Anda di halaman 1dari 10

Ubi kayu merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang banyak dimanfaatkan oleh

masyarakat Indonesia. Komoditas ini seringkali digunakan sebagai alternatif bahan pangan utama karena
kandungan nutrisi yang baik. Setia 100 gram-nya ubi kayu mengandung energi sebesar 160 Kcal,
karbohidrat 38.06 g, protein 1.36 g, total lemak 0.28 g dan tidak mengandung kolestrol. Ubi kayu juga
mengandung banyak vitamin dan mineral dengan kandungan vitamin utamanya adalah folat (vitamin
B9) dan kalium sebanyak 271 mg setiap 100 g nya (Putra, 2022).

Hafsah (2004) mengemukakan bahwa pemgolahan ubi kayu dengan proses pengeringan dapat
mnejadi solusi untuk memperpanjang umur simpan ubi kayu yang cenderung mudah rusak. Beberapa
tahapan proses yang dilakukan pada komoditas ubi kayu biasanya meliputi pengupasan, pencucian,
pengirisan, blanching, dan pengeringan. Setiap tahap pengolahan ini akan menghasilkan limbah yang
mana akan mempengaruhi rendemen proses pengeringan ubi kayu.

Pengupasan merupakan tahap yang dilakukan untuk mempercepat proses pengeringan yang
biasanya dilakukan dengan alat bantu berua pisau. Sekitar 22% massa total ubi kayu biasanya akan
hilang akibat prose pengupasan ini. Setelah dikupas bersih, ubi kayu kemudian di cuci untuk
membersihkan daging ubi dari kotoran. Kemudian ubi kayu di iris. Tahao ini sangatlah penting karena
apabila ubi di iris terlalu tebal maka pengeringan akan seakin lama dilakukan. Semakin tipis ubi maka
semakin cepat penguapan air yang tejadi. Proses pengirisan dapat dilakukan dengan mesin untuk hasil
yang lebih seragam ataupun secara manual (Usman dan Idakkwo, 2011). Pada praktikum ini proses
pengirisan dilakukan secara manual dengan 3 jenis irisan yang berbeda-beda yaitu bentuk lingkaran
tegak, lingkaran serong, dan lingkaran tebal yang dibagi menjadi 4 atau 8 bagian.

Selanjutnya terdapat tahap opsional yaitu blanching yaitu merupakan proses pemanasan bahan
menggunakan uap air dengan suhu tinggi dalam waktu yang singkat. Fungsi dari proses ini adalah untuk
menginaktivasi enzim katalase dan peroksidase serta mencegah bau dan warna yang tidak diinginkan
selama pengeringan dan penyimpanan. Setelah di blanching, ubi kayu kemudian dapat dikeringkan.
Pengeringan dapat dilakukan secara konvensional dengan menggunakan bantuan tenaga surya ataupun
dengan menggunakan mesin pengering. Proses pengeringan dengan matahari membutuhkan waktu
yang lebih lama dan prosesnya tergantung dari intensitas dan lama penyinaran. Sedangkan pengeringan
dengan mesin akan menhasilkan produk dengan lebih cepat dan bermutu lebih baik (Marcelo & Almeida
2011). Pada praktikum ini pengeringan dilakukan dengan menggunakan rotary oven.

Pengeringan merupakan metode aplikasi termal atau suhu dengan menggunakan fase uap untuk
mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari bahan dengan menggunakan media pengering,
sampai tingkat kadar air kesetimbangan dengan kondisi lingkungan (Ardani et al., 2013). Air yang
diuapkan terdiri atas air bebas, air terikat secara fisik, dan air terikat secara kimia. Air bebas dapat
dengan mudah diuapkan pada proses pengeringan karena diperlukan energi yang lebih kecil daripada air
terikat. Selama proses pengeringan, yang pertama kali mengalami penguapan adalah air bebas. Periode
ini disebut dengan laju pengeringan konstan. Setelah air bebas menguap karena pengeringan, maka
akan terjadi laju pengeringan menurun dimana terdapat perpindahan air dan uap secara difusi dari
bagian dalam ke permukaan bahan (Henderson dan Perry, 1976). Pada praktikum ini akan dilihat
bagaimana pola kurva penguapan kadar air berbanding waktu untuk melihat karakteristik pengeringan
pada ubi kayu dengan 3 jenis irisan yang berbeda
Ardani, R. K., Pradana, R. N., Nurtono, T., & Winardi, S. (2013). Review pengaruh hidrodinamika pada
fluidized bed dryer. Jurnal Teknik Pomits, 2(1), 1–3. v

Hafsah MJ. 2004. Prospek Bisnis Ubi Kayu. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. v

Henderson SM, Perry RL. 1976. Agricultural Process Engineering. Ed. ke-2. Westport Cennecticut: The
AVI Pub. v

Luketsi, W. P., & Rohmah, D. U. M. (2019). PENGARUH BENTUK IRISAN SINGKONG TERHADAP
KARAKTERISTIK PENGERINGAN. Agroindustrial Technology Journal, 3(1), 29.
https://doi.org/10.21111/atj.v3i1.3801 v

Mujumdar AS, Devahastin S. 2001. Fundamental principles of drying. In: Mujumdar AS (ed). Handbook of
Industrial Drying, 2nd Edition, Marcel Dekker, New York. v

Purwanti, M., Jamaluddin, P., & Kadirman. (2017). PENGUAPAN AIR DAN PENYUSUTAN IRISAN UBI KAYU
SELAMA PROSES PENGERINGAN MENGGUNAKAN MESIN CABINET DRYER. Jurnal Pendidikan Teknologi
Pertanian, 3, 127–136 v

Putra, R. (2022, March 7). Kandungan, manfaat nutrisi ubi kayu (Manihot utilissima) bagi kesehatan.
Cyber Extension. v

Risdianti D, Murad, M., Putra, G.M.D. 2016. Kajian Pengeringan Jahe (Zingiber officinale Rosc)
berdasarkan Perubahan Geometrik dan Warna Menggunakan Metode Image Analysis. Jurnal Ilmiah
Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Volume 04, No. 02, pp. 275 – 284. DOI : 10.29303/jrpb.v4i2.35 v

Rizvi SSH, Mittal GS. 1992. Experimental Methods in Food Engineering. New York: Van Nostrand
Reinhold. v

Usman MA, Idakkwo PY. 2011. size reduction of cassava chips and the drying rate. [e-journal] Jorind (9)
http://www.transcampus.org./journals. [25 Mei 2012]. v

Yuniarti, D.W., Sulistiyati, T.D., Suprayitno, E. 2013. Pengaruh Suhu Pengeringan Vakum terhadap
Kualitas Serbuk Albumin Ikan Gabus (Ophiocephalus striatus). THPi Student Journal. Volume 01, No. 01,
pp. 1 – 11. v
Hasil dan Pembahasan

Berat Singkong (Kg)


Perlakuan
S1 S2 S3
Sebelum dikupas 2.01249 2.01491 1.99246
Setelah dikupas 1.63322 1.615 1.568
Setelah dipotong 1.56721 1.341 1.55012
Setelah dioven 0.66712 0.54819 0.66486
Rendemen kupas 81.2% 80.2% 78.7%
Rendemen potong 77.9% 66.6% 77.8%
Rendemen oven 33.1% 27.2% 33.4%

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa rendemen hasil pengupasan berkisar antara 18-21%.
Hal ini cukup sesuai dengan pernyataan Usman dan Idakkwo (2011) dimana massa ubi kayu akan
menyusut sekitar 22% dari massa total setelah pengupasan. Rendemen pengupasan menjadi lebih
rendah karena banyaknya massa kulit, daging yang terikut, pangkal umbi, serta kotoran (tanah, debu,
dan lainnya) yang terbuang. Pada tahap ini tidak ada perlakuan yang berbeda antar S1, S2, dan S3
sehingga perbedaan rendemen pengupasan ditentukan dari kondisi awal bahan baku dan cara
pengupasan oleh pengupas.

Pada hasil rendemen pemotongan dapat terlihat bahwa rendemen S1 dan S3 hampir serupa
yaitu kisaran 77%, sedangkan pada S2 lebih kecil mencapai 66%. Hal ini disebabkan karena kesalahan
dalam pengirisan oleh kelompok 2 yang mengakibatkan banyaknya bahan afkir yang harus terbuang
sehingga mengakibatkan rendemen hasil pengirisannya menjadi lebih rendah. Berdasarkan hasil
rendemen setelah pengeringan dapat terlihat bahwa rendemen pada irisan lingkaran tegak lurus dan
lingkaran tebal yang di belah berada pada nilai 33% sedangkan pada irisan lingkaran serong nilai
rendemennya lebih rendah di 27.2%. Menurut (Luketsi & Rohmah, 2019) Hasil rendemen singkong hasil
pengeringan yang dihasilkan dipengaruhi oleh faktor suhu dan lama pengeringan. Akibat suhu dan
lama pengeringan untuk ke-3 jenis irisan ini tidak berbeda, maka nilai rendemen pengeringan juga tidak
berbeda terlalu jauh. Selama proses pengeringan berlangsung maka penurunan rendemen singkong
terus berlanjut seiring semakin tinggi suhu dan waktu pengeringan yang digunakan (Yuniarti et al. 2013).

Waktu Suhu Pengeringan Kadar air (BB) Kadar air (BK)


Rh (%)
(menit) (oC) S1 S2 S3 S1 S2 S3
0 21.538 53 58.54 58.54 58.54 141.18 141.18 141.18
30 35.297 73 49.85 46.44 41.94 99.39 86.71 72.23
60 15.788 70 44.46 35.78 32.25 80.04 55.72 47.61
90 23.522 71 33.11 24.96 21.16 49.49 33.26 26.85
120 19.58 68 15.17 19.92 13.95 17.88 24.88 16.21
150 12.715 73 8.53 16.97 13.12 9.33 20.44 15.10
180 11.586 70 10.08 6.41 9.55 11.21 6.85 10.56
Tabel 2 menunjukan hasil pengukuran kadar air (basis basah) pertiap 30 menit sekali selama 180
menit. Berdasarkan data tersebut dapat terlihat bahwa semakin lama proses pengeringan maka kadar
air semakin sedikit atau rendah, karena pada saat pengeringan kadar air akan turun semakin cepat
karena suhu semakin tinggi dan kecepatan aliran udara pengering semakin cepat akan mengakibatkan
proses pengeringan semakin cepat. Semakin tinggi suhu udara pengering semakin besar energi panas
yang dibawa udara, sehingga jumlah massa cairan yang diuapkan dari permukaan dari bahan yang
dikeringkan. (Purwanti et al., 2017)

Berdasarkan Tabel 2, dapat terlihat bahwa irisan lingkaran serong memiliki nilai kadar air
terendah yaitu 6.41% sedangkan irisan lingkaran tegak lurus memliki kadar air akhir 10.08% dan irisan
lingkaran tebal yang dibelah kadar air akhirnya adalah 9.55%. Hal ini terjadi karena irisan lingkaran
serong pada praktikum yang dilakanakan memang lebih tipis dibandingkan irisan lingkaran tegak lurus
serta luas permukaannya juga lebih lebar sehingga semakin mudah kadar air pada bahan untuk
menguap.

Kurva Penurunan Kadar Air


160.00
140.00
120.00
Kadar air bahan (%BK)

100.00
s1
80.00 s2
60.00 s3

40.00
20.00
-
0 30 60 90 120 150 180
Lama Pengeringan (menit)

Informasi mengenai penurunan kadar air selama pengeringan dapat terlihat lebih jelas pada
Gambar 1. Berdasarkan grafik dapat terlihat bahwa pola penurunan kadar air irisan S1 dan S2 terlihat
mirip. Pada menit ke-0 hingga menit ke-30 terjadi laju penurunan kadar air yang konstan untuk ke-3
jenis irisan. Periode ini disebut dengan laju pengeringan konstan. Laju pengeringan konstan terjadi
setelah proses inisiasi pemanasan bahan. Setelah menit ke 30, nilai kadar air semakin menurun namun
dengan kurva yang lebih landai hingga menit ke 90. Periode ini disebut dengan laju pengeringan
menurun pertama. Laju pengeringan ini sebanding dengan perbedaan tekanan uap air antara dalam dan
luar bahan. Semakin kecil kandungan air di bagian dalam maka tekanan uapnya juga semakin kecil
sehingga laju pengeringan semakin menurun.

Laju pengeringan menurun pertama ini dimulai saat kadar air berada pada akhir periode laju
pengeringan konstan yaitu pada menit ke-30. Pada titik ini, permukaan dari bahan (solid) tidak jenuh
dan laju pengeringan menurun seiring menurunnya kandungan air. Pada menit ke 90, kandungan air
yang berada pada lapisan permukaan sudah teruapkan sepenuhnya dan lebih lanjut, laju pengeringan
dikontrol oleh laju dari pergerakan uap dari dalam bahan. Pada menit ke-90 dimulailah laju pengeringan
menurun ke-2 dimana kurva nilai kadar air semakin melandai hingga akhir masa pengeringan. Pada
tahap ini kondisi penguapan terjadi di bagian dalam bahan dan uap air kemduian berdifusi ke
permukaan (Rizvi & Mittal 1992).

Walaupun begitu, berdasarkan grafik, dapat terlihat bahwa sampel bahan irisan S1 memiliki pola
yang berbeda dengan S2 dan S3. Pola terlihat masih sama hingga pengeringan sampai menit ke-30,
namun terlihat berbeda setelah itu. Pada menit ke-30 hingga ke-60 kurva kadar air melandai, namun
pada menit ke-90 kurva Kembali menukik lebih curam hingga menit ke 120 dan barulah kurva Kembali
melandai pada menit ke 120 hingga 180. Bila dilihat seakan ada 2 laju pengeringan konstan dan 2 laju
pengeringan menurun yang bergantian. Walapun trendnya serupa yaitu terus menurun dari waktu ke
waktu namun karakteristik pengeringannya terlihat berbeda. Hal ini dapat disebabkan karena ketebalan
dan ukuran dari bahan sampel S1 tidak seragam sehingga menyebabkan data menjadi anomaly.
Menurut (Luketsi & Rohmah, 2019) keseragaman potongan juga akan mempengaruhi kadar air singkong
terutama karena pemotongan yang dilakukan secara manual.

Kurva Laju Pengeringan


2.50

2.00
Laju pengeringan (%)

1.50

1.00

0.50

-
0 30 60 90 120 150 180
(0.50)
Lama pengeringan (menit)

S1 S2 S3

Gambar 2 menyajikan grafik kurva laju pengeringan terhadap waktu pengeringan. Laju
pengeringan adalah banyaknya air yang diupkan per satuan waktu tertentu. Dapat terlihat jelas disini
bahwa pada menit ke-30 laju pengeringan paling rendah terdapat pada sampel S1, sedangkan yang
paling tinggi adalah S3. Hal ini menunjukkan bahwa chips S1 memiliki bentuk yang lebih tebal dan luas
permukaan yang lebih sempit dibandingkan S2 dan S3. Semakin luas permukaan bahan maka laju
pengeringan semakin cepat karena air mudah menemukan jalan untuk menguap (Risdianti et al. 2016).
Pada tahap ini jumlah kadar air yang hilang cukup besar karena air yang menguap adalah air pada
permukaan bahan. Kemudian laju pengeringan mulai menurun dari menit ke-30 hingga ke-60 dengan
kemiringan kurva yang curam. Pada tahap ini laju pengeringan mulai menurun karena air yang diapkan
adalah air yang terikat diantara padaran bahan. Bahan sulit untuk melepas ikatan antar partiker air
diantara padatan dan membutuhkan waktu untuk proses kapilaritas dan difusi air keluar ke permukaan.

Pada menit ke 60 hingga 150 terlihat bahwa kurva S2 dan S3 mulai melandai, yang menandakan
periode pengeringan menurun ke-2. Selanjutnya pada menit 150 dan 180 terlihat bahwa laju
pengeringan pada S2 dan S3 kembali naik, hal ini bisa saja terjadi karena naiknya suhu pengeringan dan
juga dapat disebabkan karena laju udara pengering yang meningkat. Meskipun demikian terlihat bahwa
kecenderungan pergerakan laju pengeringan terlihat berbeda untuk potongan S1. Sama seperti
penjelasan sebelumnya,, hal ini dapat disebabkan karena ketidak seragman ukuran dan ketebalan dari
sampel S1. Laju pengeringan juga dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia bahan yang akan dikeringkan,
misalnya ukuran dan bentuk bahan serta komposisi kadar air awal bahan yang akan dikeringkan (Luketsi
& Rohmah, 2019). Secara keseluruhan, hasil praktikum kali ini telah sesuai dengan teori pengeringan
yang ditunjukan dengan grafik yang diperoleh, walaupun terdapat anomaly data untuk irisan S1 yang
disebabkan karena perbedaan ukuran dan ketebalan antar bahan.
KESIMPULAN

1. Berdasarkan hasil praktikum dapat dilihat bahwa tidak rendemen pengeringan chips paling
tinggi adalah chips dengan potongan lingkaran tebal yang dibelah menjadi 8 sebanyak
33.4%.. Sedangkan rendemen chips terendah adalah potongan lingkaran menyerong
dengan nilai rendemen pengeringan sebesar 27.2% yang disebabkan karena banyaknya
bahan terbuang pada proses pengupasan. Namun demikian, nilai rendemen pengeringan
tidak jauh berbeda antar sampel

2. Pada praktikum ini, chips dengan potongan lingkaran menyerong yang diiris tipis
menghasilkan chips dengan nilai kadar air terendah yaitu sebesar 6.41 % sedangkan tertinggi
adalah potongan lingkaran tegak lurus dengan kadar air akhir 10.08. Hal ini disebabkan
karena chips 2 diiris dengan ketebalan yang lebih tipis dan karena dipotong secara serong
maka luas permukaannya semakin lebar. Semakin tipi dan semakin luas permukaan chips
akan semakin mudah kandungan air teruapkan dan menyebabkan kadar air lebih rendah
dengan laju pengeringan yang lebih tinggi.
Ardani, R. K., Pradana, R. N., Nurtono, T., & Winardi, S. (2013). Review pengaruh hidrodinamika pada fluidized
bed dryer. Jurnal Teknik Pomits, 2(1), 1–3.

Luketsi, W. P., & Rohmah, D. U. M. (2019). PENGARUH BENTUK IRISAN SINGKONG TERHADAP KARAKTERISTIK
PENGERINGAN. Agroindustrial Technology Journal, 3(1), 29. https://doi.org/10.21111/atj.v3i1.3801

Purwanti, M., Jamaluddin, P., & Kadirman. (2017). PENGUAPAN AIR DAN PENYUSUTAN IRISAN UBI KAYU
SELAMA PROSES PENGERINGAN MENGGUNAKAN MESIN CABINET DRYER. Jurnal Pendidikan Teknologi
Pertanian, 3, 127–136.

Putra, R. (2022, March 7). Kandungan, manfaat nutrisi ubi kayu (Manihot utilissima) bagi kesehatan. Cyber
Extension.

3.  

Anda mungkin juga menyukai