Anda di halaman 1dari 43

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI

DI UPTD PUSKESMAS PULOREJO

TIM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI


UPTD PUSKESMAS PULOREJO
2016

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Puskesmas merupakan lembaga, di mana kemajuan ilmiah dipakai untuk
memberikan layanan diagnostik dan terapeutik yang terbaik bagi pasien, namun di sisi lain,
disadari bahwa puskesmas juga dapat menjadi tempat yang berbahaya tidak saja bagi
pasien, bagi karyawan atau pengunjung puskesmas yang lainnya. Lingkungan puskesmas
merupakan tempat yang memudahkan penularan berbagai penyakit infeksi. Penerapan
teknologi – teknologi diagnostik ataupun terapeutik bukanlah tanpa bahaya. Justru
sebaliknya, infeksi yang terjadi melalui perawatan di puskesmas, sebenarnya telah
memiliki sejarah yang panjang.
Resiko infeksi nosokomial selain terjadi pada pasien yang dirawat di Puskesmas,
dapat juga terjadi pada para petugas Puskkesmas tersebut. Berbagai prosedur penanganan
pasien memungkinkan petugas terpajan dengan kuman yang berasal dari pasien. Infeksi
petugas juga berpengaruh pada mutu pelayanan karena petugas menjadi sakit sehingga
tidak dapat melayani pasien.
Pengetahuan tentang pencegahan infeksi sangat penting untuk petugas Puskesmas
merupakan sarana umum yang sangat berbahaya, dalam arti rawan untuk terjadi infeksi.
Kemampuan untuk mencegah transmisi infeksi di Puskesmas, dan upaya pencegahan
infeksi adalah tingkatan pertama dalam pemberian pelayanan yang bermutu. Untuk seorang
petugas pertama dalam pemberian pelayanan yang bermutu. Untuk seorang petugas
kesehatan, kemampuan mencegah infeksi memiliki keterkaitan yang tinggi dengan
pekerjaan, karena mencakup setiap aspek penanganan pasien.
Upaya pencegahan penularan infeksi di Puskesmas melibatkan berbagai unsur,
mulai dari peran pimpinan sampai petugas kesehatan sendiri. Peran pimpinan adalah
penyediaan sistem, sarana, dan pendukung lainnya. Peran petugas adalah sebagai pelaksana
langsung dalam upaya pencegahan infeksi. Dengan berpedoman pada perlunya
peningkatan mutu pelayanan di puskesmas dan sarana kesehatan lainnya, maka perlu
dilakukan pelatihan yang menyeluruh untuk meningkatkan kemampuan petugas dalam
pencegahan infeksi di Puskesmas.
Salah satu strategi yang sudah terbukti bermanfaat dalam pengendalian infeksi
nosokomial adalah peningkatan kemampuan petugas kesehatan dalam metode Universal
Precautions atau Kewaspadaan Universal (KU) yaitu suatu cara penanganan baru untuk
meminimalkan pajanan darah dan cairan tubuh dari semua pasien, tanpa memperdulikan
status infeksi. Dasar Kewaspadaan Universal adalah cuci tangan secara benar, penggunaan
alat pelindung, desinfeksi dan mencegah tusukan alat tajam, dalam upaya mencegah
transmisi mikroorganisme melalui darah dan cairan tubuh.

2
Demikian pula halnya di Puskesmas, upaya pengendalian infeksi nosokomial terus
dilakukan, sekalipun dengan berbagai keterbatasannya. Sangat disadari, bahwa dampak
infeksi ini sangat luas, baik bagi pasien, pengguna jasa puskesmas maupun bagi puskesmas
itu sendiri. Sekalipun infeksi ini seringkali tidak mematikan, tetapi mengakibatkan pasien
lebih lama tinggal di puskesmas, lebih lama tinggal dalam kondisi non produktif, dan
membayar biaya lebih mahal untuk perpanjangan hari rawat dan pemakaian antibiotika.
Bagi puskesmas, infeksi nosokomial akan berdampak pada biaya operasional yang makin
besar, dan dari sisi medikolegal yang merebak akhir-akhir ini, infeksi ini dapat dianggap
sebagai kelalaian puskesmas karena tidak mengindahkan standar pelayanan medis maupun
keperawatan, yang pada akhirnya akan mengakibatkan buruknya kualitas kinerja
puskesmas.
Pemerintah telah menetapkan pengendalian infeksi nosokomial ini sebagai salah
satu standar/tolok ukur mutu pelayanan puskesmas. Hal ini pula yang mendasari
Puskesmas Pulorejo untuk semakin dikembangkannya upaya pengendalian infeksi di
Puskesmas. Diharapkan, dengan semakin ditekannya kejadian infeksi nosokomial, maka
kualitas pelayanan di Puskesmas secara menyeluruh dapat semakin ditingkatkan.

B. Ruang Lingkup
Pedoman ini memberi panduan bagi petugas kesehatan di Puskesmas Pulorejo
dalam melaksanakan pencegahan dan pengendalian infeksi pada pelayanan terhadap
pasien, keluarga, pengunjung dan petugas. Dengan pengalaman yang sudah ada dengan
pelayanan pasien yang mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB), pedoman ini dapat juga
diterapkan untuk menghadapi penyaki-penyakit infeksi lainya (Emerging Infectious
Diseases) yang mungkin akan muncul di masa mendatang, baik yang menular melalui
droplet, udara dan kontak.

C. Batasan Operasional
Kewaspadaan Standar diterapkan pada semua klien dan pasien / orang yang datang
ke fasilitas pelayanan kesehatan. (Infection Control Guidelines CDC, Australia).
Kewaspadaan berdasarkan transmisi / penularan, hanya diterapkan pada pasien yang
dirawat inap di Puskesmas, sampai diagnosa tersebut dapat dikesampingkan. (Gardner and
HICPAC 1996).
Surveilans adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus dan
sistematik dalam bentuk pengumpulan data, analisis data, interpretasi data dan diseminasi
informasi hasil interpretasi data bagi mereka yang membutuhkan.

3
D. Landasan Hukum
1. UU Republik Indonesia no. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan (lembaran Negara RI
Tahun 1992 nomor 100, Tambahan Lembaran Negara RI nomor 3495)
2. UU Republik Indonesia nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran
Negara RI tahun 2004 nomor 116, Tambahan Lembaran Negara RI nomor 4431).
3. Keputusan presiden RI nomor 40 tahun 2001 tentang Pedoman Kelembagaan dan
Pengelolaan Rumah Sakit
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 159b/Menkes/SK/per/II/1988 tentang Rumah
Sakit.
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 1204/Menkes/SK/per/X/2004 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit
6. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 1575/Menkes/SK/per/XI/2005 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan
7. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 1045/Menkes/SK/per/XI2006 tentang
Pedoman Organisasi Rumah Sakit di Lingkungan departemen Kesehatan
8. Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar
Pelayanan Rumah Sakit
9. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Lainnya. Kesiapan menghadapi Emerging Infectious Disease.
Kemenkes RI. Cetakan ketiga. 2011.

4
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. Kualifikasi Sumber Daya Manusia


Dalam melaksanakan pelayanan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Puskesmas
Pulorejo dipimpin oleh Ketua Tim PPI. Distribusi ketenagaan Tim PPI disesuaikan
dengan kualifikasi dan beban kerja yang ada.

B. Distribusi Ketenagaan
Tim PPI terjumlah 12 orang yang di ketuai oleh seorang dokter yang sudah
melakukan pelatihan dasar pencegahan dan pengendalian infeksi. Tim PPI di dalamnya
ada perawat, bidan, tenaga sanitasi, laboratorium, farmasi, dan kebersihan.

C. Susunan Kepengurusan Tim Pencagahan Dan Pengendalian Infeksi

Ketua : dr. Wahyu Sri Harini

Sekretaris/IPCN : Hermina Budi Setijawati

Anggota :

1. Drg. Herin Kartikaning D.W.


2. Maria Eva Suci
3. Ali Mukson
4. Umi Barokah
5. Hendi Setiono
6. Yayuk Erniwati
7. Maskanah
8. Zuhroini Yudefa.
9. Mein Yuliana
10. Yayuk Idaningsih
11. Luluk Rohmawati
12. Musafak
D. URAIAN TUGAS

1) KEPALA PUSKESMAS

a) Membentuk Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Puskesmas dengan Surat


Keputusan

b) Bertanggung jawab dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap


penyelenggaraan upaya pencegahan dan pengendalian infeksi

c) Bertanggung jawab terhadap tersedianya fasilitas sarana dan prasarana termasuk


anggaran yang dibutuhkan

d) Mengesahkan kebijakan pencegahan dan pengendalian infeksi

5
e) Mengadakan evaluasi kebijakan pencegahan dan pengendalian infeksi
berdasarkan saran dari Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Puskesmas

f) Mengadakan evaluasi kebijakan pemakaian antibiotika yang rasional dan


disinfektan di Puskesmas berdasarkan saran dari Tim Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi Puskesmas
g) Mengesahkan standar operasional prosedur (SOP) untuk Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi Puskesmas

2) KETUA TIM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI

Kriteria : Seorang dokter yang mempunyai pengetahuan dan berminat pada


penyakit infeksi dan epidemiologi

a) Tanggung jawab :

Secara administratif dan fungsional bertanggungjawab seluruhnya terhadap


pelaksanaan program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.

b) Tugas pokok :

Mengkoordinasi semua pelaksanaan kegiatan program Pencegahan dan Pengendalian


Infeksi Puskesmas

c) Uraian tugas:

1. Menyusun, merencanakan dan mengevaluasi program kerja PPI

2. Menyusun dan menetapkan serta mengevaluasi kebijakan PPI

3. Memimpin, mengkoordinir dan mengevaluasi pelaksanaan PPI

4. Bekerjasama dengan tim PPI dalam melakukan investigasi masalah atau KLB
HAIs (Healthcare Assosiated Infection)

5. Memberi usulan untuk mengembangkan dan meningkatkan cara pencegahan dan


pengendalian infeksi

6. Memberikan konsultasi pada petugas kesehatan puskesmas dan pelayanan


kesehatan lainnya dalam PPI

6
7. Mengusulkan pengadaan alat dan bahan kesehatan, cara pemrosesan alat,
penyimpanan alat dan linen yang sesuai dengan prinsip PPI dan aman bagi yang
menggunakan.
8. Mengidentifikasi temuan di lapangan dan mengusulkan pelatihan untuk
meningkatkan kemampuan SDM puskesmas dalam PPI

9. Bertanggung jawab terhadap koordinasi dengan bagian unit kerja terkait

10.Berkoordinasi dengan unit terkait PPI

11.Memimpin pertemuan rutin setiap bulan dengan anggota PPI untuk membahas
dan menginformasikan hal – hal penting yang berkaitan dengan PPI
12.Meningkatkan pengetahuan anggota, membuat dan memperbaiki cara kerja dan
pedoman kerja yang aman dan efektif

13.Memberikan masukan yang menyangkut konstruksi bangunan dan renovasi


ruangan sesuai prinsip PPI
3) SEKRETARIS TIM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI
MERANGKAP

IPCN (Infection Prevention Control Nurse)

Kriteria :

1. Mempunyai pengetahuan, ketrampilan khusus dan epidemiologi penyakit infeksi,


bakteriologi dan sanitasi

2. Perawat dengan pendidikan minimal DIII dan memiliki sertifikasi PPI

3. Memiliki komitmen dibidang pencegahan dan pengendalian infeksi

4. Memiliki kemampuan leadership, inovatif dan confident

5. Memiliki pengalaman sebagai kepala ruang atau setara

a) Tanggung Jawab :

Secara administratif dan fungsional bertanggung jawab kepada ketua Tim PPI

b) Tugas Pokok :

Ikut berperan serta dalam pelaksanaan kegiatan Program PPI

7
c) Uraian Tugas :

1. Mengatur rapat dan jadwal rapat PPI

2. Menyiapkan ruang rapat dan perlengkapannya yang diperlukan

3. Menyusun kesimpulan sidang dan notulen rapat.

4. Mengunjungi ruangan setiap hari untuk memonitor kejadian infeksi yang terjadi
di lingkungan Puskesmas.

5. Memonitor dan melaksanaan surveillance PPI, penerapan SOP, kepatuhan


petugas dalam menjalankan kewaspadaan isolasi

6. Melaksanakan surveilans infeksi dan melaporkan kepada ketua PPI

7. Bersama tim PPI memberikan pelatihan tentang PPI kepada petugas di


Puskesmas

8. Melakukan investigasi apabila terjadi KLB infeksi dan bersama ketua PPI
memperbaiki kesalahan yang ada
9. Memonitor kesehatan petugas kesehatan untuk mencegah penularan infeksi dari
petugas kesehatan ke pasien atau sebaliknya
10. Bersama ketua PPI menganjurkan prosedur isolasi dan memberi konsultasi
tentang PPI yang diperlukan pada kasus yang terjadi di puskesmas

11. Audit pencegahan dan pengendalian infeksi terhadap penatalaksanaan limbah,


laundry, gizi dll.

12. Memonitor kesehatan lingkungan puskesmas

13. Memonitor terhadap pengendalian pemakaian antibiotika yang rasional

14. Memberikan saran desain ruangan puskesmas agar sesuai dengan prinsip PPI

15. Memberikan motivasi dan teguran tentang pelaksanaan kepatuhan PPI

16. Melakukan edukasi kepada pasien, keluarga pasien dan pengunjung puskesmas
tentang PPI

17. Memprakarsai penyuluhan bagi petugas kesehatan, pengunjung dan

keluarga tentang topik infeksi yang sedang berkembang di masyarakat, infeksi


dengan insiden tinggi.

8
18. Sebagai koordinator antar unit dalam mendeteksi, mencegah dan mengendalikan
infeksi di Puskesmas

19. Membuat laporan surveilans bulanan dan tahunan dan melaporkan

kepada tim PPI

4) ANGGOTA

a) Tanggung Jawab

Secara administratif dan fungsional bertanggung jawab kepada Ketua Tim PPI Puskesmas dalam
pelaksanaan program kerja PPI di setiap unitnya masing-masing

B) Tugas Pokok :

Membantu pelaksanaan semua kegiatan di Program PPI Puskemas di Unit masing-


masing

C) Uraian Tugas :

1. Melaksanakan semua kegiatan di program PPI Puskesmas di Unit masing-masing

2. Memonitoring pelaksanaan PPI, penerapan SPO terkait PPI di Unit masing-masing

3. Mengaudit pelaksanaan PPI di Unit masing-masing

4. Membuat laporan evaluasi kegiatan program PPI di Unitnya

5. Memberikan penyuluhan pendidikan kepada staff tentang upaya-upaya PPI di


unitnya.

9
BAB III
TATA LAKSANA PELAYANAN

A. Tata Laksana Penerapan Kewaspadaan Standar dan Kewaspadaan Isolasi


1. Kewaspadaan Standar
Kewaspadaan Standar diterapkan pada semua klien dan pasien / orang yang datang ke
fasilitas pelayanan kesehatan. (Infection Control Guidelines CDC, Australia).
Kewaspadaan Standar dirancang untuk perawatan bagi semua orang, pasien, petugas
atau pengunjung tanpa menghiraukan apakah mereka terinfeksi atau tidak. Termasuk bagi
orang-orang yang baru terinfeksi dengan penyakit menular dengan cara lain, dan belum
menunjukkan gejala.
Kewaspadaan Standar diterapkan untuk sekreta pernapasan, darah, dan semua cairan
tubuh, serta semua eksreta (kecuali keringat), kulit yang tidak utuh, dan membrane mukosa.
Penerapannya ditujukan untuk mengurangi resiko penyebaran mikroorganisme dari
sumber infeksi baik yang diketahui atau tidak, dalam sistem pelayanan kesehatan seperti:
pasien, benda yang tercemar, jarum atau spuit bekas pakai.
Penggunaan pelindung (barrier) fisik, mekanik atau kimia antara mikroorganisme
dengan individu baik untuk pasien rawat jalan, rawat inap atau petugas kesehatan adalah cara
yang sangat efektif untuk mencegah penyebaran infeksi.

a. Komponen Kewaspadaan Standar adalah:


1. Cuci Tangan 6 langkah 5 moment (menggunakan sabun dengan air mengalir atau
handrub berbasis alkohol) :
 Sebelum kontak pasien
 Sebelum melakukan tindakan aseptik
 Setelah terkena cairan tubuh pasien
 Setelah kontak dengan pasien
 Setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien
2. Sarung Tangan:
 Bila akan kontak dengan darah, cairan tubuh, sekreta, eksreta dan barang-barang
yang tercemar.
 Bila akan kontak dengan membran mukosa / selaput lendir dan kulit yang tidak
utuh.
 Sebelum melakukan tindakan invasif.

10
3. Masker, Kacamata dan Pelindung Wajah:
 Melindungi membran mukosa mata, hidung dan mulut terhadap kemungkinan
percikan dari darah atau cairan tubuh.
4. Gaun / Apron:
 Melindungi kulit dari kemungkinan kena percikan ketika kontak dengan darah
atau cairan tubuh.
 Mencegah kontaminasi pakaian selama melakukan tindakan yang melibatkan
kontak dengan darah atau cairan tubuh.
5. Linen:
 Tangani linen kotor dengan menjaga jangan terkena kulit atau membran
mukosa.
 Pisahkan antara linen kotor infeksius dan non infeksius
 Masukkan linen kotor infeksius ke dalam wadah warna kuning dan untuk non
infeksius warna biru.
 Hilangkan dulu kotoran padat yang tertinggal di linen kotor
 Jangan merendam / membilas linen kotor di wilayah ruang perawatan.
 Jangan meletakkan linen kotor di lantai dan mengibaskan linen kotor.
 Segera ganti linen yang tercemar / terkena darah atau cairan tubuh.
6. Peralatan Perawatan pasien:
 Tangani peralatan yang tercemar dengan benar untuk mencegah kontak
langsung dengan kulit atau membran mukosa / selaput lendir
 Cegah terjadinya kontaminasi pada pakaian atau lingkungan
 Dekontaminasi , pembersihan dan disinfeksi atau setrilisasi peralatan bekas
pakai sebelum digunakan kembali
7. Pengendalian Lingkungan:
 Bersihkan, rawat dan disinfeksi peralatan dan perlengkapan dalam ruang
perawatan pasien secara rutin setiap hari dan bilamana perlu.
 Pisahkan sampah medis/infeksius non tajam ke tong sampah medis, sedangkan
untuk sampah medis benda tajam masukkan ke safety box.
 Untuk limbah cair medis masukkan ke spoel hoek.
 Isolasi pasien yang tidak dapat menjaga kebersihan diri serta lingkungan dan
dapat mencemari lingkungan, dalam ruangan terpisah / khusus (isolasi).
8. Kesehatan karyawan dan Pencegahan Transmisi Bloodborne.
 Cuci tangan dan penggunaan APD yang benar
 Pemeriksaan kesehatan berkala
 Penanganan paska pajanan
 Pemberian imunisasi pada kasus tertentu

11
 Hindari menutup kembali jarum yang sudah digunakan, bila terpaksa lakukan
dengan teknik satu tangan.
 Hindari melepas jarum yang telah digunakan dari spuit sekali pakai.
 Hindari membengkokkan, menghancurkan atau memanipulasi jarum dengan
tangan.
 Masukkan instrumen tajam ke dalam wadah yang tahan tusukan dan tahan air.
 Gunakan penghubung mulut (mouthpiece/Goedel), ambubag, atau alat ventilasi
lain untuk resusitasi mulut ke mulut secara langsung.
9. Etika batuk:
 Sasaran: pasien, keluarga pasien, petugas kesehatan, dengan infeksi saluran
nafas yang dapat ditransmisikan melalui batuk atau bersin
 Selalu menutup mulut / hidung pada saat batuk atau bersin, memakai masker,
mencuci tangan setelah kontak dengan sekresi saluran nafas
 Petugas dengan infeksi saluran nafas sebaiknya tidak melakukan kontak
langsung dengan pasien, dan mengenakan masker jika harus melakukan
perawatan
 Pasien infeksi saluran nafas sebaiknya menggunakan masker pada saat
ditransportasikan dari satu unit ke unit lain di Puskesmas.

 Pertimbangan Praktis:
 Perlakukan baik pasien atau petugas sebagai individu yang potensial menularkan dan
rentan terhadap infeksi.
 Cuci tangan – prosedur yang paling penting untuk mencegah pencemaran silang dari
orang ke orang atau dari obyek yang tercemar ke orang.
 Gunakan sarung tangan pada kedua tangan sebelum menyentuh: kulit yang luka,
membran mukosa, darah, cairan tubuh sekreta ataupun eksreta atau peralatan kotor
dan bahan sampah yang tercemar, atau sebelum melakukan tindakan invasif.
 Gunakan Alat Pelindung Diri (APD) (sarung tangan, masker, pelindung muka,
kacamata, apron pelindung, sepatu, topi, dsb) jika ada kemungkinan tertumpah,
terpercik darah atau cairan tubuh, seperti saat membersihkan peralatan dan barang-
barang tercemar
 Gunakan antiseptik berbasis alkohol untuk membersihkan kulit atau membran
mukosa sebelum pembedahan, membersihkan luka, serta melakukan penggosokan
tangan surgical handrub.
 Terapkan cara kerja yang aman, tidak memasang kembali penutup jarum atau
membengkokkan jarum dan menjahit dengan jarum tumpul.
 Buang sampah infeksius ke tempat yang aman untuk melindungi dan mencegah
penularan atau infeksi kepada masyarakat

12
 Proses peralatan, sarung tangan dan barang-barang lain dengan terlebih dahulu
melakukan dekontaminasi, pencucian, kemudian melakukan sterilisasi atau desinfeksi
tingkat tinggi, sesuai prosedur yang direkomendasikan.

b. Kewaspadaan Penularan / Transmisi


Kewaspadaan berdasarkan transmisi / penularan, hanya diterapkan pada pasien yang
dirawat inap di rumah sakit, sampai diagnosa tersebut dapat dikesampingkan. (Gardner and
HICPAC 1996). Kewaspadaan berdasarkan transmisi diperuntukkan bagi pasien yang
menunjukkan gejala atau dicurigai terinfeksi atau mengalami kolonisasi kuman yang sangat
mudah menular atau sangat patogen, di mana perlu upaya pencegahan tambahan selain
Kewaspadaan Standar, untuk memutuskan rantai penyebaran infeksi. Kewaspadaan
Berdasarkan Transmisi perlu dilakukan sebagai tambahan Kewaspadaan Standar.
1. Tiga Jenis Kewaspadaan Berdasarkan Penularan / Transmisi adalah sebagai berikut:
 Kewaspadaan penularan melalui kontak
Kewaspadaan ini dirancang untuk mengurangi resiko transmisi organisme patogen
melalui kontak langsung atau tidak langsung. Transmisi kontak langsung dapat terjadi
pada kontak kulit dengan kulit dan berpindahnya organisme selama kegiatan perawatan
pasien. Transmisi kontak langsung juga dapat terjadi antara dua pasien. Transmisi kontak
tidak langsung dapat terjadi bila ada kontak seseorang yang rentan dengan obyek yang
tercemar yang berada di lingkungan pasien. Pasien dengan infeksi kulit atau mata yang
dapat menular misalnya herpes zoster, impetigo, konjungtivitis, atau infeksi luka lainnya
memerlukan penerapan tindakan pencegahan kontak.
 Kewaspadaan penularan melalui percikan (droplet)
Kewaspadaan penularan melalui droplet dirancang untuk mengurangi resiko penularan
melalui percikan bahan infeksius. Transmisi droplet terjadi melalui kontak dengan
konjungtiva, membran mukosa hidung atau mulut individu yang rentan oleh percikan
partikel besar (> 5 µm / mikron) yang mengandung mikroorganisme. Berbicara, batuk,
bersin dan tindakan seperti pengisapan lendir dan bronkoskopi dapat menyebarkan
mikroorganisme.
 Kewaspadaan penularan melalui udara (airborne)
Kewaspadaan penularan melalui udara dirancang untuk mengurangi resiko penularan
melalui penyebaran partikel kecil ( 5 µm) ke udara, baik secara langsung atau melalui
partikel debu yang mengandung mikroorganisme infeksius. Partikel ini dapat tersebar
dengan cara batuk, bersin, berbicara dan tindakan seperti bronkoskopi atau pengisapan
lendir. Partikel infeksius dapat menetap di udara selama beberapa jam dan dapat
disebarkan secara luas dalam suatu ruangan atau dalam jarak yang lebih jauh.
Pengelolaan udara secara khusus dan ventilasi diperlukan untuk mencegah transmisi
melalui udara.

13
2. Komponen Utama Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi dan penerapannya:
 Menjaga kebersihan tangan dan pemakaian sarung tangan
 Tujuan Penggunaan :
Melindungi tangan dari kontak dengan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret, ekskreta,
kulit yang tidak utuh, selaput lendir pasien dan benda yang terkontaminasi.
 Jenis sarung tangan :
1. Sarung tangan bersih
2. Sarung tangan steril
3. Sarung tangan rumah tangga
 Indikasi Pemakaian Sarung Tangan
Harus dipakai pada saat melakukan tindakan yang kontak atau diperkirakan akan terjadi
kontak dengan darah, cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh, selaput lendir
pasien, dan benda yang terkontaminasi
 Hal yang harus diperhatikan pada penggunaan sarung tangan
1. Cuci tangan sebelum memakai dan sesudah melepaskan sarung tangan
2. Gunakan sarung tangan berbeda untuk setiap pasien
3. Hindari jamahan pada benda-benda lain
4. Uji kebocoran saat proses pencucian
5. Teknik memakai dan melepaskan sarung tangan harus dipahami

 Masker, pelindung pernapasan, pelindung mata dan pelindung wajah


 Pelindung Wajah
Tujuan : melindungi selaput lendir hidung, mulut, dan mata
Jenis alat yang digunakan :
- masker
- kaca mata
 Penutup kepala
Tujuan :
Mencegah jatuhnya mikroorganisme yang ada di rambut dan kulit kepala petugas
terhadap alat-alat daerah steril dan juga sebaliknya untuk melindungi kepala/rambut
petugas dari percikan bahan-bahan dari pasien.
 Gaun dan apron
Tujuan :
Melindungi petugas dari kemungkinan genangan atau percikan darah atau cairan tubuh
lainnya yang dapat mencemari baju
Jenis :
- Gaun pelindung tidak kedap air
- Gaun pelindung kedap air

14
- Gaun steril
- Gaun non steril
 Sepatu Pelindung
Tujuan :
Melindung kaki petugas dari tumpahan/ percikan darah atau cairan tubuh lainnya dan
mencegah dari kemungkinan tusukan benda tajam atau kejatuhan alat kesehatan
Jenis :
Sepatu karet atau plastik yang menutupi seluruh ujung dan telapak kaki
 Linen dan pakaian kotor
- Meskipun linen tercemar oleh mikroorganisme patogen, resiko penularan penyakit
akan minimal jika linen ditangani dengan baik, diangkut dan dicuci dengan cara yang
dapat mencegah penyebaran mikroorganisme pada pasien, petugas dan lingkungan
- Petugas tidak boleh memegang linen dekat tubuh atau mengibaskan linen tersebut.
- Menjaga kebersihan, penanganan dan penyimpanan linen bersih sangat dianjurkan.
 Makanan, gelas, cangkir dan peralatan makan
- Bagi pasien dengan penyakit menular melalui udara dan percikan, upayakan penggunaan
satu barang untuk satu pasien bila memungkinkan.
- Tidak dibenarkan orang lain menggunakan bersama-sama peralatan makan pasien.
- Peralatan makan dapat digunakan kembali untuk pasien suspek dan probable penyakit
menular, dengan menerapkan pencegahan Kewaspadaan Standar.
- Piring dan peralatan makan yang akan digunakan kembali, dicuci dengan air panas dan
sabun deterjen, bila mungkin di dalam mesin pencuci piring.
- Petugas perlu menggunakan sarung tangan ketika menangani nampan, piring dan
peralatan makan pasien.
3. Pencegahan infeksi untuk pasien yang suspek atau probable menderita penyakit menular
melalui airborne / udara
Tindakan yang menimbulkan batuk akan meningkatkan pengeluaran droplet
nuclei ke udara. Tindakan yang menghasilkan aerosol antara lain tindakan pengobatan
yang diaerosolisasi, (misalnya salbutamol), induksi sputum diagnostik, bronkoskopi,
pengisapan jalan nafas dan intubasi endotracheal.
 Petugas kesehatan harus memastikan bahwa pasien sudah diobservasi terhadap
kemungkinan penyakit menular melalui udara/airborne sebelum memulai prosedur
yang menimbulkan aerosol
 Tindakan yang menimbulkan aerosol pada pasien dengan penyakit menular melalui
udara/airborne, hanya dilakukan bila ada indikasi medis yang penting.
 Tindakan harus dilakukan dengan menerapkan Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi
melalui udara.

15
c. Pemrosesan peralatan yang aman
Bagi pasien dengan penyakit menular melalui udara/airborne, perlu diikuti petunjuk
umum untuk pemrosesan peralatan.

B. Tata Laksana Perawatan Pasien Dalam Isolasi


Pasien dengan penyakit menular melalui udara harus dirawat di ruang isolasi (bila
memungkinkan) untuk mencegah transmisi langsung atau tidak langsung. Jumlah petugas
yang merawat harus seminimal mungkin sesuai dengan tingkat perawatan. Petugas
hendaknya diawasi secara ketat dan hendaknya berpengalaman di dalam pencegahan dan
pengendalian infeksi. Untuk perawatan pasien menular melalui udara di ruang isolasi,
petugas perlu mentaati petunjuk-petunjuk sebagai berikut:
a. Persiapan dan pemeliharaan ruang isolasi:
- Lakukan tindakan pencegahan tambahan dengan meletakkan tanda peringatan
pada pintu
- Sediakan lembar catatan di pintu masuk. Semua petugas kesehatan atau
pengunjung yang masuk area isolasi harus mengisi lembar catatan tersebut,
sehingga jika dibutuhkan tindak lanjut, tersedia data yang dibutuhkan
- Pastikan semua yang memasuki ruangan termasuk petugas kebersihan memakai
APD yang lengkap
- Kumpulkan linen seperlunya
- Lengkapi tempat cuci tangan dan kebutuhan untuk cuci tangan yang cukup
- Sediakan kantong sampah yang sesuai dan tempat sampah injakan
- Letakkan wadah khusus anti bocor untuk benda tajam di dalam ruangan
- Upayakan pasien tidak menggunakan barang pribadi. Letakkan tempat air minum
dan cangkir, tissue dan semua barang untuk kebersihan pribadi berada dalam
jangkauan pasien.
- Sediakan peralatan yang diperlukan tersendiri untuk masing-masing pasien seperti
stetoskop, termometer, dan tensimeter. Bila karena keterbatasan peralatan, maka
sebelum digunakan untuk pasien lain, peralatan harus didesinfeksi lebih dahulu.
- Di luar pintu masuk isolasi (di ruang ganti) sediakan tempat (rak, troli, lemari)
untuk menyimpan APD. Sediakan daftar tilik untuk meyakinkan semua peralatan
yang dibutuhkan tersedia.
- Di luar pintu keluar ruang isolasi, letakkan wadah tertutup sesuai untuk setiap
peralatan bekas pakai yang akan diproses ulang. Sesuai kebijakan masing-masing
RS, langsung kirim peralatan bekas pakai tersebut ke unit pelayanan sterilisasi
atau dekontaminasi terlebih dahulu di ruangan khusus sebelum dikirim
- Bersihkan ruangan pasien secara menyeluruh setiap hari meliputi semua
permukaan. Yakinkan bahwa barang-barang seperti meja pasien, kaki tempat

16
tidur, dan lantai telah dibersihkan dan didesinfeksi menggunakan Sodium
hipoklorit 0,5 %.
- Bersihkan peralatan makan dengan sabun dan air panas.
b. Kebijakan Penempatan Pasien
Kebijakan penempatan pasien adalah komponen penting dalam
Kewaspadaan Isolasi. Ruangan khusus penting untuk mencegah transmisi direk-
indirek dan kontak khususnya jika pasien memiliki kebiasaan kebersihan yang
buruk, potensial mengkontaminasi lingkungan, atau tidak dapat diharapkan dapat
mendukung upayan pengendalian infeksi dalam rangka transmisi mikroorganisme
(misalnya pasien bayi, anak-anak, pasien dengan perubahan status mental).
Jika memungkinkan, tempatkan pasien yang potensial mentransmisikan
mikroorganisme patogen ini pada ruang perawatan khusus / tersendiri yang
dilengkapi dengan fasilitas cuci tangan dan kamar mandi, untuk mengurangi
kemungkinan transmisi mikroorganisme.
Jika ruang perawatan khusus tidak tersedia, pasien infeksi hendaknya
ditempatkan dengan pasien yang sejenis. Pasien yang terinfeksi oleh mikroba
yang sama, dapat ditempatkan dalam ruang perawatan yang sama, untuk
mencegah agar mereka tidak terinfeksi oleh mikroorganisme patogen yang lain,
dan kemungkinan terjadi reinfeksi oleh mikroorganisme yang sama menjadi
minimal.
Alternatif lain adalah dengan melakukan mengumpulkan pasien-pasien
yang sejenis. Ini sangat membantu pada keadaan KLB atau keterbatasan ruang
perawatan khusus. Apabila keduanya tidak memungkinkan dilaksanakan (isolasi /
kohorting), sangat penting untuk mendiskusikan epidemiologi penyakit dan mode
transmisi penyakit dengan para ahli pengendali infeksi, atau setidaknya dengan
Perdalin. Dan lebih dari itu, jika pasien infeksi dirawat bersama dengan pasien
non infeksi, sangat penting bagi pasien, petugas kesehatan dan pengunjung untuk
menerapkan Kewaspadaan Isolasi secara baik, demi mencegah penyebaran infeksi
dan tidak membahayakan pasien-pasien lain dalam ruang perawatan tersebut.
c. Transportasi Pasien Terinfeksi
Batasi perpindahan dan pergeseran pasien infeksius, khususnya pasien
terinfeksi mikroorganisme yang virulen dan penting secara epidemiologi.
Pastikan bahwa pasien meninggalkan ruang perawatannya hanya oleh karena
indikasi yang kuat dan esensial, untuk mengurangi kemungkinan transmisi
penyakit.

17
Dalam melakukan transportasi pasien, penting untuk diperhatikan:
 APD yang lengkap sesuai indikasi (masker, gaun/apron) dikenakan pada pasien
untuk menurunkan kemungkinan transmisi kepada pasien lain, petugas
kesehatan atau pengunjung , serta kontaminasi terhadap lingkungan.
 Petugas kesehatan di unit yang dituju harus mendapatkan informasi terhadap
kedatangan pasien infeksius tersebut, dan langkah pencegahan yang harus
dilakukan sehubungan dengan transmisi penyakitnya.
 Kepada pasien harus diinformasikan langkah / tindakan apa yang dapat
dilakukannya untuk membantu mencegah transmisi penyakit yang dideritanya
kepada orang lain.

C. Tata Laksana Surveilans

Surveilans yang dilakukan di Puskesmas Pulorejo


 Surveilans yang dilakukan di Puskesmas Pulorejo adalah Targetted Surveillance,
dengan target survey meliputi infeksi khusus yaitu Phlebitis, Infeksi saluran
kemih (ISK), Dekubitus, Infeksi Aliran Darah Primer (IADP).
 Format pelaksanaan surveilans terdiri dari format sensus harian di tiap ruang
perawatan, daftar tilik, formulir data harian infeksi Puskesmas.

d. Infeksi Di Puskesmas
Infeksi di Puskesmas meliputi: IADP, Infeksi saluran kemih (ISK)
Infeksi Aliran darah Primer (IADP)
 Definisi IADP : Adalah infeksi aliran darah yang timbul tanpa ada organ atau
jaringan lain yang dicurigai sebagai sumber infeksi
 Kriteria 1 : terdapat kuman pathogen yang dikenali dari satu kali atau lebih biakan
dan biakan dari darah tersebut tidak berhubungan dengan infeksi di tempat lain
 Kriteria 2 : ditemukan salah satu di antara gejala berikut tanpa penyebab lain:
- demam (> 38°C)
- menggigil
- hipotensi, dan paling sedikit satu dari berikut :
1. kontaminan kulit biasa (misalnya Diphtheroids, Bacillus sp., coagulase
negative Staphylococcus atau Micrococci) ditemukan dari dua kali atau lebih
biakan darah yang diambil dari waktu yang berbeda
2. kontaminan kulit biasa (misalnya Diphtheroids, Bacillus sp., coagulase
negative Staphylococcus atauMicrococci) ditemukan dari paling sedikit satu
biakan darah dari pasien dengan saluran intravascular dan diokter memberikan
antimicrobial yang sesuai

18
3. test antigen positif pada darah (misalnya H.influenza, S.pneumoniae,
N.meningitidis atau group B Streptococcus)
dan tanda-tanda, gejala-gejala, hasil lab yang positif tidak berhubungan
dengan suatu infeksi di tempat lain.
 Kriteria 3 : pasien umur ≥ 1 th dengan paling sedikit satu tanda atau gejala berikut:
- demam (> 38°C)
- hipotermi <37°C)
- apnea
- atau bradikardia, dan paling sedikit satu dari berikut :
1. kontaminan kulit biasa (misalnya Diphtheroids, Bacillus sp., coagulase
negative Staphylococcus atauMicrococci) ditemukan dari dua kali atau lebih
biakan darah yang diambil dari waktu yang berbeda
2. kontaminan kulit biasa (misalnya Diphtheroids, Bacillus sp. ,coagulase
negative Staphylococcus atauMicrococci) ditemukan dari paling sedikit satu
biakan darah dari pasien dengan saluran intravascular dan diokter memberikan
antimicrobial yang sesuai
3. test antigen positif pada darah (misalnya H.influenza, S.pneumoniae,
N.meningitidis atau group B Streptococcus)
dan tanda-tanda, gejala-gejala, hasil laboratorium yang positif tidak
berhubungan dengan suatu infeksi di tempat lain
 Faktor Resiko IADP :
a. Pemasangan kateter intravena, yang berkaitan dengan :
- jenis kanula
- metode pemasangan
- lama pemasangan
b. Kerentanan pasien terhadap infeksi
 Pencegahan IADP :
Terutama ditujukan pada pemasangan dan perawatan IV:
a. Indikasi pemasangan IV hanya dilakukan untuk tindakan pengobatan dan atau untuk
kepentingan diagnostik
b. Pemilihan kanula untuk infus primer :
Kanula plastik boleh digunakan untuk IV secara rutin, pemasangan tidak boleh
lebih dari 48 – 72 jam
c. Cuci tangan
Cuci tangan harus dilakukan sebelum pemasangan kanula. Pada umumnya cuci
tangan cukup menggunakan sabun dan air mengalir, tetapi untuk pemasangan
kanula vena sentral dan untuk pemasangan melalui incisi, cuci tangan harus
menggunakan antiseptik

19
d. Pemilihan Lokasi pemasangan IV
Pada orang dewasa, pemasangan kanula lebih baik pada ekstremitas atas daripada
ekstremitas bawah
e. Persiapan pemasangan IV prosedur pemasangan IV
- Tempat yang ditusuk / dipasang kanula harus terlebih dahulu didesinfeksi dengan
antiseptic
- Gunakan alkohol 70 %. Antiseptik harus secukupnya dan ditunggu sampai kering,
minimal 30 detik sebelum dilakukan pemasangan kanula
f. Prosedur setelah pemasangan IV
- kanula difiksasi sebaik-baiknya
- tutuplah dengan kassa steril atau transparan dressing
- cantumkan tanggal dan jam pemasangan di tempat yang mudah dibaca. Pada
catatan pasien, tulis tanggal dan lokasi pemasangan.
g. Perawatan tempat pemasangan IV
- tempat tusukan diperiksa setiap hari untuk melihat kemungkinan timbulnya
komplikasi tanpa membuka kassa penutup, yaitu dengan cara meraba daerah vena
tersebu.
- bila ada demam yang tidak bisa dijelaskan dan ada nyeri tekan pada temnpat
tusukan, barulah kassa penutup dibuka untuk melihat kemungkinan komplikasi.
- bila kanula harus dipertahankan untuk waktu yang lama, maka setiap
48 – 72 jam harus diganti dengan yang baru dan steril.
h. Penggantian Kanula
 Jika pengobatan IV melalui infus perifer , bila tidak ada komplikasi yang
mengharuskan mencabut kanula maka kanula harus diganti setiap 48 – 72 jam
secara asepsis
 Jika penggantian tidak mengikuti teknik aseptic yang baik, maka harus diganti
secepatnya
Jika dari tempat tusukan keluar pus atau terjadi phlebitis tanpa
gejala infeksi pada tempat IV atau diduga bakteremia yang berasal dari
kanula, maka semua sistem harus dicabut.
i. Kendali mutu selama dan sesudah pencampuran cairan parenteral
 Cairan parenteral dan hiperalimentasi harus dicampur di bagian farmasi kecuali
karena kepentingan klinis, pencampuran dilakukan di ruangan pasien.
 Tenaga pelaksana harus mencuci tangan sebelum mencampur cairan parenteral.
 Sebelum mencampur dan menggunakan cairan parenteral, semua wadah harus
diperiksa untuk melihat adanya kekeruhan, kebocoran, keretakan dan partikel
tertentu dan tanggal kedaluwarsa Bila didapatkan keadaan tersebut, cairan tidak

20
boleh digunakan dan harus dikembalikan ke bagian farmasi dan dari bagian
farmasi tidak boleh dikeluarkan.
 Ruangan di bagian farmasi tempat mencampur cairan parenteral tersebut harus
memiliki pengatur udara laminar (laminar flowhood).
 Sebaiknya dipakai wadah yang berisi cairan dengan dosis tunggal (sekali pakai).
Bila dipakai bahan parenteral dengan dosis ganda (untuk beberapa kali pakai) dan
sisanya untuk wadah harus diberi tanda tanggal dan jam dikerjakan.
 Label wadah harus diperiksa untuk mengetahui apakah perlu dimasukkan ke
dalam lemari es atau tidak.
2. Infeksi Saluran Kencing (ISK)
Saluran kemih adalah tempat yang paling sering terjadi infeksi nosokomial. Sumber
infeksi saluran kemih dapat berasal dari luar tubuh pasien atau kontaminasi silang:
- personil yang tidak cuci tangan
- cairan kontaminasi

- peralatan medis yang tidak steril


 ISK Simptomatik
Definisi : memenuhi paling sedikit satu dari kriteria berikut ini :
 Kriteria 1 : didapatkan paling sedikit satu dari tanda-tanda dan gejala-gejala
berikut tanpa penyebab lainnya :
 Demam > 38°C
 Nikuria (anyang-anyangen)
 Polakisuria
 Disuria
 Atau nyeri supra pubik
 Atau biakan urin porsi tengah > 105 kuman per milliliter urin dengan jenis kuman
tidak lebih dari 2 spesies
 Kriteria 2 : ditemukan paling sedikit dua dari tanda-tanda dan gejala-gejala
berikut tanpa ada penyebab yang lainnya :
Salah satu dari hal berikut ini :
 Nyeri supra pubik, demam > 38°C
 Nikuria
 Polakisuria
 Disuria, dan salah satu dari hal-hal sebagai berikut :
1. test carik celup (dipstick) positif untuk leukosit esterase dan atau nitrit
2. piuria (terdapat ≥ 10 leukosit per ml atau terdapat ≥3 leukosit per lpb dari urin
yang tidak dipusing (dicentrifuge)

21
3. ditemukan kuman dengan pewarnaan gram dari urin yang tidak dipusing
4. biakan urin paling sedikit dua kali berturut-turut menunjukkan jenis kuman yang
sama (kuman Gram negatif atau S. saphrophyticus ) dengan jumlah > 100 koloni
kuman per ml urin yang diambil dengan kateter.
5. biakan urin menunjukkan satu jenis uropatogen (kuman Gram negatif atau S.
saphrophyticus ) dengan jumlah > 105 per ml pada penderita yang telah mendapat
pengobatan anti mikroba yang sesuai.
6. didiagnosis ISK oleh dokter yang menangani
7. telah mendapat pengobatan antimikroba yang sesuai oleh dokter yang menangani.
 Kriteria 3 : pada pasien berumur ≤ 1 tahun ditemukan paling sedikit satu dari
tanda dan gejala berikut ini tanpa ada penyebab lainnya :
 demam > 38°C
 hipotermia ( < 37°C)
 apnea

 muntah-muntah
 bradikardia < 100 x/mnt
 letargia, dan hasil biakan urin > 105 kuman per milliliter urin dengan jenis
kuman tidak lebih dari 2 spesies
 Kriteria 4 : pada pasien berumur ≤ 1 tahun ditemukan paling sedikit satu dari
tanda dan gejala berikut ini tanpa ada penyebab lainnya :
 demam > 38°C
 hipotermia (< 37°C)
 apnea
 muntah-muntah
 bradikardia < 100 x/mnt
 letargi, dan paling sedikit satu dari berikut ini :
1. test carik celup (dipstick) positif untuk leukosit esterase dan atau nitrit
2. piuria (terdapat ≥ 10 leukosit per ml atau terdapat ≥3 leukosit per lpb dari urin
yang tidak dipusing (dicentrifuge)
3. ditemukan kuman dengan pewarnaan gram dari urin yang tidak dipusing
4. biakan urin paling sedikit dua kali berturut-turut menunjukkan jenis kuman
yang sama (kuman Gram negatif atau S. saphrophyticus ) dengan jumlah >
100 koloni kuman per ml urin yang diambil dengan kateter.
5. biakan urin menunjukkan satu jenis uropatogen (kuman gram negative atau S.
saphrophyticus ) dengan jumlah > 105 per ml pada penderita yang telah
mendapat pengobatan anti mikroba yang sesuai.

22
6. didiagnosis ISK oleh dokter yang menangani
7. telah mendapat pengobatan antimikroba yang sesuai oleh dokter yang
menangani.
 Catatan :
- biakan positif dari ujung kateter urin bukan merupakan test laboratorium yang
bisa diterima untuk ISK
- biakan urin harus diambil dengan teknik yang sesuai, seperti koleksi clean catch
atau kateterisasi
- pada anak kecil biakan urin harus diambil dari kateterisasi buli-buli atau aspirasi
supra pubik; biakan positif dari specimen kantong urin tidak dapat diandalkan
dan harus dipastikan dengan specimen yang diambil secara aseptis dengan
kateterisasi atau aspirasi supra pubik.
 ISK Asimptomatik
Definisi ISK Asimptomatik harus memenuhi paling sedikit satu kriteria berikut
ini :

23
Kriteria 1 :
- Pasien pernah memakai kateter kandung kemih dalam waktu 7 hari sebelum
biakan urin
- Ditemukan dalam biakan urin > 105 kuman per ml urin dengan jenis kuman
maksimal 2 spesies
- Tidak terdapat gejala-gejala / keluhan demam, suhu > 38°C,
polakisuria,nikuria, disuria dan nyeri supra pubik
 Kriteria 2 :
- Pasien tanpa keteter kandung kemih menetap dalam 7 hari sebelum biakan
pertama positif
- Biakan urin 2 kali berturut-turut ditemukan tidak lebih dari 2 jenis kuman
yang sama dengan jumlah >105 per ml.
- Tidak terdapat gejala-gejala / keluhan demam, suhu > 38°C, polakisuria,
nikuria, disuria dan nyeri supra pubik
 Catatan :
- biakan positif dari ujung kateter urin bukan merupakan test laboratorium yang
bisa diterima untuk ISK
- biakan urin harus diambil dengan teknik yang sesuai, seperti koleksi clean
catch atau kateterisasi
 ISK lain
Definisi ISK yang lain harus memenuhi paling sedikit satu kriteria berikut ini :
- Ditemukan kuman yang tumbuh dari biakan cairan bukan urin
atau jaringan yang diambil dari lokasi yang dicurigai infeksi.
- Adanya abses atau tanda infeksi lain yang dapat dilihat, baik secara
pemeriksaan langsung, selama pembedahan atau melalui pemeriksaan
histopatologis
- Ada 2 tanda berikut demam, suhu > 38°C, nyeri lokal, nyeri tekan
pada daerah yang dicurigai infeksi.
 Faktor resiko ISK :
1. Faktor kateter
-tehnik insersi
- perawatan kateter
- lamanya kateterisasi
2. Faktor pasien
-immunocompromised
- DM
- Gagal ginjal
- Inkontinensia defekasi

24
- Wanita
- Lansia
 Pencegahan ISK :
a. Tenaga Pelaksana :
1. Pemasangan kateter hanya dikerjakan oleh tenaga yang memahami dan
trampil dalam teknik pemasangan kateter secara aseptik dan perawatan
kateter.
2. Personil yang memberikan asuhan pada pasien dengan kateter harus mendapat
latihan secara khusus teknik pemasangan yang benar dan pengetahuan
tentang komplikasi potensi yang timbul.
b. Teknik Pemasangan kateter
1. Pemasangan kateter hanya dilakukan bila perlu saja dan segera dilepas jika
tidak diperlukan. Alasan pemasangan tidak boleh hanya untuk kemudahan
personil dalam memberikan asuhan pada pasien
2. Cara drainase urin yang lain seperti : kateter kondom, kateter suprapubik,
kateterisasi selang seling ( intermitten), dapat digunakan sebagai pengganti
kateter menetap.
3. Sebelum dan sesudah manipulasi kateter harus cuci tangan
4. Gunakan kateter terkecil tetapi aliran tetap lancar tanpa menimbulkan
kebocoran dari samping kateter, untuk meminimalkan trauma urethra.
5. Pemasangan secara aseptik dengan menggunakan peralatan steril
6. Pemakaian drain harus menggunakan sistem tertutup:
 sistem drainase tertutup dan steril harus dipertahankan
 kateter dan selang / tube drainase tidak boleh dilepas sambungannya,
kecuali akan dialkukan irigasi
 bila teknik aseptik terganggu, sambungan terlepas atau terjadi kebocoran,
sistem penampungan harus diganti dengan sistem teknik aseptik setelah
sambungan antara kateter dan pipa didesinfeksi
 tidak ada kontak antara urine bag dengan lantai.
7. Laju aliran urin harus dipertahankan. Untuk memperoleh aliran lancar:
- jaga kateter dan pipa drainase dari lekukan
- kantong drainase harus dikosongkan secara teratur dengan menggunakan
kontainer terpisah untuk setiap pasien (jangan ada kontak
- antara lubang pengosong pada kantong penampung dengan kontainer non
steril)
- kateter yang berfungsi kurang baik atau tersumbat harus diirigasi atau
kalau perlu diganti

25
- kantong penampung diletakkan lebih rendah dari kandung kemih /
bladder.
8. Pengambilan spesimen:
- jika kebutuhan urine sedikit dan baru untuk pemeriksaan, diambil dari akhir
distal kateter atau lebih baik dari sampling port jika ada, dan dibersihkan
dengan desinfektan, kemudian urine diaspirasi dengan syringe steril
- jika kebutuhan urine banyak untuk dianalisis, dengan teknik aseptik diambil
dari kantong urine.
9. Perawatan meatus: bersihkan dua kali sehari dengan cara aseptik, bersihkan
dengan sabun dan air.
10. Monitoring bakteri: monitoring bakteriologi secara rutin pada pasien dengan
kateter urine tidak dianjurkan.
11. Pemisahan pasien infeksi: untuk mengurangi infeksi silang, pasien dengan
kateter yang terinfeksi tidak boleh bersebelahan tempat tidur atau dalam
kamar yang sama dengan pasien berkateter lain yang tidak terinfeksi.

Pelaksana Surveilans
Surveilans infeksi nosokomial di Puskesmas dilaksanakan oleh Tim PPI
Pelaporan
Laporan surveilans direkap setiap bulan untuk kemudian dilaporkan kepada
Kepala Puskesmas bersama laporan kegiatan PPI selama bulan yang bersangkutan dalam
bentuk Laporan Bulanan Panitia Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Puskesmas.

D. Tata Laksana Kebersihan dan Pengelolaan Limbah


a. Pengelolaan kebersihan dan Limbah Puskesmas
Ruang lingkup pengelolaan kebersihan dan limbah Puskesmas meliputi pengelolaan
limbah medis maupun non medis yang terjadi oleh karena kegiatan pelayanan Puskesmas.
Kegiatan pengelolaan limbah di Puskesmas merupakan tanggung jawab petugas kebersihan
Puskesmas, di bawah pengawasan sanitarian puskesmas, dan berkoordinasi dengan PPI.
b. Tujuan Pengelolaan Sampah:
 Melindungi petugas pembuangan sampah dari perlukaan
 Melindungi penyebaran infeksi terhadap para petugas kesehatan
 Mencegah penularan infeksi pada masyarakat sekitarnya
 Membuang bahan-bahan berbahaya (toksik dan radioaktif) dengan aman.
Tumpukan sampah terbuka harus dihindari, oleh karena:
 Menjadi obyek pemulung yang akan memanfaatkan sampah terkontaminasi
 Dapat menyebabkan perlukaan
 Menimbulkan bau busuk

26
 Mengundang lalat dan hewan penyebar penyakit lainnya
c. Batasan Limbah Puskesmas :
Secara umum limbah puskesmas dibedakan menjadi limbah padat / sampah dan
limbah cair. Sampah puskesmas tersebut dibagi menjadi:
 Sampah Medis, yaitu sampah yang tercemar oleh darah atau cairan tubuh pasien,
dan dikategorikan sebagai limbah beresiko tinggi serta bersifat
menularkan penyakit. Dapat berasal dari tindakan klinis, laboratorium, atau obat
sitotoksik dan senyawa radioaktif.
 Sampah Non Medis / Sampah Umum, yaitu sampah yang tidak tercemar oleh
darah atau cairan tubuh pasien, sehingga beresiko rendah.
d. Penanganan Sampah Medis :
Sampah Medis beresiko tinggi untuk menularkan penyakit, Puskesmas berkewajiban
mengelolanya dengan benar untuk menghindari penularan penyakit melalui sampah
tersebut.
Sampah Medis tsb antara lain :
 darah atau cairan tubuh lainnya ( urine, muntahan, cairan efusi, ascites dsb),
material yang mengandung darah kering seperti perban, kassa, dan benda-benda
dari kamar bedah atau ruang tindakan.
 Sampah organik, misalnya jaringan, potongan tubuh dan plasenta
 Benda – benda tajam bekas pakai, misalnya jarum suntik, jarum jahit, pisau
bedah, tabung darah, pipet atau jenis gelas lain yang bersifat infeksius
Kantong Sampah Medis :
 sampah medis dibuang ke dalam kantong sampah warna kuning yang tersedia di
tiap unit pelayanan, dipisahkan antara sampah medis tajam dan tidak tajam
Pembuangan sampah medis:
 Tempat sampah harus terbuat dari wadah anti tusukan, dan dilapisi kantong
sampah sesuai dengan jenis sampah medis, serta tertutup. Upayakan tempat
sampah yang dibuka dengan injakan, sehingga meminimalkan
kontaminasi ,kotoran kepada petugas.
 Tempat sampah harus ditempatkan di dekat lokasi terjadinya sampah dan mudah
dicapai oleh pemakai (mengangkat-angkat sampah ke mana-mana meningkatkan
resiko infeksi bagi pembawanya). Terutama pentings ekali terhadap benda tajam
yang membawa resiko kecelakaan / perlukaan bagi petugas kesehatan dan staf.
 Cuci semua wadah sampah setiap hari, dengan larutan pembersih desinfektan
(klorin 0,5 %) dan sabun, serta bilas dengan air.
 Gunakan wadah terpisah antara sampah yang akan dibakar dengan sampah yang
akan didaur ulang / tidak dibakar. Hal ini untuk menghindarkan petugas dari
memisahkan sampah dengan tangan, yang beresiko perlukaan / infeksi.

27
 Gunakan perlengkapan pelindung (APD) pada saat menangani sampah.
 Cuci tangan atau gunakan handrub setelah melepaskan sarung tangan seusai
menangani sampah.
 Pembuangan sampah medis di Puskesmas Pulorejo bekerja sama dengan pihak
ketiga
e. Penanganan Sampah Non Medis
Sampah Non Medis dibuang di tempat pembuangan sementara yang tersedia,
sedangkan untuk pengelolaannya bekerja sama dengan petugas kebersihan dari
TPS di pasar.
Sampah non medis di tiap unit pelayanan dibuang ke dalam kantong sampah
berwarna hitam.
f.Penanganan Limbah laboratorium :
Limbah laboratorium dikelola sebagai limbah medis, limbah padat dikelola
sebagaimana sampah medis, sedangkan limbah cair dialirkan kesaluran pembuangan.
g. Penanganan Limbah cair
Limbah cair di Puskesmas Pulorejo dikelola dengan Sistem Terpadu, yang mengolah
seluruh limbah cair dengan prinsip activated sludge, sampai pada hasil akhir yang
tidak berbahaya / beresiko rendah, sebelum dialirkan ke pembuangan umum. Secara
berkala, hasil akhir pengolahan limbah cair tersebut diperiksa keamanannya, secara
laboratorium.
h. Penanganan Limbah Farmasi
Dalam jumlah kecil, sampah farmasi (obat dan bahan obat) dapat dikumpulkan
dengan sampah medis lainnya.
Jika jumlahnya banyak, metode pembuangan sampah farmasi dilakukan sebagai
berikut:
 Limbah farmasi kedaluarsa dapat dikembalikan ke distributornya.
i. Penanggungjawab Pengelolaan Limbah di Puskesmas Pulorejo
Pengelolaan limbah di Puskesmas Pulorejo dilaksanakan oleh Petugas sanitarian dan
petugas kebersihan Puskesmas.

E. Tata Laksana Pengelolaan Linen


a. Perencanaan, Permintaan , dan Pengadaan Linen Puskesmas :
- Perencanaan dan Permintaan :
Perencanaan kebutuhan linen dibuat oleh masing-masing unit pelayanan
berdasarkan ratio kebutuhan unit dibandingkan dengan persediaan linen yang masih
layak pakai yang ada di ruangnya masing-masing. Perencanaan ini diajukan oleh
Kepala unit peruangan.

28
b. Pengelolaan Linen Kotor
 Pengelolaan linen kotor di puskesmas dimulai dari unit perawatan, yaitu sejak
proses pengumpulan linen kotor, pemisahan linen kotor berdasarkan infeksius
dan non infeksius, proses dekontaminasi , dilanjutkan proses pencucian di
bagian pencucian, sesuai prosedur yang telah ditetapkan.
 Petugas yang bertanggungjawab dalam proses ini adalah petugas linen ruang
perawatan dan petugas bagian pencucian.
 Penggunaan APD yang sesuai harus dipenuhi dalam hal mengelola linen kotor.
Wadah untuk membawa linen kotor non infeksius, linen kotor infeksius,
maupun linen bersih harus terpisah dan menggunakan wadah yang tertutup.

c. Distribusi Dan Penyimpanan Linen Bersih


Distribusi linen bersih dilakukan sesuai prosedur yang telah ditetapkan,

29
d. Penyediaan Linen Siap Pakai
Linen siap pakai disimpan di tiap unit pelayanan, dengan tetap
memperhatikan standar penyimpanan, yaitu :
 Lemari penyimpan selalu bersih, kering, tidak lembab, tertutup rapat dan diberi
obat anti ngengat ( kapur barus).
 Lemari penyimpanan jauh dari pelayanan pasien / terhindar dari kontaminasi
 Inventarisasi linen menjadi tanggung jawab dari masing-masing unit pelayanan ,
dan harus selalu dilakukan cross check antara jumlah linen yang terpakai
dengan linen kotor dan stok linen bersih.

e. Penggunaan Linen Bersih


 Linen bersih digunakan dengan prinsip FIFO (First In First Out), yaitu linen
yang lebih dahulu disimpan, dipakai terlebih dahulu.
 Sebelum memegang linen bersih, petugas harus mencuci tangan terlebih dahulu.

F. Tata Laksana Penggunaan Antiseptik Dan Desinfektan


a. Pengertian
Antiseptik adalah desinfektan yang digunakan untuk kulit dan tubuh bagian luar
lainnya. Sedangkan desinfektan sendiri digunakan untuk peralatan, perabot, lingkungan,
dan sebagainya.
Desinfektan adalah senyawa kimia yang dapat mematikan / menghancurkan
pertumbuhan mikroorganisme. Sedangkan desinfeksi merupakan proses mematikan /
menghancurkan mikroorganisme, namun tidak termasuk spora. Proses ini tidak mematikan
semua mikroorganisme, namun mampu menurunkannya sampai tingkat yang tidak
membahayakan kesehatan.
Perbedaan desinfeksi dengan sterilisasi adalah proses sterilisasi mampu mematikan
semua mikroorganisme termasuk spora.
b. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penentuan desinfektan
1. Telah diketahui bahwa berbagai mikroorganisme mempunyai tingkat sensitivitas
yang berbeda terhadap zat kimia tertentu. Lebih mudah mematikan bakteri gram
positif daripada gram negatif, disebabkan perbedaan pembentukan dinding sel.
Kuman TBC lebih resisten terhadap desinfektan, dan spora jauh lebih resisten lagi
terhadap berbagai desinfektan.
2. Tingkat sensitivitas terhadap desinfektan tergantung dari tingkat keasaman, jadi
susunan bahan pada dinding sel kuman yang asam akan lebih peka daripada yang
tidak asam.

30
3. Bahan kimia yang dipakai biasanya tidak bersifat stabil dalam waktu lama, sehingga
harus selalu diganti dan dibuat yang baru sesuai dengan spesifikasi masing-masing
jenis desinfektan.
4. Beberapa jenis desinfektan dapat menimbulkan karat / korosif, sehingga harus
dilakukan pembilasan untuk melindungi pemakai dan proses berkarat.

c. Jenis antiseptik dan desinfektan di Puskesmas Pulorejo


Tabel 4.1 Jenis antiseptik dan desinfektan di Puskesmas Pulorejo

DAFTAR NAMA CAIRAN DISINFEKTAN


PUSKESMAS PULOREJO

NO NAMA ISI KEGUNAAN KETERANGAN


         
1. Alkohol  Ethanol 95%  Antiseptik kulit  
     Ethanol 70%  Disinfeksi instrument non kritis  
       Disinfeksi peralatan non medis  
     Pengawet preparat PA  
2. Betadin Povidon Iodida Antiseptik kulit
3.  Bayclin  Kalsium Hipoklorit  Disinfeksi mesin HD  Tumpahan darah 1%
   Disinfeksi air bersih  Disinfeksi linen dan
     Dekontaminasi instrumen 0,5%
tumpahan/percikan
      darah/cairan  Disinfeksi peralatan
       Disinfeksi linen putih non medis 0,05%
4.  Hibiscrub Klorheksidine glukonat Antiseptik kulit  
5. Savlon Klorheksidin glukonat Antiseptik kulit 1 ml dalam 100 ml
  Cetrimide
Disinfeksi kamar mandi, WC,
6. Lysol Trikresolum Lantai 22 ml dalam 1 lt
7.  Perhydrol Hydrogen Peroksida  Antiseptik luka 3% - 6%

G. Tata laksana Kesehatan Karyawan dan Penatalaksanaan Pasca Pajanan


a. Program Kesehatan Karyawan di Puskesmas Pulorejo

31
Kesehatan karyawan merupakan hal yang penting untuk memungkinkan Puskesmas
menyelenggarakan fungsinya secara optimal. Program yang berkaitan dengan kesehatan
karyawan, tercantum dalam Pedoman Pengorganisasian Keselamatan kerja, Kebakaran
dan Kewaspadaan Bencana

b. Perlindungan terhadap Petugas Kesehatan


 Petugas kesehatan yang merawat pasien menular harus mendapatkan pelatihan
mengenai cara penularan dan penyebaran penyakit, tindakan pencegahan dan
pengendalian infeksi yang sesuai dengan protokol jika terpajan.
 Petugas yang tidak terlibat langsung dengan pasien harus diberikan penjelasan umum
mengenai penyakit tersebut.
 Petugas kesehatan yang kontak dengan pasien penyakit menular melalui udara harus
menjaga fungsi saluran pernapasan (tidak merokok, tidak minum dingin) dengan baik
dan menjaga kebersihan tangan setiap saat.
 Petugas kesehatan juga harus memeriksa suhu dua kali sehari dan me waspadai
munculnya gejala pernapasan terutama batuk
 Petugas kesehatan juga harus memiliki catatan pribadi mengenai kontak yang
dialami. Catatan tidak boleh dibawa ke dalam area isolasi

32
c. Petunjuk Pencegahan infeksi untuk Petugas Kesehatan
Untuk penyakit menular melalui udara (droplet, airborne)
 Untuk mencegah transmisi penyakit menular dalam tatanan pelayanan kesehatan,
petugas harus menggunakan APD yang sesuai untuk kewaspadaan Standar dan
Kewaspadaan Isolasi (berdasarkan penularan secara kontak, droplet, atau udara)
sesuai dengan penyebaran penyakit.
 Semua petugas kesehatan harus mendapatkan pelatihan tentang gejala penyakit
menular yang sedang dihadapi.
 Jika petugas kesehatan mengalami gejala demam atau gangguan pernapasan dalam
jangka waktu 10 hari setelah terpajan penyakit menular melalui udara, maka ia
perlu dirawat di ruang isolasi.
 Petugas terpajan yang tidak memiliki gejala demam atau gangguan pernapasan
tidak perlu dibebastugaskan namun harus melaporkan pajanan yang dialami segera
kepada Tim PPI.
 Surveilans aktif perlu dilakukan terhadap gejala demam dan gangguan pernapasan
setiap hari kepada petugas kesehatan yang terpajan. Petugas diinstruksikan untuk
mewaspadai timbulnya demam, gangguan pernapasan dan atau peradangan
konjungtiva selama 10 hari setelah terpajan dengan penyakit menular melalui udara.

d. Tata Laksana Pajanan


Apabila terjadi kecelakaan kerja berupa perlukaan seperti tertusuk jarum suntik
bekas pasien, atau terpercik bahan infeksius, maka perlu pengelolaan yang cermat, tepat
serta efektif untuk mencegah semaksimal mungkin terjadinya infeksi nosokomial yang
tidak diinginkan.
Yang paling penting adalah segera mencucinya dengan air mengalir dan sabun
antiseptik, dan usahakan meminimalkan kuman yang masuk ke dalam aliran darah
dengan menekan luka sehingga darah keluar.
Bila darah mengenai mulut, ludahkan dan kumur-kumur dengan air beberapa kali,
bila mengenai mata, cucilah mata dengan air mengalir (irigasi) atau garam fisiologis, bila
percikan mengenai hidung, hembuskan keluar hidung, dan bersihkan dengan air.

33
e. Tata laksana Pajanan di tempat kerja
Penatalaksanaan pajanan darah di tempat kerja disesuaikan dengan sarana dan
prasarana yang ada di Puskesmas Pulorejo.
 Panduan terpapar adalah sebagai berikut:

Langkah : Telaah Pajanan


Pajanan yang memiliki resiko penularan infeksi:
- Perlukaan kulit
- Pajanan pada selaput mukosa
- Pajanan melalui kulit yang luka

Bahan pajanan yang memberikan resiko penularan infeksi adalah:


 Darah
 Cairan bercampur darah yang kasat mata
 Cairan yang berpotensial terinfeksi: semen, cairan vagina, , cairan pleura,, cairan
amnion,

Status Infeksi : tentukan status infeksi sumber pajanan (bila belum diketahui)
 HbsAg
 HIV
 Untuk sumber yang tidak diketahui, pertimbangkan resiko yang tinggi atas infeksi di
atas
 Jangan melakukan pemeriksaan (laboratorium) jarum bekas tusukan.

34
BAB IV
LOGISTIK

Program Pelayanan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Puskesmas Pulorejo sebagai salah
satu bagian penunjang medis dari bidang medis diagnostik untuk menunjang pelayanan medis
baik untuk pasien rawat jalan maupun pasien rawat inap, menyediakan fasilitas:
1. Handrub untuk cuci tangan
2. Pamflet cara cuci tangan yang benar
3. Cairan steriliside untuk pencucian alat kesehatan yang aman

35
BAB V
KESELAMATAN PASIEN

A. Pengertian
Keselamatan pasien adalah suatu sistem di mana puskesmas membuat asuhan
pasien lebih aman. Hal ini termasuk asesmen resiko, identifikasi dan pengelolaan hal
yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan
belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya resiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
Sedangkan insiden keselamatan pasien adalah setiap kejadian atau situasi yang dapat
mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan harm (penyakit, cedera, cacat, kematian,
dan lain-lain) yang tidak seharusnya terjadi. (KKP-RS)

B. Tujuan
Tujuan sistem ini adalah mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil. Selain itu sistem keselamatan pasien ini mempunyai tujuan agar
terciptan budaya keselamatan pasien di Puskesmas meningkatkan akuntabilitas
Puskesmas terhadap pasien dan masyarakat, menurunnya kejadian tidak diharapkan di,
dan terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan
kejadian tidak diharapkan.

C. Tata Laksana Keselamatan Pasien


Dalam melaksanakan keselamatan pasien terdapat tujuh langkah menuju
keselamatan pasien puskesmas. Adapun tujuh langkah tersebut adalah:
1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien. Mencipatakan kepemimpinan
dan budaya yang terbuka dan adil.
2. Memimpin dan mendukung karyawan. Membangun komitmen dan fokus yang kuat
dan jelas tentang keselamatan pasien.
3. Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan resiko. Mengembangkan system dan proses
pengelolaan resiko, serta melakukan identifikasi dan asesmen hal potensial
bermasalah.
4. Mengembangkan system pelaporan. Memastikan karyawan agar denngan mudah
dapat melaporkan kejadian / insiden
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien. Mengembangkan cara-cara
komunikasi yang terbuka dengan pasien.

36
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien. Mendorong karyawan
untuk melakukan analisa akar masalah untuk belajar bagaimana dan mengapa
kejadian itu timbul.
7. Mencegah cedera melalui implementasi system keselamatan pasien. Menggunakan
informasi yang ada tentang kejadian atau masalah untuk melakukan perubahan pada
system pelayanan.

Dalam melaksanakan keselamatan pasien standar keselamatan pasien harus diterapkan.


Standar tersebut adalah:
1. Hak pasien
2. Mendidik pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan keselamatan pasien
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatan keselamatan pasien
6. Mendidik karyawan tentang keselamatan pasien
7. Komunikasi yang merupakan kunci bagi karyawan untuk mencapai keselamatan
pasien.

Langkah-langkah penerapan keselamatan pasien Puskesmas :


1. Menetapkan unit kerja yang bertanggung jawab mengelola program keselamatan
pasien puskesmas.
2. Menyusun program keselamatan pasien
3. Mensosialisasikan konsep dan program keselamatan pasien Puskesmas

4. Menetapkan system pelaporan insiden (peristiwa keselamatan pasien)

BAB VI
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

UU No 23 tahun 1992 menyatakan bahwa tempat kerja wajib menyelenggarakan upaya


kesehatan kerja adalah tempat kerja yang mempunyai resiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit
penyakit atau mempunyai paling sedikit 10 orang. Puskesmas adalah tempat kerja yang
termasuk dalam kategori seperti disebut diatas, berarti wajib menerapkan upaya kesehatan dan
keselamatan kerja. Program keselamatan dan kesehatan kerja di tim pendidikan pasien dan

37
keluarga bertujuan melindungi karyawan dari kemungkinan terjadinya kecelakaan di dalam dan
di luar puskesmas
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat (2) disebutkan bahwa “Setiap
warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Dalam hal
ini yang dimaksud pekerjaan adalah pekerjaan yang bersifat manusiawi, yang memungkinkan
pekerja berada dalam kondisi sehat dan selamat, bebas dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja,
sehingga dapat hidup layak sesuai dengan martabat manusia.
Keselamatan dan kesehatan kerja atau K3 merupakan bagian integral dari perlindungan
terhadap pekerja dalam hal ini tim PPK dan perlindungan terhadap Puskesmas. Pegawai adalah
bagian integral dari puskesmas. Jaminan keselamatan dan kesehatan kerja akan meningkatkan
produktivitas pegawai dan meningkatkan produktivitas puskesmas. Undang-Undang No.1 tahun
1970 tentang Keselamatan Kerja dimaksudkan untuk menjamin:
a. Agar pegawai dan setiap orang yang berada di tempat kerja selalu berada dalam keadaan
sehat dan selamat.
b. Agar faktor-faktor produksi dapat dipakai dan digunakan secara efisien.
c. Agar proses produksi dapat berjalan secara lancar tanpa hambatan.
Faktor-faktor yang menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat digolongkan pada
tiga kelompok, yaitu :
a. Kondisi dan lingkungan kerja
b. Kesadaran dan kualitas pekerja, dan
c. Peranan dan kualitas manajemen
Dalam kaitannya dengan kondisi dan lingkungan kerja, kecelakaan dan penyakit akibat kerja
dapat terjadi bila :
- Peralatan tidak memenuhi standar kualitas atau bila sudah aus;
- Alat-alat produksi tidak disusun secara teratur menurut tahapan proses produksi;
- Ruang kerja terlalu sempit, ventilasi udara kurang memadai, ruangan terlalu panas atau
terlalu dingin;
- Tidak tersedia alat-alat pengaman;
- Kurang memperhatikan persyaratan penanggulangan bahaya kebakaran dll.

a. Perlindungan Keselamatan Kerja Dan Kesehatan Petugas Kesehatan


 Petugas kesehatan yang merawat pasien menular harus mendapatkan pelatihan
mengenai cara penularan dan penyebaran penyakit, tindakan pencegahan dan
pengendalian infeksi yang sesuai dengan protokol jika terpajan.
 Petugas yang tidak terlibat langsung dengan pasien harus diberikan penjelasan
umum mengenai penyakit tersebut.

38
 Petugas kesehatan yang kontak dengan pasien penyakit menular melalui udara
harus menjaga fungsi saluran pernapasan (tidak merokok, tidak minum dingin)
dengan baik dan menjaga kebersihan tangan setiap saat dan:
o Memeriksa suhu dua kali sehari dan mewaspadai munculnya gejala
pernapasan terutama batuk
o Memiliki catatan pribadi mengenai kontak yang dialami. Catatan tidak
boleh dibawa ke dalam area isolasi
o Bila timbul demam, segera batasi interaksi dan isolasi diri dari area umum.
b. Petunjuk Pencegahan infeksi untuk Petugas Kesehatan
 Untuk mencegah transmisi penyakit menular dalam tatanan pelayanan kesehatan,
petugas harus menggunakan APD yang sesuai untuk kewaspadaan Standar dan
Kewaspadaan Isolasi (berdasarkan penularan secara kontak, droplet, atau udara)
sesuai dengan penyebaran penyakit.
 Semua petugas kesehatan harus mendapatkan pelatihan tentang gejala penyakit
menular yang sedang dihadapi.
 Semua petugas kesehatan dengan penyakit seperti flu harus dievaluasi untuk
memastikan agen penyebab.
 Jika petugas kesehatan mengalami gejala demam atau gangguan pernapasan
dalam jangka waktu 10 hari setelah terpajan penyakit menular melalui udara,
maka ia perlu dirawat di ruang isolasi.
 Petugas terpajan yang tidak memiliki gejala demam atau gangguan pernapasan
tidak perlu dibebastugaskan namun harus melaporkan pajanan yang dialami
segera kepada Tim PPI.

39
 Surveilans aktif perlu dilakukan terhadap gejala demam dan gangguan pernapasan
setiap hari kepada petugas kesehatan yang terpajan. Petugas diinstruksikan untuk
mewaspadai timbulnya demam, gangguan pernapasn dan atau peradangan
konjungtiva selama 10 hari setelah terpajan dengan penyakit menular melalui
udara.

40
BAB VII
PENGENDALIAN MUTU

Prinsip dasar upaya peningkatan mutu pelayanan adalah pemilihan aspek yang akan
ditingkatkan dengan menetapkan indikator, kriteria, serta standar yang akan digunakan untuk
mengukur mutu pelayanan.

Adapun pengendalian mutu pada TIM PPI meliputi:


.
1. Kejadian Infeksi Aliran Darah Primer (IADP)
Keadaan Infeksi yang terjadi akibat tusukan tusukan jarum infus dan timbul minimal 2
kali 24 jam setelah pemasangan.
2. Kejadian ISK
Keadaan infeksi yang terjadi karena selang kateter dan timbul setelah 2 kali 24 jam
dilakukan pemasangan kateter di puskesmas.
3. Pengolahan Limbah
a. Keberhasilan Pengolahan Limbah Cair
Baku mutu adalah standar minimal pada limbah cair yang dianggap aman bagi
keselamatan, yang merupakan ambang batas yang ditolerir dan diukur dengan indikator:
 BOD (Biological Oxygen Demand) : 30 mg/liter
 COD (Chemical Oxygen Demand) : 80 mg/liter
 TSS (Total Suspend Solid) 30 mg/liter
 pH : 6 – 9
b. Keberhasilan Pengolahan Limbah Padat Berbahaya
Limbah padat berbahaya adalah sampah padat akibat proses pelayanan yang
mengandung bahan-bahan yang tercemar jasad renik yang dapat menularkan penyakit
6. Ketersediaan APD
Alat terstandar yang berguna untuk melindungi tubuh, tenaga kesehatan, pasien atau
pengunjung dari penularan penyakit di Puskesmas seperti masker, sarung tangan karet,
penutup kepala, sepatu boots dan gaun

41
7. Angka Ketidakpatuhan Cuci Tangan
Ketidakpatuhan mencuci tangan meliputi ketidakpatuhan waktu / 5 moment cuci tangan
dan ketidakpatuhan 6 langkah cuci tangan.

42
BAB VIII
PENUTUP

Pedoman Pelayanan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Puskesmas Pulorejo


disusun, sebagai panduan untuk melaksanakan upaya pencegahan dan pengendalian infeksi
sehari-hari. Diharapkan, melalui Pedoman Pelayanan ini, dapat tercipta keseragaman
pemahaman dan persepsi, dalam mewujudkan pelayanan Puskesmas Pulorejo yang berkualitas,
dengan kepedulian tinggi terhadap pengendalian infeksi puskesmas secara nyata.
Dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, maka tidak
menutup kemungkinan, pedoman yang saat ini berlaku, akan semakin disempurnakan. Oleh
karenanya, terhadap pedoman ini pun akan tetap dilakukan evaluasi secara berkala, agar selalu
diperoleh perkembangan yang terbaru, demi upaya pengendalian infeksi di Puskesmas Pulorejo.

KEPALA PUSKESMAS PULOREJO NGORO


KABUPATEN KOMBANG

dr. Betty Endang Warni. M.Kes


NIP. 195702041989012001

43

Anda mungkin juga menyukai