ABSTRAK
Terdapat beberapa faktor penting dari udara pengering yang mempengaruhi waktu pengeringan pada
tumpukan biji-bijian di antaranya mencakup suhu, kelembaban dan laju aliran udara pengering. Di pihak lain,
kombinasi ketiga faktor tersebut pada acuan kondisi (suhu dan kelembaban) udara lingkungan juga
menentukan laju energi (daya) yang dibutuhkan, baik mekanik maupun termal. Dengan demikian, faktor-faktor
tersebut secara bersama-sama akan menentukan total konsumsi energi pengeringan. Sebuah simulasi
konsumsi energi untuk pengeringan jagung pipilan yang didasarkan pada model pengeringan tumpukan tebal
yang dikembangkan oleh Bala (1999) yang dimodifikasi telah dilakukan pada berbagai suhu (35-55oC) dan laju
aliran massa (0.05-0.1 kg/m2-s) udara pengering pada ketebalan tumpukan 0.5 m. Suhu udara lingkungan
pada simulasi tersebut bervariasi dari 25-32oC akan tetapi rasio kelembabannya konstan yaitu 0.019 kg/kg u.k.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada peningkatan laju aliran udara akan memberikan konsumsi energi
pengering per m2 luasan produk meningkat untuk seluruh kondisi. Akan tetapi, suhu udara pengeringan akan
memberikan peningkatan konsumsi energi pada suhu udara lingkungan yang tinggi sedangkan pada suhu
udara lingkungan yang lebih rendah justru akan menurunkan konsumsi energi.
Kata kunci: simulasi, konsumsi energi, udara pengering, udara lingkungan, laju aliran massa
LATAR BELAKANG
49
63oC. Alibas (2007) juga memperoleh hasil yang serupa untuk pengeringan Nettle Leaves, dimana semakin
tinggi suhu pengeringan konsumsi energi akan semakin rendah.
Dalam makalah ini, konsumsi energi untuk sistem pengering tumpukan untuk jagung pipilan dipelajari
dengan menggunakan metode simulasi. Model yang digunakan untuk menentukan perubahan suhu dan
kelembaban udara serta suhu dan kadar air biji dalam tumpukan merupakan model berdasarkan
keseimbangan termal dan massa pada sistem pengering tumpukan yang dikembangkan oleh Bala (1999).
METODOLOGI
Model
Skema sistem pengeringan tumpukan jagung pipilan disajikan pada Gambar 1. Udara yang dialirkan
dari lingkungan oleh kipas, dipanaskan oleh pemanas dan dialirkan menembus tumpukan biji-bijian.
Pemodelan dilakukan berdasarkan keseimbangan termal dan massa. Model merupakan modifikasi
model dari Bala (1997) yang disesuaikan untuk bentuk silindris. Untuk itu, model yang dikembangkan terdiri
dari keseimbangan termal pada udara dalam tumpukan, tumpukan biji, keseimbangan uap air pada udara
dalam tumpukan dan persamaan lapisan tipis biji. Selain itu penyesuaian juga dilakukan pada proses
kondensasi, dimana Bala (1997) membuat kondensasi terjadi pada RH 98%. Pada penelitian ini, kondensasi
didasarkan pada RH keseimbangan yang tercapai berdasarkan persamaan Henderson termodifikasi.
Dinding
terinsulasi
Tumpukan jagung
Heater
Kipas
Ruang plenum
dimana Ga adalah laju massa udara per satuan luas (kg/m2), H adalah kelembaban mutlak (kg air/ kg udara
kering), z adalah ketebalan tumpukan (m), M adalah kadar air (%b.k), adalah waktu (detik).
dimana ta adalah suhu udara pengering (oC), tg adalah suhu jagung (oC), cp,a adalah panas jenis udara kering
(kJ/kg-oC), cp,s adalah panas jenis uap air (kJ/kg-oC), hfg adalah panas laten penguapan air dari jagung (kJ/kg
air yang diuapkan), r adalah jarak ke arah radial (m), adalah bulk density dari jagung(kg/m3), hcv adalah
koefisien pindah panas volumetrik (kW/m3-oC).
k M Me.....................................................................[4]
dM
d
dimana k (konstanta pengeringan, 1/detik) yang digunakan untuk jagung adalah (Brooker, et al, 1991).
5023
k 0.54 exp .................................................................. [5]
1.8T
g
sedangkan Me (kadar air keseimbangan, %b.k.) dari persamaan Henderson termodifikasi untuk jagung
(Brooker, et al, 1991). 1
ln 1 ERH 1.8634
Me ....................................................[6]
0.000086541t 49.81
dimana ERH adalah kelembaban relatif keseimbangan udara (%) dan t adalah suhu (oC).
51
Koefisien pindah panas volumetrik (hcv)
Koefisien pindah panas volumetrik untuk jagung dinyatakan dalam persamaan (7) (Bala, 1997):
0.5217
G T
hcv 372.6 a a ..................................................................
Pat [7]
Dengan hfgw merupakan panas laten penguapan air murni (kJ/kg air yang diuapkan).
Kondensasi
Saat udara dalam kondisi kelembaban yang cukup tinggi, maka kondensasi dapat terjadi. Bala (1997)
memodelkan kondensasi terjadi ketika RH telah melebihi 98%. Pada penelitian ini, proses kondensasi
diasumsikan terjadi ketika kelembaban relatif dari udara yang ada pada lapisan biji telah berada di atas RH
keseimbangan dari lapisan biji tersebut. Perhitungan dilakukan dengan mencari suhu dan kelembaban mutlak
udara pengering ketika proses kondensasi dimulai dalam satu garis suhu bola basah, dan kemudian selisih
antara kelembaban mutlak hasil perhitungan dengan saat tersebut merupakan jumlah air yang terkondensasi
pada biji.
Verifikasi model
Model yang diuraikan di atas telah diverifikasi menggunakan data pengering tumpukan jagung pipilan
untuk kondisi udara inlet yang berubah-ubah (Hendarto 2008; Nelwan, et al., 2008) sebagaimana yang
ditunjukkan pada Gambar 2. Secara umum penurunan kadar air hasil simulasi hampir sama dengan
penurunan kadar air melalui pengujian. Pada lapisan bawah memiliki koefisien korelasi R2=0.967, lapisan
tengah 0.979, dan lapisan atas 0.9897.
20,00
19,00
18,00
17,00
Kadar Air (%b.k.)
16,00
15,00
14,00
13,00
12,00
11,00
10,00
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Waktu Pengeringan (Jam)
Simulasi
Persamaan 1c, 2b, 3b dan 4 diekspresikan dalam bentuk numerik menggunakan metode beda
hingga Runge-Kutta. Udara pengering dan biji yang dikeringkan dalam tumpukan dibagi ke dalam 50 lapisan
dengan tebal tumpukan 0.5 m. Perhitungan dilakukan dalam program Visual Basic versi 6.0.
Simulasi dilakukan untuk berbagai suhu udara lingkungan (21, 25, 29 dan 33oC), suhu udara
pengeringan (35, 40, 45, 50 dan 55oC) serta laju aliran massa udara pengeringan (0.05, 0.075 dan 0.1 kg/s-
m2). Kelembaban mutlak udara lingkungan digunakan nilai yang tetap untuk seluruh kondisi yaitu 0.019 kg/kg
u.k. Pemilihan suhu dan laju aliran udara pengering didasarkan pada kebanyakan kondisi yang digunakan
dalam pengeringan tumpukan (Brooker et al., 1992), sedangkan suhu dan kelembaban mutlak udara
lingkungan berdasarkan pada kondisi normal di daerah tropis.
Konsumsi energi
Konsumsi energi mencakup dua bentuk yaitu energi termal dan energi mekanis. Energi termal
(Etherm) merupakan energi yang dibutuhkan untuk pemanasan udara atau dinyatakan sebagai:
Sedangkan energi mekanik (Emech) merupakan energi untuk mengalirkan udara pengering melalui tumpukan
biji selama pengeringan berlangsung atau dinyatakan sebagai:
Ga
Emech P ....................................................................................... [10]
a
P merupakan pressure drop sepanjang tumpukan yang diperoleh dari pressure drop per unit tebal (P/L)
untuk tumpukan jagung pipilan dinyatakan sebagai (Brooker et al., 1991) :
Waktu pengeringan
Waktu pengeringan dihitung dari kadar air rata-rata dalam tumpukan awal 20% sampai 14% b.b.
Tabel 1 memperlihatkan waktu pengeringan yang dibutuhkan untuk berbagai suhu pengeringan dan laju aliran
53
udara. Dapat dilihat bahwa secara umum waktu pengeringan akan menurun sejalan dengan peningkatan laju
aliran massa dan suhu udara pengeringan.
25
20
Kadar air (%b.b.)
15
10
Lay er 5
Lay er 20
5
Lay er 35
Lay er 50
0
0 10000 20000 30000 40000 50000 60000
Waktu (detik)
50
45
40
Suhu udara (oC)
35
30
Layer 5 Layer 20
25
Layer 35 Layer 50
20
0 10000 20000 30000 40000 50000 60000
Waktu (detik)
Gambar 4. Perubahan suhu udara dalam tumpukkan selama pengeringan, Ga= 0.075; ta=45oC
Konsumsi Energi
Gambar 5 memperlihatkan konsumsi energi total dari sistem pengering untuk berbagai suhu dan laju
aliran massa udara pengering pada beberapa suhu lingkungan yang berbeda. Dapat dilihat bahwa walaupun
peningkatan laju aliran massa udara mempercepat waktu pengeringan, peningkatan tersebut selalu
memberikan konsumsi energi pengeringan yang meningkat pada seluruh kondisi suhu udara pengeringan dan
lingkungan. Hal ini disebabkan terutama oleh kontribusi laju tersebut terhadap besarnya jumlah massa udara
pengeringan yang harus dipanaskan. Akan tetapi kontribusi laju tersebut menurun pada suhu udara
lingkungan yang relatif tinggi.
Hal yang cukup menarik adalah ternyata suhu udara pengeringan tidak selalu membuat konsumsi
energi meningkat atau menurun. Pengaruh dari suhu udara lingkungan sangat besar. Pada suhu udara
lingkungan yang relatif rendah (21oC) peningkatan suhu udara pengeringan akan membuat konsumsi energi
menurun. Akan tetapi, pada suhu udara lingkungan yang relatif tinggi (29 dan 33oC), konsumsi energi
pengeringan malah meningkat ketika suhu udara meningkat. Pada suhu udara lingkungan kira-kira 25oC,
penurunan konsumsi energi terhadap suhu udara pengering hanya sedikit.
Suhu udara pengering yang lebih tinggi akan menurunkan waktu pengeringan secara signifikan
(Tabel 1). Bila suhu udara lingkungan rendah, suku (ta-tamb) pada persamaan (9) menjadi besar sehingga
peningkatan ta membuat peningkatan (ta-tamb) kurang signifikan. Peningkatan suku (ta-tamb) tersebut lebih
rendah dibandingkan dengan penurunan waktu pengeringan, oleh karena itu, ketika waktu pengeringan
menurun maka konsumsi energi juga akan menurun. Namun demikian pada suhu udara lingkungan yang
relatif tinggi suku (ta-tamb) tersebut menjadi lebih kecil, sehingga peningkatan ta membuat peningkatan (ta-tamb)
lebih signifikan. Akibatnya peningkatan suku (ta-tamb) tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan penurunan
waktu pengeringan sehingga konsumsi energi pengeringan meningkat sejalan dengan peningkatan ta.
2500
o
2000 tamb = 21 C
1500
Energi (MJ/m2)
o
tamb = 25 C
1000
o
tamb = 29 C 0.05 kg/s-m2
0.075 kg/s-m2
0.1 kg/s-m2
500
o
tamb = 33 C
0
35 40 45 50 55
Suhu udara pengering (oC)
Gambar 5. Konsumsi energi pengeringan total pada berbagai suhu dan laju aliran massa udara pengering
serta suhu udara lingkungan
55
Dengan demikian, jika waktu pengeringan bukan menjadi pertimbangan utama pemilihan suhu udara
pengering menjadi sangat penting pada kondisi udara lingkungan tertentu dalam rangka usaha penghematan
konsumsi energi. Pada suhu udara lingkungan yang rendah, pemilihan suhu udara pengeringan yang lebih
tinggi lebih disarankan karena berarti melakukan dua hal penghematan sekaligus yaitu waktu proses dan
konsumsi energi.
KESIMPULAN
Peningkatan laju aliran massa udara pengeringan mengakibatkan peningkatan konsumsi energi
pengeringan pada berbagai suhu udara lingkungan dan udara pengeringan, namun pengaruhnya menurun
pada suhu udara lingkungan yang lebih tinggi. Sebaliknya, pengaruh suhu udara pengering pada selang 35 –
55oC bergantung pada suhu udara lingkungan. Pada suhu udara lingkungan yang lebih rendah (21oC)
konsumsi energi pengeringan akan menurun. Akan tetapi pada suhu udara lingkungan yang lebih tinggi (yaitu
29 dan 33oC), peningkatan suhu udara pengeringan justru akan meningkatkan konsumsi energi pengeringan.
Pada suhu udara lingkungan kira-kira 25oC, penurunan konsumsi energi terhadap suhu udara pengering
hanya sedikit. Peningkatan atau penurunan konsumsi energi total tersebut menjadi lebih besar ketika suhu
udara lingkungan lebih jauh dari kira-kira 25oC akibat kontribusi selisih suhu udara pengering dan udara
lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Alibas, I. Energy Consumption and Colour Characteristics of Nettle Leaves during Microwave, Vacuum and
Convective Drying. Biosystems Engineering (2007) 96 (4), 495–502
Brooker, D.B., F.W. Bakker-Arkema, and C.W. Hall.1993. Drying and Storage of Grains and Oilseeds
Bala, B.K. 1997. Drying and Storage of Cereal Grains. Oxford & IBH Publishing Co. Pvt. Ltd. New Delhi.
Clark, R. G., W. J. Lamond. Drying Wheat in Two Foot Beds. II : Energy Consumption. J. Agric. Eng. Res. (
1968) 13 (3) 245-248.
Hendarto, D., 2008. Studi Implementasi Sistem Kendali On-Off pada In Store Dryer (ISD) untuk Komoditas
Jagung. Tesis. Program Pascasarjana IPB Bogor.
Nelwan, L.O., Dyah W., Raffi P. Teguh W.W., F.X. Lilik T.M., Deni H., Diswandi N. 2008. Pengembangan Alat
Pengering Efek Rumah Kaca (ERK)-Hybrid dan In-Store Dryer (ISD) Terintegrasi untuk Biji-Bijian Skala
Komersial. Laporan Penelitian KKP3T.
Strumillo, C., P.L. Jones and Romuald Zylla. 1995. Energy Aspects in Drying in Mujumdar, A.S. (ed.).
Handbook of Industrial Drying. Marcel Dekker, Inc., New York.