Anda di halaman 1dari 75

EVALUASI METODE AKUSTIK

UNTUK PEMANTAUAN PADANG LAMUN

SRI RATIH DESWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

i
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Metode Akustik untuk
Pemantauan Padang Lamun adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2009

Sri Ratih Deswati


NIM. C551060121

ii
RINGKASAN

SRI RATIH DESWATI. Evaluasi Metode Akustik untuk Pemantauan


Padang Lamun. Dibimbing oleh INDRA JAYA dan HENRY M. MANIK.

Lamun merupakan salah satu indikator bagi optimalisasi fungsi wilayah


pesisir. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi metode akustik untuk
pemantauan padang lamun berdasarkan kemampuannya membedakan lamun dan
dasar perairan serta kemampuannya membedakan daerah lamun dan daerah tanpa
lamun, sehingga dapat dijadikan acuan bagi pengguna instrumen akustik untuk
melakukan pemantauan ekosistem pesisir. Pengambilan data dilakukan di perairan
pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta pada 16 – 18 Mei 2008, sampel sedimen di
analisis di P2O-LIPI, Jakarta. Data yang diperoleh dari pengukuran di lapangan
berupa data akustik (kedalaman, posisi geografis, dan parameter akustik seperti Sv
dan echo time travel) dan data visual identifikasi lamun (tutupan lamun, rata-rata
tinggi dan jenis lamun). Analisis data akustik dilakukan di Laboratorium Akustik
dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB
menggunakan perangkat lunak MATLAB.
Kemampuan teknologi akustik untuk klasifikasi substrat dasar dan
klasifikasi vegetasi bawah air pada dasarnya adalah kemampuan untuk
mengumpulkan data akustik berdasarkan kedalaman, tipe substrat, tutupan dan
tinggi vegetasi, kelimpahan serta distribusi vegetasi. Evaluasi metode Akustik
pada penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) tahpan, yaitu : (1) analisis keberadaan
lamun dengan karakteristik echo envelope terhadap hasil pengukuran langsung
dengan penyelaman (Tegowsky et al., 2003); (2) evaluasi tinggi lamun
berdasarkan nilai akustik dan pengukuran langsung di lapangan; (3) analisis trend
linier scattering volume linier terhadap penutupan lamun.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa metode akustik
mampu membedakan lamun dan dasar perairan serta mampu membedakan daerah
lamun dan daerah tanpa lamun berdasarkan interpretasi echogram, time travel,
mean scattering volume (Sv), dan echo envelope. Namun metode akustik kurang
mampu secara nyata membedakan penutupan lamun dengan tingkat penutupan
rendah (< 15%) berdasarkan hasil trend linier, dimana koefisien korelasi hanya
0.45. Berdasarkan hasil trend linier tersebut maka hubungan antara metode
akustik (menggunakan parameter Sv) pada penelitian ini tidak mempunyai
hubungan yang kuat terhadap penutupan lamun sehingga metode akustik (Sv)
tidak mampu untuk mengetahui nilai yang akurat untuk penutupan lamun. Perlu
dilakukan penelitian lanjutan dengan tingkat penutupan lamun yang lebih besar.
Kata kunci: metode akustik, pemantauan padang lamun, evaluasi metode akustik

iii
ABSTRACT

SRI RATIH DESWATI. Evaluations of Acoustic Method for Monitoring


Seagrass Weadows. Under direction of INDRA JAYA dan HENRY M.
MANIK.

Seagrass that had function the indicator for the optimisation of the function
of the coastal territory. This paper aims to determine the accuracy of the acoustic
instrument in monitoring seagrass was based on his capacity distinguished
seagrass and the sea bottom as well as his capacity distinguished the area seagrass
and the area without seagrass, so as to be able to be made the reference for the
user of the instrument of the acoustics to carry out the monitoring of the coastal
ecosystem. . The taking of the data was carried out in Pari island, the Thousand
Islands, Jakarta to 16 – 18 May 2008, the sample of sediment analysis in P2O-
LIPI, Jakarta. The data that was received from the grating in the field took the
form of the acoustics data (the depth, the geographical position, and the acoustics
parameter like Sv and echo time travel) and the identification data seagrass (the
seagrass cover, in general high and the kind of seagrass). The analysis of the
acoustics data was carried out in the Marine Acoustic and Instrumentation
Laboratory, Departement of Marine Technology FPIK-IPB used MATLAB
software.
The capacity of acoustics technology for classification of the sea bottom
and classification of low vegetation water basically was the capacity to gather the
acoustics data was based on the depth, the type of the substrate, the cover and high
vegetation, the abundance as well as the distribution of vegetation. The evaluation
of the Acoustics method in this research consisted of 3 (three) step, that is: (1) the
analysis of the existence seagrass characteristically echo envelope towards results
of the direct grating with diving (Tegowsky at al., 2003); (2) the high evaluation
seagrass was based on the value and the direct grating of the acoustics in the field;
(3) the analysis trend linear scattering the linear volume towards the seagrass
cover.
Results that were received from this research were that the acoustics method
could distinguish seagrass and sea bottom as well as could distinguish the seagrass
area and the area without seagrass was based on the interpretation echogram, time
travel, mean scattering the volume (Sv), and echo envelope. However the
acoustics method could not obviously distinguish the seagrass cover was based on
results trend linear, where the correlation coefficient of only 0,45. Was based on
results trend linear this then relations between the acoustics method (used the Sv
parameter) in this research did not have relations that were strong towards the
seagrass cover so as the acoustics method (Sv) was not able to know the value that
was accurate for the seagrass cover. However must be carried out by the advance
research with dense seagrass cover.

Key words: seagrass monitoring, acoustic technology, accuracy of acoustic


instrument

iv
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmuah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa ijin IPB.

v
EVALUASI METODE AKUSTIK
UNTUK PEMANTAUAN PADANG LAMUN

SRI RATIH DESWATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

vi
Judul Tesis : Evaluasi Metode Akustik untuk Pemantauan Padang Lamun
Nama : Sri Ratih Deswati
NIM : C551060121

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Indra Jaya. Dr. Henry M. Manik


Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Djisman Manurung Prof. Dr. Khairil A. Notodiputro

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

vii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis :

viii
PRAKATA
Puji syukur dari segenap keikhlasan hati kepada Allah Maha Pengasih,
Maha Penyayang, Maha Besar, yang mengajarkan mahluk-Nya dengan segala
karunia-Nya, yang tiada hentinya mengurus dan memelihara mahluk-Nya siang
dan malam, yang memberikan pelajaran dan petunjuk pada yang dikehendaki-Nya,
sehingga penulisan Tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan pada bulan Mei 2008 ini ialah akustik lamun,
dengan judul ”Evaluasi Metode Akustik Untuk Pemantauan Padang Lamun”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Indra Jaya dan Bapak
Dr. Henry M. Manik selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu,
memberikan bimbingan, arahan, dan masukan sehingga banyak memberikan
kemajuan bagi penulisan tesis ini. Ucapan juga disampaikan kepada Bapak (alm),
Mama, my sist, serta seluruh keluarga dan teman sejawat, atas segala doa dan
kasih sayangnya.

Bogor, Februari 2009

Sri Ratih Deswati

i
DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR TABEL ....................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR ................................................................................... v

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... vi

PENDAHULUAN........................................................................................ 1

Latar Belakang ..................................................................................... 1


Perumusan Masalah ............................................................................. 2
Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 4

TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 5

Lamun Bagi Ekosistem Pesisir ............................................................. 5


Pemantauan Lamun .............................................................................. 8
Akustik Untuk Deteksi Padang Lamun ................................................. 11
Teori Akustik terhadap Vegetasi Air .................................................... 17
Gelombang Akustik ............................................................... 17
Hambur Balik Akustik pada Vegetasi Air............................... 19
Instrumen Hidro Akustik ..................................................................... 21

METODE PENELITIAN ........................................................................... 22

Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................................ 22


Alat dan Bahan .................................................................................... 22
Metode Pengumpulan Data .................................................................. 24
Identifikasi Lamun .................................................................... 24
Survei Akustik .......................................................................... 25
Pengolahan Data Akustik ..................................................................... 26
Evaluasi Metode Akustik ..................................................................... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 31

Data Lapangan ..................................................................................... 31


Data Akustik ........................................................................................ 32
Echogram............................................................................... 31
Mean Scattering Volume (Sv) ................................................. 36
Bentuk Gelombang Gema (Echo Waveform) .......................... 39
Time terhadap Tinggi Lamun ................................................. 39
Trend Linier E1 dan E2 .......................................................... 42
Trend linier sv (linier) terhadap penutupan Lamun ................. 44

ii
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 46

Kesimpulan .......................................................................................... 46
Saran ................................................................................................. 46

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 47

LAMPIRAN ................................................................................................ 49

iii
DAFTAR TABEL
Halaman

1 Pemilihan metode untuk pemetaan tergantung luas area dan


kedalaman perairan ............................................................................... 11
2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ................................... 22
3 Pengaturan Parameter dan kalibrasi parameter pada saat
pengoperasian echo sounder EY60 ......................................................... 26
4 Hasil observasi langsung berupa data tutupan lamun .............................. 30
5 Parameter akustik (Sv logaritmik dan sv linier) ...................................... 38
6 Tinggi lamun berdasarkan akustik dan pengukuran langsung dengan
penyelaman ............................................................................................ 41
7 E1 dan E2 serta tutupan lamun tiap transek penelitian ............................ 43

iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman

1 Skematik bagan alir penelitian ................................................................ 3


2 Ilustrasi morfologi lamun yang membedakan tiap spesies ....................... 5
3 Perkembangan program pemantauan lamun, kurang dari dua
dasawarsa lalu ........................................................................................ 10
4 Contoh tampilan data hasil olahan EcoSAV (survei di Santoña) ............. 14
5 Hasil trackplot sonar single-beam yang membedakan dasar pasir
dan lamun............................................................................................... 15
6 Scatterplot E1 terhadap E2 setelah cluster analysis (a) dan klas
habitat dasar sepanjang track (b)............................................................. 15
7 Persentase biovolume vegetasi air di utara Lake Washington .................. 17
8 Sumber akustik memancarkan sinyal kesegala arah seperti
digambarkan pada model spherical spreading ........................................ 17
9 Hubungan pelemahan sinyak akustik terhadap frekuensi pada
media air ................................................................................................ 18
10 Normalisasi echo envelope, (a) yang berasal dari vegetasi; (b)
yang berasal dari dasar ........................................................................... 20
11 Peta lokasi penelitian perairan gugusan pulau Pari .................................. 23
12 Ilustrasi transek penelitian lamun dan sketsa perekaman akustik ............. 24
13 Spesies lamun yang ditemukan di lokasi studi Enhalus acoroides ........... 32
14 Contoh echogram yang dihasilkan di daerah studi .................................. 33
15 Contoh acoustic backscatter pada transek 1 yang diterima transduser
memperlihatkan pola gema ..................................................................... 34
16 Contoh karakteristik sinyal echo pada daerah lamun (Enhalus
acoroides) .............................................................................................. 35
17 Contoh rata-rata Sv time 0 hingga 100 pada transek 1 ............................. 36
18 Rata-rata nilai Sv (dB) lamun (-) dan dasar perairan (sea bottom) (-) ...... 38
19 Echo envelope pada transek lamun ......................................................... 40
20 Echo envelope pada transek tanpa lamun ................................................ 40
21 Ilustrasi konversi time terhadap tinggi lamun .......................................... 41
22 Grafik perbedaan tinggi lamun berdasarkan akustik dan penyelaman...... 42
23 Trend linier E1 dan E2 ........................................................................... 44
24 Trend linier intensitas akustik (dB) dan penutupan lamun (%) ................ 45

v
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

1 Dokumentasi survey, peralatan transek dan instrumen akustik ................ 50


2 Dokumentasi lamun................................................................................ 51
3 Hasil pembacaan raw data dengan readEKRawdata ................................ 52
4 Tampilan echogram pada transek penelitian ........................................... 55
5 Uraian program dalam penelitian ini ....................................................... 57

vi
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Lamun merupakan komponen penting di daerah pesisir karena berperan
penting sebagai pelindung, tidak hanya karena lamun memiliki kemampuan
menstabilkan sedimen dasar perairan tetapi juga dapat melindungi dari sedimen
yang mudah longsor, selain itu lamun mampu menghasilkan sedimen sendiri yang
mampu menyuburkan perairan. Berdasarkan fungsinya tersebut lamun dapat
menjadi acuan dalam pengelolaan strategis wilayah pesisir dengan tujuan untuk
memelihara atau meningkatkan kestabilan lingkungan pesisir. Bagi siklus
kehidupan berbagai organisme pesisir, padang lamun dapat menjadi daerah
perlindungan bagi organisme kecil, tempat memijah bagi biota air seperti bintang
laut dan cumi-cumi, dan menjadi tempat pembesaran bagi beberapa juvenil dan
larva, selain itu padang lamun menjadi daerah mencari makan sekaligus sebagai
sumber pangan (Coles et al. 1993 dan Komatsu, 2003; Terrados dan Borum, diacu
dalam Borum et al. 2004; Arasaki dan Arasaki, 1978, diacu dalam Komatsu,
2003). Karena potensialnya keberadaan lamun maka pemantauan lamun penting
untuk mengetahui kondisi, mendeteksi perubahan dan memberikan informasi awal
alasan/sebab untuk merubah atau menganalisa akibat yang ditimbulkan dan
mempengaruhi perubahan lingkungan sekitar.
Distribusi dan kelimpahan lamun melalui tampilan peta di perairan pesisir
penting dipelajari karena merupakan salah satu usaha untuk menggambarkan,
melukiskan, mengontrol, hingga mengurangi kerusakan wilayah pesisir menjadi
lebih parah. Melalui informasi geografis maka kita mampu membuktikan secara
efektif untuk menggambarkan kondisi padang lamun menggunakan teknologi
echosounder yang merupakan salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk
melukiskan dasar perairan, sehingga pemetaan padang lamun merupakan langkah
awal dalam usaha untuk mengontrol, mengelola, memantau dan memahami status
lingkungan pesisir.
Salah satu teknologi yang kini banyak digunakan sebagai alat bantu dalam
pemetaan padang lamun adalah teknologi akustik. Teknologi akustik bawah air
pada awalnya merupakan suatu metode pengembangan instrumen echosounder

1
untuk menentukan ukuran, kelimpahan, dan distribusi, baik ikan maupun
plankton. Namun saat ini metode akustik bawah air juga telah dikembangkan
untuk klasifikasi substrat dasar dan vegetasi bawah air karena keuntungannya
yang lebih efektif dan efisien untuk pemantauan dan pemetaan ekosistem air
dibanding metode lain seperti pemanfaatan citra satelit dan pemantauan secara
konvensional (visual sensus).
Kemampuan teknologi akustik untuk klasifikasi substrat dasar dan
klasifikasi vegetasi bawah air pada dasarnya adalah kemampuan untuk
mengumpulkan data akustik berdasarkan kedalaman, tipe substrat, tutupan dan
tinggi vegetasi, kelimpahan serta distribusi vegetasi (Hoffman et al. 2002).
Dengan semakin banyaknya pengguna teknologi akustik maka ada baiknya
terlebih dahulu kita mengetahui kemampuan dan seberapa tinggi tingkat ketelitian
teknologi akustik untuk pemantauan padang lamun.

Perumusan Masalah
Kemajuan teknologi akustik untuk klasifikasi vegetasi bawah air
(submersed aquatic vegetation) sudah banyak dikembangkan dengan kemampuan
dan keunggulan masing-masing berdasarkan metode yang digunakan (Sabol et al.
2002; Komatsu et al. 2003; Siwabessy et al. 2004; McCauley and Siwabessy,
2006). Namun untuk memperoleh hasil pengukuran yang tepat perlu dibarengi
dengan terlebih dahulu mengetahui seberapa akurat dan efisien alat atau metode
yang akan digunakan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka penelitian ini mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Sejauh mana metode akustik dapat menjadi alat yang mampu membantu
dalam pemantauan lamun?
2. Berapa besar ketelitian yang dihasilkan melalui metode akustik?
Berdasarkan perbandingan hasil akustik dengan pengukuran langsung maka
diperoleh pertimbangan akurasi dan efektivitas metode akustik untuk pemantauan
padang lamun.
Secara skematik bagan alir perumusan masalah dan pencapaian tujuan
penelitian dideskripsikan pada Gambar 1.

2
Survei akustik & observasi
bawah air / Visual sensus

Perekaman
Sampling
Akustik

Kamera Sampling
Tranduser GPS
bawah air lamun

Ekstrak Data

Echo
Echogram
envelope

Distribusi lamun

Evaluasi
- kesesuaian visual
- regresi

Efektivitas Metode
Akustik

Gambar 1 Skematik bagan alir penelitian

3
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui keberadaan lamun di lokasi penelitian berdasarkan rekaman
instrumen akustik, melalui kemampuan metode akustik untuk
membedakan lamun dan dasar perairan,
2. Mengevaluasi ketelitian metode akustik untuk mengetahui keberadaan
komunitas lamun dibandingkan dengan data pengukuran langsung.
Manfaat dari hasil penelitian ini adalah memberikan pembuktian dari
kemampuan metode akustik untuk pemantauan padang lamun sehingga dapat
dijadikan sebagai bahan rujukan dan pertimbangan bagi penggunaan instrumen
akustik untuk pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir.

4
TINJAUAN PUSTAKA

Lamun Bagi Ekosistem Pesisir


Lamun (seagrass) merupakan tumbuhan berbunga (angiospermae) dan
mempunyai akar rimpang, daun, bunga dan buah (Gambar 2). Lamun hidup di
sedimen dasar laut, dengan daun yang tegak dan memanjang, akar tertanam ke
dalam dasar perairan. Lamun di tropis berasosiasi dengan komunitas lain seperti
mangrove dan terumbu karang (McKenzie dan Campbell, 2002).
Parameter yang mempengaruhi pertumbuhan lamun antara lain adalah
faktor fisiologi, yaitu : suhu, salinitas, gelombang, arus, kedalaman (berhubungan
dengan penetrasi cahaya matahari), substrat dasar dan lamanya penyinaran
matahari dan faktor alam yang mempengaruhi aktivitas fotosistesis yaitu: cahaya
matahari, nutrien, epiphytes (tumbuhan pengganggu) dan penyebaran penyakit
dan faktor lain yang disebabkan oleh manusia (anthropogenic) seperti
penambangan pasir, limbah pertanian, limbah industri atau pencemaran minyak
(McKenzie dan Campbell, 2002).

Gambar 2 Ilustrasi morfologi lamun yang membedakan tiap spesies. (Lanyon,


1986, diacu dalam McKenzie and Campbell, 2002)

5
Interaksi antara lamun dan mangrove terjadi akibat adanya pergerakan
sedimen yang terjadi di darat. Sedimen yang berasal dari darat terperangkap
dalam ekosistem mangrove dan selanjutnya sedimen akan berkurang di daerah
padang lamun kemudian sedimen akan semakin berkurang ketika mencapai
ekosistem terumbu karang (McKenzie dan Campbell, 2002). Tutupan daun
lamun mampu mengurangi pergerakan air dan menyokong penyimpanan partikel
tersuspesi, baik yang hidup maupun yang mati, secara tidak langsung menjadi
filter bagi perairan pesisir.
Kapasitas partikel yang terperangkap di lamun akan meningkat dengan
keberadaan organisme yang hidup di daun lamun, organisme tersebut menyaring
partikel dengan memakannya dan menangkap partikel yang tersuspensi pada
lendir yang berada di permukaan lamun (Terrados dan Borum, diacu dalam
Borum et al. 2004).
Terumbu karang merupakan pelindung pantai dari terjangan gelombang
laut yang akan melewati ekosistem lamun dan mangrove. Sedimen terperangkap
di padang lamun dan menyebabkan pergerakan air menjadi lebih pelan dan
membuat sedimen tersuspensi di dasar perairan. Perangkap sedimen ini
menguntungkan ekosistem terumbu karang karena berkurangnya sedimen di
kolom air (McKenzie dan Campbell, 2002).
Lamun dan yang berasosiasi dengan alga mampu mengabsorbsi nutrien
inorganik, baik oleh daun maupun akarnya. Perolehan nutrien dari kolom air
bersaing dengan fitoplankton sebagai nutrien inorganik yang mendukung
produktivitas primer ekosistem pesisir. Kelimpahan fitoplankton yang sedikit,
berarti penyinaran cahaya matahari akan tinggi, karena sel fitoplankton menyerap
cahaya matahari (Terrados dan Borum, diacu dalam Borum et al. 2004).
Padang lamun (seagrass meadows) di wilayah tropis hidup di perairan
dangkal, dengan substrat halus di sepanjang pantai dan estuari. Spesies lamun di
tropis banyak ditemukan di perairan dengan kedalaman kurang dari 10 meter.
Coles et al. (1993) menyatakan bahwa komposisi spesies lamun terdapat di tiga
zona yaitu: (1) zona dangkal kurang dari 6 meter, merupakan zona dengan
kelimpahan tinggi; (2) zona kedalaman antara 6 sampai kedalaman 11 meter,
didominasi oleh genus Halodule dan Halophila; dan (3) zona yang lebih dalam,

6
lebih dari 11 m, hanya dihuni oleh genus Halophila (McKenzie dan Campbell,
2002).
Padang lamun merupakan habitat yang kompleks dengan kelimpahan biota
yang tinggi. Lamun di daerah karang yang datar dan dekat estuari merupakan
daerah masukan nutrien, sebagai buffer atau penyaring (filter) masukan nutrien
dan bahan kimia ke perairan laut (McKenzie dan Campbell, 2002).
Lamun menyediakan habitat bagi sekumpulan organisme yang tidak dapat
hidup di dasar tanpa vegetasi. Tutupan daun dan keterkaitan akar dan lapisan
dasar sebagai penstabil sedimen, dan juga sebagai tampat bersembunyi untuk
menghindari pemangsa, sehingga kelimpahan dan keragaman flora dan fauna
yang hidup di padang lamun lebih tinggi dibanding di daerah yang tak
bervegetasi (Terrados dan Borum, diacu dalam Borum et al. 2004).
Produktivitas primer padang lamun rata-rata cukup tinggi, hal ini
berhubungan dengan produktivitas rata-rata yang berasosiasi dengan perikanan di
sekitar padang lamun. Tumbuhan lamun mendukung rantai makanan kehidupan
sejumlah herbivora dan detritifora (McKenzie dan Campbell, 2002), sehingga
dapat dikatakan bahwa lamun merupakan indikator daerah pesisir dan dapat
digunakan dalam pengelolaan strategis dengan tujuan untuk memelihara atau
meningkatkan kualitas lingkungan pesisir (Terrados dan Borum, diacu dalam
Borum et al. 2004).
Dekomposisi lamun cukup lama, lamun menyimpan karbon di sedimen
memakan waktu yang cukup lama. Produksi primer lamun hanya 1% dari total
produksi primer di laut, tetapi lamun bentanggung jawab terhadap 12% total
karbon yang ada di laut untuk disimpan dalam sedimen. Pemisahan karbon
dioksida di alam dengan fotosintesis dan dikeluarkan melalui respirasi oleh
lamun yang berperan dalam perputaran global karbon di udara (Terrados and
Borum, diacu dalam Borum et al. 2004).
Padang lamun merupakan habitat yang memegang peranan penting dalam
siklus kehidupan berbagai organisme. Biota yang hidup di padang lamun seperti
crustacea (seperti udang, dll) dan ikan-ikan kecil yang merupakan kumpulan dari
larva dan juvenil, yang mengindikasikan bahwa padang lamun merupakan habitat
untuk perkembangan larva dan juvenil. Padang lamun dapat menjadi daerah

7
perlindungan bagi organisme kecil dan merupakan daerah mencari makanan.
Biasanya burung bermigrasi memanfaatkan padang lamun di perairan dangkal
untuk beristirahat dan juga menjadikannya daerah mencari makan. Lamun
merupakan elemen penting bagi perlindungan wilayah pesisir, tidak hanya karena
lamun dapat melindungi dari sedimen yang mudah longsor, tetapi juga lamun
mampu menghasilkan sedimen sendiri. (Terrados dan Borum, diacu dalam
Borum et al. 2004).
Coles et al. 1993 dan Watson et al. 1993 menyatakan bahwa lamun
memegang peranan penting di komunitas pesisir karena merupakan pendukung
bermacam-macam flora dan fauna, sehingga mempengaruhi produktivitas
perikanan pesisir, serta merupakan penstabil sedimen dan mengontrol kualitas air
dan kejernihan air, dengan demikian bahwa kita tidak dapat begitu saja
mengabaikan keberadaan lamun mengingat fungsinya yang mampu
mempengaruhi kondisi ekosistem di sekitarnya bahkan hingga kawasan pesisir
pada wilayah yang lebih luas.

Pemantauan Lamun
Pemantauan lamun penting karena merupakan salah satu cara untuk
mengontrol keberadaan lamun dan memungkinkan kita untuk mengetahui status
dan kondisi lamun apakah tetap, berlebih atau berkurang. Pengamatan awal
mengenai perubahan kondisi lamun membantu dalam pengelolaan wilayah
pesisir karena keterkaitannya dengan kondisi ekosistem lainnya seperti mangrove
dan terumbu karang, keuntungan lain yang dapat diperoleh dengan melakukan
pengamatan awal adalah dapat mengetahui lebih awal gangguan lingkungan
pesisir sebelum terjadi kerusakan, mampu mengembangkan teknik pengukuran
yang lebih baik dan lebih efektif, dan nantinya bisa memperkenalkan,
memperakarsai syarat-syarat dan perioritas pada masa yang akan datang, serta
mampu menentukan manajemen praktis yang sebaiknya digunakan (McKenzie
dan Campbell. 2002).
Pemantauan pada dasarnya merupakan pengamatan yang dilakukan
berulang-ulang, biasanya untuk mengetahui perubahan yang terjadi. Pengamatan
terhadap perubahan dan akurasi setiap program tergantung dari metodologi yang

8
digunakan. Metodologi untuk pemantauan memiliki peran yang berbeda-beda
dan memiliki kemungkinan penggunaan berbagai model (Duarte et al. diacu
dalam Borum et al. 2004).
Kesadaran akan pentingnya pemantauan kesehatan padang lamun telah
dimulai dua dasawarsa yang lalu (Gambar 3). Perhatian yang meningkat ini
berkembang seiring dengan bertambahnya pengetahuan tentang peran padang
lamun di wilayah pesisir. Pembangunan yang cepat, disertai dengan berubahnya
fungsi lahan, pembangunan kota, pengembangan wilayah pantai, dan kegiatan
penangkapan serta pertanian yang radikal, menyebabkan perubahan masukan
material dan tekanan terhadap ekosistem pesisir. Luas padang lamun
diperkirakan mengalami pengurangan sekitar 2%/tahun Duarte et al. diacu dalam
Borum et al. 2004).
Program pemantauan lamun pertama kali dilakukan pada awal 1980-an di
Australia, USA dan Perancis. Pada masa itu, 40 negara telah mengembangkan
program monitoring lamun dilebih dari 2000 lokasi padang lamun di dunia
(Duarte et al. diacu dalam Borum et al. 2004).
Strategi dan indikator untuk masing-masing metode monitoring
dipengaruhi oleh batasan wilayah studi, apakah suatu skala untuk
menggambarkan wilayah lokal atau untuk skala global. Indikator dan strategi
monitoring berikut direkomendasikan oleh modifikasi dari Short dan Coles,
2001, diacu dalam Borum et al. 2004 (Tabel 1).
Terdapat tiga indikator penyebaran lamun yang digunakan oleh Krause-
Jensen et al. diacu dalam Borum et al. 2004, yaitu: keberadaan (presence/
absence) lamun, area distribusi dan batasan distribusi. Indiaktor lain yang
diperhitungkan adalah kelimpahan lamun, yaitu: tutupan (cover), biomassa dan
densitas (shoot density).

9
Gambar 3 Perkembangan program pemantauan lamun, kurang dari dua
dasawarsa lalu (Duarte et al. diacu dalam Borum et al. 2004)

10
Table 1 Pemilihan metode untuk pemetaan tergantung luas area dan kedalaman
perairan (modifikasi dari Short and Coles 2001), *video’: real-time
towed video camera; **’scanner’: digital airborne scanner

Ukuran Kedalaman Metode visual sensus Metode penginderaan jauh


wilayah perairan penyel Grab Video Aerial Scanner Satelit
aman photo
Skala wil. Intertidal X X X
kecil:
<1 ha (1:100) Perairan dangkal X X X X**
(<10m)*
Perairan dalam X X X
(>10m)
Skala sedang: Intertidal X X X X
2
1 ha - 1 km Perairan dangkal X X X X** X
(1:10.000) (<10m)*
Perairan dalam X X X
(>10m)
Skala besar: Intertidal X X X
2
1 - 100 km Perairan dangkal X X** X X
(1:250.000) (<10m)*
Perairan dalam X
(>10m)
Skala sangat Intertidal X X X
luas :
>100 km2 Perairan dangkal (X) X** X X
(1:1000.000) (<10m)*
Perairan dalam (X)
(>10m)

Akustik untuk Deteksi Padang Lamun


Akustik bawah air dapat digunakan untuk pemantauan dan pemetaan dasar
perairan berupa informasi substrat dasar dan vegetasi di dasar perairan
berdasarkan karakteristik signal gema yang dipantulkan target. Informasi tersebut
mampu diklasifikasikan dari data survei sebaik data informasi distribusi ikan dan
plankton yang telah umum digunakan untuk aplikasi hydroacoustic (Burczynski
et al. 2001). Menurut Valley dan Drake, 2005, sistem akustik yang terintegrasi
dengan global posistioning system (GPS) serta geografis information system
(GIS) merupakan alat pemantauan perubahan biovolum vegetasi air yang
menjanjikan.

11
Beberapa aplikasi dari tipe instrumen akustik memiliki kemampuan lebar
surat (beam width), frekuensi dan lebar pulsa (pulse width) optimal untuk
mengumpulkan data. Pada perairan dangkal 0-100 m, untuk klasifikasi dasar
perairan membutuhkan frekuensi rendah, dengan sistem lebar surat (wide beam)
echo sounder; untuk pemetaan vegetasi bawah air membutuhkan frekuensi tinggi
dengan sistem surat sempit (narrow-beam) echo sounder (Hoffman et al. 2002).
Keuntungan yang diperoleh dengan memanfaatkan sistem digital echo sounder
yaitu dapat mengumpulkan data hanya dengan sekali survei (single acoustic),
sehingga dapat menghemat waktu mengingat banyaknya data yang harus
dikumpulkan dalam area yang luas.
Menurut Sabol (1998), prinsip dasar survei batimetri dengan akustik adalah
mendeteksi dan melihat perbedaan waktu gema (echo) dari orientasi vertikal
pulsa. Proses deteksi pulsa sangat beragam dari masing-masing sistem, namun
pada dasarnya tergantung dari intensitas minimum pembatas (threshold) dan
lebar puncak (peak width). Untuk navigasi pada survei batimetri, diperoleh dari
arah dan waktu pulsa gema (echo) terhadap kedalaman dasar perairan.
Klasifikasi vegetasi bawah air dengan pantulan akustik tergantung dari tipe,
tinggi dan densitas vegetasi tersebut untuk mengembalikan gema yang diterima
dari transduser.
Metode untuk pemetaan lamun menurut Komatsu et al. (2003) dapat
dikategorikan menjadi dua, yaitu: berdasarkan observasi atau pengukuran
langsung (visual sensus) dan metode tidak langsung melalui peralatan
penginderaan jauh. Karena membutuhkan waktu dan banyak tenaga, metode ini
dinilai tidak efektif. Selanjutnya, berkembang dua metode tidak langsung
(indirect) berdasarkan instrumen penginderaan jauh yang digunakan, apakah
berdasarkan penginderaan jauh optik (optical remote sensing) atau penginderaan
jauh akustik (acoustical remote sensing).
Foto udara dan citra satelit merupakan teknologi pemetaan area yang baik
untuk pemetaan vegetasi (Belsher, 1989 dan Long et al. 1994, diacu dalam
Komatsu et al. 2003). Tapi kelemahan dari teknologi ini dibatasi oleh kedalaman
dan kecerahan perairan. Salah satu teknologi akustik yang dikembangkan untuk
pemetaan vegetasi bawah air adalah menggunakan sonar surat sempit (narrow

12
multi-beam sonar) yang telah digunakan untuk pemetaan topografi dasar perairan
laut dangkal. Metode ini mampu menampilkan gambaran secara horizontal dasar
perairan sebaik menampilkan topografi vertikal sehingga mampu menentukan
densitas vegetasi berdasarkan distribusi vertikal dan horizontal (Komatsu et al.
2003).
Sonar multi surat (multi-beam sonar) dapat digunakan untuk membedakan
dasar perairan dan vegetasi bila tutupan vegetasi lebih tinggi dibanding dasar
perairannya. (Komatsu et al. 2003). Estimasi volume lamun yang diterapkan
oleh Komatsu et al. (2003) adalah menggunakan beberapa tahapan, yaitu: (1)
memetakan terlebih dahulu daerah yang tertutupi oleh vegetasi, (2) data distribusi
kedalaman dasar perairan dimasukkan ke dalam komputer, kemudian (3) dengan
memanfaatkan perangkat lunak hidrografi (hydrography software), data vegetasi
dihilangkan dari data dasar perairan untuk memperoleh data dasar perairan pasir,
setelah itu (4) distribusi kedalaman dari sedimen pasir ditambahkan data vegetasi
untuk memperoleh volume vegetasi. Sinyal pantulan yang diperoleh dari
vegetasi berasal dari daun.
Telah lebih dari 50 tahun aplikasi teknik hidroakustik digunakan untuk
estimasi keberadaan ikan dan plankton. Walaupun aplikasi untuk membedakan
sinyal dasar perairan telah digunakan untuk memperoleh indikasi kehadiran
tumbuhan (vegetasi), namun hanya pada penerapan dasar (Schneider et al. 2001).
Metode baru yang dikembangkan oleh Bruce Sabol, USACE Waterways
Experiment Station, Vicksburg, dengan nama SAVEWS (Submersed Aquatic
Vegetation Early Warning System) dan diadopsi menggunakan Windows®
environment oleh BioSonics® Inc., Seattle, dengan nama EcoSAV, yang dapat
digunakan untuk konversi digital echosounder menjadi informasi berupa
pendugaan keberadaan vegetasi air. Perangkat lunak BioSonics® EcoSAV mampu
menginformasikan data echosounder menjadi informasi berupa tutupan dan
ketinggian vegetasi sekaligus posisi (Schneider et al. 2001).
EcoSAV merupakan perangkat yang mempunyai kemampuan tinggi untuk
menentukan ukuran, kelimpahan, dan distribusi ikan dan plankton. Kemampuan
lain yang lebih baik adalah dalam klasifikasi dasar perairan dan deteksi vegetasi
bawah air (submersed aquatic vegetation/SAV) yaitu kemampuan untuk

13
mengumpulkan data akustik berdasarkan kedalaman, tipe substrat, tutupan dan
tinggi vegetasi, dan kelimpahan serta distribusi ikan (Hoffman et al. 2002).
Hasil yang diperoleh menggunakan SAV dapat membedakan dengan benar
keberadaan vegetasi atau tidak, khususnya lamun yang tegak seperti Zostera
marina (Gambar 4) (Schneider et al. 2001).

Gambar 4 Contoh tampilan data hasil olahan EcoSAV (survei di Santoña). SAV
tinggi (atas, dalam meter) dan persen tutupan (bawah), dimana dapat
dikombinasikan dengan peta batimetri (Schneider et al. 2001)

Beberapa teknologi perangkat lunak telah banyak digunakan untuk


membantu dalam pengolahan sinyal akustik, selain EcoSAV terdapat perangkat
lunak RoxAnn dan QTC View. RoxAnn digunakan untuk klasifikasi dasar perairan
yang menghasilkan dua parameter E1 dan E2. E1 yang dimaksud adalah energi
bagian belakang dari gema akustik yang berasal dari target/dasar, yang
menggambarkan kekasaran (roughness) dari sedimen, E2 adalah energi
keseluruhan gema akustik kedua yang berasal dari dasar, yang menggambarkan
kekerasan (hardness) sedimen (Gambar 5) (McCauley dan Siwabessy, 2006).

14
Sistem QTC View menguji bentuk gema akustik pertama dari dasar,
kemudian menggunakan algoritma untuk menterjemahkan bentuk echo menjadi
susunan 166 variabel (McCauley dan Siwabessy, 2006). Sistem RoxAnn dan
QTC View menggunakan cluster analysis untuk klasifikasi tipe dasar berdasarkan
kemiripan bagian dan kemudian diverifikasi dengan ground-truthing (Gambar 6)
(McCauley dan Siwabessy, 2006).

(a) E1 at 200 kHz (b) E2 at 200 kHz


Gambar 5 Hasil titik trek sonar surat tunggal (single-beam) yang membedakan
dasar pasir dan lamun (McCauley dan Siwabessy, 2006)

(a) (b)
Gambar 6. Scatterplot E1 terhadap E2 setelah cluster analysis (a) dan klas
habitat dasar sepanjang trek (b); hitam = pasir; hijau = lamun; merah
= bad data. (McCauley dan Siwabessy, 2006)

15
Penelitian yang dilakukan Hoffman et al. di Lake Washington tahun 2001
memanfaatkan perangkat lunak EcoSAV, hasil proses algoritma menghasilkan
kedalaman perairan, keberadaan vegetasi, tinggi vegetasi dan luasan tutupan
vegetasi.
Algoritma EcoSAV menganalisa 8-10 ping/cycle antara signal DGPS yang
berurutan, menentukan kedalaman dan keberadaan vegetasi pada tiap ping
berdasarkan bentuk echo envelope. Jika terdapat vegetasi, ditetapkan dengan
adanya jarak antara dasar perairan ke atas tutupan vegetasi.
Hasil yang diperoleh menggunakan frekuensi 420 kHz mudah untuk
membedakan keberadaan vegetasi, namun tidak dapat membedakan spesiesnya
(Gambar 7). Bila menggunakan frekuensi 70 kHz terdapat kekurangan pada
perbedaan area hingga 100 m, sehingga tidak tepat digunakan untuk analisis tipe
dasar.
Berdasarkan model geospasial diperoleh biovolume, persen penutupan, tipe
sedimen, dan betimetri. Data batimetri dan vegetasi menggunakan model
minimum curvature method, dimana data sedimen menggunakan kriging model
(Hoffman et al. 2002).

16
Gambar 7 Persentase biovolume vegetasi air di utara Lake Washington.
(Hoffman et al. 2002).

Teori Akustik terhadap Vegetasi Air


Gelombang Akustik
Akustik bawah air (underwater acoustic) pada dasarnya merupakan
karakteristik suara di air. Suara yang dipancarkan di dalam air adalah gelombang
akustik yang memiliki komponen dasar yaitu amplitudo, frekuensi, panjang
gelombang (wavelength) dan gelombang suara terhadap waktu (phase).
Ada beberapa hal yang mempengaruhi sifat dan karakteristik perambatan
gelombang akustik di dalam air, diantaranya temperatur, kadar garam, tekanan
dan kedalaman. Kuat sinyal akustik yang merambat melalui media air laut akan
mengalami pelemahan (attenuation) yang pada prinsipnya disebabkan oleh
penghamburan (spreading), dimana sumber akustik memancarkan energi ke

17
segala arah secara merata membentuk bola yang dimodelkan pada Gambar 8
disebut spherical spreading.

Gambar 8 Sumber akustik memancarkan sinyal ke segala arah seperti


digambarkan pada model spherical spreading

Kuat sinyal akustik Pi pada jarak ri (i=1,2), berbanding terbalik dengan


kuadrat jaraknya terhadap titik pancar. Rasio pelemahan kuat sinyal (dalam dB)
pada jarak r1 dan r2 dapat dimodelkan melalui persamaan :

................................................................ (1)
Jika kuat sinyal pada jarak r1 = 1 meter digunakan sebagai referensi, maka
pelemahan pada jarak r2 adalah :
Pelemahan = 20 log r2
Pelemahan sinyal akustik lain disebabkan oleh penyerapan energi akustik
oleh media air. Pelemahan ini biasa dinyatakan dalam desibel per meter ( dB/m ).
Besarnya pelemahan karena penyerapan media air sangat tergantung dari
frekuensi gelombang dan tingkat salinitas media air. Gambar 9 menunjukkan
hubungan pelemahan sinyal akustik terhadap frekuensi pada media air tawar dan
air laut (Stewart, 2005). Garis a merupakan pelemahan pada media air tawar,
sedangkan garis b merupakan pelemahan pada media air laut.

18
Gambar 9 Hubungan pelemahan sinyak akustik terhadap frekuensi pada media air

Pada prinsipnya refleksi sinyal pada incident acoustic yang berasal dari
dasar perairan berbeda berdasarkan berbagai pengaruh. Hal ini seperti yang telah
diuraikan oleh Kloser et al. (2001) yang diacu dalam Siwabessy (2001), refleksi
sinyal akustik dipengaruhi oleh:
(1) impedansi akustik pada medium permukaan air laut maupun pada permukaan
dasar perairan,
(2) parameter akustik pada instrumen,
(3) penetrasi sinyal akustik pada dasar perairan sebagai volume scattering dari
sumber pulsa,
(4) arah refleksi pada kolom air dan permukaan dasar perairan akibat kekasaran
dasar perairan,
(5) waktu tunda (time delay) yang kembali akibat spherical spreading terhadap
perubahan kedalaman,
(6) respon dari scattering yang berasal dari second acoustic bottom pada
permukaan air, gelembung dalam kolom air dan kapal,
(7) kedalaman perairan yang tiba-tiba cekung,
(8) absorpsi akustik air laut, dan
(9) gaung (noise) yang disebabkan instrumen akustik.

Hambur Balik Akustik pada Vegetasi Air


Algoritma yang dikembangkan untuk klasifikasi vegetasi air merupakan
pengamatan dari perbedaan aras gema (echo level) dari vegetasi dan dasar
perairan. (Tegowski et al. 2003). Sebagian besar gema yang berasal dari

19
vegetasi lebih tinggi dari aras gema yang berasal dari penghamburbalik
(backscattering) dasar. Algoritma yang digunakan berdasarkan echo envelope
untuk menentukan posisi dasar perairan. Keberadaan vegetasi dideteksi
berdasarkan perbedaaan kemunculan dasar perairan yang datar dan sebaran
vegetasi.
Sinyal hambur balik yang berasal dari hamparan dasar perairan yang
gundul (tanpa vegetasi) dan sinyal hamburan yang berasal dari vegetasi akan
dibandingkan, seperti yang telah dihasilkan oleh Tegowski et al. (2003) (Gambar
10), yang memperlihatkan perbedaan lebar pulsa (pulse width), gema yang
berasal dari area yang memiliki vegetasi memperlihatkan lebar pulsa yang lebih
lebar. Terlihat pula perbedaan bentuk echo envelope, terlihat lebih halus pada
echo yang berasal dari dasar perairan tanpa vegetasi. Berdasarkan pulse width
dan bentuk echo envelope distribusi vegetasi dapat terlihat (Tegowski et al.
2003).

Gambar 10 Normalisasi echo envelope, (a) yang berasal dari vegetasi; (b) yang
berasal dari dasar

20
Instrumen Hidro Akustik
Instrumen yang digunakan dalam penelitain ini adalah SIMRAD EY 60
yang merupakan echosounder tipe surat terbagi (split beam). Sistem surat terbagi
menggunakan transduser penerima yang memiliki empat kuadran yakni fore, aft,
port, dan starboard.
Selama transmisi, transmitter mengirim daya akustik ke semua bagian
transduser pada waktu yang bersamaan. Sinyal yang terpantul dari target
diterima secara terpisah oleh masing-masing kuadran. Selama penerima
berlangsung keempat bagian transduser menerima gema dan target, dimana target
yang terdeteksi oleh transduser terletak pada pusat dari surat suara dan gema dari
target akan dikembalikan dan diterima oleh keempat bagian pada waktu yang
bersamaan. Tetapi jika target yang terdeteksi tidak terletak tepat pada sumbu
pusat surat suara, maka gema yang kembali akan diterima lebih dulu oleh bagian
transduser yang paling dekat dari target atau dengan mengisolasi target dengan
menggunakan output dari surat penuh (full beam) (SIMRAD, 1993).
Sistem surat terbagi memiliki kelebihan dan kekurangan dibandingakan
dengan sistem lainnya. Kelebihan sistem surat terbagi adalah tepat waktu dalam
melakukan pengukuran, lebih akurat dalam mengukur TS ikan di alam, dapat
menduga densitas ikan secara langsung, posisi sudut dan kecepatannya dengan
sifat data recording, sedangkan kekurangan sistem surat terbagi adalah
memerlukan perangkat keras dan lunak lebih rumit dibandingkan metode dwi
surat (dual beam method) dan ukuran transduser adakalanya besar sehingga sulit
dioperasikan secara portable melainkan harus hull-mounted system, namun kini
telah banyak tersedia tranducer yang mudah dibawa (portable) salah satunya
adalah SIMRAD EY60.
Pengukuran dengan posisi target dihitung dari kedua berkas terbagi dengan
fase pada bidang alongship atau arah sejajar dengan kapal dan athwarship atau
arah tegak lurus dengan kapal.

21
METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian


Pengambilan data lapang dilakukan pada tanggal 16 - 18 Mei 2008 di perairan
gugusan pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar 11). Lokasi ditentukan
berdasarkan informasi yang diperoleh dari nelayan dan masyarakat di sekitar
kepuluaan Seribu. Luas area sampling adalah 100 m2, dengan transek sampling
visual berukuran 2 x 2 m2 sebanyak 9 titik pengukuran (dokumentasi survei
ditampilkan pada Lampiran 1). Pengolahan data akustik dan identifikasi lamun
dilakukan di Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan dan analisis sampel
sedimen dilakukan di P2O-LIPI, Jakarta.

Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan pada Tabel 2,
yang terbagi menjadi 3 (tiga) peralatan utama yaitu peralatan survei lapang, peralatan
sampling, dan peralatan analisis sampel. Instrumen akustik untuk perekaman data
pada area sampling menggunakan scientific echo sounder portable SIMRAD EY 60
dengan frekuensi 120 kHz, daya 50 W dan pembatas (threshold) -130 dB.

Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian


No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan
I. Peralatan Survei Lapangan
- SIMRAD EY60 - SIMRAD - perekaman data akustik
- GPSMAP 198c Sounder - Garmin - mentukan posisi sampling
II. Peralatan Sampling
- Buku identifikasi - Waycott et al. 2004 - identifikasi lamun
- Roll meter - alat ukur panjang lamun
- Alat tulis - mencatat data lamun
- Plastik sampling, alkohol - wadah sample lamun
- Tali - batas area sampling
- Transek kuadrat - sampling lamun
- Plastik sampel sedimen - wadah sampel sedimen
III. Peralatan Analisis Sampel - Waycott et al. 2004
- Buku identifikasi lamun - identifikasi lamun
- Alat tulis
- Timbangan bertingkat, saringan - P2O-LIPI - identifikasi sedimen
dan oven

22
Lokasi penelitian

Gambar 11 Peta lokasi penelitian perairan gugusan pulau Pari

23
Metode Pengumpulan Data
Identifikasi Lamun
Survei awal untuk menentukan lokasi lamun dilakukan dengan penyelaman,
lokasi yang dipilih merupakan perairan pantai yang terdapat vegetasi lamun dengan
kedalaman 1 hingga 4 meter. Setelah ditemukan lokasi yang tepat kemudian dibuat
transek bujur sangkar dengan luas 10 x 10 m menggunakan tali yang dipatok pada
dasar perairan. Pada transek tersebut dibuat transek-transek kecil menggunakan
kuadrat 2 x 2 m diberi tanda nomor untuk menandai masing-masing transek,
kemudian diberi pelampung (buoy) pada sudut terluar transek untuk membantu
sebagai tanda pada saat perekaman akustik, hal ini dilakukan sehingga lokasi
perekaman akustik tepat berada di atas titik-titik transek (Gambar 12).

← 10 m →
← 10 m →

Gambar 12 Ilustrasi transek penelitian lamun dan sketsa perekaman akustik

24
Setelah lokasi penelitian dan transek ditandai, kemudian dilakukan
pengambilan data lamun dengan mengacu pada panduan menurut McKenzie dan
Campbell (2002) sebagai berikut :
- tipe substrat, yang dominan,
• mud – memiliki tekstur yang halus dan lengket, ukuran partikel < 63 µm,
• fine sand – tekstur halus kasar tetapi tidak lengket, ukuran partikel > 63 µm dan
< 0.25mm,
• sand – tekstur kasar dengan ukuran partikel > 0.25mm dan < 0.5mm,
• coarse sand – tektur kasar, ukuran partikel > 0.5mm dan < 1mm,
• gravel – tekstur sangat kasar, dengan sedikit bebatuan, > 1mm.
- persen tutupan lamun, didukung dengan foto,
- identifikasi komposisi spesies lamun,
- rata-rata tinggi lamun,
- contoh spesimen lamun diambil untuk dianalisis di laboratorium dengan 10%
alkohol menggunakan kantong plastik,
- contoh sedimen untuk kemudian dianalisis lebih lanjut.

Survei Akustik
Survei akustik untuk menentukan lokasi transek dilakukan berdasarkan
pelampung (buoy) tanda yang telah dipasang pada transek lamun. Kapal dalam
keadaan mati mesin dan digerakkan menggunakan dayung. Arah perakaman akustik
mengikuti arah angin sehingga tidak terlalu banyak mendayung cukup dengan
mengulur tali pada jangkar. Perekaman akustik tepat pada titik transek selama kurang
lebih 5 menit untuk masing-masing transek. SIMRAD EY 60 merupakan jenis
transduser split beam dengan spesifikasi teknis diuraikan pada Tabel 3.
Transduser diletakkan pada bagian sisi kapal pada kedalaman 1 meter dari
permukaan laut. Tranduser diletakan tegak lurus terhadap permukaan untuk
memperoleh hambur balik echo secara vertikal. Hal ini dilakukan untuk memperoleh
kedalaman dan tinggi lamun. Sistem akustik merekam sinyal echo dan GPS MAP
merekam data berupa data lintang dan bujur.

25
Tabel 3 Pengaturan parameter instrumen pada saat pengoperasian echo sounder
SIMRAD EY60

Parameter Nilai
Tipe transduser ES120-7C
Frekuensi (f) 120 (kHz)
Kecepatan suara (c) 1544.3 (m/s)
Interval sampel 3.2000e-005
Koefisien absorpsi (α) 0.0373 dB/m
Gain (G) 26.8000
Equivalent beam angle (ψ) -21o
Daya pancar (P) 50 (watt)
Lama pulsa (Pulse duration) 0.1280 ms
Kedalaman transduser 1 (m)
Lebar surat, sirkular (θ) 7 deg ±1
Directivity:
D 650 ±20%
DI=10logD 28 ±1 dB
Threshold -130 dB

Pengolahan Data Akustik


Metode kombinasi antara hidroakustik dan GPS (global positioning system)
merupakan perangkat yang menjanjikan untuk monitoring biovolume vegetasi air
(Valley dan Drake, 2005). Interpretasi data akustik berdasarkan lokasi masing-
masing. Hasil pengolahan data akustik tersebut yang nantinya akan dievaluasi
berdasarkan pengukuran langsung, apakah hasil akustik memiliki akurasi yang cukup
tinggi atau sebaliknya.
Pengolahan data akustik pada penelitian ini terdiri dari beberapa tahap
pengerjaan, dimana masing-masing tahap akan saling terkait untuk menghasilkan
nilai akhir dari penelitian ini. Tahapan pengolahan data akustik pada penelitian ini
adalah sebagai berikut :
(i) Ekstrak data.
Pada tahapan ini, raw data yang dihasilkan oleh echo sounder diekstrak
menggunakan perangkat lunak Matlab. Program yang digunakan dalam

26
Matlab menggunakan program yang dikembangkan oleh Rick Towler, NASA-
Alaska, 2003. Filter data dibatasi oleh sampel range 1 hingga 150 dengan
ping range 0 hingga 2500.

(ii) Pola echo dari hambur balik akustik (acoustic backscatter).


Tahapan kedua selanjutnya menampilkan pola gema yang terbentuk dari
pantulan gema yang berasal dasar perairan pada keseluruhan data dengan full
range hingga kedalaman 30 meter. Tahapan ini dilakukan dengan transpose
matrix, dalam hal ini menggunakan nilai Sv (scattering volume), setelah itu
plot nilai rata-rata (mean) dari matrik tersebut. Grafik yang dihasilkan
merupakan pantulan pertama dan pantulan berikutnya yang berasal dari dasar
perairan. Grafik yang ditampilkan berdasarkan waktu tempuh gema (time) dan
range/depth (terlebih dahulu dikonversi dari time).

(iii) Interpretasi nilai Sv.


Pada tahap ini nilai Sv ditampilkan dengan time dan range yang lebih sempit,
pada daerah penelitian digunakan time 0 hingga 100 dan pada range 0 hingga ±
4 meter. Tahapan ini akan menampilkan puncak yang terlihat nyata,
merupakan pantulan pertama yang diindikasikan sebagai sinyal yang kuat yang
berasal dari dasar perairan.

(iv) Rata-rata Sv.


Tahapan berikut ini menampilkan nilai rata-rata (mean) dari Sv logaritmik
maupun sv linier, yang terlebih dahulu dihilangkan gaung (noise) untuk
menghindari nilai yang bias. Filter untuk menghilangkan gaung dilakukan
berdasarkan pemisahan nilai Sv terhadap threshold -10 hingga -80 dB. Pada
tahap ini nilai Sv lamun dan dasar dibedakan berdasarkan bottom depth. Untuk
Sv lamun di-filter pada kedalaman 1 meter dari bottom depth, sedangkan Sv
dasar berada pada bottom depth dengan ketebalan 0.125 meter. Proses filter
dilakukan dengan bantuan Matlab. Data yang diperoleh dari ektraksi data

27
menggunakan EKRawdata adalah berupa Sv logaritmik, sehingga untuk
mendapatkan sv linier menggunakan persamaan :
 Sv 
svlinier = 10 log  .................................................... (2)
 10 

(v) Bentuk gelombang gema (echo waveform).


Tahap kelima ini merupakan tahap untuk membedakan bentuk gema (echo)
pada transek yang ada lamunnya dan transek tanpa lamun. Deteksi dasar tiap
ping adalah identifikasi dari puncak (peak) keluaran (output). Puncak output
ini mungkin merupakan batas atas/ujung/tutupan lamun, bahkan mungkin
merupakan kedalaman dasar perairan di lamun yang rapat (Sabol dan Johnston,
2001). Hasil intensitas gema (echo intensity) ditampilkan dalam bentuk echo
waveform sehingga tinggi vegetasi dapat dibedakan dengan dasar perairan.
Berdasarkan grafik echo waveform kemudian diperoleh tinggi vegetasi yang
selanjutnya dikoreksi terhadap hasil sampling manual (dengan penyelam).
Echo waveform merupakan nilai signal rata-rata Sv logaritmik yang telah
dihilangkan gaung (noise) dan merupakan nilai Sv logaritmik lamun pada
kedalaman 1 m bottom depth.

(vi) Tinggi lamun.


Tinggi lamun merupakan konversi time terhadap kedalaman. Time yang
dimaksud adalah waktu pancaran sinyal akustik hingga kembali ke transduser.
Konversi dilakukan berdasarkan samplerange [1 150], dengan acuan
kedalaman rata-rata transek berdasarkan perekaman akustik yaitu 2 meter,
maka time ke 87.5 merupakan titik dasar perairan (bottom depth). Setelah nilai
Sv lamun di-filter diperoleh selang time antara 0 hingga 40, titik ini dikalibrasi
terhadap samplerange sehingga time lamun sesungguhnya adalah pada time
47.5 hingga 87.5. Pada time ke 47.5 merupakan titik pada kedalaman 1.08
meter dari transduser.

28
(vii) Trend linier E1 dan E2 masing-masing transek.
Tahapan ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik nilai perbandingan E1
dan E2 pada transek lamun dan transek tanpa lamun. Karakteristik tersebut
dengan melihat keterkaitan antara E1 dan E2 terhadap transek lamun maupun
transek tanpa lamun. E1 merupakan nilai scattering volume pada dasar
perairan (bottom depth), sedangkan E2 adalah nilai scattering volume pada
dasar perairan * 2 (bottom depth).

(viii) Trend linier sv (linier) terhadap penutupan lamun.


Pada tahapan terakhir ini diharapkan dapat memberikan penilaian terhadap
metode akustik terhadap nilai scattering volume linier untuk melihat penutupan
lamun. Koefisien korelasi yang tinggi, mendekati 1 maka dapat diartikan
adanya hubungan yang kuat antara sv dan penutupan lamun, demikian
sebaliknya bila koefisien korelasi kecil, maka hubungan antara sv dan
penutupan lamun lemah, artinya tidak ada hubungan antara sv dan penutupan
lamun.

Evaluasi Metode Akustik


Tahapan pemrosesan evaluasi metode akustik meliputi (1) analisis keberadaan
lamun dengan karakteristik echo envelope terhadap hasil pengukuran langsung
dengan penyelaman (Tegowsky et al. 2003); (2) evaluasi tinggi lamun berdasarkan
nilai akustik dan pengukuran langsung di lapangan; (3) analisis trend linier scattering
volume linier terhadap penutupan lamun.
Karakteristik echo envelope dapat dilihat berdasarkan bentuk echo envelope
terhadap keberadaan lamun dan tinggi lamun berdasarkan time echo envelope. Tipe
echo sinyal yang berasal dari lamun akan menghasilkan bentuk echo yang memiliki
puncak-puncak echo. Pada transek tanpa lamun, bentuk echo envelope akan
cenderung lebih datar tanpa ada puncak-puncak echo.

29
Tahap pertama pada evaluasi metode akustik, bentuk echo envelope akan
dibandingkan antara transek lamun dan transek tanpa lamun. Tahap ini akan
mengevaluasi apakah metode akustik mampu membedakan transek lamun maupun
transek tanpa lamun berdasarkan bentuk echo envelope.
Tahap kedua merupakan tahap untuk mengevaluasi apakah metode akustik
mampu mengetahui tinggi lamun tiap transek? Hasil akustik kemudian dibandingkan
dengan hasil pengukuran langsung dengan penyelaman. Tahap akhir dari evaluasi
metode akustik adalah melihat trend linier hubungan antara scattering volume linier
dengan penutupan lamun (yang diukur berdasarkan penyelaman). Berdasarkan nilai
koefisien korelasi akan mengevaluasi metode akustik, apakah bisa mengetahui
penutupan lamun pada nilai yang tetap atau tidak.
Berdasarkan 3 (tiga) tahapan tersebut metode akustik akan dievaluasi terhadap
perannya dalam pemantauan lamun sehingga dapat berfungsi sebagai alat bantu
dalam pengelolaan wilayah pesisir khususnya untuk pemantauan lamun.

30
HASIL DAN PEMBAHASAN

Data Lapangan
Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan
penyelaman di lokasi transek lamun, diperoleh data yang diuraikan pada Tabel 4.
Lokasi penelitian berada pada lintang dan bujur 05,8561 o – 05,8562 o LS, 106,5969 o
– 106,5970 o BT. Secara umum kondisi dasar perairan adalah homogen dengan dasar
perairan pasir berlumpur dan kontur perairan yang relatif datar dengan kedalaman
rata-rata adalah 3 meter berdasarkan data penyelaman.
Pada lokasi penelitian hanya ditemukan satu spesies lamun yaitu Enhalus
acoroides (Gambar 13). Lokasi penelitian merupakan daerah dengan komposisi
lamun yang tidak beragam, keberadaan lamun tidak padat namun hanya pada titik-
titik tertentu dengan kondisi yang tidak rapat, berdasarkan pengamatan dengan
penyelaman lamun hanya ada beberapa koloni pada tiap kelompoknya (gambar
ditampilkan pada Lampiran 2).

Tabel 4 Hasil observasi visual langsung berupa data tutupan lamun


Posisi % Tutupan Rata-rata tinggi
Transek Tipe sedimen
LS(o) BT(o) lamun lamun (m)
1 5.8562 106.5970 15 0.93 Lumpur berpasir
2 5.8561 106.5970 5 Lumpur berpasir
0.90
3 5.8561 106.5970 10 Lumpur berpasir
0.96
4 5.8561 106.5970 10 Lumpur berpasir
0.98
5 5,8561 106,5969 0 0 Lumpur berpasir
6 5.8562 106.5969 10 0.93 Lumpur berpasir
7 5.8562 106.5969 10 0.93 Lumpur berpasir
8 5,8561 106,5970 0 0 Lumpur berpasir
9 5.8561 106.5970 10 0.77 Lumpur berpasir

31
Gambar 13 Spesies lamun yang ditemukan di lokasi studi Enhalus acoroides

Data Hidro Akustik


Echogram
Hasil ekstrak data menggunakan program readEKRaw data menghasilkan
tampilan echogram (Gambar 14) yang merupakan interpretasi dari nilai scattering
volume (Sv), dengan unit decibel (dB). Hasil pembacaan raw data dari readEKRaw
data diuraikan pada Lampiran 3. Nilai Sv berkisar antara -130 hingga 30 dB. Pada
nilai Sv yang tinggi sekitar 30 dB merupakan indikasi adanya gaung (noise) yang
cukup kuat. Hal ini mungkin disebabkan oleh gaung (noise) yang berasal dari
permukaan perairan atau permukaan transduser hingga aktivitas biota yang berada di
kolom perairan. Nilai Sv yang sangat kecil merupakan Sv dari sinyal biota atau
partikel dasar maupun partikel kolom perairan yang berukuran kecil dengan tekstur
yang lunak yang masih dikenai sinyal akustik sehingga masih memberikan pantulan
yang terekam oleh transduser.
Echogram merupakan penampang melintang dari hasil rekaman akustik, sumbu
x adalah jumlah ping dan sumbu y adalah kedalaman perairan. Pada permukaan nilai
Sv yang terekam sangat tinggi, sekitar 10 dB, kondisi ini terjadi karena proses
kavitasi yang terjadi pada permukaan transduser, yaitu terbentuknya gelembung-

32
gelembung mikro karena tekanan yang saling tarik menarik dalam air. Sebuah
gelembung mikro hanya dapat bertahan sekitar 0,1 mikrodetik (1/10.000.000 detik),
dan kemudian pecah karena tekanan dalam air. Gelembung mikro tersebut yang
menyebabkan sinyal akustik sangant tinggi. Tampak terlihat garis merah tebal di
sekitar kedalaman (range) 2 hingga 2.5 meter, garis tersebut merupakan garis yang
berasal dari dasar perairan, nilai Sv dengan warna merah merupakan nilai Sv yang
cukup tinggi sekitar -10 dB. Hal ini menunjukan tekstur dasar yang cukup keras yang
mampu mengembalikan sinyal akustik dengan nilai Sv yang cukup tinggi. Secara
keseluruhan transek echogram ditampilkan pada Lampiran 4.

Sv (dB)

Noise dari
permukaan
transduser

Kolom
perairan

Dasar
perairan

Gambar 14 Contoh echogram yang dihasilkan di daerah studi

Berdasarkan keseluruhan data akustik yang terekam oleh transduser maka


diuraikan pola gema yang menggambarkan adanya beberapa pantulan yang berasal
dari dasar perairan (Gambar 15). Pola gema ini adalah nilai scattering volume (Sv)

33
transek 1 yang merupakan nilai yang menggambarkan puncak gema pada Sv tertinggi
untuk masing-masing puncak, dimana puncak pertama diindikasikan sebagai gema
yang berasal dari gaung (noise) permukaan yang disebabkan gangguan di permukaan
seperti angin yang cukup kencang ataupun gelembung (bubble) yang terjadi di
permukaan transduser sehingga menimbulkan cavitasi dan menggangu pemancaran
sinyal, puncak kedua sekitar -10 dB merupakan gema yang berasal dasar perairan
yang langsung diterima transduser. Untuk puncak ketiga dan seterusnya merupakan
gema yang berasal dari dasar perairan kemudian tidak langsung kembali ke transduser
tetapi dipantulkan oleh permukaan perairan atau kapal dan kembali ke dasar perairan
dan kemudian kembali ke transduser, disebut juga gema 2 atau E2 dan gema 3 atau
E3. Gambar 15 ini juga memperlihatkan perbandingan puncak gema yang terjadi
antara time dan kedalaman, sehingga E1 pada time sekitar 100 terdapat pada
kedalaman ± 2 meter.

a b

Gambar 15 Contoh acoustic backscatter pada transek 1 yang diterima transduser


memperlihatkan pola gema yang berasal dari gaung permukaan, dasar
perairan, dan pantulan ke-2 atau ke-3 dari dasar perairan, (a)
berdasarkan time; (b) berdasarkan kedalaman

34
Contoh tampilan scattering volume (Sv) pada time 0 hingga 100 transek 4 dapat
dilihat pada Gambar 16. Pada daerah lamun dengan jenis Enhalus acoroides ternyata
memberikan pola Sv sedemikian rupa yang memperlihatkan puncak-puncak antara
time 45 hingga 65, puncak tersebut diduga menampakkan kehadiran lamun. Namun
puncak yang jelas terlihat pada time 85 merupakan puncak Sv yang berasal dari dasar
perairan. Puncak yang dibentuk oleh lamun tersebut, berdasarkan kedalaman puncak
lamun berada pada kedalaman 1.12 hingga 1.62 meter dari transduser (seperti
diilustrasikan pada Gambar 17). Puncak lamun yang tidak cukup lebar tersebut
menggambarkan sebaran lamun yang tidak padat sehingga puncak yang terbentuk
tidak secara nyata terlihat bila dibandingkan puncak dasar perairan.

Gambar 16 Contoh karakteristik sinyal echo pada daerah lamun (Enhalus


acoroides) transek 4

35
Gambar 17 Contoh rata-rata Sv time 0 hingga 100 pada transek 1

Mean Scattering Volume (Sv)


Sebelum melakukan pengolahan terhadap scattering volume (Sv) terlebih dahulu
dilakukan pemilihan data (filtering) untuk mengurangi data yang bias atau data yang
tidak diinginkan. Uraian program diuraikan pada Lampiran 5. Pemilihan data
dilakukan dengan cara menghilangkan nilai yang tidak kita inginkan yaitu pada
threshold > -10 dan < -80, pembatasan tersebut berdasarkan karakteristik pola gema
(echo) yang ada pada transek penelitian. Setelah filtering, kemudian nilai Sv
dipisahkan antara nilai Sv lamun dan dasar perairan.
Nilai Sv lamun maupun dasar dipisahkan berdasarkan keberadaannya terhadap
kedalaman, dasar perairan merupakan kedalaman perairan yang diinisiasikan sebagai
bottom depth, sehingga nilai Sv dasar merupakan bottom depth dengan ketebalan
0.125 meter. Sedangkan lamun berada di atas bottom depth dengan ketinggian 1
meter. Berdasarkan keberadaannya tersebut nilai Sv lamun dan dasar dapat dibedakan
(Gambar 18). Nilai rata-rata Sv dasar adalah berkisar antara -24.4 hingga -2.3 dB,

36
sedangkan rata-rata Sv lamun berkisar antara -58.7 hingga -71.7 dB bervariasi tiap
transek.
Nilai Sv lamun dan dasar yang cukup berbeda menandakan tekstur masing-
masing yang berbeda, dasar memiliki tekstur yang lebih keras dibanding lamun yang
lebih lembut menyebabkan nilai pantulan dasar lebih kuat ditandai dengan nilai Sv
yang lebih tinggi bila dibanding nilai Sv lamun.
Berdasarkan perata-rataan nilai Sv baik logaritmik maupun linier diuraikan pada
Tabel 5 untuk masing-masing transek. Secara garis besar nilai Sv dasar perairan baik
logaritmik maupun linier memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding Sv lamun. Rata-
rata Sv logaritmik dasar perairan adalah -26.28 dB dan Sv lamun adalah -64.66 dB,
sedangkan untuk nilai sv linier dasar nilai rata-rata keseluruhan transek adalah 0.15
dan lamun 0.004.
Nilai yang cukup berbeda antara dasar dan lamun cukup menjadikan pembeda
bagi metode akustik, pada penelitian ini nilai-nilai tersebut adalah seperti yang telah
diuraikan diatas merupakan nilai absolut yang telah diperoleh pada penelitian ini.
Salah satu yang menyebabkan nilai dasar dan lamun berbeda adalah tekstur yang jauh
berbeda. Untuk dasar dengan jenis pasir berlumpur memiliki tekstur yang keras,
dimana di dalamnya terdiri dari pecahan karang maupun kerang-kerangan, sedangkan
lamun memiliki tekstur yang lebih lembut, terdiri dari helaian daun yang berdiri tegak
terhadap dasar dengan helaian yang lunak karena bagian daunnya yang lentur.

37
Gambar 18. Rata-rata nilai Sv (dB) lamun (-) dan dasar perairan (sea bottom) (-)

Tabel 5. Parameter akustik (Sv logaritmik dan sv linier)

Mean Sv (log), dB Mean sv linier


Transek
Lamun Dasar Lamun Dasar
1 -65.34 -25.89 0.016 0.17
2 -71.79 -24.86 0.009 0.19
3 -62.17 -29.37 0.005 0.15
4 -60.30 -26.02 0.003 0.15
5 -61.57 -24.41 0.001 0.19
6 -58.72 -26.64 0.001 0.17
7 -67.09 -25.81 0.0004 0.14
8 -71.49 -27.37 0.0003 0.12
9 -63.48 -26.12 0.0002 0.12

38
Bentuk Gelombang Gema (Echo Waveform)
Bentuk sinyal antara transek lamun (transek yang terdapat lamun di dalamnya)
dan transek tanpa lamun dapat dibedakan dari echo waveform pada masing-masing
transek, Gambar 19 dan 20. Pada transek lamun Gambar 19, bentuk gelombang gema
(waveform) terdapat puncak-puncak antara time 0 hingga 40. Namun pada transek
tanpa lamun Gambar 20, puncak-puncak gema hanya terlihat pada time 35 hingga 40,
puncak tersebut diindikasikan sebagai gema dasar perairan (sea bottom).

Tinggi Lamun
Tinggi lamun dengan konversi time terhadap kedalaman (bottom depth), maka
time lamun berada pada 47.5 hingga 87.5 artinya berada pada kedalaman 1.08 hingga
2 meter dari transduser. Berdasarkan kalibrasi time terhadap kedalaman tersebut,
maka tinggi lamun dapat ditentukan melalui puncak-puncak bentuk gelombang gema
(echo waveform) pada Gambar 19 yang diuraikan pada Tabel 6. Tinggi lamun
akustik (H) dihitung berdasarkan nilai T dikali bd dibagi dengan H + 40, dimana 40
merupakan nilai maksimum time pada Sv lamun filter (Gambar 21).
Untuk melihat kecocokan tinggi lamun akustik dan tinggi lamun penyelaman
ditampilkan pada Gambar 22. Pada gambar tersebut memperlihatkan adanya selisih
antara kedua nilai, dimana tinggi lamun dengan akustik lebih tinggi dibanding dengan
penyelaman. Selisih yang ada berkisar antara 0.03 hingga 0.3 meter. Nilai akustik
yang lebih tinggi dibanding dengan pengukuran langsung dimungkinkan karena pada
saat perekaman, posisi transduser tidak tepat memancaarkan sinyal yang vertikal
tegak lurus terhadap dasar perairan, sehingga lamun menjadi lebih tinggi akibat
kemiringa kapal tersebut. Kondisi ini mungkin saja terjadi mengingat kapal yang
mengalami goncangan akibat angin maupun gerakan penumpang di atasnya.

39
Gambar 19 Echo envelope pada transek lamun

Gambar 20 Echo envelope pada transek tanpa lamun

40
Tabel 6 Tinggi lamun berdasarkan akustik dan pengukuran langsung dengan
penyelaman

Transek T bd H L S
1 63 2.0120 1.23 1.23 80,95,100,100 0.93 0.3
2 63 2.0192 1.23 1.23 100,70,100 0.90 0.33
63 1.23 100,100,70
3 45.7 1.9522 1.04 1.04 100,95,100,100,85 0.96 0.08
4 44.8 1.9306 1.01 1.01 100,95,100,100 0.98 0.03
44.8 1.01
6 47 1.9884 1.07 1.07 100,100,95,100,70 0.93 0.14
47 1.07
47 1.07
47 1.07
7 63 2.0118 1.23 1.23 100,100,90 0.93 0.3
63 1.23 90,80,100
63 1.23
9 45.7 1.9511 1.04 1.04 70,85 0.77 0.27
45.7 1.04

Keterangan: T : time
bd : bottom depth (m)
H : konversi time terhadap tinggi lamun (m)
: Rata-rata tinggi lamun/transek dari transduser (m)
L : Tinggi lamun dengan penyelaman (cm)
: Rata-rata tinggi lamun dengan penyelaman (m)
S : selisih tinggi lamun dengan akustik dan penyelaman

Gambar 21 Ilustrasi konversi time terhadap tinggi lamun

41
Gambar 22 Grafik perbedaan tinggi lamun berdasarkan akustik dan penyelaman

Trend Linier E1 dan E2


E1 dan E2 merupakan gambaran dari kekasaran (roughness) dan kekerasan
(hardness) dasar perairan. Tahapan ini dilakukan untuk memperlihatkan karakteristik
E1 dan E2 terhadap transek lamun maupun transek tanpa lamun.
Data E1 dan E2 untuk masing-masing transek diuraikan pada Tabel 7.
Berdasarkan data tarsebut, nilai E1 adalah nilai pada bottom depth pada time 90 – 100
yaitu pada kedalaman 2.2 – 2.4 m, sedangkan E2 merupakan nilai bottom depth * 2
pada time 190 – 200 di kedalaman 4.6 – 4.9 m. Nilai E1 dan E2 tersebut merupakan
nilai scattering volume (Sv) yang dirata-ratakan untuk tiap transek. E2 atau pantulan
kedua ternyata memiliki nilai yang lebih kecil dibanding nilai E1 atau pantulan
pertama, hal ini karena sinyal pada pantulan kedua mengalami pengurangan
(attenuation) sinyal karena telah dihamburkan mengenai dasar sebagai pantulan
pertama dan kemudian dihamburkan kembali di permukaan perairan atau pada kapal,
sehingga sinyal yang kembali ke transduser telah mengalami pengurangan. Hasil
rata-rata keseluruhan transek untuk E1 adalah -44.71 dB dan E2 adalah -48.31 dB.

42
Tabel 7 E1 dan E2 serta % tutupan lamun tiap transek penelitian

Transek E1 (dB) E2 (dB) E1/E2 % Tutupan lamun


1 -45.9 -50.9 0.90 15
2 -45.6 -44.5 1.02 5
3 -40.1 -48.0 0.83 10
4 -48.5 -51.1 0.94 10
5 -49.6 -50.2 0.98 0
6 -38.5 -44.1 0.87 10
7 -39.9 -47.2 0.84 10
8 -48.9 -49.9 0.97 0
9 -45.4 -48.9 0.92 10

Melihat hubungan E1/E2 terhadap keberadaan lamun ternyata pada transek


tanpa lamun memperlihatkan nilai yang cukup tinggi yaitu 0.98 dan 0.97, namun nilai
tersebut tidak secara pasti menentukan daerah tanpa lamun, karena pada transek 2
dengan penutupan hanya 5 % ternyata menyumbangkan nilai E1/E2 yang tinggi yaitu
sebesar 1.02, dimana nilai E2 lebih besar dari E1, hal ini mungkin dikarenakan sinyal
pada pantulan kedua mengenai objek yang cukup keras (dimungkinkan mengenai
bagian kapal) sehingga gema yang diterima transduser cukup kuat dibanding pada
pantulan pertama. Berdasarkan koefisien korelasi 0.65, menjelaskan bahwa
hubungan antara E1/E2 terhadap penutupan lamun tidak cukup kuat. Hal ini
mengungkapkan bahwa nilai E1/E2 kurang mampu menjadi acuan untuk menentukan
penutupan lamun pada penelitian ini yang memiliki penutupan lamun yang sedikit
(kurang dari 50 % transek pengukuran) (Gambar 21), sehingga untuk melihat
keberadaan lamun tidak disarankan jika dilakukan melalui perhitungan E1 dan E2.

43
Gambar 23 Trend linier E1/E2 (dB) dan penutupan lamun

Trend linier sv (linier) terhadap penutupan Lamun


Untuk melihat hubungan antara variabel intensitas akustik dan variabel
penutupan lamun maka dapat digambarkan pada kurva linier yang ditampilkan pada
Gambar 22. Berdasarkan trend linier yang terbentuk menghasilkan koefisien korelasi
sebesar 0.45, dalam hal ini metode akustik (berdasarkan nilai intensitasnya)
terhadap penutupan lamun ternyata tidak memberikan hubungan yang kuat.
Kondisi tersebut diantaranya disebabkan karena densitas maupun impedansi
dasar perairan yang mempengaruhi intensitas akustik yang terekam di kolom
perairan, selain itu gaung (noise) yang terjadi di kolom air yang disebabkan oleh
aktivitas biota juga dapat mempengaruhi nilai intensitas tersebut.

44
Gambar 24 Trend linier intensitas akustik (dB) dan penutupan lamun (%)

Berdasarkan hasil trend linier intensitas akustik terhadap penutupan lamun


ternyata menjelaskan bahwa metode akustik dengan teknik survei dan parameter
akustik yang digunakan pada penelitian ini kurang mampu memberikan nilai absolut
bila digunakan untuk mengetahui penutupan lamun.

45
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan hasil evaluasi yang telah diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa
metode akustik dapat menentukan :
(1) ada tidaknya lamun berdasarkan interpretasi echogram melalui pola
gema dengan time travel; nilai rata-rata Sv (scattering volume) yang
dipantulkan oleh masing-masing objek lamun dan dasar perairan, dan
bentuk echo envelope,
(2) dapat menentukan tinggi lamun namun hasil yang diperoleh masih
lebih tinggi dibanding dengan hasil pengukuran langsung,
(3) hubungan antara persen penutupan lamun yang kurang kuat
dimungkinkan karena daerah penelitian memiliki penutupan lamun
yang sedikit hanya 10 hingga 15 %.

Saran
Untuk penelitian selanjutnya hingga memperoleh nilai akurasi metode akustik
yang baik perlu dikajian pada daerah dengan penutupan lamun yang tinggi dan
modifikasi metode survei maupun parameter instrumen akustik yang akan digunakan.

46
DAFTAR PUSTAKA

Borum J., Duarte C.M., Krause-Jensen D. and Greve T.M. 2004. European
Seagrasses: an Introduction to Monitoring and Management. EU Project
Monitoring and Managing of European Seagrasses (M&MS).
Burczynski J., Hoffman J., Schneider P. and Sabol B. 2001. Use of Acoustic for
Detecting Aquatic Vegetation. Sonar system for assessment of submerged
aquatic vegetation and bottom substrata classification. Report of the Joint
Session of the Working Groups on Fisheries Acoustics Science and
Technology and Fishing Technology and Fish Behaviour Seattle, USA. 25
April 2001.
Coles R. G.,. Lee Long W. J, Watson Reg A. and Derbyshire K. J. 1993.
Distribution of Seagrasses, and Their Fish and Penaeid Prawn Communities, in
Cairns Harbour, a Tropical Estuary, Northern Queensland, Australia. Northern
Fisheries Centre, PO Box 5396, Cairns, Qld 4870, Australia. Aust. J. Mar.
Freshwater Res., 1993, 44, 193-210
Hoffman J.C., Burczynski J., Sabol B., and Heilman M. 2002. Digital Acoustic
System for Ecosystem Monitoring and Mapping: Assessment of Fish,
Plankton, Submersed Aquatic Vegetation, and Bottom Substrata Classification.
www.bisonicsinc.com/doc_library/docs/lake_wa_ assessment.pdf. 9 April
2002. Browsed: 13 Februari 2008.
Warmada I W. 2001. Geostatistik dan Geologi Numerik. Lab. Geokomputasi,
Jurusan Teknik Geologi, FT UGM, 2001-08-24,
http://warmada.staff.ugm.ac.id/ Modules/geostatistik.html.
Isaaks E.H. dan Srivastava R.M. 1989. An Introduction to Applied
Geostatistics. Oxford University Press, Inc. New York.
Komatsu T., Igarashi C., Tatsukawa K., Sultana S., Matsuoka Y., and Harada S.
2003. Use of multi-beam sonar to map seagrass beds in Otsuchi Bay on the
Sanriku Coast of Japan. Aquatic Living Resources 16 (2003) 223–230.
www.edpsciences.org/articles/alr/pdf/2003/03/alr3039.pdf.
McCauley R.D and Siwabessy P.J.W. 2006. Practical guide to acoustic
techniques for benthic habitat classification. Corporative Research Centre for
Coastal Zone, Estuary & Wterway management (Coastal CRC). Indooroopilly
Sciences Centre, Australia.
McKenzie, L.J. and Campbell S.J. 2002. Manual for Community (citizen)
Monitoring of Seagrass Habitat. Marine Plan Ecology Group,QDPI, Northern
Fisheries Centre, Cairns. Australia.
Myers D. E. 2006. Geostatistics, Spatial Statistics. Civil Engingeering Seminar,
13 Oktober 2006. http://www.u.arizona.edu/~donaldm/homepage/whatis.html.
Stewart R. H. 2005. Introduction To Physical Oceanography, Department of
Oceanography. Texas A & M University.

47
Sabol B. M. and Johnston S. A. 2001. Innovative Techniques for Improved
Hydroacoustic Bottom Tracking in Dense Aquatic Vegetation. Aquatic Plant
Control Research Program. U.S. Army Corps of Engineers Washington, DC
20314-1000.
Sabol B. M. 1998. Innovative Techniques for Improved Hydroacoustic Bottom
Tracking in Dense Aquatic Vegetation. www.thsoa.org/hy01/8_4.pdf.
Schneider P., Burczynski J., Monteoliva A., and Valle A. 2001. Results From
Submerged Aquatic Plant Assessment Using Digital Echosounder Technique.
International Council for the Exploration of the Sea. Joint session of FTFB and
FAST Working Groups. 23-27 April 2001.
Siwabessy P. J. W. 2001. An investigation of the relationship between seabed
type and benthic and bentho-pelagic biota using acoustic techniques. This
thesis is presented as part of the requirements for the award of the Degree of
Doctor of Philosophy of theCurtin University of Technology.
Valley R. D. and Drake M. T. 2005. Accuracy and Precision of Hydroacoustic
Estimates of Aquatic Vegetation and the Repeatability of Whole-Lake Surveys:
Field Tests With a Commercial Echosounder. Investigational Report 527,
December 2005
Valley R. D., Drake M. T., and Anderson C. S. 2005. Evaluation of alternative
interpolation techniques for the mapping of remotely-sensed submersed
vegetation abundance. Aquatic Botany 81 (2005) 13–25.
www.elsevier.com/locate/aquabot
Watson Reg A., Coles R. G. and Long W. J L. 1993. Simulation Estimates of
Annual Yield and Landed Value for Commercial Penaeid Prawns from a
Tropical Seagrass Habitat, Northern Queensland, Australia. Northern Fisheries
Centre, Box 5396, Cairns, Qld 4870, Australia. Aust. J. Mar. Freshwater Res.,
1993, 44, 21 1-19.

48
LAMPIRAN
Lampiran 1. Dokumentasi survey, peralatan transek dan instrumen akustik yang digunakan
dalam penelitian

Persiapan pembuatan tali transek Bahan untuk pembuatan transek

Kapal yang digunakan untuk penelitian Komputer dan stabilizer transduser

Contoh tampilan echogram pada saat GPS yang digunakan untuk pencatatan
perekaman posisi

50
Lampiran 2. Dokumentasi lamun

Contoh lamun yang terdapat pada transek Contoh objek lain yang terdapat pada transek

Dasar perairan berupa pasir berlumpur Beberapa koloni lamun dalam transek

Contoh pengukuran tinggi lamun Contoh penomoran transek

51
Lampiran 3. Hasil pembacaan raw data dengan readEKRawdata

Reading .raw file...


Reading .bot file...
Plotting...
>> rawData
rawData =
config: [1x1 struct]
pings: [1x1 struct]
gps: [1x1 struct]
>> rawData.config
ans =
channelid: 'GPT 120 kHz 009072057959 1 ES120-7C'
beamtype: 1
frequency: 120000
gain: 26.8000
equivalentbeamangle: -21
beamwidthalongship: 7
beamwidthathwartship: 7
anglesensitivityalongship: 23
anglesensitivityathwartship: 23
anglesoffsetalongship: 0
angleoffsetathwartship: 0
posx: 0
posy: 0
posz: 0
dirx: 0
diry: 0
dirz: 0
pulselengthtable: [5x1 double]
spare2: [1x8 char]
gaintable: [5x1 double]
spare3: [1x8 char]
sacorrectiontable: [5x1 double]
spare4: [1x52 char]

>> rawData.pings
ans =
number: [1x2500 uint32]
time: [1x2500 double]
transducerdepth: [1x2500 single]
frequency: [1x2500 single]
transmitpower: [1x2500 single]
pulselength: [1x2500 single]
bandwidth: [1x2500 single]
sampleinterval: [1x2500 single]
soundvelocity: [1x2500 single]
absorptioncoefficient: [1x2500 single]
offset: [1x2500 int32]
count: [1x2500 int32]
power: [150x2500 single]
alongship: [150x2500 int8]
athwartship: [150x2500 int8]
samplerange: [1 150]

52
seg: [1x2500 int16]

>> calParms
calParms =
soundername: 'ER60'
frequency: 120000
soundvelocity: 1.5443e+003
sampleinterval: 3.2000e-005
absorptioncoefficient: 0.0373
gain: 26.8000
equivalentbeamangle: -21
pulselengthtable: [5x1 double]
gaintable: [5x1 double]
sacorrectiontable: [5x1 double]
transmitpower: 50
pulselength: 1.2800e-004
anglesensitivityalongship: 23
anglesensitivityathwartship: 23
anglesoffsetalongship: 0
angleoffsetathwartship: 0
transducerdepth: 1

>> rawData.gps
ans =
time: [80x1 double]
lat: [80x1 double]
lon: [80x1 double]
seg: [80x1 int16]

>> botData
botData =
config: [1x1 struct]
pings: [1x1 struct]

>> botData.config
ans =
channelid: 'GPT 120 kHz 009072057959 1 ES120-7C'
beamtype: 1
frequency: 120000
gain: 26.8000
equivalentbeamangle: -21
beamwidthalongship: 7
beamwidthathwartship: 7
anglesensitivityalongship: 23
anglesensitivityathwartship: 23
anglesoffsetalongship: 0
angleoffsetathwartship: 0
posx: 0
posy: 0
posz: 0
dirx: 0
diry: 0
dirz: 0
pulselengthtable: [5x1 double]

53
spare2: [1x8 char]
gaintable: [5x1 double]
spare3: [1x8 char]
sacorrectiontable: [5x1 double]
spare4: [1x52 char]

>> botData.pings
ans =
number: [1x2500 uint32]
time: [1x2500 double]
bottomdepth: [1x2500 single]

54
Lampiran 4. Tampilan echogram pada transek penelitian

55
Lampiran 4. Tampilan echogram pada transek penelitian (lanjutan)

56
Lampiran 5. Uraian program dalam penelitian ini

% readEKRaw_SimpleExampleFull.m
%
% Rick Towler
% NOAA Alaska Fisheries Science Center
% Midwater Assesment and Conservation Engineering Group
% rick.towler@noaa.gov

%-
% define paths to example raw and bot files
rawFile = 'data\pasir-D20080518-T123144.raw';
botFile = 'data\pasir-D20080518-T123144.bot';

% read in raw file - only reading 18 and 120 khz


disp('Reading .raw file...');
[header, rawData] = readEKRaw(rawFile, 'Frequencies', [120000]);

% extract calibration parameters from raw data structure


%
calParms = readEKRaw_GetCalParms(header, rawData);

% read in the .bot file - return data as range


disp('Reading .bot file...');
[header, botData] = readEKBot(botFile, calParms, rawData, ...
'ReturnRange', true);

% convert power to Sv
data = readEKRaw_Power2Sv(rawData, calParms);

% convert electrical to physical angles


data = readEKRaw_ConvertAngles(data, calParms);

% create some simple figures of the data


disp('Plotting...');
nFreqs = length(data.pings);
for n=1:nFreqs
% plot the echogram
readEKRaw_SimpleEchogram(data.pings(n).Sv, data.pings(n).number, ...
data.pings(n).range, 'Threshold', [-80,-34], 'Title', ...
['Sv ' num2str(calParms(n).frequency)]);
% plot the bottom
hold on
plot(data.pings(n).number, botData.pings.bottomdepth(n,:), 'c');
hold off

% plot the anglogram


readEKRaw_SimpleAnglogram(data.pings(n).alongship, ...
data.pings(n).athwartship, data.pings(n).number, ...
data.pings(n).range, 'Title', ...
['Angles ' num2str(calParms(n).frequency)]);
% plot the bottom
hold on

57
plot(data.pings(n).number, botData.pings.bottomdepth(n,:), 'c');
hold off
end

% contoh waveform.m
Sv=data.pings.Sv; % open nilai Sv (dB)
Svbaru=Sv'; % merubah matrix
Svmean=mean(Svbaru); % rata-rata Sv dari 2500 ping
plot(Svmean)

% readEKRaw_EY60.m
% Rick Towler
% NOAA Alaska Fisheries Science Center
% Midwater Assesment and Conservation Engineering Group
% rick.towler@noaa.gov

% define paths to example raw and bot files


rawFile = 'data\pasir-D20080518-T123144.raw';
botFile = 'data\pasir-D20080518-T123144.bot';

% read in raw file - only reading 120 khz


disp('Reading .raw file...');
[header, rawData] = readEKRaw(rawFile, 'SampleRange',[1 150],'PingRange',[1
2500]);

% extract calibration parameters from raw data structure


%

calParms = readEKRaw_GetCalParms(header, rawData);

% read in the .bot file - return data as range


disp('Reading .bot file...');
[header, botData] = readEKBot(botFile, calParms, rawData, ...
'ReturnRange', true);

% convert power to Sv
data = readEKRaw_Power2Sv(rawData,calParms);

% convert electrical to physical angles


data = readEKRaw_ConvertAngles(data, calParms);

% create some simple figures of the data


disp('Plotting...');
nFreqs = length(data.pings);
mFreqs = length(botData.pings.bottomdepth);
for n=1:nFreqs
% plot the echogram
readEKRaw_SimpleEchogram(data.pings(n).Sv, data.pings(n).number, ...
data.pings(n,:).range, 'Threshold',[-70 -5],'Title', ...
['Sv Transek 1' ]);

% plot the bottom


hold on
plot(data.pings(n).number, botData.pings.bottomdepth(n,:), 'c');

58
hold off
% plot the anglogram
readEKRaw_SimpleAnglogram(data.pings(n).alongship, ...
data.pings(n).athwartship, data.pings(n).number, ...
data.pings(n).range, 'Title', ...
['Angles ' ]);
% plot the bottom
hold on
plot(data.pings(n).number, botData.pings.bottomdepth(n,:), 'c');
hold off
end

% Mencari nilai Sv lamun


x=data.pings.number;
y=data.pings.range;
z=data.pings.Sv;
svlmn=z;
bd=botData.pings.bottomdepth;
[k l]=size(z);
for ll=1:l;
m=0;
for kk=1:k;
if y(kk,1)>bd(1,ll);
svlmn(kk,ll)=0;
elseif y(kk,1)<(bd(1,ll)-1);
svlmn(kk,ll)=0;
else
svlmn(kk,ll)=z(kk,ll);
m=m+1;
svlmnonly(m,ll)=z(kk,ll);
end;end;end;

% Mencari nilai Sv dasar perairan


x=data.pings.number;
y=data.pings.range;
z=data.pings.Sv;
svbottom=z;
bd=botData.pings.bottomdepth;
[k l]=size(z);
for ll=1:l;
m=0;
for kk=1:k;
if y(kk,1)<bd(1,ll);
svbottom(kk,ll)=0;
elseif y(kk,1)>(bd(1,ll)+0.125);
svbottom(kk,ll)=0;
else
svbottom(kk,ll)=z(kk,ll);
m=m+1;
svbottomonly(m,ll)=z(kk,ll);
end;end;end;

% Filter data Sv
M=svlmnonly;

59
[k l]=size(M);
for kk=1:k;
for ll=1:l;
if M(kk,ll)>(-20);
M(kk,ll)=(-70.8196);
else
M(kk,ll)=M(kk,ll);
end;
end;
end;

N=svbottomonly;
[i j]=size(N);
for ii=1:i;
for jj=1:j;
if N(ii,jj)>(-10);
N(ii,jj)=(-19.7893);
else
N(ii,jj)=N(ii,jj);
end;
end;
end;

% Mean Sv lamun vs dasar


x1=svlmnonly;
x1m=mean(x1);
y1=svbottomonly;
y1m=mean(y1);
plot(x1m);hold on;
plot(y1m,'g');
xlabel('Ping');
legend('Lamun','Dasar');

% Rata Mean Sv lamun


x1rata=mean(x1m)
x1rata =
-64.3139

% Rata Mean Sv dasar


y1rata=mean(y1m)
y1rata =
-22.1247

% svlinier, mean lamun & dasar


M=svlmnonly;
Mlog=10.^(xL/10);
Mlogmean=mean(Mlog);
N=svbottomonly;
Nlog=10.^(xD/10);
Nlogmean=mean(Nlog);
subplot(1,2,1);plot(Mlogmean,'g');
subplot(1,2,2);plot(Nlogmean);

60
% regress
function [b,a,f,r]=RegLin(x,y)
x = [ 0.15 0.05 0.10 0.10 0 0.1 0.1 0 0.1 ];
y = [ 0.160 0.092 0.049 0.032 0.013 0.0055 0.0038 0.0031 0.0017 ];
m=length(x);
n=length(y);
nx=0;ny=0;nxy=0;xx=0; dt2=0;d2=0;
if m~=n,error('jumlah data x dengan y harus sama'),end;
for i=1:n
nx=nx+x(i); % total jumlah x
ny=ny+y(i); % total jumlah y
nxy=nxy+x(i).*y(i); % total jumlah x*y
xx=xx+x(i).*x(i); % total jumlah x^2
end
b=(n*nxy-nx*ny)/(n*xx-nx*nx); % menghitung nilai b
a=(ny/n-b*nx/n); % menghitung nilai a
fa=strcat(num2str(a),'+(', num2str(b),').*x'); % menentukan fungsi pendekatan
f=inline(fa);
y1=f(x);
% menghitung Koefisien korelasi
for i=1:n
dt2=dt2+(y(i)-ny/n).^2;
d2=d2+(y(i)-f(x(i))).^2;
end
r=((dt2-d2)/dt2)^0.5;
% perintah plotting
plot(x,y,'ro',x,y1,'--b','MarkerEdgeColor','r','LineWidth',2,...
'MarkerFaceColor','g')
xlabel('Persen lamun'),ylabel('Intensitas akustik (dB)')
persamaan=strcat('f = ',fa);
korelasi=strcat('Koefisien Korelasi: r= ',num2str(r));
text(x(n)/3,y1(n)/3,strvcat(persamaan,korelasi),'FontSize',13);
grid on, axis on

61

Anda mungkin juga menyukai