Anda di halaman 1dari 82

PEMETAAN SHADOW ZONE AKUSTIK DENGAN METODE

PARABOLIC EQUATION DI WILAYAH PERAIRAN SELAT


LOMBOK

MOCHAMAD ISKANDARSYAH

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
RINGKASAN

MOCHAMAD ISKANDARSYAH. Pemetaan Shadow Zone Akustik dengan


Menggunakan Metode Parabolic Equation di Wilayah Perairan Selat
Lombok. Dibimbing oleh SRI PUJIYATI dan INDRA JAYA.

Dalam melakukan perambatan di dalam air, gelombang suara dipengaruhi


oleh karakteristik oseanografi seperti salinitas, suhu, dan tekanan dimana ketiga
hal ini mempengaruhi kecepatan gelombang suara dalam air. Saat melakukan
perambatan, gelombang suara membentuk suatu pola tertentu yang dapat
dipengaruhi oleh frekuensi, posisi sumber suara dan posisi penerima. Dalam
melakukan penyusupan, kapal selam kerap kali menggunakan shadow zone yang
merupakan zona dimana hampir tidak terjadi perambatan gelombang suara,
sehingga kapal selam tersebut dapat terhindar dari SONAR (Sound Navigation
and Ranging) pihak lawan.
Tujuan dari penelitian ini adalah memetakan shadow zone akustik
berdasarkan kondisi oseanografi pada perairan Selat Lombok dengan
memanfaatkan data hasil rekaman mooring buoy dari program INSTANT. Data
yang digunakan berupa data suhu, salinitas, dan kedalaman selama bulan Juli
2005 di Utara Perairan Selat Lombok, pada koordinat 080 26’ 2322” LS dan 1150
45’ 331” BT. Salah satu cara untuk memetakan shadow zone adalah dengan
melakukan simulasi komputer tentang perambatan gelombang suara di laut.
Penelitian ini menggunakan empat buah frekuensi yang berbeda (100, 1.000,
10.000, dan 50.000 Hz) dengan menggunakan tiga kedalaman sumber suara yang
berbeda ( 30 m, 110 m, dan 300 m).
Secara umum pada kedalaman sumber suara 30 m, 110 m, dan 300 m
frekuensi 100 Hz mengalami kehilangan suara yang paling besar sehingga banyak
terbentuk shadow zone di kolom perairan karena pada frekuensi 100 Hz,
gelombang suara memiliki panjang gelombang yang paling panjang sehingga
mampu melakukan penetrasi kedalam sedimen yang menyebabkan nilai TL
bertambah dan memunculkan lebih banyak shadow zone. Frekuensi 50.000 Hz
shadow zone lebih sedikit jika dibandingkan dengan frekuensi 1.000 Hz dan
10.000 Hz. Nilai Transmission Loss dipengaruhi oleh kedalaman sumber suara.
PEMETAAN SHADOW ZONE AKUSTIK DENGAN METODE
PARABOLIC EQUATION DI WILAYAH PERAIRAN SELAT LOMBOK

MOCHAMAD ISKANDARSYAH
C54061833

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
SKRIPSI

Judul Penelitian : PEMETAAN SHADOW ZONE AKUSTIK DENGAN


MENGGUNAKAN METODE PARABOLIC EQUATION DI
WILAYAH PERAIRAN SELAT LOMBOK
Nama : Mochamad Iskandarsyah
NRP : C54061833
Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Dr.Ir.Sri Pujiyati, M.Si Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc


NIP : 19671021 199203 2 002 NIP : 1961041 198601 1 002

Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. H. Setyo Budi Susilo, M.Sc


NIP. 19580909 198303 1 003

Tanggal Sidang : 27 Juli 2011

i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:

PEMETAAN SHADOW ZONE AKUSTIK DENGAN MENGGUNAKAN


METODE PARABOLiC EQUATION DI WILAYAH PERAIRAN SELAT
LOMBOK

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2011

Mochamad Iskandarsyah
C54061833
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian/seluruh karya tulis dalam
bentuk apapun tanpa izin IPB
70

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, 26 Januari 1989 dari ayah yang


bernama Drs. Mochamad Chandra Widjaja, MM dan ibu bernama
Hermiati, Bsc. Penulis merupakan anak pertama dari dua
bersaudara. Tahun 2006 penulis menamatkan pendidikan
menengah di SMA Al-Izhar Pondok Labu, Jakarta. Pada tahun
2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan , Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB)
Penulis aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan di kampus dan organisasi
seperti Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) sebagai
anggota Departemen Penelitian dan Kebijakan (LITJAK) periode 2007/2008, sebagai
Kepala Departemen LITJAK periode 2008/2009 dan sebagai Dewan Penasehat
HIMITEKA periode 2009/2010. Di tingkat Fakultas, penulis pernah aktif di Badan
Esekutif Mahasiswa (BEM) FPIK sebagai anggota Departemen Pengembangan
Sumber Daya Manusia (PSDM) periode 2007/2008. Penulis pernah menjadi delegasi
HIMITEKA IPB dalam rangka MUKERNAS Himpunan Mahasiswa Ilmu dan
Teknologi Kelautan Nasional (HIMITEKINDO) di Surabaya tahun 2008 dan
MUNAS HIMITEKINDO di Pekanbaru tahun 2010.
Pengalaman kerja penulis antara lain sebagai asisten mata kuliah Dasar-dasar
Instrumentasi Kelautan tahun 2008/2009, asisten mata kuliah Ekologi Laut Tropis
periode 2009/2010 sampai 2010/2011, asisten lapang mata kuliah Biologi Laut
periode 2010/2011, dan magang di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo
selama 1 bulan pada tahun 2009. Penulis berkesempatan mengikuti pelayaran Kapal
Riset Baruna Jaya III BPPT ke Ambon dalam rangka kegiatan Sail Banda 2010.
Dalam rangka menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan
penelitian dengan judul “Pemetaan Shadow Zone Akustik dengan Menggunakan
Metode Persamaan Parabolik di Selat Lombok”
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas berkat dan karunia yang telah

diberikanNya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi

dengan judul PEMETAAN SHADOW ZONE AKUSTIK DENGAN METODE

PARABOLIC EQUATION DI WILAYAH PERAIRAN SELAT LOMBOK 

diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana.  

Penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Orang tua, Adik, dan keluarga besar yang selalu mendukung doa dan materi,

2. Dr. Ir. Sri Pujiyati, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc selaku dosen

pembimbing,

3. Dr.Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc dan Dr. Ir. Nyoman M. Natih, M.Sc selaku

dosen penguji dan perwakilan komisi pendidikan sarjana

4. Dr.Ir.Djisman Manurung, M.Sc selaku pembimbing akademik

5. Staf pengajar dan para pegawai di lingkungan Departemen ITK

6. Apriliana Utami Hapsari, SE atas dorongan dan semangatnya selama ini

7. Muhammad Iqbal, S.Pi , Hendri Dayu, S.Pi, Arief Wicaksana, S.Pi, Asep

Ma’mun, S.Pi, Asmadin, S.Pi, M.Si, Cristiadi Triyatna, S.IK, Rizki Rizaldi

Hidayat, S.IK, Hengky Wibowo, Githa Prima Putra, S.IK, Masagus Zulhafiz,

Herbeth Marpaung, S.IK, Erik Munandar dan segenap keluarga besar

Workshop Akustik dan Instrumentasi Kelautan yang telah meluangkan waktu

untuk membantu penulis.

8. Steven Syahrinaldi, S.IK sebagai kakak asuh

9. Olivier Yonathan dan Risnie Fitriani, S.IK atas diskusi di bidang oseanografi
10. Warga ITK khususnya ITK 43 atas semangat dan dorongannya,

11. Penghuni Perwira 88 (Saul Limbong, S.Kom, M.Rizki Sulistiono, S.Pi, Maria

Putri, Hawara Sebastian Sitompul, SE, dan Christina Ratih), Wisma Galih

(Ahmad Rifai, Dori Irianto, S.IK, Enda, S.IK, Erlan Nurcahya Putra, dan Moh.

Zainul Rijal) dan Asrama TPB C3 Lorong 5 tahun 2006/2007

12. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, oleh

karena itu penulis membutuhkan saran dan kritik untuk perbaikan di masa depan.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, Amin.

Bogor, Juli 2011

Mochamad Iskandarsyah
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .............................................................................................. i
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. ii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. iii
1. PENDAHULUAN................................................................................. 1
1.1. Latar belakang .................................................................................. 1
1.2. Tujuan ............................................................................................... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 3


2.1. Perambatan Gelombang Suara Dalam Air........................................ 3
2.2. Profil Kolom Perairan ....................................................................... 6
2.2.1. Suhu........................................................................................... 6
2.2.2. Salinitas ..................................................................................... 7
2.2.3. Lapisan Termoklin .................................................................... 8
2.2.4. Kedalaman dan Dasar Perairan ................................................. 9
2.3. Shadow Zone Akustik ....................................................................... 10
2.4. Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) ................................................. 11
2.5. Kondisi Umum dan Geografis Selat Lombok .................................. 12
2.6. INSTANT ......................................................................................... 14
2.7. Model Persamaan Parabolik ............................................................. 14

3. BAHAN DAN METODE .................................................................... 18


3.1. Lokasi dan Waktu penelitian ............................................................. 18
3.2. Perangkat dan Peralatan .................................................................... 19
3.3. Pengambilan Data ............................................................................. 20
3.4. Simulasi Data .................................................................................... 21

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 24


4.1. Profil Vertikal Kecepatan Suara, Suhu, dan Salinitas ...................... 24

i
4.1.1 Profil Vertikal Kecepatan Suara ................................................. 24
4.1.2 Profil Vertikal Salinitas .............................................................. 25
4.1.2 Profil Vertikal Suhu .................................................................... 27
4.2. Simulasi Nilai Kehilangan Transmisi terhadap Kedalaman
dan Jarak ........................................................................................... 28
4.2.1. Kedalaman Sumber 25 m dan Kedalaman Penerima 30 m ....... 29
4.2.2. Kedalaman Sumber 110 m dan Kedalaman Penerima 115 m ... 34
4.2.3. Kedalaman Sumber 300 m dan Kedalaman Penerima 310 m ... 42

5. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 53


5.1. Kesimpulan ....................................................................................... 53
5.2. Saran ................................................................................................. 54
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 55
LAMPIRAN ............................................................................................... 57

ii
DAFTAR GAMBAR
Halaman

1. Shadow Zone Akustik ....................................................................... 10


2. Peta Arlindo ...................................................................................... 12
3. Peta Lokasi Penelitian ...................................................................... 18
4. Diagram Alir Pengolahan Data......................................................... 23
5. Hubungan Kecepatan Suara dan Kedalaman Secara Vertikal .......... 25
6. Hubungan Salinitas dan Kedalaman Secara Vertikal ....................... 26
7. Hubungan Suhu dan Kedalaman Secara Vertikal............................. 28
8. Hasil Simulasi Perambatan Gelombang Suara dengan Kedalaman
Sumber Suara 25 m, Kedalaman Penerima 30 m, dan Frekuensi
Yang Digunakan 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz....................... 35
9. Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak pada Frekuensi
100, 1.000, 10.000. dan 50.000 Hz ................................................... 36
10. Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak pada Frekuensi
100, 1.000, 10.000. dan 50.000 Hz Setelah Running Average ......... 37
11. Hasil Simulasi Perambatan Gelombang Suara dengan Kedalaman
Sumber Suara 110 m, Kedalaman Penerima 115 m, dan Frekuensi
Yang Digunakan 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz....................... 43
12. Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak pada Frekuensi
100, 1.000, 10.000. dan 50.000 Hz ................................................... 44
13. Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak pada Frekuensi
100, 1.000, 10.000. dan 50.000 Hz Setelah Running Average ......... 45
14. Hasil Simulasi Perambatan Gelombang Suara dengan Kedalaman
Sumber Suara 300 m, Kedalaman Penerima 310 m, dan Frekuensi
Yang Digunakan 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz....................... 50
15. Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak pada Frekuensi
100, 1.000, 10.000. dan 50.000 Hz ................................................... 51
16. Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak pada Frekuensi
100, 1.000, 10.000. dan 50.000 Hz Setelah Running Average ......... 52

iii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

1. Tutorial Pengolahan ............................................................................. 57


2. Contoh Definisi Parameter .................................................................. 66

iv
1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dewasa ini banyak terjadi ancaman terhadap keamanan dan kedaulatan

Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI) baik dari darat maupun dari laut.

Di laut sendiri banyak terjadi pelanggaran kedaulatan oleh kapal asing dengan

berbagai macam cara mulai dari pencurian ikan tanpa izin, klaim suatu wilayah

NKRI secara sepihak oleh negara tetangga sampai melakukan operasi militer

seperti kapal selam asing melakukan penyusupan di wilayah laut teritorial NKRI.

Menurut Konvensi Hukum Laut Internasional / United Nations Convention on the

Law of the Sea ( UNCLOS ) PBB tahun 1982 yang diratifikasi oleh Indonesia

yaitu pada artikel 49 dengan tegas menyatakan status legal negara kepulauan (

Indonesia ) berkedaulatan penuh atas perairan dan landas kontinen di bawah serta

udara di atasnya.

Dalam menjaga kedaulatan NKRI terutama dari ancaman yang berada di

laut perlu dilakukan pembangunan pertahanan secara terpadu. Selain pengadaaan

Alat Utama Sistem Pertahanan (ALUTSISTA) juga diperlukan penguasaan

teknologi pemantauan anti kapal selam, yang dapat dipergunakan untuk melacak

kapal selam yang menyusup ke wilayah teritorial Indonesia.

Penyusupan kapal selam kerap menggunakan “daerah kedap” gelombang

suara (shadow zone). Daerah ini merupakan zona aman dimana suhu dan salinitas

air laut pada zona tersebut membelokkan gelombang suara yang datang sehingga

kapal selam tersebut terhindar dari ( Sound Navigation and Ranging) SONAR

pihak lawan.

1
2

Salah satu cara untuk mengantisipasi yang dilakukan adalah melalui

simulasi komputer mengenai pola perambatan gelombang suara di laut untuk

mengetahui pola perambatan gelombang suara tersebut sehingga dapat di tentukan

Shadow Zone akustik. Cara lainnya adalah dengan memasang receiver di wilayah

perairan yang rawan untuk dilalui oleh kapal selam seperti Alur Laut Kepulauan

Indonesia (ALKI).

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memetakan shadow zone berdasarkan

kondisi oseanografi pada Perairan Selat Lombok.


2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perambatan Gelombang Suara Dalam Air

Kecepatan suara dalam air laut merupakan variabel oseanografik yang

menentukan pola pemancaran suara di dalam medium (Kadarwati, 1999).

Kecepatan suara bervariasi terhadap kedalaman, musim, posisi geografis dan

waktu pada lokasi tertentu. Di perairan dangkal dekat pantai, profil kecepatan

suara cenderung tidak teratur dan sulit di prediksi. Faktor fisik air laut yang

paling menentukan dalam mempengaruhi kecepatan suara di dalam air laut adalah

suhu, salinitas, dan tekanan (Urick, 1983).

Di dalam air laut, kecepatan gelombang suara mendekati 1.500 m/ detik

(umumnya berkisar 1.450 m/detik sampai dengan 1.550 m/detik, tergantung suhu,

salinitas, dan tekanan) (Lurton, 2002). Beberapa peneliti merumuskan persamaan

kecepatan gelombang suara dalam air laut yang dipengaruhi oleh suhu, salinitas,

dan tekanan, diantaranya Medwin dan Clarence (1998)

c  1.449, 2  4, 67T  0, 055T 2  0, 00029T 3  (1,34  0, 01T )( S  35)  0, 016 z ...(1)

dimana:

c  kecepatan suara (m/s)


T  suhu (derajat celcius)
S  salinitas (psu)
z  kedalaman (m)

Menurut Lurton (2002) secara sederhana pola perambatan gelombang

suara di dalam laut yang dibagi secara vertikal adalah sebagai berikut:

a. Lapisan tercampur, dimana kecepatan suara relatif konstan, biasanya

ditemukan sampai kedalaman beberapa meter dari permukaan.

3
4

b. Surface channel, kecepatan suara meningkat jika dibandingkan pada

saat berada di lapisan tercampur.

c. Termoklin, pada lapisan ini kecepatan suara akan menurun dengan

bertambahnya kedalaman, karena biasanya suhu menurun secara drastis

dalam kedalaman yang relatif dangkal pada lapisan ini. Termoklin dapat

muncul secara musiman (jika dekat dengan permukaan) atau permanen.

d. Deep channel, kecepatan suara pada lapisan ini mendekati minimum.

Rata-rata kedalaman lapisan ini mulai dari beberapa ratus meter sampai

2000 m

e. Lapisan isothermal, pada lapisan ini suhu relatif konstan, kecepatan

suara bertambah secara linear seiring bertambahnya kedalaman karena

pengaruh tekanan hidrostatis.

Namun secara nyata di alam, kecepatan suara di dalam laut masih

dipengaruhi oleh beberapa hal seperti arus, pertukaran massa air, masukan air

tawar dari sungai (dekat dengan daerah estuari, posisi lintang, pasang surut dan

internal wave).

Dalam melakukan perambatan di dalam air, gelombang suara mengalami

kehilangan energi transmisi yang merupakan akumulasi penurunan energi

intensitas akustik ketika tekanan akustik berpropagasi. Kehilangan energi ini

dapat terjadi karena penyebaran gelombang akustik, penyerapan energi, dan

pemantulan yang terjadi di dasar atau permukaan perairan. Intensitas gelombang

akustik akan semakin berkurang dengan bertambahnya jarak dari sumber bunyi.

Pada perairan dangkal, transmisi suara memiliki karateristik suara yang

tergantung pada frekuensi. Ada frekuensi optimum untuk pertambahan jarak jauh,
5

frekuensi tersebut akibat kompetisi perambatan dan mekanisme atenuasi pada

frekuensi tinggi dan rendah. Pada frekuensi tinggi, kehilangan akibat

penghamburan dan volume semakin meningkat dengan meningkatnya frekuensi

(Jensen et al, 1994).

Sebuah sumber akustik di air yang memancarkan gelombang akustik

dengan intensitas energi tertentu akan mengalami penurunan intensitas bunyi

bersamaan dengan bertambahnya jarak propagasi dari sumbernya. Hal ini terjadi

karena sumber akustik memiliki intensitas yang tetap, sedangkan luas permukaan

bidang yang dilingkupi akan semakin besar dengan bertambahnya jarak dari

sumber bunyi. Penyebaran gelombang akustik dibatasi oleh permukaan laut dan

dasar suatu perairan.

Gelombang suara yang sedang berpropagasi akan mengalami penyerapan

energi akustik oleh medium sekitar daerah propagasi. Secara umum, penyerapan

suara merupakan salah satu bentuk kehilangan energi yang melibatkan proses

konversi energi akustik menjadi energi panas, sehingga energi gelombang suara

yang merambat mengalami penurunan intensitas (atenuasi) (Pongoet, 2008).

Secara umum, formula untuk mencari koefisien atenuasi menurut Jensen et all,

(1994) adalah

0,11 f 2 44 f 2
  0, 033    0, 0003 f 2 …………………………………(2)
1  f 2 4100  f 2

dimana:

 = koefisien atenuasi (dB/km)

f =frekuensi (Hz)
6

Kehilangan energi akibat pemantulan terjadi pada saat gelombang akustik

berpropagasi melewati dua medium yang memiliki perbedaan indeks bias cukup

besar. Perbedaan yang cukup besar ini mengakibatkan gelombang suara

dipantulkan oleh perbatasan antar kedua medium tersebut (Pongoet, 2008).

2.2. Profil Kolom Perairan

2.2.1. Suhu

Suhu merupakan salah satu karakter fisik dari air laut yang penting. Di

wilayah lintang sedang dan rendah (dekat dengan wilayah tropis), suhu

merupakan faktor penting yang mempengaruhi densitas dan kecepatan suara di

dalam air. Suhu di daerah tropis pada wilayah permukaan laut berkisar 26-29 oC

yang dipengaruhi oleh musim (Pickard dan Emery, 1990).

Distribusi suhu permukaan dibagi menjadi beberapa zona yang

dipengaruhi oleh posisi lintang. Suhu tinggi di dapat di zona ekuator dimana

cahaya matahari cenderung banyak berada pada zona ini, sedangkan daerah suhu

rendah berada di dekat wilayah kutub (Stewart, 2008). Pada daerah non kutub,

sifat-sifat air pada lapisan isotermal yang dipengaruhi oleh angin sehingga

menyebabkan adanya pengadukan menyebabkan lapisan ini memiliki temperatur

yang cenderung konstan. Oleh karena itu, pada lapisan isothermal memiliki

bentuk profil suara yang bertambah sejalan dengan kedalaman laut yang

disebabkan pengaruh gradien tekanan (Jensen et al, 1994).

Pada kondisi perairan laut yang mempunyai suhu berbeda-beda

menimbulkan variasi kecepatan suara yang menyebabkan refraksi atau

pembelokan perambatan gelombang suara. Perubahan suhu yang sangat cepat


7

pada lapisan termoklin menyebabkan pembelokan gelombang suara yang tajam

dan pada lapisan ini bertindak sebagai bidang pantul.

2.2.2. Salinitas

Menurut Sanusi (2006) salinitas adalah jumlah zat-zat terlarut dalam 1 kg

air laut, dimana semua karbonat telah diubah menjadi oksida, bromide dan iodide

diganti oleh klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi sempurna. Pada

umumnya perairan laut lepas memiliki kadar salinitas 35 psu; yang berarti dalam

1 kg air laut mengandung elemen-elemen kimia terlarut seberat 35 gram. Dimana

komposisi air laut tersebut terdiri atas 3,5% elemen-elemen kimia terlarut dan

96,5% kandungan airnya.

Di perairan estuari dimana aliran sungai bermuara, kadar salinitasnya

relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan perairan laut lepas. Hal ini

disebabkan oleh adanya percampuran massa air laut dengan massa air sungai yang

memliki salinitas rendah (Sanusi, 2006).

Salinitas dapat mempengaruhi kecepatan suara di dalam air, teutama di

wilayah lintang tinggi (dekat kutub) dimana suhu mendekati titik beku, salinitas

merupakan salah satu paling faktor penting yang mempengaruhi kecepatan

gelombang suara di dalam air. Distribusi vertikal salinitas pada wilayah tropis,

ekuator, dan sub tropis mengalami nilai yang paling kecil pada kedalaman 600-

1000 m (34-35 pratical salinity unit/psu). Di wilayah tropis nilai salinitas pada

permukaan berkisar 36-37 psu. Salinitas maksimun pada wilayah perairan tropis

terjadi pada kedalaman 100-200 m dekat dengan lapisan termoklin dimana kadar

salinitas dapat mencapai lebih dari 37 psu. Di daerah laut dalam, kadar salinitas
8

relatif seragam dengan nilai 34,6-34,9 psu (Pickard dan Emery, 1990). Salinitas

di samudera seperti Atlantik, Pasifik, dan Hindia rata-rata 35 psu, di wilayah laut

yang tertutup, nilai salitas rata-rata tidak jauh dari kisaran 35 psu tergantung dari

penguapan yang terjadi (Lurton, 2002).

2.2.3. Lapisan Termoklin

Lapisan termoklin merupakan lapisan yang berada dalam kolom perairan

di laut yang dimana pada lapisan ini mengalami perubahan suhu yang drastis

dengan lapisan yang berada dan di bawah lapisan termoklin. Di laut, termoklin

seperti lapisan yang membagi antara lapisan pencampuran (mixing layer) dan

lapisan dalam (deep layer). Tergantung musim, garis lintang dan pengadukan

oleh angin, lapisan ini bersifat semi permanen. Faktor yang menentukan

ketebalan lapisan ini di dalam suatu perairan seperti variasi cuaca musiman,

lintang, kondisi lingkungan suatu tempat ( pasang surut dan arus).

Secara umum terbentuknya lapisan termoklin dikarenakan penyerapan

sinar matahari pada siang hari oleh permukaan laut ( karena energi panas

diradiasikan ke atmosfer). Panas yang berada di permukaan air laut ini di

distribusikan ke bagian dalam sampai kedalaman 100-200 m (yang disebut

lapisan tercampur) sehingga suhu pada zona ini relatif homogen. Di bawah zona

pencampuran dimana tidak ada peristiwa pengadukan maka suhunya menjadi

turun dengan cepat mendekati suhu pada lapisan dalam. Penurunan suhu

berbanding lurus dengan penambahan kedalaman dan salinitas. Pada daerah

dimana terjadi penurunan suhu secara cepat inilah dinamakan lapisan termoklin.

Di laut terbuka, lapisan ini berkarakter sebagai gradient kecepatan suara negatif
9

dimana dapat memantulkan gelombang suara. Secara teknik lapisan ini

membendung dari impendansi akustik yang terputus-putus (diskontinu) yang

tercipta dari perubahan densitas secara mendadak. Karateristik yang unik inilah

yang membuat pentingnya lapisan termoklin untuk diketahui, terutama dibidang

pertahanan dan keamanan (kapal selam). Pada wilayah tropis, rata-rata lapisan

termoklin berada pada kedalaman 200-400 m (Pickard dan Emery, 1990).

2.2.4. Kedalaman dan Dasar Perairan

Kedalaman mempengaruhi cepat rambat suara di dalam air laut.

Bertambahnya kedalaman, maka kecepatan suara akan bertambah karena adanya

tekanan hidrostatis yang semakin besar dengan bertambahnya kedalaman. Rata-

rata terjadi peningkatan kecepatan suara sebesar 0, 017 m/detik setiap kedalaman

bertambah 1 meter. (Lurton, 2002).

Permukaan laut merupakan pemantul dan penghambur suara yang

mempunyai efek yang sangat besar dalam perambatan suara ketika sumber atau

penerima berada di perairan dangkal. Jika permukaan halus sempurna, maka ia

akan menjadi pemantul suara yang nyaris sempurna. Sebaliknya jika permukaan

laut kasar kehilangan akibat pantulan mendekati nol (Kadarwati, 1999).

Perairan Indonesia memiliki gambaran relief dasar laut yang unik, semua

tipe relief dasar laut bisa diketemukan seperti paparan yang dangkal, depresi

dalam dengan berbagai bentuk, berbagai bentuk elevasi berbentuk gunung bawah

air, terumbu karang, dan sebagainya.

Dasar laut memiliki karateristik yang dapat memantulkan dan

menghamburkan suara serta dapat membentuk shadow zone. Dasar laut memiliki
10

lapisan yang berlapis-lapis dengan densitas dan kecepatan suara yang berubah

secara bertahap atau acak terhadap kedalaman. Selain itu komposisi di dasar laut

bervariatif mulai dari batuan yang keras sampai lumpur yang lunak ( Kadarwati,

1999).

2.3. Shadow Zone Akustik

Shadow Zone adalah suatu wilayah dimana gelombang suara tidak dapat

merambat atau lemah sehingga hampir tidak dapat merambat dalam suatu

medium. Menurut Urick (1983) di kolom perairan terjadi pembelokan

gelombang suara (refraksi) yang terjadi karena perbedaan kedalaman, salinitas

dan suhu ait laut. Pengaruh yang paling nyata terlihat jika terjadi kenaikan suhu

air laut sebesar 1 C0 akan menyebabkan meningkatnya kecepatan suara sebesar

1m/detik. Akibatnya jika suhu meningkat menurut kedalaman maka gelombang

suara yang dipancarkan akan cenderung dibelokan ke arah permukaan air.

Sumber: http://www.dosits.org

Gambar 1. Shadow Zone Akustik


11

Sebaliknya jika suhu menurun karena kedalaman maka gelombang suara

akan cenderung dibelokan ke dasar perairan. Karena terjadi pembelokan

gelombang suara ke permukaan dan ke dasar perairan, maka terdapat wilayah

yang tidak terjadi perambatan gelombang suara yang disebut shadow zone. Jarak

dari sumber suara ke shadow zone ditentukan oleh laju perubahan suhu terhadap

kedalaman, kedalaman sumber suara, dan kedalaman penerima suara.

2.4. Arus Lintas Indonesia (ARLINDO)

Wilayah perairan Indonesia dialiri oleh dua sistem arus, yaitu Arus

Monsun Indonesia (ARMONDO) dan Arus Lintas Indonesia (ARLINDO).

ARMONDO mengalir secara rata-rata dari Laut Cina Selatan masuk ke Laut

Jawa lewat Laut Natuna dan Selat Karimata. Kemudian dari Laut Jawa,

ARMONDO meneruskan alirann ya ke laut-laut jeluk, yaitu Laut Flores dan

Laut Banda.

ARLINDO adalah aliran massa air yang berbentuk arus laut dari

Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia dan mengalir di bagian laut jeluk di

kawasan timur kepulauan Indonesia. ARLINDO ini melewati hamparan pulau

besar dan kecil di wilayah perairan Indonesia Timur yang memiliki struktur

batimetri yang menunjukan adanya palung yang jeluk, basin laut, dan kepulauan

karang, sehingga ARLINDO memiliki dinamika dan pergerakan massa air yang

kompleks di kawasan tersebut (Pranowo et al, 2006 dalam Kharishma, 2009).

ARLINDO merupakan bagian tak terpisahkan dari system termohaline circulation

dunia dan berpengaruh besar pada dinamika yang terjadi baik di Samudera Pasifik

maupun Samudera Hindia (Sprintall et all, 2003 dalam Abdul Rauf , 2007) .
12

ARLINDO sendiri memasuki perairan Indonesia dari Samudera Pasifik melalui

lapisan termoklin (Hautala, 1996 dalam Abdul Rauf, 2007). Berikut adalah

gambaran sistematik mengenai ARLINDO di Indonesia (Gambar 1).

Sumber:http://www.ldeo.columbia.edu  

Gambar 2. Peta Arlindo

2.5. Kondisi Umum dan Kondisi Geografis Selat Lombok

Selat Lombok terletak diantara Pulau Bali dan Pulau Lombok,

menghubungkan Laut Flores dengan Samudera Hindia. Selat Lombok memiliki

panjang sekitar 60 km dengan lebar 30 km di sebelah utara dan 18 km di sebelah

selatan. Kedalaman Selat Lombok bagian utara lebih dari 1000 m dan menjadi

250 m di daerah ambang dibagian selatan (Arief, 1997 dalam Kharishma, 2009).

Menurut Arief (1997) dalam Kharishma (2009), Selat Lombok dibagi

menjadi tiga zona berdasarkan profil rata-rata suhu dan salinitas, yaitu :

a. Lapisan permukaan
13

Lapisan permukaan memiliki kisaran suhu musiman hingga 2,00 C.

Ketebalannya bervariasi dengan waktu dan lokasi. Ketebalan lapisan

isothermal permukaan mempunyai kisaran antara 2 m di bagian selatan

Selat Lombok hingga 70 m di bagian utara.

b. Lapisan termoklin

Lapisan ini terletak di antara lapisan permukaan hingga kedalaman

300-400 m dengan gradien suhu 0,020 C/m. Suhu air laut berkisar 280C

di bagian atas dan 70 C di bagian bawah.

c. Lapisan di bawah lapisan termoklin

Suhu air laut menurun secara lambat dengan bertambahnya kedalaman air

pada lapisan ini. Pada kedalaman 500 m suhu air laut mencapai 7-80 C.

Terdapat 4 zona salinitas di Selat Lombok (Arief 1997 dalam Kharishma

2009), yaitu :

a. Lapisan permukaan

Lapisan permukaan merupakan lapisan yang berada di permukaan

hingga kedalaman 50-100 m dengan nilai salinitas yang relatif rendah di

bawah 33,5 psu. Lapisan ini mempunyai variabilitas musiman yang

tinggi karena terkait dengan asal sumber massa air.

b. Lapisan salinitas maksimum

Lapisan salinitas maksimum berada pada kedalaman 75-175 m.

Umumnya nilai salinitas di atas 34,6 psu.

c. Lapisan salinitas minimum

Lapisan ini berada pada kedalaman 250-350 m dengan nilai salinitas

kurang dari 34,52 psu.


14

d. Lapisan di lebih dalam dari 400 m

Lapisan ini ditandai dengan salinitas yang bertambah secara perlahan

hingga 34,54-34,58 psu pada kedalaman 500 m. Di selatan ambang Selat

Lombok, di bagian Samudera Hindia ditemukan massa air dengan salinitas

maksimum dengan nilai mencapai 34,8 psu pada kedalaman 550 m.

Massa air ini menyebabkan terjadinya suhu maksimum relatif.

Selat Lombok dihubungkan dengan Selat Makassar oleh alur berkedalaman

600-1000 m sepanjang timur Paparan Sunda. Kondisi topografi ini

memungkinkan Selat Lombok berfungsi sebagai saluran langsung massa air

Pasifik bagian barat ke Lautan Hindia (Arief, 1997 dalam Kharishma, 2009).

2.6. INSTANT

Ekspedisi INSTANT (International Nusantara Stratification and

Transport) merupakan program kerjasama antara Indonesia, Amerika Serikat,

Austaralia, Belanda, dan Perancis dengan tujuan untuk menguak ARLINDO

(Arus Lintas Indonesia). Ekspedisi ini dilaksanakan pada tahun 2003 hingga

2005 dengan wilayah penelitian meliputi Selat Makassar, Selat Lifamatola, Selat

Lombok, Selat Ombai, dan Selat Timor (Sprintall et al, 2004 dalam Kharishma,

2009).

2.7. Model Persamaan Parabolik

Metode Persamaan Parabolik merupakan merupakan metode yang efektif

dalam mengatasi masalah ketergantungan jarak dalam akustik kelautan. Metode

ini mulai diperkenalkan oleh Hardi dan Tappert pada tahun 1970-an yang
15

menemukan solusi numerik pada transformasi fourrier. Sejak saat itu metode ini

menjadi populer dalam menyelesaikan masalah perambatan suara dalam akustik

kelautan (Jensen et al, 1994).

Secara matematis, model perambatan suara dengan menggunakan teori

persamaan parabolik dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut. Pertama-

tama, persamaan gelombang suara ditransformasikan dari domain waktu ke

domain frekuensi. Dari Transformasi ini dihasilkan persamaan Helmholtz sebagai

berikut:

1   p    1 p 
 r     z     k0 n p  0 ....................................................(3)
2 2

r r  r  z    z  z 

dimana p  r , z  adalah tekanan akustik,   z  adalah densitas air laut, k0 adalah

bilangan gelombang acuan,  k0   / c0  , n(r , z ) adalah indeks refraksi

(n  c0 / c) ,  adalah frekuensi sudut, c adalah kecepatan suara dalam air dan r

adalah jarak sumber ke penerima.

Bentuk penyelesaian persamaan (4) adalah berupa fungsi Hankel:

p (r , z )   ( r , z ) H 0 (1) ( k0 r ) .....................................................................................(4)

Dengan mensubsitusikan penyelesaian ini kedalam persamaan Helmholtz akan

dihasilkan persamaan berikut :

 2   2
 2ik 0  2  k02 (n 2  1) ......................................................................(5)
r 2
r z

Bila didefinisikan suatu operator :

 1 2
P dan Q  n2  ……... ..….(6)
r k02 z 2

Maka persamaan (6) di atas dapat ditulis lebih ringkas sebagai :


16

 P 2  2ik0 P  k02 (Q 2  1)   0 ............................................................................(7)

Selanjutnya, persamaan yang berbentuk parabolik ini dapat diurai menjadi

dua komponen, yakni untuk gelombang yang menjauhi sumber (outgoing wave)

dan yang mendekati sumber (incoming wave)

 P  ik0  ik0Q  ( P  ik0  ik0Q)  ik0  P, Q  0 ...............................................(8)


Bila diasumsikan energi dari gelombang yang mendekati sumber sangat

kecil dibanding dengan gelombang yang menjauhi sumber sehingga hanya

gelombang yang menjauhi sumber saja yang dominan maka akan diperoleh

bentuk persamaan berikut:

P  ik0 (Q  1) ................................................................................................(9)

Atau

  1 2 
 ik0  n 2  2 2  1  ............................................................................(10)
r  k0 z 
 

Kemudian, jika didefinisikan :

1 2 q     …...…….(11)
  n  1,2
 dan
k02 z 2

Maka operator Q dapat dinyatakan sebagai Q  1  q . Dengan demikian,

persamaan (12) dapat ditulis sebagai:


r
 ik0  
1  q  1  ........................................................................................(12)

Persamaan (13) inilah yang disebut persamaan parabolik (PP). Pada

persamaan (13), perluasan suku dapat dilakukan antara lain, misalnya dengan

memanfaatkan deret Pade.


17

 O  q 2 m 1  .....................................................................(13)
m a j ,m q
1 q  1 
j 1 1  b j , m q

Dimana m adalah jumlah suku yang digunakan dalam perluasan dan

2  j 
a j ,m  sin 2  ,
2m  1  2m  1 

 j 
b j ,m  cos 2   ...........................................................................................(14)
 2m  1 

Hasil perluasan dengan deret Pade ini digunakan untuk menyelesaikan

persamaan (13) di atas secara numerik. Penggunaan perluasan dengan deret Pade

ini sering dipilih karena memungkinkan sudut perambatan yang lebih besar dan

dapat menangani variasi kedalaman yang besar.

Keuntungan yang paling mendasar dari penggunaan Persamaan Parabolik

untuk menyelesaikan persamaan Hemholtz adalah karena Persamaan Parabolik

merupakan persamaan gelombang satu arah yang dapat diselesaikan dengan

teknik penyelesaian yang dapat terus bergerak maju dengan bertambahnya jarak

(range-marching solution technique). Teknik penyelesaian tersebut

membutuhkan sfesifikasi kondisi awal dan kondisi batas lingkungan laut. 

 
3. BAHAN DAN METODE

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini mempergunakan data hasil rekaman mooring buoy yang di

tempatkan di perairan Selat Lombok. Pengambilan data tersebut dilakukan

bertempat di perairan Selat Lombok (Gambar 2) dengan koordinat 080 26’ 2322”

LS dan 1150 45’ 331” BT dalam rangka program International Nusantara

Stratification and Transport (INSTANT). Pengolahan serta analisis data di

lakukan di Workshop Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan

Teknologi Kelautan (ITK), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan ( FPIK), Institut

Pertanian Bogor (IPB).

P. Bali
P. Lombok

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian

18
19

3.2. Perangkat dan Peralatan

Data ini diperoleh dengan mempergunakan instrumen pengukur suhu,

salinitas, dan kedalaman yang di pasang oleh Tim INSTANT pada perairan Selat

Lombok. Adapun peralatan dan bahan yang digunakan dalam pengambilan data

adalah sebagai berikut:

a. Conductivity Temperature Depth (CTD)

CTD merupakan instrumen yang digunakan untuk mengambil data sifat fisik

air laut berupa suhu, salinitas, dan densitas. CTD dapat ditambatkan di dalam

laut jika digunakan untuk mengambil data dalam jangka waktu yang lama.

CTD yang digunakan oleh Tim INSTANT adalah SBE-39 Microcat buatan

Seabird electronic yang dapat mengambil data sampai kedalaman sekitar

10.000 m

b. Peralatan pendukung teknik tambatan CTD

Komponen pendukungnya, antara lain kabel baja, pelampung (buoy),

beacon/argos dan jangkar.

Adapun alat yang dipergunakan untuk pengolahan data adalah sebagai

berikut:

1. Perangkat Keras (Hardware)

 Personal Komputer (PC), Pencetak (printer), dan lain-lain.

2. Perangkat Lunak (Software)

 Software Matlab 2010a dengan Toolbox AcTUP V 2.2L


20

3.3. Pengambilan Data

Metode pengambilan data yang dilakukan oleh Tim INSTANT

menggunakan teknik tambatan tali. Pelaksanaan pengambilan data ini melalui

beberapa tahapan, yaitu pemasangan rangkaian, pelepasan, dan pengambilan

kembali rangkaian.

Instrumen-instrumen pengukur parameter oseanografi, salah satunya CTD,

di pasang dalam satu untaian tambatan pada posisi dan kedalaman yang

ditentukan. Tahapan kegiatan dalam pemasangan tambatan adalah (Pranowo et

al, 2006 dalam Kharishma 2009):

1. Persiapan kabel tambatan

2. Kalibrasi dan Inisialisasi peralatan

3. Persiapan penempatan peralatan tambatan di dek kapal bagian belakang

dengan menempatkan semua peralatan pada posisinya masing-masing.

4. Ground track survey, untuk mengetahui profil batimetri di lokasi rencana

peletakan tambatan sehingga diperoleh tempat yang sesuai untuk

pemasangan.

5. Penurunan rangkaian tambatan dengan menurunkan satu persatu

komponen tambatan ke laut pada posisi yang ditentukan

6. Pencatatan koordinat lokasi, waktu, nama alat, dan urutan dilakukan setiap

kali komponen tambatan diturunkan ke laut.

7. Penurunan komponen terakhir, yaitu jangkar.

8. Pencocokan kembali posisi akhir tambatan yang telah terpasang dengan

posisi awal saat jangkar dilepaskan dengan posisi awal saat jangkar

dilepaskan dari kapal.


21

Tahapan kegiatan dalam pengambilan rangkaian komponen peralatan, yaitu:

1. Acoustic release, yaitu pelepasan rangkaian-rangkaian peralatan tambatan

jangkar

2. Pemunculan buoy dari kolom perairan dimana beberapa komponen

diletakan, salah satunya CTD.

3. Pengangkatan komponen ke atas dek kapal, pembersihan komponen, dan

pencatatan informasi yang dibutuhkan.

4. Download Data, yaitu proses pemindahan data dari setiap komponen ke

dalam komputer untuk pemrosesan lebih lanjut.

3.4. Simulasi Data

Data suhu, salinitas, dan kedalaman yang diambil dari CTD dikoreksi

secara manual kemudian disimpan dalam file berekstensi .txt. Data tersebut

kemudian diubah menjadi data kecepatan suara sehingga dapat digunakan untuk

simulasi komputer. Untuk mensimulasikan perambatan gelombang suara di

dalam air, digunakan toolbox AcTUP V 2.2L yang dijalankan dari perangkat lunak

Matlab 2010a. Penjelasan mengenai pengolahan data dapat dilihat di Gambar 3.

Dalam mensimulasikan perambatan gelombang suara diperlukan data

seperti data suhu, salinitas, dan tekanan yang selanjutnya akan di konversi

menjadi data kecepatan suara. Sebelum dilakukan konversi, data harus dilakukan

penapisan untuk menghilangkan nilai yang error. Setelah dilakukan penapisan

data maka dilakukan perata-rataan data karena data yang digunakan selama 30

hari. Lalu dilakukan konversi data dimana dari data kedalaman yang di konversi

ke dalam tekanan dengan menggunakan persamaan 2. Data kecepatan suara di


22

dapat dengan mengkonversi data suhu, salinitas, dan tekanan melalui persamaan

1. Selanjutnya data kecepatan suara ini digunakan dalam pembuatan profil

environment (lingkungan) yang mendekati kondisi lingkungan laut yang

sebenarnya. Data yang diperlukan pada tahap ini adalah data kecepatan suara,

kedalaman, dan koefisien atenuasi yang telah di dapat dari persamaan 3. Hal

terpenting pada tahap ini adalah dalam memasukan nilai kecepatan suara harus

sesuai dengan kedalaman yang telah di tentukan.

Parameter independent di definisikan sebagai parameter yang tidak

dipengaruhi oleh lingkungan sehingga dapat di tentukan sendiri. Nilai yang

diperlukan untuk parameter ini adalah nilai frekuensi, kedalaman sumber,

kedalaman penerima, jarak minimum dan maksimum propagasi. Parameter

dependent merupakan parameter yang dipengaruhi oleh lingkungan yang telah ada

sebelumnya. Pada parameter ini diperlukan nilai seperti Maximum depth for TL

grid output, Relative depth resolution, dll.

Setelah semua parameter dependent, independent dan environment telah

di definisikan, maka tahap selanjutnya adalah menjalankan simulasi dengan

menggunakan kode propagasi RamGeo. RamGeo merupakan kode propagasi

yang mensimulasikan perambatan gelombang suara dengan menggunakan metode

persamaan parabolik. Setelah hasil simulasi selesai maka dapat ditampilkan

dalam bentuk gambar grafik sehingga dapat dilakukan analisis hasil simulasi

untuk dapat melakukan penarikan kesimpulan. Untuk keterangan yang lebih jelas

dapat di lihat pada halaman lampiran.


23

Mulai Pengumpulan Penapisan


Data Perata-rataan Konversi Data
Data
Data

Memasukan code Pembuatan


Memplotkan Hasil Jalankan Simulasi independent dan Environment
Simulasi code dependent (lingkungan)

Analisis Data Plot Hasil Selesai


Simulasi

Gambar 4. Diagram Alir Pengolahan Data


24
 

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Profil Vertikal Kecepatan Suara, Suhu, dan Salinitas

4.1.1. Profil Vertikal Kecepatan Suara

Sebaran vertikal kecepatan suara hasil pengukuran pada daerah permukaan

relatif seragam, namun pada saat kedalaman mendekati kedalaman 100 m- 200 m

kecepatan suara menurun secara tajam lalu berkurang mengikuti kedalaman

perairan sampai di kedalaman 700 m. Pada kedalaman kurang dari 60 m

kecepatan suara cenderung konstan, karena pada kedalaman ini merupakan

lapisan tercampur dimana masih ada penetrasi dari sinar matahari dan terjadi

percampuran massa air yang disebabkan adanya pengadukan oleh angin sehingga

suhu cenderung seragam akibatnya kecepatan suara yang di dapat akan relatif

konstan.

Di bawah lapisan tercampur, kecepatan suara mengalami penurunan yang

relatif tajam pada kedalaman yang relatif singkat karena adanya lapisan termoklin

dimana pada saat bersamaan terjadi peningkatan nilai salinitas. Di bawah

kedalaman 700 m kecepatan suara akan bertambah seiring dengan bertambahnya

kedalaman, dimana kedalaman (tekanan) merupakan faktor yang menentukan di

daerah ini karena penurunan suhu dan peningkatan salinitas berjalan dengan

sangat berlahan. Berdasarkan persamaan 1, suhu, salinitas, dan kedalaman

mempengaruhi kecepatan suara dalam kolom air, sedangkan energi rambat suara

diantaranya dipengaruhi oleh refraksi dan sifat-sifat kimia air laut yang

mengakibatkan adanya perubahan energi menjadi kalor. Menurut Waite (2002),

kecepatan suara di dalam suatu perairan dipengaruhi juga oleh lokasi, musim,

24
25
 

waktu, dan cuaca. Keempat faktor ini mempengaruhi karateristik suatu perairan

yang dimana akan mempengaruhi kecepatan suara. Data yang digunakan

merupakan data yang direkam pada bulan Juli 2005 dimana pada bulan Agustus

merupakan Musim Timur dimana curah hujan relatif berkurang.

Gambar 5. Grafik Hubungan Kecepatan Suara dan Kedalaman Secara Vertikal

4.1.2. Profil Vertikal Salinitas

  Profil vertikal salinitas hingga kedalaman 960 m dapat terlihat pada

Gambar 6. Nilai vertikal salinitas di permukaan relatif lebih kecil, kurang dari

34,3 psu, lalu bertambah secara tajam pada saat kedalaman mendekati 100 m.

Nilai salinitas tertinggi berada pada kisaran kedalaman 100-200 m dekat dengan

lapisan termoklin dimana nilai salinitas mencapai 34,7 psu. Salinitas di perairan

 
26
 

Selat Lombok dipengaruhi oleh masukan massa air dari Samudera Pasifik yang

terbawa oleh ARLINDO. Salinitas dipengaruhi oleh beberapa hal seperti musim,

lintang, dan karateristik suatu perairan. Perekaman data dilakukan pada bulan Juli

2005 yang merupakan Musim Timur dimana wilayah Indonesia relatif mengalami

Musim Kemarau akibat berkurangnya curah hujan karena adanya pengaruh dari

angin Musim Timur.

Gambar 6. Grafik Hubungan Salinitas dan Kedalaman Secara Vertikal

Menurut Pickard dan Emery (1990), salinitas maksimun pada wilayah

perairan tropis terjadi pada kedalaman 100-200 m dekat dengan lapisan termoklin.

 
27
 

Setelah melewati kedalaman 300 m, kadar salinitas menurun seiring dengan

bertambahnya kedalaman.

4.1.3. Profil Vertikal Suhu

Profil vertikal suhu hingga kedalaman 960 m dapat terlihat pada Gambar

7. Berdasarkan hasil yang di dapat, suhu cenderung mengalami penurunan seiring

dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini di sebabkan penetrasi sinar matahari di

laut dapat mencapai kedalaman 150 m. Suhu maksimum berada di sekitar

permukaan laut (lapisan tercampur) yakni berada pada kisaran 29 0C dimana pada

daerah permukaan masih terjadi penetrasi matahari dan dipengaruhi oleh adanya

pengadukan massa air oleh angin yang menyebabkan terjadinya pergerakan massa

air secara vertikal pada kedalaman yang relatif dangkal, sehingga suhu relatif

masih sama nilainya hingga kedalaman 60 m-70 m. Pada kedalaman mendekati

100 m sampai 200 m, suhu mengalami penurunan yang cukup tajam pada

kedalaman yang cukup sempit dan dapat di duga pada kedalaman ini merupakan

lapisan termoklin. Setelah kedalaman 200 m, suhu mengalami penurunan yang

relatif konstan seiring dengan bertambahnya kedalaman. Perekaman data

dilakukan pada Musim Timur dimana sinar matahari lebih banyak sehingga suhu

di perairan lebih hangat karena banyaknya intensitas sinar matahari.

 
28
 

Gambar 7. Grafik Hubungan Suhu dan Kedalaman Secara Vertikal

Kecepatan suara akan meningkat seiring bertambahnya suhu dan

kedalaman (tekanan). Saat air laut di permukaan yang bersuhu relatif lebih hangat

dari pada lapisan air di bawahnya, akan muncul dua kecenderungan yang bertolak

belakang yakni kecepatan suara relatif akan berkurang saat suhu menurun dan

kecepatan suara akan relatif bertambah seiring dengan bertambahnya

kedalaman/tekanan (Waite, 2005).

4.2. Simulasi Nilai Kehilangan Transmisi terhadap Kedalaman dan Jarak

Simulasi perambatan gelombang suara dengan memberi batasan

lingkungan berupa jarak yang sama yakni 20.000 m, kedalaman perairan 650 m,

dan beberapa parameter lingkungan yang sama dengan perbedaan posisi sumber

 
29
 

suara dan penerima yang berada di kedalaman 25 m, 110 m, dan 300 m untuk

sumber suara dan untuk penerima berada pada kedalaman 30 m, 115 m, dan 310

m. Pemilihan kedalaman ini berdasarkan 3 kedalaman yang biasa digunakan

kapal selam dalam beraktifitas di laut. Ketiga kedalaman tersebut secara berturut-

turut mewakili kedalaman kapal selam saat berada pada kedalaman periskop

(periscope depth), kedalaman jelajah rata-rata kapal selam (cruise depth) dan

kedalaman maksimum rata-rata kapal selam (maximum depth). Frekuensi yang

digunakan memiliki nilai yang sama yakni 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz.

Pemilihan frekuensi ini untuk mengetahui pola perambatan gelombang suara

dengan berbagai macam variasi frekuensi yang berbeda.

4.2.1. Kedalaman Sumber Suara 25 m dan Kedalaman penerima 30 m

Simulasi letak sumber suara pada kedalaman 25 m dari permukaan laut

dan penerima diletakan pada kedalaman 30 m dari permukaan laut. Hal ini agar

dapat diketahui pola perambatan gelombang suara saat posisi sumber dan

penerima berada pada kedalaman yang relatif dangkal. Kedalaman ini adalah

kedalaman yang biasanya digunakan oleh kapal selam untuk menggunakan

periskopnya ( periscope depth ) untuk melakukan pengintaian di permukaan laut

atau untuk menembakan torpedo terhadap kapal yang ada di permukaan.

Kedalaman ini merupakan kedalaman yang berbahaya pada kapal selam karena

kapal selam mudah sekali untuk dilacak oleh kapal musuh sehingga kapal perang

musuh dapat melepaskan depth bomb (bom laut) untuk menghancurkan kapal

selam. Bagi kapal selam yang terkena bom jenis ini dapat berakibat fatal karena

 
30
 

meskipun jarak ledakan dan kapal selam mencapai 100 m, efek dekstrutif yang

dihasilkan cukup besar.

Gambar 8 merupakan hasil simulasi komputer dengan kedalaman sumber

25 m, kedalaman penerima 35 m, jarak 20.000 m, kedalaman 360 m dan

frekuensi 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz. Hasil yang diperoleh secara umum

dari 4 frekuensi yang berbeda di dapat nilai kehilangan transmisi (Transmision

Loss / TL) mengalami peningkatan seiring bertambahnya jarak (menjauhi sumber

suara). Berdasarkan hasil simulasi, pada frekuensi 100 Hz gelombang suara

membentuk pola perambatan yang fluktuatif dimana setelah dipancarkan

gelombang suara memancar turun lalu dipantulkan kembali ke permukaan dan

seterusnya. Gelombang suara pada frekuensi ini mengalami nilai kehilangan

transmisi yang cukup besar jika dibandingkan dengan frekuensi yang lain. Pada

frekuensi ini, jarak tempuh gelombang suara dalam kolom air lebih pendek

akibat adanya penyerapan oleh sedimen dan medium air laut. Pada jarak 6.000 m,

perambatan gelombang suara sudah mulai melemah, hal ini terlihat dari nilai

Transmission Loss ( TL) yang semakin besar mendekati 60 dB. Shadow Zone

(lingkaran kuning) terbentuk pada jarak 2.000 m, 10.000 m, dan 14.000 m dari

sumber di kedalaman dekat dengan permukaan air laut dimana nilai TL sekitar 80

dB dan pada jarak 14.000 m-20.000 m di kedalaman 350 m dengan nilai TL

mendekati 80 dB.

Frekuensi 1.000 Hz, gelombang suara mampu merambat ke jarak 20.000

m, namun pada pola perambatannya cenderung berbeda jika di bandingkan pada

frekuensi 100 Hz . Frekuensi ini, pola perambatan gelombang suara yang

terbentuk menjadi dua bagian, dimana pola pertama gelombang suara merambat

 
31
 

secara fluktuatif di daerah dekat dengan permukaan air dan pola kedua gelombang

suara merambat secara fluktuatif dimana setelah dipancarkan gelombang suara

memancar turun lalu dipantulkan kembali ke permukaan dan seterusnya,

meskipun terlihat gelombang suara juga dipantulkan dan dibiaskan pada

kedalaman kurang dari 200 m dimana dekat dengan lapisan termoklin.

Gelombang suara mampu merambat sampai jarak 20.000 m dengan cukup jelas di

pola perambatan pertama, karena gelombang suara berada pada wilayah buluh

permukaan (surface duct), dimana pada wilayah buluh permukaan gelombang

suara seolah-olah seperti terperangkap sehingga gelombang suara mampu

merambat lebih jauh (terfokus). Shadow zone di frekuensi ini pada umumnya

terbentuk pada jarak 14.000 m- 20.000 m di kedalaman antara 100 m dan 200 m.

Pada frekuensi 10.000 Hz, pola perambatan suara yang di dapat hampir

sama dengan pola perambatan gelombang suara pada frekuensi 1.000 Hz.

Frekuensi 10.000 Hz pola perambatan gelombang suara mengalami

penghamburan pada lapisan termoklin dan di bawah lapisan termoklin sehingga

pola perambatannya menjadi tidak terfokus akibatnya pada jarak 10.000 m nilai

TL mendekati 70 dB meskipun pada wilayah buluh permukaan gelombang suara

masih mampu merambat hingga jarak 20.000 m. Shadow zone pada frekuensi

10.000 Hz terbentuk pada jarak sekitar 8.000 m dari gelombang suara pada

kedalaman lebih dari 250 m.

Frekuensi 50.000 Hz tidak jauh beda dengan pola perambatan pada

frekuensi 10.000 Hz, namun pada frekuensi ini terlihat pola rambat yang lebih

fokus ketimbang frekuensi 10.000 Hz. Pada buluh permukaan, gelombang suara

mampu merambat hingga jarak 20.000 m. Shadow zone terletak pada jarak

 
32
 

12.000 m dari sumber suara dengan kedalaman berkisar 200 m dari permukaan air

dimana TL mendekati 80 dB.

Buluh permukaan merupakan lapisan isothermal yang secara akustik

sebagai pemandu gelombang karena ada peningkatan kecepatan suara terhadap

kedalaman. Akibatnya sebagian energi akustik yang dipancarkan oleh sumber

yang berada pada lapisan tercampur akan terjebak dalam buluh permukaan.

Umumnya buluh permukaan yang terletak dipermukaan dangkal (kurang dari 50

m) merupakan buluh yang paling umum ditemui, tetapi buluh ini baru efektif

sebagai pemandu gelombang pada frekuensi tinggi dimana kehilangan akibat

penghamburan menjadi penting. Sebaliknya buluh yang lebih dalam (lebih dari

100 m) merupakan pemandu gelombang yang efektif untuk frekuensi rendah

(Jensen et al, 1994).

Menurut Urick (1983), beberapa faktor yang mempengaruhi absorpsi

gelombang suara di dalam suatu kolom perairan adalah jarak sumber suara

kedalaman perairan, dan frekuensi sumber suara. Semakin jauh gelombang suara,

semakin besar frekuensi yang digunakan merambat dari suatu sumber, maka

semakin tinggi nilai atenuasi (  ) yang terjadi di dalam kolom perairan. Koefisien

atenuasi ini akan mempengaruhi nilai TL yang dimana berdasarkan hasil simulasi

nilai TL apabila jarak semakin jauh, maka nilai TL akan semakin besar.

Gambar 9 pada frekuensi 100 Hz, nilai TL yang didapat cenderung

fluktuatif sepanjang jarak 20.000 m. Pada jarak kurang dari 1.000 m, nilai TL

mengalami kenaikan yang cukup besar hingga mendekati 70 dB. Nilai TL

terbesar berada pada jarak sekitar 7.000-an m dari sumber suara ketika nilai TL

mencapai 100 dB, selain itu terdapat empat wilayah dimana nilai TL mendekati 90

 
33
 

dB, yakni pada jarak sekitar 3.000, 6.000, 9.000, dan 13.000-an m dari sumber

suara. Daerah pada jarak diatas dapat diduga merupakan wilayah dan jarak

munculnya shadow zone.

Frekuensi 1.000 Hz, nilai TL yang di dapat fluktuatif dengan

kecenderungan semakin meningkat jika menjauhi sumber suara. Nilai TL terbesar

terletak pada jarak 8.000 m dimana nilai TL mendekati 100 dB. Selain itu banyak

terdapat nilai TL yang mendekati 80 dB pada frekuensi ini hampir di semua jarak.

Frekuensi 10.000 Hz dan 50.000 Hz cenderung mempunyai kemiripan

dimana kedua frekuensi ini pola perambatan gelombang suara cenderung

fluktuatif dengan kecenderungan mengalami peningkatan TL. Frekuensi

10.000 Hz, nilai TL terbesar terdapat pada jarak 7.000-an m dimana nilai TL

mendekati 100 dB. Sedangkan pada frekuensi 50.000 Hz, nilai TL terbesar

terdapat pada jarak 8.000 m dimana nilai TL mencapai lebih dari 100 dB. Kedua

frekuensi ini terdapat banyak wilayah yang mengalami peningkatan nilai TL yang

mencapai 80 dB dimana dapat di duga wilayah pada jarak tersebut merupakan

shadow zone jika berdasarkan nilai TL yang meningkat

Gambar 10 merupakan gambar yang menampilkan grafik Transmission

Loss dengan jarak pada kelima frekuensi yang digunakan setelah dilakukan

running average. Running average ini bertujuan untuk menampilkan grafik yang

lebih halus (smooth) sehingga jika keempat frekuensi ditampilkan dalam satu

grafik akan terlihat dengan cukup jelas perbedaanya. Pada kedalaman sumber

suara 25 m, frekuensi 100 Hz mempunyai nilai TL yang mengalami kenaikan

yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan 3 frekuensi lainnya. Hal ini

dikarenakan berbagai faktor seperti terserapnya gelombang suara oleh sedimen di

 
34
 

dasar laut dan dapat berpenetrasi gelombang suara ke dalam sedimen. Selain itu,

pada kedalaman ini adalah wilayah lapisan tercampur yang merupakan lapisan

subur dimana didalamnya banyak partikel terlarut. Frekuensi 100 Hz tersebut

banyak membentur partikel tersebut sehingga memiliki nilai kehilangan lebih

besar. Nilai TL tertinggi terdapat di frekuensi 100 Hz dengan nilai TL hampir

mencapai 100 dB pada jarak mendekati 14.000 m.

Ketiga frekuensi lain secara umum berdasarkan Gambar 10 memiliki

nilai TL yang hampir sama dan tidak berbeda jauh ketiganya yakni berkisar antara

70 dB sampai 80 dB. Frekuensi 10.000 Hz dan 50.000 Hz (frekuensi tinggi),

gelombang suara yang hilang lebih dikarenakan adanya penghamburan yang

terjadi oleh kolom perairan (Kadarwati, 1999).

4.2.2. Kedalaman Sumber Suara 110 m dan Kedalaman penerima 115 m

Sumber suara diletakan pada kedalaman 110 m dari permukaan laut dan

penerima diletakan pada kedalaman 115 m dari permukaan laut. Hal ini

dimadsudkan agar dapat diketahui pola perambatan gelombang suara saat posisi

sumber dan penerima berada pada kedalaman yang terdapat lapisan termoklin.

Kedalaman ini merupakan kedalaman yang biasanya digunakan oleh kapal selam

untuk menjelajah (cruise depth). Kedalaman ini kapal selam militer rata-rata

melakukan penjelajahan (cruise) agar tidak dapat terdeteksi oleh musuh yang

menyebar alat deteksi di permukaan laut atau untuk menghindari ranjau yang

dipasang oleh musuh. Selain itu, kapal selam juga menggunakan karateristik

lapisan termoklin yang dapat merefleksikan dan merefraksikan gelombang suara.

 
38
 

Di laut terbuka, lapisan termoklin berkarakter sebagai gradien kecepatan

suara negatif dimana dapat memantulkan gelombang suara. Secara teknik lapisan

ini membendung dari impendansi akustik yang terputus-putus (diskontinu) yang

tercipta dari perubahan densitas secara mendadak.

Gambar 11 merupakan hasil simulasi komputer dengan kedalaman sumber

110 m, kedalaman penerima 115 m, jarak 20.000 m, kedalaman 650 m dan

frekuensi 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz. Hasil yang diperoleh secara umum

dari 4 frekuensi yang berbeda di dapat nilai kehilangan transmisi (Transmision

Loss / TL) mengalami peningkatan seiring bertambahnya jarak (menjauhi sumber

suara). Berdasarkan hasil simulasi, keempat frekuensi mampu merambat hingga

jarak 20.000 m, hal ini terlihat dari pola perambatan gelombang suara yang

berbentuk fluktuatif ( naik turun) saat di pancarkan dari sumber lalu turun ke dasar

perairan dan dipantulkan kembali menuju ke atas di kedalaman 110 m dan begitu

seterusnya hingga jarak 20.000 m. Berdasarkan Gambar 11, pada kedalaman 110

m merupakan lapisan termoklin, dimana suhu menurun dengan cepat pada

kedalaman yang relatif dekat. Lapisan termoklin mempunyai karateristik mampu

memantulkan dan membelokan gelombang suara yang datang.

Berdasarkan hasil simulasi, pada frekuensi 100 Hz gelombang suara

membentuk pola perambatan yang fluktuatif dimana setelah dipancarkan

gelombang suara memancar turun lalu dipantulkan kembali ke permukaan dan

seterusnya. Gelombang suara pada frekuensi ini mengalami nilai kehilangan

transmisi yang cukup besar jika dibandingkan dengan frekuensi yang lain. Pada

frekuensi ini, jarak tempuh gelombang suara dalam kolom air lebih pendek

akibat adanya penyerapan oleh sedimen dan medium air. Jarak 8.000 m,

 
39
 

perambatan gelombang suara sudah mulai melemah, hal ini terlihat dari nilai

Transmission Loss ( TL) yang semakin besar mendekati 70 dB-80 dB. Shadow

Zone (lingkaran kuning) terbentuk pada jarak 2.000 m, 10.000 m, dan 14.000 m

dari sumber di kedalaman dekat dengan permukaan air laut dimana nilai TL

sekitar 80 dB dan pada jarak 10.000 m-20.000 m di kedalaman 250 m dengan

nilai TL mendekati 80 dB. Frekuensi ini gelombang suara yang dipantulkan

kembali seolah terperangkap dalam lapisan termoklin sehingga tidak dapat

mencapai permukaan laut kembali. Hal ini terlihat dari banyak wilayah shadow

zone yang berada pada permukaan air laut.

Frekuensi 1.000 Hz, gelombang suara mampu merambat ke jarak 20.000

m, namun pada pola perambatanya cenderung berbeda jika di bandingkan pada

frekuensi 100 Hz. Pola perambatan gelombang suara frekuensi 1.000 Hz

membentuk menjadi dua bagian, gelombang suara yang pertama merambat secara

fluktuatif di daerah permukaan hingga dekat dengan lapisan termoklin. Pola

perambatan yang pertama, gelombang suara mampu merambat sampai jarak

20.000 m dengan cukup jelas. Gelombang suara yang kedua merambat secara

fluktuatif setelah dipancarkan dari sumber suara. Gelombang suara memancar

turun lalu dipantulkan dan dibiaskan kembali ke lapisan termoklin dan

seterusnya. Shadow Zone pada frekuensi ini pada umumnya terbentuk pada jarak

14.000 m- 20.000 m dengan kedalaman antara 150 m dan 200 m.

Pada frekuensi 10.000 Hz, pola perambatan suara yang di dapat hampir

sama dengan pola perambatan gelombang suara pada frekuensi 1.000 Hz.

Frekuensi 10.000 Hz pola perambatan gelombang suara mengalami

penghamburan pada lapisan termoklin dan dibawah lapisan termoklin sehingga

 
40
 

pola perambatannya menjadi tidak terfokus sehingga pada jarak 10.000 m nilai TL

mendekati 70 dB. Wilayah shadow zone pada frekuensi 10.000 Hz terbentuk pada

jarak sekitar 8.000 m dari gelombang suara pada kedalaman lebih dari 250 m-650

m yang berada di bawah lapisan termoklin. Selain itu, shadow zone juga di

temukan pada lapisan di atas lapisan termoklin dimana wilayah shadow zone ini

terjadi karena terjadi penghamburan dan pemantulan gelombang suara sehingga

gelombang suara yang berasal dari bawah tidak mampu ke daerah permukaan air.

Nilai TL pada wilayah diatas lapisan temoklin berkisar 70 dB pada jarak sekitar

12.000 sampai 14.000 m dari sumber suara.

Frekuensi 50.000 Hz tidak jauh berbeda dengan pola perambatan pada

frekuensi 10.000 Hz, namun pada frekuensi ini terlihat pola rambat yang lebih

fokus ketimbang frekuensi 10.000 Hz. Shadow zone terletak pada jarak 12.000 m

dari sumber suara dengan kedalaman berkisar 200 m dari permukaan air dimana

TL mendekati 80 dB. Selain itu, shadow zone juga di temukan pada lapisan di

atas lapisan termoklin dimana shadow zone ini terjadi karena terjadi

penghamburan dan pemantulan gelombang suara sehingga gelombang suara yang

berasal dari bawah tidak mampu ke daerah permukaan air. Nilai TL pada wilayah

diatas lapisan temoklin berkisar 70 dB pada jarak sekitar 12.000 sampai 14.000 m

dari sumber suara

Gambar 12 merupakan hasil simulasi komputer dengan kedalaman

sumber 110 m, kedalaman penerima 115 m, jarak 20.000 m, kedalaman 650 m

dan frekuensi 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz. Pada frekuensi 100 Hz, nilai

TL yang di dapat cenderung fluktuatif sepanjang jarak 20.000 m. Pada jarak

kurang dari 1.000 m, nilai TL mengalami kenaikan yang cukup besar hingga

 
41
 

mendekati 70 dB. Nilai TL terbesar di dapat pada jarak sekitar 12.000-an m dari

sumber suara dimana nilai TL mencapai 90 dB. Selain itu terdapat wilayah

dimana nilai TL mendekati 90 dB, yakni pada jarak sekitar 13.000-an m dari

sumber suara. Bisa di duga bahwa daerah pada jarak diatas merupakan

wilayah/jarak munculnya shadow zone.

Frekuensi 1.000 Hz, nilai TL yang di dapat fluktuatif dengan

kecenderungan semakin meningkat jika menjauhi sumber suara. Nilai TL terbesar

terletak pada jarak 18.000 m dimana nilai TL melewati 100 dB. Selain itu banyak

terdapat nilai TL yang mendekati 80-90 dB pada frekuensi ini hampir di semua

jarak.

Frekuensi 10.000 Hz dan 50.000 Hz cenderung mempunyai kemiripan

dimana kedua frekuensi ini pola perambatan gelombang suara cenderung

fluktuatif dengan kecenderungan mengalami peningkatan TL. Pada frekuensi

10.000 Hz, nilai TL terbesar terdapat pada jarak 12.000-an m dimana nilai TL

melewati 100 dB. Sedangkan pada frekuensi 50.000 Hz, nilai TL terbesar

terdapat pada jarak 1.500 m dan 16.000 m dimana nilai TL mencapai lebih dari

100 dB. Pada kedua frekuensi ini terdapat banyak wilayah yang mengalami

peningkatan nilai TL yang mencapai 80 dB dimana dapat di duga wilayah pada

jarak tersbut merupakan wilayah shadow zone jika berdasarkan nilai TL yang

meningkat.

Gambar 13 merupakan gambar yang menampilkan grafik Transmission

Loss dengan jarak pada kelima frekuensi yang digunakan setelah dilakukan

running average. Running average ini digunakan untuk menampilkan grafik

yang lebih halus (smooth) sehingga jika keempat frekuensi ditampilkan dalam

 
42
 

satu grafik akan terlihat dengan cukup jelas perbedaanya. Pada kedalaman

sumber suara 110 m, frekuensi 100 Hz mempunyai nilai TL yang mengalami

kenaikan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tiga frekuensi lainnya. Hal

ini dikarenakan karena berbagai faktor seperti terserapnya gelombang suara oleh

sedimen di dasar laut dan gelombang suara dapat berpenetrasi ke dalam sedimen.

Secara umum, keempat frekuensi mempunyai nilai TL yang hampir sama yakni

sebesar 60 dB hingga jarak sekitar 3.000 m, lalu setelah jarak 3.000 m, nilai TL

pada frekuensi 100 Hz mengalami peningkatan jika dibandingkan nilai TL dari

ketiga frekuensi lainnya. Nilai TL tertinggi terdapat di frekuensi 100 Hz dengan

nilai TL hampir mencapai 80 dB pada jarak mendekati 20.000 m.

Ketiga frekuensi lain secara umum berdasarkan Gambar 12 memiliki

nilai TL yang hampir sama dan tidak berbeda jauh ketiganya yakni berkisar antara

60 dB sampai 70 dB. Pada frekuensi 10.000 Hz dan 50.000 Hz (frekuensi tinggi),

gelombang suara yang hilang lebih dikarenakan adanya penghamburan yang

terjadi oleh kolom perairan (Kadarwati, 1999). Pada kedalaman ini merupakan

kedalaman termoklin yang dimana gelombang suara mengalami pembelokan

akibat perbedaan suhu yang menurun dengan cukup drastis pada kedalaman yang

relatif tidak terlalu dalam.

4.2.3. Kedalaman Sumber Suara 250 m dan Kedalaman penerima 260 m

Sumber suara diletakan pada kedalaman 300 m dari permukaan laut dan

penerima diletakan pada kedalaman 310 m dari permukaan laut. Hal ini agar

dapat diketahui pola perambatan gelombang suara saat posisi sumber dan

penerima berada pada kedalaman yang relatif dalam. Kedalaman ini adalah

 
46
 

kedalaman yang biasanya digunakan oleh kapal selam saat melakukan

penyelaman mendekati kedalaman maksimum ( maximum depth). Pada

kedalaman ini kapal selam militer rata-rata melakukan penyelaman secara

maksimum agar tidak dapat terdeteksi oleh musuh yang menyebar alat deteksi di

permukaan laut atau untuk menghindari bom laut dalam ( deep bomb ) yang di

lepas oleh kapal perusak musuh ( destroyer) terutama kapal selam militer

berpenggerak diesel-elektrik meskipun beberapa kapal selam berpenggerak energi

nuklir mampu menyelam hingga kedalaman 400 m.

Gambar 14 merupakan hasil simulasi komputer dengan kedalaman sumber

300 m, kedalaman penerima 310 m, jarak 20.000 m, kedalaman 650 m dan

frekuensi 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz. Berdasarkan hasil simulasi, pada

frekuensi 100 Hz gelombang suara membentuk pola perambatan yang fluktuatif

dimana setelah dipancarkan gelombang suara memancar turun lalu dipantulkan

kembali ke permukaan dan seterusnya. Gelombang suara pada frekuensi ini

mengalami nilai kehilangan transmisi yang cukup besar jika dibandingkan dengan

frekuensi yang lain. Pada frekuensi ini, jarak tempuh gelombang suara dalam

kolom air lebih pendek akibat adanya penyerapan oleh sedimen dan medium air.

Pada jarak 8.000 m, perambatan gelombang suara sudah mulai melemah, hal ini

terlihat dari nilai Transmission Loss ( TL) yang semakin besar mendekati 80 dB.

Shadow Zone (lingkaran kuning) terbentuk jarak sekitar 2.000 m dari sumber di

kedalaman dekat dengan permukaan air laut dimana nilai TL sekitar 80 dB dan

pada jarak 12.000 m-16.000 m di kedalaman 250 m dengan nilai TL mendekati 80

dB. Pada frekuensi ini gelombang suara yang dipantulkan kembali seolah

terperangkap dalam lapisan termoklin sehingga tidak dapat mencapai permukaan

 
47
 

laut kembali. Hal ini terlihat dari banyak shadow zone yang berada pada

permukaan air laut.

Frekuensi 1.000 Hz pola perambatan gelombang suara mampu merambat

sampai jarak 20.000 m dengan cukup jelas meskipun pada kedalaman dekat

dengan sumber suara di jarak 8.000 m, gelombang suara sudah mulai hilang,

meskipun ada beberapa gelombang suara yang masih dapat sampai ke permukaan

air. Shadow zone pada frekuensi ini pada umumnya terbentuk pada jarak 10.000

m- 20.000 m dengan kedalaman antara 0 m dan 300 m dan berada pada jarak

12.000 m sampai 20.000 m di kedalaman sekitar 600 m.

Frekuensi 10.000 Hz, pola perambatan suara yang di dapat hampir sama

dengan pola perambatan gelombang suara pada frekuensi 1.000 Hz. Frekuensi

10.000 Hz pola perambatan gelombang suara mengalami penghamburan pada

lapisan termoklin dan di bawah lapisan termoklin sehingga pola perambatannya

menjadi tidak terfokus sehingga pada jarak 10.000 m nilai TL mendekati 70 dB

terutama pada kedalaman 0-300 m. Shadow zone pada frekuensi 10.000 Hz

terbentuk pada jarak sekitar 8.000 m dari gelombang suara pada kedalaman antara

0 m-300 m yang berada di permukaan sampai kedalaman lapisan termoklin.

Frekuensi 50.000 Hz tidak jauh beda dengan pola perambatan pada

frekuensi 10.000 Hz. Shadow zone terletak pada jarak 8.000 m-20.000 dari

sumber suara dengan kedalaman berkisar 0-200 m dari permukaan air dimana TL

mendekati 80 dB. Shadow zone juga ditemukan pada jarak 14.000 m sampai

20.000 m pada kedalaman sekitar 600 m. Di bawah kedalaman 300 m,

gelombang suara dihamburkan oleh kolom perairan hingga jarak 8.000 m, setelah

melewati jarak 8.000 m, nilai TL semakin meningkat hingga 70 dB. Semakin

 
48
 

dalam posisi sumber suara, semakin tinggi penghamburan dan reverberasi

terutama pada frekuensi tinggi. Dengan bertambahnya jarak, maka efek

penghamburan dan reverberasi di kolom air akan semakin jelas.

Gambar 15 merupakan hasil simulasi komputer dengan kedalaman

sumber 300 m, kedalaman penerima 310 m. Jarak 20.000 m, kedalaman 650 m

dan frekuensi 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz. Pada frekuensi 100 Hz, nilai

TL yang di dapat cenderung fluktuatif sepanjang jarak 20.000 m. Pada jarak

kurang dari 1.000 m, nilai TL mengalami kenaikan yang cukup besar hingga

mendekati 80 dB. Nilai TL terbesar di dapat pada jarak sekitar 18.000-an m dari

sumber suara dimana nilai TL melewati 90 dB.

Frekuensi 1.000 Hz, nilai TL yang di dapat fluktuatif dengan

kecenderungan semakin meningkat jika menjauhi sumber suara. Nilai TL terbesar

terlatak pada jarak 16.000 m dimana nilai TL melewati 100 dB. Selain itu banyak

terdapat nilai TL yang mendekati 80-90 dB pada frekuensi ini hampir di semua

jarak.

Frekuensi 10.000 Hz dan 50.000 Hz cenderung mempunyai kemiripan

dimana kedua frekuensi ini pola perambatan gelombang suara cenderung

fluktuatif dengan kecenderungan mengalami peningkatan TL. Pada frekuensi

10.000 Hz, nilai TL terbesar terdapat pada jarak 5.000-an m dimana nilai TL

melewati 100 dB. Sedangkan pada frekuensi 50.000 Hz, nilai TL terbesar

terdapat pada jarak 8.000 m dan 16.000 m dimana nilai TL mencapai lebih dari

100 dB. Pada kedua frekuensi ini terdapat banyak wilayah yang mengalami

peningkatan nilai TL yang mencapai 80 dB dimana dapat diduga wilayah pada

 
49
 

jarak tersbut merupakan wilayah shadow zone jika berdasarkan nilai TL yang

meningkat.

Gambar 16 merupakan gambar yang menampilkan grafik Transmission

Loss dengan jarak pada keempat frekuensi yang di gunakan setelah di lakukan

running average. Running average ini digunakan untuk menampilkan grafik

yang lebih halus (smooth) sehingga jika keempat frekuensi ditampilkan dalam

satu grafik akan terlihat dengan cukup jelas perbedaanya. Pada kedalaman

sumber suara 300 m secara umum, nilai TL keempat frekuensi mengalami

peningkatan yang tajam dalam jarak kurang dari 2.000 m yakni sebesar 60 dB.

Lalu dari jarak 2.000 m hingga 8.000 m, nilai TL mulai mengalami peningkatan

secara perlahan hingga berada pada kisaran 70 dB sebelum mengalami

peningkatan hingga mencapai 80 dB mulai dari jarak 8.000 m sampai 20.000 m.

Nilai TL tertinggi berada pada frekuensi 100 Hz dimana hampir mencapai 80 dB

pada jarak sekitar 8.000 m.

Gambar 16, nilai TL keempat frekuensi hampir sama tidak seperti pada

Gambar 10 dan 13 dimana frekuensi 100 Hz mengalami peningkatan nilai TL

yang cukup besar jika dibandingkan dengan tiga frekuensi lainnya. Hal ini

disebabkan oleh adanya penetrasi suara kedalam sedimen oleh keempat frekuensi

tersebut secara merata, sehingga nilai TL relatif seragam meskipun terjadi

fluktuasi nilai TL. Kedalaman 300 m ini menurut Gambar 16 merupakan

kedalaman dibawah lapisan termoklin (deep layer) yang dimana pada kedalaman

ini terdapat beberapa stratifikasi lapisan air yang berbeda yang mempengaruhi

pola perambatan gelombang suara.

 
 

Gambar 8. Hasil Simulasi Perambatan Gelombang Suara dengan Kedalaman Sumber Suara 25 m, Kedalaman Penerima 30 m, dan Frekuensi yang
Digunakan 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz ( Shadow Zone ditandai dengan lingkaran kuning)

35 
 

Gambar 9. Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak Pada Frekuensi 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz .

36 
 

Gambar 10. Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak Pada Frekuensi 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz Setelah
Running Average

37 
 

Gambar 11. Hasil Simulasi Perambatan Gelombang Suara dengan Kedalaman Sumber Suara 110 m, Kedalaman Penerima 115
m, dan Frekuensi yang Digunakan 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz ( Shadow Zone ditandai dengan lingkaran kuning)

43

 
 

Gambar 12. Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak Pada Frekuensi 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz.

44

 
 

Gambar 13. Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak Pada Frekuensi 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz Setelah
Running Average

45 
 

Gambar 14. Hasil Simulasi Perambatan Gelombang Suara dengan Kedalaman Sumber Suara 300 m, Kedalaman Penerima 310
m, dan Frekuensi yang Digunakan 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz ( Shadow Zone ditandai dengan lingkaran kuning)

50 
 

Gambar 15. Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak Pada Frekuensi 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz

51 
 

Gambar 16. Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak Pada Frekuensi 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz Setelah
Running Average

52 
5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Shadow zone akustik merupakan suatu zona yang dimana gelombang suara

tidak dapat merambat karena berbagai faktor, seperti adanya refleksi, refraksi, dan

penyerapan gelombang suara oleh kolom perairan, sehingga dapat digunakan oleh

kapal selam militer untuk menghindar dari musuh. Salah satu cara untuk

memetakan shadow zone akustik adalah dengan menggunakan simulasi komputer

dengan mengetahui terlebih dahulu parameter oseanografi yang ada, seperti suhu,

salinitas, dan kedalaman. Data oseanografi tersebut selanjutnya diolah menjadi

kecepatan suara dengan menggunakan persamaan 1. Selanjutnya nilai kecepatan

suara yang telah di dapat disimulasikan sehingga mendapatkan hasil simulasi

perambatan gelombang suara. Dalam melakukan perambatan di dalam kolom

perairan, gelombang suara mengalami kehilangan transimisi yang diakibatkan

oleh menjauhnya gelombang suara dari sumber bunyi, penyerapan gelombang

suara oleh kolom perairan, dan dasar perairan. Akibatnya terjadi zona yang tidak

mengalami perambatan gelombang suara yang disebut dengan shadow zone.

Pola perambatan gelombang suara di pengaruhi oleh berbagai faktor

seperti frekuensi, jarak, kedalaman sumber suara dan penerima. Secara umum

pada kedalaman sumber suara 30 m, 110 m, dan 300 m frekuensi 100 Hz

mengalami kehilangan suara yang paling besar sehingga banyak terbentuk shadow

zone di kolom perairan karena pada frekuensi 100 Hz, gelombang suara memiliki

panjang gelombang yang paling panjang sehingga mampu melakukan penetrasi

kedalam sedimen yang menyebabkan nilai TL bertambah dan memunculkan lebih

53
54

banyak shadow zone. Pada frekuensi 1.000 Hz dan 10.000 Hz wilayah shadow

zone bertambah meskipun lebih sedikit jika dibandingkan dengan frekuensi 100

Hz. Frekuensi 50.000 Hz shadow zone lebih sedikit jika dibandingkan dengan

frekuensi 1.000 Hz dan 10.000 Hz, nilai Transmission Loss dipengaruhi oleh

kedalaman sumber suara.

5.2. Saran

Perlu dilakukan simulasi dengan menggunakan parameter yang lebih

lengkap, seperti penambahan data batimetri dan angin sehingga hasil simulasi

yang di dapat mendekati dengan keadaan yang sebenarnya di alam. Fenomena

oseanografi seperti internal wave perlu untuk diperhitungkan. Selain itu perlu

dilakukan simulasi pada waktu / musim yang berbeda sehingga dapat

diperbandingkan antara musim timur, musim barat, serta musim peralihan.


55

DAFTAR PUSTAKA

Jensen, F.B., W.A. Kuperman, M. B. Porter, H. Schmidt. 1994. Computational


Ocean Acoustics. AIP Press. New York.

Kadarwati, U.R.1999. Simulasi Pola Perambatan Suara dengan Metode


Parabolik di Perairan Selat Sunda. Skripsi. Departemen Ilmu dan
Teknologi Kelautan FPIK-IPB. Bogor.

Kharishma, R.E. 2009. Perbandingan Pola Migrasi Deep Scattering Layer


di Selat Makassar dan Selal Lombok Menggunakan Nilai Acoustic
Volume Backscattering Strength Hasil Pengukuran ADCP. Skripsi.
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB. Bogor.

Kinsler, L.E, R.F, Austin, B.C, Alan dan V.S, James.2000. Fundamental of
Acoustics. John Willey & Sons Ltd. New York.

Kusmantato, T. 2004. Simulasi Perambatan Gelombang Suara dengan Metode


Persamaan Parabolic di Perairan Samudera Hindia. Skripsi. Departemen
Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB. Bogor.

Lurton, X. 2002. An Introduction to Underwater Acoustics: Principles and


Applications. Praxis Publishing. Chichester.

Medwin, H., dan S.C, Clarence.1998. Fundamental of Acoustical Oceanography.


Academic Press. New York.

Pickard, G.L dan W. J. Emery.1990. Descriptive Physical


Oceanography: An Introduction. Butterworth-Heinemann. Oxford.

Pongoet, J. 2008. Analisis Metode Parabolic Equation pada Propagasi


Akustik Bawah Air. Thesis. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Rauf, M.I.A.2007. Variabilitas Massa Air Pada Lapisan


Termoklin Perairan Selat Lombok dan Ombai Periode Januari 2004-Juni
2005. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB.
Bogor.

Sanusi,H.S. 2006. Kimia Laut:Proses Fisik Kimia dan Interaksinya dengan


Lingkungan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB.
Bogor.

Urick, J. 1983. Principle of Underwater Acoustic. Mc Graw Hill.New York.

Waite, H.D. 2005. Sonar for Practising Enginers: Third Edition. John Willey &
Sons Ltd. West Sussex.
56

http://www.ldeo.columbia.edu [ 23 September 2010 ]

http://cmst.curtin.edu.au/products/actoolbox.cfm [ 23 Oktober 2010 ]

http://www.marine.csiro.au [ 23 November 2010 ]

http://www.dosists.org [ 27 Juli 2011 ]


57

Lampiran 1. Tutorial Pengolahan

A. Pemasangan toolbox AcTUP V 2.2L di Perangkat Lunak Matlab 2010a


1. toolbox AcTUP V 2.2L dapat diunduh di website
http://cmst.curtin.edu.au/products/actoolbox.cfm
2. Setelah selesai diunduh, maka hasil unduhan yang berformat .zip di ekstraksi
dengan menggunakan perangkat lunak Winrar.
3. Setelah dilakukan ekstraksi diletakan direktori seperti yang ditunjukan gambar
dibawah ini

Dibawah direktori target, struktur direktorinya akan berubah seperti ini

4. Lalu ikuti petunjuk yang tertera pada tampilan. Untuk dapat menjalankan
toolbox ini pada menu current folder dibuka ke folder tempat menginstall
toolbox ini, contohnya
C:\Program Files\CMST Software\AcTUP v2.2L\AcTUP, setelah itu pada
command window di matlab ketik actup, maka akan terbuka menu toolbox ini.

 
58

B. Penggolahan Data

1. Pada menu Utama AcTUP v2.2L pilih menu configure environment and
propagation model lalu pilih menu submenu edit environment 

2. Pilih edit environment maka akan muncul tampilan seperti di bawah ini, pilih
edit environment

 
59

3. Setelah di klik maka akan muncul tampilan seperti ini, lalu pilih edit layer untuk
membuat lingkungan di water coulumn, jika ingin membuat lingkungan di
bottom halfspace maka pilih menu bottom halfspace

4. Lalu akan muncul tampilan seperti di bawah ini, kita masukan parameter
lingkungan seperti kecepatan suara, densitas, kedalaman, dll lalu pilih ok

 
60

   

5. Setelah itu kita kembali ke submenu utama dan pilih Edit code independent
propagation parameter  

   

6. Maka akan muncul tampilan seperti ini dan kita mengisinya dengan parameter
yang telah ada dan klik ok

 
61

7. Setelah itu kita kembali ke submenu utama dan pilih Edit code dependent
propagation parameter  

8. Lalu muncul tampilan seperti di bawah ini dan kita isi parameternya lalu klik ok

 
62

9. Lalu kembali ke menu awal dan pilih menu select active code dan kita pilih Ram
Geo

10. Kembali ke meu utama, maka kita memilih sub menu Run current model for
ACTIVE propagation code, kita tunggu hasilnya, setelah selesai kita pilih menu
run model from file dan kita pilih data yang sudah disimpan sebelumnya. Setelan
selesai di lakukan running, maka kita pilih menu plotting tools untuk memplot
hasil running kita.

 
63

11. Pada menu plotting tools, kita pilih submenu transmission loss vs range and
depth dimana dia akan meminta file hasil running sebelumnya untuk diplotkan
agar mendapatkan gambar perambatan gelombang suara

Dalam mensimulasikan perambatan gelombang suara diperlukan data sebagai

masukan untuk program seperti data suhu, salinitas, dan tekanan yang selanjutnya akan

diolah menjadi data kecepatan suara. Data kecepatan suara di dapat dengan

mengkonversi data suhu, salinitas, dan tekanan melalui persamaan 1. Dalam pembuatan

 
64

data profil environment, data diolah di menu configure environment and propagation

model. Pada menu Edit Acoustic and Environment Array dimasukan data yang dimana

pembuatan satu environment memerlukan pendefinisian bahwa Vector of Z coordinate

(m) sebagai array data kedalaman dimana menurut informasi mengenai kecepatan suara

dan densitas yang dimasukan harus sesuai dengan kedalamannya.. Vector of

Compressional Sound Speed (m/s) yang berisi array data mengenai kecepatan suara

yang bervariasi disetiap kedalaman. Vector of densities (kg/m3) yang berisi array data

mengenai densitas disetiap kedalaman yang telah didefinisikan pada Vector of Z

coordinate. Nilai pada Vector of shear sound speed (m/s), Vector of compressional

wave absorption, vector of shear wave absorption bernilai 0 sepanjang array yang telah

didefinisikan sebelumnya.

Selanjutnya parameter independent didefinisikan pada menu Edit Code-

Independent Propagation Parameters. Data yang diperlukan adalah data frekuensi, data

kedalaman sumber, kedalaman penerima yang berupa suatu array sepanjang kedalaman

perairan. Jarak minimum dan maksimum propagasi, dan data batimetri.

Untuk parameter dependent, diperlukan nilai seperti Maximum depth for TL grid output,

Relative depth resolution, dll.

Setelah semua parameter dependent, independent dan environment telah di

definisikan, maka di simpan di menu save run definition agar parameter yang telah

didefinisikan tidak hilang. Setelah di simpan, maka dapat di lakukan simulasi dengan

terlebih dahulu memilih menu Select Active Code-RamGeo, lalu pilih menu Run

Current Model for ACTIVE Propagation untuk mensimulasi kode propagasi RamGeo.

 
65

Setelah itu kita memilih menu Run Model(s) from file(s) untuk mensimulasikan skenario

yang sudah di simpan sebelumnya. Setelah simulasi telah selesai, maka di pilih menu

Plotting Tools untuk menampilkan hasil simulasi yang telah selesai. Pada menu

Plotting Tools pilih menu Transmission loss vs range and depth untuk menampilkan

hasil. Setelah hasil selesai ditampilkan maka dapat dilakukan analisis hasil simulasi

untuk dapat melakukan penarikan kesimpulan.

 
 

Lampiran 2 Contoh Definisi Parameter

Parameter Lingkungan
Kolom Perairan
Nama Parameter Keterangan Satuan Nilai
Vector of z coordinates Kedalaman m 1 20 30 40 50 60 70 75 80 85 90 95 100 105,…,650
Vector of compressional sound 1542.181 1542.0657 1537.0047 1533.0601 1521.7106 1512.9783 1511.7554
speeds Kecepatan Suara m/s 1507.726
di Kedalaman 1507.6312 1506.4938 1503.1788 1498.9352 1498.2178
Vector of densities Densitas kgm 1025.1 1025.3 1025.7 1025.9 1026,…

Dasar Perairan
Nama Parameter Keterangan Satuan Nilai
Vector of z coordinates Kedalaman m 650
Vector of compressional sound
speeds Kecepatan Suara m/s 1749
Vector of densities di Kedalaman
Densitas kgm 1941

Parameter Akustik
Parameter Independent Keterangan Satuan Nilai
Judul Judul file masukan
Frekuensi frekuensi sumber suara hz 50.000
Source Depth kedalaman sumber suara m 25, 110, 300
Receiver Depth kedalaman penerima m 30, 115, 310
Minimum Range jarak minimum m 100
Maximum Range jarak maximum m 20000
Number of Range Slices faktor pembagian jarak 200
Filename prefix for output slices nama hasil keluaran
66

 
 

sub directory for output files folder hasil

Parameter Dependent Keterangan Satuan Nilai


Reference phase velocity Kecepatan suara acuan m/s 1500
Number of terms Pade Jumlah suku dalam deret
expansion Pade 7
Jumlah pembatas
Number of stability constraints stabilitas 5

Contoh File Masukan Judul

Ican
50000.000000 25.000000 30.000000 f, zs, zr
20000.000000 0.100000 100 rmax, dr, ndr
650.900000 0.050000 200 690.350000 zmax dz, ndz, zmplot
1500.000000 10 10 0.000000 c0, np, ns, rsc
0.000000 70.000000 bathymetry data {r,z} in [m, m]
20000.000000 70.000000
-1 -1

sound speed profile in water { m/s]


1.000000 1542.181000 105.000000 1525.582900
10.000000 1541.885500 110.000000 1524.845400
20.000000 1541.895800 115.000000 1524.581900
30.000000 1542.065700 120.000000 1521.718600
40.000000 1542.122700 125.000000 1514.761600
50.000000 1539.130700 130.000000 1513.209600
60.000000 1537.004200 135.000000 1513.096900
70.000000 1536.278100 140.000000 1512.993200
75.000000 1534.699300 145.000000 1512.993900
80.000000 1533.873900 150.000000 1519.978300
85.000000 1533.282400 155.000000 1512.960600
90.000000 1533.060100 160.000000 1512.932800
95.000000 1530.861300 165.000000 1512.959600
100.000000 1527.106100 170.000000 1513.022800
67

 
 

175.000000 1513.059300 510.000000 1501.902900


180.000000 1511.755400 520.000000 1500.000000
195.000000 1508.872400 530.000000 1498.913300
200.000000 1508.136400 540.000000 1498.654700
410.000000 1507.726000 550.000000 1498.586100
420.000000 1507.417200 560.000000 1498.217800
430.000000 1507.519200 570.000000 1497.372100
440.000000 1507.631200 580.000000 1497.192500
450.000000 1507.798900 590.000000 1497.038900
460.000000 1507.622900 600.000000 1496.919900
470.000000 1506.493800 600.050000 1749.000000
480.000000 1504.568400 600.350000 1749.000000
490.000000 1503.715500 600.900000 1749.000000
500.000000 1503.178800
-1 -1
density profile 180.000000 1.031000
75.000000 1.025100 ] 195.000000 1.031300
80.000000 1.025300 200.000000 1.031600
85.000000 1.025600 410.000000 1.032300
90.000000 1.025700 420.000000 1.032600
95.000000 1.025900 430.000000 1.032800
100.000000 1.026200 440.000000 1.033000
105.000000 1.026500 450.000000 1.033200
110.000000 1.026800 460.000000 1.033400
115.000000 1.027100 470.000000 1.033600
120.000000 1.027400 480.000000 1.033800
125.000000 1.027700 490.000000 1.034000
130.000000 1.028000 500.000000 1.034200
135.000000 1.028300 510.000000 1.034400
140.000000 1.028600 520.000000 1.034600
145.000000 1.028900 530.000000 1.034800
150.000000 1.029200 540.000000 1.035000
155.000000 1.029500 550.000000 1.035200
160.000000 1.029800 560.000000 1.035400
165.000000 1.030100 570.000000 1.035600
170.000000 1.030400 580.000000 1.035800
175.000000 1.030700 590.000000 1.035900
68

 
 

600.000000 1.036000 600.350000 1.941000


600.050000 1.941000 600.900000 1.941000
-1 -1
attenuation profile {z,attnp} [m, dB) 500.000000 17.89634
75.000000 17.89634 510.000000 17.89634
80.000000 17.89635 520.000000 17.89634
85.000000 17.89636 530.000000 17.89634
90.000000 17.89634 540.000000 17.89634
95.000000 17.89634 550.000000 17.89634
100.000000 17.89634 560.000000 17.89634
105.000000 17.89634 570.000000 17.89634
110.000000 17.89634 580.000000 17.89634
115.000000 17.89634 590.000000 17.89634
120.000000 17.89634 600.000000 17.89634
125.000000 17.89634 600.050000 20.000000
130.000000 17.89634 600.350000 20.000000
135.000000 17.89634 600.900000 18.000000
140.000000 17.89634 -1 -1 
145.000000 17.89634
150.000000 17.89634
155.000000 17.89634
160.000000 17.89634
165.000000 17.89634
170.000000 17.89634
175.000000 17.89634
180.000000 17.89634
195.000000 17.89634
200.000000 17.89634
410.000000 17.89634
420.000000 17.89634
430.000000 17.89634
440.000000 17.89634
450.000000 17.89634
460.000000 17.89634
470.000000 17.89634
480.000000 17.89634
490.000000 17.89634
69

Anda mungkin juga menyukai