Anda di halaman 1dari 4

Helicak 

adalah kendaraan angkutan masyarakat yang banyak ditemukan


di Jakarta pada tahun 1970-an. Nama helicak berasal dari gabungan
kata helikopter dan becak, karena bentuknya memang mirip dengan helikopter dan
becak.
Helicak sebagai transportasi umum kota Surabaya pada tahun 1976-1988.Helicak
pertama kali diluncurkan pada 24 Maret 1971. Mesin dan bodi utama kendaraan ini
adalah skuter Lambretta yang didatangkan dari Italia. Kendaraan ini pertama kali
dicetuskan pada masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin sebagai
pengganti becak yang dianggap tidak manusiawi.
Seperti halnya becak, pengemudi helicak duduk di belakang, sementara
penumpangnya duduk di depan dalam sebuah kabin dengan kerangka besi dan
dinding dari serat kaca sehingga terlindung dari panas, hujan ataupun debu,
sementara pengemudinya tidak. Sebagian orang menilai kendaraan ini tidak aman
bagi penumpang, karena bila terjadi tabrakan, si penumpanglah yang pertama kali
akan merasakan akibatnya.
Umur helicak ternyata tidak panjang. Kebijakan pemerintah DKI Jakarta dalam
menyediakan angkutan rakyat yang tidak konsisten menyebabkan helicak yang
jumlahnya 400 buah pada saat pertama kali diluncurkan, tidak dikembangkan lebih
lanjut. Akibatnya helicak pelan-pelan menghilang dari jalan-jalan di ibu kota. Helicak
masih bisa ditemukan di daerah Kemayoran.

Angguna adalah kependekan dari Angkutan Serba Guna. Angkutan ini merupakan mobil berjenis
wagon dengan warna kuning menyala. Angkutan ini beroperasi di Surabaya.Tak seperti angkutan
umum sekarang, Angguna memiliki bentuk yang unik, yaitu berbentuk mobil namun pada bagian
belakangnya terdapat bak terbuka yang menyerupai mobil pick up.
Angguna sudah berlalu-lalang di jalanan Surabaya sejak 13 April 1988. Pada masanya, jumlah dari
Angguna ini banyak.Namun keberadaan Angguna makin hari makin menyusut seolah tertelan oleh
perkembangan zaman. Tarif dari Angguna ini disebut-sebut lebih murah dibandingkan dengan tarif
taksi kala itu.

Di tahun-tahun 1980-an, saat saya masih duduk di bangku SMA, setiap kali bolos dan main
ke Ambarawa, Suruh maupun Bringin, saya selalu memanfaatkan bus ESTO. Dengan warna
khasnya, yakni hijau, body didominasi kayu serta mesin tua yang kerap terbatuk-batuk di
perjalanan, membuat penumpangnya ngantuk. Ketika itu warga menyebutnya “kodok ijo”.

Kenapa disebut “kodok ijo”? Karena bus ini unik, selain warnanya hijau tua, bentuk
kendaraannya memiliki moncong di bagian depan (tidak seperti bus sekarang), pintu depan
ada di samping kiri sedang pintu satunya berada di belakang (bukan di samping). Kursi
duduknya dibuat dari kayu jati tua, sementara interior nyaris didominasi berbahan kayu.
Mungkin, semisal masih tersisa, harganya ratusan juta rupiah saking antiknya.

Di tahun 80-an, tarif yang saya ingat bagi anak sekolah sekitar Rp 10 untuk jarak 15-20
kilometer (Ambarawa, Bringin, dan Suruh). Di belakang pengemudi, terdapat sekat yang
berfungsi sebagai pembatas penumpang. Di samping bagian atas pengemudi, ada tulisan
mencolok berbunyi : Dilarang Bicara Dengan Sopir. Saya menduga peringatan tersebut
dipasang sejak jaman kolonial Belanda.

Mulai Beroperasi sejak Tahun 1921

Bus ESTO sudah menempuh perjalanan yang panjang, mulai pemerintahan kolonial
Belanda, masa pendudukan Jepang, Orde Lama, Orde Baru hingga era Reformasi.
Memiliki garasi di Jalan Langensuko, serta bengkel di Jalan Moh Yamin yang bentuk
bangunannya sudah berubah. Garasi utama berganti rupa jadi kios-kios sedang bengkelnya
difungsikan menjadi garasi. Bila dulunya bus merek Chevrolet sekarang berganti merek.

Sosok yang berani mengambil spekulasi berdirinya bus ESTO adalah Kwa Tjwan Ing
yang pada tahun 1921 membuka usaha transportasi darat menggunakan bus-bus kecil. Karena
di jaman kolonial Belanda pemberian nama harus disesuaikan dengan bahasa Belanda, ia
memberikan nama busnya Eerste Salatigasche Transport Onderneming atau disingkat ESTO.
“Ketika pertama kali muncul, ESTO hanya melayani trayek Salatiga-Tuntang,” tutur Oma
Martha.
Karena jaman serbasusah, kendati bus ESTO sudah membuka jalur di empat kecamatan
yang ada di Kabupaten Semarang, orang lebih banyak memilih berjalan kaki. Sebab, ongkos
naik bus bukan sesuatu yang murah bagi pribumi kebanyakan. “Mereka lebih memilih naik
delman, naik pedati atau jalan kaki untuk menempuh perjalanan 15 kilometer,” ungkap Oma
Martha.

Di Indonesia sendiri, Delman sudah masuk ke dalam jajaran moda


transportasi tradisional yang eksistensinya kini mulai tergusur oleh
perkembangan jaman. Sudah mulai agak sulit untuk menemukan delman di
tengah hiruk pikuk kota besar seperti Jakarta. Untuk soal penamaan, banyak
orang dari berbagai daerah memiliki sebutan masing-masing untuk moda
transportasi ini, seperti Andong, Dokar, Sado, hingga Bendi. Tidak sedikit
juga orang yang menganggap kalau Delman dan semua penamaan tersebut
merujuk kepada satu titik, yaitu sebuah kereta yang ditarik oleh seekor
kudakuda, dan dahulu sering di gunakan untuk mengangkut
orang/masyarakat surabaya dalam mengitari kota surabaya.

TUGAS SEJARAH
Nama Kelompok :

1.Rexci Reinalqi A.

2. Firmansyah

Anda mungkin juga menyukai