Anda di halaman 1dari 50

ESTIMASI SEDIMEN TERSUSPENSI MENGGUNAKAN

ACOUSTIC DOPPLER CURRENT PROFILER (ADCP) DI


PERAIRAN PULAU BINTAN KEPULAUAN RIAU

DWI PUTRA IMAM MAHDI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Estimasi Sedimen


Tersuspensi Menggunakan Acoustic Doppler Current Profiler (ADCP) di Perairan
Pulau Bintan Kepulauan Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2019

Dwi Putra Imam Mahdi


C552150051
RINGKASAN

DWI PUTRA IMAM MAHDI. Estimasi Sedimen Tersuspensi Menggunakan


Acoustic Doppler Current Profiler (ADCP) di Perairan Pulau Bintan Kepulauan
Riau. Dibimbing oleh HENRY M. MANIK dan TOTOK HESTIRIANOTO.

Konsentrasi Sedimen tersuspensi adalah konsentrasi material padat yang


melayang di kolom perairan, dapat berupa material organik maupun anorganik.
Pengetahuan dalam estimasi konsentrasi sedimen tersuspensi sangat penting dalam
memahami karakteristik transport sedimen perairan payau maupun laut.
Pengetahuan tentang sedimen tersuspensi diperlukan dalam berbagai bidang
termasuk navigasi perairan, perlindungan garis pantai, mitigasi bencana erosi ketika
banjir, irigasi cadangan air, pelestarian habitat, pembangunan pelabuhan dan
pengembangan wisata. Pengukuran konsentrasi sedimen tersuspensi dapat
dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan metode akustik. Perangkat
Acoustic Doppler Current profiler (ADCP) merupakan salah satu alat akustik yang
diciptakan untuk mendeteksi arah dan besaran arus di air. Seiring berkembangnya
teknologi ADCP juga dapat digunakan untuk mengukur hamburbalik sedimen
perairan. Nilai hamburbalik perairan dapat dikonversi menjadi nilai estimasi
suspended sediment consentration (SSC), yaitu dengan membandingkan nilai echo
intensitas dengan SSC hasil pengukuran laboratorium. Pengambilan data insitu
secara langsung dilakukan dengan pengambilan sample air menggunakan botol Van
Dorn. Sampel air diukur beberapa parameter antara lain suhu, pH, dan salinitas
menggunakan Horiba U-50 Water Quality Checker. Pengambilan data ADCP
dilakukan dengan memasang ADCP pada bagan tancap selama 3 hari. Perekaman
ADCP menghadap ke utara dengan jumlah bin 100, panjang bin 0,5meter. Data
echo intensity pada ADCP dikonversi menjadi nilai hamburbalik relative dengan
melakukan koreksi terhadap transmission loss (TL), Reverberasion Loss (RL), dan
absorpsi. Selanjutnya didapatkan nilai estimasi SSC dari hasil inversi dengan SSC
pengukuran Laboratorium.
Analisa nilai hamburbalik menunjukan bahwa distribusi sedimen
tersuspensi sangat dipengaruhi oleh fenomena pasang surut. Pada saat air surut,
sedimen tersuspensi mengarah ke selatan dengan peningkatan nilai hamburbalik.
Ketika sedimen tersuspensi mengarah ke utara saat air pasang, nilai hamburbalik
menurun. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ADCP dapat mengestimasi
nilai SSC dengan cukup akurat. Perbandingan nilai SSC pada ADCP dengan SSC
laboratorium menunjukan nilai korelasi r = 0.98. Hasil analisa SSC menunjukan
perairan Pulau Bintan memiliki karakteristik sedimen yang sangat terpengaruh oleh
dinamika pasang surut. Konsentrasi sedimen tersuspensi meningkat pada saat surut
dan sedimen tersebar mengikuti arus pasang surut. Pada saat pasang sedimen
mengarah ke utara dengan nilai konsentrasi yang menurun.

Kata Kunci: Hamburbalik, sedimen, ADCP


SUMMARY

DWI PUTRA IMAM MAHDI. Estimation of Suspended Sediment Concentration


using Acoustic Doppler Current Profiler (ADCP) in Bintan Island Waters, Riau
Islands. Supervised by HENRY M. MANIK and TOTOK HESTIRIANOTO.

Suspended Sediment Concentration is the concentration of solid material


floating in the water column, which can be either organic or inorganic material.
Knowledge in estimating suspended sediment concentrations is very important in
understanding the characteristics of coastal and estuary sediment transport.
Suspended sediment concentration is needed in various fields including marine
navigation, coastline protection, irrigation of water reserves, habitat preservation,
port development and tourism development. Measurement of suspended sediment
concentration can be done in various ways, one of them is the acoustic method.
Acoustic Doppler Current profiler (ADCP) is an acoustic instrument created to
detect the direction and amount of current in water. As the development of
technology, ADCP can also be use to measure suspended sediment concentration
(SSC). Backscatter value can be converted into an estimated SSC that is by
comparing the value of the echo intensity with the SSC of laboratory measurements.
Direct in situ data collection is done by taking water samples using Van Dorn
bottles. Water samples were measured for several parameters including
temperature, pH, and salinity using Horiba U-50 Water Quality Checker. ADCP
data recording is done by installing the ADCP on the submerge building pole for 3
days. ADCP installation faces north with a bin number of 100, bin length of 0.5
meters. The echo intensity data on the ADCP is converted to a relative backscatter
by making corrections to the transmission loss (TL), Reverberation Loss (RL), and
absorption. Furthermore, the estimated SSC values is obtained from the inversion
results with the SSC Laboratory measurements.
Analysis of backscattering values shows that the distribution of suspended
sediment is strongly influenced by the tidal phenomenon. At low tide, the
suspended sediment is heading to south with an increase in the backscattering value.
When suspended sediment approaches to north at high tide, the value of
backscattering decreases. The results also show that the ADCP can estimate the
SSC value quite accurately. Comparison of SSC values in ADCP with laboratory
measurement shows the correlation value r = 0.98. SSC analysis results show that
the waters of Bintan Island have sediment characteristics that are strongly affected
by tidal dynamics. Concentration of suspended sediment increases at low tide and
sediment spreads to the south. At the time of high tide the sediment heads closer to
land with a decreased concentration value.

Keywords: Backscatter, sediment, ADCP


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2019
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ESTIMASI SEDIMEN TERSUSPENSI MENGGUNAKAN
ACOUSTIC DOPPLER CURRENT PROFILER (ADCP) DI
PERAIRAN PULAU BINTAN KEPULAUAN RIAU

DWI PUTRA IMAM MAHDI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Nyoman Metta N Natih, MSi
Judul Tesis : Estimasi Sedimen Tersuspensi Menggunakan Acoustic Doppler
Current Profiler (ADCP) di Perairan Pulau Bintan Kepulauan Riau
Nama : Dwi Putra Imam Mahdi
NIM : C552150051

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Henry M Manik, SPi MT PhD Dr Ir Totok Hestirianoto, MSc


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Teknologi Kelautan

Prof Henry M Manik, SPi MT PhD Prof Dr Ir Anas Miftah Fauzi, M Eng

Tanggal Ujian: 29 Agustus 2019 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2019 ini ialah teknologi
akustik untuk pemantauan kondisi fisik perairan, dengan judul Estimasi Sedimen
Tersuspensi Menggunakan Acoustic Doppler Current Profiler (ADCP) di Perairan
Pulau Bintan Kepulauan Riau.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Henry M Manik, SPi MT
PhD dan Bapak Dr Ir Totok Hestirianoto, MSc selaku pembimbing. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Dony Apdillah, SPi MSi dari
Program Studi Imu Kelautan Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), dan
teman-teman Program Studi Teknologi Kelautan Pascasarjana IPB 2015 yang telah
membantu selama pengumpulan dan pengolahan data. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat untuk ilmu pengetahuan dan kelautan
Indonesia.

Bogor, Agustus 2019

Dwi Putra Imam Mahdi


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Kerangka Pemikiran 3
Tujuan Penelitian 4
Hipotesis Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
METODE 4
Waktu dan Tempat 4
Alat dan Bahan 5
Prosedur Pengumpulan Data 5
Prosedur Pengolahan Data 7
Prosedur Analisis Data 9
HASIL DAN PEMBAHASAN 11
Pasang Surut 11
Konversi Hamburbalik Relatif ADCP 12
Korelasi Hamburbalik Antar Beam 13
Perbandingan Hamburbalik Antar Beam 15
Hamburbalik Sedimen Tersuspensi 18
Kalibrasi Metode Inversi 20
Konsentrasi Sedimen Tersuspensi ADCP 21
Perbandingan SSC ADCP dengan SSC Laboratorium 22
KESIMPULAN DAN SARAN 23
Kesimpulan 23
Saran 23
DAFTAR PUSTAKA 23
LAMPIRAN 27
RIWAYAT HIDUP 37
DAFTAR TABEL
1 Tabel 1 Waktu pasang surut dan ensamble number ADCP 12

DAFTAR GAMBAR
Kerangka pemikiran penelitian 3
Lokasi penelitian 5
Pemasangan alat (a) ADCP pada tiang bagan (b) konfigurasi posisi setiap
beam (c) foto alat dilapang 6
Pemasangan ADCP pada saat pasang surut 7
Diagram alir pengolahan data 8
Pasang surut permukaan laut (a) menuju surut, (b) surut terendah, (c)
menuju pasang dan (d) pasang tertinggi 12
Hamburbalik rata-rata semua beam ADCP 13
Korelasi hamburbalik antar beam saat surut (a) beam 1-2, (b) beam 1-3
(c) beam 2-3 (d) beam 1-4 (e) beam 2-4 (f) beam 3-4 14
Korelasi hamburbalik antar beam saat pasang (a) beam 1-2, (b) beam 1-
3 (c) beam 2-3 (d) beam 1-4 (e) beam 2-4 (f) beam 3-4 15
Hamburbalik saat menuju surut 16
Hamburbalik saat surut 16
Hamburbalik saat menuju pasang 17
Hamburbalik saat pasang 18
Hamburbalik sedimen tersuspensi 19
Kalibrasi hamburbalik dengan pengukuran laboratorium 20
Estimasi konsentrasi sedimen tersuspensi 21
Validasi hasil pengukuran SSC ADCP dengan SSC Laboratorium 22

DAFTAR LAMPIRAN
1 Lampiran 1 Konfigurasi perekaman ADCP 28
2 Lampiran 2 Perhitungan dan syntax Matlab 28
3 Lampiran 3 Koreksi pitch dan roll 35
4 Lampiran 4 Kegiatan Penelitian 36
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pengetahuan dalam estimasi konsentrasi sedimen tersuspensi (suspended
sediment concentration: SSC) sangat penting dalam memahami karakteristik
transport sedimen perairan payau maupun laut (Gartner 2004; Park dan Lee 2016).
Konsentrasi Sedimen tersuspensi adalah konsentrasi material padat yang melayang
di kolom perairan, dapat berupa material organik maupun anorganik, biasanya
dinyatakan dalam milligram per liter (mg/L) (Arvianto et al. 2016; Gray et al.
2000). Tingginya sedimen tersuspensi dalam air akan menyebabkan berkurangnya
proses fotosintesis akibat terhalangnya radiasi energi matahari. Selain itu zat
pencemar dan nutrien umumnya terbawa bersama sedimen yang tersuspensi dalam
air (Satriadi 2012). Pengetahuan tentang sedimen tersuspensi juga diperlukan dalam
berbagai bidang termasuk navigasi perairan (Guerrero et al. 2013; Paarlberg et al.
2015) perlindungan garis pantai (Archetti dan Romagnoli 2011; Carniel et al.
2011), mitigasi bencana erosi ketika banjir (Domeneghetti et al. 2014), irigasi
cadangan air (Guerrero 2014), pelestarian habitat (Ceola et al. 2013),
pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang ramah lingkungan
(Guerrero et al. 2016), pembangunan pelabuhan dan pengembangan wisata (Irawan
2017). Pengamatan konsentrasi sedimen tersuspensi membutuhkan data yang dapat
diandalkan, sehingga pengembangan metode pengukuran yang akurat menjadi
sangat penting dalam pemeliharaan lingkungan pesisir (Davies dan Thorne 2008).
Kondisi Sedimen perairan di pantai timur Pulau Bintan secara umum adalah
pasir sedikit berkerikil (gravelly sand). Tipe butiran sedimen pantai timur pulau
bintan yaitu 9.35 % pasir sangat kasar (very coarse sand), 14.15 % pasir kasar
(coarse sand), 18.22 % pasir sedang (medium sand), 34.21 % pasir halus (fine sand),
19.93 % pasir sangat halus (very fine sand) serta 4.14 % adalah kerikil (gravel)
dengan nilai D50 sebesar 0.23 mm (Suhana et al. 2018).
Perairan di Kepulauan Riau dikelilingi oleh pulau-pulau kecil yang membuat
kondisi perairan terpengaruh dengan topografi dasar laut dan arus pasang surut.
Pasang Surut adalah pergerakan naik turunnya permukaan air laut yang terjadi
secara berkala. Naik turunnya permukaan laut terutama diakibatkan adanya gaya
gravitasi antara bumi dan benda-benda astronomi seperti matahari dan bulan
(Stewart 2008). Pasang surut dapat membangkitkan arus pasang surut yaitu
pergerakan massa air yang dapat membawa sedimen tersuspensi (Wibowo et al.
2016). Arus pasang surut di perairan pesisir dapat memberikan indikasi tentang
pergerakan dan distribusi suatu material di dalam kolom air, hal ini karena arus
pasang surut sangat dominan dalam proses sirkulasi massa air di perairan dangkal
seperti muara dan pesisir (Mann dan Lazier 2006). Kecepatan arus dapat
mempengaruhi kondisi sedimen perairan. Pada daerah dengan arus deras lebih
banyak mengendapkan sedimen berbutir keras. Penelitian yang dilakukan Sarmada
et al. (2018) menemukan bahwa pergerakan arus di Pantai Timur Pulau Bintan pada
saat pasang cenderung dominan ke arah selatan - barat daya, sedangkan saat surut
pola pergerakan mengarah ke arah utara. Kecepatan arus pada saat menuju pasang
tertinggi berkisar antara 0.6 – 1.80 m/s dan saat menuju surut terendah dengan nilai
kecepatan antara 0.4 – 1.80 m/s.
2

Pengukuran langsung konsentrasi sedimen tersuspensi dapat dilakukan


dengan metode gravimetri di laboratorium (Firisman et al. 2017). Pada beberapa
dekade terakhir telah dikembangkan metode pengukuran secara tidak langsung
seperti metode optik dan akustik. Metode pengukuran secara tidak langsung telah
dapat digunakan untuk melakukan kuantifikasi sedimen tersuspensi dengan cukup
akurat. Metode tidak langsung memiliki keunggulan terutama pada cakupan
spatiotemporal. Metode optik dapat menyediakan data time series menggunakan
gelombang elektromagnetik dengan sinar laser yang dipancarkan pada kolom
perairan, pantulan dari sinar tersebut diolah untuk melakukan pendeteksian SSC
(Guerrero 2017). Metode akustik bekerja dengan cara yang serupa perbedaannya
pada penggunaan gelombang mekanik yaitu gelombang suara.
Metode hidroakustik memanfaatkan energi listrik yang dirubah menjadi
gelombang suara untuk dipancarkan melalui media air, gelombang suara yang
mengenai objek dipantulkan dan dideteksi oleh penerima akustik (Urick 1983).
Perangkat Acoustic Doppler Current profiler (ADCP) merupakan salah satu alat
akustik yang diciptakan untuk mendeteksi arah dan besaran arus di air (Yong et al.
2004). Seiring berkembangnya teknologi ADCP juga dapat digunakan untuk
mengukur hamburbalik sedimen perairan (Deines 1999). Manik et al. (2006) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa semakin tinggi nilai hamburbalik suatu objek
menandakan bahwa objek yang terdeteksi semakin besar atau keras. Pengukuran
hamburbalik dengan ADCP menggunakan efek Doppler untuk mendeteksi partikel-
partikel kecil di kolom perairan seperti sedimen dan plankton. Pergerakan partikel
yang pada dasarnya sejalan dengan pergerakan air kemudian digunakan untuk
mengestimasi arah dan kecepatan arus perairan (Holdaway et al. 1999). Konsentrasi
sedimen tersuspensi diukur dengan memanfaatkan nilai hamburbalik yang
pantulkan untuk menghitung ukuran partikel dalam air (Thorne and Hurther 2014).
Nilai hamburbalik dapat dikonversi menjadi konsentrasi sedimen SSC dengan
menggunakan persamaan sonar (Wall et al. 2006).
Penelitian sebelumnya tentang hamburbalik sedimen tersuspensi telah
berhasil menghitung nilai suspended sediment concentration (SSC) di Selat
Lembeh dilakukan oleh Dwinovyanto et al. (2017), penelitian lain dilakukan oleh
Guerrero et al. (2017) mengkombinasikan instrumen akustik dan optik untuk
menghitung nilai SSC di Sungai. Penelitian ini penting untuk mengetahui estimasi
sedimen tersuspensi dalam perairan, menganalisa nilai hamburbalik akustik
sedimen tersuspensi dan pengaruh pasang surut terhadap pergerakan sedimen.

Perumusan Masalah

Konsentrasi sedimen tersuspensi adalah parameter penting dalam


mengawasi kondisi fisik, kimia dan biologi perairan Pulau Bintan. Perubahan nilai
dan sebaran SSC dapat mengindikasi perubahan produktifitas perairan, pencemaran
lingkungan, dan transpor sedimen. Analisa SSC juga dibutuhkan dalam pengelolaan
ekowisata perairan Pulau Bintan, terutama daerah pesisir dan estuari. Pengukuran
SSC membutuhkan data realtime dengan cakupan yang luas dan diukur secara
sinambung. Pengukuran secara sinambung dengan data deret waktu dibutuhkan
untuk mengawasi perubahan konsentrasi dan sebaran SSC terhadap perubahan
fenomena fisik perairan, seperti pengaruh pasang surut dan dinamika pantai
3

lainnya. Penelitian menggunakan ADCP dilakukan untuk menjawab beberapa


pertanyaan berikut:
1. Berapa estimasi konsentrasi sedimen tersuspensi di Perairan Pulau Bintan?
2. Bagaimana kemampuan ADCP dalam mendeteksi nilai hamburbalik
sedimen tersuspensi?
3. Seberapa besar pengaruh pasang surut terhadap pergerakan sedimen di
kolom perairan?

Kerangka Pemikiran

Penelitian dilakukan di Perairan Pantai Timur Pulau Bintan, dengan


melakukan observasi lapang pada hari pertama dan dilanjutkan pemasangan alat
dan perekaman data. Kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Konsentrasi sedimen tersuspensi

Manfaat Permasalahan Asumsi

1. Navigasi perairan 1.Deteksi


Kurangnya informasi:
2. Perlindungan garis hamburbalik
1. Estimasi SSC
pantai sedimen
secara sinambung,
3. Mitigasi bencana erosi 2.Estimasi SSC
2. Metode pengukuran
4. Pelestarian habitat dengan ADCP
SSC yang akurat akurat
5. Pembangunan
3. Data faktor yang 3.Pasang surut
pelabuhan
mempengaruhi SSC mempengaruhi SSC
6. Pengembangan wisata

Perumusan Masalah:
1. Berapa estimasi SSC di Perairan Pulau Bintan?
2. Bagaimana hamburbalik SSC dengan ADCP?
3. Bagaimana pengaruh pasang surut terhadap SSC?

Solusi

SSC Perbandingan  Hamburbalik Pengaruh Data pasang


Laboratorium sedimen surut
 SSC ADCP

Hasil:
1. Estimasi SSC perairan Pulau Bintan
2. Hamburbalik sedimen tersuspensi
3. Pengaruh pasang surut terhadap SSC

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian


4

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:


1. Menghitung estimasi konsentrasi sedimen tersuspensi di Perairan Pulau Bintan
2. Menganalisa nilai hamburbalik sedimen tersuspensi di Perairan Pulau Bintan.
3. Menganalisa pengaruh pasang surut terhadap SSC di Perairan Pulau Bintan.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis pada penelitian ini adalah ADCP dapat digunakan untuk mengukur
konsentrasi sedimen tersuspensi dengan mengkonversi nilai hamburbalik sedimen
yang dibandingkan hasil pengukuran laboratorium. Analisa hamburbalik dilakukan
untuk untuk mengetahui pergerakan sedimen, koreksi data dan validasi.
Pengamatan berdasarkan dinamika pasang surut dilakukan untuk mengetahui
pergerakan sedimen tersuspensi pada kolom perairan dipengaruhi oleh dinamika
pasang surut.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini yaitu menghasilkan metode yang akurat dalam


pengukuran konsentrasi sedimen khususnya pada perairan dangkal. Diharapkan
metode akustik dapat menjadi metode yang lebih praktis dalam menyediakan data
real time, spasial dan time series dari kondisi konsentrasi sedimen tersuspensi suatu
perairan. Analisa pengaruh pasang surut terhadap konsentrasi sedimen tersuspensi
diharapkan mampu mengidentifikasi perubahan kondisi fisik perairan.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 5- 10 Juli 2018 di Perairan sekitar Pulau
Bintan Kepulauan Riau. Pengambilan data dilakukan dengan dua metode yaitu
perekaman data ADCP dan pengumpulan sampel air menggunakan botol Van Dorn.
Pengukuran parameter suhu salinitas, dan pH pada sampel dilakukan dengan
Horiba U-50 water quality checker. Pengolahan dan pemrosesan data dilakukan di
Laboratorium Akustik Kelautan dan Sistem Sonar, Departemen Ilmu dan Teknologi
Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Titik
Pengambilan data dilakukan pada satu titik yaitu di bawah bagan tancap pada
koordinat 1°03'28.9"LU 104°40'20.9"BT. Peta Lokasi Penelitian dapat dilihat pada
Gambar 2. Lokasi penelitian berada dekat dengan Pulau Beralas Pasir. Pemasangan
ADCP dilakukan secara horizontal dengan menghadap ke utara diikatkan ke tiang
bagan tancap. ADCP dipastikan berada pada kondisi selalu tenggelam yaitu pada
kedalaman ±1meter saat air surut.
5

Gambar 2 Lokasi penelitian

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan diantaranya ADCP Teledyne RD Instruments


Workhorse 614.4kHz, perangkat lunak WinADCP, Microsoft Excel dan Matlab.
Botol Van Dorn dan botol sampel digunakan untuk penampung sample air.
Pengukuran kualitas air dilakukan menggunakan alat pengukur pH, salinitas dan
suhu yaitu Horiba U-50 water quality checker. Kertas saring Whatman dengan
diameter lubang saringan 47 µm, dan vacuum pump digunakan untuk analisis SSC
di Laboratorium. Data pasang surut diperoleh dari prediksi pasang surut yang
dilakukan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG). Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini berupa data survey yang diambil menggunakan instrumen ADCP dan
sampel air yang disimpan dalam wadah botol.

Prosedur Pengumpulan Data

Pengambilan Data Akustik ADCP


Pengambilan data akustik dilakukan dengan mengikatkan ADCP pada tiang
bagan tancap yang menghadap ke laut. Kedalaman pemasangan ADCP yaitu pada
kedalaman sekitar 1 meter saat kondisi surut. Konfigurasi pengambilan data ADCP
dapat dilihat di Lampiran 1. Posisi ADCP selalu berada dibawah permukaan air
meski pada saat surut terendah. Hal ini untuk memastikan tidak adanya noise dari
permukaan. Posisi pemasangan ADCP dilakukan secara horisontal dengan posisi
beam 3 berada pada posisi paling atas, beam 1 dan 2 berada pada posisi samping
kiri dan kanan serta beam 4 berada paling bawah, lebih jelasnya ditunjukan pada
6

Gambar 3. Pemasangan ADCP secara horizontal pernah dilakukan oleh Marmorino


et al. (1999) untuk pengukuran arah dan kecepatan arus laut, penelitian tersebut
dilakukan dengan memasang ADCP pada samping kapal yang diam dengan posisi
ADCP horisontal.

(a) (b) (c)


Gambar 3 Pemasangan alat (a) ADCP pada tiang bagan (b) konfigurasi posisi
setiap beam (c) foto alat dilapang
Pada penelitian ini analisa hamburbalik dan estimasi konsentrasi sedimen
tersuspensi menjadi fokus utama. Perekaman data dengan ADCP dilakukan selama
34 jam. Selama perekaman data dilakukan pengambilan sampel air dengan
menurunkan botol Van Dorn ke kolom perairan. Perekaman alat dilakukan dengan
range maksimal 50meter dan jumlah bin 100, panjang bin adalah 0.5meter. Posisi
ADCP menghadap utara karena menurut Sarmada et al. (2018) pergerakan arus
Pantai Timur Pulau Bintan mengarah ke utara saat surut dan cenderung mengarah
ke selatan - barat daya saat pasang, selain itu diharapkan agar dapat sejajar dengan
kontur kedalaman. Pemasangan alat dilakukan dengan penyelaman untuk
memastikan pemasangan yang kuat dan memperkecil pengaruh gelombang laut.

Pengambilan Data Sampel Air


Pengambilan data sampel air dilakukan dengan munurunkan botol Van Dorn
ke kolom perairan pada kedalaman yang diusahakan sama dengan kedalaman
pemasangan ADCP. Pengambilan sampel air total dilakukan 10 kali dalam waktu
yang berbeda, dengan 3 kali pengambilan sampel setiap harinya. Pengambilan
sampel dilakukan pada pagi, siang dan sore hari sebanyak 1 L per sampel. Sampel
air diukur terlebih dahulu nilai suhu, salinitas dan pH menggunakan Horiba U-50
water quality checker. Pengukuran suhu, salinitas, dan pH dilakukan untuk koreksi
transmission loss dan absorpsi. Sampel air di simpan pada botol polietilen dan
dimasukan kedalam wadah coolbox tertutup untuk menghindari kontak dengan
sinar matahari agar lebih awet sebelum dilakukan analisis (APHA 2012). Sampel
air kemudian dianalisis di Laboratorium dengan metode gravimetri. Data SSC dari
hasil analisis laboratorium selanjutnya digunakan untuk dibandingkan dengan nilai
echo intensity (EI) agar didapat nilai intercept dan slope. Nilai intercept dan slope
digunakan untuk metode inversi dalam mengkonversi nilai hamburbalik ADCP
menjadi nilai estimasi SSC perairan.
7

Data Pasang Surut


Data pasang surut air laut didapat dari prediksi yang diterbitkan oleh Badan
Informasi Geospasial (BIG). Pada penelitian ini data pasang surut dibutuhkan untuk
menentukan waktu dan nilai perubahan muka laut saat menuju surut, surut terendah,
menuju pasang, dan pasang tertinggi. Pengolahan data pasang surut dilakukan
dengan ploting data pada perangkat lunak Matlab. Gambar 4 menunjukan posisi
peletakan ADCP saat pasang surut.

Pasang Tertinggi 0.6m


m
Surut Terendah -0.6m

Beam 3

Beam 1

Beam 2
Bin 1
Bin 2

Bin 3

ADCP ±1m Beam 4

50m Bin n

Gambar 4 Pemasangan ADCP pada saat pasang surut

Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan mengekstrak data ADCP menggunakan


perangkat lunak WinADCP. Data diekstrak dalam file *TXT kemudian dilakukan
pengolahan menggunakan Microsoft Excel. Data hasil ekstrak dari WinADCP
masih dalam satuan counts. Data ini perlu dikonfersi kedalam decibel dengan
memasukan persamaan relative backscatter (RB). Perhitungan dilakukan
diperangkat lunak Matlab dengan syntax yang ditunjukan pada Lampiran 2. Koreksi
Transsmission loss (TL), Reverberation loss (RL) dan absorpsi perlu dilakukan
dengan memasukan parameter lingkungan seperti suhu, salinitas, dan pH. Diagram
alir pengolahan data dapat dilihat pada Gambar 5.
Nilai hamburbalik relatif yang sudah dikoreksi selanjutnya perlu dianalisa
lagi dengan membandingkan korelasi antar beam pada contoh data saat pasang dan
surut. Perbandingan korelasi dilakukan dengan regresi sederhana antar setiap beam:
beam 1&2, beam 1&3, beam 1&4, beam 2&3, beam 2&4, dan beam 3&4. Regresi
sederhana dilakukan pada perangkat lunak Microsoft Excel, dengan memasukan
nilai hamburbalik relative setiap beam. Perbandingan korelasi antar beam ini perlu
dilakukan untuk melihat adanya data pencilan yang tidak diinginkan dan berpotensi
8

mengganggu dalam pemrosesan data selanjutnya. Selanjutnya data hamburbalik


hasil plot Matlab yang berbentuk echogram juga dibandingkan antar setiap
beamnya. Perbandingan dilakukan untuk mengamati secara visual sebaran data
antar beam, dan memastikan tidak ada objek yang tidak diinginkan dalam analisa
SSC.

Pengambilan Data

Sample Air Kualitas Air RDI Sentinel Pasang Surut B.I.G


614,4kHz
Bin size: 0.5 m
Range: 50 m
Suhu, Ekstrak ADCP Depth:
Salinitas, data ±1m below
pH WinAD surface

Konversi
SSC hasil data Echo Intensity
laboratorium (*counts to
*decibel)
Koreksi data: 2TL, RL, α

Plot Pasang Surut

Perbandingan
Korelasi Relative
Echogram antar
Backscatter (RB) antar
beam: Menuju Surut,
beam
Surut, Menuju
Pasang, Pasang

Kalibrasi Hamburbalik rata-rata


Inversi

SSC ADCP

Analisi data SSC laboratorium dan data SSC ADCP

Gambar 5 Diagram alir pengolahan data


Perhitungan hamburbalik rata-rata dilakukan setelah memisahkan data yang
tidak diinginkan. Nilai hamburbalik rata-rata dibandingkan berdasarkan waktu
9

menuju surut, surut, menuju pasang, dan pasang. Waktu pasang surut dapat dilihat
dari hasil ploting prediksi pasang surut. Nilai perubahan kedalaman saat pasang
surut juga menjadi faktor penting dalam analisa sebaran konsentrasi sedimen
tersuspensi. Perbandingan sebaran hambubalik berdasarkan waktu pasang surut
dilakukan untuk melihat sebaran nilai hamburbalik sedimen tersuspensi pada
keempat waktu yang berbeda. Dari sini dapat dilihat pengaruh pasang surut
terhadap perubahan hamburbalik akustik sedimen tersuspensi.
Konversi nilai hamburbalik relatif ke SSC ADCP memerlukan SSC dari
sampel air. Regresi sederhana antara 10 log (SSC) dengan EI pengukuran
laboratorium menghasilkan nilai intercept dan slope. Nilai intercept dan slope
digunakan dalam mengkonversi RB ke SSC dari ADCP. Selanjutnya dilakukan
perbandingan nilai SSC dari ADCP dengan nilai ADCP dari laboratorium.

Prosedur Analisis Data

Perhitungan Konsentrasi Sedimen Tersuspensi dari Sampel Air


Sampel air laut yang telah dikumpulkan dari pengumpulan data dilapang
selanjutnya disaring menggunakan kertas saring Whatman dengan diameter 47 µm.
Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai SSC, berdasarkan (APHA 2012) maka
persamaan konsetrasi sedimen yaitu:

𝑆𝑆𝐶 (mg L−1 ) = (𝐴−𝐵)x1000


𝐶
(1)

A = Bobot kertas saring dan hasil saringan (g)


B = Bobot kertas saring kosong (g)
C = Volume sampel (L)

Data SSC yang didapat berdasarkan waktu, selanjutnya digunakan untuk


mengkonversi nilai echo intensity (EI) hasil pengukuran ADCP ke SSC.
Perhitungan dilakukan dengan regressi sederhana antara 10log(SSC) dengan Echo
Intensity pengukuran laboratorium. Hasil regressi menunjukan nilai koefisien
korelasi dan nilai intercept dan slope. Perhitungan SSC ADCP didapat dari
memasukan nilai intercept dan slope dengan relatif backscatter pada persamaan (2).

Perhitungan Konsentrasi Sedimen Tersuspensi dari ADCP


Persamaan yang dapat menyatakan nilai konsentrasi sedimen tersuspensi
(SSC) berasal dari persamaan sonar untuk sound scattering (Reverberation) dari
partikel kecil (Gartner 2002). Persamaan tersebut secara eksponensial adalah:

𝑠𝑠𝑐 = 10(𝐴+𝐵𝑥𝑅𝐵) (2)

A = intercept
B = Slope
RB = Relative Backscatter (dB)
10

Nilai intercept (A) dan slope (B) dapat diperoleh dari regresi linear sederhana
pada nilai SSC dari Laboratorium yang dibandingkan terhadap intensitas gema.
Secara garis besar, nilai intensitas gema yang diperoleh melalui pengambilan data
dari ADCP dapat diubah ke dalam satuan desibel (dB) dengan persamaan yang
sederhana dan dapat dituliskan dengan persamaan (Gartner 2004):

𝐿
𝑋𝑚𝑖𝑡
𝐼𝑑𝐵 = 𝐾𝑐 𝐼𝐶𝑜𝑢𝑛𝑡𝑠 + 𝑇𝐿 − 10𝑙𝑜𝑔10 ( cos ) (3)
𝜃

IdB = Echo Intensity (dB)


Kc = Skala intensitas gema
Icounts = Echo Intensity (counts)
Lxlmit = Panjang transmit (m)
CosѲ = beam angle

Hamburbalik relatif adalah penjumlahan dari echo level measured (RL) pada
transduser ditambah two-way transmission losses (2TL) (Thevenot et al. 1992). RB
dapat dihitung dengan persamaan:

𝑅𝐵 = 𝑅𝐿 + 2𝑇𝐿 (4)

Persamaan sonar yang disederhanakan untuk reverberasi (Urick 1975) yaitu:

𝑅𝐿 = 𝑆𝐿 − 2𝑇𝐿 + 𝑇𝑆 (5)

SL didefinisikan sebagai source level, 2TL adalah two-way transmission


losses dan TS adalah target strength. 2TL dapat dihitung dengan persamaan:

2𝑇𝐿 = 20 log (𝑅) + 2𝛼𝑅 (6)

α = Koefisien absorpsi (dB m-1)

Perhitungan R (Gartner 2004) yaitu:


𝑟+0.5𝐿𝑥𝑙𝑚𝑖𝑡
𝑅= (7)
𝑐𝑜𝑠𝜃

r = jarak transducer ke pusat bin atau setengah ukuran bin

Beam angle (CosѲ) adalah beam angle ADCP pada posisi upward looking
atau downward looking. Pada pemasangan ADCP secara horisontal yang
menyimpang dari arah gaya gravitasi perlu dilakukan koreksi pitch dan roll dengan
persamaan (Woodgate & Holroyd 2011):

𝐶𝑜𝑠Ѳ𝑝&𝑟 = Sinp. SinѲ + cosѲ. √1 − 𝑠𝑖𝑛2 𝑟 − 𝑠𝑖𝑛2 𝑝 (8)

CosѲp&r = beam angle setelah koreksi


p = kemiringan terhadap posisi pitch
r = kemiringan terhadap posisi roll
11

Nilai koefisien absorpsi sangat terpengaruh oleh suhu, salinitas, pH dan


kedalaman. Pada perhitungan Koefisien absorpsi T adalah suhu perairan dalam ºC,
D adalah kedalaman perairan (meter), S adalah salinitas, dan f adalah frekuensi
ADCP yang digunakan (kHz). Perhitungan koefisien absorpsi berdasarkan Ainslie
dan McColm (1998) yaitu:
𝐷
𝑓 𝑓2 𝑇 𝑠 𝑓 𝑓2
𝛼 = 0.106 𝑓21+𝑓2 𝑒 (𝑝𝐻−8)/0.56 + 0.52 (1 + 43) (35) 𝑓22+𝑓2 𝑒 − 6 +
1 2
𝑇 𝐷
0.00049𝑓 2 𝑒 −(27+17) (9)

Pengaruh lain yang mempengaruhi nilai koefisien absorpsi yaitu pengaruh


kimia dari keberadaan Boric acid (f1) berdasarkan Francois dan Garrison (1982a)
dan Magnesium sulfate (f2) berdasarkan Francois dan Garrison (1982b) yang dapat
di hitung dari:
𝑆
𝑓1 = 0.78√35 𝑒 𝑇/26 (10)

𝑇
𝑓2 = 42𝑒 17 (11)

Echo Intensitas yang diekstrak dari ADCP berupa counts harus dikonfersi ke
RL agar dapat menghitung nilai RB.

𝑅𝐿 = 𝐾𝑐 (𝐸 − 𝐸𝑟) (12)

Echo Intensitas hasil pengukuran ADCP dilambangkan dengan E, dan Er


adalah nilai Echo Intansitas acuan pada ADCP 600 kHz digunakan 40 counts
(Deines 1999). Kc adalah skala intensites gema, yang dapat dihitung berdasarkan
nilai suhu perairan:
127,3
𝐾𝑐 = (13)
𝑇+273

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pasang Surut

Lokasi penelitian berada pada zona intertidal, yaitu wilayah di sekitar pantai
yang masih terdapat pengaruh pasang surut air laut secara berkala (Herriansyah et
al. 2016). Pasang surut pada saat pengambilan data dapat dikategorikan pasang
campuran condong ke ganda. Pasang campuran ganda yaitu terjadi dua kali pasang
dan dua kali surut dalam satu hari dengan nilai puncak tertinggi pertama berbeda
dengan puncak kedua sesuai Gambar 6.
12

Gambar 6 Pasang surut permukaan laut (a) menuju surut, (b) surut terendah, (c)
menuju pasang dan (d) pasang tertinggi
Penelitian ini terutama menyorot kondisi hamburbalik saat permukaan laut
(a) menuju surut, (b) surut terendah, (c) menuju pasang dan (d) pasang tertinggi.
Kondisi nilai pasang surut lebih lanjut ditunjukan pada Tabel 1. Waktu terjadinya
dinamika pasang surut digunakan untuk menentukan nilai ensamble number dalam
pengolahan data ADCP.

Tabel 1 Waktu pasang surut dan ensamble number ADCP

Pasang Surut Ensamble Number Waktu (WIB) Sealevel (m)


Menuju Surut 79392 23:00 -0.129
Surut Terendah 122571 2:00 -0.577
Menuju Pasang 165755 6:00 0.112
Pasang Tertinggi 223326 9:00 0.587

Konversi Hamburbalik Relatif ADCP

Ekstrak nilai echo intensity data ADCP berupa satuan counts perlu dikonversi
menjadi nilai hamburbalik dengan satuan decibel pada persamaan (3). Hasil
konversi nilai hamburbalik ini menunjukan nilai positif karena merupakan nilai
hamburbalik relatif (Thorne dan Hardcastle 1997, Gartner 2004). Perhitungan nilai
hamburbalik relatif perlu dilakukan koreksi transmission loss seperti persamaan (6)
dan koreksi koefisien absorpsi persamaan (9). Nilai transmission loss adalah
hilangnya energi gelombang suara terutama karena faktor jarak dan penyerapan
oleh kolom perairan (Gartner 2002, Vendetti et al. 2016). Perhitungan nilai
koefisien absorpsi memerlukan data pH, salinitas, dan suhu. Data parameter fisik
didapat dari pengukuran menggunakan Horiba U50 water quality checker.
Pengaruh kimia boric acid dalam persamaan (10) dan magnesium sulfate
persamaan (11) perlu diperhitungkan dalam komponen yang mempengaruhi nilai
koefisien absorpsi. Koreksi pitch dan roll dilakukan untuk memastikan posisi
13

transducer terhadap kolom perairan dapat dilihat pada lampiran 3. Hasil konversi
nilai hamburbalik ADCP dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Hamburbalik rata-rata semua beam ADCP


Hamburbalik pada gambar 7 adalah rata-rata dari semua beam yang ada pada
ADCP. Pada jarak 2 meter ditandai dengan lingkar merah menunjukan adanya
indikasi data yang homogen, hal ini dapat menjadi indikasi adanya data pencilan
yang perlu dianalisa lebih lanjut. ADCP Teledyne RD Instruments Workhorse
614.4kHz memiliki 4 beam yang dipasangkan dalam posisi berbeda (Gambar 3),
hal ini dapat mengakibatkan perbedaan pendeteksian pada tiap beam. Analisa lebih
lanjut terhadap korelasi hamburbalik antar beam perlu dilakukan untuk
menghindari noise atau data yang tidak diinginkan.
Pemasangan ADCP pada bagan tancap menghadap ke arah bagan lain pada
jarak sekitar 20 meter, untuk menghindari adanya kesalahan pendeteksian analisa
hamburbalik hanya dilakukan hingga jarak 15meter (30 bin). Pemilihan waktu
sesuai dinamika pasang surut dilakukan untuk melihat adanya perbedaan
hamburbalik antar beam pada waktu yang berbeda.

Korelasi Hamburbalik Antar Beam

Perbandingan korelasi hamburbalik antar beam dilakukan untuk melihat


sebaran data di setiap beam dan melihat adanya data pencilan (Dwinovyanto et al.
2018). Proses ini juga dilakukan untuk melihat kemiripan sebaran intensitas antar
tiap beam untuk memastikan semua beam dapat digunakan untuk perhitungan
hamburbalik selanjutnya. Gambar 8 menunjukan korelasi hamburbalik antar beam
saat air surut. Perbandingan antar beam 1&2, 1&3, dan 2&3 memiliki nilai
koefisien korelasi (r) diatas 0,91. Tingginya nilai r menunjukan adanya kemiripan
14

pola hamburbalik antara beam tersebut. Pada setiap beam yang dibandingkan
dengan Beam 4 menunjukan nilai r dibawah 0,73. Gambar 9 menunjukan
perbandingan korelasi hamburbalik antar beam saat air pasang.
Nilai r pada perbandingan antar beam 1&2, 1&3, dan 2&3 berada diatas 0,92.
Pada masing-masing beam yang dibandingkan dengan beam 4 menunjukan nilai r
dibawah 0,74. Perbedaan arah dan posisi beam saat pemasangan menjadi faktor
utama yang mempengaruhi perbedaan nilai hamburbalik pada setiap beam. Perairan
yang dangkal membuat penempatan arah dan posisi beam menjadi penting untuk
menghasilkan data yang optimal. Beam 4 terletak pada beam paling bawah dan
menghadap ke dasar perairan. Perbedaan nilai koefisien korelasi ini menunjukan
adanya sebaran data yang tidak serupa antara beam 4 dengan beam lain. Hasil
perbandingan antar beam pada saat pasang maupun surut tidak menunjukan
perbedaan yang signifikan.
Backscatter Beam 1-2 Backscatter Beam 1-3

150 150
Beam 3 (dB)
120 120
Beam 2 (dB)

90 90
60 y = 0.7761x + 23.448
60 y = 0.8434x + 18.804 R² = 0.9671
R² = 0.92 30
30
30 60 90 120 150
30 60 90 120 150 180
Beam 1 (dB) Beam 1 (dB)

(a) (b)
Backscatter Beam 2-3 Backscatter Beam 1-4
180 140
Beam 3 (dB)

150
Beam 4 (dB)

110
120
90 80
y = 0.8563x + 13.782 y = 0.5763x + 40.189
60
R² = 0.9105 R² = 0.734
30 50
30 60 90 120 150 180 30 60 90 120 150
Beam 2 (dB) Beam 1 (dB)

(c) (d)
Backscatter Beam 2-4 Backscatter Beam 3-4
140 140
Beam 4 (dB)

110
110
80
Beam 4 (dB)

80 50 y = 0.6105x + 36.054
y = 0.5082x + 43.369
R² = 0.6818 R² = 0.5226
50 20
30 60 90 120 150 50 70 90 110 130 150
Beam 2 (dB) Beam 3 (dB)

(e) (f)
Gambar 8 Korelasi hamburbalik antar beam saat surut (a) beam 1-2, (b) beam 1-3
(c) beam 2-3 (d) beam 1-4 (e) beam 2-4 (f) beam 3-4

Marmorino (1999) melakukan penelitian dengan pemasangan ADCP secara


horisontal dan hanya menggunakan dua beam yang menghadap secara horisontal
15

untuk melakukan analisis data arus. Pengecekan nilai intensitas dan echogram dari
relative hamburbalik pada setiap beam perlu dilakukan untuk memastikan adanya
perbedaan pendeteksian sedimen perairan. Gambar 10 menunjukan echogram hasil
perekaman setelah dikonversi kedalam decibel.

Backscatter Beam 1-2 Backscatter Beam 1-3


180 170
150 140
120
Beam 1 (dB)

Beam 1 (dB)
110
90
y = 1.5421x - 42.037 80 y = 1.1455x - 1.7429
60
R² = 0.9271 R² = 0.9393
30 50
50 80 110 140 50 80 110 140
Beam 2 (dB) Beam 3 (dB)

(a) (b)
Backscatter Beam 2-3 Backscatter Beam 1-4
170 150

140 120
Beam 2 (dB)

Beam 1 (dB)
110 90
y = 0.7182x + 32.164 y = 0.7535x + 25.532
80 60
R² = 0.9472 R² = 0.6383
50 30
30 60 90 120 150 180 50 80 110 140
Beam 3 (dB) Beam 4 (dB)

(c) (d)
Backscatter Beam 2-4 Backscatter Beam 3-4
150 150
120 120
Beam 3 (dB)
Beam 2 (dB)

90 90
60 y = 0.5077x + 43.996 60 y = 0.646x + 27.984
R² = 0.7431 R² = 0.6554
30 30
30 60 90 120 150 180 50 80 110 140 170
Beam 4 (dB) Beam 4 (dB)

(e) (f)
Gambar 9 Korelasi hamburbalik antar beam saat pasang (a) beam 1-2, (b) beam 1-
3 (c) beam 2-3 (d) beam 1-4 (e) beam 2-4 (f) beam 3-4

Perbandingan Hamburbalik Antar Beam

Perbandingan Hamburbalik Saat Menuju Surut


Berdasarkan perbandingan hasil regresi antar keempat beam diketahui beam
4 memiliki data pencilan yang berbeda dengan beam lain. Hal ini ditunjukan dengan
tingginya nilai hamburbalik pada beam 4 pada jarak 1-3 meter yaitu 95-107 dB
yang terlihat pada Gambar 10. Pada beam 4 juga menunjukan sebaran hamburbalik
yang konsisten terhadap waktu, hal ini menunjukan bahwa beam 4 mendeteksi
adanya objek dalam kondisi diam/statis dalam kurun waktu yang lama. Pada beam
1, 2 dan 3 didapatkan sebaran hamburbalik berkisar 80-90 dB pada jarak 1-2 meter.
16

Sebaran hamburbalik juga ditemukan pada jarak 4-5 meter dengan nilai 98-115 dB
untuk beam 1, 92-110 dB untuk beam 2, dan 90-102 dB untuk beam 3. Perbedaan
sebaran nilai hamburbalik menunjukan adanya pergerakan sedimen saat masa air
menuju surut.

80-90 dB 80-90 dB
92- 110 dB
98-115 dB

>150 dB >150 dB

80-90 dB 95-107 dB

95-120 dB
90-102 dB
>150 dB
>150 dB

Gambar 10 Hamburbalik saat menuju surut

Perbandingan Hamburbalik Saat Surut


Hamburbalik saat surut pada Gambar 11 menunjukan bahwa pada beam 4
tetap terdapat nilai hamburbalik yang berbeda dengan ketiga beam lain yaitu 95-
117 dB. Pada beam 4 sebaran hamburbalik tersebut hanya berubah jarak pada 2-3
meter. Perbedaan nilai dan sebaran hamburbalik pada beam 4 mengindikasikan
adanya data pencilan. Beam 4 adalah beam yang terletak pada posisi paling bawah.

85-96 dB
95-104 dB
100- 120 dB
98-120 dB

>150 dB >150 dB

95-104 dB 95-117 dB

95-115 dB
95-120 dB

>150 dB >150 dB

Gambar 11 Hamburbalik saat surut


17

Pada beam 1 dan 3 terlihat adanya kenaikan nilai hamburbalik yaitu 95-104
dB. Pada beam 1 dan 3 juga terjadi penyebaran hamburbalik sedimen yang
menyebar dihampir seluruh strata jarak. Pada beam 2 juga terdeteksi kenaikan nilai
hamburbalik yaitu pada 85-96 dB namun sebarannya hanya pada jarak 1-3 meter.
Pemasangan alat yang menghadap ke utara mengindikasikan pergerakan sedimen
menuju ke arah selatan saat surut. Adanya perubahan nilai dan sebaran hamburbalik
menunjukan terdapat indikasi arus yang menyebabkan pergerakan sedimen menjadi
lebih tinggi. Menurunnya permukaan air pada saat surut juga memengaruhi nilai
hamburbalik.

Perbandingan Hamburbalik Saat Menuju Pasang


Hamburbalik sedimen tersuspensi pada Gambar 12 terlihat adanya
pergerakan sedimen ke arah utara yaitu pada jarak 4- 5 meter. Pada beam 4 masih
tetap menunjukan nilai dan sebaran hamburbalik yang berbeda dengan ketiga beam
lain. Beam 4 pada jarak 2 meter menunjukan nilai hamburbalik 95-107 dB. Beam
1, 2 dan 3 menunjukan nilai hamburbalik berkisar 80-98 dB pada jarak 2-4 meter.
Pada jarak 6-8 meter semua beam menunjukan peningkatan nilai hamburbalik
hingga 95-120 dB. Pada jarak di atas 10 meter semua beam pada transducer ADCP
mendeteksi nilai hambur balik hingga lebih dari 150 Db. Apabila dibandingkan
dengan saat surut maka terlihat adanya penurunan nilai hamburbalik pada saat
menuju pasang. Filizola dan Guyot (2004) menyatakan bahwa perubahan nilai
hamburbalik yang tinggi menandakan konsentrasi sedimen yang meningkat. Pada
waktu menuju pasang konsentrasi sedimen tersuspensi diduga mengalami
penurunan akibat adanya masukan air dari laut menuju ke darat.

80-90 dB 80-90 dB
98- 120 dB
95-120 dB

>150 dB
>150 dB

80-90 dB 95-107 dB

98-120 dB 98-120 dB

>150 dB >150 dB

Gambar 12 Hamburbalik saat menuju pasang

Perbandingan Hamburbalik Saat Pasang


Pada saat air pasang tertinggi dapat di deteksi bahwa keberadaan sedimen
tersuspensi semakin mengarah ke utara yaitu pada jarak 5-5.5 meter menjauh dari
18

lokasi transducer (Gambar 13). Pada beam 1 dengan jarak 6-8 meter ditemukan
penungkatan nilai hamburbalik sedimen tersuspensi hingga 98-120 dB. Pada beam
2 dengan jarak 6-8 meter terjadi peningkatan nilai hamburbalik 100-120 dB. Beam
3 menunjukan semakin jauh jarak dari transducer maka nilai hamburbalik semakin
meningkat yaitu pada kedalaman 6-8 meter didapat nilai hamburbalik 95-115 dB.
Pada jarak 6-8 meter beam 4 terjadi kenaikan hamburbalik hingga108-120 dB.
Sedangkan pada jarak lebih dari 10 meter nilai hamburbalik meningkat hingga lebih
dari 150 dB pada semua beam. Nilai hamburbalik sedimen tersuspensi juga
mengalami penurunan terutama pada jarak 2-4 meter pada beam 1,2,3 yaitu pada
88-94 dB. Pada beam 4 masih menunjukan perbedaan nilai dan sebaran
hamburbalik dibandingkan dengan beam lain. Sedimen tersuspensi pada saat air
pasang lebih banyak mendekati dasar perairan karena menurunnya arus pada saat
pasang. Menurunnya nilai hamburbalik disebabkan oleh nilai konsentrasi sedimen
terhadap masa air menurun. (Ghaffari et al. 2011).

88-94 dB 88-94 dB

98-120 dB 100- 120 dB

>150 dB
>150 dB

88-94 dB 95-107 dB
95-115 dB 108-120 dB

>150 dB >150 dB

Gambar 13 Hamburbalik saat pasang

Hamburbalik Sedimen Tersuspensi

Hasil korelasi hamburbalik antar beam pada masing-masing waktu menuju


surut, menuju pasang, surut dan pasang menunjukan bahwa beam 4 memiliki nilai
pendeteksian yang berbeda dengan beam lain. Perhitungan regressi sederhana
dengan membandingkan nilai korelasi antar beam didapat nilai koefisien korelasi
dibawah 0.73 untuk setiap beam yang dibandingkan dengan beam 4. Nilai koefisien
korelasi antar beam 1, 2, dan 3 baik pada saat pasang maupun surut menunjukan
nilai di atas 0.92. Perbedaan nilai korelasi menunjukan bahwa beam 4 memiliki
nilai pendeteksian yang berbeda dengan beam 1, 2, dan 3. Perbedaan nilai korelasi
antar beam perlu dianalisa lebih lanjut dengan membandingkan echogram
hamburbalik antar beam.
Perbandingan nilai hamburbalik antar beam dilakukan untuk melihat adanya
perbedaan sebaran nilai hamburbalik pada echogram setiap beam. Terdapat
19

perbedaan yang signifikan dari hasil echogram pada beam 4 dengan ketiga beam
lain. Perbedaan ini terlihat pada semua waktu pengamatan baik saat menuju surut,
surut, menuju pasang maupun pasang. Sebaran hamburbalik pada beam 4 selalu
berada pada kisaran jarak 2-3 meter dengan nilai 97-106 dB. Posisi beam 4 yang
berada paling bawah sehingga lebih dekat dengan dasar laut. Pada dasar perairan
dilokasi pengamatan terdapat vegetasi tanaman yang tumbuh pada substrat pasir,
tanaman ini disebut lamun. Setelah dilakukan pengukuran tinggi tanaman lamun
mencapai 1 meter, diduga mengganggu pendeteksian pada beam 4. Posisi beam 4
adalah mengarah ke dasar, sehingga adanya tanaman lamun dapat mencapai near
field transducer. Vegetasi tanaman lamun dapat dilihat pada lampiran 4. Pada
daerah near field intensitas suara menjadi lebih sensitif Karena lebih dekat dengan
transducer. Frekuensi ADCP yang tinggi juga menambah sensitifitas perekaman
(Merckelbach 2006; Pedocchi dan Garcia 2012). Hasil korelasi antar beam maupun
perbandingan echogram mengindikasikan bahwa beam 4 memiliki data yang tidak
diinginkan yaitu terdeteksinya tanaman lamun. Beam 4 tidak dapat digunakan
dalam menghitung rata-rata hamburbalik sedimen tersuspensi. Wall et al. (2006)
menyatakan bahwa hamburbalik rata-rata sedimen tersuspensi digunakan untuk
perhitungan estimasi konsentrasi sedimen. Hamburbalik sedimen tersuspensi pada
Gambar 14 adalah rata-rata dari beam 1, 2, dan 3.

55-82 dB 72-86 dB
90-117 dB 88-112 dB

>150 dB >150 dB

56-81 dB 55-77 dB
92-115 dB 90-111 dB

>150 dB >150 dB

Gambar 14 Hamburbalik sedimen tersuspensi


Hamburbalik sedimen tersuspensi pada echogram menunjukan adanya
perbedaan sebaran sedimen perairan terpengaruhi oleh dinamika pasang surut. Air
pasang membawa muatan dari laut ke muara sementara air surut membawa muatan
air dari muara ke laut (Mulyanto 2007). Terlihat pada waktu surut hamburbalik
sedimen tersebar menuju ke selatan. Nilai hamburbalik sedimen lebih tinggi pada
20

saat surut yaitu 72-86 dB pada jarak 1-3.5m dan 88-112 dB pada jarak 4-5m. Saat
pasang sebaran sedimen perairan lebih banyak mengarah ke utara yaitu dengan nilai
hamburbalik 90-111 pada jarak 4.5-6m. pada jarak 1-3 meter terlihat sangat kecil
sebaran hamburbaliknya dengan nilai 52-77. Pada saat menuju pasang dan menuju
surut terlihat pola sebaran sedimen mengikuti pola arus pasang surut, yaitu
mendekati lautan saat surut dan mendekati daratan saat pasang.

Kalibrasi Metode Inversi

Kalibrasi inversi dilakukan dengan membandingkan nilai echo intensity (EI)


dari ADCP dengan hasil pengukuran konsentrasi sedimen tersuspensi Laboratorium.
SSC dari Laboratorium perlu dikonversi kedalam satuan logaritmik, yaitu dengan
10log(SSClaboratorium). Konversi dilakukan karena konsentrasi sedimen tersuspensi
adalah adalah satuan linear, sedangkan echo intensity adalah satuan logaritmik.
Perbandingan antar SSC dan EI dilakukan dengan regresi sederhana. Pemilihan data
EI dilakukan dengan menentukan waktu yang sama pada saat pengambilan Sampel
air. Pengambilan sampel air untuk pengukuran konsentrasi sedimen tersuspensi di
laboratorium (mg/L) dilakukan tiga kali setiap hari pada kedalaman yang sama
dengan pemasangan ADCP.
Hasil regresi linear menunjukkan terdapat korelasi antara echo intensity (dB)
terhadap konsentrasi sedimen tersuspensi dari pengukuran di laboratorium. Hasil
perhitungan pada Gambar 15 menunjukkan bahwa nilai hamburbalik akustik relatif
dari ADCP berkorelasi positif terhadap konsentrasi sedimen tersuspensi. Koefisien
korelasi yang didapat yaitu 0.88 dengan nilai slope 0.0219 dan intercept sebesar
1.528. Nilai intercept dan slope kemudian disubstitusikan pada persamaan (2)
sehingga didapatkan konsentrasi sedimen tersuspensi dari ADCP. Plot subtitusi
nilai intercept dan slope dilakukan dengan matlab sehingga didapatkan data deret
waktu estimasi SSC ADCP. Estimasi konsentrasi sedimen tersuspensi
menggunakan ADCP masih perlu dibandingkan lagi dengan SSC pengukuran
Laboratorium untuk validasi akurasi pengukurannya. Validasi dilakukan dengan
memilih nilai estimasi SSC pada waktu yang sama dengan pengambilan sampel air
untuk pengukuran SSC laboratorium.

56.2

56
Echo Intensity (dB)

55.8

55.6
y = 0.0219x + 1.528
55.4
R² = 0.8819
55.2

55
19 19.2 19.4 19.6 19.8 20 20.2
10log(SSClab)

Gambar 15 Kalibrasi hamburbalik dengan pengukuran laboratorium


21

Konsentrasi Sedimen Tersuspensi ADCP

Hasil subtitusi nilai intercept dan slope menghasilkan data echogram berupa
deret waktu estimasi konsentrasi sedimen tersuspensi di Perairan Pantai Timur
Pulau Bintan. Estimasi konsentrasi sedimen tersuspensi pengukuran dengan ADCP
dapat dilihat pada Gambar 16. Pada jarak 2-4 meter saat menuju surut SSC didapat
59-65 mg/L, saat surut 66-70 mg/L, saat menuju pasang 62-66 mg/L, saat pasang
55-62 mg/L. Nilai estimasi SSC pada jarak 4-6 meter saat menuju surut 68-73 mg/L,
saat surut 72-80 mg/L, saat menuju pasang 65-75 mg/L, saat pasang 64-68 mg/L.
pada jarak melebihi 8 meter nilai estimasi SSC selalu melebihi 90 mg/L hal ini
karena arah ADCP yang mengarah kedaratan sehingga semakin jauh dari
transducer maka nilai SSC meningkat. Pada saat pengamatan dilapangan diketahui
karakter sedimen dasar perairan lebih banyak pasir. Suhana et al. (2018)
menyatakan bahwa kondisi Sedimen perairan di pantai timur Pulau Bintan secara
umum adalah pasir sedikit berkerikil (gravelly sand). Adanya bagan lain didepan
pemasangan ADCP juga berpotensi mempengaruhi nilai SSC pada jarak lebih dari
8 meter.

mg/L

59-65 mg/L 66-70 mg/L


68-73 mg/L 72-80 mg/L

>90 mg/L >90 mg/L

55-62 mg/L
62-66 mg/L
65-75 mg/L 64-68 mg/L

>90 mg/L >90 mg/L

Gambar 16 Estimasi konsentrasi sedimen tersuspensi


Estimasi SSC secara umum diketahui meningkat saat surut dan
konsentrasinya menurun saat pasang. Hal ini karena adanya masukan air dari laut
menuju ke darat saat pasang dan sebaliknya masukan dari darat ke laut saat surut.
Attard et al. (2014), menyatakan kondisi sedimen tersuspensi suatu perairan dapat
di pengaruhi oleh muatan dari daratan. Pada saat menuju surut dan surut didapatkan
sebaran sedimen mendekati arah ADCP yaitu ke arah selatan sedangkan pada saat
22

menuju pasang dan pasang sedimen tersuspensi bergerak menuju utara.


Poerbandono dan Djunasjah (2005) mengungkapkan bahwa partikel sedimen
berukuran kecil akan bergerak cenderung mengikuti kecepatan dan arah arus.
Penelitian Sarmada et al. (2018) menyatakan bahwa pada bulan Mei pergerakan
arus cenderung ke arah selatan – barat daya saat pasang dan kearah utara saat surut.
Perbedaan arah pergerakan sedimen ini terjadi karena pada bulan Juli saat penelitian
ini dilakukan telah terjadi perubahan dari angin muson barat ke angin muson timur.

Perbandingan SSC ADCP dengan SSC Laboratorium

Perbandingan SSC ADCP dengan SSC Laboratorium dilakukan untuk


validasi dan perkiraan akurasi pengukuran SSC mengunakan ADCP. Perbandingan
dilakukan dengan mengambil nilai estimasi SSC ADCP pada waktu yang sama
dengan pengambilan sampel air. Data SSC ADCP dan SSC Laboratorium kemudian
dibandingkan dengan regressi linear sederhana. Hasil analisa memperlihatkan
koefisien korelasi r2=0.98 dapat dilihat pada Gambar 17. Hal ini menandakan
akurasi pengukuran SSC dengan ADCP sudah cukup akurat. Pengukuran dengan
ADCP menunjukkan hasil estimasi konsentrasi sedimen tersuspensi sedikit lebih
rendah dibandingkan SSC Laboratorium. Hal ini diperkirakan perbedaan sebaran
ukuran partikel pada berbagai kedalaman (Poerbandono dan Mayerle 2005).
Perbedaan pengukuran SSC ADCP dengan SSC Laboratorium adalah ±2 mg/L.
Menurut Poerbandono dan Mayerle (2005), instrumen ADCP tidak mampu
membedakan ukuran partikel yang besar dengan ukuran partikel kecil yang
menumpuk pada satu volume tertentu. pengukuran SSC dengan ADCP telah lama
dilakukan dan terbuktti cukup akurat sehingga dapat digunakan untuk menyediakan
data estimasi konsentrasi sedimen tersuspensi secara real time, spatiotemporal, dan
dalam jangkauan yang luas.

105
SSC Laboratorium (mg/L)

100

95

90

85
y = 1.04x - 3.2046
R² = 0.9833
80
80 85 90 95 100 105
SSC ADCP (mg/L)

Gambar 17 Validasi hasil pengukuran SSC ADCP dengan SSC Laboratorium


23

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Estimasi konsentrasi sedimen tersuspensi menggunakan ADCP terbukti


cukup akurat. Hasil perbandingan SSC pada ADCP dengan SSC Laboratorium
hanya menunjukan perbedaan yang kecil. Analisa hamburbalik yang telah
dilakukan terbukti dapat memisahkan data yang tidak diinginkan untuk mencapai
perhitungan SSC yang lebih akurat. Hasil perbandingan nilai SSC menunjukan
adanya perubahan nilai dan sebaran SSC seiring perubahan kondisi pasang surut.
Konsentrasi sedimen tersuspensi Pulau Bintan lebih tinggi pada saat surut, dan
cenderung menurun pada saat pasang. Pada saat surut sedimen perairan banyak
bergerak ke selatan, sedangkan saat pasang sedimen bergerak kearah utara menjauh
dari posisi ADCP.

Saran

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ADCP dapat digunakan untuk


menganalisa hamburbalik dan mengukur konsentrasi sedimen tersuspensi perairan.
Penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan memanfaatkan ADCP untuk
menganalisa hamburbalik sedimen pada daerah perairan dangkal seperti sungai atau
muara.

DAFTAR PUSTAKA

[APHA] American Public Health Association. 2012. Standard Methods for the
Examination of Water and Wastewater 22nd Ed. Washington (US): APHA.
Ainslie MA, McColm JG. 1998. A Simplified Formula for Viscous and Chemical
Absorption in Sea Water. J Acoust Soc Am. 103: 1671-1674.
Attard ME, Venditti JG, Church M. 2014. Suspended Sediment Transport in The
Lower Fraser River, British Columbia. Can Water Resour J. 39, 356–371.
Archetti R, Romagnoli C. 2011. Analysis of the Effects of Different Storm Events
on Shoreline Dynamics of an Artificially Embayed Beach. Earth Surf. Process.
Land- Forms 36, 1449–1463.
Arvianto SE, Satriadi A, Handoyo G. 2016. Pengaruh Arus Terhadap Sebaran
Sedimen Tersuspensi Di Muara Sungai Silugonggo Kabupaten Pati. J Oceanogr,
5(1), 115-125.
Carniel S, Sclavo M, Archetti R. 2011. Oceanological and Hydrobiological Studies
towards Validating a Last Generation, Integrated Wave-Current-Sediment
Numer- Ical Model in Coastal Regions Using Video Measurements. Oceanol.
Hydrobiol. Stud. 40, 1897–3191.
Ceola S, Hödl I, Adlboller M, Singer G, Bertuzzo E, Mari L, Botter G, Waringer J,
Battin TJ, Rinaldo A. 2013. Hydrologic Variability Affects Inver-Tebrate
Grazing On Phototrophic Biofilms in Stream Microcosms. PLoS ONE 8.
http://dx.doi.org/10.1371-/journal.pone.0060629.
24

Davies AG, Thorne PD. 2008. Advances in the Study of Moving Sediments and
Evolving Seabeds. Surveys Geophys. 29(1), 1–36.
Deines KL. 1999. Backscatter Estimation Using Broadband Acoustic Doppler
Current Profilers. IEEE Sixth Working Conf on Current Measur (Cat. No.
99CH36331). 249-253.
Domeneghetti A, Gandolfi S, Castellarin A, Brandimarte L, Di Baldassarre G,
Barbarella M, Brath A. 2014. Flood Risk Mitigation in Developing Countries:
Deriving Accurate Topographic Data for Remote Areas under Severe Time and
Eco- Nomic Constraints. J. Flood Risk Manag. 8, 301–314.
Dwinovantyo A, Manik HM, Prartono T, Ilahude D. 2017. Estimation of Suspended
Sediment Concentration from Acoustic Doppler Current Profiler (ADCP)
Instrument: A Case Study of Lembeh Strait, North Sulawesi. IOP Conference
Series: Ear and Envir Sci. 54 (012082): 1-8.
Filizola N, Guyot JL. 2004. The Use of Doppler Technology for Suspended
Sediment Discharge Determination in the River Amazon. Hydrol Sci J. 49, 143–
153.
Firismanda HFF, Widada S, Muslim M. 2017. Analisis Sebaran Sedimen Dasar di
Perairan Patimban Subang Jawa Barat. J Oceanogr, 6(4), 534-542.
Francois RE, Garrison GR. 1982a. Sound Absorption Based on Ocean
Measurements. Part I: Pure Water and Magnesium Sulphate Contributions. J
Acoust Soc Am. 72(3):896–907.
Francois RE, Garrison GR. 1982b. Sound Absorption Based on Ocean
Measurements. Part II: Boric Acid Contribution and Equation for Total
Absorption. J Acoust Soc Am. 72(6):1879–1890.
Gartner JW. 2002. Estimation of Suspended Solids Concentrations Based on
Acoustic Backscatter Intensity: Theoretical Background. Turbidity and other
sediment surrogates workshop. USGS California.
Gartner JW. 2004. Estimating Suspended Solids Concentrations from Backscatter
Intensity Measured by Acoustic Doppler Current Profiler in San Francisco Bay,
California. Mar Geol. 211:169-187.
Ghaffari P, Azizpour J, Noranian M, Chegini V, Tavakoli V, Shah-Hosseini M.
2011. Estimating Suspended Sediment Concentrations Using a Broadband
ADCP in Mahshahr Tidal Channel. Oce Sci Disc, 8(4), 1601-1630.
Gray JR, Glysson GD, Turcios LM, Schwarz GE. 2000. Comparability of
Suspended-Sediment Concentration and Total Suspended Solids Data. USGS
Water-Resources Investigations Report 00-4191, 20.
Guerrero M, Antonini A, Rüther N, Stokseth S. 2016. Suspended Load Monitoring
for Sustainable Hydropower Development. Proceedings Int Symp Riv Sediment.
Stuttgart, Germany 19–22 September.
Guerrero M, Re M, Kazimierski LDD, Menéndez AN, Ugarelli R, 2013. Effect of
Climate Change on Navigation Channel Dredging of the Parana River. Int J
River Basin Manag. 11, 439–448.
Guerrero M, Rüther N, Haun S, Baranya S. 2017. A Combined Use of Acoustic and
Optical Devices to Investigate Suspended Sediment in Rivers. Advanc Wat
Resourc, 102, 1-12.
Guerrero M. 2014. The Investigation of Sediment Processes in Rivers by Means of
the Acoustic Doppler Profiler. Proceedings Int Assoc Hyd Sci. 364, 368-373.
25

Herriansyah A, Putra RD, Arief P. 2016. Pemetaan Lama Ketergenangan Zona


Intertidal di Pantai Timur Bintan Desa Teluk Bakau. J Umrah [internet]. [diacu
2019 Juli 6]. Tersedia dari: http://jurnal.umrah.ac.id/?p=5027.
Holdaway GP, Thorne PD, Flatt D, Jones SE, Prandle D. 1999. Comparison
between ADCP and Transmissometer Measurements of Suspended Sediment
Concentration. Cont Shelf Res 19: 421-441.
Irawan S. 2017. Kondisi Hidro-Oseanografi Perairan Pulau Bintan (Studi Kasus
Perairan Teluk Sasah). Indonesian J Marine Sci Tech, 10(1), 41-53.
Manik HM. 2015. Teknologi Akustik Bawah Air: Solusi Data Perikanan Laut
Indonesia. Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan: Rumusan Kajian
Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan, 1(3), 181-186.
Manik HM, Furusawa M, Amakasu K. 2006. Measurement of sea bottom surface
backscattering strength by quantitative echo sounder. Fisheries Science, 72(3),
503-512.
Mann KH, Lazier JRN. 2006. Dynamics of Marine Ecosystems: Biological-
Physical Interactions in the Ocean. Bedford Institute of Oceanography, Canada.
Marmorino GO, Trump CL, Hallock ZR. 1999. Near-Surface Current
Measurements Using a Ship-Deployed “Horizontal” ADCP. J Atmosph Oceanic
Tech, 16(10), 1456-1463.
Merckelbach LM. 2006. A Model for High-Frequency Acoustic Doppler Current
Profiler Backscatter from Suspended Sediment in Strong Currents. Cont Shelf
Res. 26: 1316-1335. doi:10.1016/j.csr.2006.04.009.
Mulyanto HR. 2007. Sungai, Fungsi dan Sifat-sifatnya. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Paarlberg AJ, Guerrero M, Huthoff F, Re M, 2015. Optimizing Dredge-And-Dump
Activities for River Navigability Using a Hydro-Morphodynamic Model. J
Water 7, 3943–3962.
Pedocchi F, García MH. 2012. Acoustic Measurement of Suspended Sediment
Concentration Profiles in An Oscillatory Boundary Layer. Cont Shelf Res, 46,
87-95.
Park HB, Lee G. 2016. Evaluation of ADCP Backscatter Inversion to Suspended
Sediment Concentration in Estuarine Environments. Ocean Sci J. 51(1): 109
Poerbandono, Djunasjah E. 2005. Hidrography Survey. Refika Aditama: Bandung.
Poerbandono, Mayerle R. 2004. Assesment of Approaches for Converting Acoustic
Echo Intensity Into Suspended Sediment Concentration. Proceedings 3rd FIG
Regional Conference (Jakarta 3-7 Oktober 2004): 1-13.
Sarmada IF, Jaya YV, Putra RD, Suhana MP.2018. Pemodelan Pola Arus di
Kawasan Pesisir Pantai Kawal Kabupaten Bintan. J Dinamika Maritim, 7(1), 1-
10.
Satriadi A. 2012. Analisis Sebaran Sedimen Tersuspensi di Perairan Pacitan
Lamongan Jawa Timur. Buletin Osean Marina, 1(2), 13-30.
Stewart RH. 2008. Introduction to Physical Oceanography. College Station: Texas
A & M University. 133-147.
Suhana MP, Nurjaya IW, Natih NMN. 2018. Karakteristik Sedimen Pantai Timur
Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau. J Dinamika Maritim, 7(1), 50-53.
Thevenot MM, Prickett TL, Kraus NC. 1992. Tylers Beach, Virginia, Dredging
Material Plume Monitoring Project 27 September to 4 October 1991, US Army
Corps of Engineers Washington DC.Dredging Research Program Technical
Report DRP-92-7.
26

Thorne PD, Hardcastle PJ. 1997. Acoustic Measurement of Suspended Sediments


in Turbulent Currents and Comparison with Insitu Samples. J Acoust Soc Am.
101, 2603–2614.
Thorne PD, MacDonald I T, Vincent C E. 2014. Modelling Acoustic Scattering by
Suspended Flocculating Sediments. J Cont Shelf Research, 88, 81-91.
Urick RJ. 1975. Principles of Underwater Sound. New York: McGraw-Hill. 5.
Urick RJ. 1983. Sound Propagation in the Sea. California (US): Peninsula Pub. 212.
Venditti JG, Church M, Attard ME, Haught D. 2016. Use of ADCPs for Suspended
Sediment Transport Monitoring: An Empirical Approach. Wat Resources Res,
52(4), 2715-2736.
Wall GR, Nystrom EA, Litten S. 2006. Use of an ADCP to Compute Suspended
Sediment Discharge in the Tidal Hudson River, New York. Scientific
Investigations Report USGS.
Wibowo YSA, Hariadi H, & Marwoto J. 2016. Pengaruh Arus Laut dan Pasang
Surut Terhadap Distribusi Sedimen Tersuspensi di Perairan Muara Sungai
Sembilangan Kaliprau Pemalang. J Oceanogr. 5(4), 490-497.
Woodgate RA, Holroyd AE. 2011. Correction of Teledyne Acoustic Doppler
Current Profiler (ADCP) Bottom-Track Range Measurements for Instrument
Pitch and Roll. arXiv preprint arXiv:1110.5003.
Yong HK, Benjamin G, Tim N, Anton D, Mauro M, Hector P, George V. 2004
Using The Acoustic Doppler Current Profiler (ADCP) To Estimate Suspended
Sediment Concentration. University of South Carolina - Columbia. Technical
Report CPSD 04-01.
27

LAMPIRAN
28

Lampiran 1 Konfigurasi perekaman ADCP

Pemasangan ADCP
Frequency 614.4 kHz
Er 40
1st Bin -1.19 m
No. Bins 99
Bin Size 0.50 m
Pings/Ens 1
Time/Ping 00:00.00
First Ensemble 00000001 at 18/07/06 17:29:03.00
Last Ensemble 00545301 at 18/07/08 07:22:18.00
Average Ensemble Interval 00:00:00.25
ADCP Beam angle (Ѳ) 20
Pitch Angle, Beam 1 & 2 90
Pitch Angle, Beam 3 & 4 70
Roll Angle Beam 1 , 2, 3 & 4 0

Lampiran 2 Perhitungan dan syntax Matlab


clear all;
clc;
clear
%data=load('Beam1dB.txt');
%data=read('Beam1dB.txt');
data1=load('MS1.txt');
data=data1';
a=size(data);

x=data(1,2:a(2));
y=data(2:a(1));
y1=data(2:31);
y2=data(32:61);
y3=data(62:91);
y4=data(92:121);
y5=data(122:151);
z=data(2:a(1),2:a(2));
z1=data(2:31,2:a(2));
z2=data(32:61,2:a(2));
z3=data(62:91,2:a(2));
z4=data(92:121,2:a(2));
z5=data(122:151,2:a(2));

%MASUKKAN PARAMETER LINGKUNGAN


f=614.4; %kHz
suhu=28.55; %C
salinitas=33.23; %psu
pH=8.13;
D=50; %meter (31)

%TRANSMISSION LOSS (TL)


29

f1=0.78*sqrt(salinitas/35)*exp(suhu/26); %asam borat


f2=42*exp(suhu/17); %magnesium sulfat
abs=(0.106*(f1.*f^2)/(f1^2.+f^2)*exp((pH-
8)/0.56)+0.52*(1+(suhu/43)*(salinitas/35))*((f2.*f^2)/(f2^2.+f^2))
*exp(-D/6)+0.00049*f^2.*exp(-((suhu/27)+(D/17))))*0.01; %dB m-1
TL=20*log10(y)+2*abs*y; %transmission loss pada ADCP
TL1=20*log10(y1)+2*abs*y1;
TL2=20*log10(y2)+2*abs*y2;
TL3=20*log10(y3)+2*abs*y3;
TL4=20*log10(y4)+2*abs*y4;
TL5=20*log10(y5)+2*abs*y5;

kc=(127.3/(suhu+273));
RL=kc*(z-40);
RL1=kc*(z1-40);
RL2=kc*(z2-40);
RL3=kc*(z3-40);
RL4=kc*(z4-40);
RL5=kc*(z5-40);
%%Menyamakan dimensi array TL dengan RL
%TLs = zeros(6,260); %preallocate
for c = 1:40001 %Input panjangnya row pada data: 1x1426
TLs(:,c) = TL;
TL1s(:,c) = TL1;
TL2s(:,c) = TL2;
TL3s(:,c) = TL3;
TL4s(:,c) = TL4;
TL5s(:,c) = TL5;
end
RB=RL+(2*TLs);
RB1=RL1+(2*TL1s);
RB2=RL2+(2*TL2s);
RB3=RL3+(2*TL3s);
RB4=RL4+(2*TL4s);
RB5=RL5+(2*TL5s);
%RB(RB>90)=0;RB1(RB1>90)=0;RB2(RB2>90)=0;RB3(RB3>90)=0;RB4(RB4>90)
=0;
%RB(RB<80)=0;

RBMS=(RB1+RB2+RB3)/3;
%RBMS(RBMS>115)=0;

slope=0.1*0.0202;
intercept=1.6121;
SSCMS=10.^(intercept+(slope*RBMS)); %Gartner 2002

figure;
%suptitle 'Rata-rata Backscatter';

ax(1)=subplot(2,2,1);
pcolor(x,y1,SSCMS); shading interp;
xlim([150000 150500]); title('SSC Menuju Surut'); %Pasang
Tertinggi ens 223326
xlabel Ensemble;
ylabel Distance(m);
%set(gca, 'clim', [50 70]);
set(gca,'layer','top');
set(gca,'YDir','reverse');
30

%colormap([0 0 0; jet]);
colormap jet;
%ylim ([0.5 7]);
caxis ([50, 75]);

clear
%data=load('Beam1dB.txt');
%data=read('Beam1dB.txt');
data1=load('MP1.txt');
data=data1';
a=size(data);

x=data(1,2:a(2));
y=data(2:a(1));
y1=data(2:31);
y2=data(32:61);
y3=data(62:91);
y4=data(92:121);
y5=data(122:151);
z=data(2:a(1),2:a(2));
z1=data(2:31,2:a(2));
z2=data(32:61,2:a(2));
z3=data(62:91,2:a(2));
z4=data(92:121,2:a(2));
z5=data(122:151,2:a(2));

%MASUKKAN PARAMETER LINGKUNGAN


f=614.4; %kHz
suhu=28.55; %C
salinitas=33.23; %psu
pH=8.13;
D=6; %meter (31)

%TRANSMISSION LOSS (TL)


f1=0.78*sqrt(salinitas/35)*exp(suhu/26); %asam borat
f2=42*exp(suhu/17); %magnesium sulfat
abs=(0.106*(f1.*f^2)/(f1^2.+f^2)*exp((pH-
8)/0.56)+0.52*(1+(suhu/43)*(salinitas/35))*((f2.*f^2)/(f2^2.+f^2))
*exp(-D/6)+0.00049*f^2.*exp(-((suhu/27)+(D/17))))*0.01; %dB m-1
TL=20*log10(y)+2*abs*y; %transmission loss pada ADCP
TL1=20*log10(y1)+2*abs*y1;
TL2=20*log10(y2)+2*abs*y2;
TL3=20*log10(y3)+2*abs*y3;
TL4=20*log10(y4)+2*abs*y4;
TL5=20*log10(y5)+2*abs*y5;

kc=(127.3/(suhu+273));
RL=kc*(z-40);
RL1=kc*(z1-40);
RL2=kc*(z2-40);
RL3=kc*(z3-40);
RL4=kc*(z4-40);
RL5=kc*(z5-40);
%%Menyamakan dimensi array TL dengan RL
%TLs = zeros(6,260); %preallocate
for c = 1:40001 %Input panjangnya row pada data: 1x1426
TLs(:,c) = TL;
31

TL1s(:,c) = TL1;
TL2s(:,c) = TL2;
TL3s(:,c) = TL3;
TL4s(:,c) = TL4;
TL5s(:,c) = TL5;
end
RB=RL+(2*TLs);
RB1=RL1+(2*TL1s);
RB2=RL2+(2*TL2s);
RB3=RL3+(2*TL3s);
RB4=RL4+(2*TL4s);
RB5=RL5+(2*TL5s);
%RB(RB>125)=0;RB1(RB1>125)=0;RB2(RB2>125)=0;RB3(RB3>125)=0;RB4(RB4
>125)=0;
%RB(RB<80)=0;
RBS=(RB1+RB2+RB3)/3;
%RBS(RBS>115)=0;

slope=0.1*0.0202;
intercept=1.6121;
SSCS=10.^(intercept+(slope*RBS)); %Gartner 2002

ax(2)=subplot(2,2,2);
pcolor(x,y1,SSCS); shading interp;
xlim([245540 246040]); title('SSC Surut'); %Pasang Tertinggi ens
223326
xlabel Ensemble;
ylabel Distance(m);
%set(gca, 'clim', [50 70]);
set(gca,'layer','top');
set(gca,'YDir','reverse');
%colormap([0 0 0; jet]);
colormap jet;
%ylim ([0.5 7]);
caxis ([50, 75]);

clear
%data=load('Beam1dB.txt');
%data=read('Beam1dB.txt');
data1=load('P2.txt');
data=data1';
a=size(data);

x=data(1,2:a(2));
y=data(2:a(1));
y1=data(2:31);
y2=data(32:61);
y3=data(62:91);
y4=data(92:121);
y5=data(122:151);
z=data(2:a(1),2:a(2));
z1=data(2:31,2:a(2));
z2=data(32:61,2:a(2));
z3=data(62:91,2:a(2));
z4=data(92:121,2:a(2));
z5=data(122:151,2:a(2));
32

%MASUKKAN PARAMETER LINGKUNGAN


f=614.4; %kHz
suhu=28.55; %C
salinitas=33.23; %psu
pH=8.13;
D=6; %meter (31)

%TRANSMISSION LOSS (TL)


f1=0.78*sqrt(salinitas/35)*exp(suhu/26); %asam borat
f2=42*exp(suhu/17); %magnesium sulfat
abs=(0.106*(f1.*f^2)/(f1^2.+f^2)*exp((pH-
8)/0.56)+0.52*(1+(suhu/43)*(salinitas/35))*((f2.*f^2)/(f2^2.+f^2))
*exp(-D/6)+0.00049*f^2.*exp(-((suhu/27)+(D/17))))*0.01; %dB m-1
TL=20*log10(y)+2*abs*y; %transmission loss pada ADCP
TL1=20*log10(y1)+2*abs*y1;
TL2=20*log10(y2)+2*abs*y2;
TL3=20*log10(y3)+2*abs*y3;
TL4=20*log10(y4)+2*abs*y4;
TL5=20*log10(y5)+2*abs*y5;

kc=(127.3/(suhu+273));
RL=kc*(z-40);
RL1=kc*(z1-40);
RL2=kc*(z2-40);
RL3=kc*(z3-40);
RL4=kc*(z4-40);
RL5=kc*(z5-40);
%%Menyamakan dimensi array TL dengan RL
%TLs = zeros(6,260); %preallocate
for c = 1:40001 %Input panjangnya row pada data: 1x1426
TLs(:,c) = TL;
TL1s(:,c) = TL1;
TL2s(:,c) = TL2;
TL3s(:,c) = TL3;
TL4s(:,c) = TL4;
TL5s(:,c) = TL5;
end
RB=RL+(2*TLs);
RB1=RL1+(2*TL1s);
RB2=RL2+(2*TL2s);
RB3=RL3+(2*TL3s);
RB4=RL4+(2*TL4s);
RB5=RL5+(2*TL5s);
%RB(RB>125)=0;RB1(RB1>125)=0;RB2(RB2>125)=0;RB3(RB3>125)=0;RB4(RB4
>125)=0;
%RB(RB<80)=0;
RBMP=(RB1+RB2+RB3)/3;
%RBMP(RBMP>115)=0;

slope=0.1*0.0202;
intercept=1.6121;
SSCMP=10.^(intercept+(slope*RBMP)); %Gartner 2002

ax(3)=subplot(2,2,3);
pcolor(x,y1,SSCMP); shading interp;
xlim([263000 263500]); title('SSC Menuju Pasang');
33

xlabel Ensemble;
ylabel Distance(m);
%set(gca, 'clim', [50 70]);
set(gca,'layer','top');
set(gca,'YDir','reverse');
%colormap([0 0 0; jet]);
colormap jet;
%ylim ([0.5 7]);
caxis ([50, 75]);

clear
data1=load('P2.txt');
data=data1';
a=size(data);

x=data(1,2:a(2));
y=data(2:a(1));
y1=data(2:31);
y2=data(32:61);
y3=data(62:91);
y4=data(92:121);
y5=data(122:151);
z=data(2:a(1),2:a(2));
z1=data(2:31,2:a(2));
z2=data(32:61,2:a(2));
z3=data(62:91,2:a(2));
z4=data(92:121,2:a(2));
z5=data(122:151,2:a(2));

%MASUKKAN PARAMETER LINGKUNGAN


f=614.4; %kHz
suhu=28.55; %C
salinitas=33.23; %psu
pH=8.13;
D=6; %meter (31)

%TRANSMISSION LOSS (TL)


f1=0.78*sqrt(salinitas/35)*exp(suhu/26); %asam borat
f2=42*exp(suhu/17); %magnesium sulfat
abs=(0.106*(f1.*f^2)/(f1^2.+f^2)*exp((pH-
8)/0.56)+0.52*(1+(suhu/43)*(salinitas/35))*((f2.*f^2)/(f2^2.+f^2))
*exp(-D/6)+0.00049*f^2.*exp(-((suhu/27)+(D/17))))*0.01; %dB m-1
TL=20*log10(y)+2*abs*y; %transmission loss pada ADCP
TL1=20*log10(y1)+2*abs*y1;
TL2=20*log10(y2)+2*abs*y2;
TL3=20*log10(y3)+2*abs*y3;
TL4=20*log10(y4)+2*abs*y4;
TL5=20*log10(y5)+2*abs*y5;

kc=(127.3/(suhu+273));
RL=kc*(z-40);
RL1=kc*(z1-40);
RL2=kc*(z2-40);
RL3=kc*(z3-40);
RL4=kc*(z4-40);
34

RL5=kc*(z5-40);
%%Menyamakan dimensi array TL dengan RL
%TLs = zeros(6,260); %preallocate
for c = 1:40001 %Input panjangnya row pada data: 1x1426
TLs(:,c) = TL;
TL1s(:,c) = TL1;
TL2s(:,c) = TL2;
TL3s(:,c) = TL3;
TL4s(:,c) = TL4;
TL5s(:,c) = TL5;
end
RB=RL+(2*TLs);
RB1=RL1+(2*TL1s);
RB2=RL2+(2*TL2s);
RB3=RL3+(2*TL3s);
RB4=RL4+(2*TL4s);
RB5=RL5+(2*TL5s);

%RB(RB>125)=0;%RB1(RB1>125)=0;RB2(RB2>125)=0;RB3(RB3>125)=0;RB4(RB
4>125)=0;
%RB(RB<80)=0;
RBP=(RB1+RB2+RB3)/3;
%RBP(RBP>115)=0;

slope=0.1*0.0202;
intercept=1.6121;
SSCP=10.^(intercept+(slope*RBP)); %Gartner 2002

ax(4)=subplot(2,2,4);
pcolor(x,y1,SSCP); shading interp;
xlim([287500 288000]); title('SSC Pasang'); %Pasang Tertinggi ens
223326
xlabel Ensemble;
ylabel Distance(m);
%set(gca, 'clim', [50 70]);
set(gca,'layer','top');
set(gca,'YDir','reverse');
%colormap([0 0 0; jet]);
colormap jet;
%ylim ([0.5 7]);
caxis ([50, 75]);

h=colorbar;
set(h, 'Position', [.9214 .11 .0281 .8150])

for i=1:4
pos=get(ax(i), 'Position');
set(ax(i), 'Position', [pos(1) pos(2) pos(3) pos(4)]);
end
35

Lampiran 3 Koreksi pitch dan roll

Z axis

Beam 3
Pitch B3

Ѳ
Y axis
Ѳ

Pitch B4 Beam 4

z axis

Pitch B2 Pitch B1

B3
X axis
B2 B1
B4

Ѳ = Beam angle
B1 = Beam 1
B2 = Beam 2
B3 = Beam 3
B4 = Beam 4
36

Lampiran 4 Kegiatan Penelitian

Bagan Tancap Pengamatan lokasi penelitian

Vegetasi lamun Penyelaman

Pemasangan ADCP Pengambilan sampel air


37

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Mataram-Nusa Tenggara Barat (NTB), 25 November


1991. Anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Drs Kaumal dan Riati, SPd.
Penulis mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Kelautan di Departemen Ilmu dan
Teknologi Kelautan (ITK), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Institut
Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2014. Pada tahun 2015 penulis melanjutkan studi
Magister di Sekolah Pascasarjana IPB Program Studi Teknologi Kelautan.
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif dalam berbagai kegiatan. Pada
tahun 2015 penulis mengikuti penelitian sebagai asisten tenaga ahli bersama Balai
Riset Perikanan Laut berjudul Estimasi Biomassa Ikan di Laut Banda, Maluku.
Pada tahun 2016 penulis menjadi delegasi IPB dalam pertukaran pelajar Twin
Collage Envoy (TWINCLE) Program di Chiba University, Chiba-Jepang. Pada
tahun 2017-2019 penulis terlibat dalam projek Science and Technology Research
Partnership for Sustainable Development (SATREPS) kerjasama riset antara
Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia dengan Japan International
Cooperation Agency (JICA) judul penelitian Optimizing Mariculture based on Big
Data with Decision Support System penulis bertugas sebagai JICA Project
Assistant.
Penulis melakukan penelitian di Pantai Timur Pulau Bintan Kepulauan Riau
pada Juli 2018. Tugas akhir berjudul Estimasi Sedimen Tersuspensi Menggunakan
Acoustic Doppler Current Profiler (ADCP) di Perairan Pulau Bintan Kepulauan
Riau menjadi syarat meraih gelar magister di Program Studi Teknologi Kelautan
Institut Pertanian Bogor.
38

Anda mungkin juga menyukai