Anda di halaman 1dari 292

i

PERIKANAN SERO DI PERAIRAN PANTAI


PITUMPANUA KABUPATEN WAJO - TELUK BONE :
SUATU KAJIAN EKOLOGIS

TENRIWARE

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2 0 12
ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN


SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi: Perikanan Sero di Perairan


Pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo – Teluk Bone : Suatu Kajian Ekologis adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Tenriware
NRP. C 461060021
iii

ABSTRACT
TENRIWARE. The Sero Fisheries in Pitumpanua Coastal Waters of Wajo
Regency - Bone Bay : an Ecologycal Study. Supervised by M. FEDI A.
SONDITA, BUDY WIRYAWAN, and ISMUDI MUCHSIN

According to previous study, generally mesh size`4 cm quite selective had


operated in Pitumpanua cost at Bone Bay, however the study is not specifically to
different habitats such as estuary, mangrove and seagrass. This research tried to
evaluate the application of crib which has mesh size 4 cm in sero fisheries in
Pitumpanua coast with the goal is to analyze the condition of estuary, mangrove
and seagrass environment; to analyze fish community in the different of three
habitats; to analyze the selectivity of crib with mesh size 4 cm at the fish dominant
of catch; and to analyze the trophic level of fish in food webs. This research
conducted in 3 habitats (estuary, mangrove and sea grass area) in Pitumpanua
coastal water from januari to May 2011. The experimental unit used 1 unit sero in
each habitats. Environment parameters (temperature, salinity, pH, dissolved
oxygen dan current velocity) were did in field survey, nutrient analyze (nitrat,
phospat dan cylikat), refers to Grasshoff method, chlorophyll-a allowed Boyd
method, and phytoplankton and zooplankton defined by APHA method. Trophic
level analyze defined by Christensen and Pauly formula by TrophLab2K. Catch
analyze according to habitats using compare analyze, environment parameter
characteristic analyzed by PCA, association of fish and habitat analyzed by FCA.
Selectivity analyze of mesh size 4 cm in the sero used logistic model by Sparre
dan Venema method. The results showed that physic-chemistry and biology
parameters in Pitumpanua coastal waters, Bone Bay is still proper and in the
tolerance range to growth and`survival rate of some fish specieses. The proportion
of catch biomass that balanced relative among three trophic level of fish indicated
that the`ecologic condition of three ecosystems based on fish trophic level is still
proper. The management of sero must be consider the variety of ecosystems that
exist because of differences in fish communities in three habitats. The selectivity
of mesh size 4 cm at the sero experimental crib obtained Sphyraena sphyraena
and Leiognathus splendens fish which had reached the allowable length (L50%),
Gerres oyena and Upeneaus sulphureus close to the allowed length, while the
Siganus canaliculatus, Siganus guttatus, Lethrinus lentjam, and Terapon jarbua is
far from the allowed length. It should be applied the mesh size > 4 cm in seagrass
habitat, while in the estuary and near the mangroves applied the size of 4 cm. In
general, sero gear that operated in coastal waters Pitumpanua should be applied
the mesh size larger than 4 cm.

Keywords : selectivity, sero, experimental crib, trophic level


iv

RINGKASAN
TENRIWARE. Perikanan Sero di Perairan Pantai Pitumpanua Kabupaten
Wajo - Teluk Bone: Suatu Kajian Ekologis. Dibimbing oleh M. FEDI A.
SONDITA, BUDY WIRYAWAN, dan ISMUDI MUCHSIN

Berdasarkan kajian sebelumnya yang secara umum bahwa ukuran mata


jaring 4 cm cukup selektif yang dioperasikan di daerah pantai Pitumpanua Teluk
Bone, namun kajian tersebut belum secara spesifik untuk habitat yang berbeda
seperti estuaria (muara sungai) mangrove, dan lamun. Penelitian mengevaluasi
penerapan bunuhan (crib) bermata jaring 4 cm pada perikanan sero di perairan
pantai Pitumpanua. Tujuan kajian yaitu : menganalisis kondisi lingkungan habitat
muara sungai, mangrove dan lamun; menganalisis komunitas ikan di tiga habitat
berbeda; menganalisis selektivitas bunuhan bermata-jaring 4 cm terhadap ikan-
ikan yang dominan tertangkap, dan menganalisis posisi jenis ikan yang tertangkap
dalam piramida makanan.
Penelitian ini dilaksanakan pada 3 (tiga) habitat berbeda yaitu muara
sungai, mangrove, dan lamun di perairan pantai Pitumpanua dari bulan Januari –
Mei 2011. Percobaan menggunakan masing-masing 1 (satu) unit alat tangkap sero
setiap habitat. Parameter lingkungan (suhu, salinitas, pH, DO, dan kecepatan arus)
dilakukan pengukuran langsung, analisis nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat)
mengacu pada metode Grasshoff, kandungan klorofil a mengikuti metode Boyd,
dan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton dan ditentukan berdasarkan metode
APHA. Tingkat trofik ditentukan berdasarkan formula Christensen & Pauly
dengan bantuan TrophLab2K. Analisis hasil tangkapan berdasarkan habitat
dianalisis ragam (Anova). Karakteristik parameter lingkungan dianalisis principle
component analysis (PCA). Asosiasi ikan dan habitat dianalisis factorial
correspondence analysis (FCA). Analisis biometri untuk hubungan panjang berat
ikan. Analisis selektivitas mata jaring 4 cm pada bunuhan sero didekati dengan
menggunakan model logistik dengan metode Sparre dan Venema.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter fisika-kimia dan biologi
perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone menunjukkan bahwa perairan pantai
masih layak dan dalam batas nilai yang masih ditoleransi dan layak untuk
pertumbuhan dan kelangsungan hidup beberapa jenis ikan yang tertangkap dengan
alat tangkap sero. Proporsi biomassa hasil tangkapan yang relatif berimbang antar
ketiga trofik level mengindikasikan bahwa kondisi ekologis ketiga ekosistem
dilihat dari trofik level ikan yang tertangkap dengan sero relatif masih baik.
Pengelolaan sero harus memperhatikan ragam dari ekosistem yang ada karena
adanya perbedaan komunitas ikan pada ketiga habitat. Selektivitas mata jaring 4
cm pada experimental crib sero didapatkan ikan barakuda dan pepetek yang
tertangkap sudah memenuhi panjang yang diperbolehkan (L50%), ikan kapas-kapas
dan biji nangka mendekati panjang yang diperbolehkan, sedangkan baronang
lingkis, baronang, kerong-kerong, dan kuwe masih jauh dari panjang yang
diperbolehkan. Sebaiknya menerapkan ukuran mata jaring > 4 cm di habitat
lamun sedangkan di muara sungai dan dekat mangrove menerapkan ukuran 4 cm.
Secara umum, alat tangkap sero yang dioperasikan di perairan pantai Pitumpanua
sebaiknya menggunakan ukuran mata jaring lebih besar 4 cm.

Kata Kunci : selektivitas, sero, experimental crib, trofik level.


v

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya


Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
vi

PERIKANAN SERO DI PERAIRAN PANTAI


PITUMPANUA KABUPATEN WAJO - TELUK BONE :
SUATU KAJIAN EKOLOGIS

TENRIWARE

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2 0 12
vii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup

1. Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc.


(Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan, FPIK IPB)

2. Dr. Ir. Am. Azbas Taurusman, M.Sc.


(Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan, FPIK IPB)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka

1. Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja.


(Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan, FPIK IPB)

2. Dr. Ir. Suharyanto, M.Si.


(Direktur Program Pascasarjana STP Jakarta)
viii

Judul Disertasi : Perikanan Sero di Perairan Pantai Pitumpanua Kabupaten


Wajo – Teluk Bone : Suatu Kajian Ekologis
Nama Mahasiswa : Tenriware

Nomor Pokok : C 461060021

Program Studi : Teknologi Kelautan

Disetujui :
Komisi Pembimbing

(Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc.) (Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc.)
Ketua Anggota

(Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin)


Anggota

Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana,
Teknologi Kelautan,

(Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc.) (Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.)

Tanggal Ujian : 27 Januari 2012 Tanggal Lulus : 30 Januari 2012


ix

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan disertasi berjudul “Perikanan Sero di Perairan Pantai Pitumpanua
Kabupaten Wajo-Teluk Bone : Suatu Kajian Ekologis.”
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada komisi pembimbing Bapak Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita,
M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing; Bapak Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc.
dan Bapak Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin selaku anggota komisi pembimbing yang
telah banyak memberikan arahan dan bimbingan selama penyusunan disertasi ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Ketua STKIP Prima
Sengkang dan Ketua Program Studi Pendidikan Biologi Prima Sengkang yang
telah memberikan izin untuk melanjutkan pendidikan di IPB, para rekan staf
pengajar di STKIP Prima Sengkang, tenaga laboran dan teknisi yang telah banyak
membantu selama proses penelitian. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis
juga sampaikan kepada Dekan FPIK IPB, Ketua Departemen TKL, Ketua
Program Studi Teknologi dan semua staf pengajar dan pegawai Program Sekolah
Pascasarjana Teknologi Kelautan IPB yang telah mendidik dan membantu
kelancaran kegiatan proses belajar mengajar, kepada Dirjen Pendidikan Tinggi
yang telah memberikan bantuan BPPS telah memberikan bantuan dana pendidikan
selama kuliah di Sekolah Pascasarjana IPB.
Akhirnya penulis menharapkan semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan penelitian-penelitian selanjutnya, khususnya dalam bidang
perikanan dan kelautan.

Bogor, Januari 2012

Tenriware

.
x

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Wajo pada tanggal 1 Oktober 1974 anak sulung dari
empat bersaudara dari pasangan Sessu Daeng Mattemmu dan Andi Nurhayati.
Pendidikan dasar dan menengah diselesaikan di Kabupaten Wajo Provinsi
Sulawesi Selatan. Tamat SMA pada tahun 1993 dan pada tahun yang sama
penulis diterima untuk melanjutkan pendidikan Diploma Tiga di Jurusan
Penangkapan, Politeknik Pertanian Universitas Hasanuddin/POLITANI Pangkep
(sekarang) dan lulus pada tahun 1996.
Pada tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikan Sarjana di Jurusan
Pemanfaatan Sumberdaya Perairan (PSP) di Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan Universitas Hasanuddin dan selesai pada tahun 2000. Pendidikan
Magister di Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB dan
selesai pada Januari 2005. Penulis melanjutkan ke program doktor pada tahun
2006 dan program studi yang sama mendapatkan beasiswa Bantuan Pendidikan
Pascasarjana (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional. Penulis ikut
berpartisipasi dalam beberapa penelitian Hibah Bersaing, Hibah Kebaharian, dan
Penelitian Strategis Nasional yang dibiayai DP2M Pendidikan Tinggi. Artikel
yang berjudul Analisis Hasil Tangkapan Kepiting Rajungan (Portunnus
pelagicus) pada Alat Tangkap Sero di Habitat Berbeda telah diterbitkan di Jurnal
Ilmiah Teknosains dalam edisi khusus 1 Januari 2012. Artikel yang berjudul
Analisis Hubungan Panjang-Berat Ikan Baronang Lingkis pada Habitat Berbeda di
Perairan Pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone telah diterbitkan di
Jurnal Perikanan Kopertis IX Wilayah Sulawesi Edisi Desember 2011.
xi

DAFTAR ISTILAH
Daerah : Lokasi pada suatu wilayah perairan dimana terjadi interaksi
penangkapan antara alat tangkap dengan sumberdaya ikan yang menjadi
tujuan penangkapan.
Ekosistem : Semua organisme dan lingkungan yang ada dalam suatu
lokasi tertentu
FCA : Analisis Faktorial Koresponden, salah satu analisis
multivariate
Habitat : Tempat suatu makhluk hidup tinggal dan berkembang biak,
dimana lingkungan fisiknya di sekeliling populasi suatu
spesies yang memengaruhi dan dimanfaatkan oleh spesies
tersebut
Komunitas : Satu grup populasi-populasi yang berada bersama-sama
dalam satu ruang dan waktu tertentu
Level trofik : Tingkat atau level makanan dalam suatu rantai makanan
PCA : Analisis komponen utama, salah satu analisis multivariate
Pengelolaan : Semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam
perikanan pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi,
pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan
implementasi serta penegakan hukum dari peraturan
perundang-undangan di bidang perikanan yang dilakukan
oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk
mencapai kelansungan produktivitas sumberdaya hayati
perairan dan tujuan yang telah disepakati
Perikanan : Semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya
mulai dari praproduksi, produksi, pengelohan sampai
dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem
bisnis perikanan
Predator : Suatu organisme yang memakan sebagian atau keseluruhan
organisme lainnya
Rantai makanan : Karakteristik linier dari aliran energi dan bahan-bahan
kimia melalui organisme
Selektivitas : selektivitas merupakan sifat alat tangkap tertentu untuk
mengurangi atau mengeluarkan tangkapan yang tidak
sesuai ukuran (unwanted catch) atau ikan-ikan tangkapan
yang tidak diinginkan (incidential catch) dan selektivitas
merupakan fungsi dari suatu alat penangkapan ikan dalam
menangkap spesies ikan dalam jumlah dan selang ukuran
tertentu pada suatu populasi di daerah penangkapan ikan
Sero : Aat tangkap yang sifatnya adalah perangkap dan juga
penghadang yang dipasang di pantai dengan tujuan
menghadang arah renang ikan yang bermigrasi ke arah
pantai dan setelah masuk ke bagian alat yang merupakan
daerah bunuhan akan terperangkap dan tidak dapat keluar
lagi
xii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ............................................................................................... xv


DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xix
1  PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 
1.1  Latar Belakang.......................................................................................... 1 
1.2  Perumusan Masalah .................................................................................. 5 
1.3  Tujuan Penelitian ...................................................................................... 8 
1.4  Manfaat Penelitian .................................................................................... 9 
2  TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 11 
2.1  Deskripsi Alat Tangkap Sero ................................................................. 11 
2.1.1  Penaju (leader net) ........................................................................ 11 
2.1.2  Sayap (wing) .................................................................................. 12 
2.1.3  Badan (body) ................................................................................. 12 
2.1.4  Bunuhan (crib)............................................................................... 12 
2.2  Daerah Penangkapan Sero ...................................................................... 12 
2.3  Jenis-jenis Ikan yang Tertangkap Alat Tangkap Sero ............................ 14 
2.4  Ekosistem Perairan ................................................................................. 16 
2.4.1  Ekosistem muara sungai (estuaria) ................................................ 16 
2.4.2  Ekosistem mangrove ..................................................................... 17 
2.4.3  Ekosistem lamun ........................................................................... 18 
2.5  Parameter Kualitas Perairan ................................................................... 18 
2.5.1  Suhu perairan ................................................................................. 19 
2.5.2  Salinitas ......................................................................................... 20 
2.5.3  Derajat keasaman (pH) ................................................................ 22 
2.5.4  Oksigen terlarut (DO) .................................................................... 22 
2.5.5  Kecepatan arus perairan ................................................................ 23 
2.5.6  Plankton ......................................................................................... 24 
2.6  Trophic Level dan Kebiasaan Makan Ikan ............................................. 25 
2.7  Selektivitas Alat Tangkap....................................................................... 29 
2.8  Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem ........................................... 33 
2.9  Review Penelitian Sebelumnya .............................................................. 36 
3  METODOLOGI UMUM ................................................................................. 39 
3.1  Waktu dan Lokasi Penelitian .................................................................. 39 
3.2  Alat dan Bahan ....................................................................................... 40 
3.3  Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data ............................................ 40 
3.4  Analisis Data .......................................................................................... 41 
4  KONDISI UMUM PERIKANAN SERO DI KABUPATEN WAJO ............. 45 
4.1  Statistik Perikanan Kabupaten Wajo ...................................................... 45 
4.2  Kondisi Geografis................................................................................... 46 
4.3  Konstruksi Sero ...................................................................................... 48 
4.4  Lokasi Pemasangan Sero ........................................................................ 52 
4.5  Jenis-jenis Ikan yang Tertangkap dengan Sero ...................................... 52 
xiii

5  KONDISI LINGKUNGAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN DENGAN


SERO ................................................................................................................ 55 
5.1  PENDAHULUAN .................................................................................. 55 
5.2  METODE PENELITIAN ....................................................................... 55 
5.2.1  Waktu dan Lokasi Penelitian ......................................................... 55 
5.2.2  Alat dan Bahan .............................................................................. 56 
5.2.3  Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 56 
5.2.4  Analisis Data Lingkungan ............................................................. 59 
5.3  HASIL PENELITIAN ............................................................................ 60 
5.3.1  Deskripsi Habitat ........................................................................... 60 
5.3.2  Karakteristik Habitat ..................................................................... 61 
5.4  PEMBAHASAN .................................................................................... 64 
5.4.1  Deskripsi Habitat ........................................................................... 64 
5.4.2  Karakteristik Habitat ..................................................................... 69 
5.5  KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 70 
5.5.1  Kesimpulan .................................................................................... 70 
5.5.2  Saran .............................................................................................. 70 
6  KOMUNITAS IKAN DI HABITAT BERBEDA............................................ 71 
6.1  PENDAHULUAN .................................................................................. 71 
6.2  METODE PENELITIAN ....................................................................... 72 
6.2.1  Waktu dan Lokasi Penelitian ......................................................... 72 
6.2.2  Alat dan bahan ............................................................................... 72 
6.2.3  Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 72 
6.2.4  Analisis Data ................................................................................. 72 
6.3  HASIL PENELITIAN ............................................................................ 74 
6.3.1  Komposisi Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Sero .................... 74 
6.3.2  Kisaran Berat dan Panjang Total Setiap Hasil Tangkapan Sero ... 75 
6.3.3  Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Berdasarkan Habitat
dan Waktu Penangkapan ............................................................... 76 
6.3.4  Hubungan Panjang-Berat Hasil Tangkapan .................................. 78 
6.3.5  Hubungan Berat Hasil Tangkapan dengan Parameter
Lingkungan .................................................................................... 80 
6.3.6  Asosiasi antara Hasil Tangkapan Dominan dengan Habitat ......... 80 
6.4  PEMBAHASAN .................................................................................... 83 
6.4.1  Komposisi Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan............................. 83 
6.4.2  Kisaran Panjang Total dan Berat Setiap Jenis Ikan ...................... 85 
6.4.3  Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Berdasarkan Habitat dan
Waktu Penangkapan ...................................................................... 88 
6.4.4  Hubungan Panjang-Berat Hasil Tangkapan .................................. 93 
6.4.5  Hubungan Berat Hasil Tangkapan dengan Parameter
Lingkungan .................................................................................... 95 
6.4.6  Asosiasi antara Hasil Tangkapan Dominan dan Habitat ............... 97 
6.5  KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 98 
6.5.1  Kesimpulan .................................................................................... 98 
6.5.2  Saran .............................................................................................. 99 
xiv

7  SELEKTIVITAS MATA JARING EXPERIMENTAL CRIB


4 CM PADA CRIB SERO ............................................................................. 101 
7.1  PENDAHULUAN ................................................................................ 101 
7.2  METODE PENELITIAN ..................................................................... 102 
7.2.1  Waktu dan Lokasi Penelitian ....................................................... 102 
7.2.2  Alat dan bahan ............................................................................. 103 
7.2.3  Percobaan Penangkapan Ikan ...................................................... 103 
7.2.4  Metode Pengukuran ..................................................................... 108 
7.2.5  Analisis Data ............................................................................... 108 
7.3  HASIL PENELITIAN .......................................................................... 111 
7.3.1  Komposisi dan Proporsi Layak Tangkap pada Experimental
Crib .............................................................................................. 111 
7.3.2  Nilai L50% Setiap Jenis Ikan yang Tertangkap pada
Experimental Crib ....................................................................... 112 
7.4  PEMBAHASAN .................................................................................. 117 
7.4.1  Komposisi dan Proporsi Layak Tangkap pada Experimental
Crib .............................................................................................. 117 
7.4.2  Nilai L50% Setiap Jenis Ikan yang Tertangkap pada
Experimental Crib ....................................................................... 118 
7.5  KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 120 
7.5.1  Kesimpulan .................................................................................. 120 
7.5.2  Saran ............................................................................................ 121 
8  POSISI JENIS IKAN YANG TERTANGKAP DALAM PIRAMIDA
MAKANAN ................................................................................................... 123 
8.1  PENDAHULUAN ................................................................................ 123 
8.2  METODE PENELITIAN ..................................................................... 124 
8.2.1  Waktu dan Lokasi Penelitian ....................................................... 124 
8.2.2  Alat dan Bahan ............................................................................ 124 
8.2.3  Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 124 
8.2.4  Analisis Data ............................................................................... 125 
8.3  HASIL PENELITIAN .......................................................................... 126 
8.3.1  Jenis Makanan Ikan Dominan ..................................................... 126 
8.3.2  Trofik Level Ikan Dominan ......................................................... 127 
8.4  PEMBAHASAN .................................................................................. 128 
8.4.1  Jenis Makanan Ikan Dominan ..................................................... 128 
8.4.2  Trofik Level Ikan Dominan ......................................................... 129 
8.5  KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 132 
8.5.1  Kesimpulan .................................................................................. 132 
8.5.2  Saran ............................................................................................ 133 
9  PEMBAHASAN UMUM............................................................................... 135 
10 KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 143 
10.1  Kesimpulan ........................................................................................... 143 
10.2  Saran ..................................................................................................... 143 

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xv

DAFTAR TABEL

1 Pengelompokan jenis ikan demersal besar dan demersal kecil ..................... 15

2 Komposisi ikan-ikan pada terumbu karang menurut struktur trofik .............. 29

3 Produktivitas perikanan di habitat laut terbuka, pantai, dan upwelling ......... 35

4 Jenis-jenis hasil tangkapan dominan tertangkap dengan sero


selama penelitian ............................................................................................ 53

5 Hasil tangkapan non dominan dan discards alat tangkap sero selama
penelitian ........................................................................................................ 54

6 Jenis alat dan bahan yang digunakan pengambilan contoh air dan
pengamatan kualitas air di laboratorium ........................................................ 56

7 Parameter kualitas air yang diukur selama penelitian.................................... 57

8 Nilai rata-rata, standar deviasi (SD) 11 parameter fisika-kimia


dan biologi di muara sungai, mangrove dan lamun tempat pemasangan
sero selama penelitian .................................................................................... 61

9 Komposisi jumlah hasil tangkapan (%) sero berdasarkan jenis ikan


setiap habitat selama penelitian...................................................................... 74

10 Komposisi berat hasil tangkapan (%) sero berdasarkan jenis ikan setiap
habitat selama penelitian ................................................................................ 75

11 Kisaran panjang total dan berat jenis ikan yang tertangkap


dengan sero di perairan pantai Pitumpanua selama penelitian ...................... 75

12 Parameter yang digunakan dalam regresi dan parameter yang dominan


pengaruhnya serta besar koefisien determinasi (R2) yang didapatkan
dalam hasil regresi antara berat hasil tangkapan dengan parameter
lingkungan ...................................................................................................... 80

13 Hasil analisis factorial correspondence analiss (FCA) menunjukkan


bahwa terdapat asosiasi antara jenis ikan dengan habitat selama
penelitian ........................................................................................................ 81

14 Jenis alat dan bahan yang digunakan pembuatan desain


experimental crib dan exsperimental fishing selama penelitian ................103

15 Komposisi jenis hasil tangkapan yang tertahan pada jaring


experimental crib sero di habitat berbeda selama penelitian ......................111
xvi

16 Proporsi ukuran layak tangkap ikan yang tertahan pada jaring


experimental crib selama penelitian ............................................................111

17 Nilai L50% ± standar deviasi (SD) setiap jenis ikan berdasarkan


habitat selama penelitian ..............................................................................112

18 Jenis makanan ikan dominan dan item makanan menurut klasifikasi


food item III menurut TrophLab2K..............................................................126

19 Rata-rata trofik level setiap jenis ikan berdasarkan habitat


selama penelitian ..........................................................................................127

20 Tingkat trofik ikan dominan yang tertangkap dengan sero


di perairan pantai Pitumpanua ....................................................................127
xvii

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir penelitian .............................................................................. 8

2 Perairan pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone ........................... 39

3 Produksi ikan dari tiga jenis perikanan terbesar di Kabupaten Wajo ............ 45

4 Jenis perahu bermotor yang digunakan dalam perikanan sero di perairan


pantai Pitumpanua, Teluk Bone ..................................................................... 46

5 Desain sebuah sero dilihat dari atas atau udara. Lima bagian sero:
bagian penaju (A), bagian sayap (B), bagian perut (C), bagian badan (D),
dan bagian bunuhan (E) ................................................................................. 49

6 Bagian bunuhan atau crib (A) dan panaju atau leader net (B)
yang pada salah satu sero yang digunakan dalam penelitian
di Kecamatan Pitumpanua ............................................................................. 50

7 Proses kegiatan hauling pada alat tangkap sero (A)


Penarikan jaring sero; (B) Pengambilan hasil tangkapan .............................. 51

8 Diagram gerombol (cluster) untuk 24 contoh pengamatan terhadap


8 parameter fisika kimia lingkungan lokasi pemasangan sero
di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian.................... 62

9 Plot stasiun dan waktu pengamatan parameter fisika kimia lingkungan


selama lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua,
Kabupaten Wajo selama penelitian ................................................................ 63

10 Konfigurasi dua komponen utama untuk 24 contoh pengamatan


terhadap 8 parameter fisika kimia lingkungan lokasi pemasangan
sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian ............ 63

11 Kekuatan 8 parameter fisika kimia lingkungan dalam membentuk


konfigurasi dua komponen utama untuk 24 contoh pengamatan
di lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo
selama penelitian ............................................................................................ 64

12 Jumlah hasil tangkapan berdasarkan habitat dan waktu penangkapan


selama penelitian ............................................................................................ 76

13 Berat hasil tangkapan berdasarkan habitat dan waktu penangkapan


selama penelitian ............................................................................................ 77
xviii

14 Kurva hubungan panjang-berat jenis ikan biji nangka (a),


baronang lingkis (b), kerong-kerong (c), kapas-kapas (d), lencam (e),
pepetek (f), kuwe (g), dan baronang (h)......................................................... 78

15 Kurva hubungan panjang-berat jenis ikan barakuda (i),


hubungan lebar karapaks-berat rajungan (j), hubungan panjang
karapaks-berat udang putih (k). ..................................................................... 79

16 Plot stasiun dan waktu pengamatan pada sumbu FCA 1 dan 2. .................... 81

17 Plot jenis ikan pada sumbu FCA 1 dan 2. ...................................................... 82

18 Konfigurasi tiga komponen utama untuk asosiasi antara jenis


hasil tangkapan dan habitat di lokasi pemasangan sero
di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian ................... 82

19 Proses pembuatan desain experimental crib sero ........................................104

20 Desain experimetal crib pada alat tangkap sero...........................................105

21 Pemasangan jaring experimental crib pada alat tangkap sero ....................107

22 Rata-rata ukuran layak tangkap hasil tangkapan yang tertahan pada


experimental crib selama penelitian di perairan pantai Pitumpanua
Teluk Bone ...................................................................................................112

23 Kurva selektivitas mata jaring 4 cm untuk jenis ikan biji nangka,


baronang lingkis, kerong kerong, dan kapas kapas pada daerah
penangkapan yang berbeda ..........................................................................113

24 Kurva selektivitas mata jaring 4 cm untuk jenis ikan lencam,


pepetek, kuwe, baronang, dan barakuda pada daerah penangkapan
yang berbeda ................................................................................................114

25 Kurva selektivitas setiap jenis ikan selama penelitian di perairan


pantai Pitumpanua Teluk Bone ....................................................................116
xix

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis ragam (Anova) parameter suhu perairan (oC) antar lokasi
menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian ................................159

2 Hasil analisis ragam (Anova) parameter kecepatan arus (cm/dtk)


antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian .............160

3 Hasil analisis ragam (Anova) parameter salinitas perairan (ppt)


antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian .............161

4 Hasil analisis ragam (Anova) parameter pH perairan antar lokasi


menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian ................................162

5 Hasil analisis ragam (Anova) parameter kadar oksigen terlarut (ppm)


antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian .............163

6 Hasil analisis ragam (Anova) konsentrasi nitrat (µg/L) antar


lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian ......................164

7 Hasil analisis ragam (Anova) konsentrasi fosfat (µg/L) antar


lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian ......................165

8 Hasil analisis ragam (Anova) konsentrasi silikat (µg/L) antar


lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian ......................166

9 Hasil analisis ragam (Anova) kandungan klorofil a (mg/m3) antar


lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian ......................167

10 Hasil analisis ragam (Anova) kelimpahan fitoplankton (sel/liter)


antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian .............168

11 Hasil analisis ragam (Anova) kelimpahan zooplankton (individu/liter)


antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian ............169

12 Nilai rata-rata, standar deviasi (SD) dan kisaran dari 12 parameter


fisika dan kimia lingkungan di muara sungai, mangrove dan lamun
tempat pemasangan sero dengan experimental crib selama penelitian ..........170

13 Hasil analisis PCA untuk parameter lingkungan selama penelitian ...............171

14 Hasil analisis ragam (Anova) jumlah hasil tangkapan antar


lokasi menurut kelompok waktu penangkapan per jenis ikan
serta total jumlah tangkapan .........................................................................172
xx

15 Hasil analisis ragam (Anova) berat hasil tangkapan antar lokasi


menurut kelompok waktu penangkapan per jenis ikan serta total
berat tangkapan...............................................................................................183

16 Parameter hubungan panjang-berat hasil tangkapan selama penelitian .........194

17 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan biji nangka dengan
parameter lingkungan selama penelitian ........................................................195

18 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan baronang lingkis


dengan parameter lingkungan selama penelitian............................................197

19 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan kerong-kerong


dengan parameter lingkungan selama penelitian ...........................................199

20 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan kapas-kapas


dengan parameter lingkungan selama penelitian............................................201

21 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan lencam


dengan parameter lingkungan selama penelitian............................................203

22 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan pepetek


dengan parameter lingkungan selama penelitian............................................205

23 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan kuwe


dengan parameter lingkungan selama penelitian............................................207

24 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan baronang


dengan parameter lingkungan selama penelitian............................................209

25 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan barakuda


dengan parameter lingkungan selama penelitian............................................211

26 Hasil analisis linier berganda antara berat total hasil tangkapan


dengan parameter lingkungan selama penelitian............................................213

27 Hasil analisis FCA jenis hasil tangkapan dengan habitat ...............................215

28 Perhitungan analisis selektivitas mata jaring sero 4 cm setiap jenis


ikan dominan tertangkap pada habitat muara sungai di perairan pantai
Pitumpanua, Teluk Bone ................................................................................216

29 Perhitungan analisis selektivitas mata jaring sero 4 cm setiap jenis


ikan dominan tertangkap pada habitat mangrove di perairan pantai
Pitumpanua, Teluk Bone ................................................................................224
xxi

30 Perhitungan analisis selektivitas mata jaring sero 4 cm setiap jenis


ikan dominan tertangkap pada habitat lamun di perairan pantai
Pitumpanua, Teluk Bone ................................................................................232

31 Hasil analisis trophlab setiap jenis ikan di habitat muara sungai


selama penelitian ............................................................................................240

32 Hasil analisis trophlab setiap jenis ikan di habitat mangrove


selama penelitian ............................................................................................250

33 Hasil analisis trophlab setiap jenis ikan di habitat lamun


selama penelitian ............................................................................................260
xxii
1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari
sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi
perikanan selain dari perikanan lepas pantai dan perikanan darat. Perikanan pantai
cenderung mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam teknologi
penangkapan dan rekayasa teknologi dalam pengembangan armada penangkapan
dan peralatan pendukung lainnya. Skala usaha dalam sistem perikanan pantai
sangat beragam dari skala konsumsi rumah tangga hingga yang dikembangkan
secara profesional baik oleh perusahaan swasta maupun pemerintah.
Salah satu alat tangkap tradisional yang dominan di kawasan pesisir Teluk
Bone adalah sero. Alat tangkap tersebut tergolong alat tangkap pasif karena
dioperasikan dengan cara menunggu kedatangan ikan, bukan mendekati atau
mengejar kawanan ikan. Alat tangkap ini dipasang di kawasan perairan pantai
yang dipengaruhi oleh pasang surut. Salah satu faktor yang menyebabkan alat
tangkap sero masih banyak dioperasikan di pesisir pantai sampai saat ini adalah
karena relatif murah, mudah, dan sederhana pengoperasiannya. Meskipun jika
dilihat dari produktivitasnya bila dibandingkan dengan alat tangkap lainnya
seperti purse seine, jaring insang, dan bagan, kontribusi alat tangkap sero dalam
total volume hasil tangkapan sero memang relatif lebih rendah. Pengembangan
teknologi penangkapannya pun relatif lebih lambat dan inovasi baru hasil riset
sangat kurang karena potensi pengembangan ke arah komersial kurang
menjanjikan. Hal ini mengakibatkan para peneliti kurang berminat mengkaji
masalah sero sehingga informasi dan kajian ilmiah masalah sero ini sangat
terbatas, sementara populasi nelayan yang menggantungkan hidupnya pada alat
tangkap ini cukup besar dan umumnya mengalami kesulitan untuk memilih
pekerjaan lain karena keterbatasan keterampilan dan pengetahuan.
Tipologi daerah penangkapan perikanan pantai yang banyak terdiri dari
kawasan teluk yang sifatnya semi terbuka memiliki beberapa keistimewaan
dibandingkan dengan perikanan tangkap di perairan terbuka. Sumberdaya ikan
di kawasan teluk keragamannya sangat tinggi mengikuti keragaman dan tipe
habitat yang bervariasi. Keistimewaan lain dibandingkan dengan perairan terbuka
2

adalah kemudahan akses oleh para nelayan. Jarak yang dekat dari pantai dan
karakteristik oseanografi yang tidak terlalu ekstrim menyebabkan lebih mudah
diakses oleh nelayan dengan teknologi dan peralatan armada penangkapan yang
untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan yang ada dalam wilayah teluk. Berbeda
dengan perairan terbuka yang membutuhkan armada penangkapan yang lebih
maju dan skala yang lebih besar.
Ekosistem teluk dan beberapa ekosistem pesisir lainnya memiliki fungsi
ekologis yang sangat penting terhadap berbagai sumberdaya hayati laut, termasuk
jenis-jenis ikan ekonomis penting yang banyak menjadi target penangkapan
selama ini. Fungsi ekologis yang penting ekosistem teluk dan pesisir lainnya
diantaranya sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah perlindungan,
tempat mencari makan (feeding ground), dan penyebaran larva dan wilayah
pembesaran berbagai biota laut (Dahuri 2003).
Konsep dasar dalam manajemen perikanan tangkap mengacu pada
perspektif pengelolaan sumberdaya berkelanjutan yakni ramah lingkungan, dan
menguntungkan secara ekonomis. Pengelolaan sumberdaya perikanan sebaiknya
menerapkan sistem perikanan berkelanjutan sehingga tidak terjadi eksploitasi
yang menyebabkan overfishing. Hal ini dapat ditempuh melalui pemeliharaan
ekosistem dan penggunaan alat tangkap yang bersifat ramah terhadap lingkungan.
Sebagai suatu sistem usaha apalagi jika berkembang sampai pada tingkat
pengembangan industri perikanan maka secara ekonomis sebuah sistem perikanan
harus bersifat menguntungkan. Pengelolaan yang sifatnya menguntungkan dapat
meningkatkan kesejahteraan nelayan sebagai obyek pelaku.
Berkaitan dengan konsep manajemen perikanan yang dijelaskan di atas,
maka sebaiknya dalam pengelolaan perikanan di wilayah pantai tetap menjaga
kelestarian fungsi-fungsi ekosistem yang beragam agar daya dukung lingkungan
tetap dapat dipertahankan dan mampu mendukung produksi berbagai sumberdaya
yang menjadi target pengelolaan. Sehubungan dengan kemudahan akses wilayah
pantai maka sebaiknya dampak aksesbilitas tinggi ini tidak bersifat negatif yaitu
merusak ekosistem, sebaliknya harus besifat positif dengan memaksimalkan
pemeliharaan habitat-habitat dalam semua ekosistem penyusun pantai. Salah satu
aspek penting dan berpotensi merusak ekosistem dan mengganggu kelestarian
3

sumberdaya alam dan biota laut di dalamnya adalah penggunaan alat tangkap
yang tidak ramah terhadap lingkungan. Oleh sebab itu sebaiknya alat tangkap
yang digunakan dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan di wilayah pantai adalah
alat tangkap yang selektif dan tidak merusak habitat bilamana alat tangkap
tersebut dioperasikan. Selektivitas alat tangkap sebaiknya tidak hanya mengacu
kepada kalkulasi besaran populasi yang diloloskan tetapi juga mempertimbangkan
aspek dinamika populasi sumberdaya ikan dalam wilayah pantai. Untuk itu sangat
diperlukan kajian mengenai sistem rantai dan jaring makanan yang terkait dengan
target penangkapan setiap jenis alat yang digunakan.
Keanekaragaman hayati di kawasan pantai jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan di perairan terbuka atau perairan yang lebih dalam. Perbedaan ini lebih
disebabkan karena keragaman ekosistem dan variabilitas parameter lingkungan
yang relatif lebih tinggi di wilayah pantai. Wilayah pantai yang dipengaruhi oleh
pasang surut dan kegiatan di wilayah darat mampu mempengaruhi fluktuasi dan
perubahan parameter lingkungan yang tidak terjadi dalam ekosistem perairan
terbuka. Ekosistem perairan pantai merupakan perairan dangkal yang memiliki
fungsi ekologis penting seperti penyebaran larva, wilayah pemijahan, pembesaran,
dan perlindungan yang tidak terdapat dalam fungsi ekologi perairan terbuka.
Ukuran biota laut yang menghuni perairan pantai umumnya lebih kecil
dibandingkan dengan ukuran biota yang sama yang menghuni perairan dalam.
Kemampuan adaptasi terhadap perubahan lingkungan tertentu pun relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan organisme atau biota yang menghuni perairan
terbuka, dimana hal tersebut terkait dengan perubahan lingkungan dan habitat
yang terjadi di wilayah ekosistem perairan pantai.
Faktanya bahwa ikan dan biota laut lainnya yang berukuran lebih kecil
adalah memudahkan dimangsa oleh berbagai jenis ikan dan biota lain yang
berukuran lebih besar. Hubungannya dengan rantai dan jaring makanan maka ada
kecenderungan jalur rantai makanan lebih banyak dalam jaring makanan
di wilayah pantai tetapi panjang rantai makanan relatif lebih pendek jika
dibandingkan dengan pada sistem perairan terbuka (Widodo dan Suadi 2008).
4

Tingginya keanekaragaman hayati dengan ukuran individu ikan yang


umumnya lebih kecil dan banyaknya jalur rantai makanan dan penangkapan yang
sangat intensif menyebabkan pentingnya mempertimbangkan aspek keberlanjutan
sumberdaya ikan. Aktivitas penangkapan yang dalam perspektif rantai makanan
dapat dianggap puncak predator sangat berpotensi menyebabkan kerusakan
keseimbangan ekologis dalam ekosistem pantai. Dampak negatif yang dapat
disebabkan dari aktivitas tersebut adalah terputusnya sistem rantai makanan akibat
penangkapan terhadap sumberdaya tertentu yang memegang peranan penting
dalam sistem rantai makanan dalam ekosistem tersebut. Terputusnya rantai
makanan tersebut mungkin saja terjadi secara langsung maupun tidak langsung.
Dampak secara langsung dapat terjadi jika spesies yang berperan penting dalam
rantai makanan itu menjadi target penangkapan dan ditangkap melebihi daya
dukung lingkungan, sedangkan dampak tidak langsung dapat terjadi ketika jenis
atau spesies tersebut bukan menjadi ikan target tetapi ikut tertangkap dalam suatu
alat tangkap dan bukan menjadi target dari alat tangkap itu. Mengingat betapa
pentingnya mengkaji posisi trofik dan peranan spesies ikan dalam sistem rantai
makanan di perairan pantai dalam kaitannya dengan sistem penangkapan sero
sehingga sangat diperlukan dalam rangka pengembangan sistem perikanan
berbasis ekosistem. Sampai saat ini kajian seperti ini masih sangat terbatas
khususnya dalam sistem perikanan pantai dan hal ini menjadikan kajian dengan
tema seperti ini sebagai topik terkini yang sangat dibutuhkan dalam rangka
mengembangkan pengelolaan perikanan tangkap berbasis ekosistem atau yang
dikenal sebagai Ecosystem Based Fisheries Management (EBFM)
(Widodo dan Suadi 2008).
Isu degradasi populasi pada beberapa daerah penangkapan tidak jarang
mendiskreditkan masalah pencemaran lingkungan, kerusakan ekosistem, dan
keramahan suatu alat tangkap yang dioperasikan. Penelitian yang umum
dilakukan adalah kajian parsial yang kadang menyorot masalah ekosistem dan alat
tangkap secara tersendiri dalam bagian yang terpisahkan. Sementara untuk
menjelaskan secara obyektif bagaimana gejala degradasi populasi itu terjadi
mutlak diperlukan kajian komprehensif dengan melihat pengaruh simultan dari
berbagai faktor. Apalagi dalam kasus alat tangkap sero yang daerah
5

penangkapannya pada berbagai tipe habitat, tidak mudah untuk digeneralisasikan


karena mungkin saja ramah pada suatu habitat tapi tidak ramah pada habitat
lainnya.
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa alat tangkap sero yang
dioperasikan nelayan saat ini dengan mata jaring 0,5 cm, terbukti tidak selektif
dan ukuran mata jaring 4 cm yang terbukti selektif dan ramah dalam penangkapan
berbagai jenis ikan target (Tenriware 2005). Meskipun dalam kajian tersebut
menunjukkan ukuran mata jaring 4 cm selektif pada secara umum, namun belum
diketahui secara spesifik tingkat selektivitasnya pada habitat yang berbeda, bukan
hanya dilihat dari jumlah yang diloloskan tetapi juga mengkaitkan dengan trofik
level ikan berdasarkan rantai dan jaring makanan dalam daerah penangkapan sero.
Mengkaji trofik level ikan dalam daerah penangkapan sero maka akan
melengkapi hasil analisis selektivitas yang terbatas pada aspek kuantitas yang
diloloskan. Hal ini penting sekali karena bisa saja terjadinya degradasi populasi
bukan karena pengaruh lingkungan maupun selektivitas alat tangkap, tetapi karena
penangkapan berlebih terhadap jenis ikan pada trofik level tertentu yang menjadi
fraksi makanan penting bagi beberapa ikan target sero. Hal tersebut penting untuk
dilaksanakan dengan harapan memberikan informasi mengenai karakteristik
daerah penangkapan sero dan struktur trofik level ikan serta mengevaluasi
penerapan bunuhan (crib) bermata jaring 4 cm pada berbagai habitat.

1.2 Perumusan Masalah


Perikanan sero dari tahun ke tahun di perairan pantai Pitumpanua
mengalami banyak perubahan dari segi bahan yang digunakan dan terjadi
penambahan alat tangkap. Perubahan yang signifikan yaitu alat tangkap ini
berubah dari bahan bambu menjadi bahan waring dengan ukuran mata jaring
0,5 cm. Kecilnya ukuran mata jaring sero yang digunakan nelayan menimbulkan
sorotan dari berbagai pihak bahwa alat tangkap tersebut tidak selektif, terlebih lagi
karena alat tangkap sero dipasang di daerah pantai yang merupakan daerah
pemijahan (spawning ground), daerah perlindungan, tempat mencari makan
(feeding ground), penyebaran larva (nursery ground), dan wilayah pembesaran
berbagai biota laut (Dahuri 2003).
6

Permasalahan yang dialami oleh nelayan sero adalah menurunnya hasil


tangkapan (KKP Wajo 2009). Penurunan hasil tangkapan diduga terkait dengan
degradasi populasi ikan yang mungkin disebabkan oleh rusaknya ekosistem
daerah penangkapan sero dan tidak selektifnya alat tangkap sero, atau karena
penangkapan yang cukup intensif terhadap jenis ikan pada trofik level tertentu
yang merupakan komponen makanan dari populasi ikan target.
Tingginya intensitas penangkapan sero di daerah pantai akan berakibat
secara ekologis terhadap beragam komunitas biologis yang ada di dalamnya.
Diketahui bahwa daerah pantai mempunyai tingkat keanekaragaman sumberdaya
ikan yang tinggi dan fungsi ekosistem yang sangat vital, tentunya perlu kehati-
hatian agar sumberdaya hayati yang ada tetap terjaga.
Hasil tangkapan sero dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : parameter
lingkungan, selektivitas alat tangkap sero, dan terjadinya interaksi pemangsaan
dalam ekosistem tersebut pada masing-masing habitat. Faktor-faktor tersebut
dalam kaitannya dengan hasil tangkapan sero belum banyak diteliti sampai saat
ini. Bahkan kajian mengenai rantai dan jaring makanan yang membentuk struktur
trofik level dalam daerah penangkapan sero belum pernah dilakukan sampai saat
ini. Sangat dibutuhkan adanya kajian yang mempelajari bagaimana hubungan
karakteristik ekosistem dengan hasil tangkapan, struktur trofik level, dan
determinasi parameter yang paling berkontribusi besar terhadap hasil tangkapan
pada beberapa tipe habitat di daerah penangkapan sero di pantai.
Berdasarkan kajian sebelumnya yang secara umum bahwa ukuran mata
jaring 4 cm cukup selektif yang dioperasikan di daerah pantai Pitumpanua
(Tenriware 2005), namun kajian tersebut belum secara spesifik untuk habitat yang
berbeda seperti estuaria (muara sungai) mangrove, dan lamun. Hasil tangkapan
sero yang multispecies dengan ukuran yang sangat bervariasi pada berbagai
habitat menimbulkan pertanyaaan bahwa apakah ukuran mata jaring 4 cm selektif
untuk semua habitat perairan pantai dan semua jenis target tangkapan. Hal ini
merupakan suatu pertanyaan dan masalah yang menarik untuk dikaji dan
dievaluasi.
7

Apabila penelitian hanya dilakukan untuk mengevaluasi tingkat


selektivitas ukuran mata jaring 4 cm hanya dilakukan pada habitat tertentu, maka
tidak bisa diketahui pengaruhnya pada habitat yang berbeda. Dengan menguji
penerapan mata jaring 4 cm pada habitat yang berbeda, maka hasilnya dapat
diterapkan pada kebijakan penentuan lokasi sero pada habitat tertentu. Akibatnya
kemungkinan beberapa unit sero direkomendasikan untuk tidak dioperasikan pada
habitat tertentu. Hal ini jelas akan berdampak buruk pada penerimaan masyarakat
nelayan jika tidak diberikan solusi alternatif. Eksperimen ini diharapkan dapat
menjadi solusi alternatif terkait dengan keramahan alat tangkap, selain itu untuk
dijadikan bahan pembanding dalam rangka mengevaluasi tingkat keramahan alat
tangkap menurut habitat.
Penelitian yang dilakukan ini dengan mengkombinasikan karakteristik
ekosistem daerah penangkapan sero dan kelayakan mata jaring 4 cm pada
berbagai habitat, maka diharapkan hasilnya dapat memberikan alternatif
pengelolaan perikanan sero yang berkelanjutan. Dengan demikian diharapkan
dalam penerapannya direkomendasikan adanya suatu regulasi yang sesuai kajian
ilmiah mengenai kelayakan mata jaring 4 cm terhadap tipe habitat tertentu pada
berbagai jenis ikan target tangkapan. Kerangka pikir dalam penelitian ini adalah
seperti disajikan dalam Gambar 1.
8

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini antara lain :


y Umum: Mengevaluasi penerapan bunuhan (crib) bermata jaring 4 cm
pada perikanan sero di perairan pantai Pitumpanua, Teluk Bone,
Kabupaten Wajo
y Khusus:
1. Menganalisis kondisi lingkungan habitat muara sungai, mangrove dan
lamun yang menjadi daerah penangkapan ikan dengan sero
2. Menganalisis komunitas ikan di tiga habitat yang menjadi daerah
penangkapan ikan dengan sero
3. Menganalisis selektivitas bunuhan bermata-jaring 4 cm terhadap ikan-
ikan yang dominan tertangkap
4. Menganalisis posisi jenis ikan yang tertangkap dalam piramida
makanan
9

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini :


• Sains Perikanan Laut:
1 Contoh analisis pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem
dalam perikanan sero di Indonesia
2 Penerapan studi ekologi dan teknologi untuk pengembangan
pengembangan perikanan tangkap
• Pengelolaan Perikanan:
1. Input untuk pengelolaan perikanan sero di perairan pantai Pitumpanua
Kabupaten Wajo, Teluk Bone
2. Pembelajaran untuk pengelolaan perikanan tangkap di kawasan pesisir
di tempat lain
10
11

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Alat Tangkap Sero

Sero adalah salah satu jenis alat tangkap berbentuk perangkap besar yang
sifatnya menetap, alat ini terbuat dari bilahan-bilahan bambu dan rotan yang
bentuknya sedemikian rupa, dimana membentuk beberapa bagian ruang berbentuk
segitiga yang tersusun satu di belakang dan alat ini umumnya dipasang
memanjang dengan arah tegak lurus terhadap garis pantai (Gunarso 1996).
Nikonorov (1975) membedakan bagian perangkap (sero) dalam 3 bagian
diantaranya: 1) penaju (leader net) untuk penghalau ikan, 2) badan (body)
untuk berkumpulnya ikan sementara waktu sebelum masuk ke bunuhan),
dan 3) bunuhan (crib) tempat tertahannya atau tertangkapnya ikan. Subani dan
Barus (1989) menyatakan bahwa pada prinsipnya alat tangkap ini terdiri dari
4 bagian penting yang masing–masing disebut: penaju (leader net), sayap (wing),
badan (body) dan bunuhan (crib). Adapun fungsi dari bagian-bagian tersebut
adalah sebagai berikut:

2.1.1 Penaju (leader net)

Penaju mempunyai peranan sangat penting dibandingkan dengan kedua


sayap atau kaki lainnya, karena penaju merupakan leader net yang berfungsi
untuk menghadang ikan dalam renang ruayanya (Ayodhyoa 1981).
Panjang penaju sangat bervariasi tergantung dari besar kecilnya sero.
Menurut Nomura dan Yamazaki (1977) dalam Nikonorov (1975) menyatakan
bahwa herring masih terus menyusuri leader net sampai pada jarak 300-3000 m
dan lebih lanjut mempertegas bahwa perairan yang jernih leader net harus lebih
panjang dibandingkan pada perairan keruh. Aslanova (1947) dalam Nikonorov
(1975) menambahkan bahwa jenis ikan herring kecil menjaga jarak dengan leader
net yaitu 1,5-2 m, tetapi ikan herring tetap berenang dan akhirnya membentuk
schooling dan terkonsentrasi pada jarak 0,5 m dengan kedalaman 5-6 m.
12

2.1.2 Sayap (wing)

Sayap berfungsi sebagai penghalang ikan yang menyusuri penaju,


sampai ikan masuk kedalam badan sero atau kamar-kamar sero, bagian ini
mempunyai ruang yang luas sehingga diharapkan ikan bisa bermain atau mencari
makan sebelum masuk kedalam bagian berikutnya.

2.1.3 Badan (body)

Badan sero terdiri atas beberapa kamar (room atau chamber).


Bentuk kamar ini bermacam-macam, ada yang berbentuk jantung, segitiga dan
berbentuk lingkaran. Pada bagian depan kamar-kamar sero tersebut dipasang
pintu-pintu dari kere bambu yang mudah ditutup atau dibuka pada saat operasi
penangkapan ikan berlangsung. Jumlah kamar sero bervariasi tergantung dari
ukuran sero. Sero yang berukuran kecil umumnya terdiri atas 1-2 kamar, yang
berukuran sedang terdiri atas 3 kamar sedangkan sero yang berukuran besar
biasanya terdiri atas 4-5 kamar. Pada kamar sero tersebut terdapat lengan yang
prinsipnya menyukarkan ikan untuk keluar dan akhirnya masuk ke dalam kamar
berikutnya.

2.1.4 Bunuhan (crib)

Bunuhan adalah tempat akhir terjebak dan berkumpulnya ikan.


Ikan yang telah masuk ke dalam bunuhan sukar untuk meloloskan diri lagi.
Pada bagian bunuhan inilah dilakukan pengambilan hasil tangkapan dengan
menggunakan bantuan serok.

2.2 Daerah Penangkapan Sero

Alat tangkap sero dipasang pada perairan pantai atau daerah pasang
surut, yaitu daerah yang mempunyai keanekaragaman biota yang sangat tinggi
disebabkan karena habitat perairan pesisir yang dangkal menyediakan makanan
bagi ikan pelagis dan demersal dan perairan yang dangkal merupakan tempat
yang baik untuk memijah, mencari makan, tempat berlindung dari ancaman
ikan-ikan pemangsa atau predator (McConnaughey dan Zottoli 1983).
13

Pasang surut dan gerakan ombak di pantai dapat mengangkat zat-zat makanan
sehingga berbagai jenis ikan dapat memanfaatkannya dengan relatif mudah
(Nybakken 1988).
Alat tangkap sero di pasang secara tegak lurus terhadap garis pantai
dengan kedalaman perairan berkisar 3–8 m pasang tertinggi (Gunarso 1996).
Tiensongrume et al. (1986) dalam Rachmansyah (2004) menyatakan bahwa
kriteria penentuan daerah penangkapan sero adalah sebagai berikut : 1) kedalaman
perairan pada kisaran 1-10 m, 2) Substrat perairan berupa pasir berlumpur atau
lumpur dan pasir, 3) berada di daerah muara sungai dengan jarak kurang lebih
200-250 m dari sungai, 3) arus perairan pada kisaran 0,05-0,4 m/det, 4) tinggi air
pasang pada kisaran 0,5 m, 5) tidak berada di daerah pencemaran, 6) aksesbilitas
baik, 7) suhu perairan pada kisaran 26-35 oC, dan 8) salinitas pada kisaran 60 ppt.
Lebih lanjut Wudianto (2007) mengungkapkan bahwa hal penting yang harus
diperhatikan sebelum pemasangan set antara lain: ketersedian sumber daya ikan
yang menjadi tujuan penangkapan, pola ruaya ikan yang menjadi tujuan
penangkapan, kondisi perairan dimana set net akan dipasang (topografi dasar,
keadaan arus, pasang surut, dan gelombang).
Menurut Widodo dan Suadi (2008) bahwa perairan dangkal dengan
kedalaman kurang dari 100 meter dengan dasar perairan yang berlumpur serta
relatif datar merupakan daerah penangkapan demersal yang baik. Contoh dari
perairan tersebut adalah pada paparan Sunda (Selat Malaka, Laut Jawa dan Laut
Cina Selatan serta Paparan Sahul). Lebih lanjut dikemukakan oleh Yusof (2002)
bahwa dengan perbedaan kedalaman ternyata jumlah hasil tangkapan berbeda
pula. Hal ini bisa dilihat di perairan Peninsular Malaysia pada jenis substrat dasar
pasir dan pasir berlumpur dengan kedalaman kurang dari 80 m menunjukkan hasil
tangkapan dari 48 stasiun didominasi oleh ikan demersal 95,40% dari seluruh
hasil tangkapan dengan rata-rata kemampuan tangkap (catch rate) 66,65 kg/jam.
Pada kedalaman perairan antara 5–18 m tertangkap 62–89 spesies dan pada
kedalaman perairan lebih dari 18 m menunjukkan jumlah spesies yang lebih
banyak lagi yaitu 154 – 191 spesies. Ikan yang mendominasi penangkapan adalah
pari (10,79%). Loliginidae (10,63%), Nemipteridae (7,09%), Mullidae (5,83%),
dan Synodontidae (3,18%).
14

Substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu


sebagai habitat bagi bermacam-macam biota baik itu mikrofaua maupun
makrofauna. Mikrofauna berperan sebagai pengurai bahan-bahan anorganik
menjadi bahan-bahan organik yang banyak dimanfaatkan oleh biota-biota lain.
Ikan demersal yang termasuk makrofauna juga sangat tergantung dengan substrat
dasar perairan, hal ini disebabkan ikan demersal banyak mengambil makanan di
substrat dasar perairan. Ikan-ikan demersal umumnya dapat hidup dengan baik di
perairan yang bersubstrat lumpur atau lumpur berpasir dan makanan ikan
demersal berupa benthos maupun biota kecil lainnya. Hal ini diperkuat oleh
penelitian Masrikat (2009) bahwa ikan demersal yang tertangkap selama
penelitian dengan jumlah individu terbanyak (19.462 ekor) ditemukan pada
stasiun 18 dengan dasar perairan lumpur berpasir.

2.3 Jenis-jenis Ikan yang Tertangkap Alat Tangkap Sero

Hasil tangkapan utama dari alat tangkap sero adalah jenis ikan demersal.
Jenis ikan ini hidup di dasar atau dekat perairan atau yang bermigrasi di pantai
saat air pasang untuk mencari makan. Boer et al. (2001) mengemukakan bahwa
sumberdaya ikan demersal merupakan kelompok jenis-jenis ikan yang hidup di
dasar atau dekat dengan dasar perairan. Kelompok ikan ini pada umumnya
memiliki aktivitas relatif rendah, gerak ruaya tidak terlalu jauh dan membentuk
gerombolan yang tidak terlalu besar, sehingga sebarannya relatif lebih merata jika
dibandingkan dengan ikan-ikan pelagis. Kondisi demikian, telah mengakibatkan
daya tahan ikan demersal terhadap tekanan penangkapan tersebut relatif rendah
dan tingkat mortalitas cenderung sejalan dengan peningkatan upaya penangkapan.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Marasabessy (2010) bahwa ikan
demersal hidupnya secara soliter dan hanya sedikit yang dijumpai dalam
kelompok besar. Jenis ikan demersal yang dimaksud seperti : ikan kakap
(Lutjanus sp) dari suku Lutjanidae, kerapu (Epinephelus sp) dari suku Serranidae,
baronang (Siganus sp) dari suku Siganidae, namun jenis ikan yang dijumpai
dalam kelompok besar misalnya ikan ekor kuning (Casio sp) dari suku
Caesionidae. Jenis-jenis ikan demersal tersebut merupakan target utama
penangkapan sero. Namun selain jenis ikan demersal yang tertangkap dengan
15

sero, juga tertangkap ikan pelagis yang beruaya ke pinggir pantai (Subani dan
Barus 1989).
Jenis ikan demersal dibagi menjadi dua jenis yaitu ikan demersal besar dan
ikan demersal kecil (Tabel 1). Dilihat dari nilai ekonomisnya ikan demersal yang
memiliki nilai ekonomis tinggi yaitu kakap merah, kerapu, pari, bawal putih, dan
bawal hitam (Boer et al. 2001).

Tabel 1 Pengelompokan jenis ikan demersal besar dan demersal kecil


No Sub Kelompok Nama Indonesia Nama Perdagangan Nama Ilmiah
1 Demersal besar Kakap merah Barramundi Lutjanus malabaricus
Giant sea perch L. sanguineus
Kerapu Groupers Ephinephelus spp
Manyung Sea catfishes Arius spp
Senanging Thread fins E. tetradactylum
Pari Rays Trigonidae
Remang Murrays Muraenesex spp
Bawal putih Silver pomfret Pampus argenteus
Bawal hitam Balck pomfret Formio niger
Tiga waja Drums Scianidae
Ketang-ketang Spotted sickelfish Drepane punctata
Gulamah Croackers Scianidae
Layur Hairtails Trichiurus spp
2 Demersal Kecil Pepetek Pony fishes Leiognathidae
Kuniran Goatfish Upeneus sulphureus
Beloso Lizard fishes Saurida spp
Kurisi Treadfin breams Nemipterus spp
Gerot-gerot Grunters Pomadasys spp
Sebelah Indian halibuts Psettodidae.
Sumber : Boer et al. (2001)

Perikanan demersal di Indonesia merupakan tipe perikanan multispesies,


akan tetapi jumlah individu dari masing-masing jenis tersebut relatif rendah.
Boer et al. (2001) dan Widodo et al. (1998) mengemukakan bahwa terdapat
berpuluh jenis ikan demersal di perairan Indonesia. Ikan ini biasanya dieksploitasi
dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap (multigears).
Hasil penelitian di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone hasil tangkapan
didominasi oleh ikan demersal seperti biji nangka (Upeneus sulphureus), kapas-
kapas (Gerres kapas), lencam (Lethrinus lentjam), pepetek (Leiognathus
splendens), kerong-kerong (Therapon jarbua), salamandar (Siganus
canaliculatus), kuwe (Carangoides sp.), baracuda (Sphyraena sp.), baronang
16

(Siganus sp.), rajungan (Portunus sp.), udang putih (Peneaus margueinsis), serta
hasil tangkapan sampingan adalah balanak (Valamugil sp.), senangin
(Eleutheronema sp.), layur (Trichiurus sp.), cendro (Tylosurus sp.), bambangan
(Lutjanus sp.), kerapu (Epinephelus sp.), kakap (Lates sp.), pari (Trygon spp.),
buntal (Tetraodon spp.), cumi-cumi (Loligo sp.), kepiting bakau (Scylla sp.), dan
udang windu (Penaeus sp.) dan (Tenriware 2009).

2.4 Ekosistem Perairan


2.4.1 Ekosistem muara sungai (estuaria)

Estuaria adalah perairan yang semi tertutup yang berhubungan bebas


dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan melalui sungai,
sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar
(Pritchard 1967). Secara ekologis, estuaria adalah daerah yang merupakan tempat
bertemunya arus sungai dengan arus pasang surut. Pertemuan kedua arus
menghasilkan menghasilkan suatu komunitas yang khas, dengan kondisi
lingkungan yang bervariasi. Kondisi perairan estuaria sangat berpengaruh
terhadap biota yang menghuninya. Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia
estuaria berpengaruh penting terhadap kehidupan organisme diantaranya salinitas,
suhu, substrat dan bahan organik, sirkulasi air, dan pasang surut.
Secara umum estuaria mempunyai peran ekologis penting antara lain :
sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi
pasangsurut (tidal circulation), penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan
yang bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari
makanan (feeding ground) dan sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau
tempat tumbuh besar (nursery ground) terutama bagi sejumlah spesies ikan dan
udang. Estuaria merupakan habitat dari ratusan jenis burung, mamalia, ikan, dan
hewan liar lainnya (Odum 1993). Secara ekonomi perairan estuaria dimanfaatkan
manusia untuk tempat pemukiman, tempat penangkapan dan
budidaya ikan, jalur transportasi, pelabuhan, dan kawasan industri (Bengen 2004).
Produktivitas estuaria bertumpu pada bahan organik yang terbawa masuk
estuaria melalui aliran sungai atau arus pasang surut air laut (Tuwo 2011).
Dikatakan lebih lanjut bahwa perairan estuaria mengandung bahan organik hingga
17

110 mg per liter, sedangkan perairan laut terbuka hanya mengandung bahan
organik 1-3 mg liter. Jejaring makanan pada daerah estuaria cenderung bersifat
terbuka karena organisme yang menghuninya kebanyakan jenis hewan yang
sifatnya hidup sementara pada daerah estuaria. Produktivitas primer pada
perairam estuaria pun sangat terbatas dan hanya dihasilkan oleh beberapa jenis
alga, rumput laut, diatom bentik dan fitoplankton. Namun demikian, bahan
organik berupa detritus yang terendapkan pada estuaria membentuk substrat yang
penting bagi tumbuhnya alga dan bakteri, yang kemudian menjadi sumber
makanan bagi organisme pada tingkat trofik yang lebih tinggi (Tuwo 2011).

2.4.2 Ekosistem mangrove

Hutan mangrove adalah hutan pantai yang selalu atau secara teratur
tergenang air laut dan dipengaruhi oleh pasang surut laut (Fachrul 2007). Lebih
lanjut dikatakan bahwa hutan mangrove dan ekosistemnya merupakan hutan yang
menempati zona neritik yang berbatasan dengan daratan (coastal wetland), yakni
daerah pantai yang seringkali tergenang air asin din pantai-pantai terlindung
daerah tropika dan subtropika. Meskipun daerah itu hanya 10% luas laut,
namun menampung 90% kehidupan laut (Suryoatmodjo 1996 dalam Fachrul
2007).
Secara ekologis, ekosistem mangrove merupakan penopang ekosistem
pesisir lainnya karena mempunyai saling keterkaitan, terutama ekosistem lamun
dan terumbu karang. Ekosistem mangrove mempunyai fungsi sebagai penghasil
detritus, sumber nutrien, dan bahan organik yang dapat dibawa oleh arus ke
ekosistem padang lamun dan terumbu karang. Tuwo (2011) mengemukakan
bahwa ketiga ekosistem ini mempunyai keterkaitan dimana, ekosistem lamun
berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang dibawa oleh arus ke
ekosistem terumbu karang. Ekosistem lamun juga berfungsi berfungsi sebagai
perangkap sedimen sehingga sedimen tersebut tidak menganggu kehidupan
terumbu karang. Sedangkan ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai
pelindung pantai dari hempasan ombak, gelombang, dan arus laut. Ekosistem
mangrove juga berperan sebagai habitat atau tempat tinggal, tempat mencari
makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat
18

pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun


ataupun terumbu karang (Nybakken 1988; Tomascik et al. 1997).

2.4.3 Ekosistem lamun

Lamun merupakan kelompok tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang


tumbuh di bawah permukaan air di lingkungan bahari. Fortes (1989) menyatakan
bahwa padang lamun memainkan suatu spektrum yang luas dari fungsi biologis
dan fisik atau lamun memainkan peranan kunci ekologis antara lain sebagai
habitat biota, produser primer, perangkap sedimen serta berperan sebagai pendaur
ulang hara dan elemen kelumit (trace element). Lebih dipertegas oleh Nienhuis et
al. (1989) peranan lamun adalah antara lain : 1) produser primer, 2) sebagai
habitat biota, 3) sebagai penangkap sedimen, 4) sebagai pendaur zat hara, dan 5)
sebagai makanan dan kebutuhan lain. Ekosistem padang lamun dihuni berbagai
jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi, antara lain : Siganus spp., Lethrinus
spp., Lutjanus spp., Epinephelus sp., Lates sp., Lisa sp., dan Upeneaus sp.
(Tuwo 2011)
Ekosistem padang lamun bukanlah suatu ekosistem yang terisolasi tetapi
merupakan bagian dari berbagai ekosistem yang saling berinteraksi secara
ekologis terutama dalam ekosistem pantai perairan dangkal di laut tropik.
UNESCO (1983) mengelompokkan dalam 5 (lima) bentuk interaksi antara
ekosistem terumbu karang, mangrove, dan padang lamun yaitu interaksi fisik,
nutrien dan bahan organik terlarut, bahan organik berbutir, ruaya hewan, dampak
manusia. Adanya interaksi yang timbal balik dan saling mendukung, maka secara
ekologis lamun mempunyai peran yang cukup besar bagi ekosistem pantai tropik.

2.5 Parameter Kualitas Perairan

Pengaruh beberapa parameter oseanografi terhadap proses biologi bervariasi


menurut skala waktu dan jarak (Mann dan Lazier 1991). Suhu, salinitas, densitas,
arus, kadar oksigen dan kadar nutrien merupakan parameter oseanografi yang
banyak mempengaruhi proses biologis dalam berbagai skala waktu dan ruang.
Proses fisik tersebut dapat mempengaruhi produktivitas perairan.
19

Brond (1979) dalam Masrikat (2009) mengatakan bahwa ikan dipengaruhi


oleh suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut dan masih banyak faktor
lainnya. Dipertegas oleh Ridho (2004) bahwa suhu, salinitas, kecerahan dan
kedalaman memberikan pengaruh terhadap keberadaan jenis-jenis ikan demersal
tertentu, sedangkan terhadap kepadatan biomassa ikan demersal pengaruh tersebut
kecil. Pengaruh suhu, salinitas, kecerahan dan kedalaman terhadap biomassa ikan
demersal tidak bersifat sendiri-sendiri, tetapi secara bersama-sama mempengaruhi
kepadatan biomassa ikan demersal. Lebih lanjut Pujiyati (2008) faktor-faktor
abiotik seperti jenis substrat dasar perairan, kedalaman, kondisi oseanografi
sangat berpengaruh terhadap distribusi komunitas ikan-ikan demersal di perairan
Laut Jawa. Hubungan antara keterkaitan tipe substrat dan komunitas ikan
demersal di perairan Laut Jawa menunjukkan pola yang berbeda untuk lima jenis
ikan dominan yaitu leiognathus splendens (pepetek), Upeneus sulphureus (biji
nangka), Nemipterus japanicus (kurisi), Leiognathus bindus (pepetek) dan
Saurida longimanus (beloso).

2.5.1 Suhu perairan

Suhu air merupakan salah satu parameter fisika yang memegang peranan
di dalam kehidupan dan pertumbuhan biota perairan. Suhu berpengaruh langsung
pada organisme perairan terutama di dalam proses fotosintesis tumbuhan akuatik,
proses metabolisme, dan siklus reproduksi (Sverdrup et al. 1961). Kenaikan suhu
sebesar 10oC akan menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen hewan akuatik
sebesar dua kali lipat (Wardojo 1975 dalam Wardjan 2005).
Suhu air di permukaan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi. Faktor-
faktor meterologi yang berperan adalah curah hujan, penguapan, kelembaban
udara, suhu udara, kecepatan angin, dan intensitas radiasi matahari. Oleh sebab
itu, suhu di permukaan biasanya mengikuti pola musiman (Nontji 1993). Suhu air
laut pada lapisan permukaan lebih hangat daripada suhu di lapisan dasar, namun
variasi suhu pada perairan estuari lebih rendah dari pada perairan laut. Umumnya
suhu tinggi pada estuari terjadi pada siang hari. Hal ini bisa terjadi karena daerah
dangkal mudah menjadi hangat oleh pasokan aliran panas permukaan laut
(Douglas 2001).
20

Suhu dalam lautan bervariasi sesuai dengan kedalaman. Massa air


permukaan di wilayah trofik, panas sepanjang tahun yaitu 20-30 oC. Di bawah air
permukaan suhu mulai menurun dan mengalami penurunan yang sangat cepat
pada kisaran kedalaman yang lebih dari 50-300 m (Nybakken 1988). King (1963)
suhu permukaan laut biasanya berkisar antara 27oC-29 oC. Tidak berbeda jauh
yang didapatkan oleh Afdal dan Riyono (2004) di Selat Makassar yaitu nilai rata-
rata suhu pada lapisan permukaan 28,9±0,3 °C dengan kisaran antara 28,5-29,6
°C, sedangkan pada lapisan kedalaman suhunya telah mengalami penurunan
seiring dengan bertambahnya kedalaman dan mencapai minimum pada kedalaman
300 m (10,86±0,43 °C) di Selat Makassar. Lebih lanjut Hasanuddin (2007)
menyatakan bahwa perbedaan temperatur permukaan sangat variatif, tergantung
pada lokasi, pengaruh daratan serta profil kedalaman perairan seperti yang terjadi
di Perairan Natuna.
Hatta (2010) menggambarkan hasil pengukuran suhu perairan pada daerah
penangkapan bagan rambo di Kabupaten Barru berkisar antara 27,1-32,0 oC
dengan rata-rata 29,75 oC di permukaan dan 26,1-31,8 oC dengan rata-rata 28,65
o
C pada kedalaman 25 meter. Pengukuran suhu yang dilakukan oleh Safruddin
(2007) selama penelitian di daerah penangkapan purse seine di sebelah selatan di
perairan Kabupaten Jeneponto memberikan gambaran yang hampir sama yaitu
sebesar 29,71 oC dengan kisaran yang lebih sempit (29-30 oC). Sama halnya
dengan Marasabessy dan Edward (2002) memberikan gambaran suhu di Perairan
Raha Sulawesi Tenggara pada bulan Mei dan Juni tahun 2001 mendapatkan
kisaran yang sedikit lebih sempit (27,8-30,9 oC). Tidak berbeda jauh dengan hasil
pengukuran yang dilakukan oleh Umar (2009) yaitu sebesar 29,0 oC di pantai
perairan Suppa Kabupaten Pinrang.

2.5.2 Salinitas

Salinitas ialah jumlah berat semua garam (dalam gram) yang terlarut
dalam satu liter, biasanya dinyatakan dengan satuan o/oo (per mil, gram per liter)
(Nontji 1993). Sebaran salinitas di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone pada
bulan Maret-Agustus 2009 rata-rata 28,17 ‰ pada permukaan muara sungai
(Dangnga et al. 2009). Nilai tersebut sangat jauh kisarannya yang didapatkan
21

Hatta (2009) di permukaan Perairan Barru yang jauh dari pantai yaitu 30,0-35,0
ppm dengan rata-rata 31,30 ppm dan pada kedalaman 25 m didapatkan 30,0-35,0
ppm dengan rata-rata 31,70 ppm. Sementara Poppo et al. (2009) mendapatkan
kisaran salinitas yang lebih rendah antara 29,0-32,0 ppm di perairan pantai
kawasan industri perikanan Kabupaten Jembrana Bali pada bulan Mei-Juni 2008.
Bervariasinya sebaran salinitas disetiap daerah tersebut disebabkan oleh berbagai
faktor seperti topografi perairan, masukan air tawar, curah hujan, pasang surut dan
lain-lain. Perubahan salinitas di perairan bebas relatip lebih kecil dibandingkan
dengan yang terjadi di perairan pantai. Salah satu faktor yang menyebabkan
demikian, karena disebabkan perairan pantai banyak dimasuki oleh air tawar dari
muara-muara sungai terutama pada musim hujan (Laevastu dan Hela 1981).
Hadikusumah et al. (2001) bahwa di dalam perairan estuari seringkali
didominasi oleh proses percampuran dan penyebaran air tawar ke arah lepas
pantai dan masukan air tawar. Kondisi demikian akan menyebabkan terjadinya
interaksi antara air tawar dan air laut. Interaksi antara air tawar dan air laut di
perairan estuari perlu difahami karena dapat memepengaruhi penyebaran suhu,
salinitas, kekeruhan dan sebagainya. Adanya perubahan suhu dapat menyebabkan
terjadinya sirkulasi dan stratifikasi air yang secara langsung maupun tidak
langsung berpengaruh terhadap distribusi air. Wenno (2003) menyatakan bahwa
adanya interaksi antara daratan dengan Selat Makassar menyebabkan nilai rata-
rata salinitas pada lapisan permukaan sedikit berfluktuasi yaitu berkisar antara
30,4-33,7 psu dan mengalami penambahan dengan bertambahnya kedalaman dan
mencapai maksimum pada kedalaman 100 m (34,6 ±0,11 psu), kemudian sedikit
menurun sampai pada lapisan 300 m. Sementara Azis (2007) menyatakan bahwa
salinitas rata-rata di bagian permukaan lebih rendah jika dibandingkan dengan
salinitas rata-rata di bagian dasar pada kondisi pasut menuju pasang. Rendahnya
salinitas tersebut disebabkan karena adanya pengaruh dari daratan dan intrusi air
tawar dari sungai Binuangeun yang menuju laut. Hal ini berarti bahwa aliran
sungai sangat mempengaruhi salinitas di perairan estuaria.
22

2.5.3 Derajat keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) merupakan hasil pengukuran aktivitas ion hidrogen


dalam perairan yang menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air.
Romimohtarto dan Juwana (2001) menyatakan bahwa perubahan pH sedikit saja
dapat menyebabkan perubahan dalam reaksi fisologik berbagai jaringan maupun
pada reaksi enzim dan lain-lain. Di laut terbuka, variasi pH dalam batas yang
diketahui mempunyai pengaruh kecil pada sebagian besar biota. Nilai derajat
keasaman (pH) di perairan pesisir umumnya lebih rendah dibandingkan dengan
pH air laut lepas, karena adanya pengaruh masukan massa air tawar dari sistem
sungai yang bermuara.
Rata-rata pH normal air laut adalah 7,8-8,2 dan bahkan perairan tropis
dapat meningkat hingga 9,4 selama fotosintesa berlangsung (Phillips dan Menes
1988). Swingle (1968) berpendapat bahwa batas toleransi pH bagi ikan umumnya
berkisar antara pH 4 dan pH 11, dan untuk mendukung kehidupan ikan secara
wajar diperlukan perairan dengan pH yang berkisar antara 5-9. Di lingkungan
perairan laut pH relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit,
biasanya berkisar antara 7,7-8,4 (Nybakken 1988). Batas toleransi organisme air
terhadap pH bervariasi, tergantung pada suhu air, oksigen terlarut dan adanya
berbagai anion dan kation, serta jenis dan stadium hidup organisme. Baku mutu
pH air laut untuk biota laut (budidaya perikanan) yang ditetapkan dalam Kep.No.
02/MENKLH/ Tahun 1988 adalah 6-9.

2.5.4 Oksigen terlarut (DO)

Oksigen merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan organisme.


Oksigen oleh organisme akuatik dipergunakan dalam proses-proses biologi,
khususnya dalam proses respirasi dan penguraian zat organik oleh
mikroorganisme. Dalam ekosistem perairan oksigen terlarut sangat penting untuk
mendukung eksistensi organisme dan proses-proses yang terjadi di dalamnya, hal
ini terlihat dari peranan oksigen selain digunakan untuk aktivitas respirasi
organisme air juga dipakai oleh organisme dekomposer dalam proses bahan
organik di perairan.
23

Sumber utama oksigen dalam air laut adalah dari udara melalui proses
difusi dan proses fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air lainnya pada siang
hari. Nybakken (1988) menyatakan bahwa kelarutan oksigen dalam air
dipengaruhi oleh temperatur dan kecerahan, semakin rendah temperatur perairan
semakin tinggi kelarutannya, dengan kata lain kandungan oksigen dalam kolom
air akan semakin rendah.
Oksigen terlarut merupakan gas yang mutlak dibutuhkan untuk pernapasan
ikan dan biota lain serta diperlukan dalam perombakan bahan organik. Di laut
umumnya dalam 1 liter air laut mengandung 5-6 ml oksigen (Hutagalung et al.
1997). Untuk proses metabolisme, hewan air membutuhkan oksigen terlarut di
atas 5 ppm cukup layak bagi kehidupan larva plankton (Shahab 1986). Para ahli
perikanan sering menyebutkan bahwa ikan dan biota air lainnya memerlukan
sekurang-kurangnya 3 mg/l oksigen terlarut untuk kehidupannya secara normal.
Prescod (1973) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut minimal sebesar 2
ppm, cukup untuk mendukung kehidupan perairan secara normal di daerah tropik
dengan asumsi perairan tidak mengandung bahan beracun. Dikatakan juga bahwa
agar kehidupan ikan dapat layak dan kegiatan perikanan berhasil, maka
kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 4 ppm.

2.5.5 Kecepatan arus perairan

Arus di laut merupakan suatu fenomena dinamika air laut yang terjadi
setiap hari dan merupakan pencerminan gerakan massa air laut dari suatu tempat
ke tempat lain secara horizontal. Massa air permukaan selalu bergerak, gerakan
ini ditimbulkan terutama oleh kekuatan angin yang bertiup melintasi permukaan
air dan pasang surut. Angin mendorong bergeraknya air permukaan sehingga
menghasilkan suatu gerakan arus horizontal yang lamban, tetapi mampu
mengangkut volume air yang sangat besar melintasi jarak di lautan. Keadaan arus
ini mempengaruhi pola penyebaran organisme laut (Nybakken 1988).
Perairan pantai Indonesia kecepatan arusnya relatif cukup kuat dan
bervariasi seperti yang terjadi di sekitar perairan Teluk Klabat, perairan pantai
Muntok dan Selat Bangka berkisar antara 5-72 cm/det. Kecepatan utama arus
mencapai lebih dari 40 cm/det, pada musim timur (Agustus) lebih kuat dari pada
24

musim peralihan (April) (Nurhayati 2007). Kecepatan arus di perairan Selat


Lombok pada bulan Agustus pada lapisan permukaan juga bisa mencapai lebih
dari 1,5 m/det (Arief 1992). Begitupula dengan di sekitar Selat Malaka kecepatan
arus relatif kuat dengan kecepatan kurang dari 1,0 m/det (Nurhayati 2002). Kurnia
(2003) melaporkan bahwa kecepatan arus di perairan Teluk Bone selama
penelitian yaitu berkisar antara 0,024-0,048 m/det. Sutarmat et al. (2003) dalam
Wardjan (2005) mengemukakan bahwa arus yang biasanya disebabkan oleh
pasang surut tidak melebihi 50 cm/detik. Aliran air sebagai pergantian air yang
cukup yaitu 10-30 cm/detik.

2.5.6 Plankton

Distribusi biogeografis plankton sangat ditentukan oleh faktor lingkungan,


sepeti cahaya, temperatur, salinitas, nutrien dan faktor-faktor lainnya. Faktor
tersebut sangat menentukan keberadaan dan kesuksesan spesies plankton di suatu
lingkungan (Parsons et al. 1984 dan Valiela 1984). Lebih lanjut Parsons et al.
(1984) mengemukakan bahwa tidak mudah untuk menjelaskan kondisi yang
berlaku umum tentang penyebaran fitoplankton secara horisontal di laut. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan kondisi ekologi pada bagian-bagian laut yang berbeda,
seperti di daerah pantai dan estuari, pesisir pantai, dan laut lepas.
Salah satu peranan fitoplankton di perairan adalah mengubah zat-zat
anorganik menjadi zat-zat organik dengan bantuan sinar matahari melalui proses
fotosintesis. Hasilnya disebut sebagai produktivitas primer dengan satuan volume
per waktu atau satuan luas per waktu (APHA 2005). Respon fitoplankton terhadap
intensitas cahaya sangat dipengaruhi oleh pigmen yang dikandungnya. Perbedaan
pigmen yang dikandung antara jenis fitoplankton menyebabkan perbedaan
intensitas cahaya yang diabsorbsi. Lebih spesifik Levinton (1982) menyatakan
bahwa fitoplankton berfotosintesa menggunakan klorofil a, c, dan pigmen
tambahan.
Zooplankton dipengaruhi oleh kecerahan yang erat kaitannya dengan
jumlah seston dan penetrasi cahaya kedalam perairan. Kecerahan dipengaruhi oleh
kekeruhan dan warna air, makin tinggi kecerahan makin dalam penetrasi cahaya
matahari (Arinardi 1989). Lebih lanjut, mengemukakan bahwa jumlah
25

zooplankton sangat dipengaruhi oleh kekeruhan. Dengan kekeruhan yang tinggi


fitoplankton tidak efektif untuk melakukan fotosintesis sehingga zooplankton
tidak tumbuh dengan baik.

2.6 Trophic Level dan Kebiasaan Makan Ikan

Seluruh biota penghuni laut dari permukaan sampai dasar saling


berhubungan secara kompleks membentuk suatu sistem yang rumit. Hubungan ini
terutama adalah dalam hal makanan. Bermacam-macam mata rantai dari sistem
tersebut saling menjamin berlangsungnya transformasi energi di laut. Mempelajari
struktur dan proses dari sistem tersebut merupakan salah satu persoalan terpenting
dalam planktonologi. Transfer energi dari tingkatan tropik yang satu ke yang lain
dari permukaan sampai dasar, dalam tingkatan tertentu ditunjukkan oleh sifat
sebaran vertikal, kuantitas, dan komposisi plankton pada berbagai kedalaman.
Rantai makanan dinyatakan sebagai suatu aliran biomassa yang kontinu dari
tingkatan trofik yang ada. Nybakken (1988) mengemukakan bahwa dalam setiap
komunitas, spesies tidak terisolasi tetapi berinteraksi dengan spesies lain pada
daerah yang sama sehingga akan terjadi proses makan dimakan dalam komunitas
tersebut. Ketersedian makanan merupakan faktor yang menentukan ukuran
populasi, pertumbuhan, reproduksi dan dinamika populasi serta kondisi ikan yang
ada di suatu perairan (Nikolsky 1963). Adanya makanan yang tersedia dalam
perairan selain dipengaruhi oleh kondisi biotik, ditentukan pula oleh kondisi
abiotik lingkungan seperti suhu, cahaya, ruang, dan luas permukaan (Effendie
1997).
Rantai makanan menggambarkan hubungan keterkaitan antar organisme
mulai tingkatan trofik terendah sampai dengan tingkatan trofik tertinggi. Di dalam
jejaring makanan terdapat mekanisme saling memengaruhi antara tingkatan trofik
paling atas terhadap tingkatan trofik di bawahnya (top down effect) dan sebaliknya
dari tingkatan trofik paling bawah ke tingkatan trofik di atasnya (bottom up effect)
(Chassot et al. 2005). Effendie (1997) mengemukakan jika ditelaah makanan ikan
itu sejak dari awal pembentukannya sampai ke makanan yang dimakan oleh ikan,
sebenarnya merupakan mata rantai yang dinamakan rantai makanan (food chains).
Plankton tumbuh-tumbuhan melalui proses fotosintesis dapat memproduksi bahan
26

organik dari bahan anorganik (produsen primer), organisme yang memakan


nonprodusen primer dinamakan konsumer primer, organisme yang memakan
konsumer primer dinamakan konsumer sekunder dan seterusnya. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa panjang pendeknya rantai makanan tergantung dari macam,
ukuran atau umur ikan, namun pada kenyataannya dalam interaksi makan-
pemakan terjadi tumpang tindih, dimana satu jenis konsumen memakan beberapa
jenis makanan dan satu jenis produsen dimakan oleh beberapa jenis konsumen
sehingga membentuk suatu jaringan yang dinamakan jaring-jaring makanan
(food webs).
Salah satu contoh struktur rantai makanan yaitu struktur rantai makanan
plankton berupa bentuk piramida terbalik (biomassa autotrofik rendah dan
biomassa heterotrofik tinggi) sangat dipengaruhi oleh aktivitas organisme
prokaryotik. Cyanobacteri berperan selama periode autotrof dan bakteri selama
periode heterotrof (Moustaka-Gouni et al. 2006). Di laut ada 5 (lima) tingkatan
trofik dalam rantai makanan yaitu bakteri dan detritus (B), Fitoplankton (P),
Zooplankton I (Z1), zooplankton II (Z2), dan tingkatan terakhir ikan (F).
Setiap tingkatan trofik berbeda energi yang dihasilkan yang dikenal dengan
efisiensi ekologi (E). Efisiensi ekologi ini berhubungan dengan produksi ikan
(Parson et al. 1984). Sedangkan Schaefer (1965) yang dalam Parson et al. (1984)
menyatakan bahwa pengaruh efisiensi ekologi terhadap produksi ikan berkisar
dari 10-20% pada lima tingkat trofik tersebut.
Yusfiandani (2004) tahapan proses yang sama pada food webs disekitar
rumpon di perairan Pasauran terlihat hanya pada tahapan I sampai III, tetapi
tingkatan yang didapatkan yaitu sampai pada 5 (lima) tingkatan dalam rantai
makanan, yaitu diantaranya : predator puncak (V), predator karnivora dan
omnivora (IV), penyaring (ikan herbivora) (III), pemangsa mikroorganisme (II),
dan mikroorganisme ( I).
9 Tingkat I yaitu mikroorganisme yang terdiri dari mikroba dan mikroalga
merupakan mahluk pertama yang tumbuh pada atraktor.
9 Tingkat II yaitu pemangsa mikroorganisme adalah euphausiid, kopepoda,
udang dan lain-lain.
27

9 Tingkat III yaitu penyaring dimaksudkan ikan-ikan penyaring yang terdapat


disekitar rumpon, seperti ikan baronang, remora, Abaliste sp, eteman, kurisi
dan ikan lainnya.
9 Tingkat IV yaitu ikan predator yang bersifat karnivora dan omnivora
merupakan pemangsa ikan penyaring, seperti ikan selar bentong, selar kuning,
selar hijau, ikan kembung, ikan tongkol, lumba-lumba, serta ikan lainnya.
9 Tingkat V yaitu ikan predator tinggi adalah ikan yang memangsa ikan
predator dan merupakan top level dalam rantai makanan yang terdapat di
sekitar rumpon, seperti tuna, cakalang, setuhuk, hiu serta ikan pelagis lainnya.
Penelitian serupa yang dilakukan oleh Amiruddin (2006) bahwa pada alat
tangkap bagan berlangsung pemangsaan selama proses penangkapan. Terlihat
komposisi makanan teri hitam (Stolephorus insularis) yaitu fitoplankton (6%) dan
zooplankton (94%) menunjukkan bahwa teri lebih memilih zooplankton sebagai
makanan utamanya dibandingkan dengan fitoplankton. Sementara pemangsa dari
teri adalah selar, dimana proporsi volume teri dalam lambung selar antara
77,8-91,3% dengan frekuensi kejadian pemangsaan antara 80-100%. Hal ini
diperkuat oleh Hutomo et al. (1987) bahwa ikan teri adalah termasuk ikan
pemakan plankton. Lebih lanjut bahwa ikan teri pada ukuran < 40 mm umumnya
memakan fitoplankton dan zooplankton berukuran kecil sedangkan pada ukuran >
40 mm, ikan teri memanfaatkan zooplankton (copepoda) berukuran besar. Lebih
lanjut Hatta (2010) menyatakan bahwa ikan planktivor (terutama ikan teri)
menunjukkan peranan yang sangat penting dalam ekosistem pelagis di dalam
daerah penangkapan bagan rambo. Ikan planktivor berperan penting dalam
transfer makanan dari plankton ke populasi ikan omnivor dan ikan karnivor pada
trofik level lebih tinggi. Biomassa pada populasi plankton tidak dapat secara
efektif langsung dimanfaatkan oleh ikan omnivor dan ikan karnivor sehingga
harus melewati ikan planktivor. Posisi strategis ikan planktivor sebagai item
makanan ikan omnivor dan ikan karnivor jelas akan mempengaruhi jalur rantai
makanan pada trofik level di atasnya.
Aranchibia dan Neira (2005) mengemukakan hasil penelitiannya di pusat
pendaratan ikan Chili bahwa selama 20 tahun (1979-1999) terjadi penurunan
trofik level rata-rata ikan yang lebih besar yaitu 17,5% pertahun. Lebih lanjut
28

Pauly et al. (1998) dalam Hatta (2010) mengemukan hasil penelitiannya yang
berdasarkan data pendaratan ikan yang diteliti diberbagai negara, bahwa telah
terjadi penurunan trofik level rata-rata sebesar 10% per tahun. Hatta (2010)
mengelompokkan beberapa jenis ikan berdasarkan makanannya yaitu ikan teri dan
ikan tembang merupakan ikan pemakan plankton (planktivor) karena di dalam
ususnya hanya ditemukan fitoplankton dan zooplankton saja. Lebih lanjut
dikatakan bahwa ternyata dalam isi usus ikan teri terdapat komposisi fitoplankton
berkisar 26,32-94,87% dari total plankton dengan rata-rata 64,65%, sementara
ikan tembang berkisar antara 42,86-97,14% dengan rata-rata 62,80%. Ikan
pepetek, layang, dan kembung tergolong ikan omnivor karena mengkonsumsi
nekton berupa jenis ikan kecil, ikan teri, dan udang halus selain plankton dan ikan
selar tergolong ikan karnivor yang memakan nekton berupa berbagai jenis ikan
kecil, teri, udang, cumi-cumi dan sebagian kecil zooplankton.
Menurut Weatherley dan Gill (1987) bahwa ada 11 prinsip mengenai
hubungan mangsa dan pemangsa pada ikan : 1) jumlah ikan yang dimakan oleh
piscivor lebih banyak dibandingkan dengan jumlah ikan yang ditangkap oleh
nelayan; 2) ukuran mangsa yang dimakan oleh pemangsa semakin bertambah
besar dengan bertambah besarnya ukuran pemangsa; 3) pemangsa memiliki
kesukaan (preverensi) pada spesies mangsa dengan ukuran tertentu; 4) pemangsa
umumnya mengambil bermacam-macam mangsa; 5) pemangsaan terhadap suatu
jenis mangsa memungkinkan terjadi perubahan terhadap kepadatan mangsa; 6)
pemangsa mungkin mengganti makanannya dengan spesies lain dalam suatu
kesetimbangan biologi; 7) jumlah mangsa berkurang akibat pemangsaan oleh
tekanan pemangsa; 8) komposisi komunitas mangsa dipengaruhi oleh pemangsa;
9) populasi mangsa yang melimpah dapat merangsang pertumbuhan dan densitas
pemangsa; 10) persaingan antara spesies pemangsa dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan densitas populasi; dan 11) pemangsaan terhadap mangsa
tertentu dapat menurunkan persaingan diantara spesies mangsa sehingga dapat
penambahan keragaman komunitas mangsa.
Jenis ikan yang tertangkap pada alat tangkap sero tidak hanya ikan-ikan
demersal yang hidupnya di muara sungai, mangrove, dan lamun bahkan ada
diantaranya ikan-ikan demersal yang hidupnya di daerah terumbu karang. Ikan
29

ikan karang dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok yaitu ikan-ikan diurnal dan
ikan-ikan nocturnal. Kelompok ikan diurnal adalah kelompok ikan yang aktif
berinteraksi dan mencari makan pada siang hari, seperti dari famili
Pomacentridae, Labridae, Achanthuridae, Chaetodontidae, Serranidae, Lutjanidae,
Balistidae, Cirrhitidae, Tetraodontidae, Bleniidae, dan Gobiidae. Sedangkan ikan-
ikan nocturnal adalah kelompok ikan-ikan yang aktif berinteraksi dan mencari
makan pada malam hari. Di siang hari, kelompok kedua ini menetap pada gua-gua
dan celah-celah karang, seperti dari famili Holocentridae, Apongonidae,
Haemulidae, Scorpaenidae, Serranidae, dan Labridae (Allen dan Steenes, 1990
dalam Sadarun 2011).
Menurut Gladfelter dan Gladfelter (1978) dalam Arami (2006) bahwa
struktur trofik ikan-ikan terumbu karang dapat dibedakan menjadi 6 (enam) grup
trofik yaitu herbivora, omnivora, plankton feeders, pemakan crustacean, ikan
piscivora, dan pemakan lain-lain (Tabel 2).

Tabel 2 Komposisi ikan-ikan pada terumbu karang menurut struktur trofik

Jumlah
Grup trofik Famili
Famili
Herbivora 5 Scaridae, Acanthuridae, Pomacentridae, Blennidae, dan
Kyphosidae
Omnivora 13 Labridae, Acanthuridae, Pomacentridae, Mullidae,
Ostraciontidae, Cahetodontidae, Monacathidae, Gobiidae,
Diodontidae, Sparidae, Carangidae, Gerridae, dan Pempheridae
Plakton feeders 7 Apongonidae, Pomacentridae, Holocentridae, Grammidae,
Priacanthidae, Sciaenidae, dan Pempheridae
Pemakan crustacean 9 Serranidae, Holocentridae, Lutjanidae, Scorpaenidae,
dan ikan Sciaenidae, Synodontidae, Fistulariidae, Aulostomidae, dan
Bothidae
Piscivora 9 Serranidae, Lutjanidae, Carangidae, Spyraenidae, Muraenidae,
Synodontidae, dan Fistulariidae, Aulostomidae, dan Bothidae
Pemakan lain-lain 4 Pomacentridae, Balistidae, Acanthuridae, dan Gobiidae
Sumber : Gladfelter & Gladfelter (1978) dalam Arami (2006)

2.7 Selektivitas Alat Tangkap

Gulland (1974) mendefinisikan selektivitas adalah kemampuan dari alat


tangkap untuk meloloskan ikan. Lebih lanjut FAO (1999) menyatakan bahwa
selektivitas merupakan sifat alat tangkap tertentu untuk mengurangi atau
mengeluarkan tangkapan yang tidak sesuai ukuran (unwanted catch) atau ikan-
ikan tangkapan yang tidak diinginkan (incidential catch) dan selektivitas
30

merupakan fungsi dari suatu alat penangkapan ikan dalam menangkap spesies
ikan dalam jumlah dan selang ukuran tertentu pada suatu populasi di daerah
penangkapan ikan. Losanes et al. (1990) mendefinisikan lebih jauh tentang
selektivitas ukuran adalah pernyataan kuantitatif dari kemampuan alat tangkap
untuk menangkap ikan terhadap spesies dengan ukuran tertentu. Kemampuan
tersebut dengan menghindarnya ikan dari hadangan jaring yang merupakan proses
penentu peluang tertangkapnya ikan. Peluang ini bervariasi sesuai dengan
karakteristik ikan seperti bentuk badan, bagian yang terjerat dan ukuran mata
jaring.
Selektivitas merupakan fungsi dari suatu alat penangkapan ikan dalam
menangkap spesies ikan dalam jumlah dan selang ukuran tertentu pada suatu
populasi di daerah penangkapan ikan. Selektivitas menurut Matsuoka (1995)
dibagi dalam dua komponen yaitu selektivitas ukuran dan selektivitas spesies.
Menurut FAO (1999) bahwa penagkapan ikan yang selektif meliputi;
a. Umur dan Ukuran ikan yang tertangkap; perubahan penangkapan yang
dilakukan dengan menangkap ikan yang umurnya sudah tua, memungkinkan
untuk memperbaiki hasil tangkapan dengan tingkat upaya tertentu sehingga
hasil tangkapan sebanding dengan bobot ikan yang menguntungkan secara
ekonomis.
b. Selektivitas spesies; perikanan yang banyak melibatkan spesies menimbulkan
banyak masalah optimasi distribusi bagi upaya tangkap dengan berbagai
macam alat tangkap yang berbeda. Hal ini diikuti dengan tingkat upaya
tangkap yang berbeda bagi beberapa spesies secara profesional. Dengan
adanya aturan yang dibuat untuk menangkap spsesies dan ukuran tertentu akan
membantu pengembangan perikanan lestari.
Fridman (1986) menyatakan bahwa selektivitas merupakan sifat alat dalam
menangkap ukuran dan jenis ikan tertentu dalam suatu populasi. Sifat ini
tergantung pada prinsip yang dipakai dalam penangkapan, tetapi juga tergantung
pada parameter desain alat seperti mata jaring, benang jaring dan ukuran benang,
hanging ratio dan kecepatan menarik. Lebih lanjut Treshchev (1974) dalam
Fridman (1986) mengatakan bahwa ukuran mata jaring mempunyai pengaruh
terbesar pada selektivitas alat tangkap. Menurut Nielsen dan Lampton (1983)
31

menyatakan bahwa ikan yang mempunyai ukuran yang lebih kecil maupun lebih
besar dari ukuran ikan optimum lebih sedikit tertangkap karena ikan yang sangat
kecil dapat berenang lolos dan ikan besar tidak dapat masuk ke lubang jaring.
Secara umum ukuran selektivitas ialah : 1) Girth optimum = 1,25 kali keliling
jaring, 2) Panjang ikan = 20% lebih panjang atau lebih pendek dari panjang
optimum yang sering tertangkap.
Kemampuan selektivitas suatu alat tangkap bergantung pada prinsip
penangkapan dan parameter desain alat itu sendiri seperti ukuran mata jaring
(mesh size), beban benang, material dan ukuran benang, hanging ratio,
dan kecepatan penarikan alat tangkap (Fridman 1986). Lebih lanjut dijelaskan
oleh Treshchev (1974) dalam Fridman (1986) bahwa ukuran mata jaring
mempunyai pengaruh terbesar pada selektivitas alat tangkap.
Memperbesar ukuran mata jaring dapat menyebabkan perubahan komposisi
yang pada akhirnya jumlah hasil tangkapan sehingga pengetahuan tentang
selektivitas sangat membantu dalam merancang, membuat dan mengoperasikan
alat tangkap dengan baik (Fridman 1986).
Lebih lanjut Pope et al. (1975) menyatakan bahwa selain ukuran mata
jaring yang menentukan selektivitas adalah hanging ratio, elongation, visibilitas
benang jaring (menyangkut bahan dan tebal benang), bentuk badan dan tingkah
laku ikan tujuan tangkap. Hanging ratio dan bentuk badan ikan berpengaruh
terhadap proses cara tertangkap, nilai hanging ratio yang makin kecil
berkecenderungan untuk memuntal. Kemuluran benang jaring yang meningkat
memberikan peluang ukuran ikan yang lebih besar untuk tertangkap. Visibilitas
dan tingkah laku berhubungan dengan kemampuan ikan untuk menghindari jaring.
Hal senada juga dikemukakan oleh Sparre dan Venema (1999) bahwa selektivitas
dipengaruhi oleh desain alat tangkap dan karakteristik jaring. Selektivitas alat
harus diperhitungkan dalam mengestimasi komposisi ukuran ikan yang
sesungguhnya di daerah penangkapan. Dalam suatu model yang dikemukakan
oleh Beverton dan Holt yang dalam Monintja et al. (1999) bahwa umur ikan
termuda yang tertangkap (age at first capture) akan menentukan yield per
recruitment. Umur ikan tersebut ditentukan oleh selektivitas alat tangkap terhadap
32

jenis ikan tersebut. Oleh karena itu pendekatan teknis berupa pengetahuan tentang
mata jaring merupakan salah satu cara dalam manajemen sumberdaya perikanan.
Sementara Matsuoka (1995) membagi dua komponen selektivitas yaitu
selektivitas ukuran dan selektivitas spesies. Regier dan Robson (1966)
menentukan pengaruh ukuran mata jaring terhadap selektivitas dapat dilakukan
dengan 3 (tiga) metode yaitu: langsung, tidak langsung dan iteratif. Metode
langsung memerlukan data komposisi ukuran dari populasi dan kemudian
mengestimasikan selektivitas dengan membandingkan komposisi ikan yang
tertangkap dengan komposisi populasi. Pendekatan ini dapat dilaksanakan jika
komposisi ikan dalam populasi ikan diketahui. Metode tidak langsung
membutuhkan asumsi matematika untuk kurva selektivitas, yakni ketergantungan
antara selektivitas dengan ukuran mata jaring. Data hasil tangkapan yang
digunakan terdiri dari beberapa kelas ukuran ikan yang tertangkap oleh mata
jaring yang berbeda ukuran. Metode iteratif memerlukan asumsi matematika
tertentu berbasiskan pada data yang diperoleh pada interval yang panjang atau
pada beberapa interval ulangan. Hal utama dalam metode ini adalah
memperkirakan hubungan antara selektivitas terhadap bukaan mata jaring dan
nilai tengah panjang ikan yang diulang-ulang berdasarkan jumlah relatif ikan pada
suatu populasi sampai menghasilkan sebaran titik-titik yang memadai untuk
membuat kurva.
Lebih lanjut Matsuoka (1995) mengemukakan bahwa selektivitas
umumnya digambarkan sebagai suatu ukuran relatif. Dalam perhitungan tidak
langsung (indirect estimation method) nilai selektivitas 100% bukan berarti bahwa
semua ikan tertangkap dalam operasi penangkapan. Hal tersebut menandakan
suatu nilai efisiensi relatif tertinggi. Kebanyakan alat penangkapan ikan memiliki
selektivitas (size selectivity) yang digambarkan dalam kurva selektivitas yaitu :
(1) kurva yang berhubungan dengan efisiensi tertinggi disekitar puncak, menurun
pada kedua sisi dengan dua buah ekor (a modal curve/normal curve) dan
(2) kurva satu ekor dengan efisiensi tertinggi pada ikan-ikan yang berukuran
besar, seperti kurva model logiistik (a on tail curve). Alat tangkap passif seperti
gillnet, perangkap, dan pancing memiliki kurva selektivitas yang berbentuk
normal curve, sedangkan pada alat tangkap yang aktif seperti trawl dan jenis
33

jaring yang lain dimana proses selektivitasnya terjadi dengan penyeleksian maka
alat tangkap tersebut memiliki bentuk a one tail curve/logistic curve.
Kurva selektivitas memberikan gambaran kisaran selektivitas a%
dibandingkan efisiensi tertinggi sehingga didapat panjang selektif a% dengan
notasi La (a%-selective length) misalnya L25 atau L50 dan berkaitan dengan
masing-masing ukuran mata jaring (Matsuoka 1995). Perhitungan tentang
selektivitas dapat menggunakan beberapa metode antara lain metode McCombie
dan Fry’s, metode girth inference dan metode Kitahara (Reis & Pawson 1992).
Pada metode Kitahara, selektivitas diestimasi dari fungsi L/M (panjang ikan
dibagi ukuran mata jaring) dan G/M (keliling lingkar tubuh ikan dibagi ukuran
mata jaring), diantilog-kan kurva master dan puncak kurva diperoleh ketika
efisiensi relatif mencapai 100%. Metode ini pada dasarnya mirip metode yang
dideskripsikan oleh Pope et al. (1975) dan Jones (1976) yaitu secara cover-net,
dimana cover-net tersebut mempunyai ukuran mata jaring yang lebih kecil dari
ukuran mata jaring cod-end. Pada prinsipnya membandingkan jumlah hasil ikan
yang berada di cover-net dengan jumlah seluruh ikan yang ada di bagian cod-end
dan cover-net yang menutupi cod-end.

2.8 Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem

Pendekatan ekosistem dapat dipahami sebagai pendekatan yang


mengikutsertakan keseluruhan komponen utama ekosistem dan berbagai jasa yang
diberikannya dalam perhitungan untuk memperoleh suatu upaya pengelolaan
perikanan secara berkelanjutan. Pengertian ini juga menyangkut pengelolaan
perilaku manusia untuk menjaga tingkat tertentu keragaman, kepadatan, dan
produktivitas ekosistem laut. Dalam beberapa pengertian lain seperti dijelaskan
oleh Mathew (2001) bahwa pendekatan dapat dipahami sebagai cara untuk
memahami interaksi yang terjadi pada spesies ikan target, predator, kompetitor,
dan spesies mangsanya, serta berbagai interaksi dan dampak ekploitasi organisme
tersebut terhadap lingkungan.
Permasalahan yang mendasar dalam pengkajian stok untuk pengelolaan
perikanan saat ini adalah orientasi yang berbasis pada spesies tunggal atau
sumberdaya ikan target saja. Widodo dan Suadi (2008) mengemukakan dampak
34

kebijakan pengelolaan perikanan yang selama ini berkembang hanya berbasis


pada spesies target (tunggal) saja telah meninggalkan permasalahan baru bagi
spesies target sendiri, spesies ikan lainnya, dan organisme lain yang memiliki
hubungan dengan jenis tersebut, serta lingkungan. Hal ini sering memunculkan
pertanyaan bahwa perubahan dan dampak apa yang dapat terjadi sebagai akibat
dari kegiatan perikanan tersebut?. Kondisi ini telah menarik perhatian
internasional tentang pengembangan pola pengelolaan sumberdaya ikan yang
berbasis ekosistem atau yang dikenal sebagai ecosystem-based fisheries
management (EBFM). Dengan berbasis pada pendekatan ini, pengelolaan
perikanan ke depan perlu diupayakan ke arah pendekatan yang bersifat
multidisiplin dengan mengoptimalkan pemanfataan ilmu pengetahuan yang ada
seperti oseanografi, biologi perikanan, sosial ekonomi, hukum, teknologi
informasi (sistem informasi geografis dan penginderaan jauh), dan lain-lain, serta
pendekatan ini dapat dipadukan berbagai informasi yang tersedia tentang sistem
sumberdaya ikan seperti produktivitas primer, sumberdaya ikan utama dan
berbagai pola hubungan makan-memakan atau rantai dan jaring makanan dapat
digunakan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh dari proses dinamis
yang terjadi pada ekosistem perairan.
Dalam rangka menguatkan pendekatan ini, FAO pada bulan Oktober 2001
di Reykjavik Iceland, melakukan suatu pertemuan ilmiah internasional dan
menghasilkan Deklarasi Reykjavik tentang perikanan berkelanjutan pada
ekosistem laut (Responsible Fisheries in the Marine Ecosystem). Dalam deklarasi
Reykjavik dipaparkan isu kunci perlunya mengumpulkan dan mereview berbagai
pengetahuan terbaik tentang isu ekosistem laut terkait dengan kegiatan perikanan
tangkap dan mengintegrasikannya dalam berbagai aktivitas baik di tingkat
regional maupun internasional untuk pengelolaan perikanan. Pertemuan-
pertemuan dunia tentang pembangunan dan lingkungan berikutnya seperti
pertemuan di Johannesburg 2002 juga semakin mempertegas kebutuhan untuk
membangun dunia yang lebih berpedoman pada prinsip pembangunan
berkelanjutan. Lebih jauh FAO juga melengkapi dengan berbagai panduan teknis
menuju perikanan berkelanjutan.
35

Perikanan sero merupakan perikanan pantai yang terdiri dari beberapa


ekosistem yang ada di dalamnya. Oleh karena itu penerapan pola pengelolaan
sumberdaya ikan yang berbasis ekosistem atau yang dikenal sebagai ecosystem-
based fisheries management (EBFM) sangatlah tepat untuk diterapkan. Mengingat
bahwa pemanfaatan perikanan dunia saat ini terkonsentrasi pada perairan dangkal
pada kedalaman antara 0-200 m (Pauly dan Christensen 2002). Dipertegas bahwa
produktivitas perairan di daerah pantai (paparan) yang tinggi telah menghasilkan
suatu produktivitas perikanan yang juga tinggi. Ekosistem ini diperkirakan
menyumbang lebih dari 90% sumber ikan dunia. Daerah terumbu karang dapat
memproduksi 10-12% dari total hasil tangkapan di negara tropis dan sekitar 20-
25% di negara berkembang.
Tingginya tingkat produktivitas di daerah pantai dibandingkan pada daerah
lain digambarkan oleh Wolff (2004) dalam Widodo dan suadi (2008) seperti pada
Tabel 3 berikut.

Tabel 3 Produktivitas perikanan di habitat laut terbuka, pantai, dan upwelling


Habitat Laut Terbuka Pantai Upwelling
Persentase luas perairan 90 9,9 0,1
Rata-rata produktivitas primer 50 100 300
(g.C/m/tahun)
Total Produksi (109 ton C/tahun 16,3 3,6 0,1
Jumlah energi yang ditranfer 5 3 1,5
antara berbagai tingkat trofik
Rata-rata efisiensi ekologi 10% 15% 20%
Rata-rata produksi ikan (mg 0,5 340 36.000
C/m2/tahun)
Total produksi ikan (106 ton 0,2 12 12
C/tahun)

Tabel 3 menunjukkan bahwa perairan laut terbuka (lepas pantai) walaupun


memiliki luas area yang terbesar (mencapai 90% dari total perairan laut), namun
total produksi ikan yang dapat didukung oleh wilayah ini hanya mencapai 200.000
ton C/tahun. Jumlah ini sangat berbeda dengan produksi yang mampu dihasilkan
oleh dua habitat perairan laut lainnya yaitu paparan (pantai) dan daerah upwelling
yaitu mencapai 12 juta ton C/tahun, walaupun luas areanya sangat kecil. Interaksi
yang terjadi antar organisme yang hidup pada tiga habitat tersebut juga cukup
berbeda. Di antara tiga habitat utama perikanan, interaksi biologi yang terjadi
36

pada perairan laut lepas lebih kompleks dengan rantai makanan yang lebih
panjang (mencapai 6 tingkat trofik) dibandingkan perairan pantai (4 trofik) dan
daerah upwelling (1,5 trofik). Bahkan jumlah tingkat trofik pada daerah upwelling
bisa mencapai bisa mencapai 2 jika ikan didominasi oleh jenis herbivora (Pauly
dan Christensen 2002).
Pencapaian tujuan pola pengelolaan sumberdaya ikan yang berbasis
ekosistem diperlukan teknik pengelolaan perikanan yang baik. Widodo dan Suadi
(2008) mengemukakan beberapa pendekatan pengelolaan perikanan yakni : 1)
pengaturan ukuran mata jaring (dari pukat atau alat tangkap yang digunakan); 2)
pengaturan batas ukuran ikan yang boleh ditangkap, didaratkan, atau dipasarkan;
3) kontrol terhadap musim penangkapan ikan (opened or closed season); 4)
kontrol terhadap daerah penangkapan (opened or closed areas); 5) pengaturan
terhadap alat tangkap serta perlengkapannya di luar pengaturan ukuran mata
jaring (mesh size); 6) perbaikan dan peningkatan sumberdaya hayati (stock enhan-
cement); 7) pengaturan hasil tangkapan total per jenis, kelompok jenis, atau bila
memungkinkan per lokasi atau wilayah; dan 8) setiap tindakan langsung yang
berhubungan dengan konservasi semua jenis ikan dan sumberdaya hayati lainnya
dalam wilayah perairan tertentu.

2.9 Review Penelitian Sebelumnya

Penelitian tentang parameter lingkungan perairan telah banyak dilakukan


oleh peneliti-peneliti sebelumnya seperti (Andriyani 2004; Murifto 2000;
Aryawati 2007; Ridho 2004) namun tidak ada diantara penelitian tersebut
mengkaitkan bagaimana hubungan parameter lingkungan tersebut terhadap hasil
tangkapan sebuah alat tangkap. Begitupula penelitian trofik level telah banyak
dikaji (Asriyana 2010; Anakotta 2002; Sjafei & Robiyani 2001) tetapi kajian
terbatas pada kebiasaan makan dan aspek biologis ikan. Begitupula dengan kajian
tentang selektivitas alat tangkap telah banyak diteliti (Rengi 2002; Matsuoka
1995; Manoppo 1999; Tenriware 2005) tetapi kajian ini hanya terfokus pada
selektivitas alat tangkap tanpa melihat kondisi parameter lainnya.
37

Penelitian-penelitian tersebut di atas hanya dilakukan secara parsial saja,


sehingga penelitian ini dilakukan secara serentak mengukur kondisi daerah
penangkapan ikan, struktur trofik level jenis ikan, dan selektivitas mata jaring
hubungannya dengan hasil tangkapan sero. Keunggulan penelitian ini yaitu
mengkaji parameter lingkungan dan trofik level hasil tangkapan, untuk
melengkapi kajian selektivitas mata jaring yang dilakukan pada alat tangkap sero
pada perairan pantai. Penelitian yang serupa dengan kajian ini yaitu struktur dan
dinamika trofik level di daerah penangkapan perikanan bagan rambo Kabupaten
Barru Sulawesi Selatan (Hatta 2010), namun kajian ini tidak dilakukan analisis
selektivitas alat tangkap dan dilebih difokuskan pada perairan lepas pantai dengan
hasil tangkapan pelagis.
39

3 METODOLOGI UMUM

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini mencakup kegiatan pengumpulan data berupa pengamatan


lapangan dan experimental fishing yang dilaksanakan selama 4 bulan, yaitu sejak
15 Januari hingga 15 Mei 2011. Penelitian ini dilaksanakan di lokasi yang
menjadi daerah pengoperasian sero di teluk Bone, tepatnya di perairan pantai
Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo yang terletak pada posisi 03o40’02” -
03o43’12” LS dan 120o25’12” - 120o26’42” BT (Gambar 2).

Gambar 2 Perairan pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone.


40

3.2 Alat dan Bahan

Peralatan utama yang digunakan adalah 3 unit sero yang dilengkapi dengan
bagian bunuhan khusus (experimental crib). Bahan jaring crib tersebut memiliki
ukuran mata jaring sebesar 4 cm. Sero tersebut adalah milik nelayan setempat,
sedangkan experimental crib dibuat khusus untuk keperluan penelitian ini.
Peralatan lain adalah peralatan pengambilan contoh air dan peralatan pengukur
parameter lingkungan, seperangkat alat dan bahan laboratorium untuk
pengamatan dan identifikasi serta sejumlah peralatan lain yang diperlukan selama
pengumpulan data di lapangan. Daftar alat dan bahan yang dipakai selama
penelitian ini dijelaskan secara lebih rinci di bagian metode penelitian pada Bab 5,
6, 7, dan 8.

3.3 Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan di lapangan dan laboratorium meliputi :


1) parameter kondisi perairan, seperti suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut (DO),
kecepatan dan arah arus air, plankton, zat hara perairan (fosfat, silikat, dan nitrat),
kadar klorofil a, dan plankton; 2) data yang diperlukan untuk menentukan trofik
level ikan-ikan yang tertangkap sero meliputi data hasil tangkapan sero (hasil
tangkapan 16 trip, mulai tanggal 15 Januari – 14 Mei 2011) ; 3) data jenis dan
jumlah ikan yang tertangkap (hasil tangkapan 16 trip, mulai tanggal 15 Januari-
14 Mei 2011); 4) data tentang selektivitas sero yang dilengkapi dengan
experimental crib dari 3 (tiga) unit sero yang ditempatkan di 3 habitat berbeda,
yaitu muara sungai, padang lamun dan kawasan mangrove. Cara pengambilan
untuk setiap jenis data tersebut disajikan dalam bagian metode penelitian pada
Bab 5, 6, 7, dan 8. Data jenis pertama (parameter kondisi perairan) dikumpulkan
di setiap habitat dalam 8 kali kesempatan dengan setiap dua mingguan
pengamatan (22 Januari – 14 Mei 2011). Data jenis kedua untuk menentukan
trofik level ikan dikumpulkan dari penelitian pendahuluan pada tanggal 24-26
Desember 2010 dan penelitian dilaksanakan pada 15 Januari – 15 Mei 2011,
sedangkan data untuk menentukan selektivitas diperoleh dari 16 trip penangkapan
ikan di setiap habitat.
41

3.4 Analisis Data

Analisis untuk membandingkan karakteristik kondisi lingkungan dan


komunitas ikan di antara ketiga habitat yang tertangkap oleh sero dengan
experimental crib dilakukan dengan menerapkan analisis ragam (ANOVA) dan
principle component analysis (PCA). Dalam perbandingan antar habitat tersebut
ada dua faktor yang dipertimbangkan, yaitu faktor habitat (H) dan faktor waktu
(T), sedangkan uji signifikansi dilakukan pada taraf α = 0,05 (Zar 1984 dan
Petersen 1985). Oleh karena itu dalam model linier analisis ada faktor habitat,
waktu, dan faktor interaksi antara habitat dan waktu. Uji lanjutan berupa uji beda
rerata Tukey (Tukey’s HSD test) dilakukan terhadap faktor yang secara signifikan
mempengaruhi variabel yang dianalisis. Kalkulasi untuk melakukan sidik ragam
ini menggunakan perangkat lunak SPSS Release 15.0.
Data parameter perairan yang terdiri dari banyak variabel dan observasi
berdasarkan waktu dan lokasi maka untuk memudahkan dalam interpretasi maka
digunakan teknik reduksi data dengan menggunakan analisis multivariate
principle component analysis (PCA) (Legendre & Lagendre 1983). Dengan
analisis PCA maka karakterisasi waktu dan lokasi pengamatan dapat
disederhanakan berdasarkan distribusi spasiotemporal parameter perairan.
Kemiripan antara observasi dianalisis dengan sidik gerombol (cluster analysis)
untuk mengeksplorasi kemiripan atau kedekatan di antara sampel-sampel yang
bersifat multivariat tersebut. Analisis PCA ini dijalankan dengan menggunakan
perangkat lunak Excel Stat 6.0 sedangkan sidik gerombol dijalankan
menggunakan SPSS Release 15.0.
Analisis untuk melihat asosiasi setiap jenis ikan dengan habitat
menggunakan factorial correspondence analysis (FCA) (Legendre & Lagendre
1983), sedangkan analisis untuk melihat hubungan parameter lingkungan terhadap
setiap jenis ikan digunakan analisis linier berganda (Kleinbaum et al. 1988).
Analisis-analisis ini dijalankan dengan menggunakan perangkat lunak Excel Stat
6.0 dan SPSS Release 15.0.
Posisi jenis ikan yang tertangkap dalam struktur trofik (trophic level)
ditentukan dengan menerapkan perangkat lunak TrophLab2K. Data yang
diperlukan untuk menentukan posisi ini adalah jenis dan komposisi makanan
42

(food item) yang diketahui dari analisis isi lambung ikan (gut content analysis),
seperti yang dilakukan oleh Pauly et al. (2000). Posisi ikan dinyatakan sebagai
nilai trophic level yang ditentukan dengan cara menghitung rata-rata nilai trophic
level dari setiap food item ditambah 1. Selanjutnya, keterkaitan ekologi di antara
setiap jenis ikan pada setiap habitatnya dengan makanannya dieksplorasi dengan
analisis regresi linier sederhana, mengikuti petunjuk Kleimbaum et al. (1988).
Kelimpahan plankton ditentukan dengan menerapkan analisis laboratorium
terhadap sampel yang telah diawetkan. Analisis ini menghitung individu
plankton secara lengkap (sensus) dengan menggunakan Sedwick Rafter Cell
(SRC) (APHA 2005) sedangkan densitas klorofil-a ditentukan dengan
menerapkan metode Boyd (1982).
Data panjang dan berat sampel ikan dianalisis untuk menentukan rumus
hubungan panjang-berat (Romimohtarto & Juwana 2001) yang menerapkan
persamaan eksponensial, yaitu W = aLb, seperti dikemukakan oleh Teisser (1960)
dan Carlander (1968) dalam Effendie (1997). Dari analisis ini diketahui nilai
koefisien b yang menggambarkan pola pertumbuhan berat ikan terkait dengan
panjang ikan, apakah ikan tumbuh langsing (b < 3), normal (b = 3) atau gemuk (b
> 3).
Data panjang ikan yang tertangkap selama penelitian juga digunakan
untuk menentukan selektivitas experimental crib. Karakteristik selektivitas ini
digunakan sebagai dasar untuk menentukan kelayakan biologis-teknis bunuhan
(crib) bermata jaring 4 cm dalam menangkap ikan-ikan yang ada di tiga habitat
pesisir. Mengingat metode penangkapan ikan yang diterapkan pada sero
tergolong sebagai filtering, yaitu penyaringan, maka penelitian ini ini menerapkan
model kurva logistik yang biasa diterapkan dalam mengkaji selektivitas trawl
(Paloheimo dan Cadima, 1964; Kimura, 1977; Hoydal et al., 1982 dalam Sparre
dan Venema 1999). Bentuk kurva selektivitas ini sangat tergantung kepada data
komposisi ukuran ikan dan proporsi ikan yang tertangkap. Kelayakan ditentukan
dengan membandingkan ukuran ikan yang berpeluang tertangkap sebesar 50%
(L50) dengan ukuran ikan ketika matang gonad untuk pertama kali atau length at
first maturity (Lmat). Analisis kelayakan biologis-teknis sero ini diterapkan pada
sembilan jenis ikan yang dominan tertangkap di tiga habitat pesisir.
43

Selanjutnya, berdasarkan karakteristik lingkungan daerah penangkapan


ikan, komposisi jenis dan ukuran ikan yang tertangkap, kelayakan biologis-teknis
sero, dilakukan perumusan strategi pengelolaan perikanan sero di Kabupaten
Wajo.
45

4 KONDISI UMUM PERIKANAN SERO


DI KABUPATEN WAJO

4.1 Statistik Perikanan Kabupaten Wajo

Nelayan Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo menggunakan enam


jenis alat penangkapan ikan, yaitu sero, jaring insang permukaan (surface gillnet),
rawai dasar (bottom longline), jaring insang hanyut (drift gillnet), pancing ulur
(handline), dan bagan (liftnet). Pada tahun 2008, sero adalah jenis alat yang
paling banyak dioperasikan sehingga perikanan Kabupaten Wajo dicirikan oleh
perikanan sero dengan nama lokal belle’. Perikanan sero adalah penyumbang
produksi ikan terbesar ketiga setelah perikanan jaring insang dan perikanan bagan
perahu (Gambar 3). Pada tahun 2003 produksi perikanan sero meningkat tajam
menjadi 1126,5 ton dari 911,7 ton pada tahun 2002, namun pada tahun berikutnya
(2004) produksi menurun tetapi sejak tahun 2005 produksi terus meningkat
sampai tahun 2008. Adanya 71 unit sero di perairan sepanjang pesisir
Pitumpanua menjadikan sero sebagai jenis alat penangkapan ikan yang paling
dominan di kawasan tersebut (KKP Wajo 2009)

2500

2250

2000
Produksi hasil tangkapan (ton)

1750

1500

1250

1000

750

500
Jaring Insang Tetap Bagan Perahu Sero
250

0
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Tahun

Gambar 3 Produksi ikan dari tiga jenis perikanan terbesar di Kabupaten Wajo.
46

Jumlah kapal ikan yang berpangkalan di di Kecamatan Pitumpanua pada


tahun 2003 secara keseluruhan mencapai 202 unit. Sebagian besar di antaranya
(> 70%) adalah perahu bermotor tempel (147 unit), sisanya adalah 22 unit perahu
tidak bermotor dan 33 unit kapal motor. Kapal ikan yang umum digunakan untuk
mengoperasikan sero di Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo tergolong
sebagai perahu bermotor tempel namun sebagian nelayan kecil masih
menggunakan dayung saja. Perahu-perahu ini lebih berfungsi sebagai pengangkut
nelayan menuju lokasi sero ketika mereka memeriksa dan mengangkat ikan, serta
kembali mengangkut nelayan dan ikan ke darat. Perahu-perahu tersebut
mempunyai panjang yang berkisar dari 7-10 m, lebar 0,7-2,0 m dan dalam 0,8-1,5
m. Perahu-perahu yang bermotor tempel umumnya menggunakan mesin
berkekuatan 8–25 PK (Gambar 4). Perahu-perahu sero ini biasanya dilengkapi
dengan katir atau alat penjaga keseimbangan yang terbuat dari kayu atau bambu di
kedua sisi kapal atau perahu. Hingga saat ini belum ada sarana tempat pelelangan
ikan (TPI) sehingga nelayan mendaratkan hasil tangkapannya di tepi sungai.

Gambar 4 Jenis perahu bermotor yang digunakan dalam perikanan sero di


perairan pantai Pitumpanua, Teluk Bone.

4.2 Kondisi Geografis

Panjang garis pantai Pitumpanua ± 15 km terbentang mulai dari perairan


Pantai Paojepe (Desa Paojepe) sampai pada Sungai Buriko Desa Tellesang.
Topografi perairan pantai Pitumpanua rata-rata pada ketinggian 5 m dari
permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 2.017,7 mm/tahun dengan suhun
47

udara 37 oC. Sepanjang pantai Pitumpanua bermuara sungai-sungai pendek


sebagai aliran pembuangan persawahan yang ada di kaki-kaki bukit. Panjang
sungai rata-rata 2-4 km dan lebar rata-rata 25 m serta dapat di lalui oleh perahu-
perahu kecil jika laut laut sedang pasang. Bentuk muara sungai yang berbentuk
outlet air persawahan hampir tidak mengendapkan lumpur (Ludiro et al. 1999).
Wilayah pantai Pitumpanua sebagian besar mempunyai jenis tanah alluvial
hidromorf kelabu dengan bahan induk dari bahan endapan liat-debu. Fisiografi
daerah ini merupakan daratan pasang surut pesisir. Medan pada umumnya
berlereng 0-2%. Perairan laut yang berhadapan dengan pesisir pantai Pitumpanua
rata-rata kedalaman lautnya dangkal (2-20 m). Gelombang laut yang terjadi di
daerah ini umumnya di bawah 1 m dan tinggi pasang surut air laut di pesisir
sekitar 3 m, dengan pasang tertinggi tepat di batas pematang pertambakan (Ludiro
et al. 1999). Tipe pasang surut di daerah ini adalah diurnal dan semi diurnal.
Pasang tertinggi terjadi pada jam 8.00-11.00 Wita. Rata-rata pasang tertinggi
mencapai 82,71 cm dan pasang terendah pada titik -133,86 cm. Gerakan spektra
dari fluktuasi pasang surut di daerah ini menunjukkan bahwa jenis harian (diurnal)
terjadi selama 23,74 jam, sama halnya dengan semi diurnal yang bertahan selama
11,87 jam (Prioharyono et al. 2003).
Ketinggian gelombang di perairan pantai Pitumpanua (H1/10) memiliki
kisaran dengan nilai terendah 0,07 cm dan tertinggi 72,89 cm, periode gelombang
minimum 1,52 detik dan maksimum 4,66 detik. Ketinggian gelombang paling
tinggi 99,08 cm dan paling rendah 29,20 cm. Kecepatan arus berkisar antara 10-
62,64 cm/detik. Hal ini dipengaruhi oleh kecepatan angin yang relatif kencang
sering terjadi antara bulan Oktober sampai bulan Maret. Gerakan perputaran udara
yang kuat ini juga terjadi pada musim pancaroba atau musim peralihan,
dari musim kemarau atau sebaliknya. Salinitas perairan pantai berkisar antara
31-31ppm, dengan suhu antara 28-35 oC (Prioharyono et al. 2003).
48

4.3 Konstruksi Sero

Sero yang dioperasikan di lokasi penelitian terdiri dari 5 bagian, yaitu


bagian penaju, bagian sayap, bagian perut, bagian badan, dan bagian bunuhan.
Setiap bagian tersebut memiliki fungsi yang berbeda; penaju berfungsi untuk
menghadang ruaya ikan dan mengarahkan ikan agar menuju crib (bunuhan) sero,
bagian sayap berfungsi sebagai penghalang ikan yang menyusuri penaju, sampai
ikan masuk kedalam badan sero atau kamar-kamar sero, bagian ini mempunyai
ruang yang luas sehingga diharapkan ikan bisa bermain atau mencari makan
sebelum masuk kedalam bagian berikutnya. Bagian perut dan badan berfungsi
menyukarkan ikan untuk keluar dan akhirnya masuk ke dalam bunuhan, dan
bagian bunuhan berfungsi sebagai tempat terakhir berkumpulnya ikan agar ikan
tidak lepas atau meloloskan diri dan ikan akan mudah diambil kemudian. Bagian
terakhir ini merupakan zone of retention (Nikonorov 1975). Jika dilihat dari atas
atau udara, sero berbentuk segitiga dimana penaju (leader net) berada lebih dekat
dengan garis pantai dibandingkan dengan bunuhan (crib) yang terletak di tempat
yang lebih jauh dari pantai (Gambar 5). Nelayan lokal menggunakan waring
berwarna hitam dengan mesh size sebesar 0,5 cm sebagai bahan bunuhan (crib).
Panjang bagian penaju rata-rata adalah 90–100 m, panjang sayap adalah 20–25 m
dengan lebar pintu masuk sekitar 2 m, panjang bagian badan sekitar 3,5–4 m
dengan lebar pintu masuk sebesar 0,7 m, panjang bagian perut adalah 3–3,5 m
dengan lebar pintu masuk sekitar 0,5 m berbentuk segitiga tidak sama sisi
sedangkan pada bagian bunuhan (crib) berbentuk persegi empat (Gambar 5).
Bagian bunuhan ini memiliki panjang, lebar dan tinggi rata-rata masing-masing
sebesar 4m, 5m dan 4,5 m dengan ukuran pintu masuk selebar 0,2 m.
49

5m
Crib asli

4m
A

0.2 m

2.5 m
B
3m
0.5 m

1m

3.5 m
C 0.7 m

1m

20 m
D

2m

10 m

E 100 m

A = Bunuhan (crib )
Exp. Crib
Crib asli
B = Perut (belly )
C = Badan (body )
D = Sayap (wing )
E = Penaju

Gambar 5 Desain sebuah sero dilihat dari atas atau udara. Lima bagian sero:
bagian penaju (A), bagian sayap (B), bagian perut (C), bagian badan
(D), dan bagian bunuhan (E)
50

Gambar 6 Bagian bunuhan atau crib (A) dan panaju atau leader net (B) yang
pada salah satu sero yang digunakan dalam penelitian di Kecamatan
Pitumpanua.

Bahan yang diperlukan untuk pembuatan satu unit sero adalah tiang-tiang
pancang, waring dan kayu-kayu penjepit tali ris bawah yang disiapkan di darat.
Pembuatan atau pembangunan sebuah sero dimulai dengan membuat rangka atau
pola berupa tiang-tiang kayu atau bambu yang ditancapkan di dasar laut. Tiang-
tiang tersebut berfungsi sebagai tempat menggantungkan jaring yang sudah
dirangkai di darat. Agar sero terpasang secara rapat dengan dasar laut atau tidak
terangkat jika terkena arus air atau ombak maka tali ris bawah waring diberi
sejumlah penjepit (pacco). Jumlah tiang kayu yang dipakai dalam satu unit sero
biasanya mencapai 1.200 batang. Jenis kayu yang dijadikan tiang adalah kayu
bakau dan bambu. Panjang tiang-tiang tersebut tergantung dari posisi
pemasangannya; panjang tiang untuk bagian penaju dan sayap adalah 4–5 m,
untuk bagian perut dan badan adalah 5–9 m sedangkan untuk bagian bunuhan 9–
11 m.
Penancapan kerangka atau tiang-tiang dimulai untuk bagian bunuhan,
kemudian bagian badan sero, lalu dilanjutkna dengan penancapan tiang-tiang
untuk bagian perut, sayap serta terakhir bagian penaju. Setelah semua tiang-tiang
tertancap dan terpancang, dilakukan pemasangan waring yang dimulai dari waring
bagian bunuhan hingga terakhir waring bagian penaju. Nelayan biasa memasang
sero ketika laut sedang surut; pemasangan satu unit sero memerlukan waktu 1–2
51

hari. Setiap setelah 3 bulan dioperasikan, nelayan biasanya membawa waring


sero ke darat untuk diperbaiki dan kemudian dipasang kembali ke laut.
Di Pitumpanua, satu unit sero biasanya dioperasikan oleh seorang nelayan;
selain mengoperasikan sero, dia juga berfungsi sebagai juru mudi. Kegiatan
penangkapan ikan dengan sero ini biasanya berlangsung sepanjang tahun. Satu
trip operasi penangkapan ikan dengan sero biasanya dimulai ketika nelayan
berangkat menuju lokasi sero pada sekitar pukul 07:00–9:00 WITA. Setibanya
di lokasi sero, motor tempel segera dimatikan agar ikan-ikan yang telah masuk ke
dalam bunuhan tidak terusik. Selanjutnya, nelayan akan mendekati sero dengan
cara mendayung perahunya. Nelayan akan naik ke atas bagian bunuhan untuk
mengambil ikan-ikan yang berkumpul di dalamnya.
Proses pengambilan ikan (hauling) dimulai dengan membuka semua tali
kolor (purse line) dari setiap sudut dan sisi bunuhan agar waring dapat diangkat
dengan mudah dan tidak berat. Selanjutnya, bagian mulut bunuhan diangkat
sampai di atas permukaan air agar ikan-ikan yang berada di dalam bunuhan tidak
dapat meloloskan diri atau keluar dari bunuhan. Secara bertahap dan perlahan,
waring diangkat hingga hampir semua waring bagian bunuhan terangkat
sementara sisanya tetap di air untuk memudahkan pengambilan ikan dengan serok
(Gambar 7). Ikan-ikan tersebut kemudian langsung dipindahkan ke perahu.

Gambar 7 Proses kegiatan hauling pada alat tangkap sero (A) Penarikan jaring
sero; (B) Pengambilan hasil tangkapan.
52

Setelah proses pengambilan hasil tangkapan selesai, waring bagian


bunuhan tersebut dikembalikan lagi ke laut, tali-tali kolor kemudian dikendurkan
dan tali-tali pada sudut dan sisi bunuhan diikatkan kembali pada tiang-tiang
sehingga ikan-ikan lain selanjutnya dapat masuk ke dalam bunuhan dan siap
dipanen pada trip penangkapan ikan berikutnya. Kegiatan hauling ini memerlukan
waktu kurang lebih 10–20 menit. Ikan-ikan tersebut kemudian dibawa ke rumah
dan dijual langsung oleh nelayan kepada pembeli.

4.4 Lokasi Pemasangan Sero

Di perairan pantai Pitumpanua paling sedikit ada tiga kawasan yang


merupakan tempat pemasangan sero, yaitu kawasan muara sungai, kawasan
mangrove, dan kawasan lamun. Jarak di antara ketiga habitat tersebut sekitar 3
km (Gambar 2) Kedalaman air pada saat pasang tertinggi di lokasi ini berkisar 2-
13 meter. Kedalaman air di tempat bagian bunuhan berbeda di antara ketiga
habitat: 8-13 m pada kawasan muara sungai, 8-10 m pada kawasan mangrove,
dan 9-13 m pada kawasan lamun. Substrat pada ketiga kawasan tersebut adalah
pasir berlumpur, berlumpur, dan berpasir. Kedalaman perairan tersebut tidak jauh
berbeda dari yang dikemukakan oleh Tiensongrume et al. (1986) diacu oleh
Rachmansyah (2004) bahwa salah satu kriteria daerah pemasangan sero
mempunyai kisaran kedalaman 1-10 meter.
Ketiga kawasan tempat pemasangan sero tersebut berdekatan dengan 4
muara sungai, yaitu Sungai Bulete (3o43’07,8” ; 120o26’14,5”), Sungai Siwa
(3o41’34,6” ; 120o26’06,1”), Sungai Bau-bau (3o40’32,8” ; 120o25’34,9”), dan
Sungai Buriko (3o40’17,1” ; 120o25’03,4”). Kawasan mangrove dan lamun diapit
oleh sungai Bulete dan sungai Siwa, sementara kawasan muara sungai berada
depan sungai Bau-bau dan diapit oleh sungai Siwa dan sungai Buriko (Gambar 2).

4.5 Jenis-jenis Ikan yang Tertangkap dengan Sero

Berdasarkan identifikasi terhadap ikan-ikan yang tertangkap sero selama


penelitian, sebelas jenis ikan dan biota yang dominan atau paling banyak
tertangkap adalah: (1) biji nangka (Upeneus sulphureus), (2) kapas-kapas (Gerres
oyena), (3) lencam (Lethrinus lentjam), (4) pepetek (Leiognathus splendens), (5)
53

kerong-kerong (Therapon jarbua), (6) baronang lingkis (Siganus canaliculatus),


(7) kuwe (Caranx sexfaciatus.), (8) baronang (Siganus guttatus), (9) barakuda
(Sphyraena sphyraena), (10) kepiting rajungan (Portunus pelagicus), dan (11)
udang putih (Peneaus margueinsis); nama lokal dari biota yang tertangkap
tersebut disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Jenis-jenis hasil tangkapan dominan tertangkap dengan sero selama


penelitian
Jenis ikan dan non ikan
No Nama lokal Nama Indonesia Nama latin
1 Tiko-tiko Biji nangka Upeneus sulphureus
2 Kape'-kape' Kapas-kapas Gerres oyena
3 Katampa Lencam Lethrinus lentjam
4 Caria cakkang Pepetek Leiognathus splendens
5 Kerung-kerung Kerong-kerong Therapon jarbua
6 Manaja Baronang lingkis Siganus canaliculatus
7 Cepa Kuwe Caranx sexfaciatus
8 Baronang Baronang Siganus guttatus.
9 Kaso'-kaso' Barakuda, alu-alu Sphyraena sphyraena
10 Bukkang soji Rajungan Portunus pelagicus
11 Bongko puteh Udang putih Peneaus margueinsis

Hasil tangkapan non dominan dan discards alat tangkap sero ditemukan
sangat beragam. Hasil tangkapan non dominan dan discards tersebut tidak
tertangkap pada setiap trip penangkapan dan jumlahnya sangat sedikit. Hasil
tangkapan yang non dominan tersebut mempunyai harga tinggi seperti: ikan
bambangan (Lutjanus spp.), kerapu (Epinephelus spp.), kakap (Lates spp.),
balanak (Liza vaigiensis), kepiting bakau (Scylla serrata), cumi-cumi (Loligo sp.),
dan udang windu (Penaeus sp.). Sedangkan discards atau hasil tangkapan yang
sama sekali tidak dimanfaatkan oleh nelayan adalah ikan sebelah (Psettodes
erumei), ikan buntal (Arothron reticularis), ubur-ubur (Obelia sp.), ikan lepu
(Dendrochirus sp.), ikan sumpit (Toxotes jaculatrix), ikan buaya (Platycephalus
sp.), dan kuda laut (Hippocampus sp.). Selama penelitian didapatkan sebanyak
25 spesies (Tabel 5) hasil tangkapan non dominan bernilai ekonomis dan discards.
54

Tabel 5 Hasil tangkapan non dominan dan discards alat tangkap sero selama
penelitian
No Nama Daerah Nama Lokal Nama Ilmiah
Non-Dominan bernilai tinggi:
1 Orapu Kerapu Epinephelus spp.
2 Bale cella Bambangan Lutjanus spp.
3 Bonti Balanak Liza vaigiensis
4 Kakap Kakap Lates spp.
5 Comi Cumi-cumi Loligo sp.
6 Bukkang dato Kepiting bakau Scylla serrata
7 Bongko bolong Udang windu Penaeus sp.

Non-dominan bernilai sedang:


8 Pakka-pakka ikko Senangin Eleutheronema sp.
9 Alajuru Layur Trichiurus sp.
10 Sori Cendro Tylosorus sp.
11 Pari Pari Trygon spp.
12 Balolo kuning Julung-julung Hemiramphus far
13 Samelang Sambilang Plotosus sp.
14 Pallepe Lidah Psettodes erumei
15 Bau'-bau' Selar kuning Selaroides sp.
16 Ape'-ape Ketang-ketang Drepane sp.
17 Tembang Tembang Sardinella sp.
18 Lure puteh Teri Stolephorus spp.

Discards:
19 Bale pallepe’ Ikan sebelah Psettodes erumei
20 Buntala Buntal Arothron reticularis
21 Ubur-ubur Ubur-ubur Obelia sp.
22 Tae opu Lepu Dendrochirus sp.
23 Mai-mai Kuda laut Hippocampus sp.
24 Sumpiti Ikan sumpit Toxotes jaculatrix
25 Palu gendrang Ikan buaya Platycephalus sp
55

5 KONDISI LINGKUNGAN DAERAH PENANGKAPAN


IKAN DENGAN SERO

5.1 PENDAHULUAN

Kondisi lingkungan pada suatu habitat sangat penting diketahui karena


dapat menentukan karakteristik berbagai organisme yang ada di dalamnya
(Levinton 1982). Kondisi lingkungan tersebut biasanya dinyatakan dengan
menggunakan sejumlah parameter lingkungan yang dapat dipakai untuk
menjelaskan hubungan di antara fenomena biologis dari sejumlah organisme yang
menjadi perhatian dan faktor fisika kimia lingkungan. Kondisi lingkungan fisika
kimia dalam suatu skala ruang dapat berubah dalam skala waktu yang berbeda,
misalnya harian, musiman dan tahunan. Oleh karena itu, penelitian tentang
kondisi lingkungan suatu habitat seyogianya memperhatikan ragam yang
dihasilkan oleh faktor waktu. Sebagai konsekuensinya, fenomena atau perubahan
biologis juga dapat berubah sejalan dengan perubahan waktu.
Sehubungan dengan masalah dan tujuan dari penelitian ini, kondisi
lingkungan dari tiga habitat ikan yang menjadi tempat pemasangan sero di
Kecamatan Pitumpanua dijelaskan. Informasi tentang kondisi lingkungan di
setiap habitat tersebut dimanfaatkan untuk menjelaskan karakteristik komunitas
ikan yang merupakan potensi perikanan lokal.
Dalam bab ini akan disajikan kondisi lingkungan dari tempat pemasangan
sero. Kondisi perairan tersebut dinyatakan sebagai parameter biologi, fisika dan
kimia lingkungan, yaitu suhu air, salinitas, pH, kadar oksigen terlarut (DO), kadar
zat hara, klorofil-a, fitoplankton, dan zooplankton.

5.2 METODE PENELITIAN


5.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengumpulan data dengan cara pengambilan contoh-contoh air dan biota


dilakukan selama 4 (bulan) sejak tanggal 22 Januari hingga 14 Mei 2011.
Contoh-contoh tersebut diambil dari tiga lokasi tempat sero yang dilengkapi
dengan experimental crib di perairan pantai Pitumpanua, yaitu di muara sungai
(3o40’24,9” LS; 120o25’39,4” BT), mangrove (3o42’09,9” LS; 120o26’15,3” BT),
56

dan lamun (3o42’18,9” LS; 120o26’24,6” BT) (Gambar 2). Contoh-contoh tersebut
kemudian dianalisis untuk mengidentifikasi jenis biota dan densitasnya serta
kadar zat hara di laboratorium pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
(FIKP), Universitas Hasanuddin, Makassar.

5.2.2 Alat dan Bahan

Peralatan dan bahan yang digunakan selama pengamatan kondisi


lingkungan dan pengambilan contoh air di lapangan serta analisis di laboratorium
disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Jenis alat dan bahan yang digunakan pengambilan contoh air dan
pengamatan kualitas air di laboratorium

No Alat dan bahan Jumlah Kegunaan


1 Perahu motor 1 unit Sebagai sarana transportasi
2 Global Position System (GPS) 1 buah Untuk mengetahui titik kordinat lokasi
pengambilan sampel
3 DO meter 1 unit Secara simultan mengukur suhu perairan dan
oksigen terlarut
4 Handrefraktometer 1 unit Mengukur salinitas
5 Cammerer water sampler 1 unit Mengambil contoh air
6 Jaring plankton No. 25 1 unit Mengambil plankton
7 Larutan lugol 1 botol Mengawetkan contoh air
8 pH meter 1 buah Untuk mengukur pH peraian
9 Current meter 1 buah Mengukur arus perairan
10 Mikroskop 1 buah Identifikasi plankton
11 Spectrofotometer 1 buah Analisis laboratorium untuk nutrien
12 Aseton 90% * Analisis klorofil a
13 Botol sampel (botol aqua) 9 buah Menyimpan contoh air untuk nutrien
14 Botol sampel 9 buah Menyimpan contoh air untuk plankton
15 Papan skala 1 buah Mengukur kedalaman perairan
16 plastik sampel * Tempat hasil tangkapan yang sudah disortir
17 Cool Box 1 buah Menyimpan/memisahkan sampel
18 Buku identifikasi plankton 1 buah Mengidentifikasi plankton
19 Kamera 1 buah Pengambilan gambar
20 Alat tulis/data sheet * Mencatat data
21 Alat bantu lainnya * Digunakan di lapangan dan di laboratorium

5.2.3 Teknik Pengumpulan Data

Rangkuman tentang jenis data yang dikumpulkan dan jenis metode


pengumpulan data atau analisis yang dilakukan serta metode, alat, dan tempat
pengukuran/pengambilan contoh air disajikan pada Tabel 7.
57

Tabel 7 Parameter kualitas air yang diukur selama penelitian


No Parameter Satuan Metode Alat Analisis
Parameter Fisika
o
1 Suhu C - DO meter In situ
2 Kecepatan Arus m/det Visual Current meter In situ
3 Kedalaman m Visual Meteran In situ
Perairan
Parameter Kimia
-
4 pH Potensiometrik pH Meter In situ
5 Oksigen Terlarut ml/L - DO meter In situ
o
6 Salinitas /oo - Handrafroktometer In situ
7 N-Nitrat mg/L Brucine Spektrofotometer Lab
8 Silikat mg/L Molybdosilicate Spektrofotometer Lab
9 Ortofosfat mg/L Stanous chloride Spektrofotometer Lab
Parameter Biologi
10 Plankton sel/L Lackley Drop Plankton Net 25, Lab
Microstransect
Counting
11 Klorofil a mg/m3 Boyd (1982) Spektrofotometer Lab

Penjelasan yang lebih rinci untuk beberapa hal dalam Tabel 7 tersebut
disajikan pada bagian berikut.

5.2.3.1 Pengukuran kedalaman air


Kedalaman air diukur dengan menggunakan papan skala. Selama
penelitian, pengukuran ini hanya dilakukan sebanyak 2 (dua), yaitu pada saat
pasang tertinggi dan surut terendah. Setiap lokasi pemasangan sero dengan
experimental crib dianggap mewakili satu habitat. Pada setiap lokasi tersebut ada
tiga titik tempat pengukuran kedalaman air.

5.2.3.2 Pengukuran kecepatan dan arah arus air


Kecepatan arus air diukur dengan sebuah current meter bermerek valeport
seri 07481. Pengukuran parameter ini dilakukan sebelum kegiatan pengambilan
ikan (hauling) dari bunuhan (crib). Pengukuran kecepatan air dilakukan pada
pukul 7.30 – 12.00 WITA pada hari yang sama. Pengukuran kecepatan arus
dilakukan pada 3 posisi di setiap daerah penangkapan ikan.
58

5.2.3.3 Pengambilan contoh air untuk analisis zat hara dan klorofil-a
Contoh air untuk analisis zat hara (nitrat, fosfat, dan silikat) dan klorofil-a
diambil dengan Cammerer water sampler. Pengambilan contoh air dilakukan
pada pukul 7.00-9.00 WITA di stasiun yang telah ditentukan di muara sungai,
mangrove, dan lamun. Kegiatan ini dilakukan 8 kali pengamatan bersamaan
dengan trip operasi penangkapan ikan. Contoh air yang dianalisis berasal dari
lapisan dekat dengan dasar perairan. Contoh air tersebut disimpan dalam botol
sampel (botol aqua) yang ditaruh dalam cool box. Analisis laboratorium terhadap
contoh air ini dilakukan di laboratorium dengan menggunakan spectrophotometer
merek Hach type drel 2800. Analisis zat hara dan klorofil a dilakukan dengan
metode yang berbeda (Tabel 7).

5.2.3.4 Pengambilan contoh plankton


Contoh plankton diperoleh dari penyaringan terhadap 30 liter air laut
dengan jaring plankton berbentuk serok (scoop net) dengan diameter 30 cm dan
panjang 120 cm dan terbuat dari bahan jaring No. 25 (meshsize 64 µm).
Pengambilan contoh dilakukan pada pukul 7.00–9.00 WITA pada hari yang sama
dengan pengambilan contoh ikan. Hasil saringan dari setiap stasiun langsung
disimpan dalam botol sampel yang berukuran 25 ml. Contoh plankton ini
diawetkan dengan larutan lugol sebanyak 0,5 ml sesuai dengan cara yang
dilakukan oleh Cole dan Cloern (19870 dan Al-Gahwari (2003). Sampel tersebut
disimpan dalam cool box untuk proses identifikasi jenis plankton dan analisis
kuantitatif di laboratorium.

5.2.3.5 Penghitungan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton


Penghitungan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton dilakukan di
laboratorium berdasarkan rumus dari modifikasi metode Lackley Drop
Microstransect Counting (APHA 2005). Setiap sampel di ambil 1 ml pada setiap
backet kemudian diencerkan dengan 250 ml, kemudian diambil sebanyak tiga
tetes untuk diamati. Perhitungan plankton dilakukan dengan cara sensus di atas
sedwick. Jumlah fitoplankton dan zooplankton dihitung dengan rumus berikut:
59

.....................................................(1)

Keterangan :
N : Jumlah total plankton (sel/liter).
n : Jumlah rata-rata plankton.
Vr : Volume air yang tersaring (ml).
Vo : Volume air satu tetes (ml).
Vs : Volume air yang disaring (l).

5.2.3.6 Penghitungan kelimpahan klorofil-a


Kandungan klorofil-a dihitung dengan jumlah air yang disaring dengan
menerapkan rumus Boyd (1982) berikut:
..............................(2)
Keterangan:
A665 : Absorban pada panjang gelombang 665 nm.
A750 : Absorban pada panjang gelombang 750 nm.
V : Ekstraksi aseton yang diperoleh (ml).
L : Panjang lintasan cahaya pada cairan dalam cuvet (1 cm).
S : Volume sampel yang disaring (ml).

5.2.4 Analisis Data Lingkungan

Deskripsi setiap parameter lingkungan untuk masing-masing habitat


(muara sungai, mangrove dan lamun) diperoleh dari analisis statistika univarian
(Zar 1984). Perbandingan nilai setiap parameter di antara ketiga habitat dilakukan
dengan menerapan sidik ragam (analysis of variance atau ANOVA). Dalam
analisis ini ada dua faktor yang dipertimbangkan dapat mempengaruhi nilai
sebuah parameter lingkungan, yaitu faktor habitat (H) dan faktor waktu
pengambilan data (T). Pada model linier yang diterapkan dalam analisis statistika
dimasukan faktor interaksi antara H dan T, yaitu HT (Zar 1984 dan Petersen
1985). Oleh karena itu, model linear untuk sidik ragam ini adalah:
Yijk = µ + Hi + Tj + HTij + eijk………………………………..(3)
Dimana : i = 1, 2, 3 dan j = 1, 2, 3 .....8
Yijk = Respon pengamatan ke-i dan kelompok ke-j
µ = Nilai rataan umum
Hi = Pengaruh habitat ke-i;
Tj = Pengaruh waktu penagmbilan contoh ke-j;
HTij = Pengaruh interaksi
εijk = Galat percobaan dari perlakuan ke-i dan kelompok ke-j.
60

Pengambilan kesimpulan dilakukan pada taraf α = 0,05. Kalkulasi untuk analisis


statistika univariate ini dilakukan dengan bantuan perangkat lunak SPSS Release
15.0.
Karakteristik kondisi lingkungan di ketiga habitat juga dilakukan dengan
menerapkan analisis statistika multivariate, yaitu principle component analysis
(PCA), dan analisis gerombol (cluster analysis). Pada kedua analisis ini kondisi
lingkungan setiap habitat dinyatakan secara simultan dengan 8 (delapan) variabel
(yaitu parameter lingkungan). Konfigurasi posisi setiap contoh yang dihasilkan
sebagai output analisis statistika dieksplorasi untuk melihat perbedaan
(persamaan) kondisi lingkungan di antara ketiga habitat. Parameter lingkungan
yang diperkirakan menentukan konfigurasi tersebut diketahui dari analisis
diskriminan (Legendre dan Legendre 1983). Kalkulasi untuk tiga jenis analisis
statistika multivariate ini dilakukan dengan perangkat lunak Excel Stat 6.0.

5.3 HASIL PENELITIAN


5.3.1 Deskripsi Habitat

Pada ekosistem lamun ditemukan jenis lamun yang paling dominan yaitu
Enhalus acoroides dan juga ditemukan jenis Halodule pinifolia dan Cymodocea
rotundata dalam sebaran yang jumlahnya sedikit. Jenis substrat di daerah lamun
yaitu berpasir halus, berbeda pada substrat di sekitar mangrove dan muara sungai
yaitu berpasir campur lumpur. Vegetasi yang tumbuh di sekitar mangrove yaitu
didomonasi oleh tumbuhan mangrove jenis Rhizophora sp, Avicennia sp, dan
Sonneratia sp. Pada sekitar muara sungai didapatkan tumbuhan mangrove yang
jumlahnya sangat sedikit, namun pada sepanjang tepi sungai lebih dominan
tumbuh jenis mangrove yaitu Rhizophora sp. Untuk kondisi lingkungan lokasi
pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo di setiap habitat
selama penelitian disajikan pada Tabel 8. Berikut penjelasan singkat dari setiap
parameter tersebut dan perbandingannya di antara ketiga kawasan tempat
pemasangan sero yang masing-masing dicirikan oleh habitat muara sungai,
mangrove dan lamun.
61

Tabel 8 Nilai rata-rata, standar deviasi (SD) 11 parameter fisika-kimia dan


biologi di muara sungai, mangrove dan lamun tempat pemasangan
sero selama penelitian
No Parameter Muara sungai Mangrove Lamun
1 Suhu perairan (oC) 28,28b ±0,62 28,79a ±0,60 29,00a ±0,66
2 Kecepatan arus (m/dtk) 0,26a ±0,29 0,22b ±0,38 0,16c ±0,32
3 Salinitas (o/oo) 29,60b ±1,21 30,99a ±0,96 31,15a ±0,84
4 pH 6,92b ±0,13 6,95ab ±0,15 7,01a ±0,12
5 Kadar DO (ppm) 5,75b ±0,44 5,96ab ±0,43 6,14a ±0,50
6 Nitrat (µg/L) 0,21a ±0,09 0,19a ±0,09 0,13b ±0,07
7 Fosfat (µg/L) 0,12a ±0,02 0,11a ±0,03 0,09b ±0,03
8 Silikat (µg/L) 0,008 ±0,003 0,007 ±0,003 0,007 ±0,003
9 Klorofil a (µg/m3) 0,835b ±0,282 0,687ab ±0,192 0,976a ±0,162
10 Fitoplankton (sel/liter) 11773a±6341 6711b ±3,861 13011a±4473
11 Zooplankton (ind/liter) 1010a ±961 368b ±260 936a ±582
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (α =
0,05) berdasarkan uji beda rerata Tukey

5.3.2 Karakteristik Habitat

Persebaran spasiotemporal parameter lingkungan berdasarkan habitat dan


waktu pengamatan dianalisis dari rata-rata 3 kali pengukuran menggunakan
analisis PCA (24 observasi). Parameter lingkungan yang dianalisis sebanyak 8
(delapan) parameter yaitu : suhu, salinitas, kecepatan arus, pH, kadar oksigen
terlarut (DO), nitrat, fosfat, dan silikat. Hasil analisis PCA menunjukkan bahwa
besarnya ragam terjelaskan pada 3 (tiga) sumbu utama pertama sebesar 78,93%
dengan akar ciri masing-masing secara berurut masing-masing sumbu 1 (F1) =
3,211, sumbu 2 (F2) = 1,814, dan sumbu 3 (F3) = 1,289. Parameter lingkungan
yang berpengaruh besar pada sumbu utama diantaranya DO, pH, dan fosfat yang
berkorelasi positif dengan sumbu 1 (F1). Nitrat dan suhu berkontribusi besar
dalam pembentukan sumbu utama kedua (F2) (Lampiran 13).
Observasi di muara sungai (MS7 dan MS5), mangrove (MG7 dan MG8),
dan lamun (LM8) berkontribusi besar dalam pembentukan sumbu utama pertama
dan berkorelasi negatif dengan sumbu utama pertama. Observasi (MS6), (MG4
dan MG6), dan (LM3, LM4, dan LM5) berkontribusi besar dan berkorelasi positif
62

dalam pembentukan sumbu utama pertama. Observasi (MS4), (MG4), dan (LM4)
berkontribusi besar dan berkorelasi negatif dalam pembentukan sumbu utama
kedua, sedangkan observasi (MS6) (MG6) dan (LM6) berkontribusi besar dan
berkorelasi negatif dalam pembentukan sumbu utama kedua (Lampiran 13).
Berdasarkan plot dan observasi dan parameter lingkungan (Gambar 10 & 11)
menunjukkan bahwa sebagian besar observasi dari lamun dan mangrove
beragregat pada sumbu satu positif. Observasi-observasi tersebut dicirikan oleh
suhu, salinitas, pH, dan DO yang tinggi. Dalam arah yang berlawanan di sumbu 1
negatif tersebar sebagian besar observasi di muara sungai. Kelompok observasi ini
dicirikan oleh kadar nitrat dan fosfat serta kecepatan arus yang lebih tinggi.
Berdasarkan hasil sidik gerombol (cluster analysis) pada skala jarak
similiritas 50% terdapat 3 (tiga) kelompok besar observasi yaitu kelompok satu
(MS6, MG1, MG3, MG6, LM1, LM3, LM4, dan LM8) dan kelompok (MS2,
MS7, dan MG7), dan lainnya kelompok tiga (Gambar 8).

Gambar 8 Diagram gerombol (cluster) untuk 24 contoh pengamatan terhadap 8


parameter fisika kimia lingkungan lokasi pemasangan sero
di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian.
63

Gambar 9 Plot stasiun dan waktu pengamatan parameter fisika kimia lingkungan
selama lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten
Wajo selama penelitian.

Gambar 10 Konfigurasi dua komponen utama untuk 24 contoh pengamatan


terhadap 8 parameter fisika kimia lingkungan lokasi pemasangan
sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian.
64

Gambar 11 Kekuatan 8 parameter fisika kimia lingkungan dalam membentuk


konfigurasi dua komponen utama untuk 24 contoh pengamatan
di lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten
Wajo selama penelitian.

5.4 PEMBAHASAN
5.4.1 Deskripsi Habitat

Perubahan rata-rata suhu perairan selama penelitian menujukkan fluktuasi


dan pola yang sama diantara ketiga habitat. Terjadi perbedaan suhu yang
signifikan menurut habitat. Suhu di muara sungai (28,28 oC) lebih rendah
dibanding suhu di sekitar mangrove dan lamun (Tabel 8 & Lampiran 12).
Rendahnya suhu di muara sungai sangat besar kemungkinan dipengaruhi oleh
limpasan air tawar yang bersuhu relatif lebih rendah dibandingkan suhu air di
perairan pantai. Faktor limpasan air tawar memang merupakan pemicu
menurunnya suhu perairan di sekitar muara sungai, seperti hasil penelitian yang
didapatkan oleh Wahyudewantoro (2009) ternyata suhu di estuari Binuaengeun
Banten akibat limpasan air tawar. Berbeda yang didapatkan oleh Andriani (2004)
di perairan pantai Kabupaten Luwu Teluk Bone yang kisaran suhunya lebih tinggi
(30,0-32,0 oC) hal ini dikarenakan lokasinya semi tertutup dan terisolasi sehingga
tidak ada percampuran massa air tawar yang bersuhu lebih dingin. Hal yang sama
65

juga didapatkan oleh Zainuddin (2011) di perairan Palopo dan sebelah timur
Teluk Bone (Perairan Kolaka).
Nilai salinitas di daerah lamun tidak berbeda dengan di mangrove, tetapi
kedua daerah tersebut berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan di muara sungai
(Tabel 8 & Lampiran 12). Rendahnya salintas di muara sungai dikarenakan pada
muara sungai dipengaruhi oleh daratan, dimana dari daratan masuk aliran air
tawar melalui sungai menuju muara sungai yang menyebabkan penurunan
salinitas di daerah muara sungai tersebut, atau pada muara sungai terjadi proses
percampuran air tawar dari sungai. Salinitas yang tinggi di daerah mangrove dan
lamun karena terletak di wilayah yang jauh dari muara sungai. Semakin jauh dari
muara sungai ke arah laut, salinitas akan bertambah (Duxburry 2002). Sebaran
salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air,
penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji 2005).
Kecepatan arus berbeda pada setiap stasiun. Kecepatan arus tertinggi
dijumpai pada daerah muara sungai (0,26 m/detik) (Tabel 8 & Lampiran 12). Hal
ini kemungkinan besar disebabkan besarnya arus yang mengalir karena derasnya
aliran sungai yang masuk ke perairan muara sungai. Tidak jauh berbeda yang
didapatkan di perairan pantai Kabupaten Luwu yaitu 0,19 m/detik (Andriani
2004). Namun relatif kuat yang didapatkan di Teluk Kotania pada pasang dan
surut masing-masing 0,7 m/detik (Supriyadi 2009), di Selat Bangka yaitu lebih
dari 50 cm/detik (Nurhayati 2007), dan di perairan Berau memiliki nilai tertinggi
adalah sebesar 115,3 cm/detik dan kecepatan arus permukaan terendah diperoleh
nilai sebesar 5,4 cm/detik (Aryawati 2007).
Nilai pH cenderung lebih rendah didapatkan di muara sungai karena
adanya pengaruh masukan massa air tawar dari sistem sungai yang bermuara.
(Tabel 8 & Lampiran 12). Secara umum kisaran pH yang didapatkan yaitu 6,7-7,2
jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Andriani (2004) di
perairan pantai Kabupaten Luwu Teluk Bone yaitu 8,0-8,1. Kisaran yang
didapatkan selama penelitian masih menunjang kehidupan fitoplankton yaitu
berada pada kisaran 6,5-8,5 (Prescod 1973). Lebih lanjut Sachlan (1982) bahwa
fitoplankton dapat hidup subur pada pH 7-8 bilamana terdapat cukup mineral di
dalam perairan tersebut.
66

Nilai kandungan oksigen terlarut berbeda berdasarkan habitat. Kadar


oksigen terlarut di daerah lamun berbeda dengan di muara sungai, tetapi kedua
daerah tersebut tidak berbeda nyata dengan di daerah mangrove (Tabel 8). Kadar
oksigen terlarut yang didapatkan di ketiga habitat berada pada kisaran 5,0-6,1 ml/l
(Lampiran 12). Salmin (2005) mengemukakan bahwa perairan yang kadar oksigen
terlarutnya (DO) > 5 maka perairan tersebut tingkat pencemarannya rendah dan
bisa dikategorikan sebagai perairan yang baik. Kadar oksigen terlarut rata-rata
yang didapatkan dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan yang terdapat di
perairan Berau Kalimantan Timur berkisar antara 4,77–6,14 ml/l (Aryawati 2007),
di perairan pantai Kabupaten Pinrang Selat Makassar 3,8-8,7 ppm (Umar 2009),
dan di Selat Makassar Kabupaten Barru berkisar antara 3,9-7,9 (Hatta 2010).
Kandungan nitrat berbeda setiap habitat. Kandungan nitrat di muara sungai
(0,209 µg/L) lebih tinggi dibandingkan di daerah mangrove dan lamun. Rata-rata
kandungan nitrat (0,175 µg/L) (Tabel 8 & Lampiran 12) secara umum di perairan
pantai Pitumpanua Teluk Bone sedikit lebih rendah ambang batas kebutuhan
oftimal pertumbuhan fitoplankton. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Mackentum (1969) bahwa kadar nitrat yang dibutuhkan oleh fitoplankton laut
adalah 0,203-0,790 µg–at/l, bila kurang dari nilai tersebut maka menyebabkan
nitrat sebagai faktor pembatas di perairan tersebut.
Rata-rata kandungan fosfat di habitat muara sungai dan mangrove (0,118
µg/L dan 0,110 µg/L) lebih tinggi dibanding pada lamun (Tabel 8 & Lampiran
12). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena adanya masukan dari daratan.
Nontji (1984) menyatakan bahwa kandungan fosfat di suatu perairan antara lain
dapat disebabkan karena masukan dari darat atau karena terjadinya pengayaan
dari lapisan dalam, baik karena penaikan air maupun karena pengadukan. Lebih
lanjut dijelaskan pula bahwa proses penaikan air lebih banyak terjadi di perairan
dalam sedangkan proses pengadukan lebih banyak berperan di perairan dangkal.
Nilai rata-rata kandungan fosfat yang ditemukan di lokasi penelitian masih
kondisi yang normal (baik). Hal ini diperkuat oleh Mackentum (1969) bahwa
kandungan fosfat yang baik bagi pertumbuhan fitoplankton adalah berkisar 0,09-
1,80 µg/L dan ditambahkan oleh Sumardianto (1985) dalam Andriyani (2004)
bahwa kandungan ortofosfat yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton adalah
67

0,27-5,51 µg/L dan jika kurang dari 0,02 µg/L maka akan menjadi faktor
pembatas.
Rata-rata kandungan silikat (0,015 µg/L) di perairan pantai Pitumpanua
Teluk Bone tidak menunjukkan adanya perbedaan, baik berdasarkan waktu
pengamatan maupun habitat (Tabel 8 dan Lampiran 12). Menurut Cushing dan
Walsh (1976) dalam Aryawati (2007) salah satu sumber silikat adalah buangan
dari darat melalui run off. Lebih lanjut Millero dan Sohn (1991) menerangkan
bahwa pada dasarnya sumber silikat di laut sebagian besar merupakan hasil
pelapukan yang terbawa oleh aliran sungai. Hasil penelitian ini sama yang
didapatkan di perairan pantai Kabupaten Luwu Teluk Bonen yaitu sebesar 0,011-
0,031 µg/L (Andriani 2004).
Kandungan klorofil-a di perairan pantai Pitumpanua menunjukkan nilai
yang sangat fluktuatif dan heterogen. Kandungan klorofil-a di habitat muara
sungai dan lamun (0,835 dan 0,976 mg/m3) lebih tinggi dibandingkan di habitat
mangrove (0,687 mg/m3) (Tabel 8 & Lampiran 12). Tinggi rendahnya kandungan
klorofil-a di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone sangat berhubungan dengan
pasokan nutrien yang berasal dari darat melalui aliran sungai-sungai yang
bermuara ke perairan tersebut. Afdal & Riyono (2004) mempertegas bahwa tinggi
rendahnya kandungan klorophil-a di laut sangat dipengaruhi oleh faktor hidrolgi
perairan (suhu, salinitas, nitrat, dan fosfat). Pada kedalaman 0-50 m suhu,
salinitas, nitrat, dan fosfat tidak terlalu mempengaruhi kandungan klorofil-a,
sedangkan pada kedalaman 100 m mempengaruhi.
Bila dibandingkan dengan kandungan klorofil di perairan pantai
Pitumpanua Teluk Bone dengan perairan Barru Selat Makassar maka kandungan
klorofil-a di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone memiliki nilai yang lebih
tinggi. Menurut Hatta (2010) kandungan klorofil-a di perairan Barru Selat
Makassar berkisar 0,015-0,383 mg/m3 dan menurut Alianto et al. (2008)
kandungan klorofil-a di perairan Teluk Banten memiliki berkisar 0,069-0,303
mg/m3. Tetapi apabila dibandingkan dengan kandungan klorofil-a di perairan
Ujung Watu, Jepara; pantai Kartini, Jepara, dan Teluk Jakarta, nilai kandungan
klorofil-a di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone relatif lebih rendah.
Di perairan Ujung Watu, Jepara kandungan rata-rata klorofil-a adalah sebesar 4,68
68

mg/m3 (Sutomo et al. 1989). Kadar klorofil-a yang tinggi di perairan Indonesia
umumnya disebabkan karena penyuburan yang terjadi akibat turbulensi atau
pengadukan air di daerah dangkal, aliran dari sungai-sungai (run off) ataupun
karena ”upwelling”.
Kelimpahan fitoplankton dan zooplankton di perairan pantai Pitumpanua
berbeda secara signifikan berdasarkan waktu pengamatan dan habitat. Rata-rata
kelimpahan fitoplankton tertinggi selama penelitian di dapatkan di habitat lamun
sebesar 13011 sel/l (Tabel 8 & Lampiran 12). Kelimpahan ini lebih tinggi
dibandingkan dengan yang didapatkan oleh Andriyani (2004) di perairan Bua
Kabupaten Luwu Teluk Bone (4511 sel/liter) dan yang didapatkan oleh Hatta
(2010) di perairan Barru Selat Makassar yaitu berkisar 431-5438 sel/liter.
Tingginya kelimpahan yang didapatkan kemungkinan disebabkan karena lokasi
pengambilan sampel berada pada daerah pantai yang tersedia banyak unsur hara
yang dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk pertumbuhan dan
perkembangbiakannya. Berbeda yang didapatkan oleh Djokosetiyanto & Rahardjo
( 2006) di perairan pantai Dadap Teluk Jakarta yaitu 21955 sel/liter sangat jauh
lebih tinggi dibandingkan di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone. Sedangkan
rata-rata kelimpahan tertinggi zooplankton di dapatkan di habitat muara sungai
yaitu sebesar 1010 ind/liter (Tabel 8 & Lampiran 12). Bila dibandingkan
kelimpahan yang di dapatkan Thoha (2007) di Teluk Gilimanuk, Bali yang
mendapatkan kelimpahan zooplankton rata-rata 23938 ind/l, sangat jauh lebih
rendah bila dibandingkan yang ditemukan di perairan pantai Pitumpanua Teluk
Bone. Kelimpahan zooplankton yang didapatkan selama penelitian berada pada
kisaran yang didapatkan oleh Andriyani (2004) di Kabupaten Luwu Teluk Bone
yaitu 920-1227 ind/liter dengan rata-rata kelimpahan 1022 ind/liter.
69

5.4.2 Karakteristik Habitat

Hasil analisis PCA menunjukkan bahwa karakteristik di lokasi penelitian


dicirikan oleh parameter DO, pH, salinitas, dan silikat cenderung lebih tinggi di
daerah sekitar mangrove dan lamun, sedangkan parameter kadar nitrat, fosfat, dan
kecepatan arus cenderung lebih tinggi di daerah muara sungai (Gambar 10 & 11).
Secara umum, kadar nitrat di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone
memperlihatkan nilai yang tinggi di daerah muara sungai dibandingkan pada
daerah lamun dan sekitar mangrove. Hal ini bisa dimengerti karena lokasi ini
dapat disebabkan kondisi sekitar muara sungai, dimana sepanjang pinggiran
sungai terdapat mangrove yang dapat menyumbangkan hara dari serasahnya yang
membusuk mengalir ke muara sungai. Sesuai dengan pernyataan Wattayakorn
(1988) bahwa kandungan nitrat di suatu daerah estuaria selain berasal dari
perairan itu sendiri juga tergantung kepada keadaan sekelilingnya antara lain,
sumbangan dari daratan melalui sungai yang bermuara ke perairan tersebut, juga
tergantung kepada hutan mangrove yang serasahnya membusuk, karena adanya
bakteri, terurai menjadi zat hara. Begitu juga dengan kandungan fosfat di muara
sungai lebih tinggi dibanding dengan lamun dan mangrove, kemungkinan besar
oleh karena adanya masukan dari darat. Nontji (1984) mempertegas bahwa
tingginya fosfat di muara karena proses pengadukan lebih banyak terjadi di
perairan dangkal. Alasan tersebut sejalan dengan kecepatan arus yang ditemukan
di muara sungai juga tinggi. Tingginya kecepatan arus tersebut disebabkan karena
derasnya aliran sungai yang mengalir keluar masuk muara sungai sehingga terjadi
pengadukan di muara sungai.
Parameter suhu, DO, pH, dan salinitas lebih tinggi ditemukan di daerah
lamun dan sekitar mangrove (Gambar 10 & 11). Tingginya kadar oksigen terlarut
(DO) kemungkinan disebabkan karena tingginya efek produksi fotosintesis dari
lamun, begitupula halnya dengan nilai pH kemungkinan diakibatkan oleh
kurangnya proses penguraian bahan organik dibandingkan di muara sungai.
Salinitas yang tinggi di lamun dan mangrove diakibatkan tidak adanya
percampuran air tawar yang bersalinitas rendah seperti pada di habitat muara
sungai. Kandungan silikat secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata antara ketiga habitat tersebut (α = 0,05, Lampiran 8).
70

5.5 KESIMPULAN DAN SARAN


5.5.1 Kesimpulan

1. Parameter lingkungan menunjukkan secara statistik bahwa parameter suhu,


DO, pH, dan salinitas lebih tinggi di daerah lamun dan mangrove, sedangkan
parameter nitrat, fosfat, dan kecepatan arus lebih tinggi di muara sungai.
2. Variasi spasiotemporal parameter lingkungan di perairan pantai terjadi dalam
tiga habitat selama penelitian.
3. Habitat muara sungai dicirikan dengan kandungan nitrat, fosfat, dan kecepatan
arus yang lebih tinggi, sedangkan di daerah lamun dan sekitar mangrove
dicirikan dengan parameter suhu, DO, pH, dan salinitas.

5.5.2 Saran

Perlu dilakukan kajian oseanografi dalam siklus tahunan untuk melihat pola
kondisi oseanografi di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone, sehingga dengan
mengetahui pola kondisi oseanografi dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan
dalam pengelolaan sumberdaya perikanan sero.
71

6 KOMUNITAS IKAN DI HABITAT BERBEDA

6.1 PENDAHULUAN

Sero merupakan alat tangkap yang pengoperasiannya di daerah pantai.


Sebagaimana kita ketahui bahwa pantai terdiri didalamnya beberapa ekosistem
seperti ekosistem estuaria (muara sungai), mangrove, lamun, dan terumbu karang.
Kesemua ekosistem tersebut sangat produktif hingga berfungsi sebagai daerah
pertumbuhan (nursery ground) bagi larva, post-larva dan juvenil dari berbagai
jenis ikan, udang, dan kerang-kerangan, dan daerah penangkapan (Dahuri 2003).
Bila dicermati secara seksama dengan keberadaan pengoperasian sero ini,
tentunya sangat mempengaruhi keberadaan sumberdaya ikan bila tidak dikelola
dengan baik. Terlebih lagi ukuran mata jaring sero yang sangat kecil (0,5 cm)
yang digunakan di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone, tidak menutup
kemungkinan juvenil dan ikan-ikan yang belum matang gonad yang berada pada
habitat tersebut ikut tertangkap.
Hasil tangkapan merupakan parameter yang menjadi bahan pertimbangan
dalam memilih alat tangkap. Banyaknya hasil tangkapan sero sangat dipengaruhi
oleh berbagai faktor diantaranya kelimpahan ikan dalam perairan dan ukuran mata
jaring. Kelimpahan ikan itu sendiri sangat ditentukan oleh habitat atau kondisi
daerah penangkapan. Pemasangan sero di perairan pantai Pitumpanua di muara
sungai, mangrove, dan lamun banyak dijumpai jenis ikan yang tertangkap
menghuni ketiga habitat tersebut dan beruaya menurut umur dan waktu. Hal ini
tentu berdampak pada hasil tangkapan sesuai dinamika perubahan kelimpahan
ikan pada masing-masing habitat, sehingga kajian hasil tangkapan sero sangat
penting untuk dikaji.
Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui komposisi hasil tangkapan;
2) mengetahui kisaran ukuran panjang total ikan dan berat setiap jenis ikan;
3) membandingkan jumlah hasil tangkapan pada habitat berbeda; 4) menganalisis
hubungan panjang-berat ikan pada habitat berbeda; 5) mengidentifikasi parameter
lingkungan yang berpengaruh terhadap biomassa hasil tangkapan; dan
6) menentukan asosiasi antara hasil tangkapan dominan dengan habitat.
72

6.2 METODE PENELITIAN


6.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Pelaksanaan pengambilan sampel hasil tangkapan dilakukan selama 4


(empat) bulan, terhitung tanggal 15 Januari - 14 Mei 2011 selama 16 trip
penangkapan. Lokasi pengambilan sampel dilakukan di 3 (tiga) unit sero pada 3
(tiga) daerah penangkapan sero yang berbeda yaitu muara sungai, mangrove, dan
lamun di perairan pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone.

6.2.2 Alat dan bahan

Alat dan bahan yang digunakan selama pengambilan data untuk analisis
hasil tangkapan diantaranya perahu motor, sero, serok, global position system
(gps), measuring board / mistar, formalin 90%, plastik sample, cool box/kulkas,
timbangan analitik, kamera, buku identifikasi ikan, alat tulis/data sheet, dan alat
bantu lainnya.

6.2.3 Teknik Pengumpulan Data

Ikan yang tertangkap sero yang dioperasikan pada kondisi habitat berbeda
(muara sungai, mangrove, dan lamun) diambil sebanyak 25% dari total hasil
tangkapan setiap unit sero. Ikan dipisahkan berdasarkan jenisnya. kemudian ikan
diukur panjang total dengan measuring board atau mistar dan beratnya ditimbang
menggunakan timbangan. Panjang total diukur mulai dari ujung kepala terdepan
sampai ujung bagian ekornya.

6.2.4 Analisis Data

6.2.4.1 Analisis perbandingan hasil tangkapan berdasarkan waktu dan habitat


Untuk membandingkan hasil tangkapan semua jenis ikan dominan
tertangkap antara habitat dan waktu pengamatan maka digunakan analisis ragam
(ANOVA), dengan rancangan percobaan adalah rancangan acak kelompok
(RAK). Perlakuan adalah tiga habitat (muara sungai, mangrove, dan lamun).
Ulangan adalah 16 blok waktu penangkapan hasil tangkapan. Model matematis
rancangan tersebut sebagai berikut:
73

Yij = µ + Hi +Tj + εij.....................................................................(4)


Dimana : i = 1, 2, 3 dan j = 1, 2, 3 .....16
Yij = Respon pengamatan pada hasil tangkapan ke-i dan kelompok ke-j
µ = Nilai rataan umum
Hi = pengaruh hasil tangkapan ke-i (habitat i = 1,2, dan 3);
Tj = pengaruh kelompok (blok) waktu penangkapan ke-j;
εijk = Galat percobaan dari perlakuan ke-I dan kelompok ke-j.

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA).


Analisis data dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak SPSS
Release 15.0. Untuk membandingkan antar habitat yang berbeda jika hasil uji F
dalam ANOVA signifikan berbeda maka digunakan uji lanjut menggunakan uji
beda rerata Tukey (Tukey’s HSD Test) (Zar 1984 dan Petersen 1985).

6.2.4.2 Analisis hubungan panjang-berat


Hubungan panjang-berat dihitung dengan menggunakan analisis biometri
(Romimohtarto dan Juwana 2001). dengan mengacu pada persamaan eksponensial
yang dikemukakan oleh Teisser (1960) dan Carlander (1968) dalam Effendie
(1997) :
W = aLb……………………………………………....…(5)
Dimana :
W = berat ikan (gram)
a. b = konstanta
L = panjang total (cm).

Nilai a dan b yang dihitung dari transformasi data ke dalam persamaan


regresi linier. sehingga membentuk persamaan :
log W = log a + b log L …………………………………………… (6)
Jika nilai b < 3. maka pertumbuhan bersifat allometrik negatif. sedangkan
pola pertumbuhan bersifat allometrik positif dan isometrik apabila nilai b
masing-masing b > 3 dan b = 3 (Effendie 1997).
74

6.3 HASIL PENELITIAN


6.3.1 Komposisi Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Sero

Jenis hasil tangkapan dominan pada alat tangkap sero di perairan pantai
Pitumpanua Teluk Bone yaitu ikan pepetek (Leiognathus splendens), baronang
lingkis (Siganus canaliculatus), kerong-kerong (Therapon jarbua), kuwe (Caranx
sexfaciatus), biji nangka (Upeneaus sulphureus), baronang (Siganus guttatus),
udang putih (Peneaus margueinsis), lencam (Lethrinus lentjam), barakuda
(Sphyraena sphyraena), kapas-kapas (Gerres kapas), dan kepiting rajungan
(Portunnus pelagicus).
Komposisi jumlah hasil tangkapan sero selama penelitian di perairan
pantai Pitumpanua Teluk Bone paling banyak tertangkap ikan pepetek dan paling
sedikit yaitu kepiting rajungan (Tabel 9). Untuk komposisi berat hasil tangkapan
terbanyak yaitu ikan barakuda dan terkecil yaitu udang putih (Tabel 10).
Tabel 9 Komposisi jumlah hasil tangkapan (%) sero berdasarkan jenis ikan setiap
habitat selama penelitian
Muara Sungai Mangrove Lamun Rata-rata
No Jenis ikan
(%) (%) (%) (%)
1 Pepetek 25,72 17,96 12,12 18,60
2 Baronang lingkis 9,60 12,89 17,11 13,20
3 Kerong-kerong 12,57 14,58 6,97 11,37
4 Kuwe 7,05 9,98 16,90 11,31
5 Biji nangka 10,13 6,60 9,54 8,76
6 Baronang 7,16 7,50 10,48 8,38
7 Udang putih 6,36 7,34 5,92 6,54
8 Lencam 4,72 6,44 7,68 6,28
9 Barakuda 6,79 7,29 3,95 6,01
10 Kapas-kapas 7,10 5,12 6,09 6,10
11 Kepiting rajungan 2,81 4,28 3,24 3,44
75

Tabel 10 Komposisi berat hasil tangkapan (%) sero berdasarkan jenis ikan setiap
habitat selama penelitian
Muara Sungai Mangrove Lamun Rata-rata
No Jenis ikan
(%) (%) (%) (%)
1 Barakuda 24,49 23,12 13,63 20,41
2 Kerong kerong 18,06 18,97 9,70 15,58
3 Baronang 13,18 11,81 18,12 14,37
4 B. Lingkis 7,08 12,51 18,68 12,76
5 Kuwe 6,35 7,73 11,23 8,43
6 Lencam 5,61 6,75 8,90 7,09
7 Biji nangka 7,32 4,15 6,09 5,85
8 Rajungan 3,58 4,64 4,33 4,18
9 Pepetek 6,27 3,58 2,49 4,11
10 Kapas-kapas 4,31 2,88 3,69 3,63
11 Udang putih 3,50 3,87 3,21 3,52
Total Presentase 100 100 100 100

6.3.2 Kisaran Berat dan Panjang Total Setiap Hasil Tangkapan Sero

Kisaran berat dan panjang total setiap hasil tangkapan sero hampir merata
pada setiap habitat. Kisaran panjang total dan berat jenis ikan yang tertangkap di
perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone (Tabel 11).

Tabel 11 Kisaran berat dan panjang total setiap jenis hasil tangkapan sero di
perairan pantai Pitumpanua selama penelitian
Kisaran Berat Kisaran Panjang Lmat
Jenis Ikan
(gr) (cm) (cm)
Biji nangka 7-163 5,6-20,3 10,2A
Baronang lingkis 13-164 5,9-25,7 17,0B
Kerong-kerong 7-163 5,6-20,3 18,0C
Lencam 15-217 8,3-20,8 18,2D
Pepetek 5-102 6,0-23,2 9,0E
Kapas-kapas 10-312 4,2-18,6 10,5F
Kuwe 12-189 6,0-21,2 30,0G
Baronang 41-393 8,0-23,5 21,0H
Barakuda 30-380 11,8-55,0 17,3I
Kepiting rajungan 23-171 6,0-15,2 9,5J
Udang putih 6-95 5,0-16,8 15,2K
Keterangan :
A)
Martasuganda et al. (1991)
B) G)
Wassef & Hady (1997) Tharwat & Rahman (2006)
C) H)
Situ & Sadovy (2004) Sutomo & Juwana (1990)
D) I)
Krajangdara (2004) Allam et al. (2004)
E) J)
Pauly (1977) dalam Sjafei & Saadah (2001) Jazayery et al. (2011)
F) K)
Sjafei & Syaputra (2009) Machado et al. (2009)
76

6.3.3 Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Berdasarkan Habitat dan Waktu
Penangkapan
Hasil tangkapan sero selama penelitian menunjukkan adanya variabilitas
jumlah hasil tangkapan menurut jenis ikan (Gambar 12). Disamping itu terlihat
bahwa ada jenis ikan yang jumlahnya tidak signifikan berbeda antar ketiga
habitat. Hal ini menunjukkan bahwa jenis ikan tersebut bervariasi menurut ukuran
rata-rata antara habitat. Selain perbedaan antara habitat, jumlah, dan berat hasil
tangkapan beberapa jenis ikan yang dominan tertangkap dengan sero juga berbeda
menurut waktu penangkapan.
Analisis ragam (ANOVA) menyimpulkan bahwa semua jenis ikan yang
tertangkap berbeda menurut lokasi (habitat) tetapi tidak semua jenis ikan yang
tertangkap berbeda berdasarkan waktu penangkapan. Kepiting rajungan yang
tertangkap tidak berbeda menurut habitat dan waktu penangkapan, sedangkan
udang putih berbeda menurut lokasi dan berbeda menurut waktu penangkapan
(Lampiran 14). Total jumlah hasil tangkapan (kecuali kepiting dan udang)
berbeda menurut habitat dan tidak berbeda menurut waktu penanngkapan
(Lampiran 14).

Gambar 12 Jumlah hasil tangkapan berdasarkan habitat dan waktu penangkapan


selama penelitian.
77

Berat hasil tangkapan sero selama penelitian menunjukkan adanya


variabilitas menurut jenis ikan (Gambar 13). Analisis ragam menunjukkan bahwa
berat hasil tangkapan semua jenis ikan berbeda menurut waktu penangkapan dan
tidak semua jenis ikan berbeda menurut habitat (α = 0,05, Lampiran 15). Analisis
ragam (Anova) untuk total berat hasil tangkapan (kecuali kepiting dan udang)
berbeda menurut habitat dan waktu penanngkapan (α = 0,05, Lampiran 15).

Gambar 13 Berat hasil tangkapan berdasarkan habitat dan waktu penangkapan


selama penelitian
78

6.3.4 Hubungan Panjang-Berat Hasil Tangkapan

Analisis biometri menyimpulkan bahwa semua jenis hasil tangkapan pada


3 (tiga) habitat bersifat allometrik negatif. Artinya pertambahan panjang ikan
tidak secepat dengan pertambahan beratnya (Gambar 14 & 15 dan Lampiran 16).

Gambar 14 Kurva hubungan panjang-berat jenis ikan biji nangka (a),


baronang lingkis (b), kerong-kerong (c), kapas-kapas (d),
lencam (e), pepetek (f), kuwe (g), dan baronang (h).
79

Gambar 15 Kurva hubungan panjang-berat jenis ikan barakuda (i), hubungan


lebar karapas-berat rajungan (j), hubungan panjang karapaks-berat
udang putih (k).
80

6.3.5 Hubungan Berat Hasil Tangkapan dengan Parameter Lingkungan

Berdasarkan hasil perhitungan regresi linier berganda antara berat hasil


tangkapan setiap jenis ikan dengan parameter lingkungan (Lampiran 17-26) maka
didapatkan rangkuman yang menunjukkan hubungan antara berat ikan hasil
tangkapan dengan parameter lingkungan dan yang dominan pengaruhnya seperti
dirangkum dalam Tabel 12.
Tabel 12 Parameter yang digunakan dalam regresi dan parameter yang dominan
pengaruhnya serta besar koefisien determinasi (R2) yang didapatkan
dalam hasil regresi antara berat hasil tangkapan dengan parameter
lingkungan
Parameter
Jenis Ikan Parameter dlm Regresi berpengaruh R2
Dominan
Biji nangka Suhu, salinitas, pH, DO, Klorofil a 0,519
arus dan klorofil a
Baronang lingkis Suhu, salinitas, pH, DO, DO dan arus 0,639
arus, klorofil a, fito, dan
zoo
Kerong-kerong Suhu, salinitas, pH, DO, Zoo, salinitas, 0,667
arus, klorofil a, fito, dan pH, dan klorofil
zoo a
Kapas-kapas Suhu, salinitas, pH, DO, Suhu, DO, arus, 0,623
arus, klorofil a, fito, dan dan klorofil a
zoo
Lencam Suhu, salinitas, pH, DO, DO, arus, dan 0,602
arus, klorofil a, fito, dan klorofil a
zoo
Pepetek - - -
Kuwe Suhu, salinitas, DO, arus, Suhu, DO, arus, 0,445
dan fito dan fito
Baronang - - -
Barakuda - - -
Total hasil tangkapan Suhu, pH, DO, arus, Suhu dan DO 0,499
Klorofil a dan fito

6.3.6 Asosiasi antara Hasil Tangkapan Dominan dengan Habitat

Hasil analisis factorial correspondence analiss (FCA) menunjukkan


bahwa terdapat asosiasi antara jenis ikan dengan habitat dan waktu tertentu.
Berdasarkan perhitungan didapatkan bahwa 87,47% keragaman terjelaskan dalam
3 sumbu utama pertama dengan akar ciri secara berurut masing-masing 0,076,
0,034 dan 0,015 (Tabel 13 & Lampiran 27). Habitat lamun berkontribusi cukup
81

besar dalam pembentukan sumbu utama 1 sedangkan mangrove dan muara sungai
berkontribusi besar dalam membetuk sumbu utama 2 positif dan negatif. Plot
jenis ikan dan habitat per waktu pengamatan menunjukkan bahwa ikan biji
nangka, baronang, baronang lingkis, kerong-kerong, barakuda, dan kuwe lebih
berasosiasi dengan habitat lamun. Ikan lencam, kapas-kapas, dan pepetek lebih
berasosiasi dengan habitat dekat mangrove sedangkan udang dan rajungan
berasosiasi dengan muara sungai (Gambar 16, 17 & 18).

Tabel 13 Hasil analisis factorial correspondence analiss (FCA) menunjukkan


bahwa terdapat asosiasi antara jenis ikan dengan habitat selama
penelitian
F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 F10
Eigenvalue 0,076 0,034 0,015 0,009 0,005 0,002 0,001 0,000 0,000 0,000
Inertia (%) 52,922 23,989 10,554 6,626 3,432 1,417 0,678 0,334 0,028 0,019
Cumulative % 52,922 76,911 87,465 94,091 97,523 98,940 99,618 99,952 99,981 100,000

Gambar 16 Plot stasiun dan waktu pengamatan pada sumbu FCA 1 dan 2.
82

Gambar 17 Plot jenis ikan pada sumbu FCA 1 dan 2.

Gambar 18 Konfigurasi tiga komponen utama untuk asosiasi antara jenis hasil
tangkapan dan habitat di lokasi pemasangan sero di Kecamatan
Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian.
83

Asosiasi antara habitat dan jenis ikan yang dihitung berdasarkan biomassa
hasil tangkapan (Gambar 17 & 18) hal tersebut terjadi karena setiap jenis ikan
memiliki toleransi dan preverensi terhadap parameter lingkungan tertentu.
Kondisi optimal paramater lingkungan bagi ikan dan makanan setiap jenis ikan
yang berbeda antara jenis ikan dan perbedaan parameter lingkungan yang terjadi
pada setiap habitat dapat terjadi secara simultan dengan terjadinya perubahan
ukuran ikan. Demikian pula dengan perbedaan kebiasaan makanan dan pengaruh
parameter lingkungan terhadap jenis makanan masing-masing spesies dapat
menyebabkan perbedaan dan perubahan preverensi habitat bukan saja antar
spesies tetapi antar ukuran berbeda dalam spesies yang sama.

6.4 PEMBAHASAN
6.4.1 Komposisi Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan

Jenis ikan yang tertangkap dengan sero selama penelitian nampak bahwa
jenis ikan pepetek, baronang lingkis, kerong-kerong, kuwe, biji nangka, dan
baronang yang banyak tertangkap dan hampir merata di semua habitat (Tabel 9).
Hal ini disebabkan karena jenis ikan ini memang menghuni habitat muara sungai,
mangrove, dan lamun. Sebagian besar jenis hasil tangkapan tersebut tergolong
jenis ikan-ikan demersal kecil yang bernilai ekonomis penting (Boer et al. 2001).
Jenis ikan pelagis yang tertangkap hanya ikan barakuda. Kemungkinan jenis
ini mengejar mangsanya kemana-mana sehingga ikut tertangkap pada alat
tangkap, karena diketahui bahwa ikan barakuda tergolong ikan omnivor dan
karnivor. Ikan barakuda yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua dengan
alat tangkap sero memiliki volume yang tinggi. Berbeda yang ditemukan di
perairan Kabupaten Barru Selat Makassar dengan alat tangkap bagan rambo, jenis
ikan ini ditemukan relatif sedikit (Hatta 2010). Hal ini diduga karena pada alat
tangkap sero waktu tenggang pengangkatan alat tangkap sero (hauling) cukup
lama dibandingkan bagan rambo, sehingga diduga bahwa ikan barakuda dengan
leluasa mencari makan dalam bunuhan, dengan terperangkapnya pada bunuhan
menyulitkan untuk meloloskan diri melalui pintu bunuhan sero.
84

Jenis krustasea yang dominan tertangkap yaitu kepiting rajungan dan


udang putih. Tertangkapnya kedua jenis krustasea tersebut disebabkan karena
rajungan dan udang putih secara ekologis hidup bersama-sama dan berinteraksi
dalam satu ruang ekosistem dengan ikan pada daerah pantai. Diketahui bahwa
udang putih dan rajungan sebagian daur hidupnya berada di daerah pesisir pantai
seperti estuaria dan sebagian di laut (Saputra & Subiyanto 2007; Suharyanto &
Tjaronge 2009). Lebih lanjut dipertegas Pasquier & Pẻrez (2004) bahwa
keberadaan hidupnya pada masa juvenile di pantai atau estuaria dan dewasa
bermigrasi ke laut terbuka.
Banyaknya hasil tangkapan ikan demersal pada alat tangkap sero karena
pengoperasian sero berada pada perairan dangkal. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan oleh Widodo dan Suadi (2008) bahwa perairan dangkal dengan
kedalaman kurang dari 100 meter dengan dasar perairan yang berlumpur serta
relatif datar merupakan daerah penangkapan demersal yang baik. Dipertegas
Yusof (2002) bahwa pada kedalaman perairan yang kurang dari 80 m didominasi
oleh ikan demersal 95,40% dari total hasil tangkapan, lebih lanjut mengatakan
bahwa perairan 5-18 meter di perairan Peninsular Malaysia tertangkap 62-89
jenis ikan demersal.
Berat hasil tangkapan yang terbanyak selama penelitian yaitu ikan
barakuda, kerong-kerong, baronang, baronang lingkis, kuwe, dan lencam
(Tabel 10). Urutan komposisi berat tersebut lebih disebabkan karena faktor
ukuran jenis ikan tersebut, dimana jenis ikan yang mempunyai ukuran lebih besar
memiliki komposisi berat yang lebih berat dibanding dengan jenis ikan yang
ukurannya lebih kecil, walaupun jumlah hasil tangkapannya lebih sedikit
dibanding ikan-ikan yang berukuran lebih kecil seperti pepetek, biji nangka, dan
kapas-kapas.
Penelitian yang di lakukan Pujiyati (2008) justru jenis ikan pepetek
merupakan berat hasil tangkapan yang paling banyak ditemukan di Laut Jawa
dengan alat tangkap bottom mini trawl yaitu 90,70 kg pada kedalaman 40 m.
Kemungkinan disebabkan kedalaman daerah penangkapan yang berbeda, karena
di perairan pantai Pitumpanua kedalaman daerah penangkapan sero hanya sekitar
8-15 m, sehingga beragam jenis ikan demersal yang tertangkap. Hal ini diperkuat
85

pernyataan Pujiyati (2008) berdasarkan hasil penelitiannya bahwa densitas ikan


demersal menyukai daerah dangkal, semakin dalam perairan densitas ikan
demersal semakin rendah. Begitu pula hasil penelitian Soadiq (2010) menemukan
pepetek sebagai hasil tangkapan terbanyak di perairan Selayar dengan alat
tangkap fyke net.
Komposisi berat ikan baronang yang tertangkap di perairan pantai
Pitumpanua yaitu rata-rata 14,37%. Tingginya persentase ini kemungkinan
disebabkan karena ikan baronang di daerah ini secara ekologis lebih mendukung
kelangsungan hidupnya. Hal ini dipertegas oleh Kurnia (2003) dalam penelitian di
tempat sama dengan alat tangkap bubu yaitu ternyata ikan baronang memiliki
berat hasil tangkapan yang lebih besar dibanding dengan ikan lainnya.
Hasil tangkapan seperti ikan pepetek, biji nangka, kapas-kapas, kepiting
rajungan, dan udang putih memiliki persentase berat hasil tangkapan yang kecil.
Kecilnya persentase komposisi berat hasil tangkapan bukan berarti bahwa jenis
hasil tangkapan ini dari segi jumlah hasil tangkapan lebih sedikit dengan lainnya,
bahkan jenis hasil tangkapan ini frekuensi kemunculan tertangkap lebih besar. Hal
sama yang diungkapkan oleh Imron (2008) bahwa jenis ikan-ikan demersal yang
kontinyu tertangkap di perairan Tegal Jawa Tengah dengan alat tangkap
dogol/cantrang dan jaring arad yaitu ditemukan 8 (delapan) jenis ikan demersal
seperti pepetek, biji nangka, dan udang yang juga ditemukan di perairan pantai
Pitumpanua.

6.4.2 Kisaran Panjang Total dan Berat Setiap Jenis Ikan


Kisaran panjang total ikan biji nangka yang tertangkap di perairan pantai
Pitumpanua yaitu 5,6-20 cm (Tabel 11). Kisaran tersebut lebih besar yang
didapatkan perairan Demak yaitu antara 8-30 cm dengan modus panjang yaitu
16,2 cm (Saputra et al. 2009). Begitupula kisaran yang ditemukan di perairan
Terengganu Peninsular, Malaysia juga lebih besar yaitu 22,8-24,3 cm (Rahardjo
1997). Kisaran yang ditemukan hampir sama di lokasi penelitian yaitu di perairan
Andhara-Oissa yaitu 9,1-17,7 cm (Reuben et al. 1992). Ukuran yang ditemukan
di Brondong Jawa Timur dengan alat tangkap danish seine yaitu 13,3 cm. Tidak
berbeda jauh juga yang ditemukan oleh Ernawati dan Sumiono (2006) di perairan
86

Selat Makassar yaitu 5,0-17,0 cm. Begitupula halnya yang ditemukan di Teluk
Palu dengan menggunakan pukat pantai yaitu 9,1 cm. Hal ini memberikan
indikasi bahwa ukuran-ukuran tersebut sangat dipengaruhi oleh lokasi daerah
penangkapan, dimana daerah penangkapan yang berdekatan memiliki kisaran
yang hampir sama. Kisaran-kisaran tersebut sudah sesuai yang dikemukakan oleh
Genisa (1999) bahwa kisaran ikan biji nangka umumnya tertangkap yaitu 15 cm.
Ikan baronang lingkis yang tertangkap di daerah perairan pantai
Pitumpanua Teluk Bone yaitu 5,9-25,7 cm. Kisaran tersebut lebih banyak
tertangkap pada ukuran kecil sampai sedang. Penelitian ini sejalan yang
ditemukan oleh Jalil et al. (2003) bahwa ikan baronang lingkis tertangkap di
perairan Kecamatan Bua Kabupaten Luwu Teluk Bone memiliki kisaran 6,2-22,0
cm dan kisaran tersebut lebih banyak tertangkap pada kisaran kecil sampai
sedang. Kemiripan kisaran tersebut dikarenakan karena daerah penangkapannya
satu wilayah yaitu Teluk Bone.
Ikan kerong-kerong yang tertangkap yaitu pada kisaran 5,6-20,3 cm.
Kisaran ini hampir sama dikemukakan oleh Subani (1990) bahwa umumnya
tertangkap di perairan Indonesia pada kisaran 5,0-25,0 cm. Kisaran hampir sama
juga didapatkan di pantai selatan laut India yaitu 8,0-19,0 cm, dan yang
ditemukan di Teluk Rayong, Thailand yaitu 9,6-28, cm (www.fishbase.org).
Senada yang dikemukakan oleh Marwoto et al. (2006) bahwa jenis ikan kerong-
kerong yang tertangkap dengan jaring arad di perairan pantai Cilacap yaitu pada
kisaran panjang 6,6-20,6 cm. Bisa dikatakan bahwa jenis ikan ini ukurannya
hampir sama diberbagai daerah.
Kisaran panjang total ikan Kapas-kapas yang tertangkap di perairan
Pitumpanua Teluk Bone yaitu 4,2-18,6 cm. Kisaran ini sangat jauh berbeda yang
didapatkan pada penelitian tahun 2005 di lokasi yang sama yaitu tertangkap pada
kisaran 3,0-23,5 cm (Tenriware 2005). Bisa disimpulkan bahwa selama 5 (lima)
tahun terakhir ini, jenis ikan kapas-kapas yang berukuran di atas 20 cm sudah
habis tertangkap di lokasi tersebut. Kisaran ukuran panjang ikan yang ditemukan
jauh lebih kecil yang didapatkan di perairan pantai Mayangan, Jawa Barat yaitu
9,5-14,0 cm untuk jantan dan 10,2-16,5 cm untuk betina (Sjafei dan Syaputra
2009). Sejalan yang dikemukakan oleh Genisa (1999) bahwa ukuran ikan kapas-
87

kapas umumnya tertangkap pada ukuran panjang total 15 cm dan jenis ikan ini
bisa mencapai pada ukuran 25 cm.
Ikan lencam atau bisa dikenal katamba tertangkap pada kisaran 8,3-20,0
cm. Ukuran ini sangat kecil bila dibandingkan yang dikemukakan oleh Genisa
(1999) bahwa pada umumnya jenis ikan ini tertangkapa pada kisaran 25-35 cm.
Tahun 2005 di perairan pantai Pitumpanua masih ditemukan ukuran panjang
maksimun yaitu 25,9 cm (Tenriware 2005). Hal memberikan gambaran bahwa
jenis ikan lencam di lokasi tersebut semakin hari ukuran semakin kecil yang
tertangkap.
Ikan pepetek atau peperek cina tertangkap pada kisaran 6,0-23,2 cm. Diduga
bahwa jenis ikan ini merajai perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone. Dugaan ini
berdasarkan hasil tangkapan yang didapatkan yaitu paling banyak tertangkap dan
penelitian sebelumnya pada tahun 2005 ukuran jenis ikan ini hanya tertangkap
pada kisaran 3,4-17,4 cm, namun pada saat ini kisarannya lebih besar dari
sebelumnya. Kemungkinan pertumbuhan dan perkembangbiakan jenis ikan ini
lebih cepat. Pernyataan ini didukung oleh Pauly (1977) bahwa jenis ikan tersebut
berkembang biak dengan pesat karena jenis ikan ini terhindar dari pemangsa
karena keseluruhan tubuh pepetek menghasilkan cahaya, dimana cahaya ini
dilepaskan pada siang hari ke arah bawah berupa cahaya difusi yang cenderung
memecah bayangan dirinya menjadi tidak utuh, akibatnya pemangsa potensial
tidak dapat melihat nyata mangsanya dalam hal ini pepetek.
Ikan kuwe yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua kisaran ukuran
panjangnya masih sangat kecil yaitu 6,0-21,2 cm. Kisaran tersebut jauh lebih kecil
yang dikemukakan oleh Genisa (1999) bahwa jenis ikan ini umumnya tertangkap
pada ukuran panjang total 50 cm dan bisa mencapai pada ukuran 75 cm. Seperti
yang ditemukan di perairan Teluk Arab dengan alat tangkap trap ukuran kecil ikan
kuwe (Caranx sexfaciatus) didapatkan pada panjang 34 cm, sedangkan pada alat
tangkap trap ukuran besar didapatkan panjang 50 cm (Tharwat dan Rahman
2006).
Ikan baronang tertangkap pada kisaran 8,0-23,5 cm. Kisaran ini jauh lebih
kecil yang didapatkan di perairan Pulau Pari, wilayah Pulau-pulau Seribu yaitu
14,0-21,0 cm (Sutomo dan Juwana 1990). Tidak berbeda jauh yang dikemukakan
88

oleh Genisa (1999) bahwa jenis ikan ini umumnya tertangkapa pada ukuran 20 cm
dan bisa mencapai panjang 35 cm. Ikan barakuda tertangkap pada kisaran 11,8-
55,0 cm. Kisaran ini hampir sama yang dikemukan oleh Genisa (1999) bahwa
umumnya tertangkap pada panjang 40-60 cm dan bisa mencapai 100 cm. Kisaran
tersebut sangat jauh berbeda yang ditemukan oleh Allam et al. (2004) di perairan
Mediterania yaitu Sphyraena chrysotaenia (13-27 cm), S. flavicauda (17-41 cm),
dan S. sphyraena (16-44 cm). Kemungkinan disebabkan karena kondisi iklim
yang berbeda dan daerah penangkapan.
Kepiting rajungan tertangkap pada kisaran lebar karapaks yaitu 6,0-15,2
cm. Kisaran ini hampir sama yang didapatkan di Pantai Khuzestan, Teluk Persia
yaitu dari kisaran 8,0-17,9 cm (Jazayeri et al. 2011). Kisaran ukuran yang
didapatkan masih jauh lebih besar bila dibandingkan di Tanzania dengan ukuran
terkecil 1,5 cm dan ukuran terbesarnya yaitu 11,5 cm (Chande dan Mgaya 2003).
Adanya perbedaan kisaran ukuran yang sangat mencolok, kemungkinan
disebabkan karena disetiap wilayah mempunyai rajungan yang berbeda baik itu
secara morfologi, genetik, dan ukurannya (Lai et al. 2010).
Kisaran panjang karapaks udang putih yang tertangkap di perairan pantai
Pitumpanua Teluk Bone yaitu 5,0-16,8 cm. Kisaran panjang ini tidak berbeda jauh
yang telah didapatkan di sekitar Perairan Semarang dengan menggunakan alat
tangkap jaring arad (baby trawl) yaitu (Pramonowibowo et al. 2007).

6.4.3 Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Berdasarkan Habitat dan Waktu
Penangkapan
Jumlah dan berat hasil tangkapan ikan biji nangka yang tertangkap di
perairan pantai Pitumpanua berbeda menurut habitat/lokasi penangkapan tetapi
waktu penangkapan tidak menunjukkan adanya perbedaan. Jumlah yang
tertangkap pada daerah mangrove lebih sedikit di lamun sedangkan di muara
sungai tidak menunjukkan adanya perbedaan hasil tangkapan pada dua lokasi
lainnya. Sementara berat hasil tangkapan di muara sungai dan muara sungai lebih
sedikit dibanding pada lamun. Hal ini menunjukkan bahwa ikan biji nangka pada
daerah lamun variabilitas ukurannya lebih kecil dan jumlahnya lebih sedikit.
Tidak berbeda waktu penangkapan memberikan gambaran bahwa jenis ikan ini
tertangkap sepanjang tahun. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Imron (2008)
89

bahwa salah satu ikan yang kontinyu tertangkap di perairan Tegal Jawa Tengah
yaitu ikan kuniran (biji nangka). Seperti halnya yang ditemukan di perairan Selat
Makassar salah satu jenis ikan kuniran yang lebih dominan tertangkap yaitu
Upeneaus sulphureus dibandingkan ikan kuniran jenis lainnya seperti U. vittatus,
U. tragula, U. bensasi, U. sundaicus, dan U. moluccensis (Ernawati dan Sumiono
2006)
Ikan baronang lingkis yang tertangkap berbeda menurut habitat/lokasi dan
waktu penangkapan berdasarkan jumlah maupun berat hasil tangkapan. Jumlah
hasil tangkapan pada muara sungai dan mangrove lebih sedikit dibandingkan pada
daerah lamun, sementara berat hasil tangkapan berbeda dari ketiga habitat tersebut
(muara sungai < mangrove < lamun). Artinya berat hasil tangkapan terbanyak
pada daerah lamun dibandingkan kedua habitat tersebut, begitujuga dengan
jumlah hasil tangkapannya. Kuat dugaan bahwa dengan beratnya hasil tangkapan
di habitat kemungkinan disebabkan jenis ikan termasuk kedalam kelompok ikan
herbivora yang makanannya adalah alga, sehingga kondisi ekologisnya sangat
mendukung dibandingkan dengan kedua habitat lainnya. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Tuwo (2011) bahwa salah satu jenis ikan di daerah lamun yaitu
Siganus spp memanfaatkan lamun sebagai tempat berlindung, memijah dan
mengasuh anaknya, dan sebagai tempat mencari makan.
Ikan kerong-kerong yang tertangkap berbeda menurut habitat/lokasi dan
waktu penangkapan berdasarkan jumlah dan berat hasil tangkapan. Jumlah hasil
tangkapan pada muara sungai dan mangrove lebih banyak dibanding di lamun,
namun berat hasil tangkapan lebih banyak di daerah muara sungai dibandingkan
kedua habitat lainnya. Diduga jenis ikan kerong-kerong bisa beradaptasi di daerah
estuari dan toleran pada salinitas rendah. Hal ini diperkuat penelitian Muchlisin
dan Azizah (2010) bahwa salah satu jenis ikan yang tertangkap di sungai-sungai
di perairan Aceh yaitu ikan kerong-kerong.
Jumlah dan berat hasil tangkapan ikan kapas-kapas yang tertangkap
selama penelitian berbeda menurut habitat/lokasi dan waktu penangkapan. Jumlah
hasil tangkapan pada muara sungai dan lamun lebih besar dibanding pada
mangrove, sementara berat hasil tangkapan pada mangrove dan muara sungai
lebih sedikit dibanding di habitat lamun. Walaupun hasil tangkapan lebih banyak
90

di lamun dibandingkan mangrove, tetapi tidak menjamin berat hasil tangkapan


yang lebih banyak, ini menandakan bahwa ukuran ikan kapas-kapas pada habitat
lamun lebih kecil dibanding pada kedua habitat lainnya. Banyaknya hasil
tangkapan di daerah estuaria diduga jenis ikan kapas-kapas lebih menyukai
perairan yang air lebih sedikit tawar. Hal dibuktikan oleh Muchlisin dan Azizah
(2010) bahwa ikan dari famili Gerreidae tertangkap di muara-muara sungai di
perairan Aceh. Seperti halnya juga tertangkap di perairan sekitar hutan lindung
Angke Kapuk (Novanistati 2001 dalam Sjafei dan Syaputra 2009).
Jumlah dan berat hasil tangkapan ikan lencam yang tertangkap berbeda
menurut habitat/lokasi dan waktu penangkapan. Jumlah hasil tangkapan di muara
sungai lebih sedikit dibanding di lamun, sedangkan di mangrove tidak ada
perbedaan jumlah hasil tangkapan dari kedua habitat tersebut. Berat hasil
tangkapan di muara sungai dan mangrove lebih banyak dibanding di lamun.
Kondisi seperti ini menujukkan bahwa keberadaan ikan lencam di lamun
kebanyakan ikan-ikan yang masih mudah atau juvenil (berukuran kecil).
Jumlah hasil tangkapan ikan pepetek berbeda menurut habitat/lokasi tapi
tidak berbeda menurut waktu penangkapan. Sementara berat hasil tangkapan
berbanding terbalik yaitu berbeda menurut waktu dan tidak berbeda menurut
lokasi. Artinya ikan pepetek yang tertangkap dengan jumlah berbeda dari setiap
habitat tidak menunjukkan adanya perbedaan berat di setiap habitat walaupun
waktu penangkapan yang berbeda, sehingga bisa disimpulkan bahwa jenis ikan ini
mempunyai variabilitas ukuran berat tidak berbeda setiap lokasi, tetapi variasi
jumlah setiap lokasi yang berbeda, walaupun jumlah hasil tangkapan ikan pepetek
lebih banyak didapatkan di muara sungai dibanding kedua habitat tersebut.
Jumlah hasil tangkapan ikan kuwe berbeda menurut habitat/lokasi tetapi
tidak berbeda menurut waktu penangkapan. Berat hasil tangkapan berbeda
menurut waktu tetapi tidak berbeda habitat/lokasi. Jumlah hasil tangkapan pada
muara sungai lebih sedikit dibanding di mangrove, sedangkan di lamun tidak
menunjukkan adanya perbedaan di kedua habitat tersebut. Walaupun dari segi
perbedaan jumlah hasil tangkapan terjadi pada habitat tertentu tetapi berat hasil
tangkapan tidak mempengaruhi di setiap habitat. Indikasi ini menunjukkan bahwa
pada daerah mangrove jenis ikan ini banyak ditemukan dibanding di kedua
91

habitat, namun ukuran berat seiap jenis ikan lebih kecil dibanding habitat lainnya.
Hal inilah menunjukkan adanya variasi ukuran berat setiap habitat.
Jumlah dan berat hasil tangkapan ikan baronang yang tertangkap berbeda
menurut habitat/lokasi dan waktu penangkapan. Jumlah dan berat hasil tangkapan
pada muara sungai lebih sedikit dibanding di lamun, sedangkan di mangrove tidak
menunjukkan adanya perbedaan di kedua habitat tersebut. Jumlah dan berat hasil
tangkapan ikan barakuda yang tertangkap berbeda menurut habitat/lokasi dan
waktu penangkapan. Jumlah tangkapan ikan barakuda lebih sedikit dibanding di
mangrove, sedangkan di muara tidak menunjukkan adanya perbedaan kedua
habitat tersebut. Berat hasil tangkapan menunjukkan bahwa pada muara sungai
lebih sedikit dibanding di lamun, sedangkan di mangrove tidak berbeda keduanya.
Artinya ikan barakuda di habitat lamun mempunyai ukuran berat yang lebih kecil
dibanding di habitat lainnya dan jumlahnya lebih sedikit.
Kepiting rajungan yang tertangkap tidak menunjukkan perbedaan jumlah
hasil tangkapan berdasarkan habitat/lokasi dan waktu penangkapan. Sementara
berat hasil tangkapan berbeda menurut waktu dan lokasi penangkapan. Artinya
berat kepiting yang tertangkap berbeda menurut habitat walaupun jumlah kepiting
sama pada setiap habitat. Kemungkinan hal ini disebabkan karena pada habitat
tertentu mempunyai ketersediaan makanan yang cukup sehingga bobot atau berat
kepiting lebih besar dibanding pada habitat lainnnya. Terlihat bahwa pada muara
sungai berat kepiting rajungan lebih berat dibanding kedua habitat lainnya.
Udang putih yang tertangkap tidak menunjukkan adanya perbedaan jumlah
hasil tangkapan berdasarkan habitat/lokasi tetapi berbeda menurut waktu
penangkapan. Berat hasil tangkapan berbeda menurut habitat dan waktu
penangkapan. Artinya walaupun penangkapan udang dilakukan waktu yang
berbeda tetapi tidak menunjukkan adanya perbedaan jumlah tangkapan, tetapi
berdasarkan berat berbeda pada setiap habitat. Hal ini menunjukkan adanya
variasi berat udang putih pada ketiga habitat. Dimana berat udang putih yang
tertangkap di muara sungai lebih banyak dibanding kedua habitat lainnya.
Kemungkinan hal ini disebabkan karena udang yang tertangkap di mangrove
adalah udang-udang yang sudah berukuran besar karena sebagaimana kita ketahui
bahwa udang memijah di sekitar hutan bakau atau mangrove.
92

Berdasarkan total jumlah hasil tangkapan ikan (selain kepiting dan udang)
yang tertangkap berbeda menurut waktu penangkapan tetapi tidak berbeda
menurut habitat/lokasi. Sementara berat total hasil tangkapan ikan berbeda
menurut habitat/lokasi dan waktu penangkapan. Artinya waktu penangkapan tidak
mempengaruhi total jumlah hasil tangkapan, sedangkan waktu yang berbeda
mempengaruhi total berat hasil tangkapan setiap habitat. Dimana berat total hasil
tangkapan di mangrove lebih banyak dibanding di lamun, sedangkan di muara
sungai tidak berbeda dari kedua habitat tersebut.
Jumlah dan berat total hasil tangkapan berdasarkan waktu penangkapan
terlihat bahwa jumlah hasil tangkapan cenderung berfluktuasi selama penelitian
(Gambar 12 & 13). Dimana jumlah hasil tangkapan pada akhir bulan Januari
mulai menurun sampai pada awal Februari, dan kembali terjadi peningkatan
jumlah dan berat total hasil tangkapan mulai akhir Februari sampai awal April,
dan kembali menurun pada pertengahan April.
Berfluktuasinya hasil tangkapan sero selama penelitian memberikan
ilustrasi bahwa musim penangkapan ikan dengan alat tangkap sero di perairan
pantai Pitumpanua mulai bulan Januari – April, dengan puncak penangkapan pada
bulan Maret sampai pertengahan April. Hal ini didukung penelitian Budiman et
al. (2006) bahwa penangkapan ikan demersal di pesisir Kendal dengan alat
tangkap cantrang terjadi musim penangkapan pada bulan Januari, Maret, April,
dan puncak musim terjadi pada bulan Maret – April. Terjadinya fluktuasi hasil
tangkapan kemungkinan lebih cenderung dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
perairan. Hal ini terkait dengan pola kehidupan ikan yang tidak bisa dipisahkan
dengan adanya berbagai faktor lingkungan (Luasunaung et al. 2008) lebih lanjut
bahwa faktor fisik yang paling berpengaruh keberadaan sumberdaya ikan adalah
suhu dan salinitas. Laevastu dan Hayes (1982) dalam Luasunaung et al. (2008)
adanya perubahan baik suhu maupun salinitas akan mempengaruhi keadaan
organisme di suatu perairan. Marwoto et al. (2006) mengatakan bahwa distribusi
ikan di laut sangat ditentukan oleh faktor internal dan eksternal dari lingkungan
diantaranya parameter oseanografis seperti suhu, salinitas, densitas dan
kedalaman, lapisan termoklin, arus dan sirkulasi massa air, oksigen serta
kelimpahan makanan.
93

Hasil tangkapan di daerah lamun lebih banyak dibanding di muara sungai


dan mangrove. Hal ini kemungkinan karena pada daerah lamun memiliki
produktivitas sekunder dan dukungan yang besar terhadap kelimpahan dan
keragaman ikan (Gilanders 2006) sehingga padang lamun merupakan tempat
berbagai jenis ikan berlindung, mencari makan, bertelur, dan membesarkan
anaknya. Sejalan yang dikemukan oleh Bell dan Pollard (1989) dalam Rappe
(2010) mengindentifikasi karakteristik utama kumpulan ikan yang berasosiasi
dengan lamun dikatakan bahwa : (1) keanekaragaman dan kelimpahan ikan di
padang lamun biasanya lebih tinggi daripada substrat kosong, (2) sebagian besar
asosiasi ikan dengan padang lamun didapatkan dari plankton sehingga padang
lamun adalah daerah asuhan untuk banyak spesies, (3) zooplankton dan epifauna
krustasean adalah makanan utama ikan yang berasosiasi dengan lamun, dengan
tumbuhan, pengurai, dan komponen infauna dari jaring-jaring makanan di lamun
yang dimanfaatkan oleh ikan, (5) hubungan yang kuat terjadi antara padang lamun
dan habitat yang berbatasan, kelimpahan relatif dan komposisi spesies ikan di
padang lamun menjadi tergantung pada pada tipe (terumbu karang, estuaria,
mangrove) dan jarak dari habitat yang terdekat.

6.4.4 Hubungan Panjang-Berat Hasil Tangkapan

Analisis biometri menyimpulkan bahwa semua jenis hasil tangkapan pada


3 (tiga) habitat bersifat allometrik negatif. Artinya pertambahan panjang ikan
tidak secepat dengan pertambahan beratnya (Gambar 14 & 15, Lampiran 16).
Jenis hasil tangkapan yang menghampiri nilai b = 3 yaitu ikan biji nangka
dan jenis ikan yang memiliki nilai b paling kecil yaitu ikan baronang lingkis.
Hasil analisis biometri menunjukkan bahwa jenis ikan biji nangka, baronang
lingkis, lencam, kuwe, dan baronang memiliki nilai b pada habitat lamun lebih
tinggi bila dibandingkan dengan kedua habitat lainnya. Kemungkinan disebabkan
karena pada daerah lamun cukup tersedia sumber makanan, sehingga tidak salah
bila dikatakan bahwa daerah lamun sebagai tempat mencari makanan bagi ikan
atau biota lainnya yang berasosiasi dengannya. Jenis ikan tersebut merupakan
ikan-ikan karang. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Soadiq (2010) bahwa ikan-
ikan karang yang tertangkap dengan fyke net di sekitar karang seperti famili
94

Serranidae, Lethrinidae, Lutjanidae, Mullidae, Nemipteridae, Plotoseidae, dan


Haemulidae diduga tertangkap karena sifat ini bermigrasi keluar karang secara
horizontal untuk mencari makanan .
Hubungan panjang-berat ikan kuniran yang ditemukan di perairan pantai
Pitumpanua Teluk Bone di habitat lamun tidak berbeda jauh yang ditemukan
di perairan Demak yaitu allometrik negatif dengan nilai b = 2,918 (Saputra et al.
2009). Nilai b tersebut menghampiri nilai b = 3, artinya pertumbuhan panjang
ikan kuniran di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone hampir seimbang dengan
pertumbuhan berat tubuhnya. Berbeda yang ditemukan oleh Sjafei & Susilawati
(2001) pertumbuhan ikan biji nangka yang didapatkan bersifat isometrik. Ikan-
ikan lainnya yang didapatkan di perairan pantai Pitumpanua mempunyai nilai b
jauh lebih kecil dari nilai 3. Hal ini bisa dijelaskan bahwa pertumbuhan ikan kurus
atau pertumbuhan panjang lebih cepat dibanding beratnya.
Ikan kapas-kapas, pepetek, kerong-kerong, barakuda, dan udang putih
mempunyai nilai b yang hampir seragam (sama) pada ketiga habitat. Artinya
pertumbuhan jenis ikan tersebut tidak di pengaruhi oleh adanya faktor habitat.
Berbeda dengan kepiting rajungan didapatkan pada habitat mangrove nilai b lebih
besar dibanding dengan habitat lainnya. Kemungkinan hal ini terjadi karena
kepiting rajungan di daerah mangrove masih pada tahap juvenil yang tertangkap
sehingga pertumbuhan lebih cepat dibandingkan kepiting dewasa. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa walaupun dari segi jumlah lebih banyak ditemukan di
daerah mangrove tetapi berat total lebih kecil dibanding pada habitat lamun,
sehingga bisa disimpulkan bahwa kepiting yang tertangkap di habitat mangrove
adalah ukurannya hampir sama dengan ukuran yang kecil. Pernyataan ini
dibenarkan oleh Adam (2006) bahwa semakin jauh dari pantai, ukuran tubuh dan
bobot rajungan semakin meningkat. Lebih lanjut mempertegas bahwa kepiting
rajungan pada fase juvenil sampai dewasa berada pada daerah estuaria dalam hal
ini pantai.
95

6.4.5 Hubungan Berat Hasil Tangkapan dengan Parameter Lingkungan

Sesuai dengan hasil analisis yang disajikan dalam Tabel (12) terlihat bahwa
suhu dan DO sangat dominan mempengaruhi total berat hasil tangkapan.
Hasil tangkapan berat total ikan cenderung meningkat dengan menurunnya suhu
dan meningkatnya kadar DO. Hubungan yang menunjukkan meningkatnya berat
total hasil tangkapan dengan menurunnya suhu mengindikasikan bahwa
keseluruhan jenis ikan yang tertangkap dengan sero di sekitar pantai di lokasi
penelitian kemungkinan lebih menyukai air yang bersuhu lebih rendah di sekitar
muara sehingga populasinya meningkat ketika masukan air tawar yang lebih
dingin banyak yang masuk ke wilayah pantai melalui aliran sungai. Sementara
pengaruh kadar DO yang berbanding lurus dengan hasil tangkapan menunjukkan
bahwa kadar DO yang lebih tinggi memungkinkan lebih banyaknya ikan dan juga
berpengaruh langsung terhadap proses fisiologis respirasi ikan. Kondisi ini umum
terjadi seperti didapatkan oleh Ridho (1999) di perairan pantai barat Sumatera
bahwa tingginya keanekaragaman ikan dan keseragaman ikan demersal
dipengaruhi oleh salinitas yang rendah serta kadar oksigen terlarut (DO) dan suhu
yang tinggi. Sedangkan distribusi jenis-jenis ikan demersal di perairan Laut Cina
Selatan dipengaruhi oleh faktor suhu, salinitas, kecerahan, dan kedalaman
perairan (Ridho 2004).
Pengaruh parameter lingkungan yang dominan pengaruhnya terhadap
berat hasil tangkapan nampak bervariasi diantara jenis ikan. Suhu dominan
berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan kapas-kapas dan kuwe. Salinitas dan
pH berpengaruh dominan terhadap ikan kerong-kerong. Kecepatan arus
berpengaruh dominan terhadap ikan baronang lingkis, kapas-kapas, lencam dan
kuwe. Klorofil a terlihat dominan pengaruhnya terhadap berat hasil tangkapan
ikan biji nagka, kerong-kerong, kapas-kapas, dan lencam. Fitoplankton
berpengaruh dominan terhadap ikan Kuwe sedangkan zooplankton berpengaruh
dominan terhadap ikan kerong-kerong.
Hubungan yang signifikan antara berat hasil tangkapan dengan parameter
lingkungan yang bervariasi pada setiap jenis ikan menunjukkan bahwa setiap jenis
ikan memiliki respon dan prevarensi habitat berdasarkan karakteristik
lingkungannya. Perlu diketahui bahwa hubungan linier yang signifikan yang
96

ditunjukkan dalam analisis tersebut dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung. Hubungan langsung yang paling mungkin terjadi secara teoritis adalah
pengaruh parameter fisika kimia yang memang dapat berpengaruh langsung
terhadap aktivitas biologis dan fisiologis setiap jenis ikan. Sementara pengaruh
parameter biologi seperti klorofil-a, kelimpahan fitoplankton dan zooplankton
dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pengaruh tidak langsung dapat terjadi karena parameter biologi
mempengaruhi makanan atau predator terhadap suatu jenis ikan. Sebagai contoh
terlihat dari pengaruh dominan klorofil a terhadap ikan biji nangka sebagai ikan
omnivor yang tidak mengkonsumsi langsung fitoplankton yang mengandung
klorofil a. Mekanisme pengaruh tidak langsung klorofil a terhadap ikan biji
nangka dapat saja terjadi karena klorofil a mempengaruhi kelimpahan
zooplankton yang selanjutnya mempengaruhi salah satu makanan ikan biji nangka
yaitu udang-udangan yang banyak mengkonsumsi zooplankton. Hal ini
menyebabkan semakin meningkatnya jumlah ikan biji nangka dengan
meningkatnya kandungan klorofil a dalam perairan. Hal serupa terjadi pada ikan
kuwe yang menunjukkan pengaruh dominan zooplankton sedangkan ikan kuwe
tidak mengkonsumsi langsung zooplankton.
Variasi pengaruh parameter lingkungan terhadap setiap jenis ikan dapat
menjelaskan terjadinya variasi perbedaan jumlah dan berat hasil tangkapan
berdasarkan waktu dan lokasi (habitat). Variasi lingkungan yang terlihat antara
muaras sungai, lamun dan sekitar daerah mangrove mempengaruhi baik secara
langsung maupun tidak langsung pertumbuhan dan kelangsungan hidup setiap
spesies ikan yang tertangkap dengan sero
Pengaruh parameter lingkungan bukan saja dapat bervariasi antar spesies
tetapi dalam spesies yang sama respon dan toleransi ikan dapat berbeda terhadap
paremater lingkungan. Hal ini sangat mendukung sebagai alasan sehingga terlihat
adanya variasi ukuran rata-rata hasil tangkapan yang relatif berbeda antar habitat
pada beberapa jenis ikan yang didapatkan dalam penelitian ini. Fakta ini terlihat
dari analisis hasil tangkapan yang menunjukkan jumlah tangkapan yang sama
pada beberapa jenis ikan namun menunjukkan perbedaan dalam berat.
97

6.4.6 Asosiasi antara Hasil Tangkapan Dominan dan Habitat

Hasil analisis FCA menunjukkan bahwa terdapat asosiasi antara hasil


tangkapan (jenis ikan) dengan habitat dan waktu tertentu di lokasi penelitian
(Gambar 17 & 18). Ditemukan 6 (enam) jenis ikan yang berasosiasi di habitat
lamun yaitu ikan biji nangka, baronang, baronang lingkis, kerong-kerong,
barakuda, dan kuwe. Ditemukannya jumlah ikan di habitat lamun lebih tinggi
dibanding kedua habitat lainnya kemungkinan karena pada daerah lamun
merupakan tempat berbagai jenis ikan berlindung, mencari makan, bertelur, dan
membesarkan anaknya. Hal ini dipertegas oleh Gilanders (2006) bahwa daerah
lamun memiliki kelimpahan dan keragaman ikan yang tinggi karena dukungan
produktivitas sekunder. Jenis-jenis ikan yang ditemukan di habitat lamun tersebut
merupakan ikan-ikan yang juga berasosiasi dengan habitat lain. Penelitian ini
sama yang ditemukan oleh Fahmi & Adrim (2009) bahwa jenis ikan-ikan yang
ditemukan pada lamun di Kepulauan Riau umumnya merupakan ikan-ikan yang
berasosiasi dengan habitat lain dan menjadikan padang lamun sebagai daerah
asuhan, pembesaran dan tempat mencari makanan. Ternyata jenis ikan yang
didapatkan oleh Fahmi & Adrim (2009) berbeda yang ditemukan di perairan
pantai Pitumpanua Teluk Bone. Dikatakan bahwa jenis Leiognathus spp dan
Gerres spp merupakan jenis ikan yang banyak ditemukan di padang lamun
sedangkan di lokasi penelitian ini, kedua jenis ikan tersebut lebih banyak
ditemukan/berasosiasi pada daerah mangrove.
Jenis-jenis ikan yang berasosiasi di habitat lamun di perairan pantai
Pitumpanua termasuk kedalam famili Siganidae, Theraponidae, dan Mulidae.
Famili-famili tersebut sama yang ditemukan di Teluk Kotania dan Pelitajaya
(Supriyadi 2009), hal ini kemungkinan disebabkan karena jenis lamun yang
banyak ditemukan di kedua daerah tersebut dari jenis Enhalus acoroides. Hal ini
diperkuat oleh Rappe (2010) bahwa ditemukannya ikan baronang dan baronang
lingkis di stasiun LPO (lamun padat monospesifik) diduga disebabkan antara lain
karena ikan tersebut memiliki kebiasaan hidup bergerombol di daerah padang
lamun, terutama lamun monospesifik yang hanya disusun oleh jenis Enhalus
acoroides. Selanjutnya dikatakan bahwa dari 14 famili yang ditemukan di padang
98

lamun Pulau Barrang Lompo, 2 (dua) diantaranya ditemukan di perairan pantai


Pitumpanua yaitu famili Siganidae dan Sphhyraenidae.
Ikan lencam, kapas-kapas, dan pepetek lebih berasosiasi dengan habitat
dekat mangrove. Ikan kapas-kapas sebenarnya ikan yang hidupnya lebih banyak
di estuaria, namun pada saat penelitian ini ditemukan lebih berasosiasi pada
daerah dekat mangrove, kemungkinan jenis ikan tersebut mencari tempat
pemijahan pada daerah sekitar mangrove. Sebagaimana yang dikemukan oleh
Blaber (1997) dalam Sjafei dan Syaputra (2009) bahwa jenis ikan ini di Natal,
Afrika Selatan meninggalkan estuaria saat ingin melakukan pemijahan. Lebih
lanjut dikatakan bahwa musim pemijahan biasanya pada bulan Februari, musim
pemijahan ini bertepatan pada saat melakukan penelitian.
Udang putih dan rajungan berasosiasi dengan muara sungai (Gambar 15).
Kedua jenis krustasea ini kemungkinan lebih dipengaruhi oleh sebagian daur
hidupnya berada di daerah pesisir pantai seperti estuaria dan sebagian di laut
(Saputra & Subiyanto 2007; Suharyanto & Tjaronge 2009). Pasquier & Pẻrez
(2004) bahwa udang putih dan kepiting rajungan keberadaan hidupnya pada masa
juvenile di pantai atau estuaria dan dewasa bermigrasi ke laut terbuka.

6.5 KESIMPULAN DAN SARAN


6.5.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :


1. Komposisi hasil tangkapan dari jumlah hasil tangkapan paling banyak
ditemukan yaitu ikan pepetek, sedangkan berat (biomassa) hasil tangkapan
yaitu ikan barakuda.
2. Total jumlah hasil tangkapan ikan yang tertangkap berbeda menurut waktu
penangkapan tetapi tidak berbeda menurut habitat. Sementara berat total hasil
tangkapan ikan berbeda menurut habitat/lokasi dan waktu penangkapan.
3. Kisaran panjang total ikan yang tertangkap masih lebih banyak yang berukuran
juvenil atau ikan-ikan muda.
4. Hubungan panjang-berat hasil tangkapan pada semua habitat bersifat
allometrik negatif.
99

5. Parameter lingkungan yang sangat dominan pengaruhnya terhadap total berat


hasil tangkapan sero yaitu parameter suhu dan kadar oksigen terlarut (DO).
6. Ada perbedaan komunitas ikan pada ketiga habitat. Ikan biji nangka, baronang
lingkis, kerong-kerong, kuwe, baronang, dan barakuda lebih berasosiasi pada
habitat lamun. Ikan pepetek, kapas-kapas, dan lencam lebih berasosiasi pada
daerah sekitar mangrove. Kepiting rajungan dan udang putih lebih berasosiasi
pada muara sungai.

6.5.2 Saran

Sebaiknya dipertimbangkan pengelolaan sero di perairan pantai Pitumpanua


Teluk Bone saat ini karena terbukti kisaran panjang total ikan yang tertangkap
lebih banyak yang berukuran juvenil atau ikan-ikan muda. Perlu kiranya regulasi
untuk memperbesar mata jaring alat tangkap sero untuk meloloskan ikan-ikan
yang masih mudah.

.
100
101

7 SELEKTIVITAS MATA JARING EXPERIMENTAL CRIB


4 CM PADA CRIB SERO
7.1 PENDAHULUAN

Perairan pantai yang terdiri dari berbagai ekosistem seperti lamun, terumbu
karang, mangrove, dan muara sungai memiliki berbagai peran sebagai darerah
pemijahan, perlindungan, pembesaran, dan tempat mencari makanan. Oleh karena
itu daerah penangkapan sero di pantai dihuni oleh berbagai jenis dan ukuran biota
laut termasuk ikan yang menjadi target penangkapan. Sero yang dioperasikan
dengan ukuran tertentu jelas memiliki selektivitas tertentu dan sangat besar
kemungkinannya bervariasi menurut spesies dan habitat. Sero dengan ukuran
mata jaring tertentu dapat saja selektif terhadap salah satu jenis ikan tertentu tetapi
tidak selektif terhadap jenis ikan lainnya pada habitat tertentu. Hal ini disebabkan
perbedaan persebaran ukuran berdasarkan habitat. Sehubungan dengan hal itu
maka kajian mengenai selektivitas sero yang mengkaji secara simultan
berdasarkan jenis ikan dan habitat daerah penangkapan sero sangat penting
dilaksanakan agar dapat menentukan tingkat selektivitas sero terhadap jenis ikan
berdasarkan habitat yang ada di perairan pantai.
Kajian mengenai selektivitas sero yang ada saat ini umumnya terbatas pada
habitat tertentu saja dan sangat jarang melihat sekaligus berdasarkan jenis dan
habitat daerah penangkapan alat tangkap sero. Mengkaji selektivitas mata jaring
sero pada beberapa jenis ikan yang dominan tertangkap pada 3 (tiga) tipe habitat
di perairan pantai Pitumpanua maka diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai kesesuaian ukuran mata jaring dengan lokasi pemasangan sero di pantai
sehingga dari aspek selektivitas mata jaring sero tetap ramah terhadap lingkungan.
Apalagi dalam penelitian ini secara serentak juga dilihat perbandingan hasil
tangkapan pada ketiga tipe habitat tersebut.
Hasil analisis selektivitas yang dihasilkan dari penelitian ini dapat menjadi
referensi dan pertimbangan dalam regulasi operasional sero di perairan pantai
khususnya kelayakan ukuran mata jaring dan habitat daerah pemasangannya.
Meskipun dalam penelitian ini hanya menggunakan satu jenis ukuran mata jaring,
namun dapat menunjukkan bahwa apakah ukuran yang digunakan sebaiknya
ditingkatkan agar dapat selektif terhadap salah satu atau beberapa jenis ikan yang
102

dominan tertangkap apabila sero akan dipasang di muara sungai, perairan di


sekitar mangrove atau lamun.
Pemasangan alat tangkap sero maupun penggunaan bahan alat tangkap
sero oleh nelayan di perairan pantai Pitumpanua tidak didasari pertimbangan yang
cermat. Hal ini disebabkan karena selain kurangnya sosialisasi dari pemerintah
setempat, juga karena tidak adanya dasar kebijakan yang tepat untuk pengelolaan
perikanan sero di daerah ini. Selama ini penangkapan sero di perairan pantai
Pitumpanua berlangsung terus menerus sepanjang tahun dengan menggunakan
mata jaring ukuran yang sangat kecil (0,5 cm). Bila hal tersebut dibiarkan, maka
tentunya berdampak pada berkurangnya stok sumberdaya pada masa akan datang,
karena dengan ukuran mata jaring yang sangat kecil tentunya ikan-ikan muda
tidak dapat meloloskan diri untuk berkembang biak sebelum ditangkap. Parahnya
lagi karena alat tangkap ini di pasang pada daerah pantai yang merupakan daerah
pemijahan dan pembesaran bagi juvenile berbagai jenis ikan dan biota lainnya.
Kajian ini bertujuan untuk menghitung proporsi ukuran layak tangkap setiap
jenis ikan yang tertangkap pada experimental crib dan menganalisis L50%, setiap
jenis ikan yang dominan tertangkap dengan sero di perairan pantai Pitumpanua
Kabupaten Wajo Teluk Bone. Manfaat yang diharapkan yaitu sebagai dasar untuk
menentukan kebijakan pengelolaan perikanan dalam hal pengaturan mata jaring
yang selektif pada daerah penangkapan sero sehingga sumberdaya perikanan
dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

7.2 METODE PENELITIAN


7.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Kegiatan pembuatan desain kantong bunuhan (experimental crib)


dilakukan pada tanggal 18 Nopember 2010 – 10 Januari 2011. Experimental
fishing dilakukan pada tanggal 15 Januari – 14 Mei 2011 di perairan pantai
Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone.
103

7.2.2 Alat dan bahan

Alat dan bahan yang digunakan untuk pembuatan desain experimental crib
dan experimental fishing adalah sebagai berikut :
Tabel 13 Jenis alat dan bahan yang digunakan pembuatan desain experimental
crib dan experimental fishing selama penelitian

No Alat dan bahan Jumlah Kegunaan


Pembuatan desain experimental crib
1 Jaring trawl D12x11/2 7,7 kg Desain jaring pengukuran selektivitas
2 Benang trawl D9 4 rol Benang jahit pembuatan experimental crib
3 Coban 4 buah Untuk menjurai /menjahit jaring
4 Tali nilon no 4 dan 5 4 kg Tali ris experimental crib
5 Gunting 1 buah Untuk keperluan memotong benang
6 Meteran 1 buah Untuk pengukuran

Kegiatan experimental fishing


Perahu motor 1 unit Sebagai sarana transportasi
Sero 3 unit Experimental fishing
Serok 3 buah Mengambil hasil tangkapan
Tali nilon no 4 dan 5 2 kg Tali kolor experimental crib
Measuring Board 4 buah Mengukur panjang ikan
Mikrometer skrup (caliper) 1 buah Mengukur mata jaring dan waring
Plastik sample * Tempat hasil tangkapan yang sudah disortir
Cool Box/kulkas 3 buah Penyimpanan hasil tangkapan
Timbangan Analitik 1 unit Menimbang sampel ikan per ekor
Kamera digital 1 buah Pengambilan gambar
Buku identifikasi ikan * Mengetahui jenis ikan
Alat tulis/data sheet * Mencatat data
Alat bantu lainnya * Digunakan di lapangan

7.2.3 Percobaan Penangkapan Ikan

Kegiatan percobaan penangkapan dilakukan melalui beberapa tahapan


yaitu : tahapan desain experimental crib, tahapan pembuatan experimental crib,
tahapan pemasangan experimental crib, dan tahapan proses pengambilan hasil
tangkapan. Hasil tangkapan yang didapatkan dari experimental crib dan cover-net
dianalisis untuk melihat sejauhmana kesesuaian mata jaring yang diujicobakan
pada ketiga habitat.

7.2.3.1 Tahapan desain experimental crib

Percobaan pada alat tangkap sero ini hanya pada bagian bunuhan yang
dimodifikasi dengan cara ketiga sero yang telah ditentukan pada daerah
penangkapan berbeda diberikan experimental crib yang ukuran mata jaringnya
104

sama yaitu 4 cm yang berfungsi sebagai bunuhan percobaan sedangkan jaring


bunuhan aslinya berfungsi sebagai cover-net. Ukuran dari experimental crib
tersebut yaitu panjang dan lebar jaringnya 2 m x 2 m, sedangkan crib asli
berukuran 4 m x 5 m. Jarak dinding experimental crib dengan dinding cover-net
sebelah kiri dan kanan yaitu 0,5 m, bagian belakang 1 m dan bagian depan
berhimpit sedangkan bagian dasar atau bawah experimental crib dengan cover-net
jaraknya 0,5 m.

Gambar 17 Proses pembuatan desain experimental crib sero.


105

5 m
C r ib a s li
1 m
2 m
E x p e rim e n t a l c rib

0 .5 m 4 m
A
2 m

0 .2 m

2 .5 m
B
3 m
0 .5 m

1 m

3 .5 m
C 0 .7 m

1 m

20 m
D

2 m

10 m

E 100 m

A = B u n u h a n ( c r ib )
E x p . C r ib
C r ib a s l i
B = P e ru t ( b e l l y )
C = B a da n (b o d y )
D = S a y a p ( w in g )
E = P e n a ju

Gambar 18 Desain experimental crib pada alat tangkap sero.

7.2.3.2 Tahapan pembuatan experimental crib

Tahapan pembuatan experimental crib pada alat tangkap sero adalah


sebagai berikut :
(1) Bahan yang digunakan adalah jaring trawl yang terbuat dari polyethylen
berwarna hijau dengan ukuran mata jaring 4 cm.
(2) Semua jaring tersebut dilakukan pemotongan secara all bar dengan ukuran
setiap lembar jaring 2 m
(3) Jumlah lembaran jaring yang diperlukan untuk satu experimental crib yaitu
5 lembaran dengan ukuran yang sama besar
(4) Tiap lembaran jaring dijurai membentuk empat persegi panjang dengan
ukuran (p x l x t) 2 m x 2 m x 3 m, yang berfungsi sebagai experimental crib.
(5) Setiap pinggiran jaring yang telah digunting diberikan tali ris sebagai penguat
jaring dimana diameter tali sebesar 0,5 cm
106

(6) Pada bagian depan jaring experimental crib dan cover-netnya dibuatkan
mulut yang berfungsi sebagai pintu masuk ikan dengan lebar pintu yaitu
0,2 m
(7) Semua sudut jaring dan bagian depan jaring diberikan tali penarik yang
berfungsi untuk mengencangkan experimental crib, agar jaring tertata dengan
sempurna bila dipasang di perairan.

7.2.3.3 Tahapan pemasangan experimental crib

Tahapan pemasangan experimental crib pada bagian bunuhan sero adalah


sebagai berikut :
(1) Experimental crib yang telah dibuat dipasang pada bagian dalam bunuhan
asli dalam hal ini yang berfungsi juga sebagai cover-net yang terbuat dari
waring dengan mata jaring 0,5 cm dengan ukuran 4 m x 5 m x 3,5 m
(2) Bagian mulut experimental crib dipasang sejajar dengan mulut cover-net
(3) Tali penarik yang dipasang pada bagian bawah dan sudut experimental crib
melalui sisi cover-net, kemudian tali penarik tersebut dikencangkan dan diikat
pada tiang yang terpancang pada sisi cover-net tersebut
(4) Jaring experimental crib yang dipasang diberikan jarak, baik dari sisi depan,
belakang, kiri dan kanan serta sisi bagian bawah, agar ikan diharapkan untuk
memberikan ruang gerak untuk meloloskan diri keluar dari jaring
experimental crib bila ukuran girth maximum ikan tersebut lebih kecil dari
ukuran mata jaring dari experimental crib
(5) Jaring experimental crib dan cover net dari bagian sisi depan berhimpit dan
sisi belakang berjarak 1 m, sedangkan bagian sisi kanan dan kiri yaitu 0,5 m,
begitu pula dengan sisi bagian bawah jaraknya dari cover-net yaitu 0,5 m.
(6) Setelah proses pemasangan experimental crib telah selesai semua tali penarik
dari tiap sudut experimental crib yang melewati sisi cover-net, dikencangkan
dengan cara ditarik agar experimental crib tertata dengan sempurna atau tidak
kendur, kemudian diikat pada tiang yang telah dipasang di samping cover-net.
107

Gambar 19 Pemasangan jaring experimental crib pada alat tangkap sero.

7.2.3.4 Tahapan pengambilan hasil tangkapan

Tahapan pengambilan hasil tangkapan pada experimental crib pada bagian


bunuhan sero adalah sebagai berikut :
(1) Kegiatan pengambilan hasil tangkapan sero dilakukan hanya sekali sehari
yaitu pada pagi hari
(2) Pelaksanaan hauling dilakukan di atas bunuhan sero dengan cara yaitu semua
tali kolor baik dari tali kolor dari experimental crib (cod-end) maupun tali
cover-net dibuka secara bersamaan dengan perlahan-lahan.
(3) Mulut depan bunuhan diangkat terlebih dahulu secara bersamaan baik itu cod-
end maupu cover-net dengan tujuan agar ikan-ikan tidak bisa lagi meloloskan
diri keluar dari tempat dimana ikan tersebut tersaring/tertahan.
(4) Perlahan-lahan kedua jaring tersebut diangkat sampai ketinggian air dalam
jaring sekitar 80 cm.
(5) Hasil tangkapan pada cod-end terlebih dahulu diambil dengan menggunakan
serok (bunre’), disusul hasil tangkapan pada cod-end sero. Hasil tangkapannya
dipisahkan.
108

(6) Setelah pengambilan hasil tangkapan selesai, jaring kembali dibuang/dipasang


untuk proses penangkapan selanjutnya.
(7) Kegiatan penangkapan berlangsung pada 3 (tiga) unit sero pada daerah
penangkapan yang berbeda.

7.2.4 Metode Pengukuran

Metode pengukuran untuk menentukan kesesuaian mata jaring sero pada


3 (tiga) daerah penangkapan dilakukan dengan cara yaitu dengan cara setiap hasil
tangkapan yang tertahan pada mata jaring (experimental crib) yang terpasang
dipisahkan dengan yang tertahan pada cover-net sero pada setiap daerah
penangkapan. Alat tangkap sero yang mempunyai hasil tangkapan banyak hanya
diambil 15% total hasil tangkapan sedangkan sero yang hasil tangkapan sedikit
semua diambil untuk keperluan analisis. Sampel yang terambil/terwakili
kemudian diidentifikasi berdasarkan jenisnya kemudian dipisahkan, apabila
sampel terlalu banyak maka sampel diawetkan sebagian dan dilakukan
pengukuran panjang total ikan dan berat ikan secara bertahap. Pengukuran
panjang ikan dengan measuring board dan berat ikan menggunakan timbangan
analitik dengan ketelitian 0,1 gram
Kegiatan penangkapan selama penelitian untuk keperluan analisis
kelayakan mata jaring dilakukan sebanyak 16 kali trip. Pengambilan hasil
tangkapan dilakukan hanya sekali seminggu selama 4 bulan pada 3 (tiga) unit sero
yang diberikan experimental crib pada masing-masing daerah penangkapan
(habitat).

7.2.5 Analisis Data

7.2.5.1 Perbandingan komposisi dan proporsi ukuran ikan layak tangkap


Untuk menghitung komposisi ukuran ikan layak tangkap yang tertahan
pada experimetal crib di setiap habitat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Hasil tangkapan sero di setiap habitat dipisahkan berdasarkan setiap jenis ikan;
2. Menghitung jumlah dan frekuensi panjang ikan yang tertangkap;
109

3. Membandingkan ukuran ikan yang tertangkap dengan length


at first maturity (Lmat) yang dilaporkan oleh beberapa peneliti sebelumnya;
4. Menghitung proporsi ikan yang layak tangkap berdasarkan length at first
maturity dari total ikan yang tertangkap;
5. Membuat tabel dan grafik terhadap ikan yang layak tertangkap dari setiap jenis
ikan dominan tertangkap berdasarkan habitat.

7.2.5.2 Perbandingan jumlah hasil tangkapan pada experimental crib


Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian experimental crib
sero adalah rancangan acak kelompok (RAK). Perlakuan adalah tiga habitat
(muara sungai, mangrove, dan lamun). Ulangan adalah 16 blok waktu
penangkapan hasil tangkapan. Model matematis rancangan tersebut sebagai
berikut:
Yij = µ + Hi +Tj + εij......................................................................(7)
Dimana : i = 1, 2, 3 dan j = 1, 2, 3 .....16
Yij = Respon pengamatan pada experimental crib ke-i dan kelompok ke-j
µ = Nilai rataan umum
Hi = pengaruh experimental crib ke-i (habitat i = 1,2, dan 3);
Tj = pengaruh kelompok (blok) waktu penangkapan ke-j;
εijk = Galat percobaan dari perlakuan ke-I dan kelompok ke-j.

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA).


Analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS Release
15.0. Untuk membandingkan antar habitat yang berbeda jika hasil uji F dalam
ANOVA signifikan berbeda maka digunakan uji lanjut menggunakan uji beda
rerata Tukey (Tukey’s HSD Test) (Zar 1984 dan Petersen 1985).

7.2.5.3 Analisis selektivitas mata jaring 4 cm


Analisis selektivitas mata jaring 4 cm dalam hal ini sebagai experimental
crib dari setiap unit sero didekati dengan menggunakan model logistik seperti
yang biasa dilakukan dalam kajian selektivitas trawl (Paloheimo dan Cadima
1964, Kimura 1977 dan Hoydal et al. 1982 dalam Sparre dan Venema 1999).
Pendekatan ini mengandalkan data komposisi ukuran ikan dan proporsi ikan yang
tertangkap.
110

S (L ) =
1
………..……………………............(8)
[1 + exp (a − b * L )]
Dimana :

SL =
∑ ikan dengan length L dalam exp erimental crib ……….(9)
∑ ikan dengan length L dalam exp erimental crib & cov er − net
Dari persamaan di atas dapat dituliskan kembali sebagai :
⎡1 ⎤
ln ⎢ − 1⎥ = a − b * L …………………………...……..…….(10)
⎣SL ⎦
Persamaan di atas dapat mewakili garis lurus. Dengan demikian observasi
terhadap bagian yang ditahan dapat digunakan untuk menentukan kurva logistik
yang sesuai terhadap observasi-observasi tersebut. Untuk menghitung kisaran
panjang total ikan yang tertangkap pada experimental crib sero dengan peluang
tertangkap sebesar 50% dengan rumus sebagai berikut :
a
L50% = ………………………………………………..…..(11)
b
111

7.3 HASIL PENELITIAN


7.3.1 Komposisi dan Proporsi Layak Tangkap pada Experimental Crib

Komposisi jenis hasil tangkapan yang tertahan pada jaring experimental


crib alat tangkap sero yang dioperasikan pada habitat berbeda di perairan pantai
Pitumpanua Teluk Bone (Tabel 15) berikut.
Tabel 15 Komposisi jenis hasil tangkapan yang tertahan dan meloloskan diri pada
jaring experimental crib sero di habitat berbeda selama penelitian

Habitat
No Jenis Ikan Muara (%) Mangrove (%) Lamun (%)
Tertahan Lolos Tertahan Lolos Tertahan Lolos
1 Rajungan 100,00 0,00 100,00 0,00 100,00 0,00
2 Kerong kerong 72,26 27,74 71,32 28,68 67,78 32,22
3 Barakuda 78,53 21,47 62,44 37,56 55,81 44,19
4 Kuwe 67,86 32,14 68,73 31,27 58,12 41,88
5 Lencam 58,55 41,45 62,78 37,22 73,05 26,95
6 Baronang lingkis 63,51 36,49 61,32 38,68 69,54 30,46
7 Baronang 63,68 36,32 59,17 40,83 62,83 37,17
8 Pepetek 64,49 35,51 62,27 37,73 54,43 45,57
9 Biji nangka 42,92 57,08 34,53 65,47 34,59 65,41
10 Kapas kapas 34,54 65,46 40,08 59,92 34,05 65,95

Adapun proporsi jumlah hasil tangkapan yang layak tangkap yang tertahan
pada experimental crib yaitu 5 (lima) jenis ikan tertangkap di atas 50,0% dari
ukuran layak tangkap dan selebihnya masih di bawah 50,0% layak tangkap
(Tabel 16 dan Gambar 20).

Tabel 16 Proporsi ukuran layak tangkap hasil tangkapan yang tertahan pada
jaring experimental crib selama penelitian
No Jenis ikan Muara Sungai (%) Mangrove (%) Lamun (%) Rata-rata (%)
1 Pepetek 80,21 81,47 71,75 77,81
2 Kapas-kapas 64,93 83,51 42,59 63,68
3 Barakuda 58,59 67,39 61,11 62,36
4 Kerong kerong 54,43 60,14 65,35 59,97
5 Biji nangka 51,83 46,40 51,72 50,00
6 K. rajungan 33,96 33,33 77,97 48,42
7 B. lingkis 30,39 34,02 38,46 34,29
8 Lencam 12,36 16,39 11,43 13,39
9 Baronang 21,48 14,79 11,52 15,93
10 Kuwe 0 0 0 0
112

Gambar 20 Rata-rata ukuran layak tangkap hasil tangkapan yang tertahan pada
experimental crib selama penelitian di perairan pantai Pitumpanua
Teluk Bone.

7.3.2 Nilai L50% Setiap Jenis Ikan yang Tertangkap pada Experimental Crib

Hasil perhitungan parameter kurva selektivitas dengan menggunakan


metode Sparre-Venema dengan menutupi experimental crib dengan cover-net
yaitu terlihat bahwa L50% dari setiap jenis ikan yang sama dan jenis lainnya yaitu
berbeda pada setiap habitat (Tabel 17, Gambar 21-22, dan Lampiran 28-30).

Tabel 17 Nilai L50% ± standar deviasi (SD) setiap jenis ikan berdasarkan habitat
selama penelitian
Jenis ikan Muara sungai Mangrove Lamun Lmat
Biji nangka 10,2 ± 0,55 10,5 ± 0,64 11,4 ± 0,48 12,0A
Baronang lingkis 8,0 ± 1,48 11,9 ± 0,89 12,0 ± 0,67 17,0B
Kerong-kerong 12,8 ± 1,08 13,2 ± 1,57 12,9 ± 2,41 18,0C
Lencam 14,4 ± 0,84 13,4 ± 0,15 14,6 ± 0,94 18,2D
Pepetek 9,3 ± 0,73 9,4 ± 0,79 9,0 ± 0,95 9,0E
Kapas-kapas 10,0 ± 0,42 10,1 ± 0,55 10,0 ± 0,76 10,5F
Kuwe 11,3 ± 1,42 12,1 ± 0,95 11,7 ± 0,70 30,0G
Baronang 15,0 ± 0,90 14,8 ± 0,93 14,7 ± 0,90 21,0H
Barakuda 18,5 ± 1,20 17,8 ± 1,53 22,7 ± 1,24 17,3I
Keterangan :
E) F)
Martasuganda et al. (1991) Sjafei & Syaputra (2009)
F) G)
Wassef & Hady (1997) Tharwat & Rahman (2006)
G) H)
Situ & Sadovy (2004) Sutomo & Juwana (1990)
H) I)
Krajangdara (2004) Allam et al. (2004)
E)
Pauly (1977) dalam Sjafei & Saadah (2001)
113

Muara sungai Mangrove Lamun

Keterangan :
A = Biji nangka C = Kerong kerong
B = Baronang lingkis D = Kapas kapas

Gambar 21 Kurva selektivitas mata jaring 4 cm untuk jenis ikan biji nangka,
baronang lingkis, kerong kerong, dan kapas kapas pada daerah
penangkapan yang berbeda.
114

Muara sungai Mangrove Lamun

Keterangan :
E = Biji nangka H = Kapas kapas
F = Baronang lingkis I = Barakuda
G = Kerong kerong

Gambar 22 Kurva selektivitas mata jaring 4 cm untuk jenis ikan lencam, pepetek,
kuwe, baronang, dan barakuda pada daerah penangkapan yang
berbeda.
115

Nilai L50% pada kurva selektivitas setiap jenis ikan di perairan pantai
Pitumpanua Teluk Bone selama penelitian tidak menunjukkan perbedaan yang
jauh bila dibandingkan L50% setiap jenis ikan berdasarkan habitat (Gambar 19).

Keterangan :
A = Biji nangka D = Kapas kapas G = Kuwe
B = Baronang lingkis E = Lencam H = Baronang
C = Kerong kerong F = Pepetek
116

Keterangan :
I = Barakuda

Gambar 23 Kurva selektivitas setiap jenis ikan selama penelitian di perairan


pantai Pitumpanua Teluk Bone.
117

7.4 PEMBAHASAN
7.4.1 Komposisi dan Proporsi Layak Tangkap pada Experimental Crib

Jenis ikan yang dominan tertahan pada experimental sero di perairan


pantai Pitumpanua, Teluk Bone umumnya adalah ikan demersal, yaitu: (1) biji
nangka (Upeneaus sulphureus), (2) baronang lingkis (Siganus canaliculatus),
(3) kerong-kerong (Therapon jarbua), (4) kapas-kapas (Gerres kapas), (5) lencam
(Lethrinus lentjam), (6) pepetek (Leiognathus splendens), (7) kuwe (Caranx
sexfaciatus), (8) baronang (Siganus guttatus), dan (9) barakuda (Sphyraena
sphyraena) (Tabel 16). Spesies nomor 9 adalah jenis ikan pelagis. Dominasi ikan
demersal tersebut berkaitan dengan daerah pengoperasian sero, yaitu perairan
dangkal. Hal ini diperkuat oleh pernyataan oleh Widodo dan Suadi (2008) bahwa
perairan dangkal dengan kedalaman kurang dari 100 meter dengan dasar perairan
yang berlumpur serta relatif datar merupakan daerah penangkapan demersal yang
baik. Dipertegas Yusof (2002) bahwa hasil tangkapan dari perairan berkedalaman
5-18 meter di perairan Peninsular Malaysia berupa 62-89 jenis ikan demersal.
Jenis ikan yang tertangkap sero ini pada umumnya memiliki aktivitas
relatif rendah, gerak ruaya tidak terlalu jauh dan membentuk gerombolan yang
tidak terlalu besar, sehingga sebarannya relatif lebih terkonsentrasi jika
dibandingkan dengan ikan-ikan pelagis (Boer et al. 2001). Ikan barakuda yang
merupakan ikan pelagis satu-satunya dominan tertangkap di perairan pantai
Pitumpanua, kemungkinan jenis ikan ini merupakan ikan predator yang mengejar
mangsanya sehingga ikut tertangkap.
Jumlah ikan yang tertahan pada experimental crib jaring dipengaruhi oleh
berbagai faktor; salah satunya adalah bentuk tubuh ikan. Ikan yang berukuran
besar cenderung tertangkap oleh alat penangkapan ikan yang dioperasikan dengan
metode menyaring air (filtering) sehingga jika ukuran mata jaring relatif kecil
maka ragam ukuran ikan dapat menjadi lebih tinggi, yaitu mulai dari yang
berukuran kecil hingga besar. Hal ini berbeda dari alat penangkapan ikan yang
dirancang untuk menangkap ikan secara menjerat tubuh ikan (gilling), seperti
pada jaring insang. Jika ukuran ikan lebih kecil atau lebih besar dari ukuran
optimum maka peluang tertangkapnya menjadi lebih rendah sehingga ragam
ukuran menjadi lebih rendah (Nielsen dan Lampton 1983). Selain ukuran tubuh,
118

bentuk badan dan tingkah laku ikan juga merupakan faktor yang menentukan ikan
tertangkap (Pope 1975).
Tingginya proporsi hasil tangkapan yang tertahan di experimental crib
(Tabel 15) bukan berarti ikan-ikan tersebut secara biologi layak tangkap. Hal ini
lebih cenderung disebabkan oleh jenis spesies ikan yang tertangkap. Dalam
penelitian ini ada 5 spesies ikan dengan proporsi layak tangkap di atas 50,0%,
yaitu pepetek, kapas-kapas, barakuda, kerong-kerong, dan biji nangka (Tabel 16
& Gambar 20).
Tingginya proprosi pepetek yang layak tangkap disebabkan ikan ini cepat
mencapai dewasa pada ukuran yang relatif kecil (Saadah 2000 dalam Novitriana
et al. 2004). Sebaliknya, semua ikan kuwe yang tertangkap berstatus tidak layak
tangkap. Hal ini kemungkinan disebabkan habitat ikan kuwe dewasa adalah
perairan terumbu karang atau yang lebih dalam dan perairan pantai tempat
penelitian adalah habitat untuk ikan-ikan muda, seperti dilaporkan Rudi et al.
(2011) dari penelitiannya di perairan Sabang. Ikan kuwe yang tertangkap di
perairan pantai Pitumpanua tidak berbeda jauh didapatkan oleh Mardjudo (2002)
di perairan pantai Palu yang didapatkan berukuran sangat kecil, sehingga diduga
bahwa jenis ikan ini pada masa juvenil lebih banyak menghuni daerah pantai.

7.4.2 Nilai L50% Setiap Jenis Ikan yang Tertangkap pada Experimental Crib

Nilai L50% dari experimental crib bermata-jaring 4 cm untuk setiap jenis


ikan dominan tidak selalu sama pada setiap habitat (Tabel 17). Seharusnya nilai
L50% untuk suatu jenis ikan adalah sama karena spesifikasi bahan jaring
pembentuk crib. Perbedaan-perbedaan nilai tersebut kemungkinan besar
ditentukan oleh nilai-nilai proporsi ikan pada setiap kelas ukuran ikan yang
tertahan pada crib. Nilai-nilai L50% dari sembilan jenis ikan dominan umumnya
lebih kecil dari panjang (TL) ikan ketika matang gonad pertama kali (Lmat). Tujuh
dari sembilan jenis ikan tersebut memiliki Lmat kurang dari 20 cm (TL); ikan kwe
adalah ikan dengan Lmat terbesar (30 cm).
Hanya dua jenis ikan yang memiliki Lmat lebih kecil dari L50%, yaitu
pepetek dan barakuda. Hal ini berarti sero dengan crib bermata-jaring 4 cm cocok
untuk kedua jenis ikan ini karena menangkap ukuran yang layak tangkap secara
119

biologis. Kondisi hasil tangkapan ini mirip dengan hasil tangkapan pepetek di
Teluk Labuan, Banten yang didominasi oleh ikan-ikan pepetek berukuran 9,5-
16,2 cm (lebih dari 80%), seperti dilaporakan oleh Sjafei dan Saadah (2001).
Nilai L50% experimental crib ikan biji nangka dan kapas-kapas mendekati
ukuran Lmat jenis ikan tersebut (Tabel 17). Pada ikan biji nangka, L50% pada
habitat lamun lebih besar dibandingkan pada muara sungai dan mangrove. Nilai
L50% ini hampir sama dengan yang didapatkan di perairan Teluk Palu antara 7,8-
9,9 cm (Mardjudo 2002). Faktor penyebab perbedaan ini kemungkinan adalah
morfologi ikan yang berkaitan dengan lingkar tubuh ikan (body girth). Pada
panjang yang sama, ikan-ikan biji nangka di muara sungai dan mangrove
diperkirakan lebih ”gemuk” sehingga lebih mudah ditangkap (tidak dapat
meloloskan dibandingkan dengan yang berada di lamun. Faktor komposisi jenis
kelamin ikan tampaknya sulit dianggap sebagai penyebab perbedaan nilai L50% di
antara ketiga habitat tersebut meskipun Saputra et al. (2009) dari penelitiannya di
perairan Demak melaporkan bahwa L50% cantrang untuk biji nangka jantan adalah
15,7 cm sedangkan untuk betina adalah 16,4 cm. Penelitian di Demak ini dapat
diinterpretasikan bahwa ikan jantang lebih ”gemuk” dari ikan betina.
Nilai L50% untuk empat jenis ikan lainnya, yaitu baronang lingkis, kerong-
kerong, lencam, dan baronang adalah lebih rendah dari Lmat (Tabel 17). Hal ini
merupakan indikasi kuat bahwa semua jenis ikan ini tertangkap experimental sero
dalam keadaan masih muda (juvenile) sehingga dapat disimpulkan bahwa sero ini
tidak cocok bagi keempat jenis ikan tersebut. Ukuran ikan baronang lingkis yang
didapatkan di perairan pantai Pitumpanua tidak berbeda dengan yang ditangkap di
perairan Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu, yaitu antara 6,2-17,0 cm (Jalil et al.
2003). Kesamaan ini kemungkinan disebabkan oleh kesamaan kondisi ekologi
perairan pantai Pitumpanua dan perairan Kecamatan Bua, keduanya saling
berdekatan di Teluk Bone.
Perbedaan nilai L50% setiap habitat tidak menunjukkan perbedaan yang
terlalu tinggi (Tabel 17). Hal ini kemungkinan disebabkan karena faktor
parameter lingkungan perairan dan sumber makanan bagi ikan pada ketiga habitat
tersebut hampir sama. Terbukti setelah dibuatkan kurva selektivitas setiap jenis
ikan secara keseluruhan (tanpa berdasarkan habitat), nilai L50% pun diperlihatkan
120

tidak jauh berbeda yang didapatkan di ketiga habitat tersebut (Gambar 23). Hal
ini menunjukkan bahwa nilai ukuran kelas panjang ikan yang tertangkap di
perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone lebih seragam (homogen).
Penelitian ini memberikan gambaran bahwa rekomendasi tentang
spesifikasi alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan untuk suatu jenis ikan
belum tentu cocok untuk ikan lain, terutama pada perikanan yang memiliki
sumber daya yang bersifat multispecies. Berdasarkan nilai L50% dan Lmat, sero
dengan bunuhan (crib) bermata jaring 4 cm ini cocok untuk meloloskan ikan
pepetek dan barakuda namun tidak cocok untuk ikan-ikan lainnya. Perbaikan bisa
dilakukan lagi dengan memperbesar mata jaring sehingga nilai-nilai L50% akan
meningkat dan peluang ikan-ikan muda untuk meloloskan diri menjadi semakin
tinggi. Pilihan ukuran mata jaring ini akhirnya ditentukan oleh keberpihakan
nelayan dalam menentukan karakteristik ikan-ikan yang menjadi sasarannya
(target species). Sangat diharapkan para nelayan bersikap menyetujui ide bahwa
meloloskan ikan agar tumbuh menjadi lebih besar adalah lebih baik dari
menangkap ikan ketika masih berukuran kecil.

7.5 KESIMPULAN DAN SARAN


7.5.1 Kesimpulan

1. Hasil tangkapan sero dengan bunuhan bermata-jaring 4 cm di pantai


Pitumpanua didominasi oleh ikan pepetek, baronang lingkis, kerong kerong,
kuwe, biji nangka, baronang, lencam, kapas kapas, dan barakuda dimana lima
jenis di antaranya masing-masing memiliki kategori layak tangkap dengan
proporsi lebih dari 50%.
2. Nilai L50% experimental sero untuk ikan pepetek dan barakuda lebih besar dari
panjang ketika kedua jenis ikan ini matang gonad pertama kali.
3. Sero dengan bunuhan bermata-jaring 4 cm tidak layak dioperasikan di perairan
pantai Pitumpanua.
121

7.5.2 Saran

Alat tangkap sero di perairan pantai Pitumpanua sebaiknya menggunakan


ukuran mata jaring lebih besar 4 cm. Rekomendasi ukuran tersebut harus
disesuaikan dengan karakteristik hasil tangkapan yang diharapkan (target species)
oleh nelayan yang memiliki wawasan keberlanjutan sumber daya ikan.
122
123

8 POSISI JENIS IKAN YANG TERTANGKAP DALAM


PIRAMIDA MAKANAN
8.1 PENDAHULUAN

Interaksi trofik merupakan salah satu kunci untuk mengetahui peran


ekologis suatu populasi atau spesies di dalam ekosistem. Mengingat trofik level
mengambarkan hubungan keterkaitan antar organisme mulai tingkatan trofik
terendah sampai dengan tingkatan trofik tertinggi. Chassot et al. (2005)
mengemukakan bahwa tingkatan trofik dalam jejaring makanan terdapat
mekanisme yang saling mempengaruhi antara tingkatan trofik paling atas terhadap
tingkatan trofik di bawahnya (top down effect) dan sebaliknya dari tingkatan trofik
paling bawah ke tingkatan trofik di atasnya (bottom up effect).
Aktivitas penangkapan sero di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone
berlangsung secara terus menerus. Dampaknya bisa diprediksi bahwa telah terjadi
perubahan struktur trofik yang ada dalam ekosistem tersebut. Perubahan yang
biasanya terjadi meliputi perubahan kelimpahan, produktivitas, dan struktur
komunitas seperti perubahan dominansi spesies, spektra ukuran, dan hasil
tangkapan. Akibatnya, hasil tangkapan perikanan secara bertahap berubah dari
spesies yang berada di tingkat trofik atas menjadi spesies yang berada pada
tingkat trofik bawah dalam jejaring makanan (Jaureguizar & Milessi 2008).
Mengkaji struktur trofik pada daerah pantai seperti di habitat muara
sungai, mangrove, dan lamun sangat diperlukan. Mengingat pada daerah pantai
merupakan daerah yang kaya dengan keanekaragaman hayati, sehingga dalam
ekosistem tersebut banyak sistem interaksi pemangsaan yang terjadi. Kaitannya
dengan penangkapan bahwa bisa saja ikan tertangkap pada alat tangkap bukan
karena target spesies alat tangkap tersebut, melainkan ikan jenis tertentu
bermigrasi atau beruaya di sekitar alat tangkap karena terkait item makanan
spesies tersebut berada di sekitar wilayah penangkapan, sehingga ikan tersebut
turut tertangkap.
Pengetahuan tentang trofik level setiap jenis ikan di setiap habitat
dimaksudkan untuk melengkapi dan memperjelas hasil kajian mengenai hasil
tangkapan dan selektivitas sebagai bagian utama dalam penelitian ini. Analisis
trofik level ini diharapkan dapat memperjelas faktor penyebab tertangkapnya jenis
124

ikan (target spesies) pada berbagai habitat berdasarkan tingkatan trofik setiap jenis
ikan hasil tangkapan yang dominan pada alat tangkap sero . Sehingga analisis ini
dapat dijadikan informasi pendukung untuk melengkapi hasil analisis selektivitas
alat tangkap sero yang dioperasikan di pantai.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui jenis makanan ikan yang
dominan tertangkap dengan sero dan mengetahui posisi trofik level ikan yang
dominan tertangkap dengan sero. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai
informasi mengenai indikator dampak perikanan sero terhadap sumberdaya ikan
di perairan pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone.

8.2 METODE PENELITIAN


8.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Pelaksanaan penelitian pendahuluan untuk melihat waktu kebiasaan


makan ikan yang tertangkap di alat tangkap sero dilakukan pada tanggal 24 – 26
Desember 2010. Pengambilan sampel isi lambung ikan dilakukan selama 4
(bulan) terhitung tanggal 22 Januari – 14 Mei 2011. Lokasi pengambilan sampel
dilakukan di 3 (tiga) habitat (muara sungai, mangrove, dan lamun) daerah
penangkapan sero di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone.

8.2.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan selama pengambilan dan pengamatan isi
lambung ikan adalah sebagai berikut : perahu motor, alat tangkap sero, serok,
measuring board, timbangan, cool box, toples, pisau, gunting, pinset, botol
sampel, pipet tetes, larutan lugol, formalin 90%, mikroskop, buku identifikasi ikan
dan plankton, kamera digital, dan alat tulis/data sheet.

8.2.3 Teknik Pengumpulan Data


8.2.3.1 Pengamatan kebiasaan waktu makan ikan

Waktu penangkapan ikan untuk isi lambung ikan terlebih dahulu


dilakukan penelitian pendahuluan. Penangkapan ikan dilakukan selama 3 hari
berturut dengan frekuensi penangkapan selama sehari yaitu sebanyak 3 (tiga) kali
125

yaitu pagi (8.00 – 10.00 Wita) , siang (12.00 – 13.00 Wita), dan sore hari (16.00 –
18.00 Wita) untuk melihat isi lambung (makanan) yang dicerna dengan tingkat
kesegaran terbaik terutama pada isi lambung ikan-ikan predator.

8.2.3.2 Pengamatan Isi Lambung Ikan


Penangkapan ikan untuk data isi lambung dilakukan pada pagi hari
bersamaan dengan pengambilan hasil tangkapan sero. Untuk keperluan analisis isi
lambung diambil sampel secara acak sebanyak 15% dari total sampel setiap unit
sero. Jenis ikan yang jumlahnya sedikit pada hasil tangkapan dominan, semua
dijadikan sampel untuk mewakili setiap jenis ikan. Pengambilan hasil tangkapan
untuk analisis isi lambung dilakukan sebanyak 8 (delapan) kali bersamaan pada
saat pengukuran parameter lingkungan.
Perut ikan dibedah dengan menggunakan pisau bedah, kemudian
dilakukan pengguntingan lambung, lambung ikan diangkat dengan menggunakan
pinset. Isi lambung ikan karnivora diamati secara langsung karena jenis makanan
dalam lambung sebagian besar jenis makanan dalam lambungnya dapat dikenali
jenisnya, sedangkan lambung ikan herbivora dan planktivora disimpan di botol
sampel terlebih dahulu, kemudian ditambahkan larutan lugol tetes untuk
selanjutnya diamati dengan menggunakan mikroskop. Jenis makanan yang
didapatkan di dalam lambung ikan diidentifikasi dengan buku identifikasi.

8.2.4 Analisis Data


8.2.4.1 Analisis Trofik Level ikan

Struktur trofik level setiap jenis ikan yang dominan tertangkap dianalisis
dengan menggunakan software TrophLab2K. Penentuan trofik level suatu spesies
ikan ditentukan berdasarkan komposisi makanan dan trofik level masing-masing
fraksi makanannya (food item) yang diperoleh dari hasil analisis isi lambung
(Pauly et al. 2000). Nilai trofik level suatu jenis ikan adalah 1 (satu) ditambah
dengan rata-rata trofik level jenis makanannya, sehingga untuk ikan yang
makanannya terdiri dari berbagai trofik level dapat dinyatakan dengan formula
sebagai berikut :
126

G
troph = 1 + ∑ DC ij x troph j ..............................................(12)
j −1

dimana : DCij adalah fraksi mangsa ke-i dalam makanan konsumer ke-j; troph j

adalah trofik level ke-j dan G adalah jumlah group atau kelompok makanan dari i.

8.3 HASIL PENELITIAN


8.3.1 Jenis Makanan Ikan Dominan

Pada identifikasi lambung ikan yang dominan tertangkap dengan sero


ditemukan isi lambung (jenis makanan) yang sama di setiap jenis ikan pada semua
habitat. Jenis makanan setiap jenis ikan selama penelitian dan item makanan
setiap jenis ikan berdasarkan TrophLab2K seperti pada Tabel 18 dan Lampiran
31-33.
Tabel 18 Jenis makanan ikan dominan dan item makanan menurut klasifikasi
food item III menurut TrophLab2K
No Jenis ikan Jenis makanan Fraksi Makanan *)
1 Biji nangka Teri, udang, cacing, dan bentik Bony fish, other benth.
invertebrata lainnya. invertebrates,
shrimps/prawns, polychaetes
2 Baronang lingkis Alga bentik, cacing, pecahan- Benthic algae/weeds,
pecahan daun, dan bentik polychaetes, debris, bony
invertebrata lainnya. fish, other benth.
invertebrates
3 Kerong-kerong Pepetek, kapas-kapas, biji Bony fish, shrimps/prawns,
nangka, udang, dan larva plank. copepoda, crabs
kepiting
4 Lencam Cumi-cumi, biji nangka, Squids/cuttlefish, bony fish,
pepetek, kapas-kapas, cacing, other finfish, polychaetes,
molluska, dan crustacea other mollusks, other benth.
crustaceans
5 Pepetek Alga bentik, dinoflagellates, benthic algae/weeds,
larva-larva kerang, larva siput, dinoflagellates, other plank.
pecahan daun-daun, larva invertebrates, debris, other
molluska, cacing, dan diatom mollusks, polychaetes,
diatoms
6 Kapas-kapas Bentik invertebrata, pecahan Other benth. invertebrates,
daun-daun, dan cacing debris, polychaetes
7 Kuwe Larva ikan, biji nangka, kapas- Fish eggs/larvae, benth.
kapas, teri, senangin,dan copepods, bony fish,
udang, shrimps/prawns, other finfish
8 Baronang Alga bentik, larva invertebrata, Benthic algae/weeds, plank.
dan cacing invertebrates, polychaetes
9 Baracuda Teri, pepetek, larva udang, Fish eggs/larvae, bony fish,
udang, cumi-cumi, biji nangka, shrimps/prawns,
kapas-kapas, squids/cuttlefish
Keterangan : *) sesuai klasifikasi food item III menurut TrophLab2K
127

8.3.2 Trofik Level Ikan Dominan

Berdasarkan hasil analisis isi lambung dan perhitungan trofik level


didapatkan rata-rata trofik level setiap jenis ikan berdasarkan habitat selama
penelitian di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone (Tabel 19) dan tingkat trofik
ikan dominan tertangkap dengan sero di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone
(Tabel 20).
Tabel 9 Rata-rata ± standar deviasi (SD) trofik level setiap jenis ikan berdasarkan
habitat selama penelitian
No Jenis ikan Muara sungai Mangrove Lamun
1 Baronang lingkis 2,56 ± 0,21 2,65 ± 0,22 2,67 ± 0,22
2 Baronang 2,50 ± 0,18 2,69 ± 0,23 2,64 ± 0,22
3 Pepetek 2,73 ± 0,19 2,71 ± 0,25 2,76 ± 0,28
4 Kapas-kapas 2,88 ± 0,25 2,72 ± 0,21 2,93 ± 0,25
5 Biji nangka 3,60 ± 0,49 3,53 ± 0,46 3,62 ± 0,51
6 Kerong-kerong 3,80 ± 0,64 3,77 ± 0,62 3,84 ± 0,65
7 Lencam 4,02 ± 0,18 3,95 ± 0,54 4,04 ± 0,54
8 Kuwe 4,19 ± 0,71 4,24 ± 0,72 4,22 ± 0,72
9 Baracuda 4,27 ± 0,70 4,23 ± 0,70 4,28 ± 0,72

Tabel 20 Kisaran tingkatan trofik ikan dominan yang tertangkap dengan sero
di perairan pantai Pitumpanua
No Jenis ikan Trophi Kategori
1 Baronang 2,32 - 2,92 Planktivora
2 Baronang lingkis 2,35 - 2,89 Planktivora
3 Pepetek 2,46 - 3,04 Omnivora
4 Kapas-kapas 2,51 - 3,18 Omnivora
5 Biji nangka 3,07 - 4,13 Omnivora
6 Kerong-kerong 3,15 - 4,49 Omnivora
7 Lencam 3,41 - 4,58 Karnivora
8 Kuwe 3,48 - 4,96 Karnivora
9 Barakuda 3,53 - 5,00 Karnivora
128

8.4 PEMBAHASAN
8.4.1 Jenis Makanan Ikan Dominan

Jenis makanan setiap ikan dominan yang tertangkap dengan sero yaitu
sama di setiap habitat (Tabel 8). Hal ini memberikan indikasi bahwa kondisi
perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone memiliki ketersediaan jenis makanan
yang sama pada setiap habitat. Ikan-ikan yang berukuran kecil pada spesies yang
sama menunjukkan perbedaan jenis makanan yang dimakannya. Jenis ikan
kerong-kerong misalnya pada ukuran kecil memiliki jenis makanan cacing, larva
kepiting, dan plankton copepoda, tetapi pada ukuran dewasa makanannya berubah
menjadi nekton dan udang-udangan. Hal yang sama yang ditemukan oleh
Asriyana (2011) bahwa ikan kurisi saat berukuran kecil menyukai fitoplankton
kemudian pada ukuran sedang sampai besar berubah menjadi pemakan ikan teri
(S. commersonii) dan tergolong ikan karnivora. Begitu halnya ikan kurisi yang
ditemukan di perairan Teluk Labuan Banten yang mengalami perubahan
kebiasaan makanan menjadi karnivora pada ukuran besar (Sjafei & Robiyani
2001).
Perubahan kebiasaan jenis makanan tersebut berkaitan dengan
perkembangan ukuran tubuh ikan terutama akibat peningkatan ukuran bukaan
mulut dan kemampuan alat percernaan dalam mencerna makanan. Selain itu
perubahan tersebut juga berhubungan dengan tingkat perkembangan gonad ikan
itu sendiri. Selain faktor tersebut ikan biasanya melakukan pengalihan menu
makanan ataupun berpindah tempat untuk menghindari terjadinya kompetisi. Hal
ini dilaporkan oleh Szedlmayer & Lee (2004) pada ikan kakap merah (Lutjanus
campechanus) di Teluk Meksiko. Ikan tersebut melakukan perpindahan tempat
dan mengganti komposisi makanannya untuk menghindari terjadinya tumpang
tindih dalam mendapatkan makanan dan berlindung dari predator.
129

8.4.2 Trofik Level Ikan Dominan

Berdasarkan hasil identifikasi isi lambung setiap jenis ikan selama


penelitian maka terlihat bahwa setiap jenis ikan cenderung memiliki jenis
makanan yang tidak berbeda menurut habitat. Variasi komposisi jenis makanan
berdasarkan waktu pengamatan relatif sangat kecil. Kesamaan jenis makanan
antara ketiga habitat dapat terjadi dalam 2 (dua) mekanisme yaitu : (1) ikan
menggunakan semua habitat sebagai daerah mencari makan (feeding ground);
atau (2) ikan hanya menggunakan salah satu atau dua dari ketiga habitat sebagai
daerah mencari makan. Dalam penelitian ini sangat sulit untuk memastikan
mekanisme mana yang terjadi karena faktanya bahwa setiap jenis ikan tertangkap
di ketiga habitat (muara sungai, lamun, dan sekitar mangrove) dan jenis-jenis
makanan dalam isi lambung semua jenis ikan juga terdapat dalam ketiga habitat.
Penjelasan yang mendukung apabila mekanisme kedua yang terjadi adalah bahwa
terjadi migrasi ikan secara harian di dalam ketiga habitat sehingga meskipun
hanya menggunakan salah satu atau dua dari ketiga habitat sebagai tempat
mencari makan namun karena bermigrasi dan tertangkap di habitat lain yang
bukan daerah feeding groundnya. Kejadian migrasi ikan dalam ketiga habitat
sangat mungkin terjadi karena lokasi antar ketiga habitat yang jaraknya relatif
dekat.
Mengacu fraksi makanan penting (Tabel 11) maka jenis-jenis ikan yang
tertangkap di lokasi penelitian dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) kelompok
yaitu : (1) ikan planktivor yang dominan makan alga bentik seperti yaitu ikan
baronang dan baronang lingkis; (2) ikan omnivor yang mengkonsumsi plankton,
debris, dan beberapa jenis nekton diantaranya ikan kapas-kapas, pepetek, kerong-
kerong, dan biji nangka; dan (3) ikan karnivor yang mengkonsumsi berbagai jenis
nekton, udang-udangan, cumi-cumi seperti pada ikan lencam, kuwe, dan
barakuda.
Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata trofik level setiap jenis ikan dari
semua habitat (Tabel 12) terlihat bahwa semua jenis ikan yang tertangkap dengan
sero di perairan pantai Kecamatan Pitumpanua berkisar antara 2,50± 0,18 (ikan
baronang) sampai 4,28 ± 0,72 (ikan baracuda). Hasil perhitungan trofik level
130

ikan yang tertangkap dengan sero relatif lebih tinggi dibanding yang didapatkan
oleh Asriyana (2011) di perairan Teluk Kendari dengan alat tangkap pukat pantai.
Ikan planktivor yang tertangkap berada pada kisaran trofik level 2,32 - 2,92;
ikan omnivor berkisar antara 2,46 - 4,49; dan ikan karnivor 3,41 - 5,00. Rata-rata
trofik level (dihitung dari semua waktu pengamatan) setiap jenis ikan relatif sama
antara ketiga habitat. Kemiripan rata-rata trofik level ikan spesies yang sama
antara ketiga habitat diduga terkait dengan pola migrasi harian jenis ikan yang
terjadi diantara ketiga habitat sehingga jenis makanan yang menjadi dasar
penentuan trofik level juga mirip.
Mengacu pada komposisi berat hasil tangkapan (Tabel 4) maka diketahui
bahwa komposisi biomassa ikan planktivor, omnivor, dan karnivor hampir
berimbang dengan persentase biomassa secara berurut 27,13%, 36,94% dan
35,93%. Apabila komposisi biomassa total hasil tangkapan dari semua habitat
dihitung berdasarkan trofik level maka didapatkan bahwa persentase ikan trofik
level < 3, 3-4 dan > 4 secara berurut adalah 34,87%, 29,20% dan 35,93%.
Proporsi biomassa hasil tangkapan yang relatif berimbang antar ketiga trofik
level mengindikasikan bahwa kondisi ekologis ketiga ekosistem pantai di perairan
pitumpanua dilihat dari trofik level ikan yang tertangkap dengan sero relatif masih
baik. Masih tingginya proporsi ikan karnivor pada trofik level > 4 khususnya
barakuda merupakan indikator penting bahwa rantai makanan (food chain) relatif
masih baik dan mendukung untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan-
ikan pada trofik level lebih tinggi. Berbeda dengan yang didapatkan Hatta (2010)
dan Sudirman (2003) yang mendapatkan proporsi trofik level ikan karnivor yang
tertangkap dengan bagan rambo sangat rendah di Perairan pantai Kabupaten Barru
yang menunjukkan bahwa telah terjadi overfishing di wilayah tersebut.
Kesenjangan proporsi ikan karnivor yang cukup jauh antara ikan barracuda
dengan ikan kuwe, dan lencam pada trofik level yang hampir sama dengan
barracuda mengindikasikan bahwa jejaring makanan (food web) di lokasi
penelitian sedikit terganggu. Fakta dari kesenjangan ini menunjukkan bahwa
meskipun terjadi perpindahan energi dan biomassa dari trofik level rendah sampai
ke trofik level lebih tinggi (> 4) namun hanya intensif pada salah satu jalur rantai
makanan saja yaitu rantai pada ikan baracuda. Rantai makanan pada jalur yang
131

menuju pada ikan kuwe dan lencam menunjukkan aliran biomassa dan energi
yang sangat kecil.
Kondisi ketidak seimbangan proporsi antara ketiga jenis ikan karnivor
dengan asumsi bahwa proporsi ketiga jenis ikan karnivor tersebut yang tertangkap
proporsional dengan populasinya di alam dapat terjadi karena beberapa faktor
diantaranya :
1. Pengaruh parameter lingkungan yang menyebabkan perbedaan terhadap :
kelimpahan item makanan pokok baik larva maupun dewasanya, kelangsungan
hidup fase larva dan juvenil ketiga jenis ikan karnivor tersebut.
2. Toleransi terhadap fluktuasi di lingkungan pantai yang berbeda antara ketiga
jenis ikan karnivor.
3. Perbedaan fekunditas antara ketiga jenis ikan karnivor.
4. Kemampuan kompetisi yang berbeda antara ketiga jenis ikan karnivor baik
terhadap ruang maupun terhadap makanan.
5. Laju mortalitas dan laju tangkap yang berbeda oleh alat tangkap lain selain
sero terhadap ketiga jenis ikan karnivor.
Mengacu pada hasil yang didapatkan dalam penelitian ini maka dari analisis
isi lambung maka dapat dijelaskan bahwa sangat besar kemungkinan bahwa ikan
barracuda memiliki kemampuan kompetisi yang lebih unggul dibanding kedua
jenis ikan karnivor lainnya yaitu ikan kuwe dan lencam. Fakta yang mendukung
dugaan ini adalah kemiripan dan overlap item makanan diantara ketiga jenis ikan
tersebut. Fraksi makanan bony fishes dimakan oleh ketiga jenis ikan, telur/larva
ikan, dan udang-udangan dikonsumsi bersama oleh ikan barracuda dan ikan kuwe,
cepalophoda (cumi-cumi) dikonsumsi oleh ikan barracuda bersama ikan lencam.
Melihat dari item makanan barracuda yang kesemuanya overlap dengan kedua
jenis ikan lainnya maka seharusnya ikan barracuda yang paling rendah
populasinya (proporsional yang tertangkap) apabila kemampuan kompetisinya
sama. Karena sebaliknya menunjukkan fakta yang terbalik dimana proporsi ikan
barrcuda lebih tinggi maka hanya sangat mungkin terjadi apabila kemampuan
kompetisi ikan barracuda lebih tinggi dibanding kedua ikan lainnya terutama
dalam mendapatkan makanan dengan asumsi faktor lain yang mempengaruhi
seperti dijelaskan di atas dianggap sama.
132

Secara teoritis apabila kemampuan kompetitif antara ketiga jenis ikan


karnivor sama maka yang berpeluang memiliki populasi yang lebih tinggi adalah
ikan lencam karena memiliki spektrum makanan yang lebih luas dibanding ikan
barracuda dan kuwe. Sesuai fakta ini pula maka dapat diduga bahwa kemungkinan
besar bony fishes sebagai fraksi makanan yang dikonsumsi oleh ketiga jenis ikan
karnivor menjadi item makanan utama dari ketiga jenis ikan tersebut. Jika tidak
maka semestinya ikan lencam yang spektrum makanannya lebih luas memiliki
populasi yang lebih tinggi karena apabila bony fishes terbatas maka dia dapat
mengkonsumsi jenis lainnya yang tidak bersaing dengan ikan kuwe maupun
barracuda.
Keunggulan kompetitif ikan barakuda sangat ditunjang oleh morfologi dan
fisik terkait dalam mendapatkan makanan. Ikan barracuda merupakan ikan pelagis
yang dilengkapi gigi-gigi yang tajam, mata, dan kemampuan renang yang lebih
cepat sangat memungkinkan ikan ini lebih unggul dibandingkan dengan lencam
dan kuwe dalam mencari dan memperebutkan makanan yang umumnya terdiri
dari nekton yang aktif bergerak.

8.5 KESIMPULAN DAN SARAN


8.5.1 Kesimpulan

1. Setiap jenis ikan cenderung memiliki fraksi makanan yang tidak berbeda
menurut habitat dan variasi komposisi item makanan berdasarkan waktu
pengamatan relatif sangat kecil.
2. Kondisi ekologis ketiga ekosistem pantai di perairan pitumpanua dilihat dari
trofik level ikan yang tertangkap dengan sero relatif masih baik.
3. Ikan planktivor yang tertangkap berada pada kisaran trofik level 2,32 - 2,92,
ikan omnivor pada kisaran 2,46 - 4,49, dan ikan karnivor pada kisaran 3,41-
5,00.
133

8.5.2 Saran

Sebaiknya perlu penelitian lanjutan mengenai trofik level pada hasil


tangkapan alat tangkap lain untuk melihat jalur rantai makanan yang terjadi
di perairan pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone.
134
135

9 PEMBAHASAN UMUM

Konsep dasar dalam manajemen perikanan tangkap mengacu pada


perspektif pengelolaan sumberdaya berkelanjutan yaitu ramah lingkungan dan
menguntungkan secara ekonomis. Pengelolaan sumberdaya perikanan sebaiknya
menerapkan sistem perikanan berkelanjutan sehingga tidak terjadi eksploitasi
yang menyebabkan overfishing. Hal ini dapat ditempuh melalui pemeliharaan
ekosistem dan penggunaan alat tangkap yang bersifat ramah terhadap lingkungan.
Sebagai suatu sistem usaha apalagi jika berkembang sampai pada tingkat
pengembangan industri perikanan maka secara ekonomis sebuah sistem perikanan
harus bersifat menguntungkan. Pengelolaan yang sifatnya menguntungkan dapat
meningkatkan kesejahteraan nelayan sebagai obyek pelaku.
Berkaitan dengan konsep manajemen perikanan yang dijelaskan di atas,
maka sebaiknya dalam pengelolaan perikanan di wilayah pantai tetap menjaga
kelestarian fungsi-fungsi ekosistem yang beragam agar daya dukung lingkungan
tetap dapat dipertahankan dan mampu mendukung produksi berbagai sumberdaya
yang menjadi target pengelolaan. Sehubungan dengan kemudahan akses wilayah
pantai maka sebaiknya dampak aksesbilitas tinggi ini tidak bersifat negatif yaitu
merusak ekosistem, sebaliknya harus besifat positif dengan memaksimalkan
pemeliharaan habitat-habitat dalam semua ekosistem penyusun pantai. Salah satu
aspek penting dan berpotensi merusak ekosistem dan mengganggu kelestarian
sumberdaya alam dan biota laut di dalamnya adalah penggunaan alat tangkap
yang tidak ramah terhadap lingkungan. Oleh sebab itu sebaiknya alat tangkap
yang digunakan dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan di wilayah pantai adalah
alat tangkap yang selektif dan tidak merusak habitat bilamana alat tangkap
tersebut dioperasikan. Selektivitas alat tangkap sebaiknya tidak hanya mengacu
kepada kalkulasi besaran populasi yang diloloskan tetapi juga mempertimbangkan
aspek dinamika populasi sumberdaya ikan dalam wilayah pantai. Untuk itu sangat
diperlukan kajian mengenai sistem rantai dan jaring makanan yang terkait dengan
target penangkapan setiap jenis alat yang digunakan.
Selain dicirikan oleh keberadaan vegetasi yang menjadi ciri utama, tiga
habitat yang menjadi tempat pemasangan sero dengan experimental crib memiliki
136

karakteristik kimia fisika lingkungan yang berbeda (Gambar 9 & 10 pada Bab V).
Habitat muara sungai mempunyai ciri menonjol dalam hal kandungan nitrat,
fosfat, dan kecepatan arus yang tinggi. Sementara itu dua habitat lainnya yaitu
lamun dan mangrove mempunyai ciri menonjol dalam hal suhu, DO, pH, salinitas,
dan silikat yang tinggi, dan secara statistik kandungan silikat tidak berbeda nyata
berdasarkan habitat (Lampiran 8).
Selanjutnya, komunitas ikan yang direpresentasikan sebagai kelompok dari
9 spesies ikan dominan, kepiting rajungan, dan udang putih ternyata memiliki
keterkaitan dengan karakteristik habitat. Perbedaan karakteristik lingkungan dan
komunitas ikan menunjukkan bahwa komposisi taksa penyusun komunitas ikan
berkaitan erat dengan karakteristik habitat. Jenis ikan biji nangka, baronang
lingkis, kerong-kerong, kuwe, baronang, dan barakuda lebih berasosiasi dengan
habitat lamun. Ikan pepetek, kapas-kapas, dan lencam lebih berasosiasi dengan
habitat dekat mangrove sedangkan udang putih dan kepiting rajungan lebih
berasosiasi pada habitat muara sungai. Dengan demikian pendekatan atau strategi
pengelolaan yang akan diterapkan pada kawasan pesisir harus memperhatikan
ragam dari ekosistem yang ada. Adanya ragam dari ekosistem tersebut
memberikan konsekuensi bahwa pengelolaan perikanan di kawasan pesisir tropika
sebaiknya tidak menerapkan pendekatan single species fisheries management
(Widodo dan Suadi 2008).
Berdasarkan kondisi lingkungan secara umum di lokasi penelitian yang
dijelaskan (Bab V) menunjukkan perbedaan yang signifikan parameter fisika-
kimia dan biologi antara ketiga habitat yang diteliti. Selama penelitian parameter
lingkungan mengalami fluktuasi sehingga terlihat adanya variasi temporal
berdasarkan waktu pengamatan, meskipun tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan dalam nilai rata-rata nutrien, klorofil-a, dan arus. Kisaran parameter
lingkungan pada tiga habitat selama penelitian menunjukkan bahwa perairan
pantai di lokasi penelitian masih layak dan dalam batas nilai yang masih
ditoleransi untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup beberapa jenis ikan yang
tertangkap dengan alat tangkap sero. Selain itu kondisi umum perairan juga
masih dalam batas yang layak untuk pertumbuhan dan kelangsungan beberapa
biota laut termasuk yang menjadi makanan ikan terhadap ikan yang tertangkap
137

dengan sero. Hal ini ditunjukkan dari kisaran nilai amatan yang tidak
memperlihatkan nilai ekstrim yang jauh di bawah maupun di atas ambang batas
kebutuhan biota laut pada umumnya.
Distribusi spasiotemporal parameter lingkungan berdampak pada proses
dan kondisi ekologis dalam ekosistem pantai. Karakteristik lingkungan pada
setiap habitat yang terlihat dari fluktuasi parameter lingkungannya berimplikasi
pada aspek biologis baik terhadap ikan maupun terhadap makanannya. Perbedaan
toleransi dan preverensi ikan dan organisme makanan ikan berpengaruh secara
langsung maupun tidak langsung terhadap kelimpahan ikan yang ada pada setiap
habitat dalam suatu waktu tertentu. Lebih lanjut dampak perubahan
spasiotemporal parameter lingkungan tersebut menyebabkan perbedaan
kelimpahan dan hasil tangkapan beberapa jenis ikan pada masing-masing habitat.
Hasil analisis hubungan antara biomassa ikan hasil tangkapan sero dengan
parameter lingkungan yang pada umumnya menunjukkan hubungan linier yang
signifikan menguatkan argumen bahwa dampak dari perubahan dan perbedaan
parameter lingkungan antar habitat mempengaruhi kelimpahan ikan yang ada
pada setiap habitat. Hasil analisis itu juga menjelaskan fakta bahwa keberadaan
ikan dalam suatu habitat tertentu dipengaruhi oleh interaksi berbagai faktor
lingkungan atau tidak hanya dikontrol oleh salah satu faktor lingkungan saja.
Faktor lain yang tidak dianalisis dalam penelitian ini juga memiliki pengaruh
terhadap kelimpahan ikan yang ada di setiap habitat. Lebih spesifik dapat
dijelaskan bahwa variabilitas faktor lingkungan dominan yang paling
mempengaruhi biomassa setiap jenis ikan yang tertangkap menguatkan bahwa
setiap jenis ikan memiliki preverensi dan toleransi yang beragam terhadap
parameter lingkungan. Hasil ini diperkuat dengan analisis factorial
correspondence analysis (FCA) yang menunjukkan bahwa terdapat asosiasi yang
kuat antara satu jenis ikan dengan habitat.
Asosiasi antara spesies ikan dengan habitat yang dikaji secara umum tanpa
melihat ukuran (menggunakan biomassa total) dalam analisis FCA
menggambarkan secara umum pemilihan tipe habitat setiap jenis ikan.
Jika dikaitkan dengan analisis ragam (ANOVA) biomassa dan jumlah ikan
berdasarkan habitat, maka lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa terlihat adanya
138

jenis ikan yang mengalami perubahan preverensi habitat berdasarkan ukurannya.


Hal ini diperkuat dari hasil analisis ragam yang menunjukkan perbedaan biomassa
tetapi tidak berbeda jumlahnya antar habitat atau sebaliknya perbedaan jumlah
tetapi biomassa tidak berbeda, dan inkonsistensi dalam perbedaan jumlah dan
berat antar habitat. Perubahan dan perbedaan biomassa dan jumlah ikan yang
tertangkap berdasarkan habitat ini dapat terjadi karena pengaruh langsung maupun
tidak langsung parameter lingkungan baik terhadap ikan maupun terhadap
makanannya.
Perbedaan preverensi dan toleransi setiap jenis ikan terhadap parameter
lingkungan yang terjadi secara simultan dengan perubahan ukuran ikan
mempengaruhi secara langsung kondisi fisiologis setiap jenis ikan dan
makanannya. Hasil analisis isi lambung memperlihatkan bahwa jenis-jenis ikan
yang tertangkap dengan sero memiliki kebiasaan makanan yang berbeda yang
terdiri dari ikan planktivora, omnivora, dan karnivora. Proporsi secara total ikan
planktivora, omnivora dan karnivora dan kisaran trofik level <3, 3-4 dan >4 yang
hampir berimbang mengindikasikan bahwa secara umum rantai makanan masih
cukup efektif ditransfer dari trofik rendah ke trofik yang lebih tinggi. Hal ini
mengindikasikan dan menguatkan bahwa kondisi lingkungan di lokasi penelitian
masih layak untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup berbagai jenis ikan yang
tertangkap dengan sero. Hanya saja jika dikaji lebih mendalam tentang jejaring
makanan (food webs) maka nampak bahwa hanya efektif dalam rantai tertentu
yang proporsinya jauh lebih besar ke ikan barakuda. Transfer energi dalam rantai
makanan yang melalui ikan lencam dan kuwe jauh lebih sedikit dibandingkan ke
ikan barakuda. Variasi antar habitat trofik level setiap jenis ikan tersebut terkait
dengan adamya perbedaan parameter lingkungan, preverensi habitat, dan
perubahan ukuran setiap jenis ikan yang terjadi secara simultan.
Sehubungan dengan ukuran ikan dan alat tangkap sero yang sifatnya pasif
dan memiliki ukuran mata jaring maka kajian selektivitas alat tangkap
menunjukkan bahwa proporsi antara biomassa ikan yang layak tangkap dengan
tidak layak tangkap pada ukuran mata jaring 4 cm bervariasi antara jenis ikan dan
habitat. Hasil analisis memperlihatkan bahwa hanya ikan barakuda dan pepetek
yang tertangkap sudah memenuhi panjang yang diperbolehkan, ikan kapas-kapas
139

dan biji nangka mendekati panjang yang diperbolehkan, sedangkan baronang


lingkis, baronang, kerong-kerong, dan kuwe masih jauh dari panjang yang
diperbolehkan. Bahkan ikan kuwe tidak ada yang tertangkap dengan ukuran
panjang yang diperbolehkan (ukuran layak tangkap).
Mengacu pada hasil analisis parameter lingkungan, hasil tangkapan dan
hubungannya dengan parameter lingkungan, kajian trofik level dan selektivitas
sero mata jaring 4 cm maka dapat dirumuskan alternatif pengelolaan perikanan
sero di lokasi penelitian. Fakta bahwa kajian selektivitas alat tangkap yang
memperlihatkan bahwa hanya ikan barakuda dan pepetek yang memenuhi panjang
yang diperbolehkan maka alternatif yang paling ideal adalah meningkatkan
ukuran mata jaring menjadi > 4 cm. Rekomendasi ini didasarkan pada
pertimbangan dari nilai ekonomis ikan, keramahan alat tangkap sero, dan daya
dukung lingkungan.
Berdasarkan nilai ekonomis, kedua jenis ikan ini secara ekonomis bukan
merupakan jenis yang memiliki nilai ekonomis tertinggi. Harga satuan ikan
pepetek dan barakuda sebesar Rp 3000,- dan Rp 12000,- per kg jauh lebih rendah
dibandingkan ikan kuwe dan lencam yang berharga Rp 19000,- dan Rp 20000,-
per kg. Dengan meningkatkan mata jaring > 4 cm maka peluang meningkatnya
populasi jenis ikan lain yang lebih ekonomis terutama pada trofik lebih tinggi
seperti ikan lencam dan kuwe. Peningkatan ukuran mata jaring sero > 4 cm
berpeluang meningkatkan populasi ikan kuwe dan lencam pada trofik level yang
lebih tinggi melalui 2 mekanisme yaitu peningkatan populasi ikan melalui
peningkatan rekruitmen akibat meloloskan ikan yang lebih besar sehingga ikan
yang berpeluang memijah lebih besar sehingga tambahan populasi dari kelahiran
semakin besar. Mekanisme lain adalah pengaruh tidak langsung terhadap populasi
makanan ikan lencam dan kuwe. Penambahan ukuran mata jaring menyebabkan
ukuran ikan dan beberapa jenis nekton lainnya yang menjadi makanan ikan
lencam yang tertangkap dengan mata jaring 4 sebagian akan diloloskan sehingga
meningkatkan daya dukung untuk makanan ikan pada trofik level yang lebih
tinggi termasuk ikan lencam dan kuwe.
Alternatif peningkatan mata jaring sero menajdi > 4 cm secara teoritis
memang memungkinkan untuk menangkap ikan pada ukuran yang seharusnya
140

atau diperbolehkan ditangkap dan hal itu ramah terhadap lingkungan.


Implementasi di lapangan sangat mungkin mengalami berbagai kendala terutama
dalam hal penurunan hasil tangkapan yang drastis dalam jangka pendek. Hal itu
jelas akan berdampak penolakan oleh sebagian nelayan yang kehidupannya
sepenuhnya bergantung pada hasil tangkapan sero. Masalah ini dapat dipecahkan
melalui pendekatan dan alternatif yaitu regulasi ukuran mata jaring berdasarkan
habitat dalam jangka pendek sebelum menerapkan ukuran pada semua habitat
dalam jangka tertentu.
Mengacu pada keseluruhan hasil analisis dan kajian dalam penelitian ini
terlihat bahwa ikan biji nangka, baronang lingkis, kerong-kerong, kuwe,
baronang, dan barakuda yang asosiasinya lebih dekat ke lamun maka dapat
diterapkan penetapan ukuran mata jaring > 4 cm yang diperbolehkan di lamun.
Mengingat pada habitat lamun lebih banyak jenis ikan yang berasosiasi dibanding
pada habitat sekitar mangrove dan muara sungai, sedangkan di habitat muara
sungai dan sekitar mangrove dalam waktu tertentu diperbolehkan ukuran 4 cm.
Berikutnya setelah jangka waktu tertentu (perlu dikaji khusus berapa waktu
tepatnya) aturan yang sama diberlakukan di muara sungai dan sekitar mangrove
karena di habitat tersebut berasosiasi ikan lencam yang juga bernilai ekonomis
penting. Pemberlakuan secara bertahap ini dapat mengatasi masalah penurunan
hasil tangkapan yang drastis bagi nelayan dan masih menggunakan alat tangkap
yang berukuran 4 cm. Jeda waktu regulasi ini dapat memberikan kesempatan
kepada nelayan untuk mempersiapkan alat tangkap baru dan tidak secara drastis
mengalami penurunan hasil tangkapan yang dapat mengganggu kehidupan sehari-
hari nelayan.
Opsi alternatif rekomendasi dalam regulasi perikanan sero dalam kaitan
penerapan ukuran mata jaring > 4 cm secara bertahap berdasarkan habitat
didasarkan pada fakta bahwa ternyata kondisi lingkungan di lokasi penelitian
masih mendukung dan layak untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan
yang tertangkap dengan sero dan makanannya. Hal ini berarti bahwa daya dukung
ekologis untuk mendukung populasi ikan masih cukup baik namun terjadi
ketimpangan dan ketidakseimbangan transfer biomassa antar rantai dalam jaring
makanan dimana rantai ke ikan barakuda yang jauh lebih efektif. Atas dasar
141

itulah sehingga dengan penerapan ukuran mata jaring > 4 cm secara konseptual
berpeluang dapat mengembalikan keseimbangan antar rantai makanan sehingga
keseimbangan hasil tangkapan pada trofik level yang lebih tinggi. Pada akhirnya
dengan regulasi ini maka dalam jangka panjang proporsi ikan yang bernilai
ekonomis lebih tinggi akan semakin meningkat.
142
143

10 KESIMPULAN DAN SARAN

10.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :


1. Kondisi lingkungan secara umum menunjukkan perbedaan yang signifikan
parameter fisika-kimia dan biologi antara ketiga habitat, namun kisaran
parameter lingkungan pada tiga habitat selama penelitian menunjukkan bahwa
perairan pantai masih layak dalam batas nilai yang masih ditoleransi untuk
pertumbuhan dan kelangsungan hidup beberapa jenis ikan yang tertangkap
dengan alat tangkap sero.
2. Pengelolaan sero harus memperhatikan ragam dari ekosistem yang ada karena
adanya perbedaan komunitas ikan pada ketiga habitat yaitu ikan biji nangka,
baronang lingkis, kerong-kerong, kuwe, baronang, dan barakuda lebih
berasosiasi pada habitat lamun. Ikan lencam, kapas-kapas, dan pepetek lebih
berasosiasi pada habitat sekitar mangrove sedangkan udang putih dan kepiting
rajungan berasosiasi dengan muara sungai.
3. Berdasarkan analisis selektivitas mata jaring 4 cm pada experimental crib sero
didapatkan hanya ikan barakuda dan pepetek yang tertangkap sudah memenuhi
panjang yang diperbolehkan (L50%), ikan kapas-kapas dan biji nangka
mendekati panjang yang diperbolehkan, sedangkan baronang lingkis,
baronang, kerong-kerong, dan kuwe masih sangat kecil dari panjang yang
diperbolehkan.
4. Pengelolaan perikanan sero di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone
sebaiknya menerapkan ukuran mata jaring > 4 cm di habitat lamun sedangkan
di muara sungai dan dekat mangrove dengan ukuran mata jaring 4 cm.

10.2 Saran

Alat tangkap sero di perairan pantai Pitumpanua sebaiknya menggunakan


ukuran mata jaring lebih besar 4 cm. Diperlukan penelitian lanjutan terhadap
kajian yang sama pada alat tangkap lain sehingga pengelolaan perikanan yang
berkelanjutan dapat diterapkan di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone
144
145

DAFTAR PUSTAKA
[APHA] American Public Health Association. 2005. Standard methods for the
examination of water and wastewater 21th edition. American Public Health
Association. American Waters Works Association and Water Pollution
Control Federation. Washington.

Adam. Jaya I, Sondita MF. 2006. Model numerik difusi populasi rajungan di
Perairan Selat Makassar. J Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia,
XII (2):83-88.

Fahmi, Adrim M. 2009. Diversitas ikan pada komunitas padang lamun di perairan
pesisir Kepulauan Riau. J Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 35:75-
90.

Afdal, Riyono SH. 2004. Sebaran klorofil-a kaitannya dengan kondisi hidrologi di
Selat Makassar. J. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 36:69-82.

Al-Gahwari YAK. 2003. Use of Phytoplankton Abundance and Species Diversity


for Monitoring Coastal Water Quality. (Tesis) Malaysia: Universiti Sains
Malaysia.

Alianto, Adiwilaga EM, Damar A. 2008. Produktivitas primer fitoplankton dan


keterkaitannya dengan unsur hara dan cahaya di perairan Teluk Banten.
J Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 15(1):21-26.

Allam SM, Faltas SN, Ragheb E. 2004. Age and growth of barracudas in the
Egyptian Mediterania Waters. Journal of Aquatic Research 30(B):281-
289.

Amiruddin 2006. Interaksi predasi teri (Stolephorus spp) selama proses


penangkapan ikan dengan bagan rambo: Hubungannya dengan
kelimpahan plankton (tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.

Anakotta ARF. 2002. Studi Kebiasaan Makanan Ikan-Ikan yang Tertangkap


di Sekitar Ekosistem Mangrove Pantai Oesapa dan Oebelo Teluk Kupang
– Nusa Tenggara Timur (tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. 121 hal

Andriyani 2004. Analisis Hubungan Parameter Fisika-Kimia dan Klorofil-A


dengan Produktivitas Primer Fitoplankton di Perairan Pantai Kabupaten
Luwu (Tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. 85 hal

Arami H. 2006. Seleksi Teknologi Penangkapan Ikan Karang Berwawasan


Lingkungan dalam Pengembangan Perikanan Tangkap di Kepulauan
Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
146

Aranchibia H, Neira S. 2005. Long-term change in the mean trophic level of


Central Chile fisheries landings. J. Marine Sci 69(2): 295-300.

Arief D. 1992. A Study on Low Frequency Variability in Current and Sea Level in
the Lombok Strait and Adjacent Region. (Dissertation). Lousiana:
Lousiana State University: 198 Pp.

Arinardi OH. 1989. Zooplankton di perairan sekitar Cilacap (Jawa Tengah) dan
hubungannya dengan perikanan. J Penelitian Perikanan Laut 53:97-105.

Aryawati R. 2007. Kelimpahan dan Sebaran Fitoplankton di Perairan Berau


Kalimantan Timur (tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. 81 hal

Asriyana 2011. Interaksi Trofik Komunitas Ikan Sebagai Dasar Pengelolaan


Sumber Daya Ikan di Perairan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara
(disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 106 hal.

Azis MF. 2007. Tipe estuari Binuangeun (Banten) berdasarkan distribusi suhu
dan salinitas perairan. J. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 33:97-
110.

Bengen, DG. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta
Prinsip Pengelolaannya. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan, Institut Pertanian Bogor.

Boer M, Aziz KA, Widodo J, Djamali A, Ghofar A, Kurnia R. 2001. Potensi


Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumberdaya Ikan Laut di
Perairan Indonesia. Jakarta: Direktorat Riset dan Eksplorasi Sumberdaya
Hayati, Direktur Jenderal Penyerasian Riset dan Eksplorasi Laut.
Departemen Kelautan dan Perikanan Bekerjasama-Komisi Pengkajian
Sumberdaya Perikanan Laut-Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Institut Pertanian Bogor. 44 hal.

Budiman, Supriharyono, Asriyanto. 2006. Analisis sebaran ikan demersal sebagai


basis pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Kendal. J Pasir Laut 2
(1):52-63

Chande AL, Mgaya YD. 2003. The Fisheries of Portunus pelagicus and Species
Diversity of Portunid Crabs the Coast of Dar es Salaam, Tanzania.
Western Indian Ocean. J. Marine Sci II(1):75-84.

Chassot E, Gascuel D, & Colomb A. 2005. Impact of trophic interactions on


production function and on the ecosystem response to fishing: a simulation
approach. Aquatic Living Resources 18: 1–3.

Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan


Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 412 hal.
147

Dangnga S, Tenriware, Nur M. 2009. Karakteristik Parameter Lingkungan


Kaitannya Pengembangan Alat Tangkap Sero di Perairan Teluk Bone
Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo. J. Agribisnis I:1-10.

Djokosetiyanto D, Rahardjo S. 2006. Kelimpahan dan keanekaragaman


fitoplankton di perairan pantai Dadap Teluk Jakarta. J Ilmu-ilmu Perairan
dan Perikanan Indonesia 13(2):135-141.

Douglas RM. 2001. Physical Oceanography. Illinois: Department of Geophysical


Science, University of Chicago. 157 pp.

Duxburry AB 2002. Fundamental of Oceanography-4th eds. New York: McGraw-


Hill Companies. 344 pp.

Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.


163 hal.

Ernawati T, Sumiono B. 2006. Sebaran dan kelimpahan ikan kuniran (Mullidae)


di perairan selat Makassar. Prosiding Seminar Nasional Ikan IV, Jatiluhur,
29-30 Agustus 2006. Hal 95-104.

Fachrul MF. 2007. Metode sampling bioekologi. Edisi 1. Jakarta: Bumi Aksara.
198 hal.

FAO. 1999. Regional guildelines for responsible fisheries in Southeast Asia.


Bangkok: South Asian Fisheries Development Centre. 71 p.

Fortes MD. 1989. Seagrass: A Resources Unknown in the ASEAN Region.


ICLARM Education Series 5. Manila: ICLARM, Philippines. 46 pp.

Fridman AL. 1986. Perhitungan dalam Merancang Alat Penangkap Ikan. Revisi
dan diedit dan dikembangkan oleh PJG Carrothers. Team Penterjemah
BPPI. Semarang. 300 hal.

Genisa AS. 1999. Pengenalan jenis-jenis ikan laut ekonomis penting di Indonesia.
Oseana 24(1):17-38.

Gilanders BM. 2006. Seagrasses, Fish, and Fisheries. In Larkum AWD, Orth RJ.
Duarte CM (Eds), Seagrasses: Biology, Ecology, and Conservation,
Springer, The Netherland. 503-536pp

Gulland JA. 1974. Fish Stock Assessment. A Manual of Basic Methods. Wiley
Series on Food Agriculture FAO. Volume 1: 241p.

Gunarso W. 1996. Tingkah laku ikan dan set net. Diktat kuliah [tidak
dipublikasikan]. Bogor: Departemen PSP Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan. IPB. 64 hal.
148

Hadikusumah, Nurhayati, Wenno LF. 2001. Variasi Suhu dan Salinitas di Perairan
Mamberamo Irian Jaya, Agustus 2000. Dalam: Aziz, dan Muchtar (eds).
Perairan Indonesia: Oseanografi, Biologi dan Lingkungan. Jakarta: Pusat
Penelitian Oseanografi – LIPI. 9-19.

Hasanuddin M. 2007. Kondisi oseanografi perairan Natuna Provinsi Kepulauan


Riau. Profil sumberdaya laut di perairan laut Cina Selatan dan sekitarnya.
J Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 33:111-125.

Hatta M. 2009. Pemangsaan zooplankton terhadap fitoplankton di perairan


Kabupaten Barru, Selat Makassar. J Omni Akuatika V(9): 1-13.

Hatta M. 2010. Hubungan antara kelimpahan fitoplankton dengan parameter


lingkungan di Perairan Kabupaten Barru, Selat Makassar. J Ilmiah Forum
Pascasarjana IPB 33(1):1-11.

Hatta M. 2010. Struktur dan Dinamika Trofik Level di Daerah Penangkapan


Perikanan Bagan Rambo Kabupaten Barru Sulawesi Selatan (disertasi).
Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 268 hal

Hutagalung H, Setiapermana D, Riyono SH, (eds). 1997. Metode Analisis Air


Laut, Sedimen dan Biota, Buku 2. Jakarta: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Hutomo M, Burhanuddin, Martosewojo S. 1987. Sumberdaya Ikan Teri di


Indonesia. Seri Sumberdaya Alam. Jakarta: 80 hal

Imron M. 2008. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Demersal yang


Berkelanjutan di Perairan Tegal Jawa Tengah (disertasi). Bogor: Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 226 hal

Jalil, Mallawa A, Ali SA. 2003. Biologi populasi ikan baronang lingkis (Siganus
canaliculatus) di perairan Kecamatan Bua Kabupaten Luwu. J Sains dan
Teknologi 3:8-14.

Jaureguizar AJ & Milessi AC. 2008. Assessing the sources of the fishing down
marine food web process in the Argentinean-Uruguayan common fishing
zone. J Scientia Marina 72(1): 25–36.

Jazayeri A, Papan F, Savari A, Nejad TS. 2011. Biological investigation of


Persian Gulf blue swimmer crab (Portunnus pelagicus) in Khuzestan
coast. J American Sci. VII(2): 7-13.

Jones R. 1976. Mesh regulation in the demersal fisheries of the South China Sea
area. Manila: South China Sea Fisheries Development and Coordinating
Programme. SCS/76/WP/34 : 75pp.
149

King CAM. 1963. An Introduction to Oceanography. New York: McGraw Hill


Book Company.

KKP Wajo. 2010. Data Statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Wajo Tahun 2002-2008.

Kleimbaum DG, Kupper LL, Muller KE. 1988. Applied Regression Analysis
and Other Multivariable Methods. 2nd Edition. Boston: PWS-KENT
Publishing Company.

Krajangdara T. 2004. Reproductive of pinkear emperor, Lethrinus lentjan


(Lacepede, 1802) in Phang-nga Bay and Adjacent Water. Abstract.
http://www.gbrmpa.gov.au (diakses 17 Nopember 2011).

Kurnia M. 2003. Perbandingan hasil tangkapan bubu pada jenis terumbu buatan
bambu dan ban di perairan teluk Bone. J Sains dan Teknologi 3:57-64.

Laevastu T, Hela I. 1981. Fisheries Oceanography. London: New Ocean


Environmental Services, Fishing News (Books) Ltd. 145p.

Lai JCY, Peter KL, Davie PJF. 2010. A Revision of the Portunnus pelagicus
(Linnaeus, 1758) Species Complex (Crustacea: Brachyura: Portunidae),
with the Recognition of Four Species. The Raffles Bulletin of Zoology, 58
(2):199-237

Legendre L, Legendre P. 1983. Numerical Ecology. Elsevier Scientific Publishing


Company.

Levinton JS. 1982. Marine Ecology. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.


Englewood Cliffs.

Losanes LP, Koike T, Machii, Matsuda K. 1990. Selectivity of semi trammel net
to gizzard shad Konosirus punctatus. Proceedings of the Second Asian
Fisheries Forum. Manila: Asian Fisheries Society. Pp 825-828.

Ludiro D, Supriatna, Dame A. 1999. Studi Konservasi dan Konservasi Lahan


Mangrove. Makalah disampaikan pada Workshop Penelitian Lintas
Disiplin Pesisir Timur Sulawesi Selatan. Sengkang, Nopember 1999. 15
hal

Machado IF, Dumont LPC, D’incao F. 2009. Stage of Gonadal Development and
Mean Length at First Maturity of Wild Females of White Shrimp
(Liptopenaeus schmitti – Decapoda, Penaeidae) in Southern Brazil.
Atlantica. J Rio Grande, 31 (2): 169-175.

Mackentum, K. M. 1969. The Practice of Water Pollution Biology. United State


Department of Interior. Federal Water Pollution Control. Administration
Division of Technical Support.
150

Mann KH, Lazier JRN. 1991. Dynamics of Marine Ecosystems, Biological-


Physical Interactions in the Ocean. Boston: Blackwell Scientific
Publications.

Manoppo L 1999. Selektivitas Jaring Insang Hanyut Terhadap Ikan Cakalang


(Katsuwonus pelamis) di Perairan Lepas Pantai Selatan Jawa Barat
(tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 101 hal

Marasabessy MD. 2010. Keanekaragaman jenis ikan karang di perairan Pesisir


Biak Timur. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 36(1):63-84.

Marasabessy MD, Edward. 2002. Kondisi oseanografi dan keanekaragaman jenis


ikan di Perairan Raha, Pulau Una, Sulawesi Tenggara. Prosiding Seminar
Nasional Perikanan Indonesia, Jakarta 27-28 Agustus 2002. Jakarta:
Sekolah Tinggi Perikanan.

Mardjudo A. 2002. Studi tentang Selektivitas Pukat Pantai yang Digunakan oleh
Nelayan di Pesisir Teluk Palu-Donggala Sulawesi Tengah (tesis). Bogor:
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Martasuganda S, Purwanto J, Husein S. 1991. Fluktuasi stok ikan kuniran


(Upeneus sulphureus) di perairan Semarang Jawa Tengah. Bulletin
Maritek ITK:hal 68 - 81.

Marwoto, Mahdiana A, Anggoro S, Sukardi. 2006. Analisis Struktur Komunitas


Ikan Hasil Tangkapan Jaring Arad di Perairan Pantai Cilacap. J Sains
Akuatik 10(1): 43-53.

Masrikat JAN. 2009. Kajian Standing Stock Ikan Pelagis Kecil dan Demersal
serta Hubungannya dengan Kondisi Oseanografi di Laut Cina Selatan,
Perairan Indonesia (disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.

Mathew S. 2001. Small-scale fisheries perspective on an ecosystem-based


approach to fisheries management. Reykjavik Conference on Responsible
Fisheries in the Marine Ecosystem, Reykjavik, Iceland, 1-4 October 2001.

Matsuoka T. 1995. A Method to Calculate Selectivity of Gillnets with a Probality


Mode based on Variations of Body Girth. Kagoshima: Faculty Fisheries
Kagoshima University. 15 p.

Monintja DR, Sondita MFA, Nasution C, Barus HR, Mawardi W, Zulkarnaim.


1999. Studi Alat Tangkap Berwawasan Lingkungan. Bogor: Lembaga
Penelitian IPB (tidak dipublikasikan). 61 hal
151

Moustaka-Gouni M, Vardaka E, Michaloudi E, Kormas KAR, Tryfon E,


Mihalatou H, Gkelis S, Lanaras T. 2006. Plankton food web structure in a
eutrophic polymictic lake with a history of toxic cyanobacterial blooms.
Limnology and Oceanography 51(1): 715–727.

Muchlisin ZA, Azizah MNS. 2010. Diversity and distribution of freshwater fishes
in Aceh Water, Northern-Sumatra, Indonesia. International Journal of
Zoological Research 6(2):166-183.

Murifto I. 2000. Analisis Pengaruh Faktor Oseanografi terhadap Sebaran Spasial


dan Temporal Sumberdaya Ikan di Selat Sunda (disertasi) Bogor:
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Nielsen LA, Lampton DJ. 1983. Fisheries techniques. Bethesda Maryland: The
American Fisheries Society. 468 pp.

Nienhuis PHJ, Coosen, Kiswara W. 1989. Cummunity structure and biomassa


distribution of seagrass and macrofauna in the Flores Sea, Indonesia.
Netherland Journal of Sea Research 23(2):197-214

Nikolsky GW. 1963. The Ecology of fishes. London: Academic Press. 352 pp.

Nikoronov IV. 1975. Interaction of Fishing Gear with Fish Aggregations.


Jerussalem: Keter Publishing House. 216 pp.

Nontji A. 1984. Biomassa dan Produktivitas Fitoplankton di Perairan Teluk


Jakarta serta Kaitannya dengan Faktor-Faktor Lingkungan (disertasi).
Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan.

Nontji A. 2005. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Novitriana R, Ernawati Y, Rahardjo MF. 2004. Aspek pemijahan ikan petek,


Leiognathus equulus,Forskall 1775 (Fam. Leiognathidae) di pesisir
Mayangan Subang, Jawa Barat. J Iktiologi Indonesia 4:7-13.

Nurhayati 2002. Karakteristik hidrografi dan arus di Perairan Selat Malaka.


Dalam: Ruyitno, M.Muchtar dan I.Supangat (Eds.). J Perairan Indonesia:
Oseanografi, Biologi dan Lingkungan. Jakarta: Pusat Penelitian
Oseanografi LIPI. Hal 1-8.

Nurhayati 2007. Pola arus permukaan laut di sekitar perairan Teluk Klabat dan
Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Laporan sumberdaya
laut dan lingkungan Bangka Belitung 2003-2007.
(www.oseanografi.lipi.go.id) : 77-86.
152

Nybakken JW. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta:


Gramedia.

Odum, EP. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press.

Parson TR, Takahashi M, Hargrave B. 1984. Biological Oceanographic


Processes. Third Edition. Pergamon Press. UK. 330 p.

Pasquier GA, Pẻrez EPE. 2004. Age and growth of the white shrimp Litopenaeus
schmitti in Western Venezuela. Journal Interciencia 29(4):212-218.

Pauly D. 1977. The Leiognathidae (Teleostei) : their species, stock, and fishery in
Indonesia, with notes on the biology of Leiognathus splendens (Cuvier).
Marine Research Indonesia 19:73-93.

Pauly D, Christensen V, Froese R, Palomares ML. 2000. Fishing down aquatic


food webs. American Scientific 88(1):46-51.

Pauly D, Christensen V. 2002. Ecosystem model. In: Handbook of fish biology


and fisheries Volume II. Fisheries, Hart, P.J.B. and J.D. Reynolds (Eds).
Blackwell Publishing. United Kingdom. p: 210-277

Petersen RG. 1985. Design and analysis of experiments. New York: Marcel
Dekker, Inc..

Phillips RC, Menez EG. 1988. Seagrasses. Smithsonian Contribution to the


Marine Science No. 34. Washington DC: Smithsonian Institution Press.

Pope JA. 1975. Manual of methods for fish stock assesment. Part III. Selectivity
of fishing gear. Rome: FAO Fisheries 41:1-36.

Pope JA, Margetts AR, Hamley JM, Akyuz EF. 1975. Manual of methods for fish
stock assessment. Pt 3. Selectivity of fishing gear. FAO Fisheries Techical
Paper 41 (Rev.1):1-65.

Poppo A, Mahendra MS, Sundra IK. 2009. Studi kualitas perairan pantai di
kawasan industri perikanan, Desa Pengambengan, Kecamatan Negara,
Kabupaten Jembrana. Jurnal Ecotrophic 3(2):98-103.

Pramonowibowo, Hartoko A, Ghofar A. 2007. Kepadatan udang putih (Penaeus


merguiensis De Man) di sekitar perairan Semarang. J Pasir Laut II(2):18-
29.

Prescod MB. 1973. Investigation of national effluent and streams standars for
tropical countries. Bangkok: Asian Institute of Technology.
153

Priharyono JE, Boedihartono, Purwanto, Cohesin EM. 2003. Management of


Coastal Area: Community Empowerment and the Replating of Mangrove
on the Coast Paojepe, South Sulawesi. Annual Report of First, Second and
Third Phase Inter-Disciplinary Research. Departemen of Antropology
Faculty of Sosial and Political Sciences University of Indonesia . 78 hal

Pritchard DW. 1967. Descriptive Physican Oceanography. Second Edition.


Massachussets : Jones and Bartelett Publisher.

Pujiyati S. 2008. Pendekatan Metode Hidroakustik untuk Analisis Keterkaitan


antara Tipe Substrat Dasar Perairan dengan Komunitas Ikan Demersal
(disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Rachmansyah. 2004. Analisis Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk


Awarange, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan bagi Pengembangan
Budidaya Bandeng dalam Keramba Jaring Apung (disertasi). Bogor:
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Rahardjo P. 1997. Some aspect of the biology and population dynamic of goatfish,
Upeneus spp. In Terengganu Water, Peninsular Malaysia. (tesis):
Universiti Putra Malaysia.

Rappe RA. 2010. Struktur komunitas ikan pada padang lamun yang berbeda di
Pulau Barrang Lompo. J Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis 2 (2):62-73

Regier HA, Robson DS. 1966. Selectivity of gill nets, especially to lake whitefish.
Journal of Fisheries Board of Canada 23(3):423-454.

Rengi P. 2002. Pengaruh Hanging Ratio Terhadap Selektivitas Drift Gillnet:


Experimental Fishing di Perairan Kabupaten Bengkalis Riau (tesis)
Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Reuben S, Vijayakumaran K, Kchittibabu. 1992. Growth, Maturity and Mortality


of Upeneus Sulphureus from Andhra-Orissa Coast. Visakhapatnam
Research Center. Central Marine Fisheries Research Institute Ardhra
University.

Ridho MR. 1999. Distribusi, Biomassa dan Struktur Komunitas Sumberdaya Ikan
Demersal di Perairan Pantai Sumatera (tesis). Bogor: Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 88 hal

Ridho MR. 2004. Distribusi, Kepadatan Biomassa dan Struktur Komunitas Ikan
Demersal di Perairan Laut Cina Selatan (disertasi). Bogor: Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 147 hal

Romimohtarto R, Juwana S. 2001. Buku Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan tentang


Biologi Laut. Jakarta: Penerbit Djambatan. 210 hal
154

Rudi E, Iskandar T, Fadli, Hidayati. 2011. Komposisi ikan karang hasil tangkapan
nelayan kota Sabang sebelum dan sesudah peristiwa coral bleaching.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan. Universitas Syiah
Kuala. Banda Aceh, 13-19 April 2011:17-20.

Sachlan M. 1982. Planktonologi. Fakultas Petemakan. Semarang: Universitas


Diponegoro.

Sadarun B. 2011. Proses Tertangkapnya Ikan Karang dengan Small Bottom


Setnet (disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
128 hal.

Safruddin. 2007. Hubungan perubahan suhu dan salinitas dengan fluktuasi hasil
tangkapan purse seine di perairan Kabupaten Jeneponto. J Sains &
Teknologi 7(1):37-44.

Salmin 2005. Oksigen terlarut (DO) dan kebutuhan oksigen biologi (BOD)
sebagai salah satu indikator untuk menentukan kualitas perairan. J Oseana
30(3):21-26.

Saputra SW, Soedarsono P, Sulistyawati GA. 2009. Beberapa aspek biologi ikan
kuniran (Upeneus spp) di perairan Demak. J Saintek Perikanan 5:1-6.

Saputra SW, Subiyanto. 2007. Dinamika Populasi Udang Jerbung (Penaeus


merguiensis De Man 1907) di Laguna Segara Anakan, Cilacap, Jawa
Tengah. J Ilmu Kelautan UNDIP XII (3):157-166.

Shahab AZ. 1986. Telaah Perbandingan Sebaran Burayak Plankton Terutama


Avertebrata Benthik dari Goba-Goba Pulau Pari pada Bulan September –
Desember 1982. Jakarta. PT Waca Utama Pramesti.

Situ YY, Sadovy YJ. 2004. A Preliminary study on local species diversity and
seasonal composition in a Hongkong wet market. Asian Fisheries Science
17:235-248.

Sjafei DS, Robiyani. 2001. Kebiasaan makanan dan faktor kondisi ikan kurisi,
Nemipterus tumbuloides Blkr. di perairan Teluk Labuan, Banten.
J lktiologi Indonesia 1(1): 7–11.

Sjafei DS, Susilawati R. 2001. Beberapa aspek biologi ikan biji nangka Upeneus
moluccensis Blkr. di perairan Teluk Labuan, Banten. J Iktiologi Indonesia
1(1):35-39

Sjafei DS, Syaputra D. 2009. Aspek reproduksi ikan kapasan (Gerres kapas Blkr,
1851, Fam. Gerreidae) di perairan pantai Mayangan, Jawa Barat.
J Iktiologi Indonesia 9:75-84.
155

Sjafei DS, Saadah. 2001. Beberapa aspek biologi ikan petek, Leiognathus
splendens Cuvier di perairan Teluk Labuan, Banten. J Iktiologi Indonesia
1(1):13-17.

Soadiq S. 2010. Eksperimenpenangkapan Ikan Karang dengan Menggunakan


Fyke Net Modifikasi di Kabupaten Selayar (tesis). Bogor: Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor: 71 hal.

Sparre P, Venema SC. 1999. Introduksi pengkajian stok ikan tropis. Part I.
Manual. Rome : FAO Fisheries Technical Paper 306/I (Revisi 2): 1-438
hal [terjemahan].

Subani W. 1990. Buku Pedoman Pengenalan Sumber Perikanan Laut (Jenis-


Jenis Ikan Ekonomis Penting). Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan
Departemen Pertanian. 170 hal.

Subani W, Barus RH. 1989. Alat Tangkap Ikan dan Udang Laut Indonesia.
Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut BPPL. 248 hal.

Sudirman 2003. Analisis Tingkah Laku Ikan Untuk Mewujudkan Teknologi


Ramah Lingkungan dalam Proses Penangkapan pada Bagan Rambo
(disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 307 hal.

Suharyanto, Tjaronge M. 2009. Pertumbuhan dan sintasan krablet Rajungan


(Portunnus pelagicus) pada salintas yang berbeda. J Ichthyos VIII(1):7-12.

Supriyadi IH 2009. Pemetaan lamun dan biota asosiasi untuk identifikasi daerah
perlindungan lamun di Teluk Kotania dan Pelitajaya. J Oseanologi dan
Limnologi di Indonesia 35(2):161-178.

Sutomo AB, Riyono SH, Santoso. 1989. Kandungan klorofil fitoplankton di


Ujung Watu, Jepara, Jawa Tengah. Dalam; Penelitian Oseanologi Perairan
Indonesia, Buku I (Biologi, Geologi, Lingkungan dan Oseanografi). P3O-
LIPI. Jakarta.

Sutomo, Juwana S. 1990. Pengamatan pendahuluan perkembangan gonad betina


ikan baronang (Siganus guttatus) di perairan Pulau Pari, wilayah Pulau-
Pulau Seribu. J Oseanologi Indonesia 23:1-12.

Sverdrup HU, Johnson MW, Fleming RH. 1961. The Ocean, Their Physics,
Chemistry and General Biology. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-
Hall.

Swingle HS. 1968. Standarization of chemical analysis for water pond muds.
FAO Fisheries 44(4)

Szedlmayer ST & Lee JD. 2004. Diet shifts of juvenile red snapper with changes
in habitat and fish size. J of Fish Biology: 53:58–65.
156

Tenriware 2005. Hubungan antara Mesh Size Bagian Bunuhan (Crib) dengan
Selektivitas Alat Tangkap Sero di Perairan Pantai Pitumpanua Teluk Bone
(tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 105 hal.

Tenriware 2009. Keanekaragaman sumberdaya ikan yang tertangkap dengan alat


tangkap sero di Perairan Pitumpanua – Kab. Wajo, Teluk Bone.
J Perikanan & Kelautan IV:1 -12.

Tharwat AA, Rahman AA. 2006. Fishery traps (gargours) in Saudi Territorial
Water of the Arabian Gulf. JKU: Marine Science 17:13-31.

Thoha H. 2007. Kelimpahan plankton di ekosistem perairan Teluk Gilimanuk,


Taman Nasional, Bali Barat. J Makara, Sains 11 (1) : 44-48.

Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Mousa MK. 1997. The ecology of the Indonesia
Seas. Series Vol. 8. Ssingapore: Periplus Edition (Hk) Ltd.

Tuwo A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut: Pendekatan Ekologi,


Sosial-Ekonomi, Kelembagaan, dan Sarana Wilayah. Cetakan I. Surabaya:
Brilian Internasional. 412 hal.

Umar NA. 2009. Dinamika Populasi Plankton dalam Area Pusat Penangkapan
Benur dan Nener di Perairan Pantai Kecamatan Suppa Kabupaten
Pinrang, Sulawesi Selatan (disertasi). Bogor. Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.

UNESCO. 1983. Coral reef, seagrass and mangrove ecosystem. Coral reefs,
seagrass bads and mangroves, their interaction in the coastal zones of the
Carribean. UNESCO Report on Marine Science 23:6-16.

Valiela I. 1984. Marine Ecological Processes. New York: Springer-Verlag.

Wahyudewantoro G. 2009. Komposisi jenis ikan perairan mangrove pada


beberapa muara sungai di Taman Nasional Ujung Kulon, Pandeglang-
Banten. J Zoo Indonesia 18(2):89-98

Wardjan Y. 2005. Seleksi Lokasi dan Estimasi Daya Dukung Lingkungan


Perairan untuk Budidaya Ikan Kerapu Teknik Keramba Jaring Apung di
Perairan Pulau Panikiang Kabupaten Barru Sulawesi Selatan (Tesis).
Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 161 hal

Wassef EA, Hady HAA. 1997. Breeding biology of rabbitfish Siganus


canaliculatus (Siganidae) in Mid Arabian Gulf. J Fisheries Research
3:159-166.

Wattayakorn. 1988. Nutrient Cycling in Estuarine. Paper presented in the Project


on Research and its application to management of the mangrove of Asia
and Pasific, Rayong, Thailand. 13 p.
157

Weatherley AH dan Gill HS. 1987. The Biology of Fish Growth. London:
Academic Press. 443 hal.

Wenno LK. 2003. Studi dinamika Selat Makassar serta interaksinya dengan
daratan Pulau Kalimantan dan Sulawesi. Laporan Akhir Pengembangan
Riset Unggulan Kompetitif Tahun Anggaran 2003. Jakarta: Pusat
Penelitian Oseanografi - LIPI. 96 hal.

Widodo J, Aziz KA, Priyono BE, Tampubolon GH, Naamin N, Djamali A. 1998.
Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia.
Jakarta: Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut. Jakarta,
LIPI. 251 halaman.

Widodo J, Suadi. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Yogyakarta:


Gadjah Mada University Press. Cetakan ke II. 252 hal.

Wudianto. 2007. Set Net sebagai Alternatif Alat Tangkap Ikan Hemat Energi.
Artikel. Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan
Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan.

Yusfiandani R. 2004. Studi tentang Mekanisme Berkumpulnya Ikan Pelagis Kecil


di Sekitar Rumpon dan Pengembangan Perikanan di Perairan Pasauran
Propinsi Banten (disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.

Yusof S. 2002. Demersal fish stock assessment in the inshore of the east coast of
Peninsular Malaysia. Thirteenth trawl survey of the coastal waters of east
coast of Peninsular Malaysia (April-June 2001). Ministry of Agriculture
Malaysia. 138p.

Zainuddin M. 2011. Skipjack tuna in relation to sea surface temperatur and


clorophyll-a concentration of Bone Bay using remotely sensed satellite
data. Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis 3(1):82-90.

Zar JH. 1984. Biostatistical Analysis. 2nd Edition. Englewood Cliffs, New Jersey:
Prentice-Hal International, Inc.
158
159

Lampiran 1 Hasil analisis ragam (Anova) parameter suhu perairan (oC) antar
lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:Suhu (oC)
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
a
Corrected Model 24.170 23 1.051 5.151 .000
Intercept 59265.507 1 59265.507 290477.637 .000
stasiun * sampling 3.627 14 .259 1.270 .261
stasiun 6.750 2 3.375 16.543 .000
sampling 13.792 7 1.970 9.657 .000
Error 9.793 48 .204
Total 59299.470 72
Corrected Total 33.963 71
a. R Squared = .712 (Adjusted R Squared = .573)

Suhu (oC)
Tukey HSDa,b
Lokasi Subset
N 1 2
Muara Sungai 24 28.2750
Mangrove 24 28.7917
Lamun 24 29.0042
Sig. 1.000 .243
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .204.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 24.000.
b. Alpha = .05.
160

Lampiran 2 Hasil analisis ragam (Anova) parameter kecepatan arus (m/dtk) antar
lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:Kecepatan Arus (meter per detik)
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
a
Corrected Model .145 23 .006 5.328 .000
Intercept 3.261 1 3.261 2765.214 .000
stasiun * sampling .013 14 .001 .780 .685
stasiun .126 2 .063 53.373 .000
sampling .006 7 .001 .698 .674
Error .057 48 .001
Total 3.462 72
Corrected Total .201 71
a. R Squared = .719 (Adjusted R Squared = .584)

Kecepatan Arus (meter per detik)


a,b
Tukey HSD
Lokasi Subset

N 1 2 3
Lamun 24 .16042
Mangrove 24 .21529
Muara Sungai 24 .26275
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .001.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 24.000.
b. Alpha = .05.
161

Lampiran 3 Hasil analisis ragam (Anova) parameter salinitas perairan (o/oo) antar
lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian

Tests of Between-Subjects Effects


o
Dependent Variable:Salinitas ( /oo)

Source Type III Sum of


Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 85.324a 23 3.710 8.553 .000
Intercept 67320.036 1 67320.036 155204.693 .000
stasiun * sampling 9.034 14 .645 1.488 .152
stasiun 34.997 2 17.498 40.342 .000
sampling 41.293 7 5.899 13.600 .000
Error 20.820 48 .434
Total 67426.180 72
Corrected Total 106.144 71
a. R Squared = .804 (Adjusted R Squared = .710)

o
Salinitas ( /oo)
Tukey HSDa,b

Lokasi Subset
N 1 2
Muara Sungai 24 29.596
Mangrove 24 30.992
Lamun 24 31.146
Sig. 1.000 .698
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .434.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 24.000.
b. Alpha = .05.
162

Lampiran 4 Hasil analisis ragam (Anova) parameter pH perairan antar lokasi


menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:pH (Skala pH)
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
a
Corrected Model .675 23 .029 2.376 .006
Intercept 3490.301 1 3490.301 282361.449 .000
stasiun * sampling .232 14 .017 1.342 .219
stasiun .103 2 .052 4.180 .021
sampling .340 7 .049 3.928 .002
Error .593 48 .012
Total 3491.570 72
Corrected Total 1.269 71
a. R Squared = .532 (Adjusted R Squared = .308)

pH (Skala pH)
a,b
Tukey HSD
Lokasi Subset

N 1 2
Muara Sungai 24 6.921
Mangrove 24 6.954 6.954
Lamun 24 7.013
Sig. .556 .175
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .012.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 24.000.
b. Alpha = .05.
163

Lampiran 5 Hasil analisis ragam (Anova) parameter kadar oksigen terlarut (ppm)
antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:Kadar Oksigen Terlarut (ppm)
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
a
Corrected Model 8.073 23 .351 2.053 .018
Intercept 2551.361 1 2551.361 14922.661 .000
stasiun * sampling 2.401 14 .172 1.003 .466
stasiun 1.805 2 .903 5.279 .008
sampling 3.866 7 .552 3.230 .007
Error 8.207 48 .171
Total 2567.640 72
Corrected Total 16.279 71
a. R Squared = .496 (Adjusted R Squared = .254)

Kadar Oksigen Terlarut (ppm)


a,b
Tukey HSD
Lokasi Subset

N 1 2
Muara Sungai 24 5.754
Mangrove 24 5.963 5.963
Lamun 24 6.142
Sig. .199 .299
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .171.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 24.000.
b. Alpha = .05.
164

Lampiran 6 Hasil analisis ragam (Anova) konsentrasi nitrat (µg/L) antar lokasi
menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:Konsentrasi Nitrat (µg/L)

Source Type III Sum of


Squares df Mean Square F Sig.
a
Corrected Model .295 23 .013 2.420 .005
Intercept 2.192 1 2.192 414.239 .000
stasiun * sampling .134 14 .010 1.803 .066
stasiun .082 2 .041 7.759 .001
sampling .079 7 .011 2.129 .058
Error .254 48 .005
Total 2.741 72
Corrected Total .549 71
a. R Squared = .537 (Adjusted R Squared = .315)

Konsentrasi Nitrat (µg/L)


a,b
Tukey HSD
Lokasi Subset
N 1 2
Lamun 24 .12854

Mangrove 24 .18621
Muara Sungai 24 . 20875

Sig. 1.000 .535


Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .005.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 24.000.
b. Alpha = .05.
165

Lampiran 7 Hasil analisis ragam (Anova) konsentrasi fosfat (µg/L) antar lokasi
menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:Konsentrasi Fosfat (µg/L)

Source Type III Sum of


Squares df Mean Square F Sig.
a
Corrected Model .035 23 .002 2.320 .007
Intercept .809 1 .809 1241.015 .000
stasiun * sampling .017 14 .001 1.912 .049
stasiun .010 2 .005 7.945 .001
sampling .007 7 .001 1.530 .180
Error .031 48 .001
Total .875 72
Corrected Total .066 71
a. R Squared = .526 (Adjusted R Squared = .300)

Konsentrasi Fosfat (µg/L)


a,b
Tukey HSD
Lokasi Subset

N 1 2
Lamun 24 .08971
Mangrove 24 .11000
Muara Sungai 24 .11825
Sig. 1.000 .507
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .001.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 24.000.
b. Alpha = .05.
166

Lampiran 8 Hasil analisis ragam (Anova) konsentrasi silikat (µg/L) antar lokasi
menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:Konsentrasi Silikat (µg/L)

Source Type III Sum of


Squares df Mean Square F Sig.
a
Corrected Model .000 23 6.918E-6 .560 .934
Intercept .004 1 .004 308.512 .000
stasiun * sampling 8.089E-5 14 5.778E-6 .467 .939
stasiun 5.778E-6 2 2.889E-6 .234 .792
sampling 7.244E-5 7 1.035E-5 .837 .562
Error .001 48 1.236E-5
Total .005 72
Corrected Total .001 71
a. R Squared = .211 (Adjusted R Squared = -.166)

Konsentrasi Silikat (µg/L)


Tukey HSDa,b
Lokasi Subset

N 1
Lamun 24 .00700
Mangrove 24 .00717
Muara Sungai 24 .00767
Sig. .789
Means for groups in homogeneous
subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) =
1.24E-005.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size =
24.000.
b. Alpha = .05.
167

Lampiran 9 Hasil analisis ragam (Anova) kandungan klorofil a (mg/m3) antar


lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:Kandungan Klorofil-a (mg/ m3)
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
a
Corrected Model 1.659 23 .072 1.323 .204
Intercept 49.918 1 49.918 915.180 .000
stasiun * sampling .417 14 .030 .546 .892
stasiun 1.003 2 .502 9.197 .000
sampling .239 7 .034 .626 .732
Error 2.618 48 .055
Total 54.196 72
Corrected Total 4.277 71
a. R Squared = .388 (Adjusted R Squared = .095)

3
Kandungan Klorofil-a (mg/m )
Tukey HSDa,b
Lokasi Subset

N 1 2
Mangrove 24 .68683
Muara Sungai 24 .83517 .83517
Lamun 24 .97596
Sig. .081 .103
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .055.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 24.000.
b. Alpha = .05.
168

Lampiran 10 Hasil analisis ragam (Anova) kelimpahan fitoplankton (sel/liter)


antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:Kelimpahan Fitoplankton (sel/liter)
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1.389E9 23 6.040E7 3.317 .000
Intercept 7.936E9 1 7.936E9 435.910 .000
stasiun * sampling 4.987E8 14 3.562E7 1.957 .043
stasiun 5.349E8 2 2.674E8 14.690 .000
sampling 3.555E8 7 5.079E7 2.789 .016
Error 8.739E8 48 1.821E7
Total 1.020E10 72
Corrected Total 2.263E9 71
a. R Squared = .614 (Adjusted R Squared = .429)

Kelimpahan Fitoplankton (sel/liter)


Tukey HSDa,b
Lokasi Subset

N 1 2
Mangrove 24 6711.00
Muara Sungai 24 11773.75
Lamun 24 13011.54
Sig. 1.000 .577
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 18205912.083.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 24.000.
b. Alpha = .05.
169

Lampiran 11 Hasil analisis ragam (Anova) kelimpahan zooplankton


(individu/liter) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling
selama penelitian

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:Kelimpahan Zooplankton (Individu/liter)
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 1.964E7 23 853804.941 2.423 .005


Intercept 4.288E7 1 4.288E7 121.682 .000
stasiun * sampling 6522400.361 14 465885.740 1.322 .230
stasiun 5933165.194 2 2966582.597 8.417 .001
sampling 7181948.097 7 1025992.585 2.911 .013
Error 1.692E7 48 352432.028
Total 7.944E7 72
Corrected Total 3.655E7 71

a. R Squared = .537 (Adjusted R Squared = .315)

Kelimpahan Zooplankton (Individu/liter)


a,b
Tukey HSD
Lokasi Subset
N 1 2
Mangrove 24 368.08
Lamun 24 936.33
Muara Sungai 24 1010.88
Sig. 1.000 .901
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 352432.028.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 24.000.
b. Alpha = .05.
170

Lampiran 12 Nilai rata-rata, standar deviasi (SD) dan kisaran dari 12 parameter
fisika dan kimia lingkungan di muara sungai, mangrove dan lamun
tempat pemasangan sero dengan experimental crib selama penelitian
Parameter Habitat Rata-rata Standar Kisaran
Deviasi
Suhu (°C) Muara 28,3 0,6 27,0-29,9
Mangrove 28,8 0,6 27,5-29,7
Lamun 29,0 0,7 28,0-30,3
Kec. arus(m/detik) Muara 0,26 0,03 0,19-0,31
Mangrove 0,22 0,04 0,14-0,30
Lamun 0,16 0,03 0,13-0,25
Salinitas (%o) Muara 29,6 1,2 27,5-31,8
Mangrove 31,0 1,0 29,5-32,5
Lamun 31,1 0,8 29,532,5
pH Muara 6,9 0,1 6,7-7,1
Mangrove 7,0 0,1 6,7-7,2
Lamun 7,0 0,1 6,8-7,2
DO (ml/l) Muara 5,8 0,4 5,0-6,5
Mangrove 6,0 0,4 5,2-6,7
Lamun 6,1 0,5 5,4-7,2
Nitrat (µg–at/l) Muara 0,186 0,088 0,032-0,354
Mangrove 0,129 0,066 0,015-0,264
Lamun 0,209 0,091 0,003-0,383
Fosfat (µg–at/l) Muara 0,118 0,025 0,077-0,158
Mangrove 0,110 0,030 0,049-0,167
Lamun 0,090 0,030 0,043-0,157
Silikat (µg–at/l) Muara 0,008 0,003 0,001-0,015
Mangrove 0,007 0,003 0,003-0,017
Lamun 0,007 0,003 0,002-0,015
Klorofil-a (µg/m3) Muara 0,835 0,282 0,196-1,193
Mangrove 0,687 0,192 0,415-1,133
Lamun 0,976 0,162 0,707-1,186
Fitoplankton (sel/l) Muara 11773 6341 745-20996
Mangrove 6711 3861 1298-16636
Lamun 13011 4473 5102-20617
Zooplankton (sel/l) Muara 1010 961 37-3455
Mangrove 368 260 45-969
Lamun 936 582 269-2589
171

Lampiran 13 Hasil analisis PCA untuk parameter lingkungan selama penelitian

Correlation matrix (Pearson (n)):

Variables Suhu SAL pH DO Nitrat Fosfat Silikat Arus


Suhu 1 0.626 0.710 0.496 0.235 -0.110 0.363 -0.117
SAL 0.626 1 0.424 0.419 -0.175 -0.220 -0.153 -0.280
pH 0.710 0.424 1 0.437 -0.143 -0.457 0.458 -0.114
DO 0.496 0.419 0.437 1 -0.315 -0.454 0.227 -0.650
Nitrat 0.235 -0.175 -0.143 -0.315 1 0.793 0.053 0.303
Fosfat -0.110 -0.220 -0.457 -0.454 0.793 1 -0.185 0.251
Silikat 0.363 -0.153 0.458 0.227 0.053 -0.185 1 0.069
Arus -0.117 -0.280 -0.114 -0.650 0.303 0.251 0.069 1

Principal Component Analysis:

Eigenvalues:

F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8
Eigenvalue 3.211 1.814 1.289 0.912 0.301 0.261 0.141 0.071
Variability (%) 40.140 22.674 16.111 11.396 3.763 3.268 1.760 0.888
Cumulative % 40.140 62.814 78.925 90.321 94.084 97.352 99.112 100.000

Contribution of the variables


(%):

F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8
Suhu 14.570 24.618 1.655 0.977 0.292 2.823 11.427 43.638
SAL 12.916 1.132 21.744 20.906 16.635 12.986 0.168 13.513
pH 18.577 7.373 5.476 3.780 45.861 1.279 15.346 2.306
DO 21.027 0.468 2.422 16.191 5.651 38.367 12.693 3.180
Nitrat 6.363 34.907 4.363 5.073 3.621 3.590 14.054 28.028
Fosfat 14.267 14.394 12.183 5.031 0.515 5.144 40.770 7.697
Silikat 3.626 9.679 37.256 14.383 18.604 15.235 0.012 1.206
Arus 8.655 7.428 14.901 33.658 8.821 20.577 5.529 0.432
172

Lampiran 14 Hasil analisis ragam (Anova) jumlah hasil tangkapan antar lokasi
menurut kelompok waktu penangkapan per jenis ikan serta total
jumlah tangkapan

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:IKAN BIJI NANGKA

Source Type III Sum of


Squares df Mean Square F Sig.
a
Corrected Model 1998.375 17 117.551 2.342 .020
Intercept 35752.083 1 35752.083 712.410 .000
Waktu 1370.583 15 91.372 1.821 .079
lokasi 627.792 2 313.896 6.255 .005
Error 1505.542 30 50.185
Total 39256.000 48
Corrected Total 3503.917 47

a. R Squared = .570 (Adjusted R Squared = .327)

IKAN BIJI NANGKA


a,b
Tukey HSD
Lokasi Subset
N 1 2
Mangrove 16 22.625
Muara Sungai 16 27.813 27.813
Lamun 16 31.437
Sig. .113 .330
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 50.185.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000.
b. Alpha = .05.
173

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:IKAN BARONANG LINGKIS

Source Type III Sum of


Squares df Mean Square F Sig.
a
Corrected Model 3066.125 17 180.360 3.814 .001
Intercept 27265.333 1 27265.333 576.620 .000
Waktu 1445.333 15 96.356 2.038 .047
lokasi 1620.792 2 810.396 17.139 .000
Error 1418.542 30 47.285
Total 31750.000 48
Corrected Total 4484.667 47

a. R Squared = .684 (Adjusted R Squared = .504)

IKAN BARONANG LINGKIS


a,b
Tukey HSD
Lokasi Subset
N 1 2

Muara Sungai 16 17.813


Mangrove 16 22.000
Lamun 16 31.688
Sig. .214 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 47.285.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000.
b. Alpha = .05.
174

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: IKAN KERONG KERONG

Source Type III Sum of


Squares df Mean Square F Sig.
a
Corrected Model 2720.958 17 160.056 5.054 .000
Intercept 16875.000 1 16875.000 532.871 .000
Waktu 1372.333 15 91.489 2.889 .007
lokasi 1348.625 2 674.313 21.293 .000
Error 950.042 30 31.668
Total 20546.000 48
Corrected Total 3671.000 47

a. R Squared = .741 (Adjusted R Squared = .595)

IKAN KERONG KERONG


a,b
Tukey HSD
Lokasi Subset
N 1 2

Lamun 16 11.563
Muara Sungai 16 20.500
Mangrove 16 24.188
Sig. 1.000 .170
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 31.668.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000.
b. Alpha = .05.
175

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: IKAN KAPAS KAPAS

Source Type III Sum of


Squares df Mean Square F Sig.
a
Corrected Model 2012.833 17 118.402 4.051 .000
Intercept 19040.333 1 19040.333 651.446 .000
Waktu 1341.667 15 89.444 3.060 .004
lokasi 671.167 2 335.583 11.482 .000
Error 876.833 30 29.228
Total 21930.000 48
Corrected Total 2889.667 47

a. R Squared = .697 (Adjusted R Squared = .525)

IKAN KAPAS KAPAS


a,b
Tukey HSD
Lokasi Subset
N 1 2

Mangrove 16 15.125
Lamun 16 20.375
Muara Sungai 16 24.250
Sig. 1.000 .123
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 29.228.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000.
b. Alpha = .05.
176

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: IKAN LENCAM

Source Type III Sum of


Squares df Mean Square F Sig.
a
Corrected Model 946.292 17 55.664 2.695 .009
Intercept 6120.083 1 6120.083 296.312 .000
Waktu 771.250 15 51.417 2.489 .016
lokasi 175.042 2 87.521 4.237 .024
Error 619.625 30 20.654
Total 7686.000 48
Corrected Total 1565.917 47

a. R Squared = .604 (Adjusted R Squared = .380)

IKAN LENCAM
a,b
Tukey HSD
Lokasi Subset
N 1 2

Muara Sungai 16 9.500


Mangrove 16 10.438 10.438
Lamun 16 13.938
Sig. .830 .091
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 20.654.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000.
b. Alpha = .05.
177

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: IKAN PEPETEK

Source Type III Sum of


Squares df Mean Square F Sig.
a
Corrected Model 5443.167 17 320.186 5.777 .000
Intercept 60492.000 1 60492.000 1091.366 .000
Waktu 1656.667 15 110.444 1.993 .053
lokasi 3786.500 2 1893.250 34.157 .000
Error 1662.833 30 55.428
Total 67598.000 48
Corrected Total 7106.000 47

a. R Squared = .766 (Adjusted R Squared = .633)

IKAN PEPETEK
a,b
Tukey HSD
Lokasi Subset
N 1 2 3

Lamun 16 25.375
Mangrove 16 34.125
Muara Sungai 16 47.000
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 55.428.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000.
b. Alpha = .05.
178

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: IKAN BARONANG

Source Type III Sum of


Squares df Mean Square F Sig.
a
Corrected Model 2461.000 17 144.765 3.744 .001
Intercept 11907.000 1 11907.000 307.940 .000
Waktu 2183.000 15 145.533 3.764 .001
lokasi 278.000 2 139.000 3.595 .040
Error 1160.000 30 38.667
Total 15528.000 48
Corrected Total 3621.000 47

a. R Squared = .680 (Adjusted R Squared = .498)

IKAN BARONANG
a,b
Tukey HSD
Lokasi Subset
N 1 2

Muara Sungai 16 13.250


Mangrove 16 15.000 15.000
Lamun 16 19.000
Sig. .708 .181
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 38.667.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000.
b. Alpha = .05.
179

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: IKAN BARAKUDA
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
a
Corrected Model 2766.812 17 162.754 4.761 .000
Intercept 5482.687 1 5482.687 160.391 .000
Waktu 2496.313 15 166.421 4.868 .000
lokasi 270.500 2 135.250 3.957 .030
Error 1025.500 30 34.183
Total 9275.000 48
Corrected Total 3792.312 47
a. R Squared = .730 (Adjusted R Squared = .576)

IKAN BARAKUDA
a,b
Tukey HSD
Lokasi Subset

N 1 2
Lamun 16 8.063
Muara Sungai 16 10.187 10.187
Mangrove 16 13.812
Sig. .565 .202
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 34.183.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000.
b. Alpha = .05.
180

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: KEPITING RAJUNGAN

Source Type III Sum of


Squares df Mean Square F Sig.
a
Corrected Model 106.812 17 6.283 1.471 .173
Intercept 776.021 1 776.021 181.643 .000
Waktu 79.646 15 5.310 1.243 .296
lokasi 27.167 2 13.583 3.179 .056
Error 128.167 30 4.272
Total 1011.000 48
Corrected Total 234.979 47

a. R Squared = .455 (Adjusted R Squared = .145)

KEPITING RAJUNGAN
a,b
Tukey HSD
Lokasi Subset
N 1

Muara Sungai 16 3.313


Lamun 16 3.688
Mangrove 16 5.063
Sig. .058
Means for groups in homogeneous
subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) =
4.272.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size =
16.000.
b. Alpha = .05.
181

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: UDANG PUTIH

Source Type III Sum of


Squares df Mean Square F Sig.
a
Corrected Model 595.521 17 35.031 4.463 .000
Intercept 2806.021 1 2806.021 357.518 .000
Waktu 564.979 15 37.665 4.799 .000
lokasi 30.542 2 15.271 1.946 .161
Error 235.458 30 7.849
Total 3637.000 48
Corrected Total 830.979 47

a. R Squared = .717 (Adjusted R Squared = .556)

UDANG PUTIH
a,b
Tukey HSD
Lokasi Subset
N 1

Lamun 16 6.750
Muara Sungai 16 7.500
Mangrove 16 8.688
Sig. .141

Means for groups in homogeneous subsets


are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) =
7.849.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size =
16.000.
b. Alpha = .05.
182

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: TOTAL JUMLAH HASIL TANGKAPAN

Source Type III Sum of


Squares df Mean Square F Sig.
a
Corrected Model 61258.625 17 3603.449 7.631 .000
Intercept 1542267.000 1 1542267.000 3266.044 .000
Waktu 60689.000 15 4045.933 8.568 .000
lokasi 569.625 2 284.812 .603 .554
Error 14166.375 30 472.213
Total 1617692.000 48
Corrected Total 75425.000 47

a. R Squared = .812 (Adjusted R Squared = .706)

TOTAL JUMLAH HASIL TANGKAPAN


a,b
Tukey HSD
Lokasi Subset
N 1

Mangrove 16 174.500
Lamun 16 180.688
Muara Sungai 16 182.563
Sig. .552
Means for groups in homogeneous
subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) =
472.213.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size =
16.000.
b. Alpha = .05.
183

Lampiran 15 Hasil analisis ragam (Anova) berat hasil tangkapan antar lokasi
menurut kelompok waktu penangkapan per jenis ikan serta total
berat tangkapan

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: IKAN BIJI NANGKA
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 3.768E6 17 221626.084 2.664 .009


Intercept 4.101E7 1 4.101E7 492.903 .000
Waktu 2246620.746 15 149774.716 1.800 .083
lokasi 1521022.685 2 760511.342 9.140 .001
Error 2496236.222 30 83207.874
Total 4.728E7 48
Corrected Total 6263879.653 47
a. R Squared = .601 (Adjusted R Squared = .376)

IKAN BIJI NANGKA


Tukey HSDa,b

Lokasi Subset
N 1 2
Mangrove 16 721.600
Muara Sungai 16 896.525
Lamun 16 1154.962
Sig. .216 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 83207.874.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000.
b. Alpha = .05.
184

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: IKAN BARONANG LINGKIS

Source Type III Sum of


Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1.445E7 17 850251.789 11.023 .000
Intercept 9.789E7 1 9.789E7 1269.155 .000
Waktu 7193367.660 15 479557.844 6.217 .000
lokasi 7260912.755 2 3630456.378 47.068 .000
Error 2313962.425 30 77132.081
Total 1.147E8 48
Corrected Total 1.677E7 47

a. R Squared = .862 (Adjusted R Squared = .784)

IKAN BARONANG LINGKIS


a,b
Tukey HSD
Lokasi Subset
N 1 2 3

Muara Sungai 16 992.631


Mangrove 16 1354.800
Lamun 16 1936.825
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 77132.081.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000.
b. Alpha = .05.
185

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: IKAN KERONG KERONG

Source Type III Sum of


Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1.263E7 17 743106.064 6.012 .000
Intercept 7.736E7 1 7.736E7 625.824 .000
Waktu 6640613.651 15 442707.577 3.581 .001
lokasi 5992189.432 2 2996094.716 24.238 .000
Error 3708368.082 30 123612.269
Total 9.370E7 48
Corrected Total 1.634E7 47

a. R Squared = .773 (Adjusted R Squared = .644)

IKAN KERONG KERONG


a,b
Tukey HSD
Lokasi Subset
N 1 2 3

Muara Sungai 16 866.956


Mangrove 16 1214.431
Lamun 16 1727.144
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 123612.269.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000.
b. Alpha = .05.
186

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: IKAN KAPAS KAPAS

Source Type III Sum of


Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 4.349E7 17 2558054.307 6.790 .000
Intercept 3.407E8 1 3.407E8 904.308 .000
Waktu 2.195E7 15 1463372.344 3.884 .001
lokasi 2.154E7 2 1.077E7 28.582 .000
Error 1.130E7 30 376749.970
Total 3.955E8 48
Corrected Total 5.479E7 47

a. R Squared = .794 (Adjusted R Squared = .677)

IKAN KAPAS KAPAS


a,b
Tukey HSD
Lokasi Subset
N 1 2

Lamun 16 1749.231
Muara Sungai 16 2909.156
Mangrove 16 3334.163
Sig. 1.000 .140
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 376749.970.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000.
b. Alpha = .05.
187

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: IKAN LENCAM

Source Type III Sum of


Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 5.616E7 17 3303536.940 7.290 .000
Intercept 3.505E8 1 3.505E8 773.431 .000
Waktu 2.561E7 15 1707319.975 3.767 .001
lokasi 3.055E7 2 1.528E7 33.707 .000
Error 1.360E7 30 453174.241
Total 4.203E8 48
Corrected Total 6.976E7 47

a. R Squared = .805 (Adjusted R Squared = .695)

IKAN LENCAM
a,b
Tukey HSD
Lokasi Subset
N 1 2

Lamun 16 1605.400
Muara Sungai 16 3021.706
Mangrove 16 3479.594
Sig. 1.000 .149
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 453174.241.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000.
b. Alpha = .05.
188

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: IKAN PEPETEK

Source Type III Sum of


Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 2.947E6 17 173348.859 3.284 .002
Intercept 1.873E7 1 1.873E7 354.872 .000
Waktu 2731555.732 15 182103.715 3.450 .002
lokasi 215374.864 2 107687.432 2.040 .148
Error 1583367.616 30 52778.921
Total 2.326E7 48
Corrected Total 4530298.213 47

a. R Squared = .650 (Adjusted R Squared = .452)

IKAN PEPETEK
a,b
Tukey HSD
Lokasi Subset
N 1

Lamun 16 530.475
Mangrove 16 662.981
Muara Sungai 16 680.531
Sig. .172
Means for groups in homogeneous
subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) =
52778.921.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size =
16.000.
b. Alpha = .05.
189

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: IKAN BARONANG

Source Type III Sum of


Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1.096E7 17 644796.565 4.511 .000
Intercept 8.369E7 1 8.369E7 585.516 .000
Waktu 8876864.461 15 591790.964 4.140 .000
lokasi 2084677.147 2 1042338.573 7.292 .003
Error 4288194.727 30 142939.824
Total 9.894E7 48
Corrected Total 1.525E7 47

a. R Squared = .719 (Adjusted R Squared = .559)

IKAN BARONANG
a,b
Tukey HSD
Lokasi Subset
N 1 2

Muara Sungai 16 1050.094


Mangrove 16 1354.044 1354.044
Lamun 16 1557.244
Sig. .075 .296
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 142939.824.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000.
b. Alpha = .05.
190

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:IKAN BARAKUDA

Source Type III Sum of


Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1.382E7 17 812998.502 3.838 .001
Intercept 8.348E7 1 8.348E7 394.071 .000
Waktu 1.113E7 15 741860.916 3.502 .002
lokasi 2693060.784 2 1346530.392 6.356 .005
Error 6355557.403 30 211851.913
Total 1.037E8 48
Corrected Total 2.018E7 47

a. R Squared = .685 (Adjusted R Squared = .507)

IKAN BARAKUDA
a,b
Tukey HSD
Lokasi Subset
N 1 2

Muara Sungai 16 1008.694


Mangrove 16 1364.200 1364.200
Lamun 16 1583.544
Sig. .090 .381
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 211851.913.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000.
b. Alpha = .05.
191

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: KEPITING RAJUNGAN

Source Type III Sum of


Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 8.851E6 17 520672.137 6.406 .000
Intercept 8.293E7 1 8.293E7 1020.274 .000
Waktu 3830894.033 15 255392.936 3.142 .004
lokasi 5020532.292 2 2510266.146 30.882 .000
Error 2438554.735 30 81285.158
Total 9.422E7 48
Corrected Total 1.129E7 47

a. R Squared = .784 (Adjusted R Squared = .662)

KEPITING RAJUNGAN
a,b
Tukey HSD
Lokasi Subset
N 1 2

Lamun 16 979.969
Mangrove 16 1211.531
Muara Sungai 16 1751.844
Sig. .072 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 81285.158.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000.
b. Alpha = .05.
192

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: UDANG PUTIH

Source Type III Sum of


Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 9.459E6 17 556388.972 7.294 .000
Intercept 7.377E7 1 7.377E7 967.054 .000
Waktu 2963147.939 15 197543.196 2.590 .013
lokasi 6495464.582 2 3247732.291 42.577 .000
Error 2288392.178 30 76279.739
Total 8.551E7 48
Corrected Total 1.175E7 47

a. R Squared = .805 (Adjusted R Squared = .695)

UDANG PUTIH
a,b
Tukey HSD
Lokasi Subset
N 1 2 3

Lamun 16 820.350
Mangrove 16 1182.688
Muara Sungai 16 1716.000
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 76279.739.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000.
b. Alpha = .05.
193

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: TOTAL BERAT HASIL TANGKAPANl
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 5.625E8 17 3.309E7 8.052 .000
Intercept 1.050E10 1 1.050E10 2554.843 .000
Waktu 5.310E8 15 3.540E7 8.614 .000
lokasi 3.154E7 2 1.577E7 3.838 .033
Error 1.233E8 30 4109516.300
Total 1.118E10 48
Corrected Total 6.858E8 47
a. R Squared = .820 (Adjusted R Squared = .718)

TOTAL BERAT HASIL TANGKAPAN


Tukey HSDa,b
Lokasi Subset

N 1 2
Lamun 16 13696.638
Muara Sungai 16 15036.531 15036.531
Mangrove 16 15635.675
Sig. .165 .684
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 4109516.300.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000.
b. Alpha = .05.
194

Lampiran 16 Parameter hubungan panjang-berat hasil tangkapan selama


penelitian
No Jenis Ikan Nilai a Nilai b Nilai R2 Habitat
1 Biji nangka 0,0392 2,7876 0,9416 H1
0,0333 2,8691 0,9531 H2
0,0378 2,9055 0,9524 H3
2 Baronang lingkis 0,6744 1,6651 0,9747 H1
0,6086 1,7010 0,9693 H2
0,4726 1,7998 0,9678 H3
3 Lencam 0,2498 2,2348 0,9220 H1
0,2178 2,3114 0,9579 H2
0,1562 2,4120 0,9622 H3
4 Kapas kapas 0,1927 2,2141 0,9622 H1
0,2402 2,1327 0,9701 H2
0,2313 2,1563 0,9779 H3
5 Pepetek 0,2110 1,9809 0,9745 H1
0,1735 2,0427 0,9747 H2
0,1875 2,0179 0,9711 H3
6 Kuwe 0,1616 2,3453 0,9762 H1
0,0965 2,5292 0,9734 H2
0,0617 2,7261 0,9754 H3
7 Kerong kerong 0,6800 1,9103 0,9485 H1
0,4586 2,0330 0,9494 H2
0,4394 2,0570 0,9634 H3
8 Baronang 0,7897 1,9397 0,9890 H1
0,6737 2,0058 0,9751 H2
0,4441 2,1315 0,9809 H3
9 Barakuda 0,0822 2,3717 0,9810 H1
0,0801 2,3756 0,9845 H2
0,0856 2,3725 0,9817 H3
10 Kepiting rajungan 0,3673 2,3464 0,9222 H1
0,2038 2,6103 0,9139 H2
0,3747 2,3214 0,9654 H3
11 Udang putih 0,1586 2,2902 0,9771 H1
0,2753 2,0164 0,9746 H2
0,1690 2,2393 0,9752 H3
Keterangan : H1 = Muara sungai; H2 = Mangrove; H3 = Lamun
195

Lampiran 17 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan biji nangka dengan
parameter lingkungan selama penelitian
196
197

Lampiran 18 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan baronang lingkis
dengan parameter lingkungan selama penelitian
198
199

Lampiran 19 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan kerong-kerong


dengan parameter lingkungan selama penelitian
200
201

Lampiran 20 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan kapas-kapas dengan
parameter lingkungan selama penelitian
202
203

Lampiran 21 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan lencam dengan
parameter lingkungan selama penelitian
204
205

Lampiran 22 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan pepetek dengan
parameter lingkungan selama penelitian
206
207

Lampiran 23 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan kuwe dengan
parameter lingkungan selama penelitian
208
209

Lampiran 24 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan baronang dengan
parameter lingkungan selama penelitian
210
211

Lampiran 25 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan barakuda dengan
parameter lingkungan selama penelitian
212
213

Lampiran 26 Hasil analisis linier berganda antara berat total hasil tangkapan
dengan parameter lingkungan selama penelitian
214
215

Lampiran 27 Hasil analisis FCA jenis hasil tangkapan dengan habitat

Eigenvalues and percentages of inertia:

F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 F10
Eigenvalue 0.076 0.034 0.015 0.009 0.005 0.002 0.001 0.000 0.000 0.000
Inertia (%) 52.922 23.989 10.554 6.626 3.432 1.417 0.678 0.334 0.028 0.019
Cumulative 52.922 76.911 87.465 94.091 97.523 98.940 99.618 99.952 99.981 100.000

Results for the columns:

Weights, distances and squared distances to the origin, inertias and relative inertias (columns):

Weight (relativ Distance Sq-Distance Inertia elative inertia


BIJ 0.061 0.441 0.195 0.012 0.083
BLK 0.087 0.464 0.216 0.019 0.131
KER 0.076 0.489 0.239 0.018 0.126
KPS 0.176 0.281 0.079 0.014 0.097
LCM 0.178 0.345 0.119 0.021 0.148
PTK 0.038 0.420 0.177 0.007 0.047
KWE 0.038 0.337 0.113 0.004 0.030
BRG 0.083 0.376 0.141 0.012 0.082
BRC 0.084 0.422 0.178 0.015 0.105
RJG 0.092 0.290 0.084 0.008 0.054
UDG 0.086 0.401 0.161 0.014 0.097
216

Lampiran 28 Perhitungan analisis selektivitas mata jaring sero 4 cm


setiap jenis ikan dominan tertangkap pada habitat muara
sungai di perairan pantai Pitumpanua, Teluk Bone

1. Ikan Biji Nangka


Jumlah Jumlah SL Obs. SL Est.
Interval Jumlah Ln Titik
dalam dalam Bag. Bag.
Panjang Total (1/SL-1) Tengah
Kantong Penutup Yang yang
(cm) (ekor) (y) (x)
(ekor) (ekor) Tertahan Tertahan
5,0 - 5,9 2 7 9 0,22 1,25 5,5 0,10
6,0 - 6,9 3 14 17 0,18 1,54 6,5 0,15
7,0 - 7,9 13 45 58 0,22 1,24 7,5 0,22
8,0 - 8,9 18 66 84 0,21 1,30 8,5 0,31
9,0 - 9,9 18 67 85 0,21 1,31 9,5 0,42
10,0 - 10,9 20 37 57 0,35 0,62 10,5 0,54
11,0 - 11,9 20 15 35 0,57 -0,29 11,5 0,65
12,0 - 12,9 22 6 28 0,79 -1,30 12,5 0,75
13,0 - 13,9 16 1 17 0,94 -2,77 13,5 0,83
14,0 - 14,9 27 0 27 1,00 #NUM! 14,5 0,89
15,0 - 15,9 12 0 12 1,00 #NUM! 15,5 0,93
16,0 - 16,9 5 0 5 1,00 #NUM! 16,5 0,95
17,0 - 17,9 6 0 6 1,00 #NUM! 17,5 0,97
18,0 - 18,9 7 0 7 1,00 #NUM! 18,5 0,98
19,0 - 19,9 3 0 3 1,00 #NUM! 19,2 0,99
20,0 -20,9 1 0 1 1,00 #NUM! 20,2 0,99
S1 (Intercept)/a = 4,81 L25% = 7,86
S2 (Slope)/b = -0,47 L50%= 10,18
L75% = 12,51
217

2. Baronang lingkis
Jumlah Jumlah SL Obs. SL Est.
Interval Jumlah Ln Titik
dalam dalam Bag. Bag.
Panjang Total (1/SL-1) Tengah
Kantong Penutup Yang yang
(cm) (ekor) (y) (x)
(ekor) (ekor) Tertahan Tertahan
5,0 - 5,9 0 1 1 0,00 #DIV/0! 5,5 0,12
6,0 - 6,9 2 13 15 0,13 1,87 6,5 0,23
7,0 - 7,9 7 30 37 0,19 1,46 7,5 0,40
8,0 - 8,9 13 18 31 0,42 0,33 8,5 0,60
9,0 - 9,9 23 17 40 0,58 -0,30 9,5 0,77
10,0 - 10,9 33 13 46 0,72 -0,93 10,5 0,88
11,0 - 11,9 26 9 35 0,74 -1,06 11,5 0,94
12,0 - 12,9 23 1 24 0,96 -3,14 12,5 0,97
13,0 - 13,9 22 2 24 0,92 -2,40 13,5 0,99
14,0 - 14,9 15 0 15 1,00 #NUM! 14,5 0,99
15,0 - 15,9 6 0 6 1,00 #NUM! 15,5 1,00
16,0 - 16,9 6 0 6 1,00 #NUM! 16,5 1,00
17,0 - 17,9 1 0 1 1,00 #NUM! 17,5 1,00
18,0 - 18,9 1 0 1 1,00 #NUM! 18,5 1,00
S1 (Intercept)/a = 6,34 L25% = 6,61
S2 (Slope)/b = -0,79 L50%= 8,00
L75% = 9,38
218

3. Kerong-kerong
Jumlah Jumlah SL Obs. SL Est.
Interval Jumlah Ln Titik
dalam dalam Bag. Bag.
Panjang Total (1/SL-1) Tengah
Kantong Penutup Yang yang
(cm) (ekor) (y) (x)
(ekor) (ekor) Tertahan Tertahan
6,0 - 6,9 0 2 2 0,00 #DIV/0! 6,5 0,01
7,0 - 7,9 0 8 8 0,00 #DIV/0! 7,5 0,02
8,0 - 8,9 0 17 17 0,00 #DIV/0! 8,5 0,04
9,0 - 9,9 3 27 30 0,10 2,20 9,5 0,08
10,0 - 10,9 3 25 28 0,11 2,12 10,5 0,15
11,0 - 11,9 3 10 13 0,23 1,20 11,5 0,27
12,0 - 12,9 2 2 4 0,50 0,00 12,5 0,44
13,0 - 13,9 5 0 5 1,00 #NUM! 13,5 0,62
14,0 - 14,9 17 0 17 1,00 #NUM! 14,5 0,78
15,0 - 15,9 13 0 13 1,00 #NUM! 15,5 0,88
16,0 - 16,9 29 0 29 1,00 #NUM! 16,5 0,94
17,0 - 17,9 33 0 33 1,00 #NUM! 17,5 0,97
18,0 - 18,9 25 0 25 1,00 #NUM! 18,5 0,99
19,0 - 19,9 26 0 26 1,00 #NUM! 19,5 0,99
20,0 - 20,9 24 0 24 1,00 #NUM! 20,5 1,00
21,0 - 21,9 21 0 21 1,00 #NUM! 21,5 1,00
22,0 - 22,9 16 0 16 1,00 #NUM! 22,5 1,00
23,0 - 23,9 13 0 13 1,00 #NUM! 23,5 1,00
24,0 - 24,9 3 0 3 1,00 #NUM! 24,5 1,00
25,0 - 25,9 1 0 1 1,00 #NUM! 25,5 1,00
S1 (Intercept)/a = 9,64 L25% = 11,38
S2 (Slope)/b = -0,75 L50%= 12,84
L75% = 14,30
219

4. Kapas-kapas
Jumlah Jumlah SL Obs. SL Est.
Interval Jumlah Ln Titik
dalam dalam Bag. Bag.
Panjang Total (1/SL-1) Tengah
Kantong Penutup Yang yang
(cm) (ekor) (y) (x)
(ekor) (ekor) Tertahan Tertahan
4,5 - 4,9 0 1 1 0,00 #DIV/0! 4,7 0,00
5,0 - 5,9 0 7 7 0,00 #DIV/0! 5,5 0,00
6,0 - 6,9 0 55 55 0,00 #DIV/0! 6,5 0,01
7,0 - 7,9 0 71 71 0,00 #DIV/0! 7,5 0,03
8,0 - 8,9 8 59 67 0,12 2,00 8,5 0,12
9,0 - 9,9 22 47 69 0,32 0,76 9,5 0,33
10,0 - 10,9 26 13 39 0,67 -0,69 10,5 0,66
11,0 - 11,9 22 0 22 1,00 #NUM! 11,5 0,88
12,0 - 12,9 19 0 19 1,00 #NUM! 12,5 0,97
13,0 - 13,9 15 0 15 1,00 #NUM! 13,5 0,99
14,0 - 14,9 10 0 10 1,00 #NUM! 14,5 1,00
15,0 - 15,9 4 0 4 1,00 #NUM! 15,5 1,00
16,0 - 16,9 4 0 4 1,00 #NUM! 16,5 1,00
17,0 - 17,4 0 0 0 #DIV/0! #DIV/0! 17,5 1,00
18,0 - 18,9 1 0 1 1,00 #NUM! 18,5 1,00
S1 (Intercept)/a = 13,47 L25% = 9,19
S2 (Slope)/b = -1,35 L50%= 10,01
L75% = 10,83
220

5. Lencam
Jumlah Jumlah SL Obs. SL Est.
Interval Jumlah Ln Titik
dalam dalam Bag. Bag.
Panjang Total (1/SL-1) Tengah
Kantong Penutup Yang yang
(cm) (ekor) (y) (x)
(ekor) (ekor) Tertahan Tertahan
8,5 - 8,9 0 3 3 0,00 #DIV/0! 8,7 0,00
9,0 - 9,9 0 9 9 0,00 #DIV/0! 9,5 0,00
10,0 - 10,9 0 13 13 0,00 #DIV/0! 10,5 0,01
11,0 - 11,9 0 12 12 0,00 #DIV/0! 11,5 0,03
12,0 - 12,9 1 9 10 0,10 2,20 12,5 0,08
13,0 - 13,9 3 8 11 0,27 0,98 13,5 0,24
14,0 - 14,9 2 5 7 0,29 0,92 14,5 0,52
15,0 - 15,9 16 2 18 0,89 -2,08 15,5 0,79
16,0 - 16,9 24 2 26 0,92 -2,48 16,5 0,93
17,0 - 17,9 28 0 28 1,00 #NUM! 17,5 0,98
18,0 - 18,9 9 0 9 1,00 #NUM! 18,5 0,99
19,0 - 19,9 6 0 6 1,00 #NUM! 19,5 1,00
S1 (Intercept)/a = 17,92 L25% = 13,54
S2 (Slope)/b = -1,24 L50%= 14,42
L75% = 15,31

6. Pepetek
Jumlah Jumlah SL Obs. SL Est.
Interval Jumlah Ln Titik
dalam dalam Bag. Bag.
Panjang Total (1/SL-1) Tengah
Kantong Penutup Yang yang
(cm) (ekor) (y) (x)
(ekor) (ekor) Tertahan Tertahan
6,0 - 6,9 4 65 69 0,06 2,79 6,5 0,09
7,0 - 7,9 43 83 126 0,34 0,66 7,5 0,19
8,0 - 8,9 49 60 109 0,45 0,20 8,5 0,34
9,0 - 9,9 39 36 75 0,52 -0,08 9,5 0,53
10,0 - 10,9 16 16 32 0,50 0,00 10,5 0,72
11,0 - 11,9 17 6 23 0,74 -1,04 11,5 0,85
12,0 - 12,9 31 1 32 0,97 -3,43 12,5 0,93
13,0 - 13,9 50 0 50 1,00 #NUM! 13,5 0,96
14,0 - 14,9 68 0 68 1,00 #NUM! 14,5 0,98
15,0 - 15,9 63 0 63 1,00 #NUM! 15,5 0,99
16,0 - 16,9 56 0 56 1,00 #NUM! 16,5 1,00
17,0 - 17,9 48 0 48 1,00 #NUM! 17,5 1,00
S1 (Intercept)/a = 7,43 L25% = 7,96
S2 (Slope)/b = -0,80 L50%= 9,34
L75% = 10,72
221

7. Kuwe
Jumlah Jumlah SL Obs. SL Est.
Interval Jumlah Ln Titik
dalam dalam Bag. Bag.
Panjang Total (1/SL-1) Tengah
Kantong Penutup Yang yang
(cm) (ekor) (y) (x)
(ekor) (ekor) Tertahan Tertahan
6,5 - 6,9 0 2 2 0,00 #DIV/0! 6,7 0,03
7,0 - 7,9 0 8 8 0,00 #DIV/0! 7,5 0,05
8,0 - 8,9 0 15 15 0,00 #DIV/0! 8,5 0,11
9,0 - 9,9 0 21 21 0,00 #DIV/0! 9,5 0,21
10,0 - 10,9 0 9 9 0,00 #DIV/0! 10,5 0,35
11,0 - 11,9 3 3 6 0,50 0,00 11,5 0,54
12,0 - 12,9 10 3 13 0,77 -1,20 12,5 0,71
13,0 - 13,9 9 2 11 0,82 -1,50 13,5 0,84
14,0 - 14,9 37 0 37 1,00 #NUM! 14,5 0,92
15,0 - 15,9 24 0 24 1,00 #NUM! 15,5 0,96
16,0 - 16,9 33 0 33 1,00 #NUM! 16,5 0,98
17,0 - 17,9 14 0 14 1,00 #NUM! 17,5 0,99
18,0 - 18,9 3 0 3 1,00 #NUM! 18,5 1,00
S1 (Intercept)/a = 8,50 L25% = 9,84
S2 (Slope)/b = -0,75 L50%= 11,30
L75% = 12,76
222

8. Baronang
Jumlah Jumlah SL Obs. SL Est.
Interval Jumlah Ln Titik
dalam dalam Bag. Bag.
Panjang Total (1/SL-1) Tengah
Kantong Penutup Yang yang
(cm) (ekor) (y) (x)
(ekor) (ekor) Tertahan Tertahan
9,0 - 9,9 0 4 4 0,00 #DIV/0! 9,2 0,00
10,0 - 10,9 0 7 7 0,00 #DIV/0! 10,5 0,00
11,0 - 11,9 0 16 16 0,00 #DIV/0! 11,5 0,01
12,0 - 12,9 0 15 15 0,00 #DIV/0! 12,5 0,03
13,0 - 13,9 0 17 17 0,00 #DIV/0! 13,5 0,12
14,0 - 14,9 4 10 14 0,29 0,92 14,5 0,35
15,0 - 15,4 21 5 26 0,81 -1,44 15,5 0,69
16,0 - 16,9 20 3 23 0,87 -1,90 16,5 0,90
17,0 - 17,9 34 0 34 1,00 #NUM! 17,5 0,97
18,0 - 18,9 10 0 10 1,00 #NUM! 18,5 0,99
19,0 - 19,9 10 0 10 1,00 #NUM! 19,5 1,00
20,0 - 20,9 7 0 7 1,00 #NUM! 20,5 1,00
21,0 - 21,9 17 0 17 1,00 #NUM! 21,5 1,00
22,0 - 22,9 12 0 12 1,00 #NUM! 22,5 1,00
S1 (Intercept)/a = 21,00 L25% = 14,15
S2 (Slope)/b = -1,41 L50%= 14,93
L75% = 15,71
223

9. Baracuda
Jumlah Jumlah SL Obs. SL Est.
Interval Jumlah Ln Titik
dalam dalam Bag. Bag.
Panjang Total (1/SL-1) Tengah
Kantong Penutup Yang yang
(cm) (ekor) (y) (x)
(ekor) (ekor) Tertahan Tertahan
11,0 - 11,9 0 1 1 0,00 #DIV/0! 11,5 0,13
12,0 - 12,9 0 3 3 0,00 #DIV/0! 12,5 0,17
13,0 - 13,9 0 3 3 0,00 #DIV/0! 13,5 0,21
14,0 - 14,9 0 5 5 0,00 #DIV/0! 14,5 0,26
15,0 - 15,9 0 5 5 0,00 #DIV/0! 15,5 0,31
16,0 - 16,9 3 3 6 0,50 0,00 16,5 0,37
17,0 - 17,9 2 5 7 0,29 0,92 17,5 0,43
18,0 - 18,9 5 7 12 0,42 0,34 18,5 0,50
19,0 - 19,9 6 3 9 0,67 -0,69 19,5 0,56
20,0 - 20,9 8 0 8 1,00 #NUM! 20,5 0,63
21,0 - 21,9 14 0 14 1,00 #NUM! 21,5 0,69
22,0 - 22,9 9 0 9 1,00 #NUM! 22,5 0,74
23,0 - 23,9 10 0 10 1,00 #NUM! 23,5 0,79
24,0 - 24,9 14 0 14 1,00 #NUM! 24,5 0,83
25,0 - 25,9 8 0 8 1,00 #NUM! 25,5 0,86
26,0 - 26,9 9 0 9 1,00 #NUM! 26,5 0,89
27,0 - 27,9 9 0 9 1,00 #NUM! 27,5 0,92
28,0 - 28,9 7 0 7 1,00 #NUM! 28,5 0,93
29,0 - 29,9 10 0 10 1,00 #NUM! 29,5 0,95
30,0 - 30,9 5 0 5 1,00 #NUM! 30,5 0,96
31,0 -31,9 7 0 7 1,00 #NUM! 31,5 0,97
32,0 -32,9 1 0 1 1,00 #NUM! 32,5 0,98
33,0 -33,9 3 0 3 1,00 #NUM! 33,5 0,98
34,0 -34,9 2 0 2 1,00 #NUM! 34,5 0,99
S1 (Intercept)/a = 4,93 L25% = 14,39
S2 (Slope)/b = -0,27 L50%= 18,53
L75% = 22,66
224

Lampiran 29 Perhitungan analisis selektivitas mata jaring sero 4 cm


setiap jenis ikan dominan tertangkap pada habitat
mangrove di perairan pantai Pitumpanua, Teluk Bone

1. Ikan Biji Nangka


Jumlah Jumlah SL Obs. SL Est.
Interval Jumlah Ln Titik
dalam dalam Bag. Bag.
Panjang Total (1/SL-1) Tengah
Kantong Penutup Yang yang
(cm) (ekor) (y) (x)
(ekor) (ekor) Tertahan Tertahan
6,0 - 6,9 0 5 5 0,00 #DIV/0! 5,50 0,08
7,0 - 7,9 12 36 48 0,25 1,10 6,50 0,12
8,0 - 8,9 11 60 71 0,15 1,70 7,50 0,19
9,0 - 9,9 16 62 78 0,21 1,35 8,50 0,27
10,0 - 10,9 16 46 62 0,26 1,06 9,50 0,38
11,0 - 11,9 12 21 33 0,36 0,56 10,50 0,50
12,0 - 12,9 12 5 17 0,71 -0,88 11,50 0,62
13,0 - 13,9 9 2 11 0,82 -1,50 12,50 0,73
14,0 - 14,9 12 0 12 1,00 #NUM! 13,50 0,81
15,0 - 15,9 9 0 9 1,00 #NUM! 14,50 0,88
16,0 - 16,9 2 0 2 1,00 #NUM! 15,50 0,92
17,0 - 17,9 5 0 5 1,00 #NUM! 16,50 0,95
18,0 - 18,5 5 0 5 1,00 #NUM! 17,50 0,97
19,0 - 19,9 3 0 3 1,00 #NUM! 18,50 0,98
20,0 -20,9 1 0 1 1,00 #NUM! 19,50 0,99
S1 (Intercept)/a = 5,15 L25% = 8,25
S2 (Slope)/b = -0,49 L50%= 10,49
L75% = 12,72
225

2. Baronang lingkis
Jumlah Jumlah SL Obs. SL Est.
Interval Jumlah Ln Titik
dalam dalam Bag. Bag.
Panjang Total (1/SL-1) Tengah
Kantong Penutup Yang yang
(cm) (ekor) (y) (x)
(ekor) (ekor) Tertahan Tertahan
6,0 - 6,9 0 2 2 0,00 #DIV/0! 6,5 0,00
7,0 - 7,9 0 23 23 0,00 #DIV/0! 7,5 0,00
8,0 - 8,9 0 17 17 0,00 #DIV/0! 8 0,00
9,0 - 9,9 0 27 27 0,00 #DIV/0! 9,5 0,02
10,0 - 10,9 0 19 19 0,00 #DIV/0! 10,5 0,10
11,0 - 11,9 5 16 21 0,24 1,16 11,5 0,36
12,0 - 12,9 17 3 20 0,85 -1,73 12,5 0,74
13,0 - 13,9 22 1 23 0,96 -3,09 13,5 0,93
14,0 - 14,9 42 1 43 0,98 -3,74 14,5 0,99
15,0 - 15,9 31 0 31 1,00 #NUM! 15,5 1,00
16,0 - 16,9 43 0 43 1,00 #NUM! 16,5 1,00
17,0 - 17,9 48 0 48 1,00 #NUM! 17,5 1,00
18,0 - 18,9 32 0 32 1,00 #NUM! 18,5 1,00
19,0 - 19,9 3 0 3 1,00 #NUM! 19,5 1,00
S1 (Intercept)/a = 19,03 L25% = 11,16
S2 (Slope)/b = -1,61 L50%= 11,85
L75% = 12,53
226

3. Kerong-kerong
Jumlah Jumlah SL Obs. SL Est.
Interval Jumlah Ln Titik
dalam dalam Bag. Bag.
Panjang Total (1/SL-1) Tengah
Kantong Penutup Yang yang
(cm) (ekor) (y) (x)
(ekor) (ekor) Tertahan Tertahan
6,0 - 6,9 0 2 2 0,00 #DIV/0! 6,5 0,00
7,0 - 7,9 0 8 8 0,00 #DIV/0! 7,5 0,00
8,0 - 8,9 0 21 21 0,00 #DIV/0! 8,5 0,00
9,0 - 9,9 0 35 35 0,00 #DIV/0! 9,5 0,01
10,0 - 10,9 0 25 25 0,00 #DIV/0! 10,5 0,04
11,0 - 11,9 0 8 8 0,00 #DIV/0! 11,5 0,12
12,0 - 12,9 2 6 8 0,25 1,10 12,5 0,31
13,0 - 13,9 7 3 10 0,70 -0,85 13,5 0,59
14,0 - 14,9 13 3 16 0,81 -1,47 14,5 0,83
15,0 - 15,9 14 1 15 0,93 -2,64 15,5 0,94
16,0 - 16,9 31 0 31 1,00 #NUM! 16,5 0,98
17,0 - 17,9 43 0 43 1,00 #NUM! 17,5 0,99
18,0 - 18,9 31 0 31 1,00 #NUM! 18,5 1,00
19,0 - 19,9 35 0 35 1,00 #NUM! 19,5 1,00
20,0 - 20,9 32 0 32 1,00 #NUM! 20,5 1,00
21,0 - 21,9 27 0 27 1,00 #NUM! 21,5 1,00
22,0 - 22,9 22 0 22 1,00 #NUM! 22,5 1,00
23,0 - 23,9 12 0 12 1,00 #NUM! 23,5 1,00
24,0 - 24,9 2 0 2 1,00 #NUM! 24,5 1,00
25,0 - 25,9 2 0 2 1,00 #NUM! 25,5 1,00
26,0 - 26,9 3 0 3 1,00 #NUM!
S1 (Intercept)/a = 15,60 L25% = 12,26
S2 (Slope)/b = -1,18 L50%= 13,19
L75% = 14,11
227

4. Kapas-kapas
Jumlah Jumlah SL Obs. SL Est.
Interval Jumlah Ln Titik
dalam dalam Bag. Bag.
Panjang Total (1/SL-1) Tengah
Kantong Penutup Yang yang
(cm) (ekor) (y) (x)
(ekor) (ekor) Tertahan Tertahan
4,0 - 4,9 0 3 3 0,00 #REF! 4,5 0,00
5,0 - 5,9 0 1 1 0,00 #DIV/0! 5,5 0,00
6,0 - 6,9 0 31 31 0,00 #DIV/0! 6,5 0,00
7,0 - 7,9 0 36 36 0,00 #DIV/0! 7,5 0,01
8,0 - 8,9 0 44 44 0,00 #DIV/0! 8,5 0,07
9,0 - 9,9 7 24 31 0,23 1,23 9,5 0,28
10,0 - 10,9 21 6 27 0,78 -1,25 10,5 0,66
11,0 - 11,4 15 2 17 0,88 -2,01 11,5 0,91
12,0 - 12,9 20 0 20 1,00 #NUM! 12,5 0,98
13,0 - 13,9 14 0 14 1,00 #NUM! 13,5 1,00
14,0 - 14,9 6 0 6 1,00 #NUM! 14,5 1,00
15,0 - 15,9 8 0 8 1,00 #NUM! 15,5 1,00
16,0 - 16,9 3 0 3 1,00 #NUM! 16,5 1,00
17,0 - 17,9 2 0 2 1,00 #NUM! 17,5 1,00
18,0 - 18,9 1 0 1 1,00 #NUM! 18,5 1,00
S1 (Intercept)/a = 16,37 L25% = 9,41
S2 (Slope)/b = -1,62 L50%= 10,08
L75% = 10,76
228

5. Lencam
Jumlah Jumlah SL Obs. SL Est.
Interval Jumlah Ln Titik
dalam dalam Bag. Bag.
Panjang Total (1/SL-1) Tengah
Kantong Penutup Yang yang
(cm) (ekor) (y) (x)
(ekor) (ekor) Tertahan Tertahan
8,0 - 8,9 0 1 1 0,00 #DIV/0! 8,5 0,00
9,0 - 9,9 0 7 7 0,00 #DIV/0! 9,5 0,01
10,0 - 10,9 0 7 7 0,00 #DIV/0! 10,5 0,02
11,0 - 11,9 0 13 13 0,00 #DIV/0! 11,5 0,08
12,0 - 12,9 0 10 10 0,00 #DIV/0! 12,5 0,23
13,0 - 13,9 9 9 18 0,50 0,00 13,5 0,52
14,0 - 14,9 9 2 11 0,82 -1,50 14,5 0,80
15,0 - 15,9 26 2 28 0,93 -2,56 15,5 0,93
16,0 - 16,9 32 0 32 1,00 #NUM! 16,5 0,98
17,0 - 17,9 32 0 32 1,00 #NUM! 17,5 0,99
18,0 - 18,9 17 0 17 1,00 #NUM! 18,5 1,00
19,0 - 19,9 9 0 9 1,00 #NUM! 19,5 1,00
20,0 - 20,9 3 0 3 1,00 #NUM! 20,5 1,00
S1 (Intercept)/a = 17,24 L25% = 12,59
S2 (Slope)/b = -1,28 L50%= 13,44
L75% = 14,30

6. Pepetek
Jumlah Jumlah SL Obs. SL Est.
Interval Jumlah Ln Titik
dalam dalam Bag. Bag.
Panjang Total (1/SL-1) Tengah
Kantong Penutup Yang yang
(cm) (ekor) (y) (x)
(ekor) (ekor) Tertahan Tertahan
6,0 - 6,9 2 59 61 0,03 3,38 6,5 0,09
7,0 - 7,9 27 61 88 0,31 0,82 7,5 0,17
8,0 - 8,9 34 41 75 0,45 0,19 8,5 0,32
9,0 - 9,9 50 31 81 0,62 -0,48 9,5 0,51
10,0 - 10,9 18 12 30 0,60 -0,41 10,5 0,70
11,0 - 11,9 8 2 10 0,80 -1,39 11,5 0,84
12,0 - 12,9 15 0 15 1,00 #NUM! 12,5 0,92
13,0 - 13,9 46 0 46 1,00 #NUM! 13,5 0,96
14,0 - 14,9 65 0 65 1,00 #NUM! 14,5 0,98
15,0 - 15,9 64 0 64 1,00 #NUM! 15,5 0,99
16,0 - 16,9 11 0 11 1,00 #NUM! 16,5 1,00
S1 (Intercept)/a = 7,60 L25% = 8,07
S2 (Slope)/b = -0,81 L50%= 9,44
L75% = 10,80
229

7. Kuwe
Jumlah Jumlah SL Obs. SL Est.
Interval Jumlah Ln Titik
dalam dalam Bag. Bag.
Panjang Total (1/SL-1) Tengah
Kantong Penutup Yang yang
(cm) (ekor) (y) (x)
(ekor) (ekor) Tertahan Tertahan
6,0 - 6,9 0 2 2 0,00 #DIV/0! 6,7 0,00
7,0 - 7,9 0 13 13 0,00 #DIV/0! 7,2 0,00
8,0 - 8,9 0 15 15 0,00 #DIV/0! 8,2 0,00
9,0 - 9,9 0 21 21 0,00 #DIV/0! 9,2 0,01
10,0 - 10,9 0 14 14 0,00 #DIV/0! 10,2 0,05
11,0 - 11,9 1 8 9 0,11 2,08 11,2 0,19
12,0 - 12,9 14 7 21 0,67 -0,69 12,2 0,53
13,0 - 13,9 34 3 37 0,92 -2,43 13,2 0,84
14,0 - 14,9 39 3 42 0,93 -2,56 14,2 0,96
15,0 - 15,9 45 0 45 1,00 #NUM! 15,2 0,99
16,0 - 16,9 30 0 30 1,00 #NUM! 16,2 1,00
17,0 - 17,9 20 0 20 1,00 #NUM! 17,2 1,00
18,0 - 18,9 5 0 5 1,00 #NUM! 18,2 1,00
19,0 - 19,9 1 0 1 1,00 #NUM! 18,2 1,00
S1 (Intercept)/a = 19,00 L25% = 11,42
S2 (Slope)/b = -1,57 L50%= 12,12
L75% = 12,83
230

8. Baronang
Jumlah Jumlah SL Obs. SL Est.
Interval Jumlah Ln Titik
dalam dalam Bag. Bag.
Panjang Total (1/SL-1) Tengah
Kantong Penutup Yang yang
(cm) (ekor) (y) (x)
(ekor) (ekor) Tertahan Tertahan
9,0 - 9,9 0 4 4 0,00 #DIV/0! 9,5 0,00
10,0 - 10,9 0 7 7 0,00 #DIV/0! 10,5 0,00
11,0 - 11,9 0 16 16 0,00 #DIV/0! 11,5 0,01
12,0 - 12,9 0 15 15 0,00 #DIV/0! 12,5 0,03
13,0 - 13,9 0 27 27 0,00 #DIV/0! 13,5 0,12
14,0 - 14,9 6 10 16 0,38 0,51 14,5 0,39
15,0 - 15,9 16 5 21 0,76 -1,16 15,5 0,74
16,0 - 16,9 38 3 41 0,93 -2,54 16,5 0,93
17,0 - 17,9 32 0 32 1,00 #NUM! 17,5 0,98
18,0 - 18,9 13 0 13 1,00 #NUM! 18,5 1,00
19,0 - 19,9 7 0 7 1,00 #NUM! 19,5 1,00
20,0 - 20,9 9 0 9 1,00 #NUM! 20,5 1,00
21,0 - 21,9 12 0 12 1,00 #NUM! 21,5 1,00
22,0 - 22,9 8 0 8 1,00 #NUM! 22,5 1,00
23,0 - 29,9 1 0 1 1,00 #NUM! 23,5 1,00
S1 (Intercept)/a = 22,57 L25% = 14,08
S2 (Slope)/b = -1,52 L50%= 14,80
L75% = 15,52
231

9. Baracuda
Jumlah Jumlah SL Obs. SL Est.
Interval Jumlah Ln Titik
dalam dalam Bag. Bag.
Panjang Total (1/SL-1) Tengah
Kantong Penutup Yang yang
(cm) (ekor) (y) (x)
(ekor) (ekor) Tertahan Tertahan
11,0 - 11,9 0 1 1 0,00 #DIV/0! 11,5 0,00
12,0 - 12,9 0 3 3 0,00 #DIV/0! 12,5 0,01
13,0 - 13,9 0 3 3 0,00 #DIV/0! 13,5 0,02
14,0 - 14,9 0 5 5 0,00 #DIV/0! 14,5 0,05
15,0 - 15,9 0 8 8 0,00 #DIV/0! 15,5 0,12
16,0 - 16,9 3 5 8 0,38 0,51 16,5 0,24
17,0 - 17,9 2 7 9 0,22 1,25 17,5 0,43
18,0 - 18,9 5 3 8 0,63 -0,51 18,5 0,64
19,0 - 19,9 6 1 7 0,86 -1,79 19,5 0,81
20,0 - 20,9 8 0 8 1,00 #NUM! 20,5 0,91
21,0 - 21,9 9 0 9 1,00 #NUM! 21,5 0,96
22,0 - 22,9 9 0 9 1,00 #NUM! 22,5 0,98
23,0 - 23,9 10 0 10 1,00 #NUM! 23,5 0,99
24,0 - 24,9 14 0 14 1,00 #NUM! 24,5 1,00
25,0 - 25,9 8 0 8 1,00 #NUM! 25,5 1,00
26,0 - 26,9 9 0 9 1,00 #NUM! 26,5 1,00
27,0 - 27,9 9 0 9 1,00 #NUM! 27,5 1,00
28,0 - 28,9 7 0 7 1,00 #NUM! 28,5 1,00
29,0 - 29,9 10 0 10 1,00 #NUM! 29,5 1,00
30,0 - 30,9 5 0 5 1,00 #NUM! 30,5 1,00
31,0 -31,9 7 0 7 1,00 #NUM! 31,5 1,00
32,0 -32,9 1 0 1 1,00 #NUM! 32,5 1,00
33,0 -33,9 3 0 3 1,00 #NUM! 33,5 1,00
34,0 -34,9 2 0 2 1,00 #NUM! 34,5 1,00
35,0 -35,9 1 0 1 1,00 #NUM! 35,5 1,00
S1 (Intercept)/a = 15,47 L25% = 16,58
S2 (Slope)/b = -0,87 L50%= 17,84
L75% = 19,11
232

Lampiran 30 Perhitungan analisis selektivitas mata jaring sero 4 cm


setiap jenis ikan dominan tertangkap pada habitat lamun
di perairan pantai Pitumpanua, Teluk Bone

1. Ikan Biji Nangka


Jumlah Jumlah SL Obs. SL Est.
Interval Jumlah Ln Titik
dalam dalam Bag. Bag.
Panjang Total (1/SL-1) Tengah
Kantong Penutup Yang yang
(cm) (ekor) (y) (x)
(ekor) (ekor) Tertahan Tertahan
5,0 - 5,9 0 2 2 0,00 #DIV/0! 5,5 0,03
6,5 - 6,9 1 16 17 0,06 2,77 6,5 0,06
7,0 - 7,9 10 53 63 0,16 1,67 7,5 0,09
8,0 - 8,9 10 71 81 0,12 1,96 8,5 0,16
9,0 - 9,9 23 64 87 0,26 1,02 9,5 0,25
10,0 - 10,9 14 70 84 0,17 1,61 10,5 0,37
11,0 - 11,9 25 24 49 0,51 -0,04 11,5 0,51
12,0 - 12,9 31 12 43 0,72 -0,95 12,5 0,65
13,0 - 13,9 17 4 21 0,81 -1,45 13,5 0,76
14,0 - 14,9 20 0 20 1,00 #NUM! 14,5 0,85
15,0 - 15,9 22 0 22 1,00 #NUM! 15,5 0,91
S1 (Intercept)/a = 6,54 L25% = 9,52
S2 (Slope)/b = -0,57 L50%= 11,44
L75% = 13,36
233

2. Baronang lingkis
Jumlah Jumlah SL Obs. SL Est.
Interval Jumlah Ln Titik
dalam dalam Bag. Bag.
Panjang Total (1/SL-1) Tengah
Kantong Penutup Yang yang
(cm) (ekor) (y) (x)
(ekor) (ekor) Tertahan Tertahan
5,0 - 5,9 0 1 1 0,00 #DIV/0! 5,5 0,00
6,0 - 6,9 0 17 17 0,00 #DIV/0! 6,5 0,00
7,0 - 7,9 0 43 43 0,00 #DIV/0! 7,5 0,00
8,0 - 8,9 0 33 33 0,00 #DIV/0! 8,5 0,01
9,0 - 9,9 2 41 43 0,05 3,02 9,5 0,02
10,0 - 10,9 2 32 34 0,06 2,77 10,5 0,10
11,0 - 11,9 5 20 25 0,20 1,39 11,5 0,33
12,0 - 12,9 13 6 19 0,68 -0,77 12,5 0,69
13,0 - 13,9 33 2 35 0,94 -2,80 13,5 0,91
14,0 - 14,9 53 0 53 1,00 #NUM! 14,5 0,98
15,0 - 15,9 37 0 37 1,00 #NUM! 15,5 1,00
16,0 - 16,9 47 0 47 1,00 #NUM! 16,5 1,00
17,0 - 17,9 44 0 44 1,00 #NUM! 17,5 1,00
18,0 - 18,9 32 0 32 1,00 #NUM! 18,5 1,00
19,0 - 19,9 25 0 25 1,00 #NUM! 19,5 1,00
20,0 - 20,9 8 0 8 1,00 #NUM! 20,5 1,00
21,0 - 21,9 1 0 1 1,00 #NUM! 21,5 1,00
S1 (Intercept)/a = 18,19 L25% = 11,25
S2 (Slope)/b = -1,52 L50%= 11,97
L75% = 12,70
234

3. Kerong-kerong
Jumlah Jumlah SL Obs. SL Est.
Interval Jumlah Ln Titik
dalam dalam Bag. Bag.
Panjang Total (1/SL-1) Tengah
Kantong Penutup Yang yang
(cm) (ekor) (y) (x)
(ekor) (ekor) Tertahan Tertahan
6.0 - 6.9 0 2 2 0.00 #DIV/0! 6.5 0.02
7.0 - 7.9 0 4 4 0.00 #DIV/0! 7.5 0.03
8.0 - 8.9 0 13 13 0.00 #DIV/0! 8.5 0.05
9.0 - 9.9 2 18 20 0.10 2.20 9.5 0.10
10.0 - 10.9 2 10 12 0.17 1.61 10.5 0.17
11.0 - 11.9 3 7 10 0.30 0.85 11.5 0.29
12.0 - 12.9 3 4 7 0.43 0.29 12.5 0.43
13.0 - 13.9 4 0 4 1.00 #NUM! 13.5 0.60
14.0 - 14.9 4 0 4 1.00 #NUM! 14.5 0.74
15.0 - 15.9 9 0 9 1.00 #NUM! 15.5 0.84
16.0 - 16.9 9 0 9 1.00 #NUM! 16.5 0.91
17.0 - 17.9 16 0 16 1.00 #NUM! 17.5 0.95
18.0 - 18.9 22 0 22 1.00 #NUM! 18.5 0.97
19.0 - 19.9 18 0 18 1.00 #NUM! 19.5 0.99
20.0 - 20.9 15 0 15 1.00 #NUM! 20.5 0.99
21.0 - 21.9 9 0 9 1.00 #NUM! 21.5 1.00
22.0 - 22.9 8 0 8 1.00 #NUM! 22.5 1.00
23.0 - 23.9 3 0 3 1.00 #NUM! 23.5 1.00
S1 (Intercept)/a = 8.38 L25% = 11.21
S2 (Slope)/b = -0.65 L50%= 12.90
L75% = 14.60
235

4. Kapas-kapas
Jumlah Jumlah SL Obs. SL Est.
Interval Jumlah Ln Titik
dalam dalam Bag. Bag.
Panjang Total (1/SL-1) Tengah
Kantong Penutup Yang yang
(cm) (ekor) (y) (x)
(ekor) (ekor) Tertahan Tertahan
4,0 - 4,9 0 1 1 0,00 #DIV/0! 4,5 0,00
5,0 - 5,9 0 3 3 0,00 #DIV/0! 5,5 0,00
6,0 - 6,9 0 39 39 0,00 #DIV/0! 6,5 0,00
7,0 - 7,9 3 60 63 0,05 3,00 7,5 0,02
8,0 - 8,9 2 62 64 0,03 3,43 8,5 0,08
9,0 - 9,9 11 36 47 0,23 1,19 9,5 0,31
10,0 - 10,9 35 15 50 0,70 -0,85 10,5 0,68
11,0 - 11,9 15 1 16 0,94 -2,71 11,5 0,91
12,0 - 12,9 17 0 17 1,00 #NUM! 12,5 0,98
13,0 - 13,9 16 0 16 1,00 #NUM! 13,5 1,00
14,0 - 14,9 10 0 10 1,00 #NUM! 14,5 1,00
15,0 - 15,9 9 0 9 1,00 #NUM! 15,5 1,00
16,0 - 16,9 2 0 2 1,00 #NUM! 16,5 1,00
17,0 - 17,9 1 0 1 1,00 #NUM! 17,5 1,00
S1 (Intercept)/a = 15,72 L25% = 9,32
S2 (Slope)/b = -1,57 L50%= 10,02
L75% = 10,72
236

5. Lencam
Jumlah Jumlah SL Obs. SL Est.
Interval Jumlah Ln Titik
dalam dalam Bag. Bag.
Panjang Total (1/SL-1) Tengah
Kantong Penutup Yang yang
(cm) (ekor) (y) (x)
(ekor) (ekor) Tertahan Tertahan
8,0 - 8,9 0 3 3 0,00 #DIV/0! 8,5 0,00
9,0 - 9,9 0 9 9 0,00 #DIV/0! 9,5 0,00
10,0 - 10,9 0 15 15 0,00 #DIV/0! 10,5 0,00
11,0 - 11,9 0 21 21 0,00 #DIV/0! 11,5 0,00
12,0 - 12,9 0 14 14 0,00 #DIV/0! 12,5 0,00
13,0 - 13,9 1 13 14 0,07 2,56 13,5 0,05
14,0 - 14,9 2 6 8 0,25 1,10 14,5 0,43
15,0 - 15,9 32 2 34 0,94 -2,77 15,5 0,91
16,0 - 16,9 37 0 37 1,00 #NUM! 16,5 0,99
17,0 - 17,9 45 0 45 1,00 #NUM! 17,5 1,00
18,0 - 18,9 15 0 15 1,00 #NUM! 18,5 1,00
19,0 - 19,9 6 0 6 1,00 #NUM! 19,5 1,00
20,0 - 20,9 2 0 2 1,00 #NUM! 20,5 1,00
S1 (Intercept)/a = 38,99 L25% = 14,20
S2 (Slope)/b = -2,67 L50%= 14,61
L75% = 15,02

6. Pepetek
Jumlah Jumlah SL Obs. SL Est.
Interval Jumlah Ln Titik
dalam dalam Bag. Bag.
Panjang Total (1/SL-1) Tengah
Kantong Penutup Yang yang
(cm) (ekor) (y) (x)
(ekor) (ekor) Tertahan Tertahan
6,0 - 6,9 0 55 55 0,00 #DIV/0! 6,5 0,20
7,0 - 7,9 28 43 71 0,39 0,43 7,5 0,31
8,0 - 8,9 35 39 74 0,47 0,11 8,5 0,44
9,0 - 9,9 30 34 64 0,47 0,13 9,5 0,59
10,0 - 10,9 13 11 24 0,54 -0,17 10,5 0,72
11,0 - 11,4 23 3 26 0,88 -2,04 11,5 0,82
12,0 - 12,9 10 1 11 0,91 -2,30 12,5 0,89
13,0 - 13,9 21 0 21 1,00 #NUM! 13,5 0,94
14,0 - 14,9 23 0 23 1,00 #NUM! 14,5 0,96
15,0 - 15,9 37 0 37 1,00 #NUM! 15,5 0,98
16,0 - 16,9 3 0 3 1,00 #NUM! 16,5 0,99
S1 (Intercept)/a = 5,18 L25% = 7,01
S2 (Slope)/b = -0,58 L50%= 9,00
L75% = 10,79
237

7. Kuwe
Jumlah Jumlah SL Obs. SL Est.
Interval Jumlah Ln Titik
dalam dalam Bag. Bag.
Panjang Total (1/SL-1) Tengah
Kantong Penutup Yang yang
(cm) (ekor) (y) (x)
(ekor) (ekor) Tertahan Tertahan
6,0 - 6,9 0 10 10 0,00 #DIV/0! 6,5 0,00
7,0 - 7,9 0 21 21 0,00 #DIV/0! 7,5 0,00
8,0 - 8,9 0 39 39 0,00 #DIV/0! 8,5 0,00
9,0 - 9,9 0 40 40 0,00 #DIV/0! 9,5 0,02
10,0 - 10,9 0 12 12 0,00 #DIV/0! 10,5 0,11
11,0 - 11,9 2 3 5 0,40 0,41 11,5 0,42
12,0 - 12,9 15 3 18 0,83 -1,61 12,5 0,81
13,0 - 13,9 23 1 24 0,96 -3,14 13,5 0,96
14,0 - 14,9 36 0 36 1,00 #NUM! 14,5 0,99
15,0 - 15,9 48 0 48 1,00 #NUM! 15,5 1,00
16,0 - 16,9 32 0 32 1,00 #NUM! 16,5 1,00
17,0 - 17,9 18 0 18 1,00 #NUM! 17,5 1,00
18,0 - 18,9 4 0 4 1,00 #NUM! 18,5 1,00
19,0 - 19,9 1 0 1 1,00 #NUM! 19,5 1,00
S1 (Intercept)/a = 20,68 L25% = 11,06
S2 (Slope)/b = -1,77 L50%= 11,68
L75% = 12,30
238

8. Baronang
Jumlah Jumlah SL Obs. SL Est.
Interval Jumlah Ln Titik
dalam dalam Bag. Bag.
Panjang Total (1/SL-1) Tengah
Kantong Penutup Yang yang
(cm) (ekor) (y) (x)
(ekor) (ekor) Tertahan Tertahan
8,0 - 8,9 0 4 4 0,00 #DIV/0! 8,5 0,00
9,0 - 9,9 0 15 15 0,00 #DIV/0! 9,5 0,00
10,0 - 10,9 0 19 19 0,00 #DIV/0! 10,5 0,00
11,0 - 11,9 0 16 16 0,00 #DIV/0! 11,5 0,00
12,0 - 12,9 1 25 26 0,04 3,22 12,5 0,02
13,0 - 13,9 1 23 24 0,04 3,14 13,5 0,09
14,0 - 14,9 2 9 11 0,18 1,50 14,5 0,39
15,0 - 15,9 22 2 24 0,92 -2,40 15,5 0,80
16,0 - 16,9 52 0 52 1,00 #NUM! 16,5 0,96
17,0 - 17,9 48 0 48 1,00 #NUM! 17,5 0,99
18,0 - 18,9 24 0 24 1,00 #NUM! 18,5 1,00
19,0 - 19,9 14 0 14 1,00 #NUM! 19,5 1,00
20,0 - 20,9 4 0 4 1,00 #NUM! 20,5 1,00
21,0 - 21,9 8 0 8 1,00 #NUM! 21,5 1,00
22,0 - 22,9 9 0 9 1,00 #NUM! 22,5 1,00
23,0 - 29,9 5 0 5 1,00 #NUM! 23,5 1,00
S1 (Intercept)/a = 27,24 L25% = 14,14
S2 (Slope)/b = -1,85 L50%= 14,74
L75% = 15,33
239

9. Baracuda
Jumlah Jumlah SL Obs. SL Est.
Interval Jumlah Ln Titik
dalam dalam Bag. Bag.
Panjang Total (1/SL-1) Tengah
Kantong Penutup Yang yang
(cm) (ekor) (y) (x)
(ekor) (ekor) Tertahan Tertahan
11,5 - 11,9 0 1 1 0,00 #DIV/0! 11,5 0,04
12,0 - 12,9 0 2 2 0,00 #DIV/0! 12,5 0,05
13,0 - 13,9 0 2 2 0,00 #DIV/0! 13,5 0,07
14,0 - 14,9 0 9 9 0,00 #DIV/0! 14,5 0,09
15,0 - 15,9 0 5 5 0,00 #DIV/0! 15,5 0,11
16,0 - 16,9 3 16 19 0,16 1,67 16,5 0,15
17,0 - 17,9 3 16 19 0,16 1,67 17,5 0,19
18,0 - 18,9 2 6 8 0,25 1,10 18,5 0,23
19,0 - 19,9 2 0 2 1,00 #NUM! 19,5 0,29
20,0 - 20,9 4 0 4 1,00 #NUM! 20,5 0,35
21,0 - 21,9 5 0 5 1,00 #NUM! 21,5 0,42
22,0 - 22,9 4 0 4 1,00 #NUM! 22,5 0,49
23,0 - 23,9 3 0 3 1,00 #NUM! 23,5 0,56
24,0 - 24,9 6 0 6 1,00 #NUM! 24,5 0,63
25,0 - 25,9 12 0 12 1,00 #NUM! 25,5 0,69
26,0 - 26,9 9 0 9 1,00 #NUM! 26,5 0,75
27,0 - 27,9 2 0 2 1,00 #NUM! 27,5 0,80
28,0 - 28,9 8 0 8 1,00 #NUM! 28,5 0,84
29,0 - 29,9 3 0 3 1,00 #NUM! 29,5 0,88
30,0 - 30,9 4 0 4 1,00 #NUM! 30,5 0,91
31,0 -31,9 1 0 1 1,00 #NUM! 31,5 0,93
32,0 -32,9 1 0 1 1,00 #NUM! 32,5 0,94
S1 (Intercept)/a = 6,52 L25% = 18,83
S2 (Slope)/b = -0,29 L50%= 22,65
L75% = 26,47
240

Lampiran 31 Hasil analisis trophlab setiap jenis ikan di habitat muara sungai
selama penelitian

Ikan Biji nangka

No A B C D TL SE No A B C D TL SE
1 1 1 3,96 0,59 46 1 1 3,55 0,49
2 1 1 3,55 0,49 47 1 1 3,28 0,32
3 1 3,06 0,26 48 1 1 3,28 0,32
4 2 3,06 0,26 49 1 1 3,31 0,44
5 1 3,06 0,26 50 1 1 4,04 0,70
6 1 3,50 0,37 51 1 3,60 0,59
7 1 3,60 0,59 52 2 1 4,01 0,62
8 1 1 3,55 0,49 53 1 1 4,08 0,71
9 1 1 1 3,40 0,42 54 1 1 3,55 0,49
10 1 3,06 0,26 55 1 3,50 0,37
11 1 1 3,28 0,32 56 1 1 4,04 0,70
12 1 1 4,01 0,61 57 1 1 4,03 0,70
13 1 1 3,34 0,45 58 1 1 3,34 0,45
14 2 3,06 0,26 59 1 1 3,99 0,61
15 1 1 3,28 0,32 60 1 1 3,28 0,32
16 1 1 4,01 0,62 61 1 1 3,91 0,58
17 2 1 4,07 0,71 62 1 3,60 0,59
18 1 3,60 0,59 63 1 1 3,28 0,32
19 1 1 4,01 0,61 64 1 3,60 0,59
20 1 3,06 0,26 65 1 1 4,03 0,70
21 1 1 1 3,40 0,43 66 1 1 3,28 0,32
22 1 1 3,71 0,55 67 2 1 4,01 0,62
23 1 1 3,55 0,49 68 1 3,06 0,26
24 1 3,06 0,26 69 1 3,50 0,37
25 1 3,06 0,26 70 1 3,60 0,59
26 1 1 3,36 0,46 71 1 1 3,55 0,49
27 1 3,50 0,37 72 1 2 4,04 0,63
28 1 3,06 0,26 73 1 1 3,97 0,60
29 1 1 1 3,68 0,51 74 1 1 3,55 0,49
30 1 3,06 0,26 75 1 1 3,55 0,49
31 1 1 4,02 0,62 76 1 3,60 0,59
32 1 3,60 0,59 77 1 3,06 0,26
33 2 4,50 0,80 78 1 1 1 3,87 0,60
34 1 1 4,00 0,61 79 1 2 1 3,68 0,51
35 1 1 3,55 0,49 80 1 3,50 0,37
36 1 3,06 0,26 81 2 1 3,55 0,49
37 1 4,50 0,80 82 1 3,06 0,26
38 1 1 1 1 3,71 0,56 83 1 3,06 0,26
39 1 1 1 3,37 0,42 84 2 1 1 3,90 0,61
40 2 1 4,02 0,69 85 1 1 3,98 0,60
41 1 3,50 0,37 86 2 1 1 3,85 0,60
42 1 2 3,55 0,49 87 1 3,60 0,59
43 1 1 3,98 0,60 88 1 2 1 3,68 0,51
44 1 1 3,98 0,60 89 1 1 4,06 0,70
45 2 1 3,99 0,61
Rata-rata TL = 3,60
Rata-rata SE = 0,49
A = bony fish B = other benth. invertebrates
C = shrimps /prawns D = polychaetes
TL = trophlab SE = Standar error
241

Ikan Baronang lingkis

No A B C D E TL SE No A B C D E TL SE
1 3 1 2,00 0,00 36 4 1 2,00 0,00
2 1 2,00 0,00 37 1 2 1 2,48 0,19
3 3 1 2,55 0,18 38 1 4,50 0,80
4 3 1 1 2,51 0,20 39 3 1 2,00 0,00
5 2 2,00 0,00 40 6 1 2,71 0,24
6 1 3,50 0,37 41 1 1 3,12 0,51
7 1 3,06 0,26 42 3 2 2,00 0,00
8 1 2,00 0,00 43 3 1 1 3,35 0,49
9 2 1 2,00 0,00 44 1 2,00 0,00
10 2 2 1 2,47 0,19 45 6 1 1 2,53 0,20
11 1 1 2,72 0,24 46 4 1 2,57 0,18
12 3 2,00 0,00 47 2 2 1 2,55 0,20
13 2 1 2,72 0,24 48 3 1 1 2,49 0,19
14 3 2,00 0,00 49 1 2,00 0,00
15 1 1 1 2,81 0,42 50 2 1 1 2,85 0,25
16 5 1 1 2,51 0,20 51 1 1 3,74 0,56
17 4 2 2,00 0,00 52 1 2,00 0,00
18 3 1 2,00 0,00 53 2 2,00 0,00
19 1 1 3,78 0,58 54 3 2,00 0,00
20 2 1 3,39 0,57 55 2 3,50 0,37
21 6 2 1 2,41 0,17 56 1 1 3,34 0,56
22 1 2,00 0,00 57 3 2 1 2,82 0,25
23 3 2,00 0,00 58 5 2 2,00 0,00
24 6 2,00 0,00 59 3 2,00 0,00
25 4 2,00 0,00 60 1 2,00 0,00
26 2 2 2,68 0,24 61 1 1 4,02 0,62
27 1 1 1 2,86 0,25 62 3 2 2,00 0,00
28 3 2 2,00 0,00 63 6 2 2,00 0,00
29 2 1 2,84 0,26 64 1 3,06 0,26
30 1 1 2,00 0,00 65 1 3,50 0,37
31 1 1 3,42 0,58 66 3 1 1 2,52 0,20
32 3 1 1 2,85 0,25 67 5 1 3,18 0,52
33 4 2 2,00 0,00
34 1 1 3,16 0,52
35 5 1 2 2,34 0,13
Rata-rata TL = 2,56
Rata-rata SE = 0,19
A = benthic algae/weeds
B = polychaetes
C = debris
D = bony fish
E = other benth. Invertebrates
TL = trophlab
SE = standar error
242

Ikan kerong-kerong

No A B C D TL SE No A B C D TL SE
1 1 3,50 0,60 36 2 3,50 0,60
2 1 2 3,55 0,59 37 1 4,02 0,71
3 2 2 3,69 0,57 38 1 3,60 0,59
4 1 2 4,03 0,71 39 2 3,97 0,70
5 1 1 3,26 0,41 40 1 1 4,50 0,80
6 1 1 3,69 0,57 41 1 3,27 0,42
7 1 3,55 0,60 42 1 4,03 0,71
8 1 1 4,04 0,71 43 1 1 3,68 0,56
9 2 1 3,67 0,56 44 1 3,60 0,59
10 1 3,60 0,59 45 1 3,50 0,60
11 1 3,60 0,59 46 1 1 3,97 0,70
12 1 3,92 0,69 47 1 1 4,08 0,72
13 2 1 3,98 0,70 48 1 3,98 0,70
14 1 1 3,60 0,59 49 2 3,50 0,60
15 2 1 4,02 0,71 50 1 3,50 0,60
16 2 1 3,98 0,70 51 1 2 3,99 0,70
17 1 3,55 0,59 52 1 3,50 0,60
18 1 2 4,50 0,80 53 1 4,00 0,70
19 2 4,03 0,71 54 1 3,60 0,59
20 1 3,60 0,59 55 2 3,98 0,70
21 2 1 4,05 0,70 56 1 1 3,60 0,59
22 1 1 4,02 0,71 57 3,50 0,60
23 1 1 4,05 0,70 58 1 1 4,05 0,70
24 2 3,60 0,59 59 1 3,50 0,60
25 2 4,01 0,71 60 1 2 3,98 0,70
26 2 3,97 0,70 61 1 1 3,29 0,39
27 1 4,02 0,71 62 1 3,60 0,59
28 2 1 4,50 0,80 63 1 3,60 0,59
29 1 3,50 0,60 64 1 1 4,02 0,71
30 1 3,60 0,59 65 1 1 4,05 0,70
31 1 1 3,99 0,70 66 1 1 4,02 0,71
32 2 3,50 0,60 67 1 3 4,02 0,71
33 1 1 3,72 0,53 68 1 3,91 0,69
34 1 1 3,99 0,70 69 1 3,60 0,59
35 1 3,60 0,59
Rata-rata TL = 3,80
Rata-rata SE = 0,64
A = bony fish
B = shrimps/prawns
C = plank. copepods
D = crabs
TL = trophlab
SE = standar error
243

Ikan Kapas-kapas
No A B C TL SE No A B C TL SE
1 1 1 3,30 0,32 45 2 1 2,74 0,25
2 1 3,50 0,37 46 1 3,06 0,26
3 1 2,00 0,00 47 1 3,06 0,26
4 1 3,50 0,37 48 3 1 2,82 0,26
5 1 1 2,51 0,17 49 1 1 2,78 0,25
6 1 1 2,67 0,23 50 1 3,50 0,37
7 1 3,50 0,37 51 2 3,50 0,37
8 1 3,50 0,37 52 1 3,50 0,37
9 1 1 2,47 0,16 53 2 3,50 0,37
10 2 1 2,75 0,25 54 1 1 2,75 0,25
11 1 1 2,80 0,26 55 1 1 2,81 0,26
12 1 1 3,28 0,32 56 2 1 2,81 0,26
13 2 1 2,76 0,25 57 2 1 2,75 0,25
14 1 2 2,76 0,25 58 2 2,00 0,00
15 1 1 1 2,91 0,26 59 2 1 2,75 0,25
16 1 3,50 0,37 60 1 3,50 0,37
17 1 2,00 0,00 61 2 3,50 0,37
18 1 2 2,70 0,24 62 1 3,50 0,37
19 2 1 1 2,84 0,25 63 1 3,50 0,37
20 2 2,00 0,00 64 2 1 1 2,84 0,25
21 1 1 2,72 0,24 65 1 1 2,80 0,26
22 2 1 2,77 0,25 66 3 1 3,26 0,31
23 2 2 2,78 0,26 67 2 1 1 2,89 0,26
24 2 1 2,83 0,26 68 1 1 1 2,92 0,27
25 2 2,00 0,00 69 2 1 2,67 0,23
26 2 2,00 0,00 70 2 1 1 2,85 0,25
27 2 3,50 0,37 71 2 3,50 0,37
28 1 1 2,54 0,18 72 1 1 2,69 0,24
29 1 1 2,76 0,25 73 1 1 1 2,78 0,24
30 2 2 2,73 0,25 74 2 1 2,68 0,24
31 1 3,50 0,37 75 2 1 2,51 0,17
32 1 2,00 0,00 76 1 1 2,70 0,24
33 2 3,50 0,37 77 1 2 2,76 0,25
34 1 1 2,72 0,24 78 1 1 1 2,83 0,25
35 1 2 2,70 0,24 79 2 1 2,78 0,25
36 1 1 2,81 0,26 80 1 2 2,79 0,26
37 1 2 2,78 0,26 81 1 2,00 0,00
38 1 1 1 2,84 0,25 82 1 1 3,27 0,31
39 2 1 2,76 0,25 83 1 1 3,30 0,32
40 1 1 2,80 0,26 84 1 2,00 0,00
41 2 1 1 2,85 0,25
42 1 3,50 0,37
43 1 1 2,76 0,25
44 2 3,50 0,37
Rata-rata TL = 2,88
Rata-rata SE = 0,25
A = other benth. invertebrates
B = debris
C = polychaetes
TL = trophlab
SE = standar error
244

Ikan Lencam
NO A B C D E F TL SE
1 2 1 1 4,14 0,67
2 1 1 1 4,50 0,68
3 1 1 4,07 0,44
4 2 1 4,50 0,80
5 1 1 4,50 0,59
6 1 3,50 0,37
7 1 1 3,81 0,32
8 1 3,06 0,26
9 1 1 1 4,21 0,71
10 2 1 4,50 0,80
11 1 3,50 0,37
12 1 1 1 4,50 0,69
13 1 2 4,50 0,80
14 2 1 4,50 0,80
15 1 1 4,03 0,37
16 2 1 1 3,99 0,51
17 2 2 1 4,14 0,67
18 1 1 3,79 0,32
19 1 3,06 0,26
20 1 1 3,99 0,37
21 1 1 4,50 0,80
22 1 1 1 4,21 0,71
23 2 1 1 4,50 0,67
24 2 1 3,55 0,44
25 1 1 4,50 0,80
26 1 3,06 0,26
27 1 1 1 4,15 0,67
28 1 2 4,50 0,63
29 1 1 2 3,60 0,33
30 1 2 1 3,98 0,51
31 1 2 4,01 0,44
32 1 1 1 3,65 0,34
33 1 1 2 3,85 0,57
34 2 1 4,06 0,44
35 1 1 1 1 3,90 0,60
36 1 1 4,07 0,44
Rata-rata TL = 4,02
Rata-rata SE = 0,54
A = squids/cuttlefish
B = other finfish
C = polychaetes
D = bony fish
E = other mollusks
F = other benth. crustaceans
TL = trophlab
SE = standar error
N = 45 ekor
245

Ikan Pepetek
No A B C D E F G TL SE No A B C D E F G TL SE
1 1 1 2,65 0,29 51 1 1 1 3,06 0,39
2 1 1 1 2,93 0,36 52 1 1 1 2,55 0,26
3 1 1 2,52 0,17 53 2 3,40 0,45
4 1 1 2,00 0,00 54 2 1 2,51 0,17
5 1 2,00 0,00 55 1 1 2,83 0,34
6 1 1 3,50 0,47 56 1 1 1 2,00 0,00
7 1 1 1 2,00 0,00 57 1 1 1 2,97 0,37
8 1 1 1 2,00 0,00 58 1 1 3,50 0,48
9 1 1 2,00 0,00 59 1 1 3,36 0,41
10 1 1 1 3,09 0,40 60 1 1 2 2,98 0,37
11 1 1 3,24 0,37 61 2 3,40 0,45
12 1 1 1 1 3,00 0,35 62 1 1 1 2,00 0,00
13 2 1 2,00 0,00 63 1 1 3,49 0,47
14 1 1 2 2,98 0,37 64 1 1 2 2,99 0,38
15 1 2 2 3,03 0,38 65 2 1 2 1 2,78 0,33
16 2 1 1 3,00 0,38 66 1 2 2,67 0,29
17 1 1 3,50 0,47 67 1 2 3,49 0,47
18 2 1 3,50 0,47 68 1 2 1 2,97 0,37
19 1 1 2,00 0,00 69 1 2,00 0,00
20 1 1 2,00 0,00 70 1 2 2,00 0,00
21 1 1 1 3,07 0,39 71 1 1 2,53 0,17
22 1 1 2,61 0,19 72 1 1 2,72 0,31
23 1 1 1 2,46 0,24 73 2 2 3,50 0,48
24 2 1 2 3,00 0,38 74 1 1 2 2,91 0,36
25 1 1 1 2,00 0,00 75 1 2,00 0,00
26 2 1 2,76 0,33 76 1 2,00 0,00
27 1 1 1 2,85 0,29 77 1 1 2,00 0,00
28 1 1 1 3,00 0,38 78 1 2,00 0,00
29 1 2,00 0,00 79 2 2,00 0,00
30 1 1 1 3,06 0,39 80 1 2 3,51 0,48
31 2 1 3,50 0,48 81 1 1 2 2,54 0,26
32 2 1 1 3,00 0,38 82 2 1 3,49 0,47
33 1 1 1 2,00 0,00 83 1 1 2,52 0,17
34 1 2 3,50 0,48 84 1 2,00 0,00
35 1 1 3,50 0,48 85 1 1 1 2,44 0,23
36 2 1 3,51 0,48 86 1 1 1 2,99 0,37
37 1 1 1 2,34 0,13 87 2 3,40 0,45
38 1 1 1 1 2,77 0,32 88 1 1 2 3,02 0,38
39 1 1 1 2,00 0,00 89 1 3,40 0,45
40 1 2,00 0,00 90 2 1 2,83 0,34
41 1 1 3,49 0,47 91 1 1 2,00 0,00
42 2 2 3,50 0,48 92 1 2 1 2,45 0,24
43 1 1 1 2,00 0,00 93 2 1 1 2,99 0,37
44 1 1 3,50 0,47 94 1 1 2,95 0,37
45 1 1 1 2,00 0,00 95 1 2 3,50 0,47
46 1 1 2,00 0,00 96 1 1 1 2,00 0,00
47 1 1 2,00 0,00 97 1 3,40 0,45
48 1 1 2,00 0,00 98 1 1 2,60 0,19
49 1 2,00 0,00 99 1 1 3,50 0,48
50 1 1 1 2,96 0,37 100 1 1 1 3,05 0,39
246

No A B C D E F G TL SE
101 1 2 1 3,01 0,38
102 1 1 2,00 0,00
103 1 1 1 1 2,75 0,32
104 2 1 1 3,07 0,39
105 1 1 3,51 0,48
106 1 2 2,74 0,32
107 1 3,40 0,45
108 2 1 3,50 0,48
109 1 1 2 2,82 0,29
110 1 2 1 1 2,81 0,33
111 1 2 3,51 0,48
112 1 1 2 3,00 0,38
113 2 1 1 2,00 0,00
114 1 1 2,00 0,00
115 1 1 1 2,98 0,37
116 1 1 1 2,00 0,00
117 2 1 2,68 0,30
118 1 1 1 2,00 0,00
119 2 2 3,50 0,47
120 1 1 2,00 0,00
121 1 2 1 3,02 0,38
122 1 1 1 2,91 0,31
123 2 1 2,71 0,30
124 1 2 3,50 0,48
125 1 1 1 1 2,78 0,33
126 1 2,00 0,00
127 1 1 2,84 0,34
128 1 1 3,51 0,48
129 1 2,00 0,00
130 1 1 2,89 0,36
131 1 2,00 0,00
Rata-rata TL = 2,73
Rata-rata SE = 0,26
A = dinoflagellates
B = benthic algae/weeds
C = other plank. invertebrates
D = debris
E = other molluska
F = polychaetes
G = diatoms
TL = trophlab
SE = standar error
247

Ikan Kuwe
No A B C D E TL SE
1 1 1 4,50 0,80
2 1 4,50 0,80
3 1 1 4,04 0,70
4 1 1 3,76 0,54
5 1 1 3,75 0,54
6 2 1 4,50 0,80
7 1 4,50 0,80
8 1 1 1 4,50 0,80
9 1 1 1 4,20 0,73
10 2 1 4,50 0,80
11 1 1 4,03 0,70
12 1 1 1 4,50 0,80
13 1 2 4,50 0,80
14 1 4,50 0,80
15 1 1 3,79 0,56
16 1 1 1 4,20 0,74
17 1 1 3,29 0,39
18 1 1 3,79 0,56
19 1 1 4,08 0,71
20 1 1 1 3,95 0,62
21 1 4,50 0,80
22 1 4,50 0,80
23 1 1 1 4,21 0,74
24 1 1 3,71 0,52
25 1 4,50 0,80
26 1 1 1 3,90 0,60
27 1 2 4,50 0,80
28 2 4,50 0,80
29 1 1 3,78 0,55
30 1 1 1 4,50 0,80
31 1 1 4,04 0,70
32 1 1 3,70 0,52
33 1 1 4,02 0,69
34 1 4,50 0,80
35 1 4,50 0,80
36 1 1 4,50 0,80
37 1 2 3,81 0,56
38 1 4,50 0,80
39 1 2 4,50 0,80
40 1 1 1 3,68 0,55
Rata-rata TL = 4,19
Rata-rata SE = 0,71
A = fish eggs/larvae
B = benth. copepods
C = bony fish
D = shrimps/prawns
E = other finfish
TL = trophlab
SE = standar error
248

Ikan Baronang
No A B C TL SE
1 5 3 1 2,83 0,29
2 2 2,00 0,00
3 1 3,06 0,26
4 5 2,00 0,00
5 3 3,40 0,45
6 3 1 2,52 0,17
7 4 2 2,68 0,30
8 6 2,00 0,00
9 4 1 1 2,85 0,29
10 3 2 2,71 0,30
11 5 2 2,54 0,18
12 4 2 2,66 0,29
13 3 2,00 0,00
14 3 2 1 2,79 0,28
15 1 2,00 0,00
16 4 1 2,68 0,30
17 2 2,00 0,00
18 5 1 2,73 0,31
19 2 1 2,49 0,17
20 4 1 2,75 0,31
21 1 2,00 0,00
22 3 1 2,64 0,29
23 2 2,00 0,00
24 1 2,00 0,00
25 2 2 1 2,83 0,29
26 3 1 2,69 0,30
27 2 1 2,76 0,32
28 4 2,00 0,00
29 3 2,00 0,00
30 3 1 2,72 0,31
31 2 1 2,54 0,18
32 2 1 3,22 0,36
33 3 3,40 0,45
34 1 3,06 0,26
35 3 1 1 2,83 0,29
36 1 3,06 0,26
37 1 1 2,67 0,29
38 3 2,00 0,00
39 2 2,00 0,00
40 4 2,00 0,00
41 3 2,00 0,00
42 4 1 1 2,81 0,29
43 5 2,00 0,00
44 2 2,00 0,00
45 1 2 2,69 0,30
Rata-rata TL = 2,50
Rata-rata SE = 0,18
A = benthic algae/weeds
B = other plank. Invertebrates s
C = polychaetes
TL = trophlab
SE = standar error
249

Ikan Barakuda
No A B C D TL SE
1 2 1 4,07 0,70
2 1 1 4,50 0,80
3 1 1 4,09 0,71
4 1 1 4,04 0,70
5 2 1 1 4,19 0,60
6 1 1 4,04 0,70
7 1 1 4,03 0,70
8 1 1 1 4,18 0,59
9 2 1 4,03 0,70
10 1 1 4,03 0,70
11 2 1 1 4,22 0,60
12 1 1 4,50 0,80
13 2 4,50 0,80
14 1 4,50 0,80
15 1 1 4,01 0,69
16 1 4,50 0,37
17 1 1 4,50 0,62
18 2 1 4,05 0,70
19 1 4,50 0,80
20 1 2 1 4,27 0,75
21 1 4,50 0,80
22 1 1 1 4,19 0,73
23 1 1 4,05 0,70
24 1 1 4,05 0,49
25 1 4,50 0,80
26 1 1 4,01 0,69
27 1 4,50 0,80
28 1 1 4,50 0,60
29 1 4,50 0,80
30 1 1 4,50 0,60
31 1 1 4,06 0,70
32 1 1 4,02 0,69
33 2 4,50 0,80
34 1 4,50 0,80
Rata-rata TL = 4,27
Rata-rata SE = 0,70
A = fish eggs /larvae
B = bony fish
C = shrimps /prawns
D = squids/cuttlefish
TL = trophlab
SE = standar error
250

Lampiran 32 Hasil analisis trophlab setiap jenis ikan di habitat mangrove selama
penelitian

Ikan Biji nangka

No A B C D TL SE No A B C D TL SE
1 1 1 1 3,37 0,42 44 2 3,06 0,26
2 1 2 3,55 0,49 45 1 3,60 0,59
3 1 1 3,32 0,44 46 1 4,50 0,80
4 1 1 3,28 0,32 47 1 3,60 0,59
5 1 3,60 0,59 48 1 1 3,55 0,49
6 1 1 3,55 0,49 49 1 3,50 0,37
7 1 3,06 0,26 50 1 1 3,28 0,32
8 1 2 4,04 0,70 51 1 3,50 0,37
9 1 3,60 0,59 52 1 1 3,87 0,60
10 2 3,50 0,37 53 1 1 3,55 0,49
11 1 3,06 0,26 54 1 2 3,34 0,45
12 1 3,06 0,26 55 2 3,06 0,26
13 1 3,06 0,26 56 1 1 3,28 0,32
14 1 1 3,55 0,49 57 2 3,50 0,37
15 1 3,06 0,26 58 1 2 3,98 0,60
16 1 1 1 3,40 0,43 59 1 2 3,55 0,49
17 1 3,50 0,37 60 1 3,06 0,26
18 2 3,60 0,59 61 1 1 3,34 0,45
19 1 3,60 0,59 62 1 1 3,55 0,49
20 1 1 3,99 0,61 63 1 3,50 0,37
21 1 3,60 0,59 64 1 3,06 0,26
22 1 1 1 3,68 0,51 65 1 1 4,03 0,70
23 1 1 3,28 0,32 66 1 1 3,55 0,49
24 2 3,60 0,59 67 1 1 3,55 0,49
25 2 3,50 0,37 68 1 1 4,02 0,62
26 1 1 3,55 0,49 69 1 3,06 0,26
27 1 1 1 1 3,71 0,56 70 1 3,60 0,59
28 1 1 3,36 0,46 71 1 1 1 3,68 0,51
29 1 2 4,06 0,70 72 1 1 1 3,68 0,51
30 1 1 3,28 0,32 73 1 1 1 3,87 0,61
31 1 3,60 0,59 74 1 1 3,99 0,61
32 2 3,50 0,37 75 2 3,60 0,59
33 1 3,06 0,26 76 2 3,50 0,37
34 1 3,50 0,37 77 1 1 1 1 3,71 0,55
35 1 3,06 0,26 78 2 3,06 0,26
36 1 1 4,01 0,62 79 1 1 3,55 0,49
37 1 1 4,02 0,69 80 1 1 3,98 0,60
38 1 3,50 0,37 81 1 1 1 3,85 0,60
39 1 3,50 0,37 82 1 1 1 3,90 0,61
40 1 4,50 0,80 83 2 3,06 0,26
41 2 3,06 0,26 84 2 3,06 0,26
42 1 1 1 3,68 0,51 85 1 1 3,34 0,45
43 1 2 4,00 0,61 86 1 1 3,31 0,44
44 2 3,06 0,26 87 1 1 3,55 0,49
88 2 3,50 0,37
Rata-rata TL = 3,53
Rata-rata SE = 0,46
A = bony fish D = polychaetes
B = other benth. Invertebrates TL = trophlab
C = shrimps /prawns SE = Standar error
251

Ikan Baronang lingkis

No A B C D E TL SE No A B C D E TL SE
1 2 1 1 2,82 0,25 44 1 1 1 2,51 0,20
2 2 1 3,42 0,58 45 2 1 2,00 0,00
3 1 1 1 2,51 0,20 46 1 1 1 2,55 0,20
4 2 1 2,68 0,24 47 2 3,50 0,37
5 1 1 1 2,85 0,25 48 1 1 4,02 0,62
6 2 2,00 0,00 49 2 3,06 0,26
7 1 1 1 2,49 0,19 50 2 1 3,34 0,56
8 2 1 3,74 0,56 51 1 1 2,34 0,13
9 1 1 2,00 0,00 52 2 1 3,23 0,53
10 1 1 3,34 0,56 53 1 2 2,84 0,26
11 1 1 1 2,53 0,20 54 2 1 1 2,52 0,20
12 3 2,00 0,00 55 2 1 2,72 0,24
13 1 1 1 2,52 0,20 56 1 1 3,16 0,52
14 1 1 1 2,86 0,25 57 1 1 1 2,86 0,25
15 1 1 1 2,53 0,20 58 1 1 3,78 0,58
16 2 1 2,55 0,18 59 4 2,00 0,00
17 1 1 1 2,00 0,00 60 2 3 2,00 0,00
18 2 1 1 2,41 0,17 61 1 3,06 0,26
19 1 1 1 2,48 0,19 62 1 3 1 2,51 0,20
20 2 1 3,39 0,57 63 3 1 3,18 0,52
21 2 3,06 0,26 64 1 3,50 0,37
22 4 2,00 0,00 65 1 4,50 0,80
23 2 2 2,00 0,00 66 1 1 1 2,82 0,25
24 2 2,00 0,00 67 2 2,00 0,00
25 2 1 2,71 0,24 68 3 1 1 2,34 0,13
26 2 3 2,00 0,00 69 2 3 2,00 0,00
27 1 2 2,00 0,00 70 2 1 1 2,82 0,25
28 2 1 1 2,48 0,19 71 2 1 1 2,85 0,25
29 1 2 2,00 0,00 72 1 1 1 2,85 0,25
30 2 1 2,00 0,00 73 4 2,00 0,00
31 1 1 1 2,34 0,13 74 1 1 3,12 0,51
32 1 1 2,00 0,00 75 2 1 1 2,85 0,25
33 3 2,00 0,00 76 3 1 1 2,41 0,17
34 2 1 2,55 0,18 77 1 3,06 0,26
35 1 1 1 2,85 0,25 78 2 5 2,00 0,00
36 2 3,06 0,26 79 4 2,00 0,00
37 3 2,00 0,00 80 1 3,06 0,26
38 2 1 1 2,51 0,20 81 3 1 2,71 0,24
39 1 2 3,39 0,57 82 1 1 1 2,85 0,25
40 1 1 3,39 0,57 83 2 1 2,57 0,18
41 2 1 1 2,85 0,25 84 1 1 1 2,55 0,20
42 3 1 2,72 0,24 85 2 2,00 0,00
43 1 1 1 2,47 0,19
Rata-rata TL = 2,65
Rata-rata SE = 0,22
A = benthic algae/weeds C = debris
B = polychaetes D = bony fish
E = other benth. Invertebrates
TL = trophlab
SE = standar error
252

Ikan kerong-kerong

No A B C D TL SE No A B C D TL SE
1 2 1 4,05 0,70 47 2 1 1 3,68 0,56
2 1 1 3,55 0,59 48 3 3,60 0,59
3 2 3,60 0,59 49 2 3,60 0,59
4 2 1 4,05 0,70 50 1 1 3,55 0,59
5 1 1 3,99 0,70 51 3 1 4,00 0,70
6 2 3,60 0,59 52 1 1 3,97 0,70
7 2 1 4,01 0,71 53 4 3,60 0,59
8 1 1 4,01 0,71 54 1 1 3,55 0,59
9 2 4,50 0,80 55 1 2 4,05 0,70
10 3 3,60 0,59 56 2 3,60 0,59
11 2 1 4,02 0,71 57 1 3,60 0,59
12 2 1 4,00 0,70 58 2 1 4,05 0,70
13 2 1 3,26 0,41 59 1 1 3,55 0,59
14 1 3,60 0,59 60 1 1 3,24 0,40
15 1 1 1 3,74 0,59 61 2 3,60 0,59
16 3 4,50 0,80 62 3 3,60 0,59
17 2 2 3,31 0,41 63 2 1 4,05 0,70
18 2 1 3,31 0,40 64 3 1 3,99 0,70
19 1 1 4,08 0,72 65 1 1 3,55 0,59
20 3 3,60 0,59 66 1 3,50 0,60
21 2 1 4,05 0,70 67 2 1 3,97 0,70
22 1 3,50 0,60 68 1 1 3,25 0,40
23 1 1 3,27 0,37 69 2 1 4,01 0,71
24 2 1 4,05 0,70 70 2 1 3,29 0,39
25 1 1 3,99 0,70 71 1 1 4,05 0,70
26 1 3,50 0,60 72 1 4,50 0,80
27 2 1 3,25 0,40 73 1 4,50 0,80
28 2 3,60 0,59 74 3 1 4,01 0,71
29 1 1 1 3,67 0,56 75 4 4,50 0,80
30 1 3,60 0,59 76 1 1 3,26 0,41
31 4 4,50 0,80 77 3 1 4,05 0,70
32 2 3,60 0,59 78 1 3,50 0,60
33 3 3,60 0,59 79 2 1 3,72 0,53
34 3 3,60 0,59 80 3 1 4,05 0,70
35 3 1 4,05 0,71 81 1 3,50 0,60
36 2 3,60 0,59 82 2 2 4,05 0,70
37 1 1 3,29 0,44 83 4 1 4,03 0,71
38 1 3,60 0,59 84 1 3,50 0,60
39 2 1 4,05 0,70 85 1 1 3,99 0,70
40 2 1 3,29 0,39 86 3 1 4,05 0,70
41 1 1 3,28 0,43 87 3 1 4,02 0,71
42 2 1 3,55 0,59 88 1 1 3,99 0,70
43 2 1 4,01 0,71 89 5 4,50 0,80
44 1 1 3,98 0,70 90 3 1 4,05 0,70
45 2 1 3,25 0,40 91 1 3,50 0,60
46 2 1 4,01 0,71 92 2 1 3,29 0,39
Rata-rata TL = 3,77
Rata-rata SE = 0,62
A = bony fish C = plank. copepods
B = shrimps/prawns D = crabs
TL = trophlab
SE = standar error
253

Ikan Kapas-kapas
No A B C TL SE No A B C TL SE
1 2 2,00 0,00 32 1 2 2,76 0,25
2 1 1 1 2,85 0,25 33 1 1 1 2,89 0,26
3 2 3,06 0,26 34 1 1 2,70 0,24
4 1 1 2,84 0,25 35 1 1 1 2,78 0,24
5 1 2 2,76 0,25 36 2 3,06 0,26
6 1 1 1 2,83 0,25 37 1 1 1 2,84 0,25
7 2 3,50 0,37 38 1 1 1 2,85 0,25
8 1 1 2,78 0,26 39 2 2,00 0,00
9 3 2,00 0,00 40 1 2 2,80 0,26
10 1 1 2,54 0,18 41 1 1 1 2,84 0,25
11 1 2,00 0,00 42 2 1 3,27 0,31
12 1 2 2,78 0,25 43 1 3,06 0,26
13 1 1 2,68 0,24 44 1 2 2,73 0,25
14 2 2,00 0,00 45 1 3,06 0,26
15 1 1 2,77 0,25 46 2 3,50 0,37
16 2 2,00 0,00 47 1 1 2,51 0,17
17 2 1 2,47 0,16 48 2 1 2,51 0,17
18 1 1 1 2,89 0,26 49 3 2,00 0,00
19 2 2,00 0,00 50 1 2 3,30 0,32
20 1 2,00 0,00 51 1 1 2,67 0,23
21 4 2,00 0,00 52 1 2 2,75 0,25
22 1 2 2,76 0,25 53 1 3,06 0,26
23 1 3,06 0,26 54 2 1 2,82 0,26
24 1 3 2,70 0,24 55 1 2 2,80 0,26
25 1 1 1 2,91 0,26 56 1 1 1 2,83 0,25
26 2 3,50 0,37 57 2 1 2,74 0,25
27 1 3 2,75 0,25 58 2 1 2,81 0,26
28 1 3,06 0,26 59 1 3,06 0,26
29 1 3,06 0,26 60 1 1 3,26 0,31
30 1 1 2,70 0,24 61 2 2 2,67 0,23
31 1 3 2,75 0,25 62 3 2,00 0,00
Rata-rata TL = 2,72
Rata-rata SE = 0,21
A = other benth. invertebrates
B = debris
C = polychaetes
TL = trophlab
SE = standar error
254

Ikan Lencam
No A B C D E F TL SE
1 1 1 1 1 3,90 0,60
2 1 2 3,60 0,33
3 2 3,50 0,50
4 1 1 1 4,11 0,54
5 1 1 1 3,89 0,62
6 1 2 1 3,65 0,34
7 1 1 4,05 0,66
8 1 1 4,50 0,80
9 2 1 3,80 0,32
10 1 1 1 3,92 0,63
11 1 1 1 1 3,94 0,63
12 1 1 1 4,14 0,67
13 1 1 3,55 0,50
14 1 3,50 0,50
15 1 1 2 4,15 0,67
16 1 1 1 4,50 0,70
17 2 1 4,50 0,61
18 1 2 4,50 0,80
19 1 2 4,03 0,44
20 1 2 4,50 0,59
21 1 1 3,55 0,50
22 1 1 3,55 0,50
23 1 3,06 0,26
24 2 1 3,98 0,44
25 1 2 3,55 0,50
26 1 2 4,50 0,80
27 1 1 1 1 3,88 0,60
28 1 3,06 0,26
29 2 1 3,76 0,32
30 1 1 1 3,60 0,33
31 1 3,06 0,26
32 2 1 3,99 0,44
33 1 3,06 0,26
34 1 1 1 4,50 0,67
35 2 1 1 4,50 0,66
36 2 1 4,50 0,80
37 2 2 3,55 0,50
38 1 2 4,50 0,62
39 1 1 4,50 0,80
40 1 1 4,07 0,44
41 1 1 1 4,50 0,69
42 1 1 2 4,50 0,70
43 2 1 4,50 0,80
44 1 1 1 1 3,90 0,61
45 2 3,06 0,26
46 2 1 1 4,06 0,53
Rata-rata TL = 3.95
Rata-rata SE = 0,54
A = squids/cuttlefish C = polychaetes
B = other finfish D = bony fish
E = other molluska F = other benth. crustaceans
TL = trophlab SE = standar error
255

Ikan Pepetek
No A B C D E F G TL SE No A B C D E F G TL SE
1 3 1 2,60 0,19 51 3 4 2,00 0,00
2 1 1 2 3,00 0,38 52 3 1 3,50 0,48
3 1 1 3,50 0,47 53 1 3,40 0,45
4 2 1 3,49 0,47 54 2 5 2,00 0,00
5 2 3,40 0,45 55 2,00 0,00
6 2 2 3 2,00 0,00 56 2,00 0,00
7 4 2,00 0,00 57 4 3,40 0,45
8 1 2 2 2,00 0,00 58 2 3,40 0,45
9 3 2 3,51 0,48 59 6 3,40 0,45
10 1 2 3 2,44 0,23 60 4 3 4 2,00 0,00
11 2 2 1 2,00 0,00 61 2 1 1 2,91 0,36
12 1 2 2 2,00 0,00 62 2 1 1 2,48 0,46
13 4 3 1 3,05 0,39 63 3 1 3,24 0,37
14 3 3 4 2,46 0,24 64 2 7 2,65 0,29
15 3 3 3,50 0,48 65 5 3,40 0,45
16 2 1 2 2,99 0,37 66 6 2,00 0,00
17 2 3,40 0,45 67 3 2 1 2,98 0,37
18 3 2 3,00 0,38 68 4 2,00 0,00
19 3 4 3 2,00 0,00 69 4 3 1 2,97 0,37
20 1 2 3,50 0,47 70 3 6 1 2,33 0,13
21 1 1 1 3,02 0,38 71 3 3 2,69 0,30
22 1 2 2,54 0,18 72 4 1 2,83 0,34
23 5 2 2,70 0,30 73 3 4 2,00 0,00
24 3 2,00 0,00 74 3 2 3,49 0,47
25 2 4 2,00 0,00 75 4 5 2,00 0,00
26 6 2,00 0,00 76 5 3 1 2,48 0,46
27 1 1 2,00 0,00 77 3 3 2,65 0,29
28 2 3 1 2,55 0,26 78 1 3 2,66 0,29
29 4 3 2,00 0,00 79 4 3,40 0,45
30 2 3 1 3,09 0,40 80 2 1 2,52 0,17
31 1 2 1 2,99 0,37 81 7 2,00 0,00
32 1 1 1 3,01 0,38 82 3 3 1 2,44 0,23
33 1 3 2 2,33 0,13 83 2 1 2,48 0,46
34 1 1 2,00 0,00 84 2 1 3,49 0,47
35 3 1 4 2,98 0,37 85 1 3,40 0,45
36 1 1 3 2,00 0,00 86 1 1 3,50 0,47
37 3 3,40 0,45 87 3 3 1 1 3,00 0,35
38 1 2 3,50 0,48 88 3 1 4 2 2,75 0,32
39 3 2 1 3 2,81 0,33 89 2 1 2,83 0,34
40 3 3 1 2,85 0,29 90 3 3 2,00 0,00
41 1 2 2 2 2,77 0,32 91 2 2,00 0,00
42 3 3,40 0,45 92 4 2 7 2,00 0,00
43 2 2 2,00 0,00 93 3 1 3,51 0,48
44 1 1 1 2,55 0,26 94 1 1 3,33 0,39
45 4 5 2,00 0,00 95 3 1 3,50 0,48
46 3 4 1 4 2,78 0,33 96 5 2,00 0,00
47 4 4 1 2,86 0,29 97 2 1 2,83 0,34
48 5 1 2,53 0,17 98 1 3,40 0,45
49 4 3,40 0,45 99 1 3,40 0,45
50 3 7 2,00 0,00 100 1 1 1 3,07 0,39
256

No A B C D E F G TL SE
101 1 1 1 2,82 0,29
102 3 3,40 0,45
103 3 7 2,00 0,00
104 6 2,00 0,00
105 4 3,40 0,45
106 4 1 7 2,98 0,37
107 4 1 3,50 0,48
108 5 7 2,00 0,00
109 4 8 2,00 0,00
110 3 2,00 0,00
111 3 2,00 0,00
112 3 1 3,51 0,48
113 2 1 3,51 0,48
114 3 7 2,00 0,00
115 1 1 3,36 0,41
116 2 1 2,83 0,34
117 2 1 3,26 0,38
118 2 2,00 0,00
119 4 5 2,00 0,00
120 3 5 2,00 0,00
121 1 1 1 3,07 0,39
122 1 2 2,69 0,30
123 3 3,40 0,45
124 2 1 2 3,00 0,38
Rata-rata TL = 2,71
Rata-rata SE = 0,25
A = dinoflagellates
B = benthic algae/weeds
C = other plank. invertebrates
D = debris
E = other molluska
F = polychaetes
G = diatoms
TL = trophlab
SE = standar error
257

Ikan Kuwe
No A B C D E TL SE No A B C D E TL SE
1 1 1 2 4,50 0,80 37 3 4,50 0,80
2 1 1 1 4,50 0,80 38 4 4,50 0,80
3 2 4,50 0,80 39 3 1 4,50 0,80
4 2 4,50 0,80 40 1 3 3,78 0,55
5 1 1 3,79 0,56 41 3 4,50 0,80
6 1 1 1 4,50 0,80 42 1 1 3,81 0,56
7 2 4,50 0,80 43 1 1 1 4,21 0,74
8 3 2 3,78 0,55 44 2 1 4,04 0,70
9 1 1 2 3,68 0,55 45 2 2 4,50 0,80
10 1 1 4,02 0,69 46 4,50 0,80
11 4 2 3,70 0,52 47 1 1 1 4,50 0,80
12 3 4,50 0,80 48 1 1 4,50 0,80
13 2 1 4,50 0,80 49 1 1 3,70 0,52
14 1 1 4,50 0,80 50 1 1 1 4,20 0,74
15 1 1 4,50 0,80 51 5 4,50 0,80
16 2 1 3,29 0,39 52 1 2 3 3,73 0,56
17 1 4,50 0,80 53 2 2 4,03 0,70
18 3 2 3,81 0,56 54 3 3 4,50 0,80
19 3 4,50 0,80 55 2 2 3,75 0,54
20 4 4,50 0,80 56 1 1 1 4,20 0,73
21 1 1 2 4,50 0,80 57 1 2 3,75 0,54
22 1 1 1 4,50 0,80 58 3 3 3,71 0,52
23 1 2 4,50 0,80 59 1 1 3 4,50 0,80
24 1 1 1 4,50 0,80 60 2 1 2 4,50 0,80
25 1 1 1 4,50 0,80 61 3 2 3,79 0,56
26 1 1 1 4,50 0,80 62 2 2 4,03 0,70
27 1 2 3 4,50 0,80 63 3 4,50 0,80
28 2 2 1 4,50 0,80 64 1 1 4,08 0,71
29 1 1 4,50 0,80 65 1 1 3 4,50 0,80
30 1 1 3 3,74 0,57 66 3 2 3,78 0,55
31 2 2 3,29 0,39 67 3 4,50 0,80
32 2 4,50 0,80 68 1 1 2 4,50 0,80
33 1 4,50 0,80 69 1 4,50 0,80
34 1 1 4,50 0,80 70 1 1 3,70 0,52
35 1 1 1 4,50 0,80 71 1 4,50 0,80
36 3 2 3,76 0,54
Rata-rata TL = 4,24
Rata-rata SE = 0,72
A = fish eggs/larvae
B = benth. copepods
C = bony fish
D = shrimps/prawns
E = other finfish
TL = trophlab
SE = standar error
258

Ikan Baronang
No A B C TL SE No A B C TL SE
1 3 3,40 0,45 35 2 2 2,69 0,30
2 2 1 2,71 0,30 36 4 1 2,66 0,29
3 1 3,06 0,26 37 3 1 2,68 0,30
4 2 3,40 0,45 38 5 1 1 2,83 0,29
5 1 3,06 0,26 39 3 2,00 0,00
6 2 3,06 0,26 40 1 3,06 0,26
7 3 2,00 0,00 41 3 2,00 0,00
8 1 2 1 2,79 0,28 42 4 2 2,85 0,29
9 2 2,00 0,00 43 4 3 1 2,79 0,28
10 4 2,00 0,00 44 1 2,00 0,00
11 1 3,06 0,26 45 2 2,00 0,00
12 1 3,06 0,26 46 2 1 2,68 0,30
13 2 2,00 0,00 47 3 2 1 2,85 0,29
14 4 1 1 2,81 0,29 48 3 1 1 2,83 0,29
15 3 2 2,76 0,32 49 2 1 2,52 0,17
16 2 1 1 2,83 0,29 50 6 2,00 0,00
17 3 1 2,54 0,18 51 1 1 2,69 0,30
18 2 1 1 2,83 0,29 52 2 1 2,64 0,29
19 2 1 3,22 0,36 53 2 1 1 2,85 0,29
20 4 2 2,73 0,31 54 7 2,00 0,00
21 1 3,06 0,26 55 6 2,00 0,00
22 3 1 1 2,83 0,29 56 2 3,06 0,26
23 5 2,00 0,00 57 3 2 1 2,83 0,29
24 2 1 3,22 0,36 58 5 1 1 2,67 0,29
25 3 3,40 0,45 59 2 3,06 0,26
26 5 1 1 2,81 0,29 60 1 1 2,49 0,17
27 3 1 2,54 0,18 61 2 3,40 0,45
28 3 1 1 2,79 0,28 62 1 1 1 2,81 0,29
29 2 1 2,72 0,31 63 2 3,40 0,45
30 1 1 2,75 0,31 64 1 3,06 0,26
31 4 2,00 0,00 65 3 3,40 0,45
32 5 2,00 0,00 66 6 2,00 0,00
33 1 1 1 2,83 0,29 67 2 1 1 2,83 0,29
34 1 3,06 0,26 68 2 2,00 0,00
Rata-rata TL = 2,69
Rata-rata SE = 0,23
A = benthic algae/weeds
B = other plank. Invertebrates s
C = polychaetes
TL = trophlab
SE = standar error
259

Ikan Barakuda
No A B C D TL SE No A B C D TL SE
1 2 1 4,03 0,70 28 2 2 4,04 0,70
2 1 2 1 4,27 0,75 29 2 2 4,01 0,69
3 1 3 4,50 0,80 30 1 1 1 4,18 0,59
4 2 3 4,06 0,70 31 1 1 4,50 0,80
5 1 1 1 4,18 0,59 32 2 1 4,02 0,69
6 2 1 4,50 0,80 33 1 1 4,03 0,70
7 1 2 4,09 0,71 34 2 3 4,50 0,80
8 2 2 4,03 0,70 35 2 1 1 4,19 0,60
9 1 2 1 4,19 0,60 36 1 1 4,03 0,70
10 1 1 1 4,19 0,60 37 1 1 4,04 0,70
11 1 4,50 0,80 38 1 1 4,02 0,69
12 2 4,50 0,80 39 2 1 4,50 0,60
13 3 1 4,07 0,48 40 2 4,50 0,80
14 1 2 4,01 0,69 41 1 3 2 4,19 0,73
15 2 2 4,04 0,49 42 3 1 4,07 0,70
16 2 1 4,09 0,71 43 1 1 1 4,22 0,60
17 2 4,50 0,80 44 1 4,50 0,80
18 1 2 1 4,19 0,73 45 1 1 4,05 0,70
19 2 3 4,04 0,70 46 2 4,50 0,80
20 1 2 4,50 0,62 47 2 1 4,07 0,48
21 2 4,50 0,80 48 1 1 4,04 0,49
22 2 2 2 4,22 0,60 49 2 3 4,06 0,70
23 2 4 4,09 0,71 50 2 2 4,05 0,70
24 2 4,50 0,80 51 1 4,50 0,80
25 1 2 4,01 0,69 52 1 1 1 4,22 0,60
26 1 4,50 0,80 53 2 4,50 0,80
27 2 2 4,50 0,80 54 2 2 4,04 0,70
Rata-rata TL = 4,23
Rata-rata SE = 0,70
A = fish eggs /larvae
B = bony fish
C = shrimps /prawns
D = squids/cuttlefish
TL = trophlab
SE = standar error
260

Lampiran 33 Hasil analisis trophlab setiap jenis ikan di habitat lamun selama
penelitian

Ikan Biji nangka

No A B C D TL SE No A B C D TL SE
1 2 1 3,28 0,32 46 1 4,50 0,80
2 1 2 3,55 0,49 47 2 3,06 0,26
3 1 1 3,98 0,60 48 2 3,60 0,59
4 1 1 1 3,90 0,61 49 1 3,60 0,59
5 1 1 3,34 0,45 50 1 1 4,04 0,63
6 1 3,60 0,59 51 1 1 4,04 0,63
7 1 1 1 3,40 0,43 52 1 3,06 0,26
8 2 3,60 0,59 53 1 1 3,28 0,32
9 2 3,50 0,37 54 1 3,60 0,59
10 1 1 4,07 0,71 55 1 1 3,71 0,55
11 2 1 3,28 0,32 56 1 1 3,36 0,46
12 1 3,06 0,26 57 1 1 3,31 0,44
13 1 1 3,91 0,58 58 1 1 4,01 0,61
14 1 1 3,28 0,32 59 1 1 3,98 0,60
15 1 1 3,55 0,49 60 1 1 1 3,37 0,42
16 1 3,60 0,59 61 1 1 4,04 0,70
17 1 1 3,98 0,60 62 2 3,60 0,59
18 2 3,50 0,37 63 1 3,60 0,59
19 2 3,06 0,26 64 2 3,60 0,59
20 1 1 3,28 0,32 65 1 3,60 0,59
21 1 1 4,01 0,62 66 1 1 4,02 0,69
22 1 1 3,99 0,61 67 1 2 3,55 0,49
23 1 1 4,01 0,62 68 1 1 2 3,87 0,60
24 1 1 3,28 0,32 69 1 3,60 0,59
25 1 1 1 3,85 0,60 70 1 1 3,71 0,55
26 2 1 3,55 0,49 71 1 1 1 3,40 0,43
27 1 1 4,04 0,70 72 2 3,60 0,59
28 1 3,60 0,59 73 2 1 3,32 0,44
29 2 3,06 0,26 74 2 1 4,04 0,63
30 1 3,60 0,59 75 1 2 3,60 0,59
31 1 1 3,32 0,44 76 1 2 4,07 0,71
32 1 1 3,36 0,46 77 1 3,06 0,26
33 1 1 3,31 0,44 78 1 1 3,36 0,46
34 1 3,06 0,26 79 2 3,60 0,59
35 1 4,50 0,80 80 1 3,06 0,26
36 1 1 1 3,90 0,61 81 1 3,06 0,26
37 1 1 1 3,37 0,42 82 2 1 3,34 0,45
38 2 4,50 0,80 83 1 1 3,97 0,60
39 2 1 4,02 0,62 84 1 1 1 3,87 0,61
40 1 2 1 3,37 0,42 85 1 2 4,00 0,61
41 1 1 3,31 0,44 86 2 3,60 0,59
42 2 1 3,28 0,32 87 1 3,06 0,26
43 1 3,60 0,59 88 1 4,50 0,80
44 1 3,60 0,59 89 1 1 3,96 0,59
45 1 1 1 3,40 0,42 90 1 1 3,28 0,32
261

No A B C D TL SE
91 1 1 3,71 0,55
92 1 1 3,34 0,45
93 1 3,06 0,26
94 2 1 3,28 0,32
95 2 3,60 0,59
96 1 1 3,28 0,32
97 1 1 1 3,37 0,42
98 1 1 1 3,85 0,60
99 2 1 4,04 0,70
100 1 2 4,03 0,70
101 2 3,50 0,37
102 1 1 4,06 0,70
103 1 1 3,55 0,49
104 1 3,60 0,59
105 1 3,50 0,37
106 2 3,60 0,59
107 1 3,50 0,37
108 1 3,60 0,59
109 2 3,60 0,59
110 1 1 4,07 0,71
111 1 1 4,01 0,61
112 2 3,50 0,37
113 1 1 3,55 0,49
114 1 3,60 0,59
115 1 3,60 0,59
116 1 1 4,01 0,61
Rata-rata TL = 3,62
Rata-rata SE = 0,51
A = bony fish
B = other benth. Invertebrates
C = shrimps /prawns
D = polychaetes
TL = trophlab
SE = Standar error
262

Ikan Baronang lingkis

No A B C D E TL SE No A B C D E TL SE
1 2 3,50 0,37 46 2 4 2,00 0,00
2 4 1 1 2,52 0,20 47 1 2,00 0,00
3 3 2 3,34 0,56 48 1 3,06 0,26
4 1 3,50 0,37 49 1 1 2,00 0,00
5 2 2 3,16 0,52 50 3 1 2 2,34 0,13
6 2 1 2,00 0,00 51 1 1 2 2,86 0,25
7 2 1 2,00 0,00 52 1 2 4,02 0,62
8 3 2 2,00 0,00 53 4 3 1 2,41 0,17
9 2 4 3 2,34 0,13 54 3 1 1 2,81 0,42
10 3 2 3,16 0,52 55 3 4 2,00 0,00
11 5 1 1 3,35 0,49 56 2 1 2,68 0,24
12 2 1 2,00 0,00 57 2 3,50 0,37
13 3 1 2,00 0,00 58 1 1 1 2,82 0,25
14 1 1 3,76 0,57 59 4 2,00 0,00
15 1 1 3,12 0,51 60 4 2 2,72 0,24
16 3 1 1 2,47 0,19 61 4 4 1 2,53 0,20
17 2 1 1 2,53 0,20 62 1 5 2,00 0,00
18 5 2,00 0,00 63 3 1 3,78 0,58
19 2 2,00 0,00 64 2 2,00 0,00
20 1 1 2,81 0,42 65 1 1 1 2,85 0,25
21 3 2,00 0,00 66 3 2 2,00 0,00
22 2 2,00 0,00 67 4 2,00 0,00
23 4 2,00 0,00 68 4 2,00 0,00
24 2 1 4,02 0,62 69 3 2,00 0,00
25 6 2,00 0,00 70 2 1 2 2,82 0,25
26 2 2 2,00 0,00 71 2 1 2 2,85 0,25
27 2 2 2,00 0,00 72 1 1 2,00 0,00
28 1 1 1 2,55 0,20 73 1 3,50 0,37
29 1 1 1 2,82 0,25 74 1 1 2,00 0,00
30 3 2 1 3,35 0,49 75 2 3,50 0,37
31 4 2 1 2,52 0,20 76 3 1 2,72 0,24
32 4 2 2,71 0,24 77 1 4,50 0,80
33 7 3 1 2,48 0,19 78 3 1 1 2,49 0,19
34 2 2,00 0,00 79 1 1 2,55 0,18
35 2 2,00 0,00 80 1 1 3,34 0,56
36 1 3,50 0,37 81 1 1 3,78 0,58
37 3 2 1 2,51 0,20 82 1 3,50 0,37
38 5 2 2,00 0,00 83 1 4,50 0,80
39 1 2 2 2,34 0,13 84 3 3 1 2,41 0,17
40 2 1 2,00 0,00 85 6 2,00 0,00
41 2 1 2,00 0,00 86 1 4,50 0,80
42 4 1 1 3,35 0,49 87 2 2,00 0,00
43 1 3,50 0,37 88 1 1 1 2,86 0,25
44 2 3,06 0,26 89 1 1 1 2,82 0,25
45 3 1 1 2,85 0,25 90 3 1 3,42 0,58
263

No A B C D E TL SE
91 6 2,00 0,00
92 2 2 1 2,55 0,20
93 1 1 3,74 0,56
94 2 2 1 2,51 0,20
95 2 3,06 0,26
96 1 2 2,00 0,00
97 1 1 2,00 0,00
98 3 2 2,68 0,24
99 1 3,06 0,26
100 5 2 2 2,51 0,20
101 3 3 2,00 0,00
102 1 2,00 0,00
103 5 1 3,16 0,52
104 3 1 2,00 0,00
105 3 2,00 0,00
106 1 4,50 0,80
107 2 2 2 2,85 0,25
108 4 1 3,23 0,53
109 2 1 3,18 0,52
110 1 1 2 2,82 0,25
111 1 1 1 2,34 0,13
112 2,00 0,00
113 3 2 2,84 0,26
114 4 2,00 0,00
115 2 2,00 0,00
116 3 1 3,39 0,57
117 1 2 2 2,82 0,25
Rata-rata TL = 2,67
Rata-rata SE = 0,22
A = benthic algae/weeds
B = polychaetes
C = debris
D = bony fish
E = other benth. Invertebrates
TL = trophlab
SE = standar error
264

Ikan kerong-kerong

No A B C D TL SE No A B C D TL SE
1 2 1 4,05 0,70 25 1 1 4,05 0,70
2 2 3,60 0,59 26 1 3,50 0,60
3 2 1 3,55 0,59 27 3 4,50 0,80
4 1 3,50 0,60 28 4 3,60 0,59
5 1 4,50 0,80 29 2 3,50 0,60
6 3 3,60 0,59 30 1 1 3,99 0,70
7 2 3,60 0,59 31 3 1 3,97 0,70
8 2 1 3,99 0,70 32 1 1 3,97 0,70
9 2 1 4,01 0,71 33 4 4,50 0,80
10 1 3,60 0,59 34 1 3,50 0,60
11 1 1 4,03 0,71 35 1 1 3,31 0,41
12 3 4,50 0,80 36 1 1 4,05 0,70
13 1 3,60 0,59 37 3 1 4,08 0,72
14 2 4,50 0,80 38 4 3,60 0,59
15 3 3,60 0,59 39 1 4 4,05 0,70
16 2 4,50 0,80 40 3 1 3,99 0,70
17 1 3,60 0,59 41 3 4,50 0,80
18 2 3,50 0,60 42 3 3,60 0,59
19 1 3,60 0,59 43 2 4,50 0,80
20 3 3,60 0,59 44 2 3,60 0,59
21 2 2 3,72 0,53 45 1 3,60 0,59
22 3 3,60 0,59 46 1 1 3,55 0,59
23 1 1 3,55 0,59 47 3 3,60 0,59
24 1 1 1 3,69 0,57 48 1 3,50 0,60
Rata-rata TL = 3,84
Rata-rata SE = 0,65
A = bony fish
B = shrimps/prawns
C = plank. copepods
D = crabs
TL = trophlab
SE = standar error
265

Ikan Kapas-kapas
No A B C TL SE No A B C TL SE
1 1 3,50 0,37 43 1 1 2,75 0,25
2 1 1 2,81 0,26 44 1 1 3,27 0,31
3 1 3,50 0,37 45 1 2,00 0,00
4 1 1 2,76 0,25 46 1 1 3,26 0,31
5 1 3,50 0,37 47 3 3,50 0,37
6 1 3,50 0,37 48 1 2 2,75 0,25
7 3 2,00 0,00 49 1 3,06 0,26
8 4 2,00 0,00 50 2 2 2,78 0,26
9 1 1 3,26 0,31 51 1 3,50 0,37
10 2 2,00 0,00 52 1 1 1 2,84 0,25
11 1 1 3,27 0,31 53 1 1 2,77 0,25
12 1 2 2,69 0,24 54 1 3,50 0,37
13 2 3,50 0,37 55 1 3 2,76 0,25
14 1 1 3,28 0,32 56 1 2 2,73 0,25
15 1 3,50 0,37 57 1 2 2,78 0,25
16 1 1 2,54 0,18 58 1 1 2,47 0,16
17 2 3,50 0,37 59 3 3,50 0,37
18 2 1 3,27 0,31 60 1 3 2,75 0,25
19 1 3,50 0,37 61 3 3,50 0,37
20 1 2,00 0,00 62 2 3,06 0,26
21 1 2,00 0,00 63 1 1 2,80 0,26
22 1 2 2,81 0,26 64 1 3 2,75 0,25
23 2 3,50 0,37 65 1 3,50 0,37
24 2 3,50 0,37 66 1 1 3,30 0,32
25 1 1 2,79 0,26 67 1 2 2,76 0,25
26 1 1 2,67 0,23 68 1 2 2,72 0,24
27 1 1 1 2,78 0,24 69 4 2,00 0,00
28 2 3,50 0,37 70 4 3,50 0,37
29 1 3,50 0,37 71 1 2 2,83 0,26
30 1 1 2,72 0,24 72 1 2,00 0,00
31 2 3,50 0,37 73 1 2,00 0,00
32 3 3,50 0,37 74 1 1 2,76 0,25
33 3 1 2,51 0,17 75 1 1 2,51 0,17
34 1 1 3,30 0,32 76 3 3,50 0,37
35 1 1 2,91 0,26 77 1 3 2,81 0,26
36 1 1 1 2,85 0,25 78 1 3,50 0,37
37 1 2 2,70 0,24 79 1 1 3,30 0,32
38 1 2,00 0,00 80 1 2 2,76 0,25
39 2 3,50 0,37 81 1 1 2,70 0,24
40 1 1 3,28 0,32 82 1 1 1 2,83 0,25
41 1 2,00 0,00 83 1 1 1 2,89 0,26
42 1 1 2,51 0,17
Rata-rata TL = 2,93
Rata-rata SE = 0,25
A = other benth. invertebrates
B = debris
C = polychaetes
TL = trophlab
SE = standar error
266

Ikan Lencam
No A B C D E F TL SE No A B C D E F TL SE
1 1 3,06 0,26 30 1 2 4,50 0,61
2 1 3,06 0,26 31 1 2 4,03 0,66
3 1 1 1 4,14 0,67 32 1 1 2 3,94 0,49
4 1 1 4,07 0,67 33 1 2 4,50 0,59
5 1 1 1 4,50 0,67 34 1 1 2 3,60 0,33
6 1 1 1 3,65 0,34 35 2 1 4,02 0,44
7 1 1 1 4,50 0,66 36 1 1 1 1 3,89 0,61
8 1 1 1 1 3,92 0,62 37 1 2 4,50 0,62
9 1 2 4,06 0,44 38 1 3,06 0,26
10 1 2 4,04 0,43 39 1 2 4,50 0,62
11 2 1 4,50 0,61 40 1 1 3,79 0,32
12 2 3,50 0,50 41 1 1 4,50 0,80
13 2 3,50 0,50 42 1 2 4,50 0,60
14 1 2 4,08 0,43 43 1 2 3,55 0,50
15 2 3,06 0,26 44 1 2 4,50 0,70
16 1 1 4,50 0,80 45 1 1 3,80 0,32
17 1 2 4,50 0,62 46 2 1 4,06 0,66
18 1 1 1 4,17 0,70 47 1 1 1 4,14 0,67
19 1 1 3,97 0,44 48 1 2 4,50 0,61
20 2 1 3,75 0,32 49 1 1 1 4,15 0,67
21 1 2 4,50 0,62 50 2 1 3,76 0,32
22 1 1 1 4,50 0,69 51 1 2 4,05 0,66
23 1 1 4,03 0,44 52 1 1 1 4,14 0,67
24 1 2 4,50 0,61 53 1 1 4,50 0,80
25 2 2 3,97 0,44 54 1 2 3,97 0,44
26 1 2 1 3,98 0,51 55 2 2 3,97 0,44
27 1 1 1 1 3,91 0,62 56 1 1 4,01 0,44
28 1 1 4,50 0,69 57 1 1 4,50 0,60
29 1 3,06 0,26
Rata-rata TL = 4.04
Rata-rata SE = 0,54
A = squids/cuttlefish
B = other finfish
C = polychaetes
D = bony fish
E = other molluska
F = other benth. crustaceans
TL = trophlab
SE = standar error
267

Ikan Pepetek
No A B C D E F G TL SE No A B C D E F G TL SE
1 2 2,00 0,00 44 3 5 2,00 0,00
2 3 2 3 2,00 0,00 45 4 4 2,00 0,00
3 2 1 3,24 0,37 46 6 2 2,79 0,33
4 2 3 2,69 0,30 47 3 1 2,54 0,18
5 2 1 3,24 0,37 48 1 1 1 3,06 0,39
6 2 3 2 2,55 0,26 49 1 2 2,65 0,29
7 1 2 2,68 0,30 50 1 1 3,50 0,47
8 4 2,00 0,00 51 3 2 2,00 0,00
9 1 2 1 2,39 0,14 52 2 1 2,48 0,46
10 1 1 1 2,98 0,37 53 2 2 4 2,00 0,00
11 1 1 1 2 2,81 0,33 54 2 2 3 3,02 0,38
12 4 3 2,00 0,00 55 2 2 2,75 0,33
13 2 2 1 3 2,78 0,33 56 2 1 1 1 3,00 0,35
14 4 3,40 0,45 57 2 2,00 0,00
15 5 2,00 0,00 58 4 3,40 0,45
16 2 2 2,91 0,36 59 4 5 2,00 0,00
17 1 4 1 3,00 0,38 60 1 2 2 3,01 0,38
18 2 2 1 3,07 0,39 61 2 2 2 2,99 0,37
19 2 2 1 2,52 0,26 62 1 1 2 2,99 0,37
20 1 1 2 2,00 0,00 63 1 1 1 2,91 0,31
21 2 2 2 2,49 0,24 64 2 2 2 3,06 0,39
22 4 3,40 0,45 65 2 1 2,51 0,17
23 2 2 1 3,07 0,39 66 1 3,40 0,45
24 1 3 1 4 2,78 0,33 67 1 1 2,67 0,29
25 3 1 3,22 0,36 68 3 2 1 4 2,77 0,32
26 4 2 2,75 0,33 69 2 2 3 2,99 0,38
27 5 2,00 0,00 70 1 1 1 2,91 0,31
28 1 1 2,69 0,30 71 1 1 1 3,07 0,39
29 1 1 3,50 0,48 72 1 3 1 4 2,78 0,33
30 3 2,00 0,00 73 4 2 2 2,93 0,36
31 1 2 2 3,07 0,39 74 4 3,40 0,45
32 4 3,40 0,45 75 3 2 3 2,00 0,00
33 2 3,40 0,45 76 2 3 2,65 0,29
34 1 1 3,50 0,48 77 3 4 2,00 0,00
35 1 1 3,51 0,48 78 5 4 4 2,00 0,00
36 5 3,40 0,45 79 3 3 3 3,03 0,38
37 3 4 4 2,00 0,00 80 1 2 3,51 0,48
38 2 1 3,49 0,47 81 1 1 1 3,00 0,38
39 2 3 2,00 0,00 82 3 1 2,52 0,17
40 2 1 3,50 0,47 83 4 2 3 3,02 0,38
41 3 4 2 3,00 0,38 84 3 3 3 2,96 0,37
42 3 2 2,84 0,34 85 1 1 2,83 0,34
43 4 5 2,00 0,00
Rata-rata TL = 2,76
Rata-rata SE = 0,28
A = dinoflagellates C = other plank. invertebrates
B = benthic algae/weeds D = debris
E = other molluska F = polychaetes
G = diatoms
TL = trophlab
SE = standar error
268

Ikan Kuwe
No A B C D E TL SE No A B C D E TL SE
1 1 1 1 4,21 0,74 40 2 2 4,02 0,69
2 1 2 4,50 0,80 41 1 1 4,50 0,80
3 1 1 4,50 0,80 42 1 1 4,03 0,70
4 1 1 4,04 0,70 44 2 4,50 0,80
5 2 4,50 0,80 45 1 1 2 4,50 0,80
6 2 1 4,04 0,70 47 1 1 4,50 0,80
7 1 2 3,81 0,56 48 1 4,50 0,80
8 1 1 4,50 0,80 50 1 1 1 3,69 0,55
9 1 1 1 4,50 0,80 52 1 4,50 0,80
10 1 1 4,02 0,69 53 2 1 2 4,50 0,80
11 1 1 4,50 0,80 54 1 1 4,08 0,71
12 1 2 4,50 0,80 55 1 1 4,03 0,70
14 2 4,50 0,80 56 1 4,50 0,80
15 2 2 4,50 0,80 57 2 2 3,29 0,39
16 1 2 4,04 0,70 58 1 2 4,50 0,80
17 2 1 1 3,90 0,60 59 2 4,50 0,80
19 1 2 1 4,20 0,73 60 2 3 3,71 0,52
20 1 1 4,03 0,70 62 1 1 4,50 0,80
22 1 1 4,03 0,70 63 2 1 3,76 0,54
23 1 2 4,20 0,73 64 1 4,50 0,80
25 1 4,50 0,80 65 2 2 3,81 0,56
26 1 2 4,21 0,74 66 1 2 3,79 0,56
27 2 1 4,50 0,80 67 1 1 4,08 0,71
28 1 1 4,02 0,69 68 1 1 1 4,21 0,74
29 1 1 1 4,21 0,74 70 2 1 4,50 0,80
30 1 1 2 3,95 0,62 71 3 2 3,79 0,56
31 1 1 1 3,95 0,62 72 1 2 4,50 0,80
32 1 4,50 0,80 73 1 4,50 0,80
33 1 2 1 4,50 0,80 74 1 4,50 0,80
34 2 4,50 0,80 75 1 1 1 4,20 0,73
35 2 2 3,81 0,56 76 2 1 1 4,20 0,73
36 2 1 3,79 0,56 77 1 4,50 0,80
37 1 1 4,04 0,70 78 2 4,50 0,80
38 2 1 3,79 0,56 79 2 4,50 0,80
39 1 4,50 0,80 80 2 2 4,04 0,70
40 2 2 4,02 0,69 81 1 1 1 3,90 0,60
41 1 1 4,50 0,80
Rata-rata TL = 4,22
Rata-rata SE = 0,72
A = fish eggs/larvae
B = benth. copepods
C = bony fish
D = shrimps/prawns
E = other finfish
TL = trophlab
SE = standar error
269

Ikan Baronang
No A B C TL SE No A B C TL SE
1 2 1 2,54 0,18 40 5 2,00 0.00
2 1 3,06 0,26 41 4 5 2,73 0.31
3 3 2,00 0,00 42 7 3,40 0.45
4 5 2,00 0,00 43 4 3,40 0.45
5 2 2 1 2,81 0,29 44 2 3 2,68 0.30
6 3 2,00 0,00 45 3 3,40 0.45
7 1 1 2,52 0,17 46 5 2,00 0.00
8 2 1 2,54 0,18 47 2 2 1 2,83 0.29
9 4 2,00 0,00 48 1 3 2,69 0.30
10 3 2,76 0,32 49 2 1 2,49 0.17
11 1 3,06 0,26 50 2 2 1 2,79 0.28
12 1 2,00 0,00 51 4 1 2,75 0.31
13 2 3,06 0,26 52 3 3 2,71 0.30
14 2 2,00 0,00 53 6 2,00 0.00
15 1 2,00 0,00 54 3 3 1 2,81 0.29
16 3 2 2,72 0,31 55 2 1 2,54 0.18
17 2 3,40 0,45 56 1 1 2,67 0.29
18 2 2 2,64 0,29 57 1 2 2,72 0.31
19 2 3,06 0,26 58 2 1 3,22 0.36
20 1 1 1 2,83 0,29 59 2 2 2,73 0.31
21 1 2 2,52 0,17 60 5 2,00 0.00
22 2 1 3,22 0,36 61 4 3 2,75 0.31
23 2 2 2,69 0,30 62 3 3 2,66 0.29
24 4 2,00 0,00 63 1 1 2,49 0.17
25 3 1 2,52 0,17 64 3 3 2,68 0.30
26 2 2 1 2,83 0,29 65 3 1 1 2,83 0.29
27 1 1 1 2,85 0,29 66 7 2,00 0.00
28 3 2 2,49 0,17 67 7 3,40 0.45
29 1 3,06 0,26 68 2 2,00 0.00
30 2 1 3,22 0,36 69 2 1 2,52 0.17
31 2 1 2,69 0,30 70 3 3 2,64 0.29
32 1 1 3,22 0,36 71 3 3 1 2,85 0.29
33 1 3,06 0,26 72 2 1 2,54 0.18
34 4 2 2,68 0,30 73 2 2 2,69 0.30
35 1 1 2,54 0,18 74 2 1 1 2,83 0.29
36 3 2,00 0,00 75 4 2 2,76 0.32
37 3 2,00 0,00 76 2 3,40 0.45
38 2 2 2,54 0,18 77 1 2,00 0.00
39 2 3 2,68 0,30
Rata-rata TL = 2,64
Rata-rata SE = 0,22
A = benthic algae/weeds
B = other plank. Invertebrates s
C = polychaetes
TL = trophlab
SE = standar error
270

Ikan Barakuda
No A B C D TL SE
1 4 4,50 0,80
2 1 1 1 4,19 0,60
3 2 4,50 0,80
4 2 1 1 4,18 0,59
5 1 1 2 4,19 0,73
6 2 2 4,03 0,70
7 2 1 4,50 0,62
8 1 1 4,04 0,70
9 1 2 3 4,27 0,75
10 3 4,50 0,80
11 1 2 4,09 0,71
12 2 2 2 4,19 0,73
13 2 1 4,50 0,80
14 1 1 4,50 0,80
15 2 2 4,03 0,70
16 2 1 4,06 0,70
18 1 4,50 0,80
19 2 4,50 0,80
20 2 2 4,01 0,69
21 2 4,50 0,80
22 1 4,50 0,80
23 2 2 1 4,22 0,60
24 2 1 1 4,22 0,60
25 2 2 1 4,18 0,59
26 2 4,50 0,80
27 1 1 1 4,19 0,60
28 4 4,50 0,80
29 1 1 4,05 0,70
30 2 2 4,05 0,70
31 1 2 4,06 0,70
32 2 2 4,01 0,69
33 1 4,50 0,80
36 3 4,50 0,80
37 1 2 4,09 0,71
Rata-rata TL = 4,28
Rata-rata SE = 0,72
A = fish eggs /larvae
B = bony fish
C = shrimps /prawns
D = squids/cuttlefish
TL = trophlab
SE = standar error

Anda mungkin juga menyukai