/PUU-XVII/2019 TERHADAP EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DI
INDONESIA”.

Penulisan proposal ini dilakukan dalam rangka akan melakukan penelitian


untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi. Penulis menyadari,
tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga penyusunan proposal
skripsi ini dapat terlaksana dengan baik. Oleh karena itu, Penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1) Bapak Darmadi, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Utama yang
telah memberikan waktu, tenaga dan pikiran untuk memotivasi,
mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan proposal
ini;
2) Bapak Demas Brian W, S.H.M.H. selaku Dosen Pembimbing Anggota
sekaligus sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945
Banyuwangi yang telah menyediakan waktu dalam memberikan
bimbingan dan petunjuk sampai selesainya proposal;
3) Seluruh Dosen/Tenaga Pengajar di lingkungan Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi yang telah memberikan bekal
ilmu pengetahuan dan pengalaman;
4) Dan teman-teman saya yang menjadi support system dan yang selalu ada
membantu ketika keriuwehan pengerjaan proposal ini berlangsung.
Demi kesempurnaan proposal ini, penulis dengan senang hati dan ikhlas
menerima semua kritik serta saran dari semua pihak. Karena penulis sadar bahwa
segala kesempurnaan hanya milik Allah SWT dan segala kelemahan adalah milik
manusia.
iii

Banyuwangi,14 Agustus2021
Penulis,

IDA AYU WINDRIYA P


NIM : 10173656
iv

DAFTAR ISI

COVER--------------------------------------------------------------------------------------
HALAMAN PERSETUJUAN---------------------------------------------------------- i
KATA PENGANTAR-------------------------------------------------------------------- ii
DAFTAR ISI------------------------------------------------------------------------------- iv
A. JUDUL---------------------------------------------------------------------------------- 1
B. PENDAHULUAN--------------------------------------------------------------------- 1
1. Latar Belakang-------------------------------------------------------------------------- 1
2. Rumusan Masalah----------------------------------------------------------------------10
3. Batasan Masalah------------------------------------------------------------------------11
4. Tujuan Penelitian-----------------------------------------------------------------------12
4.1 Tujuan Umum----------------------------------------------------------------------12
4.2 Tujuan Khusus---------------------------------------------------------------------12
5. Manfaat Penelitian ---------------------------------------------------------------------12
5.1 Manfaat Secara Teoritis-----------------------------------------------------------12
5.2 Manfaat Secara Praktis------------------------------------------------------------12
C. TINJAUAN PUSTAKA---------------------------------------------------------------14
1. Penelitian Terdahulu-------------------------------------------------------------------14
2. Landasan Teori-------------------------------------------------------------------------15
2.1 Teori Dasar Keadilan -------------------------------------------------------------15
2.2 Terori Hukum Perjanjian----------------------------------------------------------27
3. Kerangka Pemikiran-------------------------------------------------------------------32
3.1 Tinjauan Umum Jaminan Fidusia ---------------------------------------------32
3.2 Tinjauan Umum tentang Eksekusi Jaminan-----------------------------------52
3.3 Tinjauan Umum Tentang Mahkamah Konstitusi------------------------------55
D. METODE PENELITIAN-------------------------------------------------------------62
1. Jenis, Sifat dan Pendekatan Penelitian-----------------------------------------------62
2. Waktu dan Tempat Penelitian--------------------------------------------------------64
3. Sumber Bahan Hukum-----------------------------------------------------------------64
3.1 Bahan Hukum Primer-------------------------------------------------------------64
v

3.2 Bahan Hukum Sekunder----------------------------------------------------------65


3.3 Bahan Hukum Tersier-------------------------------------------------------------65
4. Metode Pengumpulan Data-----------------------------------------------------------65
5. Analisis data-----------------------------------------------------------------------------65
DAFTAR PUSTAKA--------------------------------------------------------------------67
1

A. JUDUL

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU-


XVII/2019 TERHADAP EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DI INDONESIA

B. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan Nasional

merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang

adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Dalam rangka dan meneruskan pembangunan baik pemerintah maupun

masyarakat, baik perseorangan maupun badan hukum memerlukan dana

besar. Seiring dengan meningkatkanya pembangunan, meningkat pula

kebutuhan terhadap pendanaan, yang sebagian besar dana yang di perlukan

untuk memenuhi kebutuhan tersebut melalui pinjam-meminjam.

Di dalam masa pembangunan ini kehidupan masyarakat tidak terlepas dari

berbagai kebutuhan, karena pada umumnya dalam masyarakat seseorang

tidak dapat memenuhi segala kebutuhannya sendiri, ia memerlukan tangan

ataupun bantuan dari pihak lain. Maka dalam keadaan demikian tidak jarang

melakukan utang piutang sekedar untuk tambahan dana dalam mencukupi

biaya hidupnya.

Utang piutang merupakan suatu perbuatan yang tidak asing lagi bagi

masyarakat kita pada masa sekarang ini. Utang piutang tidak hanya di

lakukan oleh orang orang yang ekonominya lemah, tetapi juga di lakukan

oleh orang orang yang ekonominya relatif mampu.

Suatu utang di berikan atas kepribadian debitur, kepribadian yang

menimbulkan ras kepercayaan dalam diri kreditur, bahwa debitur akan

1
2

memenuhi kewajiban pelunasan nya dengan baik. Akan tetapi juga

nampaknya keadaan keuangan seseorang baik, belum tentu mau untuk

membayar tagihannya meskipun keadaan keuangannya masih tetap baik.

Bagi pihak yang meminjamkan uang (kreditur) dalam melepaskan

uangnya itu bukan sekedar diikuti oleh rasa percaya saja, tetapi juga disertai,

dengan adanya jaminan. Pengertian kredit sendiri adalah sebuah

kepercayaan (trust), dimana pemberian fasilitas kredit haruslah membeli

narkotika. Sasaran dari penyebaran narkotika ini sudah tidak mengenal batas

usia lagi dari orang tua, muda, remaja bahkan sampai anak-anak. Sangat

menghkawatirkan sekali jika sudah mengenai anak-anak dan remaja karena

Kita tau anak-anak dan Remaja adalah calon generasi bangsa Indonesia yang

berpengaruh penting dalam mewujudkan cita-cita bangsa di masa depan,

yang diharapkan bisa membangun Negara yang baik di hadapan Negara-

Negara lain.

berdasarkan suatu kepercayaan, yaitu fasilitas yang di berikan tersebut di

gunakan untuk tujuan yang sesuai dengan permohonan calon debitur. Oleh

sebab itu dalam perbuatan pinjam meminjam uang tersebut jika hanya di

dasarkan pada rasa percaya saja, maka tentunya akan keruigian, khususnya

bagi pihak kreditur sebagai pihak yang memberikan/melepaskan, apabila

debitur tersebut cidera janji.

Selanjutnya untuk menampung kebutuhan masyarakat, perkembangan

ekonomi, dan perkembangan perkreditan dalam masyarakat Indonesia

sekarang ini memerlukan kredit dengan jaminan bergerak, namun masih

dapat menggunakan nya untuk keperluan sehari-hari maupun untuk

keperluan usahanya. Jaminan kredit yang demikian tidak dapat di tampung


3

hanya oleh peraturan-peraturan gadai, yang tidak memungkinkan benda

jaminan tersebut tetap ada pada yang menggadaikan, mengingat ketentuan

pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata, yang mengsyaratkan bahwa benda benda

bergerak berwujud yang diberikan sebagai jaminan berupa gadai harus

berpindah dan berada dalam kekuasaan yang berpiutang, sedang barang-

barang tersebut sangat di perlukan oleh yang bersangkutan menjalankan

usahanya. Dilain pihak yang berpiutang mungkin tidak bersedia menerima

jaminan berupa gadai, jika barang tersebut terdiri dari kendaraan bermotor,

oleh karenanya yang berpiutang harus memikul beban untuk menyediakan

tempat penyimpanan dari barang barang tersebut.

Apabila yang berpiutang meminta jaminan berupa hak tanggungan atau

hipotik, mungkin hal ini tidak dapat di penuhi oleh yang berhutang, sebab

tidak mempunyai tanah. Pasal 1338 KUH Perdata sebagai dasr hukum

adanya ‘kebebasan berkontrak’ membuka kemungkinan untuk itu, dengan

batas waktu perjanjian tersebut tidak bertentantangan dengan undang-

undang, ketertiban umum, kesusilaan. Atas dasar itu maka suatu perjanjian

yang berlandaskan penyerahan milik atas suatu benda sebagai jaminan,

merupakan suatu perjanjian untuk memberikan jaminan. Yang berpiutang

(kreditur) menjadi pemilik dari benda itu sebagai menjadi pemilik dari benda

itu sebagai demikian pada hakikatnya mempunyai kedudukan yang lebih

kuat dari seorang pemegang gadai. Apabila yang berutang melunasi

utangnya itu, maka milik benda itu masih beralih kembali kepada pemilik

benda yang berutang dan yang berpiutang untuk mengembalikan benda itu

kepada yang berutang. Oleh karena itu guna memenuhi kebutuhan tersebut

dan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang


4

bekepentingan, maka disahkanya Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999

tentang jaminan Fidusia yang diundangkan dan di umumkan dalam

lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168 yang di

rumuskan sebagai penyerahan hak milikk dasar kepercayaan.

Sehubungan dengan perjanjian ini apa yang harus di lakukan oleh

penerima fidusia ( kreditur ) apabila pemberi fidusia ( debitur ) melalaikan

kewajibannya atau cidera janji berupa lalainya pemberi fidusia ( debitur )

memenuhi kewajibannya pada saat pelunasan utangnya yang telah waktunya

untuk di tagih, maka dalam peristiwa seperti ini, penerima fidusia ( kreditur )

bisa melaksanakan eksekusi atas benda jaminan fidusia.

Secara umum eksekusi merupakan pelaksanaan atas keputusan pengadilan

atau akta, maka pengambilan pelunasan kewajiban kreditur melalui hasil

penjualan benda-benda tertentu milik debitur. Perlu disepakati terlebih

dahulu bahwa yang dinamakan eksekusi adalah pelaksanaan keputusan

pengadilan atau akta. Tujuan dari pada eksekusi adalah pengambilan

pelunasan kewajiban debitur melalui hasil penjualan benda benda tertentu

milik debitur melalui hasil penjualan benda-benda tertentu milik debitur atau

pihak ketiga pemberi jaminan. Salah satu ciri jaminan utang kebendaan yang

baik adalah apabila dapat eksekusinya secara cepat dengan proses sederhana,

efisien dan mengandung kepastian hukum.

Tentu saja fidusia sebagai salah satu jenis jaminan utang juga harus

memiliki unsur-unsur cepat, murah,dan pasti tersebut. Sebab selama ini

( sebelum keluarnya Undang-undang Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 ) tidak

ada kejelasan bagaimana caranya mengeksekusi fidusia, sehingga tidak ada

ketentuan yang mengaturnya, banyak yang menafsirkannya bahwa eksekusi


5

fidusia adalah memakai prosedur gugatan biasa (lewat pengadilan dengan

prosedur biasa ) yang panjang, mahal dan melelahkan itu.

Sebagaimana yang telah di bahas sebelumnya, dalam hal debitur ( pemberi

fidusia ) cindera janji, maka debitur ( penerima fidusia ) ini dapat langsung

melaksanakan eksekusi. Ketentuan ini didasarkan pada Pasal 29 ayat 1(a)

Undang-Undang Jaminan Fidusia yang merupakan pengaturan lebih lanjut

dari Pasal 15 Undang-Undang Jaminan Fidusia yaitu berdasarkan pad title

eksekutorial dalam Sertifikat Fidusia yang di cantumkan kata-kata “ Demi

Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa “ Irah-irah inilah yang

memberikan title eksekutorial yang mensejajarkan kekuatan akta tersebut

dengan putusan keadilan. ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU , pada

prinsipnya memberikan jaminan dan perlindungan kepastian hukum

terhadap Penerima Fidusia (Kreditur) dalam memberikan kredit terhadap

Pemberi Fidusia (Debitur). bentuk jaminan dan perlindungan kepastian

hukum dalam pemberian kredit tersebut, ditunjukkan dengan pengaturan

jaminan eksekusi terhadap objek fidusia. Dengan menyamakan kekuatan

eksekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia dengan putusan pengadilan yang

telah berkekuatan hukum tetap [vide Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia].

Oleh karena itu, dalam Sertifikat Jaminan Fidusia dicantumkan kata kata

“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA

ESA” layaknya sebuah putusan pengadilan. Eksekusi yang di lakukan

sebuah perusahaan terkadang menimbulkan konflik antara debitur dan

kreditur. Debitur merasa tidak terima jika pihak debitur mengambil paksa

barang pribadi hanya karena cidera janji tanpa melihat itikad baik debitur

dan di anggap telah menciderai Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 berbunyi
6

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,

keluarga,kehormatan, martabat danharta benda yang di bawah

kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari

ancaman ketakuan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang

merupakan hak asasi”;.

Karena irah irah ini menimbulkan konflik permohonan uji materiil ke

Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-undang no 42 tahun 1999

khususnya di pasal 15 ayat 2 dan ayat 3. Permohonan uji materiil terhadap

Pasal 15 Ayat (2) dan Ayat (3) 1 UU No. 42/19991 ini diajukan dua orang

pemohon yaitu: Apriliani Dewi dan Suri Agung Prabowo (suami dari

Apriliani Dewi), dimana mereka berdua menjadi korban dari tindakan

sewenang-wenang debt collector yang diberi tugas oleh Penerima Fidusia

untuk mengambil barang yang dikuasai tanpa melalui prosedur hukum yang

benar. Terhadap tindakan kesewenangwenangan tersebut Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan mengeluarkan Putusan Nomor 345/PDT.G/2018/PN.Jkt. Sel

yang memutuskan bahwa Kreditur dan Debt Collector tersebut dinyatakan

telah melakukan perbuatan melanggar hukum dan menghukum kreditur dan

debtcollector secara tanggung renteng untuk membayar kerugian materiil

dan immateriil kepada penggugat (debitur). Namun yang menjadi pokok

permasalahan, dan yang akhirnya mendorong pemohon untuk mengajukan

permohonan uji materiil, adalah tindakan dari kreditur yang pada tanggal 11

Januari 2019 tetap melakukan penarikan terhadap objek jaminan Fidusia,

dengan mendasarkan bahwa Perjanjian Fidusia dianggap telah berkekuatan

hukum tetap dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 15 Ayat (2) dan

Ayat (3) 1 UU No. 42/1999 Apabila diperhatikan bunyi Pasal 15 UU No.


7

42/19992 , maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pembentuk

Undang-Undang ingin memberikan jaminan dan perlindungan kepastian

hukum terhadap Penerima Fidusia (Kreditur) dalam memberikan kredit

terhadap Pemberi Fidusia (Debitur). Hal mana sangat dimaklumi oleh karena

dalam perjanjian hutang piutang dimana jaminannya adalah, antara lain:

benda bergerak, dimana penguasaannya berada di tangan debitur, maka

harus ada suatu mekanisme hukum yang bisa memberikan perlindungan

lebih kepada kreditur, khususnya dalam hal eksekusi objek jaminan fidusia.

Pendapat ini juga dikemukakan oleh pihak pemerintah dalam persidangan

uji materi Pasal 15 Ayat (2) dan Ayat (3) UU No. 42/1999 yang menyatakan

bahwa kreditur dapat melakukan eksekusi atas kekuasaannya sendiri, baik

berupa penyitaan maupun lelang sita, tanpa perantaraan hakim yang bersifat

final dan mengikat para pihak dan pemberi fidusia tidak dapat menolak dan

wajib menyerahkan benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tersebut.

Pandangan pemerintah ini tentu sangat terkait dengan Pasal 29 Ayat (1) UU

No. 42/19993 yang membedakan eksekusi benda yang menjadi objek

jaminan dalam 3 cara, yaitu:

 pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 15 Ayat (2) oleh Penerima Fidusia;

 penjualan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas

kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum

serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;

 penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan

kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara


8

demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan

para pihak.

Dengan adanya ketentuan tentang penentuan tata cara eksekusi pada Pasal

29 Ayat (1) UU No. 42/1999 memberikan suatu pemahaman bahwa cara

eksekusi benda yang dijadikan objek fidusia adalah sebagaimana tersebut di

atas, dan tidak dimungkinkan adanya cara lain. Akhirnya pada tanggal 6

Januari 2020 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengeluarkan

Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 (“Putusan Mahkamah Konstitusi”)

terkait dengan gugatan uji materiil terhadap Pasal 15 Ayat (2) dan Ayat (3)

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU No.

42/1999”), antara lain sebagai berikut:

“-Menyatakan Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

tentang Jaminan Fidusia sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa

“sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang

tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan

tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara

sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan

prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia

harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;

-Menyatakan Pasal 15 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

tentang Jaminan Fidusia sepanjang frasa “cidera janji” bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak


9

mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa

“adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan

atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya

hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji;

-Menyatakan Penjelasan Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 42

Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sepanjang frasa “kekuatan

eksekutorial” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada

kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara

sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan

prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia

harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.Sedangkan pembiayaan

untuk eksekusi jaminan lewat pengadilan itu membutuhkan waktu dan biaya

yang cukup besar dan memberatkan pihak kreditur yang sudah mengalami

kerugian terhadap wanprestasi yang di lakukan oleh debitur.

Atas dasar latar belakang masalah sebagaimana tersebut diatas, maka

penulis tertarik mengambil judul : “ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI NOMOR 18/PUU-XVII/2019 TERHADAP EKSEKUSI

JAMINAN FIDUSIA DI INDONESIA”

2. Rumusan Masalah
10

Rumusan masalah dalam hal penelitian ini sangatlah penting karena

rumusan masalah ini memberikan arahan yang penting dalam membahas masalah

yang di teliti, sehingga penelitian dapat dilakukan secara sistematis dan terarah

sesuai dengan sasaran yg di tentukan. Dari uraian yang dikemukakan dalam latar

belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan sebagai berikut :

1) Bagaimana pengaturan eksekusi jaminan fidusia di indonesia terhadap

debitur yang melakukan wanprestasi atas perjanjian kontrak pinjaman?

2) Apa implikasi dari adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-

XVII/2019 terhadap pengaturan eksekusi jaminan fidusia di Indonesia ?

3. Batasan Masalah

Penelitian ini berfokus pada permasalahan kasus tentang mekanisme

eksekusi jaminan fidusia di Indonesia yang debiturnya melakukan cidera

janji dari kasus ini yang saya amati sebenarnya dari putusan pengadilan

sudah bisa menemukan titik terang namun pihak kreditur masih merasa tidak

terima karna pihak kreditur tidak mendapatkan keadilan atau tidak bisa

mengekusi secara langsung dan menimbulkan permasalahan pribadi kana

pihak kreditur tetap menarik paksa barang jaminan fidusia dengan

menggunakan kepemilikan sertifikat fidusia yang dianggap setara dengan

putusan pengadilan membuat debitur merasa hak-hak hukum nya di ambil

alih hingga kasus ini merujuk ke pengujian terhadap Undang-undang No 42

tahun 1999 khusunya di pasal 15 ayat 1 dan ayat 2 dan melahirkan putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang mengatur jalan nya

proses eksekusi jaminan melalui putusan pengadilan dan mengesampingkan

sertifikat fidusia yang di miliki kreditur.


11

4. Tujuan Penelitian

4.1 Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memenuhi dan melengkapi

persyaratan akademik dalam meraih gelar Sarjana Hukum dalam program

studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945

Banyuwangi.

4.2 Tujuan Khusus

Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah, maka

tujuan khusus penulisan adalah sebagai berikut ;

1. Mengetahui dan memahami bentuk perlindungan hukum bagi kreditur

yang melawan debitur nya melakukan wanprestasi.

2.Mengetahui akibat hukum bagi para debitur yang melakukan

wanprestasi.

5. Manfaat Penelitian

5.1 Manfaat Secara Teoritis

Secara teoritis, penulisan proposal ini berguna untuk menambah bahan

pustaka dalam kajian di bidang ilmu hukum terutama yang berkaitan dengan

eksekusi jaminan fidusia di Indonesia.

5.2 Manfaat Secara Praktis

Tugas Akhir ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yang

berkaitan, yaitu:
12

1) Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau bahan

pertimbangan untuk pengembangan lebih lanjut mengenai tata cara

eksekusi jaminan fidusia di indonesia.

2) Perusahan pembiayaan, diharapkan agar lebih baik lagi dalam melakukan

kegiatan dalam ruang lingkup perjanjian jaminan fidusia dan nantinya

dapat melakukan tindakan yang terbaik dan adil bagi masing-masing

pihak.

3) Masyarakat, diharapkan agar masyarakat dalam hal ini sebagai pihak yang

sering menjadi pihak debitur dapat memperoleh perlakuan yang baik

dalam melakukan praktik perjanjian jaminan Fidusia, sehingga nantinya

mendapatkan keuntungan yang adil dengan pihak kreditur.

4) Dosen/praktisi/mahasiswa, diharapkan agar menambah pengetahuan yang

berkaitan dengan hukum jaminan khusus.

C. TINJAUAN PUSTAKA

1. Penelitian Terdahulu
13

Penelitian hukum dengan judul Analisis Yuridis Eksekusi Jaminan Fidusia

Setelah Adanya Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 merupakan hasil

karya asli penulis. Karya ini merupakan hasil buah pemikiran penulis sendiri

dan bukan merupakan plagiasi dari penelitian lain. Sebagai pembanding

peneliti mengambil 2 (dua) skripsi sebagai pembeda dengan memaparkan

sebagai berikut:

a. Ardika Karya Santuso, nomor mahasiswa 120710101373, Universitas

Jember Fakultas Hukum, 2016, Penyelesaian Debitur Wanprestasi

Dengan Jaminan Fidusia. Rumusan masalah dalam skripsi ini adalah

(1) Apa bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh debitur pada

perjanjian kredit dengan jaminan fidusia? (2) Bagaimana tanggung

jawab yang debitur wanprestasi pada perjanjian kredit dengan jaminan

fidusia, dan (3) Bagaimana cara penyelesaian debitur wanprestasi

pada perjanjian kredit dengan jaminan fidusia. Rangkuman hasil

penelitian dari skripsi adalah kreditur telah melakukan sesuatu akan

tetapi tidak sesuai dengan perjanjian. Debitor diharuskan melakukan

ganti rugi. Kesimpulan yang terakhir adalah penyelesaian dalam kasus

wanprestasi pada jaminan.

b. James Ridwan Efferin Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang

berjudul “Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 “. Rumusan masalah pada

penelitian tersebut diantaranya adalah 1. Bagaimana Eksekusi objek

Jaminan Fidusia pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

18/PUU-XVII/2019?, Metode penelitian yang digunakan adalah

yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara


14

meneliti bahan pustaka yang berkaitan dengan eksekusi jaminan

fidusia, khususnya dalam bagaimana mekanisme eksekusi jaminan

setelah putusan tersebut di tetapkan. Kesimpulan Eksekusi atau

penarikan barang jaminan fidusia haruslah mempertimbangkan rasa

moral, yang sebelumnya dilakukan dengan pendekatan telebih dahulu,

dengan menjelaskan kembali substansi pokok dalam perjanjian fidusia

kepada debitur. Pada akhirnya, pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia

sangat tergantung pada perasaan sosial-etis, yang menurut Aristoteles

formulasinya bertumpu pada tiga sari hukum, yaitu: honeste vivere

(hidup secara terhormat), Alterum non laedere (tidak mengganggu

orang lain), Suum quique tribuere (memberi kepada tiap orang

bagiannya).

2. Landasan Teori

2.1 Teori Keadilan

2.1.1 Pengertian Keadilan

Keadilan berasal dari kata adil, menurut Kamus Bahasa Indonesia adil

adalah tidak sewenang-wenang, tidak memihak, tidak berat sebelah. Adil

terutama mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan

atas norma-norma objektif. Keadilan pada dasarnya adalah suatu konsep

yang relatif, setiap orang tidak sama, adil menurut yang satu belum tentu

adil bagi yang lainnya, ketika seseorang menegaskan bahwa ia melakukan

suatu keadilan, hal itu tentunya harus relevan dengan ketertiban umum

dimana suatu skala keadilan diakui. Skala keadilan sangat bervariasi dari

satu tempat ke tempat lain, setiap skala didefinisikan dan sepenuhnya


15

ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan ketertiban umum dari masyarakat

tersebut.

Di Indonesia keadilan digambarkan dalam Pancasila sebagai dasar negara,

yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam sila lima tersebut

terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan dalam hidup bersama.Adapun

keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan kemanusiaan

yaitu keadilan dalam hubungannya manusia dengan dirinya sendiri, manusia

dengan manusia lainnya manusia dengan masyarakat, bangsa, dan negara,

serta hubungan manusia dengan Tuhannya.

Nilai-nilai keadilan tersebut haruslah merupakan suatu dasar yang harus

diwujudkan dalam hidup bersama kenegaraan untuk mewujudkan tujuan

negara, yaitu mewujudkan kesejahteraan seluruh warganya dan seluruh

wilayahnya, mencerdaskan seluruh warganya. Demikian pula nilai-nilai

keadilan tersebut sebagai dasar dalam pergaulan antar negara sesama bangsa

didunia dan prinsip-prinsip ingin menciptakan ketertiban hidup bersama

dalam suatu pergaulan antarbangsa di dunia dengan berdasarkan suatu

prinsip kemerdekaan bagi setiap bangsa, perdamaian abadi, serta keadilan

dalam hidup bersama (keadilan sosial).

b.2.2 Keadilan Menurut Filsuf

A. Teori Keadilan Aristoteles

Aristoteles dalam karyanya yang berjudul Etika Nichomachea

menjelaskan pemikiran pemikirannya tentang keadilan. Bagi Aristoteles,

keutamaan, yaitu ketaatan terhadap hukum (hukum polis pada waktu itu,

tertulis dan tidak tertulis) adalah keadilan. Dengan kata lain keadilan

adalah keutamaan dan ini bersifat umum.


16

Theo Huijbers menjelaskan mengenai keadilan menurut

Aristoteles di samping keutamaan umum, juga keadilan sebagai

keutamaan moral khusus, yang berkaitan dengan sikap manusia dalam

bidang tertentu, yaitu menentukan hubungan baik antara orang-orang,

dan keseimbangan antara dua pihak. Ukuran keseimbangan ini adalah

kesamaan numerik dan proporsional. Hal ini karena Aristoteles

memahami keadilan dalam pengertian kesamaan. Dalam kesamaan

numerik, setiap manusia disamakan dalam satu unit. Misalnya semua

orang sama di hadapan hukum. Kemudian kesamaan proporsional

adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya,

sesuai kemampuan dan prestasinya.

Selain itu Aristoteles juga membedakan antara keadilan distributif

dengan keadilan korektif. Keadilan distributif menurutnya adalah

keadilan yang berlaku dalam hukum publik, yaitu berfokus pada

distribusi, honor kekayaan, dan barang-barang lain yang diperoleh oleh

anggota masyarakat. Kemudian keadilan korektif berhubungan dengan

pembetulan sesuatu yang salah, memberikan kompensasi kepada pihak

yang dirugikan atau hukuman yang pantas bagi pelaku kejahatan.

Sehingga dapat disebutkan bahwa ganti rugi dan sanksi merupakan

keadilan akorektif menurut Aristoteles. Teori keadilan menurut

Arsitoteles yang dikemukakan oleh Theo Huijbers adalah sebagai

berikut :

1) Keadilan dalam pembagian jabatan dan harta benda publik. Disini

berlaku kesamaan geometris. Misalnya seorang Bupati jabatannya

dua kali lebih penting dibandingkan dengan Camat, maka Bupati


17

harus mendapatkan kehormatan dua kali lebih banyak daripada

Camat. Kepada yang sama penting diberikan yang sama, dan yang

tidak sama penting diberikan yang tidak sama.

2) Keadilan dalam jual-beli. Menurutnya harga barang tergantung

kedudukan dari para pihak. Ini sekarang tidak mungkin diterima.

3) Keadilan sebagai kesamaan aritmatis dalam bidang privat dan juga

publik. Kalau seorang mencuri, maka ia harus dihukum, tanpa

mempedulikan kedudukan orang yang bersangkutan. Sekarang,

kalau pejabat terbukti secara sah melakukan korupsi, maka pejabat

itu harus dihukum tidak peduli bahwa ia adalah pejabat.

4) Keadilan dalam bidang penafsiran hukum. Karena Undang-

Undang itu bersifat umum, tidak meliputi semua persoalan konkret,

maka hakim harus menafsirkannya seolah-olah ia sendiri terlibat

dalam peristiwa konkret tersebut. Menurut Aristoteles, hakim

tersebut harus memiliki epikeia, yaitu “suatu rasa tentang apa yang

pantas”.

B. Teori Keadilan John Rawls

Menurut John Rawls, keadilan adalah fairness (justice as fairness).

Pendapat John Rawls ini berakar pada teori kontrak sosial Locke dan

Rousseau serta ajaran deontologi dari Imanuel Kant. Beberapa

pendapatnya mengenai keadilan adalah sebagai berikut:

1) Keadilan ini juga merupakan suatu hasil dari pilihan yang adil. Ini

berasal dari anggapan Rawls bahwa sebenarnya manusia dalam

masyarakat itu tidak tahu posisinya yang asli, tidak tahu tujuan dan

rencana hidup mereka, dan mereka juga tidak tahu mereka milik
18

dari masyarakat apa dan dari generasi mana (veil of ignorance).

Dengan kata lain, individu dalam masyarakat itu adalah entitas

yang tidak jelas. Karena itu orang lalu memilih prinsip keadilan.

2) Keadilan sebagai fairness menghasilkan keadilan prosedural murni.

Dalam keadilan prosedural murni tidak ada standar untuk

menentukan apa yang disebut “adil” terpisah dari prosedur itu

sendiri. Keadilan tidak dilihat dari hasilnya, melainkan dari sistem

(atau juga proses) itu sendiri.

3) Dua prinsip keadilan. Pertama, adalah prinsip kebebasan yang

sama sebesar- besarnya (principle of greatest equal liberty). Prinsip

ini mencakup:

a) Kebebasan untuk berperan serta dalam kehidupan politik

(hak bersuara, hak mencalonkan diri dalam pemilihan);

b) Kebebasan berbicara ( termasuk kebebasan pers);

c) Kebebasan berkeyakinan (termasuk keyakinan beragama);

d) Kebebasan menjadi diri sendiri (person)

e) Hak untuk mempertahankan milik pribadi.

Kedua, prinsip keduanya ini terdiri dari dua bagian, yaitu prinsip

perbedaan (the difference principle) dan prinsip persamaan yang adil

atas kesempatan (the principle of fair equality of opportunity). Inti

prinsip pertama adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus

diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang

paling kurang beruntung. Istilah perbedaan sosio-ekonomis dalam

prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seorang

untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan, dan


19

otoritas. Sedang istilah yang paling kurang beruntung (paling kurang

diuntungkan) menunjuk pada mereka yang paling kurang mempunyai

peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan dan otoritas.

Dengan demikian prinsip perbedaan menurut diaturnya struktur dasar

masyarakat adalah sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek

mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas

diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang

diuntungkan.

C. Teori Keadilan Thomas Hobbes

Menurut Thomas Hobbes keadilan ialah suatu perbuatan dapat

dikatakan adil apabila telah didasarkan pada perjanjian yang telah

disepakati. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa keadilan

atau rasa keadilan baru dapat tercapai saat adanya kesepakatan antara

dua pihak yang berjanji. Perjanjian disini diartikan dalam wujud yang

luas tidak hanya sebatas perjanjian dua pihak yang sedang mengadakan

kontrak bisnis, sewa-menyewa, dan lain-lain. Melainkan perjanjian

disini juga perjanjian jatuhan putusan antara hakim dan terdakwa,

peraturan perundang- undangan yang tidak memihak pada satu pihak

saja tetapi saling mengedepankan kepentingan dan kesejahteraan publik.

D. Teori Keadilan Roscoe Pound

Roscoe Pound melihat keadilan dalam hasil-hasil konkrit yang

bisa diberikannya kepada masyarakat. Ia melihat bahwa hasil yang

diperoleh itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan manusia

sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan yang sekecil- kecilnya.

Pound sendiri mengatakan, bahwa ia sendiri senang melihat “semakin


20

meluasnya pengakuan dan pemuasan terhadap kebutuhan, tuntutan atau

keinginan-keinginan manusia melalui pengendalian sosial; semakin

meluas dan efektifnya jaminan terhadap kepentingan sosial; suatu usaha

untuk menghapuskan pemborosan yang terus-menerus dan semakin

efektif dan menghindari perbenturan antara manusia dalam menikmati

sumber-sumber daya, singkatnya social engineering semakin efektif”.

E. Teori Keadilan Hans Kelsen

Menurut Hans Kelsen, keadilan adalah suatu tertib sosial tertentu

yang dibawah lindungannya usaha untuk mencari kebenaran bisa

berkembang dan subur. Karena keadilan menurutnya adalah keadilan

kemerdekaan, keadilan perdamaian, keadilan demokrasi – keadilan

toleransi.

2.1.3 Hukum dan Keadilan

Hukum sangat erat hubungannya dengan keadilan, bahkan ada pendapat

bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan, supaya benar-benar berarti

sebagai hukum, karena memang tujuan hukum itu adalah tercapainya rasa

keadilan pada masyarakat.

Suatu tata hukum dan peradilan tidak bisa dibentuk begitu saja tanpa

memerhatikan keadilan, karena adil itu termasuk pengertian hakiki suatu tata

hokum dan peradilan, oleh karenanya haruslah berpedoman pada prinsip- prinsip

umum tertentu.

Prinsip–prinsip tersebut adalah yang menyangkut kepentingan suatu bangsa

dan negara, yaitu merupakan keyakinan yang hidup dalam masyarakat tentang

suatu kehidupan yang adil, karena tujuan negara dan hukum adalah mencapai

kebahagiaan yang paling besar bagi setiap orang. Di dalam Pancasila kata adil
21

terdapat pada sila kedua dan sila kelima. Nilai kemanusiaan yang adil dan

keadilan sosial mengandung suatu makna bahwa hakikat manusia sebagai

makhluk yang berbudaya dan berkodrat harus berkodrat adil, yaitu adil dalam

hubungannya dengan diri sendiri, adil terhadap manusia lain, adil terhadap

masyarakat bangsa dan negara, adil terhadap lingkungnnya serta adil terhadap

Tuhan Yang Maha Esa. Konsekuensi nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan

meliputi:

a) Keadilan distributif, yaitu suatu hubungan keadilan antara negara

terhadap warganya, dalam arti pihak negaralah yang wajib

memenuhi keadilan dalam bentuk keadilan membagi, dalam bentuk

kesejahteraan, bantuan, subsidi serta kesempatan dalam hidup

bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban;

b) Keadilan legal, yaitu suatu hubungan keadilan antara warga negara

terhadap negara dan dalam masalah ini pihak wargalah yang wajib

memenuhi keadilan dalam bentuk menaati peraturan perundang-

undangan yang berlaku dalam negara; dan

c) Keadilan komutatif, yaitu suatu hubungan keadilan antara warga satu

dengan yang lainnya secara timbal balik.

2.1.4 Hukum dan Keadilan Masyarakat

Masalah keadilan merupakan persoalan yang rumit yang dapat dijumpai

disetiap masyarakat. Hukum memiliki dua tugas utama yakni mencapai suatu

kepastian hukum dan mencapai keadilan bagi semua masyarakat. Diantara sekian

banyaknya pemikiran dan konsep keadilan, salah satu konsep keadilan yang cukup

relevan adalah sebagaimana yang dikonsepsikan oleh Roscoe Pound, yang


22

selanjutnya diketahui dengan keadilan sosiologis; keadilan yang didasarkan pada

kebiasaan, budaya, pola perilaku dan hubungan antar manusia dalam masyarakat.

Keadilan hukum bagi masyarakat tidak sekedar keadilan yang bersifat

formal-prosedural, keadilan yang didasarkan pada aturan- aturan normatif yang

rigidyang jauh dari moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan. Lawan dari keadilan

formal-prosedural adalah keadilan substantif, yakni keadilan yang ukurannya

bukan kuantitatif sebagaimana yang muncul dalam keadilan formal, tetapi

keadilan kualitatifyang didasarkan pada moralitas publik dan nilai-nilai

kemanusiaan dan mampu mermberikan kepuasan dan kebahagiaan bagi

masyarakat.

2.1.5 Keadilan Sosial

Sebagaimana diketahui, keadilan sosial adalah bagian dari rumusan sila

kelima Pancasila. Keadilan sosial ini dengan sendirinya mengandaikan adanya

keadilan individual. Artinya, sikap atau perilaku individu Pancasilais adalah sikap

dan perilaku yang memiliki keutamaan atau kebajikanberupa keadilan itu.

Disamping itu individu juga menjadi tujuan dari keadilan itu. Maksudnya

adalah keadilan tidak hanya ditujukan kepada masyarakat seumumnya, melainkan

juga kepada individu. Namun individu ini bukan sekedar entitas atomistik yang

terlepas sama sekali dari konteks sosial budayanya, melainkan individu dalam

keterhubungannya dengan individu lain dan dengan masyarakatnya.

Disini keadilan sosial tidak sama dengan sosialisme yang tidak terlalu

peduli dengan kepentingan individu. Meskipun dalam keadilan sosial perhatian

terhadap individu tetap ada, namun keadilan sosial tidak tergantung dari kehendak

individu, melainkan dari struktur-struktur.


23

Dengan demikian, keadilan sosial adalah keadilan struktural. Keadilan ini

tercapai apabila struktur seperti proses-proses ekonomi, politik, sosial, budaya dan

ideologis dalam masyarakat menghasilkan pembagian kekayaan masyarakat yang

adil dan menjamin bahwa setiap warga memperoleh yang menjadi haknya.

Keadilan sosial lebih mudah diperoleh dengan membongkar struktur-struktur yang

tidak adil.

2.1.6 Teori Kepatuhan Hukum

Masalah kepatuhan (compliance) terhadap hukum bukan merupakan

persoalan baru dalam hukum dan ilmu hukum, namun bagaimana hal tersebut

dipelajari berubah-ubah sesuai dengan kualitas penelitian yang dilakukan terhadap

masalah tersebut. Sosiologi hukum memasuki masalah kepatuhan hukum dengan

melakukan penelitian empirik, seperti dilakukan oleh “The Chicago Study” dan

studi-studi “KOL” (Knowledge and Opinion about Law).

Sosiologi hukum tidak dapat membiarkan hukum bekerja dengan

menyuruh, melarang, membuat ancaman sanksi dan sebagainya, tanpa mengamati

sekalian sisi yang terlibat dalam bekerjanya hukum tersebut. Di sisi lain, sosiologi

juga mempertanyakan mengapa rakyat harus patuh, dari mana negara mempunyai

kekuasaan untuk memaksa, apakah rakyat tidak boleh menolak serta faktor-faktor

apakah yang berhubungan dengan kepatuhan. Semua penyelidikan tersebut

dilakukan untuk memperoleh penjelasan mengenai kepatuhan hukum dalam letak

(setting) sosiologisnya. Paksaan (cercion, threat) merupakan ciri hukum yang

menonjol, tetapi penggunaannya menjadi semakin kuat dan sistematis sejak

kehadiran dari negara modern.


24

Kekuasaan timbul dalam masyarakat sebagai fungsi dari kehidupan yang

teratur. Untuk adanya hal tersebut dibutuhkan paksaan menuju terciptanya suatu

pola perilaku (conformity) dengan menghukum perilaku yang menyimpang.

Kajian sosiologi hukum terhadap kepatuhan hukum pada dasarnya

melibatkan dua variabel, yaitu hukum dan manusia yang menjadi objek

pengaturan hukum tersebut. Dengan demikian, kepatuhan terhadap hukum tidak

hanya dilihat sebagai fungsi peraturan hukum, melainkan juga fungsi manusia

yang menjadi sasaran pengaturan. Kepatuhan hukum tidak hanya dijelaskan dari

kehadiran hukum, melainkan juga dari kesediaan manusia untuk mematuhinya.

Kepatuhan terhadap hukum bukan merupakan fungsi dari peraturan hukum

semata, melainkan juga dari mereka yang menjadi sasaran pengaturan hukum

tersebut. Oleh sebab itu, kepatuhan kepada hukum memerlukan penjelasan atas

dasar apa saja kepatuhan tersebut muncul.

Masalah pengetahuan masyarakat mengenai adanya peraturan juga

merupakan faktor yang perlu diperhatikan pada waku akan membicarakan

kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Dari pembacaan terhadap penelitian

mengenai hubungan antara pengetahuan tentang hukum dan kepatuhan atau

perilaku tidak dapat dipastikan, bahwa hubungan itu bersifat kausal. Pada

umumnya masyarakat memiliki pengetahuan yang rendah mengenai isi peraturan,

sehingga kepatuhan terhadap hokum berjalan berdampingan dengan pengetahuan

yang rendah mengenai hukum.

Dengan demikian, hukum dan pengetahuan mengenai hukum tidak dapat

ditunjuk sebagai faktor absolut dalam wacana mengenai kepatuhan hukum.

Kebiasaan juga merupakan variabel yang menjelaskan hubungan antara peraturan

dan kepatuhan. Masyarakat tidak dapat dilihat sebagai suatu kesatuan yang
25

homogen, melainkan terdiri dari berbagai golongan dan kelompok yang berbeda-

beda. Pengakuan terhadap kondisi heterogenitas tersebut menjadi sangat penting

pada waktu akan berbicara mengenai kepatuhan masyarakat terhadap hukum.

Ternyata secara sosiologis, kepatuhan tersebut mengikuti berbagai variabel

sosiologis, seperti kelompok jahat dan tidak jahat, umur, kedudukan sosial

ekonomi, ras dan sebagainya

2.1 Teori Hukum Perjanjian

2.2.1 Pengertian Perjanjian

Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, perjanjian

adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan

hukum antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya

terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian merupakan sumber

dari perikatan.

Menurut ilmu pengetahuan hukum, dianut definisi bahwa perikatan adalah

hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak dalam

lapangan harta kekayaan, di mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak

yang lainnya wajib memenuhi prestasi itu. Perjanjian merupakan suatu peristiwa

dimana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan suatu perbuatan atau

suatu persetujuan, dimana masingmasing pihak sepakat akan menaati apa yang

tersebut dalam persetujuan itu.

Dari beberapa uraian mengenai pengertian perjanjian di atas terdapat

beberapa unsur-unsur yang ada dalam suatu perjanjian, yaitu:


26

1. Unsur Essesialia adalah sesuatu yang harus ada yang merupakan hal

pokok sebagai syarat yang tidak boleh diabaikan dan harus

dicantumkan dalam suatu perjanjian. Bahwa dalam suatu perjanjian

haruslah mengandung suatu ketentuan tentang prestasi-prestasi. Hal

ini adalah penting disebabkan hal inilah yang membedakan antara

suatu perjnajian dengan perjanjian lainnya. Unsur Essesialia sangat

berpengaruh sebab unsur ini digunakan untuk memberikan rumusan,

definisi dan pengertian dari suatu perjanjian. Jadi essensi atau isi

yang terkandung dari perjanjian tersebut yang mendefinisikan apa

bentuk hakekat perjanjian tersebut. Misalnya essensi yang terdapat

dalam definisi perjanjian jual beli dengan perjanjian tukar menukar.

Maka dari definisi yang dimuat dalam definisi perjanjian tersebutlah

yang membedakan antara jual beli dan tukar menukar.

2. Unsur Naturalia adalah ketentuan hukum umum, suatu syarat yang

biasanya dicantumkan dalam perjanjian. Unsur-unsur atau hal ini

biasanya dijumpai dalam perjanjian-perjanjian tertentu, dianggap ada

kecuali dinyatakan sebaliknya. Merupakan unsur yang wajib dimiliki

oleh suatu perjanjian yang menyangkut suatu keadaan yang pasti ada

setelah diketahui unsur essesialianya. Jadi terlebih dahulu harus

dirumuskan unsur essesialianya baru kemudian dapat dirumuskan

unsur naturalianya. Misalnya jual beli unsur naturalianya adalah

bahwa si penjual harus bertanggung jawab terhadap kerusakan-

kerusakan atau cacat-cacat yang dimiliki oleh barang yang dijualnya.

Misalnya membeli sebuah televisi baru. Jadi unsur prinsip essesialia


27

adalah usnur yang selayaknya atau sepatutnya sudah diketahui oleh

masyarakat dan dianggap suatu hal yang lazim atau lumrah.

3. Unsur Accidentalia, yaitu berbagai hal khusus (particular) yang

dinyatakan dalam perjanjian yang disetujui oleh para pihak.

Accidentalia artinya bisa ada atau diatur, bisa juga tidak ada,

bergantung pada keinginan para pihak, merasa perlu untuk memuat

ataukah tidak. Selain itu accidentalia adalah unsur pelengkap dalam

suatu perjanjian yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat

diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak

para pihak yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan

secara bersama-sama oleh para pihak. Jadi unsur accidentalia lebih

menyangkut mengenai faktor pelengkap dari unsur essesialia dan

naturalia, misalnya dalam suatu perjanjian harus ada tempat dimana

prestasi dilakukan.

Syarat sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 Kitab Undang-undang

Hukum Perdata, yaitu:

1. Sepakat untuk mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif berkaitan dengan

subjek perjanjian, artinya suatu perjanjian dapat diminta untuk dibatalkan apabila

salah satu syarat tidak terpenuhi. Sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan

syarat objektif berkaitan dengan objek perjanjian, artinya suatu perjanjian batal
28

demi hukum jika tidak terpenuhi salah satu syarat. Secara etimologis istilah kredit

berasal dari bahasa latin, yaitu Cadere yang berarti kepercayaan. Misalkan,

seorang nasabah Debitur yang memperoleh kredit dari bank adalah tentu

seseorang yang mendapatkan kepercayaan dari bank. Hal ini menunjukan bahwa

apa yang menjadi dasar pemberian kredit oleh bank kepada nasabah Debitur

adalah kepercayaan.

2.2.2 Teori Perlindungan Hukum

Satjipto Raharjo mengartikan bahwa perlindungan hukum adalah

merupakan pemberian pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang

dirugikan oleh orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar

dapat masyarakat dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.

Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak

sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. Salah satu

perlindungan hukum yang diberikan Negara melalui dikeluarkannya UUJF. Pasal

11 ayat (1) bahwa :“Benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib

didaftarkan.” Dengan dilakukannya pendaftaran ke kantor pendaftaran fidusia,

maka akan diterbitkan sertifikat jaminan fidusia yangmemiliki kekuatan hukum

yaitu kekuatan eksekutorial yang mengikat bagi para pihak yang mana kekuatan

hukum tersebut layaknmya keputusan pengadilan.

2.2.3 Teori Wanprestasi

Wanprestasi adalah pelaksanaan perjanjian yang tidak tepat waktunya atau

dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak dilaksanakan sama sekali. Dengan

demikian wanprestasi dapat berbentuk :

1. Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukannya;


29

2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana

mestinya;

3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh

dilakukannya.

Apabila debitur melakukan wanprestasi, maka dia dapat dituntut untuk :

1. Pemenuhan perjanjian;

2. Pemenuhan perjanian ditambah ganti rugi;

3. Ganti rugi;

4. Pembatalan perjanjian timbal balik;

5. Pembatalan dengan ganti rugi.

Kewajiban membayar ganti rugi (schade vergoeding) tersebut tidak timbul

seketika terjadi kelalaian, melainkan baru efektif setelah debitor dinyatakan lalai

(ingebrekestelling) dan tetap tidak melaksanakan prestasinya. Hal ini diatur dalam

Pasal 1243 KUHPerdata, sedangkan bentudaftar k pernyataan lalai tersebut diatur

dalam Pasal 1238 KUHPerdata yang pada pokoknya menyatakan:

1. Pernyataan lalai tersebut harus berbentuk surat perintah atau akta

lain yang sejenis, yaitu suatu salinan daripada tulisan yang telah

dibuat lebih dahulu oleh juru sita dan diberikan kepada yang

bersangkutan.

2. Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri.

3. Jika tegoran kelalaian sudah dilakukan barulah menyusul peringatan

atau anmaning yang biasa disebut sommasi.


30

Selanjutnya, disyaratkan kerugian yang dapat dituntut haruslah kerugian

yang menjadi akibat langsung dari wanprestasi.Artinya antara kerugian dan

wanprestasi harus ada hubungan sebab akibat. Dalam hal ini kreditor harus dapat

membuktikan :

a) Besarnya kerugian yang dialami.

b) Bahwa faktor penyebab kerugian tersebut adalah wanprestasi karena

kelalaian kreditor, bukan karena faktor diluar kemampuan debitor.

3. Kerangka Pemikiran

3.1 Tinjauan Umum Jaminan Fidusia

3.1.1 Pengertian Jaminan Fidusia

Kata Fidusia asal kata latin fiducia yang menurut Kamus Hukum berarti

kepercayaan. Istilah Fidusia dalam bahasa Indonesia adalah penyerahan hak milik

secara kepercayaan, sedangkan dalam terminologi Belanda disebut juga dengan

istilah fiduciare eigendom overdracht. Fidusia berasal dari kata fieds yang berarti

kepercayaan. Kepercayaan mempunyai arti bahwa pemberi jaminan percaya

dalam penyerahan hak miliknya tidak dimaksudkan untuk benar-benar

menjadikan kreditur pemilik atas benda dan jika perjanjian pokok fidusia dilunasi,

maka benda jaminan akan kembali menjadi milik pemberi jaminan.

Marhainis dalam bukunya Hukum Perdata berkaitan dengan Hukum

Jaminan Fidusia mengistilahkan “Perjanjian atas Kepercayaan”, yakni dari

katakata Fiduciair Eigendom Overdracht atau disingkat dengan f.e.o, yang juga

disebut dengan istilah “penyerahan hak milik atas kepercayaan.“ Menurutnya

istilah Fiduciair Eigendom Overdracht (f.e.o) ini sering terjadi dimasyarakat

terutama dalam dunia perbankan, yang mana seorang nasabah meminta kredit

pada bank, dan yang dijadikan sebagai jaminan berupa barang bergerak tetapi
31

barang jaminan barang bergerak itu tidak diserahkan oleh pemilik barang itu

kepada yang meminjamkan uang (bank) tetapi tetap dikuasai dan digunakan oleh

si pemilik. Jadi fiduciair eigendom overdracht ada dua unsur gadai karena barang

jaminan berupa barang bergerak sedangkan disamping itu ada unsur hipotik

karena barang jaminan tersebut tidak diserahkan oleh siberutang kepada

siberpiutang.

Dengan istilah tersebut di atas pengertian mengenai jaminan fidusia

menurut Marhainis, seolah-olah pihak si berutang menyerahkan barang jaminan

itu kepada siberpiutang dan seolah-olah hak milik barang itu dipegang oleh

siberpiutang, maka oleh siberpiutang barang itu diserahkan kembali kepada

siberutang, sehingga hal inilah yang menimbulkan pengertian fiduciair eigendon

overdracht (penyerahan hak milik atas kepercayaan).

Mengenai pengertian Jaminan Fidusia dijelaskan juga dalam pasal 1 ayat (1

dan 2) UUJF No. 42 Th. 1999 sebagai berikut:

(1) Menyatakan bahwa Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu

benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak

kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik

benda.

(2) Menyatakan bahwa Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda

bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda

tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak

tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam

penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang


32

tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada

penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.

Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik berwujud

maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang

tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 14

Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap dalam penguasaan pemberi

fidusia, sebagai guna bagi pelunasan uang tertentu, yang memberikan kedudukan

yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.

b) Sifat Jaminan Fidusia

Pasal 4 Undang – undang Jaminan Fidusia juga secara tegas menyatakan

bahwa Jaminan Fidusia merupakan perjanjian assesoir dari suatu perjanjian pokok

yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi

yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu,

yang dapat dinilai dengan uang. Sifat jaminan fidusia menurut Gunawan Wijaya

adalah :

1) Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok.

2) Keabsahanya semata – mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian

pokok.

3) Hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan yang disyaratkan dalam

perjanjian pokok telah atau tidak dipenuhi

Selain sifat dari jaminan fidusia yang tersebut di atas, jaminan fidusia mempunyai

sifat lain yaitu :

1) Sifat mendahului (Droit de Preference) Sifat mendahului dalam jaminan

fidusia adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan

piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan


33

fidusia. Hak untuk mengambil pelunasan ini mendahului kreditur –

kreditur lainnya. Bahkan sekalipun pemberi fidusia dinyatakan pailit

atau dilik uidasi, hak yang didahulukan dari penerima fidusia tidak

hapus karena benda yang menjadi objek jaminan fidusia tidak termasuk

dalam harta pailit pemberi fidusia.

2) Sifat Droit de Suite Jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi

objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada,

kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek jaminan

fidusia. Pengecualian terhadap sifat ini terdapat dalam hal benda yang

menjadi objek jaminan fidusia adalah benda persediaan. Sesuai dengan

Pasal 21 UU no. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka

pemberi fidusia dapat mengalihkan benda persediaan menjadi objek

jaminan fidusia dengan cara dan prosedur yang lazim dilakukan dalam

usaha..

Kenyataan-kenyataan tersebut di atas menunjukan betapa arti pentingnya

lembaga fidusia, sebagai lembaga jaminan yang memungkinkan menampung

kebutuhan-kebutuhan kredit, yang tidak dapat ditempuh melalui lembaga jaminan

yang lain. Lembaga jaminan fidusia makin lama makin popular di hati

rakyat.Mereka memerlukan fasilitas kredit bagi kepentingan rumah tangganya,

kebutuhan perusahaan, kepentingan usahanya, perdagangan dan perluasan

industri. Lembaga jaminan demikian lazim dipakai sebagai jaminan dalam praktek

perbankan, dalam lembaga simpan pinjam di kantorkantor koperasi, pada

importur, eksportur, leveransir dan lain-lain. Untuk kredit-kredit kecil dalam

praktek perbankan lazim perjanjian fidusia di tuangkan dalam modelmodel

tertentu dari bank. sedang untuk kredit-kredit besar lazim dituangkan dalam akta
34

notaris. Pertumbuhan lembaga fidusia di Indonesia mengalami keadaan dan

perkembangan yang berbeda dari keadaan di Nederland.Di Nederland

pertumbuhan fidusia terdesak oleh adanya peraturan tentang Huurkoop yang

sedikit banyak mengandung ciri persamaan dengan fidusia. Huurkoop tersebut

telah tertampung dalam Undang-Undang, sehingga memberikan jaminan

kepastian hukum yang lebih kuat daripada fidusia. Kemudian disusul dengan

adanya rancangan undang-undang Ontwerp Meijers yang menampung lembaga

jaminan fidusia itu dengan registerpandrecht dan bezitloos pandrecht.6 Mengenai

pertumbuhan fidusia di Indonesia mengalami perkembangan yang ain.

Perkembangannya menjurus ke arah pertumbuhan yang semarak, subur dan

meluas ke arah jaminan dengan benda tak bergerak. Pada umumnya

perkembangan fidusia di Indonesia disebabkan oleh rasa kebutuhan dari

masyarakat sendiri, disamping itu juga terpengaruh oleh berlakunya UUPA di

Indonesia.Dirasakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, karena prosedurnya

lebih mudah, lebih luwes, biayanya musrah, selesainya cepat dan meliputi baik

benda-benda bergerak maupun benda tak bergerak. Perkembangan fidusia

dikatakan terpengaruh oleh berlakunya UUPA, karena penjaminan dengan fidusia

juga dilakukan terhadap bangunan-bangunan dan rumah di atas tanah Negara, di

atas tanah hak sewa, hak pakai, hak pengelolaan, di mana menurut ketentuan

UUPA hak-hak atas tanah tersebut tidak dapat dihipotikkan atau

dicredietverbandkan.

3.1.2 Dasar Hukum Jaminan Fidusia

Beberapa dasar hukum yang menjadi landasan terselenggaranya pemberian

Jaminan Fidusia antara lain sbagai berikut:

1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;


35

2) Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara

Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia;

3) Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1999 tentang Tarif Atas Jenis

Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Hukum

dan HAM;

4) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 139 Tahun 2000 tentang

Pembentukan Kantor Pendaftaran Fidusia di Setiap Ibukota Propinsi di

Wilayah Negara Republik Indonesia;

5) Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Nomor M.08-PR.07.01 Tahun 2000 tentang Pembukaan Kantor

Pendaftaran Jaminan Fidusia;

6) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No. M.

MH02.KU.02.02. Th. 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan dan Pelaporan

Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Biaya Pelayanan Jasa Hukum di

Bidang Notariat, Fidusia dan Kewarganegaraan pada kantor Wilayah

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

3.1.3 Ruang Lingkup Jaminan Fidusia

Hakikat Jaminan Fidusia

Dari definisi Fidusia UU Jaminan Fidusia dapat kita katakan bahwa dalam

jaminan Fidusia terjadi pengalihan hak kepemilikan. Pengalihan itu terjadi atas

dasar kepercayaan dengan janji benda yang hak kepemilikan nya di alihkan tetap

dalam penguasaan pemilik benda. Dalam jaminan Fidusia pengalihan hak

kepemilikan di maksudkan semata-mata sebagai jaminan bagi pelunasan utang,


36

bukan untuk seterusnya di miliki oleh penerima fidusia . ini merupakan inti dari

pengertian Jaminan Fidusia yang dimaksud Pasal 1 angka 1 .

Bahkan Sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Jaminan Fidusia setiap

janji yang memberikan kewenangan kepada penerima Fidusia untuk memiliki

Benda yang menjadi ojek Jaminan Fidusia apabila debitur cidera janji, akan batal

demi hukum.

3.3.2 Ruang Lingkup dan Objek Jaminan Fidusia

Pasal 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia memberikan batas ruang lingkup

berlakunya Undang-Undang Jaminan Fidusia yaitu berlaku terhadap setiap

perjanjian yang bertujuan untuk membebani Benda dengan Jaminan Fidusia, yang

dipertegas kembali oleh rumusan yang dimuat dalam pasal 3 Undang-Undang

Jaminan Fidusia dengan tegas menyatakan bahwa Undnag-Undang Jaminan

Fidusia Berlaku terhadap:

- Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan,

sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan

jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar. Namun demikian

bangunan di atas milikorang lain yang tidak dapat dibebani hak

tanggungan berdasarkan UU Hak Tanggungan dapat di jadikan

objek Jaminan Fidusia

- Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua

puluh) atau lebih

- Hipotek atas pesawat terbang

- Gadai

Dengan lahirnya Undang-Undang Jaminan Fidusia yaitu dengan mengacu

pada pasal 1 angka 2 dan 4 beserta pasal 3 Undang-Undang Jaminan Fidusia,


37

dapat dikatakan bahwa yang menjadi objek Jaminan Fidusia adalah bend apa pun

yang dapat dimiliki dan dialihkan hak kepemilikanya. Benda itu dapat berubah

berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, dengan syarat

bahwa benda tersebut tidak dapat di bebani dengan hak tanggungan sebagaimana

dimaksud dalam UU Hak Tanggungan atau Hipotek sebagaimana dimaksud

dalam pasal 314 KUHD. Pengertian Debitur adalah pihak yang berhutang kepada

pihak lain atau pihak yang memiliki tanggungan kepada pihak lain dan

menjanjikan sebuah pengembalian barang atau uang kembali pada masa yang

akan datang. Pihak lain yang memberi hutang ini biasa di sebut Kreditur. Kreditur

adalah pihak yang memiliki piutang atau yang memberikan kredit kepada pihak

Debitur. Benda-benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut adalah :

- Benda tersebut harus dapat di miliki dan di alihkan secara hokum

- Dapat atas benda wujud

- Dapat juga atas benda tak berwujud, termasuk piutang

- Benda bergerak

- Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan

- Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan

- Baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap bendayang akan di

peroleh kemudian. Dalam hal benda yang akan di peroleh kemudian,

tidak diperlukan satu akta pembebanan fidusia tersendiri.

- Dapat atas suatu satuan atau jenis benda

- Dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda

- Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia


38

- Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi objek

jaminan fidusia

- Benda persediaan ( inventory, stock, perdagangan) dapat juga

menjadi objek jaminan fidusia.

Asas-Asas Dalam Jaminan Fidusia

A. Jaminan Fidusia Bersifat Assesoir

1) J. Satrio menyebutkan bahwa perjanjian assesoir merupakan suatu

perjanjian yang lahir adanya perpindahan dan berakhir/hapusnya

bergantung pada perjanjian pokoknya. Perumusan tersebut memang benar

jika tidak dimaknai bahwa kesepakatan tentang jaminan fidusia itu lahir

sebagai akibat dari lahirnya kesepakatan utang-piutang karena

sesungguhnya yang terjadi dalam praktik adalah kesepakatan jaminan itu

selalu mendahului sebelum kemudian disepakati perjanjian utang-

piutangnya.Beberapa ketentuan Undang-Undang yang memberikan makna

bahwa perjanjian jaminan merupakan perjanjian assesoir, antara lain :

a) Pasal 1821 KUH Perdata : “Tiada penanggungan jika tiada perikatan

yang sah menurut Undang-Undang.”

b) Pasal 1822 KUH Perdata : “Seorang penanggung tidak dapat

mengikatkan diri dalam perjanjian atau dengan syarat-syarat yang lebih

berat dari perikatan yang dibuat oleh debitur ”

c) Pasal 1151 KUH Perdata tentang gadai :“perjanjian gadai harus

dibuktikan dengan alat yang diperkenankan untuk membuktikan perjanjian

pokoknya”
39

d) Pasal 1209 KUH Perdata tentang Hipotek :“Hipotek hapus karena

perikatan pokoknya”

e) Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 “ Hak

tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut : a. Hapusnya utang yang

dijaminkan dengan hak tanggungan.

f) Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 Tentang

fidusia :“Jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu

perjanjian pokoknya yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk

memenuhi suatu prestasi”.

Sifat assesoir pada perjanjian jaminan menimbulkan konsekuensi bahwa

jika perjanjian pokok yang pada umumnya adalah perjanjian utang-piutang atau

kredit dinyatakan batal atau hapus, maka perjanjian jaminanya demi hukum juga

menjadi batal atau hapus.

B. Jaminan Fidusia Bersifat Absolut

Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengatakan bahwa yang

dimaksud hak kebendaan (zakelijkrecht) ialah hak mutlak atas suatu benda dan

dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. Hak kebendaan itu bersifat absolut

karena selain bisa dipertahankan kepada siapa saja pemegang hak tersebut dapat

menuntut kepada siapa saja yang menganggu haknya atau menghalang-halangi

sipemegang hak dalam menikmati dan memanfaatkan hak tersebut.

1. Asas Droit De Suite Dalam Jaminan fidusia Setiap hak kebendaan

memiliki sifat “Droit De Suite” yaitu suatu hak yang selalu

mengikuti bendanya ditangan siapapun benda itu berada. Sifat “Droit

De Suite” terkandung dalam Pasal 7 Undang-Undang Hak


40

Tanggungan yang berbunyi :“Hak tanggungan tetap mengikuti

obyeknya ditangan siapapun obyek tersebut berada”. Sedangkan

dalam lemmbaga jaminan fidusia sebagaimana diatur dalam Pasal 20

Undang-Undang fidusia menyebutkan : “Jaminan fidusia tetap

mengikuti obyek yang menjadi jaminan fidudsia, dalam tangan

siapapun obyek tersebut berada kecuali pengalihan atas benda

persediaan yang menjadi obyek jaminan fidusia”.

2. Asas Droit De Preference dalam jaminan fidusia Setiap kreditur

pemegang jaminan kebendaan pada umumnya selalu memiliki hak

untuk mendahului, atau memiliki kedudukan yang didahulukan dari

kreditur-kreditur lainya. Dalam Undang-Undang Fidusia pada Pasal

1 angka 2 mengatakan :“ Jaminnan fidusia adalah jaminan hak atas

benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud

dan berda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat hak

tanggungan” sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor

4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan yang tetap berada dalam

penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang

tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada

penerima fidusia terhadap kreditur lainya. Pendapat serupa

disampaikan oleh Tan Kamello bahwa kreditur sebagai penerima

jaminan fidusia memiliki hak preferen. (Kamello,2014: 324)

3. Asas Spesialitas Dalam Obyek Jaminan Fidusia Asas spesialitas

pada obyek jaminan mengandung pengertian bahwa obyek yang

dibebankan menjadi jaminan ditentukan secara spesifik, hal ini

sebagaimana asas spesialitas yang diatur dalam Pasal 1174 KUH


41

Perdata Tentang hipotek yang berbunyi :“Akta dalam mana

diletakkan hipotek harus memuat suatu penyebutan khusus tentang

benda yang dibebani, begitu pula tentang sifat dan letaknya,

penyebutan mana sedapat-dapatnya harus didasarkan pada

pengukuran-pengukuran resmi”.

4. Asas Publisitas Asas publisitas artinya bahwa setiap pembebanan

jaminan dilakukan secara terbuka dan tegas, tidak dilakukan secara

diamdiam dan tersembunyi, menurut asas publisitas ini setiap

pembebanan jaminan wajib didaftarkan ditempat dimana Undang-

Undang telah menunjuk tempat pendaftaran tersebut. (Witanto,

2015 :105-117)

Pendaftaran Jaminan Fidusia


Kewajiban pendaftaran Benda Jaminan Fidusia sesuai dengan ketentuan

dalam pasal 11 UUJF, ayat (1) menyatakan bahwa benda yang dibebani dengan

Jaminan Fidusia wajib didaftarkan.19 Pelaksanaan pendaftaran benda yang

dibebani dengan Jaminan Fidusia dilaksanakan ditempat keudukan Pemberi

Fidusia, dan pendaaftarannya mencakup benda, baik yang berada di dalam

maupun di luar wilayah Negara Republik Indonesia untuk memenuhi asas

publisitas, sekaligus merupakan jaminan kepastian terhadap kreditor lainnya

mengenai benda yang telah dibebani Jaminan Fidusia.

Untuk mendaftar Jaminan Fidusia perlu memenuhi persyaratan sesuai pasal

12 UUJF yakni 20:

- Surat permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia diajukan kepada

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

- Salinan akta Notaris


42

- Surat kuasa/surat pendelegasian wewenang atau wakilnya dengan

melampirkan pernyataan jaminan Fidusia;

- Bukti pembayaran penerimaan Negara bukan pajak.

Pendaftaran Sertifikat Jaminan Fidusia diawali dengan permohonan

diajukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

melalui Kantor Pendaftaran Fidusia di tempat kedudukan pemberi fidusia secara

tertulis dalam bahasa Indonesia oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya,

dengan melampirkan pernyataan Pendaftaran Jaminan Fidusia dan mengisi

formulir yang bentuk dan isinya ditetapkan dengan Lampiran I Keputusan Menteri

Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M01.UM.01.06

Tahun 2000, yang isinya:

- Identitas pihak pemberi dan penerima yang meliputi: (1). Nama

lengkap; (2).Tempat tinggal/tempat kedudukan; dan (3) Pekerjaan.

- Tanggal dan nomor akta Jaminan Fidusia, nama dan tempat

kedudukan Notaris yang memuat akta Jaminan Fidusia.

- Data perjanjian pokok yaitu mengenai macam perjanjian dan utang

yang dijamin dengan fidusia.

- Uraian mengenai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia (Lihat

penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999).

- Nilai penjamin - Nilai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.

Aspek Hukum Jaminan Fidusia

Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar

Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran.

Berdasarkan pendaftaran tersebut Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan dan


43

menyerahkan kepada Penerima Fidusia sertifikat jaminan Fidusia pada tanggal

yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. Sertifikat

Jaminan Fidusia yang merupakan salinan Buku Daftar Fidusia lahir pada tanggal

yang sama dengan tanggal dicatanya jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia.

Isi dari sertifikat Jaminan Fidusia sesuai pasal 15 UUJF tercantum katakata

“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.”

Sertifikat Jaminan Fidusia ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama

dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila

debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang

menjadi obyek Jaminan Fidusia atas kekuasaanya sendiri.

Dalam ketentuan di atas, yang dimaksud dengan “Kekuatan Eksekutorial”

adalah langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final

serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. Salah satu ciri

Jaminan Fidusia adalah kemudahan dalam pelaksanaan eksekusinya, yaitu apabila

pihak Pemberi Fidusia cidera janji. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini

dipandang perlu diatur secara khusus tentang eksekusi Jaminan Fidusia melalui

Lembaga Parate Eksekusi.

Dalam hal terjadi perubahan sertifikat Jaminan Fidusia pasal 16 UUJF

mengatur tentang perubahan sertifikat Jaminan Fidusia, sebagai beriktu:

- Pertama, Apabila terjadi perubahan mengenai hal-hal yang tercantum

dalam sertifikat Jaminan Fidusia, Penerima Fidusia wajib mengajukan

permohonan pendaftaran atas perubahan tersebut kepada Kantor

Pendaftaran Fidusia; kedua, Kantor Pendaftaran Fidusia pada tanggal yang

sama dengan tanggal penerimaan permohonan perubahan, melakukan

pencatatan perubahan tersebut dalam buku Daftar Fidusia dan menerbitkan


44

Pernyataan Perubahan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari

Sertifikat Jaminan Fidusia. Dalam pelaksanaan perubahan mengenai hal-

hal yang tercantum dalam Sertifikat Jaminan Fidusia, harus diberitahukan

kepada para pihak. Perubahan ini tidak perlu dilakukan dengan akta

notaries dalam rangka efisiensi untuk memenuhi kebutuhan dunia usaha.

- Sertifikat Pengganti - Apabila rusak atau hilang, permohonan diajukan

oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya kepada Menteri Hukum dan

Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

- Surat keterangan hilang dari kepolisian atas permohonan yang

bersangkutan.

- Sertifikat Pengganti diterbitkan dengan nomor dan tanggal yang sama

dengan yang rusak atau hilang.

- Penyerahan pada tanggal yang sama dengan penerimaan permohonan

Sertifikat Pengganti. - Biaya permohonan Sertifikat Pengganti.

Pengalihan Jaminan Fidusia

Pengalihan jaminan Fidusia sesuai pasal 19 UUJF ayat (1),21 bahwa

pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan Fidusia mengakibatkan

beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban penerima Fidusia kepada

kriditor baru. Selanjutnya beralihnya jaminan fidusia termaksud sesuai ayat (2)

didaftarkan oleh kreditor baru kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.

Dengan “pengalihan hak atas piutang” dalam ketentuan ini dikenal dengan

istilah “Cessie” yakni pengalihan piutang yang dilakukan dengan akta otentik atau

akta di bawah tangan. Dengan adanya cessie ini, maka segala hak dan kewajiban
45

Penerima Fisudia lama beralih kepada Penerima Fidusia baru dan pengalihan hak

atas piutang tersebut diberitahukan kepada Pemberi Fidusia.

Dengan pengalihan Jaminan Fidusia kepada pihak lain, jaminan Fidusia

menurut pasal 20 akan tetap mengikuti benda yang menjadi obyek jaminan

Fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas

benda persediaan yang menjadi obyek Jaminan Fidusia. Hal tersebut sesuai

dengan prinsp “Droit De Suite” yang telah merupakan bagian dari peraturan

perundang-undangan Indonesia dalam kaitannya dengan hak mutlak atas

kebendaan.

Pelaksanaan pengalihan Jaminan Fidusia sesuai dengan pasal 21 yang

menyatakan:

- Pemberi Fidusia dapat mengalihkan benda persediaan yang menjadi

obyek jaminan Fidusia dengan cara dan prosedur yang lazim

dilakukan dalam usaha perdagangan;

- Pengalihan tidak berlaku apabila telah terjadi cidra janji oleh debitur

atau pemberi Fidusia

- Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia yang telah dialihkan

wajib diganti oelh pemberi Fidusia dngan obyek yang sama ;

Dalam hal Pemberi Fidusia cidera janji, maka hasil pengalihan dan atau

tagihan yang timbul karena pengalihan dedmi hukum menjadi obyek Jaminan

Fidusia pengganti dari obyek Jaminan Fidusia yang dialihkan.

Dari ketentuan tersebut di atas menegaskan kembali bahwa Pemberi Fidusia

dapat mengalihkan benda persediaan untuk menjadi Obyek jaminan Fidusia.


46

Namun demikian untuk menjaga kepentingan Penerima fidusia, maka benda yang

dialihkan tersebut wajib diganti dengan obyek yang setara. Yang dimaksud

dengan “mengalihkan” antara lain termasuk menjual atau menyewakan dalam

rangka kegiatan usahanya. Selanjutnya yang dimaksud “setara” tidak hanya

nilainya tetapi juga jenisnya. Yang dimaksud dengan “cidera janji” adalah tidak

memenuhi prestasi, baik yang berdasarkan perjanjian pokok, perjanjian Jaminan

Fidusia, maupun perjanjian jaminan lainnya.

Berkaitan dengan pengalihan jaminan Fidusia, pembeli benda obyek

Jaminan Fidusia yang merupakan benda persediaan menurut pasa 22 UUJF, bebas

dari tuntutan meskipun pembeli tersebut mengetahui tentang adanya Jaminan

Fidusia itu, dengan ketentuan bahwa pembeli telah membayar lunas harga

penjualan benda tersebuyt sesuai dengan harga pasar. Yang dimaksud dengan

“harga pasar” adalah harga yang wajar yang berlaku di pasar pada saat penjualan

benda tersebut, sehingga tidak mengesankan adanya penipuan darei pihak pemberi

Fidusia dalam melakukan penjualan benda tersebut.

Hapusnya Jaminan Fidusia

Hapusnya jaminan fidusia sebagaimana diatur pasal 25 dikarenakan 23: -

Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia ;

- Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia atau

musnahnya benda yang menjadi jaminan obyek jaminan fidusia.

- Hapusnya Jaminan Fidusia wajib diberitahukan secara tertulis

kepada Kantor Pendaftaran Fidusia paling lambat 7 hari setelah

hapus.
47

- Lampiran dokumen pendukung: 1). Permohonan oleh penerima

fidusia, kuasa atau wakilnya pada Kantor Pendaftaran Fidusia di

tempat kedudukan pemberi fidusia; 2). Sertifikat Jaminan Fidusia

yang asli.

- Kantor Pendaftaran Fidusia mencoret pencatatan Jaminan Fidusia

dari Buku Daftar Fidusia.

- Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan surat keterangan yang

menyatakan Sertifikat Jaminan Fidusia yang bersangkutan tidak

berlaku lagi dan sertifikat dicoret dan disimpan dalam arsip Kantor

Pendaftaran Fidusia.

Apabila benda yang menjadi jaminan Fidusia musnah, menurut pasal 25

ayat (2) tidak akan menghapuskan klaim asuransinya. Dengan hapusnya jaminan

Fidusia Penerima Fidusia sesuai ayat (3) pasal 25 UUJF harus memberitahukan

kepada Kantor Pendaftaran Fidusia mengenai hapusnya Jaminan Fidusia dengan

melampirkan pernyataan mengenai hapusnya utang, pelepasan hak, atau

musnahnya benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia. Bahwa sesuai dengan

sifat ikutan dari Jaminan Fidusia, maka adanya Jaminan Fidusia tergantung pada

adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang tersebut hapus

karena hapusnya utang atau karena pelepasan, maka dengan sendirinya Jaminan

Fidusia yang bersangkutan menjadi hapus. Yang dimaksud dengan “hapusnya

utang” antara lain karena pelunasan dan bukti hapusnya utang berupa keterangan

yang dibuat kreditor. Selanjutnya dalam hal benda yang menjadi obyek Jaminan

Fidusia musnah dan benda tersebut diansuransikan, maka klaim asuransi akan

menjadi pengganti obyek Jaminan Fidusia tersebut.


48

Dengan hapusnya Jaminan Fidusia, maka sesuai pasal 26 ayat (1) Kantor

Pendaftaran Fidusia mencoret pencatatan Jaminan Fidusia dari Buku Daftar

Fidusia. Selanjutnya Kantor Pendaftaran Fidusia seuai ayat (2) menerbitkan surat

keterangan yang menyatakan sertifikat Jaminan Fidusia yang bersangkutan tidak

berlaku lagi.

Hak Mendahului

Hak mendahulu, diatur dalam pasal 27 UUJF yang menyatakan,24

penerima Fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditor, Bahwa hak

yang didahulukan sesuai ayat (2) adalah hak Penerima Fidusia untuk mengambil

pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi obyek jaminan

Fidusia. Hak yang didahulukan dari Penerima Fidusia tidak hapus karena adanya

kepailitan dan atau likuidasi Pemberi Fidusia. Hak yang didahulukan dihitung

sejak tanggal pendaftaran benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia pada

Kantor Pendaftaran Fidusia.

Jaminan Fidusia merupakan hak agunan atas kebendaan bagi pelunasan

utang. Disamping itu, ketentuan dalam Undang-undang tentang Kepailitan

menentukan bahwa benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia berada diluar

kepailitan. Selanjutnya pasal 28 UUJF menjelaskan apabila atas benda yang sama

menjadi obyek Jaminan Fidusia yang lebih dari satu perjanjian Jaminan Fidusia,

maka hak yang didahulukan, diberikan kepada pihak yang lebih dahuklu

mendaftarkannya pada kantor Pendaftaran Fidusia.

3.2 Tinjauan Umum Tentang Eksekusi Jaminan

3.2.1 Dasar Hukum Eksekusi Jaminan


49

Eksekusi jaminan fidusia diatur dalam pasal 29 sampai dengan pasal 34 UU

Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Yang dimaksud dengan eksekusi

jaminan fidusia adalah penyitaan dan penjualan benda yang menjadi objek

jaminan fidusia. Yang menjadi penyebab timbulnya eksekusi jaminan fidusia

adalah karena debitur atau pemberi fidusia cidera janji atau tidak memenuhi

prestasinya tepat pada waktunya kepada penerima fidusia, walaupun mereka telah

diberikan somasi. Eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan dalam hal pemberi

fidusia (debitur) berada dalam keadaan cidera janji (wanprestasi). Pemberi fidusia

wajib menyerahkan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dalam rangka

pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Apabila pemberi fidusia tidak menyerahkan

benda yang menjadi obyek jaminan fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan,

penerima fidusia berhak mengambil benda yang menjadi obyek jaminan fidusia

dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang. Pelaksanaan

Eksekusi Jaminan Fidusia diatur di dalam pasal 29 sampai dengan pasal 34

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.21

Diawali dari ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

menyatakan bahwa : “ Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun

yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian

hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.”Ketentuan Pasal

1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa : “Suatu

perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Selanjutnya dalam ketentuan berikutnya , yaitu dalam pasal 1320 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata dikatakan bahwa “Untuk sahnya suatu perjanjian

diperlukan empat syarat :


50

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.”

Dari ketiga rumusan sederhana berikut, dapat dikatakan bahwa perjanjian

melahirkan kewajiban kepada orang-perorangan atau pihak tertentu yang dapat

berwujud dalam salah satu dari tiga bentuk berikut :

1. Untuk memberikan sesuatu.

2. Untuk melakukan sesuatu.

3. Untuk tidak melakukan sesuatu tertentu.

Awal mula terbitnya perusahaan pembiayaan, terkait dengan proses pengajuan

kredit atau biasa disebut dengan utang piutang. Sementara itu utang piutang tidak

bisa hanya didasarkan pada kepercayaan semata, sehingga harus disertai dengan

jaminan. Salah satu jaminan yang dikenal di dalam sistem hukum jaminan

Indonesia yaitu jaminan fidusia. “ Unsur-unsur dari fidusia, antara lain :

- Fidusia diberikan atas benda bergerak (kecuali yang ditentukan dalam

pasal 3 UUJF) dan benda tidak bergerak atas bangunan di atas tanah

milik orang lain yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan.

- Fidusia merupakan jaminan penyerahan hak milik dari debitur tanpa

menyerahkan benda jaminan secara fisik kepada kreditur, dan benda

tersebut tetap berada di bawah kekuasaan debitur (constitutum

possessorium), namun pihak debitur tidak diperkenankan

mengalihkan benda jaminan tersebut kepada pihak lain.


51

- Fidusia memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur

untuk memperoleh pelunasan terlebih dahulu atas hasil eksekusi

benda yang menjadi objek jaminan.

- Fidusia memberikan kewenangan kepada kreditur untuk menjual

benda jaminan atas kekuasaannya sendiri.”

Jaminan fidusia wajib didaftarkan di Kantor Jaminan Fidusia menurut pasal

11 dan 12 Undang-Undang Jaminan Fidusia (UUJF), lalu akta fidusia terbit pada

tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran ada di

dalam pasal 14 UUJF, dengan demikian kendaraan bermotor telah didaftarkan.

Penulis tertarik untuk mengambil judul ini dikarenakan, pada masa sekarang ini

banyak perusahaan pembiayaan yang tidak mendaftarkan akta jaminan fidusianya

kepada notaris,sehingga hal itu dapat merugikan konsumen atau debitor dan dapat

menimbulkan akibat hukum dengan tidak didaftarkannya fidusia. Dalam skripsi

ini pun penulis akan membahasnya dengan ditinjau dari Undang-Undang Nomor

42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Penulis akan membahasnya apa yang

seharusnya dilakukan oleh Perusahaan Pembiayaan, akan tetapi di dalam

praktiknya belum dilaksanakan sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak

konsumen.

3.3 Tinjauan Umum Tentang Mahkamah Konstitusi

3.3.1 Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia

Kemunculan Mahkamah Konstitusi merupakan jawaban atas perkembangan

negara demokrasi di abad 20. Berdirinya Mahkamah Konstitusi sebagai special

tribunal secara terpisah dari Mahkamah Agung mengemban tugas khusus,

merupakan konsepsi yang dapat ditelusuri jauh sebelum negara kebangsaan yang
52

modern (modern-nation-state), yang pada dasarnya menguji keserasian norma

hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi.

Pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat dipahami

dari dua sisi, yaitu dari sisi politik dan dari sisi Indonesia merupakan negara ke-78

yang membentuk Mahkamah Konstitusi. Pembentukan Mahkamah Konstitusi

sendiri merupakan fenomena negara modern abad ke-20,12 tatkala hukum. Dari

sisi politik ketatanegaraan, keberadaan Mahkamah Konstitusi diperlukan guna

mengimbangi kekuasaan pembentukan undang-undang yang dimiliki oleh Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden. Hal itu diperlukan agar undang-undang

tidak menjadi legitimasi bagi tirani mayoritas wakil rakyat di DPR dan Presiden

yang dipilih langsung oleh mayoritas rakyat. Dari sisi hukum, keberadaan

Mahkamah Konstitusi adalah salah satu konsekuensi perubahan dari supremasi

Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi, prinsip

negara kesatuan, prinsip demokrasi, dan prinsip negara hukum. Pasal 1 ayat (1)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD RI

1945”), menyatakan bahwa Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang

berbentuk republik. Negara kesatuan tidak hanya dimaknai sebagai kesatuan

wilayah geografis dan penyelenggaraan pemerintahan. Di dalam prinsip negara

kesatuan menghendaki adanya satu sistem hukum nasional. Kesatuan sistem

hukum nasional ditentukan oleh adanya kesatuan dasar pembentukan dan

pemberlakuan hukum, yaitu UUD RI 1945. Substansi hukum nasional dapat

bersifat pluralistik, tetapi keragaman itu memiliki sumber validitas yang sama,

yaitu UUD RI 1945 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi yang disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003 merupakan payung

hukum pertama bagi Mahkamah Konstitusi dan sekaligus pada tanggal tersebut
53

Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,

berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Tahun 1945 juncto Pasal 24C UndangUndang Dasar

Negara Republik Indonesia, diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Pemikiran mengenai pentingnya

suatu Mahkamah Konstitusi telah muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia

sebelum merdeka. Pada saat pembahasan rancangan Undang-Undang Dasar di

Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Ide

perlunya judicial review, khususnya pengujian undang-undang terhadap Undang-

Undang Dasar, kembali muncul pada saat pembahasan Rancangan Undang-

undang Kekuasaan Kehakiman yang selanjutnya ditetapkan menjadi Undang-

undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Pada saat pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dalam era

reformasi, pendapat mengenai pentingnya Mahkamah Konstitusi muncul kembali.

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang terjadi dalam era reformasi tersebut

telah menyebabkan Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi berkedudukan

sebagai lembaga tertinggi negara dan supremasi, tetapi beralih dari supremasi

Majelis Permusyawaratan Rakyat kepada supremasi konstitusi. Perubahan yang

mendasar tersebut perlu adanya mekanisme institusional dan konstitusional serta

hadirnya lembaga negara yang mengatasi kemungkinan sengketa antar lembaga

negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling mengimbangi dan saling

mengendalikan (checks and balances).

Kehadiran Mahkamah Konstitusi melalui perubahan ketiga Undang-Undang

Dasar 1945 dalam sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (2001)

memiliki dasar konstitusional yang kuat. Artinya, eksistensi, kedudukan,

kewenangan, kewajiban, dan komposisi para hakim Mahkamah Konstitusi diatur


54

dengan tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945. Namun, dengan disahkannya

Perubahan Ketiga UndangUndang Dasar 1945, tidak dengan sendirinya

Mahkamah Konstitusi telah terbentuk. Untuk mengatasi kekosongan tersebut pada

Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945 ditentukan dalam Aturan

Peralihan Pasal bahwa Mahkamah Konstitusi paling lambat sudah harus terbentuk

pada 17 Agustus 2003. Sebelum terbentuk, segala kewenangan Mahkamah

Konstitusi dilakukan oleh Mahkamah Agung. Undang-undang Mahkamah

Konstitusi, yaitu Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 disahkan pada 13

Agustus 2003. Waktu pengesahan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003

Tentang Mahkamah Konstitusi inilah yang ditetapkan sebagai hari lahirnya

Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Undang-undang Mahkamah Konstitusi,

pembentukan Mahkamah Konstitusi segera dilakukan melalui rekrutmen hakim

konstitusi oleh tiga lembaga negara, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, presiden,

dan Mahkamah Agung. Setelah melalui tahapan seleksi sesuai mekanisme yang

berlaku pada masing-masing lembaga, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat,

presiden, dan Mahkamah Agung menetapkan masing-masing tiga calon hakim

konstitusi. Selanjutnya ditetapkan oleh presiden sebagai hakim konstitusi.

sembilan hakim konstitusi pertama ditetapkan pada 15 Agustus 2003 dengan

Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003. Pengucapan Kedudukan dan

Wewenang Mahkamah Konstitusi (Nanang Sri Darmadi) sumpah jabatan

kesembilan hakim tersebut dilakukan di Istana Negara pada 16 Agustus 2003.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga

terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi

terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan

oleh tafsir ganda terhadap konstitusi. Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu
55

pelaku kekuasaan kehakiman diharapkan mampu mengembalikan citra lembaga

peradilan di Indonesia sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dapat

dipercaya dalam menegakkan hukum dan keadilan.

Dasar Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis tentang Kedudukan dan Wewenang

Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi merupakan pelaku kekuasaan

kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin konstitusi

sebagai hukum tertinggi agar dapat ditegakkan, sehingga Mahkamah Konstitusi

disebut dengan the guardian of the constitution.

Kedudukan Mahkamah Konstitusi ini setingkat atau sederajat dengan

Mahkamah Agung sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka15 dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia. Dalam menjalankan kewenangannya, termasuk di

dalamnya adalah menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar,

Mahkamah Konstitusi juga melakukan penafsiran konstitusi, sehingga Mahkamah

Konstitusi juga disebut the Sole Interpreter of the Constitution.

Sebagai lembaga penafsir tunggal konstitusi, banyak hal dalam mengadili

menimbulkan akibat terhadap kekuasaan lain dalam kedudukan berhadap-

hadapan, terutama terhadap lembaga legislatif di mana produknya direview.

Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah

sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi yudisial dengan kompetensi

obyek perkara ketatanegaraan.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi dipahami sebagai pengawal konstitusi

untuk memperkuat dasar-dasar konstitusionalisme dalam Undang-Undang Dasar

1945. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan dengan

batasan yang jelas sebagai bentuk penghormatan atas konstitusionalisme. Batas-


56

batas kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu

lembaga yudisial merupakan bentuk terselenggaranya sistem perimbangan

kekuasaan di antara lembaga negara (checks and balances). Mahkamah Konstitusi

sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman diharapkan mampu

mengembalikan citra lembaga peradilan di Indonesia sebagai kekuasaan

kehakiman yang merdeka yang dapat dipercaya dalam menegakkan hukum dan

keadilan. Dasar filosofis dari wewenang dan kewajiban Mahkamah Konstitusi

adalah keadilan substantif dan prinsip-prinsip good governance. Selain itu, teori-

teori hukum juga memperkuat keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga

negara pengawal dan penafsir konstitusi. Kehadiran Mahkamah Konstitusi beserta

segenap wewenang dan kewajibannya, dinilai telah merubah doktrin Kedudukan

dan Wewenang Mahkamah Konstitusi .... (Nanang Sri Darmadi) supremasi

parlemen (parliamentary supremacy) dan menggantikan dengan ajaran supremasi

konstitusi. Keadilan substantif/keadilan materiil (substantive justice) merupakan

al qist atau bagian yang wajar dan patut, tidak mengarahkan kepada persamaan,

melainkan bagian yang patut, berpihak kepada yang benar. Dalam penerappan

keadilan substantif ini, pihak yang benar akan mendapat kemenangan sesuai

dengan bukti-bukti akan kebenarannya.

Teori-teori yang menjadi dasar pentingnya reformasi konstitusi dan menjadi

dasar wewenang serta kewajibah Mahkamah Konstitusi adalah teori kedaulatan

negara, teori konstitusi, teori negara hukum demokrasi, teori kesejahteraan, teori

keadilan, dan teori kepastian hukum. Dasar yuridis wewenang Mahkamah

Konstitusi berasal dari Undang-Undang Dasar 1945 yang diatur dalam Pasal 7A,

Pasal 78, dan Pasal 24C dan dijabarkan dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun

2003. Terhadap perorangan, kesatuan masyarakat adat sepanjang masih hidup,


57

badan hukum publik atau privat, lembaga negara, partai politik, ataupun

pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, jika hak dan/atau wewenang

konstitusionalnya dirugikan, dapat mengajukan permohonan ke Mahkamah

Konstitusi. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang baru dalam

sistem ketatanegaraan Indonesia hasil perubahan UndangUndang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang dibentuk karena buruknya penyelenggaraan

negara terutama pada masa orde baru, yang ditandai dengan maraknya korupsi,

kolusi, dan nepotisme, markus (makelar kasus) sampai saat ini, dan

dicampakkannya nilai-nilai keadilan hukum menjadi faktor yang dalam

melakukan perubahan diberbagai bidang, terutama sistem peradilan. Sebagai

organ konstitusi, Mahkamah Konstitusi didesain untuk menjadi pengawal dan

penafsir undang-undang dasar melalui putusan-putusannya. Dalam menjalankan

tugas konstitusionalnya, Mahkamah Konstitusi berupaya mewujudkan visi

kelembagaannya, yakni tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita

negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang

bermartabat. Visi tersebut menjadi pedoman bagi Mahkamah Konstitusi dalam

menjalankan kekuasaan kehakiman yang diembannya secara merdeka dan

bertanggung jawab sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi membuka diri untuk

menerima permohonan dari masyarakat yang merasa hak-haknya dan kewenangan

konstitusionalnya dilanggar akibat berlakunya suatu undang-undang.

D. METODE PENELITIAN
58

3.1 Jenis, Sifat dan Pendekatan Penelitian

Dr. Jonaedi (2018:2) mengemukakan Pengertian Sederhana Metode

Penelitian adalah tata cara bagaimana melakukan penelitian. Metode penelitian

membicarakan tentang tata cara pelaksanaan penelitian. Menurut Sugiyono

(2009:6) Metode Penelitian adalah cara-cara ilmiah untuk mendapatkan data yang

valid, dengan tujuan dapat ditemukan, dikembangkan, dan dibuktikan suatu

pengetahuan tertentu, sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk

memahami, memecahkan dan mengantisipasi masalah.

Menurut Peter Mahmud Marzuki (2010: 95-97) Metode yang digunakan

dalam penelitian ini adalah metode penelitian normative yang menekankan pada

norma-norma hukum dengan menganalisa peraturan perundang-undangan terkait.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan 2 metode pendekatan masalah yaitu :

1) Statue Approach, pendekatan dengan menelaah semua peraturan perundang-

undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan (isu hukum) yang

sedang dihadapi.

2) Conseptual Approach, yaitu pendekatan yang beranjak dari pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam ilmu hukum.

 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan penelitian hukum normatif yang mengkaji hukum tertulis

dengan berbagai aspek seperti teori, sejarah, filosofi, perbandingan,

struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum

dan penjelasan pada tiap pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu

perundangan.

 Sifat Penelitian
59

Sifat penelitian ini adalah deskripstif, penelitian deskriptif adalah suatu

bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-

fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan

manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik,

perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang

satu dengan fenomena lainnya.

 Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian ini adalah yuridis normatif yang mana dalam

penelitian ini penulis menggunakan konsep yang termasuk dalam disiplin

ilmu hukum dengan menganalisa data sekunder yang berupa bahan-bahan

hukum sekunder dengan memahami hukum sebagai perangkat peraturan

atau norma-norma positif di dalam system perundang-udangan yang

mengatur mengenaik kehidupan manusia.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Pengajuan judul diajukan pada bulan Maret. Setelah judul disetujui, maka

mulai pembuatan proposal untuk pelaksanaan seminar proposal. kemudian judul

diterima dan mendapatkan surat persetujuan judul yang ditandatangani Kaprodi

Fakultas Hukum. Judul yang telah diterima kemudian peneliti melakukan Library

Research. Selanjutnya menyusun proposal pada bulan Juli 2021.

Adapun Penelitian ini dilakukan pada tanggal 12 bulan juli tahun 2021.

Sedangkan tempat-tempat yang dituju penulis, dimana penulis melakukan obyek

penelitian untuk mendapatkan data sekunder, yakni sumber bahan hukum untuk

penulisan proposal, baik primer maupun sekunder, antara lain :

1. Perpustakaan Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi.

3.3 Sumber Bahan Hukum


60

3.3.1 Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer, merupakan bahan hukum yang terdiri atas peraturan

perundang-undangan, risalah resmi, putusan pengadilan dan dokumen resmi

negara. Bahan hukum primer yang penulis gunakan yaitu:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPER);

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 tahun 1999 tentang

Fidusia ;

3) Putusan Mahkamah Konstitusi No:. 18/PUU-XVII/2019

4) UUD RI 1945 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah


Konstitusi
3.3.2 Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang didapat dari pencarian informasi

tentang data yang diperoleh dari hasil kajian pustaka, buku-buku, pendapat dari

kalangan pakar hukum yang relevan, kasus hukum dan juga bisa dari hasil jurnal

hukum.

3.3.3 Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petujuk

dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti

kamus umum, majalah dan jurnal ilmiah. Surat kabar dan majalah mingguan juga

menjadi tambahan bahan bagi penulisan Proposal ini sepanjang memuat informasi

yang relevan dengan penelitian ini Soerjono (1990:15).

3.4 Metode Pengumpulan Data

Dalam metode penelitian ini penulis melakukan penelusuran mencari bahan

-bahan hukum yang relevan dengan isu hukum yang dihadapi. Penulis

menggunakan pendekatan kasus dengan mengumpulkan putusan pengadilan

mengenai isu hukum yang dihadapi yakni Studi Kasus Putusan Mahkamah
61

Konstitusi Nomor: 18/PUU-XVII/2019. Penulis juga mengumpulkan informasi-

informasi dari kasus yang sedang diteliti dengan mengumpulkan bahan yang

berupa putusan pengadilan lainnya dari kasus yang sama.

3.5 Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian, selanjutnya akan dikumpulkan dan

di analisis secara kualitatif yaitu analisis yang menguraikan isi serta akan dibahas

dalam bentuk penjabaran dengan memberi makna sesuai perundang-undangan

yang berlaku sehingga tiba pada kesimpulan yang berdasarkan dengan penelitian

ini. Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa kajian atau

telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu teori-teori yang telah

didapatkan sebelumnya. Dr. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad (2010: 183)

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dengan metodologi penelitian

hukum akan dapat dibaca dan dijelaskan bagaimana suatu penelitian hukum itu

dilakukan dengan tepat. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa metodologi

penelitian hukum merupakan kerangka penelitian (frame research) yang

dilakukan. Tanpa adanya metodologi yang jelas dan tepat, Mustahil penelitian

dapat mencapai hasil yang memuaskan. Oleh karena seorang peneliti harus

menguasai secara seksama metodologi penelitian, praktek penerapannya serta tata

cara penulisan laporan yang benar. Bambang waluyo (2008 :19).


62

3) DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU:
Ali, Zainuddun. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.
HS, Salim. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada. 2017.
Meliala, Djaja S. Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda Dan
Hukum Perikatan Cet.1. Bandung: Nuansa Mulia, 2015
Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Jakarta:
Sekertaris Jemderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010),
hlm. 07
R. Subekti. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT. Arga
Printing, 2007. Supramono, Gatot. Perbankan dan Masalah Kredit.
Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009. Sugiyono. Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2015.
Usman, Rachmadi. Hukum kebendaan. Jakarta: Sinar Grafika, 2011
M. Agus Santoso, Hukum,Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat
Hukum, Ctk. Kedua, Kencana, Jakarta, 2014,
Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum Edisi Lengkap (Dari Klasik ke
Postmodernisme), Ctk. Kelima, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta,
2015,
A. UNDANG – UNDANG:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang
Fidusia.
Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun
1999.
UUD RI 1945 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi
Pasal 18 huruf (a) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hapusnya
Hak Tanggungan
Pasal 29 – 34 Undang-Undang No 42 Tahun 1999
Undang-Undang Tentang Jaminan Fidusia.
63

B. JURNAL HUKUM:
Febrian Hadi , 2017 dengan judul “PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA (STUDI
TERHADAP JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN)” Jurnal
Hukum dosen Universitas Mataram.
Nanang Sri Darmadi, SH., MH, “ KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH
KONSTITUSI DALAM SISTEM HUKUM KETATANEGARAAN INDONESIA ”,

Dosen Fakultas Hukum UNISSULA.


Andika Wijaya, 2020. PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA (STUDI TERHADAP
JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN). Jurnal Hukum Fakultas
Hukum Universitas Narotama Surabaya.
Damanhuri Fattah, “ Teori Keadilan Menurut John Rawls”,

C. YURISPRUDENSI :
Putusan Mahkamah Konstitusi No18/PUU-XVII/2019 EKSEKUSI
JAMINAN FIDUSIA
.

Anda mungkin juga menyukai