Anda di halaman 1dari 101

STUDI KELAYAKAN LAHAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Eucheuma

spinosum) MENGGUNAKAN METODE SCORING DI DAERAH


PERAIRAN KETAPANG, LAMPUNG SELATAN, LAMPUNG

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana


di Bidang Ilmu Kelautan pada Fakultas MIPA

Oleh :
TRI RIZKY OKTARIANSYAH
08051381621070

JURUSAN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDRALAYA
2021
STUDI KELAYAKAN LAHAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Eucheuma
spinosum) MENGGUNAKAN METODE SCORING DI DAERAH
PERAIRAN KETAPANG, LAMPUNG SELATAN, LAMPUNG

SKRIPSI

Oleh :
TRI RIZKY OKTARIANSYAH
08051381621070

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana


di Bidang Ilmu Kelautan pada Fakultas MIPA

JURUSAN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDRALAYA
2021
iii
iv
v
vi
vii
viii
RINGKASAN

Tri Rizky Oktariansyah. 08051381621070. Studi Kelayakan Lahan Budidaya


Rumput Laut (Eucheuma spinosum) Menggunakan Metode Scoring di
Daerah Perairan Ketapang, Lampung Selatan, Lampung (Pembimbing: Dr.
Muhammad Hendri, M.Si dan Rezi Apri, M.Si)
Perairan Provinsi Lampung merupakan perairan Indonesia yang memiliki
potensi yang cukup besar dalam pengembangan perekonomian di bidang
perikanan baik perikanan umum maupun laut. Daerah yang menjadi pusat
budidaya rumput laut adalah Kabupaten Lampung Selatan, Pesawaran, Perairan
Pulau Pahawang dan Perairan Pulau Legondi. Kabupaten Lampung Selatan
merupakan salah satu wilayah pesisir yang memiliki sektor penghasil budidaya
rumput laut jenis Eucheuma spinosum terutama di Kecamatan Perairan Ketapang.
Wilayah ini pada umumnya merupakan perairan yang relatif tenang dan banyak
dilindungi pulau kecil serta memiliki karang penghalang pada sekitar pesisir
perairan Ketapang.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Maret 2020 di
Perairan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Metode
analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode skoring dan
pembobotan seluruh data parameter, sedangkan untuk analisis spasial
menggunakan metode tumpang susun (overlay) yang menggabungkan seluruh
peta hasil interpolasi untuk memuat informasi baru dengan mencocokan kriteria
atau persyaratan yang dikehendaki dalam karakteristik lahannya menggunakan
sistem informasi geografis (SIG). Proses dalam pembuatan peta kesesuaian
meliputi 3 tahapan, yaitu: pengumpulan dan pengolahan data, penyusunan basis
data, dan analisis SIG. Data sekunder sebagai data yang diperoleh secara tidak
langsung yaitu didapat dari website resmi tanahair.indonesia.go.id sebagai SHP
Kabupaten Lampung Selatan. Sedangkan pengambilan sampel susbtrat pada
setiap titik stasiun dengan menggunakan Ekman grab kemudian dimasukkan ke
dalam plastik dan ditandai dengan label setelah itu dilakukan analisis.
Pengambilan sampel air di lapangan secara langsung, sampel air diambil
menggunakan botol gelap kemudian botol gelap dimasukkan ke dalam coolbox,

xiii
setelah itu sampel air dianalisis di Laboratorium, sehingga akan didapat nilai
Nitrat dan Fosfat. Sedangkan nilai yang didapat pada saat pengukuran langsung
dilapangan adalah nilai suhu dan pH air dengan menggunakan Hanna Instrument
HI9124, nilai salinitas air dengan menggunakan handrefraktometer, nilai
kecerahan menggunakan secchi disk dan nilai kecepatan arus menggunakan
Floatting drage.
Setelah data didapat dilakukan skoring kesesuaian lahan berdasarkan
variabel kualitas air. Parameter yang dominan memiliki faktor pembobot paling
besar. Terdapat 3 tingkat kesesuaian lahan, yaitu: 3 = sesuai (S1), 2 = sesuai
bersyarat (S2), 1 = tidak sesuai (S3). Nilai yang digunakan untuk proses
interpolasi merupakan nilai dari hasil pembobotan total dari setiap parameter
kualitas perairan kemudian akan dilakukan interpolasi dengan memasukkan titik
koordinat pengambilan sampel yang telah ada, kemudian sebaran masing-masing
parameter akan diketahui sehingga menghasilkan peta salinitas air, peta pH air,
peta suhu perairan, peta kecepatan arus perairan, peta kedalaman perairan, peta
kecerahan perairan, peta substrat dasar perairan, peta hama rumput laut, peta nitrat
air, peta fosfat air dan peta keterlindungan lokasi. Peta interpolasi tiap parameter
kemudian di overlay sehingga menghasilkan peta kesesuaian budidaya rumput
laut.
Hasil penelitian diperoleh potensi lahan yang dapat digunakan untuk
budidaya rumput laut (Eucheuma spinosum) di Perairan Ketapang, terdiri atas
lahan kelas S1 (sesuai) dan S2 (sesuai bersyarat) seluas 3711,96 Ha dan 492,42
Ha. Peta kesesuaian untuk beberapa metode rumput laut baik metode longline,
lepas dasar dan rakit apung seluas 955,82 Ha, 1583,55 Ha dan 1338,11 Ha.

ix
LEMBAR PERSEMBAHAN

Alhamdulillahi robbil ‘alamiin, puji syukur selalu diberikan kepada Allah


SWT karena berkat limpahan rahmat, ridho dan Hidayah-Nya yang telah
memberikan kekuatan, kemudahan dan kelancaran sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam selalu
dicurahkan kepada Baginda Nabi Besar Rasullullah Muhammad SAW.
Dengan segala rendah hati saya sangat bersyukur atas nikmat dan karunia
Allah SWT dan dengan segenap rasa cinta dan kasih sayangku, saya
persembahkan karya sederhana ini kepada orang-orang yang telah banyak
memberikan bantuan, dukungan, semangat serta selalu mendoakanku agar dapat
menyelesaikan karya skripsiku ini. Pada kesempatan ini saya ingin
mempersembahkan tulisan ini untuk mereka yang selalu bilang “Sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Al-Insyiraah : 6), terkhusus kepada :
● Teruntuk kedua orang tua ku, Bapak Bambang dan Ibu Sri Yanti, kalian
adalah sosok pahlawan yang nyata bagiku yang telah dihadirkan oleh Allah SWT
untuk mengajariku hal-hal yang baik walau kedua kakakku jauh dari hal baik dan
membimbing serta mendidikku dengan baik hingga saat ini yang kelak Allah
SWT membalasnya. Terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tuaku
atas do’a, pengorbanan dan dukungan motivasi yang telah kalian berikan selama
ini dengan sepenuh hati. Saya meminta maaf kepada kedua orang tua ku yang
belum bisa memberikan hal yang terbaik buat kalian, semoga ini awal untukku
untuk melangkah dan menggapai cita-citaku sebagai seorang anak yang dapat
membahagiakan kalian…..
● Teruntuk Kedua Kakak dan Keponakan serta Orang Spesial yang ku
sayangi, sebagai tanda terima kasih aku persembahkan karya sederhana ini untuk
kalian kakak-kakakku. Terima kasih telah memberiku hal yang membuatku
berpikir agar bisa semangat dalam menyelesaikan karya sederhana ini dan juga
memotivasiku dalam melakukan hal yang terbaik untuk keluarga. Terima kasih
teruntuk semua keluarga keponakanku yang telah memberikan bantuan dan juga

x
doanya. Terima kasih Orang Spesial yang telah menjadi semangatku dan selalu
memarahiku atas rasa malasku serta mengingatkanku dalam hal yang baik dan
untuk menyelesaikan tugas akhir karya skripsi ini. Terima kasih juga telah
membantuku banyak hal selama dalam menyelesaikan perkuliahanku...
● Teruntuk Bapak/Ibu Dosen Ilmu Kelautan, Ibu Dr. Riris Aryawaty selaku
Sekretaris Jurusan terima kasih bu atas ilmu yang ibu berikan dan kebaikan yang
ibu ajarkan kepada saya. Bapak Beta Susanto Barus, M.Si selaku dosen
Pembimbing Akademik saya sebelum bapak melanjutkan jenjang pendidikannya
terima kasih selalu membimbing dan telah menyempatkan waktu dalam
memberikan arahan dan solusi terkait mata kuliah yang akan diambil pada
semester selanjutnya. Ibu Dr. Fauziyah, S.Pi selaku Pembimbing Akademik saya
selama pak Beta melanjutkan pendidikannya terima kasih telah memberikan
arahan, motivasi baik itu motivasi untuk menyelesaikan karya skripsi ini maupun
motivasi untuk bisa maju dan sukses setelah lulus kuliah, kata-kata Ibu yang
selalu ku ingat ‘jangan malu atau minder dihadapan orang yang lebih baik dalam
hal apapun diatas saya dan timbulkan rasa percaya diri dalam diri saya’. Bapak
Heron Surbakti, M.Si, Bapak Andi Agussalim, M.Si, Bapak Gusti Diansyah,
M.Sc, Bapak Hartoni, M.Si, Ibu Fitri Agustriani, M.Si, Ibu Isnaini, M.Si, Ibu
Anna Ida Sunaryo, M.Si, Ibu Dr. Wike Ayu Eka Putri, Bapak Dr. H. Melki,
M.Si, Bapak Dr. Rozirwan, terima kasih bapak/ibu dosen yang telah banyak
memberikan banyak ilmu, nasehat dan masukkannya serta yang tak pernah lelah
untuk memberikan yang terbaik kepada saya, semoga Allah SWT selalu
membalas kebaikan bapak/ibu dosen amiiin..
● Teruntuk Bapak/ibu Dosen Pembimbing dan Dosen Penguji, Bapak Dr.
Muhammad Hendri, M.Si selaku Pembimbing I, saya ucapkan banyak terima
kasih kepada bapak yang telah memberikan ilmu baru bagi saya dan menasehati
serta mendengar masalah keluh kesah yang saya hadapi selama ini baik dalam hal
perkuliahan maupun hal yang lain, terima kasih pak telah membimbing saya dari
Kerja Praktek sampai Tugas Akhir ini selesai. Bapak Rezi Apri, M.Si, selaku
Pembimbing II, saya ucapkan terima kasih kepada bapak telah membimbing saya
sampai Tugas Akhir ini selesai dan juga memberikan saran motivasi kepada saya.
Bapak T Zia Ulqodry, Ph.D selaku Ketua Jurusan dan sebagai Dosen Penguji I

xi
saya, terima kasih atas bantuannya pak telah memberikan ilmu dan masukkan
selama ini serta terus-menerus menasehati diriku agar bisa menyelesaikan karya
skripsi ini. Ibu Ellis Nurjuliasti Ningsih, M.Si selaku Dosen Penguji II saya,
terima kasih Ibu atas ilmunya selama ini dan terima kasih pula telah menjadi
penguji pada tugas akhir saya, memberikan saran masukkannya. Sekali lagi terima
kasih banyak Kepada Bapak/Ibu Dosen Pembimbing dan Penguji, semoga Allah
SWT membalaskan kebaikan Bapak/Ibu.
● Teruntuk Babe Terkece (Kombes Marsai/Babeeku) terima kasih, terima
kasih, terima kasih beee telah membantu menasehati diriku agar tidak mengikuti
rasa malasku terus menerus, terima kasih be atas doa, saran dan masukkan dalam
hal kebaikan yang babeee berikan kepada diriku ini dan terima kasih bee telah
memberikan kemudahan bantuan kepada diriku dalam hal apapun baik akademik
maupun non akademik. semoga babe selalu terus sehat dan jangan bosan untuk
membimbing, menasehati dan memberikan saran yang terbaik bagi mahasiswa
ilmu kelautan dan semoga semua kebaikan babe dibalas oleh Allah SWT.
● Teruntuk Pak Min (Minhooo) terima kasih atas segala bantuan dan
supportnya pak min, semoga pak min sehat selalu dan semua kebaikan pak min
dibalas oleh Allah SWT.
● Teruntuk Ibu Novi, terima kasih Ibu telah memberikan arahan dan
bimbingan kepada saya selama melakukan analisis di laboratorium.
● Teruntuk Kak Edi, terima kasih kak telah membantu saat di jurusan, dan
saya sudah anggap seperti kakak angkat sendiri yang selalu memberi saran agar
menyelesaikan Tugas Akhir ini, semoga sehat selalu kak.
● Teruntuk Bapak Dr. Ofri Johan, M.Si dan Staff BRBIH Depok serta
Rekan Kerja Praktek, terima kasih saya ucapkan kepada Bapak Ofri Johan yang
telah membimbing dan memberikan ilmu kepada saya saat melangsungkan kerja
praktek saya di Depok dan terima kasih juga kepada staff-staff di BRBIH serta
rekan-rekan Kerja Praktek yang berasal dari bergabagai Universitas. Terima kasih
atas waktu, ilmu dan wawasan yang telah diberikan serta canda tawa.
● Teruntuk Tim PBB/Persekutuan Bulu Burung (Miko, Fransiskus,
Darma dan Yusuf), terima kasih telah membersamai dan membantu saya selama
menjalankan masa kuliah ini, saling membantu satu sama lain adalah motto dari

xii
grup ini semoga kalian dimudahkan dalam tahapan masa studi selanjutnya kawan
– kawan. Untukmu Miko Bermando selaku wakil ketua Pontus yang bermartabat
mulia membantu sesama tanpa kenal lelah dan balasan yang memliki slogan
“Kalo pacak wong laen ngapo harus aku”. Seorang anggota Basarnas yang
kandidat akan membantu teman atau masyarakat saat kesusahan. Yok jangan
menyerah walau sudah lagi sibuk harus bisa menyelesaikan masa studinya. Salam
Fans berat Resident Evil. Teruntuk Fransiskus selaku dewan pengamat PBB
sangat yang selalu menjadi raja gombal saat ketemu cewek Pontus terima kasih
telah sering membantuku dalam hal apapun, PP Palembang-Layo bareng terus,
jangan gentar untuk menyelesaikan masa studimu yang udah diambang batas, Yok
semangat dewan PBB. Teruntuk Darma, terima kasih telah menjadi bagian dari
PBB dan sudah membantuku saat kesusahan, teruslah melaju untuk
menyelesaikan masa studi ini. Teruntuk Yusuf, terima kasih sudah membantuku
dalam hal apapun saat aku sedang kesusahan, berentilah malas jangan santai-
santai lagi. Ayok semangat buat kalian tim PBB pasti bisa “bantulah wong kalau
biso dibantu”.
● Teruntuk Keluarga Pontus, terima kasih untuk kalian semua telah
membersamaiku dari maba hingga sampai sekarang, banyak cerita yang telah kita
lalui bersama suka duka telah kita alami bersama. Kisah yang akan menjadi
kenangan yang akan tidak mudah dilupakan. Terima kasih kepada ketua angkatan
Softwan Tabrani yang telah menjadi pemimpin dari angkatan ini dan terima
kasih juga telah menjadi tandem dalam penelitian ku ini sehingga bisa
menyelesaikan karya skripsi ini.
● Terima kasih juga rekan-rekan di Ilmu Kelautan yang tidak bisa disebutkan
satu persatu yang telah terlibat dan membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini. semoga kita semua bisa membanggakan keluarga kelautan ini.

MOTTO
“Tidak Ada Sifat Manusia yang Bodoh, Kecuali Sifat Malas (Agusman
Susandri, S.Pd)”

xiii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT. atas semua rahmat
dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul
“Studi Kelayakan Lahan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma spinosum)
Menggunakan Metode Scoring di Daerah Perairan Ketapang, Lampung Selatan,
Lampung”.
Tujuan yang dipilih dalam penelitian ini untuk mengetahui karakteristik
dan menganalisis potensi lahan budidaya rumput laut secara berkelanjutan serta
memberi informasi metode penanam yang tepat untuk budidaya di daerah tersebut
sehingga dinyatakan sesuai atau tidak untuk dijadikan lahan budidaya rumput laut.
Rumusan masalah dari penelitian di daerah ini adalah kurangnya informasi
mengenai karakteristik daerah yang berpotensi secara berkelanjutan untuk
digunakan sebagai lahan budidaya rumput laut di Perairan Kecamatan Ketapang
sehingga dapat meningkatkan penghasilan ekonomi masyarakat.
Ucapan terima kasih kepada kedua pembimbing saya, yaitu Bapak Dr.
Muhammad Hendri, M.Si selaku Dosen Pembimbing I dan Rezi Apri, S.Si, M.Si
selaku Dosen pembimbing II di Universitas Sriwijaya, selain itu saya ucapkan
terimakasih kepada kedua Dosen pembahas saya yaitu Bapak T.Zia Ulqodry, ST.,
M.Si., Ph.D dan Ibu Ellis Nurjuliasti Ningsih, S.Kel, M.Si yang sudah membantu
segala sesuatu saya selama penelitian, baik ilmu dan waktunya.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari skripsi ini, baik
dari materi maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya pengetahuan dan
pengalaman penulis. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
mahasiswa kelautan pada khususnya dan bagi masyarakat luas umumnya.

Indralaya, Januari 2021

Penulis

xiv
DAFTAR ISI
Halaman
COVER ..........................................................................................................
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH...................................iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI.....................................v
ABSTRAK..................................................................................................vi
ABSTRACT.............................................................................................. vii
RINGKASAN.......................................................................................... viii
LEMBAR PERSEMBAHAN.................................................................... x
KATA PENGANTAR ............................................................................ xiv
DAFTAR ISI............................................................................................. xv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................xvii
DAFTAR TABEL................................................................................. xviii
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................... xix

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah...................................................................... 2
1.2 Tujuan........................................................................................... 5
1.3 Manfaat........................................................................................ 5

II. TINJUAN PUSTAKA


2.1 Rumpu Laut.................................................................................. 6
2.1.1 Taksonomi Dan Morfologi Rumput Laut E.spinosum....... 6
2.1.2 Metode Budidaya Rumput Laut..........................................7
1. Metode Rakit Apung (Floating Raft Method).....................8
2. Metode Rawai Panjang (Longline Method).........................8
3. Metode Lepas Dasar (Off-Bottom Method)......................... 9
2.2 Kondisi Lingkungan......................................................................9
2.2.1 Faktor Kimia..................................................................... 10
a. Derajat Keasaman (pH)..................................................... 10
b. Salinitas............................................................................. 10
c. Nitrat..................................................................................11
d. Posfat................................................................................. 11
2.2.2 Parameter Fisika............................................................... 11
a. Suhu................................................................................... 11
b. Kecerahan.......................................................................... 12
c. Kecepatan Arus..................................................................12
d. Substrat..............................................................................13
2.2.3 Parameter Biologi.............................................................13
a. Penyakit Pada Rumput Laut.............................................. 13
b. Hama Pada Rumput Laut.................................................. 14
2.2.4 Kedalaman........................................................................15
2.2.5 Keterlindungan Lokasi..................................................... 15

xv
2.3 Sistem Informasi Geografis.........................................................16
2.3.1 Kesesuaian Lahan Budidaya............................................ 16

III. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat...................................................................... 18
3.2 Alat dan Bahan ...........................................................................18
3.3 Prosedur Penelitian..................................................................... 19
3.3.1 Titik Sampling ................................................................. 20
3.3.2 Pengambilan Sampel Dan Parameter Perairan................. 22
a. Kecerahan....................................................................... 22
b. Substrat Dasar Perairan.................................................. 22
c. Kecepatan Dan Arah Arus..............................................22
d. Derajat Keasaman (pH) Dan Suhu................................. 23
e. Pengamatan Biologi Perairan......................................... 23
f. Salinitas...........................................................................23
g. Nitrat Dan Posfat............................................................ 23
3.4 Analisis Data Untuk Kesesuaian Budidaya Rumput Laut.......... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Kondisi Umum Kecamatan Ketapang Lampung Selatan........... 28
4.1.1 Salinitas ............................................................................31
4.1.2 pH......................................................................................32
4.1.3 Suhu.................................................................................. 34
4.1.4 Kecepatan Arus.................................................................36
4.1.5 Kedalaman........................................................................ 38
4.1.6 Kecerahan......................................................................... 39
4.1.7 Substrat Dasar Perairan.....................................................41
4.1.8 Hama Rumput Laut...........................................................43
4.1.9 Nitrat................................................................................. 45
4.1.10 Posfat.............................................................................. 46
4.1.11 Keterlindungan Lokasi....................................................48
4.2 Analisis Kelayakan Lahan Untuk Lokasi Budidaya Rumput
Laut Eucheuma spinosum Di Perairan Ketapang........................ 51
4.3 Potensi Budidaya Rumput Laut Eucheuma spinosum.................54

V. KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan................................................................................. 57
5,2 Saran........................................................................................... 57

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 58


LAMPIRAN.............................................................................................. 64
RIWAYAT HIDUP......................................................................................

xvi
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 4
2. Morfologi rumput laut Eucheuma spinosum.................................. 7
3. Metode Rakit Apung.......................................................................8
4. Metode Rawai Panjang................................................................... 8
5. Metode Lepas Dasar....................................................................... 9
6. Prosedur Penelitian....................................................................... 20
7. Peta Lokasi Penelitian ..................................................................21
8. Foto Kondisi Perairan Kecamatan Ketapang Desa Ketapang ..... 28
9. Peta Kesesuaian Salinitas Untuk Budiaya Rumput Laut ............. 32
10. Peta kesesuaian pH untuk budidaya rumput laut ....................... 33
11. Peta kesesuaian suhu untuk budidaya rumput laut..................... 35
12. Peta kesesuaian arus untuk budidaya rumput laut...................... 37
13. Peta kesesuaian kedalaman untuk budidaya rumput laut ...........38
14. Peta kesesuaian kecerahan untuk budidaya rumput laut.............40
15. Peta kesesuaian substrat untuk budidaya rumput laut................ 42
16. Peta kesesuaian hama untuk budidaya rumput laut.................... 44
17. Peta kesesuaian nitrat untuk budidaya rumput laut.................... 45
18. Peta kesesuaian posfat untuk budidaya rumput laut................... 47
19. Peta kesesuaian keterlindungan lokasi untuk budidaya rumput
laut.............................................................................................. 49
20. Peta Kelayakan Lokasi Budidaya Rumput Laut Eucheuma
spinosum di Perairan Kecamatan Ketapang................................53
21. Peta rekomendasi metode penanaman untuk budidaya rumput
laut.............................................................................................. 56

xvii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Alat dan Bahan Yang Digunakan untuk Penelitian di Lapangan... 18
2. Alat dan Bahan Yang Digunakan untuk Penelitian di
Laboratorium.................................................................................. 19
3. Titik Stasiun Penelitian ..................................................................21
4. Matrik Kesesuaian Lahan Lokasi Budidaya Rumput Laut
(Eucheuma spinosum.) ...................................................................24
5. Metode penanaman rumput laut dilihat pada kedalaman yang
berbeda ...........................................................................................25
6. Hasil Total Skor Kesesuaian Perairan Budidaya Rumput Laut .....26
7. Hasil Pengukuran Parameter untuk Lokasi Budidaya Rumput
Laut Di Perairan Ketapang Lampung Selatan ............................... 30
8. Rekomendasi Metode Budidaya Rumput Laut Di Perairan
Ketapang.........................................................................................54

xviii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
1. Analisis Kualitas Air...................................................................... 65
2. Data Suhu, Salinitas, pH dan Arus ................................................ 69
3. Data Kedalaman, Kecerahan, Substrat Dasar dan Hama Rumput
Laut.....................................................................................................70
4. Data Hasil Analisis Nitrat ..............................................................71
5. Data Hasil Analisis Posfat ............................................................. 72
6. Hasil Kurva Kalibrasi Nitrat dan Fosfat ........................................ 73
7. Data Keterlindungan Lokasi dan Hasil Rekomendasi Metode Budidaya
Rumput Laut ...................................................................................... 74
8. Data Lapangan................................................................................75
9. Data Hasil Scoring..........................................................................76
10. Dokumentasi Lapangan................................................................ 77
11. Dokumentasi Laboratorium..........................................................78

xix
I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kabupaten Lampung Selatan merupakan salah satu kabupaten yang ada di
Provinsi Lampung dibagian Selatan Pulau Sumatera. Provinsi Lampung
merupakan daerah yang masih dimanfaatkan dari sektor wisatanya, salah satunya
Kabupaten Lampung Selatan yang merupakan daerah pesisir berpotensi untuk
dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya laut. Menurut Radiarta et al., (2005)
beberapa faktor yang mempengaruhi kesesuaian lingkungan untuk perikanan
budidaya antara lain: karakteristik biofisik lokasi (biologi, hidrologi, meteorologi,
kualitas tanah dan air); karakter spesifik dari biota yang dibudidayakan; metode
budidaya (konstruksi dan desain, level produksi dan operasi); kemampuan akses
untuk pinjaman dan informasi serta teknologi yang sesuai.
Daerah yang menjadi pusat budidaya rumput laut adalah Pesawaran, Pulau
Pahawang, Perairan Pulau Legondi dan Lampung Selatan. Menurut Noor (2015)
Provinsi Lampung menjadi salah satu penghasil rumput laut jenis Kappaphycus
alvarezii karena memiliki perairan yang relatif tenang dan banyak dilindungi
pulau kecil. Salah satu daerah di Kabupaten Lampung Selatan yang menjadi areal
budidaya rumput laut adalah perairan Ketapang. Pemerintah melalui Keputusan
Presiden No. 23 Tahun 1982 telah menetapkan kebijakan pengembangan
budidaya laut sebagai salah satu usaha bidang perikanan.
Usaha budidaya rumput laut di laut banyak dilakukan oleh masyarakat pesisir
di Indonesia, dijadikan sebagai pekerjaan utama maupun sampingan. Menurut
WWF-Indonesia (2014) beberapa keuntungan dalam budidaya rumput laut adalah:
1) Tidak memerlukan modal yang tinggi, 2) Teknologi budidaya yang diterapkan
adalah teknologi sederhana sehingga mudah diadopsi oleh masyarakat kecil, 3)
Efisien dalam pemanfaatan waktu, 4) Siklus budidaya singkat, pembudidaya bisa
mendapatkan hasil panen dalam waktu 45 hari, 5) Budidaya rumput laut dapat
dilakukan oleh siapa saja termasuk para ibu rumah tangga.
Menurut keputusan menteri kelautan dan perikanan Republik Indonesia nomor
1/KEPMEN-KP/2019 tentang pedoman umum pembudidayaaan rumput laut
bahwa rumput laut merupakan komoditas perikanan unggulan yang memiliki nilai
2

strategis serta peluang usahanya menjanjikan untuk dikembangkan. Jenis rumput


laut yang dibudidayakan di laut terdiri dari Kappaphycus alvarezii (sebelumnya
dikenal dengan nama Eucheuma cottonii), Kappaphycus striatum dan Eucheuma
denticulatum. Kappaphycus alvarezii dan Kappaphycus striatum dalam dunia
perdagangan dikenal dengan nama Kotoni, sedangkan Eucheuma denticulatum
memiliki nama dagang Spinosum (WWF-Indonesia, 2014).
Perencanaan pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia, masih banyak
mengalami hambatan. Salah satu kendalanya adalah lokasi perairan yang kurang
cocok bagi kegiatan budidaya laut dan juga data parameter kualitas perairan yang
tidak sesuai. Kesalahan dalam pemilihan lokasi budidaya rumput laut akan sangat
mempengaruhi hasil dan mutu rumput laut. Menurut Afandi dan Musadat (2018)
bahwa melalui perkembangan teknologi secara umum, Sistem Informasi
Geografis (SIG) merupakan salah satu pilihan dalam penentuan lokasi ideal untuk
pengembangan budidaya laut, khususnya rumput laut.
Sistem Informasi Geografis (SIG) menjadi solusi yang baik dalam penentuan
lokasi yang sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut berdasarkan data
lingkungan yang diambil secara langsung (primer) dan data yang sudah ada
(sekunder). Menurut Ariati et al., (2007) bahwa Sistem Informasi Gografis (SIG)
dapat memadukan beberapa data dan informasi tentang budidaya perikanan dalam
bentuk lapisan (layer) yang nantinya dapat ditumpang susun (overlay) dengan
data lainnya sehingga menghasilkan suatu keluaran baru dalam bentuk peta
tematik, yang mempunyai tingkat efesiensi, akurasi yang cukup tinggi.
Sitem Informasi Geografis (SIG) dapat digunakan untuk memasukkan,
menyimpan, memanipulasi, menampilkan, dan keluaran informasi geografis
berikut atribut-atributnya. Penentuan kesesuaian lokasi budidaya rumput laut, SIG
menjadi pilihan yang tepat dalam pengambilan keputusan kesesuaian lahan
budidaya rumput laut. Menurut Agus (2012) dalam Ferdiansyah et al., (2019)
bahwa Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan sebuah sistem yang terdiri
dari software dan hardware, data dan pengguna serta institusi untuk menyimpan
data yang berhubungan dengan semua fenomena yang ada dimuka bumi. Sistem
Informasi Geografi merupakan sarana dalam mengumpulkan, menggabungkan,
dan mengolah data dari setiap parameter yang diperlukan.
3

1.2 Perumusan Masalah


Kabupaten Lampung Selatan di sekitar perairan Ketapang telah dijadikan areal
untuk budidaya rumput laut oleh masyarakat setempat. Metode yang paling umum
digunakan dalam budidaya rumput laut di perairan ialah metode longline, rakit
apung dan lepas dasar. Metode-metode tersebut digunakan berdasarkan kondisi
lingkungan perairan dan masyarakat di daerah perairan ketapang umumnya
menggunakan metode longline. Pemanfaatan lokasi budidaya rumput laut di
daerah-daerah perairan ketapang yang optimal untuk saat ini belum diketahui
masyarakat, sehingga perlu kajian mengenai layak atau tidak daerah-daerah
tersebut untuk dijadikan lokasi pembudidayaan. Kajian ini akan melihat dari segi
kondisi lingkungan (ekologi) melalui Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai
alat bantu yang akan menghasilkan peta kelayakan lokasi budidaya rumput laut.
Pengkajian kelayakan perairan untuk lokasi budidaya rumput laut dengan
berbagai metode budidaya rumput laut yang merupakan pendekatan hasil dari
pengumpulan data kualitas perairan di daerah-daerah perairan Ketapang,
Lampung Selatan dengan sampling langsung ke lokasi pengamatan, data kualitas
perairan diolah untuk menentukan skor kelayakan budidaya rumput laut berbagai
metode yang ada. Hasil skor itu akan memberikan informasi mengenai lokasi
kelayakan budidaya rumput laut dengan metode longline, rakit apung dan lepas
dasar. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai studi
kelayakan budidaya rumput laut dengan menggunakan metode scoring di perairan
Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung untuk dijadikan dasar :

1. Bagaimana kondisi parameter kualitas perairan di daerah-daerah perairan


Ketapang Kabupaten Lampung Selatan?
2. Bagaimana tingkat kesesuian lokasi budidaya rumput laut dengan berbagai
metode budidaya rumput laut di daerah-daerah perairan Ketapang
Kabupaten Lampung Selatan dengan menggunakan aplikasi Sistem
Informasi Geografis?
4

Rumusan masalah dari penelitian ini dapat digambarkan dalam kerangka


pemikiran penelitian pada Gambar 1.

Perairan Lampung Selatan

Aktivitas Manusia : Daerah Potensial


● Daerah Pariwisata  Wilayah Pesisir
● Pulau-pulau kecil  Kondisi Ekologi
● Pantai
● Lokasi budidaya laut

Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan

Budidaya Ikan Budidaya Rumput Laut Budidaya Udang

Eucheuma spinosum

Metode rakit apung Metode longline Metode lepas dasar

Analisis Tingkat Kelayakan

Data Parameter : Sistem Informasi Geografis


 Kimia Perairan
 Biologi Perairan
Analisis Spasial
 Fisika Perairan  Peta Base
 Keterlidungan
lokasi
 kedalaman

Skoring Overlay

Peta Kelayakan Lahan Budidaya


Rumput Laut

Gambar 1. Alur Pemikiran Penelitian


Ket :
: Alur Berfikir
----------- : Penelitian
5

1.3 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Menganalisis parameter kualitas perairan untuk menentukan tingkat
kelayakan lokasi budidaya rumput laut (Eucheuma spinosum) di Daerah
Perairan Ketapang, Lampung Selatan, Lampung.
2. Memetakan lokasi kesesuaian budidaya rumput laut metode longline, rakit
apung dan lepas dasar di Daerah Perairan Ketapang, Lampung Selatan,
Lampung melalui Sistem Informasi Geografis.

1.4 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kondisi
perairan untuk kesesuaian budidaya rumput laut dan dapat memberikan informasi
berbagai metode budidaya rumput laut di perairan Lampung Selatan, Lampung
untuk digunakan sebagai masukan bagi para pembudidaya dalam menentukan
peruntukan suatu wilayah pesisir yang sesuai dengan potensi dan daya dukungnya.
Hasil peta dapat digunakan oleh masyarakat sebagai acuan layak atau tidaknya
daerah perairan Lampung Selatan untuk dijadikan lokasi budidaya rumput laut
dengan berbagai metode budidaya yang ada seperti metode rakit apung, metode
longline dan metode lepas dasar serta memberikan informasi dalam pengelolaan
tata ruang wilayah pesisir.
II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rumput Laut


Salah satu sumber daya laut yang memiliki nilai ekonomis sangat tinggi di
Indonesia adalah rumput laut. Menurut Ghufran dan Kordi (2011) bahwa rumput
laut atau alga laut (Seaweed) merupakan salah satu komoditas perikanan penting
di Indonesia. Indonesia menduduki posisi penting sebagai produsen rumput laut
dunia. Produksi rumput laut Indonesia berasal dari pengambilan di laut dan
pembudidayaan, baik di laut maupun di tambak. Di samping potensi lahan (daerah
pasang surut dan tambak) yang luas, kebutuhan rumput laut yang terus
menunjukkan peningkatan, baik pasar domestik maupun pasar dunia merupakan
prospek bagi pengembangan rumput laut di Indonesia.
Rumput laut adalah tumbuhan yang tidak dapat dibedakan antara akar, batang
dan daunnya atau dikenal sebagai thallophyta. Rumput laut termasuk dalam
kelompok alga khususnya makro alga. Sedangkan pengertian lain yang hampir
mirip adalah Seagrass yang di Indonesia lebih dikenal sebagai lamun. Berbeda
dengan lamun yang tergolong dalam tumbuhan tingkat tinggi, rumput laut tidak
termasuk dalam golongan tersebut. Rumput laut pada umumnya dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa kelas yaitu : alga hijau (chloropheceae), alga
coklat (pheaceophyceae), dan alga merah (rhodophyceae) (Hendri, 2018).

2.1.1. Taksonomi dan Morfologi rumput laut Eucheuma Spinosum


Rumput laut dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok besar berdasarkan
pigmentasi. Ahli botani menyebut masing-masing kelompok besar ini sebagai
Phaeophyceae, Rhodophyceaea dan Chlorophyceaea (Messyasz et al. 2015).
Rumput laut memiliki banyak jenis di dunia. Jenis dari rumput laut sendiri
memiliki berbagai macam nama yang berbeda-beda. Indonesia sendiri memiliki
banyak nama lokal untuk rumput laut akan tetapi dalam dunia penelitian
dibutuhkan taksonomi atau klasifikasi untuk identifikasi. Salah satunya rumput
laut jenis E. spinosum. Menurut Tega et al., (2020) klasifikasi E. spinosum
termasuk dalam kelas Rhodophyceae yang dijelaskan sebagai berikut :
7

Kingdom : Plantae
Filum : Rhodophyta
Class : Rhodophyceae
Ordo : Gigarnitales
Famili : Solieriaceae
Genus : Eucheuma
Spesies : E. spinosum

Gambar 2. Morfologi rumput laut E. spinosum


(Sumber: Tega et al., (2020) (kiri) dan Dokumentasi Pribadi (kanan)).

Morfologi dari rumput laut Eucheuma spinosum memiliki ciri khusus thallus
berbentuk silindris dengan permukaan licin, lunak, warna coklat tua, merah ungu
atau hijau kuning, terdapat duri yang tumbuh berderet melingkari thallus dengan
interval yang bervariasi sehingga membentuk ruas-ruas thallus diantara lingkaran
duri. Percabangan berlawanan atau berselang-seling dan teratur pada deretan duri
antar ruas dan merupakan kepanjangan dari duri tersebut. Cabang dan duri ada
juga yang tumbuh pada ruas thallus tetapi agak pendek. Ujung percabangan
meruncing dan setiap percabangan mudah melekat pada substrat (Aslan, 1998).

2.1.2. Metode Budidaya Rumput Laut


Di Indonesia budidaya rumput laut dapat dilakukan dengan tiga metode
penanaman yang paling umum digunakan oleh masyarakat yaitu metode rakit
apung (floating raft method), metode rawai panjang (longline method), dan
metode lepas dasar (off-bottom method). Berikut penjelasan mengenai ketiga
metode budidaya rumput laut menurut para peneliti :
8

1. Metode Rakit Apung (floating raft method)


Metode rakit apung adalah cara budi daya rumput laut menggunakan rakit
yang terbuat dari bambu atau kayu. Metode ini cocok diterapkan pada
perairan berkarang di mana pergerakan air didominasi oleh ombak. Ukuran
rakit bervariasi, tergantung ketersediaan material dan kebutuhan. Ukuran rakit
dapat disesuaikan dengan kondisi perairan, tetapi sebaiknya tidak terlalu
besar untuk memudahkan perawatan rumput laut yang ditanam. Ukuran
bambu biasanya berdiameter 10-20 cm, panjang 5-10 m (Hendri, 2018).

Gambar 3. Metode Rakit Apung (WWFI, 2014).

2. Metode Rawai Panjang (longline method)


Metode rawai panjang prinsip dasarnya hampir sama dengan metode rakit
apung, tetapi tidak menggunakan bambu sebagai rakit pengapung, yaitu
menggunakan pelampung dan biasanya digunakan botol plastik sebagai
pelampung. Kelebihan metode ini adalah tanaman terbebas dari hama bulu
babi, pertumbuhan lebih cepat dan murah ongkos materialnya. Perairan
Indonesia saat ini sangat cocok menggunakan metode rawai panjang
(Sujatmiko dan Wisman, 2003).

Gambar 4. Metode Rawai Panjang (WWFI, 2014).


9

3. Metode Lepas Dasar (off-bottom method)


Metode ini cocok diterapkan dilokasi yang memiliki substrat dasar karang
berpasir atau pasir dengan pecahan karang dan terlindung dari hempasan
gelombang. Biasanya lokasi dikelilingi oleh karang penghalang (barrier reef)
yang berfungsi sebagai pemecah gelombang. Lokasi untuk metode ini cocok
pada kedalaman 0,3 m pada surut terendah dan 3 m pada saat pasang tertinggi
(Ghufran dan Kordi, 2011).

Gambar 5. Metode Lepas Dasar (Wijayanto et al., 2011)

2.2. Kondisi Lingkungan


Pemilihan lokasi merupakan faktor awal yang sangat penting dalam
menentukan keberhasilan budidaya rumput laut. Lokasi budidaya yang baik
dilihat dari faktor kondisi lingkungan atau kondisi ekologis pada suatu lokasi
penelitian, parameter kualitas air yang dianggap paling mendukung bagi
kehidupan organisme yang dibudidayakan..
Keberhasilan dari budidaya rumput laut ini dipengaruhi oleh beberapa faktor
lingkungan baik secara fisik, kimia maupun biologi. Disamping itu pemilihan
lokasi dan metode yang akan digunakan juga menentukan keberhasilan tersebut.
Budidaya rumput laut banyak dilakukan diperairan tenang. Seperti diketahui
perairan tenang sudah banyak yang beralih fungsi (Soenardjo, 2011).
Kondisi laju pertumbuhan rumput laut atau alga dapat dipengaruhi dari
berbagai faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, salinitas, pergerakan air, nutrient,
dan faktor biologis seperti binatang laut yang dapat mengganggu kelangsungan
hidup rumput laut. Faktor tersebut sangat berhubungan erat dengan eksploitasi
secara alami maupun usaha budidaya (Aslan, 1998).
10

2.2.1. Faktor Kimia


a. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman adalah suatu konsentrasi ion dari hidrogen yang ada pada
air. Adanya nilai pH air laut yang berada pada nilai yang cukup tinggi akan
mempengaruhi fisiologi organisme, toksisitas beberapa polutan seperti amoniak
dan logam berat, serta dapat menyebabkan kematian mendadak pada organisme
laut. Keberadaan derajat keasaman (pH) dalam kegiatan budidaya rumput laut (E.
spinosum) juga ikut mempengaruhi kondisi laju pertumbuhan rumput laut
(Waluyo et al. 2016 dalam Gultom et al., 2019)
Konsentrasi pH mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena
mempengaruhi kehidupan jasad renik. Kisaran pH yang sesuai untuk budidaya
rumput laut adalah berkisar antara 6,5–8,5 (Aslan, 1998). Mudeng et al., (2015)
menyatakan nilai derajat keasaman sangat berhubungan dengan kadar
karbondioksida yang terdapat di perairan. pH yang diinginkan untuk budidaya
rumput laut sebesar 6,5 – 8,5.

b. Salinitas
Salinitas adalah jumlah (gram) zat-zat yang larut dalam satu kilogram air laut
dimana dianggap semua karbonat-karbonat telah diubah menjadi oksida, bromida,
dan ionida diganti oleh klorida dan juga semua bahan-bahan organik telah
dioksidasi secara sempurna. Faktor salinitas pada rumput laut dapat menyebabkan
rendahnya pertumbuhan dan cepatnya proses penuaan (aging process). Kisaran
salinitas untuk pertumbuhan rumput laut yaitu pada nilai optimum 33 ppt
(Nugroho dan Kusnendar, 2015).
Nilai salinitas 30-35 ‰ dapat meningkatkan jumlah sel, pertumbuhan, dan
rendemen karaginan rumput laut (Arisandi, 2011). Eucheuma spinosum
merupakan rumput laut yang bersifat stenohaline. Rentan terhadap fluktuasi
salinitas yang tinggi. Menurut Ditjenkanbud (2005) kisaran salinitas yang baik
untuk rumput laut Eucheuma spinosum adalah 28 – 35 ppt.
11

c. Nitrat
Nitrat merupakan salah satu bentuk nitrogen anorganik di perairan dan salah
satu nutrien utama bagi tumbuhan dan alga. Nitrat juga sebagai nitrogen bagi
tumbuhan yang selajutnya dikonversi sebagai protein. Kesuburan perairan untuk
kegiatan budidaya harus pada kisaran optimal. Jika nitrat terlalu tinggi akan
berdampak pada pertumbuhan rumput laut karena memunculkan alga-alga sebagai
kompetitor dalam mendapatkan nutrisi (Jailani et al., 2015).
Nitrat diperairan laut digambarkan sebagai makronutrient dan sebagai
pengontrol produktivitas primer. Menurut Susilowati et al., (2012) pada
penelitiannya hasil pengukutran nitrat dilokasi penelitian 0,05 mg/l bahwa kadar
nitrat-nitrogen pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/l, akan
tetapi jika kadar nitrat lebih besar 0,2 mg/l akan mengakibatkan eutrofikasi
(pengayaan) yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air
secara pesat.

d. Fospat
Fospat merupakan bentuk senyawa anorganik yaitu fosfor yang dapat
langsung dimanfaatkan oleh tumbuhan akuatik (Effendi, 2003). Fosfat merupakan
salah satu unsur hara yang penting bagi metabolisme sel tanaman. Kandungan
phospat mempengaruhi tingkat kesuburan perairan. Menurut Sulistiyo (1996)
dalam Susilowati et al., (2012) kandungan fosfat yang cocok untuk budidaya
rumput laut berkisar 0.02-1 mg/l. Hasil penelitian menunjukkan kandungan fosfat.
0,05-0,07 mg/l, hal ini berarti lokasi tersebut cocok untuk budidaya rumput laut.

2.2.2. Parameter Fisika


a. Suhu
Menurut Poncomulyo et al., (2006) suhu air laut dipengaruhi cahaya
matahari,kedalaman, arus, dan pasang. Pertumbuhan rumput laut Eucheuma
spinosum ditunjang dengan fluktuasi suhu yang relative rendah. Pada lokasi
penelitian didapatkan suhu yaitu 29 °C. Suhu air yang optimal pada lingkungan
disekitar tanaman rumput laut (E. spinosum) berkisar antara 26–30°C
(Anggadiredja et al., 2008 dalam Susilowati et al., 2012).
12

Suhu perairan dapat mempengaruhi laju fotosintesis. Nilai suhu perairan yang
optimal untuk laju fotosintesis berbeda-beda pada setiap jenis. Suhu yang tinggi
dapat menyebabkan protein mengalami denaturasi, serta dapat merusak enzim dan
membran sel yang bersifat labil terhadap suhu yang tinggi. Suhu air dipengaruhi
oleh radiasi cahaya matahari, suhu udara, cuaca dan lokasi. Jika cerah, air laut
menguap sehingga air laut menjadi lebih dingin begitupun sebaliknya jika
mendung tidak akan ada penguapan sehingga suhu air jauh laut lebih hangat
(Ulnang et al. 2018).

b. Kecerahan
Kecerahan salah satu faktor penting dalam laju pertumbuhan rumput laut,
sehingga suatu perairan harus memiliki kecerahan yang jernih. Menurut Ghufran
dan Kordi (2011) menyatakan kecerahan tinggi untuk budidaya rumput laut yaitu
memiliki jarak pandang berkisar 2-5 m. Rumput laut tergolong tanaman tingkat
rendah dengan batang yang disebut thallus dan memerlukan sinar matahari untuk
proses fotosintesis. Rumput laut jenis E spinosum hanya mungkin dapat hidup
pada lapisan fotik, yaitu pada kedalaman sejauh sinar matahari masih mampu
mencapainya.
Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara
visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan sangat dipengaruhi oleh
keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi, serta
ketelitian seseorang yang melakukan pengukuran. Pengukuran kecerahan
sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah (Effendi, 2003).

c. Kecepatan Arus
Arus merupakan faktor yang utama dalam pemilihan lokasi, karena biasanya
arus akan mempengaruhi sedimentasi dalam perairan yang pada akhirnya akan
mempengaruhi penetrasi cahaya. Arus berfungsi untuk mensuplai zat hara dan
juga membantu memudahkan rumput laut menyerap zat hara, membersihkan
kotoran yang ada dan melangsungkan pertukaran CO2 dan O2 sehingga
kebutuhan oksigen tidak menjadi masalah. Kecepatan arus yang baik untuk
pertumbuhan rumput laut adalah 20-40 cm/s (Putra et al., 2014).
13

Kecepatan arus yang baik untuk pertumbuhan rumput laut berkisar antara
0,2–0,4 m/s. Arus sangat berpengaruh bagi rumput laut dalam pengambilan
nutrient dan membawa sumber makanan (Anggadiredja et al, 2006). Faktor
ekologi yang penting untuk memungkinkan terjadinya aerasi, suplai unsur hara
secara tetap, terhindar dari bahan-bahan tersuspensi dari air serta menyebabkan
fluktuasi salinitas dan suhu yang kecil (Nugroho dan Kusnendar, 2015).

d. Substrat
Substrat merupakan partikel–partikel yang berasal dari proses degradasi
terhadap suatu bagian batuan, yang kemudian mengalami erosi, pergerakan air,
dan angin dan terendapkan dalam jangka waktu yg lama. Dasar perairan agak
keras yang dibentuk oleh pasir dan pecahan karang serta bebas dari sedimen dan
lumpur. Kondisi substrat dasar tersebut menunjukkan adanya pergerakan air yang
baik sehingga cocok untuk budidaya rumput laut jenis eucheuma sp
(Anggadiredja et al., 2006 dalam Nugroho dan Kusnendar, 2015).
Daerah perairan berkarang sangat terbuka bagi pengaruh ombak, sehingga
tidak tepat untuk dipilih sebagai lokasi budidaya rumput laut. Tidak hanya
tanaman yang terpengaruh, konstruksi bangunan budidaya akan banyak ditemukan
kesulitan dalam segi teknis. Substrat pasir halus umumnya terlindung dari segala
bentuk gerakan air. Lingkungan yang memiliki substrat baik menguntungkan dari
segi teknis, akan tetapi sedikit menghambat pertumbuhan tanaman yang
diakibatkan tertutup debu atau kecerahan.Tipe dasar perairan yang ideal adalah
daerah karang dengan pasir kasar bercampur potongan-potongan karang. Faktor
teknis yaitu konstruksi bangunan budidaya dan tanaman akan saling
menguntungkan (Aslan, 1998).

2.2.3. Parameter Biologi


a. Penyakit pada rumput laut
Keberhasilan budidaya rumput laut selain tergantung dari kesesuaian lahan
dan penguasaan teknologi juga sangat bergantung dengan musim. Penyediaan
benih dan hasil budidaya yang tidak kontinu, khususnya pada masa pertumbuhan
rumput laut tidak baik dan denga kondisi lingkungan yang tidak mendukung
14

merupakan masalah yang sering dihadapi oleh pembudidaya rumput laut. Menurut
Largo et al., (1995) perubahan lingkungan yaitu arus, suhu dan kecerahan di
lokasi budidaya memicu terjadinya penyakit ice-ice. Penyakit ini adalah terjadinya
perubahan lingkungan yang tidak sesuai untuk pertumbuhan sehingga
menyebabkan menurunnya daya tahan rumput laut tersebut.
Masalah yang ditemukan dalam pengembangan budidaya rumput laut di
Indonesia adalah banyaknya gangguan hama dan penyakit rumput laut terutama
ice-ice, serta keterbatasan informasi teknik pengendaliannya (Nurdjana, 2007).
Menurut Largo et al., (1995) bahwa ice-ice merupakan penyakit yang banyak
menyerang rumput laut. Penyakit ini ditandai dengan timbulnya bintik/bercak-
bercak merah pada sebagian thallus yang lama kelamaan menjadi kuning pucat
dan akhirnya berangsur-angsur menjadi putih. Thallus menjadi rapuh dan mudah
putus.

b. Hama pada rumput laut


Berkurangnya pertambahan berat rumput laut (E. spinosum) disebabkan oleh
predator penganggu yang memakan rumput laut dan terserang oleh penyakit
sehingga menghambat pertumbuhan rumput laut tersebut. perkembangan rumput
laut tidak terlepas dari pengaruh serangan predator seperti ikan-ikan herbivora,
penyu, dan bulu babi. Organisme penganggu terdiri dari ikan herbivora, penyu
dan bulu babi. Lokasi penanaman rumput laut sebaiknya bebas dari organisme
tersebut (Haryasakti, 2017).
Organisme yang bersifat predator, kompetitor dan organisme parasite
merupakan hama yang dapat menghambat pertumbuhan rumput laut yang
dibudidayakan. Menurut Mudeng, (2017) menyatakan bahwa tumbuhan penempel
bersifat kompetitor dalam menyerap nutrisi untuk pertumbuhan. Alga filament
dapat menjadi pengganggu karena menutupi permukaan rumput laut yang
menghalangi proses penyerapan dan fotosintesa. Disamping sebagai kompetitor
tumbuhan penempel ini juga merupakan salah satu penyebab awal terjadinya
infeksi bakteri penyebab penyakit ‘ice-ice’. Tumbuhan penempel tersebut antara
lain Hypnea, Dictyota, Acanthopora, Laurencia, Padina, Ampiroa dan alga
filament seperti Chaetomorpha. Lyngbya dan Symploca.
15

Aslan (1998) dalam Lutfiawan et al., (2015) menjelaskan bahwa predator


(hewan pemangsa) hewan laut seperti moluska dan ikan dapat mempengaruhi
pensporaan alga. Hewan moluska dapat memakan spora dan menghambat
pertumbuhan stadia muda alga, sedangkan hewan herbivora memakan alga
sehingga merusak thallus dan akan mengurangi jumlah spora yang dihasilkan oleh
alga. Patok dasar umumnya lebih rentan terhadap predator seperti moluska dan
ikan herbivor karena letaknya yang didasar perairan, berbeda dengan rakit
terapung yang lebih sedikit pengganggunya.

2.2.4. Kedalaman
Budidaya rumput laut dalam metode penanamannya sangat dipengaruhi oleh
kedalaman. Kedalaman perairan menjadi faktor penentuan lainnya, karena
berhubungan penerimaan sinar matahari untuk fotosintesis. Pemilihan kedalaman
yang sesuai akan memudahkan dalam penyerapan makanan dan terhindar dari
kerusakan akibat sinar matahari langsung (Nugroho dan Kusnendar, 2015).
Penanaman rumput laut yang terlalu dalam dibawah laut akan menghambat
proses pemeliharaannya sedangkan apabila terlalu dangkal akan menyebabkan
rumput laut terkena intensitas sinar matahari yang tinggi. Kedalaman perairan
yang baik untuk budidaya rumput laut Eucheuma spp adalah 0,3–0,6 meter pada
waktu surut terendah untuk metode lepas dasar, 2–15 meter untuk metode rakit
apung, dan 5–20 meter untuk metode rawai (long-line) (DKP, 2006).

2.2.5. Keterlindungan Lokasi


Menurut Nugroho dan Kusnendar (2015) mengungkapkan lokasi budidaya
harus terlindung dari hempasan ombak kuat seperti teluk, selat, atau wilayah yang
terdapat karang penghalang. Kerterlindungan suatu lokasi budidaya dapat
diidentifikasi dari beberapa faktor seperti letak lokasi yang terlindung dari arus
dan ombak secara langsung. Wilayah perairan yang terlindung dapat dilihat
dengan adanya pulau-pulau yang menutupi.
16

2.3. Sistem Informasi Geografis


Pemanfaatan daerah pesisir yang dibutuhkan adalah informasi mengenai
potensi wilayah pesisir dan lautan yang terpadu. Bentuk sistem informasi terpadu
dan baik yang cocok untuk menyimpan dan mengolah serta menyampaikan secara
cepat dan mudah adalah Sistem Informasi Geografis (SIG). Sistem Informasi
Geografis merupakan salah satu pilihan dalam penentuan lokasi ideal untuk
pengembangan budidaya laut. SIG dapat digunakan untuk memasukkan,
menyimpan, memanipulasi, menampilkan, dan keluaran informasi geografis
berikut atribut-atributnya (Prahasta, 2002).
Penentuan kesesuaian lokasi budidaya rumput laut, SIG menjadi pilihan
yang tepat dalam pengambilan keputusan kesesuaian lahan budidaya rumput laut,
SIG dapat memadukan beberapa data dan informasi tentang budidaya perikanan
dalam bentuk lapisan (layer) yang nantinya dapat ditumpanglapiskan (overlay)
dengan data lainnya, sehingga menghasilkan suatu keluaran baru dalam bentuk
peta tematik mempunyai tingkat efisiensi dan akurasi cukup tinggi (Ariyati et al.,
2007).

2.3.1. Kesesuaian Lahan Budidaya


Kesesuaian perairan merupakan proses pendugaan potensi budidaya yang
telah mempertimbangkan dan membandingkan serangkaian data. Menurut
Kamlasi (2008) menyatakan penentuan kesesuaian lahan suatu wilayah perairan
dalam pengembangan budidaya rumput laut secara optimal dan berkelajutan yang
menjamin kelestarian pesisir menggunakan analisis spasial yaitu penyusunan basis
data spasial dan teknik tumpang susun (overlay).
Evaluasi penilaian kesesuaian untuk budidaya rumput laut merupakan hasil
penjumlahan skor dari semua variabel yang telah di nilai berdasarkan angka
penilaian dan dikalikan dengan bobot sesuai pertimbangan pengaruh variabel
dominan. Menurut Kautsari dan Ahdiansyah (2015) Pembagian kelas lahan dan
nilainya dibedakan pada tiga tingkatan kelas yaitu 1) sangat sesuai; 2) sesuai
bersyarat dan 3) tidak sesuai. Sedangkan menurut pendapat lain untuk tingkat
kesesuaian lahan budidaya rumput laut dibagi atas empat kelas oleh Kangkan
(2006) dalam Mudeng et al. (2015) yaitu:
17

1) Kelas S1 : Sangat Sesuai (Highly Suitable)


Lokasi ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan
perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti atau
tidak berpengaruh secara nyata terhadap penggunaannya.
2) Kelas S2 : Sesuai (Moderately Suitable)
Lokasi ini mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk
mempertahankan tingkat perlakukan yang harus diterapkan.
3) Kelas S3 : Sesuai Bersyarat (Marginally Suitable)
Lokasi ini mempunyai pembatas-pembatas yang serius untuk
mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan.
4) Kelas N : Tidak Sesuai (Not Suitable)
Lokasi ini mempunyai pembatas permanen, sehingga mencegah segala
kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut.
III METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilaksanakan pada akhir bulan Februari hingga awal Maret
2020 di Perairan Ketapang, Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung.
Penelitian dilakukan dalam tiga tahapan, tahap pertama yaitu penelitian ke
lapangan. Penelitian di lapangan, dilakukan dengan pengambilan sampel air untuk
mengambil beberapa data parameter perairan. Tahap kedua yaitu tahap
pengolahan data dan analisis data sampel air dilakukan di Laboratorium
Oseanografi Jurusan Ilmu Kelautan, FMIPA, Universitas Sriwijaya. Tahap ketiga
setelah semua data diolah, dilanjutkan dengan proses analisis data SIG di
Laboratorium Penginderaan Jauh dan SIG Kelautan Jurusan Ilmu Kelautan,
FMIPA, Universitas Sriwijaya.

3.2. Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan di Tabel 1.

Tabel 1. Alat dan Bahan Yang Digunakan untuk Penelitian di Lapangan


No Nama Alat dan Bahan Kegunaan
1 GPS Menentukan posisi sampling
2 Botol sampel 350 ml Tempat sampel air
3 Hanna Instrument HI9124 Mengukur pH air dan suhu air
4 Hand Refraktometer Mengukur salinitas
5 Secchi disk Mengukur kecerahan
6 Stopwatch, Floating Drage Mengukur arah dan kecepatan arus
7 Kamera digital Dokumentasi
8 Cool box Menyimpan sampel
9 Ekman grab Mengambil substrat
10 Plastik Bungkus sampel substrat
11 Alat tulis/Sabak Mencatat data penelitian
12 Alat dasar selam Mengambil data pengamatan
13 Aquades Membersihkan alat
14 Kapal Alat transportasi penelitian
15 Timbangan Analitik Menimbang sampel rumput laut
19

Tabel 2. Alat dan Bahan Yang Digunakan untuk Penelitian di Laboratorium


No Nama Alat dan Bahan Kegunaan
1 Komputer / Laptop Mengolah data
2 Sofware Arcgis 10.1 Membantu pengolahan data
3 Sofware Ms. Excel Membantu pengolahan data
4 Data SHP Indonesia Data sekunder untuk base map peta
5 tanahair.indonesia.go.id Website data administrasi SHP
Kabupaten Lampung Selatan
6 Spektrofotometer Mengukur kandungan nitrat, fosfat
7 Tabung reaksi Wadah sampel air
8 Erlenmeyer Tempat larutan
9 Kertas saring 0,45 µm Menyaring sampel air
10 Pipet tetes Menambahkan larutan dalam jumlah
11 Lemari pendingin kecil
12 Timbangan analitik Tempat untuk menyimpan sampel
13 Pipet serologis Menimbang sampel
14 Gelas beaker Menambahkan larutan dengan jumlah
15 Larutan HCL (HydroClorida) besar
16 Larutan KNO3 (Potassium Tempat mengukur larutan
17 Nitrat) Bahan untuk analisis nitrat
18 Brusin Bahan untuk analisis nitrat
19 Sulfanilamid Bahan untuk analisis nitrat
20 Larutan H2SO4 (Asam Sulfat) Bahan untuk analisis nitrat
21 K(SbO)C4H4O6 Bahan untuk analisis fosfat
22 H2O (Aquades) Bahan untuk analisis fosfat
23 NH4 (Ammonium) Bahan untuk analisis nitrat dan fosfat
24 Asam ascorbic Bahan untuk analisis fosfat
25 Potassium antymonil tartrate Bahan untuk analisis fosfat
26 Ammonium Molybdate Bahan untuk analisis fosfat
27 KH2PO4 anhydrous Bahan untuk analisis fosfat
Phenophtalein Bahan untuk analisis fosfat
Bahan untuk analisis fosfat

3.3. Prosedur Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode sampling untuk pengambilan data
kualitas perairan dari parameter fisika, kimia. Metode survei dilakukan untuk
pengamatan parameter biologi berupa kelimpahan hama rumput laut. Untuk
metode skoring digunakan dalam pembuatan peta kriteria kesesuaian lokasi
budidaya rumput laut menggunakan analisis spasial overlay yang akan
menghasilkan data spasial baru berupa peta tematik kesesuaian lokasi budidaya
rumput laut. Tahapan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.
20

Daerah Perairan
Ketapang, Lampung

Data Primer Data Sekunder

Data SHP
Administrasi
Kimia Fisika Biologi -Keterlindungan
-Nitrat -Kecerahan -Hama Lampung Selatan
Lokasi
-Fospat -Suhu Rumput Laut
-Kedalaman
-Salinitas -Substrat
-pH -Arus Base Map Peta

Skoring Peta Tematik Tiap


Parameter

Overlay

Ket : Peta Kelayakan


: Proses Lokasi Budidaya Rumput
Laut
----------- : Hasil
Gambar 6. Prosedur Penelitian

3.3.1. Lokasi Sampling


Titik lokasi sampling penelitian dilakukan menggunakan metode random
sampling dengan menentukan titik sampling dipilih secara acak untuk tujuan agar
titik bisa mewakili sebagian daerah yang akan teliti. Titik sampling dalam
penelitian ini yaitu pengambilan sampel di sebagian Kecamatan Ketapang
Lampung Selatan dengan 13 titik sampling. Peta lokasi penelitian dan titik
sampling disajikan pada Gambar 7 dan Tabel 3.
21

Tabel 3. Titik Stasiun Penelitian


Stasiun Bujur Timur Lintang Stasiun Bujur Timur Lintang Selatan
Selatan
Stasiun 1 105°49'24.70" 05°38'16.67" Stasiun 8 105°48'10.00" 05°44'36.27"
Stasiun 2 105°50'06.53" 05°39'33.65" Stasiun 9 105°48'39.74" 05°45'32.85"
Stasiun 3 105°51'18.51" 05°40'16.74" Stasiun 10 105°48'32.90" 05°47'37.61"
Stasiun 4 105°50'03.89" 05°40'48.03" Stasiun 11 105°47'41.53" 05°49'06.52"
Stasiun 5 105°49'36.44" 05°41'21.97" Stasiun 12 105°47'06.39" 05°49'46.93"
Stasiun 6 105°48'31.63" 05°41'28.53" Stasiun 13 105°46'35.75" 05°50'35.99"
Stasiun 7 105°48'21.44" 05°43'35.32"

Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian


22

3.3.2. Pengambilan Sampel dan Parameter Perairan di Lapangan


a. Kecerahan
Pengukuran kecerahan dilakukan dengan beberapa tahap, sebagai berikut :
1. Secchi disk dimasukkan ke perairan sampai ke kedalaman dimana secchi disk
mulai tidak terlihat kemudian diukur kedalaman tersebut (D1)
2. Secchi disk ditarik dari dalam air sampai terlihat kemudian diukur kedalaman
tersebut (D2)
3. Kecerahan perairan didapat setelah melakukan perhitungan berikut:

Nilai kecerahan dimodifikasi dengan menggunakan m (meter) sebagai satuan


untuk melihat berapa dalam kecerahan yang dapat ditembus matahari.

b. Substrat Dasar Perairan


Substrat dasar perairan diambil menggunakan Ekman Grab yang diturunkan
ke dasar perairan, kemudian pemberat dijatuhkan yang ada pada tali alat tersebut
agar alat tertutup dan terambil substrat dasar perairannya. Sampel yang diambil
secukupnya kemudian sampel dimasukan dalam kantong plastik atau wadah.
Sampel substrat yang telah dimasukan wadah kemudian diberi label pada setiap
stasiun kemudian wadahnya diamati secara visual, kemudian catat jenis substart
dasar perairan dan difoto.

c. Kecepatan dan Arah Arus


Pengukuran kecepatan dan arah arus dilakukan menggunakan alat Floating
Drage untuk kecepatan arus perairan dan menggunakan kompas bidik untuk
melihat arah arus perairan. Floating Drage yang telah dipasang dengan tali
tambang diturunkan ke permukaan perairan kemudian biarkan alat dibawa arus
perairan sampai menjauh dari kapal atau perahu, misalnya 5-8 meter, setelah
cukup jauh kemudian lihat kompas bidik untuk melihat arah arus yang membawa
Floating Drage tersebut, kemudian tarik alat tersebut kembali ke kapal atau
perahu.
23

d. Derajat Keasaman (pH) dan Suhu


pH dan Suhu air laut diukur dengan menggunakan alat pH meter digital
Hanna Instrument yaitu dengan cara mencelupkan sensor pH meter dan sensor
suhu ke wadah sampel air yang diambil dari perairan dengan menggunakan botol
sampel. Kemudian didapatkan nilai pH dan suhu yang ditunjukan pada display
alat tersebut lalu dicatat hasilnya.

e. Pengamatan Biologis Perairan


Data parameter biologi dari perairan diamati secara visual menggunakan alat
snorkeling dengan mencatat hasil kelimpahan hama rumput laut. Predator yang
diamati antara lain penyu hijau, teripang, bulu babi, ikan baronang, dan dugong.
Pengambilan data dilakukan dengan cara mengamati dari permukaan dengan
luasan 3x3 meter, data yang diamati secara visual kemudian dicatat.

f. Salinitas
Salinitas suatu perairan diukur menggunakan alat handrefraktometer dengan
cara sampel air yang diambil dari perairan diteteskan pada kaca refraktometer,
kemudian diarahkan ke sumber cahaya untuk melihat hasil pengukuran. Sebelum
melakukan pengukuran menggunakan alat, refraktometer terlebih dahulu dibilas
dengan menggunakan aquades yang diteteskan pada kaca refraktometer dan sudah
terkalibrasi kemudian hasilnya diamati dan dicatat.

e. Nitrat dan Fosfat


Pengambilan sampel air menggunakan botol sampel yang langsung diambil
dari permukaan perairan, selanjutnya dimasukkan ke dalam botol sampel 350 ml
yang telah di jadikan botol gelap agar cahaya tidak masuk ke air didalam botol
sebanyak 13 sampel (botol) pada setiap stasiun, kemudian disimpan kedalam
kotak pendingin (cool box). Kemudian sampel akan diuji di dalam laboratorium
dan untuk prosedur analisia kerja laboratorium di lampirkan.
24

3.4. Analisis Data Untuk Kesesuaian Perairan Budidaya Rumput Laut


Metode skoring didapatkan dari hasil perkalian antara nilai dan bobot
parameter yang paling dominan dan paling mempengaruhi.
Tabel 4. Matrik Kesesuaian Lahan Lokasi Budidaya Rumput Laut (Eucheuma
spinosum).

Nilai Bobot Skor


Parameter Faktor Kisaran Referensi
(A) (B) (A X B)
Terlindung 3 9
Keterlindungan
Fisika Cukup Terlindung 2 3 6 Gufana et al.
Lokasi
Terbuka 1 3 (2017)
0,2-0,4 3 6
Arus (m/s) Fisika 0,1-0,19 atau 0,41-0,5 2 2 4 Dirjen-KKP
<0,1 atau >0,5 1 2 (2013)
>3 3 6 Papalia (2005)
Kecerahan (m) Fisika 1-3 2 2 4 dalam Farnani
<1 1 2 et al. (2011)
2-10 3 6
Kedalaman (m) Fisika 10-20 2 2 4 DKP (2006)
<2 atau >20 1 2
Pasir/ pecahan karang 3 6
Substrat Dasar Fisika Pasir berlumpur 2 2 4 Gufana et al.
Lumpur 1 2 (2017)
28-35 3 6
Salinitas (ppm) Fisika 18-27 atau 36-37 2 2 4 Gufana et al.
<18 atau >37 1 2 (2017)
0,01-0,07 3 6
Nitrat (mg/l) Kimia 0,08 – 1,0 2 2 4 Akbar (2014)
< 0,01 atau > 1,0 1 2
0,1-0,2 3 6 Ariyati (2007)
Fosfat (mg/l) Kimia 0,02-1.4 atau 2.6 – 3.5 2 2 4 dan Neksidin et
<0,02 atau >3,5 1 2 al. (2013)
27-30 3 3
Suhu (°C) Fisika 20-26 atau 31-36 2 1 2 Gufana et al.
<20 atau >36 1 1 (2017)
6,5-8,5 3 3
pH Kimia 5-6,4 atau 8,6-9 2 1 2 Gufana et al.
<5 atau >9 1 1 (2017)
Sedikit 3 3
Hama Rumput
Biologi Sedang 2 1 2 Aslan (1998)
Laut
Banyak 1 1
Keterangan:
A. Skor berdasarkan petunjuk Gufana et al. (2017): 3 = sesuai (S1), 2 = sesuai
bersyarat (kurang sesuai) (S2), 1 = tidak sesuai (S3).
B. Bobot berdasarkan pertimbangan pengaruh variabel dominan.
C. Nilai didapat berdasarkan petunjuk Ferdiansyah et al. (2019): Σ A.B
25

Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut dibuat berdasarkan


literatur dan studi pustaka. Matrik kesesuaian ini disusun untuk mengetahui data
dari berbagai parameter faktor pendukung laju pertumbuhan rumput laut dan
selanjutnya untuk dianalisis. Pada penelitian ini dikaji 11 parameter sebagai faktor
pendukung laju pertumbuhan rumput laut yang mewakili sebagian parameter
pendukung lain. Kisaran parameter dibuat dari modifikasi sumber penelitian dan
buku budidaya yang nantinya dapat membantu penentuan skor setiap parameter.
Kisaran dibagi menjadi 3 interval dikarenakan pada analisis kesesuaian lokasi
rumput laut terdapat 3 kelas yaitu sesuai, sesuai bersyarat, dan tidak sesuai.
Parameter yang dapat memberikan pengaruh besar pada laju pertumbuhan
rumput laut diberi bobot lebih tinggi dari parameter yang lebih kecil pengaruhnya.
Pada daerah Teluk, parameter yang paling berpengaruh menurut Noor (2015);
ialah keterlindungan lokasi dan kedalaman. Nilai skor didapat dari kriteria dikali
nilai bobot dari masing-masing parameter.
Tingkat kesesuaian dapat diketahui menggunakan metode budidaya rumput
laut yang dilihat berdasarkan kedalaman penanaman yang mengacu pada
Direktorat Kelautan dan Perikanan (DKP) tahun 2006 (Tabel 5).
Tabel 5. Metode penanaman rumput laut dilihat pada kedalaman yang berbeda
Metode Kedalaman
Lepas Dasar 0.3-3 meter
Rakit Apung 2-15 meter
Longline 5-20 meter

Setelah dilakukan proses skoring kemudian skor tersebut ditotalkan sehingga


dapat di kategorikan dari tingkat kesesuaian perairan. Hasil akhir dari SIG melalui
pencapaian kondisi lingkungan perairan budidaya berdasarkan parameter–
parameter tertentu, maka diperolehnya rangking atau urutan kelas kesesuaian
lahan budidaya rumput laut. Interval kelas kesesuaian lahan diperoleh berdasarkan
metode Equal Interval (Prahasta, 2002), selang tiap-tiap kelas diperoleh dari
jumlah perkalian nilai maksimum tiap bobot dan skor dikurangi jumlah perkalian
nilai minimumnya yang kemudian dibagi jumlah kelas, kelas kesesuaian dibagi 3
yaitu sangat sesuai, sesuai, dan tidak sesuai.
26

Menurut Kautsari dan Ahdiansyah (2015) secara umum terdapat lima tahapan
yang dilakukan dalam analisis kesesuaian lahan, yaitu: 1). Penetapan persyaratan
(parameter dan kriteria), pembobotan dan skoring. Parameter yang menentukan
diberikan bobot terbesar sedangkan kriteria yang sesuai diberikan skor tertinggi;
2). Penghitungan nilai dengan skor (S) dijumlah secara keseluruhan sehingga
didapat total nilai bobot-skor maksimal dikurangi total nilai bobot-skor minimal,
kemudian dibagi tiga kategori skor; 3). Pembagian kelas lahan dan nilainya.
Kelas kesesuaian lahan untuk penelitian ini dibedakan pada tiga tingkatan
kelas yaitu 1) sesuai; 2) sesuai bersyarat dan 3) tidak sesuai. Adapun formula
dalam penentuan nilai adalah sebagai berikut :

Keterangan :
Y = Nilai akhir
ai = Faktor pembobotan
Xn = Nilai tingkat kesesuaian lahan
Interval kelas kesesuaian lahan dapat diperoleh menggunakan metode Equal
Interval (Prahasta, 2002) untuk membagi jangkauan nilai-nilai atribut ke dalam
sub sub jangkauan dengan ukuran yang sama. Perhitungannya adalah sebagai
berikut:

Keterangan :
I = Interval kelas kesesuaian lahan
∑K = Jumlah kelas kesesuaian lahan
N maks = Nilai maksimum
N min = Nilai minimum
Tabel 6. Hasil Total Skor Kesesuaian Perairan Budidaya Rumput Laut.
Total Skor*1 Tingkat Kesesuaian*2 Keterangan*3
Tidak mempunyai pembatas yang serius untuk
penerapan perlakuan yang diberikan atau hanya
47-60 Sesuai (S1) mempunyai pembatas yang tidak berarti terhadap
penggunaannya dan tidak akan menaikkan
masukkan/tingkatperlakuanyangdiberikan
Mempunyai pembatas yang serius untuk
mempertahankan tingkat perlakuan yang harus
33-46 Sesuai Bersyarat (S2) diterapkan atau pembatas akan lebih
meningkatkan masukan/tingkatan perlakuan yang
diperlukan
27

Tidak dapat digunakan karenamemiliki pembatas


20-32 Tidak Sesuai (S3)
yangpermanen
Catatan = *1 : Hasil perhitungan menggunakan rumus, *2 : Manafi et al. (2009)
*3 : Manafi et al. (2009).
Nilai yang akan digunakan dalam proses interpolasi adalah nilai hasil
pembobotan total dari setiap parameter kualitas air dan kualitas tanah kemudian
dilakukan interpolasi dengan memasukkan titik koordinat pengambilan sampel
sehingga diketahui sebaran masing-masing parameter sehingga menghasilkan peta
salinitas air, peta pH air, peta suhu perairan, peta kecepatan arus perairan, peta
kedalaman perairan, peta kecerahan perairan, peta substrat dasar perairan, peta
hama rumput laut, peta nitrat air, peta fosfat air dan peta keterlindungan lokasi.
Sehingga total peta interpolasi yang didapat adalah 11 peta tematik.
Interpolasi pada penelitian ini menggunakan software ArcGis 10.1 dengan
metode Inverse Distance Weighted (IDW). IDW merupakan interpolasi yang
sederhana dengan mempertimbangkan titik disekitarnya. Asumsi dari metode ini
memiliki nilai interpolasi yang lebih mirip dari data yang terdekat. Bobot akan
berubah secara linear sesuai dengan jaraknya dengan data sampel. Peta tematik
masing-masing variabel inilah yang akan digabung atau overlay Proses analisis
spasial akan menghasilkan peta kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut.
Salah satu cara dasar untuk membuat atau mengenali hubungan spasial
melalui proses overlay. Proses overlay tersebut yaitu menggabungkan seluruh peta
hasil interpolasi untuk memuat informasi baru dengan mencocokan kriteria atau
persyaratan yang dikehendaki dalam karakteristik lahannya. Hasil penyusunan
data overlay akan menghasilkan peta dengan tiga kriteria warna, peta inilah yang
akan dijadikan layout map hasil informasi kesesuaian lahan budidaya rumput laut.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Umum Kecamatan Ketapang Lampung Selatan


Secara geografis Kabupaten Lampung Selatan terletak pada posisi antara
105°-105°50’ BT dan 5°15’-6° LS dengan batas wilayah sebelah utara berbatasan
dengan Kabupaten Lampung Timur, sebelah selatan dengan Selat Sunda, sebelah
timur dengan Laut Jawa, dan sebelah barat dengan Kabupaten Tanggamus.
Wilayah pesisir Kabupaten Lampung Selatan membentang mulai dari sebelah
utara yaitu Muara Sungai Sekampung di Kecamatan Seragi hingga sebelah selatan
yaitu Desa Bawang Kecamatan Punduh Pidada Kabupaten Pesawaran yang
memiliki panjang garis pantai 45 km. Di Kabupaten Lampung Selatan terdapat 17
kecamatan, salah satunya adalah Kecamatan Ketapang yang memiliki luas
wilayah ±18.660 Ha.
Kecamatan Ketapang memiliki kondisi perairan yang terdiri dari berbagai
substrat dengan dominan terdiri dari substrat berlumpur dikarenakan terdapat
aliran sungai kecil di berbagai desa di Kecamatan Ketapang dan terdapat sungai
besar yang bernama Sungai Sekampung dan bermuara di pesisir Kecamatan
Seragi di sebelah utara dari Kabupaten Lampung Selatan. Bentuk pantai di
Kabupaten Lampung Selatan umumnya bertopografi landai dengan kondisi lahan
yang relatif seragam dan sepanjang tepi pantai ditumbuhi mangrove.

Gambar 8. Foto Kondisi Perairan Kecamatan Ketapang Desa Ketapang


(Sumber: Dokumetasi Pribadi)
29

Perairan Kecamatan Ketapang dengan dominan substrat berlumpur tetapi


juga terdapat substrat pasir, pecahan karang serta lumpur berpasir dan hanya di
sebagian pulau kecil yang berada di jauh dari daratan Ketapang memiliki kondisi
terumbu karang yang masih baik seperti di Pulau Mundu disebabkan kualitas
perairan yang mendukung. Walaupun kondisi perairan yang keruh tetapi kualitas
perairan di wilayah tersebut masih cocok atau sangat cocok untuk dilakukan
budidaya rumput laut. Umumnya perairan Ketapang terdapat budidaya rumput
laut jenis E spinosum dan sedikit ada yang membudidayakan jenis E cottoni,
budidaya rumput laut di Perairan Ketapang dominan menggunakan metode tali
panjang (Longline).
Budidaya rumput laut jenis E spinosum banyak dijumpai di perairan
Ketapang yang dikarenakan jenis ini mudah dibudidayakan dan juga harga bibit
dari jenis ini lebih murah dibandingkan jenis E cottoni sehingga petani rumput
laut di perairan ketapang banyak membudidayakan jenis E spinosum.
Penelitian ini dilakukan pada Bulan Februari hingga Maret 2020.
Pengukuran parameter langsung dilakukan disebagian lokasi penelitian dan diukur
sebanyak tiga (3) kali pengukuran. Pengukuran pertama dilakukan pada Akhir
Februari 2020, sedangkan pengukuran kedua (2) dilakukan pada Awal Maret 2020
dan pengukuran ketiga (3) dilakukan pada pertengahan Maret 2020. Saat
pengukuran tersebut dilakukan sedang berlangsungnya musim Barat.
Kondisi cuaca pada saat pengukuran dalam kondisi yang baik atau cerah
dan perairan dengan gelombang yang tenang. Parameter yang diukur pada
penelitian ini meliputi salinitas, pH, suhu, arus, kedalaman, kecerahan, substrat,
nitrat, posfat, ketelindungan lokasi dan keberadan hama rumput laut. Hasil
pengukuran parameter di setiap stasiun di sajikan selengkapnya pada tabel 7:
30

Tabel 7. Hasil Pengukuran Parameter untuk Lokasi Budidaya Rumput Laut Di Perairan Ketapang Lampung Selatan
Salinitas Arus Kedalaman Kecerahan Hama Nitrat Posfat Keterlindungan
Stasiun X Y pH Suhu°C Substrat
(ppt) (m/s) (m) (m) RL (mg/l) (mg/l) lokasi
1 105.82352778 -5.63796389 31 7.99 29.17 0.08 3 1.8 Lumpur Sedikit 0.807 0.416 Terlindung
2 105.83514722 -5.65934722 32.5 8.05 29.00 0.17 6 3.2 Lumpur Sedikit 0.656 0.134 Cukup
Terlindung
3 105.85514167 -5.67131667 35 8.03 29.00 0.17 29 16.5 Pasir Sedikit 0.469 0.148 Terbuka
4 105.83441389 -5.68000833 33.5 8.07 28.90 0.18 7 4.7 Pecahan Sedikit 0.442 0.153 Terlindung
Karang
5 105.82678889 -5.68943611 33.5 8.03 28.80 0.24 5 3.2 Lumpur Sedikit 0.629 0.158 Terlindung
6 105.80878611 -5.69125833 30 7.94 28.67 0.15 2.15 1.2 Lumpur Sedikit 0.487 0.196 Terlindung
7 105.80595556 -5.72647778 30.5 7.99 29.00 0.08 4.37 2.6 Lumpur Sedikit 0.834 0.124 Terlindung
8 105.80277778 -5.74340833 30 7.99 28.97 0.13 2.36 1.3 Pasir Sedikit 0.656 0.191 Terlindung
Berlumpur
9 105.81103889 -5.75912500 30 8.06 29.20 0.16 4.89 2.7 Pasir Sedikit 0.727 0.115 Terlindung
Berlumpur
10 105.80913889 -5.79378056 32 8.00 29.03 0.15 33 17.1 Pasir Sedikit 0.451 0.167 Cukup
Berlumpur Terlindung
11 105.79486944 -5.81847778 32 8.07 29.33 0.50 15 8.0 Lumpur Sedikit 0.478 0.785 Cukup
Terlindung
12 105.78510833 -5.82970278 33 8.03 29.00 0.53 18 9.6 Lumpur Sedikit 0.558 0.550 Terlindung
13 105.77659722 -5.84333056 32.5 8.06 28.90 0.08 30 15.5 Pecahan Sedikit 0.576 0.584 Terlindung
Karang
Sumber: Hasil Penelitian, 2020
31

4.1.1 Salinitas
Faktor yang berperan dalam budidaya rumput laut salah satunya yaitu
salinitas. Pertumbuhan rumput laut menjadi terganggu disebabkan karena kisaran
nilai salinitas yang terlalu rendah atau terlalu tinggi. Sebaran salinitas di lokasi
penelitian masih dalam batas wajar dan sesuai untuk budidaya rumput laut jenis
E spinosum. Menurut Asni (2015) apabila salinitas rendah, jauh dari batas
toleransi maka pertumbuhan rumput laut akan gampang patah dan lunak akhirnya
membusuk serta tidak tumbuh dengan normal dan akan mati. Sedangkan pada
salinitas yang sangat tinggi akan menyebabkan thallus rumput laut menjadi pucat
kekuning-kuningan yang menjadi rumput laut tidak tumbuh dengan baik.
Hasil pengukuran nilai salinitas di Perairan Ketapang, Lampung Selatan
yang memiliki kisaran nilai 30-34 ppt dengan salinitas rata-rata 32 ppt (Lihat
Tabel 7). Hasil pengukuran sebaran nilai salinitas di Perairan Ketapang, Lampung
Selatan menunjukkan nilai (kategori) sesuai (S1) dengan luas area perairan
4204,38 ha (Lihat Gambar 9). Salinitas Perairan Ketapang masih optimal untuk
dijadikan lokasi budidaya rumput laut E spinosum.
Hal ini sesuai dengan pendapat Gufana et al. (2017) yang menyatakan
rumput laut akan tumbuh dengan baik pada kisaran salinitas 28-34 ppt. Sementara
Kurniawan et al. (2018) menyebutkan E spinosum memiliki kisaran toleransi
terhadap salinitas berkisar antara 32-34 ppt dengan rata-rata 33 ppt. Pendapat lain
menyebutkan nilai salinitas yang dibutuhkan bervariasi, tergantung jenis rumput
laut yang dibudidayakan. Secara umum kadar garam yang dibutuhkan sekitar 12-
35% (Hendri, 2018). Pernyataan tersebut juga di sesuaikan menurut (Hendri et. al
2018) rumput laut memiliki kisaran salinitas yang bervariasi. Gracilaria sp
merupakan jenis rumput laut yang memiliki kisaran yang luas (euryhaline).
Salinitas sangat mempengaruhi proses metabolisme dan pertumbuhan.
Data hasil pengukuran salinitas menunjukan bahwa sebagian lokasi
Perairan Ketapang, Lampung Selatan dapat dijadikan budidaya rumput laut jenis
E spinosum. Pembudidaya rumput laut di Perairan Ketapang pun
membudidayakan rumput laut jenis E spinosum dengan umumnya menggunakan
metode Longline. Jenis rumput laut ini menjadi favorit di lingkungan
pembudidaya setempat dikarenakan harga bibit yang relative murah, tahan dari
32

serangan penyakit, pertumbuhannya cepat dan harga yang terbilang ekonomis


untuk pembudidaya.
Hasil penelitian Edwin (2017) yang berada di Perairan Pulau Tegal, Teluk
Lampung yang berlokasi tidak jauh dari Perairan Ketapang menyatakan sebaran
salinitas di Perairan Pulau Tegal tidak terlalu tinggi nilainya dikarenakan tidak
adanya sungai atau masukan air tawar di sekitarnya. Hasil pengukuran salinitas di
perairan Pulau Tegal memiliki kisaran nilai 33,0 – 34,7 ppt dengan salinitas rata-
rata 33,5 ppt. Hasil sebaran dan distribusi salinitas di Pulau Tegal memiliki
kategori sesuai (S1) dengan luas area perairan 141,4 ha. Hasil pengukuran pada
lokasi tidak begitu berjauhan dari Perairan Ketapang. Hasil pengukuran dari
lokasi penelitian ini memiliki nilai berdekatan. Kondisi ini dimungkinkan karena
kedua lokasi perairan tersebut berdekatan.

Gambar 9. Peta Kesesuaian Salinitas Untuk Budiaya Rumput Laut

4.1.2 pH
pH merupakan salah satu faktor lingkungan kimia air yang menunjukkan
tingkat kesuburan perairan tersebut. Sehingga turut menentukan baik buruknya
pertumbuhan rumput laut. Hal tersebut didukung pendapat Doty (1988) dalam
33

Yusuf (2004) yang menyatakan bahwa fluktuasi pH dalam air biasannya berkaitan
erat dengan aktifitas fitoplankton dan tanaman air lainnya dalam menggunakan
CO2 dalam air selama berlangsungnya proses fotosintesis. Sebaliknya rendahnya
pH dalam perairan kemungkinan kandungan bahan organik yang terlarut cukup
besar sehingga proses pembusukan dan penguraian bahan organik oleh
dekomposer menghasilkan CO2.
Hasil pengukuran pH di lokasi penelitian berkisar 7,94-8,07 dengan nilai
rata-rata pH 8,02. Menurut Yusuf (2004) rumput laut tumbuh pada kisaran pH
6,5-8,5 dan nilai pH yang ideal bagi pertumbuhan rumput laut berkisar 6-9, pada
perairan yang relatif tenang dengan substrat pasir berlumpur, lumpur, dan karang
batu. Sementara Indriani dan Sumiarsih (2005) dalam Hendri et al. (2018)
menyebutkan nilai pH optimum pertumbuhan rumput laut adalah 7,5 - 8,0.
Pendapat lain menyebutkan kondisi air yang sangat asam atau sangat basa akan
membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan
gangguan metabolisme dan pernafasan (Papalia dan Arfah, 2013). Gambaran
sebaran pH di lokasi penelitian dapat dilihat selengkapnya pada Gambar 10.

Gambar 10. Peta kesesuaian pH untuk budidaya rumput laut


34

Nilai pH di lokasi penelitian dikategorikan Sesuai (S1) yang memiliki luas


area total 4204,38 ha (Gambar 10). Menurut Kadi dan Atmadja (1988) dalam
Sirajuddin (2009) nilai pH yang baik bagi pertumbuhan rumput laut jenis
Eucheuma sp. Berkisar antara 7-9 dengan kisaran optimum 7,9-8,3. Hasil
pengukuran nilai pH di lokasi penelitan sebagian perairan Ketapang, Lampung
Selatan masih cocok untuk dapat dikembangkan sebagai lokasi budidaya rumput
laut E spinosum.
Hasil penelitian sebaran dan distribusi pH yang dilakukan oleh Edwin
(2017) menyatakan nilai rata-rata pH di Perairan Pulau Tegal berkisar 7,41-8,02
dengan nilai optimal 7,74. Sementara hasil distribusi pH di Pulau Tegal memiliki
kategori sesuai (S1) dengan luas area perairan 141,4 ha. Hasil pengukuran pada
lokasi tidak begitu berjauhan dari Perairan Ketapang. Hasil pengukuran dari
lokasi penelitian ini memiliki nilai berdekatan. Kondisi ini dimungkinkan karena
kedua lokasi perairan tersebut berdekatan.

4.1.3 Suhu
Suhu sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan termasuk
terhadap sifat fisiologi organisme perairan. Menurut Anggadiredja et al, (2006)
suhu sangat penting dalam proses kehidupan dan penyebaran organisme.
Perubahan suhu dapat mempengaruhi proses metabolisme organisme perairan.
Suhu perairan diperlukan rumput laut dalam melakukan proses fotosintesi untuk
pertumbuhan thallus. Noor (2015) menyatakan Perairan Ketapang cukup baik
untuk budidaya rumput laut, karena suhu di perairan dalam kisaran normal dan
stabil berkisar 28-30°C. Sementara Hendri (2018) menyebutkan suhu air yang
optimal untuk pertumbuhan rumput laut berkisar 20°C-29°C dengan fluktuasi
harian tidak melebihi 3-5°C.
Daya serap unsur hara sangat penting bagi laju pertumbuhan rumput laut.
Sehingga nilai suhu yang optimal dapat mempercepat daya serap hara yang akan
mempercepat laju pertumbuhan rumput laut. Hal ini sesuai dengan pendapat
Hendri et al. (2018) suhu yang optimal dapat meningkatkan daya serap hara,
sehingga dapat mempercepat laju pertumbuhan rumput laut. Rumput laut
memiliki kisaran suhu yang berbeda. Fluktuasi suhu yang tinggi dapat
35

mengganggu metabolisme dan pertumbuhan Gracilaria sp. Fluktuasi suhu yang


berlebihan dapat dihindari dengan pergerakan massa air (aliran) atau sirkulasi.

Gambar 11. Peta kesesuaian suhu untuk budidaya rumput laut


Hasil pengukuran parameter suhu pada lokasi penelitian menunjukkan
kisaran antar 28,67-29,33°C dengan rata-rata nilai 29°C. Nilai parameter suhu
Perairan Ketapang memiliki kategori Sesuai (S1) dengan luas area 4204,38 Ha.
Hal ini sesuai dengan pendapat Gufana et al. (2017) bahwa suhu yang baik untuk
pertumbuhan rumput laut berkisar antara 27–30°C. Sedangkan menurut
Anggadiredja et al, (2006) suhu yang optimal untuk pertumbuhan rumput laut
E spinosum berkisar 28-32°C. Berdasarkan nilai suhu perairan yang didapat
menunjukkan lokasi penelitian dapat dijadikan lahan untuk budidaya rumput laut.
Hasil penelitian Edwin (2017) di Perairan Pulau Tegal menyatakan suhu
perairan Pulau Tegal berkisar 29,11-29,87 °C dengan rata-rata 29,31 °C. Suhu
perairan sebagian Pulau Tegal memiliki kategori Sesuai (S1). Hasil tersebut
menyatakan perbandingan yang tidak begitu signifikan antara Perairan Ketapang
dan Pulau Tegal dikarenakan kedua lokasi penelitian tersebut tidak terlalu jauh.
36

4.1.4 Kecepatan Arus


Arus dapat mendistribusikan unsur hara yang akan mensuplai nutrien yang
dibutuhkan rumput laut. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan (2011) arus yang
terlalu besar akan menyebabkan rusaknya thalus dan menyebabkan tanaman
berkumpul pada satu tempat tertentu. Sedangkan menurut Serdiati dan Widiastuti
(2010) selain berfungsi untuk membawa nutrisi/hara ke tanaman rumput laut arus
juga diperlukan untuk membersihkan tanaman dari biota-biota penempel.
Penyakit bercak putih (ice-ice) merupakan penyakit yang biasanya muncul saat
laut tenang dan arus lemah. Pendapat lain menyebutkan arus yang pelan juga
memicu terjadinya penempelan substrat (endapan) pada permukaan thallus dan
biota epifit (Hendri, 2018).
Hasil pengukuran di Perairan Ketapang berada dikisaran 0,08-0,53 m/s
dan nilai rata-rata optimal yaitu 0,20 m/s. Menurut Aslan, (1998) dalam
Anggadiredja et al., (2006) kecepatan arus yang sesuai untuk lokasi budidaya
rumput laut adalah 0,20–0,40 m/dtk karena akan mempermudah penggantian dan
penyerapan hara yang diperlukan oleh tanaman, namun tidak merusak tanaman.
Menurut Hendri (2018) bahwa pertumbuhan rumput laut pada lokasi budidaya
harus mempunyai gerakan (arus) air yang cukup sekitar 20-40 cm/detik.
Pernyataan tersebut menjadikan kecepatan arus di beberapa stasiun yang berbeda
di perairan Ketapang, Lampung Selatan memiliki beberapa kategori (Lihat
Gambar 12).
37

Gambar 12. Peta kesesuaian arus untuk budidaya rumput laut


Kecepatan arus yang ada di Perairan Ketapang, Lampung Selatan
menunjukkan nilai yang berbeda-beda. Sebagian lokasi memiliki kategori sesuai
(S1) dengan luas area sebesar 247,94 Ha. Sedangkan bagian lain menunjukkan
kategori sesuai bersyarat (S2) dengan luas area 2602,08 Ha. Sedangkan sisanya
berada dalam kisaran kategori tidak sesuai (S3) dengan luas area sebesar 1354,36
Ha. Data pengukuran menjelaskan hampir setengah dari sebagaian wilayah
penelitian tidak dapat dijadikan lokasi budidaya rumput laut karena kecepatan
arus yang terlalu tinggi dan juga ada yang terlalu lemah.
Penelitian yang telah dilakukan Edwin (2017) data pengukuran disebagian
perairan Pulau Tegal menghasilkan nilai arus laut dengan kisaran 0,01-0,53 m/s
dan nilai rata-rata optimal yaitu 0,27 m/s. Hasil penelitian menunjukan sebagian
Pulau Tegal juga menunjukkan nilai yang berbeda-beda. Data pengukuran
menjelaskan hampir setengah dari sebagaian wilayah penelitian dapat dijadikan
lokasi budidaya rumput laut. Perbandingan kedua lokasi penelitian di Pulau Tegal
dan Perairan Ketapang berbanding terbalik dikarenakan di Perairan Ketapang
mencakup lokasi yang luas dengan hanya adanya sebagian pulau-pulau kecil di
lokasi tersebut sehingga arus kencang masih bisa merusak lokasi budidaya.
38

4.1.5 Kedalaman
Nilai kedalaman di Perairan Ketapang, Lampung Selatan berkisar antara
2,15-33 meter dengan nilai rata-rata optimal 12,3 meter. Pada stasiun enam (6)
memiliki nilai kedalaman paling rendah yaitu 2,15 meter. Sedangkan pada stasiun
tiga (3), stasiun sepuluh (10) dan stasiun tiga belas (13) memiliki kedalaman yang
lebih dari 20 meter sehingga tidak sesuai untuk dijadikan lokasi budidaya rumput
laut dengan metode apapun. Hal ini sesuai dengan pendapat Affandi dan Musadat
(2018) kedalaman perairan antara 2-20 meter dimaksudkan agar rumput laut
terhindar dari penumpukan partikel dasar perairan jika substrat dasarnya lumpur
pada saat arus terlalu kencang terjadi. Kedalaman seperti ini juga terkait untuk
kemudahan saat pemasangan jangkar pada metode tali rawa (Longline).
Perairan yang terlalu dalam akan menyulitkan proses pemasangan metode
rakit atau media tanam dan juga akan kesulitan saat pemanenan. Selain itu,
perairan yang terlalu dalam juga akan menghambat laju pertumbuhan rumput laut
karena mendapatkan cahaya matahari lebih sedikit. Hal ini sesuai dengan
pendapat Hendri, (2018) secara alami rumput laut hidup pada kedalaman 5 hingga
15 meter di bawah permukaan laut. Secara umum rumput laut hanya dapat
tumbuh normal beberapa meter di bawah permukaan laut. Hal ini berhubungan
dengan kebutuhan rumput laut akan cahaya matahari untuk proses fotosintesisnya.
39

Gambar 13. Peta kesesuaian kedalaman untuk budidaya rumput laut


Sebaran nilai kedalaman di lokasi penelitian (Gambar 13) menunjukkan
nilai yang berbeda-beda. Sebagian lokasi memiliki kategori sesuai (S1) dengan
luas area sebesar 2895,45 Ha. Sedangkan bagian lain menunjukkan kategori
sesuai bersyarat (S2) dengan luas area 927,26 Ha. Sedangkan sisanya berada
dalam kisaran kategori tidak sesuai (S3) dengan luas area sebesar 381,67 Ha. Data
tersebut menunjukkan bahwa hampir seluruh wilayah di perairan Ketapang,
Lampung Selatan sesuai untuk budidaya rumput laut tetapi ada juga sebagian
yang harus diperlakukan khusus untuk faktor kedalaman, seperti kedalaman yang
terlalu dalam harus dilakukan penimbunan.
Hasil penelitian Edwin (2017) nilai kedalaman pada sebagian perairan
Pulau Tegal memiliki kisaran 0,8-19,4 meter dengan rata-rata nilai kedalaman
optimal 9,3 meter. Hasil penelitian tersebut juga didapat kategori yang berbeda-
beda, kategori sesuai (S1) dengan luas area 28,8 ha, kategori sesuai bersyarat (S2)
luas area 92,9 ha dan kategori tidak sesuai (S3) dengan luas area 18,7 ha. Data
tersebut menunjukan bahwa hampir sebagian perairan Pulau Tegal harus
diperlakukan khusus untuk faktor kedalaman. Hasil penelitian di Pulau Tegal
tersebut juga dikarenakan terdapat sebagian stasiun memiliki pantai yang curam
39

4.1.6 Kecerahan
Tingkat kecerahan suatu perairan sangat mempengaruhi proses fotosintesis
rumput laut sehingga dapat menentukan baik buruknya pertumbuhan rumput laut
tersebut. Menurut Ariyati et al. (2007) tingkat kecerahan suatu perairan juga
berhubungan dengan tingkat kekeruhan perairan meliputi banyaknya material
tersuspensi maupun terlarut di dalam perairan, baik berupa partikel lumpur
maupun bahan organik. Adanya material yang terlarut dalam air dapat
menghambat penetrasi cahaya ke dalam perairan sehingga proses fotosintesis
rumput laut menjadi terganggu.
Pernyataan tersebut sama seperti kondisi di Perairan Ketapang, dimana
terdapat substrat berlumpur dan juga terdapat aliran sungai (DAS) pada lokasi
penelitian menyebabkan perairan tersebut menjadi keruh. Hal ini didukung
pendapat Hendri et al. (2018) Di lokasi perairan yang memiliki dasar perairan
substrat berlumpur, saat pasang naik dan surut dasar perairan akan bercampur
akibatnya kolom air akan lebih berlumpur.
Hasil pengukuran kecerahan di sebagian lokasi penelitian menunjukkan
kisaran nilai 1,2-17,1 meter dengan rata-rata kecerahan optimal sebesar 6,7 meter.
Menurut Anggadiredja et al., (2006) kondisi air yang jernih dengan tingkat
transparansi dengan menggunakan alat sechidisk mencapai 2-5 meter atau
kecerahan perairan yang ideal lebih dari 1 meter (Akbar, 2014). Kecerahan pada
stasiun 6 dan stasiun 8 memiliki nilai kecerahan rendah yaitu dibawah 2 meter
dikarenakan memiliki kedalaman yang dangkal dan kecerahan tertinggi pada
stasiun 10 dengan nilai 17,1 meter (Lihat Gambar 14).
40

Gambar 14. Peta kesesuaian kecerahan untuk budidaya rumput laut


Sebaran parameter kecerahan di lokasi penelitian yang ditunjukkan pada
gambar 14 terbagi menjadi 2 kategori yaitu sesuai (S1) dengan luas area sebesar
1819,87 Ha dan kategori sesuai bersyarat (S2) dengan luas sebesar 2384,51 Ha.
Pengukuran nilai tingkat kecerahan di lokasi penelitian dilakukan pada cuaca
cerah sehingga sinar matahari tidak terhalang oleh tutupan awan. Tingkat
kecerahan tersebut sangat penting bagi pertumbuhan rumput laut untuk membantu
penetrasi cahaya matahari masuk yang berguna sebagi proses fotosintesis.
Hasil penelitian Edwin (2017) di Perairan Pulau Tegal menunjukan
kisaran nilai 0,8 – 9,71 meter dengan rata-rata kecerahan optimal 4,87 meter. Nilai
dibawah 2 meter memiliki nilai rendah dikarenakan memiliki kedalaman yang
dangkal. Hasil sebaran kecerahan di Perairan Pulau Tegal memiliki kategori yang
berbeda-beda yaitu kategori sesuai (S1) dengan luas 63,1 ha. Kategori sesuai
bersyarat (S2) dengan luas area 48,2 ha, sedangkan pada kategori yang tidak
sesuai (S3) memiliki luas area 29,7 ha.
41

4.1.7 Substrat Dasar Perairan


Keruhnya air yang ada di sebagian Perairan Ketapang disebabkan oleh
substrat yang dominan di lokasi penelitian yaitu substrat berlumpur. Substrat
berlumpur berasal dari aliran sungai yang bermuara ke laut di lokasi penelitian
tersebut. Aliran sungai (DAS) akan membawa sedimen dari hulu ke hilir dan akan
diendapkan di muara. Selain arus dan gelombang pasang dan surut dapat
mempengaruhi kekeruhan dengan pengadukan dasar perairan di lokasi penelitian
tersebut. Menurut Gufana et al., (2017) substrat dasar yang berlumpur di
kedalaman yang rendah akan mudah terangkat saat adanya arus yang kuat dan
gelombang sehingga dapat menyebabkan kekeruhan perairan. Substrat berlumpur
di lokasi penelitan tersebut berasal dari aliran sungai.
Hasil pengamatan yang ada di sebagian perairan Ketapang memiliki
beberapa tipe substrat yang berbeda. Substrat berlumpur adalah jenis substrat
yang dominan di lokasi penelitian. Substrat ini dibawa oleh aliran sungai yang
berasal dari hulunya. Proses erosi, sedimentasi dan pelapukan batuan merupakan
sumber utama dari substrat tersebut.
Sebaran dan distribusi jenis substrat pada lokasi penelitian di stasiun 8,
stasiun 9 dan stasiun 10 memiliki substrat pasir berlumpur. Subtrat pasir
berlumpur kurang sesuai untuk budidaya rumput laut karena partikel pada substrat
tersebut akan menempel pada thallus. Hal ini sesuai dengan pendapat Runtuboi et
al., (2014) pada dasarnya subtrat pasir berlumpur kurang sesuai untuk budidaya
rumput laut karena partikel lumpur akan cepat menempel pada rumput laut
sehingga mudah terserang penyakit. Berdasarkan tipe substrat pada stasiun 8,9
dan 10 perlu di perlakukan khusus seperti membersihkan partikel lumpur yang
menenpel pada rumput laut secara teratur.
Menurut Gufana et al., (2017) tipe substrat yang paling baik bagi
pertumbuhan rumput laut yaitu campuran pasir dan pecahan karang, karena
perairan dengan substrat demikian biasanya dilalui oleh arus yang sesuai bagi
pertumbuhan rumput laut. Pernyataan tersebut didapat pada hasil pengukuran di
stasiun 3, 4 dan 13 tetapi pada stasiun 3 dan stasiun 13 memiliki kedalaman yang
lebih dari 20 meter sehingga tidak cocok untuk budidaya rumput laut. Oleh karena
itu, pertumbuhan rumput laut akan baik apabila lokasi budidaya rumput laut
42

berada di perairan dangkal yang memiliki substrat pecahan karang, pasir maupun
pasir berlumpur.

Gambar 15. Peta kesesuaian substrat untuk budidaya rumput laut


Hasil pengukuran sebaran tipe substrat di lokasi penelitian menunjukkan
kategori yang berbeda-beda setidaknya terdapat tiga (3) kategori pada lokasi
tersebut. Kategori yang pertama adalah kategori sesuai (S1) dengan luas area
sebesar 221,61 Ha, kategori sesuai bersyarat (S2) dengan luas area 1394,83 dan
kategori tidak sesuai (S3) dengan luas area 2587,94 Ha. Berdasarkan kesesuaian
substrat tersebut pertumbuhan rumput laut akan baik apabila lokasi budidaya di
perairan dangkal bersubstrat karang, pecahan karang, dan pasir, atau campuran
pasir berlumpur yang diperlukan perlakuan khusus pada substrat tersebut.
Hasil penelitian Edwin (2017) di Perairan Pulau Tegal di dapatkan jenis
substrat yang dominan pasir serta pecahan karang dengan kategori sesuai (S1)
yang memiliki luasan 141,4 ha. Hasil ini cukup mendukung untuk budidaya
rumput laut, sebab jika sebagian besar substrat berupa partikel lumpur
menandakan bahwa perairan tersebut selalu terjadi pengadukan dasar perairan
yang menyebabkan partikel lumpur akan ke permukaan dan menempel pada
thallus sehingga kurang bagus untuk budidaya rumput laut.
43

4.1.8 Hama Rumput Laut


Keberadaan hama sendiri menjadi faktor biologi yang penting dalam usaha
budidaya rumput laut dikarenakan keberadaan hama di lokasi budidaya tersebut
dapat mengancam maupun menjadi hambatan pada kerusakan fisik pada rumput
laut. Perairan Ketapang di temukan sedikit hama yang ada seperti ikan baronang
dan bulu babi. Menurut petani rumput laut dan masyarakat di pesisir perairan
Ketapang hama yang menjadi kendala saat budidaya rumput laut berupa ikan
herbivore seperti ikan baronang. Ikan tersebut ditemukan sedikit atau tidak sama
sekali, terutama pada saat musim hujan. Pada saat penelitian dilakukan telah
masuk musim hujan. Sehingga hama tersebut hampir tidak ditemukan.
Sedangkan menurut keterangan pembudidaya setempat menyebutkan ikan
baronang banyak ditemukan pada saat musim kemarau. Pada musim tersebut
masih tetap membudidayakan rumput laut walau akan ada sebagian rumput laut
yang hilang atau habis dimakan ikan baronang tersebut. Menurut WWF (2014)
hama seperti bulu babi dan ikan baronang akan menyebabkan rumput laut hilang,
geripis (disebabkan serangan barongan kecil) digerogoti, dan juga patah.
Sedangkan menurut Mamang (2008) hama tanaman (biota pengganggu) dapat
menimbulkan kerusakan secara fisik pada tanaman budidaya, seperti terkelupas,
patah atau habis dimakan sama sekali.
Selain hama tersebut ada juga hama lain seperti tanaman yang tumbuh
atau menempel di bibit rumput laut yang ditanam sehingga thallus pada rumput
laut terhalang sinar matahari untuk melakukan proses fotosintesis yang
menyebabkan pertumbuhan rumput laut menjadi kurang baik. Hal tersebut di
dukung oleh pernyataan Basiroh et al., (2016) lumut maupun alga epifit yang
menempel pada rumput laut menjadi penghalang sinar matahari sehingga proses
fotosintesis terhambat. Sementara Mamang (2008) menyatakan akibat yang
ditimbulkan dari alga penempel ini yaitu terjadi penutupan permukaan rumput laut
sehingga mengganggu penyerapan nutrisi dan fotosintesis untuk pertumbuhan.
44

Gambar 16. Peta kesesuaian hama untuk budidaya rumput laut


Sebaran dan distribusi hama yang ditemukan di lokasi penelitian di sajikan
pada gambar 16. Hasil pengukuran dan pengamatan hama di lokasi penelitian
menunjukkan kategori sesuai (S1) dengan luas area 4204,38 Ha. Pada hasil
pengamatan faktor biologi menunjukkan bahwa untuk melakukan usaha budidaya
rumput laut sebaiknya petani mengetahui pengendalian hama rumput laut pada
lokasi yang akan dibudidayakan. Hasil wawancara dengan pembudidaya yang ada
di lokasi penelitian tersebut, saat ditemukan hama rumput laut dilakukan
pengendalian hama dengan cara ditangkap menggunakan perangkap (jaring) dan
rutin membersihkan hama alga lain yang menempel pada rumput laut.
Hasil penelitian Edwin (2017) di Perairan Pulau Tegal didapat beberapa
biota seperti bulu babi atau landak laut dan penyu. Hal ini dikarenakan pada
perairan Pulau Tegal memiliki ekosistem terumbu karang dan padang lamun yang
masih baik. Sebaran dan distribusi Perairan Pulau Tegal memiliki nilai yang
berbeda-beda yang pertama adalah kategori sesuai (S1) yang memiliki luasan 62,7
ha, untuk kategori sesuai bersyarat (S2) dengan luas area 66,4 ha serta kategori
tidak sesuai memiliki luas area 11,9 ha. Hasil penelitian tersebut berbanding
terbalik di Perairan Ketapang yang memiliki sedikit hama.
45

4.1.9 Nitrat (NO3)


Nitrat merupakan salah satu unsur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
rumput laut. Nitrat diperairan laut sangat berperan sebagai senyawa mikro nutrient
pengontrol produktivitas primer di lapisan permukaan. Anggadireja et al., (2006)
mengatakan nitrat merupakan komponen yang sangat penting untuk pertumbuhan
thallus rumput laut, utamanya untuk fotosintesis dan respirasi. Sedangkan
menurut Asni (2015) rumput laut memerlukan unsur nitrat di perairan untuk
pembentukan cadangan makanan berupa kandungan senyawa organik seperti
karbonhidrat, lemak dan juga protein.

Gambar 17. Peta kesesuaian nitrat untuk budidaya rumput laut


Hasil pengukuran nitrat pada Perairan Ketapang berkisar 0,442-0,834 mg/l
dengan nilai rata-rata sebesar 0,598 mg/l. Nilai kandungan nitrat tersebut
mencukupi untuk metabolisme pertumbuhan rumput laut E spinosum. Menurut
Fattah (2011) bahwa kisaran nitrat yang sesuai untuk organisme yang
dibudidayakan sekitar 0.2525-0.6645 mg/l. Hal ini sesuai dengan pendapat Doty
1988 dalam Yusuf 2004 yang menyatakan bahwa kisaran nilai kandungan nitrat
yang layak bagi kesuburan rumput laut ialah 0,1-3,5 ppm. Sedangkan Akbar
(2014) menjelaskan bahwa nilai nitrat yang sesuai dapat dijadikan lokasi budidaya
46

rumput laut berkisar 0,01-0,07 mg/l. Pendapat lain menyatakan rumput laut dapat
tumbuh pada kisaran nitrat 0,9-3,5 mg/l (Atmadja et al. 1996 dalam Hendri 2018).
Sebaran nitrat yang merata dengan kategori sesuai bersyarat memiliki luas
area 4204,38 Ha. Kandungan nitrat tertinggi pada stasiun 1 dan 7 dengan nilai
lebih dari 0,8 mg/l. Kandungan nitrat yang tinggi pada lokasi penelitian
dikarenakan terdapatnya aliran anak sungai dan juga aliran Muara Sungai
Sekampung di sebelah utara Kecamatan Seragi hingga sebelah selatan yaitu Desa
Bawang Kecamatan Punduh Pidada Kabupaten Pesawaran membawa nitrat dari
daratan terutama pada musim hujan (Gambar 17).
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Tambaru (1998) dalam Asni (2015)
bahwa besar kecilnya konsentrasi nitrat dalam perairan sangat bergantung pada
masukkan yang berasal dari luar perarian seperti dari sungai, resapan tanah,
pencucian maupun erosi serta limbah rumah tangga yang berasal dari pesisir
daratan.
Hasil penelitian Edwin (2017) nilai nitrat yang didapat dari penelitian di
sebagian Perairan Pulau Tegal yaitu berkisar 0,19-0,48 mg/l. Sebaran nitrat dalam
kategori sesuai (S1) dengan luasan 141,4 ha. Hasil pengukuran pada lokasi tidak
begitu berjauhan dari Perairan Ketapang. Hasil pengukuran dari lokasi penelitian
ini memiliki nilai berdekatan. Kondisi ini dimungkinkan karena kedua lokasi
perairan tersebut berdekatan.

4.1.10 Posfat (PO4)


Posfat (PO4) merupakan parameter yang menyerupai nitrat yaitu sebagai
nutrient yang umumnya unsur posfat yang dapat diserap oleh alga adalah dalam
bentuk ortho-posfat untuk pertumbuhan dan sebagai sumber makanan bagi rumput
laut. Hasil pengukuran kadar posfat di perairan Kecamatan Ketapang berkisar
antara 0,115-0.785 mg/l dengan nilai optimal 0,286 mg/l. Nilai tersebut
memperlihatkan sebagian dari lokasi penelitian memiliki kisaran yang sesuai
untuk budidaya rumput laut. Menurut Aslan (1998) kandungan posfat di perairan
untuk lokasi budidaya rumput laut adalah 0,1 – 0,2 mg/l. Selanjutnya Law (1969)
dalam Syahputra, (2005) bahwa perairan dengan kandungan fosfat di atas 0,110
mg/l adalah tergolong perairan dengan kriteria subur. Pendapat lain menyatakan
47

rumput laut dapat tumbuh optimum dengan kandungan nitrat berkisar 0.9-3.5 mg/l
(Sulistijo, 1996 dalam Hendri, 2018)
Hasil pengukuran di lokasi penelitian terdapat kadar posfat yang tinggi
dengan nilai rata-rata 0,640 mg/l. Tingginya kadar posfat di lokasi Perairan
Ketapang dikarenakan gelombang laut, arus dan pasang surut yang menyebabkan
pengadukan massa air dan mengangkat kandungan fosfat yang terdapat di dasar
perairan (substrat) naik ke permukaan. Kadar posfat yang tinggi di lokasi
penelitian juga patut diduga dekat dengan daratan dan aliran sungai yang akan
membawa banyak unsur hara seperti posfat. Menurut Asni (2015) bahwa
konsentrasi fosfat yang tinggi disebabkan pada daerah pesisir aliran sungai
sehingga terjadi penguraian bahan organik didaratan yang terangkut aliran sungai
ke laut. Dikawasan pesisir pantai bahan organik lebih banyak dari pada di laut.

Gambar 18. Peta kesesuaian posfat untuk budidaya rumput laut


Hasil pengukuran nilai posfat pada lokasi penelitian dapat dilihat pada
gambar 18. Sebaran dan distribusi posfat pada lokasi tersebut menunjukkan nilai
yang optimal untuk dijadikan lokasi budidaya rumput laut. Menurut Indriani dan
Suminarsih, (2005) dalam Hendri (2018) kisaran posfat yang optimal untuk
pertumbuhan rumput laut adalah 0.051 mg/l-1.00 mg/l. Sementara WWF (2014)
48

menyebutkan kisaran kandungan posfat yang baik adalah 0.01-0.021 ppm.


Pendapat lain menyatakan perairan relatif subur jika kisaran posfat adalah 0.10-
1.68 ppm (Simanjuntak, 2006 dalam Hendri, 2018). Kandungan Posfat yang
rendah dapat diduga menjadi penyebab pertumbuhan rumput laut tidak optimal.
Berdasarkan hasil pengukuran parameter posfat di perairan Kecamatan
Ketapang dibagi atas 2 kategori yaitu kategori sesuai (S1) dengan luas area
sebesar 3351,98 Ha dan kategori sesuai bersyarat (S2) dengan luas area sebesar
852,40 Ha. Dari hasil penelitian sebagian perairan Kecamatan Ketapang masih
dapat dijadikan budidaya rumput laut dari kesesuaian parameter pospat.
Hasil penelitian Edwin (2017) pospat yang diukur di lokasi Perairan Pulau
Tegal menunjukan nilai 0,05-0,87 mg/l dengan nilai rata-rata optimal berkisar
0,21 mg/l. Sebaran hasil pengukuran disebagian Pulau Tegal nilai pospat dibagi
atas 2 kategori yaitu sesuai (S1) dengan luas area 90,5 ha dan kategori kedua yaitu
tidak sesuai dengan luas area 50,5 ha. Hasil pengukuran dari lokasi ini memiliki
nilai yang berdekatan dari Perairan Ketapang dengan nilai yang optimal untuk
pertumbuhan rumput laut. Kondisi ini dimungkinkan karena kedua lokasi Perairan
tersebut sama (berdekatan).

4.1.11 Keterlindungan Lokasi


Faktor yang sangat penting dalam pemilihan lokasi budidaya rumput laut
yaitu faktor lokasi yang aman dari hempasan gelombang laut maupun arus laut
yang kuat. Menurut Sulistijo, (2002) dalam Gufana et al., (2017) keterlindungan
lokasi merupakan salah satu faktor utama resiko budidaya rumput laut. Sehingga
lokasi budidaya harus terlindung dari hempasan ombak yang keras, dimana
biasanya dibagian depan dari area budidaya mempunyai karang penghalang yang
dapat meredam kekuatan gelombang.
49

Gambar 19 Peta kesesuaian keterlindungan lokasi untuk budidaya rumput laut


Perairan Ketapang merupakan daerah semi terbuka dari pengaruh
gelombang dan arus kuat. Menurut pembudidaya setempat Perairan Ketapang
memiliki karang penghalang dan terdapat pulau-pulau kecil untuk meredam
gelombang. Menurut Sulistijo (2002) dalam Burdames dan Ngangi (2014) lokasi
budidaya harus terlindung dari hempasan ombak yang keras, dimana biasanya di
bagian depan dari areal budidaya mempunyai karang penghalang yang dapat
meredam kekuatan gelombang. Kondisi ini disukai oleh pembudidaya rumput laut
karena akan memberikan pertumbuhan yang paling baik. Karang penghalang yang
meredam gelombang dan arus yang kuat menyebabkan terjadinya arus yang sesuai.
Arus akan membawa zat hara dan membersihkan rumput laut.
Perairan Ketapang memiliki pulau-pulau kecil seperti Pulau Mundu yang
terdapat pada stasiun empat (4), Pulau Seram dan Pulau Seram Ningi terlihat pada
stasiun delapan (8), Pulau Kopiah terdapat di atas stasiun Sembilan (9) dan di
stasiun tiga belas (13) berdekatan dengan Pulau Tumpel dan Pulau Rimaubalak.
Menurut Hendri (2018) budidaya rumput laut harus bebas dari pengaruh angin
topan dan ombak yang kuat, sebaiknya berada di bagian belakang pulau (out
ward).
50

Hal ini sesuai dengan pendapat Noor (2015) perairan Ketapang memiliki
lokasi yang strategis dikarenakan cukup terlindung dari gelombang besar
disebabkan adanya pulau-pulau kecil yang melindungi lokasi budidaya seperti
Pulau Seram, Pulau Mundu dan Pulau Rimaubalak dari hempasan gelombang
yang datang langsung dari Selat Sunda. Pendapat lain menyebutkan terdapat
pulau-pulau kecil di Perairan Ketapang seperti Pulau Kupiah, Pulau Mundu, Pulau
Rimaubalak, Pulau Rimaulunik, Pulau Seram, Pulau Seramningi, Pulau Suling,
Pulau Tumpul dan Pulau Tumpul Lunik (Krulinasari, 2013).
Sebaran dan distribusi keterlindungan lokasi yang ditemukan di lokasi
penelitian di sajikan pada gambar 19 memiliki kategori yang berbeda-beda yaitu
kategori tidak sesuai (S3) dengan luasan area sebesar 53,47 Ha yang terdapat pada
stasiun 3 karena lokasi tersebut berada ke arah laut lepas sehingga tidak terlindung
dari hempasan gelombang dan arus kencang yang datang langsung dari Selat
Sunda. Kategori sesuai bersyarat (S2) memiliki luas area 1038,23 Ha, karena
lokasi tersebut kurang terlindungi oleh pulau sehingga arus dan gelombang relatif
lebih besar. Kategori sesuai (S1) memiliki luas area sebesar 3112,68 Ha, karena
lokasi tersebut terlindung oleh pulau-pulau kecil dan terdapat karang penghalang
sehingga arus dan gelombang tidak terlalu besar.
Hasil penelitian Edwin (2017) di Perairan Pulau Tegal keterlindungan
lokasi untuk budidaya rumput laut disebagian lokasi memperlihatkan bahwa
perairan sebelah barat yang berhadapan pantai Ringgung memiliki kategori sesuai
(S1) dengan luasan area 88,8 ha dan sebelah utara Pulau Tegal berhadapan dengan
teluk lampung yang sedikit terbuka dengan luas area 52,1 ha. Dengan demikian
perairan sebelah barat Pulau Tegal masih dapat digunakan untuk budidaya rumput.
Lokasi penelitian tersebut sangat terlindung dari daratan Sumatera dan Pulau
Tegal itu sendiri. Sementara penelitian di Perairan Ketapang dengan lokasi semi
terbuka yang luas sebagian lokasi terlindung oleh pulau-pulau kecil dan juga
terdapat sebagian karang penghalang di lokasi tersebut.
51

4.2. Analisis Kelayakan Lahan Untuk Lokasi Budidaya Rumput Laut


E spinosum di Perairan Kecamatan Ketapang Lampung Selatan
Berdasarkan hasil analisis spasial kelayakan lahan untuk lokasi budidaya
rumput laut melalui aplikasi sistem informasi geografis (SIG) dan melalui hasil
pengukuran parameter yang telah dilakukan di perairan Kecamatan Ketapang
Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung dengan total luas area penelitian
seluas 4204,38 Ha. Analisis kesesuaian lokasi menggunakan metode scoring dan
menghasilkan pengelompokan kelas kategori yang potensial dengan tingkat
kelayakan berbeda. Gambar 17 memperoleh hasil akhir tingkatan Sesuai (S1)
seluas 3354,07 Ha dan Sesuai Bersyarat (S2) seluas 850,31 Ha.
Hasil dengan kategori sesuai bersyarat (S2) di perairan Ketapang
disebabkan oleh beberapa faktor yang kurang mendukung seperti arus, kedalaman,
dan substrat yang dominan berupa lumpur membuat perairan
Ketapang memiliki visibilitas rendah atau keruh. Salah satu faktor yang kurang
mendukung dijadikan lokasi budidaya rumput laut di lokasi penelitian antara lain
substrat dasar perairan sehingga harus diperlakukan khusus dengan membersihkan
endapan lumpur yang menempel pada rumput laut saat proses budidaya
berlangsung.
Kondisi perairan yang relatif keruh menyebabkan penampakkan morfologi
rumput laut yang didapatpun agak sedikit berbeda jika dibandingkan dengan
rumput laut pada perairan jernih. Biasanya, rumput laut hasil panen di Kecamatan
Ketapang ini berwarna coklat kehitaman sehingga tidak menarik bagi para
pembeli yang biasanya datang sendiri di areal penanaman ini. Untuk mengatasi
penampilan yang buruk dari rumput laut hasil panen, masyarakat telah memiliki
cara tersendiri guna membuat warna rumput laut dari coklat kehitaman menjadi
putih kehijauan dengan cara merendamkan dalam larutan kapur sebelum
dilakukan penjemuran.
Kedalaman perairan juga menjadi faktor penentuan lainnya, karena
berhubungan penerimaan sinar matahari untuk fotosintesis. Pemilihan kedalaman
yang sesuai akan memudahkan dalam penyerapan makanan dan terhindar dari
kerusakan akibat sinar matahari langsung. Untuk cara mengatasi parameter
kedalaman ini cukup dengan penimbunan apabila dalam dan pengerukan apabila
52

terlalu dangkal sedangkan untuk mengatasi parameter kecerahan dapat dilakukan


penanaman padang lamun atau pada kondisi stasiun 8 di depan Pulau Seram
menjadikan lokasi stasiun 8 tersebut tempat lokasi budidaya rumput laut jenis
E spinosum maupun jenis lain dikarenakan terdapat padang lamun yang hidup
alami dan terdapat pecahan karang di dasar perairannya.
Hasil pengukuran di lokasi penelitian yang menunjukkan kategori sesuai
bersyarat ialah arus disebabkan pada lokasi penelitian memiliki kecepatan arus
yang relatif rendah. Apabila rumput laut yang ada di lokasi yang memiliki
kecepatan arus dalam kategori sesuai bersyarat (S2) terikat dengan tali dapat
diatasi dengan perawatan rutin terhadap rumput laut dengan cara menggoyangkan
tali yang mengikat bibit rumput laut tersebut. Selengkapnya untuk peta kelayakan
lahan untuk budidaya rumput laut E spinosum dilihat pada gambar 20.
Hasil penelitian Edwin (2017) menyebutkan untuk lokasi budidaya rumput
laut di Perairan Pulau Tegal menghasilkan kategori yang potensial dengan tingkat
kelayakan berbeda. Kategori Sesuai (S1) seluas 87,21 Ha dan Sesuai Bersyarat
(S2) seluas 54,10 Ha. Hasil akhir dengan kategori Sesuai Bersyarat (S2) di lokasi
penelitian disebabkan beberapa faktor yang kurang mendukung seperti kedalaman,
kecerahan, arus, dan hama rumput laut. Salah satu faktor yang kurang mendukung
untuk dijadikan lokasi budidaya rumput laut antara lain kedalaman. Sama hal nya
dengan hasil penelitian di Perairan Ketapang yang memiliki faktor kurang
mendukung seperti kedalaman, kecerahan dan arus. Tetapi berbeda dengan faktor
hama yang sedikit atau tidak sama sekali ditemukan di Perairan Ketapang.
53

Gambar 20. Peta kelayakan lokasi budidaya rumput laut E spinosum di Perairan Kecamatan Ketapang
54

4.3 Potensi Budidaya Rumput Laut E spinosum Di Perairan Kecamatan


Ketapang
Keberhasilan budidaya rumput laut sangat tergantung pada teknik
budidaya yang tepat dan dengan metode budidaya yang sesuai. Metode budidaya
yang dipilih hendaknya dapat memberikan pertumbuhan yang baik, mudah dalam
penerapannya dan bahan baku yang digunakan murah serta mudah didapat.
Menurut Abdullah (2011), metode budidaya yang dikembangkan di Indonesia
antara lain metode rakit apung, metode lepas dasar dan metode tali rawai atau
longline.
Berdasarkan hasil kajian kesesuaian ekologis dan analisis aplikasi sistem
informasi geografis yang dilakukan pada perairan kecamatan pesisir Ketapang
Kabupaten Kabupaten Lampung Selatan diperoleh luasan perairan yang sesuai
maupun cukup sesuai beserta rekomendasi teknologi untuk budidaya rumput laut
di tampilkan pada tabel 8 berikut :

Tabel 8. Rekomendasi Metode Budidaya Rumput Laut Di Perairan Ketapang


Rekomendasi Metode Budidaya
Rumput Laut
Metode Metode
Metode
Stasiun X Y Kedalaman Lepas Rakit
Longline
Dasar Apung
1 105.8235278 -5.63796389 3 √ √
2 105.8351472 -5.65934722 6 √ √
3 105.8551417 -5.67131667 29
4 105.8344139 -5.68000833 7 √ √
5 105.8267889 -5.68943611 5 √ √
6 105.8087861 -5.69125833 2.15 √ √
7 105.8059556 -5.72647778 4.37 √ √
8 105.8027778 -5.74340833 2.36 √ √
9 105.8110389 -5.759125 4.89 √ √
10 105.8091389 -5.79378056 33
11 105.7948694 -5.81847778 15 √ √
12 105.7851083 -5.82970278 18 √
13 105.7765972 -5.84333056 30
Luasan
955.82 1583.55 1338.11
(HA)
55

Rekomendasi metode budidaya rumput laut berdasarkan kedalaman


perairan di beberapa titik stasiun yang dapat dijadikan lokasi budidaya rumput
laut (Lihat Tabel 8). Perairan Ketapang memiliki kedalaman yang berbeda-beda
dengan nilai rata-rata 12 meter. Kedalaman di bagian Pesisir Ketapang dapat
dilakukan budidaya rumput laut menggunakan metode lepas dasar dengan
kedalaman 0,3 m pada saat surut terendah dan 3 m pada saat pasang tertitinggi
Hambatan penggunaan metode lepas dasar di pesisir perairan Ketapang yaitu
substrat yang berlumpur sehingga kurang layak untuk di kembangkan dan juga
terdapat tambak pada lokasi yang dapat dilakukan metode lepas dasar.
Menurut masyarakat potensi lahan tambak di Kabupaten Lampung Selatan
yang tersebar di Kecamatan Ketapang terdapat di bagian utara yang berbatasan
dengan Kecamatan Seragi, yang saat ini dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir
untuk kegiatan budidaya tambak udang windu dan ikan bandeng secara tradisional.
Menurut Hendri et al., (2018) keterbatasan lahan selalu menjadi kendala pada
metode ini. Lahan yang landai dan substrat pasir atau berbatu sangat sulit
ditemukan. Jika pun ada, luasnya pasti terbatas, dan umumnya sudah
dimanfaatkan untuk usaha lain.
Metode rakit apung sendiri mempunyai keunggulan dan juga memiliki
kekurangan tersendiri. Hal ini didukung pendapat Hendri (2018) metode rakit
memiliki beberapa keunggulan disbanding metode lain, di antaranya laju
pertumbuhan cenderung lebih baik, mudah dalam pemeliharaan. Kekurangan
metode ini memerlukan biaya yang lebih mahal dan wakttu untuk pembuatan
sarana budi daya lebih lama. Menurtu pembudidaya setempat tidak menggunakan
metode rakit apung dikarenakan biaya yang lebih mahal dibanding metode
longline.
Masyarakat pesisir perairan Ketapang umumnya menggunakan metode
longline atau tali rawai dibandingkan dengan metode rakit apung, metode longline
mudah diterapkan, tidak membutuhkan biaya yang banyak hanya membutuhkan
tali ris, pelampung dan bambu atau kayu sebagai jangkar di pasang di perairan
serta mudah dalam pemeliharaan dan pembuatan. Pemasangan metode longline ini
harus memperhatikan arah arus. Peta rekomendasi untuk metode budidaya rumput
laut dapat dilihat pada gambar 21.
56

Gambar 21. Peta rekomendasi metode penanaman untuk budidaya rumput laut
V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di perairan Kecamatan
Ketapang, Lampung Selatan, Lampung didapat beberapa kesimpulan, yaitu :
1. Berdasarkan hasil parameter lingkungan fisika, kimia dan biologi memiliki
tingkat tingkat kesesuaian lokasi yang termasuk dalam kategori “Sesuai
(S1)” dan “Sesuai Bersyarat (S2)” dari total luasan area sebesar 4204,38
Ha. Untuk dapat meningkatkan potensi produksi lahan yang telah eksisting
masyarakat dapat menggunakan pendekatan teknologi budidaya.
2. Berdasarkan aplikasi sistem informasi geografis (SIG) lokasi budidaya
rumput laut E spinosum dengan berbagai metode penanaman rumput laut
dengan metode yang paling umum digunakan masyarakat yaitu metode
longline dengan kategori Sesuai (S1) seluas 1338,11 ha terletak pada
kedalaman 5-20 meter. Lokasi budidaya dengan metode lepas dasar
terdapat di pesisir daratan dengan kategori Sesuai Bersyarat (S2) memiliki
luas area 955,82 Ha terteletak pada kedalaman 0,3-3 meter dengan
sebagian lahan terdapat tambak dan juga substrat berlumpur. Untuk
metode rakit apung dengan kategori Sesuai (S1) luas area 1583,55 Ha pada
perairan dengan kedalaman 2-15 meter.

5.2. Saran
1. Penelitian ini sebaiknya dilakukan analisis data musim yang berbeda
seperti musim hujan dan kemarau untuk mewakili data yang lebih akurat,
serta perlu adanya penelitian lain yang dilakukan mengkaji aspek
kesesuaian dari bidang lain seperti aspek sosial ekonomi.
2. Penelitian kesesuaian perairan untuk lokasi budidaya rumput laut
E spinosum dengan berbagai metode penanaman di perairan Kecamatan
Ketapang, Lampung Selatan, perlu di lakukan perbandingan antara ketiga
metode penanaman budidaya rumput laut dengan mengukur keseluruhan
parameter wilayah perairan Ketapang untuk kesempurnaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA

[APHA] American Public Health Association. 2005. Standart Method for the
Examination of Water and Wastewater. 21st ed. Washington D.C: APHA.
2005.

Abdullah AA. 2011. Teknik budidaya rumput laut (Kappaphycus alvarezii)


dengan metode rakit apung di Desa Tanjung, Kecamatan Saronggi,
Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan.
Vol. 3(1) : 21-26. 2011

Affandi A, Musadat F. 2018. Analisis tingkat kesesuaian lokasi budidaya rumput


laut di perairan desa kamelantan dan pulau panjang dengan menggunakan
sistem informasi geografis. Jurnal Akuakultur. Vol 2(1) : 69-78. 2018

Akbar H. 2014. Analisis Kesesuaian Lokasi untuk Budidaya Rumput Laut di


Kabupaten Sumbawa Barat [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
2014.

Anggadiredja JT, Zatnika A, Purwoto H, Istini S. 2006. Rumput Laut:


Pembudidayaan, Pengolahan dan Pemasaran Komoditas Perikanan
Potensial. Jakarta: Penebar Swadaya. 147 hlm. 2006

Arisandi. 2011. Pengaruh salinitas yang berbeda terhadap morfologi, ukuran dan
jumlah sel, pertumbuhan serta rendemen karaginan Kappaphycus
alvarezii. Jurnal Ilmu Kelautan. Vol 16(3):143-150. 2011.

Ariyati, R.W., L. Syah’rani, dan E. Arini. 2007. Analisis kesesuaian perairan


Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan sebagai lahan budidaya rumput
laut menggunakan sistim informasi geografis. Jurnal Pasir Laut. 3(1):
27-45. 2007.

Aslan, L.M. 1998. Budidaya rumput laut. Yogyakarta. Kanisius.

Asni A. 2015. Analisis produksi rumput laut (Kappaphycus alvarezii)


berdasarkan musim dan jarak lokasi budidaya di perairan Kabupaten
Bantaeng. Jurnal Akuatika. Vol 6(2) : 140-153. 2015.

Basiroh S, Ali M, Putri B. 2016. Pengaruh periode panen yang berbeda terhadap
kualitas keragenan rumput laut Kappaphycus alvarezii: kajian rendemen
dan organoleptik keraginan. Jurnal Maspari. Vol 8(2):127-135. 2016

Burdames Y, Ngangi ELA. 2014. Kondisi lingkungan perairan budi daya rumput
laut di Desa Arakan, Kabupaten Minahasa Selatan. Jurnal Budidaya
Perairan. Vol 2 (3) : 69-75. 2014.
59

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput


Laut Eucheuma spp. Jakarta. 2006

Dinas Kelautan dan Perikanan. 2011. Teknik Budidaya Rumput Laut Gracillaria
sp. dan Euchema sp. Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi
Sulawesi Tengah. Palu. 31 hlm. 2011

Dirjen-KKP. 2013. Pedoman teknis penyusunan RZWP-3-K Provinsi. Jakarta.


Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013

Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. 2005. Profil Rumput Laut Indonesia. DKP
RI, Ditjenkanbud. Jakarta. Hal 11. 2005.

Edwin S. 2017. Analisis Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput Laut Eucheuma


cotonii dengan Metode Longline Berdasarkan Kualitas Perairan
Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Pulau Tegal Provinsi
Lampung [Skripsi]. Inderalaya. Jurusan Ilmu Kelautan. Universitas
Sriwijaya. 2017.

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air. Yogyakarta: Kanisisus. hal 155. 2003

Fattah N. 2011. Analisis Performa Biologis dan Kualitas Jenis Kappaphycus


alvarezii pada Kondisi Perairan yang Berbeda. [TESIS]. Pasca Sarjana.
Universitas Hassanudin. Makkasar. 2011

Farnani YH, Cokrowati N, Farida N. 2011. Pengaruh kedalaman tanam terhadap


pertumbuhan Eucheuma spinosum pada budidaya dengan metode rawai.
Jurnal Kelautan. Vol 4(2) : hal 185. 2011

Ferdiansyah HI, Pratikto I, Suryono. 2019. Pemetaan kesesuaian lahan untuk


budidaya rumput laut di Perairan Pulau Poteran, Kabupaten Sumenep,
Jawa Timur. Journal of Marine Research. Vol.8 (1) : 36-40. 2019

Ghufran M, Kordi H. 2011. Kiat Sukses Budidaya Rumput Laut di Laut dan
Tambak. Yogyakarta: Andi. 2011

Gufana SS, Fendi F, Karyawati K, Sommeng A. 2017. Kajian kesesuaian lokasi


perairan untuk budidaya rumput laut di Kabupaten Muna, Indonesia.
Jurnal Akuakultur, Pesisir dan Pulau Pulau Kecil. Vol 1(2) : 13-24. 2017.

Gultom RC, Dirgayusa IGNP, Puspitha NLPR. 2019. Perbandingan Laju


Pertumbuhan Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Dengan Menggunakan
Sistem Budidaya Ko-kultur dan Monokultur di Perairan Pantai Geger,
Nusa Dua, Bali. Jurnal Of Marine Research and Technology. Vol 2 (1) :
8-16.
60

Haryasakti A. 2017. Pertumbuhan Kappaphycus alvarezii pada tingkat kedalaman


berbeda di Perairan Teluk Perancis, Sangatta Selatan Kabupaten Kutai
Timur. Jurnal Agrifor. Vol 16(1) : 21-34.

Hambali M, Jaya YV, Irawan H. 2012. Aplikasi SIG untuk kesesuaian kawasan
budidaya rumput laut Eucheuma cottonii dengan metode lepas dasar di
Pulau Mantang, Kecamatan Mantang, Kabupaten Bintan. from
https://www.researchgate.net/publication/322055914. Januari 2018.

Hendri M, Rozirwan, Apri R dan Handayani Y. 2018. Gracilaria sp Seaweed


Cultivation with Net Floating Method in Traditional Shrimp Pond in the
Dungun River of Marga Sungsang Village of Banyuasin District, South
Sumatera. International Journal of Marine Science. Vol.8 (1) : 1-11. 2018

Hendri M. 2018. Untung Berlipat dari Budidaya Rumput Laut Tanaman Multi
Manfaat. Yogyakarta : Lily Publisher. 2018

Jailani AQ, Herawati EY, Semedi B. 2015. Studi kelayakan lahan budidaya
rumput laut (Eucheuma cottonii) di Kecamatan Bluto Sumenep Madura
Jawa Timur. Jurnal Manusia dan Lingkungan. Vol 22(2) : 211-216. 2015

Kamlasi Y. 2008. Kajian Ekologis dan Biologi untuk Pengembangan Budidaya


Rumput Laut (Eucheuma cottonii) di Kecamatan Kupang Barat Kabupaten
Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. 2008

Kautsari N dan Ahdiansyah Y. 2015. Daya dukung dan kesesuaian lahan perairan
Labuhan Terata, Sumbawa untuk pengembangan budidaya rumput laut.
Jurnal Ilmu Kelautan. Vol 20(4) : 233-238.

Keputusan Presiden No. 23 Tahun 1982. Pengembangan budidaya laut di


Periairan Indonesia. 1982.

Keputusan menteri kelautan dan perikanan Republik Indonesia nomor


1/KEPMEN-KP/2019. Pedoman umum pembudidaya rumput laut.

Krulinasari W. 2013. Penamaan pulau sebagai identitas wilayah dalam suatu


negara (studi pulau-pulau di Provinsi Lampung). Jurnal Nasional. Vol
1(1) : 44-56. 2013.

Kurniawan MC, Aryawati R, Putri WAE. 2018. Pertumbuhan rumput laut


Eucheuma spinosum dengan perlakuan asal thallus dan bobot berbeda di
Teluk Lampung Provinsi Lampung. Jurnal Maspari. Vol 10(2) : 161-168.
61

Largo DB, Fukami K, Nishijima T. 1995. Occasional pathogenic bacteria


promiting ice-ice disease in the carrageenan-producing red algae
Kappaphycus alvarezii and Eucheuma denticulatum (Solieriaceae,
Gigartinales, Rhodophyta). Journal of Applied Phyciology. Vol 7: 545-
554.

Lutfiawan M, Karnan, Japa L. 2015. Analisis pertumbuhan Sargassum sp. dengan


sistem budidaya yang berbeda di teluk Ekas Lombok Timur sebagai bahan
pengayaan mata kuliah ekologi tumbuhan. Jurnal Biologi Tropis. Vol 15
(2):135-144.

Manafi MRA, Fahrudin DG, Bengen dan Boer M. 2009. The Application of
Carrying Capacity Concept for Sustainable Development in Small Island
(Case Study Kaledupa Islands, Distict Wakatobi. Jurnal Ilmu-ilmu
Perairan dan Perikanan Indonesia, Jilid 16. Vol 16(1) : 63-71.

Mamang N. 2008. Laju Pertumbuhan Bibit Rumput Laut Eucheuma cattonii


Dengan Perlakuan Asal Thallus Terhadap Bobot Bibit di Perairan Lakeba,
Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara [Skripsi]. Bogor. Institut Pertanian
Bogor. 2008.

Mudeng JD, Kolopita MEF, Rahman A. 2015. Kondisi Lingkungan Perairan Pada
Lahan Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii di Desa Jayakarsa
Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal Budidaya Perairan. Vol 3: 1-15.

Messyasz, B., Pikosz, M., Schroeder, G., Łęska, B & Fabrowska, J. 2015.
Identification and Ecology of Macroalgae Species Existing in Poland.
Marine Algae Extracts. 15 40. doi:10.1002/9783527679577.ch2.

Neksidin UK, Pangerang, Emiyarti. 2013. Studi kualitas air untuk budidaya
rumput laut (Kappaphycus alvarezii) di perairan Teluk Kolono, kabupaten
Konawe Selatan. Jurnal Mina Laut Indonesia. 3(12):147-155.

Noor NM. 2015. Analisis kesesuaian perairan Ketapang, Lampung Selatan


sebagai lahan budidaya rumput laut Kappapycus alvarezii. Jurnal
Maspari. Vol 7(2):91-100. 2015

Nugroho E, Kusnendar E. 2015. Agribisnis Rumput Laut. Jakarta: Penebar


Swadaya.

Nurdjana ML. 2007. Revitalisasi budidaya dan ekspor rumput laut. Makalah
disampaikan pada Workshop rumput laut dan budidaya kepiting lunak.
Makasar, 15 Mei 2007, 54 pp.

Poncomulyo T, Maryanih, Kristiani L. 2006.Budidaya dan Pengolahan Rumput


Laut. Jakarta: Agromedia Pustaka.hal 35.
62

Prahasta. 2009. Sistim Informasi Goegrafis konsep-konsep dasar (Perspektif


Geodesi dan Geomatika). Bandung: Informatika.

Prahasta, E. 2002. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografi. Bandung:


Informatika Bandung.

Putra BD, Aryawati R, Isnaini. 2014. Laju pertumbuhan rumput laut Gracilaria sp.
dengan metode penanaman yang berbeda di perairan Kalianda, Lampung
Selatan. Jurnal Maspari. Vol 3(2) : 36-41.

Radiarta IN, Saputra A, Priono, B. 2005. Identifikasi kelayakan lahan


budidaya ikan dalam keramba jaring apung dengan aplikasi Sistem
Informasi Geografis di Teluk Pangpang, Jawa Timur. Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia, Vol 5(11): 31-42.

Rohman A, Wisnu R, Rejeki S. 2018. Penentuan kesesuaian wilayah pesisir


Muara Gembong, Kabupaten Bekasi untuk lokasi pengembangan
budidaya rumput laut dengan pemanfaatan sistem informasi geografis
(SIG). Jurnal Sains Akuakultur Tropis. Vol 2(1) : 73-82.

Runtuboi D, Paulungan YP, Gunaedi T. 2014. Studi Kesesuaian Lahan Budidaya


Rumput Laut Berdasarkan Parameter Biofisik Perairan di Yensawai
Distrik Batanta Utara Kabupaten Raja Ampat. Jurnal Biologi Papua. Vol
6(1) : 31–37.

Serdiati, N. dan I.M. Widiastuti. 2010. Pertumbuhan dan produksi rumput laut
Eucheuma cottonii pada kedalaman penanaman yang berbeda. Media
Litbang Sulteng. 3(1): 21–26.

Sirajuddin M., 2009. Analisa Ruang Ekologi untuk Pengelompokan Zona


Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottoni) di Teluk
Waworanda Kabupaten Bima. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.

Soenardjo N. 2011. Aplikasi Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii (Weber


van Bosse) Dengan Metode Jaring Lepas Dasar (Net Bag) Model Cidaun.
Jurnal Buletin Oseanografi Marina. Vol 1 : 36-44.

Standar Nasional Indonesia. 2010. Produksi Rumput Laut kotoni (Eucheuma


cottonii) – Bagian 2: Metode Long-line. Badan Standardisasi Nasional.
SNI : 7579.2:2010.

Standar Nasional Indonesia (SNI). 2005. Inorganic Non Metalic Constituents, in:
Standart Methods for the Examination of Water and Wastewater, A.D
Eaton, L.S. Clesceri, E.W. Rice, A.E. Grennberg (Eds.) 21st ed., American
Public Health Association; APHA, AWWA, WPCF, Washington. 4-1-4-
192
63

Sujatmiko, Wisman. 2003. Teknik budidaya rumput laut dengan metode tali
tunggal. From http://www.iptek.net.id/ttg artkp/artikel 118.htm Retrieved
1 Februari 2016.

Susilowati T, Rejeki S, Eko N, Zulfitriani. 2012. Pengaruh kedalaman terhadap


pertumbuhan rumput laut (Eucheuma cottonii) yang dibudidayakan
dengan metode longline di Pantai Mlonggo, Kabupaten Jepara. Jurnal
Saintek Perikanan. Vol 8(1) : 7-12.

Syahputra, Y. 2005. Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Budidaya Rumput


Laut Eucheuma cottonii pada Kondisi Lingkungan Yang Berbeda dan
Perlakuan Jarak Tanam di Teluk Lhok Seudu. [Tesis] Program
Pascasarjana IPB Bogor.

Tega YR, Meiyasa F, Henggu KU, Tarigan N dan Ndahawali S. 2020. Identifikasi
makroalga di Perairan Moudolung Kabupaten Sumba Timur. Jurnal
Pendidikan dan Biologi. Vol 12(2) : 202-210. Juli 2020.

Ulnang JA, Maria RTL dan Momo AN. 2018. Pengaruh bobot bibit terhadap
pertumbuhan dan produktivitas Eucheuma spinosum di Pantai air Cina,
Desa Tablolong, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang. Jurnal
Biotropikal Sains. Vol 15(3) : 88-96. November 2018.

Wijayanto T, Hendri M, Aryawati R. 2011. Studi Pertumbuhan Rumput Laut


Eucheuma cottonii dengan Berbagai Metode Penanaman yang berbeda di
Perairan Kalianda, Lampung Selatan. Jurnal Maspari. Vol 3(2011) : 51-
57.

WWFI. 2014. Budidaya Rumput Laut. Jakarta: WWF Indonesia.

Yusuf, M.I., 2004. Produksi, Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput


Laut Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty (1988) yang Dibudidayakan
Dengan Sistem Air Media dan Tallus Benih Yang Berbeda. (Disertasi)
Program Pasca Sarjana Universitas Hasanudin. Makassar. Hlm 13-15.
LAMPIRAN
65

Lampiran 1. Analisis Kualitas Air


1. Analisis Nitrat (NO3-N)
Analisis sampel nitrat mengacu pada APHA (2005) yang dilakukan
dengan metode Brucine dan diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang (λ) = 410 nm. Tahapan yang dilakukan yaitu :
✓ Pembuatan Larutan Kerja
1. Larutan Brusin
- Diambil 1 gr Brusin dan ditambahkan dengan 1 ml H2 SO4 , kemudian
dilarutkan dengan aquades sebanyak 50 ml.
2. Larutan Natrium Arsenit
- Diambil 0,1 gr Sulphanilamid dan ditambahkan dengan 3 ml HCL,
kemudian dilarutkan dengan aquades sebanyak 100 ml.
3. Larutan AsamSulfat
- Diambil 174 ml H2 SO4 kemudian ditambahkan 26 ml aquades hingga
volumenya menjadi 200 ml.
4. Larutan stok nitrat
- Diambil 0,6070 g natrium nitrat dilarutkan dalam 1000 ml aquades.
5. Larutan Standart N itrat 1 ppm
- 1 ml larutan stok ditambahkan aquades hingga volumenya menjadi 100
ml.
✓ Pembuatan Larutan Standart Nitrat dan Larutan Blanko
Larutan blanko yang digunakan adalah akuades, sedangkan larutan
standart adalah sebagai berikut :
1. Dibuat larutan standart nitrat dengan konsentrasi seperti berikut:
- 0 ppm = 5 ml akuades
- 0,2 ppm = 1 ml larutan standar nitrat 1 ppm kemudian diencerkan
dengan aquades hingga volume menjadi 5 ml.
- 0,4 ppm = 2 ml larutan standar nitrat 1 ppm kemudian diencerkan
dengan aquades hingga volume menjadi 5 ml
- 0,6 ppm = 3 ml larutan standar nitrat 1 ppm kemudian diencerkan
dengan aquades hingga volume menjadi 5 ml
66

- 0,8 ppm = 4 ml larutan standar nitrat 1 ppm kemudian diencerkan


dengan aquades hingga volume menjadi 5 ml
- 1 ppm = 5 ml larutan standar nitrat 1 ppm
2. Dibuat larutan blanko dari 5 ml aquades.
3. Larutan diukur menggunakan spektofotometer dengan panjang gelombang 880
nm (3 kali pengulangan).
✓ Prosedur Kerja
1. Sampel air disaring dengan menggunakan kertas saring whattman ukuran
0,45 μm.
2. Diambil 5 ml air sampel yang telah disaring ke dalam erlenmeyer.
3. Ditambahkan 0,5 ml larutan brusin, tambahkan 0,05 ml larutan natrium
arsenit dan 5 ml larutan Asam sulfat kemudian diaduk.
4. Masing-masing larutan standart diambil 5 ml, kemudian dilakukan
prosedur 3.
5. Diamkan hingga dingin dan ukur absorbansi larutan blanko, sampel, dan
masing- masing larutan standart pada spektrofotometer dengan panjang
gelombang 410 nm (3 kali pengulangan) dan catathasilnya.
6. Membuat kurva kalibrasi dari hasil pengukuran absorbansi larutan standar,
dibuat dengan sumbu x adalah konsentrasi nitrat (ppm) dan sumbu y
adalah nilai absorbansinya. Didapatkan persamaan regresi y = ax + b dari
kurva kalibrasi.
7. Menghitung konsentrasi nitrat pada air sampel dengan persamaan :

A=ƐxbxC

Keterangan:
A = nilai absorbansi
Ɛ = nilai a dari persamaan regresi
b = tebal kuvet (= 1)
C = konsentrasi nitrat pada air sampel.
67

2. Analisis Fosfat (PO4-P)


Analisis sampel fosfat mengacu pada SNI 06-6989.31 (2005) yang
dilakukan dengan metode Asam Ascorbic dan diukur menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang (λ) = 880 nm. Tahapan yang dilakukan
yaitu:
✓ Pembuatan Larutan Kerja:
1. Larutan induk fosfat, PO4-P : 500 mg
- Melarutkan 2,195 g kalium dihidrogen fosfat anhidrat, KH2PO4 dengan
100 mL air suling dalam labu ukur 1000 mL
- Menambahkan air suling sampai tepat tanda dan menghomogenkan
2. Larutan baku fosfat, PO4-P : 10 mg
- Memipet 2 mL larutan induk fosfat 500 mg/L, dan memasukkan
kedalam labu ukur 100 mL
- Menambahkan air suling sampai tepat tanda dan menghomogenkan
3. Larutan kerja fosfat, PO4-P
- Memipet 0 mL, 5 mL, 20 mL dan 25 mL larutan baku fosfat yang
mengandung 10 mg/L dan memasukkan masing-masing kedalam labu
ukur 250 mL
- Menambahkan air suling sampai tepat pada tanda kemudian
menghomogenkan sehingga didapat kadar fosfat 0,0 mg/L, 0,2 mg/L, 0,4
mg/L, 0,6 mg/L, 0,8 mg/L, 1,0 mg/L.
4. Pembuatan Kurva Kalibrasi
- Optimalkan alat spektrofotometer sesuai dengan petunjuk alat untuk
pengujian kadar posfat.
- Pipet 50 mL larutan kerja dan masukkan masing-masing ke dalam
Erlenmeyer.
- Tambahkan 1 tetes indikator fenolftalin. Jika terbentuk warna merah
muda, tambahkan tetes demi tetes H2SO4 5N sampai warna hilang.
- Tambahkan 8 mL larutan campuran dan dihomogenkan;
- Masukkan kedalam kuvet pada alat spektofotometer, baca dan catat
serapannya pada panjang gelombang 880 nm dalam kisaran waktu antara
10 menit sampai 30 menit.
68

- Buat kurva kalibrasi dari data diatas atau tentukan persamaan garis
lurusnya.
✓ Prosedur Kerja:
1. Memipet 50 mL sampel dan memasukkan kedalam masing-masing
erlenmeyer
2. Menambahkan 1 tetes indikator fenolftalin. Jika terbentuk warna merah
muda, menambahkan tetes demi tetes H2SO4 5N sampai warna hilang
3. Menambahkan 8 mL larutan campuran dan menghomogenkan
4. Memasukkan kedalam kuvet pada alat spektrofotometer, membaca dan
mencatat serapannya pada panjang gelombang 880 nm dalam kisaran
waktu antara 10 - 30 menit.
5. Membuat kurva kalibrasi dari hasil pengukuran absorbansi larutan standar
dibuat dengan sumbu x adalah konsentrasi posfat (ppm) dan sumbu y
adalah nilai absorbansinya. Didapatkan persamaan regresi y = ax + b dari
kurva kalibrasi.
6. Menghitung dengan rumus yang mengacu pada SNI 06-6989.31 (2005):

Kadar fosfat (mg/L) = C x fp

Keterangan:
C = kadar yang didapat dari hasil pengukuran (mg/L)
fp = faktor pengenceran
69

Lampiran 2. Data Suhu, Salinitas, pH dan Arus

Stasiun Salinitas Stasiun pH Stasiun Suhu°C Stasiun Arus


ppt (m/s)
1 31 1 7.99 1 29.17 1 0.08
2 32.5 2 8.05 2 29.00 2 0.17
3 34 3 8.03 3 29.00 3 0.17
4 33.5 4 8.07 4 28.90 4 0.18
5 33.5 5 8.03 5 28.80 5 0.24
6 30 6 7.94 6 28.67 6 0.15
7 30.5 7 7.99 7 29.00 7 0.08
8 30 8 7.99 8 28.97 8 0.13
9 30 9 8.06 9 29.20 9 0.16
10 32 10 8.00 10 29.03 10 0.15
11 32 11 8.07 11 29.33 11 0.50
12 33 12 8.03 12 29.00 12 0.53
13 32.5 13 8.06 13 28.90 13 0.08
Rata-Rata 31.9 Rata- 8.0 Rata-Rata 29.00 Rata- 0.20
Rata Rata
70

Lampiran 3. Data Kedalaman, Kecerahan, Substrat Dasar dan Hama Rumput Laut

Stasiun Kedalama Stasiun Keceraha Stasiu Substrat Stasiu Hama RL


n (m) n (m) n n
1 3 1 1.8 1 Lumpur 1 Sedikit
2 6 2 3.2 2 Lumpur 2 Sedikit
3 29 3 16.5 3 Pasir 3 Sedikit
4 7 4 4.7 4 Pecahan 4 Sedikit
Karang
5 5 5 3.2 5 Lumpur 5 Sedikit
6 2.15 6 1.2 6 Lumpur 6 Sedikit
7 4.37 7 2.6 7 Lumpur 7 Sedikit
8 2.36 8 1.3 8 Pasir 8 Sedikit
Berlumpur
9 4.89 9 2.7 9 Pasir 9 Sedikit
Berlumpur
10 33 10 17.1 10 Pasir 10 Sedikit
Berlumpur
11 15 11 8.0 11 Lumpur 11 Sedikit
12 18 12 9.6 12 Lumpur 12 Sedikit
13 30 13 15.5 13 Pecahan 13 Sedikit
Karang
Rata-Rata 12 Rata-Rata 6.72
71

Lampiran 4. Data Hasil Analisis Nitrat


Larutan Standar
Larutan yang Konsentrasi Absorbansi Panjang
diamati gelombang (nm)
Larutan Blanko 0 0 410
Larutan standar 1 0.2 0.078 410
Larutan standar 2 0.4 0.095 410
Larutan standar 3 0.6 0.099 410
Larutan standar 4 0.8 0.109 410
Larutan Standar 5 1.0 0.138 410

Sampel ABS Sampel Konsentrasi Sampel


1 0.121 0.807
2 0.104 0.656
3 0.083 0.469
4 0.08 0.442
5 0.101 0.629
6 0.085 0.487
7 0.124 0.834
8 0.104 0.656
9 0.112 0.727
10 0.081 0.451
11 0.084 0.478
12 0.093 0.558
13 0.095 0.576
72

Lampiran 5. Data Hasil Analisis Fosfat


Larutan Standar
Larutan yang diamati Konsentrasi Absorbansi Panjang
(ppm) gelombang (nm)
Larutan Blanko 0 0 880
Larutan standar 1 0.2 0.072 880
Larutan standar 2 0.4 0.081 880
Larutan standar 3 0.6 0.140 880
Larutan standar 4 0.8 0.190 880
Larutan standar 5 1.0 0.210 880

Sampel ABS Sampel Konsentrasi Sampel


1 0.098 0.416
2 0.039 0.134
3 0.042 0.148
4 0.043 0.153
5 0.044 0.158
6 0.052 0.196
7 0.037 0.124
8 0.051 0.191
9 0.035 0.115
10 0.046 0.167
11 0.175 0.785
12 0.126 0.550
13 0.133 0.584
73

Lampiran 6. Hasil Kurva Kalibrasi Nitrat dan Fosfat


74

Lampiran 7. Data Keterlindungan Lokasi dan Hasil Rekomendasi Metode Budidaya Rumput Laut

Stasiun Keterlindungan Stasiun Kedalaman Metode Lepas Dasar Metode Rakit Apung atau
lokasi Longline
1 Terlindung 1 3 Sesuai Sesuai
2 Cukup Terlindung 2 6 Sesuai Bersyarat Sesuai
3 Terbuka 3 29 Tidak Sesuai Tidak Sesuai
4 Terlindung 4 7 Sesuai Bersyarat Sesuai
5 Terlindung 5 5 Sesuai Bersyarat Sesuai
6 Terlindung 6 2.15 Sesuai Sesuai
7 Terlindung 7 4.37 Sesuai Bersyarat Sesuai
8 Terlindung 8 2.36 Sesuai Sesuai
9 Terlindung 9 4.89 Sesuai Bersyarat Sesuai
10 Cukup Terlindung 10 33 Tidak Sesuai Tidak Sesuai
11 Cukup Terlindung 11 15 Tidak Sesuai Sesuai
12 Terlindung 12 18 Tidak Sesuai Sesuai
13 Terlindung 13 30 Tidak Sesuai Tidak Sesuai
75

Lampiran 8. Data Lapangan


Arus Kedalaman Kecerahan Hama Nitrat Posfat Keterlindungan
Stasiun X Y Salinitas pH Suhu°C Substrat
(m/s) (m) (m) RL (mg/l) (mg/l) lokasi
1 105.82352778 -5.63796389 31 7.99 29.17 0.08 3 1.8 Lumpur Sedikit 0.807 0.416 Terlindung
Cukup
2 105.83514722 -5.65934722 32.5 8.05 29.00 0.17 6 3.2 Lumpur Sedikit
0.656 0.134 Terlindung
3 105.85514167 -5.67131667 34 8.03 29.00 0.17 29 16.5 Pasir Sedikit 0.469 0.148 Terbuka
Pecahan
4 105.83441389 -5.68000833 33.5 8.07 28.90 0.18 7 4.7 Sedikit Terlindung
Karang 0.442 0.153
5 105.82678889 -5.68943611 33.5 8.03 28.80 0.24 5 3.2 Lumpur Sedikit 0.629 0.158 Terlindung
6 105.80878611 -5.69125833 30 7.94 28.67 0.15 2.15 1.2 Lumpur Sedikit 0.487 0.196 Terlindung
7 105.80595556 -5.72647778 30.5 7.99 29.00 0.08 4.37 2.6 Lumpur Sedikit 0.834 0.124 Terlindung
Pasir
8 105.80277778 -5.74340833 30 7.99 28.97 0.13 2.36 1.3 Sedikit Terlindung
Berlumpur 0.656 0.191
Pasir
9 105.81103889 -5.75912500 30 8.06 29.20 0.16 4.89 2.7 Sedikit Terlindung
Berlumpur 0.727 0.115
Pasir Cukup
10 105.80913889 -5.79378056 32 8.00 29.03 0.15 33 17.1 Sedikit
Berlumpur 0.451 0.167 Terlindung
Cukup
11 105.79486944 -5.81847778 32 8.07 29.33 0.50 15 8.0 Lumpur Sedikit
0.478 0.785 Terlindung
12 105.78510833 -5.82970278 33 8.03 29.00 0.53 18 9.6 Lumpur Sedikit
0.558 0.550 Terlindung
Pecahan
13 105.77659722 -5.84333056 32.5 8.06 28.90 0.08 30 15.5 Sedikit Terlindung
Karang 0.576 0.584
76

Lampiran 9. Data Hasil Scoring

Stasiun Salinitas pH Suhu Arus Kedalaman Kecerahan Substrat Hama Nitrat Fosfat Keterlindungan Total Tingkat
RL Lokasi Skor Kesesuaian
1 6 3 3 2 6 4 2 3 4 4 9 46 Sesuai
Bersyarat
2 6 3 3 4 6 6 2 3 4 6 6 49 Sesuai
3 6 3 3 4 2 6 6 3 4 6 3 46 Sesuai
Bersyarat
4 6 3 3 4 6 6 6 3 4 6 9 56 Sesuai
5 6 3 3 6 6 6 2 3 4 6 9 54 Sesuai
6 6 3 3 4 6 4 2 3 4 6 9 50 Sesuai
7 6 3 3 2 6 4 2 3 4 6 9 48 Sesuai
8 6 3 3 4 6 4 4 3 4 6 9 52 Sesuai
9 6 3 3 4 6 4 4 3 4 6 9 52 Sesuai
10 6 3 3 4 2 6 4 3 4 6 6 47 Sesuai
11 6 3 3 2 4 6 2 3 4 4 6 43 Sesuai
Bersyarat
12 6 3 3 2 4 6 2 3 4 4 9 46 Sesuai
Bersyarat
13 6 3 3 2 2 6 6 3 4 4 9 48 Sesuai
77

Lampiran 10. Dokumentasi Lapangan

Pengukuran Kecepatan Arus Pengambilan Sampel Sadimen

Gambaran Lokasi Penelitian Gambaran Lokasi Penelitian

Pengambilan Sampel air dan


Penentuan titik Koordinat
Pengukuran Suhu dan pH Perairan
78

Lampiran 10. Dokumentasi Laboratorium

Pengukuran Salinitas Air Pengamatan Sampel Sedimen

Pengamatan Sampel Sedimen Analisis Nutrien (Nitrat dan Posfat)

Analisis Nitrat Analisis Posfat


RIWAYAT HIDUP

Tri Rizky Oktariansyah dilahirkan di Kota Palembang


pada tanggal 19 Oktober 1997. Penulis merupakan anak
ketiga dari pasangan Bapak Bambang Suseno dan Ibu Sri
Yanti. Penulis mengemban pendidikan Sekolah Dasar SD
Negeri 137 Kota Palembang dan lulus pada tahun 2010.
Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SMP Bakti
Ibu 2 Kota Palembang dan menyelesaikan pendidikan
pada tahun 2013. Penulis melanjutkan pendidikan di bangku SMA Negeri 3 Kota
Lahat dan lulus pada tahun 2016. Agustus 2016 penulis melanjutkan Srata 1 di
Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan alam,
Universitas Sriwijaya dan Alhamdulillah selesai pada tahun 2021.
Selama menjalani jenjang perkuliahan, penulis pernah mengikuti beberapa
organisasi seperti Himpunan Mahasiswa Ilmu Kelautan (HIMAIKEL) dan Ikatan
Mahasiswa Lahat (IKAMALA). Pada tahun 2018 penulis melaksanakan Kerja
Praktek dengan judul “Teknik Pengambilan dan Analisis Data Penyakit Karang di
Balai Riset Budidaya Ikan Hias (BRBIH)” di Depok, Jawa Barat.
Berkat petunjuk dan pertolongan Allah SWT, usaha dan disertai dengan doa
kedua orang tua dalam menjalani aktivitas akademik di Universitas Sriwijaya.
Pada tahun 2020 alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan tugas akhir berupa
skripsi dengan judul “Studi Kelayakan Lahan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma
spinosum) Menggunakan Metode Scoring Di Daerah Perairan Ketapang,
Lampung Selatan, Lampung”. Penulis dinyatakan lulus program strata satu (S1)
Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Sriwijaya pada tahun 2021.
Penulis bisa dihubungi melalui e-mail : rianbondong7@gmail.com.

Anda mungkin juga menyukai